151
POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK: Studi terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos) oleh Yusuf Humaidi NIM (1112112000007) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK: Studi terhadap Perilaku ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42121/2/YUSUF... · Terdapat tiga pendekatan dalam teori perilaku

Embed Size (px)

Citation preview

POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK:

Studi terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum

Legislatif 2014 di Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

oleh

Yusuf Humaidi

NIM (1112112000007)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2017

POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK:

Studi terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum

Legislatif 2014 di Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

oleh

Yusuf Humaidi

NIM (1112112000007)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2017

l.

2.

aJ.

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

POLiTIK UANG DAN PERILAKU POLITIK: STUDI TERHADAP PERILAKU

PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014 DI

KELURAHAN BANGKA, JAKARTA SELATAN

Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakal dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang b-erlaku di Universitas Islam

Negeri ruf$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil.karya asli';.

saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orarfg"lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 Apr11201,7

Yusuf Humaidi

PERSETUruA}.I PEMBIMBING SKRIPSI

Demgar ini;,krnbimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama

NIM

Program Studi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK: STUDI TERHADAP PERILAKU

PEMILIH . DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2OI4 DI

KELURAHAN BANGKA, JAKARTA SELATA].{

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

a-

Jakarta,25 Apil20l7

Ana Sabhana Azr.ny, M.I.P.

NIP

lI

JDr. Iding Rasyidin, M.Si

NIP:19701013 200501 I 003

: YusufHumaidi

:11121,12000007

: Ilmu Politik

PENGESAHA}{ PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

POLITIK UANG DAN PERILAKU POLITIK: STUDI TERHADAP PERILAKUPEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2OI4 DI

KELURAHAN BANGKA, JAKARTA SELATAN

Oleh

Yusuf Humaidi

1ttzr12000007

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 April2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelarSarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua,

JlffiDr. Iding Rosyidin, M.Si

NIP: 19701013 200501 I 003

Penguji I

vJ*,Dr. Iding Rasyidin, M.Si

NIP: 19701013 200501 I 003

tv

JU,Dr. Iding Rosyidin, M.Si

NIP: 19701013200501 1 003

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 25 Apt'rl2017Ketua Program Studi Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sekretaris,

;),/

'- sf.vuni, rur.siNIP: 19770424 240710 2 003

: 19631024199903 2 001

v

ABSTRAK

Yusuf Humaidi

1112112000007

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4 April 2017

Politik Uang dan Perilaku Politik: Studi terhadap Perilaku Pemilih dalam

Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan.

Skripsi ini menganalisis tentang dampak politik uang terhadap pilihan

politik masyarakat rukun warga 01 kelurahan Bangka, Jakarta selatan dalam

pemilihan umum legislatif 2014. Fenomena politik uang seringkali terjadi pada

pemilihan umum legislatif di Indonesia dan ini menjadi masalah dalam negara

demokrasi. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dan data

primer bersumber dari hasil wawancara kepada masyarakat, yang secara terbuka

memberikan informasi untuk membantu penelitian ini.

Penulis menggunakan konsep politik uang dari Edward Aspinall. Terdapat

dua bentuk variasi politik uang; Pertama; patronase berupa pemberian barang

pribadi, pembelian suara, pelayanan dan aktifitas. Kedua; klientelisme berupa tim

sukses, dan jaringan sosial. Penulis juga menggunakan teori perilaku pemilih.

Terdapat tiga pendekatan dalam teori perilaku pemilih yaitu; pendekatan

sosiologis, pendekatan psikologis, dan pilihan rasional. Hasil analisis dari

penelitian ini, bahwa perilaku memilih warga tidak terlepas dari adanya bentuk

politik uang berupa pemberian barang pribadi (dalam bentuk sembako, kalender

dan lainnya), pembelian suara (dalam bentuk uang), serta pelayanan dan aktifitas

(dalam bentuk penyediaan mobil ambulans). Pemberian patronase calon legislatif

berjalan lancar karena adanya hubungan klientelisme yaitu tim sukses dan

jaringan sosial. Pada penelitian ini penulis juga menemukan bahwa pendekatan

pilihan rasional mendominasi perilaku pemilih warga selain pendekatan sosiologis

dan psikologis.

Kata kunci: Politik uang, Patronase, Klientelisme.

vi

KATA PENGANTAR

Skripsi adalah sebuah persyaratan kelulusan mahasiswa dalam memperoleh

gelar Strata 1 yang pada proses penyusunan, mahasiswa dituntut untuk mampu

menerapkan dan mengintegrasikan ilmu-ilmu yang didapat dari masa perkuliahan.

Kemampuan, niat dan semangat sangat dibutuhkan untuk menyusun skripsi

disamping masalah yang akan dihadapi ketika proses penyusunan, penelitian.

Penyelesaian skripsi ini tentu tidak terlepas dari campur tangan orang-orang

di sekitar penulis baik langsung maupun tidak langsung. Dengan bangga penulis

ucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada,

MA. Beserta jajaran staf.

2. Orang tua penulis, Suryadi dan Ningsih Kusumawati, yang selalu

memberi support kepada penulis dan selalu mencurahkan doa setiap

waktu kepada penulis untuk mendorong penulis mendapatkan gelar

Sarjana Sosial.

3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Prof. Dr. Zulkifli, MA, beserta jajaran staf.

4. Ketua Ilmu Prodi Politik, Dr. Iding Rasyidin, dan Sekretaris Prodi

Ilmu Politik, Suryani M.Si. beserta jajaran staf. Penulis bangga pernah

diajarkan oleh ketua dan sekretaris yang mengajarkan banyak ilmu

mengenai politik.

vii

5. Dosen pembimbing penulis, Ana Sabhana Azmy M.I.P. yang telah

membimbing, dan mengoreksi hasil karya penulis. Tanpa koreksi

darinya, skripsi ini tidak mungkin berjalan hingga akhir. Terimakasih

ibu Ana, meskipun skripsi ini mengalami kendala tapi jasa, serta

didikan ibu sangat berarti untuk penulis.

6. Kakak penulis, Silvy Taqwa yang selalu menjadi support penulis

untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial.

7. Warga masyarakat kelurahan Bangka, Jakarta Selatan. serta ketua

rukun tangga 02 ibu Sumiyati, ketua rukun tangga 09 bapak Hasan,

ketua rukun tangga 05 bapak Sarwo, ketua rukun tangga 07 bapak

Hamdani, ketua rukun tangga 10 bapak Sarwono yang bersedia

membantu penulis untuk mendapatkan data dan menyediakan warga

masyarakat untuk penulis wawancara.

8. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Ari Alfiatul Rochmah, Putri

Nurafifah yang setiap waktu diganggu penulis untuk memberi

masukan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat Terbaik lainnya: Abrar, Alice Hana, Muhammad

Amin, Andris Sambung Ilahi, Chendy Vicky Vigana, Deviani, M.

Mikail D. Muhammad Fahmi, Fahrul Juliansyah, Muhammad Fauzan,

Febrian Adhitya, Muhammad Hatta, Helmi Aprianto, Khairunnisa,

Muhammad Rizky, Ruhul Amin, Azizia, Mabrur, Kartika. Sofyan,

Saeful, Rahmat, Marfirozi yang telah hampir 4 tahun bersama dalam

mempelajari ilmu politik. Sukses untuk kita bersama.

viii

10. Junior penulis, Erika, dan Putri yang selalu berkomunikasi kepada

penulis. Semoga cepat selesai skripsi kalian.

11. Untuk seseorang yang menanti dengan sabar, dan menemani penulis.

Selama hampir sembilan tahun saling mengenal meskipun beberapa

tahun tidak bersama, Nadiah Nurul Fatimah. Secepatnya penulis akan

mengikatkan janji suci denganmu.

12. Kepada teman KKN KOMPAS, Ansyor, Lilik, Hurin, Hanifah, Syam,

Olika, Deni, Niswah, Khusaeri, Husnan, Ardi, Joy, Bekky, Rahma.

Terimakasih selama sebulan lebih kita mengabdi di Desa Sukajaya.

13. Terakhir, pada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang telah membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

Segala rasa terimakasih penulis ucapkan kepada mereka yang mempunyai

andil dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan

yang berlipat ganda untuk mereka.

