Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Kebebasan Beragama
Dalam Perspektif Fiqh Siyasah
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Oleh :
RISKI ANANDA SIKUMBANG
NIM. 1410300027
PRODI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PADANGSIDIMPUAN
2018
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, puji Tuhan penulis panjatkan pada Tuhan yang telah merubah
siang jadi malam, malam jadi siang, pada Tuhan yang menciptakan alam semesta
sekaligus sebagai “sutradaranya”, sehingga kita tetap “nyaman” dalam beriman dan
berislam, serta komitmen sebagai insan yang haus akan ilmu pengetahuan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi sepanjang zaman tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai satu satunya reformis zaman
jahiliyah yang berhasil mengeluarkan umatnya dari kekufuran kepada cahaya iman
dan islam. Amin.
Adapaun skripsi yang berjudul `` Kebijakan dan Pandangan UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM Kebebasan Beragama `` merupakan salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada jurusan Hukum Tata Negara Fakultas
Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan.
Dalam terlaksananya penyusunan skripsi ini merupakan berkat adanya
bimbingan dari dosen yang sudah ditetapkan, dan juga berkat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof Dr. H, Ibrahim Siregar M.CL selaku Rektor IAIN Padamgsidimpuan,
beserta para Wakil Rektor, dan seluruh Civitas Akademika IAIN
Padangsidimpuan yang memberikan dukungan kepada penulis selama dalam
perkuliahan.
2. Bapak Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Ketua,
Seketaris, Staf Jurusan, serta seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Ilmu
Hukum yang telah banyak membantu penulis.
3. Bapak Dr. Ali Sati M.Ag sebagai pembing I dan Ibu Dermina Dalimunthe S.H
M.H sebagai pembimbing II yang telah menyempatkan waktunya untuk menelaah
dari bab per bab dalam pembuatan skripsi ini serta membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Yusri Fahmi, M.A., Kepala Perpustakaan serta pegawai perpustakaan yang
telah memberikan kesempatan dan fasilitas bagi peneliti untuk memperoleh buku-
buku selama proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
5. Teristimewa penghargaan dan terima kasih kepada Ayahanda Tercinta Syahril
Sikumbang dan Ibunda Tersayang Nora Wati Siregar yang telah banyak
melimpahkan pengorbanannya, kasih sayangnya dan doa yang senantiasa
mengiringi langkah penulis.
6. Saudara-saudara saya yang menjadi penemangat terkuat dalam perkuliahan dan
penulisan skripsi ini. Serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan
bantuan moril dan materil sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga
pintu keberhasilan terbuka lebar untuk kita semua sebagai buah perjuangan yang
sangat rumit dan panjang. Tetaplah berjuang, berusaha, dan berdoa kepada-Nya
semoga nikmat-nikmat-Nya selalu tercurahkan kepada kita semua.
7. Rekan-rekan Mahasiswa IAIN Padangsidimpuan Khususnya jurusan Hukum Tata
Negara, yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis.
8. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
Padangsidimpuan, Agustus 2018
Penulis,
RISKI ANANDA SIKUMBANG
NIM. 1410300027
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan
huruf, sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian lain dilambangkan
dengan huruf dan tanda sekaligus. Berikut ini daftar huruf Arab dan
transliterasinya dengan huruf latin.
HurufAr
ab
NamaHuruf
Latin Huruf Latin Nama
Alif Tidakdilambangkan Tidak dilambangkan ا
Ba B Be ب
Ta T Te ت
a Es (dengan titik di atas) ث
Jim J Je ج
ḥa ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Kha Kh Kadan ha خ
Dal D De د
al Zet (dengan titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Esdan ye ش
ṣad ṣ Es (dengan titik dibawah) ص
ḍad ḍ De (dengan titik di bawah) ض
ṭa ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
ẓa ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
ain .„. Koma ter balik di atas„ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ..‟.. Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal adalah vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa
tanda atau harakat transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
fatḥah A A
Kasrah I I
ḍommah U U و
b. Vokal Rangkap adalah vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa
gabungan antara harakat danhuruf, transliterasinya berupa gabungan huruf
sebagai berikut:
Tanda dan Huruf Nama Gabungan Nama
..... fatḥah dan ya Ai a dan i ي
fatḥah dan wau Au a dan u ......و
c. Maddah adalah vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut:
HarkatdanHuruf Nama HurufdanTanda Nama
ى........ ا.... fatḥah dan alif
atau ya
a dan garis
atas
Kasrah dan ya .....ىi dan garis
di bawah
و.... ḍommah dan
wau
u dan garis
di atas
3. Ta Marbutah
Transliterasi untuk Ta Marbutah ada dua.
a. Ta Marbutah hidup yaitu Ta Marbutah yang hidup atau mendapat harakat
fatḥah, kasrah dan ḍommah, transliterasinya adalah /t/.
b. Ta Marbutah mati yaitu Ta Marbutah yang mati atau mendapat harakat
sukun, transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya Ta Marbutah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang alserta bacaan kedua kata itu terpisah maka Ta
Marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
4. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid. Dalam transliterasi ini
tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama
dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
5. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu:
Namun dalam tulisan transliterasinya kata sandang itu dibedakan antara kata . ال
sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dengan kata sandang yang diikuti oleh
huruf qamariah.
a. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiah adalah kata sandang yang diikuti
oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/
diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung diikuti kata
sandang itu.
b. Kata sandang yang diikuti huruf qamariah adalah kata sandang yang diikuti
oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan
didepan dan sesuai dengan bunyinya.
6. Hamzah
Dinyatakan didepan Daftar Transliterasi Arab-Latin bahwa hamzah
ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya terletak di tengah dan
diakhir kata. Bila hamzah itu diletakkan diawal kata, ia tidak dilambangkan,
karena dalam tulisan Arab berupa alif.
7. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim, maupun huruf ditulis terpisah.
Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bisa dilakukan dengan dua
cara: bisa dipisah perkata dan bisa pula dirangkaikan.
8. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem kata sandang yang diikuti huruf tulisan Arab
huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga.
Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, diantaranya huruf
kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan
kalimat. Bila nama diri itu dilalui oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tesebut, bukan huruf awal kata
sandangnya.
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku dalam tulisan
Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan
kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak
dipergunakan.
9. Tajwid
Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman
transliterasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dengan ilmu tajwid. Karena itu
keresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.
Sumber: Tim Puslitbang Lektur Keagamaan. Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Cetakan Kelima. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur
Pendidikan Agama, 2003.
ABSTRAK
Nama : Riski Ananda Sikumbang
Nim : 1410300027
Judul : Pandangan dan Kebijakan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Kebebasan Beragama
Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana HAM
kebebasan beragama itu menurut UU yang mengaturnya, apakah ada paksaan
untuk kita memilih agama kita ,kemudian bagaimana juga penjaminan untuk
kebebasan bergama ini untuk kenyamanan setiap orang yang beragama.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya pandangan UU No. 39 Tahun 1999 tentang kebebasan beragama serta
bentuk penjaminan untuk HAM kebebasan beragama.
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah library
research atau pustaka, karena sumber data yang diperoleh berasal dari UU
(undang-undang), buku-buku serta media cetak tertulis lainnya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu berupa bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan judul penelitian.
Skripsi ini bermanfaat bagi penulis sebagai wahana berfikir kritis dan
kreatif terhadap sebuah fenomena yang terjadi di sekitar dan bentuk aplikasi
keilmuan yang pernah penulis peroleh selama kuliah. Dalam kajian ini digunakan
metode kepustakaan (library reserch). Setelah penulis mengadakan penelitian
dengan metode di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah
terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM kebebasan beragama melahirkan
aturan salah satunya yaitu Intruksi Mentri Agama RI No. 4 Tahun 1978 tentang
Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan. Kemudian penjaminan
kebebasan beragama sudah bisa diijamain secara efektif, karena keterlibatan
institusi agama ke ranah publik di Indonesia sangat menonjol, bahkan telah lama
di bentuk kementiran agama yang berfungsi untuk membina semua umat agama,
memfasilitasi urusan keagamaannya agar mereka dapat menjalankan kehidupan
beragama dengan baik.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i
SURAT PERNYATAAN MENYUSUN SKRIPSI SENDIRI ........................... ii
HALAMAN PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... iii
DEWAN PENGUJI SIDANG MUNAQASAH .................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Batasan Istilah ........................................................................................... 7
C. Batasan Masalah ....................................................................................... 8
D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9
G. Kajian Terdahulu .................................................................................... 10
H. Metode Penelitian ................................................................................... 11
I. Sistematika Penulisan .............................................................................. 12
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................. 13
A. Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) ....................................................... 19
B. Pengertian Hak Asasi Manusia ............................................................... 24
1. HAM dalam Perspektif Islam ........................................................... 26
2. HAM dalam Perspektif Konstitusi Indonesia ................................... 31
a. UUD 1945 .................................................................................. 32
b. Konstitusi RIS 1945 .................................................................. 34
c. UUDS 1950 ............................................................................... 35
d. Kembali Kepada UUD 1945 ..................................................... 36
e. Amandemen UUD 1945 ............................................................ 36
BAB III Kebebasan Beragama ......................................................................... 39
A. Kebebasan Beragama .............................................................................. 39
B. Hak Kebebasan Beragama dalam Islam ................................................. 50
C. Hak Kebebasan Beragama dalam Hukum Indonseia .............................. 55
BAB IV UU No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebaan Beragama
Dalam Perpekstif Fiqh Siyasah ................................................................. 58
A. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ................................ 58
B. Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Fiqh Siyasah ................... 59
C. Perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam
Siyasah .................................................................................................... 63
1. Perspektif Piagam Madinah ................................................................ 63
2. Perspektif Deklarasi Kairo .................................................................. 69
BAB V Penutup .................................................................................................. 72
A. Kesimpulan ............................................................................................. 72
B. Saran – Saran .......................................................................................... 73
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan
memeluk suatu agama atau kepercayaan yang di yakini kebenarannya. Hak
kebebasan beragama ini sebagian dimaknai sebagai bebas menganut kepercayaan apa
saja dan membuat aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak
beragama orang lain.
Namun begitu, Hak kebebasan beragama ini dibatasi oleh UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. kebijakan dalam bidang
hukum antara lain menggariskan perlunya penegakan hukum secara konsisten agar
lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta
penghargaan terhadap HAM.1
Tuntutan yang dikehendaki pada era reformasi saat ini adalah penguatan Hak
Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dua tuntutan itulah yang menjadi urgensi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tuntutan HAM dan
demokrasi begitu kuatnya, hingga pada akhirnya tuntutan itu terus menjadi tuntutan
yang sangat dinantikan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh karena tuntutan HAM
1 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama`` Vol.1 No.
2(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 175.
begitu kuatnya, maka hampir dalam setiap kehidupan mengatasnamakan HAM, tanpa
memperhatikan kewajibannya. Salah satu HAM yang dituntut adalah hak atas
kebebasan beragama.
Oleh karena kebebasan beragama adalah salah satu HAM yaitu hak
kebebasan manusia untuk memilih dan memeluk suatu agama atau kepercayaan yang
diyakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal dan hati nuraninya. Dengan
demikian,``kebebasan beragama berkaitan dengan keyakinan hidup untuk memilih
agama beserta ajaran yang terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya sebagai
pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan warga dunia``. Aspek lain yang
termasuk dalam pengertian kebebasan beragama adalah kebebasan untuk
menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran agamanya, perlindungan terhadap
perasaan keagamaan (Tuhan) dan kitab suci, perlindungan tempat-tempat dan sarana
peribadatan, perlindungan terhadap pemuka-pemuka agama dan kebebasan untuk
melakukan dakwah.2
Islam mendorong umat manusia untuk memeluk agama sesuai dengan
keyakinannya, bukan karena warisan maupun paksaan. Islam membuka diri untuk
dikritik dan dianalisis kebenaran ajarannya. Bahkan, Allah menantang orang-orang
yang tidak percaya kepada kebenaran Al-Qur`an untuk membuat satu ayat saja
semisal dengannya.
2 Ibid, hlm 176.
Jadi, sudah jelas bahwa dalam penjelasan Al Qur`an juga mendukung
kebebasan beragama dan tidak terdapat paksaan bagi siapa saja untuk memilih
agama-agama yang dipilih dan diyakini oleh siapa saja yang ingin menganut
agamanya.
Kemudian, salah satu hak asasi yang dimiliki manusia sebagai anugerah
Allah adalah kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Manusia
diberi keluasan oleh Allah SWT, apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau
jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya, manusia akan dimintai pertanggungjawaban
di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini :
Artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.
dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S
Al-Kahfi : 29)3
3 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 297.
Isi dari QS. Al Kahfi ayat 29 di atas menjelaskan, bahwa kebenaran ajaran
agama Islam seharusnya diimani dengan diikrarkan di dalam hati, dinyatakan melalui
lisan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi bagi Allah SWT pada
dasarnya Allah SWT tidak memaksa dalam soal agama, maka bebas saja bagi setiap
manusia untuk memilih jalan Iman atau Kafir.
Allah SWT hanya memberikan pilihan-pilihan, ada pilihan baik dan ada
pilihan buruk. Lalu Allah SWT berikan petunjuk-Nya di muka bumi selanjutnya
manusia diwajibkan untuk melakukan ikhtiyar yakni berusaha memilih di antara
pilihan pilihan takdir yang sudah Allah SWT tetapkan tersebut.
