Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ISSN 2527 – 5542
REKAYASA TEKNIK SIPIL Media Publikasi Karya Ilmiah di Bidang Teknik Sipil
Volume 3, Nomer 2. Desember 2018
Penanggung Jawab :
Ir. Moch. Hazin Mukti, MT., MM
Mitra Bestari :
Dr. Ir. Lalu Mulyadi, MT
Dr. Ir. Kustamar, MT
Dr. Ir. Subandiyah Azis, CES
Dr. Faisal Estu Yulianto, ST., MT.
Dr. Gusfan Khalik, ST., MT.
Komite Pelaksana :
Dedy Asmaroni, ST., MT.
Taurina Jemmy Irwanto, ST., MT.
Ahmad Fatoni ST., M.MT.
Ahmad Fausi, ST.
Aldi Setiawan, ST.
Komite Pelaksana :
Fakultas Teknik – Universitas Madura
Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan 69317
Telp. (0324) 322231 psw 114 Fax (0324) 327418
Email : [email protected]
ISSN 2527 – 5542
REKAYASA TEKNIK SIPIL Media Publikasi Karya Ilmiah di Bidang Teknik Sipil
Volume 3, Nomer 2. Desember 2018
DAFTAR ISI
1. Pembuatan Simulasi/Program Granulasi Tanah Berbutir Halus
Menjadi Tanah Berbutir Kasar dengan Menggunakan Program Matlab
Akhmad Maliki, Siswoyo
1-4
2. Penggunaan Pasir Silika Sebagai Substitusi Agregat Halus untuk
Meningkatkan Performance Bata Ringan
Bambang Sujatmiko, Safrin Zuraidah, Wisnu Abiarto Nugroho, Elando
Rizsa Putra Atmajaya
5-12
3. Identifikasi Kawasan Slump Area di Kota Malang
Fifi Damayanti, Pamela Dinar Rahma
13-20
4. Studi Kelayakan Perumahan Citrapuri Keniten 1 Ponorogo Diliat Dari
Site Plan
Siti Choiriyah, Deni Eko Prasetyo 21-24
5. Studi Perilaku Struktur Eccentrically Brace Frame (EBF) Akibat Beban
Gempa dan Beban Siklik
Budi Suswanto, Aniendhita Rizki Amalia, Isdarmanu, Fajri Aulia 25-32
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
1
PEMBUATAN SIMULASI/PROGRAM GRANULASI TANAH BERBUTIR
HALUS MENJADI TANAH BERBUTIR KASAR DENGAN
MENGGUNAKAN PROGRAM MATLAB
1Akhmad Maliki, 2Siswoyo
1Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Surabaya
E-mail: [email protected] 2Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Surabaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK: Lumpur Sidoarjo (LuSi) merupakan semburan lumpur panas yang berasal dari dalam perut bumi.
Komponen matarial yang dimuntahkan oleh LuSi sebagian besar berupa lempung. Jika dilihat dari sifat fisik LuSi yang
berbentuk lempengan lebar, plastisitas dan penyusutan yang tinggi menyebabkan LuSi sulit untuk
dipindahkan/diangkut. Agar dapat dengan mudah untuk mengangkutnya dan dapat digunakan untuk tanah urugan
reklamasi yang tidak perlu lagi mengambil material urugan di daerah quarry, maka ukuran butiran LuSi harus
dibesarkan melalui proses granular yang menggunakan drum granulator berputar. Tujuan dari penelitian ini adalah
membuat program dan simulasi granulasi LuSi dalam drum granulator, agar didapatkan ukuran butiran yang bergradasi
baik (well graded). Penelitian yang akan dilakukan yaitu pembuatan program dan simulasi mengenai pembesaran
partikel LuSi dengan menggunakan program Matlab. Dari hasil pemodelan dan simulasi akan didapatkan ukuran butiran yang bergradasi baik, variabel bebas yang memberikan distribusi ukuran butiran bergradasi baik adalah kecepatan putra
drum 9 rpm dan sudut kemiringan drum 5 derajat dengan variable tetep yaitu diameter drum 0,4 m dan Panjang drum
2m; sesuai dengan syarat Unified Soil Classification System (USCS) nilai Cu = 5,61 dan Cc = 2,1 berdasarkan nilai
tersebut distribusi ukuran butiran didominasi oleh tanah pasir kasar dan pasir halus.
Kata Kunci : Model dan simulasi, Lumpur Sidoarjo (LuSi), granulasi, drum granulator, butiran bergradasi baik (well
graded)
1. PENDAHULUAN
Lumpur Sidoarjo atau disebut LuSi merupakan
semburan lumpur panas dari dalam perut bumi yang
diakibatkan oleh pengeboran sumur ekplorasi gas milik
PT Sidoarjo Brantas Inc. Volume lumpur yang
dimuntahkan dari dalam perut bumi sangatlah besar,
dimana komponen materialnya berupa lempung 71,43%,
lanau 10,72%, dan pasir 17,86% (Noerwarsito, 2006 dalam Setyowati 2009). Jika dilihat dari sifat fisik LuSi
yaitu memliki bentuk berupa lempengan yang lebar dan
memiliki sifat susut yang tinggi, sehingga LuSi sangat
sulit untuk dipindahkan/diangkut yang mengkibatkan
LuSi sulit untuk dapat dimanfaatkan dalam jumlah yang
sangat besar misal dimanfaatkan sebagai tanah urug untuk
reklamasi. Untuk memudahkan proses
pemindahan/pengangkutan, ukuran butiran LuSi yang
halus harus dirubah menjadi ukuran butiran kasar/lebih
besar atau disebut granulasi dengan menggunakan drum
granulator berputar. Secara umum granulasi dapat dilakukan dengan cara
butiran halus dimasukan kedalam drum granulator,
kemudian disemprotkan air dengan kecepatan, volume
dan dalam periode waktu tertentu. Pembesaran butiran
tersebut dipengaruhi oleh dua parameter/variabel tetap
yaitu diameter dan panjang drum, sedangkan untuk
variabel bebas yaitu kecepatan putar drum, suhu air dan
kadar air, kemiringan drum, dan waktu tinggal dalam
drum.
Supaya granulasi LuSi dapat dilakukan lebih efektif
dan efisien tanpa harus melakukan coba-coba/praktek
terlebih dahulu, maka perlu dilakukan simulasi/program dengan menggunakan program Matlab. Model matematis
yang digunakan dalam granulasi yaitu menggunakan
mekanisme coalescence, dari pengembangan model
matematis dan simulasi/program pembesaran butiran
halus akan didapatkan variasi distribusi ukuran butiran
yang di perlukan.
Dari uraian di atas perlu dilakukan pembuatan
simulasi/program granulasi ukuran butiran LuSi yang
berbutir halus dapat dirubah menjadi ukuran butiran kasar yang bergradasi baik dengan menggunakan program
Matlab. Dengan dimikian pada suatu saat akan dilakukan
percobaan granulasi di Laboratorium, maka dapat
diketahui terlebih dahulu ukuran butiran kasar yang sudah
tersimulasi oleh program.
2. METODE PENELITIAN
Benda uji tanah LuSi diambil di lokasi semburan LuSi
di Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Pengujian benda uji
LuSi dilakukan di laboratorium untuk menentukan sifat
fisik dan distribusi ukuran butiran LuSi.
2.1 Pembuatan Program Granulasi
Pada tahap ini dilakukan pembuatan program.
pengembangan model matematis mekanisme coalescence
dan simulasi granulasi lempung LuSi menjadi butiran
kasar untuk mendapatkan kurva distribusi ukuran butiran
yang bervariasi. Pembuatan program granulasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
2
Gambar 1. Diagram alir pembuatan program komputer
“Kurva Distribusi Ukuran Butiran”
3. DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN LuSi
Tanah lempung yang digunakan untuk input distribusi
ukuran butiran dalam penelitian ini adalah Lumpur Lapindo (LuSi) pada kedalaman kurang lebih 50 cm dari
permukaan lumpur lapindo. Distribusi ukuran butiran
LuSi diuji dengan analisa ayakan dan hidrometer di
laboratorium dimana hasilnya dapat dilihat pada Gambar
2.
Gambar 2. Kurva distribusi ukuran butiran tanah LuSi
Pada Gambar 2 terlihat bahwa distribusi ukuran
butiran LuSi didominasi oleh ukuran butiran lanau
lempung yaitu sebesar 95,5 % dan sisanya berupa butiran
pasir-halus sebesar 4,5 % hal ini berarti bahwa tanah LuSi
merupakan sebagian besar butiran halus. Dari data
distribusi ukuran butiran pada Gambar 2 tersebut akan
dirubah menjadi tanah berbutir kasar/granular dengan
menggunakan program MATLAB.
4. PEMODELAN DAN SIMULASI DRUM
GRANULASI LuSi
Mekanisme proses granulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah mekanisme coalescence, karena
mekanisme tersebut lebih mendukung pada ukuran
butiran yang hampir sama atau homogen. Pada persamaan
mekanisme coalescence dilakukan pemodelan matematis
proses granulasi butiran tanah lempung yang
menggunakan persamaan (1).
𝑛𝑖 𝑡 = 𝑁 0 −1 𝑖+1 exp −𝑘
2 − 1
𝑖−1
exp −𝑘 .
(Pers. 1)
Volume rata-rata partikel meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu secara exponensial yang menggunakan persamaan (2).
……………………….……(Pers. 2)
Namum dalam penyelesaian persamaan (1) diperlukan
untuk mengestimasi waktu tinggal dalam drum granulator
yang terdapat pada persamaan (3).
…….……………….…….(Pers. 3)
dimana : L adalah panjang granulator (m), Di adalah
diameter granulator (m), N adalah kecepatan putar
granulator (rpm) dan S adalah kemiringan granulator ().
Simulasi dilakukan dengan membuat berbagai macam
variabel bebas dengan parameter kemiringan sudut drum
granulator (S), kecepatan putar drum granulator (N) dan
rate feed umpan dan variabel tetap dengan parameter
distribusi ukuran butiran, diameter drum granulator,
panjang drum granulator, dan densitas butiran lempung
yang terdapat pada Gambar 1. Dari hasil simulasi
granulasi didapatkan kurva distribusi ukuran butiran yang
bervariasi; harga parameter variabel bebas yang
menghasilkan kurva distribusi ukuran butiran yang
mempunyai bentuk well graded yaitu kecepatan putar (N) = 9 rpm, sudut kemiringan (S) = 5 derajat dan rate feed
umpan = 1,35 kg/menit. Tabel 1 memperlihatkan
perbandingan distribusi ukuran butiran initial dengan
distribusi ukuran butiran dari hasil simulasi proses
granular.
Tabel 1. Perbandingan Distribusi Ukuran Butiran Initial
dan Hasil Simulasi Granular
No Distribusi Ukuran
Butiran Initial
Distribusi Ukuran
Butiran Simulasi
Diameter (mm)
Persentase lolos
ayakan (%)
Diameter (mm)
Persentase lolos
ayakan
(%)
1 0,42500 99,63 1.0928 100
2 0,25000 99,19 0.6299 46.9801
3 0,15000 98,26 0.3699 23.4468
4 0,07900 94,98 0.1904 12.4054
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
3
Lanjutan Tabel 1
5 0,04157 94,87 0.0977 8.9172
6 0,03771 92,94 0.0863 7.8238
7 0,02893 79,44 0.0643 6.0781
8 0,01860 75,58 0.0401 4.4040
9 0,0142 69,80 0.0295 3.4669
10 0,0102 64,98 0.0204 2.5974
11 0,0074 56,30 0.0141 1.9317
12 0,00560 50,52 0.0102 1.4179
13 0,00390 43,77 0.0067 0.9757
14 0,00341 35,86 0.0054 0.6873
15 0,00259 31,24 0.0037 0.3299
16 0,00123 22,17 0.0016 0.0578
17 0,00077 11,57 0.0007 0.0128
Tabel 1 terlihat bahwa granulasi pembesaran ukuran
butiran initial didominasi oleh butiran pasir-kasar dan
pasir-halus sebesar 92%, sedangkan lanau lempung
sebesar 8%. Dari perolehan nilai tersebut, menunjukkan bahwa simulasi granulai mengalami pembesaran ukuran
butiran dimana sebelumnya yaitu kondisi initial ukuran
butiran didominasi oleh tanah lempung/butiran halus
sebesar 95,5 %. Hasil simulasi proses granulasi distribusi
ukuran butiran tersebut diplot seperti ditunjukkan pada
Gambar 3. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai Cu
dan Cc yang sesuai dengan syarat USCS.
Gambar 3. Kurva distribusi ukuran butiran dari hasil
simulasi proses granular
Dari Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa diameter
dimana butiran yang lolos ayakan 60 %, 30%, dan 10% adalah masing-masing sebesar 0,73 mm, 0,45 mm, dan
0,13 mm. Tanah yang begradasi baik harus memenuhi
parameter koefisien keseragaman (Cu) yang ditentukan
dengan menggunakan persamaan (4).
Cu = (Pers. 4)
dan koefisien gradasi (Cc) yang dihitung dengan
menggunakan persamaan (5).
Cc = (Pers. 5)
dimana :
Cu = Koefisien keseragaman
Cc = Koefisien gradasi
D10 = Diameter bersesuaian dengan 10% lolos
ayakan D30 = Diameter bersesuaian dengan 30% lolos
ayakan
D60 = diameter yang bersesuaian dengan 60% lolos
ayakan yang ditentukan dari kurva distribusi
ukuran butiran.
Dari perhitungan diperoleh bahwa harga Cu = 90 dan
harga Cc = 2,61. Berdasarkan sistim klasifikasi USCS,
syarat ukuran butiran bergradasi baik/well graded yaitu
harga Cu ≥ 4 untuk kerikil dan Cu ≥ 6 untuk pasir, dan
harga 1 ≤ (Cc) ≤ 3. Oleh sebab itu, tanah hasil simulasi
dari proses granulasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai tanah kerikil bergradasi baik/well graded.
5. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa simulasi
granulasi LuSi dari model yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah:
1. Distribusi butiran LuSi didominasi oleh butiran lanau
lempung sebesar 95,5 % dan sisanya berupa butiran
pasir halus sebesar 4,5%, artinya bahwa tanah LuSi
sebagian besar merupakan butiran halus.
2. Simulasi kecepatan drum granulator yang memberikan distribusi ukuran butiran yang bergradasi baik (well
graded) berdasarkan USCS adalah 9 rpm.
3. Simulasi sudut putar drum granulator yang meberikan
distrubusi ukuran butiran yang bergradasi baik (well
graded) berdasarkan USCS yaitu 5º.
Dalam simulasi ini, diameter dan panjang drum
granulator adalah tetap yaitu masing-masing sebesar 0,4
meter dan 2 meter.
6. DAFTAR PUSTAKA
Das, B. M. (1985), Alih bahasa : Noor Endah dan
Indrasurya B. (1988), “Mekanika Tanah (Prinsip – prinsip Rekayasa Geoteknis)”, Jilid I, Erlangga
Jakarta.
Ennis, B. J. (2010), “Agglomeration Technology :
Equipment Selection”. Chemical Egineering
Www.Che.Com
Faizah, I. (2013), Peningkatan Perilaku Lumpur Sidoarjo
(LuSi) dengan Bahan Additive CaCO3 dan Ca(OH)2
untuk Material Urugan, Tesis, ITS, Surabaya.
Holtz, R. D. dan Kovacs, W. D. (1981), An Introduction
To Geotechnical Engineering, Prentice-Hall, Inc.,
New Jersey. Irawan, F. A. (2012), Buku Pintar Pemograman Matlab,
MediaKom. Yogyakarta.
Kapur, P. C. and Runkana, V. (2003), “Balling and
Granulation Kinetics Revisitied”. International Journal
Miner Process, 72 (2003) 417 – 427.
Lachman, L., A. L. Herbert, & L. K. Joseph (1994),
“Teori dan Praktek Farmasi Industri”. Diterjemahkan
oleh: Siti Suyatmi. Universitas Indonesis Press.
Jakarta.
Parikh, D. M. (2010), “Handbook of Pharmaceutical
Granulation Technology (Theory of Granulation : An
Engineering Perspective)”. Informa Healtcare, New York USA.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
4
Perloff, W. H. & Baron, W. (1976), “Soil Mechanics
Principle and Application”. The Ronald Press
Company, New York. Pietsch, W. (1991), “Size Enlargement by
Agglomeration”. John Wiley & Sons Ltd, West
Sussex. England.
