34
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tujuan pembangunan nasional yang termaktub dalam konstitusi adalah menjadikan manusia Indonesia yang seutuhnya. Salah satunya dicapai melalui peningkatan kualitas insan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa. Kesadaran akan adanya Sang Khalik Allah SWT akan semakin mendalam melalui pelayanan negara terhadap berbagai kegiatan keagamaan seperti ibadah haji. Namun yang terjadi adalah kualitas pelayanan haji Indonesia tiap tahunnya selalu dibawah sorotan kekecewaan. Masyarakat menilai bahwa masih banyak ketidakadilan, kelemahan dari sisi manejerial, dan besaran biaya haji yang masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia. Tugas dan fungsi negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-sama dan untuk mencapai cita-cita sebuah masyarakat. Karena itu pelayanan haji harus memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tercermin dalam keprofesionalan penyelenggara haji. Penjabaran prinsip atau kebijakan penyelenggaraan haji, adalah penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan azas keadilan (berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah atau tidak berpihak dan tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan haji), azas profesionalitas (harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya) dan berdasarkan azas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba (penyelenggaraan harus dilakukan dengan terbuka/transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan secara etika dan hukum dengan prinsip tidak mencari keuntungan).

politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

  • Upload
    doanque

  • View
    221

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan nasional yang termaktub dalam konstitusi adalah

menjadikan manusia Indonesia yang seutuhnya. Salah satunya dicapai melalui

peningkatan kualitas insan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa.

Kesadaran akan adanya Sang Khalik Allah SWT akan semakin mendalam melalui

pelayanan negara terhadap berbagai kegiatan keagamaan seperti ibadah haji.

Namun yang terjadi adalah kualitas pelayanan haji Indonesia tiap tahunnya selalu

dibawah sorotan kekecewaan. Masyarakat menilai bahwa masih banyak

ketidakadilan, kelemahan dari sisi manejerial, dan besaran biaya haji yang masih

tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia.

Tugas dan fungsi negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial

secara bersama-sama dan untuk mencapai cita-cita sebuah masyarakat. Karena itu

pelayanan haji harus memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tercermin dalam

keprofesionalan penyelenggara haji. Penjabaran prinsip atau kebijakan

penyelenggaraan haji, adalah penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan azas

keadilan (berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah atau tidak berpihak dan

tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan haji), azas profesionalitas (harus

dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya) dan

berdasarkan azas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba (penyelenggaraan harus

dilakukan dengan terbuka/transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan secara

etika dan hukum dengan prinsip tidak mencari keuntungan).

Page 2: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

2

Negara dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama (Kemenag)

bertanggung jawab langsung terhadap pengambilan kebijakan dan pengelolaan

penyelenggaraan haji. Dalam hal ini panggung hukum yang mengatur tugas pokok

Kemenag sebagai penyelenggara haji dan umroh diatur dalam UU Nomor 13

Tahun 2008. Tuntutan ditujukan kepada penyelenggara yakni Kemenag agar

bekerja efektif dan efisien dengan penekanan pada pelayanan yang berbasis

customer value dan memposisikan diri sebagai public sevice. Namun demikian

harapan dan cita-cita tidak selalu sejalan dengan kenyataan dilapangan.

Penyelenggraan haji sarat dengan persoalan, salah satunya adalah terusiknya rasa

keadilan akibat kebijakan daftar tunggu atau waiting list dalam pengelolaan haji.

Tabel 1.1 Sepuluh Besar Antrean Haji Reguler

Data Rekapitulasi Setelah Musim Haji 2012

Provinsi Pendaftar Kuota Masa

Tunggu

Sulawesi Selatan 100.917 7.221 14 tahun

Kalimantan Selatan 51.407 3.811 13 tahun

Nangroe Aceh

Darussalam 46.843 3.924 12 Tahun

Kalimantan Tengah 15.318 1.349 11 tahun

Jambi 28.977 2.634 11 tahun

Kalimantan Timur 31.011 2.819 11 tahun

D.I. Yogyakarta 33.143 3.061 11 tahun

Jawa Timur 358.962 34.165 11 tahun

Bangka Belitung 9.538 913 10 tahun

Nusat Tenggara Barat 46.341 4.494 10 tahun

Page 3: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

3

Sejak tahun 2004, Kemenag melalui SK Dirjen hingga diperkuat Permen

mulai menggunakan sistem daftar tunggu dalam pendaftaran berangkat haji. Dari

tahun ke tahun sistem ini seperti bom waktu yang menebar terror sehingga muncul

penumpukan Calon Jemaah Haji (CJH) hingga jutaan orang, padahal sebelum

tahun 2004 tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaan haji bagi warga negara

Indonesia. Faktanya, sebelum pemberlakuan sistem daftar tunggu jumlah jemaah

haji Indonesia tidak pernah menembus 210.000 jemaah, karena sistem pendaftaran

sangat singkat dan praktis bagi mayoritas ummat Islam, karena jemaah yang

berangkat benar-benar berkemampuan sesuai kriteria. Dalam catatan jumlah daftar

tunggu pada tahun 2009 sekitar 800 ribu orang, tahun 2010 berjumlah 1,2 juta

orang CJH, tahun 2011 berjumlah 1,4 juta orang CJH dan untuk tahun 2012

terhitung 1,9 juta orang CJH sedangkan kuota pertahun adalah 211 ribu jemaah.

Tabel 1.2 Jumlah CJH Daftar Tunggu 31 Januari 2014

Kabupaten Jumlah CJH

(orang )

Persentase (%)

Denpasar 3.087 40,54

Buleleng 943 12,38

Jembrana 892 11,71

Kelungkung 247 3,24

Gianyar 227 2,98

Karangasem 315 4,13

Bangli 77 1,01

Badung 1.432 18,80

Tabanan 395 5,19

Total 7.615 100

Sumber: Kemenag Provinsi Bali

Page 4: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

4

Kondisi yang sama juga terjadi dengan CJH Bali khususnya kota Denpasar. Saat

ini saja ada kurang lebih tiga ribu CJH Denpasar yang merasakan ketidakpastian

keberangkatan mereka. Padahal mereka dengan setia menyetor cicilan Ongkos

Naik Haji (ONH). Tabel 1.1 menunjukkan distribusi CJH disetiap kabupaten di

mana kota Denpasar merupakan yang terbesar.Rata-rata CJH yang diberangkatkan

sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 adalah 613 orang (Tabel 1.2) sementara

kuota haji bagi provinsi Bali adalah 512 orang.

