29
1 BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT DAN LAPORAN KASUS FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2011 UNIVERSITAS HASANUDDIN REFERAT DAN LAPORAN KASUS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DISUSUN OLEH : Andhini Afliani Putri.F C 111 07 255 PEMBIMBING : dr.Musmiani DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

PPOK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PPOK

1

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT DAN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2011

UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT DAN LAPORAN KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

DISUSUN OLEH :

Andhini Afliani Putri.F

C 111 07 255

PEMBIMBING :

dr.Musmiani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

Page 2: PPOK

2

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AW

Umur : 68 tahun

Alamat : Paccinongang

No.Rekam Medik : 483344

Tanggal Pemeriksaan : 19 Oktober 2011

B. ANAMNESIS

Tipe Anamnesis : Autoanamnesis

Keluhan Utama : Sesak napas

- Dialami sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan terus

menerus, tanpa dipengaruhi aktivitas.

- Batuk (+) sejak ± 3 bulan SMRS, dahak (+) warna putih, darah (-).

- Pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun karena sesak di malam hari (-), sesak tidak

bertambah dengan perubahan cuaca.

- Demam (-), riwayat demam (-)

- Mual (-), muntah (-)

- Nyeri dada (-) Nyeri perut (-)

- Penurunan BB (-), keringat malam (-)

- BAB : biasa, kuning. BAK: lancar, kuning.

Riwayat penyakit Sebelumnya :

- Riwayat DM (-)

- Riwayat OAT (-)

- Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 3 tahun yang lalu

- Riwayat sakit jantung (-)

- Riwayat merokok sejak 20 tahun, 2 bungkus perhari

C. STATUS PRESENT

Sakit sedang / Gizi cukup / Compos mentis

Page 3: PPOK

3

- BB : 45 kg

- TB : 155

- IMT : 18,75

Tanda Vital :

- Tensi : 170/100

- Nadi : 96x/menit

- Pernapasan : 28x/menit

- Suhu : 36,5o C

Pemeriksaan fisis :

- Kepala : Anemis(-), Ikterus(-), Sianosis(-)

- Leher : NT (-), MT(-). DVS R-2 cmH2O

- Thoraks :

Inspeksi : Emfisematous, simetris ki=ka

Palpasi : Vocal Fremitus ↑ ki=ka

Perkusi : Hipersonor

BPH di ICS VI kiri depan

BPB kiri V th.XI

BPB kanan V. Th.X

Auskultasi : BP : Bronkial. Rh Wh - / -

- Jantung :

Inspeksi : IC tidak tampak

Palpasi : IC tidak teraba

Perkusi : batas jantung kesan normal

Auskultasi : bunyi jantung I/II murni reguler

- Abdomen :

Inspeksi : datar ikut gerak napas

Palpasi : H/L ttb

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan N

- Ekstremitas

Edema : -/-

Page 4: PPOK

4

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG

Darah rutin :

- Leukosit : 10,1 x 103

- Eritrosit : 4,58

- Hemoglobin : 11,5

- Trombosit : 516.000

- LED I / II : 7/11

- Limfosit : 23,4

- Neutrofil : 59,1

Elektrolit :

- K : 5,1

- Na : 132

- Cl : 9,7

- Ca : 7,74

- pH : 7,74

Kimia Klinik :

- Ureum : 92,8

- Kreatinin : 1,4

Foto Thorax

- Kesan : Bronkitis

Sputum BTA 3x :

I : (-), II : (-), III: (-)

E. DIAGNOSIS SEMENTARA

- PPOK Eksaserbasi Akut

- HT grade 2

F. TATALAKSANA AWAL

- O2 2-3 L/m

- Nebulizer combivent / 8jam

- Ambroxol 3 dd1 cth

Page 5: PPOK

5

- Amlodipine 1-0-0

G. RENCANA PEMERIKSAAN AWAL

- Darah rutin

- LED

- Sputum BTA 3x, gram, jamur

- SGOT, SGPT

- Ureum, Kreatinin

- GDS

- Tes Faal Paru

- Foto thoraks

H. FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi

20/10/11

T : 140/90

N : 88x/i

P : 30x/i

S: 36,9oC

S : sesak (+), batuk (+) lendir putih,

nyeri dada (-)

O: SS / GC / CM

Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi

(-)

Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O

Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh

Wh -/-

Jantung : BJ I/II murni reguler

Abdomen : Peristaltik (+) kesan N

Ekstremitas : Edema -/-

A : PPOK

- O2 2-3 L/m

- Nebulizer combivent /

8jam

- Ambroxol 3 dd1 cth

- Ceftriaxone

2gr/24jam/IV

- Inj.Dexametason

1amp/8jam/IV

- Amlodipine 1-0-0

21/10/11

T : 120/70

N : 88x/i

S : sesak (+), batuk (-), nyeri dada (-)

O: SS / GC / CM

- O2 2-3 L/m

- Nebulizer combivent /

8jam

Page 6: PPOK

6

P : 28x/i

S: 36,7oC

Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi

(-)

Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O

Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh

Wh -/-

Jantung : BJ I/II murni reguler

Abdomen : Peristaltik (+) kesan N

Ekstremitas : Edema -/-

A : PPOK

- Ambroxol 3 dd1 cth

- Inj.Dexametason

1amp/8jam/IV

- Ceftriaxone

2gr/24jam/IV

- Amlodipine 1-0-0

22/10/11

T : 130/80

N : 88x/i

P : 26x/i

S: 36,6oC

S : sesak (+) ↓, batuk (+), nyeri dada (-)

O: SS / GC / CM

Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi

(-)

Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O

Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh

Wh -/-

Jantung : BJ I/II murni reguler

Abdomen : Peristaltik (+) kesan N

Ekstremitas : Edema -/-

A : PPOK

- O2 2-3 L/m

- Nebulizer combivent /

8jam

- Ambroxol 3 dd1 cth

- Inj.Dexametason

1amp/8jam/IV

- Ceftriaxone

2gr/24jam/IV

- Amlodipine 1-0-0

23/10/11

T : 130/80

N : 84x/i

P : 36x/i

S: 36,5oC

S : sesak (+) , batuk (-), nyeri dada (-)

BAK tidak lancar

O: SS / GC / CM

Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi

(-)

Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O

Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh

Wh -/-

- O2 2-3 L/m

- Nebulizer combivent /

8jam

- Inj.Dexametason

1amp/8jam/IV

- Ceftriaxone

2gr/24jam/IV

- Amlodipine 1-0-0

Page 7: PPOK

7

Jantung : BJ I/II murni reguler

Abdomen : Peristaltik (+) kesan N

Ekstremitas : Edema -/-

A : PPOK

I. RESUME

Seorang laki-laki usia 68 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas yang dialami

sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan terus menerus, tanpa

dipengaruhi aktivitas, pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun karena sesak di malam hari

(-), sesak tidak bertambah dengan perubahan cuaca. Batuk (+) sejak ± 3 bulan SMRS, dahak

(+) warna putih, darah (-) . Demam (-), riwayat demam (-). Mual (-), muntah (-). Nyeri dada (-

) Nyeri perut (-). Penurunan BB (-), keringat malam (-). BAB : biasa, kuning. BAK: lancar,

kuning.

Riwayat penyakit Sebelumnya :

- Riwayat DM (-)

- Riwayat OAT (-)

- Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 3 tahun yang lalu

- Riwayat sakit jantung (-)

- Riwayat merokok sejak 20 tahun, 2 bungkus perhari

Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah tinggi yaitu 170/100 mmHg, nadi normal

yaitu 96x/menit, pernapasan cepat (takipneu) 28x/menit, dan suhu normal yaitu 36,5oC. Pada

pemeriksaan thoraks di dapatkan Emfisematous pada inspeksi, vokal fremutus meningkat

pada palpasi ke dua bagian paru, hipersonor pada perkusi kedua bagian paru, dan bunyi

pernapasan bronkial pada auskultasi disertai bunyi tambahan wheezing di bagian apeks paru

kiri dan kanan. Berdasarkan klinis pasien dapat di assessment dengan diagnosa PPOK

eksaserbasi akut dan hipertensi grade 2. Pada penatalaksanaan diberikan O2 2-3 L, nebulizer

combivent/8jam/ ambroxol 3 kali 1 sendok teh perhari, dan amlodipin di pagi hari.