Sastry K., and Fuerstenau D., In: Sastry KVS (1977), ed.
Aglomeration 77. AIME, 381. New York.
Setyowati, E. W. (2009), “Penggunaan Campuran
Lumpur Lapindo Terhadap Peningkatan Kualitas
Genteng Keramik”. Dinamika Teknik Sipil Vol. 9 No.
1 (2009) 67 – 75.
Sridharan, A. dan Prakash, K. (2000), “Classification
Procedure For Expansive Soils”. Proceding Instn.
Civ. Engsr. Geotech. Engineering. Venkataramana, R., Kapur, P.C., dan Gupta, S. S. (2002),
“Modelling of Granulation by a Two-stage Auto-
layering Mechanism in Continuous Industrial Drums”.
Chemical Engineering Science, 57 (2002) 1685 -
1693.
Yliniemi, L. (1999), “Advanced Control of A Rotary
Dryer”. Oulu University Library, University of Oulu
Finland.
http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarj
o
www.bpls.go.id/.../KARAKTERISTIKLUMPURSDA
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
5
PENGGUNAAN PASIR SILIKA SEBAGAI SUBSTITUSI AGREGAT HALUS
UNTUK MENINGKATKAN PERFORMANCE BATA RINGAN
Bambang Sujatmiko1, Safrin Zuraidah2), Wisnu Abiarto Nugroho3, Elando Rizsa Putra Atmajaya4),
1Bambang sujatmiko, Fakultas Teknik, Universitas Dr. Soetomo Surabaya 2Safrin Zuraidah, Fakultas Teknik, Universitas Dr. Soetomo Surabaya
3Wisnu Abiarto Nugroho, Fakultas Teknik, Universitas Dr. Soetomo Surabaya 4Elando Rizsa Putra Atmajaya, Fakultas Teknik, Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Email: [email protected]
Abstrak : Dengan kemajuan teknologi banyak ditemukan alternative bahan bangunan yang memudahkan pengerjaan,
biaya yang semakin murah, ramah lingkungan, kecepatan dalam aplikasi dan masih banyak lagi keuntungan lainnya. Bata ringan sebahgai bahan alternative pengganti bata merah saat ini banyak digunakan dan diaplikasikan pada
pembangunan gedung dan rumah karena bata ringan memiliki berat jenis lebih ringan dari pada bata ringan pada
umumnya dan dapat diatur sesuai kebutuhan berkisar berkisar 600-1600 kg/m3 sesuai dengan standart berat bata ringan
pada SNI 03-2461-2002. Pasir silika adalah salah satu mineral yang umum ditemukan di kerak kontingen bumi. Mineral
ini memiliki struktur kristal heksagonal yang terbuat dari silika trigonal terkristalisasi silikon dioksida (SiO2), dengan
skala kekerasan Mohs 7, densitas 2,65 g/cm³, titik lebur 17.150°C dan konduktivitas panas 12 – 1000°C. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisa pengaruh penggunan variasi pasir silika terhadap tercapainya kuat tekan dan kuat tarik
belah pada bata ringan dan untuk mendapatkan komposisi optimum yang menghasilkan kuat tekan dan kuat tarik belah
maksimum pada bata ringan. Bahan-bahan campuran bata ringan yang dipakai adalah semen gresik PC type 1, pasir
Mojokerto dengan batas gradasi zone 3, penambahan foam Agent sebanyak 0,4 lt/variasi(12 benda uji = 0,063 m3) dan
penambahan kalsium sebesar 5% dari berat semen. Dalam pembuatan benda uji dengan variasi campuran pasir silika 0%, 25%, 50%, 75% dan 100% dengan perbandingan campuran semen : pasir yaitu sebesar 1 : 4 dan penggunaan faktor
air semen 0,5 didapatkan hasil nilai kuat tekan maksimal 2,924 N/mm2 atau 2,924 Mpa dan pada nilai kuat tarik belah
maksimal dengan nilai sebesar 0,353 N/mm2 atau 0,353 Mpa.
Kata kunci: bata ringan, pasir silika, kuat tekan, kuat tarik belah
1. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi konstruksi semakin pesat,
khususnya pada inovasi terhadap bahan bangunan yaitu
dengan semakin banyak ditemukannya bahan bangunan
baru yang bertujuan untuk memudahkan pengerjan, ramah lingkungan, efek kenyamanan, ketahanan umur dan
kecepatan dalam pengaplikasian. Saat ini, material untuk
pemasangan dinding yang sedang populer selain batu
bata adalah bata ringan.
Dalam penelitian ini, bahan tambahan yang akan
digunakan adalah pasir silika, kalsium dan foam agent.
Pasir silika adalah salah satu mineral yang umum
ditemukan di kerak kontingen bumi. Mineral ini memiliki
struktur kristal heksagonal yang terbuat dari silika
trigonal terkristalisasi silikon dioksida (SiO2), dengan
skala kekerasan Mohs 7, densitas 2,65 g/cm³, titik lebur 17.150°C, dan konduktivitas panas 12 – 1000°C. Bentuk
umum silika adalah prisma segienam yang memiliki
ujung piramida segienam (sumber : wikipedia =
Kuarsa/Silika) dan berwarna putih bening atau warna lain
bergantung pada senyawa pengotornya
Bata ringan adalah bahan bangunan yang di buat
dengan teknologi modern sehingga kekuatan bata ringan
tersebut sangat lah kuat dari bata merah atau pun batako
dan juga sangatl mudah cara pemasangannya. Bata ringan
memiliki berat jenis lebih ringan dari pada beton pada
umumnya. Berbeda dengan beton ringan biasa berat bata
ringan dapat diatur sesuai kebutuhan. Pada umumnya beton ringan berkisar 600-1600 kg/m3.
2. METODE PENELITIAN
Metode pada penelitian ini terdiri dari beberapa bagian
meliputi, studi literatur, persiapan bahan material,
pengujian bahan material, perancangan benda uji,
pembuatan benda uji, hasil analisa dan kesimpulan dan saran (Gambar 1). Benda uji beton yang digunakan
berbentukl silinder dengan diameter 15 cm dan tinggi 30
cm dengan total benda uji 60 buah, langkah-langkah
penelitian dapat dilihat pada dialgram alir Gambar 1
dibawah ini :
Jumlah total benda uji sebanyak 60 buah terdiri
dari Kuat tekan 45 buah dan kuat tarik belah 15 buah,
dengan komposisi pasir silika FS-0%, FS-25%, FS-50%,
FS-75%, dan FS-100%, penambahan kalsium sebanyak
5% dari berat semen, dan penambahan foam agent
sebanyak 0,4 lt/variasi (12 benda uji =0,063 m3), lalu menggunakan factor air semen (FAS) 0,5. Kemudian diuji
menggunakan mesin kuat tekan dengan posisi horizontal
dan variasi umur bata ringan 7, 14 dan 28 hari, untuk kuat
tarik belah diuji menggunakan mesin kuat tekan dengan
posisi vertikal dan tambahan penampang besi dengan
variasi umur bata ringan 28 hari. Desain komposisi dan
banyaknya benda uji adalah sebagai berikut yang dapat
dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
6
Gambar 1 Diagram Alir
Tabel. 1 Jumlah Benda Uji.
Kode
Banda
Uji
(%)
Kalsiu
m (%)
dari
berat
semen
Foam
Agen
t
(lt/va
riasi)
Um
ur
Beto
n
(har
i)
Kuat
Teka
n
Kua
t
Tari
k
Bela
h
PS-0 5 0,4
7 3 -
14 3 -
28 3 3
PS-25 5 0,4
7 3 -
14 3 -
28 3 3
Lanjutan Tabel 1
PS-50 5 0,4
7 3 -
14 3 -
28 3 3
PS-75 5 0,4
7 3 -
14 3 -
28 3 3
PS-100 5 0,4
7 3 -
14 3 -
28 3 3
Total Benda Uji 45 15
60
Prosedur Pengujian Kuat Tekan
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tekan
bata ringan, pembebanan dilakukan sampai silinder bata ringan hancur dan dicatat besarnya beban maksimum P
yang selanjutnya digunakan untuk menentukan tegangan
tekan bata ringan (f’c). Pengujian kuat tekan dilakukan
dengan posisi benda uji silinder dengan arah vertikal dan
posisi tepat di tengah mesin kuat tekan.
Kuat Tekan
K= (Pers. 1)
Dimana:
P = Beban Tekan (N)
A = Luas (mm2)
K = Kuat Tekan (N/mm2)
Prosedur Pengujian Kuat Tarik Belah Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kuat tarik
belah bata ringan, embebanan dilakukan sampai silinder
bata ringan hancur dan dicatat besarnya beban maksimum
P yang selanjutnya digunakan untuk menentukan
kekuatan tarik belah bata ringan (ftr). Pengujian kuat tarik
belah dilakukan dengan posisi benda uji silinder dengan
arah horizontal dan posisi tepat di tengah mesin kuat
tekan dengan penambahan alat bantu besi penampang.
Kuat Tarik Belah
Fct = (Pers. 2)
Dimana :
Fct = Kuat Tarik Belah (N/mm2)
P = Beban pada Waktu Belah (N) L = Panjang Benda Uji Silinder (mm)
D = Diameter Benda Uji Silinder (mm)
Prosedur Pengujian Berat Volume Bata Ringan
Pengujian berat volume bata ringan dilakukan untuk
mengetahui hasil akhir berat volume bata ringan per
satuan volume benda uji. Berat Volume
BV = G-T/V (Pers. 3)
Keterangan :
G = Berat Benda Uji dan Silinder (N)
T = Berat Penakar (N)
V = Volume Silinder (mm3)
Prosedur Pengujian Porositas
Pengujian Porositas dilakukan untuk mengetahui
besarnya porositas yang terdapat pada benda uji. Semakin
besar porositas yang terdapat pada benda uji maka
Mulai
Persiapan Bahan Material: Semen PC, Pasir Silika, Pasir Mojokerto,
dan Foam Agent
Rancangan Benda Uji: Prosentase Pasir Silika (PS-0, PS-25, PS-50, PS-75, PS-
100)%
Penambahan Kalsium ditentukan 5% dari berat semen
Penambahan Foam Agent ditentukan 0,4 l/variasi
(12 benda uji=0,063m3)
Pembuatan Benda Uji: Umur 7, 14 dan 28 hari
Kuat Tekan = 45 buah; Kuat Tarik Belah = 15 buah
Hasil Analisa: Kuat Tekan, Kuat Tarik Belah, Berat Volume dan
Porositas
Kesimpulan dan Saran
Studi Literatur
Pengujian Bahan Material: Uji Semen : Konsistensi, Pengikat Awal, Berat Jenis dan
Berat Volume
Uji Agregat : Kelembaban Pasir, Berat Jenis, Air Resapan,
Berat Volume, Kadar Lumpur dan Analisa Ayakan
Selesai
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
7
semakin rendah kekuatannya. Pengujian porositas
menggunakan benda uji berbentuk silinder ukuran
diameter 5 cm dan tinggi 10 cm.
Porositas Bata Ringan
(Pers. 4) Dimana:
N = Porositas Benda Uji (%)
mb = Berat Basah Benda Uji (kg)
mk = Berat Bata Kering (kg)
Vb = Volume Benda Uji (kg/m3)
Ρ = rho air
Porositas Bata Ringan
(Pers. 5)
Dimana:
N = Porositas Benda Uji (%)
mb = Berat Basah Benda Uji (kg)
mk = Berat Bata Kering (kg)
Vb = Volume Benda Uji (kg/m3)
Ρ = rho air
3. HASIL PENEITIAN
Sebelum proses pembuatan benda uji bata ringan, pertama-tama dilakukan analisa bahan. Analisa bahan ini
terdiri atas analisa semen dan analisa agregat halus.
Proses ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan
yang akan digunakan dalam pembuatan benda uji,
sehingga pada saat penyusunan campuran desain hasil
yang didapatkan bisa mencapai kekuatan sesuai rencana.
Adapun hasil pengujian bahan material dapat dilihat pada
Tabel 1 di bawah ini:
Kebutuhan Total Material
Perancanaan campuran beton merupakan suatu hal
yang komplek jika dilihat dari perbedaan sifat dan karakteristik bahan penyusunannya. Karena bahan
penyusun tersebut akan menyebabkan variasi dari produk
beton yang dihasilkan. Pada dsarnya perancanagan
campuran dimaksudkan untuk menghasilkan suatu
proporsi campuran bahan yang optimal dengan kekuatan
yang maksimum. Kebutuhan total seluruh bahan material
dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2 Kebutuhan Total Material
No Material Kebutuhan
Material
1 Semen 87,45 kg
2 Pasir (silika) 174,9 kg
3 Pasir (Mojokerto) 174,9 kg
4 Air 43,75 ltr
5 Kalsium 0,43725 kg
6 Foam Agent 200 ml
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Proporsi Campuran Bata Ringan
Dalam penelitian ini terdapat 5 variasi dengan
campuran pasir silika dan pasir Mojokerto yaitu:
1. Pasir silika PS-0 % dan pasir Mojokerto 100 %.
2. Pasir silika PS-25 % dan pasir Mojokerto 75 %.
3. Pasir silika PS-50 % dan pasir Mojokerto 50 %.
4. Pasir silika PS-75 % dan pasir Mojokerto 25 %.
5. Pasir silika PS-100 % dan pasir Mojokerto 0 %.
Proporsi kebutuhan bahan material pada campuran
pembuatan foam agent dapat dilihat pada Tabel 3 di
bawah ini;
Tabel 3 Proporsi Campuran Bata Ringan
Var
Seme
n
(kg)
Pasir
(silik
a)
(kg)
Pasir
(Mjkt
)
(kg)
Air
(ltr)
Kalsiu
m
(kg)
Foa
m
Age
nt
(ml)
1 17,5 0 69,96 8,75 0,875 40
2 17,5 17,49 52,47 8,75 0,875 40
3 17,5 34,98 34,98 8,75 0,875 40
4 17,5 52,47 17,49 8,75 0,875 40
5 17,5 69,96 0 8,75 0,875 40
Test Slump
Slump Test dilakukan untuk mengetahui tingkat
kekentalan adukan hasil pencampuran, yang dapat
menggambarkan kemudahanpengerjaan (workability) bata
ringan. Pada dasarnya perancanagan campuran
dimaksudkan untuk menghasilkan suatu proporsi
campuran bahan yang optimal dengan kekuatan yang
maksimum. Adapun hasil dari pengujian slump dapat lihat pada Tabel 4 dan Gambar 2 dibawah ini:
Tabel 4 Hasil Pengujian Test Slump
No.
Kode
benda uji
(%)
Test
Slump 1
(cm)
Test
Slump
2
(cm)
Test Slump
(Rata-
Rata)
(cm)
1 PS-0 10,5 11,5 11
2 PS-25 8,5 9,5 9
3 PS-50 8,5 7,5 8
4 PS-75 6 7 6,5
5 PS-100 5,5 6,5 6
Gambar 2 Grafik Hasil Test Slump Terhadap Variasi
Campuran Pasir Silika
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
8
Dari Tabel 4 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai
slump semakin menurun seiring dengan variasi
persentase campuran pasir silika. Hasil ini menunjukkan
bahwa semakin besar penambahan pasir silika pada
campuran bata ringan, maka akan menurunkan sifat
workability/kelecakan bata ringan tersebut. Batasan nilai
test slump dengan menggunakan kerucut abrams yatu 6-
12 cm. Dapat disimpulkan penggunaan agregat berpengaruh terhadap hasil test slump, ditinjau dari
pengujian material air resapan pada pasir silika lebih
tinggi dari pada pasir Mojokerto yaitu 1,72% untuk pasir
silika dan 1,318 untuk pasir Mojokert. Penggunaan faktor
air semen (FAS) sangat berpengaruh pada hasil nilai test
slump, pada penelitian ini faktor air semen (FAS) yang
digunakan adalah 0,5
Berat Volume Benda Uji
Pengujian benda uji bertujuan untuk mengetahui batas
dari kriteria kekuatan, kualitas dan kuantitas terutama pada penelitian bata ringan. Pengujian yang dilakukan
adalah berat volume, kuat tekan dan kuat tarik belah.
