128

POLITIK HUKUM - UNISSULA

  • Upload
    others

  • View
    21

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: POLITIK HUKUM - UNISSULA
Page 2: POLITIK HUKUM - UNISSULA

ii

POLITIK HUKUM DI BIDANG PERTANAHAN

Umar Ma’ruf, S.H., Sp.N., M.Hum.

Penerbit:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang

Page 3: POLITIK HUKUM - UNISSULA

iii

ISBN: 978-979-704-879-2 POLITIK HUKUM DI BIDANG PERTANAHAN Oleh: Umar Ma’ruf, S.H., Sp.N., M.Hum. 14 x 21; viii + 118 Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Diponegoro Jln. Prof. Soedarto, S.H. Tembalang Semarang Design sampul dan tata letak: Sumain Cetakan Pertama Januari 2010 All Rights Reserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Page 4: POLITIK HUKUM - UNISSULA

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur milik Allah SWT dan hanya kepada-Nyalah kita patut bersyukur. Sungguh penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kemampuan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan buku yang sederhana ini.

Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terperinci, dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.

Politik hukum di bidang pertanahan mula pertama bisa kita lacak di dalam konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengaturan mengenai tanah dilandaskan pada tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain adalah ”memajukan kesejahteraan umum”.

Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum itu, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya dilakukan dan terangkum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menegaskan

Page 5: POLITIK HUKUM - UNISSULA

v

kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Dari sini jelas terlihat politik hukum di bidang pertanahan dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berlandaskan dua hal yang disebut, maka tanah dikuasai oleh negara.

Dalam buku ini di samping menjelaskan apa itu politik hukum, pembaca juga akan diperlihatkan tentang politik hukum pertanahan, politik hukum kewenangan pertanahan, politik hukum peralihan hak atas tanah dan politik hukum jaminan atas tanah.

Buku Politik Hukum di Bidang Pertanahan ini dimaksudkan sebagai bahan bacaan yang diharapkan bisa menambah khasanah literatur di bidang hukum agraria, sehingga bisa dipakai sebagai referensi khususnya di kalangan mahasiswa hukum dan peminat masalah hukum.

Pada kesempatan ini kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih atas semua perhatian dan bantuannya sehingga penulis bisa menulis buku ini. Tak lupa teristimewa kepada istriku Hj. Yuli Wahyuningsih, SH., dan anak-anak penulis: Fahmi Firdaus Rufliansah, Rafi Madani, Najma Madina Firdausi dan si kecil Visitia Firdausi, terima kasih atas do’a, perhatian, harapan, cinta dan kasihnya selama ini dan mendatang. Kepada Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, sungguh penulis berterima kasih atas kesediaannya menerbitkan buku ini sehingga bisa hadir di tangan para pembaca sekalian.

Page 6: POLITIK HUKUM - UNISSULA

vi

Akhirnya kritik dan saran penulis terima demi kesempurnaan buku ini, dan harapan penulis semoga buku ini bermanfaat. Amiin Semarang, Januari 2010

Salam Penulis

Page 7: POLITIK HUKUM - UNISSULA

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................... ii Daftar Isi ......................................................................... vii BAB I : POLITIK HUKUM ........................................... 1 A. Pengertian Politik Hukum Secara Umum ............ 1 B. Politik Hukum Nasional ......................................... 8 C. Politik Hukum Otonomi Daerah ............................ 12 BAB II : POLITIK HUKUM PERTANAHAN ........................................................... 18 A. Hubungan Manusia Indonesia dan Tanah ........... 18 B. Politik Hukum Pertanahan Menurut UUD 1945 .... 23 C. Politik Hukum Pertanahan Menurut UUPA ........... 25 BAB III : POLITIK HUKUM KEWENANGAN PERTANAHAN ............................... 42 A. Formulasi Politik Hukum Kewenangan Pertanahan 42 B. Pembagian Kewenangan Pertanahan ................. 67

1. Kewenangan Pertanahan Pemerintah(Pusat) 67 2. Kewenangan Pertanahan Pemerintah Provinsi 71 3. Kewenangan Pertanahan Pemerintahan Kabupaten/Kota ...................... 74

C. Bentuk Kewenangan Pertanahan yang Tepat yang Bisa Diberikan oleh Pemerintah Kepada Pemerintahan Daerah ............................. 79

Page 8: POLITIK HUKUM - UNISSULA

viii

BAB IV : POLITIK HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH .............................. 85 A. Pendahuluan ....................................................... 85 B. Jual Beli Tanah .................................................... 89 C. Tukar Menukar Tanah .......................................... 90 D. Hibah Tanah ........................................................ 90 E. Hibah Wasiat Tanah ............................................ 91 F. Lelang Tanah ...................................................... 92 BAB V : POLITIK HUKUM JAMINAN ATAS TANAH 93 A. Pendahuluan ........................................................ 93 B. Hak Jaminan Atas Tanah Pada Masa Sebelum Keluarnya UUPA ................................... 94

1. Jenis-Jenis Hak Jaminan Atas Tanah pada Masa Kolonial Belanda ......................... 94 2. Keistimewaan Hipotheek dan Creditverband . 96

C. Hak Jaminan Atas Tanah Masa 1960-1996 .......... 99 D. Hak Jaminan Tanah Menurut UUHT ..................... 102

1. Pengertian Hak Tanggungan ......................... 102 2. Asas-Asas Hak Tanggungan ......................... 102 3. Obyek Hak Tanggungan ............................... 106 4. Proses Pembebanan Hak Tanggungan ......... 107 5. Hapusnya Hak Tanggungan ......................... 110 6. Eksekusi Hak Tanggungan ............................ 111 7. Pencatatan Hapusnya Hak Tanggungan ....... 111

DAFTAR PUSTAKA

Page 9: POLITIK HUKUM - UNISSULA

1

BAB I

POLITIK HUKUM

A. Pengertian Politik Hukum Secara Umum

Satjipto Rahardjo1 mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sebagai seorang yang mendalami sosiologi hukum, tidaklah mengherankan apabila Satjipto Rahardjo lebih menitikberatkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa politik hukum digunakan untuk mencapai suatu tujuan sosial dan bukan hukum tertentu dalam masyarakat.

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu : 1). tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; 2). cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; 3). kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan 4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu kita proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.2

1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung,

1991, hlmn. 352. 2 Ibid., hlmn. 352-353

Page 10: POLITIK HUKUM - UNISSULA

2

Pakar hukum (hukum Pidana) dari Undip lainnya yaitu Soedarto dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana, menyatakan: politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.3 Dengan bahasa yang lain Soedarto juga memberikan pengertian politik hukum sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4

Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto di atas mencakup pengertian yang sangat luas. Pernyataan ”mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat” bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di luar hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. Hal ini dapat disepadankan dengan apa yang dikatakan oleh Gustav Radbruch yaitu: ”Law is a creation of man, ... a view of human creations that is blind to purposes, that is, to values, is imposible: so, then, is a value-blind view of the law or of any single legal phenomenon.”5 Sedangkan pernyataan ”untuk mencapai apa yang dicita-citakan” memberikan pengertian bahwa politik hukum berkaitan dengan hukum

3 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986,

hlmn. 151. 4 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian

terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung, 1983, hlmn. 20. 5 Gustav Radbruch, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., “The

Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin”, Harvard University Press, Cambridge, 1950, hlmn. 51-52.

Page 11: POLITIK HUKUM - UNISSULA

3

yang dicita-citakan (ius constituendum).6 Dari dua definisi yang diberikannya, Soedarto memposisikan politik hukum sebagai suatu tindakan untuk merumuskan konsep hukum yang baik pada sebelum dan atau saat dibuatnya suatu aturan hukum.

Padmo Wahjono7 mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang berjudul ”Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.8

Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan, arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).9

6 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik

Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlmn. 28. 7 Padmo Wahjono, Indonesia negara berdasarkan atas hukum,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlmn. 160. 8 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op. Cit., Hlmn. 26. 9 Op.Cit., hlmn. 26-27.

Page 12: POLITIK HUKUM - UNISSULA

4

Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul ”Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional ” mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Pernyataan ”mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya” mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan ”mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definisi politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.10

Berbeda dengan para pendahulunya, Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional sebenarnya tidak pernah menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum. Namun, itu bukan berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Pernyataan ”menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa

10 Op.Cit., hlmn. 27

Page 13: POLITIK HUKUM - UNISSULA

5

kerangka kerja politik hukum menurut Sunaryati Hartonolebih menitikberatkan pada dimensi hukum yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.11

Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam sebuah makalahnya berjudul ”Politik Hukum Nasional” yang disampaikan pada Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu). Menurut Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi : (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pngambil kebijakan.12

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara tersebut, Moh. Mahfud menyatakan politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan

11 Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit, hlmn. 30. 12 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op. Cit., hlmn. 30-31;

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Cet. II., Jakarta, 2001, hlmn. 9.

Page 14: POLITIK HUKUM - UNISSULA

6

kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.13 Atau dalam bahasa lain yang lebih lugas bagi Mahfudz14 politik hukum adalah legal Policy atau arah hukum yang diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini menurut Mahfudz, politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan system itu terkandung di dalam Pembkaan UUD 1945, khususnya Pancasila yan melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum. Program Legislasi nasional (Prolegnas) dapat disebut sebagai contoh politik hukum, tetapi ia hanya bagian dari ilmu politik hukum. Pemberian definisi seperti itu mengenai politik hukum oleh Mahfudz dimaksudkan untuk membedakan politik hukum dengan ilmu atau studi politik hukum. Bagi Mahfudz15 ilmu atau studi politik hukum bukan hanya menyangkut police atau arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan melainkan menyangkut juga berbagai hal yang terkait arah resmi tersebut, misalnya politik apa yang melatarbelakangi, budaya hukum apa yang melingkupi, dan problema penegakan macam apa yang dihadapi. Berbeda dengan politik hukum, ilmu politik hukum itu membedah semua unsur dalam sistem hukum yang unsur-unsur utamanya oleh Friedman16 dikelompokkan

13 Ibid., hlmn. 9. 14 Moh. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan

Konstitusi, LP3ES Jakarta, Edisi Revisi 2006, Hlmn. 5 15 Ibid 16 Lawrence M Friedman, A History of American Law, Simon and

Schutser, New York, 1973; juga dalam Lawrence M. Friedman, American Law: an Introduction, WW Norton and Company, New York, 1984.

Page 15: POLITIK HUKUM - UNISSULA

7

menjadi tiga unsur besar, yaitu materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari17 definisi politik hukum dari Garuda Nusantara di atas merupakan definisi politik hukum yang paling komprehensif di antara definisi-definisi politik hukum yang dipaparkan sebelumnya. Ini disebabkan karena ia menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik hukum yang meliputi: pertama, teritorial berlakunya politik hukum dan kedua, proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum. Lebih dari itu ia menekankan pula pada pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli sebelumnya.

Berdasarkan elaborasi ragam definisi politik hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan disini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terperinci, dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan negara yang

17 Op. Cit., hlmn. 31

Page 16: POLITIK HUKUM - UNISSULA

8

dicita-citakan.18

Dengan nada yang sloganistik, Bagir Manan19 berpendapat tiada negara tanpa politik hukum. Politik hukum ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang temporer. Politik hukum yang tetap, berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum.

B. Politik Hukum Nasional

Politik hukum satu negara berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (world -view), sosio-kultural, dan political will dari masing-masing pemerintah. Dengan kata lain, politik hukum bersifat lokal dan partikular (hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia). Namun, ini bukan berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan realitas dan politik hukum internasional. Mengutip Sunaryati Hartono,20 faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi, atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara

18 Loc. Cit., hlmn. 32. 19 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit

Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Cet.IV Juni 2005, hlmn. 179.

20 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlmn. 1

Page 17: POLITIK HUKUM - UNISSULA

9

serta perkembangan hukum internasional. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan politik hukum nasional.

Menjadi suatu pertanyaan apa politik hukum nasional Indonesia dan bagaimana bentuknya?

Tunggul Anshari Setia Negara21 menyatakan, politik hukum nasional mengandung makna sebagai suatu kebijaksanaan untuk mengadakan suatu pilihan terhadap hukum mana yang harus dibentuk dan diberlakukan, serta mengenai ke arah mana hukum hendak dikembangkan dalam suatu wilayah Negara republik Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum pergaulan hidup masyarakatnya, sehubungan dengan adanya bermacam-macam sistem hukum. yang ada. Untuk menentukan politik hukum nasional banyak dipengaruhi oleh politik pembangunan nasional secara keseluruhan, yang berarti ditentukan juga dan harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari merumuskan politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang

21 Tunggul Anshari Setia Negara, Politik Hukum Nasional

Terhadap Hukum Administrasi Negara, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cet. 2. Yogjakarta, 2002, hlmn. 172.

Page 18: POLITIK HUKUM - UNISSULA

10

ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu (1) masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak; (2) penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut; (3) materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku; (4) proses pembentukan hukum; dan (5) tujuan politik hukum nasional.22

Bagi Indonesia, politik hukum (nasional) yang tetap antara lain:23 (1) Ada satu kesatuan sistem hukum Indonesia. (2) Sistem hukum Nasional dibangun berdasarkan dan

untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945

(3) Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warganegara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa.

(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat.

(5) Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.

(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; dan

(7) Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh rakyat), terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan

22 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Loc. Cit., hlmn. 58. 23 Manan, Loc. Cit., hlmn. 179-180

Page 19: POLITIK HUKUM - UNISSULA

11

atas hukum dan berkonstitusi.

Politik hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk kedalam kategori ini hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan. Penghapusan sisa-sisa peraturan perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, penyusunan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.

Dalam menentukan pilihan hukum mana yang harus dipakai dalam kehidupan masyarakat terutama di Indonesia, Sjahran Basah24 mensyaratkan conditio sinequanon hukum harus berpanca fungsi:

(1) Direktif, yaitu sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membertuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.

(2) Intergratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa. (3) Stabilitatif, yaitu sebagai pemelihara (termasuk

kedalamnya hasil-hasil pembangunan dan penjaga kelestarian,keserasian,keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

(4) Perfektif, yaitu sebagai penyempurna terhadap tindakan–tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

(5) Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.

24 Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, Armico, Bandung,

1986., hlmn. 24-25.

Page 20: POLITIK HUKUM - UNISSULA

12

C. Politik Hukum Otonomi Daerah

Sebagaimana dinyatakan oleh Sunaryati Hartono, di samping Politik Hukum Nasional tentunya terdapat juga politik hukum lokal (dalam hal ini daerah). Politik hukum daerah tidak bisa dilepaskan dari persoalan otonomi daerah. Hal ini karena baik sebagai gagasan maupun secara konstitusional, otonomi merupakan salah satu sendi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Secara konstitusional politik otonomi daerah didasarkan pada Pasal 18 (lama) UUD 1945. Di dalam pasal tersebut dikatakan: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Setelah masa reformasi 1998, terhadap pasal tersebut dilakukan perubahan dan penambahan pasal. Penambahan pasal mengenai pemerintahan daerah dilakukan untuk mempertegas dan memperjelas struktur pemerintahan daerah dan bentuk otonomi apa yang digunakan. Di dalam perubahan Pasal 18 ditentukan secara limitatif pembagian daerah yang terdiri dari daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Di samping itu juga ditentukan bahwa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan digunakan asas otonomi (seluas-luasnya) dan tugas pembantuan.

Untuk menyusun dan menyelenggarakan otonomi sebagaimana terkandung dalam berbagai gagasan dan

Page 21: POLITIK HUKUM - UNISSULA

13

dasar-dasar konstitusional yang ada maupun yang pernah ada harus bertolak dari beberapa dasar berikut:25

(1) Dasar permusyawaratan/perwakilan. Dasar ini merupa-kan pengejawantahan paham kedaulatan rakyat di bidang penyelenggaraan pemerintahan (politik). Pembentukan pemerintahan daerah otonomi adalah dalam rangka memberikan kesempatan rakyat setempat untuk secara lebih luas berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

(2) Dasar kesejahteraan sosial. Dasar kesejahteraan sosial bersumber baik pada paham kedaulatan rakyat di bidang ekonomi maupun paham negara berdasarkan atas hukum atau negara kesejahteraan. Kesejahteraan bertalian erat dengan sifat dan pekerjaan pemerintah daerah yaitu pelayanan. Hal ini dilakukan antara lain karena pusat lebih suka menunjuk pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan yang mendapat bantuan dari pusat, semangat pelayanan tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

(3) Dasar kebinekaan. Disebutkan bahwa: ”Descen-tralization to curturally distinctive subgroups is regarded by many as necessary for the survival of soccially heterogeneous states. Decentralization is seen as countervailing force to the centrifugal forces thatthreaten political stability”.

Menurut Bagir Manan,26 penentuan isi otonomi ditentukan oleh berbagai ajaran mengenai sistem otonomi. Dalam perjalanan peraturan perundang-undangan sejak tahun 1945, telah dipergunakan semua sistem rumah

25 Bagir Manan, Op.Cit., hlmn. 182-183. 26 Bagir Manan, Op.Cit., hlmn. 184-185

Page 22: POLITIK HUKUM - UNISSULA

14

tangga daerah dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari berbagai sistem otonomi, akhirnya sistem otonomi nyata (riil) yang dianggap paling memadai. Sistem otonomi ini pertama kali dicantumkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 sebagai pelaksanaan Pasal 131 dan Pasal 132 UUDS 1950. UUDS 1950 memuat beberapa asas otonomi antara lain pemberian otonomi seluas-luasnya. Asas pemberian otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan dalam Undang-undang no 18 Tahun 1965. Pada masa awal orde baru –dibawah semboyan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen- kehendak melaksanakan otonomi seluas-luasnya tetap dipertahankan. Tetapi ternyata dasar politik otonomi ini tidak dipertahankan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1974 sebagai undang-undang pemerintahan daerah orde baru.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemberian otonomi seluas-luasnya ”dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah...”. Dari penjelasan ini dapat ditangkap bahwa otonomi luas secara instrinsik mengandung ancaman tertentu terhadap keutuhan negara kesatuan. Sayangnya tidak pernah ada kejelasan mengenai bagaimana sesungguhnya isi otonomi yang dikehendaki UUD 1945 dan apakah mungkin menyebut otonomi seluas-luasnya mengandung bahaya, sedangkan hal tersebut belum pernah dilaksanakan atau ada pengalaman lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.

