38
7. Polimorfisme 7.1. Polimorfisme Genetik Polimorfisme gen (polimorfisme gen) adalah perkawinan acak dalam kelompok, mungkin ada dalam sama gen lokus genotipe dari dua atau lebih. Dalam kerumunan, individu perbedaan urutan nukleotida eksis disebut polimorfisme DNA (polimorfisme gen). Polimorfisme DNA terjadi dengan frekuensi sekitar satu nukleotida dalam setiap rentang 300 sampai 1000 pasa basa. Dua tipe umum variasi pasangan basa tunggal—restriction fragment length polymorphism dan polimorfisme nukleotida tunggal. Polimorfisme DNA tertentu dapat menghilangkan atau menciptakan tempat pengenalan untuk enzim retriksi, sehingga panjang fragmen DNA yang dihasilkan setelah digesti berubah. Istilah restriction fragment length polymorphism (RFLP) mengacu kepada variasi panjang fragmen antara indivdu yang terjadi akibat polimorfisme sekuens DNA. Dengan menggunakan probe DNA yang sesuai yang berhibridasi dengan sekuens di dekat tempat polimorfik, dapat terdeteksi fragmen DNA yang panjangnya berbeda-beda dengan analisis Southern blot. Walaupun biasanya terbatas pada regio genom yang tidak mengkode (noncoding), RFLP ternyata sangat bermanfaat dalam diagnosis genetik karena keterkaitannya dengan gen penyebab penyakit. Pada gambar menunjukkan prinsip analisis RFLP.

Polimorfisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ju

Citation preview

7. Polimorfisme7.1. Polimorfisme Genetik Polimorfisme gen (polimorfisme gen) adalah perkawinan acak dalam kelompok, mungkin ada dalam sama gen lokus genotipe dari dua atau lebih. Dalam kerumunan, individu perbedaan urutan nukleotida eksis disebut polimorfisme DNA (polimorfisme gen). Polimorfisme DNA terjadi dengan frekuensi sekitar satu nukleotida dalam setiap rentang 300 sampai 1000 pasa basa. Dua tipe umum variasi pasangan basa tunggalrestriction fragment length polymorphism dan polimorfisme nukleotida tunggal. Polimorfisme DNA tertentu dapat menghilangkan atau menciptakan tempat pengenalan untuk enzim retriksi, sehingga panjang fragmen DNA yang dihasilkan setelah digesti berubah. Istilah restriction fragment length polymorphism (RFLP) mengacu kepada variasi panjang fragmen antara indivdu yang terjadi akibat polimorfisme sekuens DNA. Dengan menggunakan probe DNA yang sesuai yang berhibridasi dengan sekuens di dekat tempat polimorfik, dapat terdeteksi fragmen DNA yang panjangnya berbeda-beda dengan analisis Southern blot. Walaupun biasanya terbatas pada regio genom yang tidak mengkode (noncoding), RFLP ternyata sangat bermanfaat dalam diagnosis genetik karena keterkaitannya dengan gen penyebab penyakit. Pada gambar menunjukkan prinsip analisis RFLP.

7.2. Penyebab Polimorfisme a. AlelAlel (multiple alel) terletak di posisi yang sesuai pada sepasang kromosom homolog dari sepasang gen. Akibat mutasi pada populasi, keluarga gen kursi yang sama disebut alel ganda. Beberapa gen yang kompleks yang hadir dalam setiap kursi sejumlah besar beberapa alel, yang adalah beberapa kompleks (HLA) yang sangat polimorfik alasan yang paling penting.b. KodominanKodominan (condominance) mengacu pada sepasang alel sama dominan. Beberapa kompleks, seperti HLA alel untuk setiap pasangan seragam co-dominan. Populasi tertentu kodominan sangat meningkatkan keragaman fenotipe. Polimorfisme menunjukkan keragaman latar belakang genetik dan kompleksitas. Mungkin evolusi manusia menahan faktor lingkungan yang merugikan dalam kinerja adaptif dalam menjaga kelangsungan hidup dan kelanjutan dari populasi memiliki signifikansi biologis yang penting.