Tabel 1.3 Jumlah CJH yang berangkat tanggal 31 Januari 2014 (2009 s.d 2014)

Sumber: Kemenag Provinsi Bali

Dengan adanya penambahan pendaftaran CJH yang signifikan tapi tidak

berbanding lurus dengan kuota yang disiapkan sehingga terjadi penumpukan CJH

yang membutuhkan waktu antrian selama 10-15 tahun. Sudah dapat dipastikan

konsekuensinya adalah membludaknya jumlah CJH yang mengantre untuk

diberangkatkan. Data terkini di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat)

saat ini ada 2.288.189 CJH. Padahal sistem ini diklaim sebagai sistem yang dapat

0

100

200

300

400

500

600

700

2009 2010 2011 2012 2013 2014

639 639 639 639 639

512

Page 5: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

5

mengatasi berbagai kelemahan penyelenggaraan haji. Sistem ini juga oleh Kemenag

dianggap solusi bagi pelayanan haji yang manusiawi. (http://hukum.kompasiana.com).

Kementrian Agama bukan institusi yang bebas dari kepentingan politik,

dan telah lama menjadi arena kontestasi dan pertarungan kekuasaan dari berbagai

latar belakang organisasi politik yang hidup di Indonesia (Saidi, 2004: 56). Sejak

merdeka, Kemenag, selalu menjadi inceran partai politik tertentu karena dianggap

strategis baik untuk mengembangkan partai maupun menjadi sumber keuangan

partai.

”Diharapkan sebagai kelanjutannya, Masjumi menguasai politik

Indonesia...dalam rangka ini ia teringat pada para jemaah haji. Dasar

pemikirannya ialah bahwa para jemaah sudah dipermudah dengan berbagai

fasilitas untuk naik haji. Oleh sebab itu, akan lebih bermanfaat bila umat

seluruhnya juga memperoleh keuntungan dari para jemaah:dengan

menambah dana partai dari kesempatan naik haji hari ini...” (Noer,

1987:68)

Secara idiologi dan praktik, partai politik punya kepentingan dalam

penyelenggaraan haji. Fakta ini ditemukan pada rapat pimpinan Masjumi tahun

1950, yang mana diusulkan cara yang dilakukan oleh Nu‟aim bin Masbud.

“Yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Departemen Agama

dikuasai oleh NU untuk sebagian besar masa yang kita bicarakan. Dari

duapuluh tiga kabinet tahun 1946-1965 hanya tiga kali kursi menteri

agama diduduki oleh bukan NU...Yang dua pertama dari Muhammadiyah,

yang terakhir independen. Dengan demikian, kementrian itu menjadi alat

yang sangat berguna bagi NU dalam menyebarkan pengaruhnya ke

segenap penjuru tanah air...”(Noer, 1987:340)

Keterlibatan partai politik yang secara ansich ikut sebagai rezim pemerintah

menimbulkan persoalan „tarik menarik‟ dari berbagai kepentingan. Dengan

demikian kepentingan partai dan golongan lebih mengedepan, tetapi melalaikan

tugasnya melayani masyarakat.

Page 6: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

6

Kementrian Agama tidak seteril dari campur tangan partai politik sehingga

conflict of interest menjadi nuansa bagi pelayanan publik dan umat.

Kecenderungan seperti ini rawan akan penyimpangan. Misalnya yang menjadi

sorotan masyarakat luas adalah mengenai Laporan Keuangan Penyelenggaraan

Ibadah Haji (LKPIH) 2013 yang diterbitkan Kemenag, terungkap nilai

outstanding dana haji per Desember 2013 senilai Rp 64,5 triliun. Portofolio

investasi untuk pengelolaan dana haji dalam sukuk meningkat hingga Rp 31,10

triliun. Sedangkan, penempatan pada deposito juga meningkat sampai Rp 26,2

triliun (http://www.republika.co.id). Kecenderungan yang terjadi di sini, pengelola

ibadah haji selalu berusaha memegang sebanyak mungkin uang dari jamaah.

Semakin banyak uang yang dikelola, semakin banyak bunga uang yang didapat.

Sistem administrasi haji membuka celah kecurangan. Sistem antrean yang

awalnya ditentukan berdasarkan masuknya setoran awal calon jamaah, diserobot

oleh oknum tertentu yang bersedia membayar sejumlah uang, atau oknum pejabat

yang ingin didahulukan. Hal ini terjadi akibat tumpang tindihnya kekuasaan,

dimana posisi pengawasan, pelaksana, sekaligus evaluasi, dipegang oleh satu

pihak, yaitu Kementerian Agama. (http://www.antikorupsi.org).

Indikasi adanya penyimpangan dalam menejemen dan pengelolaan

keuangan haji menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga

ini melakukan kajian lebih mendalam dengan dukungan undang-undang KPK

yaitu sebagai pelaksanaan UU no. 30 tahun 2002 dimana Pasal 6 huruf e, KPK

mempunyai tugas melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan

negara. Sejauh ini KPK melalui temuan nya pada April 2010 memfokuskan pada

aspek yang harus ditindaklanjuti yaitu aspek regulasi, kelembagaan, tatalaksan,

Page 7: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

7

menejemen SDM dan menejemen kesehatan haji (http://acch.kpk.go.id/kajian-

sistem-penyelenggaraan-ibadah-haji).

Anggito Abimanyu menyuarakan bahwa ada banyak sisa kuota jemaah haji

yang selama ini diperjualbelikan melalui transaksi di bawah meja dengan petugas.

Kemudian, adanya ketidakpercayaan dari calon jemaah haji karena pengelolaan

haji yang tidak transparan. Menurutnya CJH yang sudah daftar dan punya jatah

satu kursi, akan tetapi tidak memperoleh kejelasan waktu berangkatnya

(http://www.tempo.co). Ini jelas bertentangan dengan ajaran islam yang

menekankan kejujuran dan keadilan. Islam melarang praktik jual beli dan taklid

(menghitung yang belum jelas) tetapi Islam mengajarkan transparansi dan

keterbukaan (Fatwa, 2001:xiii)

Rezim Orde Baru menunjukkan sikap yang menempatkan Islam vis a vis

dengan negara (Shokheh, 2008:xiii). Dalam banyak kasus, negara menjalankan

komunikasi satu arah dalam menjalankan program-programnya. Akibatnya

aspirasi masyarakat terabaikan, hal ini menimbukan ketegangan di antara elit

pemerintah dan masyarakat yang seharusnya diayomi. Ketaatan berbagai

kelompok dalam masyarakat harus dibangun dengan menciptakan keyakinan

bahwa sistem yang dibangun oleh pemerintah merupakan yang terbaik untuk

mencapai tujuan (Fuad, 2005:147). Kemajuan Indonesia tidak hanya diukur pada

tingkat kesejahteraan lahiriah saja tetapi juga mencakup bagaimana aspirasi

masyarakat diakomodasi dan pembangunan mental spritual masyarakat terutama

dalam menghadapi era “perang antar nilai budaya” sekarang ini (Widminarko

dalam Adnan, 1999:vii).

