prokpo04-8

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penyakit pada domba

Citation preview

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    79

    MANAJEMEN KESEHATAN DALAM USAHA TERNAK KAMBING

    SJAMSUL BAHRI, R. M. A. ADJID, BERIAJAYA, dan APRIL H WARDHANA

    Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan; PO Box 151 Bogor 16114

    ABSTRACT

    Animal Health Management on Goat Production. Disease is one of the major constraint which should be aware on goat production. In order to minimize the negative effect of animal diseases, the sustainable animal health management must be applied. There are 4 steps of animal health management on goat production (1) choosing appropriate location, (2) choosing appropriate breed, (3) adaptation, and (4) rearing. The most important diseases on goat production usually caused by infectious diseases such as parasites (scabies and nematodiasis), bacteria (anthrax, pink eye and pneumonia), and virus (orf); and by non-infectious diseases such as diarrhea on the lambs, tymphani and toxic plan (i.e. cyanide). Sustainable parasite control is also important to keep the infestation of the parasites below the threshold and to avoid the distubances on the goat productivity. Vaccination for orf and anthrax must be done, espesially in endemic areas. Moreover, the biosecurity and biosafety of the pen and the quality of the feed should also be concerned to improve the healthiness of the goat against the diseases.

    Keywords: Goat, animal health and diseases

    ABSTRAK

    Penyakit merupakan salah satu hambatan yang perlu diatasi dalam usaha ternak kambing. Melalui penerapan manajemen kesehatan ternak yang dilakukan secara berkelanjutan, diharapkan dampak negatif dari penyakit ternak dapat diminimalkan. Empat tahapan manajemen kesehatan ternak yang perlu diperhatikan dalam membangun usaha ternak kambing, yaitu (1) tahap pemilihan lokasi, (2) tahap persiapan dan pengadaan ternak, (3) tahap adaptasi, dan (4) tahap pemeliharaan. Penyakit-penyakit yang dijadikan prioritas untuk diatasi adalah penyakit parasiter, terutama skabies dan parasit saluran pencernaan (nematodiasis). Sementara itu, untuk penyakit bakterial terutama anthrax, pink eye, dan pneumonia. Penyakit viral yang penting adalah orf, dan penyakit lainnya (penyakit non infeksius) yang perlu diperhatikan adalah penyakit diare pada anak kambing, timpani (kembung rumen) dan keracunan sianida dari tanaman. Pengendalian penyakit parasit secara berkesinambungan (sustainable parasite controle) perlu diterapkan agar infestasi parasit selalu di bawah ambang yang dapat mengganggu produktivitas ternak. Vaksinasi terhadap penyakit Anthrax (terutama untuk daerah endemis anthrax), dan orf merupakan tindakan preventif yang dianjurkan. Sementara itu, manajemen pemeliharaan berupa perkandangan yang sehat dan pemberian pakan bergizi akan membuat ternak kambing lebih tahan terhadap serangan penyakit.

    Kata kunci: Kambing, kesehatan ternak dan penyakit

    PENDAHULUAN

    Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani-ternak di pedesaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan hidupnya. Populasi ternak kambing di Indonesia pada tahun 2003 sekitar 14 juta ekor yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, terutama di pulau Jawa (sekitar 50% dari total populasi). Ternak ini mempunyai nilai ekonomi bagi peternak karena mudah dipelihara, tidak membutuhkan lahan yang luas, berbagai sumber pakan tersedia di pedesaan, daya reproduksinya cukup tinggi, dan lama pemeliharaan hingga dewasa relatif cepat. Kontribusinya dalam penyediaan daging secara nasional walaupun masih relatif rendah (hanya 5%), tetapi memiliki potensi

    dimasa mendatang untuk mendukung ketahanan pangan asal ternak. Selain itu permintaan ekspor ke beberapa negara masih belum dapat dipenuhi.

    Berbagai kendala yang dihadapi dalam usahatani-ternak kambing antara lain masalah ketersediaan bibit yang baik sangat sulit diperoleh. Kendala lainnya adalah timbulnya penyakit yang menyerang ternak kambing terutama penyakit-penyakit parasiter yang menghambat pertambahan bobot badan ternak (mengganggu produktivitas), walaupun angka kematiannya relatif rendah. Penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus dan bakteri seringkali menimbulkan kematian yang cukup tinggi.

    Meskipun dari komponen produksi, masalah kesehatan hewan hanya sekitar 5% dari total biaya produksi, tetapi kesehatan hewan mutlak harus mendapat perhatian karena dapat berakibat fatal. Oleh karena itu manajemen kesehatan hewan

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    80

    merupakan bagian (subsistem dari usahatani-ternak) yang tidak terpisahkan dalam sistem usahatani-ternak modern. Dalam manajemen kesehatan ternak, upaya pencegahan tetap merupakan tindakan terbaik, sedangkan penanggulangan terhadap penyakit-penyakit tertentu juga diperlukan apabila situasi dan kondisinya menuntut dilakukan tindakan tersebut. Pada makalah ini akan diulas berbagai penyakit yang dapat menyerang ternak kambing (terutama penyakit yang bernilai ekonomis dan strategis) serta upaya penanganannya.

    MANAJEMEN KESEHATAN DALAM PEMELIHARAAN TERNAK KAMBING

    Kesehatan ternak menjadi sangat penting karena akan menyebabkan kerugian akibat: (a) gangguan pertumbuhan (pertambahan berat badan harian rendah), (b) dewasa kelamin atau umur beranak pertama terlambat, (c) daya reproduksi terganggu, (d) efisiensi pakan rendah, dan (e) kematian ternak. Oleh karena itu, dalam pemeliharaan ternak kambing perlu mengetahui sedini mungkin gejala-gejala atau tanda-tanda penyakit secara umum, antara lain berupa: (a) kurang nafsu makan/tidak mau makan, (b) tidak lincah/lebih banyak diam, (c) lemah/lesu, (d) menyendiri, (e) menggaruk-garuk badan, (f) kotoran tidak normal (warna, bau, konsistensi), (g) dan lain sebagainya. Bila dijumpai ternak dengan tanda-tanda seperti demikian, patut dicurigai bahwa ternak tersebut kurang sehat/sakit, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya penularan/penyebaran penyakit lebih lanjut, ternak tersebut sebaiknya diisolasi pada tempat/kandang khusus yang terpisah dari ternak sehat lainnya. Selama isolasi diberi makanan dan minuman yang baik, serta diamati terhadap kemungkinan terserang penyakit menular dengan melakukan pemeriksaan klinis dan laboratoris secara intensif. Segera ambil tindakan (pengobatan atau pengeluaran/ pemusnahan) apabila telah diperoleh kepastian hasil diagnostik.

    Dalam membangun usaha ternak kambing perlu diperhatikan 4 hal yang berkaitan dengan tatalaksana kesehatannya, yaitu: (1) tahap pemilihan lokasi, (2) tahap persiapan/pengadaan ternak, (3) tahap adaptasi sebelum di tempatkan dalam kandang atau lahan pemeliharaan, dan (4) tahap pemeliharaan. Keempat tahapan ini sangat penting untuk diperhatikan agar kejadian wabah penyakit pada saat pemeliharaan selanjutnya dapat dihindari.

    Tahap Pemilihan Lokasi

    Sebelum memutuskan lokasi peternakan yang akan dijadikan tempat pemeliharaan ternak kambing perlu dicari dahulu beberapa informasi penting tentang status penyakit hewan di daerah sekitar lokasi, misalnya apabila daerah tersebut pernah terjadi wabah penyakit anthrax, sebaiknya tidak digunakan untuk lokasi peternakan atau apabila digunakan maka ternak kambing yang akan dipelihara harus divaksinasi anthrax secara teratur. Selain itu perlu diketahui keadaan lingkungan setempat, apakah daerah tersebut daerah industri, pertambangan, pembuangan limbah, dan sebagainya. Informasi lain mengenai sumber air, pakan atau tanaman beracun yang ada disekitar lokasi juga perlu diketahui untuk dijadikan pertimbangan memilih lokasi peternakan atau untuk mengantisipasi tindakan pencegahan.

    Tahap Persiapan/pengadaan ternak

    Dalam memilih ternak kambing yang akan dikembangbiakkan pada daerah baru perlu diperhatikan status dan sejarah penyakitnya di daerah sumber bibit dimana ternak akan dijadikan sebagai sumber pasokan. Sebaiknya kambing tersebut mendapat vaksinasi terhadap beberapa penyakit penting (anthrax dan orf) terutama apabila ternak akan dibawa ke daerah yang endemis atau positif Anthrax. Selanjutnya kambing yang akan dipilih harus bebas dari serangan penyakit, oleh karena itu perhatikan gejala klinis terhadap berbagai penyakit (kudis, orf, pink eye, dan sebagainya). Untuk mengurangi stress, kecelakaan (patah kaki, dsb) dan kematian dalam transportasi, hendaknya dilakukan dengan persiapan yang matang dan menggunakan alat angkut ternak (transportasi) yang memadai serta tidak berdesak-desakan. Apabila terlalu jauh perlu diistirahatkan, beri makan dan minum yang cukup dan bergizi serta dapat diberi obat anti stress. Apabila ternak ada yang sakit (penyakit mata, orf, kudis, dan sebagainya) hendaknya diobati dahulu agar tidak menular.

    Tahap Adaptasi

    Ternak yang baru tiba di lokasi jangan langsung ditempatkan pada kandang/tempat pemeliharaan permanent, tetapi tempatkan dahulu pada kandang sementara untuk proses adaptasi yang memerlukan waktu sekitar beberapa minggu. Dalam proses

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    81

    adaptasi ternak diamati terhadap penyakit cacing (dengan memeriksa fesesnya), penyakit orf, pink eye, kudis, diare, dan sebagainya. Apabila positif terhadap penyakit tertentu segera diobati dan lakukan isolasi. Dalam adaptasi ini juga termasuk adaptasi terhadap jenis pakan yang akan digunakan dalam usaha ternak kambing. Pada adaptasi ini biasanya harus disiapkan berbagai obat-obatan untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan timbulnya berbagai penyakit. Setelah 2-4 minggu ternak dalam keadaan sehat, maka siap untuk dipindahkan dalam kandang utama.

    Tahap Pemeliharaan

    Produktivitas ternak akan terganggu apabila ternak tidak sehat atau terserang penyakit, oleh karena itu untuk menjamin keberhasilan usaha ternak kambing, ternak harus sehat. Hal ini hanya dapat dicapai apabila kontrol terhadap penyakit berjalan dengan baik, selain diberi pakan dengan jumlah dan gizi yang cukup serta perkandangan dan sanitasi yang memadai. Dalam hal ini kontrol terhadap penyakit parasit perlu dilakukan secara berkesinambungan, obat cacing diberikan secara berkala, sesuaikan dengan kondisi musim (terutama pada musim hujan). Pengendalian parasit saluran pencernaan pada sistem pastura dapat dilakukan dengan sistem rotasi. Pada umumnya pengendalian penyakit disesuaikan dengan sistem pemeliharaan (dikandangkan atau digembalakan atau keduanya).

