Upload
citra-damayanti-siregar
View
1.795
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prasangka dan Diskriminasi telah dapat kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari
dan istilah ini sering kali digunakan secara bergantian. Namun, psikologi sosial
membedakan secara jelas penggunaan kata prasangka dan diskriminasi ini.. Psikologi
sosial telah lama mengenal pentingnya prasangka dalam tingkah laku sosial
masyarakat.
Kita mengetahui bahwa banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam
masyarakat yang berasal dari prasangka dan diskriminasi. Seperti contoh, kelompok
orang cina yang sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan detik ini masih mengalami
ketidakadilan di negeri ini. Oleh sebab itu, pelajaran mengenai prasangka dan
diskriminasi sangat diperlukan.
Salah satu penyebab kekerasan yang terjadi adalah kenyataan yang menunjukan
bahwa dalam masyarakat terdapat banyak bermacam-macam kelompok, misalnya
kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya.
Kelompok satu dapat sejalan dengan kelompok yang lain, tetapi tidak jarang ditemui
kelompok satu berselisih dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dalam masyarakat didapati adanya kelompok yang berselisih dan
kelompok antagonistic. Berkaitan dengan antagonistic ini, ada beberapa elemen yang
mendasarinya. Masing-masing elemen-elemen tersebut adalah stereotip, prasangka
dan diskriminasi.
Dalam makalah ini akan dibahas definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi,
teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target
prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik
yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian stereotip, prasangka, dan dikriminasi?
1.2.2 Apakah hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi?
1.2.3 Mengapa prasangka dan diskriminasi dapat bertahan?
1.2.4 Apa saja yang menjadi target prasangka dan diskriminasi?
1
1.2.5 Apakah akibat yang ditimbulkan dari prasangka dan diskriminasi?
1.2.6 Bagaimana cara untuk mengurangi dan menghilangkan prasangka dan
diskriminasi?
1.3 Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini selain untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah
Psikologi Kesehatan, juga untuk mengetahui :
1. Pengertian stereotip, prasangka, dan diskriminasi
2. Hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi
3. Penyebab-penyebab yang menjadikan prasangka dan diskriminasi dapat
bertahan.
4. Target Prasangka dan diskriminasi
5. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya prasangka dan diskriminasi
6. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
prasangka dan diskriminasi.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dilakukan dalam membuat karya tulis ini adalah metode deskriptif,
yaitu dengan menganalisa data apa adanya. Penulisan dilakukan dengan cara
mengumpulkan informasi dari beberapa sumber kemudian dikumpulkan untuk dibahas
dan ditarik kesimpulannya
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi
Sebelum mengetahui hubungan antara stereotip, prasangka dan diskriminasi,
maka kita terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami definisi dari ketiga konsep
tersebut.
a. Stereotip
Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari angota kelompok tertentu,
bisa positif atau bisa juga negatif. Ada juga yang mendefinisikan stereotip sebagai
“pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan
kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok
tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negatif”
(Amanda, 2009).
Biasanya stereotip berfungsi untuk membentuk imej kelompok lain dan
umumnya bersifat negatif dan tidak akurat.
Misalnya:
1. Wanita sunda yang dianggap berstrereotipkan matre,gemar bersolek,”wanita
nakal”, membuat seorang ibu bersuku jawa melarang anak laki-lakinya
mempersunting wanita sunda.Maka terciptalah jarak antar kedua etnis tersebut
yang dikarenakan sebuah stereotype.
2. Stereotipe yang menganggap orang islam adalah teroris membuat pemerintahan
Amerika melarang pemakaian cadar dan menolak masuknya orang asing ke
Negara tersebut apabila mengandung nama islami seperti Abdullah,
Muhammad,dll. Stereotipe teroris di Amerika Serikat adalah mereka yang
memakai sorban, berjanggut panjang dengan wajah seperti keturunan Arab,
serta memakai celana yang menggantung. Bisa jadi ada teroris yang justru
berdasi dan memakai jas. Tentu saja pandangan seperti itu bisa menjebak kita
dalam menciptakan kebenaran yang salah.