Pasca orde baru, sebagai buah dari reformasi maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dirubah dan

Page 23: POLITIK HUKUM - UNISSULA

15

didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perubahan prinsip yang terjadi terhadap pengaturan pemerintahan daerah didasarkan pikiran perlunya memberikan kebebasan pada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai kondisi daerah (lokalitas) masing-masing. Dengan demikian27 menurut Widarta, pikiran bahwa penguasa (pusat) adalah pihak yang serba tahu, hendaknya ditinggalkan dan digantikan dengan prinsip bahwa pemerintahan yang paling baik adalah pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Prinsip ini hendak mengakui pentingnya saluran aspirasi rakyat dan kontrol.

Berkenaan dengan adanya amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (pada tanggal 18 Agustus 2000) yang sebelumnya hanya satu Pasal menjadi 3 Pasal maka menimbulkan implikasi penggantian Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Sebagai Undang-undang penggantinya adalah Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004. Berkenaan dengan penggantian ini Philippus M. Hadjon menyatakan, bahwa dengan adanya perubahan Pasal 18 tersebut, tidak ada alasan yuridis untuk tidak mengubah UU No. 22/99. Kalaupun ada argumentasi lain untuk tetap mempertahankan UU No. 22/99 jelas hal tersebut ”mengingkari” amanat ketentuan Bab VI UUD 1945 Pasca amandemen. Kesimpulan yang lebih tegas, bahwa tidak

27 I Widarta, Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, Pondok Edukasi,

Bantul, 2005, hlmn. 85.

Page 24: POLITIK HUKUM - UNISSULA

16

tepat alasan untuk ”menolak” perubahan UU No. 22/99.28

Ada perbedaan yang terasa kental sekali antara UU No 32 Tahun 2004 dengan UU No 22 Tahun 1999 yaitu dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan di daerah berkaitan dengan makna otonomi seluas-luasnya. Semangat yang dimaksud di sini adalah prinsip–prinsip pelaksanaan sistem desentralisasi. Dalan UU No. 22 Tahun 1999, pemberian dan pelaksanaan otonomi kepada Daerah dibagi dalam tiga daerah otonom, yaitu: otonomi terbatas untuk daerah propinsi, dan otonomi luas untuk daerah kabupaten/Kota, dan otonomi asli untuk Desa. Daerah Proponsi hanya berfungsi sebagai wilayah Adminitrasi (melaksanakan kewenangan pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur) dan bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten/Kota. Batas kewenangan daerah propinsi hanya meliputi kewenangan lintas Kabupaten/Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.29

Hal yang paling menentukan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 adalah soal hubungan antar susunan pemerintahan, baik antara pemerintahan pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, hingga drsa/kelurahan memiliki sebuah garis yang tidak mungkin terputus. Suatu wilayah yang berpemerintahan (di level manapun) akan bertanggung jawab kepada pemerintah di atasnya, sementara pemerintah di atasnya diwajibkan melakukan pembinaan dan pengawasan, bahkan berhak memberi

28 Arief Muljadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah

dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005, hlmn. 39.

29 I. Widarta, Op.Cit. hlmn. 108.

Page 25: POLITIK HUKUM - UNISSULA

17

sanksi kepada pemerintah yang berada di bawahnya.30

Masalah pemberian otonomi seluas-luasnya lebih banyak timbul dari salah pengertian, yaitu ada semacam anggapan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya akan terjadi hubungan yang tidak seimbang antara pusat dan daerah. Pusat dapat menjadi terlalu lemah dan daerah menjadi terlalu kuat. Kesalahpengertian ini dapat dihindari kalau diingat beberapa prinsip negara berotonomi:31

a. Otonomi adalah perangkat dalam negara kesatuan. Jadi seluas-luasnya otonomi tidak dapat menghi-langkan arti apalagi keutuhan negara kesatuan.

b. Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya. Pembagian urusan (urusan yang diserahkan) harus dilihat dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu lebih ditekankan pada urusan pelayanan (service). Dengan demikian, segala urusan yang akan menjadi ciri dan kendali keutuhan negara kesatuan akan tetap pada pusat. Jadi sesungguhnya pengertian otonomi luas terutama bukanlah soal jumlah urusan. Otonomi luas harus lebih diarahkan pada pengertian kemandirian (zelfsstandigheid) yaitu kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-cara mengurus rumah tangga sendiri, menurut prinsip-prinsip umum negara berotonomi.

Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme kendali dari pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali keuangan.

30 Op.Cit, hlmn. 109. 31 Bagir Manan, Op.Cit. hlmn. 137

Page 26: POLITIK HUKUM - UNISSULA

18

BAB II

POLITIK HUKUM PERTANAHAN

A. Hubungan Manusia Indonesia dan Tanah

Hubungan antara manusia dengan tanah sudah ada sejak adanya manusia itu sendiri. Betapa pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia dapat dilihat dari dasar filsafatinya, bahwa manusia diciptakan Allah Tuhan yang Maha Kuasa dari tanah, hidup (makan) dari tanah dan setelah mati akan kembali ke tanah. Semua agama samawi menyatakan manusia pertama yaitu nabi Adam diciptakan oleh Tuhan dari tanah. Oleh sebab itu peranan tanah sangat menentukan bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Tetapi di samping hal-hal yang baik tersebut, sejarah kehidupan manusia cukup banyak mencatat peristiwa berdarah dikarenakan persengketaan masalah pertanahan.

Tanah telah menjadi persoalan aktual bagi manusia sepanjang zaman.32 Argumentasinya sederhana, setiap orang membutuhkan tanah sedangkan ketersediannya sangat terbatas. Di samping itu, terlalu banyak pihak yang

32 Ada lima aspek yang menjadi problem serius bagi umat

manusia, yaitu aspek dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam dan energi, pertumbuhan ekonomi, perkembangan science dan teknologi serta benturan terhadap lingkungan. Masing-masing aspek memiliki hubungan yang erat dengan tanah. Lihat M.T. Zein (ed.), Menuju Kelestarian Lingkungan (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 2. Khusus mengenai dinamika kependudukan, setidaknya terdapat 22 masalah antara lain: pangan, perumahan, kesehatan, lingkungan, tanah dan lain-lain. Lihat Lester R. Brown, et.al., 22 Segi Masalah Kependudukan, cet. I (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).

Page 27: POLITIK HUKUM - UNISSULA

19

berkepentingan dengan tanah beserta motif dan tujuan yang berbeda-beda. Meskipun bukan gejala baru namun tanah merupakan masalah yang kompleks dan mendesak untuk diselesaikan. Oleh karena itu, tanah merupakan obyek kajian yang menarik minat para ahli dari berbagai berbagai disiplin ilmu.

Dari berbagai studi yang pernah ada disimpulkan bahwa tanah merupakan jantung dari konflik agraria (the heart of agrarian conflict).33 Tanah juga menjelma sebagai pusat kekuasaan yang menjadi dasar kemenangan dan keunggulan seseorang.34 Makin banyak orang tergantung pada tanah, makin kuat kontrol pemilik tanah terhadapnya dan kekuasaan yang dihasilkannyapun kian meningkat. Monopoli tanah dapat mengarah pada monopoli kekuasaan terhadap orang lain. 35

Hubungan tanah dengan kehidupan manusia diposisikan sangat dekat, emosional, magis-religius36 dan

33 D. Christodoulou, The Unpromised Land: Agrarian Reform and

Conflict Worldwide, (London and New Jersey: Zed Books Ltd, 1990), hal. 1-4. Fred Horrison, The Power in The Land: An Inquiry to Unemployment, The Profits Crisis and Land Speculation (London: Shepherdwalyn, 1983), h. 28.

34 Abul A’la al-Maududi, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), h. 17.

35 Proklamator Moh. Hatta berpandangan bahwa tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang perorang untuk menindas orang banyak. Lihat I. Made Sandy, “Mohammad Hatta dan UUPA” dalam Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), h. 77.

36 Abdurahman, “Masalah pencabutan Hak-hak atas Tanah Untuk Kepentingan Umum,” dalam Majalah Hukum, No. 4, Th. III, (Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum, 1976), h. 51.

Page 28: POLITIK HUKUM - UNISSULA

20

tak terpisahkan (dwitunggal).37 Tanah menjadi bagian dari hak asasi manusia38 yang harus dipenuhi. Tanah melambangkan kehormatan dan simbol status sosial pemiliknya.39 Kepemilikan tanah bersifat abadi, oleh karena

37 Demikian kata Notonagoro, seperti dikutip Maria S.W.

Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 42.

38 Istilah hak atas tanah tidak dikenal dalam Instrumen HAM, baik dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) maupun di dalam Kovenan Internasional Hak-hak EKonomi, Sosial dan Budaya. Yang lebih dikenal dalam instrumen tersebut adalah right to property (hak atas harta benda), didalamnya termasuk kepemilikan tanah. Hak atas tanah justru disebut secara jelas dalam Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 169. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, istilah hak atas tanah disebut dalam pasal 6 (2): “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi…..” Ifdhal Kasim, “Hak Atas Tanah” dalam E. Shobirin Najd (ed.), Diseminasi HAM: Perspektif dan Aksi, (Jakarta: CESDA dan LP3ES, 2000), h. 193.

39 Di dalam masyarakat pedesaan, tanah mempunyai arti penting. Bagi petani misalnya, tanah bukan saja penting dari segi ekonomis, tetapi lebih dari itu adalah tanah dapat pula dipakai sebagai kriteria terhadap posisi sosial pemiliknya. Stratifikasi sosial masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan pemilikan tanah. Seorang petani yang berstatus kuli kenceng (seseorang yang hanya memiliki tanah) akan merasa lebih tinggi derajatnya dari pada petani yang berstatus kuli setengah kenceng (seseorang yang memiliki tanah pekarangan). Begitu pula kuli setengah kenceng akan berusaha keras untuk memiliki sawah untuk naik status sebagai kuli kenceng. Demikian pula lapisan masyarakat yang ada di bawahnya, yaitu kuli gundul (seseorang yang hanya memiliki tanah sawah), pengindung (seseorang yang bertempat tinggal di pekarangan milik orang lain) maupun pengindung templek (seseorang yang bertempat tinggal pada suatu bangunan di mana bangunan tersebut menempel pada bangunan milik orang lain. Hal di atas baru kategori ‘kuli’ belum termasuk kelas elit desa yang memiliki sawah dan tanah puluhan hektar. Lihat Margo Lyon, Basis of Conflict in Rural Java, (Berkeley: Center of Southeast Asia Studies, University of

Page 29: POLITIK HUKUM - UNISSULA

21

itu pelanggaran terhadapnya dapat menimbulkan sengketa berkepanjangan. Pada umumnya pemilik tanah rela berkorban apa saja untuk mempertahankan harga diri pada sejengkal tanah yang dimiliki (orang Jawa mengungkapkan: “sadhumuk bathuk sanyari bumi ditohi satumekaning pathi”).40 Sifat hubungan yang demikian menyebabkan sengketa tanah tidak mudah diselesaikan. Nuansa kekerasan begitu kentara setiap kali sengketa jenis ini terjadi, tidak hanya disimbolkan dengan kehadiran alat berat atau aparat tapi juga benturan fisik antar pihak yang bersengketa. Bukan hanya pihak yang merasa kuat dan pasti menang yang sanggup berupaya apa saja untuk mempertahankan atau merebut haknya, bahkan pihak yang nyata-nyata tidak memiliki bukti kepemilikan tanah sekalipun ’dituntut’ harus memperjuangkan ’haknya’ secara

California, 1970), h. 38. Soegijanto Padmo, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, (Yogyakarta: Media Pressindo dan KPA, 2000), h. 2-3.

40 Ungkapan ini berasal dari wejangan Prabu Jayabaya, raja dari Kerajaan Kediri (Abad 11 M) tentang keutamaan hidup. Baca Sindung Marwoto, Ramalan Prabu Jayabaya: Mengungkap Tanda-tanda Zaman, (Yogyakarta: Panjipustaka, 2007), h. 76. Sebagian kalangan menafsirkan ungkapan tersebut sebaliknya, sebagai perlambang ketidakberdayaan rakyat atas kekuasaan. Menurutnya, kata bathuk dan sanyari bumi adalah perlambang milik rakyat yang penghabisan, rumah dan tanah pekarangan. Oleh karena itu, perlawanan hingga satumekaning pati pun sebenarnya lebih merupakan sikap pasrah kepada nasib dari pada sebagai kesadaran awal untuk mempertahankan hak. Terlepas dari salah-benarnya kedua tafsiran tersebut, tidak dapat disangkal bahwa tanah merupakan sumber kehidupan yang sangat penting bagi rakyat di Negara agraris seperti Indonesia ini. Baca Pengantar penerbit dalam Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), h. xiii-xiv.

Page 30: POLITIK HUKUM - UNISSULA

22

maksimal. Tanah yang berfungsi sebagai tempat kelahiran atau ibu pertiwi (motherland), ayah (fatherland), tempat tinggal atau rumah (homeland), yang memiliki watak kesucian (holyland), sumber impian (dreamland), dan sumber nafkah yang sangat menjanjikan (promised land) adalah sebagian alasan yang mendorong seseorang wajib mempertahankannya sampai titik terakhir.

Sejarah hubungan manusia Indonesia dengan tanahnya juga setua sejarah manusia Indonesia itu sendiri. Pengaturan mengenai hubungan antara tanah dengan manusia Indonesia secara terorganisir bermula pada masa kolonial Belanda. Pada masa sebelum kemerdekaan atau pada masa kolonial Belanda tersebut perangkat hukum tanah yang tersedia masih bersifat pluralistik dan beragam konsepsi serta kebijakan yang melandasinya. Ada hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistik-liberal, ada hukum tanah Swapraja yang bersifat feodal, dan ada Hukum Tanah Adat yang berkonsepsi Nasional, yaitu komunalistik-religius. Ada pula apa yang disebut Hukum Tanah Administratif, yang memberi kewenangan pada pemerintah Hindia Belanda dalam melaksanakan kebijakan kolonialnya di bidang pertanahan. Jenis hukum tanah yang terakhir tersebut sebagaimana yang dituangkan dalam apa yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870, yang mengutamakan tersedianya tanah bagi perusahaan perkebunan besar dan Agrarische Besluit 1870, yang menyatakan semua tanah yang tidak dapat dibuktikan hak eigendom perorangan adalah tanah milik negara (”asas domein”)41

41 Boedi Harsono, Amandemen UUPA No.5/1960 Suatu Tinjauan

Historis, Filosofis, Sosiologis dan Politis, Makalah Semiloka Nasional

Page 31: POLITIK HUKUM - UNISSULA

23

B. Politik Hukum Pertanahan Menurut UUD 1945

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan esok harinya, tanggal 18 Agustus 1945 merumuskan bentuk dan sendi-sendi pokok Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengaturan mengenai tanah dilandaskan pada tujuan dibentuknya negara Republik Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia antara lain adalah ”memajukan kesejahteraan umum”.

Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum itu, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya dilakukan dan terangkum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menegaskan kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut, Moh. Mahfudz42 menyatakan,

Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yohyakarta, 24 Maret 2006, hlmn. 2.

42 Moh. Mahfud MD, Amandemen UUPA No.5/1960 Dalam Perspektif Politik Hukum, Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yohyakarta, 24 Maret 2006, hlmn. 2. Lebih lanjut Moh. Mahfudz menyatakan bahwa sebenarnya kalau kita menyebut istilah agraria bukan hanya menyangkut soal tanah melainkan juga menyangkut perairan, tanah di bawah perairan, dan udara serta

Page 32: POLITIK HUKUM - UNISSULA

24

dari latar belakang filosofi yang seperti itu maka politik hukum agraria (pertanahan-pen.) jika digali dari Undang-Undang Dasar 1945 sekurang-kurangnya ada dua yang saling terkait yakni: Pertama, Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai (dalam arti diatur sebaik-baiknya) oleh negara; Kedua, penguasaan oleh negara ditujukan untuk membangun kemakmuran rakyat.

Kata dikuasai atau menguasai oleh negara di sini tidak bisa diartikan bahwa negara langsung menjadi pemilik atas semua sumber daya alam.

Menguasai di dalam hukum diartikan “mengatur”. Sebab hak milik perorangan tetaplah diakui sebagaimana digariskan di dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.” Memang untuk mengimbangi itu ada ketentuan Pasal 33 tentang hak menguasai oleh negara yang memungkinkan negara melakukan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Tapi dua ketentuan tersebut tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus dilihat sebagai hubungan umum dan khusus. Secara umum orang boleh memiliki hak milik, tetapi dalam keadaan khusus (untuk kepentingan

kekayaan-kekayaan yang terkandung di dalamnya. Teori Venn Agraria menggambarkan cakupan agraria itu sebagai berikut: 1. Bumi mencakup benda di atas bumi, benda yang ditanam bumi, benda di tubuh bumi; 2. Air mencakup perairan lautan, perairan pedalaman, bumi di bawah perairan; 3. Ruang angkasa mencakup angkasa di atas perairan dan angkasa di atas bumi. Tetapi sampai saat ini kita hanya menggunakan istilah agraria dalam arti yang sempit yaitu tanah, sehingga dalam praktik sehari-hari sering disamakan begitu saja antara tanah dan agraria.