Page 8: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

8

Menurut Noer (1987) keterlibatan kepentingan politik dari beberapa latar

belakang partai dalam kementrian agama merupakan sumber berbagai

penyimpangan. Indikasi penyimpangan kewenangan oleh Kemenag didasari tidak

adanya sistem pengelolaan baik secara syariat maupun ekonomis. Adanya

penumpukan puluhan triliun dana calon jemaah untuk masa sampai puluhan

tahun. Dana haji hingga 25 Juli 2012, total uang setoral awal CJH sebesar Rp 47,5

triliun. diantara yang bisa ditaksir Rp 35 triliun di sukuk, Rp12 triliun deposito,

dan Rp 3 triliun di giro atas nama menteri agama dan menghasilkan bunga Rp 2,8

triliun sesuai BI rate tak jelas pertanggung jawabannya.

Penyimpangan pengelolaan haji dengan sistem daftar tunggu

memperlihatkan negara telah bertindak sewenang-wenang dan membuka lebar

celah-celah ketidak adilan. Hal ini bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai

Islam dalam bernegara yang mengajarkan prinsip persamaan (musaawah),

keadilan („adaalah) kebebasan (hurriyyah), musyawarah (syuraa) dan konsensus

bersama (ijma). (Kamaruzazaman, 2001). Karena itu perlu kiranya membicarakan

substansi permasalahan ini lebih mendalam dengan kerangka pemikiran kritis

dan berbasis kajian budaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan uraian di atas, rumusan permasalahan penelitian

disusun sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada

penyelengaraan haji?

Page 9: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

9

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan

daftar tunggu pada penyelenggaraan haji?

3. Apa makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada

penyelengaraan haji?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan penjelasan bahwa

telah terjadi politisasi negara/Kemenag melalui kebijakan daftar tunggu dalam

penyelenggaraan haji. Data yang didapat dianalisis secara kritis memposisikan

dirinya sebagai panduan kepada pengambil keputusan dalam hal ini Kemenag

khususnya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh dan menjadikannya sebagai

pertimbangan sebagai upaya memberbaiki sistem pengelolaan haji yang

berkeadilan untuk masyarakat dan umat.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Menjelaskan bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar

tunggu dalam penyelengaraan haji.

b. Mendiskusikan mengapa pemerintah melakukan kebijakan daftar tunggu

dalam penyelenggaraan haji.

c. Mengungkapkan makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu

dalam penyelengaraan haji.

1.4 Manfaat Penelitian

1.5. 1 Manfaat Teoretis

Page 10: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

10

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan seputar

penerapan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Penelitian ini

diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahan-permasalahan

menejerial haji dari perspektif teori-teori kritis yang mengarah pada perubahan

sikap pengambil keputusan dan pelaksana operasional penyelenggaraan haji di

Indonesia dalam kerangka menegakkan keadilan.

1.5. 2 Manfaat Praktis

Dalam tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1) Memberikan pemahaman kepada pihak pemangku berkepentingan untuk

bersikap kritis terhadap pengelolahan penyelenggaraan haji.

2) Masukan bagi pemangku kepentingan untuk memahami dan melaksanakan

kebijakan pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan

suara-suara yang meneriakkan keadilan dan serta keluh kesah masyrakat

khususnya calon jemaah haji Indonesia.

Page 11: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang terkait ibadah haji sebagai fokus penelitian sudah ada

dalam lingkungan kajian budaya Universitas Udayana. Misalnya tesis Aliffiati

(2006) “Representasi Ibadah Haji Orang Madura di Dusun Wanasari Kota

Denpasar” menjelaskan representasi pelaksanaan, motivasi dan makna ibadah haji

bagi orang Madura di Dusun Wanasari. Objek formal dari penelitian ini hanya

menyoal ibadah haji, sebagai jati diri bagi masyrakat Islam di Wanasari. Teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori praksis dari Bourdieu, teori

manusia dan makna dari Blumer, teori pertukaran dari Hotman, dan teori

strukturasi dari Gidden. Dalam penelitian ini terungkap bahwa warga Wanasari

sangat termotivasi untuk melaksankan ibadah haji karena dorongan internal ingin

memperoleh ridha Allah, dan dorongan eksternal sebagai prestise dan gaya hidup.

Makna ibadah haji bagi masyarakat tidak saja terkait keimanan dan spritual tetapi

juga berhubungan dengan aktualisasi diri, solidaritas sosial dan kesejahteraan.

Tesis Aliffiati memiliki objek materi yang sama dengan penelitian ini

yakni masalah tentang haji tetapi berbeda dalam hal substansi permasalahan dan

fokus penelitian. Baik tesis Aliffiati dan penelitian ini keduanya menggunakan

alat analisis teori strukturasi Giddens dan teori praksis Bordieu yang dilengkapai

dengan dua alat analisis lain yang berbeda. Penelitian ini berkontribusi membantu

Page 12: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

12

penulis dalam menggambarkan representasi umat Islam di Kota Denpasar,

karateristik umat Islam, nilai-nilai Islam dan definisi operasional haji.