7.3. Efek Biologis dari PolimorfismePolimorfisme gen dalam frekuensi genotipe populasi memenuhi keseimbangan Hardy-Wenberg, yang dapat membuat tingkat transkripsi gen atau kegiatan kenaikan atau penurunan, mengubah kode genetik, mutasi pada promotor dan non-ditranskripsi daerah mutasi yang menyebabkan peptida protein penghapusan rantai, dan lain-lain.Jika polimorfisme nukleotida substitusi, penghapusan, penyisipan, urutan nukleotida urutan coding dikutip perubahan dalam sintesis protein dalam transkripsi dan translasi dari proses tersebut, beberapa dari urutan polipeptida asam amino dalam dampak rantai beberapa tidak dampak. Dapat dibagi menjadi:a. Mutasi missense (missense mutation) mengacu pada pasangan basa dalam molekul DNA digantikan oleh kodon dari mRNA yang mengubah asam amino yang dikodekan oleh dia menjadi asam amino yang berbeda, sehingga urutan asam amino rantai polipeptida adalah berubah dengan sendirinya.b. Mutasi nonsense terjadi karena substitusi basa sehingga asli dapat diterjemahkan menjadi kodon asam amino tertentu dari kodon stop. Misalnya UAU (histidin) Inggris ke UAA (kodon stop) untuk sintesis rantai polipeptida terminasi, formasi lengkap dari rantai polipeptida, sehingga aktivitas biologis protein dan fungsional perubahan. Konversi juga dapat menyebabkan mutasi nonsense. Mutasi nonsense dan penghapusan fragmen DNA dapat menyebabkan penghapusan dalam rantai peptida, sehingga gen yang mengkode protein kehilangan fungsi mereka.c. Mutasi sinonim merupakan tersubstitusi nukleotida tidak semua mutasi missense dan menyebabkan penghentian penerjemahan, yaitu, sementara basis diganti, tetapi tidak menyebabkan perubahan tingkat protein, asam amino belum diganti.d. Mutasi frameshift merupakan nukleotida tunggal dalam urutan coding, sejumlah basis penghapusan atau penyisipan, penghapusan atau penyisipan fragmen setelah titik mutasi kodon triplet dapat membaca perubahan frame, tidak dapat dikodekan asli protein normal. Mutasi frameshift tidak hanya diterjemahkan urutan asam amino dalam rantai peptida yang berubah, tetapi juga fragmen besar dihasilkan dari rantai peptida hilang.Mempengaruhi mRNA splicing jika mutasi titik dalam intron situs sambatan, dapat memiliki dua efek: Pertama, hilangnya situs sambatan asli, yang kedua adalah untuk menghasilkan tempat pembelahan baru. Apakah bentuk bahwa semua dapat menyebabkan kesalahan mRNA splicing, sehingga mRNA abnormal, produk ekspresi akhir abnormal, jumlah base penghapusan, penghapusan, dll dapat mengakibatkan even point sambatan hilang.

7.4. Signifikansi medis PolimorfismeMelalui polimorfisme gen dan kerentanan terhadap penyakit studi terkait dapat menjelaskan penyakit manusia, racun dan stres kerentanan kedokteran klinis, epidemiologi genetik, obat pencegahan untuk pengembangan suatu bidang studi baru.

7.5. Aspek KlinisPolimorfisme gen manusia di negara-negara penyakit manusia, dan kerentanan untuk meracuni toleransi, keragaman manifestasi klinis penyakit (keanekaragaman fenotipe klinis), dan sifat respon terhadap terapi obat memainkan peran penting dalam keduanya.Studi klinis awal tentang polimorfisme gen HLA mulai dari gen dianalisis dalam penyakit kerentanan genotipe peran, seperti HLA-B27 alel dikaitkan dengan ankylosing spondylitis berkaitan erat dengan kejadian dapat digunakan sebagai diagnostik dasar. Melalui polimorfisme genetik dapat terungkap dari tingkat gen manusia antara individu yang berbeda zat biologis aktif terdapat perbedaan fungsi dan efek dari esensi.Penyakit polimorfisme gen dan fenotip klinis keragaman Kontak telah terpasang, seperti kanker dan penyakit genetik lainnya sering fenotipe klinis beragam, genotipe memperjelas (genotipe) dan fenotipe (fenotipe) Dalam pengakuan link antara penyakit Mekanisme terjadinya untuk memprediksi hasil penyakit, juga peran penting.Obat-enzim metabolisme, transporter dan reseptor reaksi obat polimorfisme genetik yang menyebabkan perbedaan individu dan kelompok dalam alasan penting. Enzim memetabolisme obat pada fenotipe metabolik menunjukkan aktivitas katalitik dari ukuran substrat dapat diukur untuk menentukan tingkat metabolisme. Fenotip antara perbedaan individu dalam metabolisme obat dan kinerja respon, dan genotipe adalah akar penyebab perbedaan dalam respon.Obat metabolisme polimorfisme dapat mempengaruhi metabolisme obat dan tingkat clearance, dan dengan demikian efek terapi. Polimorfisme penyakit individu yang berbeda untuk penyakit yang sama dalam efek biologis vivo dari zat aktif dan perbedaan fungsi, yang mengarah ke respon terapi miskin, sesuai dengan karakteristik obat polimorfisme, akan membuat pengobatan klinis dengan kebutuhan individu .Polimorfisme gen dalam penelitian penyakit di bawah bimbingan dokter mungkin akan berprasangka individu yang berbeda dalam kondisi yang sama patogen akan apa respon patologis dan manifestasi klinis, yaitu fenotip klinis. Seperti pengobatan hipertensi akan didasarkan pada polimorfisme gen memilih obat yang lebih bertarget, menyesuaikan dosis, daripada penggunaan sembarangan ACEI, antagonis kalsium, atau simpatik blocker. Pencegahan dan pengobatan komplikasi akan lebih individual, lebih bertarget.