Page 33: POLITIK HUKUM - UNISSULA

25

umum), maka hak milik itu bisa diambil oleh negara dengan cara yang tidak sewenang-wenang.43

Mengenai hak menguasai negara ini memang dalam batang tubuh maupun penjelasan UUD 1945, tidak terdapat penjelasan mengenai sifat dan lingkup hak menguasai dari negara, yang meliputi bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di dalam penjelasan UUD 1945 hanya diberikan penegasan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

C. Politik Hukum Pertanahan Menurut UUPA

Keberadaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang lebih dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara 2043, lebih mempertegas makna politik hukum pertanahan yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Di dalam UUPA dapat diketemukan bahwa hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak bangsa. Hal ini bisa kita simpulkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) yang menyatakan:

43 Ibid., hlmn.3.

Page 34: POLITIK HUKUM - UNISSULA

26

(1) seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah republic Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termasud dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang bersifat pribadi.

Hak bangsa sebenarnya adalah sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum tanah. Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tanah nasional. Hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, secara langsung atau tidak langsung bersumber padanya. Hak bangsa mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-tanah bersama yang dipunyainya. Hak bangsa atas tanah bersama tersebut bukan hak pemilikan dalam pengertian yuridis. Maka dalam hak bangsa ada hak milik perorangan atas tanah. Tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama tersebut pelaksanaanya dilimpahkan kepada negara.44

Lebih lanjut mengenai hak bangsa ini dapat dilihat dalam penjelasan umum yang mengatakan:

44 Ibid., hlmn 269-270.

Page 35: POLITIK HUKUM - UNISSULA

27

“bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemikik saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah dan pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.”

Pernyataan bahwa hak bangsa adalah semacam Hak Ulayat berarti, bahwa dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, hak tersebut merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan oleh penjelasan umum di atas, secara langsung ataupun tidak langsung, semuanya bersumber pada hak bangsa. Dengan demikian tidak ada sejengkal tanahpun di negara kita yang merupakan apa yang disebut res nullius (tanah yang tidak bertuan).45

Penjelasan Umum II menyatakan: ”adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti, bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan

45 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah

Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.

Page 36: POLITIK HUKUM - UNISSULA

28

selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada suatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian, maka biarpun sekarang ini (tahun 1960 -pen.) daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, berada dibawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini, bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia.

Hubungan yang bersifat abadi berarti hubungan yang akan berlangsung tiada terputus-putus untuk selama-lamanya. Dari penjelasan arti ketentuan ayat 3 tersebut ternyata,bahwa UUPA pun memberikan dasar falsafah bagi perjuangan mengembalikan Irian barat, sekarang papua, ke dalam pangkuan ibu pertiwi. Kita ketahui, bahwa papua telah kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia berdasarkan New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962.

Bahwa tanah bersama dalam Pasal 1 ayat (2) dinyatakan sebagai “kekayaan Nasional” menunjukkan adanya unsur keperdataan, yaitu hubungan kepunyaan antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan kepunyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai empunya, artinya sebagai tuannya. Hubungan kepunyaan bisa merupakan kepemilikan, tetapi tidaklah selalu demikian. Sebagaimana halnya dengan hak ulayat, hubungan kepunyaan hak bangsa juga bukan hubungan kepemilikan. Dalam rangka hak bangsa orang perorang dapat dapat menguasai tanah dengan hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha ataupun hak pakai. Hal ini tidak mungkin

Page 37: POLITIK HUKUM - UNISSULA

29

terjadi apabila hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersama tersebut merupakan hubungan kepemilikan.46

Hak bangsa juga mempunyai dimensi hukum lain yaitu hukum Publik. Unsur hukum publik ini diwujudkan dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berupa mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah-tanah bersama tersebut yang menurut sifatnya termasuk bidang hukum publik.

Tugas kewajiban tersebut, yang menurut sifatnya termasuk bidang hukum publik, tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia. Maka penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia, sebagai pemegang hak dan dan pengemban amanah tersebut, pada tingkatan yang tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Jelas kiranya, bahwa dalam hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan Petugas Bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut ia merupakan organisasi kekuasaan rakyat yang tertinggi. Yang terlibat (mewakili) sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif saja, tetapi juga penguasa yudikatif.47

Lebih lanjut mengenai hak menguasai dari negara ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu:

46 Ibid., hlmn. 232 47 Ibid., Hlmn. 233.

Page 38: POLITIK HUKUM - UNISSULA

30

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

Dengan rincian kewenangan mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut oleh UUPA diberikan suatu interpretasi otentik mengenai hak menguasai dari negara yang dimaksudkan oleh UUD 1945, sebagai hubungan publik semata-mata. Dengan demikian tidak ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam Pasal UUD tersebut.48

Moh. Mahfud menyatakan, istilah menguasai di sini bukan berarti menjadi pemilik langsung, melainkan mengatur bagaimana terjadinya hak milik dan bagaimana cara mengubah hak milik itu menjadi hak lain bagi pihak lain atau bagi kepentingan umum atau bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam.49 Abbrar Salleng50 menyatakan dikuasai

48 Ibid., hlmn 234. 49 Moh. Mahfud, Op. Cit., hlmn 3. 50 Abbrar Saleng, Sinkronisasi dan Fungsionalisasi Hak atas

sumber Daya Pertambangan dalam Amandemen UUPA No. 5/1960. Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yohyakarta, 24 Maret 2006, hlmn. 2. Dalam penjelasan umum UUPA ditegaskan bahwa negara tidak memiliki, melainkan sebagai pemegang

Page 39: POLITIK HUKUM - UNISSULA

31

oleh negara tidak sama dengan dimiliki negara. Ini bertalian dengan atau suatu bentuk reaksi dari sistem atau konsep domein yang dipergunakan pada masa kolonial Belanda. Konsep ini lebih dikenal dengan asas domein, mengandung pengertian kepemilikan (ownership) dan bersifat privaatrechtelijk. Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala kewenangan melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eingensdaad).51

Pendapat senada tentang Hak Menguasai Negara (HMN) tetapi dari sudut pandang berbeda disampaikan oleh Noer Fauzi. Dia menyatakan tidak ada konsepsi politik hukum keagrarian yang paling berpengaruh dewasa ini se-berpengaruh HMN. HMN adalah hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi apapun juga. HMN ini secara definitif dibatasi oleh keharusan etis: ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. HMN adalah suatu konsep politik hukum yang mengasumsikan bahwa pemegang kekuasaan negara kesatuan berwatak budiman. Perumus UUPA percaya bahwa negara adalah organisasi penyelenggara kekuasaan rakyat yang akan bekerja untuk ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tidak pernah terbayangkan oleh pembuat UUPA bahwa penyelenggara negara dapat mengingkari etik ”sebesar-

51 Dalam penjelasan umum UUPA ditegaskan bahwa negara tidak

memiliki, melainkan sebagai pemegang kekuasaan, jadi bersifat publiekrechtelijk atau bersifat pelaksanaan fungsi pemerintahan belaka (bestuursdaad).

Page 40: POLITIK HUKUM - UNISSULA

32

besar kemakmuran rakyat”.52

Persoalan yang sering muncul adalah bergesernya penggunaan hak menguasai negara yang berintikan ”mengatur” dalam kerangka populisme menjadi ”memiliki” dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Moh. Mahfudz53 dengan meminjam istilah Sudijono54 menengarai pemiskinan petani terjadi karena pemerintah keluar dari design ideologis UUPA yang populisme menjadi liberal-individualisme.

Kritik tajam terhadap implementasi HMN dikemukakan oleh Noer Fauzi. Dalam prakteknya, kedudukan negara yang dominan tersebut, telah dmanfaatkan oleh pemerintahan dan pengusaha kroninya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktifitas. Hal itu dilakukan tanpa memberi rakyat peran yang memadai untuk berpartisipasi dalam penguasaan, peruntukan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta menikmati hasilnya.55

Terhadap kekhawatiran penyalahgunaan HMN di atas, Abbrar Saleng56 menyatakan, apabila terjadi

52 Noer Fauzi, Kadilan Agraria di Masa Transisi, dalam Prinsip-

prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan kemakmuran rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001, hlmn. 154.

53 Moh Mahfudz, Op.Cit., hlmn. 3-4 54 Sudijono Sastroatmodjo, Analisis Sosio-yuridis tentang

Pengaruh Pemikikan dan Penguasaan Obyek Landreform terhadap Kemiskinan Petani diKabupaten Pacitan,Disertasi di Universitas Diponegoro, 2005.

55 Noer Fauzi, Op.Cit., hlmn. 142 56 Abbrar Saleng, Op.Cit.,, hlmn. 3

Page 41: POLITIK HUKUM - UNISSULA

33

pergeseran bestuursdaad menjadi eigensdaad, maka tidak akan ada jaminan bagi tujuan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pemahaman ini betapa essensialnya untuk selalu mengukur pelaksanaan atau penyelenggaraan hak menguasai negara dengan tujuan mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 2 UUPA ini merupakan pasal krusial yang menjadi asas hukum57 tanah nasional. Selain krusial, pasal ini juga pasal paling ‘bermasalah’ setiap kali diemplementasikan dalam bentuk peraturan maupun kebijakan. Tafsir otentik—seperti yang dikatakan Boedi Harsono—boleh jadi benar pada tingkat peraturan undang-undang. Hal itu dapat dibuktikan dari minimnya kritik dari banyak kalangan terhadap substansi asas HMN ini. Namun bila ‘ditafsirkan’ lagi oleh pemerintah dalam peraturan pelaksanaan maupun peraturan-peraturan lainnya, maka tafsir itu tidak lagi otentik. Otentisitasnya dipertanyakan karena begitu banyak kritik atau sikap pro dan kontra yang

57 Yang dimaksud asas hukum, menurut Bellefroid adalah norma

dasar yang dijabarkan dari hukum positif. Menurut Kelsen, norma dasar dari dari suatu tata hukum positif tidak lain (adalah) peraturan fundamental menurut peraturan mana berbagai norma dari tata hukum positif itu harus dibuat. Lihat Moempoeni M.M., “Implementasi Asas-asas Hukum Tata Negara Menuju Perwujudan Ius Constituendum di Indonesia”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, (Semarang: UNDIP, 2003), h. 4-5. Asas hukum dapat disebut pula “jantungnya” peraturan hukum, karena ia merupakan landasan bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Selain itu, asas hukum merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Oleh karena itu, asas hukum merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 45-6.

Page 42: POLITIK HUKUM - UNISSULA

34

terjadi di masyarakat.58 Dengan demikian, baik buruknya pelaksanaan kewenangan Negara dalam soal tanah sangat tergantung dengan watak rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Pemerintahan yang demokratis akan menjamin keadilan, kepastian hukum dan pemanfataan tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebaliknya pemerintahan yang otoriter akan memperburuk pelaksanaan UUPA yang hanya menguntungkan sebagian kecil rakyat.

Dalam prinsip “negara menguasai”, negara tidak dapat mensubordinasikan masyarakat. Negara justru harus amanah mengemban kuasa dari masyarakat. Kewenangan mengatur oleh Negara dibatasi UUD maupun relevansinya dengan tujuan yang hendak dicapai.59 Persoalan yang sering muncul adalah bergesernya penggunaan hak menguasai yang berintikan ‘mengatur’ dalam kerangka populisme menjadi ‘memiliki’ dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Dalam istilah Sudijono, pemiskinan petani terjadi karena pemerintah keluar dari design ideologis UUPA yang populisme menjadi liberal-

58 Lihat pro kontra tentang Peraturan Presiden (Perpres) No. 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang lahir tanggal 3 Mei 2005, kemudian diganti dengan Perpres No. 65 tahun 2006 yang terekam oleh media massa. Perpres yang terbit di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan wakilnya M. Yusuf Kalla, merupakan ‘tafsir’ atas ketentuan pasal 2 UUPA. Bandingkan tafsir pasal 2 UUPA atas pasal 33 UUD dengan tafsir Perpres 36/ 2005 atas pasal 2 UUPA.

59 Maria S.W. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 47.

Page 43: POLITIK HUKUM - UNISSULA

35

individualisme.60 Disinilah pentingnya peran serta masyarakat untuk mengawasi dan kesadaran hukum pemerintah dan pemilik modal untuk arif memanfaatkan wewenang dan kekuatan yang dimiliki.

Selain asas HMN, asas-asas yang menjadi norma dasar pembentukan UUPA antara lain, asas nasionalitas (Pasal 1), asas mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongan (Pasal 3), asas semua hak tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6), asas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya (Pasal 17), asas persamaan hak bagi setiap warga Negara (Pasal 9, 11, 13) dan asas tata guna tanah/ penggunaan tanah secara berencana. Asas yang terakhir merupakan hal baru yang dimaksudkan agar setiap jengkal tanah dipergunakan seefisien mungkin dengan memperhatikan asas lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) untuk penggunaan tanah di pedesaan. Sedangkan asas aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) untuk penggunaan tanah di perkotaan.61 Seluruh pelaksanaan UUPA dan segenap peraturan yang dibawahnya hendaknya dijiwai oleh asas-asas di atas.

Dalam asas nasionalitas, bumi, air dan ruang angkasa menjadi hak bangsa Indonesia yang bersifat abadi (Pasal 1). Pasal 2 ditegaskan, hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu, tiap-

60 Lihat Sudijono Sastroatmodjo, Analisis Sosio-Yuridis tentang

Pengaruh Pemilikan dan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Terhadap Kemiskinan Petani di Kabupaten Pacitan, Disertasi tidak diterbitkan, (Semarang: Universitas Diponegoro, 2005).

61 Urip Santoso, Op. Cit., h. 63.

Page 44: POLITIK HUKUM - UNISSULA

36

tiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki dan memanfaatkan tanah-tanah yang dimaksud.

Asas mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan sendiri atau golongan berarti sekalipun tanah-tanah sudah dilekati dengan hak-hak tertentu, bila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh pemerintah maka hak-hak hedaknya dilepaskan menurut ketentuan undang-undang. Begitu pula dengan kepentingan suatu masyarakat hukum tertentu (misalnya masyarakat hukum adat) harus tunduk pada kepentingan nasional. Sekalipun demikian, kepentingan individu atau golongan tidak akan dikorbankan begitu saja atas nama kepentingan nasional.

Asas ini merupakan prinsip dasar UUPA dalam rangka pemanfaatan sektor agraria untuk kemakmuran rakyat. Termasuk dalam kategori asas ini adalah ketentuan ;62

a. Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

b. Pasal 3 dan 5 yang membatasi berlakunya hukum adat dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasar atas persatuan bangsa.

c. Pasal 18 yang memungkinkan negara mencabut hak atas tanah untuk kepentingan umum.

Untuk tidak menganggu kepentingan umum dan agar tetap dapat dimanfaatkan maksimal untuk kepentingan sekarang dan yang akan datang, UUPA mengatur larangan pemilikan tanah yang melampaui batas. Monopoli pemilikan tanah di tangan segelintir orang sangat

62 Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam

Pembangunan Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), h. 30-1.

Page 45: POLITIK HUKUM - UNISSULA

37

membahayakan kepentingan nasional. Monopoli tanah dapat menjurus ke monopoli harga, hingga monopoli kekuasaan.

Untuk itu, UUPA memuat asas pemanfaatan secara aktif, tidak hanya terhadap tanah pertanian tapi juga tanah-tanah lainnya. Setiap pemilik lahan berkewajiban mendayagunakan tanah miliknya dan tidak diperkenankan menelantarkannya. Meski tidak ada larangan menjadikan tanah sebagai obyek investasi, menumpuk pemilikan tanah tanpa diimbangi dengan pemanfaatan yang maksimal sama saja dengan memonopoli tanah untuk akumulasi modal.

Asas LOSS dan ATLAS ingin menjamin agar pemanfaatan dan pelestariannya terjadi secara seimbang. Karena pemanfaatan tanah tidak hanya untuk generasi sekarang, tapi juga untuk generasi mendatang maka pelestarian tanah mutlak dilakukan.

Asas-asas hukum tanah nasional digali dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang mengakar di masyarakat. Nilai-nilai atau pandangan hidup yang dipraktekkan berulang dan menjadi kebiasaan masyarakat luas akan menjadi hukum adat. Setidaknya ada dua unsur utama di dalam hukum adat; 1) unsur asli, berupa kebiasaan sebagai unsur terbesar; dan 2) unsur agama sebagai unsur terkecil.63 Dari sini wajar bila adat dijadikan sebagai dasar

63 I.G.N. Sugangga, Pengantar Hukum Adat, (Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), h. 4. Di beberapa daerah, Naggroe Aceh Darussalam (NAD) misalnya, adat dan agama memiliki hubungan yang sangat erat. Hadih maja atau pepatah orang tua yang terkenal di Aceh menyatakan: “adat bak poteu Meuruehom, Hukom bak Syiah Kuala, Adat ngon Hukom Hana Tom Cre Lagee Zat Ngon Sipheut

Page 46: POLITIK HUKUM - UNISSULA

38

pembentukan hukum tanah nasional setelah dicabutnya peraturan dan keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.64

Dengan diundangkannya UUPA, maka unifikasi hukum tanah nasional sudah terwujud setelah sebelumnya hukum yang mengatur soal tanah bermacam-macam, seperti bersumber dari hukum adat, berkonsepsi komunitas religius (agama), bersandar pada hukum Perdata Barat yang individualistik-liberal dan ada pula yang berasal dari berbagai bekas pemerintahan swapraja yang berkonsepsi feodal.65

Salah satu tujuan diundangkannya UUPA adalah meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Dalam perspektif teoritis, penggunaan UUPA sebagai sarana pembawa kemakmuran bagi rakyat merupakan penjabaran dari fungsi hukum sebagai sarana

(pemegang kekuasaan adat adalah raja, pemegang kekuasaan hukum (Islam) adalah ulama, adapt dan hukum tidak terpisahkan, seperti zat dan sifat. Lihat Moehammad Hoesin, Adat Aceh, (Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan D.I. Aceh, 1970), h. 7.

