Upload
supatmono-nai
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
An Essay in Indonesian /Bahasa about producing the creative idea
Citation preview
Produksi Ide dan Atraksi Inspiratif Oleh : Supatmono
Bangsa Indonesia mestinya mampu menjual ide. Saat Sumber Daya Alam sulit
dijadikan komoditas andalan, maka kita harus menciptakan jembatan-jembatan menuju
inspiratifitas kolektif bangsa. Ide betapa pun hanya sekedar mimpi mestilah dimaknai
sebagai karya inspiratif pertama kemanusiaan. Di dalamnya bahkan mungkin terkandung
nilai bermakna kesucian, keunikan dan kenakalan yang cerdas, yang membebaskan diri
dari kungkungan dimensional wujud-wujud statik dan waktu-waktu niskala yang profan.
Apresiasi yang kuat, yaitu tersedianya perangkat uji, penilaian berimbang dan ukuran
reaksi eksplosif maupun deplosif atas massifikasinya, merupakan perangkat yang musti
diberadakan.
Fantasi dan film : Salah satu moda produksi ide
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah gagal mewujudkan mimpi-
mimpi besarnya, betapa pun kecil signifikansinya terhadap konstruksi realitas. Nabi-nabi,
para penemu , pemimpin besar bangsa mana pun pernah menggunakan mimpi sebagai
perangkat asertif, peneguh eksistensi diri. Lenardo Da Vinci adalah potret seorang
pemimpi yang inspiratif pada jamannya. Idenya mengatasi batas waktu dan keruangan.
Hingga hinggaplah realitas maknawiahnya sebagai masa depannya yang maujud di kekinian.
Kebanggaan menjual ide mestilah berangkat dari pemahaman bahwa manusia
mampu mengabstraksikan dirinya sebagai apa dan siapa pun kemungkinan hadirnya
representasi diri. Film merupakan salah satu media penjual ide. Dengan film, kita bisa
menjual cara penghadiran karakter diri, aksen-aksennya, cara pandang diri dan
menawarkan kemungkinan berbagi dalam spirit saling memahami. Bentuk pertarungan
eksistensial dapat dimanipulasi sebagai bahan ajar diri, cermin diri yang tidak menggurui
namun memberikan kesan-kesan yang illusif yang layak mencahaya. Ragam profanitas
kemanusiaan bisa dihadirkan sebagai kemungkinan diri mengalaminya sendiri dalam
sebuah rangkaian sebab akibat logis dan motif berempati, bereaksi secara rasawi dalam
batas kesadaran eksistensial . Dengan film kita bisa menjadi kupu, mentari, sungai dan
bahkan dinosaurus dalam batas kemungkinan-kemungkinan logis-metaforanya. Dengan
film kita bisa membunuh semua kepenatan ideasi dalam inspirasi-prokreasi.
Tantangan global
Globalisasi merupakan sebuah era baru. Ada perangkap dan sekaligus
pembebasan. Perangkapnya adalah keberagaman yang mesti diapresiasi sebagai keragaman
pranata diri. Nilai-nilai lokal dapat dilenyapkan sekedar sebagai data dan anggapan
prematur atas individualitas manusia lokal. Modernitas global merupakan momok bagi
keunikan dan alienasi bagi semangat berkelompok-tradisi. Perubahan yang semu karena
kemungkinan kemapanannya dilenyapkan oleh gegap fenomenalnya, merupakan persoalan
krisis global. Krisis global lahir dilatar belakangi pertarungan daya untuk memapankan
nilai-nilai global tersebut dalam suatu durasi yang sarat sosialisasi dan iklan pemasaran.
Penipuan global berikutnya adalah reaksi yang salah atas sebuah paparan konstruktif oleh
proses dekonstruksi. Kapan dan dimana mesti dilakukan rekonstruksi akhirnya lagi-lagi
muncul sebagai persoalan usang kemanusiaan, yaitu keadilan yang tertunda.
