94
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Fiqh Siyasah SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Bidang Hukum Tata Negara Oleh : RISKI ANANDA SIKUMBANG NIM. 1410300027 PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PADANGSIDIMPUAN 2018

PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Kebebasan Beragama

Dalam Perspektif Fiqh Siyasah

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-Syarat

Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Bidang Hukum Tata Negara

Oleh :

RISKI ANANDA SIKUMBANG

NIM. 1410300027

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PADANGSIDIMPUAN

2018

Page 2: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 3: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 4: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 5: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 6: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 7: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
Page 8: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, puji Tuhan penulis panjatkan pada Tuhan yang telah merubah

siang jadi malam, malam jadi siang, pada Tuhan yang menciptakan alam semesta

sekaligus sebagai “sutradaranya”, sehingga kita tetap “nyaman” dalam beriman dan

berislam, serta komitmen sebagai insan yang haus akan ilmu pengetahuan.

Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi sepanjang zaman tetap

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., sebagai satu satunya reformis zaman

jahiliyah yang berhasil mengeluarkan umatnya dari kekufuran kepada cahaya iman

dan islam. Amin.

Adapaun skripsi yang berjudul `` Kebijakan dan Pandangan UU No. 39 Tahun

1999 tentang HAM Kebebasan Beragama `` merupakan salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada jurusan Hukum Tata Negara Fakultas

Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan.

Dalam terlaksananya penyusunan skripsi ini merupakan berkat adanya

bimbingan dari dosen yang sudah ditetapkan, dan juga berkat bantuan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof Dr. H, Ibrahim Siregar M.CL selaku Rektor IAIN Padamgsidimpuan,

beserta para Wakil Rektor, dan seluruh Civitas Akademika IAIN

Page 9: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Padangsidimpuan yang memberikan dukungan kepada penulis selama dalam

perkuliahan.

2. Bapak Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Ketua,

Seketaris, Staf Jurusan, serta seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Ilmu

Hukum yang telah banyak membantu penulis.

3. Bapak Dr. Ali Sati M.Ag sebagai pembing I dan Ibu Dermina Dalimunthe S.H

M.H sebagai pembimbing II yang telah menyempatkan waktunya untuk menelaah

dari bab per bab dalam pembuatan skripsi ini serta membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Yusri Fahmi, M.A., Kepala Perpustakaan serta pegawai perpustakaan yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitas bagi peneliti untuk memperoleh buku-

buku selama proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

5. Teristimewa penghargaan dan terima kasih kepada Ayahanda Tercinta Syahril

Sikumbang dan Ibunda Tersayang Nora Wati Siregar yang telah banyak

melimpahkan pengorbanannya, kasih sayangnya dan doa yang senantiasa

mengiringi langkah penulis.

6. Saudara-saudara saya yang menjadi penemangat terkuat dalam perkuliahan dan

penulisan skripsi ini. Serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan

bantuan moril dan materil sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga

pintu keberhasilan terbuka lebar untuk kita semua sebagai buah perjuangan yang

sangat rumit dan panjang. Tetaplah berjuang, berusaha, dan berdoa kepada-Nya

semoga nikmat-nikmat-Nya selalu tercurahkan kepada kita semua.

Page 10: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

7. Rekan-rekan Mahasiswa IAIN Padangsidimpuan Khususnya jurusan Hukum Tata

Negara, yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis.

8. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca

pada umumnya.

Padangsidimpuan, Agustus 2018

Penulis,

RISKI ANANDA SIKUMBANG

NIM. 1410300027

Page 11: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan huruf dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan

huruf, sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian lain dilambangkan

dengan huruf dan tanda sekaligus. Berikut ini daftar huruf Arab dan

transliterasinya dengan huruf latin.

HurufAr

ab

NamaHuruf

Latin Huruf Latin Nama

Alif Tidakdilambangkan Tidak dilambangkan ا

Ba B Be ب

Ta T Te ت

a Es (dengan titik di atas) ث

Jim J Je ج

ḥa ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح

Kha Kh Kadan ha خ

Dal D De د

al Zet (dengan titik di atas) ذ

Ra R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy Esdan ye ش

ṣad ṣ Es (dengan titik dibawah) ص

ḍad ḍ De (dengan titik di bawah) ض

ṭa ṭ Te (dengan titik di bawah) ط

ẓa ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ

ain .„. Koma ter balik di atas„ ع

Gain G Ge غ

Fa F Ef ف

Qaf Q Ki ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wau W We و

Ha H Ha ه

Hamzah ..‟.. Apostrof ء

Ya Y Ye ي

Page 12: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

2. Vokal

Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal adalah vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa

tanda atau harakat transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

fatḥah A A

Kasrah I I

ḍommah U U و

b. Vokal Rangkap adalah vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa

gabungan antara harakat danhuruf, transliterasinya berupa gabungan huruf

sebagai berikut:

Tanda dan Huruf Nama Gabungan Nama

..... fatḥah dan ya Ai a dan i ي

fatḥah dan wau Au a dan u ......و

c. Maddah adalah vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda sebagai berikut:

HarkatdanHuruf Nama HurufdanTanda Nama

ى........ ا.... fatḥah dan alif

atau ya

a dan garis

atas

Kasrah dan ya .....ىi dan garis

di bawah

و.... ḍommah dan

wau

u dan garis

di atas

3. Ta Marbutah

Transliterasi untuk Ta Marbutah ada dua.

Page 13: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

a. Ta Marbutah hidup yaitu Ta Marbutah yang hidup atau mendapat harakat

fatḥah, kasrah dan ḍommah, transliterasinya adalah /t/.

b. Ta Marbutah mati yaitu Ta Marbutah yang mati atau mendapat harakat

sukun, transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada suatu kata yang akhir katanya Ta Marbutah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang alserta bacaan kedua kata itu terpisah maka Ta

Marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

4. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid. Dalam transliterasi ini

tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama

dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu:

Namun dalam tulisan transliterasinya kata sandang itu dibedakan antara kata . ال

sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah dengan kata sandang yang diikuti oleh

huruf qamariah.

a. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiah adalah kata sandang yang diikuti

oleh huruf syamsiah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/

diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung diikuti kata

sandang itu.

b. Kata sandang yang diikuti huruf qamariah adalah kata sandang yang diikuti

oleh huruf qamariah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan

didepan dan sesuai dengan bunyinya.

6. Hamzah

Page 14: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Dinyatakan didepan Daftar Transliterasi Arab-Latin bahwa hamzah

ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya terletak di tengah dan

diakhir kata. Bila hamzah itu diletakkan diawal kata, ia tidak dilambangkan,

karena dalam tulisan Arab berupa alif.

7. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim, maupun huruf ditulis terpisah.

Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang sudah lazim

dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan

maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut bisa dilakukan dengan dua

cara: bisa dipisah perkata dan bisa pula dirangkaikan.

8. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem kata sandang yang diikuti huruf tulisan Arab

huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga.

Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, diantaranya huruf

kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri dan permulaan

kalimat. Bila nama diri itu dilalui oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tesebut, bukan huruf awal kata

sandangnya.

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku dalam tulisan

Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan

kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak

dipergunakan.

9. Tajwid

Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman

transliterasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dengan ilmu tajwid. Karena itu

keresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.

Page 15: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Sumber: Tim Puslitbang Lektur Keagamaan. Pedoman Transliterasi Arab-Latin.

Cetakan Kelima. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pengembangan Lektur

Pendidikan Agama, 2003.

Page 16: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

ABSTRAK

Nama : Riski Ananda Sikumbang

Nim : 1410300027

Judul : Pandangan dan Kebijakan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM

Kebebasan Beragama

Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana HAM

kebebasan beragama itu menurut UU yang mengaturnya, apakah ada paksaan

untuk kita memilih agama kita ,kemudian bagaimana juga penjaminan untuk

kebebasan bergama ini untuk kenyamanan setiap orang yang beragama.

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

sebenarnya pandangan UU No. 39 Tahun 1999 tentang kebebasan beragama serta

bentuk penjaminan untuk HAM kebebasan beragama.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah library

research atau pustaka, karena sumber data yang diperoleh berasal dari UU

(undang-undang), buku-buku serta media cetak tertulis lainnya. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu berupa bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan judul penelitian.

Skripsi ini bermanfaat bagi penulis sebagai wahana berfikir kritis dan

kreatif terhadap sebuah fenomena yang terjadi di sekitar dan bentuk aplikasi

keilmuan yang pernah penulis peroleh selama kuliah. Dalam kajian ini digunakan

metode kepustakaan (library reserch). Setelah penulis mengadakan penelitian

dengan metode di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah

terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM kebebasan beragama melahirkan

aturan salah satunya yaitu Intruksi Mentri Agama RI No. 4 Tahun 1978 tentang

Kebijaksanaan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan. Kemudian penjaminan

kebebasan beragama sudah bisa diijamain secara efektif, karena keterlibatan

institusi agama ke ranah publik di Indonesia sangat menonjol, bahkan telah lama

di bentuk kementiran agama yang berfungsi untuk membina semua umat agama,

memfasilitasi urusan keagamaannya agar mereka dapat menjalankan kehidupan

beragama dengan baik.

Page 17: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i

SURAT PERNYATAAN MENYUSUN SKRIPSI SENDIRI ........................... ii

HALAMAN PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... iii

DEWAN PENGUJI SIDANG MUNAQASAH .................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................... ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

B. Batasan Istilah ........................................................................................... 7

C. Batasan Masalah ....................................................................................... 8

D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 8

E. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8

F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9

G. Kajian Terdahulu .................................................................................... 10

H. Metode Penelitian ................................................................................... 11

I. Sistematika Penulisan .............................................................................. 12

Page 18: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................. 13

A. Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) ....................................................... 19

B. Pengertian Hak Asasi Manusia ............................................................... 24

1. HAM dalam Perspektif Islam ........................................................... 26

2. HAM dalam Perspektif Konstitusi Indonesia ................................... 31

a. UUD 1945 .................................................................................. 32

b. Konstitusi RIS 1945 .................................................................. 34

c. UUDS 1950 ............................................................................... 35

d. Kembali Kepada UUD 1945 ..................................................... 36

e. Amandemen UUD 1945 ............................................................ 36

BAB III Kebebasan Beragama ......................................................................... 39

A. Kebebasan Beragama .............................................................................. 39

B. Hak Kebebasan Beragama dalam Islam ................................................. 50

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Hukum Indonseia .............................. 55

BAB IV UU No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebaan Beragama

Dalam Perpekstif Fiqh Siyasah ................................................................. 58

A. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ................................ 58

B. Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Fiqh Siyasah ................... 59

C. Perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam

Siyasah .................................................................................................... 63

1. Perspektif Piagam Madinah ................................................................ 63

2. Perspektif Deklarasi Kairo .................................................................. 69

Page 19: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB V Penutup .................................................................................................. 72

A. Kesimpulan ............................................................................................. 72

B. Saran – Saran .......................................................................................... 73

Daftar Pustaka

Page 20: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan

memeluk suatu agama atau kepercayaan yang di yakini kebenarannya. Hak

kebebasan beragama ini sebagian dimaknai sebagai bebas menganut kepercayaan apa

saja dan membuat aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak

beragama orang lain.

Namun begitu, Hak kebebasan beragama ini dibatasi oleh UUD 1945 dan

peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. kebijakan dalam bidang

hukum antara lain menggariskan perlunya penegakan hukum secara konsisten agar

lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta

penghargaan terhadap HAM.1

Tuntutan yang dikehendaki pada era reformasi saat ini adalah penguatan Hak

Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dua tuntutan itulah yang menjadi urgensi

dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tuntutan HAM dan

demokrasi begitu kuatnya, hingga pada akhirnya tuntutan itu terus menjadi tuntutan

yang sangat dinantikan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh karena tuntutan HAM

1 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama`` Vol.1 No.

2(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 175.

Page 21: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

begitu kuatnya, maka hampir dalam setiap kehidupan mengatasnamakan HAM, tanpa

memperhatikan kewajibannya. Salah satu HAM yang dituntut adalah hak atas

kebebasan beragama.

Oleh karena kebebasan beragama adalah salah satu HAM yaitu hak

kebebasan manusia untuk memilih dan memeluk suatu agama atau kepercayaan yang

diyakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal dan hati nuraninya. Dengan

demikian,``kebebasan beragama berkaitan dengan keyakinan hidup untuk memilih

agama beserta ajaran yang terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya sebagai

pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan warga dunia``. Aspek lain yang

termasuk dalam pengertian kebebasan beragama adalah kebebasan untuk

menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran agamanya, perlindungan terhadap

perasaan keagamaan (Tuhan) dan kitab suci, perlindungan tempat-tempat dan sarana

peribadatan, perlindungan terhadap pemuka-pemuka agama dan kebebasan untuk

melakukan dakwah.2

Islam mendorong umat manusia untuk memeluk agama sesuai dengan

keyakinannya, bukan karena warisan maupun paksaan. Islam membuka diri untuk

dikritik dan dianalisis kebenaran ajarannya. Bahkan, Allah menantang orang-orang

yang tidak percaya kepada kebenaran Al-Qur`an untuk membuat satu ayat saja

semisal dengannya.

2 Ibid, hlm 176.

Page 22: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Jadi, sudah jelas bahwa dalam penjelasan Al Qur`an juga mendukung

kebebasan beragama dan tidak terdapat paksaan bagi siapa saja untuk memilih

agama-agama yang dipilih dan diyakini oleh siapa saja yang ingin menganut

agamanya.

Kemudian, salah satu hak asasi yang dimiliki manusia sebagai anugerah

Allah adalah kebebasan untuk memilih agama berdasarkan keyakinannya. Manusia

diberi keluasan oleh Allah SWT, apakah akan mengikuti petunjuk jalan-Nya atau

jalan yang lain. Berdasarkan pilihannya, manusia akan dimintai pertanggungjawaban

di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini :

Artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka

barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa

yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan

bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.

dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum

dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah

minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (Q.S

Al-Kahfi : 29)3

3 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 297.

Page 23: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Isi dari QS. Al Kahfi ayat 29 di atas menjelaskan, bahwa kebenaran ajaran

agama Islam seharusnya diimani dengan diikrarkan di dalam hati, dinyatakan melalui

lisan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi bagi Allah SWT pada

dasarnya Allah SWT tidak memaksa dalam soal agama, maka bebas saja bagi setiap

manusia untuk memilih jalan Iman atau Kafir.

