Upload
others
View
37
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM
DI INDONESIA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Mendapat Gelar Magister Hukum Islam
dalam Bidang Hukum Keluarga
Jurusan: Hukum Keluarga
Oleh:
M. GUNTUR AGENG PRAYOGI NPM. 1303162
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO LAMPUNG 1439 H / 2018 M
KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN
SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM KEWARISAN ISLAM
DI INDONESIA
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mendapat Gelar Magister Syariah dalam
Bidang Hukum Keluarga
Program Studi: Hukum Keluarga
Pembimbing I : Prof. DR. H. M. Damrah Khair, MA.
Pembimbing II : Husnul Fatarib, MA., Ph.D.
Oleh:
M. GUNTUR AGENG PRAYOGI NPM. 1303162
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO LAMPUNG 1439 H / 2018 M
ABSTRAK
Al-Qur’an merupakan acuan pertama hukum dan penentuan pembagian waris.
Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang ditetapkan oleh Sunnah Nabi atau dengan
ijtihad para ulama. Namun perbedaan pemahaman dan aplikasi mengantarkan hukum waris
bersifat legal formalis dan menyebabkan fragmentasi aliran pemikiran yang berujung
dengan kelahiran mazhab-mazhab. Penyebab utama timbulnya beragam interpretasi hukum
kewarisan adalah: Pertama, metode dan pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam
melakukan ijtihad berbeda. Kedua, perbedaan kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama
melakukan ijtihad.
Kalalah merupakan kasus yang terjadi polemik tersendiri di samping kasus
pembagian waris 2:1 karena Nabi SAW pun belum menjelaskannya secara detail kepada
para sahabat. Kasus kalalah ini memang cukup rumit sehingga mengakibatkan terjadinya
perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat kalalah tersebut. Berawal dari
permasalahan ini, penulis ingin mengangkat judul tesis untuk membahas mengenai kalalah
menurut ulama salaf (Imam Syafi’i) dan ulama khalaf (khalaf) serta imlikasinya terhadap
hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder sebagai bahan pokok, maka
penelitian penulis ini merupakan penelitian pustaka (library research). Yang mana, data ini
terbagi menjadi 3, yaitu bahan hukum primer (al-Qur’an dan Tafsirnya, Kitab-kitab Hadis,
buku-buku karya Imam Syafi’i dan Hazairin, dan atau buku-buku yang memuat pendapat
Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kewarisan/kalalah), sekunder (buku fiqh penunjang
tentang ilmu waris) dan tersier (Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Arab, dan
Ensiklopedi Hukum Islam).
Hasil penelitian bahwa kalalah menunjuk kepada ahli waris, selain kedua ibu bapak
dan anak. Dalam hal ini, dapat dipahami, ahli waris terdekat selain ibu bapak (orang tua)
dan anak, adalah garis ke atas dan ke samping, yaitu kakek dan saudara. Oleh karena ini,
mengenai kalalah ini merupakan pembahasan mengenai kemungkinan ahli waris,
kedudukan dan bagian ahli waris antara saudara, kakek, dan atau saudara bersama kakek.
Dan berikut merupakan salah satu bagian kemungkinan dalam kalalah, yaitu Imam Syafi'i
berpendapat bahwa ayah menghalangi kakek, dan kakek menggantikan ayah, sehingga ayah
dan kakek menghalangi saudara. Sedangkan menurut Hazairin kakek hanya diperbolehkan
tampil (mewaris) jika tidak ada lagi keturunan, orang tua, dan tidak ada lagi saudara. Begitu
pula jika terdapat keturunan yang lebih jauh dari anak, keturunan saudara (mawali bagi
mendiang saudara yang bersangkutan, yaitu yang menjadi penghubung bagi mereka) kakek
ataupun nenek tidak bisa mewaris, sebab berbenturan dengan perumusan surat al-Nisa': 33,
yaitu tidak boleh menjadi mawali bagi orang tua (ayah atau ibu).
Permasalahan kalalah tidak tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),
namun penyelesaiannya mempunyai tempat dalam KHI pada pasal 229, yaitu “Hakim
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan”, sehingga dapat diterapkan penyelesaiannya pada
pendapat imam Syafi'i.
THE KALALAH ACCORDING TO IMAM SHAFI'I AND HAZAIRIN
AS WELL AS THEIR IMPLICATIONS FOR ISLAMIC HEREDITARY LAW IN
INDONESIA
By M. Guntur Ageng Prayogi
ABSTRACT
The holy Qur'an is the first reference of the law and the determination of the
distribution of inheritance. Little of the hereditary laws is established by the Sunnah of the
Prophet or with the ijtihad of the ulamas. However, the differences in understanding and
application lead the hereditary law to be legal formalists and to cause fragmentation of
schools of thought which culminate in the birth of Islamic schools of thought. The main
causes of the emergence of various interpretations of heredity law are: First, the methods
and approaches employed by the ulama in conducting ijtihad are different. Secondly, the
differences of community conditions and the timing in conducting of ijtihad.
Kalalah constitutes a case of a polemic occurring in addition to the case of 2: 1
inheritance distribution because the Prophet Saw did not explain it thoroughly to the
friends. The case of Kalalah is indeed quite complicated so that resulting the differences in
interpreting against the verse of kalalah. Arising from this problem, the author intended to
raise a thesis to discuss the kalalah according to salaf ulama (Imam Shafi'i) and khalaf
ulama (Hazairin) as well as their implications for Islamic hereditary law in Indonesia.
In this study, the authors use secondary data as the main ingredient. Therefore, this
research is called a library research in which, the data is divided into three parts, namely the
primary law (Qur'an and the interpretation, Books of Hadith, books of Imam Syafi'i and
Hazairin, and/or books that contain the opinion of Imam Shafi'i and Hazairin about
inheritance / kalalah), secondary (books of fiqh supporting the hereditary science) and
tertiary (Indonesian Dictionary, Arabic Dictionary, and Encyclopedia of Islamic Law).
The results of the research shows that kalalah refers to the heir, in addition to both
child's father and mother. In this case, it can be understood that the closest heirs besides the
father and mother (parents) and children, are the line upward and to the side, namely
grandfather and brothers. Therefore, kalalah is a discussion about the possibility of heirs,
the position and the part of the heirs between brothers, grandfather, and or brother with
grandfather. And here is one of the possibilities in kalalah, that is, Imam Shafi'i argues that
father prevents grandfather, and grandfather succeeds father, so father and grandfather
prevents brothers. Whereas, according to Hazairin grandfather is only allowed to appear
(inherit) if there are no more descendants, parents, and no more brothers. Likewise, if there
is a further descendant from the child, offspring brothers (mawali in the case of the
deceased relative), grandfather or grandmother can not inherit, because it collides with the
formulation of al-Nisa ': 33, i.e. it is forbidden to become a mawali for parents (father or
mother).
The problem is not contained in the Compilation of Islamic Law (KHI).
Nevertheless, the settlement has a place in the KHI in article 229, that is "Judge in settling
the cases submitted to him, must pay serious attention to the legal values that live in
society, so that its verdict is in accordance with the sense of justice ", so that its solution
can be applied to the opinion of Imam Shafi'i.
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul : Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya dalam
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Nama : M. Guntur Ageng Prayogi
NPM : 1303162
Program Studi : Hukum Keluarga
MENYETUJUI:
Untuk diujikan dalam sidang munaqosyah Program Studi Hukum Keluarga Program
Pascasarjana IAIN Metro.
Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, MA.
NIP. 19440825 197106 1 001
Husnul Fatarib, Lc., Ph.D.
NIP. 19740104 199903 1 004
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis dengan judul: “Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya
dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia” yang ditulis oleh M. Guntur Ageng
Prayogi dengan NIM 1303162 Program Studi Hukum Keluarga telah diujikan dalam
sidang munaqosah Program Pascasarjana IAIN Metro Lampung pada Jum’at, 14 Juli 2018.
TIM PENGUJI:
Pengujin Utama Dr. Tobibatussaadah, M.Ag.
Pembimbing 1 / Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, MA.
Penguji 1
Pembimbing 2 / Husnul Fatarib, Lc., Ph.D.
