12
Preliminary Experience with Endoscopic Laser Surgery for Severe Twin–Twin Transfusion Syndrome Yves Ville, M.D., Jon Hyett, M.D., Kurt Hecher, M.D., and Kypros Nicolaides, M.D. ABSTRAK Latar belakang. Pada kehamilan ganda monozigitik, terdapat hubungan pembuluh darah plasenta antara kedua janin. Sekitar 15 % kehamilan ini terdapat ketidakseimbangan pada aliran darah antara kedua janin, mengakibatkan sindroma twin–twin transfusion. Janin resipiens dapat mengalami hidramnion selama kehamilan trimester kedua, dengan risiko kematian perinatal dan cerebral palsy pada janin yang mampu bertahan hidup. Keadaan ini dapat diterapi dengan keagulasi secara endoskopi terhadap anastomosis pembuluh darah mengakibatkan transfusi fetofetal dengan laser neodymium:yttrium–aluminum–garnet (Nd:YAG). Metode. Dilakukan pembedahan intrauterine terhadap 45 wanita dengan hamil kembar pada usia kehamilan antara 14 sampai 28 minggu (median 21); dengan hidramnion berat pada salah satu janin akibat sindroma twin–twin transfusion. Dengan menggunakan anestesi lokal dipandu dengan visualisasi secara ultrasonografi, suatu fetoskop dengan diameter 2 mm dalam kanula berdiameter 2,7 mm dipasang secara transabdominal ke dalam ruang amnion pada janin resipiens. Diamati setiap pembuluh darah yang berdekatan atau melintasi selaput ketuban pada kedua janin, dan dilakukan koagulasi dengan laser Nd:YAG. Hasil. Semua kasus berhasil dilakukan koagulasi pada anastomosis pembuluh darah. Janin yang berhasil hidup setelah persalinan sebanyak 48 (53 persen), dan kehamilan dengan setidaknya satu janin yang tetap bertahan hidup sebanyak 32 kkasus (71 persen). Diantara bayi yang lahir

Preliminary Experience With Endoscopic Laser Surgery for Severe Twin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

obsgyn

Citation preview

Preliminary Experience with Endoscopic Laser Surgery for Severe TwinTwin Transfusion Syndrome

Preliminary Experience with Endoscopic Laser Surgery for Severe TwinTwin Transfusion SyndromeYves Ville, M.D., Jon Hyett, M.D., Kurt Hecher, M.D., and Kypros Nicolaides, M.D. ABSTRAKLatar belakang. Pada kehamilan ganda monozigitik, terdapat hubungan pembuluh darah plasenta antara kedua janin. Sekitar 15 % kehamilan ini terdapat ketidakseimbangan pada aliran darah antara kedua janin, mengakibatkan sindroma twintwin transfusion. Janin resipiens dapat mengalami hidramnion selama kehamilan trimester kedua, dengan risiko kematian perinatal dan cerebral palsy pada janin yang mampu bertahan hidup. Keadaan ini dapat diterapi dengan keagulasi secara endoskopi terhadap anastomosis pembuluh darah mengakibatkan transfusi fetofetal dengan laser neodymium:yttriumaluminumgarnet (Nd:YAG).

Metode. Dilakukan pembedahan intrauterine terhadap 45 wanita dengan hamil kembar pada usia kehamilan antara 14 sampai 28 minggu (median 21); dengan hidramnion berat pada salah satu janin akibat sindroma twintwin transfusion. Dengan menggunakan anestesi lokal dipandu dengan visualisasi secara ultrasonografi, suatu fetoskop dengan diameter 2 mm dalam kanula berdiameter 2,7 mm dipasang secara transabdominal ke dalam ruang amnion pada janin resipiens. Diamati setiap pembuluh darah yang berdekatan atau melintasi selaput ketuban pada kedua janin, dan dilakukan koagulasi dengan laser Nd:YAG. Hasil. Semua kasus berhasil dilakukan koagulasi pada anastomosis pembuluh darah. Janin yang berhasil hidup setelah persalinan sebanyak 48 (53 persen), dan kehamilan dengan setidaknya satu janin yang tetap bertahan hidup sebanyak 32 kkasus (71 persen). Diantara bayi yang lahir hidup, rata-rata umur kehamilan saat persalinan adalah 35 minggu (antara 25 sampai dengan 40 minggu), dan median berat badan bayi baru lahir 2098 g (antara 550 sampai dengan 4252). Median interval antara tindakan laser endoskopik dan persalinan adalah 14 minggu (antara 0 sampai 21). Semua bayi yang mampu bertahan hidup berkembang dengan normal pada median umur 12 bulan (antara 2 sampai dengan 24). Kesimpulan. Sindroma twintwin transfusion dapat diatasi secara efektif dengan koagulasi laser endoskopik pada anastomosis pembuluh darah plasenta.

