Upload
andini-afliani-putri
View
415
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT DAN LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2011
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT DAN LAPORAN KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
DISUSUN OLEH :
Andhini Afliani Putri.F
C 111 07 255
PEMBIMBING :
dr.Musmiani
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
2
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AW
Umur : 68 tahun
Alamat : Paccinongang
No.Rekam Medik : 483344
Tanggal Pemeriksaan : 19 Oktober 2011
B. ANAMNESIS
Tipe Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
- Dialami sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan terus
menerus, tanpa dipengaruhi aktivitas.
- Batuk (+) sejak ± 3 bulan SMRS, dahak (+) warna putih, darah (-).
- Pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun karena sesak di malam hari (-), sesak tidak
bertambah dengan perubahan cuaca.
- Demam (-), riwayat demam (-)
- Mual (-), muntah (-)
- Nyeri dada (-) Nyeri perut (-)
- Penurunan BB (-), keringat malam (-)
- BAB : biasa, kuning. BAK: lancar, kuning.
Riwayat penyakit Sebelumnya :
- Riwayat DM (-)
- Riwayat OAT (-)
- Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 3 tahun yang lalu
- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat merokok sejak 20 tahun, 2 bungkus perhari
C. STATUS PRESENT
Sakit sedang / Gizi cukup / Compos mentis
3
- BB : 45 kg
- TB : 155
- IMT : 18,75
Tanda Vital :
- Tensi : 170/100
- Nadi : 96x/menit
- Pernapasan : 28x/menit
- Suhu : 36,5o C
Pemeriksaan fisis :
- Kepala : Anemis(-), Ikterus(-), Sianosis(-)
- Leher : NT (-), MT(-). DVS R-2 cmH2O
- Thoraks :
Inspeksi : Emfisematous, simetris ki=ka
Palpasi : Vocal Fremitus ↑ ki=ka
Perkusi : Hipersonor
BPH di ICS VI kiri depan
BPB kiri V th.XI
BPB kanan V. Th.X
Auskultasi : BP : Bronkial. Rh Wh - / -
- Jantung :
Inspeksi : IC tidak tampak
Palpasi : IC tidak teraba
Perkusi : batas jantung kesan normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni reguler
- Abdomen :
Inspeksi : datar ikut gerak napas
Palpasi : H/L ttb
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan N
- Ekstremitas
Edema : -/-
4
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG
Darah rutin :
- Leukosit : 10,1 x 103
- Eritrosit : 4,58
- Hemoglobin : 11,5
- Trombosit : 516.000
- LED I / II : 7/11
- Limfosit : 23,4
- Neutrofil : 59,1
Elektrolit :
- K : 5,1
- Na : 132
- Cl : 9,7
- Ca : 7,74
- pH : 7,74
Kimia Klinik :
- Ureum : 92,8
- Kreatinin : 1,4
Foto Thorax
- Kesan : Bronkitis
Sputum BTA 3x :
I : (-), II : (-), III: (-)
E. DIAGNOSIS SEMENTARA
- PPOK Eksaserbasi Akut
- HT grade 2
F. TATALAKSANA AWAL
- O2 2-3 L/m
- Nebulizer combivent / 8jam
- Ambroxol 3 dd1 cth
5
- Amlodipine 1-0-0
G. RENCANA PEMERIKSAAN AWAL
- Darah rutin
- LED
- Sputum BTA 3x, gram, jamur
- SGOT, SGPT
- Ureum, Kreatinin
- GDS
- Tes Faal Paru
- Foto thoraks
H. FOLLOW UP
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi
20/10/11
T : 140/90
N : 88x/i
P : 30x/i
S: 36,9oC
S : sesak (+), batuk (+) lendir putih,
nyeri dada (-)
O: SS / GC / CM
Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi
(-)
Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O
Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh
Wh -/-
Jantung : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan N
Ekstremitas : Edema -/-
A : PPOK
- O2 2-3 L/m
- Nebulizer combivent /
8jam
- Ambroxol 3 dd1 cth
- Ceftriaxone
2gr/24jam/IV
- Inj.Dexametason
1amp/8jam/IV
- Amlodipine 1-0-0
21/10/11
T : 120/70
N : 88x/i
S : sesak (+), batuk (-), nyeri dada (-)
O: SS / GC / CM
- O2 2-3 L/m
- Nebulizer combivent /
8jam
6
P : 28x/i
S: 36,7oC
Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi
(-)
Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O
Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh
Wh -/-
Jantung : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan N
Ekstremitas : Edema -/-
A : PPOK
- Ambroxol 3 dd1 cth
- Inj.Dexametason
1amp/8jam/IV
- Ceftriaxone
2gr/24jam/IV
- Amlodipine 1-0-0