Penguji 2
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA Jl. Ki Hajar Dewantara 15A Kel. Iring Mulyo Kota Metro | Telp. (0725) 41507
ORISINILITAS PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : M. GUNTUR AGENG PRAYOGI
NPM : 1303162
Program Studi : Hukum Keluarga (HK)
Menyatakan bahwa tesis ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian saya kecuali bagian-
bagian tertentu yang dirujuk dari sumbernya dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Metro, 17 Desember 2017
Yang menyatakan,
M. Guntur Ageng Prayogi
NPM. 1303162
PERSEMBAHAN
Tesis ini penulis persembahkan untuk:
Bunda Siti Maesaroh dan Ayahnda Ahmad Mujiono, yang telah banyak
membantu dan mendoakan penulis ‘disetiap doanya’ dalam menuntut ilmu,
Istriku Latifah, yang kucintai karena Allah,
dan anak-anakku Zaid Ramadhan ar-Royyan dan
Zahran Zhahirul Haq yang sholih. Aamiin...
Adik-adikku; Rosyadi Ahmad, Mas ‘Ulatusy Syari,
M. Muhith Asy’ari, dan Zerina Amalia Zuhro yang ku sayangi,
Bapak Thoriq, mamak Sriyatun, dan saudara-saudara di Kalirejo
Yang turut membantu dan mendoakan penulis
Saudara seperjuangan SDIT Wahdatul Ummah Metro
Kepala Sekolah, Dewan Guru, dan Orangtua (Yayasan) WU
Rekan-rekan Alumni Program Studi Hukum Keluarga
Serta kepada almamater IAIN Metro Lampung.
MOTTO
تَ َعلَُّمْوا اْلَفَرا ِئَض َو َعلَُّمْوهُ
“Belajarlah ilmu faraidh, dan ajarkanlah”
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Kalalah Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin serta Implikasinya dalam
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”.
Penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu bagian dari persyaratan untuk
menyusun Tesis guna menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana (PPs) Program
Studi Hukum Keluarga IAIN Metro Lampung guna memperoleh gelar M.H.
Dalam upaya penyusunan tesis ini, penulis telah menerima banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. DR. Enizar, MA. Selaku pimpinan/rektor IAIN Metro Lampung
2. Ibu DR. Thobibatussadah, MA. Selaku direktur Pascasarjana dan sekaligus penguji
yang telah memberikan bimbingan dalam perbaikan tesis yang penulis buat.
3. Bapak DR. Edi Susilo, SH., MH. Selaku Plt. Ketua Prodi Hukum Keluarga yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Prof. DR. H. M. Damrah Khair, MA. selaku pembimbing I dan Bapak Husnul
Fatarib, Lc., Ph.D. selaku pembimbing II yang telah memberi bimbingan yang sangat
berharga dalam mengarahkan dan memberi motivasi dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bunda dan Yanda yang tak pernah lelah memberi nasehat, memotifasi, dan mendoakan
penulis agar dapat menyelesaikan tesis ini.
6. Istri yang setia mendampingi dan sabar mensupport penulis agar dapat menyelesaikan
tesis ini
7. Rekan-rekan HK angkatan 2013 dan Sahabat Perjuangan (Kepala Sekolah dan Dewan
Guru) di SDIT Wahdatul Ummah Metro yang selalu mengingatkan dan membantu atas
terselesaikannya tesis ini.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini.
Oleh karena itu, penulis sangat memerlukan masukan dan bantuan dari seluruh pihak demi
perbaikan tesis ini. Dan mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi penulis.
Metro, Juli 2018 M.
Syawal 1439 H.
Penulis,
M. Guntur Ageng Prayogi
NPM. 1303162
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... v
ORISINILITAS PENELITIAN ................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ......................................................................................................... vii
MOTTO ................................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan ..................................................................................... 9
C. Rumusan Masalah ............................................................................. 10
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
E. Telaah Pustaka ................................................................................... 11
F. Metode Penelitian .............................................................................. 13
1. Jenis Penelitian ............................................................................ 13
2. Sumber Data ................................................................................ 13
3. Metode Pengumulan Data ......................................................... 15
4. Analisis Data ................................................................................ 15
G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 17
BAB II KALALAH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
DAN PAYUNG HUKUMNYA
A. Pengertian Kalalah ............................................................................ 19
B. Dasar Hukum Kalalah ...................................................................... 21
1. Al-Qur’an ...................................................................................... 21
2. Hadis .............................................................................................. 23
C. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin ............. 24
1. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i ................................ 24
a. Dzu al-Faraid ........................................................................... 25
b. Ashabah .................................................................................... 26
2. Konsep Kewarisan Menurut Hazairin ....................................... 36
a. Dzu al-Faraid ........................................................................... 36
b. Dzu al-Qarabah ....................................................................... 42
c. Mawali ...................................................................................... 44
D. Payung Hukum Kewarisan Islam di Indonesia ............................. 48
BAB III KALALAH MENURUT IMAM SYAFI’I DAN HAZAIRIN
A. Biografi Imam Syafi’i dan Hazairin ................................................ 52
1. Biografi Imam Syafi’i ................................................................... 52
2. Biografi Hazairin .......................................................................... 55
B. Pembagian Warisan Kalalah ............................................................ 58
1. Pembagian Warisan Kalalah Menurut Imam Syafi’i ............... 58
a. Bagian Waris Kakek ................................................................ 58
b. Bagian Waris Saudara ............................................................. 60
c. Bagian Waris Kakek Bersama Saudara .................................. 65
2. Pembagian Warisan Kalalah Menurut Hazairin ....................... 72
a. Bagian Waris Kakek ................................................................ 72
b. Bagian Waris Saudara ............................................................. 74
c. Bagian Waris Kakek Bersama Saudara .................................. 81
BAB IV ANALISIS
A. Analisis Pola Pikir Imam Syafi’i dan Hazairin .............................. 90
1. Faktor Perbedaan antara Pendapat Imam Syafi’i dan Hazairin 90
2. Persamaan Pendapat antara Imam Syafi’i dan Hazairin 96
3. Perbedaan Pendapat antara Imam Syafi’i dan Hazairin . 96
B. Analisis Kedudukan Kalalah dalam Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia .......................................................................... 103
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika ada seseorang meninggal dunia, maka perhatian orang-orang (ahli
waris) akan tertuju kepada harta warisan yang ditinggalkan. Masalah harta
pusaka biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama apabila
menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Setelah itu, apabila
berhak, seberapa banyak hak itu. Hal ini menimbulkan perselisihan dan akhirnya
menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, oleh
yang lain dianggap tidak adil.1
Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak
terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya
diwarisi. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,
baik laki-laki maupun perempuan. Islam menghendaki prinsip keadilan sebagai
salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.2
Hukum kewarisan menempati tempat yang sangat penting dalam
perkembangan sejarah hukum Islam . Karenanya, para fuqaha’ dan mufassir
banyak memperbincangkan masalah tersebut, mulai dari masa klasik sampai
1 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.4. 2 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h.4
2
sekarang. Bahkan para fuqaha’ menjadikan hukum tersebut sebagai salah satu
cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu ”waris” atau ilmu fara’id.3
Hukum Kewarisan dalam Islam (fiqh mawaris) mendapat perhatian yang
besar karena dalam pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang
tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah
manusia yang menyukai harta benda (QS. Ali Imron, 3: 14) tidak jarang
memotivasi seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta
tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri.
Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini.4
Ilmu fara’id dianggap penting, karena disandarkan pada sabda Rasulullah
Saw., yang berbunyi:
ةا ْيرا َُّمْوُه , َيا َأَبا ُهرا ا ئِضا وا عال َُّمْوا الْفارا ل َُّه ِنْصُف الِْعْْلِ , تاعا ن ُِهوا يُنُُْس , فاإ ٍء , وا ْ ُل َشا ُهوا َأوَّ وا
ِت 5 يُْْناُع ِمْن ُأمَّArtinya: “Hai Abu Hurairah belajarlah ilmu fara’id dan ajarkanlah ilmu itu.
Karena ilmu tersebut merupakan separuh dari ilmu-ilmu yang ada. Ilmu
ini merupakan ilmu yang pertama dilupakan orang”.
3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14, Alih Bahasa oleh Mudzakir, (Bandung: Al-Ma’arif),
Cet. 1, 1997, h.252.
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), Cet
Ke-3, h.356
5 Abi Abdilah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, Juz II, (Semarang: Toha
Putra), tt, h.908.