64 Peraturan dan keputusan yang dicabut UUPA, yaitu: 1) Agrarische wet Stb. 1870 No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS Stb. 1925 No. 447, 2) Peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat umum maupun khusus, 3) Koninklijk (Keputusan raja) tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya, 4) Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA.

65 Boedi Harsono, Op. Cit., h. 1-2.

Page 47: POLITIK HUKUM - UNISSULA

39

rekayasa sosial (law as tool of social engineering).66 Fungsi hukum seperti ini pada dasarnya dijalankan oleh hukum modern, yaitu tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan diusahakan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan yang dengan demikian berarti menciptakan keadaan-keadaan yang baru atau merubah sesuatu yang sudah ada. UUPA merupakan undang-undang yang menimbulkan tipe perubahan structural, oleh karena secara kualitatif merubah struktur hubungan antara orang dan tanah di Indonesia. Selain itu undang-undang ini juga menginginkan terjadinya perubahan struktural yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang lain terutama perubahan proses sosial.67

Dilihat dari proses penyusunannya yang partisipatif dan isinya yang aspiratif, UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsif. Sedang dipandang dari nilai sosial yang mendasarinya, UUPA merupakan tipe hukum prismatik yang ideal karena mengkombinasikan (mengambil segi-segi baik) dua ekstrem pilihan nilai sosial, yaitu nilai sosial paguyuban dan patembayan dengan titik berat pada nilai kepentingan yang populistik (kemakmuran bersama) tanpa menghilangkan hak-hak individu. Dengan kata lain, konsepsi hukum prismatik berusaha memadukan inti nilai yang baik dari berbagai nilai yang saling

66 Oloan Sitorus, “Penataan Pemilikan dan Penguasaan Tanah

dalam Amandemen UUPA” dalam Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-undang No. 5 Tahun 1960, UII dan DPD RI, 24 Maret 2006, h. 1.

67 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), h. 148-9, 154, 157, 168, 178.

Page 48: POLITIK HUKUM - UNISSULA

40

bertentangan.68

Konsepsi prismatik tersebut minimal dicirikan dengan empat hal.69 Pertama, memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Kedua, mengintegrasikan konsepsi Negara hukum “Rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum serta konsepsi Negara hukum “the Rule of Law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). Dan keempat, tidak menganut atau dikendalikan satu agama tertentu (karena Indonesia bukan Negara agama), tapi juga tidak hampa agama (karena bukan negara sekuler).

Konsep hukum tanah nasional secara tersurat ingin menggabungkan dua mazhab besar di bidang ekonomi yang bertolak belakang. Bila mazhab sosialisme (sebagai tesa) memandang tanah adalah milik Negara dan hak-hak individu direduksi sedemikian rupa, dan mazhab Kapitalisme (sebagai sintesa) berdiri sebaliknya dengan menghormati kebebasan individu untuk memiliki tanah

68 Moh. Mahfud MD, Op. Cit., h. 4 dan “Mimpi Demokrasi dari

Bung Karno” dalam Jawa Pos, 27 September 2006. Gagasan hukum prismatik diintrodusir dari pokok-pokok pikiran dari Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1964).

69 Moh. Mahfud MD, Op. Cit.

Page 49: POLITIK HUKUM - UNISSULA

41

seluas-luasnya, maka posisi hukum tanah nasional hendak berdiri di tengah (sebagai antitesa). Harapannya akan terwujud suatu hukum tanah nasional yang khas Indonesia, yakni berdasarkan Pancasila yang tidak ekstrim kiri (Sosialisme) dan tidak ekstrim kanan (Kapitalisme). Posisi tengah ini sesungguhnya sudah cukup ideal, namun faktanya bandul kebijakan di bidang tanah lebih mengarah pada Kapitalisme. Inilah yang menyebabkan implementasi UUPA tidak luput dari berbagai persoalan di lapangan.

Page 50: POLITIK HUKUM - UNISSULA

42

BAB III

POLITIK HUKUM KEWENANGAN PERTANAHAN

A. Formulasi Politik Hukum Kewenangan Pertanahan

Formulasi politik hukum berkaitan dengan pertanahan mula pertama bisa dilacak dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan kebijakan dasar mengenai penguasaan dan penggunaan sumber-sumber daya alam yang ada, dengan kata-kata : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Apa yang disebut sebagai dikuasai oleh Negara lebih lanjut terjelaskan secara otentik dalam Pasal 1 UUPA menyatakan bahwa:

”Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.”

Pernyataan tersebut merumuskan isi konsepsi khas Hukum Agraria Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai konsepsi komunalistik-religius, yang menegaskan hubung-an kepunyaan bersama rakyat/bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang bersifat perdata, tetapi bukan

Page 51: POLITIK HUKUM - UNISSULA

43

hubungan pemilikan, pernyataan tersebut sekaligus juga mengandung unsur hubungan publik. Dalam rangka mewujudkan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, maka dilimpahkanlah kepada Negara Republik Indonesia serangkaian kewenangan hubungan publik tersebut, yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA, yang menegaskan sifat publik dan sekaligus lingkup Hak Menguasai dari Negara yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945.

Mengenai hak menguasai dari negara terhadap bumi, oleh UUPA lebih dipertegas di dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan:

”bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia”.

Dalam ayat (2)-nya dinyatakan, bahwa hak menguasai dari negara meliputi kewenangan untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggu-naan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa tersebut.

Page 52: POLITIK HUKUM - UNISSULA

44

Mengenai Pasal 2 UUPA tersebut di atas, A.P. Parlindungan mengemukakan antara lain70:

”Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan mengatur sehingga membuat peraturan, kemudian menyelenggarakan artinya melaksanakan (execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut. Dan kemudian menentukan dan mengatur (menetapkan dan membuat peraturan-peraturan) bagaimana seharusnya hubungan antara orang atau badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.

Menyitir apa yang disampaikan A.P. Parlindungan di atas, kewenangan negara atas tanah tersebut tentunyalah diletakkan pada wewenang membuat aturan hukum tentang segala hal berkaitan dengan tanah. Wewenang membuat aturan hukum merupakan kekuasaan yang selalu melekat atau dilekatkan kepada negara atau pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat).

Dalam Pasal 2 ayat (4) dinyatakan bahwa : ”Hak Menguasai dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak

70 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok

Agraria, Alumni, Bandung, 1990 hlm. 28.

Page 53: POLITIK HUKUM - UNISSULA

45

bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa:

”Ketentuan ayat (4) adalah bersangkutan dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak Menguasai dari Negara atas tanah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria merupakan sumber keuangan bagi daerah itu”.

Dari apa yang ditentukan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwa UUPA menentukan kewenangan untuk menguasai dari negara terhadap tanah kepada pemerintahan daerah (dalam UUPA menggunakan istilah daerah swatantra) hanyalah dalam bentuk medebewind atau tugas pembantuan. Hal ini berbeda benar dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rentang waktu antara keluarnya UUPA tahun 1960 sampai keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memang telah terdapat pengaturan tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti dengan

Page 54: POLITIK HUKUM - UNISSULA

46

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi kedua undang-undang tersebut yang mengatur tentang otonomi daerah, tidak secara tegas menentukan urusan yang berkaitan dengan pertanahan khususnya pembagian kewenangan bidang pertanahan. Hal ini berbeda benar dengan Undang-Undang penggantinya pada masa reformasi yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang mulai berlaku tanggal 7 Mei 1999, menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom. Sebagai daerah otonom, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota oleh Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 diberi kewenangan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Mengenai apa kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota secara limitatif dinyatakan oleh Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu:

”Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa: ”dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya

Page 55: POLITIK HUKUM - UNISSULA

47

seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah.

Sedangkan kewenangan Daerah Provinsi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan dalam Pasal 9 yaitu kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, maka untuk bidang pertanahan tentunya kewenangan provinsi adalah yang bersifat lintas kabupaten dan kota.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Dengan tetap menegaskan apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai kewenangan pemerintah yang mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain, maka dalam peraturan pemerintah tersebut

dijelaskan apa yang disebut kewenangan bidang lain.

Yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain itu adalah meliputi:

a. kebijakan tentang perencanaan nasional dan pembangunan nasional secara makro,

b. dana perimbangan keuangan,

Page 56: POLITIK HUKUM - UNISSULA

48

c. sistem administrasi negara san lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,

d. pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,

e. konservasi dan f. standardisasi nasional.

Sebagai bagian dari bidang lain tersebut, dalam bidang pertanahan pemerintah mempunyai kewenangan: a. Penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah. b. Penetapan persyaratan landreform. c. Penetapan standar administrasi pertanahan. d. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan. e. Penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan

pelaksanaan pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde I dan II.

Kalau melihat kewenangan pemerintah di bidang pertanahan sebagaimana di atas, secara normatif pemerintah terlihat tetap konsisten dengan politik hukum Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang meletakkan otonomi pertanahan pada pemerintahan daerah yang dalam hal ini pemerintahan daerah kabupaten/kota. Penulis bisa menyatakan seperti ini karena apa yang disebut sebagai kewenangan pertanahan pemerintah sebagaimana di atas adalah bersifat kebijakan, dan memang seharusnyalah dalam wadah negara kesatuan kebijakan yang bersifat makro tetap ada pada pemerintah pusat.

Yang cukup menarik dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 adalah tidak adanya kewenangan dalam bidang pertanahan yang menjadi hak provinsi sebagai daerah otonom yang bersifat khusus kecuali

Page 57: POLITIK HUKUM - UNISSULA

49

berkaitan dengan persoalan lintas kabupaten/kota. Sementara pada bidang lain misalnya perhubungan, permukiman, tata ruang, pekerjaan umum, sosial dan lainnya, provinsi dalam posisi sebagai daerah otonom diberikan kewenangan. Ini menunjukkan bahwa bidang pertanahan baik berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pemerintahan daerah kabupaten/ kota.

Terhadap penyerahan seluruh kewenangan bidang pertanahan tersebut kepada pemerintahan daerah, Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa: ”kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia, sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.” Kenyataannya adalah bahwa penyerahan dan pengalihan apa yang dimaksudkan sebagai persyaratan bagi penyerahan kewenangan tersebut, yang di kalangan administrasi dikenal dengan P3D (prasarana, pembiayaan, personalia, dan dokumen), khusus mengenai bidang pertanahan, oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak pernah dilaksanakan. Fakta tersebut mengandung juga kenyataan, bahwa mengenai bidang pertanahan bagi penyerahan kewenangannya kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada pengakuan dari Pemerintah, padahal pengakuan itu merupakan juga syarat bagi terjadinya peralihan kewenangan yang dimaksudkan, sebagai yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 11 Undang-Undang No.

Page 58: POLITIK HUKUM - UNISSULA

50

22 Tahun 1999.71 Dari hal ini menunjukkan antara apa yang ditentukan dalam peraturan tidak terbuktikan dikenyataan.

Pada awal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara efektif yakni terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001, walaupun penyerahan P3D (prasarana, pembiayaan, personalia, dan dokumen) tidak dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional, berbagai kabupaten/kota sudah membentuk dinas ataupun kantor atau badan untuk menyelenggarakan kewenangan wajib bidang pertanahan tersebut.

Dengan situasi yang serba tidak jelas demikian ini, maka pada tanggal 17 Januari 2001 keluarlah Keppres No. 10/2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan. Pada prinsipnya Keppres ini memberlakukan kembali Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang telah ada. Hal ini karena peraturan pertanahan yang baru sesuai dengan prinsip otonomi daerah belum ditetapkan.

Untuk memperkuat aturan tersebut di atas, maka pada tanggal 17 Mei 2001 keluar lagi Keppres No. 62 /2001 yang menetapkan bahwa "sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya 2 (dua) tahun" {pasal 109 ayat (6)}. Kemudian, secara lebih tegas dan spesifik diatur lagi melalui Keppres No. 103 /2001 yang keluar pada tanggal 13 September 2001. Di sini ditentukan batas waktu penetapan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan

71 Boedi Harsono, Op.Cit., hlmn. 6.

Page 59: POLITIK HUKUM - UNISSULA

51

adalah 31 Mei 2003 (pasal 114). Dengan keluarnya 3 Keppres ini mengindikasikan Keppres dapat ‘mengalahkan’ UU dan PP, di samping itu dengan Keppres tersebut pemerintah cenderung menunda pelaksanaan otonomi daerah yang penuh, nyata, dan bertanggungjawab yang seharusnya dilaksanakan pada awal tahun 2001.

Perkembangan politik hukum selanjutnya mengenai pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintahan Daerah terjadi dengan adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 4 ketetapan MPR tersebut ditentukan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yaitu:

a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. Menjunjung dan menghormati HAM. c. Menghormati supermasi hukum dengan mengakomo-

dasikan keanekaragaman dalam unifikasi hukum. d. Mensejahterakan rakyat terutama melalui peningkatan

SDM. e. Mengembangkan demokrasi kepatuhan hukum dan

optimalisasi partisipasi masyarakat f. Mewujudkan keadilan termasuk kesejahteraan gender

dalam penguasaan pemilikan, penggunaan, peman-faatan, dan pemeliharaan SDA.

g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan.

Page 60: POLITIK HUKUM - UNISSULA

52

h. Melaksanakan fungsi-fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

i. Meningkatkan keterpaduan dan kondisi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan agraria dan pengelolaan SDA.

j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/SDA.

k. Mengupayakan keseimbangan hak da kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah, provinsi, kabupaten/kota, dan desa yang setingkat), masyarakat, dan individu.

l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa/yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/ SDA.

Dari apa yang ditentukan di dalam Tap MPR RI No. IX/MPR/2001 tersebut terlihat adanya kebijakan hukum yang bertolak belakang mengenai pemberian kewenangan bidang pertanahan dengan yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Pasal 11 UU UU No. 22/1999 menyatakan penyerahan kewenangan sepenuhnya tetapi Tap MPR IX/MPR/2001 mengamanahkan pembagian kewenangan.

Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR IX/MPR/2001 tersebut ditetapkanlah Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah di bidang

Page 61: POLITIK HUKUM - UNISSULA

53

pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan di bidang pertanahan yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) terdiri dari 9 kewenangan yaitu: a. Pemberian izin lokasi; b. Penyeleng-garan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. Penyelesaian sengketa tanah garapan; d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan untuk pembangunan; e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak ulayat; g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. Pemberian ijin membuka tanah; i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Dengan keluarnya Keppres 34 Tahun 2003 tersebut memperlihatkan adanya pelanggaran asas hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini karena Keppres tersebut menyimpangi norma yang telah ditentukan dalam PP 25 Tahun 2000, bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dalam PP 25 Tahun 2000 dan Undang-Undang 22 Tahun 1999 secara tegas dinyatakan urusan pertanahan merupakan urusan pemerintahan daerah kabupaten/Kota, sedangkan Keppres 34 Tahun 2003 sebagai peraturan yang lebih rendah mendeligitimasi hanya sembilan kewenangan pertanahan yang diberikan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Kekacauan penormaan yang ada pada Keppres 34 Tahun 2003 juga disinyalir oleh Boedi Harsono. Penyerahan sembilan kewenangan tersebut menurut Boedi Harsono, jelas bukan dalam rangka desentralisasi dalam bentuk otonomi, juga bukan medebewind (tugas

Page 62: POLITIK HUKUM - UNISSULA

54

pembantuan), karena apa yang disebut ”Pemerintah Kabupaten/Kota” itu bukan Daerah Kabupaten/Kota, melainkan Bupati/Walikota berikut aparat eksekutifnya. Juga bukan dalam rangka dekonsentrasi, karena Bupati/ Walikota dalam rangka Undang-undang Pemerintahan Daerah, bukan lagi Pejabat Pemerintah Pusat.72 Tetapi kenyataannya ada penugasan, apapun bentuknya, bukan medebewind, bukan dekonsentrasi. Lebih-lebih bukan otonomi.

Perkembangan selanjutnya adalah diterbitkannya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999. Lingkup kewenangan Daerah Otonom di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berbeda benar dengan rumusan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa: ”Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Ayat (2)-nya memberi penegasan bahwa: ”Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.

72 Boedi Harsono, Penyerahan Kewenangan Bidang Pertanahan

Kepada Daerah Otonom Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 (Suatu Tinjauan yuridis), Op.Cit., hlmn. 7

Page 63: POLITIK HUKUM - UNISSULA

55

Kewenangan yang menjadi urusan Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, ada yang merupakan urusan wajib dan ada yang bersifat pilihan. Yang merupakan urusan wajib bagi Pemerintahan Daerah Provinsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) adalah: a). Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b). Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c). Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d). Penyediaan sarana dan prasarana umum; e). Penanganan bidang kesehatan; f). Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g). Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h). Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i). Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j). Pengendalian lingkungan hidup; k). Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l). Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m). Pelayanan adminstrasi umum dan pemerintahan; n). Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o). Penyeleng-garaan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan, p). Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan wajib yang merupakan kewenangan bagi Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) adalah: a). Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b). Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c). Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d). Penyediaan sarana dan prasarana umum;

Page 64: POLITIK HUKUM - UNISSULA

56

e). Penanganan bidang kesehatan; f). Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g). Penanggulangan masalah sosial lintas ; h). Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i). Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah; j). Pengendalian lingkungan hidup; k). Pelayanan pertanahan; l). Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m). Pelayanan adminstrasi umum dan pemerintahan; n). Pelayanan administrasi penanaman modal; o). Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan, p). Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Untuk urusan yang bersifat pilihan baik yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ditentukan dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam Pasal 14 ayat (3) ditentukan bahwa terhadap pelaksanaan urusan baik yang wajib ataupun yang pilihan yang diberikan kepada Pemerintahan Daerah Provinsi maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan pemerintah. Sepanjang yang mengenai bidang pertanahan, urusan yang bersifat wajib meliputi ”pelayanan pertanahan”, yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Karena belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur apa itu pelayanan pertanahan dan urusan itu dalam bentuk apa, maka hal ini pada saat sesudah

Page 65: POLITIK HUKUM - UNISSULA

57

dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 berpotensi menjadi tarik ulur antara pemerintah (pemerintah pusat) dan pemerintahan daerah di bidang pertanahan. Lebih-lebih kalau dilihat ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1): ”Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”. Ayat (2) menentukan: ”dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”. Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) tersebut memberikan gambaran bahwa kewenangan (wajib) yang diberikan kepada pemerintahan daerah bisa dalam bentuk otonomi dan bisa dalam bentuk tugas pembantuan. Menjadi persoalan kewenangan pelayanan pertanahan itu dalam bentuk otonomi ataukah dalam bentuk tugas pembantuan?.