22/10/11
T : 130/80
N : 88x/i
P : 26x/i
S: 36,6oC
S : sesak (+) ↓, batuk (+), nyeri dada (-)
O: SS / GC / CM
Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi
(-)
Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O
Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh
Wh -/-
Jantung : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan N
Ekstremitas : Edema -/-
A : PPOK
- O2 2-3 L/m
- Nebulizer combivent /
8jam
- Ambroxol 3 dd1 cth
- Inj.Dexametason
1amp/8jam/IV
- Ceftriaxone
2gr/24jam/IV
- Amlodipine 1-0-0
23/10/11
T : 130/80
N : 84x/i
P : 36x/i
S: 36,5oC
S : sesak (+) , batuk (-), nyeri dada (-)
BAK tidak lancar
O: SS / GC / CM
Kepala : anemis (-), ikterus (-), sianosi
(-)
Leher : NT(-), MT(-), R -1 cmH2O
Toraks : BP : Bronkovesikuler, Rh
Wh -/-
- O2 2-3 L/m
- Nebulizer combivent /
8jam
- Inj.Dexametason
1amp/8jam/IV
- Ceftriaxone
2gr/24jam/IV
- Amlodipine 1-0-0
7
Jantung : BJ I/II murni reguler
Abdomen : Peristaltik (+) kesan N
Ekstremitas : Edema -/-
A : PPOK
I. RESUME
Seorang laki-laki usia 68 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas yang dialami
sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan terus menerus, tanpa
dipengaruhi aktivitas, pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun karena sesak di malam hari
(-), sesak tidak bertambah dengan perubahan cuaca. Batuk (+) sejak ± 3 bulan SMRS, dahak
(+) warna putih, darah (-) . Demam (-), riwayat demam (-). Mual (-), muntah (-). Nyeri dada (-
) Nyeri perut (-). Penurunan BB (-), keringat malam (-). BAB : biasa, kuning. BAK: lancar,
kuning.
Riwayat penyakit Sebelumnya :
- Riwayat DM (-)
- Riwayat OAT (-)
- Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 3 tahun yang lalu
- Riwayat sakit jantung (-)
- Riwayat merokok sejak 20 tahun, 2 bungkus perhari
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah tinggi yaitu 170/100 mmHg, nadi normal
yaitu 96x/menit, pernapasan cepat (takipneu) 28x/menit, dan suhu normal yaitu 36,5oC. Pada
pemeriksaan thoraks di dapatkan Emfisematous pada inspeksi, vokal fremutus meningkat
pada palpasi ke dua bagian paru, hipersonor pada perkusi kedua bagian paru, dan bunyi
pernapasan bronkial pada auskultasi disertai bunyi tambahan wheezing di bagian apeks paru
kiri dan kanan. Berdasarkan klinis pasien dapat di assessment dengan diagnosa PPOK
eksaserbasi akut dan hipertensi grade 2. Pada penatalaksanaan diberikan O2 2-3 L, nebulizer
combivent/8jam/ ambroxol 3 kali 1 sendok teh perhari, dan amlodipin di pagi hari.
8
J. DISKUSI
Pada kasus didapatkan seorang laki-laki usia 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak napas yang dialami sejak ± 3 bulan SMRS, memberat sejak ± 1 hari SMRS, dirasakan
terus menerus, tanpa dipengaruhi aktivitas, pasien bisa tidur dengan 1 bantal, terbangun
karena sesak di malam hari (-), sesak tidak bertambah dengan perubahan cuaca.Dari
anamnesa yang berhubungan dengan keluhan utama ditanyakan gejala sesak akibat penyakit
respirasi dan sesak akibat penyakit jantung. Pada kasus didapatkan gejala sesak akibat
penyakit respirasi. Selanjutnya didapatkan gejala batuk sejak ± 3 bulan SMRS, dahak (+)
warna putih, darah(-), riwayat demam(-), penurunan BB(-), keringat malam(-), dan riwayat
konsumsi OAT(-) maka diagnosa ke arah penyakit TB dapat disingkirkan. Selanjutnya
gejala yang menunjang diagnosa adalah adanya riwayat merokok sejak 20tahun yang
dikonsumsi sebanyak 2 bungkus perhari, selain itu ditunjang dengan pemeriksaan fisis pada
pemeriksaan thoraks didapatkan dada emfisematous kiri dan kanan, vokal fremitus
meningkat pada kedua lapangan paru, perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, dan
bunyi pernapasan bronkial serta bunyi tambahan berupa wheezing pada auskultasi. Maka
berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, lendir, riwayat merokok, serta
pemeriksaan fisis dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis. Selain itu terdapat penyakit lain yang menyertai yaitu hipertensi
grade 2 dimana tekanan darah tinggi yaitu 170/100 mmHg.