    Pemeliharaan tradisional yang bercampur dengan peternakan rakyat terutama domba akan menyulitkan dalam mengontrol serangan penyakit. Untuk menjamin agar infestasi parasit (terutama parasit internal/cacing) pada ternak kambing yang dipelihara tercampur dengan ternak rakyat perlu pemberian obat cacing secara teratur, terutama pada musim hujan. Untuk meningkatkan ketahanan tubuh ternak terhadap serangan penyakit parasit, penyakit pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian pakan bergizi dengan jumlah yang cukup serta sanitasi kandang.

    Pada tahap pemeliharaan ini sebaiknya pencegahan tehadap penyakit tertentu seperti anthrax (untuk daerah endemis) perlu dilakukan dengan melakukan vaksinasi secara teratur. Bila dijumpai ternak dengan gejala tidak sehat seperti yang diterangkan pada bagian terdahulu, sebaiknya segera diisolasi dan ditempatkan pada kandang terpisah yang agak jauh dari ternak lainnya. Observasi terus dilakukan sambil diberi pengobatan berdasarkan diagnosis penyakit sementara atau pengobatan simtomatik.

    PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA KAMBING

    Berdasarkan penyebabnya, penyakit kambing dapat dikelompokkan menjadi (1) penyakit-penyakit infeksius, dan (2) penyakit-penyakit non infeksius. Penyakit-penyakit infeksius disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari (a) bakterial, (b) viral, dan (c) parasiter, sedangkan yang non infeksius umumnya disebabkan oleh (a) senyawa toksik/racun, (b) gangguan metabolisme tubuh, (c) defisiensi mineral, dan (d) lain-lain. Makalah ini hanya membahas penyakit-penyakit yang penting (sering terjadi) ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan teknis.

    Penyakit-penyakit infeksius

    Penyakit infeksius utama yang sering menyerang kambing di Indonesia adalah: (1) kelompok penyakit bakterial, yaitu anthrax, pink eye, pneumonia, dan foot root; (2) kelompok penyakit viral, yaitu orf (contagious ecthyma); (3) kelompok penyakit parasiter, skabies, cacingan (nematodiasis), toksoplasmosis, dan myasis.

    Penyakit anthrax

    Penyakit anthrax atau radang limpa merupakan penyakit bakterial penting yang menyerang hampir semua hewan termasuk kambing. Penyakit ini bersifat zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Kasus anthrax pertama kali dilaporkan oleh JAVASCHE COURANT pada tahun 1884 di Teluk Betung. Setahun kemudian, VERSLAG menyebutkan adanya kasus lain di Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung. Menurut HARDJOUTOMO et al. (1990) bahwa Jakarta, Purwakarta, Bogor, Pariangan, Banten dan Cirebon merupakan daerah endemik penyakit ini. Adapun Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Madiun, Bojonegoro dan Semarang dilaporkan sebagai daerah sporadis. Sampai saat ini, sebanyak 11 propinsi di Indonesia dilaporkan sebagai daerah tertular penyakit anthrax (NOOR et al., 2001).

    Agen penyebab penyakit ini adalah Bacillus anthracis yang bersifat gram positif, berbentuk batang, tidak bergerak dan membentuk spora. Bentuk vegetatifnya dapat tumbuh subur di dalam tubuh dan segera menjadi spora apabila berada di luar tubuh ketika kontak dengan udara luar. Spora ini dengan cepat akan terus menyebar melalui angin dan air hujan. Ternak dapat terinfeksi apabila

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    82

    memakan pakan atau meminum air yang terkontaminasi spora tersebut atau jika spora mengenai bagian tubuh yang luka. Ternak penderita dapat menulari ternak yang lain melalui cairan (eksudat) yang keluar dari tubuhnya. Cairan ini kemudian mencemari tanah sekelilingnya dan dapat menjadi sumber untuk munculnya kembali wabah di masa berikutnya. Spora bakteri B. anthracis dilaporkan mampu bertahan sampai puluhan tahun di tanah dan hanya mati oleh pemanasan pada temperatur 100oC selama 20 menit atau pemanasan kering 140oC selama 30 menit (HARDJOUTOMO, 1986).

    Penyakit anthrax pada kambing paling banyak bersifat per akut atau akut. Pada kejadian per akut, kambing yang semula sehat mendadak jatuh, sesak nafas, gemetar, kejang lalu mati dalam waktu beberapa menit/jam akibat pendarahan di otak. Pada kejadian akut, ditandai dengan demam yang tinggi (41,5oC), gelisah, depresi, sukar bernafas, detak jantung cepat tetapi lemah, selaput lendir mulut serta mata menjadi merah tua dan akhirnya mati. Kadangkadang juga terjadi diare berdarah dan air seninya berwarna merah atau berdarah. Pada bangkai hewan yang terkena anthrax sering terlihat adanya darah yang keluar dari lubang-lubang kumlah seperti mulut, telinga hidung, dan anus. Darah tidak membeku dan biasanya limpa membesar berwarna merah kehitaman (RESSANG, 1984; HARDJOUTOMO, 1986).

    Bangkai ternak yang dicurigai menderita anthrax tidak diajurkan untuk dibuka (bedah bangkai). Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan mengambil darah dari telinga dan dibuat preparat ulas. Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) telah mengembangkan tehnik diagnosis secara serologis, yaitu Ascoli test atau ELISA (Poernomo et al., 1982; Hardjoutomo et al., 1993; HARDJOUTOMO dan POERWADIKARTA, 1996). Hewan/spesimen anthrax yang telah busuk maupun yang telah dikeringkan bertahun-tahun dilaporkan masih mampu memberikan hasil yang positif pada uji Ascoli (HARDJOUOTOMO dan POERNOMO, 1976).

    Teknologi pengendalian penyakit anthrax dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi pada ternak yang belum terinfeksi. BALITVET telah berhasil membuat vaksin tersebut dan pernah memproduksinya tetapi saat ini, teknologi tersebut telah dialihkan ke PUSVETMA Surabaya. PT. Vaksindo juga telah memproduksi vaksin sejenis.

    Ternak yang terjangkit anthrax dapat diobati dengan preparat antibiotika tetrasiklin atau penisillin dosis tinggi selama 5 hari berturut-turut, tetapi biasanya pengobatan pada keadaan hewan sekarat kurang efektif. Selain preparat tersebut,

    POERWADIKARTA et al. (1993) melaporkan bahwa antibiotika enrofloxacin, neomycin, navobicin, klorampenikol dan kanamycin juga mampu membunuh bakteri anthrax. Lebih lanjut, NOOR et al. (2001) menjelaskan bahwa pengobatan anthrax viseral dapat dilakukan dengan penisilin G 18-24 juta IU per hari secara intra vena ditambah dengan 1 gram tetrasikin per hari. Pengobatan anthrax nafas hampir sama dengan yang viseral tetapi ditambah streptomicin 1-2 gram/hari sedangkan pengobatan anthrax kulit dapat dilakukan dengan suntikan prokain berdosis 2 x 1,2 juta IU secara intra muskular selama 5-7 hari atau dengan benzyl penilisin berdosis 250.000 IU setiap 6 jam.

    Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penanganan ternak pasca mati. Bagi ternak yang sudah mati harus dibakar atau diberi desinfektan kemudian dikubur. Bangkai yang sudah terlanjur dikubur, tanahnya dibuka kembali. Tanah galian diberi desinfektan dan kapur serta bangkainya dibakar, lalu kuburan ditutup lagi. Ternak yang mati dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai guna mencegah penyebaran yang lebih luas (HARDJOUTOMO, 1986).

    Pink eye

    Pink eye adalah penyakit mata akut yang menular dan ditandai dengan kemerahan pada selaput mata (konjungtiva) dan kekeruhan pada kornea. Penyakit ini mempunyai sinonim, yaitu infectious keratokonjungtivitis, contagious optalmia, blight dan radang mata menular. Meskipun pink eye jarang sekali menimbulkan kematian tetapi dapat mengakibatkan kerugian berupa penurunan bobot badan yang nyata. Hewan muda dilaporkan relatif lebih peka dibandingkan dengan hewan dewasa (DIREKTORAT BINA KESEHATAN HEWAN, 1993). Penyakit ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia.

    Penyebab pink eye pada kambing dan domba adalah Rickettsia (Colesiota) conjuctivae, Mycoplasma conjuctivae, Branhamella catarrhalis dan Chlamydia. Rickettsia merupakan mikroorganisme berbentuk pendek, bersifat gram negatif dan hanya tumbuh pada media hidup saja, misalnya telur ayam. SOERIPTO dan POERWADIKARTA (1990) berhasil mengisolasi bakteri Mycoplasma mycoides subsp capri dan M. capricolum dari kasus keratokonjungtivitis pada kambing asal Cisarua-Bogor. Disamping itu juga, diperoleh isolat Moraxella ovis dan Staphylococcus aureus dari kasus tersebut walaupun keduanya sangat jarang sebagai agen penyebab pink eye pada kambing.

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    83

    Masa inkubasi penyakit ini adalah 2-3 hari, tetapi dapat juga sampai 3 minggu. Gejala klinis yang nyata adalah radang pada selaput mata, pembendungan pembuluh darah di kornea, kemerahan pada bagian mata yang putih dan diikuti oleh bengkaknya kelopak mata. Ternak mengalami photophobia, yaitu takut pada sinar matahari. Kelenjar lacrimaris menjadi sangat aktif sehingga mata selalu berair. Gejala ini jelas terlihat pada sudut mata (canthus medial) dan muka hewan dibawah mata yang selalu basah. Mata yang basah tersebut lebih sering tertutup. Bulu mata sering melekat, akibatnya kambing akan sulit mengambil pakannya dengan baik. Kondisi ini menyebabkan penurunan bobot badan dengan cepat. Kadang-kadang selaput mata yang meradang bisa menjadi borok karena infeksi sekunder sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi pada mata dapat terjadi unilateral (satu mata) atau bilateral (keduanya). Umumnya peradangan akut yang mereda ditandai dengan berubahnya eksudat mata menjadi purulen. Kekeruhan kornea mulai berkurang dan apabila kondisi hewan cukup baik, maka mata akan sembuh total dalam 3-5 minggu tergantung pada penyebab dan keganasan penyakitnya (ACHDIYATI et al., 1983; DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, 1993). Kekebalan pasca infeksi pada domba dan kambing berlangsung antara 100 sampai 250 hari, setelah itu ternak akan kembali peka.

    Penularan pink eye dapat terjadi melalui kontak dengan ternak terinfeksi, serangga (lalat), rumput dan percikan air yang tercemar. Penyakit ini sering terjadi pada musim panas karena banyaknya debu dan meningkatnya populasi lalat Musca autumnalis sebagai vektor (DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, 1993). Menurut ACHDIYATI et al. (1983) bahwa pink eye dapat juga terjadi pada waktu ternak dalam perjalanan (transportasi) sehingga menimbulkan iritasi oleh debu atau sumber-sumber lain yang menyebabkan goresan. Perubahan cuaca yang mendadak, terlalu padatnya ternak dalam kandang dilaporkan dapat memicu terjadinya penyakit ini.

