Upload
hendra-thohir
View
47
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI JAWA BARAT R. Abdul Maqin*)
ABSTRACT
This study aims to obtain the empirical evidence on (1) inter regional disparity of income in West Java (2) the influence of economic growth, capital investement domestic, and level of education to regency’s/city’s disparity of income in West Java. Analysis model is applied to know disparity of income by Williamson’s index. While to know influence a number of variables about disparity of income is applied by data panel with method Fixed Effect, with data times series from the year 2000-2005.
Result of research indicates that, out of 25 regencies and cities, there are 8 regions composing 7 regencies and 1 city have the disparity index bigger than the average of regency/city in West Java. While, the result of economic growth estimation and capital invetment domestic has significant influence to disparity of income. Seen from level of education’s labour, the senior high school graduated give significant influence to disparity of income.
Key words: economic growth, disparity of income, capital investement domestic, level of education’s labour
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris mengenai (1) disparitas pendapatan
antar daerah di Jawa Barat (2) pengaruh pertumbuhan ekonomi, PMDN, dan tingkat pendidikan terhadap disparitas pendapatan kabupaten/kota di Jawa Barat. Model analisis yang digunakan untuk mengetahui disparitas pendapatan digunakan indeks ketimpangan regional Williamson. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh sejumlah variabel terhadap disparitas pendapatan digunakan panel data dengan metode Fixed Effect, dengan data times series dari tahun 2000-2005.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 25 Kabupaten dan Kota ada 8 daerah yang terdiri 7 Kabupaten dan 1 Kota yang memiliki indeks disparitas yang lebih besar dari rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Sementara itu, hasil estimasi pertumbuhan ekonomi dan PMDN mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap disparitas pendapatan. Dilihat dari tingkat pendidikan tenaga kerja, lulusan SMA memberikan pengaruh signifikan terhadap disparitas pendapatan.
Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, disparitas pendapatan, penanaman modal dalam negeri, tingkat pendidikan tenaga kerja.
2
I. PENDAHULUAN
Jawa Barat sebagai bagian intergral dari perekonomian nasional tentunya membutuhkan
suatu rencana strategis yang bertujuan untuk membangun Jawa Barat yang meliputi
pengembangan sektor-sektor ekonomi andalan yang menjadi core businnes (bisnis inti) antara
lain ; agrobisnis, kelautan, kepariwisataan, industri manufaktur dan industri jasa. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaanya diperlukan keterpaduan gerak langkah pembangunan dari berbagai pihak
secara sinergis, kondusif dan berkelanjutan. Meskipun demikian, proses pembangunan ini masih
terbentur oleh berbagai macam kendala yang perlu segera diantisipasi. Kendala-kendala yang
terjadi antara lain meliputi masalah internal dan eksternal dalam perekonomian secara makro di
Jawa Barat.
Pertumbuhan ekonomi kota di Jawa Barat dalam lima tahun terakhir (2001-2005) rata-rata
mengalami pertumbuhan sebesar 4,27% per tahun. Pada tahun yang sama daerah berstatus kabupaten
rata-rata memiliki laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,71% dan daerah berstatus kota relatif lebih tinggi
dibandingkan rata-rata kabupaten dan Jawa Barat yakni 6,42%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi daerah Kabupaten dan Kota
di Jawa Barat Menurut Harga Konstan 2000 Periode 2001-2005
Laju Pertumbuhan
(%) Tahun Jawa Barat Rata-Rata Kabupaten Rata-rata Kota
2001 5,11 4,13 9,67 2002 4,62 4,53 5,13 2003 1,19 0,79 5,34 2004 5,43 4,78 5,50 2005 5,00 4,32 5,58
Rata--rata 4,27 3,71 6,42 Sumber : Badan Pusat Statistik
3
Secara harfiah, pembangunan bertujuan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan,
namun dalam kenyataannya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga hasil
pembangunan tersebut belum dinikmati oleh penduduk di Jawa Barat secara merata.