Pada kehamilan ganda monozigotik, terjadi pembelahan embrionik dalam tiga hari pertama setelah fertilisasi pada kira-kira sepertiga kasus.mengakibatkan terbentuknya dua janin dengan sirkulasi plasenta independent. Pmbelahan yang terjadi setelah hari ketiga menghasilkan hubungan vaskularisasi diantara plasenta; jika pembelahan terjadi setelah hari ke 12, terjadi conjoined fetus. Ketidakseimbangan aliran pembuluh darah yang melalui hubungan pembuluh darah plasenta dari satu janin (donor) ke janin lainnya (resipiens) menimbulkan sindroma twintwin transfusion, dan ini terjadi kira-kira 15% pada kehamilah ganda monozigotik Diduga terjadi gangguan perkembangan secara primer pada plasenta janin donor menyebabkan peningkatan resistensi perifer pada sirkulasi plasenta, mengakibatkan terjadinya shunting darah kepada resipiens; donor mengalami hipovolemia oleh karena kehilangan darah dan hipoksia oleh karena insufisiensi plasenta. Terjadi kompensasi pada janin resipiens akibat volume darah yang bertambah dengan poliuria, tetapi karena komponen protein dan selular masih terdapat dalam sirkulasi, terjadi peningkatan tekanan cairan onkotik dari kompartemen maternal melalui plasenta. Dengan terjadinya hipervolemia, poliuria dan hiperosmolaritas, mengakibatkan kegagalan jantung dan hidramnion, dengan konsekuensi terjadi keguguran atau persalinan premature. Pada beberapa kasus dengan hidramnion berat selama kehamilan trimester kedua, terdapat risiko kematian perinatal dan kerusakan otak oleh karenan beberapa faktor, termasuk hipoksia intrauterine dan persalinan premature. Jika satu janin mati, biasanya janin donor, mencetuskan perubahan hemodinamik dalam sirkulasi janin satunya berakibat kematian atau sekuele hipoksia-iskhemia. Meningkatnya harapan hidup telah dilaporkan dengan serial amniosentesis dan drainase sejumlah cairan ketuban. Pada awalnya kami telah menggunakan cara ini terhadap 25 kehamilan ganda monoamniotik dengan salah satu janin mengalami hidramnion berat oleh karena sindroma twintwin transfusion . Terdapat data pada 19 kasus. Angka harapan hidup yang rendah pada janin (32 persen) mendorong kami untuk mencari cara pilihan lain. De Lia et al. menggunakan koagulasi laser untuk memutus hubungan pembuluh darah plasenta. Diberika anestesi local atau umum, suatu endoskop dimasukkan setelah dilakukan laparotomi dan histerotomi. Walaupun secara teoritis cara ini bermanfaat, cara ini tidak dapat diterima secara luas karena bersifat invasive. Belakangan ini, kemi menggunakan teknik perkutaneus untuk melakukan koagulasi laser dengan anestesi local.

MetodeSelama periode dua tahun (1992 sampai 1994), kami melakukan koagulasi laser pada anastomosis pembuluh darah plasenta pada 45 kasus kehamilan ganda monozigotik dengan salah satu janin mengalami hidramnion berat akibat sindroma twintwin transfusion dengan umur kehamilan 15 sampai 28 minggu (median, 21).