3
Berdasarkan hadis tersebut Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa
mempelajari dan mengajarkan ilmu fara’id bagi seluruh umat Islam adalah
hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif).6
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan, tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah, ibu, istri, suami, kakek, nenek, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah, seibu ataupun sekandung.
Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan acuan pertama hukum dan
penentuan pembagian waris. Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang
ditetapkan oleh Sunnah Nabi atau dengan ijtihad para ulama. Bahkan tidak ada
dalam al-Qur’an seperti hukum waris. Ini adalah karena pewarisan merupakan
suatu wasilah yang besar pengaruhnya dalam pemilikan harta dan
memindahkannya dari seseorang kepada orang lain.7
Syari’at Islam telah menjelaskan hak-hak yang berhubungan dengan harta
peninggalan, tertib hak-hak, rukun-rukun, syarat dan sebab-sebab perpindahan
harta waris, hal-hal yang menjadi penghalang mewarisi, bagian masing-masing
ahli waris dan hukum-hukum yang berpautan dengan harta warisan.
6
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),
(Jakarta: Gaya Media Pratama), Cet. 2, 2002, h. 23.
7 Muhammad Hasbi Asy-Syidiqie, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
h.7.
4
Namun perbedaan pemahaman dan aplikasi mengantarkan hukum waris
bersifat legal formalis dan menyebabkan fragmentasi aliran pemikiran yang
berujung dengan kelahiran mazhab-mazhab. Penyebab utama timbulnya beragam
interpretasi hukum kewarisan adalah: Pertama, metode dan pendekatan yang
digunakan oleh para ulama dalam melakukan ijtihad berbeda. Kedua, perbedaan
kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad.8
Di sisi yang lain, masalah kewarisan tidak jarang menimbulkan sengketa
di antara ahli waris. Masalah kewarisan ini menyangkut tiga unsur atau
menyangkut rukun dan syarat yakni:
Pertama, harta warisan (maurus), bagaimana wujud harta benda yang
beralih dipengaruhi oleh sifat kekeluargaan di mana pewaris dan ahli
waris berada.
Kedua, pewaris (muwarris), bagaimana hubungan pewaris dengan harta
bendanya dipengaruhi oleh sistem, sifat dan lingkungan kekeluargaan di
mana pewaris berada.
Ketiga, ahli waris, bagaimana dan sejauh mana ada ikatan kekerabatan
antara pewaris dan ahli waris.9
Ketika dilihat dari nash-nash kewarisan yang ada, maka masalah
kewarisan dianggap telah jelas (qath’i) dalam beberapa hal, sebagai contoh
bahwa ayat tersebut qath’i adanya adalah surat an-Nisa’ [4]: 12, yaitu tentang
bagian suami.10
8 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jilid I, (Jakarta: CV. Haji Masagung), Cet. 7, 1994, h.197.
9 Abdul Azis Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve), Cet. ke-1, h. 308-309.
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang, Dina Utama - Toha Putra Group), Cet.
Ke-1, 1994, h. 38.
5
Terkait dengan ketentuan bagian masing-masing ahli waris telah diatur
dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176. Di mana al-Qur’an surat an-
Nisa’ ayat 11 Allah telah menggambarkan pembagian warisan untuk anak-anak,
baik anak laki-laki, anak perempuan, maupun cucu, baik cucu laki-laki maupun
cucu perempuan dan bagi orang tua (abawaini), baik bapak/ibu maupun
kakek/nenek. Pada ayat 12 surat an-Nisa’, Allah menggambarkan pembagian
warisan untuk suami maupun isteri. Pada ayat itu juga (an-Nisa’; 12), Allah
menggambarkan pembagian warisan saudara-saudara (kasus kalalah) dan ayat
176 juga menjelaskan tentang kasus kalalah.
Kalalah QS. An-Nisa’ ayat 12
6
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun”.11
Kalalah QS. an-Nisa’ ayat 176
11
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro), 2010, h.79
7
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah12
). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.13
Dari kedua ayat di atas, yang menjadi perhatian penulis adalah terkait
persoalan kalalah. Kalalah merupakan kasus yang terjadi polemik tersendiri di
samping kasus pembagian waris 2:1 karena Nabi SAW pun belum
menjelaskannya secara detail kepada para sahabat. Ketika Sahabat Umar
membahas masalah kalalah dengan Rasulullah, Rasulullah malah mencubit
perutnya dengan jari-jari beliau sambil bersabda, “Cukuplah kamu dengan ayat
terakhir surat an-Nisa’. Dan selama hidupmu, jika kamu dihadapkan masalah ini,
maka putuskanlah masalah ini sesuai dengan ayat itu, baik kepada orang yang
membacanya ataupun kepada orang yang tidak membacanya.” Dan saat Umar
12 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak. 13
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan ..., h.106
8
ditikam juga berkata, “Ketahuilah, bahwa aku tidak berkomentar apapun dalam
masalah kalalah”.14
Adanya ketidakjelasan Rasulullah Saw. dalam mendefinisikan
menyebabkan para ulama’ melakukan ijtihad dalam menjawab permasalahan
kalalah. Para ulama’ salaf mendefinisikan kalalah adalah seseorang yang
meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah. Ada juga yang mendefinisikan
bahwa kalalah itu seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki
dan ayah.
Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada pendapat
beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang tidak
mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan
kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang
tua dan saudara. Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah.
Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan
kalâlah ayah.15
Para ulama’ salaf, termasuk Imam Syafi’i, membedakan bagian warisan
untuk saudara-saudara, yaitu saudara seibu yang tercantum dalam An-Nisa’; 12
sedangkan saudara sekandung ataupun saudara seayah pada an-Nisa’; 176.
Adapun mengenai bagian-bagian harta waris yang akan diterima saudara,
para ulama’ klasik (ulama salaf) menafsirkannya tidak jauh berbeda dengan apa
14 Muhammad Baltaji, Manhaj ’Umar bin Khatab fi at-Tasyri’ Dirasah Mastu’ibah li fiqhi
’Umar wa Tandhimatihi, Terj. Metodologi Ijtihad Umar bin Al-Khatab oleh Masturi Irham, (Jakarta:
Khalifa, 2005), Cet. Ke-1, h.342. 15 Ibn al-´Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 448.
9
yang tercantum dalam kedua ayat tersebut. Bagian untuk seorang saudara laki-
laki atau perempuan seibu mendapat 1/6 sedangkan kalau untuk kumpulan
saudara seibu mendapat 1/3 bagian. Bagian untuk seorang saudara perempuan
sekandung atau seayah mendapat ½ bagian, dan apabila dua orang atau lebih
mendapat 2/3 bagian. Sedangkan untuk saudara laki-laki sekandung atau seayah
mendapat ashabah (sisa).
Sedang menurut Hazairin, dengan menunjuk pada berbagai sistem
hubungan persaudaraan dalam hukum adat, kemudian menyatakan bahwa dalam
sistem kekeluargaan yang bilateral, maka saudara kandung itu mungkin artinya
saudara seayah atau mungkin pula saudara seibu, atau saudara seayah dan seibu,
sehingga termasuk di dalamnya semua jenis hubungan persaudaraan. Dalam
sistem ini orang hanya mungkin bersaudara atau tidak bersaudara. Pengertian
saudara tiri memang ada dalam masyarakat bilateral, namun yang disebut saudara
tiri itu sama sekali bukan saudara, melainkan orang lain yang benar-benar tidak
ada sangkut paut kedarahan apa-apa dengan orang yang menyebutnya.16
Kasus kalalah ini memang cukup rumit sehingga mengakibatkan
terjadinya perbedaan penafsiran para ulama terhadap ayat kalalah tersebut.
Berawal dari permasalahan ini, penulis ingin mengangkat judul tesis untuk
membahas mengenai kalalah menurut ulama salaf (klasik) dan ulama khalaf
16
Wahidah, Pemikiran Hukum Hazairin; Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 1, Juni
2015, h.37-50
10
(kontemporer). Pendapat ulama yang penulis ambil adalah Imam Syafi’i dari
ulama salaf, dan Hazairin dari ulama khalaf.
B. Permasalahan
Dari latar belakang yang penulis paparkan, terdapat beberapa
permasalahan yang timbul, antara lain:
1. Pokok pembahasan kalalah,
a. Definisi
b. Sebab menjadi kalalah
c. Pewaris dan ahli waris
2. Ahli waris kalalah yang berhak memperoleh bagian waris.
3. Bagian harta waris bagi ahli waris kalalah.
C. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang ada, penulis merumuskan masalah dalam bentuk
pertanyaan, untuk dibahas dalam tesis ini, yaitu;
“Bagaimana status dan bagian ahli waris dalam kalalah menurut Imam
Syafi’i dan Hazairin, serta imlikasinya terhadap Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia?”