Allah SWT hanya memberikan pilihan-pilihan, ada pilihan baik dan ada

pilihan buruk. Lalu Allah SWT berikan petunjuk-Nya di muka bumi selanjutnya

manusia diwajibkan untuk melakukan ikhtiyar yakni berusaha memilih di antara

pilihan pilihan takdir yang sudah Allah SWT tetapkan tersebut.

Siapa yang memilih kebaikan lalu dibuktikannya dengan perbuatannya, maka

sebesar apapun kebaikannya akan diperlihatkan oleh Allah SWT, begitu pula

sebaliknya sekecil apapun perbuatan buruk juga akan diperlihatkan kepadanya,

sebagaimana Firmannya yaitu :

Artinya : Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan

melihat (kebaikan) 7. Dan brang siapa mengerjakan kejahatan seberat

zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (Q.S Al-Zalzalah : 7-8).4

Ayat ini menjelaskan bahwa sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan maka

Allah SWT akan membalas kebaikan tersebut dengan kebaikan pula dan memberi

4 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 599.

Page 24: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

perlindungan. Begitu juga sebaliknya, sekecil apapun keburukan yang kita lakukan,

maka Allah SWT juga akan membalasnya dengan balasan keburukan yaitu neraka.

Dalam hadist juga menjelaskan yang sebagaimana isinya :

ج خلف الب وب قبه : م الله ع عي أب العببس عبد الله بي عببس زض

هب، فقبه : ب غلام إ أعلول ملوبث: سلن احفظ الله صلى الله عل

ج فبسخعي إذا اسخع حفظل، احفظ الله حجد حجبل، إذا سألج فبسأه الله

ك إلا فع ء لن ك بش اجخوعج على أى فع ت ل اعلن أى الأه ببلله،

ء قد مخب ك إلا بش ء لن ضس ك بش إى اجخوعا على أى ضس الله لل،

حف جفج الص ء قد مخب الله علل، زفعج الأقلام ]زا الخسهري بش

قبه : حدث حسي صحح ف زات غس الخسهري: احفظ الله حجد

اعلن أى هب أخطأك أه دة، خبء عسفل ف الش ف إلى الله ف الس بهل، حعس

بس، اعلن أى الصس هع الص هب أصببل لن ني لخطئل، بل، لن ني لص

أى أى الفسج هع النسة هع العسس سسا[.

Artinya : Dari Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas radhiallahuanhuma, beliau

berkata: Suatu saat saya berada dibelakang nabi shallallahu`alaihi wa

sallam, maka beliau bersabda: Wahai ananda, saya akan mengajarkan

kepadamu empat perkara: Jagalah Allah), niscaya Dia akan menjagamu,

Jagalah Allah niscaya Dia akan selalu berada di hadapanmu, Jika kamu

meminta, mintalah kepada Allah, jika kamu memohon pertolongan,

mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya jika suatu

umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu atas sesuatu,

mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa yang

telah Allah tetapkan bagimu, dan jika mereka berkumpul untuk

mencelakakanmu atas sesuatu, niscaya mereka tidak akan

mencelakakanmu kecuali kecelakaan yang telah Allah tetapkan bagimu.

Pena telah diangkat dan lembaran telah kering) . (Riwayat Turmuzi dan

dia berkata: Haditsnya hasan shahih).

Isi dari kandungan Hadist ini menjelaskan bahwa siapa yang menjalankan

perintah – perintah Allah SWT, maka Allah SWT akan menjaga dan melindunginya

Page 25: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

dunia dan akhirat. Dan siapa yang beramal saleh serta melaksanakan perintah Allah

SWT, maka dapat menolak bencana dan mengeluarkan seseorang dari kesulitan.

Jadi, intinya yaitu kita boleh bebas memilih agama apa saja sesuai dengan

keyakinan, tetapi Allah memberikan kita pilihan apakah mengikuti petunjuk-Nya

atau tidak. Jika kita mengikuti petunjuk-Nya, maka kita harus menjalankan semua

perintah Allah dan menjahui semua larangan Allah. Dan siapa saja yang melakukan

hal tersebut maka Allah akan melindunginya di dunia dan akhirat.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Ham kebebasan beragama diatur dalam pasal

22 ayat 1 dan 2. Di dalamnya secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas

memeluk agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya masing-

masing. Artinya kita bebas memeluk agama apa saja sesuai dengan yang kita yakini

dan kita percayai tanpa adanya paksaan.5

Kemudian, di dalam UUD 1945 kebebasan beragama diatur di dalam Pasal

28E ayat 1 dan 2, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan

meyakini kepercayaan atau kebebasan beragama. Selain itu dalam Pasal 28I ayat 1

juga mengatur kebebasan beragama yang menegaskan bahwa hak beragama

merupakan hak asasi manusia.6

5

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

6 UUD 1945 Pasal 28E tentang kebebasan beragama.

Page 26: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Dari penjelasan diatas, lalu bagaimana UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham

kebebasan beragama jika ditinjau dari perpestif Fiqh Siyasah, apakah sama dengan

prinsip Siyasah.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis termotivasi melakukan

penelitian lebih lanjut lagi dalam bentuk skripsi dengan mengangkat judul ‘’ UU

No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Fiqh

Siyasah ‘’.

B. Batasan Istilah

Untuk membatasi pemahaman tentang istilah yang digunakan dalam

penelitian ini perlu penulis menjelaskan beberapa istilah :

1. Ham adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya

bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.7

2. Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan

memeluk suatu agama atau kepercayaan yang di yakini kebenarannya.

3. Fiqh adalah adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syaria\'t, yang

bersifat amaliah (praktis), yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

4. Siyasah adalah bersal dari akar kata سبســت -سبس yang artinya mengatur,

mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan. Di dalam Kamus al-Munjid

7 Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000),

hlm. 120.

Page 27: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

dan Lisan al-\'Arab, kata siyasah kemudian diartikan pemerintahan, pengambilan

keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan atau perekayasaan.

Untuk selanjutnya al-siyasah kadang-kadang diartikan, memimpin sesuatu

dengan cara yang membawa kemaslahatan.

C. Batasan Masalah

Supaya penelitian ini fokus dan terarah, maka penulis membatasai masalah

terhadap penelitian ini yaitu UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham kebebasan

beragama dalam Perspektif Siyasah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, kiranya penulis dapat merumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama

dalam Perspektif Fiqh Siyasah apakah ada persamaan dengan UU ?

2. Bagaimana perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam

Siyasah ?

E. Tujuan Penelitian

Setelah memberikan batasan dan rumusan masalah, penulis dapat

mendeskirpsikan tujuan penulisan ini diantaranya yaitu :

1. Untuk mengetahui UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Beragama

dalam perspektif Fiqh Siyaah.

Page 28: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

2. Untuk mengetahui perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama

dalam Siyasah.

F. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi

pengetahuan berkaitan dengan HAM Kebebasan Beragama, yang meliputi :

1. Diharapakan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi Hukum, tokoh

masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas berkaitan dengan

pengetahuan sekaligus pemahaman tentang sejarah maupun pengertian HAM

(Hak Asasi Manusia).

2. Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi hukum, tokoh

masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas berkaitan dengan

pengetahuan tentang Kebebasan Beragama.

3. Diharapkan dapat memberikan kontribusi gambaran secara komprehensif kepada

praktisi hukum, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan kalangan masyarakat luas

tentang bagaimana UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Ham Kebebasan Bergama

dalam perspektif Fiqh Siyasah.

G. Kajian Terdahulu

Page 29: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Sebelum melakukan penelitian ini, sudah ada penelitian yang berhubungan

dengan penelitian penulisan ini, yaitu :

Penelitian Saepul Agna, dalam skripsinya yang berjudul The Wahid Institute

dan Gerakan Kebebasan Beragama di Indonesia Perpekstif Gerakan Sosial. Dalam

penelitian tersebut saudara Saepul Agna hanya meneliti tentang Gerakan Kebebasan

Beragama The Wahid Institute, yang meliputi Profil The Wahid Institute, Perspektif

Gerakan Sosial, dan Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian

Kualitatif.

Penelitian Sigit Riono, dalam skripsinya yang berjudul Hak Kebebasan

Beragama di Indonesia (Studi Socio-Legal dalam Kasus Ahmadiyah). Dalam

penelitian tersebut saudara Sigit Riono menelititi tentang Pengaturan hak kebebasan

beragama di Indonesia dalam peraturan hak asasi manusia secara hukum pada

kelompok aliran agama Ahmadiyah, pendekatan penelitian yang digunakan adalah

yuridis sosiologis.

Penelitian Frans Sayogie, dalam skripsinya yang berjudul Hak Kebebasan

Dlam Islam ditinjau dari Perlindungan Negara dan Hak Asasi Manusia Universal.

Dalam penelitian tersebut, saudara Frans Sayogie meneliti tentang Ruang Lingkup

hak Kebebasan Beragama, dan bentuk perlindungan negara terhadap kebebasan

bergama. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan Historis.

Akan Tetapi, penulis membahas secara spesifik pada skripsi yang berjudul

``UU No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebasan Beragama di Tinjau dari Fiqh

Page 30: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Siyasah ``, dan penelitan ini jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya bahwa judul

ini belum pernah dibahas.

H. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif,8 karena data dan

sumbernya tidak dapat dipisahkan dengan data-data kepustakaan, antara lain berupa

buku-buku, majalah, jurnal. Adapun pendekatan dalam penelitian karya ilmiah ini

menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), karena peneliti

beranjak dari undang undang dan peranturan yang berhubungan dengan penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah studi pustaka,

yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan hukum tersier yang berkaitan

dengan judul penelitian.

3. Unit Analisis / Subjek Penelitian

Unit analisis atau subjek penelitian yaitu berupa UU No. 39 Tahun 1999,

karena sumber informasi berasal dari dan UU No. 39 Tahun 1999.

4. Sumber Data

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), Cet. Ke-3, hlm. 95.

Page 31: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Dalam penelitian ini, data bersumber dari literatur-literatur yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti, diantaranya bahan sekunder, yaitu Al Qur an,

UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999. Kemudian bahan tersier terdiri dari kamus

dan ensklopedia.

5. Teknik Analis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis isi, yang

merupakan pembahasan dari bacaan tercetak tentang Kebijakan dan Pandangan UU

No. 39 Tahun 1999 Mengenai HAM Kebebasan Beragama, karena data yang

diperoleh tersebut merupakan data kualitatif.

I. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I, Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang masalah , Pembatasan

dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Metode

Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II, dalam bab ini akan dibahas tentang Pengertian dan Sejarah HAM

(Hak Asasi Manusia).

BAB III, dalam bab ini akan membahas tentang Kebebasan Beragama,

Kebebasan Beragama dalam Islam dan Kebebasan Beragama dalam Hukum

Indonesia.

Page 32: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB IV, dalam bab ini akan dibahas tentang UU (Undang - Undang) No. 39

Tahun 1999 tentang Ham kebebasan bergama dalam perpekstif fiqh siyasah dan

perlindungan negara terhadap kebebasan beragama dalam siyasah.

BAB V, dalam bab ini merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan

Saran-Saran.

Page 33: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah HAM (Hak Asasi Manusia)

Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara

universal sebagai a moral, political, legal framework and a guideline dalam

membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta

perlakuan yang tidak yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum,

jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus

ada di setiap negara yang dapat disebut rechsstaat. Bahkan, dalam perkembangan

selanjutnya, jaminan-jaminan Hak Asasi Manusia itu juga diharuskan tercantum

dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi

konstitusional (constitutional democracy). Jaminan ketentuan tersebut dianggap

sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi

ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan

negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.

Namun, sebelum sampai ke tahap perkembangannya yang sekarang, baik

dicantumkan dalam berbagai piagam maupun dalam naskah undang-undang dasar

berbagai negara, ide hak asasi manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang

panjang.1 Sejak abab ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia

1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

PSHTN-FHUI, 1983), hlm. 34.

Page 34: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

sudah dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 oleh raja John

Lackland biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia.

Dari segi isi, Magna Charta, hanya melindungi kepentingan kaum bangsawan dan

gereja. Akan tetapi, jika dilihat dari segi perjuangan hak asasi manusia, Magna

Charta, setidak-tidaknya menurut orang Eropa, diakui sebagai yang pertama dalam

sejarah perjuangan hak asasi manusia seperti yang dikenal sekarang.2

Setelah Magna Charta (1215), tercatat pula penandatanganan Petition of

Rights pada tahun 1628 oleh raja Charles I. Apabila pada tahun 1215 raja berhadapan

dengan kaum bangsawan dan gereja sehingga lahirlah Magna Charta, maka pada

tahun 1628, raja berhadapan dengan Parlemen yang terdiri dari urutan rakyat (House

of Commons). Oleh karena itu, menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahm,

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki

kolerasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi. Sebab, perjuangan hak-

hak asasi manusia itu pada akhirnya berkaitan dengan soal jauh-dekatnya rakyat

dengan ide demokrasi.

Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights

yang ditandatangani oleh raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari

pergolakan politik yang dahsyat yang biasa the Glorios Revolution. Glorious

Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja,3 akan tetapi

2 Mr. Suwandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Modern,

(Djakarta: Pembangunan, 1957), hlm. 8. 3 G.J. Wolhoff, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Djakarta: Timun Mas, 1960),

hlm. 140.

Page 35: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

juga menggambarkan rentetan kemenagan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang

menyertai perjuangan Bill of Rights yang berlangsung tak kurang dari 60 tahun

lamanya.4

Dalam perkembanganya selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia

banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke

dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai pelatak dasar bagi teori

Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J Rousseau,

John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang bisa dinisbatkan

kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Perbedaan pokok

antara Hobbes dan John Locke adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes

menghasilkan monarki absolut,5 maka teori John Locke menghasilkan monarki

Konstitusional.

Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi

manusia merupakan jalan keluar untuk mangatasi keadaan. Dalam keadaan demikian,

manusia tak ubahnya bagikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut

Leviathan yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul bukunya.6

4 Ricahrd P. Claude `` The Classical Model of Human Rights Develoment ``, dalam Richard

P. Claude (ed), Comparative Human Rights, (London: The John Hopkins University, 1977), hlm. 13. 5 Thomas Hobbes sendiri lahir sebagai bayi prematur di tengah suasana perang saudara

(civil war) di Inggris pada tahun 1588. Dalam karirnya, pernah menjadi sekretaris Raja Charles I yang

menghadapi parlemen. Oleh karena itu, buku utamanya, yaitu De Cive (1643) dan Leviathan (1651)

mencerminkan jalan pikiran Hobbes yang demikian itu. Lihat Hari Chand, Modern Jurisprudence,

(Kuala Lumpur: International Law Book Services 1994), hlm 43. 6 A. Appadorai, The Subtance of Politics, (India: Oxford University Press, 2005), hlm. 24-

26.

