29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prasangka dan Diskriminasi telah dapat kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari dan istilah ini sering kali digunakan secara bergantian. Namun, psikologi sosial membedakan secara jelas penggunaan kata prasangka dan diskriminasi ini.. Psikologi sosial telah lama mengenal pentingnya prasangka dalam tingkah laku sosial masyarakat. Kita mengetahui bahwa banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat yang berasal dari prasangka dan diskriminasi. Seperti contoh, kelompok orang cina yang sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan detik ini masih mengalami ketidakadilan di negeri ini. Oleh sebab itu, pelajaran mengenai prasangka dan diskriminasi sangat diperlukan. Salah satu penyebab kekerasan yang terjadi adalah kenyataan yang menunjukan bahwa dalam masyarakat terdapat banyak bermacam-macam kelompok, misalnya kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya. Kelompok satu dapat sejalan dengan kelompok yang lain, tetapi tidak jarang ditemui kelompok satu berselisih dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat didapati adanya kelompok yang berselisih dan kelompok antagonistic. Berkaitan dengan antagonistic ini, ada 1

Prasangka Dan Diskriminasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Prasangka Dan Diskriminasi

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Prasangka dan Diskriminasi telah dapat kita jumpai didalam kehidupan sehari-hari

dan istilah ini sering kali digunakan secara bergantian. Namun, psikologi sosial

membedakan secara jelas penggunaan kata prasangka dan diskriminasi ini.. Psikologi

sosial telah lama mengenal pentingnya prasangka dalam tingkah laku sosial

masyarakat.

Kita mengetahui bahwa banyak sekali kekerasan dan ketidakadilan dalam

masyarakat yang berasal dari prasangka dan diskriminasi. Seperti contoh, kelompok

orang cina yang sudah berpuluh-puluh tahun, bahkan detik ini masih mengalami

ketidakadilan di negeri ini. Oleh sebab itu, pelajaran mengenai prasangka dan

diskriminasi sangat diperlukan.

Salah satu penyebab kekerasan yang terjadi adalah kenyataan yang menunjukan

bahwa dalam masyarakat terdapat banyak bermacam-macam kelompok, misalnya

kelompok pendidik, kelompok sepak bola, kelompok pendaki gunung dan sebagainya.

Kelompok satu dapat sejalan dengan kelompok yang lain, tetapi tidak jarang ditemui

kelompok satu berselisih dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa dalam masyarakat didapati adanya kelompok yang berselisih dan

kelompok antagonistic. Berkaitan dengan antagonistic ini, ada beberapa elemen yang

mendasarinya. Masing-masing elemen-elemen tersebut adalah stereotip, prasangka

dan diskriminasi.

Dalam makalah ini akan dibahas definisi dasar dari prasangka dan diskriminasi,

teori-teori mengenai penyebab dan bertahannya prasangka dan diskriminasi, target

prasangka dan diskriminasi, akibat-akibat yang ditimbulkannya, serta teknik-teknik

yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkannya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah pengertian stereotip, prasangka, dan dikriminasi?

1.2.2 Apakah hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi?

1.2.3 Mengapa prasangka dan diskriminasi dapat bertahan?

1.2.4 Apa saja yang menjadi target prasangka dan diskriminasi?

1

Page 2: Prasangka Dan Diskriminasi

1.2.5 Apakah akibat yang ditimbulkan dari prasangka dan diskriminasi?

1.2.6 Bagaimana cara untuk mengurangi dan menghilangkan prasangka dan

diskriminasi?

1.3 Tujuan Penulisan

Pembuatan makalah ini selain untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah

Psikologi Kesehatan, juga untuk mengetahui :

1. Pengertian stereotip, prasangka, dan diskriminasi

2. Hubungan antara stereotip, prasangka, dan diskriminasi

3. Penyebab-penyebab yang menjadikan prasangka dan diskriminasi dapat

bertahan.

4. Target Prasangka dan diskriminasi

5. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh adanya prasangka dan diskriminasi

6. Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan

prasangka dan diskriminasi.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dilakukan dalam membuat karya tulis ini adalah metode deskriptif,

yaitu dengan menganalisa data apa adanya. Penulisan dilakukan dengan cara

mengumpulkan informasi dari beberapa sumber kemudian dikumpulkan untuk dibahas

dan ditarik kesimpulannya

2

Page 3: Prasangka Dan Diskriminasi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi

Sebelum mengetahui hubungan antara stereotip, prasangka dan diskriminasi,

maka kita terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami definisi dari ketiga konsep

tersebut.

a. Stereotip

Stereotip adalah belief tentang karakteristik dari angota kelompok tertentu,

bisa positif atau bisa juga negatif. Ada juga yang mendefinisikan stereotip sebagai

“pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan

kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok

tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negatif”

(Amanda, 2009).

