Upload
1enter
View
598
Download
90
Embed Size (px)
Citation preview
USULAN PENELITIAN DAN TESIS
A. Latar Belakang Permasalahan
Masyarakat Islam Indonesia, sedang merubah paradigmanya terhadap
hukum Islam, dari paradigma agama yang melihat hukum Islam hanya bagian
dari agama Islam di Indonesia, menjadi paradigma hukum yang bersifat lebih
luas, yang melihat hukum Islam bukan hanya sebagai bagian dari agama Islam
melainkan juga bagian dari hukum Nasional Indonesia. Kedudukan dan peran
hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala
dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang disebut-sebut
berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dan kedudukan dan peran hukum
ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut sejarah,
komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan dari sisi falsafah dan
konstitusi Negara Indonesia.1
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum Negara kesatuan Republik
Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara maupun setelah
merdeka dan hingga sekarang ini, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang
mayoritas beragama Islam. Di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam
telah dipraktekkan dalam masyarakat, seperti sistem bagi hasil dalam pertanian,
peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar
tradisional yang terkesan kental dengan madzhab-madzhab figh yang dikenal
dalam masyarakat.
1 Yusuf Buchori, 2007, Litigasi Sengketa Perbankan Syariah dalam Perspektif Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Purbalingga). Hal. 11
1
Dari segi komunitas yang mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas
beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum
agama yang dianut mayoritas penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi
Islam sama sekali tidak terkait dengan apa yang dikenal dengan sebutan “dictator
mayoritas” dan atau “tirani minoritas”. Alasannya, karena penerapan hukum
Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela
para pebisnis non muslim tertarik dengan praktek ekonomi Islam.2 Sistem
ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat
dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional.
Dari sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam
di Indonesia juga disebabkan oleh kebutuhan masyarakat pada umumnya.
Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-
lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam,
baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga
pembiayaan lainnya, di Negara hukum Indonesia, kedudukan hukum ekonomi
Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara
umum. Demikian pula peran hukum ekonomi Islam bisa digunakan terutama
dalam menopang, melengkapi, dan mengisi kekosongan hukum ekonomi
nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang,
melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini,
sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan
2 Ahmad Jauhari, Peran Arbitrase dalam Sistem Ekonomi Islam, (Makalah Seminar Nasional, di Semarang) 2006, hal 1.
2
(karena mayoritas beragama Islam) sebagaimana disebutkan diatas, tetapi lebih
jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui
dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem Ekonomi Islam dalam
mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana dicita-citakan para pendiri Negara
Republik Indonesia.
Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentang dengan Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa” dan juga tidak berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945
sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagaimana dalam pembukaannya
disebutkan “…….Dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” juga Pasal 29, 33, dan 34 Undang-undang Dasar 1945.
Pertumbuhan sistem ekonomi syariah semakin hari semakin dirasakan
kehadirannya baik dikalangan pelaku bisnis maupun dikalangan ummat yang
ingin menjadi muslim secara kaffah. Hal tersebut terlihat salah satu dalam
kegiatan ekonomi Islam adalah seperti perbankan syari’ah. Bukan hanya dalam
lingkungan perbankan saja, melainkan juga tumbuh dalam berbagai bidan bisnis
yang lainnya, seperti Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah,
dan yang lainnya. Dengan penunjukkan data-data dari banyak sumber tentang
perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengukuhkan pendapat banyak
kalangan, terutama akademisi dan ekonom muslim, bahwa saat ini tidak ada
alasan untuk menolak penerapan sistem ekonomi syariah, khususnya di
Indonesia.3
3 Mengenai perkembangan ekonomi syariah, baca dalam Nur Kholis (2006), Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Prespektif Ekonomi), dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi : XVI, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal ; 169-175. Adapun
3
Masyarakat Ekonomi Internasional, mengenal Bank Syariah dengan istilah
“Islamic Banking” atau “Islamic Window”.4 Dan pada mula berdirinya Bank
Islam banyak diragukan berbagai pihak, dengan alasan bahwa sistem perbankan
tanpa bunga (interest free) adalah suatu yang tak mungkin dan tak lazim karena
bagaimana dengan biaya operasionalnya kalau tidak ada bunga.
Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, secara
implisit disebutkan bahwa Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.5 definisi
yang tidak jauh beda juga secara implisit disebutkan dalam Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.6 Bank Syariah disamping untuk
melayani masyarakat menengah dan bawah, peraturan perundang-undangan di
Indonesia juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang
dikenal dengan baitul mal wa tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan
bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada
sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang
sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.7
data lengkap perkembangan ekonomi syariah dalam angka, lihat Dadang Muljawan (200…), Islamic Financial Engineering, A Regulatory Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 Januri Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id.