Page 36: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Menurut Hobbes, keadaan seperti itulah yang mendorong terbentuknya

perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada

penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebutkan sebagai teori monarki

absolut.7

Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut

menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang diserahkan,

menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata,

sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke

juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang

disebutnya sebagai Second Treaties of Civil Goverment yang juga menjadi judul

bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu

dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik negara.

Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis.

Dalam instansi berikutnya, yang disebutkan sebagai Pactum Subjections,

Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi (pactum

unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dikarenakan setiap individu selalu

memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yaitu life, liberty serta estate, maka adalah

logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing

individu.

Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian hari dijadikan landasan

bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana yang kemudian terlihat dalam

7 Ibid. hlm. 21-24.

Page 37: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Decleration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah

disetujui oleh Congres yang mewakili 13 negara baru yang bersatu.

Di Amerika Serikat, perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh

karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa

terindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh

bangsa Prancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin ileh pemerintah raja

bersifat absolut. Sebagi reaksi terhadap absolutisme itulah, Montesquieu

merumuskan teorinya yang dikenal istilah Trias Politica yang dikemukakannya

dalam buku L`esprit des Lois (1748).8

Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam 3 (tiga)

bagian yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Ketiga bagian itu tersebut harus

dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu

menurutnya sangay penting untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan di

tangan satu orang. Dengan terpisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang

mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang

lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.

Sementara itu, Jean Jacques Rosseau melalui bukunya Le Contrat Social

menghendaki adanya suatu demokrasi, dimana kedaulatan ada di tangan rakyat.

Pandangan Rosseau ini banyak dipengaruhi oelh pemikiran Thomas Hobbes dan

John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan

rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan raja Louis XVI memanggil Etats

8 Appadorai, Op. Cit.,. hlm. 516-517.

Page 38: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Akan tetapi kemudian, utusan kaum

borjuis menyatakan dirinya sebagai Assemble Nationale yaitu Dewan Perwakilan

Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis. Pada tanggal 20 Juni 1789 mereka

bersumpah untuk tidak membubarkan diri sebelum Prancis mempunyai konstitusi.

Selanjutnya, Assamble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan

Konstituante. Pada tanggal 26 Agustus 1789 ditetapkanlah `` Pernyataan Hak-Hak

Asasi Masnusia dan Warga Negara `` (Declaration des droit de l`homme et du

citoyen). Sesudah itu, yaitu pada tanggal 13 Seotember 1789, lahirlah Konstitusi

Prancis yang pertama.

Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Prancis tersebut

(Decleration des droit de l`homme et du citoyen) dapat dikatakan dipengaruhi oleh

Decleration of Indenpendence Amerika Serikat, terutama berkat jasa antara lain

seorang warga negara Prancis yang bernama La Fayette yang pernah ikut berperang

di Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika Serikat berhasil mencapai kemenangan

dan American Decleration of Indenpendence ditandatangani pada tahun 1776,

salinan naskah deklerasi tersebut.

Pada waktu Prancis menyusun Decleration des droit de l`homme et du

Citoyen (1789), Decleration fo Indenpendence Amerika Serikat (1776) itu banyak

ditiru. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, deklerasi tersebut banyak ditiru

pula oleh negara-neggara eropa lainnya.

Oleh karena itu, kedua naskah deklerasi yaitu Decleration of Indenpendence

Amerika Serikat (1776) dan Decleration des droit de l`homme Citoyen Prancis

Page 39: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

(1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan

universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklerasi ini, kemudian disusul oleh

The Universal Decleration of Human Rights tahun 1948 menjadi contoh bagi semua

negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi

yang menghormati dan melindungai hak-hak asasi manusia.

Kejadian lain yang juga penting yang terjadi dalam perkembangan hak-hak

asasi manusia adalah kemenangan demokrasi atas pemerintahan diktator dan facist

Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia ke-II. Setelah Perang Dunia ke-II

berakhir dengan kemenangan berada di pihak Sekutu, maka melalui Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) disepakati suatu Universal Decleration of Human Right di

Paris pada tahun 1948, dengan perbandingan suara sebagai berikut, 48 setuju dan 8

blanko. Meskipun Universal Decleration of Human Rights tersebut tidak mengikat

bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, namun diharapkan agar negara-

negara anggota PBB dapat mencantumkannya dalam Undang-Undang Dasar

masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga norma hukum

yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestik di

masing-masing negara anggota. Salah satu Undang-Undang Dasar yang secara

lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Decleration of

Human Rights tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia

tahun 1950.

Namun demikian, dilakukannya naskah universal Decleration of Human

Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencakup akar-akar penindasan di

Page 40: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

semua negara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya

mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat

mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB

berhasil juga melahirkan Convenat on Economic, Social and Cultural Rights

(Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya) dan Convenant on Civil

and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik).

Kedua cnvenant tersebut dapat dipandang sebagai perturan pelaksanaan atas

naskah pokok Universal Decleration of Human Rights. Sehingga secara yuridis

meratifikasikan kedua conenant ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat

secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak

asasi manusia didunia. Terlebih lagi, apabila diingat bahwa kedua covenant tersebut

baru dapat berlaku mengingat secara yuridis segera telah diratifikasikan oleh sedikit-

dikitnya 35 negara anggota PBB.

Setelah kedua covenant ini, berbagai instrumen hukum internasional

diadopsikan oleh PBB untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang,

instrumen-instrumen PBB dimaksud dapat kita susn secara berturut-turut sebagai

berikut:

1. Universal Decleration of Human Right, 1948.

2. Convention on the Prevention and Punishmen of the Crime of Genocide,

1984.

Page 41: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

3. International Convention on the Elimination of All Forms of Radical

Discrimination, 1965.

4. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966.

5. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.

6. Convenant on the Elimination of All Forms of Discrimonaiton gainst

Women, 1979.

7. Convenant against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading

Treatment or Punishiment, 1984.

8. Convention on the Rights of the Child, 1989.

Selain itu, ada pula beberapa instrumen hak asasi manusia yang bersifat

regional, yaitu yang diberlakukan di wilayah Amerika, Eropa atau yang biasa disebut

sebagai European Human Rights Instrument adalah:9

1. Covenant for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms

(1950), beserta 13 protokol tambahan.

2. European Social Charter (1961) sebagaiman telah diubah pada tahun 1991

dan 1996, dengan protokol tambahan pada tahun 1988 dan 1995.

3. European Convention fot the Prevention of Torture and Other Inhuman

and Degrading Treatment (1987).

9 Wolfgang Benedek and Minna Nikolova, Understanding Human Rights: Manual an

Human Rights Education, Eoropean Trainig Research Center for Human Rights and Democracy,

(Austria: Graz, 2003), hlm. 27.

Page 42: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

4. Final Act of Helsinki (1975) and Follow-up Process of CSCE/OSCE with

Charter of Paris for New Europe (1990).

5. European Charter for Regional Or Minority Languages (1992)

6. Framework Convention fot the Protection of National Miniorities (1994).

7. Charter of Fundamental Rights of the European Unions (2000).

Di kawasan benua Amerika, deklerasi yang dapat dikatakan pertama adalah

American Decleration of the Rights and Duties of Man tahun 1984, yaitu bersamaan

dengan ditandatanganinya The Charter of the Organization of America State (OAS).

Sampai sekarang tercatat ada 7 (tujuh) instrumen10

hak asasi manusia yang telah

diadopsikan di wilayah Amerika, yaitu:

1. Amerika Decleration on Human Rights and Duties of Man (1984).

2. Inter-American Commission on Human Rights (1959).

3. American Convention on Human Rights yang diadopsikan pada tahun

1969, tetapi baru mulai diberlakukan pada tahun 1978.

4. Inter-American Court on Human Rights yang diadopsikan tahun 1979,

tetapi baru berlaku tahun 1984.

5. Additional Protocol on Economic, Social, and Cultural Rights (1988).

6. Additional Protocol on the Abolition of the Death Penalty (1990).

10

Dalam Manual on Human Rights Education yang disunting oleh Wolgang Benedek dan

Minna Nikolova sebagagaimana dikutip di atas, juga diesbut adanya Inter-American Comission on

Women tahun 1928. Akan tetapi, sebelum diadopsinya American Decleration of the Rights and Duties

of Man pada tahun 1984, dapat dikatakan belum banyak pengaruhnya bagi seluruh kawasan Amerika,

dan karena itu sengaja tidak ditambahkan dalam ke-7 daftar instrumen ini.

Page 43: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

7. American Convention on the Prevention, Punishiment and Eradication of

Violence against Women (1994).

Dilingkungan negara-negara Afrika, juga sudah banyak instrumen hak asasi

manusia yang dirumuskan. Instrumen yang sekarang berlaku sebagai instrumen hak

asasi manusia adalah:

1. African Charter on Human dan People Rights (1981)

2. African Comission on Human and People Rights (1987).

3. Protocol on the Establishment of an African on Human and Peoples Rights

(1997).

4. Protocol on the Rights of Women (sampai sekarang belum disahkan oleh

African Unions).

5. African Charter on the Rights and Welfare the Child (1990).

Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus dii

kawasan tertentu. Misalnya, dikalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam

Liga Arab (Arab League) telah berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights

yang disahkan oleh the Council of the League of Arab Stares pada tanggal 15

september 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu

belum dapat memiliki instrumen. Regional hak asasi manusia yang terdiri tersendiri,

yaitu kawasan benua Asia.

Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat

(NGO`s), tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan

Page 44: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Decleration of

Human Rights 1948, pernah diadakan suatu Euro-Asian Dialogue di antara Uni

Eropa dan negara-negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialog antara Uni Eropa

dengan Cina. Akan tetapi, forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan.

Mungkin Komisi Nasional Hak Aasi Manusia Indonesia sebagai negara demokrasi

yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai

hai ini dimasa yang akan datang.

B. Pengertian Hak Asasi Manusia

Secara umum, istilah hak asasi manusia sering dinamai dengan hak-hak yang

melekat pada diri manusia sejak lahir.11

Mariam Budiardjo mengatakan bahwa hak

asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan

dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.12

Sedangkan

menurut Jan Meterson dan Komisi HAM PBB bahwa hak asasi manusia adalah hak-

hak yang melekat pada manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat

hidup sebagai manusia.13

Selanjutnya ia mengungkapkan bahwa hak tersebut adalah

hak yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan YME bukan pemberian manusia

atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia

yang bersifat kodrati, yakni ia tidak dapat terlepas dari dan dalam kehidupan

manusia.

11

Eggi Sudjana, Ham dalam Perpekstif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan

Modernitas yang Hakiki, (Jakarta: Nuasa Madani, 2000), hlm. 3. 12

Mariam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000),

hlm. 120. 13

Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat

Madani, (Jakarta: IAIN Press, 2000), hlm. 207.

Page 45: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Dengan denefisi hak yang melekat pada diri manusia, John Locke

mangungkapkan bahwa, HAM merupakan hak-hak yang diberikan Tuhan secara

langsung. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang dapat mencabut hak-hak dasar

tersebut. Dalam undang-undang tentang hal asasi mansuia Pasal 1 dinyatakan bahwa:

``Hak asasi manusia adalah sepeerangkat hak yang melekat pada hakikat

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan

perlindungan harkat dan martabat manusia``14

Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua hak fundamental, yaitu hak

persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak tersebut lahir hak-hak lain yang

sifatnya turunan, atau tanpa keduanya hak-hak turunan tersebut sulit untuk

ditegakkan. Adapun hak-hak turunan tersebut adalah meliputi segala hak-hak dasar

(hak hidup, hak beragama, hak berpendapat, dan hak perlindungan) yang layak,

ditambah dengan hak persamaan di muka hukum, hak milik, hak memperoleh

kecerdasan intelektual.

14

Hak Asasi Manusia, Undangiundang Republik Indonesia, Nomor 39 tahun 1999,

Lampiran, hlm 1.

Page 46: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

1. HAM dalam Perpekstif Islam

Islam telah meletekkan dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh

sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Hal ini

dapat dilihat dari ketentuan - ketentuan, sebagaimana firman Allah SWT

Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu

(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka

bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan

Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-

olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan

Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan

(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara

mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat

kerusakan dimuka bumi.(Q.S Al-Maidah : 32)15

Penjelasan ayat ini yaitu supaya manusia menghindarkan diri dari perilaku

tindak kekerasan, karena kekerasan merupakan tindakan pelanggaran dan termasuk

juga pelanggaran HAM (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, pembunuhan dll)

yang menyebabkan penderitan atau menyakiti orang lain. Kemudia di dalam hadis

juga menjelaskan yang berbunyi :

15

Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran.2009,

hlm. 113.

Page 47: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

إذا التقى المسلمان بسيفيهما فقتل أحدهما صاحبه فالقاتل والمقتول في النار

Artinya : Apabila dua orang muslim bertemu (berkelahi) dengan pedang mereka

berdua, lalu salah satunya membunuh yang lain, maka yang membunuh

dan yang dibunuh di neraka.16

Kemudian dalam hadis lain yang sama dengan hadis diatas yaitu :

م الله عليه الجنة من قتل معاهدا في غير كنهه حر

Artinya : Siapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (yang memiliki perjanjian

damai) pada selain waktu yang diperbolehkan membunuhnya (yaitu ketika

di luar perjanjian), Allah haramkan surga baginya (pembunuh tersebut).”

(HR. Ahmad dalam Musnad-nya, juz 5/36, 38,50,51,52; Ibnu Majah,

Kitabud Diyat 32, dari Abu Bakrah)17

Kedua hadis ini menjelaskan, bahwa pembunuhan hanya diperbolehkan

ketika ada sebab yang mengharuskannya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t

mengatakan: “Dan ayat ini menunjukkan bahwa pembunuhan itu diperbolehkan

dengan salah satu di antara dua sebab, yaitu membunuh jiwa dengan sengaja dengan

cara yang tidak dibenarkan agama, maka orang tersebut boleh dibunuh apabila dia

mukallaf (baligh dan berakal) dan setingkat, serta bukan ayah dari yang terbunuh.

Yang kedua, dia membuat kerusakan di bumi dengan merusak agama atau jiwa atau

harta manusia, seperti orang-orang kafir yang murtad dan menyerang, serta para

penyeru bid’ah yang tidak bisa ditangkal kejelekannya kecuali dengan dibunuh.

16

Asysyariah.com, Islam Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia, diakses pada tanggal 29-

09-2018 pada pukul 09.10.

