88
J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014) * Penulis untuk korespondensi. e-mail: bambangpurwoko@gmail. com Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur-galur Padi Gogo Tipe Baru Hasil Kultur Antera Yield Potential and Stability, and Adaptability of New Plant Type of Upland Rice Lines Developed through Anther Culture Purbokurniawan 1 , Bambang Sapta Purwoko 2 *, Desta Wirnas 2 , dan Iswari Saraswati Dewi 3 1 Program Studi Agroteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Negeri Papua Jl. Gunung Salju, Amban, Manokwari 8312, Papua Barat, Indonesia 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia 3 Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik, Jl. Tentara Pelajar No.3A, Cimanggu, Bogor, Indonesia Diterima 22 Maret 2013/Disetujui 17 Juni 2013 ABSTRACT The objectives of the research were to obtain information on yield potential, adaptability and stability of the upland rice lines. Ten lines and two cultivars were planted at five different locations in November 2010-March 2011. In each location, the experimental design was randomized complete block design with four replications. Observation was done on grains weight per hectar. The results showed that FM1R-1-3-1 achieved the highest productivity (5.65 ton ha -1 ). Genotype FG1R- 36-1-1 was classified as stable genotype by four yield stability analysis as followed: Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell and AMMI. Genotypes FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 and FG1R-30-1-3 were classified as stable genotypes by three yield stability analysis: Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell and AMMI. AMMI analysis showed that FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit and Towuti as specific genotypes in certain environment. Keywords: dynamic, new plant type, specific, static, yield ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur- galur padi gogo tipe baru. Sepuluh galur dan dua varietas padi gogo ditanam di lima lokasi yang berbeda pada bulan November 2010-Maret 2011. Rancangan percobaan di setiap lokasi menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap bobot gabah per hektar. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas gabah FM1R-1-3-1 tertinggi sebesar 5.65 ton ha -1 . Genotipe FG1R-36-1-1 dinyatakan stabil oleh empat analisis stabilitas hasil yaitu Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Genotipe FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R- 30-1-4 dan FG1R-30-1-3 dinyatakan stabil oleh tiga analisis stabilitas hasil yaitu Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Analisis AMMI menunjukkan bahwa genotipe FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti sebagai genotipe spesifik pada lingkungan tertentu. Kata kunci: dinamis, hasil, padi tipe baru, spesifik, statis PENDAHULUAN Penelitian dan perakitan padi gogo di Indonesia antara lain diarahkan untuk menghasilkan varietas padi gogo tipe baru. Perakitan padi gogo tipe baru memerlukan sifat-sifat yang dimodifikasi dari padi sawah tipe baru. Percepatan pembentukan galur murni padi gogo tipe baru dengan sifat- sifat yang diharapkan dari induknya dapat dilakukan dengan mengunakan metode kultur antera (Dewi dan Purwoko, 2012). Sejumlah galur dihaploid padi gogo tipe baru telah dihasilkan dengan menggunakan metode kultur antera pada hasil persilangan antara Fatmawati dan BP360E-MR-7-2 dengan Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat (Safitri et al., 2010). Tanaman dengan kemampuan beradaptasi luas memiliki daya hasil yang stabil (De Vita et al., 2010). Hal ini menunjukkan tanaman itu memiliki daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda (Rasyad dan Idwar, 2010). Suatu genotipe yang memiliki daya adaptasi dengan produktivitas yang sama pada berbagai lingkungan

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta...... �

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur-galur Padi Gogo Tipe Baru Hasil Kultur Antera

Yield Potential and Stability, and Adaptability of New Plant Type of Upland Rice Lines Developed through Anther Culture

Purbokurniawan1, Bambang Sapta Purwoko2*, Desta Wirnas2, dan Iswari Saraswati Dewi3

1Program Studi Agroteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Negeri PapuaJl. Gunung Salju, Amban, Manokwari �8312, Papua Barat, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

3Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik, Jl. Tentara Pelajar No.3A, Cimanggu, Bogor, Indonesia

Diterima 22 Maret 2013/Disetujui 17 Juni 2013

ABSTRACT

The objectives of the research were to obtain information on yield potential, adaptability and stability of the upland rice lines. Ten lines and two cultivars were planted at five different locations in November 2010-March 2011. In each location, the experimental design was randomized complete block design with four replications. Observation was done on grains weight per hectar. The results showed that FM1R-1-3-1 achieved the highest productivity (5.65 ton ha-1). Genotype FG1R-36-1-1 was classified as stable genotype by four yield stability analysis as followed: Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell and AMMI. Genotypes FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 and FG1R-30-1-3 were classified as stable genotypes by three yield stability analysis: Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell and AMMI. AMMI analysis showed that FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit and Towuti as specific genotypes in certain environment.

Keywords: dynamic, new plant type, specific, static, yield

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-galur padi gogo tipe baru. Sepuluh galur dan dua varietas padi gogo ditanam di lima lokasi yang berbeda pada bulan November 2010-Maret 2011. Rancangan percobaan di setiap lokasi menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap bobot gabah per hektar. Hasil penelitian menunjukkan produktivitas gabah FM1R-1-3-1 tertinggi sebesar 5.65 ton ha-1. Genotipe FG1R-36-1-1 dinyatakan stabil oleh empat analisis stabilitas hasil yaitu Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Genotipe FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 dan FG1R-30-1-3 dinyatakan stabil oleh tiga analisis stabilitas hasil yaitu Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Analisis AMMI menunjukkan bahwa genotipe FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti sebagai genotipe spesifik pada lingkungan tertentu.

Kata kunci: dinamis, hasil, padi tipe baru, spesifik, statis

PENDAHULUAN

Penelitian dan perakitan padi gogo di Indonesia antara lain diarahkan untuk menghasilkan varietas padi gogo tipe baru. Perakitan padi gogo tipe baru memerlukan sifat-sifat yang dimodifikasi dari padi sawah tipe baru. Percepatan pembentukan galur murni padi gogo tipe baru dengan sifat-sifat yang diharapkan dari induknya dapat dilakukan dengan

mengunakan metode kultur antera (Dewi dan Purwoko, 2012). Sejumlah galur dihaploid padi gogo tipe baru telah dihasilkan dengan menggunakan metode kultur antera pada hasil persilangan antara Fatmawati dan BP360E-MR-7�-2 dengan Fulan Telo Gawa dan Fulan Telo Mihat (Safitri et al., 2010).

Tanaman dengan kemampuan beradaptasi luas memiliki daya hasil yang stabil (De Vita et al., 2010). Hal ini menunjukkan tanaman itu memiliki daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda (Rasyad dan Idwar, 2010). Suatu genotipe yang memiliki daya adaptasi dengan produktivitas yang sama pada berbagai lingkungan

Page 2: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Purbokurniawan, Bambang Sapta Purwoko, Desta Wirnas, dan Iswari Saraswati Dewi10

tumbuh menunjukkan stabilitas statis, sedangkan daya adaptasi yang mengikuti indeks lingkungan menunjukkan stabilitas dinamis (Mohammadi et al., 2010).

Stabilitas statis dan dinamis dapat dilakukan dengan beberapa analisis stabilitas hasil. Estimasi stabilitas statis dapat diketahui dengan menggunakan analisis Francis dan Kannenberg dan analisis Finlay dan Wilkinson dengan nilai koefisien regresi (bi) = 0. Stabilitas dinamis dapat diketahui dengan menggunakan analisis Plaisted, Wricke, Shukla, Finlay dan Wilkinson dengan nilai koefisien regresi (bi) = 1, Perkins dan Jinks, serta Eberhart dan Russell (Becker dan Leon, 1�88).

Informasi kemampuan adaptasi, potensi dan stabilitas hasil dari calon varietas merupakan salah satu syarat dalam pelepasan suatu varietas di Indonesia (Syukur et al., 2012). Kemampuan adaptif dan stabilitas suatu genotipe dapat diketahui melalui uji multilokasi (Hadi dan Sa’diyah, 2004). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptabilitas dan stabilitas galur-galur harapan padi gogo tipe baru hasil kultur antera.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai Maret 2011. Tempat penelitian dilaksanakan di lima lokasi yaitu Sukabumi (Jawa Barat), Purworejo (Jawa Tengah), Wonosari (Daerah Istimewa Yogyakarta), serta Natar dan Taman Bogo (Lampung). Genotipe padi gogo yang digunakan adalah sepuluh galur harapan padi gogo tipe baru yaitu FG1-70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4, FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-3, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1; dan dua varietas pembanding yaitu Situ Bagendit dan Towuti. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak teracak dua faktor dengan empat ulangan tersarang dalam lokasi.

Petak percobaan dibuat berukuran 4 m x 5 m. Setelah petak percobaan siap kemudian dilakukan pemberian pupuk kandang sebanyak 20 kg petak-1 dengan cara disebar dan dicampurkan dengan tanah. Penanaman dilakukan seminggu setelah pemberian pupuk kandang dengan jarak tanam 30 cm x 15 cm, sehingga terdapat 42� lubang tanam dalam setiap petak dan pada setiap lubang diisi 3-5 butir padi. Seminggu setelah penanaman benih diberikan: 400 g Urea petak-1, 200 g SP-36 petak-1 dan 200 g KCl petak-1 dengan cara membuat larikan 5 cm dari tanaman. Penjarangan dilakukan pada 2 minggu setelah tanam dengan menyisakan minimal 2 tanaman. Pemanenan tanaman dilakukan dengan menggunakan kriteria masak fisiologis yang ditandai oleh malai berwarna kekuningan hingga mencapai 80% dalam satu petak. Selanjutnya gabah dikeringkan sampai mencapai kadar air ± 14%.

Bobot gabah per hektar berasal dari hasil konversi bobot gabah per petak. Data bobot gabah per hektar dianalisis dengan uji kenormalan, uji kehomogenan ragam dan analisis gabungan. Jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Gomez dan Gomez, 2007).

1. Francis dan Kannenberg (1�78):

CV𝑖𝑖 = S𝑖𝑖

2

Y 𝑖𝑖 . 𝑥𝑥 100% ; S𝑖𝑖2 = Y 𝑖𝑖𝑗𝑗 − Y .𝑗𝑗

2𝑖𝑖

𝑞𝑞−1

b𝑖𝑖 = (Y 𝑖𝑖𝑗𝑗𝑗𝑗 − Y 𝑖𝑖 .)(Y .𝑗𝑗 − Y )

(Y .𝑗𝑗 − Y )2𝑗𝑗

b𝑖𝑖 = Y𝑖𝑖𝑗𝑗 I𝑗𝑗𝑗𝑗 I𝑗𝑗2𝑗𝑗

; Sdi 2 = δ ij

2j

j-2- Se

2

r

Yger = µ+ g+βe+ 𝜆𝜆𝑗𝑗 𝜑𝜑𝑔𝑔𝑛𝑛𝜌𝜌𝑒𝑒𝑛𝑛 + 𝛿𝛿𝑔𝑔𝑒𝑒+εger

CVi = koefisien keragaman= ragam lingkungan= rataan pada genotipe ke-i dan lingkungan ke-j= rataan lingkungan ke-j untuk seluruh genotipe= rataan genotipe ke-i pada seluruh lingkungan

ke-jq = banyaknya lingkungan ke-ibi = koefisien regresi

= rata-rata seluruh indeks lingkunganYij = rataan hasil dari genotipe ke-i di lingkungan ke-

jIj = indeks lingkungan yaitu rata-rata semua varietas

pada lingkungan ke-j dikurangi rata-rata seluruh percobaan

= simpangan dari regresi= simpangan gabungan= galat pada anova gabungan

Yger = nilai pengamatan genotipe ke-g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r

µ = rataan umumg = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe

ke-gβe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan

ke-e= nilai singular untuk komponen bilinear ke-n= pengaruh ganda genotipe ke-g melalui

komponen bilinear ke-n= pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen

bilinear ke-n= simpangan dari pemodelan linear

εger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r

S𝑖𝑖2 Y 𝑖𝑖𝑗𝑗 Y .𝑗𝑗

Y 𝑖𝑖 .

Y

δ ij2

j

S𝑒𝑒2

𝜆𝜆𝑗𝑗

𝜑𝜑𝑔𝑔𝑛𝑛

𝜌𝜌𝑒𝑒𝑛𝑛

𝛿𝛿𝑔𝑔𝑒𝑒

Sdi 2

2. Finlay dan Wilkinson (1�63):

3. Eberhart dan Russell (1�66):

4. AMMI (Mattjik dan Sumertajaya, 2002):

Keterangan simbol:

Estimasi adaptabilitas dan stabilitas hasil berdasarkan empat analisis yaitu:

Page 3: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta...... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam gabungan terhadap hasil per hektar pada galur-galur padi gogo tipe baru menunjukkan bahwa lingkungan, genotipe dan interaksi genotipe x lingkungan berpengaruh sangat nyata. Faktor lingkungan, genotipe serta interaksinya berkontribusi terhadap keragaman hasil masing-masing sebesar 20.22%, 3�.43% dan 12.52% (Tabel 1). Dengan demikian tingkat daya hasil suatu tanaman sangat tergantung pada kondisi lingkungan tempat genotipe tersebut ditanam dan jenis genotipe yang ditanam (Sujiprihati et al., 2006).

Interaksi genotipe x lingkungan disebabkan adanya perubahan respon dari setiap genotipe yang diuji pada setiap lingkungan (Mut et al., 2010). Gambar 1 menunjukkan jenis interaksi kualitatif dari galur-galur padi gogo yang diuji. Interaksi kualitatif sebagai suatu interaksi genotipe x lingkungan ditunjukkan oleh adanya perubahan ranking suatu genotipe pada setiap lokasi uji (Baye et al., 2011). Menurut Asad et al. (200�), saat interaksi genotipe dan lingkungan bersifat kualitatif (crossover interaction),

pemulia harus memilih satu genotipe untuk lingkungan tertentu dan genotipe lain untuk lingkungan yang berbeda. Kondisi ini akan menimbulkan kesulitan dalam memilih genotipe yang stabil sehingga perlu dilakukan analisis stabilitas. Analisis stabilitas dilakukan untuk mengurai pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan secara efektif serta dapat memilah genotipe-genotipe yang stabil dan spesifik (Farshadfar et al., 2012).

Rata-rata hasil gabah per hektar pada penelitian ini berkisar antara 1.67-7.61 ton (Tabel 2). Genotipe FM1R-1-3-1 menunjukkan rata-rata hasil per hektar tertinggi pada lokasi Purworejo dan Wonosari masing-masing 7.61 dan 5.76 ton (Tabel 2). Pada lokasi Taman Bogo, Sukabumi dan Natar menunjukkan genotipe FM1R-1-3-1 dan Fat-4-1-1 memiliki rata-rata hasil per hektar lebih tinggi dari galur-galur padi gogo tipe baru hasil kultur antera lainnya. Hasil kedua galur pada lokasi tersebut tidak berbeda secara statistik dengan varietas Situ Bagendit dan Towuti sebagai genotipe pembandingnya. Rata-rata hasil tertinggi secara umum ditunjukkan oleh genotipe FM1R-1-3-1 sebesar 5.65 ton ha-1 (Tabel 2).

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-Hitung Kontribusi terhadap keragaman (%)

Ulangan/ Lingkungan 15 50.00 3.33 4.�6** 8.65Lingkungan (L) 4 116.84 2�.21 43.4�** 20.22Genotipe (G) 11 227.7� 20.71 30.83** 3�.43Interaksi G x L 44 72.31 1.64 2.45** 12.52Galat 165 110.83 0.67Total 23� 577.77

Tabel 1. Analisis ragam gabungan untuk hasil gabah dari 12 genotipe padi gogo pada 5 lokasi uji

Keterangan: ** berpengaruh sangat nyata pada taraf peluang <0.01

Gambar 1. Pola ranking hasil gabah dari 12 genotipe padi gogo pada 5 lingkungan

Page 4: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Purbokurniawan, Bambang Sapta Purwoko, Desta Wirnas, dan Iswari Saraswati Dewi12

Analisis Francis dan Kannenberg

Semakin kecil nilai koefisien keragaman (CVi) dan nilai ragam lingkungan ( ) suatu genotipe maka semakin tinggi tingkat kestabilannya (Francis dan Kannenberg, 1�78). Genotipe FG1R-36-1-1 menunjukkan nilai koefisien

keragaman yaitu 1�.54% dan nilai ragam lingkungan yaitu 0.46 (Tabel 3). Genotipe FG1R-36-1-1 dinyatakan sebagai genotipe yang stabil karena kedua nilai tersebut mendekati nilai 0. Kestabilan suatu genotipe yang didasarkan pada nilai koefisien keragaman dan nilai ragam lingkungan tergolong pada genotipe yang memiliki kestabilan statis (Becker dan Leon, 1�88).

GenotipeLokasi

RataanSukabumi Purworejo Wonosari Natar Taman Bogo

......................................................Hasil gabah (ton ha-1).................................................FG1-70-2-1 2.87cd 3.70b 2.�0bc 1.67e 4.04cd 3.04bFG1R-36-1-1 3.21c 3.74b 3.38bc 2.4�d 4.52c 3.47bFG1R-30-1-5 2.75cd 4.05b 2.4�bc 2.8�bcd 4.06cd 3.25bFG1R-30-1-4 2.32d 3.77b 3.02bc 2.57d 4.32c 3.20bFG1-6-1-2 3.30c 3.34b 3.0�bc 3.42abc 3.22d 3.27bFG1-65-1-2 2.�6cd 3.32b 2.0�c 3.56ab 4.68bc 3.32bFG1R-30-1-3 2.61cd 3.77b 3.20bc 2.65cd 4.15cd 3.27bFG1R-30-1-1 3.14c 3.7�b 2.30bc 3.00bcd 4.31c 3.31bFM1R-1-3-1 5.44ab 7.61a 5.76a 3.�2a 5.54a 5.65aFat-4-1-1 4.85b 7.38a 4.3�abc 3.26a-d 5.71a 5.12aSitu Bagendit 5.60a 6.64a 3.�7abc 3.66ab 5.�5a 5.17aTowuti 4.�2b 7.16a 4.65ab 4.04a 5.6�a 5.2�aRataan* 3.66B 4.86A 3.44B 3.0�C 4.68A 3.�5KK(%) 11.84 13.�1 1�.08 8.25 13.75

Tabel 2. Rata-rata hasil gabah (ton ha-1) dari 12 genotipe padi gogo pada 5 lokasi uji

Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; *Angka dalam satu baris yang diikuti huruf kapital yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%; KK = koefisien keragaman

Genotipe Rataan hasil(ton ha-1)

CVi(%) bi = 0 bi = 1

FG1-70-2-1 3.04 35.67 1.17 1.08* 1.08tn 0.01tn

FG1R-36-1-1 3.47 1�.54 0.46 0.81* 0.81tn 0.04tn

FG1R-30-1-5 3.25 25.72 0.70 0.8�* 0.8�tn 0.00tn

FG1R-30-1-4 3.20 2�.57 0.8� 0.�1* 0.�1tn 0.0�tn

FG1-6-1-2 3.27 33.41 1.20 -0.01tn -0.01* 0.00tn

FG1-65-1-2 3.32 33.36 1.23 0.63* 0.63tn 0.70**FG1R-30-1-3 3.27 25.67 0.71 0.76* 0.76tn 0.00tn

FG1R-30-1-1 3.31 25.57 0.71 0.82* 0.82tn 0.08tn

FM1R-1-3-1 5.65 37.05 4.3� 1.31* 1.31tn 0.75**Fat-4-1-1 5.12 30.56 2.45 1.86* 1.86* 0.20tn

Situ Bagendit 5.17 2�.2� 2.2� 1.51* 1.51* 0.1�tn

Towuti 5.2� 30.24 2.56 1.43* 1.43* 0.0�tn

Rataan Total 3.�5 1 1

Tabel 3. Rataan hasil, koefisien keragaman, nilai ragam lingkungan, koefisien regresi dan simpangan regresi

S𝑖𝑖2 Sdi

2

Keterangan: CVi = koefisien keragaman; = nilai ragam lingkungan; bi = koefisien regresi (* = berbeda nyata pada uji t (0.05, 44), tn = tidak berbeda nyata pada uji t (0.05, 44); = simpangan regresi (** = berbeda sangat nyata pada <0.01, tn = tidak berbeda nyata pada >0.05)

S𝑖𝑖2

Sdi 2

S𝑖𝑖2

Page 5: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta...... 13

Analisis Finlay dan Wilkinson

Menurut Finlay dan Wilkinson (1�63) suatu genotipe yang memiliki koefisien regresi (bi) = 1 dan rataan hasil lebih tinggi dari rataan total, maka dinyatakan sebagai genotipe yang stabil dengan daya adaptasi tinggi terhadap semua lingkungan. Genotipe FM1R-1-3-1 memiliki nilai bi = 1.31 dan produktivitas gabah 5.65 ton ha-1 (Tabel 3). Hal ini menunjukkan genotipe FM1R-1-3-1 sebagai genotipe yang stabil dengan daya adaptasi tinggi terhadap semua lingkungan. Genotipe dengan koefisien regresi (bi) = 1 dan rataan hasil lebih rendah dari rataan total, maka dinyatakan sebagai genotipe yang stabil dengan daya adaptasi rendah terhadap semua lingkungan. Nilai koefisien regresi FG1-70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-3 dan FG1R-30-1-1 berturut-turut 1.08, 0.81, 0.8�, 0.�1, 0.63, 0.76 dan 0.82 (Tabel 3). Rata-rata hasil masing-masing genotipe berturut-turut 3.04, 3.47, 3.25, 3.20, 3.32, 3.27 dan 3.31 ton ha-1 (Tabel 3). Hal ini menunjukkan ketujuh genotipe tersebut sebagai genotipe yang stabil dengan daya adaptasi rendah terhadap semua lingkungan. Menurut Becker dan Leon (1�88), genotipe dengan nilai koefisien regresi yang tidak berbeda dengan bi = 1 tergolong ke dalam genotipe yang memiliki stabilitas dinamis. Dengan demikian kedelapan genotipe di atas memiliki stabilitas dinamis.

Genotipe FG1-6-1-2 memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0.01 dan rata-rata hasil sebesar 3.27 ton ha-1 (Tabel 3). Suatu genotipe dengan nilai koefisien regresi tidak berbeda dengan bi = 0 tergolong ke dalam genotipe yang memiliki stabilitas statis (Becker dan Leon, 1�88). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe FG1-6-1-2 sebagai genotipe dengan stabilitas statis.

Genotipe Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti memiliki nilai koefisien regresi masing-masing 1.86, 1.51 dan 1.43 dengan rataan hasil berturut-turut 5.12, 5.17 dan 5.2� ton ha-1 (Tabel 3). Ketiga genotipe tersebut dinyatakan sebagai genotipe dengan daya adaptasi khusus di lingkungan optimal yang didasarkan pada analisis Finlay dan Wilkinson (1�63).

Analisis Eberhart dan Russell

Menurut Eberhart dan Russell (1�66) suatu genotipe dinyatakan stabil apabila memiliki nilai koefisien regresi (bi) mendekati 1 dan nilai simpangan regresi ( ) mendekati 0. Kestabilan berdasarkan analisis Eberhart dan Russell tergolong ke dalam genotipe dengan stabilitas dinamis (Becker dan Leon, 1�88). Genotipe FG1-70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4, FG1R-30-1-3 dan FG1R-30-1-1 memiliki nilai koefisien regresi (bi) berturut-turut 1.08, 0.81, 0.8�, 0.�1, 0.76 dan 0.82 (Tabel 3). Nilai simpangan regresi ( ) dari keenam genotipe tersebut yaitu 0.01, 0.04, 0.00, 0.0�, 0.00 dan 0.08 (Tabel 3). Dengan demikian genotipe-genotipe tersebut merupakan genotipe yang memiliki kestabilan dinamis.

Analisis AMMI

Hasil analisis ragam AMMI menunjukkan interaksi antar komponen utama 1 (IAKU1) sangat nyata pada taraf peluang kurang dari 1% yang ditandai dengan tanda ** pada F-hitung (Tabel 4). Menurut Novianti et al. (2010) analisis AMMI dapat dilakukan apabila terdapat interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata. Analisis AMMI dilakukan untuk mengetahui interaksi antara genotipe dan lingkungan serta kestabilan suatu genotipe. Kontribusi keragaman pengaruh interaksi yang mampu diterangkan oleh keempat komponen adalah 65.0�%, 17.33%, 11.17% dan 6.42% (Tabel 4). Berdasarkan nilai kontribusi keragaman tersebut terlihat bahwa IAKU1 dan IAKU2 hasil analisis interaksi antar komponen utama mampu menjelaskan interaksi genotipe x lingkungan sampai 82.42%.

Gambar 2 menjelaskan bahwa genotipe FG1-70-2-1, FG1R-36-1-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 dan FG1R-30-1-3 mendekati titik pusat (koordinat 0.0). Semakin dekat suatu genotipe dengan titik pusat, maka semakin tinggi tingkat kestabilannya (Arsyad dan Nur, 2006). Hal ini menunjukkan kelima genotipe tersebut dikelompokkan sebagai genotipe yang stabil dan beradaptasi luas (adaptasi umum).

Sumber keragaman Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-Hitung Kontribusi terhadap

keragaman G x E (%)Lingkungan (L) 4 116.84 2�.21 8.76**

Ulangan /Lingkungan 15 50.00 3.33 4.�6**

Genotipe (G) 11 227.7� 20.71 30.83**

Interaksi G x L 44 72.31 1.64 2.45**

IAKU1 14 47.07 3.36 5.01** 65.0�IAKU2 12 12.53 1.04 1.55tn 17.33IAKU3 10 8.08 0.81 1.20tn 11.17IAKU4 8 4.64 0.58 0.86tn 6.42

Galat 165 110.82 0.67Total 23� 577.77

Tabel 4. Hasil analisis ragam AMMI untuk hasil gabah padi gogo

Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf < 0.01; tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf > 0.05

S𝑑𝑑𝑖𝑖2

S𝑑𝑑𝑖𝑖2

Page 6: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Purbokurniawan, Bambang Sapta Purwoko, Desta Wirnas, dan Iswari Saraswati Dewi14

Kedekatan titik genotipe dengan garis lingkungan memperlihatkan keeratan hubungan antara genotipe dengan lingkungan yang berarti lingkungan tersebut sangat memberikan dukungan yang baik terhadap genotipe yang ditanam (Ganefianti et al., 200�). Keeratan hubungan antara genotipe dan lingkungan tempat tumbuh ditunjukkan antara genotipe FG1-6-1-2 dengan lokasi Wonosari dan Natar; FG1-65-1-2 dan FG1R-30-1-1 dengan lokasi Taman Bogo; genotipe FM1R-1-3-1 dengan lokasi Purworejo dan Wonosari; genotipe Fat-4-1-1 dan Towuti dengan lokasi Purworejo; dan genotipe Situ Bagendit dengan lokasi Sukabumi (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa genotipe FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti adalah genotipe yang spesifik dan beradaptasi sempit (adaptasi khusus) yang memiliki kemampuan tumbuh dengan baik pada lingkungan tersebut.

Kriteria Stabilitas dari Empat Analisis Stabilitas Hasil

Genotipe FG1R-36-1-1 dinyatakan stabil oleh empat analisis stabilitas hasil yaitu Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI (Tabel 5). Stabil statis berdasarkan analisis stabilitas Francis-Kannenberg dan stabil dinamis berdasarkan ketiga analisis yang lain. Genotipe FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 dan FG1R-30-1-3 dinyatakan stabil oleh tiga analisis stabilitas hasil yaitu Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI (Tabel 5). Analisis stabilitas Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI dinyatakan sebagai analisis stabilitas hasil yang tergolong dalam stabilitas dinamis (Becker dan Leon, 1�88) atau agronomis (Jambormias dan Riry, 2008). Dengan demikian genotipe FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 dan FG1R-30-1-3 dinyatakan sebagai genotipe dengan stabilitas dinamis. Analisis AMMI menunjukkan

Gambar 2. Biplot interaksi IAKU 1 dan IAKU 2 untuk hasil gabah padi gogo

Genotipe Francis-Kannenberg Finlay-Wilkinson Eberhart-Russell AMMIFG1-70-2-1 - SD/DAR Stabil StabilFG1R-36-1-1 Stabil SD/DAR Stabil StabilFG1R-30-1-5 - SD/DAR Stabil StabilFG1R-30-1-4 - SD/DAR Stabil StabilFG1-6-1-2 - SS/DAR - SpesifikFG1-65-1-2 - SD/DAR - SpesifikFG1R-30-1-3 - SD/DAR Stabil StabilFG1R-30-1-1 - SD/DAR Stabil SpesifikFM1R-1-3-1 - SD/DAT - SpesifikFat-4-1-1 - DATO - SpesifikSitu Bagendit - DATO - SpesifikTowuti - DATO - Spesifik

Tabel 5. Kriteria empat analisis stabilitas hasil

Keterangan: SD = stabil dinamis; SS = stabil statis; DAR = daya adaptasi rendah terhadap semua lokasi; DAT = daya adaptasi tinggi terhadap semua lokasi; DATO = daya adaptasi tinggi di lingkungan optimal

Natar

Taman Bogo

Wonosari

Sukabumi Purworejo

Situ Bagendit FG1-65-1-2

FG1R-30-1-1

FG1R-30-1-5 Fat-4-1-1

Towuti

FM1R-1-3-1

FG1-70-2-1

FG1R-30-1-3 FG1R-36-1-1 FG1R-30-1-4

FG1-6-1-2

-2 -1 0 1

Dimension 1 (65.1%)

2

-0.8

-0.6

-0.4

0.0

0.2

-0.2

0.6

0.8

1.0

0.4

0.2

Dim

ensi

on 2

(17.

3%)

Page 7: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Potensi dan Stabilitas Hasil, serta...... 15

bahwa genotipe FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1 dan FM1R-1-3-1 sebagai genotipe spesifik pada lingkungan tertentu. Genotipe FG1-6-1-2 spesifik di lokasi Wonosari dan Natar; FG1-65-1-2 dan FG1R-30-1-1 spesifik di lokasi Taman Bogo; dan genotipe FM1R-1-3-1 spesifik di lokasi Purworejo dan Wonosari.

Genotipe Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti dinyatakan tidak stabil oleh analisis Francis-Kannenberg dan Eberhart-Russell, sedangkan analisis Finlay-Wilkinson menyatakan bahwa ketiga genotipe tersebut tergolong genotipe yang memiliki daya adaptasi di lingkungan optimal (Tabel 5). Analisis AMMI menunjukkan bahwa ketiga genotipe tersebut sebagai genotipe spesifik lingkungan tertentu. Genotipe Fat-4-1-1 dan Towuti spesifik di lokasi Purworejo dan genotipe Situ Bagendit spesifik di lokasi Sukabumi (Gambar 2). Dengan demikian ketiga genotipe tersebut dinyatakan sebagai genotipe yang memiliki daya adaptasi spesifik di lingkungan optimal.

KESIMPULAN

Genotipe FM1R-1-3-1 memberikan produktivitas gabah tertinggi yakni 5.65 ton ha-1, lebih tinggi dibandingkan dengan semua genotipe yang diuji. Genotipe FG1R-36-1-1 dinyatakan stabil oleh empat analisis stabilitas hasil yaitu Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Genotipe FG1-70-2-1, FG1R-30-1-5, FG1R-30-1-4 dan FG1R-30-1-3 dinyatakan stabil oleh tiga analisis stabilitas hasil yaitu Finlay-Wilkinson, Eberhart-Russell dan AMMI. Analisis AMMI menunjukkan bahwa genotipe FG1-6-1-2, FG1-65-1-2, FG1R-30-1-1, FM1R-1-3-1, Fat-4-1-1, Situ Bagendit dan Towuti sebagai genotipe spesifik pada lingkungan tertentu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Dinas Pertanian, Pemerintah Kabupaten Buru atas pembiayaan pelaksanaan penelitian padi gogo kepada penulis korespondensi sebagai ketua.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, D.M., A. Nur. 2006. Analisis AMMI untuk stabilitas hasil galur-galur kedelai di lahan kering masam. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25:78-84.

Asad, M.A., H.R. Bughio, I.A. Odhano, M.A. Arain, M.S. Bughio. 200�. Interactive effect of genotype and environment on the paddy yield in Sinh Province. Pak. J. Bot. 41:1775-177�.

Baye, T.M., T. Abebe, R.A. Wilke. 2011. Genotype-environment interactions and their translational implications. Per. Med. 8:5�-70.

Becker, H.C., J. Leon. 1�88. Stability analysis in plant breeding. Plant Breeding 101:1-23.

De Vita, P., A.M. Mastrangelo, L. Matteu, E. Mazzucotelli, N. Virzi, M. Palumbo, M. Lo Storto, F. Rizza, L. Cattivelli. 2010. Genetic improvement effects on yield stability in durum wheat genotypes grown in Italy. Field Crop. Res. 11�:68-77.

Dewi, I.S., B.S. Purwoko. 2012. Kultur antera untuk percepatan perakitan varietas padi di Indonesia. J. AgroBiogen 8:78-88.

Eberhart, S.A., W.A. Russell. 1�66. Stability characters for comparing varieties. Crop. Sci. 6:36-40.

Farshadfar, E., M.M. Poursiahbidi, M. Jasemi. 2012. Evaluation of phenotypic stability in bread wheat genotypes using GGE-biplot. Intl. J. Agri. Crop. Sci. 4:�04-�10.

Finlay, K.W., G.N. Wilkinson. 1�63. The analysis of adaptation in a plant breeding programme. Aust. J. Agric. Res. 4:742-754.

Francis, T.R., L.W. Kannenberg. 1�78. Yield stability studies in short-season maize. I. a descriptive methods to four grouping genotype. Can. J. Plant. Sci. 58:102�-1034.

Ganefianti, D.W., D. Suryati, Hasannudin. 200�. Analisis stabilitas hasil enam genotipe cabai menggunakan metode additive main effect multiplicative interaction (AMMI). Akta Agrosia 12:147-154.

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke-2. E. Sjamsuddin, J.S. Baharsjah (Penerjemah). UI Press, Jakarta.

Hadi, A.F., H. Sa’diyah. 2004. Model AMMI untuk analisis interaksi genotipe x lokasi. J. Ilmu Dasar 5:33-41.

Jambormias, E., J. Riry. 2008. Aplikasi GGE biplot untuk evaluasi stabilitas dan adaptasi genotipa-genotipa dengan data percobaan lingkungan ganda. J. Budidaya Pertanian 4:84-�3.

Mattjik, A.A., I.M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.

Mohammadi, R., M. Roostaei, Y. Ansari, M. Aghaee, A. Amri. 2010. Relationships of phenotypic stability measures for genotypes of three cereal crops. Can. J. Plant Sci. �0:81�-830.

Mut, Z., A. Gülümser, A. Sirat. 2010. Comparison of stability statistics for yield in barley (Hordeum vulgare L.). Afr. J. Biotechnol. �:1610-1618.

Page 8: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 9 - 16 (2014)

Purbokurniawan, Bambang Sapta Purwoko, Desta Wirnas, dan Iswari Saraswati Dewi16

Novianti, P., A.A. Mattjik, I.M. Sumertajaya. 2010. Pendugaan kestabilan genotipe pada model AMMI menggunakan metode resampling bootstrap. Forum Statistika dan Komputasi 15:28-35.

Rasyad, A., Idwar. 2010. Interaksi genetik x lingkungan dan stabilitas komponen hasil berbagai genotipe kedelai di Provinsi Riau. J. Agron. Indonesia 38:25-2�.

Safitri, H., B.S. Purwoko, D. Wirnas, I.S. Dewi, B. Abdullah. 2010. Daya kultur antera beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru. J. Agron. Indonesia 38:81-87.

Sujiprihati, S., M. Syukur, R. Yunianti. 2006. Analisis stabilitas hasil tujuh populasi jagung manis menggunakan metode additive main effect multiplicative interaction (AMMI). Bul. Agron. 34:�3-�7.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Page 9: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

�Perlakuan Agens Hayati untuk ......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Produksi Benih Padi Sehat

Biological Agent Treatments to Control Bacterial Leaf Blight and to Improve Production of Healthy Rice Seed

Ahmad Zamzami1, Satriyas Ilyas1*, dan Muhammad Machmud2

�Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor �6680, Indonesia

2Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik PertanianJl. Tentara Pelajar No. 3A Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor �6���, Indonesia

Diterima �5 Juli 20�3/Disetujui 2 Oktober 20�3

ABSTRACT

The research objectives were to evaluate biological agent treatments in controlling bacterial leaf blight (BLB) and increasing plant growth and seed production of rice. The experiment was conducted in the greenhouse and field using the same experimental design (randomized block design with two factors) and three replications. The first factor was seed treatments, i.e. negative control, positive control, streptomycin sulphate 0.2%, Pseudomonas diminuta + Bacillus subtilis, matriconditioning + streptomycin sulphate 0.2%, and matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis. Spraying plants (second factor): untreated control, streptomycin sulphate 0.2%, biological agent F112, biological agent F198, and biological agent F57. In the greenhouse, matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis improved seed germination, plant height, and plant dry weight. Spraying plants with biological agent F112 increased plant dry weight. Meanwhile, matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis followed by spraying plants with biological agent F112 reduced the BLB severity. In the field, matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis improved seedling dry weight. Matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis and spraying plants with biological agents F112 controlled BLB and increased plant growth. However, all treatments were not able to increase healthy seed production.

Keywords: matriconditioning, seed treatment, phyllosphere biological agents, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengevaluasi perlakuan agens hayati dalam mengendalikan hawar daun bakteri (HDB), meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi benih padi sehat. Percobaan dilakukan di rumah kaca dan lapangan dengan rancangan yang sama (rancangan kelompok lengkap teracak dua faktor) dan tiga ulangan. Perlakuan benih (faktor pertama): kontrol negatif, kontrol positif, streptomisin sulfat 0.2%, Pseudomonas diminuta + Bacillus subtilis, matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%, dan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis. Penyemprotan tanaman (faktor kedua): kontrol, streptomisin sulfat 0.2%, agens hayati F112, agens hayati F57, dan agens hayati F198. Percobaan di rumah kaca menunjukkan bahwa matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis meningkatkan perkecambahan benih, tinggi tanaman, dan bobot kering tanaman. Penyemprotan tanaman menggunakan agens hayati F112 meningkatkan bobot kering tanaman. Sementara itu, perlakuan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis yang diikuti dengan penyemprotan tanaman dengan agens hayati F112 mengurangi keparahan HDB. Percobaan di lapangan menunjukkan bahwa matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis meningkatkan bobot kering bibit. Perlakuan benih matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis dan penyemprotan tanaman dengan agens hayati F112 dapat mengendalikan HDB dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. Akan tetapi, semua perlakuan yang dilakukan belum dapat meningkatkan produksi benih sehat.

Kata kunci: agens hayati filosfer, matriconditioning, perlakuan benih, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

Page 10: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

2 Ahmad Zamzami, Satriyas Ilyas, dan Muhammad Machmud

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

PENDAHULUAN Salah satu penyakit utama tanaman padi adalah hawar

daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Bakteri Xoo merupakan patogen terbawa benih padi yang dapat menurunkan mutu benih dan produksi padi hingga 50% (Vikal et al., 2007). Bakteri Xoo terdapat pada benih padi dan berkorelasi dengan intensitas penyakit HDB di lapang. Dengan demikian, penyediaan benih bebas Xoo menjadi strategi untuk mengendalikan HDB dan meningkatkan produksi padi.

Produksi benih padi bebas Xoo diharapkan dapat mencegah infeksi Xoo pada tanaman padi. Benih sumber dan permukaan tanaman selama pertumbuhan merupakan fase yang dapat diinfeksi Xoo dan mempengaruhi HDB dan kesehatan benih padi yang dihasilkan. Pada benih sumber, pengendalian Xoo dapat dilakukan dengan matriconditioning + Bacillus subtilis yang meningkatkan pertumbuhan bibit padi dan menurunkan populasi Xoo (Agustiansyah et al., 20�0). Sementara itu, pengendalian HDB pada fase pertumbuhan tanaman padi dapat dilakukan dengan penyemprotan tanaman menggunakan agens hayati Pseudomonas fluorescens (Jeyalakshmi et al., 20�0).

Agustiansyah (20��) telah mendapatkan isolat agens hayati rizosfir yang efektif mengendalikan Xoo pada benih. Benih padi yang diberi perlakuan agens hayati menunjukkan pertumbuhan yang baik pada fase bibit dan tidak menunjukkan gejala HDB. Namun, memasuki fase selanjutnya terjadi serangan HDB sehingga tanaman menghasilkan benih yang terinfeksi Xoo. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi Xoo terjadi pada fase pertumbuhan sampai panen. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perlakuan agens hayati (perlakuan benih dan penyemprotan tanaman) dalam mengendalikan hawar daun bakteri (HDB), meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi benih padi sehat.

BAHAN DAN METODE

Sumber Benih Padi Benih padi IR64 yang digunakan adalah benih

penjenis dari Balai Penelitian Padi Muara, Bogor. Benih telah disimpan 8 bulan (suhu �6 oC). Benih padi mempunyai daya berkecambah 97%. Sebelum digunakan benih padi diinokulasi dengan patogen Xoo menggunakan metode Agustiansyah et al. (20�0).

Sumber Isolat Xoo, Rizobakteri, dan Bakteri Filosfir Isolat Xoo diisolasi dari daun padi bergejala HDB.

Sementara itu, rizobakteri yang digunakan merupakan koleksi Agustiansyah et al. (20�0) yaitu P. diminuta dan B. subtilis 5B. Bakteri filosfir diisolasi dari daun padi yang diambil dari pertanaman padi di Darmaga, Bogor. Uji daya hambat bakteri filosfir terhadap Xoo menunjukkan bahwa isolat F��2, F�98, dan F57 memiliki antagonisme tinggi.

Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Padi di Rumah Kaca

Percobaan dilakukan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, IPB, Bogor pada Maret sampai dengan Mei 20�3. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah perlakuan benih yang terdiri atas kontrol negatif (benih bebas Xoo), kontrol positif (benih diinokulasi Xoo), streptomisin sulfat 0.2%, P. diminuta + B. subtilis, matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%, matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis. Faktor kedua adalah penyemprotan tanaman padi yang terdiri atas tanaman tidak disemprot (kontrol), streptomisin sulfat 0.2%, agens hayati F��2, agens hayati F57, dan agens hayati F�98.

Benih padi disterilisasi permukaan dengan merendamnya selama � menit pada larutan natrium hipoklorit �%. Kontrol negatif adalah benih yang tidak diinokulasi Xoo setelah disterilisasi. Sementara itu, perlakuan lainnya diinokulasi Xoo dengan metode Agustiansyah et al. (20�0). Kontrol positif merupakan benih yang tidak diberi perlakuan setelah inokulasi Xoo. Perlakuan streptomisin sulfat 0.2% dilakukan dengan merendam benih pada larutan streptomisin sulfat 0.2%. Perlakuan P. diminuta + B. subtilis dilakukan dengan merendam benih pada suspensi bakteri tersebut (�08 cfu mL­-�). Perlakuan matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% maupun matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis dilakukan dengan melembabkan benih pada media arang sekam dengan perbandingan antara benih : arang sekam : larutan pelembab (streptomisin sulfat 0.2% maupun P. diminuta + B. subtilis) yaitu � : 0.8 : �.2 (g : g : mL­). Perlakuan matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% dan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis hanya berbeda pada larutan pelembab yang digunakan saat matriconditioning. Inkubasi dilakukan selama 30 jam pada suhu 25 °C kecuali perlakuan bakterisida yang hanya diinkubasi selama 6 jam. Penyemprotan tanaman dilakukan pada 4 dan 5 minggu setelah semai (MSS). Penyemprotan dilakukan pagi hari dengan dosis �-2 mL­ tanaman-�.

Benih padi sebanyak 20 butir benih ember-� ditanam dalam ember plastik yang berisi tanah lumpur. Pemupukan dilakukan setara dengan dosis 200 kg Urea ha-�, 200 kg SP-�8 ha-�dan �00 kg KCl ha-�. Pengairan dilakukan secukupnya agar media tanah tetap macak-macak. Peubah yang diamati adalah daya tumbuh benih (diamati dengan menghitung persentase tumbuh benih pada 2 MSS), bobot kering tanaman (dihitung dari tiga tanaman pada 8 MSS, yang dioven pada suhu 80 °C selama 24 jam), tinggi tanaman (diukur pada tiga tanaman per perlakuan pada 8 MSS) dan tingkat keparahan HDB (diamati pada 8 MSS berdasarkan persentase luas daun yang terserang) menurut Agustiansyah et al. (20�0). Data dianalisis ragam dengan taraf kepercayaan 95%. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji Duncan multiple range test (DMRT) dengan taraf kepercayaan 95%.

Page 11: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

3Perlakuan Agens Hayati untuk ......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Produksi Benih Padi Sehat di Lapangan

Percobaan dilakukan di sawah di daerah Bubulak, Bogor pada Februari-Mei 20�3. Percobaan menggunakan rancangan dan perlakuan yang sama dengan percobaan di rumah kaca. Benih disemai selama 3 minggu. Setelah 3 MSS, dilakukan pindah tanam ke sawah dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm sebayak 3 bibit per lubang tanam pada petakan ukuran 3 m x 3 m. Penyulaman dilakukan dua minggu setelah tanam (MST). Pemupukan dilakukan menggunakan 5 ton pupuk kandang kambing ha-�, 200 kg Urea ha-�, 200 kg SP-�8 ha-� dan �00 kg KCl ha-�. Penyemprotan tanaman dengan agens hayati dilakukan pada umur 7 dan 9 MST dengan dosis 5�9 L­ ha-� sesuai dengan masing-masing perlakuan. Peubah yang diamati adalah bobot kering bibit, bobot kering brangkasan, produksi benih per rumpun, tingkat keparahan HDB (lima rumpun per petak), dan Xoo terbawa benih (cfu mL­-�; 400 benih per perlakuan). Data dianalisis ragam dengan taraf kepercayaan 95%. Jika terdapat pengaruh perlakuan, maka dilakukan uji DMRT dengan taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Padi di Rumah Kaca

Perlakuan benih memperbaiki daya tumbuh benih. Perlakuan benih dengan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis meningkatkan daya tumbuh benih secara nyata dibanding perlakuan benih lainnya. Matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis menghasilkan daya tumbuh benih 96.9%, sementara kontrol negatif 9�.3% dan kontrol positif 93.6% (Tabel �). Peningkatan daya tumbuh benih pada perlakuan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis disebabkan oleh kombinasi antara agens hayati

dan matriconditioning. Agens hayati yang digunakan menghasilkan hormon IAA (Agustiansyah et al., 20�0) yang meningkatkan perkecambahan. Sementara itu, Hacisalihoglu dan White (2006) melaporkan bahwa matriconditioning merupakan perlakuan yang disarankan untuk meningkatkan performa perkecambahan cabai. Benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis menghasilkan bobot kering tanaman tertinggi yaitu �.9� g (Tabel 2). Hal ini karena agens hayati terus berkembang sehingga memberikan dukungan pertumbuhan yang semakin baik bagi tanaman. Dugaan tersebut juga mendasari perlakuan P. diminuta + B. subtilis yang walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, namun cenderung meningkatkan bobot kering tanaman setelah matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis. Sementara itu, penyemprotan terhadap tanaman menunjukkan pengaruhnya terhadap bobot kering tanaman secara signifikan. Penyemprotan tanaman dengan agens hayati F��2 dan agens hayati F57 meningkatkan bobot kering tanaman dan merupakan perlakuan yang terbaik dibandingkan penyemprotan lainnya, masing-masing sebesar �.78 g dan �.77 g.

Benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis menghasilkan laju pertumbuhan tertinggi dengan menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 76 cm (Tabel 3). Sementara itu, pengaruh penyempotan tanaman masih bersifat kecenderungan. Tanaman yang disemprot dengan agens hayati F�98 menunjukkan kecenderungan yang lebih baik meningkatkan tinggi tanaman dengan tinggi 73.7 cm. Perlakuan agens hayati baik pada perlakuan benih maupun penyemprotan tanaman secara umum menunjukkan daya dukung pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Namun, perlakuan agens hayati membutuhkan waktu untuk memberikan dampak positif bagi tanaman. Hal ini terkait dengan adaptasi dan perkembangan agens hayati itu sendiri. Agens hayati membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan berkembang mencapai populasi yang optimum untuk dapat mengolonisasi tanaman. Hal ini terlihat pada perlakuan benih P. diminuta + B. subtilis, penyemprotan agens hayati F��2 dan F57 yang menunjukkan pengaruh setelah 8 MSS. Sementara itu, matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis yang dari awal pertumbuhan telah secara nyata menunjukkan daya dukung terhadap pertumbuhan disebabkan karena efek kombinasi yang saling menguatkan antara matriconditioning dan agens hayati.

Terdapat interaksi antara perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB. Perlakuan benih matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis atau matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% yang selanjutnya diikuti penyemprotan streptomisin sulfat 0.2% maupun agens hayati F��2 tingkat keparahan HDB terendah dibandingkan dengan lainnya (Tabel 4). Hal ini merupakan efek kombinasi dari pengendalian Xoo terbawa benih yang dikendalikan dengan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis dan matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% dan perkembangan Xoo selanjutnya oleh streptomisin sulfat 0.2% maupun agens hayati F��2. Integrasi plant growth promotion rizobacteria dengan penyemprotan agens hayati

Perlakuan benih Daya tumbuh benih (%)A0 9�.3bcA� 93.6abcA2 90.4cA3 92.2bcA4 94.6abA5 96.9a

Tabel �. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya tumbuh benih padi pada 2 MSS

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%; A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis

Page 12: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

4 Ahmad Zamzami, Satriyas Ilyas, dan Muhammad Machmud

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4.......................................Bobot kering tanaman (g tanaman-�).........................................

A0 �.46 �.47 �.8� �.49 �.3� �.5�bA� �.�8 �.�3 �.32 �.37 �.73 �.35bA2 �.29 �.35 �.78 �.94 �.�3 �.50bA3 �.�5 �.68 �.57 2.09 �.57 �.6�bA4 �.4� �.54 �.6� �.63 �.57 �.55bA5 �.93 �.50 2.59 2.�3 �.39 �.9�aRata-rata �.40b �.44b �.78a �.77a �.45b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris syang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%; A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

Tabel 2. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap bobot kering tanaman padi pada 8 MSS

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4....................................................Tinggi tanaman (cm)....................................................

A0 76.9 72.9 74.3 7�.3 73.4 73.8abcA� 70.8 67.4 70.2 70.9 75.3 70.9cA2 73.4 68.8 73.9 77.3 7�.0 72.9bcA3 70.2 74.8 72.2 69.4 74.3 72.2bcA4 75.8 74.3 72.8 72.8 74.5 74.�abA5 73.8 76.8 77.2 78.4 73.7 76.0aRata-rata 73.5 72.5 73.4 73.4 73.7

Tabel 3. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tinggi tanaman padi pada 8 MSS

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%; A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

Perlakuan benihPenyemprotan tanaman

P0 P� P2 P3 P4.......................................Tingkat keparahan HDB (%).......................................

A0 6.3ABb 5.0Bb 7.0ABa 8.3Aa 7.3ABabA� �0.0Aa 7.6ABab 6.0Ba 9.3Aa �0.0AaA2 3.6Bb 4.0Bb 5.0ABab 7.0ABab 7.6AabA3 9.0Aa 8.3ABa 7.3ABa 7.0ABab 5.6BbA4 6.6Ab 2.6Bb 2.0Bb 4.6ABb 6.6AbA5 8.6Aab 2.0Bb �.3Bb 4.0Bb 4.0Bb

Tabel 4. Pengaruh interaksi antara perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB pada padi pada 8 MSS

Keterangan: Angka dalam satu kolom atau baris yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%; A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

Page 13: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

5Perlakuan Agens Hayati untuk ......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

lebih efektif untuk mengendalikan bercak bakteri tomat daripada aplikasi secara tunggal (Ji et al., 2006). Menurut Mishra et al. (20�3), aplikasi campuran agens hayati fungi dan bakteri yang kompatibel memiliki keunggulan variasi mekanisme pengendalian patogen yang handal dan berpotensi menekan penyakit.

Perlakuan Agens Hayati untuk Mengendalikan Hawar Daun Bakteri dan Meningkatkan Produksi Benih Padi Sehat di Lapangan

Benih padi yang diberi perlakuan matriconditioning

dengan bahan pelembab larutan streptomisin sulfat 0.2% maupun suspensi P. diminuta + B. subtilis meningkatkan bobot kering bibit. Kedua perlakuan tersebut menghasilkan bobot kering bibit masing-masing 0.22 g dan 0.2� g (Tabel 5) dan merupakan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hasil ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan bobot kering bibit 2 MSS pada percobaan di rumah kaca dimana matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% dan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis juga mampu menghasilkan bobot kering bibit tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel �). Matriconditioning mempercepat laju perkecambahan (Ilyas, 2006) sehingga pertumbuhan lebih cepat. Penambahan agens hayati pada matriconditioning menambah efektivitas perlakuan benih dalam memacu pertumbuhan karena menghasilkan hormon tumbuh tanaman. Yarnia dan Tabrizi (20�2) melaporkan aplikasi hormon tumbuh tanaman dapat memacu perkecambahan dan pertumbuhan bibit bawang.

Bobot kering brangkasan yang dihasilkan oleh semua perlakuan benih, penyemprotan tanaman, dan interaksinya tidak berbeda (Tabel 6). Perlakuan benih matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% dan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis yang pada fase bibit menghasilkan bobot kering terbaik, tidak berpengaruh lagi pada bobot kering brangkasan dan tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh faktor lain yang menghilangkan pengaruh

perlakuan benih di awal pertumbuhan. Data menunjukkan kecenderungan penyemprotan tanaman dengan agens hayati F��2 menghasilkan bobot kering brangkasan tertinggi yaitu 56.5 g. Data percobaan di rumah kaca yang menunjukkan bahwa penyemprotan tanaman padi dengan agens hayati F��2 meningkatkan bobot kering tanaman pada 8 MSS memperkuat kecenderungan ini walaupun pada fase pertumbuhan yang lebih awal. Santosa et al. (2003) melaporkan bahwa bakteri filosfer dapat meningkatkan bobot kering tanaman padi varietas IR64.

Pengamatan produksi benih menunjukkan perlakuan benih, penyemprotan tanaman, dan interaksinya tidak berpengaruh. Hal ini diduga karena adanya pengaruh faktor lain seperti serangan HDB yang menyebabkan fase selanjutnya tidak terjadi pemacuan pertumbuhan. Epidemi HDB yang terjadi sebelum inisiasi malai secara nyata menurunkan hasil panen, fertilitas malai, dan bobot gabah (Reddy et al.,�979). Namun, kecenderungan data menunjukkan bahwa benih yang diberi perlakuan matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2% menghasilkan produksi benih tertinggi yaitu 36� g m-2 (Tabel 7). Sementara itu, tanaman yang disemprot dengan agens hayati F��2 cenderung menghasilkan produktivitas benih tertinggi daripada perlakuan lainnya yaitu 337 g m-2. Moubark dan Abdel-monaim (20��) melaporkan bahwa perlakuan benih dan tanah dengan B. subtilis dan B. megaterium meningkatkan produksi benih gandum.

Tingkat keparahan HDB cukup tinggi dan semua perlakuan tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa serangan Xoo dari lapangan sangat tinggi dan belum mampu dikendalikan oleh perlakuan yang diberikan. Selain itu, banyaknya sumber inokulum Xoo di lapangan menjadi faktor penting yang menyebabkan Xoo mampu menginfeksi tanaman sampai panen. Saluran irigasi pada lahan sawah yang terinfeksi akan menjadi media penyebaran patogen ke lahan sawah yang lain (Suparyono et al., 2003). Selain itu, pemupukan N juga dapat memicu tingginya keparahan HDB yang terjadi. Pemupukan N mampu meningkatkan tingkat keparahan HDB pada tanaman padi (Myint et al., 2007). Namun demikian, kecenderungan data menunjukkan bahwa tanaman yang disemprot dengan agens hayati F��2 dan streptomisin sulfat 0.2% memiliki tingkat keparahan HDB yang lebih rendah yaitu 28.8% (Tabel 8).

Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman yang belum terlihat mengindikasikan bahwa streptomisin sulfat maupun P. diminuta + B. subtilis belum mampu menekan populasi patogen Xoo yang tinggi di lapangan. Hal ini disebabkan faktor kompetisi P. diminuta + B. subtilis dengan mikroorganisme indegenous. Kondisi ini kemungkinan dapat diatasi dengan peningkatan frekuensi aplikasi agens hayati di lapangan tersebut. Pada kondisi lapangan yang tidak sehat, pengendalian patogen baik secara hayati maupun kimiawi harus diintegrasikan dengan kultur teknis dan tanaman yang tahan terhadap penyakit (Pal dan Gardener, 2006). Perlakuan benih dan penyemprotan tanaman yang tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan hawar daun bakteri ternyata juga terlihat pada benih yang dihasilkan tanaman padi tersebut dimana semua perlakuan

Perlakuan Bobot kering bibit (g)A0 0.�4bA� 0.�2bA2 0.�4bA3 0.�5bA4 0.22aA5 0.2�a

Tabel 5. Pengaruh perlakuan benih terhadap bobot kering bibit padi 3 MSS

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 5%; A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis

Page 14: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

6 Ahmad Zamzami, Satriyas Ilyas, dan Muhammad Machmud

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4........................................Bobot kering brangkasan (g rumpun-�)........................................

A0 38.8 75.6 44.� 54.8 55.3 53.7A� 55.2 46.3 52.6 47.3 43.9 49.�A2 47.6 53.0 60.0 57.3 50.3 53.6A3 65.0 5�.2 56.7 64.3 50.9 57.6A4 5�.5 54.8 67.8 5�.0 52.8 55.6A5 47.4 47.6 57.9 6�.4 63.6 55.6Rata-rata 50.9 54.7 56.5 56.0 52.8

Tabel 6. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap bobot kering brangkasan padi

Keterangan: A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4....................................................Produksi benih (g m-2)....................................................

A0 3�9 253 272 284 380 302A� �9� 267 282 234 266 248A2 244 350 46� 347 340 348A3 293 340 454 299 276 332A4 354 367 3�6 4�8 35� 36�A5 307 292 237 328 330 299Rata-rata 285 3�2 337 3�8 324

Tabel 7. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap produksi benih padi

Keterangan: A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta A6 + B. subtilis 5B; A4 = matriconditioning + bakterisida streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta A6 + B. subtilis 5B; P0 = kontrol; P1 = bakterisida streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F�98

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4...............................................Tingkat keparahan HDB (%)...............................................

A0 29.7 29.3 28.7 29.3 29.3 29.3A� 30.0 29.7 29.3 30.3 29.7 29.8A2 30.0 29.3 29.0 29.3 29.7 29.5A3 28.3 28.3 28.7 29.7 29.0 28.8A4 29.0 28.3 28.3 28.7 28.7 28.6A5 29.3 28.0 28.7 29.0 29.0 28.8Rata-rata 29.4 28.8 28.8 29.4 29.2

Tabel 8. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap tingkat keparahan HDB pada padi pada 8 MST

Keterangan: A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

Page 15: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

7Perlakuan Agens Hayati untuk ......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

yang diberikan tidak menurunkan Xoo terbawa benih (Tabel 9). Hal ini disebabkan tanaman telah terlebih dahulu

terserang hawar daun bakteri sehingga Xoo dapat masuk ke jaringan tanaman dan menginfeksi benih yang dihasilkan.

KESIMPULAN Hasil percobaan di rumah kaca menunjukkan,

matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis meningkatkan daya tumbuh benih dari 93.6% menjadi 96.9%, tinggi tanaman dari 70.9 cm menjadi 76 cm, bobot kering tanaman dari �.35 g menjadi �.9� g. Penyemprotan tanaman padi menggunakan agens hayati F��2 meningkatkan bobot kering tanaman dari �.40 g menjadi �.78 g. Sementara itu, benih yang diberi perlakuan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis diikuti dengan penyemprotan tanaman pada umur 4 dan 5 MSS dengan agens hayati F��2 menurunkan tingkat keparahan HDB pada padi dari �0% (kontrol positif perlakuan benih yang selanjutnya tidak dilakukan penyemprotan tanaman) menjadi �.3%. Sementara itu, di lapangan, perlakuan benih dengan matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis meningkatkan bobot kering bibit dari 0.�2 g menjadi 0.2� g. Semua perlakuan benih dan penyemprotan tanaman dengan agens hayati yang dilakukan pada tanaman padi belum dapat meningkatkan produksi benih sehat karena populasi agens hayati yang diaplikasikan belum optimum.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiansyah, S. Ilyas, Sudarsono, M. Machmud. 20�0. Pengaruh perlakuan benih secara hayati pada benih padi terinfeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae terhadap mutu benih dan pertumbuhan bibit. J. Agron. Indonesia 38:�85-�9�.

Agustiansyah. 20��. Perlakuan benih untuk perbaikan pertumbuhan tanaman, hasil dan mutu benih padi serta pengendalian penyakit hawar daun bakteri dan

Perlakuan benih

Penyemprotan tanamanRata-rata

P0 P� P2 P3 P4..................................Populasi Xoo terbawa benih (x �07 cfu mL­-�)..................................

A0 2.6 �.3 0.8 �.2 �.2 �.4A� 3.3 �.� �.2 �.7 �.9 �.8A2 2.4 2.3 �.2 �.3 �.5 �.8A3 �.6 �.7 �.7 �.8 �.2 �.6A4 �.� �.5 2.0 3.3 �.6 �.9A5 2.� �.� �.4 �.2 �.9 �.5Rata-rata 2.2 �.5 �.4 �.8 �.5

Tabel 9. Pengaruh perlakuan benih dan penyemprotan tanaman terhadap Xoo terbawa benih padi

Keterangan: A0 = kontrol negatif; A1 = kontrol positif; A2 = streptomisin sulfat 0.2%; A3 = isolat P. diminuta + B. subtilis; A4 = matriconditioning + streptomisin sulfat 0.2%; A5 = matriconditioning + P. diminuta + B. subtilis; P0 = kontrol; P1 = streptomisin sulfat 0.2%; P2 = agens hayati F112; P3 = agens hayati F57; P4 = agens hayati F198

pengurangan penggunaan pupuk fosfat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hacisalihoglu, G., J. White. 2006. Optimum matriconditioning treatments for improving pepper seed germination. Proc. Fla. State Hort. Soc. ��9:282-283.

Ilyas, S. 2006. Review: Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul. Agron. 34:�24-�32.

Jeyalakshmi, C., K. Madhiazhagan, C. Rettinassababady. 20�0. Effect of different methods of application of Pseudomonas fluorescens against bacterial leaf blight under direct sown rice. J. Biopesticides 3:487-488.

Ji, P., H.L­. Campbell, J.W. Kloepper, J.B. Jones, T.V. Suslow, M. Wilson. 2006. Integrated biological control of bacterial speck and spot of tomato under field conditions using foliar biological control agents and plant growth-promoting rhizobacteria. Biol. Control 36:358-367.

Mishra, D.S., A. Kumar, C.R. Prajapati, A.K. Singh, S.D. Sharma. 20�3. Identification of compatible bacterial and fungal isolate and their effectiveness against plant disease. J. Environ. Bio. 34:�83-�89.

Moubark, M.Y., M.F. Abdel-monaim. 20��. Effect of bio-control agents on yield, yield components and root rot control in two wheat cultivars at new valley region. Not. Sci. Biol. 3:79-87.

Page 16: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

8 Ahmad Zamzami, Satriyas Ilyas, dan Muhammad Machmud

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 1 - 8 (2014)

Myint, S.S., K.M. Nyunt, H.K. Ko, M.M. Thein. 2007. Study on the effect of different urea fertilizer rates and plant population on the severity of bacterial blight (BB) of rice. J. Agr. Rural Dev. Trop. �08:�6�-�67.

Pal, K.K., B.M. Gardener. 2006. Biological control of plant pathogens. Plant Health Instructor :�-25.

Reddy, A.P.K., D.R. MacKenzie, D.I. Rouse, A.V. Rao. �979. Relationship of bacterial leaf blight severity to grain yield of rice. Phytopathology 69:967-969.

Santosa, D.A., N. Handayani, A. Iswandi. 2003. Isolasi dan seleksi bakteri filosfer pemicu tumbuh dari daun padi (Oryza sativa L­.) varietas IR64. J. Tanah L­ingkungan 5:7-�2.

Suparyono, J.L­., A. Catindig, F.A. dela Pena, I.P. Ona. 2003. Bacterial leaf blight. http://www.knowledgebank.irri.org. [20 April 2009].

Vikal, Y., A. Das, B. Patra, R.K. Goel, J.S. Sidhu, K. Singh. 2007. Identification of new sources of bacterial blight resistence in wild oryza species. Plant Genet. Resour. 5:�08-��2.

Yarnia, M., E.F.M. Tabrizi. 20�2. Effect of seed priming with different concentration of GA3, IAA and kinetin on azarshahr onion germination and seedling growth. J. Basic Appl. Sci. Res. 2:2657-266�.

Page 17: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

Pengaruh Pemupukan terhadap Perubahan..... 17

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Pengaruh Pemupukan terhadap Perubahan Morfofisiologi Dua Varietas Padi pada Kondisi Cekaman Rendaman

The Effect of Fertilization on Morphophysiological Changes of Two Rice Varieties under Submergence Stress

Gribaldi1*, Rujito A. Suwignyo2, Merry Hasmeda2, dan Renih Hayati2

1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas BaturajaJl. Ratu Penghulu No. 02301 Karang Sari Baturaja 32115, Sumatera Selatan, Indonesia

2Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas SriwijayaJl. Raya Indralaya - Prabumulih KM.32 Indralaya, Sumatera Selatan, Indonesia

Diterima 12 Juli 2013/Disetujui 20 November 2013

ABSTRACT

Submergence tolerance is plant adaptation to anaerobic or hypoxia condition without significant damage. Changes in morphophysiological characters of rice plant are often related to the plant adaptation to submergence stress. Fertilization might affect plant morphophysiological changes under submergence stress. The objective of this research was to study the effect of rice varieties and fertilizer application on the growth and morphophysiological changes under submergence stress. The experiment was arranged in factorial completely randomized block design with six replications. The first factor was rice varieties consisted of Inpara 5 (V1) and IR64 (V2), while the second factor was fertilizer application consisted of without fertilization (P0) and with fertilizer application (P1). Submergence stress was applied on 28 days old seedlings for 7 days. The results showed that fertilizer application increased aerenchyma formation and plant N content of both IR64 and Inpara 5 varietes. Inpara 5 variety had higher relative chlorophyll content, relative carbohydrate content, and relative plant dry weight thant IR64 variety at 7 days after submergence stress.

Keywords: fertilization, morphophysiology, submergence stress, tolerance

ABSTRAK

Toleransi rendaman merupakan adaptasi tanaman dalam merespon proses anaerob yang memampukan sel untuk mengatur atau memelihara keutuhannya sehingga tanaman mampu bertahan hidup dalam kondisi hipoksia tanpa kerusakan yang berarti. Adaptasi tanaman terhadap cekaman rendaman pada tanaman padi dapat terlihat pada perubahan morfofisologi tanaman. Pemberian pemupukan dapat berpengaruh terhadap perubahan morfofisiologi tanaman, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman terendam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh varietas padi dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan perubahan morfofisiologi tanaman pada kondisi cekaman rendaman. Penelitian disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak faktorial dengan enam ulangan. Faktor pertama adalah varietas padi yang terdiri atas Inpara 5 (V1) dan IR64 (V2). Faktor kedua adalah pemupukan yang terdiri atas tanpa pemupukan (P0) dan pemupukan (P1). Perendaman dilakukan pada bibit 28 hari setelah semai selama 7 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pemupukan pada kondisi cekaman rendaman dapat meningkatkan pembentukan aerenkima dan kandungan N tanaman, baik pada varietas Inpara 5 maupun varietas IR64. Varietas Inpara 5 memiliki kandungan klorofil relatif, kandungan karbohidrat relatif, dan bobot kering relatif yang lebih tinggi dibandingkan varietas IR64 pada 7 hari setelah cekaman rendaman.

Kata kunci: cekaman rendaman, morfofisiologi, pemupukan, toleransi

PENDAHULUAN

Perubahan iklim global memberikan pengaruh terhadap sistem pertanian. Sistem budidaya padi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air, terutama pada daerah-daerah yang

muka air tanahnya sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka air sungai, pasang surutnya air laut, dan curah hujan. Daerah sentra produksi padi yang kebanyakan berada pada lokasi dataran rendah sangat rentan terhadap peluang terjadinya banjir (Aydinalp dan Cresser, 2008).

Cekaman rendaman mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi aerobik ke anaerobik dan sebaliknya dari anaerobik ke aerobik setelah air berkurang. Ketersediaan

Page 18: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

18 Gribaldi, Rujito A. Suwignyo, Merry Hasmeda, dan Renih Hayati

karbohidrat merupakan faktor kunci untuk adaptasi dari kondisi aerobik ke anaerobik. Menurut Kawano et al. (2008), efisiensi penggunaan karbohidrat selama kondisi terendam juga penting untuk adaptasi pada lingkungan anaerob. Sarkar et al. (2006) melaporkan bahwa toleransi rendaman merupakan adaptasi tanaman dalam merespon proses anaerob yang memampukan sel untuk mengatur atau memelihara keutuhannya sehingga tanaman mampu bertahan hidup dalam kondisi sedikit oksigen (hipoksia) tanpa kerusakan yang berarti. Sebuah evaluasi terhadap padi yang toleran dan tidak toleran pasca diberi cekaman rendaman menunjukkan bahwa bibit padi yang toleran memiliki 30-50% cadangan karbohidrat nonstruktural lebih banyak dibandingkan kultivar rentan. Hasil percobaan dalam penelitian Gribaldi (2013) menunjukkan bahwa varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1 yang diberi pemupukan separuh dosis Urea pada saat tanam dan sisanya diberikan pada 42 hari setelah tanam dapat meningkatkan toleransi dan pemulihan tanaman padi terhadap cekaman rendaman.

Penetrasi cahaya yang diterima tanaman rendah (Pierik et al., 2005) dan kecepatan difusi gas di air lebih lambat dibanding di udara pada saat tanaman kondisi terendam. Penurunan difusi gas ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, metabolisme, dan daya tahan tanaman (Sarkar et al., 2006). Sebaliknya, hormon tanaman seperti etilen dalam bentuk gas yang diproduksi di dalam tanaman akan terakumulasi dalam jaringan tanaman. Ella et al. (2003), melaporkan etilen berpengaruh terhadap menguningnya daun (senescene) yang tentunya akan menghambat fiksasi karbon dalam fotosintesis pada saat maupun setelah tanaman terendam.

Cekaman rendaman menyebabkan beberapa tanaman mengalami perubahan anatomi dan morfologi untuk dapat beradaptasi kondisi ini. Terdapat dua mekanisme morfologi untuk tanaman yang mengalami cekaman rendaman, yaitu melalui pembentukan jaringan aerenkima yang tidak hanya pada akar tetapi juga di daun dan pemanjangan batang dimana pemanjangan ini harus terkendali sehingga tanaman tidak rebah pada saat genangan berakhir.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh varietas padi dan pemupukan terhadap pertumbuhan dan perubahan morfofisiologi tanaman pada kondisi cekaman rendaman.

BAHAN DAN METODE

Percobaan pot ini dilaksanakan di Rumah kaca Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Bogor, dimulai bulan April sampai Juni 2012. Analisis karakter fisiologi tanaman dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Bogor, sedangkan pengamatan anatomi akar dilakukan di Laboratorium Mikro Teknik Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak faktorial dengan enam ulangan. Faktor pertama merupakan varietas padi, yang terdiri atas Inpara 5 (mengandung gen Sub-1, V1) dan IR64

(tidak mengandung gen Sub-1, V2). Faktor kedua adalah pemupukan dengan dua taraf, yaitu tanpa pemupukan (P0) dan dengan pemupukan (P1).

Benih varietas Inpara 5 dan IR64 diinkubasi selama 3 hari, setelah berkecambah disemaikan dalam media bak plastik berukuran panjang 40 cm, lebar 30 cm dan dalam 13 cm yang diisi tanah topsoil sekitar lokasi penelitian sebanyak 15 kg, dimana tanah sebelumnya diberi perlakuan pemupukan N, P, K, Si dan Zn serta pupuk kandang, masing-masing dengan dosis 60, 40, 40, 30 dan 20 kg ha-1 serta 10 ton ha-1 (Suwignyo et al., 2012). Bibit yang telah berumur 21 hari di bak persemain dicabut dan ditanam tiga bibit tanaman padi ke dalam masing-masing ember plastik hitam yang berdiameter 30 cm dan tinggi 20 cm, yang telah diisi tanah topsoil sekitar lokasi penelitian masing-masing sebanyak 5 kg dan telah digenangi lebih kurang selama 30 hari. Perlakuan rendaman dilakukan pada umur tanaman padi 7 hari setelah tanam (HST) selama 7 hari. Tinggi rendaman air minimal 15 cm dari permukaan tanaman. Perlakuan tanpa pemupukan tidak diberi pupuk sedangkan untuk perlakuan pemupukan dilakukan pada saat tanam, yaitu pupuk 100 kg urea ha-1, 100 kg TSP ha-1, 100 kg KCl ha-1, 200 kg SiP Padi HS ha-1 dan 90 kg pupuk ZnSO47H2O ha-1. Pupuk urea diberikan separuh dari dosis dan sisanya pada 42 HST dengan cara dibenamkan ke dalam tanah sedalam 10 cm (Gribaldi, 2013).

Pengamatan dilakukan sebelum periode rendaman (7 HST) dan sesaat setelah periode rendaman (14 HST) yang meliputi: 1) kandungan etilen (metode Gas Chromotograph), 2) anatomi akar, diambil bagian akar segar dipotong di bawah mikroskop stereo binokuler dengan pembesaran 10 kali dan untuk pemotretan digunakan mikroskop trinokuler BX 51, 3) kandungan klorofil daun (metode spektrofotometer), 4) kandungan N tanaman (metode Kjeldahl), 5) kandungan karbohidrat (metode luff schrool), 6) tinggi tanaman, dan 7) bobot kering tanaman. Nilai kandungan klorofil, N, karbohidrat, dan bobot kering tanaman relatif pada 14 HST terhadap 7 HST dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis ragam pada penelitian ini menunjukan bahwa kandungan klorofil daun antar varietas berbeda nyata, sedangkan parameter lain tidak dipengaruhi secara nyata oleh perlakuan pemupukan maupun interaksi antar varietas dan pemupukan.

Sifat Kimia Tanah Sebelum Perlakuan

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah sebelum perlakuan, tanah yang digunakan untuk penelitian bereaksi agak masam, kadar N-total rendah, ketersediaan fosfor dan K-dd sangat tinggi serta kandungan Si dan Zn yang tinggi (Tabel 1), sehingga pemberian pupuk nitrogen diharapkan dapat memberi pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

𝑁𝑁𝑖𝑖𝑙𝑙𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑟𝑟𝑒𝑒𝑙𝑙𝑎𝑎𝑡𝑡𝑖𝑖𝑓𝑓 = 𝑁𝑁𝑖𝑖𝑙𝑙𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑏𝑏𝑠𝑠𝑜𝑜𝑙𝑙𝑢𝑢𝑡𝑡 𝑝𝑝𝑎𝑎𝑑𝑑𝑎𝑎 14 𝐻𝐻𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑁𝑁𝑖𝑖𝑙𝑙𝑎𝑎𝑖𝑖 𝑎𝑎𝑏𝑏𝑠𝑠𝑜𝑜𝑙𝑙𝑢𝑢𝑡𝑡 𝑝𝑝𝑎𝑎𝑑𝑑𝑎𝑎 7 𝐻𝐻𝑆𝑆𝑇𝑇 𝑥𝑥 100%

Page 19: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

Pengaruh Pemupukan terhadap Perubahan..... 19

Kandungan Etilen

Hasil analisis kandungan etilen akar menunjukkan terjadi peningkatan etilen pada varietas yang dipupuk 7 hari setelah cekaman rendaman (14 HST), terutama pada varietas IR64 yang tidak mengandung gen Sub-1. Kandungan etilen pada akar varietas IR64 (V2P1) yang dipupuk mencapai 61.67 ppm, sedangkan pada varietas IR64 (V2P0) yang tidak dipupuk hanya 28.13 ppm (Gambar 1). Hasil penelitian Janne et al. (2010) menunjukkan bahwa akar jagung merespon kondisi hipoksia (sedikit oksigen) dengan meningkatkan etilen.

Anatomi Akar

Cekaman rendaman berpengaruh terhadap perubahan anatomi akar. Hasil penelitian menunjukkan pembentukan aerenkima pada varietas yang dipupuk (Gambar 2A, 2C) lebih banyak dari pada varietas yang tidak dipupuk (Gambar 2B, 2D) baik pada varietas Inpara 5 maupun IR64 sesaat setelah periode perlakuan cekaman rendaman (14 HST). Hal ini sejalan dengan kandungan etilen yang meningkat pada varietas yang dipupuk, menggambarkan adanya ketersediaan oksigen yang cukup akibat adanya pembentukan aerenkima yang lebih banyak. Menurut Seago et al. (2005), salah satu mekanisme tanaman yang biasa hidup dalam keadaan terendam adalah memiliki jaringan aerenkima. Aerenkima merupakan ruangan interselular yang terbentuk dari kombinasi pertumbuhan sel dan pembelahan sel (expansion).

Kandungan Klorofil Daun

Pemupukan tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil daun. Kandungan klorofil pada daun mengalami penurunan sesaat setelah periode cekaman rendaman (14

HST) pada kedua varietas padi, baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk (Gambar 3A). Kandungan klorofil daun relatif varietas IR64 yang tidak memiliki gen Sub-1 pada pengamatan 14 HST terhadap 7 HST lebih rendah dibandingkan pada varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1. Varietas Inpara 5 yang dipupuk memiliki kandungan klorofil lebih tinggi 82.4% dibanding varietas IR64 yang dipupuk (Gambar 3B). Hal ini disebabkan tanaman dalam kondisi terendam mengalami peningkatan kandungan etilen yang berdampak pada penurunan kandungan klorofil pada tanaman. Menurut Setter et al. (1987), cekaman rendaman menyebabkan meningkatnya produksi hormon etilen dan asam giberelat pada tanaman. Ella et al. (2003) melaporkan bahwa hormon etilen menyebabkan degradasi klorofil sehingga daun cepat senesen.

Kandungan N Tanaman

Kandungan N tanaman mengalami penurunan sesaat setelah periode cekaman terendam (14 HST) (Gambar 4A). Pemupukan dapat meningkatkan kandungan N tanaman, baik pada varietas Inpara 5 maupun IR64. Kandungan N tanaman relatif pada pengamatan 14 HST terhadap 7 HST tertinggi adalah pada varietas Inpara 5 yang dipupuk (V1P1), yaitu 57%. Varietas Inpara 5 yang dipupuk memiliki kandungan N tanaman lebih tinggi 35.8% dibanding varietas IR64 yang dipupuk (Gambar 4B). Menurut Ikhwani et al. (2010), tanaman yang terendam fotosintesisnya sangat terhambat, sehingga untuk pertumbuhan organ yang sedang tumbuh diperlukan perombakan jaringan lain yang mengandung N (remobilisasi N), termasuk klorofil sehingga daun menjadi pucat atau kuning. Selain itu fotosintesis yang terhambat pada tanaman yang terendam disebabkan oleh cahaya yang diterima tanaman tersebut rendah. Hasil penelitian intensitas cahaya terhadap tanaman kedelai oleh Muhuria et al. (2006), menunjukkan intensitas cahaya 50% dapat

Tabel 1. Hasil analisis beberapa sifat tanah sebelum perlakuan

Jenis Analisis Hasil StatuspH (H2O) 6.47 agak asamN (%) 0.14 rendahP (mg 100 g-1) 293.88 sangat tinggiK (mg 100 g-1) 232.29 sangat tinggiNa (mg 100 g-1) 35.14 sangat tinggiCa (mg 100 g-1) 77.46 rendahMg (mg 100 g-1) 31.63 rendahZn (mg 100 g-1) 2.75 tinggiAl (ppm) 1.42 sangat rendahSi (ppm) 349.67 tinggi

Sumber: Laboratorium Pengujian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 2012

Gambar 1. Pengaruh pemupukan terhadap kandungan etilen pada akar, sesaat setelah periode cekaman rendaman, pada varietas padi. V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa pemupukan, P1: Pemupukan

36.8240.03

28.13

61.67

0

10

20

30

40

50

60

70

V1P0 V1P1 V2P0 V2P1

Kan

dung

an e

tilen

(ppm

)

Page 20: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

20 Gribaldi, Rujito A. Suwignyo, Merry Hasmeda, dan Renih Hayati

Gambar 2. Penampang melintang akar padi yang membentuk aerenkima pada perlakuan pemupukan (A,C) dan tanpa pemupukan (B,D) pada varietas Inpara 5 (A, B) dan IR64 (C, D) pada kondisi terendam

Gambar 3. Pengaruh pemupukan terhadap kandungan klorofil daun (A) dan nilai kandungan klorofil relatif pada daun, pengamatan 14 HST terhadap 7 HST (B), pada varietas padi. V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa Pemupukan, P1: Pemupukan

meningkatkan secara nyata intesitas kehijauan pada kedelai genotipe Ceneng. Terdapat hubungan yang kuat antara intensitas kehijauan dengan kandungan klorofil (r = 0.8). Semakin hijau suatu helaian daun kandungan klorofilnya akan semakin tinggi, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan, terdapat pola hubungan antara kandungan N pada tanaman dengan kandungan klorofil pada daun, pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada tanaman padi, bersifat linier positif dengan persamaan; Y = 0.4X + 6.15; R2 = 0.61* (Gambar 5). Semakin tinggi persentase kandungan N tanaman maka semakin tinggi pula persentase kandungan klorofil pada daun.

Kandungan Karbohidrat Tanaman

Pemupukan tidak berpengaruh terhadap kandungan karbohidrat tanaman pada kedua varietas padi. Kandungan karbohidrat tanaman setelah periode cekaman rendaman lebih dipengaruhi oleh varietas padi. Kandungan karbohidrat tanaman mengalami penurunan yang signifikan sesaat setelah periode cekaman rendaman (14 HST) pada varietas IR64 yang tidak mengandung gen Sub-1 (Gambar 6A). Sebaliknya, cekaman rendaman selama 7 hari tidak menyebabkan penurunan kandungan karbohidrat yang berarti pada varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1.

Page 21: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

Pengaruh Pemupukan terhadap Perubahan..... 21

Kandungan karbohidrat relatif pada pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada varietas IR64 juga lebih rendah dibandingkan varietas Inpara 5, baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk (Gambar 6B). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1 lebih dapat mempertahankan kandungan karbohidratnya selama cekaman rendaman dibandingkan varietas IR64. Menurut Kawano et al. (2008), efisiensi penggunaan karbohidrat selama kondisi terendam juga penting untuk adaptasi tanaman pada lingkungan anaerob. Sarkar et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat yang tinggi pada tanaman dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman rendaman dan mempercepat pemulihan setelah cekaman berakhir.

Tinggi Tanaman

Pemupukan tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada kedua varietas padi. Tinggi tanaman setelah periode

cekaman rendaman lebih dipengaruhi oleh varietas padi. Tinggi tanaman mengalami peningkatan yang signifikan sesaat setelah periode cekaman rendaman (14 HST) pada varietas IR64 yang tidak mengandung gen Sub-1 (Gambar 7A). Sebaliknya, cekaman rendaman selama 7 hari tidak menyebabkan peningkatan tinggi tanaman yang berarti pada varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1. Fukao dan Bailey-Serres (2008) melaporkan bahwa cekaman rendaman menyebabkan kandungan etilen dan asam giberelat (GA) meningkat sehingga memacu pertambahan tinggi tanaman. Gen Sub-1 mempunyai peran menghambat kerja hormon etilen dan GA tersebut, sehingga laju pemanjangan batang varietas yang memiliki gen Sub-1 lebih lambat dibandingkan varietas yang tidak memiliki gen Sub-1 dalam kondisi cekaman rendaman. Menurut Setter et al. (1987), cekaman rendaman menyebabkan meningkatnya produksi hormon etilen dan GA pada tanaman. Selanjutnya menurut Perata dan Voesenek (2006), Fukao dan Bailey-Serres (2008), cekaman rendaman mengakibatkan akumulasi etilen yang kemudian menginduksi transkripsi gen Sub1A sehingga terjadi akumulasi protein Sub1A. Selanjutnya Sub1A menghambat ekspansi A (ExpA) dan sukrosa sintase (Sus 3) sehingga menghambat pertumbuhan.

Bobot Kering Tanaman

Pemupukan tidak berpengaruh terhadap bobot kering tanaman pada kedua varietas padi. Bobot kering tanaman setelah periode cekaman rendaman lebih dipengaruhi oleh varietas padi. Bobot kering tanaman mengalami penurunan yang signifikan sesaat setelah periode cekaman rendaman (14 HST) pada varietas IR64 yang tidak mengandung gen Sub-1 (Gambar 8A). Sebaliknya, cekaman rendaman selama 7 hari tidak menyebabkan penurunan bobot kering tanaman yang berarti pada varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1. Bobot kering tanaman relatif pada pengamatan 14

Gambar 4. Pengaruh pemupukan terhadap kandungan N tanaman (A) dan nilai kandungan N relatif tanaman; pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada varietas padi (B). V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa pemupukan, P1: Pemupukan

0

5

10

15

20

25

30

35

0 10 20 30 40 50 60

Kan

dung

an k

loro

fil re

latif

(%)

Kandungan N relatif (%)

Y = 0.4X + 6.15; R2= 0,61*

Gambar 5. Pola hubungan antara kandungan N tanaman dengan kandungan klorofil pada daun, pengamatan 14 HST terhadap 7 HST, pada varietas padi

Page 22: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

22 Gribaldi, Rujito A. Suwignyo, Merry Hasmeda, dan Renih Hayati

HST terhadap 7 HST pada varietas IR64 juga lebih rendah dibandingkan varietas Inpara 5, baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk (Gambar 8B). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1 lebih dapat mempertahankan bobot keringnya selama cekaman rendaman dibandingkan varietas IR64. Hal ini disebabkan varietas yang toleran terhadap rendaman mampu mengurangi penggunaan karbohidrat selama cekaman rendaman. Menurut Vreinzen et al. (2003), tanaman yang memiliki karakter pemanjangan yang moderat dapat mengurangi penggunaan karbohidrat pada saat terendam.

Pola hubungan antara bobot kering tanaman dengan kandungan karbohidrat tanaman berdasarkan pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada tanaman padi bersifat linier positif, dengan persamaan Y = 1.14X + 2.79; R2 = 0.980* (Gambar 9). Semakin tinggi persentase bobot kering tanaman maka semakin tinggi pula persentase kandungan karbohidrat pada tanaman.

Gambar 6. Pengaruh pemupukan terhadap kandungan karbohidrat (A) dan nilai kandungan karbohidrat relatif, pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada varietas padi (B). V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa pemupukan, P1: Pemupukan

Gambar 7. Pengaruh pemupukan terhadap tinggi tanaman sesaat setelah periode cekaman rendaman (14 HST), pada varietas padi. V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa pemupukan, P1: Pemupukan

Gambar 8. Pengaruh pemupukan terhadap bobot kering tanaman (A) dan nilai bobot kering relatif tanaman, pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada varietas padi (B). V1: Inpara 5, V2: IR64, P0: Tanpa pemupukan, P1: Pemupukan

Page 23: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 17 - 23 (2014)

Pengaruh Pemupukan terhadap Perubahan..... 23

KESIMPULAN

Aplikasi pemupukan pada kondisi cekaman rendaman dapat meningkatkan pembentukan aerenkima dan kandungan N tanaman, baik pada varietas Inpara 5 maupun varietas IR64. Varietas Inpara 5 yang mengandung gen Sub-1 memiliki kandungan klorofil relatif, kandungan karbohidrat relatif, dan bobot kering relatif yang lebih tinggi dibandingkan varietas IR64 yang tidak mengandung gen Sub-1 pada 7 hari setelah cekaman rendaman.

DAFTAR PUSTAKA

Aydinalp, C., M.S. Cresser. 2008. The effect of global climate change on agriculture. American-Eurasian J. Agric. Environ. Sci. 3:672-676.

Ella, E.S., N. Kawano, Y. Yamauchi, K. Tanaka, A.M. Ismail. 2003. Blocking ethylene perception enhances flooding tolerance in rice seedlings. Funct. Plant Biol. 30:813-819.

Fukao, T., Bailey-Serres J. 2008. Submergence tolerance conferred by Sub1A is mediated by SLR1 and SLRL1 restriction of gibberellin responses in rice. PNAS 105:16814-19.

Gribaldi. 2013. Perlakuan agronomis untuk meningkatkan ketahanan dan pemulihan tanaman padi terhadap cekaman terendam. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Janne, G.L., C. Caldwell, D.R. Gallie. 2010. Expression of the ethylene biosynthetis machinery in maize root is regulated in response to hypoxia. J. Exp. Bot. 61:857-871.

Kawano, N., O. Ito, J. Sakagami. 2008. Flash flooding resistance of rice Oryza sativa L. and O. glaberrima Steud., and interspecific hybridization progeny. Environ. Exp. Bot. 63:9-18.

Ikhwani, E. Suhartatik, A.K. Makarim. 2010. Pengaruh waktu, lama, dan kekeruhan air rendaman terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah IR64 sub-1. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29:63-71.

Muhuria, L., K. N. Tyas, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, D. Sopandie. 2006. Adapatasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: Karakter daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Bul. Agron. 34:133-140.

Perata, P., L.A.C.J. Voesenek. 2006. Submergence tolerance in rice requires Sub1A, an ethylene-response-factor-like gene. Trends Plant. Sci. 12:43-46.

Pierik, R., F.F. Millenaar, A.J.M. Peeters, L.A.C.J. Voesenek. 2005. New perspectives in flooding research: the use of shade avoidance and Arabidopsis thaliana. Ann. Bot. 96:533-540.

Sarkar, R.K., J.N. Reddy, S.G. Sharma, A.M. Ismail. 2006. Physiological basis of submergence tolerance in rice and implications on crop development. Curr. Sci. 91:899- 906.

Seago, J.L. Jr., L.C. Marsh, K.J. Stevens, A. Soukup, O. Votrubová, D.E. Enstone. 2005. A re-examination of the root cortex in wetland flowering plants with respect to aerenchyma. Ann. Bot. 96:565-579.

Setter, T.L., I. Waters, B.J. Atwell, T. Kupkanchanakul, H. Greenway. 1987. Carbohydrate status of terrestrial plants during flooding. p. 411-433. In R.M.M. Crawford (Ed.). Plant Life in Aquatic dan Amphibious Habitats. Special Publication No. 5 British Ecological Society. Blackwell Scientific Publications, Oxford.

Suwignyo, R.A., A. Wijaya, H. Sihombing, Gribaldi. 2012. Modifikasi aplikasi unsur hara untuk perbaikan vigorasi bibit padi dalam cekaman terendam. J. Lahan Suboptimal 1:1-11.

Vreinzen, Z. Zhou, D. Van der Straeten. 2003. Regulation of submergence-induced enhanced shoot elongation in Oryza sativa. Ann. Bot. 91:263-270.

0

20

40

60

80

100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Kan

dung

an k

arbo

hidr

at re

latif

(%)

Berat kering tanaman relatif (%)

Y = 1.14X + 2.79; R2= 0.98*

Gambar 9. Pola hubungan antara bobot kering tanaman dengan kandungan karbohidrat berdasarkan pengamatan 14 HST terhadap 7 HST pada varietas padi

Page 24: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

24 Nizaruddin, Faiza C. Suwarno, Eny Widajati, dan Abdul Qadir

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Kebutuhan kedelai meningkat dari tahun ke tahun dan belum dapat dipenuhi dengan produksi kedelai dalam

negeri sehingga masih diperlukan impor. Produksi kedelai mengalami penurunan dari 907,031 ton tahun-1 pada tahun 2011 menjadi 819,446 ton tahun-1 pada tahun 2010 atau menurun sekitar 9.65% (Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2012). Atman (2009) menyebutkan strategi untuk meningkatkan produksi kedelai nasional adalah dengan penggunaan benih bermutu dari varietas unggul dalam jumlah yang cukup dan mudah diakses. Kartono (2004)

Metode Deteriorasi Terkontrol untuk Pendugaan Daya Simpan Benih Kedelai

Controlled Deterioration Test to Estimate Soybean Seed Storability

Nizaruddin1*, Faiza Chairani Suwarno2, Eny Widajati2, dan Abdul Qadir2

1PT. BISI International, Tbk. Jl. Raya Pare-Wates KM 9, Desa Sumber AgungKecamatan Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur 64175, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 7 Juni 2013/Disetujui 25 Oktober 2013

ABSTRACT

Physiological quality of soybean seeds was easily deteriorated during storage. The objectives of the research were to determine controlled deterioration test which could be used to evaluate soybean seed viability and to find the appropriate controlled deterioration test for estimating storability of soybean seed. The research was conducted at the quality control laboratory PT. BISI International, Tbk., Kediri since October 2012 until February 2013. The completely randomized design with four replications was used in the experiment by moisture content and deterioration periods as treatment. The results showed that the controlled deterioration periods to evaluate two varieties of soybean seed were same for 16 hours at 17.5% moisture content for Wilis and 15% moisture content for Detam-1. The result also showed that there were significant correlations between controlled deterioration values with actual values from 16 weeks storage periods, indicating controlled deterioration test periods could estimate storage periods. Verification of seed vigor relation to storability model showed there were no significant differences between germination and speed of germination between controlled deterioration and actual values. Simulation of soybean seed storability model with germination percentage after controlled deterioration as input variables could predict the storage periods.