    Pengobatan hendaknya dilakukan sedini mungkin dengan memberikan antibiotika seperti tetrasiklin atau tylosin. Salep mata atau larutan yang mengandung antibiotika seperti chloramphenicol, oxytetracycline dan campuran penicilin-streptomycin dilaporkan dapat memberikan hasil yang baik (DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, 1993). Untuk membantu proses penyembuhan sebaiknya ternak diistirahatkan ditempat yang teduh (tidak terkena

    sinar matahari), kandang harus selalu bersih serta pemberian pakan dan minum yang cukup. Ternak yang sakit dikarantina sehingga jauh dari ternak yang sehat lainnya.

    Pneumonia

    Pneumonia adalah radang parenkhim paru-paru yang biasanya disertai dengan radang bronkeol dan selaput paru-paru. Umumnya penyakit ini menyerang kambing dan domba terjadi pada pergantian musim dari kemarau ke hujan (SOERIPTO et al., 2001). Agen penyebab pnuemonia bermacam-macam seperti bakteri, virus, ricketsia dan juga parasit (cacing paru-paru). SEORIPTO et al. (2001) berhasil mengisolasi bakteri Mycoplasma sp, Pasteurella sp, P. hemolitica, P. multocida dan beberapa isolat Corynebacterium sp, Bacillus sp, Streptococcus sp dan Staphylococcus epidermis dari sampel parau-paru dirumah potong kambing di RPH Cianjur, Pulo Gadung dan Tanah Abang Jakarta. Infeksi virus Parainfluenza tipe 3 pada pneumonia kambing dan domba dilaporkan oleh SENDOW et al. (2002). Biasanya organisme penyebab pneumonia terdapat disekitar lingkungan hidup kambing, yang pada saat ternak stress terutama dengan kondisi kandang yang jelek lembab dan ventilasi kurang baik, maka penyakit akan muncul dan dapat bersifat akut atau kronis.

    Penyakit ini ditandai dengan gejala demam, keluar ingus dari hidung, batuk-batuk, gangguan pernafasan (nafas dangkal atau berat). Pada keadaan parah hewan bernafas menggunakan mulut yang terbuka, hewan sulit bergerak karena paru-paru terasa sakit. Penelitian ISKANDAR (1989) menunjukkan bahwa secara patologis, pnemunia kambing mencapai 15% bahkan SUDANA dan SYARWANI (1986) melaporkan bahwa segala jenis pneumonia pada ruminansia kecil merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian ternak hingga 51%.

    Pengendalian terhadap penyakit ini umumnya dilakukan dengan pemeliharaan yang baik, menempatkan kambing pada kandang yang tidak lembab, hangat dengan ventilasi yang baik (tetapi tidak terlalu terbuka). Kemudian dilakukan pemberian antibiotika berspektrum luas diikuti dengan pemberian pakan yang baik dan ternak diistirahatkan. SOERIPTO et al. (2001) menyebutkan bahwa P. hemolytica sangat sensitif terhadap ampicilin, tetrasiklin dan gentamicin sedangkan P. multocida sensitif terhadap ketiganya termasuk streptomicin.

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    84

    Penyakit orf (Contagious ecthyma)

    Penyakit orf merupakan penyakit viral utama yang menyerang ternak kambing dan dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis). Penyakit ini mempunyai sinonim yaitu, Dakangan (Bali), Muncung (Sumatera Barat) dan Bintumen (Jawa Barat). Kejadian orf pertama kali dilaporkan oleh Van Der Laan tahun 1914 yang menyerang pada kambing di Medan. ADJID (1987) menjelaskan bahwa penyakit orf telah menyebar ke Jawa, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua. Data lain menyebutkan bahwa sebanyak 20 propinsi merupakan daerah tertular sampai tahun 1988 (ADJID, 1992).

    Agen penyebab penyakit orf adalah virus yang termasuk dalam kelompok parapoks dari keluarga virus poks. Virus ini sangat tahan terhadap kondisi lingkungan, di padang penggembalaan dan mampu bertahan hingga tahunan. ADJID (1993) melaporkan bahwa virus penyebab orf tahan terhadap pemanasan 50oC selama 30 menit dan juga tahan terhadap pembekuan dan pencairan tetapi tidak tahan terhadap kloroform.

    Penyakit ini menular dengan cepat dari ternak terinfeksi ke ternak yang sehat melalui kontak langsung. Penularan dapat juga terjadi akibat hewan yang peka mengkonsumsi pakan yang tercemar oleh keropeng bungkul orf. Tingkat penularannya dapat mencapai 100%, sedangkan angka mortalitasnya relatif rendah, yaitu sekitar 2-5,4%. Menurut ADJID dan MANGUNWIRYO (1991) bahwa angka mortalitas pada kambing dapat mencapai 9,23% yang terjadi diakhir dan awal tahun. Lebih lanjut juga dijelaskan bahwa kejadian orf cenderung meningkat pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Pada kasus yang berat, mortalitas dapat mencapai 93% terutama pada ternak yang muda. Kelembaban udara yang tinggi dan kondisi stress juga dilaporkan sebagai pemicu timbulnya penyakit orf pada ternak (ADJID, 1993).

    Gejala klinis yang menonjol adalah lesi yang berbentuk keropeng pada bibir. Awal infeksi akan terjadi bintik-bintik merah yang kemudian berubah menjadi vesikel dan pustula (pernanahan). Akhirnya lesi-lesi ini terlihat sebagai tonjolan berkerak (keropeng). Selain menyerang kulit sekitar mulut, lesi-lesi ini dapat juga menyebar ke seluruh muka seperti hidung dan gusi serta bagian tubuh lainnya yang tidak berambut atau berambut sedikit seperti ambing, sekitar mata, hidung, telinga, skrotum atau sekitar kaki. Pada kambing dan domba, gejala klinis akan muncul 1-3 hari pasca infeksi. Penyakit orf dapat berlangsung antara 3-4 minggu tergantung pada kondisi ternak.

    Kondisi ini akan menjadi lebih parah dan lebih lama apabila diikuti oleh infeksi sekunder. ADJID dan SUDIBYO (1992) berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri yang berperan sebagai infeksi sekunder, yaitu Staphylococcus aureus, S. epidermis dan Corynebacterium pyogenes. Kekebalan pada induk yang terinfeksi relatif rendah sehingga anak yang dilahirkan masih memungkinkan untuk terjangkit penyakit ini (ADJID, 1993). Ternak dengan gangguan kekebalan dilaporkan dapat menderita orf hingga berbulan-bulan. Ternak yang sembuh biasanya memiliki kekebalan selama setahun.Diagnosis penyakit orf dapat dilakukan secara klinis karena sangat menciri. Diagnosis secara laboratoris dengan Presipitasi Agar Gel (PAG) dan Tehnik Antibodi Flouresen (TAF) (ADJID DAN RANOHARDJO, 1987). Jika terdapat lesi dibagian tubuh selain bibir, maka diagnosisnya perlu ditambah dengan pemeriksaan laboratorium karena penyakit lain seperti cacar kambing, radang mulut dan lidah biru juga menunjukkan gejala yang relatif sama. Pada pemeriksaan pasca mati, lesi mungkin dapat ditemukan pada mukosa mulut sepanjang gusi, lidah, langit-langit dan saluran pencernaan (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    BALITVET telah berhasil mengisolasi virus orf patogenik dari domba di daerah Cimanggu (isolat B7) dan Cigudeg (isolat Sp 108) (ADJID, 1992). Selanjutnya, ADJID (1993) berhasil menumbuhkan virus-virus ini pada biakan sel lestari Bovine turbinate (BT). Penelitian diteruskan untuk mengevaluasi immunogenitas virus tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa isolat virus orf B7 lebih immunogenik dibandingakan dengan isolat Sp 108 sehingga dapat dijadikan sebagai kandidat vaksin (ADJID, 1994). Otovaksin dapat diproduksi di BALITVET untuk mengendalikan penyakit ini.

    Penanggulangan orf biasanya dengan pencegahan melalui vaksinasi terutama pada daerah endemis dan dilaksanakan secara regular. Pemberian salep pelunak dapat membantu agar kambing tetap dapat makan dan minum. Pakan yang bergizi tinggi sangat diperlukan untuk mempercepat terjadinya kesembuhan. Apabila keropeng terkelupas menjadi luka baru maka perlu diolesi dengan obat lokal, seperti salep penisilin yang dicampur dengan minyak kelapa. Pemberian antibiotika secara suntik dibutuhkan jika suhu tubuh ternak menjadi tinggi. Tindakan ini juga ditujukan untuk menghilangkan infeksi sekunder oleh bakteri. Ternak-ternak di daerah tertular seharusnya divaksinasi tetapi vaksinasi ternak di daerah bebas tidak dianjurkan. Ternak yang akan didatangkan ke daerah belum tertular harus telah

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    85

    divaksinasi orf. Pengobatan hanya ditujukan untuk mencegah infeksi sekunder dengan memberikan salep antibiotika seperti eritromisin dan oksitetrasiklin (ADJID, 1992).

    Kudis menular (skabies)

    Penyakit kudis menular atau skabies adalah penyakit ektoparasit utama yang menyerang bagian kulit ternak ruminansia, terutama kambing dan kelinci bahkan dapat menular ke manusia (zoonosis). Penyakit ini mempunyai sinonim, yaitu budug atau mange. Kejadian kudis pada ternak telah tersebar luas diseluruh Indonesia, terutama pada keadaan kekurangan pakan, dimusim kemarau dan di lingkungan kandang yang kotor. MANURUNG et al. (1986) mengutip data statistik yang menyebutkan bahwa kasus kudis ternak di Indonesia tahun 1983 tercatat 315194 ekor dan yang terbanyak terjadi pada kambing sedangkan SOBARI (1991) melaporkan adanya kematian kambing paket bantuan pemerintah sebanyak 360 ekor dari 396 ekor atau sekitar 91% karena skabies.

    Penyebab penyakit skabies pada kambing adalah tungau Sarcoptes scabiei yang hidup di lorong-lorong lapisan tanduk kulit dan Psoroptes ovis yang hidup di permukaan kulit. MANURUNG et al. (1987) berhasil mengisolasi S. scabiei dan Chorioptes sp. pada kambing yang menderita kudis secara alami. Meskipun angka pesakitannya relatif rendah, tetapi apabila dalam satu kelompok kambing terdapat seekor yang menderita skabies, maka dalam waktu cepat ternak lainnya akan tertular. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar karena dapat menyebabkan kerusakan kulit, kekurusan dan kematian (MANURUNG, 1991).

    Penularan skabies umumnya melalui kontak langsung dengan hewan sakit atau bahan tercemar seperti kandang, tempat pakan, tempat minum dan lain-lain. Kondisi ternak yang kurang baik akan mempercepat terjadinya penularan. Umumnya bagian tubuh yang diserang adalah daerah yang sedikit ditumbuhi rambut seperti moncong, telinga, dada bagian bawah, perut, pangkal ekor, sepanjang punggung, leher dan kaki. Ternak yang terinfestasi tungau akan merasa gatal dan selalu menggaruk-garuk, menggosok-gosokkan atau menggigit-gigit bagian tubuhnya yang teriritasi sehingga terjadi luka-luka dan lecet-lecet tubuh. Dalam keadaan parah maka seluruh tubuh dapat terserang, kulit meradang dan mengeluarkan cairan membentuk kerak pada permukaan kulit.

