Proposal Pajak Berganda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

rrf

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang PenelitianSejak UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan disahkan, , bank syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator seperti Financing Depocit Ratio (FDR), rasio Non Performing Loan (NPL) terhadap total loans, pertumbuhan total aset, pembukaan cabang baru, Return on Assets (ROA), dan sebagainya.Sampai dengan tahun 2003 perbankan syariah telah mendanai pembiayaan sebesar Rp 5,53 T dengan tingkat FDR 96,6% (Rochma, 2007). Dari seluruh skim pembiayaan syariah, total pembiayaan masih didominasi oleh pembiayaan murabahah/jual beli (70%), disusul pembiayaan mudharabah/bagi hasil (19%) dan pembiayaan musyarakah (2%). Tingkat keberhati-hatian (prudential banking) perbankan syariah tercermin dari rasio NPL terhadap total loans sebesar 2,3 % pada Desember 2003, stabil di bawah 5% sejak tahun 2000.Sedangkan dari segi aset, pada 2003 perbankan syariah mengalami peningkatan pesat dengan tingkat penetrasi aset terhadap perbankan konvensional sebesar 0,7% (Rp7,859 T). Pertumbuhan aset bank-bank syariah melonjak dengan adanya Dual Banking System pada 1998. Hal ini terlihat dari compound annual growth rate (CAGR) setelah tahun 1998 yang mencapai 70%.Dalam Kompas cybermedia (2007) dilaporkan bahwa per Desember 2005, ROA Bank Muamalat Indonesia mencapai 1,44 persen; Bank Syariah Mandiri mencapai 1,01 persen; dan Bank Syariah Mega Indonesia mencapai 0,36 persen. ROA pada ketiga bank tersebut lebih tinggi dibandingkan ROA dua bank syariah Malaysia, yaitu Bank Muamalat Malaysia Berhad (0,31 persen) dan Bank Islam Malaysia Berhad (minus 3,51 persen). ROA Bank Muamalat Indonesia juga merupakan peringkat keempat dibandingkan ROA bak syariah dunia lainnya, yaitu Shamil Bank of Bahrain (2,59 persen), Al Baraka Islamic Bank (2,36 persen), dan Bank Kerjasama Rakyat Malaysia Berhad (1,76 persen).Perkembangan bank syariah di Indonesia memunculkan potensi untuk meningkatkan investasi asing ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur Tengah. Pada akhir tahun 2005 sampai dengan 2006, seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia, negara-negara Timur Tengah menyimpan banyak dana untuk investasi di sektor syariah. Dilaporkan dalam harian Republika, 14 Desember 2006, bahwa sedikitnya terdapat sekitar 100 miliar dolar AS dana Timteng yang siap diinvestasikan pada skim bisnis berbasis syariah. Hal tersebut mengingat pada umumnya para, investor Timteng menginginkan untuk berinvestasi berdasarkan syariah, di mana salah satu prinsipnya adalah underlying asset principle yang menuntut kejelasan aset yang akan dibiayai. Potensi tersebut sudah selayaknya mendapat dukungan penuh dari pemerintah, terutama dalam hal penyediaan infrastruktur dan regulasi di bidang perbankan dan perpajakan.Sayangnya, peraturan perpajakan di Indonesia, khususnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) saat ini hanya mengatur perpajakan di sektor perbankan konvensional. Sebagaimana dijelaskan dalam www.kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id, jasa keuangan bukan merupakan objek pajak pertambahan nilai, sehingga produk-produk bank konvensional secara umum tidak dikenai PPn.Sebaliknya, transaksi keuangan syariah belum dianggap sebagai bagian dari jasa keuangan sehingga masih dikenai pajak pertambahan nilai (PPn). Hal ini disebabkan transaksi keuangan syariah belum diatur dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan. UU tersebut hanya menyatakan bahwa transaksi di bank syariah adalah bagi hasil (mudharabah). Sementara transaksi lainnya seperti jual beli (murabahah) dan sewa (ijarah) tidak disebutkan dalam UU perbankan.Peraturan perpajakan terutama tentang PPn dianggap telah merugikan bisnis perbankan syariah. Double taxation (yaitu pengenaan PPh dan PPn pada bank syariah) dianggap menurunkan daya saing bank syariah dengan bank konvensional maupun lembaga pembiayaan lainnya. Untuk itu, diperlukan peraturan yang membedakan transaksi dengan prinsip jual-beli di bank syariah dengan transaksi jual-beli di luar bank syariah. Selain itu diperlukan pula peraturan yang mampu mengakomodasi kepentingan bank syariah dalam operasional dan klasifikasi produk sehubungan dengan pengenaan pajak.Untuk mengatasi permasalahan di bidang perpajakan untuk bank syariah, diperlukan sebuah kajian dan analisis mengenai pengaruh pengenaan pajak terhadap kinerja bank syariah. Kajian tersebut diharapkan dapat menjadi dasar diterbitkannya peraturan perpajakan yang lebih spesifik untuk bank syariah. Pentingnya kajian terhadap perpajakan bank syariah untuk melihat dampak pengenaan PPn terhadap kinerja bank syariah melatarbelakangi penulis dalam menyusun skripsi dengan judul Dampak Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Kinerja Keuangan Bank Syariah.1.2 Rumusan dan Batasan MasalahRumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:Bagaimana mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada bank syariah Bagaimana dampak pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada bank syariah Batasan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka objek pembahasan dibatasi pada mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan pada kinerja keuangan bank syariah.Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada bank syariah Untuk mengetahui dampak pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada bank syariah Kontribusi Penelitian Kontribusi Teoritis Menambah pengetahuan tentang peraturan perpajakan terutama tentang Pajak Pertambahan Nilai dan tentang perbankan syariah di Indonesia, serta sebagai referensi untuk penelitian dimasa yang akan datang.Kontribusi Praktis Membantu pelaku bisnis perbankan dalam mengelola bisnis perbankan syariah berkaitan dengan perencanaan dan pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga menghasilkan performa keuangan yang berkualitas. Kontribusi Kebijakan Membantu Dirjen Pajak, Bank Indonesia, dan institusi pemerintah lainnya dalam menerbitkan kebijakan di bidang perpajakan dan perbankan syariah. BAB IITELAAH LITERATURPajak Pertambahan Nilai (PPn) Pajak Pertambahan Nilai (PPn) merupakan pajak tidak langsung dan dikenakan atas konsumsi dalam negeri (Mardiasmo, 2003). Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18/ 2000 didasarkan atas terjadinya penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Jadi pengenaan pajaknya bukan didasarkan atas jenis industri.UU PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah membagi dua dari sudut objek, yaitu penyerahan barang-kena-pajak dan jasa-kena-pajak. Yang dimaksud dengan jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan (Pasal 1 angka 15 dari UU No. 18/2000). Sedangkan jasa-kena-pajak adalah jasa sebagaimana rumusan di atas yang dikenakan PPN.Ada beberapa jenis jasa yang tidak dikenakan PPN yang diatur di Pasal 4A ayat (3) yang antara lain adalah jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Yang dimaksud dengan jasa di bidang perbankan merujuk kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Undang-undang Perbankan) yang menyatakan bahwa jenis "jasa-jasa tertentu" yang hanya dapat dilakukan oleh bank saja yang merupakan bukan jasa kena pajak. Sedangkan jenis jasa perbankan yang tidak termasuk definisi di atas tetap dikenai PPn, misalnya jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; dan anjak piutang.Jasa Keuangan Dalam The International Standard Industrial Clasification of All Economic Activities (ISIC) jasa keuangan dibagi dalam tiga kategori, yaitu:Jasa perantara di bidang keuangan seperti misalnya perantara antara debitur dan kreditur Jasa asuransi dan pensiun Kegiatan-kegiatan yang merupakan kegiatan penunjang dari jasa keuangan Sedangkan dalam laporan yang disusun oleh OECD (Indirect Tax Treatment of Finanacial Services and Instrument,1983 dalam www.kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id, 2005), jasa keuangan meliputi antara lain: penyelenggaraan rekening bank, jual beli mata uang asing, pemberian pinjaman, documentary credit, jasa kartu kredit, jaminan keuangan, klaim jaminan, jual beli saham dan surat berharga, perdagangan dengan delivery kemudian (futures), transaksi swaps, penjaminan surat-surat berharga, sewa-guna-usaha dengan hak opsi, jasa penagihan utang, jasa save keeping, jasa konsultansi, penyelenggaraan asuransi jiwa atau reasuransi, penyelenggaraan asuransi selain asuransi jiwa dan reasuransinya, penyelesaian klaim asuransi, manajer investasi dan jasa trustee.Jasa Keuangan dalam Sektor Perbankan Ditinjau dari cara menentukan harga atau cara mendapatkan keuntungan, bank dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bank yang berdasarkan prinsip konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah (Kasmir, 2000). Kedua bank tersebut digolongkan juga dalam kategori bank umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah. Bank umum sering disebut juga bank komersial (Commercial Bank).Kegiatan bank umum di Indonesia meliputi (Kasmir, 2000):Menghimpun dana dari masyarakat (funding) dalam bentuk: Simpanan Giro (Demand Deposit) yang merupakan simpanan di bank di mana penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau bilyet giro. Simpanan Tabungan (Saving Deposit) yaitu simpanan pada bank yang penarikannya dapat dilakukan sesuai perjanjian antara bank dengan nasabah dan penarikannya dengan menggunakan slip penarikan, buku tabungan, kartu ATM atau sarana penarikan lainnya. Simpanan Deposito (Time Deposit) merupakan simpanan pada bank yang penarikannya sesuai dengan jangka waktu (jatuh tempo) dan dapat ditarik dengan bilyet deposito atau sertifikat deposito. Menyalurkan dana ke masyarakat (lending) dalam bentuk kredit seperti: Kredit Investasi yaitu kredit yang diberikan kepada para investor untuk investasi yang penggunaannya jangka panjang. Kredit Modal Kerja merupakan kredit yang diberikan untuk membiayai suatu kegiatan usaha dan biasanya bersifat jangka pendek guna memperlancar transaksi perdagangan. Kredit Perdagangan yaitu kredit yang diberikan kepada para pedagang baik agen maupun pengecer. Kredit Konsumtif merupakan kredit yang digunakan untuk dikonsumsi atau dipakai untuk keperluan pribadi. Kredit Produktif yaitu kredit yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. Memberikan jasa-jasa bank lainnya (services) antara lain: Menerima setoran-setoran, misalnya pembayaran pajak, telepon, air, listrik, dan sebagainya. Melayani pembayaran, misalnya gaji, deviden, bonus, dan sebagainya. Di dalam pasar modal perbankan dapat memberikan atau menjadi: Penjamin Emisi (Underwriter) Penanggung (Guarantor) Wali Amanat (Trustee) Perantara perdagangan efek (pialang/ broker) Pedagang Efek (Dealer) Perusahaan Pengelola Dana (investment company) Transfer atau kiriman uang Inkaso (Collection) Kliring (Clearing) Dan jasa-jasa lainnya Definisi dan Mekanisme Kerja Bank Syariah Bank berdasarkan prinsip syariah menerapkan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain baik dalam hal untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya (Kasmir, 2000). Penentuan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah dengan cara:Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) Bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Barang diserahkan segera dan pembayaran dilakukan secara tangguh (kredit tanpa bunga). Skema untuk pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut (Muhamad, 2002):Diagram 2.1.Skema Pembiayaan MurabahahNegosiasi dan persyaratanAkad jual beliBank SyariahNasabah bankBayarTerima barang & dokumenBeli barangKirimSupplierPembiayaan Salam (Jual beli arang belum ada) Pembayaran tunai, barang diserahkan tangguh. Bank sebagai pembeli, dan nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini ada kepastian tentang kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah) Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) Perkembangan Bank Syariah di Indonesia Sistem Perbankan Syariah Indonesia dimulai tahun 1992 dengan digulirkannya UU No. 7/1992 yang memungkinkan bank menjalankan operasional bisnisnya dengan sistem bagi hasil. Pada tahun yang sama lahir bank syariah pertama di Indonesia, Bank Syariah Muamalat Indonesia (BMI). Hingga tahun 1998 praktis bank syariah tidak berkembang. Baru setelah diluncurkan Dual Banking System melalui UU No. 10/1998, perbankan syariah mulai berkembang. Dalam 5 tahun sejak diberlakukan Dual Banking System, pelaku bank syariah bertambah menjadi 10 bank dengan perincian 2 bank merupakan entitas mandiri (BMI dan Bank Syariah Mandiri) dan lainnya merupakan unit/divisi syariah bank konvensional.Seiring dengan makin bertambahnya jumlah bank syariah yang beroperasi di Indonesia, jumlah dana yang berhasil dihimpun perbankan syariah juga terus bertambah. Jika pada 1997 dana masyarakat bank syariah baru mencapai Rp463 M maka pada Desember 2003 telah meningkat menjadi Rp5,7 T. Pesatnya pertumbuhan dana masyarakat ini dipicu oleh beberapa faktor. Di samping karena kinerja bank syariah yang mengesankan, sistem bagi hasil yang ditawarkan perbankan syariah lebih stabil terhadap gejolak ekonomi makro. Di tengah terus menurunnya suku bunga bank konvensional, margin bagi hasil memberikan keuntungan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bunga yang ditawarkan bank konvensional. Hal ini terjadi karena sistem bagi hasil diberikan berdasarkan nisbah (perbandingan bagi hasil) keuntungan yang disepakati saat nasabah membuka rekening.Hasil survei Bank Indonesia di beberapa propinsi di Jawa dan Sumatra pada tahun 2000-2001 menunjukkan bahwa antusiasme masyarakat terhadap perbankan syariahcukup tinggi. Dari survei ini dapat disimpulkan bahwa nasabah potensial bank syariah mencapai 78% dengan perincian 11% merupakan syariah loyalis, yaitu nasabah yang akan beralih ke bank syariah terdekat dan 67% merupakan floating customer yaitu nasabah yang akan beralih ke bank syariah jika infrastruktur dan pelayanan yang ditawarkan perbankan syariah tidak berbeda dengan bank konvensional. Di luar 78% merupakan konvensional loyalis yang tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan bank syariah.