Upload
priskavk
View
223
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hhh
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit merupakan lembaga yang menyediakan perawatan medis bagi orang
sakit atau terluka dan merupakan tempat utama masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan dengan mutu yang baik dan
menyediakan fasilitas yang memadai dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan
profesional. Menteri kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa perawat merupakan
seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai
dengan ketentuan undang-undangan yang berlaku. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (DepKes RI) menyatakan bahwa perawat profesional adalah perawat yang
bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri
dan atau berkerjasama dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenangannya. Seorang
perawat memiliki tugas antara lain; untuk memberikan asuhan keperawatan (care giver);
menginterpretasikan berbagai informasi khususnya dalam pengambilan persetujuan atas
tindakan keperawatan serta melindungi hak-hak pasien (client advocate); membantu pasien
dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan, gejala penyakit dan tindakan yang diberikan
(educator); mengarahkan, merencanakan dan mengorganisasi pelayanan kesehatan yang akan
diberikan (coordinator); mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang dibutuhkan melalui
diskusi untuk penentuan bentuk pelayanan selanjutnya (collabolator); tempat konsultasi
terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan (consultan). Perawat
merupakan salah satu sumber daya terpenting untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Pelayanan rumah sakit terdiri dari pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Tugas
perawat di pelayanan rawat inap rumah sakit antara lain memberikan obat, membersihkan
luka pasien, evaluasi kondisi fisik pasien (tekanan darah, suhu, dll) dan evaluasi efek dari
obat yang diberikan pada pasien, merawat pasien, memberikan dukungan pada pasien dalam
upaya penyembuhan penyakit pasien, serta memberikan layanan penunjang medik
(mengantar pasien untuk pemeriksaan laboratorium, atau penunjang lainnya seperti rontgen).
Sedangkan, tugas perawat di pelayanan rawat jalan antara lain mendata pasien yang akan
berobat, membantu dokter menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti jarum suntik,
menimbang berat badan pasien, memeriksa tekanan darah pasien, dan lain sebagainya.
Tuntuan tugas perawat baik di rawat inap maupun rawat jalan dapat menyebabkan kelelahan
fisik, emosi, mental yang disebut dengan gejala burnout. Cherniss (1980) menyatakan bahwa
burnout adalah penarikan diri secara psikologis dari pekerjaan yang dilakukan sebagai reaksi
atas stres dan ketidakpuasan terhadap situasi kerja yang berlebihan atau berkepanjangan.
Penelitian menyatakan bahwa perawat yang bekerja di rawat jalan 20% lebih sering
mengalami stres dibandingkan dengan rawat inap. Penelitian lain menunjukkan bahwa
1
perawat yang bertugas di ruang rawat jalan yang berusia 30-41 tahun lebih banyak
mengalami burnout. Kondisi tersebut karena adanya kejenuhan akan rutinitas pekerjaan.
Perawat perempuan lebih rentan mengalami burnout dibandingkan perawat laki-laki, hal ini
disebabkan karena perawat perempuan setelah pulang dari tempat bekerja harus mengurus
rumah tangga dan merawat anak-anaknya. Penelitian lain menunjukkan bahwa perawat
dengan jenjang pendidikan tinggi (S1) dan telah bekerja lebih dari sepuluh tahun lebih sering
dijumpai dengan gejalan burnout karena memiliki beban psikososial yang lebih tinggi.
Stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang akibatnya dapat
mengganggu keseimbangan manusia. National Institute for occupational safety and health
(NIOSH) melaporkan bahwa perawat adalah profesi yang berisiko sangat tinggi untuk
terjadinya stres. Sumber stres kerja pada perawat antara lain menghadapi kematian pasien,
konflik dengan dokter atau rekan sejawatnya, adanya kelelahan fisik, emosional dan mental
dalam menghadapi pasien dan keluarganya, beban kerja yang berlebih, gaji tidak sesuai, dan
kejenuhan dalam melakukan rutinitas. Penelitian menunjukkan bahwa 82% stres kerja pada
perawat karena beban kerja, 58% pemberian upah yang tidak adil, 52% kondisi kerja, dan
45% tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.
Perawat diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaannya, apabila seorang
perawat tidak dapat menyesuaikan diri dapat berdampak terjadinya gangguan mental
emosional. Penelitian menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pada perawat
sebesar 17,7%. Penelitian oleh Etin Abdulrahman menyatakan bahwa terdapat 57,5% perawat
yang mengalami kecemasan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyatakan
sebanyak 50,9 % perawat Indonesia mengalami stres akibat beban kerja yang terlalu tinggi.