17 Lot.cit

Page 48: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Demikian juga para perampok di jalan dan sejenis mereka, dari orang-orang yang

mengacaukan manusia dengan membunuh atau mengambil harta mereka.

Seiring dengan menguatnya kesadaran global akan arti penting HAM dewasa

ini, persoalan tentang universalitas HAM dan hubungannya dengan berbagai sistem

nilai atau tradisi agama terus menjadi pusat perhatian dalam perbincangan wacana

HAM kontemporer. Harus diakui bahwa agama berperan memberikan landasan etik

kehidupan manusia.18

Perkembangan wacana global tentang HAM memberikan penilaian tersendiri

bagi posisi Islam.19

Hubungan antara Islam dan HAM muncul menjadi isu penting

mengingat, kecuali di dalamnya terdapat interprestasi yang beragam yang terkesan

mengundang perdebatan yang sengit,20

perkembangan politik global memberikan

implikasi tersendiri antara hubungan Islam dan Barat.

18

Rasjidi, ``Sumbangan Agama Terhadap Hak-hak Asasi Manusia``, dalam Hukum dan

Masyarakat (Jakarta: Madjalah PERSAHI, No. 2, Th VIII, 1968), hlm. 85-96. 19

Rasjidi mengatakan, Piagam PBB tentang HAM didahului dengan Preamble yang

berbunyi: Hereas recognition of the inherant dignity and inalienable rights of all members of the

human familiy is the foundation of freedom, justice and peace in the world....Perkataan Inherent

dignity, yang disalin oleh Kementrian Penerangan sebagai martabat alamiahm bagi saja memberi kesan

tentang pengaruh perkembangan ide hak-hak asasi manusia yang berkembang sebagai lanjutan

perkembangan teori politik di Benua Eropa, yang lama berusaha membebaskan diri dari pengaruh

gereja, Selama perkembangan itu ajaran Islam tidak diketahui oleh Dunia Barat dan tidak dimengerti

atau diindahkan oleh Muslim sendiri yang negaranya merupakan kekuasaan yang berdasar atas

kekuatan rakyatnya hidup dalamserba ketakutan. Lihat Rasjidi. lot.cit. 20

HAM perpekstif Barat mengalami kritik tajam dari kalangan Muslim. Diyakini bahwa

HAM versi barat cendrung emphrical and intellectual minded, sementara HAM dalam perpekstif Islam

bersandar pada otoritas transendental, wahyu Tuhan. Pembahasan lebih lanjut dapt dilihat Irene Bloom

et al., Religious Diversity and Human Rights (New York: Columbia University Press, 1996), hlm 175-

191, 213-239, 313-337; Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Kuala Lumpur:

Ilmiah Publisher Sdn, Bhd, 1998), hlm. 16-24: Abul A`la al-Maududi, Human Rights in Islam (Delhi:

Marzaki Maktaba Islami, 1982); Tahir Mahmood (ed.), Human Rights in Islamic Law (New Delhi:

Institute of Objective Studies, 1993); Syaukat Hussain, Human Rights in Islam, (India, Nusrat Ali

Nasri for Kitab Bhavan, 1978). Perdebatan antara Islam dan Barat juga terjadi dalam konteks filsafat

Page 49: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Meskipun aspek terakhir ini memberikan konsenkuensi yang signifikan bagi

munculnya interprestasi terhadap hubungan islam dan HAM, tetapi perlu dicatat

bahwa faktor tersebut tidaklah dapat dipandang kecil.21

Islam dan Barat menurut A.K

Broni, sebenarnya mnguoayakan ercapainya pemeliharaan HAM dan kemerdekaan

fundamental individu dalam masyarakat, namun perbedaan terletak pada pendekatan

yang dipergunakan.

Menurut Supriyanto Abdi,22

setidaknya terdapat tiga varian pandangan

tentang hubungan Islam dengan HAM, baik yang idkemukakan oleh para sarjana

Barat atau pemikir Muslis sendiri,23

yakni: pertama, menegaskan bahwa Islam tidak

sesuai dengan gagasan dan konsepsi Ham modern, Kedua, menyatakan bahwa Islam

menerima semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi, pada saat yang sama,

hukum. Jadi, kalu HAM juga dikaji dalam studi hukum, maka perbedaan sudut pandang secara filisofis

tak bisa dihindari. Lihat lebih lanjut Majda El-Muhtaj. ``Social Engineering dan maslahat; Suatu

Tinjauan Filsafat Hukum Islam dan Barat``, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam (Jakarta:

Ditbinpera, No. 52, Tahun XII, Mei-Juni, 2001), hlm.73-82. 21

Magna Charta misalnya, yang dipandang sebagai embrio lahirnya kesadaran manusia

sejagat, justru dipandang ileh beberapa tokoh Muslim seperti Abu A`la al-Maududi sebagai bentuk

pengingkaran sejarah umat manusia. Hal ini menurutnya sebagai salah satu kekeliruan kalangan Barat

yang kerap kali bersikap apriori terhadap Magna Charta. Selengkapnya ia mengatakan sebagai

berikut: It Is very loudly and vociferously claimed that the world got he concept of basic human rights

from the Magna Charta of Britain; thoug the Magna Charta came into exietence six hundred years

after the advent of Islam. The truth of the matter is that until the seventeenth century no one oven knew

that Magna Charta contained the principles of trial by jury; habeas corpus and the control of

paliament on the rights of taxation. If the pepole who have drafted the Magna Charta were living

today they would have been greaty surprised if they were told that their document also contained all

these ideals and principles. They had no such intention, nor were they conscious of all these concepts

which are now being attributed to them. Lihat lebuh lanjut, Abul A`la al-Maududi, Human Rights in

Islam, (Delhi: Markanzi Maktaba Islami, 1982), hlm. 13. 22

Suoriyanti Abdi,``Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat``, dalam

UNISIA (Yogyakarta: UII Press, No. 44/XXV/I 2002), hlm. 74. 23

Untuk melihat bagaimana respon pemikr-pemikir Muslim tentang HAM, dapat dibaca

tulisan Diana Evrina Nasution, ``Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia; survei terhadap Reaksi

Pemikir-pemukir Muslim atas Perkembangan Modern``, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum

Islam (Jakarta: Ditbinpera, No. 62 Tahun XIV, September-Oktober, 2003), hlm. 51-63.

Page 50: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

menolak landasan sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami. Ketiga,,

menegaskan bahwa HAM modern adalah khazanah kemanusiaan universal dan Islam

(bisa dan seharusnya) memberikan landasan normatif yang sangat kuat terhadapnya.

Pandangan pertama berangkat dari asas esensialisme dan relavitisme kultural.

Esensialisme menunjukkan kepada paham yang menegaskan bahwa suatu gagasan

atau konsep pada dasarnya mengakar atau bersumber pada satu sistem nilai, tradisi,

atau peradaban terntentu. Sedangkan relativisme kultural adalah paham yang

berkeyakinan bahwa satu gagasan yang lahir atau terkait dengan sistem nilai yang

berbeda. Di kalangan pemikir Barat termasuk di dalamnya Samuel P. Huntington

serta Pollis dan Schwab. Menurut keduanya, karena secara historis HAM lahir di

Eropa dan Barat.

Pandangan kedua lebih dikenal dengan gerakan islamisasi HAM. Pandangan

ini muncul sebagai reaksi ``gagal``-nya HAM versi Barat dalam mengakomodasikan

kepentingan terbesar masyarakat Muslim. Tidak kalah pentingnya, gerakan ini

merupakan alternatif yang diyakini mampu menjembatani pemikiran HAM dalam

perpekstif Islam. Dalam perkembangan yang signifikan berhasil dirumuskan piagam

Deklerasi Universal HAM dalam perpekstip Islam.24

Di antar pemikir Musliam yang

termasuk dalam pandangan tersebut di antaranya Abul A`la al-Maududi.25

24

Pertemuan The Organization of Islamic Confrence (OIC) PADA BULAN Agustus 1990

di Kairo telah berhasil melahirkan ``The Cairo Decleration of Human Rights in Islam`` yang banyak

berbeda dengan standar HAM Internasional versi Barat. Sebelumnya, pada pertemuan UNESCO

tanggal 19 September. Pada momentum itu, the Islamic Council yang bermukim di London berhasil

menyiapkan draf delarasi, yakni Universal Islamic Decleration of Human Rights, meskipun pada

Page 51: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Ketiga, menegaskan bahwa HAM modern adalah Khazanah kemanusiaan

universal dan Islam (bisa dan seharusnya) memberikan landasan normatif yang

sangat kuat terhadapnya. Beberapa dengan dua pandangan sebelumnya, varian ketiga

ini menegaskan bahwa universalitas HAM sebagai khazanah kemanusiaan yang

landasan normatif dan filosofisnya bisa dilacak dan dijumpai dalam berbagai sistem

nilai dan tradisi agama, termasuk Islam di dalamnya. Yang termasuk berpandangan

demikian di antaranya adalh Abdullah Ahmed an-Naim.26

2. HAM dalam Perspektif Konstitusi Indonesia

Penting pula dicermati bahwa dengan menyadari sejarah panjang

kemanusiaan sejagat dengan segala dinamikanya memberikan pengaruh bagi

perkembangan pemikiran, khususnya dalam wilayah ketatanegaraan indonesia.

Disadari bahwa ide-ide tantang hak-hak asasi bukanlah hal yang mucul begitu saja

tanpa ``ongkos`` perjuangan dan pengorbanan yang tidak kecil. Selain itu, rasanya

pertemuan itu berakhir dengan kegagalan meyakinkan forum untuk menerimanya. Lihat lebih lanjut

Amirul Hadi, ``Damai dan Hak Asasi Manusia; Survei Historis``, makalah dalam seminar

Internasional Peace and Human Rights in Religious Perspectives, Medan 4 Desember 2003, hlm. 12;

Nur A. Fadhil Lubis, ``Hak-hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Islam dan Brat,`` makalah pada

Muzakarah MUI-SU, Medan, 31 Agustus 1998, hlm 8-9; Lihat juga Iskandar Ritonga, ``Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam Perspektif Islam``, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam (Jakarta:

Ditbinpera, No. 38 Tahun IX, Juli-Agustus, 1998), hlm. 72. Komplikasi berbagai kesepakatan dan

deklerasi HAM Islam universal dapat dilihat Manzamat al I`lam al-Islam, Huquq al-insan fi al-Islam:

Maqalat al-Mu`tamar al-Khamis li al-Fikr al-Islamiy (Teheran: Manzamat al-I`lam Islam, 1987). 25

Lihat karya beliau, Human Rights in Islam (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1982). 26

Pemikir Islam asal Sudan ini dikenal produktif. Beberapa karyanya seputar HAM dinilai

sangat Konprenhensif. Di antaranya, Islamic Law Reform and Human Rights: Challenges and

Rejoinders (Norwegia: Nordic Human Rights Publication, 1993); Toward an Islamic Reformation`

Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Mesir: American University in Cairo, 1992),

``Syari`a and Basic Human Rights Concerns``,dalam Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A

Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 222. Perkembangan pemikiran an-Naim

dapat dilihat hasil penelitian Adang Djumhur Salikin,``Rekonstruksi Syariah dalam Gagasan Ahmed

an-Nai`m (Medan: Tesis-Magister PPs IAIN-SU, 1997).

Page 52: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

sulit dibayangkan terjadinya komitmen yang tulus kepada pengakuan, pelaksanaan,

dan pembelaan hak-hak asasi tanpa dikaitkan dengan dasar dan bukti keinsafan akan

makna dan tujuan hidup pribadi manusia itu sendiri.

Jika kita melirik hal ihwal ketatanegaraan Indonesia, maka hal pertama dan

terpenting dilakukan adalah menoleh ke dalam seluk beluk konstitusi Indonesia, yang

diakui sebagai hukum dasar bagi ketatanegaraan Indonesia. Menariknya,

dalamaturan normatif konstitusional Indonesia, ditemukan berbagai variasi ketentuan

dari beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, yakni sebagai berikut:

a. UUD 1945

UUD 1945 sering disebut dengan ``UUD Proklamasi``. Dikatakan demikan

karena kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia memalui

proklamasi kemerdekaan RI,17 Agustus 1945. Fakta sejarah menunjukkan bahwa

pergulatan pemikiran, khususnya pengaturan HAM dalam konstitusi begitu intens

terjadi dalam persidangan BPUPKI dan PPKI.27

Satu hal menarik bahwa meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis

yang di dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajiban-

kewajiban yang bersifat mendasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri

sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh,

27

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, Vol I (Jakarta: Yayasan Prapanca,

1959); Saafroeddin Bahar, et.al, Risalah Sidang BPUPK-PPK 29Mei 1945-22 Agustus 1945 (Jakarta:

Sekretariat Negara Republik Indoneisa, 1995)

Page 53: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

maupun Penjelasannya. Yang ditemukan hanyalah hak dan kewajiban warga negara

(HAW).28

Diakui bahwa proses perumusan UUD 1945 sangat tergesa-gesa.29

Waktu

yang tersedia dirasakan sangat pendek apalagi dalam kenyataannya dihadapkan

dengan momentum Proklamasi Kemerdekaan RI. Atas dasar itu, Presiden Soekarno

manandaskan bahwa UUD 1945 adalah ``UUD kilat``, yang karenanya harus

dilakukan perubahan pada saat Indonesia merdeka.30

Jelas kelihatan bahwa

pengaturan HAM berhasil dirumuskan dalam UUD 1945. Itu artinya, bahwa jauh

sebelum lahirnya UDHR/DUHAM versi PBB, Indonesia ternyata lebih awal telah

mamberlakukan sebuah UUD yang mengatur perihal dan penegakan HAM di

Indonesia.

b. Konstitusi RIS 1945

28

HAM jenis ini diesbutkan oleh Mahfud MD sebagai HAM yang partikularistik. Antara

HAM dan HAW adalah dua konsep yang berbeda. Yang pertama mendasarkan diri pada paham bahwa

secara kodrati manusia itu, di manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil

dan dialihkan, sementara yang terakhir hanya mungjin diperoleh karena seseorang memiliki status

sebagai warga negara. Kententuan yang bernama HAW atau HAM partukularistik ini dapat dijumpai

pada Pasal 26, 27, 28, dan 29. Lebih lanjut lihat Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di

Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm.165 29

Penyusunan Rancangan UUD 1945 yang berlaku saat ini resmi dirampungkan oleh

BPUPKI selama 40 (empat puluh) hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 sampai dengan 16 Juli 1945. Waktu

yang relatif singkat ini, setidaknya, memberikan pertimbangan bahwa UUD 1945 lahir dari proses

pembahasan yang ``superkilat``. Lihat Sri Soesmantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi

(Bandung: Alumni, 1987), hlm.226. Lihat juga Majda El-Muhtaj,``Indonesia dan Konstitusi 2002;

Men-cermati Hadirnya Komisi Konstitusi versi MPR & Koalisi untuk Konstitusi Baru``, dalam Istilah:

Jurnal Hukum, Ekonomi dan Kemasyarakatan (Medan: Fakultas Syari`ah IAIN-SU, Vol 1 No. 4

Oktober-Desember, 2002), hlm. 448. 30

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nsional

antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ``Sekuler`` tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-

1959 (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981), hlm. 43.

