10
Jt1mal Ilmu Sosial dan IImu Politik ISSN 1410-4946 Volume 5, Nomor 3, Maret 2002 (327-344) PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AAN Ambar Teguh Sulistiyani Abstract Providing an adequate housing facilities fortheevergrowing urban population is a serious problem. Such problem is easily understood, but has not been succesfully dealth by Indonesian government as it ispurely as a housingproblem. Since the root of the problem is ur- banization housing policy should be part of urban management scheme, taking into account all of urban related issues:population density, demographic growth, squatters on slum areas and public fa- cilities.In supportingthe macro scheme of urban management there aremicroscheme to be implemented. Kata-kata kunci: problem perumahan perkotaan; kebijakan perumahan Pertumbuhan Kota dan Masalahnya Kota besar memiliki medan pengaruh yang luas terhadap wilayah sekitarnya (Gilbert dan Gugler, 1996: 1). Investasi swasta, baik nasional rnaupun asing ikut rnemainkan peranan penting dalam rnenstirnulasi pertumbuhan kota. Akhirnya muncul kota-kota primasi dan kota-kota metropolis yang menjadi pusat segal a kegiatan. Aktivitas Ambar Teguh Sulistiyani adalah staf pengajar Jurusan IImu Administrasi Negara, Fakultas IImu Sosial dan IImu Politik, UGM, Yogyakarta 327 III...

PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jt1malIlmu Sosial dan IImu Politik ISSN 1410-4946

Volume 5, Nomor 3, Maret 2002 (327-344)

PROBLEMA DAN KEBIJAKANPERUMAHAN DI PERKOTAAN

Ambar Teguh Sulistiyani

Abstract

Providing an adequate housing facilities fortheevergrowing urbanpopulation isa seriousproblem. Such problem is easily understood,but has not been succesfully dealth by Indonesian government as itispurely as ahousingproblem. Since the root of the problem is ur-banization housing policy should bepart of urban managementscheme, taking into account all of urban related issues:populationdensity, demographic growth, squatters on slum areasandpublic fa-cilities.In supportingthe macro scheme of urban management therearemicroscheme to beimplemented.

Kata-kata kunci: problem perumahan perkotaan; kebijakanperumahan

Pertumbuhan Kota dan Masalahnya

Kota besar memiliki medan pengaruh yang luas terhadapwilayah sekitarnya (Gilbert dan Gugler, 1996: 1). Investasi swasta, baiknasional rnaupun asing ikut rnemainkan peranan penting dalamrnenstirnulasi pertumbuhan kota. Akhirnya muncul kota-kota primasidan kota-kota metropolis yang menjadi pusat segal a kegiatan. Aktivitas

Ambar Teguh Sulistiyani adalah staf pengajar Jurusan IImu Administrasi Negara, FakultasIImu Sosial dan IImu Politik, UGM,Yogyakarta

327

III...

Page 2: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jumal Ilmu Sosial& Ilmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

produksi dengan pusat-pusat industri yang besar, transportasi, pusatpembelanjaan, kegiatan sektor pemerintahan dan sebagainya digelardi kota-kota tersebut.

Berbagai fasilitas penduduk termasuk kawasan pemukimanakan tergerus sejalan dengan semakin intensifnya pemanfaatan lahankota untuk kawasan industri, perdagangan, pusat pemerintahan danproyek lainnya. lni semua merupakan bukti nyata adanya pengalihankonsentrasi lahan yang semula dipergunakan untuk pemukimankemudian beralih sebagai pemenuhan kebutuhan kota. Kawasanhunian terdesak menjadi terkonsentrasi di wilayah tertentu atauterpusat secara spasial.

Kota-kota primasi cenderung melakukan penyerapan atauaglomerasi banyak sumber yang dipergunakan untuk aktivitasproduksi. Aglomerasi memunculkan disparitas terhadap wilayahtertentu, karena segala kekayaan telah disedot ke kota-kota primasi.Disparitas tersebut dapat berupa, fasilitas, sumber daya alam, sumberdaya manusia yang potensial, kawasan produktif, pendapatanperkapita, termasuk juga lingkungan. Kawasan yang dieksploitasi olehkota primasi akan mengalami kerugian banyak hal. Implikasi lain yangmuncul adalah pengkonsentrasian penduduk pada wilayah tertentu,kapasitas tempat tinggal semakin menurun dan mengalamipenyempitan lahan. Gelombang akselerasi dari problem-problemtersebut adalah harga tanah dan perumahan yang kian melejit. Rakyatyang berpenghasilan rendah atau pada batas marginal semakin tidakpunya daya beli, sehingga rumah yang berstatus sebagai kebutuhandasar menjadi tidak terbeli lagi. Rakyat miskin semakin terpuruk dalampelbagai kesulitan, dan akhirnya menjadi penghuni slum area.

Devas dan Rakodi (1993) mengetengahkan bahwa 40-50%penduduk di dunia ketiga hidup di slum area dengan segalaketerbatasannya. Kondisi tersebut merupakan lampu merah baginegara-negara berkembang untuk segera melakukan perbaikan tarafhidup masyarakat agar dapat hidup layak, di samping merenovasilingkungan disertai dengan menstimulasi masyarakat miskin untukmendapatkan tempat tinggal yang layak.

Penyedotan sumber daya termasuk tenaga kerja menimbulkanpersoalan huni~m dan kepadatan penduduk yang tidak terkendali.Munculnya kota-kota primasi, metropolitan pada suatu sisi telah

328

Ambar Teguh Sulistiyani,Problema & Kebijakan Perumahan di Perkotaan

mengubah lahan-Iahan di perkotaan menjadi pusat-pusat kegiatanproduktif yang merangsang usaha di bidang ekonomi danmenyumbang kenaikan perkapita, namun di sisi lain juga telahmerampas hak-hak hidup layak masyarakat setempat.