Mereka sering merasa pusing, lelah, jantung berdebar, gangguan tidur, gangguan pencernaan,
dan lain sebagainya. Dampak psikopatologi akibat stres kerja pada seorang perawat dapat
berimplikasi pada kinerjanya seperti menjadi kurang ramah dalam memberikan pelayanan,
menjadi lambat dalam memberikan pelayanan, dan lain sebagainya sehingga dapat
menurunkan kualitas asuh keperawatan terhadap pasien. Melihat permasalahan tersebut dan
belum banyaknya penelitian mengenai stres kerja dan psikopatologi pada perawat rumah
sakit maka peneliti berminat membuat penelitian tentang hubungan antara stres kerja dengan
psikopatologi perawat di RS Atma Jaya.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana
hubungan antara stres kerja dengan psikopatologi pada perawat rawat inap dan rawat
jalan yang bertugas di RS Atma Jaya.
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara stres kerja dengan psikopatologi pada perawat rawat inap
dan rawat jalan yang bertugas di RS Atma Jaya.
2
1.4. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara stres kerja dengan psikopatologi pada perawat
RS Atma Jaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengindetifikasi gambaran stres kerja pada perawat rawat jalan dan rawat
inap di RS Atma Jaya
2. Mengindetifikasi gambaran psikopatologi pada perawat rawat jalan dan
rawat inap di RS Atma Jaya.
3. Mengetahui hubungan antara stres kerja dengan psikopatologi pada
perawat rawat jalan dan rawat inap di RS Atma Jaya.
4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja pada
perawat RS Atma Jaya.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dalam berbagai aspek.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, dengan mengetahui gambaran stres kerja dan
psikopatologi pada perawat rawat jalan dan rawat inap di RS Atma Jaya diharapkan
dapat mendeteksi dini perawat yang mengalami stres kerja sehingga gangguan mental
emosional yang terjadi dapat dicegah atau dapat diintervensi sedini mungkin.
Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi bagi
penelitian lain yang berkaitan dengan stres kerja dan psikopatologi pada perawat
rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit swasta.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stres
2.1.1 Definisi Stres
National safety council Amerika Serikat menyatakan bahwa stres
merupakan ketidakmampuan dalam mengatasi ancaman yang dihadapi oleh
mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat
memengarui kesehatan fisik manusia. Lazarus dan Folkman (1984)
menyatakan bahwa stres merupakan hubungan antara individu dengan
lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya
serta mengancam kesehatannya. Robbins (2004) menyatakan stres kerja
merupakan beban kerja yang berlebihan, perasaan susah dan ketegangan
emosional yang menghambat tingkat kerja individu.
2.1.2 Klasifikasi Stres
Stres menurut penyebabnya terdiri atas stres fisik, stres kimiawi, stres
mikrobiologi, stres fisiologik, stres pertumbuhan dan perkembangan, dan stres
psikologis. Stres fisik merupakan stres yang disebabkan karena keadaan fisik
seperti temperatur yang sangat tinggi atau sangat rendah, suara bising, dan
tegangan arus listrik tinggi. Stres kimiawi seperti iritan yang membuat tubuh
menjadi tidak nyaman. Stres mikrobiologi seperti reaksi infeksi (virus, bakteri,
jamur) yang dapat menyebabkan perubahan pada metabolisme tubuh. Stres
fisiologik seperti pada perubahan fungsi dan struktur organ tubuh. Stres karena
proses pertumbuhan dan perkembangan seperti pubertas (menstruasi),
perkawinan, dan proses lanjut usia. Stres psikis dan emosional (psikologik)
adalah stres yang disebabkan karena ketidakmapuan kondisi psikologis untuk
menyesuaikan diri untuk hubungan interpersonel atau sosial budaya. Stres
psikologik dapat disebabkan oleh frustasi, konflik, tekanan dan krisis.
Stres menurut sifatnya terdiri atas eustres dan distres. Eustres
merupakan hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (membangun). Seseorang dengan eustres dapat berdampak pada
kesejahteraan individu. Distres merupakan hasil respon terhadap stres yang
bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (merusak). Seseorang dengan
distres berdampak pada individu seperti penyakit kardiovaskuler. Distres
sering dihubungkan dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian.