Page 54: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UUD RIS sering disebut dengan Konstitusi Republik IndonesiaTSerikat

(KRIS) Tahun 1949.31

UUD RIS 1945 yang didsusun di bawah bayang-bayang

Konfrensi Meja Bundar (KMB), menurut Adnan Buyung Nasution, menjadi

Konstitusi RIS dan berlaku sesudah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.

Karena itu, secara formal, dengan UUD RIS ini perjuangan kemerdekaan nasional

dan pengakuan internasional terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat telah

tercapai.32

Meskipun, secara substansial politik RIS merupakan kemenangan bagi

pejuang nasional Indonesia, namun menurut Herbeth Feith, secara hukum Belanda

berhasil memaksakan kehendaknya yang mengakibatkan kekacauan administrasi

pemerintahannya yang luar biasa.33

Dalam Konstitusi RIS 1949, pengaturan HAM terdapt dalam Bagian V yang

berjudul ``Hak-hak dan Kebebasan-kebeasan Dasar Manusia``. Pada bagian tersebut

terdapat 27 pasal dari mulai Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Eksistensi manusia

31

Nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 secara resmi menjadi

penyebutan bagi UUD RIS. Lihat J. C. T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu

Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm. 35. Lahirnya Konstitusi RIS

1949 menandakan babak baru sistem negara federal Indonesia. Dan, akibatnya, berbagai sruktur

ketatanegaraan mengalami perubahaan yang radikal, sebagaimana ditegaskan Schiller, ``The most

stricking factor in the contitutional develoment of the Dutch-occupied portions of the Indonesia

archipelago during the years from 1945 to 1949 was establishment of a federal form of goverment. At

first glance it appeaars that a federal structure was at complete variance with the unitary form of

goverment characterizing the Nedelans Indies for well over a century``. Lebih lanjut baca A. Arthur

Schiller, The Formation of Federal Indonesia 1945-1949 (The Hague: W.van Hoeve Ltd., 1955), hlm.

14. 32

Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constituonal Government in Indonesia: A

Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Sinar Harapan, 1992), hlm. 27. 33

Selengkapnya Feith mengatakan,``In political substance RUSI (Republic of United States

of Indonesia) represented a victory for Indonesia nationalism, but in legal form the Dutch had

succeeded in imposing their will. One effect of this discrepancy was an enormous administrative

confussion in the period immediately after the transfer of sovereignty.`` Lihat Herbert Feith, The

Decline of Constituonal Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1978), hlm. 59.

Page 55: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

secara tegas dinyatakan pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi, ``Setiap orang diakui

sebagai manusia``. Selain itu, hak atas perlindungan hukum juga termuat pada Pasal

13 ayat (1), ``Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya, mendapat

perlakuan jujur dalam perkara oleh hakim yang tak memeihak, dalam hal

menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hal menetapkan apakah

suatu tuntutan hukuman yang dimaksudkan terhadapnya berlasan atau tidak``.

c. UUDS 1950

UUDS 1950 terdiri atas 6 bagian dan 43 pasal. Dari tiga UUD ynag berlaku

sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, menurut Adnan Buyung Nasution, negara

ini pernah memiliki UUD yang memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih

lengkap daripada UDHR/DUHAM, yaitu UUDS 1950.34

Ketentuan HAM diatur pada Bagian V (Hak-hak dan Kebebasan-kebeasan

Dasar Manusia) dari mulai Pasal 7 sampai Pasal 33. Menariknya, pemerintah juga

memeliki kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana

diatur pada Bagian VI (Aza-azas Dasar), Pasal 35 sampaidengan Pasal 43.

Kewajiban dasar ini dapat dilihat, misalnya pada Pasal 36 yang berbunyi: ``

Penguasa memajukan kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan

perjaminan syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perburuhan yang baik,

34

Adnan Buyung Nasution, ``Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam dan Barat``,

dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi tehir (ed), Agama dan Dialog antara Peradaban (Jakarta:

Paramadina, 1996), hlm. 115. Lihat juga Satya Arianto, Hak Asasi Manusia dalam Tradisi Pilitik di

Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),

hlm. 10.

Page 56: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

pencegahan dan pemberantasab pengangguran serta penyelenggaraan persediaan

untuk hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan yatim piatu``.

d. Kembali Kepada UUD 194535

Pasca keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, praktisi hukum dasar

ketatanegaraan Indonesia mengalami suasana setback.36

Dekrtit tersebut menjadi

dasar hukum berlakunya kembali muatan-muatan yang terkandung dalam UUD

1945. Karena itu, pengaturan HAM adalah sama dengan yang tertuang dalam UUD

1945.37

e. Amandemen UUD 1945

Dalam sejarah UUD 1945, perubahan UUD merupakan sejarah baru lagi bagi

masa depan konstitusi Indonesia.38

Perubahaan UUD 1945 dilakukan sebagai buah

dari amanat reformasi pembangunan nasional sejak turunan rezim Soeharto (1967-

1998). Terdapat empat kali perubahan yang berturut-turut telah dilakukan sejak tahun

1999 sampai dangan 2002.

35

Periode kedua berlakunya UUD 1945 berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai dengan 19

Oktober 1999 (ditandai dengan Perubahan I UUD 1945). 36

Dikatakan setback karena apa yang dirumuskan oleh Majelis Konstituante melalui

``persidangan marathon`` sejak 1956-1959, praktisi dianggap deadlock. Dan, melalui Dekrit Presiden 5

Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan kembali kepada UUD 1945. Lebih lanjut lihat Departemen

Penerangan RI, Kembali Kepada UUD 1945 (Jakarta: Penerbitan Chusus, Departemen Penerangan RI,

tt). Tentang Perdebatan Majelis Konstituante dapat dibaca Adnan Buyung Nasution, The Aspiration...,

loc.cit. 37

Menurut M. Solly Lubis, ``UUD 1945 mengandung pengakuan dan jaminan yang luas

mengenai hak-hak asasi walaupun secara redaksional rumusan mengenai hak-hak itu adalah sederhana

dan singkat dalam UUD``. Lihat M. Solly Lubis, ``Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945``, dalam Padmo

Wahjoyo (ed.), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghali Indonesia, 1985), hlm.

335. 38

Ni`matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika

Perubahaan UUD 1945 (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 1.

Page 57: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Khusu mengenai pengaturan HAM, dapat dilihat pada Perubahan Kedua

UUD 1945 Tahun 2000. Perubahan dan kemajuan signifikan adalah dengan

dicantumkannya persoalan HAM secara tegas dalam sebuah bab tersendiri, yakni

Bab XA (Hak Asasi Manusia) dari mulai Pasal 28A sampai dengan 28J.39

Penegasan

HAM kelihatan menjadi semakin eksplisit, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28A

yang berbunyi, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya. Kemajuan lain juga dapat dilihat pada Pasal 28 I yang

berbunya:

Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,

hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi

di hadapan hukum, dan untuk taidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku

surut adalh hak asasi manusisa yang tidak dapt dikurangi dalam keadaan

apapun.

Berdasarkan ketentuan dari seluruh konstitusi yang berlaku di Indonesia dapat

dikatakan bahwa konseptualisasi HAM di Indonesia telah mengalami proses

dialektika yang serius dan panjang. Pentingnya pengaturan HAM dalam konstitusi

menggambarkan komitmen atas upaya penegakan hukum dan HAM. Selain itu,

beragamanya muatan HAM dalm konstitusi secara maksimal telah diupayakan untuk

mengakomodasi hajat dan kebutuhan perlindungan HAM, baik dalm konteks pribadi,

keluarga, masyarakat dan warga negara Indonesia.

39

Satya Arimanto, op.cit., hlm. 20.

Page 58: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB III

KEBEBASAN BERAGAMA

A. Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama adalah hak kebebasan manusia untuk memilih dan

memeluk suatu agama ataukepercayaan yang diyakini kebenarannya. Hak kebebasan

beragama ini sebagian dimaknai sebagai bebas menganut kepercayaan apa saja dan

membuat aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak beragama orang

lain.

Namun begitu, Hak kebebasan beragama ini dibatasi oleh UUD 1945 dan

peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. kebijakan dalam bidang

hukum antara lain menggariskan perlunya penegakan hukum secara konsistenagar

lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta

penghargaan terhadap HAM.1

Tuntutan yang dikehendaki pada era reformasi saat ini adalah penguatan Hak

Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Dua tuntutan itulah yang menjadi urgensi

dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.Tuntutan

HAM dan demokrasi begitu kuatnya hingga pada akhirnya tuntutan itu terus menjadi

tuntutan yang sangat dinantikan oleh seluruh komponen bangsa. Oleh karena

1 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama`` Vol.1 No.

2(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 175.

Page 59: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

tuntutan HAM begitu kuatnya, maka hampir dalam setiap kehidupan

mengatasnamakan HAM, tanpa memperhatikan kewajibannya. Salah satu HAM

yang dituntut adalah hak atas kebebasan beragama. Oleh karena kebebasan beragama

adalah salah HAM yaitu hak kebebasan manusia untuk memilih dan memeluk suatu

agama atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya berdasarkan pertimbangan akal

dan hati nuraninya. Dalam Piagam Madinah juga memuat tentang HAM (Hak Asasi

Manusia), hak Kebebasan Beragama adalah salah satunya dan hak ini adalah hak

yang paling asasi diantara hak – hak asasi manusia lainnya karena kebebasan

beragama itu bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.

Prinsip Kebebasan beragama dalam Piagam Madinah juga menyampaikan bahwa

tidak ada paksaan untuk memilih agama, karena untuk memilih agama harus sesuai

dengan keyakinan diri sendiri. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 25 dalam Piagam

Madinah yang isinya :

Kaun Yahudi dari Bani’ Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum

Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga

(kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi

yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.2

Selain dari pasal 25 Piagam Madinah tentang kebebasan bergama, terdapat

juga pada firman Allsh SWT yang berbunyi :

2 Duniatimteng.com, Piagam Madinah dan Kebebasan Beragama, diakses pada tanggal 28-

09-2018 pada pukul 14.28

Page 60: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa

yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka

Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang

tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Q.S

Al – Baqarah : 256)3

Jadi penjelasan ayat tersebut menyatakan, bahwa tidak ada paksaan untuk

memilih suatu agama. Karena untuk memilih agama, harus berdasarkan atau sesuai

dengan kepercayaan dan keyakinan kita. Dengan demikian,``kebebasan beragama

berkaitan dengan keyakinan hidup untuk memilih agama beserta ajaran yang

terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya sebagai pribadi, anggota

masyarakat, warga negara dan warga dunia``. Aspek lain yang termasuk dalam

pengertian kebebasan beragama adalah kebebasan untuk menjalankan peribadatan

sesuai dengan ajaran agamanya, perlindungan terhadap perasaan keagamaan (Tuhan)

dan kitab suci, perlindungan tempat-tempat dan sarana peribadatan, perlindungan

terhadap pemuka-pemuka agama dan kebebasan untuk melakukan dakwah.4

Realitas menunjukkan berbagai peristiwa yang mengatasnamakan HAM

dalam bidang keagamaan yang belakangan ini muncul. Hak kebebasan beragama ini

3 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op.Cit., hlm. 42.

4 Sodikin, Jurnal Cita Hukum dalam, ``Hukum dan Kebebasan Beragama,Op.Cit., hlm 176.

Page 61: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

dijadikan alasan untuk secara bebas menganut kepercayaan apa saja dan membuat

aliran kepercayaan sendiri tanpa juga memperhatikan hak beragama orang lain. Ada

beberapa aliran kepercayaan yang muncul di masyarakat dengan alasan hak

kebebasan agama seperti aliran kepercayaan Ahmadiyah, Lia Eden, Al Qur‟an Suci,

Al Qiyadah Al Islamiyah dan lain-lain. Beberapa aliran kepercayaan itu, memang

mengatasnamakan Islam dan bahkan memang ajaran yang menurut penganutnya

menyempurnakan ajaran Islam sebenarnya. Akibat adanya aliran kepercayaan itu

membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang pada intinya

ajaran atau aliran kepercayaan tersebut sesat dan bukan ajaran Islam yang

sebenarnya. Pada sisi lain bagi pemeluk ajaran atau aliran kepercayaan itu bahwa

bagi dirinya merupakan suatu HAM, bahwa setiap orang berhak atas ajaran dan

kepercayaannya masing-masing karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945

dan peraturan perundang-undangan lain melindunginya, bahkan Deklarasi Universal

HAM PBB juga melindunginya. Permasalahannya adalah apakah kebebasan HAM

seperti yang diajarkan oleh beberapa aliran keagamaan itu merupakan HAM

menurut hukum di Indonesia.

HAM di Indonesia dipahami sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan

berkembang di masyarakat yang dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah

perkembangan HAM itu sendiri, yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat

ini, yaitu ketika terjadi amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,

yang kemudian amandemen UUD 1945 tersebut secara eksplisit memuat pasal-pasal

Page 62: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

HAM secara lengkap. Seiring dengan nuansa demokratisasi, keterbukaan, pemajuan

dan perlindungan HAM serta upaya mewujudkan negara berdasarkan hukum. Di

samping itu, juga terdapat faktor-faktor eksternal tertentu yang turut mempengaruhi

perumusan konsep dari norma-norma HAM di Indonesia.5

Arah kebijakan dalam bidang hukum antara lain menggariskan perlunya

penegakan hukum secara konsisten agar lebih menjamin kepastian hukum, keadilan

dan kebenaran, supremasi hukum serta penghargaan terhadap HAM dan kelanjutan

ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan HAM di bidang

keagamaan.