Siapa yang memilih kebaikan lalu dibuktikannya dengan perbuatannya, maka
sebesar apapun kebaikannya akan diperlihatkan oleh Allah SWT, begitu pula
sebaliknya sekecil apapun perbuatan buruk juga akan diperlihatkan kepadanya,
sebagaimana Firmannya yaitu :
Artinya : Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (kebaikan) 7. Dan brang siapa mengerjakan kejahatan seberat
zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (Q.S Al-Zalzalah : 7-8).4
Ayat ini menjelaskan bahwa sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan maka
Allah SWT akan membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan pula dan memberi
4 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 599.
perlindungan. Begitu juga sebaliknya, sekecil apapun keburukan yang kita lakukan,
maka Allah SWT juga akan membalasnya dengan balasan keburukan yaitu neraka.
Dalam hadist juga menjelaskan yang sebagaimana isinya :
ج خلف الب وب قبه : م الله ع عي أب العببس عبد الله بي عببس زض
هب، فقبه : ب غلام إ أعلول ملوبث: سلن احفظ الله صلى الله عل
ج فبسخعي إذا اسخع حفظل، احفظ الله حجد حجبل، إذا سألج فبسأه الله
ك إلا فع ء لن ك بش اجخوعج على أى فع ت ل اعلن أى الأه ببلله،
ء قد مخب ك إلا بش ء لن ضس ك بش إى اجخوعا على أى ضس الله لل،
حف جفج الص ء قد مخب الله علل، زفعج الأقلام ]زا الخسهري بش
قبه : حدث حسي صحح ف زات غس الخسهري: احفظ الله حجد
اعلن أى هب أخطأك أه دة، خبء عسفل ف الش ف إلى الله ف الس بهل، حعس
بس، اعلن أى الصس هع الص هب أصببل لن ني لخطئل، بل، لن ني لص
أى أى الفسج هع النسة هع العسس سسا[.
Artinya : Dari Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahuanhuma, beliau
berkata: Suatu saat saya berada dibelakang nabi shallallahu`alaihi wa
sallam, maka beliau bersabda: Wahai ananda, saya akan mengajarkan
kepadamu empat perkara: Jagalah Allah), niscaya Dia akan menjagamu,
Jagalah Allah niscaya Dia akan selalu berada di hadapanmu, Jika kamu
meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan,
mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya jika suatu
umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu,
mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang
telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk
mencelakakanmu atas sesuatu, niscaya mereka tidak akan
mencelakakanmu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu.
Pena telah diangkat dan lembaran telah kering) . (Riwayat Turmuzi dan
dia berkata: Haditsnya hasan shahih).
Isi dari kandungan Hadist ini menjelaskan bahwa siapa yang menjalankan
perintah – perintah Allah SWT, maka Allah SWT akan menjaga dan melindunginya
dunia dan akhirat. Dan siapa yang beramal saleh serta melaksanakan perintah Allah
SWT, maka dapat menolak bencana dan mengeluarkan seseorang dari kesulitan.
Jadi, intinya yaitu kita boleh bebas memilih agama apa saja sesuai dengan
keyakinan, tetapi Allah memberikan kita pilihan apakah mengikuti petunjuk-Nya
atau tidak. Jika kita mengikuti petunjuk-Nya, maka kita harus menjalankan semua
perintah Allah dan menjahui semua larangan Allah. Dan siapa saja yang melakukan
hal tersebut maka Allah akan melindunginya di dunia dan akhirat.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Ham kebebasan beragama diatur dalam pasal
22 ayat 1 dan 2. Di dalamnya secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya masing-
masing. Artinya kita bebas memeluk agama apa saja sesuai dengan yang kita yakini
dan kita percayai tanpa adanya paksaan.5
Kemudian, di dalam UUD 1945 kebebasan beragama diatur di dalam Pasal
28E ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan atau kebebasan beragama. Selain itu dalam Pasal 28I ayat 1
juga mengatur kebebasan beragama yang menegaskan bahwa hak beragama
merupakan hak asasi manusia.6
5
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
6 UUD 1945 Pasal 28E tentang kebebasan beragama.
Dari penjelasan diatas, lalu bagaimana UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham
kebebasan beragama jika ditinjau dari perpestif Fiqh Siyasah, apakah sama dengan
prinsip Siyasah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis termotivasi melakukan
penelitian lebih lanjut lagi dalam bentuk skripsi dengan mengangkat judul ‘’ UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Fiqh
Siyasah ‘’.
B. Batasan Istilah
Untuk membatasi pemahaman tentang istilah yang digunakan dalam
penelitian ini perlu penulis menjelaskan beberapa istilah :
1. Ham adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.7
2. Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan
memeluk suatu agama atau kepercayaan yang di yakini kebenarannya.
3. Fiqh adalah adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syaria\'t, yang
bersifat amaliah (praktis), yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
4. Siyasah adalah bersal dari akar kata سبســت -سبس yang artinya mengatur,
mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Di dalam Kamus al-Munjid
7 Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000),
hlm. 120.
dan Lisan al-\'Arab, kata siyasah kemudian diartikan pemerintahan, pengambilan
keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan atau perekayasaan.
Untuk selanjutnya al-siyasah kadang-kadang diartikan, memimpin sesuatu
dengan cara yang membawa kemaslahatan.
C. Batasan Masalah
Supaya penelitian ini fokus dan terarah, maka penulis membatasai masalah
terhadap penelitian ini yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham kebebasan
beragama dalam Perspektif Siyasah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, kiranya penulis dapat merumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama
dalam Perspektif Fiqh Siyasah apakah ada persamaan dengan UU ?
2. Bagaimana perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam
Siyasah ?
E. Tujuan Penelitian
Setelah memberikan batasan dan rumusan masalah, penulis dapat
mendeskirpsikan tujuan penulisan ini diantaranya yaitu :
1. Untuk mengetahui UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama
dalam perspektif Fiqh Siyaah.
2. Untuk mengetahui perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama
dalam Siyasah.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi
pengetahuan berkaitan dengan HAM Kebebasan Beragama, yang meliputi :
1. Diharapakan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi Hukum, tokoh
masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas berkaitan dengan
pengetahuan sekaligus pemahaman tentang sejarah maupun pengertian HAM
(Hak Asasi Manusia).
2. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi hukum, tokoh
masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas berkaitan dengan
pengetahuan tentang Kebebasan Beragama.
3. Diharapkan dapat memberikan kontribusi gambaran secara komprehensif kepada
praktisi hukum, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas
tentang bagaimana UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Bergama
dalam perspektif Fiqh Siyasah.
G. Kajian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, sudah ada penelitian yang berhubungan
dengan penelitian penulisan ini, yaitu :
Penelitian Saepul Agna, dalam skripsinya yang berjudul The Wahid Institute
dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia Perpekstif Gerakan Sosial. Dalam
penelitian tersebut saudara Saepul Agna hanya meneliti tentang Gerakan Kebebasan
Beragama The Wahid Institute, yang meliputi Profil The Wahid Institute, Perspektif
Gerakan Sosial, dan Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian
Kualitatif.
Penelitian Sigit Riono, dalam skripsinya yang berjudul Hak Kebebasan
Beragama di Indonesia (Studi Socio-Legal dalam Kasus Ahmadiyah). Dalam
penelitian tersebut saudara Sigit Riono menelititi tentang Pengaturan hak kebebasan
beragama di Indonesia dalam peraturan hak asasi manusia secara hukum pada
kelompok aliran agama Ahmadiyah, pendekatan penelitian yang digunakan adalah
yuridis sosiologis.
Penelitian Frans Sayogie, dalam skripsinya yang berjudul Hak Kebebasan
Dlam Islam ditinjau dari Perlindungan Negara dan Hak Asasi Manusia Universal.
Dalam penelitian tersebut, saudara Frans Sayogie meneliti tentang Ruang Lingkup
hak Kebebasan Beragama, dan bentuk perlindungan negara terhadap kebebasan
bergama. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan Historis.
Akan Tetapi, penulis membahas secara spesifik pada skripsi yang berjudul
``UU No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebasan Beragama di Tinjau dari Fiqh
Siyasah ``, dan penelitan ini jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya bahwa judul
ini belum pernah dibahas.
H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif,8 karena data dan
sumbernya tidak dapat dipisahkan dengan data-data kepustakaan, antara lain berupa
buku-buku, majalah, jurnal. Adapun pendekatan dalam penelitian karya ilmiah ini
menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), karena peneliti
beranjak dari undang undang dan peranturan yang berhubungan dengan penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi pustaka,
yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan hukum tersier yang berkaitan
dengan judul penelitian.
3. Unit Analisis / Subjek Penelitian
Unit analisis atau subjek penelitian yaitu berupa UU No. 39 Tahun 1999,
karena sumber informasi berasal dari dan UU No. 39 Tahun 1999.
4. Sumber Data
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), Cet. Ke-3, hlm. 95.
Dalam penelitian ini, data bersumber dari literatur-literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti, diantaranya bahan sekunder, yaitu Al Qur an,
UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999. Kemudian bahan tersier terdiri dari kamus
dan ensklopedia.
5. Teknik Analis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi, yang
merupakan pembahasan dari bacaan tercetak tentang Kebijakan dan Pandangan UU
No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebasan Beragama, karena data yang
diperoleh tersebut merupakan data kualitatif.
I. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I, Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang masalah , Pembatasan
dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metode
Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II, dalam bab ini akan dibahas tentang Pengertian dan Sejarah HAM
(Hak Asasi Manusia).
BAB III, dalam bab ini akan membahas tentang Kebebasan Beragama,
Kebebasan Beragama dalam Islam dan Kebebasan Beragama dalam Hukum
Indonesia.
BAB IV, dalam bab ini akan dibahas tentang UU (Undang - Undang) No. 39
Tahun 1999 tentang Ham kebebasan bergama dalam perpekstif fiqh siyasah dan
perlindungan negara terhadap kebebasan beragama dalam siyasah.
BAB V, dalam bab ini merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan
Saran-Saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah HAM (Hak Asasi Manusia)
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara
universal sebagai a moral, political, legal framework and a guideline dalam
membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta
perlakuan yang tidak yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum,
jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus
ada di setiap negara yang dapat disebut rechsstaat. Bahkan, dalam perkembangan
selanjutnya, jaminan-jaminan Hak Asasi Manusia itu juga diharuskan tercantum
dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi
konstitusional (constitutional democracy). Jaminan ketentuan tersebut dianggap
sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi
ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan
negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.
Namun, sebelum sampai ke tahap perkembangannya yang sekarang, baik
dicantumkan dalam berbagai piagam maupun dalam naskah undang-undang dasar
berbagai negara, ide hak asasi manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang
panjang.1 Sejak abab ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia
1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
PSHTN-FHUI, 1983), hlm. 34.
sudah dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 oleh raja John
Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia.
Dari segi isi, Magna Charta, hanya melindungi kepentingan kaum bangsawan dan
gereja. Akan tetapi, jika dilihat dari segi perjuangan hak asasi manusia, Magna
Charta, setidak-tidaknya menurut orang Eropa, diakui sebagai yang pertama dalam
sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang.2
Setelah Magna Charta (1215), tercatat pula penandatanganan Petition of
Rights pada tahun 1628 oleh raja Charles I. Apabila pada tahun 1215 raja berhadapan
dengan kaum bangsawan dan gereja sehingga lahirlah Magna Charta, maka pada
tahun 1628, raja berhadapan dengan Parlemen yang terdiri dari urutan rakyat (House
of Commons). Oleh karena itu, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahm,
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki
kolerasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi. Sebab, perjuangan hak-
hak asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh-dekatnya rakyat
dengan ide demokrasi.
Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights
yang ditandatangani oleh raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari
pergolakan politik yang dahsyat yang biasa the Glorios Revolution. Glorious
Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja,3 akan tetapi
2 Mr. Suwandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Modern,
(Djakarta: Pembangunan, 1957), hlm. 8. 3 G.J. Wolhoff, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Djakarta: Timun Mas, 1960),
hlm. 140.
juga menggambarkan rentetan kemenagan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang
menyertai perjuangan Bill of Rights yang berlangsung tak kurang dari 60 tahun
lamanya.4
Dalam perkembanganya selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia
banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke
dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai pelatak dasar bagi teori
Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau,
John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang bisa dinisbatkan
kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Perbedaan pokok
antara Hobbes dan John Locke adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes
menghasilkan monarki absolut,5 maka teori John Locke menghasilkan monarki
Konstitusional.
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi
manusia merupakan jalan keluar untuk mangatasi keadaan. Dalam keadaan demikian,
manusia tak ubahnya bagikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut
Leviathan yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul bukunya.6
4 Ricahrd P. Claude `` The Classical Model of Human Rights Develoment ``, dalam Richard
P. Claude (ed), Comparative Human Rights, (London: The John Hopkins University, 1977), hlm. 13. 5 Thomas Hobbes sendiri lahir sebagai bayi prematur di tengah suasana perang saudara
(civil war) di Inggris pada tahun 1588. Dalam karirnya, pernah menjadi sekretaris Raja Charles I yang
menghadapi parlemen. Oleh karena itu, buku utamanya, yaitu De Cive (1643) dan Leviathan (1651)
mencerminkan jalan pikiran Hobbes yang demikian itu. Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudence,
(Kuala Lumpur: International Law Book Services 1994), hlm 43. 6 A. Appadorai, The Subtance of Politics, (India: Oxford University Press, 2005), hlm. 24-
26.