Adapun hasil pengukuran berat benda uji dapat dilihat
pada Tabel 5 dan Gambar 3 di bawah ini ditinjau per
variasi campuran pasir silika.
Tabel 5 Rekapitulasi Perhitungan Berat Volume Rata-
Rata Pada Umur 7, 14, & 28 Hari
No.
Kode
benda uji
Berat Volume
Rata-Rata (Kg/m3)
(%) 7 14 28
1
PS-0
1458,5
1398,1
1292,4
2 PS-25 1379,2 1364,1 1303,7
3 PS-50 1288,7 1222,6 1179,2
4 PS-75 1284,9 1241,5 1235,8
5 PS-100 1190,6 1175,5 1162,3
Gambar 3 Grafik Rekapitulasi Hasil Perhitungan Berat
Volume Rata- rata Terhadap Umur Benda Uji
Berdasarkan Tabel 5 dan Gambar 3 menunjukkan
umur benda uji dan presentase penambahan pasir silika
mempengaruhi berat volume rata-rata bata ringan. Dari
data hasil pengujian terlihat bahwa variasi campuran pasir
silika 0 % di umur 7 hari memiliki hasil berat volume
rata-rata terbesar yaitu 1458,5 Kg/m3 dan pada variasi
campuran pasir silika 100 % umur 28 hari memiliki hasil
berat volume rata-rata terkecil yaitu 1162,3 Kg/m3. Dari
situ dapat disimpulkan bahwa selain persentase campuran
pasir silika yang mempengaruhi berat volume rata-rata
juga terdapat lama umur benda uji yang mempengaruhi
berat volume rata-rata. Menurut (SNI 03-3449-1994)
beton ringan adalah beton yang memakai agregat ringan atau campuran pasir alam sebagai agregat pengganti
dengan ketentuan tidak boleh melampaui berat isi
maksimum beton yaitu 1850 Kg/m3 yang pada umumnya
berat bata ringan berkisar antara 600 Kg/m3 – 1600
Kg/m3. Dengan demikian hasil pengujian berat volume
memenuhi standart dan dapat dikategorikan sebagai bata
ringan.
Pengujian Kuat Tekan
Pengujian kuat tekan dilakukan dengan posisi benda
uji silinder dengan arah vertikal dan posisi tepat di tengah mesin kuat tekan. Adapun dari hasil pengujian yang
dilakukan di laboratorium Teknologi Beton Universitas
Dr. Soetomo Surabaya dapat dilihat pada Tabel 6 dan
Gambar 4 sebagai berikut:
Tabel 6 Rekapitulasi Pengujian Kuat Tekan Rata-Rata
Pada Umur 7, 14, dan 28 Hari
No.
Kode
Benda
Uji
Kuat Tekan
(N/ mm2)
(%) 7 hari 14 hari 28 hari
1 PS-0 1,792 2,075 2,358
2 PS-25 1,886 1,981 2,547
3 PS-50 2,075 1,886 2,83
4 PS-75 1,603 2,264 2,924
5 PS-100 1,981 1,883 2,753
Gambar 4 Grafik Hasil Pengujian Kuat Tekan Rata-Rata
Pada Umur 7, 14, dan 28 Hari
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 4 data hasil pengujian terlihat bahwa variasi campuran pasir silika 75
% memiliki rata-rata hasil kuat tertinggi jika ditinjau
antara kuat tekan dan umur benda uji yaitu pada umur 7
hari memiliki hasil kuat tekan rata-rata terkecil yaitu
1,603 N/mm2 , umur 14 hari memiliki hasil kuat tekan
2,264 N/mm2 dan pada variasi campuran pasir silika 75 %
umur 28 hari memiliki hasil kuat tekan rata-rata terbesar
yaitu 2,924 N/mm2. Berbeda dengan campuran variasi
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
9
pasir silika 50 % pada saat umur 7 hari memiliki kuat
tekan tertinggi yaitu 2,075 N/mm2 namun menurun saat
umur 14 hari menjadi 1,886 N/mm2 dan mengalami
peningkatan lagi pada saat umur 28 hari yaitu 2,83
N/mm2.
Pengujian Kuat Tarik Belah
Pengujian kuat tarik belah dilakukan dengan posisi benda uji silinder dengan arah horizontal dan posisi tepat
di tengah mesin kuat tekan dengan penambahan alat bantu
besi penampang. Adapun dari hasil pengujian yang
dilakukan di laboratorium Teknologi Beton Universitas
Dr. Soetomo Surabaya dapat dilihat pada Tabel 7 dan
Gambar 5 sebagai berikut:
Tabel 7 Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Benda Uji
Pada Umur 28 Hari
No.
Kode Benda Uji Kuat Tarik Belah
(N/ mm2)
(%)
1 PS-0 0,223
2 PS-25 0,259
3 PS-50 0,353
4 PS-75 0,318
5 PS-100 0,329
Gambar 5 Grafik Hasil Pengujian Kuat Tarik Benda Uji
Pada Umur 28 Hari
Berdasarkan Tabel 7 dan Gambar 5 menunjukkan
dengan penambahan pasir silika mempengaruhi hasil
kuat tarik belah rata-rata pada bata ringan. Dari data hasil
pengujian terlihat bahwa variasi campuran pasir silika 0
% umur 28 hari memiliki hasil kuat tarik belah rata-rata terkecil yaitu 0,223 N/mm2 terus mengalami peningkatan
kuat tarik yang terbesar pada variasi campuran pasir silika
50 % yaitu 0,353 N/mm2 dan mengalami penurunan di
variasi campuran pasir silika 75 % dengan hasil kuat tarik
0,318 N/mm2 dan pada variasi campuran pasir silika 100
% mengalami peningkatan kembali menjadi 0,329
N/mm2.
Hubungan Kuat Tekan dan Kuat Tarik Belah
Pada Umur 28 hari
Adapun hubungan antara kuat tekan dan kuat tarik
belah dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini:
Tabel 8 Hasil Pengujian Porositas Pada Umur 28 Hari
No
.
Kode
Bend
a Uji
Kuat
Teka
n
(N/
mm2)
Kua
t
Tari
k
Bela
h
(N/
mm2
)
Hubung
an Kuat
Tarik
Belah /
Kuat
Tekan
Perbanding
an Kuat
Tarik Belah
dan Kuat
Tekan
1 PS-0 2,358 0,22
3
0,145 9,45
2 PS-
25
2,547 0,25
9
0,162 10,16
3 PS-
50
2,83 0,35
3
0,178 10,58
4 PS-
75
2,924 0,31
8
0,185 10,87
5 PS-
100
2,753 0,32
9
0,198 11,95
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Hubungan nilai kuat tarik belah terhadap akar kuadran
kuat tekan beton menurut SNI T-15-1991-03 menyatakan
bahwa f’t=0.7√f’c pada hasil penelitian hubungan kuat
tarik belah terhadap akar kuadran kuat tekan berkisar
antara f’t=0,145 sampai 0,198√f’c dan perbandingan kuat tarik belah terhadap kuat tekan berkisar antara 9,45
sampai 11,95%.
Pengujian Porositas
Semakin tinggi tingkat kepadatan pada beton maka
semakin besar kuat tekan atau mutu beton, sebaliknya
semakin besar porositas beton, maka kekuatan beton akan
semakin kecil. Jadi porositas juga memiliki pengaruh
terhadap hasil nilai pada kekuatan kuat tekan dan kuat
tarik belah pada bata ringan. Berikut hasil pengujian
porositas bata ringan umur 28 hari pada Tabel 9 dan Gambar :
Tabel 9 Hubungan Campuran Variasi Pasir Silika
Terhadap Porositas Pada Umur 28 Hari
No.
Kode Bana Uji Porositas
Rata-Rata
(%)
1 PS-0 19,108
2 PS-25 16,561
3 PS-50 15,287
4 PS-75 14,013
5 PS-100 12,739
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
10
Gambar 6 Grafik Hubungan Campuran Variasi Pasir
Silika Terhadap Porositas Pada Umur 28 Hari
Berdasarkan Tabel 9 dan Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin besar variasi campuran pasir silika maka
berpengaruh terhadap semakin kecilnya porositas yang
terjadi. Hal ini disebabkan karena pada pasir silika
memiliki kadar resapan air yaitu 1,72 % dan pasir
Mojokerto memiliki kadar air 1,38 %. Pada variasi
campuran pasir silika 0 % mimiliki nilai porositas 19,108
% dan terus mengalami penurunan hingga pada variasi
campuran pasir silika 100 % memiliki nilai porositas
12,739 %.
Tabel 10 Hubungan Porositas Pada Umur Dengan Kuat Tekan 28 Hari
No.
Kode Banda
Uji
Kuat
Tekan
(N/ mm2)
Porositas
Rata-Rata
(%)
1 PS-0 2,358 19,108
2 PS-25 2,547 16,561
3 PS-50 2,83 15,287
4 PS-75 2,924 14,013
5 PS-100 2,753 12,739
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Gambar 7 Grafik Hubungan Porositas Dengan Kuat
Tekan Pada Umur 28 Hari
Dari Tabel 10 dan Gambar 7 dapat dilihat hubungan
antara porositas dan kuat tekan pada umur 28 hari
memiliki pengaruh, yang disimpulkan semakin kecil nilai
porositas maka semakin tinggi pula hasil nilai dari kuat
tekan. Terlihat pada hasil nilai kuat tekan pada umur 28
hari yang memiliki nilai kuat tekan tertinggi 2,924 N/mm2
dengan nilai porositas 14,013 % dan memiliki hasil nilai
kuat tekan terendah pada umur 28 hari dengan nilai kuat
tekan 2,358 N/mm2 dengan nilai porositas 19,108 %. Hal
ini membuktikan hasil dari nilai porositas juga
berpengaruh terhadap hasil nilai kuat tekan pada bata
ringan.
Tabel 11 Hubungan Porositas Dengan Kuat Tarik Belah
Pada Umur 28 Hari
No. Campuran
Pasir Silika
(%)
Kuat Tarik
Belah
(N/ mm2)
Porositas
Rata-Rata
(%)
1 0 0,223 19,108
2 25 0,259 16,561
3 50 0,353 15,287
4 75 0,318 14,013
5 100 0,329 12,739
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Gambar 8 Grafik Hubungan Porositas Dengan Kuat Tarik
Belah Pada Umur 28 Hari
Dari Tabel 11 dan Gambar 8 dapat dilihat hubungan
antara porositas dan kuat tarik belah memiliki pengaruh,
dapat dilihat pada nilai porositas 15,287 % memiliki nilai
kuat tarik belah tertinggi yaitu 0,353 N/mm2, lalu
mengalami penurunan kuat tarik belah pada nilai
porositas 16,561 % dengan nilai kuat tarik belah 0,259 N/mm2 sampai pada nilai porositas 19,108% mengalami
nilai penurunan dengan nilai kuat tarik belah 0,223
N/mm2.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil data pengujian dan grafik yang
merupakan hasil penelitian mengenai penggunaan pasir
silika dan penambahan kalsium pada pembuatan bata
ringan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1) Pengaruh kuat tekan dan kuat tarik belah dari hasil
penelitian menggunakan sustitusi pasir silika pada
komposisi PS-75%, umur 28 hari mengalami kenaikan kuat tekan maksimal sebesar 2,924 N/mm2
atau 2,924 Mpa, sedangkan kuat tarik belah maksimal
sebesar 0,353 N/mm2 atau 0,353 Mpa. Pada komposisi
PS-50%,
2) Berat volume komposisi pasir silika PS-100 % umur
28 hari rata-rata sebesar 1162,3 Kg/m3, Menurut (SNI
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
11
03-3449-1994) beton ringan mempunyai berat berkisar
antara 600 Kg/m3 – 1600 Kg/m3. Dengan demikian
hasil pengujian berat volume memenuhi standart dan
dapat dikategorikan sebagai bata ringan.
5. SARAN
1) Sebelum melakukan penelitian perlu dikenali sifat
bahan dan peralatannya terlebih dahulu dan juga diperlukan pemaham yang baik dalam perencanaan
dalam pembuatan bata ringan. Pada penelitian ini
pengaruh penggunaan campuran pasir silika dengan
prosentase tertentu sangat mempengaruhi hasil pada
nilai kuat tekan dan kuat tarik belah, dengan
campuran pasir silikan masih memungkinkan
didapatkan nilai kuat tekan dan kuat tarik belah yang
lebih maksimal lagi dengan penambahan bahan
tambahan yang lebih bervariasi misalkan prosentase
foam agent yang lebih bervariasi, penggunan
campuran agregat selain pasir Mojokerto, kalsium yang bervariasi, penambahan zat aditif Aditton,
perbandingan antara semen dan pasir yang bervariasi
dan FAS yang juga bisa divariasi agar menghasilkan
campuran yang optimal sehingga didapatkan nilai
kuat tekan, kuat tarik belah yang maksimal.
2) Melihat hasil penelitian ini maka penelitian ini
masih bisa dilanjutkan untuk mendapatkan kuat
lebih dari 5 N/mm2 atau 5 Mpa. Untuk pemakaian
agregat halus (pasir silika) dengan presentase yang
sudah optimum yaitu 75%, untuk menghasilkan nilai
kuat tekan dan kuat tarik belah yang lebih maksimal
lagi mungkin masih bisa dengan menggunakan pasir silika dengan mesh yang lebih bervariasi dan juga
penggunaan substitusi bahan campuran selain pasir
Mojokerto supaya bisa mendapatkan variasi bata
ringan yang lebih ringan dan kuat sehingga
menghasilkan bata ringan yang optimal melebihi
batas maksimum yang telah ditentukan untuk kuat
tekan dan kuat tarik belah.
6. DAFTAR PUSTAKA
ASTM. (1997), Foaming Agents for Usse in Producing Cellular Concrete UsingPreformed Foam, ASTM
C 796 – 87.
ASTM Standart, 2002,ASTM C 270, “standart kuat tekan
mortar atau plesteran”, ASTM Internasional West
Conshohocken.
Departemen Pekerjaan Umum. 2002. SNI 03-6882
Spesifikasi Mortar Untuk Pekerjaan Pasangan,
Yayasan LPMB, Bandung.
Departemen Pekerjaan Umum. 1971. Peraturan Beton
Bertulang Indonesia (PBI 1971), Departemen
Pekerjaan Umum.
Departemen Pekerjaan Umum, 2011, Cara Uji Kuat Tekan Beton dengan Benda Uji Silinder SNI
1974-2011, Badan Standarisasi Nasional.
Endang Kasiati, 2012 “Perubahan Kuat Tekan Optimum
Beton Pada Komposisi Campuran Pasir Silika
Dengan Pasir Limbah.
Lilik Sri Widodo. 2015 “Pengaruh Foam Agend dan
Serbuk Gypsun Terhadap Kualitas Bata
Ringan”.Jurnal Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
http://eprints.ums.ac.id/35543/1/naskah%20publik
asi.pdf
Mukarom, 2018 “Pembuatan Bata Ringan Dengan
Menambahkan Foam Agent Dengan Berbagai
Komposisi”.
Rezko Yunanda dkk, 2014 “Penggunaan Pasir Kuarsa
Sebagai Bahan Pengganti Semen Tipe I Pada
Disain Beton K-250 Dan K-300” Vol. 2, 2014. Rencana Campuran Beton Normal (SNI 03-2834-2000
Standar Nasional Indonesia, Semen Portland Pozolan
(SNI 15-0302-2004).
Standar Nasional Indonesia, Metode Pengujian Waktu
Ikat Awal Semen (SNI 03-6827-2002).
Standar Nasional Indonesia, Tata Cara Pembuatan).
Standar Nasional Indonesia, Bata Beton Untuk Pasangan
Dinding (SNI 03-0349-1989).
Subakti, A. 1995. Mix Desain Beton Normal dengan
Metode DOE dan ACI. Surabaya
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
12
Halaman Ini Sengaja Dikosongkan
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
13
Identifikasi Kawasan Slum Area di Kota Malang
Fifi Damayanti1 and Pamela Dinar Rahma
2
1 SIPIL, Fakultas Teknik, Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang
2 SIPIL, Fakultas Teknik, Universitas Tribhuwana Tungga Dewi, Malang
E-mail: [email protected], [email protected].