Namun untuk menegakkan diagnosa perlu dilakukan tes faal paru (spirometri), selain itu
juga dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x,gram,jamur untuk menyingkirkan diagnosa TB.
Adapun pemeriksaan darah rutin, LES, SGOT,SGPT,GDS,ureum,kreatinin adalah untuk
memeriksa adanya kelainan lain.
Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan
ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara
lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi
pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas,
tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.
9
Pada terapi diberikan O2
2-3 L/menit hal ini bertujuan untuk perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur karen hipoksemi dapat mencetuskan
dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas.
Selanjutnya diberikan Nebulizer Combivent yang berisi Ipatropium bromida dan Salbutamol
sulfat yang bertujuan sebagai bronkodilator utama pada PPOK, karena pada PPOK obstruksi
saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh komponen vagal. Ambroxol juga
diberikan untuk mengobati gejala batuk disertai lendir. Ceftriaxone merupakan antibiotik
yang juga diberikan pada pasien karena infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit
paru obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi. Infeksi virus paling sering
menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Karena Apabila infeksi berlanjut
maka perjalanan penyakit akan makin memburuk. Pemberian kortikosteroid berupa
Dexametason diberikan ada penderita dengan hipereaktivitas bronkus karena pemberian
kortikosteroid menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian
kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Dan Amlodipine
merupakan obat anti hipertensi Golongan Calcium Channel Blocker Dihidropirin yang
digunakan untuk mengendalikan hipertensi.
10
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK)
A. PENDAHULUAN
Pada tahun 2004, Institut Nasional Inggris mendefinisikan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) ditandai dengan obstruksi aliran udara. Obstruksi aliran udara biasanya progresif,
tidak sepenuhnya reversibel dan tidak berubah tajam selama beberapa bulan. Penyakit ini
didominasi disebabkan oleh merokok. Istilah PPOK yang lebih disukai untuk obstruksi aliran
udara terkait dengan penyakit kronis bronkitis dan emfisema. Ini terkait erat dengan, tetapi tidak
identik dengan, PPOK. Meskipun asma dikaitkan dengan obstruksi aliran udara biasanya
dianggap sebagai entitas klinis terpisah. Beberapa pasien dengan asma kronis juga
mengembangkan obstruksi aliran udara yang relatif tetap (konsekuensi dari saluran napas
renovasi) dan sering dibedakan dari PPOK. Karena prevalensi tinggi asma dan PPOK, kondisi ini
hidup berdampingan pada banyak pasien, menciptakan ketidakpastian diagnostik. Kondisi
lainnya juga berhubungan dengan obstruksi aliran udara yang buruk reversibel termasuk cystic
fibrosis, bronkiektasis, dan bronkiolitis obliteratif. Meskipun syarat yang harus dipertimbangkan
dalam diagnosis diferensial saluran napas obstruktif penyakit, mereka tidak konvensional
dicakup oleh definisi PPOK.1
B. DEFINISI
Istilah penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructif Pulmonary
Disease (COPD) ditujukan untuk mengelempokkan penyakit-penyakit yang mempunyai
gejala berupa terhambatnya arus
udara pernapasan. Istilah ini mulai
dikenal pada akhir 1950an dan
permulaan tahun 1960an. Masalah
yang menyebabkan terhambatmya
arus udara tersebut bisa terletak pada
saluran pernapasan maupun pada
Gambar 1 Gambaran Bronkus Pada Penderita PPOK.3
11
parenkim paru. Kelompok penyakit yang dimasksud adalah Bronkitis Kronik (masalah
dalam saluran pernapasan), emfisema (masalah dalam parenkim). Ada beberapa ahli yang
menambahkan ke dalam kelompok ini yaitu Asma Bronkial Kronik, Fibrosis Kistik dan
Bronkiektasis. Secara logika penyakit asma bronkial seharusnya dapat digolongkan ke
dalam golongan arus napas yang terhambat, tetapi pada kenyataannya tidak dimasukkan ke
dalam golongan PPOK.2
Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK bila
obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi (bronkitis
kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika keparahan
penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal, kedua
penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK.2
Jika dilakukan pemeriksaan patologik pada pasien yang mengalami obstruksi saluran
napas, diagonosis patologiknya ternyata sering berbeda satu sama lain. Diagnosis patologik
tersebut dapat berupa emfisema sebesar 68%, bronkitis 66%, sedangkan bronkiolitis sebesar
41%. Jadi dapat disimpulkan bahwa kelainan patologik yang berbeda menghasilkan gejala
klinik yang serupa.2
Mengingat PPOK mempunyai banyak sinonim, yaitu Chronic Obstruction Airway
Disease, Chronic Obstructive Lung Disease, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, bisa
dibayangkan bahwa banyak perdebatan yang
timbul ketika golongan penyakit ini dibahas.
Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah
peradangan pada saluran pernapasan kecil. Pada
PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan
adalah banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh
Inter Leukin-8. Walaupun jumlah limfosit juga
meningkat, namun yang meningkat hanya sel T
CD8 helper tipe 1. Berbeda pada asma, yang
dominan adalah eosonofi, sel mast, dan sel T CD4
helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada
PPOK maka jumlah eosonofil meningkat tiga
puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang
Gambar 2 Paru-paru normal dan penderita PPOK.4
12
menginfilttrasi inilah yang menyebabkan perubahan respon terhadap pengobatan
kortikosteroid. Penurunan FEV1 pertahun pada PPOK adalah antara 50-70 mL/detik jika
akhirnya FEV1 menjadi di bawah 1 liter maka angka kesakitannya mencapai 10%.2
C. ANATOMI PULMO
Pulmo adalah parenchym yang berada
bersama-sama dengan bronchus dan
percabangan-percabangannya. Dibungkus oleh
pleura, mengikuti gerakan dinding thorax pada
waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya
dipengaruhi oleh organ-organ yang berada
disekitarnya. Berbentuk conus dengan bagian-
bagiannya, sebagai berikut :
apex
basisi
facies costalis
facies mediastinalis
margo anterior
margo inferior
margo pulmonis5
C.1. PLEURA
Pleura adalah suatu membrana serosa yang membungkus pulmo, mempunyai asal yang
sama dengan peritoneum. Terdiri atas pleura parietalis dan pleura visceralis. Di antara
kedua lapisan pleura tersebut terbentuk suatu rongga (celah) tertutup, disebut cavum
pleurae, yang memungkinkan pulmo bebas bergerak pada waktu respirasi. Di dalam celah
tersebut terdapat sedikit cairan serous yang membuat permukaan pleura parietalis dan pleura
visceralis menjadi licin sehingga mencegah terjadinya gesekan. Pleura parietalis melapisi
facies interior cavitas thoracis dan pleura visceralis langsung melekat pada pulmo. Pleura
parietalis dibagi menjadi :
Gambar 3 Anatomi Pulmo.6
13
pleura costalis, melapisi costa ;
pleura mediastinalis, berbatasan dengan mediastinum ;
pleura diaphragmatica, melapisi diaphragma thoracis ;
cupula pleurae, menonjol melewati apertura thoracalis superior.
Hubungan atau peralihan pleura visceralis menjadi pleura mediatinalis berbentuk
isthmus dan membatasi radix pulmonis, di bagian cranial membatasi hilus polmanis, dan di
bagian caudal membentuk ligamentum pulmonale.5
C.2. GARIS REFLEKSI PLEURA
Pleura costalis melanjutkan diri menjadi pleura mediastinalis di bagian ventral
columna vertebralis (= refleksi vertebralis) dan di sebelah dorsal sternum (= refleksi
sternalis). Peralihan dari pleura costalis menjadi pleura mediastinalis disebut refleksi
costalis.5
Garis refleksi vertebralis terletak sepanjang columna vertebralis, mulai dari vertebra
thoracalis I – XII. Garis refleksi sternalis dan costalis mempunyai arti klinis. Garis refleksi
sternalis sinister dan dexter berada di sebelah dorsal articulatio sternoclavicularis, bertemu
pada linea mediana anterior setinggi angulus sternalis (setinggi pars cartilagibis costa II),
selanjutnya garis yang di sebelah kanan berjalan ke caudal sepanjang linea mediana anterior
sampai di sebelah dorsal processus xiphoideus; garis yang di sebelah kiri juga berjalan ke
caudal sepanjang linea mediana anterior, tetapi setinggi pars cartilaginis costa IV membelok
ke kiri menjauhi linea mediana dan menjauhi tepi sternum, berjalan miring ke caudal
menyilang pars cartilaginis costa IV, lalu menyilang costa VII pada linea medioclavicularis,
menyilang costa X pada linea axillaris, dan akhirnya menyilang costa XII pada collumnya.
