80
1 PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Studi Kasus Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi) Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu Syariah Oleh: HAIRUL ADKAN NIM: SHE. 141581 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 1439H / 2018M

PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT …repository.uinjambi.ac.id/512/1/SHE141581 HAIRUL ADKAN... · 2019. 12. 4. · praktek jual beli, Islam juga mengatur tata cara

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT HUKUM

    ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG

    PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

    (Studi Kasus Di Desa Muara Belengo Kabupaten

    Merangin Provinsi Jambi)

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna

    Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

    Dalam Ilmu Syariah

    Oleh:

    HAIRUL ADKAN

    NIM: SHE. 141581

    PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

    FAKULTAS SYARIAH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

    1439H / 2018M

  • 2

  • 3

  • 4

  • 5

  • 6

    MOTTO

    Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu

    membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

    Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang

    lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat

    merupakan suatu kesatuan”.1

    1 Q.S An-Nisa’ : 29

  • 7

    PERSEMBAHAN

    السالم عليكن ورحمتاهلل وبركاته

    Segala puji dan syukur kupanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

    limpahan rahmat, kenikmatan, anugrah, kesempatan, dan kemudahan bagi

    saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

    Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada panutan seluruh ummat manusia yaitu

    nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun dan memberikan pengetahuan

    sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah SWT.

    Kupersembahkan skripsi ini kepada:

    Ibundaku Tersayang Hazizah

    Ayahandaku tecinta Samsuri

    Untuk kakak dan adikku, Faisal Zahri, Marwanzi Dan Siti Mukarromah Terima kasih

    selalu memberi semangat dan dukungan sehingga membuat saya

    selalu tersenyum menghadapi getirnya rintangan ini semua.

    Untuk dosen pembimbing dan dosen yang ada di fakultas syari’ah terkhusus jurusan

    Hukum Ekonomi Syari’ah yang telah memberikan kontribusi

    besar atas kesuksesan penulisan skripsi ini yang tidak bisa saya

    sebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya.

    Untuk semua sahabat dan teman tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih khususnya

    Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah angkatan 2014 yang

    penulis banggakan dan sayangi. Dan pada umumnya

    seluruh teman seperjuangan.

    Semoga cinta dan kasih sayang kalian semua akan dibalas oleh Allah SWT sebagai

    amal ibadah dan mampu membawa manfaat bagi saya dalam

    menjalani gelombang hidup dikemudian hari.

    Amiin Ya Robbal Alamiin

    Saya Hairul Adkan mengucapkan banyak terima kasih.

    السالم عليكن ورحمتاهلل وبركاته

  • 8

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’alaikum Wr, Wb.

    “Alhamdulillahi Robbil Aalamiin” dengan segala kerendahan hati, izinkan

    penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT yang senantiasa

    membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam menegakkan agama-Nya

    serta memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi yang membahas tentang

    “Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan

    Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

    Agraria (Study Khasus Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi

    Jambi” Sholawat dan salam tak pernah putus penulis sampaikan kepada pimpinan

    sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang telah banyak

    memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.

    Kemudian dalam penyusunan skripsi ini, penulis akui, tidak sedikit hambatan

    dan rintangan yang penulis temui baik dalam pengumpulan data maupun dalam

    penyusunannya. Dan berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, terutama bantuan

    dan bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat

    penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan

    adalah kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian

    skripsi ini, terutama sekali Yang Terhormat:

    1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA. Selaku Rektor UIN STS Jambi.

  • 9

    2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sulthan

    Thaha Saifuddin Jambi.

    3. Bapak H. Hermanto, Lc., M. HI., P.h.D. Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI dan Dr.

    Yulianti, S.Ag., M.HI. Selaku Wakil Dekan I, II dan III di Lingkungan Fakultas

    Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    4. Ibu Mariani, S.Ag., M.HI. Selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

    Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    5. Ibu Pidayan Sasnifa, S.Ag., M.E.Sy. Selaku Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi

    Syariah Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    6. Bapak Drs. Bakhtiar L., M.HI. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah

    memberikan pencerahan dalam penyelesaian skripsi ini.

    7. Bapak Fauzi Muhammad S.Ag., M.Ag. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah

    membimbing, memberikan pemikiran, arahan, koreksi serta saran hingga

    penulisan skripsi ini selesai.

    8. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan dan karyawati di

    lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

    9. Bapak dan Ibu pengawai Perpustakaan UIN STS Jambi dan Perpustakaan

    Wilayah Provinsi Jambi atas segala bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

    10. Orang tua yang saya sayangi hormati dan sangat saya sayangi yang telah

    mengasuh, memelihara, mendidik dan membesarkan penulis hingga seperti

    sekarang ini.

  • 10

    11. Kakak dan adik tersayang, serta keluarga tercinta yang telah membantu dan

    memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini.

    12. Rekan-rekan seperjuangan khususnya Jurusan Hukum Ekonomi Syariah prodi

    Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014 yang telah memberikan motivasi, saran

    dan kritikan dalam pembuatan skripsi ini.

    13. Semua pihak yang telah begitu banyak membantu penulisan skripsi ini yang tidak

    dapat penulis tuliskan satu persatu.

    Semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala dan dicatat sebagai amal

    ibadah atas jasa bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak yang ikut membantu

    dalam penyelesaian skripsi ini.

    Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari

    kesempurnaan. Baik dari segi penulisan, penyusunan kata maupun penggunaan

    bahasanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan pada semua pihak untuk

    memberikan sumbangan pemikiran saran maupun kritikan, yang bersifat membangun

    demi kesempurnaan dan guna meningkatkan kualitas dari skripsi ini.

    Demikianlah semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah-Nya kepada kita

    semua Aamiin ya robbal’alamin.

    Wasssalamu’alaikum Wr, Wb.

  • 11

    ABSTRAK

    Jual beli pada hakikatnya tentulah bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam apapun

    bentuk dan objeknya, sebelum ada dalil yang melarangnya. Selain memperboleh

    praktek jual beli, Islam juga mengatur tata cara jual beli yaitu dengan unsur suka

    sama suka akan tetapi tidak boleh merugikan pihak lain. Sedangkan menurut

    ketentuan yang berlaku jual beli dalam UUPA untuk menjamin kepastian hukum hak

    atas tanah haruslah dilakukan dihadapan PPAT, akan tetapi terjadi di Desa Muara

    Belengo ternyata masih banyak terjadi peralihan hak atas tanah yang dilakukan

    dibawah tangan dalam arti tidak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, hal yang

    demikian tentulah akan sangat merugikan pihak pembeli, karena dia hanya dapat

    menguasai hak atas tanah secara fisik saja secara hukum kepemilikan atas tanah

    tersebut adalah tetap pada penjual. Begitupun bila dikaitkan dengan Hukum Islam

    praktek jual beli seperti ini tentu sesuatu yang dilarang, karena dalam praktek jual

    beli tersebut ada pihak yang dirugikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-

    Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam

    penyusunan skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan

    deskriptif kualitatif, dengan teknik mengumpulkan data interviu, dokumentasi dan

    observasi. Penelitian ini deskriptif yaitu mengambarkan pokok masalah yang ada

    dalam pokok bahasan secara kritis analitis apakah masalah itu sesuai dengan hukum

    islam dan UUPA atau tidak, dengan pendekatan normative yaitu pendekatan melalui

    norma-norma Hukum Islam berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadits maupun Ijthad para

    ulama serta undang-undangan yang berlaku dalam UUPA. Setelah melakukan

    penelitian di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dapat diambil

    kesimpulan antara lain: Pengetahuan serta pemahaman masyarakat terhadap praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat, masih sangat-sangat kurang, sehingga mereka tidak

    memikirkan dampak dari jual beli yang dilakukan. Sedangkan menurut Hukum Islam,

    tidak boleh merugikan pihak lain dalam praktek jual beli, begitupun dengan kepastian

    hukum yang sudah diatur secara jelas dalam UUPA.

  • 12

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

    PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii

    NOTA DINAS ............................................................................................. iii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. iv

    MOTTO ....................................................................................................... v

    PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi

    KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

    ABSTRAK ................................................................................................... x

    DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ................................................................................. 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5

    C. Batasan Masalah .............................................................................. 5

    D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

    E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6

    F. Kerangka Teori ................................................................................ 6

    G. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 19

    BAB II METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 21

    B. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 22

    C. Unit Analisis Data ............................................................................ 23

    D. Instrumen Pengumpulan Data .......................................................... 23

    E. Teknik Analisis Data ........................................................................ 25

    F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 26

  • 13

    BAB III GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN

    A. Histori, Geografi dan Demografi ..................................................... 28

    B. Struktur Desa ................................................................................... 30

    C. Keadaan Penduduk ........................................................................... 31

    D. Keadaan Agama dan Adat Istiadat ................................................... 33

    BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. Praktek Jual Beli Tanah Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin

    Provinsi Jambi ..................................................................................

    35

    B. Status Hukum Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Di Desa Muara

    Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam

    dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

    Pokok-pokok Agraria .......................................................................

    42

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ...................................................................................... 52

    B. Rekomendasi .................................................................................... 53

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    CURRICULUM VITAE

  • 14

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Tanah sangat erat sekali hubunganya dengan kehidupan manusia. Setiap orang

    tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupan, untuk matipun

    manusia masih memerlukan sebidang tanah.

    Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali,

    sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain

    bertambahnya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat tinggal, juga

    kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi menghendaki

    pula tersedianya tanah yang banyak, umpamanya untuk perkebunan, peternakan,

    pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalan untuk sarana perhubungan.2

    Oleh karena itu, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit,

    sedangkan permintaan selalu bertambah. Maka tidak heran kalau nilai tanah jadi

    meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan

    akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan. Saat ini, untuk memperoleh

    tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan permohonan hak ataupun

    dengan pemindahan hak.

    2 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hlm.

    37.

  • 15

    Dalam masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah lebih sering dilakukan

    dengan cara pemindahan hak yaitu dengan jual beli.

    Pemindahan hak atau peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang

    bertujuan memindahkan hak, antara lain: jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan

    dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan.

    Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan, di mana

    seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara

    sukarela.

    Dalam Hukum Islam jual beli tanah atau transaksi jual beli tanah tentulah

    bukan sesuatu yang di larang, asalkan memiliki kejelasan hak milik, kewajiban yang

    dilakukan dipenuhi, serta tidak berefek kepada sosial masyarakat dan juga jual beli

    atau transaksi tersebut haruslah sesuai dengan syariat Islam.3 Sebagaimana di

    jelaskan dengan firman Allah SWT:

    . . .

    Artinya:“. . .Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .”.4

    Selain menegaskan tentang kebolehan transaksi jual beli, dalam Al-Qur’an

    juga menjelaskan tentang cara berlangsungnya transaksi jual beli tersebut, jual beli

    atau transaksi didalam Al-Qura’an diartikan dengan Tijarah, cara berlangsungnya

    3 Hasbi Umar, Filsafat Fiqh Muamalat Kontemporer, (Jakarta: Rajagrapindo Persada, 2014),

    hlm. 207-208.

    4 Al-Baqarah (2): 275.

  • 16

    Tijarah ini menurut Al-qur’an, harus ada prinsip suka sama suka dan bebas dari unsur

    penipuan untuk mendapatkan sesuatu yang ada manfaatnya.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kriteria suatu transaksi yang hak

    dan sah dalam Islam adalah adanya prinsip suka sama suka serta bebas dari unsur

    penipuan didalamnya. Dengan demikian, segala bentuk transaksi yang tidak terdapat

    pada prinsip suka sama suka serta terdapat unsur penipuan, maka transaksi tersebut

    adalah batil, dalam artian memakan harta orang lain secara tidak sah. Statemen ini

    sesuai dengan penjelasan Al-Qur’an yang berbunyi:

    Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

    dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh

    dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang bagimu”.5

    Sedangkan menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

    Dasar Pokok-Pokok Agraria, transaksi jual beli tanah serta peralihan hak milik atas

    tanah dijelaskan dalam pasal 26 ayat 1 yaitu jual beli, penukaran, penghibahan,

    pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain

    yang di maksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur

    dengan peraturan pemerintah.6

    5 An-Nisaa’ (4): 29.

    6 Iman Sjahputra Tunggal, Dkk, Peraturan Perundang-undangan Pertanahan Di Indonesia,

    (Jakarta: Harvindo, 1997), hlm. 704.

  • 17

    Adapun untuk menjamin kepastian hukum diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu

    untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

    seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan

    peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, pemetaan, dan

    pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta

    pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian

    yang kuat.7

    Dalam praktek transaksi jual beli tanah yang terjadi di Desa Muara Belengo,

    Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Si penjual dalam hal ini pihak pertama tidak

    memiliki bukti apapun baik itu sertifikat atau pun yang lainnya, yang menjadi tolak

    ukur bahwa tanah tersebut miliki nya (si penjual) hanya keyakinan saja begitu pun

    dalam menentukan luas serta batas-batasan tanah tersebut.

    Si pembeli dalam hal ini pihak kedua menyetujui jual beli tersebut tanpa bukti

    yang kuat dari status tanah tersebut, yang menjadi pegangan si pembeli yaitu surat

    jual beli yang di setujui kedua belah pihak dan ada juga yang hanya sebatas akad saja.

    Akan tetapi yang sering dilakukan masyarakar Desa Muara Belengo dalam transaksi

    jual beli tanah tanpa sertifikat hanya sebatas akad saja.

    Hasil grandtour terhadap transaksi jual beli tanah ini di mana masih

    banyaknya ditemukan permasalahan yaitu: pertama, tidak adanya kepastian hukum

    terhadapat status tanah yang di perjualbelikan sebagimana dijelaskan dalam pasal 19

    UUPA, untuk menjamin kepastian hukum, tanah tersebut harus terdaftar atau

    7 Ibid., hlm. 705.

  • 18

    mempunyai sertifikat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan

    pemerintah. Kedua, dari sudut pandang Hukum Islam, dijelaskan bahwa jual beli

    harus didasari dengan prinsip suka sama suka serta bebas dari unsur penipuan

    didalamnya atau merugi kan pihak lain. Dalam praktek jual beli diatas tentu ada pihak

    yang dirugikan yaitu apabila terjadi sengketa terhadap hak kepemilikan atas tanah

    tersebut, pihak kedua tentu tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti yang

    kuat secara hukum.8

    Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang penulis ingin untuk

    mengkaji dan mengangkat menjadi sebuah penelitian. Oleh karena itu penulis tertarik

    untuk melakukan penelitian yang berjudul. “Praktek Jual Beli Tanah Tanpa

    Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 5 Tahun 1960

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Studi Kasus Di Desa Muara

    Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi)”.

    B. Rumusan Masalah

    Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian dan penulisan

    skripsi ini antara lain adalah:

    1. Bagaimana praktek jual beli tanah di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin

    Provinsi Jambi ?

    2. Bagaimana status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo

    Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam dan Undang-undang

    No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ?

    8 Observasi, 22 Juni 2017.

  • 19

    C. Batasan Masalah

    Sebagaimana telah ditemukan terdahulu dalam latar belakang masalah serta

    dari pengamatan awal (grand tour) ditemukan fenomena-fenomena yang dipilih

    sebagai objek perhatian untuk dikaji secara ilmiah. Penelitian ini di fokuskan pada

    kajian Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan Undang-

    Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

    D. Tujuan Penelitian

    Bertolak dari latar belakang diatas, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

    1. Untuk mengetahui praktek jual beli tanah di Desa Muara Belengo Kabupaten

    Merangin Provinsi Jambi.

    2. Untuk mengetahui status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara

    Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam dan

    Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

    Agraria.

    E. Manfaat Penelitian

    Apabila tujuan-tujuan diatas sudah terlaksana dengan baik, maka penelitian

    ini akan dipergunakan sebagai berikut:

    1. Memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya,

    dan pengetahuan di bidang Hukum Ekonomi Syari’ah khususnya mengenai

    hukum praktek jual beli tanah tanpa serifikat.

  • 20

    2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian keilmuan dan pengetahuan

    dalam studi Hukum Ekonomi Syari’ah yang berkaitan dengan transaksi jual beli.

    3. Penulisan karya ilmiah ini berguna untuk menyusun skripsi yang menjadi salah

    satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada jurusan

    Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sulthan

    Thaha Saifuddin Jambi.

    F. Kerangka Teori

    Landasan berfikir dalam menganalisis, menelaah dan mengkaji serta

    menjabarkan permasalahan yang diteliti maka diperlukan suatu rujukan dan konsep

    para ahli atau pakar dalam bidang sesuai dengan masalah yang diteliti.

    Bertolak dari permasalahan yang diteliti tentang “Praktek Jual Beli Tanah

    Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara Belengo Kabupaten

    Merangin Provinsi Jambi”.

    Maka teori yang di kembangkan dalam kerangka berfikir ini adalah tentang

    Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang

    No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara

    Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi, diantaranya sebagai berikut :

    1. Pengertian jual beli secara umum

  • 21

    Perjanjian jual beli merupakan perjanjian penting yang kita lakukan sehari-

    hari, namun kita kadang tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan merupakan

    suatu perbuatan hukum yang tentu saja memiliki akibat hukum.

    Akan tetapi perjanjian jual beli yang berlansung tidak antara penjual dan

    pembeli tidak selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak

    jarang menimbulkan masalah, diperlukan aturan hukum yang mengatur tentang

    berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam perjanjian jual beli.

    Oleh karena itu, masalah jual beli secara cermat dalam peraturan perundang-

    undangan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar karena jual beli yang terjadi di

    masyarakat sangat beragam, baik dari jenis objek yang di perdagangkan maupun cara

    membayarnya.9

    Adapun pengertian jual beli secara umum yaitu suatu persetujuan dengan

    mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan

    pihak yang lain untuk membayar pihak lain yang telah di janjikan (pasal 1457 BW).

    Dari pengertian diatas, dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa:

    a. Terdapat 2 (dua) pihak yang saling mengikat dirinya, yang masing-masing

    mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli tersebut.

    b. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan

    berkewajiban menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang lainnya berhak

    9 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press 2014),

    hlm. 125-126.