Jurnal ”Peran Negara Dalam Peyelenggaraan Ibadah Haji: Studi Kasus

Penyelenggaraan Ibadah Haji di Kota Malang” (2013) oleh Nindia Noer Anisyah

memiliki objek materi yang sama tentang penyelenggaraan haji. Dalam penelitian

ini Anisyah menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif untuk

menganalisis transparansi, akuntabilitas, dan partisipatori terhadap pelayanan

publik penyelenggaraan haji. Penelitian ini mengungkap peran negara dalam

penyelenggaraan ibadah haji yaitu, Kemenag Kota Malang bertanggung jawab

atas 3 (tiga) hal utama, yaitu pelayanan, pembinaan dan perlindungan terhadap

jamaah haji. Adanya peran negara ini memberikan dampak yang positif bagi

masyarakat dalam hal keagamaan, masyarakat mendapatkan kepastian untuk

berangkat beribadah haji serta hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara

mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

Moeslim Abdurahman dalam buku ”Bersujud di Baitullah: Ibadah Haji,

Mencari Kesalehan Hidup” adalah sebuah etnografi intepretatif yang melihat dan

menjelaskan kegiatan naik haji, bukan hanya sebagai gejala keagamaan tetapi

juga gejala-gejala sosial budaya, ekonomi, dan politik dalam upaya memahami

kompleksnya makna-makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu

Abdurahman menggunakan alat analisis semiotika dan hermeneutika pada

berbagai tingkatan dalam menginterpretasi informasi yang diperolehnya. Semua

tindakan, ucapan, keyakinan, tulisan dan benda material yang dibeli oleh jemah

haji merupakan fakta-fakta etnografi yang digunakan untuk mengurai makna yang

kompleks. Sebagai sebuah karya etnografi intepretatif buku ini berkontribusi

Page 13: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

13

dalam menggali makna, menyeleksi, dan menentukan makna-makna yang paling

dominan, memberi informasi tentang konteks sosial budaya, hubungan simbolis

para aktor dalam perhajian.

Buku ”Haji dari Masa ke Masa” (2012) oleh Kementrian Agama berisi

tentang sejarah dan dinamika penyelenggaraan haji di Indonesia sejak masa pra

kolonial sampai masa setelah kemerdekaan. Buku ini menjelaskan berbagai sistem

dan menejemen penyelenggaraan haji dan juga mengurai berbagai konteks

peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan dalam menejemen haji

diakhiri dengan upaya memberikan masukan bagi penyelenggaraan haji ke depan.

Kontribusi buku ini dalam penelitian ini adalah menjelaskan makna ritual haji dan

membantu merumuskan konsep operasional penelitian terkait menejemen haji.

Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umroh (2011) dalam

“Mengelola Haji dengan Hati” merupakan catatan kerja Slamet Riyanto sebagai

dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Buku ini berisi tentang gagasan-gagasan

dalam mengelola menejemen modern dan aspek spiritual dalam penyelenggaraan

haji. Tulisan ini berkontribusi dalam memberikan wawasan tentang prinsi-prinsip

pengelolaan haji dan memberikan informasi tentang dinamika menejemen

penyelenggaraan haji sesuai konteks yang ada.

Jurnal yang berjudul” Wait control: a new system for better waiting list

management” Mei 2012 ditulis oleh Rob Findlay dalam Health Service Journal

(http://www.hsj.co.uk) memberikan informasi sebuah implementasi penerapan

sistem daftar tunggu dalam menejemen rumah sakit yang digagas secara nasional

(National Health System). Daftar tunggu akan selalu membengkak dalam jumlah

sehingga melebihi kemampuan sistem tunggu 18 hari yang tersedia. Untuk

Page 14: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

14

mengurangi rentang waktu harus dilakukan sistem kontrol terhadap daftar tunggu

dengan mengklasifikasi keaktifan pasien, pengobatan, prioritas bahkan

kecenderungan pasien untuk melanggar target waktu tunggu. Tulisan ini

memberikan wawasan tentang kerumitan mengelolah sistem daftar tunggu.

Tulisan berjudul ” A fatal wait: Veterans languish and die on a VA

hospital's secret list” dalam warta berita CNN (www.cnn.com) mengungkap

kematian beberapa veteran sebgai pasien daftar tunggu. Rumah sakit lazimnya

menetapkan batasan waktu 14 sampai dengan 30 hari tunggu, namun sistem

tersebut gagal memenuhi tanggung jawabnya sehingga akhirnya memakan korban.

Tulisan ini mengungkap kecenderungan adanya tindak kecurangan yang

dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi

dalam penerapan sistem daftar tunggu.

Objek materi dari penelitian ini adalah sistem daftar tunggu dalam

pengelolaan haji. Yang menjadi tekanan pada penelitian ini adalah bentuk-bentuk

politik negara dalam konteks penerapan sistem daftar tunggu dalam pengelolaan

haji. Dengan objek materi serta lokus dan fokus penelitian yang secara essensial

berbeda dengan kajian-kajian yang terdahulu maka tesis ini berharap mampu

memberikan sebuah sumbangan pemikiran dalam khazanah kajian budaya.

2.2 Konsep

2.2. 1 Politik Negara

Secara etimologis kata politik berasal dari kata bahasa Yunanai yaitu polis

yang berarti kota atau negara. Jadi politik adalah hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik juga merupakan kegiatan yang

Page 15: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

15

diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

Dalam konsepsi klasik Plato dan Aristoteles politik digambarkan sebagai usaha

yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Rapar, 2001).

“Kehidupan yang baik” menjadi raison d’etre dari semua organisasi politik atau

polis untuk menjamin kehidupan semua warga negara. Secara aktuil politik

berkaitan dengan masalah-masalah sehari-hari dalam pemerintahan dan

mengingatkan orang akan partai politik (Isjwara, 1999: 23). Senada dengan ini

dalam konteks Indonesia politik menurut Pilliang (dalam Pito, 2006: 10 ) adalah

seputar aktivitas partai-partai politik. Lebih jauh menurut Pilliang akibat sistem

multipartai di Indonesia kinerja pemerintah dalam pelaksanaan program-program

tidak maksimal.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui Kemenag

berasal dari proses politik. Kemenag menjadi tangan negara untuk mengurus

masalah-masalah terkait haji. Dilain pihak, partai politik yang menguasai

Kemenag juga dicurigai menjalankan agenda politik partainya. Negara secara

eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008: 13). Dengan

demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya,

merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada di atas

masyarakat. Politik negara dalam penelitian ini adalah segala sesuatu tentang

proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik yang menyangkut

pengelolaan haji. Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut negara

memiliki kekuasaan yang sangat kuat untuk memaksakan kebijakan tersebut

diterima oleh masyarakat.

