Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam Perdagangan Narkotika
di Wilayah Indonesia (Studi Dokumentasi Terhadap Laporan Kasus Narkotika yang Ditangani
Direktorat Narkotika Alami BNN RI Tahun 2014)
Dea Seli Vea & Muhammad Mustafa
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok,Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini mendeskripsikan hubungan antara pola demografi sosial pelaku dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah Indonesia yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami, BNN RI pada tahun 2014. Penelitian ini menggunakan konsep crime patterns diataranya yaitu gender and crime, age and crime, class and crime dan the ecology of crime. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia berasal dari berbagai latar belakang demografi sosial. Kemudian hubungan antara demografi sosial dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan hasil yang bervariasi. Kata Kunci: Pola Demografi Sosial, drug trafficking, drug dealer, crime pattern, gender and crime, age and crime, class and crime, the ecology of crime.
Social Demographic Patterns of Criminal that Involved Narcotics Trafficking in Indonesia
(Documentation Study of Narcotics Case Report that handled by Natural Narcotics Directorate, BNN RI in 2014)
Abstract
This thesis described the relationship between social demographic patterns of offenders with their involvement in drug trafficking in Indonesia who handled by the Natural Narcotics Directorate, Board of Narcotics National Republic of Indonesia in 2014. This study used the concept crime patterns including gender and crime, age and crime, class and crime and the ecology of crime. This study used a quantitative approach with descriptive type. The study found that the drug traffickers in Indonesia come from various social demographics background.
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Then, the relationship between social demographics with the offenders involvement in the drug trafficking show varying results. Keywords: Social Demographic Patterns, drug trafficking, drug dealer, crime patterns, gender and crime, age and crime, class and crime, the ecology of crime.
PENDAHULUAN
Fenomena peredaran gelap narkoba secara kalkulasi terus meningkat menjadikan isu
ini menjadi salah satu isu global yang paling serius dan mengkhawatirkan, termasuk di
Indonesia. Pada awalnya Indonesia hanya dijadikan sebagai negara transit (transit states) oleh
jaringan sindikat internasional. Namun sejak akhir tahun 1993 wilayah Indonesia mulai
dijadikan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika ilegal (Iskandar, 2015: hal 14-15).
Selain itu, Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa tahun 2014 sebagai tahun darurat
narkoba, karena Indonesia menjadi pasar narkoba terbesar di ASEAN dengan jumlah
permintaan terdahadap narkotika sebanyak 43% dari jumlah total permintaan di Asean dengan
perputaran uang 40% nya di Indonesia yaitu sebanyak Rp 48 triliun dari total Rp 110 triliun
(www.sindonews.com, 2015).
Uang yang besar membuat jumlah orang yang terlibat dalam perdagangan narkotika
meningkat. Berdasarkan data BNN RI tentang peningkatan jumlah pelaku dalam perdagangan
narkotika pada tahun 2010 hingga tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah tersangka dalam
kasus narkotika tahun 2010 sebanyak 74 orang, kemudian pada tahun 2011 meningkat
menjadi 118 orang, tahun 2012 meningkat lagi menjadi 184 orang, pada tahun 2013 kembali
meningkat menjadi 239 orang dan pada 2014 meningkat jauh menjadi 588 orang (Deputi
Bidang Pemberantasan BNN, Maret 2013, 2014, 2015). Dari data tersebut memperlihatkan
bahwa jumlah orang yang terlibat dalam perdagangan narkotika meningkat dari tahun ke
tahun, terutama pada tahun 2014.
Para pelaku dalam perdagangan narkotika ini berasal dari berbagai latar belakang
karakteristik demografis yang berbeda-beda, yaitu dari berbagai tingkat umur, jenis kelamin,
berbagai kewarganegaraan, berasal dari berbagai status sosial ekonomi pelaku seperti tingkat
pendidikan dan pekerjaan, dan dari berbagai status nikah. Para pelaku sindikat narkotika
merekrut banyak orang dari berbagai kalangan untuk mengedarkan narkotika di wilayah
Indonesia untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan berbagai cara, baik secara
terang-terangan atau ditipu dengan berbagai cara dan alasan. Hutapea menjelaskan bahwa
jaringan sindikat narkotika merekrut para calon anggotanya dengan berbagai cara, yaitu
dengan ditawari uang atau materi, dipacari atau dinikahi, loyalitas, dan juga dengan cara
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
dijebak (Hutapea, 2011: xii). Maka dari itulah, pelaku bisa saja secara sadar atau tidak sadar
terlibat atau dilibatkan dalam perdagangan narkotika. Maka dari itulah peneliti tertarik untuk
meneliti lebih jauh tentang pola demografi pelaku yang terlibat dalam perdagangan narkotika.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara
pola demografi sosial dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah
Indonesia pada tahun 2014 yang di dapatkan melalui Laporan Kasus Narkotika (LKN)
tersangka yang ditangani oleh pihak Direktorat Narkotika Alami, Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia. Karena menurut Brantingham dan Brantingham menjelaskan tujuan
sepanjang waktu dalam mempelajari pola-pola kejahatan adalah untuk menemukan
keteraturan-keteraturan yang membantu dalam pemahaman terhadap gejala kejahatan
(Mustofa, 2010: hal 18). Jadi dengan mempelajari pola demografi sosial pelaku perdagangan
narkotika, maka dapat dirumuskan tentang kelompok yang potensial dan beresiko terlibat
dalam perdagangan narkotika. Hal ini pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh pihak
pemerintah ataupun pihak berwajib dalam menyusun kebijakan dan strategi untuk melindungi
lapisan demografi yang rentan direkrut oleh jaringan sindikat narkotika.
TINJAUAN TEORITIS
Pola Demografi Sosial
Fokus utama demografi sosial adalah menganalisis bagaimana faktor sosial secara
umum dan faktor-faktor kultural berhubungan dengan sruktur dan proses populasi (Ford dan
Jong,1970: hal 4). Pola demografi sosial dalam penelitian ini berkaitan dengan komposisi
penduduk atau karakteristik penduduk. Komposisi penduduk merupakan suatu konsep yang
mengacu pada susunan penduduk menurut kriteria tertentu. Keyfitz dan Nitisatro
menyebutkan bahwa penduduk dapat disusun menurut berbagai ukuran seperti jenis kelamin,
usia, pekerjaan, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan, tempat tinggal dan penghasilan
(Sunarto, 2004: hal 167). Sedangkan Smith dan Zopf mengemukakan tentang komposisi atau
karakteristik populasi, yaitu umur, jenis kelamin, tinggal di pedesaan atau perkotaan, ras atau
warna kulit, negara asal, kondisi pernikahan, pekerjaan, industri, angkatan kerja, dan
ketenagakerjaan, status pendidikan dan afiliasi agama (Smith, dan Zopf, 1970: hal 6-8).