7.6. Aspek Epidemiologi GenetikMutasi gen merusak menyebabkan polimorfisme genetik, klasik dan mutasi mutasi dinamis itu sendiri dapat menjadi penyebab penyakit genetik, Sementara itu, banyak situs polimorfik adalah penanda genetik yang baik, penyakit genetik dalam penelitian dan klinis diagnosis memainkan peran penting.a. Polimorfisme sebagai penyebab genetik dari penyakitPenyakit yang disebabkan oleh mutasi titik: mulai dari anemia sel sabit, penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi pada berbagai semakin banyak contoh kanker keturunan secara bertahap telah diakui. Polimorfisme sebagai penyebab genetik dari penyakit: seperti CCG, CTG dan CAG urutan ulangi trinucleotide, ketika jumlah salinan meningkat dari waktu ke waktu dapat menyebabkan distrofi myotonic dan sebagainya. Jumlah salinan trinucleotide amplifikasi atau mutasi terjadi pada proses transmisi antargenerasi, karena menyalin perubahan nomor antar generasi, hal itu disebut mutasi dinamis. Mutasi yang dinamis saat ini sebagian besar penyakit ini penyakit degeneratif dari sistem saraf, ada beberapa tumor. Temuan menunjukkan bahwa mutasi pada penyakit dinamis urutan copy nomor polimorfisme dapat menjadi penyebab penyakit genetik.b. Polimorfisme sebagai aplikasi penanda genetikSebagian besar polimorfisme DNA tidak menyebabkan penyakit genetik, tetapi dapat digunakan sebagai penanda genetik. Sebagai contoh: di atas berbagai penanda polimorfik, termasuk RFLP lokus, penanda DNA mikrosatelit dan satelit kecil telah banyak digunakan untuk diagnosis penyakit genetik linkage. Penggunaan lokasi yang dikenal pada kromosom berbagai penanda polimorfik, melalui penyakit keturunan analisis keterkaitan dapat ditemukan pada penyakit poligenik gen penyebab atau gen yang berhubungan dengan lokasi, dan bagi mereka untuk memberikan dasar untuk pemisahan kloning. Selain itu, analisis asosiasi etiologi penyakit dan penelitian, dengan membandingkan kelompok prevalensi dan kelompok normal, dapat ditemukan antara kedua kelompok lokus polimorfik frekuensi alel spesifik secara signifikan berbeda, ini menunjukkan bahwa lokus ini dengan penyakit terkait dengan itu. Analisis asosiasi menggunakan polimorfik penanda gen yang berhubungan dengan baik meminta lokasi, tetapi juga membantu untuk memperjelas patogenesis. Polimorfisme juga dapat digunakan klasifikasi dan pengobatan penyakit, penyakit yang didasarkan pada polimorfisme genotipe pasien untuk menjelaskan etiologi dan manifestasi klinis.

7.7. Metode Deteksi PolimorfismePanjang fragmen restriksi polimorfisme (Restriction Fragment Length Polymorphism, RFLP): polimorfisme DNA, sehingga molekul DNA dan jumlah situs restriksi perubahan, dipotong dengan kelompok gen enzim restriksi, jumlah fragmen yang dihasilkan dan berbeda dengan panjang setiap fragmen, yang dikenal sebagai polimorfisme panjang fragmen restriksi, pembatasan panjang fragmen perubahan yang dihasilkan situs restriksi, juga dikenal sebagai polimorfisme. Yang paling awal adalah Blot / RFLP metode Selatan terdeteksi kemudian oleh polymerase chain reaction (PCR) dan pembatasan metode enzim pencernaan menggabungkan. Sekarang metode PCR-RFLP multi guna untuk mempelajari gen fragmen restriksi panjang polimorfisme.Untai tunggal konformasi polimorfisme (SSCP): didasarkan pada perbedaan titik metode DNA beruntai tunggal konformasi mutasi deteksi. DNA beruntai tunggal panjang yang sama jika urutan yang berbeda, atau bahkan jenis basa tunggal, akan membentuk konformasi yang berbeda. Mobilitas Elektroforesis pada kecepatan yang berbeda. Produk PCR elektroforesis gel terdenaturasi DNA beruntai tunggal, DNA target substitusi basa tunggal dalam hal perubahan tersebut, akan ada perpindahan berenang (pergeseran mobilitas), adanya beberapa mutasi untuk identifikasi dan diagnosis diketahui mutasi.