Hasil pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan semua kasus merupakan kembar monokorionik biamnion dengan ukuran janin diskordan. Janin dengan ukuran yang lebih besar (resipiens) dengan distensi kendung kemih dengan hidramnion, sedangkan janin dengan ukuran yang lebih kecil kandung kemih selalu kosong dan janin tampak berdekatan dengan plasenta atau dinding uterus karena menglami oligohidramnion. Selisih antara taksiran berat janin menunjukkan persentase berat badin janin resipien, yaitu 14 sampai 16% (median, 29 persen). Derajat hidramnion dinilai dengan cara mengukur pool cairan ketuban yang paling dalam, yaitu 8 sampai 18 cm (median, 13). Dalam melakukan tindakan koagulasi laser, pertama kali dilakukan pemeriksaan ultrasonografi secara lengkap, termasuk color flow mapping, mengetahui lokasi plasenta, intertwin amniotic membrane, insersi tali pusat pada plasenta, dan hubungan pembuluh darah pada chorionic plate. Dipilih tempat masuknya endoskop untuk menghindari trauma pada plasenta dan janin sekaligus memungkinkan menjangkau area yang diperkirakan terdapat hubungan vascular. Lidokain 2% disuntikkan ke dalam miometrium. Visualisasi dipandu dengan ultrasonografi, suatu fetoskop dengan diameter 2 mm (lapangan pandang 75 derajat) dalam kanula berdiameter 2,7 mm (KeyMed, Southend, United Kingdom, atau Storz, Tuttlingen, Germany) dimasukkan transabdominal ke dalam kantung amnion janin resipiens. Sebuah serabut laser 400-m neodymium:yttriumaluminumgarnet (Nd:YAG) (MBB, Munich, Germany) dimasukkan ke dalam kanula sampai 1 cm diluar ujung fetoskop. Pengamatan secara ultrasonografi juga dengan pengamatan langsung dipakai untuk menilai secara sistematis chorionic plate pada seluruh permukaan selaput antar kedua janin dan untuk mengidentifikasi pembuluh darah yang melintasi kemudian dilakukan koagulasi dengan dosis total 1000 sampai4500 J (239 sampai 956 kcal) selama 3-detik dengan output 30 sampai 50 W pada jarak 1 cm. Selanjutnya cairan ketuban dikeluarkan (median, 2760 ml; range, 400 sampai 6500) melalui kanula fetoskop selama 10 sampai 20 menit untuk menormalisir volume cairan amnion, dinilai secara subyektif dengan ultrasonografi. Prosedur ini membutuhkan waktu selama 30 sampai 90 menit, dan ibu dipulangkan beberapa jam setelah pemberian antibiotika profilaksis dan obat tokolitik. HasilVisualisasi selaput antar janin terlihat baik dan dapat dikerjakan koagulasi pada pembuluh darah yang melintas pada semua kasus, kecuali pada 18 kasus yang lebih sulit karena plasenta terletak anterior. Satu kasus yang dikerjakan koagulasi pada umur kehamilan 17 minggu diulang pada umur kehamilan 22 minggu karena terjadi sindroma twintwin transfusion ulangan.

Jumlah janin kembar yang mampu hidup sampai persalinan sebanyak 48 (53 persen), dan jumlah kehamilan dengan sedikitnya satu janin yang hidup sebanyak 32 (71 persen). Diantara bayi yang lahir hidup, rata-rata umur kehamilan saat persalinan adalah 35 minggu (antara 25 sampai dengan 40 minggu), dan median berat badan bayi baru lahir 2098 g (antara 550 sampai dengan 4252). Median interval antara tindakan laser endoskopik dan persalinan adalah 14 minggu (antara 0 sampai 21). Dua bayi memiliki gejala klinis hypertrophic cardiomyopathy pada saat lahir; satu meninggal saat pembedahan jantung, sedangkan yang lainnya berespon baik dengan pengobatan dan hipertrofi ventrikuler membaik setelah umur tiga bulan. Semua bayi yang mampu bertahan hidup berkembang dengan normal pada median umur 12 bulan (antara 2 sampai dengan 24). Pada 16 kasus kehamilan kedua janin lahir hidup, 16 kasus lagi hanya satu janin yang lahir hidup dan 13 kasus tidak ada yang bertahan hidup sampai persalinan. (Dua kasus dengan kedua janin kembar yang meninggal, dilakukan selective feticide setelah koagulasi laser karena ventrikulomegali pada janin donor, dan janin kedua mengalami abortus spontan satu minggu kemudian. Satu kasus dengan selective feticide bayi kedua dilahirkan sehat.) Umur kehamilan saat dilakukan koagulasi laser dan persalinan pada setiap kasus dijelaskan pada Gambar 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok berdasarkan umur kehamilan, tingkat perbedaan taksiran berat badan antara kedua janin, atau tingkat hidramnion, dilihat dari deepest vertical pool cairan ketuban atau jumlah air ketuban yang dikeluarkan lewat fetoskopi. Kejadian plasenta letak anterior hampir sama pada ketiga kelompok (8 dari 16 kehamilan dengan kedua bayi lahir hidup, 6 dari 16 dengan hanya satu bayi yang lahir hidup, and 4 dari13 pada kelompok dengan kedua bayi meninggal)