    Kulit akan mengeras, menebal dan melipat-lipat. Pada tempat-tempat tersebut biasanya

    rambutnya rontok sehingga terjadi kegundulan (DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, 1993).

    Diagnosis penyakit ini berdasarkan gejala klinis dan melakukan pemeriksaan mikroskopik pada kerokan kulit penderita. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara mencampur minyak kelapa dan asuntol (10 : 1) lalu digosokkan 2-3 kali selang waktu 3 hari (MANURUNG et al., 1987). Coumaphos (asuntol) dalam bentuk salep 2% pada vaselin dapat diberikan sekali seminggu selama 3 minggu berturut-turut atau dalam bentuk cairan 0,1% disemprot atau direndam atau dilapkan pada permukaan kulit hingga basah. Benzoas bensilikus 10% dapat dioleskan pada luka (DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, 1993). Ivermectin 0,2 mg/kg bobot badan yang diberikan secara subkutan selama 3 kali berturut-turut selang satu minggu dilaporkan efektif untuk pengobatan kudis (MANURUNG et al., 1986; MANURUNG et al., 1990). Hasil penelitian BALITVET menunjukkan bahwa penggunaan oli bekas (Mesran Super 20-50 SAE yang telah dipakai 1000 km) dan belerang 2,5 % dalam vaselin dapat menyembuhkan kudis pada kambing sedangkan oli murni dan salep daun ketepeng kering 33,3% dilaporkan tidak efektif (MANURUNG et al., 1992).

    Pencegahan skabies umumnya dilakukan dengan sanitasi dan pemberian pakan yang baik. Kambing yang baru didatangkan harus diisolasi (jangan langsung dicampur) selama beberapa minggu sampai diketahui tidak terserang kudis. Hewan tertular diasingkan sampai sembuh. Kandang ternak tercemar dan benda-benda lainnya dibersihkan menggunakan acarisida, sebaiknya tidak digunakan selama beberapa bulan.

    Nematodiasis (Cacingan)

    Nematodiasis adalah penyakit parasit internal atau penyakit cacingan saluran pencernaan pada kambing dan domba yang disebabkan oleh cacing gilig. Frekuensi kejadian pada domba/kambing dapat mencapai 80%, terutama pada daerah dengan curah hujan tinggi. Pada musim hujan frekuensi dan intensitas penyakit ini meningkat. Angka prevalensi di daerah Jawa Barat dilaporkan bervariasi, yaitu 87,5-100% (SOEPENO et al., 1993). BERIAJAYA (1986) berhasil mengisolasi beberapa jenis cacing dari saluran pencernaan domba, yaitu Haemonchus sp, Trichostrongylus sp, Strongyloides, Cooperia, Oesphagostomum, Bunustomum, Trichuris, Capillaria dan telur Moniezia meskpiun dalam jumlah yang rendah. Cacing yang sering dan paling banyak ditemukan adalah Haemonchus sp dan Trichostrongylus sp.

    Pada kambing dan domba, haemonchosis disebabkan oleh spesies Haemonchus contortus.

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    86

    Penyebaran penyakit ini biasanya secara langsung melalui padang penggembalaan, yaitu melalui rumput yang terkontaminasi larva infektif (larva stadium III). Larva ini mempunyai selubung (sheat) dan tahan terhadap kekeringan maupun pembekuan. Jika larva ini tertelan oleh kambing maka larva tersebut akan masuk dalam saluran pencernaan kemudian melepaskan selubungnya dan bermigrasi ke abomasum. Di dalam abomasum, larva stadium III akan mengalami perkembangan lebih lanjut menjadi stadium IV dalam waktu 2 hari pasca infestasi lalu menembus abomasum serta membuat lubang. Stadium ini akan tinggal di lamina propia selaput lendir abomasum dan pada hari ke-4 akan muncul dipermukaan abomasum untuk memulai fase parasitiknya, yaitu menghisap darah induk semang (SUBEKTI et al., 1996).

    Parasit ini mampu mengeluarkan suatu zat anti pembekuan darah ke dalam luka yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, mukosa menjadi sangat teriritasi dan cacing tersebut akan menghisap darah dalam jumlah yang cukup banyak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa domba yang terinfestasi berat oleh Haemonchus contortus akan kehilangan darah 0,6 liter tiap minggunya. Pada kambing dan domba akan mengakibatkan penurunan abosorbsi sari-sari makanan, protein, kalsium dan fosfor (SUBEKTI et al., 1996).

    Kambing dan domba muda sangat peka terhadap cacing ini. Gejala klinis yang dapat terlihat adalah penurunan bobot badan yang sangat drastis, anemia (penurunan kadar haemaglobin), hypoalbuminaemia dan pada kasus yang berat dapat terjadi odem di daerah submandibula/di bawah rahang (Bottle Jaw). Menurut penelitian, Haemonchus sendiri tidak menyebabkan diare, akan tetapi jika bersamaan dengan mengonsumsi hijaun muda ataupun infestasi campuran dengan Trichostrongylus maka diare dapat timbul. Pada kambing yang terinfestasi cacing ini, biasanya menunjukkan reaksi pertahanan tubuh, yaitu Self Cure Reaction atau Self Cure Protection. Keadaan ini dibuktikan dengan adanya penurunan populasi cacing di abomasum pada hari ke-10 sampai ke-14 yang diduga karena adanya kekebalan induk semang. Jumlah cacing yang dapat menimbulkan kematian tergantung berbagai macam faktor, seperti umur induk semang, ukuran dan bobot badan, lama infestasi, status nutrisi dan status hematologi (SUBEKTI et al., 1996). Kematian yang ditimbulkan khususnya pada domba/kambing umur 1-6 bulan dapat mencapai 28% (BALITVET, 1991).

    Pengobatan secara periodik terhadap ternak dewasa dan muda, terutama yang baru disapih dapat dilakukan pada permulaan musim hujan.

    Pengobatan preventif pada ternak yang bunting dan anak yang baru lahir dapat menggunakan garam yang mengandung 10% phenotiazine dalam pakan. BERIAJAYA (1986) melaporkan penggunaan albendazole (Valbazen) 3,8 mg/kg bobot badan dan 1 cc vitamin B komplek yang diberikan secara per oral setiap satu bulan sekali selama 6 bulan efektif untuk mengatasi infestasi cacing nematoda di Cirebon. Levamisole hidroloride (ripercol, citatrin, concurat, decaris) merupakan atelmintika broad spektrum yang sangat cepat diabsorbsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Obat ini disekresikan melalui feses dan air seni. Nevugon 55 mg/kg bobot badan dilaporkan sangat efektif untuk membasmi cacing Haemonchus dan Oestrus ovis. Perbendazole (Helmatac) adalah senyawa yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Obat ini sangat efektif untuk cacing gastrointestinal (larva dan cacing dewasa) terutama pada kambing dan domba. Dosis yang diberikan 20-30 mg.kg bobot badan dan tidak boleh diberikan pada hewan yang bunting (SUBEKTI et al., 1996).

    Saat ini sudah dilaporkan adanya kasus resistensi antelmentik dari golongan benzimidazole terutama ternak pemerintah karena pemberian obat yang intensif (HARYUNINGTYAS et al., 2001). Kasus resistensi antelmintik dapat berpindah dari satu hewan ke hewan lain karena hewan terinfeksi dengan larva infektif yang sudah resisten dan hal ini terjadi karena distribusi ternak yang mengandung cacing yang resisten kepada ternak mitra (BERIAJAYA et al., 2003). Jenis obat cacing golongan levamisole dan ivermectin masih cukup efektif digunakan pada peternakan sudah resisten terhadap benzimidazole (BERIAJAYA dan HUSEIN, 2003).

    Selain itu penggunaan kapang namtofagus sebagai kontrol biologi terhadap larva cacing mempunyai prospek yang baik untuk pencagahan karena penggunaan kapang tersebut dapat mengurangi kontaminasi padang penggembalaan dan selain itu kapang tersebut bersifat broad spectrum (AHMAD, 1997). Dua jenis kapang yang dianggap potensial sebagai kapang nematofagus adalah Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia flagrans. Konidia kapang tersebut dapat dicampur dalam konsentrat dan diberikan peroral selama 2 minggu sehingga telur yang menetas menjadi larva akan mati karena terperangkap (terjerat), hal ini akan mengurangi pencemaran padang penggem-balaan dengan larva infektif.

    BALITVET (1992) merekomendasikan beberapa cara pencegahan penyakit cacing, yaitu (1) jika ternak digembalakan maka dianjurkan untuk diberi obat cacing pada awal musim hujan, puncak musim hujan dan awal musim kemarau

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    87

    terutama ternak muda dan ternak bunting. (2) Apabila tidak digembalakan maka obat cacing diberikan pada ternak yang kondisinya kurang baik, bila perlu diberi antibiotika, vitamin B komplek dan disediakaan air secara ad libitum.

    Toksoplasmosis

    Toxoplasma gondii adalah protozoa intraseluler yang bersifat parasit obligat dan menyerang hewan berdarah panas, burung bahkan manusia (zoonosis). Penyakit yang ditimbulkannya disebut toksoplasmosis. Penelitian tentang toksoplasmosis di Indonesia dimulai pada tahun 1972 oleh HARTONO dan berhasil mengisolasi T. gondii dari kambing dan domba di Rumah Potong Hewan Surabaya dan Malang.

    Dalam siklus hidupnya, parasit ini terdapat di dalam darah (parasitemia) sehingga dapat menyebar ke seluruh organ tubuh (ISKANDAR, 1998). Selama infeksi berlangsung, ternak tidak menunjukkan gejala klinis (asimtomatis). Ada tiga bentuk infektif dari T. gondii, yaitu (1) takhizoit/tropozoit yang terdapat dalam cairan tubuh; (2) bradizoit/sistozoit yang terdapat dalam jaringan seperti limpa, limponodus, hati dan sumsum tulang dan (3) sporozoit yang terdapat dalam ookista (ISKANDAR, 1993). Ookista ini hanya terdapat di dalam saluran intestin kucing

    Bentuk kista jaringan sering ditemukan di otak, otot skelet dan jantung penderita. Kista tersebut dapat bertahan dalam tubuh induk semang yang terinfeksi selama perjalanan penyakitnya/selama hidupnya karena tidak dapat dicapai oleh kekebalan humoral atau seluler. Kambing dapat terinfeksi T. gondii melalui pakan yang tercemar oleh ookista dari feses kucing dan tertelannya induk semang pemindah seperti lipas atau lalat yang telah memakan ookista. Janin dapat tertular melalui plasenta. Sumber-sumber infeksi yang lain dapat ditularkan melalui angin (inhalasi), air liur, ingus, tinja dan air susu dari penderita yang dapat menular lewat selaput mukosa (ISKANDAR, 1999). Manusia dapat tertular apabila memakan daging kambing yang dimasak kurang sempurna. Terdapat hubungan antara orang yang memakan daging kambing dengan prevalensi titer antibodi yang positif. Kejadian ini diduga karena orang-orang tersebut memakan daging kambing yang dimasak setengah matang (sate) sehingga tidak menjamin kematangan daging secara sempurna (ISKANDAR, 1993).