Page 16: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

16

2.2.2 Penyelenggaraan Ibadah Haji

Haji menurut pengertian bahasa berarti sengaja dan ziarah yaitu sengaja

menzirahi Baitullah untuk menunaikan ibadah (Muhammad: 94). Haji menurut

Hanafi (dalam Simogaki, 2013:21) adalah sebuah peristiwa yang dilakukan oleh

umat Muslim setiap tahun dalam rangka mengkaji masalah-masalah penting

mereka. Secara esensial ibadah haji ialah melakukan napak tilas pengalaman nabi

Ibrahim, Hajar dan Ismail (Hidayat, dalam Madjid, 2001:426). Haji maupun

umroh disebut juga istitha’ah sebuah konsep yang bermakna kemampuan atau

kesanggupan. Bila diperjelas haji adalah sebuah tindakan melaksanakan perintah

agama karena pribadinya mampu secara langsung atau dengan bantuan orang

lain. Dalam pengertian theologi Islam haji sebagai salah satu ibadah yang menjadi

rukun Islam kelima, hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi setiap orang

Islam yang memenuhi syarat untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah. Ibadah

haji dalam masa-masa tertentu dan ditempat tertentu pula. Ibadah ini dilakukan

dengan niat iklas tanpa pakaian yang terjahit, perhiasan dan barang-barang yang

mewah.

Menurut Mu‟ti (2004: 37) haji dalam konteks Indonesia memiliki dua

pengertian, yang pertama berarti ibadah yang merupakan rukun Islam kelima,

yang kedua berarti orang yang telah menunaikan haji, sehingga gelar haji

disematkan di depan nama asli. Gelar haji diberikan oleh pemerintah Belanda

sebagai bagian dari politik devide et impera. Dalam perkembangannya Haji

menjadi komunitas elit terlebih setelah berdirinya organisasi formal Ikatan

Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang mewadai anggota masyarakat yang

sudah menunaikan haji di setiap provinsi. Haji menjadi sumber elitisme religious

Page 17: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

17

karena dipandang telah mencapai kesempurnaan menunaikan rukun Islam. Secara

politik kultural haji juga menjadi sumber elitisme baru karena tokoh-tokohnya

membawa gerakan perubahan dan pembaharuan Islam. Gelar “Haji” membawa

konsekuensi politik karena untuk mendapatkan gelar tersebut dibutuhkan modal

keagamaan dan modal ekonomi.

Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah serangkaian proses yang dilakukan

oleh CJH yang difasilitasi oleh Kemenag, mulai dari proses mendaftar di kantor

Kemenag kabupaten kota domisili sampai pada keberangkatan serta kepulangan

jemaah dari ibadah haji ke tanah air. Berdasarkan UU No 13 pasal 2 ayat 1

penyelenggaraan ibadah haji mencakup kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan.

Proses awalnya dimulai ketika CJH mendaftar kan diri mereka dengan

menyetorkan dana deposit awal sebesar Rp. 25.000.000,- untuk mendapatkan

nomor porsi atau nomor antrean. Jumlah tabungan yang telah diperoleh porsi

dinyatakan sah telah ditransfer kerekening menteri agama, kemudian melapor

pada kantor Kemenag kabupaten kota dengan menyerahkan tanda bukti setoran

BPIH Kemenag melakukan proses inputan dan melakukan rekapitulasi terhadap

data CJH, bila jumlah kuota provinsi dipenuhi maka Kemenag provinsi

mengumumkan nomor porsi yang akan diberangkatkan. Penentuan keberangkatan

pada tahun berjalan mengacu pada kuota nasional dan porsi provinsi dan

dialokasikan melalui keputusan Kemenag.

2.2.3 Sistem Daftar Tunggu Haji.

Sistem daftar tunggu atau waiting list dalam ilmu menejemen disebut juga

sistem antrean. A.K. Erlang (1910) dalam bukunya “Solution of Some Problem in

the Theory of Probability of Significance in Automatic Telephone Exchange”

Page 18: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

18

berpendapat bahwa setiap masalah antrian melibatkan kedatangan, misalnya

orang, mobil, atau panggilan telepon untuk dilayani. Kedatangan ini sering

dinamakan proses input. Proses input meliputi sumber kedatangan atau biasa

dinamakan calling population dan cara terjadinya. Kedatangan pada umumnya

merupakan proses random. Menurutnya antrean tidak diperuntukkan untuk

kegiatan yang melebihi batas waktu minggu, bulanan, tahunan ataupun puluhan

tahun.

Sistem tata kelola haji berdasarkan daftar tunggu merupakan sistem

pengelolaan keberangkatan haji berdasarkan antrean. Berdasarkan surat keputusan

Dirjen Bimbingan masyarakat (bimas) Islam dan Penyelenggaraan Haji

disebutkan bahwa daftar tunggu adalah daftar CJH yang telah mendapatkan porsi

tetapi tidak masuk dalam daftar yang diberangkatkan pada tahun berjalan.

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Teori Wacana Kuasa Pengetahuan Michel Foucault

Teori ini memandang bahwa kekuasaan menyangkut ide-ide tentang

wacana atau diskursus. Kekuasaan selalu melekat dengan diskursus khususnya

diskursus pengetahuan sebagai sumber kuasa dan kuasa itu sendiri. Menurut

Foucault kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama

siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Foucault dalam

Parchiano, 2007: 177). Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk

meraih kekuasaan melalui proses definisi dan eksklusi dan formasi diskursif

tertentu. Dengan diskursus sebuah institusi memiliki otoritas untuk

mendefinisikan ‟kebenaran‟ tentang suatu topik. Dalam hubungan diskursus dengan

Page 19: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

19

relasi kuasa menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (2007),

kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan

kekuasaan secara produktif. Pengetahuan dipandang sebagai dampak dari

hubungan kekuasaan-pengetahuan (relasional) dan perubahan-perubahannya

dalam sejarah.

Foucault membongkar motivasi bagaimana orang-orang mengatur atau

meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan menciptakan klaim

kebenaran yakni sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk,

indah-jelek, dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Kuasa menjelma ke dalam

pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap orang

melalui kebudayaan yang memikat, nilai-nilai yang memukau, dan kebijakan-

kebijakan yang baik. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak

bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak

bekerja secara negatif dan represif, tetapi melainkan dengan cara positif dan

produktif.

Kemenag adalah institusi resmi negara yang membidangi bimbingan

masyarakat dalam keagamaan. Sebagai pemegang kuasa formal dalam agama,

kementrian agama didukung oleh tokoh agama yang juga mungkin bagian dari

depattemen ini. Mereka-mereka ini adalah pemegang kuasa pengetahuan dalam

keagamaan. Sejak awal Kemenag didirikan sebagai sebuah proses politik yang

mengakomodasi keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Partai politik

berbasis agama tentunya menganggap posisi Kemenag bersifat strategis sehingga

lembaga ini menjadi arena kontestasi. Posisi menteri dalam Kemenag dengan

demikian adalah elit-elit partai yang memenangkan pertarungan. Dengan

Page 20: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

20

demikian setiap kebijakan juga sedapat mungkin adalah pengejahtawanan visi dan

misi partai yang berkuasa.