View larger version (3K):[in this window][in a new window] Gambar 1. Luaran koagulasi laser endoskopik pada sindroma twintwin transfusion.

Garis lurus menunjukkan lama antara tindakan koagulasi laser dengan persalinan pada 45 kasus dengan sindroma twintwin transfusion. 13 kehamilan kedua janin tidak mampu bertahan hidupsampai persalinan (), 16 kasus dengan salah satu bayi dapat lahir hidup (), dan 16 kasus dengan kedua bayi dilahirkan hidup ().

Pada 16 kehamilan dengan kedua bayi lahir hidup.Koagulasi laser dilakukan pada umur kehamilan 17 sampai 28 minggu (median, 35). 13 kasus diantaranya kedua bayi mampu bertahan hidup, sedang tiga kasus lainnya salah satu bayi meninggal pada masa neonatal. Yang pertama dilahirkan pada umur kehamilan 36 minggu, bayi resipien meninggal selama pembedahan jantung karena hipertrofi otot ventrikuler. Pada kasus yang kedua terdapat ketuban pecah dini saat umur kehamilan 27 minggu, dan bayi donor meninggal dengan karena respiratory distress syndrome. Pada kasus ketiga persalina berlangsung ssat umur kehamilan 37 minggu, dan bayi donor meninggal dengan hipoplasia paru disertai agenesis ginjal bilateral, sedang bayi resipien dengan agenesis ginjal unilateral mampu bertahan hidup. Paada 15 kehamilan satu dari janin meninggal in utero setelah koagulasi laser dan janin satunya lagi tetap hidup. Pada kelompok ini koagulasi laser dilakukan pada umur kehamilan 17 sampai 28 minggu (median, 20), dan persalinan pada umur kehamilan 25sampai 39 minggu (median, 33). Dua belas dari 15 kasus janin donor meninggal; kematian terjadi dalam 24 jam setelah tindakan koagulasi laser pada 11 kasus, 8 minggu kemudian pada satu kasus. Tiga kasus janin resipiens hidropik meninggal; dua diantaranya meninggal dalam 24 jam pertama, dan satu janin meninggal 3 minggu kemudian. Janin donor pada ketiga kasus tersebut mampu bertahan hidup, tetapi satu diantaranya terdapat ventrikulomegali ringan tiga minggu setelah laser koagulasi. Setelah persalinan pada umur 34 minggu, terdapat hidrosefalus obstruktif dan berhasil dilakukan ventriculoperitoneal shunting; sampai 14 bulan anak berkembang dengan normal. Tiga kasus janin donor mengalami ventrikulomegali, dan dilakukan selective feticide setelah koagulasi laser pada umur kehamilan 20, 21, and 23 minggu. Dua kasus diantaranya mengalami abortus spontan setelah satu minggu, dan satu bayi sehat dilahirkan pada umur kehamilan 40 minggu. Terdapat 11 kasus kehamilan tanpa janin hidup. Pada kelompok ini tindakan koagulasi laser dilakukan pada umur kehamilan 15 sampai 25 weeks (median, 21) dan persalinan terjadi pada umur kehamilan 18 sampai27 minggu (median, 22). Pada enam kehamilan kedua janin meninggal in utero; empat dari enam kasus, kematian terjadi dalam 24 jam setelah tindakan koagulasi laser, dan dua lainnya meninggal 2-3 minggu kemudian. Lima kasus sisanya ibu engalami perdarahan vaginal, satu kasus berakhir dengan abortus spontan 3 hari kemudian, dan empat janin donor meninggal 24 jam setelah tindakan koagulasi laser dan abortus spontan terjadi 1 sampai 6 minggu kemudian, walapun janin resipiens tetap bertahan hidup. Dua dari empar kasus tersebut cairan amnion melaqlui fetoskopi berwarna kehitaman yang berasal dari perdarahan intraamniotik sebelumnya, dan dan penggantian cairan dengan larutan Hartman diperlukan sebelum anastomosis pembuluh darah plasenta dapat dilihat untuk dilakukan tindakan koagulasi. Diskusi