3. Banyak orang yang menganggap etnis padang pelit dan pandai berdagang.
3
Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala memiliki derajat
kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Stereotip
biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh
orang/kelompok lain dan biasanya dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
Namun, apabila kita menjadi akrab dengan etnis yang bersangkutan, maka
stereotip tehadap orang/kelompok itu biasanya akan menghilang. Hal tersebut
dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat yang
berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
Misalnya: Dalam hal pemilihan teman. Ketika baru masuk SMA atau kuliah.
Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita
cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan kita. Mengapa saya
memberikan tanda petik untuk kata dirasakan? Karena hal itu sifatnya subjektif.
Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya
berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas.
Reaksi lain dari adanya informasi yang tidak konsisten adalah dengan
melakukan apa yang dinamakan tacit inferences. Maksud tacit inferences adalah
mengubah makna dari informasi yang masuk agar konsisten dengan stereotip
yang kita miliki. Contohnya adalah jika kita menjumpai seorang supir metro mini
yang berpakaian rapi saat bertugas dan mengendarai metro mininya di jalan
dengan santun, maka kita akan berpikir bahwa mungkin ia adalah supir metro
mini yang masih baru dan belum stress dengan tekanan pekerjaannya. Dengan
demikian, kita melakukan pengubahan makna dari informasi yang masuk agar
dapat fit dengan stereotip yang kita punyai tentang sopir metro mini. Kita segera
melakukan tacit inferences yang memungkinkan kita dapat menghadapi
informasi yang tak diharapkan tersebut.
b. Prasangka
Prasangka adalah suatu sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi
anggota-anggota beberapa kelompok yang didasarkan pada keanggotaan dalam
kelompok. Sedangkan menurut Amanda G (2009), Prasangka merupakan
pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau
pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.
4
Prasangka muncul karena adanya. perbedaan dalam hal seksualitas,ras,etnik,dan
kelompok
Misalnya: Ketika kita bertemu dengan seorang kerabat yang kini telah
menjadi kaya raya setelah sejak 10 tahun lalu tidak bertemu, lalu kita berpikiran
kekayaannya itu didapat dari hasil korupsi,merampok,dll. Itu adalah contoh
prasangka negatif yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Prasangka disebabkan oleh beberapa faktor, yang menurut johnson (1986)
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Gambaran perbedaan antarkelompok.
2. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas menguasai
kelompok minoritas.
3. Kelompok yang merasa superior sehingga merasa kelompok lain inferior.
c. Diksriminasi
Diskriminasi muncul dari prasangka yang tampil dalam perilaku yang dapat
dilihat. Dengan kata lain, diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif
terhadap orang lain yang menjadi target prasangka. Sedangkan menurut sears,
freedman & peplau (1999) diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak
seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok.
Contoh: Di Afrika Selatan orang-orang kulit hitam di larang bersekolah
disekolah untuk orang kulit putih. Hal ini disebabkan karena kecenderungan
manusia untuk membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah
perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat
atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang
disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda
yang didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang
mereka miliki, mereka dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana
orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat
secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan
kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan.
Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu
melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel, sehingga
5
bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya
dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus
menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan
aktivitasnya.
2.2 Hubungan Antara Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi
Sebenarnya stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang
sangat erat satu sama lain karena dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi
adalah stereotip. Tapi ada kalanya ketiga sikap tersebut dapat berdiri sendiri secara
terpisah. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang
dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip yang berlebihan
akan memunculkan prasangka terhadap orang atau kelompok lain.
Misalnya: Karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Muslim dengan janggut
yang lebat, maka seluruh orang Muslim yang berjanggut lebat di stereotipkan sebagai
teroris. Dan suatu ketika terjadi pemboman lagi disuatu tempat maka orang Muslim
lah yang dicurigai dan timbulah prasangka yang buruk terhadap orang Muslim.
Padahal belum tentu orang Muslim yang melakukannya dan biasanya bersifat tidak
akurat.
Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman, 1993) mengembangkan
model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang
dapat dikontrol dari renspons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang
sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka
terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung
otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki control untuk
meneruskan atau tidak meneruskan belief tadi untuk menjadi prasangka dan
diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka
akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat
berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang
dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka
prasangka tidak terjadi.