ABSTRAK: Perumahan dan permukiman adalah bagian dari kehidupan komunitas dan secara keseluruhan bagian dari
lingkungan sosial. Baik secara langsung maupun tidak langsung akan selalu terjadi hubungan timbal balik baik antara
penghuni dan huniannya yang juga tidak lepas dari konsep hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Permukiman umumnya terbentuk dalam dan pada suatu kawasan yang merupakan hasil antara interaksi manusia dengan
lingkungan alam ataupun sosialnya. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yang
bersifat deskriptif kualitatif yaitu pada saat untuk mengidentifikasi kawasan dan area slum area yang berada di kota
Malang. Observasi populasi dilakukan pada 5 kecamatan, sampel yang dipakai sebanyak 7 kelurahan. Purposive
Sampling adalah Metode dalam dipakai dalam menentukan sampel. Dari total sebanyak 57 kelurahan ditemukan 29
kelurahan dikategorikan kawasan permukiman kumuh. Kawasan kumuh di kota Malang diidentifikasi paling banyak
terdapat pada daerah kecamatan Lowokwaru.
Kata Kunci: slum area, deskriptif kualitatif, malang
1. PENDAHULUAN
Berkembangnya suatu kota menyebabkan
meningkatnya arus urbanisasi yang antara lain
menimbulkan permasalahan akan perumahan dan
permukiman. Secara formal melalui beberapa
programnya, pemerintah terus berusaha menyelesaikan
permasalahan mengenai perumahan dan permukiman.
Namun dikarenakan permintaan akan kebutuhan
perumahan dan permukiman yang terus meningkat, maka
beberapa kalangan masyarakat membangun (baik secara
individu maupun kelompok) secara ilegal. Perumahan dan
permukiman adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan komunitas dan keseluruhan
lingkungan sosial.
Hunian dalam arti harfiah yaitu dapat diidentikkan
sebagai dengan rumah atau sebagai benda mati. Jika
dalam konteks ini, dimana hunian yang dimaksudkan
sebagai istilah yaitu yang dimaksud?vernacular
architecture?, yaitu merupakan hasil karya sebuah
perwujudan kesepakatan dari seluruh lapisan masyarakat,
dan bukan hasil dari karya seseorang saja dan juga
merupakan bagian dari salah satu aktivitas kehidupan
manusia yang menghuninya.
Akan selalu terjadi hubungan berupa timbal balik
yaitu antara penghuni dan huniannya namun juga yang
tidak lepas dari sebuah konsep hubungan antara manusia
dengan sekitarnya / lingkungannya. Permukiman atau
yang juga dapat disebut istilahnya sebagai Human
Settlement dimana menurut Doxiadis () dalam
Kuswartojo (2005) yaitu merupakan sebuah domain /
tempat yang dihuni oleh sekelompok manusia. Dimana
Manusia yang bermukim di berbagai tempat tersebut akan
menentukan jenis bentuk permukimannya.
Permukiman terdiri dari elemen yaitu the content
(society dan man) dan the container (network, shell, dan
nature). Kelima unsur permukiman ini saling terikat dan
terkait anatara satu sama lainnya, akan tetapi komposisi
dan porsi lima elemen-elemen ini sangat variatif, sehingga
nantinya akan dapat membentuk definisi permukiman
dengan sebuah karakter tertentu.
Dari pemaparan mengenai definisi permukiman
tersebut, dimana definisi permukiman tidak hanya dapat
dipahami secara 3 (tiga) dimensi saja, melainkan juga
dengan 4 (empat) dimensi, dikarenakan manusia dan
masyarakat sejatinya selalu berubah-ubah dan cenderung
berkembang secara berkelanjutan secara terus-menerus.
Definisi permukiman kumuh dapat didasarkan pada
karakteristiknya yaitu suatu lingkungan permukiman yang
dulu maupun saat ini telah mengalami penurunan secara
kualitas.
Atau Dengan kata lain dapat disebut memburuk yaitu
secara fisik tersurat maupun tersirat, social-budaya
maupun social-ekonomi. Dan tidak memungkinkan
tercapainya kehidupan yang layak bahkan cenderung
dapat membahayakan bagi penghuninya. Adapun Ciri
permukiman kumuh yaitu merupakan bentuk permukiman
dengan jenis tingkat hunian, kepadatan, kerapatan
bangunan yang sangat tinggi, bentuk bangunan tidak
teratur, dan juga kualitas hunian yang sangat rendah.
Disisi lain tidak memadainya prasarana dan sarana
yang sangat pokok seperti sumber air minum, jaringan
jalan, distribusi air limbah dan distribusi sampah.
Kawasan kumuh adalah definisi kawasan dimana kondisi
hunian dan kondisi hunian masyarakat di dalam kawasan
tersebut teramat sangat buruk. Rumah hunian maupun
sarana dan prasarana yang terdapat di Kawasan tersebut
tidak sesuai dengan apa yang disebut standar yang sedang
berlaku, baik yang dimaksud dengan standar kebutuhan,
kepadatan-kerapatan bangunan, deskripsi persyaratan
rumah sehat, deskripsi kebutuhan sarana air bersih,
deskripsi sanitasi maupun deskripsi persyaratan
kelengkapan prasarana jalan, deskripsi ruang terbuka,
serta deskripsi kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
Ciri-ciri sebuah pemukiman kumuh, adalah seperti
yang didefinisikan oleh Prof. DR. Parsudi Suparlan
adapaun beberapa diantaranya adalah :
1. Fasilitas umum dimana kondisinya dapat
dikatakan kurang atau sangat tidak memadai.
2. Kondisi ruang, hunian dan pemukiman
mencerminkan penghuninya kekurangan.
3. kesemrawutan ruang, intonasi volume dan
kepadatan suara tinggi
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
14
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu bentuk
satuan-satuan komuniti dimana penghuninya
hidup secara menyendiri dengan batas-batas
berupa kebudayaan dan juga sosial yang jelas,
yaitu terwujud sebagai:
Berbentuk Sebuah komuniti tunggal,
lokasinya berada di tanah milik
pemerintah / negara, dan karena itu dapat
dikategorikan sebagai hunian liar.
Sebuah Satuan komuniti tunggal yang
berbentuk bagian dari sebuah RT atau
sebuah RW.
Sebuah satuan berbentuk komuniti
tunggal yang berwujud yaitu sebagai
sebuah RT atau RW atau bahkan
memungkinkan terwujud sebagai sebuah
Kelurahan, dan bukan bebentuk hunian
liar.
5. Penghuni pemukiman kumuh apabila secara
sosial dan ekonomi tidak cukup homogen,
warganya didefinisikan mempunyai jenis mata
pencaharian dan tingkat kerapatan-kepadatan
yang beranekaragam, dan juga asal muasalnya.
Dalam definisi masyarakat pemukiman kumuh
juga dikenal adanya berbagai pelapisan sosial
berdasarkan atas dasar kemampuan ekonomi
mereka yang bervarian dan berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman area kumuh
adalah mereka pekerja yang bermata pencaharian
di sektor informal atau disebut mempunyai mata
pencaharian tambahan di sektor informal.
Jika didasarkan pada salah satu ciri diatas, dapat
disebutkan bahwa permukiman kumuh diantarnya
memiliki ciri kondisi ruang, hunian, dan pemukiman yang
mencerminkan kondisi yang kurang mampu Penggunaan
ruang yang berada pada sebuah ruang yang tidak sesuai
akan fungsi aslinya sehingga nantinya berubah menjadi
sebuah fungsi permukiman, seperti yang muncul pada
daerah sempadan nantinya untuk kebutuhan Ruang
Terbuka Hijau. Keadaan demikian akan menunjukan
bahwa penghuninya yang ekonominya kurang mampu
untuk membeli atau bahkan menyewa rumah di area
perkotaan dengan harga lahan dan bangunan yang tinggi,
akan tetapi lahan kosong di daerah perkotaan pun sudah
tidak tersedia. Permukiman tersebut muncul di permukaan
dengan sarana dan prasarana yang kurang bahkan sangat
tidak memadai, kondisi dan keadaan rumah yang kurang
bahkan sangat tidak baik dengan kepadatan dan kerapatan
yang tinggi serta mengancam kondisi kesehatan sekitar
bahkan penghuni. Dengan begitu, permukiman yang
berada pada kawasan area SUTET, kawasan area
semapadan sungai, kawasan area semapadan rel kereta
api, dan kawasan area sempadan situ/danau merupakan
kawasan permukiman kumuh.
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri
permukiman atau daerah perkampungan kumuh dan
miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai
berikut :
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan
berpendidikan rendah, serta memiliki sistem
sosial yang rentan.
2. Sebagian besar penduduknya berusaha atau
bekerja di sektor informal Lingkungan
permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di
bawah standar minimal sebagai tempat bermukim,
misalnya memiliki:
Kepadatan penduduk yang tinggi > 200
jiwa/km2
Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih,
sanitasi, drainase, dan persampahan).
Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan
buruk, terbangun
Permukiman adalah bagian dari lingkungan di luar
kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan
dan pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan kata kumuh
menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
kotor atau cemar. Jadi, bukan padat, rapat becek, bau,
reyot, atau tidak teraturnya, tetapi justru kotornya yang
menjadikan sesuatu dapat dikatakan kumuh.
Menurut Johan Silas, Permukiman Kumuh dapat
diartikan menjadi dua bagian, yang pertama ialah
kawasan yang proses pembentukannya karena
keterbatasan kota dalam menampung perkembangan kota
sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan
perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman
berkepadatan tinggi merupakan embrio permukiman
kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi
penyebarannya secara geografis terdesak perkembangan
kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh.
Untuk melakukan identifikasi kawasan permukiman
kumuh digunakan kriteria. Penentuan kriteria kawasan
permukiman kumuh dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek atau dimensi seperti
kesesuaian peruntukan lokasi dengan rencana tata ruang,
status (kepemilikan) tanah, letak/kedudukan lokasi,
tingkat kepadatan penduduk, tingkat kepadatan bangunan,
kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
lokal. Selain itu digunakan kriteria sebagai kawasan
penyangga kota metropolitan seperti kawasan
permukiman kumuh teridentifikasi yang berdekatan atau
berbatasan langsung dengan kawasan yang menjadi
bagian dari kota metropolitan.
Kriteria kawasan permukiman kumuh Berdasarkan
uraian diatas maka untuk menetapkan lokasi kawasan
permukiman kumuh digunakan kriteria-kriteria yang
dikelompok kedalam kriteria:
VitalitasNonEkonomi
VitalitasEkonomi Kawasan
Status Kepemilikan Tanah
Keadaan Prasarana dan Sarana
Komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota
Prioritas Penanganan
Kegiatan penilaian kawasan permukiman kumuh
dilakukan dengan sistem pembobotan pada masing-
masing kriteria diatas. Umumnya dimaksudkan bahwa
setiap kriteria memiliki bobot pengaruh yang berbeda-
beda. Selanjutnya dalam penentuan bobot kriteria bersifat
relatif dan bergantung pada preferensi individu atau
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
15
kelompok masyarakat dalam melihat pengaruh masing-
masing kriteria.
2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian mengenai slum area ini
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan data non-numerik. Menurut Moleong
(2015) sebuah fenomena yang dialami sebuah subyek
dapat dipahami secara holistik dengan menggunakan
penelitian kualitatif. Lebih jauh Moleong menyatakan
bahwa salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah
bersifat deskriptif. Deskriptif dalam hal ini mengandung
arti bahwa pengumpulan data yang nantinya dilakukan
menghasilkan data berupa gambar, kata-kata dan bukan
numerik. Semua data yang didapatkan akan menjadi poin
penting penelitian yang telah dilakukan. Sehingga laporan
penelitian tersebut akan berisi dari kutipan-kutipan data
yang menggambarkan penyajian data tersebut.
Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk
mengungkapkan data, fenomena, variabel dan keadaan
yang terjadi pada saat penelitian akan berlangsung dengan
apa adanya. Hal ini akan berkaitan dengan karakteristik
penelitian yang harus bersifat objektif. Penelitian ini
menafsir dan memaparkan data yang nantinya terkait
dengan fenomena yang sedang terjadi, perilaku dan
pandangan yang ada dalam suatu masyarakat, pengaruh
terhadap suatu peristiwa, pembandingan dua kondisi yang
berbeda, perbedaan antar fakta dan lain-lain. Dalam
penelitian kualitatif manusia diandalkan sebagai alat
penelitiannya. Secara umum kegiatan yang akan
dilakukan dalam penelitian ini antara lain aktivitas
pengumpulan data, yang kemudian dianalisis,
penginterpretasian data, hingga menarik sebuah simpulan
yang berdasar kepada hasil analisis data tersebut.
Menurut Denzin & Lincoln, bahwa paradigma akan
dipandang sebagai seperangkat utuh keyakinan-keyakinan
dasar yang nantinya berkaitan dengan prinsip. Sedangkan
Thomas Kuhn menyatakan bahwa sebuah paradigm
digunakan dalam 2 arti yang berbeda. Pertama, paradigma
dapat diartikan keseluruhan konstelasi nilai, Teknik,
kepercayaan dan sebagainya yang dimiliki anggota-
anggota masyarakat tertentu. Yang kedua, menunjuk
sejenis elemen dalam konstelasi tersebut, pemecahan
teka-teki konkrit dan apabila dijadikan sebagai sebuah
model, akan mampu menggantikan kaidah-kaidah
eksplisit sebagai dasar pemecahan sains normal dan
tertinggal. Dalam sebuah penelitian paradigma digunakan
sebagai sebuah dasar. Terdapat dua macam paradigma
yang secara umum digunakan dalam penelitian ilmiah
yaitu Scientific paradigm (paradigma ilmiah) dan
naturalistic paradigm atau disebut paradigma alamiah
merupakan paradigma yang secara umum. Pada arsitektur
scientific paradigm berkaitan dengan rekayasa teknik
arsitektur sedangkan naturalistic paradigm berhubungan
dengan penjelasan bentuk yang selalu mengandung unsur
makna simbolik
Dalam penelitian ini dilakukan observasi terhadap
lima kecamatan dengan dilengkapi sampel kelurahan
sebanyak 7 kelurahan. Kelurahan yang menjadi sampel
adalah Kelurahan Dinoyo, Kelurahan Sumbersari
(Kecamatan Lowokwaru), Kelurahan Kauman
(Kecamatan Klojen), Kelurahan Jodipan (Kecamatan
Belimbing), Kelurahan Kota Lama (Kecamatan Kedung
Kandang), Kelurahan Kasin dan Kelurahan Ciptomulyo
(Kecamatan Sukun). Penentuan sampling menggunakan
Purposive Sampling, peneliti menentukan sampel
penelitian dengan asumsi bahwa kelurahan tersebut
termasuk dalam kawasan permukiman kumuh atau slum
area berdasarkan observasi awal.
3. KONDISI KAWASAN PERMUKIMAN
KUMUH/SLUM AREA DI KOTA MALANG
Permasalahan utama program pengadaan perumahan
yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah
kebutuhan perumahan yang layak bagi masyarakat dalam
arti luas belum terpenuhi, khususnya bagi masyarakat
miskin, dan masyarakat berpenghasilan rendah serta tidak
tetap. Kelayakan perlu dipahami dengan kehidupan atau
sifat sosio-ekonomi masyarakat yang bersangkutan bukan
secara teknis rasional melainkan dengan memahami.
Sejalan dengan pertambahan penduduk daerah perkotaan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan sarana dan
prasarana perkotaan terutama kebutuhan perumahan
(Panudju, 1999).
Salah satu permasalahan yang sampai sekarang belum
bisa diselesaikan adalah penyediaan akan kebutuhan
perumahan. Padahal rumah merupakan salah satu
kebutuhan dasar bagi setiap manusia selain pangan dan
sandang. Pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat
terbatas sehingga masalah pemenuhan kebutuhan
perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan,
terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Mayoritas masyarakat miskin sering kali terpaksa
melakukan sesuatu diluar hukum, bukan hanya dalam
kaitan dengan tanah perkotaan tetapi juga dalam
memperoleh tempat tinggal. Masyarakat miskin tidak
mampu membangun sesuai dengan izin mendirikan
bangunan yang berlaku (McAuslan, 1986).