  • 22

    atas mendapatkan atau menerima suatu kebendaan dan kewajiaban menyerahkan

    suatu pembayaran.

    c. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun

    sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak lainnya.

    d. Bila salah satu pihak tidak terpenuhi atau kewajiaban tidak terpenuhi oleh salah

    satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.10

    2. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Undang-undang No 5 Tahun 1960

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

    a. Pengertian jual beli tanah

    Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 ayat 1 dan 2

    yang berbunyi sebagai berikut:

    1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut

    adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak

    milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.11

    2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan

    perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung

    memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang

    disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau

    kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud

    10

    Daeng Naja, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung:

    Citra Aditya Bakti 2006), hlm. 34.

    11

    Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal

    26 Ayat 1 dan 2.

  • 23

    dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada

    Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap

    berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat

    dituntut kembali.

    Sedangkan yang dimaksud dengan jual beli tanah itu sendiri UUPA tidak

    menerangkan secara jelas, akan tetapi hal tersebut dikaitkan dengan pasal 5 UUPA

    yang menyatakan Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita

    menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem hukum adat.

    Hukum adat yang dimaksudkan dalam pasal 5 UUPA tersebut adalah hukum

    adat yang telah di hilangkan dari cacat-cacatnya atau hukum adat yang sudah di

    sempurnakan atau hukum adat yang sudah di hilangkan sifat kedaerahannya dan di

    beri sifat nasional.12

    Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan

    pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa

    penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil

    berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi

    jual beli. Jual beli tersebut di anggap sah apabila di lakukan secara tertulis atau

    kontrak jual beli di hadapan kepala desa serta penerimaan harga penjual, meskipun

    tanah yang bersangkuatan masih dalam penguasaan si penjual. Sifat terang berarti

    12

    Andrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,

    2013), hlm. 76-77.

  • 24

    jual beli di lakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku. Hal ini di kuatkan

    dengan putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.

    b. Syarat-syarat jual beli tanah menurut UUPA

    1) Syarat materil

    Syarat materil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara

    lain sebagai berikut:

    a) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maksudnya adalah pembeli

    sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan di

    belinya. Sebagaimana di jelaskan dalam pasal 21 UUPA, yaitu yang dapat hak

    milik atas tanah hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yang di

    tetapakan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing atau

    kepada suatu badan hukum yang di kecualikan oleh pemerintah, maka jual beli

    tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (pasal 26 ayat 2

    UUPA).13

    b) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan, akan tetapi apabila pemilik

    tanah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang tersebut

    secara bersama-sama.

    c) Tanah hak yang bersangkuatan boleh di perjual belikan dan tidak sedang dalam

    sengketa, hal ini diatul dalam UUPA (pasal 20) hak milik, (pasal 28) hak guna

    usaha, (pasal 35) hak guna bangunan, (pasal 41) hak pakai.

    2) Syarat formal

    13

    Ibid., hlm. 78-79.

  • 25

    Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas

    tanah, sebagaimana yang di jelaskan dalam PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengatur

    pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang dimaksud

    memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh

    dan di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

    Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk

    menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu:

    a) Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanah yang asli dan tanda bukti

    pembayaran biaya pendaftaranya.

    b) Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum

    bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala

    desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas

    penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah

    selesai dilakukan jual beli.

    c. Tata cara jual beli tanah dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan

    peraturan pelaksaannya

    Tata cara dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan peraturan

    pelaksaannya, secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

    1) Calon pembeli dan penjual sepakat untuk melakukan jual beli menentukan sendiri

    segala sesuatunya, tentang tanah dan harganya.14

    14

    Harun Al–Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan–Peraturanya),

    (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm 51.

  • 26

    2) Calon pembeli dan penjual datang sendiri atau mewajibkan kepada orang lain

    dengan surat kuasa, menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

    (Kepala Kecamatan, Notaris atau lainnya yang diangkat oleh pemerintah).

    3) Dalam hal tanah yang akan dijual itu belum dibukukan (belum bersertifikat),

    maka diharuskan kehadiran Kepala Desa atau seorang anggota Pemerintah Desa

    yang disamping akan bertindak sebagai saksi, juga menjamin bahwa tanah yang

    akan dijual itu memang betul adalah milik penjual dan ia berwenang untuk

    menjualnya.

    4) Dalam hal tanah yang akan dijual itu sudah dibukukan (sudah ada sertifikat)

    dihadiri dua orang saksi, tidak harus Kepala Desa dan anggota pemerintah desa.

    Tetapi apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menganggap perlu (jika ada

    keraguan tentang wewenang orang yang melakukan jual beli itu), maka PPAT

    dapat meminta kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa dari

    tempat letak tanah yang akan dijual.

    5) Kalau tanah yang dijual telah dibukukan, penjual harus menyerahkan sertifikat,

    tetapi kalau belum di bukukan sebagai gantinya harus dibuat surat keterangan dari

    Kepala Kantor Pertahanan yang menyatakan bahwa tanah itu belum dibukukan.

    6) Setelah PPAT merasa cukup persyaratan, tidak ada halangan (umpamanya ada

    persengketaan) dan tidak ragu-ragu lagi, maka PPAT membuat Akta Jual Beli

    Tanah tersebut.

  • 27

    7) Selanjutnya dengan telah adanya akta tersebut, maka PPAT menguruskan

    pendaftaran sampai mendapat sertifikat.

    3. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Hukum Islam

    a. Pengertian jual beli

    Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan

    menurut pengertian fiqih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang

    lain dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang

    dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu.15

    Setelah

    jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan

    uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik

    penjual.

    Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama

    Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik

    penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan

    karena paksaan.16

    Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

    Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

    sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

    berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.17

    15

    Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, cet. Ke-2 (Kencana 2012), hlm. 68-69.

    16

    Lihat Juga, Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat cet. Ke-2, (Jakarta: Amzah 2013), hlm.

    184.

    17

    An-Nisa (4): 29.

  • 28

    b. Hukum jual beli

    Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:

    1) Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli.

    2) Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk

    membayar hutang.

    3) Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat

    memerlukan barang yang dijual.

    4) Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual

    barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk

    merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman

    masyarakat.

    c. Rukun jual beli

    Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun

    jual beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual

    beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan. Menurut sebagian besar

    ulama, rukun jual beli ada empat macam, yaitu:

    1) Penjual dan pembeli

    2) Benda yang dijual

    3) Alat tukar yang sah (uang)

    4) Ijab Kabul

    d. Syarat-syarat jual beli

    http://basicartikel.blogspot.com/2013/07/rukun-jual-beli-dalam-islam.html

  • 29

    1) Berdasarkan Subjeknya:

    a) Orang yang mengadakan transaksi jual beli seseorang yang dibolehkan untuk

    menggunakan harta, yaitu orang yang baligh, berakal, merdeka dan rasyid

    (cerdik bukan idiot).

    b) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).

    c) Keduanya tidak mubazir.

    d) Baligh.

    2) Berdasarkan Obyeknya:

    a) Bersih barangnya

    Bukan barang najis atau digolongkan sebagai benda yangdi haramkan.

    b) Dapat dimanfaatkan

    Dapat digunakan atau di konsumsi.

    c) Milik orang yang melakukan akad

    Pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang.

    d) Mampu menyerahkan

    Penjual dapat menyerahkan barang yangdi jadikan sebagai objek jual beli.

    e) Mengetahui

    Mengetahui jumlah dan harga barang.18

    f) Barang yang di akadkan di tangan

    18

    Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta Timur, Sibar Grafika, 2012), hlm.

    141-146.

  • 30

    Menjual barang yang belum di tangan dilarang, sebab bisa jadi barang

    tersebut rusak atau tidak dapat di serahkan sebagaimana yang telah

    diperjanjikan.

    e. Macam-macam jual beli

    Jual beli ada tiga macam yaitu sebagai berikut:

    1) Jual beli barang yang dapat disaksikan langsung, seperti jual beli pulpen, tanah,

    motor, mobil dal lain-lain yang jelas. Hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan

    para ulama.19

    Jual beli seperti inilah yang umum terjadi dalam transaksi jika

    syarat-syarat barang yang diperjual belikan dan syarat serta rukun jual beli telah

    dipenuhi.

    2) Jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya dalam tanggungan. Jual beli

    seperti ini disebut akad salam atau pemesanan, yaitu jual beli barang yang tidak

    langsung diserahkan dengan pembayaran secara tunai. Jual beli seperti ini

    hukumnya boleh, menurut ijma’ ulama dengan syarat pembeli menyebutkan ciri-

    ciri barang yang diperjual belikan yang akan diserahkan pada waktu itu juga

    ditempat perjanjian.20

    3) Jual beli yang tidak dapat disaksikan langsung. Jual beli demikian tidak sah,

    menurut jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in selain mazhab hanafi.

    19

    Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah. . ., ( Jakarta, Sinar Grafika, 2010), hlm. 177.

    20

    Altriani, Jual Beli Kulit Binatang Selain Anjing Dan Babi Setelah Disamak Menurut

    Hukum Islam, (IAIN STS Jambi 2013), hlm. 7.