Jakarta, 4 April 2017

Penulis

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Penyataan Masalah .......................................................................................... 1

B. Pertanyaan Masalah ......................................................................................... 8

C. Batasan Penelitian ........................................................................................... 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 9

E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 9

F. Metode Penelitian .......................................................................................... 14

1. Teknik pengumpulan data ...................................................................... 15

2. Teknik analisis data ................................................................................ 16

G. Sistematika Penulisan .................................................................................... 16

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL ................................... 18

A. Definisi Politik Uang ..................................................................................... 18

B. Variasi Bentuk Patronase .............................................................................. 22

1. Pembelian Suara (Vote Buying) .............................................................. 22

2. Pemberian-pemberian barang pribadi (Individual Gifts) ........................ 23

3. Pelayanan dan Aktivitas (Services and Activities) ................................. 26

4. Proyek-proyek Gentong Babi (Pork Barrel Projects) ............................ 27

x

C. Variasi Bentuk Klientelisme ......................................................................... 28

1. Tim sukses .............................................................................................. 28

2. Mesin-mesin jaringan sosial ................................................................... 32

D. Pendekatan Perilaku Pemilih ......................................................................... 34

1. Pendekatan Sosiologis ............................................................................ 35

2. Pendekatan Psikologis ............................................................................ 41

3. Pendekatan Pilihan Rasional .................................................................. 44

BAB III PROFIL KELURAHAN BANGKA, JAKARTA SELATAN ......... 47

A. Sejarah Jakarta dan Asal-usul Bangka, Jakarta Selatan ................................ 48

1. Sejarah Jakarta ....................................................................................... 48

2. Asal-usul Bangka, Jakarta Selatan ......................................................... 51

B. Letak Geografis dan Kondisi Sosial-Kultural Kelurahan Bangka, Jakarta

Selatan ........................................................................................................... 55

BAB IV ANALISIS POLITIK UANG PADA PEMILIHAN LEGISLATIF

2014 DI KELURAHAN BANGKA, JAKARTA SELATAN........................... 60

A. Akumulasi Perolehan Suara Calon Kandidat ................................................ 61

1. Calon Kandidat dan Tim Sukses Memberikan Sembako ...................... 63

2. Calon Kandidat dan Tim Sukses Memberikan Uang ............................. 69

3. Penyediaan Mobil Ambulans Kepada Warga ........................................ 74

4. Tim Sukses dan Tokoh Agama sebagai Pengusung Calon Kandidat .... 75

B. Dampak Politik Uang terhadap Pilihan Politik Warga .................................. 82

1. Warga Memilih Berdasarkan Agama ..................................................... 85

2. Warga Memilih Berdasarkan Ikatan Partai ............................................ 86

3. Warga Memilih Berdasarkan Keuntungan yang Diperoleh ................... 88

BAB V PENUTUP ............................................................................................ 103

A. Kesimpulan ................................................................................................. 103

B. Saran ............................................................................................................ 104

Daftar Pustaka ................................................................................................... 112

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I.A.1 Jumlah masyarakat yang terdaftar di KPU dan pemilih .................. 7

Tabel IV.A.1 Akumulasi hasil perolehan suara di TPS RW 01 .......................... 62

Tabel IV.D.1 Strategi Distribusi mobilisasi Pemilihan Umum..........................101

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.C.1 Struktur Tim Sukses .................................................................. 30

Gambar III.B.1 Peta Kelurahan Bangka ............................................................. 55

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 ...................................................................................................... xiv

LAMPIRAN 2 ..................................................................................................... xvii

LAMPIRAN 3 ........................................................................................................ xx

LAMPIRAN 4 .................................................................................................... xxiii

LAMPIRAN 5 ...................................................................................................... xxv

LAMPIRAN 6 ................................................................................................... xxvii

LAMPIRAN 7 ...................................................................................................... xxx

LAMPIRAN 8 ................................................................................................... xxxii

LAMPIRAN 9 .................................................................................................. xxxiv

LAMPIRAN 10 ................................................................................................ xxxvi

LAMPIRAN 11 .............................................................................................. xxxviii

LAMPIRAN 12 ...................................................................................................... xl

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penyataan Masalah

Pembagian kekuasaaan menurut fungsinya secara horizontal menunjukkan

pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat eksekutif, legislatif,

dan yudikatif (division of powers).1 Menentukan siapa yang menduduki jabatan

eksekutif, legislatif diperlukan suatu pemilihan umum (Pemilu).

Pemilihan umum merupakan suatu proses dalam masyarakat yang secara

langsung memilih calon kandidat baik partai politik maupun individu untuk

menjadi perwakilan dalam lembaga eksekutif, dan legislatif. Pemilihan umum

menjadi panggung politik dalam berdemokrasi. Para calon pemimpin bersaing

untuk mendapatkan dukungan suara dari masyarakat. Setiap lima tahun sekali

pemilihan umum dilaksanakan.

Keikutsertaan warga dalam Pemilu demokratis (Voter turnout) merupakan

elemen dasar dari sebuah proses demokrasi. Salah satu sifat dasar dari demokrasi

adalah adanya kompetisi secara bebas di antara elite untuk memperebutkan

dukungan warga dalam rangka menduduki jabatan publik seperti presiden atau

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dukungan warga tersebut

1Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2008), 267.

2

diterjemahkan ke dalam keikutsertaan dalam pemilihan umum guna memilih

orang atau partai untuk mengisi jabatan-jabatan publik.2

Pada tahun 2014 dilaksanakan pemilihan umum legislatif (Pileg) pada

tanggal 9 April untuk memilih para calon anggota dewan legislatif; Pemilihan

Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada Pemilu 2014. Masyarakat memilih 560

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi

maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.3

Nama-nama partai yang lolos verifikasi dan mencalonkan anggotanya untuk

dipilih Pemilu legislatif 2014, diantaranya: Partai Nasional Demokrat, Partai

Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia,

Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai

Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat,

Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.4

Kompetisi untuk mendapatkan dukungan warga, suara dalam memilih

pasangan calon kandidat menjadi faktor penting. Pendekatan calon kandidat

kepada masyarakat menjadi kunci untuk mendapatkan suara masyarakat pada

2Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat (Analisis

tentang perilaku memilih dalam pemilihan legislatif dan presiden Indonesia pasca Orde-Baru),

(Jakarta: Mizan), 76. 3http://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3

3&from _box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status, diunduh tanggal

8 November 2015. 4http://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3

3&from _box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status, diunduh tanggal

8 November 2015.

http://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3%203&from%20_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_statushttp://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3%203&from%20_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_statushttp://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3%203&from%20_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_statushttp://kepustakaanpresiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=3%203&from%20_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status

3

Pemilu. Hal seperti kampanye politik, debat politik, mengunjungi wilayah

masyarakat dan bertatakrama pada masyarakat merupakan proses persaingan

kandidat untuk mendapatkan hati masyarakat.

Partisipasi masyarakat pada pemilihan umum menjadi hal penting untuk

mengidentifikasi proses pelaksanaan demokrasi dan tingkat kesadaran politik

masyarakat di Indonesia telah berjalan baik. Namun faktanya, pada proses

pelaksanaan pemilihan umum ada alasan yang menjadikan masyarakat ikut dalam

memilih berdasarkan balas budi pada calon kandidat sehingga berdampak pada

problem berdemokrasi.

Pengertian politik uang adalah semua tindakan yang disengaja oleh

seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi

lainnya kepada seseorang sebagai upaya untuk menggunakan hak pilihnya

dengan cara tertentu atau tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon

tertentu atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau

kepada pihak-pihak tertentu.5

Politik uang diartikan sebagai proses transaksional antara calon kandidat

yang berkompetisi dalam pemilihan umum dengan pemilih agar mendapatkan

dukungan berupa perolehan suara dari pemilihan secara langsung, atau tidak

langsung melalui partai politik dan tokoh masyarakat. Definisi konseptual ini

mendapatkan relevansi dengan realitas pemilihan umum pada aspek:

5Komisi Independen Pemilihan Kota Subulussalam Tahun 2015. Politik Uang dalam

Pemilihan Umum (Adanya pengaruh politik uang terhadap peningkatan partisipasi politik) [Pdf],

diunduh tanggal 3 januari 2016.

4

1. Aktor politik uang adalah peserta pemilihan umum berikut tim suksesnya.

2. Sasaran politik uang adalah pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Benda yang ditransaksikan adalah uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang.

4. Tujuan politik uang untuk memperoleh dukungan suara.6

Politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan

umum di Indonesia. Mulai dari pemilihan kepala desa, anggota legislatif,

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kepala daerah, hingga presiden selalu

diwarnai praktik jual beli pengaruh dan suara. Tidak mengherankan apabila

temuan mengenai politik uang mendominasi dalam setiap laporan pelanggaran,

khususnya berkaitan dengan masa kampanye, pemungutan suara dan rekapitulasi

hasil penghitungan suara.7

Seperti yang terjadi di Bandung Barat pada tahun 2014 melalui hasil

penelitian tim peneliti KPU Bandung Barat.8 Pada kesimpulan hasil penelitian,

KPU Bandung Barat menjelaskan bahwa fenomena praktik politik uang di

Kabupaten Bandung Barat terjadi karena adanya hukum penawaran (supply) dan

permintaan (demand), yang terjadi hampir di setiap wilayah yang ada di

Kabupaten Bandung Barat, terutama daerah-daerah yang cukup terpencil dan

relatif tidak terawasi oleh penyelenggara panitia pengawas kabupaten

(Panwaskab).

6Tim peneliti komisi pemilihan umum Bandung Barat, Praktik Politik Uang Pada Pemilu

Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat (Bandung: Tim KPU Bandung Barat,

2014) [Pdf], diunduh tanggal 29 November 2014, 11. 7Ade Irawan dkk., Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu (Jakarta: Indonesia Corruption

Watch, 2014) [Pdf], diunduh tanggal 30 November 2014, 75. 8Tim peneliti komisi pemilihan umum Bandung Barat, Praktik Politik Uang Pada Pemilu

Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat, 57.