Peraturan perencanaan dan pembangunan rumah,
dimaksudkan untuk menjamin bahwa standar kesehatan
dan keamanan dasar dapat terpenuhi. Tetapi dengan
tuntutan standar yang tidak realistis dan terlalu mahal,
mayoritas masyarakat miskin dipersalahkan karena tidak
pernah memenuhi ketentuan standar. Kasus yang terjadi
di sebagian besar negaranegara berkembang mengenai
permasalahan rumah, khususnya bagi masyarakat
golongan kurang mampu adalah golongan tersebut tidak
mampu menjangkau harga rumah walaupun dalam batas
ukuran layak minimal. Sehingga masyarakat tinggal di
kawasan-kawasan marginal dengan kondisi rumah yang
memprihatinkan, sebagai contoh yaitu di kota-kota besar
dari negara dunia ketiga, jumlah penghuni yang tinggal di
daerah permukiman liar semakin meningkat. Masyarakat
tidak mampu membangun rumah yang layak (secara sah,
memiliki saluran air dan mengindahkan kebersihan.
Pengadaan perumahan daerah perkotaan akan sangat
terbatas, sedangkan menurut Panudju (1999) masalah
akan pemenuhan kebutuhan perumahan hingga sampai
saat ini masih sangat sulit dipecahkan, khususnya bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah. Adapun
Kebutuhan perumahan di daerah perkotaan akan selalu
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
16
meningkat dengan pesat. Akibatnya dimana sebagian
penduduk yang kurang mampu, akan mencari tempat
tinggal pada kawasan yang tidak atau kurang teratur,
lingkungan kurang baik, kawasan slum, kawasan squater,
atau pada kawasan marginal seperti pada bantaran sungai.
Hal ini membentuk bentuk permukiman-permukiman liar
yaitu dalam usaha untuk mendapatkan tempat untuk
bernaung dan berlindung yang relative dekat dengan
tempat bekerja.
Menurut Turner (1972) seiring dengan bertambahnya
pendapatan, prioritas kebutuhan akan huniannya akan
berubah. Prioritas kebutuhan akan perumahan bagi
masyarakat yang berpenghasilan rendah dan sangat
rendah akan memiliki perbedaan dalam urutan prioritas
yang dipandang paling primer yaitu prioritas pertama
terutama pada faktor jarak antara rumah dengan tempat
bekerja, prioritas kedua terdapat pada faktor kejelasan
status kepemilikan tanah dan hunian, sedangkan, dan
prioritas terendah terletak pada faktor bentuk dan juga
kualitas bangunan. Padahal Kota Malang adalah kota
terbesar nomor dua di Jawa Timur. Kota Malang dikenal
dengan semboyan berupaTri Bina Cita yaitu sebagai
berbagai nama diantaranya Kota Pariwisata, Kota Industri
dan Kota Pendidikan yaitu yang mencerminkan profil
akan potensi ekonomi Kota Malang, dengan batas
wilayahnya :
Sebelah Barat berbatasan yaitu dengan
Kecamatan Wagir Kecamatan Dau
Sebelah Timur berbatasan yaitu dengan
Kecamatan Pakis dan Kecamatan Tumpang.
Sedangkan Sebelah Utara berbatasan yaitu
dengan Kecamatan Singosari dan Kecamatan
Karangploso
Sedangkan Sebelah Selatan berbatasan yaitu
dengan Kecamatan Tajinan dan Kecamatan
Pakisaji
Kota Malang yang beribukota di daerah Klojen yang
memiliki luas sebesar 110 Km2 yang terbagi kedalam 57
Kelurahan/Desa dan juga 5 Kecamatan. Adapun Komoditi
unggulan Kota Malang yaitu terdiri atas sektor
perkebunan dan jasa. Sektor produk Perkebunan adapun
komoditi unggulannya adalah Kopi, Tebu, , dan Kelapa,
sedangkan untuk sub sektor jasa tepatnya yaitu
Pariwisata. Adapun Klasifikasi permukiman di Kota
Malang akan dibagi menjadi tiga jenis yaitu permukiman
yang dibangun oleh masyarakat, permukiman yang
dibangun oleh pengembang. Jika dipandang dari trend
yang ada saat ini maka pada hakikatnya permukiman yang
dibangun oleh orang pribadi atau masyarakat terdapat tiga
jenis yaitu permukiman yang tertata dengan rapi,
permukiman sembarangan dan tidak teratur, serta
permukiman kampung kumuh.
Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota
Malang Hasil dari Sensus Penduduk tahun 2010 Dari
Tabel 1. Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di
Kota Malang Hasil dari Sensus Penduduk tahun 2010
dapat diketahui bahwa kecamatan Klojen merupakan
kecamatan terpadat di kota Malang, dan kecamatan
Kedung Kandang yang merupakan kecamatan yang laju
pertumbuhan penduduknya paling tinggi.
Selain itu berdasarkan data Pemerintah Kota Malang
diketahui bahwa sebanyak 29 kelurahan dari keseluruhan
total 57 kelurahan yang letaknya tersebar di berbagai
penjuru di Kota Malang, tepatnya di provinsi Jawa Timur,
ternyata masuk dikategorikan sebagai kawasan
pemukiman kumuh. Pemukiman ini nantinya akan ditata
ulang sedemikian rupa sehingga akan terwujud program
bebas area dan kawasan kumuh pada tahun 2019.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di
Kota Malang Hasil Sensus Penduduk 2010
Dari Tabel 2. Kriteria Penentuan Kawasan dan area
Kumuh di Kota Malang berikut terlihat bahwa kecamatan
Lowokwaru merupakan kecamatan dengan nilai kriteria
kawasan kumuh yang tertinggi yakni sebesar 1470 dengan
nilai kriteria Kelurahan Sumbersari sebesar 870 dan nilai
kriteria sebesar 600 dari Kelurahan Dinoyo. Kriteria ini
didapatkan dari kelurahan Sumbersari dan Dinoyo.
Sedangkan kecamatan Blimbing memiliki nilai kriteria
terendah yakni 570 dari kelurahan Purwantoro.
Tabel 2. Kriteria Penentuan Kawasan Kumuh di Kota
Malang
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
17
a. Elemen-elemen permukiman informal di wilayah
kecamatan Lowokwaru (Dinoyo ? Sumbersari)
Malang Jawa timur:
Berdasarkan observasi lapangan dan identifikasi
bangunan yang terdapat di kecamatan
Lowokwaru, memberikan gambaran bahwa
kondisi elemen?elemen permukiman informal di
lokasi tersebut, mengenai:
Kondisi rumah tinggal sangat tidak
aman karena jarak rumah dengan
bantaran sungai sangat dekat dan rawan
longsor apabila terjadi banjir akibat
hujan yang lebat.
Jarak antar rumah sangat-sangat
padat,rapat dan hampir tidak ada cahaya
sinar matahari yang dapat masuk ke
dalam rumah, sehingga kondisi
dindingnya lembab.
Kepadatan penduduk sangat tinggi.
Akses jalan sangat sempit, kebanyakan
berupa gang yang hanya bisa dilewati
motor dan sepeda.
Ada sebuah jembatan yang sejatinya
berfungsi yaitu sebagai jalur
penghubung antar sungai dengan
kondisi jembatan sudah rapuh.
Jembatan ini menjadi satu-satunya jalur
alternatif masyarakat untuk
mempersingkat jarak tempuh mereka
dari rumah menuju tempat lain.
Vegetasi atau pepohonan sangat minim.
Untuk fasilitas umum hanya berupa
tempat peribadatan masjid.
Gambar 1. Rumah Tumbuh di Kecamatan Lowokwaru
Gambar 2. Vegetasi di Kecamatan Lowokwaru
Gambar 3. Akses Jalan di Kecamatan Lowokwaru
b. Elemen-elemen permukiman informal di wilayah
kecamatan Kedung Kandang (Kota Lama)
Malang Jawa timur:
Berdasarkan observasi lapangan dan identifikasi
bangunan yang ada di wilayah kecamatan
Kedung Kandang, memberikan gambaran bahwa
kondisi elemen?elemen permukiman informal di
lokasi tersebut, mengenai:
Rumah dibangun di sepanjang pinggir
rel-rel lintasan kereta api yang sangat
membahayakan penduduk yang
mendiami kawasan tersebut.
Kepadatan penduduk sangat padat dan
jarak antar rumah satu dengan rumah
lain sangat rapat dan padat dan kotor.
Kondisi jalan setapak sangat sempit
berupa gang-gang kecil.
Sirkulasi jalan mempergunakan jalan di
sepanjang pinggir kereta api.
Gambar 4. Rumah Tumbuh di Kecamatan Kedung
Kandang
Gambar 5. Akses Jalan di Kecamatan Kedung Kandang
c. Elemen-elemen permukiman informal di wilayah
kecamatan Blimbing (Jodipan) Malang Jawa
timur:
Berdasarkan observasi lapangan dan identifikasi
bangunan yang terdapat di kecamatan Blimbing
(Jodipan), memberikan gambaran bahwa kondisi
elemen ?elemen permukiman informal di lokasi
tersebut, mengenai:
Banyak rumah dibangun dengan kondisi
seadanya ditutup seng, sangat tidak
dapat memenuhi syarat
Kondisi rumah tinggal sangat tidak
aman, karena jarak rumah dengan
bantaran sungai sangat dekat dan rawan
longsor apabila terjadi banjir akibat
hujan yang lebat.
Jarak antar rumah yang sangat- sangat
rapat dan hampir tidak ada cahaya sinar
matahari yang dapat masuk ke sisi
dalam rumah, sehingga kondisi
dindingnya lembab.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
18
Gambar 6. Rumah Tumbuh di Kecamatan Blimbing
Vegetasi sangat minim, tanaman sengaja
ditanam di pot-pot kecil yang tidak
memenuhi syarat penghijaun kawasan
Jalan berupa gang-gang sangat sempit yang
menghubungkan kawasan kumuh dengan
wilayah luar sangatlah tidak memenuhi
syarat.
Gambar 7. Akses Jalan di Kecamatan Blimbing
Gambar 8. Fasilitas Umum di Kecamatan Belimbing
Kawasan ini memiliki fasilitas umum berupa
lapangan kecil untuk tempat olahraga
bulutangkis dan bola voley, tetapi keadaannya
sangat membahayakan karena berada di pinggir
sungai.
Fasilitas peribadatan berupa masjid
Mempunyai fasilitas MCK umum dengan
kondisi dibawah standar kebersihandan
kesehatan yang sangat tidak memenuhi syarat.
d. Elemen-elemen permukiman informal di area
kecamatan Klojen (Kauman) Malang Jawa
timur:
Berdasarkan observasi lapangan dan identifikasi
bangunan yang terdapat di wilayah kecamatan
Klojen (Kauman), memberikan gambaran bahwa
kondisi elemen?elemen permukiman informal di
lokasi tersebut, mengenai:
Kepadatan penduduk sangat padat dan
jarak antar rumah sangat rapat dan
padat, terlihat sangat kotor.
Jarak antar rumah sangat-sangat rapat
dan hampir tidak ada cahaya matahari
yang dapat masuk ke dalam rumah,
sehingga kondisi dindingnya lembab.
Vegetasi atau pepohonan tidak ada,
hanya tanaman yang ditanam di pot
kecil didepan rumah sebagian warga
setempat.
Jalan setapak sangat sempit tidak
memenuhi syarat
Sirkulasi warga untuk menghubungkan
lokasi rumah mereka dengan wilayah
luar berupa jalan setapak dengan
perkerasan paving swadaya masyarakat
sendiri.
Kawasan ini tidak ada fasilitas umum,
hanya tempat peribadatan berupa masjid
Gambar 9. Rumah Tumbuh di Kecamatan Klojen
Gambar 10. Akses Jalan di Kecamatan Klojen
e. Elemen-elemen permukiman informal di wilayah
kecamatan Sukun (Kasin, Ciptomulyo) Malang
Jawa timur: Berdasarkan observasi lapangan dan
identifikasi bangunan yang berada di wilayah
kecamatan Sukun (Kasin, Ciptomulyo),
memberikan gambaran bahwa kondisi
elemen?elemen permukiman informal di lokasi
tersebut, mengenai:
Kepadatan penduduk sangat padat dan
jarak antar rumah yang sangat-sangat
rapat dan padat, terlihat sangat kotor.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
19
Jarak antar rumah sangat-sangat rapat
dan hampir tidak ada cahaya matahari
yang dapat masuk ke dalam rumah,
sehingga kondisi dindingnya lembab.
Gambar 11. Rumah Tumbuh di Kecamatan Sukun
Gambar 12. Akses Jalan di Kecamatan Sukun
Vegetasi atau pepohonan tidak ada, hanya
tanaman yang ditanam di pot kecil didepan
rumah sebagian warga setempat.
Akses jalan sangat sempit, kebanyakan berupa
gang yang hanya bisa dilewati motor dan sepeda,
hal ini sangat tidak memenuhi syarat.
Sirkulasi warga untuk menghubungkan lokasi
rumah mereka dengan wilayah luar berupa jalan
setapak dengan perkerasan paving swadaya
masyarakat sendiri.
Dari kondisi elemen-elemen informal pada setiap
kecamatan dapat disimpulkan bahwa kecamatan di kota
Malang memiliki kawasan kumuh. Hal ini terlihat jelas
pada kondisi permukiman, akses jalan serta kondisi
sarana-prasarana umum yang kurang layak. Selain itu
penggunaan lahan lebih banyak digunakan untuk
perumahan, dan hanya sebagian kecil lahan yang
digunakan sesuai fungsinya.
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian terlihat bahwa slum area atau
area kumuh banyak terdapat di Kecamatan Lowokwaru.
Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang padat dengan
kelajuan/pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Dari
kondisi elemen-elemen informal pada setiap kecamatan
dapat disimpulkan bahwa kecamatan di kota Malang
memiliki kawasan kumuh. Hal ini terlihat jelas pada
kondisi permukiman, akses jalan serta kondisi sarana-
prasarana umum yang kurang layak. Selain itu
penggunaan lahan lebih banyak digunakan untuk
perumahan, dan hanya sebagian kecil lahan yang
digunakan sesuai fungsinya. Faktor yang mempengaruhi
tumbuhnya slum area di Kawasan atau area tersebut
antara lain adalah kepadatan penduduk dan
kelajuan/pertumbuhan penduduk. Selain itu jarak
permukiman dengan sarana dan/atau prasarana umum
atau pusat kota menjadi faktor yang lain. Kriteria untuk
menentukan sebuah kawasan termasuk dalam Slum Area
antara lain vitalitas ekonomi kawasan, vitalitas non-
ekonomi kawasan, sarana dan prasarana kawasan, status
penggunaan tanah dalam kawasan, serta komitmen
pemerintah.
5. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Profil Kota Malang. Dalam
www.slumarea.wix.com. Diakses tanggal 28/11/2015
Asian Development Bank. 2002, Buku Panduan Tentang
Permukiman Kembali, ADB, Manila Philippines
Anonymous. 1986, Rumah Untuk Rakyat Bukan
Impian?: Tempat Tinggal Untuk Yang Tak Punya
Rumah. Prisma, Mei, Nomor 5, Jakarta
Bria, Petrus. 2001. Kajian Pemukiman Kembali Penduduk
Kedung Ombo, di Desa Kedung Mulyo Kabupaten
Boyolali, Tesis, Magister Perencanaan Kota dan
Daerah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Djemabut, Blaang. 1986, Perumahan dan Permukiman
Sebagai Kebutuhan Pokok, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1986.
Hidayati, A Nurul. 1997. Tipologi Kampung Kumuh di
Kotamadya Malang, Tesis, Magister Perencanaan
Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Kuswartojo, Tjuk.; Rosnarti, Dwi; Effendi, Vinondini;
Eko K, Rasiono; Sidi, Purnomo. 2005. Perumahan dan
Permukiman di Indonesia; Upaya membuat
perkembangan kehidupan yang berkelanjutan. ITB,
Bandung.
Kuswartojo, Tjuk. 2010. Permukiman dan perkotaan:
Mengusik Tata Penyelenggaraan Lingkungan Hidup
dan Pemukiman. ITB, Bandung
Murdaningsih, Dwi. 2015. 29 Kelurahan di Malang
Kumuh. Dalam www.Republika.co.id,Mlg. Diakses
tanggal 28/11/2015
Rahayu, Murtanti Jani dan Rutiana D. 2007. Strategi
Perencanaan Pembangunan Permukiman Kumuh.