    Menurut ISKANDAR (1999) bahwa kambing dan domba yang terinfeksi akan menunjukkan gejala sub akut sampai dengan kronis. Pada kambing bunting sering terjadi abortus, kelahiran prematur

    dan vaginitis. Janin yang dilahirkan mengalami ensefalitis, odem sub kutan dan kadang-kadang terjadi mumifikasi (janin tidak keluar dan membusuk di dalam rahim). Gejala akut biasanya berupa demam, abortus, hidung mengeluarkan eksudat dan hal ini dapat berakhir dengan kematian (ISKANDAR et al., 1996).

    Diagnosis toksplasmosis dapat dilakukan dengan cara uji hemaglutinasi tidak langsung (IHA) (CROSS et al., 1976). Jika titer antibodi toxoplasma lebih dari 1 : 16 diartikan bahwa ternak menderita toksoplasmosis kronis dan jika titer antibodinya lebih dari 1 : 1000 maka diartikan menderita toxoplasmosis akut. SASMITA et al. (1988) berhasil mendeteksi 33 ekor kambing yang menunjukkan seropositif sedangkan ISKANDAR (1998) mampu mendeteksi 12 ekor kambing terjangkit toksoplamsosis dan 38 sampel lainnya menunjukkan seropositif dengan uji IHA.

    Ternak penderita toxoplasmosis dapat diobati dengan clindamycin 25-50 mg/kg bobot badan per hari. Dosis tersebut dibagi dua, yaitu pagi dan sore serta diberikan secara oral. Pengobatan ini dilakukan sampai 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Preparat sulfidaene dengan dosis 30 mg/kg bobot badan dapat diberikan per oral setiap 12 jam. Preparat ini diberikan bersama-sama dengan pyrimethamine 0,5 mg/kg bobot badan. Untuk mengurangi efek samping yang timbul maka perlu ditambahkan folinic acid 5 mg/hari pada waktu memberi pakan (GANDAHUSADA, 1992).

    Myasis (Belatungan)

    Myasis atau belatungan adalah infestasi larva lalat ke dalam jaringan tubuh hewan hidup. Penyakit ini dapat menyerang semua hewan termasuk unggas dan manusia. Kasus myasis sering ditemukan pada bagian sekitar mata, mulut, vagina, tanduk yang dipotong, luka kastrasi dan pusar hewan yang baru lahir. WARDHANA et al. (2003) melaporkan bahwa Makasar dan Sumba Timur sebagai daerah endemik penyakit ini. Kejadian myasis juga dilaporkan di Kediri dan Yogyakarta.

    Lalat Chrysomya bezziana adalah agen primer penyebab myasis dan bersifat parasit obligat. Lalat ini berwarna hijau kebiruan dan tersebar luas di Afrika, subkontinen India, Papua New Guinea, Asia Tenggara termasuk hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Lalat C. bezziana dilaporkan melimpah pada musim kemarau, terbukti dengan adanya kasus myasis yang berhasil dijumpai selama survei di lapang (WARDHANA dan SUKARSIH, 2004).

    Kejadian myasis selalu didahului oleh adanya luka-luka traumatik atau luka pasca melahirkan.

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    88

    Gigitan caplak juga dilaporkan sebagai faktor predisposisi utama penyakit ini (BINA KESEHATAN HEWAN, 1993). Awal infestasi larva terjadi ketika lalat betina meletakkan telurnya pada daerah kulit yang terluka. Telur akan menetas menjadi larva, selanjutnya larva tersebut bergerak lebih dalam menuju ke jaringan otot sehingga menyebabkan peradangan dan daerah luka semakin lebar. Kondisi ini mengakibatkan tubuh ternak menjadi lemah, nafsu makan menurun, demam serta diikuti penurunan produksi susu dan bobot badan bahkan dapat terjadi anemia (SUKARSIH et al., 1999). Bau yang busuk dari luka tersebut mengundang lalat sekunder (C. rufifacies, C. megachepala, Sarcophaga sp) dan lalat tersier (Musca domestica, Fannia anstralis) ikut meletakkan telurnya diluka tersebut. Adanya infeksi sekunder dapat menyebabkan myasis semakin parah dan berakhir dengan kematian.

    Pengobatan myasis dapat dilakukan dengan cara perendaman (dipping) rutin dua kali seminggu dengan mecampur 6 liter Ecoflee dengan 3 m3 air. Larutan ini dapat digunakan selama 1,5 tahun dan dilaporkan cukup efektif untuk pengendalian penyakit myiasis. Berbagai preparat telah dicoba untuk mengobati ternak yang menderita myasis yaitu asuntol, lezinon, rifcord 505 dan campuran kapur, bensin serta vaselin. Ramuan yang dilaporkan cukup efektif untuk pengobatan myiasis di Makasar, yaitu campuran dari 50 gr Iodium, 200 ml alkohol 75% dan 5 ml Ecoflee yang selanjutnya ditambah air hingga 1 liter. Ramuan ini langsung dioleskan pada luka yang mengandung larva sehingga larva keluar dan luka menjadi mengecil. Pengobatan ini dilakukan dua kali dalam seminggu dan digunakan hingga sekarang (WARDHANA et al., 2003).

    Pencegahan yang dapat dilakukan adalah mengobati secara cepat luka baru dengan metilen biru atau yodium. Perangkap lem dengan umpan hati segar dapat dipasang untuk mengurangi populasi lalat ini. Perangkap dipasang di daerah semak-semak, padang penggembalaan, kebun pisang atau daerah yang banyak ditanami pepohonan karena lalat ini tidak dapat dijumpai di kandang (WARDHANA et al., 2004). Teknologi pengendalian myasis telah dikembangkan di BALITVET dan telah dihasilkan pemikat yang efektif untuk menangkap lalat C. bezziana di lapang (URECH et al., 2002). Saat ini sedang berlangsung beberapa penelitian untuk mencari obat-obat alternatif myasis yang berbasis pada insektisida botanis (Mindi, Mimba dan Srikaya) dan kontrol biologis (Bacillus thuringiensis).

    Foot Root (Kaki membusuk)

    Penyakit foot root atau kaki membusuk atau borok ceracak tergolong penyakit bakterial dan disebabkan oleh Bacteroides (Fusobacterium) nodosus. Kondisi kandang yang basah dan kotor juga sering dikaitkan dengan kejadian penyakit ini. Kaki ternak yang luka karena jatuh pada lantai kandang yang licin dan basah menjadi pintu masuk bakteri tersebut. Kaki akan mengalami peradangan dan akhirnya membusuk (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Penanganan penyakit ini harus dilakukan dengan teliti, yaitu kaki yang terinfekasi dibersihkan dengan air. Kulit yang telah mati dikelupas dan dibersihkan dengan rifanol atau metilen biru. Secara tradisional dapat dilakukan dengan cara menggunakan kapur barus dan minyak tanah atau air tembakau. Untuk menghindari lalat, dapat diberikan salep asuntol atau gusanex. Pemberian suntikan antibiotika dapat dilakukan selama 3-5 hari. Ternak penderita sebaiknya dipindahkan ke tempat yang kering (ANONIMUS, 2004).

    Penyakit foot root dapat dicegah dengan selalu memperhatikan kondisi kandang. Ternak diusahakan selalu berada di lantai yang kering dan dilakukan pemotongan kuku. Lumpur dan kotoran sebagai pemicu penyakit ini, selalu dibersihkan agar tidak terselip diantara kuku (ANONIMUS, 2004).

    PENYAKIT-PENYAKIT NON INFEKSIUS

    Penyakit-penyakit non infeksius yang penting terutama fotosensitisasi, perut kembung (bloat atau timpani), keracunan sianida, goiter, diare pada anak kambing, penyakit kekurangan/defisiensi mineral.

    Fotosensitisasi

    Fotosensitisasi atau eksim kulit adalah penyakit kulit akibat memakan rumput Brachiara sp. yang ditumbuhi jamur Pithomyces chartarum. Jamur ini dapat tumbuh subur pada rumput Brachiara sp. Rumput tersebut dilaporkan mempunyai keistimewaan, yaitu mampu tumbuh dengan baik di daerah teduh dan sepanjang aliran sungai sehingga sering digunakan untuk persediaan pakan ternak dan pencegah erosi. Kasus fotosensitisasi pada ternak setelah makan Lantana sp. atau Brachiara sp. telah dilaporkan dibeberapa tempat di Indonesia (RONOHARDJO, 1981). Fotosensitisasi sering juga dikaitkan dengan adanya kerusakan hati dan terdapatnya spora yang serupa dengan Pithomyces

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    89

    chartarum pada Brachiara sp. yang dicerna oleh ternak (MURDIATI et al., 1984).

    Proses terjadinya fotosensitisasi diawali ketika bahan yang bersifat fotodinamik beredar di permukaan dan terkena sinar matahari (sinar ultraviolet/UV), terutama sekitar mata, telinga, vulva dan bagian dalam paha serta daerah-daerah yang tidak terlindungi oleh rambut. Bahan fotodinamik tersebut menyerap sinar energi dari sinar UV kemudian melewati komponen-komponen dari sel sekitarnya. Akibatnya sel menjadi pecah dan akhirnya menjadi dermatitis. Pada kasus yang serius dapat terbentuk keropeng-keropeng yang kadang-kadang mengelupas (TOMASZEWZSKA et al., 1993).

    Bahan fotodinamik yang paling umum adalah phylloerythrin, yaitu suatu metabolisme normal di dalam tubuh ternak sebagai hasil fermentasi klorofil secara anaerob di dalam rumen. Pada ternak yang sehat, phylloerythrin segera diekresikan dari tubuh melalui saluran empedu, tetapi racun sporidesmin yang dihasilkan oleh Pitomyces chartarum menyebabkan kerusakan hati dan penyempitan saluran empedu sehingga phylloerythrin tidak dapat dieksresikan. Bahan tersebut akan masuk ke dalam peredaran darah dan mempengaruhi metabolisme sel (TOMASZEWZSKA et al., 1993).

    Bahan-bahan lain yang diduga dapat menimbulkan fotosensitisasi dengan kerusakan hati antara lain tanaman yang mengandung alkaloid pyrrolizidine seperti Canecio sp., Heliotropium sp., Crotalaria sp., dan Eupatorium sp. Bahan fotodinamik lainnya adalah hypericin dan fotopyrin yang dilaporkan dapat menyebabkan fotosensitisasi secara langsung tanpa didahului oleh kerusakan hati. Pada kejadian ini, bahan tersebut bereaksi langsung dengan sinar UV pada kulit dan menyebabkan kerusakan sel-sel kulit dan jaringan (TOMASZEWZSKA et al., 1993).