Sudah sejak lama dipercayai bahwa kriminologi dan demografi saling mengisi dan
saling terkait satu sama lain dalam beberapa hal. South dan Messner menyatakan bahwa
karakteristik demografi individual dan keseluruhan proses populasi adalah pusat bagi
kebanyakan perspektif teoritis dan model empiris dari perilaku kriminal (South dan Messner,
2000: hal 83). Variabel demografi, termasuk usia, jenis kelamin, dan ras, merupakan faktor
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
yang jelas sangat diperlukan dalam banyak model kriminal dan perilaku menyimpang, dan
metode demografi, khususnya standarisasi sering digunakan dalam penelitian kriminologi
(South dan Messner, 2000: hal 98-99).
Pendidikan. Lochner menekankan peran pendidikan sebagai investasi modal
manusia yang meningkatkan masa depan peluang kerja yang sah, yang mengecilkan
partisipasi dalam kejahatan. Jika modal manusia meningkatkan keuntungan marjinal dari
pekerjaan lebih dari kejahatan, maka investasi modal manusia dan sekolah seharusnya
mengurangi kejahatan (Hjalmarsson dan Lochner, 2012: hal 49). Pekerjaan. Sampson dan
Laub menjelaskan bahwa kerja dapat mengurangi resiko seseorang terlibat dalam perilaku
kriminal dengan menawarkan remaja dan dewasa muda penghasilan yang tetap dan daya beli,
meningkatkan waktu dibawah pengawasan orang dewasa, memperluas ikatan sosial sehingga
meningkatkan kontrol sosial informal dan meningkatkan kemampuan anak muda untuk
berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat dan ekonomi. Kerja merupakan komponen penting
dari transisi yang sukses bagi orang dewasa yang dapat memiliki dampak positif pada gaya
hidup dan yang membatasi paparan pada pelaku potensial (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005:
hal 20).
Motivasi Keterlibatan Pelaku dalam Perdagangan Narkotika
Terlibatnya seseorang dalam perdagangan narkotika disebabkan oleh berbagai alasan
dan latar belakang. Decker dan Chapman menjelaskan bahwa umumnya motivasi untuk
terlibat dalam kejahatan adalah monolitik. Artinya, sebagian besar pengamat menyimpulkan
bahwa alasan tunggal orang terlibat dalam kejahatan adalah untuk membuat uang (Decker dan
Chapman, 2008: hal 104). Karena, uang besar dapat dibuat di setiap sudut dunia narkotika,
termasuk dunia penggunaan narkotika yang sah (Barlow, 1984: hal 342). Coomaraswamy
menjelaskan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi baik perempuan dan laki-laki untuk
terlibat dalam perdagangan narkotika (Chiluwa, 2014: hal 71). Faktor ekonomi, keuntungan
yang berlipat dari bisnis narkotika menyebabkan semakin maraknya bisnis ini di negeri kita
(Indonesia). Disamping faktor keuntungan, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan dan gaya
hidup yang serba konsumtif juga merupakan faktor penyebab yang mendorong seseorang
menjadi pengedar nakotika (Lestari, 2013: hal 944).
Penggunaan narkotika dan perdagangan narkotika memiliki hubungan khusus.
Sebagian besar pengedar mulai dengan menggunakan narkotika dan akhirnya mulai
mengedarkan narkotika. Alasan yang paling umum dinyatakan oleh pengedar untuk masuk
ke pasar penjualan narkotika, adalah untuk "mendukung kebiasaan mereka". Jadi, dengan
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
menjual ke teman-teman mereka dan beberapa kenalan, mereka mampu mempertahankan
kebiasaan narkotika mereka tanpa mengeluarkan uang (Chiluwa, 2014: hal 52). Chiluwa juga
menjelaskan bahwa residivisme penjahat adalah tema umum bagi pengedar narkotika. karena
keuntungan yang dihasilkan tinggi, kemudian karena individu biasanya memiliki banyak
koneksi ke pengedar narkotika yang sukses, membuat mereka lebih mudah untuk kembali
terlibat dalam jaringan narkotika setelah mereka dibebaskan dari penjara (Chiluwa, 2014: hal
52).
Dalam motivasi keterlibatan pelaku perempuan, Chris Corrin menegaskan hampir di
semua negara penyebab utama keterlibatan perempuan dalam rantai perdagangan narkotika
global adalah kemiskinan. Namun di balik kemiskinan dan akibat kemiskinan tersebut telah
terjadi kekerasan dalam ranah privat yang membuat perempuan menjadi pelaku kriminal.
Tidak sedikit dari perempuan ini menjadi kurir narkotika karena adanya paksaan dengan
unsur kekerasan oleh orang terdekat mereka (Anastasia, 2012: hal 1-2). Griffin dan
Armstrong menemukan bahwa perempuan yang hidup dengan suami atau pacar lebih
mungkin untuk terlibat dalam narkotika. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam
hubungan intim dengan seorang laki-laki memfasilitasi akses ke perdagangan narkotika
(Rodriguez dan Griffin, 2005: hal 9). Esmee Fairbairn Foundation juga menyatakan bentuk
lain dari korban untuk keterlibatan perempuan dalam penyelundupan narkotika adalah
pemaksaan di tangan pasangan laki-laki atau kekasih mereka dan Abernethy dan Hammond
juga menemukan bahwa beberapa perempuan berpartisipasi sebagai akibat dari ancaman
terhadap kehidupan mereka atau dari orang yang mereka cintai (Bailey, 2013: hal 123).
Crime Pattern
Gender and Crime. Dari semua variabel demografi, satu hal yang paling disepakati
tentang perbedaan mendasar adalah jenis kelamin, semua orang tahu bahwa laki-laki lebih
banyak melakukan kejahatan dari pada perempuan (Livingston,1996: hal 99). Begitu juga
halnya dengan perdagangan narkotika, Bourgois, Decker dan Chapman, Jacobs, dan Mullins
menjelaskan bahwa pria mendominasi importasi dan distribusi obat di seluruh dunia.
(Grundetjern dan Sandberg, 2012: hal 624). Age and Crime. Sebagian besar kejahatan terjadi
atau dilakukan oleh orang dewasa muda (Hagan, 2010: Hal 28; Livington, 1996: hal 131) dan
dalam usia produktif. Hal ini sesuai dengan penjelasan Freeman bahwa demografi populasi
kriminal menunjukkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan secara tidak seimbang
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
terdiri dari anak muda dengan prospek pendapatan sah yang rendah, kurang berpendidikan,
orang dengan nilai tes yang rendah, dan sebagainya (Becsi,1999).
Class and Crime. Livingston merangkum bahwa kelas bawah memiliki jumlah
statistik penangkapan lebih banyak, terutama untuk kejahatan yang lebih serius dan kekerasan
(Livingston, 1996: hal 112). Felipe Estrada dan Anders Nilsson menjelaskan bahwa orang-
orang pada jenjang terendah dari struktur sosial memiliki dorongan terbesar untuk melakukan
kejahatan, dan orang-orang yang sedang kesulitan keuangan adalah yang paling mungkin
untuk menjadi targetnya (Siegel, 2012: hal 49). The Ecology of Crime. Daerah perkotaan
besar memiliki tingkat kekerasan tertinggi dari pada daerah pedesaan yang memiliki tingkat
kejahatan per kapita lebih rendah (Siegel, 2012: hal 48). Daerah pedesaan menunjukkan
tingkat kejahatan umumnya lebih rendah terlepas dari kekayaan mereka yang lebih kecil.
Namun kesenjangan antara kaya dan miskin, intensitas persaingan ekonomi, dan tekanan
kelompok untuk meniru sukses juga kurang di daerah pedesaan. Keluarga pedesaan lebih
stabil, homogenitas yang lebih besar dari penduduk pedesaan, mobilitasnya rendah, populasi
kurang padat, kurang kesempatan bagi penjahat untuk menyembunyikan diri, dan sebagainya
merupakan faktor yang harus ditekankan (Taft dan England, 1964: hal 156).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan tipe deskriptif. Unit analisis
dalam penelitian ini adalah pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia pada tahun
2014. Data didapatkan dengan cara melakukan studi dokumentasi pada Laporan Kasus
Narkotika atau LKN (sebutan Berkas Acara Pidana (BAP) dalam lingkup BNN) pelaku
perdagangan narkotika yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun
2014. Peneliti mengumpulkan data dari tanggal 21 Maret 2016 sampai dengan 6 April 2016
di 2 subdirektorat yang dimiliki oleh Direktorat Narkotika Alami yaitu Subdirektorat Heroin
dan Subdirektorat Kokain dan Ganja.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan hubungan antara variabel
Independen yaitu pola demografi sosial dengan variable dependen yaitu keterlibatan pelaku
dalam perdagangan narkotika.Variabel independen (IV) terdiri dari umur, agama,
kewarganegaraan, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, karir kriminal, domisili
dan tempat kejadian perkara pelaku. Variabel dependen (DV) terdiri dari jenis narkotika,
peran pelaku, pihak yang pertama kali merekrut, dan motivasi keterlibatan pelaku dalam
perdagangan narkotika. Data dari kedua variabel ini diolah menggunakan SPSS dan kemudian
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
dilakukan analisis univariat dan analisis tabulasi silang yang seterusnya akan dideskripsikan
dan dijelaskan menggunakan konsep-konsep dan jurnal yang telah dikumpulkan.
HASIL PENELITIAN
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil temuan data demografi sosial pelaku
perdagangan narkotika dan data keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah
Indonesia pada tahun 2014 yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami, Deputi Bidang
Pemberantasan BNN RI.
Tabel 1. Data Pola Demografi Sosial Pelaku Perdagangan Narkotika
Tabel 1 menunjukkan tentang pola demografi sosial pelaku perdagangan narkotika di
wilayah Indonesia yang ditangani oleh Direkrorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun 2014.
Data tersebut menunjukkan dari total 44 pelaku perdagangan narkotika, mayoritas pelaku
merupakan laki-laki (81,82%), berumur antara 25-44 tahun (75%), berkewarganegaraan
Jumlah % Jumlah %Jenis Kelamin Status ResidivisLaki-Laki 36 81,82% Tidak 31 70,45%Perempuan 8 18,18% Ya, Narkotika 8 18,18%Umur Ya, Bukan Narkotika 5 11,36%<18 2 4,55%18-24 5 11,36% Domisili 25-44 33 75% Aceh 1 2,27%45-64 4 9,09% Sumatera Utara 1 2,27%>65 0 0% Sumatera Barat 1 2,27%Kewarganegaraan Sumatera Selatan 1 2,27%Warga Negara Indonesia 39 88,64% Lampung 1 2,27%Warga Negara Asing 5 11,36% DKI Jakarta 17 38,64%Status Pernikahan Jawa Barat 14 31,82%Belum Menikah 12 27,27% Banten 5 11,36%Menikah 27 61,36% Kalimantan Barat 2 4,55%Cerai 5 11,36% Luar Negeri 1 2,27%Tingkat PendidikanTidak Tamat SD 5 11,36% Tempat Kejadian PidanaSD 7 15,91% Sumarera Utara 1 2,27%SMP 12 27,27% Riau 2 4,55%SMA 16 36.36% DKI Jakarta 19 43,18%D1-D4 0 0% Jawa Barat 17 38,64%S1-S3 4 9,09% Jawa Timur 1 2,27%Pekerjaan Banten 2 4,55%Swasta 16 36,36% Kalimantan Barat 2 4,55%Wiraswasta 15 34,09%Petani 3 6,83%Pelajar/Mahasiswa 1 2,27%Ibu Rumah Tangga 6 13,64%Pengangguran 3 6,82%
Pola Demografi Sosial TotalPelaku Perdagangan
Narkotika
Pola Demografi SosialPelaku Perdagangan
Narkotika
Total
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Indonesia (88,64%), berstatus menikah (61,36%), memiliki pendidikan tingkat SMA
(36,36%), memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta (36,36%). Mayoritas pelaku belum
pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya (70,41%). Berdasarkan data juga dapat
dilihat bahwa mayoritas pelaku berdomisili dan memiliki tempat kejadian pidana (TKP) di
Provinsi DKI Jakarta.
Tabel 2. Data Keterlibatan Pelaku dalam Perdagangan Narkotika
Tabel 2 menunjukkan tentang keterlibatan pelaku perdagangan narkotika di wilayah
Indonesia yang ditangani oleh Direkrorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun 2014. Tabel
tersebut menunjukkan bahwa dari total 44 orang tersangka, mayoritas pelaku terlibat dalam
kasus narkotika jenis shabu (47,73%). Dalam perdagangan narkotika di wilayah Indonesia
pelaku memiliki peran yang beragam, namun mayoritas pelaku memiliki peran sebagai kurir
narkotika (75%) yang mengantarkan barang dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu
orang ke orang lain. Mayoritas pelaku pertama kali direkrut oleh kenalan (40,91%) dan
Pola Sosio-DemografisPelaku Perdagangan
Narkotika Jumlah %Jenis NarkobaGanja 10 22,73%Heroin 7 15,91%Shabu 21 47,73%Ganja+Shabu 2 4,55%Heroin+Shabu 4 9,09%Peran Kultivasi 1 2,27%Produksi 2 4,55%Pemilik 2 4,55%Pengendali 5 11,36%Kurir 33 75%Perekrut 1 2,27%Direkrut/Ditawari OlehKenalan 18 40,91%Teman 18 40,91%Suami 6 13,64%Pacar 1 2,27%Diri Sendiri 1 2,27%Motivasi Keterlibatan PelakuUang 23 52,70%Narkoba Gratis + Uang 5 11,36%Ditawari/minta kerja+uang 8 18,18%Suami/Pacar 6 13,64%Dimintai Tolong Teman 1 2,27%Bayar Utang + Uang 1 2,27%
Total
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
teman mereka (40,91%). Sedangkan mayoritas motivasi atau alasan keterlibatan pelaku dalam
perdagangan narkotika adalah uang (52,70%).
PEMBAHASAN
Jenis Kelamin Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian perdagangan narkotika di
wilayah Indonesia didominasi oleh laki-laki (81,82%) yaitu jumlah pelaku laki-laki 4 kali
lebih banyak dari pada pelaku perempuan. Kemudian, berdasarkan hasil tabulasi silang antara
jenis kelamin dengan jenis narkotika yang diperdagangkan pelaku memperlihatkan bahwa
mayoritas pelaku laki-laki dan perempuan memperdagangkan narkotika jenis shabu dan laki-
laki mendominasi penjualan semua jenis narkotika yaitu shabu, ganja dan heroin. Penelitian
yang dilakukan Bourgois, Decker dan Chapman, Jacobs, dan Mullins menjelaskan bahwa pria
mendominasi importasi dan distribusi narkotika di seluruh dunia (Grundetjern dan Sandberg,
2012:hal 624).
Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa para pelaku direkrut pertama kali
oleh orang-orang terdekat mereka. Hal ini menurut Abadinsky dan Kenney bahwa anggota
kartel narkotika mencoba untuk memperluas jaringan mereka melalui hubungan pribadi
dengan merekrut kenalan, kerabat dan anggota keluarga. Hal ini dikarenakan para pelaku
dalam jaringan sindikat narkotika membutuhkan orang yang dapat dipercaya (Chiluwa, 2014:
hal 51). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan pihak pertama yang
merekrut pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan pada pelaku laki-laki, mayoritas
direkrut oleh teman mereka, sedangkan pada pelaku perempuan mayoritas direkrut oleh
pasangan laki-laki mereka seperti suami dan pacar. Griffin dan Armstrong menjelaskan
bahwa perempuan yang hidup dengan suami atau pacar lebih mungkin untuk terlibat dalam
narkotika, mereka menunjukkan bahwa keterlibatan dalam hubungan intim dengan seorang
pria memfasilitasi akses ke perdagangan narkotika (Rodriguez dan Griffin, 2005: hal 9).
Hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan peran pelaku dalam perdagangan
narkotika menunjukkan bahwa pelaku laki-laki dan perempuan mayoritas memiliki peran
sebagai kurir. Namun, laki-laki memiliki peran yang lebih tinggi dan signifikan dari pada
perempuan dalam perdagangan narkotika. Maher dan Daly menjelaskan bahwa umumnya
keterlibatan perempuan dalam perdagangan narkotika minimal, sering pasif atau subordinat
(Rodriguez dan Griffin,2005: hal 4). Sehingga banyak perempuan yang hanya menjadi kurir
narkoba. selain itu, perempuan sering dijadikan kurir narkotika karena secara budaya mereka
dianggap lebih memiliki kemungkinan kecil untuk melibatkan diri dalam kegiatan kriminal.
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Susunan biologis wanita membuat mereka dieksploitasi yang digunakan sebagai kurir
(Chiluwa, 2014: hal 67).
Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa hubungan antara jenis kelamin
dengan motivasi keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika memperlihatkan hasil yang
berbeda antara perempuan dan laki-laki, mayoritas pelaku laki-laki dimotivasi oleh uang,
sementara mayoritas perempuan karena dilibatkan atau disuruh oleh suami dan pacar mereka.
hal ini sesuai dengan Bayley yang menemukan bahwa perempuan terlibat dalam perdagangan
narkotika karena adanya ketergantungan emosional (Emotional Dependence) dengan suami
atau pacar mereka yang merupakan pelaku pengedar narkotika (Bayley,2013: hal 132).
Menurut Chiluwa (2014) umumnya kebanyakan laki-laki terlibat dalam perdagangan
narkotika karena keinginan untuk mencapai status keuangan yang tinggi, kemewahan dan
pengakuan di masyarakat.
Umur Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelaku
perdagangan narkotika di wilayah Indonesia berasal dari berbagai tingkat umur yaitu dari
umur 17 hingga 50 tahun. Henry dan Sanford juga menjelaskan bahwa pengedar narkotika
dalam usia berkisar luas, dari umur 12 sampai 70 tahun (Chiluwa, 2014:hal 51). Data
menunjukkan bahwa mayoritas pelaku berusia 25-44 tahun yang merupakan usia produktif.
Hal ini sesuai dengan Hagan yang menjelaskan bahwa kejahatan narkotika lebih lazim
ditemui di kalangan mereka yang berusia 25 hingga 44 tahunan di penjara (Hagan, 2013: hal
90).
Banyaknya jumlah pelaku yang berusia produktif dapat disebabkan oleh pertambahan
tanggung jawab yaitu mereka harus menghidupi diri mereka dan juga keluarga mereka.
Mereka merupakan orang yang akan menanggung biaya dari mereka yang berumur dibawah
24 tahun yang merupakan kelompok usia sekolah. Mantra tentang rasio beban tanggungan
(dependency rasio) menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh golongan yang
produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum
produktif (Mantra, 1985:hal 55). Selain itu, orang yang pada kelompok umur ini memiliki
mobilitas yang lebih besar dari pada mereka yang berusia sekolah, sehingga paparan mereka
terhadap kejahatan akan lebih tinggi dari pada mereka yang berusia 24 tahun ke bawah.
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara umur dengan peran pelaku dalam perdagangan
narkotika menujukkan bahwa mayoritas pelaku dalam semua kelompok umur berperan
sebagai kurir narkotika. Selain itu juga ditemukan bahwa mereka yang berumur lebih tua
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
(pelaku berumur 25 sampai 64 tahun) cenderung memiliki peran dan posisi yang lebih tinggi
dalam perdagangan narkotika yaitu sebagai pemilik, pengendali, produksi dan kultivasi),
sementara mereka yang berusia muda (pelaku yang berumur dibawah 24 tahun) hanya
memiliki peran sebagi kurir narkotika. Chiluwa dalam penelitiannya juga menemukan
kecenderungan umum bahwa pengedar narkotika yang lebih tua biasanya menempati tingkat
yang lebih tinggi dalam hirarki narkoba, sementara pengedar muda menempati peringkat yang
lebih rendah (Chiluwa, 2014: hal 51).
Berdasarkan tabulasi silang antara umur pelaku dengan motivasi keterlibatan pelaku
dalam perdagangan narkotika meperlihatkan hasil yang bervariasi. Pada pelaku yang berumur
<18 tahun dimotivasi karena ditawari pekerjaan dan uang, sedangkan pada pelaku berumur
antara 18-24 tahun, 25-44 tahun dan 24-64 tahun mayoritas karena dimotivasi oleh uang.
Levitt menjelaskan bahwa sebelumnya, tingkat kejahatan usia tertentu diterima sebagai hal
yang diberikan dan kriminalitas dari semua generasi diasumsikan konstan. Namun, tingkat
pelanggar untuk kelompok usia tertentu bisa dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Fluktuasi kondisi sosial atau ekonomi dapat berinteraksi dengan kondisi demografi sehingga
sekelompok besar mengalami persaingan yang lebih besar untuk pekerjaan dan sumber daya
lainnya, yang kemudian dapat menyebabkan kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan
kejahatan untuk keuntungan ekonomi (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 18).
Kewarganegaraan Pelaku. Data memperlihatkan bahwa perdagangan narkotika di
Indonesia pada tahun 2014 merupakan kejahatan transnasional, karena perdagangan narkotika
tidak hanya dilakoni oleh orang Indonesia saja, tapi juga oleh orang dari negara lain yaitu oleh
warga negara Iran, Nigeria dan Pakistan yang melewati batas negara. Hutapea menjelaskan
hal ini terjadi karena Indonesia merupakan salah satu pintu masuk perdagangan dan peredaran
gelap narkotika bahkan mungkin menjadi salah satu pusat peredaran gelap narkotika.
Kejahatan narkotika terjadi selain dilakukan oleh warga negara Indonesia juga melibatkan
warga negara asing sebagai pelaku yang membawa masuk narkotika secara illegal ke
Indonesia (Hutapea, 2011:hal 4). Nitibaskara menjelaskan kejahatan transnasional yang
disebabkan oleh adanya perubahan seperti permintaan yang tinggi terhadap barang ilegal
(narkotika), yang menarik para sindikat narkotika untuk meyelundupkan narkotika ke
Indonesia, hal ini dipermudah karena adanya perubahan diberbagai bidang seperti sistem
keuangan global, transportasi yang mudah dan komunikasi yang semakin canggih yang
mempermudah operasi mereka ke berbagai negara di penjuru dunia (Hutapea, 2011: hal 4-5).
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kewarganegaraan pelaku dengan peran pelaku
dalam perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku warga negara
Indonesia dan warga negara asing berperan sebagai kurir narkotika. Selain itu, pelaku yang
merupakan warga negara Indonesia berperan dalam semua ranah perdagangan narkotika.
Maher menjelaskan bahwa perdagangan narkotika tingkat tinggi terjadi secara alami di
puncak hirarki dimana produsen mentransfer barang ke pedagang pertama. Hal ini terkadang
melintasi batas negara, yang sangat berisiko tetapi berpotensi memiliki keuntungan moneter
tinggi (Chiluwa, 2014: hal 51). Para pelaku perdagangan narkotika yang merupakan warga
negara asing (penyelundup narkotika) ketika sampai di Indonesia, mereka sering kali
memiliki posisi yang tinggi sebagai “source” atau bandar narkotika yang menjadi pemilik dan
mengendalikan orang Indonesia sebagai kurirnya atau bekerja sama dengan jaringan narkotika
lokal. Hal ini sesuai dengan William yang menjelaskan bahwa organisasi kriminal
internasional sering mengandalkan kelompok-kelompok lokal yang sudah ada untuk
memfasilitasi mereka masuk ke negara-negara baru (McGuire,2010: hal 13).
Berdasarkan tabulasi silang antara kewarganegaraan pelaku dengan motivasi
keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan bahwa motivasi keterlibatan
pelaku warga negara Indonesia dalam perdagangan narkotika bervariasi, namun mayoritas
dimotivasi oleh uang. Sedangkan pada semua pelaku warga negara asing, dimotivasi oleh
uang. Hal ini sesuai dengan Decker dan Chapman yang menjelaskan bahwa umumnya
motivasi untuk terlibat dalam kejahatan adalah monolitik. Artinya, sebagian besar pengamat
menyimpulkan bahwa alasan tunggal orang terlibat dalam kejahatan adalah untuk membuat
uang (Decker dan Chapman, 2008: hal 104).
Status Pernikahan Pelaku. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa mayoritas
pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia merupakan mereka yang telah menikah.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Chiluwa yang menemukan dalam
perdagangan narkotika di Zambia mayoritas pelaku berstatus menikah, dan posisi kedua
tertinggi adalah laki-laki berstatus lajang (Chiluwa, 2014:hal 64). Hal ini dikarenakan orang
yang sudah menikah memiliki tanggung jawab dan pengeluaran lebih besar dari pada mereka
yang berstatus lajang. Mereka harus bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak
mereka dan menghidupi keluarganya. Sehingga mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan
hidup dengan pendapatan sah yang tidak cukup, akan cenderung beralih melakukan kejahatan.
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Berdasarkan hasil tabulasi silang antara status menikah dan motivasi pelaku dalam
perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku yang belum menikah dan
pelaku yang berstatus menikah terlibat dalam perdagangan narkotika dimotivasi oleh uang.
Sedangkan pada orang yang berstatus bercerai mayoritas karena ditawari pekerjaan dan uang.
Bagi pelaku perempuan yang sudah menikah terlibat dalam aktivitas perdagangan narkotika
karena suami mereka adalah pengedar narkotika. Hal ini karena mereka memiliki
ketergantungan emosional, psikologis dan finansial pada suami mereka. Kemudian pada
perempuan yang sudah bercerai mereka terlibat dalam perdagangan narkotika karena
memiliki beban hidup yang bertambah karena ketidak hadiran pasangan laki-laki yang
biasanya menyokong perekonomian mereka. Ini akan semakin sulit terutama bagi perempuan
yang sudah memiliki anak. Bayley menyatakan bahwa kondisi hidup yang buruk dari banyak
perempuan diperburuk oleh fakta dengan tidak adanya pasangan laki-laki, mereka memiliki
tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan fisik dan emosional anak-anak mereka
(Bayley,2013: hal 128) .
Tingkat Pendidikan Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa
mayoritas pelaku merupakan mereka yang berpendidikan SMA ke bawah, sedangkan mereka
yang berpendidikan tinggi hanya sedikit. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat
pendidikan dengan peran pelaku dalam perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa
mayoritas pelaku dari berbagai tingkat pendidikan berperan sebagai kurir narkotika. Pelaku
tidak tamat SD berperan dalam kultivasi, pelaku pendidikan SMA berperan dalam
memproduksi narkotika, pelaku berpendidikan SD dan SMP berperan sebagai pemilik
narkotika, sedangkan pelaku berpendidikan S1-S3 mayoritas berperan sebagai pengendali.
Kemudian, hubungan antara tingkat pendidikan dan motivasi keterlibatan pelaku dalam
perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan motivasi antara pelaku
yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan menengah ke bawah. Pada pelaku tidak tamat
SD dan pelaku berpendidikan S1-S3, mayoritas dimotivasi oleh keinginan akan uang dan
untuk mendapatkan narkotika gratis dan uang. Pada pelaku berpendidikan SD, SMP, dan
SMA mayoritas dimotivasi oleh keinginan akan uang.
Berdasarkan data dapat dilihat bahwa mayoritas pelaku memiliki pendidikan tingkat
yang menengah ke bawah dan yang berpendidikan tinggi hanya sedikit. Kamanto Sunarto
menjelaskan bahwa stratifikasi pendidikan (educational stratification), hak dan kewajiban
warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil
mereka raih (Sunarto, 2004:hal 85). Orang dengan pendidikan tinggi biasanya memiliki
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki pekerjaan yang bagus
dengan pendapatan yang bagus pula. Sehingga hal ini akan mempengaruhi keputusan mereka
untuk melakukan kejahatan, karena ketika mereka melakukan kejahatan seperti perdagangan
narkotika, maka mereka bisa kehilangan pekerjaan, pedapatan dan kedudukan mereka.
Sehingga mereka akan lebih menahan diri dan akan lebih mengontrol diri untuk tidak
melakukan kejahatan.
Lochner juga menjelaskan bahwa pendidikan meningkatkan tingkat upah,
meningkatkan biaya peluang pada kejahatan, selain itu pendidikan juga secara langsung
mempengaruhi keuangan (Lochner, 2007: hal 5). Jadi orang yang memiliki pendidikan tinggi
cenderung berpikir bahwa biaya melakukan kejahatan lebih besar (tertangkap polisi,
kehilangan pekerjaan dan pendapatan), sehingga mereka cenderung menghindari kejahatan.
Berbeda halnya dengan mereka yang berpendidikan rendah, dari awal mereka telah berada
pada kondisi yang tidak menguntungkan, sehingga manfaat melakukan kejahatan lebih besar
dari pada resiko melakukan kejahatan. Mereka ingin tetap hidup dan ingin sukses (secara
ekonomi), maka bagi mereka yang memiliki pendidikan relatif rendah akan melakukan
inovasi pada cara mereka untuk meraih sukses dan bertahan hidup yaitu dengan melakukan
kejahatan seperti perdagangan narkotika yang memberikan keuntungan yang besar.
Pekerjaan Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas pelaku
perdagangan narkotika bekerja sebagai swasta dan wiraswasta. Hal ini sesuai dengan
penelitian Chiluwa yang menemukan bahwa kebanyakan pelaku perdagangan narkotika lebih
banyak bekerja di ranah informal, sedangkan mereka yang bekerja di ranah formal sangat
sedikit. Chiluwa menemukan mayoritas pelaku perdagangan narkotika memiliki pekerjaan
sebagai wiraswasta atau self-employed dan lain-lainnya (Chiluwa,2014: hal 64). Selain itu
Chiluwa juga menjelaskan bahwa mayoritas pengedar narkotika berasal dari kelas sosio-
ekonomi bawah hingga menengah (Chiluwa, 2014: hal 73).
Walaupun pelaku yang bekerja sebagai pegawai swasta, kebanyakan pelaku tidak
bekerja di perusahaan atau pegawai kantoran yang disiplin dengan jumlah waktu kerja yang
cenderung hampir penuh per minggunya, sehingga memungkinkan mereka untuk terlibat
dalam peredaran narkotika lebih besar dan lebih leluasa. Hal ini dikarenakan intensitas waktu,
kedisiplinan tempat kerja akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan dan mobilitas
seseorang. Sampson dan Laub menjelaskan bahwa kerja dapat mengurangi resiko terlibat
dalam perilaku kriminal, meningkatkan waktu dibawah pengawasan orang dewasa,
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
memperluas ikatan sosial sehingga meningkatkan kontrol sosial informal dan meningkatkan
kemampuan anak muda untuk berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat dan ekonomi. Kerja
merupakan komponen penting dari transisi yang sukses untuk dewasa yang dapat memiliki
dampak positif pada gaya hidup dan yang membatasi paparan pada pelaku potensial (Bunge,
Johnson dan Baldé, 2005:hal 20).
Berdasarkan temuan data memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku memiliki pekerjaan
yang tidak begitu bagus dan relatif rendah. Hal ini akan mempengaruhi pendapatan seseorang
yang kemudian akan berimbas pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Brooks-Gunn dan Duncan menjelaskan bahwa pengangguran dan ukuran dari kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan sebagai faktor risiko untuk kegiatan kriminal. Keluarga dan individu
yang berada dalam situasi berpenghasilan rendah, telah mengurangi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi terorganisir dan untuk memperoleh barang-barang
diinginkan dan diperlukan dalam masyarakat barat (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 20).
Sulitnya mengakses pekerjaan dan persaingan kerja dan kesulitan ekonomi membuat para
pelaku semakin tersudutkan dan akhirnya melakukan kejahatan seperti perdagangan narkotika
yang tidak membutuhkan modal apapun. Levitt (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 20)
menjelaskan bahwa fluktuasi kondisi sosial atau ekonomi lainnya dapat berinteraksi dengan
kondisi demografis seperti sekelompok besar mengalami persaingan yang lebih besar untuk
pekerjaan dan sumber daya lainnya, yang kemudian dapat menyebabkan kecenderungan lebih
tinggi untuk melakukan kejahatan.
