Upload
ksw-mesir
View
126
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PRESTâSI adalah buletin kajian sosial yang berada di bawah naungan KSW (Kelompok Studi Walisongo), Kekeluargaan mahasiswa & masyarakat Jateng - DIY di Mesir. Selalu mengangkat tema-tema sosial seputar Masisir (Masyarakat Indonesia di Mesir), Indonesia, dan Timur Tengah.
Citation preview
Of
fic
e :
7/
1 A
hm
ed
E1
Zu
mr
St
. B
lo
ck
21
Te
nt
h D
ist
ric
t N
as
r C
ity
Ca
iro
Eg
yp
t
* Kairo - Mesir * PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP
Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya bukan timbul semata-
mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi
timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan
- Ir. Soekarno
Sudahkah Anda Merdeka Hari Ini?
TerasKeranjang KemerdekaanMerdeka atau Mati(!)
Opini
NINGSIH
Sastra KajianIndonesia Timur;
Refleksi Kemerdekaan Ke-69
google.com
Edisi 99, September 201402 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Dari Redaksi
Pelindung: Ketua KSW | Dewan Redaksi: Ronny G. Brahmanto, Landy T. Abdurrahman,
Muhammad Fardan Satrio Wibowo, Uly Ni'matil Izzah, Nashifuddin Luthfi | Pimpinan
Umum: Choiriya Dina Safina | Pimppinan Redaksi: Muhammad Fadhilah Rizqi | Pimppinan Usaha: Sopandi |
Sekretaris Redaksi: Wais Al-Qorny | Redaktur Pelaksa: Muhammad Miftakhuddin Wibowo, Zulfah Nur Alimah,
Zuhal Qobili, Rizqi Fitrianto | Reporter: Muhammad Nurul Mahdi, Iis Isti'anah, Fathimah Imam Syuhodo |
Distributor: Azhar Hanif, Mahfud Washim | Layouter: Alaik Fashalli, al-Muzakky | Karikaturis: Rijal Rizkillah |
Editor: Muhammad Ulul Albab Mushaffa, Annisa Fadlilah, Abdul Wahid Satunggal
Redaksi menerima tulisan dan
artikel yang sesuai dengan visi-
misi buletin.
Saran dan kritik kirim
ke facebook kami: Prestsi KSW.
Dari Redaksi 02
Editorial 03
Teras 04
Analisa Nusantara 06
Timur Tengah 08
Opini 10
Kajian 12
Lensa KSW 16
Kata Mereka 18
Resensi 19
Oase 21
Sastra 23
Serba-Serbi 25
Catatan Pojok 28
Daftar IsiAssalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Alhamdulillah. Berhubung mendekati akhir dari periode
kerja kru redaksi PRESTSI 2013/2014, kami semakin cemas,
keringat dingin, insomnia berkepanjangan, debar-debar tak
berkesudah menanti komentar-komentar berdatangan.
Musim ini tak lagi perkasa membuat kami resah kelelahan di
rongga dehidrasi, musim peralihan yang lebih sangar sudah
di daun jendela tempat kami mungkin berjatuhan. Maka
dengan harap-harap cemas, kami lahirkan PRESTSI Edisi 99
bersama dengan rahim terakhir yang sudah semakin kering,
mendekati monopause, rahim personifikasi; setiap yang tak
bernyawa begitu hidup di mata kami. Kami begitu kehabisan
objek hidup untuk dikritisi dan dirangkai dalam kata. Edisi
kali ini, dengan bangga akan ketelatan momen, kami
persembahkan pertanyaan untuk setiap jiwa Indonesia
Sudahkah Anda Merdeka Hari Ini? sebagai tema besar
PRESTSI terakhir tahun ini. Pertanyaan akan semangat
nas ional i sme dar i mas ing-masing k i ta , sekedar
merefleksikan diri pada peringatan perjuangan para
pahlawan? Atau pada partisipasi lomba-lomba hari
kemerdekaan? Atau malah sekedar ikut trend tujuhbelasan?
Tema kemerdekaan tidaklah kami arahkan pada siapa yang
hidup, namun pada jiwa yang mungkin sudah lama mati,
hanya sebab di-qiyas-kan dengan orang-orang lain yang
masih bisa berjalan mereka tampak hidup. Setiap titik tekan
pada tiap rubrik dalam buletin ini bertujuan ngurip-nguripke
(menghidup-hidupkan) lagi apa yang tersisa dari reruntuhan
kemerdekaan, sebesar apa momen kemerdekaan ini bagi
bangsanya. Seberapa jauh kemerdekaan menyejahterakan
rakyatnya, mungkin naif bila kita menafikkan betapa
besarnya perjuangan para pendahulu dan mengkritisi
peringatannya dengan agak terlalu dalam. Hanya saja ini
bukan tentang bagaimana dulu, melainkan bagaimana kita
sekarang. Apa yang kita peroleh dari mengibarkan bendera
merah putih dengan bebas pada tanggal 17 Agustus?
Semoga kemerdekaan sejati yang tak lekang oleh waktu, di
hati dan raga kita. Kuatlah wahai setiap siapa yang berjiwa
Indonesia, merdeka!
Untuk yang terakhir dan yang sudah-sudah, selamat
membaca!
PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP
RESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPPPMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa
17 Agustus merupakan momen spesial bagi
bangsa Indonesia yang diperingati tiap tahun
sebagai hari Kemerdekaan Nasional. Tepat
pada hari itu Indonesia tegas menyatakan diri
melalui lisan bapak bangsa Ir. Soekarno
mendeklarasikan kedaulatan nusantara yang
merdeka. Sejak saat itu Indonesia berhasil
melepas jerat dan mengusir para kolonial
penja jah dar i bumi pert iwi . Naskah
proklamasi kemerdekaan yang disusun
sebelumnya oleh Soekarno dan Hatta di
kediaman Laksamana Maeda bersama Ahmad
Soebardjo itu telah merealisasikan cita-cita
kemerdekaan Indonesia secara defacto pada
tanggal 17 Agustus 1945 dan sah menurut
hukum internasional serta diakui semua
negara, dimulai oleh Mesir dan India.
S e i r i n g b e r j a l a n n y a w a k t u , i s t i l a h
kem erd eka a n kem b a l i m en c u at d a n
m e n y i s a k a n s e b u a h w a c a n a u n t u k
dipertanyakan. Tidak sedikit rakyat Indonesia
merasa semu terhadap realitas kemerdekaan.
Sebagian besar rakyat Indonesia belum bisa
mencapai kesejahteraan meski puluhan tahun
telah mendeklarasikan kemerdekaannya.
Pasalnya, fakta di lapangan kesenjangan sosial
di tengah masyarakat makin melebar, ditandai
dengan meningkatnya angka kemiskinan di
kota maupun desa. Kesejahteraan dan
kemakmuran yang di elu-elukan oleh rakyat
masih jauh dari yang diharapkan. Bila kita
merujuk pada data BPS (Badan Pusat Survey)
mengindikasikan bahwa masih banyak rakyat
kita yang hidup sengsara. Belum lagi
ditambah dengan pola pemerintah yang
gemar melakukan praktik oligarki, yang justru
malah menghambat segala pertumbuhan
ekonomi, sosial dan politik di Indonesia.
Keterjajahan politik, ekonomi dan hukum.
Inilah realita yang membuat sebagian besar
rakyat Indonesia masih merasa terjajah di
negeri sendiri. Penderitaan demi penderitaan
itu semakin tajam dirasakan ketika mereka
mencoba tetap bertahan hidup ditengah
kenaikan harga yang tak terkendali, baik
sembako, kesehatan maupun pendidikan.
Dana APBN sebanyak 70% yang bersumber
dari pajak rakyat tidak bisa kembali kepada
rakyat, pasalnya sebagian besar dialokasikan
untuk pendanaan kebijakan pemerintah yang
tidak begitu jelas, sebagian lainnya untuk
melunasi hutang negara yang bunganya
mencapai ratusan Trilyun (116,4 T) dan
sisanya digilas oleh praktik korupsi. Adapun
kekayaan negara yang berasal dari alam (SDA)
Indonesia sebagian besar juga dikuasai oleh
investor asing yang mendapat legalitas dari
pemerintah, sehingga kekayaan alam dikeruk
habis dan diekspor ke luar negeri. Seperti PT.
Freeport, perusahaan tambang milik USA
yang beroperasi di Papua, PT. Newmont yang
ada di Nusatenggara dan Sulawesi, dan masih
banyak perusahaan lain yang menjual SDA
Indonesia, sementara rakyat di dalam negeri
kekurangan.
D u l u p r e s i d e n S o e k a r n o p e r n a h
membebaskan pajak, sebagai hadiah
kemerdekaan untuk rakyat Indonesia dan
sebagai harapan Indonesia masa depan bisa
merdeka secara total. Begitupula cita-cita Tan
Malaka yang ingin merealisasikan Indonesia
merdeka 100 persen. Namun hingga detik ini
sudahkah kita sebagai komponen bangsa
merasakan hakikat kemerdekaan yang hakiki?
Dimana dan kapan kita bisa menemukan
realita kemerdekaan itu? Dan jika melihat
kualitas rakyat yang sedang terpuruk saat ini
apakah harapan merdeka yang hakiki adalah
poin mustahil bagi kita semua? Semoga tidak!
Kru Buletin PRESTSI,
Alaik Fasholli
03PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Editorial
Masih Merdeka(?)
Edisi 99, September 2014
04 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Bangsa Indonesia telah merayakan hari jadinya
yang ke-69, hari kelahiran sebagai bangsa yang
merdeka nan utuh. Merah putih telah menjadi
alas seluruh tanah nusantara, tergelar di
sepanjang tanah moyang. Upacara bendera
khidmat digelar di berbagai lapangan dan aula.
Dan yang tak kalah penting adalah berbagai
kemeriahan yang lazim dilangsungkan tatkala
hari besar ini datang; berbagai macam
perlombaan seni, pertandingan olahraga,
pesta rakyat, pesta tari hingga pertunjukan
musik semuanya digelar. Menakjubkan, semua
orang larut dalam euforia.
Setelah beberapa tahun tinggal di negeri
orang, segala bentuk kemeriahan yang saya
sebutkan sesungguhnya hanya terpikir dalam
bayangan, tak ikut merasakan. Namun karena
itulah, sebab tak ikut merasakan, kemudian
kini saya memikirkan. Segala kemeriahan,
l a r u t n y a m a s y a r a k a t d a l a m e u f o r i a
memperingati kebahagiaan dan bukan
perjuangan, begitukah bagaimana selama ini
17 Agustus saya peringati?
Memang tak salah mengisi hari ulang tahun
dengan segala kemeriahan, karena jika kita
membiarkannya berlalu tanpa diisi sesuatu
maka itu tak bisa dibilang lebih baik. Namun
ada hal yang lebih penting yang seharusnya
terpatri atau paling tidak terbesit dalam jiwa
bangsa kita tatkala menyambut hari raya
kemerdekaan: meresapi dan memaknai arti
kemerdekaan.
Dengan terlepasnya bangsa Indonesia dari
belenggu kolonialisme, kemudian proklamasi
digaungkan sebagai tanda telah merdeka,
semenjak itu sudahkah kita telah benar-benar
merdeka? Merdeka adalah bebas. Kala itu
Indonesia memang terbebas dari tekanan
kolonialisme, penjajahan secara fisik. Namun
secara kejiwaan? Bangsa ini nyatanya bertahan
hanya beberapa saat hidup dalam denyut
kemerdekaan yang sesungguhnya.
