20
Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam Perdagangan Narkotika di Wilayah Indonesia (Studi Dokumentasi Terhadap Laporan Kasus Narkotika yang Ditangani Direktorat Narkotika Alami BNN RI Tahun 2014) Dea Seli Vea & Muhammad Mustafa Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok,Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini mendeskripsikan hubungan antara pola demografi sosial pelaku dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah Indonesia yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami, BNN RI pada tahun 2014. Penelitian ini menggunakan konsep crime patterns diataranya yaitu gender and crime, age and crime, class and crime dan the ecology of crime. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia berasal dari berbagai latar belakang demografi sosial. Kemudian hubungan antara demografi sosial dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan hasil yang bervariasi. Kata Kunci: Pola Demografi Sosial, drug trafficking, drug dealer, crime pattern, gender and crime, age and crime, class and crime, the ecology of crime. Social Demographic Patterns of Criminal that Involved Narcotics Trafficking in Indonesia (Documentation Study of Narcotics Case Report that handled by Natural Narcotics Directorate, BNN RI in 2014) Abstract This thesis described the relationship between social demographic patterns of offenders with their involvement in drug trafficking in Indonesia who handled by the Natural Narcotics Directorate, Board of Narcotics National Republic of Indonesia in 2014. This study used the concept crime patterns including gender and crime, age and crime, class and crime and the ecology of crime. This study used a quantitative approach with descriptive type. The study found that the drug traffickers in Indonesia come from various social demographics background. Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam Perdagangan Narkotika

di Wilayah Indonesia (Studi Dokumentasi Terhadap Laporan Kasus Narkotika yang Ditangani

Direktorat Narkotika Alami BNN RI Tahun 2014)

Dea Seli Vea & Muhammad Mustafa

Departemen  Kriminologi,  Fakultas  Ilmu  Sosial  dan  Ilmu  Politik,  Universitas  Indonesia,  Kampus  Baru  UI  Depok,Depok,  16424,  Indonesia  

 Email:  [email protected]  

 

 

Abstrak  

 

 Skripsi ini mendeskripsikan hubungan antara pola demografi sosial pelaku dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah Indonesia yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami, BNN RI pada tahun 2014. Penelitian ini menggunakan konsep crime patterns diataranya yaitu gender and crime, age and crime, class and crime dan the ecology of crime. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia berasal dari berbagai latar belakang demografi sosial. Kemudian hubungan antara demografi sosial dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan hasil yang bervariasi. Kata Kunci: Pola Demografi Sosial, drug trafficking, drug dealer, crime pattern, gender and crime, age and crime, class and crime, the ecology of crime.  

Social Demographic Patterns of Criminal that Involved Narcotics Trafficking in Indonesia

(Documentation Study of Narcotics Case Report that handled by Natural Narcotics Directorate, BNN RI in 2014)

Abstract

This thesis described the relationship between social demographic patterns of offenders with their involvement in drug trafficking in Indonesia who handled by the Natural Narcotics Directorate, Board of Narcotics National Republic of Indonesia in 2014. This study used the concept crime patterns including gender and crime, age and crime, class and crime and the ecology of crime. This study used a quantitative approach with descriptive type. The study found that the drug traffickers in Indonesia come from various social demographics background.

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 2: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Then, the relationship between social demographics with the offenders involvement in the drug trafficking show varying results. Keywords: Social Demographic Patterns, drug trafficking, drug dealer, crime patterns, gender and crime, age and crime, class and crime, the ecology of crime.

PENDAHULUAN

Fenomena peredaran gelap narkoba secara kalkulasi terus meningkat menjadikan isu

ini menjadi salah satu isu global yang paling serius dan mengkhawatirkan, termasuk di

Indonesia. Pada awalnya Indonesia hanya dijadikan sebagai negara transit (transit states) oleh

jaringan sindikat internasional. Namun sejak akhir tahun 1993 wilayah Indonesia mulai

dijadikan sebagai negara tujuan perdagangan narkotika ilegal (Iskandar, 2015: hal 14-15).

Selain itu, Badan Narkotika Nasional menyatakan bahwa tahun 2014 sebagai tahun darurat

narkoba, karena Indonesia menjadi pasar narkoba terbesar di ASEAN dengan jumlah

permintaan terdahadap narkotika sebanyak 43% dari jumlah total permintaan di Asean dengan

perputaran uang 40% nya di Indonesia yaitu sebanyak Rp 48 triliun dari total Rp 110 triliun

(www.sindonews.com, 2015).

Uang yang besar membuat jumlah orang yang terlibat dalam perdagangan narkotika

meningkat. Berdasarkan data BNN RI tentang peningkatan jumlah pelaku dalam perdagangan

narkotika pada tahun 2010 hingga tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah tersangka dalam

kasus narkotika tahun 2010 sebanyak 74 orang, kemudian pada tahun 2011 meningkat

menjadi 118 orang, tahun 2012 meningkat lagi menjadi 184 orang, pada tahun 2013 kembali

meningkat menjadi 239 orang dan pada 2014 meningkat jauh menjadi 588 orang (Deputi

Bidang Pemberantasan BNN, Maret 2013, 2014, 2015). Dari data tersebut memperlihatkan

bahwa jumlah orang yang terlibat dalam perdagangan narkotika meningkat dari tahun ke

tahun, terutama pada tahun 2014.

Para pelaku dalam perdagangan narkotika ini berasal dari berbagai latar belakang

karakteristik demografis yang berbeda-beda, yaitu dari berbagai tingkat umur, jenis kelamin,

berbagai kewarganegaraan, berasal dari berbagai status sosial ekonomi pelaku seperti tingkat

pendidikan dan pekerjaan, dan dari berbagai status nikah. Para pelaku sindikat narkotika

merekrut banyak orang dari berbagai kalangan untuk mengedarkan narkotika di wilayah

Indonesia untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan berbagai cara, baik secara

terang-terangan atau ditipu dengan berbagai cara dan alasan. Hutapea menjelaskan bahwa

jaringan sindikat narkotika merekrut para calon anggotanya dengan berbagai cara, yaitu

dengan ditawari uang atau materi, dipacari atau dinikahi, loyalitas, dan juga dengan cara

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 3: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

dijebak (Hutapea, 2011: xii). Maka dari itulah, pelaku bisa saja secara sadar atau tidak sadar

terlibat atau dilibatkan dalam perdagangan narkotika. Maka dari itulah peneliti tertarik untuk

meneliti lebih jauh tentang pola demografi pelaku yang terlibat dalam perdagangan narkotika.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan hubungan antara

pola demografi sosial dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah

Indonesia pada tahun 2014 yang di dapatkan melalui Laporan Kasus Narkotika (LKN)

tersangka yang ditangani oleh pihak Direktorat Narkotika Alami, Badan Narkotika Nasional

Republik Indonesia. Karena menurut Brantingham dan Brantingham menjelaskan tujuan

sepanjang waktu dalam mempelajari pola-pola kejahatan adalah untuk menemukan

keteraturan-keteraturan yang membantu dalam pemahaman terhadap gejala kejahatan

(Mustofa, 2010: hal 18). Jadi dengan mempelajari pola demografi sosial pelaku perdagangan

narkotika, maka dapat dirumuskan tentang kelompok yang potensial dan beresiko terlibat

dalam perdagangan narkotika. Hal ini pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh pihak

pemerintah ataupun pihak berwajib dalam menyusun kebijakan dan strategi untuk melindungi

lapisan demografi yang rentan direkrut oleh jaringan sindikat narkotika.