Kota sebagai bangunan fisik, mekanisme ekonomi, organisasisosia!, lingkungan dan satuan politik pemerintahan dapat dipengaruhioleh pertumbuhannya dan urbanisasi (Hauser 1985:52). Kota sebagaimekanisme ekonomi telah mengubah orientasi dari agraris menujuindustri. Mekanisme inilah yang menjadi tumpuan perubahan matapencaharian penduduknya, sementara belum siap bekal ketrampilandan mental serta alat. Dengan demikian sekali lagi kota telahmenghempaskan penduduknya ke dalam jurang kemiskinan akibatkehilangan mata pencaharian konvensional yang sudah dimiliki secaraturun-temurun. Mengubah orientasi kerja bukan merupakan masalahyang sederhana.

Berubahnya orientasi ekonomi kota ke arah industrial tersebutjuga akan mengubah kebiasaan dan adat istiadat masyarakat. Tingginyaharga bahan makanan pokok, kesehatan, pendidikan dan kebutuhanlainnya mengakibatkan nUai ekonomi menjadi semakin tinggi danmenjadi pertimbangan rasional masyarakat. Dengan demikian wargamasyarakat yang semula hidup rukun damai dalam situasi kegotong-royongan yang dibingkai dengan kuatnya aspek sosial kemasyarakatandigantikan oleh budaya ekonomi yang bertolak belakang karakternya.Ikatan tradisional mulai mengendur, kemudian digantikan denganperilaku ekonomi yang lebih bersifat agresif, kompetitif, mengabdipada efisiensi dan efektivitas, profit seeking, untuk dapat mengejar nilairupiah semakin banyak, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya.Dengan demikian kota sebagai organisasi sosial tidak lagi didominasioleh nilai paguyuban yang khas, kekerabatan maupun gotong-royongdan tolong menolong. Nilai-nilai ini kian surut dan digantikan denganhubungan yang berpola ekonomis. Dapat disimpulkan bahwapertumbuhan kota menyebabkan memudarnya kekuatan nilai-nilaisosial kekerabatan, dan menggugurkan ikatan sosial masyarakat. .

Kota sebagai lingkungan telah mengalami banyak perubahan.Bangunan megah memaksa penduduk menyingkir ke kawasan lain.Apabila tetap bertahan di lingkungan seperti itu tentunya kesulitanuntuk mencari nafkah jika hanya dengan keterbatasan bekal yang

329 .

Page 3: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnal IImu Sosial & 1Imu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

dimiliki. Pesimisme masyarakat muncul ketika di sekitar pemukimanbertumbuhan bangunan sementara mereka tidak cukup modal dankemampuan untuk mengimbanginya. Dilihat sebagai kesatuan ekologiskota menjadi kurang seimbang, sehingga kurang nyaman untuk temp attinggal.

Permukiman

Faktor ekonomi merupakan faktor dominan pendorongurbanisasi di Indonesia. Bahkan di negara-negara berkembang padaumumnya alasanekonomis ini menjadi kekuatan yang luar biasayangrnendorong munculnya urbanisasi subsisten.Merekabermigrasi untuksekedar memenuhi kebutuhan hidup sehingga dapat bertahan hidupsaja (survive), bukan untuk memperjuangkan keinginan yang lebihtinggi, yaitu memperbaiki taraf hidup yang lebih baik (Danisworo,1986:57).Lubis dan Sambodo(1994:219)mengatakan,prosesurbanisasiseperti inilah yang memperbesar kesenjangan antara desa dan kota.Sementarakota berkembang dengan modernisasi ekonomi, desatidakmengalami modernisasi dan industrilisasi sektor tersier.

Proporsi penduduk kota terus bertambah. Data yangdiketengahkan oleh Salim (dalam Budihardjo, 1984:212)memperlihatkan, pada tahun 1960-an penduduk kota hanya 15% dariseluruh penduduk Indonesia. Satu dekade kemudian penduduk kotasudah mencapai 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Menurut dataBiro Pusat Statistik, penduduk kota terus mengalami pertumbuhansampai mencapai lebih dari 30% pada tahun 1990 dan diperkirakanakan mencapai 40% pada tahun 2000 dari seluruh penduduk Indone-sia. Dalam 3 dasawarsa yaitu dari tahun 1970 hingga 2000 pendudukkota telah berlipat yaitu dari 20% menjadi 40%. Data tersebutmenunjukkan gejala sangat serius terlebih-Iebih bila dibandingkandengan kapasitas kota dalam penyediaan tempat tinggal serta fasilitasyang memadai. Stilwell (1995) berpendapat, perkembangan pendudukkota, terutama di negara-negara sedang berkembang merupakanrnanifestasi yang nyata dari era revolusi perkotaan. Dampaklanjutannya adalah semakin menurunnya kualitas hunian di perkotaan.

Penduduk yang tidak mampu menjangkau perumahan layakakhirnya akan terdampar di kawasan kumuh yang akhirnya

330

Ambar Teguh Sulistiyani,Problema & Kebijakan Perumahan di Perkotaan

memperluas slum area. Lonjakan jumlah pendatang yang tidaktertampung atau tidak mampu menjangkau fasilitas perumahan yangmemadai menyebabkan kesernrawutan kota; sernakin banyak yangmenggunakan pinggir-pinggir jalan, kolongjembatan, sisi-sisi pinggirreI kereta api sebagaialternatif tempat tinggal. Kawasan kumuh punmenjadi bertambah dari tahun ke tahun. Yudohusodo dan Salam(1991:2)mengungkapkan, kota seperti Jakarta pada tahun 1989 memilikislum areaseluas 4.481,6 ha, dengan penghuni 2.377.000jiwa (26%),Bandung 402 ha, dengan penduduk 205.465 jiwa (20%), Semarang 2.244ha, dengan penduduk 438.688jiwa (22%)dan Surabaya2.196ha, denganpenduduk 900.870 jiwa (25%).