Sudah menjadi rahasia yang kasat mata, jika
Indonesia kini tengah hidup dalam penjajahan
kedua. Penjajahan ekonomi, penjajahan sosial,
penjajahan politik, penjajahan budaya hingga
penjajahan bahasa tengah digempurkan dunia
untuk melemahkan sendi-sendi bangsa.
Penjajahan yang mirisnya justru dinikmati oleh
bangsa ini. Bahkan ditambah menjadi lebih
parah dengan munculnya penjajahan bangsa
terhadap bangsa.
Kebiasaan korupsi para elite pejabat,
ketimpangan hukum dalam peradilan dan
membengkaknya angka kesengsaraan, tidak-
kah itu adalah wajah dari penjajahan bangsa
terhadap bangsa? Tugas Negara yang menjadi
cita-cita bangsa agar menjamin kesejahteraan
rakyat, kecerdasan dan kemakmurannya
sekarang sudah terbalik, sekarang rakyat-lah
yang bertugas mencukupi kehidupan harian
Negara beserta aparaturnya, tanpa mendapat
imbalan kesejahteraan yang nyata.
Suatu ketika Bung Karno pernah berkata:
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit
karena melawan bangsamu sendiri. Ingat,
memproklamirkan bangsa adalah gampang,
tetapi menyusun Negara, mempertahankan
Negara, memiliki Negara buat selama-lamanya
itu adalah sukar. Rupanya, sedikit banyak
Bung Karno telah memahami sejak jauh hari,
bagaimana sifat bangsa ini j ika diberi
kenyamanan kemerdekaan yang diwariskan.
Karenanya ia berpesan untuk berjuang lebih
keras lagi, menjaga kemerdekaan yang
Keranjang Kemerdekaan
Teras
Edisi 99, September 2014
05PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
sesungguhnya, kemerdekaan dari segala
tekanan lawan dan kawan.
Para pejuang bangsa kita dahulu, memilih mati
daripada malu karena tak mampu berjuang
membela Negara. Meskipun Bung Karno
menyatakan mudah memproklamirkan
bangsa, akan tetapi kita tahu bagaimana
perjuangan menuju kata proklamasi, sangat
tidak mudah.
Hal itu-lah yang seyogyanya sama-sama kita
renungkan dalam celah perayaan dan euforia
yang ada. Bukankah kemerdekaan jua berarti
mengenang jasa para pahlawan bangsa? Bukan
h a n y a t e n t a n g b a g a i m a n a m e r e k a
menggenggam bambu runcing untuk melawan
pasukan Belanda atau Jepang, karena (berkat
mereka) sekarang kita sudah tak akan lagi
dihadapkan pada keadaan seperti itu. Namun
lebih kepada bagaimana semangat mereka
untuk menjadikan Indonesia merdeka dan
bersatu.
Semangat itu mereka simpan di atas segalanya,
di atas segala ego, kepentingan dan lain
sebagainya. Itulah yang membuat mereka
mampu meraih cita-cita merdeka. Bahkan
sejenak sebelum proklamasi kita tahu apa yang
terjadi, kelompok muda dan kelompok tua dari
panitia penyusun kemerdekaan tak punya
pendapat yang sama, rasa saling tidak percaya
mencuat dan berakhir dengan pengasingan
Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Namun sekali lagi, karena mereka menyimpan
semangat kemerdekaan dan persatuan di atas
segalanya, proklamasi akhirnya terlaksana
tanpa melukai satu sama lain.
Hal yang sama yang harus kita lakukan saat ini
dalam melawan penjajahan bentuk kedua,
dengan menyimpan semangat persatuan dan
kemerdekaan di atas segalanya. Tidak ada lagi
p e m e r i n t a h a n y a n g l e m b e k d a l a m
berkebijakan karena tersandung kepentingan.
Tidak ada lagi bangsa yang saling curiga karena
perbedaan suku, ras dan agama. Karena
Indonesia berarti segalanya dan arena
kemerdekaan adalah amanat. Amanat harus
ditunaikan.
Mengenai amanat kemerdekaan, Bung Karno
juga pernah menyampaikan pidatonya pada
hari ulang tahun pertama, 17 Agustus 1946 di
Jogjakarta: Marilah kita menjadi rakyat yang
gemblengan! Jangan lembek! Segenap jiwaku,
segenap rohku, memohon kepada Tuhan,
supaya bangsa Indonesia menjadi satu, bangsa
yang menjadi penjaga persaudaraan-
persaudaraan dunia dan kesejahteraan dunia,
satu bangsa yang kuat, yang ototnya kawat,
dan balungnya besi, yang di dalam tubuhnya
bersarang jiwa yang terbuat dari zat yang sama
dengan zatnya halilintar dan guntur.
Dengan menunaikan amanat kemerdekaan
yang juga diharapkan para pejuang kita, sangat
mungkin bagi kita untuk meraih kemerdekaan
yang mutlak, kemerdekaan dari tekanan di
segala lini kehidupan. Agar kemerdekaan yang
diraih oleh bangsa Indonesia tak seperti
kemerdekaan yang kita simpan di keranjang
yang bolong. Masuk untuk kemudian kembali
terjatuh ke lantai.[]
Kru Buletin PRESTSI,
Iis Istianah
Edisi 99, September 2014
06 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
17 Agustus 1945, adalah hari kemerdekaan
Indonesia, tak terasa sudah 69 tahun Indonesia
m e rd e ka . U s i a ya n g t u a s e h a r u s nya
menjadikan Indonesia Negara yang berdikari,
maju, berdaulat, adil dan makmur. Dan
sekarang Indonesia masih begini-begini saja.
Kemerdekaan semu, mungkin dua kata inilah
yang pantas menjadi ide pokok dalam tulisan
sederhana ini. Bagaimana tidak, landasan
utama hasil kemerdekaan bangsa yang
dirumuskan oleh negarawan Indonesia dulu,
sekarang hanya menjadi berkas yang nilai-
nilainya sudah tidak dipandang dan menjadi
sebatas simbol untuk sebuah landasan
kehidupan bernegara. Dalam keadaan yang
secara nyata dan fakta Indonesia memang
sudah merdeka dari penjajah, namun
kemerdekaan yang sejati belum bisa dirasakan
Indonesia. Selain kondisi kemerdekaan yang
semu, tanpa disadari juga kita sudah dijajah
oleh bangsa kita sendiri. Banyak sekali masalah
yang sedang terjadi sekarang ini, mulai dari
pendidikan, ekonomi, budaya, hingga politik.
Seperti yang kita ketahui bersama pendidikan
Indonesia tergolong masih di bawah standar.
Dilihat dari standar Ujian Nasional yang hanya
lima koma tujuh puluh lima (5,75). Jauh di
bawah standar negara tetangga, semisal
Singapura yang mempunyai standar ujian
nasional sembilan koma nol (9,0). Integritas
pendidikan yang semakin hilang sebagaimana
tahun 60-an. Dulu banyak mahasiswa dari luar
Indonesia yang belajar ke Indonesia, dan
sekarang justru sebaliknya. Pendidikan moral
dan karakter juga sudah semakin menipis
terutama di sekolah yang berbasis umum.
Nilai-nilai kedisiplinan, kejujuran, dan
kesopanan enggan sekali ditemui saat
pembelajaran, sehingga hampir setiap hari di
sekolah didapati siswa yang terlambat, bolos,
mencontek, hingga guru yang menganiaya
muridnya. Mahasiswa pun begitu, mereka
lebih mengutamakan cara cepat bagaimana
lulus dari S1, daripada mematangkan kualitas
sebagai seorang mahasiswa. Dampaknya,
fungsi dan tujuan pendidikan yang sesuai
kutipan dari pembukaan undang-undang dasar
Indonesia tidak tercapai; mencerdaskan
segenap seluruh tumpah darah Indonesia.
Dari sudut ekonomi Indonesia juga masih
tertinggal dengan Negara-negara lain.
Walaupun akhir-akhir ada isu mengenai
lunasnya utang Indonesia kepada IMF. Namun
kemiskinan masih belum bisa teratasi, ketidak-
adilan sosial dalam ekonomi, pengangguran
dan pengemis juga banyak ditemui di
Indonesia. Banyaknya investor asing yang
masuk ke Indonesia seakan mematikan inovasi
dari sumber daya manusia kita sendiri. Selain
itu juga dukungan dari pemerintah terhadap
p a ra p u t ra b a n g s a ya n g m e m p u nya i
kemampuan mengembangkan inovas i
keahliannya juga kurang. Pemerintah terutama
p e j a b a t D P R l e b i h m e n g u t a m a k a n
kepentingan pribadi daripada bangsa.
Sehingga korupsi sudah menjadi keharusan
bagi para pejabat yang tidak bermoral. Semua
masalah ini cenderung lamban untuk disikapi,
bahkan sulit diperbaiki. Yang akhirnya nilai dari
sila kelima seakan tak berarti lagi. Dan
perekonomian negara sulit berkembang
disebabkan penjajahan dari orang-orang dari
bangsa kita sendiri.
Masalah lainnya seperti westernisasi di
I n d o n e s i a m a l a h s u d a h m e n j a m u r.
Westernisasi merupakan penjajah baru yang
masuk ke Indonesia, dengan menirukan
budaya-budaya barat oleh masyarakat kita,
sehingga budaya kita sendiri dianggap kuno,
ketinggalan zaman dan akhirnya dilupakan.
Dampaknya, bisa dilihat dari gaya penampilan
anak-anak, gaya rambut punk, remaja-remaja
banyak yang menkonsumsi obat-obatan
terlarang, pergaulan bebas dan masih banyak
lagi. Semua ini terjadi sejak munculnya
teknologi canggih dari barat, seperti tv,
handphone, internet yang disalahgunakan. Hal
ini terjadi sebab kurangnya pemberian dan
pengawasan bekal pendidikan budaya
Indonesia yang santun. Penjajahan baru ini
Kemerdekaan; Sebuah Refleksi
AnalisaNusantara
Edisi 99, September 2014
07PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *Edisi 99, September 2014
sangatlah membahayakan, westernisasi
berhasil mengolah manusia-manusia untuk
jauh dari identitas bangsa Indonesia yang
santun, ramah, dan suka membantu. Di era
seperti ini, menanamkan jiwa nasionalisme
dan mengenalkan budaya kita sendiri mutlak
harganya bagi setiap bangsa Indonesia.
Begitu juga dalam hal politik di Indonesia
sekarang ini, seyogjanya politik menjadi
sarana akumulasi dan komunikasi dengan
rakyat, malah sekarang menjadi kepentingan
pribadi dan partai politik sendiri, bukan untuk
negara atas kepentingan rakyat. Politik sudah
menjadi sebuah barang dagangan dan
tontonan, bukan menjadi sebuah tuntunan
seperti halnya yang kita harapkan. Jiwa
negarawan seakan sudah sirna dari setiap
orang yang berpolitik. Inilah penjajahan
bangsa melalui politik oleh sebagian sebagian
orang kita sendiri.
Dari semua permasalahan yang sekarang ini
terjadi, pantaskah kita menyebut Indonesia
sudah merdeka? Jawabannya belum, karena
sejatinya merdeka adalah terbebas dari
penjajahan fisik maupun non fisik. Belum lagi
penjajah yang berasal dari bangsa kita sendiri,
mereka sudah merubah sistem demokrasi
dari rakyat untuk rakyat, menjadi dari rakyat
untuk pejabat. Para pejabat yang korupsi
menjadi penjajah yang sangat kejam, dengan
menikam rakyat kecil dari belakang. Tentunya
semua permasalahan ini harus di tuntaskan
dengan cara seksama. Dibutuhkan kesadaran,
kerjasama dan kerja yang nyata dari setiap
individu bangsa untuk memerdekakan
Indonesia secara mutlak.