4
2.1.3 Patofisiologi Stres
Dalam tubuh manusia terdapat mekanisme fisiologis terhadap stres
yang diawali dengan stresor. Individu dalam menghadapi stresor memerlukan
keseimbangan antara kepribadian, persepsi dan kemampuan menyesuaikan diri
terhadapat stresor agar tidak berdampak terbentuknya stres. Adanya stresor
dapat menstimulasi stres yang diawali dengan pembentukan dan pengeluaran
glukokortikokid (kortisol) yang dikontrol oleh jenjang sinyal saraf dan
endorin, yaitu serebrokorteks-hipotalamus-hipofisis-adenokorteks. Sinyal
serebrokorteks ke otak tengah dicetuskan di korteks serebrum oleh sinyal stres
misalnya nyeri, perdarahan, dan lainnya. Selanjutnya sinyal-sinyal stres ini
akan mencetuskan pembentukan pengeluaran corticotropin-releasing hormone
(CRH) (gambar 2.1). CRH ini disalurkan ke reseptor spesifik di membran sel
penghasil hormon adenokortikotropik (ACTH) di kelenjar hipofisis anterior.
Interaksi hormon-reseptor ini menyebabkan pelepasan ACTH ke dalam
sirkulasi sistemik yang akhirnya berinteraksi dengan reseptor spesifik untuk
ACTH di membran plasma sel di korteks adrenal (gambar 2.1). Pengaruh
trofik utama ACTH pada sintesis kortisol adalah pada tahap perubahan
kolesterol menjadi pregnolon yang merupakan asal hormon steroid adrenal.
Kortisol dikeluarkan dari korteks adrenal sebagai respon terhadap ACTH
(gambar 2.1). Kadar kortisol yang tinggi dalam darah dapat menekan sekresi
CRH dan ACTH dan sebaliknya kadar kortisol yang rendah akan merangsang
sekresi. Pada stres berat dan tidak mendapat terapi yang adekuat, sinyal umpan
balik negatif terhadap sekresi ACTH oleh kadar kortisol yang tinggi dalam
darah dikalahkan oleh aktivitas bagian aksis yang lebih tinggi yang diinduksi
stres bersangkutan.
5
Gambar 2.1 Jenjang sinyal saraf serebrokorteks-hipotalamus-hipofisis-
adenokorteks.
Manusia merupakan makhluk bio-psiko-sosial dan terdapat
keseimbangan antara kepribadian, persepsi, dan adaptasi. Jika keseimbangan
tersebut terganggu maka dapat menyebabkan gangguan mental emosional dan
perilaku, oleh karenanya diperlukan mekanisme adaptasi (koping) yang
merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah,
menyesuaikan diri dengan perubahan, dan respons terhadap situasi yang
mengancam. Penelitian menyebutkan terdapat berbagai jenis koping yang
sering dugunakan oleh perawat yaitu 45% control mechanism, 38% social
support, 30% symptom management mechanism dan 19% escape mechanism.
2.2 Stres Kerja
Stres kerja merupakan suatu perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam
menghadapi pekerjaan, yang disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan
kerja seperti faktor lingkungan, organisasi, dan individu. National Institute for
occupational safety and health menyatakan bahwa stres kerja sebagai respon fisik dan
emosi yang muncul saat pra-syarat kerja tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya
atau kebutuhan pekerja, dimana perawat merupakan profesi yang berisiko tinggi
terhadap stres kerja. Stres dapat menyebabkan timbulnya gangguan fisik, psikis dan
menurunkan produktivitas perawat yang dalam kenyataannya merupakan sumber daya
manusia terpenting dalam rumah sakit.
2.3 Faktor-faktor yang berperan (stresor) terjadinya stres kerja pada perawat RS
2.3.1 Faktor pekerjaan antara lain;
2.3.1.1 Sumber intrinsik pada pekerjaan meliputi; kondisi kerja yang kurang
menggunakan aktivitas fisik sehingga otot-otot menjadi tegang dan kaku;
kejenuhan yang terjadi karena melakukan pekerjaan rutinitas; beban kerja
berlebihan terjadi saat seorang perawat harus menuntaskan pekerjaan yang
melebihi kemampuannya dalam waktu kerja kurang; waktu kerja
berlebihan; risiko atau bahaya secara fisik dimana aktivitas kerja
membutuhkan tanggung jawab besar dan dapat mengancam keselamatan;
pengalaman bekerja kurang; dan masalah finansial yang terjadi saat adanya
hambatan dalam tercapainya kebutuhan atau keinginan karena keterbatasan
ekonomi. Penelitian tahun 2009 menyatakan bahwa ada hubungan antara
tingkat pendidikan yang tinggi dan lama bekerja perawat dengan kualitas
asuh keperawatannya dimana semakin tinggi pendidikan dan pengalaman
kerjanya asuhan keperawatan yang diberikan semakin baik.