5

Sekurang-kurangnya terdapat empat faktor penyebab berkembangnya

praktik politik uang. Setiap faktor mempunyai kekuatan masing-masing dalam

memberi dorongan kepada pemilih untuk terlibat politik uang. Tidak hanya satu

faktor yang memberi pengaruh terhadap politik uang, tetapi semua faktor dengan

bobot pengaruh yang berbeda-beda berkolaborasi saling menguatkan. Keempat

faktor tersebut adalah imbalan materi, kekecewaan karena buruknya kinerja

anggota legislatif, lemahnya penegakan hukum dan sanksi terhadap pelaku praktik

politik uang, dan ketidaktahuan atau kebingungan karena tidak mengenal

calon/kandidat. Hasil penelitian faktor-faktor penyebab politik uang yang

dilakukan tim peneliti KPU Bandung Barat, diperkuat dengan penjelasan beberapa

tipologi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran pemilihan legislatif, antara

lain:

1. Kurangnya sosialisasi pemilihan legislatif. 2. Lemahnya sistem distribusi. 3. Lemahnya pengawasan dalam perhitungan suara. 4. Pemberian politik uang.9

Tiga bentuk pelanggaran Pileg merupakan kelemahan dari badan

penyelenggara pemilu dan pelanggaran terakhir akibat ketidaksiapan para calon

legislatif (Caleg).

Permasalahan politik uang dalam pemilihan umum juga terjadi di kelurahan

Bangka, kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta selatan. Pada kelurahan Bangka,

melalui hasil pengamatan penulis sebelum pemilihan umum legislatif 2014 terjadi

praktik politik uang dari salah satu calon kandidat. Seperti yang terjadi pada awal

9Tim peneliti komisi pemilihan umum Bandung Barat, Praktik Politik Uang Pada Pemilu

Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat, 58.

6

bulan maret 2014 salah satu kandidat dari partai Hanura, calon anggota legislatif

DPRD melalui tim suksesnya melakukan kegiatan kampanye politik dan

pemberian sembako pada masyarakat sekitar. Pengamatan penulis dengan

menemukan praktik politik uang sebelum pemilihan umum berlangsung diperkuat

dengan wawancara penulis kepada Ketua Pelaksana Panitia Penyelenggara Pemilu

legislatif 2014 wilayah kecamatan Mampang Prapatan, yaitu Jamal10

. Beliau

menjelaskan bahwa terdapat beberapa kegiatan politik uang pada kampanye

sebelum pencoblosan dimulai pada tanggal 9 april 2014.

Sebelum mengkaji studi mengenai politik uang yang terjadi, penulis

memberikan deskripsi wilayah yang ada di keluarah Bangka. Terdapat lima rukun

warga (RW) di kelurahan Bangka, Jakarta Selatan. Penulis melakukan kegiatan

penelitian di wilayah rukun warga 01 dengan asumsi bahwa tingkat partisipasi

politik tinggi, maka peluang terjadinya praktik politik uang tinggi11

. Penulis telah

melakukan rekapitulasi data tempat pemungutan suara (TPS) berdasarkan wilayah

rukun warga dan menghasilkan data sebagai berikut:

10

Wawancara dengan Jamal selaku Ketua Pelaksana Panitia Penyelenggara Pemilu

legislatif 2014 wilayah kecamatan Mampang Prapatan pada tanggal 23 januari 2016 untuk

mendapatkan informasi kondisi lapangan pada saat pemilihan umum legislatif 2014. 11

Tim KPU, Laporan Penelitian Komisi Pemilihan Umum di Kabupaten Mandailing

Natal, Sumatera Utara [Pdf]; diunduh pada tanggal 23 juni 2016. h. 24 Berdasarkan laporan

penelitian KPU dengan wawancara pada dua calon anggota legislatif 2014, mengatakan bahwa

pada proses pelaksanaan kampanye, politik uang mempengaruhi seseorang dalam memilih pilihan

politik.

7

Tabel I.A.1

Jumlah masyarakat yang terdaftar di KPU dan pemilih

RW Jumlah TPS Terdaftar Pemilih Presentase

01 10 4881 2946 62.36%

02 02 2230 1436 60,80%

03 03 3259 2076 61,08%

04 04 3870 2399 61,73%

05 05 4957 3061 61,30%

Sumber: Hasil rekapitulasi pemilihan umum legislatif di kelurahan Bangka pada

pemilu legislatif 2014; data didapat dari ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan

Suara (KPPS) yaitu Jamal wilayah kecamatan Mampang Prapatan; tanggal 23 Januari

2016.

Berdasarkan data diatas, tingkat partisipasi warga masyarakat di wilayah

rukun warga 01 paling tinggi dibanding dengan rukun warga lain, hal ini menjadi

rujukan penelitian untuk meneliti di wilayah tersebut. Pada rukun warga 01

sendiri terdapat 14 rukun tangga dan ini menjadi menarik karena penulis

mengambil satu sampel dari setiap rukun tangga untuk diwawancarai berkaitan

dengan tema permasalahan skripsi ini.

Atas paparan tersebut, maka penelitian ini memfokuskan pada bentuk

praktik politik uang yang dilakukan calon legislatif di rukun warga 01. Pada

penelitian ini, penulis mengambil tema Politik Uang dan Perilaku Politik:

Studi terhadap Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di

Kelurahan Bangka, Jakarta Selatan.

8

B. Pertanyaan Masalah

1. Bagaimana terjadinya fenomena politik uang di rukun warga 01 kelurahan

Bangka, Jakarta Selatan dalam pemilihan umum legislatif 2014?

2. Apakah terjadinya politik uang di kelurahan Bangka Jakarta Selatan

mempunyai dampak terhadap pilihan politik warga?

C. Batasan Penelitian

Pada penulisan skripsi ini, penulis mencoba memberikan batasan

permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut. Ada hal penting dari permasalahan

yang hendak dibahas yaitu mengenai wilayah penelitian. Penelitian ini dibatasi

pada tingkat satu rukun warga yaitu di rukun warga 01 yang terdapat empat belas

rukun tangga, pemilihan tempat penelitian di wilayah rukun warga 01 berdasarkan

tingkat partisipasi yang tinggi di wilayah tersebut.

Pada teknik pengumpulan data wawancara, penulis mengambil satu orang

warga dari setiap rukun tangga di rukun warga 01 berjumlah empat belas orang

sebagai representatif yang menerima salah satu dari karakteristik politik uang.

Satu orang warga dari setiap rukun tangga yang akan menjadi narasumber

penelitian ini didapat dari keterangan dan keterbukaan narasumber tersebut pada

wawancara formal dan narasumber tersebut bersedia membantu menyelesaikan

skripsi ini. Sebelum kegiatan wawancara berlangsung, penulis meminta bantuan

kepada ketua-ketua rukun tangga yang lebih memahami masyarakat

lingkungannya untuk dipilih salah satu warga masyarakat yang dapat membantu

menjadi narasumber menurut ketua-ketua rukun tangga sehingga penelitian ini

dapat berjalan.

9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Terjadinya praktik politik uang terhadap perilaku politik warga memiliki

beberapa tujuan, yaitu:

1. Untuk menjelaskan bagaimana fenomena politik uang terjadi di

wilayah rukun warga 01 kelurahan Bangka, Jakarta Selatan pada

pemilihan umum legislatif 2014

2. Untuk menganalisis bahwa politik uang mempunyai dampak terhadap

perilaku politik warga di wilayah rukun warga 01, Kelurahan Bangka,

Jakarta Selatan pada pemilihan umum legislatif 2014.

Selain itu ada dua manfaat utama dalam penelitian ini, diantaranya manfaat

teoretis dan praktis.

1. Manfaat teoretis. Pada penelitian ini, penulis berupaya menganalisis

praktik politik uang dan pengaruh pilihan politik masyarakat.

2. Manfaat praktis. Pada penelitian ini penulis berharap dapat menjadi

rujukan bagi siapapun yang tertarik dengan studi perilaku politik pada

umumnya dan studi kasus politik uang pada khususnya.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk melihat sisi lain dan kegunaan dalam

skripsi yang sedang diteliti. Adanya tinjauan pustaka ini sebagai analisis

perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai penelitian ini, diantaranya:

10

Pertama, Dinamika Pilihan Rasional Dalam Kemenangan Jokowi-Basuki

Pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2012 dalam skripsi Muhammad

Ferdiansyah Zidni, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah pada program studi ilmu

politik tahun 2014. Pada skripsi ini, penulis ingin melihat bagaimana perubahan

perilaku pemilih masyarakat Jakarta dalam pemilihan umum Gubernur DKI

Jakarta 2012. Materi yang dibahas adalah perilaku pemilih yang rasional di

wilayah DKI Jakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

hubungan antara terbentuknya rasionalitas antara pihak masyarakat dan

pemerintah di DKI Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Penelitian ini

menemukan bahwa dalam proses terciptanya pilihan rasional didukung oleh

kondisi sosio demografi penduduk Jakarta yang relatif berpendidikan, dan melek

informasi. Pilihan rasional ini muncul ketika masyarakat tidak merasakan dampak

langsung terhadap kebijakan kebijakan dalam pemerintahan Fauzi Bowo dengan

hadirnya Jokowi-Basuki yang memiliki prestasi dan track record yang sudah

teruji ketika mereka menjadi kepala di daerah asal masing-masing dan pro-rakyat

membuat masyarakat berpaling dari calon yang berasal dari incumbent.