Manifestasi Klinis Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di leher, gejala mata dan gejala saraf.1. Gejala Hidung/Nasofaring Harus dicurigaiadanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala: Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan. Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus paranasal. Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.2. Gejala Telinga Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga terasa penuh seperti terisi air, berdengung atau gemrebeg (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi sumbatan.3. Gejala Tumor Leher Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.4. Gejala Mata Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.5. Gejala Saraf Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian prognosisnya menjadi buruk.Klasifikasi Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan sistem TNM menurut UICC (1992). T (Tumor Primer)T0=Tidak tampak tumorT1=Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll)T2=Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam rongga nasofaringT3=Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaringT4=Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otakTx=Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)N0=Tidak ada pembesaran KGBN1=Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkanN2=Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkanN3=Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar M (Metastasis jauh)M0= Tidak ada metastasis jauhM1= Terdapat metastasis jauh

Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:a. Stadium I : T1 N0 M0b. Stadium II : T2 N0 M0c. Stadium III: T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0d. Stadium IV: T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan menjadi 3 tipe menurut WHO. Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.a. Tipe WHO 1Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1 mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.b. Tipe WHO 2Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2 ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai karsinoma sel transisional. c. Tipe WHO 3Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan variasi spindel.Diagnosis a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring, seperti di bawah ini:1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus mandibula.2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika: Disertai gejala hidung dan telinga Disertai gejala mata dan saraf3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkapBila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau metastase tumor induk. b. Pemeriksaan Penunjang 1) CT scan kepala dan leher Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu sulit ditemukan. 2) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 3) Biopsi Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.4) Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. Penatalaksanaan Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu pencegahan dan pengobatan.1) PencegahanKarena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.2)PengobatanDalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.a. Pembedahan Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring. b. Radioterapi Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya. Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe leher.

c. Obat-obatan SitostatikaDapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). d. ImunoterapiDalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research dan trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. e. Obat AntivirusAcyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .

2. EBV ( EBSTEIN BARR VIRUS)Aspek BiologiVirus Epstein Barr (virus EB) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis. Virus ini berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong menemukan virus ini pada tahun 1964.Virus Epstein Barr tidak dapat dibedakan dalam ukuran dan struktur dari virus-virus herpes lainnya. Genom DNA virus EB mengandung sekitar 172 kbp.Sel target virus EB adalah limposit B. Virus EB memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan reseptor. Virus EB secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa melalui periode replikasi virus yang sempurna. Ketika virus berikatan dengan permukaan sel, sel-sel diaktivasi, untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu dihasilkanlah beberapa gen virus EB dengan kemampuan berproliferasi tidak terbatas. Genom virus EB lurus membentuk lingkaran, sebagian besar DNA virus dalam sel yang kekal sebagai episom yang melingkar. Limfosit B yang dikekalkan virus EB menampakkan fungsi yang berbeda (sekresi imunoglobulin). Produk-produk aktivitas sel B terbentuk. Sepuluh produk sel gen virus dihasilkan dalam sel yang kekal, termasuk enam antigen nuklear virus EB yang berbeda (EBNA 1-6) dan dua protein membran laten (LMP1, LMP2).Virus EB bereplikasi in vivo dalam sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks uteri, juga ditemukan dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring.KlasifikasiGrup : Grup I (dsDNA)Famili : HerpesviridaeGenus : LymphocryptovirusSpesies : Human herpesvirus 4 (HHV-4)

Patogenesis dan PatologiVirus EB biasanya ditularkan melalui air liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel faring dan kelenjar ludah. Virus EB adalah penyebab dari mononucleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Sel B yang terinfeksi virus mensintesis imunoglobulin. Mononukleosis merupakan transformasi poliklonal sel B. Selama perjalanan infeksi mayoritas penderita membentuk antibodi heterofil.Setelah masa inkubasi 30-50 hari, terjadi gejala nyeri kepala, malaise, kelelahan, dan nyeri tenggorokan. Demam bertahan sampai 10 hari, terjadi pembesaran kelenjar getah bening dan limpa. Penyakit mononucleosis infeksiosa ini mempunyai kekhasan sembuh sendiri dan berlangsung 2-4 minggu. Selama penyakit berlangsung, terjadi peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi dengan limfosit dominan.

Struktur dan GenomEBV memiliki diameter sekitar 122 nm hingga 180 nm dan terdiri dari DNA ddouble helix yang dibungkus oleh capsid protein. Capsid tersebut ikelilingi oleh tegument yang terbuat ari protein, yang dikelilingi oleh amplop yang terbuat dari lipid. DNA EBV memiliki panjang sekitar 192.000 pasangan basa dan mengandung 85 gen. Amplop virus mengandung glikoprotein yang esensial untuk infeksi sel inang.TropismeTropisme virus mengacu paa tipe sel yang diinfeksi oleh EBV. EBV dapat menginfeksi berbagi jenis sel, termasuk sel B dan sel epitel. Paa beberapa kasus, EBV dapat menginfeksi sel T, sel natural killer, dan sel otot polos.Siklus Replikasi1. Masuk ke dalam selEBV dapat menginfeksi sel B dan sel epitel.Untuk memasuki sel B, glikoprotein gp350 virus terikat pada reseptor sel CD21 (disebut juga dengan CR2). Kemudian, glikoprotein gp42 virus berinteraksi dengan molekul MHC class II sel. Hal ini memicu fusi dari amplop virus dengan membrane sel, menyebabkan EBV masuk ke dalam sel B.Untuk masuk ek sel epitel, protein BMRF-2 virus berinteraksi dengan integrin 1 sel, kemudian, protein gH/gL virus berinteraksi dengan integrin v6/8 sel. Hal ini memicu fusi dari amplop virus dengan membrane sel epitel, menyebabkan EBV masuk ke dalam sel epitel, berbeda dengan masuknya EBV ke sel B, masuknya EBV ke sel epitel terhambat oleh glikoprotein gp42 virus.2. Replikasi lisissiklus lisis, atau infeksi produktif, menghasilkan virion yang infeksius, EBV apat mengalami replikasi lisis pada sel B dan sel epitel. Pada sel B, replikasi lisis umumnya terjai seltelah reaktivasi dari masa laten. Pada sel epitel, replikasi lisis umumnya terjadi setelah virus masuk. 3. Masa LatenMasa laten tidak menghasilkan produksi virion. Sebaliknya, genom EBV bersirkulasi, tinggal di nucleus sel, dan dikopi oleh polymerase DNA sel. Pada masa laten, hanya sebagian gen EBV yang diekspresikan, 4. ReaktivasiEBV yang laten pada sel B dapat direaktivasi untuk pindah ke replikasi lisis. Ini dapat terjadi in vivo, namun yang memicu belum diketahui dengan pasti. Secara in vitro, EBV laten pada sel B dapat juga direaktivasi dengan member sodium butirat atau TOA.Diagnosa penyakitDiagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami, namun juga dengan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi terhadap virus EB. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk menggantikan limfosit yang terinfeksi dengan bentuk limfosit yang khas.

