8
1 I. Pendahuluan Seperti yang telah dibahas dalam studi perkuliahan filsafat seni program pasca sarjana selama hampir setengah semester lebih, penulis merenungkan lagi sebuah pengertian tentang kesamaan pola yang terjadi/yang muncul, perihal cara berfikir masyarakat indonesia, rasionalitas, pola berfikir, serta kecendrungan- kecendrungan tindakan dengan substansi yang sama, khususnya bagi masyarakat tradisi etnik yang terus menjaga dan melestarikan ke-otentik-kan cara berfikir nenek moyang mereka tentang kehidupan, tentang keberadaan manusia, tentang kosmos (mikro, makro dan metakosmos), tentang sebuah tujuan dari itu semua , yang adalah tentang bagaimana cara selamat dalam kehidupan di dunia alam fana ini maupun dalam dunia alam baka nanti. tentunya dewasa ini telah banyak juga pengaruh dari pola-pola pikir yang lainnya, hasil dari kontak budaya- budaya asing, pada masa kolonial, masuknya pengaruh agama besar, dsb., itu semua akan memadu menjadi bentuk-bentuk yang bermacam-macam secara fisik dalam kebudayaan. namun meskipun telah mengalami perubahan/kontak budaya yang akhirnya menciptakan produk-produk seni yang berbeda-beda, namun tetap ada hal-hal yang dapat kita rasakan dan lihat, bahwa terdapat kesamaan pola rasionalitas/pola berfikir yang sama pada setiap peradaban, yang kemudian termanifestasikan, yang tidak lain itu adalah esensi dari cara berfikir nenek moyang yang dipercaya dan dijaga secara turun temurun, maka pada masyarakat tatar Sunda, sering diketemukan unsur Sunda Buhun, Sunda Hindu- Budha dan Sunda Islam. Masyarakat etnik pada zaman dulu pun berfikir bahwa dalam kehidupan manusia di dunia ini terdapat dualisme yang berlawanan/oposisi namun hidup berdampingan, saling mengisi, saling melengkapi dan semua itu kemudian dipadukan, diharmonisasikan, disatukan dengan kreatifitas-kreatifitas masyarakat primodialnya, tanpa menghilangkan nilai dari keduanya itu, dengan tujuan mengembalikan segala sesuatunya kepada yang Tunggal/Yang Maha, diluar manusia itu sendiri. ini dapat kita lihat, jika kita membaca produk-produk hasil kreatifitas manusia, baik dari segi peralatan-peralatan mencari makan,

Pola Tiga Dalam Kabuyutan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas kuliah Filsafat Seni

Citation preview

Page 1: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  1  

I. Pendahuluan

Seperti yang telah dibahas dalam studi perkuliahan filsafat seni program

pasca sarjana selama hampir setengah semester lebih, penulis merenungkan lagi

sebuah pengertian tentang kesamaan pola yang terjadi/yang muncul, perihal cara

berfikir masyarakat indonesia, rasionalitas, pola berfikir, serta kecendrungan-

kecendrungan tindakan dengan substansi yang sama, khususnya bagi masyarakat

tradisi etnik yang terus menjaga dan melestarikan ke-otentik-kan cara berfikir

nenek moyang mereka tentang kehidupan, tentang keberadaan manusia, tentang

kosmos (mikro, makro dan metakosmos), tentang sebuah tujuan dari itu semua ,

yang adalah tentang bagaimana cara selamat dalam kehidupan di dunia alam

fana ini maupun dalam dunia alam baka nanti. tentunya dewasa ini telah banyak

juga pengaruh dari pola-pola pikir yang lainnya, hasil dari kontak budaya-

budaya asing, pada masa kolonial, masuknya pengaruh agama besar, dsb., itu

semua akan memadu menjadi bentuk-bentuk yang bermacam-macam secara

fisik dalam kebudayaan. namun meskipun telah mengalami perubahan/kontak

budaya yang akhirnya menciptakan produk-produk seni yang berbeda-beda,

namun tetap ada hal-hal yang dapat kita rasakan dan lihat, bahwa terdapat

kesamaan pola rasionalitas/pola berfikir yang sama pada setiap peradaban, yang

kemudian termanifestasikan, yang tidak lain itu adalah esensi dari cara berfikir

nenek moyang yang dipercaya dan dijaga secara turun temurun, maka pada

masyarakat tatar Sunda, sering diketemukan unsur Sunda Buhun, Sunda Hindu-

Budha dan Sunda Islam.