Page 8: PPOK

8

J. DISKUSI

Pada kasus didapatkan seorang laki-laki usia 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan

sesak napas yang dialami sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan

terus menerus, tanpa dipengaruhi aktivitas, pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun

karena sesak di malam hari (-), sesak tidak bertambah dengan perubahan cuaca.Dari

anamnesa yang berhubungan dengan keluhan utama ditanyakan gejala sesak akibat penyakit

respirasi dan sesak akibat penyakit jantung. Pada kasus didapatkan gejala sesak akibat

penyakit respirasi. Selanjutnya didapatkan gejala batuk sejak ± 3 bulan SMRS, dahak (+)

warna putih, darah(-), riwayat demam(-), penurunan BB(-), keringat malam(-), dan riwayat

konsumsi OAT(-) maka diagnosa ke arah penyakit TB dapat disingkirkan. Selanjutnya

gejala yang menunjang diagnosa adalah adanya riwayat merokok sejak 20tahun yang

dikonsumsi sebanyak 2 bungkus perhari, selain itu ditunjang dengan pemeriksaan fisis pada

pemeriksaan thoraks didapatkan dada emfisematous kiri dan kanan, vokal fremitus

meningkat pada kedua lapangan paru, perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, dan

bunyi pernapasan bronkial serta bunyi tambahan berupa wheezing pada auskultasi. Maka

berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, lendir, riwayat merokok, serta

pemeriksaan fisis dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit

paru obstruktif kronis. Selain itu terdapat penyakit lain yang menyertai yaitu hipertensi

grade 2 dimana tekanan darah tinggi yaitu 170/100 mmHg.

Namun untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), selain itu

juga dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x,gram,jamur untuk menyingkirkan diagnosa TB.

Adapun pemeriksaan darah rutin, LES, SGOT,SGPT,GDS,ureum,kreatinin adalah untuk

memeriksa adanya kelainan lain.

Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan

ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara

lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi

pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas,

tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.

Page 9: PPOK

9

Pada terapi diberikan O2

2-3 L/menit hal ini bertujuan untuk perbaikan psikis,

koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur karen hipoksemi dapat mencetuskan

dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas.

Selanjutnya diberikan Nebulizer Combivent yang berisi Ipatropium bromida dan Salbutamol

sulfat yang bertujuan sebagai bronkodilator utama pada PPOK, karena pada PPOK obstruksi

saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Ambroxol juga

diberikan untuk mengobati gejala batuk disertai lendir. Ceftriaxone merupakan antibiotik

yang juga diberikan pada pasien karena infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit

paru obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi. Infeksi virus paling sering

menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Karena Apabila infeksi berlanjut

maka perjalanan penyakit akan makin memburuk. Pemberian kortikosteroid berupa

Dexametason diberikan ada penderita dengan hipereaktivitas bronkus karena pemberian

kortikosteroid menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian

kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Dan Amlodipine

merupakan obat anti hipertensi Golongan Calcium Channel Blocker Dihidropirin yang

digunakan untuk mengendalikan hipertensi.

Page 10: PPOK

10

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

(PPOK)

A. PENDAHULUAN

Pada tahun 2004, Institut Nasional Inggris mendefinisikan penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran udara. Obstruksi aliran udara biasanya progresif,

tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah tajam selama beberapa bulan. Penyakit ini

didominasi disebabkan oleh merokok. Istilah PPOK yang lebih disukai untuk obstruksi aliran

udara terkait dengan penyakit kronis bronkitis dan emfisema. Ini terkait erat dengan, tetapi tidak

identik dengan, PPOK. Meskipun asma dikaitkan dengan obstruksi aliran udara biasanya

dianggap sebagai entitas klinis terpisah. Beberapa pasien dengan asma kronis juga

mengembangkan obstruksi aliran udara yang relatif tetap (konsekuensi dari saluran napas

renovasi) dan sering dibedakan dari PPOK. Karena prevalensi tinggi asma dan PPOK, kondisi ini

hidup berdampingan pada banyak pasien, menciptakan ketidakpastian diagnostik. Kondisi

lainnya juga berhubungan dengan obstruksi aliran udara yang buruk reversibel termasuk cystic

fibrosis, bronkiektasis, dan bronkiolitis obliteratif. Meskipun syarat yang harus dipertimbangkan

dalam diagnosis diferensial saluran napas obstruktif penyakit, mereka tidak konvensional

dicakup oleh definisi PPOK.1

B. DEFINISI

Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary

Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai

gejala berupa terhambatnya arus

udara pernapasan. Istilah ini mulai

dikenal pada akhir 1950an dan

permulaan tahun 1960an. Masalah

yang menyebabkan terhambatmya

arus udara tersebut bisa terletak pada

saluran pernapasan maupun pada

Gambar 1 Gambaran Bronkus Pada Penderita PPOK.3

Page 11: PPOK

11

parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah

dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang

menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan

Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke

dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke

dalam golongan PPOK.2

Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK bila

obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis

kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan

penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua

penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.2

Jika dilakukan pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami obstruksi saluran

napas, diagonosis patologiknya ternyata sering berbeda satu sama lain. Diagnosis patologik

tersebut dapat berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66%, sedangkan bronkiolitis sebesar