Ketimpangan di Propinsi Jawa Barat selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai
bentuk, aspek atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal
pendapatan per kapita, tetapi ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan
pula berupa disparitas pendapatan atau antar daerah, yakni antar pedesaan dan daerah perkotaan.
Akan tetapi juga berupa disparitas sektoral dan disparitas regional.
Adanya disparitas pendapatan antar daerah di Jawa Barat disebabkan berbagai kendala, baik letak
geografis maupun potensi sumber daya alam yang dimiliki masing-masing daerah yang tidak sama,
bahkan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja dalam pembangunan juga menjadi kendala dalam
pertumbuhan ekonomi.
Disparitas pendapatan antar daerah yang disebabkan oleh terpusatnya investasi suatu daerah. Pada
kenyataannya besaran investasi ditiap wilayah dan tiap sektor berbeda-beda. Keputusan investasi ditiap
wilayah dan tiap sektor sangat dipengaruhi oleh dua pelaku utamanya, yaitu pengusaha dan pemerintah
melalui kebijakan-kebijakannya. Bagi pemerintah investasi dilakukan dengan harapan investasi tersebut
dapat memberikan efek multiplier bagi pertumbuhan ekonomi wilayah, besaran efek multiplier investasi
ditiap wilayah berbeda-beda tergantung pada besaran hasrat konsumsi masyarakat ditiap wilayah baik
terhadap barang produksi lokal maupun barang dari luar daerahnya, tingkat pajak ditiap wilayah, serta
banyak faktor lainnya kondisi ini tentu saja dapat menjadi pendorong besaran investasi yang berbeda
antar wilayah. Dalam hal ini pemerintah harus memilih sektor-sektor yang apabila berkembang mampu
mendorong kemajuan sektor-sektor lain hingga pada akhirnya dapat mendongkrak kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
4
Secara umum diyakini bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan
dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh
pemerintah pusat. Namun kecenderungan kearah tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian
besar Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi
fiskal dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi peningkatan efektifitas
pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan
pendidikan di tingkat daerah serta kesejahteraan masyarakatnya. Bagi sebagian besar propinsi, masalah
diatas merupakan agenda pokok yang perlu segera ditangani, karena (i) jumlah penduduk miskin
mengalami peningkatan selama krisis ekonomi, dan (ii) keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas (terdidik dan terlatih) di masa depan merupakan kebutuhan tak terhindarkan dalam
menghadapi persaingan global.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini secara garis
besar adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui disparitas pendapatan antar daerah di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi, penanaman modal dalam negeri, dan tingkat
pendidikan terhadap disparitas pendapatan kabupaten/kota di Jawa Barat.
II. KAJIAN PUSTAKA
Beberapa ahli ekonomi mengatakan bahwa kesenjangan pendapatan antar daerah timbul karena
adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Daerah yang memiliki sumber
daya dan faktor produksi, terutama yang memiliki barang modal (capital stock) akan memperoleh
pendapatan yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang memiliki sedikit sumber daya.
5
Menurut teori pertumbuhan wilayah Neo-klasik, pertumbuhan wilayah sangat berhubungan
dengan tiga faktor penting, yaitu tenaga kerja, ketersediaan modal, dan kemajuan teknologi. Tingkat
pertumbuhan dan faktor-faktor itu akan menentukan tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi
wilayah.
Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka selanjutnya akan terjadi proses multiplier
dimana para pelaku ekonomi, terutama para investor akan meningkatkan investasinya dalam bentuk
modal fisik yang tentu saja memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga semakin banyak pula
orang yang bisa bekerja. Hal ini berarti, semakin banyak orang yang mempunyai pendapatan dan
sekaligus terjadi distribusi pendapatan yang lebih merata.
Kesenjangan antar daerah menyangkut pola dan arah investasi serta prioritas alokasi di antara
berbagai daerah dalam wilayah negara kesatuan, khususnya di bidang sumber daya manusia dan dalam
prasarana fisik. Pola dan arah investasi pada bidang-bidang tersebut diberbagai daerah akhirnya
berpengaruh pada tingkat kesernjangan distribusi pendapatan antar daerah.