Masyarakat etnik pada zaman dulu pun berfikir bahwa dalam kehidupan

manusia di dunia ini terdapat dualisme yang berlawanan/oposisi namun hidup

berdampingan, saling mengisi, saling melengkapi dan semua itu kemudian

dipadukan, diharmonisasikan, disatukan dengan kreatifitas-kreatifitas

masyarakat primodialnya, tanpa menghilangkan nilai dari keduanya itu, dengan

tujuan mengembalikan segala sesuatunya kepada yang Tunggal/Yang Maha,

diluar manusia itu sendiri. ini dapat kita lihat, jika kita membaca produk-produk

hasil kreatifitas manusia, baik dari segi peralatan-peralatan mencari makan,

Page 2: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  2  

wadah-wadah/tempat-tempat, panganan tradisional, bentuk rumah tradisional,

senjata tradisional, pusaka, pakaian tradisional, sesajian, upacara-upacara adat

bahkan sesuatu yang lebih luas adalah tentang bagaimana membangun

organisasi kemasyarakatan, tentang hidup berkelompok, tentang wilayah teritori

kehidupan berkelompok (Pola Kampung, Pulau, Negara, dsb., semua itu

memiliki keterkaitan, memiliki prinsip harus seperti itu. Tentunya dengan

kepercayaan juga, ada nilai religius, jika tidak demikian atau mengikuti pakem

tertentu mereka mempercayai bahwa tidak akan selamat, atau semua akan

celaka. kesamaan pola berfikir ini menggambarkan tentang prinsip kosmologi,

bahwa ada nya peran dunia atas, dunia bawah dan kehidupan dalam dunia

tengah. yang dalam masyarakat sunda ini disebut dengan Tritangtu/Tripartit.

semua aspek-aspek tersebut memiliki prinsip tritangtu, tritangtu scara makro,

tritangtu secara mikro, dan tritangtu juga dalam keseluruhan kosmos. artinya

pola fikir tersebut termanifestasikan dalam segala atribut, kelengkapan, cara

mencari mata pencaharian, bentuk makanan, penyajiannya, ritualnya adalah

tritangtu.

Lalu bagaimana kita bisa dengan yakin menyetujui bahwa masyarakat

awal tersebut memiliki pola rasional tertentu atau kepercayaan tertentu ?, hal ini

dapat kita telusuri dengan membaca/menafsir bentuk produk-produk seni baik

tari, musik, teater tradisionalnya, bentuk seni rupa, bahkan dalam prinsip pola

kabuyutan, salah satu kegiatan kongkrit yang telah dilakukan dakam bentuk

kegiatan praktik perkuliahan, seperti yang sudah dilakukan penelitian singkat

pada 20 November 2013 oleh rombongan kami, para mahasiswa pascasarjana

STSI angkatan 3 yang dipandu langsung oleh bpk. Prof. Jacob Soemardjo

mengunjungi makom kabuyutan yang tepatnya berada di Kabuyutan pasir jambu

kec. ciwidey.