    Penyakit perut kembung (timpani atau bloat)

    Perut kembung atau timpani adalah suatu keadaan mengembangnya rumen akibat terisi oleh gas yang berlebihan. Hal ini terjadi ketika esofagus mengalami sumbatan sehingga menghambat pengeluaran gas. Ada kalanya juga terjadi perut kembung berbuih sebagai akibat fermentasi yang berjalan tidak normal. Produksi gas yang cepat (CO2 dan CH4) sebagai hasil akhir fermentasi akan memicu terjadinya kembung. Kondisi ini dikaitkan dengan tingginya konsentrasi protein terlarut yang terdapat di dalam rumen. Gas yang terbentuk akan menetap di rumen dalam bentuk gelembung-gelembung kecil yang tidak merangsang terjadinya

    reflek bersendawa sehingga rumen mengembung (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Daun legum yang mengandung kadar air dan protein yang tinggi diduga sebagai penyebab terjadinya kembung. Daun tanaman tersebut menghasilkan asam-asam yang tidak mudah menguap seperti sitrat, malat dan suksinat. Asam-asam ini akan segera menurunkan pH rumen dalam waktu 30-60 menit pasca pemberian daun legum. Data lain menyebutkan beberapa penyebab kembung pada ternak antara lain, makan rumput muda atau tanaman leguminosa (kacang-kacangan), merumput pada lahan yang baru dipupuk, makan buah terlalu banyak, memakan racun dan ubi atau tanaman sejenis yang dapat menahan keluarnya gas dari perut. Kasus perut kembung juga pernah dilaporkan akibat memakan kantung plastik bekas pembungkus garam. Kondisi kandang yang lembab dan basah dapat memicu terjadinya kembung (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Gejala klinis yang terlihat adalah rumen (perut sebelah kiri) mengembung sangat besar. Ternak cenderung menendang dengan kaki belakang. Jika kondisi parah maka ternak akan berbaring dan bernafas dengan cepat. Membesarnya rumen akan meningkatkan tekanan di dalam rongga perut dan rongga dada sehingga menyebabkan kesulitan bernafas yang ditandai dengan pernafasan dada yang cepat dan dangkal. Sebaliknya, paru-paru dan sistem peredaran darah jantung tidak bekerja. Apabila kondisi ini berlanjut maka akan terjadi gangguan peredaran darah dan kematian dalam beberapa menit (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Pengobatan dapat dilakukan dengan cara memberi minyak kelapa kira-kira 1 liter ke dalam rumen dengan selang setiap hari selama 2-3 hari sampai kembung hilang. Bloatinol yang mengandung silika di dalam 1% dimethycone dan 5% minyak kacang dilaporkan cukup efektif untuk mengatasi kembung pada ternak. Pemberian minuman ringan yang mengandung soda (sprite) dapat membantu mengeluarkan gas dalam rumen. Pemakaian trocar yang dimasukkan ke salah satu bagian rumen memiliki resonansi tertinggi untuk menurunkan tekanan dalam rumen merupakan pilihan terakhir karena risiko infeksi yang tinggi. Penanganan alternatif adalah meletak sepotong kayu yang diikatkan pada mulutnya. Hewan akan berusaha untuk menguyah tali/kayu tersebut sehingga akan mendorong keluarnya gas dari dalam rumen (ANONIMUS, 2004).

    Pencegahan terjadinya kembung pada ternak dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain, menjemur rumput di bawah sinar matahari langsung selama 2-3 jam sebelum diberikan pada ternak, selama musim hujan sebaiknya ternak diberi

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    90

    pakan kasar sebelum dilepas di padang penggembalaan yang basah. Jangan membuang plastik pembungkus garam, ikan asin dan sejenis pada tempat sampah. Ternak jangan digembalakan terlalu pagi ketika rumput masih basah dan hindari memberi ternak dengan rumput atau daun-daun muda dan tanaman leguminosa (kacang-kacangan) (ANONIMUS, 2004).

    Keracunan sianida

    Sianida adalah senyawa racun yang dapat mematikan ternak dan manusia. Beberapa sumber sianida telah dilaporkan antara lain racun ikan (KCN dan NaCN/potas), pestisida (HCN, Ca(CN)2), pupuk dan tanaman yang mengandung glukosida sianogenik. Ubi kayu dan sorgum yang ditanam pada akhir musim kering terbukti mempunyai kandungan kadar sianida yang tinggi dengan kadar air yang rendah. Pupuk dengan tingkat nitrogen yang tinggi dapat meningkatkan kandungan sianida di dalam daun. Jenis-jenis tanaman yang mengandung sianida dapat dilihat pada Tabel 1. Keracunan ternak karena sianida sering terjadi di lapang dan sangat merugikan peternak seperti yang terjadi di Lampung dan Bojonegoro (BAHRI et al., 1985; BAHRI, 1987; TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Senyawa sianida dapat masuk ke tubuh melalui tiga cara, yaitu lewat pernafasan, absorbsi kulit dan saluran pencernaan. Apabila sianida terabsorbsi ke dalam tubuh maka akan menghambat pengambilan oksigen sel dengan cara menghalangi enzim sitokrom oksidase, yaitu suatu enzim yang berfungsi untuk transportasi oksigen seluler atau jaringan. Akibat dari keadaan ini, akan menyebabkan pernafasan sel terganggu dan akhirnya terjadi kematian sel. Sianida di dalam tubuh dapat dimetabolisir oleh hati, ginjal dan jaringan tubuh lainnya menjadi senyawa tiosianat yang kurang toksik (OKE, 1973). Metabolisme sianida menjadi tiosianat ini karena adanya enzim sulfurtransferase (rodanase) pada organ-organ tersebut (WESTLEY et al., 1983). Kadar tiosianat akan meningkat dalam waktu lebih dari 20 menit pasca pemberian sianida (BAHRI,1984).

    Umumnya kasus keracunan pada kambing terjadi di dalam rumen. Dalam waktu 15 menit, hampir semua sianida di dalam rumen telah diabsorbsi dan dengan cepat juga sebagian mengalami detoksikasi (BAHRI dan TARMUDJI, 1984). Kematian terjadi karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen. Dosis yang dapat menyebabkan kematian pada kambing kira-kira 2,5 mg/kg bobot badan, tetapi dapat juga bervariasi tergantung pada keadaan dan umur ternak (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Tabel 1. Beberapa jenis tanaman yang mengandung sianida (Ginting et al., 1980)

    Nama latin Nama umum Kuantitas sianida Mikania cordata Cynodon dactylon Panicum maximum Oxalis corniculata Ficus montana Caesalpinia pulcherrima Jussiaca peruviana Ageratum conyzoides Acalypha indica Bothriocola glabra Manihot utilissima, esculenta Cleome rutidosperma Colocasia esculenta Heven brasiliensis Eleusine indica Cassia lechenaultiana Lepistemon binectariferus

    Areu coputeuheur Jukut kakawatan Jukut banggala Calingcing Amis mata Kembang merak Kemabang kayu bagus Babadotan Lelatang Jukut paparean Singkong Namnan Bolang Tangkal karet Jukut jampang katincak Pepedangan letik Akar bulu

    rendah (+) rendah (+) rendah (+) rendah (+)

    sedang (++) sedang (++) sedang (++) sedang (++) sedang (++) sedang (++) tinggi (+++) tinggi (+++) tinggi (+++) tinggi (+++) tinggi (+++) tinggi (+++) tinggi (+++)

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    91

    Gejala klinis keracunan sianida akan muncul

    dalam beberapa menit setelah ternak mengonsumsi pakan yang mengandung sianida berkadar tinggi. Frekuensi pernafasan menjadi lebih cepat dan dalam (dyspnoe), otot-otot menjadi gemetar dan terjadi kegagalan koordinasi otot (limbung/ataksia). Selanjutnya, ternak meronta-ronta, jatuh dengan nafas terengah-engah yang diikuti kekejangan. Pupil mata melebar (dilatasi) dan membran mukosa tampak merah terang oleh karena oksigen di dalam darah tidak dapat dilepaskan. Disamping itu, juga terjadi pengeluaran air liur (salivasi), mulut berbusa dan ternak mengeluarkan feses dan air kemih(BAHRI dan TARMUDJI, 1984; TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Diagnosis keracunan sianida secara pasti hanya dapat dilakukan dengan menganalisa kadar sianidanya dari dalam rumen, darah, hati, ginjal dan organ-organ lainnya, tetapi hal ini sangat sulit dilakukan karena sianida ini sangat tidak stabil. Sebaliknya, kadar tiosianat serum sebagai hasil metabolisme sianida di dalam tubuh cukup stabil (BAHRI, 1983). Kadar tiosianat pada kambing normal dilaporkan sekitar 0,9-10,2 g/ml (BAHRI, 1984).

    Penanganan yang cepat diperlukan pada kasus keracunan akut untuk mencegah kematian. Pengobatan yang umum dilakukan adalah gabungan antara sodium nitrat (Na2NO2) dengan thiosulfat (Na2S2O3). Dosis yang dianjurkan adalah 1 ml larutan 20% Na2NO2 dan 3 ml Na2S2O3 yang diberikan secara intravena dengan bobot badan 45 kg. Alternatif lainnya adalah memberikan 1 gram Na2NO2 dan 2,4 gram Na2S2O3 yang dilarutkan dalam 10 ml air suling dan disuntikan secara intravena. Pemberian hidroksokobalamin (vitamin B12a) dapat juga dilakukan tetapi zat ini mempunyai kelarutan yang rendah dan kurang efektif pada keracunan sianida yang hebat (BAHRI dan TARMUDJI, 1984; TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah menjaga kambing agar tidak memakan daun yang mengandung sianida. Daun ubi kayu atau tanaman sejenis harus dicacah dan dikeringkan dibawah sinar matahari secara langsung untuk menghilangkan sebagian besar sianida yang ada sebelum diberikan ke ternak

    Goiter (gondok)

    Goiter atau gondok adalah kelainan pada ternak pada kelenjar tiroidnya akibat kekurangan yodium. Ternak dewasa sangat jarang mengalami kelainan ini tetapi fetus dan ternak yang masih muda mudah sekali terkena. GINTING (1981) dan BAHRI (1983)

    melaporkan adanya kasus goiter yang menyebabkan kematian pada anak kambing dan domba di daerah Bogor, Ciawi dan Cilebut. Kasus menjadi tinggi pada daerah-daerah yang kekurangan yodium.

    Yodium (I) dibutuhkan untuk sintesa hormon tiroid (Triidothyronine/T3) dan tiroksin (T4) yang berperan dalam mengatur metabolisme tubuh dan sangat penting bagi hewan yang bunting, hewan muda dan yang sedang dalam masa pertumbuhan. Secara normal hormon ini diproduksi oleh kelenjar tiroid dalam jumlah yang cukup sehingga dapat mempertahankan produktivitas dan reproduktivitas ternak. Produksinya akan menurun jika proses biosintesanya terhambat karena kekurangan/ defisiensi yodium (TOMASZEWSKA et al., 1993). Faktor lain penyebab kondisi ini adalah adanya zat gastrogenik (tiosianat) pada pakan yang dikonsumsinya. Kombinasi keduanya akan memicu terjadinya goiter pada ternak (DELANGE et al., 1982). BAHRI et al. (1984) mendeteksi kadar tiosianat yang tinggi di dalam tubuh kambing yang sering mengonsumsi daun ubi kayu. Zat ini mampu menghambat up take yodium oleh kelenjar tiroid. Beberapa tanaman yang mengandung zat anti tiroid dilaporkan oleh GINTING (1981), yaitu kubis, sudan grass dan white clover.

    Untuk mencegah terjadinya goiter khususnya pada daerah-daerah yang kekurangan yodium, dapat dilakukan dengan cara mencampurkan garam beryodium pada pakan ternak. Selain sebagai penambah nafsu makan, pemberian garam beryodium dapat mengatasi gangguan hormon tiroid yang sangat penting untuk metabolisme tubuh.