Karir Kriminal Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas
pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia pada tahun 2014 belum pernah melanggar
hukum sebelumnya (70,45%), sementara pelaku yang merupakan residivis relatif sedikit.
Berdasarkan data juga dapat dilihat bahwa pelaku yang merupakan residivis memiliki peran
yang lebih tinggi dari pada mereka yang belum pernah melanggar hukum sebelumnya.
Mereka yang belum pernah melanggar hukum mayoritas berperan sebagai kurir narkotika.
Sedangkan yang berperan memproduksi narkotika, pemilik dan pengendali lebih banyak
dilakukan oleh mereka yang berstatus residivis. Beberapa dari pelaku residivis narkotika yang
sebelumnya adalah pengguna, mulai melakukan perdagangan narkotika karena ingin
mendapatkan narkotika gratis untuk mendukung kebiasaan mereka. Chiluwa menjelaskan
bahwa mayoritas pengedar narkotika adalah pengguna narkotika di tahun-tahun remaja
mereka dan tenggelam dalam subkultur narkotika sejak awal. Dengan demikian, sebagai
pengguna dan pembeli, mereka tidak asing dengan proses yang terlibat dalam penjualan obat-
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
obatan terlarang. Akhirnya, pengedar mungkin semakin menjadi "lebih besar" saat ia
membuat koneksi baru dalam jaringan narkotika (Chiluwa, 2014: hal 51).
Berdasarkan hasil penelitian juga dapat terlihat bahwa meyoritas residivis narkotika dan
bukan narkotika, mayoritas melanjutkan perdagangan narkotika karena kebutuhan akan uang.
para pelaku yang merupakan residivis kebanyakan direkrut oleh teman mereka dipenjara, dan
ketika mereka keluar dari penjara, mereka dikendalikan oleh para narapidana narkotika dari
dalam penjara untuk melakukan perdagangan narkotika. Chiluwa menjelaskan bahwa
residivisme penjahat adalah tema umum bagi pengedar narkotika. Karena keuntungan yang
tinggi dan karena individu biasanya memiliki banyak koneksi ke pengedar sukses, mudah
bagi mereka untuk mengembalikan diri dalam jaringan narkotika setelah mereka dibebaskan
dari penjara. Narkotika sangat menguntungkan dan karena pelaku banyak menikmati gaya
hidup menyimpang, subkultur narkotika menjadi cara hidup yang lebih disukai oleh para
pelaku (Chiluwa, 2014: hal 52).
Domisili Pelaku Perdagangan narkotika. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan
bahwa mayoritas pelaku perdagangan narkotika berdomisili di wilayah kota-kota besar di
Indonesia dengan penduduk yang padat seperti daerah DKI Jakarta (38,64%) dan Jawa Barat
(31,64%) , khususnya daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Hal ini disebabkan karena jaringan sindikat narkotika merekrut orang dari daerah pemasaran
yang berpenduduk padat untuk mempermudah mobilitas mereka. Dengan merekrut anggota di
daerah pemasaran (perkotaan), akan menghemat waktu pelaku untuk mengantarkan narkotika
pada konsumen dan mempermudah mobilitas mereka. Selain itu orang lokal lebih paham
dengan kondisi sosial dan paham wilayah tersebut, sehingga akan mengurangi resiko
tertangkap polisi. Chiluwa menjelaskan bahwa pengedar narkotika sering tinggal di dalam
lokasi pusat dalam kota metropolitan untuk memaksimalkan kesempatan dan pergerakan
mereka dalam rantai perdagangan narkotika (Chiluwa, 2014:hal 51)
Tempat Kejadian Perkara Pelaku Perdagangan narkotika. Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan bahwa mayoritas pelaku perdagangan narkotika memiliki tempat
kejadian perkara atau kebanyakan mereka beroperasi di kota-kota besar di Indonesia dengan
penduduk yang padat seperti daerah DKI Jakarta (43,18%) dan Jawa Barat (38,64%). Chiluwa
menjelaskan bahwa perdagangan narkotika secara keseluruhan terutama merupakan fenomena
urban karena sifat dari transaksinya. Dengan pengecualian di mana tempat produksi dari
beberapa narkotika diambil (misalnya ganja atau tanaman koka), transaksi narkotika terjadi di
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
daerah padat masyarakat. Selain itu, permintaan narkotikayang tinggi dan jaringan sosial
yang mendukung bisnis terutama berlokasi di daerah perkotaan (Chiluwa, 2014:hal 51).
Karena itulah kebanyakan pelaku memiliki TKP di kota-kota besar di Indonesia, karena
memiliki penduduk yang padat dan karena banyaknya calon korban.
DKI Jakarta juga pusat perekonomian Indonesia dengan jumlah Upah Minimum
Regional yang cukup tinggi, sehingga daya beli para pengguna cukup tinggi untuk membeli
narkotika. Selain itu permintaan diwilayah perkotaan lebih tinggi dari pada daerah pedesaan.
Menurut penelitian Chiluwa (2014) bahwa ada implikasi sosial ekonomi kemiskinan pedesaan
dan perkotaan. Kemiskinan di pedesaan adalah lebih terkait dengan pasokan obat-obatan
terlarang dan kemiskinan perkotaan lebih terkait dengan dua hal yaitu transaksi dan
permintaan. Penduduk kota lebih banyak penyalahguna dan lebih rentan mengambil pekerjaan
di sistem distribusi terlarang. Kemudian juga lebih banyak model negatif dan kesempatan
untuk mendapatkan uang haram ditemukan di perkotaan dari pada pedesaan yang miskin. Jadi
pada intinya, desa lebih banyak dijadikan tempat produksi narkotika dan sebagai pemasok
narkotika, sedangkan kota sebagai daerah pemasaran karena permintaan akan narkotika lebih
tinggi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan.
KESIMPULAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan pola demografi sosial pelaku
perdagangan narkotika di wilayah Indonesia. Data yang digunakan adalah data pelaku
perdagangan narkotika di wilayah Indonesia yang ditangani oleh pihak Direktorat Narkotika
Alami, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia pada tahun 2014. Data ini didapatkan
dari Laporan Kasus Narkotika yang berisikan berkas perkara pelaku, dan ditemukan 44 LKN
pelaku perdagangan narkotika yang terdiri dari 36 orang laki-laki dan 8 orang perempuan
yang terlibat kasus narkotika jenis ganja, heroin dan shabu, dengan jenis narkotika mayoritas
adalah shabu.