Rendahnya kualitas pemukiman merupakan bagian yang seriussehingga harus mendapatkan perhatian. Kualitas hunian yang sangatburuk dapat menimbulkan terancamnya jiwa manusia, karenabagaimanapun kualitas kesehatan seseorang juga ikut ditentukan olehbagaimana kualitas tempat tinggalnya. Bahkan akibat buruk ini tidakterlokalisir pada komunitas yang menempati kawasan kumuh, namunjuga akan berpengaruh pada lingkungan sekitarnya.

Pertumbuhan penduduk di perkotaan idealnya harus diimbangidengan daya tampung pemukiman. ]enis perumahan yang ditawarkanhendaknya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakatmiskin. Kebijakan perumahan dengan harga terjangkau masyarakatmiskin selayaknya harus diutamakan, di samping penyediaan reales-tate yang diperuntukkan bagi masyarakat rnampu, mengingatpertimbangan banyaknya jumlah kaum urban yang dilatarbelakangioleh kemampuan ekonomi yang sangat rendah.

Kebutuhan perumahan sebagai akibat urbanisasi yang takterkendali lebih banyak menimbulkan peningkatan permintaanpotensial akan perumahan tetapi bukan permintaan efektif. Sifatpermintaan potensial adalah bahwa secara rii! orang membutuhkanrumah sebagai tempat bernaung, tetapi mereka tidak mempunyai dayabeli yang memadai. Sedangkan permintaan efektif adalah kebutuhanakan rumah yang disertai dengan daya beli yang seimbang. Keduajenis permintaan ini masing-masing mempunyai permasalahantersendiri. Apabila sekelompok orang memerlukan sarana tempattinggal, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untukmenjangkau, maka ini menjadi picu munculnya slum area. Di sisi lain

331 .

Page 4: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnaillmu Sosial & llmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

sekelompok orang yang memerlukan sarana tempat tinggal disertaikemampuan yang memadai untuk menjangkau, juga belum tentu selaludapat terpenuhi, mengingat keterbatasan perumahan yang tersedia.

Tuntutan kebutuhan akan tempat tinggal yang layak huni tidaksaja memenuhi standard kuantitas, namun juga harus memenuhi stan-dard kualitas, sebab rumah harus menjadi tempat tinggal yang nyaman,layak dan aman. Di samping itu kebutuhan akan rumah berkaitandengan tingkat kepuasan seseorang. Nirwono dan Hidayat dalamBlaang (1986:18) mengetengahkan empat tingkat kebutuhan rumahdiukur dari tingkat kepuasan, yaitu: Pertama kebutuhan untukbernaung (shelter) dan rasa aman (security). Kedua kebutuhan badaniah(physiological needs). Ketiga kebutuhan sosial (social needs). Keempatkebutuhan estetis (aesthetic needs). Kualifikasi perumahan seperti telahdipaparkan di muka, selaras dengan fungsi rumah sebagai tempattinggal dan pusat kegiatan budaya manusia yang memberikanperlindungan secara fisik, sehingga terhindar dari panas dan hujan,juga memberikan rasa aman dan kenyamanan. Apabila ditelusuri lebihmendalam perumahan berkedudukan sebagai salah satu kebutuhandasar manusia dan pengejawantahan diri, baik sebagai insan pribadimaupun sebagai satu kesatuan bersama dengan lingkungannya. Sta-tus dasar kebutuhan dasar akan perumahan tersebut bersifat strukturalyang merupakan bagian dari kehidupan dan kesejahteraan rakyat.

Degradasi LingkunganPerumahan bukan sekedar sarana hunian belaka. Rumah

memiliki hubungan erat secara struktural atas suatu kawasan tertentu.Keterikatan rumah dengan lahan tempat rumah tersebut didirikanmenjadi sebuah kondisl yang mutlak terjadi. Rumah yang ideal adalahrumah yang memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan sertamenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasanmaka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentangbagaimana tata ruang, pemeliharaan sanitasi lingkungan danpenyediaan fasilitas umum dapat disinkronkan. Keberadaanperumahan tidak terpisah dari suatu kawasan atau wilayah. Di sampingitu prasyarat perumahan harus memenuhi tuntutan kesehatan danpenataan yang baik.

332

I

I

II

I

I

II

I

I

I

I

I

Ambar Teguh Sulistiyani,Problema & Kebijakan Perumahan di Perkotaan

Keberadaan perumahan melekat pada suatu kawasan, berarti secaramutlak rumah berdiri membutuhkan lahan. Guna terpenuhipersyaratan perumahan yang memadai dan lingkungan yang baikmaka sebuah rumah memerlukan lahan yang cukup. Sementara itupenyediaan lahan untuk memenuhi kebutuhan pembangunanperumahan semakin sempit. Khususnya di perkotaan permasalahanserupa menjadi semakin menonjol dari waktu ke waktu seiring dengankebutuhan pertumbuhan perkotaan itu sendiri.

Pertumbuhan perkotaan yang ditandai dengan bertambahnyakeperluan fasilitas kota baik secara kuantitatif maupun kualitatif dankeanekaragamannya juga harus ditopang dengan lahan yang cukupluas. Pada saat kedua permasalahan ini muncul, yaitu problem lahanperumahan dan lahan untuk sarana dan prasarana kota ini dipermukaan secara serentak maka akan menjadi semakin kritis.Bagaimanapun kedua kebutuhan yang saling berseberangan inimemiliki modus yang sarna, dengan demikian lahan yang dibutuhkanmenjadi semakin luas. Pertumbuhan kota yang pesat membutuhkanlahan yang luas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pusat-pusatkegiatan kota, seperti prasarana jalan, pusat-pusat industri, mall, su-permarket, jaringan transportasi, terminal, pasar, hotel, kawasan pusatpemerintahan dan masih banyak lagi. Fenomena ini semakinmemperjelas apa yang disampaikan oleh Prawirosumantri dalamBlaang (1986:73), "perumahan mempunyai hubungan denganperkembangan kota." Sehubungan dengan teori pertumbuhan kota danpengaruh yang ditimbulkannya dapat diwakili oleh terjadinyaperubahan-perubahan morpologis yang telah melanda sudut-sudutkota, bahkan menyita hampir semua tempat strategis untuk dijadikanpusat-pusat kegiatan kota.