Dalam momentum kemerdekaan ini, kita
berharap agar pemimipin dan bangsa
Indonesia mampu merefleksikan kembali
makna dari kemerdekaan itu sendiri.
Mengingat kembali bagaimana runtutan
sejarah yang telah dialami bangsa Indonesia
sendiri. Bagaimana rasanya selama hampir
400 tahun bangsa kita pernah dijajah mulai
dari Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Bagaimana penindasaan, kerja rodi dan kerja
Romusha (kerja paksa dan tidak mendapat
upah) itu dirasakan oleh bangsa kita dulu.
Bagaimana jutaan nyawa bangsa kita dulu
dipertaruhkan guna untuk mendapatkan
ke b e b a s a n b a g i a n a k c u c u m e re ka .
Bagaimana para pahlawan kita melakukan
gerilya dan perang harta dan nyawa untuk
kemerdekaan. Sehingga satu pesan yang
harus kita ingat selalu dari Sang Ploklamator,
Soekarno; Jas Merah (Jangan sekali-kali
melupakan sejarah!).
Mahfud Washim
Kru Buletin PRESTSI
google.com
Langkah Awal Menuju Kemerdekaan di Timur Tengah
Perkembangan situasi politik yang terjadi di
beberapa negara Arab, khususnya Timur
Tengah menandakan adanya gejolak reformasi
yang bangkit dari tidur panjangnya. Arab
Spring, atau yang sering dikenal dengan
kebangkitan dunia arab, diramaikan dengan
unjuk rasa dan aksi protes yang terjadi di
beberapa negara arab tersebut. Terhitung
sejak Desember 2010 banyak terjadi revolusi di
beberapa negara di Timur Tengah, misalnya
Tunisia, Mesir, perang saudara di Libya dan
Suriah, dan beberapa negara lainnya.
Pemimpin bergaya diktator di beberapa negara
Timur Tengah ini sudah tidak lagi bisa dengan
bebas menikmati kekuasaannya. Masyarakat di
bawah perintah pemimpin-pemimpin tersebut
sudah menyadari pentingnya arti kebebasan.
Walaupun tidak dipungkiri beberapa dari
pemimpin tersebut juga mengukir prestasi
yang cukup cemerlang dalam mengelola
sebuah negara. Hal ini menjadi resiko yang mau
tidak mau ditanggung oleh negara-negara yang
baru saja menurunkan pemimpin-pemimpin
diktator tersebut. Untuk bisa kembali maju dan
berkembang, banyak dari negara tersebut
memulainya kembali dari nol, baik dari segi
kehidupan sosial, adaptasi dengan gaya
pemerintahan yang berbeda, dan lebih
menonjol lagi dari segi ekonomi. Bukan tidak
mungkin, akibat banyaknya unjuk rasa yang
m e m a k a n w a k t u t i d a k s e d i k i t i t u
mengakibatkan kerugian ekonomi negara yang
besar. Sebut saja salah satu pusat perbelanjaan
di Mesir yaitu Tiba Mall yang tidak bisa
beroperasi selama unjuk rasa Juni tahun 2013
yang lalu berlangsung.
Kerugian-kerugian secara ekonomi yang harus
dihadapi negara-negara tersebut bukan berarti
p e r j u a n g a n r e f o r m a s i m e r e k a t a k
m e m b u a h ka n h a s i l . K i ta s a m a - s a m a
mengetahui tentang keberhasilan yang
diperoleh atas revolusi di Tunisia. Menurut
salah seorang peneliti Oxford University
Monica Marks mengatakan bahwa sebagai
tempat lahirnya gerakan kebangkitan arab,
atau Arab Spring, Tunisia harus menjadi simbol
yang kuat. Tunisia memiliki peluang terbesar
untuk berhasil dalam revolusinya j ika
dibandingkan dengan Negara Mesir, Suriah dan
Libya yang kondisinya bisa dikatakan lebih
buruk. Walaupun kondisi perekonomian
Tunisia sempat terpuruk pasca revolusi, namun
mereka berhasil memperbaikinya dengan
meratifikasi konstitusi baru, yaitu sebuah
konstitusi yang berakar pada prinsip-prinsip
demokras i -persamaan, kemerdekaan,
keamanan, kesempatan ekonomi dan aturan
perundangan.
Berbeda lagi dengan apa yang terjadi di Mesir,
Libya dan Suriah yang hingga saat ini
permasalahan belum juga menemukan titik
ujungnya. Unjuk rasa di Mesir yang sudah lebih
dari satu tahun ini belum juga menemukan titik
terang. Walaupun presiden terpilih As-Sisi
sudah secara resmi menggantikan jabatan
presiden Mursi yang digulingkan oleh massa,
situasi sosial dan politik Mesir tidak juga
menjadi stabil. Pada tahun 2011, Mesir
mengikut i per juangan Tun is ia da lam
penggulingan presiden Ben Ali. Pada tahun
yang sama, masyarakat Mesir berhasil
menggulingkan Husni Mubarak yang telah
berkuasa selama kurang lebih 30 tahun.
Selanjutnya pada tahun 2013 Muhammad
Murs i yang be lum genap satu tahun
menggantikan posisi Husni Mubarak menjadi
presiden atas pilihan rakyat pun digulingkan
kembali.
K e j a d i a n i n i b e r d a m p a k p u l a p a d a
perekonomian Mesir yang tak kunjung
08 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Timur Tengah
Edisi 99, September 2014
m e m b a i k . K e s e n j a n g a n s o s i a l y a n g
mengak ibatkan semakin merebaknya
kejahatan yang terjadi tak bisa dihindarkan dari
kondisi Mesir. Kondisi ini disebabkan karena
harga kebutuhan pangan dan bahan pokok
yang semakin melonjak naik, padahal mereka
juga harus bertahan untuk menyambung
kehidupan. Sebenarnya tak banyak masyarakat
Mesir yang paham tentang perpolitikan negara
Mesir sendiri, terutama bagi masyarakat
pelosok yang kehidupannya jarang terjamah
oleh pemerintah, mereka merasa bahwa
siapapun pemimpinnya asalkan hidup mereka
bisa bahagia dan tercukupi itu tidak akan
menjadi masalah bagi mereka.
Selain itu Negara Mesir yang terkenal dengan
peradaban sejarah dan demokrasi yang
menjadi sorotan dunia Islam saat ini, belum
sepenuhnya memberikan hak pendidikan
kepada masyarakatnya. Terbukti dengan masih
banyaknya masyarakat Mesir yang buta huruf
dan tidak memahami bahasa arab fushah yang
menjadi standar bahasa arab yang digunakan
oleh seluruh penjuru dunia. Mereka hanya
memahami bahasa ibu mereka. Banyak teori
yang mereka ciptakan untuk kemajuan
negaranya, namun nyatanya mereka belum
bisa merealisasikannya dengan bukti yang
nyata. Dalam hal moralitas, tingkat sopan
santun dan etika masyarakat Mesir masih bisa
dibilang rendah. Tidak patuhnya sebagian
masyarakat Mesir terhadap peraturan yang
t e l a h d i b u a t o l e h p e m e r i n t a h j u g a
mengakibatkan kondisi yang tidak terkontrol.
Memang, setelah terpilihnya As-Sisi menjadi
Presiden Mesir, beberapa penataan kota mulai
terlihat. Unjuk rasa pun mulai berkurang
dibanding sebelumnya. Entah ini pertanda
menuju ke situasi yang stabil atau hanya rehat
sejenak dari huru-hara.
Berbeda pula situasi di Libya. Negara yang juga
merevolusi dirinya tidak lama setelah Mesir
berevolusi itu, tampaknya hingga saat ini masih
mengalami pergolakan yang belum terhenti,
bahkan semakin parah. Libia telah mengalami
kondisi t idak aman yang kronis sejak
tergulingnya Khadaffi pada 2011 lalu.
Pemerintah Libia yang baru tidak mampu
menghadapi para milisi yang membantu
menggulingkan Khadafi. Salah seorang warga
Libia yang tinggal di daerah Tripoli Osama
Mansour mengatakan, begitu banyak orang
yang meninggal untuk menjadikan negeri ini
lebih baik, namun sekarang kami mulai saling
membunuh dalam perang sipil. Penggulingan
presiden ini pun malah berujung pada perang
saudara.
Dari fenomena di beberapa negara tersebut,
dapat kita simpulkan bahwa tidak semua
revolusi serta merta menjadikan negara
tersebut stabil dan bebas dari kediktatoran
seorang pemimpin. Memulai membangun
negara tersebut dari nol memang tidak bisa
dihindari. Selanjutnya, penggulingan presiden-
presiden diktator tersebut seyogyanya bukan
menjadi tujuan akhir perjuangan masyarakat.
Akan tetapi justru menjadi langkah awal untuk
bersama menuju negara baru yang lebih
berpihak kepada masyarakat. Layaknya prinsip
negara demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
Fatimah Imam Syuhodo,
Kru Buletin PRESTSI
09PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *Edisi 99, September 2014
google.com
10 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Petikan lagu di atas untuk mengawali
pembahasan mengenai kemerdekaan dalam
pemahaman modernitas dan kelayakan
makna merdeka untuk disuarakan dalam
negara berasaskan demokrasi. Dan sebagai
pembuka wacana untuk masyarakat
I n d o n e s i a b e r s a m a - s a m a k e m b a l i
menghayati makna lagu tersebut, terkhusus
para pejabat negara, agar tidak menyia-
yiakan kemerdekaan yang telah diraih dari
tangan penjajah.
Merdeka yang diperjuangkan oleh para
'pejuang 45' dulu, perlahan mulai dilupakan
perjuangannya di era kekinian. Semangatnya
untuk menyatukan seluruh pulau dan
menyejahterakan rakyat, digantikan dengan
arus bersaing bidang teknologi dan perebutan
kursi kekuasaan. Undang-undang '45 sebagai
pegangan untuk bernegara, diganti dengan
'aturan era globalisasi', asal memberi untung
semua bisa diterima, meskipun merugikan
kesejahteraan rakyat.
Pijakan yang mulai berubah dan cara berpikir
juga mulai berubah, ini memberikan isyarat,
bahwa makna awal kemerdekaan yang
digagas oleh para pejuang bangsa, mulai
luntur oleh perkembangan zaman. Tujuan
sebagai negara Bineka Tunggal Ika, berdiri
sama dalam menikmati kekayaan pribumi,
tanpa ada beda satu pun di antara masyarakat
Indonesia di mana pun berada, terjadi
pembagian kelas antara orang kaya dengan
orang miskin. Apalagi masuknya jaman arus
ekonomi global, membuat tekanan baru
untuk pribumi dalam mengembangkan bisnis
mereka, karena telah kalah pasar dan pamor,
serta daya jual. Hal ini membuat merdeka di
Indonesia mengalami bias pemaknaan.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa daerah
I n d o n e s i a T i m u r b e l u m m e n ga l a m i
kemakmuran sebagaimana propinsi di Jawa.
Membentuk jarak kelas sosial semakin
menganga. Yang berasal dari kelas kaya,
semakin kaya dan yang berasal dari kelas
miskin semakin miskin.