Berdasarkan pada temuan data pelaku, maka dapat disimpulkan pola demografi
sosial pelaku perdagangan narkotika di Indonesia pada tahun 2014 yaitu mayoritas
perdagangan narkotika di Indonesia didominasi oleh laki-laki, mayoritas pelaku berumur
antara 25-44 tahun, merupakan warga negara Indonesia, sudah menikah, memiliki pendidikan
tingkat SMA, mayoritas pelaku memiliki pekerjaan pegawai swasta dan wiraswasta, tidak
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya, bertempat tinggal di provinsi DKI Jakarta
dan tempat kejadian perkara pelaku mayoritas di provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan data juga dapat disimpulkan keterlibatan pelaku dalam perdagangan
narkotika di Indonesia, berdasarkan peran dalam perdagangan narkotika, mayoritas pelaku
berperan dalam ranah distribusi narkotika terutama sebagai kurir narkotika. Pelaku bisa
terlibat dalam perdagangan narkotika karena direkrut oleh teman dan kenalan mereka.
Sedangkan motivasi keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika bervariasi, namun
mayoritas pelaku dimotivasi oleh keinginan akan uang. Berdasarkan data juga dapat
disimpulkan hubungan antara demografi sosial pelaku (IV) dengan keterlibatan pelaku dalam
perdagangan narkotika (DV) menunjukkan hasil yang bervariasi.
SARAN
Dari penelitian ini, peneliti menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai
hubungan antara masing-masing unsur demografi sosial dan hubungan antara unsur demografi
sosial dengan kejahatan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mendeskripsikan hubungan
demografi sosial pelaku dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika dan tidak
menjelaskan hubungan dari masing-masing unsur demografi. Maka dari itulah dibutuhkannya
penelitian lebih lanjut tentang hubungan dari masing-masing unsur demografi dengan
kejahatan. Selain itu jumlah penelitian tentang hubungan demografi sosial dengan kejahatan
relatif sedikit, sehingga dibutuhkannya penelitian lebih lanjut karena masih banyak hal yang
belum terjamah oleh peneliti.
DAFTAR REFERENSI
Anastasia, Ayu. Mei 2012. Jurnal Kriminologi Vol.8 No.1. Perempuan Kurir dalam
Perdagangan Gelap Narkoba (Sebuah Realitas Korban Kekerasan Berlapis
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2013. Jurnal Data Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun
2012 Edisi Tahun 2013.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2014. Jurnal Data Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun
2013 Edisi Tahun 2014.
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2015. Jurnal Data Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun
2014 Edisi Tahun 2015
Bailey, Corin. 2013. Exploring Female Motivations for Drug Smuggling on the Island of
Barbados: Evidence From Her Majesty’s Prison, Barbados
Barlow, Hugh D.1984. Introduction To Criminology. Third Edition. Canada: Little, Brown &
Company
Becsi, Zsolt. 1999. Economic and Crime in the States. Federal Reserve Bank of Atlanta.
Bunge, Valerie Pottie, Johnson, Holly dan Baldé, Thierno A. 2005. Exploring Crime Patterns
in Canada. Canada: Canadian Centre for Justice Statistics and Time Series Research
and Analysis Centre
Chiluwa, Kakusa. 2014. Factors Influencing Drug Trafficking Among Women in Zambia: A
Gendered Analysis. Lusaka: University of Zambia
Decker, Scott H. dan Chapman, Margaret Townsend. 2008. Drug Smugglers on Drug
Smuggling: Lessons From the Inside. Philadelphia: Temple University Press.
Ford, Thomas R dan Jong, Gordon F. 1970. Social Demography. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall, Inc
Grundetjern, Heidi dan Sandberg, Sveinung. 2012. European Journal of Criminology 9(6)
621–635: Dealing with a gendered economy: Female drug dealers and street capital.
Norway: University of Oslo. SAGE
Hagan, Frank E. 2010. Crime Types and Criminals. SAGE Publications, Inc
Hagan, Frank E .2013. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Edisi
ketujuh. Jakarta: Kencana
Hjalmarsson, Randi dan Lochner, Lance. 2012.The Impact of Education on Crime:
International Evidence. CEsifo DICE Report
Hutapea, Khoirun. 2011. Pola-Pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir Dalam
Jaringan Peredaran Narkoba Internasional. Universitas Indonesia: FISIP UI,
Departemen Kriminologi
Iskandar, Anang. 2015. Jalan Lurus: Penanganan Penyalah guna Narkotika dalam
Konstruksi Hukum Positif. Karawang: Tanpas communications
Lestari, Sulastri Indah. 2013. Strategi Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda dalam
Menanggulangi Penggunaan Narkoba di Kelurahan Sungai Pinang dalam Kota
Samarinda
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016
Livingston, Jay. 1996. Crime and Criminology. Second Edition. Upper Saddle River:
Prentice-Hall, inc
Lochner, Lance. 2007. Education and Crime. University of Western Ontario
Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Nur Cahaya
McGuire, Peter L.. 2010. Narcotics Trafficking in West Africa: A Governance Challenge.
Boston: Boston University. The Frederick S Pardee Center for The Longer-Range
Future.
Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku
Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Edisi Kedua. Bekasi: Sari Ilmu Pratama
Rodriguez, Nancy dan Griffin, Marie L.. 2005. Gender Differences in Drug Market Activities:
A Comparative Assessment of Men and Women’s Participation in the Drug Market.
Arizona State University: Criminal Justice and Criminology
Siegel, Larry J. 2012. Criminology. 11th Edition.Wadsworth, Cengage Learning
Smith, T. Lynn dan Zopf, Paul E., Jr. Demography: Principles and Methods. 1970.
Philadelphia: F.A. Davis Company
South, Scott J. dan Messner, Steven F. 2000. : Annual Review of Sociology, Vol. 26. Crime
and Demography: Multiple Linkages, Reciprocal Relations. JSTOR
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Taft, Donald R. dan England, Ralp W., Jr. Criminology. 1964. Fourt Edition. New York: The
Macmillan Company
Arjawinangun, Komaruddin Bagja. 22 Desember 2014. Selama 2014 Indonesia JadiPasar
Narkoba yang Besar. Diakses dari
http://nasional.sindonews.com/read/940761/15/selama-2014-indonesia-jadipasar
narkoba-yang-besar-1419245572
Rakhmatulloh. 23 Desember 2014. BNN Sebut 2014 Tahun Darurat Narkoba.
http://nasional.sindonews.com/read/941041/15/bnn-sebut-2014-tahun-
daruratnarkoba-1419310177
Ramdhani, Dian. 16 Januari 2015. Peredaran Narkotika Indonesia Tertinggi di ASEAN.
Diakses dari http://nasional.sindonews.com/read/951777/15/ peredaran-narkotika-
indonesia-tertinggi-di-asean-1421421852
Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016