Biasanya stereotip berfungsi untuk membentuk imej kelompok lain dan

umumnya bersifat negatif dan tidak akurat.

Misalnya:

1. Wanita sunda yang dianggap berstrereotipkan matre,gemar bersolek,”wanita

nakal”, membuat seorang ibu bersuku jawa melarang anak laki-lakinya

mempersunting wanita sunda.Maka terciptalah jarak antar kedua etnis tersebut

yang dikarenakan sebuah stereotype.

2. Stereotipe yang menganggap orang islam adalah teroris membuat pemerintahan

Amerika melarang pemakaian cadar dan menolak masuknya orang asing ke

Negara tersebut apabila mengandung nama islami seperti Abdullah,

Muhammad,dll. Stereotipe teroris di Amerika Serikat adalah mereka yang

memakai sorban, berjanggut panjang dengan wajah seperti keturunan Arab,

serta memakai celana yang menggantung. Bisa jadi ada teroris yang justru

berdasi dan memakai jas. Tentu saja pandangan seperti itu bisa menjebak kita

dalam menciptakan kebenaran yang salah.

3. Banyak orang yang menganggap etnis padang pelit dan pandai berdagang.

3

Page 4: Prasangka Dan Diskriminasi

Walaupun lebih cenderung negatif, stereotip kadangkala memiliki derajat

kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Stereotip

biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh

orang/kelompok lain dan biasanya dapat menimbulkan pengkambinghitaman.

Namun, apabila kita menjadi akrab dengan etnis yang bersangkutan, maka

stereotip tehadap orang/kelompok itu biasanya akan menghilang. Hal tersebut

dikarenakan stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat yang

berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.

Misalnya: Dalam hal pemilihan teman. Ketika baru masuk SMA atau kuliah.

Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita

cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan kita. Mengapa saya

memberikan tanda petik untuk kata dirasakan? Karena hal itu sifatnya subjektif.

Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya

berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas.

Reaksi lain dari adanya informasi yang tidak konsisten adalah dengan

melakukan apa yang dinamakan tacit inferences. Maksud tacit inferences adalah

mengubah makna dari informasi yang masuk agar konsisten dengan stereotip

yang kita miliki. Contohnya adalah jika kita menjumpai seorang supir metro mini

yang berpakaian rapi saat bertugas dan mengendarai metro mininya di jalan

dengan santun, maka kita akan berpikir bahwa mungkin ia adalah supir metro

mini yang masih baru dan belum stress dengan tekanan pekerjaannya. Dengan

demikian, kita melakukan pengubahan makna dari informasi yang masuk agar

dapat fit dengan stereotip yang kita punyai tentang sopir metro mini. Kita segera

melakukan tacit inferences yang memungkinkan kita dapat menghadapi

informasi yang tak diharapkan tersebut.

b. Prasangka

Prasangka adalah suatu sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditujukan bagi

anggota-anggota beberapa kelompok yang didasarkan pada keanggotaan dalam

kelompok. Sedangkan menurut Amanda G (2009), Prasangka merupakan

pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau

pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu.

4

Page 5: Prasangka Dan Diskriminasi

Prasangka muncul karena adanya. perbedaan dalam hal seksualitas,ras,etnik,dan

kelompok

Misalnya: Ketika kita bertemu dengan seorang kerabat yang kini telah

menjadi kaya raya setelah sejak 10 tahun lalu tidak bertemu, lalu kita berpikiran

kekayaannya itu didapat dari hasil korupsi,merampok,dll. Itu adalah contoh

prasangka negatif yang nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

Prasangka disebabkan oleh beberapa faktor, yang menurut johnson (1986)

disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Gambaran perbedaan antarkelompok.

2. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas menguasai

kelompok minoritas.