Fakta ini, membentuk para pemikir untuk
merumuskan kembali makna Indonesia dan
kesejahteraan sosial di seluruh propinsi
Indonesia. Lihat beberapa situs seperti
e t n o g r a f i . c o m , I n d o n e s i a t i m u r. c o ,
pergerakan kebangsaan.com, memberikan
p e n j e l a s a n m e n g e n a i p e r b e d a a n
kesejahteraan rakyat Indonesia, sangat
mencolok sekali.
Ulasan ini, sebagai langkah awal menuju
p e n g h a y a t a n u l a n g l a g u h a r i r a y a
kemerdekaan ciptaan W.S Supratman. Setiap
tanggal 17 Agustus, semua rakyat Indonesia
menyanyikan lagu itu, tapi setelah perayaan
selesai, lagu itu, seperti hilang tanpa jejak.
Maka pantaskah mengatakan negara ini
sudah merdeka sejak dalam kandungan? Jika
kesadaran sebagai warga merdeka tidak
dibangunkan bersama pembangunan
Merdeka atau Mati(!)
Opini
Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
-Indonesia Raya, W.R Supratman
Edisi 99, September 2014
11PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
undang-undang dan sistem Pancasila sebagai
laku hidup, maka kemerdekaan akan menjadi
sebatas 'istilah' yang menempel pada negara.
Pembangunan Jiwa, sebagai langkah Awal
Menuju kemerdekaan Sejati
Sering kali, terdengar ungkapan dari tokoh
sastra terkenal, Prameodya Ananta Tour,
bahwa manusia harus bijak sejak dalam
pikirannya. Ungkapan ini, menjadi sangat
bias, jika tidak ada jembatan penghubung
untuk mencari dialektika pemahaman
mengenainya. Karena kata bijak sejak dalam
pikirannya, mengalami polisemi makna,
apakah makna bi jak di s in i , sebagai
pemahaman orisinal atau alasan yang
argumentatif sebagaimana alasan ilmu alam,
atau bijak sejak dalam pikiran di sini, berarti
adil dalam menentukan keputusan, berarti
sebagai laku hidup, atau bijak dalam pikiran di
sini diartikan objektivitas yang didukung oleh
sikap tegas terhadap kebijakan yang
bertentangan dengan nalar kemanusiaan
atau semacamnya(?)
Pencarian dialektika pemahaman ini untuk
menentukan makna bangunlah j iwa,
bangunlah raganya dalam syair di atas. Jika
pada syair awal, berisi tentang pendakuan
manusia terhadap bumi pert iwi dan
tanahnya, syair selanjutnya adalah cara
membangun negara haruslah berawal dari
membangun mental dan jiwa. Karena mental
dan jiwa ini bentuk kesadaran primordial
manusia ketika bersentuhan dengan bumi-
nya. Jika sejak awal, dirinya bisa memahami
secara utuh bahwa kekayaan alam adalah
bagian dari haknya dan tanah kelahiran
adalah rumahnya, tentunya, penjagaan untuk
kekayaan dan rumahnya mengendap dalam
pikiran mereka. Sehingga pikiran ini menjadi
mental berani dalam menghadapi segala
ancaman untuknya. Pengambilan hak atas
tanah dan buminya, menjadi penghinaan
kemanusiaan yang harus ditentang. Maksud
ini, sesuai dengan pembukaan UUD 1945,
bahwa sesungguhnya, penjajahan di atas
bumi ini, harus dihapuskan.
Setelah adanya pendakuan secara subjektif
terhadap kepemilikan makna tanah air dan
bumi pertiwi. Pendakuan ini dibebaskan
dengan objektifikasi sejarah perjuangan
proklamasi berdirinya negara Indonesia,
bahwa lagu tersebut lahir sebagai bakti dan
ingatan sos ia l terhadap per juangan
pembebasan dari penjajah. Objektifikasi
makna ini bisa ditelisik lebih mendalam dalam
website http://serbasejarah.wordpress.com.
Di sana terdapat berbagai fakta tentang
sejarah Indonesia dari pra kermedekaan
s a m p a i k e m e r d e k a a n y a n g b i s a
dipertanggungjawabkan kevaliditasnya.
Dari sini, jelas, objektifikasi yang dihadirkan
melalui fenomena dan sejarah perjuangan
bangsa di atas, menyatukan pemahaman
awal, bahwa artikulasi bangunlah jiwanya dan
bangunlah badannya bukan hanya tugas
pendidikan formal atau pun non-formal, tapi
tugas keseluruhan rakyat Indonesia dalam
menjaga keutuhan NKRI. Dengan memahami
tugas sebagai penjaga keutuhan bangsa,
rakyat menjadi pelaksana mandat untuk
menjaga keberlangsungan perjuangan
ke m e r d e k a a n I n d o n e s i a ; t e n t u n y a
pemerintah sebagai legislator penjaga
kemerdekaan secara hukum kenegarannya.
Kemudian penyatuan pemahaman di atas
membentuk penjalasan makna kemerdekaan
dengan adanya tindakan oleh rakyat menjaga
kemerdekaan dari aksi kolonialisme apapun.
Sehingga lagu Indonesia raya, menjadi
jembatan ingatan sosial-kemerdekaan yang
hilang oleh masa menuju kemerdekaan
sebenar-benarnya, yakni jiwa dan badan
terbebas dari kolonialisme, penjajahan
materi maupun ruhani.
Terbebasnya nalar kolonialisme ini dari
endapan kesadaran masyarakat, menguatkan
sisi psikologi dan kepercayaan diri dalam
lubuk jiwa rakyat. Hingga kepentingan apapun
yang sedang menunggu di depan, bisa
diletakkan secara bijaksana untuk menjaga
kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan
kehidupan berbangsa....
(Bersambung ke halaman 25)
- Nashifudin Luthfi
Pegiat Kajian Walisongo Study Club
Edisi 99, September 2014
Prolog
Pada 17 Agustus 2014, kemerdekaan
Indonesia genap berumur 69 tahun sejak
ditetapkan dan diproklamasikan presiden
Soekarno dan wakilnya Muh. Hatta pada 17
agustus 1945. Tanggal ini sebagai penanda hari
merdeka Indonesia selepas bangsa dan negara
Indonesia terjajah selama 350 tahun oleh
Belanda, dan 3,5 tahun oleh Jepang. Lebih dari
3 abad lamanya, bangsa Indonesia terjajah,
hidup dalam kesengsaraan dan diperbudak
oleh penjajah, menjadikan 17 Agustus
menjadi hari sakral dan bersejarah. Tak ayal,
ada beberapa peringatan semisal, upacara
bendera dan beberapa perlomban yang turut
serta meramaikan setiap tahunnya sebagai
pengingat warganya atas perjuangan para
pahlawan negara.
Dalam masa pasca-kemerdekaan in i ,
beberapa musyawarah perumusan dasar
negara, ideologi dan ketetapan konstitusi
dilakukan oleh para pemimpin negara kala itu.
Tak terhindarkan, perdebatan antar mereka
dan penghapusan beberapa perumusan yang
tidak disetujui oleh Presiden menjadi akut.
Sehingga terjadi perubahan kabinet dan
sistem pemerintahan sampai mundurnya
Muhammad Hatta dari jabatan wakil presiden
pada 31 Desember 1956 atas kekecewaannya
terhadap presiden Soekarno yang tak pernah
menyelesaikan revolusi sosialnya, turut
mewarnai kisaran lima belas tahun awal
Indonesia melangkah. Sampai tahun 2014,
Indonesia tercatat telah mengalami enam kali
pergantian presiden, mulai dari Ir. Soekarno,
Soeharto, B.J. Habibie, KH. Abdurahman
Wahid(Gus Dur), Megawati Soekarno Putri
dan sampai penghujuang periode 2014 yaitu
presiden DR. Susilo Bambang Yudoyono.
Dan pada tahun 2014 di umur kemerdekaan
menginjak 69 tahun, masih sering kita jumpai
kurang ada pemerataan kesejahteraan
ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur. Lebih-lebih tatkala kita
m e n e n g o k I n d o n e s i a b a g i a n T i m u r,
menyedihkan. Pemerataan kesejahteraan
menjadi point penting dan perlu terselesaikan
tanpa ada coming soon, apalagi umur
Indonesia tak lagi muda. Sehingga perlu
mendapatkan perhatian utama. Di antara
problem kesejahteraan tersebut, pertama,
minimnya pembangunan infra-struktur
berupa jaringan listrik di Indonesia Timur.
Kedua, minimnya pemerataan pengobatan
kusta sehingga Indonesia berada dalam urutan
ketiga dunia penderita kusta terbanyak
setelah India dan Brazil dan pasien kusta
ditemukan cukup tinggi di Jayapura. Dokter
Arry mengatakan: Kebanyakan masyarakat di
daerah pedalaman Papua terkena kusta,
namun belum semua daerah di Papua
didatangi untuk pengobatan kusta. Ketiga,
masih kerap terjadi bentrok antar desa atau
suku. Seperti yang terjadi di NTT, bentrok
antar dua desa yang diduga disebabkan
pertikaian batas wilayah desa. Keempat,
hambatan keamanan untuk sebuah ekspansi
Indonesia Timur. Hambatan keamanan ini
disebabkan karena banyak masyarakat
setempat masih bebas membawa senjata,
seperti di Papua. Kelima, angka kemiskinan
yang tinggi. Seperti yang terjadi di Sulawesi
Tengah, menurut data yang dirilis oleh BPS
pada Juli 2014, jumlah penduduk miskin di
Sulteng sebanyak 392.650 jiwa atau 13,93%
dari jumlah keseluruhan penduduk Sulteng.
Selanjutnya, hemat penulis, hal mendasar
yang perlu kita renungkan sebagai warga
negara Indonesia saat ini adalah mengenai
cita-cita atas kemerdekaan itu sendiri.
12 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Kajian
Indonesia Timur;
Refleksi Kemerdekaan Ke-69
Edisi 99, September 2014
1
2
3
4
5
6
13PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Mengingat kita telah merdeka selama 69
tahun dan mengalami enam kali pergantian
pemimpin. Sungguh bukan hitungan umur
muda untuk sebuah bangsa dan negara.
Memaknai esensi kemerdekaan Indonesia
dengan tanpa melupakan bahwa negara kita
Indonesia terbentang dari Sabang sampai
Merauke, melintasi lebih dari 17. 000 pulau,
begitu bermacam etnik, suku, budaya dan
bahasa lokal. Semerta mencoba menilik
kembali kandungan nilai pancasila sebagai
dasar negara. Apakah keseluruhan bagian
Indonesia dapat dikatakan merdeka? Atau
a d a k a h y a n g b e l u m t e r j a m a h o l e h
kemerdekaan? Terutama, dalam kajian ini,
penulis bermaksud menelusuri dan menelaah
Indonesia Timur dalam timbangan makna
kemerdekaan sebagai sebuah refleksi kritis
rakyat Indonesia.
Makna Kemerdekaan
Kemerdekaan, kata ber-imbuhan ke- dan -an
dengan kata dasar merdeka. Merdeka berarti
bebas dari belenggu penjajah atau kekuasaan
negara lain atas negaranya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, merdeka berarti
bebas (dari penghambaan dan penjajahan);
berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari
tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung
kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Dan
arti kemerdekaan dengan imbuhan ke- dan -
an, mengandung arti keadaan berdiri sendiri,
bebas dan tidak terjajah lagi.