Perubahan morpologis yang dimaksudkan adalah terjadinyapergeseran fungsi suatu lahan yang semula berupa tanah lapang,persawahan, pekarangan atau bahkan kawasan perumahan kemudiandigusur dan dipergunakan untuk mendirikan gedung-gedung sepertikawasan wisata, perusahaan, pusat pembelanjaan dll. "Jakarta,misalnya dalam dekade terakhir ini terpaksa harus merelakanlenyapnya sekitar 30.000 ha tanah pertanianjperkebunannya yangsangat berbahaya, ditelan oleh pembangunan." (Siahaan, 1986: 62).Penggusuran pemukiman penduduk bahkan sering dilakukan untuk

333.

Page 5: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

sekedar memenuhi tuntutan pembangunan pusat-pusat kegiatan.Banyak rumah tempat tinggal berubah fungsi menjadi perkantoran danatau pusat-pusat pembelanjaan, ruang-ruang terbuka, bahkan kawasanyang hijau terpaksa menciut lantaran didesak oleh gedung-gedungkomersial. Memang sulit untuk dielakkan terjadinya pembangunan-pembangunan prasarana dan sarana kota untuk memenuhi kebutuhankegiatan kota, meskipun di balik kepentingan pembangunan fisik kotatersebut, ada kepentingan masyarakat yang jauh lebih urgen telahdikorbankan.

Resiko yang muncul akibat pembangunan fisik kota adalahanggota masyarakat kehilangan tempat tinggal, sementara ganti rugiyang diberikan baik oleh pemerintah atau pihak swasta yangberkompeten, seringkali tidak memadai untuk mendapatkan tempattinggal yang baru. Banyak kasus yang terjadi berupa pemaksaan kepadamasyarakat untuk menyerahkan tempat tinggal dan lahan satu-satunyayang dimiliki untuk dijadikan sebagai arena proyek, yangsesungguhnya belum tentu manfaatnya bagi masyarakat. Bahkan dikampung-kampung atau kawasan yang tertimpa proyek, acapkaliterjadi demo menuntut ganti rugi yang memadai. Fenomena inimemperlihatkan, ada perbenturan kepentingan antaramempertahankan lahan perkampungan di tengah-tengah kota ataumembiarkan pertumbuhan kota dengan sagala konsekuensinyatermasuk mengorbankan lahan pemukiman penduduk untukkepentingan pembangunan pusat-pusat kota. Sementara pembangunanfisik kota yang pesat akan memunculkan semakin menciutnya kawasanpemukiman, di samping menguatnya sektor industri, bisnis yangjusteru mengakibatkan polusi dan degradasi lahan akibat pencemaran.Kondisi-kondisi tersebut bagaimanapun secara tidak langsung telahmenurunkan kualitas hidup, yaitu menghilangkan satu komponenkebutuhan dasar masyarakat berupa temp at tinggal yang layak.Dengan demikian pembangunan perumahan di perkotaan terlebihlebih di kota-kota besar menjadi permasalahan yang semakin rumitdan dilematis, karena berhadapan dengan petumbuhan kota itu sendiri. .../

Kota-kota di negera sedang berkembang menghadapi problemserupa (keterbatasan lahan untuk pemukiman), bahkanpermasalahannya semakin meluas dengan adanya faktor lain. Prob-lem lainnya berupa perumahan yang tidak layak huni, lingkungan yang

334

Ambar Tegull SulistiyalliProblema dall Kebijakall Perumallall di Perkotaall

telah terdegradasi akibat pengolahan limbah yang kurang sempuma,munculnya rumah-rumah liar (squatter), dan kawasan kumuh yangsemakin meluas. Perumahan yang tidak layak huni bermunculan dimana-mana, merupakan pemandangan yang kurang sedap, di tengahkota yang gemerlapan, sekaligus merupakan potret ketimpangan antarasi miskin dan si kaya. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah,

pertama faktor masyarakat sendiri yang tidak mampu, karenapenghasilan rendah atau marginal, sehingga tidak mampu menjangkauharga rumah layak yang semakin mahal dari waktu ke waktu. Keduafaktor keterbatasan penyediaan rumah yang layak dengan denganharga yang murah.

Udara yang polutif dan lingkungan tercemar akibat tidakadanya sarana pembuangan limbah yang tidak sempurna telahmenurunkan kualitas pemukiman. Kawasan industri mestinyadilengkapi dengan sarana dan prasarana pengolahan dan pembuanganlimbah yang memadai. Dengan demikian lingkungan akan lebihterpelihara, polusi juga dapat dikendalikan, dan lahan tidak tercemar.Selain limbah industri juga limbah domestik penduduk harusdiperhitungkan, agar tidak menambah polusi dan degradasi tanah diperkotaan.

Limbah domestik penduduk Jakarta diperkirakan 10 kg/ orang/hari, sehingga Jakarta menghasilkan 80 ton sampah perhari.Pola ini tampaknya diikuti kota-kota besar lain di Indonesiaseperti Surabaya, Semarang, Medan dan Ujung Pandang.Beberapa kota besar akan terancam oleh sampah padat dan cairdari Rumah Tangga. Sementara itu ia menambahkan sekitar6000 pabrik di Jawa barat mencemari lingkungan. Dari jumlahtersebut yang baru sempat diteliti sebanyak 1000 industri, 146belum mempunyai Unit Pengelolaan Limbah. Sisanya memilikiUPL tetapi tidak efektif atau tidak dioperasionalkan.Penumpukan sampah padat di kota diperburuk dengankurangnya fasilitas lokasi pembuangan semen tara (TPS)maupun lokasi pembuangan akhir (TPA). Bahkan TPA justerumenimbulkan pencemaran lijit (cairan) yang keluar daritumpukan sampah dan merembes masuk ke air tanah. (Lubisdan Sambodo: 1994:224).