Teori wacana kuasa pengetahuan Michel Foucault digunakan untuk

menganalisis pertanyaan penelitian mengenai bentuk dan faktor penyebab dalam

politik negara dalam kebijakan penyelenggaraan haji pada bab 5 dan bab 6.

2.3.2 Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser

Teori ISA mengarah pada ideologi yang masuk ke dalam setiap kehidupan

manusia. Ideologi ini terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum,

keluarga, politik, komunikasi, serta moralitas (Bertens, 2002: 197). Teori ini

menganalisis hubungan antara pemilik kuasa ideologis dalam hal ini pemerintah,

Kemenag dan partai politik dan sasaran ideologis yaitu calon jemaah haji.

Menurut Althusser, Ideologi memiliki kemampuan untuk melancarkan kekuasaan

dan pengaruh dengan caranya sendiri terhadap basis ekonomi dan arah

perkembangan perubahan sosial (Takwin, 2009: 83-84). Negara menjalankan

ideologinya melalui dua cara; yang pertama Repressive State Apparatus (RSA)

bekerja dengan cara represif dengan memakai kekerasan melalui apparatus/alat

negara seperti polisi, militer, pengadilan, penjara. Termasuk juga

penculikan/penangkapan para aktivis. Yang kedua Ideological State Apparatus

(ISA) bekerja dengan cara persuasif „memasukkan‟ ideologi kepada individu

melalui pendidikan (sekolah), agama, media, keluarga, industri budaya, dan

sebagainya. Pada rezim Orde Baru kedua cara ini digunakan. Bentuk ideologi ISA

merupakan ideologi yang dipakai negara untuk memperkuat represi dan

penindasan terhadap rakyat. Piranti yang ideologis ini dibedakan dari piranti

Page 21: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

21

negara yang bersifat fisikal, Ideological State Apparatus tampil dalam bentuk

institusi pendidikan, keagamaan, penataran-penataran, film yang dibuat negara,

acara televisi dan sebagainya. Ideological state apparatus bisa berkembang

setelah ada piranti yang bersifat fisikal dan sering digunakan untuk

melanggengkan penindasan fisik (Takwin, 2009: 85).

Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser dalam

penelitian ini menganalisis bentuk dan faktor penyebab dalam politik negara

dalam penyelenggaraan haji.

2.3.3 Teori Strukturasi Giddens

Teori strukturasi mengajarkan konsep tentang aktor (agency) yang

memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan

sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-

struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada

sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya

(resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara

rekursif sebagai sifat-sifat sosial. Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa

kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan

sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)). Kita mengenal keadaran

praktis dan diskursif serta keadaan tidak sadar. Kesadaran praktis sendiri terdiri

atas semua hal yang aktor-aktor mengetahui secara diam-diam tanpa dapat

memberi mereka pernyataan diskursif secara langsung. Jadi apa yang aktor

ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari

tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara

diskursif. Sementara itu, kesadaran diskursif (diskursive conciousnes) berarti

Page 22: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

22

kemampuan meletakkan sesuatu dalam kata-kata. apa yang mampu dikatakan atau

diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya

tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu

kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. Sedangkan tidak

sadar (unconciousnes) dalam konteks teori psikoanalisis memiliki referensi pada

lawan dari kesadaran diskursif atau memiliki pengertian sebagai tidak dapat

memberikan ungkapan verbal pada ketepatan tindakan. Motif atau kognisi tak

sadar (unconscious motives/cognition lebih merujuk ke potensial bagi tindakan,

ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki

kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang

menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari

tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.

Rezim penguasa memamfaatkan struktur yang sudah terbangun melalui

kehidupan beragama sehari-hari masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap agama

juga ditunjukkan kepada pemimpin-pemimpin keagamaan karena dipandang

memiliki kesalehan dan teladan yang baik. Aktor-penguasa dalam Kemenag

dalam hal ini memiliki posisi yang sama dengan tokoh agama, sehingga lebih

mudah mengendalikan dan menuntut ketaatan masyarakat.

Teori Strukturasi Giddens dalam penelitian ini sebagai alat analisis yang

akan menjawab masalah penilitian tentang bentuk dan makna politik negara dalam

penyelenggaraan haji melalui sistem daftar tunggu Hasil analisis dijelaskan dalam

bab 5 dan bab 7.

Page 23: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

23

2.3.4 Teori Praksis Bordieu

Dalam rumusan Bordieu praktik kekuasaan terjadi apabila penguasa modal

(budaya, ekonomi, pendidikan, dan religi) yang berinteraksi dengan habitus dan

ranah. Atau kalau diformulasikan secara matematis; Praktik = (Habitus x

Modal) + Ranah. Habitus diterjemahkan sebagai kebiasaan (habitual), penampilan

diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan

kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan

bagi substansi tertentu. Menurut Ritzer (2009), yang menguraikan konsep habitus

Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat” (common sense)

yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia,

jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi merupakan

fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial,

namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya

tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. Ranah atau arena

(field) adalah pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal,

seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Ranah lebih befokus pada

relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi

merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah.

Dalam penelitian ini pemerintah (partai politik) memiliki modal politik

yang memberikan kekuasaannya melalui legitimasi pemilihan umum. Kemenag

sebagai bagian dari kekuasaan sendiri memiliki modal politik budaya sebagai

institusi formal yang mengatur agama dan kepercayaan masyarakat.

Teori praksis Bordieu digunakan untuk menjawab masalah penelitian

tentang faktor penyebab, dan makna politik negara dalam peyelenggaraan haji.

Page 24: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

24

2.3 Model Penelitian

*Keterangan

: hubungan langsung : variabel penelitian

: hubungan timbal balik : fokus kajian

Penjelasan Model Penelitian

Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 1999 dan Undang-undang No.