Dar i makna kemerdekaan in i , dapat
dimaksudkan bahwa secara yuridis Indonesia
telah bebas dari penjajah, menjadi negara
yang utuh dan berdaulat, dapat leluasa dalam
menjalankan program pemerintahan baik
yang bersifat pengembangan sumber daya
alam maupun sumber daya manusia. Dan
konteks kemerdekaan dalam 69 tahun ini,
seyogyanya untuk Indonesia merdeka secara
keseluruhan, dari sabang sampai merauke
dengan berbagai elemen kemerdekaannya
yang meliputi kesejahteraan sosial politik,
sosial ekonomi, sosial budaya dan pendidikan.
Namun melihat realitas yang ada, masih ada
saja wilayah dari Indonesia yang masih belum
dirasa merdeka sebagaimana yang dicita-cita-
kan. Berpijak dari pemaknaan di atas-lah,
kajian Indonesia Timur ini bermula, sebagai
sebuah sampel cerminan atas kemerdekaan
Indonesia.
Indonesia Timur Sebagai Sebuah Refleksi
Indonesia bagian Timur terdiri dari pulau-
pulau besar seperti maluku, nusa tenggara,
sulawesi, Papua dan ratusan pulau kecil
lainnya yang mengitari. Indonesia bagian
Timur yang mempunyai beragam suku, ras
tanah yang subur, hutan yang luas dan
kekayaan alam yang berlimpah, ternyata
masih mengalami beberapa kesenjangan. Baik
dari segi sosial, politik, ekonomi dan
pendidikan. Bisa dikatakan kesenjangan ini
menjadi berarti sejak NIT (Negara Indonesia
Timur) yang tergabung dalam RIS (Republik
Indonesia Serikat) bergabung dengan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada 17
Agustus 1950. Tepatnya beberapa akhir
dekade ini . Kesenjangan-kesenjangan
tersebut mulai nampak dan bermunculan di
kha layak umum. Perkembangan dan
pertumbuhan daerah yang lambat jadi sebab
u t a m a . M e r a s a d i a n a k t i r i k a n o l e h
pemerintah, mereka, warga Indonesia Timur
berupaya memisahkan diri dari Indonesia.
D e n ga n m e m b e nt u k ke l o m p o k O P M
(Organisasi Papua Merdeka) dan RMS
(Republik Maluku Serikat).
Pada konteks ini, upaya separatisme adalah
bukti ketidak-puasan atas bersatunya dengan
N K R I . Gerakan tersebut lahir karena
p e m e r i nta h c e n d e r u n g m e m b e r i ka n
perhatian khusus pada pulau Jawa saja.
Mengabaikan pulau-pulau besar lainnya. Hal
ini terjadi dengan dalih: Jakarta sebagai ibu
kota negara terletak di pulau Jawa yang mana
menjadi pusat pemerintahan sehingga
beberapa pembangunan dipusatkan di pulau
Jawa. Padahal kekayaan sumber daya alam
justru banyak terdapat di luar pulau Jawa yang
Edisi 99, September 2014
7
14 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
perlu menjadi perhatian khusus guna
peningkatan dan pengolahannya sebagai
sumber perekonomian masyarakat sekaligus
income negara.
Bentuk kesenjangan yang berwujud menjadi
gerakan separatis atas Indonesia ini berawal
dari lemahnya sumber daya manusia, kurang
memadainya transportasi umum, lemahnya
pembangunan infrastruktur dan minimnya
lapangan pekerjaan. Padahal, sebenarnya,
banyak tersedia potensi lapangan pekerjaan di
negara Indonesia. Hanya saja, daerah strategis
telah menjadi lahan basah untuk kaum
kapitalis sehingga hasilnya tidak begitu
dirasakan merata oleh masyarakat sekitar.
Seperti masalah transportasi dari satu
kabupaten menuju kabupaten lainnya yang
ada di Papua harus ditempuh dengan
transportasi udara karena belum ada jalan
darat yang menghubungkan satu daerah
dengan daerah lain menjadi lahan basa kaum
kapitalis.
Dari sini terlihat jelas, ketimpangan yang tinggi
terjadi antara pulau Jawa dan Papua. Baik dari
segi ekonomi, sosial, politik, pendidikan,
infrasruktur dan kesehatan. Dari kesenjangan
yang ada mewujud jadi kebencian terhadap
pulau Jawa dan se-manusia-nya. Benci
terhadap pemerintah pusat sebagai pelaksana
kepemerintahan yang berpusat di Jawa,
mayoritasnya mendapat kursi jabatan di
pemerintahan pusat. Sehingga sering
mendahulukan Jawa dalam pembangunan di
segala bidang dan mengakhirkan Indonesia
bagian Timur. Apalagi presiden Indonesia,
seringkali berasal dari Jawa, menambah
k e c e m b u r u a n p i h a k T i m u r d a l a m
mendapatkan kelayakan sosial. Sehingga
mereka berani melakukan protes dengan
gerakan separtisme untuk merdeka. Hal ini
perlu sama-sama kita refleksikan kembali
dalam membangun makna kemerdekaan
berbangsa dan bernegara, agar kemerdekaan
ini tidak sia-sia atau kosong maknanya.
Mental, Titik Pijak Pembenahan
Dari sisi eksistensi manusia, masyarakat
Indonesia Timur menghadapi ketimpangan
dan kesenjangan selama puluhan tahun.
Mereka hidup dalam lingkungan imperialis
kaum kapitalis. Tak menjadi tuan di tanah
sendiri. Hal ini menimbulkan mental inlander
yang mengendap dalam diri mereka yang
tentunya berdampak buruk terhadap
perkembangan bangsa. Inlander sendiri
berarti pribumi. Inlander adalah sebutan
penjajah Belanda untuk warga Indonesia. Dan
istilah mental inlander digunakan untuk
menggambarkan suatu bangsa yang masih
terkena imbas dari penjajahan. Imbas ini
berwujud menjadi sebuah laku keseharian
bahkan watak personal. Yaitu sebagai kaum
terjajah yang pada akhirnya masih mengendap
dalam diri mereka rasa kurang percaya diri
terhadap kemampuan berkembang dan untuk
maju menjadi lebih baik. Dan cenderung
m e n j a d i t i d a k b e rs e m a n ga t t a t ka l a
menyelesaikan persoalan karena mereka
cenderung lebih menyandarkan pada liyan
dalam penyelesaiannya. Maka, menjadi tidak
mengherankan tatkala beberapa upaya
p e m e r i n t a h d a l a m m e n g a t a s i
keterbelakangan ini cenderung lambat dan
banyak mengalami hambatan karena keputus-
asaan dan sikap apatis yang kian menyelimuti
warga timur.
Selama beberapa tahun belakangan ini,
Indonesia Timur memang tengah menjadi
salah satu project besar Pemerintah.
Pembangunan dan pembenahan mulai
digalakkan. Dari kemelut keterbelakangan
yang ada, perlahan dikikis, dibabat oleh
pemer intah. D i antaranya: dar i seg i
lingkungan, Pemkab Maluku Utara berencana
membuka bank sampah untuk mengatasi
sampah-sampah yang ada. Sampah yang
masuk dalam bank sampah ini akan didaur
ulang menjadi barang dengan harga ekonomis.
Pembangunan infrastuktur broadband di
kawasan Indonesia Timur ditargetkan selesai
pada bulan Oktober. Sehingga saudara-
saudara di sana tidak lagi tertinggal karena
konekt iv i tas sudah terhubung. Demi
Edisi 99, September 2014
8
9
15PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
meningkatkan minat baca di Sulawesi
Tenggara, Perpusda Sultra akan gelar
roadshow pada 14 Oktober 2014 mendatang.
Dari beberapa ulasan upaya pembangunan
dan pembenahan yang dilakukan oleh
pemerintah ini, dapat dikatakan bahwa
I n d o n e s i a T i m u r s e b e n a r nya b e l u m
sepenuhnya merdeka yang setara dengan
umur kemerdekaan negara sekarang ini.
Indonesia Timur bahkan bisa dikatakan telah
merdeka, namun masih pada tataran awal
pembangunan dan pengembangan di
berbagai bidang. Dan mental inlander yang
masih saja menyelimuti hangat mereka
merupakan konstruksi sosial masyarakat yang
buruk. Maka pada konstruksi sosial yang
seperti ini, hendaknya pemerintah mengambil
langkah dengan melakukan beberapa
p e r u b a h a n s o s i a l . S e l o S o e m a rd j a n
menyatakan bahwa perubahan sosial adalah
p e r u b a h a n p a d a l e m b a g a - l e m b a g a
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat
yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk nilai-nilai, sikap dan perilaku di
a n t a r a k e l o m p o k - k e l o m p o k d a l a m
masyarakat. Sedangkan Kingsley Davis
menyatakan bahwa perubahan sosial adalah
perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi masyarakat. Maka pemerintah
sebagai pemegang kendali lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan pengelola struktur dan
fungsi masyarakat tidak lain adalah subyek
penggerak dalam sebuah perubahan sosial.
Upaya pembenahan dan pengembangan
dalam internal kelembagaan kudu kian
digalakkan. Karena, di samping keberadaan
sebuah lembaga yang berarti mampu menjadi
icon eksisnya suatu negara dan bangsa, pelaku
kepemerintahan, yaitu pejabat juga menjadi
pusat perhatian masyarakat. Jika pejabat
p e m e r i n t a h a n m e l a k u k a n t i n d a k a n
menyimpang, seperti KKN atau beberapa hal
yang menyimpang norma asusila, maka sikap
masyarakat tidak respek bahkan cenderung
apatis dengan berbagai program yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya
keberhasilan progam pemerintah hanya
menjadi angan saja.
Warga Indonesia Timur terdiri dari beragam
suku, etnik dan budaya. Beberapa di antaranya
masih terbilang primitif. Yakni mempunyai
kecenderungan eksklusif dan menutup diri.
Cenderung menolak hal-hal baru yang di luar
kebiasaan dari konteks komunitasanya.
Mengingat modernitas dan kemajuan iptek
sudah tersebar di hampir seluruh penjuru
Indonesia sekaligus dampak positif dari arus
globalisasi yang tak terhindarkan. Hal ini juga
yang sering kali menjadi hambatan langkah
inovasi pemerintah guna memajukan suatu
daerah. Kelompok primitif akan tetap menjadi
p r i m i t i f j i ka h a nya t i n g ga l d i ta n a h
lingkungannya. Sehingga diperlukan sebuah
migrasi . Migrasi berart i perpindahan
penduduk dari satu daerah ke daerah lain
untuk suatu kehidupan yang lebih baik dan
layak. Migrasi juga dianalogikan seperti hijrah
yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad Saw.
dan para sahabatnya. Suatu perpindahan yang
menciptakan suatu peradaban baru dan
mengharapkan suatu kelompoknya menjadi
lebih beradab. Terbukti banyak peradaban
baru dan suatu kemajuan tercipta karena
faktor migrasi. Migrasi yang tidak hanya
diartikan suatu perpindahan regional, namun
juga perpindahan pemikiran atau mind-set.
Jadi penting dan diperlukan untuk konteks
warga Indonesia Timur. Jika ingin maju dan
menghapuskan keterpurukan yang selama ini
ada, mereka perlu mentas dari ke-primitif-
annya dan mental inlander-nya.
Perjuangan pementasan dan pemerataan
kesejahteraan sosial ini sesuai dengan dasar
pancasila sila ke-3, persatuan Indonesia. Butir
dari dasar tersebut di antaranya: mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta
kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan; ....