Menurut Kuznets disparitas dalam pembagian pendapatan cenderung bertambah besar selama
tahap-tahap awal pembangunan, baru kemudian selama tahap-tahap lebih lanjut dari pembangunan
berbalik manjadi lebih kecil, atau dengan kata lain bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal
mengalami kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju
suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut.
Lebih lanjut Kuznets mengasumsikan bahwa kelompok pendapatan tinggi memberikan kontribusi
modal dan tabungan yang besar sementara modal dari kelompok lainnya sangat kecil. Dengan kondisi-
kondisi lain yang sama, perbedaan dalam kemampuan menabung akan mempengaruhi konsentrasi
peningkatan proporsi pemasukan dalam kelompok pendapatan tinggi. Proses ini akan menimbulkan
dampak akumulatif, yang lebih jauh akan meningkatkan kemampuan dalam kelompok pendapatan tinggi,
kemudian akan memperbesar kesenjangan pendapatan dalam suatu negara.
6
Studi yang dilakukan oleh Bank dunia, di Indonesia menunjukan bahwa apabila tidak dilakukan
suatu langkah yang maksimal dalam mendorong distribusi pendapatan yang lebih baik, maka
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan cenderung kearah meningkatkan ketimpangan dalam distribusi
pendapatan.
Pendidikan mempunyai peran penting bagi suatu bangsa karena pendidikan memiliki andil yang
besar terhadap kemajuan bangsa, baik secara ekonomi maupun sosial. Kualitas pendidikan sangat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia karena pendidikan merupakan salah satu sarana
meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia.
Menurut UNDP, dengan modal manusia yang berkualitas kinerja ekonomi diyakini juga akan
lebih baik. Kualitas modal manusia ini misalnya dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan, ataupun
indikator-indikator lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai laporan pembangunan manusia
yang dipublikasikan oleh Badan PBB untuk Pembangunan Manusia.
Dengan pertimbangan itu maka dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi perlu pula
dilakukan pembangunan manusia, termasuk dalam konteks ekonomi regional. Hal ini penting
karena kebijakan yang tidak mendorong peningkatan kualitas manusia hanya akan membuat
daerah yang bersangkutan tertinggal dari daerah yang lain, termasuk dalam hal kinerja
ekonominya. Dengan kata lain, peningkatan kualitas modal manusia diharapkan juga akan
memberikan manfaat dalam mengurangi ketimpangan antar daerah yang memiliki keragaman
sosial ekonomi yang tinggi.
Pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang mungkin lebih
penting dari investasi modal fisik. Ditemukan dalam berbagai penelitian di sejumlah negara, pendidikan
dan kesehatan memberi sumbangan amat besar bagi pertumbuhan ekonomi. Dampak pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah berkembangnya kesempatan masyarakat untuk meningkatkan
kesehatan, pengetahuan, keterampilan, keahlian kemampuan wawasan mereka agar mampu bekerja lebih
7
produktif baik secara perorangan maupun kelompok, hal ini sesuai dengan konsep model human capital.
Pendidikan juga berfungsi dalam meningkatkan kesadaran sosial, politik dan budaya serta memacu
penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan sosial. Karena itu
hampir semua negara di dunia menempatkan pembangunan pendidikan sebagai kebijakan yang memiliki
prioritas tertinggi.
Dalam kaitan disini tingkat pendidikan penduduk hanya difokuskan pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sebagian besar tingkat pendidikan
masyarakat Jawa Barat cenderung masih didominasi oleh lulusan sekolah dasar dan tingkat menengah.
Tingkat dasar adalah dicerminkan oleh lulusan Sekolah Dasar, sedangkan tingkat menengah dicerminkan
oleh sedikit banyak jumlah penduduk yang menamatkan SLTP dan SLTA.