PengobatanBelum ada vaksin virus EB yang tersedia.Acylovir dapat diberikan selama masa pengobatan, namun hanya mengurangi jumlah pelepasan virus EB dari orofaring, tidak mempengaruhi pengekalan sel-sel B oleh virus EB, tidak berefek pada gejala mononucleosis, dan tidak terbukti menguntungkan dalam penatalaksanaan limfosa yang disebabkan oleh virus EB.Untuk demam dan nyeri, diberikan asetaminofen atau aspirin. Tetapi pemakaian aspirin dihindari untuk pasien anak-anak.Kebanyakan penderita akan sembuh sempuran. Lamanya penyakit bervariasi. Fase akut berlangsung 2 minggu. Tetapi kelemahan bisa menetap sampai beberapa minggu, bahkan lebih.Penyakit akibat virus EB ini bisa sampai pada kematian, bila telah terjadi komplikasi, seperti peradangan, pecahnya limfa atau penyumbatan saluran pernafasan.

3. PCR-RFLP Analisis PCR-RFLP pada daerah ITS1-ITS4 menggunakan enzim restriksi MspI sebagai standar untuk identifikasi isolat klinis. Isolat yang dianalisis digunakan dari 6 spesies Candidayang telah diketahui jenis spesiesnya. Penggunaan PCR dalam analisis RFLP adalah untuk membatasi daerah yang polimorfis untuk dipotong menggunakan enzim restriksi. Jika tidak menggunakan kombinasi PCR maka diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui pita target hasil pemotongan enzim restriksi pada daerah yang polimorfis yaitu dengan analisis southern blot menggunakan probe tertentu. Analisis PCR-RFLP menggunakan sepasang primer universal pada daerah ITS1-ITS4 rDNA dari berbagai strain Candida. Pemilihan daerah ITS1-ITS4 karena mengandung beberapa daerah yang urutannya lestari, dapat digunakan sebagai alignmen urutan secara tepat namun daerah tersebut juga mengandung variabilitas urutan yang cukup sehingga urutan non-homolog dapat digunakan sebagai marker spesifik untuk identifikasi spesies menggunakan PCR-RFLP. Sebelum memotong hasil produk PCR, maka dilakukan uji restriksi menggunakan program DNASIS untuk memprediksi produk restriksi dengan enzim restriksi tertentu. Urutan DNA didaerah ITS1-ITS4 diperoleh dari genbank yang dapat diakses secara umum, kemudian diprediksi ukuran fragmen jika dipotong menggunakan enzim restriksi tertentu. Analisis ini dapat membantu dalam pemilihan enzim restriksi yang digunakan.Pemeriksaan DNA tidak lepa dari PCR/Polymerase Chain Reaction. Proses yang berlangsung secara in vitro dalam tabung reaksi sebesar 200 l ini mampu menggandakan atau mengkopi DNA hingga miliaran kali jumlah semula. Maka dengan berbekal DNA yang terkandung dalam sampel yang hanya sedikit bisa diperoleh banyak sekali informasi sesuai kebutuhan kita.Reaksi PCR meniru reaksi penggandaan ataureplikasi DNAyang terjadi dalam makhluk hidup. Secara sederhana PCR merupakan reaksi penggandaan daerah tertentu dari DNA cetakan (template) dengan batuan enzim DNA polymerase.PCR terdiri atas beberapa siklus yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Pada setiap siklus DNA polymerase akan menggandakan DNA sebanyak 2 kali.Komponen PCRSelain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase, komponen lain yang dibutuhkan adalah:PrimerPrimer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi DNA. PCR hanya mampu menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja, dan dengan teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang kita inginkan.dNTP (deoxynucleoside triphosphate)dNTP atau building blocks sebagai batu bata penyusun DNA yang baru. dNTP terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.BufferBuffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.Ion Logam Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim DNA polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja. Ion logam monovalen, kalsium (K+).Tahapan Reaksi