Page 3: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  3  

II. Kabuyutan Makom Pasir Jambu Ciwidey

Di Ciwidey terdapat Makom

Kabuyutan Pasir Jambu, beralamat di

Kp. Kabuyutan RT 05/01 Ds. Kec. Pasir

Jambu Kab. Bandung, Kabuyutan ini

diapit oleh dua sungai yaitu sungai

Ciwidey dan sungai Cisondari yang

bermuara di Gunung Patuha. Secara

geografis kabuyutan ini dapat kita lihat pada pemetaan seperti di bawah ini :

Sebagaimana telah dipelajari bersama, dan sedikit mengulas tentang alam makro

adalah tempat tinggal mikro/manusia, sehingga makro tadi akan membentuk

pola pikir masyarakatnya secara kolektif, syarat terjadinya pulau/pulo adalah,

diapit oleh 2 sungai, juga harus ada unsur-unsur : Mata Air, Tanah/Hutan, Batu-

batu, maka kehidupan akan ada di sana. Sebuah pulau menjadi sebuah

manifestasi kepercayaan tentang prinsip kosmos masyarakat Sunda Buhun, Air

sebagai peran perempuan, Tanah sebagai Peran laki-laki, juga sungai ciwidey

Page 4: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  4  

sebagai peran sungai perempuan yang dianggap sungai yang lebih bersih, dan

sungai cisondari/cisonari lebih keruh adalah peran sungai laki-laki. Ini

merupakan pola rasionalitas masyarakat Sunda Buhun, bahwa segala sesuatu

dicipta berpasangan, sehingga yang satu ada karena suatu yang lainnya, maka

pada era Sunda Islam pun, pola pikir Buhun ini masih terlihat, walaupun dalam

artefak/produk yang lain. Jika kita lihat pada situs makom kabuyutan Pasir

Jambu ini, pola berpasangan ini dapat dilihat pada peletakan makam yang

berbeda, makam laki-laki dengan simbol batu panjang berdiri, dan makam

perempuan yang berbentuk batu bundar, kadang disimpan secara tidur. Pola

pikir Sunda Buhun juga meyakini adanya pengharmonisasian/pengESAan

dualitas yang berlawanan tersebut, seperti yang dapat kita lihat pada pemetaan

komplek kabuyutan di bawah ini :

Ket : 1. Sungai Besar 2. Makam Eyang Jagasatru 3. Hutan 4. Mata Air 5. Makam Eyang Dalem Mangkubumi & Dalem Danyadipa Kertamanah 6. Batu Hawu/Kumis Beureum 7. Wilayah Tanah 8. Sungai Laki2 (Cisondari) 9. Sungai Perempuan (Ciwidey)

Pola Rasionalitas Sunda Buhun pada Kabuyutan Pasir Jambu ini juga

ditemukan pola Tripartit/Tritangtu yang hadir dalam kosmos yang juga bernilai

tritangtu. Yaitu adanya nilai tritangtu pada makrokosmos seperti syarat

terjadinya pulau tadi, yaitu adanya unsur Air (Sungai, mata air), ada nya unsur

Tanah/Hutan, juga unsur batu batuan. Mikrokosmos yang bernilai tritangtu juga

Page 5: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  5  

ditemukan pada pegaturan peletakan batu-batuan, makam perempuan, makam

laki-laki dan makam laki-laki dan perempuan.

Jika kita ingin memperkuat/meyakinkan kehadiran pola yang hampir

sama di sebagian wilayah dengan

menelusuri lebih detail tentang makam

kabuyutan pada pasir jambu, pada pintu

pertama kita akan melihat pintu pertama

yaitu Eyang Geleng Pangancingan, oleh

para peziarah pintu ini sering tidak

dianggap terlalu penting, bahkan kuncen

menyebutnya sebagai Jaga Lawang, atau

penjaga pintu.  

Setelah itu kita akan melihat makam kabuyutan yang pertama

yaitu Makam Eyang JagaSatru. Telihat disini merupakan

peran laki-laki, yang mana batu nisan yang diletakan berdiri

tegak.

Pada penelusuran selanjutnya juga ditemukan adanya

wilayah mata air, yaitu merupakan tempat untuk mandi,

yang merupakan wilayah basah, wilayah perempuan,

Situs selanjutnya disebut Kumis Beureum dapat kita lihat

adanya batu-batu yang banyak dan besar-besar, ini diletakkkan

Page 6: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  6  

hampir mengumpul/diletakan bersama-sama, yang disebut oleh masyarakat

sebagai Batu Hawu.