Kasus Pemukiman Bantaran Sungai Bengawan Solo,
Kelurahan Pucangsawit, Surakarta. GEMA TEKNIK
- No 1/Tahun X Januari 2007. Hal. 89-96
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
20
.
Halaman Ini Sengaja Dikosongkan
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
21
STUDI KELAYAKAN PERUMAHAN CITRAPURI KENITEN 1 PONOROGO
DILIHAT DARI SITE PLAN
Siti Choiriyah.1 dan Deni Eko Prasetiyo 2
1Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya 2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya
E-mail: [email protected],[email protected]
ABSTRAK : Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat seiring dengan kebutuhan akan perumahan juga mengikuti,
karena rumah adalah kebutuhan primer. Sebagai pengembang Perumahan Citra Puri Keniten 1 terletak di jalan Arif Rahman Hakim-Jalan Raya Ponorogo-Madiun Kabupaten Ponorogo berusaha memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal sesuai dengan keinginan pembeli, maka dilakukukan beberapa studi kelayakan perumahan salah satunya adalah studi kelayakan Site Plan berdasarkan SNI-03-1733-2004. Persyaratan dasar rumah dan bangunan yaitu harus memenuhi persyaratan administrasi, mengacu pada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) setempat. Tipe dasar perumahan untuk menentukan luas minimum rata-rata perpetakan tanah didasarkan pada faktor kegiatan alam dan peraturan bangunan. Dan juga harus terdapat Sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan yang merupakan salah satu sumber akan cahaya maupun oksigen. Hasil analisisnya yaitu : Perencanaan perumahan tersebut telah memenuhi standar SNI-03-1733-2004 mulai dari
administrasi perijinan, tipe perumahan, sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH ) dengan luas 66.79% : 33.21% dan sarana prasarana (Jalan, tempat beribadah, drainase, jaringan air bersih, saluran air kotor, taman atau penghijauan serta tempat bermain).
Kata Kunci: RTH, Site Plan, RTRW
1. PENDAHULUAN
Pesatnya pertumbuhan penduduk mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwasanya penduduk di
Kabupaten Ponorogo mengalami peningkatan yang
pesat. Di tahun 2017 jumlah penduduk mencapai
867.393 jiwa. Dengan hal ini mengakibatkan
kebutuhan yang semakin meningkat. Salah satunya
adalah kebutuhan akan tempat tinggal untuk
berlindung, yaitu rumah. Oleh sebab itu, dibutuhkan
pengembangan konsep perumahan yang dilengkapi
dengan sarana prasarana dan utilitas umum supaya dapat
menciptakan tata kota yang lebik baik dan nyaman (UU.
No.1 Th.2011).
Namun perlu adanya studi kelayakan untuk
menganalisis layak atau tidaknya sebuah perencanaan
perumahan (site plan) supaya memenuhi standar. Karena
konsep perumahan yang layak dapat dilihat dari
lokasinya yang strategis untuk mempermudah akses jalan
ke tempat tujuan serta kelengkapan sarana prasarananya
seperti jaringan jalan, sistem drainase, tempat ibadah,
tempat bermain untuk anak-anak, taman, dan lapangan
olahraga (SNI-1733-2004).
2. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian terdahulu yang serupa dengan
penelitian ini telah benyak dilakuan, di antaranya
adalah :
1) Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo pada tahun
2013 yang berjudul “Analisis site plan Perumahan
Taman Sentosa tahap II Kecamatan Ngemplak
Kabupaten Boyolali”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perencanaan site plan Perumahan
Taman Sentosa tahap kedua yang memenuhi
standar. Adapun hasilnya adalah perumahan
tersebut layak dan sesuai standar, dimana terdapat
Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan kelengkapan sarana prasarana yang memadai, meskipun terdapat
beberapa hal yang kurang seperti drainase dan
manajemen pengelolaan sampah.
Kelayakan site plan perumahan berdasarkan SNI-03-
1733-2004 1) Persyaratan dasar rumah dan bangunan yaitu
harus memenuhi persyaratan administrasi,
mengacu pada RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) setempat, terdapat perencanaan sarana dan
prasarana yang memadai.
2) Tipe dasar perumahan untuk menentukan luas
minimum rata-rata perpetakan tanah didasarkan pada
faktor kegiatan alam dan peraturan bangunan dengan
rumus: L per orang = U / Tp (Pers. 1)
L per orang : luas lantai hunian per orang
U: kebutuhan udara segar/orang/jam dalam satuan
m3
Tp : tinggi plafon minimal dalam satuan m
Maka luas lantainya per orang:
L per orang dewasa = U dewasa / Tp = 24
m3 / 2.5 m = 9,6 m2 (Pers. 2)
L per orang anak = U anak / Tp = 12 m3 / 2.5
m = 4.8 m2 (Pers. 3)
Keterangan :
U dewasa : Kebutuhan udara segar /orang
dewasa/jam dalam satuan m3
U anak : Kebutuhan udara segar/orang anak/jam
dalam satuan m3
Tp : Tinggi plafon minimal dalam satuan m
Jika koefisien dasar bangunan 50%, maka luas kaveling
minimum untuk keluarga dengan anggota 5 orang:
L kav min. = 100/50 x51m2 = 100m2 (Pers. 4)
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
22
3) Sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang merupakan komponen berwawasan lingkungan
yang mempunyai arti menjaga keseimbangan dan
kelestarian lingkungan karena adalah salah satu
sumber akan cahaya maupun oksigen yang
dimanfaatkan oleh penduduk perumahan. RTH ini
dapat dimanfaatkan antara lain: sarana tempat
bermain anak-anak, taman maupun lapangan
olahraga, untuk luas RTH dapat dianalisis
dengan perbandingan antara wilayah terbangun
dan wilayah terbuka minimal adalah 70% : 30%
dengan rumus:
(pers. 5)
(pers. 6)
4) Perencanaan sarana dan prasarana untuk
menunjang fasilitas perumahan. Terdapat 6 macam
sarana prasarana.
a) Jaringan drainase yang merupakan saluran
yang berada disepanjang perumahan dan
perencanaannya harus sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan teknis yang diatur
dalam peraturan / perundang-undangan yang
berlaku, terutama mengenai tata cara
perencanaan umum jaringan drainase lingkungan perumahan di perkotaan.
Jaringan drainase merupakan prasarana yang
berfungsi mengalirkan air permukaan ke
saluran drainase perumahan di perkotaan dan
mengontrol debit air pada saat musim
penghujan.
b) Jaringan jalan yang merupakan sarana
untuk keluar masuk di kawasan
perumahan yang harus disesuaikan dengan
klasifikasi berdasarkan fungsi jalan dan kelas
kawasan. c) Jaringan air bersih dan air limbah yang
merupakan kebutuhan akan air bersih untuk
setiap unit rumah agar dapat tercukupi. Air
bersih tersebut harus memenuhi persyaratan
yang standar. Jaringan air limbah yaitu
jaringan untuk mengalirkan limbah rumah
tangga, dalam perencanaan ini harus sesuai
ketentuan dan persyaratan teknis yang diatur
dalam peratuan atau perundang-undangan
yang berlaku, terutama mengenai tata acara
perencanaan umum jaringan air bersih dan air
kotor di lingkungan perumahan di perkotaan. Jenis dari sarana ini untuk
minimal jaringan air bersih difasilitasi dengan
PDAM sedangkan untuk jaringan air limbah
minimal disediakan septiktank dan sumur
resapan.
d) Jaringan persampahan yang merupakan
pengelolaan sampah yang ada di kawasan
perumahan supaya lingkungan tetap terjaga
dari kotoran maupun sampah organik dan
anorganik, serta menjaga lingkungan dari
pemasanan global, karena sampah perumahan sampah yang tergolong banyak disebabkan
pengguni perumahan yang padat. Maka harus disediakan tempat sampah disetiap
unit rumah dan pembuangan sampah
sementara.
e) Jaringan listrik yang merupakan kebutuhan
akan daya listrik untuk setiap unit rumah,
dalam pemasangan jaringan listrik
dikawasan perumahan harus direncanakan
berdasarkan peraturan dan persyaratan yang
berlaku seperti: kebutuhan daya listrik dan
jaringan listrik dengan ketentuan Setiap
lingkungan perumahan harus mendapatkan
daya listrik dari PLN dengan daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana
lingkungan sebesar 40%
f) Sarana peribadatan yang memerhatikan
struktur penduduk menurut agama yang dianut
dan tata cara masyarakat setempat dalam
menjalankan ibadah agamanya dengan
ketentuan jumlah penduduk 250 jiwa
dibangun Musholla luas lahan 45m2, penduduk 2500 jiwa disediakan Masjid
dengan luas lahan 300m2.
3. METODE PENELITIAN
Alur penelitian terdiri dari studi literatur, studi lapangan,
pengumpulan data, analis dan pengumpulan data serta
studi kelayakan site plan. Diagram alir terdapat pada
Gambar 1.
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
Mulai
Studi Literatur
Studi Lapangan
Pengumpulan Data
Data Primer : 1. Pengamatan dan
Pengukuran langsung
di lapangan
2. Wawancara - Waktu Proyek
- Data Marketing
Analisis dan Pengolahan Data
1. Studi Kelayakan Site Plan
- Persyaratan Dasar Perumahan
- Tipe Dasar Perumahan - Ruang Terbuka Hijau (RTH)
- Perencanaan Sarana dan
Prasarana
Finish
Data Sekunder :
Data yang diperoleh
developer proyek : - Gambar Site Plan
- Gambar Tipe Unit Rumah
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
23
4. PEMBAHASAN
Pengumpulan data merupakan bagian awal dari penelitian yang dilakukan dengan cara survei lapangan di
Perumahan Citra Puri Keniten 1, dengan ini akan
mendapatkan data sebagai berikut :
1) Data Primer yaitu data yang didapat di
proyek secara langsung dengan mengamati
maupun wawancara.
2) Data Sekunder yaitu data yang didapat dari
pihak developer perumahan yang meliputi:
Gambar Site Plan, Tipe Perumahan, RAB, Harha
Jual Perumahan.
Analisis Kelayakan Site Plan Perumahan Berdasarkan
SNI-03-1733-2004
1) Persyaratan Dasar Perumahan
Lingkungan perumahan ini menjadi kawasan baru
memiliki kependudukan sendiri yang diatur oleh
Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW)
Admistrasi berdasarkan wawancara yang telah
dilakukan, perumahan telah melakukan administrasi
perijinan sebelum pembangunan dimulai yaitu: Ijin
advive planning, Ijin site plan PU , Ijin UPL-
UKL, Ijin Peruntukan Pengembangan Tanah
(IPPT), Spit lapangan oleh BPN, Ijin peil banjir dan
IMB induk tiap unit rumah.
2) Tipe Dasar Perumahan
Tabel 1 Tipe Dasar Perumahan
3) Sarana Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tujuan dari
ruang terbuka hijau ini adalah untuk menjaga
keseimbangan dan kelestarian lingkungan
perumahan, serta salah satu sumber akan udara
maupun cahaya matahari yang dimanfaatkan
untuk kelangsungan hidup penduduk yang berada
di kawasan tersebut, berikut hasil analisisnya
pada Tabel 2:
Tabel 2 Wilayah terbangun dan terbuka perumahan
4) Sarana Dan Prasarana Lingkungan Perumahan
Jalan perumahan tersebut menggunakan paving,
sedangkan untuk lebar jalan 9,75 meter ditambah
dengan jaringan drainase disamping kanan dan
kiri dengan lebar 1 meter. Jaringan Air Bersih
Pemenuhan kebutuhan akan air bersih dalam
kawasan perumahan tersebut dengan menyediakan
sumber air dari PDAM. Jaringan Air Limbah dalam
perumahan ini telah disediakan septiktank dan
sumur resapan yang bertujuan supaya kawasan
perumahan lebih nyaman serta lingkungan tidak
tercemar oleh limbah. Tempat Peribadatan dalam
perumahan ini akan dibangun sebuah Musholla
dengan luas 150m2. Dalam memperhitungkan
luasan Musholla dapat dilihat dari jumlah penduduk
yaitu dengan hasil analisis sebanyak 269 jiwa, maka
luasan Musholla telah memenuhi standar. Jaringan
Drainase dalam kawasan ini terdapat dua detail
drainase yang digunakan yaitu menggunakan buis
beton dengan diameter 60cm dan beton cetak dengan
ukuran 100 x 100 cm. Jaringan Persampahan pada
kawasan perumahan ini dilengkapi dengan bak
sampah pada setiap unit rumah yaitu berjumlah
75 unit bak sampah yang berada didepan rumah,
dengan adanya bak sampah ini maka setiap rumah
tangga dapat menjaga kebersihan dari sampah
organik maupun anorganik sehingga kawasan
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 3 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
24
perumahan tetap terjaga kebersihannya. Jaringan
Listrik pada kawasan perumahan mendapatkan
daya listrik dari PLN, untuk besaran dayanya
dibagi menjadi dua jenis, untuk jenis pertama bagi
perumahan tipe tidak bertingkat (tipe 45, tipe 52,
tipe 56 dan tipe 80) yaitu dengan daya listrik sebesar
1300 VA sedangkan untuk jenis kedua bagi
perumahan yang tipe bertingkat ( tipe 89, tipe 104,
dan tipe 130 ) dengan daya listrik sebesar 2200 VA.
5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini
Analisis kelayakan Site Plan berdasarkan SNI-03-1733-
2004 adalah:
1. Persyaratan dasar perumahan tersebut telah
memenuhi standar yang berlaku
2. Tipe dasar perumahan ini telah memenuhi standar
akan pasokan udara untuk penduduk disetiap unit
rumah
3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah menenuhi standar
yaitu perbandingan antara luas terbangun dan
terbuka adalah 66,79% : 33,21%
4. Sarana prasarana di perumahan telah memenuhi
standar yang meliputi: jaringan jalan, air bersih,
air limbah, tempat peribadatan, jaringan drainase,
jaringan persampahan dan jaringan listrik.
6. DAFTAR PUSTAKA Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM
Press.
Febrian, H., dan Sibi, M. 2017. Studi Kelayakan
Proyek Pembangunan Perumahan Bethsaida
Bitung oleh PT. Cakrawala Indah Mandiri
Dengan Kriteria Investasi. Jurnal Sipil Statik,
Vo.5 No.7 September 2017, (401-410)ISSN:
2237-6732. (https.//ejournal.unsrat.ac.id, diakses 29 Januari 2018)
KEPMEN No.468 Tahun 1998 tentang Persyaratan
Teknis Aksesbilitas pada Bangunan Umum dan
Lingkungan.
Messah, Y., Pah, J.S., dan Putri, R. 2015. Studi
Kelayakan Finansial Investasi Perumahan UME
Malinan Permai Kabupaten Kupang. Jurnal
Teknik Sipil Vo.IV, No.2 September 2015.
(eprints.ums.ac.id, diakses 29 Januari 2018)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
93/PMK.011/2014 tentang Sasaran Inflasi Tahun
2016, Tahun 2017 dan Tahun 2018 Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor :
34/PERMEN/M/2006 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Keterpaduan Prasarana,
Sarana, Utilitas (PSU) Kawasan Perumahan.
Standar Nasional Indonesia SNI-03-1733-2004
tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan.