Setiap siklus reaksi PCR terdiri atas tiga tahap, yaitu:DenaturasiDenaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama 30-60 detik. Pada suhu ini DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.AnnealingSetelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturukan ke kisaran 40-60oC selama 20-40 detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada DNA template di tempat yang komplemen dengan sekuen primer.Ekstensi/elongasiDilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template adalah A, maka akan dipasang dNTP, begitu seterusnya (ingat pasangan A adalah T, dan C dengan G, begitu pula sebaliknya). Enzim akan memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu ekstensi bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya adalah 1 menit untuk setiap 1000 bp.Selain ketiga proses tersebut biasanya PCR didahului dan diakhiri oleh tahapan berikut:Pra-denaturasiDilakukan selama 1-9 menit di awal reaksi untuk memastikan kesempurnaan denaturasi dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start alias baru aktif kalau dipanaskan terlebih dahulu).Final ElongasiBiasanya dilakukan pada suhu optimum enzim (70-72oC) selama 5-15 menit untuk memastikan bahwa setiap utas tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna. Proses ini dilakukan setelah siklus PCR terakhirPCR dilakukan dengan menggunakan mesin Thermal Cycler yang dapat menaikkan dan menurunkan suhu dalam waktu cepat sesuai kebutuhan siklus PCR. Pada awalnya orang menggunakan tiga penangas air (water bath) untuk melakukan denaturasi, annealing dan ekstensi secara manual, berpindah dari satu suhu ke suhu lainnya menggunakan tangan. Tapi syukurlah sekarang mesin Thermal Cycler sudah terotomatisasi dan dapat diprogram sesuai kebutuhan.Aplikasi PCR dibidang klinisAplikasi PCR utama dibidang klinis adalah untuk diagnosis, dan kloning. Yang paling sering dipakai di bidang klinis saat ini adalah untuk diagnosis, yaitu untuk deteksi patogen infeksius dan identifikasi mutasi pada gen yang berkaitan dengan faktor resiko penyakit. Untuk aplikasi PCR dibidang klinis tersebut, telah dikembangkan berbagai macam teknis berbasis PCR, antara lain :

1. RFLP-PCR (restriction fragment lenght polymorphisms)Pada prinsipnya, teknik ini dimanfaatkan untuk deteksi polimorfisme. Secara umum teknik ini menggunakan enzim restriksi untuk mengetahui adanya polimorfisme (RFLP), dan produk hasil digesti tersebut diamplifikasi dengan PCR (RFLP-PCR).Teknik PCR yang mirip dengan teknik diatas AFLP-PCR (amplification fragment lenght polymorphisme) yang digunakan untuk membedakan isolat atau spesies yang berbeda berdasarkan daerah enzim restriksi (polimorfisme daerah restriksi)PCR-RFLP merupakan teknik analsis lanjutan dari produk PCR. Teknik PCR memanfaatkan perbedaan pola pemotongan enzim restriksi atau enzim pemotong yang berbeda pada tiap-tiap mikroorganisme. Analisis RFLP sering digunakan untukmendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang menyandikan penyakit yangditurunkan (Orita et al., 1989) ataupun untuk mendeteksi adanya keragaman gen yang berhubungan dengan sifatekonomis, seperti produksi dan pertumbuhan.Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)a merupakan suatu teknik yang digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausubel, 1995). Segmen DNAtersebut kemudian dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya yaitudengan menggunakan enzim restriksi. Enzim restriksi dapat memotong DNA secaraspesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya (Lewin, 1994). Perbedaan polapemotongan DNA dari jenis gen yang sama antara beberapa ternak disebut Restriction Fragment Length Polymorphism(RFLP).Pada prinsipnya, RFLP merupakan semua mutasi yang menghilangkan atau menciptakan sekuen rekognisi baru bagi enzim restriksi. Penyisipan (inersi),penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkan tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya perbedaan pola pemotogan DNA (Lewin,1994).

2. VNTR-PCR (variable number of tandem repeat sequence), dan STR-PCR (short tandem repeats). Teknik ini sering digunakan untuk tujuan forensi. Dengan menggunakan primer yang tepat, variasi sekuens pengulangan berurutan yang terdapat pada DNA sampel dapat diketahui.

3. Skreening / deteksi mutasi berbasis PCR Dahulu, skreening/ deteksi mutasi dapat dilakukan dengan PCR konvensional (misalnya dengan BESS-T-Scan (Base Excision Sequence Scanning)) untuk mendeteksi mutasi T/A atau T / A, atau Amplification refractory mutation system (ARMS) untuk mendeteksi point mutation melalui priming oligonukleotida kompetitif.

4. PCR kuantitatifUntuk keperluan diagnosis dan penilaian kemajuan tetapi kadang membutuhkan pemeriksaan yang bersifat kuantitatif. PCR konvensional dapat digunakan untuk mendapatkan data kuantitatif tersebut dengan menggunakan kompetitor (internal exogenous standard) atau dengan housekeeping gene (internal endogenous standard). Namun saat ini, penggunaan PCR konvensional untuk PCR kuantitatif telah digantikan real-time PCR.