Keywords: Glycine max, rapid ageing, seed modelling, seed vigour, vigour index

ABSTRAK

Mutu fisiologis benih kedelai mudah mengalami kemunduran selama periode simpan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh nilai kadar air dan lama pengusangan pada metode deteriorasi terkontrol yang sesuai untuk benih kedelai dan mendapatkan metode deteriorasi terkontrol untuk menduga vigor daya simpan dan daya simpan benih kedelai. Penelitian dilaksanakan di laboratorium quality control PT. BISI International, Tbk. Kediri mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan Februari 2013. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat ulangan. Faktor yang dicobakan sebagai perlakuan adalah kadar air dan lama pengusangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode deteriorasi terkontrol yang tepat menggunakan lama pengusangan yang sama untuk kedua jenis varietas kedelai, yaitu 16 jam, dengan kadar air 17.5% untuk varietas Wilis dan 15% untuk varietas Detam-1. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat korelasi yang erat antara peubah pada deteriorasi terkontrol dengan peubah pada kondisi aktual 16 minggu periode simpan, yang mengindikasikan bahwa lama pengusangan menggambarkan periode simpan. Hasil verifikasi menunjukkan nilai peubah daya berkecambah dan kecepatan tumbuh setelah deteriorasi terkontrol berkesesuaian dengan nilai aktual. Simulasi persamaan pendugaan daya simpan dengan input daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol dapat digunakan untuk menduga daya simpan benih kedelai.

Kata kunci: Glycine max, indeks vigor, pemodelan benih, pengusangan cepat, vigor daya simpan

Page 25: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

Metode Deteriorasi Terkontrol untuk..... 25

menjelaskan bahwa permasalahan benih kedelai adalah penurunan mutu sampai sebesar 75% dalam waktu kurang dari tiga bulan jika disimpan secara alami. Dengan demikian mempertahankan kualitas benih kedelai merupakan salah satu langkah penting untuk mendukung pemenuhan benih kedelai bermutu tinggi.

Benih kedelai mudah mengalami penurunan mutu fisiologis selama penyimpanan karena kandungan protein yang tinggi yaitu 35-54%, sifat kulit kedelai dan hilum yang permeabel serta kondisi lingkungan (Purwanti, 2004). Benih kedelai dengan kadar air awal 8% dan 10% yang disimpan dengan menggunakan kantong plastik polietilen dan kantong aluminium foil dapat mempertahankan viabilitasnya selama enam bulan (Tatipata et al., 2004).

Respon mutu suatu lot benih yang berbeda antara daya berkecambah setelah disimpan dengan sebelum disimpan ditentukan oleh vigor benih. TeKrony (2003) menyatakan bahwa pengujian mutu benih di laboratorium dengan kondisi optimum harus mampu merepresentasikan pertumbuhan benih di lapangan dengan kondisi suboptimum. ISTA (2010) menyatakan bahwa salah satu metode simulasi uji vigor yang telah dikembangkan adalah metode deteriorasi terkontrol yang telah divalidasi oleh ISTA untuk benih Brassica spp.

Demir dan Mavi (2008) menyatakan bahwa deteriorasi terkontrol pada benih timun pada kadar air 20% selama 48 jam pada suhu 45 °C menghasilkan korelasi yang tinggi (r = 0.86–0.98) dengan daya berkecambah setelah disimpan selama 6 bulan. Korelasi yang tinggi antara daya berkecambah setelah metode deteriorasi terkontrol dengan setelah penyimpanan menunjukkan bahwa metode deteriorasi terkontrol dapat digunakan untuk memprediksi potensi daya simpan benih timun. Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa daya simpan benih menunjukkan perkiraan waktu benih mampu untuk disimpan. Ekowahyuni et al. (2012) menyatakan bahwa pengusangan cepat pada suhu 40 °C dapat digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih cabai. Menurut Sadjad et al. (1999) vigor daya simpan menunjukkan parameter vigor benih yg ditunjukkan dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan sub optimum.

Penelitian bertujuan untuk memperoleh kadar air benih dan lama pengusangan pada metode metode deteriorasi terkontrol yang sesuai untuk benih kedelai dan mendapatkan metode deteriorasi terkontrol untuk menduga vigor daya simpan dan daya simpan benih kedelai.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai Februari 2013 di laboratorium quality control PT. BISI International, Tbk., Kediri. Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai varietas Wilis dan Detam-1 yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), kemasan aluminium foil, kertas CD dan aquades. Alat yang digunakan meliputi alat pengecambah benih, ruang penyimpanan benih, oven, neraca digital, desikator, sealer, waterbath, termohigrometer digital dan refrigerator.

Optimasi Metode Deteriorasi Terkontrol untuk Benih Kedelai

Percobaan disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor. Faktor pertama adalah kadar air benih dengan tiga taraf, yaitu 15, 17.5 dan 20%. Faktor ke-2 adalah lama pengusangan dengan empat taraf, yaitu 0, 8, 16 dan 24 jam. Kombinasi dari kedua faktor menghasilkan 12 perlakuan dan tiap perlakuan diulang empat kali sehingga diperoleh 48 satuan percobaan.

Metode deteriorasi terkontrol dilaksanakan dengan mengelompokkan benih berdasarkan perlakuan kadar air (KA) benih yaitu 15, 17.5 dan 20%. Sebanyak 150 butir benih kedelai dimasukkan dalam kemasan aluminium foil dan ditambahkan aquades hingga mencapai bobot benih dengan kadar air benih yang diinginkan. Perhitungan bobot benih dengan kadar air benih yang diinginkan menggunakan rumus:

A = kadar air awal benih (%)B = kadar air benih yang diinginkan (%)W1= bobot awal benih yang telah diketahui (g)W2= bobot benih dengan kadar air yang diinginkan (g)

Aluminium foil berisi benih dan aquades sesuai perlakuan dikocok agar aquades bisa merata, kemudian dimasukkan dalam refrigerator bersuhu 4 °C dan didiamkan selama 24 jam agar benih berimbibisi dan mencapai kadar air kesetimbangan yang diinginkan (Powell dan Matthews, 2005). Benih yang telah mencapai kadar air sesuai perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam waterbath bersuhu 40 °C selama waktu pengusangan yang telah ditentukan.

Metode deteriorasi terkontrol yang sesuai didasarkan pada: (1) hasil perlakuan yang menghasilkan nilai daya berkecambah antara 50-60%, (2) efektivitas waktu pengusangan dan (3) efektivitas peningkatan KA. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Penentuan Metode Deteriorasi Terkontrol yang Tepat dengan Pola Time Series

Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan empat ulangan. Faktor perlakuan adalah lama pengusangan yang terdiri atas 16 taraf, yaitu lama pengusangan satu jam sampai dengan 16 jam dengan interval 1 jam. Jumlah benih yang dikemas dalam kemasan aluminium foil sebanyak 250 butir dan jumlah kemasan sebanyak 64 buah. Pengamatan dilakukan terhadap peubah kadar air setelah deteriorasi terkontrol, indeks vigor setelah deteriorasi terkontrol , daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol dan kecepatan tumbuh setelah deteriorasi terkontrol (KCTdet). kadar air diukur menggunakan metode oven suhu rendah konstan (101-105 °C) selama 17 ± 1 jam. Indeks vigor dihitung berdasarkan pengamatan kecambah normal pada hari ke-3. Pengamatan

W2 = (100-A)(100-B)

x W1

(VdetDB)

(VdetIV )

(VdetDB)

Page 26: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

26 Nizaruddin, Faiza C. Suwarno, Eny Widajati, dan Abdul Qadir

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Deteriorasi Terkontrol terhadap Viabilitas Benih Kedelai

Hasil analisis uji lanjut pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan deteriorasi terkontrol memberikan hasil yang beragam pada peubah-peubah yang diamati, yang sangat dipengaruhi oleh tingkat KA benih dan lama pengusangan. Semakin tinggi KA dan semakin lama waktu pengusangan, maka penurunan viabilitas benih kedelai akan semakin cepat.

Berdasarkan Tabel 1 kondisi deteriorasi terkontrol yang paling tepat untuk varietas Wilis adalah pada KA 17.5% dan lama pengusangan 16 jam, sedangkan untuk varietas Detam-1 adalah pada KA 15% dan lama pengusangan 16 jam. Penelitian Silva dan Vieira (2010) pada benih bit, dan Rodo dan Filho (2003) pada benih bawang menunjukkan bahwa lama pengusangan yang lebih cepat dengan kadar air yang lebih rendah dipilih untuk mengevaluasi viabilitas masing-masing benih yang diteliti.

Metode Deteriorasi Terkontrol Terpilih dengan Pola Time Series

Perlakuan deteriorasi terkontrol menurunkan nilai seluruh peubah yang diamati (Tabel 2). Penurunan daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol kedua benih kedelai yang diuji berlangsung secara perlahan. Peningkatan KA dan lama pengusangan pada benih mengakibatkan terjadinya kemunduran mutu benih. Marwanto (2003) menyatakan bahwa salah satu penyebab

daya berkecambah benih dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-5 setelah benih dikecambahkan. Pengamatan kecepatan tumbuh (KCT) dilakukan setiap hari sampai dengan hari ke-5 (tn) dengan menghitung persentase kecambah normal (N) dan periode waktu pengamatan (etma l = 24 jam) dengan rumus sebagai berikut (Sadjad et al.,1999):

Penyimpanan Benih Kedelai pada Kondisi Suhu Kamar

Penyimpanan dilakukan pada ruang dengan suhu 25-30 °C dan kelembaban nisbi 80-85%. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap satu faktor dengan empat ulangan. Faktor perlakuan adalah lama penyimpanan benih yang terdiri atas 16 taraf, yaitu satu minggu sampai dengan 16 minggu dengan interval 1 minggu. Dua varietas kedelai yaitu Wilis dan Detam-1 dikemas dengan kemasan aluminium foil dengan jumlah benih 250 butir setiap kemasan. Jumlah kemasan yang disimpan per varietas sebanyak 64 buah. Pengamatan dilakukan setiap tujuh hari selama empat bulan penyimpanan sehingga terdapat 16 kali pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap peubah KA, indeks vigor setelah penyimpanan (VIV), daya berkecambah setelah penyimpanan (VDB) dan kecepatan tumbuh setelah penyimpanan (KCT akt).

Analisis data menggunakan analisis korelasi dan regresi antar peubah yang diamati pada Penentuan Metode Deteriorasi Terkontrol yang Tepat dengan Pola Time Series dan percobaan ini, kemudian disusun persamaan pendugaan vigor daya simpan dan daya simpan benih.

KCT = Nt

tn

n = 0

Kondisi deteriorasi terkontrol Daya berkecambah (%)

Indeks vigor (%)

Kecepatan tumbuh (% etmal-1)

Kadar air (%) Lama (jam) Wilis Detam-1 Wilis Detam-1 Wilis Detam-115 0 91.25a 89.25a 64.00a 71.00a 25.52a 26.31a15 8 72.50c 65.50cd 42.00cd 37.00c 20.84cd 20.19c15 16 69.00c 52.50e 24.75e 20.75e 18.78e 13.80d15 24 66.25cd 38.50f 22.50e 7.25f 17.82e 9.69e17.5 0 88.75ab 86.00a 67.50a 56.75b 23.98ab 23.78b17.5 8 82.00b 74.75bc 66.25a 26.50d 22.89bc 21.69bc17.5 16 58.00d 58.00de 51.25bc 24.75de 14.26f 15.34d17.5 24 39.75e 33.50f 34.25de 7.25f 9.93g 8.24e20 0 86.50ab 83.25ab 47.00bc 55.75b 23.76ab 22.69bc20 8 73.50c 78.50ab 55.75ab 26.25d 19.91de 22.01bc20 16 37.75ef 57.25de 28.25e 24.25de 9.46g 14.90d20 24 30.25f 20.25g 23.50e 7.00f 7.64g 5.39f

Tabel 1. Pengaruh deteriorasi terkontrol terhadap peubah daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh varietas Wilis dan Detam-1

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%

DSDS

Page 27: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

Metode Deteriorasi Terkontrol untuk..... 27

terjadinya kemunduran benih adalah respirasi. Respirasi meningkat sejalan dengan peningkatan KA dan peningkatan suhu. Peningkatan suhu selama respirasi mengakibatkan proses metabolisme berlangsung cepat sehingga cadangan makanan pada benih cepat habis. Penurunan viabilitas benih terjadi lebih cepat pada keadaan suhu dan KA benih yang tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tubic et al. (2010) yang melaporkan bahwa pengusangan buatan pada suhu 42 °C dan kelembaban relatif 100% telah menurunkan daya berkecambah benih kedelai. Shelar et al. (2008) menyatakan bahwa laju kemunduran benih kedelai yang tinggi juga disebabkan oleh adanya proses peroksidasi lipid. Menurut Hsu et al.(2003) peroksidasi lipid meningkat pada saat benih pare mengalami proses pengusangan cepat. Pengusangan cepat dapat menurunkan aktivitas enzim pada sumbu embrio dan kotiledon yang terjadi bersamaan dengan berkurangnya jumlah protein terlarut. Aktivitas enzim dan jumlah protein terlarut yang menurun dapat meningkatkan akumulasi peroksida yang dapat menghambat munculnya radikula dengan pembentukan radikal hidroksil, sehingga peroksidasi lipid yang meningkat mempengaruhi hilangnya viabilitas dan vigor benih pare.

Persamaan Deteriorasi Terkontrol untuk Pendugaan Daya Simpan Benih

Tabel 3 menunjukkan korelasi yang sangat nyata antara peubah yang sama yang diamati pada deteriorasi terkontrol dengan peubah yang diamati pada kondisi aktual dengan

nilai α sebesar 1%, yang mengindikasikan bahwa lama pengusangan pada deteriorasi terkontrol menggambarkan periode simpan aktual.

Persamaan pendugaan vigor daya simpan dibentuk dari hubungan antara lama pengusangan dan peubah yang diamati. Berdasarkan analisis data, persamaan yang terbentuk untuk menduga vigor daya simpan benih kedelai adalah sebagai berikut:

………………………………(Persamaan 1) dimana a dan b = nilai konstanta. Nilai konstanta a dan b untuk Persamaan 1 disajikan pada Tabel 4.

Salah satu tolok ukur daya simpan benih adalah daya berkecambah. Persamaan pendugaan daya simpan benih dibentuk dari hubungan antara daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol dan periode simpan. Berdasarkan analisis data, persamaan pendugaan daya simpan adalah sebagai berikut:

……………………………(persamaan 2) dimana a dan b = nilai konstanta. Nilai konstanta a dan b untuk persamaan 2 disajikan pada Tabel 5.

Pendugaan daya simpan benih menggunakan Persamaan 2 secara praktis harus melaksanakan metode deteriorasi terkontrol dengan faktor KA, lama pengusangan dan penderaan pada waterbath dengan suhu 40 °C. Peubah yang diamati setelah deteriorasi terkontrol yaitu daya berkecambah . Nilai daya berkecambah yang teramati setelah deteriorasi terkontrol dijadikan input Persamaan 2 beserta konstanta a dan b (Tabel 5) sehingga menghasilkan nilai daya simpan dugaan (minggu).

Lama pengusangan (jam)

Indeks vigor (%) Daya berkecambah (%) Kecepatan tumbuh (% etmal-1)Wilis Detam-1 Wilis Detam-1 Wilis Detam-1

0 75.75 69.50 92.75 90.50 24.29 25.671 70.00 62.50 88.75 87.25 24.18 21.392 65.75 60.75 87.75 86.00 23.36 21.923 50.25 47.75 85.00 78.50 24.61 26.564 50.00 51.75 81.50 79.75 22.95 22.015 35.25 30.25 81.25 77.50 23.19 19.126 33.00 39.25 74.75 73.75 21.32 21.867 33.50 39.25 65.25 73.75 18.93 12.368 33.00 38.75 67.75 67.50 19.03 20.439 34.00 32.00 70.25 65.50 19.79 18.5210 30.50 37.25 72.25 63.75 20.91 24.4411 26.75 34.50 71.75 66.00 19.95 21.3812 34.50 30.25 68.75 58.00 19.18 19.1213 30.75 24.25 67.00 64.00 18.61 17.1314 29.50 24.25 61.75 57.50 16.70 17.4115 29.25 18.25 58.50 55.25 15.73 16.3016 21.75 24.25 56.50 50.75 15.63 13.66

Tabel 2. Nilai indeks vigor, daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih kedelai hasil deteriorasi terkontrol terpilih

VDS = ae-bt

(VdetDB)

DS = ae-b VdetDB

(VdetDB)

Page 28: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

28 Nizaruddin, Faiza C. Suwarno, Eny Widajati, dan Abdul Qadir

Peubah yang diamati setelah deteriorasi terkontrol

Peubah yang diamati pada kondisi penyimpanan suhu kamar (aktual)Daya berkecambah

(%)Indeks vigor

(%)Kecepatan tumbuh

(% etmal-1)---------------------------------------------Varietas Wilis-------------------------------------------

Daya berkecambah (%) 0.853** 0.881** 0.963**Indeks vigor (%) 0.854** 0.898** 0.959**Kecepatan tumbuh (% etmal-1) 0.853** 0.881** 0.963**

---------------------------------------------Varietas Detam-1---------------------------------------Daya berkecambah (%) 0.826** 0.842** 0.815**Indeks vigor (%) 0.815** 0.872** 0.773**Kecepatan tumbuh (% etmal-1) 0.580* 0.773** 0.682**

Tabel 3. Koefisien korelasi (r) antara peubah mutu fisiologis benih kedelai pada metode deteriorasi terkontrol dengan peubah mutu fisiologis pada penyimpanan suhu kamar (aktual)

Keterangan: **) berkorelasi nyata pada taraf α = 1%; *) berkorelasi nyata pada taraf α = 5%

Tabel 4. Nilai konstanta a dan b penyusun persamaan pendugaan vigor daya simpan benih kedelai varietas Wilis dan Detam-1

Keterangan: = vigor daya simpan peubah daya berkecambah; = vigor daya simpan peubah indeks vigor; KCT akt: kecepatan tumbuh hasil penyimpanan aktual

Peubah yang diamatiVarietas Wilis Varietas Detam-1

Konstanta a Konstanta b Konstanta a Konstanta b (%) 92.50 ± 0.5 0.025 ± 0.5 85.50 ± 0.5 0.023 ± 0.5 (%) 82.00 ± 0.5 0.067 ± 0.5 81.50 ± 0.5 0.140 ± 0.5KCT akt (% etmal-1) 27.25 ± 0.5 0.034 ± 0.5 26.90 ± 0.5 0.033 ± 0.5

(VDSDB)

(VDSIV ),

Peubah yang diamatiVarietas Wilis Varietas Detam-1

Konstanta a Konstanta b Konstanta a Konstanta b x (%) 1,200.9±0.5 0.07±0.5 710±0.5 0.06±0.5

Tabel 5. Nilai konstanta a dan b penyusun persamaan pendugaan daya simpan benih kedelai varieats Wilis dan Detam-1

(VdetDB)

Keterangan: x = daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol(VdetDB)

Verifikasi Persamaan Pendugaan Vigor Daya Simpan

Verifikasi dimaksudkan sebagai tahapan kegiatan yang bertujuan untuk menilai kesesuaian hasil simulasi dengan hasil aktual. Verifikasi kualitatif nilai daya berkecambah varietas Wilis dan varietas Detam-1 hasil deteriorasi terkontrol berada pada selang kepercayaan dari hasil penyimpanan aktual (Gambar 1A dan Gambar 1B). Hasil verifikasi secara kuantitatif menunjukkan bahwa nilai χ2 hitung (11.74 dan 11.17) lebih kecil dari χ2 tabel (26.29). Verifikasi secara kualitatif terhadap kecepatan tumbuh varietas Wilis dan Detam-1 menunjukkan bahwa data hasil pengamatan kecepatan tumbuh setelah deteriorasi terkontrol berada pada selang kepercayaan dari hasil penyimpanan aktual aktual (Gambar 2A dan Gambar 2B). Hasil verifikasi kuantitatif menunjukkan bahwa nilai χ2 hitung (2.6 dan 7.06)

lebih kecil dari χ2 tabel (26.29). Verifikasi secara kualitatif dan kuantitatif peubah daya berkecambah dan kecelatan tumbuh menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara hasil deteriorasi terkontrol dengan hasil penyimpanan aktual.

Verifikasi secara kualitatif nilai indeks vigor varietas Wilis dan Detam-1 menunjukkan bahwa nilai indeks vigor setelah deteriorasi terkontrol mayoritas berada di luar selang kepercayaan nilai aktual (Gambar 3A dan Gambar 3B). Verifikasi secara kuantitatif menunjukkan bahwa nilai χ2 hitung (106.36 dan 44.58) lebih besar dari χ2 tabel. Verifikasi secara kualitatif dan kuantitatif menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara nilai indeks vigor setelah deteriorasi terkontrol dengan hasil penyimpanan aktual, sehingga persamaan pendugaan vigor daya simpan tidak dapat menduga peubah indeks vigor.

(VDSDB) (VDS

IV ),

Page 29: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

Metode Deteriorasi Terkontrol untuk..... 29

Simulasi dan Validasi Persamaan Pendugaan Daya Simpan (DS)

Validasi merupakan kegiatan evaluasi terhadap tingkat logik hasil intrapolasi dan ekstrapolasi model. Simulasi data diperlukan untuk memperoleh sekumpulan data menggunakan input yang sesuai. Hasil simulasi pendugaan daya simpan benih kedelai menggunakan persamaan 2

menunjukkan bahwa semakin besar nilai daya berkecambah benih setelah deteriorasi terkontrol maka daya simpan benih semakin lama (Tabel 6). Varietas Detam-1 memiliki daya simpan dugaan yang lebih tinggi. Marwanto (2004) menyatakan bahwa permeabilitas kulit benih kedelai hitam yang lebih rendah menjadi salah satu faktor penyebab daya simpan kedelai hitam lebih tinggi.

Gambar 1. Verifikasi peubah mutu fisiologis pada deteriorasi terkontrol dengan peubah mutu fisiologis pada pengamatan penyimpanan aktual. Daya berkecambah varietas Wilis (A) dan Detam-1 (B); indeks vigor varietas Wilis (C) dan Detam-1 (D); kecepatan tumbuh varietas Wilis (E) dan Detam-1 (F)

Page 30: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

30 Nizaruddin, Faiza C. Suwarno, Eny Widajati, dan Abdul Qadir

KESIMPULAN

Metode deteriorasi terkontrol yang tepat menggunakan lama pengusangan yang sama yaitu 16 jam dengan kadar air 17.5% untuk varietas Wilis dan kadar air 15% untuk varietas Detam-1. Persamaan pendugaan daya simpan yang dihasilkan dapat menduga dengan baik peubah daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih kedelai varietas Wilis dan Detam-1. Persamaan pendugaan daya simpan yang dihasilkan dapat menduga secara logik daya simpan benih kedelai varietas Wilis dan Detam-1.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada segenap manajemen PT. BISI International, Tbk. atas beasiswa pendidikan yang diberikan kepada penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Atman. 2009. Strategi peningkatan produksi kedelai di Indonesia. J. Ilmiah Tambua 3:39-45.

Demir, I., K. Mavi. 2008. Controlled deterioration and accelerated aging tests to estimate the relative storage potential of cucurbit seed lots. HortScience 43:1544-1548.

Ekowahyuni, L.P., S.H. Sutjahjo, S. Sujiprihati, M.R. Suhartanto, M. Syukur. 2012. Metode pengusangan cepat untuk pengujian vigor daya simpan benih cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 40:132-138.

Hsu, C.C., S.L. Chen, J.J. Chen, J.M. Sung. 2003. Accelerated aging-enhanced lipid peroxidation in bitter gourd seeds and effect of priming and hot water soaking treatments. Sci. Hort. 98:201-212.

[ISTA] International Seed Testing Association. 2010. International Rules for Seed Testing. International Seed Testing Association, Zurich, Switzerland.

Kartono. 2004. Teknik penyimpanan benih kedelai varietas Wilis pada kadar air dan suhu penyimpanan yang berbeda. Bul. Tek. Per. 9:79-82.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Basis data statistik pertanian: sub sektor tanaman pangan. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp. [28 Maret 2012].

Marwanto. 2003. Hubungan antara kandungan lignin kulit benih dengan permeabilitas dan daya hantar listrik rendaman benih kedelai. J. Akta Agrosia 6:51-54.

Marwanto. 2004. Soybean seed coat characteristic and its quality losses during incubator ageing and storage. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6:57-65.

Purwanti, S. 2004. Kajian suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan kedelai kuning. J. Ilmu Pert.11:22-31.

Powell, A.A., S. Matthews. 2005. Towards the validation of the controlled deterioration vigour test for small seeded vegetables. Seed Testing International129:21-24.

Rodo, A.B., J.M. Filho. 2003. Accelerated aging and controlled deterioration for determination of the physiological potential of onion seeds. Scientia Agricola 60:465-469.

Sadjad, S., E. Murniati, S. Ilyas.1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Dari Komparatif ke Simultatif.Penerbit PT Grasindo, Jakarta, Indonesia.

Shelar, V.R., R.S. Shaikh, A.S. Nikam. 2008. Soybean seed quality during storage: a review. Agric. Rev. 29:125-131.

Silva, J.B., R.D. Vieira. 2010. Controlled deterioration of beetroot seeds. Revista. Bras. Sementes 32:69-76.

Input modelSimulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3

Wilis Detam-1 Wilis Detam-1 Wilis Detam-1Lama pengusangan (jam) 1 1 8 8 16 16 x (%) 90 90 75 75 60 60Konstanta a 1,200.9 710 1,200.9 710 1,200.9 710Konstanta b 0.07 0.06 0.07 0.06 0.07 0.06DSx dugaan (minggu) 2.2 3.2 6.3 7.9 18.0 19.4

Tabel 6. Simulasi pendugaan daya simpan benih

(VdetDB)

Keterangan: x = daya berkecambah setelah deteriorasi terkontrol; DS = daya simpan benih(VdetDB)

Page 31: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 24 - 31 (2014)

Metode Deteriorasi Terkontrol untuk..... 31

Tatipata, A., P. Yudono, A. Purwantoro, W. Mangoendidjojo. 2004. Kajian aspek fisiologi dan biokimia deteriorasi benih kedelai dalam penyimpanan. J. Ilmu Pert. 11:76-87.

TeKrony, D.M. 2003. Precision is an essential component in seed vigour testing. Seed Sci. Technol. J. 31:435-447.

Tubic, S., M. Tatic, V. Dordevic, Z. Nikolic, V. Dukic. 2010. Seed viability of oil crops depending on storage conditions. Helia 33:153-160.

Page 32: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, and Darmawan Asta Kusumah32

* Corresponding author. e-mail: [email protected]

Non Paramectric Stability Analysis for Yield of Hybrid Chili Pepper (Capsicum annuum L.) Across Six Different Environments

Muhamad Syukur1*, Sriani Sujiprihati1, Rahmi Yunianti1, and Darmawan Asta Kusumah2

1Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural UniversityJl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2PT. Esa Sampoerna, Gd. Esa Sampoerna Lt 7 Jl. Dr. Ir. H. Soekarno No. 198 Surabaya, Jawa Timur 60177, Indonesia

Received 6 May 2013/Accepted 10 September 2013

ABSTRACT

The objectives of this study were to evaluate several chili pepper hybrids whith high yielding character and stable at six environments based on some non-parametric stability analyses, and to study the correlation among the stability of non-parametric methods. The hybrid of chili pepper (7 candidates varieties and 5 commercial hybrid cultivars) were grown in a randomized complete block design with 3 replications in 6 different environments. Ten nonparametric stability methods were used to identify the stable genotypes. According to the SI(3), RS, NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4) stability parameters, Imperial was the most stable hybrid. According to the SI(1), SI(2) and TOP stability parameters and yield, IPB CH3 was the most stable hybrid. In this study, the high TOP values were associated with the yield. Nonetheless, the results of the other non parametric (SI(6), NPi(3) and NPi(4)) were negatively correlated to the yield. The results also revealed that based on the non parametric stability test, the results could be classified into 2 groups, according to the agronomic and biological stabilities.

Keywords: chili pepper, environment, non-parametric stability, yield

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi stabilitas hasil berbagai hibrida cabai yang berdaya hasil tinggi di enam lingkungan berdasarkan analisis stabilitas non parametric, dan mempelajari korelasi antar metode stabilitas non parametrik. Dua belas hibrida cabai (7 kandidat varietas dan 5 varietas komersial) ditanam dengan rancangan kelompok lengkap teracak menggunakan tiga ulangan pada enam lingkungan berbeda. Sepuluh metode stabilitas non parametrik digunakan untuk mengidentifikasi genotipe yang stabil. Menurut parameter stabiltas SI(3), RS, NPi(1), NPi(2), NPi(3) dan NPi(4), hibrida yang paling stabil adalah Imperial. Menurut parameter stabilitas SI(1), SI(2), TOP dan hasil, IPB CH3 adalah hibrida yang paling stabil. Pada penelitian ini, nilai TOP yang tinggi berhubungan dengan hasil. Namun demikian, parameter stabilitas SI(6), NPi(3) dan NPi(4) berkorelasi negatif terhadap hasil. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa berdasarkan analisis stabilitas non parametrik, hibrida-hibrida yang diuji diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu stabil agronomis (dinamis) dan stabil biologis (statis).

Kata kunci: cabai, hasil, lingkungan, stabilitas non parametrik

INTRODUCTION

Chili pepper is one of the essential commodities and vegetables with a high economic value in Indonesia. This plant is well developed in the lowlands as well as in the highlands. According to Badan Pusat Statistik (2011), the productivity of the national chili pepper Indonesia in 2010 was 5.6 ton ha-1. However, the productivity of chili peper is still very low compared to its production potential. According to Syukur et al. (2010) the potential produktivity of national chili may reach 22 ton ha-1.

To meet the high demand, various efforts for improving the productivity of chili pepper is needed. Seed quality of

improved cultivars are one of the factors that influence the success of the production in agriculture. One alternative to increase chili pepper productivity is cultivar improvement, including hybrid cultivars. The productivity of hybrid cultivars is higher than the open pollinated variety (OPV). Improved results of chili pepper hybrids can achieve 61% higher than that of their parents (Syukur et al., 2012).

The plant breeding aims to improve the character of the plant in accordance to human needs by utilizing the potential of the genotype and genotype x environment interaction (GEI). Genotype x environment interaction can be used by plant breeders to develop new high yielding cultivars of specific environments or widely adapted cultivars. If genotype x environment interaction is high, then it is need to develop the cultivars of the specific location, on the

Page 33: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Non Paramectric Stability Analysis...... 33

contrary if a small interaction of genotype x environment is observed, then the cultivar can be developed in to widely adapted cultivars (Syukur et al., 2012).

The stability of a genotype (entry) is the genotype ability to live in several different environments, so that the phenotype does not undergo much change in each environment. The stability analysis has been developed by researchers to help breeders to analyze the genotype x environment interaction, yield stability, and relevance of the yield stability with the interaction of environment (Akcura et al., 2006).

There are two approaches for studying the stability of a genotype, namely the parametric and non-parametric approach. Parametric approach based on the assumption that genotype, environment and GEI have normal distribution. The non-parametric approach is an approach that links of the environment and phenotype, relative to environmental factors are biotic or abiotic without making the assumption of specific models. In practice, the breeding program combines these two approaches. The parametric approach is the best used if the assumption of the normal error distribution and interaction effect can be fulfilled. However, this assumption is very sensitive to not satisfied (violated), therefore it needs to find another alternative which is a non-parametric approach (Sabaghnia et al., 2006).

Several methods for non parametric stability analysis were used by Sabaghnia et al. (2006), Mohammadi et al. (2007), Solomon et al. (2007), Yaghotipoor and Farshadfar (2007), Mut et al., (2009), Shah et al. (2009), Balalic et al. (2011), Zali et al. (2011), Farshadfar et al. (2012) and Mahtabi et al. (2013). The non-parametric procedure is based on the position of genotypes in each environment. The genotypes are in the position (ranking) which is the same in each environment are classified as stable. Four measurements of non parametric phenotypic stability according to Nassar and Huehn (Nassar and Huehn, 1987) are the SI(1), SI(2), SI(3) and SI(6). SI(1) is the mean of the difference in the absolute position of a genotype in n environments. SI(2) is the variance among the rranks over the n environments. SI(3) is the sum of the absolute deviation. SI(6) is the sum of square of the ranking for each genotype relatively the mean of the rankings. The non-parametric stability according to Kang (1988) is the rank of sum (RS). The Kang method combines the yield value and variant of the Shukla stability. The highest mean of yield and the lowest variant are given first ranking, respectively. The sum of the two ranks produced the final index. Genotype which has the lowest index is the most stable. Estimation of the non-parametric stability according to the Fox Method (Fox et al., 1990) is a rank for each genotype for each environment which are classified into three parts, namely Top, Mid and Low. Genotype that is always on the Top is the most adaptive. Thennarasu (1995) gives estimates of stability of non parametric (NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4)) based on the ranks of adjusted means of the genotypes in each environment. The genotype is stable if its position is always fixed on the test environment.

In previous studies the parametric stability analysis of yield of chili pepper has been presented. IPB CH28, IPB

CH25, IPB CH1 and IPB CH2 were more stable hybrids than IPB CH3, IPB CH5, IPB CH50, Adipati and Biola, which had 10, 9, 8, and 6 out of all 10 stability statistics used, respectively. IPB CH28 and IPB CH25 being the most stable hybrids (Syukur et al., 2011). Non parametric stability analysis of yield of open pollinated chili pepper has been presented (Rahadi et al., 2013).

This study aims (i) to evaluate several genotypes of chili pepper hybrids which is the high yielding and stable based on some non-parametric stability analysis, (ii) to study the correlation among the stability of non-parametric methods.

MATERIALS AND METHODS This study was conducted at Ciherang, Tajur and

Leuwikopo (Bogor District, West Java; ± 190 m above sea level (asl)), Subang (Subang District, West Java; ± 47 m asl), Rembang (Rembang District, Central Java, ± 47 m asl;) and Boyolali (Boyolali District, Central Java ± 104 m asl). The research was conducted from November 2006 to May 2007 (at Ciherang, Leuwikopo and Tajur) and from January to June 2008 (at Subang, Rembang and Boyolali).

The materials used were 12 genotypes including seven genotypes of IPB’s hybrid chili pepper genotypes i.e. IPB CH1, IPB CH2 IPB CH3, IPB CH5, IPB CH25, IPB CH28, IPB CH50 and five commercial varieties i.e. Adipati, Gada, Biola, Hot Beauty and Imperial.

The experiment was arranged in randomized complete block design with two factors and three replications nested in environment. Each experimental unit consisted of 20 plants. A combined analysis of variance was performed across six environments, to study the genotype influence, environment effects and GEI. Barlett’s test for the analysis of variance was performed before the data were combined analyzed. The combined analysis of variance for several environments was conducted according to Syukur et al. (2012).

The cultivation techniques used in the six environments was a standard technique in chili pepper cultivation. One unit of the experiment consisted of 20 plants that were planted in beds measuring 1 m x 5 m covered with silver black plastic mulch, planting distance of 50 cm x 50 cm. Seedlings were transferred to the field after 4-6 leaves appeared (± 5 weeks old). Fertilization should be done every week, in the form of a solution of 10 g NPK Mutiara per liter of water, with a dose of 250 mL plant-1. Fertilizer of Gandasil D and B (2 g L-1 for each) were gives at vegetative and generative phase, respectively, and sprayed together with insecticides and fungicides treatment. Observed variable was yield (g plant-1)

The estimation of stability is based on the calculation of non parametric used by Sabaghnia et al. (2006), Mohammadi et al. (2007), and Solomon et al. (2007) as follow:

1

1''

)1( 12n

j

n

jjijiji nnrrS ;

n

jiiji nrrS

1

2

.)2( 1 ;

.

1

2.

)3(

i

n

jiij

i r

rrS

;

Page 34: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, and Darmawan Asta Kusumah34

n is the number of environments, rij is the rank of the ith genotype in the jth environment, is the average of the rank for all genotypes to the ith environment, rij* is corrected rank which is obtained based on the corrected phenotype values is the average rank of the corrected value, Mdi* is the rank median of the corrected value, Mdi is the median rank all environments. In addition the approach also used the Kang method (Kang, 1988) and Fox method (Fox et al., 1990). Data analysis used SAS software version 9 and excel 2003.

RESULTS AND DISCUSSION Based on the Barlett’s test, the data obtained were

homogenous for all study environments (p = 0.41). Therefore, the data analysis was continued to combine variance analysis. The combined variance analysis showed that genotypes, environment and GEI significantly influenced the yield. Sum square of environments contributes 83.51%, genotypes 8.33% and GEI 8.16% (Table 1). Thus, chili production will depend on the environmental conditions and the genotype.

The estimation of SI(1) is based on the mean of absolute rank differences of a genotype over the n environments and SI(2) is the variance among the ranks over the n environments (Nassar and Huehn, 1987). Both of these stability parameters result in similarity genotypes rank (Sabaghnia et al., 2006; Mut et al., 2009). For example, based on both these parameters, IPB CH3, IPB CH25 and imperial were the most stable genotype compared to other genotypes (Table 2 and 3).

Stability of the other parameters are SI(3) and SI(6). It combines the yield and stability based on the ranking of genotypes in each environment (Nassar and Huehn, 1987). The lowest value of the parameter indicates the most stable

genotype (Sabaghnia et al., 2006). Imperial, IPB CH3 and IPB CH5 were ranked 1, 2 and 3 based on the parameters of SI(3), respectively. IPB CH50 was the most unstable genotype. Based on the parameters SI(6), the three most stable genotype was the IPB CH5, Imperial and Adipati. The IPB CH50 was the most unstable genotype (Table 2 and 3).

The parameter rank-sum (RS) uses the variance of stability and yield (Kang, 1988). Genotypes with the lowest value of RS are the most desirable genotypes (Sabaghnia et al., 2006; Mut et al., 2009). According to the parameters of the RS, Gada and IPB CH28 were the most stable genotype followed by Biola and IPB CH1. IPB CH5 was the most unstable genotype (Table 2 and 3).

Non-parametric stability parameter Fox et al. (1990) divides each genotype into the top, medium and low based on the percentage of all test environments. The genotype on the top can adapt and stable in a test environment, relatively. Based on these parameters, IPB CH3 was the most stable, followed by the IPB CH25 and IPB CH1. Biola, Gada, Hot Beauty, Imperial and IPB CH5 were not stable (Tables 2 and 3).

Genotypes that have the lowest value of NPi(1), Ni(2), NPi(3) and NPi(4) was the most stable (Mut et al., 2009). Based on these parameters, Imperial was the most stable genotype, followed by Hot Beauty and Gada. IPB CH3 was the most unstable genotype (Tables 2 and 3).

Based on yield, IPB CH3 was ranked as the highest followed by IPB CH50, IPB CH25 and IPB CH28. The yield of IPB CH3 was higher than the other genotypes. IPB CH3 was the first rank based on non parametric stability parameter SI(1), SI(2), TOP and yield, while Imperial was the first rank based on the SI(3), RS, NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4) (Table 3).

Based on cluster analysis using the yield and 10 non-parametric stability parameters, genotypes clustered in four groups at 90% similarity level. The genotypes were in the same group has a similarity level of stability. Hot Beauty, IPB CH2, IPB CH1, IPB CH50 were in the same group (group 1). IPB CH25, IPB CH28 and IPB CH3 were in group 2, while Biola and IPB CH5 were in group 3, and Adipati, Imperial and Gada were in group 4 (Figure 1).

Each non-parametric stability methods result a unique ranking of genotype (Table 3). Yield correlated significantly (P <0.05) and positively to the SI(1) and NPi(2) parameters. In addition, the yield correlated highly significant (P <0.01) and

.

1.

)6(

i

n

jiij

i r

rrS

;

n

MrNP

n

jdiij

i

1)1( ;

n

MMrNP

n

jdidiij

i

1)2(

)/( ;

.

2.)3( /)(

i

iiji r

nrrNP

;

1

1'.'

)4(

)1(2 n

j

n

jjiijiji rrr

nnNP

.ir

( *ijx - ijx ), *

.ir

Source of variance df SS MS F test Contribution (%) Barlett testEnvironment (E) 5 4,150,013 830,003 200.16** 83.51 0.41ns

Replication/Environment 12 211,994 17,666 4.26**

Genotype (G) 11 414,184 37,653 9.08** 8.33G x E 55 405,544 7,374 1.78** 8.16Error 132 547,356 4,147Total 215 5,729,091

Tabel 1. Analysis of variance for yield of 12 chili pepper hybrids at 6 environments

Note: ** = significantly different (0.01); ns = not significantly different

Page 35: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Non Paramectric Stability Analysis...... 35

positive to TOP parameters, and negatively correlated to the SI(6), NPi(3) and NPi(4) parameters. SI(1) parameters positively correlated to SI(2) and TOP; SI(2) parameters positively correlated to the SI(3); SI(3) parameters positively correlated to the SI(4); and SI(6) parameters positively correlated to the NPi(4), and NPi(3).

TOP parameters had highly significant negative correlation to the NPi(2), NPi(3) and NPi(4). NPi(1) parameter had highly significant positive correlation to the NPi(2); NPi(2) parameter had highly significant positive correlation to the NPi(3) and NPi(4); NPi(3) parameter had highly significant positive correlation to the NPi(4) (Table 4). Similar results were also found in the writings of Sabaghnia et al. (2006).

Based on cluster analysis using the variable stability, yield and 10 methods of stability were clustered into 2 groups (at 85% similarity level). NPi(1) and NPi(2), NPi(3), NPi(4), SI(3) and SI(6) Parameters were in the same group (group 1). Parameters TOP, yield, SI(1), SI(2) and RS were in group 2 (Figure 2). According to Solomon et al. (2007), TOP, yield and RS parameters were on the same group, while SI(1) and SI(2) were in different groups.

Sabaghnia et al. (2006) and Mut et al. (2009) stated that TOP, yield and RS belong to the dynamic stability (agronomic stability), while eight other parameters include to the static stability. Dynamic stability is the stability associated with the yield response, in parallel with an

Genotype Yield(g plant-1) SI(1) SI(2) SI(3) SI(6) TOP MID LOW RS NPi(1) NPi(2) NPi(3) NPi(4)

Adipati 344.44 6.80 11.00 5.50 1.30 5.56 5.56 88.89 17 2.17 0.27 0.57 0.34Biola 348.84 7.07 9.20 5.11 1.78 0.00 5.56 94.44 11 3.50 0.32 0.58 0.47Gada 375.31 5.47 7.00 5.83 2.17 0.00 11.11 88.89 7 1.83 0.31 0.41 0.46Hot Beauty 362.52 6.80 12.60 7.88 2.38 0.00 11.11 88.89 13 3.17 0.32 0.75 0.56Imperial 344.04 4.53 4.60 2.09 1.00 0.00 16.67 83.33 15 0.83 0.07 0.23 0.12IPB CH1 414.12 5.73 11.20 11.20 3.60 16.67 5.56 77.78 11 3.17 1.06 0.92 0.85IPB CH2 372.44 6.93 11.00 7.86 2.43 5.56 16.67 77.78 15 3.17 0.35 0.91 0.49IPB CH25 430.65 3.87 4.60 7.67 3.00 27.78 11.11 61.11 12 3.17 1.58 1.68 1.27IPB CH28 418.07 4.53 6.20 7.75 2.25 11.11 11.11 77.78 7 2.50 0.63 1.48 0.83IPB CH3 555.51 1.20 0.80 4.00 2.00 55.56 22.22 22.22 13 3.50 3.50 5.43 5.20IPB CH5 256.64 6.93 10.40 4.33 0.83 0.00 5.56 94.44 22 4.50 0.64 0.40 0.44IPB CH50 436.88 5.33 17.40 43.50 8.50 11.11 11.11 77.78 13 2.83 0.57 1.77 1.73

Table 2. The yield and non-parametric stability parameters of 12 chili pepper hybrids at 6 environments

Note: SI(1), SI(2), SI(3), SI(6) were based on the parameters Nassar and Huehn (1987); TOP, MID, and LOW were parameters based on Fox et al. (1990); RS was based on the parameters Kang (1988); NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4) were parameters based Thennarasu (1995)

Genotype Yield SI(1) SI(2) SI(3) SI(6) TOP RS NPi(1) NPi(2) NPi(3) NPi(4)

Adipati 10 8 8 5 3 7 11 3 2 4 3Biola 9 12 6 4 4 12 4 10 5 5 5Gada 6 6 5 6 6 12 2 2 3 3 4Hot Beauty 8 9 11 10 8 12 8 6 4 6 7Imperial 11 3 3 1 2 12 10 1 1 1 1IPB CH1 5 7 10 11 11 3 4 8 10 8 9IPB CH2 7 10 9 9 9 7 10 7 6 7 6IPB CH25 3 2 2 7 10 2 5 9 11 10 10IPB CH28 4 4 4 8 7 5 2 4 8 9 8IPB CH3 1 1 1 2 5 1 8 11 12 12 12IPB CH5 12 11 7 3 1 12 12 12 9 2 2IPB CH50 2 5 12 12 12 5 8 5 7 11 11

Table 3. Rangking of 12 chili pepper hybrids based on 10 non parametric stability analysis and yield

Note: SI(1), SI(2), SI(3), SI(6) were based on the parameters Nassar and Huehn (1987); TOP, MID, and LOW were parameters based on Fox et al. (1990); RS was based on the parameters Kang (1988); NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4) were parameters based Thennarasu (1995)

Page 36: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, and Darmawan Asta Kusumah36

average response of genotype testing. The stability of a genotype depends on the contribution of other genotypes. Static stability is also called a biological stability. The

biologically stable genotypes tend to have a fixed level of productivity in all environments. The stability of a genotype is independent to the other genotypes.