Menurut Hobbes, keadaan seperti itulah yang mendorong terbentuknya
perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada
penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori monarki
absolut.7
Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut
menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang diserahkan,
menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata,
sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke
juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang
disebutnya sebagai Second Treaties of Civil Goverment yang juga menjadi judul
bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu
dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik negara.
Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis.
Dalam instansi berikutnya, yang disebutkan sebagai Pactum Subjections,
Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi (pactum
unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dikarenakan setiap individu selalu
memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yaitu life, liberty serta estate, maka adalah
logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing
individu.
Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari dijadikan landasan
bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam
7 Ibid. hlm. 21-24.
Decleration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah
disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang bersatu.
Di Amerika Serikat, perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh
karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa
terindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh
bangsa Prancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin ileh pemerintah raja
bersifat absolut. Sebagi reaksi terhadap absolutisme itulah, Montesquieu
merumuskan teorinya yang dikenal istilah Trias Politica yang dikemukakannya
dalam buku L`esprit des Lois (1748).8
Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam 3 (tiga)
bagian yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga bagian itu tersebut harus
dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu
menurutnya sangay penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di
tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang
mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang
lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.
Sementara itu, Jean Jacques Rosseau melalui bukunya Le Contrat Social
menghendaki adanya suatu demokrasi, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat.
Pandangan Rosseau ini banyak dipengaruhi oelh pemikiran Thomas Hobbes dan
John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan
rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan raja Louis XVI memanggil Etats
8 Appadorai, Op. Cit.,. hlm. 516-517.
Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Akan tetapi kemudian, utusan kaum
borjuis menyatakan dirinya sebagai Assemble Nationale yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis. Pada tanggal 20 Juni 1789 mereka
bersumpah untuk tidak membubarkan diri sebelum Prancis mempunyai konstitusi.
Selanjutnya, Assamble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan
Konstituante. Pada tanggal 26 Agustus 1789 ditetapkanlah `` Pernyataan Hak-Hak
Asasi Masnusia dan Warga Negara `` (Declaration des droit de l`homme et du
citoyen). Sesudah itu, yaitu pada tanggal 13 Seotember 1789, lahirlah Konstitusi
Prancis yang pertama.
Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Prancis tersebut
(Decleration des droit de l`homme et du citoyen) dapat dikatakan dipengaruhi oleh
Decleration of Indenpendence Amerika Serikat, terutama berkat jasa antara lain
seorang warga negara Prancis yang bernama La Fayette yang pernah ikut berperang
di Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika Serikat berhasil mencapai kemenangan
dan American Decleration of Indenpendence ditandatangani pada tahun 1776,
salinan naskah deklerasi tersebut.
Pada waktu Prancis menyusun Decleration des droit de l`homme et du
Citoyen (1789), Decleration fo Indenpendence Amerika Serikat (1776) itu banyak
ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, deklerasi tersebut banyak ditiru
pula oleh negara-neggara eropa lainnya.
Oleh karena itu, kedua naskah deklerasi yaitu Decleration of Indenpendence
Amerika Serikat (1776) dan Decleration des droit de l`homme Citoyen Prancis
(1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan
universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklerasi ini, kemudian disusul oleh
The Universal Decleration of Human Rights tahun 1948 menjadi contoh bagi semua
negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi
yang menghormati dan melindungai hak-hak asasi manusia.
Kejadian lain yang juga penting yang terjadi dalam perkembangan hak-hak
asasi manusia adalah kemenangan demokrasi atas pemerintahan diktator dan facist
Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia ke-II. Setelah Perang Dunia ke-II
berakhir dengan kemenangan berada di pihak Sekutu, maka melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) disepakati suatu Universal Decleration of Human Right di
Paris pada tahun 1948, dengan perbandingan suara sebagai berikut, 48 setuju dan 8
blanko. Meskipun Universal Decleration of Human Rights tersebut tidak mengikat
bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, namun diharapkan agar negara-
negara anggota PBB dapat mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasar
masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga norma hukum
yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestik di
masing-masing negara anggota. Salah satu Undang-Undang Dasar yang secara
lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Decleration of
Human Rights tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
tahun 1950.
Namun demikian, dilakukannya naskah universal Decleration of Human
Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencakup akar-akar penindasan di
semua negara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya
mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat
mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB
berhasil juga melahirkan Convenat on Economic, Social and Cultural Rights
(Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan Convenant on Civil
and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik).
Kedua cnvenant tersebut dapat dipandang sebagai perturan pelaksanaan atas
naskah pokok Universal Decleration of Human Rights. Sehingga secara yuridis
meratifikasikan kedua conenant ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat
secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak
asasi manusia didunia. Terlebih lagi, apabila diingat bahwa kedua covenant tersebut
baru dapat berlaku mengingat secara yuridis segera telah diratifikasikan oleh sedikit-
dikitnya 35 negara anggota PBB.
Setelah kedua covenant ini, berbagai instrumen hukum internasional
diadopsikan oleh PBB untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang,
instrumen-instrumen PBB dimaksud dapat kita susn secara berturut-turut sebagai
berikut:
1. Universal Decleration of Human Right, 1948.
2. Convention on the Prevention and Punishmen of the Crime of Genocide,
1984.
3. International Convention on the Elimination of All Forms of Radical
Discrimination, 1965.
4. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966.
5. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.
6. Convenant on the Elimination of All Forms of Discrimonaiton gainst
Women, 1979.
7. Convenant against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading
Treatment or Punishiment, 1984.
8. Convention on the Rights of the Child, 1989.
Selain itu, ada pula beberapa instrumen hak asasi manusia yang bersifat
regional, yaitu yang diberlakukan di wilayah Amerika, Eropa atau yang biasa disebut
sebagai European Human Rights Instrument adalah:9
1. Covenant for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms
(1950), beserta 13 protokol tambahan.
2. European Social Charter (1961) sebagaiman telah diubah pada tahun 1991
dan 1996, dengan protokol tambahan pada tahun 1988 dan 1995.
3. European Convention fot the Prevention of Torture and Other Inhuman
and Degrading Treatment (1987).
9 Wolfgang Benedek and Minna Nikolova, Understanding Human Rights: Manual an
Human Rights Education, Eoropean Trainig Research Center for Human Rights and Democracy,
(Austria: Graz, 2003), hlm. 27.
4. Final Act of Helsinki (1975) and Follow-up Process of CSCE/OSCE with
Charter of Paris for New Europe (1990).
5. European Charter for Regional Or Minority Languages (1992)
6. Framework Convention fot the Protection of National Miniorities (1994).
7. Charter of Fundamental Rights of the European Unions (2000).
Di kawasan benua Amerika, deklerasi yang dapat dikatakan pertama adalah
American Decleration of the Rights and Duties of Man tahun 1984, yaitu bersamaan
dengan ditandatanganinya The Charter of the Organization of America State (OAS).
Sampai sekarang tercatat ada 7 (tujuh) instrumen10
hak asasi manusia yang telah
diadopsikan di wilayah Amerika, yaitu:
1. Amerika Decleration on Human Rights and Duties of Man (1984).
2. Inter-American Commission on Human Rights (1959).
3. American Convention on Human Rights yang diadopsikan pada tahun
1969, tetapi baru mulai diberlakukan pada tahun 1978.
4. Inter-American Court on Human Rights yang diadopsikan tahun 1979,
tetapi baru berlaku tahun 1984.
5. Additional Protocol on Economic, Social, and Cultural Rights (1988).
6. Additional Protocol on the Abolition of the Death Penalty (1990).
10
Dalam Manual on Human Rights Education yang disunting oleh Wolgang Benedek dan
Minna Nikolova sebagagaimana dikutip di atas, juga diesbut adanya Inter-American Comission on
Women tahun 1928. Akan tetapi, sebelum diadopsinya American Decleration of the Rights and Duties
of Man pada tahun 1984, dapat dikatakan belum banyak pengaruhnya bagi seluruh kawasan Amerika,
dan karena itu sengaja tidak ditambahkan dalam ke-7 daftar instrumen ini.
7. American Convention on the Prevention, Punishiment and Eradication of
Violence against Women (1994).
Dilingkungan negara-negara Afrika, juga sudah banyak instrumen hak asasi
manusia yang dirumuskan. Instrumen yang sekarang berlaku sebagai instrumen hak
asasi manusia adalah:
1. African Charter on Human dan People Rights (1981)
2. African Comission on Human and People Rights (1987).
3. Protocol on the Establishment of an African on Human and Peoples Rights
(1997).
4. Protocol on the Rights of Women (sampai sekarang belum disahkan oleh
African Unions).
5. African Charter on the Rights and Welfare the Child (1990).
Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus dii
kawasan tertentu. Misalnya, dikalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam
Liga Arab (Arab League) telah berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights
yang disahkan oleh the Council of the League of Arab Stares pada tanggal 15
september 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu
belum dapat memiliki instrumen. Regional hak asasi manusia yang terdiri tersendiri,
yaitu kawasan benua Asia.
Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat
(NGO`s), tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan
mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Decleration of
Human Rights 1948, pernah diadakan suatu Euro-Asian Dialogue di antara Uni
Eropa dan negara-negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialog antara Uni Eropa
dengan Cina. Akan tetapi, forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan.
Mungkin Komisi Nasional Hak Aasi Manusia Indonesia sebagai negara demokrasi
yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai
hai ini dimasa yang akan datang.
B. Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara umum, istilah hak asasi manusia sering dinamai dengan hak-hak yang
melekat pada diri manusia sejak lahir.11
Mariam Budiardjo mengatakan bahwa hak
asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.12
Sedangkan
menurut Jan Meterson dan Komisi HAM PBB bahwa hak asasi manusia adalah hak-
hak yang melekat pada manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat
hidup sebagai manusia.13
Selanjutnya ia mengungkapkan bahwa hak tersebut adalah
hak yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan YME bukan pemberian manusia
atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia
yang bersifat kodrati, yakni ia tidak dapat terlepas dari dan dalam kehidupan
manusia.
11
Eggi Sudjana, Ham dalam Perpekstif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan
Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuasa Madani, 2000), hlm. 3. 12
Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000),
hlm. 120. 13
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: IAIN Press, 2000), hlm. 207.
Dengan denefisi hak yang melekat pada diri manusia, John Locke
mangungkapkan bahwa, HAM merupakan hak-hak yang diberikan Tuhan secara
langsung. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang dapat mencabut hak-hak dasar
tersebut. Dalam undang-undang tentang hal asasi mansuia Pasal 1 dinyatakan bahwa:
``Hak asasi manusia adalah sepeerangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia``14
Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua hak fundamental, yaitu hak
persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak tersebut lahir hak-hak lain yang
sifatnya turunan, atau tanpa keduanya hak-hak turunan tersebut sulit untuk
ditegakkan. Adapun hak-hak turunan tersebut adalah meliputi segala hak-hak dasar
(hak hidup, hak beragama, hak berpendapat, dan hak perlindungan) yang layak,
ditambah dengan hak persamaan di muka hukum, hak milik, hak memperoleh
kecerdasan intelektual.
14
Hak Asasi Manusia, Undangiundang Republik Indonesia, Nomor 39 tahun 1999,
Lampiran, hlm 1.
1. HAM dalam Perpekstif Islam
Islam telah meletekkan dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh
sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan - ketentuan, sebagaimana firman Allah SWT
Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi.(Q.S Al-Maidah : 32)15
Penjelasan ayat ini yaitu supaya manusia menghindarkan diri dari perilaku
tindak kekerasan, karena kekerasan merupakan tindakan pelanggaran dan termasuk
juga pelanggaran HAM (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, pembunuhan dll)
yang menyebabkan penderitan atau menyakiti orang lain. Kemudia di dalam hadis
juga menjelaskan yang berbunyi :
15
Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran.2009,
hlm. 113.
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فقتل أحدهما صاحبه فالقاتل والمقتول في النار
Artinya : Apabila dua orang muslim bertemu (berkelahi) dengan pedang mereka
berdua, lalu salah satunya membunuh yang lain, maka yang membunuh
dan yang dibunuh di neraka.16
Kemudian dalam hadis lain yang sama dengan hadis diatas yaitu :
م الله عليه الجنة من قتل معاهدا في غير كنهه حر
Artinya : Siapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang memiliki perjanjian
damai) pada selain waktu yang diperbolehkan membunuhnya (yaitu ketika
di luar perjanjian), Allah haramkan surga baginya (pembunuh tersebut).”
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya, juz 5/36, 38,50,51,52; Ibnu Majah,
Kitabud Diyat 32, dari Abu Bakrah)17
Kedua hadis ini menjelaskan, bahwa pembunuhan hanya diperbolehkan
ketika ada sebab yang mengharuskannya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t
mengatakan: “Dan ayat ini menunjukkan bahwa pembunuhan itu diperbolehkan
dengan salah satu di antara dua sebab, yaitu membunuh jiwa dengan sengaja dengan
cara yang tidak dibenarkan agama, maka orang tersebut boleh dibunuh apabila dia
mukallaf (baligh dan berakal) dan setingkat, serta bukan ayah dari yang terbunuh.