4. MUTASI DNAMutasi adalah perubahan materi genetik (gen atau kromosom) suatu sel yang diwariskan kepada keturunannya. Mutasi dapat disebabkan oleh kesalahan replikasi materi genetika selama pembelahan sel oleh radiasi, bahan kimia (mutagen), atau virus, atau dapat terjadi selama proses meiosis. Terdapat dua jenis mutasi, yaitu:1. Mutasi Titik (Point Mutation)Mutasi titik ialah perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam satu gen tunggal yang menyebabkan perubahan sifat individu tanpa perubahan jumlah dan susunan kromosomnya.Jika mutasi titik terjadi dalam gamet atau sel yang menghasilkan gamet, perubahan itu bisa diteruskan ke keturunan dan generasi berikutnya. Jika mutasi memiliki efek buruk terhadap fenotipe organisme, kondisi mutan disebut sebagai kelainan genetik atau penyakit keturunan.Mutasi titik dapat terjadi melalui berbagai cara, diantaranya: Penggantian/substitusi pasangan basa; terjadi karena penggantian satu nukleotida dengan pasangannya di dalam untaian DNA komplementer dengan pasangan nukleotida lain. Beberapa substitusi disebut mutasi bisu (silent mutation) karena akibat redundansi kode genetik, tidak memiliki efek terhadap protein yang dikodekan. Dengan kata lain, perubahan pasangan basa mungkin mentransformasi suatu kodon menjadi kodon lain yang ditranslasikan menjadi asam amino yang sama.Sustitusi yang mengubah satu asam amino menjadi asam amino lain disebut mutasi salah makna (missense mutation). Perubahan satu asam amino pada area penting dari protein akan mengubah aktivitas protein secara signifikan.Mutasi titik juga dapat mengubah kodon untuk asam amino menjadi kodon stop. Ini disebut mutasi tak bermakna (nonsense mutation), dan menyebabkan translasi diakhiri secara prematur. Polipeptida yang dihasilkan lebih pendek daripada polipeptida yang dikodekan oleh gen normal. Hampir semua mutasi tak bermakan menyebabkan pembentukan protein nonfungsional. Insersi dan delesi; Insersi merupakan penyisipan atau penambahan satu atau lebih nukleotida ke dalam rantai polinukleotida. Delesi adalah pengurangan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen saat replikasi DNA. Mutasi-mutasi ini berefek merusak pada protein yang dihasilkan, lebih daripada substitusi. Insersi atau delesi nukleotida mugkin mengubah bingkai pembacaan pesan genetik, penggugusan triplet basa pada mRNA yang dibaca saat translasi. Mutasi semacam itu, disebut mutasi pergeseran bingkai (frameshift mutation), akan terjadi setiap kali jumlah nukleotida yang disisipkan atau terhapus bukanlah kelipatan tiga.

2. Mutasi Kromosom Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom yang disertai dengan perubahan struktur dan jumlah kromosom. Mutasi kromosom dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:a. Perubahan struktur kromosom (aberasi kromosom)Mutasi ini menyebabkan kerusakan (aberasi) pada bentuk kromosom, diantaranya:1) Translokasi adalah pemindahan sebagian dari segmen kromosom ke kromosom lainnya yang bukan kromosom homolognya.2) Duplikasi terjadi karena adanya segmen kromosom yang mengakibatkan jumlah segmen kromosom lebih banyak dari kromosom aslinya.3) Delesi adalah mutasi yang terjadi karena sebagian segmen kromosom lenyap sehingga kromosom kekurangan segmen.4) Inversi adalah mutasi yang terjadi karena selama meiosis kromosom terpilin dan terjadinya kiasma, sehingga terjadi perubahan letak/kedudukan gen-gen.

b. Perubahan Jumlah Kromosom Mutasi yang terjadi ditandai dengan perubahan jumlah kromosom individual atau dalam jumlah perangkat kromosom. Euploid terjadi karena adanya penambahan atau pengurangan perangkat kromosom (genom). Contoh: haploid, diploid, triploid, tetraploid, poliploid, dan lain-lain. Aneuploid terjadi karena adanya perubahan salah satu kromosom dari genom individu Contoh; monosomik, nullisomik trisomik dan tetrasomik

MutagenMutagen adalah agen fisik dan kimiawi yang dapat menyebabkan mutasi dengan cara berinteraksi dengan DNA.Mutagen-mutagen kimiawi tergolong ke dalam beberapa kategori. Analog basa adalah zat kimiawi yang mirip dengan basa normal DNA namun berpasangan secara salah saat replikasi DNA. Beberapa mutagen kimiawi mengacaukan replikasi DNA yang benar dengan cara menyisipkan diri ke dalam DNA dan mendistorsi heliks ganda. Mutagen yang lain menyebabkan perubahan kimiawi basa sehingga mengubah sifat perpaangan basa.Para peneliti telah mengembangkan berbagai metode untuk menguji aktivitas mutagenik dari zat-zat kimiawi. Penerapan utama dari tes-tes ini merupakan skrining awal dari zat kimiawi untuk mengidentifikasi zat-zat yang menyebabkan kanker. Pendekatan ini masuk akal karena sebagian besar karsinogen (zat kimiawi penyebab kanker) bersifat mutagenik, dan sebaliknya, sebagian besar mutagen bersifat karsinogenik.