    Diare pada anak kambing

    Diare adalah gejala abnormalitas sistem pencernaan dan sering terjadi pada anak kambing. Gejala ini tidak hanya menyebabkan kekurangan penyerapan sari-sari makanan, tetapi ternak juga akan mengalami kehilangan cairan dalan jumlah banyak. Diare yang terjadi pada anak kambing (minggu-minggu pertama kelahiran) dapat menyebabkan dehidrasi dan kematian (THOMPSON, 2004).

    Secara garis besar, penyebab diare dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu non ifeksi dan agen infeksi (bakteri, protozoa atau virus). Umumnya kejadian non infeksi dikarenakan pakan pengganti air susu yang berlebihan atau konsentrasi pakan yang tidak tepat, daun-daun dengan kadar protein yang tinggi dan kualitas pakan yang rendah. Pada kejadian infeksi, biasanya disebabkan oleh

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    92

    Escherichia coli, Cryptospridia, Eimerria sp. dan cacing. Colibacillosis (E. coli) biasanya terjadi pada minggu pertama, terutama pada anak kambing yang tidak cukup menerima kolustrum. Cryptosporidiasis dapat menyebabkan diare pada anak kambing umur 2-3 minggu. Beberapa penyebab kasus diare yang menyebutkan bahwa cryptosporidia, E. coli dan virus mampu menyerang secara bersama-sama sehingga menyebabkan diare yang hebat. Pada umur 1 bulan, biasanya diare yang terjadi akibat infeksi Eimerria sp. (koksidiosis) dan infestasi cacing nematoda. Walaupun infeksi bekteri sangat jarang terjadi pada umur 1 bulan, tetapi infeksi Yersinia dapat menyebabkan diare yang berakhir kematian. Yersiniosis sering sekali terjadi dan berhubungan dengan koksidiosis dan infestasi parasit lainnya (THOMPSON, 2004).

    Pencegahan dapat dilakukan dengan cara memisahkan ternak yang diare unntuk menghindari terjadinya kontaminasi lingkungan dengan agen penyakit (bakter, parasit dan virus). Kandang selalu diusahakan dalam keadaan kering dan hangat. Antibiotika tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak kambing karena dapat mematikan bakteri normal yang terdapat di dalam saluran pencernaan. Jika anak kambing dikandangkan maka diusahakan agar kandang selalu bersih, kering dan hangat dengan fentilasi udara yang baik. Pakan disediakan dalam kontainer yang tidak terkontaminasi oleh feses. Anak-anak kambing harus dijaga agar tidak masuk ke dalam lingkungan yang terkontaminan oleh Cryptosporidia dan Eimerria sp. Stadium infektif Cryptosporidia sangat resisten, tetapi dapat dirusak dengan 10% formalin atau 5-10% ammonia (THOMPSON, 2004).

    Kekurangan/defisiensi mineral

    Mineral sangat di butuhkan untuk pertumbuhan tulang, gigi dan jaringan termasuk berguna sebagai bahan sintesa enzim, hormon dan substansi lain yang diperlukan untuk proses metabolisme. Kebutuhan mineral ruminansia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur makro (Ca, P, Na, Cl, K, Mg dan S) dan unsur mikro (Fe, I, Cu, Mo, Zn, Mu, Cr, F, Ni, Co dan Se) (Tomaszewska ET AL., 1993).

    Kalsium (Ca) sangat mutlak diperlukan ternak dan merupakan bahan penyusun tulang dan gigi. Ternak muda dan yang sedang menyusui membutuhkan kalsium lebih banyak. Apabila kekurangan, dapat mengakibatkan kekerdilan dan penurunan produksi susu pada induk yang sedang laktasi. Fosfor (P) dibutuhkan untuk jaringan otot dan tulang. Kekurangan fosfor akan mengakibatkan

    pertumbuhan dan perkembangan terhambat serta menekan nafsu makan. Daun legum semak dan pohon dilaporkan banyak mengandung fosfor lebih banyak daripada rumput. Oleh karena itu, pemberian pakan campuran rumput-rumputan dan kacang-kacangan akan mengurangi kemungkinan kekurangan fosfor (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Sodium (Na) dan klorida (Cl) dapat disediakan berupa garam dapur. Tingkah laku ternak yang makan tanah dan bahan sisa lain dapat diindikasikan bahwa ternak tersebut kekurangan garam. Magnesium (Mg) diperlukan untuk bekerjanya sistem saraf dan terlibat dalam reaksi enzim. Defisiensi Mg dapat menyebabkan ternak mudah terkejut dan pengapuran pada jaringan lemak. Sulfur (S) sangat penting dan berperan sebagai penyusun asam amino metionin dan sistein. Asam amino ini sangat berguna bagi ternak. Sulfur juga penting untuk sintesa protein mikroba sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan oleh mikroba rumen. Mineral besi (Fe) merupakan unsur yang penting untuk penyusunan haemoglobin dan enzim yang terlibat dalam proses oksidasi-fosforilasi dalam menghasilkan energi. Defisiensi besi sangat jarang terjadi karena daur ulang unsur ini di dalam tubuh sangat efesien (Tomaszewska et al., 1993).

    Cuprum (Cu) dan Molybdenum (Mo) biasanya berinteraksi dengan penggunaan sulfur pada ternak. Seng sangat penting untuk memproduksi lebih dari 200 enzim yang terlibat dalam proses metabolisme. Kekurangan seng dapat menjurus ke arah

    parakeratosis, terhambatnya pertumbuhan dan mengurangi proses spermatogenesis. Unsur Mangan juga diperlukan untuk reaksi enzim. Gejala kekurangan mineral ini adalah keengganan untuk berjalan, kelainan pada kaki depan dan menurunkan efisiensi reproduksi (TOMASZEWSKA et al., 1993).Chromium (Cr), flourida (F), nikel (Ni), cobalt (Co) dan selenium (Se) merupakan unsur yang penting untuk kambing dan domba. Chromium terlibat dalam proses pemanfaatan glukosa sedangkan Ni diperlukan oleh mikroba rumen. Cobalt merupakan komponen penyusun vitamin B12. Selenium penting sebagai elemen pengganti sulfur dan dibutuhkan untuk proses peroksidasi (TOMASZEWSKA et al., 1993).

    Kedua unsur makro dan mikro dapat diperoleh dari sumber bahan makanan. Kandungan mineral pada jaringan tanaman terkait dengan kandungan mineral dan pH tanah. Hasil penelitian yang dilakukan pada peternakan di Jawa Barat menunjukkan bahwa pemberian mineral tambahan yang cukup memang dibutuhkan oleh kambing dan domba di pedesaan (PRABOWO et al., 1984).

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    93

    KESIMPULAN

    Berdasarkan uraian-uraian tersebut, sistem manajemen kesehatan ternak kambing merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem usaha agribisnis ternak kambing secara kesinambungan. Tahap pemilihan lokasi peternakan merupakan tahap awal yang menentukan apakah lokasi tersebut aman dari kemungkinan munculnya wabah penyakit tertentu, sedangkan tahap persiapan dan pengadaan ternak merupakan tahap berikutnya yang menentukan bahwa ternak yang akan dipelihara dalam keadaan sehat. Tahap adaptasi merupakan karantina untuk menjamin bahwa ternak kambing yang akan dipelihara lebih lanjut telah benar-benar aman dari penyakit yang kemungkinan terbawa dari daerah asal.

    Tahap pemeliharaan sendiri sangat menentukan produktivitas ternak berkaitan dengan gangguan kesehatan. Oleh karena itu pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit-penyakit ternak tertentu harus selalu mendapat perhatian terutama penyakit skabies dan cacingan untuk golongan penyakit parasiter dengan menerapkan kontrol penyakit secara berkesinambungan.

    Penyakit viral yang penting untuk dicegah dan ditanggulangi adalah penyakit orf (Dakangan), sedangkan penyakit bakterial yang penting untuk diperhatikan, yaitu anthrax, pink eye, pneumonia dan foot root. Penyakit lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah penyakit diare pada anak kambing, penyakit kembung rumen, dan keracunan sianida dari tanaman. Untuk meningkatkan ketahanan tubuh ternak terhadap gangguan/serangan penyakit hendaknya ternak diberi pakan yang bergizi dengan jumlah yang cukup (tidak kekurangan pakan) serta perkandangan yang baik (kandang panggung akan lebih baik) dan sanitasi yang baik.

    DAFTAR PUSTAKA

    ANONIMUS. 2004. Pegangan Peserta Latihan Paravet. Daftar Tindakan Terapi Yang Dapat Dilaksanakan Untuk Menyembuhkan Gejala PenyakitTertentu.

    ACHDIYATI, J., HARDJOUTOMO, S., SUPAR dan M. POELOENGAN. 1983. Isolasi dan identifikasi bakteria dari kasus pink eye pada ruminansia besar asal Jawa Tengah. Penyakit Hewan. 15 (26):

    ADJID, R. M. A dan POERNOMO, R. 1987. Uji agar gel presipitasi (AGP) untuk mendeteksi virus penyakit orf. Penyakit Hewan. 19 (34): 84-87.

    ADJID, R. M. A dan H. MANGUNWIRYO. 1991. Kejadian penyakit kontagiosa (ORF) pada ternak kambing dan domba di Jawa Barat. Penyakit Hewan. 23 (41): 23-28.

    ADJID, R. M. A. 1992. Studi penyakit orf (dakangan) di Indonesia : Isolasi virus penyebab pada biakan sel domba. Penyakit Hewan. 24 (44): 85-92.

    ADJID, R. M. A dan A. SUDIBYO. 1992. Identifikasi bakteri yang berperan sebagai infeksi sekunder pada kejadian penyakit Orf (ektima kontagiosa). Penyakit Hewan. 24 (44): 71-75.

    ADJID, R. M.A. 1993. Upaya penumbuhan virus orf isolat B7 dan SP 108 pada beberapa jenis biakan sel lestari. Penyakit Hewan. 35 (46): 94-98.

    ADJID, R. M. A. 1993. Penyakit orf pada ternak kambing dan domba serta cara pengendaliannya di Indonesia. Wartazoa. 1 (3): 33-36.

    ADJID, R. M. A. 1994. Evaluation on immunogenicity of contagious ecthyma (ORF) virus B7 and SP 108 isolates derived from cell cultures in experimental sheep: antibody (Ig G). Responses and protection to homologous viruses. Penyakit Hewan Edisi khusus. 26 (48): 15-20.

    AHMAD, R.Z. 1997. Potensi kapang sebagai pengendali biologi terhadap cacing. Majalah Parasitologi Indonesia. 10 (2):104-113.

    BALITVET. 1991. Informasi teknis penyakit hewan. 19-24.

    BAHRI, S. 1983. Kematian anak domba di daerah gondok endemik dan hubungannya dengan kadar Thyroxin (T4) pada induknya. Penyakit Hewan. 15 (26): 117-120.

    BAHRI, S. 1984. Kadar tiosianat pada kambing dan kemungkinannya untuk menduga keracunan sianida. Penyakit Hewan. 16 (28): 207-211.

    BAHRI, S dan TARMUDJI. 1984. Keracunan sianida pada ternak dan cara mengatasinya. Wartazoa. 1 (3): 33-36.