13 tahun 2008, pemerintah menjadi atau bertindak sebagai regulator sekaligus

operator dan eksekutor pengelolahan haji dan umroh. Negara dalam hal ini

diwakili oleh Kemenag merupakan bagian dari sebuah rezim pemerintahan yang

Politik Negara dalam

Kebijakan Daftar

Tunggu Haji

di Kota Denpasar

NEGARA

Kemenag

Umat / Calon

Jemaah Haji

*UU no 17/ 1999

*UU no 13/2008

* Pemberangkatan

* Keadilan

Bentuk Faktor-Faktor Makna

Peyelenggaraan

Haji dan Umroh

Nasional

Page 25: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

25

terpilih melalui mekanisme atau proses politik. Dengan demikian ada partai

politik yang melatarbelakangi setiap kebijakan sebuah rezim yang berkuasa.

Jumlah calon jemaah haji Indonesia termasuk yang terbesar. Tetapi tidak

semua CJH dapat diberangkatkan karena adanya batasan kuota yang diterapkan

oleh negara tujuan haji. Sebagai sebuah solusi, pemerintah sebagai pelaksana

pengelolaan haji menerapkan sistem daftar tunggu untuk menggilir CJH berangkat

haji. Selama ini masyarakat merasakan adanya ketidakadilan dalam penerapan

sistem daftar tunggu ini. Negara sebagai satu-satunya pihak yang memonopoli

regulasi dan operasional haji merupakan sebuah bentuk arogansi kekuasaan.

Penelitian ini menganalisis bentuk-bentuk politik negara, faktor penyebab dan

makna yang terungkap dibalik pengelolahaan haji melalui sistem daftar tunggu.

Page 26: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini dibuat berdasarkan permasalahan penelitian

yakni menjelaskan bentuk hubungan negara dengan umat atau calon jemaah haji

dalam bentuk pengelolaan haji yang menampilkan wajah kekuasaan pemerintah.

Sebagai bagian dari penelitian humaniora dan sosial keagamaan Assegaf

(2007:17) berpendapat bahwa penelitian ini mencakup rangkaian peristiwa,

institusi, organisasi, dan pola prilaku dalam kehidupan umat Islam, wilayahnya

bersifat aktual, empiris, dan deskriptif yang menekankan perhatiaannya pada

agama sebagai sistem atau sistem keagamaan sedang sasarannya adalah “agama

sebagai gejala sosial”. Walaupun terkait dengan isu-isu sosial keagamaan,

penelitian ini tidak termasuk dalam katagori penelitian agama, karena penelitian

agama menggunakan objek material prilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh

kepercayaan agamanya dan kepercayaan agama yang dipengaruhi oleh

pertumbuhan masyarakat (Sumardi,1982:53). Kajian ini berdasarkan keadaan di

lapangan (field research) oleh karena itu menuruti kaidah-kaidah teori sosial

secara umum.

Alat analisis yang dikembangkan adalah alat analisis yang umum

digunakan dalam kajian budaya yang bersifat bersifat “eklektif”: dekonstruktif,

analitis-interpretatif, dan intuitif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen

(1992) lebih memperhatikan proses dari pada produk. Hal ini disebabkan oleh

cara peneliti mengumpulkan dan memaknai data, setting atau hubungan antar

Page 27: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

27

bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.

Data yang dikumpulkan lebih banyak kata-kata atau gambar-gambar daripada

angka. Penelitian kualitatif mencoba menganalisis data secara induktif. Peneliti

tidak mencari data untuk membuktikan hipotesis yang mereka susun sebelum

mulai penelitian, namun untuk menyusun abstraksi. Selain itu penelitian kualitatif

lebih menitikberatkan pada makna bukan sekadar perilaku yang tampak.

Fokus penelitian ini adalah menjelaskan politik negara, sikap pengambil

keputusan dan pengelolah operasional pengelolaan haji Indonesia. Manejerial haji

masih jauh dari harapan. Kepuasan masyarakat tak kunjung dapat diwujudkan

selama sistem pelayanan haji bertumpu pada sistem daftar tunggu. Karena itu

objek material dari penelitian ini adalah penyelenggaraan haji dimana kajiannya

memfokuskan pada kebijakan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji. Sebagai

objek formalnya adalah cara pandang terhadap objek material tersebut (Bakhtiar,

2007:1), yakni pendekatan deduktif dalam perspektif teori-teori kritis terhadap

permasalahan penelitian (objek material).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga perhimpunan haji dan umroh

di kota denpasar, kelompok pengajian dan kantong-kantong masyarakat muslim

di Kota Denpasar. Data yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu dan

dicocokkan dengan informasi yang tersedia di bimas haji dan umroh kantor dinas

kementrian agama Kota Denpasar.

Penentuan lokasi penelitian ini mempertimbangkan beberapa hal

diantaranya adalah Kota Denpasar secara administratif merupakan pusat berbagai

Page 28: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

28

pengambilan keputusan pada tingkat provinsi Bali, dan secara demografi jumlah

jemaah haji dan calon jemaah haji terbesar seprovinsi Bali berada di Kota

Denpasar. Selain itu Kota Denpasar dianggap memiliki tingkat heterogenitas yang

tinggi sehingga sumber data yang akan diperoleh mewakili keberagaman latar

belakang sosial budaya dari informan. Kota Denpasar juga memberikan

kemudahan akses untuk memperoleh baik data primer dan sekunder mengingat

fasilitas yang ada masih lebih baik dari pada daerah kabupaten se Bali lainnya.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data kualitatif dan data

kuantitatif dengan sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Data dan

informasi yang diperoleh akan membantu dalam keakuratan penulisan.

3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif

dan data kuantitatif. Data kualitatif didapatkan langsung dari sumber primer

(informan), merupakan data yang berupa keterangan-keterangan didapatkan

dengan rinci yaitu gambaran umum lokasi penelitian, serta partisipasi dan aspirasi

yang berhubungan dengan pengelolaan haji di Kota Denpasar. Data kuantitatif

adalah data yang berbentuk angka-angka berupa tabulasi sederhana berisikan

informasi yang mendukung dan memberi penjelasan yang lebih mendetail dan

lengkap. Data kuantitatif sederhanan ini hanya membutuhkan intepretasi tanpa

pengolahan matematis statistik.

Page 29: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

29

3.3.2 Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber sebagai

berikut :

1. Data primer yang diperoleh secara langsung dari narasumber. Adapun

yang menjadi informan dan responden dalam penelitian antara lain calon

jemaah haji, anggota persaudaraan haji dan masyarakat umum sebagai

responden sambil lalu.

2. Data sekunder data diperoleh dari sumber-sumber lain yang menunjang

penelitian ini yang bukan merupakan pihak pertama. Sumber data

sekunder dapat diperoleh dari sumber kepustakaan, hasil riset maupun

jurnal, majalah, laporan statistik, foto, arsip dan media massa online dan

cetak.