Sedangkan imbas lingkungan yang polutip akan dapatmenyengsarakan masyarakat di sekitamya. Tercemamya tanah, udara

335

Page 6: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu PoUtik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

dan air dengan adanya kandungan partikel-partikel yang melebihikapasitas normal, apabila dikonsumsi akan dapat meracuni, atau dapatterjangkit penyakit.

Selain pencemaran yang meluas akibat dari sistem pengelolaansampah padat dan cair, tumbuhnya perumahan liar di perkotaan ikutmenandai degradasi tanah. Rumah-rumah liar yang bermunculan disudut-sudut kota, di sepanjang reI kereta api, pinggir-pinggir jalan dansungai, telah menandai betapa degradasi lingkungan perkotaan telahmencapai tingkat serius. Masyarakat miskin baik yang melakukanurbanisasi ke kota, maupun penduduk asli yang tergusur olehpembangunan fisik kota, akan terpinggirkan. Karena sulitnyamemperoleh pendapatan yang memadai, masyarakat menjadi sulituntuk memperoleh perumahan layak untuk bertempat tinggal. Rumahliar adalah merupakan alternatif yang mudah dan murah untukdijangkau. Jalan pintas yang dapat ditempuh oleh masyarakat yanghidup di bawah garis kemiskinan adalah mengakses lahan yangterbatas, untuk mendirikan bangunan non permanen, seperti rumahkardus, IIgedegll (bambu), seng atau sejenisnya.

Pilihan yang cukup moderat tentunya dengan menfasilitasikedua kepentingan baik penyediaan lahan pemukiman maupunpertumbuhan fasilitas kota, dengan diimbangi tindakan pengendalian,baik pengendalian pertumbuhan penduduk maupun pertumbuhankota. Khususnya urbanisasi harus dikendalikan mengingat dayatampung kota yang sangat terbatas. Pengendalian tersebut dilakukandengan cara pembangunan di pedesaan. Pembangunan yang dilakukansecara merata hingga di pedesaan akan tersedia sarana dan prasarana,yang dapat merangsang pertumbuhan sektor perekonomian dipedesaan. Kebijakanini dapat mengurangi kekuatan pushfactor,karenadimungkinkan terdptanya lapangan kerja baru. Dengan sarana danprasarana yang memadai di desa, masyarakat dapat lebih mudahmelakukan aktivitas perekonomian, seperti pengangkutan hasil bumike kota atau ke daerah lain. Seman gat dan harapan baru akan menguatdengan tersedianya prasarana dan sarana yang memadai di des a,sehingga masyarakat dapat memaksimalkan kegiatan perekonomian.Sarana dan prasarana yang lebih baik dapat menggerakkan rodaperekonomian di banyak bidang, sehingga terdpta diversifikai dibidang perekonomian misalnya; pertanian, industri kedl, dan home

336

Ambar Teguh Sulistiyani,Problema & Kebijakan Perumahan di Perkotaan

industry sehingga memungkinkan terdptanya sentra industri. Disamping itu dengan adanya prasarana jalan dan sarana transportasidesa akan terbuka, sehingga mudah untuk dijangkau oleh pihak lain.

Pengendalian pertumbuhan kota cukup penting dilakukan agarkeseimbangan tetap terpelihara. Untuk mengendalikan pertumbuhanperkotaan perlu adanya site planning yang jelas. Ke arah mana kotaakan dikembangkan harus direncanakan, sehingga akan tampak polapertumbuhannya. Perencanaan kota hendaknya dapat memberikansolusi terbaik bagi pertumbuhan kota secara seimbang dengan tetapmemberikan jaminan terhadap kebutuhan masyarakat akan tempattinggal yang layak. Sangat ironis sebuah kebijakan yang hanya berpihakkepada kepentingan fasilitas kota, dengan mengorbankan aspekmasyarakat, seperti dikatakan Simmie dan Saunders (dalam Gilbertdan Gugler, 1996: xxi).

Tipologi dan Kesenjangan

Dari segi kualitas fisikal, perumahan di perkotaan dapatdigolongkan menjadi: (a) rumah mewah baik yang berada di tengahkota maupun kawasan realestate,biasanya berukuran besar, konstruksibangunan baik dan disertai aksesori menarik serta fasilitas lengkap;(b) perumahan sederhana; dan (c) perumahan sangat sederhana,dengan kualitas bangunan pada umumnya tidak begitu baik, ukuransedang atau ked!, aksesori dan fasilititas terbatasjsangat terbatas.

Dilihat dari aspek kesehatan rumah dapat dibedakan menjaditipe rumah sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Biasanya tipe rumahmewah, sederhana ataupun sangat sederhana pembangunannya telahmempertimbangkan aspek kesehatan, baik pengaturan pencahayaanmaupun sirkulasi udara. Contoh rumah yang tidak sehat adalahperumahan liar (squatter) di kawasan kumuh. Baik dilihat dari kualitas

bahan bangunan, penataan, maupun lingkungannya, perumahan inisangat tidak memenuhi tuntutan kesehatan sebuah tempat tinggal.

Tipe lainnya dilihat dari ijin bangunan dapat dibedakan menjadidua yaitu rumah yang memiliki 1MBdan ada perumahan spontan (tidakmemiliki ijin bangunan). Tipologi rumah yang lain adalah berdasarkankapasitasnya dibedakan menjadi condomminium yaitu perumahansusun yang mewah, sedangkan rumah susun yang lebih sederhana

337

Page 7: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

misalnya flat. Sedangkan tipologi terakhir dilihat dari status pemilikanrumah, dibedakan menjadi rumah milik pribadi, Hak Guna Bangunan(HGB) dan rumah sewa.