Sikap apatis masyarakat terhadap pemerintahan Fauzi Bowo meningkat

ketika terjadi banyaknya kasus korupsi yang melibatkan elit-elit partai, dan

diketahui bahwa pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli adalah pasangan

incumbent yang berkoalisi dengan banyaknya partai-partai besar yang anggotanya

banyak terlibat kasus korupsi.

11

Pada analisis melalui teori perilaku pemilih, dapat disimpulkan bahwa

pilihan rasional di wilayah Jakarta terjadi karena masyarakat tidak puas dengan

kinerja Fauzi Bowo. Selain itu, juga ditemukan bahwa masyarakat Jakarta

semakin cerdas sehingga sangat rasional dalam menentukan pilihan dan memiliki

pertimbangan logis bahkan ideologis. Faktor etnisitas dan agama juga tidak

menjadi determinasi signifikan. Masyarakat lebih melihat track record dan

komitmen dari seorang figur.

Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan skripsi di atas adalah

bahwa penggunaan teori perilaku pemilih pada objek yang akan penulis lakukan.

Skripsi di atas menggunakan teori perilaku pemilih pada objek hubungan

rasionalitas antara pihak masyarakat dan pemerintah DKI. Pada penelitian yang

akan penulis teliti adalah mengaitkan fenomena politik uang terhadap pilihan

politik warga.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh komisi Independen Pemilihan Kota

Subulussalam Tahun 2015. Politik Uang dalam Pemilihan Umum (Adanya

pengaruh politik uang terhadap peningkatan partisipasi politik). Dimulai dari

asumsi dasar mengenai kurangnya tingkat partisipasi masyarakat di kota

Subussalam pada pemilihan umum presiden 2014. Pada penelitiannya ini, peneliti

meneliti di lima kecamatan dengan menggunakan data primer berupa hasil

pengamatan masyarakat dalam partisipasi dan wawancara di lapangan, dan data

sekunder diperoleh dari penelusuran kepustakaan, internet, dan literatur lain.

12

Asumsi penelitian yang ada, diduga dengan politik uang, tingkat partisipasi

masyarakat untuk memilih dalam pemilu meningkat. Hasil dari temuan yang

dilakukan adalah benar, bahwa ketika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

tahun 2014, masyarakat banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya

dikarenakan tidak adanya politik uang didalamnya. Hal ini berbanding terbalik

ketika pemilihan legislatif tahun 2014 maupun pemilihan Walikota dan Wakil

Walikota tahun 2013 dimana banyak terjadi politik uang didalamnya.

Perbedaan penelitian yang dilakukan komisi independen dengan yang akan

penulis teliti terletak pada wawancara penelitian. Pada penelitian di atas

menggunakan sampel kecamatan dengan asumsi bahwa tingkat partisipasi

melemah akibat tidak adanya politik uang. Pada penelitian yang akan penulis teliti

yaitu keterbukaan warga untuk menjelaskan bagaimana terjadi politik uang di

wilayah yang akan diteliti.

Ketiga, (Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Money Politic Pada

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Legislatif) dalam skripsi Gustia,

mahasiswa Universitas Hassanudin Makasar pada program studi hukum pidana.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya kejahatan money politic pada penyelenggaraan pemilu anggota

legislatif serta untuk mengetahui upaya penanggulangan oleh Panwaslu terhadap

kejahatan money politic pada penyelenggaraan pemilu anggota legislatif.

13

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone dengan melakukan wawancara

langsung dengan beberapa calon legislatif, tim sukses, panitia pengawas Pemilu,

Polisi, masyarakat dan mengambil beberapa data terkait penelitian yang penulis

teliti di Kantor pengawas Pemilu Kabupaten Bone sebagai dasar acuan dalam

menjawab pertanyaan yang timbul. Selain penelitian lapangan, penulis juga

melakukan studi dokumen dengan cara membaca dan menelaah serta

mengumpulkan informasi dari buku-buku, literatur, undang-undang, serta aturan-

aturan penunjang lainnya yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang dibahas

dalam skripsi.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa; Pertama, Faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya money politic pada penyelenggaraan pemilu anggota

legislatif yaitu persaingan atau kompetisi yang ketat antara caleg, rasa tidak

percaya terhadap caleg, tidak terbangunnya hubungan yang baik antara caleg

dengan pemilih, kebiasaan politik, kondisi ekonomi masyarakat, pendidikan

politik yang rendah, minimnya pemahaman tentang ketentuan pidana pemilu dan

belum memahami hakikat pemilu.

Kedua, upaya penanggulangan oleh panitia pengawas Pemilu (Pawaslu)

terhadap kejahatan money politic pada penyelenggaraan pemilu legislatif terdiri

dari dua bentuk yaitu; upaya pencegahan dan upaya represif sebagai bentuk

pengawasan terhadap pemilu legislatif. Upaya pencegahan yaitu menyampaikan

himbuan-himbauan melalui surat resmi, menginstuksikan kepada seluruh jajaran

pengawas pemilu melakukan pengawasan aktif, melakukan pendekatan persuasi

14

kepada masyarakat, mengadakan kerjasama dengan penyelenggara pemilu dan

memetakan titik rawan yang diduga berpotensi terjadinya money politic.

Perbedaan pada skripsi di atas dengan penelitian yang akan penulis teliti

yaitu pada tujuan penelitian. Skripsi di atas menjelaskan apa yang menjadi faktor

terjadinya politik uang di kabupaten Bone, sedangkan penelitian yang akan

penulis teliti yaitu mengenai apakah perilaku memilih warga terjadi karena

dampak politik uang yang terjadi di kelurahan Bangka, Jakarta Selatan.

F. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian

yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara

kualitatif.12

Hal ini, penelitian kualitatif bersifat deskriptif, data yang dikumpulkan

lebih banyak berupa kata-kata atau gambar daripada angka-angka.13

Penelitian kualitatif adalah mengembangkan pertanyaan dasar tentang apa

dan bagaimana kejadian itu terjadi, siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut,

kapan terjadinya, dan di mana tempat kejadiannya.14

Penelitian kualitatif adalah

suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan

mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata yang

12

Basrowi dan Suwandi, memahami penelitian kualitatif (Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2008),

20. 13

Basrowi dan Suwandi, memahami penelitian kualitatif, 187. 14

Djaman Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:

Alfabeta, 2013), 23.

15

berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh

dari situasi yang ilmiah.15

1. Teknik pengumpulan data

a. Wawancara

Teknik wawancara penelitian ini yaitu wawancara terstruktur. Wawancara

terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri

masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara ini

bertujuan mencari jawaban atas hipotesis. Pertanyaan-pertanyaan disusun

secara ketat, semua objek dipandang mempunyai kesempatan yang sama

untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.16

Menyelaraskan dengan batasan masalah, pada teknik pengumpulan data

wawancara, penulis mengambil satu sampel dari setiap rukun tangga. Pada

RW 1 kelurahan Bangka, Jakarta Selatan terdapat empat belas Rukun

Tangga (RT). Penulis mengambil satu sampel dari empat belas rukun tangga

untuk diwawancarai yaitu masyarakat yang mengalami langsung proses

pemberian politik uang dari calon kandidat. Permasalahan yang dialami

yaitu dari empat belas rukun tangga yang penulis data untuk mendapatkan

warga yang akan diteliti, hanya terdapat enam warga masyarakat dari setiap

rukun tangga 01, 02, 03, 05, 07, 09 dari empat belas rukun tangga karena

rukun tangga lain tidak bersedia membantu dengan berbagai alasan.

15

Djaman Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 25. 16

Djaman Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 130.

16

b. Dokumentasi

Sumber sekunder berupa dokumen, yaitu mencari dan mengumpulkan data

mengenai masalah-masalah penelitian, seperti buku, jurnal, internet dan

skripsi dan lain-lain yang berkaitan dengan objek yang sedang diteliti.

2. Teknik analisis data

Analisis data kualitatif dapat dipandang sebagai sebuah proses, dan juga

dipandang sebagai penjelasan tentang komponen-komponen yang perlu ada dalam

suatu analisis data. Maka dalam konteks keduanya analisis data adalah proses

mencari, dan menyusun sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara

dengan cara mendeskripsikan hasil data dan membuat kesimpulan.17

Analisis data yang digunakan adalah studi kasus, untuk meneliti suatu kasus

yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Kumpulan material yang banyak

untuk mendapatkan gambaran kasus yang detail dari informan pada saat

terjadinya praktik politik uang pada pemilihan umum legislatif 2014 di kelurahan

Bangka, Jakarta selatan pada rukun warga 01.

G. Sistematika Penulisan

Berikut ini merupakan paparan penulis mengenai apa-apa yang akan dibahas

dalam penelitian ini.

Bab I yang merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdapat pernyataan

masalah, pertanyaan penelitian, batasan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

17

Djaman Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, 201.

17

Bab II, penulis akan menjelaskan mengenai teori yang akan dipakai dalam

penelitian ini. Penulis menggunakan konsep politik uang yang terbagi dalam dua

bentuk yaitu patronase dan klientelisme. Penulis juga menggunakan teori perilaku

pemilih yang di dalamnya terdapat tiga bentuk yaitu pendekatan sosiologis,

pendekatan psikologis dan pilihan rasional.