4 Sutan Remy Syahdaini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, PT. Kreatama, 2005, hal 5-8.
5 Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
6 Pasal 1 angka 1, 2 dan 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.7 Sultan Remy Syahdaini, Ibit. hal. 1
4
Bank Islam memberikan layanan bebas bunga (interest free) kepada para
nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi
dilarang oleh Islam. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar
bunga. Larangan atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah
dengan sistem perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi
perdebatan mengenai apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga
(Interest) atau tidak, namun sekarang tampak ada konsensus dikalangan ulama,
bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga.
Dalam kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan
terjadinya perselisihan, karena manusia (personlijk) sebagai ciptaan Allah dan
badan hukum (personrecht) sebagai ciptaan hukum, merupakan subyek hukum
dalam lalu lintas hukum. Manusia dan badan hukum yang dalam terminologi
hukum disebut “orang” dalam aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam kegiatan
bisnis sangat mungkin saling bersinggungan dan menimbulkan akibat hukum.
Dalam melakukan hubungan hukum, manusia atau badan hukum bisa saja terjadi
konflik atau sengketa keperdataan.
Secara prinsip, penegakan hukum di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman (judicial power) yang dilembagakan secara konstitusional
yang lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian
yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang
bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak kepada Mahkamah
Agung RI.
5
Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian telah diubah lagi dengan
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir di ubah dengan Undang-undang
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas menyatakan
bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-
badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak
dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official dan bertentangan
dengan prinsip under the authority of law.
Dalam konstitusional Negara Republik Indonesia, Pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 (amandemen ketiga tahun 2001) jo. Pasal 28
Undang-undang No.4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan ada 4
(empat) lingkungan badan peradilan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung RI
yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 58 Undang-undang No. 4 Tahun
2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009
dinyatakan bahwa, tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan
diluar peradilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.
Selanjutnya dalam pasal yang sama dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009, secara
tegas disebutkan bahwa suatu sengketa perdata selain diselesaikan melalui
6
lembaga peradilan (proses litigasi), dapat pula diselesaikan melalui arbitrase
(non litigasi) atau alternatif penyelesaian sengketa.
Perbankan Syariah termasuk dalam lingkup hukum perdata atau muamalat
dalam Hukum Islam, dan lebih khusus lagi bagian dari hukum bisnis. Sengketa
perdata atau muamalat dalam hukum Islam penyelesaian bisa menempuh jalan
perdamaian (al-Shulh) atau arbitrase (al Tahkim) atau jalan terakhir melalui
proses peradilan (al-Qadla).8
Dengan demikian jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan
nasabahnya, maka sebelum menempuh jalur hukum melalui lembaga peradilan,
para pihak dapat menempuh cara lain yang dipandang menguntungkan kedua
belah pihak yaitu melalui perdamaian atau arbitrase atau dikenal dengan ADR
(Alternatif Dispute Resolution). Sebagai lembaga yang berperan dalam
penyelesaian sengketa dibidang muamalah, khusus untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah masyarakat pelaku bisnis cenderung untuk
menyelesaikan segala sengketanya melalui badan Arbitrase yang khusus
menyelesaikan sengketa di bidang syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS).
Pembentukan lembaga Basyarnas disamping banyak memberikan manfaat
bagi para pelaku usaha maupun nasabah dalam penyelesaian sengketa, tetapi
masih banyak kelemahan yang perlu dikaji secara mendalam. Berdasarkan
penelusuran kepustakaan, telaahan dari beberapa peraturan perundang-undangan
terkait masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah ini, sampai saat ini masih
8 Abdul Mana, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah kewenangan baru Peradilan Agama, (makalah disampaikan pada Dies Natalis Universitas yarsi, 7 Pebruari 2007), hal 3-11.
7
menimbulkan polemik dan terjadinya dualisme lembaga yang dapat
melaksanakan putusan dari Basyarnas tersebut.
Kondisi ini timbul dikarenakan lahirnya Undang-undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada
Pengadilan Negeri untuk melaksankan putusan Basyarnas sebagai lembaga
Arbitrase Syariah sementara Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai
perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah.
Dari uraian diatas, maka perlu adanya pengkajian yang secara
komprehensif untuk menilai eksistensi penyelesaian sengketa syariah melalui
badan Arbitrase Syariah dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
baik dalam bidang perbankan, Alternatip Penyelesaian Sengketa dan kekuasaan
kehakiman, sebagai upaya memberikan perlindungan baik kepada nasabah
maupun pelaku usaha serta memberikan kepastian hukum mengenai lembaga
mana yang berwenang untuk melaksanakan putusan Basyarnas tersebut. Dengan
demikian sangat menarik bagaimana eksisten penyelesaian sengketa perbankan
syariah melalui Badan Arbitrase Syariah ini untuk diteliti lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan kepastian hukum dalam kegiatan Bisnis Berbasis
Syariah?
8
2. Bagaimanakah penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) dalam perundang-undang terhadap kewenangan pelaksanaan
putusan Arbitrase Syariah sehingga dapat dibuktikan terjadinya konflik norma
dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan
secara sukarela ;
2. Untuk mendapatkan pemahaman bagaimana asas preferensi hukum dapat
menjawab permasalahan terhadap dualisme lembaga eksekutorial Arbitrase
Syariah melalui pendekatan antinomi hukum ;
Sedangkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum
berkaitan konflik norma yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan
menggunakan pendekatan asas preferensi hukum terhadap persoalan antinomy
hukum.
2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat memberikan
sumbangan pemikiran bagi instansi Pemerintah (Kementrian Hukum dan
HAM), Basyarnas dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun undang-undang terkait dibidang perbankan
syariah khususnya mengenai lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah.
9
D. Tinjauan Pustaka
1. Penyelesaian Sengketa Dalam Konsepsi Hukum Islam.
1.1 Al Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan
menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk
mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa
secara damai. 9 Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk
mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT,
sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa’ ayat 126 yang artinya
“Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.
Ada tiga rukun yang yang harus dipenuhi dalam perjanjian
perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian,
yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal
ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana
yang diharapkan. Dari perjanjian perdamaian itu lahir suatu ikatan hukum,
yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu
diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa
dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi
perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan
kedua belah pihak.
1.2 Tahkim (Arbitrase)
9 A.W Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984, hal 843.
10
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan
istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara
etimologi, Tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu
sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan
arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau
lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna
menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang
meyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
Menurut Abu al Ainan Fatah Muhammad10 pengertian tahkim
menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya 2 (dua) orang yang
bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk
menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan Said
Agil Husein al Munawar pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli
hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau
menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat
kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan
secara umum.11
Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat
itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir,
setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak
lainya seringkali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang telah
10 Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al fiqh al Islami, Darr Al Fikr Kairo, Mesir, 1976, hal 84.
11 Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.
11
ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus
berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa
dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra Islam. Tradisi
arbitrase ini berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat
perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Nabi
Muhammad SAW. Sendiri sering menjadi mediator dalam berbagai
sengketa yang terjadi, setelah daerah sudah berkembang luas mediator
ditunjuk dari kalangan sahabat dan dalam menjalankan tugasnya tetap
berpedoman pada al Quran, al Hadis dan Ijtihad menurut kemampuan.
Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang
menyangkut “huququl ibad” (hak-hak perseorangan) secara penuh, yaitu
aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan
dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri
seorang yang telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai
dalam pemeliharannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa
menyewa dan hutang piutang. Oleh karena tujuan Arbitrase itu hanya
menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang biasa
diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya
menerima untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan
harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah
diuraikan diatas.
1.3 Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. Al Hisbah
12
Al Hisbah adalah lembaga resmi Negara yang diberi
wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran
ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan
untuk menyelesaikannya. Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju
kepada tiga hal yakni : pertama : dakwaan yang terkait dengan
kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua :
dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga
seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan
makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait
dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang
mampu membayarnya.
Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan al
Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian
kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada
kebaikan terbagi kepada tiga bagian yakni pertama : menyuruh kepada
kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang
untuk melaksanakan sholat jum’at jika ditempat tersebut sudah cukup
orang untuk melaksanakannya dan menghukum bagi mereka jika
terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat jum’at tersebut,
kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak
yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib berhak
menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya,
ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak
13
manusia, misalnya menyruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim
dengan orang laki-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita
yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak
menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau
menjalankan iddahnya.
b. Al Madzalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-
orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau
keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan
biasa dan kekuasaah hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga
ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok
menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang
merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara
ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadir.
Melihat kepada tugas yang dibebankan kepada wilayah al
Mudzalim ini, maka untuk diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan
al Mudzalim ini haruslah orang yang pemberani dan sanggup
melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa
dalam menuduhkan pejabat dalam sengketa. Seseorang yang pengecut
dan tidak berwibawa tidak layak untuk diangkat sebagai pejabat yang
melakukan tugas-tugas di lingkungan al Mudzalim. Tugas-tugas al
Mudzalim pernah dilakukan oleh Rasullah SAW sendiri, namun badan
14
ini baru berkembang pada pemerintahan Bani Umayyah pada masa
pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan.
c. Al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau
menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada
suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan
mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini
adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan
dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan,
termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni
hal-hal yang menyangkut pidana).12
Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di
Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah
Islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama
adalah a Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua
periode sejarah. Yakni pada masa penghujung pemerintah
Khulafaurrasyidin (masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal
dari pemerintahan Bani Umayyah. Disamping tugas-tugas
menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah
juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara,
misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan
baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim.
12 Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal 244.
15
Melihat ketiga wilayah al Qadha (kekuasaan kehakiman)
sebagaimana tersebut diatas, bila dipadankan dengan kekuasaan
kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari tiga kekuasaan
kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di
Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya, wilayah al
mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negera,
wilayah al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan umum
dan Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi
tugasnya mirip dengan Polisi atau Kamtibmas, Satpol PP.
2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi
Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui jalur Non Litigasi diatur
dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2.1 Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage (Belanda)
yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan,
artinya bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau
beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan
tunduk pada atau mentaati putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka
pilih atau tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap
menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.13
13 Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal 3.
16
Menurut Sudargo Gautama arbitrase adalah suatu cara penyelesaian
sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyelesaian melalui
saluran-saluran biasa.14
Sedangkan yang termuat dalam Black Law Dictionary, men
difinisikan:
“Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person
chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by
the arbitrator’swasta award issued after hearing at which both parties
have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and
abiding by the judgement of selected person in some dispute matter,
instead of crrying it to establish tribunals of justice, and is intended to
avoid the formalities, the delay, the expense an vexation of ordinary
litigation.
Sementara menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 30 Tahun
1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.15 Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan : “Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut dapat 14 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang International, Bandung : Alumni, 1979 hal. 1.15 Lihat juga dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, arbitrase adalah
cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dalam Undang-undang jenis pengadilan tidak disebutkan, berbeda dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan jenis Peradilan Umum.
17
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Arbitrase (arbitration) dimana para pihak menyetujuan untuk
menyelesaiakan sengketa kepada para pihak yang netral. Dalam arbitrase,
para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum
yang diterapkan.16 Arbitrase hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga
mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang
terjadi, putusan yang dimaksud bersifat final dan bindang, serta merupakan
win-loss solution.17
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk yaitu :18
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) ;
atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis)
Sebelum Undang-undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai
arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
Perdata (Rv). Selain itu, dalam Pasal 58 Undang-undang No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di
luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap di
perbolehkan. Mantan Hakim Agung RI Prof. Yahya Harahap, S.H.
16 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2010. hal 12.
17 Ibid18 Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek
Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, http://www.uika-bogor.ac.id.
18
menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya Undang-undang
No. 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 R.Bg,
pada ketentuan tersebut Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan
kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk
membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul diluar jalur pengadilan
apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya dapat
mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan
nama arbitrase.19
Dengan demikian arbitrase merupakan suatu sistem atau cara
penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau
ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah
terjadinya sengketa. Arbitrase dalam figh Islam, padanannya adalah tahkim
dan kata kerjanya hakam yang secara harfiah berarti menjadikan seseorang
sebagai penengah atau hakam bagi suatu sengketa.20 Dalam hukum Islam
istilah yang sepadan dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Maksudnya adalah suatu akad atau perjanjian
untuk mengakhiri perlawanan atau pertengkaran antara dua orang yang
sedang bersengketa..21 Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada
masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap
ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali
19 Yahya Harahap, Arbitrase Komersial Internasiional, Jakarta, Pustaka Kartini, hal 21-2220 Lihat Q.S. An-Nisa ayat 65.21 A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hal 43.
19
diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh
masing-masing pihak yang berselisih.22
Dalam tradisi figh Islam, menurut Prof. Yahya Harahap, S.H., telah
dikenal adanya lembaga hakam yang sama artinya dengan “arbitrase”, hanya
saja lembaga hakam tersebut bersifat ad-hoc,. Antara sistem hakam dengan
sistem arbitrase memiliki ciri-ciri yang sama yaitu :
a. Penyelesaian sengketa secara volunteer.
b. Di luar jalur peradilan resmi.
c. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih yang
dianggap mampu, jujur dan independen.
Sedangkan kesamaan dari segi kewenangannya, adalah :
a. Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal)
b. Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali.
c. Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan
putusan dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).
2.2 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Malalui Lembaga Arbitrase
Dalam ajaran Islam, semua aktivitas hendaknya selalu bersandarkan
pada dasar hukum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah atau
pun melalui hasil ijtihad. Eksistensi Majelis Tahkim atau Badan Arbitrase
sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah
dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk
sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan
agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah
22 NJ. Coulson, a History of Islamic Law, Edinburg, University Press, 1991, hal 10.
20
persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah. Dasar hukum bagi keharusan ber-
tahkim adanya anjuran al Quran tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. Al
Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut :
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya ! tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil ; sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil23.
Dalam ayat lain Q.S an Nisa ayat 35 :
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami
istri itu. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.24
Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al Hadis, selain al Quran
dan al hadis juga ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat
Rasulullah S.A.W. atas keabsahan praktek tahkim. Pada masa sahabat telah
terjadi sengketa secara arbitrase di kalangan para sahabat dan tak seorang pun
23 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa tarjamah Ma’nihi ila al Lughah al Indonesiyyah), Makkah, Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H. hal 846.
24 Ibid, hal 123.
21
yang menentangnya.25 Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan
pengarahan dalam persolan ini dengan menyatakan :
Perdamaian itu diperbolehkan di antara orang-orang Muslim, kecuali
perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan
yang halal.26
Pelaksanaan syariah Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-
undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan
konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang
berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan
terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap
sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan (non litigasi)
yang didasarkan pada perjajian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian.
25 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1996, hal 147.
26 Sayyid Sabiq, Figh al Sunnah, di Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung, Alma’arif, hal 36.
22
2.3 Objek Perjanjian Badan Arbitrase Syariah Nasional
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan secara tidak langsung
telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di
Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum
keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang
perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-
undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka telah memberi kesempatan dan
peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Dari sinilah melahirkan
kesempatan untuk mendirikan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia) Badan ini kemudian diubah menjadi BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syariah Nasional).
BAMUI didirikan di Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 yang
diprakarsai oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini didirikan secara
bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama
Indonesia. BAMUI bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang
berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri,
keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan
masyarakat yang berhubungan lembaga keuangan tersebut.27 Penyelesaian
sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam.
27 Mariam Darus Badrulzama, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hal 57 – 69.
23
Namun demikian sejak tahun 2004 BAMUI di Indonesia telah berganti
nama menjadi (Badan Arbitrase Syariah Nasional) Basyarnas yang apabila
ditinjau dari segi hukum Indonesia kedudukannya lebih kuat jika
dibandingkan dengan keberadaan (Badan Arbitrase Syariah Nasional) BANI
karena telah mendapat pengakuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Negara
Ekuin, Bappenas, dan Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian
kehadirannya dapat dijadikan sebagai pilihan arbitrase tribunal dalam
menyelesaikan sengketa oleh siapa saja di Indonesia, selain itu pula
kahadirannya diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat
Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan
keadilan. Ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Skop
wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah
yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain.
Dasar hukum berdirinya Basyarnas di Indonesia adalah Pasal 29
Undang-undang Dasar 1945 yaitu :
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu.
Disamping itu, Pasal II aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945
memberikan peluang kepada Basyarnas juga mesti mengikuti aturan hukum
dan perundang-undang tentang arbitrase di Indonesia. Berdasarkan inilah
maka Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg masih boleh dijalankan di Indonesia.
24
Dalam pasal tersebut disebutkan kemungkinan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase asal dikehendaki atau disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Dalam hal ini lembaga arbitrase berwenang menetapkan suatu keputusan
hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim.
Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa. Sementara itu Pasal 5 (2) Undang-undang Arbitrase memberikan
perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata Buku III Bab Kedelapan Belas Pasal 1851 s/d 1854.
Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dengan demikian hanya perdata
bidang kebendaanlah yang objek arbitrase, demikian halnya dengan
Basyarnas, hanya bidang sengketa ekonomi syariah dalam hal ini perbankan
syariah yang menjadi objeknya yakni “penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi akad”.28 Artinya jika isi akad menyebutkan penyelesaian
28 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama.
25
melalui Basyarnas maka melalui badan inilah penyelesaian sengketanya
dilakukan.
Dengan berdirinya Basyarnas di Indonesia terdapat 2 lembaga
arbitrase yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berwenang
menyelesaikan semua masalah civil di Indonesia, dan Basyarnas (Badan
Arbitrase Syariah Nasional) yang berwenang menyelesaikan semua
permasalahan muamalat Islam secara tahkim menurut syariah Islam.
Walaupun sampai sekarang masih sangat sedikit kasus sipil yang
berhubungan dengan masalah muamalah Islam yang diselesaikan oleh
Basyarnas, bukan berarti ia belum melaksanakan fungsinya dengan sebaik-
baiknya, tetapi karena permasalahn yang terjadi di lembaga-lembaga
keuangan Islam sampai saat ini masih diperbolehkan diselesaikan melalui
lembaga perdamaian (al-Shulh), sehingga tidak sampai penyelesaian
perkaranya diselesaikan melalui lembaga Basyarnas. Disamping itu lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia mulai bermunculan banyak setelah
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Basyarnas sebagai lembaga permanen yang dapat memberikan suatu
rekomendasi atau pendapat hukum (binding advice), yaitu pendapat yang
mengangkat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan
pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak
yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.29
29 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 105.
26
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka
lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut.
Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang
sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan
untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.
3. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi
Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan
perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi
perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan
Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang
yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari
landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemenya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Perubahan ketentuan undang-
undang ini dapat dimaknai sebagai politik hukum ekonomi syari’ah dengan
cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam hal ini Peradilan
Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak hanya
memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas
tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi
27
meliputi pula lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi
syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka
menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,
dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.30 selain
sebagaimana yang sudah diatur sebelumnya dalam Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang hanya berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dibidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah.31
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan : “yang di maksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini”
Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga
keuangan syari’ah atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah
dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam
pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menajadi
kewenangan Pengadilan Agama adalah :32
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
30 Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tanggal 31-12-2011.
31 Lihat ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama32 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah
Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal 8.
28
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama
Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa
kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi
absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-
pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi
syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan
yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 alinea ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan
dihapus.
Peran dari suatu lembaga peradilan untuk mewujudkan pelaksanaan
ekonomi syari’ah, yang nanti dalam puncaknya melalui peranan Mahkamah
Agung yakni dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syari’ah dalam
perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya penyiapan
hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan proses
legislasi undang-undang tentang perbankan syari’ah. Selain itu eksistensi
ekonomi syari’ah menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan
sampai menuju tatanan sistem hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan
29
disyahkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan diundangkannya Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syari’ah pada tanggal 16 Juli
2008. Hal menarik untuk mendapat perhatian dari persoalan ekonomi syari’ah
yang dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syari’ah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa
perbankan syari’ah. Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
menyatakan :
(1) Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan
pasal 49 huruf ( i ) UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan
Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk
perbankan syari’ah. Adanya ketentuan ayat (2) adalah merupakan
penyimpangan dari prinsip tersebut. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan :
yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad”
adanya upaya sebagai berikut :
a. Musyawarah;
30
b. Mediasi perbankan;
c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga
arbitrase lain; dan/atau.
d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan adalah
suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian
sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut
sebagai penyelesaian sesuai dengan syari’ah dari berbagai sengketa berbagai
kasus ekonomi syari’ah. Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase
lain membuka peluang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui
lembaga non syari’ah, walaupun dalam ayat (3) Undang-undang Nomor 21
Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syari’ah. Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah melaui
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa
melalui pengadilan negeri membuka dualisme sistem peradilan dalam
penyelesaian persoalan yang berada dalam ranah syari’ah ke dalam lingkup
non syari’ah yang masih perlu dipersoalkan ketepatannya, mengingat
persoalan perbankan syari’ah sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip
syari’ah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim dilingkungan
peradilan agama.33 Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik hukum
33 Abdurrahman, Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam Perpektif Politik Hukum Nasional, Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, 2009, PPHIMM.
31
nasional berkenaan dengan perbankan syari’ah atau belum digariskannya
suatu politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia.
Oleh karena itu dalam draf-draf perjanjian yang dibuat oleh beberapa
perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad
mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak
dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada
penjelasan umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka
klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa tersebut.
4. Harmonisasi Peraturan Dalam Pelaksanaan Putusan Lembaga Arbitrase
Syariah
Bagi hukum yang ingin menciptakan kepastian hukum dalam
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat, maka menurut Satjipto
Rahardjo terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian pula di dalam
tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan beban formal
yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh konsistensi. 34
hal senada dikemukakan M. Isnaeni, mengungkapkan perangkat hukum yang
sangat memperhatikan konsistensi akan mempu melahirkan matra kepastian
hukum seperti yang di citraharapkan oleh khalayak luas. Sebaliknya kalau
dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak dialiri arus konsistensi,
berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk
34 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982, hal 25.
32
mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.35
Padalah kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan
perundangan disamping aspek keadilan, memiliki, memiliki kaitan erat
dengan soal efisiensi yang selalu dijadikan acuan oleh kalangan pelaku
ekonomi yang sering kali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai
transaksinya.36
Adanya pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial sebagaimana
yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah menimbulkan konflik kelembagaan dalam hal
lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah.