Figure 1. Dendogram of 12 chili pepper hybrids based on 10 non parametric stability analysis and yield

Yield SI(1) SI(2) SI(3) SI(6) TOP RS NPi(1) NPi(2) NPi(3)

SI(1) 0.643*

(0.024)SI(2) 0.154 0.594*

(0.633) (0.042)SI(3) -0.427 0.126 0.727**

(0.167) (0.697) (0.007)SI(6) -0.713** -0.210 0.420 0.888**

(0.009) (0.513) (0.175) (0.000)TOP 0.802** 0.604* 0.192 -0.291 -0.558

(0.002) (0.037) (0.550) (0.360) (0.059)RS 0.484 0.217 0.217 -0.289 -0.397 0.174

(0.111) (0.499) (0.499) (0.362) (0.201) (0.588)NPi(1) -0.133 0.238 -0.084 -0.105 0.000 -0.262 0.116

(0.681) (0.457) (0.795) (0.746) -1.000 (0.412) (0.721)NPi(2) -0.629* -0.308 -0.224 0.154 0.378 -0.732** -0.181 0.755**

(0.028) (0.331) (0.485) (0.633) (0.226) (0.007) (0.574) (0.005)NPi(3) -0.923** -0.483 -0.028 0.469 0.706* -0.860** -0.289 0.336 0.720**

(0.000) (0.112) (0.931) (0.125) (0.010) (0.000) (0.362) (0.286) (0.008)NPi(4) -0.937** -0.483 0.007 0.504 0.748** -0.814** -0.354 0.350 0.727** 0.979**

(0.000) (0.112) (0.983) (0.095) (0.005) (0.001) (0.259) (0.265) (0.007) (0.000)

Table 4. Spearman correlation coefficient between the parameters of non parametric stability and yield

Note: * = significant at the level of 0.05; ** = significant at the level of 0.01; SI(1), SI(2), SI(3), SI(6) were based on the parameters Nassar and Huehn (1987); TOP, MID, and LOW were parameters based on Fox et al. (1990); RS was based on the parameter described by Kang (1988); NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4) were parameters based Thennarasu (1995)

Page 37: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Non Paramectric Stability Analysis...... 37

CONCLUSION Imperial was the most stable genotype based on the

stability of 5 non parametric methods, i.e SI(3), RS, NPi(1), NPi(2), NPi(3) and NPi(4). IPB CH3 was the stable genotype based on three non-parametric stability parameters, namely SI(1), SI(2) and TOP, however, yield of this genotype was higher than other genotypes. Yield was had highly significant positive correlation with parameters of TOP, and negatively correlated to the SI(6), NPi(3) and NPi(4) parameters. NPi(1) and NPi(2), NPi(3), NPi(4), SI(3) and SI(6) parameters were in the same group (group 1), while the TOP, yield, SI(1), SI(2) and RS were in group 2. Based on the non parametric stability test, the results could be classified into 2 groups, according to the agronomic and biological concepts of stability.

ACKNOWLEDGMENTS The authors would like to thank: (1) LPPM IPB who

has funded this study through: (a) Strategic research based on umbrella of IPB 2008, (b) Cooperation of LPPM IPB with PT. Heinz ABC Indonesia 2006, (c) Excellent research of IPB (RUI) 2005; (2) Habib, Teddy, Madhumita, Wahyu, Dimas and Sinta who had helped us in conducting the field experiments.

REFERENCES

Akcura, M., Y. Kaya, S. Taner, R. Ayranci. 2006. Parametric stability analyses for grain yield of durum wheat. Plant Soil Environ. 6:254-261.

Badan Pusat Statistik. 2011. Luas panen, produksi dan produktivitas cabai tahun 2010. http://www.bps.go.id. html [11 September 2011].

Balalic, I., M. Zoric, V. Miklic, N. Dusanic, S. Terzic, V. Radic. 2011. Non-parametric stability analysis of sunflower oil yield trials. HELIA 34:67-78.

Farshadfar, E., S.H. Sabaghpour, H. Zali. 2012. Comparison of parametric and non-parametric stability statistics for selecting stable chickpea (Cicer arietinum L.) genotypes under diverse environments. AJCS 6:514-524.

Fox, P.N., B. Skovmand, B.K. Thompson, H.J. Braun, R. Cormier. 1990. Yield and adaptation of hexaploid spring triticale. Euphytica 47:57-64.

Kang, M.S. 1988. A rank-sum method for selecting high-yielding, stable corn genotypes. Cereal Res. Comm. 16:113-115.

Mahtabi, E., E. Farshadfar, and M.M.Jowkar. 2013. Non parametric estimation of phenotypic stability in Chickpea (Cicer arietinum L.). Intl. J. Agri. Crop Sci. 5:888-895.

Mohammadi, R., A. Abdulahi, R. Haghparast, M. Aghaee, M. Rostaee. 2007. Nonparametric methods for evaluating of winter wheat genotypes in multi-environment trials. World J. Agric. Sci. 3:237-242.

Mut, Z., N. Aydin, H.O. Bayramoğlu, H. Özcan. 2009. Interpreting genotype × environment interaction in bread wheat (Triticum aestivum L.) genotypes using nonparametric measures. Turk J. Agric. For. 33:127-137.

Nassar, R., M. Huehn. 1987. Studies on estimation of phenotypic stability: Tests of significance for non-parametric measures of phenotypic stability. Biometrics 43:45-53.

Rahadi, V.P., M. Syukur, S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2013. Nonparametric stability analysis of yield for nine chili pepper (Capsicum annuum L.) genotypes in eight environments. Agrivita 35:193-200.

Figure 2. Dendogram of 10 non-parametric stability method based on the appearance of stability of 12 chili pepper hybrids at 6

environments

Page 38: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 32 - 38 (2014)

Muhamad Syukur, Sriani Sujiprihati, Rahmi Yunianti, and Darmawan Asta Kusumah38

Sabaghnia, N., H. Dehghani, S.H. Sabaghpour. 2006. Nonparametric methods for interpreting genotype x environment interaction of lentil genotypes. Crop. Sci. 46:1100-1106.

Shah, S.H., S.M. Shah, M.I. Khan, M. Ahmed, I. Hussain, K.M. Eskridge. 2009. Nonparametric methods in combined heteroscedastic experiments for assessing stability of wheat genotypes in Pakistan. Pak. J. Bot. 41:711-730.

Solomon, K.F., H.A. Smit, E. Malan, W.J. Du Toit. 2007. Comparison study using rank based nonparametric stability statistics of durum wheat. World J. Agric. Sci., 3:444-450.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R.Yunianti, D.A. Kusumah. 2010. Yield evaluation of pepper hybrids and their adaptation at four locations in two years. J. Agron. Indonesia 38:43-51.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, D.A. Kusumah. 2011. Parametric stability analysis for yield of chili pepper (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 39:31-37.

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Thennarasu, K. 1995. On certain non-parametric procedures for studying genotype–environment interactions and yield stability. Ph.D. thesis. P.J. School, IARI, New Delhi, India.

Yaghotipoor, A., E. Farshadfar. 2007. Non-parametric estimation and component analysis of phenotypic stability in chickpea (Cicer arietinum L.). Pak. J. Biol. Sci. 10:2646-2652.

Zali, H., E. Farshadfar, S.H. Sabaghpour. 2011. Non-parametric analysis of phenotypic stability in chickpea (Cicer arietinum L.) genotypes in Iran. Crop Breeding Journal 1:89-101.

Page 39: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 39 - 43 (2014)

39Viabilitas Awal, Daya Simpan......

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Kemangi (Ocimum basilicum L.) adalah tanaman

sayuran yang dikonsumsi di berbagai negara, di antaranya Indonesia. Selain digunakan sebagai sayuran, daun kemangi juga digunakan untuk mencegah tumor (Dasgupta et al., 2004), sakit kepala, dan inflamasi pada telinga (Andarwulan et al., 2010). Ekstrak daun kemangi juga berguna untuk membasmi larva nyamuk (Maurya et al., 2009). Kemangi

mengandung berbagai senyawa fitokimia, namun senyawa fenolik merupakan kontributor utama bagi aktivitas antioksidan (Hodzic et al., 2009). Total kandungan fenol pada kemangi sebesar 0.812 ± 0.119 mg GAE (g bobot basah)-1 (Andarwulan et al., 2010).

Perbanyakan tanaman kemangi umumnya dilakukan secara generatif. Budidaya kemangi sebaiknya menggunakan benih yang memiliki mutu yang tinggi. Viabilitas benih yang tinggi akan menghasilkan produksi maksimal. Informasi mengenai viabilitas benih kemangi pada saat panen, selama di penyimpanan, dan upaya untuk meningkatkan viabilitas benih belum banyak diteliti.

Viabilitas Awal, Daya Simpan dan Invigorasi Benih Kemangi (Ocimum basilicum L.)

Initial Viability, Storability and Invigoration Treatments of Basil (Ocimum basilicum L.) Seed

Faiza Chairani Suwarno*, Maryati Sari, dan Raden Enen Rindi Manggung

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 17 Juni 2013/Disetujui 27 Desember 2013

ABSTRACT

Basil (Ocimum basilicum L.) is cultivated in many countries as vegetable crop, and as herbal medicine or pesticide for mosquito larvae, but there is limited information on its seed viability. Three experiments were conducted at Seed Science and Technology Laboratory Departement of Agronomy and Horticulture IPB from January to June 2011. Experiment one tested viability of basil seeds with different maturation obtained from different fruit maturity and drying treatment. Experiment two stored basil seed for 12 weeks in ambient condition and tested seed viability weekly. In experiment three, two seed lots that have been stored for 2 and 14 weeks in ambient condition were invigorated with GA3 1,000 ppm and KH2PO4 1.5% and light treatment 820 lux m-2. It was revealed that basil seed was physiologically mature at 44-49 days after flowering with 12.5% moisture content and low viability of 34.0%. After-ripening period of basil seed was two week where the seed viabilty increase to 56.7%. Seed viability did not significantly change during 12 weeks stored in ambient condition. Maximum viability of basil seed (64.34-66.52%) could be achieved by invigoration treatment with GA3 1,000 ppm and light treatment 820 lux m-2.

Keywords: dormancy, germination, seed maturity, vegetable crop

ABSTRAK Kemangi merupakan tanaman yang dibudidayakan di berbagai negara, selain sebagai sayuran juga untuk obat herbal

atau pestisida larva nyamuk. Tanaman ini diperbanyak secara generatif, namun informasi mengenai viabilitas benih masih terbatas. Penelitian terdiri atas tiga percobaan dan dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan Januari sampai Juni 2011. Percobaan satu menguji viabilitas benih kemangi pada beberapa tingkat kemasakan berdasarkan umur buah dan lama pengeringan. Percobaan dua adalah penyimpanan benih selama 12 minggu pada kondisi kamar, kemudian viabilitas benih diuji setiap minggu. Percobaan tiga menguji dua lot benih yang telah disimpan selama 2 dan 14 minggu, selanjutnya dilakukan invigorasi menggunakan GA3 1,000 ppm, KH2PO4 1.5% dan perlakuan cahaya 820 lux m-2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih kemangi mencapai masak fisiologi pada 44-49 hari setelah berbunga dengan kadar air 12.5% dan daya berkecambah 34.0%. Benih kemangi mengalami periode after-ripening selama 2 minggu, setelah itu viabilitas benih meningkat menjadi 56.7%. Benih yang disimpan selama 12 minggu pada kondisi kamar tidak menunjukkan perubahan viabilitas secara nyata. Perlakuan invigorasi terbaik yang menghasilkan viabilitas benih tertinggi (64.34-66.52%) adalah perendaman benih dalam larutan GA3 1,000 ppm dan perlakuan cahaya 820 lux m-2.

Kata kunci: dormansi, kemasakan benih, perkecambahan, tanaman sayuran

Page 40: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 39 - 43 (2014)

40 Faiza Chairani Suwarno, Maryati Sari, dan Raden Enen Rindi Manggung

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas awal, viabilitas selama penyimpanan, dan perlakuan untuk meningkatkan viabilitas (invigorasi) benih kemangi.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan

Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan Januari sampai Juni 2011. Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu (1) Viabilitas benih saat masak fisiologi, (2) Viabilitas benih selama penyimpanan dan (3) Perlakuan invigorasi benih.

Percobaan pertama dilakukan saat benih dalam proses pemasakan (physiological maturity) dengan buah berwarna hijau kekuningan hingga cokelat pada umur 41 hingga 49 hari setelah berbunga (HSB). Benih diambil dari tandan buah segar, sebagian benih langsung diekstraksi, sebagian lagi dikeringkan pada kondisi kamar selama 2-4 hari (Tabel 1). Benih kemangi tergolong kecil dengan bobot 1,000 butir sebesar 1.174 g dan kadar air 11%, sehingga viabilitas benih diuji dengan metode uji di atas kertas (UDK) atau top of paper (TP) (Purbojati dan Suwarno, 2006). Benih ditanam di atas kertas tisu yang diletakkan pada boks dengan ukuran 20 cm x 14 cm x 9 cm. Benih dikecambahkan pada kondisi kamar (suhu 20-29 oC dan RH 72-96%).

Percobaan ke-2 menggunakan benih yang telah mencapai masak fisiologi kemudian dikeringkan selama 2 hari dengan daya berkecambah 38.9% dan kadar air 11.8%. Benih dikemas dalam plastik polietilen (PE), selanjutnya disimpan pada kondisi kamar selama 12 minggu. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan satu faktor yaitu periode simpan terdiri atas tujuh taraf, yaitu 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 minggu.

Percobaan ke-3 adalah perlakuan invigorasi benih yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu percobaan pendahuluan untuk mendapatkan perlakuan terbaik dan percobaan invigorasi berdasarkan perlakuan terbaik yang diperoleh dari percobaan pendahuluan. Percobaan pendahuluan menggunakan 10 perlakuan invigorasi yaitu kontrol, benih direndam air selama 9 jam, benih direndam dalam larutan GA3 250, 500, 750 dan 1,000 ppm selama 9 jam, dan benih direndam dalam larutan KH2PO4 0.5, 1.0, 1.5 dan 2% selama 9 jam. Benih yang telah diberi perlakuan, kemudian dikecambahkan pada kondisi kamar. Perlakuan invigorasi

yang terpilih adalah perlakuan yang menghasilkan viabilitas tinggi. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak satu faktor yaitu perlakuan benih.

Percobaan invigorasi berikutnya menggunakan perlakuan terpilih yaitu GA3 1,000 ppm, KH2PO4 1.5%, dan air. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor yaitu perlakuan invigorasi terpilih dan perlakuan cahaya. Benih yang digunakan terdiri atas dua lot, yaitu lot A yang telah disimpan 2 minggu dan lot B disimpan 14 minggu. Kedua lot benih diberi perlakuan invigorasi terpilih, kemudian dikecambahkan pada dua perlakuan cahaya yaitu tanpa cahaya (gelap) dan cahaya lampu 820 lumen (lux m-2) dalam kabinet berukuran 100 cm x 50 cm x 75 cm.

Peubah yang diamati adalah daya berkecambah (DB) yang diamati pada hari ke 5 dan 7, indeks vigor (IV) pada hari ke 5, dan kecepatan tumbuh (KCT) diamati setiap hari hingga hari ke 7. Setiap satuan percobaan menggunakan 50 butir benih dengan tiga ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air dan Viabilitas Benih Kemangi pada Saat Masak Fisiologi

Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa benih kemangi

mencapai masak fisiologi pada 44-49 HSB dengan ciri-ciri buah berwarna cokelat, benih berwarna hitam, dan kadar air benih 12.5%. Penundaan saat panen lebih dari 49 HSB menyebabkan benih menjadi keras, sulit diekstraksi, dan sebagian benih keluar dari buah. Benih yang keluar dari buah apabila terkena hujan akan membentuk jeli di permukaan benih, kemudian saling menempel dengan benih yang lain dan mengeras sehingga sulit dipisahkan.

Benih kemangi memiliki daya berkecambah yang rendah pada saat masak fisiologi sebesar 34.0%. Apabila benih dikeringkan selama 2 hari maka kadar air benih menjadi 11.8%, daya berkecambah 38.9% dan indeks vigor 25.8%. Benih kemangi yang disimpan selama 2 minggu pada kondisi kamar nilai daya berkecambah dan indeks vigor meningkat menjadi 56.7% dan 32% (Tabel 1). Peningkatan viabilitas tersebut menunjukkan bahwa benih kemangi mengalami after-ripening selama 2 minggu. Umumnya

Tingkat kemasakan dan pengeringan buah KA (%)

DB (%)

KCT (% etmal-1)

IV (%)

Buah hijau kekuningan, umur 41-43 HSB 28.1 25.0 4.7 7.5Buah hijau kekuningan, umur 41-43 HSB, dikeringkan 4 hari 12.3 26.3 5.0 16.2Buah cokelat mulai mengering, umur 44-49 HSB 12.5 34.0 6.9 20.3Buah cokelat mulai mengering, umur 44-49 HSB, dikeringkan 2 hari 11.8 38.9 7.4 25.8Buah cokelat mulai mengering, umur 44-49 HSB, dikeringkan 2 hari, benih disimpan pada kondisi kamar selama 1 minggu

10.2 56.7 9.8 32.0

Tabel 1. Kadar air dan viabilitas pada beberapa tingkat kemasakan dan perlakuan pengeringan benih kemangi

Keterangan: HSB = hari setelah berbunga; KA = kadar air; DB = daya berkecambah; KCT = kecepatan tumbuh; IV = indeks vigor

Page 41: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 39 - 43 (2014)

41Viabilitas Awal, Daya Simpan......

benih yang mengalami after-ripening membutuhkan waktu penyimpanan kering selama 2 minggu sampai dengan beberapa bulan tergantung dari benihnya. Ekpong (2009) menyatakan bahwa benih kubis Afrika (Cleome gynandra L.) perlu disimpan selama 3 bulan pada kondisi kamar agar dapat berkecambah. Menurut Santika (2006) pada padi gogo varietas Sentani memiliki periode after-ripening selama 2 minggu, varietas Arias selama 4 minggu, varietas Way Rarem selama 5 minggu, varietas Tondano, Singkarak, Danau Tempe, dan Danau Atas selama 6 minggu, varietas Klemas dan Batur selama 7 minggu, sedangkan varietas Dodokan selama 8 minggu.

Viabilitas dan Vigor Benih Selama di Penyimpanan

Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa benih kemangi yang disimpan selama 2 minggu tidak lagi mengalami peningkatan viabilitas (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa benih kemangi hanya mengalami after-ripening selama 2 minggu. Doijode (2001) menyatakan bahwa benih pepaya (Carica papaya L.) mengalami after ripening selama 35 hari sedangkan pada benih paprika (Capsicum annuum L.) selama 4 hari.

Periode simpan 2 hingga 12 minggu menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan viabilitas benih yang nyata. Daya berkecambah benih berkisar antara 56.7-58.7%, indeks vigor 42.7-44.8%, kecepatan tumbuh 10.78-10.82% etmal-1, dan kadar air benih 10.2-12.1%. Rendahnya viabilitas benih kemangi kemungkinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik (seperti pada benih wortel hanya berpotensi untuk berkecambah sebesar 60%), keseimbangan antara promotor (GA3) dan inhibitor (ABA), serta kebutuhan akan ion-ion sebagai kofaktor enzim seperti kalium dan cahaya untuk mensintesis giberelin.

Percobaan Pendahuluan Perlakuan Invigorasi

Perlakuan invigorasi menggunakan GA3 dan KH2PO4 pada kondisi kamar tidak mempengaruhi viabilitas benih secara nyata, meskipun nilai yang dihasilkan meningkat dari 56.7% (kontrol) menjadi 76% (KH2PO4 1.5%) dan 77% (GA3 1,000 ppm) (Tabel 3). Hal ini diduga lot benih yang

digunakan tidak seragam karena memiliki ukuran benih yang beragam. Selain itu, pada saat pengujian viabilitas sebagian benih terkena cahaya (dekat jendela laboratorium), sehingga koefisien keragaman (KK) percobaan ini mencapai 13.43%. Meskipun demikian, perlakuan yang menghasilkan viabilitas benih tertinggi adalah KH2PO4 1.5% dan GA3 1,000 ppm yang digunakan sebagai perlakuan terpilih untuk percobaan berikutnya.

Perlakuan Invigorasi Terpilih dan Cahaya terhadap Viabilitas Benih

Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa selain cahaya, GA3 memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya berkecambah benih, baik pada lot A yang telah disimpan 2 minggu maupun lot B yang telah disimpan 14 minggu (Tabel 4). Benih lot A yang dikecambahkan dalam keadaan tanpa cahaya, nilai daya berkecambah sangat rendah 24.64% yang diberi perlakuan KH2PO4 1.5% dan 24.66% diberi perlakuan air, kecuali apabila diberi perlakuan GA3 1,000 ppm nilai daya berkecambah menjadi 53.21%. Sebaliknya, perlakuan GA3 1,000 ppm, KH2PO4 1.5% maupun kontrol air dalam keadaan ada cahaya menjadi tidak berbeda nyata yang menghasilkan daya berkecambah benih berkisar antara 53.23-66.52%. Hal ini menunjukkan bahwa benih kemangi memerlukan cahaya untuk perkecambahannya. Fenomena ini terjadi juga pada benih guayule (Parthenium argentatum Gray) dalam keadaan gelap menghasilkan daya berkecambah 18.3% sedangkan yang diberi cahaya 63.3%. Tanpa cahaya, perlakuan GA3 50, 150 dan 250 ppm juga dapat meningkatkan daya berkecambah benih tersebut menjadi 63.4%, 76.0%, dan 86.0%. Pemberian GA3 mendorong pertumbuhan benih guayule dan menggantikan kebutuhan cahaya untuk mematahkan dormansi (Dissanayake et al., 2010).

Perlakuan cahaya juga dapat meningkatkan daya berkecambah benih dengan perlakuan air sebesar 48.55%, GA3 64.34%, KH2PO4 1.5% sebesar 40.96% pada benih lot B yang disimpan lebih lama (14 minggu). Kondisi tanpa cahaya, pemberian GA3 1,000 ppm juga dapat menghasilkan daya berkecambah yang tinggi yaitu 51.68%, sedangkan perlakuan KH2PO4 1.5% hanya menghasilkan 17.83% dan perlakuan air menghasilkan 18.84%.

Periode simpan(minggu)

Kadar air (%)

Daya berkecambah (%)

Indeks vigor (%)

Kecepatan tumbuh (% etmal-1)

0 11.8 38.9 25.8 7.032 10.2 56.7 44.8 10.784 11.1 60.0 42.7 11.016 11.4 52.0 40.0 9.718 11.6 55.3 43.3 10.3810 11.1 52.7 40.7 9.8512 12.1 58.7 42.7 10.82

Tabel 2. Kadar air dan viabilitas benih kemangi selama disimpan pada kondisi kamar

Keterangan: Pengujian viabilitas dan vigor benih dilakukan dengan metode uji di atas kertas (UDK) pada suhu kamar (20 0C-29 0C) dan RH 72%-6%

Page 42: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 39 - 43 (2014)

42 Faiza Chairani Suwarno, Maryati Sari, dan Raden Enen Rindi Manggung

Hasil penelitian Ortega-Baes dan Rojas-Arechiga (2007) pada benih Trichocereus terscheckii juga menunjukkan bahwa perlakuan GA3 1,000 ppm dapat meningkatkan daya berkecambah dari 53% (kontrol) menjadi 66%. Kambizi et al. (2006) menyatakan bahwa benih Withania somnifera L. membutuhkan cahaya berganti dengan gelap (tanpa cahaya) selama 16 dan 8 jam untuk mendapatkan viabilitas benih 36-46%. Benih Withania somnifera L. diduga selain membutuhkan cahaya, juga memerlukan suhu berganti.

Hasil percobaan invigorasi menunjukkan bahwa cahaya dan GA3 merupakan faktor penting untuk mendorong perkecambahan benih kemangi, tetapi tidak dengan perlakuan KH2PO4. Pengaruh cahaya terhadap peningkatan daya berkecambah benih berkaitan dengan fitokrom yang merupakan pigmen yang mengabsorbsi cahaya. Fitokrom merah (P-r) mengabsorpsi cahaya merah dan berubah menjadi fitokrom inframerah (aktif). Fitokrom inframerah mengatur biosintesis giberelin selama perkecambahan. Fitokrom inframerah (P-fr) kemudian mengabsorbsi cahaya inframerah dan berubah lagi menjadi fitokrom merah (P-r) (pasif). Fenomena photoreversible yang dapat mengatur benih untuk berkecambah atau dorman karena fitokrom dalam bentuk aktif atau pasif (Jian-wei et al., 2011).

Fungsi giberelin dalam proses metabolisme benih adalah mengaktifkan enzim amilase untuk merombak polisakarida (pati) menjadi monosakarida (glukosa). Perombakan tersebut sangat mempengaruhi proses perkecambahan benih untuk tumbuh menjadi kecambah normal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan benih terhadap cahaya dapat digantikan dengan perlakuan GA3 1,000 ppm, tetapi tidak dengan perlakuan KH2PO4.

Perlakuan KH2PO4 berfungsi sebagi sumber kation K+ dalam proses metabolisme perkecambahan benih dimana K+ berfungsi sebagai kofaktor beberapa enzim diantaranya enzim kinase (Widajati, 1999). Kekurangan K+ mengakibatkan terhambatnya sintesis protein. Bertambahnya fosfat (PO4-) dengan perlakuan KH2PO4 juga meningkatkan ATP di dalam benih sebagai sumber energi untuk perkecambahan. Benih kemangi lot A dan lot B tampak tidak mengalami defisiensi K+ maupun PO4-. Perkecambahan benih kemangi pada kondisi tanpa GA3 tetapi ada cahaya sama dengan kondisi gelap ditambah GA3. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi GA3 dapat menggantikan faktor cahaya.

Perlakuan invigorasi Daya berkecambah (%)Kontrol (kering) 56.7Air 60.0GA3 250 ppm 70.5GA3 500 ppm 64.3GA3 750 ppm 73.9GA3 1,000 ppm 77.0KH2PO4 0.5% 66.2KH2PO4 1.0% 63.0KH2PO4 1.5% 76.0KH2PO4 2.0% 69.5

Tabel 3. Daya berkecambah benih kemangi pada berbagai perlakuan invigorasi

Keterangan: Benih yang digunakan adalah benih yang telah disimpan 1 minggu pada kondisi kamar. Perlakuan invigorasi dan pengujian daya berkecambah benih dilakukan pada kondisi kamar (suhu 20-29 0C dan RH 72-96%)

Perlakuan invigorasiKondisi perkecambahan

Rata-rataGelap Cahaya

Lot benih A (telah disimpan 2 minggu)Air 24.66b 54.93a 39.79QGA3 1,000 ppm 53.21a 66.52a 53.21PKH2PO4 1.5% 24.64b 53.23a 38.94Q

Rata-rata 34.17Y 53.23XLot benih B (telah disimpan 14 minggu)

Air 18.84c 48.55b 33.69QGA3 1,000 ppm 51.68a 64.34a 58.01PKH2PO4 1.5% 17.83c 40.96b 29.39Q

Rata-rata 29.45Y 51.28X

Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi dan cahaya terhadap daya berkecambah benih kemangi

Keterangan: Angka pada masing-masing lot yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada baris atau kolom yang sama, dan angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris atau kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Page 43: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 39 - 43 (2014)

43Viabilitas Awal, Daya Simpan......

KESIMPULAN

Benih kemangi mencapai masak fisiologi pada umur 44 sampai 49 hari setelah berbunga dengan ciri-ciri buah berwarna cokelat, benih berwarna hitam dan kadar air benih 12.5%. Benih kemangi memiliki daya berkecambah yang rendah pada saat masak fisiologi sebesar 34.0%. Periode after ripening dialami oleh benih kemangi selama disimpan 2 minggu. Benih kemangi yang disimpan selama 12 minggu tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada semua peubah viabilitas yang diamati, nilai daya berkecambah berkisar antara 56.7-58.7%, indeks vigor 42.7-44.8%, kecepatan tumbuh 10.78-10.82% etmal-1, dan kadar air benih 10.2-12.1%. Perlakuan invigorasi benih yang terbaik adalah kombinasi perlakuan cahaya dan GA3 yang menghasilkan daya berkecambah tertinggi yaitu 66.52% untuk benih yang disimpan 2 minggu dan 64.34% untuk benih yang disimpan 14 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, A., R. Batari, D.A. Sandrasari, B. Bolling, H. Wijaya. 2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food Chem. 121:1231-1235.

Dasgupta, T., A.R. Rao, P.K. Yadava. 2004. Chemomodulatory efficacy of basil leaf (Ocimum basilicum) on drug metabolizing and antioxidant enzymes, and on carcinogen-induced skin and forestomach papillomagenesis. Phytomedicine 11:139-151.

Dissanayake, P., D.L. George, M.L. Gupta. 2010. Effect of light, gibberellic acid and abscisic acid on germination of guayule (Parthenium argentatum Gray) seed. Ind. Crop. Prod. 32:111-117.

Doijode, S.D. 2001. Seed Storage of Horticulture Crops.Food Product Press, New York.

Ekpong, B. 2009. Effect of seed maturity and pre-germination on seed germination of cleome (Cleome gynandra L.). Sci. Hort. 119:236-240.

Hodzic, Z., H. Pasalic, A. Memisevic, M. Srabovic, M. Polyakovic. 2009. The influence of total phenols content on antioxidant capacity in the whole grain extract. European J. Sci. Res. 28:471- 477.

Jian-wei, G., L. Jing, X.Yan-jiu, Z. Xin, X. Xian-zhi. 2011. Function of phytochrome in rice growth and development. Rice Sci. 18:231-237.

Kambizi, L., P.O. Adebola, A.J. Afolayan. 2006. Effect of temperature, pre-chilling and light on seed germination of Withania somnifera L., a high value medicinal plant. S. Afr. J. Bot. 72:11-14.

Maurya, P., P. Sharma, L. Mohan, L. Batabyal, C.N. Srivastava. 2009. Evaluation of the toxicity of different phytoextracts Ocimum basilicum against Anopheles stephensi and Culex quinquefasciatus. J. Asia-Pacific Entomol. 12:113-115.

Ortega-Baes, P., M. Rojas-Arechiga. 2007. Seed germination of Trichocereus terscheckii (Cactaceae): light, temperature and gibberellic acid effects. J. Arid Environ. 69:169-176.

Purbojati, L., F.C. Suwarno, 2006. Studi alternatif substrat kertas untuk pengujian viabilitas benih dengan metode uji diatas kertas. Bul. Agron. 34:55-61.

Santika, A. 2006. Teknik pengujian masa dormansi benih padi (Oryza sativa L.). Buletin Teknik Pertanian 11:67-71.

Widajati, E. 1999. Deteksi vigor biokimia dan vigor fisiologi untuk fenomena pemulihan vigor pada tingkat awal deteriorasi dan devigorasi benih kedelai (Glycine max L.) melalui proses invigorasi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 44: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

44 Mia Kosmiatin, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Induksi Embriogenesis Somatik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam (Citrus nobilis Lour.) cv Simadu

Somatic Embryogenesis Induced from Endosperm Tissues of Tangerine (Citrus nobilis Lour.) cv Simadu

Mia Kosmiatin1*, Agus Purwito2, Gustaff Adolf Wattimena2, dan Ika Mariska1

1Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No 3A, Bogor 16111, Indonesia2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 12 April 2013/Disetujui 4 September 2013

ABSTRACT

Triploid plants can be obtained from endosperm tissues through somatic embryogenesis regeneration. This research aimed to obtain somatic embryogenesis regeneration technique of tangerine endosperm. There were 3 experiments conducted in this research: 1) Embryogenic callus induction of tangerine endosperm. Endosperms isolated from fruits that were harvested from mother plants 11-13 weeks after anthesis and cultured on Murashige and Skoog (MS) medium by modified vitamin Morel and Wetmore (MW) which treated by 0.1 mg L-1 biotin, 500 mg L-1 malt extract (ME), 500 mg L-1 Casein hydrolisate (CH), 500 mg L-1 ME + 0.1 mg L-1 biotin, and 500 mg L-1CH + 0.1 mg L-1 biotin, 2) Maturation and germination of somatic embryos conducted by embryogenic callus cultured on MS medium by vitamin MW modified with addition of ABA, glutamine, and biotin, and 3) Plantlet elongation conducted on MS medium modified by MW vitamin with addition of GA3 and Kinetin. The best induction medium for embryogenic callus was modified MS enriched with 3 mg L-1 BA and 500 L-1 CH or ME, in succession 84.0 and 80.0%. The best medium for somatic embryos maturation with normal morphological plantlets (54.8%) was modified MS medium without plant growth regulator with higher rate of solidified agent (from 2.5 to 3 g L-1 Phytagel). Plantlets elongation was highly (0.9 cm) occurred on modified MS with enriched of 2.5 mg L-1 GA3.

Keywords: Citrus nobilis (Lour.), endosperm culture, in vitro, Simadu tangerine

ABSTRAK

Tanaman triploid untuk produksi buah tanpa biji dapat dihasilkan dari jaringan endosperma yang diregenerasi secara embriogenesis somatik. Penelitian bertujuan untuk memperoleh teknik regenerasi melalui embriogenesis somatik dari jaringan endosperma jeruk Siam Simadu. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap yaitu 1) Induksi pembentukan kalus embriogenik dari jaringan endosperma yang diisolasi dari buah berumur 11-13 minggu setelah antesis pada media Murashige dan Skoog (MS) modifikasi vitamin Morel dan Wetmore (MW) dengan perlakuan penambahan biotin, ekstrak malt (ME), kasein hidrolisat (CH), ME + biotin, dan CH + biotin, 2) Pendewasaan dan perkecambahan struktur embrio somatik dengan mengkulturkan kalus embriogenik pada media MS modifikasi vitamin MW dengan perlakuan penambahan ABA, Glutamin, dan biotin, dan 3) Pemanjangan planlet dilakukan pada media MS modifikasi vitamin MW dengan penambahan GA3 dan Kinetin. Induksi kalus embriogenik terbaik diperoleh dari media MS modifikasi dengan penambahan 3 mg L-1 BA dan 500 mg L-1 CH atau ME berturut-turut 84.0 dan 80.0%. Persentase pendewasaan embrio somatik (ES) dengan morfologi embrio normal terbanyak yaitu 54.8% diperoleh dari media MS modifikasi tanpa zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi pemadat ditingkatkan dari 2.5 menjadi 3 g L-1 Phytagel. Pada media yang sama, ES dapat berkecambah secara langsung. Pemanjangan planlet terbaik yaitu 0.9 cm, dilakukan pada media MS modifikasi dengan penambahan 2.5 mg L-1 GA3.

Kata kunci: Citrus nobilis (Lour.), in vitro, jeruk Siam Simadu, kultur endosperma

PENDAHULUAN Embriogenesis somatik adalah proses regenerasi

tanaman melalui pembentukan struktur seperti embrio yang

diinduksi dari sel-sel somatik atau gamet (Dodeman et al., 1997). Embrio somatik secara fisiologi dan morfologi memiliki tahapan perkembangan embrio yang sama dengan embrio zigotik (Deo et al., 2010). Dalam pemuliaan modern, embriogenesis somatik sangat penting karena dapat meregenerasikan satu sel tanaman yang sudah dimanipulasi baik dengan transformasi maupun mutasi menjadi tanaman lengkap, sehingga sel tanaman tersebut dapat diregenerasikan

Page 45: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

45Induksi Embriogenesis Somatik dari......

menjadi tanaman lengkap (Manrique-Trujillo et al., 2013; Gray, 2005), dan mengekspresikan perubahannya. Hampir seluruh sel kompeten tanaman dapat diinduksi menjadi sel embriogenik karena sel tanaman memiliki kemampuan totipotensi sel (Mujib et al., 2005). Totipotensi sel adalah kemampuan satu sel atau protoplas tanaman sebagai satu individu untuk membentuk tanaman atau individu yang lengkap (Toonen et al., 1994).

Endosperma merupakan jaringan tanaman yang bersifat triploid, karena berasal dari fertilisasi dua inti polar (♀) dan satu sperma (♂) (Berger, 2003). Endosperma jeruk siam bertipe inti bebas (nuclear endosperm), dimana endosperma primer hasil fertilisasi ganda melakukan pembelahan inti tetapi tidak langsung membentuk dinding sel. Selulerisasi sel endosperma berlangsung bertahap sehingga perkembangan sel-sel endosperma tidak seragam. Keberagaman ini juga terjadi karena endosperma berfungsi sebagai nourishing cell dan pelindung kehidupan embrio. Pada jeruk Siam Simadu, setelah fertilisasi ganda, sel-sel haploid antipodal tidak terdegradasi dan perkembangan embrio nuselar yang tidak bersamaan dengan embrio zigotik dapat mengkontaminasi jaringan triploid endosperma (Kosmiatin, 2013). Metode untuk meregenerasikan satu sel triploid menjadi tanaman triploid diperlukan untuk menghindarkan terbentuknya regeneran yang miksoploid. Tanaman triploid akan menghasilkan buah tanpa biji karena ketidakseimbangan perpasangan kromosom saat meiosis (Hoshino et al., 2011).

Keberhasilan embriogenesis somatik yang diinduksi dari jaringan endosperma ditentukan oleh berbagai faktor (Hoshino et al., 2011). Faktor penentu keberhasilannya antara lain tahap perkembangan jaringan endosperma dan formulasi media. Pada jeruk manis (C. sinensis) dan mandarin (C. reticulata), kultur endosperma yang diisolasi dari buah umur 12 minggu setelah antesis berhasil menginduksi pembentukan kalus, tetapi regenerasi tunas triploidnya belum dilaporkan (Usman et al., 2008). Embriogenesis somatik pada jaringan diploid jeruk Siam Simadu sudah dikuasai dengan eksplan embrio nuselar pada media dengan penambahan BA dan bahan organik (Husni et al., 2010), tetapi embriogenesis dari jaringan endosperma triploid jeruk Siam Simadu sampai saat ini belum dilaporkan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi media untuk induksi kalus embriogenik, pendewasaan dan perkecambahan serta pemanjangan planlet dari jaringan endosperma jeruk Siam Simadu.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Sel

dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian dan Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Oktober 2012.

Bahan tanaman yang digunakan adalah jaringan endosperma dari buah jeruk Siam Simadu yang berumur

11-13 minggu setelah antesis. Jaringan endosperma diisolasi dari buah yang sudah disterilisasi permukaannya dengan cara direndam dalam alkohol 96% kemudian dilalukan pada api Bunsen, proses ini dilakukan 3 kali. Penyiapan media kultur dilakukan dengan menambahkan 30 g L-1 gula pasir, mengatur kemasaman media menjadi 5.8 dan memadatkannya dengan 2.5 g L-1 phytagel (Sigma). Media disterilisasi dengan otoklaf pada temperatur 121 oC selama 15 menit.

Induksi Pembentukan Kalus Embriogenik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam Simadu

Jaringan endosperma (berupa jelly) diisolasi dari biji di bawah mikroskop untuk memisahkannya dari embrio zigotik dan nuselar. Endosperma dikulturkan pada media induksi pembentukan kalus (Husni et al., 2010), yaitu media dasar MS modifikasi formulasi vitamin media MW (Morel dan Wetmore 1951). Media dasar ditambah dengan 3 mg L-1 BA, 30 g L-1 gula pasir. Sebagai perlakuan, ditambahkan (1) 0.1 mg L-1 biotin, (2) 500 mg L-1 ekstrak malt (ME), (3) 500 mg L-1 kasein hidrolisat (CH), (4) 0.1 mg L-1 biotin + 500 mg L-1 ME, dan (5) 0.1 mg L-1 biotin + 500 mg L-1 CH. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 5 eksplan endosperma.

Kultur endosperma diinkubasi dengan pencahayaan rendah dari lampu TL 40 W 220 V (± 600 lux) selama 16 jam hari-1, suhu 21-25 oC. Pengamatan dilakukan 12 minggu setelah penanaman in vitro terhadap persentase pembentukan kalus embriogenik yang diamati secara kasat mata terhadap struktur kalusnya.

Pendewasaan dan Perkecambahan Embriosomatik

Bahan tanaman yang digunakan adalah ± 0.1 g kalus embriogenik dari penelitian 1 yang disubkultur pada media tanpa zat pengatur tumbuh (ZPT). Formulasi media pendewasaan adalah media MS modifikasi vitamin MW dengan penambahan 0; 0.5; 1.0; 1.5; 2.0; 2.5 mg L-1 ABA, 250 mg L-1 glutamin, 7 mg L-1 biotin, dan 0.5 g L-1 phytagel. Biakan diinkubasi pada ruang kultur dengan penyinaran lampu Tl 60 W 220 V (±1,000 lux), penyinaran 16 jam hari-1, suhu 21-25 oC.

Penelitian dirancang dengan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri satu populasi sel (± 0.1 g). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah Embrio Somatik (ES) total, globular, pendewasaan ES (bentuk hati, torpedo, kotiledon) dan ES berkecambah, serta persentase pendewasaan. Persentase pendewasaan dihitung sebagai jumlah pendewasaan ES per total ES yang terbentuk dikalikan 100% pada populasi sel (biakan) yang sama.

Pemanjangan Plantlet

Bahan tanaman yang digunakan dalam tahapan penelitian ini adalah kecambah somatik (planlet). Planlet dipotong bagian akar atau bakal akarnya dan dikulturkan pada media pemanjangan planlet, yaitu media dasar MS

Page 46: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

46 Mia Kosmiatin, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska

modifikasi vitamin MW yang diperkaya dengan 2.5 g L-1 GA3 dan dikombinasikan dengan kinetin pada konsentrasi 0; 1; 3 mg L-1. Planlet tanpa akar dikulturkan pada media pemanjangan dan diinkubasi pada ruang kultur dengan penyinaran ± 1,000 lux, penyinaran 16 jam hari-1, suhu 21-25 oC.

Penelitian dirancang dengan rancangan acak lengkap dengan 9 ulangan. Pengamatan dilakukan setelah 6 minggu penanaman dalam kultur terhadap jumlah dan tinggi tunas, jumlah buku dan daun serta persentase pembentukan ES sekunder dan kalus embriogenik.

Analisa Statistik

Data hasil pengamatan dirata-rata kemudian dihitung standar deviasinya. Rerata dianalisis variannya, apabila terdapat beda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95%. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan soft ware SAS 9.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi Pembentukan Kalus Embriogenik dari Jaringan Endosperma Jeruk Siam Simadu

Jaringan endosperma yang diisolasi dari buah 11-13

minggu setelah antesis, sel-selnya sudah mulai membentuk dinding sel dan membentuk jaringan endosperma yang kompak (Kosmiatin, 2013). Respon endosperma pertama kali terlihat melalui perubahan warna eksplan dari bening menjadi putih susu pada umur 8 minggu setelah dikulturkan. Sel-sel endosperma kemudian membelah yang ditandai dengan bertambah besarnya volume eksplan, kemudian membentuk kalus. Respon pembentukan kalus embriogenik pada umur 12 minggu setelah kultur ditampilkan pada Tabel 1.

Berdasarkan analisis statistik, terdapat perbedaan yang nyata dari persentase pembentukan kalus embriogenik terhadap formulasi media yang digunakan (Tabel 1). Koefisien keragaman pada rerata persentase pembentukan kalus embriogenik yang diinduksi dari jaringan endosperma cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman

dalam eksplan tinggi, karena endosperma merupakan jaringan yang mempunyai tahapan perkembangan sel dan fungsi sel yang berbeda sehingga setiap sel memberikan respon yang berbeda terhadap formulasi media. Perbedaan respon juga terjadi karena keberadaan proembrio nuselar (diploid) dengan ukuran kurang dari 16 sel dan sel-sel haploid antipodal yang ikut terkulturkan dengan jaringan endosperma yang diisolasi dari buah yang berumur 11-13 minggu setelah antesis. Keberadaan proembrio dan antipodal ini dapat diamati pada preparat kering endosperma dengan bantuan mikroskop inverted perbesaran 200x, tetapi tidak teramati dengan mikroskop binokular perbesaran 40x (Kosmiatin, 2013).

Seluruh formulasi media perlakuan berhasil menginisiasi kalus embriogenik (Tabel 1) dengan persentase pembetukan kalus embriogenik tertinggi diperoleh dari media dengan penambahan 500 mg L-1 CH (84.0%) tetapi tidak berbeda nyata dengan penambahan 500 mg L-1 ME (80%). Hal ini menunjukkan meskipun ME diekstraksi dari tanaman barley sementara CH dari susu, respon yang diperlihatkan sama untuk pembentukan kalus embriogenik. Ketersediaan bahan organik yang tinggi dalam medium dapat meningkatkan akumulasi asam amino sebagai penyusun protein, sehingga akumulasi protein juga turut meningkat. Pembentukan protein terutama protein simpanan dalam sel dibutuhkan untuk membentuk ES (Deo et al., 2010). Penambahan bahan organik (CH dan ME) pada tanaman Dianthus dapat meningkatkan 1.5 kali pembentukan embrio somatik (Pareek dan Kothari, 2003).

Perlakuan pada jambu biji, penambahan bahan organik yang dikombinasikan dengan vitamin dapat meningkatkan induksi embriogenesis somatik (Rai et al., 2008), tetapi pada endosperma jeruk kombinasi perlakuan bahan organik (CH atau ME) dan vitamin biotin memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan penambahan secara tunggal. Hal ini diduga terjadi karena biotin yang berperan sebagai kofaktor dalam sintesa protein meningkatkan akumulasi protein. Kombinasi biotin dengan bahan organik yang ditambahkan secara eksogen akan mengakibatkan akumulasi protein yang berlebihan dalam sel sehingga justru menghambat proses embriogenesis (Dodeman et al., 1997). Hal ini diduga dapat menyebabkan penghambatan ekspresi gen lain yang berkenaan dengan embriogenesis somatik.

Formulasi media Persentase pembentukan kalus embriogenikBiotin 0.1 mg L-1 76.0abEkstrak Malt 500 mg L-1 80.0aCasein Hidrolisat 500 mg L-1 84.0aEkstrak Malt 500 + Biotin 0.1 mg L-1 4.0cCasein Hidrolisat 500 + Biotin 0.1 mg L-1 56.0b

Tabel 1. Persentase pembentukan kalus embriogenik yang diinduksi dari jaringan endosperma jeruk siam pada media dasar MS modifikasi dengan penambahan 3 mg L-1 BA, 12 minggu setelah kultur

Keterangan: Data disajikan dalam rerata persentase pembentukan kalus; Data ditransformasi = arc sin; Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 0.05

Page 47: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

47Induksi Embriogenesis Somatik dari......

Pendewasaan dan Perkecambahan Struktur Embrio Somatik

Pendewasaan ES merupakan tahapan penting dalam

keberhasilan embriogenesis somatik. Formulasi media sangat menentukan karena apabila tidak sesuai maka sel-sel yang sudah terdiferensiasi untuk membentuk ES akan kembali membentuk sel-sel yang tidak terdiferensiasi atau membentuk ES sekunder (Gray, 2005). Pendewasaan ES melibatkan perubahan akumulasi ABA (Preeti et al., 2004) dan fase desikasi (penurunan kadar air) yang dialami embrio untuk dapat mengakumulasi ABA (Marquez-Martin et al., 2011). Penambahan ABA eksogen dalam medium diperlukan dalam pendewasaan ES yang diinduksi dari jaringan diploid jeruk Siam Simadu (Husni et al., 2010).

Perkembangan ES globular pada kalus mulai terlihat setelah kultur berumur 4 minggu setelah disubkultur. Pada minggu ke-8, seluruh kalus embriogenik menunjukkan kemampuan untuk membentuk ES globular (Gambar 1A) dan menunjukkan pendewasaan ES (terbentuk tahap hati, torpedo, kotiledon) pada seluruh formulasi media yang diuji dengan jumlah yang beragam (Gambar 1B). Hasil

analisis statistik, memperlihatkan standar deviasi yang tinggi menujukkan adanya keragaman eksplan, meskipun sebelumnya kalus sudah diseragamkan dengan cara disubkultur pada media tanpa ZPT.