Untuk urusan yang bersifat pilihan baik yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi maupun daerah kabupaten kota ditentukan dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (2) yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam Pasal 14 ayat (3) ditentukan bahwa terhadap pelaksanaan urusan baik yang wajib ataupun yang pilihan yang diberikan kepada pemerintahan daerah provinsi,

Page 66: POLITIK HUKUM - UNISSULA

58

daerah kabupaten/kota akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan pemerintah.

Politik hukum kewenanagn di bidang pertanahan juga bisa kita lihat dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Cakupan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menurut Perpres ini sangat luas karena BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Semangat nasionalisme tergurat jelas pada bagian Menimbang (b) dari Perpres ini, dengan bahasa; “bahwa tanah merupakan perekat NKRI, karenanya perlu diatur dan dikelola secara nasional...”.

Dalam aturan sebelumnya, Keputusan Presiden No 95/2000 tentang BPN, disebut tugas BPN adalah pengaturan peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah, pengaturan hubungan hukum antara orang dan tanah serta pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum berkaitan dengan tanah. Aturan lama menyebut BPN mempunyai enam fungsi.

Perpres No 10/2006 ini tentu membuat berang kalangan pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam Rapat Koordinasi Asosiasi dan Badan Kerja Sama seluruh Indonesia dengan Depdagri, mereka memprotes Perpres No 10/2006 yang tidak memberi napas otonomi daerah. Itu sebabnya, APPSI dalam rapatnya 15 Mei 2006 merekomendasi prakarsa pengajuan konsep perubahan UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria agar selaras dengan asas desentralisasi, demi menampung tuntutan pelayanan pertanahan akibat perkembangan jumlah penduduk,

Page 67: POLITIK HUKUM - UNISSULA

59

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan tata ruang, kepastian hak-hak atas tanah, termasuk hak ulayat/adat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Ferry Tinggogoy mengatakan dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan, kewenangan pusat hanya ada enam bidang, sedangkan daerah mempunyai 30 bidang kewenangan. "Seharusnya kewenangan di bidang pertanahan diberikan kepada daerah karena mereka yang paling tahu tentang kepentingan masyarakat. Dengan Perpres No 10/2006 ini, malah semua kewenangan yang berkaitan dengan pertanahan diberikan kepada BPN," katanya. Ketua Dewan Pengurus Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia Soerya Respationo juga mengatakan secara logika hukum, pertanahan berkait dengan tata ruang daerah. Karena itu bila pertanahan sepenuhnya jadi wewenang pusat, akan muncul persoalan yang serius. Bukan hanya mereka yang memprotes Perpres No 10/2006, Depdagri pun memperjuangkan sebagian kewenangan pertanahan untuk daerah. Hampir satu tahun, draf revisi PP No 25/2000 tak juga selesai. Salah satu penyebab, alotnya pembahasan kewenangan bidang pertanahan antara BPN dan Depdagri. Sekretaris Jenderal Depdagri Progo Nurdjaman mengatakan ada perbedaan interpretasi di antara kedua instansi, Depdagri menggunakan UU No 32/2004, sementara BPN menggunakan UU No 5/1960 tentang Pokok- pokok Agraria.73

Perpres No. 10 Tahun 2006 ini patut dipersoalkan karena ia dianggap sebagai pembalikan terhadap proses

73 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/16/Politik hukum

/2732549.htm

Page 68: POLITIK HUKUM - UNISSULA

60

desentralisasi yang sebenarnya merupakan amanat konstitusi dan UU No. 32 Tahun 2004. Tentang ini ada beberapa yang dapat dicatat. Pertama, keluarnya Perpres ini menandakan kalahnya perjuangan otonomi. Kedua, Perpres ini bertentangan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan daerah memiliki otonomi luas untuk mengatur daerahnya sendiri kecuali urusan-urusan yang oleh UU diberikan kepada pemerintahan pusat. Ketiga, memang ada yang mengatakan bahwa masalah tanah menjadi urusan pemerintah pusat karena Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebut bahwa ”bumi...... dikuasai oleh negara”. Tetapi, pandangan ini dapat dibantah karena arti ”menguasai/dikuasai” pada dasarnya adalah ”mengatur/ diatur”. Jika ini dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, maka ia harus lebih diartikan sebagai mengatur secara desentralistik. Keempat, jika alasan keluarnya Perpres itu didasarkan keinginan untuk mengontrol daerah agar tidak mengkolusikan urusan pertanahan, maka alasan tersebut dapat dibantah dengan mengemukakan bahwa kemungkinan mengkolusikan urusan itu bisa terjadi baik di daerah maupun di pusat. Kelima, Jika keluarnya perpres tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa tanah merupakan perekat bangsa, maka semua unsur bangsa ini harus dianggap sebagai perkat ikatan bangsa. Perekat bangsa bukan hanya tanah, tetapi juga yang lain-lain.74

BPN merupakan instansi vertikal yang mana di samping di pusat, BPN juga ada di seluruh provinsi dalam bentuk kantor wilayah BPN dan di kabupaten/kota dengan nama Kantor Pertanahan. Ketentuan ini memang sesuai

74 Moh Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan

Konstitusi, op.cit., hlmn. 264

Page 69: POLITIK HUKUM - UNISSULA

61

semangat UUPA yang meletakkan bahwa pertanahan merupakan kewenangan pemerintah (pusat). Tetapi kalau dikaji secara harmonisasi peraturan, Perpres ini bertentangan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, hal ini karena urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah (pusat) menurut UU No. 32 Tahun 2004 meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Artinya pertanahan bukan merupakan urusan sepenuhnya pemerintah tetapi merupakan urusan wajib pemerintah daerah walau dengan istilah pelayanan pertanahan.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berkaitan dengan pembagian urusan pemerintahan, maka keluarlah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Di dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan ada 31 bidang urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yaitu: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan umum; d. Perumahan; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perhubungan; h. Lingkungan hidup; i. Pertanahan; j. Kependudukan dan catatan sipil; k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. Sosial; n. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. Penanaman modal; q kebudayaan dan pariwisata; r. Kepemudaan dan olahraga; s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,

Page 70: POLITIK HUKUM - UNISSULA

62

perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. statistik; w. Kearsipan; x. Perpustakaan; y. Komunikasi dan informatika; pertanian dan ketahanan pangan; aa. Kehutanan; bb. energi dan sumberdaya mineral; cc. Kelautan dan perikanan; dd. Perdagangan; ee. Perindustrian.

Di dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, Pertanahan (bukan dengan istilah pelayanan pertanahan sebagaimana ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004) dinyatakan merupakan salah satu dari 26 urusan wajib pemerintahan daerah. Urusan wajib dimaksudkan sebagai urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar.

Di dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 ditetapkan secara limitatif pembagian urusan di bidang pertanahan mana yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ada 9 urusan pemerintahan bidang pertanahan yang dilakukan pembagian antar susunan pemerintahan yaitu: Pemberian ijin Lokasi; Pengadaan tanah untuk kepentingan umum; Penyelesaian sengketa tanah garapan; Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; Penetapan Tanah Ulayat; Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; Izin membuka tanah; dan Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/Kota.

Page 71: POLITIK HUKUM - UNISSULA

63

Apa yang ditentukan di dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tersebut berbeda benar dengan apa yang diusulkan oleh Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dan Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI). APEKSI dan BKKSI melalui Tim Penyusunan Pembagian Kewenangan Urusan Pemerintahan Di Bidang Pertanahan Mewakili Kabupaten/ Kota sebagaimana dalam pokok-pokok pikiran usulan tertanggal 12 Mei 2005 mengusulkan pembagian urusan pelayanan pertanahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota terdiri dari:

a. Pengaturan, Penguasaan dan Pemilikan Tanah (Land Reform)

b. Penatagunaan tanah c. Pengurusan hak atas tanah d. Pengukuran dan pendaftaran tanah e. Penyelesaian sengketa tanah f. Penelitian dan pengembangan pertanahan g. Pengembangan dan pembinaan SDM Pertanahan

Untuk prinsip pembagian urusannya, APEKSI dan BKKSI mengusulkan: a. Kewenangan pemerintah pusat:

1) Perencanaan umum. 2) Perumusan kebijakan nasional 3) Penelitian dan pengembangan pertanahan 4) Penyusunan pedoman, norma dan standard

(obyek, subek, Hukum dan Hubungan Hukum, Resources)

5) Pengaturan pelaksanaan lintas Provinsi dan atau yang berdampak nasional

Page 72: POLITIK HUKUM - UNISSULA

64

6) Penyusunan dan pemeliharaan Jaringan informasi nasional pertanahan.

b. Provinsi 1) pengendalian dan pengawasan rencana 2) koordinasi perencanaan lintas kabupaten/kota 3) sosialisasi kebijakan nasional 4) koordinasi pelaksanaan program pertanahan lintas

kabupaten/kota 5) pengaturan pelaksanaan lintas kabupaten/kota 6) mengkompilasi dan pemeliharaan aplikasi jaringan

informasi pertanahan skala provinsi c. Kabupaten/Kota

1) perencanaan teknis 2) pelaksanaan dan penyelenggaraan urusan

pertanahan 3) penyusunan pedoman teknis 4) pelayanan masyarakat 5) pengawasan dan pengendalian pelaksanaan 6) pembuatan dan penyusunan dan pemeliharaan

sistem informasi manajemen pertanahan berbasis kelurahan/desa.

Dari usulan APEKSI dan BKKSI tersebut, sangat terlihat keinginan dari pemerintahan daerah khususnya pemerintahan daerah kabupaten/kota agar urusan pertanahan betul-betul sebagai urusan pemerintahan daerah. Artinya APEKSI dan BKKSI sangat tidak setuju adanya instansi vertikal dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional menjangkau sampai bawah. Tetapi ternyata pemerintah tidak bergeming dengan usulan APEKSI dan BKKSI ini dan tetap mempertahankan peran pemerintah di bidang pertanahan melalui Badan Pertanahan Nasional yang pada tingkat provinsi ditangani oleh Kantor Wilayah

Page 73: POLITIK HUKUM - UNISSULA

65

dan di tingkat kabupaten/kota oleh Kantor Pertanahan sebagaimana ditetapkan dalam Perpres 10 Tahun 2006.

Sebagaimana telah tersampaikan di depan, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinyatakan sebagai urusan wajib pemerintahan daerah adalah pelayanan pertanahan. Tetapi sesuatu yang menarik di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 sebagai penjabaran dan tindak lanjut dari Undang-undang tersebut istilah yang dipakai adalah pertanahan atau dalam lampiran peraturan pemerintah tersebut disebut sebagai bidang pertanahan (tanpa pelayanan-pen). Menurut hemat penulis adalah sesuatu yang aneh suatu peraturan pemerintah yang merupakan penterjemahan atau tindak lanjut dari suatu undang-undang berkaitan dengan urgennya suatu istilah bisa berbeda. Lagi-lagi ini menunjukkan begitu tidak konsisten dan sinkronnya di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, yang tentunya hal ini mengakibatkan kekaburan dan ketidakjelasan berkaitan dengan pemberian kewenangan bidang pertanahan. Lebih dari itu dari kacamata teori tangga (stufenbau theory) menunjukkan telah terjadi penyimpangan Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang.

Dari apa yang terurai di atas tertunjukkan bahwa formulasi politik hukum pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintahan daerah di Indonesia terjadi ketidakjelasan, ketidakkonsistenan dan ketidaksinkronan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) menetapkan dalam bentuk tugas pembantuan (medebewind), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Page 74: POLITIK HUKUM - UNISSULA

66

tentang Pemerintahan Daerah menetapkan dalam bentuk otonomi penuh kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam bentuk pembagian kekuasaan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan sebagai urusan wajib pemerintahan daerah dengan nama pelayanan pertanahan, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional menunjukkan bahwa urusan pertanahan adalah urusan pemerintah (pusat) dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan sebagai urusan wajib pemerintahan daerah dengan nama bidang pertanahan.

Kalau dikaji dari kacamata teori kewenangan, apa yang dilakukan pemerintah pusat dalam menentukan kewenangan bidang pertanahan dengan bentuk apapun adalah memang merupakan kewenangannya. Hal ini karena berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) urusan berkaitan dengan tanah merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagai hak menguasai negara atas tanah. Apakah tanah itu langsung diurusi sendiri (sentralisasi), dilimpahkan (dekonsentrasi), ditugas-bantukan (medebewind) atau diserahkan sebagai urusan wajib pemerintahan daerah (desentralisasi), UUD 1945 membolehkannya. Tetapi dari sisi kajian teori keadilan, politik hukum pemberian kewenangan pertanahan yang selama ini dilakukan pemerintah pusat yang bersifat tidak jelas, lebih dari itu antara aturan yang dibuat dan pelaksanaan yang tidak konsisten tentunya sangat

Page 75: POLITIK HUKUM - UNISSULA

67

merugikan kepentingan pemerintahan daerah dan terutama rakyat.

B. Pembagian Kewenangan Pertanahan

1. Kewenangan Pertanahan Pemerintah (pusat)

Sebagaimana dinyatakan dalam sub. Bab pertama, kewenangan pertanahan menurut UUPA ada ditangan pemerintah (pusat). Berdasarkan hak menguasai negara tersebut pada Pasal 2 UUPA, maka pemerintah (pusat) berwenang mengatur dan dan menetapkan berbagai segi peruntukan dan penguasaan tanah.

Di dalam menjalankan tugasnya tersebut berdasarkan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, kewenangan pemerintah (pusat) tersebut dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut Perpres No. 10 Tahun 2006, di dalam menjalankan tugas pengaturan dan penetapan di bidang pertanahan BPN melaksanakankan fungsi:

1) perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. 2) perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan 3) koordinasi kebijakan, perncanaan dan program di

bidang pertanahan 4) pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang

pertanahan. 5) penyelenggaraan survei, pengukuran dan pemetaan di

bidang pertanahan. 6) pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka

menjamin kepastian hukum 7) pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah

Page 76: POLITIK HUKUM - UNISSULA

68

8) pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agararia, dan penataan wilayah-wilayah khusus.

9) penyiapan administrasi atas anah yang dikuasai dan /atau milik negara/daerah bekerjasama dengan Departemen Keuangan.

10) pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah.

11) kerjasama dengan lembaga-lembaga lain. 12) penyelenggaraan dan kebijakan, perencanaan dan

program di bidang pertanahan. 13) pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan. 14) pengkajian dan penanganan masalah, sengketa,

perkara dan konflik di bidang pertanahan. 15) pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan. 16) penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan. 17) pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya

manusia di bidang pertanahan. 18) pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan. 19) pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang

berkaitan dengan bidang pertanahan. 20) pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara

orang dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perndang-undangan yang berlaku.

21) fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perudang-undangan yang berlaku.

Terhadap penjalanan fungsi sebagaimana tersebut, khususnya berkaitan dengan pelayanan pertanahan dilakukan pembagian kewenangan antara pemerintah (pusat), pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Page 77: POLITIK HUKUM - UNISSULA

69

Adapun perincian kewenangan pelayanan pertanahan berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Bidang Pertanahan yang masih langsung diurusi oleh pemerintah (pusat) adalah:

a. Berkaitan izin Lokasi berupa: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria ijin lokasi; 2) Pemberian ijin lokasi lintas propinsi 3) Pembatalan ijin lokasi atas usul pemerintah

Propinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi;

4) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin lokasi.

b. Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, meliputi: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria ijin lokasi; 2) Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas

propinsi; 3) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring

terhadap Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum.

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan, meliputi: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria Penyelesaian sengketa tanah garapan;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap Penyelesaian sengketa tanah garapan.

d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, meliputi: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

Page 78: POLITIK HUKUM - UNISSULA

70

pembangunan Penyelesaian sengketa tanah garapan;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.

e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, meliputi: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;

2) Pembentukan Panitia Pertimbangan landreform nasional;

3) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terha-dap Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

f. Penetapan tanah ulayat: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.

g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terha-dap Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.

Page 79: POLITIK HUKUM - UNISSULA

71

h. Izin membuka tanah: 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria izin membuka tanah dan pengendalian pemberian izin membuka tanah;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terha-dap pelaksanaan izin membuka tanah.

i. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota. 1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma,

standar, prosedur, dan kriteria perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota;

2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring ter-hadap perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota .

2. Kewenangan Pertanahan Pemerintahan Provinsi

a. Berkaitan izin Lokasi berupa: 1) Penerimaan permohonan dan pemeriksaan

kelengkapan persyaratan lintas Kabupaten/Kota; 2) Kompilasi bahan koordinasi, 3) pelaksanaan rapat koordinasi, 4) pelaksanaan peninjauan lokasi, 5) penyiapan berita acara koordinasi, 6) pembuatan peta lokasi, 7) penerbitan surat keputusan izin lokasi, 8) pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan

pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kab/kota,

9) monitoring dan pembinaan perolehan tanah. b. Berkaitan Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum berupa:

Page 80: POLITIK HUKUM - UNISSULA

72

1) Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota;

2) penetapan lokasi, 3) Pembentukan panitia, 4) pelaksanaan penyuluhan, 5) pelaksanaan inventarisasi, 6) Pembentukan tim penilai tanah (khusus propinsi

DKI) 7) penerimaan hasil penaksiran nilai tanah, 8) pelaksanaan musyawarah, 9) penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian, 10) pelaksanaan pemberian ganti kerugian, 11) penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya

ganti kerugian 12) pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan

tanah dihadapan kepala kantor pertanahan kabupaten Kota.

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan: 1) Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas

kabupaten/kota. 2) Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan

sengketa tanah garapan, 3) penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa,

pencegahan dampak sengketa tanah garapan, 4) koordinasi dengan kantor pertanahan untuk

menetapkan langkah-langkah penanganannya, 5) fasilitasi musyawarah antar pihak yang

bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para fihak.

d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pemangunan, meliputi:

Page 81: POLITIK HUKUM - UNISSULA

73

1) Penyelesaian masalah ganti kerugiaan dan santunan tanah untuk pembangunan,

2) Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugiaan dan santunan tanah untuk pembangunan.

e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, meliputi: 1) pembentukan panitia pertimbangan landreform

propinsi, 2) Penyelesaian permasalahan penetapan subyek

dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee,

3) Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.

f. Penetapan tanah ulayat, meliputi: 1) Pembentukan panitia peneliti lintas

kabupaten/kota, 2) penelitian dan kompilasi hasil penelitian, 3) pelaksanaan dengar pendapat umum dalam

rangka penetapan tanah ulayat, 4) Pengusulan rancangan peraturan daerah propinsi

tentang penetapan tanah ulayat, 5) penanganan masalah tanah ulayat melalui

musyawarah dan mufakat. g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah

kosong, meliputi: 1) Penyelesaian masalah tanah kosong, 2) Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian

masalah tanah kosong. h. Izin membuka tanah, meliputi:

Page 82: POLITIK HUKUM - UNISSULA

74

1) Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah;

2) pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah (tugas pembantuan)

i. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota kewenangan propinsi dalam hal perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/ kota yang berbatasan.

3. Kewenangan Pertanahan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

a. Berkaitan izin Lokasi berupa: 1) Penerimaan permohonan dan pemeriksaan

kelengkapan persyaratan, 2) kompilasi bahan koordinasi, 3) pelaksanaan rapat koordinasi, 4) pelaksanaan peninjauan lokasi, 5) penyiapan berita acara koordinasi, 6) pembuatan peta lokasi, 7) penerbitan surat keputusan izin lokasi, 8) pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan

pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kab/kota,

9) monitoring dan pembinaan perolehan tanah. b. Berkaitan Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum berupa: 1) penetapan lokasi, 2) Pembentukan panitia, 3) pelaksanaan penyuluhan, 4) pelaksanaan inventarisasi, 5) pembentukan tim penilai tanah,

Page 83: POLITIK HUKUM - UNISSULA

75

6) penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/tim penilai tanah,

7) pelaksanaan musyawarah, 8) penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian, 9) pelaksanaan pemberian ganti kerugian, 10) penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya

ganti kerugian, 11) pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan

tanah dihadapan kepala kantor pertanahan kabupaten Kota.

c. Penyelesaian sengketa tanah garapan: 1) Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan

sengketa tanah garapan, 2) penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa, 3) pencegahan dampak sengketa tanah garapan, 4) koordinasi dengan kantor pertanahan untuk

menetapkan langkah-langkah penanganannya, 5) fasilitasi musyawarah antar pihak yang

bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para fihak.

d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, meliputi: 1) pembentukan tim pengawasan pengendalian, 2) penyelesaian masalah ganti kerugian dan

santunan tanah untuk pembangunan. 4) pelaksanaan sidang yang membahas

inventarisasi subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee,

5) penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan absentee dan penerbitan SKnya.

Page 84: POLITIK HUKUM - UNISSULA

76

e. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, meliputi: 1) pembentukan panitia pertimbangan landreform

dan sekretariat panitia, 2) pelaksanaan sidang yang membahas hasil

inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanha absentee;

3) pembuatan hasil sidang dalam berita acara; 4) penetapan tanah kelebihan maksimum dan

tanah absentee sebagai obyek landreform berdasarkan hasil sidang panitia;

5) penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan sidang hasil panitia;

6) penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian;

f. Penetapan tanah ulayat, meliputi: 1) Pembentukan panitia peneliti, 2) penelitian dan kompilasi hasil penelitian, 3) pelaksanaan dengar pendapat umum dalam

rangka penetapan tanah ulayat, 4) pengusulan rancangan peraturan daerah tentang

penetapan tanah ulayat, 5) pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah

ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan,

6) penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat dalam rangka penetapan tanah ulayat.

Page 85: POLITIK HUKUM - UNISSULA

77

g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, meliputi: 1) Melakukan inventarisasidan identifikasi tanah

kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim;

2) penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim berdasarkan pihak lain berdasarkan perjanjian;

3) penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat;

4) fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam;

5) penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian..

h. Izin membuka tanah: 1) Penerimaan dan pemeriksaan permohonan, 2) pemeriksaan lapang dengan memperhatikan

kemampuan dan status tanah dan rencana umum tata ruang wilayah,

3) penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota;

4) pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah (tugas pembantuan).

j. Perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupaten/ kota, meliputi:

Page 86: POLITIK HUKUM - UNISSULA

78

1) pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/ kota;

2) Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari: a) peta pola penatagunaan tanah atau peta

wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat,

b) rencana tata ruang wilayah, c) rencana pembangunan yang akan menggu-

nakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun inves-tasi swasta.

3) Analisi kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait.

4) Penyiapan draf rencana letak kegiatan penggunaan tanah;

5) Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draf rencana letak kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait;

6) Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draf rencana letak kegiatan penggunaan tanah;

7) Penyusunan draf final rencana letak kegiatan penggunaan tanah;

8) Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/ walikota;

9) Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait;

10) Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangu-nan.

Page 87: POLITIK HUKUM - UNISSULA

79

C. Bentuk Kewenangan Pertanahan yang Tepat yang Bisa Diberikan oleh Pemerintah Kepada Pemerintahan Daerah.

Membicarakan bentuk kewenangan bidang pertanahan, maka tidak bisa dilepaskan dari pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sebagaimana teruraikan dalam sub bab A, kewenangan bidang pertanahan di Indonesia terjadi ketidakjelasan, UUPA menetapkan dalam bentuk tugas pembantuan (medebewind) kepada daerah swatantra. UU No 22 Tahun 1999 menetapkan dalam bentuk otonomi penuh atau penyerahan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota. Tap MPR IX/MPR/2001 dalam bentuk pembagian kekuasaan. Sementara UU No. 32 Tahun 2004 menetapkan urusan pertanahan dengan istilah pelayanan pertanahan menjadi urusan wajib pemerintahan daerah (Provinsi dan kabupaten/kota) tetapi tidak jelas apa otonomi ataukah tugas pembantuan (medebewind). Kondisi ketidakjelasan tersebut lebih diperparah lagi adanya Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang tidak menjelaskan penyerahan kewenangan bidang pertanahan dalam bentuk apa dan Perpres 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang menunjukkan bahwa urusan pertanahan adalah urusan pemerintah pusat.

Melihat ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yang

Page 88: POLITIK HUKUM - UNISSULA

80

diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI75 Yogyakarta, menyatakan pembaharuan hukum agraria tidak harus diartikan sebagai mengganti hukum agraria. Pembedahan filosofi dan dasar politik hukum memperlihatkan bahwa UUPA yang sekarang ada pada dasarnya bagus dan tetap responsif. Masalahnya terletak pada tataran pelaksanaanya yang menggeser nilai filosofi, nilai kepentingan, dan nilai sosial. Pembuatan peraturan pelaksanaan yang terkait dengan UUPA sangat lamban dan banyak hukum sektoral yang bertabrakan secara horizontal. Mengingat adanya dasar-dasar filosofi dan politik hukum yang sudah bagus, maka pembaharuan hukum agraria harus menguatkan dan memantapkan kembali politik hukum yang mendasari dan dimuat dalam UU No. 5 Tahun 1960, yakni populisme yang berpihak kepada rakyat.

Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) melalui Sekjennya Ferry Tinggogoy76 menilai permasalahan investasi yang paling parah adalah masalah pertanahan. Dengan keluarnya Perpres 10 Tahun 2006, bidang pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Aturan yang disahkan Presiden pada 11 April 2006 itu dinilai mengurangi kewenangan daerah dan bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Ferry menambahkan dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan kewenangan pusat hanya enam bidang, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan agama,

75 Rumusan Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006.

76 Kompas (Selasa, 6-6-2006)

Page 89: POLITIK HUKUM - UNISSULA

81

sedangkan daerah mempunyai 30 bidang kewenangan. Pendapat APPSI ini juga didukung oleh Asosiasi DPRD Kota seluruh Indonesia yang mengatakan secara logika hukum, pertanahan berkait dengan tata ruang daerah. Karena itu bila pertanahan sepenuhnya jadi wewenang pusat, akan muncul persoalan yang serius.

Asosiasi Pemerintah Pusat Seluruh Indonesia (APPSI) merekomendasikan revisi Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Mereka meminta pemerintah daerah diberikan kewenangan otonomi sesuai perundang-undangan. Menambahi apa yang disampaikan Ferry, Sutiyoso menyatakan77 ''Kami merekomendasikan agar Perpres Nomor 10 Tahun 2006 direvisi supaya tidak bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004,'' kata ketua umum APPSI saat memberikan sambutan Workshop RPP Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanahan, Komunikasi, dan Informatika.

Pertemuan Ilmiah Nasional “45 Tahun UUPA” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Trisakti78, mensikapi ketidakjelasan dalam perumusan politik hukum kewenangan di bidang pertanahan lebih condong menyatakan bahwa urusan pelayanan pertanahan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004

77 Republika (Rabu, 30-8-2006) 78 Rumusan hasil Pertemuan Ilmiah Nasional “45 Tahun UUPA”

diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta 21 September 2005.

Page 90: POLITIK HUKUM - UNISSULA

82

berbentuk tugas pembantuan (medebewind). Alasan yang dibangun adalah mencoba mensinkronkan ketentuan yang ada dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA dan UU No. 32 Tahun 2004. Menurut hasil pertemuan tersebut selain apa yang ditentukan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004, sungguh perlu diperhatikan apa yang ditentukan dalam ayat (5)-nya. Ayat tersebut menetapkan bahwa terdapat urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah diluar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pelaksanaan kewenangan urusan pemerintahan tersebut dapat: a. Diselenggarakannya sendiri sebagai urusan pemerintah; b. Dilimpahkan sebagian urusan pemerintah tersebut kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah (dekonsentrasi) atau; c. Ditugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Untuk menentukan bentuk apa yang paling tepat dalam kewenangan bidang pertanahan, penulis berpendapat: pertama, kita harus tetap memposisikan politik hukum pertanahan kita mestilah dipastikan dalam bingkai negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Kedua, sebagaimana di amanahkan dalam Pasal 33 UUD 1945, tujuan pengaturan kewenangan pertanahan adalah dalam rangka sebesar-besar kemakmuran rakyat, atau dalam bahasa Happy Warsito79 Politik Hukum Agraria yang seharusnya dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah dalam

79 Happy Warsito, Studi Terhadap Politik Hukum Agraria di

Indonesia, dalam Jurnal Hukum Terakreditasi Vol. XVI. No. 3 September 2006

Page 91: POLITIK HUKUM - UNISSULA

83

upaya mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah politik hukum agraria populis atau neo populis.

Berdasarkan kepentingan positioning di atas, pilihan apakah kewenangan pertanahan tetap merupakan kewenangan pemerintah pusat ataukah diserahkan menjadi kewenangan pemerintahan daerah harus tetap mengacu pada kepentingan persatuan Indonesia dan diletakkan dalam rangka sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam bahasa Abu Rokhmat80, persoalan berkaitan dengan politik pertanahan yang penting adalah bagaimana pengelolaan pertanahan ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, masalah hal tersebut akan dilakukan secara sentralisasi ataukah desentralisasi yang penting rakyat tidak kesulitan dan tidak mengalami hambatan birokrasi berkaitan dengan administrasi pertanahan. Di samping itu menurutnya tak kalah pentingnya perlunya dihilangkannya sifat otoritarianisme pemerintah yang represif dalam menyelesaikan sengketa tanah.

Apabila pilihan tetap dalam bentuk sentralisasi atau merupakan urusan kewenangan pemerintah pusat, maka sentralisasi kewenangan pertanahan ini seharusnya tidak mengurangi hak pemerintahan daerah dalam ikut

80 lihat juga hasil penelitian Abu Rohkmat dengan Judul

”Penyelesaian non Litigasi Sengketa Hak Atas Tanah (Analisis Sosial Legal Terhadap akar Masalah, Pola dan Revolusi Sengketa Hak Atas Tanah Perspektif Hukum Islam)” yang menyimpulkan ada 5 faktor penyebab sengketa tanah, 2 di antaranya yaitu: watak otoritarianisme pemerintah yang represif dalam menyelesaikan sengketa tanah dan strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber agraria (termasuk tanah) yang berubah dari populisme (Orde Lama) menuju kapitalisme (Orde Baru).

Page 92: POLITIK HUKUM - UNISSULA

84

membantu mengurusi urusan pertanahan. Dalam hal sentralisasi ini yang dipilih, idealnya kewenangan tersebut sebagian bisa diberikan dengan cara dilimpahkan/ didekonsentrasikan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah di tingkat provinsi atau ditugasbantukan kepada pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) berdasarkan asas medebewind (tugas pembantuan).

Lalu apa kewenangan-kewenangan yang bisa diberikan dalam bentuk tugas pembantuan kepada pemerintahan daerah tersebut yang tepat?, dalam hal ini menurut hemat penulis kewenangan yang bisa diberikan adalah yang menyangkut teknis pelayanan dan pelaksanaan operasional kebijakan pertanahan, sedangkan untuk penetapan kebijakan pertanahan harus tetap ditangan atau menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Dalam hal pilihan kewenangan pertanahan menjadi kewenangan pemerintahan daerah, maka daerah harus mampu menyelenggarakan urusan pertanahan itu sebaik-baiknya. Dalam rangka desentralisasi pertanahan ini seharusnya semua pembiayaan ditanggung APBD dan tidak perlu membebani APBN. Personel, peralatan dan teknologi harus siap sebagai konsekuensi dari desentralisasi. Yang tidak kalah pentingnya, karena masih dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, penetapan kebijakan pertanahan harus tetap ditangan atau menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Page 93: POLITIK HUKUM - UNISSULA

85

BAB IV

POLITIK HUKUM

PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. Pendahuluan

Peralihan hak atas tanah terhadap tanah-tanah hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai) bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak. Menurut Hukum Perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli waris, beberapa bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah. Hukum Tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris.

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau ”inbreng”, hibah- wasiat atau ”legaat”, dan lelang.

Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan

Page 94: POLITIK HUKUM - UNISSULA

86

perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah-wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia.

Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak.

1. Pewarisan Tanpa Wasiat

Menurut Hukum Perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Peralihan hak tersebut kepada ahli waris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli waris, beberapa bagian masing-masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah. Hukum Tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris.

Dalam waktu 6 bulan sejak meninggalnya pemegang hak para ahli warisnya wajib meminta pendaftaran peralihan haknya. Mengenai kelanjutan penguasaan tanah yang bersangkutan oleh para ahli waris yang tidak memenuhi persyaratan sebagai subyek haknya atau yang bertempat tinggal di luar kecamatan letak tanah yang diperolehnya atau melampaui batas maksimum yang ditetapkan dalam perundang-

Page 95: POLITIK HUKUM - UNISSULA

87

undangan landreform, ada ketentuannya khusus untuk mengakhiri.

2. Pemindahan Hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa :

a. jual-beli, b. tukar-menukar, c. hibah, d. pemberian menurut adat, e. pemasukan dalam perusahaan atau ”inbreng” f. hibah-wasiat atau ”legaat”, dan g. lelang.

Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah-wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia.

Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan

Page 96: POLITIK HUKUM - UNISSULA

88

hukum yang bersangkutan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang ”gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta yang ditangani para pihak menunjukkan secara nyata atau ”riil” perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian, ketiga sifat jual-beli, yaitu tunai terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara inplisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.

Dalam hal hibah wasiat hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima wasiat pada saat pemberi wasiat meninggal dunia. Hal itu pun baru diketahui oleh para pihak yang bersangkutan.

Untuk memperoleh suatu bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, untuk dicatat pada buku tanah dan sertipikat hak yang bersangkutan. Dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut pada setiap sertipikat haknya, diperoleh surat tanda bukti yang kuat. Demikian dinyatakan dalam Pasal 23, 32 dan 38 UUPA. Karena administrasi pendaftaran tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan dicatatnya pemindahan hak tersebut

Page 97: POLITIK HUKUM - UNISSULA

89

pada buku-tanah haknya, bukan hanya yang memindahkan hak dan ahli warisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui, bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.

B. Jual Beli Tanah

Jual-beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli pada saat mana pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.

Jual-beli mempunyai sifat: 1. Tunai/kontan

Jual beli pembayarannya harus secara tunai, tidak boleh diangsur.