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini, memiliki beberapa tujuan
yang ingin dicapai, antara lain:
11
1. Dapat menambah wawasan mengenai permasalahan kewarisan, spesifik
mengenai kalalah.
2. Mengetahui bagaimana masalah kewarisan tersebut menjadi kalalah
3. Dapat mengetahui secara spesifik mengenai status dan bagian ahli waris
dalam kalalah
4. Mengetahui keberpengaruhan pendapat ulama, baik ulama salaf maupun
ulama khalaf, dalam penetapan mengenai kalalah
E. Telaah Pustaka
Penulis mengetahui, bahwa penelitian tentang kalalah sudah banyak
dikupas, terlebih mengenai status dan bagian saudara dalam kalalah ketika
bertemu dengan ahli waris lainnya, seperti kakek.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang contohnya, Nur Aliyah NIM 289061 tahun 1994 yang
mengangkat judul penelitian akhirnya tentang “Studi Perbandingan Pendapat
Imam Syafi’i dan Prof. Dr. Hazairin tentang Kedudukan Kakek bersama saudara
dalam kewarisan”.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa, menurut Imam Syafi’i kakek
yang dapat mewarisi adalah kakek yang sahih (ayah dari ayah). Sedangkan dari
garis ibu bukanlah sebagai ahli waris, dan kakek dapat sama-sama menjadi ahli
waris jika bersama dengan saudara laki-laki atau perempuan sekandung atau
12
seayah, sementara saudara laki-laki atau perempuan seibu terhalang karena
adanya kakek. Sedangkan Prof. Dr. Hazairin berpendapat kakek baik dari ayah
atau ibu dapat sama-sama menjadi ahli waris hanya ketika kalalah, yaitu sebagai
pengganti dari ayah atau ibu.
Ini merupakan salah satu bagian dari pembahasan kalalah, sebagaimana
Hazairin mengatakan bahwa tidak membedakan kakek dan atau saudara, baik
yang sekandung, seayah, maupun seibu.
Dalam penelitian lain, oleh Badrut Tammam NIM. 062111008 Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang tahun 2011 yang berjudul “Studi Analisis
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara”,
menjelaskan Imam Abu Hanifah mengemukakan pendapat Abu Bakar bahwa
kakek dari jalur laki-laki disamakan kedudukannya seperti ayah kandung (bila
ayah sudah meninggal terlebih dahulu). Jadi, kakek menghijab saudara.
Sehingganya saudara tidak mendapat bagian waris dari pewaris.
Selanjutnya penelitian Putri Ajeng Fatimah, mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Program Studi Tafsir – Hadis Fakultas Ushuluddin tahun
2011 yang membahas mengenai “Waris Kalalah dalam Pandangan Wahbah Az-
Zuhaily”. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa kalalah adalah seseorang yang
meninggal tanpa meninggalkan orangtua dan keturunannya, mksdnya tidak
meninggalkan ayah dan atau ibu, dan anak. Yang menjadi ahli waris adalah
saudara laki-laki maupun perempuan, baik saudara kandung, seayah mauun
13
seibu. Ini berarti bahwa ada ketidakmungkinan saudara memperoleh bagian
waris, jika pewaris meninggalkan ayah dan atau anak.
Dari beberapa penelitian tersebut, penulis ingin membahas mengenai
pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang Kalalah, serta implikasinya
terhadap Hukum Kewarisan Islam di Indonesia yang tercantum dalam Kompilasi
Hukum Islam.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni jenis
penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik
atau bentuk hitungan lainnya.17
Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa
metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
17 Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics Of Qualitative Research; Grounded Theory
Procedures and Techniques, Terj. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Tata Langkah dan Teknikteknik
Teoritisasi Data oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
h. 4
14
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.18
Penelitian ini juga mendasarkan pada studi literer atas karya Imam
Syafi’i dan Hazairin. Oleh karenanya, penelitian ini boleh juga disebut
sebagai library research. Studi literer (library research) atas naskah tertulis
tentang pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin, baik karyanya sendiri (primer)
atau hasil kajian peneliti sekarang atas tokoh tersebut.
2. Sumber Data
Dalam sebuah penelitian terdapat beberapa sumber yang digunakan
guna kelancaran dalam meneliti. Dalam hal ini, penulis menggunakan data
sekunder untuk menyusun tesis ini. Dimana data sekunder adalah “secondary
data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian seterusnya”.19
Dipahami bahwa data ini merupakan sumber data pada penelitian tidak
langsung yaitu melalui buku-buku, laporan-laporan, dan lain sebagainya.
Karena dalam penelitian ini penulis tidak melakukan penelitian secara
langsung di lapangan dan menggunakan data sekunder sebagai bahan pokok,
maka penelitian penulis ini merupakan penelitian pustaka (library research).
Dikatakan bahwa tujuan penelitian kepustakaan adalah “untuk mengumpulkan
18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Rosdakarya,
2005), Cet. XXI, h. 4. 19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press), 1986, h.12.
15
data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat
di ruang perpustakaan; buku-buku, majalah, dokumentasi dan kisah-kisah
sejarah”20
.
Penulis menggunakan data sekunder sebagai sumber data dalam
penelitian ini. Yang mana, data ini terbagi menjadi 3, yaitu bahan hukum
primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan pokok
yang penulis gunakan, yaitu; al-Qur’an dan Tafsirnya, Kitab-kitab Hadis,
buku-buku karya Imam Syafi’i dan Hazairin, dan atau buku-buku yang
memuat pendapat Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kewarisan (kalalah).
Bahan hukum sekundernya, penulis menggunakan buku-buku
mengenai materi pembahasan seperti Fiqh Mawaris. Kemudian bahan hukum
tersiernya, penulis menggunakan Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa
Arab, dan Ensiklopedi Hukum Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan datanya dilakukan melalui
penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data.
Sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi
penelitian ini.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan
metode library research atau studi kepustakaan yaitu usaha untuk
20
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 2006,
h.28.
16
memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan
mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan,
buku referensi atau hasil penelitian lain.21
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.22
Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dimaksud
untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau
kejadian-kejadian.23
Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana
adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep
tersebut. Metode ini diterapkan pada BAB III yang berupa konsep-konsep
pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang kalalah.
b. Metode content analisis merupakan metode analisis ilmiah dimana
hasilnya harus menyajikan generalisasi, proses analisisnya
21
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h. 45.
22 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian ..., h. 103. 23
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.18
17
dilakukansecara sistematis, mengarah pada pemberian sumbangan
teoritiknya.24
Analisis ini bertumpu pada metode analisis deskriptif. Metode
analisis ini diterapkan pada BAB IV
c. Metode Analisis Komparatif adalah metode analisis yang digunakan untuk
memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang
berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan
faktor-faktor lain.
Metode analisis ini juga diterapkan pada BAB IV guna mengetahui
perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan para ulama’ klasik.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari 5 bab, yakni: Sebagai media untuk memahami
persoalan yang telah dikemukakan secara runut atau sistematis di atas, maka
penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang di dalamnya memuat Latar Belakang
Masalah, Permasalahan dan Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Telaah Pustaka terhadap penelitian terdahulu, Metode
Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : Menjelaskan tentang kerangka teoritik mengenai kalalah dan
istinbath hukum. Di dalamnya akan penulis perjelas persoalan
24
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), Cet III, hlm. 77.
18
tentang pengertian kalalah, landasan hukum, kalalah menurut
para ulama’ klasik serta teori istinbath hukum yang berhubungan
dengan kalalah.
BAB III : menjelaskan mengenai Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin
tentang kalalah. Dalam bab ini akan dibahas Biografi, perjalanan
intelektual dan karya-karya Imam Syafi’i dan Hazairin.
Kemudian membahas pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin
tentang kalalah dan metode istinbath hukum yang dipakai Imam
Syafi’i dan Hazairin dalam kasus kalalah.
BAB IV : Analisis terhadap Pemikiran Imam Syafi’i dan Hazairin tentang
kalalah. Dan di dalamnya akan penulis muat implikasi pemikiran
Imam Syafi’i dan Hazairin terhadap Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia.