Rerata jumlah total ES tertinggi diperoleh eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan 500 mg L-1 glutamin dan 7 mg L-1 biotin yang mencapai rerata 255.5 (Gambar 1A) dan berbeda nyata terhadap seluruh formulasi media yang lain. Meskipun ES yang dihasilkan banyak, tetapi morfologinya abnormal dengan ukuran jauh lebih besar dari ES normal (Gambar 2I, J, K). Menurut Dodeman et al. (1997) abnormalitas yang terjadi saat pendewasaan adalah radial defect yang ditunjukkan dengan terbentuknya raspberry (Gambar 2I, J) dan Knollle (Gambar 2K). Abnormalitas ES muncul diduga disebabkan oleh akumulasi protein simpanan yang berlebih akibat aktivitas biotin sebagai kofaktor sintesa protein simpanan dan ketersediaan nitrogen (N) organik yang mudah diserap tanaman (Dodeman et al., 1997). Akumulasi protein simpanan yang berlebih akan menghambat akumulasi protein LEA (Late Embryogenesis Abundant) yang berperan dalam pendewasaan ES sehingga ES menjadi abnormal.

Gambar 1. (A) Pendewasaan embrio somatik yang berhasil diinduksi dari jaringan endosperma. (B) Persentase pendewasaan embrio somatik yang berhasil diinduksi dari jaringan endosperma. Data adalah pada 8 minggu setelah dikulturkan pada media MS modifikasi dengan penambahan 0; 0.5; 1; 1.5; 2; 2.5 mg L-1 ABA; 250 mg L-1 Glutamin, 7 mg L-1 biotin, 3 g L-1 phytagel, data disajikan dalam rerata pembentukan embrio somatik

Page 48: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

48 Mia Kosmiatin, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska

Gambar 2. Embriogenesis somatik yang diinduksi dari jaringan endosperma jeruk siam simadu. (A) Eksplan jaringan endosperma (end) dengan embrio zigotik (z) dan nuselar (n), bar = 100 µm. (B) Kalus embriogenik yang diinduksi dari jaringan endosperma. (C) Pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik pada media MS modifikasi dengan peningkatan konsentrasi bahan pemadat. (D) Massa proembriogenik. (E) Globular. (F) Hati. (G) Torpedo. (H) Kotiledon, bar D-H = 1000 µm. (I) Hati abnormal. (J) Torpedo abnormal. (K) Kotiledon abnormal, bar I-K = 2000 µm. (L-N) Kecambah somatik (plantlet) normal. (O) Plantlet abnormal, bar L-O =1 cm

Page 49: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

49Induksi Embriogenesis Somatik dari......

Media MS modifikasi tanpa penambahan ZPT dengan konsentrasi phytagel yang ditingkatkan menjadi 3 g L-1 menyebabkan pembentukan ES yang cukup banyak (166.3) dan berbeda nyata dengan formulasi media dengan penambahan ABA. Media tersebut menyebabkan ES yang dihasilkan normal bahkan 14.1% di antaranya dapat langsung berkecambah pada media yang sama (Gambar 1 dan 2D-I). Persentase pendewasaan ES pada media yang lebih padat cukup tinggi yaitu 54.8%. Salah satu ciri fase pendewasaan pada embrio adalah menurunnya kandungan air pada embrio, sehingga media dengan ketersediaan air yang rendah dapat meningkatkan pendewasaan ES. Media dengan peningkatan konsentrasi gel pemadat akan menurunkan potensial matriks media sehingga ketersediaan air untuk diserap berkurang dan menyebabkan kandungan air dalam ES menjadi rendah. Menurut Marquez-Martin et al. (2011) dan Peran-Quesada et al. (2004), pengaturan air berpengaruh positif terhadap pendewasaan ES alpukat dan sangat efektif dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi pemadat medium bukan dengan PEG ataupun osmotikum. Hal ini juga terjadi pada pendewasaan ES yang diinduksi dari jaringan endosperma jeruk Siam Simadu, dimana penambahan PEG tidak menginduksi pendewasaan ES tetapi kalus embriogenik berkembang menjadi kalus yang tidak terdiferensiasi (data tidak ditampilkan).

Persentase pendewasaan ES tertinggi berasal dari eksplan yang dikulturkan dalam media MS modifikasi dengan penambahan glutamin, tetapi morfologi ES yang dihasilkan abnormal (kotiledon menebal dan lebih dari dua). Munculnya abnormalitas morfologi ES yang dihasilkan diduga disebabkan oleh akumulasi N organik dalam medium akibat penambahan glutamin sehingga terjadi peningkatan akumulasi protein terutama protein simpanan yang dapat menghambat proses pendewasaan. Hal yang sama juga terjadi pada embriogenesis somatik Chesnut ketika pendewasaan dilakukan pada media yang ditambah dengan N organik (Robichaud et al., 2004). Berbeda dengan embriogenesis pada kedelai yang membutuhkan N organik dari CH dan asam amino (glutamin dan asparagin) untuk meningkatkan pendewasaan ES (Khumaida dan Handayani, 2010).

Pendewasaan ES umumnya dilakukan dengan menambahkan ABA (Corredoira et al., 2003) karena ABA berperan sebagai komponen untuk menahan perkecambahan dini, meningkatkan toleransi desikasi sehingga konversi untuk perkecambahan tinggi (Robichaud et al., 2004). Hal yang berbeda diperoleh dari penelitian ini dimana penambahan ABA tidak memberikan hasil pendewasaan ES yang lebih baik bahkan menghambat perkecambahannya. Saat akhir pendewasaan ES, diduga keberadaaan ABA menghambat aktivitas enzim LEA untuk mengakumulasi proteinnya sehingga protein simpanan lebih tinggi dan menyebabkan terbentuknya ES sekunder. Proses desikasi embrio pada ES yang diinduksi dari jaringan endosperma tidak memerlukan ABA eksogen tetapi lebih sesuai dilakukan dengan cara meningkatkan konsentrasi pemadat medium. Teknik ini juga

lebih menguntungkan karena pada penelitian ini, ES dewasa dapat langsung berkecambah pada media yang sama. Hal ini menguntungkan karena pendewasaan dan perkecambahan embrio dapat berlangsung dalam satu tahap pengkulturan.

Pemanjangan Plantlet Pemanjangan planlet pada embriogenesis jeruk siam

sering menjadi penghambat dalam perkembangannya membentuk planlet normal dengan daun, buku dan akar yang sempurna. Keberhasilan pemanjangan planlet terbaik berasal dari media MS modifikasi dengan 2.5 mg GA3 L

-1 tanpa penambahan kinetin dan berbeda nyata dengan media yang ditambah kinetin untuk semua peubah yang diamati (Gambar 3). Hal ini terjadi karena penambahan GA3 yang aktif dalam menginduksi pemanjangan sel, terutama pada sel-sel ruas batang, sehingga terjadi pemanjangan tunas. Hasil yang sama terjadi pada embriogenesis somatik jaringan diploid embrio nuselar jeruk, perkecambahan dan pemanjangan tunas dilakukan pada media dengan penambahan GA3 (Husni et al., 2010; Kayim dan Koc, 2006). Penambahan kinetin dalam media secara nyata menurunkan semua peubah yang diamati (Gambar 3), dan morfologi tunas yang tumbuh tidak normal (Gambar 2O). Kinetin merupakan sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel untuk menginisiasi pembentukan tunas sehingga ketika dikombinasikan dengan GA tidak diperoleh hasil yang baik.

Embrio Somatik (ES) sekunder mulai muncul di bagian pangkal planlet setelah kultur berumur 4 minggu. Pada seluruh media pemanjangan yang diuji pembentukan ES sekunder tertinggi diperoleh pada media tanpa penambahan kinetin yaitu 44.4% (Tabel 2), dan persentase pembentukan kalus embriogenik pada pangkal planlet cukup tinggi (88.9%), tetapi persentasenya menurun dengan meningkatnya konsentrasi kinetin yang ditambahkan. Penurunan persentase pembentukan kalus embriogenik disebabkan oleh berubahnya kesetimbangan ZPT endogen akibat penambahan kinetin eksogen dalam media kultur.

Gambar 3. Jumlah dan tinggi tunas, jumlah buku dan daun planlet pada media MS modifikasi dengan penambahan 2.5 mg L-1 GA3 dan Kinetin (0; 1; 3 mg L-1), 6 minggu setelah kultur

Page 50: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

50 Mia Kosmiatin, Agus Purwito, Gustaff Adolf Wattimena, dan Ika Mariska

KESIMPULAN Media terbaik untuk induksi kalus embriogenik dari

jaringan endosperma jeruk Siam Simadu adalah media MS modifikasi dengan penambahan 3 mg L-1 BA dan 500 mg L-1 CH atau ME. Pendewasaan dan perkecambahan Embrio Somatik terbaik dengan morfologi normal diperoleh dari media MS modifikasi tanpa ZPT dengan peningkatan konsentrasi pemadat medium (phytagel) dari 2.5 menjadi 3 g L-1. Keberhasilan pemanjangan plantlet terbaik dilakukan pada media MS modifikasi dengan penambahan 2.5 mg GA3 L

-1. Terbentuk ES sekunder dan kalus embriogenik yang terbentuk pada pangkal plantlet pada media pemanjangan.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, F. 2003. Endosperm: the crossroad of seed development. Curr. Opin. Plant Biol, 6:45-50.

Corredoira, E., A. Ballester, A.M. Vieitez. 2003. Proliferation, maturation and germination of Castanea sativa Mill. somatic embryos originated from leaf explants. Ann. Bot. 92:129-136.

Deo, P.C., A.P. Tyagi, M. Taylor, R. Harding, D. Becker. 2010. Factors affecting somatic embryogenesis and transformation in modern plant Breeding. The South Pacific J. Nat. Appl. Sci. 28:27-40.

Dodeman, V.L., G. Ducreux, M. Kreis. 1997. Zygotic embryogenesis versus somatic embryogenesis. J. Exp. Bot. 48:1493-1509.

Gray, D.J. 2005. Propagation from non meristematic tissues: Nonzygotic embryogenesis. p. 187-200. In R.N. Trigiano, D.J. Gray (Eds). Plant Development and Biotechnology. CRC Press, Boca Raton, FL.

Hoshino, Y., T. Miyashita, T.D. Thomas. 2011. In vitro culture of endosperm and its application in plant breeding: Approaches to polyploidy breeding. Sci. Hort. 130:1-8.

Husni, A., A. Purwito, I. Mariska, Sudarsono. 2010. Regenerasi tanaman jeruk siam melalui embryogenesis somatic. J. Agrobiogen 6:79-83.

Kayim, M., N.K. Koc. 2006. The effects of some carbohydrates on growth and somatic embryogenesis in citrus callus culture. Sci. Hort. 109:29-34.

Khumaida, N., T. Handayani. 2010. Induksi dan proliferasi kalus embriogenik pada beberapa genotipe kedelai. J. Agron. Indonesia 38:19-24.

Kosmiatin, M. 2013. Pembentukan tanaman triploid jeruk siam simadu (Citrus nobilis Lour) melalui kultur endosperma. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Manrique-Trujillo, S., D. Díaz, R. Reano, M. Ghislain, J. Kreuze. 2013. Sweetpotato plant regeneration via an improved somatic embryogenesis protocol. Sci. Hort. 161:95-100.

Marquez-Martin, B., R. Sesmeroa, M.A. Quesadab, F. Pliego-Alfaroc, C. Sánchez-Romero. 2011. Water relations in culture media influence maturation of avocado somatic embryos. J. Plant Physiol. 168:2028-2034.

Morel, G., R.M. Wetmore. 1951. Fern callus tissue culture. Am. J. Bot. 38:141-143.

Mujib, A., S. Banerjee, P.D. Ghosh. 2005. Origin, development and structure of somatic embryos in selected bulbous ornamentals: BAP as inducer.p. 15-24. In A. Mujib, J. Samac (Eds.). Somatic Embryogenesis, Plant Cell Monogr (2). Springer, Verlag-Berlin Heidenbergh.

Pareek, A., S.L. Kothari. 2003. Direct somatic embryogenesis and plant regeneration from leaf cultures of ornamental species of Dianthus. Sci. Hort. 98:449-459.

Preeti, S., S. Pandey, A. Bhattacharya, P.K. Nagar, P.S. Ahuja. 2004. ABA associated biochemical changes during somatic embryo development in Camellia sinensis (L.) Kuntze O. Plant Physiol. 161:1269-1276.

Media (mg L-1) PembentukanES sekunder (%)

Pembentukan kalus embriogenik (%) Keterangan

GA32.5l+K0 44.4±3.2 88.9±0.3 Tunas normalGA32.5 +K1 22.2±0.7 66.7±0.5 Tunas normalGA32.5 +K3 33.3±2.4 22.2±0.4 Tunas tidak normal

Tabel 2. Pengaruh GA3 dan kinetin terhadap pembentukan embrio somatik sekunder dari embrio somatik yang diinduksi secara tidak langsung dari jaringan endosperma jeruk siam, 4 minggu setelah tanam

Keterangan: GA3 = Giberrelic acid; K= Kinetin; ES = embrio somatik; data disajikan dalam rerata persentase pembentukan ES sekunder dan kalus embriogenik

Page 51: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 44 - 51 (2014)

51Induksi Embriogenesis Somatik dari......

Perán-Quesada, R., C. Sánchez-Romero, A. Barceló-Muñoz, F. Pliego-Alfaro. 2004. Factors affecting maturation of avocado somatic embryos. Sci. Hort. 102:61-73.

Rai, M.K., V.S. Jaiswal, U. Jaiswal. 2008. Effect of ABA and sucrose on germination of encapsulated somatic embryos of guava (Psidium guajava L.). Sci. Hort. 117:302-305.

Robichaud, R.L., V.C. Lessard, S.A. Merkle. 2004. Treatments affecting maturation and germination of American chestnut somatic embryos. J. Plant Physiol. 161:957-969.

Toonen, M.A.J., T. Hendriks, E.D.L. Schmidt, H.A. Verhoeven, A. van Kammen, S.C. de Vries. 1994. Description of somatic embryo-forming single cells in carrot suspension cultures employing video cell tracking. Planta 194:565-72.

Usman, M., B. Fatima, K.A. Gillani, M.S. Khan, M.H. Khan. 2008. Exploitation of potential target tissues to develop polyploids in citrus. Pak. J. Bot. 40:1755-1766.

Page 52: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

52 Rizki Fauziah Ramadhaini, Sudradjat, dan Ade Wachjar

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dunia. Luas areal Perkebunan Besar Swasta (PBS) mencapai 52.07%, Perkebunan Rakyat (PR) 40.40% dan Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 7.53% dari total luas 8.3 juta ha. PR menyumbang 36% dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Kepemilikan PR didominasi oleh pekebun swadaya dibandingkan pekebun plasma (Ditjenbun, 2012).

Salah satu faktor penentu produktivitas tanaman kelapa sawit adalah dengan menggunakan bibit yang berkualitas yang didapatkan melalui penggunaan benih yang secara genetik unggul dan pemeliharaan yang baik, terutama pemupukan. Namun, sebagian besar pekebun swadaya menggunakan bibit berkualitas rendah yang berasal brondolan lepas di kebun serta pengelolaan pupuk yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai pengelolaan pembibitan yang baik serta dosis pemupukan yang tepat. Oleh karena itu, ketepatan dosis pupuk selama proses pembibitan menjadi faktor yang sangat penting.

Optimasi Dosis Pupuk Majemuk NPK dan Kalsium pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pembibitan Utama

Optimation of NPK and Calcium Fertilizer Rates for the Growth of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Seedling in Main Nursery

Rizki Fauziah Ramadhaini1*, Sudradjat2, dan Ade Wachjar2

1Sekolah Pascasarjana, Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 8 Mei 2013/Disetujui 13 September 2013

ABSTRACT

This research was aimed to evaluate the rates of NPK and calcium fertilizers for the growth of oil palm seedling at main nursery. It was conducted in IPB Experimental Station, Cikabayan, Darmaga, Bogor from December 2011 to November 2012. The two factors, NPK and calcium, were arranged in a randomized block design with three replications. The rates of NPK fertilizer (15-15-15) were 0, 115, 230 and 460 g seedling-1. The rates of calcium fertilizer were 0, 5, 10 and 20 g seedling-1. There was no interaction effect observed between NPK and calcium fertilizer. NPK fertilizer, however had the significant quadratic effect on plant height, leaf number, stem diameter and chlorophyll content. Based on morphology variables, recommended optimum rate of NPK 15-15-15 fertilizer was 333 g seedling-1 for eight months. Thus, NPK rates were 7.00, 7.00, 19.45, 59.25, 66.3, 61.55, 58.97 and 54.16 g seedling-1 from first to eight month respectively. The optimum rate of calcium fertilizer was not determined in this experiment.

Keywords: NPK 15-15-15, nutrient, optimum rates, recommendation

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pupuk majemuk NPK dan kalsium terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikabayan, Darmaga, Bogor dari bulan Desember 2011 sampai dengan November 2012. Rancangan yang digunakan adalah faktorial dua faktor dalam rancangan kelompok lengkap teracak dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk majemuk NPK (15-15-15) terdiri atas 0, 115, 230 dan 460 g bibit-1. Faktor kedua adalah dosis pupuk kalsium terdiri atas 0, 5, 10 dan 20 g bibit-1. Secara umum, tidak terdapat pengaruh pupuk majemuk NPK dan kalsium terhadap peubah yang diamati. Pupuk majemuk NPK berpengaruh nyata secara kuadratik terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan kadar klorofil. Berdasarkan peubah morfologi dosis rekomendasi pupuk majemuk NPK 15-15-15 berkisar 333 g bibit-1 selama delapan bulan di pembibitan utama, dengan dosis setiap bulan sebagai berikut 7.00, 7.00, 19.45, 59.25, 66.3, 61.55, 58.97 dan 54.16 g bibit-1. Dosis optimum pupuk kalsium tidak tercapai dalam percobaan ini.

Kata kunci: dosis optimum, hara, NPK 15-15-15, rekomendasi

Page 53: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

53Optimasi Dosis Pupuk Majemuk......

Pupuk majemuk digunakan pada pembibitan kelapa sawit karena lebih efisien dan murah. Uexkull (1992) merekomendasikan pupuk NPKMg 15:15:6:4 atau 12:12:17:2 setiap 2 minggu dengan total dosis 158 g bibit-1

selama 8 bulan. Bah dan Rahman (2004) merekomendasikan urea-gipsum dan Rock Phosphate (Ca3PO4) digunakan sebagai sumber Ca di perkebunan.

Namun demikian, harga pupuk majemuk NPKMg maupun Rock Phosphate cukup mahal dan relatif sulit diperoleh oleh petani. Oleh itu, diperlukan alternatif sumber pupuk yang lebih terjangkau dan mudah didapatkan. Salah satunya adalah pupuk majemuk NPK 15-15-15 dan kapur pertanian (CaCO3). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk majemuk NPK dan kalsium terhadap bibit kelapa sawit baik tunggal maupun interaksi keduanya serta untuk menentukan dosis optimum.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikabayan, Darmaga Bogor, yang terletak pada elevasi 250 m di atas permukaan laut (dpl). Percobaan dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga November 2012.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Kelompok pola Faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu dosis pupuk majemuk NPK dan dosis pupuk kalsium. Dosis pupuk majemuk NPK terdiri atas empat taraf yaitu 0, 115, 230 dan 460 g bibit-1. Dosis pupuk kalsium terdiri atas empat taraf yaitu 0, 5, 10 dan 20 g bibit-1. Percobaan menggunakan tiga ulangan dan setiap unit percobaan terdiri atas lima sampel tanaman.

Bibit kelapa sawit Tenera (D x P) varietas Dami Mas berumur 4 bulan yang normal dan seragam dipilih dari pre nursery yang rata-rata memiliki tinggi 40 cm, diameter batang 11 mm dan 5 helai daun. Bibit kelapa sawit dipindahtanamkan ke polybag berukuran 50 cm x 40 cm dengan media campuran top soil Latosol dan pupuk organik dengan perbandingan 7:1. Pemberian pupuk kalsium dilakukan satu kali yaitu pada saat dua minggu setelah pindah tanam dari pre nursery ke main nursery. Dua minggu kemudian, diberikan pupuk majemuk NPK 15-15-15 yang ditetapkan sebagai umur 0 Bulan Setelah Perlakuan (BSP). Pupuk majemuk NPK diberikan setiap bulan dengan dosis 0, 5, 10, 20 g bibit-1 pada umur 0-2 BSP dan 0, 20, 40, 80 g bibit-1 pada umur 3-7 BSP. Pupuk diberikan dengan cara dibenamkan melingkar ± 10 cm dari bibit.

Peubah morfologi diamati setiap bulan, terdiri atas peubah tinggi bibit (cm), jumlah daun (helai), diameter batang (mm). Peubah fisiologi yang diamati adalah kadar klorofil (mg cm-2) pada 3-8 BSP menggunakan SPAD-502 plus chlorophyll meter. Kadar hara N, P, K dan Ca anak daun (daun ke-5) dianalisis dengan metode destruksi basah di akhir percobaan. Sampel tanah dianalisis pada awal dan akhir percobaan untuk mengetahui kadar hara N, P, K, dan Ca total.

Data dianalisis ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Kontras Polynomial Ortogonal.

Analisis dilakukan dengan program SAS (Statistical Analysis System).

Perhitungan mengenai efisiensi pemupukan dan status hara di dalam tanah digambarkan melalui neraca hara. Kandungan hara N, P, K dan Ca pada tanah, jaringan tanaman dan pupuk didapatkan dari perhitungan kadar hara (%) dengan bobot kering tanah dan jaringan serta bobot pupuk (g). Efisiensi pemupukan didapatkan melalui perbandingan kandungan hara jaringan tanaman dengan hara pupuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanggap Morfologi Tanaman

Pupuk majemuk NPK memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi bibit, jumlah daun dan diameter batang pada umur 3-8 BSP (Tabel 1). Secara umum pupuk majemuk berpengaruh secara kuadratik, kecuali pada tinggi bibit 5 BSP dan diameter batang 3 BSP, pupuk majemuk NPK berpengaruh nyata secara linier (Tabel 2). Pupuk kalsium berpengaruh nyata secara linier hanya terhadap tinggi bibit 1 BSP, selain itu pupuk kalsium tidak berpengaruh nyata pada seluruh peubah morfologi (Tabel 1, 2). Pengaruh linier menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian dosis pupuk, pertumbuhan tanaman akan semakin meningkat. Pengaruh kuadratik menunjukkan penurunan pertumbuhan bibit pada dosis pupuk majemuk NPK di atas dosis optimum, meski demikian percobaan ini belum menunjukkan gejala toksisitas hara.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum, tidak terdapat pengaruh interaksi antara pupuk majemuk NPK dan pupuk kalsium terhadap peubah tanggap morfologi, kecuali pada tinggi tanaman 3 BSP. Pupuk majemuk NPK dan kalsium memberikan pengaruh interaksi secara nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 3 BSP dengan persamaan regresi : y = 52.8 + 0.719 NPK + 0.098 Ca - 0.0188 NPK2 - 0.0006 Ca2- 0.00887 NPK*Ca.

Pengaruh pupuk majemuk NPK baru terlihat pada umur 3 BSP terhadap seluruh peubah morfologi karena pupuk majemuk NPK dapat menyediakan unsur hara lengkap dan tersedia bagi bibit kelapa sawit setelah 3 bulan aplikasi pemupukan (Nazari, 2008). Hal tersebut disebabkan sifat pupuk majemuk NPK yang melepaskan hara N, P dan K perlahan sehingga tersedia lambat bagi tanaman (Wu et al., 2008). Pemberian NPK 15-15-15 dapat meningkatkan perkembangan akar, produksi biomassa (Barros et al., 2007) dan kadar hara jaringan (Costa, 2012) sehingga dapat memberikan pengaruh terbaik pada tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang bibit kelapa sawit umur 4, 5 dan 6 bulan di main nursery (Jannah et al., 2012).

Pupuk kalsium tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Hal tersebut sejalan dengan percobaan Costa (2012) yang menunjukkan bahwa pupuk anorganik (N, P, K dan S) dosis tinggi berpengaruh lebih besar terhadap hasil tanaman dibandingkan kapur pertanian.

Page 54: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

54 Rizki Fauziah Ramadhaini, Sudradjat, dan Ade Wachjar

Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam tinggi, jumlah daun dan diameter batang bibit kelapa sawit pada berbagai dosis pupuk NPK dan kalsium pada umur 0-8 BSP

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada uji F taraf 1%; tn = tidak berpengaruh nyata; z = Pupuk diberikan setiap bulan yaitu 0, 5, 10, 20 g bibit -1 pada umur 0-2 BSP dan 0, 20, 40, 80 g bibit -1 pada umur 3-7 BSP; BSP = Bulan setelah perlakuan

PeubahUmur (Bulan Setelah Perlakuan)

0 1 2 3 4 5 6 7 8Tinggi bibit

Majemuk NPKz tn tn tn ** ** * ** ** **Kalsium tn * tn tn tn tn tn tn tnInteraksi tn tn tn * tn tn tn tn tn

Jumlah daunMajemuk NPKz tn tn tn * * ** ** ** **Kalsium tn tn tn tn tn tn tn tn tnInteraksi tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Diameter batangMajemuk NPKz tn tn tn ** ** ** ** ** **Kalsium tn tn tn tn tn tn tn tn tnInteraksi tn tn tn tn tn tn tn tn tn

PeubahUmur (Bulan Setelah Perlakuan)

0 1 2 3 4 5 6 7 8Tinggi bibit

Majemuk NPKz tn tn tn Q** Q** L* Q** Q** Q**Kalsium tn L* tn tn tn tn tn tn tn

Jumlah daunMajemuk NPKz tn tn tn Q* Q** Q** Q** Q** Q*Kalsium tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Diameter batangMajemuk NPKz tn tn tn L* Q** Q** Q** Q** Q**Kalsium tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Keterangan: z = Pupuk diberikan setiap bulan yaitu 0, 5, 10, 20 g bibit -1 pada umur 0-2 BSP dan 0, 20, 40, 80 g bibit -1 pada umur 3-7 BSP; L = Linier; Q = Kuadratik; BSP = Bulan setelah perlakuan; * = berpengaruh nyata pada taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada taraf 1%; tn = tidak berpengaruh nyata

Tabel 2. Rekapitulasi hasil uji kontras polinomial ortogonal tinggi, jumlah daun dan diameter batang bibit kelapa sawit pada berbagai dosis pupuk NPK dan kalsium pada umur 0-8 BSP

Tanggap Fisiologi Tanaman

Pemberian pupuk majemuk NPK berpengaruh nyata secara linier pada 3 BSP dan kuadratik pada 5, 6 dan 8 BSP terhadap kandungan klorofil, sedangkan pemberian pupuk kalsium tidak berpengaruh pada kandungan klorofil daun (Tabel 3). Pengaruh kuadratik pupuk majemuk NPK menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk dapat menyebabkan penurunan kandungan klorofil daun.

Kandungan klorofil daun sangat berkaitan dengan kecukupan hara nitrogen. Menurut Ai dan Banyo (2011), penurunan konsentrasi klorofil daun disebabkan oleh terhambatnya penyerapan unsur hara, terutama nitrogen dan

magnesium yang berperan penting dalam sintesis klorofil. Akumulasi nitrogen yang tinggi akan ditranslokasikan ke jaringan yang lebih muda untuk memelihara keseimbangan osmotik sel.

Hasil analisis hara daun pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar hara N, P, K dan Ca masing-masing yaitu 2.59%, 0.12%, 1.16% dan 1.01% pada dosis NPK 230 g bibit-1. Kadar hara pada dosis tersebut lebih tinggi dibandingkan titik kritis hara, kecuali P karena menurut Ochs dan Olvin (1977) nilai titik kritis N, P, K dan Ca baik pada daun ke-9 masing-masing 2.5-2.75%, 0.15-0.16%, 1.00-1.25% dan 0.6%. Titik kritis hara merupakan taraf hara yang hanya dapat mendukung 80-90% pertumbuhan

Page 55: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

55Optimasi Dosis Pupuk Majemuk......

tanaman, sedangkan dosis optimum merupakan taraf hara yang mendukung pertumbuhan maksimum (100%). Pemberian pupuk majemuk NPK berpengaruh nyata secara linier terhadap peningkatan kadar N-daun dan kuadratik

Dosis pupuk (g bibit-1)

Umur bibit (BSP)3 4 5 6 7 8…………………………………….. (mg cm-2)…………………………………….……

Majemuk NPKz

0 0.036 0.035 0.038 0.037 0.039 0.036115 0.041 0.039 0.041 0.039 0.040 0.040230 0.039 0.037 0.042 0.038 0.039 0.042460 0.039 0.036 0.041 0.036 0.039 0.041ANOVA * tn * ** tn **Pola Respony L* tn Q* Q** tn Q**

Kalsium0 0.040 0.037 0.041 0.038 0.039 0.0395 0.038 0.036 0.041 0.038 0.039 0.03910 0.039 0.037 0.041 0.037 0.038 0.04020 0.040 0.036 0.039 0.038 0.040 0.039ANOVA tn tn tn tn tn tnPola Respony tn tn tn tn tn tn

Interaksi tn tn tn tn tn tn

Tabel 3. Kandungan klorofil daun bibit kelapa sawit pada berbagai dosis pupuk majemuk NPK dan kalsium pada umur 3-8 BSP

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada uji F taraf 1%; tn = tidak berpengaruh nyata; z = Pupuk diberikan setiap bulan yaitu 0, 5, 10, 20 g bibit -1 pada umur 0-2 BSP dan 0, 20, 40, 80 g bibit -1 pada umur 3-7 BSP; y = Uji kontras polinomial ortogonal; L = Linier; Q = Kuadratik; BSP = Bulan setelah perlakuan

terhadap kadar K-daun. Kadar K-daun yang dipengaruhi secara kuadratik menunjukkan bahwa pemberian pupuk majemuk NPK sudah mencapai dosis optimum.

Penentuan Kebutuhan dan Rekomendasi Pupuk

Pengelolaan pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman ditentukan oleh penggunaan hara yang efektif oleh tanaman. Hasil analisis jaringan daun dapat menunjukkan status kecukupan hara tanaman sehingga dapat menentukan kebutuhan pupuk yang dapat diintegrasikan dengan pertumbuhan vegetatif (Witt et al., 2005).

Penyusunan kebutuhan pupuk dapat menggunakan kurva respon umum tanaman (generalized curve) terhadap pemupukan. Kebutuhan pupuk ditentukan sebagai dosis optimum untuk mencapai hasil maksimum (Amisnaipa et al., 2009). Penentuan dosis optimum dilakukan dengan menurunkan persamaan regresi kurva respon peubah morfologi yaitu tinggi bibit dan diameter batang yang berpola kuadratik seperti yang terlihat pada Gambar 1. Dosis optimum yang tercapai pada masing-masing peubah dan umur bibit dapat dilihat pada Tabel 5.

Peubah tinggi tanaman dan diameter batang menunjukkan bahwa dosis optimum tidak tercapai pada umur 1 dan 2 BSP sehingga dosis rekomendasi sama dengan dosis yang direkomendasikan oleh Uexkull (1992). Penyusunan rekomendasi pupuk majemuk NPK dihitung dari rata-rata dosis optimum yang diperoleh dari persamaan

Dosis Pupuk Majemuk NPKz (g bibit-1)

Kadar hara daun (%)

N P K Ca

0 2.14 0.07 0.58 1.05115 2.21 0.12 1.08 1.02230 2.59 0.12 1.16 1.01460 2.68 0.12 1.38 0.96ANOVA ** tn ** tnPola respony L** tn Q* tn

Tabel 4. Kadar hara N, P, K dan Ca pada jaringan daun bibit kelapa sawit umur 8 BSP pada berbagai dosis pupuk majemuk NPK pada dosis kalsium 20 g bibit-1

Keterangan: * = berpengaruh nyata pada uji F taraf 5%; ** = berpengaruh nyata pada uji F taraf 1%; tn = tidak berpengaruh nyata; z = Pupuk diberikan setiap bulan yaitu 0, 5, 10, 20 g bibit 1 pada umur 0-2 BSP dan 0, 20, 40, 80 g bibit -1 pada umur 3-7 BSP; y = Uji kontras polinomial ortogonal; L = Linier; Q = Kuadratik

Page 56: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

56 Rizki Fauziah Ramadhaini, Sudradjat, dan Ade Wachjar

regresi peubah tinggi tanaman dan diameter batang (Tabel 5). Rekomendasi pupuk kalsium tidak didapatkan dari hasil percobaan ini karena pemberian pupuk kalsium tidak berpengaruh nyata pada hampir sebagian besar peubah pertumbuhan bibit kelapa sawit.

Umur bibit(BSP)

Dosis (g tanaman-1)Rata-rata Standar deviasi

Tinggi bibit Diameter batang0 7.00 7.00 7.00* 0.001 7.00 7.00 7.00* 0.002 18.89 20.00 19.45 0.783 67.00 51.50 59.25 10.964 80.00 52.75 66.38 19.275 68.50 54.60 61.55 9.836 62.64 55.30 58.97 5.197 54.81 53.50 54.16 0.93Total 365.84 301.65 333.75 45.39

Tabel 5. Rekapitulasi dosis pupuk majemuk NPK berdasarkan peubah tinggi bibit dan diameter batang

Keterangan: * = Dosis rekomendasi Uexkull (1992); BSP = bula setelah perlakuan

Gambar 1. Hubungan antara dosis pupuk majemuk NPK per bulan dengan tinggi (A) dan diameter batang (B) bibit kelapa sawit pada umur 3-8 BSP

1

y (3 BSP) = 0.066x + 24.37

y (4 BSP) = -0.004x2 + 1.648x + 10.08

y (5 BSP) = -0.004x2 + 0.422x + 49.70

y (6 BSP) = -0.005x2 + 0.546x + 57.14

y (7 BSP) = -0.005x2 + 0.553x + 63.85

y (8 BSP) = -0.007x2 + 0.749x + 70.20

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

0 20 40 60 80 100

Dia

met

er b

atan

g (m

m)

Dosis Pupuk Majemuk NPK (g) per Bulan

3 BSP

4 BSP

5 BSP

6 BSP

7 BSP

8 BSP

y (4 BSP) = -0.003x2 + 0.402x + 63.02

y (5 BSP) = 0.091x + 81.66

y (6 BSP) = -0.006x2 + 0.722x + 91.34

y (7 BSP) = -0.007x2 + 0.877x + 101.8

y (8 BSP) = -0.011x2 + 1.206x + 110.4

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0 20 40 60 80 100

Ting

gi b

ibit

(cm

)

Dosis Pupuk Majemuk NPK (g) per Bulan

4 BSP

5 BSP

6 BSP

7 BSP

8 BSP

A

B

Neraca Hara

Neraca hara akan menunjukkan perubahan status hara, perkiraan recovery nutrient, interaksi penggunaan hara dan efisiensi penggunaan hara (Witt et al., 2005). Recovery nutrient merupakan serapan hara di tanah dan jaringan tanaman setelah perlakuan pemupukan. Perhitungan neraca hara disajikan pada Tabel 6.

Berdasarkan data recovery nutrient yang dibandingkan dengan sumber hara, serapan nitrogen dan kalium mencapai 30-40% dibandingkan serapan fosfor dan kalsium yang mencapai 80-90%. Hal tersebut menunjukkan terdapat hara-hara yang hilang yang disebabkan oleh pencucian, penguapan, mobilisasi, imobilisasi (anorganik menjadi organik) dan penjerapan hara sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hebbar et al. (2004) menyatakan bahwa NO3-N dan K mudah tercuci. NO3- bersifat sangat larut dalam air, tidak dijerap oleh kompleks jerapan tanah sehingga nitrogen mudah hilang melalui aliran permukaan dan pencucian hara. Serapan hara di dalam tanaman menunjukkan kandungan hara N > K > Ca > P seperti pada Tabel 6. Nitrogen dan kalium merupakan unsur utama yang banyak diserap oleh bibit kelapa sawit. Menurut Pradnyawan et al. (2005) nitrogen berperan dalam sintesis protein dan asam nukleat dalam sel yang berperan dalam pembentukan sel baru sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Darmawan (2006) menyatakan pemberian nitrogen dosis tinggi dapat meningkatkan laju fotosintesis tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Goh dan Härdter (2003) menyatakan bahwa kalium merupakan faktor pembatas utama pertumbuhan bibit kelapa sawit karena berperan sebagai pengatur tekanan osmotik sel serta kofaktor enzim.

Efisiensi pemupukan dalam percobaan ini dihitung dari serapan hara tanaman yang dibandingkan dengan sumber hara yang berasal dari pupuk. Hara yang berasal dari pupuk akan lebih cepat tersedia dibandingkan hara dari dalam tanah. Efisiensi pupuk kalsium mencapai 60.76% yang menunjukkan bahwa hara yang tersedia dalam pupuk

Page 57: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

57Optimasi Dosis Pupuk Majemuk......

dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman. Efisiensi pupuk fosfor yang berasal dari pupuk majemuk NPK hanya mencapai 4.35%. Recovery nutrient fosfor menunjukkan bahwa sebagian besar fosfor dijerap oleh tanah. Hebbar

et al. (2004) menyatakan bahwa pergerakan P di dalam tanah sangat lambat dan tidak mudah tercuci, tetapi P dapat terjerap dalam tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman.

KESIMPULAN

Secara umum, tidak terdapat pengaruh interaksi antara pupuk majemuk NPK dan kalsium terhadap peubah yang diamati. Dosis optimum pupuk majemuk NPK 15-15-15 adalah 333.00 g bibit-1 selama delapan bulan di main nursery, dengan dosis setiap bulan sebagai berikut 7.00, 7.00, 19.45, 59.25, 66.3, 61.55, 58.97 dan 54.16 g bibit-1. Dosis optimum pupuk kalsium tidak tercapai pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ai, N.S., Y. Banyo. 2011. Konsentrasi klorofil daun sebagai indikator kekurangan air pada tanaman. J. Ilmiah Sains 11:168-173.

Amisnaipa, A.D. Susila, R. Situmorang, D.W. Purnomo. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylene. J. Agron. Indonesia 37:115-122.

Bah, A.R., Z.A. Rahman. 2004. Evaluating urea fertilizer formulations for oil palm seedlings using the 15N isotope dilution technique. J. Oil Palm Res. 16:72-77.

Barros, I.D., T. Gaiser, F.M. Lange, V. Römheld. 2007. Mineral nutrition and water use patterns of a maize/cowpea intercrop on a highly acidic soil of the tropic semiarid. Field Crop. Res. 101:26-36.

Costa, M.C.G. 2012. Soil and crop responses to lime and fertilizers in a fire-free land use system for smallholdings in the northern Brazilian Amazon. Soil Till. Res. 121:27-37.

Darmawan. 2006. Aktivitas fisiologi kelapa sawit belum menghasilkan melalui pemberian nitrogen pada dua tingkat ketersediaan air tanah. J. Agrivigor 6:41-48.

[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Workshop Sustainability Indicators Assesment for Palm Oil Biodiesel. Bogor 12 April 2012.

Goh, K.J., R. Härdter. 2003. General Oil Palm Nutrition. International Potash Institute, Kassel, Germany.

Hebbar, S.S., B.K. Ramachandrappa, H.V. Nanjappa, M Prabhakar. 2004. Studies on NPK drip fertigation in field grown tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). Eur. J. Agron. 21:117-127.

UraianKandungan hara

N P K CaSumber

Tanah (awal) (g) 40.90 0.83 0.70 6.53Pupuk (g) 25.88 14.47 37.44 5.15Total Sumber 66.77 15.30 38.14 11.68

Recovery nutrientTanah (akhir) (g) 20.45 12.20 7.90 7.31

Serapan tanaman (g)Akar 1.12 0.10 1.24 0.23Pelepah 1.93 0.33 3.62 1.21Daun (leaflet) 4.33 0.20 1.94 1.68Total serapan tanaman 7.38 0.63 6.80 3.13Total Recovery Nutrient 27.83 12.39 14.70 10.43Efisiensi Pemupukan (%) 28.53 4.35 18.16 60.76

Tabel 6. Neraca hara N, P, K dan Ca berdasarkan perlakuan dosis pupuk majemuk NPK 230 g bibit-1 pada dosis pupuk kalsium 20 g bibit-1

Page 58: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 52 - 58 (2014)

58 Rizki Fauziah Ramadhaini, Sudradjat, dan Ade Wachjar

Jannah, N., A. Fatah, Marhannudin. 2012. Macam dan dosis pupuk NPK majemuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Media Sains 4:48-54.

Nazari, Y.A. 2008. Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada pembibitan awal terhadap pupuk NPK mutiara. Ziraa’ah 23:170-184.

Ochs, R., J. Olvin. 1977. Le diagnostic foliare pour le

controle de la nutrition des plantations del palmier’s a huile: prelevement des echantilions foliares. Oleagineux 32:211-216.

Pradnyawan, S.W.H., W. Mudyantini, Marsusi. 2005. Pertumbuhan, kandungan nitrogen, klorofil dan

karotenoid daun Gynura procumbens [Lour] Merr. pada tingkat naungan berbeda. Biofarmasi 3:7-10.

Uexkull, H.R. 1992. Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). http://www.ipipotash.org [13 November 2011].

Witt, C., T.H. Fairhurst, W. Griffiths. 2005. Key principles of crop and nutrient management in oil palm. Better Crops 89:27-31.

Wu, L., M. Liu, R. Liang. 2008. Preparation and properties of a double-coated slow-release NPK compound fertilizer with superabsorbent and water-retention. Bioresour. Technol. 99:547-554.

Page 59: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

59Respon Pertumbuhan dan Hasil.....

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Respon Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) terhadap Cekaman Kekeringan di Lahan Pasir Pantai pada Tahun Pertama Siklus Produksi

Growth Responses and Yield of Jatropha (Jatropha curcas L.) to Drought Stress under Coastal Sandy Soil Conditions in The First Year of Production Cycle

I Gusti Made Arya Parwata1*, Didik Indradewa2, Prapto Yudono2, Bambang Djadmo Kertonegoro2, dan Rukmini Kusmarwiyah1

1Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas MataramJl. Madjapahit, Mataram 83125, Indonesia

2Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah MadaJl. Sosioyusticia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia

Diterima 21 Agustus 2013/Disetujui 21 November 2013

ABSTRACT

Development of Jatropha, an important tropical biofuel crop, to coastal sandy soil is an urgent situation due to more limited of fossil fuel in one side, and high potency of coastal sandy land that has not been utilized yet. Tolerant and sensitive genotypes of Jatropha were treated with drought stress using watering interval, and their responds on the vegetative growth and yield were studied in this reasearch. Drought stress significantly decreased all vegetative growth parameters observed, except the number of branch. Different jatropha genotypes had different number of branch, number of leaf, root surface area, total of root length, root diameter, plant dry weight, shoot root ratio and light absorption. IP-1A genotype had the highest yield, i.e 33.54 g of dry seed plant-1 (equal to 0.15 ton ha-1), in the first year.

Keywords: biofuel, sand, watering

ABSTRAK

Pengembangan tanaman jarak pagar yang merupakan salah satu tanaman tropis penghasil bahan bakar nabati ke lahan pasir pantai merupakan hal yang mendesak karena semakin terbatasnya bahan bakar yang berasal dari fosil, di satu sisi, dan potensi tinggi lahan pasir pantai, di sisi yang lain. Genotipe jarak pagar yang toleran dan peka terhadap kekeringan diperlakukan dengan cekaman kekeringan menggunakan interval penyiraman dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil dipelajari dalam penelitian ini. Cekaman kekeringan menurunkan secara nyata parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati, kecuali jumlah cabang. Perbedaan genotipe memberikan perbedaan diameter akar, bobot kering tanaman, ratio akar tajuk dan penyerapan cahaya. Genotipe IP-1A memberikan hasil tertinggi, yaitu 33.54 g biji kering tanaman-1 (setara dengan 0.15 ton ha-1) di tahun pertama.

Kata-kata kunci: bahan bakar nabati, pasir, penyiraman

Lahan marginal pasir pantai adalah lahan potensial yang hingga saat ini kurang mendapat perhatian, khususnya di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 81,000 km pasir pantai (Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2007). Dengan asumsi bahwa setengah dari pasir pantai tersebut merupakan lahan pasir pantai dengan lebar sekitar 1 km, Indonesia memiliki 4.05 juta ha lahan pasir pantai. Masalah utama pemanfaatannya untuk kegiatan pertanian adalah rendahnya kandungan bahan organik dan unsur hara, struktur tanah yang sangat lepas, rendahnya kapasitas memegang air, dan adanya cekaman salinitas. Di samping itu, intensitas sinar matahari dan suhu yang tinggi, serta angin yang berhembus membawa uap garam menyebabkan kesulitan dalam memilih tanaman yang dibudidayakan. Pada kasus ini, tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.)

PENDAHULUAN

Keterbatasan bahan bakar minyak yang berasal dari fosil telah memaksa sebagian besar negara-negara di dunia untuk mencari bahan bakar alternatif. Pengalihan bahan bakar yang berasal dari fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui harus difokuskan pada bahan bakar yang diekstraksi dari tumbuhan-tumbuhan yang mampu tumbuh pada lahan-lahan pertanian yang selama ini terabaikan dan marginal, yang tidak menyebabkan masalah karbon (carbon debt) pada alih fungsi lahan tersebut (Fargione et al., 2008; Searchinger et al., 2008).

Page 60: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

60 I Gusti Made Arya Parwata, Didik Indradewa, Prapto Yudono, Bambang Djadmo Kertonegoro, dan Rukmini Kusmarwiyah

adalah tanaman yang menjanjikan sebagai pilihan yang berkelanjutan. Dengan bijinya yang mengandung minyak dan mudah dikonversi menjadi biodiesel hingga 35%, potensinya dalam mereklamasi lahan bermasalah dengan pengaruh positif terhadap lingkungan dan juga pembangunan sosial ekonomi kawasan bersangkutan (Francis et al., 2005; Pandey et al., 2012) tanpa memiliki sifat kompetisi dengan penggunaannya sebagai sumber minyak makanan dan menghabiskan cadangan karbon alami, dan juga terhadap lingkungan (Achten et al., 2010; Romijn et al., 2011; Dyer et al., 2012), serta reputasi toleransinya terhadap cekaman kekeringan dan sifat mudahnya tumbuh pada lahan marginal, telah menyebabkan tanaman ini ditanam secara luas pada lahan-lahan bermasalah di daerah tropis (Fairles, 2007; Achten et al., 2008).