Penelitian ini menunjukkan kelayakan dari suatu teknik endoskopi dengan melakukan koagulasi pada pembuluh darah plasenta dan memurus sindroma twintwin transfusion. Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa prosedur ini mempunyai survival rate yang lebih tinggi dan risiko terjadinya cerebral palsy lebih rendah dibandingkan dengan tindakan drainase serial cairan ketuban. Tujuan koagulasi pembuluh darah plasenta superficial yang melintasi selaput antar janin adalah memutus hubungan sirkulasi vaskuler antara kedua janin. Anastomosis arteriovenosa diyakini mempunyai peranan penting dalam perubahan hemodinamik yang mendasari terjadinya transfusi fetofaetal. Anastomosis tersebut terletak pada bagian dalam dari kotiledon (subunits plasenta), akan tetapi cabang afferent dan efferent terletak superfisial. Walaupun membran antara janin tidak terletak pada kotiledon, koagulasi pembuluh darah yang melintasi membran akan mengenai semua cabang afferent dan efferent anastomosis tersebut. Terdapat 19 kasus (42 persen) dari 45 kehamilan yang diamati, janin donor meninggal dalam 24 jam setelah endoskopi. Hal ini menunjukkan bahwa pada sindroma twintwin transfusion janin donor tidak saja mengalami perdarahan kronis dan hipovolemia, tetapi juga insufisiensi plasenta yang berat. Pada kehamilan ganda monokorionik terdapat hubungan sirkulasi vaskuler antara kedua janin, dan walaupun janin donor mengalami kehilangan darah, oksigenasi janin tersebut tergantung pada janin resipiens. Diduga bahwa koagulasi pembuluh darah memutus janin donor terhadap sumber oksigen dan berakibat kematian. Akan tetapi, koagulasi pada pembuluh darah plasenta yang melintasi membran antar janin akan memutus suplai pembuluh darah, dan dapat mengancam plasenta. Walaupun demikian, koagulasi pada hubungan vaskuler ini tampaknya mempunyai pengaruh protektif terhadap janin resipiens jika janin donor meninggal. Pada penelitian ini dengan drainase cairan ketuban, kematian pada salah satu janin yang diikuti janin lainnya sebanyak 5 dari 7 kasus, sedangkan diantara janin ganda yang dilakukan koagulasi, kematian janin kedua hanya terjadi pada 6 dari 22 kehamilan.

Cerebral palsy dengan periventricular leukomalacia diketahui merupakan komplikasi kembar monokorionik dan ini biasanya terjadi setelah kematian intrauterine salah satu janin. Komplikasi ini terjadi pada 25 persen janin yang dilakukan tindakan drainase. Hipotensi berat oleh karena perdarahan dari janin ke dalam plasenta janin yang mati atau terjadi proses disseminated intravascular coagulation setelah lepasnya tromboplastin dari janin yang telah mati. Koagulasi laser pada anastomisis pebuluh darah akan mencegah komplikasi ini dan dapat mencegah cerebral palsy pada bayi yang lahir hidup dan meningkatkan harapan hidup pada janin kedua setelah kematian intrauterine janin pertama. Namun demikian, kerusakan otak pada sindroma twintwin transfusion tidak selalu disebabkan karena kematian pada salah satu janin dan dapat timbul akibat iskemia-hipoksia otak intrauterine. Tiga kasus mengalami ventrikulomegali, dan selective feticide dilakukan setelah tindakan koagulasi laser. Hipoksia pada janin donor terjadi akibat hipovolemia, anemia, dan insufisiensi uteroplasenta, sedangkan hipoksia pada janin resipiens dapat terjadi karena meningkatnya viskositas darah dan kegagalan jantung kongestif akibat hipervolemia.