Dalam menghadapi antinomi hukum (konflik antar norma hukum,
maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu :37
1. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang ada terlebih dahulu.
2. Lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan perundang-
undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundang-
undangan yang umum.
35 M. Isnaeni, Hak Tanggungan Lembaga Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V Agustus, 1996, hal. 34.
36 Sutan Remy Sjahdeni, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Majalah Hukum Nasion, No. 2, 2000, hal 19-20.
37 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal 90.
33
3. Lex superior derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang
yang lebih rendah dibawahnya.
Konsistensi dalam tatanan peraturan hukum yang melahirkan
kepastian hukum sangatlah di dambakan bagi masyarakat pada umunya. Pada
dasarnya tata aturan yang penuh konsisten, tidak lepas dari hubungannya
dengan sistematika peraturan-peraturan hukum yang lain. Lawrence M.
Fredman dalam Teori Legal Sytem mengjarkan, hukum itu harus
diperspeksikan sebagai suatu sistem. Artinya, hukum itu bukan anasir tunggal.
Melainkan, eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling
memengaruhi. Unsur di maksud menurutnya, adalah Struktur, Substansi dan
Kultur. Ketiga unsur itu, secara simultan dan sinergis saling komplementer
agar suatu hukum secara sistemik teraktualisasikan dalam tataran realita.
Esensinya, hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka apabila hukum
yang ada tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan, berarti ketentuan
tersebut telah berhenti menjadi hukum. Ia telah berupa “Slapende Regeling”.
Karenanya, dalam perspektif “sociological jurisprudence” tolak ukur
eksistensi hukum tergantung pada efektifitasnya dalam tataran emperis, yaitu
“law in action”. Bukan hanya dalam tataran ide ataupun naskah, berupa “law
in the book”. Sebab hukum merupakan suatu sistem artinya sarana yang
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau
unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain, atau dengan perkataan lain
sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
34
mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan
kesatuan tersebut.
Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis,
seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.38 Adanya
pengaturan yang inkonsistensi terhadap lembaga eksekutorial putusan
Arbitrase Syariah, maka demi dan untuk perlindungan hukum dan kepastian
hukum bagi pelaku usaha maupun nasabah pengguna jasa keuangan syariah,
perlu adanya sandaran berpijak untuk mencari solusi atas kerancuan
pengaturan tersebut.
E. Metode dan Teknik Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang masalah dan perumusan masalah serta
untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis
penelitian hukum normatif (legal norm atau doktrinal), bahwa yang ditelaah
bahan-bahan hukum, terutama peraturan perundang-undangan dengan
berusaha mengidentifikasi dan menginventarisir kaidah atau norma-norma
hukum yang berkenaan dengan masalah lembaga eksekutorial putusan
Arbitrase Syariah terkait adanya antinomi hukum dalam pengaturan
eksekutorial pelaksanaan putusan Arbtirase Syariah yang tidak dilaksanakan
secara sukarela oleh para pihak.
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka
38 Sudikno Mertokusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991, hal 100.
35
dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.39
2. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah tipe penelitian terhadap asas hukum. Di dalam penelitian hukum
normatif, maka penelitian terhadap asas hukum dilakukan terhadap kaidah-
kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku. Penelitian ini
dapat dilakukan terutama terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum.40 Asas hukum
merupakan unsur ideal dari hukum. Dalam penelitian ini asas hukum yang
penulis maksudkan adalah asas preferensi hukum terhadap (antinomi hukum).
3. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni menggambarkan
dan menjelaskan serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian
mengenai lembaga yang memiliki kewenangan eksekutorial untuk
melaksanakan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan secara
sukarela oleh para pihak dimana dalam implementasinya menyimpan
pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial oleh karena terjadinya
antinomi hukum.
39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 13-14
40 Ibid, hal 62
36
4. Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, maka untuk memecahkan permasalahan yang
diangkat serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian, maka
diperlukan adanya bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian bahan hukum, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41 Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer terdiri dari:
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;
3. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman;
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan
terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009;
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah;
41 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: Kencana, hal. 141
37
7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Penegasan Tidak Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang
Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah;
8. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;
9. Al Quran dan Hadis;
b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam penelitian ini
publikasi hukum tersebut antara lain terdiri dari buku, jurnal ilmiah, karya
tulis ilmiah, bahan-bahan hasil seminar atau kegiatan ilmiah lainnya,
majalah, surat kabar yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang diambil dari
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum
Black’s Law Dictionary yang memberikan pengertian tentang Arbitrase.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang merupakan bahan
hukum primer yang berkaitan dengan lembaga eksekutorial pelaksanaan
putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan oleh para pihak secara
sekarela terkait adanya antinomy hukum dalam pendekatan asas
preferensi hukum.