Bab III, akan berisikan tempat penelitian penulis yaitu di kelurahan Bangka,

Jakarta Selatan. Sejarah, Asal usul kelurahan Bangka akan dijelaskan dalam bab

ini. Mengenai letak geografis dan kondisi sosio-kultur budaya yang ada juga akan

dijelaskan pada bab ini.

Bab IV, berisi hasil wawancara penelitian. Narasumber yang secara terbuka untuk

diwawancara oleh penulis dan keterangan dari tim sukses dan ketua rukun tangga

setempat. Pada bab ini juga penulis paparkan analisis penulis terhadap inti

permasalahan penelitian ini.

Bab V, ini merupakan bagian akhir dalam penelitian. Terdapat kesimpulan yang

menjadi inti dari penulis mengenai pembahasan penelitian ini dan terdapat juga

saran yang menjadi rujukan penulis setelah melakukan kegiatan penelitian.

18

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Politik Uang

Politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan

umum di Indonesia. Mulai dari pemilihan kepala desa, anggota legislatif, Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), kepala daerah, hingga presiden selalu diwarnai praktik

jual beli pengaruh dan suara. Tidak mengherankan apabila temuan mengenai

politik uang mendominasi dalam setiap laporan pelanggaran, khususnya berkaitan

dengan pelanggaran di masa kampanye, pemungutan suara dan rekapitulasi hasil

penghitungan suara.18

Istilah politik uang telah secara luas digunakan untuk menggambarkan

praktik-praktik sejak demokratisasi di Indonesia bermula pada akhir 1990-an.

Kendati istilah ini telah digunakan secara umum, definisi dari istilah tersebut

masih kabur. Semua pihak menggunakan istilah ini dengan definisi mereka

masing-masing. Tetapi untuk menghindari kekaburan makna dari istilah politik

uang, peneliti mendefinisikan istilah tersebut sesuai standar yang ada dalam

berbagai studi komparatif tentang politik elektoral di berbagai negara.

18

Ade Irawan dkk. Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu (Jakarta: Indonesia Corruption

Watch, 2014) [Pdf]; diunduh pada 30 November 2014, 75.

19

Mendefinisikan istilah tersebut, peneliti fokus pada konsep patronase dan

klientelisme.19

Menurut Syarif Hidayat, praktik politik uang dimulai dari proses nominasi

kandidat, selama masa kampanye, hingga hari H pemilihan ketika suara

dihitung. Ada dua jenis politik uang; Pertama, secara langsung dengan

memberikan uang kepada pemilih. Kedua, secara tidak langsung dengan

memberikan berbagai barang yang memiliki nilai guna dan nilai tukar yang

tinggi.20

Saat ini, orang menggunakan istilah politik uang untuk menggambarkan

praktik yang merujuk pada distribusi uang (uang tunai dan terkadang dalam

bentuk barang) dari kandidat kepada pemilih di saat pemilu.21

Setiap bentuk korupsi pada proses pemilihan selalu identik dengan politik

uang. Hal tersebut menurut Daniel Bumke, karena selama ini tidak ada definisi

yang jelas. Politik uang digunakan untuk menerangkan semua jenis praktk dan

perilaku korupsi dalam pemilu. Mulai dari korupsi politik hingga klientelisme dan

dari membeli suara (vote buying) hingga kecurangan.22

Pada penjelasan definisi

politik uang, penelitian ini menggunakan konsep patronase dan klientelisme.

19

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: PolGov,2015), 2. 20

Ade Irawan dkk. Panduan Pemantauan Korupsi, 78. 21

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 4. 22

Tim Peneliti KPU Bandung Jawa Barat, Praktik Politik Uang pada Pemilu legislatif

2014: Studi Kasus di Kabupaten Jawa Barat. (Bangung: KPU Bandung Barat,2014), 8.

20

Merujuk pada Shefter (1994), definisi patronase sebagai sebuah pembagian

keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual

kepada pemilih, pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan

dukungan politik dari mereka. Dengan demikian, patronase merupakan

pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya (seperti

pekerjaan atau kontrak proyek) yang didistribusikan oleh politisi, termasuk

keuntungan yang ditujukan untuk individu (misalnya, amplop berisi uang tunai)

dan kepada kelompok/komunitas (misalnya, lapangan sepak bola baru untuk para

pemuda di sebuah kampung).23

Patronase juga bisa berupa uang tunai atau barang yang didistribusikan

kepada pemilih yang berasal dari dana pribadi contoh dalam pembelian suara atau

dari dana publik contohnya proyek-proyek pork barrel yang dibiayai pemerintah.

Pork barrel merupakan kegiatan yang ditujukan kepada publik dan didanai

dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik

kepada kandidat tertentu. Meskipun demikian, kami membedakan patronase

dengan materi-materi yang bersifat programatik (programmatic goods), yaitu

materi yang diterima oleh seseorang yang menjadi target dari program-program

pemerintah dengan contoh program kartu pelayanan kesehatan yang menawarkan

perawatan gratis untuk penduduk miskin.24

23

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 4. 24

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 4.

21

Sedangkan klientelisme, menurut Hutchcroft (2014) merupakan relasi

kekuasaan yang personalistik, dan keuntungan material dipertukarkan dengan

dukungan politik. Hutchcroft menekankan bahwa relasi klientelistik adalah relasi

tatap muka secara langsung (face to face). Hicken (2011) menjelaskan bahwa

definisi klientelisme setidaknya mengandung tiga hal; Pertama, kontingensi atau

timbal balik; pemberian barang atau jasa dari satu pihak (patron atau klien)

merupakan respons langsung terhadap pemberian keuntungan dari pihak lain.

Biasanya sumber-sumber material dipertukarkan dengan suara atau bentuk

dukungan politik lainnya. Kedua, hierarkis; ada penekanan pada relasi kekuasaan

yang tidak seimbang antara patron dengan klien. Ketiga, aspek pengulangan;

pertukaran klientelistik berlangsung secara terus menerus.25

Namun demikian, tidak semua patronase didistribusikan dalam relasi yang

benar-benar bersifat klientalistik. Misalnya, seorang kandidat memberikan barang

untuk pemilih yang belum pernah dia temui dan yang mungkin tidak akan pernah

dia temui lagi. Relasi semacam ini tidak bisa disebut sebagai relasi berulang

(iterative) karena relasi ini merupakan relasi tunggal (one off). Dengan demikian,

dalam sebuah relasi, elemen timbal balik kadang tidak terjadi karena si penerima

pemberian tidak merasa terbebani untuk membalas pemberian sang patron dengan

cara si penerima memilih sang patron dalam Pemilu.26

25

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 5. 26

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 6.

22

Untuk menjelaskan pembahasan tema penelitian ini menggunakan teori

politik uang pada konsep patronase dan klientelisme terfokus pada kampanye

pemilihan umum, hubungan antara kandidat dan pemilih. Menggunakan teori

Edward Aspinall dengan menjelaskan variasi bentuk patronase yang merupakan

pembelian suara (vote buying), pelayanan dan aktivitas, barang-barang pribadi,

proyek pork barrel. Serta untuk menjelaskan hubungan klientelisme dan jaringan

mobilisasi pemilih, peneliti juga menggunakan teori Edward Aspinal yang

menjelaskan variasi bentuk klientelisme yang merupakan tim sukses, mesin-mesin

jaringan sosial dan partai politik.

B. Bentuk Patronase

1. Pembelian Suara (Vote Buying)

Pembelian suara dimaknai sebagai distribusi pembayaran uang tunai/barang

dari kandidat kepada pemilih secara sistematis beberapa hari menjelang pemilu

yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan

membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi.27

Vote buying merupakan perilaku korupsi yang biasanya berbentuk

pemberian atau hadiah terutama dalam bentuk uang, barang berharga, atau janji

dengan tujuan untuk memengaruhi perilaku penerima. Sebagai perilaku korup,

vote buying bisa didefinisikan sebagai bentuk persuasi dengan memberikan

27

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 24.

23

keuntungan finansial yang dilakukan satu orang kepada orang lain untuk

memengaruhi pilihan orang tersebut.28

Schaffer mengategorikan beberapa karakteristik untuk membedakan vote

buying dengan bentuk-bentuk lain strategi mobilisasi dalam pemilu, dengan

mengacu pada cakupan, waktu, dan legalitas. Pertama, dari sisi cakupan, vote

buying seperti patronase merupakan partikular (khusus). Keuntungan material

diberikan kepada pemilih atau keluarga dengan banyak cara patronase yang

instan, bisa juga disebarkan ke seluruh lingkungan atau desa. Target khusus

diberikan untuk membeli suara, politisi atau timnya memiliki kontrol siapa yang

akan menerima hadiah. Kedua, dari sisi waktu, membeli suara dilakukan pada

menit akhir untuk memengaruhi pemilihan, biasanya waktu dalam vote buying

beberapa hari atau beberapa jam menjelang pemilihan, atau bisa juga pada hari

pemilihan. Ketiga, dari sisi legalitas, vote buying sering bertentangan dengan

norma-norma hukum. Sementara pork barrel dan kebijakan alokasi dianggap

legal, sedangkan patronase masih samar-samar. Vote buying hampir selalu

dianggap illegal.29

2. Pemberian-pemberian barang pribadi (Individual Gifts)

Untuk mendukung upaya pembelian suara yang lebih sistematis, para

kandidat seringkali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada

pemilih. Biasanya, mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih,

baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye.