Source Information

From the Harris Birthright Research Centre for Fetal Medicine, King's College School of Medicine, Denmark Hill, London SE5 8RX, United Kingdom, where reprint requests should be addressed to Professor Nicolaides.

References

1. Benirschke K, Kim CK. Multiple pregnancy. N Engl J Med 1973;288:1276-1284.[Medline]

2. Hrubec Z, Robinette CD. The study of human twins in medical research. N Engl J Med 1984;310:435-441.[Medline]

3. Patten RM, Mack LA, Harvey D, Cyr DR, Pretorius DH. Disparity of amniotic fluid volume and fetal size: problem of the stuck twin -- US studies. Radiology 1989;172:153-157.[Abstract]

4. Weir PE, Ratten GJ, Beischer NA. Acute polyhydramnios -- a complication of monozygous twin pregnancy. Br J Obstet Gynaecol 1979;86:849-853.[Medline]

5. Saunders NJ, Snijders RJM, Nicolaides KH. Twin-twin transfusion syndrome in the 2nd trimester is associated with small intertwin hemoglobin differences. Fetal Diagn Ther 1991;6:34-36.[Medline]

6. Saunders NJ, Snijders RJM, Nicolaides KH. Therapeutic amniocentesis in twin-twin transfusion syndrome appearing in the second trimester of pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1992;166:820-824.[Medline]

7. Larroche JC, Droulle P, Delezoide AL, Narcy F, Nessmann C. Brain damage in monozygous twins. Biol Neonate 1990;57:261-278.[Medline]

8. Bejar R, Vigliocco G, Gramajo H, et al. Antenatal origin of neurologic damage in newborn infants. II. Multiple gestations. Am J Obstet Gynecol 1990;162:1230-1236.[Medline]

9. Reisner DP, Mahony BS, Petty CN, et al. Stuck twin syndrome: outcome in thirty-seven consecutive cases. Am J Obstet Gynecol 1993;169:991-995.[Medline]

10. Elliott JP, Urig MA, Clewell WH. Aggressive therapeutic amniocentesis for treatment of twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol 1991;77:537-540.[Medline]

11. Pinette MG, Pan Y, Pinette SG, Stubblefield PG. Treatment of twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol 1993;82:841-846.[Medline]

12. De Lia JE, Cruikshank DP, Keye WR Jr. Fetoscopic neodymium:YAG laser occlusion of placental vessels in severe twin-twin transfusion syndrome. Obstet Gynecol 1990;75:1046-1053.[Medline]

13. Ville Y, Hecker K, Ogg D, Warren R, Nicolaides K. Successful outcome after Nd:YAG laser separation of chorioangiopagus-twins under sonoendoscopic control. Ultrasound Obstet Gynecol 1992;2:429-431.[CrossRef]

HYPERLINK "http://content.nejm.org/cgi/external_ref?access_num=12796919&link_type=MED" \t "ISI" [Medline]

14. Hadlock FP, Harrist RB, Sharman RS, Deter RL, Park SK. Estimation of fetal weight with the use of head, body, and femur measurements -- a prospective study. Am J Obstet Gynecol 1985;151:333-337.[Medline]

15. Bendon RW, Siddiqi T. Clinical pathology conference: acute twin-to-twin in utero transfusion. Pediatr Pathol 1989;9:591-598.[Medline]

16. Fusi L, McParland P, Fisk N, Nicolini U, Wigglesworth J. Acute twin-twin transfusion: a possible mechanism for brain-damaged survivors after intrauterine death of a monochorionic twin. Obstet Gynecol 1991;78:517-520.[Medline]

17. Goldberg RN, Chung D, Goldman SL, Bancalari E. The association of rapid volume expansion and intraventricular hemorrhage in the preterm infant. J Pediatr 1980;96:1060-1063.[Medline]

18. Bejar R, Wozniak P, Allard M, et al. Antenatal origin of neurological damage in newborn infants. I. Preterm infants. Am J Obstet Gynecol 1988;159:357-363.[Medline]