12
Managemen Hospital Acquaired Pneumonia yang Optimal Barmawi Hisyam SMF Paru/ Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS dr. Sardjito/ FK UGM Yogyakarta Pendahuluan Hospital acquaired pneumonia saat ini menjadi penyebab kematian yang utama pada kasus infeksi yang berasal dari rumah sakit (hospital acquired infection). Di Amerika angka kematian bervariasi dari 20% sampai dengan 50%. (Craven dkk, 1991). Beberapa studi mendapatkan angka mortalitas hospital acquaired pneumonia berkisar 33%. (Fagon dkk, 1993). Sulit untuk menentukan apakah pneumonia itu sendiri merupakan faktor resiko terhadap kematian, namun ada sebuah penelitian yang mendapatkan bahwa pneumonia bukan merupakan faktor resiko terhadap kematian yang signifikan. (Craven dkk, 1986). Kasus hospital acquaired pneumonia terjadi sebagian besar di luar unit perawatan intensif (intensive care unit). Namun demikian, pasien yang mempergunakan alat bantu ventilasi mekanik memiliki risiko yang lebih tinggi. Sebagian besar subyek penelitian tentang hospital acquaired pneumonia yang baik berasal dari pasien yang mempergunakan ventilasi mekanik. Insiden hospital acquaired pneumonia berkisar antara 4 sampai 7 episode per 1000 pasien yang menjalani rawat inap dan meliputi 13 – 18% dari kejadian infeksi nosokomial. Sebagai tambahan, hampir seperempat pasien yang dirawat di ICU dapat terkena hospital acquaired pneumonia. (Craven dkk, 1995). Diagnosis hospital acquired pneumonia saat ini masih sering tidak tepat. Ketidaktepatan ini menyebabkan terapi yang tidak adekuat. Selain itu, terapi pada hospital acquired pneumonia masih bersifat empiris. Terapi yang tidak adekuat dan bersifat empiris ini dapat memicu timbulnya kuman pathogen yang multi drug resistence. Berdasarkan dari frekuensi kejadian infeksi hospital acquaired pneumonia yang menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan lamanya rawat inap, diperlukan suatu metode diagnosis dan managemen yang optimal untuk menangani infeksi hospital acquaired pneumonia. Patogenesis Aspirasi memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi hospital acquaired pneumonia. Empat puluh lima persen orang sehat akan mengalami aspirasi saat mereka tidur.

Pneumonia Nosokomial

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pneumonia

Citation preview

Page 1: Pneumonia Nosokomial

Managemen Hospital Acquaired Pneumonia yang Optimal

Barmawi Hisyam SMF Paru/ Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RS dr. Sardjito/ FK UGM Yogyakarta

Pendahuluan

Hospital acquaired pneumonia saat ini menjadi penyebab kematian yang utama pada

kasus infeksi yang berasal dari rumah sakit (hospital acquired infection). Di Amerika angka

kematian bervariasi dari 20% sampai dengan 50%. (Craven dkk, 1991). Beberapa studi

mendapatkan angka mortalitas hospital acquaired pneumonia berkisar 33%. (Fagon dkk,

1993). Sulit untuk menentukan apakah pneumonia itu sendiri merupakan faktor resiko

terhadap kematian, namun ada sebuah penelitian yang mendapatkan bahwa pneumonia bukan

merupakan faktor resiko terhadap kematian yang signifikan. (Craven dkk, 1986).

Kasus hospital acquaired pneumonia terjadi sebagian besar di luar unit perawatan

intensif (intensive care unit). Namun demikian, pasien yang mempergunakan alat bantu

ventilasi mekanik memiliki risiko yang lebih tinggi. Sebagian besar subyek penelitian tentang

hospital acquaired pneumonia yang baik berasal dari pasien yang mempergunakan ventilasi

mekanik.

Insiden hospital acquaired pneumonia berkisar antara 4 sampai 7 episode per 1000

pasien yang menjalani rawat inap dan meliputi 13 – 18% dari kejadian infeksi nosokomial.

Sebagai tambahan, hampir seperempat pasien yang dirawat di ICU dapat terkena hospital

acquaired pneumonia. (Craven dkk, 1995).

Diagnosis hospital acquired pneumonia saat ini masih sering tidak tepat.

Ketidaktepatan ini menyebabkan terapi yang tidak adekuat. Selain itu, terapi pada hospital

acquired pneumonia masih bersifat empiris. Terapi yang tidak adekuat dan bersifat empiris ini

dapat memicu timbulnya kuman pathogen yang multi drug resistence.

Berdasarkan dari frekuensi kejadian infeksi hospital acquaired pneumonia yang

menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas dan lamanya rawat inap, diperlukan suatu

metode diagnosis dan managemen yang optimal untuk menangani infeksi hospital acquaired

pneumonia.

Patogenesis

Aspirasi memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi hospital acquaired

pneumonia. Empat puluh lima persen orang sehat akan mengalami aspirasi saat mereka tidur.

Page 2: Pneumonia Nosokomial

Prosentase ini akan meningkat pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit. Frekuensi

kejadian aspirasi material oropharing dan koloni bakteri akan meningkat pada pasien yang

dipasang endotracheal tube. (Scheld dkk, 1991).

Faktor resiko kejadian hospital acquaired pneumonia adalah adanya kolonisasi bakteri

di oropharing dan yang berasal dari mukosa gaster. (Garrouste- Orgeas dkk, 1997). Pada

pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit, kolonisasi bakteri yang terjadi paling

banyak adalah bakteri gram negatif, dan kolonisasi ini terjadi 75% pada hari ke 2 perawatan.

(Scheld dkk, 1991)

Sterilitas gaster dan traktus gastrointestinal bagian atas akan dipengaruhi oleh

peningkatan pH asam lambung yang disebabkan karena perjalanan penyakit utamanya,

pemberian terapi dan pemberian enteral feeding. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus pada

pemberian terapi profilaksis terhadap kejadian stress ulcer yang akan dapat meningkatkan pH

asam lambung.

Penyebab lain hospital acquaired pneumonia adalah inhalasi secara langsung bakteri

yang ada di rumah sakit. Frekuensi kejadian infeksi Hospital acquaired pneumonia dengan

cara ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan yang aspirasi kolonisasi bakteri.

Etiologi

Bakteri penyebab infeksi hospital acquaired pneumonia biasanya kombinasi antara

gram positif dan negatif. Bakteri gram negatif lebih dominan dibandingkan dengan bakteri

gram positif. (CDC Guidelines, 1994).

Jenis bakteri yang sering menjadi penyebab Hospital acquaired pneumonia:

Pseudomonas aeruginosa sebanyak 17 persen, Staphylococcus aureus 16 persen,

Enterobacteriaceae species 11 persen, Klebsiella species 7 persen, Escherichia colli 6

persen, Haemophilus influenzae 6 persen, dan Serratia marcescens 5 persen. Jenis bakteri

lain prosentasenya kurang dari 5 % meliputi Streptococcus pneumoniae, bakteri anaerob,

Methicillin resistant S. aureus (MRSA), Legionella sp dan jamur.

Dalam SENTRY survey didapatkan angka kejadian bakteri MRSA sebanyak 10,6%

dari seluruh kejadian infeksi kulit dan jaringan lunak. (Doern dkk, 1999).

Jenis bakteri ini sangat tergantung faktor penderita dan bakteri yang ada di rumah

sakit, sehinggga sudah sewajarnya tiap rumah sakit memiliki peta mikroorganisme yang

sering ditemukan di lingkungan rumah sakit.

Page 3: Pneumonia Nosokomial

Faktor Resiko

Faktor resiko utama terjadinya hospital acquaired pneumonia adalah pemakaian

ventilator mekanik, sehingga ada bebebrpa istilah yang menganggap sama antara hospital

acquaired pneumonia dengan ventilator acquired pneumonia (VAP). Pasien yang memakai

ventilator mekanik memiliki resiko terjadi hospital acquaired pneumonia 6 – 21 kali

dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan ventilator mekanik. (CDC Guidelines,

1994)

Faktor resiko yang lainnya meliputi: usia lebih dari 70 tahun, penderita chronic lung

disease, pasien dengan penurunan kesadaran yang memiliki kemungkinan terjadinya aspirasi

dalam jumlah yang banyak, pasien yang menjalani operasi thorax, penggantian sirkuit

ventilator yang terlalu sering, dan pemasangan nasogastric tube.

Beberapa studi menunjukkan bahwa pemakian terapi H2 blocker dan antasida

meningkatkan insiden terjadinya pneumonia. Sebuah meta analisis yang dilakukan pada awal

tahun 1990-an didapatkan adanya tren berkurangnya insiden pneumonia dengan obat yang

meningkatkan pH asam lambung dibandingkan plasebo atau kontrol. (Cook dkk, 1991). Pada

penelitian yang lebih baru didapatkan insiden Hospital acquaired pneumonia yang lambat

(lebih dari 4 hari perawatan) lebih rendah pada sukralfat (5%) dibandingkan antasida (18%)

dan ranitidin (21%). (Prod’hom dkk, 1994). Penggunaan terapi dengan Proton pump inhibitor

juga akan meningkatkan resiko tejadinya Community acquired pneumonia.

Faktor lainnya adalah transport pasien ICU ke unit diagnostik diluar ICU (untuk

diagnostik ataupun untuk terapi), riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya, terutama

golongan cephalosporin generasi ke 3 yang digunakan sebagai terapi empirik pada infeksi

gram negatif., pasien yang mengalami reintubasi, dan penggunaan ventilator mekanik pada

ARDS.

Pada sebuah studi mendapatkan bahwa perempuan merupakan prediktor untuk

outcome yang buruk pada Hospital acquaired pneumonia. Perempuan memiliki resiko 2 kali

angka mortalitasnya dibandingkan pria. (Crabtree dkk, 1999)

Ada enam faktor resiko terjadinya infeksi MRSA adalah riwayat rawat inap dalam 12

bulan terakhir, lama rawat inap sebelum infeksi yang sekarang, operasi pembedahan,

pemberian enteral feedings, dan pemberian terapi levofloxacin atau macrolides. (Graffunder

dkk,2002)

Diagnosis

Diagnosis pneumonia dengan menggunakan tanda-tanda klinis pasien seperti adanya

infiltrat baru, demam, lekositosis dan sekret yang purulen ternyata tidak sesuai dengan gold

Page 4: Pneumonia Nosokomial

standart dengan pemeriksaan histologi jaringan paru. Pada sebuah studi yang membandingkan

diagnosis klinis dengan hasil histopatologis saat otopsi, hanya kurang dari dua per tiga kasus

yang didiagnosis dengan benar. Namun penelitian ini memiliki kelemahan dimana tidak

semua subyek penelitian meninggal. (Andrews, 1981)

Sedangkan penelitian lain membandingkan hasil pemeriksaan radiologis yang

didapatkan adanya infiltrat baru, ternyata tidak ada pasien yang dapat didiagnosis hanya

dengan satu kali pemeriksaan radiologis. (Wunderink dkk, 1992)

Pemeriksaan gram sputum dan kultur rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis

Hospital acquaired pneumonia. Namun demikian kontaminasi dapat saja terjadi dari koloni

bakteri yang ada di oropharing. (Griffin dkk, 1994). Kultur darah yang positif akan sangat

membantu dalam menegakkan diagnosis, sayangnya kultur darah positif hanya pada 6%

kasus. (Scheld dkk, 1991)

Suatu cara diagnosis yang invasif dengan menggunakan protected brush specimen

(PBS) dan bronchoalveolar lavage (BAL) telah diteliti di Perancis dengan hasil yang lebih

baik dalam mendiagnosis Hospital acquaired pneumonia yang terkait dengan ventilator

mekanik (VAP). Diagnosis yang benar ini mempunyai dampak pada outcome pasien. (Fagon

dkk, 2000)

Terapi

Dari hasil penelitian yang ada masih banyak pasien yang tidak terdiagnosis dengan

benar sebagai Hospital acquaired pneumonia, hal ini dapat menyebabkan overtreatment dan

meningkatkan resiko terjadinya resistensi dan superinfeksi.

Terapi antibiotika harus memperhatikan beberapa hal seperti: terapi antibiotika yang

sedang digunakan oleh pasien pada saat ini, mikroorganisme pathogen yang ada di rumah

sakit atau ICU (perlu data pola mikroorganisme rumah sakit), penyakit yang sedang diderita

(underlying disease), dan data kultur dan sensivitas yang ada

Sebagian besar terapi antibiotika pada Hospital acquaired pneumonia adalah terapi

empiris dan tidak ada satupun kuman pathogen yang spesifik. Terapi empiris pada Hospital

acquaired pneumonia harus potent untuk bakteri seperti Enterobacter sp, Klebsiella sp,

E.colli, Proteus sp, S. marsescens, Haemophilus influenzae, MRSA, S. Pneumoniae. P.

aeruginosa, dan antibiotic-resistant gram-negative bacilli, seperti Acinetobacter spp, dan

legionella.

Jika MRSA merupakan mikroorganisme pathogen yang sering didapatkan pada kasus

nosokomial di rumah sakit, vancomycin merupakan pilihan utama antibiotika dengan anti-

staphylococcal, tapi harus segera dihentikan jika pada isolasinya tidak didapatkan adanya

Page 5: Pneumonia Nosokomial

MRSA. Sebuah studi trial prospektif randomized secara internasional membandingkan

quinupristin-dalfopristin dengan vancomycin untuk terapi HAP; pasien juga diberikan secara

konkomitan aztreonam dan tobramycin untuk yang hasil kulturnya gram-negative. Hasilnya

antara kedua regimen ini memiliki potensi yang sama (56 versus 58 persen). (Fagon dkk,

2000).

Dua studi prospective, randomized trials membandingkan linezolid dengan

vancomycin untuk MRSA; Jika dilakukan meta-analysis terhadap 2 studi tersebut, linezolid

lebih unggul. (Wunderink dkk, 2003; Rubinstein dkk, 2001). Keunggulan ini mungkin

disebabkan tingginya penetrasi linezolid pada jaringan paru yang terinfeksi dibandingkan

vancomycin. Berdasarkan hasil studi ini, linezolid dan vancomycin merupakan terapi yang

standar untuk MRSA pneumonia.

Sebuah studi retrospektif mendapatkan bahwa kegagalan terapi vancomycin mungkin

disebabkan suboptimal dosing. (Moisse dkk, 2000). Konsekuensinya, dosis yang

direkomendasikan untuk vancomycin adalah mencapai kadar 15 sampai 20 µg/mL. (Guideline

HAP, 2005)

Meskipun kombinasi terapi antimikrobia untuk HAP yang disebabkan bakteri gram-

negative (khususnya Pseudomonas) sudah secara empiris diberikan, namun tidak ada bukti

klinis yang mendukung terapi empiris tersebut. Alasan yang dapat diterima untuk terapi

kombinasi adalah efek sinergistik untuk mencegah terjadinya resistensi. Tidak ada bukti klinis

terapi kombinasi akan memperbaiki outcome pada gram-negative pneumonia. (Guideline

HAP, 2005)

Pada seting ICU dengan extended spectrum beta-lactamase (ESBL) yang

memproduksi Enterobacteriaceae, cephalosporins jangan diberikan sebagai monotherapy,

karena adanya resistensi organisme tersebut. (Chow dkk, 1991). Agen terapi yang rasional

untuk seting ICU adalah carbapenem (imipenem-cilastatin, ertapenem, atau meropenem).