Lalu sampai pada Makom yang

terakhir yaitu Eyang Dalem

Mangku Bumi dan Dalem

Sanyadipa Kertamanah. Pada

makom ini terdapat 2 makam

laki-laki dan perempuan.

Melalui salah satu penelusuran situs kabuyutan ini, meskipun telah

mengalami dinamisasi pada era Sunda Islam, karena masuknya Penyebaran

 

Batu  batu  yang  banyak  dan  diletakkan  berkelompok.  

Page 7: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  7  

Agama Islam di Pasir Jambu ini, namun tetap falsafah, dan cara berfikir Sunda

buhun masih diterapkan dalam peletakan prinsip Tripartit pada makam-makam

tersebut. dari ke 5 situs kabuyutan tersebut, karuhun/orang tua mereka yang telah

menyebarkan agama islam itu telah menyatu dengan pola pikir era Sunda buhun

hingga dewasa ini yang menjadi Sunda Islam. Dapat kita lihat ini merupakan

prinsip perhamonian, penyatuan tanpa menghilangkan ke-2 nilai tersebut.

Nilai tritangtu ini juga terlihat pada alam mikronya, yaitu peletakan

makam yang terpisah antara Eyang Jagasatru, Kumis Beureum, kemudian

adanya makam laki-laki perempuan, pada makom Eyang Dalem Mangku Bumi

dan Dalem Sanyadipa Kertamanah. ini merupakan prinsip penyatuan,

pengharmonian, kepada yang maha/Sang Hyang Tunggal, bahwa dipercaya oleh

sebagian besar masyarakat etnik, bahwa penciptaan/Genesis adalah berasal dari

yang tidak ada yaitu alam Metakosmos, yang memunculkan 3 Batara yaitu :

Batara Kersa/Kehendak, Batara Kawasa/Kuasa/Power, dan Batara

Mahakarana/Pikir/Mind. Sehingga metakosmos juga bernilai tritangtu, juga

ditemukan pada kabuyutan Pasir Jambu ini.

Page 8: Pola Tiga Dalam Kabuyutan

  8  

III. Kesimpulan

Setelah membaca artefak-artefak sebelumnya, dan diperkuat dengan

melakukan penelitian pada Kabuyutan Pasir Jambu ini, dapat kita peroleh hasil

pemikiran seperti yang telah juga sering disampaikan dalam perkuliahan selama

ini, tentang Filsafat Indonesia, yaitu pemikiran masyarakat etnik yang

terstruktur, tidak semata-mata melihat kehidupan menurut perspektif manusia,

namun pemikiran yang hadir akibat adanya sesuatu yang dipercayai secara

turun-temurun tentang adanya peran dualisme yang berlawanan namun hidup

berdampingan, adanya heterogenitas, adanya kreativitas yang memadu padankan

keduanya tanpa menghilangkan nilai dari keduanya itu, lalu kemudian

memunculkan sesuatu yang lain hasil dari perkawinan keduanya. Dari sinilah

kita dapat mengenal diri kita, ke-Indonesia-an kita, yang membedakan kita

secara substansial dari bangsa-bangsa yang lainnya, sehingga hal tersebut tidak

hanya berpengaruh pada pola pikir saja, namun berpengaruh pada sikap yang

mana kita sebagai yang spesifik telah terdefinisi, misalnya penulis sendiri

memilih sebagai creator, maka dari falsafah itulah dapat berangkat sebuah ide

penciptaan karya, yang terstruktur, tidak hanya semata-mata kekayaan teks saja,

namun memiliki konteks yang jelas dari yang sudah lama hadir dalam alam

pikiran masyarakat sejak dahulu ada, yang kemudian dihadirkan kembali pada

zaman modern dewasa ini. Sehingga dalam penciptaan, penulis berharap bahwa

konsep, inti dan substansi/kontekstual tersebut dapat dipakai kembali pada masa

sekarang, di zaman modern ini dengan wujud yang berbeda sesuai dengan era

kekinian.