16
Immunopatogenesis Bila Salmonella typhi yang ada di jaringan RES (seperti hepar dan limpa), keluar dari makrofag dan menjadi basil ekstraseluler, maka basil tersebut akan segera difagositosis oleh sel fagosit, seperti neutrofil, monosit, dan histiosit. Lipopolosakarida yang merupakan komponen dari dinding sel Salmonella typhi dapat mengaktifkan jalur alternatif (C3 convertase) dari sistem komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses ini endotoksin akan dikeluarkan sehingga dapat merangsang makrofag, endothel pembuluh darah dan sel imunokompeten yang lain untuk mensekresi sitokin seperti IL-1, IL-6 TNF-α dan kemokin. Sitokin tersebut kemudian menginduksi proses adhesi terhadap sel neutrofil dan monosit ke endothel vaskuler di tempat terjadinya infeksi yang diikuti dengan terjadinya migrasi, akumulasi local dan aktivasi sel radang. Pengumpulan sel radang mampu mengeliminasi basil dengan risiko terjadinya nekrosis jaringan normal dan membentuk ulkus, dengan komplikasi perdarahan atau perforasi. Di samping itu beberapa sitokin tersebut dapat menyebabkan demam dan merangsang sintesis dari dari protein fase akut, seperti CRP. Komponen imunogen dari dinding Salmonella typhi, yaitu Lipopolisakarida (LPS) merupakan antigen T cell independent yang dapat langsung merangsang limfosit B melalui immunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan

Pr Infeksi2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pr Infeksi2

Immunopatogenesis

Bila Salmonella typhi yang ada di jaringan RES (seperti hepar dan limpa), keluar

dari makrofag dan menjadi basil ekstraseluler, maka basil tersebut akan segera

difagositosis oleh sel fagosit, seperti neutrofil, monosit, dan histiosit. Lipopolosakarida

yang merupakan komponen dari dinding sel Salmonella typhi dapat mengaktifkan jalur

alternatif (C3 convertase) dari sistem komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri.

Pada proses ini endotoksin akan dikeluarkan sehingga dapat merangsang makrofag,

endothel pembuluh darah dan sel imunokompeten yang lain untuk mensekresi sitokin

seperti IL-1, IL-6 TNF-α dan kemokin. Sitokin tersebut kemudian menginduksi proses

adhesi terhadap sel neutrofil dan monosit ke endothel vaskuler di tempat terjadinya

infeksi yang diikuti dengan terjadinya migrasi, akumulasi local dan aktivasi sel radang.

Pengumpulan sel radang mampu mengeliminasi basil dengan risiko terjadinya nekrosis

jaringan normal dan membentuk ulkus, dengan komplikasi perdarahan atau perforasi.

Di samping itu beberapa sitokin tersebut dapat menyebabkan demam dan merangsang

sintesis dari dari protein fase akut, seperti CRP.

Komponen imunogen dari dinding Salmonella typhi, yaitu Lipopolisakarida (LPS)

merupakan antigen T cell independent yang dapat langsung merangsang limfosit B

melalui immunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel

plasma yang mensekresi antibody (agglutinin O). Sebaliknya antigen H (flagella dan

fimbriae) dan antigen Vi (kapsul) merupakan antigen yang T cell dependent. Jadi dia

hanya dapat merangsang limfosit B melalui limfosit T helper 2 (Th2) untuk berproliferasi

dan berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk memproduksi agglutinin H dan Vi. Atas

dasar ini maka dapat dimengerti mengapa aglutini O akan diproduksi lebih awal (akhir

minggu pertama) daripada aglutinin H dan Vi (minggu kedua).

Kadar aglutinin akan mencapai pumcaknya pada minggu kelima sejak timbulnya

febris dan dipertahankan selama beberapa bulan kemusian akan menurun perlahan.

Aglutinin O dapat bertahan di atas ambang normalnya sampai 5 bulan, sedangkan

aglutinin H dapat bertahan sampai 2 tahun. Bila oleh karena suatu sebab, penderita

menjadi carrier yang sehat, maka agglutinin Vi akan dipertahankan terus selama dia

masih menjadi pembawa kuman yang sehat.

Page 2: Pr Infeksi2

IgM hanya dapat ditemukan pada beberapa hari pertama kesakitan. IgM diproduksi

sebagai respon awal terhadap antigen. Oleh karena itu IgM biasanya mengindikasikan

pajanan antigen atau terjadinya infeksi yang aktif atau baru saja terjadi. Sedangkan IgG

muncul cukup lama setelah gejala klinis termanifestasikan.

Metode Diagnostik Kultur & Serologis

Kultur

Basil Salmonella typhi dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam

minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan di urin dan feses, dan mungkin

akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan positif dari

sampel darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan dari

sample urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita

telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi karier.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman Salmonella typhi pada

salah satu biakan darah, feses, urin, sumsum tulang maupun cairan duodenum. Waktu

pengambilan sample sangat menentukan keberhasilan pemeriksaan bakteriologis tersebut,

misalnya biakan darah biasanya positif pada minggu pertama perjalanan penyakit, biakan

feses dan urin biasanya positif pada minggu kedua atau ketiga. Biakan sumsum tulang

paling baik karena tidak dipengaruhi waktu pengambilan maupun pemberian antibiotik

sebelumnya. Kemungkinan ditemukannya biakan yang positif pada sumsum tulang (80-

95%), pada darah (44%), feses (65%), cairan duodenum (42%).

Walaupun kultur mempunyai spesifisitas sangat tinggi, namun sensitivitasnya

sedikit lebih rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7

hari). Namun begitu, sensitivitas kultur adalah yang tertinggi (50-70%) selama minggu

pertama kesakitan. Keakuratan pemeriksaan kultur darah dipengaruhi oleh volume darah

yang dikultur, rasio darah terhadap broth agar, penggunaan antibiotik sebelum dilakukan

isolasi, waktu pengambilan spesimen (posivisitas tertinggi adalah demam 7-10 hari).

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella typhi adalah empedu (gall)

dari sapi. Hal ini dapat meningkatkan positivitas karena hanya S. typhi dan S. paratyphi

yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Page 3: Pr Infeksi2

Berdasarkan tujuan kulturnya, media kultur dibagi menjadi media untuk isolasi,

media selektif/penghambat, media diperkaya (enrichment), media untuk peremajaan

kultur, media untuk menentukan kebutuhan nutrisi spesifik, media untuk karakterisasi

bakteri dan media diferensial. Dalam penelitian ini digunakan media agar selektif SS

(Salmonella-Shigella) dan media agar diperkaya BHIB (Brain-Heart Infusion Broth).

Idealnya spesimen dibawa ke laboratorium dalam waktu 30 menit dan diletakkan

dalam wadah yang tertutup rapat. Spesimen diberi label agar tidak tertukar. Antikoagulan

yang biasa dipakai adalah Sodium polyanethol sulfonate, walaupun pada konsentrasi

yang tinggi akan berpengaruh pada beberapa bakteri anaerob. Heparin juga biasa dipakai,

walaupun dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan jamur. EDTA

(Ethylenediaminetetraacetic acid), sitrat dan antikoagulan lain tidak biasa digunakan pada

pemeriksaan mikrobiologi. Apabila tidak akan segera dikerjakan, spesimen serum untuk

pemeriksaan serologis sebaiknya disimpan paling lama 1 minggu dalam suhu -20o C.

Hampir semua bakteri diinkubasi pada suhu 37oC, dengan kadar O2 yang cukup tinggi

untuk bakteri aerob dan kondisi kadar O2 yang rendah untuk bakteri anaerob.

Serologis

Di Indonesia, di mana kebanyakan rumah sakit dan puskesmas di daerah pedesaan

tidak memiliki fasilitas laboratorium, diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya

berdasarkan diagnosa klinis, kadang didukung dengan tes Widal. Di Jawa Tengah hanya

11 dari 115 rumah sakit yang memiliki fasilitas pengkulturan. Tes Widal banyak

digunakan di Indonesia, akan tetapi kurang bernilai dan sulit diinterpretasikan pada

daerah endemik salmonellosis, apalagi apabila hanya satu sampel yang diuji. Oleh karena

itu, pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk menegakkan diagnosis demam tifoid

akan memberikan keuntungan besar, terutama dimana sutau tempat tidak didukung oleh

laboratorium yang canggih. Beberapa metode diagnostik baru untuk menggantikan tes

Widal konvensional dan kultur darah masih kontroversial dan diperlukan penelitian lebih

lanjut. Metode diagnostik terbaru seperti TUBEX®, Typhidot-M® dan dipstick test yang

cepat, mudah dan relatif terjangkau di negara-negara berkembang mulai dipertimbangkan

untuk digunakan di Indonesia.

Page 4: Pr Infeksi2

Jenis-jenis pemeriksaan serologis:

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin yang digunakan sejak

tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody agglutinin dalam

serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen

somatic (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi

aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan

antibody dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)

atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan

dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit

tetapi dapat digunakan untuk informasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H ≥1/40 dengan nilai prediksi

positif sebesar 34,2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99,2%. Beberapa penelitian pada

kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan

sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain

sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang

dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat

setempat (daerah endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik serta reagen yang

digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya

melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita

demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan memperkuata dugaan pada

tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan

secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan

pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cutt-off point).

Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)

pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan

didapatkan peningkatan titer antibody O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh

Page 5: Pr Infeksi2

Darmowanto di RSU Dr. Sutomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan

titer ≥1/200 pada 89% penderita.

Tes TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana

dan cepat (kurang dari 2 menit) dengan menggunakan paertikel yang berwarna untuk

menungkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan titer O9 yang

benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat

akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibody IgM dan

tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan TUBEX® ini, beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)

mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan

sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan

yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan

sederhana, terutama di Negara berkembang.

Metode Enzym Immonoassay (EIA) dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik IgM dan

IgG terhadap antigen OMP 50Kd Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana

didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi

IgG spesifik, akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan

reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot®

telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif

dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap IgM spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa

spesifisitas uji ini sebesar 76,74% dengan sensitivitas sebesar 93,16%, nilai prediksi

positif sebesar 85,06% dan nilai prediksi negative sebesar 91,66%. Sedangkan penelitian

Page 6: Pr Infeksi2

oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan efisiensi uji

ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan Salmonellosis non-tifoid bila

dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,

sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu

diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan

uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam

tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas

yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit

demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),

tidak menggunakan alat khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang

hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia saran biakan kuman.

Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang

belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C

dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

Metode Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibody IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibody terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang

sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis

adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan

sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada

sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya,

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan

95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)

terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan

antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian

Page 7: Pr Infeksi2

lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai

positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Dengan mengikatkan antigen zat warna khusus yaitu colloidal red atau palanil

red dan selanjutnya zat warna khusus yang telah mengikat antigen tadi ditempelkan pada

kertas nilon. Bila serum penderita mengandung antibodi IgM Salmonella typhi akan

memperlihatkan reaksi positif, yang mana akan terlihat pada kertas nilon berupa pita

berwarna merah. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai

fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69,8%

bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86,5% bila dibandingkan dengan

kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88,9% dan nilai prediksi positif sebesar 94,6%.

Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan

sensitifitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk

(2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65,3% yang makin meningkat pada

pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan, dan mungkin

lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan

hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak

tersedia perangkat kultur secara luas.

Page 8: Pr Infeksi2

DAFTAR PUSTAKA

1. Gillespie S. Salmonella Infections. Dalam: Conk G, Zamia A (Eda.) Manson’s Tropical

Disease. London : ELST; 2003. Hal. 937-943).

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Salmonellosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta; 1995. Hal. 593-

598

3. Derliana T. Gambaran Karakteristik Pasien Demam Tifoid yang Menjalani Rawat

Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Samarinda: Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman; 2006.

4. Rampengan TH, Laurents IR, Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik pada

Anak. Jakarta: EGC; 1993. Hal. 53-71.

5. Pegnes DA, Ohl ME, Miller SI. Salmonella Species, Including Salmonella Typhi.

Dalam: Mandell, Douglas and Bennett’s Principles and Practice of Infection Disease

Edisi 6 Volume 2. United States of America: Elsevier Churchill Livingstone; 2005. Hal.

220-2650.

6. Keutsch GT. Salmonellosis. Dalam : Asdie A (Ed.), Harisson Prinsip-prinsip Ilmu

Penyakit Dalam Volume 2 E/13. Jakarta : EGC;1999. Hal 755-758.

7. World Health Organisation. Background Document: The Diagnosis, Treatment and

Prevention of Typhoid fever. Initiative for Vaccine Research of the Departement of

Vaccine and Biologicals in Collaboration with Epidemic Disease of the Control

Department of Communicable Disease Surveilans and Response. (online); 2003,

(http://www.who.int/vaccines-documents/, diakses 4 Desember 2008)

8. Novianti T. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM untuk Diagnosis Demam Tifoid.

Bandung : Prodia; 2006. Hal 1-4.

9. Karsinah, M Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang Negatif Gram. Dalam: Buku

Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: PT.Binarupa Aksara; 1993. Hal. 168-173.

10. Handojo I. Imunoassai untuk Penyakit Infeksi Bakterial. Dalam: Imunoasai Terapan

pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press; 2004. Hal. 1-8.

11. Wolfgang K, Joklic dkk. Enterobacteriaceae: Salmonella and Shigella, Intestinal

Pathogens. Dalam: Kinsser Microbiology. USA: Appleton & Large; 1992. Hal: 559-563.

Page 9: Pr Infeksi2

12. Ostrow B. Typhoid Fever. Surgery in Africa-Monthly Review. (online); 2006.

(http://www.utoronto.ca/ois/SIA/2006/typhoid_fever.htm, diakses 20 Oktober 2008)

13. Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. (online);

2006. (http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-53zji.doc, diakses 4 Desember

2008)

14. Masyhudi. Validasi Pemeriksaan Dipstik dengan Kultur untuk Diagnosis Suspek

Penderita Demam Typoid. Majalah Kedokteran Universitas Mulawarman Volume 2;

2007, no.1.

15. Rasmillah. Thypus. (online); 2001.

(http://els.fk.umy.qc.id/file.php/1/moddata/forum/171/7532/fkm_rasmaliah5.pdf, diakses

9 November 2008)

16. Hatta M, Goris MGA, Heerkens E, Gooskens J, Smits HL. Simple Dipstick Assay for

the Detection of Salmonella typhi-Spesific IgM Antibodies and the Evolution of the

Immune Response In Patients with Typhoid Fever. The American Journal of Tropical

Medicine and Hygiene. (online); 2002;

(http://www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/66/4/416, diakses pada 4 Desember 2008)

17. Muliawan SY, Surjadwijaja JE. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat

Diagnostik Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit. Cermin Dunia Kedokteran

No.124. (online); 1999, (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06/html, diakses 4

Desember 2008)

18. Pastoor R, Hatta M, Abdoel TH, Smith HL. Simple Rapid and Affordable Point of

Care Test of the Serodiagnosis of Typhoid Fever. Elsevier. (online); 2007,

(http://www.elsevier.com/locate/diagmicrobio, diakses pada 4 Desember 2008)

19. Gasem MH, Smith HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of A Simple and

Rapid Dipstick Assay for the Diagnosis of Typhoid Fever in Indonesia. Journal

Medicine Microbiology. (online); 2002;

(http://jmm.sgmjournals.org/cgi/content/short/51/2/173, diakses 4 Desember 2008)

20. Laporan Bulanan Data Kesakitan Tahun 2007. Dinas Kesehatan Kota Samarinda

Bagian Pelayanan Kesehatan: Samarinda; 2008.

Page 10: Pr Infeksi2

21. Widodo D. Demam Typhoid. Dalam : Sudoyo AW dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Peyakit Dalam FKUI;

2006, Hal. 1774-1779.

22. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. Serologic Diagnosis of Infectious Disease. Dalam:

Baley & Scott’s Diagnostic Microbiology Eleventh Edition. USA: Mosby; 2002. Hal.

202-213.

23. Pradhika. Mikro-ba nget. (online); 2009,

(http://ekmon-saurus.blogspot.com/2008/11/bab-2-media-pertumbuhan.html., diakses

pada 15 Juni 2009)

24. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. General Issues and Role of Laboratorians.

Dalam: Baley & Scott’s Diagnostic Microbiology Eleventh Edition. USA: Mosby; 2002.

Hal. 2-18.

25. Hatta M. Pendekatan Biologi Molekuler dan Imunologi di Bidang Infeksi dalam Era

Globalisasi dan Peluang bagi Ilmuwan Indonesia. Dalam: Suplement Vol 26 No 3.

Makassar: Bagian Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;

2005. Hal: 16-18.