28

Tim Peneliti KPU Bandung, Jawa Barat, Praktik Politik Uang, 79. 29

Tim Peneliti KPU Bandung, Jawa Barat, Praktik Politik Uang, 88.

24

Pemberian seperti ini seringkali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial

(social incumbent), misalnya, anggapan bahwa barang pemberian sebagai kenang-

kenangan. Kadang-kadang pemberian tersebut didistribusikan oleh tim

kampanye.30

Pada kasus semacam ini, praktik tersebut tidak mudah dibedakan dengan

pembelian suara secara sistematis. Pemberian yang paling umum bisa dibedakan

dalam beberapa kategori. Sebagai contoh, pemberian dalam benda-benda kecil

(misalnya, kalender dan gantungan kunci) yang disertai dengan nama kandidat

dan image yang dibentuk sang kandidat. Contoh barang pemberian lain adalah

bahan makanan atau sembako, seperti beras, gula, minyak goreng, dan mie instan.

Benda-benda kecil lainnya, seperti kain atau peralatan rumah tangga, terutama

yang memiliki makna religius (misal jilbab, mukena, sajadah) atau peralatan

rumah tangga minor seperti barang-barang pecah belah atau yang terbuat dari

plastik.31

Di luar itu, masih banyak lagi jenis barang murah kecil-kecilan yang biasa

diberikan. Catatan khusus juga bisa diberikan untuk pemberian berupa makanan

dan minuman gratis, rokok gratis, dan makanan kecil sebagai konsumsi dalam

pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh kandidat dan pemilih (mulai dari

30

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 24. 31

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 24.

25

cemilan sederhana hingga pesta-pesta besar). Sekali lagi, perbedaan antara

pemberian barang-barang dan pembelian suara terkadang sulit dilakukan.32

Melihat masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, para

kandidat melakukan pendekatan lain dengan membuat agenda keagamaan.

Pertama, Pemberian-pemberian barang pribadi dari calon legislatif, dilakukan

dengan cara merenovasi masjid, pembuatan langgar seni dan pembangunan

pesantren. Selain untuk mrerenovasi, memperluas bangunan ataupun

meningkatkan kegunaan fasilitas yang berhubungan dengan ibadah, biasanya

besar uang tunai yang disalurkan untuk pembelian semen. Kedua, penggunaan

uang tunai untuk pembelian sarung, al-quran, sajadah. Pendekatan calon legislatif

kepada masyarakat dalam hal agama tidak hanya berbentuk pembangunan, calon

legislatif juga membuat sumbangan-sumbangan keagamaan berupa sumbangan

pemotongan hewan qurban pada saat bertepatan dengan Idul Adha. Sapi,kambing,

maupun domba banyak disumbangkan calon kandidat untuk disembelih dan

dagingnya diberikan pada masyarakat sekitar.33

Namun pada praktiknya, sebagian besar kandidat secara tegas telah

membedakan keduanya sehingga mereka tidak menganggap bahwa pemberian

barang adalah bagian dari politik uang. Untuk membedakannya dengan

pemberian barang-barang, para kandidat pada umumnya memaknai pembelian

suara sebagai praktik yang dilakukan secara sistematis, dengan melibatkan daftar

32

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 24. 33

Muhammad Uhaib Asad dan Edward Aspinall, The Patronage Patchwork in village

brokerage networks and the power of the state in Indonesia, Doi: 10.1163/22134379-17102004

2015 [Jurnal online]; tersedia di http://booksandjournals.brillonline.com; diunduh pada 29 Oktober

2016.

http://booksandjournals.brillonline.com/

26

pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh target suara

lebih besar.

3. Pelayanan dan Aktivitas (Services and Activities)

Seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat seringkali

menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan peyananan untuk pemilih.

Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh

komunitas tertentu. Di forum ini, para kandidat biasanya mempromosikan dirinya.

Contoh yang lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen catur

atau domino, forum-forum pengajian, demo memasak, menyanyi bersama, pesta-

pesta yang diselenggarakan oleh komunitas, dan masih banyak lagi. Tidak sedikit

kandidat yang juga membiayai beragam pelayanan kesehatan masyarakat,

misalnya check-up dan pelayanan kesehatan gratis yang dulunya sangat identik

dengan aktivitas yang hanya diselenggarakan oleh kader tertentu. 34

Penyediaan mobil ambulans gratis juga cukup banyak ditemui. Demikian

juga pelayanan-pelayanan lain, seperti pengumpulan sampah. Gambaran

mencolok lainnya dari Pileg 2014 adalah frekuensi kandidat dalam menyediakan

asuransi kesehatan dan kematian/cacat untuk pemilih. Selain itu, banyak kandidat

yang juga menyediakan bantuan personal untuk para konstituen yang juga

menyediakan bantuan personal untuk para konstituen yang memerlukan akses

34

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 25.

27

kepada layanan pemerintah, misalnya, membantu mereka dalam mengakses

program-program beasiswa dan kesehatan pemerintah.35

4. Proyek-proyek Gentong Babi (Pork Barrel Projects)

Bentuk patronase yang sedikit berbeda dari politik uang adalah proyek-

proyek pork barrel, yang didefinisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang

ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Karakter utama dari pork barrel

adalah bahwa kegiatan ini ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana

publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada

kandidat tertentu. Kandidat menjanjikan akan memberikan program-program

yang didanai dengan dana publik untuk konstituen mereka yang biasanya berupa

proyek infrastruktur berskala kecil. Alasan proyek ini sebagai bentuk patronase

adalah karena adanya elemen kontingensi didalamnya. Caleg biasanya

memberikan proyek-proyek seperti ini dengan harapan bahwa masyarakat akan

mendukung mereka kembali di pemilu berikutnya. Para kandidat seringkali juga

menggunakan proyek-proyek ini untuk membentuk klien. Bahkan tidak jarang

mereka menarik pada penerima keuntungan pork barrel sebagai bagian dari tim

kampanye.36

35

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 26. 36

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 28.

28

C. Bentuk Klientelisme

Salah satu cara untuk membuat patronase berjalan dengan efektif adalah

dengan membentuk relasi yang murni klientelistik. Dengen demikian, relasi ini

tidak semata-mata berupa pertukaran antara kandidat dan pemilih, tetapi menjadi

bagian dari pembentukan relasi jangka panjang yang sama-sama menguntungkan

kedua pihak.

Para kandidat biasanya memberikan penghargaan kepada anggota tim

sukses tidak hanya dengan membayar uang, tetapi juga dengan janji untuk

memberikan pekerjaan, kontrak, atau keuntungan lainnya. Karena itulah struktur

tim sukses tidak jarang diisi oleh orang-orang yang pada pemilu sebelumnya

merupakan penerima dari politik patronase yang dilakukan oleh kandidat tersebut.

Para kandidat juga lebih suka merekrut tokoh masyarakat yang formal maupun

informal karena pemilih biasanya mengikuti preferensi politik dari tokoh-tokoh

tersebut.

1. Tim sukses

Tim Sukses merupakan bentuk dari jaringan broker suara yang paling

umum digunakan oleh kandidat. Hampir semua kandidat yang serius bertarung

dalam pemilihan umum mengggunakan tim sukses. Tim sukses seringkali disebut

dengan nama lain, misalnya tim kemenangan, tim keluarga, dan tim relawan.

Tim-tim ini juga beragam dalam hal ukurannya. Mereka yang membantu para

kandidat kaya untuk DPR pusat bisa memiliki ribuan anggota. Namun, tim sukses

dari kandidat untuk DPRD biasanya hanya terdiri dari beberapa anggota saja. Tim

29

sukses biasanya bersifat personal dan berfungsi mempromosikan kampanye bagi

kandidat secara individual, meskipun tidak jarang tim sukses juga bekerja untuk

beberapa kandidat dalam bentuk kampanye tandem (tim sukses yang bekerja

untuk menyokong dua kandidat atau lebih dalam pemilu).37

Gambaran lainnya adalah struktur teritorial dan piramidal dari tim sukses.

Biasanya tim sukses untuk kandidat DPR pusat akan menyertakan tim penasihat

inti dan para asistennya yang bekerja langsung dengan sang kandidat. Di

bawahnya, terdapat sejumlah koordinator kabupaten/kota, koordinator kecamatan

(korcam), koordinator desa (kordes) dan terakhir adalah broker pada akar rumput

atau sering disebut sebagai koordinator lapangan (korlap) yang berinteraksi

langsung dengan pemilih (beragam nama juga digunakan untuk menyebut posisi-

posisi ini).38

37

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 36. 38

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 30.

30

Gambar II.C.1

Struktur Tim Sukses

Sumber: Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 37.

Koordinator

Kordes

Korcam

Tim Relawan

Korcam

Kordes Kordes Kordes

Koordinator Koordinator Koordinator Koordinator

Relawan Relawan Relawan Relawan Relawan Relawan

Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih Pemilih

31

Penjelasan mengenai tabel struktur tim sukses yaitu, calon kandidat

legislatif bekerjasama dengan tim sukses. Biasanya tim sukses untuk kandidat

DPR/DPRD menyertakan tim penasihat inti yang disebut tim relawan. Di

bawahnya, terdapat sejumlah koordinator kecamatan (korcam), koordinator

desa/koordinator kelurahan, dan terakhir adalah broker pada akar rumput atau

yang biasa disebut koordinator lapangan (korlap) yang berinteraksi langsung

dengan pemilih. Orang-orang yang menduduki posisis strategis dalam piramida

ini biasanya bertugas untuk merekrut orang lain dalam rangka mengisi struktur

tim sukses yang lebih bawah. Seringkali mereka membidik teman dekat, tetangga,

relasi bisnis, keluarga atau relasi-relasi dekat lainnya.