Jadi, prasangka merupakan disposisi dari stereotip. Namun, muncul pula suatu
kecenderungan bahwa prasangka bisa terjadi tanpa diawali oleh adanya stereotip,
begitu pula stereotip belum tentu berujung pada munculnya sikap berprasangka..
6
Diskriminasi adalah disposisi dari prasangka. Diskriminasi bisa terjadi tanpa
adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan
mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan
yang kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminiasi. Artinya prasangka yang dimiliki
terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok
tersebut. Namun orang yang berprasangka juga belum tentu mendiskriminasi.
Contoh:
1 Adanya diskriminasi terhadap wanita yang berstatus hamil. Dalam mencari sebuah
pekerjaan seorang yang bergender wanita cenderung ditolak apabila berstatus
hamil. Hal itu dikarenakan prasangka pemilik perusahaan yang berfikir bahwa
wanita yang sedang hamil akan segera mengambil cuti yang cukup lama dan hal
itu tentu saja merepotkan perusahaan kelak.
1. Kasus antara Suku Dayak dan Suku Madura. Suku Dayak menganggap Suku
Madura kejam, maka diskriminasi yang kasarpun terjadi, seperti balita yang ikut
di bunuh, akibat stereotip yg negatif.
2.3 Asal Muasal Prasangka
a. Konflik Langsung Antarkelompok
Baron dan Byrne (2003) menerangkan bahwa penjelasan yang paling tua
dalam menjelaskan kenapa prasangka terjadi adalah yang menerangkan bahwa
orang berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber-sumber berharga yang
terbatas. Teori ini disebut seorang berprasangka karena adanya kompetisi atas
sumber – sumber berharga yang terbatas. Teori ini disebut sebagai realistic
conflict theory.
Contoh:
1. Konflik antara para migrant dengan masyarakat setempat, masyarakat
setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para
migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga
menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para
migrant.
2. Konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura karena adanya kecemburuan
sosial-Ekonomi. Karena sumber nafkah yang terbatas di sebuah komunitas,
maka di antara kelompok-kelompok yang ada di komunitas tersebut sangat
7
mungkin terjadi prasangka satu sama lain karena saling berkompetisi atas
sumber yang sama untuk mendapatkan nafkahnya.
Suku Dayak VS Suku Madura
b. Teori Belajar Sosial
Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berkembang karena individu
mempelajari dan mendapat informasi dari orang dewasa (terpengaruh
lingkungan).
Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentar-
komentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga
akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa
tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan
prasangka.
Prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui
mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman
langsung dan observasi/vicarious..
c. Kategorisasi Sosial
Perspektif yang ketiga yang menjelaskan prasangka menekankan adanya
kenyataan mendasar yang membuat seseorang dapat berprasangka. Kenyataan
mendasar tersebut adalah demi membuat dunia terlihat mudah terkontrol dan
dapat diprediksi, maka individu melakukan apa yang disebut dengan kategorisasi.
Orang yang melakukan kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, disebut
dengan kategori sosial. Pada kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai
bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai
anggota kelompok lain (maka akan disebut sebagai outgroup-nya).
8
Misalnya: Keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu
menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi, jangan heran jika
muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut.
Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa
jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan
sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena
kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor
kenyamanan dalam berinteraksi sosial.
Peristiwa tersebut dikarenakan adanya kecenderungan untuk memberi atribusi
yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota
kelompok lain. Hal ini terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama
(ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias. Hanya saja hal
ini terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori sosial ini dapat dijawab
berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini
mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan
mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial tertentu. Namun, hal ini terjadi
hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior daripada
kelompok lain yang menjadi pesaingnya.
d. Stereotip
e. Mekanisme kognitif lain:
a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu, kecenderungan melebih-
lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil.
Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih
menonjol dan dengan mudah diingat.
b) Ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu,
kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang
bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan
tersebut adalah perbedaan in-group (in-group differentiation) yaitu
kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya dalam
menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen)
daripada kelompok-kelompok lain.