  • 31

    Sebab, Rasulallah melarang jual beli gharar. Sebagaimana yang dijelaskan dalam

    hadistnya:

    رواهمسلن () َعْنَأِبيُهَرْيَرَةَقاَلَنَهيَرُسىُلاللَِّهَصلَّياللَُّهَعَلْيِهَىَسلََّمَعْنَبْيِعاْلَحَصاِةَوَعْنَبْيِعاْلَغَرِر

    Artinya:“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual beli

    hashah (yaitu: jual beli dengan cara melempar batu) dan beliau juga melarang

    jual beli gharar”.21

    f. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Hukum Islam

    1) Dasar hukum

    Pada hakikatnya Islam memperbolehkan jual beli apapun bentuk dan

    objeknya, sebelum ada dalil yang melarangnya. Begitupun dengan jual beli tanah atau

    transaksi jual beli tanah tentu bukan sesuatu yang di larang didalam islam,

    sebagaimana di jelaskan dengan firman Allah SWT:

    . . .

    Artinya:“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .”.22

    Selain ayat diatas yang memperbolehkan perihal jual beli, Islam juga

    mengatur transaksi jual beli secara tunai maupun tidak tunai. Hal ini sebagaimana di

    jelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

    21

    Ishamas Shababaty, Shahih Muslim jilid ke-4, (Darul Hadits, 1994), hlm. 64.

    22

    Al-Baqarah (2) 275.

  • 32

    Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara

    tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan

    hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.23

    Selain dalil yang terdapat dalam Al-qur’an, kebolehan terhadap jual beli juga

    dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW sebagaimana sabda nya yang berbunyi:

    Artinya:“Diriwayatkan Al Bazzar, Hakim, dinukil dari Taudhihul Ahkam bahwa

    Rasulullah SAW bersabda: emas ditukar dengan emas, perak dengan perak,

    gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama

    beratnya dan langsung diserah terimakan. Apabila berlainan jenis, maka jual

    lah sesuka kalian namun harus langsung diserah terimakan atau secara

    kontan”.

    Berdasarkan dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa jual beli itu mubah

    (boleh). Terkadang hukum mubah ini bisa berubah menjadi sunat bahkan wajib, jika

    itu satu-satunya cara untuk mewujudkan kemaslahatan. Namun terkadang juga,

    berubah menjadi haram karena ada persyaratan yang kurang atau terkadang

    persyaratan jual beli sudah lengkap, namun tetap terlarang dalam syari’at.24

    1) Kaidah jual beli tanah menurut Hukum Islam

    Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa jual beli tanah dalam Islam tentu

    bukan sesuatu yang dilarang, asalkan memiliki kejelasan hak milik, kewajiban yang

    dilakukan dipenuhi, serta tidak berefek kepada sosial masyarakat. Misalnya saja

    23

    Albaqarah (2) 282.

    24

    Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika 2008), hlm. 4.

  • 33

    dengan pembelian tanah tersebut, rumah warga miskin menjadi tergusur, hak air

    mereka terkurangi, dan sebagainya.

    Dalam hal jual beli tanah, maka ada beberapa hal yang harus

    dipertimbangkan. Hal-hal ini biasanya sering kali menjadi masalah ketika kita akan

    membeli tanah. Untuk itu, sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, maka perlu

    adanya pertimbangan tersendiri untuk kejelasan tanah yang diperjual belikan.25

    Berikut ini adalah beberapa kaidah jual beli tanah dalam Islam didasarkan

    pada prinsip-prinsip kejelasan dan keseimbangan dalam transaksi antara penjual dan

    pembelinya:

    a) Jelas batasnya

    Dalam pembelian tanah maka kejelasan batas harus menjadi hal yang utama.

    Hal ini untuk menjelaskan mana hak tanah yang nantinya akan menjadi milik kita dan

    bukan setelah pembelian. Jika tanah tidak jelas batasannya di kemudian hari biasanya

    akan terjadi konflik atau sengketa tanah karena proses klaim antara dua belah pihak

    lain. Tentu dalam hal ini harus diperjelas dulu antara penjual dan pembeli tanah.

    Kasus yang terjadi sering kali terdapat penipuan batas tanah yang akhirnya

    merugikan salah satu pihak di waktu depan.26

    b) Tidak menjual tanah yang tidak jelas kepemilikannya

    25

    Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih

    Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2007), hlm. 83.

    26

    Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarata:

    Sinar Grafika 1996), hlm. 22-23.

  • 34

    Hendaknya kita pun tidak menjual atau membeli tanah yang tidak jelas

    kepemilikannya. Hal ini pun berefek kepada jangka panjang akan menjadi masalah

    dan konflik pula. Untuk itu sebelum proses jual beli tanah dilakukan hak kepemilikan

    harus diperjelas terlebih dahulu.

    c) Bukan tanah sengketa

    Dalam proses jual beli tanah hendaknya kita pun memperhatikan apakah tanah

    tersebut tanah sengketa. Jika tanah sengketa hendaknya tidak diperjual belikan karena

    tentu merugikan salah satu pihak jelas akan terjadi. Tanah sengketa artinya tanah

    yang bermasalah, jika diperjual belikan tentu masalahnya akan bertambah banyak.

    Tanah sengketa ini tidak diperjual belikan sebelum nantinya adanya status

    kepemilikan serta dinaungi oleh hukum yang berlaku.

    d) Bukan tanah wakaf

    Tanah wakaf tidak boleh diperjual belikan, hal ini dikarenakan sudah

    dititipkan oleh nazir atau pemberi wakaf yang bersangkutan. Dalam hal ini tanah

    wakaf adalah milik ummat, sehingga tidak ada penjual belian.27

    e) Tanah yang berasal dari proses riba atau proses haram

    Sebelum melakukan proses jual beli tanah, hendaknya memahami terlebih

    dahulu apakah tanah tersebut terdapat uang riba atau uang yang haram. Karena riba

    adalah larangan Allah dan tentu akan dilaknat Allah jika dilakukan oleh manusia.

    Untuk itu, perlu memeriksa adakah riba disana dan apakah proses tanah tersebut

    didapatkan dengan jalan yang halal.

    27

    Ibid., hlm. 24.

  • 35

    f) Kelengkapan dokumen dan tata aturan hukum dalam Negara

    Dokumen adalah alat hukum yang sangat penting. Untuk itu dalam proses jual

    beli tanah hendaknya ada dokumen terkait bagaimana tanah itu dijual, dibeli,

    statusnya, harga, luas tanahnya, serta kepemilikannya. Untuk itu, ada sertifikat tanah

    yang berarti sang pemilik sertifikat berhak dan boleh mendayagunakan tanahnya

    selagi masih dalam ukuran hukum yang berlaku.

    g) Mengolah dan Memberikan Manfaat

    Setelah tanah diperjual belikan jangan sampai kita hanya membiarkannya

    menjadi tidak terawat. Tentu harta tersebut menjadi tidak mengalir manfaatnya dan

    berkahnya serta sia-sia saja. Maka hendaklah mengolahnya agar mendapatkan

    manfaat dari tanah tersebut.

    G. Tinjauan Pustaka

    Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (penelitian-

    penelitian lain). Terdapat penelitian judul skripsi yang berjudul “Praktek Jual Beli

    Tanah Yang Belum Bersertifikat dan Pendaftarannya Menurut Peraturan Pemerintah

    No 24 Tahun 1997 (Studi Kasus Dikantor Pertanahan Pati)”. bertujuan untuk

    mengetahui Praktek Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertifikat dan Pendaftarannya

    yang di lakukan masyarakat di kantor pertanahan pati berdasarkan peraturan

    pemerintah no 24 tahun 1997.

    Skripsi yang berjudul “Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli

    Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Studi Kasus Perkara Nomor

  • 36

    220/Pdt.G/2006/PN.BKS)”. bertujuan untuk mengetahui Untuk mengetahui status

    jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

    Khususnya Dalam Perkara Nomor: 220/Pdt.G/2006/ PN.Bks dan cara

    penyelesaiannya.

    Sedangkan penulisan skripsi ini membahas tentang Praktek Jual Beli Tanah

    Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (studi kasus Desa Muara Belengo

    Kabupaten Merangin Provinsi Jambi). Perbedaannya adalah penulis membahas

    tentang pandang Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang

    Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria terhadap praktek jual beli tanah tanpa

    sertifikat.

  • 37

    BAB II

    METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriftif kualitatif. Deskriftif

    kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk membedah suatu phenomena

    dilapangan. Metode ini hanya memaparkan situasi atau peristiwa.28

    Penelitian kualitatif dalam mengumpulkan dan menganalisa data tidak

    berdasarkan angka-angka, tetapi bukan berarti tidak boleh memakai angka dalam

    menerangkan gejala.29

    Menurut Soejono Soekanto, penelitian deskriftif adalah

    penelitian yang bermaksud memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

    keadaan, atau gejala-gejala.

    Berkaitan dengan penelitian yang mencoba menjelaskan Praktek Jual Beli

    Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Maka jenis penelitian ini adalah jenis

    kualitatif. Metode ini ditekankan pada proses analisis yang mana untuk memaparkan

    data untuk melihat praktek jual beli tanah tanpa sertifikat yang dilakukan oleh

    masyarakat tersebut.

    B. Jenis dan Sumber Data

    1. Jenis Data

    28

    Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada,2009), hlm. 11.