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan berhubungan terbalik (negatif) dengan
disparitas pendapatan, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan menurunkan kesenjangan
pendapatan antar daerah. Dengan asumsi bahwa semakin banyak penduduk yang berpendidikan rendah
(Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama), maka kesenjangan pendapatan antar daerah cenderung
semakin tinggi tetapi jika semakin banyak masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi
(misalnya SLTA), maka tingkat kesenjangan pendapatan antar daerah akan semakin turun.
Dengan meningkatnya pendidikan tertentu akan memperbaiki kualitas sumber daya manusia yang
akan berdampak pada penggunaan modal fisik menjadi lebih efisien dan tenaga kerja akan menjadi lebih
produktif. Dengan demikian, maka produktivitas baik modal fisik maupun tenaga kerja akan meningkat,
dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan pendapatan antar
masyarakat dapat menurun.
Hasil penelitian Robello (1993) dan Sylwester (1999) yang dikutip oleh Fery Andrianus
ditemukan bahwa pengeluaran pendidikan tidak hanya berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi tetapi
juga berhubungan dengan ketimpangan pendapatan, artinya apabila ketimpangan pendapatan berkurang
8
pengeluaran untuk pendidikan meningkat, sehingga pada akhirnya kualitas sumber daya manusiapun akan
meningkat. Selanjutnya hasil penelitian di atas diperkuat oleh hasil penelitian Sylwester (2002) yang
mengatakan untuk negara yang mencurahkan banyak perhatian terhadap public educatian (persentase
pendidikan terhadap GNP) mempunyai tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah.
III. METODE PENELITIAN
Kajian ini bersifat deskriptif dan verifikatif di mana tujuannya adalah untuk memperoleh suatu
gambaran tentang disparitas pendapatan di Jawa Barat serta untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhinya melalui pengujian secara empiris berdasarkan data lapangan dengan menggunakan
analisis panel data.
Untuk mengetahui disaparitas pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Barat digunakan indeks
ketimpangan regional Williamson yang dirumuskan sebagai berikut :
Iw = ( )nf
YY ii
2∑ −
Y
Dimana : Yi = PDRB Perrkapita Jawa Barat.
Y = PDRB Perkapita rata-rata seluruh kabupaten/ kota
fi = Jumlah Penduduk kabupaten / kota di Jawa barat.
n = Jumlah Penduduk total Jawa Barat.
Iw= Nilai Indeks Ketimpangan Williamson.
Untuk mengetahui pengaruh sejumlah variabel terhadap disparitas pendapatan digunakan analisis
panel data dengan metode fixed effect yang dirumuskan sebagai berikut :
9
IWit = αi + α1 LnYit + α2 LnPMDNit + α3 LnSDit + α4 LnSMPit + α5 LnSMAit + eit
Dimana :
IW : Disparitas pendapatan
Y : PDRB
PMDN : Penanaman Modal Dalam negeri
SD : Tenaga kerja lulusan Sekolah Dasar
SMP : Tenaga kerja lulusan SMP
SMA : Tenaga kerja lulusan SMA
i : Kabupaten dan Kota di Jawa Barat
t : Periode Waktu
e : Error term
αi : Menunjukkan koefisien intercept ke 25 kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota di Jawa Barat
Dalam penelitian ini disparitas pendapatan diukur dengan Indeks Williamson yang
digunakan untuk melihat persentase ketidakmerataan dimulai dari 0 sampai 1. Dari Tabel 2
terlihat bahwa perkembangan disparitas pendapatan di Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa
Barat cenderung bervariasi satu sama lainnya. Dari 25 Kabupaten dan Kota ada 8 daerah yang
terdiri 7 Kabupaten dan 1 Kota yang memiliki indeks disparitas pendapatan yang lebih besar dari
rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung,
Tasikmalaya, Cirebon, Bekasi, dan Indramayu. Sementara 1 daerah berstatus kota yaitu kota
Bandung. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesenjangan pemerataan pendapatan di daerah-
10
daerah tersebut relatif lebih besar dibandingkan dengan Jawa Barat. Tabel 2 dibawah ini
menunjukkan hasil perhitungan disparitas pendapatan antar Kabupaten/Kota di Jawa Barat dari
tahun 2000-2005.
Tabel 2 Hasil Perhitungan Disparitas Pendapatan Antar Kabupaten/Kota
di Jawa Barat Tahun 2000-2005
Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Kab. Bogor 0.0081 0.0078 0.0091 0.0039 0.0056 0.0056 0.007 Kab. Sukabumi 0.0233 0.0212 0.0210 0.0242 0.0219 0.0222 0.022 Kab. Cianjur 0.0213 0.0214 0.0211 0.0259 0.0249 0.0244 0.023 Kab. Bandung 0.0218 0.0221 0.0205 0.0215 0.0195 0.0206 0.021 Kab. Garut 0.0148 0.0150 0.0146 0.0213 0.0206 0.0219 0.018 Kab. Tasikmalaya 0.0363 0.0363 0.0361 0.0233 0.0238 0.0246 0.030 Kab. Ciamis 0.0163 0.0174 0.0172 0.0204 0.0151 0.0148 0.017 Kab. Kuningan 0.0125 0.0123 0.0120 0.0140 0.0139 0.0143 0.013 Kab. Cirebon 0.0248 0.0244 0.0250 0.0289 0.0276 0.0271 0.026 Kab. Majalengka 0.0151 0.0148 0.0146 0.0171 0.0159 0.0158 0.016 Kab. Sumedang 0.0059 0.0058 0.0054 0.0084 0.0079 0.0081 0.007 Kab. Indramayu 0.0917 0.0744 0.0688 0.0240 0.0281 0.0231 0.052 Kab. Subang 0.0070 0.0076 0.0049 0.0129 0.0113 0.0106 0.009 Kab. Purwakarta 0.0063 0.0060 0.0063 0.0027 0.0027 0.0026 0.004 Kab. Karawang 0.0082 0.0143 0.0133 0.0027 0.0052 0.0052 0.008 Kab. Bekasi 0.1322 0.1316 0.1324 0.1083 0.1145 0.1157 0.122 Kota Bogor 0.0051 0.0067 0.0057 0.0072 0.0079 0.0064 0.007 Kota Sukabumi 0.0008 0.0008 0.0006 0.0015 0.0013 0.0014 0.001 Kota Bandung 0.0269 0.0302 0.0329 0.0519 0.0286 0.0301 0.033 Kota Cirebon 0.0153 0.0152 0.0152 0.0125 0.0130 0.0130 0.014 Kota Bekasi 0.0083 0.0062 0.0059 0.0021 0.0013 0.0016 0.004 Kota Depok 0.0119 0.0122 0.0131 0.0163 0.0151 0.0148 0.014 Kota Cimahi - - - 0.0084 0.0086 0.0088 0.004 Kota Tasikmalaya - - - 0.0025 0.0026 0.0027 0.001 Kota Banjar - - - - 0.0018 0.0019 0.001
Jawa Barat 0.0206 0.0202 0.0198 0.0185 0.0175 0.0175 0.019 Sumber : Hasil Pengolahan (terlampir) Keterangan : Tanda (- ) masih tergabung dengan daerah induk (sebelum terjadi pemekaran)
Dari 8 daerah tersebut Kabupaten Bekasi ternyata memiliki tingkat disparitas yang relatif lebih
besar dibandingkan 7 daerah lainnya yakni sebesar 0.6664. Tingginya indeks disparitas pendapatan yang
dimiliki oleh daerah-daerah tersebut dibandingkan dengan Jawa Barat, dimungkinkan karena daerah-
daerah tersebut cenderung menjadi daerah tujuan investasi di Jawa Barat. Untuk kabupaten Cianjur,
Tasikmalaya, Cirebon, Majalengka, cenderung banyak menyerap investasi pada sektor pertanian,
Indramayu sektor pertambangan dan kota Bandung dan Bekasi merupakan daerah tujuan investor
11
berinvestasi pada sektor industri dan jasa. Dengan adanya kemampuan yang relatif tinggi dari daerah-
daerah tersebut dalam menyerap investasi khususnya telah membawa dampak secara agregat yakni terjadi
peningkatan kesenjangan pembangunan dengan daerah lain.
Sementara 17 Kabupaten/Kota lainnya memiliki indeks disparitas pendapatan yang relatif lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang sebesar 0.1261. Adapun daerah-
daerah tersebut meliputi 7 daerah berstatus Kota, yaitu Kota Bogor, Sukabumi, Bekasi, Depok, Cimahi,
Tasikmalaya, dan Banjar dan 10 daerah berstatus Kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi,
Bandung, Garut, Ciamis, Kuningan, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan Karawang. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat pemerataan pendapatan di daerah-daerah ini relatif lebih baik
dibandingkan dengan rata-rata Kabupten/Kota di Jawa Barat.
4.2. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PMDN dan Tingkat Pendidikan Terhadap Disparitas Pendapatan
Hasil estimasi pengaruh pertumbuhan ekonomi, penanaman modal dalam negeri, dan tingkat
pendidikan terhadap disparitas pendapatan dengan pendekatan panel data didapat hasil sebagai berikut :
IWt = 1,5620 – 1,0214 LnY + 1,09E-06 LnPMDN + 1,81E-07 LnSD – 3,06E-06 LnSMP
– 1,16E-05 LnSMA
R2 = 0,9999 F-statistik = 6125263
Dari persamaan di atas diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9999 artinya 99,99% variasi
variabel terikat disparitas pendapatan mampu dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel-variabel
bebasnya yang meliputi pertumbuhan ekonomi, penanaman modal dalam negeri, dan tingkat pendidikan.
12
Tabel 2 Koefisien Intersep Hasil Estimasi Model Disparitas Pendapatan
Jawa Barat Tahun 2000-2005
No
Kabupaten
Koefisien
Intersep
Kab. Bogor 1.022
2 Kab. Sukabumi 1.585
3 Kab. Cianjur 2.696
4 Kab. Bandung -9.452
5 Kab. Garut 0.521
6 Kab. Tasikmalaya 5.880
7 Kab. Ciamis 2.217
8 Kab. Kuningan 4.490
9 Kab. Cirebon 4.098
10 Kab. Majalengka 4.536
11 Kab. Sumedang 2.348
12 Kab. Indramayu -7.521
13 Kab. Subang 1.229
14 Kab. Purwakarta 0.947
15 Kab. Karawang -5.367
16 Kab. Bekasi -3.958
17 Kota Bogor 3.274
18 Kota Sukabumi 4.170
19 Kota Bandung -8.266
20 Kota Cirebon 2.551
21 Kota Bekasi -3.958
22 Kota Depok 3.348
23 Kota Cimahi 1.138
24 Kota Tasikmalaya 2.718
25 Kota Banjar 4.711
Sumber: Hasil Pengolahan
Dari 25 kabupaten/kota di Jawa Barat daerah yang menjadi sampel penelitian ada 19 daerah yang
memiliki koefisien intersep bertanda positif, yaitu 12 kabupaten yang terdiri dari : Bogor, Sukabumi,
Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Subang, Purwakarta,
dan 7 kota, yaitu : Bogor, Sukabumi, Cirebon, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar. Hal ini
13
mencerminkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki disparitas pendapatan lebih tinggi dari rata-rata
disparitas pendapatan Kabupaten di Jawa Barat atau dengan kata lain tingkat pemerataan di daerah-daerah
tersebut relatif lebih baik dibandingkan rata-rata Jawa Barat. Serta 6 daerah lainnya memiliki disparitas
pendapatan yang lebih rendah dari Jawa Barat (ditandai oleh intercept yang negatif) yakni terdiri daerah 4
kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Bandung, Indramayu, Karawang, Bekasi, dan kota Bandung, dan
Bekasi.
Adanya disparitas pendapatan antar daerah diduga karena potensi sumber daya yang
dimiliki antara daerah satu dengan daerah yang lainnya tidak merata dan tidak seragam, oleh
karena itu pertumbuhannya pun berbeda. Untuk dapat tumbuh secara cepat, suatu daerah perlu
memilih satu atau lebih pusat-pusat pertumbuhan regional yang memiliki potensi paling kuat.
Apabila region ini kuat maka akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region yang
lemah. Pertumbuhan ini berdampak positif (trickle down effect) yaitu adanya pertumbuhan di
region yang kuat misalnya akan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah atau
mungkin region yang lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk
region yang kuat.
Hasil estimasi pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap
disparitas pendapatan. Adapun nilai koefisien regresi dari variabel ini adalah sebesar -1,021, artinya jika
laju pertumbuhan ekonomi naik sebesar 1%, maka disparitas pendapatan akan turun sebesar 1,021%
dengan kata lain terjadi penurunan disparitas pendapatan sebesar 1,021%.
Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, maka selanjutnya akan terjadi proses multiplier
dimana para pelaku ekonomi, terutama para investor akan meningkatkan investasinya dalam bentuk
modal fisik yang tentu saja memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga semakin banyak pula
orang yang bisa bekerja. Hal ini berarti, semakin banyak orang yang mempunyai pendapatan dan
14
sekaligus terjadi distribusi pendapatan yang lebih merata atau dengan kata lain terjadi penurunan
disparitas pendapatan.
Berdasarkan hasil estimasi investasi PMDN mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif
terhadap disparitas pendapatan. Adapun nilai koefisien regresi dari variabel ini adalah sebesar 1,09E-06
(0,0000010), artinya jika PMDN naik sebesar 1 milyar rupiah, maka disparitas pendapatan akan naik
sebesar 1,09E-06% dengan kata lain terjadi peningkatan disparitas pendapatan sebesar 0,0000010%.
Disparitas antar daerah menyangkut pola dan arah investasi serta prioritas alokasi di antara
berbagai daerah dalam wilayah Negara kesatuan, khususnya di bidang sumber daya manusia dan dalam
prasarana fisik. Pola dan arah investasi pada bidang-bidang tersebut diberbagai daerah akhirnya
berpengaruh pada tingkat kesenjangan distribusi pendapatan antar daerah.
Hasil estimasi tingkat pendidikan SD dan SMP tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap disapritas pendapatan. Hal ini mencerminkan bahwa naik turunnya kesenjangan distribusi
pendapatan tidak tergantung pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama. Namun
demikian untuk tingkat pendidikan SMA ternyata memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap kesenjangan disparitas pendapatan. Hal ini mengindikasikan bahwa naiknya tingkat pendidikan
akan berdampak pada turunnya kesenjangan pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan
berdampak pada peningkatan produktivitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam proses
pembangunan ekonomi. Dengan meningkatnya pendidikan tertentu akan memperbaiki kualitas sumber
daya manusia yang akan berdampak pada penggunaan modal fisik menjadi lebih efisien dan tenaga kerja
akan menjadi lebih produktif. Dengan demikian, maka produktivitas baik modal fisik maupun tenaga
kerja akan meningkat, dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan
pendapatan antar masyarakat dapat menurun.
Disparitas pendapatan cenderung akan membaik karena pembagian pendapatan dimasing-masing
daerah tidak lagi semata terletak pada akumulasi modal yang dimilikinya tetapi terletak pada kemampuan,
15
kualitas, atau mutu sumber daya manusia yang dimilikinya. Persoalannya kemudian terletak pada
kemampuan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang merata kepada seluruh penduduk untuk
meningkatkan mutu modal yang mereka miliki melalui pelayanan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan
yang berkualitas. Dengan demikian pemerataan pendapatan salah satunya tidak terlepas dari kualitas
sumberdaya manusia-nya, yang mana produktivitas yang tinggi tentu erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan dan keterampilan dari pekerja yang bersangkutan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Dari 25 Kabupaten dan Kota ada 8 daerah yang terdiri 7 Kabupaten dan 1 Kota memiliki indeks
disparitas spasial yang lebih besar dari rata-rata Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu Kabupaten
Sukabumi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Bekasi, dan Indramayu. Sementara 1 daerah
berstatus kota yaitu kota Bandung.
2. Berdasarkan hasil estimasi pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan investasi PMDN mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap disparitas pendapatan. PDRB mempunyai dampak yang positif
terhadap disparitas pendapatan, artinya jika PDRB naik maka disparitas pendapatan akan naik dengan
kata lain terjadi penurunan ketimpangan pembangunan. Sedangkan investasi domestik (PMDN)
memberikan efek yang negatif terhadap disapritas pendapatan, artinya jika investasi domestik
(PMDN) meningkat maka disparitas pendapatan akan menurun atau dengan kata lain terjadi
peningkatan dalam pemerataan hasil pembangunan. Sementara itu, dilihat dari tingkat pendidikan
tenaga kerja hanya lulusan SMA yang memberikan pengaruh signifikan terhadap disparitas
pendapatan.
16
5.2. Saran
Dengan memperhatikan kesimpulan di atas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Pemerintah daerah sebaiknya lebih banyak lagi mempromosikan potensi ekonominya kepada para
investor. Untuk mengurangi disparitas pendapatan disamping meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, perlu diamati secara cermat sektor ekonomi mana yang perlu dikembangkan untuk
memperkecil gap aktivitas perekonomian antar wilayah.
2. Pemerintah daerah harus merubah prioritas pembangunan dari profit oriented menjadi human
development oriented, karena untuk dapat bersaing dengan daerah lainnya, hanya dapat dilakukan
oleh sebuah generasi dengan kualitas SDM yang memadai. Oleh karena itu pemahaman yang baik
oleh Pemerintah Daerah mengenai paradigma pembangunan manusia ini mutlak diperlukan.
3. Upaya pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat harus ditingkatkan dengan cara menambah
fasilitas dan guru, tenaga medis di setiap sekolah dasar dan puskesmas kecamatan, sehingga akses
masyarakat terhadap layanan pendidikan dan kesehatan lebih mudah dan terjangkau.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Rozany Nurmanaf, 1999, Kesenjangan Pengeluaran Pembangunan antar Wilayah dan Propinsi di Indonesia, EKI Volume XLVII Nomor 4.
Al-Samarai, S. 2002. The Changing Distribution of Publik Education Expenditure in Malawi. Africa Region Working Papar Series, 29.
Brata, A.G., 2002, Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Regional di Indonesia, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 7, No 2.
Djisman S. Simandjuntak, (1994), Keadaan dan Arah Perkembangan Angkatan Kerja di Indonesia, Penerbit Lembaga Demografi FE-UI Jakarta.
17
Fery Andrianus, 2003, Analisis Pengeluaran Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1970-2000), Jurnal Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi, Vol. 1 No. 2, Fakultas Ekonomi,
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta.Type equation here.
Jhingan, M.L (2002), “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, Penerbit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Maman Sukherman, (2002), “Produktivitas dan Disparitas Penduduk Jawa Barat diakhir Millenium ke-2”, Jurnal Kependudukan Padjajaran.
Mudrajad Kuncoro, (2004). “Ekonomi Pembangunan : Teori Masalah dan Kebijakan”, UPP-AMP YKPN, Yogyakarta.
Prijono Tjiptoherijanto (1996), “Pertumbuhan dan Pemerataan”, Majalah Perencanaan Pembangunan Unit Korpri, Bapenas Jakarta.
*) Dosen tetap Fakultas Ekonomi Unpas
Artikel dimuat dalam Jurnal Trikonomika FE Unpas