BAB V : Penutup merupakan akhir dari pembahasan penelitian ini yang
meliputi Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.
19
BAB II
KALALAH DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
DAN PAYUNG HUKUM
A. Pengertian Kalalah
Kata “kalâlah” adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara
etimologi berarti letih atau lemah. Kata kalâlah pada asalnya digunakan untuk
menunjuk pada sesuatu yang melingkarinya serta tidak berujung ke atas dan ke
bawah, seperti kata “iklil” yang berarti mahkota karena ia melingkari kepala.
Seseorang dapat disebut kalâlah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan
leluhur (anak dan ayah). Kerabat garis sisi disebut kalâlah karena berada di
sekelilingnya, bukan di atas atau di bawah.1 Kemudian kata kalâlah digunakan
untuk seseorang yang tidak mempunyai ayah dan anak.2
Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada pendapat
beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang tidak
mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan
kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4) Orang yang tidak mempunyai anak, orang
tua dan saudara.3
1 Ibn Manzhûr, Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid XV, h. 142; Muhammad
Rawwâs Qal’ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qunaybî, Mu’jâm Lughah al-Fuqahâ’, (Bayrût : Dâr al-Nafs,
1998), h. 50; Muhammad Yûsuf Mûsâ, Al-Tirkah wa al-Mîrâts fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Kitâb al-
´Arabî, 1959), h. 201.
2 Al-Âlûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma’ânî, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.th), h. 358
3 Ibn al-´Arabî, Ahkâm al-Qur’ân, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 448.
20
Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah. Saudara
seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan kalâlah ayah.
Kata “kalalah” dalam al-Qur'an merupakan salah satu ayat paling banyak
diperselisihkan oleh para pakar tafsir, sampai-sampai diriwayatkan bahwa Umar
bin Khatab r.a. berkata, “Tiga hal yang jika diperjelas keterangannya oleh Rasul,
akan menjadi hal-hal yang lebih kusenangi dari kenikmatan duniawi: kalalah,
riba dan kekhalifahan”.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., disebutkan bahwa Umar
berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW. setelah membaca hamdalah dan
memuji Allah, ia berkata:
رُِمهَا نَّ إخلَمَر نََزَل ََتْ َياَء , يَْوَم نََزَل , َوإ َسِة َأش ْ ِعْْيِ , ِمْن إلِْحْنَطِة : َوِهـَي ِمْن ََخْ , َوإلشَّ
ِبيِْب , َوإلتَّْمرِ َياَء َوِدْدُت . َوإلَْخْمُر َما َخاَمَر إلَْعْقلَ . َوإلَْعَسلِ , َوإلزَّ َا إلنَّاُس , َوثَََلثَُة َأش ْ َأُّيه
لَْينَا ِفْْيَا َأنَّ َرُسْوُل هللِا صىل هللا عليه وسمل ََِلُ , ََكَن َعهَِد إ َوَأبَْوإٌب ِمْن َأبَْوإِب , إْللََكَ
بَ ِ إلر 4
Artinya: “Sesungguhnya telah diturunkan ayat tentang pengharaman khamar
(minuman keras) yang terbuat dari lima jenis; biji gandum, gandum,
kurma, anggur dan madu. Khamar adalah sesuatu yang
menghilangkan kesadaran akal. Dan ada tiga perkara, wahai hadirin
sekalian, yang aku ingin sekali Rasulullah saw. mewasiatkan kepada
kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang
masuk dalam kategori riba”.
Dalam riwayat lain juga dinyatakan bahwa Umar seringkali bertanya
dengan sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. tentang masalah kalalah ini,
sampai-sampai beliau mendorong dada Umar sambil bersabda: “Cukup sudah
4 Abi Al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy, Sahih Muslim, Juz 4,
(Beirut Libanon, Dar Ihya’ At-turats Al-Arabi), 1991, h.2322.
http://www.jadipintar.com/2013/05/al-quran-online-bisa-copy-paste.htmlhttp://www.jadipintar.com/2015/10/metode-jenis-dan-contoh-kitab-tafsir-populer-beserta-pengarangnya.htmlhttp://www.jadipintar.com/2014/05/Umar-Bin-Khattab-Khalifah-kedua-Cerdas-dan-Gagah-Berani.htmlhttp://www.jadipintar.com/2014/05/Umar-Bin-Khattab-Khalifah-kedua-Cerdas-dan-Gagah-Berani.htmlhttp://www.jadipintar.com/2015/05/biografi-ringkas-muhammad-saw-nabi-umat-islam-sedunia.html
21
bagimu ayat kalalah musim panas yang disebut pada akhir An-Nisa”. (Ayat ke-
12 disebut ayat kalalah musim dingin, dan ayat 176 musim panas). Perbedaan
pendapat dimulai dari akar katanya, selanjutnya makna kata itu sendiri dan
terakhir, maksud penggalan ayat itu.
Mayoritas pakar bahasa memahami kata kalalah dengan arti yang mati
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak; ada juga yang
memahami dalam arti yang mati tanpa meninggalkan ayah saja, ada lagi yang
berpendapat yang mati tanpa meninggalkan anak saja, dan masih banyak
pendapat lain. Dan ada juga yang berpendapat bahwa kalalah menunjuk kepada
ahli waris, selain kedua ibu bapak dan anak.
B. Dasar Hukum Kalalah
1. Al-Qur’an
Qs. An-Nisa: 12
22
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)5
. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.6
An-Nisa’: 176
5 Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih
dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang
dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
6 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: CV Diponegoro), 2010, h.78-
79
23
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)7. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu”.8
2. Hadis
ْبني ثَ َّنَّ َواللَّْفظح ِلي دح ْبنح اْلمح يُّ َوُمحَمَّ مي َقدَّ دح ْبنح َأِبي َبْكٍر اْلمح ثَ َنا ُمحَمَّ ثَ َّنَّ َحدَّ اْلمحثَ َنا قَ َتاَدةح َعْن َساِليي ْبني َأِبي َشاٌم َحدَّ ثَ َنا هي ثَ َنا ََيََْي ْبنح َسعييٍد َحدَّ قَاَِل َحدَّطَّابي َخَطَب يَ ْوَم ُجححَعٍة َفذََكَر اْلَْْعدي َعْن َمْعَداَن ْبني َأِبي طَْلَحَة َأنَّ عحَمَر ْبَن اْلَْ
َّ اللَّهي َصلَّى اللَّهح َعلَ ي َشْيًئا َنِبي ْيهي َوَسلََّم َوذََكَر أَبَا َبْكٍر ُثحَّ قَاَل إيِّني َِل أَدَعح بَ ْعديوَل اللَّهي َصلَّى اللَّهح َعَلْيهي َوَسلََّم ِفي ْن اْلَكََلَلةي َما رَاَجْعتح َرسح ي مي أََهمَّ عيْندي
7 Kalalah Ialah: seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak
8 Departemen Agama RI, al-Qur’an ..., h.106
24
َما أَْغَلَظ ِلي فييهي َحَّتَّ َشْيٍء َما رَاَجْعتحهح ِفي اْلَكََلَلةي َوَما أَْغَلَظ ِلي ِفي َشْيٍء ري ْيفي الَِّتي ِفي آخي يَك آيَةح الصَّ َطَعَن بيإيْصَبعيهي ِفي َصْدريي َوقَاَل يَا عحَمرح َأَِل َتْكفيَا َمْن يَ ْقرَأح اْلقحْرآَن ي ِبي يٍَّة يَ ْقضي وَرةي النيَساءي َوإيِّني إيْن أَعيْش أَْقضي فييَها بيَقضي سح
ثَ َنا إيْْسَعييلح اْبنح عحَليََّة َوَمْن َِل يَ ْقرَأح ثَ َنا أَبحو َبْكري ْبنح َأِبي َشْيَبَة َحدَّ اْلقحْرآَن و َحدَّيَم رح ْبنح َحْرٍب َوإيْسَحقح ْبنح إيبْ رَاهي ثَ َنا زحَهي ْ َعْن َسعييدي ْبني َأِبي َعرحوبََة ح و َحدَّ
ْعَبَة كي ْسَنادي ََنَْوهح َواْبنح رَافيٍع َعْن َشَبابََة ْبني َسوَّاٍر َعْن شح ََذا اْْلي َا َعْن قَ َتاَدَة ِبي ََلُهح
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Bakar Al
Muqaddami dan Muhammad bin Mutsanna dan ini adalah lafadz
Ibnu Mutsanna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Hisyam telah
menceritakan kepada kami Qatadah dari Salim bin Abu Al Ja'd dari
Ma'dan bin Abu Thalhah bahwa Umar bin Khatthab berkhutbah
pada hari Jum'at, kemudian dia menyanjung Nabi Allah shallallahu
'alaihi wasallam dan Abu Bakar, lalu dia berkata, "Sesungguhnya
saya tidak akan meninggalkan sesuatu yang menurutku lebih
penting daripada kalalah. Saya tidak pernah mengulang-ulang
konsultasi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang
sesuatu yang melebihi konsultasiku kepadanya tentang kalalah,
beliau juga tidak pernah bersikap keras terhadap suatu hal
melebihi sikap kerasnya kepadaku dalam masalah kalalah, sampai-
sampai beliau menekankan jari-jarinya ke dadaku sambil bersabda:
"Wahai Umar, belum cukupkah bagimu ayat shaif yang terdapat
pada akhir dari surat An Nisaa'? Seandainya saya masih hidup,
maka saya akan menetapkan masalah kalalah dengan suatu
ketetapan yang diputuskan oleh orang yang membaca Al Qur'an
dan orang yang tidak membaca Al Qur'an." Dan telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ulayyah dari Sa'id bin Abu
'Arubah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada
kami Zuhair bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Rafi' dari
25
Syababah bin Sawwar dari Syu'bah keduanya dari Qatadah dengan
isnad ini, seperti hadits tersebut”.9
C. Konsep Kewarisan Menurut Imam Syafi’i dan Hazairin
1. Konsep Hukum Waris menurut Imam Syafi'i
Konsep kewarisan menurut Imam Syafi'i sama dengan ulama Sunni,
yang pembagiannya sebagai berikut:
Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan
kepada:10
a. Dzu Al-Fara'id
Dzu al-fara'id adalah ahli waris yang mendapatkan bagian waris
yang telah ditentukan dan dalam keadaan ditentukan pula secara pasti
oleh al-Qur'an, al-Sunnah, dan Ijma‘. Adapun bagiannya dalam al-Qur'an
adalah: ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3.1111
Kata "al-fara'id" adalah fail dari
"farada" yang bermakna kewajiban, kemudian dikonotasikan pada
faridatan surat al-Nisa' ayat 11. Menurut al-Qur'an surat al-Nisa' ayat 11,
12, dan 176 adalah ahli waris yang mendapat saham tertentu berjumlah
(9) sembilan orang, sedangkan yang lainnya menurut jumhur ulama'
merupakan tambahan dari hasil ijtihad, seperti kata "walad" berkonotasi
9 HR. Muslim No. 3032
10 Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68
11
Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 68-69.
(Musa bin ‘Imran, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33)
26
pada cucu, "abun" dan "ummun" kepada kakek dan nenek. Perinciannya
sebagai berikut:
1) Surat al-Nisa' ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan,
ayah, dan ibu.
2) Surat al-Nisa' ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara laki-
laki seibu dan saudara perempuan seibu.
3) Surah al-Nisa' ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan
sekandung dan seayah.12
Dzu al-fara'id secara keseluruhan terdiri dari sepuluh ahli waris,
yang digolongkan dalam ashab al-nasabiyah (kelompok orang yang
berdasarkan nasab), yaitu; ibu, nenek, anak perempuan, bintu al-ibni
(cucu perempuan dari anak laki-laki), saudara perempuan (kandung dan
seayah), walad al-umm (saudara laki-laki dan perempuan seibu), ayah
bersama anak laki-laki atau ibnu al-ibni (cucu laki-laki dari anak laki-
laki), kakek sahih (ayahnya ayah) dan ashab al-furud al-sababiyah
(kelompok orang yang menjadi ahli waris sebab perkawinan), yaitu;
suami dan istri.13
b. Ashabah
12
Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir
Tematik, h.104
13
Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX., h. 33
27
Ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak
bapak kerena menguatkan dan melindungi atau kelompok yang kuat,
sebagaimana kata ‘usbatun dalam surat Yusuf ayat 14. Menurut istilah
fuqoha' mengartikan ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian
dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dengan tegas. Kalangan ulama fara'id
lebih masyhur dengan mengartikan orang yang menguasai harta waris
kerena ia menjadi ahli waris tunggal. ‘Ashabah mewarisi harta secara
‘usubah (menghabiskan sisa bagian) tanpa ditentukan secara pasti
bagiannya, tergantung pada sisa setelah dibagikan kepada dzu al-
Fara’id.14
Menurut Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, ‘Ashabah dalam madzhab
Syafi'i berdasarkan surat al-Nisa' ayat 33, yaitu
… Artinya: “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu bapak dan karib kerabat, …”. (QS. An-Nisa [4]: 33)
Dalam ayat tersebut, "wa likulli ja'alna mawaliya mimma taraka al-
walidani wa al-aqrabuna", yang mana al-'aqrabuna diartikan ahli
‘ashabah.15
14
M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, alih bahasa M. Basalamah, h. 60-61.
15
Musa bin ‘Imran al-‘Imrani, al-Bayan fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, Juz IX, h.63.
28
Pengertian lain 'ahli ‘ashabah adalah mereka yang tali hubungan
kerabatnya dengan yang meninggal tidak bersambung dengan jenis
perempuan, baik itu bersambungan langsung tanpa kerabat sela ataupun
disambungkan dengan kerabat seorang, dua orang, dan seterusnya.16
‘Ashabah menjadi tiga bagian:
Pertama, ‘Ashabah bi al-Nafsi, yaitu semua orang laki-laki yang
pertalian nasabnya kepada pewaris tidak terselingi oleh perempuan.
Bagian mereka ditentukan oleh kedekatannya kepada pewaris, tanpa
memerlukan orang lain agar dapat mewarisi secara ‘ushbah. Mereka
adalah:
1) Far’un waris muzakkar, yaitu anak turun dari garis laki-laki sampai ke
bawah,
2) Ayah, kakek dan seterusnya ke atas,
3) Para saudara laki-laki pewaris sebagai keluarga dekat baik seayah dan
sekandung termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki.
Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk sebab mereka
termasuk 'ashab al-furud,
4) Arah paman, mencangkup paman (saudara laki-laki ayah) kandung
maupun seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya
16
Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindah dan Hak Milik atas Harta Tinggalan,
h.91-92.
29
Kedua, ‘Ashabah bi al-ghairi; mereka adalah ahli waris zu al faraid
perempuan yang tergandeng dengan laki-laki yang menjadi mu‘assib-nya.
Mereka terdiri dari :
1) Anak perempuan sahihah (kandung) sendirian atau berbilang apabila
ada anak laki-laki sahih,
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, satu atau lebih apabila ada cucu
laki-laki satu atau lebih,
3) Saudara perempuan sahihah satu atau lebih apabila ada saudara laki-
lakinya yang sahih, atau anak laki-laki pamannya, juga kakek dalam
situasi tertentu, dan
4) Saudara perempuan seayah satu atau lebih bila bersamaan saudara
laki-laki sebapak, atau kakek dalam situasi tertentu.
Ketiga; ‘Ashabah ma‘al al-gair; mereka adalah seorang saudara
perempuan sahihah atau lebih dan saudara perempuan sebapak, mereka
mewarisi bersama sebab adanya anak perempuan atau cucu perempuan
dari garis laki-laki. Kedua saudara perempuan tersebut mengambil sisa
bagian setelah anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
mengambil bagiannya berdasarkan zu al-fara'id.17
Berbeda dengan zu al-fara'id, ‘Ashabah bagiannya tidak ditentukan
semula. Mereka mendapat waris dalam tiga keadaan sebagai berikut:
17
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah. Jilid XIV , h. 283
30
1) Bila tidak ada zu al-fara'id dan yang ada hanyalah ‘Ashabah maka
harta peninggalan si mayyit semuanya jatuh kepada ‘Ashabah.
2) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, maka sisa kecil dari
harta peninggalan jatuh kepada ‘Ashabah.
3) Bila ada zu al-fara'id dan juga ada ‘Ashabah, sedangkan harta
peninggalan si mayyit semuanya habis di bagikan kepada zu al-fara'id,
maka ‘Ashabah tidak mendapat bagian lagi.18
Dengan demikian ‘ashabah adalah sisa kecil dari harta peninggalan
si mayyit dan ini berdasarkan pada sabda Nabi saw. yaitu dari Ibnu Abbas
menurut riwayat Bukhari sebagaimana dalam bab dua, oleh Imam Syafi'i
sendiri, istilah 'aula rajulin zakarin' tidak terbatas kepada lelaki saja tetapi
juga meliputi perempuan, demikian juga pengertian ‘Ashabah tidak
terbatas kepada laki-laki saja tetapi termasuk perempuan.19
Al-Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, dalam bahasa
Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'.
Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak
ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena
adanyarahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafaz
18
Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 110.
19
Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 111.
31
rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam
bahasa Arab ataupu ndalam istilah syariat Islam.20
Al-Arham memiliki arti luas yang diambil dari lafad 'arham dalam
surat al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6.21
Secara umum zu al-Arham
mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan
orang yang meninggal, baik mereka golongan 'ashab al-furud, ‘Ashabah,
maupun golongan yang lain. Tetapi ulama sunni termasuk imam Syafi‘i
mengkhususkan kepada para ahli waris selain 'ashab al-Furud dan
‘Ashabah baik laki-laki maupun perempuan dan baik seorang maupun
berbilang, selain suami dan istri.22
Dalam menyelesaikan pembagian warisan kepada zu al-Arham,
para imam mujtahid berbeda pendapat, sama halnya dengan perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat. Dalam hal ini ada dua
golongan, sementara Zaid bin Tsabit r.a., Ibnu Abbas r.a., imam Malik,
dan imam Syafi'i termasuk golongan yang berpendapat bahwa zu al-
Arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka
mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashab al-furud atau
‘Ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada bait
al-mal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam
20
M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, h. 144 21
Husain bin ‘ali al-Baihaqi, Ma'rifah al-Sunan wa al-asar 'an Imam Muhammad bin Idris al-
Syafi‘i, Jilid V, h. 78-79. Al-Syafi'i, Ahkam al-Qur'an, 108.
22
Fathur Rahman, Ilmu Waris, h. 351.
32
pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut
diberikan kepada zu al-Arham.23
Mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat,
terbagi menjadi tiga kelompok pendapat di kalangan fuqaha', yaitu:
Menurut 'ahl al-Rahmi, ’ahl al-Qarabah, dan ’ahl al-Tanzil. Iman Syafi'i
termasuk salah satu golongan 'ahl al-Tanzil, dan pengikut lainnya adalah
mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama
mutakhir dari kalangan Maliki. Golongan ini disebut ’ahl al-Tanzil
dikarenakanmereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan
pokok (induk) ahli warisnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris
yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari
‘ashab al-Furud juga para ‘Ashabah-nya, dan dengan mengembalikan
kepada pokoknya itu lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris dan
jauh lebih utama bahkan lebih berhak.24
Zu al-Arham terbagi empat kelompok:
1) Keturunan dari si mayyit selain dari zu al-fara'id dan’Ashabah, yaitu:
anak-anak dari anak perempuan dan keturunan mereka, anak-anak dari
anak perempuan dari anak laki-laki,
23
M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, h. 145-146
24
M. Ali al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, h. 151-152
33
2) Leluhur atau asal turunan si mayyit selain dari zu al-fara'id dan
‘Ashabah, yaitu: kakek yang tidak sahih (bapak dari ibu atau dari
ibunya ibu) dan nenek yang tidak sahih (ibu dari dari ayahnya ibu).
3) Keturunan dari ibu dan ayah selain dari zu al-fara'id dan ‘Ashabah,
yaitu: anak-anak perempuan dari saudara laki-laki kandung dan
keturunan mereka, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
dan keturunan mereka, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
seibu dan keturunan mereka.
4) Keturunan dari datuk dan nenek selain dari ‘Ashabah, yaitu: bibi
kandung di garis bapak termasuk keturunannya, bibi sedarah di garis
ayah, paman dan bibi seibu di garis ayah dan keturunannya, anak-anak
perempuan dari paman kandung di garis bapak, anak-anak perempuan
dari paman sehubungan darah di garis ayah dan keturunan mereka,
anak-anak dari paman seibu di garis bapak dan keturunan mereka.25
Dalam mazhab Syafi'i dikenal juga al-Hujub (penghalang waris)
yang Hujub Hirman, yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak
waris seseorang, yaitu ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin
terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap
mendapatkan hak waris, yaitu: anak kandung laki-laki, anak kandung
perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati
25
Abdullah Siddiq, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia, h. 125-127
34
meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus
mendapatkan warisan. Sederetan ahli waris yang dapat terkena hijab
hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita.
Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
1) Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga
oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
2) Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan
keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
3) Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara
kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan
yang menjadi ‘asabah ma‘al gair, dan terhalang dengan adanya ayah
serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
4) Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh
pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu,
cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
5) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya
anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu
yang paling dekat (lebih dekat).
6) Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi
dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki,
sertaoleh saudara laki-laki seayah.
35
7) Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan
terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan
(dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya
keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
8) Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya
anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok
yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
9) Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi
paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
10) Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh
adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman
seayah.
11) Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya
sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang
menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).26
Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:
1) Nenek (ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan
adanya sang ibu.
2) Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh
adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih.
26
M. Ali Al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, h. 77
36
Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan
atau lebih, kecuali jika ada ‘ashabah.
3) Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak,
cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
4) Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara
kandung perempuan jika ia menjadi ‘Ashabah ma‘a al-gair. Selain itu,
juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua
orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan
bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya ‘ashabah.
5) Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya seorang laki-
laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak,
cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.27
2. Konsep Hukum Waris Menurut Hazairin
Menurut Hazairin hukum mencerminkan masyarakat, hukum
kewarisan merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan, dan
umumnya berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan yang
berlaku dalam masyarakat. Pada pokoknya ada tiga macam sistem
kekeluargaan: patrilineal (prinsip keturunan yang setiap orang selalu
menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis
27
M. Ali Al-Shabuni, Al-Mawaris fi al-Syari'at al-Islamiyyah 'ala Dau' al-Kitab wa al-
Sunnah, h.78, Al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, Juz IV h. 19-21
37
laki-laki), matrilineal (seseorang selalu menghubungkan dirinya hanya
kepada ibunya dan karena hanya menjadi anggota klen ibunya saja), dan
bilateral atau parental (setiap orang menghubungkan dirinya baik kepada
ibunya maupun ayahnya).28
Dengan demikian, jika disebutkan kewarisan patrilineal adalah
kewarisan dengan berpijak pada sistem kekeluargaan patrilineal, demikian
juga matrilineal dan bilateral. Sedangkan sistem kewarisan menurutnya
adalah: Sistem kewarisan individual dengan cirri bahwa harta peninggalan
dapat dibagi-bagikan pemiliknya di antara ahli waris); Sistem kewarisan
kolektif, yang bercirikan harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli
waris dalam bentuk semacam badan hukum yang biasa disebut harta pusaka,
harta tersebut tidak dapat dibagi-bagikan pemiliknya kepada ahli warisnya,
dan hanya boleh dibagikan pemakaiannya kepada ahli warisnya; dan Sistem
kewarisan mayorat, yaitu pola kewarisan mayorat mempunyai hukum cirri
bahwa anak tertua berhak tunggal untuk mewarisi seluruh harta
peninggalan).29
Salah satu teorinya yang terkenal yaitu “teori hukum kewarisan
bilateral”. Beliau menulis seperti:
“Jika telah kita insafi bahwa Qur’an anti clan (unilateral),tidak
menyukai sistim matrilineal dan patrilineal, karena sistim-sistim itu
28
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 11
29
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 11-15.
38
mengadakan syarat exogami bagi perkawinan, maka satu-satunya
conclusi yang dapat ditarik ialah bahwa Qur’an via ayat 24 An-Nisa’
itu menghendaki sebagai keridaan Tuhan suatu bentuk masyarakat
yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat
exogami (Exogami ialah larangan untuk mengawini anggota seclan,
atau dengan kata lain keharusan kawin dengan orang di luar clan).
Dalam hubungan ini maka tidak sesuai lagi bunyinya, manakala
Ahlusunnah Wa al-Jamaa’ah membedakan usbah dan yang bukan
‘usbah, umpamanya dalam lapangan kewarisan membedakan antara
‘asabat dengan pecahannya binafsihi, bi’ghairi dan ma’a ghairi di
satu pihak dan dzawu’larham di lain pihak, dalam menyalurkan sistim
kewarisan menurut Qur’an, yaitu kewarisan yang berpatok kepada
fara’id dalam suatu sistim model bilateral dan bukan model
patrilineal. Dzawu’l arham menurut Ahlussunnah Wa al-Jama’ah
mungkin mengenai seorang perempuan dalam usbahnya di pewaris,
tetapi umumnya mengenai orang-orang dari lain-lain ‘usbah yaitu
‘usbah pihak suami anak perempuannya atau ‘usbah pihak ayah dari
ibunya, pihak-pihak mana dapat kita bandingkan dengan pihak anak
boru dan pihak mora bagi orang Batak ditinjau dari kedudukan suatu
kahanggi. ‘Usbah dan ‘asbat dalam semua perinciannya adalah
bentuk-bentuk kekeluargaan patrilineal yang berlawanan dengan
bentuk bilateral”.30
Ketertarikan Hazairin melakukan untuk Istimbat adalah; pertama,
hukum kekeluargaan manakah yang sesuai dengan hukum kewarisan menurut
al-Qur’an. Kedua, kewarisan yang ada dalam al-Qur’an termasuk dalam jenis
kewarisan yang mana. Ketiga; apakah dalam hukum kewarisan al-Qur’an
dikenal garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti.31
Hazairin dalam menangkap maksud ayat-ayat al-Qur’an jika
dipelajari dengan beralatkan ilmu tentang berbagai bentuk kemasyarakatan
30
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Dan Hadits, h. 13-14
31
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, h, 79. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al Qur’an, h. 4.
39
(sistem kekeluargaan), di lapangan perkawinan dan kewarisan mencerminkan
suatu bentuk sistem kekeluargaan yang bilateral.32
Hazairin berpendapat, pada hakikatnya sistem kewarisan yang
terkandung dalam al-Qur’an adalah sistem kewarisan yang bercorak bilateral
(orangtua), seperti zu al-fara’id, zu al-Qarabah, dan mawali. Berlainan
dengan rumusan ahli fikih khusunya Mazhab Syafi’i yang menjelaskan
sistem kewarisannya bersifat patrilinial yaitu zu al fara’id, ‘asabah dan zu al-
arham. dan Syi’ah hanya menghimpun zu al fara’id dan zu qarabah yang
mereka dasarkan pada hubungan darah dalam arti seluas-luasnya.33
Kritikan Hazairin pada para mujtahid 'Ahlu al-Sunnah sebagai
kelompok mayoritas yaitu belum memperoleh bahan perbandingan mengenai
berbagai sistem kewarisan yang dapat dijumpai, sehingga fiqih 'Ahlu al-
Sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem
kekeluargaan patrilineal dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan
tentang bentuk kemasyarakatan belum berkembang.34
Keadaan ini, juga mempengaruhi para ulama ketika menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah saw, terutama tentang garis
32
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al Qur’an, h. 13.
33
Abdulllah Siddik, Hukum Waris Islam dan Perkembangnnya di Seluruh Dunia Islam, h. 6.
34
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tinta Mas,
1981), h. 2
40
hukum kekeluargaan, termasuk didalamnya garis hukum kewarisan.35
Kenyataan ini berakibat beberapa konstruksi hukum waris Islam dalam hal-
hal tertentu menurutnya harus dirombak dengan cara upaya interpretasi ulang
agar sesuai dengan corak hukum waris bilateral sebagaimana yang
sesungguhnya dipresentasikan al-Qur'an.36
Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu sistem
kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’an adalah sistem bilateral yang
individual, dengan keyakinan, bahkan disebutnya dengan istilah ‘ainul al-
yaqin (seyakin-yakinnya) bahwa secara keseluruhan al-Qur’an menghendaki
masyarakat yang bilateral dan keberagaman hukum kekeluargaan yang ada
dalam masyarakat adalah ikhtilaf manusia dalam mengartikan al-Qur’an.37
Pernyataan beliau antara lain: Pertama, apabila surat al-Nisa' ayat
22, 23 dan 24 diperhatikan, akan ditemukan adanya keizinan untuk saling
kawin antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan
bahwa al-Qur’âncenderung kepada sistem kekeluargaan yang bilateral.38
Kedua, surat al-Nisa’ ayat 11: fi auladikum (laki-laki dan
perempuan) yang menjelaskan semua anak baik laki-laki maupun perempuan
menjadi ahli waris bagi orang tuanya (ibu dan ayahnya). Ini merupakan
35
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h.75.
36
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Tranformatif, h. 4.
37
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 1.
38
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 13.
41
sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak
laki-laki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal, hanya
anak perempuan yang berhak mewaris dari ibunya dan tidak dari ayahnya.
Demikian pula wa liabawaihi dan wa warisahu abawahu (ayah dan ibu)
dalam ayat tersebut menjadikan ibu dan ayah sebagai ahli waris bagi anaknya
yang mati punah.39
Ketiga, surat al-Nisa’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi
semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris dari saudaranya
yang punah, tidak peduli apakah saudara yang mewaris itu laki-laki atau
perempuan.40
Hazairin mengkonsepkan kewarisan menjadi tiga bagian:
a. Zu al-Fara'id
Dalam pandangan Hazairin zu al-Fara'id terdiri dari:
1) Anak perempuan yang tidak beserta dengan anak laki-laki atau
menjadi mawali bagi anak laki-laki yang telah meninggal lebih dulu.
2) Ayah jika ada anak laki-laki dan atau perempuan,
3) Ibu,
4) Seorang atau lebih saudara laki-laki dan perempuan,
5) Suami, dan
39
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 14.
40
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 14.
42
6) Istri.41
Istilah zu al-Fara'id dipakai oleh Syafi’i maupun Hazairin. Zu
al-Fara'id secara bahasa berasal dari kata zu yang berarti mempunyai dan
al-Fara'id adalah jamak dari kata fa-ri-da yang mempunyai arti bagian.
Dengan demikian zu al-fara'id berarti orang yang mempunyai bagian-
bagian tertentu, atau ahli waris yang memperoleh bagian warisan tertentu
dan dalam keadaan tertentu.42
Di antara zu al-Fara'id tersebut ada yang selalu menjadi zu al-
Fara'id saja, dan ada pula yang sesekali menjadi ahli waris yang bukan zu
alfarâ'id, mereka yang selalu menjadi zu al-fara'id saja adalah ibu, suami,
dan istri. Sedangkan yang sesekali menjadi ahli waris yang bukan zu
alfara'id adalah anak perempuan, ayah, saudara laki-laki, dan saudara
perempuan. Baik Hazairin maupun Syafi’i dan golongan Syi’ah, mereka
mengakui adanya konsep zu al-fara'id.43
b. Zu al-Qarabah
Hazairin menolak konsep ‘Ashabah sebagaimana diterapkan
Syafi’i. Hazairin menyebut ‘asabah dengan istilah zu al-Qarabat. Zu al-
41
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, h, 82.
42
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, h, 82.
43
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, h. 18.
43
Qarabah adalah orang yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu,
mereka adalah:
1) Anak laki-laki dari ahli waris laki-laki atau perempuan. Mereka
mengambil bagian sebagai zu al-Fara'id sekaligus mengambil sisa
harta (zu al-Qarabat),
2) Saudara laki-laki atau perempuan baik dari pihak laki-laki atau
perempuan. Bagian mereka adalah sebagai zu al-Faraid sekaligus zu
al-Qarabat jika ada sisa harta,
3) Mawali (pengganti) bagi mendiang saudara laki-laki atau perempuan
dalam situasi kalalah (mati punah),
4) Ayah dalam keadaan kalalah setelah ia mengambil bagiannya sebagai
zu al-Fara’id,
5) Apabila terjadi bertemunya dua zu al-Qarabat, maka dapat dipilih dua
alternatif: Pertama; setelah harta dibagi kepada zu al-Qarabat, maka
sisanya dibagikan kepada kedua atau lebih zu al-Qarabat secara
merata, atau Kedua; sisa dari pembagian zu al-Fara'id kemudian
dibagikan menurut kedekatannya hubungan kekeluargaannya dengan
pewaris.44
44
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, h, 82-83.
44
c. Mawali
Mawali adalah mereka yang mewarisi harta sebab m