TINJAUAN TEORITIS

Pola Demografi Sosial

Fokus utama demografi sosial adalah menganalisis bagaimana faktor sosial secara

umum dan faktor-faktor kultural berhubungan dengan sruktur dan proses populasi (Ford dan

Jong,1970: hal 4). Pola demografi sosial dalam penelitian ini berkaitan dengan komposisi

penduduk atau karakteristik penduduk. Komposisi penduduk merupakan suatu konsep yang

mengacu pada susunan penduduk menurut kriteria tertentu. Keyfitz dan Nitisatro

menyebutkan bahwa penduduk dapat disusun menurut berbagai ukuran seperti jenis kelamin,

usia, pekerjaan, suku bangsa, kebangsaan, pendidikan, tempat tinggal dan penghasilan

(Sunarto, 2004: hal 167). Sedangkan Smith dan Zopf mengemukakan tentang komposisi atau

karakteristik populasi, yaitu umur, jenis kelamin, tinggal di pedesaan atau perkotaan, ras atau

warna kulit, negara asal, kondisi pernikahan, pekerjaan, industri, angkatan kerja, dan

ketenagakerjaan, status pendidikan dan afiliasi agama (Smith, dan Zopf, 1970: hal 6-8).

Sudah sejak lama dipercayai bahwa kriminologi dan demografi saling mengisi dan

saling terkait satu sama lain dalam beberapa hal. South dan Messner menyatakan bahwa

karakteristik demografi individual dan keseluruhan proses populasi adalah pusat bagi

kebanyakan perspektif teoritis dan model empiris dari perilaku kriminal (South dan Messner,

2000: hal 83). Variabel demografi, termasuk usia, jenis kelamin, dan ras, merupakan faktor

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 4: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

yang jelas sangat diperlukan dalam banyak model kriminal dan perilaku menyimpang, dan

metode demografi, khususnya standarisasi sering digunakan dalam penelitian kriminologi

(South dan Messner, 2000: hal 98-99).

Pendidikan. Lochner menekankan peran pendidikan sebagai investasi modal

manusia yang meningkatkan masa depan peluang kerja yang sah, yang mengecilkan

partisipasi dalam kejahatan. Jika modal manusia meningkatkan keuntungan marjinal dari

pekerjaan lebih dari kejahatan, maka investasi modal manusia dan sekolah seharusnya

mengurangi kejahatan (Hjalmarsson dan Lochner, 2012: hal 49). Pekerjaan. Sampson dan

Laub menjelaskan bahwa kerja dapat mengurangi resiko seseorang terlibat dalam perilaku

kriminal dengan menawarkan remaja dan dewasa muda penghasilan yang tetap dan daya beli,

meningkatkan waktu dibawah pengawasan orang dewasa, memperluas ikatan sosial sehingga

meningkatkan kontrol sosial informal dan meningkatkan kemampuan anak muda untuk

berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat dan ekonomi. Kerja merupakan komponen penting

dari transisi yang sukses bagi orang dewasa yang dapat memiliki dampak positif pada gaya

hidup dan yang membatasi paparan pada pelaku potensial (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005:

hal 20).

Motivasi Keterlibatan Pelaku dalam Perdagangan Narkotika

Terlibatnya seseorang dalam perdagangan narkotika disebabkan oleh berbagai alasan

dan latar belakang. Decker dan Chapman menjelaskan bahwa umumnya motivasi untuk

terlibat dalam kejahatan adalah monolitik. Artinya, sebagian besar pengamat menyimpulkan

bahwa alasan tunggal orang terlibat dalam kejahatan adalah untuk membuat uang (Decker dan

Chapman, 2008: hal 104).  Karena,  uang besar dapat dibuat di setiap sudut dunia narkotika,

termasuk dunia penggunaan narkotika yang sah (Barlow, 1984: hal 342). Coomaraswamy

menjelaskan bahwa faktor ekonomi mempengaruhi baik perempuan dan laki-laki untuk

terlibat dalam perdagangan narkotika (Chiluwa, 2014: hal 71). Faktor ekonomi, keuntungan

yang berlipat dari bisnis narkotika menyebabkan semakin maraknya bisnis ini di negeri kita

(Indonesia). Disamping faktor keuntungan, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan dan gaya

hidup yang serba konsumtif juga merupakan faktor penyebab yang mendorong seseorang

menjadi pengedar nakotika (Lestari, 2013: hal 944).

Penggunaan narkotika dan perdagangan narkotika memiliki hubungan khusus.

Sebagian besar pengedar mulai dengan menggunakan narkotika dan akhirnya mulai

mengedarkan narkotika. Alasan yang paling umum dinyatakan oleh pengedar untuk masuk

ke pasar penjualan narkotika, adalah untuk "mendukung kebiasaan mereka". Jadi, dengan

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 5: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

menjual ke teman-teman mereka dan beberapa kenalan, mereka mampu mempertahankan

kebiasaan narkotika mereka tanpa mengeluarkan uang (Chiluwa, 2014: hal 52). Chiluwa juga

menjelaskan bahwa residivisme penjahat adalah tema umum bagi pengedar narkotika. karena

keuntungan yang dihasilkan tinggi, kemudian karena individu biasanya memiliki banyak

koneksi ke pengedar narkotika yang sukses, membuat mereka lebih mudah untuk kembali

terlibat dalam jaringan narkotika setelah mereka dibebaskan dari penjara (Chiluwa, 2014: hal

52).

Dalam motivasi keterlibatan pelaku perempuan, Chris Corrin menegaskan hampir di

semua negara penyebab utama keterlibatan perempuan dalam rantai perdagangan narkotika

global adalah kemiskinan. Namun di balik kemiskinan dan akibat kemiskinan tersebut telah

terjadi kekerasan dalam ranah privat yang membuat perempuan menjadi pelaku kriminal.

Tidak sedikit dari perempuan ini menjadi kurir narkotika karena adanya paksaan dengan

unsur kekerasan oleh orang terdekat mereka (Anastasia, 2012: hal 1-2). Griffin dan

Armstrong menemukan bahwa perempuan yang hidup dengan suami atau pacar lebih

mungkin untuk terlibat dalam narkotika. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam

hubungan intim dengan seorang laki-laki memfasilitasi akses ke perdagangan narkotika

(Rodriguez dan Griffin, 2005: hal 9).  Esmee Fairbairn Foundation juga menyatakan bentuk

lain dari korban untuk keterlibatan perempuan dalam penyelundupan narkotika adalah

pemaksaan di tangan pasangan laki-laki atau kekasih mereka dan Abernethy dan Hammond

juga menemukan bahwa beberapa perempuan berpartisipasi sebagai akibat dari ancaman

terhadap kehidupan mereka atau dari orang yang mereka cintai (Bailey, 2013: hal 123).