Garis refleksi yang kanan menyilang costa VII, X dan XII pada tempat yang sama seperti
garis refleksi sternalis yang kiri.5
Di sebelah caudal dari refleksi costalis diaphragma thoracis mengadakan perlekatan
langsung pada costa dan mm.intercostalis. di bagian lateral dan dorsal pada tempat tersebut
pulmo tidak turun sampai mencapai refleksi costalis (pada inspirasi) sehingga di tempat
tersebut pleura costalis dan pleura diaphragmatica saling berhadapan dan tidak diisi oleh
pulmo, celah ini disebut recessus (sinus) costodiaphragmaticus sinister et dexter.5
14
Setinggi ruang intercostalis 4 dan 5 kiri tepi anterior pulmo tidak mencapai refleksi
sternalis, dan pada tempat ini pleura costalis dan pleura mediastinalis saling berhadapan
membentuk recessus sinus) costomediastinalis.5
C.3. CUPULA PLEURAE
Dibentuk oleh pertemuan pleura costalis dan pleura mediastinalis pada apex pulmonis.
Menonjol kira-kira 2 – 3 cm di sebelah cranial costa I dan membentuk atap dari cavum
pleurae atau membentuk dasar (bagian caudalis) regio colli. bAgian ini ditutupi oleh
mm.scaleni dan difiksir oleh fascia Sibson.5
C.4. VASCULARISASI
Diperoleh dari cabang-cabang arteria intercostalis, arteria mammaria interna, arteria
musculophrenica dan arteria bronchialis.5
C.5. INNERVASI
Dilakukan oleh n.pherenicus, n.intercostalis, N.vagus dan trunchus sympathicus.5
D. EPIDEMIOLOGI
Insiden PPOM penduduk negeri Belanda ialah 10-15% pria dewasa , 5% wanita dewasa
dan 5% anak-anak. Faktor risiko yang utama adalah rokok. Perokok mempunyai risiko 4 kali
lebih besar daripada daripada bukan perokok, dimana faal paru cepat menurun.
Penderita pria : wanita = 3-10 : 1. Pekerjaan penderita sering berhubungan erat dengan
faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus. Di daerah perkotaan, insiden PPOM 1 ½ kali lebih
banyak daripada pedesaan. Bila seseorang pada saat anak-anak sering batuk, berdahak,
sering sesak, kelak pada masa tua timbul emfisema.7
E. ETIOLOGI
Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab paling umum dari eksaserbasi PPOK.