3.4 Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini adalah upaya mencari

narasumber yang tepat dan memiliki informasi yang dibutuhkan. Subjek

penelitian, responden penelitian, dan informan (narasumber) penelitian merespon

atau menanggapi pertanyaan yang mana mereka (subjeknya) adalah si pemilik

“sesuatu” yang akan diteliti. Jadi teknik penentuan informan yang digunakan

adalah teknik purposive yakni peniliti dengan sengaja memilih narasumber sesuai

dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Sugiyono (2009:221), penentuan

sampel atau informan dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan

informasi yang maksimum, karena itu orang yang dijadikan sampel atau informan

sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

Page 30: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

30

1. Mereka menguasai atau memahami permasalahan haji di Denpasar,

2. Mereka sedang berkecimpung atau terlibat dalam organisasi atau institusi

pengelolaan haji.

3. Mereka adalah calon jemaah haji dan umroh atau anggota atau pengurus

persaudaraan haji.

4. Mereka mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai.

Selain itu untuk mendapatkan data yang menyeluruh, peneliti juga

melengkapi informasi yang berasal dari informan sambil lalu. Riduwan (2007:62)

mengatakan siapa saja yang ditemui peneliti asalkan mereka memiliki

karakteristik yang sama maka orang tersebut dapat digunakan sebagai responden.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, instrumen yang utama adalah peneliti sendiri

(Bogdan dan Biklen,1992). Dalam penelitian kualitatatif fungsi peneliti adalah

melihat langsung, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi pada subjek yang

ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laut memahami makna-makna

apa saja yang tersembunyi di balik realita yang kasat mata (verstehen). Selain itu

peneliti juga melakukan pengumpulan data, menganalisanya, melakukan refleksi

secara terus menerus, dan secara gradual membangun pemahaman yang tuntas

tentang sesuatu hal.

Selain peneliti sebagai instrumen penelitian utama, penelitian

membutuhkan alat bantu pendukung berupa pedoman wawancara untuk

mendapatkan gambaran menyeluruh tentang sistem daftar tunggu dalam

pengelolaan haji. Penelitian juga membutuhkan beberapa alat bantu dokumentasi

Page 31: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

31

berupa kamera untuk merekam gambar-gambar data yang dibutuhkan baik berupa

perekam audiovisual dan alat tulis menulis untuk melakukan pencatatan.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Kholil (2006) mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan

dalam proses pengumpulan data kualitatif, yaitu (1) Meringkaskan data hasil

kontak dengan sumber, (2) Pengkodean dengan menggunakan simbol atau

ringkasan, (3) Pembuatan catatan objektif, klasifikasi dan mengedit data, (4)

Membuat catatan reflektif, (5) Membuat catatan marginal untuk komentar, (6)

Penyimpanan data, (7) Membuat analisis dalam proses pengumpulan data, (8)

Analisis antar lokasi.

Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan

penelitian ini, maka dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti

berikut :

1. Observasi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan yaitu

menemukan bentuk politik negara dan dampaknya yang dirasakan umat dalam

pengelolaan haji khususnya melalui sistem daftar tunggu Dalam melakukan

pengamatan, peneliti berperan sebagai pengamat partisipatif, yaitu terlibat dalam

kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai

sumber data penelitian (Sugiyono, 2009:145).

2. Wawancara Mendalam

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah

wawancara mendalam (in-depth interview) dengan cara tanya jawab sambil

Page 32: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

32

bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara..

Hal ini dilakukan untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitia

mendapatkan informasi yang lengkap dan menyeluruh. Daftar pertanyaan dibuat

sebagai alat bantu dalam pengumpulan data baik data kualitatif maupun kuantitatif

(Daniel, 2005:135).

3. Dokumentasi

Metode dokumen adalah pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis atau

dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni

dan karya pikir (Satori & Komariah, 2009:148). Dokumentasi disini adalah

mengumpulkan data terkait dengan penyelenggaraan haji dengan mengambil

beberapa dokumen sekarang atau catatan terdahulu.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai

mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting

atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut

pada upaya menjawab fokus penelitian. Menurut Sugiyono (2009:244) analisis

data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga

mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam

penelitian ini digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif

kualitatif yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang

Page 33: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

33

diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna. Langkah-langkahnya adalah

reduksi data, penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan

kesimpulan. Lewat data akan diperoleh informasi yang lebih bermakna. Untuk

bisa menentukan kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian

mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan

expertise peneliti.

Langkah terakhir dalam penelitian adalah mengambil kesimpulan secara

induktif, yaitu berdasarkan informasi atau data yang diperoleh dari berbagai

sumber yang bersifat khusus dan individual, diambil kesimpulan yang bersifat

umum atau general.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian

Hasil dari data yang telah dianalisis akan disajikan secara formal, dalam

bentuk gambaran yang jelas dan mendalam tentang penelitian dalam bentuk

bagan, tabel, dan gambar, maupun informal dalam bentuk narasi dan interpretasi,

sesuai dengan teori dan kerangka pikir sehingga dalam penyajiannya akan

didapatkan hasil yang akurat dan jelas tentang penelitan yang dilakukan.

Hasil analisis data disajikan secara deskriptif, artinya hasil analisis

dipaparkan sebagaimana adanya dan pada bagian tertentu diinterpretasikan sesuai

dengan teori dan kerangka pikiran yang berlaku umum. Dengan penyajian secara

formal dan informal dengan demikan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas

dan mendalam tentang penelitian yang dilakukan.

Page 34: politik negara dalam kebijakan daftar tunggu haji di kota denpasar

34

3.9 Kendala Penelitian

Penelitian ini membutuhkan informan yang berasal dari kader partai

poltik, pengurus partai dan bahkan meduduki jabatan tertentu dalam kepengurusan

partai di Bali khususnya di Kota Denpasar. Hal ini sekaligus menjadi sebuah

peluang dan tantangan karena sikap kehati-hatian yang ditunjukkan oleh informan

dalam memberikan informasi. Kendala ini menyebabkan peneliti sulit

mendapatkan konfirmasi yang tegas terhadap sebuah isu dan transparasi data.

Disamping itu peneliti berusaha keras untuk mendapatkan jawaban dari

informan yang dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan sensitif. Informan selalu

berusaha untuk menghindar atau mengalihkan jawaban, atau menjawab dengan

jawaban diplomatis dan abu-abu.