Sebagai salah satu spesies tanaman yang diperkirakan sesuai untuk lahan pasir pantai, tanaman ini dapat tumbuh dengan cepat dan toleran terhadap kekeringan. Tanaman ini mampu beradaptasi baik dengan kondisi semi-arid, walaupun kondisi lingkungan yang lebih basah akan menghasilkan penampilan tanaman yang lebih baik, kebutuhan unsur hara yang relatif rendah, dapat tumbuh pada pH 9, bahkan 11, tetapi pertumbuhan akan terhambat sehingga menurunkan hasil. Tanaman ini membutuhkan pemupukan Ca and Mg pada tanah-tanah yang sangat masam (Behera et al., 2010; Contran et al., 2013). Tanaman ini juga memiliki kemampuan mengelola kekeringan dengan sangat baik dan memungkinkan hidup dengan udara yang sama sekali tidak mengandung uap air. Sifat yang berbeda ditunjukkan terhadap kebutuhannya akan curah hujan yang mencapai 600-800 mm tahun-1 (Kheira dan Atta, 2009; Pandey et al., 2012), tetapi umumnya masih toleran pada kisaran curah hujan yang lebih luas yaitu antara 250 hingga 3,000 mm tahun-1. Tanaman ini toleran terhadap suhu tinggi dan tidak peka terhadap panjang penyinaran (Achten et al., 2008; Contran et al., 2013).

Uji toleransi beberapa genotipe tanaman jarak pagar terhadap cekaman kekeringan selama periode pembibitan yang didasarkan atas laju pertumbuhan vegetatif menunjukkan bahwa genotipe IP-1A dan IP-2M merupakan genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan Unggul lokal NTB dan Daun kuning merupakan genotipe yang peka (Parwata et al., 2010). Disamping itu, genotipe-genotipe yang toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan menunjukkan tanggapan fisiologis yang berbeda pula (Parwata et al., 2012; Fini et al., 2013; Sapeta et al., 2013). Tulisan ini menguraikan respon pertumbuhan dan hasil tanaman jarak pagar terhadap cekaman kekeringan di lahan pasir pantai.

BAHAN DAN METODE Percobaan ini merupakan satu dari serangkaian

percobaan yang dilaksanakan sejak tahun 2009 hingga tahun 2010 di Pusat Penelitian Pasir Pantai Universitas Gadjah Mada di pantai Selatan Purworejo, Jawa Tengah.

Percobaan pertama ditata dengan menggunakan rancangan petak terpisah. Faktor interval penyiraman yang

terdiri atas penyiraman optimum (3 hari sekali) dan interval yang menyebabkan tanaman tercekam (9 hari sekali) yang diperoleh dari percobaan sebelumnya diletakkan pada petak utama, dan faktor genotipe yang terdiri atas 2 genotipe toleran (IP-1A dan IP-2M) dan 2 genotipe peka kekeringan Unggul lokal dan Daun Kuning) diletakkan pada anak petak. Setiap unit percobaan dibuat dalam 3 ulangan.

Percobaan kedua untuk mengetahui potensi hasilnya, ditata dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan empat perlakuan genotipe. Genotipe yang diperoleh dari hasil percobaan sebelumnya, ditanam di awal musim penghujan dan tidak pernah diberikan penyiraman selama percobaan.

Pembibitan dilakukan selama dua bulan dengan menggunakan polibag. Bibit yang telah siap, ditanam pada awal musim penghujan. Pemeliharaan tanaman seperti pemupukan, pengendalian hama, penyakit dan gulma dilakukan sesuai dengan standar pemeliharaan tanaman jarak pagar.

Perlakuan penyiraman pada percobaan I dilakukan sesuai dengan perlakuan interval penyiraman yang dimulai pada awal musim kemarau, yaitu setelah seminggu tidak turun hujan. Penyiraman dilakukan pada sore hari hingga mencapai kondisi kapasitas lapangan, yang ditentukan menggunakan Time Domain Reflectometry (TDR). Perlakuan penyiraman mulai dilaksanakan ketika tanaman telah berumur ± 7 bulan setelah tanam selama 5 bulan. Panen pada percobaan II dilaksanakan setelah buah berwarna kuning hingga kecokelatan. Buah dipetik dengan menggunakan gunting, dikumpulkan dan kemudian dikupas untuk mendapatkan bijinya. Biji yang diperoleh kemudian dijemur di bawah terik matahari hingga kadar airnya mencapai 6-7%.

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam pada taraf nyata 5%. Beda nyata antar perlakuan ditentukan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%, dan hubungan antara komponen yang diamati dengan toleransi tanaman terhadap kekeringan ditentukan dengan Analisis Lintas menurut Singh dan Chaudhary (1979) dan Sastrosupadi (2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan genotipe jarak pagar yang ditanam di

lahan pasir pantai tampak pada parameter serapan cahaya, jumlah cabang, jumlah daun, luas permukaan akar, total panjang akar, diameter akar, bobot kering tanaman serta ratio tajuk akar. Perlakuan interval penyiraman berpengaruh nyata terhadap semua parameter yang diamati, kecuali jumlah cabang. Ini berarti bahwa hampir seluruh parameter pertumbuhan yang diamati dipengaruhi oleh interval penyiraman. Interaksi genotipe jarak pagar dan interval penyiraman tidak berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati (Tabel 1).

Tanaman yang disiram 3 hari sekali menjadi lebih tinggi dan lebih besar batangnya dan berbeda nyata dengan tanaman yang disiram 9 hari sekali. Tanaman yang disiram dengan interval penyiraman yang optimum

Page 61: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

61Respon Pertumbuhan dan Hasil.....

dapat melaksanakan proses fotosintesis dan faktor-faktor pendukungnya berjalan dengan baik, mengingat peran air dalam proses tersebut, sehingga produksi fotosintat (bahan kering) maksimum, akibatnya pertumbuhan menjadi lebih baik, jika dibandingkan dengan tanaman yang disiram 9 hari sekali. Hal ini mengakibatkan tanaman semakin tinggi dan diameter batangnya lebih besar. Penurunan panjang batang akibat adanya cekaman kekeringan ditemukan pada tanaman Albizia (Meenakshi et al., 2005), Erythrina, bibit Eucalyptus microteca, dan kentang (Shao et al., 2008). Kekurangan air juga menyebabkan terjadinya penurunan tinggi tajuk pada spesies tanaman Populus (Yin et al., 2005).

Daun tanaman jarak pagar merupakan organ tanaman yang tumbuh berselang-seling melingkar sepanjang batang dan cabang (Hambali et al., 2006; Prana, 2006; Erythrina, 2007; Contran et al., 2013). Interval penyiraman 3 hari sekali memberikan jumlah daun lebih banyak jika dibandingkan dengan interval penyiraman 9 hari sekali. Hal ini dapat dipahami mengingat posisi tumbuhnya daun jarak pagar, sehingga semakin panjang batang (tinggi tanaman), semakin banyak jumlah daun tanaman. Hal ini didukung oleh adanya korelasi positif yang sangat nyata antara jumlah daun dengan tinggi tanaman (panjang batang utama) (r = 0.63) dan jumlah cabang (r = 0.69). Sapeta et al. (2013) melaporkan bahwa cekaman kekeringan menurunkan jumlah dan panjang daun secara sangat signifikan. Kekurangan air juga menyebabkan terjadinya penurunan jumlah, ukuran dan umur daun pada kacang tanah seperti yang dilaporkan oleh Reddy et al. (2004).

Tinggi tanaman dan diameter batang tidak berbeda antar genotipe, namun terdapat kecenderungan bahwa

genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan, tanamannya relatif lebih besar diameter batangnya, jika dibandingkan dengan genotipe jarak yang peka (Tabel 2).

Indeks luas daun (ILD) merupakan perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi. Interval penyiraman berpengaruh terhadap ILD tanaman (Tabel 1). Tanaman yang disiram 3 hari sekali memiliki ILD yang lebih tinggi (1.92) dan berbeda nyata dengan tanaman yang disiram 9 hari sekali (1.40) (Tabel 3). Cekaman kekeringan menurunkan jumlah daun tanaman yang selanjutnya dapat menurunkan total luas daun tanaman sehingga ILD juga menurun. Terdapat korelasi positif yang nyata antara jumlah daun dengan ILD tanaman (r = 0.60), yang bermakna bahwa penurunan jumlah daun akan menurunkan ILD secara sangat nyata. Erice et al. (2010) melaporkan bahwa cekaman kekeringan merupakan faktor lingkungan yang mampu merubah rasio luas daun dan luas daun spesifik. Perubahan ini disebabkan oleh adanya kehilangan daun dan penurunan perkembangan daun muda yang disebabkan oleh penurunan luas daun sebagai akibat adanya cekaman (Anyia dan Herzog, 2004). Penurunan total luas daun pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan dapat dilihat sebagai sebuah strategi untuk menunda cekaman kekeringan dengan menurunkan total transpirasi tanaman dengan pengaruh minor terhadap keseimbangan air. Akan tetapi, penurunan total luas daun tanaman dapat juga menurunkan total fotosintesis bersih dan pertumbuhan bagian tanaman di atas permukaan tanah (Cordeiro et al., 2009).

Interval penyiraman berpengaruh terhadap serapan cahaya (Tabel 1). Tanaman yang disiram 3 hari sekali memiliki serapan cahaya yang lebih besar (88.20%) dan berbeda

PerlakuanParameter

ILD SC TT JC DB JD LPA TPA DA BKT RTAGenotipe tn * tn * tn * * * * * *Interval penyiraman * * * tn * * * * * * *Interaksi tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Tabel 1. Hasil analisis ragam pertumbuhan dan hasil tanaman jarak pagar yang diamati

Keterangan: ILD = Indeks luas daun; SC = Serapan cahaya; TT = Tinggi tanaman; JC = Jumlah cabang; DB = Diameter batang; JD = Jumlah daun; LPA = Luas permukaan akar; TPA = Total panjang akar; DA = Diameter akar; BKT = Bobot kering tanaman; RTA = Rasio tajuk akar; * = berpengaruh nyata; tn = tidak berpengaruh nyata

Faktor Perlakuan Tinggi tanaman (cm)

Diameter batang (mm)

Jumlah cabang

Jumlah daun (helai)

Indeks luas daun

Serapan cahaya (%)

Interval penyiraman

3 hari sekali 120.28a 62.08a 8.75a 239.75a 1.92a 88.20a9 hari sekali 103.37b 53.00b 7.25a 167.33b 1.40b 80.55b

Genotipe IP-1A 117.77a 60.52a 7.17b 262.50b 1.58a 87.36aIP-2M 111.20a 61.39a 11.17a 294.50a 2.02a 88.78aUnggul Lokal 110.33a 56.68a 7.00b 100.00d 1.40a 84.50bDaun Kuning 118.00a 51.57a 6.67b 157.17c 1.64a 76.85c

Tabel 2. Tinggi tanaman, diameter batang, jumlah cabang, jumlah daun, indeks luas daun dan serapan cahaya jarak pagar

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf = 5%

Page 62: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

62 I Gusti Made Arya Parwata, Didik Indradewa, Prapto Yudono, Bambang Djadmo Kertonegoro, dan Rukmini Kusmarwiyah

nyata dengan tanaman yang disiram 9 hari sekali (80.55%) (Tabel 3). Perbedaan ini karena terjadinya perbedaan dalam jumlah dan indeks luas daun. Semakin banyak jumlah daun dan semakin besar indeks luas daun, semakin banyak sinar yang diserap sehingga serapan cahayanya semakin besar. Terdapat korelasi positif yang nyata antara serapan cahaya dengan jumlah daun (r = 0.45), dan dengan indeks luas daun (r = 0.51). Ini berarti bahwa peningkatan jumlah dan indeks luas daun meningkatkan serapan cahaya secara nyata. Hal yang sama juga terjadi pada genotipe jarak pagar. Genotipe yang toleran memiliki serapan cahaya yang lebih besar dan berbeda nyata dengan genotipe yang peka.

Tanaman jarak pagar yang disiram 3 hari sekali memiliki total akar lebih panjang, permukaan akar lebih luas dan diameter akar yang lebih besar dan berbeda nyata dengan tanaman yang disiram 9 hari sekali. Dengan kondisi tercekam, akhirnya menghambat laju fotosintesis sehingga pertumbuhan secara umum menurun akibat berkurangnya fotosintat yang dihasilkan, dan akhirnya pertumbuhan akar juga terganggu. Penurunan panjang akar akibat cekaman kekeringan dilaporkan juga terjadi pada tanaman Albizia, bibit tanaman Erythrina, kayu putih dan spesies Populus (Shao et al., 2008), bahkan pada tanaman jawawut cekaman kekeringan dapat menurunkan bobot biomasa akar serabut (Kusaka et al., 2005).

Rasio akar tajuk merupakan perbandingan bobot kering bagian akar dan bagian tajuk tanaman. Interval penyiraman berpengaruh terhadap rasio akar tajuk (Tabel 1). Tanaman yang disiram 3 hari sekali memiliki rasio akar tajuk (0.49) lebih kecil dari tanaman yang disiram 9 sekali (0.60) (Tabel 3). Rasio akar tajuk tanaman yang tercekam menjadi lebih besar karena, disamping disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan tanaman, diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan pertumbuhan tanaman di atas dan di bawah tanah. Pertumbuhan tanaman di atas tanah menjadi terhambat akibat adanya kondisi tercekam, tetapi pertumbuhan bagian tanaman di bawah tanah (akar) lebih lambat dipengaruhi dalam rangka untuk mendapatkan air untuk pertumbuhan tanaman. Diaz-Lopez et al. (2012) menyatakan bahwa perubahan rasio akar tajuk merupakan suatu mekanisme yang terlibat dalam adaptasi tanaman terhadap kekeringan. Liu dan Stutzel (2004), Nayyar dan Gupta (2006) serta Diaz-Lopez et al. (2012) melaporkan bahwa dalam kondisi tercekam kekurangan air, pertumbuhan

tajuk tanaman segera menurun, tetapi pertumbuhan akar relatif kurang terpengaruh. Hal yang sama juga terjadi pada jarak pagar. Genotipe yang toleran memiliki rasio akar tajuk lebih kecil.

Interval penyiraman berpengaruh terhadap bobot kering tanaman (Tabel 1). Tanaman yang disiram 3 hari sekali memiliki bobot kering tanaman (815.38 g) lebih besar dan berbeda nyata dengan tanaman yang disiram sembilan hari sekali (479.66 g) (Tabel 3). Bobot kering tanaman merupakan akumulasi fotosintat hasil proses fotosintesis, dan merupakan muara dari laju pertumbuhan seluruh organ tanaman. Penurunan laju fotosintesis dan pertumbuhan seluruh organ tanaman akibat cekaman kekeringan menyebabkan tanaman yang disiram 3 hari sekali memiliki bobot kering yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot kering tanaman yang disiram 9 hari sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang nyata hingga sangat nyata antara bobot kering tanaman dengan laju fotosintesis (r = 0.47), tinggi tanaman (r = 0.76), jumlah cabang (r = 0.62), diameter batang (r = 0.77) dan jumlah daun tanaman (0.88). Ini memiliki makna bahwa peningkatan laju fotosintesis, tinggi tanaman, jumlah cabang, diameter batang dan jumlah daun tanaman meningkatkan bobot kering tanaman secara nyata. Hal yang sama juga terjadi pada jarak pagar. Genotipe yang toleran memiliki rasio akar tajuk yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan genotipe yang peka. Jaleel et al. (2008) melaporkan bahwa cekaman kekeringan juga menyebabkan terjadinya penurunan bobot kering pada tanaman Catharanthus roseus L. dan tanaman lainnya, hanya intesitasnya yang berbeda-beda tergantung pada genotipenya. Penurunan bobot kering tanaman ini disebabkan oleh penurunan pertumbuhan tanaman, fotosintesis dan struktur kanopi selama cekaman kekeringan berlangsung (Nautiyal et al., 2002; Bhatt dan Rao, 2005; Rodriquez et al., 2005; Sundaravalli et al., 2005).

Untuk mengetahui dukungan parameter pertumbuhan vegetatif tanaman terhadap bobot kering tanaman, dilakukan Analisis Lintas (Path analysis) menurut Singh dan Chaudhary (1979) dan Sastrosupadi (2003). Beberapa parameter yang menunjukkan korelasi yang nyata pada taraf 1%, jumlah daun memiliki pengaruh yang paling kuat (0.61), diikuti oleh tinggi tanaman (0.18), dan diameter batang (0.13). Parameter akar (total panjang dan diamater

Faktor Perlakuan Total panjang akar (cm)

Luas permukaan akar (cm2)

Diameter akar (mm)

Rasio akar tajuk

Bobot kering tanaman (g)

Interval penyiraman

3 hari sekali 3,232.08a 84,925.59a 8.38a 0.49b 815.38a9 hari sekali 3,000.96b 75,984.72b 8.04b 0.60a 479.66b

Genotipe IP-1A 3,307.87a 87,721.68a 8.50a 0.52b 742.87aIP-2M 3,292.97a 86,826.45a 8.38ab 0.49b 756.69aUnggul Lokal 3,111.92b 80,375.93b 8.22b 0.57a 536.94bDaun Kuning 2,753.32c 66,896.55c 7.75c 0.60a 553.59b

Tabel 3. Total panjang akar, luas permukaan akar, diameter akar, rasio akar tajuk dan bobot kering tanaman jarak pagar

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan faktor perlakuan yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf = 5%

Page 63: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

63Respon Pertumbuhan dan Hasil.....

akar) menunjukkan pengaruh yang tidak kuat (0.03 dan 0.02). Dari semua parameter tersebut, nampak bahwa jumlah daun memiliki daya dukung kuat terhadap akumulasi bobot kering tanaman. Hal ini mungkin terkait erat dengan karakter tanaman jarak pagar dalam menghadapi cekaman air. Di daerah yang sedang mengalami kemarau panjang, tanaman jarak pagar akan meranggas dan menggugurkan daunnya dalam upaya bertahan menghadapi cekaman kekeringan (Syah, 2005; Tim Nasional Pengembang BBN, 2007). Semakin lama dan banyak daun bertahan tidak gugur, fotosintat yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga akumulasi bahan kering juga semakin banyak.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa semua parameter pertumbuhan vegetatif tanaman jarak pagar yang diamati menunjukkan penurunan pertumbuhan sebagai akibat adanya cekaman kekeringan di lahan pasir pantai, kecuali rasio akar tajuk. Disamping itu, parameter jumlah daun memberikan dukungan paling kuat terhadap akumulasi bobot kering tanaman. Hal ini berarti, jika ingin memperoleh tanaman jarak pagar dengan pertumbuhan vegetatif yang baik, jumlah daun dapat dijadikan kriteria dalam melakukan seleksi.

Terdapat perbedaan persentase tanaman yang menghasilkan buah, jumlah tandan dan buah per tanaman di antara genotipe. Tanaman yang menghasilkan buah (78.12%), jumlah tandan (6.91) dan jumlah buah per tanaman paling tinggi (23.70) ditunjukkan oleh genotipe IP-1A dan berbeda nyata dengan genotipe tanaman yang peka, serta berbeda nyata juga dengan IP-2M (Tabel 4), yang merupakan salah satu genotipe toleran berdasarkan evaluasi sebelumnya. IP-1A merupakan salah satu genotipe yang direkomendasikan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan untuk dikembangkan di daerah yang beriklim kering. Genotipe ini merupakan hasil seleksi masa populasi tanaman jarak pagar yang berasal dari daerah Nusa Tenggara Barat (Erythrina, 2007), yang terkenal sebagian besar wilayahnya merupakan lahan kering.

Pengecualian terjadi pada genotipe IP-2M. Genotipe ini merupakan salah satu genotipe yang toleran kekeringan di lahan pasir pantai berdasarkan evaluasi sebelumnya (Parwata et al., 2010), justru memberikan pertumbuhan generatif paling rendah. Tanaman yang mampu berbuah hanya 15.62%, atau sekitar 2-3 tanaman dari 16 tanaman

plot-1, dengan tandan dan hasil buah yang paling rendah pula. Rendahnya tanaman yang berbuah dan jumlah buah disebabkan oleh rendahnya jumlah tanaman yang berbunga. Jika dilihat dari performa tanaman, genotipe ini justru menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang relatif vigor, tumbuhnya tunas dan daun setelah mengalami kerontokan relatif cepat, dan daun tanaman relatif lebat (Gambar tidak ditampilkan) jika dibandingkan dengan genotipe yang lainnya. Hal ini diduga mungkin karena genotipe ini belum mampu beradaptasi dengan baik dengan kondisi lahan pasir pantai. Berdasarkan deskripsinya, genotipe ini berasal dari hasil seleksi massa populasi yang berasal dari daerah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Hasil seleksi tersebut merupakan populasi IP-1M yang direkomendasikan untuk dikembangkan di daerah dari sedang sampai kering. IP-1M kemudian dilakukan seleksi massa lagi, dan akhirnya diperoleh IP-2M yang direkomendasikan untuk daerah kering (Erythrina, 2007). Disamping itu, rendahnya jumlah buah yang dihasilkan mungkin karena genotipe tersebut masih dalam fase adaptasi dengan kondisi lingkungan pasir pantai sehingga buahya belum stabil. Tanaman jarak pagar biasanya akan mulai stabil berbuah setelah memasuki tahun ke 4-5 (Syah, 2005; Hambali et al., 2006; Prana, 2006).

Komponen hasil yang diamati pada percobaan ini adalah jumlah dan bobot biji per tanaman, serta rata-rata bobot biji. Terdapat perbedaan komponen hasil diantara genotipe. Pada Tabel 4 nampak bahwa genotipe IP-1A merupakan genotipe yang mampu memberikan hasil paling tinggi, jika dilihat jumlah biji dan bobot biji per tanaman. Terdapat korelasi positif yang sangat nyata antara bobot biji per tanaman dengan persentase tanaman yang menghasilkan buah (r = 0.77) dan jumlah buah per tanaman (r = 0.99), yang bermakna bahwa semakin banyak tanaman yang berbuah dan jumlah buah per tanaman, semakin tinggi hasil biji. Hasil biji genotipe IP-1A adalah 33.54 g tanaman-1, atau setara dengan 0.15 ton ha-1. Hasil ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan potensi hasil yang tercantum dalam deskripsi genotipe tersebut, yaitu berkisar antara 0.23-0.27 ton ha-1 untuk tahun pertama. Hal ini beralasan mengingat lahan tempat penanaman adalah merupakan lahan marginal pasir pantai dengan segala keterbatasan dalam tingkat kesuburan baik fisik, kimia dan biologi serta lingkungannya.

GenotipeParameter

1 2 3 4 5 6IP-1A 78.12a 6.91a 23.70a 64.38a 0.50 33.54aIP-2M 15.62c 0.61c 1.97c 5.25c 0.54 2.87cUnggul Lokal 56.25b 3.08b 9.53b 25.60b 0.54 16.40bDaun Kuning 66.56b 2.50b 8.56b 22.77b 0.59 14.04b

Tabel 4. Rata-rata hasil buah dan biji empat genotipe jarak pagar toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan di lahan pasir pantai pada tahun pertama siklus produksi

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf = 5%; 1 = Persen tanaman yang menghasilkan buah; 2 = jumlah tandan buah per tanaman; 3 = jumlah buah per tanaman; 4 = jumlah biji per tanaman; 5 = rata-rata bobot biji (g); 6 = bobot biji per tanaman (g)

Page 64: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

64 I Gusti Made Arya Parwata, Didik Indradewa, Prapto Yudono, Bambang Djadmo Kertonegoro, dan Rukmini Kusmarwiyah

Tidak terdapat perbedaan yang nyata rata-rata bobot biji di antara genotipe jarak pagar yang diuji. Bobot biji berkisar antara 0.50-0.59 g. Angka-angka ini sedikit lebih kecil dari potensi bobot biji rata-rata yang tercantum dalam deskripsi masing-masing genotipe, yaitu berkisar antara 0.65-0.80 g. Ini diduga juga berkaitan dengan tingkat kesuburan tanahnya.

KESIMPULAN

Cekaman kekeringan menurunkan laju pertumbuhan vegetatif tanaman jarak pagar di lahan pasir pantai. Tanaman yang tercekam kekeringan memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih terhambat, serta memiliki rasio akar tajuk yang lebih besar, jika dibandingkan dengan tanaman yang tidak tercekam. Genotipe tanaman jarak pagar yang toleran terhadap cekaman kekeringan memiliki pertumbuhan vegetatif lebih cepat, serta rasio akar tajuk yang lebih kecil, jika dibandingkan dengan genotipe yang peka. Genotipe IP-1A merupakan genotipe yang paling toleran dan sesuai untuk dikembangkan di lahan pasir pantai berdasarkan pertumbuhan dan hasil biji yang dicapai. Pada tahun pertama, genotipe IP-1A menghasilkan 33.54 g biji kering tanaman-1 (setara dengan 0.15 ton ha-1).

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Universitas Mataram

melalui Proyek Hibah Penelitian Fundamental dengan dana DIPA P2T eks. Pembangunan Universitas Mataram Tahun 2009 Nomor 0234.0/023-04/XXI/2009, tanggal 31 Desember 2008. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Supangat sekeluarga di Desa Keburuhan, Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah, yang telah membantu peneliti dan memberikan pemondokan selama kegiatan penelitian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Achten, W.M.J., L. Verhot, Y.J. Franken, E. Mathijs, V.P. Singh, R. Aerts, B. Muys. 2008. Jatropha bio-diesel production and use (Review). Biomass Bioenergy 32:1063-1084.

Achten, W.M.J., W.H. Maes, R. Aerts, L. Verchot, A. Trabucco, E. Mathijs, V.P. Sing, B. Muys. 2010. Jatropha : From global hype to local opportunity (Think Note). J. Arid Environ. 74:164-165.

Anyia, A.O., H. Herzog. 2004. Water-use efficiency, leaf area and leaf gas exchange of cowpeas under mid-season drought. Eur. J. Agron. 20:327-339.

Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2007. Departemen kelautan dan perikanan Republik Indonesia (www.brkp.go.id, [27 November 2007].

Behera, S.K., P. Srivastava, R. Tripathi, J.P. Sing, N. Sing. 2010. Evaluation of plant performance of Jatropha curcas L. under different agro-practices for optimizing biomass-A case study. Biomass Bioenergy 34:30-41.

Bhatt, R.M., N.K. Rao. 2005. Influence of pod load on response of Okra to water stress. Indian J. Plant Physiol. 10:54-59.

Contran, N., L. Chessa, M. Lubino, D. Bellavite, PP. Roggero, G. Enne. 2013. Stae-of-the-art of Jatropha curcas productive chain: from sowing to biodiesel and by-products. Ind. Crop. Prod. 42:202-215.

Cordeiro, Y.E.M., H.A. Pinheiro, B.G.S. Filho. 2009. Physiological and morphological responses of young mahagony (Swietenia macrophylla King) plants to drought. Forest Ecol. Manag. 258:1449-1455.

Diaz-Lopez, L., V. Gimeno, L. Simon, V. Martinez, W.M. Rodriquez-Ortega, F. Garcia-Sanchez. 2012. Jatropha curcas seedlings show a water conservation strategy under drought conditions based on decreasing leaf growth and stomatal conductance. Agric. Water Manag. 105:48-56.

Dyer, J.C., L.C. Stringer, AJ. Dougill. 2012. Jatropha curcas: sowing local seeds od success in Malawi?. J. Arid Environ. 79:107-110.

Erice, G., S. Louahlia, J.J. Irigoyen, M. Sanches-Diaz, J.C. Avice. 2010. Biomass partitioning, morphology and water status of four alfalfa genotypes submitted to pregressive drought and subsequent recovery. J. Plant Physiol. 167:114-120.

Erythrina. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Bahan Bakar Minyak. Ar-Rahman, Bogor.

Fairles, D. 2007. Biofuel: The little shrub that could – maybe. Nature 449:652-655.

Fargione, J., J. Hill, D. Tilman, S. Polasky, P. Hawthorne. 2008. Land clearing and the biofuel carbon debt. Science 319:1235-1238.

Fini, A., C. Bellasio, S. Pollastri, M. Tattini, F. Ferrini. 2013. Water relations, growth, and leaf gas exchange as affected by water stress in Jatropha curcas. J. Arid Environ. 89:21-29.

Francis, G., R. Edinger, K. Becker. 2005. A concept for simultaneous wasteland reclamation, fuel production, and socio-economic development in degraded areas in India: need, potential and perspectives of Jatropha plantations. Nat. Resour. Forum 29:12-24.

Page 65: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 59 - 65 (2014)

65Respon Pertumbuhan dan Hasil.....

Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaya, T. Prawitasari, T. Prakoso, W. Purnama. 2006. Jarak Pagar-Tanaman Penghasil Biodiesel. Seri Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.

Jaleel, C.A., R. Gopi, B. Sankar, M. Gomathinayagam, R. Panneerselvam. 2008. Differential responses in water use efficiency in two varieties of Catharanthus roseus under drought stress. CR Biol. 331:42-47.

Kheira, A.A.A., N.M.M. Atta. 2009. Response of Jatropha curcas L. to water deficit: yield, water use efficiency and oil characteristics. Biomass Bioenergy 33:1343-1350.

Kusaka, M., A.G. Lalusin, T. Fujimura. 2005. The maintenance of growth and turgor in pearl millet (Pennisetum glaucum L.) cultivars with different root structures and osmoregulation under drought stress. Plant Sci. 168:1-14.

Liu, F., H. Stutzel. 2004. Biomass partitioning, specific leaf area, and water use efficiency of vegetable amaranth (Amaranthus spp.) in response to water stress. Sci. Hort. 102:15-27.

Meenakshi, S.V., K. Paliwal, A. Ruckmani. 2005. Effect of water stress on photosynthesis, protein content and nitrate reductase activity of Albazzia seedlings. J. Plant Biol. 32:13-17.

Nautiyal, P.C., V. Ravindra, Y.C. Joshi. 2002. Dry matter partitioning and water use efficiency under water deficit during various growth stages in groundnut. Indian J. Plant Physiol. 7:135-139.

Nayyar, H., D. Gupta. 2006. Differential sensitivity of C3 and C4 plants to water deficit stress: association with oxidative stress and antioxidants. J. Environ. Exp. Bot. 58:106-113.

Pandey, V.C., K. Sing, J.S. Sing, A. Kumar. 2012. Jatropha curcas : A potential biofuel plant for sustainable environmental development. Renew. Sust. Energ. Rev. 16:2870-2883.

Parwata, I.G.M.A., D. Indradewa, P. Yudono, B.D. Kertonegoro. 2010. Pengelompokan genotipe jarak pagar berdasarkan atas ketahanannya terhadap kekeringan pada fase pembibitan di lahan pasir pantai. J. Agron. Indonesia 38:156-162.

Parwata, I.G.M.A., D. Indradewa, P. Yudono, B.D. Kertonegoro, R. Kusmarwiyah. 2012. Physiological responses of Jatropha to drought stress in coastal sandy land. Makara J. Sci. 16:115-121.

Prana, M.S. 2006. Budidaya Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sumber Biodiesel Menunjang Ketahanan Energi Nasional. LIPI Press, Jakarta.

Reddy, A.R., K.V. Chaitanya, M. Vivekanandan. 2004. Drought-induced renponses of photosynthesis and antioxidant metabolism in higher plants. Plant Physiol. 161:1189-1202.

Rodriquez, P., A. Torrecillas, M.A. Morales, M.F. Ortuno, M.J.S. Blanco. 2005. Effect of NaCl salinity and water stress on growth and leaf water potential of Asterious maritimus plants. Environ. Exp. Bot. 53:113-123.

Romijn, H.A., C.L. Marjolein, Caniels. 2011. The jatropha biofuels sector in Tanzania 2005-2009: Evolution towards sustainability?. Res. Policy 40:618-636.

Sapeta, H., J.M. Costa, T. Lourenco, J. Maroco, P.van der Linde, M.M. Oliveira. 2013. Drought stress response in Jatropha curcas: Growth and physiology. Environ. Exp. Bot. 85:76-84.

Sastrosupadi, A. 2003. Penggunaan Regresi, Korelasi, Koefisien Lintas dan Analisis Lintas untuk Penelitian Bidang Pertanian. Bayumedia, Malang.

Searchinger, T., F. Heimlich, R.A. Houghton, F.X. Dong, J. ElobeidFabiosa, S. Tokgoz, D. Hayes, T.H. Yu. 2008. Use of US croplands for biofuels increases greenhouse gases through emissions from land-use change. Science 319:1238-1240.

Shao, H.B., L.Y. Chu, C.A. Jaleel, C.X. Zhao. 2008. Water deficit stress induced anatomical changes in higher plants. CR Biol. 331:215-225.

Singh, R.K., B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Publisher, New Delhi.

Sundaravalli, V., K. Paliwal, A. Ruckmani. 2005. Effect of water stress on photosynthesis, protein content and nitrat reductase activity of Albizzia seedling. J. Plant Biol. 32:13-17.

Syah, A. 2005. Mengenal Lebih Dekat Biodiesel Jarak Pagar. Agromedia Pustaka, Bogor.

Tim Nasional Pengembang BBN. 2007. Bahan Bakar Nabati. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Yin, C., X. Wang, B. Duan, J. Luo, C. Li, 2005. Early growth, dry matter allocation and water use efficiency of two sympatric Populus species as affected by water stress. Environ. Exp. Bot. 53:315-322.

Page 66: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

66 Djumali dan Elda Nurnasari

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Karakter Tanaman yang Mempengaruhi Hasil Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Plant Characters that Affected Physic Nut (Jatropha curcas L.) Yield

Djumali* dan Elda Nurnasari

Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Jl. Raya Karangploso, Kotak Pos 199, Malang 65152, Indonesia

Diterima 25 September 2013/Disetujui 21 Januari 2014

ABSTRACT Yield variety of physic nut is one of the factor that cause the gap between the potential and actual yields. In a homogeneous

environment, plant yield is controlled by multigenes. To obtain a homogeneous yield, it is necessary to determine the plant characters affecting physic nut yield. A research was carried out in Asembagus and Muktiharjo Research Stations in January-December 2010 to observe plant growth and yield of IP-3A and IP-3M genotypes. Data were analyzed backward stepwise to determine the plant characters that affect plant yield. The results showed that IP-3A plant characters affecting yield from the greatest were the number of branches, the ratio C / N in petiol, the number of non-productive branches, the amount of glucose needed to form per gram petiol tissue, C-organic content in petiol, the ratio C / N in stem, C-organic content in stem, and the amount of glucose needed to form per gram stem tissue. Of the eight characters, only the number of non-productive branches negatively affected on yield, while other characters showed positive influence. The IP-3M plant characters affecting yield from the greatest were the ratio C / N in shoot, N content in shoot, the amount of glucose needed to form per gram shoot and stem tissues, C-organic content in shoot and stem, the amount of glucose needed to form per gram leaf tissue, C-organic content in leaf and water content in stem. Of the nine characters, only the N content in shoot that negatively affected on plant yield, while other characters showed positive influence.

Keywords: character, growth, Jatropha curcas, productive branches, yield

ABSTRAK

Keragaman hasil tanaman jarak pagar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan antara potensi dengan hasil aktual. Dalam kondisi lingkungan yang homogen, hasil tanaman dikendalikan oleh banyak gen. Untuk memperoleh hasil tanaman yang homogen maka perlu ditentukan karakter tanaman yang mempengaruhi hasil tanaman jarak pagar. Penelitian dilakukan di KP. Asembagus dan KP. Muktiharjo pada Januari-Desember 2010 dengan mengamati pertumbuhan dan hasil pertanaman IP-3A maupun IP-3M. Data yang diperoleh dianalisis regresi linier berganda langkah mundur untuk menentukan karakter yang mempengaruhi hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter tanaman IP-3A yang mempengaruhi hasil biji mulai yang paling besar pengaruhnya adalah jumlah cabang, rasio C/N jaringan petiol, jumlah cabang non produktif, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan petiol, kandungan C-organik dalam jaringan petiol, rasio C/N dalam jaringan batang, kandungan C-organik dalam jaringan batang, dan jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan batang. Jumlah cabang non produktif berpengaruh negatif terhadap hasil, sedangkan yang lainnya berpengaruh positif. Adapun karakter tanaman IP-3M yang mempengaruhi hasil biji mulai yang paling besar pengaruhnya adalah rasio C/N tajuk, kandungan N dalam jaringan tajuk, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan tajuk dan batang, kandungan C-organik dalam jaringan tajuk dan batang, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan daun, kandungan C-organik dalam jaringan daun, dan kadar air batang. Kandungan N dalam jaringan tajuk berpengaruh negatif terhadap hasil, sedangkan yang lainnya berpengaruh positif.

Kata kunci: cabang produktif , hasil, Jatropha curcas, karakter, pertumbuhan

perhatian sehingga pengetahuan tentang tanaman jarak pagar masih sangat sedikit. Krisis energi global menyebabkan perhatian masyarakat tertuju pada tanaman jarak pagar sebagai salah satu sumber energi alternatif pengganti BBM dari fosil. Hal ini dikarenakan dari beberapa jenis tanaman penghasil biodiesel seperti Pongamia pinnata, Simarouba glauca, kemiri sunan, hanya jarak pagar yang mampu

PENDAHULUAN Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah

satu jenis tanaman penghasil biofuel dan baru mendapat

Page 67: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

67Karakter Tanaman yang Mempengaruhi......

beradaptasi pada kondisi semi-arid, lebih toleran terhadap kekeringan, kandungan minyak yang tinggi, tahan hama serta menghasilkan biji lebih cepat (Divakara et al., 2010; Misra dan Misra, 2011; Naresh et al., 2012).

Selama lima tahun terakhir bermunculan pengembang tanaman jarak pagar. Badan Litbang Pertanian telah meluncurkan bahan tanam berupa benih IP-1 berpotensi hasil 3-4 ton ha-1, IP-2 berpotensi 5-7 ton ha-1 (Hasnam et al., 2008), dan IP-3 berpotensi hasil 8-9 ton ha-1 (Syakir, 2010). Berbagai bidang penelitian jarak pagar telah dilakukan oleh berbagai kalangan. Namun hasil yang diperoleh belum memuaskan. Sebagai akibatnya, banyak pengembang mulai meninggalkan tanaman jarak pagar sehingga pengembangan tanaman tersebut tersendat-sendat. Agar pengembangan tanaman jarak pagar berjalan lancar maka perlu dibuktikan kebenaran potensi hasil.

Seleksi untuk memperoleh IP-1, IP-2, dan IP-3 dilakukan dengan mengambil individu-individu tanaman superior berdasarkan hasil yang diperolehnya. Hasil penelitian Nurnasari dan Djumali (2012) memperlihatkan bahwa keragaman populasi IP-3A baik yang berasal dari benih maupun dari stek batang sangat tinggi. Hasil maksimum individu tanaman meningkat sebesar 330-755% dari hasil populasinya. Dengan merujuk hasil penelitian Romli dan Hariyono (2010) bahwa hasil populasi pertanaman IP-2A dan IP-2P yang berasal dari benih sebesar 2.38 dan 2.01 ton ha-1 serta hasil maksimum individu tanaman meningkat 330%, maka akan diperoleh hasil biji masing-masing sebesar 7.85 dan 6.63 ton ha-1. Hasil tersebut sama dengan potensi IP-2 sebesar 5-7 ton ha-1 (Hasnam et al., 2008). Hasil penelitian Gohil dan Pandya (2008) juga menyatakan bahwa terdapat variabilitas genetik yang tinggi pada hampir seluruh karakter tanaman jarak pagar. Dengan demikian potensi hasil tanaman jarak pagar IP-1, IP-2, dan IP-3 dapat dicapai dengan menciptakan pertanaman tersebut homogen dalam kondisi seperti individu yang memperoleh hasil maksimum.

Homogenitas tanaman merupakan upaya yang harus dilakukan agar diperoleh hasil biji jarak pagar sesuai dengan potensinya. Hasil biji dipengaruhi oleh interaksi antara genetik tanaman dengan kondisi lingkungan tumbuh. Homogenitas kondisi lingkungan tumbuh masih dapat dilakukan, namun homogenitas genetik tanaman sulit dilakukan mengingat hasil tanaman dikendalikan oleh banyak gen. Penelitian bertujuan untuk mencari karakter tanaman yang dominan mempengaruhi hasil jarak pagar sehingga dapat diperoleh homogenitas genetik. Dengan diketahui karakter-karakter tersebut maka akan lebih mudah untuk merekayasa genetik tanaman sehingga diperoleh pertanaman yang homogen sesuai dengan karakteristik tanaman superior penghasil hasil maksimum.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai

dengan Desember 2010 di Kebun Percobaan Asembagus (Situbondo) dan Kebun Percobaan Muktiharjo (Pati), sedangkan analisis jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Kimia, Balittas, Malang.

Penelitian dilakukan dengan mengamati secara langsung karakter tanaman di lapangan dan tidak langsung di laboratorium terhadap pertanaman IP-3A (KP Asembagus) berumur 15 bulan untuk wilayah iklim kering dan pertanaman IP-3M (KP Muktiharjo) berumur 8 bulan untuk wilayah iklim sedang. Setiap pertanaman IP-3 diambil 50 contoh tanaman secara sistematis, yakni contoh tanaman dibagi menjadi 10 kelompok dan setiap kelompok terdiri atas 5 tanaman. Kriteria kelompok untuk IP-3A adalah jumlah buah yang terbentuk pada saat pengamatan yakni (1) < 20 buah, (2) 20-39 buah, (3) 40-59 buah, (4) 60-79 buah, (5) 80-99 buah, (6) 100-119 buah, (7) 120-139 buah, (8) 140-159 buah, (9) 160-179 buah, dan (10) > 179 buah. Adapun kriteria kelompok untuk IP-3M adalah jumlah buah yang terbentuk selama satu musim panen, yakni (1) < 50 buah, (2) 50-79 buah, (3) 80-109 buah, (4) 110-139 buah, (5) 140-169 buah, (6) 170-199 buah, (7) 200-229 buah, (8) 230-259 buah, (9) 260-289 buah, dan (10) > 289 buah. Kriteria kelompok antara IP-3A berbeda dengan IP-3M karena hasil buah IP-3A merupakan hasil pengamatan sesaat, sedangkan hasil buah IP-3M merupakan hasil akumulasi panen selama satu musim panen.

Pengamatan langsung di lapangan dilakukan terhadap hasil biji, tinggi tanaman, diameter kanopi, diameter batang utama, jumlah cabang total dan non produktif, jumlah daun per tanaman, dan luas daun. Adapun pengamatan tidak langsung dilakukan terhadap luas daun per tanaman, bobot spesifik daun, kadar air batang, karbohidrat simpanan dalam batang, kadar abu, kadar C-organik, kadar N-total, rasio C/N, dan glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan masing-masing organ tanaman. Kadar abu, C-organik dan N-total digunakan untuk menghitung jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan tanaman sesuai rumus yang digunakan Penning deVries et al. (1989).

Analisis data dilakukan dengan menghitung nilai rerata beserta koefisien keragamannya. Untuk menentukan peubah tanaman yang mempengaruhi hasil biji dilakukan analisis regresi linier berganda langkah mundur antara hasil dengan seluruh peubah pertumbuhan tanaman yang teramati. Karakter pertumbuhan tanaman yang dianggap sebagai penentu hasil adalah karakter yang masuk dalam persamaan mempunyai koefisien determinasi 0.95. Adapun untuk menentukan urutan karakter pertumbuhan tanaman yang paling berpengaruh terhadap hasil dilakukan analisis regresi berganda langkah mundur sampai diperoleh persamaan linier sederhana. Karakter tanaman yang berada dalam persamaan linier sederhana tersebut ditetapkan sebagai karakter yang paling menentukan hasil jarak pagar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Biji dan Karakter Pertumbuhan Tanaman Biji adalah organ yang bernilai ekonomis pada

tanaman jarak pagar, sehingga teknologi budidaya yang dapat meningkatkan pembungaan dan hasil buah (biji) penting dipelajari untuk meningkatkan produktivitas jarak pagar (Santoso, 2012). Peningkatan pada ukuran dan bobot

Page 68: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

68 Djumali dan Elda Nurnasari

biji secara langsung akan meningkatkan kandungan minyak dan protein dalam kernel. Hal ini dikarenakan pada saat biji meningkat bobotnya, proporsi relatif endosperma terhadap total bobot biji akan meningkat (Montes et al., 2013). Produksi tanaman jarak pagar merupakan akumulasi dari jumlah buah dikalikan dengan bobot buah, dua karakter ini paling berpengaruh terhadap produksi tanaman, sehingga perlu diketahui karakter-karakter lain yang mempengaruhi jumlah buah dan bobot buah agar produksi tanaman jarak pagar dapat ditingkatkan.

Hasil biji yang diperoleh pada IP-3A dan IP-3M menghasilkan koefisien keragaman masing-masing sebesar 46.4 dan 49.5% (Tabel 1). Hal ini terjadi karena penggunaan metode sistematik dalam pengambilan contoh tanaman, dimana dasar pengambilan contoh tanaman adalah jumlah buah yang terbentuk pada saat pengamatan untuk pertanaman IP-3A dan jumlah buah terbentuk selama satu

musim panen untuk pertanaman IP-3M. Keragaman hasil biji yang demikian sengaja dicari agar dapat diperoleh suatu persamaan yang dapat digunakan untuk menentukan karakter pertumbuhan tanaman yang berpengaruh terhadap hasil biji pada kedua pertanaman tersebut.

Meskipun koefisien keragaman hasil biji IP-3A dan IP-3M cukup besar, namun keragaman karakter pertumbuhan tanaman tidak semuanya mendekati keragaman hasil biji. Dari 26 karakter pertumbuhan tanaman yang teramati, 11.5% karakter pertumbuhan IP-3A dan 30.8% karakter pertumbuhan IP-3M yang mempunyai keragaman mendekati keragaman hasil biji, yakni sekitar 40-60%. Karakter pertumbuhan tersebut adalah jumlah cabang non produktif, kandungan N-total dalam jaringan batang, dan rasio C/N dalam jaringan daun untuk IP-3A serta luas daun per tanaman, kandungan N-total dalam jaringan batang, petiol, tajuk, rasio C/N dalam jaringan batang, daun, petiol, dan

Variabel agronomis dan fisiologisIP-3A IP-3M

Rerata KK (%) Rerata KK (%)Hasil (g tanaman-1) 283.80 46.41 297.20 49.50Pertumbuhan tanaman : - Tinggi tanaman (cm) 171.00 14.01 143.20 14.94 - Diameter kanopi (cm) 187.90 12.83 159.10 14.08 - Diameter batang utama (cm) 7.72 21.63 5.03 29.82 - Jumlah cabang non produktif per tanaman 4.76 59.45 5.63 61.28 - Total jumlah cabang per tanaman 24.54 38.18 18.49 32.50 - Jumlah daun per tanaman 674.30 28.59 417.60 39.97 - Luas daun per tanaman (dm2) 8,690 39.39 2,608 48.35 - Bobot spesifik daun (g dm-2) 6.82 11.44 5.41 16.64 - Kadar air batang (%) 458.90 21.75 600.10 20.40 - Karbohidrat simpanan dalam batang (mg g-1) 0.144 18.75 0.143 18.88 - Kadar C-organik dalam batang (%) 11.74 20.95 11.52 8.59 - Kadar C-organik dalam daun (%) 13.21 6.89 12.24 5.96 - Kadar C-organik dalam petiol (%) 12.01 13.24 11.57 8.56 - Kadar C-organik dalam tajuk (%) 12.32 12.91 11.70 7.44 - Kadar N-total dalam batang (%) 0.63 53.97 1.46 44.52 - Kadar N-total dalam daun (%) 1.17 29.91 2.98 31.54 - Kadar N-total dalam petiol (%) 0.44 18.18 1.26 50.00 - Kadar N-total dalam tajuk (%) 0.81 38.27 1.82 42.86 - Rasio C/N dalam batang 25.43 70.07 11.97 52.46 - Rasio C/N dalam daun 12.84 48.91 4.68 45.09 - Rasio C/N dalam petiol 27.99 22.44 12.00 51.83 - Rasio C/N dalam tajuk 21.33 61.93 7.72 49.09 - Glukosa untuk jaringan batang (g g-1) 1.225 12.08 1.485 11.99 - Glukosa untuk jaringan daun (g g-1) 1.674 5.73 1.714 7.41 - Glukosa untuk jaringan petiol (g g-1) 1.467 8.73 1.509 10.14 - Glukosa untuk jaringan tajuk (g g-1) 1.408 7.46 1.542 10.25

Tabel 1. Hasil dan karakter pertumbuhan tanaman IP-3A di KP. Asembagus dan IP-3M di KP. Muktiharjo tahun 2010

Page 69: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

69Karakter Tanaman yang Mempengaruhi......

tajuk untuk IP-3M. Karakter pertumbuhan terbanyak 46.2% mempunyai keragaman < 20%, baik untuk IP-3A maupun IP-3M (Tabel 2). Sampai saat ini belum diketahui apakah terdapat keterkaitan antara keragaman karakter pertumbuhan dengan keragaman hasil biji dalam menentukan karakter pertumbuhan yang mempengaruhi hasil biji jarak pagar sehingga perlu dilakukan analisis regresi linier berganda (Stepwise Analysis).