9
2.4 Target dari Prasangka dan Diskriminasi
Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok
tertentu yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok
jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum
homoseksual dan kelompok individu dengan ketunaan fisik.
a. Seksisme
Prasangka terhadap gender di mana banyak budaya yang masih menempatkan
wanita sebagai kaum minoritas disebut seksisme (sexism). Seksisme ada 2
jenis, yaitu:
1. Seksisme yang penuh kebencian: pandangan jika wanita tidak inferior
terhadap pria, maka akan memiliki banyak trait negative. Contohnya, wanita
banyak yang ingin diistimewakan, sangat sensitive, atau ingin merebut
kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki.
2. Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas
dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka
lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan
untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia
kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya).
Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal
dengan istilah glass ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang
(dalam hal ini wanita) untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti
rekan prianya. Istilah glass ceiling ini pertama kali dikalamkan oleh Gay Bryant
pada suatu artikel di Adweek pada tahun 1984. Glass ceiling ini disebabkan
karena sikap stereotyping, prejudice, dan bias jender (memandang kedudukan
wanita yang lebih rendah daripada pria secara sadar ataupun tidak sadar).
Ada banyak contoh-contoh kasus glass ceiling ini. Di dunia kedokteran,
beberapa spesialisasi medis tertentu seperti dokter bedah atau dokter obstetrik
ginakologi ‘tertutup’ untuk dokter wanita, karena dianggap sebagai domain dokter
laki-laki. Juga ada kecenderungan untuk memilah jenis pekerjaan berdasarkan
jenis kelamin (sex-typed). Laki-laki mendominasi pekerjaan dengan penghasilan
(income) top seperti supervisor, manajer, eksekutif dan sebagainya, sementara
wanita direpresentasikan dalam kelompok kerja paling bawah seperti sekretaris,
10
guru, perawat, dan sebagainya. Ilustrasi yang paling menonjol adalah pada saat
Hillary Clinton akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden AS, di mana
ternyata masih banyak kaum lelaki yang ‘tidak merestuinya’. Gagalnya Hillary
Clinton maju sebagai calon presiden dari partai Demokrat juga sedikit banyak
dipengaruhi oleh mentalitas glass ceiling yang masih dianut dalam masyarakat
AS.
b. Rasisme
Diskriminasi terhadap ras dan etnis merupakan diskriminasi yang paling
banyak menimbulkan perbuatan paling brutal dimuka bumi. Penelitian tentang
sikap anti kulit hitam di Amerika Serikat (AS). Mereka cenderung melihat bahwa
kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang desa, budak, dan
pekerja kasar. Hal ini merupakan contoh rasisme terhadap golongan minoritas.
Sedangkan di Afrika terkenal adanya Rezim apartheid Afrika Selatan yang
merupakan contoh rasisme minoritas terhadap mayoritas.
Namun, kasus Rasisme di Amerika Serikat sudah semakin berkurang.
Semakin lunturnya kasus rasisme ditandai dengan perikahan antar ras di Amerika
yang semakin menguatkan tidak ada perbedaan antara orang kulit putih dan orang
kulit hitam. Angka yang muncul dari Survei Komunitas Amerika 2008-2010
menyebutkan, ada pernikahan antar ras hingga 3 juta pasang setiap tahun.
Namun demikian, bukan berarti bahwa prasangka rasial ini hilang di muka
bumi. Adanya penegasan formal dan legal tentang pelarangan untuk melakukan
diskriminasi membuat diskriminasi tampil dalam bentuk yang berbeda, tidak lagi
dalam bentuk eksplisit dan jelas, tetapi dalam bentuk tersamar dan halus seperti
aversive, racism, modern racism symbolic racism, regressive racism, atau
ambivalent racism. Contohnya adalah dalam bentuk menghindari untuk hidup di
lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka dan menampilkan perilaku
prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkan untuk kelompok
yang tidak menjadi target prasangkanya.