3. Kelompok yang merasa superior sehingga merasa kelompok lain inferior.

c. Diksriminasi

Diskriminasi muncul dari prasangka yang tampil dalam perilaku yang dapat

dilihat. Dengan kata lain, diskriminasi dapat didefinisikan sebagai perilaku negatif

terhadap orang lain yang menjadi target prasangka. Sedangkan menurut sears,

freedman & peplau (1999) diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak

seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok.

Contoh: Di Afrika Selatan orang-orang kulit hitam di larang bersekolah

disekolah untuk orang kulit putih. Hal ini disebabkan karena kecenderungan

manusia untuk membeda-bedakan yang satu dengan yang lain.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari diskriminasi adalah

perlakuan berbeda. Sedangkan pengertian diskriminasi terhadap penyandang cacat

atau difabel lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang

disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para difabel secara berbeda

yang didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi difabel yang

mereka miliki, mereka dianggap tidak mampu melakukan aktivitas sebagaimana

orang lain pada umumnya. Perlakuan diskriminasi semacam ini dapat dilihat

secara jelas dalam bidang lapangan pekerjaan. Para penyedia lapangan pekerjaan

kebanyakan enggan untuk menerima seorang penyandang cacat sebagai karyawan.

Mereka berasumsi bahwa seorang penyandang cacat tidak akan mampu

melakukan pekerjaan seefektif seperti karyawan lain yang bukan difabel, sehingga

5

Page 6: Prasangka Dan Diskriminasi

bagi para penyedia lapangan kerja, mempekerjakan para difabel sama artinya

dengan mendorong perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus

menyediakan beberapa alat bantu bagi kemudahan para difabel dalam melakukan

aktivitasnya.

2.2 Hubungan Antara Stereotip, Prasangka, dan Diskriminasi

Sebenarnya stereotip, prasangka, dan diskriminasi memiliki hubungan yang

sangat erat satu sama lain karena dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi

adalah stereotip. Tapi ada kalanya ketiga sikap tersebut dapat berdiri sendiri secara

terpisah. Stereotip dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang

dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip yang berlebihan

akan memunculkan prasangka terhadap orang atau kelompok lain.

Misalnya: Karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Muslim dengan janggut

yang lebat, maka seluruh orang Muslim yang berjanggut lebat di stereotipkan sebagai

teroris. Dan suatu ketika terjadi pemboman lagi disuatu tempat maka orang Muslim

lah yang dicurigai dan timbulah prasangka yang buruk terhadap orang Muslim.

Padahal belum tentu orang Muslim yang melakukannya dan biasanya bersifat tidak

akurat.

Patricia Devine (1989 dalam Deaux dan Wrightsman, 1993) mengembangkan

model prasangka yang memisahkan antara komponen yang bersifat otomatis dan yang

dapat dikontrol dari renspons prasangka. Jika seseorang yang memiliki belief tentang

sebuah kelompok berjumpa dengan anggota kelompok yang bersangkutan, maka

terdapat aktivasi dari belief yang dimilikinya. Namun, belief ini tidak langsung

otomatis menjadi prasangka dan diskriminasi. Orang tersebut memiliki control untuk

meneruskan atau tidak meneruskan belief tadi untuk menjadi prasangka dan

diskriminasi. Apabila ia tidak melakukan apa-apa untuk menghambat belief, maka

akan terjadi prasangka. Di lain pihak, jika ia melakukan sesuatu untuk menghambat

berkembangnya prasangka, misalnya dengan berpikir bahwa belum tentu orang yang

dijumpainya memiliki karakteristik persis seperti anggota lain kelompoknya, maka

prasangka tidak terjadi.

Jadi, prasangka merupakan disposisi dari stereotip. Namun, muncul pula suatu

kecenderungan bahwa prasangka bisa terjadi tanpa diawali oleh adanya stereotip,

begitu pula stereotip belum tentu berujung pada munculnya sikap berprasangka..

6

Page 7: Prasangka Dan Diskriminasi

Diskriminasi adalah disposisi dari prasangka. Diskriminasi bisa terjadi tanpa

adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan

mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan

yang kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminiasi. Artinya prasangka yang dimiliki

terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok

tersebut. Namun orang yang berprasangka juga belum tentu mendiskriminasi.

Contoh:

1 Adanya diskriminasi terhadap wanita yang berstatus hamil. Dalam mencari sebuah

pekerjaan seorang yang bergender wanita cenderung ditolak apabila berstatus

hamil. Hal itu dikarenakan prasangka pemilik perusahaan yang berfikir bahwa

wanita yang sedang hamil akan segera mengambil cuti yang cukup lama dan hal

itu tentu saja merepotkan perusahaan kelak.