Di lain pihak globalisasi menawarkan pembebasan yang meruah dalam kesan
imajinatif yang terlihat tidak sulit dikonstruksikan sebagai realitas, karena tidak perlu lagi
mengadopsi pertimbangan nilai-nilai dalam sebuah proses pengambilan keputusan yang
rumit. Beragam ruang adaptif tercipta dan mengkomunal dengan kesyukurannya atas
semua keberadaan. Konservasi inspiratif muncul sebagai opsi-opsi positif yang menuntut
produktifitas ide, betapa pun sederhana bentuknya. Kebutuhan-kebutuhan manusia
menjadi tersederhanakan oleh waktu .Rantai produksi sedemikian cepat dan canggih
menciptakan komoditas dan menutupi lobang-lobang kebutuhan manusia modern.
Dengan kondisi semacam itu, maka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menjual
gagasan dalam moda dekonstruksi dari gagasan besar bangsa yang telah mapan secara
ideologis menjadi mungkin. Dan mungkin juga menjual ide sebagai pecahan-pecahan
duratif yang bakal terrekonstrusi oleh reaksi massa atas ikon-ikon publik yang
terpasarkan Masalah yang mungkin timbul adalah sulitnya kita membangun sebuah
kebanggaan nasional sebagai representasi kekuatan ideologis kita saat ini. Unit-unit
produksi nilai dan barang publik bangsa kita praktis lumpuh dan kita terjajah oleh moda
utilitas global. Nilai-nilai bangsa sering dan biasa kita lumpuhkan sendiri, kita kebiri
sendiri, kita sembelih sendiri dalam rantai birokrasi dan peraturan yang mengisolasi
sehingga menjadi nilai yang tak mendapatkan kesempatan memperoleh sandaran-sandaran
prosesnya menuju kemanfaatannya bagi diri dan kemungkinan mengiluminasikannya
sebagai tanda keberadaban diri.
Modal awal bangsa
Keberagaman eksistensi merupakan makanan sehari-hari bagi bangsa Indonesia.
Kita telah terbiasa beraksi, berinteraksi dan menginspirasi diri apa pun sederhananya
dalam kondisi plural. Ini tentu saja bisa menjadi modal bagi proses peletakan jembatan
konstruksi menuju inspirasi kolektif bangsa. Bila pun sering muncul persoalan di
dalamnya, maka yang selama ini terjadi dapat diatasi dengan moda-moda konservasi yang
telah ada. Dialog durasi optis dan auditif telah mampu kita lakukan dengan cara
beragam. Filosofi Ki Hajar Dewantoro telah mempolakan dialog tersebut dalam urutan
opsional kepemahamannya. Diam, aksi, dan keadilan antara keduanya telah terumuskan
dalam ukuran kesederhanaan manusia Indonesia yang belajar. Secara moral bangsa
Indonesia telah memiliki pranata dalam menghadapi dan menyikapi fenomena imagi dan
realisasi wujudiah makna-makna abstraknya. Artinya, kekhawatiran akan munculnya
kejatuhan moral bangsa ke dalam jurang kerendahdirian maknawinya mungkin bisa
dihindari dan diatasi oleh bangsa Indonesia.
Kerja adalah pemaafan dan sekaligus kesyukuran dari sebuah peradaban. Jika
sebuah peradaban telah sarat dengan manipulasi, ketakjujuran menyeluruh dan permainan
yang tak menggambarkan kecerahan yang cerdas, kecuali tuangan kemunafikan, alienasi
dan pengingkaran- pengingkaran , maka kerja lah sarana penyembuhan yang utama.
Sebuah rimba, iklim yang dingin memang menjadi tantangan besar bagi para pekerja film.
Tak ada sambutan yang hangat bagi para frontier di mana pun adanya. Tanpa bermaksud
mengecilkan hati para pekerja dan produsen ide Indonesia saat ini, kita layak berharap
secara khusus agar tangan-tangan kekuasaan modal dan birokrasi mengembangkan
keterbukaannya atas kerja positif anak-anak bangsanya. Tak harus Bapakisme yang mesti
mengajarkan langit penemuan diri. Namun barangkali kelembutan ibu pengetahuan yang
mesti memberi perlindungan yang kukuh dan sederhana. Langit terbuka, bumi merekah
dengan tunasnya dan rimba-rimba adalah kehangatan luah-luah inspiratif yang tak habis-
habisnya untuk kita gali, menjadi kekayaan peradaban..
Supatmono
Esais Anggota Komunitas KC - Alumni TF-ITB 88
Jalan Pratama 19 September 2009