(Bersambung ke halaman 25)
Edisi 99, September 2014
10
11
12
16 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
K S W, sebagai komunitas masyarakat
Indonesia, yang tidak terbatas hanya untuk
Jawa saja, berasal dari kumpulan orang-orang
yang mempunyai semangat belajar ilmu
agama. Pada awalnya berasal dari nama
Haditsul ahad, kemudian berubah menjadi
Kelompok Study Walisongo. Nama ini diambil
sebagai rasa peng-harapan terhadap para
pejuang Islam di Indonesia agar mampu
meniru perjuangan mereka di Indonesia.
Kelompok pelajar ini, pada awalnya intens
d a l a m d u n i a k a j i a n , k e m u d i a n
bermetamorfosa ke dalam bentuk kelompok
kekeluargaan yang tidak hanya bergerak
dalam bidang keilmuan saja, tapi juga
bergerak dalam bidang olahraga, kesenian,
budaya, sosial dan jurnalistik. Pengembangan
atau metamorfosa bentuk serta grafik
dinamikanya ke dalam wujud universal ini,
membangun 'pemaknaan' tersendir i
t e r h a d a p K S W s e b a g a i k e l o m p o k
kekeluargaan yang menampung mahasiswa
dari jawa tengah. 'Pemaknaan' terbaru ini,
membuat KSW menjadi beda dengan KSW
sebelumnya; ketika masih bernama Hadits Al-
Ahad.
Meski muncul pemaknaan baru mengenai
nama KSW ini, tidak membatasi ruang gerak
KSW dalam menjalin relasi dengan seluruh
warga Indonesia yang di Mesir. Alasannya,
adalah karena KSW ingin meletakan rasa
persamaan untuk seluruh warga Indonesia di
sini, tanpa harus membedakan satu dengan
lainnya. Alasan ini juga yang menjadikan
nama KSW tidak diganti dengan Kekeluargaan
dari Jawa Tengah, tapi tetap Kelompok Study
Walisongo, dengan tetap mengusung spirit
sama dengan hadisul ahad. Hal ini dibuktikan
dengan giatnya progam Kajian dan latihan
tulis menulis untuk membangun sumber daya
manusia yang progesif sesuai dengan
kebutuhan zaman.
Dan progam tersebut di era kepimimpinan
yang baru, tetap dijadikan sebagai pijakan
utama dalam menjaga tradisi hadits al- ahad
sebagaimana awalnya KSW berdiri. Dengan
catatan, tidak menganak-tirikan dengan
progam-progam lainnya. Karena progam
lainnya juga sama pentingnya dengan progam
pendidikan. Hanya saja, progam pendidikan,
atau pengembangan sumber daya manusia
dalam bidang pengetahuan yang telah
dibangun masa lalu, tetap dilestarikan
sebagai alat pencapaian makna mahasiswa
dan intelektual. Sehingga mampu meniru cara
berpikirnya para pendiri bangsa seperti
Soekarno dan Muhammad Hatta serta para
tokoh yang merumuskan but i r-but i r
pancasila, kesemuanya mewakil i dari
kalangan Intelektual.
Berangkat dari peniruan 'karakter' para
pemimpin dan tokoh bangsa ini, sebuah
bentuk kontruks pribadi bertanggungjawab
dan nasionalis, menjadi tawaran final para
pemuda bangsa, agar tidak salah dalam
memahami arti berbangsa dan bernegara,
serta tidak salah juga dalam memahami
hubungan negara dengan agama. Sehingga
l a b e l i s a s i b a h w a p a d a n g a n a g a m a
berseberangan dengan negara tidaklah benar.
Maka dari itu, tawaran mimesis para tokoh
bangsa adalah hal mutlak yang harus
dilakukan oleh generasi bangsa Indonesia di
mana pun berada, tanpa melupakan
sejarahnya.
Pa n d a n ga n i nt re ga l p e raya a n h a r i
kemerdekaan dan menjaga semangat
p e j u a n g 4 5 d a l a m b e r b a n g s a d a n
bernegarauntuk para generasi bangsa
patut diperjuangkan dan dilestarikan. Dengan
cara, mengartikulasikan ulang padangan
semangat proklamasi kemederkaan 69. Serta
menjelaskan K S W sebagai jembatan
komunitas rakyat Indonesia di Mesir, bahwa
sejauh apapun badan kita berdiri, akal kita
tetap terjaga untuk arti Indonesia. Di sinilah,
KSW dan Perayaan Kemerdekaan
Edisi 99, September 2014
Lensa KSW
17PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
usaha untuk menghidupkan kembali potret
wajah nasionalisme dengan sesederhana
mungkin, tanpa mengurangi rasa hormat
pada pendiri bangsa. Dengan arti, bahwa KSW
tidak pernah melupakan makna ke-Indonesia-
an dan tidak pernah juga melupakan jiwa
pribumi meski telah lama hidup di negara
asing atau telah disibukan dengan ragam jenis
kepentingan dan keilmuan yang menarik
perhatian setiap pelajar agama di Mesir.
Perayaaan; Sebagai Cara menjaga Ingatan
Sosial dan Artikulasinya
Telah dijelaskan di atas, bahwa KSW
entitasnya sebagai mediator untuk para
generasi bangsa di Mesir untuk bisa saling
bahu membahu dalam keadaan apapun atau
kata lain sebagai cara berkomunikasi antar
generasi bangsa dalam mencari ilmu di negara
o ra n g l a i n . S e h i n g g a p o t r e t w a j a h
nasionalisme tidak pudar dalam wajah para
generasi dan tidak melupakan tradsisi bangsa
dengan menggatikan tradisi keagamaan yang
berasal dari negara lain.
D e n g a n k a t a l a i n s e b a g a i c a r a
komunikasiini mempunyai 'makna',
hubungan komunikasi yang dibangun sebagai
sarana untuk menjaga ingatan sosial tentang
pribumi Indonesia. Tentang asal muasal
negara Indonesia, meskipun berasal dari
berbeda-beda pulau. Hal ini berdasarkan
fakta bahwa manusia seringkali lupa dengan
tanahnya ketika sudah tidak lagi menginjakan
bumi mereka dilahirkan. Apalagi tanah
menjadi properti menarik di dunia modernis
seperti saat ini. Alasan mendasar inilah, kultur
sederhana dan budaya sesederhana apapun,
tetap menjadi penting untuk dibicarakan
ketika manusia tidak sedang berada di bumi
mereka dilahirkan, agar ingatan sosial tentang
tanahnya tidak hilang.
Berdasarkan alasan sesederhana ini pula,
tradsisi perayaan yang sudah menjadi bagian
nafas kemerdekaan Bangsa Indonesia,
dihadirkan di tanggal 17 agustus 2014,
kemarin, sebagai potret refleksi warga negara
terhadap negaranya. Meski acara bukan
rangkaian resmi, sebagaimana acara di
institusi negara, tapi acara ini tidak melupakan
cara mengibarkan bendera dan cara
melaksanakan tugas upacara. Memang sih,
jika dibandingkan dengan acara formal, masih
kalah tertibnya. Tapi hal yang menarik dari
a d a n y a a c a r a i n i a d a l a h , m a m p u
menghadirkan suasa romantisme masa lalu
ketika sama-sama sedang belajar upacara
kemerdekaan. Hal positif lainnya adalah lagu
Indonesia raya, tidak lagi menjadi momok
mengerikan untuk dinyanyikan, tapi menjadi
momok posit i f untuk membawa art i
kemerdekaan sesungguhnya, bahwa ketika
merdeka itu juga harus dari jiwanya, bukan
hanya raganya. Sehingga pembangunan
bangsa dan bernegara utuh dan total dalam
keseluruhan hidup manusia.
Penghayatan ini hadir, tentunya bukan
perkara mudah, karena ingatan sosial
manusia, seringkali tertibun dengan macam
kepentingan dan kebosanan rutinitas yang
menjemukan. Pembuktian dari susahnya
menghadirkan ingatan sosial yang berelasi
dengan nasionalisme ini, adalah tiada bentuk
perayaan hari raya kemederkaan selain di
KSW. Tanda ini mengindikasikan, bahwa acara
kemerdekaan hanya sebagai rutinitas yang
semu di antara rutinitas negara dan tradisi
bernegara. Hanya orang-orang formal yang
patut melaksanakannya.
Penilaian tiada hadirnya acara upacara di
komunitas lain, bukan berarti menuduh
mereka kelompok non- K S W tidak
nasionalis, tapi memaknai aktualitas makna
peristiwa yang hadir dalam bersamaan di
waktu bersama dengan tanggal bersejarah
sebagai upaya menjaga kebersamaan untuk
persatuan Indonesia. Ini hanyalah pemaknaan
dari peristiwa untuk menyangkal bahwa
rutinitas sederhana tidak mempunyai makna
utuh untuk dikaitkan dengan peristiwa besar...
(bersambung ke halaman 25)
- MPA KSW Periode 2014-2015
Edisi 99, September 2014
18 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Merdeka adalah ketika jiwa dan raga bebas
dari aturan-aturan dan belenggu dari orang
lain dan bangsa lain. Setiap orang mampu
menyuarakan hati nuraninya dengan tanpa
kekangan, belenggu bahkan aturan-aturan
dari orang lain. Selama suara hati nurani
dan fikiran masih dibatasi dan diatur-atur
s a a t i t u l a h ke m e r d e k a a n b e l u m
didapatkan. Ketika hati nurani sudah bebas
menyuarakan isi hati, ide, gagasan, dan
fikiran jernihnya, maka saat itulah manusia
bisa dikatakan merdeka. Kita sebagai orang
yang berbangsa dan bernegara sudah
sepantasnya mampu berdiri dengan tegak,
dengan ide dan gagasan kita tanpa ada
kekangan dari penguasa.
(A. Ulin Nuha, Ketua KSW periode 2014-2015)
Di angka yang ke-69 kemerdekaan timbul
secerca harapan untuk Indonesia kita
kembali bertaji dan bermartabat di mata
mancanegara. Indonesia yang dahulu
digandrungi pelajar manca, kini masih saja
s i b u k d e n g a n k u r i k u l u m n y a ,
mengedepankan retorika. Birokrasi
pemerintahan semakin kocar kacir, rapat
DPR semakin sepi. Anggota dewan mulai
tidak sudi untuk setetes keringatnya.
Berbagai masalah baik di pemerintahan
maupun di lingkup kehidupan rakyat masih
tak terselesaikan. Masing-masing saling
mengkambinghitamkan. Dan siapa yang
bersalah? Ingat, k i ta semua masih
menanggung beban para pejuang dahulu.
Tidakkah kita merasakan beban itu? Yang
ada marilah kita junjung kembali rasa
hormat dan bangga pada bumi pertiwi.
Bumi pertiwi yang sudah semakin termakan
usia, sampai kapan akan tenang di akhir
masa kalau bukan kita yang memulai. Mulai
berguna untuk hal sekecil apapun, itulah
arti kemerdekaan sejati. Salam guna
Indonesiaku!!!
(Wakil Ketua KSW, Supandi)
Dalam refleksi kemerdekaan ini, mari bersama-sama kita renungkan apakah cita-cita
kemerdekaan sudah menjadi realitas ataukah masih sebatas angan-angan.
Saya kira dan banyak orang mengatakan cita-cita tersebut belum sepenuhnya terwujudkan.
lantas siapakah yang mesti bertanggung jawab? Tanggung jawab tersebut menurut saya ada
pada pundak seluruh putra bangsa Indonesia. Siapapun dan dalam peran apapun mesti
berkontribusi sesuai porsinya baik pemerintah dan aparaturnya, mahasiswa, pelaku usaha dan
lain-lain.