Karakter Pertumbuhan Tanaman yang Mempengaruhi Hasil Biji IP-3A

Hasil analisis regresi linier berganda antara hasil biji

IP-3A dengan karakter pertumbuhan memperlihatkan bahwa karakter pertumbuhan mempengaruhi hasil biji dengan total

pengaruh sebesar 99.6% (Tabel 2). Oleh karena itu dilakukan analisis regresi berganda langkah mundur sampai diperoleh total pengaruh sebesar 95%.

Hasil analisis regresi linier berganda langkah mundur memperlihatkan bahwa total pengaruh sebesar 95.1% diperoleh dengan karakter pertumbuhan meliputi jumlah cabang non produktif, jumlah cabang total, kandungan C-organik dalam jaringan batang dan petiol, rasio C/N dalam jaringan batang dan petiol, serta jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan batang dan petiol (Tabel 2). Dengan demikian kedelapan karakter pertumbuhan tersebut merupakan karakter pertumbuhan yang mempengaruhi hasil biji IP-3A.

Dari kedelapan karakter pertumbuhan yang mempengaruhi hasil biji IP-3A, hanya jumlah cabang

Karaktertanaman

Nilai t-student pada persamaan1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tinggi 0.340 0.435 - - - - - - - - - - kanopi 55.000 - - - - - - - - - - - pangkal -0.795 -0.841 - - - - - - - - - -CBN -1.751 -1.985 -2.602 -4.069 -7.721 -6.234 -6.185 -6.067 -5.735 -5.762 - -cab. total 2.159 2.382 2.874 4.242 11.861 9.943 9.924 10.377 10.568 10.556 7.466 25.467 daun 0.067 - - - - - - - - - - -Luas daun -0.324 -0.781 - - - - - - - - - -BSD 0.235 - - - - - - - - - - -KA Batang 0.713 0.794 - - - - - - - - - -Kar Batang 0.282 - - - - - - - - - - -C batang 1.208 1.266 2.036 4.077 4.265 1.008 - - - - - -C daun 2.352 2.471 3.125 3.309 - - - - - - - -C petiol 2.056 2.213 7.112 6.759 4.769 3.946 3.821 2.524 - - - -C tajuk 1.591 1.715 1.976 - - - - - - - - -N batang -0.587 -0.567 - - - - - - - - - -N daun -0.457 -0.377 - - - - - - - - - -N petiol -0.667 -0.620 - - - - - - - - - -N tajuk -0.939 -0.943 -2.385 -1.924 - - - - - - - -C/N batang 2.858 3.006 3.226 5.201 5.140 3.355 3.252 - - - - -C/N daun 0.607 0.615 - - - - - - - - - -C/N petiol 1.489 1.578 7.702 7.809 8.983 7.057 6.984 6.340 6.211 6.978 12.628 -C/N tajuk 1.886 1.953 1.670 - - - - - - - - -Glu batang 1.450 1.515 3.356 3.968 4.158 - - - - - - -Glu daun 2.280 2.406 3.832 3.314 - - - - - - - -Glu petiol 3.969 4.112 6.914 6.602 4.619 3.994 3.864 2.643 0.895 - - -Glu tajuk 1.541 1.640 2.325 - - - - - - - - -R2 0.996 0.992 0.977 0.965 0.951 0.948 0.941 0.934 0.930 0.926 0.918 0.881

Tabel 2. Nilai t-student pada berbagai persamaan linier berganda antara hasil dengan karakter pertumbuhan tanaman jarak pagar IP-3A

Keterangan: = diameter; = Jumlah; CBN = cabang non produktif; BSD = bobot spesifik daun; KA = kadar air; Kar = karbohidrat; C = karbon; N = nitrogen; Glu = Glukosa

Page 70: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

70 Djumali dan Elda Nurnasari

non produktif yang mempunyai keragaman mendekati keragaman hasil biji. Keragaman rasio C/N dalam jaringan batang mempunyai keragaman > 60%, sedangkan keenam karakter lainnya mempunyai keragaman kurang dari 40% (Tabel 1). Hasil tersebut membuktikan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara keragaman karakter pertumbuhan dengan keragaman hasil biji dalam menentukan karakter pertumbuhan tanaman IP-3A yang mempengaruhi hasil biji jarak pagar.

Analisis regresi selanjutnya menghasilkan urutan karakter yang mempengaruhi hasil biji. Jumlah cabang total merupakan karakter pertumbuhan yang paling berpengaruh terhadap hasil biji IP-3A disusul rasio C/N dalam jaringan petiol, jumlah cabang non produktif, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan petiol, kandungan C-organik dalam jaringan petiol, rasio C/N dalam jaringan batang, kandungan C-organik dalam jaringan batang, dan jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan batang (Tabel 2).

Jumlah cabang total merupakan karakter pertumbuhan yang paling menentukan hasil biji jarak pagar IP-3A dengan persentase penentu sebesar 88.1%. Jumlah cabang total meliputi jumlah cabang produktif dan cabang non produktif. Cabang produktif adalah cabang-cabang sekunder yang terdapat tandan bunga atau tempat kedudukan bunga dan buah pada tanaman, sedangkan cabang-cabang sekunder yang tidak terdapat tandan bunga/buah disebut cabang non produktif (Riajaya dan Hariyono, 2011). Cabang sekunder terbentuk setelah tanaman berumur 4 bulan atau setelah terbentuknya bunga pada cabang produktif (Santoso et al., 2008). Semakin banyak jumlah cabang produktif maka produksi biji akan meningkat dan demikian pula sebaliknya untuk jumlah cabang non produktif. Oleh karena itu jumlah cabang produktif berpengaruh positif dan jumlah cabang non produktif berpengaruh negatif terhadap produksi biji yang dihasilkan (Tabel 2). Jumlah cabang produktif jauh lebih besar dibanding jumlah cabang non produktif sehingga berpengaruh besar terhadap produksi biji. Rao et al. (2008) dan Tar et al. (2011) melaporkan bahwa jumlah cabang primer dan tinggi tanaman berkorelasi positif terhadap hasil biji pada tanaman jarak pagar berumur satu tahun. Hasil penelitian Hartati et al. (2012) juga menunjukkan bahwa jumlah cabang total adalah karakter vegetatif yang berkorelasi positif dengan jumlah buah (biji).

Jumlah cabang produktif berpengaruh positif terhadap produksi biji, sedangkan jumlah cabang non-produktif berpengaruh negatif terhadap hasil biji jarak pagar IP-3A. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hartati et al. (2009) yaitu karakter jumlah cabang total per tanaman, jumlah cabang produktif per tanaman, jumlah infloresen per tanaman dan jumlah tandan per tanaman berkorelasi positif dengan jumlah buah per tanaman. Demikian juga hasil Raden et al. (2009) bahwa jumlah buah per tandan secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah cabang produktif.

Rasio C/N merupakan indikator ketersediaan hara C-organik dan N dalam jaringan tanaman. Semakin muda jaringan tanaman maka rasio C/N semakin rendah. Nilai rasio C/N bervariasi antar bagian tanaman yang satu dengan yang lain (Hicks, 2006). Hara C-organik merupakan bahan

utama penyusun karbohidrat dan N merupakan bahan utama penyusun protein (Salisbury dan Ross, 1995). Semakin tinggi kandungan protein dalam jaringan tanaman semakin lama fase pertumbuhan vegetatifnya, sedangkan semakin tinggi kandungan karbohidrat dalam jaringan tanaman semakin cepat fase pertumbuhan vegetatifnya (Marvelia et al., 2006). Nilai rasio C/N yang tinggi menjadi pendorong tanaman cepat berbunga (Rai et al., 2004). Bila pertanaman cepat memasuki fase pembungaan maka waktu penimbunan karbohidrat yang tersedia untuk pembentukan biji semakin panjang sehingga produksi biji yang dihasilkan semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan rasio C/N dan kandungan C-organik dalam jaringan batang dan petiol berpengaruh positif terhadap produksi biji IP-3A (Tabel 2).

Pembentukan jaringan yang mengandung karbohidrat tinggi memerlukan jumlah glukosa yang banyak. Mengingat kandungan karbohidrat dalam jaringan petiol dan batang berpengaruh positif terhadap produksi biji IP-3A, maka jumlah glukosa yang diperlukan untuk pembentukan kedua jaringan tersebut juga berpengaruh positif terhadap produksi biji IP-3A (Tabel 2).

Karakter Pertumbuhan Tanaman yang Mempengaruhi Hasil Biji IP-3M

Karakter pertumbuhan mempengaruhi hasil biji IP-

3M dengan total pengaruh sebesar 99.7%. Dengan batasan bahwa karakter pertumbuhan dengan total pengaruhnya sebesar 95% sebagai karakter yang mempengaruhi hasil biji, maka diperoleh 9 karakter pertumbuhan yang mempengaruhi hasil biji. Kesembilan karakter tersebut dimulai dari yang terbesar pengaruhnya adalah rasio C/N dalam jaringan tajuk, kandungan N-total dalam jaringan tajuk, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan tajuk dan batang, kandungan C-organik dalam jaringan tajuk dan batang, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan daun, kandungan C-organik dalam jaringan daun, dan kadar air batang (Tabel 3). Dari 9 karakter tersebut, hanya kandungan N-total dalam jaringan tajuk yang berpengaruh negatif terhadap hasil biji. Kandungan C-organik dalam jaringan tanaman berpengaruh positif terhadap produksi biji IP-3A dan IP-3M.

Kandungan N-total dalam jaringan tanaman akan memicu terbentuknya senyawa sitokinin, dimana semakin tinggi kandungan sitokinin dalam jaringan tanaman akan memperlambat tanaman untuk memasuki fase pembungaan (Salisbury dan Ross, 1995). Hal inilah yang menyebabkan kandungan N-total dalam jaringan tanaman berpengaruh negatif terhadap hasil biji IP-3M (Tabel 3). Kandungan N-total yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman, sintesis protein serta pembentukan klorofil, dan dapat menurunkan hasil biji namun apabila jumlah N terlalu tinggi dapat menunda kematangan tanaman (Latifa dan Anggarwulan, 2009). Kandungan C-organik dan N-total dalam jaringan tanaman berpengaruh terhadap hasil biji IP-3M, maka rasio C/N dalam jaringan tanaman juga berpengaruh terhadap hasil biji IP-3M (Tabel 3).

Jaringan tanaman tersusun atas karbohidrat, protein, lemak, lignin, asam organik, dan mineral (Salisbury dan

Page 71: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

71Karakter Tanaman yang Mempengaruhi......

Ross, 1995). Untuk membentuk 1 g pati diperlukan 1.275 g glukosa, 1 g protein diperlukan 1.887 g glukosa, 1 g lemak diperlukan 3.189 g glukosa, 1 g lignin diperlukan 2.231 g glukosa, dan 1 g asam organik diperlukan 0.954 g glukosa (Penning de Vries et al., 1989). Bila pembentukan jaringan tajuk, batang, dan daun memerlukan glukosa yang lebih banyak berarti terjadi pembentukan senyawa protein, lemak, atau lignin yang lebih banyak. Pembentukan senyawa protein dalam daun yang tinggi menyebabkan kandungan klorofil meningkat sehingga meningkatkan laju fotosintesis dan produksi biji. Pembentukan lignin dalam jaringan batang yang tinggi dapat memperkokoh batang untuk menopang pertumbuhan buah semaksimal mungkin sehingga hasil biji yang dihasilkan dapat meningkat. Hal inilah yang menyebabkan jumlah glukosa yang diperlukan

untuk membentuk per gram jaringan tajuk, daun, dan batang berpengaruh positif terhadap hasil biji IP-3M (Tabel 3).

Ketersediaan air dalam jaringan tanaman berfungsi untuk proses fotosintesis, pembelahan sel, dan media translokasi hara dan fotosintat (Griffin et al., 2004; Lestari, 2006). Bila ketersediaan air dalam jaringan tanaman bukan menjadi faktor pembatas, maka laju fotosintesis menjadi tinggi, pembelahan sel berjalan cepat, dan translokasi hara dan fotosintat berjalan lancar. Translokasi hara N yang berjalan cepat menyebabkan proses pembentukan sitokinin berjalan cepat sehingga fotosintat diarahkan untuk proses pembelahan sel guna mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi ini menyebabkan pertanaman mengalami perlambatan dalam memasuki fase pembungaan sehingga hasil biji IP-3M menjadi rendah. Hal inilah yang

Karaktertanaman

Nilai t-student pada persamaan1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tinggi -0.722 - - - - - - - - - - -kanopi 0.126 - - - - - - - - - - -pangkal 0.714 2.026 - - - - - - - - - -CBN 1.021 - - - - - - - - - - - cab. total -1.035 - - - - - - - - - - -daun 0.035 - - - - - - - - - - -Luas daun 0.783 - - - - - - - - - - -BSD -0.040 - - - - - - - - - - -KA batang 1.537 3.990 5.422 3.222 - - - - - - - -Kar batang -0.975 - - - - - - - - - - -C batang 0.934 7.495 7.380 5.626 5.110 2.320 3.334 - - - - -C daun 0.963 7.087 6.435 4.197 4.535 - - - - - - -C petiol 0.299 - - - - - - - - - - -C tajuk 0.949 7.892 7.582 6.019 5.479 2.776 3.903 2.594 - - - -N batang - 0.861 -5.268 -4.397 - - - - - - - - -N daun -1.158 -5.259 -3.806 - - - - - - - - -N petiol -0.841 - - - - - - - - - - -N tajuk -0.974 -6.259 -5.291 -5.905 -8.702 -9.004 -9.351 -8.341 -7.691 -6.997 -7.062 -C/N batang 0.971 3.505 - - - - - - - - - -C/N daun 1.317 2.884 - - - - - - - - - -C/N petiol 0.960 3.175 - - - - - - - - - -C/N tajuk 0.893 4.548 6.718 7.801 15.697 13.719 13.511 12.848 12.383 10.759 13.887 34.583Glu batang 0.940 7.809 7.433 6.308 6.414 4.031 4.401 4.322 5.484 - - -Glu daun 0.949 6.259 6.189 4.016 4.811 1.528 - - - - - -Glu petiol 0.670 - - - - - - - - - - -Glu tajuk 0.947 7.984 7.666 7.064 7.119 4.933 5.337 6.765 6.380 3.021 - -R2 0.997 0.974 0.962 0.950 0.943 0.934 0.923 0.921 0.929 0.920 0.916 0.892

Tabel 3. Nilai t-student pada berbagai persamaan linier berganda antara hasil dengan karakter pertumbuhan tanaman jarak pagar IP-3M

Keterangan: = Diameter; = Jumlah; CBN = cabang non produktif; BSD = bobot spesifik daun; KA = kadar air; Kar = karbohidrat; C = karbon; N = nitrogen; Glu = glukosa

Page 72: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

72 Djumali dan Elda Nurnasari

menyebabkan kadar air dalam batang berpengaruh negatif terhadap hasil biji IP-3M (Tabel 3). Karakter-karakter agronomi dan fisiologis yang telah diketahui dapat menjadi informasi penting untuk merakit varietas unggul jarak pagar sehingga diperoleh pertanaman yang homogen sesuai dengan karakteristik tanaman superior.

KESIMPULAN Karakter tanaman IP-3A yang mempengaruhi hasil biji

mulai yang paling besar pengaruhnya adalah jumlah cabang, rasio C/N jaringan petiol, jumlah cabang non produktif, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan petiol, kandungan C-organik dalam jaringan petiol, rasio C/N dalam jaringan batang, kandungan C-organik dalam jaringan batang, dan jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan batang. Dari 8 karakter tersebut, hanya jumlah cabang non produktif yang berpengaruh negatif terhadap hasil. Adapun karakter tanaman IP-3M yang mempengaruhi hasil biji mulai yang paling besar pengaruhnya adalah rasio C/N tajuk, kandungan N dalam jaringan tajuk, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan tajuk dan batang, kandungan C-organik dalam jaringan tajuk dan batang, jumlah glukosa yang diperlukan untuk membentuk per gram jaringan daun, kandungan C-organik dalam jaringan daun, dan kadar air batang. Dari 9 karakter tersebut, hanya kandungan N dalam jaringan tajuk yang berpengaruh negatif terhadap hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Divakara, B.N., H.D. Upadhyaya, S.P. Wani, C.L. Laxmipathi Gowda. 2010. Biology and genetic improvement of Jatropha curcas L.: a review. Appl. Energ. 87:732-742.

Gohil, R.H., J.B Pandya. 2008. Genetic diversity assesment in physic nut (Jatropha curcas L.). Int. J. Plant Prod. 2:321-326.

Griffin, J.J., T.G. Ranney, D.M Pharr. 2004. Heat and drought influence photosynthesis, water relation, and soluble carbohydrates of two ecotypes of redbud (Cercis canadensis). J. Hort. Sci. 129:497-502.

Hartati, R.S., A. Setiawan, B. Heliyanto, Pranowo D, Sudarsono. 2009. Keragaan morfologi dan hasil 60 individu jarak pagar (Jatropha curcas L.) terpilih di kebun percobaan Pakuwon Sukabumi. J. Littri 15:152-161.

Hartati, R.S., A. Setiawan, B. Heliyanto, Sudarsono. 2012. Keragaman genetik, heritabilitas, dan korelasi antar karakter 10 genotipe terpilih jarak pagar (Jatropha curcas L.). J. Littri 18:74-80.

Hasnam, C. Syukur, R.R.S. Hartati, S. Wahyuni, D. Pranowo, S.E. Susilowati, E. Purlani, B. Heliyanto. 2008. Pengadaan bahan tanam jarak pagar (Jatropa curcas L.) di Indonesia, desa mandiri energi serta strategi penelitian di masa depan. hal. 9-18. Dalam B. Heliyanto, D. Soetopo, R.D. Purwati, T. Yulianti, R. Mardjono, B. Hariyono, S. Tirtosuprobo, N. Asbani, Joko-Hartono (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional III: Inovasi Teknologi Jarak Pagar untuk Mendukung Program Desa Mandiri Energi. Bayumedia Publishing. Malang 5 Nopember 2007.

Hicks, P. 2006. Distribution of carbon/nitrogen ratio in the various organs of the wheat plant at different periods of its life history. New Phytol. 27:108-116.

Latifa, I.C., E. Anggarwulan. 2009. Kandungan nitrogen jaringan, aktivitas nitrat reduktase, dan biomassa tanaman kimpul (Xanthosoma sagittifolium) pada variasi naungan dan pupuk nitrogen. Bioteknologi 6:70-79.

Lestari, E.G. 2006. Hubungan antara kerapatan stomata dengan ketahanan kekeringan pada somaklon padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR64. Biodiversitas 7:44-48.

Marvelia, A., S. Darmanti, S. Parman. 2006. Produksi tanaman jagung manis (Zea mays L. Saccharata) yang diperlakukan dengan kompos kascing dengan dosis yang berbeda. Bul. Anatomi Fisiologi 14:7-18.

Misra, M., A.N Misra. 2011. Jatropha: the biodiesel plant biology, tissue culture and genetic transformation – a review. Int. J. Pure Appl. Sci. Technol. 1:11-24.

Montes, J.M., F. Technow, B. Bohlinger, K. Becker. 2013. Seed quality diversity, trait associations and grouping of accessions in Jatropha curcas L. Ind. Crop. Prod. 51:178-185.

Naresh, B., M.S. Reddy, P. Vijayalakshmi, V. Reddy, P. Devi. 2012. Physico-chemical screening of accessions of Jatropha curcas for biodiesel production. Biomass Bioenerg. 40:155-161.

Nurnasari, E., Djumali. 2012. Keragaman pertumbuhan dan hasil populasi tanaman jarak pagar IP-3A. Bul. Tembakau Serat Minyak Industri 4:15-23.

Penning de Vries, F.W.T., D.M. Jansen, H.F.M. ten Berge, A. Bakema. 1989. Simulation of Ecophysiological Processes of Growth in Several Annual Crops. Pudoc, Wageningen.

Page 73: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 66 - 73 (2014)

73Karakter Tanaman yang Mempengaruhi......

Raden, I., B.S. Purwoko, Hariyadi, M. Ghulamahdi, E. Santosa. 2009. Pengaruh tinggi pangkasan batang utama dan jumlah cabang primer yang dipelihara terhadap produksi minyak jarak pagar (Jatropha curcas). J. Agron. Indonesia 37:159-166.

Rai, I.N., R. Poerwanto, L.K. Darusman, B.S. Purwoko. 2004. Pengaturan pembungaan tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) diluar musim dengan strangulasi, serta aplikasi paklobutrazol dan etepon. Bul. Agron. 32:12-20.

Rao, G., G. Korwar, A. Shanker, Y. Ramakrishna. 2008. Genetic associations, variability and diversity in seed characters, growth, reproductive phenology and yield in Jatropha curcas L. accessions. Trees 22:697-709.

Riajaya, P.D., B. Hariyono. 2011. Pengaruh pengairan terhadap produksi dan kandungan minyak biji tiga provenan jarak pagar (Jatropha curcas, L). J. Littri 17:67-76.

Romli, M., B. Hariyono. 2010. Respon tiga populasi komposit-2 (IP-2) jarak pagar terhadap pertumbuhan, hasil, dan kandungan minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.). hal. 105-112. Dalam R.D. Puwrati, D. Soetopo, T. Yulianti, Djumali, B. Hariyono,

N. Asbani, Joko-Hartono, S. Tirtosuprobo (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional V : Inovasi Teknologi dan Cluster Pioneer Menuju DME Berbasis Jarak Pagar. Tunggal Mandiri Publishing. Malang 4 Nopember 2009.

Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. 4th edition. Wadsworth Publishing Co., New York.

Santoso, B.B., Hasnam, Hariyadi, S. Susanto, B.S. Purwoko. 2008. Potensi hasil jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tahun pertama budidaya di lahan kering Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Bul. Agron. 36:161-167.

Santoso, B.B. 2012. Keragaan hasil jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada berbagai umur pemangkasan. J. Agron. Indonesia 40:69-76.

Syakir. 2010. Prospek dan kendala pengembangan jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebagai bahan bakar nabati di Indonesia. Perspektif 9:55-65.

Tar, M.M., P. Tanya, P. Srinives. 2011. Heterosis of agronomic characters in Jatropha (Jatropha curcas L.). Kasetsart J. (Nat. Sci.) 45:583-593.

Page 74: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

74

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Cici Tresniawati, Endang Murniati, dan Eny Widajati

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Perubahan Fisik, Fisiologi dan Biokimia Selama Pemasakan Benih dan Studi Rekalsitransi Benih Kemiri Sunan

Physical, Physiological and Biochemical Changes during Seed Maturation and Study on Recalcitrancy of Reutealis trisperma Seed

Cici Tresniawati1*, Endang Murniati2, dan Eny Widajati2

1Balai Penelitian Tanaman Industri dan PenyegarJl. Raya Pakuwon km.2 Parungkuda-Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 17 Mei 2013/Disetujui 21 November 2013

ABSTRACT

The aims of this research on Reutealis trisperma seed were to know 1) seed harvest maturity level based on physiological and biochemical changes; and 2) seed recalcitrancy based on critical moisture content and storability in two storage temperatures. The research was conducted at Leuwikopo Seed Science and Technology Laboratory, from February 2012 to January 2013. There were three experiments, i.e. I. Effect of seed maturity level on seed viability and vigor (randomized completely block design, 3 seed maturity level, 3 replications); II. Determination of seed critical moisture content, used two methods, i.e. 1) fan drying and 2) air drying (completely randomized design in each drying methods, 3 replications); III. Effect of temperature and period of storage on seed viability and vigor (nested design, first factor was 2 storage temperature and the second factor was 7 storage periods, 3 replications). The result showed that seed physiological maturity achieved in 28 weeks after flowering with morphological criteria were brownish fruit, soft fruit exocarp, brown seed testa; physiological criteria was germination percentage 76-80% and biochemical criteria was carotenoid content 0.62 µmol(g FW)-1. Carotenoid content can be used as biochemical indicator to determine fruit maturity and significantly correlated with moisture content, seed dry weight and germination percentage. Critical moisture content were 8.2-10.9%. These data suggested that seeds could be classified as intermediate. R. trisperma seeds could be stored for three weeks in temperature 19-28 oC and RH 50-70%, with 12% moisture content used polypropilen plastic bag

Keywords: carotenoid, critical moisture content, desiccation, Reutealis trisperma

ABSTRAK

Penelitian pada benih Kemiri Sunan (Reutealis trisperma) bertujuan untuk mengetahui: 1) tingkat kemasakan yang tepat untuk panen benih berdasarkan perubahan fisiologi dan biokimia dan 2) sifat rekalsitransi benih kemiri sunan dengan menentukan kadar air kritikal dan penyimpanan pada dua kondisi suhu ruang penyimpanan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Benih Leuwikopo, bagian Ilmu dan Teknologi Benih, dari Februari 2012 - Januari 2013. Terdapat tiga percobaan, yaitu I: Pengaruh tingkat kemasakan benih terhadap viabilitas dan vigor benih (rancangan kelompok lengkap teracak, 3 tingkat kemasakan benih, 3 ulangan). II: Penentuan kadar air kritikal benih Kemiri Sunan, dengan dua metode yaitu menggunakan 1) kipas angin dan 2) kering angin (rancangan acak lengkap untuk masing-masing metode, 3 ulangan). III: Pengaruh suhu dan periode penyimpanan terhadap viabilitas dan vigor benih (rancangan tersarang, faktor pertama adalah 2 suhu penyimpanan, faktor kedua adalah 7 periode simpan, 3 ulangan). Benih mencapai masak fisiologis pada 28 minggu setelah berbunga dengan kriteria (1) morfologi, yaitu warna buah hijau kecokelatan, kulit buah lunak, kulit biji berwarna cokelat; (2) fisiologi, yaitu daya berkecambah 76-80%; (3) biokimia, yaitu kandungan karotenoid 0.62 µmol(g BB)-1. Kadar karotenoid dapat digunakan sebagai indikator biokimia untuk menentukan tingkat masak fisiologi benih dan berkorelasi dengan kadar air, bobot kering benih, dan daya berkecambah. Kadar air kritikal benih adalah 8.2-10.9%, berdasarkan data ini benih Kemiri Sunan dapat diklasifikasikan ke dalam tipe intermediet. Benih Kemiri Sunan dapat disimpan selama tiga minggu dengan kadar air awal 12%, pada suhu 19-28 oC dan RH 50-70%, menggunakan kemasan plastik polipropilen.

Kata kunci: desikasi, kadar air kritikal, karotenoid, Reutealis trisperma

Page 75: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

75

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Perubahan Fisik, Fisiologi dan......

PENDAHULUAN

Tanaman Kemiri Sunan memiliki banyak manfaat, antara lain sebagai tanaman konservasi, industri dan obat. Minyak Kemiri Sunan mengandung asam α-oleostearat yang beracun sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pestisida nabati. Kandungan minyak antara 40-62%, dapat dijadikan sumber energi alternatif pengganti solar dan sumber bahan baku industri (Martin et al., 2010). Tanaman Kemiri Sunan memiliki potensi untuk lebih dikembangkan dan dalam kegiatan budidaya diperlukan benih yang bermutu.

Selama ini kriteria masak fisiologi ditentukan secara fisik melalui pengamatan perubahan morfologi buah dan secara fisiologi melalui pengamatan perkecambahan benih. Proses perkecambahan benih yang panjang menyebabkan lamanya hasil pengujian diperoleh sehingga diperlukan indikator yang dapat menentukan masak fisiologi benih secara cepat. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan biokimia, dengan cara deteksi kadar karotenoid dalam benih.

Menurut Wiriadinata dan Natakarmana (2009), benih Kemiri Sunan termasuk tipe rekalsitran, namun belum dilaporkan tentang kadar air kritikal, kepekaan terhadap suhu, jangkauan umur benih di penyimpanan dan tipe rekalsitransi benih. Sifat-sifat benih rekalsitran adalah a) berukuran besar, b) memiliki kadar air benih antara 30-70%, dengan variasi kadar air yang besar diantara individu benih ketika terlepas dari tanaman induk (shedding), c) tidak toleran terhadap suhu rendah dan beku (chilling and freezing injury), d) mudah terkontaminasi mikroorganisme, e) periode penyimpanan yang singkat, f) mudah berkecambah di penyimpanan dan g) peka terhadap penurunan air pada saat proses pembentukan benih dan saat terlepas dari tanaman induk (Pammenter dan Berjak, 2008). Selain Kemiri Sunan, benih aren termasuk dalam kelompok rekalsitran, karena kandungan airnya relatif tinggi pada waktu dipanen dan penurunan kandungan air benih dapat menurunkan daya berkecambah benih tersebut (Syamsuwida et al., 2007).Viabilitas benih rekalsitran dapat dipertahankan dengan menyimpan benih pada kadar air diatas kadar air kritikalnya. Kadar air yang tinggi membuat benih rekalsitran peka terhadap penurunan kadar air dan suhu rendah (desiccation and chilling injury). Studi untuk mengidentifikasi kepekaan terhadap pengeringan (penurunan kadar air), sifat tidak toleran terhadap suhu rendah dan periode simpan yang pendek menjadi prioritas penting dalam penelitian benih rekalsitran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) tingkat kemasakan yang tepat untuk panen benih berdasarkan perubahan fisiologi dan biokimia; 2) sifat rekalsitransi benih Kemiri Sunan dengan menentukan kadar air kritikal dan penyimpanan pada dua kondisi suhu ruang penyimpanan.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012

sampai Januari 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Benih Leuwikopo, bagian Ilmu dan Teknologi Benih,

Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Benih Kemiri Sunan yang digunakan berasal dari tegakan yang tumbuh di Kebun Induk Benih Banyuresmi Garut, Jawa Barat, yang telah berumur lebih dari 10 tahun. Pasir sebagai media perkecambahan.

Senyawa kimia untuk analisis penentuan kadar lemak yaitu larutan alkohol yaitu benzene (1:1), KOH, indikator phennolftalein. Analisis ABA (Neill dan Horgan, 1987) menggunakan HPLC dengan detector UV-VIS λ = 265 nm dan karotenoid (Sims dan Gamon, 2002) menggunakan spektrofotometer UV-VIS.

Pengaruh Tingkat Kemasakan Benih terhadap Viabilitas dan Vigor benih

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemasakan yang tepat untuk panen benih berdasarkan perubahan fisiologi dan biokimia. Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan kelompok lengkap teracak faktor tunggal dengan tiga ulangan, setiap ulangan menggunakan 25 butir benih. Faktor tingkat kemasakan benih berdasarkan ciri morfologi kulit buah, yaitu: (1) 24 minggu setelah berbunga (MSB) (warna buah hijau, kulit buah keras, benih berwarna krem), (2) 26 MSB (warna buah hijau, kulit buah lunak, benih berwarna cokelat mengkilat), dan (3) 28 MSB (warna buah hijau kecokelatan, kulit buah lunak, benih berwarna cokelat).

Penentuan Kadar Air Kritikal Benih Kemiri Sunan

Kadar air kritikal ditentukan melalui dua metode, yaitu menggunakan 1) kipas angin dan 2) kering angin. Rancangan yang digunakan pada masing-masing metode adalah rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Penurunan kadar air menggunakan kipas angin dengan kecepatan putaran ± 500 rpm secara terus menerus selama 0-4 hari (4 x 24 jam), pada suhu kamar (27-28 oC) dan RH 74-81%. Penurunan kadar air menggunakan kering angin, dengan cara benih diletakkan secara merata satu lapis dalam wadah plastik berongga, dikeringanginkan dalam kondisi terbuka di ruangan selama 0-8 hari (8 x 24 jam) pada suhu (27-28 oC) dan RH 74-81%. Data penelitian dianalisis dengan regresi linier untuk melihat hubungan antara kadar air sebagai variabel bebas (x) dengan tolok ukur viabilitas dan vigor sebagai variabel tak bebas (y).

Pengaruh Suhu dan Periode Penyimpanan terhadap Viabilitas dan Vigor Benih

Percobaan ini menggunakan benih dengan kadar air di atas kadar air kritikal benih yang dicapai pada percobaan Penentuan Kadar Air Kritikal Benih Kemiri Sunan. Percobaan menggunakan rancangan tersarang (nested design), yang terdiri atas dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah suhu ruang simpan yaitu suhu AC (19-20 oC) dan suhu kamar (27-28 oC). Faktor kedua adalah periode simpan, yang terdiri atas 7 taraf, yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 minggu. Benih yang digunakan pada percobaan ini dikemas dalam plastik polipropilen 0.7 mm, benih diberi

Page 76: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

76

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Cici Tresniawati, Endang Murniati, dan Eny Widajati

fungisida (Mankozeb 45%) untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme.

Pengamatan dilakukan terhadap tolok ukur: (1) Kadar air (KA) benih yang diukur dengan metode langsung menggunakan oven 103 ± 2 oC selama 17 ± 1 jam. Jumlah benih yang diuji sebanyak 2 butir, dengan 5 ulangan. Kulit benih dipecah menjadi beberapa bagian dan endosperma benih diiris tipis. Hal ini dilakukan karena benih Kemiri Sunan berukuran besar dan memiliki kandungan minyak yang tinggi, (2) Bobot kering benih (BKB) yang diukur dengan mengeringkan benih sebanyak 2 butir dengan 5 ulangan dalam oven (60 oC, 3 x 24 jam). Benih didinginkan dalam desikator kemudian bobotnya ditimbang, (3) Daya berkecambah (DB) yang diamati pada 29 dan 38 hari setelah tanam (HST) terhadap kecambah normal, (4) Kecepatan tumbuh (KCT) diamati setiap hari sampai 38 HST terhadap kecambah normal, (5) Indeks vigor, dinilai berdasarkan persentase kecambah normal yang muncul pada pengamatan hitungan pertama, (6) Kadar ABA dan karotenoid (diamati pada percobaan pertama), dan (7) Kandungan lemak total dan asam lemak bebas (diamati pada percobaan ketiga).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Tingkat Kemasakan Benih terhadap Viabilitas dan Vigor Benih

Saat 26 MSB (minggu setelah berbunga) benih sudah

memasuki periode awal pemasakan benih (Tabel 1). Periode ini menunjukkan perkembangan struktur benih sudah mencapai maksimum dan benih sudah mampu berkecambah. Hal ini diperlihatkan dengan nilai daya berkecambah yang tidak berbeda nyata antara 26 dan 28 MSB, yang terjadi kemudian adalah periode pemasakan yang diikuti proses pengeringan benih yang dicirikan dengan penurunan kadar air benih dan peningkatan bobot kering. Masak fisiologis benih kakao dicapai dengan indikator bobot kering benih maksimum dicapai saat 135-150 hari setelah antesis (HSA) (Baharudin et al., 2011). Bobot kering benih maksimum Mimusops elengi dicapai pada 84 hari setelah berbunga dengan daya berkecambah sebesar 98% (Hong et al., 2006).

Tingkat kemasakan berbeda nyata pada tolok ukur total karotenoid dalam benih, semakin tua umur benih total

karotenoid meningkat. Benih jeruk Satsuma Mandarin (Citrus unshiu Marc.) mengalami peningkatan jumlah karotenid dalam proses pemasakan buah (Kato et al., 2004). Analisis total karotenoid benih relatif lebih cepat dalam pelaksanaannya sehingga penentuan masak fisiologi benih Kemiri Sunan lebih cepat dibandingkan dengan tolok ukur lainnya. Melalui analisis regresi dapat diketahui hubungan antara tolok ukur total karotenoid dengan tolok ukur-tolok ukur lain yang biasa digunakan dalam menentukan masak fisiologi benih. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan hubungan total karotenoid dengan kadar air, daya berkecambah dan bobot kering benih sangat nyata (Tabel 2). Indeks vigor dan kecepatan tumbuh nyata dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.695 dan 0.731, nilai tersebut bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa total karotenoid mempunyai hubungan yang erat dengan kadar air, daya berkecambah dan bobot kering benih. Total karotenoid benih terung ungu berkorelasi dengan kadar air, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, bobot kering benih (Hardiansyah, 2009).

Penentuan Kadar Air Kritikal Benih Kemiri Sunan

Waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air benih Kemiri Sunan dengan metode kipas angin dan kering angin dapat dilihat pada Tabel 3. Laju penurunan kadar air lebih cepat dicapai pada penurunan kadar air dengan menggunakan metode kipas angin. Penurunan kadar air dari kadar air awal 18.08% hingga 10.20% membutuhkan waktu 4 hari, menggunakan metode kipas angin; sedangkan pada penurunan kadar air 18.04% hingga 10.38% membutuhkan waktu 5 hari menggunakan metode kering angin.

Grafik hubungan antara kadar air dan daya berkecambah untuk menentukan kadar air kritikal benih Kemiri Sunan disajikan pada Gambar 1. Hubungan antara daya berkecambah dan kadar air dengan metode kipas angin ditunjukkan dengan model linier Y = 42.85 + 2.092 X; R2 = 0.978 dan untuk metode penurunan kadar air dengan kering angin ditunjukkan dengan persamaan kuadratik Y= - 28.48 + 11.60 X – 0.3221 X2; R2 = 0.79. Berdasakan persamaan tersebut dapat ditentukan kadar air kritikal (KAK) berdasarkan daya berkecambah 60% untuk metode kipas angin dan kering angin adalah 8.2% dan 10.9%. Laju pengeringan dengan kipas angin lebih cepat jika dibandingkan

Tingkat kemasakan benih

Tolok ukurKA (%)

BKB (g)

DB (%)

KCT (%KN etmal-1)

IV (%)

Total karotenoid[µmol (g BB)-1]

24 MSB 43.97a 6.54a 8(2.45)b 0.26(0.88)b 1(1.19)b 0.28a26 MSB 34.27b 7.63b 52(7.17)a 1.95(1.55)a 29(5.49)a 0.45b28 MSB 19.36c 8.86c 60(7.74)a 2.04(1.59)a 32(5.42)a 0.62c

Tabel 1. Pengaruh tingkat kemasakan benih terhadap beberapa tolok ukur kadar air (KA), bobot kering benih (BKB), daya berkecambah (DB), kecepatan tumbuh (KCT), indeks vigor (IV) dan total karotenoid

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; Data dalam kurung adalah data hasil transformasi V(x + 0.5)

Page 77: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

77

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Perubahan Fisik, Fisiologi dan......

yang diturunkan kadar airnya dengan menggunakan metode kering angin (KAK 35.9%) memiliki kadar air yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan benih yang diturunkan kadar airnya dengan menggunakan gel silika (KAK 43% dan 48.9%). Penurunan kadar air benih rekalsitran dapat mengakibatkan kemunduran benih. Daya berkecambah benih Calophyllum inophyllum menurun secara tajam dari 76.70% ke 36.70% ketika kadar air benih diturunkan dari 22% ke 18% (Hathurusingha dan Ashwath, 2012). Daya berkecambah benih Livistona chinensis menurun dari 78% ke 60% ketika kadar air benih diturunkan dari 32% ke 30% (Wen, 2009). Daya berkecambah awal benih Trichilia dregeana 100% dan kadar air awal 30%, pada kadar air 11% daya berkecambah menjadi 35% (Quan et al., 2004). Benih Garcinia cola Heckel dengan kadar air awal 58% dan daya berkecambah 80%, daya berkecambah pada kadar air 30% menjadi 52% (Asomaning et al., 2011); dan benih Archontophoenix alexandrae Wendl & Drude (Martins et al., 2003) dengan kadar air awal 47% (DB 67%), ketika kadar air diturunkan menjadi 15.1% daya berkecambah menurun menjadi < 52.5%.

Gambar 1. Titik KAK berdasarkan tolok ukur daya berkecambah 60% pada metode penurunan kadar air kering angin dan kipas angin

dengan kering angin dimana kadar kritikal air pada metode kipas angin lebih rendah jika dibandingkan dengan metode kering angin, daya berkecambah masih dapat dipertahankan sebesar 60%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Panza et al. (2007) yang melaporkan bahwa benih Euterpa edulis

Tolok ukur Persamaan garis R2 rKadar air (%) Y = 64.6 - 73.6 X 0.869** -0.932**Daya berkecambah (%) Y = - 0.79 + 14.7 X 0.647** 0.804**Kecepatan tumbuh (%KN etmal-1) Y = 0.476 + 19 X 0.534* 0.731*Indeks vigor (%) Y = - 0.84 + 10.9 X 0.483* 0.695*Bobot kering benih (g) Y = 0.885 + 6.1 X 0.820* 0.905*

Tabel 2. Hubungan total karotenoid dengan lima tolok ukur viabilitas dan vigor benih Kemiri Sunan

Keterangan: R2 = koefisien determinasi; r = koefisien korelasi; ** = nyata pada taraf 1%; * = nyata pada taraf 5%

Metode penurunan kadar air

Waktu penurunan kadar air (hari)

KA (%)

DB (%)

IV (%)

KCT (%KN etmal-1)

Kipas angin 0 17.80 80.00 46.67 2.981 14.24 72.00 41.33 2.642 11.98 69.33 38.67 2.693 11.21 66.67 38.67 2.424 10.20 62.67 36.00 2.34

Kering angin 0 18.04 76.00 49.33 3.101 13.79 70.67 44.00 2.762 12.34 65.33 41.33 2.423 11.84 62.67 37.33 2.364 11.41 61.33 36.00 2.385 10.38 61.33 36.00 2.146 9.55 58.67 24.00 1.997 9.65 54.67 18.67 1.658 9.63 44.00 13.33 1.55

Tabel 3. Kadar air (KA), daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV) dan kecepatan tumbuh (KCT)pada dua metode dan beberapa waktu penurunan kadar air

Page 78: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

78

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Cici Tresniawati, Endang Murniati, dan Eny Widajati

Nilai daya berkecambah benih Kemiri Sunan di atas 60% pada kadar air 8.2-10.9% menunjukkan bahwa benih Kemiri Sunan memiliki karakteristik benih intermediet. Beberapa benih rekalsitran mampu diturunkan kadar airnya hingga rendah (sampai mencapai 12%), sehingga benih tersebut dikategorikan sebagai benih intermediet yaitu antara benih ortodoks dan rekalsitran, seperti pada benih Mimusops elengi (Hong et al., 2006), Litsea coreana Levl. (Yang et al., 2008) dan Camellia sinensis L. (Chen et al., 2012).

Pengaruh Suhu dan Periode Penyimpanan terhadap Viabilitas dan Vigor Benih

Percobaan suhu ruang simpan dan interaksi antara suhu dan periode simpan tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur berdasarkan uji-F (data tidak ditampilkan). Periode simpan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur kadar air, daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh, kadar lemak total, dan kadar asam lemak bebas (Tabel 4). Kadar air 9.32% pada penyimpanan tiga minggu masih dapat mempertahankan daya berkecambah hingga 62%, indeks vigor 35.33%, kecepatan tumbuh 2.26% KN etmal-1, kadar lemak total 38.71% dan asam lemak bebas 1.47%.

Penurunan kadar air dan kadar lemak total serta peningkatan asam lemak bebas menyebabkan penurunan viabilitas dan vigor benih. Gejala kemunduran secara biokimia pada benih adalah perubahan dalam aktivitas enzim, laju respirasi, peningkatan asam lemak dan berkurangnya persediaan cadangan makanan. Kandungan asam lemak yang tinggi di dalam benih merupakan indikasi terjadinya akumulasi asam lemak, karena tidak diproses lebih lanjut menjadi energi sehingga benih kehilangan energi untuk berkecambah. Khan et al. (2003) menyatakan bahwa kadar lemak yang tinggi mempercepat kemunduran benih pada empat jenis jeruk yaitu Citrus aurantium L., Kharna khatta (Citrus kama Raf.), Sacatan citrurmelo (Poncirus trifoliata Raf. x Citrus paradisi Mad.) dan Savage citrange (Poncirus trifoliata Raf.x Citrus sinensis L).

Suhu ruang penyimpanan tidak berpengaruh nyata pada semua tolok ukur hal ini kemungkinan disebabkan oleh rentang suhu 19-28 oC masih berada pada kisaran suhu yang bisa ditolerir oleh benih Kemiri Sunan. Hasil percobaan menunjukkan kadar air 9.64% dan 9.45% merupakan kadar air awal kemunduran benih pada masing-masing suhu ruang simpan yang ditandai 50% daya berkecambah. Benih memiliki jangkauan hidup yang pendek karena benih memiliki kadar lemak yang tinggi.

KESIMPULAN

Masak fisiologis benih Kemiri Sunan provenan Garut tercapai pada tingkat kemasakan 28 MSB dengan kriteria secara morfologi warna buah hijau kecokelatan, kulit buah lunak, kulit biji berwarna cokelat; secara fisiologi dengan daya berkecambah (76-80%); dan secara biokimia kandungan karotenoid (0.62 µmol/g BB). Kadar karotenoid berpotensi digunakan sebagai indikator biokimia untuk menentukan tingkat masak fisiologi pada benih kemiri sunan dan berkorelasi dengan tolok ukur kadar air, bobot kering benih, daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh. Kadar air kritikal benih Kemiri Sunan pada tolok

ukur daya berkecambah 60% berturut-turut adalah 8.2% menggunakan metode kipas angin dan 10.9% menggunakan metode kering angin. Benih Kemiri Sunan dengan kadar air awal 12%, dapat disimpan selama tiga minggu pada suhu 19-28 oC dan RH 50-70%, menggunakan kemasan plastik polipropilen.