1. Kasus antara Suku Dayak dan Suku Madura. Suku Dayak menganggap Suku

Madura kejam, maka diskriminasi yang kasarpun terjadi, seperti balita yang ikut

di bunuh, akibat stereotip yg negatif.

2.3 Asal Muasal Prasangka

a. Konflik Langsung Antarkelompok

Baron dan Byrne (2003) menerangkan bahwa penjelasan yang paling tua

dalam menjelaskan kenapa prasangka terjadi adalah yang menerangkan bahwa

orang berprasangka karena adanya kompetisi atas sumber-sumber berharga yang

terbatas. Teori ini disebut seorang berprasangka karena adanya kompetisi atas

sumber – sumber berharga yang terbatas. Teori ini disebut sebagai realistic

conflict theory.

Contoh:

1. Konflik antara para migrant dengan masyarakat setempat, masyarakat

setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para

migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga

menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para

migrant.

2. Konflik antara Suku Dayak dengan Suku Madura karena adanya kecemburuan

sosial-Ekonomi. Karena sumber nafkah yang terbatas di sebuah komunitas,

maka di antara kelompok-kelompok yang ada di komunitas tersebut sangat

7

Page 8: Prasangka Dan Diskriminasi

mungkin terjadi prasangka satu sama lain karena saling berkompetisi atas

sumber yang sama untuk mendapatkan nafkahnya.

Suku Dayak VS Suku Madura

b. Teori Belajar Sosial

Teori ini menjelaskan bahwa prasangka berkembang karena individu

mempelajari dan mendapat informasi dari orang dewasa (terpengaruh

lingkungan).

Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentar-

komentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga

akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa

tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan

prasangka.

Prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui

mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman

langsung dan observasi/vicarious..

c. Kategorisasi Sosial

Perspektif yang ketiga yang menjelaskan prasangka menekankan adanya

kenyataan mendasar yang membuat seseorang dapat berprasangka. Kenyataan

mendasar tersebut adalah demi membuat dunia terlihat mudah terkontrol dan

dapat diprediksi, maka individu melakukan apa yang disebut dengan kategorisasi.

Orang yang melakukan kategorisasi terhadap lingkungan sosialnya, disebut

dengan kategori sosial. Pada kategori sosial ini, orang melihat orang lain sebagai

bagian dari kelompoknya (maka akan disebut sebagai ingroup-nya) atau sebagai

anggota kelompok lain (maka akan disebut sebagai outgroup-nya).

8

Page 9: Prasangka Dan Diskriminasi

Misalnya: Keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu

menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi, jangan heran jika

muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut.

Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa

jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan

sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena

kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor

kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

Peristiwa tersebut dikarenakan adanya kecenderungan untuk memberi atribusi

yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota

kelompok lain. Hal ini terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama

(ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias. Hanya saja hal

ini terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori sosial ini dapat dijawab

berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini

mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan

mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial tertentu. Namun, hal ini terjadi

hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior daripada

kelompok lain yang menjadi pesaingnya.

d. Stereotip

e. Mekanisme kognitif lain:

a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu, kecenderungan melebih-

lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil.

Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih

menonjol dan dengan mudah diingat.

b) Ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu,

kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang

bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan

tersebut adalah perbedaan in-group (in-group differentiation) yaitu

kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya dalam

menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen)

daripada kelompok-kelompok lain.

9

Page 10: Prasangka Dan Diskriminasi

2.4 Target dari Prasangka dan Diskriminasi

Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok

tertentu yang biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok

jenis kelamin tertentu, ras tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum

homoseksual dan kelompok individu dengan ketunaan fisik.

a. Seksisme

Prasangka terhadap gender di mana banyak budaya yang masih menempatkan

wanita sebagai kaum minoritas disebut seksisme (sexism). Seksisme ada 2

jenis, yaitu:

1. Seksisme yang penuh kebencian: pandangan jika wanita tidak inferior

terhadap pria, maka akan memiliki banyak trait negative. Contohnya, wanita

banyak yang ingin diistimewakan, sangat sensitive, atau ingin merebut

kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki.

2. Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas

dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka

lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan

untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia

kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya).

Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal

dengan istilah glass ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang

(dalam hal ini wanita) untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti

rekan prianya. Istilah glass ceiling ini pertama kali dikalamkan oleh Gay Bryant

pada suatu artikel di Adweek pada tahun 1984. Glass ceiling ini disebabkan

karena sikap stereotyping, prejudice, dan bias jender (memandang kedudukan

wanita yang lebih rendah daripada pria secara sadar ataupun tidak sadar).

Ada banyak contoh-contoh kasus glass ceiling ini. Di dunia kedokteran,

beberapa spesialisasi medis tertentu seperti dokter bedah atau dokter obstetrik

ginakologi ‘tertutup’ untuk dokter wanita, karena dianggap sebagai domain dokter

laki-laki. Juga ada kecenderungan untuk memilah jenis pekerjaan berdasarkan

jenis kelamin (sex-typed). Laki-laki mendominasi pekerjaan dengan penghasilan

(income) top seperti supervisor, manajer, eksekutif dan sebagainya, sementara

wanita direpresentasikan dalam kelompok kerja paling bawah seperti sekretaris,

10

Page 11: Prasangka Dan Diskriminasi

guru, perawat, dan sebagainya. Ilustrasi yang paling menonjol adalah pada saat

Hillary Clinton akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden AS, di mana

ternyata masih banyak kaum lelaki yang ‘tidak merestuinya’. Gagalnya Hillary

Clinton maju sebagai calon presiden dari partai Demokrat juga sedikit banyak

dipengaruhi oleh mentalitas glass ceiling yang masih dianut dalam masyarakat

AS.

b. Rasisme

Diskriminasi terhadap ras dan etnis merupakan diskriminasi yang paling

banyak menimbulkan perbuatan paling brutal dimuka bumi. Penelitian tentang

sikap anti kulit hitam di Amerika Serikat (AS). Mereka cenderung melihat bahwa

kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang desa, budak, dan

pekerja kasar. Hal ini merupakan contoh rasisme terhadap golongan minoritas.

Sedangkan di Afrika terkenal adanya Rezim apartheid Afrika Selatan yang

merupakan contoh rasisme minoritas terhadap mayoritas.

Namun, kasus Rasisme di Amerika Serikat sudah semakin berkurang.

Semakin lunturnya kasus rasisme ditandai dengan perikahan antar ras di Amerika

yang semakin menguatkan tidak ada perbedaan antara orang kulit putih dan orang

kulit hitam. Angka yang muncul dari Survei Komunitas Amerika 2008-2010

menyebutkan, ada pernikahan antar ras hingga 3 juta pasang setiap tahun.

Namun demikian, bukan berarti bahwa prasangka rasial ini hilang di muka

bumi. Adanya penegasan formal dan legal tentang pelarangan untuk melakukan

diskriminasi membuat diskriminasi tampil dalam bentuk yang berbeda, tidak lagi

dalam bentuk eksplisit dan jelas, tetapi dalam bentuk tersamar dan halus seperti

aversive, racism, modern racism symbolic racism, regressive racism, atau

ambivalent racism. Contohnya adalah dalam bentuk menghindari untuk hidup di

lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka dan menampilkan perilaku

prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkan untuk kelompok

yang tidak menjadi target prasangkanya.

11

Page 12: Prasangka Dan Diskriminasi

c. Ageism

Diskriminasi usia atau ageisme adalah bentuk stereotip dan diskriminasi terhadap

individu atau kelompok karena faktor usia. Misalnya, di sebuah komunitas, lansia

biasanya diperlakukan dengan penuh hormat. Masyarakat menilai bahwa kaum tua

ini berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam. Oleh kerana itu, penghargaan

terhadap lansia cenderung tinggi. Namun di masyarakat lain, kaum tua

diperlakukan sebagai pihak yang kurang berharga dan kurang memiliki kekuasaan

sehingga mengabaikan hak dasar manusia dari para lansia. Hasil penelitian dari

Noels, Giles, dan La Poire (2003) menunjukkan bahwa orang muda cenderung

menilai individu diatas 65 tahun sebagai orang yang mudah tersinggung, tidak

sehat, tidak menarik, tidak bahagia, pelit, tidak efektif, kurang terampil, terlalu

mengontrol, egosentris, fan tidak kompeten. Misalnya, adanya perlakuan yang

tidak adil dari seorang individu oleh seorang majikan atau rekan kerja atas dasar

usia individu dan biasanya ditujukan terhadap individu yang usia 40 tahun atau

lebih.

d. Diskriminasi Terhadap Kelompok Homoseksual

Ada pro-kontra masyarakat dalam memandang homoseksual. Ada yang

melihatnya sebagai pilihan hidup. Namun ada juga yang melihatnya sebagai

perilaku menyimpang dan tidak bermoral. Survei yang dilakukan oleh Levitt dan

Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk memiliki

keyakinan bahwa homoseksual adalah penyakit dan perlu dilarang secara legal.