41%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala

klinik yang serupa.2

Mengingat PPOK mempunyai banyak sinonim, yaitu Chronic Obstruction Airway

Disease, Chronic Obstructive Lung Disease, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, bisa

dibayangkan bahwa banyak perdebatan yang

timbul ketika golongan penyakit ini dibahas.

Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah

peradangan pada saluran pernapasan kecil. Pada

PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan

adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh

Inter Leukin-8. Walaupun jumlah limfosit juga

meningkat, namun yang meningkat hanya sel T

CD8 helper tipe 1. Berbeda pada asma, yang

dominan adalah eosonofi, sel mast, dan sel T CD4

helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada

PPOK maka jumlah eosonofil meningkat tiga

puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang

Gambar 2 Paru-paru normal dan penderita PPOK.4

Page 12: PPOK

12

menginfilttrasi inilah yang menyebabkan perubahan respon terhadap pengobatan

kortikosteroid. Penurunan FEV1 pertahun pada PPOK adalah antara 50-70 mL/detik jika

akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter maka angka kesakitannya mencapai 10%.2

C. ANATOMI PULMO

Pulmo adalah parenchym yang berada

bersama-sama dengan bronchus dan

percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh

pleura, mengikuti gerakan dinding thorax pada

waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya

dipengaruhi oleh organ-organ yang berada

disekitarnya. Berbentuk conus dengan bagian-

bagiannya, sebagai berikut :

apex

basisi

facies costalis

facies mediastinalis

margo anterior

margo inferior

margo pulmonis5

C.1. PLEURA

Pleura adalah suatu membrana serosa yang membungkus pulmo, mempunyai asal yang

sama dengan peritoneum. Terdiri atas pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara

kedua lapisan pleura tersebut terbentuk suatu rongga (celah) tertutup, disebut cavum

pleurae, yang memungkinkan pulmo bebas bergerak pada waktu respirasi. Di dalam celah

tersebut terdapat sedikit cairan serous yang membuat permukaan pleura parietalis dan pleura

visceralis menjadi licin sehingga mencegah terjadinya gesekan. Pleura parietalis melapisi

facies interior cavitas thoracis dan pleura visceralis langsung melekat pada pulmo. Pleura

parietalis dibagi menjadi :

Gambar 3 Anatomi Pulmo.6

Page 13: PPOK

13

pleura costalis, melapisi costa ;

pleura mediastinalis, berbatasan dengan mediastinum ;

pleura diaphragmatica, melapisi diaphragma thoracis ;

cupula pleurae, menonjol melewati apertura thoracalis superior.

Hubungan atau peralihan pleura visceralis menjadi pleura mediatinalis berbentuk

isthmus dan membatasi radix pulmonis, di bagian cranial membatasi hilus polmanis, dan di

bagian caudal membentuk ligamentum pulmonale.5

C.2. GARIS REFLEKSI PLEURA

Pleura costalis melanjutkan diri menjadi pleura mediastinalis di bagian ventral

columna vertebralis (= refleksi vertebralis) dan di sebelah dorsal sternum (= refleksi

sternalis). Peralihan dari pleura costalis menjadi pleura mediastinalis disebut refleksi

costalis.5

Garis refleksi vertebralis terletak sepanjang columna vertebralis, mulai dari vertebra

thoracalis I – XII. Garis refleksi sternalis dan costalis mempunyai arti klinis. Garis refleksi

sternalis sinister dan dexter berada di sebelah dorsal articulatio sternoclavicularis, bertemu

pada linea mediana anterior setinggi angulus sternalis (setinggi pars cartilagibis costa II),

selanjutnya garis yang di sebelah kanan berjalan ke caudal sepanjang linea mediana anterior

sampai di sebelah dorsal processus xiphoideus; garis yang di sebelah kiri juga berjalan ke

caudal sepanjang linea mediana anterior, tetapi setinggi pars cartilaginis costa IV membelok

ke kiri menjauhi linea mediana dan menjauhi tepi sternum, berjalan miring ke caudal

menyilang pars cartilaginis costa IV, lalu menyilang costa VII pada linea medioclavicularis,

menyilang costa X pada linea axillaris, dan akhirnya menyilang costa XII pada collumnya.