Dan kita sebagai pelajar dan mahasiswa sudah selayaknya mengambil bagian dengan menjadi
pelajar dan mahasiswa yang cakap keilmuan, organisasi serta cakap memahami keadaan sosial
tetapi tetap humor dan caem. Cayo kawa-kawan! (Soesalit)
Kata Mereka
Tentang Merdeka,
dan Kemerdekaan
Meraih kemerdekaan 69 tahun yang lalu adalah perkara yang pelik
dan sulit. Lalu sampai kapan kita masih akan mempersulit dan
membuat jadi pelik usaha mempertahankannya?
(Seorang Pinggiran)
Edisi 99, September 2014
Kata Mereka
19PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
B a n g s a
yang besar
a d a l a h
b a n g s a
y a n g m a u
menghargai
j a s a
pahlawannya. Salah satu isi pidato Bung
Karno kepada rakyat Indonesia agar mau
mengenang, menelaah dan meneladani
semangat perjuangan mereka, para pahlawan
kemerdekaan. Sehingga diharapkan akan
terus terkobar dalam jiwa setiap penerus,
semangat untuk melanjutkan cita-cita para
pendahulunya itu. Menjadikan Indonesia
sebagai negara yang merdeka secara hakiki
dan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Sebagai proklamator, Sukarno adalah satu
dari sekian tokoh yang dikagumi oleh banyak
k a l a n g a n , s e h i n g g a b a n y a k y a n g
mengabadikan kehidupannya dari berbagai
sudut pandang. Bung Karno: Penyambung
Lidah Rakyat (Cindy Adams), Bung Karno:
Bapakku, Kawanku, Guruku (Guntur
Sukarno), Jalan ke Pengasingan: Pergerakan
Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (John
Ingleson), Sukarno: Sebuah Biografi Politik
(J.D. Legge), Sukarno: Biografi 1901-1950
(Lambert Giebels) dan buku ini Sukarno:
Paradoks Rovolusi Indonesia adalah sederet
n a m a b e b e ra p a ka r ya t u l i s a n ya n g
menjadikan Sukarno sebagai fokus objek
telaahnya.
Buku ini Sukarno: Paradoks Rovolusi
Indonesia adalah satu dari 4 serial buku
Tempo edisi khusus tokoh pendiri republik
Bapak Bangsa, yang disusun atas semangat
haul 100 tahun umur mereka. Selain Sukarno,
tiga tokoh Bapak Bangsa lainnya yang digarap
oleh tim majalah berita mingguan Tempo ini
adalah Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan
Tan Malaka.
Dalam buku ini, tim penulis mencoba
menghadirkan sudut pandang baru yang
belum pernah terlintas dalam pemikiran
media atau penulis lain, karena buku, artikel
dan hasil studi tentangnya sudah sangatlah
banyak yang dipublikasikan. Secara garis
besar buku ini mencoba menelaah sosok
Sukarno dari tiga background. Perjalanan
asmara Sukarno sebagai sang master
penakluk wanita, sejarah singkat Sukarno
sebagai agen proklamasi, dan pengamatan
tim penulis akan kisah cerita kehidupan
keluarga Sukarno yang dirangkum dari hasil
investigasi dan wawancara dengan orang-
orang yang pernah berhubungan dengannya,
terutama keluarga.
Dari s is i perjalanan asmara Sukarno
digambarkan, sebagai laki-laki seorang
Sukarno sangatlah pandai mencurahkan
perhatiannya secara utuh kepada setiap
wanita yang dihadapinya, sehingga wanita
tersebut merasa seakan ia adalah satu-
satunya yang paling dicintai. Mantan presiden
pertama itu tak segan mengambilkan minum
untuk seorang tamu wanitanya, membantu
memegang tangan wanita itu sewaktu turun
dari mobil, atau sekadar memuji busana dan
tata rambutnya. Sehingga dar i has i l
penelusuran investigasi kru majalah Tempo,
terkuak setidaknya selama hidup Sukarno dia
telah berhasil menggaet sebelas wanita untuk
dijadikan istri. Sembilan keturunan dari dalam
Mengenal Sukarno Lebih Dekat
Judul Buku : Sukarno: Paradoks Revolusi IndonesiaPengarang : Kru Majalah TEMPOPenerbit : Gramedia, JakartaCetakan : Ke-II, Desember 2010Tebal Buku : x + 124 hlm. 16 x 23 cmISBN : 978-979-91-0266-9
Resensi
Edisi 99, September 2014
20 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
negeri dan yang dua berdarah jepang, yang
beberapa diantaranya belum pernah
terungkap oleh penulis lain.
Dalam sejarah proklamasi pun terdapat
beberapa pernyataan fakta yang agak
mengejutkan yang diungkap oleh tim penulis
dalam buku ini. Selaras dengan kata yang
terdapat pada judul buku, paradoks yang
mempunyai arti pernyataan yang seolah-
olah bertentangan (berlawanan) dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi
kenyataannya mengandung kebenaran.
Dalam bab pertama misalnya, penulis
m e nyata ka n b a hwa S u ka r n o a d a l a h
gambaran seorang Bima (salah satu tokoh
pandawa lima yang gagah berani dan perkasa)
di satu sisi, namun juga seorang Hamlet
(seorang pangeran di Negara Denmark yang
rapuh dan mudah tercabik-cabik dalam
kebimbangan) di sisi yang lain. Dalam
pembahasan lain juga dinyatakan, Sukarno
adalah pecinta kemerdekaan yang tak
konsekuen, serta seorang yang idealistis
namun sekaligus pragmatis.
Sedangkan da lam penelaahan k i sah
kehidupan keluarga Sukarno, yang ditelusuri
oleh tim penulis adalah fokus pada sosok
Dyah Permata Megawati sukarnoputri, anak
kedua dari istri ketiga Bung Karno, Fatmawati.
Hal ini dikarenakan dari sekian banyak putra-
putri Sukarno, 5 putra dan 4 putri tepatnya
sebagaimana hasil investigasi tim Tempo,
Megawati adalah satu-satunya keturunan
S u k a r n o y a n g m a u m e n e r u s k a n
perjuangannya sebagai negarawan melaui
jalur politik. Sehingga tim penulis merasa
sudut ini perlu diperhatikan, karena belum
pernah tema tersebut diangkat dalam buku-
buku seputar kehidupan Sukarno yang sudah
dipublish.
Tidak monoton dengan pembahasan yang
analitis, penulis juga menyuguhkan beberapa
cerita lelucon dan anekdot seputar kehidupan
Sukarno. Dikisahkan di salah satu anekdotnya,
dalam sebuah penerbangan dari Jepang ke
Jakarta pada tahun 1945, Sukarno terpaksa
naik pesawat pengebom yang sudah uzur,
ringsek, dan di sana-sini penuh lubang bekas
peluru. Sebagaimana layaknya pengebom,
pesawat itu tidak delengkapi tempat duduk
p e n u m p a n g , s e h i n g ga S u ka r n o d a n
rombongan terpaksa berdiri sepanjang
perjalanan. Suatu ketika dalam perjalanan
tersebut Sukarno hendak buang air kecil. Tapi
rupanya pesawat itu pun tak punya toilet. Tak
kurang akal, putra sang fajar itu melangkah ke
bagian belakang pesawat untuk buang hajat.
Siapa sangka, begitu ia melaksanakan
hajatnya angin bertiup kencang melalui
lubang bekas peluru itu, menerbangkan air
seninya ke seluruh ruangan. Keruan saja
semua penumpang termasuk Bung Hatta ikut
kuyup. Dalam keadaan setengah basah inilah
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia mendarat
di Jakarta.
Kemudian dibagian akhir bab dalam buku ini,
penyusun (t im majalah Tempo) juga
menyertakan suguhan beberapa tulisan
k o l o m o r a n g - o r a n g b e s a r s e p u t a r
pentelaahan sosok Sukarno. Seperti Mochtar
Pabottingi (pengamat politik), Tufiq Abdullah
(sejarawan L I P I ), dan Bonnie Triyana
(sejarawan-cum-wartawan). Juga hasil
wawancara dengan Lambert Giebels
memver i f ikas i beberapa pernyataan
paradoksnya dalam buku Sukarno: Biografi
1901-1950 hasil karyanya yang dianggap
paling gemilang.
Sehingga, buku ini merupakan sumber
konsumsi wawasan yang cukup bagus bagi
penggemar sejarah, terutama penggemar
Sukarno sang Bapak Proklamator sebagai
bahan penambah rujukan. Atau setidaknya
bagi setiap orang sebagai bahan teladan dan
telaah dari kisah individu seseorang yang
besar, karena disuguhkan dengan bahasa
renyah yang tidak menyebabkan kejenuhan
dan dengan hasil riset dan argumentasi yang
mengagumkan.
Zuhal Qobili
Kru Buletin Prestsi
Edisi 99, September 2014
21PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
Pagi saja tidak cukup redakan riuh rendah
pesta semalaman, pemasangan umbul-
umbul, pawai anak-anak sekolah. Bendera-
bendera merah putih dikibarkan bebas-bebas
di setiap rumah, di mana saja. Pertanda sudah
merdeka, ya, bangsa kita sudah merdeka. Kita
boleh naikan bendera di tiang-tiang tanpa
cemas dibedil kompeni. Kita sudah tidak
terjajah. Bendera kita berkibar tertiup angin
laut tiap tanggal 17 Agustus, sepenuh tiang
setinggi-tingginya. Dan sore menjelang,
bendera-bendera itu diturunkan. Hari
kemerdekaan segera berakhir. Kita kembali
pada monolog yang sepi, pada kesulitan
ekonomi, pada usaha yang mati suri, pada
kacaunya interaksi, pada menyedihkannya
birokrasi. Kita memang merdeka, atau entah
siapa yang merdeka pada enam puluh
sembilan tahun yang lalu, namun kita tidak
semerta mudah mendapat kesejahtaraan
s e b a g a i m a n a s e b u a h ke m e r d e k a a n
menjanjikan hal itu. Kita mungkin akan terus
mempertanyakan kemerdekaan yang kita
miliki, dengan kenyataan pahit nasib masing-
masing orang yang berbeda-beda. Paling
tidak, refleksi akan perenungan perjuangan
mati-matian para pahlawan yang tidak perlu
kita alami sekarang, pengorbanan darah yang
tidak perlu lagi tertumpah oleh perebutan
tanah air, hanya luntur sedikit demi sedikit dan
selalu diingatkan tiap 17 Agustus.
***
Sekitar dua minggu lalu, Jumat di Jogja,
dengan mata agak terlalu berbinar saya
berkesempatan lagi sembahyang shalat Jumat
di Masjid Munawwir, Krapyak. Memang baru
dua tahunan saya meninggalkan Krapyak, tapi
energi nostlagia yang bergemuruh di benak
c u k u p b e s a r. S a a t k h u t b a h , K y a i
menyampaikan tema yang berbeda dari
biasanya. Biasanya khutbah mengangkat
tema-tema metafisik Ketuhanan yang
mengajak pada ketaqwaan, meningkatkan
keimanan dengan menjelaskan perintah-
perinah Tuhan dan ajakan-ajakan RasulNya,
atau juga yang berkaitan dengan syariat islam,
tatacara menjalankan ibadah dan hukum-
hukum dalam agama. Namun kali itu, khutbah
Kyai mengangkat tema fenomena sosial
berkaitan dengan acara televisi yang semakin
tidak berkualitas. Kyai menjelaskan dalam
khutbah beliau, bahwa tayangan televisi
kebanyakan diisi dengan hiburan-hiburan nihil
manfaat, joget-joget tidak jelas, talkshow dan
infotainment penuh gunjingan, dan acara-
acara lain yang minim edukasi. Apalagi
sinetron-sinetron tidak bernutrisi, sekedar
l a wa ka n - l a wa ka n ta k b e r m u t u , d a n
penggambaran kehidupan yang tidak layak
dipertontonkan apalagi dipercontohkan
seperti kedurhakaan seorang anak pada
orangtuanya atau sebaliknya sikap kejam
orangtua pada anak-anaknya, perselingkuhan
dalam rumah tangga, visualisasi situasi
sekolah yang tidak bersahabat dan sama sekali
tidak edukatif, murid-muridnya saling
bertengkar, membuat geng dan membenci
satu sama lain, berpacaran di sekolah. Sangat
jarang sekali penggambaran prestasi dan kerja
keras dalam pendidikan.
Para penyimak khutbah, saya perhatikan, juga
tidak seperti biasanya, kepala tertunduk
terkantuk-kantuk. Bahkan sebagian wajahnya
tampak berseri dan tersenyum satu sama lain
pada yang dikenalnya pertanda setuju akan
e u f o r i a y a n g d i t e r i m a d a r i i s i d a n
penyampaian khutbah, sangat tidak biasa,
khutbah adalah suatu penyampaian dan
penerimaan yang serius dan sakral, serta
khusyu' seperti halnya shalat. Namun saya
tidak mempermasalahkan hal itu, dan
memang tidak ada yang saya permasalahkan.
Hanya saja ini sesuatu yang menarik, mungkin
sudah banyak yang mengangkat gagasan
tentang hal di atas, menarik karena agaknya
pertama kali disampaikan pada momen
Bendera Setengah Tiang untuk Indonesia
Edisi 99, September 2014
Oase
22 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTSIRESTSIRESTSIRESTSIPPP* Kairo - Mesir *
sesakral khutbah. Dengan tujuan yang masih
sama, bahwa agama juga berperan penting
dalam pembentukan karakter manusia-
manusia yang berpegang padanya. Akhirnya
pada kesimpulan, Kyai menegaskan pelurusan
pola pikir kita sebagai sebuah bangsa yang
beradab dan berbudaya, menentang
tayangan-tayangan televisi minim edukasi dan
prestasi dan jelas jauh dari nilai-nilai agama.
Kemudian mempertanyakan sejauh mana kita
sudah merdeka, sekedar kemerdekaan raga
dari penjajahan dan ancaman bangsa lain
kah? Lalu bagaimana nasib pemikiran kita
yang masih terjajah? Belum bisa terbebas dari
k e k a n g a n k e t e r b e l a k a n g a n y a n g
mengutamakan kesenangan sesaat.
Yah, namun bagaimanapun kita adalah
manusia yang tak berdaya, sifat-sifat
manusiawi yang dengan naif seringkali kita
pertanyakan, mungkin akan berubah,
atauhanya sedikit yang berubah, atau malah
tidak akan pernah berubah untuk jumlah yang
dapat menggerakkan sebuah bangsa.
Membicarakan kemerdekaan, tidak hanya
kita, banyak bangsa yang masih terbelakang
terseok-seok berdiri sendiri. Indonesia punya
kekuatan yang tidak dimiliki oleh bangsa lain,
kekuatan untuk bersatu dar i sek ian
perbedaan yang menyesakkan. Media massa,
baik di televisi maupun cetak, seringkali main-
main dengan hal-hal yang berbau kontroversi
dan provokasi demi meraup keuntungan.
Semuanya berawal dari memanfaatkan
perbedaan yang cukup masif di negara kita,
dan mengedepankannya dalam berita
kemudian membuat panas beberapa pihak
tertentu. Seharusnya media menjadi alat
pemersatu, ikut membangun sedikit demi
sedikit bangsa yang katanya sudah merdeka
ini agar tampak benar-benar merdeka di mata
dunia. Bukan sebaliknya, memecah belah
kemudian ditinggal begitu saja sembari
menghitung uang.
Banyak penyayangan yang bermunculan, rasa
kecewa, sikap pesimis, pada negeri sendiri
dari rakyatnya sendiri. Mungkin sebuah
pemakluman bagi negara berkembang,
namun kenyataan pahit yang harus ditelan
tidak terelakkan. Bangsa Indonesia mungkin
harus bersabar puluhan, atau ratusan tahun
lagi untuk benar-benar menjadi bangsa yang
utuh dan dipimpin oleh orang-orang yang
tidak korup. Maka mengedepankan persatuan
adalah hal yang utama, kebijaksanaan
tertinggi dari sebuah bangsa untuk bertahan.
Pada akhirnya, kita perlu kekuatan berlebih
dari sekedar refleksi akan perjuangan para
pahlawan, meski itu tetap saja penting,
setidaknya semangat kemerdakaan tidak
hanya teringat di hari H saja. Orang-orang
perlu memperjuangkan hidupnya masing-
masing, tanpa bergantung pada negara,
menyalahkannya atas nasib yang terjadi pada
dirinya, karna ini bukan tentang apa yang kita
terima dari negara, namun apa yang kita beri
padanya. Kita sebagai bagian dari bangsa
perlu menyadari hal itu dan meninggalkan
kemalasan, ikut membangun dan memenuhi
kebutuhan bangsa.
Jujur saja, dengan pengandaian yang berlebih,
serta keputusasaan yang tinggi, untuk bahan
tulisan saya mencari-cari, adakah orang yang
mengibarkan bendera merah putih setengah
tiang di hari 17 Agustus, dimana orang-orang
pada umumnya dengan sadar atau sekedar
ikut trend mengibarkan merah putih sepenuh
tiang, sebuah memoar akan kebebasan kita
mengibarkan bendera sendiri di negara
sendiri tanpa ancaman dari negara lain. Saya
ingin meliputnya, menjadikannya kisah
menarik, orang yang penuh kekecewaan
mengibarkan bendera setengah tiang,
pertanda berduka, bukannya hari kelahiran
Indonesia melainkan hari kematiannya.
Sungguh ironis kalau itu benar-benar ada,
namun sebaiknya jangan pernah ditemukan.
Setidaknya hari kemerdekaan jadi batu
p i j a ka n t i a p t a h u n ny a , m a sy a ra ka t
bagaimanapun membutuhkan harapan meski
tinggal di tengah reruntuhan. Atau saya belum
benar-benar mencar i? Semoga t idak
demikian.
Fadhilah Rizqi
Kru Buletin Prestsi
Edisi 99, September 2014
Kusnadi setiap hari ke sungai. Setelah mengarit rumput untuk
kerbau-kerbaunya Pak Carik. Dan di sungai pasti ia bertemu
ibu-ibu yang menggosip sambil mencuci pakaian. Jumlah
ibu-ibu itu tak pernah berkurang kadang malah bertambah.
Kusnadi ingin berlama-lama menikmati jernih dan sejuknya
air sungai, tapi, setiap hari dia hanya bisa membasahi
mukanya dan segera pulang ke rumah.
Sampai rumah dia mengomel. Sang Ibu yang duduk
menyambutnya membelai rambut anak semata wayangnya
itu.
Kenapa ibu-ibu itu terus membicarakan Emak? Apa karena
Emak janda?
Sudahlah Nak. Jangan kau ambil pusing omongan mereka.
Anggap saja angin lalu.
Tapi telinga Kus panas setip kali dengar ocehan mereka.
Wajah sang Ibu tampak lemas. Ia melongos ke dapur. Ia tahu
anaknya tidak mungkin tidak ke sungai. Apalagi mengarit
rumput di bawah terik matahari membuat badannya basah
kuyup. Mandi di sungai sudah jadi hobinya sejak kecil. Tapi
sejak ibu-ibu itu mulai mencuci beramai-ramai di sana, Kus
merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Di kampung itu memang cuma Ningsih yang berstatus janda.
Ada beberapa janda tapi sudah uzur, rata-rata umurnya di atas
50 , in i t idak masuk perh i tungan ibu- ibu untuk
menggosipkannya. Hanya Ningsih yang saban hari jadi bahan
omongan mereka. Kusnadi yang gerah dengan cibiran itu
mulai menyusun rencana. Sebagai anak laki laki yang
menurutnya sudah cukup dewasa harus bertindak melihat
ibunya terus dihina.
Akh begitulah janda
Kenapa tidak menikah lagi saja. Biar laki-laki di kampung
ini tidak kegatelan.
Justru dia yang gatal
Dasar. Janda.. jandaa
Begitula samar-samar celotehan yang terdengar di kuping
Kusnadi. Semakin membuat telinganya melepuh di bawah
terik matahari. Apa yang harus dilakukan agar ibu-ibu itu
berhenti menggunjing ibunya? Memang ada yang salah
ketika Tuhan mencabut nyawa Ayahnya.
***
Ibu aku mau ke kampung Ayah, aku mau berkunjung ke
makamnya. Sang Ibu kaget mendengaar pertanyaan aneh itu.
Mukanya merah, sepiring nasi yang digenggamnya nyaris
tergelincir.
Nak. Kampung Ayahmu jauh sekali, lain waktu saja nanti
kita kesana bersama-sama.
Tidak Ibu. Aku mau sekarang!
Memang kenapa? Pasti kamu habis nguping ocehan ibu-ibu
di sungai itu?
Iya Ibu mereka menghujat selalu. Itu tidak adil. Apakah
Ayah masih hidup?
Hush. Kamu ngomong apa. Ia segera memberinya anduk
dan menyuruhnya mandi.
Dalam keheningan Ningsih meratap. Di muka jendal ia
memandang sebongkah rembulan. Tak terasa buliran bening
menetes dari kelopak matanya. Angin malam menderu keras.
Ia ingin penderitaan ini segera berakhir.
***
Pada pagi buta. Kusnadi mendatangi Zainal berniat
mencurahkan keluh kesahnya. Zaenal seorang pemain gitar di
sebuah grup dangdut keliling. Usianya sepuluh tahun lebih
tua dari Kus. Ia baru saja pulang dari ngamennya. Sejak dulu
dikenal akrab oleh Kus, bahkan ia yang pertama kali
mengajari Kus berenang di sungai.
Kus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang
pernah jadi tempatnya bermain waktu kecil, ia meraba
ingatannya, di ruang tamu ada foto Zainal dan kakaknya. Foto
itu masih terpajang rapih dengan debu yang menempel lebat
di tepiannya. Dulu di sini ia digendong oleh kakaknya Zainal,
dicium-cium, dicubit pipinya, dan dininabobokan selayaknya
bayi yang sedang lucu-lucunya.
Kemanakah kakakmu Zain? Kapan pulang?
Zainal tak menyangka Kus masih mengingat memori masa
balitanya.
Entahlah Kus, dia itu nelayan. Hidupnya di atas laut. Seperti
kamu dia lebih suka bermain air.
Akh, asik sekali, boleh aku ikut.
Boleh nanti, kalau dia pulang aku kabari kamu. Terus
sekarang ada apa?
Kemudian Kus menceritakan perihal masalahnya. Zainal
menyimak dengan tenang seolah dia sudah tahu
permasalahan yang sedang menimpanya. Dengan nada penuh
amarah Kus ingin sekali membungkam mulut mereka. Tapi
ada sedikit ketakutan yang terselip di rautnya. Zainal
menenangkan dengan menepuk-nepuk pundaknya. Ia