KarsinogenesisDalam kondisi normal, pembelahan, proliferasi, dan diferensiasi sel dikontrol secara ketat. Terdapat keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel, dan pembelahan seluler hanya diaktifkan bila sel mati atau kebutuhan fisiologik memerlukan lebih banyak sel jenis tertentu (misalnya, pada infeksi akut, dibtuhkan lebih banyak perkembangan leukosit).Karsinogenesis dimulai dari kerusakan genetik yang tidak mematikan (mutasi) yang diperoleh akibat kerja agen lingkungan (misalnya radiasi, kimia, virus) pada sel somatik atau dari kuman yang diturunkan. Perkembangan neoplasma dari perluasan sel tunggal nenek moyang telah menyebabkan kerusakan genetik.Karsinogenesis merupakan proses multilangkah yang meliputi inisiasi (mutasi genetik asli), promosi (proliferasi klon ganas dan mutasi tambahan), dan progresi (proliferasi yang diperoleh akibat kerja tumor ganas termasuk infiltrasi dan metastasis).

Protoonkogen dan OnkogenProtonkogen adalah gen seluler yang berfungsi untuk mendorong dan meningkatkan pertumbuhan normal dan pembelahan sel. Sel yang memperlihatkan bentuk mutasi dari gen ini disebut onkogen dan memiliki kemungkinan besar untuk berkembang menjadi ganas setelah pembelahan sel dalam jumlah yang terbatas. Ketika bermutasi menjadi onkogen karsinogenik, protoonkogen normal menjadi aktif dan mengakibatkan multiplikasi sel yang berlebihan.Protoonkogen dapat diubah menjadi onkogen dengan empat mekanisme dasar: mutasi poin, amplifikasi gen, pengaturan kembali kromosom, dan insersi genom virus. Mutasi ini menyebabkan perubahan struktur gen, menyebabkan sintesis produksi gen bnormal (onkoprotein) dengan fungsi berbeda, atau perubahan dalam pengaturan ekspresi gen, menyebabkan sekresi yang tidak adekuat atau peningkatan protein yang meningkatkan pertumbuhan normal secara struktural.

Gen-Gen Supresor TumorKebalikan dari protein pengubah protoonkogen yang meningkatkan pertumbuhan sel, gen-gen supressor tumor menghambat atau mengambil kerusakan pada pertumbuhan sel dan siklus pembelahan.Mutasi pada gen supresor tumor menyebabkan sel mengabaikan satu atau lebih komponen jaringan sinyal penghambat, memindahkan kerusakan dari siklus sel dan menyebabkan angka yang tinggi dari pertumbuhan yang tidak terkontrolkanker. Pada cara yang menyerupai onkogen, hasil protein dari gen supresor tumor berfungsi dalam semua bagian sel, pada permukaan sel, dalam sitoplasma, dan nukleus.Gen Rb adalah gen supresor tumor yang pertama kali ditemukan. Kode gen Rb untuk protein pRb penting untuk mengontrol siklus sel pada titik pemeriksaan G1-S disebut master brake. Pada titik pemeriksaan ini, sel tersebut bekerja untuk replikasi DNA lain atau untuk periode yang tidak aktif atau diferensiasi (atau keduanya), bergantung pada keseimbangan antara peningkatan pertumbuhan dan hambatan sinyal. Perkembangan dalam siklus sel diperantarai oleh berbagai siklin, yang dikombinasi dengan kinase bergantung-siklin (CDK). Protein pRb dapat menghambat pembelahan sel dengan mengikat faktor transkripsi, mencegahnya dari transkripsi faktor pertumbuhan.Jika gen Rb adalah master brake dari siklus sel, maka gen TP53 (yang mengkode untuk protein p53) adalah emergency brake. Protein p53 diketahui sebagai penjaga titik pemeriksaan G1-S namun biasanya tidak dalam replikasi sel normal. Tapi bila terjadi kerusakan DNA, p53 akan memengaruhi transkripsi untuk menghentikan siklus sel (melalui ekspresi p21, suatu penghambat CDK) dan memberikan sinyal kepada gen perbaikan DNA untuk memperbaiki kerusakan. Jika kerusakan terlalu berat, maka p53 merangsang apoptosis (kematian atau bunuh diri sel) yang terprogram. Jika gen supresor tumor p53 dinonaktifkan oleh suatu mutasi, maka pertahanan utama yang melawan propagasi sel dengan merusak DNA (menyebabkan satu salinan ganas) akan hilang. Sekitar 50% kanker pada manusia berkaitan dengan mutasi p53.