Di Indonesia sendiri istilah HAM dipergunakan untuk sebutan dari hak-hak

asasi, yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris human rights atau dalam

bahasa Belanda grondrechten. Ada orang yang menyebutnya dengan istilah hak-hak

fundamental. Sebenarnya pengertian hak HAM merupakan alih bahasa dari bahasa

Perancis droits de l’homme, adapun rangkaian lengkapnya berbunyi Declaration des

droits de l’homme et du Citoyen, yaitu mengenai pernyataan hak-HAM dan warga

negara Perancis yang memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1789, sebagai

pencerminan keberhasilan revolusi warganegaranya yang bebas dari kekangan

penguasa tunggal negara pada saat itu.

5 Ibid, hlm 177.

Page 63: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Secara harfiah yang dimaksud dengan HAM adalah hak pokok atau hak

dasar.6 Dalam arti harfiah ini, maka HAM merupakan hak yang bersifat fundamental,

sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat,

bahkan harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman,

hambatan dan gangguan dari manusia lainnya.

HAM adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak

dipishkan dari hakikat dan karena itu bersifat suci. Menurut Miriam Budiardjo, HAM

sebagai hak-hak yang dimiliki manusia yang telah diperolehnya dan dibawanya

bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena merupakan hak yang pokok, HAM ini merupakan sesuatu yang dengan

sendirinya mengawasi kehidupan manusia dan bukan pemberian dari masyarakat.

Pernyataan ini sejalan dengan pendapat St. Harum Pujiarto yang menyatakan bahwa

HAM merupakan sesuatu hak yang awal, bukan sesuatu pemberian dari masyarakat

atau negara, hak itu adalah hak hidup dengan segala kebebasannya untuk

menyatakan cipta, karsa dan rasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.7

Bambang Sunggono dan Aries Harianto berpendapat, bahwa HAM adalah

hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat,

jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan

6 Yudana dalam St. Harum Pujiarto, HAM di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis

Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya Dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas

Atmajaya, 1993), hlm. 25.

7 Sodikin, Op,Cit., hlm. 178

Page 64: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

martabatnya sebagai manusia.8 Dalam hal ini Bambang dan Aries sependapat, jika

HAM dikatakan sebagai hak asasi yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia.

Jadi, bukan merupakan hak yang diberikan oleh masyarakat.

Marbangun Hardjowirogo merumuskan tentang HAM sebagai hak-hak yang

memungkinkan kita untuk tanpa diganggu menjalankan hidup bermasyarakat dan

bernegara sebagai warga dari suatu kehidupan bersama.9 Djoko Rahardjo

merumuskan HAM adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atau harkat dan

martbat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia

tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Oleh karena itu, harkat dan

martabat yang dimiliki manusia secara alamiah dan melekat pada setiap manusia

tanpa perbedaan apapun dapat dikatakan sebagai HAM.

Dalam perkembangannya HAM tidak lagi dipandang sekadar sebagai

perwujudan paham individualisme dan liberalisme seperti dahulu. HAM lebih

dipahami secara manusia sebagai hak-hak yang melekat dengan harkat dan hakikat

kemanusiaan, apapun latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin,

usia atau pekerjaan.10

8 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, (Bandung: Mandar

Maju, 1994), hlm. 70.

9 Marbangun Hardjowirogo, Hak-hak Manusia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 7.

10 Saafaroedin Bahar, HAM Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam ABRI, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 6.

Page 65: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Kebebasan adalah keadaan bebas, kemerdekaan, maksud kebebasan

beragama adalah kemerdekaan untuk memeluk atau menganut suatu agama tertentu,

tanpa ada paksaan dan tekanan untuk meninggalkannya.11

Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan HAM adalah hak-hak

kodrati yang dianugerahkan Allah kepada setiap manusia, yang tidak dapat dicabut

atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Selanjutnya menurut Maududi

bahwa hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal, abadi dan tidak

boleh diubah-ubah, dimodifikasi atau juga dibatalkan. Konsep HAM dalam sejarah

Islam sesungguhnya lebih jauh melampaui sejarah Barat dalam merumuskan dan

mempraktikkan konsep HAM. Islam mempunyai doktrin perlindungan HAM yang

lebih komprehensif dibandingkan dengan konsep HAM dalam Magna Charta.12

Tonggak sejarah HAM berawal dari konstitusi Madinah atau Piagam

Madinah (tahun 624 M) yang bertujuan menyatukan warga Madinah yang majemuk,

baik karena perbedaan etnis, perbedaan agama (Muslim, Yahudi, Nasrani dan aliran

kepercayaan lainnya). Perlindungan HAM antara lain adalah perlindungan terhadap

kebebasan beragama dan beribadah, kedudukan yang sama sebagai warga

masyarakat, persamaan hak dan kewajiban dan persamaan di depan hukum.

Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid yaitu konsep

pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat (Laa ilaaha illa

11

Sodikin, Loc, Cit. 12

Sodikin, Loc, Cit

Page 66: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Allah, yang artinya tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah). Konsep

tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia, bahkan tauhid

juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tidak bernyawa,

tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.

Dalam konsep tauhid terdapat kewajiban manusia untuk menyembah Allah.

Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bersifat subordinatif.

Artinya pada hubungan itu adalah hubungan Pencipta dengan ciptaan-Nya (Khalik

dengan makhluk-Nya). Ide penyembahan kepada Allah berisi penghambaan manusia

kepada penciptanya, penghambaan makhluk kepada Tuhannya.

Hubungan subordinatif atau penghambaan hanya berlaku dalam hubungan

manusia dengan Tuhan. Hubungan di antara sesama manusia adalah hubungan

kesetaraan (egaliter), karena semua manusia mempunyai kedudukan yang sama

dihadapan Allah. Apabila terjadi hubungan subordinatif atau penghambaan oleh

manusia kepada manusia yang lain. Hal itu bertentangan dengan kodrat kemanusian.

HAM dalam Islam merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau

dibuat oleh manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama

manusia, baik dalam hubungan individu dengan individu, individu dengan

masyarakat maupun dalam hubungan warganegara dengan negara dan hubungan

antar negara.

Page 67: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Pengakuan bahwa adanya hak asasi pada seseorang berarti mengakui adanya

kewajiban yang harus dilakukan terhadap orang lain atau semua orang. Pengakuan

bahwa HAM merupakan hak semua orang berarti mengakui adanya kewajiban asasi

semua orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Batas HAM

yang satu adalah hak asasi orang lain. Dengan demikian, hubungan antara hak dan

kewajiban adalah resiprokal yang harmonis, karena pengakuan hak pada pihak

tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain. Dalam konteks HAM, pengakuan

atas asasi pada satu pihak merupakan kewajiban asasi pada semua orang.13

Dalam hal itu, perlu juga ditegaskan bahwa kebebasan manusia yang terdapat

dalam Islam tidaklah bersifat absolut. Demikian juga hak-hak asasinya, yang

mempunyai keabsolutan dan ketidakterbatasan dalam ajaran Islam hanya Allah,

Tuhan Alam Semesta, dan yang lain mempunyai sifat terbatas. Selain itu, di samping

hak, manusia mempunyai kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya yaitu patuh

kepada perintah dan larangan-Nya. Larangan-Nya adalah supaya manusia tidak

berbuat kerusakan di permukaan bumi dan perintah-Nya adalah agar manusia berbuat

baik. Mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan orang

lain, apalagi kepentingan umum atau orang banyak dilarang dalam Islam.

Islam mengakui kebebasan beragama, Islam mempunyai konsep toleransi

beragama yang meliputi toleransi terhadap sesama penganut agama Islam dan

toleransi terhadap para penganut agama yang berbeda. Toleransi terhadap muslim

13

Sodikin, Op,Cit., hlm. 179.

Page 68: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

berkaitan dengan sikap saling menghormati dan menghargai di antara sesama-sesama

kaum muslim di dalam menjalankan ajaran agama berdasarkan interpretasi

keagamaan yang diyakininya dari al-Qur‟an.

Aspek lain yang termasuk dalam pengertian kebebasan beragama adalah

kebebasan untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan ajaran agamanya,

perlindungan terhadap perasaan keagamaan (Tuhan) dan kitab suci, perlindungan

tempat-tempat dan sarana peribadatan, perlindungan terhadap pemuka-pemuka

agama, dan kebebasan untuk melakukan dakwah. Mengenai kebebasan menjalankan

peribadatan, perlindungan terhadap tempat peribadatan dan pemuka agama, Nabi

bersabda dalam sebuah suratnya kepada penduduk Najran yang tetap berpegang pada

agama lama mereka:``dan bagi kaum Najran serta yang ada di bawah sayapnya

menjadi tetangga Allah dan dalam perlindungan Nabi Muhammad, atas harta

mereka, agama, tempat-tempat ibadah mereka dan semua yang menjadi hak tangan

mereka``.14

Dengan sabda Rasul itu, tampak jelas bahwa Islam melindungi penganut

agama lain untuk melaksanakan peribadatan sesuai dengan aturan peribadatan agama

lain tersebut. Penguasaan Islam secara politik terhadap suatu daerah tidak dapat

dijadikan dalih untuk membatasi hak-hak non muslim dalam merealisasikan ajaran

agamanya.

14

Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Pendidikan Kewarganegaraan, hlm. 390.

Page 69: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

B. Hak Kebebasan Beragama dalam Islam

Dalam pandangan Islam, seluruh tatanan ajaran agama yang ditetapkan Islam,

baik yang berkaitan dengan akidah, syariah maupun akhlak, bertumpu pada lima

tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta. Dari kelima tujuan dasar tersebut, memelihara agama dan kebebasan

berkeyakinan merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya dan mendapat perhatian

serius dalam Islam. Islam sangat mementingkan pemeliharaan agama karena

identitas yang membedakan seseorang sebagai Muslim atau kafir adalah apakah ia

meyakini dan beriman atau tidak terhadap ajaran agama Islam.15

Islam juga mengukuhkan bahwa kebebasan manusia paling tinggi dan penting

yang dijaminnya serta memiliki posisi paling istimewa untuk dijaga adalah

kebebasan berkeyakinan dan berakidah (hurriyah al-‘aqîdah), kemudian kebebasan

berpendapat dan berekspresi (hurriyah al-ta`bîr) dan selanjutnya kebebasan-

kebebasan lain yang menjadi simbol kemanusiaan. Dengan kata lain, Alquran

menegaskan bahwa kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak asasi manusia

yang dijamin dan harus dijaga.16

Cukup banyak ayat Alquran yang menegaskan secara khusus adanya

kebebasan berakidah dan larangan adanya paksaan dalam menentukan pilihan

keyakinan atau mengubah apa yang telah menjadi keyakinan. Alquran juga

15

Dede Rodin, Riddah dan Kebebasan Beragama dalam Al-Qur an, (IAIN Walisongo, 2013),

hlm. 254.

16 Loc.cit.,

Page 70: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

menegaskan bahwa akidah merupakan hak prerogatif setiap orang dan merupakan

wilayah privasi antara dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun

yang dapat memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau mengubah

akidahnya atas nama apa pun dan dalam keadaan apa pun.17

Ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang kebebasan agama setidaknya dapat

dikelompok ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama, ayat-ayat yang menyatakan bahwa

setiap individu diberi kebebasan untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan

konsekuensinya masing – masing, seperti ayat berikut ini :

Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa

yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka

Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang

tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S

Al – Baqarah : 256)18

Menurut Ibn Abbâs, ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki

Muslim Ansar dari Bani Sâlim ibn Auf al-Hushaynî. Ia memiliki dua anak yang

memeluk Nasrani. Ia bertanya kepada Nabi Saw. apakah ia boleh memaksa keduanya

menjadi Muslim sementara mereka lebih memilih Nasrani. Lalu Allah Swt.

17

Dede Rodin, Op. Cit., hlm. 55.

18

Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),

hlm. 42.

Page 71: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

menurunkan ayat ini. Dalam riwayat lain, ia berusaha memaksa keduanya untuk

memeluk Islam. Lalu keduanya mengadu kepada Nabi Saw. Orang Ansar itu berkata,

“Ya Rasulullah, apakah bagianku (anakku) masuk ke neraka dan saya melihatnya?”,

lalu turunlah ayat di atas. Riwayat lain menceritakan bahwa pada suatu hari terdapat

salah seorang sahabat mengadu kepada Nabi Saw. bahwa kedua anaknya yang sudah

beragama Islam berpindah ke Nasrani. Sahabat tersebut berkata kepada Nabi Saw,

“Ya Rasul, ajaklah kedua anakku, mereka akan masuk ke dalam neraka”. Nabi Saw.

menjawab permintaan tersebut dengan ayat di atas.

Kedua, Nabi Muhammad Saw. hanya diberi tugas sebagai penyampai ajaran

Allah, pemberi kabar gembira dan peringatan. Beliau tidak memiliki hak memaksa

orang lain untuk mengikuti agamanya, sebagaimana ayat-ayat berikut ini:

Artinya : Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui

apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (Q.S Al –

Maidah : 99)19

Artinya : Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami

ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak

penting bagimu) karena Sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan

19 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),

hlm. 124.

Page 72: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka. (Q.S Ar Ra`d :

40)20

Artinya : Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-

kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah

dengan Al Quran orang yang takut dengan ancaman-Ku. (Q.S Qaf : 45)21

Ketiga, memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan manusia hanya

menjadi hak Allah Swt., bukan hak manusia termasuk Nabi Saw.

Artinya : Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi

Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang

dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di

jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu

membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan

apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi

pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya

(dirugikan). ( Q.S Al – Baqarah : 272)22

Ayat-ayat tentang kebebasan beragama tersebut dikuatkan oleh praktik

kehidupan Nabi Saw. yang menjelaskan visi teologis kebebasan dalam memilih

20

Ibid., hlm. 254.

21 Ibid., hlm. 520. 22 Ibid., hlm. 46.

Page 73: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

agama. Beliau sangat menghormati dan berhubungan baik dengan penganut agama

lain. Beliau pernah memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah

(Ethiopia) yang berada di bawah kekuasaan raja Negus (Najâsyî) yang beragama

Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa Nabi

Saw. tidak apriori terhadap agama lain, bahkan meminta bantuan dan diterima secara

baik oleh penguasa Ethiopia itu. Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Saw.

mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas agama lain yang dituangkan

dalam Piagam Madinah (shahîfah alMadînah) yang secara jelas memberikan

pengakuan atas agama-agama lain sebagai satu umat di Madinah yang harus

mempertahankan Madinah dari musuhmusuhnya.