Yang kedua, dia membuat kerusakan di bumi dengan merusak agama atau jiwa atau
harta manusia, seperti orang-orang kafir yang murtad dan menyerang, serta para
penyeru bid’ah yang tidak bisa ditangkal kejelekannya kecuali dengan dibunuh.
16
Asysyariah.com, Islam Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia, diakses pada tanggal 29-
09-2018 pada pukul 09.10.
17 Lot.cit
Demikian juga para perampok di jalan dan sejenis mereka, dari orang-orang yang
mengacaukan manusia dengan membunuh atau mengambil harta mereka.
Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM dewasa
ini, persoalan tentang universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem
nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam perbincangan wacana
HAM kontemporer. Harus diakui bahwa agama berperan memberikan landasan etik
kehidupan manusia.18
Perkembangan wacana global tentang HAM memberikan penilaian tersendiri
bagi posisi Islam.19
Hubungan antara Islam dan HAM muncul menjadi isu penting
mengingat, kecuali di dalamnya terdapat interprestasi yang beragam yang terkesan
mengundang perdebatan yang sengit,20
perkembangan politik global memberikan
implikasi tersendiri antara hubungan Islam dan Barat.
18
Rasjidi, ``Sumbangan Agama Terhadap Hak-hak Asasi Manusia``, dalam Hukum dan
Masyarakat (Jakarta: Madjalah PERSAHI, No. 2, Th VIII, 1968), hlm. 85-96. 19
Rasjidi mengatakan, Piagam PBB tentang HAM didahului dengan Preamble yang
berbunyi: Hereas recognition of the inherant dignity and inalienable rights of all members of the
human familiy is the foundation of freedom, justice and peace in the world....Perkataan Inherent
dignity, yang disalin oleh Kementrian Penerangan sebagai martabat alamiahm bagi saja memberi kesan
tentang pengaruh perkembangan ide hak-hak asasi manusia yang berkembang sebagai lanjutan
perkembangan teori politik di Benua Eropa, yang lama berusaha membebaskan diri dari pengaruh
gereja, Selama perkembangan itu ajaran Islam tidak diketahui oleh Dunia Barat dan tidak dimengerti
atau diindahkan oleh Muslim sendiri yang negaranya merupakan kekuasaan yang berdasar atas
kekuatan rakyatnya hidup dalamserba ketakutan. Lihat Rasjidi. lot.cit. 20
HAM perpekstif Barat mengalami kritik tajam dari kalangan Muslim. Diyakini bahwa
HAM versi barat cendrung emphrical and intellectual minded, sementara HAM dalam perpekstif Islam
bersandar pada otoritas transendental, wahyu Tuhan. Pembahasan lebih lanjut dapt dilihat Irene Bloom
et al., Religious Diversity and Human Rights (New York: Columbia University Press, 1996), hlm 175-
191, 213-239, 313-337; Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Kuala Lumpur:
Ilmiah Publisher Sdn, Bhd, 1998), hlm. 16-24: Abul A`la al-Maududi, Human Rights in Islam (Delhi:
Marzaki Maktaba Islami, 1982); Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law (New Delhi:
Institute of Objective Studies, 1993); Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, (India, Nusrat Ali
Nasri for Kitab Bhavan, 1978). Perdebatan antara Islam dan Barat juga terjadi dalam konteks filsafat
Meskipun aspek terakhir ini memberikan konsenkuensi yang signifikan bagi
munculnya interprestasi terhadap hubungan islam dan HAM, tetapi perlu dicatat
bahwa faktor tersebut tidaklah dapat dipandang kecil.21
Islam dan Barat menurut A.K
Broni, sebenarnya mnguoayakan ercapainya pemeliharaan HAM dan kemerdekaan
fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan terletak pada pendekatan
yang dipergunakan.
Menurut Supriyanto Abdi,22
setidaknya terdapat tiga varian pandangan
tentang hubungan Islam dengan HAM, baik yang idkemukakan oleh para sarjana
Barat atau pemikir Muslis sendiri,23
yakni: pertama, menegaskan bahwa Islam tidak
sesuai dengan gagasan dan konsepsi Ham modern, Kedua, menyatakan bahwa Islam
menerima semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi, pada saat yang sama,
hukum. Jadi, kalu HAM juga dikaji dalam studi hukum, maka perbedaan sudut pandang secara filisofis
tak bisa dihindari. Lihat lebih lanjut Majda El-Muhtaj. ``Social Engineering dan maslahat; Suatu
Tinjauan Filsafat Hukum Islam dan Barat``, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam (Jakarta:
Ditbinpera, No. 52, Tahun XII, Mei-Juni, 2001), hlm.73-82. 21
Magna Charta misalnya, yang dipandang sebagai embrio lahirnya kesadaran manusia
sejagat, justru dipandang ileh beberapa tokoh Muslim seperti Abu A`la al-Maududi sebagai bentuk
pengingkaran sejarah umat manusia. Hal ini menurutnya sebagai salah satu kekeliruan kalangan Barat
yang kerap kali bersikap apriori terhadap Magna Charta. Selengkapnya ia mengatakan sebagai
berikut: It Is very loudly and vociferously claimed that the world got he concept of basic human rights
from the Magna Charta of Britain; thoug the Magna Charta came into exietence six hundred years
after the advent of Islam. The truth of the matter is that until the seventeenth century no one oven knew
that Magna Charta contained the principles of trial by jury; habeas corpus and the control of
paliament on the rights of taxation. If the pepole who have drafted the Magna Charta were living
today they would have been greaty surprised if they were told that their document also contained all
these ideals and principles. They had no such intention, nor were they conscious of all these concepts
which are now being attributed to them. Lihat lebuh lanjut, Abul A`la al-Maududi, Human Rights in
Islam, (Delhi: Markanzi Maktaba Islami, 1982), hlm. 13. 22
Suoriyanti Abdi,``Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat``, dalam
UNISIA (Yogyakarta: UII Press, No. 44/XXV/I 2002), hlm. 74. 23
Untuk melihat bagaimana respon pemikr-pemikir Muslim tentang HAM, dapat dibaca
tulisan Diana Evrina Nasution, ``Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia; survei terhadap Reaksi
Pemikir-pemukir Muslim atas Perkembangan Modern``, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum
Islam (Jakarta: Ditbinpera, No. 62 Tahun XIV, September-Oktober, 2003), hlm. 51-63.
menolak landasan sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami. Ketiga,,
menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusiaan universal dan Islam
(bisa dan seharusnya) memberikan landasan normatif yang sangat kuat terhadapnya.
Pandangan pertama berangkat dari asas esensialisme dan relavitisme kultural.
Esensialisme menunjukkan kepada paham yang menegaskan bahwa suatu gagasan
atau konsep pada dasarnya mengakar atau bersumber pada satu sistem nilai, tradisi,
atau peradaban terntentu. Sedangkan relativisme kultural adalah paham yang
berkeyakinan bahwa satu gagasan yang lahir atau terkait dengan sistem nilai yang
berbeda. Di kalangan pemikir Barat termasuk di dalamnya Samuel P. Huntington
serta Pollis dan Schwab. Menurut keduanya, karena secara historis HAM lahir di
Eropa dan Barat.
Pandangan kedua lebih dikenal dengan gerakan islamisasi HAM. Pandangan
ini muncul sebagai reaksi ``gagal``-nya HAM versi Barat dalam mengakomodasikan
kepentingan terbesar masyarakat Muslim. Tidak kalah pentingnya, gerakan ini
merupakan alternatif yang diyakini mampu menjembatani pemikiran HAM dalam
perpekstif Islam. Dalam perkembangan yang signifikan berhasil dirumuskan piagam
Deklerasi Universal HAM dalam perpekstip Islam.24
Di antar pemikir Musliam yang
termasuk dalam pandangan tersebut di antaranya Abul A`la al-Maududi.25
24
Pertemuan The Organization of Islamic Confrence (OIC) PADA BULAN Agustus 1990
di Kairo telah berhasil melahirkan ``The Cairo Decleration of Human Rights in Islam`` yang banyak
berbeda dengan standar HAM Internasional versi Barat. Sebelumnya, pada pertemuan UNESCO
tanggal 19 September. Pada momentum itu, the Islamic Council yang bermukim di London berhasil
menyiapkan draf delarasi, yakni Universal Islamic Decleration of Human Rights, meskipun pada
Ketiga, menegaskan bahwa HAM modern adalah Khazanah kemanusiaan
universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan normatif yang
sangat kuat terhadapnya. Beberapa dengan dua pandangan sebelumnya, varian ketiga
ini menegaskan bahwa universalitas HAM sebagai khazanah kemanusiaan yang
landasan normatif dan filosofisnya bisa dilacak dan dijumpai dalam berbagai sistem
nilai dan tradisi agama, termasuk Islam di dalamnya. Yang termasuk berpandangan
demikian di antaranya adalh Abdullah Ahmed an-Naim.26
2. HAM dalam Perspektif Konstitusi Indonesia
Penting pula dicermati bahwa dengan menyadari sejarah panjang
kemanusiaan sejagat dengan segala dinamikanya memberikan pengaruh bagi
perkembangan pemikiran, khususnya dalam wilayah ketatanegaraan indonesia.
Disadari bahwa ide-ide tantang hak-hak asasi bukanlah hal yang mucul begitu saja
tanpa ``ongkos`` perjuangan dan pengorbanan yang tidak kecil. Selain itu, rasanya
pertemuan itu berakhir dengan kegagalan meyakinkan forum untuk menerimanya. Lihat lebih lanjut
Amirul Hadi, ``Damai dan Hak Asasi Manusia; Survei Historis``, makalah dalam seminar
Internasional Peace and Human Rights in Religious Perspectives, Medan 4 Desember 2003, hlm. 12;
Nur A. Fadhil Lubis, ``Hak-hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Islam dan Brat,`` makalah pada
Muzakarah MUI-SU, Medan, 31 Agustus 1998, hlm 8-9; Lihat juga Iskandar Ritonga, ``Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam Perspektif Islam``, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam (Jakarta:
Ditbinpera, No. 38 Tahun IX, Juli-Agustus, 1998), hlm. 72. Komplikasi berbagai kesepakatan dan
deklerasi HAM Islam universal dapat dilihat Manzamat al I`lam al-Islam, Huquq al-insan fi al-Islam:
Maqalat al-Mu`tamar al-Khamis li al-Fikr al-Islamiy (Teheran: Manzamat al-I`lam Islam, 1987). 25
Lihat karya beliau, Human Rights in Islam (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1982). 26
Pemikir Islam asal Sudan ini dikenal produktif. Beberapa karyanya seputar HAM dinilai
sangat Konprenhensif. Di antaranya, Islamic Law Reform and Human Rights: Challenges and
Rejoinders (Norwegia: Nordic Human Rights Publication, 1993); Toward an Islamic Reformation`
Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Mesir: American University in Cairo, 1992),
``Syari`a and Basic Human Rights Concerns``,dalam Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A
Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 222. Perkembangan pemikiran an-Naim
dapat dilihat hasil penelitian Adang Djumhur Salikin,``Rekonstruksi Syariah dalam Gagasan Ahmed
an-Nai`m (Medan: Tesis-Magister PPs IAIN-SU, 1997).
sulit dibayangkan terjadinya komitmen yang tulus kepada pengakuan, pelaksanaan,
dan pembelaan hak-hak asasi tanpa dikaitkan dengan dasar dan bukti keinsafan akan
makna dan tujuan hidup pribadi manusia itu sendiri.
Jika kita melirik hal ihwal ketatanegaraan Indonesia, maka hal pertama dan
terpenting dilakukan adalah menoleh ke dalam seluk beluk konstitusi Indonesia, yang
diakui sebagai hukum dasar bagi ketatanegaraan Indonesia. Menariknya,
dalamaturan normatif konstitusional Indonesia, ditemukan berbagai variasi ketentuan
dari beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut:
a. UUD 1945
UUD 1945 sering disebut dengan ``UUD Proklamasi``. Dikatakan demikan
karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia memalui
proklamasi kemerdekaan RI,17 Agustus 1945. Fakta sejarah menunjukkan bahwa
pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens
terjadi dalam persidangan BPUPKI dan PPKI.27
Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis
yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-
kewajiban yang bersifat mendasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri
sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh,
27
Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Vol I (Jakarta: Yayasan Prapanca,
1959); Saafroeddin Bahar, et.al, Risalah Sidang BPUPK-PPK 29Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indoneisa, 1995)
maupun Penjelasannya. Yang ditemukan hanyalah hak dan kewajiban warga negara
(HAW).28
Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa.29
Waktu
yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan
dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar itu, Presiden Soekarno
manandaskan bahwa UUD 1945 adalah ``UUD kilat``, yang karenanya harus
dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka.30
Jelas kelihatan bahwa
pengaturan HAM berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu artinya, bahwa jauh
sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia ternyata lebih awal telah
mamberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan penegakan HAM di
Indonesia.
b. Konstitusi RIS 1945
28
HAM jenis ini diesbutkan oleh Mahfud MD sebagai HAM yang partikularistik. Antara
HAM dan HAW adalah dua konsep yang berbeda. Yang pertama mendasarkan diri pada paham bahwa
secara kodrati manusia itu, di manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil
dan dialihkan, sementara yang terakhir hanya mungjin diperoleh karena seseorang memiliki status
sebagai warga negara. Kententuan yang bernama HAW atau HAM partukularistik ini dapat dijumpai
pada Pasal 26, 27, 28, dan 29. Lebih lanjut lihat Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.165 29
Penyusunan Rancangan UUD 1945 yang berlaku saat ini resmi dirampungkan oleh
BPUPKI selama 40 (empat puluh) hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 sampai dengan 16 Juli 1945. Waktu
yang relatif singkat ini, setidaknya, memberikan pertimbangan bahwa UUD 1945 lahir dari proses
pembahasan yang ``superkilat``. Lihat Sri Soesmantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi
(Bandung: Alumni, 1987), hlm.226. Lihat juga Majda El-Muhtaj,``Indonesia dan Konstitusi 2002;
Men-cermati Hadirnya Komisi Konstitusi versi MPR & Koalisi untuk Konstitusi Baru``, dalam Istilah:
Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan (Medan: Fakultas Syari`ah IAIN-SU, Vol 1 No. 4
Oktober-Desember, 2002), hlm. 448. 30
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nsional
antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ``Sekuler`` tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-
1959 (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981), hlm. 43.