Namun, polusi udara, gagal jantung, emboli pulmonal, infeksi nonpulmonal, dan
pneumothorax dapat memicu eksaserbasi akut. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
setidaknya 80 % dari PPOK eksaserbasi disebabkan oleh infeksi. Infeksi tersebut 40-50%
15
disebankan oleh bakteri, 30% oleh virus, dan 5-10% karena bakteri atipikal. Infeksi
bersamaan oleh lebih dari satu patogen menular tampaknya terjadi dalam 10 sampai 20%
pasien. Meskipun ada data epidemiologis menunjukkan bahwa peningkatan polusi yang
berkaitan dengan peningkatan ringan pada eksaserbasi PPOK dan perawatan di rumah sakit,
mekanisme yang terlibat sebagian besar tidak diketahui. Dalam sebuah studi di Eropa,
meningkat dari 50 mg / m 3 di tingkat polutan harian menunjukkan peningkatan risiko relatif
perawatan di rumah sakit untuk PPOK untuk SO2 (RR 1,02), NO2 (RR 1,02), dan ozon (RR
1,04). Emboli pulmonal juga dapat menyebabkan eksaserbasi PPOK akut, dan, dalam satu
penelitian terbaru, Emboli Pulmonal sebesar 8,9% menunjukkan pasien rawat inap dengan
eksaserbasi PPOK.8
F. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan dan
atau yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau
kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi : a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku
(kebiasaan merokok), c. Faktor lingkungan (polusi udara).1
a. Faktor pejamu (host)
Faktor pejamu (host) meliputi genetik hiper responsif napas dan pertumbuhan
paru.Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin yaitu serin protease
inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau
polusi. Pertumbuhan paru dikaitkan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan
semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga
berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.9
b. Perilaku (kebiasaan) Merokok
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok usia mulai
merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan
16
faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko
PPOK.9
G. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstruction Lung Disease (GOLD) 2006,
PPOK dibagi atas 4 derajat yaitu :
Klasifikasi PPOK berdasarkan Global Initiative for Chronic Lung Disease
Derajat Karakteristik
0 : Beresiko Spirometri normal
Gejala kronik (batuk, produksi sputum)
1 : Ringan
FEV1/FVC <70%
FEV1 ≥ 80%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum)
2 : Sedang
FEV1/ FVC < 70%
FEV1 ≥30%-80%
(IIa) FEV1 ≥50%-80%
(Iib) FEV1 ≥ 30%-50%
Dengan atau tanpa gejala kronik (batuk, produksi sputum,
sesak)
3 : Berat FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% atau FEV1 <50% ditambah gejala gagal napas
atau gejala gagal jantung kanan10
H. PATOFISIOLOGI
Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan ekserbasi asma oleh karena
inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat
memicu serangan ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain.
Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian,
perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi yang berlebihan. Faktor lain yang
kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitism bakterial,
17
poliposis, menstruasi, refluks gastro esopageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan
aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan
memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari mast sel
saluran pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrin,
sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini
kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper
responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme
yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel
inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya
keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas
dengan atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengakakan pada sisi luar otot polos
saluran pernapasan.11
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkioler merupakan
gejala serangan asma akut dan berperan terhadap resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner
dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi
terhadap obstruksi saluran pernapasan ini akan terjadi gagal napas yang merupakan
konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan
otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan
obstruksi saluran napas.11
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut.
Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat
dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate (PEFR) dan
FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi
yang relatof cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk
mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi
hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan
kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula dapat
terlihat pada foto thoraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar
dan diafragma yang mendatar.11
18
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot
pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi
paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek
kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.11
I. DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdsarakan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai
derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat). Diagnosis PPOK klinis ditegakkan
apabila :
I.1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko :
- Usia (pertengahan)
- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)
b. Gejala
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan.
- Batuk Kronik
Batuk kronik adalah batuk yang hilang timbul selama 3 bulan yang tidak
hilang dengan pengobatan yang diberikan.
- Berdahak Kronik
Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk.
- Sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas.
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat
progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus
dilakukan dengan teliti guna ukuran sesak napas sesuai skala sesak.9
19
Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0
1
2
3
4
Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik
tangga 1 tingkat
Berjalan lebih lambat karema merasa sesak
Sesak timbul bila berjalan 100m atau setelah
beberapa menit
Sesak bila mandi atau berpakaian9
I.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli.
Sedangkan PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat
perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Inspeksi
- Bentuk dada barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat cara bernapas purse lips bretahing (seperti orang meniup)
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas.
- Pelebaran sela iga.
b. Palpasi
- Fremitus melemah
c. Perkusi
- Hipersonor
d. Auskultasi
- Suara nafas vesikuler melemah atau normal
- Ekspirasi memanjang
- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
- Ronki
20
I.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
- Radiologi (foto thoraks)
- Spirometri
- Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi
hipoksia kronik)
- Analisa gas darah
- Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihhan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Meskipun kadang-kadang hasil pmeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan tetapi pemriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan
diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dan
keluhan pasien.
Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma datar
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Bulla
- Jantung pendulum
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor resiko disertai batuk kronik
dan berdahak dengan sesak nafas terutama saat melakukan aktivitas pada
seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.9
J. EKSASERBASI AKUT
Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK dalam keadaan
normal penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea, berdahak, dan batuk. Pada
eksaserbasi akut, ketiga gejala ini bertambah. Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan
oleh infeksi sistem pernapasan, pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi
sistemik, atau juga emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan
21
perawatan di rumah sakit, sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat harus
dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit.3
Klasifikasi Eksaserbasi Akut PPOK
Tipe 1 : Adanya salah satu gejala utama :
- Bertambahnya dispnea
- Bertambahnya sputum purulen
- Bertambahnya volume sputum dan disertau dari :
Infeksi sistem pernafasan 5 hari terakhir
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Bertambahnya suara mengi
Bertambahnya gejala batuk
Bertambahnya frekuensi napas dan detak jantung >20% dari
baseline
Tipe 2 : Adanya 2 dari tiga gejala utama
Tipe 3 : Adanya tiga gejala utama11
Indikasi Rawat Inap Pasien PPOK Eksaserbasi
Peningkatan gejala seperti sesak napas mendadak waktu istirahat.
Riwayat PPOK berat.
Munculnya gejala fisik seperti edema perifer.
Eksaserbasi tidak berespon dengan pengobatan.
Komorbiditas signifikan.
Aritmia baru.
Diagnosis.
Usia lanjut.
Perawatan rumah tidak memadai.11
22
K. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat
kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit
atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasar-dasar
penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :
1) Usaha mencegah perburukan penyakit
2) Mobilisasi lendir
3) Mengatasi bronkospasme
4) Memberantas infeksi
5) Penanganan terhadap komplikasi
6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.12
Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan
penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga
risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi
kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat
proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang
memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan
orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya.12
Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari :
I. Penatalaksanaan umum
II. Pemberian obat-obatan
III. Terapi oksigen
IV. Rehabilitasi12
A. Penatalaksanaan Umum
Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adaIah :
23
1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga.
Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-
faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk
penyakit.Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.12
2) Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi.
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi
harus dihindari, karena zat itu juga dapat menimbulkan eksaserbasi/memperburuk
perjalanan penyakit.12
3) Menghindan infeksi Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena
dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.12
4) Lingkungan sehat. Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin
dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian
dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada
penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat
bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.12
5) Mencukupkan kebutuhan cairan. Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga
mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan
hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.12
6) Nutrien yang cukup. Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena
penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat
-obatan yang menimbulkan rasa mual.12
b. Pemberian Obat-Obatan
1 ) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi
saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan
bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan
golongan xanthin, ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam
mengatasi obstruksi saluran napas. Dalam otot saluran napas persarafan langsung
simpatometik hanya sedikit; meskipun banyak terdapat adenoreseptor beta dalam otot
24
polos bronkus, reseptor ini terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis
menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase,
yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan
bronkodilatasi. Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus
vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama
bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi
penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan
bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat
menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi. Obat
golongan xanthin bekerja sebagai bronkodilator melalui mekanisme yang belum
diketahui dengan jelas. 12
Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator adalah :
- Blokade reseptor adenosin
- Rangsangan pelepasan katekolamin endogen
- Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor
- Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan
penglepasan mediator dan sel mast.
Pada gambar 1
dapat dilihat skema
cara kerja obat-
obat bronkodilator
untuk
menimbulkan
bronkodilatasi.
Obat golongan
simpatomimetik
seperti adrenalin
dan efedrin selain
memberikan efek
25
bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif
terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap
selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di
samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir.
Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan
berkurang. Pemberian salbutamol lepas lambat juga dapat diberikan. Pada penderita asma obat
ini mungkin bisa mengurangi timbulnya serangan asma malam. Dosis salbutamol lepas lambat 2
x 4 mg mempunyai manfaat yang sama dengan dosis 2 x 8 mg dengan efek samping yang lebih
minima1.12
Antikolinergik seperti ipratropium bromide merupakan bronkodilator utama pada PPOK,
kanena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh
komponen vagal. Kombinasi obat antikolinergik dengan golongan bronkodilator lain seperti
agonis beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat
di turunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit. Pada penderita asma akut pemberian
antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan
agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi.
Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blokade reseptor
muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan obat ini
memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua. Golongan xanthin
mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga
berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis
kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal
jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu
penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian
bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan- oleh kanena cara ini memberikan berbagai
keuntungan yaitu :
• Obat bekerja langsung pada saluran napas
• Onset kerja yang cepat
• Dosis obat yang kecil
• Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah
26
• Membantu mobilisasi lendir.12
Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu
spacer, nebuhaler, turbuhaler,dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan
adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan
dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat
mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang
optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi
0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat
bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada
19 orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif
sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.12
Pada penderita PPOK pemberian bronkodilator harus selalu dicoba, meskipun tidak
terdapat perbaikan faal paru. Apabila selama 2–3 bulan pemberian obat tidak terlihat perubahan
secara objektif maupun secara subjektif maka tidaklah tepat untuk meneruskan pemberian obat.