Crime Pattern

Gender and Crime. Dari semua variabel demografi, satu hal yang paling disepakati

tentang perbedaan mendasar adalah jenis kelamin, semua orang tahu bahwa laki-laki lebih

banyak melakukan kejahatan dari pada perempuan (Livingston,1996: hal 99).   Begitu juga

halnya dengan perdagangan narkotika, Bourgois, Decker dan Chapman, Jacobs, dan Mullins

menjelaskan bahwa pria mendominasi importasi dan distribusi obat di seluruh dunia.

(Grundetjern dan Sandberg, 2012: hal 624). Age and Crime. Sebagian besar kejahatan terjadi

atau dilakukan oleh orang dewasa muda (Hagan, 2010: Hal 28; Livington, 1996: hal 131) dan

dalam usia produktif. Hal ini sesuai dengan penjelasan Freeman bahwa demografi populasi

kriminal menunjukkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan secara tidak seimbang

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 6: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

terdiri dari anak muda dengan prospek pendapatan sah yang rendah, kurang berpendidikan,

orang dengan nilai tes yang rendah, dan sebagainya (Becsi,1999).

Class and Crime. Livingston merangkum bahwa kelas bawah memiliki jumlah

statistik penangkapan lebih banyak, terutama untuk kejahatan yang lebih serius dan kekerasan

(Livingston, 1996: hal 112). Felipe Estrada dan Anders Nilsson menjelaskan bahwa orang-

orang pada jenjang terendah dari struktur sosial memiliki dorongan terbesar untuk melakukan

kejahatan, dan orang-orang yang sedang kesulitan keuangan adalah yang paling mungkin

untuk menjadi targetnya (Siegel, 2012: hal 49). The Ecology of Crime. Daerah perkotaan

besar memiliki tingkat kekerasan tertinggi dari pada daerah pedesaan yang memiliki tingkat

kejahatan per kapita lebih rendah (Siegel, 2012: hal 48). Daerah pedesaan menunjukkan

tingkat kejahatan umumnya lebih rendah terlepas dari kekayaan mereka yang lebih kecil.

Namun kesenjangan antara kaya dan miskin, intensitas persaingan ekonomi, dan tekanan

kelompok untuk meniru sukses juga kurang di daerah pedesaan. Keluarga pedesaan lebih

stabil, homogenitas yang lebih besar dari penduduk pedesaan, mobilitasnya rendah, populasi

kurang padat, kurang kesempatan bagi penjahat untuk menyembunyikan diri, dan sebagainya

merupakan faktor yang harus ditekankan (Taft dan England, 1964: hal 156).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan tipe deskriptif. Unit analisis

dalam penelitian ini adalah pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia pada tahun

2014. Data didapatkan dengan cara melakukan studi dokumentasi pada Laporan Kasus

Narkotika atau LKN (sebutan Berkas Acara Pidana (BAP) dalam lingkup BNN) pelaku

perdagangan narkotika yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun

2014. Peneliti mengumpulkan data dari tanggal 21 Maret 2016 sampai dengan 6 April 2016

di 2 subdirektorat yang dimiliki oleh Direktorat Narkotika Alami yaitu Subdirektorat Heroin

dan Subdirektorat Kokain dan Ganja.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan hubungan antara variabel

Independen yaitu pola demografi sosial dengan variable dependen yaitu keterlibatan pelaku

dalam perdagangan narkotika.Variabel independen (IV) terdiri dari umur, agama,

kewarganegaraan, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, karir kriminal, domisili

dan tempat kejadian perkara pelaku. Variabel dependen (DV) terdiri dari jenis narkotika,

peran pelaku, pihak yang pertama kali merekrut, dan motivasi keterlibatan pelaku dalam

perdagangan narkotika. Data dari kedua variabel ini diolah menggunakan SPSS dan kemudian

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 7: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

dilakukan analisis univariat dan analisis tabulasi silang yang seterusnya akan dideskripsikan

dan dijelaskan menggunakan konsep-konsep dan jurnal yang telah dikumpulkan.

HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil temuan data demografi sosial pelaku

perdagangan narkotika dan data keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika di wilayah

Indonesia pada tahun 2014 yang ditangani oleh Direktorat Narkotika Alami, Deputi Bidang

Pemberantasan BNN RI.

Tabel 1. Data Pola Demografi Sosial Pelaku Perdagangan Narkotika

 

Tabel 1 menunjukkan tentang pola demografi sosial pelaku perdagangan narkotika di

wilayah Indonesia yang ditangani oleh Direkrorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun 2014.

Data tersebut menunjukkan dari total 44 pelaku perdagangan narkotika, mayoritas pelaku

merupakan laki-laki (81,82%), berumur antara 25-44 tahun (75%), berkewarganegaraan

Jumlah % Jumlah %Jenis Kelamin Status ResidivisLaki-Laki 36 81,82% Tidak 31 70,45%Perempuan 8 18,18% Ya, Narkotika 8 18,18%Umur Ya, Bukan Narkotika 5 11,36%<18 2 4,55%18-24 5 11,36% Domisili 25-44 33 75% Aceh 1 2,27%45-64 4 9,09% Sumatera Utara 1 2,27%>65 0 0% Sumatera Barat 1 2,27%Kewarganegaraan Sumatera Selatan 1 2,27%Warga Negara Indonesia 39 88,64% Lampung 1 2,27%Warga Negara Asing 5 11,36% DKI Jakarta 17 38,64%Status Pernikahan Jawa Barat 14 31,82%Belum Menikah 12 27,27% Banten 5 11,36%Menikah 27 61,36% Kalimantan Barat 2 4,55%Cerai 5 11,36% Luar Negeri 1 2,27%Tingkat PendidikanTidak Tamat SD 5 11,36% Tempat Kejadian PidanaSD 7 15,91% Sumarera Utara 1 2,27%SMP 12 27,27% Riau 2 4,55%SMA 16 36.36% DKI Jakarta 19 43,18%D1-D4 0 0% Jawa Barat 17 38,64%S1-S3 4 9,09% Jawa Timur 1 2,27%Pekerjaan Banten 2 4,55%Swasta 16 36,36% Kalimantan Barat 2 4,55%Wiraswasta 15 34,09%Petani 3 6,83%Pelajar/Mahasiswa 1 2,27%Ibu Rumah Tangga 6 13,64%Pengangguran 3 6,82%

Pola Demografi Sosial TotalPelaku Perdagangan

Narkotika

Pola Demografi SosialPelaku Perdagangan

Narkotika

Total

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 8: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Indonesia (88,64%), berstatus menikah (61,36%), memiliki pendidikan tingkat SMA

(36,36%), memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta (36,36%). Mayoritas pelaku belum

pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya (70,41%). Berdasarkan data juga dapat

dilihat bahwa mayoritas pelaku berdomisili dan memiliki tempat kejadian pidana (TKP) di

Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 2. Data Keterlibatan Pelaku dalam Perdagangan Narkotika

Tabel 2 menunjukkan tentang keterlibatan pelaku perdagangan narkotika di wilayah

Indonesia yang ditangani oleh Direkrorat Narkotika Alami BNN RI pada tahun 2014. Tabel

tersebut menunjukkan bahwa dari total 44 orang tersangka, mayoritas pelaku terlibat dalam

kasus narkotika jenis shabu (47,73%). Dalam perdagangan narkotika di wilayah Indonesia

pelaku memiliki peran yang beragam, namun mayoritas pelaku memiliki peran sebagai kurir

narkotika (75%) yang mengantarkan barang dari satu tempat ke tempat lain, atau dari satu

orang ke orang lain. Mayoritas pelaku pertama kali direkrut oleh kenalan (40,91%) dan

Pola Sosio-DemografisPelaku Perdagangan

Narkotika Jumlah %Jenis NarkobaGanja 10 22,73%Heroin 7 15,91%Shabu 21 47,73%Ganja+Shabu 2 4,55%Heroin+Shabu 4 9,09%Peran Kultivasi 1 2,27%Produksi 2 4,55%Pemilik 2 4,55%Pengendali 5 11,36%Kurir 33 75%Perekrut 1 2,27%Direkrut/Ditawari OlehKenalan 18 40,91%Teman 18 40,91%Suami 6 13,64%Pacar 1 2,27%Diri Sendiri 1 2,27%Motivasi Keterlibatan PelakuUang 23 52,70%Narkoba Gratis + Uang 5 11,36%Ditawari/minta kerja+uang 8 18,18%Suami/Pacar 6 13,64%Dimintai Tolong Teman 1 2,27%Bayar Utang + Uang 1 2,27%

Total

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 9: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

teman mereka (40,91%). Sedangkan mayoritas motivasi atau alasan keterlibatan pelaku dalam

perdagangan narkotika adalah uang (52,70%).

PEMBAHASAN

Jenis Kelamin Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian perdagangan narkotika di

wilayah Indonesia didominasi oleh laki-laki (81,82%) yaitu jumlah pelaku laki-laki 4 kali

lebih banyak dari pada pelaku perempuan. Kemudian, berdasarkan hasil tabulasi silang antara

jenis kelamin dengan jenis narkotika yang diperdagangkan pelaku memperlihatkan bahwa

mayoritas pelaku laki-laki dan perempuan memperdagangkan narkotika jenis shabu dan laki-

laki mendominasi penjualan semua jenis narkotika yaitu shabu, ganja dan heroin. Penelitian

yang dilakukan Bourgois, Decker dan Chapman, Jacobs, dan Mullins menjelaskan bahwa pria

mendominasi importasi dan distribusi narkotika di seluruh dunia (Grundetjern dan Sandberg,

2012:hal 624).

Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa para pelaku direkrut pertama kali

oleh orang-orang terdekat mereka. Hal ini menurut Abadinsky dan Kenney bahwa anggota

kartel narkotika mencoba untuk memperluas jaringan mereka melalui hubungan pribadi

dengan merekrut kenalan, kerabat dan anggota keluarga. Hal ini dikarenakan para pelaku

dalam jaringan sindikat narkotika membutuhkan orang yang dapat dipercaya (Chiluwa, 2014:

hal 51). Berdasarkan hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan pihak pertama yang

merekrut pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan pada pelaku laki-laki, mayoritas

direkrut oleh teman mereka, sedangkan pada pelaku perempuan mayoritas direkrut oleh

pasangan laki-laki mereka seperti suami dan pacar. Griffin dan Armstrong menjelaskan

bahwa perempuan yang hidup dengan suami atau pacar lebih mungkin untuk terlibat dalam

narkotika, mereka menunjukkan bahwa keterlibatan dalam hubungan intim dengan seorang

pria memfasilitasi akses ke perdagangan narkotika (Rodriguez dan Griffin, 2005: hal 9).

Hasil tabulasi silang antara jenis kelamin dengan peran pelaku dalam perdagangan

narkotika menunjukkan bahwa pelaku laki-laki dan perempuan mayoritas memiliki peran

sebagai kurir. Namun, laki-laki memiliki peran yang lebih tinggi dan signifikan dari pada

perempuan dalam perdagangan narkotika. Maher dan Daly menjelaskan bahwa umumnya

keterlibatan perempuan dalam perdagangan narkotika minimal, sering pasif atau subordinat

(Rodriguez dan Griffin,2005: hal 4). Sehingga banyak perempuan yang hanya menjadi kurir

narkoba. selain itu, perempuan sering dijadikan kurir narkotika karena secara budaya mereka

dianggap lebih memiliki kemungkinan kecil untuk melibatkan diri dalam kegiatan kriminal.

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 10: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Susunan biologis wanita membuat mereka dieksploitasi yang digunakan sebagai kurir

(Chiluwa, 2014: hal 67).

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa hubungan antara jenis kelamin

dengan motivasi keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika memperlihatkan hasil yang

berbeda antara perempuan dan laki-laki, mayoritas pelaku laki-laki dimotivasi oleh uang,

sementara mayoritas perempuan karena dilibatkan atau disuruh oleh suami dan pacar mereka.

hal ini sesuai dengan Bayley yang menemukan bahwa perempuan terlibat dalam perdagangan

narkotika karena adanya ketergantungan emosional (Emotional Dependence) dengan suami

atau pacar mereka yang merupakan pelaku pengedar narkotika (Bayley,2013: hal 132).

Menurut Chiluwa (2014) umumnya kebanyakan laki-laki terlibat dalam perdagangan

narkotika karena keinginan untuk mencapai status keuangan yang tinggi, kemewahan dan

pengakuan di masyarakat.

Umur Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelaku

perdagangan narkotika di wilayah Indonesia berasal dari berbagai tingkat umur yaitu dari

umur 17 hingga 50 tahun. Henry dan Sanford juga menjelaskan bahwa pengedar narkotika

dalam usia berkisar luas, dari umur 12 sampai 70 tahun (Chiluwa, 2014:hal 51). Data

menunjukkan bahwa mayoritas pelaku berusia 25-44 tahun yang merupakan usia produktif.

Hal ini sesuai dengan Hagan yang menjelaskan bahwa kejahatan narkotika lebih lazim

ditemui di kalangan mereka yang berusia 25 hingga 44 tahunan di penjara (Hagan, 2013: hal

90).

Banyaknya jumlah pelaku yang berusia produktif dapat disebabkan oleh pertambahan

tanggung jawab yaitu mereka harus menghidupi diri mereka dan juga keluarga mereka.

Mereka merupakan orang yang akan menanggung biaya dari mereka yang berumur dibawah

24 tahun yang merupakan kelompok usia sekolah. Mantra tentang rasio beban tanggungan

(dependency rasio) menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh oleh golongan yang

produktif, terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum

produktif (Mantra, 1985:hal 55). Selain itu, orang yang pada kelompok umur ini memiliki

mobilitas yang lebih besar dari pada mereka yang berusia sekolah, sehingga paparan mereka

terhadap kejahatan akan lebih tinggi dari pada mereka yang berusia 24 tahun ke bawah.

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara umur dengan peran pelaku dalam perdagangan

narkotika menujukkan bahwa mayoritas pelaku dalam semua kelompok umur berperan

sebagai kurir narkotika. Selain itu juga ditemukan bahwa mereka yang berumur lebih tua

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 11: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

(pelaku berumur 25 sampai 64 tahun) cenderung memiliki peran dan posisi yang lebih tinggi

dalam perdagangan narkotika yaitu sebagai pemilik, pengendali, produksi dan kultivasi),

sementara mereka yang berusia muda (pelaku yang berumur dibawah 24 tahun) hanya

memiliki peran sebagi kurir narkotika. Chiluwa dalam penelitiannya juga menemukan

kecenderungan umum bahwa pengedar narkotika yang lebih tua biasanya menempati tingkat

yang lebih tinggi dalam hirarki narkoba, sementara pengedar muda menempati peringkat yang

lebih rendah (Chiluwa, 2014: hal 51).

Berdasarkan tabulasi silang antara umur pelaku dengan motivasi keterlibatan pelaku

dalam perdagangan narkotika meperlihatkan hasil yang bervariasi. Pada pelaku yang berumur

<18 tahun dimotivasi karena ditawari pekerjaan dan uang, sedangkan pada pelaku berumur

antara 18-24 tahun, 25-44 tahun dan 24-64 tahun mayoritas karena dimotivasi oleh uang.

Levitt menjelaskan bahwa sebelumnya, tingkat kejahatan usia tertentu diterima sebagai hal

yang diberikan dan kriminalitas dari semua generasi diasumsikan konstan. Namun, tingkat

pelanggar untuk kelompok usia tertentu bisa dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Fluktuasi kondisi sosial atau ekonomi dapat berinteraksi dengan kondisi demografi sehingga

sekelompok besar mengalami persaingan yang lebih besar untuk pekerjaan dan sumber daya

lainnya, yang kemudian dapat menyebabkan kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan

kejahatan untuk keuntungan ekonomi (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 18).

Kewarganegaraan Pelaku. Data memperlihatkan bahwa perdagangan narkotika di

Indonesia pada tahun 2014 merupakan kejahatan transnasional, karena perdagangan narkotika

tidak hanya dilakoni oleh orang Indonesia saja, tapi juga oleh orang dari negara lain yaitu oleh

warga negara Iran, Nigeria dan Pakistan yang melewati batas negara. Hutapea menjelaskan

hal ini terjadi karena Indonesia merupakan salah satu pintu masuk perdagangan dan peredaran

gelap narkotika bahkan mungkin menjadi salah satu pusat peredaran gelap narkotika.

Kejahatan narkotika terjadi selain dilakukan oleh warga negara Indonesia juga melibatkan

warga negara asing sebagai pelaku yang membawa masuk narkotika secara illegal ke

Indonesia (Hutapea, 2011:hal 4). Nitibaskara menjelaskan kejahatan transnasional yang

disebabkan oleh adanya perubahan seperti permintaan yang tinggi terhadap barang ilegal

(narkotika), yang menarik para sindikat narkotika untuk meyelundupkan narkotika ke

Indonesia, hal ini dipermudah karena adanya perubahan diberbagai bidang seperti sistem

keuangan global, transportasi yang mudah dan komunikasi yang semakin canggih yang

mempermudah operasi mereka ke berbagai negara di penjuru dunia (Hutapea, 2011: hal 4-5).

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 12: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kewarganegaraan pelaku dengan peran pelaku

dalam perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku warga negara

Indonesia dan warga negara asing berperan sebagai kurir narkotika. Selain itu, pelaku yang

merupakan warga negara Indonesia berperan dalam semua ranah perdagangan narkotika.

Maher menjelaskan bahwa perdagangan narkotika tingkat tinggi terjadi secara alami di

puncak hirarki dimana produsen mentransfer barang ke pedagang pertama. Hal ini terkadang

melintasi batas negara, yang sangat berisiko tetapi berpotensi memiliki keuntungan moneter

tinggi (Chiluwa, 2014: hal 51). Para pelaku perdagangan narkotika yang merupakan warga

negara asing (penyelundup narkotika) ketika sampai di Indonesia, mereka sering kali

memiliki posisi yang tinggi sebagai “source” atau bandar narkotika yang menjadi pemilik dan

mengendalikan orang Indonesia sebagai kurirnya atau bekerja sama dengan jaringan narkotika

lokal. Hal ini sesuai dengan William yang menjelaskan bahwa organisasi kriminal

internasional sering mengandalkan kelompok-kelompok lokal yang sudah ada untuk

memfasilitasi mereka masuk ke negara-negara baru (McGuire,2010: hal 13).

Berdasarkan tabulasi silang antara kewarganegaraan pelaku dengan motivasi

keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika menunjukkan bahwa motivasi keterlibatan

pelaku warga negara Indonesia dalam perdagangan narkotika bervariasi, namun mayoritas

dimotivasi oleh uang. Sedangkan pada semua pelaku warga negara asing, dimotivasi oleh

uang. Hal ini sesuai dengan Decker dan Chapman yang menjelaskan bahwa umumnya

motivasi untuk terlibat dalam kejahatan adalah monolitik. Artinya, sebagian besar pengamat

menyimpulkan bahwa alasan tunggal orang terlibat dalam kejahatan adalah untuk membuat

uang (Decker dan Chapman, 2008: hal 104).

Status Pernikahan Pelaku. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa mayoritas

pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia merupakan mereka yang telah menikah.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Chiluwa yang menemukan dalam

perdagangan narkotika di Zambia mayoritas pelaku berstatus menikah, dan posisi kedua

tertinggi adalah laki-laki berstatus lajang (Chiluwa, 2014:hal 64). Hal ini dikarenakan orang

yang sudah menikah memiliki tanggung jawab dan pengeluaran lebih besar dari pada mereka

yang berstatus lajang. Mereka harus bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak

mereka dan menghidupi keluarganya. Sehingga mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan

hidup dengan pendapatan sah yang tidak cukup, akan cenderung beralih melakukan kejahatan.

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 13: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara status menikah dan motivasi pelaku dalam

perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku yang belum menikah dan

pelaku yang berstatus menikah terlibat dalam perdagangan narkotika dimotivasi oleh uang.

Sedangkan pada orang yang berstatus bercerai mayoritas karena ditawari pekerjaan dan uang.

Bagi pelaku perempuan yang sudah menikah terlibat dalam aktivitas perdagangan narkotika

karena suami mereka adalah pengedar narkotika. Hal ini karena mereka memiliki

ketergantungan emosional, psikologis dan finansial pada suami mereka. Kemudian pada

perempuan yang sudah bercerai mereka terlibat dalam perdagangan narkotika karena

memiliki beban hidup yang bertambah karena ketidak hadiran pasangan laki-laki yang

biasanya menyokong perekonomian mereka. Ini akan semakin sulit terutama bagi perempuan

yang sudah memiliki anak. Bayley menyatakan bahwa kondisi hidup yang buruk dari banyak

perempuan diperburuk oleh fakta dengan tidak adanya pasangan laki-laki, mereka memiliki

tanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan fisik dan emosional anak-anak mereka  

(Bayley,2013: hal 128) .

Tingkat Pendidikan Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa

mayoritas pelaku merupakan mereka yang berpendidikan SMA ke bawah, sedangkan mereka

yang berpendidikan tinggi hanya sedikit. Berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat

pendidikan dengan peran pelaku dalam perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa

mayoritas pelaku dari berbagai tingkat pendidikan berperan sebagai kurir narkotika. Pelaku

tidak tamat SD berperan dalam kultivasi, pelaku pendidikan SMA berperan dalam

memproduksi narkotika, pelaku berpendidikan SD dan SMP berperan sebagai pemilik

narkotika, sedangkan pelaku berpendidikan S1-S3 mayoritas berperan sebagai pengendali.

Kemudian, hubungan antara tingkat pendidikan dan motivasi keterlibatan pelaku dalam

perdagangan narkotika memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan motivasi antara pelaku

yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan menengah ke bawah. Pada pelaku tidak tamat

SD dan pelaku berpendidikan S1-S3, mayoritas dimotivasi oleh keinginan akan uang dan

untuk mendapatkan narkotika gratis dan uang. Pada pelaku berpendidikan SD, SMP, dan

SMA mayoritas dimotivasi oleh keinginan akan uang.

Berdasarkan data dapat dilihat bahwa mayoritas pelaku memiliki pendidikan tingkat

yang menengah ke bawah dan yang berpendidikan tinggi hanya sedikit. Kamanto Sunarto

menjelaskan bahwa stratifikasi pendidikan (educational stratification), hak dan kewajiban

warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil

mereka raih (Sunarto, 2004:hal 85). Orang dengan pendidikan tinggi biasanya memiliki

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 14: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat, cenderung memiliki pekerjaan yang bagus

dengan pendapatan yang bagus pula. Sehingga hal ini akan mempengaruhi keputusan mereka

untuk melakukan kejahatan, karena ketika mereka melakukan kejahatan seperti perdagangan

narkotika, maka mereka bisa kehilangan pekerjaan, pedapatan dan kedudukan mereka.

Sehingga mereka akan lebih menahan diri dan akan lebih mengontrol diri untuk tidak

melakukan kejahatan.

Lochner juga menjelaskan bahwa pendidikan meningkatkan tingkat upah,

meningkatkan biaya peluang pada kejahatan, selain itu pendidikan juga secara langsung

mempengaruhi keuangan (Lochner, 2007: hal 5). Jadi orang yang memiliki pendidikan tinggi

cenderung berpikir bahwa biaya melakukan kejahatan lebih besar (tertangkap polisi,

kehilangan pekerjaan dan pendapatan), sehingga mereka cenderung menghindari kejahatan.

Berbeda halnya dengan mereka yang berpendidikan rendah, dari awal mereka telah berada

pada kondisi yang tidak menguntungkan, sehingga manfaat melakukan kejahatan lebih besar

dari pada resiko melakukan kejahatan. Mereka ingin tetap hidup dan ingin sukses (secara

ekonomi), maka bagi mereka yang memiliki pendidikan relatif rendah akan melakukan

inovasi pada cara mereka untuk meraih sukses dan bertahan hidup yaitu dengan melakukan

kejahatan seperti perdagangan narkotika yang memberikan keuntungan yang besar.

Pekerjaan Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas pelaku

perdagangan narkotika bekerja sebagai swasta dan wiraswasta. Hal ini sesuai dengan

penelitian Chiluwa yang menemukan bahwa kebanyakan pelaku perdagangan narkotika lebih

banyak bekerja di ranah informal, sedangkan mereka yang bekerja di ranah formal sangat

sedikit. Chiluwa menemukan mayoritas pelaku perdagangan narkotika memiliki pekerjaan

sebagai wiraswasta atau self-employed dan lain-lainnya   (Chiluwa,2014: hal 64). Selain itu

Chiluwa juga menjelaskan bahwa mayoritas pengedar narkotika berasal dari kelas sosio-

ekonomi bawah hingga menengah (Chiluwa, 2014: hal 73).

Walaupun pelaku yang bekerja sebagai pegawai swasta, kebanyakan pelaku tidak

bekerja di perusahaan atau pegawai kantoran yang disiplin dengan jumlah waktu kerja yang

cenderung hampir penuh per minggunya, sehingga memungkinkan mereka untuk terlibat

dalam peredaran narkotika lebih besar dan lebih leluasa. Hal ini dikarenakan intensitas waktu,

kedisiplinan tempat kerja akan memberikan pengaruh terhadap pergerakan dan mobilitas

seseorang. Sampson dan Laub menjelaskan bahwa kerja dapat mengurangi resiko terlibat

dalam perilaku kriminal, meningkatkan waktu dibawah pengawasan orang dewasa,

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 15: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

memperluas ikatan sosial sehingga meningkatkan kontrol sosial informal dan meningkatkan

kemampuan anak muda untuk berhasil berintegrasi ke dalam masyarakat dan ekonomi. Kerja

merupakan komponen penting dari transisi yang sukses untuk dewasa yang dapat memiliki

dampak positif pada gaya hidup dan yang membatasi paparan pada pelaku potensial (Bunge,

Johnson dan Baldé, 2005:hal 20).

Berdasarkan temuan data memperlihatkan bahwa mayoritas pelaku memiliki pekerjaan

yang tidak begitu bagus dan relatif rendah. Hal ini akan mempengaruhi pendapatan seseorang

yang kemudian akan berimbas pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Brooks-Gunn dan Duncan menjelaskan bahwa pengangguran dan ukuran dari kemiskinan dan

ketimpangan pendapatan sebagai faktor risiko untuk kegiatan kriminal. Keluarga dan individu

yang berada dalam situasi berpenghasilan rendah, telah mengurangi kesempatan untuk

berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi terorganisir dan untuk memperoleh barang-barang

diinginkan dan diperlukan dalam masyarakat barat (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 20).

Sulitnya mengakses pekerjaan dan persaingan kerja dan kesulitan ekonomi membuat para

pelaku semakin tersudutkan dan akhirnya melakukan kejahatan seperti perdagangan narkotika

yang tidak membutuhkan modal apapun. Levitt (Bunge, Johnson dan Baldé, 2005: hal 20)

menjelaskan bahwa fluktuasi kondisi sosial atau ekonomi lainnya dapat berinteraksi dengan

kondisi demografis seperti sekelompok besar mengalami persaingan yang lebih besar untuk

pekerjaan dan sumber daya lainnya, yang kemudian dapat menyebabkan kecenderungan lebih

tinggi untuk melakukan kejahatan.

Karir Kriminal Pelaku. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas

pelaku perdagangan narkotika di wilayah Indonesia pada tahun 2014 belum pernah melanggar

hukum sebelumnya (70,45%), sementara pelaku yang merupakan residivis relatif sedikit.

Berdasarkan data juga dapat dilihat bahwa pelaku yang merupakan residivis memiliki peran

yang lebih tinggi dari pada mereka yang belum pernah melanggar hukum sebelumnya.

Mereka yang belum pernah melanggar hukum mayoritas berperan sebagai kurir narkotika.

Sedangkan yang berperan memproduksi narkotika, pemilik dan pengendali lebih banyak

dilakukan oleh mereka yang berstatus residivis. Beberapa dari pelaku residivis narkotika yang

sebelumnya adalah pengguna, mulai melakukan perdagangan narkotika karena ingin

mendapatkan narkotika gratis untuk mendukung kebiasaan mereka. Chiluwa menjelaskan

bahwa mayoritas pengedar narkotika adalah pengguna narkotika di tahun-tahun remaja

mereka dan tenggelam dalam subkultur narkotika sejak awal. Dengan demikian, sebagai

pengguna dan pembeli, mereka tidak asing dengan proses yang terlibat dalam penjualan obat-

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 16: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

obatan terlarang. Akhirnya, pengedar mungkin semakin menjadi "lebih besar" saat ia

membuat koneksi baru dalam jaringan narkotika (Chiluwa, 2014: hal 51).

Berdasarkan hasil penelitian juga dapat terlihat bahwa meyoritas residivis narkotika dan

bukan narkotika, mayoritas melanjutkan perdagangan narkotika karena kebutuhan akan uang.

para pelaku yang merupakan residivis kebanyakan direkrut oleh teman mereka dipenjara, dan

ketika mereka keluar dari penjara, mereka dikendalikan oleh para narapidana narkotika dari

dalam penjara untuk melakukan perdagangan narkotika. Chiluwa menjelaskan bahwa

residivisme penjahat adalah tema umum bagi pengedar narkotika. Karena keuntungan yang

tinggi dan karena individu biasanya memiliki banyak koneksi ke pengedar sukses, mudah

bagi mereka untuk mengembalikan diri dalam jaringan narkotika setelah mereka dibebaskan

dari penjara. Narkotika sangat menguntungkan dan karena pelaku banyak menikmati gaya

hidup menyimpang, subkultur narkotika menjadi cara hidup yang lebih disukai oleh para

pelaku (Chiluwa, 2014: hal 52).

Domisili Pelaku Perdagangan narkotika. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan

bahwa mayoritas pelaku perdagangan narkotika berdomisili di wilayah kota-kota besar di

Indonesia dengan penduduk yang padat seperti daerah DKI Jakarta (38,64%) dan Jawa Barat

(31,64%) , khususnya daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Hal ini disebabkan karena jaringan sindikat narkotika merekrut orang dari daerah pemasaran

yang berpenduduk padat untuk mempermudah mobilitas mereka.  Dengan merekrut anggota di

daerah pemasaran (perkotaan), akan menghemat waktu pelaku untuk mengantarkan narkotika

pada konsumen dan mempermudah mobilitas mereka. Selain itu orang lokal lebih paham

dengan kondisi sosial dan paham wilayah tersebut, sehingga akan mengurangi resiko

tertangkap polisi.   Chiluwa menjelaskan bahwa pengedar narkotika sering tinggal di dalam

lokasi pusat dalam kota metropolitan untuk memaksimalkan kesempatan dan pergerakan

mereka dalam rantai perdagangan narkotika (Chiluwa, 2014:hal 51)

Tempat Kejadian Perkara Pelaku Perdagangan narkotika. Berdasarkan hasil

penelitian ditemukan bahwa mayoritas pelaku perdagangan narkotika memiliki tempat

kejadian perkara atau kebanyakan mereka beroperasi di kota-kota besar di Indonesia dengan

penduduk yang padat seperti daerah DKI Jakarta (43,18%) dan Jawa Barat (38,64%). Chiluwa

menjelaskan bahwa perdagangan narkotika secara keseluruhan terutama merupakan fenomena

urban karena sifat dari transaksinya. Dengan pengecualian di mana tempat produksi dari

beberapa narkotika diambil (misalnya ganja atau tanaman koka), transaksi narkotika terjadi di

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 17: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

daerah padat masyarakat. Selain itu, permintaan narkotikayang tinggi dan jaringan sosial

yang mendukung bisnis terutama berlokasi di daerah perkotaan (Chiluwa, 2014:hal 51).

Karena itulah kebanyakan pelaku memiliki TKP di kota-kota besar di Indonesia, karena

memiliki penduduk yang padat dan karena banyaknya calon korban.

DKI Jakarta juga pusat perekonomian Indonesia dengan jumlah Upah Minimum

Regional yang cukup tinggi, sehingga daya beli para pengguna cukup tinggi untuk membeli

narkotika. Selain itu permintaan diwilayah perkotaan lebih tinggi dari pada daerah pedesaan.

Menurut penelitian Chiluwa (2014) bahwa ada implikasi sosial ekonomi kemiskinan pedesaan

dan perkotaan. Kemiskinan di pedesaan adalah lebih terkait dengan pasokan obat-obatan

terlarang dan kemiskinan perkotaan lebih terkait dengan dua hal yaitu transaksi dan

permintaan. Penduduk kota lebih banyak penyalahguna dan lebih rentan mengambil pekerjaan

di sistem distribusi terlarang. Kemudian juga lebih banyak model negatif dan kesempatan

untuk mendapatkan uang haram ditemukan di perkotaan dari pada pedesaan yang miskin. Jadi

pada intinya, desa lebih banyak dijadikan tempat produksi narkotika dan sebagai pemasok

narkotika, sedangkan kota sebagai daerah pemasaran karena permintaan akan narkotika lebih

tinggi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan.

KESIMPULAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan pola demografi sosial pelaku

perdagangan narkotika di wilayah Indonesia. Data yang digunakan adalah data pelaku

perdagangan narkotika di wilayah Indonesia yang ditangani oleh pihak Direktorat Narkotika

Alami, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia pada tahun 2014. Data ini didapatkan

dari Laporan Kasus Narkotika yang berisikan berkas perkara pelaku, dan ditemukan 44 LKN

pelaku perdagangan narkotika yang terdiri dari 36 orang laki-laki dan 8 orang perempuan

yang terlibat kasus narkotika jenis ganja, heroin dan shabu, dengan jenis narkotika mayoritas

adalah shabu.

Berdasarkan pada temuan data pelaku, maka dapat disimpulkan pola demografi

sosial pelaku perdagangan narkotika di Indonesia pada tahun 2014 yaitu mayoritas

perdagangan narkotika di Indonesia didominasi oleh laki-laki, mayoritas pelaku berumur

antara 25-44 tahun, merupakan warga negara Indonesia, sudah menikah, memiliki pendidikan

tingkat SMA, mayoritas pelaku memiliki pekerjaan pegawai swasta dan wiraswasta, tidak

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 18: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

pernah melakukan pelanggaran hukum sebelumnya, bertempat tinggal di provinsi DKI Jakarta

dan tempat kejadian perkara pelaku mayoritas di provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan data juga dapat disimpulkan keterlibatan pelaku dalam perdagangan

narkotika di Indonesia, berdasarkan peran dalam perdagangan narkotika, mayoritas pelaku

berperan dalam ranah distribusi narkotika terutama sebagai kurir narkotika. Pelaku bisa

terlibat dalam perdagangan narkotika karena direkrut oleh teman dan kenalan mereka.

Sedangkan motivasi keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika bervariasi, namun

mayoritas pelaku dimotivasi oleh keinginan akan uang. Berdasarkan data juga dapat

disimpulkan hubungan antara demografi sosial pelaku (IV) dengan keterlibatan pelaku dalam

perdagangan narkotika (DV) menunjukkan hasil yang bervariasi.

SARAN

Dari penelitian ini, peneliti menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai

hubungan antara masing-masing unsur demografi sosial dan hubungan antara unsur demografi

sosial dengan kejahatan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya mendeskripsikan hubungan

demografi sosial pelaku dengan keterlibatan pelaku dalam perdagangan narkotika dan tidak

menjelaskan hubungan dari masing-masing unsur demografi. Maka dari itulah dibutuhkannya

penelitian lebih lanjut tentang hubungan dari masing-masing unsur demografi dengan

kejahatan. Selain itu jumlah penelitian tentang hubungan demografi sosial dengan kejahatan

relatif sedikit, sehingga dibutuhkannya penelitian lebih lanjut karena masih banyak hal yang

belum terjamah oleh peneliti.

DAFTAR REFERENSI

Anastasia, Ayu. Mei 2012. Jurnal Kriminologi Vol.8 No.1. Perempuan Kurir dalam

Perdagangan Gelap Narkoba (Sebuah Realitas Korban Kekerasan Berlapis

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2013. Jurnal Data Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun

2012 Edisi Tahun 2013.

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2014. Jurnal Data Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun

2013 Edisi Tahun 2014.

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 19: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2015. Jurnal Data Pencegahan dan

Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun

2014 Edisi Tahun 2015

Bailey, Corin. 2013. Exploring Female Motivations for Drug Smuggling on the Island of

Barbados: Evidence From Her Majesty’s Prison, Barbados

Barlow, Hugh D.1984. Introduction To Criminology. Third Edition. Canada: Little, Brown &

Company

Becsi, Zsolt. 1999. Economic and Crime in the States. Federal Reserve Bank of Atlanta.

Bunge, Valerie Pottie, Johnson, Holly dan Baldé, Thierno A. 2005. Exploring Crime Patterns

in Canada. Canada: Canadian Centre for Justice Statistics and Time Series Research

and Analysis Centre

Chiluwa, Kakusa. 2014. Factors Influencing Drug Trafficking Among Women in Zambia: A

Gendered Analysis. Lusaka: University of Zambia

Decker, Scott H. dan Chapman, Margaret Townsend. 2008. Drug Smugglers on Drug

Smuggling: Lessons From the Inside. Philadelphia: Temple University Press.

Ford, Thomas R dan Jong, Gordon F. 1970. Social Demography. Englewood Cliffs, NJ:

Prentice-Hall, Inc

Grundetjern, Heidi dan Sandberg, Sveinung. 2012. European Journal of Criminology 9(6)

621–635: Dealing with a gendered economy: Female drug dealers and street capital.

Norway: University of Oslo. SAGE

Hagan, Frank E. 2010. Crime Types and Criminals. SAGE Publications, Inc

Hagan, Frank E .2013. Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal. Edisi

ketujuh. Jakarta: Kencana

Hjalmarsson, Randi dan Lochner, Lance. 2012.The Impact of Education on Crime:

International Evidence. CEsifo DICE Report

Hutapea, Khoirun. 2011. Pola-Pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir Dalam

Jaringan Peredaran Narkoba Internasional. Universitas Indonesia: FISIP UI,

Departemen Kriminologi

Iskandar, Anang. 2015. Jalan Lurus: Penanganan Penyalah guna Narkotika dalam

Konstruksi Hukum Positif. Karawang: Tanpas communications

Lestari, Sulastri Indah. 2013. Strategi Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda dalam

Menanggulangi Penggunaan Narkoba di Kelurahan Sungai Pinang dalam Kota

Samarinda

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016

Page 20: Pola Demografi Sosial Pelaku yang Terlibat dalam

Livingston, Jay. 1996. Crime and Criminology. Second Edition. Upper Saddle River:

Prentice-Hall, inc

Lochner, Lance. 2007. Education and Crime. University of Western Ontario

Mantra, Ida Bagus. 1985. Pengantar Studi Demografi. Yogyakarta: Nur Cahaya

McGuire, Peter L.. 2010. Narcotics Trafficking in West Africa: A Governance Challenge.

Boston: Boston University. The Frederick S Pardee Center for The Longer-Range

Future.

Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku

Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Edisi Kedua. Bekasi: Sari Ilmu Pratama

Rodriguez, Nancy dan Griffin, Marie L.. 2005. Gender Differences in Drug Market Activities:

A Comparative Assessment of Men and Women’s Participation in the Drug Market.

Arizona State University: Criminal Justice and Criminology

Siegel, Larry J. 2012. Criminology. 11th Edition.Wadsworth, Cengage Learning

Smith, T. Lynn dan Zopf, Paul E., Jr. Demography: Principles and Methods. 1970.

Philadelphia: F.A. Davis Company

South, Scott J. dan Messner, Steven F. 2000. : Annual Review of Sociology, Vol. 26. Crime

and Demography: Multiple Linkages, Reciprocal Relations. JSTOR

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Taft, Donald R. dan England, Ralp W., Jr. Criminology. 1964. Fourt Edition. New York: The

Macmillan Company

Arjawinangun, Komaruddin Bagja. 22 Desember 2014. Selama 2014 Indonesia JadiPasar

Narkoba yang Besar. Diakses dari

http://nasional.sindonews.com/read/940761/15/selama-2014-indonesia-jadipasar

narkoba-yang-besar-1419245572

Rakhmatulloh. 23 Desember 2014. BNN Sebut 2014 Tahun Darurat Narkoba.

http://nasional.sindonews.com/read/941041/15/bnn-sebut-2014-tahun-

daruratnarkoba-1419310177

Ramdhani, Dian. 16 Januari 2015. Peredaran Narkotika Indonesia Tertinggi di ASEAN.

Diakses dari http://nasional.sindonews.com/read/951777/15/ peredaran-narkotika-

indonesia-tertinggi-di-asean-1421421852

Pola Demografi ..., Dea Seli Vea, FISIP UI, 2016