6
2.3.1.2 Peran perawat: ketidakseimbangan antara tugas dengan kewajiban serta
adanya pengaruh dari nilai-nilai dalam diri individu atau keluarga dapat
menimbulkan terjadinya konflik peran; ketidakjelasan peran akan muncul
apabila individu tidak memahami dengan jelas ruang lingkup, tanggung
jawab, dan tujuan pelaksanaan tugas; beban peran berhubungan dengan
adanya tuntutan peran yang terlalu tinggi atau terlalu rendah yang tidak
sesuai dengan kedudukan atau jabatan; hilangnya kontrol dapat terjadi
ketika individu merasa tidak memiliki kontrol atas lingkungan kerja atau
kontrol atas sikap individu dalam melakukan pekerjaannya. Pada tahun
2011, terdapat penelitian yang menyatakan adanya hubungan yang
signifikan (40%) antara konflik peran ganda dan dukungan sosial terhadap
stress kerja
2.3.1.3 Perkembangan karir; kenaikan atau penurunan jabatan; tingkat keamanan
kerja yang kurang
2.3.1.4 Relasi di tempat kerja meliputi; bentuk pola hubungan antar rekan kerja,
atau dengan klien dengan konsumen. Hubungan yang kurang baik antar
kelompok kerja akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan individu
dan organisasi
2.3.1.5 Iklim kerja dan kondisi fisik lingkungan kerja meliputi; terlalu sedikit atau
bahkan tidak ada partisipasi dalam pembuatan keputusan/kebijakan dimana
perawat kesulitan menyampaikan ide, gagasan, atau pendapat dalam
masalah pekerjaan; polusi bahan kimia, penggunaaan asbes, polusi asap
rokok batu bara, dan kebisingan.
2.3.2 Stres yang berasal dari karakteristik perawat antara lain;
2.3.2.1 Faktor demografi: Umur dimana semakin tinggi usia (<50 tahun) kejadian
psikopatologi semakin banyak, jenis kelamin dimana perawat perempuan
lebih rentan mengalami stres dibanding perawat laki-laki karena
kepribadiannya yaitu dimana perawat laki-laki mempunyai kepribadian
lebih cuek, suku, status pernikahan, lama bekerja, dan pendidikan dimana
perawat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi(S1) lebih berisiko
mengalami stres karena mengharapkan jabatan yang lebih tinggi
2.3.2.2 Faktor fisik yaitu penyakit tahunan (hipertensi, diabetes, dan lain
sebagainya)
2.3.2.3 Faktor psikologis: coping mechanism, kepribadian, citra diri. Penelitian
tahun 2010 menyatakan ada hubungan yang signifikan anatar temperamen
perawat dengan derajat stres kerjanya, dimana perawat dengan kepribadian
sanguin mempunyai derajat stres kerja yang paling tinggi dan perawat
dengan kepribadian koleris mempunyai derajat stres yang paling rendah.
7
2.3.2.4 Faktor sosial yaitu dukungan keluarga dan dukungan pasangan yang
menurut Cassel dan Cob bila diberikan secara konsisten mampu
meningkatkan kesehatan psikis dan melindungi psikis dalam kondisi stres
dan status ekonomi dimana gaji yang tidak sesuai dan kurang untuk
mencukupi kebutuhan.