Terbukti bahwa tipologi perumahan di perkotaan sangatvariatif meliputi tipe rumah mewah, baik yang berada dalamperkampungan maupun berada dalam komplek perumahan mewah,rumah sederhana, rumah sangat sederhana sampai dengan perumahanyang tidak layak huni. Di pusat-pusat kota hampir dipadati oleh rumah-rumah mewah dengan ukuran besar dan penuh aksesori, berdiri diantara gedung-gedung bertingkat. Bangunan rumah sederhana dansangat sederhana dengan pelbagai ukuran, berdiri baik di tengah kotamaupun kawasan perumahan yang didirikan oleh pad a pengembang.Tidak jarang perumahan yang jauh dari segala persyaratan bangunanbaik seeara teknis maupun kesehatan seperti rumah liar yang marakmenghiasi sepanjang sungai, reI kereta api, pinggiran-pinggiran kotayang membentuk kawasan kumuh. Perumahan ini tidak memilikikondisi yang baik di segala bidang, sangat kotor dan rentan terhadappenyakit. Bangunan semaeam ini adalah bangunan yang paling rendahkualitasnya dan merupakan bentuk terburuk dari tipe rumah di atas.

Dari sekian bangunan perumahan, ada perumahan yangdibangun seeara legal dan ada yang illegal, bahkan kadang-kadangmenempati tanah negara, bangunan yang tidak memiliki 1MB seringdisebut sebagai perumahan spontan. Perumahan spontan inimerupakan salah satu manifestasi dari mahalnya harga tanah, danpengurusan ijin mendirikan bangunan. Tipe perumahan lainnya yangdapat dihuni seeara kolektif, mampu menampung sejumlah besarkeluarga pada suatu tempat biasanya berupa condomminium atau flat.Condomminium merupakan rumah susun yang mewah dengankonstruksi yang bagus, dilengkapi dengan fasilitas memadai danaksesori yang menarik, sedangkan flat adalah rumah susun yangbertipe sederhana, dengan harga relatif terjangkau. Tipe ini sangatcoeok untuk kawasan kota yang relatif terbatas lahan pemukimannya.

Di an tara tipologi perumahan tersebut di atas, penulis tertarikuntuk membahas perumahan-perumahan yang kurang layak hunisebagai indikasi kem~skinan sekelompok masyarakat sehubungandengan pertumbuhan'kota. Sebagaimana dikatakan oleh Gilbert danGugler (1996), "Pertumbuhan perkotaan dapat mereduksi peluang-

338

Ambar Tegllh SlIlistiyalliProblema dall Kebijakall Per/llnahall di Perkotaall

peluang golongan miskin u~tuk m~ngkonsolidasikan. p~r~mahanmiskin." Pernyataan yang dlsampalkan kedua penuhs 1m sangatmenarik dan kritis di dalam menanggapi isu muneulnya degradasipemukiman dalam konstelasi pertumbuhan yang melanda banyak kotayang berlangsung seeara eepat.

Berdasarkan diskusi di atas terlihat bahwa prototipe perumahandi kota memang cukup beragam, ada rumah mewah dan gemerlapanyang mewakili kalangan the have dan tentunya hanya milik lapis ankedl masyarakat kota. Sedangkan tipe lain adalah perumahan spontanyang sesungguhnya tidak selalu hanya miliki orang miskin saja,kadang-kadang orang kaya juga memanfaatkan tanah milik negaratanpa ijin atau membangun tanpa 1MB.Dari sekian banyak'tipe rumahternyata yang paling mengesankan adalah kehidupan masyarakatmiskin yang hidup diantara rumah gubug, kardus, seng dll, sebagaisuatu segmen masyarakat miskin yang harus menanggung resikoterbesar atas dampak lingkungan kota.

Dengan menampilkan beberapa indikator untukmendeskripsikan tipologi perumahan di perkotaan akan dapat dilihatporsi terpenting yang harus diperhatikan dalam pengambilan kebijakandi bidang perumahan, khususnya di perkotaan. Kebijakan perumahandimaksudkan mampu menjawab permasalahan khususnya perumahankaum miskin, dan bukan sebaliknya justeru menyudutkan kaum miskinke dalam permasalahan yang semakin pelik.

Kebijakan yang Komprehensif

Telah banyak kebijakan yang digulirkan oleh pemerintahberkenaan dengan masalah peru mahan, tetapi hingga sekarangkebijakan itu belum mampu mengatasi problem perumahan secaratuntas. Kebijakan perumahan dari pelita ke pelita dapat ditelusurisebagai berikut; pada Pelita I kebijakan pembangunan di bidangperumahan adalah berupa pembangunan perumahan percontohan.Disusul pada Pelita II dengan diluneurkannya Keppres No. 35 tahun1974 dengan membentuk Badan Kebijakan Perumahan Nasionaldengan substansi pokok; pertama, pendirian perumahan umum(peJ:um), pembangunan perumahan nasional (perumnas) yangkemudian diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1974;kedua,