Apalagi setelah terbukti bahwa homoseksual merupakan epedemik virus HIV

menimbulkan ketakutan terhadap kaum homoseksual, hingga berkembang menjadi

homofobia.

e. Diskriminasi Berdasarkan Keterbatasan Fisik

Prasangka dan diskriminasi kerana keterbatasan fisik sudah berlangsung sejak

lama, bahkan orang dengan keterbatasan fisik dipandang sebagai hal yang

menjijikkan dan kurang bermartabat. Saat ini, diskriminasi terhadap orang yang

memiliki keterbatasan fisik dianggap ilegal dan ketidakterimaan sosial. Di negara-

negara maju kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus disediakan

fasilitas-fasilitas khusus untuk kenyamanannya. Diskriminasi berdasarkan

keterbatasan fisik ini dapat kita lihat ketika kita membaca pengumuman

12

Page 13: Prasangka Dan Diskriminasi

penerimaan calon pegawai atau karyawan. Salah satu poin yang mensyaratkan

bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani. Arti sehat jasmani dapat dimaknai

bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari

segala penyakit. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat

secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua

istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi penyandang

cacat.Seseorang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-

nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap

penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata

kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut

digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan.

Fakta lain yang dapat dijadikan contoh adalah tentang keberadaan fasilitas

umum di sekitar kita. Kebanyakan dari fasilitas umum di Indonesia dibangun

dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang cacat. Penyandang

cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya memiliki hak yang

sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya.

Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah memperlakukan

kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif.

2.5 Bentuk Diskriminasi

Diskriminasi terwujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang tersamar, nyata

hingga kasar. Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bentuk-bentuk diskriminasi

sebagai berikut :

a.    Menolak untuk menolong

Menolak untuk menolong orang lain yang berasal dari kelompok tertentu

sering kali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut tetap berada dalam

posisinya yang kurang beruntung. Misalnya organisasi yang menolak memberikan

cuti melahirkan pada karyawan wanitanya. Menolak menolong adalah ciri dari

diskriminasi rasial yang nyata.

b.   Tokenisme

Tokenisme adalah minimnya perilaku positif kepada pihak minoritas. Perilaku

ini nanti digunakan sebagai pembelaan dan pembenaran bahwa ia sudah

melakukan hal baik yang tidak melanggar diskriminasi.

13

Page 14: Prasangka Dan Diskriminasi

c.    Reverse discrimination

Reverse discrimination adalah praktik melakukan diskriminasi yang

menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka atau diskriminasi

dengan maksud agar mendapat pembenaran dan terbebas dari tuduhan telah

melakukan prasangka atau diskriminasi. Misalnya adanya tokenisme di Amerika

Serikat, yaitu orang yang kulit hitam, perempuan, dan orang spanyol oleh

organisasi kerja. Organisasi ini hanya mempekerjakan kelompok minoritas sebagai

strategi untuk terhindar dari tuduhan melakukan diskriminasi. Tokeisme pada level

ini dapat menghancurkan harga diri orang yang dikenai token ini.

2.6 Stigma dan Dampak Lain Dari Korban Prasangka

Efek dari prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari

ketidaknyamanan ringan hingga penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka

sangat merusak kerana dapat memberikan stigma kepada semua anggota kelompok

yang ada didalamnya. Allport menjelaskan adanya 15 kemungkinan sebagai

konsekuensi negatif dari korban prasangka. Beberapa diantaranya adalah stigma

sosial, rendahnya self-esteem, turunnya kesejahteraan psikologis, kegagalan dan

kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity.

Pengalaman subjektif dalam menerima sigma bergantung pada dua faktor,

yaitu:

1. Visibilitas.

Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat individu yang ada di dalamnya

tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan orang lain, karena cirinya nyata

terlihat.