2.4 Stres Kerja dan Psikopatologi Perawat Rumah Sakit
Seorang perawat dengan stres kerja dapat menimbulkan beberapa keadaan
patologis, antara lain fisik dan emosi yang manifestasinya dapat berdampak di tempat
kerjanya. Gejala emosi yang timbul seperti bingung, cemas dan sedih, merasa tidak
berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit
konsentrasi, sulit berpikir jernih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreativitas,
hilangnya gairah dalam penampilan dan terhadap orang lain. Seseorang dengan stres
kerja dapat berdampak pada pekerjaannya antara lain kepuasan kerja rendah, kinerja
menurun, semangat dan energi menurun, komunikasi terbatas, pengambilan keputusan
buruk, kreativitas dan inovasi berkurang, dan hanya mampu dengan tugas-tugas
rutinitas. Penelitian menunjukkan sebesar 86,2% perawat memiliki keluhan emosional
74,2% , dengan keluhan fisik dan 20,1% bermanisfestasi di tempat kerja. Penelitian
lain menunjukkan bahwa perawat dengan stres kerja sering dijumpai 52% sakit
kepala, 48% merasa tidak berguna, 43% mudah marah, 38% kelelahan dan interaksi
menjadi buruk, 24% kehilangan konsentrasi dan denyut jantung meningkat, 19%
menjadi mudah bosan. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa kecenderungan
psikopatologi yang timbul adalah 58% mengalami mental emosional disorder, 36%
psycotism, 33% somatisation dan paranoid symptoms, dan 29% obsessive-compulsive.
Stres kerja pada seseorang dapat berlanjut menjadi psikopatologis dan dapat
berimplikasi pada menurunnya kinerja yang membuat ketidaknyaman terhadap pasien
yang dirinya bertambah.
Penentu adanya stres kerja pada perawat dapat dilakukan dengan banyak cara.
Instrumen Survey Diagnosis Stress (SDS-30)merupakan salah satu instrumen yang
dapat digunakan untuk membantu menilai ada/tidaknya stres dan stresor kerja pada
perawat. Instrumen itu merupakan kuesioner berskala nilai berbentuk self rating/self
report, dengan 30 butir pertanyaan atau pernyataan.
Penentu adanya psikopatologi dapat dilakukan dengan banyak cara. Instrumen
symptom check list (SCL-90) merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan
untuk membantu menilai ada/tidaknya psikopatologi. Instrumen itu merupakan
kuesioner berskala nilai berbentuk self rating/self report, dengan 90 butir pertanyaan
atau pernyataan. SCL-90 merupakan pengembangan dari Hopkins Symptom Checklist
(HSCL).
8
Giarto (1984) yang oleh Martono, telah menerjemahkan dan menguji validitas
dan reliabilitas instrumen itu. Cut off score dari SCL-90 adalah 61. SCL-90 telah
beberapa kali digunakan dalam penelitian untuk derajat psikopatologi antara lain, oleh
Bambang Eko dan Henny R. SCL-90 dapat dipergunakan untuk menilai adanya
psikopatologi secara umum, mengukur derajat secara kuantitatif, serta
menilaipsikopatologi secara deskriptif. Skor nilai merupakan skor total (kondisi
mental secara umum) atau skor dari setiap dimensi gejala, yaitu depresi, ansietas,
obsesif kompulsif, fobia, somatisasi, sensitivitas interpersonal, hostilitas, paranoid,
psikotik,danskalatambahan.
9
2.5 Kerangka Teori
2.4 Kerangka Konsep
10
Faktor sosial : Keluarga
- Dukungan keluaga - Dukungan pasangan- Sosio ekonomi keluarga- Relasi keluarga
Faktor pekerjaan:- Sumber intrinsik pekerjaan
Beban kerja lebih Aktivitas fisik kurang Waktu kerja berlebih Pengalaman kerja kurang Kejenuhan akan rutinitas Risiko/bahaya kerja Insentif yang tidak cukup Lama bekeja
- Peran perawat Konflik, beban dan ketidakjelasan
peran Ketiadaan kontrol
- Perkembangan karir Promosi kerja
- Relasi di tempat kerja Relasi dengan rekan kerja
- Iklim kerja dan fisik lingkungan kerja Tidak ada partisipasi dalam
membuat keputusan
Faktor demografi: - Umur - Jenis kelamin- Suku - Status pernikahan- Tingkat pendidikan
Stres kerja perawat rawat inap dan rawat jalan RS Atma Jaya
Psikopatologi
Faktor psikologis:- Coping mechanism- Kepribadian- Citra diri- Temperamen
Faktor fisik:- Penyakit fisik kronis - Penyakit fisik akut
2.6 Kerangka Konsep
11
Faktor demografi: - Umur - Jenis kelamin- Suku - Status pernikahan- Tingkat pendidikan
Stres kerja perawat rawat inap dan rawat jalan RS Atma Jaya
Psikopatologi
Sosial ekonomi keluarga
Faktor fisik:- Penyakit fisik kronis
Lama bekerja