339

Page 8: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnaillmu Sosial & llmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

usaha kredit kepemilikan rumah yang dikenal dengan KPR/ BankTabungan Negara (BTN); ketiga, program pembangunan perumahanoleh sektor swasta melalui usaha-usaha realestate atau dikenal dengannama Real Estate Indonesia. Pada Pelita III kebijakan lebih ditekankanpada etika yaitu asas keterjangkauan dan pemerataan perumahan, disamping itu dilengkapi dengan Program Perbaikan Kampung(Kampung Improvement ProgramjKIP), melalui perintisan perbaikanlingkungan perumahan kota, sedang dan besar. Pada Pelita IVkebijakannya diarahkan pad a peningkatan pembangunan perumahanrakyat sebagai kebutuhan dasar manusia yang berwawas~n perumahandan pemukiman sebagai satu kesatuan fungsional. (Siahaan, 1986: 62).Kemudian' pada Pelita V kebijakan diarahkan pada peremajaanpemukiman kota, dengan Inpres No.5/90, penataan ruang dengan UUNo.24/92 dan Perumahan serta pemukiman dengan UU No.4/92.(Marsono, 1995:16-17). Di samping itu sangat banyak produk kebijakanyang telah dibuat untuk masalah perumahan ini. Secara umum ada 51produk kebijakan yang mengatur tentang perumahan, terdiri atas 5Undang-undang, 7 Peraturan Pemerintah, 5 Keppres, 1 Inpres, 1Peraturan Presidium Kabinet, 1 Kepmen Bidang Ekonomi danKeuangan,6 Kepmen Perumahan rakyat, 7 Kepmen Pekerjaan Umum,1Keputusan Dirjen Cipta Karya, 1 Kepmen Keuangan, 1 KepmenKoperasi, 8 Peraturan/Permendagri, 1 Peraturan Badan PertanahanNasional,l Keputusan Badan Kebijakan Perurnnas dan 7 KeputusanKhusus Ibukota Jakarta. (Marsono, 1995:v-xv).

Di antara kebijakan tersebut di atas yang paling menyentuhpermasalahan perumahan di perkotaan khususnya lokasi-Iokasikumuh adalah kebijakan KIP, karena kebijakan ini selainmemperhatikan konstruksi, bentuk dan penataan bangunanperumahan juga memperhatikan kebersihan, keindahan, kesehatanlingkungan, serta keseimbangan. Program tersebut merupakanperwujudan dari idealisme menciptakan perumahan dan kawasanyang tertata di perkotaan. Dari program ini dapat direalisir perintisanperbaikan lingkungan perumahan kota yang meliputi ratusan kotakecil, sedang dan besar dari Pelita I hingga V. Pada Pelita I dan IIpelaksanaan prograqt percontohan, dilanjutkan pelita III dan IVberhasil melaksanakan perbaikan pada 679 kota, dengan 24,4 juta jiwayang dilayani melalui proyek ini, yang meliputi areal 74.000 ha.

340

Ambar TegllizSlIlistiyalliProblema dall Kebijakall Perll/nallalldi Perkotaall

Sedangkan pada Pelita V dapat menjangkau 300 kota dengan arealtanah 8.000 ha. (diolah dari Marsono, 1995: 14-15). Tentu saja dari

jumlah tersebut baru merupakan sebagian kecil dari sejumlah wilayahsasaran yang seharusnya ditangani.

Ada beberapa pemikiran yang dapat menyokong kebijakanperumahan di perkotaan. Pertama mcmajemen pembangunan denganmerumuskan kebijakan perumahan yang menyeluruh dan terpadu,dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan fungsional,potensi, dana dan daya, peningkatan ekonomi dan tata ruang sertatata guna tanah. Kedua, pendekatan etis pembangunan denganmempertimbangkan as as keterjangkauan, diferensiasi subsidi,diferensiasi ptogram sehingga dapat mencakup pelbagai permasalahandi semua kalangan masyarakat, dan asas pemerataan penyebaranperumahan. Ketiga pendekatan teknis, pembangunan perumahansecara bertahap, terus menerus, dengan teknologi tepat guna, dan tepatsasaran. Keempat, pendekatan sosiologis, dengan pertimbangan aspekkemasyarakatan yang memiliki kultur yang hendaknyadipertimbangkan dalam membuat site planning.

Aspek teknis yang seharusnya diperhatikan dalam kebijakanperumahan selanjutnya akan mengarahkan kebijakan perumahan pada:Pertama, penyediaan lahan perumahan di perkotaan yang cukupdengan perencanaan tata kota terpadu dan pola pertumbuhan kotayang tepat, sehingga tidak mengurbankan pemukiman penduduk.Kedua, memperbanyak pembangunan perumahan rakyat yangmemenuhi persyaratan teknis dan kesehatan serta terjangkau olehlapisan masyarakat bawah dan berpegang pada as as pemerataan.Ketiga, program perbaikan lingkungan dan program pemugaran sertaperbaikan kampung perlu digalakkan. Keempat,peningkatan produksibahan bangunan dengan kualitas baik dan harga terjangkau. Kelima,kebijakan sektor lain yang dapat mendukung kebijakan. perumahanharus dicanangkan, seperti; kebijakan pengendalian arus urbanisasidengan menggalakkan pembangunan kawasan pedesaan sehinggadapat memperkecil kekuatan daya dorong untuk berpindah ke kota,kebijakan-kebijakan yang menampung massa transisional pedesaanyang mampu mengakumulasikan potensi pedesaan, misalnya industripertanian dan pengolahan hasil pertanian, home industry, dengandemikian tercipta diversifikasi (penganekaragaman) perekonomian

341

Page 9: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnaillmu Sosial & Ilmu Po/itik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

yang disertai akibat strategis berupa tumbuhnya lapangan kerja baru,peningkatan produktivitas pedesaan dan peningkatan taraf hidupmasyarakat. Terakhir perlu adanya kebijakan penyediaan perumahanyang lebih berorientasi pada masyarakat kurang mampu di perkotaan,dengan mempertimbangkan aspek keterbatasan lahan tetapiperumahan tersebut tetap mempunyai daya tampung yang besar.Keterbatasan lahan di kota mengakibatkan pembangunan perumahandengan pola horizontal kian sulit.