Adapun cara memelihara dan menjaga kebebasan agama ini, „Abd al-Qâdir

„Awdah menerangkannya sebagai berikut: (1) Mewajibkan manusia untuk

menghargai hak orang lain dalam akidah dan tidak boleh memaksa orang lain untuk

mengakui suatu akidah tertentu. (2) Mewajibkan orang yang mempunyai akidah

untuk menjaga akidahnya. Hal tersebut diungkapkan ketika menerangkan prinsip

kebebasan yang sangat dijunjung oleh Islam, diantaranya hurriyah al-i’tiqâd.23

Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak mengabsahkan

pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama diserahkan kepada masing-

masing individu untuk memeluknya. Namun dalam realitanya, kebebasan beragama

dan berkeyakinan merupakan salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi

aral melintang bagi jalannya upaya penegakkan hak- hak dasar yang dimiliki setiap

23 Dede Rodin, Op. Cit., hlm. 256.

Page 74: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

manusia (HAM). Dalam fikih klasik, kebebasan beragama nyaris tidak memiliki

ruang pembahasan sehingga kebebasan beragama dalam arti membebaskan manusia

untuk memilih agama khususnya di luar Islam atau mungkin tidak memilih (atheis)

sama sekali tidak diakui.

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Hukum Indonesia

Kebebasan beragama diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 22 ayat

1 dan 2. Di dalamnya secara tegas menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk

agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Artinya kita bebas memeluk agama apa saja sesuai dengan yang kita yakini dan kita

percayai tanpa adanya paksaan.

Kebebasan beragama ini juga dijamin dalam UUD Tahun 1945, terutama

dalam Pasal 28E dan 29. Pasal 28E ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,...”. Pasal 28E ayat (2)

menyatakan ”setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sedangkan Pasal 29 ayat (1)

menyatakan ”Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat (2)

menyatakan bahwa”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu”.

Page 75: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UUD Tahun 1945, menentukan bahwa hak kebebasan beragama bukan

pemberian negara atau bukan pemberian golongan. Agama dan kepercayaan terhadap

Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan

dan memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri

tidak memaksakan setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya.

UUD Tahun 1945 tersebut tidak menentukan agama dan kepercayaan apa

saja yang diakui secara sah, bahkan peraturan perundang-undangan yang ada di

bawahnya juga tidak menyebutkan agama dan kepercayaan yang diakui. Oleh karena

itu, menurut penulis, maka semua agama dan aliran kepercayaan yang hidup di

Indonesia diakui dan disahkan sebagai agama dan aliran kepercayaan yang hidup di

masyarakat Indonesia, sehingga pemerintah harus melindunginya. Agama dan aliran

kepercayaan yang ada itu sepanjang tidak saling menodai di antara agama dan aliran

kepercayaan yang ada.

Setelah amandemen UUD Tahun 1945 dan keluarnya Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,

diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta peraturan lainnya yang

mengatur HAM, sebenarnya perkembangan HAM semakin pesat. Hal ini semakin

banyaknya instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM yang

Page 76: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

diratifikasi dan diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional

termasukdi dalamnya adalah hak atas kebebasan beragama.24

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan

bahwa ”Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan

kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak

terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi

peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta

keadilan”. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa: ”hak

untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,

hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan

persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan

oleh siapa pun”. Pasal 22 yang menyatakan bahwa ayat (1) ”setiap orang bebas

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu``, ayat (2)``negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu``. Di dalam penjelasan Pasal 22 ayat (1) juga dikatakan

bahwa”yang dimaksud dengan hak untuk bebas memeluk agamanya dan

kepercayaannya adalah hak setiap orang untuk beragama menurut kepercayaannya

sendiri, tanpa adanya paksaan dari siapapun juga.

24

Sodikin Op,Cit., hlm. 181.

Page 77: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

BAB IV

UU No. 39 Tahun 1999 mengenai HAM Kebebasan Beragama dalam Perspektif

Fiqh Siyasah

A. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Kebebasan beragama atau berkeyakinan, diatur dalam Pasal 22 ayat Undang-

Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat (1)

menyatakan:``Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‖ dan pada ayat (2) nya:

``Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.``

Kebebasan beragama atau berkeyakinan, diatur dalam Pasal 22 ayat Undang-

Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ayat (1) menyatakan:

―Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu‖ dan pada ayat (2) nya: ―Negara menjamin

kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya pula kepercayaan, mengingat rumusan

tersebut menggunakan kata ―itu‖. Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 berkaitan

dengan Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa ―Yang dimaksud dengan ,hak untuk

Page 78: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya‘ adalah hak setiap orang untuk

beragama menurut keyakinan sendiri tanpa paksaan dari siapaun.1

B. Ham Kebebasan Beragama dalam Perspektif Siyasah

Sebagaimana diketahui bahwa ajaran agama adalah ajaran yang benar.

Meskipun demikian, agama tidak boleh untuk dipaksakan kepada orang lain. Nabi

Muhammad SAW. sendiri hanya bertugas menyampaikan risalah dari Allah

(muballigh), dan beliau tidak berhak, bahkan tidak bisa, memaksa orang lain untuk

percaya dan mengikuti beliau, betapapun benarnya beliau dan ajarannya itu. Karena

persoalan agama merupakan masalah keyakinan, maka tidak seorang pun boleh

memaksakan suatu keyakinan terhadap orang lain. Untuk itu, Nabi mempunyai

prinsip toleransi beragama; yang secara teknis sering dikaitkan dengan kemerdekaan

dan kebebasan beragama (al-hurriyyah aldîniyyah).2

Ketika Nabi sebagai manusia tergoda untuk memaksakan ajarannya kepada

orang lain, Allah pun memperingatkan dengan firman-Nya :

Artinya : dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di

muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia

1 Ibrahim Suglo Op,Cit.

2 Muh. In‘amuzzahidin, Konsep Kebebasan dalam Islam. (Universitas Negeri Islam

Walisongo : 2015). hlm. 267.

Page 79: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (Q.S Yunus :

99 )3

Oleh karena itu, prinsip kebebasan beragama adalah sangat penting dalam

tatanan sosial dan politik manusia. Gagasan kebebasan, menurut kamali, menuntut

diberlakukannya kebebasan memilih bagi setiap orang. Kebebasan beragama,

sebagaimana semua kebebasan, pada dasarnya bertindak sebagai pelindung terhadap

ancaman penindasan oleh kekuatan yang lebih tinggi.4

Menurut wafi, dalam Islam setidaknya ada 3 prinsip dalam kebebasan

beragama. Pertama kebebasan meyakini suatu agama dan larangan memaksa

beragama. Artinya tak seorang pun dapat dipaksa untuk melepaskan agamanya dan

memeluk Islam, sebagaimana dalam Firman-Nya :

Artinya : tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa

yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka

Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang

tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S

Al – Baqarah : 256 )5

3 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),

hlm. 220.

4 Muh. In‘amuzzahidin. Op. Cit., 267

5 Departemen Agama R.I, Al-Qu`ran dan Terjemahannya, (Bandung, Syamil Quran,2009),

hlm. 42.

Page 80: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Ke dua, Islam memberi kebebasan untuk diskusi keagamaan. Artinya Islam

mensahkan kebebasan individu untuk menyebarkan agama, dengan penjelasan dan

alasan yang baik. Oleh karenanya al-Qur‟an menuntut kaum muslimin untuk

menggunakan kalimah yang lemah lembut dalam mengajak dan menyeru manusia ke

dalam Islam. Ke tiga, iman harus berasal dari kepastian dan keyakinan, bukan dari

tradisi atau ikut-ikutan. Inilah sebabnya menurut sebagian ulama tauhid, imannya

muqallid, tidak sah. Dan Allah akan menyiksa kaum musyrikin, yang hanya

mengikuti dan meniru nenek moyangnya secara membabi buta, tanpa mengetahui

dasar-dasarnya dengan mengorbankan kebebasan berpikir dan kepercayaan pribadi.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah SWT :

Artinya : dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan

Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa

yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah

mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak

mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk. (Q.S Al – Baqarah

: 170 )6

Dalam Piagam Madinah juga memuat tentang HAM (Hak Asasi Manusia),

hak Kebebasan Beragama adalah salah satunya dan hak ini adalah hak yang paling

asasi diantara hak – hak asasi manusia lainnya karena kebebasan beragama itu

6 Ibid., hlm. 26.

Page 81: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Prinsip Kebebasan

beragama dalam Piagam Madinah juga menyampaikan bahwa tidak ada paksaan

untuk memilih agama, karena untuk memilih agama harus sesuai dengan keyakinan

diri sendiri. Prinsip ini sesuai dengan Pasal 25 dalam Piagam Madinah yang isinya :

Kaun Yahudi dari Bani‟ Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi

kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.

Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,

kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan

keluarga.7

Jadi, tidak ada paksaan untuk memilih suatu agama. Karena untuk memilih

agama, harus berdasarkan atau sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan kita.

Dengan demikian,``kebebasan beragama berkaitan dengan keyakinan hidup untuk

memilih agama beserta ajaran yang terkandung di dalamnya guna mengatur hidupnya

sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan warga dunia``.

Nabi Muhammad SAW juga sangat menghormati dan berhubungan baik

dengan penganut agama lain. Beliau pernah memerintahkan para sahabat untuk

berhijrah ke Habasyah (Ethiopia) yang berada di bawah kekuasaan raja Negus

(Najâsyî) yang beragama Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas

menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak apriori terhadap agama lain, bahkan meminta

bantuan dan diterima secara baik oleh penguasa Ethiopia itu. Setelah hijrah ke

Madinah, di sana Nabi Saw. mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas

7 Duniatimteng.com, Piagam Madinah dan Kebebasan Beragama, diakses pada tanggal 28-

09-2018 pada pukul 14.28

Page 82: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

agama lain yang dituangkan dalam Piagam Madinah (shahîfah alMadînah) yang

secara jelas memberikan pengakuan atas agama-agama lain sebagai satu umat di

Madinah yang harus mempertahankan Madinah dari musuhmusuhnya.

Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak mengabsahkan

pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama diserahkan kepada masing-

masing individu untuk memeluknya. Namun dalam realitanya, kebebasan beragama

dan berkeyakinan merupakan salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi

aral melintang bagi jalannya upaya penegakkan hak- hak dasar yang dimiliki setiap

manusia (HAM). Dalam fikih klasik, kebebasan beragama nyaris tidak memiliki

ruang pembahasan sehingga kebebasan beragama dalam arti membebaskan manusia

untuk memilih agama khususnya di luar Islam.

C. Perlindungan Negara terhadap Ham Kebebasan Beragama dalam Siyasah

1. Perpestif Piagam Madinah

Perlindungan negara terhadap hak kebebasan dalam Islam dapat mengacu

pada konsep politik Islam yang secara historis pernah dipraktikkan pada masa awal

pemerintahan Islam di bawah kendali Nabi Muhammad saw. Realitas politik pada

masyarakat awal Islam (masa al-salaf alshalih), menurut Nurcholish Madjid,

memiliki bangunan kenyataan politik yang demokratis dan partisipatoris yang

menghormati dan menghargai ruang publik, seperti kebebasan hak asasi, partisipasi,

Page 83: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

keadilan sosial, dan lain sebagainya. Wujud historis dari sistem sosial politik yang

kemudian dikenal sebagai Piagam Madinah ini merupakan prinsip-prinsip rumusan

kesepakatan mengenai kehidupan bersama secara sosial-politik antara sesama kaum

Muslim dan antara kaum Muslim dengan kelompok-kelompok lain di kota Madinah

di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw.8

Pada periodisasi Madinah tersebut, telah terjalin hubungan yang baik dari

beberapa kelompok non-Muslim dengan kelompok Muslim. Pemerintahan Islam

yang dipimpin Nabi Muhammad saw menunjukkan toleransi kepada umat-umat

beragama lain. Golongan minoritas mendapatkan perlindungan dari pemerintah Islam

dan dapat menjalin hubungan dengan masyarakat Muslim dengan baik dalam

melaksanakan berbagai aktivitasnya. Eksistensi pluralisme masyarakat Madinah

menuntut Nabi membangun tatanan hidup bersama yang mencakup semua golongan

yang ada. Mula-mula, Nabi mem-persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar

Selanjutnya, membangun persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah

yang tidak terbatas kepada umat Islam saja.9

8 Frans Sayogi, Jurnal Hukum ``Perlindungan Negara Terhadap Kebebasan Bregama :

Perspektif Islam dan Hak Asasi Manusia Universal``. (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : 2013).hlm.

50.

9 Loc. Cit

Page 84: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Dalam Piagam Madinah dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata

kehidupan bermasyarakat, kelompokkelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan

ketetapan kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan

beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup,

dan sebagainya. Insiatif dan usaha Nabi Muhammad saw dalam mengorganisir dan

mempersatukan pengikutnya dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang

teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah

pimpinan Nabi sendiri merupakan praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk

mencapai tujuan. prinsip kenegaraan yang diterapkan pada masyarakat Madinah di

bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Masyarakat Madinah adalah

masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, golongan, dan agama. Islam datang

ke Madinah dengan bangunan konsep ketatanegaraan yang mengikat aneka ragam

suku, konflik, dan perpecahan.10

Pada saat sebelum terbentuknya Piagam Madinah, Nabi Muhammad

memahami benar bahwa masyarakat yang dihadapi adalah masyarakat majemuk yang

masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Nabi melihat

perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuik mengatur hubungan-hubungan

antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan agama. Karena itu,

Nabi melakukan beberapa langkah. Pertama, membangun masjid. Lembaga ini, dari

sisi agama berfungsi sebagai tempai ibadah dan dari segi sosial berfungsi sebagai

tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah. Kedua,

10 Ibid., hlm. 51.

Page 85: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang Islam Mekah dan Madinah.

Kedua langkah tersebut masih bersifat internal dan hanya ditujukan untuk konsolidasi

umat Islam. Karena itu, langkah ketiga ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah.

Nabi membuat perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang

erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama

bagi semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban

semua golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan

perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan

memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara

mereka.11

Dalam Piagam Madinah, kata ummah terulang dua kali, yaitu dalam pasal 1

dan pasal 25. Rumusan pengertian ummah oleh Syariati di atas—yang sejalan dengan

langkah Nabi untuk mempersatukan umat Islam—sesuai dengan muatan pasal 1

Piagam Madinah, yang isinya innahum ummatun wahidah min duni al-nas

(sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain).

Ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang - orang

mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar,

dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat

mereka adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain.

11

J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari

Pandangan al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), hlm. 64.