Garis refleksi yang kanan menyilang costa VII, X dan XII pada tempat yang sama seperti

garis refleksi sternalis yang kiri.5

Di sebelah caudal dari refleksi costalis diaphragma thoracis mengadakan perlekatan

langsung pada costa dan mm.intercostalis. di bagian lateral dan dorsal pada tempat tersebut

pulmo tidak turun sampai mencapai refleksi costalis (pada inspirasi) sehingga di tempat

tersebut pleura costalis dan pleura diaphragmatica saling berhadapan dan tidak diisi oleh

pulmo, celah ini disebut recessus (sinus) costodiaphragmaticus sinister et dexter.5

Page 14: PPOK

14

Setinggi ruang intercostalis 4 dan 5 kiri tepi anterior pulmo tidak mencapai refleksi

sternalis, dan pada tempat ini pleura costalis dan pleura mediastinalis saling berhadapan

membentuk recessus sinus) costomediastinalis.5

C.3. CUPULA PLEURAE

Dibentuk oleh pertemuan pleura costalis dan pleura mediastinalis pada apex pulmonis.

Menonjol kira-kira 2 – 3 cm di sebelah cranial costa I dan membentuk atap dari cavum

pleurae atau membentuk dasar (bagian caudalis) regio colli. bAgian ini ditutupi oleh

mm.scaleni dan difiksir oleh fascia Sibson.5

C.4. VASCULARISASI

Diperoleh dari cabang-cabang arteria intercostalis, arteria mammaria interna, arteria

musculophrenica dan arteria bronchialis.5

C.5. INNERVASI

Dilakukan oleh n.pherenicus, n.intercostalis, N.vagus dan trunchus sympathicus.5

D. EPIDEMIOLOGI

Insiden PPOM penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5% wanita dewasa

dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai risiko 4 kali

lebih besar daripada daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun.

Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan

faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½ kali lebih

banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak,

sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.7

E. ETIOLOGI

Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK.

Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan

pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa

setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50%

Page 15: PPOK

15

disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi

bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20%

pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang

berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit,

mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Dalam sebuah studi di Eropa,

meningkat dari 50 mg / m 3 di tingkat polutan harian menunjukkan peningkatan risiko relatif

perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk SO2 (RR 1,02), NO2 (RR 1,02), dan ozon (RR

1,04). Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu

penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan

eksaserbasi PPOK.8

F. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan dan

atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau

kelompok tertentu.

Faktor risiko tersebut meliputi : a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku

(kebiasaan merokok), c. Faktor lingkungan (polusi udara).1

a. Faktor pejamu (host)

Faktor pejamu (host) meliputi genetik hiper responsif napas dan pertumbuhan

paru.Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin yaitu serin protease

inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau

polusi. Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan

semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga

berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.9

b. Perilaku (kebiasaan) Merokok

Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi

terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok usia mulai

merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka

kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan

Page 16: PPOK

16

faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko

PPOK.9

G. KLASIFIKASI

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) 2006,

PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :

Klasifikasi PPOK berdasarkan Global Initiative for Chronic Lung Disease

Derajat Karakteristik

0 : Beresiko Spirometri normal

Gejala kronik (batuk, produksi sputum)

1 : Ringan

FEV1/FVC <70%

FEV1 ≥ 80%

Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum)

2 : Sedang

FEV1/ FVC < 70%

FEV1 ≥30%-80%

(IIa) FEV1 ≥50%-80%

(Iib) FEV1 ≥ 30%-50%

Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum,

sesak)

3 : Berat FEV1/FVC <70%

FEV1 <30% atau FEV1 <50% ditambah gejala gagal napas

atau gejala gagal jantung kanan10

H. PATOFISIOLOGI

Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan ekserbasi asma oleh karena

inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat

memicu serangan ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain.

Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian,

perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi yang berlebihan. Faktor lain yang

kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitism bakterial,

Page 17: PPOK

17

poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan

aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan

memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel

saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin,

sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini

kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper

responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme

yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel

inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya

keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas

dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran

mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengakakan pada sisi luar otot polos

saluran pernapasan.11

Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh

inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkioler merupakan

gejala serangan asma akut dan berperan terhadap resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner

dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi

terhadap obstruksi saluran pernapasan ini akan terjadi gagal napas yang merupakan

konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan

otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan

obstruksi saluran napas.11

Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.

Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat

dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan

FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi

yang relatof cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk

mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi

hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan

kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula dapat

terlihat pada foto thoraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar

dan diafragma yang mendatar.11

Page 18: PPOK

18

Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot

pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi

paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek

kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.11

I. DIAGNOSIS

Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdsarakan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila

dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai

derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan

apabila :

I.1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko :

- Usia (pertengahan)

- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)

b. Gejala

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus

diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa

terjadi pada proses penuaan.

- Batuk Kronik

Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak

hilang dengan pengobatan yang diberikan.

- Berdahak Kronik

Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa

disertai batuk.

- Sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas.

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat

progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus

dilakukan dengan teliti guna ukuran sesak napas sesuai skala sesak.9

Page 19: PPOK

19

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

0

1

2

3

4

Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik

tangga 1 tingkat

Berjalan lebih lambat karema merasa sesak

Sesak timbul bila berjalan 100m atau setelah

beberapa menit

Sesak bila mandi atau berpakaian9

I.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama

auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli.

Sedangkan PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat

perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.

Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :

a. Inspeksi

- Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong)

- Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang meniup)

- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.

- Pelebaran sela iga.

b. Palpasi

- Fremitus melemah

c. Perkusi

- Hipersonor

d. Auskultasi

- Suara nafas vesikuler melemah atau normal

- Ekspirasi memanjang

- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)

- Ronki

Page 20: PPOK

20

I.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :

- Radiologi (foto thoraks)

- Spirometri

- Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi

hipoksia kronik)

- Analisa gas darah

- Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila terjadi

eksaserbasi)

Meskipun kadang-kadang hasil pmeriksaan radiologis masih normal pada

PPOK ringan tetapi pemriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan

diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan

keluhan pasien.

Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :

- Paru hiperinflasi atau hiperlusen

- Diafragma datar

- Corakan bronkovaskular meningkat

- Bulla

- Jantung pendulum

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada

anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik

dan berdahak dengan sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada

seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.9

J. EKSASERBASI AKUT

Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK dalam keadaan

normal penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak, dan batuk. Pada

eksaserbasi akut, ketiga gejala ini bertambah. Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan

oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi

sistemik, atau juga emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan

Page 21: PPOK

21

perawatan di rumah sakit, sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat harus

dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit.3

Klasifikasi Eksaserbasi Akut PPOK

Tipe 1 : Adanya salah satu gejala utama :

- Bertambahnya dispnea

- Bertambahnya sputum purulen

- Bertambahnya volume sputum dan disertau dari :

Infeksi sistem pernafasan 5 hari terakhir

Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Bertambahnya suara mengi

Bertambahnya gejala batuk

Bertambahnya frekuensi napas dan detak jantung >20% dari

baseline

Tipe 2 : Adanya 2 dari tiga gejala utama

Tipe 3 : Adanya tiga gejala utama11

Indikasi Rawat Inap Pasien PPOK Eksaserbasi

Peningkatan gejala seperti sesak napas mendadak waktu istirahat.

Riwayat PPOK berat.

Munculnya gejala fisik seperti edema perifer.

Eksaserbasi tidak berespon dengan pengobatan.

Komorbiditas signifikan.

Aritmia baru.

Diagnosis.

Usia lanjut.

Perawatan rumah tidak memadai.11

Page 22: PPOK

22

K. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau

mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat

kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit

atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar

penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :

1) Usaha mencegah perburukan penyakit

2) Mobilisasi lendir

3) Mengatasi bronkospasme

4) Memberantas infeksi

5) Penanganan terhadap komplikasi

6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.12

Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan

penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga

risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi

kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat

proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang

memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan

orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi

paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya.12

Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari :

I. Penatalaksanaan umum

II. Pemberian obat-obatan

III. Terapi oksigen

IV. Rehabilitasi12

A. Penatalaksanaan Umum

Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah :

Page 23: PPOK

23

1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.

Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-

faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk

penyakit.Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.12

2) Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.

Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.

Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi

harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk

perjalanan penyakit.12

3) Menghindan infeksi Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena

dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.12

4) Lingkungan sehat. Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin

dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian

dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada

penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat

bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.12

5) Mencukupkan kebutuhan cairan. Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga

mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan

hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.12

6) Nutrien yang cukup. Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena

penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat

-obatan yang menimbulkan rasa mual.12

b. Pemberian Obat-Obatan

1 ) Bronkodilator

Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi

saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan

bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan

golongan xanthin, ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam

mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung

simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot

Page 24: PPOK

24

polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis

menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase,

yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan

bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus

vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama

bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi

penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan

bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat

menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi. Obat

golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum

diketahui dengan jelas. 12

Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah :

- Blokade reseptor adenosin

- Rangsangan pelepasan katekolamin endogen

- Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor

- Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan

penglepasan mediator dan sel mast.

Pada gambar 1

dapat dilihat skema

cara kerja obat-

obat bronkodilator

untuk

menimbulkan

bronkodilatasi.

Obat golongan

simpatomimetik

seperti adrenalin

dan efedrin selain

memberikan efek

Page 25: PPOK

25

bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif

terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap

selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di

samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir.

Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan

berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita asma obat

ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2

x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih

minima1.12

Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK,

kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh

komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti

agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat

di turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit. Pada penderita asma akut pemberian

antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan

agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi.

Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor

muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan obat ini

memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua. Golongan xanthin

mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga

berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis

kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal

jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu

penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian

bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai

keuntungan yaitu :

• Obat bekerja langsung pada saluran napas

• Onset kerja yang cepat

• Dosis obat yang kecil

• Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah

Page 26: PPOK

26

• Membantu mobilisasi lendir.12

Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu

spacer, nebuhaler, turbuhaler,dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan

adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan

dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat

mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang

optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi

0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat

bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada

19 orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif

sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.12

Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak

terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan

secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat.

Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian

bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk

mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal.12

.

2 ) Ekspektorans dan mukolitik

Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa keadaan

seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti

kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan menyebabkan

gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila

batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan

tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan

karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat

mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan kerusakan

yang disebabkan oleh oksidans.12

Page 27: PPOK

27

3) Antibiotika

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada keadaan

eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri.

Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi

yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika

dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan

indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin,

eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika

tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.12

4 ) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK

memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama

beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari, kemudian

diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat

dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian

kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian

kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit.12

c) Terapi Oksigen

Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen

konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,

koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan

dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas.

Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya

oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi

kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk

mencegah dan menyembuhkan atelektasis.12

Page 28: PPOK

28

d ) Rehabilitasi

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi

bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang

optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas,

perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna

untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.

Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan

pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan

agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai

dengan kemampuan penderita.12

Page 29: PPOK

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Devereux, Graham. Definition, epidemiology, and risk factor. In : ABC of chronic

obstructive pulmonary disease. BMJ Vol.332; 2006; 1142.

2. Djojodibroto, R.Darmanto. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Respirologi.

Jakarta: ECG; 2009; 120-5.

3. Annonomious. Mukolitik dan Antioksidan dalam terapi PPOK. Dalam : Majalah

Farmacia Vol.5 No.8; 2006.

4. National Heart Lung and Blood Institue [online], [cited in 2011, October 30]. Available

from : http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/copd/

5. Datu, Abd.Razak. Diktat thoraks. Makassar; Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran

Unhas; 1996.

6. Basic anatomy and histology of lung [online], [cited in 2011,October 30]. Available

from : http://www.ivline.info/2011/05/pathology-101-pulmonary-tumours.html

7. Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam : Dasar-

dasar ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.

8. Etiology of Acute COPD Exacerbations [online], [cited in 2011,October 30]. Available

from : http://emedicine.medscape.com/article/807143-overview

9. Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.

10. Gold Criteria for COPD [online], [cited in 2011,October 30]. Available from :

http://www.webmd.com/lung/copd/gold-criteria-for-copd

11. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati,

Siti. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta;

Interna publishing;2010;.

12. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian pulmonologi

fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.