Supriadi., Qomariyah, S., dan Muttaqin, AY. 2013. Perencanaan Site Plan dan Studi Kelayakan
Investasi pada Perumahan Pondok Permata
Hijau Desa Wirun Kecamatan Mojolaban. E-
jurnal MATRIKS Teknik Sipil/Juni
2013/118. (http.matrik sipil.ft.uns.ac.id, diakses 29
Januari 2018)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan Dan Kawasan
Pemukiman.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
25
STUDI PERILAKU STRUKTUR ECCENTRICALLY BRACED FRAME (EBF)
AKIBAT BEBAN GEMPA DAN BEBAN SIKLIK
Budi Suswanto1, Aniendhita Rizki Amalia2, Isdarmanu3, dan Fajri Aulia4
1,2,3,4Departemen Teknik Sipil, FTSLK, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK: Salah satu alternatif dalam merancang bangunan gedung tahan gempa adalah dengan menggunakan
struktur baja dengan sistem Eccentrically Braced Frame (EBF). Sistem struktur EBF merupakan sistem yang
mensyaratkan perilaku inelastik hanya terjadi pada balok link selama pembebanan gempa sehingga link akan mengalami
rotasi inelastik, sedangkan komponen lainnya dari EBF tetap dalam kondisi elastik. Terdapat tiga kriteria balok link
yang dimungkinkan dalam sistem struktur EBF, yaitu short link (EBF-S), intermediate link (EBF-I), dan long link (EBF-L) yang ditentukan dari normalisasi panjang link dengan rasio antara kapasitas momen plastis (Mp) dan kapasitas
geser plastis (Vp). Analisis struktur dilakukan terhadap tiga model bangunan 10 lantai yang menggunakan sistem EBF
tipe Split K-Braces dengan variasi panjang link. Proses analisis struktur secara umum dilakukan dengan bantuan
software ETABS, sedangkan untuk analisis mikro terhadap satu portal struktur EBF digunakan bantuan software
ABAQUS. Dari hasil analisis struktur ETABS dan ABAQUS dapat disimpulkan bahwa model gedung EBF-S
mempunyai simpangan lateral yang paling kecil dan gaya geser dasar ultimate yang paling besar jika dibandingkan
dengan EBF-I dan EBF-L, hal ini menunjukkan bahwa EBF-S mempunyai kekakuan struktur yang paling besar
dibandingkan dengan struktur lainnya, demikian juga model portal EBF-S memiliki luas bidang tegangan-regangan
yang paling besar dari model EBF-I dan EBF-L, hal ini menunjukkan bahwa EBF-S memiliki daktilitas dan
kemampuan disipasi energi yang paling baik.
KATA KUNCI: Eccentrically Braced Frame, link, daktilitas.
1. PENDAHULUAN
Dalam proses merencanakan struktur bangunan tahan
gempa, struktur baja masih menjadi pilihan favorit para
praktisi teknik sipil sebagai material struktur bangunan
tahan gempa. Hal tersebut terjadi dikarenakan material
baja memiliki kekuatan dalam menahan beban yang
relatif tinggi dan sifat elatis baja yang memberikan
sumbangan daktilitas dan disipasi energi yang lebih baik
dibandingkan material beton (Dewobroto, 2015). Dalam
kaitannya dengan permasalahan kegempaan, menurut Engelhardt (2007) terdapat beberapa sistem struktur baja
tahan gempa yang dapat diterapkan pada bangunan yaitu;
Moment Resisting Frame (MRF), Concentrically Braced
Frame (CBF), Eccentrically Braced Frame (EBF),
Buckling Restrained Braced Frame (BRBF), dan Special
Plate Shear Walls (SPSW).
Sistem struktur EBF merupakan sistem yang
membatasi perilaku inelastik hanya terjadi pada balok link
yang berada di antara dua pengekang eksentrik,
sedangkan bagian balok luar, kolom dan pengekang
diagonal tetap elastik selama beban seismik bekerja. Oleh karena itu, sistem EBF dapat memenuhi tingkat daktilitas
yang tinggi seperti MRF dan juga dapat memberikan
tingkat kekakuan elastis yang tinggi seperti CBF
(Danesmand dan Hashemi, 2011).
Terdapat tiga kriteria balok link yang dimungkinkan
dalam sistem struktur EBF yaitu; short link, intermediate
link, dan long link. Kriteria ini ditentukan dari normalisasi
panjang link dengan rasio antara kapasitas momen plastis
(Mp) dan kapasitas geser plastis (Vp). Link dengan rasio
panjang kurang dari 1,6 dikategorikan sebagai short link
atau link geser dikarenakan pelelehan geser yang dominan
terjadi. Link dengan rasio panjang lebih dari 2,6 dikategorikan sebagai long link atau link lentur
disebabkan lebih dominannya pelelehan lentur.
Sedangkan link dengan rasio panjang di antara 1,6 sampai
2,6 dikategorikan sebagai intermediate link atau link
geser-lentur dikarenakan pelelehan yang terjadi
merupakan kombinasi dari geser dan lentur (Richards dan
Uang, 2005). Namun, penggunaan ketiga jenis link pada
struktur EBF ini masih terbatas karena kurangnya
pengalaman pelaksanaan dan pengetahuan mengenai
manfaat penggunaan struktur EBF tersebut.
Analisis dilakukan terhadap tiga model bangunan 10
lantai yang menggunakan sistem EBF tipe Split K-Braces
dengan variasi panjang link. Proses analisis struktur
secara umum dilakukan dengan bantuan software ETABS, sedangkan untuk analisis mikro terhadap satu
portal struktur EBF digunakan bantuan software
ABAQUS versi 6.14 untuk setiap tipe link.
2. PERENCANAAN STRUKTUR EBF
Sistem struktur Eccentrically Braced Frame
(EBF) mulai digunakan secara luas sejak ditemukan
pada tahun 1970an dan terus dikembangkan hingga saat
ini. Engelhardt (2007) memberikan beberapa
kemungkinan penempatan bracing untuk sistem struktur
EBF yang dapat diterapkan pada struktur bangunan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Beberapa kemungkinan penempatan bracing
untuk sistem struktur EBF (Engelhardt, 2007)
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
26
Dari beberapa kemungkinan penempatan bracing
untuk sistem struktur EBF pada Gambar 1, konfigurasi
Split-K Braced mempunyai keuntungan karena bentuknya yang simetris dan letak link yang tidak
langsung terhubung oleh kolom sehingga terhindar dari
masalah full moment connection pada kolom (sendi
plastis tidak terjadi di dekat kolom).
Link dalam EBF dibentuk dari offset sambungan
bracing pada balok atau bracing yang berbatasan
dengan kolom sehingga selama beban seismik bekerja
link menjadi aktif dan mengalami pelelehan. Atau
dengan kata lain link berfungsi sebagai sekering daktail
(ductile fuse) selama pembebanan gempa, sehingga link
akan mengalami rotasi inelastik sedangkan komponen
lainnya dari EBF tetap elastik (Popov, dkk., 1987). Sistem EBF menahan beban lateral melalui
kombinasi dari aksi rangka dan truss, dengan kata lain
dapat dilihat sebagai sistem hybrid antara Moment
Resisting Frame (MRF) dan Concentrically Braced
Frame (CBF). EBF menyediakan daktilitas yang tinggi
seperti MRF dengan konsentrasi aksi inelastis pada link
dan pada saat yang sama memberikan tingkat kekakuan
elastis seperti yang diberikan oleh CBF (Danesmand &
Hashemi, 2011). Gambar 2 menampilkan lokasi aksi
inelastik yang terjadi pada MRF, EBF dan CBF. Pada
sistem MRF lokasi aksi inelastik terjadi pada setiap ujung balok, untuk sistem CBF aksi inelastik terjadi
pada batang bracing, sedangkan untuk sistem EBF aksi
inelastik terjadi pada balok link.
Gambar 2. Lokasi aksi inelastis pada MRF, EBF dan CBF
(Engelhardt, 2007)
2.1 Komponen Penyusun Sistem EBF Elemen link dalam sistem EBF berperilaku
sebagai balok pendek dengan gaya geser yang bekerja
berlawanan arah pada kedua ujungnya. Karena adanya gaya geser yang bekerja pada kedua ujung balok, maka
momen yang dihasilkan pada kedua ujung balok
mempunya besar dan arah yang sama. Deformasi yang
dihasilkan berbentuk S dengan titik balik pada tengah
bentang dan besarnya momen yang bekerja adalah
sebesar 0.5 kali besar gaya geser dikali dengan panjang
link. Plastifikasi yang terjadi pada suatu elemen link
disebabkan karena kedua gaya tersebut. Gambar 3
memperlihatkan gambaran gaya yang bekerja pada
elemen link.
Gambar 3. Gaya yang bekerja pada balok link
(Popov, dkk., 1987)
Pengujian eksperimental dan numerik yang telah
dilakukan para peneliti terdahulu menunjukkan bahwa
link yang mengalami pelelehan geser (short link)
memberikan daktilitas dan kestabilan yang besar dalam
menahan beban gempa. Namun, kemungkinan
pemberian area bukaan dalam arsitektur yang terlalu
kecil menjadikan pemilihan short link kurang diminati.
Akibatnya, penelitian terhadap panjang link dikembangkan yaitu link yang mengalami pelelehan
lentur.
Kriteria balok link ditentukan dari normalisasi
panjang link dengan rasio antara kapasitas momen
plastis (Mp) dan kapasitas geser plastis (Vp). Pada link
geser, gaya geser mencapai keadaan plastis (Vp) terlebih
dahulu sebelum momen lentur mencapai kapasitas
plastisnya sehingga link mengalami leleh dalam geser.
Sedangkan pada link lentur, momen plastis (Mp) tercapai
dahulu sebelum terjadi kelelehan geser.
Pendefinisian dari normalisai panjang link (ρ) adalah sebagai berikut (Bruneau, dkk., 2011):
= e / (Mp/Vp) (Pers. 1)
dimana
Mp = Zx Fy (Pers. 2)
dan
Vp = 0.6 Fy (d – 2tf) tw (Pers. 3)
keterangan
= normalisai panjang link
Zx = modulus plastis penampang
Fy = tegangan leleh minimum
d = tinggi penampang;
tf = ketebalan sayap
tw = ketebalan badan penampang.
Klasifikasi link berdasarkan nilai ρ yang dimilikinya
dapat dilihat secara visual pada Gambar 4 berikut ini.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
27
Gambar 4. Klasifikasi tipe link (Bruneau et al., 2011)
2.2 Bracing Diagonal dan Balok di Luar Link Bracing diagonal merupakan bracing yang
menghubungkan kolom dan balok di luar link secara
diagonal. Kombinasi kuat lentur dan aksial yang
disyaratkan untuk bracing diagonal maupun balok di luar
link harus diambil dari kombinasi pembebanan yang telah
ditetapkan dalam standar yang ada. Untuk kombinasi
pembebanan yang memasukkan pengaruh seismik, pada
bracing gaya aksial dan momen harus dikalikan minimum 1,25 kali dari kuat geser nominal yang diharapkan pada
link, sedangkan untuk balok di luar link harus dikalikan
minimum 1,1 kali dari kuat geser nominal link (AISC
341, 2010).
3. METODE STUDI PERILAKU STRUKTUR EBF
Bangunan yang ditinjau adalah berupa gedung struktur
baja bertingkat dengan pengaku eksentrik sebagai struktur
penahan beban lateral gempa. Material yang digunakan
adalah baja pada elemen struktur, dengan mutu baja BJ41
(Fy = 250 MPa, Fu = 410 MPa, E = 200.000 MPa).
Struktur direncanakan memiliki tiga bentang ke arah sumbu x dan tiga bentang ke arah sumbu y dengan lebar
masing-masing bentang adalah 7,5 m. Tinggi total gedung
adala 45 m dengan tinggi setiap lantai adalah 4,5 m, dan
jumlah lantai adalah 10 lantai, dengan denah pembalokan
lantai typical dan potongan seperti ditunjukkan pada
Gambar 5 dan 6.
Gambar 5. Denah pembalokan dan kolom (typical)
Gambar 6. Potongan melintang bangunan
3.1 Variabel Desain
Struktur gedung dengan model K-Split EBF didesain
dengan variasi 3 panjang link yang berbeda-beda yaitu
short link (EBF-S), intermediate link (EBF-I), dan long
link (EBF-L) untuk melihat pengaruh dari ketiga tipe link pada perilaku struktur EBF, dengan model bracing
ditunjukkan pada Gambar 7.
(a) Portal EBF
(b) Detail link pada EBF
Gambar 7. Model bracing pada portal EBF
Data dan model yang telah ditetapkan ini selanjutnya
dimodelkan dan dianalisis dengan bantuan software
ETABS 2016 untuk mendapatkan gaya-gaya dalam yang
bekerja pada struktur serta deformasi yang terjadi,
sedangkan untuk analisis mikro untuk portal EBF
dilakukan dengan bantuan software ABAQUS versi 6.14.
Permodelan struktur gedung 3 dimensi dilakukan menggunakan program bantu ETABS, seperti ditunjukkan
pada Gambar 8. Struktur gedung akan dimodelkan sesuai
dengan peruntukan gedung sebagai apartemen, sehingga
dapat dijadikan acuan dalam perencanaan agar memenuhi
persyaratan yang berlaku pada SNI 1729:2015 dan SNI
1726:2012.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
28
Gambar 1 Pemodelan Struktur Gedung dengan ETABS
Hasil simpangan gedung dan drift antar lantai arah
sumbu X dan Y seperti ditunjukkan pada Gambar 9
sampai 12, telah memenuhi persyaratan sesuai SNI
1726:2012, Pasal 7.9.3 dan Pasal 7.12.1.
Gambar 9. Simpangan gedung arah sumbu X
Gambar 10. Simpangan gedung arah sumbu Y
Gambar 11. Drift antar lantai arah sumbu X
Gambar 12. Drift antar lantai arah sumbu Y
Tabel 1. Kontrol Nilai Gaya Geser Dasar
Model Struktur
V dinamik V statik Kontrol
kN kN Vd >
85%Vs
EBF-S Arah X 2553,678
1173,64 OK
Arah Y 2553,532 OK
EBF-I Arah X 2483,054
1174,23 OK
Arah Y 2483,054 OK
EBF-L Arah X 2487,810
1173,04 OK
Arah Y 2487,810 OK
Dari Gambar 9 sampai 12, dapat diketahui bahwa
simpangan lateral yang dihasilkan pada model gedung
EBF-S lebih kecil dibandingkan dengan dua model yang
lain, hal ini menunjukkan bahwa EBF-S mempunyai
kekakuan struktur yang lebih kuat dibandingkan dengan
struktur EBF-I dan EBF-L. Model gedung EBF-L
memiliki nilai simpangan gedung dan drift antar lantai
terbesar, sehingga kurang kaku strukturnya. Tabel 1 menunjukkan bahwa kontrol nilai gaya geser dasar
struktur EBF sudah memenuhi syarat yang berlaku, yaitu
V dinamik harus lebih besar dari 0,85 V statiknya.
3.2 Analisis Pushover Struktur EBF dengan ETABS
Analisis beban dorong (pushover analysis) dilakukan
dengan menentukan titik kontrol pada puncak atap, yaitu
pada titik 1-A pada masing-masing puncak bangunan
ketinggian 10 lantai. Struktur didorong dengan beban
gempa statik bertahap arah X dan arah Y, sampai
bangunan mencapai kinerjanya dan terjadi keruntuhan
bangunan. Masing-masing arah dikenakan pola gempa
berdasarkan FEMA 356, yang mana pola distribusi gaya
lateral adalah besarnya proporsional dengan gaya geser
lantai berdasarkan analisis respon spektrum.
Adapun portal yang ditinjau adalah portal 1 (portal X),
seperti ditunjukkan pada Gambar 13. Dari hasil analisis pushover dapat diketahui mekanisme sendi plastis yang
terjadi pada ketiga model struktur EBF-S, EBF-I, dan
EBF-L. Mekanisme sendi plastis ini dapat
memperlihatkan keadaan saat terjadinya leleh pertama
dan keruntuhan pertama pada model EBF. Leleh pertama
ditandai dengan timbulnya petama kali sendi plastis
warna merah muda pada elemen struktur (link beam), dan
keruntuhan pertama terjadi ditandai dengan timbulnya
sendi plastis warna merah tua pada link beam.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
29
EBF-S EBF-I EBF-L
Gambar 13. Kondisi sendi plastis step akhir push over
Terdapat persamaan pada mekanisme timbulnya sendi
plastis ketiga model EBF dengan panjang link 0,9 m, 1,5 m dan 2,1 meter. Persamaan ketiga model terdapat pada
munculnya sendi plastis pertama atau lelehnya pertama
elemen link beam. Leleh pertama pada elemen link beam
kedua model terjadi pada langkah awal pushover, yaitu
langkah ke-3 dan ke-4, dan elemen link beam yang
mengalami leleh pertama yaitu terdapat pada lantai 3.