Page 86: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

Ketetapan pada pasal 1 itu tidak berarti menunjukkan bahwa konsep ummah

yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain

kaum Yahudi dan sekutunya disebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam

pasal 25. Pasal 25 misalnya menyatakan: “Kaum Yahudi Bani „Auf bersama dengan

warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum

Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan

sekutu dan diri mereka sendiri. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya

dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya”

Pasal 25 Piagam Madinah merupakan perwujudan jaminan kebebasan

beragama dan beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Pada pasal 25 juga

dinyatakan bahwa kaum Yahudi adalah satu umat bersama kaum mukminin.

Penyebutan demikian, mengandung arti bahwa dilihat dari kesatuan dasar agama

orang-orang Yahudi merupakan satu komunitas yang parallel dengan komunitas

kaum mukminin. Dalam kehidupan bersama tersebut, komunitas Yahudi bebas dalam

melaksanakan agama mereka. Pasal 24 pada Piagam Madinah itu telah memberi

jaminan kebebasan beragama bagi orang - orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan

mewujudkan kerja sama yang erat dengan kaum muslimin dan membuktikan bahwa

Islam memiliki sikap toleran terhadap agama lain.12

Sementara itu, ketetapan pada pasal25 sampai pasal 35 itu dapat dikatakan

bahwa organisasi umat yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun

12 Frans Sayogi, Op. Cit., hlm. 52.

Page 87: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

semua golongan penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi

alasan untuk tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini

berlaku konsep ummah yang bersifat umum. Dengan demikian, penggunaan istilah

ummah dapat bersifat khusus, yaitu para penganut agama dan nabi tertentu, dan dapat

pula bersifat umum, yaitu setiap generasi manusia adalah umat yang satu tanpa

batasan agama.13

Selain itu, dalam Piagam Madinah, juga ditetapkan masalah perlindungan

yang disebutkan secara eksplisit yang ditentukan pada pasal 15. ―Jaminan Allah

adalah satu,‖ demikian disebutkan pada pasal 15. Kata Allah di sini dimaksudkan

untuk menyebut kekuasaan umum atau perlindungan oleh negara, sedang kata satu

berarti meliputi semua orang yang harus dilindungi. Jadi, perlindungan negara

diberikan kepada semua warga atau rakyat tanpa melihat agama yang dianut.

Dengan demikian, proses kelahiran dan perkembangan Islam sejak zaman

Piagam Madinah sudah menunjukkan kemungkinan kerja sama dan saling

menghormati. Apalagi kalau perspektif yang digunakan tidak memisahkan identitas

Islam dari jalinan-eratnya dengan agama - agama lain sekalipun. Perspektif inilah

yang tetap relevan untuk sekarang, ketika semua umat beragama sudah hidup di

dalam negara bangsa yang menerima asas kewarganegaraan, dengan sistem proteksi

berbasis konstitusi yang diberikan kepada semua warga negara tanpa membedakan

latar belakangnya. Tak ada lagi Nabi yang menjadi hakam, karena hakam sudah

13 Lihat Muhammad Latif Fauzi, ―Konsep Negara dalam Perspektif Piagam Madinah dan

Piagam Jakarta‖, dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XIII , (Yogyakarta : 2005), hlm. 92-93.

Page 88: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

mengalami transformasi menjadi berbagai mekanisme dan lembaga di dalam negara

dan masyarakat, baik dalam rangka proteksi warganegara, penanganan konflik dan

penyelesiaan sengketa, dan lain-lain. Idealnya, dalam istilah Piagam Madinah, negara

adalah haram, tempat yang mendorong orang dari berbagai latar belakang berbeda

untuk bergaul dan bekerja sama.14

2. Perspektif Deklerasi Kairo

Deklarasi Kairo (1990) merupakan istrumen pengaturan hak asasi manusia

yang berlandaskan hukum Islam. Pengaturan mengenai hak kebebasan beragama

dalam Deklarasi Kairo diatur dalam pasal khusus. Namun untuk memahami

pengertian mengenai hak kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo harus melihat

bagian-bagian lain dari deklarasi yang akan membantu pemahaman tentang hak

kebebasan beragama. Pembukaan Deklarasi Kairo mengatur sebagai berikut:

―Wishing to contribute to the efforts of mankind to assert human rights, to protect

man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and right to a

dignified life in accordance with the Islamic Shari‟ah.15

Prinsip-prinsip Deklarasi Kairo yang dijabarkan dalam 25 pasal menegaskan

bahwa hak-hak asasi dan kemerdekaan universal dalam Islam merupakan bagian

integral agama Islam dan bahwa tak seorang pun pada dasarnya berhak untuk

menggoyahkan baik keseluruhan maupun sebagian atau melanggar atau

14 Rizal Panggabean, ‗Kesepakatan Madinah dan Sesudahnya‖, dalam Elza Peldi Taher (ed.),

Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi, (Jakarta:

Yayasan Abad Demokrasi, 2011), hlm. 111.

15

Lihat pembukaan Deklerasi Kairo.

Page 89: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

mengabaikannya karena hak-hak asasi dan kemerdekaan itu merupakan perintah suci

mengikat yang termaktub dalam wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui nabi-

Nya yang terakhir.16

Pembukaan Deklarasi Kairo menjelaskan bahwa tujuan dibentuknya Deklarasi

Kairo adalah untuk memberikan sumbangan terhadap perlindungan hak asasi manusia

yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat dipahami sebab Deklarasi Kairo

dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam), yang merupakan organisasi

internasional antarnegara yang beranggotakan negara Islam atau penduduknya

mayoritas beragama Islam.

Deklarasi Kairo terbentuk dikarenakan adanya satu perdebatan yang

mendapatkan perhatian terjadi antara blok Islam dan blok lain tentang pasal 18

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu tentang kebebasan beragama dan

berkeyakinan. Blok Islam pada awalnya menentang pasal tersebut karena terdapat

klausul ―kebebasan berpindah agama‖ yang bertentangan dengan doktrin Islam

tentang murtad (apostasy), meski pada akhirnya hanya Saudi Arabia yang benar-

benar menentang pasal itu. Namun pada perkembangannya, Saudi Arabia mampu

mempengaruhi opini negara-negara Islam terutama di bawah organisasi OKI

(Organisasi Kerjasama Islam) yang berpusat di Jeddah, di mana Saudi Arabia sebagai

tuan rumah. Respon terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terus

mengalami perkembangan di dunia Islam. Pada tahun 1981 muncul Universal Islamic

Declaration of Human Rights oleh beberapa tokoh pemikir Islam terkemuka dari

16 Frans Sayogi, Op. Cit., hlm. 54.

Page 90: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

berbagai negara. Pada tahun1990 lahir Deklarasi Kairo (Cairo Declaration of Human

Rights in Islam) oleh negara-negara OKI,17

yang ditandatangani 54 negara anggota

OKI pada 5 Agustus 1990. Inti dari deklarasi tersebut adalah meskipun Islam

menerima hak-hak asasi manusia, tetapi memiliki batasan dan tafsirnya sendiri dalam

hal-hal tertentu, salah satunya adalah tentang kebebasan beragama, khususnya

kebebasan berpindah agama.

Perlindungan kebebasan beragama dalam Deklarasi Kairo menjadi sangat

terbatas bila diimplementasikan di negara - negara ―Islam‖ yang ikut

menandatanganinya, karena adanya konsep syariah yang dimasukkan dalam

Deklarasi Kairo, dan banyak diformalisasikan pada negara - negara timur tengah.

Lebih jauh lagi, Deklarasi Kairo menegaskan bahwa hak - hak dasar fundamental dan

kebebasan universal di Islam adalah bagian integral yang harus dipatuhi dalam agama

Islam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berhak mengingkari atau bahkan

menghentikan untuk sementara waktu perintah Tuhan. Hal ini dikarenakan semua

ajaran agama di dalam Islam bersifat mengikat seperti termaktub di dalam kitab suci

(al-Qur‘an) yang telah diwahyukan kepada nabi terakhirNya.18

17

Dari pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerjasama Islam (IPHRC OIC) 20-

24 Februari 2012 di Jakarta diketahui bahwa negara anggota OKI banyak yang belum memiliki standar

instrumen dalam konteks hak asasi manusia. Bahkan, beberapa negara tidak memiliki Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia di negaranya. Pertemuan tersebut memberi rekomendasi kepada dewan Menlu agar

negara-negara anggota OKI juga meratifikasi isntrumen internasional hak asasi manusia dan bekerja

sama menegakkan hak asasi manusia, dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan tersebut

berisi tugas-tugas yang harus dilakukan oleh negara anggota OKI. Lihat Republika co.id, ―Negara OKI

Harus Ratifikasi Aturan HAM‖, Jumat, 24 Pebruari 2012 19:12 WIB, diakses Selasa, 4 Jumadil

Awwal 1433 / 27 Maret 2012 | 20:27.

18 Frans Sayogi., Op. Cit., hlm. 55.

Page 91: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

1

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian skripsi dapat disimpulkan, bahwa UU No. 39

Tahun 1999 Ham Tentang Kebebasan Beragama dalam Perpekstif Fiqh Siyasah yaitu,

di dalam siyasah menegaskan tidak ada paksaan untuk memilih suatu agama. Karena

untuk memilih agama, harus berdasarkan atau sesuai dengan kepercayaan dan

keyakinan kita. Kemudian UU No. 39 Tahun 1999 tentang Ham kebebasan beragama

memiliki prinsip yang sama dengan Siyasah, namun di dalam Siyasah Islam memberi

kebebasan untuk diskusi keagamaan. Artinya Islam mensahkan kebebasan individu

untuk menyebarkan agama, dengan penjelasan dan alasan yang baik. Oleh karenanya

al-Qur‟an menuntut kaum muslimin untuk menggunakan kalimat yang lemah lembut

dalam mengajak dan menyeru manusia ke dalam Islam.

Kemudian, perlindungan negara terhadap Ham kebebasan beragama dalam

Siyasah yaitu mem-persaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar Selanjutnya,

membangun persaudaraan yang melibatkan semua masyarakat Madinah yang tidak

terbatas kepada umat Islam saja. Membangun masjid, lembaga ini dari sisi agama

berfungsi sebagai tempai ibadah dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat

mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah. Selanjutnya Nabi

membuat perjanjian tertulis atau piagam yang menekankan pada persatuan yang erat

Page 92: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

2

di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi

semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua

golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan

perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi untuk menengahi dan

memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara

mereka. Kemudian, dalam perpekstif Kairo perlindungan negara terhadap Ham

kebebasan beragama dalam siyasah yaitu memberikan sumbangan terhadap

perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dapat

dipahami sebab Deklarasi Kairo dikeluarkan oleh OKI (Organisasi Kerjasama Islam),

yang merupakan organisasi internasional antarnegara yang beranggotakan negara

Islam atau penduduknya mayoritas beragama Islam.

B. Saran – Saran

Sebagai saran, penulis berharap kepada beberapa kalangan untuk lebih

memahami beberapa hal di bawah ini :

1. Seluruh bangsa Indonesia hendaknya memahami arti Hak Asasi Manusia

(HAM) secara utuh.

2. Seluruh bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam agar lebih memperhatikan

agama sebagai Keyakinan atau Kepercayaan untuk melaksanakan Ibadahnya.

3. Khusus penyelenggara negara agar tetap menjalankan fungsinya, khususnya

untuk perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.

Page 93: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

3

Daftar Pustaka

Abu A`la Al Maududi, Human of Rights in Islam, Delhi : Markanzi Islami, 1982

Anshari, Endang Saifuddin Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus

Nsional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ``Sekuler`` tentang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Perpustakaan Salman ITB,

1981

A. Appadorai, The Subtance of Politics, India: Oxford University Press, 2005

Arianto, Satya Hak Asasi Manusia dalam Tradisi Pilitik di Indonesia Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003

Abdi,Suoriyanti,``Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat``,

dalam UNISIA, Yogyakarta: UII Press, No. 44/XXV/I 2002, hlm. 74.

Buyung Nasution, Adnan ``Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam dan Barat``,

dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi tehir (ed), Agama dan Dialog antara

Peradaban Jakarta: Paramadina, 1996

Buyung Nasution, The Aspiration for Constituonal Government in Indonesia: A Socio-Legal

Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959 Jakarta: Sinar Harapan, 1992

Budiardjo, Mariam Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pusaka Umum, 2000

Benedek, wolfgang and Nikolova,Minna Understanding Human Rights: Manual an

Human Rights Education, Eoropean Trainig Research Center for Human

Rights and Democracy, Austria: Graz, 2003

Brownlie,I Principles of International Law, Osford University Press, Oxford, 1991

Chand,Hari Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Services 1994

Deklerasi penghilangan semua bentuk ketidaktoleransian dan diskriminasi

berdasarkan agama atau kepercayaan, Deklerasi Sidang Umum 36/55, 25

November 1981

El-Muhtaj,Majda``Indonesia dan Konstitusi 2002; Men-cermati Hadirnya Komisi Konstitusi

versi MPR & Koalisi untuk Konstitusi Baru``, dalam Istilah: Jurnal Hukum,

Ekonomi dan Kemasyarakatan Medan: Fakultas Syari`ah IAIN-SU, Vol 1 No. 4

Oktober-Desember, 2002

Feith, Herbert The Decline of Constituonal Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell

University Press, 1978

Page 94: PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

4

Hadi,Amirul ``Damai dan Hak Asasi Manusia; Survei Historis``, makalah dalam seminar

Internasional Peace and Human Rights in Religious Perspectives, Medan 4

Desember 2003

Huda, Ni`matul Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian terhadap Dinamika

Perubahaan UUD 1945 Yogyakarta: FH UII Press, 2003

Kamali, Mohammad Hashim Freedom of Expression in Islam Kuala Lumpur: Ilmiah

Publisher Sdn, Bhd, 1998

Lubis, M. Solly ``Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945``, dalam Padmo Wahjoyo (ed.),

Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Ghali Indonesia, 1985

Lubis, Nur A. Fadhil ``Hak-hak Asasi Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat,``

makalah pada Muzakarah MUI-SU, Medan, 31 Agustus 1998

Mahmud Marzuki,Peter Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007

Nasution, Diana Evrina ``Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia; survei terhadap Reaksi

Pemikir-pemukir Muslim atas Perkembangan Modern``, dalam Mimbar Hukum:

Aktualisasi Hukum Islam Jakarta: Ditbinpera, No. 62 Tahun XIV, September-

Oktober, 2003

Ricahrd P ,Claude `` The Classical Model of Human Rights Develoment ``, dalam Richard P.

Claude (ed), Comparative Human Rights, London: The John Hopkins University,

1977

Sudjana,Eggy Ham dalam Perpekstif Islam, Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan

Modernitas yang Hakiki, Jakarta: Nuasa Madani, 2000

Suwandi,Mr Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi Demokrasi Modern, Djakarta:

Pembangunan, 1957