2. Kontrolabilitas.

Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan homoseks yang

memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori

atau tidak. Sedangkan stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien

dengan penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang

keras ketimbang stigma yang tidak terkontrol. Contohnya adalah obesitas.

Obesitas biasanya mengundang reaksi negative bukan hanya karena dalam budaya

barat obesitas diberi stigma negatif, tetapi juga karena obesitas sesungguhnya

dapat dicegah.

14

Page 15: Prasangka Dan Diskriminasi

2.7 Penjelasan Prasangka di Tingkat Individu Serta Kepribadian Dari Prasangka dan

Diskriminasi

Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan adanya enam teori dalam menjelaskan

terbentuknya prasangka dan diskriminasi.

a.    Teori frustasi-agresi dari Dollard-Miller

Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan Miller pada tahun 1939 bersamaan dengan

merebaknya sikap anti-Semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini

mengatakan bahwa jika seseorang mangalami frustasi dan tidak dapat menemukan

alasannya atau tidak dapat mengatasi sumber penyebabnya, orang akan mencari

kambing hitam untuk dijadikan sasaran prasangka dan diskriminasi. Kritik terhadap

teori ini dikemukan oleh Berkowitz (1962) yang mencoba merivisinya dengan

mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal.

.

b.   Kepribadian otoritarian

Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson, dan Sanford (1950) menjelaskan kaitan antara

prasangka dengan kepribadian otoritarian. Diungkapkan bahwa hanya orang dengan

kepribadian otoritarian saja yang cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian

adalah konstelasi karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur

otoritas, obsesi terhadap status meliputi ranking, kecenderungan untuk melakukan

displacement kemarahan dan ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah,

toleransi yang rendah terhadap ketidak pastian.

c.    Dogmatisme dan closed-mindednes

Teori lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh Rokeach yang

lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generelisasi dari

sidrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan

sikap (closed-mindedness).

d.   Otoritatif sayap kanan

Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi tanpa penjelasan aspek kepribadian

dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap yang

terdiri atas tiga komponen, yaitu :

15

Page 16: Prasangka Dan Diskriminasi

a. Conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakkan oleh

pihak otoritas.

·                b. Authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pihak devian.

·                c. Authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku.

e.    Teori dominasi sosial

Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi

sosial atau mitos sosial yang melegitimasi hierarki dan diskriminasi. Orang yang

menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan superior terhadap kelompok lain

berarti memiliki orientasi dominasi sosial yang tinggi untuk mendorong atau

menolak egaliter.

f.    Belief congruence

Rokeach menjelaskan sistem belif congruence menjelaskan rasa tidak suka terhadap

kelompok luar bukan disebabkan oleh keanggotaannya dalam kelompok melainkan

tidak sejalannya sistem keyakinan (belief) dengan sistem belief kelompok luar.

2.8       Mengendalikan Tingkat Prasangka dan Diskriminasi

Teknik-teknik untuk mengendalikan prasangka dan diskriminasi adalah sebagai berikut:

a.      Belajar tidak membenci

Psikologi sosial menilai bahwa anak-anak memiliki prasangka dengan

mempelajarinya dari orang tua dan media massa. Dengan demikian, upaya logis

yang dapat dilakukan adalah dengan melarang orang tua/dewasa untuk menurunkan

sikap negatifnya tersebut kepada anak-anak. Namun kenyataannya orang dewasa

sendiri tidak menyadari prasangka yang dimilikinya. Oleh kerana itu, langkah

pertama yang perlu dilakukan adalah menyadarkan orang tua atau orang dewasa

untuk menyadari prasangka yang dimilikinya, baru memotivasi lebih jauh kepada

anak-anak. Prasangka tidak hanya membawa ketidak nyamanan bagi korban

prasangka, tetapi juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang

tidak tenang kerana selalu ada perasaan was-was dengan target yang menjadi

prasangkanya.