(Scheld, 1991)

Terapi empirik untuk Hospital acquaired pneumonia sesuai dengan the ATS/IDSA

guidelines for the management of HAP. (Guideline HAP, 2005).

Page 6: Pneumonia Nosokomial

Terapi empiris untuk Hospital acquaired pneumonia sangat tergantung dengan onset

terjadinya infeksi nosokomial. Onset terjadinya infeksi nosokomial pada pneumonia dapat

Page 7: Pneumonia Nosokomial

dibagai menjadi 2, early onset jika kejadian infeksi sebelum 4 hari pertama perawatan dan

late onset untuk infeksi yang terjadi setelah 4 hari perawatan. Terapi empiris yang tidak tepat

akan memicu terjadinya resistensi kuman dan menyebabkan multi drug resistence. Namun

demikian menunda terapi antibiotika juga akan menyebabkan outcome yang tidak baik.

(Iregui dkk, 2002).

Pasien tanpa risiko untuk kuman yang MDR, dapat diberikan antibiotika intravenous

berdasar bukti empiris terhadap HAP seperti: Ceftriaxone (2 g/ hari) Ampicillin/sulbactam (3

g/ 6 jam) atau piperacillin/tazobactam (4.5 g/ 6 jam). Untuk kuman gram-negative yang tidak

dapat diterapi dengan ampicillin/sulbactam (seperti Enterobacter spp, Serratia spp,

Pseudomonas spp) diberikan Levofloxacin (750 mg/hari) atau ciprofloxacin (400 mg/ 6 jam)

dan Ertapenem (1 g/hari).

Pasien dengan risiko kuman MDR direkomendasikan terapi empirik kombinasi terapi

3 macam antibiotika: salah satu dari: Antipseudomonal cephalosporin seperti, cefepime (2 g /

8 jam) atau ceftazidime (2 g / 8 jam) ATAU Antipseudomonal carbapenem seperti imipenem

(500 mg/ 6 jam) atau meropenem (1 g / 8 jam) ATAU Piperacillin-tazobactam (4.5 g / 6 jam).

PLUS salah satu dari: Antipseudomonal fluoroquinolone, termasuk untuk Legionella seperti,

levofloxacin (750 mg/ hari) atau ciprofloxacin (400 mg/4 jam) ATAU Aminoglycoside

seperti: gentamicin atau tobramycin (7 mg/kg per hari) atau amikacin (20 mg/kg per hari).

PLUS salah satu (jika dicurigai MRSA, MRSA risk factors, atau adanya bukti insiden yang

tinggi MRSA di sekitar RS): Linezolid (600 mg / 12 jam) ATAU Vancomycin (15 mg/kg / 12

jam, dosis sampai dengan kadar 15 to 20 µg/mL) .

Jika pasien sudah mendapat terapi antibiotiksebelumnya, terapi empirik harus

diberikan dengan obat yang berbeda kelas, karena mungkin saja antibiotika yang pertama

sudah menyebabkan kumanresisten.

Terapi antibiotik yang spesifik diberikan sesaui dengan hasil pemeriksaan

mikrobioligis etiologi dari Hospital acquaired pneumonia dan tidak ada bukti koinfeksi. Yang

penting jangan menggunakan terapi antibiotika yang broad spectrum pada satu jenis pathogen

yang ditemukan. (ATS Guideline for HAP, 2005)

Durasi terapi berdasarkan respon klinis. Durasi standar untuk terapi antibiotika adalah

14 sampai 21 hari, Lamanya durasi ini disebabkan karena terapi terhadap pathogen yang sulit

(seperti Pseudomonas spp).