11
c. Ageism
Diskriminasi usia atau ageisme adalah bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap
individu atau kelompok karena faktor usia. Misalnya, di sebuah komunitas, lansia
biasanya diperlakukan dengan penuh hormat. Masyarakat menilai bahwa kaum tua
ini berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam. Oleh kerana itu, penghargaan
terhadap lansia cenderung tinggi. Namun di masyarakat lain, kaum tua
diperlakukan sebagai pihak yang kurang berharga dan kurang memiliki kekuasaan
sehingga mengabaikan hak dasar manusia dari para lansia. Hasil penelitian dari
Noels, Giles, dan La Poire (2003) menunjukkan bahwa orang muda cenderung
menilai individu diatas 65 tahun sebagai orang yang mudah tersinggung, tidak
sehat, tidak menarik, tidak bahagia, pelit, tidak efektif, kurang terampil, terlalu
mengontrol, egosentris, fan tidak kompeten. Misalnya, adanya perlakuan yang
tidak adil dari seorang individu oleh seorang majikan atau rekan kerja atas dasar
usia individu dan biasanya ditujukan terhadap individu yang usia 40 tahun atau
lebih.
d. Diskriminasi Terhadap Kelompok Homoseksual
Ada pro-kontra masyarakat dalam memandang homoseksual. Ada yang
melihatnya sebagai pilihan hidup. Namun ada juga yang melihatnya sebagai
perilaku menyimpang dan tidak bermoral. Survei yang dilakukan oleh Levitt dan
Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk memiliki
keyakinan bahwa homoseksual adalah penyakit dan perlu dilarang secara legal.
Apalagi setelah terbukti bahwa homoseksual merupakan epedemik virus HIV
menimbulkan ketakutan terhadap kaum homoseksual, hingga berkembang menjadi
homofobia.
e. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Fisik
Prasangka dan diskriminasi kerana keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak
lama, bahkan orang dengan keterbatasan fisik dipandang sebagai hal yang
menjijikkan dan kurang bermartabat. Saat ini, diskriminasi terhadap orang yang
memiliki keterbatasan fisik dianggap ilegal dan ketidakterimaan sosial. Di negara-
negara maju kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus disediakan
fasilitas-fasilitas khusus untuk kenyamanannya. Diskriminasi berdasarkan
keterbatasan fisik ini dapat kita lihat ketika kita membaca pengumuman
12
penerimaan calon pegawai atau karyawan. Salah satu poin yang mensyaratkan
bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Arti sehat jasmani dapat dimaknai
bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari
segala penyakit. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat
secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua
istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi penyandang
cacat.Seseorang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-
nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap
penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata
kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut
digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan.
Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadaan fasilitas
umum di sekitar kita. Kebanyakan dari fasilitas umum di Indonesia dibangun
dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang cacat. Penyandang
cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang
sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya.
Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah memperlakukan
kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif.
2.5 Bentuk Diskriminasi
Diskriminasi terwujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang tersamar, nyata
hingga kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi
sebagai berikut :
a. Menolak untuk menolong
Menolak untuk menolong orang lain yang berasal dari kelompok tertentu
sering kali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam
posisinya yang kurang beruntung. Misalnya organisasi yang menolak memberikan
cuti melahirkan pada karyawan wanitanya. Menolak menolong adalah ciri dari
diskriminasi rasial yang nyata.
b. Tokenisme
Tokenisme adalah minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku
ini nanti digunakan sebagai pembelaan dan pembenaran bahwa ia sudah
melakukan hal baik yang tidak melanggar diskriminasi.
13
c. Reverse discrimination
Reverse discrimination adalah praktik melakukan diskriminasi yang
menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka atau diskriminasi
dengan maksud agar mendapat pembenaran dan terbebas dari tuduhan telah
melakukan prasangka atau diskriminasi. Misalnya adanya tokenisme di Amerika
Serikat, yaitu orang yang kulit hitam, perempuan, dan orang spanyol oleh
organisasi kerja. Organisasi ini hanya mempekerjakan kelompok minoritas sebagai
strategi untuk terhindar dari tuduhan melakukan diskriminasi. Tokeisme pada level
ini dapat menghancurkan harga diri orang yang dikenai token ini.