UUD RIS sering disebut dengan Konstitusi Republik IndonesiaTSerikat
(KRIS) Tahun 1949.31
UUD RIS 1945 yang didsusun di bawah bayang-bayang
Konfrensi Meja Bundar (KMB), menurut Adnan Buyung Nasution, menjadi
Konstitusi RIS dan berlaku sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Karena itu, secara formal, dengan UUD RIS ini perjuangan kemerdekaan nasional
dan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat telah
tercapai.32
Meskipun, secara substansial politik RIS merupakan kemenangan bagi
pejuang nasional Indonesia, namun menurut Herbeth Feith, secara hukum Belanda
berhasil memaksakan kehendaknya yang mengakibatkan kekacauan administrasi
pemerintahannya yang luar biasa.33
Dalam Konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapt dalam Bagian V yang
berjudul ``Hak-hak dan Kebebasan-kebeasan Dasar Manusia``. Pada bagian tersebut
terdapat 27 pasal dari mulai Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Eksistensi manusia
31
Nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 secara resmi menjadi
penyebutan bagi UUD RIS. Lihat J. C. T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu
Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm. 35. Lahirnya Konstitusi RIS
1949 menandakan babak baru sistem negara federal Indonesia. Dan, akibatnya, berbagai sruktur
ketatanegaraan mengalami perubahaan yang radikal, sebagaimana ditegaskan Schiller, ``The most
stricking factor in the contitutional develoment of the Dutch-occupied portions of the Indonesia
archipelago during the years from 1945 to 1949 was establishment of a federal form of goverment. At
first glance it appeaars that a federal structure was at complete variance with the unitary form of
goverment characterizing the Nedelans Indies for well over a century``. Lebih lanjut baca A. Arthur
Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949 (The Hague: W.van Hoeve Ltd., 1955), hlm.
14. 32
Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constituonal Government in Indonesia: A
Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Sinar Harapan, 1992), hlm. 27. 33
Selengkapnya Feith mengatakan,``In political substance RUSI (Republic of United States
of Indonesia) represented a victory for Indonesia nationalism, but in legal form the Dutch had
succeeded in imposing their will. One effect of this discrepancy was an enormous administrative
confussion in the period immediately after the transfer of sovereignty.`` Lihat Herbert Feith, The
Decline of Constituonal Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), hlm. 59.
secara tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, ``Setiap orang diakui
sebagai manusia``. Selain itu, hak atas perlindungan hukum juga termuat pada Pasal
13 ayat (1), ``Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya, mendapat
perlakuan jujur dalam perkara oleh hakim yang tak memeihak, dalam hal
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hal menetapkan apakah
suatu tuntutan hukuman yang dimaksudkan terhadapnya berlasan atau tidak``.
c. UUDS 1950
UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan 43 pasal. Dari tiga UUD ynag berlaku
sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, menurut Adnan Buyung Nasution, negara
ini pernah memiliki UUD yang memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih
lengkap daripada UDHR/DUHAM, yaitu UUDS 1950.34
Ketentuan HAM diatur pada Bagian V (Hak-hak dan Kebebasan-kebeasan
Dasar Manusia) dari mulai Pasal 7 sampai Pasal 33. Menariknya, pemerintah juga
memeliki kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana
diatur pada Bagian VI (Aza-azas Dasar), Pasal 35 sampaidengan Pasal 43.
Kewajiban dasar ini dapat dilihat, misalnya pada Pasal 36 yang berbunyi: ``
Penguasa memajukan kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan
perjaminan syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan yang baik,
34
Adnan Buyung Nasution, ``Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam dan Barat``,
dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi tehir (ed), Agama dan Dialog antara Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 115. Lihat juga Satya Arianto, Hak Asasi Manusia dalam Tradisi Pilitik di
Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
hlm. 10.
pencegahan dan pemberantasab pengangguran serta penyelenggaraan persediaan
untuk hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan yatim piatu``.
d. Kembali Kepada UUD 194535
Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktisi hukum dasar
ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana setback.36
Dekrtit tersebut menjadi
dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD
1945. Karena itu, pengaturan HAM adalah sama dengan yang tertuang dalam UUD
1945.37
e. Amandemen UUD 1945
Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru lagi bagi
masa depan konstitusi Indonesia.38
Perubahaan UUD 1945 dilakukan sebagai buah
dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunan rezim Soeharto (1967-
1998). Terdapat empat kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun
1999 sampai dangan 2002.
35
Periode kedua berlakunya UUD 1945 berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai dengan 19
Oktober 1999 (ditandai dengan Perubahan I UUD 1945). 36
Dikatakan setback karena apa yang dirumuskan oleh Majelis Konstituante melalui
``persidangan marathon`` sejak 1956-1959, praktisi dianggap deadlock. Dan, melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada UUD 1945. Lebih lanjut lihat Departemen
Penerangan RI, Kembali Kepada UUD 1945 (Jakarta: Penerbitan Chusus, Departemen Penerangan RI,
tt). Tentang Perdebatan Majelis Konstituante dapat dibaca Adnan Buyung Nasution, The Aspiration...,
loc.cit. 37
Menurut M. Solly Lubis, ``UUD 1945 mengandung pengakuan dan jaminan yang luas
mengenai hak-hak asasi walaupun secara redaksional rumusan mengenai hak-hak itu adalah sederhana
dan singkat dalam UUD``. Lihat M. Solly Lubis, ``Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945``, dalam Padmo
Wahjoyo (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghali Indonesia, 1985), hlm.
335. 38
Ni`matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika
Perubahaan UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 1.
Khusu mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan Kedua
UUD 1945 Tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan
dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni
Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J.39
Penegasan
HAM kelihatan menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A
yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya. Kemajuan lain juga dapat dilihat pada Pasal 28 I yang
berbunya:
Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
di hadapan hukum, dan untuk taidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalh hak asasi manusisa yang tidak dapt dikurangi dalam keadaan
apapun.
Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat
dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses
dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM dalam konstitusi
menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan HAM. Selain itu,
beragamanya muatan HAM dalm konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk
mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalm konteks pribadi,
keluarga, masyarakat dan warga negara Indonesia.
39
Satya Arimanto, op.cit., hlm. 20.
BAB III
KEBEBASAN BERAGAMA
A. Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan
memeluk suatu agama ataukepercayaan yang diyakini kebenarannya. Hak kebebasan
beragama ini sebagian dimaknai sebagai bebas menganut kepercayaan apa saja dan
membuat aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak beragama orang
lain.
Namun begitu, Hak kebebasan beragama ini dibatasi oleh UUD 1945 dan
peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. kebijakan dalam bidang
hukum antara lain menggariskan perlunya penegakan hukum secara konsistenagar
lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta
penghargaan terhadap HAM.1
Tuntutan yang dikehendaki pada era reformasi saat ini adalah penguatan Hak
Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dua tuntutan itulah yang menjadi urgensi
dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.Tuntutan
HAM dan demokrasi begitu kuatnya hingga pada akhirnya tuntutan itu terus menjadi
tuntutan yang sangat dinantikan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh karena
1 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama`` Vol.1 No.
2(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 175.
tuntutan HAM begitu kuatnya, maka hampir dalam setiap kehidupan
mengatasnamakan HAM, tanpa memperhatikan kewajibannya. Salah satu HAM
yang dituntut adalah hak atas kebebasan beragama. Oleh karena kebebasan beragama
adalah salah HAM yaitu hak kebebasan manusia untuk memilih dan memeluk suatu
agama atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal
dan hati nuraninya. Dalam Piagam Madinah juga memuat tentang HAM (Hak Asasi
Manusia), hak Kebebasan Beragama adalah salah satunya dan hak ini adalah hak
yang paling asasi diantara hak – hak asasi manusia lainnya karena kebebasan
beragama itu bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Prinsip Kebebasan beragama dalam Piagam Madinah juga menyampaikan bahwa
tidak ada paksaan untuk memilih agama, karena untuk memilih agama harus sesuai
dengan keyakinan diri sendiri. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 25 dalam Piagam
Madinah yang isinya :
Kaun Yahudi dari Bani’ Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum
Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga
(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi
yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.2
Selain dari pasal 25 Piagam Madinah tentang kebebasan bergama, terdapat
juga pada firman Allsh SWT yang berbunyi :
2 Duniatimteng.com, Piagam Madinah dan Kebebasan Beragama, diakses pada tanggal 28-
09-2018 pada pukul 14.28
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Q.S
Al – Baqarah : 256)3
Jadi penjelasan ayat tersebut menyatakan, bahwa tidak ada paksaan untuk
memilih suatu agama. Karena untuk memilih agama, harus berdasarkan atau sesuai
dengan kepercayaan dan keyakinan kita. Dengan demikian,``kebebasan beragama
berkaitan dengan keyakinan hidup untuk memilih agama beserta ajaran yang
terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya sebagai pribadi, anggota
masyarakat, warga negara dan warga dunia``. Aspek lain yang termasuk dalam
pengertian kebebasan beragama adalah kebebasan untuk menjalankan peribadatan
sesuai dengan ajaran agamanya, perlindungan terhadap perasaan keagamaan (Tuhan)
dan kitab suci, perlindungan tempat-tempat dan sarana peribadatan, perlindungan
terhadap pemuka-pemuka agama dan kebebasan untuk melakukan dakwah.4
Realitas menunjukkan berbagai peristiwa yang mengatasnamakan HAM
dalam bidang keagamaan yang belakangan ini muncul. Hak kebebasan beragama ini
3 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 42.
4 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama,Op.Cit., hlm 176.
dijadikan alasan untuk secara bebas menganut kepercayaan apa saja dan membuat
aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak beragama orang lain. Ada
beberapa aliran kepercayaan yang muncul di masyarakat dengan alasan hak
kebebasan agama seperti aliran kepercayaan Ahmadiyah, Lia Eden, Al Qur‟an Suci,
Al Qiyadah Al Islamiyah dan lain-lain. Beberapa aliran kepercayaan itu, memang
mengatasnamakan Islam dan bahkan memang ajaran yang menurut penganutnya
menyempurnakan ajaran Islam sebenarnya. Akibat adanya aliran kepercayaan itu
membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang pada intinya
ajaran atau aliran kepercayaan tersebut sesat dan bukan ajaran Islam yang
sebenarnya. Pada sisi lain bagi pemeluk ajaran atau aliran kepercayaan itu bahwa
bagi dirinya merupakan suatu HAM, bahwa setiap orang berhak atas ajaran dan
kepercayaannya masing-masing karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945
dan peraturan perundang-undangan lain melindunginya, bahkan Deklarasi Universal
HAM PBB juga melindunginya. Permasalahannya adalah apakah kebebasan HAM
seperti yang diajarkan oleh beberapa aliran keagamaan itu merupakan HAM
menurut hukum di Indonesia.
HAM di Indonesia dipahami sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan
berkembang di masyarakat yang dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah
perkembangan HAM itu sendiri, yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat
ini, yaitu ketika terjadi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
yang kemudian amandemen UUD 1945 tersebut secara eksplisit memuat pasal-pasal
HAM secara lengkap. Seiring dengan nuansa demokratisasi, keterbukaan, pemajuan
dan perlindungan HAM serta upaya mewujudkan negara berdasarkan hukum. Di
samping itu, juga terdapat faktor-faktor eksternal tertentu yang turut mempengaruhi
perumusan konsep dari norma-norma HAM di Indonesia.5
Arah kebijakan dalam bidang hukum antara lain menggariskan perlunya
penegakan hukum secara konsisten agar lebih menjamin kepastian hukum, keadilan
dan kebenaran, supremasi hukum serta penghargaan terhadap HAM dan kelanjutan
ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan HAM di bidang
keagamaan.