DAFTAR PUSTAKA

Asomaning, J.M., N.S. Olympio, M. Sacande. 2011. Desiccation sensitivity and germination of recalcitrant Garcinia cola Heckel seeds. Res. J. Seed Sci. 4:15- 27.

Periode simpan (minggu)

KA (%)

DB(%)

IV (%)

KCT (%KN etmal-1)

Kadar lemak total (%)

Asam lemak bebas(%)

0 12.90a 76.00a 41.33a 2.83a 44.36a 0.75d1 10.69b 72.67ab 38.67a 2.63a 41.75b 0.94d2 9.76bc 69.33b 38.67a 2.58a 40.54c 1.32c3 9.32cd 62.00c 35.33a 2.26b 38.71d 1.47c4 8.61cde 56.00d 34.67a 2.02b 37.43e 1.79b5 8.13de 40.67e 13.33b 1.32c 35.42f 1.88b6 7.40e 36.00e 13.33b 1.17c 33.36g 2.62a

Tabel 4. Pengaruh faktor tunggal periode simpan terhadap kadar air (KA), daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), kadar lemak total dan asam lemak bebas

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%

Page 79: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

79

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 74 - 79 (2014)

Perubahan Fisik, Fisiologi dan......

Baharudin, M.R. Suhartanto, S. Ilyas, A. Purwantara. 2011. Perubahan biologis dan fisiologis sebagai indikator masak benih kakao hibrida. J. Litri 17:41-50.

Chen, H.Y., H.W. Prithchard, C.E. Seal, J. Nadarajan, W.Q. Li, S.X. Yang, I. Kranner. 2012. Post desiccation germination of mature seeds of tea (Camellia sinensis L.) can be enhanced by pro-oxidant treatment, but partial desiccation tolerance does not ensure survival at −20 oC. Plant Sci. 184:36-44.

Hardiansyah. 2009. Deteksi tingkat masak fisiologi benih terung ungu (Solanum melongena var Serpentinum) melalui analisis klorofil dan karotenoid. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hathurusingha, S., N. Ashwath. 2012. Calophyllum inophyllum: recalcitrant or intermediate seed. J. For. Res. 23:103-107.

Hong, T.M., T.D. Hong, N.T. Hien, H.H. Hai, T.D. Tung, V.T.L. Tam, B.N. Tam, R.H. Ellis. 2006. Seed development, maturation, and storage behavior of Mimusops elengi L. New Forests 32:9-19.

Kato, M., Y. Ikoma, H. Matsumoto, M. Sugiura, H. Hyodo, M. Yano. 2004. Accumulation of carotenoids and expression of carotenoids biosynthetic genes during germination in citrus fruit. Plant Physiol. 134:824-837.

Khan, M.M., M.A. Alam, M. Abbas, M.J. Iqbal. 2003. Studies on seed desiccation tolerance in four citrus. Pak. J. Agri. Sci. 40:5562.

Martin, C., A, Moure, G. Martin, E. Carrillo, H. Dominguez, J.C. Parajo. 2010. Fractional characterisation of jatropha, moringa, trisperma, castor, and candlenut seeds as potential feedstocks for biodiesel production in Cuba. Biomass Bioenerg. 34:533-538.

Martins, C.C., M.L.A. Bovi, J. Nakagawa. 2003. Desiccation effect on germination of king palm seeds. Hort. Bras. 21:88-92.

Neill, S.J., P. Horgan. 1987. Abcisic acid and related compounds. p. 111-167. In Rivier, L., A. Crozier (Eds.). Principles and Practice of Plant Hormone Analysis. Academic Press, London.

Pammenter, N.W., P. Berjak. 2008. From Aviceannia to Zizania: recalcitrance in perspective. Ann. Bot. 101: 213-228.

Panza, V., V. Lainez, S. Maldonado, H.L. Morader. 2007. Effect of desiccation on Euterpa edulis Martius seeds. Biocell 31:383-390.

Quan, S.S., P. Berjak, N.W. Pammenter. 2004. Desiccation sensitivity of Tricilia degreana axes and antioxidant role of Ascorbic acid. Acta Bot. Sinica 46:803-810.

Sims, D.A., J.A. Gamon. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structure and developmental stages. Remote Sens. Environ. 81:337-354.

Syamsuwida, D., A. Aminah, A.R. Hidayat. 2007. Penyimpanan semai asal benih rekalsitran jenis Agathis dammar. J. Penelitian Hutan Tanaman 4: 119-187.

Wen, B. 2009. Storage of recalcitrant seeds: a case study of the chinese fan palm, Livistona chinensis. Seed Sci. Tech. 37:167-179.

Wiriadinata H., H. Natakarmana. 2009. Evaluasi Plasma Nutfah. Bunga Rampai Kemiri Sunan Penghasil Biodiesel, Solusi Masalah Energi Masa Depan. Balittri, Sukabumi.

Yang, J.C., S.R. Kuo, C.M. Lee. 2008. Germination and storage behavior of seeds of Litsea coreana Levl. Taiwan J. For. Sci. 23:309-321.

Page 80: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

80 Muzuni, Didy Sopandie, Utut Widyastuti Suharsono, dan Suharsono

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

* Penulis untuk korespondensi. e-mail: [email protected]

Isolasi dan Pengklonan Gen Penyandi H+-ATPase Membran Plasma dari Melastoma malabathricum L.

Isolation and Cloning of the Gene Encoding for Plasma Membrane H+-ATPase from Melastoma malabathricum L.

Muzuni1, Didy Sopandie2, Utut Widyastuti Suharsono3, dan Suharsono3*

1Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Haluoleo (University of Haluoleo), Kampus Bumi Tridharma Anduonohu, Kendari 16232, Indonesia

2Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia.

3Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Diterima 19 November 2012/Disetujui 3 Mei 2013

ABSTRACT

Melastoma malabathricum L. is an Al-accumulating plant that grows well in acidic soils with high level of soluble aluminum in the tropics. One of the important proteins in the detoxifying Al stress is a plasma membrane H+-ATPase, a most abundant protein on the plasma membrane, encoded by PMA gene. The objective of this research was to isolate and characterize the gene encoding plasma membrane H+-ATPase from M. malabathricum L. Full length cDNA of MmPMA had been successfully isolated through a gradual isolation of the gene. The 5’ end and middle part of the MmPMA gene had been successfully isolated by PCR by using total cDNA as template and pma primers designed from some plants, while the 3’ end of Mmpma had been isolated by 3’ RACE. The parts of the gene had been successfully joined by PCR. The joining product was successfully inserted into pGEM-T Easy and the recombinant plasmid was successfully introduced into E. coli DH5α. Nucleotide sequence analysis showed that the length of MmPMA coding sequence was 2,871 bp encoding 956 amino acids with molecular weight of 105.29 kDa and a predicted pI value of 6.84. Local alignment analysis based on nucleotide of mRNA showed that MmPMA is 82% identical to pma Vitis vinifera; 81% to pma Juglans regia, pma Populus trichocarpa, pma Sesbania rostrata, and pma Prunus persica and 80% to pma Lycopersicon esculentum. Based on deduced amino acid sequence, MmPMA is 94% identical to PMA Vitis vinifera and PMA Juglans regia; 93% to PMA Populus trichocarpa; 92% to PMA Vicia faba, Lycopersicon esculentum, and Arabidopsis thaliana, AHA4. MmPMA has 10 transmembrane domains, 4 cytoplasm loops, 6 functional domains and 3 autoregulatory domains.

Keywords: aluminum, cDNA, MmPMA, PCR, RACE

ABSTRAK

Melastoma malabathricum L. adalah suatu tanaman hiperakumulator Al yang tumbuh pada tanah masam dengan tingkat kelarutan aluminium tinggi pada daerah tropis. Salah satu enzim penting dalam detoksifikasi Al adalah H+-ATPase membran plasma, suatu protein yang paling melimpah pada membran plasma, yang disandikan oleh gen PMA. Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi dan mengklon gen yang menyandikan H+-ATPase membran plasma dari Melastoma malabathricum L. cDNA total telah berhasil disintesis dengan menggunakan transkripsi balik dengan RNA total sebagai cetakan. cDNA MmPMA utuh telah berhasil diisolasi melalui isolasi gen secara bertahap. Bagian ujung 5’ dan tengah gen MmPMA telah diisolasi dengan PCR menggunakan cDNA total sebagai cetakan dan primer pma yang didesain dari beberapa tanaman, sedangkan bagian ujung 3’gen MmPMA telah diisolasi dengan 3’ RACE. Bagian-bagian gen tersebut telah berhasil digabung menggunakan PCR dan telah disisipkan ke dalam pGEM-T Easy. Plasmid rekombinan tersebut telah berhasil diintroduksikan ke dalam E. coli DH5α. Analisis sekuen nukleotida menunjukkan bahwa panjang sekuen penyandi MmPMA adalah 2,871 pb yang menyandikan 956 asam amino dengan bobot molekul 105.29 kDa dan prediksi nilai pI sekitar 6.84. Analisis kesejajaran lokal berdasarkan nukleotida mRNA menunjukkan bahwa MmPMA mempunyai kemiripan 82% dengan pma Vitis vinifera; 81% dengan pma Juglans regia, pma Populus trichocarpa, pma Sesbania rostrata, dan pma Prunus persica dan 80% dengan pma Lycopersicon esculentum. Berdasarkan deduksi urutan asam amino, MmPMA mempunyai kemiripan 94% dengan PMA Vitis vinifera dan PMA Juglans regia; 93% dengan PMA Populus trichocarpa; 92% dengan PMA Vicia faba, Lycopersicon esculentum, dan Arabidopsis thaliana, AHA4. MmPMA mempunyai 10 domain transmembran, 4 loop sitoplasma, 6 domain fungsional dan 3 domain autoregulator.

Kata kunci: aluminium, cDNA, MmPMA, PCR, RACE

Page 81: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

81Isolasi dan Pengklonan Gen Penyandi......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

PENDAHULUAN Konsentrasi aluminium yang tinggi dalam tanah

merupakan salah satu faktor utama yang membatasi pertumbuhan tanaman di tanah masam. Ion Al dapat dengan mudah membentuk kompleks dengan senyawa-senyawa intraseluler pada pH sitosolik sehingga dapat menghambat metabolisme sel (Wang et al., 2006). Peningkatan produksi pertanian terutama di lahan bertanah masam dengan kelarutan aluminium tinggi dapat dicapai dengan melakukan program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Kedua program ini membutuhkan kultivar unggul. Kultivar unggul dapat dirakit melalui perbaikan genetik baik melalui persilangan konvensional yang diikuti dengan seleksi sesuai dengan sifat keunggulan yang diinginkan maupun melalui teknologi DNA rekombinan. Pendekatan pemuliaan konvensional dihadapkan pada terbatasnya sumberdaya genetik untuk toleransi tanaman terhadap tanah masam dan Al tinggi. Dengan demikian, perlu dilakukan pendekatan teknologi DNA rekombinan untuk merakit tanaman transgenik yang toleran terhadap tanah masam dan Al tinggi.

Tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber gen untuk toleransi tanaman terhadap tanah masam dan Al tinggi antara lain Melastoma malabathricum L. yang dapat ditemui terutama di daerah tropis. Tumbuhan tersebut dapat tumbuh dengan baik pada tanah masam sehingga menjadi indikator tanah masam, dan dapat mengakumulasi aluminium dalam jumlah tinggi di daun dan akar sehingga disebut sebagai akumulator Al (Watanabe dan Osaki, 2002). Akumulasi Al di daun M. malabathricum L. dapat mencapai lebih dari 10,000 mg Al (kg daun tua)-1 (Watanabe et al., 2003), 8,810 mg Al (kg daun tua)-1 (Mutiasari, 2008), dan lebih dari 7,000 mg Al (kg daun muda)-1 (Watanabe et al., 2003).

Ekspresi gen penyandi H+-ATPase membran plasma meningkat pada tanaman yang mengalami cekaman Al dan pH rendah (Anwar et al., 2000; Ahn et al., 2004). Ekspresi gen yang meningkat menunjukkan adanya peranan gen tersebut dalam meregulasi ketahanan tanaman dari cekaman Al dan pH rendah. Gen penyandi H+-ATPase membran plasma selain terlibat dalam regulasi respon terhadap cekaman Al, juga terlibat dalam berbagai rangsangan lingkungan lain, seperti cekaman NaCl (Janicka-Russak dan Kłobus, 2007; Shen et al., 2011), defisiensi fosfat (Ligaba et al., 2004), dan cekaman ammonium (Zhu et al., 2011). Selain itu, H+- ATPase membran plasma juga terlibat dalam pemanjangan sel yang difasilitasi oleh auksin selama perkembangan embrio gandum (Rober-Kleber et al., 2003), dan terlibat pula dalam homeostasis pH sitoplasma tanaman (Young et al., 1998).

Beberapa kajian adaptasi Melastoma pada tanah masam dengan kelarutan Al yang tinggi telah dilakukan oleh Watanabe et al. (2005) dan Watanabe dan Osaki (2002). Beberapa gen yang diduga terlibat dalam toleransi tanaman terhadap cekaman asam dan Al tinggi telah diisolasi, antara lain gen penyandi multidrug resistance associated protein (MRP) (Suharsono et al., 2008), gen penyandi metallothionein type 2 (Mt2) (Suharsono et al., 2009) dan fragmen gen penyandi H+-ATPase membran

plasma (Muzuni et al., 2010). Namun, sampai saat ini belum ada gen utuh penyandi H+-ATPase membran plasma dari M. malabathricum yang telah diisolasi. Berdasarkan fragmen cDNA penyandi H+-ATPase membran plasma yang telah diisolasi sebelumnya (Muzuni et al., 2010), maka pada percobaan ini dilakukan isolasi gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari M. malabathricum menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction) dan RACE (Rapid Amplification cDNA Ends).

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari hingga April 2009 di Laboratorium Plant Molecular Genetics, Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Jepang dan bulan Mei 2009 hingga Februari 2010 di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Bahan tanaman yang digunakan adalah daun tumbuhan M. malabathricum L. yang tumbuh di lahan masam Jasinga Bogor Jawa Barat. pGEM-T Easy cloning system (3,015 pb) (Promega) digunakan sebagai vektor pengklonan dan E. coli DH5 digunakan sebagai inang vektor rekombinan. Primer aktin ActF (5’-ATGGCAGATGCCGAGGATAT-3’) dan ActR (5’-CAGTTGTGCGACCACTTGCA-3’) digunakan sebagai alat evaluasi kemurnian cDNA total. Primer degenerated PMA2-F (5’-ATGGGGGAGAAGCCTGARGTRYTRG-3’), dan primer spesifik Mapman2-R (5’-CATCAGGACAACAGTATCCG-3’), dan MaPMAp-R (5’-ACCTCGATGAGATTTTTGTCAACAG-3’) digunakan untuk mengisolasi ujung 5’ gen penyandi H+-ATPase membran plasma, MmPMA (Melastoma malabathricum L. plasma membrane H+-ATPase). Primer degenerated AF2 (5’-GATGTCCTTTGCAGTGAYAARAC-3’) dan AR2 (5’TCATTGACACCATCWCCWGTCAT3’) digunakan untuk mengisolasi bagian tengah gen Mmpma (Muzuni et al., 2010). GeneRacerTM Kit (Invitrogen), primer spesifik Mapman2-F (5’-AAGGCAGATGGCTTTGCTGG-3’), MaPMAp-F (5’-GCATA-AGTATGAGATTGTGAAGCGA-3’) , GeneRacerTM 3’ primer (5’-GCTGTCAACGATAC-GCTACGTAACG-3’), dan GeneRacerTM 3’ Nested primer (5’-CGCTACGTAACGGCATG-ACAGTG-3’) digunakan untuk mengisolasi ujung 3’ gen. Primer 3’UTR-R (5’-AATCAAA-ATCGACAGTTGCATAAGA-3’) digunakan untuk mengamplifikasi bagian 3’UTR.

Metode Penelitian Penelitian diawali dengan melakukan isolasi RNA

mengikuti metode LiCl yang telah dilakukan oleh Muzuni et al. (2010) dan diikuti dengan sintesis cDNA total menggunakan SuperScript II RT (Invitrogen). Isolasi gen dilakukan secara bertahap, yaitu isolasi bagian tengah gen, bagian ujung 5’, bagian ujung 3’, dan gabungan ketiga bagian tersebut.

Page 82: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

82 Muzuni, Didy Sopandie, Utut Widyastuti Suharsono, dan Suharsono

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

Isolasi Bagian Tengah Gen MmPMA

Bagian tengah gen MmPMA, yang selanjutnya disebut sebagai Mmpmam (No. akses GenBank: HQ832791), diisolasi berdasarkan metode Muzuni et al. (2010).

Isolasi Bagian Ujung 5’ Gen MmPMA

Ujung 5’ gen MmPMA, yang selanjutnya disebut sebagai Mmpma5’, diisolasi menggunakan 2 tahap. Tahap pertama, sebanyak 1 µL cDNA total dicampur dengan 0.5 µM primer PMA2-F, 0.5 µM primer Mapman2-R, 1x buffer taq, 0.2 mM dNTP mix, 1.25 U LA taq DNA polymerase (Takara) dan H2O hingga volume akhir 20 µL. PCR dilakukan sebanyak 35 siklus dengan kondisi pra-PCR 94 °C, 5 menit; denaturasi 94 °C, 30 detik; penempelan primer 55 oC, 30 detik; pemanjangan 72 °C, 1.5 menit, dan pasca-PCR 72 °C, 5 menit. Tahap kedua, sebanyak 1 µL produk PCR di atas dicampur dengan 0.5 µM primer PMA2-F, 0.5 µM primer MaPMAp-R, dan komponen lain seperti pada tahap pertama. Kondisi PCR dilakukan seperti pada tahap pertama.

Isolasi Bagian Ujung 3’ Gen MmPMA

Ujung 3’ gen MmPMA, yang selanjutnya disebut sebagai Mmpma3’, diisolasi menggunakan metode RACE. Sintesis cDNA mengikuti petunjuk dari manual GeneRacer Kit (Invitrogen). PCR dilakukan dengan mencampur 1 µL cDNA total dengan 0.5 µM primer Mapman2-F, 0.5 µM GeneRacer 3’ primer, dan komponen lain seperti pada isolasi ujung 5’ gen. Sebanyak 1 µL produk PCR dicampur dengan 0.5 µM primer MaPMAp-F, 0.5 µM GeneRacer 3’ Nested primer dan komponen lain seperti pada isolasi ujung 5’ gen. Kondisi PCR dilakukan seperti pada isolasi ujung 5’ gen.

Ligasi Bagian-Bagian Gen Mmpma dengan Vektor Pengklonan

Produk PCR dari ketiga bagian gen Mmpma masing-masing diligasikan dengan pGEM-T Easy (Promega) mengikuti petunjuk dari Promega Inc. Hasil ligasi masing-masing diintroduksikan ke dalam E. coli DH5 mengikuti prosedur Suharsono et al. (2009).

Penggabungan Bagian-bagian Gen MmPMA Penggabungan Mmpmam dan Mmpma3’, yang

selanjutnya disebut sebagai Mmpmam3’, dilakukan dengan PCR, yaitu mencampurkan 1 L cDNA total dengan 0.5 µM primer AF2, 0.5 µM primer 3’UTR-R, dan komponen lain seperti pada isolasi Mmpma5’. Kondisi PCR juga seperti pada isolasi Mmpma5’. Produk PCR selanjutnya diklon ke dalam pGEM-T Easy dan disekuen untuk konfirmasi.

Gen utuh (full length gene) diperoleh dengan 3 tahap, yaitu (1) amplifikasi Mmpma5’ dengan primer PMA2-F dan MaPMAp-R (produk PCR 1), dan Mmpmam3’ dengan primer AF2 dan 3’UTR-R (produk PCR 2); (2) produk PCR 1 dan 2 digabung dengan perbandingan mol yang sama, lalu dicampur dengan 0.2 mM dNTP mix, 1x buffer Taq, 1.25 U LA Taq DNA polymerase, dan ddH2O hingga volume 20 L. PCR dilakukan sebanyak 10 siklus dengan kondisi pra-PCR 96 °C, 2 menit; denaturasi 96 °C, 1 menit; penempelan dan pemanjangan 68 °C, 3 menit, dan pasca-PCR 68 °C, 5 menit; (3) sebanyak 1L produk PCR tahap 2 dicampur dengan 0.5 µM primer PMA2-F, 0.5 µM primer 3’UTR-R, 0.2 mM dNTP mix, 1x buffer Taq, 1.25 U LA Taq DNA polymerase, dan ddH2O hingga volume 20 L. PCR dilakukan sebanyak 30 siklus dengan kondisi PCR seperti percobaan sebelumnya. Selanjutnya gen MmPMA diklon ke dalam pGEM-T Easy.

Seleksi E. coli DH5 yang Mengandung Vektor Rekombinan

E. coli DH5 yang mengandung vektor rekombinan diseleksi menggunakan teknik seperti yang telah dilakukan oleh Muzuni et al. (2010).

Analisis cDNA Sisipan

Plasmid rekombinan diisolasi dengan menggunakan prosedur Suharsono et al. (2008). Untuk mengeluarkan sisipan, plasmid rekombinan dipotong dengan enzim EcoR1 menggunakan prosedur dari Promega Inc. Pengurutan DNA dilakukan dengan menggunakan mesin pengurut DNA otomatis (Automated DNA Sequencer ABI Prism 310, Perkin-Elmer). Analisis kesejajaran lokal (local alignment) MmPMA berdasarkan nukleotida dan asam amino dengan data yang ada di GenBank dilakukan dengan program BLAST (Basic Local Alignment Search Tools) yang disediakan NCBI (National Center for Biotechnology Information) melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/blast. Analisis restriksi dilakukan dengan menggunakan program NEBCutter (http://tools. neb.com/NEBcutter2/index.php) dan program BioEdit versi 7.0.9.0. Domain potensial dianalisis dengan program motif scan http://au.expasy.org/prosite/. Analisis hidrofobisitas menggunakan program BioEdit versi 7.0.9.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi RNA Total

RNA total telah berhasil diisolasi dari daun Melastoma malabathricum L. Jumlah RNA total yang diperoleh adalah 234.64 μg tiap gram daun segar. Pengujian kemurnian RNA total yang dilakukan dengan membandingkan nilai OD260

Page 83: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

83Isolasi dan Pengklonan Gen Penyandi......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

dan OD280 menunjukkan bahwa RNA total yang diisolasi mempunyai kemurnian yang cukup tinggi karena mempunyai rasio 1.83. RNA yang mempunyai rasio absorbansi pada 260 dan 280 nm antara 1.8 dan 2.0 adalah murni, bebas dari kontaminan protein.

Integritas RNA total dianalisis dengan melakukan elektroforesis di gel agarosa yang terdenaturasi oleh formaldehida. Hasil elektroforesis RNA total menunjukkan adanya 2 pita dominan yang keduanya adalah RNA ribosomal (rRNA) 28S dan 18S (Gambar 1). Adanya dua pita rRNA yang jelas menunjukkan bahwa kedua rRNA tersebut mempunyai integritas yang tinggi sehingga mRNA yang terdapat di suspensi yang sama juga mempunyai integritas yang tinggi.

Sintesis cDNA Total

cDNA total disintesis melalui transkripsi balik dengan menggunakan cetakan (template) RNA total dan primer oligo-dT sehingga cDNA yang terbentuk hanya berasal dari mRNA karena hanya mRNA yang mengandung poly(A) pada ujung 3’, sedangkan rRNA dan tRNA tidak. dKeberhasilan sintesis cDNA total diketahui dengan PCR menggunakan primer spesifik terhadap cDNA ekson1 – ekson2 dari aktin (ActF dan ActR) dan menghasilkan satu pita berukuran 451 pb. Bila terdapat tambahan pita berukuran lebih besar dari 451 pb, berarti cDNA hasil sintesis terkontaminasi DNA karena antara ekson 1 dan ekson 2 mempunyai intron (Muzuni et al., 2010). Sintesis cDNA total telah berhasil dilakukan, hal ini ditunjukkan oleh hasil amplifikasi cDNA dengan primer ActF dan ActR mempunyai produk PCR berukuran 451 pb (Gambar 2).

Isolasi cDNA Spesifik

PCR dengan menggunakan pasangan primer AF2 – AR2 dan PMA2-F – MaPMAp-R dengan cDNA total sebagai cetakan masing-masing menghasilkan fragmen cDNA Mmpmam (Gambar 3A) dan Mmpma5’ (Gambar 3B) sedangkan fragmen cDNA Mmpma3’ disintesis menggunakan metode 3’ RACE (Gambar 3C). cDNA gen Mmpma diperoleh dengan PCR menggunakan cetakan gabungan ketiga fragmen tersebut dengan primer PMA2-F dan 3’UTR-R menghasilkan pita seperti pada Gambar 3D. Berdasarkan urutan nukleotida fragmen Mmpma5’ dan Mmpma3’ (data tidak ditampilkan) menunjukkan bahwa ukuran kedua fragmen tersebut adalah masing-masing 1,055 pb dan 1,443 pb (data tidak ditampilkan). Gabungan ketiga fragmen MmPMA ini berukuran 3,155 pb (Gambar 4) dan telah didaftarkan dalam GenBank dengan No. Akses JQ360855. Gabungan fragmen ini mengandung kodon awal (ATG), kodon akhir (TGA), 3’UTR, dan putative polyadenylation signal (AATAAAT). cDNA MmPMA dan 3’UTR, yang berukuran 3,126 pb, telah berhasil diklon ke dalam vektor pGEM-T Easy dan diverifikasi urutan nukleotidanya (data tidak ditampilkan). Hasil pengklonan ini selanjutnya disebut sebagai pMmPMA (Gambar 5). Plasmid ini sangat penting dalam konstruksi vektor ekspresi untuk menghasilkan tanaman transgenik toleran Al dan pH rendah.

Analisis Urutan Nukleotida MmPMA

Analisis urutan nukleotida menunjukkan bahwa cDNA MmPMA berukuran 2,871 pb yang menyandi 956 asam amino. Setelah kodon akhir (2,872 pb), terdapat 3’UTR (untranslated region) berukuran 284 pb termasuk di dalamnya adalah poliadenin. MmPMA memiliki putative polyadenylation signal AATAAAT, 64 pb setelah kodon akhir. Polyadenylation dikenal sebagai mekanisme regulasi utama setelah transkripsi pada eukariot. Analisis kesejajaran berdasarkan urutan nukleotida dengan bank data di GenBank dengan program BLAST menunjukkan bahwa MmPMA mempunyai kesamaan 82% dengan pma Vitis vinifera (XM_002270308); 81% masing-masing dengan pma Juglans regia (AY347715), pma Populus tricocarpa (XM_002322091), pma Sesbania rostrata (AB086374), dan pma Prunus persica (AJ271439); serta 80% dengan pma Lycopersicon esculentum (AF275745) (data tidak ditampilkan). Analisis situs restriksi terhadap urutan nukleotida MmPMA dengan Program BioEdit versi 7.0.9.0 menunjukkan bahwa kecuali NcoI, PstI, NdeI, SacI, BstXI dan NsiI, nukleotida tersebut tidak mengandung situs restriksi yang terdapat pada situs multi pengklonan dari pGEM-T Easy. Fragmen MmPMA disisipkan di antara situs ApaI, AatII, SphI, NcoI, BstZI, NotI, SacII, EcoRI di satu sisi dan SpeI, EcoRI, NotI, BstZI, PstI, SalI, NdeI, SacI, BstXI, NsiI di sisi lain sehingga kecuali NcoI, PstI, NdeI, SacI, BstXI dan NsiI, situs-situs tersebut dapat digunakan untuk mengeluarkan sisipan MmPMA dari

Gambar 1. RNA Total dari daun Melastoma malabathricum. (1,2) RNA Total

Gambar 2. Hasil amplifikasi cDNA menggunakan primer ActF dan actR

Page 84: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

84 Muzuni, Didy Sopandie, Utut Widyastuti Suharsono, dan Suharsono

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

Gambar 3. Hasil isolasi bagian-bagian gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari M. malabathricum. A, fragmen Mmpmam (806 pb); B, fragmen Mmpma5’ (1055 pb); C, fragmen Mmpma3’ (1443 pb) dan D, MmPMA (3126 pb)

5’atgggggagaagcctgaggtgctggaggcagtgctgaaggaagcagtggatttggagaacattcctattgaggaagtgtttgagaatctgagatgcagcaaggagggcctgaccacccagtccgccgaggagcgccttgcgattttcggccagaacaagctcgaggagaagaaggagagcaagttcttgaagttcttggggtttatgtggaatcctctgtcttgggtcatggaagctgcagcaatcatggccattgccctggcaaatggaggagggaagcctcctgattggcaggattttgtcggtatcataactcttctcttcattaactcgacgatcagcttcatcgaggaaaataatgcgggtaatgctgccgctgctttgatggctcgtctcgcccccaaggccaaggttctacgagatggaaggtggagtgaggaagacgcagctgtgctagtccctggggatataatcagcattaaacttggagacataattcctgctgatgctcgccttcttgagggagatcccttgaaaattgaccagtctgcactcactggtgaatctctgccggtcaccaaaggccctggagatggtgtttattcaggttccacatgtaagcaaggggaaattgaagctgtggttattgccactggtgtgcacactttctttggcaaggcggcacacttggtggataccactaatcaagtgggacatttccagaaggttttgactgcaattggaaatttctgcatttgctcgattgctgtcgggatgataattgaaattattgtcatgtatccgattcaacggaggaaatatcgccctggaatcgacaatcttcttgttcttctcatcggaggaatccctattgccatgcctaccgttctttcagtcaccatggccattggctctcacaggctatctcagcagggagcgatcaccaagagaatgacagcaatcgaagagatggctggaatggatgtcctctgcagtgataagactgggactctgactttgaacaagcttactgttgacaaaaatctcatcgaggtctttgcgaaaggagtggacccggatactgttgtcctgatggctgctagagcatcgaggaccgaaaaccaagatgccatagattccgccatagttgggatgctagctgatccaaaagaggctcgatctgggattcaggaagtacactttcttccctttaaccctactgacaagaggaccgctttgacctacatcgattccgagggcaggatgcacagagtgagcaaaggtgctccagagcagatcctgaaccctgcgcacaataagtcggagattgagcgtcgagtccatgccgtgattgataaatttgccgagcgtggtctgcgatcacttgcagtagcgtatcaggaagttccagaaggaagaaaggagagtcctggagggccgtggcagttcatcggtctgatgcctctgtttgatccccccaggcatgacagtgccgagacaattaggagggctcttaatcttggggttaatgtcaaaatgatcacgggggatcaatttgctataggcaaagaaactggccgtcggttgggaatgggcataaacatgtacccttcttctgctttattaggtcagaataaggatgaatcgattgctgcgctgccagttgatgagctcattgaaaaggcagatggctttgctggtgttttcccggagcataagtatgagattgtgaagcgattacaagcaaggaaacatatatgtggcatgacaggagatggtgtcaacgatgcccctgccctaaagaaggctgatattgggatagctgttgccgatgccactgatgctgctcgtagtgcttctgacattgtgctcactgagcctggccttagtgtcatcatcagtgctgtcctcaccagtcgtgctatcttccaaaggatgaaaaattacactatctacgcagtttctattacaattcgtatagtgcttggattcatgttattggccctcatatggaagtttgactttccccctttcatggtgctgatcgttgctatcctcaatgatggtaccgtcatgacaatctcgaaggatagggtgaaaccatcacctcttcccgacagctggaagctcgcagaaatcttcactactggaattgttctcggcagttacctggctatgatgacggttatcttcttttgggcagcctacgaaactaacttcttcccgagagtttttggcgtagccactcttgagaagactgcccatgacgacttccgaaagcttgcctccgcgatatacttgcaagtgagtactatcagtcaggccttgatatttgtgacacgatccaggggttggtcctacgtcgagcgtcccgggttgttgctcattgcggcttttgtgattgctcaactgattgctactctaattgcggtttacgcgagctggggctttgccgctatcgaggggattggatggggttgggccggtgtcatctggctttataacatcatcttttacatcccgcttgacttcatcaagttcttcatccgttatgcattgagtgggaaggcctgggatcttgttatcgagcagaggattgcattcacgaggcaaaaggactttggaaaagaacagcgcgagcttcaatgggcacacgcacaaagaacactgcatgggttgcaaccacccgacacaaaaatattcactgagcgtactcgcttcgcggaactcaatcatattgctgaagaagctaagagaagagccgagatagcgaggttgagggaactgaataccctgaaaggtcatgtggaatcagttgtgagactgaagggacttgacatagagacaatccagcaagcatacacagtctgaggagagcaacacgatcttctgtagctccggctcttatcatggcattcttatctgtgctgaggccaataaatcgtgtaactagcagtgtgtcaacagtttctgtcgtggtagcttgggcaatcccctattcgcacccttggaaaatgcctcaagagggacaccacggcgaacgactctgtaagctttgtcgaagaggcttgaaacaacagtacggcctacttttgtattaatcttatgcaactgtcgattttgattatgctctaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa 3’

Gambar 4. Hasil pengurutan nukleotida gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari M. malabathricum (MmPMA) berukuran 3,156 pb dengan No. Akses GeneBank JQ360855 dan diperoleh dari penggabungan fragmen Mmpma5’, Mmpmam, dan Mmpma3’. Kotak = kodon awal; garis bawah tebal = kodon akhir; garis bawah pada huruf miring = putative polyadenylation signal; huruf miring = 3’UTR (untranslated region); dan huruf miring tebal = ekor poli(A)

Page 85: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

85Isolasi dan Pengklonan Gen Penyandi......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

plasmid rekombinan (Gambar 5). Peta situs restriksi sangat penting dalam rekayasa genetika.

Analisis kesejajaran berdasarkan urutan asam amino menunjukkan bahwa MmPMA mempunyai kesamaan 94% masing-masing dengan PMA Vitis vinifera (XP_002270344) dan PMA Juglans regia (AAQ55291), 93% dengan PMA Populus trichocarpa (XP_002322127), 92% dengan PMA Vicia faba (CAC29435), Lycopersicon esculentum (AF179442), Solanum tuberosum (CAA54046), dan Arabidopsis thaliana, AHA4 (NP_190378) (data tidak ditunjukkan).

Struktur dua dimensi protein H+-ATPase membran plasma (PMA) yang memiliki 10 domain transmembran (M1-M10), 4 loops sitoplasma (C1-C4), dan 6 domain fungsional (F1-F6) digambarkan oleh Burghoorn et al. (2002) dan Fuglsang et al. (2011). Pada C2 mempunyai sekuen terkonservasi TGES (domain aktivitas fosfatase, F1), pada C3 mempunyai DKTGT(LI)T (domain fosforilasi intermediet dan transduksi, F2), KGAP (domain pengikatan ATP dan/atau aktivitas kinase, F3), DPPR (domain pengikatan ATP, F4), M(LIV)TGD (domain pengikatan ATP, F5) dan GDG(VIT)ND(AS)P(AS)LK (domain pengikatan ATP, F6) (Burghoorn et al., 2002), sedangkan pada C4 mempunyai Region 1 (R1), R2, dan 14-3-3 (domain

autoregulator) (Duby et al., 2009; Fuglsang et al., 2011), domain transmembran, loops sitoplasma, domain fungsional dan domain autoregulator pada M. malabathricum L. ditunjukkan Gambar 6. Berikutnya, pada loop sitoplasma kedua (C2) terdapat sekuen terkonservasi TGES (domain aktivitas fosfatase, F1), sedangkan pada C3 terdapat sekuen DKTGTLT (domain fosforilasi dan transduksi, F2), KGAP (domain pengikatan ATP dan/atau aktivitas kinase, F3), DPPR (domain pengikatan ATP, F4), MITGD (domain pengikatan ATP, F5) dan GDGVNDAPALK (domain pengikatan ATP, F6). Sedangkan domain autoregulator mempunyai sekuen QKDFGKEQRELQWAHAQRTLHGL (R1), NHIAEEAKRRAEIARL (R2), dan YTV (14-3-3). MmPMA memiliki berat molekul 105.29 kDa dengan perkiraan titik isoelektrik 6.84.

Berdasarkan analisis hidrofobisitas (Gambar 7), MmPMA menunjukkan profil yang sama dengan PMA lain (data tidak ditampilkan). Kurva yang berada di atas 0 menunjukkan fragmen yang bersifat hidrofobik dan di bawah 0 bersifat hidrofilik. Berdasarkan Gambar 7, MmPMA mempunyai 10 domain transmembran yang ditunjukkan oleh adanya 10 puncak dominan di atas 0 (M1-M10) dan 4 loops sitoplasma yang ditunjukkan oleh 4 puncak dominan di bawah 0 (C1-C4).

Gambar 5. Peta plasmid pMmPMA (6,141 pb) yang terdiri atas vektor pGEM-T Easy (3,015 pb) dan cDNA MmPMA (3,126 pb)

Page 86: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

86 Muzuni, Didy Sopandie, Utut Widyastuti Suharsono, dan Suharsono

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

MGEKPEVLEAVLKEAVDLENIPIEEVFENLRCSKEGLTTQSAEERLAIFGQNKLEEKKESKFLKFLGFMWNPLSWVMEA

AAIMAIALANGGGKPPDWQDFVGIITLLFINSTISFIEENNAGNAAAALMARLAPKAKVLRDGRWSEEDAAVLVPGDII

SIKLGDIIPADARLLEGDPLKIDQSALTGESLPVTKGPGDGVYSGSTCKQGEIEAVVIATGVHTFFGKAAHLVDTTNQV

GHFQKVLTAIGNFCICSIAVGMIIEIIVMYPIQRRKYRPGIDNLLVLLIGGIPIAMPTVLSVTMAIGSHRLSQQGAITK

RMTAIEEMAGMDVLCSDKTGTLTLNKLTVDKNLIEVFAKGVDPDTVVLMAARASRTENQDAIDSAIVGMLADPKEARSG

IQEVHFLPFNPTDKRTALTYIDSEGRMHRVSKGAPEQILNPAHNKSEIERRVHAVIDKFAERGLRSLAVAYQEVPEGRK

ESPGGPWQFIGLMPLFDPPRHDSAETIRRALNLGVNVKMITGDQFAIGKETGRRLGMGINMYPSSALLGQNKDESIAAL

PVDELIEKADGFAGVFPEHKYEIVKRLQARKHICGMTGDGVNDAPALKKADIGIAVADATDAARSASDIVLTEPGLSVI

ISAVLTSRAIFQRMKNYTIYAVSITIRIVLGFMLLALIWKFDFPPFMVLIVAILNDGTVMTISKDRVKPSPLPDSWKLA

EIFTTGIVLGSYLAMMTVIFFWAAYETNFFPRVFGVATLEKTAHDDFRKLASAIYLQVSTISQALIFVTRSRGWSYVER

PGLLLIAAFVIAQLIATLIAVYASWGFAAIEGIGWGWAGVIWLYNIIFYIPLDFIKFFIRYALSGKAWDLVIEQRIAFT

RQKDFGKEQRELQWAHAQRTLHGLQPPDTKIFTERTRFAELNHIAEEAKRRAEIARLRELNTLKGHVESVVRLKGLDIE

TIQQAYTV R1 R2

14-3-3

M1

M2

M3 M4

M5 M6

M7 M8

M9 M10

C1

C2

C3

C4

Gambar 6. Deduksi asam amino gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari M. malabathricum. Kotak, transmembran 1-10 (M1-M10); latar belakang gelap, 4 loops sitoplasma (C1-C4); huruf tebal, 6 domain fungsional (TGES, DKTGTLT, KGAP, MITGD, dan GDGVNDAPALK); dan huruf tebal dan garis bawah, domain autoregulator (R1, R2, dan 14-3-3). 14-3-3, situs pengikatan protein 14-3-3 yang mengatur aktivitas enzim

Gambar 7. Profil hidrofobisitas MmPMA menggunakan skala Kyte & Doolittle. Angka 1-10 menunjukkan domain transmembran dan C1-C4 menunjukkan domain sitoplasma

KESIMPULAN

Gen penyandi H+-ATPase membran plasma utuh (full length) yang telah berhasil diisolasi dan diklon berukuran 2,871 pb yang menyandi 956 asam amino. Berdasarkan urutan nukleotida, MmPMA mempunyai kesamaan 82% dengan PMA Vitis vinifera (XM_002270308); 81% masing-masing dengan PMA Juglans regia (AY347715), PMA Populus tricocarpa (XM_002322091), PMA Sesbania rostrata (AB086374), dan PMA Prunus persica (AJ271439); serta

80% dengan PMA Lycopersicon esculentum (AF275745). Berdasarkan deduksi asam amino, MmPMA mempunyai kesamaan 94% masing-masing dengan PMA Vitis vinifera (XP_002270344) dan PMA Juglans regia (AAQ55291), 93% dengan PMA Populus trichocarpa (XP_002322127), 92% dengan PMA Vicia faba (CAC29435), Lycopersicon esculentum (AF179442), Solanum tuberosum (CAA54046), dan Arabidopsis thaliana, AHA4 (NP_190378). Selain daerah penyandi, 3’UTR dari MmPMA juga telah berhasil diklon.

Page 87: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

87Isolasi dan Pengklonan Gen Penyandi......

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami berterima kasih kepada Program BPPS, Kementerian Pendidikan Nasional, Indonesia atas beasiswa yang telah diberikan; Hibah Kompetensi a.n. Dr. Suharsono dengan judul isolasi dan ekspresi gen dalam rangka perakitan tanaman yang toleran terhadap cekaman asam dan aluminium atas dukungan sebagian besar dana penelitian; Prof. Ko Shimamoto dan Dr. Wong Hann Ling dari Plant Molecular Genetics Laboratry, Nara Institute of Science and Technology, Japan atas dukungan fasilitas laboratorium, bahan kimia, dan bantuan teknik laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, S.J., Z. Rengel, H. Matsumoto. 2004. Aluminum-induced plasma membrane surface potential and H+-ATPse activity in near-isogenic wheat lines differing in tolerance to aluminum. New Phytol. 162:71-79.

Anwar, S., M. Jusuf, Suharsono, D. Sopandie. 2000. Pengklonan gen yang diinduksi oleh aluminium pada kedelai. J. Bioteknol. Indonesia 5:7-16.

Burghoorn, H.P., P. Soteropoulos, P. Paderu. 2002. Molecular evaluation of the plasma membrane proton pump from Aspergillus fumigatus. Antimic Agents Chemo 46:615-624.

Duby, G.,W. Poreba, D. Piotrowiak, K. Bobik, R. Derua, E. Waelkens, M. Boutry. 2009. Activation of plant plasma membrane H+-ATPase by 14-3-3 proteins is negatively controlled by two phosphorylation sites within the H+-ATPase C-terminal region. J. Biol. Chem. 284:4213-4221.

Fuglsang, A.T., J. Paez-Valencia, R.A. Gaxiola. 2011. Plant proton pumps: regulatory circuits involving H+-ATPase and H+-PPase. p. 39-64. In M. Geisler, K. Venema (Eds.). Transporters and Pumps in Plant Signaling. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Janicka-Russak, M. 2011. Plant plasma membrane H+-ATPase in adaptation of plants to abiotic stresses. p. 197-218. In A. Shanker, B. Venkateswarlu (Eds.). Abiotic Stress Response in Plants - Physiological, Biochemical and Genetic Perspectives. In Tech, Croatia.

Janicka-Russak, M., G. Kłobus. 2007. Modification of plasma membrane and vacuolar H+-ATPase in response to NaCl and ABA. J. Plant Physiol. 164:295-302.

Ligaba, A., M. Yamaguchi, H. Shen, T. Sasaki, Y. Yamamoto, H. Matsumoto. 2004. Phosphorus deficiency enhances plasma membrane H+-ATPase activity and

citrate exudation in greater purple lupin (Lupinus pilosus). Funct. Plant Biol. 31:1075-1083.

Muhaemin. 2008. Analisis pertumbuhan Melastoma (Melastoma malabathricum auct. Non L. dan M. affine D. Don.) yang mendapat cekaman pH rendah dan aluminium. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mutiasari, A. 2008. Akumulasi aluminium pada Melastoma affine dan Melastoma malabathricum. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muzuni, D. Sopandie, U.W. Suharsono, Suharsono. 2010. Isolasi dan pengklonan fragmen cDNA gen penyandi H+-ATPase membran plasma dari Melastoma malabathricum L. J. Agron. Indonesia 38:67-74.

Rober-Kleber, N., T.P. Albrechtova, S. Fleig, C. Fischer-Iglesias. 2003. Plasma membrane H+-ATPase is involved in auxin-mediated cell elongation during wheat embryo development. Plant Physiol. 131: 1302-1312.

Shen, P., R. Wang, W. Zhang. 2011. Rice phospholipase Dα is involved in salt tolerance by the mediation of H+-ATPase activity and transcription. J. Integrative Plant Biol. 53:289-299.

Suharsono, S. Firdaus, U.W. Suharsono. 2008. Isolasi dan pengklonan fragmen cDNA dari gen penyandi multidrug resistance associated protein dari Melastoma affine. Makara Sains 12:102-107.

Suharsono, N., L.D. Trisnaningrum, U. Sulistyaningsih, Widyastuti. 2009. Isolation and cloning of cDNA of gene encoding for metallothionein type 2 from Melastoma affine. Biotropia 16:28-37.

Wang, J., H. Raman, G. Zhang, N. Mendham, M. Zhou. 2006. Aluminium tolerance in barley (Hordeum vulgare L.): physiological mechanisms, genetics and screening methods. J. Zhejiang Univ. Sci. B 7:769-787.

Watanabe, T., M. Osaki. 2002. Mechanisms of adaptation to high aluminum condition in native plants species growing in acid soils: a review. Commun. Soil Sci. Plant Anal. 33:1247-1260.

Watanabe, T., S. Jansen, M. Osaki. 2003. A physiological study of Melastoma malabathricum, an aluminum accumulating woody plant. http://www.keele.ac.uk/ depts/ch/groups/aluminium/watanabe.Po.pdf. [15 Februari 2004].

Page 88: Potensi dan Stabilitas Hasil, serta Adaptabilitas Galur ......Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang potensi hasil, adaptasi dan stabilitas dari galur-

88 Muzuni, Didy Sopandie, Utut Widyastuti Suharsono, dan Suharsono

J. Agron. Indonesia 42 (1) : 80 - 88 (2014)

Watanabe, T., S. Jansen, M. Osaki. 2005. The beneficial effect of aluminium and the role of citrate in Al accumulation in Melastoma malabathricum. New Phytol. 165:773-780.

Young, J.C., N.D. DeWitt, M.R. Sussman. 1998. A transgene encoding a plasma membrane H+-ATPase that confers

acid resistance in Arabidopsis thaliana seedlings. Genetics 149:501-507.

Zhu, Y.T., J. Lian, H.Q. Zeng, L. Gan, T.J. Di, Q.R. Shen, G.H. Xu. 2011. Involvement of plasma membrane H+-ATPase in adaption of rice to ammonium nutrient. Rice Sci. 18:335-342.