    29

    Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi Revisi, (Jambi: Syariah Press, 2014), hlm. 31-32.

  • 38

    a. Data Primer

    Data primer adalah data penelitian yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh

    suatu organisasi atau perorangan langsung dari objeknya.30

    Data primer biasanya

    disebut dengan data asli atau data baru yang mempunyai sifat untuk emperoleh data

    primer, peneliti wajib mengumpulkannya secara langsung.dalam penelitian ini terdiri

    dari data-data hasil wawancara dengan sumber data (narasumber).

    b. Data Skunder

    Data sekunder adalah sumber data yang telah lebih duhulu dikumpulkan dan

    dilaporkan oleh orang di luar penyelidikan sendiri walaupun yang dikumpulkan itu

    sesungguhnya data asli. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber

    lain, jenis data sekunder dalam penelitian ini berupa data-data tentang profil lokasi

    penelitian yang telah terdokumentasi.

    2. Sumber Data

    Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data diperoleh.

    Sumber data dalam kualitatif ini adalah orang atau narasumber. Posisi narasumber

    sangat penting, bukan sekedar memberi respon melainkan juga sebagai pemilik

    informasi. Jadi sumber data dalam penelitian ini adalah orang atau narasumber di

    Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

    C. Unit Analisis

    30

    Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 102.

  • 39

    Unit Analisis adalah satuan tertentu yang di perhitungkan sebagai subjek

    penelitian.31

    Dengan sampling kita memilih objek (individu) atau benda yang diambil

    dari satu kesatuan atau keseluruhan untuk mendapatkan gambaran mengenai kesatuan

    atau keseluruhan tersebut.

    Untuk menentukan unit analisis data peneliti menggunakan sistem purposive

    sampling yaitu subjek dari penelitiannya sudah ditentukan dan hanya diambil pada

    orang-orang tertentu atau orang-orang yang mendalami bidang penelitian ini, yaitu

    tokoh-tokoh masyarakat desa seperti tokoh lembaga adat, tokoh agama, kepala desa

    dan masyarakat.

    D. Instumen Pengumpulan Data

    Dalam mendapatkan data, terdapat beberapa teknik pengumpulan data,

    diantaranya:

    1. Observasi (Pengamatan)

    Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau

    kaloboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama

    penelitian.32

    Observasi adalah pemilihan, pengubahan, pencatatan serangkaian perilaku

    dan suasana yang berkenaan dengan organisasi yang sesuai dengan tujuan empiris.

    Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit yaitu

    pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan dan menanyakan beberapa

    31

    Suharsimi Arikunto, Metode Penelitian, hlm. 143.

    32

    W. Gulo, Metode penelitian, (Jakarta: Grasindo,2002), hlm. 116.

  • 40

    pertanyaan. Sebagai objek penelitian ini dengan menggunakan observasi partipatif,

    dimana peneliti melakukan interaksi secara langsung dalam situasi sosial dengan

    subjek penelitian, teknik ini digunakan untuk mengamati, memehami peristiwa yang

    terjadi di lapangan tentang Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum

    Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

    Agraria di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.

    2. Wawancara

    Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan

    responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap

    muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi

    kata-kata secara verbal. Oleh karena itu, wawancara tidak hanya menangkap

    pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi,

    motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan.

    Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait yang

    berhubungan dalam permasalahan ini dan beberapa masyarakat yang mengerti.

    Wawancara yang penulis maksud disini adalah penulis akan menanyakan langsung

    kepada responden yang telah penulis tentukan sebagai narasumber dalam penelitian

    ini.

    3. Dokumentasi

    Dokumentasi adalah sejumlah dokumen-dokumen tentang berbagai kegiatan

    atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan

  • 41

    data dengan memanfaatkan data sekunder yang telah tersedia dalam perpustakaan,

    surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya. Dokumentasi penulis gunakan untuk

    memperoleh semua data-data menggunakan analisa langsung yang terjadi dalam

    masyarakat yang sudah menjadi suatu kebiasaan.

    E. Teknik Analisis Data

    Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik

    deskriftif dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan menjabarkan hasil penelitian

    sebagaimana adanya dengan tahap-tahap sebagai berikut:

    1) Mentelaah data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, observasi, pustaka

    dan pendokumentasian mengikuti teknik pengumpulan data.

    2) Setelah data ditelaah, kemudian data dicoba untuk direduksi dengan membuat

    rangkuman-rangkuman yang dapat menggambarkan keutamaan data.

    3) Setelah data di reduksi, kemudian data disusun melelui pengkategorisasian

    dengan melihat kesamaan-kesamaan data.

    4) Selanjutnya adalah memeriksa kembali keabsahan data yang telah dikategorikan

    dengan mencocokkan dan membandingkaan dengan data-data yang telah

    dirangkum sebelumnya ataupun dengan rekaman-rekaman dari teknik

    pengumpulan data awal.

    5) Yang terakhir adaalah mencoba menafsirkan data dengan cara membuat

    kesimpulan data yang diperoleh dengan berdasarkan pada pertanyaan rumusan

    masalah.

  • 42

    Data-data yang sudah di transkip ini, kemudian disajikan dengan cara

    dipetakan data-data yang serupa kedalam bagian-bagian tertentu yang telah diberi

    tanda. Langkah selanjutnya adalah membuat sesuatu rangkuman inti mengenai aspek

    yang diteliti. Langkah terakhir adalah membuat suatu kesimpulan sementara dari

    data-data yang terkumpul, sehingga dapat diambil langkah-langkah awal untuk

    penelitian lanjut dan mengecek kembali data-data asli yang telah diperoleh.

    F. Sistematika Penulisan

    Sistematika penelitian skripsi ini adaalah terjadi dari lima bab pembahasan

    dengan sub-sub bahasan sesuai dengan kebutuhan:

    1. Bab I tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

    masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, dan

    tinjauan pustaka.

    2. Bab II tentang metode penelitian, yakni tentang tempat dan waktu penelitian,

    pendekatan penelitian, sumber data dan jenis data, unit analisis, instrument

    pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika penulisan, dan jadwal

    penelitian.

    3. Bab III tentang kondisi obyektif penelitian yakni letak geografis, struktur

    organisasi, keadaan penduduk, keadaan sosial masyarakat.

    4. Bab IV tentang pembahasan dan hasil penelitian tentang (Praktek Jual Beli Tanah

    Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960

  • 43

    Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara Belengo

    Kabupaten Merangin Provinsi Jambi).

    5. Bab V tentang penutup yaitu terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

  • 44

    BAB III

    GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

    A. Historis, Geografis Dan Demografi

    1. Historis

    Menurut sejarah, Desa Muara Belengo merupakan bagian dari Desa

    Pamenang. Terbentuknya Desa Muara Belengo dan Desa Pamenang diawali dengan

    kisah 7 kepala keluarga. Pada masa itu, untuk bertahan hidup mereka selalu

    berpindah-pindah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dikarenakan kehidupan

    yang berpindah-pindah, singkat cerita pada suatu malam mereka melakukan

    musyawarah untuk membentuk pemungkiman atau desa agar dapat menetap.

    Hasil musyawarah pada malam itu diputuskan bahwa 3 dari mereka akan

    menuju ke hulu dan membentuk sebuah desa yang meraka namakan Teluk Balango

    (sekarang dinamakan Desa Muara Belengo). Sedangkan sisanya menuju ke hilir dan

    membentuk desa yang dinamakan Teluk Sungai Lintang (sekarang di namakan Desa

    Pamenang).33

    Peristiwa ini terjadi diperkirakan pada abad ke 16 M, daerah ini juga menjadi

    wilayah jajahan belanda pada masa itu, hal ini dibuktikan dengan banyaknya

    ditemukan peninggalan-peninggalan pada masa itu seperti jembatan beton sebagai

    penghubung tranportasi darat, batu batulis, dan bendungan air, serta pemakaman

    33

    Wawancara Dengan Datuk Jenah, Ketua Lembaga Adat Desa Muara Belengo Kecamatan

    Pamenang Kabupaten Merangin, 4 juli 2018.

  • 45

    sesepuh yang di percaya masyarakat sebagai batas wilayah antara Desa Muara

    Belengo dan Desa Pamenang.

    2. Geografis

    Secara geografis Desa Muara Belengo terletak pada skala 2,5000 Lintang

    Selatan (LS) sampai dengan garis 102,200 Bujur Timur (BT). Desa Muara Belengo

    berada di ketinggian terendah 200 meter dan permukaan laut, serta pada umumnya

    wilayah Desa Muara Belengo merupakan daerah dataran rendah. Secara administrasi

    Desa Muara Belengo berbatasan dengan:

    a) Sebelah Timur dengan : Kelurahan Pamenang

    b) Sebelah Utara dengan : Desa Mentawak

    c) Sebelah Selatan dengan : Desa Meranti (Trans B3)

    d) Sebelah Barat dengan : Desa Jelatang

    Desa Muara Belengo berada di pinggir jalan lintas Sumatra Merangin Jambi

    dan dipinggiran Sungai Merangin. Secara orbitirasi Desa Muara Belengo sejauh 0.3

    KM dari pusat Kecamatan dan 27 KM dari pusat Kabupaten, serta 295 dari pusat

    Ibukota Provinsi.