Di Indonesia sendiri istilah HAM dipergunakan untuk sebutan dari hak-hak
asasi, yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris human rights atau dalam
bahasa Belanda grondrechten. Ada orang yang menyebutnya dengan istilah hak-hak
fundamental. Sebenarnya pengertian hak HAM merupakan alih bahasa dari bahasa
Perancis droits de l’homme, adapun rangkaian lengkapnya berbunyi Declaration des
droits de l’homme et du Citoyen, yaitu mengenai pernyataan hak-HAM dan warga
negara Perancis yang memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1789, sebagai
pencerminan keberhasilan revolusi warganegaranya yang bebas dari kekangan
penguasa tunggal negara pada saat itu.
5 Ibid, hlm 177.
Secara harfiah yang dimaksud dengan HAM adalah hak pokok atau hak
dasar.6 Dalam arti harfiah ini, maka HAM merupakan hak yang bersifat fundamental,
sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat,
bahkan harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,
hambatan dan gangguan dari manusia lainnya.
HAM adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak
dipishkan dari hakikat dan karena itu bersifat suci. Menurut Miriam Budiardjo, HAM
sebagai hak-hak yang dimiliki manusia yang telah diperolehnya dan dibawanya
bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena merupakan hak yang pokok, HAM ini merupakan sesuatu yang dengan
sendirinya mengawasi kehidupan manusia dan bukan pemberian dari masyarakat.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat St. Harum Pujiarto yang menyatakan bahwa
HAM merupakan sesuatu hak yang awal, bukan sesuatu pemberian dari masyarakat
atau negara, hak itu adalah hak hidup dengan segala kebebasannya untuk
menyatakan cipta, karsa dan rasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.7
Bambang Sunggono dan Aries Harianto berpendapat, bahwa HAM adalah
hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat,
jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan
6 Yudana dalam St. Harum Pujiarto, HAM di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis
Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya Dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas
Atmajaya, 1993), hlm. 25.
7 Sodikin, Op,Cit., hlm. 178
martabatnya sebagai manusia.8 Dalam hal ini Bambang dan Aries sependapat, jika
HAM dikatakan sebagai hak asasi yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia.
Jadi, bukan merupakan hak yang diberikan oleh masyarakat.
Marbangun Hardjowirogo merumuskan tentang HAM sebagai hak-hak yang
memungkinkan kita untuk tanpa diganggu menjalankan hidup bermasyarakat dan
bernegara sebagai warga dari suatu kehidupan bersama.9 Djoko Rahardjo
merumuskan HAM adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atau harkat dan
martbat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia
tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Oleh karena itu, harkat dan
martabat yang dimiliki manusia secara alamiah dan melekat pada setiap manusia
tanpa perbedaan apapun dapat dikatakan sebagai HAM.
Dalam perkembangannya HAM tidak lagi dipandang sekadar sebagai
perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. HAM lebih
dipahami secara manusia sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan hakikat
kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin,
usia atau pekerjaan.10
8 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, (Bandung: Mandar
Maju, 1994), hlm. 70.
9 Marbangun Hardjowirogo, Hak-hak Manusia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 7.
10 Saafaroedin Bahar, HAM Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam ABRI, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 6.
Kebebasan adalah keadaan bebas, kemerdekaan, maksud kebebasan
beragama adalah kemerdekaan untuk memeluk atau menganut suatu agama tertentu,
tanpa ada paksaan dan tekanan untuk meninggalkannya.11
Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan HAM adalah hak-hak
kodrati yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia, yang tidak dapat dicabut
atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Selanjutnya menurut Maududi
bahwa hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal, abadi dan tidak
boleh diubah-ubah, dimodifikasi atau juga dibatalkan. Konsep HAM dalam sejarah
Islam sesungguhnya lebih jauh melampaui sejarah Barat dalam merumuskan dan
mempraktikkan konsep HAM. Islam mempunyai doktrin perlindungan HAM yang
lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep HAM dalam Magna Charta.12
Tonggak sejarah HAM berawal dari konstitusi Madinah atau Piagam
Madinah (tahun 624 M) yang bertujuan menyatukan warga Madinah yang majemuk,
baik karena perbedaan etnis, perbedaan agama (Muslim, Yahudi, Nasrani dan aliran
kepercayaan lainnya). Perlindungan HAM antara lain adalah perlindungan terhadap
kebebasan beragama dan beribadah, kedudukan yang sama sebagai warga
masyarakat, persamaan hak dan kewajiban dan persamaan di depan hukum.
Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid yaitu konsep
pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat (Laa ilaaha illa
11
Sodikin, Loc, Cit. 12
Sodikin, Loc, Cit
Allah, yang artinya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah). Konsep
tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia, bahkan tauhid
juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tidak bernyawa,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.
Dalam konsep tauhid terdapat kewajiban manusia untuk menyembah Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bersifat subordinatif.
Artinya pada hubungan itu adalah hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya (Khalik
dengan makhluk-Nya). Ide penyembahan kepada Allah berisi penghambaan manusia
kepada penciptanya, penghambaan makhluk kepada Tuhannya.
Hubungan subordinatif atau penghambaan hanya berlaku dalam hubungan
manusia dengan Tuhan. Hubungan di antara sesama manusia adalah hubungan
kesetaraan (egaliter), karena semua manusia mempunyai kedudukan yang sama
dihadapan Allah. Apabila terjadi hubungan subordinatif atau penghambaan oleh
manusia kepada manusia yang lain. Hal itu bertentangan dengan kodrat kemanusian.
HAM dalam Islam merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau
dibuat oleh manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama
manusia, baik dalam hubungan individu dengan individu, individu dengan
masyarakat maupun dalam hubungan warganegara dengan negara dan hubungan
antar negara.
Pengakuan bahwa adanya hak asasi pada seseorang berarti mengakui adanya
kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang lain atau semua orang. Pengakuan
bahwa HAM merupakan hak semua orang berarti mengakui adanya kewajiban asasi
semua orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Batas HAM
yang satu adalah hak asasi orang lain. Dengan demikian, hubungan antara hak dan
kewajiban adalah resiprokal yang harmonis, karena pengakuan hak pada pihak
tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain. Dalam konteks HAM, pengakuan
atas asasi pada satu pihak merupakan kewajiban asasi pada semua orang.13
Dalam hal itu, perlu juga ditegaskan bahwa kebebasan manusia yang terdapat
dalam Islam tidaklah bersifat absolut. Demikian juga hak-hak asasinya, yang
mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan dalam ajaran Islam hanya Allah,
Tuhan Alam Semesta, dan yang lain mempunyai sifat terbatas. Selain itu, di samping
hak, manusia mempunyai kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya yaitu patuh
kepada perintah dan larangan-Nya. Larangan-Nya adalah supaya manusia tidak
berbuat kerusakan di permukaan bumi dan perintah-Nya adalah agar manusia berbuat
baik. Mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang
lain, apalagi kepentingan umum atau orang banyak dilarang dalam Islam.
Islam mengakui kebebasan beragama, Islam mempunyai konsep toleransi
beragama yang meliputi toleransi terhadap sesama penganut agama Islam dan
toleransi terhadap para penganut agama yang berbeda. Toleransi terhadap muslim
13
Sodikin, Op,Cit., hlm. 179.
berkaitan dengan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama-sesama
kaum muslim di dalam menjalankan ajaran agama berdasarkan interpretasi
keagamaan yang diyakininya dari al-Qur‟an.
Aspek lain yang termasuk dalam pengertian kebebasan beragama adalah
kebebasan untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran agamanya,
perlindungan terhadap perasaan keagamaan (Tuhan) dan kitab suci, perlindungan
tempat-tempat dan sarana peribadatan, perlindungan terhadap pemuka-pemuka
agama, dan kebebasan untuk melakukan dakwah. Mengenai kebebasan menjalankan
peribadatan, perlindungan terhadap tempat peribadatan dan pemuka agama, Nabi
bersabda dalam sebuah suratnya kepada penduduk Najran yang tetap berpegang pada
agama lama mereka:``dan bagi kaum Najran serta yang ada di bawah sayapnya
menjadi tetangga Allah dan dalam perlindungan Nabi Muhammad, atas harta
mereka, agama, tempat-tempat ibadah mereka dan semua yang menjadi hak tangan
mereka``.14
Dengan sabda Rasul itu, tampak jelas bahwa Islam melindungi penganut
agama lain untuk melaksanakan peribadatan sesuai dengan aturan peribadatan agama
lain tersebut. Penguasaan Islam secara politik terhadap suatu daerah tidak dapat
dijadikan dalih untuk membatasi hak-hak non muslim dalam merealisasikan ajaran
agamanya.
14
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 390.
B. Hak Kebebasan Beragama dalam Islam
Dalam pandangan Islam, seluruh tatanan ajaran agama yang ditetapkan Islam,
baik yang berkaitan dengan akidah, syariah maupun akhlak, bertumpu pada lima
tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta. Dari kelima tujuan dasar tersebut, memelihara agama dan kebebasan
berkeyakinan merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya dan mendapat perhatian
serius dalam Islam. Islam sangat mementingkan pemeliharaan agama karena
identitas yang membedakan seseorang sebagai Muslim atau kafir adalah apakah ia
meyakini dan beriman atau tidak terhadap ajaran agama Islam.15
Islam juga mengukuhkan bahwa kebebasan manusia paling tinggi dan penting
yang dijaminnya serta memiliki posisi paling istimewa untuk dijaga adalah
kebebasan berkeyakinan dan berakidah (hurriyah al-‘aqîdah), kemudian kebebasan
berpendapat dan berekspresi (hurriyah al-ta`bîr) dan selanjutnya kebebasan-
kebebasan lain yang menjadi simbol kemanusiaan. Dengan kata lain, Alquran
menegaskan bahwa kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak asasi manusia
yang dijamin dan harus dijaga.16
Cukup banyak ayat Alquran yang menegaskan secara khusus adanya
kebebasan berakidah dan larangan adanya paksaan dalam menentukan pilihan
keyakinan atau mengubah apa yang telah menjadi keyakinan. Alquran juga
15
Dede Rodin, Riddah dan Kebebasan Beragama dalam Al-Qur an, (IAIN Walisongo, 2013),
hlm. 254.
16 Loc.cit.,
menegaskan bahwa akidah merupakan hak prerogatif setiap orang dan merupakan
wilayah privasi antara dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun
yang dapat memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau mengubah
akidahnya atas nama apa pun dan dalam keadaan apa pun.17
Ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang kebebasan agama setidaknya dapat
dikelompok ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama, ayat-ayat yang menyatakan bahwa
setiap individu diberi kebebasan untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan
konsekuensinya masing – masing, seperti ayat berikut ini :
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S
Al – Baqarah : 256)18
Menurut Ibn Abbâs, ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki
Muslim Ansar dari Bani Sâlim ibn Auf al-Hushaynî. Ia memiliki dua anak yang
memeluk Nasrani. Ia bertanya kepada Nabi Saw. apakah ia boleh memaksa keduanya
menjadi Muslim sementara mereka lebih memilih Nasrani. Lalu Allah Swt.
17
Dede Rodin, Op. Cit., hlm. 55.
18
Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),
hlm. 42.
menurunkan ayat ini. Dalam riwayat lain, ia berusaha memaksa keduanya untuk
memeluk Islam. Lalu keduanya mengadu kepada Nabi Saw. Orang Ansar itu berkata,
“Ya Rasulullah, apakah bagianku (anakku) masuk ke neraka dan saya melihatnya?”,
lalu turunlah ayat di atas. Riwayat lain menceritakan bahwa pada suatu hari terdapat
salah seorang sahabat mengadu kepada Nabi Saw. bahwa kedua anaknya yang sudah
beragama Islam berpindah ke Nasrani. Sahabat tersebut berkata kepada Nabi Saw,
“Ya Rasul, ajaklah kedua anakku, mereka akan masuk ke dalam neraka”. Nabi Saw.
menjawab permintaan tersebut dengan ayat di atas.
Kedua, Nabi Muhammad Saw. hanya diberi tugas sebagai penyampai ajaran
Allah, pemberi kabar gembira dan peringatan. Beliau tidak memiliki hak memaksa
orang lain untuk mengikuti agamanya, sebagaimana ayat-ayat berikut ini:
Artinya : Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui
apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (Q.S Al –
Maidah : 99)19
Artinya : Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami
ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak
penting bagimu) karena Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan
19 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),
hlm. 124.
saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (Q.S Ar Ra`d :
40)20
Artinya : Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-
kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah
dengan Al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku. (Q.S Qaf : 45)21
Ketiga, memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan manusia hanya
menjadi hak Allah Swt., bukan hak manusia termasuk Nabi Saw.
Artinya : Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi
Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang
dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi
pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya
(dirugikan). ( Q.S Al – Baqarah : 272)22
Ayat-ayat tentang kebebasan beragama tersebut dikuatkan oleh praktik
kehidupan Nabi Saw. yang menjelaskan visi teologis kebebasan dalam memilih
20
Ibid., hlm. 254.