2. Terang Jual beli harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Berhubung dengan itu, maka untuk memperoleh bukti bahwa jual belinya memang benar dilakukan, penjual dan pembelinya emang benar dilakukan, penjual dan pembeli harus datang ke PPAT, dengan maksud agar dibuat aktanya. Barangsiapapun dilarang membuat akta jual beli tanah jika ia tidak ditunjuk sebagai PPAT. Kepala Desa pun dilarang

Page 98: POLITIK HUKUM - UNISSULA

90

menguatkan jual beli yang tidak dibuat aktanya oleh PPAT.

3. Pemindahan hak Dengan dibuatnya Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka sekaligus hak milik atas tanah berpindah dari penjual kepada pembeli. Kemudian perpindahannya dicatatkan di Kantor Pendaftaran Tanah, Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya setempat.

C. Tukar Menukar Tanah

Hak milik atas sebidang tanah dapat juga beralih karena tanahnya ditukar dengan tanah lain atau benda lainnya. Bedanya dengan peralihan karena jual beli adalah bahwa dalam hal tukar menukar pemilik memperoleh benda lain sebagai ganti daripada tanah hak milik yang diserahkan itu. Sebagaimana halnya dengan jual beli, maka tukar menukar tanah bukan diartikan sebagai suatu perjanjian dalam mana seorang pemilik tanah berjanji akan menyerahkannya kepada pihak lain, akan tetapi merupakan perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada pihak yang menukarnya. Oleh karena itu tidak diatur dalam hukum perjanjian, akan tetapi termasuk hukum tanah.

D. Hibah Tanah

Sebagaimana halnya dengan jual beli dan tukar menukar maka hibah tanahpun bukan merupakan perjanjian yang pelaksanannya masih harus dipenuhi

Page 99: POLITIK HUKUM - UNISSULA

91

dalam bentuk penyerahan haknya secara yuridis kepada pihak yang menerima hibah, melainkan merupakan perbuatan hukum yang berujud beralihnya hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada yang diberi hibah itu. Bedanya dengan jual beli adalah bahwa dalam hal hibah, pemilik tidak menerima apapun sebagai ganti daripada tanah yang dihibahkan itu. Sebagai perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah maka hibah diatur dalam hukum tanah.

E. Hibah wasiat Tanah

Pemberian tanah hak milik dengan wasiat dilakukan sewaktu pemiliknya masih hidup, tetapi berlainan dengan hibah yang disebutkan dalam uraian di atas, haknya baru beralih setelah ia meninggal dunia. Selama ia belum meninggal dunia, maka apa yang diwasiatkan itu masih dapat ditarik kembali. Pemberian tanah hak milik dengan wasiat sebagai yang juga disebutkan dalam Pasal 26 UUPA harus diartikan sebagai perbuatan hukum dari pemilik sewaktu ia masih hidup yang berupa penunjukkan orang atau orang-orang tertentu (bisa juga badan-badan hukum tertentu), yang akan memperoleh tanah atau tanah-tanah tertentu atau semua tanah yang termasuk harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia. Perbuatan itu dalam hukum waris barat disebut ”legaat” dan dilakukan secara tertulis dalam bentuk wasiat atau testamen (Pasal 957 KUHPerdata). Dalam hukum waris adat dan hukum waris islam sering disebut dengan hibah wasiat.

Page 100: POLITIK HUKUM - UNISSULA

92

F. Lelang Tanah

Yang dimaksudkan adalah lelang eksekutorial, yaitu lelang yang diselenggarakan sebagai pelaksanaan daripada suatu putusan pengadilan atau berdasarkan hak khusus dari seorang kreditur, jadi harus melalui pejabat lelang. Bukan lelang yang diadakan atas permintaan pemilik sendiri. Untuk mencatatkan peralihan haknya tidak perlu dengan akta PPAT tetapi cukup disampaikan kutipan otentik dari Berita Acara lelangnya.

Page 101: POLITIK HUKUM - UNISSULA

93

BAB V

POLITIK HUKUM JAMINAN ATAS TANAH

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan bermasyarakat di manapun juga, interaksi antar anggota masyarakat pasti terjadi. Salah satu interaksi antar anggota masyarakat adalah hubungan utang-piutang. Pada awalnya hubungan utang-piutang didasarkan pada kepercayaan antara pemberi hutang (kreditur) dan penerima hutang (debitur) dalam kerangka tolong menolong.

Perkembangan lebih lanjut dari hubungan utang-piutang adalah munculnya lembaga perkreditan modern yang lebih didasarkan pada motif ekonomi. Dalam perkreditan modern ini, penyedia modal sebagai fihak yang memiliki dana berkeinginan mendapatkan untung dari usaha meminjamkan dananya kepada fihak lain yang membutuhkan dana untuk menjalankan usahanya. Lembaga yang khusus bergerak di bidang penyediaan dan penyaluran dana ini yang selanjutnya mewujud dalam bentuk lembaga perbankan, dalam menjalankan usahanya membutuhkan kepastian pengembalian dana yang dipinjamkannya. Berdasarkan kepentingan inilah muncul adanya jaminan agar pelunasan hutang itu terpenuhi.

Dari sisi hukum, pemberian jaminan ini dibedakan berdasarkan obyek yang dijadikan jaminan. Obyek jaminan oleh undang-undang secara garis besar di bagi menjadi dua, yaitu obyek yang dikategorikan sebagai benda tidak

Page 102: POLITIK HUKUM - UNISSULA

94

bergerak dan obyek yang dikategorikan sebagai benda bergerak. Salah satu jaminan yang dapat diberikan dalam bentuk benda tidak bergerak adalah tanah. Lembaga hak jaminan atas tanah (zekerheidsrechten) sekarang ini adalah Hak Tanggungan.

Berkenaan dengan hal di atas maka modul ini akan membahas perkembangan dan pengaturan hak Jaminan atas tanah yang dari runutannya terdiri dari lembaga Hipotheek, Creditverband, Fiduciare Eigendom Overdracht dan Hak Tanggungan.

B. Hak Jaminan Atas Tanah Pada Masa Sebelum Keluarnya UUPA

1. Jenis-Jenis Hak Jaminan Atas Tanah pada Masa Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda, selain hak-hak atas tanah yang beraneka ragam, hukum tanahpun mengenal perangkat hak jaminan atas tanah yang bersifat dualistik juga. Untuk tanah-tanah hak eigendom, hak erfpacht, dan hak opstal disediakan hypotheek sebagai lembaga hak jaminan atas tanah. Hukum materiil hypotheek pengaturannya terdapat dalam KUHPerdata Pasal 1162 sampai dengan 1332. Tata cara pembebanannya dan penerbitan surat tanda bukti haknya diatur dalam Overschrijvings Ordonnantie 1834 (Stb. 1834-27). Untuk tanah-tanah hak milik adat lembaga jaminannya adalah Credietverband, yang diatur hukum materiilnya, tata cara pembebanan serta penerbitan surat tanda bukti haknya dalam Stb. 1908-542 jo 1909-584.

Page 103: POLITIK HUKUM - UNISSULA

95

Bagi hypotheek pembebanannya dilakukan di hadapan Overschrijvings Ambtenaar yang membuat aktanya. Sedang bagi Credietverband, pejabat yang membuat aktanya adalah Wedana. Oleh pejabat-pejabat tersebut diterbitkan surat tanda bukti adanya hipotheek dan Credietverband yang bersangkutan, berupa salinan akta yang dibubuhi irah-irah dengan kata-kata seperti putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat-surat tanda bukti tersebut dikenal dengan sebutan grosse acte Hypotheek dan grosse acte Credietverband.

Selain Hypotheek dan Credietverband sebagai hak jaminan atas tanah yang hukumnya tertulis, sejak jaman Hindia Belanda di Indonesia digunakan juga lembaga fiduciaire eigendom overdracht atau FEO sebagai hak jaminan atas tanah. FEO atau yang sekarang umum disebut fidusia adalah lembaga yang diciptakan oleh masyarakat di negeri Belanda dalam penunjukan benda-benda bergerak sebagai jaminan kredit yang tidak dapat menggunakan lembaga “pand” (gadai). Hukumnya tidak tertulis yang kemudian dikuatkan oleh yurisprudensi (“Bierbrouwerij Arrest” Hoge Raad Belanda). Perbuatan hukumnya adalah pemindahan hak atas benda yang bersangkutan kepada kreditor, tetapi dengan persetujuan dan pengertian bersama atas dasar saling percaya, bahwa hal itu semata-mata dimaksudkan hanya sebagai jaminan kredit, seperti pand. Bedanya dengan pand, adalah bahwa selama utang piutangnya berlangsung, benda yang dijadikan jaminan tetap dikuasai dan digunakan oleh debitor. Di negeri Belanda FEO tidak

Page 104: POLITIK HUKUM - UNISSULA

96

digunakan untuk tanah, karena untuk semua tanah dapat digunakan hypotheek81

Lebih lanjut Boedi Harsono menyatakan di Hindia Belanda, pada saat itu ada tanah-tanah yang dijumpai dengan hak-hak yang memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan kredit, tetapi tidak dapat dijadikan jaminan dengan hypotheek, karena oleh undang-undang tidak ditunjuk sebagai obyek hypotheek. Sebagai contoh adalah hak-hak grant di Sumatera Timur. Hak-hak tersebut memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan kredit, karena mempunyai nilai yang dapat dihitung dengan uang dan dapat pula dipindahkan kepada pihak lain, biasanya dengan cara cessie. Hak-hak itupun didaftar. Karena tidak ditunjuk oleh undang-undang sebagai obyek hypotheek, maka digunakanlah lembaga FEO. Biarpun hukumnya tidak tertulis, lembaga ini memberikan juga kedudukan preferen kepada kreditor. Dalam hubungannya dengan debitor, kedudukannya sama dengan pemegang hypotheek. Dalam hal terjadi cidera janji pada pihak debitor, tanah yang bersangkutan bukan terus dimilikinya, melainkan harus dijualnya lelang untuk pelunasan piutangnya.

2. Keistimewaan Hipotheek dan Creditverband

Hypotheek demikian juga creditverband adalah penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditor, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitor cidera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya, dan mengambil seluruh atau sebagian

81 Boedi Harsono, Op.cit hal. 58

Page 105: POLITIK HUKUM - UNISSULA

97

hasilnya untuk pelunasan piutangnya tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain (droit de preference). Selain berkedudukan mendahului, kreditor pemegang hak jaminan atas tanah tetap berhak menjual lelang tanah yang dijadikan jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite).

Kedua keistimewaan ini mengatasi kelemahan perlindungan yang diberikan secara umum kepada setiap kreditor oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut, seluruh kekayaan debitor merupakan jaminan bagi pelunasan utang kepada semua kreditornya. Kalau hasil penjualan harta kekayaan debitor itu tidak cukup untuk melunasi piutang semua kreditornya, tiap kreditor hanya akan memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutang masing-masing. Kalau seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut oleh debitor dipindahkan kepada pihak lain, harta kekayaan yang sudah dipindahkan itu bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan piutang kreditor. Demikian dua kelemahan jaminan umum yang diberikan oleh Hukum kepada setiap kreditor (“Kreditor konkuren”). Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah disebut “Kreditor preferen” atau kreditur yang diistimewakan.

Untuk dapat dijadikan jaminan utang tanah yang bersangkutan, harus mempunyai nilai yang dapat dihitung dengan uang, karena akan merupakan jaminan bagi pelunasan suatu piutang yang berupa uang, juga harus dapat dipindahtangankan, karena jika debitor

Page 106: POLITIK HUKUM - UNISSULA

98

cidera janji tanah yang dijadikan jaminan akan dijual. Untuk bisa dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah. Selain dipenuhi kedua syarat tersebut, tanah yang bersangkutan haknya harus termasuk golongan yang didaftar dan secara tegas ditunjuk oleh Undang-undang sebagai obyek lembaga hak jaminan yang bersangkutan.

Hipotik dan creditverband sebagai lembaga hak jaminan atas tanah memiliki ciri-ciri:82

a. Merupakan perjanjian yang accesoir, di samping adanya perjanjian pokok yang berwujud perjanjian pinjam meminjam uang Pasal 1162 KUHPerdata. Karena merupakan perjanjian yang accesoir, maka tergantung pada perjanjian pokok dan akan hapus dengan hapusnya perjanjian pokok.

b. Mempunyai sifat zaaks gevolg, yaitu Hak Tanggungan itu senantiasa mengikuti bendanya dalam tangan siapa benda itu berada (droit de suit) sebagaimana diatur dalam Pasal 1163 ayat (2) KUHPerdata.

c. Lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang lain (droit de preference) Pasal 1163, Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata.

d. Obyeknya adalah benda-benda tetap, yaitu yang dapat dipakai sebagai jaminan adalah benda-benda tetap baik yang berwujud maupun yang berupa hak-hak atas tanah.

e. hanya berisi hak untuk pelunasan hutang (verhaalsrecht) dan tidak mengandung hak untuk

82 Sri Soedewi Maschoen Shofwan , Hukum Jaminan Atas Tanah,

liberty, Jakarta, 1981 hlmn. 6

Page 107: POLITIK HUKUM - UNISSULA

99

menguasai/memiliki bendanya, namun diberikan hak untuk memperjanjikan menjual atas kekuasaan sendiri bendanya manakal debitur wanprestasi Pasal 1178 ayat (10), ayat (2) KUHPerdata.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa apabila debitur cidera janji kepada kreditur, maka pemegang jaminan atas tanah berhak untuk menjual obyek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukum yang berlaku dan mengambil pelunasan tersebut. Meskipun obyek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain kreditur pemegang Hak Tanggungan masih tetap berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum apabila debitur cidera janji.

C. Hak Jaminan Atas Tanah Masa 1960-1996

Dengan keluarnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria yang sering disebut dengan UUPA terjadi perubahan yang cukup mendasar tentang penamaan lembaga hak jaminan atas tanah. Dalam rangka mengadakan unifikasi hukum Tanah Nasional maka UUPA menyediakan lembaga hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama Hak Tanggungan sebagai pengganti Hypotheek dan creditverband. Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga Hak Jaminan atas tanah yang ketentuannya diatur dalam hukum tertulis. Tetapi mengenai Hak Tanggungan tersebut Undang-undang Pokok Agraria baru menetapkan obyeknya yaitu: Hak Milik, Hak Guna

Page 108: POLITIK HUKUM - UNISSULA

100

Usaha, Hak Guna Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25, 33 dan 39. Dalam Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa hak tanggungan tersebut harus ditetapkan dalam undang-undang. Dalam hal undang-undang tentang Hak Tanggungan belum ada maka menurut Pasal 57 UUPA maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai hyphoteek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190.

Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 57 sebagai Pasal Peralihan maka sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria kecuali mengenai obyeknya yang sudah ditunjuk sendiri oleh Undang-undang Pokok Agraria terhadap Hak Tanggungan diberlakukan ketentuan-ketentuan hypotheek dan credietverband. Ketentuan-ketentuan tersebut mengenai baik hukum materialnya maupun tata cara pembebanan serta penerbitan surat tanda bukti haknya.

Dengan mulai diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1961, ketentuan-ketentuan hyphoteek dan creditverband yang mengatur tatacara dan penerbitan surat tanda bukti haknya tidak diperlukan lagi atau menjadi tidak berlaku lagi. Lebih lanjut dengan keluarnya Undang-undang nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, maka tatacara pembebanan dan penerbitan sertifikatnya dikukuhkan menggunakan PP 10 Tahun 1961. Dalam Undang-undang Rumah Susun itu diadakan juga kemungkinan adanya roya

Page 109: POLITIK HUKUM - UNISSULA

101

partial, menyimpang dari asas yang terdapat dalam Pasal 1163 KUHPerdata. Demikian juga terdapat penyimpangan dari ketentuan Pasal 1211 KUHPerdata, dengan dimungkinkannya diadakannya eksekusi hipotheek melalui penjualan di bawah tangan. Juga diatur kemungkinan diikutsertakannya bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah untuk dibebani hypotheek, baik bangunan yang sudah ada maupun yang masih akan dibangun atau ditanam kemudian.

Dengan demikian terlihat, ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek dan creditverband sebagai pelengkap ketentuan Hak Tanggungan tambah lama menjadi tambah berkurang, dengan dilengkapinya ketentuan Hak Tanggungan tersebut dengan ketentuan-ketentuan baru sebelum terbentuknya undang-undang yang akan mengatur hak Tanggungan secara menyeluruh.

Secara garis besar, maka pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1996, peraturan yang mengatur hak Tanggungan adalah:

a. mengenai obyeknya: UUPA, dan UU no. 16/1985 tentang Rumah Susun.

b. mengenai tatacara pembebanannya: UUPA, UU 16/1985 dan PP 1019/61

c. mengenai penerbitan tanda buktinya: UUPA, UU 16/1985 dan PP 10/1961

d. mengenai roya dan eksekusinya: sebagian mendapat pengaturan di UU 16/1985.

e. mengenai hal-hal lain: untuk sementara berlaku ketentuan-ketentuan Hypotheek dan creditverband.

Page 110: POLITIK HUKUM - UNISSULA

102

D. Hak Jaminan Tanah Menurut UUHT

1. Pengertian Hak Tanggungan

Setelah 36 tahun diamanahkan dalam UUPA agar Hak Tanggungan ditetapkan dalam suatu Undang-undang, baru pada tahun 1996 Hak Tanggungan betul-betul diatur secara menyeluruh berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggung-an atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah atau disingkat UUHT. Dengan keluarnya UUHT, maka hak jaminan atas tanah sudah tidak lagi menggunakan ketentuan-ketentuan hyphoteek dan creditverband. Artinya secara formal maupun substansial lembaga hak jaminan atas tanah adalah Hak Tanggungan dan ketentuan-ketentuan hypotheeek dan creditverband sudah tidak berlaku lagi sebagai lembaga hukum bagi jaminan atas tanah.

Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dmaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur-kreditur yang lain.

2. Asas-asas Hak Tanggungan

Asas-asas Hak Tanggungan dapat diidentifika-sikan minimal sebagai berikut:

Page 111: POLITIK HUKUM - UNISSULA

103

a. Asas preference ( Hak yang didahulukan)

Sebagai asas utama hak jaminan, maka Hak Tanggungan sebagai hak jaminan atas tanah memberikan pengutamaan kepada kreditur pemegang hak tanggungan untuk terlebih dahulu dipenuhi pelunasan piutangnya apabila terjadi wanprestasi dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, tanah yang dijadikan jaminan utang dijual lelang, dan hasil penjual-lelangan tersebut diberikan kepada kreditur preferent. Jika ada beberapa kreditur, maka yang didahulukan adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan. jika masih bersisa dikembalikan kepada debitur atau diserahkan kepada kreditur lain secara konkurent (pari passu) atas persetujuan debitur. Tetapi kalau debitur tidak menyetujui maka kreditur konkuren bisa mendapatkan pelunasan hutang harus mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan.

b. Asas droit de suite

Asas ini disebut sebagai asas hak kebendaan. Maksudnya, Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada. Dalam hal misalnya tanah tersebut beralih kepemilikan pada orang lain setelah terjadinya Hak Tanggungan, kreditur tetap memiliki hak untuk melakukan penuntutan dan eksekusi terhadap obyek Hak Tanggungan jika debitur wanprestasi.

c. Asas Spesialitas

Asas ini mensyaratkan adanya perincian secara jelas mengenai obyek apa dan yang mana

Page 112: POLITIK HUKUM - UNISSULA

104

yang dijadikan jaminan hak tanggungan. Apa saja yang harus dirincikan berkaitan dengan obyek hak tanggungan ditetapkan dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c UUHT.

d. Asas Publisitas

Pemberian Hak tanggungan wajib didaftarakan pada Kantor Pertanahan dan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.

e. Asas Assesoir

Hak Tanggungan adalah perjanjian tambahan (assesoir) dan tidak merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstanddigerecht) . Artinya tidak mungkin ada Hak Tanggungan kalau tidak ada perjanjian utang-piutang/kredit.

f. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Asas ini menyatakan adanya parate eksekusi. Hal ini dimaksudkan bahwa Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial tersebut terwujudkan karena adanya pencantuman irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Sertifikat Hak Tanggungan

g. Asas perlekatan.

Asas ini menyatakan bahwa benda-benda yang melekat sebagai kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum pokok dari benda utamanya. Penerapan asas ini didasarkan pada perjanjian, yaitu jika para pihak sepakat, maka harus

Page 113: POLITIK HUKUM - UNISSULA

105

dituangkan secara tegas dalam Akte Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Hal ni dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan penjelasan umum angka 6 UUHT.

h. Asas Iktikad Baik

Asas ini mengutamakan adanya kejujuran dari para pihak di dalam pelaksanaan Hak Tanggungan. Pengertian iktikad baik di dalam Hak Tanggungan sebagai bagian Hak Kebendaan mempunyai arti subyektif. Hal ini berbeda dengan hukum perjanjian, di mana iktikad baik bersifat obyektif yaitu kepatutan yang berlaku di dalam lalu lintas masyarakat.

i. Asas Pemisahan Horisontal

Asas ini sebenarnya berasal dari konsep hukum adat yang menyatakan bahwa kepemilikan seseorang terhadap tanah tidak otomatis memiliki bangunan yang ada di atasnya. Agar suatu bangunan bisa menjadi obyek dari hak Tanggungan, maka harus secara limitatii bangunan iti dicantumkan sebagai obyek hak Tanggungan dalam APHT.

j. Asas Sistem Tertutup

Asas ini menetapkan bahwa obyek hak Tanggungan bersifat pasti, yaitu apa yang secara pasti dtetapkan dalam UUHT atau undang-undang lainnya. Apabila misalnya ada hak atas tanah tetapi hak atas tanah itu tidak ditetapkan sebagai obyek Hak tanggungan, maka tanah tersebut tidak bisa dijadikan obyek hak tanggungan.

Page 114: POLITIK HUKUM - UNISSULA

106

3. Obyek Hak Tanggungan

Secara umum, suatu benda dalam hal ini tanah dapat dijadikan jaminan hutang dalam hal tanah tersebut: a. Dapat dinilai dengan uang. Hal ini karena utang

yang dijamin adalah uang dan tentunya pengembalianya juga harus berbentuk uang atau dapat dinilai dengan uang;

b. Bersifat dapat dipindahtangankan. Ini dimaksudkan dalam hal ternyata debitur wanprestasi tidak dapat membayar utangnya, maka tanah tersebut dapat dijual lelang/ dipindahtangankan kepada pihak lain;

c. Merupakan hak yang didaftar. Maksudnya adalah tanah tersebut merupakan tanah yang telah terdaftar atau bersertifikat sesuai ketentuan pendaftaran tanah;

d. Ditunjuk secara khusus oleh Undang-undang. Artinya walaupun tanah itu merupakan tanah yang bersertifikat, tetapi apabila tidak ditunjuk oleh undang-undang sebagai obyek yang bisa dijadikan jaminan utang, maka tanag tersebut tidak bisa dijadikan jaminan utang.

Di dalam UUHT yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah: a. Hak milik, b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai Atas tanah Negara e. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik atas

Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.

Page 115: POLITIK HUKUM - UNISSULA

107

f. Bangunan, tanaman dan Hasil Karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan.

g. Bangunan, tanaman dan Hasil Karya yang akan ada kemudian dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan atau disebut juga sebagai construction loan

4. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

a. Tahap pertama: janji akan memberikan Hak Tanggungan

Janji ini wajib dituangkan dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang berkaitan dengan persoalan utang piutang. Perjanjian ini dengan sendirinya harus tertulis. Bisa berupa akta di bawah tangan, bisa juga berbentuk otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur tentang materi perjanjian yang bersangkutan.

b. Tahap kedua: Tahap pemberian Hak Tanggungan

Tahap ini dilakukan di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT di sini bisa PPAT camat yang sifatnya ex officio ataupun PPAT Notaris. Pemberian Hak Tanggungan dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1996. Formulirnya disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor-kantor Pos.

APHT dibuat rangkap 2 yang semuanya asli (In Originali), ditandatangani oleh Pemberi Hak

Page 116: POLITIK HUKUM - UNISSULA

108

Tanggungan, kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan 2 orang saksi dan PPAT yang bersangkutan. Dalam pembuatan APHT tidak ada minuut dan juga tidak dibuat salinannya dalam bentuk “grosse”. Satu APHT disimpan di kantor PPAT, satu lainnya dan salinannya yang sudah diparaf PPAT beserta warkah-warkah yang diperlukan disampaikan kepada kepala Kantor Pertanahan setempat. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT, penyampaiannya wajib dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari setelah ditandatangani.

Pada tahap pemberian Hak Tanggungan ini harus dipenuhi syarat spesialitas, sehingga dalam APHT minimal harus dicantumkan: 1) Nama dan identitas pemberi dan penerima HT 2) domisili pihak-pihak tersebut. 3) penunjukan secara jelas utang atau utang-utang

yang dijamin, yang meliputi juga nama dan identitas debitor, kalau pemberi HT bukan debitor.

4) Nilai Tanggungan yang diperjanjikan. 5) Uraian yang jelas mengenai Obyek HT.

Ketentuan mengenai isi APHT tersebut sifatnya wajib bagi sahnya pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kalau tidak dicantumkan secara lengkap APHT yang bersangkutan batal demi hukum.

Pada prinsipnya pemberian HT wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh pemberi HT sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Hanya apabila benar-benar berhalangan, kehadirannya untuk memberikan HT dan

Page 117: POLITIK HUKUM - UNISSULA

109

menandatangani APHT dapat dikuasakan kepada pihak lain.

Dalam pemberian kuasa pemberian Hak Tanggungan disyaratkan, kuasa itu harus bersifat notariil yaitu dibuat dihadapan seorang notaris atau PPAT dengan suatu akta otentik yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Bentuk dan isi SKMHT ditetapkan dengan peraturan Kepala BPN dan formulirnya disediakan oleh BPN. SKMHT juga dibuat dalam bentuk in originali yang dibuat rangkap 2 yang ditandatangani oleh pemberi kuasa, penerima kuasa, 2 orang saksi dan notaris atau PPAT yang membuatnya. Selembar disimpan oleh kantor notaris atau PPAT yang bersangkutan, lembar satunya diberikan kepada penerima kuasa untuk keperluan pemberian HT dan pembuatan APHT.

SKMHT tersebut berjangka waktu selambat-lambatnya satu bulan apabila tanah yang dijadikan jaminan sudah bersertifikat. Dalam hal tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat, jangka waktu penggunaannya dibatasi tiga bulan. Artinya apabila dalam jangka waktu tersebut belum dilanjutkan dengan pembuatan APHT, maka SKMHT menjadi gugur.

c. Tahap ketiga: Pendaftaran Hak Tanggungan

Tahap ini dilakukan di kantor Pertanahan Kabupaten/kota setempat. Proses yang terjadi dalam pendaftaran Hak Tanggungan ini dimulai dengan pembukuan Hak tanggungan dalam Buku-Tanah HT oleh Kepala Kantor Pertanahan. Dengan dibuatnya buku tanah tersebut Hak Tanggungan yang

Page 118: POLITIK HUKUM - UNISSULA

110

bersangkutan telah lahir dan kreditor menjadi kreditor pemegang Hak Tanggungan dengan kedudukan mendahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Setelah dicatat dalam buku tanah HT, maka HT tersebut oleh kepala Kantor Pertanahan menyalin adanya Hak Tanggungan dalam sertifikat Hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan jaminan. Dalam waktu tujuh hari kerja setelah dibuatnya buku-tanah HT oleh kepala Kantor Pertanahan diterbtkan sertifikat HT sebagai surat tanda bukti adanya HT yang bersangkutan. Tahap ketiga ini disebut juga sebagai tahap pemenuhan asas publisitas yaitu tahap pihak lain mengetahui adanya Hak Tanggungan dengan jaminan tanah yang tertentu.

5. Hapusnya Hak Tanggungan

Hak Tanggungan dinyatakan hapus apabila: a. Hapusnya piutang yang dijamin sebagai

konsekuensi sifat accesoir Hak Tanggungan. b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh kreditor

pemegang Hak tanggungan, yang disyaratkan dengan akta dan diberikan kepada Pemberi Hak tanggungan.

c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli obyek Hak Tanggungan, jika hasil penjualan obyek Hak Tanggungan tidak cukup melunasi semua utang debitur. Jika tidak dilakukan pembersihan Hak Tanggungan, HT yang bersangkutan akan tetap membebani obyek yang dibeli.

Page 119: POLITIK HUKUM - UNISSULA

111

d. Hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan. etapi di sini tidak menyelesaikan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang kreditor masih tetap ada tetapi tidak lagi piutang yang dijamin secara khusus berdasarkan kedudukan istimewa kreditor atau dia hanya sekedar kreditor konkuren.

6. Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi hak tanggungan dilakukan dalam hal debitur wanprestasi (cidera janji) tidak melunasi hutangnya sebagaimana waktu yang disepakati. Eksekusi dilakukan dengan cara obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tatacara yang ditentukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah ditentukan pemenang lelang, maka uang hasil lelang tersebut menjadi hak dari pemegang hak tanggungan untuk pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dengan hak mendahulu dari para kreditur-kreditur yang lain.

Peraturan yang khusus mengatur eksekusi hak Tanggungan belum ada. Yang ada adalah peraturan eksekusi hipotheek dan creditverband sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg. Selama peraturan khusus belum ada maka untuk sementara digunakan ketentuan eksekusi hipotheek yang dikenal dengan parate eksekusi dalam Pasal 26 UUHT.

7. Pencatatan Hapusnya Hak Tanggungan

Pencatatan hapusnya Hak tanggungan atau roya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan

Page 120: POLITIK HUKUM - UNISSULA

112

dengan mencoret catatan adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikat obyek yang dijadikan jaminan dalam waktu tujuh hari kerja terhitung sejak permintaan roya dari pihak yang berkepentingan.

Roya yang diselesaikan oleh hapusnya utang atau telah dilunasinya piutang dilakukan berdasarkan:

a. pernyataan dari kreditur bahwa utang yang dijamin sudah hapus atau sudah dibayar lunas, yang dituangkan dalam akta otentik atau dalam surat pernyataan dibawah tangan; atau

b. tanda bukti pembayaran pelunasan utang yang dikeluarkan oleh orang yang berwenang menerima pembayaran tersebut, atau

c. Kutipan risalah lelang obyek Hak Tanggungan, disertai pernyataan kreditur, bahwa pihaknya melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah yang melebihi hasil lelang, yang dituangkan dalam surat pernyataan di bawah tangan

Untuk Hak Tanggungan yang hapus karena dilepaskan oleh kreditur pemegangnya, pendaftaran hapusnya dilakukan berdasarkan pernyataan kreditur pemegang Hak tanggungan yang bersangkutan. Pernyataan tersebut bisa dituangkan dalam pernyataan di bawah tangan atau dalam akta otentik.

Pencatatan hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan melalui penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri dilakukan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang

Page 121: POLITIK HUKUM - UNISSULA

113

bersangkutan yang menyatakan hapusnya Hak tanggungan tersebut.

Pendaftaran agar dilakukan pencatatan adanya penghapusan Hak Tanggungan sebagaimana alas an tersebut di atas dilakukan berdasarkan permohonan kreditur pemegang Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan atau Pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan melampirkan:

a. sertifikat hak yang menjadi obyek hak tanggungan,

b. akta atau surat yang tersebut di atas, yang dijadikan bukti dasar hapusnya hak tanggungan yang bersangkutan.

Page 122: POLITIK HUKUM - UNISSULA

114

DAFTAR PUSTAKA

Abbrar Saleng, 2006, Sinkronisasi dan Fungsionalisasi Hak atas sumber Daya Pertambangan dalam Amandemen UUPA No. 5/1960. Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006.

Abul A’la al-Maududi, 1980, Dasar-dasar Ekonomi Islam, al-Ma’arif, Bandung

A.P. Parlindungan, 1990, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung.

Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bansung, 13 Mei 2000.

---------------, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cet. IV Penerbit Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta.

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003.

--------------, 2005, Penyerahan Kewenangan Bidang Pertanahan Kepada Daerah Otonom Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 (Suatu Tinjauan yuridis), Disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional “45

Page 123: POLITIK HUKUM - UNISSULA

115

Tahun UUPA” diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Agraria Fakultas Hukum Trisakti, 21 September 2005, Jakarta

---------------, 2006, Amandemen UUPA No.5/1960 Suatu Tinjauan Historis, Filosofis, Sosiologis dan Politis, Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006.

C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

D. Christodoulou, 1990, The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide, Zed Books Ltd, London and New Jersey.

Febrian, 2004, Hirarki Aturan Hukum di Indonesia, Disertasi pada Program Pascasarjana Unair, Surabaya.

Gustav Radbruch, 1950, “Legal Philosophy”, dalam Kurt Wilk, ed., “The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin”, Harvard University Press, Cambridge.

I.G.N. Sugangga, 1994, Pengantar Hukum Adat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 124: POLITIK HUKUM - UNISSULA

116

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta.

I Widarta, 2005, Pokok-Pokok Pemerintahan daerah, Pondok Edukasi, Bantul.

J. Satrio, 1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku 1), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Lester R. Brown, et.al., 1982, 22 Segi Masalah Kependudukan, cet. I, Sinar Harapan, Jakarta.

Liek Wilardjo, 1990, Realita dan Desiderata, Penerbit Duta Wacana, Yogjakarta.

Lili Rasjidi dan I.B. Wayan Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung.

Moempoeni, Moelatingsih, 2003, Implementasi Asas-asas Hukum Tata Negara Menuju Perwujudan Yus Constituendum di Indonesia, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar FH Undip, BP Undip, Semarang.

Moh. Mahfud MD, 2001, Politik Hukum di Indonesia,Cet. II, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

------------------------, 2006, Amandemen UUPA No.5/1960 Dalam Perspektif Politik Hukum, Makalah Semiloka Nasional Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum UII dan Dewan Perwakilan Daerah RI, Yohyakarta, 24 Maret 2006.

Page 125: POLITIK HUKUM - UNISSULA

117

M.T. Zein (ed.), 1980, Menuju Kelestarian Lingkungan, Gramedia, Jakarta

Noer Fauzi, 2001, Kadilan Agraria di Masa Transisi, dalam Prinsip-prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan kemakmuran rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Padmo Wahjono, 1986, Indonesia negara berdasarkan atas hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Makalah Orasi Guru Besar Ilmu Hukum, FH Unair, Surabaya, 10 Oktober 1994.

----------------, 1998, Tentang Wewenang, Makalah pada penataran Hukum Administrasi, FH Unair, Surabaya.

Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

----------------, 2004, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan, Universitas Muhammadiyah Surakarta Press, Surakarta.

Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian terhadap Hukum Pidana, Sinar baru, Bandung.

------------, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Page 126: POLITIK HUKUM - UNISSULA

118

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Jaminan Atas Tanah, liberty, Jakarta.

Subekti, 1988, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta

Tunggul Anshari Setia Negara, 2002, Politik Hukum Nasional Terhadap Hukum Administrasi Negara, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cet. 2. Yogjakarta.

Page 127: POLITIK HUKUM - UNISSULA
Page 128: POLITIK HUKUM - UNISSULA