42 Ibid.
38
b. Studi kepustakaan, yaitu bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui
studi kepustakaan dengan menggunakan sistem kartu (card system),
kemudian disusun berdasarkan pokok permasalahan.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Permasalahan
Dalam pengolahan analisis permasalahan ini, maka ketiga bahan hukum
sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, dihimpun dan diolah berdasarkan
langkah-langkah normatif, yaitu mengadakan inventarisasi terhadap
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian
dicari aturannya menurut hirarkhis tata urutan peraturan perundang-
undangan, selanjutnya dilakukan identifikasi dan sistematisasi terhadap
kaidah-kaidah hukum yang memuang lembaga eksekutorial putusan
Arbitrase Syariah. Selanjutnya setelah dilakukan pengolahan bahan hukum,
maka bahan hukum dibahas dengan menggunakan metode analisis isi
(content analysis) yakni menelaah isi peraturan perundang-undangan yang
berhubungan lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah, dianalisis
secara kualitatif yang pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas
permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode berpikir
deduktif.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam Penelitian Tesis ini nantinya, terbagi
dalam 4 (empat) bab. Bab I terdiri dari bagian pendahuluan yang berisikan kajian
yang menjelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian
diikuti dengan perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi isu sentral
39
pengkajian dalam tesis ini. Untuk supaya penelitian ini dilakukan mencapai
sasaran yang diinginkan, maka dalam bab ini juga diuraikan mengenai tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian tersebut serta kegunaan yang akan
diharapkan setelah penelitian ini selesai dilakukan. Sebelum melakukan analisis
terhadap isu sentral pengkajian, dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan
kajian pustaka yang memuat tentang pengertian konsep perdamaian dalam Islam,
bentuk penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam kegiatan ekonomi
syariah serta pelaksanaan atas putusan lembaga penyelesaian sengketa perbankan
syariah. Selain itu dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan mengenai
metode dan teknik penelitian yang dipergunakan, yaitu penelitian hukum
normatif. Akhirnya bab pendahuluan ini ditutup dengan uraian mengenai
sistematika penulisan sebagai pertanggungjawab akademik.
Berikutnya Bab II, berisi uraian untuk menjawab isu hukum pertama. Bab
kedua ini, akan memuat kajian dengan menjawab persoalan yang sudah
dikemukakan dalam bab sebelumnya, karena munculnya konflik norma akan
diinvetarisir dan dilihat sejauh mana konsistensi undang-undang yang mengatur
lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah yang dipandang tidak
memberikan kepastian hukum dalam kegiatan bisnis berbasis syariah, dengan
melakukan analisis kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, urgensi
kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi serta fungsi kepastian hukum dalam
kegiatan ekonomi yang difokuskan pada kegiatan perbankan syariah.
Selanjutnya Bab III berisi uraian untuk menjawab isu hukum kedua.
Dalam bab ketiga ini akan diuraikan mengenai penyelesaian sengketa perbankan
40
Syariah melalui Arbitrase Syariah, bagaimana kedudukannya, pelaksanaan
putusannya, kewenangan lembaganya yang terdapat inkonsistensi dalam
pengaturannya. Karena itu dalam bab ketiga ini akan ditelaah tingkat
singkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan
putusan lembaga Arbitrase Syariah yang bersumber dari akad pada kegiatan
perbankan syariah.
Terakhir laporan penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang berisikan
simpulan dan hasil pembahasan serta akan mengungkapkan sejumlah saran
sebagai implikasi simpulan yang merupakan bahan penyempurnaan pengaturan
terhadap lembaga eksekutorial, khususnya menyangkut aturan dan peraturan
mengenai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan putusan Badan
Arbitrase Syariah.
G. Jadual Kegiatan
Pelaksanaan penelitian direncanakan selama 6 (enam) bulan kerja yang
dilakukan dalam 3 (tiga) tahap kegiatan dengan penjadualan sebagai berikut:
RINCIAN KEGIATAN
TAHUN 2011/2012SEPT OKT NOP DES JAN PEB
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 PersiapanPenyusunan usulan Penilaian usulan Perbaikan usulan PelaksanaanPengumpulan bahan Pengolahan bahan Analisis bahan PenyelesaianPenyusunan Seminar hasil Perbaikan pertama
41
EvaluasiPenilaian Perbaikan kedua Penggandaan Penyerahan buku Publikasi
42