21 Ibid., hlm. 520. 22 Ibid., hlm. 46.
agama. Beliau sangat menghormati dan berhubungan baik dengan penganut agama
lain. Beliau pernah memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah
(Ethiopia) yang berada di bawah kekuasaan raja Negus (Najâsyî) yang beragama
Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa Nabi
Saw. tidak apriori terhadap agama lain, bahkan meminta bantuan dan diterima secara
baik oleh penguasa Ethiopia itu. Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Saw.
mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas agama lain yang dituangkan
dalam Piagam Madinah (shahîfah alMadînah) yang secara jelas memberikan
pengakuan atas agama-agama lain sebagai satu umat di Madinah yang harus
mempertahankan Madinah dari musuhmusuhnya.
Adapun cara memelihara dan menjaga kebebasan agama ini, „Abd al-Qâdir
„Awdah menerangkannya sebagai berikut: (1) Mewajibkan manusia untuk
menghargai hak orang lain dalam akidah dan tidak boleh memaksa orang lain untuk
mengakui suatu akidah tertentu. (2) Mewajibkan orang yang mempunyai akidah
untuk menjaga akidahnya. Hal tersebut diungkapkan ketika menerangkan prinsip
kebebasan yang sangat dijunjung oleh Islam, diantaranya hurriyah al-i’tiqâd.23
Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak mengabsahkan
pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama diserahkan kepada masing-
masing individu untuk memeluknya. Namun dalam realitanya, kebebasan beragama
dan berkeyakinan merupakan salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi
aral melintang bagi jalannya upaya penegakkan hak- hak dasar yang dimiliki setiap
23 Dede Rodin, Op. Cit., hlm. 256.
manusia (HAM). Dalam fikih klasik, kebebasan beragama nyaris tidak memiliki
ruang pembahasan sehingga kebebasan beragama dalam arti membebaskan manusia
untuk memilih agama khususnya di luar Islam atau mungkin tidak memilih (atheis)
sama sekali tidak diakui.
C. Hak Kebebasan Beragama dalam Hukum Indonesia
Kebebasan beragama diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 22 ayat
1 dan 2. Di dalamnya secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
Artinya kita bebas memeluk agama apa saja sesuai dengan yang kita yakini dan kita
percayai tanpa adanya paksaan.
Kebebasan beragama ini juga dijamin dalam UUD Tahun 1945, terutama
dalam Pasal 28E dan 29. Pasal 28E ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,...”. Pasal 28E ayat (2)
menyatakan ”setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sedangkan Pasal 29 ayat (1)
menyatakan ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat (2)
menyatakan bahwa”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
UUD Tahun 1945, menentukan bahwa hak kebebasan beragama bukan
pemberian negara atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan
dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri
tidak memaksakan setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya.
UUD Tahun 1945 tersebut tidak menentukan agama dan kepercayaan apa
saja yang diakui secara sah, bahkan peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya juga tidak menyebutkan agama dan kepercayaan yang diakui. Oleh karena
itu, menurut penulis, maka semua agama dan aliran kepercayaan yang hidup di
Indonesia diakui dan disahkan sebagai agama dan aliran kepercayaan yang hidup di
masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah harus melindunginya. Agama dan aliran
kepercayaan yang ada itu sepanjang tidak saling menodai di antara agama dan aliran
kepercayaan yang ada.
Setelah amandemen UUD Tahun 1945 dan keluarnya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,
diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta peraturan lainnya yang
mengatur HAM, sebenarnya perkembangan HAM semakin pesat. Hal ini semakin
banyaknya instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM yang
diratifikasi dan diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional
termasukdi dalamnya adalah hak atas kebebasan beragama.24
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan
bahwa ”Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan
kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi
peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta
keadilan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa: ”hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan
oleh siapa pun”. Pasal 22 yang menyatakan bahwa ayat (1) ”setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu``, ayat (2)``negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu``. Di dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) juga dikatakan
bahwa”yang dimaksud dengan hak untuk bebas memeluk agamanya dan
kepercayaannya adalah hak setiap orang untuk beragama menurut kepercayaannya
sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.
24
Sodikin Op,Cit., hlm. 181.
BAB IV
UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM Kebebasan Beragama dalam Perspektif
Fiqh Siyasah
A. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Kebebasan beragama atau berkeyakinan, diatur dalam Pasal 22 ayat Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat (1)
menyatakan:``Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‖ dan pada ayat (2) nya:
``Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.``
Kebebasan beragama atau berkeyakinan, diatur dalam Pasal 22 ayat Undang-
Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat (1) menyatakan:
―Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu‖ dan pada ayat (2) nya: ―Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya pula kepercayaan, mengingat rumusan
tersebut menggunakan kata ―itu‖. Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 berkaitan
dengan Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa ―Yang dimaksud dengan ,hak untuk
bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya‘ adalah hak setiap orang untuk
beragama menurut keyakinan sendiri tanpa paksaan dari siapaun.1
B. Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Siyasah
Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama adalah ajaran yang benar.
Meskipun demikian, agama tidak boleh untuk dipaksakan kepada orang lain. Nabi
Muhammad SAW. sendiri hanya bertugas menyampaikan risalah dari Allah
(muballigh), dan beliau tidak berhak, bahkan tidak bisa, memaksa orang lain untuk
percaya dan mengikuti beliau, betapapun benarnya beliau dan ajarannya itu. Karena
persoalan agama merupakan masalah keyakinan, maka tidak seorang pun boleh
memaksakan suatu keyakinan terhadap orang lain. Untuk itu, Nabi mempunyai
prinsip toleransi beragama; yang secara teknis sering dikaitkan dengan kemerdekaan
dan kebebasan beragama (al-hurriyyah aldîniyyah).2
Ketika Nabi sebagai manusia tergoda untuk memaksakan ajarannya kepada
orang lain, Allah pun memperingatkan dengan firman-Nya :
Artinya : dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia
1 Ibrahim Suglo Op,Cit.
2 Muh. In‘amuzzahidin, Konsep Kebebasan dalam Islam. (Universitas Negeri Islam
Walisongo : 2015). hlm. 267.
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (Q.S Yunus :
99 )3
Oleh karena itu, prinsip kebebasan beragama adalah sangat penting dalam
tatanan sosial dan politik manusia. Gagasan kebebasan, menurut kamali, menuntut
diberlakukannya kebebasan memilih bagi setiap orang. Kebebasan beragama,
sebagaimana semua kebebasan, pada dasarnya bertindak sebagai pelindung terhadap
ancaman penindasan oleh kekuatan yang lebih tinggi.4
Menurut wafi, dalam Islam setidaknya ada 3 prinsip dalam kebebasan
beragama. Pertama kebebasan meyakini suatu agama dan larangan memaksa
beragama. Artinya tak seorang pun dapat dipaksa untuk melepaskan agamanya dan
memeluk Islam, sebagaimana dalam Firman-Nya :
Artinya : tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S
Al – Baqarah : 256 )5
3 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),
hlm. 220.
4 Muh. In‘amuzzahidin. Op. Cit., 267
5 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),
hlm. 42.
Ke dua, Islam memberi kebebasan untuk diskusi keagamaan. Artinya Islam
mensahkan kebebasan individu untuk menyebarkan agama, dengan penjelasan dan
alasan yang baik. Oleh karenanya al-Qur‟an menuntut kaum muslimin untuk
menggunakan kalimah yang lemah lembut dalam mengajak dan menyeru manusia ke
dalam Islam. Ke tiga, iman harus berasal dari kepastian dan keyakinan, bukan dari
tradisi atau ikut-ikutan. Inilah sebabnya menurut sebagian ulama tauhid, imannya
muqallid, tidak sah. Dan Allah akan menyiksa kaum musyrikin, yang hanya
mengikuti dan meniru nenek moyangnya secara membabi buta, tanpa mengetahui
dasar-dasarnya dengan mengorbankan kebebasan berpikir dan kepercayaan pribadi.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :
Artinya : dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk. (Q.S Al – Baqarah
: 170 )6
Dalam Piagam Madinah juga memuat tentang HAM (Hak Asasi Manusia),
hak Kebebasan Beragama adalah salah satunya dan hak ini adalah hak yang paling
asasi diantara hak – hak asasi manusia lainnya karena kebebasan beragama itu
6 Ibid., hlm. 26.
bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Prinsip Kebebasan
beragama dalam Piagam Madinah juga menyampaikan bahwa tidak ada paksaan
untuk memilih agama, karena untuk memilih agama harus sesuai dengan keyakinan
diri sendiri. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 25 dalam Piagam Madinah yang isinya :
Kaun Yahudi dari Bani‟ Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi
kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.
Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan
keluarga.7
Jadi, tidak ada paksaan untuk memilih suatu agama. Karena untuk memilih
agama, harus berdasarkan atau sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan kita.
Dengan demikian,``kebebasan beragama berkaitan dengan keyakinan hidup untuk
memilih agama beserta ajaran yang terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya
sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan warga dunia``.
Nabi Muhammad SAW juga sangat menghormati dan berhubungan baik
dengan penganut agama lain. Beliau pernah memerintahkan para sahabat untuk
berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) yang berada di bawah kekuasaan raja Negus
(Najâsyî) yang beragama Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas
menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak apriori terhadap agama lain, bahkan meminta
bantuan dan diterima secara baik oleh penguasa Ethiopia itu. Setelah hijrah ke
Madinah, di sana Nabi Saw. mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas
7 Duniatimteng.com, Piagam Madinah dan Kebebasan Beragama, diakses pada tanggal 28-
09-2018 pada pukul 14.28
agama lain yang dituangkan dalam Piagam Madinah (shahîfah alMadînah) yang
secara jelas memberikan pengakuan atas agama-agama lain sebagai satu umat di
Madinah yang harus mempertahankan Madinah dari musuhmusuhnya.
Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak mengabsahkan
pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama diserahkan kepada masing-
masing individu untuk memeluknya. Namun dalam realitanya, kebebasan beragama
dan berkeyakinan merupakan salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi
aral melintang bagi jalannya upaya penegakkan hak- hak dasar yang dimiliki setiap
manusia (HAM). Dalam fikih klasik, kebebasan beragama nyaris tidak memiliki
ruang pembahasan sehingga kebebasan beragama dalam arti membebaskan manusia
untuk memilih agama khususnya di luar Islam.
C. Perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam Siyasah
1. Perpestif Piagam Madinah
Perlindungan negara terhadap hak kebebasan dalam Islam dapat mengacu
pada konsep politik Islam yang secara historis pernah dipraktikkan pada masa awal
pemerintahan Islam di bawah kendali Nabi Muhammad saw. Realitas politik pada
masyarakat awal Islam (masa al-salaf alshalih), menurut Nurcholish Madjid,
memiliki bangunan kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang
menghormati dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi, partisipasi,
keadilan sosial, dan lain sebagainya. Wujud historis dari sistem sosial politik yang
kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah ini merupakan prinsip-prinsip rumusan
kesepakatan mengenai kehidupan bersama secara sosial-politik antara sesama kaum
Muslim dan antara kaum Muslim dengan kelompok-kelompok lain di kota Madinah
di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw.8
Pada periodisasi Madinah tersebut, telah terjalin hubungan yang baik dari
beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim. Pemerintahan Islam
yang dipimpin Nabi Muhammad saw menunjukkan toleransi kepada umat-umat
beragama lain. Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam
dan dapat menjalin hubungan dengan masyarakat Muslim dengan baik dalam
melaksanakan berbagai aktivitasnya. Eksistensi pluralisme masyarakat Madinah
menuntut Nabi membangun tatanan hidup bersama yang mencakup semua golongan
yang ada. Mula-mula, Nabi mem-persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar
Selanjutnya, membangun persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah
yang tidak terbatas kepada umat Islam saja.9
8 Frans Sayogi, Jurnal Hukum ``Perlindungan Negara Terhadap Kebebasan Bregama :
Perspektif Islam dan Hak Asasi Manusia Universal``. (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2013).hlm.
50.
9 Loc. Cit
Dalam Piagam Madinah dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata
kehidupan bermasyarakat, kelompokkelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan
ketetapan kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan
beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup,
dan sebagainya. Insiatif dan usaha Nabi Muhammad saw dalam mengorganisir dan
mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang
teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah
pimpinan Nabi sendiri merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk
mencapai tujuan. prinsip kenegaraan yang diterapkan pada masyarakat Madinah di
bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Masyarakat Madinah adalah
masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Islam datang
ke Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam
suku, konflik, dan perpecahan.10
Pada saat sebelum terbentuknya Piagam Madinah, Nabi Muhammad
memahami benar bahwa masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat majemuk yang
masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Nabi melihat
perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuik mengatur hubungan-hubungan
antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Karena itu,
Nabi melakukan beberapa langkah. Pertama, membangun masjid. Lembaga ini, dari
sisi agama berfungsi sebagai tempai ibadah dan dari segi sosial berfungsi sebagai
tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah. Kedua,
10 Ibid., hlm. 51.
menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang Islam Mekah dan Madinah.
Kedua langkah tersebut masih bersifat internal dan hanya ditujukan untuk konsolidasi
umat Islam. Karena itu, langkah ketiga ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah.
Nabi membuat perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang
erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama
bagi semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban
semua golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan
perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara
mereka.11
Dalam Piagam Madinah, kata ummah terulang dua kali, yaitu dalam pasal 1
dan pasal 25. Rumusan pengertian ummah oleh Syariati di atas—yang sejalan dengan
langkah Nabi untuk mempersatukan umat Islam—sesuai dengan muatan pasal 1
Piagam Madinah, yang isinya innahum ummatun wahidah min duni al-nas
(sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain).
Ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang - orang
mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar,
dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat
mereka adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain.
11
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 64.
Ketetapan pada pasal 1 itu tidak berarti menunjukkan bahwa konsep ummah
yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain
kaum Yahudi dan sekutunya disebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam
pasal 25. Pasal 25 misalnya menyatakan: “Kaum Yahudi Bani „Auf bersama dengan
warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum
Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan
sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya
dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya”
Pasal 25 Piagam Madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan
beragama dan beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal 25 juga
dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin.
Penyebutan demikian, mengandung arti bahwa dilihat dari kesatuan dasar agama
orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang parallel dengan komunitas
kaum mukminin. Dalam kehidupan bersama tersebut, komunitas Yahudi bebas dalam
melaksanakan agama mereka. Pasal 24 pada Piagam Madinah itu telah memberi
jaminan kebebasan beragama bagi orang - orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan
mewujudkan kerja sama yang erat dengan kaum muslimin dan membuktikan bahwa
Islam memiliki sikap toleran terhadap agama lain.12
Sementara itu, ketetapan pada pasal25 sampai pasal 35 itu dapat dikatakan
bahwa organisasi umat yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun
12 Frans Sayogi, Op. Cit., hlm. 52.
semua golongan penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi
alasan untuk tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini
berlaku konsep ummah yang bersifat umum. Dengan demikian, penggunaan istilah
ummah dapat bersifat khusus, yaitu para penganut agama dan nabi tertentu, dan dapat
pula bersifat umum, yaitu setiap generasi manusia adalah umat yang satu tanpa
batasan agama.13
Selain itu, dalam Piagam Madinah, juga ditetapkan masalah perlindungan
yang disebutkan secara eksplisit yang ditentukan pada pasal 15. ―Jaminan Allah
adalah satu,‖ demikian disebutkan pada pasal 15. Kata Allah di sini dimaksudkan
untuk menyebut kekuasaan umum atau perlindungan oleh negara, sedang kata satu
berarti meliputi semua orang yang harus dilindungi. Jadi, perlindungan negara
diberikan kepada semua warga atau rakyat tanpa melihat agama yang dianut.
Dengan demikian, proses kelahiran dan perkembangan Islam sejak zaman
Piagam Madinah sudah menunjukkan kemungkinan kerja sama dan saling
menghormati. Apalagi kalau perspektif yang digunakan tidak memisahkan identitas
Islam dari jalinan-eratnya dengan agama - agama lain sekalipun. Perspektif inilah
yang tetap relevan untuk sekarang, ketika semua umat beragama sudah hidup di
dalam negara bangsa yang menerima asas kewarganegaraan, dengan sistem proteksi
berbasis konstitusi yang diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan
latar belakangnya. Tak ada lagi Nabi yang menjadi hakam, karena hakam sudah
13 Lihat Muhammad Latif Fauzi, ―Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta‖, dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XIII , (Yogyakarta : 2005), hlm. 92-93.
mengalami transformasi menjadi berbagai mekanisme dan lembaga di dalam negara
dan masyarakat, baik dalam rangka proteksi warganegara, penanganan konflik dan
penyelesiaan sengketa, dan lain-lain. Idealnya, dalam istilah Piagam Madinah, negara
adalah haram, tempat yang mendorong orang dari berbagai latar belakang berbeda
untuk bergaul dan bekerja sama.14
2. Perspektif Deklerasi Kairo
Deklarasi Kairo (1990) merupakan istrumen pengaturan hak asasi manusia
yang berlandaskan hukum Islam. Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama
dalam Deklarasi Kairo diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami
pengertian mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo harus melihat
bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak
kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:
―Wishing to contribute to the efforts of mankind to assert human rights, to protect
man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and right to a
dignified life in accordance with the Islamic Shari‟ah.15
Prinsip-prinsip Deklarasi Kairo yang dijabarkan dalam 25 pasal menegaskan
bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian
integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk
menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau
14 Rizal Panggabean, ‗Kesepakatan Madinah dan Sesudahnya‖, dalam Elza Peldi Taher (ed.),
Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta:
Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hlm. 111.
15
Lihat pembukaan Deklerasi Kairo.
mengabaikannya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci
mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui nabi-
Nya yang terakhir.16
Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya Deklarasi
Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan hak asasi manusia
yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab Deklarasi Kairo
dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam), yang merupakan organisasi
internasional antarnegara yang beranggotakan negara Islam atau penduduknya
mayoritas beragama Islam.
Deklarasi Kairo terbentuk dikarenakan adanya satu perdebatan yang
mendapatkan perhatian terjadi antara blok Islam dan blok lain tentang pasal 18
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu tentang kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Blok Islam pada awalnya menentang pasal tersebut karena terdapat
klausul ―kebebasan berpindah agama‖ yang bertentangan dengan doktrin Islam
tentang murtad (apostasy), meski pada akhirnya hanya Saudi Arabia yang benar-
benar menentang pasal itu. Namun pada perkembangannya, Saudi Arabia mampu
mempengaruhi opini negara-negara Islam terutama di bawah organisasi OKI
(Organisasi Kerjasama Islam) yang berpusat di Jeddah, di mana Saudi Arabia sebagai
tuan rumah. Respon terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terus
mengalami perkembangan di dunia Islam. Pada tahun 1981 muncul Universal Islamic
Declaration of Human Rights oleh beberapa tokoh pemikir Islam terkemuka dari
16 Frans Sayogi, Op. Cit., hlm. 54.
berbagai negara. Pada tahun1990 lahir Deklarasi Kairo (Cairo Declaration of Human
Rights in Islam) oleh negara-negara OKI,17
yang ditandatangani 54 negara anggota
OKI pada 5 Agustus 1990. Inti dari deklarasi tersebut adalah meskipun Islam
menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan dan tafsirnya sendiri dalam
hal-hal tertentu, salah satunya adalah tentang kebebasan beragama, khususnya
kebebasan berpindah agama.
Perlindungan kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo menjadi sangat
terbatas bila diimplementasikan di negara - negara ―Islam‖ yang ikut
menandatanganinya, karena adanya konsep syariah yang dimasukkan dalam
Deklarasi Kairo, dan banyak diformalisasikan pada negara - negara timur tengah.
Lebih jauh lagi, Deklarasi Kairo menegaskan bahwa hak - hak dasar fundamental dan
kebebasan universal di Islam adalah bagian integral yang harus dipatuhi dalam agama
Islam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari atau bahkan
menghentikan untuk sementara waktu perintah Tuhan. Hal ini dikarenakan semua
ajaran agama di dalam Islam bersifat mengikat seperti termaktub di dalam kitab suci
(al-Qur‘an) yang telah diwahyukan kepada nabi terakhirNya.18
17
Dari pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerjasama Islam (IPHRC OIC) 20-
24 Februari 2012 di Jakarta diketahui bahwa negara anggota OKI banyak yang belum memiliki standar
instrumen dalam konteks hak asasi manusia. Bahkan, beberapa negara tidak memiliki Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia di negaranya. Pertemuan tersebut memberi rekomendasi kepada dewan Menlu agar
negara-negara anggota OKI juga meratifikasi isntrumen internasional hak asasi manusia dan bekerja
sama menegakkan hak asasi manusia, dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan tersebut
berisi tugas-tugas yang harus dilakukan oleh negara anggota OKI. Lihat Republika co.id, ―Negara OKI
Harus Ratifikasi Aturan HAM‖, Jumat, 24 Pebruari 2012 19:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil
Awwal 1433 / 27 Maret 2012 | 20:27.
18 Frans Sayogi., Op. Cit., hlm. 55.
1
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian skripsi dapat disimpulkan, bahwa UU No. 39
Tahun 1999 Ham Tentang Kebebasan Beragama dalam Perpekstif Fiqh Siyasah yaitu,
di dalam siyasah menegaskan tidak ada paksaan untuk memilih suatu agama. Karena
untuk memilih agama, harus berdasarkan atau sesuai dengan kepercayaan dan
keyakinan kita. Kemudian UU No. 39 Tahun 1999 tentang Ham kebebasan beragama
memiliki prinsip yang sama dengan Siyasah, namun di dalam Siyasah Islam memberi
kebebasan untuk diskusi keagamaan. Artinya Islam mensahkan kebebasan individu
untuk menyebarkan agama, dengan penjelasan dan alasan yang baik. Oleh karenanya
al-Qur‟an menuntut kaum muslimin untuk menggunakan kalimat yang lemah lembut
dalam mengajak dan menyeru manusia ke dalam Islam.
Kemudian, perlindungan negara terhadap Ham kebebasan beragama dalam
Siyasah yaitu mem-persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar Selanjutnya,
membangun persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah yang tidak
terbatas kepada umat Islam saja. Membangun masjid, lembaga ini dari sisi agama
berfungsi sebagai tempai ibadah dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat
mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah. Selanjutnya Nabi
membuat perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang erat
2
di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi
semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua
golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan
perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan
memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara
mereka. Kemudian, dalam perpekstif Kairo perlindungan negara terhadap Ham
kebebasan beragama dalam siyasah yaitu memberikan sumbangan terhadap
perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat
dipahami sebab Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam),
yang merupakan organisasi internasional antarnegara yang beranggotakan negara
Islam atau penduduknya mayoritas beragama Islam.
B. Saran – Saran
Sebagai saran, penulis berharap kepada beberapa kalangan untuk lebih
memahami beberapa hal di bawah ini :
1. Seluruh bangsa Indonesia hendaknya memahami arti Hak Asasi Manusia
(HAM) secara utuh.
2. Seluruh bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam agar lebih memperhatikan
agama sebagai Keyakinan atau Kepercayaan untuk melaksanakan Ibadahnya.
3. Khusus penyelenggara negara agar tetap menjalankan fungsinya, khususnya
untuk perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.
3
Daftar Pustaka
Abu A`la Al Maududi, Human of Rights in Islam, Delhi : Markanzi Islami, 1982
Anshari, Endang Saifuddin Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nsional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ``Sekuler`` tentang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Perpustakaan Salman ITB,
1981
A. Appadorai, The Subtance of Politics, India: Oxford University Press, 2005
Arianto, Satya Hak Asasi Manusia dalam Tradisi Pilitik di Indonesia Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
Abdi,Suoriyanti,``Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat``,
dalam UNISIA, Yogyakarta: UII Press, No. 44/XXV/I 2002, hlm. 74.
Buyung Nasution, Adnan ``Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam dan Barat``,
dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi tehir (ed), Agama dan Dialog antara
Peradaban Jakarta: Paramadina, 1996
Buyung Nasution, The Aspiration for Constituonal Government in Indonesia: A Socio-Legal
Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 Jakarta: Sinar Harapan, 1992
Budiardjo, Mariam Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000
Benedek, wolfgang and Nikolova,Minna Understanding Human Rights: Manual an
Human Rights Education, Eoropean Trainig Research Center for Human
Rights and Democracy, Austria: Graz, 2003
Brownlie,I Principles of International Law, Osford University Press, Oxford, 1991
Chand,Hari Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Services 1994
Deklerasi penghilangan semua bentuk ketidaktoleransian dan diskriminasi
berdasarkan agama atau kepercayaan, Deklerasi Sidang Umum 36/55, 25
November 1981
El-Muhtaj,Majda``Indonesia dan Konstitusi 2002; Men-cermati Hadirnya Komisi Konstitusi
versi MPR & Koalisi untuk Konstitusi Baru``, dalam Istilah: Jurnal Hukum,
Ekonomi dan Kemasyarakatan Medan: Fakultas Syari`ah IAIN-SU, Vol 1 No. 4
Oktober-Desember, 2002
Feith, Herbert The Decline of Constituonal Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell
University Press, 1978
4
Hadi,Amirul ``Damai dan Hak Asasi Manusia; Survei Historis``, makalah dalam seminar
Internasional Peace and Human Rights in Religious Perspectives, Medan 4
Desember 2003
Huda, Ni`matul Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika
Perubahaan UUD 1945 Yogyakarta: FH UII Press, 2003
Kamali, Mohammad Hashim Freedom of Expression in Islam Kuala Lumpur: Ilmiah
Publisher Sdn, Bhd, 1998
Lubis, M. Solly ``Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945``, dalam Padmo Wahjoyo (ed.),
Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghali Indonesia, 1985
Lubis, Nur A. Fadhil ``Hak-hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat,``
makalah pada Muzakarah MUI-SU, Medan, 31 Agustus 1998
Mahmud Marzuki,Peter Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007
Nasution, Diana Evrina ``Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia; survei terhadap Reaksi
Pemikir-pemukir Muslim atas Perkembangan Modern``, dalam Mimbar Hukum:
Aktualisasi Hukum Islam Jakarta: Ditbinpera, No. 62 Tahun XIV, September-
Oktober, 2003
Ricahrd P ,Claude `` The Classical Model of Human Rights Develoment ``, dalam Richard P.
Claude (ed), Comparative Human Rights, London: The John Hopkins University,
1977
Sudjana,Eggy Ham dalam Perpekstif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan
Modernitas yang Hakiki, Jakarta: Nuasa Madani, 2000
Suwandi,Mr Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Modern, Djakarta:
Pembangunan, 1957