Tetapi pemberian bronkodilator tetap diindikasikan pada suatu serangan akut. Pemberian
bronkodilator jangka lama pada penderita sebaiknya diberikan dalam bentuk kombinasi, untuk
mendapatkan efek yang optimal dengan efek samping yang minimal.12
.
2 ) Ekspektorans dan mukolitik
Pemberian cairan yang cukup dapat mengencerkan sekret, tetapi pada beberapa keadaan
seperti gagal jantung perlu dilakukan pembatasan cairan. Obat yang menekan batuk seperti
kodein tidak dianjurkan karena dapat mengganggu pembersihan sekret dan menyebabkan
gangguan pertukaran udara; di samping itu obat ini dapat menekan pusat napas. Tetapi bila
batuk sangat mengganggu seperti batuk yang menetap, iritasi saluran napas dan gangguan
tidur obat ini dapat diberikan. Ekspektorans dan mukolitik lain seperti bromheksin, dan
karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistem selain bersifat
mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran napas dan kerusakan
yang disebabkan oleh oksidans.12
27
3) Antibiotika
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada keadaan
eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi
yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika
dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan
indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin,
eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika
tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.12
4 ) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada suatu serangan akut baik pada asma maupun PPOK
memberikan perbaikan penyakit yang nyata. Steroid dapat diberikan intravena selama
beberapa hari, dilanjutkan dengan prednison oral 60 mg selama 4–7 hari, kemudian
diturunkan bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat
dihentikan tanpa turun bertahap. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian
kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dari gejala penyakit. Pemberian
kortikosteroid jangka lama memperlambat progresivitas penyakit.12
c) Terapi Oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen
konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan
dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya
oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi
kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk
mencegah dan menyembuhkan atelektasis.12
28
d ) Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan. Fisioterapi
bertujuan memobilisasi dahak dan mengendalikan kondisi fisik penderita ke tingkat yang
optimal. Berbagai cara fisioterapi dapat dilakukan yaitu latihan relaksasi, latihan napas,
perkusi dinding dada, drainase postural dan program uji latih. Rehabilitasi psikis berguna
untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya.
Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Secara umum rehabilitasi ini bertujuan
agar penderita dapat mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas yang bermanfaat sesuai
dengan kemampuan penderita.12
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Devereux, Graham. Definition, epidemiology, and risk factor. In : ABC of chronic
obstructive pulmonary disease. BMJ Vol.332; 2006; 1142.
2. Djojodibroto, R.Darmanto. Penyakit paru obstruktif kronik. Dalam : Respirologi.
Jakarta: ECG; 2009; 120-5.
3. Annonomious. Mukolitik dan Antioksidan dalam terapi PPOK. Dalam : Majalah
Farmacia Vol.5 No.8; 2006.
4. National Heart Lung and Blood Institue [online], [cited in 2011, October 30]. Available
from : http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/copd/
5. Datu, Abd.Razak. Diktat thoraks. Makassar; Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Unhas; 1996.
6. Basic anatomy and histology of lung [online], [cited in 2011,October 30]. Available
from : http://www.ivline.info/2011/05/pathology-101-pulmonary-tumours.html
7. Assagaf, Hood. Mukty, Abdul. Penyakit paru obstruktif menahun. Dalam : Dasar-
dasar ilmu penyakit paru. Yogyakarta; UGM Press;2009.
8. Etiology of Acute COPD Exacerbations [online], [cited in 2011,October 30]. Available
from : http://emedicine.medscape.com/article/807143-overview
9. Supari, Siti Fadilah. Pedoman pengendalian penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008; 3-51.
10. Gold Criteria for COPD [online], [cited in 2011,October 30]. Available from :
http://www.webmd.com/lung/copd/gold-criteria-for-copd
11. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati,
Siti. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta;
Interna publishing;2010;.
12. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi. Jakarta; Bagian pulmonologi
fakultas kedokteran universitas indonesia; 2008; 28-32.