    3. Demografi

    Jumlah penduduk Desa Muara Belengo cenderung meningkat yaitu 1281

    dengan jumlah Kepala Keluarga 325 KK.34

    Tabel I

    34

    Arsip Desa Muara Belengo Tahun 2017.

  • 46

    Laki-Laki Perempuan Jumlah Total

    654 627 1281

    B. Struktur Desa

    Sebuah lembaga atau Organisasi tidak akan berjalan dengan baik, bahkan

    dapat mengalami keruntuhan atau kekacauan dalam mencapai tujuan, apabila

    lembaga atau organisasi tidak terkoordinir dengan baik maka dibutuhkan struktur

    organisasi pemerintah yang baik agar tujuan dapat tercapai. Desa Muara Belengo

    menganut sistem kelembagaan Pemerintahan Desa dengan pola minimal,

    selengkapnya sebagai berikut:

    BPD KEPALA DESA

    ANWAR

    SEKRETARIS DESA

    MARHALIM

    KAUR KEUANGAN

    SRI HURNIATI

    KAUR UMUM

    ALIS ANDIKA

    KASI PEMERINTAHAN

    HUSNI MUBARAK

    KASI KESEJAHTERAAN

    SINTA NAPIRI

    KADUS I

    BAHARI

    KADUS II

    ALI USMAN

    KADUS III

    SUKARDI

    KADUS IV

    SUTIKO

  • 47

    C. Keadaan Penduduk

    1. Pendidikan

    Pendidikan adalah suatu hal paling penting dalam memajukan tingkat

    kesejahteraan pada umumnya dan tingkat perekonomian pada khususnya. Dengan

    tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan.

    Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia,

    pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi mausia menurut

    ukuran normatif.

    Tingkat kecakapan juga akan mendorong keterampilan kewirausahaan. Dan

    pada gilirannya mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru. Dengan sendirinya

    akan membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan pekerjaan baru guna

    mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya akan dapat mempertajam sistematika

    pikir atau pola pikir individu, selain itu mudah menerima informasi yang lebih maju.

    Dibawah ini tabel yang menunjukan tingkat rata-rata pendidikan warga Desa Muara

    Belengo.

    Tabel II

    No Keterangan Jumlah

    1 Tamatan SD/Sederajat 361 Orang

    2 Tamatan SMP/Sederajat 278 Orang

    3 Tamatan SMA/Sederajat 125 Orang

    4 Tamatan Diploma 18 Orang

  • 48

    5 Tamatan Peguruan Tinggi 56 Orang

    Dari tabel diatas bisa kita amati bahwa tingkat pendidikan sangatlah minim

    hampir 70% masyarakat Desa Muara Belengo tingkat pendidikan mereka hanya

    sebatas SD/Sederajat, bahkan banyak juga masyarakat yang tidak pernah menyecam

    dunia pendidikan.35

    2. Ekonomi

    Ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

    Seiring perkembangan zaman, tentu kebutuhan manusia bertambah oleh karena itu

    ekonomi secara terus-menerus mengalami pertumbuhan dan perubahan.36

    Pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Muara Belengo secara umum

    mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal ini tidak terlepas dari dukungan berbagai

    pihak khususnya perusahan kelapa sawit yang berada di kecamatan pamenang. Selain

    dari hasil kelapa sawit, penghasilan lainnya diperoleh dari hasil perkebunan karet.

    Serta dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memiliki usaha atau pekerjaan

    walaupun jenis pendapatan tersebut pada umumnya belum dapat dipastikan

    bersumber dari usaha yang dilakukan atau bisa juga diperoleh dari pinjaman modal

    usaha dari pemerintah, seperti dari program PNPM mandiri. Berikut ini tabel mata

    pencarian masyarakat Desa Muara Belengo:

    35

    Arsip Desa Muara Belengo Tahun 2017.

    36

    Syafrudin99.blogspot.co.id diakses pada 29 Mei 2018.

  • 49

    Tabel III

    No Mata Pencarian Penghasilan

    1 Karet 2.500 Ton/Tahun

    2 Kelapa Sawit 12.000 Ton/Tahun

    Dilihat dari potensi diatas maka rata-rata penduduk di Desa Muara Belengo

    berpenghasilan dari perkebunan karet dan kelapa sawit sebagai mata pencaharian

    sehari-hari.

    D. Keadaan Agama dan Adat Istiadat

    1. Keadaaan Agama

    Penduduk Desa Muara Belengo 97% memeluk agama Islam dan sisanya

    memeluk agama Kristen. Dalam kehidupan beragama kesadaran melaksanakan

    ibadah keagamaa sangat berkembang dengan baik terbukti dengan banyaknya Masjid

    dan Mushalla setiap RW bahkan ada juga di setiap RT.

    Aktifitas pendidikan keagamaan di Desa Muara Belengo sangatlah beragam

    mulai dari TK sampai tingkat SD, MTS dan MAS serta belajar di madrasah pada

    siang hari dan juga belajar ngaji di malam hari.37

    Selain itu juga ada kgiatan-kagiatan keagamaan yang bersifat kesenian seperti

    kaligrafi, shalawat, dan pidato yang dilakukan oleh anak-anak dalam memperingati

    hari besar Islam atau hanya sekedar berlatih saja. Antusias masyarakat dalam hal

    37 Profil Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Tahun 2017.

  • 50

    keagamaan sangatlah tinggi bisa dilihat dari acara keagamaan seperti peringatan

    Maulid Nabi Muhammad SAW dan hari besar Islam lainnya yang selalu ramai oleh

    penonton dan peserta dari kegiatan tersebut.

    2. Adat Istiadat

    Pada bidang budaya masyarakat Desa Muara Belengo menjaga dan

    menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat yang diwarisi oleh para leluhur, hal ini

    terbukti masih berlakunya tatanan budaya serta kearipan lokal pada setiap proses

    pernikahan, khitanan, nubo serta proses cuci kampung jika salah seorang warga dari

    masyarakat melanggar ketentuan hukum adat.

    Lembaga yang paling berperan dalam melestarikan dan menjaga tatanan adat

    istiadat dan budaya lokal ini adalah Lembaga Adat Desa Muara Belengo (LAD),

    lembaga ini masih tetap aktif, baik dalam kepengurusan maupun dalam menjalankan

    tugas- tugasnya.38

    38

    Profil Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Tahun 2017.

  • 51

    BAB IV

    PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. Praktek Jual Beli Tanah Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin

    Provinsi Jambi

    Jual beli tanah tanpa bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, merupakan

    masalah pelik yang sering menjadi sumber konflik masyarakat kita. Ada yang

    melakukan transaksi jual beli tanah berdasarkan kesepakatan lisan saja antara penjual

    dan pembeli. Bahkan ada orang yang nekat menjual tanah yang sudah dijualnya,

    istilah kampungnya, jual di atas jual.39

    Di kemudian hari muncul masalah, tanah yang dijual atau dibeli itu digugat

    keabsahannya. Ada yang kemudian diselesaikan secara musyawarah atau

    kekeluargaan, ada yang dibawa ke pengadilan, adapula lewat jalan pintas pertikaian

    bahkan pertumpahan darah. Jual beli tanah merupakan proses peralihan hak atas

    tanah yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan diatur dalam hukum adat, dengan

    prinsip “terang” dan “tunai.” Terang artinya dilakukan dihadapan pejabat umum

    berwenang. Tunai artinya tanah dibayarkan secara tunai. Apabila harga belum lunas,

    maka belum dapat dilakukan proses jual beli tanah.

    Sebagian besar sistem yang dilakukan masyarakat Desa Muara Belengo dalam

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ini adalah ada secara lisan, ada dengan sistem

    39

    Urip Santoso, Perolehan Hak Atas Tanah, (Jakarta: PT kharisman putra utama 2015), hlm.

    25.

  • 52

    kekeluargaan, dan ada juga yang diketahui oleh pemerintah setempat. Hal ini telah di

    observasi penulis sejak lama dan peristiwa ini terjadi di tempat kelahiran penulis,

    selain itu penulis juga perkuat dengan wawancara kepada tokoh-tokoh masyarakat

    dan pihak-pihak baik itu penjual maupun pembeli yang melakukan jual beli tanah

    tanpa sertifikat.

    Seperti wawancara penulis dengan Kepala Desa Muara Belengo mengatakan

    bahwa:

    Praktek jual beli tanah tanpa sertifikat masih terjadi di Desa Muara Belengo

    sampai saat ini, untuk sistem jual beli tanah tanpa serifikat tersebut dimana

    pihak penjual membuat surat jual beli tanah dengan ketahui oleh pihak saksi,

    saksi ini yaitu orang-orang yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan

    dijual, baru saya selaku Kepala Desa menyetujui surat jual beli tersebut.

    Apabila tidak ketahui saksi-saksi ini maka saya tidak berani menyetujui surat

    jual beli tersebut. Selama saya menjabat sebagai Kepala Desa kurang lebih

    berjalan 6 bulan Alhamdulillah belum pernah terjadi permasalahan. Dan kami

    juga dari pemerintahan desa telah bekerjasama dengan pemerintahan kab.

    merangin untuk pembuatan sertifikat, harapan kami agar semua masyarakat

    Desa Muara Belengo dapat mempunyai atau memiliki sertifikat.40

    Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa praktek jual beli tanah tanpa

    sertifikat di Desa Muara Belengo hingga saat ini masih terjadi, untuk sistem jual beli

    tanah tanpa sertifikat tersebut mengunakan surat jual beli yang disetujui oleh kepala

    desa dan diketahui oleh saksi-saksi yang berbatasan langsung dengan tanah yang

    diperjual belikan. Pada tahun 2018 barulah ada upaya Pemerintah Desa untuk

    mensertifikasi tanah milik masyarakat Desa Muara Belengo.

    40

    Wawancara dengan Bapak Anwar, Kepala Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang

    Kabupaten Merangin, 04 Juli 2018.

  • 53

    Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:

    Jual beli tanah tanpa sertifikat masih berlaku hingga saat ini, ditahun 2000

    keatas itu sistemnya menggunakan segel tanpa materai, sedangkan di tahun

    2000 kebawah hanya menggunakan akad tanpa surat jual beli. Saya pernah

    membeli tanah di tahun 1988, pada waktu itu harga tanah Rp. 450.000 per-

    hektar tanpa surat jual beli, dan sistem pembayarannya tidak tunai tapi dengan

    sistem kredit. Pada waktu itu transaksi jual beli tanah yang saya lakukan

    hanya sebatas akad saja tidak ada surat jual beli tanah. Sekarang baru saya

    buat surat jual belinya setelah adanya program sertifikat gratis dari

    Pemerintah. Pada saat itu untuk menentukan batas tanah di rintis atau di

    terbas, yang penting jelas batasan nya saat di perjualbelikan. Untuk masalah

    atau sengketa jual beli tanah tanpa sertifikat ini sering kali terjadi, 4 tahun

    yang lalu pernah si pembeli harus membeli kembali tanah yang dulunya sudah

    diperjual belikan, karena tidak memiliki surat jual beli tanah dan sertifikat,

    apabila terjadi sengketa penyelesaiannya hanya sistem kekeluargaan.41

    Dari wawancara diatas dapat di simpulkan bahwa jual beli tanah tanpa

    sertifikat sudah terjadi dari tahun 1988 hingga sekarang. Ada dua sistem penjualan,

    yang pertama yaitu hanya dengan akad, dan yang kedua yaitu mengunakan surat jual

    beli yang tidak dikuatkan oleh materai. Untuk menentukan batas tanah, tidak ada

    batasan yang bersifat permanen hanya dengan analisa saja oleh sipemilik tanah.

    Dikarenakan masih kurangnya pemahaman masyarakat Desa Muara Belengo

    terhadap pentingnya sebuah sertifikat tanah dan juga sistem jual beli tanah, baik itu

    penjual maupun pembeli sehingga jual beli tetap di lakukan tanpa

    mempertimbangkan akibatnya dikemudian hari. Serta masih ada juga masyarakat

    yang menjual tanahnya tanpa sepengetahuan Kepala Desa.

    41

    Wawancara dengan Bapak Jalil, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 4 Juli 2018.

  • 54

    Kemudian wawancara dengan Tokoh Lembaga Adat Desa Muara Belengo,

    mengatakan bahwa:

    Sistem jual beli tanah itu ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Perpindahan

    hak milik di dalam adat itu ada 4 macam yaitu: pertama tertulis diatas kertas

    terlukis diatas batu maksudnya miliki surat jual beli, kedua lah nyato dialam

    lah terang deklareh maksudnya semua orang tau bahwa kita yang membeli

    tanah tersebut, ketiga diketahui oleh pemerintah desa, keempat yaitu saksi

    dalam bahasa adat kok kaayek tahan diendam kok kaateh tahan di ampa tahan

    di nantajam tahan di enjek dengan sumpah. Hak milik atas tanah didalam adat

    dibagi menjadi 2 macam yaitu hak allah dan hak manusia. Untuk masalah jual

    beli tanpa sertifikat yang terjadi didesa in, ada yang ter sirat ada yang ter

    surat, yang memiliki sertifikat itu pun masih jarang. Proses jual beli untuk

    yang tersurat diketahui oleh pemerintah desa dan saksi-saksi batasan tanah.

    Selama ini terdapat permasalahan yang timbul dari jual beli tersebut, tetapi

    tidak begitu banyak. Untuk penyelesaiannya, kedua belah pihak yang

    bersangkatan menyelesaikan dengan cara kekeluargaan saja. Menurut adat

    jual beli seperti ini sah, baik tersirat maupun tersurat karena sudah ketahui

    oleh orang banyak. Akan tetapi menurut pemerintah tidak sah karena tidak

    miliki sertifikat apalagi jual beli yang tersirat.42

    Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli tanah tanpa

    sertifikat di Desa Muara Belengo dibagi menjadi 2 macam yaitu: ada yang tersirat

    dan ada yang tersurat, yang diketahui oleh pemerintah desa dan saksi-saksi batasan

    tanah. Masyarakat Desa Muara Belengo masih jarang yang miliki sertifikat,

    Perpindahan hak milik di dalam adat itu ada 4 macam yaitu: pertama tertulis diatas

    kertas terlukis diatas batu maksudnya miliki surat jual beli, kedua lah nyato dialam

    lah terang deklareh maksudnya semua orang tau bahwa kita yang membeli tanah

    tersebut, ketiga tau pemerintah desa, keempat yaitu saksi dalam bahasa adat kok

    kaayek tahan di endam kok kaateh tahan di ampa tahan di nantajam tahan di enjek

    42

    Wawancara dengan Datuk Ali Jennah, Tokoh Lembaga Adat Desa Muara Belengo

    Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin, 4 Juli 2018.

  • 55

    dengan sumpah. Dari segi adat jual beli yang seperti itu hukumnya sah karena ketahui

    oleh orang banyak, tetapi menurut Hukum Pemerintah tidak sah dikarenakan tidak

    adanya bukti tertulis yang di sahkan oleh pemerintahan desa setempat.

    Selanjutnya wawancara dengan Tokoh Masyarakat Desa Muara Belengo,

    mengatakan bahwa:

    Masalah jual beli tanah tanpa sertifikat ini sebenarnya sudah terjadi sejak

    dulu, dikarenakan sertifikat ini baru terealisasi di masa presiden jokowi. Saya

    sudah 10 tahun memimpin desa ini, pada saat itu sering kali terjadi masalah

    akibat dari jual beli tanah tanpa sertifikat ini. Karena pada saat itu ada yang

    melapor kepada kami untuk memintak surat jual beli dan ada juga yang tidak

    melapor atau tanpa sepengetahuan kepala desa. Permasalahan yang sering

    terjadi itu justru ada pada masalah batasan tanah, walaupun sebelum tanah di

    jual saksi batas tanah sudah mengetahui batasanya, tetapi sering kali terjadi

    perebutan batas tanah. Hal ini terjadi dikarenakan batasan tanah tersebut

    merupakan benda yang tidak permanen, seperti kalau dalam adat kita

    namanya tunggul pemareh. Apabila tunggul pemareh ini hilang, maka akan

    berubah pula batasan tanahnya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut hanya

    dilakukan dengan sistem kekeluargaan, karena memang dari segi adat kita

    tidak ada yang mengatur masalah jual beli tanah tanpa sertifikat.43

    Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa akibat dari praktek jual beli

    tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo banyak sekali menimbulkan masalah

    terutama terhadap batasan tanah, hal ini dikarenakan bukti batasan yang tidak secara

    tertulis atau tidak bersifat permanen. Serta masih banyak masyarakat yang melakukan

    jual beli tanah tanpa sepengetahuan Kepala Desa atau tanpa surat jual beli tanah.

    Selanjutnya wawancara dengan Tokoh Agama Desa Muara Belengo,

    mengatakan bahwa:

    43

    Wawancara dengan Bapak Mustafa.,S.E, Tokoh Masyarakat Desa Muara Belengo

    Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin, 5 Juli 2018.

  • 56

    Kalau untuk masalah jual beli tanah tanpa sertifikat ini masih sangat sering

    terjadi, hal tersebut dikarenakan masyarakat yang mempunyai sertifikat

    tersebut masih sangat-sangat minim. Untuk masalah proses jual tanah tanpa

    sertifikat di desa muara belengo ini yaitu ada 2 sistem, yang pertama ada yang

    menggunakan surat jual beli dan yang menggunakan akad dan kuitansi saja.

    Dan masalah perbatasan tanah yang diperjual belikan itu dibunyikan dalam

    surat jual beli bagi yang menggunakan surat jual dan bagi yang tidak

    perbatasannya seperti pohon yang di anggap batasan tanahnya oleh sipenjual.

    Akibat dari jual beli tanah seperti ini sangat banyak sekali timbul masalah di

    kemudian hari dan yang banyak di rugikan yaitu pihak kedua atau sipembeli.

    Kalau menurut pandangan saya jual beli seperti ini tidak sah sama dengan

    zholim, merampas hak orang lain dan itu sangat dilarang dalam agama

    Islam.44

    Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:

    Untuk jual beli tanah tanpa sertifikat masih terjadi sampai sekarang terkhusus

    di Desa ini, proses atau sistem jual beli tanah tersebut menggunakan surat jual

    beli yang ketahui oleh Kepala Desa serta saksi-saksi batasan dan ada juga

    yang hanya sebatas akad saja atau jual beli tanah dengan sistem kekeluarga.

    Biasanya yang menjadi saksi itu dari pihak penjual, 1 tahun yang lalu saya

    pernah membeli 1 hektar tanah milik masyaratkat Desa Muara Belengo tanah

    tersebut tidak memiliki sertifikat. Oleh karena itu pada waktu transaksi jual

    beli saya meminta kepada penjual untuk membuat surat jual beli tanah yang

    diketahui oleh Kepala Desa dan saki-saksi. Karena saya tidak mau dirugikan

    sebagaimana yang sering terjadi di Desa Muara Belengo ini. Harapan saya

    semoga kedepannya semua masyarakat desa muara belengo sudah memiliki

    sertifikat tanah semua.45

    Dari hasil wawancara tiga narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat yang terjadi didesa muara belengo terdapat 2

    sistem: yang pertama praktek jual beli tersebut hanya di lakukan dengan akad,

    44

    Wawancara dengan Ustadz Hudri, Tokoh Agama Desa Muara Belengo Kecamatan

    Pamenang Kabupaten Merangin, 7 Juli 2018.

    45

    Wawancara dengan Bapak Arfan, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 8 Juli 2018.

  • 57

    sedangkan yang kedua dengan cara menggunakan surat jual beli, dalam menentukan

    batas tanah hanya dengan keyakinan dan kepercayaan dari sipenjual. Prakter jual

    semacam ini sudah terjadi sejak dahulu, efek dari jual beli tersebut seringkali terjadi

    dengan berbagai macam permasalahan sedangkan untuk penyelesaian permasalahan

    tersebut hanya dengan sistem kekeluargaan.

    Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:

    Jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo ini memang sudah

    terjadi sejak dulu. Sistemnya ada yang mengunakan surat jual beli tanah dan

    ada yang hanya sebatas akad saja, di tahun 2008 saya pernah menjual

    sebidang tanah kepada masyarakat Desa Muara Belengo. Pada saat itu saya

    menjual tanah tersebut tidak mengunakan surat jual beli tanah artinya hanya

    mengunakan akad saja, karena pada waktu itu kebetulan pihak pembeli masih

    famili saya. Kalau untuk menentukan batas waktu proses jual beli kita ajak

    saja orang-orang yang berbatas lansung dengan tanah yang saya jual beserta

    dengan pihak pembeli juga.46

    Kemudian wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:

    Sistem jual beli tanah di Desa Muara Belengo ini ada 2 sistem, pertama ada

    yang mengunakan surat jual beli serta ada juga yang hanya sebatas akad saja

    artinya yang kedua ini sama dengan sistem kekeluargaan. Beberapa tahun

    yang lalu saya pernah membeli tanah yang di jual oleh masyarakat Desa ini,

    pada saat itu jual beli yang kami lakukan hanya sebatas akad saja dengan

    pembayaran secara kredit. Yang menjadi pegang saya karena pihak penjual

    masih famili atau masih keluarga saya.47

    46

    Wawancara dengan Bapak Mustakim, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 10 Juli 2018.

    47

    Wawancara dengan Bapak Heri, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 10 Juli 2018.

  • 58

    Dari hasil wawancara diatas dapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem

    jual beli tanah tanpa sertifikat yang terjadi di Desa Muara Belengo ada 2 sistem,

    pertama mengunakan surat jual beli tanah sedangkan yang kedua hanya sebatas akad

    saja. Akan tetapi yang sering dilakukan masyarakat Desa Muara Belengo jual beli

    tanah hanya sebatas saja, dengan alasan karena ikatan kekeluargaan.

    Wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:

    Sekitar ditahun 2009 saya pernah membeli tanah tanpa sertifikat yang di jual

    oleh masyarakat Desa Muara Belengo. Pada saat itu transaksi jual beli tanah

    yang saya lakukan tanpa mengunakan surat jual beli tanah yang di ketahui

    oleh Kepala Desa, maksudnya jual beli yang kami lakukan tersebut hanya

    sebatas akad saja. Karena pada saat itu pelayanan Pemerintah Desa kurang

    baik, kalau mau buat surat jual beli tanah itu sangat di persulitkan, nunggu

    waktu selesai nya juga lama. Jadi jual beli tanah yang kami lakukan hanya

    sebatas akad saja, kebetulan yang pihak penjual juga masih keluarga saya.48

    Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:

    Dalam praktek jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo ini,

    Yang mengunakan surat jual beli tanah dalam transaksi jual belinya menurut

    saya baru beberapa tahun terakhir ini saja, kalau dulunya hanya dengan sistem

    kekeluargaaan tanpa surat jual beli tanah. Dan beberapa tahun terakhir ini

    saya pernah membeli tanah, yang menjual tanah tersebut yaitu masyarakat

    Desa Muara Belengo ini sendiri. Pada saat proses jual beli saya meminta

    kepada penjual untuk membuat surat jual beli tanah, kalau tidak mau si

    penjual membuatnya saya tidak akan jadi membeli tanah tersebut. Karena

    sekarang sudah bisa memiliki sertifikat dengan gratis, salah satu syarat untuk

    membuat sertifikat tanah adalah surat jual beli tanah.49

    48

    Wawancara dengan Ibu Yunni, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 11 Juli 2018.

    49

    Wawancara dengan Bapak Yoga, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan

    praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 13 Juli 2018.

  • 59

    Dari hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa sistem jual beli tanah

    tanpa sertifikat yang terjadi di Desa Muara Belengo ada 2 sistem, pertama

    mengunakan surat jual beli tanah sedangkan yang kedua hanya sebatas akad saja.

    Yang mengunakan surat jual beli dalam melakukan praktek jual beli tanah tanpa

    sertifikat ini, hanya beberapa tahun terakhir ini saja. Karena sekarang sudah ada

    program Pemerintah untuk membeli sertifikat kepada masyarakat yang mempunyai

    hak milik atas tanah secara gratis.

    Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:

    Jual beli tanah tanpa adanya sebuah sertifikat di Desa Muara Belengo ini

    memang sangat sering terjadi, termasuk saya pun pernah melakukan praktek

    tersebut. Praktek atau sistem yang dilakukan itu ada 2, ada yang mengunakan

    surat jual beli tanah dan ada yang hanya sebatas akad saja. Saya pernah

    menjual tanah saya, pada saat itu saya buatkan surat jual beli tanah yang

    ketahui oleh kepala desa dan saksi-saksi. Karena saya berpikir kalau tanpa ada

    surat jual beli tentu si pembeli ini sangat di rugikan. Apalagi mau buat

    sertifikat harus ada surat jual beli tanah.50

    Kemudian wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:

    Beberapa tahun terakhir ini saya pernah menjual sebidang tanah, yang

    membeli tanah tersebut adalah masyarakat Desa Muara Belengo ini. Jual beli

    tanah yang kami lakukan tanpa mengunakan surat jual beli tanah dengan kata

    lain hanya sebatas akad saja, memang pada saat itu yang membeli tanah saya

    adalah menantu saya. Jadi saya rasa tidak perlu dibuatkan suarat jual beli

    karena masih ada ikatan kekeluargaan yang erat.51

    50

    Wawancara dengan Ibu Elma, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek

    jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 14 Juli 2018.

    51

    Wawancara dengan Bapak Nanang Kosim, masyarakat Desa Muara Belengo yang

    melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 14 Juli 2018.

  • 60

    Dari beberapa hasil wawancara di atas penulis berkesimpulan bahwa

    terjadinya praktek jual beli tanah tanpa sertifikat di desa muara belengo disebabkan

    kurangnya pemahaman masyakat tentang aturan atau tata cara serta sistem jual beli

    tanah tersebut dan kurangnya perhatian dari pemerintah desa maupun kabupaten

    kota. Disini penulis juga melihat banyak sekali masyarakat yang dirugikan akibat dari

    praktek jual beli semacam ini terutama sipembeli, dan apabila terjadi masalah

    penyelesaiannya hanya sistem kekeluargaan tanpa campur tangan dari pemerintah

    desa dalam masalah tersebut, hal ini terjadi dikarenakan masyarakat desa muara

    belengo tidak tahu penyelesai sengketa jual beli tanah dengan proses hukum di

    pengadilan.

    Kemudian penulis juga melihat masyarakat desa muara belengo masih kurang

    paham dengan hukum jual beli tanah baik dari segi hukum islam maupun dengan

    undang-undang yang berlaku, padahal dalam hukum islam di jelaskan jual beli harus

    dilakukan dengan unsur suka sama suka dengan tidak saling merugikan sedangkan

    sudah jelas diatur dalam undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

    Pokok-Pokok Agraria, pasal 26 ayat 1 yaitu jual beli, penukaran, penghibahan,

    pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain

    yang di maksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur

    dengan peraturan pemerintah.

  • 61

    B. Status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo

    Kabupaten Merangin Provinsi jambi menurut Hukum Islam dan Undang-

    Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

    Setelah mengetahui praktek dan pemahaman masyarakat tentang jual