Dari analisis statik nonlinier pushover menggunakan
program ETABS, didapatkan kurva hubungan gaya geser
dasar dan perpindahan titik kontrol untuk ketiga model
link EBF untuk masing-masing pola beban lateral dan
arah gempa yang ditinjau.
Gambar 14. Perbandingan kurva pushover EBF-S, EBF-I,
dan EBF-L arah X
Gambar 15. Perbandingan kurva pushover EBF-S, EBF-
I, dan EBF-L arah Y
Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa terjadi
perbedaan kurva pushover pada ketiga model EBF dengan
panjang link beam 0,9 meter (EBF-S), 1,5 meter (EBF-I), dan 2,1 meter (EBF-L). Berdasarkan grafik tersebut, maka
dapat diketahui bahwa model struktur EBF-S memiliki
strength atau kekuatan yang lebih besar dalam menahan
beban gempa dibandingkan dengan model EBF-I dan
EBF-L.
Hal ini dikarenakan gaya geser dasar ultimit yang
terjadi (yaitu gaya geser dasar maksimum yang dapat
ditahan oleh struktur sebelum terjadi penurunan kekuatan)
pada model struktur dengan EBF-S lebih besar
dibandingkan dengan model struktur lainnya. Besarnya
gaya geser dasar ultimit beserta perpindahannya tertera
pada setiap kurva pushover di atas. Berdasarkan nilai gaya geser dasar ultimit yang
didapat dari analisis pushover maka akan dapat dilakukan
perbandingan kekuatan pada ketiga model EBF tersebut.
Gaya geser dasar ultimit (Vult) diambil saat gaya geser
dasar V = Vmaks atau saat V ≤ 85% Vmaks. Besarnya Vult =
V ≥ 85% Vmaks diambil jika setelah mencapai Vmaks, masih
ada nilai V yang lebih besar atau sama dengan 85% dari
nilai Vmaks. Adapun perbandingan kekuatan ketiga model
antara EBF-S, EBF-I, dan EBF-L adalah sebagai berikut:
- Model struktur tipe EBF-S memiliki gaya geser dasar ultimate yang lebih besar dibandingkan model EBF-I
dan EBF-L.
- Nilai gaya geser dasar ultimate terbesar dicapai pada
model EBF-S, yaitu sebesar 7.214,4 kN. Sedangkan
nilai gaya geser dasar ultimate terkecil terdapat pada
model EBF-L, yaitu sebesar 5.051,6 kN.
Tabel 2. Penentuan Jarak Pengaku Badan (Web
Stiffenners) Berdasarkan AISC 360-10
Tipe Link
Panjang Link
Panjang Link Pakai
Jarak Pengaku Pakai
cm cm cm
Short < 114,62 90 30
Intermediate 114,62 - 186,25
150 30
Long 186,25 – 358,18
210 30 dari tiap ujung
link
3.3 Analisis Struktur EBF dengan ABAQUS
Perilaku dari model EBF-S, EBF-I dan EBF-L dibahas
dengan mengambil masing-masing portal EBF pada lantai terbawah dari ketiga model gedung dengan menggunakan
software ABAQUS versi 6.14 dengan diberikan
pembebanan siklik untuk mendapatkan perilaku dari
masing-masing portal. Output yang dihasilkan yaitu
berupa kontur tegangan serta perilaku elemen pada portal
EBF.
Pada pemodelan dengan ABAQUS diberikan beban
siklik berupa boundary condition pada kedua joint kolom-
balok yang besarnya disesuaikan dengan cylic loading
protocol berdasarkan AISC-2005 yang ditunjukkan pada
Gambar 16.
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
30
Gambar 16 Cyclic Loading Protocol (AISC-2005)
Perilaku struktur didasarkan pada tegangan yang
terjadi pada portal EBF-S akibat diberi beban siklik,
seperti ditunjukkan dalam Gambar 17 sampai 19. Pada
step-1 yaitu dengan pemberian displacement sebesar 15
mm menunjukkan bahwa mekanisme keruntuhan pada
elemen link telah terlihat, hal ini ditandai dengan
perubahan bentuk balok link menjadi elastis dengan
tegangan maksimum yang terjadi pada bagian web
sebesar 266.25 MPa.
Gambar 17. Kontur Tegangan EBF-S Step-1
Gambar 18. Kontur Tegangan EBF-S Step-3
Gambar 19. Kontur Tegangan EBF-S Step-15
Tanda-tanda awal keruntuhan pada link mulai terlihat
pada step-3 yang ditandai dengan gradasi warna kontur
tegangan yang cukup signifikan di bagain web dengan
tegangan maksimumnya sebesar 349.62 MPa. Seluruh
bidang web akhirnya mencapai nilai tegangan ultimate
(Fu) sebesar 410 MPa pada step-13 yaitu pada saat
displacement load dinaikkan menjadi 20 mm.
Pada kondisi ini dapat dipastikan bahwa link telah
mencapai batas plastik sehingga konsentrasi tegangan
yang terjadi mulai bergeser ke arah balok luar link, bracing dan kolom. Hal ini ditunjukkan dengan perbedaan
gradasi warna yang semakin meningkat terutama pada
titik sambungan antara balok dan kolom. Selain itu bagian
flange dari balok link di daerah sambungan link dan balok mengalami perubahan bentuk diakibatkan pengaruh local
buckling.
Gambar 20. Kontur Tegangan EBF-I Step-1
Gambar 21. Kontur Tegangan EBF-I Step-17
Gambar 22. Kontur Tegangan EBF-I Step-25
Gambar 20 sampai 22 menampilkan perilaku dan
tegangan pada portal EBF-I. Pada step-1 dengan
pemberian displacement sebesar 15 mm, tegangan
maksimum yang terjadi pada bagian web adalah sebesar
250.46 MPa. Tanda keruntuhan pada link dimulai pada
bagian ujung link yang berhubungan dengan balok. Hal
ini terlihat dengan perubahan gradasi warna kontur tegangan pada step-17 yaitu dengan displacement sebesar
20 mm dimana tegangan maksimum yang terjadi pada
bagian web balok link adalah sebesar 367.96 MPa.
Dengan penambahan step terutama peningkatan nilai
displacement menjadi 30 mm pada step-25, tegangan pada
bagian web balok link telah mencapai tegangan putus (Fu)
sebesar 410 MPa. Konsentrasi tegangan yang terjadi
mulai bergeser ke arah balok luar link, bracing dan kolom
seiring dengan peningkatan displacement pada beban
siklik yang diberikan. Bagian flange dari balok link di
daerah sambungan link dan balok juga mengalami
perubahan bentuk diakibatkan pengaruh local buckling.
Gambar 23. Kontur Tegangan EBF-L Step-1
Gambar 24. Kontur Tegangan EBF-L Step-19
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
31
Gambar 25. Kontur Tegangan EBF-L Step-37
Model portal EBF-L yang ditampilkan Gambar 23
sampai 25 menunjukkan tegangan yang terjadi pada link
cenderung lebih besar pada bagian ujung yang
berhubungan dengan balok yang ditandai dengan
perbedaan warna kontur tegangan. Saat step-1 dengan
pemberian displacement awal sebesar 15 mm, nilai tegangan maksimum pada bagian web dari balok link di
bagian ujung adalah sebesar 250.25 MPa.
Dengan peningkatan beban siklik pada step-19 dalam.
Gambar 24 dengan pemberian displacement sebesar 20
mm, tegangan yang dihasilkan pada bagian ujung juga
mengalami peningkatan menjadi 379.41 N/mm2. Saat
displacement bertambah menjadi 40 mm yaitu di step-37
dalam Gambar 25, bagian web balok link pada bagian
ujung telah mencapai tegangan putus (Fu) sebesar 410
MPa.Local buckling juga terjadi pada bagian flange dari
balok link di daerah sambungan dengan balok. Sama seperti dua model EBF sebelumnya, konsentrasi
tegangan juga bergeser ke arah balok luar link, bracing
dan kolom akan tetapi pada model EBF-L ini
memperlihatkan perilaku yang lebih signifikan terjadi
pada daerah sambungan balok-kolom, serta balok-link.
Dari hasil pemodelan dengan ABAQUS dapat
diketahui bahwa pada model EBF-S kelelehan terjadi
pada seluruh badan link karena geser, sedangkan pada
model EBF-I kelelehan terjadi pada sebagian badan link
dan tepi link karena geser dan lentur, sedangkan pada
EBF-L kelelehan hanya terjadi pada tepi link karena
lentur.
4. PERBANDINGAN ANALISIS STRUKTUR
DENGAN ETABS DAN ABAQUS
Setelah melakukan analisis struktur tehadap 3 model
struktur EBF, maka perlu dilakukan perbandingan hasil
analisis struktur tersebut dengan menggunakan ETABS
dan ABAQUS. Tabel 3 menunjukkan besaran simpangan
arah lateral pada ujung portal yang dihasilkan ETABS dan
ABAQUS. Pada titik pengamatan tersebut menunjukkan
perbedaan nilai yang terjadi tidak terlalu jauh berbeda,
yaitu kurang dari 5%, sehingga hasil analisis ABAQUS telah sesuai pemodelan ETABS.
Tabel 3. Perbandingan defleksi ETABS dan ABAQUS
Portal Titik Pengamatan Perbedaan
ETABS
mm
ABAQUS
mm
Prosentase
%
Penerimaan
< 5%
EBF-S 119.89 120.80 0,75 OK
EBF-I 120.24 121.30 0,87 OK
EBF-L 122.29 123.61 1,07 OK
Diagram tegangan-regangan yang ditampikan diambil
pada elemen balok link dari setiap model portal EBF
dengan kondisi awal dan penambahan pengaku badan pada daerah link. Adapun hasil kurva hysteresis akibat
beban siklis ditunjukkan pada Gambar 26 sampai 28.
Dari Gambar 26, pada model EBF-S dengan
pemberian web stiffener sesuai AISC tegangan maksimum
yang dicapai link adalah sebesar 236.61 MPa pada posisi
regangan 0.1415, sedangkan untuk model dengan
pemberian diagonal web stiffener dengan regangan
0.0677 dicapai tegangan maksimumum sebesar 236.13
MPa. Perbedaan nilai tegangan antara kedua tipe
penempatan stiffener tidak jauh berbeda, terkecuali pada
nilai regangan dimana regangan pada balok link yang
diberikan pengaku badan diagonal jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanpa pengaku badan diagonal.
Pada model EBF-I yang ditunjukkan oleh Gambar 27,
perbedaan nilai tegangan antara balok link tanpa pengaku
badan diagonal dan dengan pengaku badan diagonal
mulai terlihat. Untuk tegangan maksimum pada link tanpa
pengaku badan diagonal adalah sebesar 233.47 MPa
dengan nilai regangan sebesar 0.0411. Pada link dengan
pemberian pengaku badan diagonal, tegangan maksimum
yang terjadi sebesar 210.79 MPa dengan nilai
regangannya sebesar 0.0077.
Gambar 26. Kurva hysteresis pada model EBF-S akibat
beban siklik
Gambar 27. Diagram tegangan-regangan pada link akibat
beban siklik pada model EBF-I
Jurnal Rekayasa Tenik Sipil Universitas Madura Vol. 6 No.2 Desember 2018 ISSN 2527-5542
32
Gambar 28. Diagram tegangan-regangan pada link akibat
beban siklik pada model EBF-L
Untuk model EBF-L yang ditunjukkan oleh Gambar
28, semakin mengalami penurunan nilai tegangannya
pada elemen balok link yang ditampilkan dalam Gambar
4.33. Tegangan maksimum yang diberikan adalah sebesar
185.28 MPa dengan nilai regangannya sebesar 0.0071
pada link tanpa pengaku badan diagonal. Dengan pemberian pengaku badan diagonal menyebabkan reduksi
tegangan yang cukup signifikan yaitu menjadi 120.60
MPa saat tegangan mencapai 0.0035.
Tabel 4. Perbandingan luasan bidang tegangan-regangan
Model Portal EBF-S
MPa
EBF-S
MPa
EBF-I
MPa
Luasan daerah
hysteresis loop 119.11 49.10 30.55
Luasan bidang tegangan-regangan dari setiap model
portal EBF, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4 dapat
menjelaskan pengaruh panjang link serta pemberian
pengaku badan diagonal. Model portal EBF-S memiliki luas bidang tegangan-regangan yang lebih besar dari
model EBF-I dan EBF-L, hal ini menunjukkan bahwa
EBF-S memiliki daktilitas dan kemampuan disipasi
energi yang paling baik.
5. KESIMPULAN
Dari hasil analisis struktur yang telah dilakukan terhadap 3 model struktur EBF-S, EBF-I, dan EBF-L
dengan menggunakan ETABS dan ABAQUS, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Simpangan lateral yang dihasilkan pada model gedung
EBF-S lebih kecil dibandingkan dengan EBF-I dan
EBF-L, hal ini menunjukkan bahwa EBF-S
mempunyai kekakuan struktur yang lebih kuat
dibandingkan dengan struktur EBF-I dan EBF-L.
2) Model struktur tipe EBF-S memiliki gaya geser dasar
ultimate yang lebih besar dibandingkan model EBF-I
dan EBF-L, sehingga lebih bias menyerap energi disipasi akibat beban gempa.
3) Dari hasil pemodelan dengan ABAQUS dapat
diketahui bahwa pada model EBF-S kelelehan terjadi
pada seluruh badan link karena geser, sedangkan pada
model EBF-I kelelehan terjadi pada sebagian badan
link dan tepi link karena geser dan lentur, sedangkan
pada EBF-L kelelehan hanya terjadi pada tepi link
karena lentur.
4) Besaran simpangan arah lateral pada ujung portal yang dihasilkan ETABS dan ABAQUS. Pada titik
pengamatan tersebut menunjukkan perbedaan nilai
yang terjadi tidak terlalu jauh berbeda, yaitu kurang
dari 5%, sehingga hasil analisis ABAQUS telah sesuai
pemodelan ETABS.
5) Model portal EBF-S memiliki luas bidang tegangan-
regangan yang lebih besar dari model EBF-I dan EBF-
L, hal ini menunjukkan bahwa EBF-S memiliki
daktilitas dan kemampuan disipasi energi yang paling
baik.
6. DAFTAR PUSTAKA American Institute of Steel Construction, (2005), Seismic
Provision for Structural Steel Buildings. AISC, Inc.
ANSI/AISC, 341-10. (2010), Seismic Provisions for
Structural Steel Buildings. American Institute of Steel
Construction, Chicago, Illinois.
ANSI/AISC, 360-10. (2010), Specification for Structural
Steel Buildings. American Institute of Steel
Construction, Chicago, Illinois.
Badan Standarisasi Nasional. (2012), Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan
Gedung (SNI 1726:2012), Bandung. Badan Standarisasi Nasional (2015), Spesifikasi untuk
Bangunan Baja Struktural (SNI 1729:2015), Bandung.
Bruneau, Michel, Chia-Ming Uang, dan Rafael Sabbelli.
(2011), Ductile Design of Steel Structures – Second
Edition. McGraw-Hill Companies, Inc., United States
of America.
Daneshmand, Ardeshir, dan Behrokh H. Hashemi (2011),
Performance of Intermediate and Long Links in
Eccentrically Braced Frames. Journal of
Constructional Steel Research, Vol. 70 No. 11, hal.
167-176.
Dewabroto, Wiryanto (2015), Stuktur Baja – Perilaku, Analisis & Desain – AISC 2010. Lumina Press,
Jakarta.
Engelhardt, Michael D. (2007), Design of Seismic-
Resistant Steel Building Structures. AISC Module for
Teaching the Principles of Seismic- Resistant Design
of Steel Building Structures, American Institute of
Steel Construction, Chicago, Illinois.
FEMA, 356. (2000), “Prestandard and Commentary for
the Seismic Rehabilitation of Buildings”. American
Society of Civil Engineers, Washington, D.C.
Popov. Egor P., Kazuhiko Kasai, dan Michael D. Engelhardt. (1987), “Advances in Design of
Eccentrically Braced Frames”. Bulletin of the New
Zealand National Society for Earthquake Engineering,
Vol. 20 No. 1.
Richards, Paul W., dan Chia-Ming Uang (2005), Effect of
Flange Width- Thickness Ratio on Eccentrically
Braced Frames Link Cyclic Rotation Capacity.
Journal of Structural Engineering, Vol. 131 No. 10,
hal. 1546-1552.