Tujuan utama dari broker adalah menghubungkan kandidat yang berada

pada puncak piramida dengan para pemilih pada level terbawah piramida. Struktur

seperti ini digunakan hampir semua kandidat, terutama kandidat yang melakukan

praktik pembelian suara. Pada praktiknya, broker pada tingkat dusun atau RT/RW

membuat daftar pemilih yang bersedia memberikan suaranya kepada kandidat,

memberikan daftar tersebut ke struktur atasannya, membayarkan uang, dan

memastikan bahwa para penerima datang ke bilik suara di hari pemilihan.

Namun, masalah timbal balik antara kandidat dan pemilih juga

memengaruhi relasi antara kandidat dan tim sukses. Kandidat biasanya sangat

peduli terhadap isu-isu penggelapan, kelambanan, dan penyelewengan yang

dilakukan oleh para broker. Masalah-masalah inilah yang membuat kehadiran tim

sukses tidak dapat menjamin realisasi dari harapan kandidat untuk mendapatkan

dukungan dari pemilih.

32

2. Mesin-mesin jaringan sosial

Selain menggunakan tim sukses yang terorganisir berdasarkan teritori, para

kandidat juga sering mendapatkan dukungan dari para tokoh masyarakat yang

berpengaruh. Harapannya, para tokoh ini bisa mengarahkan jaringan sosial yang

dimilikinya untuk memberikan dukungan bagi kandidat. Para tokoh masyarakat

ini seringkali memiliki jabatan formal dalam sebuah institusi pemerintah,

misalnya, dalam unit-unit pemerintahan terendah seperti kepala desa, kepala

dukuh, RT atau RW, atau pemimpin dari asosiasi-asosiasi formal, misalnya,

kelompok keagamaan, organisasi etnis, dan klub-klub olahraga. Para tokoh

masyarakat juga bisa berasal dari para tokoh informal, misalnya, tokoh-tokoh

keagamaan, para tetua desa, ketua-ketua kekerabatan, pemimpin adat, atau orang

biasa yang dianggap penting oleh komunitasnya.

Para caleg yang memanfaatkan jaringan sosial yang telah ada, Mereka

memanfaatkan kepercayaan sosial (social trust) yang ada dalam suatu jaringan

agar mereka mendapatkan dukungan politik. Kadangkala, para kandidat merekrut

tokoh masyarakat untuk masuk dalam struktur tim sukses mereka. Bahkan, tidak

jarang para kandidat memasukkan tokoh masyarakat yang punya pengaruh di

lebih dari satu komunitas atau desa sehingga sebenarnya hal itu tidak cocok

dengan format tim sukses yang ada.39

39

Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia: Patronase dan

Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014, 38.

33

Pada temuan menarik ini, struktur broker setidaknya menggunakan dua rute

yang berbeda untuk bisa menjangkau pemilih, yaitu melalui tim sukses (ataupun

partai politik) yang terorganisir secara teritorial dan melalui jaringan sosial.

Kepercayaan terhadap para tokoh masyarakat biasanya terkait dengan distribusi

pemberian club goals. Ketika kandidat merekrut pemimpin dari komunitas

tertentu, mereka biasanya memberikan sesuatu yang secara kolektif bermanfaat

bagi komunitas tersebut. Dengan demikian, seorang kepala desa mendukung

kandidat dan kandidat membangun jalan di desa tersebut. Sama dengan hal itu,

seorang tokoh agama bergabung dengan tim sukses dan kandidat akan

memperbaiki tempat ibadah dari tokoh agama tersebut atau ketua dari kelompok

perempuan bergabung dalam tim sukses dan kelompoknya pun menerima donasi

alat-alat dapur.

Praktik dengan membawa seorang tokoh (influence buying), yakni sebuah

tindakan ilegal yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan membeli tokoh

masyarakat seperti pemuka agama dan pemuka adat untuk memengaruhi pemilih

dalam menentukan pilihan politik mereka. Pada kondisi ketika pemilu dilakukan

secara langsung, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah, praktik pembelian

pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada pendekatan beli suara.40

Setidaknya ada tiga alasan yang dapat menjelaskannya. Pertama, dalam

pemilu langsung, tidak ada satu cara pun yang bisa digunakan untuk memastikan

loyalitas pemilih kepada pihak yang membayar, mengingat semakin dijaminnya

40

Indonesia Corruption Watch, Titik Rawan Korupsi dalam Pilkada (17 Maret 2005)

[Pdf]; tersedia di http://www.antikorupsi.org/id/content/titik-rawan-korupsi-pada-pilkada; diunduh

pada 27 November 2016, 63.

http://www.antikorupsi.org/id/content/titik-rawan-korupsi-pada-pilkada

34

asas pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia. Kedua, ongkos atau biaya

membeli suara dengan model pemilihan langsung jauh lebih besar dibandingkan

dengan membeli suara dalam sistem pemilu yang menggunakan perwakilan.

Karena itu, akan lebih murah jika para tokoh masyarakat berpengaruh yang dibeli.

Ketiga, secara kultural, ikatan primordial antara masyarakat dan tokohnya, baik

pemuka agama, pemuka adat, maupun tokoh informal lainnya, hingga saat ini

masih sangat kental sehingga pengaruh mereka bisa digunakan untuk

memobilisasi suara.41

D. Pendekatan Perilaku Pemilih

Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian

kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam

pemilihan umum? Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau

kandidat X ataukah partai atau kandidat Y?42

Pada studi perilaku memilih, secara garis besar terdapat tiga model untuk

menjawab pertanyaan seperti, mengapa pemilih memilih kontestan tertentu dan

bukan kontestan lain? Jawaban atas pertanyaan itu dibedakan menjadi sesuai

dengan pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan sosiologis, psikologis, dan

pilihan rasional.43

41

Indonesia Corruption Watch, Titik Rawan Korupsi dalam Pilkada, 64. 42

Ramlan Surbakti, Memahami ilmu politik (Jakarta: PT.Grasindo, 1992), 145. 43

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru

(Jakarta: Mizan, 2011), 4.

35

1. Pendekatan Sosiologis

Model sosiologis adalah yang terawal muncul dalam tradisi studi perilaku

memilih. Model ini berkembang di Eropa dan di Amerika pada tahun 1950-an dan

dibangun dengan asumsi bahwa perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik

sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok

etnik/kedaerahan/bahasa.44

Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam

kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan

umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis

kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan,

dan agama.45

Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan tidak cukup

untuk menjelaskan tingkat partisipasi dalam Pemilu (voter turnout).46

Orang yang

mempunyai status sosial-ekonomi lebih baik, memiliki kemungkinan lebih kuat

untuk ikut dalam Pemilu hanya bila ia berada dalam jaringan sosial yang

memungkinkan terjadinya proses mobilisasi politik. Orang yang aktif dalam

organisasi-organisasi sosial formal ataupun informal, cenderung lebih terlibat

dengan urusan-urusan publik karena terpaan informasi melalui pembicaraan

dengan sesama anggota jaringan. Mereka juga mudah dijangkau dan dihubungi

44

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

6. 45

Ramlan Surbakti, Memahami ilmu politik, 145. 46

Sidney Verba, Kay Lehman Schlozman, Henry E. Brady, Voice and Equality (London;

Harvard University, 1995), 509.

36

oleh orang, kelompok, atau partai yang berkepentingan dengan partisipasi politik.

Sementara itu, orang yang jauh dari jaringan sosial tidaklah mudah dicapai oleh

informasi dan aksi mobilisasi.47

Organisasi-organisasi yang membuat warga negara tersedia untuk proses

mobilisasi sangat beragam, dan sangat bergantung pada kultur dan tingkat

perkembangan masyarakat. Organisasi-organisasi sosial yang membantu bagi

partisipasi politik itu termasuk di antaranya adalah organisasi-organisasi atau

jaringan-jaringan primordial atau identitas (seperti agama dan kedaerahan),

kepentingan (seperti organisasi buruh, petani, atau profesi lainnya), dan juga

asosiasi-asosiasi voluntaristik lain seperti klub-klub olahraga dan seni budaya.48

Seorang warga yang terlibat dalam sebuah organisasi sosial jelas

membutuhkan keinginan dan sumber daya untuk terlibat. Tetapi, untuk aktif

dalam kegiatan politik, harus hadir aspek lain, yakni mobilisasi. Harus ada

sekelompok orang yang berkepentingan untuk datang dan meyakinkan bahwa

partisipasi mereka dibutuhkan. Kelompok kepentingan, partai, elite politik ini

jelas tidak bisa memaksa seorang warga untuk aktif dalam kegiatan politik kalau

mereka memang tidak mau atau tidak bisa. Di samping itu, kelompok kepentingan

tersebut tidak bisa dengan mudah datang ke warga untuk meminta mereka aktif

47

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

8. 48

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

8.