    BAHRI, S., D. R.STOLTZ dan REX MARSHALL. 1985. Keracunan sianida pada ternak di Bojonegoro akibat memakan tanaman sorgum (Sorghum spp.). Penyakit Hewan. 27 (29): 292-296.

    BAHRI, S., H. HAMID dan TARMUDJI. 1987. Goiter pada kambing di Bogor-Jawa Barat. Penyakit Hewan. 19 (34): 91-93.

    BERIAJAYA. 1986. Pengaruh albendazole terhadap infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba lokal di daerah Cirebon. Penyakit Hewan. 18 (31): 54-57.

    BERIAJAYA, D. HARYUNINGTYAS, A.HUSEIN, G.M.HOOD dan G.D.GRAY. 2003. Transmission of anthelmintic resistance in sheep in West Java, Indonesia. Poster in the 19th International Conference of the World Association for the Advandcement of Veterinary Parasitology. August 10-14, New Orleans.

    BERIAJAYA dan A. HUSEIN. 2003. Efikasi pemberian antelmintik golongan levamisole dan ivermectin pada peternakan domba yang terinfeksi cacing yang resisten terhadap antelmintik golongan

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    94

    benzimidazole. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Bogor.

    BINA KESEHATAN HEWAN. 1993. Manajemen Penyakit Hewan, Seri: Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid 3-4-5. Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian. Jakarta.

    CROSS, J. H., VAN PEENEN, P. F. D., NORA, H. M and KOESHARJONO. 1976. Toxoplasma gondii hemaglutinating antibodi titer in Indonesia goat. Trop. Geogr. Med. 28: 355-358.

    DELANGE, F., P. BOURDOUX, E. COLINET, P. COURTOIS, P. HENNART, R. LAGASSE, M. MAFUTA, P. SEGHERS, C. THILLY, J. RANDERPAS, Y. YUNGA and A. M. ERMANS. 1982. Nutritional factors involved in the goitrogenic action of cassava. Dalam Cassava Toxicity and Thyroid. Research and Public Health Issues. IDRC. 17-26.

    GANDAHUSADA. 1992. DIAGNOSIS dan PENATALAKSANAAN TOXOPLASMOSIS. MAJ. PARASITOL. INDON. 5 (1): 7-13.

    GINTING, N., INDRANINGSIH dan Z. ARIFIN. 1980. A survey the nitrate and cyanogenic of certan Bogor West Java plant. Bull. L. P. P. H. 12 (20): 21-49.

    GINTING, N. 1981. Beberapa kasus colloid goitre (gondok) pada kambing. Bull. L.P.P.H. 13 (22): 46-52.

    HARDJOUTOMO, S dan POERNOMO, S. 1976. Reaksi presipitas metode Ascoli disederhanakan untuk mendiagnosa anthrax. Bull. L.P.P.H. 8 (11-12): 15-23.

    HARDJOUTOMO, S. 1986. Pengendalian penyakit anthraks. Seri pengembangan No. 6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

    HARDJOUTOMO, S. P. RONOHARDJO dan KOKO BARKAH. 1990. Kasus anthrax di Jawa Tengah 1990. Penyakit Hewan. 22 (39): 32-35.

    HARDJOUTOMO, S., M. B. POERWADIKARTA , B. E. PATTEN and K. BARAKAH. 1993. The applications of ELISA to monitos the vaccinal response anthrax vaccinated ruminants. Penyakit Hewan Edisi khusus. 25 (46A): 7-10.

    HARDJOUTOMO, S dan M. B. POERWADIKARTA. 1996. Kajian retrospektif anthraks di daerah endemik menggunakan uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). JITV. 2 (2): 127-131.

    HARYUNINGTYAS, D., BERIAJAYA dan G.D. GRAY. 2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Puslitbang Peternakan, Bogor, 17-18 September 2001.

    ISKANDAR, T. 1989. Penelitian penyakit (tinjauan patologi) pada kambing dan domba di rumah potong

    hewan, Klender, Tanah Abang dan Bogor. Prossiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Jilid 2: 135-139.

    ISKANDAR, T. 1993. Isolasi Toxoplasma gondii dari kambing peranakan ettawa (PE) yang dipotong di RPH Surabaya dengan mengggunakan ekstrak diagfragma yang disuntikkan ke mencit (Mus Musculus albinus). Penyakit Hewan. 25 (46): 103-106.

    ISKANDAR, T., S. PARTOUTOMO, BERIAJAYA dan H. W. PRATOMO. 1996. Studi toxoplasma pada domba dan kambing di RPH di Jakarta. Prossiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. BALITVET Bogor: 205-208.

    ISKANDAR, T. 1998. Pengisolasian toxoplasma gondii dari otot diafragma seekor domba yang mengandung titer antibodi tinggi dan tanah-tinja dari seekor kucing. JITV. 3 (2): 111-116.

    ISKANDAR, T. 1999. Tinjauan tentang toksoplasmosis pada hewan dan manusia. Wartazoa. 8 (2): 58-63.

    MANURUNG, J., BERIAJAYA., S, PARTOUTOMO dan P, STEVENSON. 1986. Pengobatan kudis kambing yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei dengan ivermectin dan asuntol. Penyakit Hewan. 19 (31): 58-62.

    MANURUNG, J., BERIAJAYA dan MALCOLM KNOX. 1987. Pengamatan pendahuluan penyakit kudis pada kambing di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Penyakit Hewan. 19 (34): 78-81.

    MANURUNG, J., P. STEVENSON., BERIAJAYA and M. R. KNOX. 1990. Use of ivermectin to control Sarcoptic mange in goats in Indonesia. Trop. Anim. Heth. Prod. 22: 206 212.

    MANURUNG, J. 1991. Pengobatan kudis (Sarcoptes scabiei) pada kambing dengan oli dan belerang serta campurannya. Penyakit Hewan. 23 (41): 45 49.

    MANURUNG, J., T. B. MURDIATI dan T. ISKANDAR. 1992. Pengobatan kudis pada kambing dengan oli, vaselin, belerang dan daun ketepeng (Cassia alata L). Penyakit Hewan. 24 (43): 2731.

    MURDIATI, T. B., HELMI, H., WILSON, A. J. and ZAHARI, P. 1984. Studi pendahuluan kasus keracunan Brachiaria species. Proseding Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil, PUSLITBANGNAK. Bogor. Indonesia : 237-240.

    NOOR, S. M., DARMINTO dan S. HARDJOUTOMO. 2001. Kasus anthrax pada manusia dan hewan di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa. 11 (2): 8-14.

    OKE, O. L. 1973. The mode of cyanide detoxication Dalam Chronic cassava toxicity. Nestle, B and R. Mc Intyre (eds). IDRC-OIOe. 97-104.

    PRABOWO, A., MATHIUS, I. W., VAN EYS, J. E., RANGKUTI, M. dan JOHNSON, W. L. 1984. Konsentrasi mineral rumput lapangan yang diberikan kepada domba dan kambing di Ciburuy,

  • Lokakarya Nasional Kambing Potong

    95

    Bogor in Sheep and Goats in Indonesia. Proceedings of the Scientitic Meeting on Small Ruminant Research. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor: 55-58.

    POERNOMO, S., S. HARDJOUTOMO dan SUTARMA. 1982. Reaksi presipitasi metode Ascoli disederhanakan untuk mendiagnosa anthrax II. Pembuatan serum kebal Ascoli pada kelinci. Penyakit Hewan. 14 (23): 1-4.

    POERWADIKARTA, M. B., S. HARDJOUTOMO dan KOKO BARKAH. 1993. Sensitivity of local isolates of Bacillus anthracis againts several antibiotics. Penyakit Hewan. 25 (46): 133-136.

    RANOHARDJO, P. 1981. Kasus dermatitis simetrika pada domba ekor gemuk di Kabupaten Lombok Tengah. Bull. L.P.P.H. 21: 1-4.

    RESSANG. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

    SASMITA, R., ERNAWATI, R dan M. SAMSUDDIN. 1988. Insiden toxoplasmosis pada babi dan kambing di rumah potong Surabaya. J. Parasitol Indon. 2: 71-75.

    SENDOW I., SYAFRIATI, T., WIEDOSARI, E dan SELLECK, P. 2002. Infeksi virus Parainfluenza tipe 3 pada kasus pneumonia kambing dan domba. JITV. 7 (1):62-68.

    SOBARI. 1992. Skabies pencegal utama paket bantuan kambing. Bull. Vet. Lab. Jakarta. 8: 1 7.

    SOEPENO, ARIMIADI, S., B, SETIADI dan J. MANURUNG. 1993. Sistem usaha tani ternak di daerah padat penduduk (Jawa Barat). Prosiding pengolahan dan komunikasi hasil-hasil penelitian di Pedesaan Ciawi 27-29 Januari. Balai Penelitian Ternak-PUSLITBANGNAK. 118-127.

    SOERIPTO dan POERWADIKARTA, M. B. 1990. Isolation of Mycoplasma sp from keratoconjungtivitis of goats. Penyakit Hewan. 22 (4): 40-43.

    SOERIPTO. POELOENGAN, M., NOOR, S. M., CHOTIAH, S dan KUSMIYATI. 2001. Pneumonia pada kambing dan domba. Prossiding Seminar Nasional

    Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor, 17-18 September 2001: 520-523.

    SUBEKTI, S., S. MUMPUNI., S. KOESDARTO dan H. PUSPITAWATI. 1996. Ilmu Penyakit Nematoda. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

    SUDANA, I. G. dan SYARWANI, I. 1986. Pengamatan perkembangan peternakan kambing di desa Salam, Balaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Dit. Kes. Wan. Dit. Jend. Nak.

    SUKARSIH, S. PARTOUTOMO, E. SATRIA, C. H. EISEMANN dan P. WILADSEN. 1999. Pengembangan vaksin myasis : deteksi in vitro respon kekebalan protektif antigen protein peritrophic membrane, pelet dan supernatan larva L1 lalat Chrysomya bezziana pada domba. JITV. 4 (3) : 202 - 208

    THOMSON, K. 2004. Goat Health And Management. Boer Briefs: 1-2.

    TOMASZEWSKA, M. W., I. M. MASTIKA., A. DJAJANEGARA., S. GARDINER dan T. R. WIRADARYA. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

    URECH, R., GREEN, P. E., BROWN, G.W., SUKARSIH, WARDHANA, A. H., TOZER, R.S. and SPRADBERY, J.P. 2001. Improvement to screwworm fly surveillance traps. Report to AQIS. DPI Queensland.

    WARDHANA, A. H., S. MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003. Koleksi dan kejadian myasis yang disebabkan oleh Old World Screwworm Fly, Chrysomya bezziana di daerah endemis di Indonesia. Prossiding Seminar Nasional Teknologi dan Veteriner.

    WARDHANA, A. H dan SUKARSIH. 2004. Penggunaan swormlure-2 (SL-2) dan hati sapi segar sebagai pemikat lalat screwworm, Chrysomya bezziana. Prossiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. In press.

    WESTLEY, J., H. ADLER., L. WESTLEY and C. NISHIDA. 1983. The Sulfurtransferases. Fund. Appl. Toxicol. 3: 377-382.