Oleh karena itu harus dicari altematif pengembangan bangunansecara vertikal. Bangunan seperti flat, mall system dan communal housemempunyai daya tampung besar dan sangat cocok untuk lahan yangterbatas. Di samping itu dapat juga membangun rumah-rumah sewayang dapat menampung banyak orang. Pada prinsipnya flat, mall sys-tem mempunyai bentuk fisik yang sarna, yaitu berupa rumah susunyang berdaya tampung banyak. Perbedaan an tara keduanya hanyalahterletak pada pengaturan pemanfaatan ruang dalam sebuah bangunan.Pada flat, pemanfaatan secara mumi untuk tempat tinggal, sedangkanpada mall systempemanfaatan ruang dilakukan secara terpadu. Blok-blok rumah susun tersebut sebagian dipergunakan untuk penyediaanbarang keperluan sehari-hari, perkantoran dan tempat praktek untukbidang-bidang pelayanan profesional, sekolah dan tempat bermain.Struktur rumah susun yang multiguna ini dapat lebih menarik karenaorang yang tinggal di dalamnya dengan mudah memperolehkebutuhan dan kepentingannya, tanpa harus ke luar darilingkungannya. lni lebih efisien dan menghemat biaya. Mall systemmenurut Budiharjo (1984:203) diarahkan pada terciptanya sebuahlingkungan yang swa sembada (self-contained socialstructure). Denganpembagian ruang tersebut di atas maka tersedia ruang komersial yangmenyediakan barang kebutuhan sehari-hari dan sekaligus memberikanlahan kerja. Sedangkan ruang terbuka antar blok rumah dapatdipergunakan juga sebagai tempat pedagang kaki lima yang tidakterlalu makan tempat.

Communal house adalahbangunan tempat tinggal yangdirancang dapat menampung banyak penghuni tetapi dalam hal inilebih memperhatikan segi budaya masyarakat yang menempati rumahtersebut. Dengan demikian desain dibuat dengan melihat bagaimanabudaya yang melekat pada masyarakat sasaran. Apabila yang

342

I

t

t

Ambar Teglliz SlIlistiyalliProblema dall Kebijakall Pemmalzall di Perkotaall

dikehendaki sebagai sasaran adalah para urban dari desa, maka

hendaknya memperhatikan budaya pada umumnya yang berkembangdi pedesaan, seperti komunikasi antar warga, pengasuhan anak,perkumpulan paguyuban dan sebagainya, hendaknya dapatdiakomodasi, sehingga penghuni akan merasa nyaman tinggal di sini.Bentuk communal haouse akan sesuai ap~bila dimaksudkan untuk

menyediakan tempat tinggal para urban yang masih kental budayalokalnya. Konsekuensi terhadap pembangunan model rumah sepertiini adalah ia harus memberikan ruang untuk pertemuan agar kegiatanpaguyuban dapat berjalan, dan tempat-tempat terbuka untukpengasuhan anak.

Agar lebih dapat menarikminat, baikflat, mallsystem maupuncommunal housedapat dibangun dengan memperhitungkan aspirasi daricalon yang penghuni. Calon penghuni dipersilakan untuk melakukan

pengembangan dan pengisian terhadap bangunan dengan variasi yangdiinginkan, baik wama, aksesori, maupun penataan ruang dalam setiapblok rumah. Sesuatu yang seragam mungkin kurang menarik, karenatidak dapat memberikan kebebasan pemiliknya untuk menciptakannuansa khusus di tempat tinggalnya.

Kebijakan-kebijakan perumahan di perkotaan dicanangkantidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan kebijakan di sektorlain, seperti kebijakan kependudukan, pengendalian urbanisasi, danpembangunan pedesaan dan diversifikasi ekonomi dan pembuatan siteplanning untuk dapat memperjelas pengembangan/ pertumbuhan kotasehingga lebih terkendali. Keterbatasan lahan untuk kawasan

pemukiman di kota akan dapat diatasi dengan kebijakan penyediaanperumahan di perkotaan yang lebih berorientasi pada pembangunanperumahan vertikal mengingat. Dengan demikian altematif yang dapatditawarkan adalah flat, mall system dan communal house. ***

343

Page 10: PROBLEMA DAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI PERKOT AANmenempati lingkungan yang sehat. Berpijak dari konteks kawasan maka analisis perumahan akan selalu diwarnai oleh perdebatan tentang bagaimana

Jurnal IImu Sosial& IImu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002 1Daftar Pustaka

Blaang, C. Djemabut (1986).Perumahan dan Pemukiman sebagaiKebutuhanPokok.Jakarta: Obor

Budihardjo, Eko (1984). Sejumlah MasalahPemukiman. Bandung: AlUmni.

Danisworo, Mohammad (1986). 'Urbanisasi Terbesar sebagai UpayaPencegah Membengkaknya Kota Metropolitan.' Prisma , ( 3),him: 55-64.

Devas, Nick & Carole Rakodi, (1993). Managing Fast Growing CitiesApproach to Urban Planning and Management in the Third World.New York: Longman sCientific and Technical.

Gilbert, Alan & Josef Gugler (1996). Urbanisasi dan Kemiskinan di DuniaKetiga. Alih bahasa Ansori, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hauser, Philip M. (1985). Penduduk dan Masa Depan Perkotaan: Studi vKasus di Beberapa Daerah Perkotaan. Alih bahasa: Masri Marif.Jakarta: Yayasan Obor. .

Lubis, Rusdian & Widodo Sambodo (1994). 'Masalah PencemaranLingkungan di Indonesia.' Profil Indonesia, Jurnal Tahunan, 1,Jakarta, CIDES, hIm: 223-232.

Marsono (1995). Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan di BidangPerumahan dan Pemukiman. Jakarta: Djambatan.

Rachbini, Didik J. (1994). 'Kemiskinan di Indonesia.' Profil Indonesia,Jurnal Tahunan, 1, Jakarta, LP3ES, hIm: 213-222.

Siahaan, Hotman M. (1986). 'Pembangunan Perumahan di Perkotaan.'Prisma, (12) hIm: 61-71.

Stilwell, Frank (1995). Urban PolipJ and Local Government. New York:Routledge.

Yudohusodo, Siswono dan Salam, Soearli (1991). Rumah untuk SeluruhRaktJat, Jakarta: INKKOPPOL.

344

J