2.6 Stigma dan Dampak Lain Dari Korban Prasangka
Efek dari prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari
ketidaknyamanan ringan hingga penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka
sangat merusak kerana dapat memberikan stigma kepada semua anggota kelompok
yang ada didalamnya. Allport menjelaskan adanya 15 kemungkinan sebagai
konsekuensi negatif dari korban prasangka. Beberapa diantaranya adalah stigma
sosial, rendahnya self-esteem, turunnya kesejahteraan psikologis, kegagalan dan
kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity.
Pengalaman subjektif dalam menerima sigma bergantung pada dua faktor,
yaitu:
1. Visibilitas.
Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat individu yang ada di dalamnya
tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan orang lain, karena cirinya nyata
terlihat.
2. Kontrolabilitas.
Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan homoseks yang
memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori
atau tidak. Sedangkan stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien
dengan penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang
keras ketimbang stigma yang tidak terkontrol. Contohnya adalah obesitas.
Obesitas biasanya mengundang reaksi negative bukan hanya karena dalam budaya
barat obesitas diberi stigma negatif, tetapi juga karena obesitas sesungguhnya
dapat dicegah.
14
2.7 Penjelasan Prasangka di Tingkat Individu Serta Kepribadian Dari Prasangka dan
Diskriminasi
Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan adanya enam teori dalam menjelaskan
terbentuknya prasangka dan diskriminasi.
a. Teori frustasi-agresi dari Dollard-Miller
Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan Miller pada tahun 1939 bersamaan dengan
merebaknya sikap anti-Semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini
mengatakan bahwa jika seseorang mangalami frustasi dan tidak dapat menemukan
alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebabnya, orang akan mencari
kambing hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan diskriminasi. Kritik terhadap
teori ini dikemukan oleh Berkowitz (1962) yang mencoba merivisinya dengan
mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal.
.
b. Kepribadian otoritarian
Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, dan Sanford (1950) menjelaskan kaitan antara
prasangka dengan kepribadian otoritarian. Diungkapkan bahwa hanya orang dengan
kepribadian otoritarian saja yang cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian
adalah konstelasi karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur
otoritas, obsesi terhadap status meliputi ranking, kecenderungan untuk melakukan
displacement kemarahan dan ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah,
toleransi yang rendah terhadap ketidak pastian.
c. Dogmatisme dan closed-mindednes
Teori lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh Rokeach yang
lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generelisasi dari
sidrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan
sikap (closed-mindedness).
d. Otoritatif sayap kanan
Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi tanpa penjelasan aspek kepribadian
dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap yang
terdiri atas tiga komponen, yaitu :
15
a. Conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakkan oleh
pihak otoritas.
· b. Authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pihak devian.
· c. Authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku.
e. Teori dominasi sosial
Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi
sosial atau mitos sosial yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi. Orang yang
menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan superior terhadap kelompok lain
berarti memiliki orientasi dominasi sosial yang tinggi untuk mendorong atau
menolak egaliter.
f. Belief congruence
Rokeach menjelaskan sistem belif congruence menjelaskan rasa tidak suka terhadap
kelompok luar bukan disebabkan oleh keanggotaannya dalam kelompok melainkan
tidak sejalannya sistem keyakinan (belief) dengan sistem belief kelompok luar.
2.8 Mengendalikan Tingkat Prasangka dan Diskriminasi
Teknik-teknik untuk mengendalikan prasangka dan diskriminasi adalah sebagai berikut:
a. Belajar tidak membenci
Psikologi sosial menilai bahwa anak-anak memiliki prasangka dengan
mempelajarinya dari orang tua dan media massa. Dengan demikian, upaya logis
yang dapat dilakukan adalah dengan melarang orang tua/dewasa untuk menurunkan
sikap negatifnya tersebut kepada anak-anak. Namun kenyataannya orang dewasa
sendiri tidak menyadari prasangka yang dimilikinya. Oleh kerana itu, langkah
pertama yang perlu dilakukan adalah menyadarkan orang tua atau orang dewasa
untuk menyadari prasangka yang dimilikinya, baru memotivasi lebih jauh kepada
anak-anak. Prasangka tidak hanya membawa ketidak nyamanan bagi korban
prasangka, tetapi juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang
tidak tenang kerana selalu ada perasaan was-was dengan target yang menjadi
prasangkanya.
16
b. Direct intergroup contact
Pettigrew (1981) menyatakan, bahwa prasangka yang terjadi antar kelompok
dapat dikurangi dengan meningkatkan intensitas kontak antar kelompok yang
berprasangka tersebut. Meningkatkan kontak memungkinkan terjadinya
pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesamaan yang mungkin mereka
miliki sehingga seseorang mampu melihat bahwa anggota-anggota dari kelompok
lain dapat bervariasi, tidak lagi homogen.
c. Rekategorisasi
Rekategorisasi adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan
outgrupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang
sebagai outgroupnya, tetapi kemudian menjadi ingroupnya.
d. Intervensi kognitif
Perlunya intervensi kognitif untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi.
Antara lain dengan memotivasi individu untuk tidak berprasangka dan pelatihan
yang membantu orang untuk mengurangi aktivitas yang otomatis dari cara berpikir
yang stereotip.
e. Social influence sebagai cara mengurangi prasangka
Kenyataan bahwa sikap terhadap kelompok ras atau etnis tertentu bisa
dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika ia menyadari bahwa prasangka atau
diskriminasi tidak disukai oleh kelompoknya, maka dengan perlahan ia akan
mengubah cara pandangnya terhadap kelompok lain.
f. Coping terhadap prasangka
Sebagai target dari prasangka , sebaiknya melakukan perubahan sikap untuk
merespon perilaku diskriminasi. Sehingga target prasangka tidak menjadi korban
dari diskriminasi. Sebagai contoh, melawan dengan jalur hukum bila terjadi
diskriminasi.
17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Prasangka adalah sikap negatif terhadap orang lain yang lebih didasari oleh
keanggotaannya dalam kelompok tertentu dan bukan kerana karakteristik pribadi yang
dimilikinya. Jika prasangka telah berkembang menjadi perilaku, maka bisa disebut
sebagai diskriminasi. Berkembangnya prasangka dan diskriminasi dipicu oleh adanya
stereotip. Prasangka dan diskriminasi yang paling luas adalah aspek gender, ras, etnis,
agama, orientasi seksual, serta keterbatasan fisik.
Baron dan Byrne (2003) dalam menjelaskan penyebab terjadinya prasangka mulai
dari konflik langsung antar kelompok, teori belajar sosial, kategorisasi sosial, dan
stereotip. Beberapa bentuk diskriminasi menurut Vaughan dan Hogg (2005) adalah
menolak untuk menolong, tokenisme, dan reverse discrimination.
Ada sejumlah penjelasan yang mencoba menerangkan mengapa prasangka dan
diskriminasi dapat muncul dan berkembang. Penjelasan tersebut bervariasi mulai dari
yang menjelaskannya sebagai sebuah karakteristik individual, sampai adanya
pengaruh sosial. Penjelasan tersebut adalah teori frustasi-agresi, kepribadian ototarian,
dogmatism, ototarian kelompok kanan, teori dominasi sosial dan belief congruence.
Sejumlah teknik dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi. Beberapa
penjelasan tersebut adalah belajar untuk tidak membenti, direct intergroup contact,
rekategorisasi, intervensi kognitif, dan coping terhadap prasangka dan diskriminasi.
3.2 Saran
Prasangka tidak hanya membawa ketidaknyamanan bagi korban prasangka, tetapi
juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang tidak tenang kerana selalu
ada perasaan was-was dengan target yang menjadi prasangkanya. Maka dari itu jauhilah
prasangka terhadap apapun kerana hanya akan menimbulkan kewaspadaan yang
berlebihan terhadap diri sendiri. Bagi korban prasangka dan diskriminasi sebaiknya
tidak melawan prasangka dan diskriminasi dengan bentuk kekerasan akan tetapi melalui
jalur hukum agar tidak terjadi dilain waktu.
18
DAFTAR PUSTAKA
Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Salemba
Humanika.
Sarlito Wawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka.
Internet :
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/12/07/glass-ceiling-diskriminasi-bagi-wanita/
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka
http://www.detiknews.com/read/2011/12/08/161029/1786343/10/diskriminasikan-difabel-
lion-air-dan-pemerintah-dihukum?nd992203605
19