16

Page 17: Prasangka Dan Diskriminasi

b.      Direct intergroup contact

Pettigrew (1981) menyatakan, bahwa prasangka yang terjadi antar kelompok

dapat dikurangi dengan meningkatkan intensitas kontak antar kelompok yang

berprasangka tersebut. Meningkatkan kontak memungkinkan terjadinya

pemahaman yang lebih mendalam mengenai kesamaan yang mungkin mereka

miliki sehingga seseorang mampu melihat bahwa anggota-anggota dari kelompok

lain dapat bervariasi, tidak lagi homogen.

c.       Rekategorisasi

Rekategorisasi adalah melakukan perubahan batas antara ingroup dan

outgrupnya. Sebagai akibatnya, bisa saja seseorang yang sebelumnya dipandang

sebagai outgroupnya, tetapi kemudian menjadi ingroupnya.

d.      Intervensi kognitif

Perlunya intervensi kognitif untuk mengurangi prasangka dan diskriminasi.

Antara lain dengan memotivasi individu untuk tidak berprasangka dan pelatihan

yang membantu orang untuk mengurangi aktivitas yang otomatis dari cara berpikir

yang stereotip.

e.       Social influence sebagai cara mengurangi prasangka

Kenyataan bahwa sikap terhadap kelompok ras atau etnis tertentu bisa

dipengaruhi oleh lingkungannya. Jika ia menyadari bahwa prasangka atau

diskriminasi tidak disukai oleh kelompoknya, maka dengan perlahan ia akan

mengubah cara pandangnya terhadap kelompok lain.

f.       Coping terhadap prasangka

Sebagai target dari prasangka , sebaiknya melakukan perubahan sikap untuk

merespon perilaku diskriminasi. Sehingga target prasangka tidak menjadi korban

dari diskriminasi. Sebagai contoh, melawan dengan jalur hukum bila terjadi

diskriminasi.

17

Page 18: Prasangka Dan Diskriminasi

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Prasangka adalah sikap negatif terhadap orang lain yang lebih didasari oleh

keanggotaannya dalam kelompok tertentu dan bukan kerana karakteristik pribadi yang

dimilikinya. Jika prasangka telah berkembang menjadi perilaku, maka bisa disebut

sebagai diskriminasi. Berkembangnya prasangka dan diskriminasi dipicu oleh adanya

stereotip. Prasangka dan diskriminasi yang paling luas adalah aspek gender, ras, etnis,

agama, orientasi seksual, serta keterbatasan fisik.

Baron dan Byrne (2003) dalam menjelaskan penyebab terjadinya prasangka mulai

dari konflik langsung antar kelompok, teori belajar sosial, kategorisasi sosial, dan

stereotip. Beberapa bentuk diskriminasi menurut Vaughan dan Hogg (2005) adalah

menolak untuk menolong, tokenisme, dan reverse discrimination.

Ada sejumlah penjelasan yang mencoba menerangkan mengapa prasangka dan

diskriminasi dapat muncul dan berkembang. Penjelasan tersebut bervariasi mulai dari

yang menjelaskannya sebagai sebuah karakteristik individual, sampai adanya

pengaruh sosial. Penjelasan tersebut adalah teori frustasi-agresi, kepribadian ototarian,

dogmatism, ototarian kelompok kanan, teori dominasi sosial dan belief congruence.

Sejumlah teknik dapat mengurangi prasangka dan diskriminasi. Beberapa

penjelasan tersebut adalah belajar untuk tidak membenti, direct intergroup contact,

rekategorisasi, intervensi kognitif, dan coping terhadap prasangka dan diskriminasi.

3.2         Saran

Prasangka tidak hanya membawa ketidaknyamanan bagi korban prasangka, tetapi

juga pelakunya. Prasangka yang dimiliki membuat seseorang tidak tenang kerana selalu

ada perasaan was-was dengan target yang menjadi prasangkanya. Maka dari itu jauhilah

prasangka terhadap apapun kerana hanya akan menimbulkan kewaspadaan yang

berlebihan terhadap diri sendiri. Bagi korban prasangka dan diskriminasi sebaiknya

tidak melawan prasangka dan diskriminasi dengan bentuk kekerasan akan tetapi melalui

jalur hukum agar tidak terjadi dilain waktu.

18

Page 19: Prasangka Dan Diskriminasi

DAFTAR PUSTAKA

Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Salemba

Humanika.

Sarlito Wawan Sarwono. 1999. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.

Jakarta: PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka.

Internet :

http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2011/12/07/glass-ceiling-diskriminasi-bagi-wanita/

http://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka

http://www.detiknews.com/read/2011/12/08/161029/1786343/10/diskriminasikan-difabel-

lion-air-dan-pemerintah-dihukum?nd992203605

19