37

dalam suatu kegiatan politik kalau ia tidak berada di dalam jaringan sosial atau

jaringan politik tersebut.49

Seorang calon presiden atau anggota DPR tidak mungkin mendatangi satu

per satu calon pemilih untuk mendapatkan jumlah suara yang signifikan. Ia harus

menggunakan jaringan atau kelompok sosial dan politik untuk mencapai tujuan

tersebut. Tetapi, sekedar berada dalam jaringan sosial dan politik serta

berkemampuan tidaklah mencukupi untuk memahami partisipasi politik seorang

warga. Harus ditambahkan ke dalamnya adalah mobilisasi politik, yaitu proses

yang dijalankan calon, partai politik, aktivis, dan kelompok-kelompok sosial

untuk menarik orang lain berpartisipasi dalam politik. Seseorang telah melakukan

mobilisasi ketika ia membuat orang lain berkemungkinan lebih besar

berpartisipasi dalam politik.50

Seorang pemilih dengan latar belakang kelas sosial bawah (dilihat dari jenis

pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan, dan kesadaran akan posisi kelas sosial)

cenderung akan memilih partai politik dan calon pejabat publik yang dipandang

memperjuangkan perbaikan kelas sosial mereka. Di Eropa, buruh dipercaya

cenderung memilih partai buruh atau partai sosialis ketimbang partai konservatif

atau partai liberal. Pasalnya, partai buruh atau partai sosialis dipercaya lebih

memperjuangkan kepentingan sosial-ekonomi para buruh. Di Amerika, pemilih

yang berasal dari kelas sosial bawah dipercaya cenderung memilih calon-calon

49

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

9. 50

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

9.

38

dari partai Demokrat ketimbang dari partai Republik karena mereka percaya

bahwa partai Demokrat lebih memperjuangkan perbaikan kehidupan mereka

ketimbang partai Republik. Sebaliknya, pemilih yang berlatar belakang kelas

sosial atas cenderung akan memilih calon-calon dari partai Republik yang

dianggap akan memperjuangkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas atas.51

Faktor sosiologis lain yang dipercaya penting memengaruhi keputusan

seseorang untuk memilih partai politik atau seorang calon pejabat publik adalah

agama. Partai politik atau seorang calon pejabat publik yang punya platform

keagamaan yang sama dengan karakteristik keberagaman pemilih, cenderung akan

didukung oleh pemilih tersebut. Seorang muslim cenderung untuk memilih partai

yang ber-platform Islam dibanding yang ber-platform agama lain, misal kristen.

Orang taat beragama cenderung untuk mendukung partai yang ber-platform

keagamaan dibanding yang ber-platform sekular. Karena itu, perbedaan platform

atau citra yang jelas dari sisi keagamaan antara satu partai dengan partai lainnya,

atau antara satu calon dengan calon lainnya, akan mengungkapkan sejauh mana

faktor agama menjadi penting bagi pemilih dilihat dari karakteristik keagamaan

mereka. Pada situasi di mana partai-partai politik atau calon-calon pejabat publik

tidak menunjukkan perbedaan orientasi keagamaan yang jelas antara satu dengan

51

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

10.

39

yang lain, maka faktor agama menjadi kabur signifikansinya dalam menentukan

pilihan politik bagi pemilih.52

Seperti halnya kelas sosial, hubungan antara agama dan partai politik atau

dengan calon pejabat publik tidak mesti dilihat dari platforn resmi partai atau dari

program-program yang ditawarkan oleh seorang calon. Hubungan tersebut dapat

pula dilihat secara tidak langsung dari tradisi dan konteks historis dari partai atau

calon tersebut. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam platform

partai, partai Republik di Amerika secara tradisional dikenal sebagai di Amerika

secara tradisional dikenal sebagai partai yang tumbuh dari komunitas protestan.

Sementara partai Demokrat secara tradisional dekat dengan komunitas katolik.53

Terkait dengan masalah kelas sosial dan sentimen keagamaan, ras dan etnik

juga dipercaya sebagai faktor sosiologis yang memengaruhi bagaimana seseorang

memilih partai politik atau calon pejabat publik. Partai yang secara tradisional

memperjuangkan kesetaraan ras dan etnik cenderung didukung oleh kelompok-

kelompok ras dan etnik minoritas karena kelompok inilah yang berkepentingan

langsung dengan isu tersebut. Secara lebih khusus, kesamaan ras dan etnik antara

pemilih dan calon pejabat publik cenderung memengaruhi perilaku memilih

seseorang.54

52

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru

(Jakarta: Mizan, 2011), 13. 53

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

17. 54

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

19.

40

Studi-studi yang ada tentang dampak relatif dari ketiga faktor sosiologis

(agama, ras, etnik) menunjukkan bahwa faktor agama dan etnik sering

mempunyai dampak yang lebih signifikan ketimbang kelas sosial. Orang yang taat

beragama cenderung mendukung partai politik atau calon pejabat publik yang

dipandang bersikap positif atas agama.55

Terkait dengan sosial, agama, etnik, dan kedaerahan adalah kelompok-

kelompok atau organisasi terkait yang punya peran untuk memediasi individu-

individu hingga menjadi kekuatan kolektif untuk mendukung partai atau calon

tertentu. Organisasi-organisasi ini merupakan sumber daya sosial yang

memungkinkan bagi mobilisasi politik. Dibanding yang tidak aktif, orang yang

aktif dalam suatu organisasi sosial lebih tersedia untuk termobilisasi sehingga bisa

menjadi aktif dalam politik, dan lebih mungkin untuk mendukung partai, calon,

atau isu publik tertentu.56

Pada suatu masyarakat, dukungan terhadap partai atau calon tertentu

mungkin juga terkait dengan pola-pola hubungan parton-klien antara pemilih

dengan calon yang terkait dengan partai tertentu. Orang mendukung sebuah partai

politik tertentu karena ia merasa tergantung pada patronnya yang terkait dengan

partai atau dengan calon tertentu. Kuncinya adalah ketetrgantungan seseorang

55

Arend Lijphart, Religious vs Linguistics vs Class Voting:Crucial Experiment of

Comparing Belgium, Canada, South Africa, and Switzerland (American Political Science Review,

1979), 442-458. 56

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

21.

41

secara sosial-ekonomi kepada orang lain yang punya hubungan dengan partai atau

calon tertentu.57

2. Pendekatan Psikologis

Muncul kritik terhadap model sosiologis baik yang berkaitan dengan

masalah voter turnout maupun pilihan politik. Pada hubungannya dengan voter

turnout, pemilih yang punya daya sosial-ekonomi lebih baik, dan berada dalam

jaringan sosial yang bisa dijangkau oleh partai atau elite politik, belum tentu

berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bila ia tidak tertarik, atau tidak punya

ikatan psikologis dengan partai atau tokoh partai tertentu. Karena itu, model

sosiologis jelas tidak cukup untuk menjelaskan mengapa seorang warga ikut

dalam Pemilu atau Pilpres.58

Model psikologis memperkenalkan apa yang disebut sebagai budaya

demokrasi atau civic culture, dan secara lebih khusus lagi apa yang disebut

sebagai budaya partisipasi politik, untuk menjelaskan partisipasi politik, termasuk

voter turnout.59

Seseorang berpartisipasi dalam politik seperti memilih dalam pemilu, bukan

saja karena ia berada dalam jaringan sosial, terlibat dalam kegiatan urusan publik,

tetapi juga karena ia ingin berpartisipasi. Walaupun ia terlibat dalam urusan

publik, ia tidak secara otomatis berpartisipasi dalam Pemilu apabia ia tidak ingin

57

Karl Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion. A Study of Indonesian

Political Behavior (Barkeley: University of California Press, 1980), 275. 58

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

22. 59

Gabriel A. Almond, and Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and

Democracy in Five Nations (Princeton, NJ; Princeton University Press, 1963), 32.

42

berpartisipasi. Ketelibatan politik termasuk di antaranya informasi politik,

pengetahuan politik, ketertarikan politik, perasaan yang mengikat, dan identitas

partai.60

Identitas partai adalah salah satu komponen dari keterlibatan politik yang

dipercaya mempunyai pengaruh positif terhadap partisipasi politik. Identitas partai

adalah suatu keadaan psikologis, yakni perasaan dekat dengan, sikap mendukung,

atau setia kepada, atau identifikasi diri dengan partai politik tertentu. Identitas

partai membentuk sebuah identitas politik seorang warga karena warga tersebut

punya kemampuan psikologis untuk menidentikkan dirinya dengan sebuah partai

politik. Karena itu pula, identitas partai biasa disebut dengan party ID. Seorang

partisan adalah orang yang merasa dirinya bagian dari sebuah partai atau

mengidentikkan dirinya dengan partai tertentu, misal partai Golkar atau Partai

Demokrasi Perjuangan (PDIP). Orang ini bisa mengatakan kepada kita misalnya,

saya orang Golkar, atau saya orang PDIP.61

Seorang partisan punya energi psikologis untuk memilih partainya dalam

pemilu, dan karena itu ia cenderung akan ikut serta dalam Pemilu untuk

memenangkan partainya. Seorang partisan dapat disebut berkemungkinan besar

untuk berpartisipasi dalam Pemilu dibandingkan yang tidak.62

60

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,

22. 61

Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis

tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru,