PPOK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

2.1.1. Definisi PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK adalah sebuah istilah keliru yang sering dikenakan pada pasien yang menderita emfisema, bronkitis kronis, atau campuran dari keduanya. Ada banyak pasien yang mengeluh bertambah sesak napas dalam beberapa tahun dan ditemukan mengalami batuk kronis, toleransi olahraga yang buruk, adanya obstruksi jalan napas, paru yang terlalu mengembang, dan gangguan pertukaran gas.

2.1.2. Etiologi Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya.

2.1.3. Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu: a. Kebiasaan merokok Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan PPOK menjadi lebih tinggi. WHO menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh rokok. Dilaporkan perokok adalah 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK dibanding yang bukan perokok. Menurut Guyton (2006), secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernapasan dan kualitas hidup berkurang. b. Polusi udara Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara murni (pure air) yang kadarnya dia atas normal, molekul-molekul (gas-gas) selain yang terkandung dalam udara murni tanpa memperhitungkan kadarnya dan partikel.c. Pekerjaan Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK. Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 m atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 m akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 m biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernapasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Apabila terdapat debu yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di dinding alveolus akan memfagositosis debu tersebut. Akan tetapi kemampuan fagositik makrofag terbatas, sehingga tidak semua debu dapat difagositosis. Debu yang ada di dalam makrofag sebagian akan di bawa ke bulu getar yang selanjutnya akan dibatukkan dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral (inorganik) tidak selalu menimbulkan akibat fibrosis jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pemaparan serta kepekaan individu untuk menghadapi rangsangan yang diterima. Makrofag yang sedang aktif akan mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotease melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan jumlah elastase, mengeluarkan faktor kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan oksidan yang dapat menghambat aktivitas AAT . Pekerja yang pada pekerjaannya terpapar aluminium, selama bekerja 30 tahun dengan terpaparnya partikel tersebut sama saja dengan perokok yang merokok 75 gram/minggu . d. Berbagai faktor lain, yakni : 1. Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita. Ini dikarenakan perokok pria lebih banyak 2 kali lipat daripada wanita . 2. Usia Ini berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, berapa banyak bungkus rokok yang telah dihabiskan. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin banyak rokok yang telah dihisap. 3. Infeksi saluran pernapasan Infeksi saluran pernapasan adalah faktor resiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi saluran pernapasan pada anak-anak juga dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK. Walaupun infeksi saluran pernapasan adalah salah satu penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran pernapasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan.4. Hiperresponsif saluran pernapasan Ini bisa menjurus kepada remodelling saluran pernapasan yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK . 5. Faktor genetik, dimana terdapat protease inhibitor yang rendah. Inhibitor adalah sekelompok protein atau peptida yang menunjukkan sifat menghalangi kerja enzim proteolitik. Fungsi inhibitor protease adalah untuk mengontrol protease yang selalu berperan dalam berbagai proses biologis .

2.1.4. Klasifikasi Klasifikasi menurut Perkumpulan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Gold tahun 2005 sebagai berikut : 1. PPOK ringan yaitu dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum dan sesak napas dengan derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. 2. PPOK sedang yaitu dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa sputum dan sesak napas dengan derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat beraktivitas). 3. PPOK berat yaitu sesak napas dengan derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik, eksaserbasi lebih sering terjadi dan disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan.

2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI. Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan erjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos. Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.2.5 DIAGNOSIS. Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK. Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barel-shaped, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi. Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK. Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.