Penggantian terapi IV dengan oral dapat dilakukan dengan pertimbangan secara klinis

stabil, yang ditandai dengan perbaikan parameter klinis (seperti berkurangnya batuk,

dyspnoea, dan produksi sputum), bebas panas kurang lebih 8-12 jam, angka lekosit mulai

normal, C-reactive protein yang mulai turun, kemampuan system pencernaan untuk mendapat

Page 8: Pneumonia Nosokomial

terapi antibiotika secara oral dimana tidak didapatkan adanya vomitus dan fungsi system

pencernaan yang adequate untuk memastikan absorpsi yang efficien. Dapat terjadi interaksi

obat, yang akan mengurangi absorpsi oral, seperti pemberian sucralfate atau magnesium-yang

terkandung dalam antacids dengan golongan quinolones. (Jewesson, 1994; Ahkee dkk, 1997;

Barlow dkk, 2000)

Terdapat empat pilihan untuk menganti terapi antibiotika IV ke oral. Yang pertama

mengunakan jenis antibiotika yang sama, dari jenis IV ke oral. Dengan pilihan ini

bioavailabilitas dan konsentrasi obat equivalen. Kedua, diganti dengan antibiotik lain yang

memiliki absorpsi oral yang baik, spectrum kerja yang sama, dan penetrasi sistemik yang

baik. Ketiga, diganti dengan sediaan oral yang sama dengan sediaan antibiotic IV namun

absorpsinya lebih rendah, sehinga plasma levelnya lebih rendah; contohnya ampicillin dan

azithromycin. Keempat, diganti denga obat yang berbeda namun memiliki bioavaibilitas yang

lebih rendah. ( Weitzstein, 2000)

Simpulan dan Rekomendasi

Hospital-acquired pneumonia merupakan penyebab kematian utama pada hospital-

acquired infections, dengan estimasi angka mortalitas antara 20 sampai 50 persen.

Hospital-acquired pneumonia merupakan pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih

setelah pasien dirawat di unit kesehatan, dengan tanpa adanya masa inkubasi saat mondok.

Meskipun sebagian besar kasus HAP terjadi diluar unit perawatan intensif, risiko pasien untuk

menderita HAP paling inggi pada pasien yang mempergunakan ventilasi mekanik (ventilator-

associated pneumonia).

Hospital-acquired pneumonia dapat disebabkan banyak jenis kuman patogen, dapat

berupa polymicrobial, dan mungkin adalah multidrug resistant pathogens. Frekuensi bakteri

yang multidrug resistant sebagai penyebab hospital-acquired pneumonia semakin meningkat,

terutamapada pasien yang dirawat di ICU dan atau pasien factor resiko. Faktor resiko paling

utama untuk hospital-acquired pneumonia adalah ventilasi mekanik.

Diagnosis hospital-acquired pneumonia sering sulit ditegakkan, terutama pada pasien

yang mengunakan ventilasi mekanik, dimana secara klinis, radiologis, dan mikrobiologis

dapat ditemukan etiologi yang lain selain pneumonia. Direkomendasikan jika memungkinkan

dilakukan kultur dari lower respiratory tract specimens, pada semua pasien dengan

kecurigaan hospital-acquired pneumonia untuk menentukan terapi antibiotika yang akan

digunakan.

Terapi antibiotika harus memperhatikan beberapa hal seperti dibawah ini: terapi

antibiotika yang sedang digunakan oleh pasien pada saat ini, mikroorganisme pathogen yang

Page 9: Pneumonia Nosokomial

ada di rumah sakit atau ICU (perlu data pola mikroorganisme rumah sakit), penyakit yang

sedang diderita (underlying disease), data kultur dan sensivitas yang ada, dan factor resiko

terhadap kuman yang multi drug resistence. Durasi terapi berdasar respon secara klinis.

DAFTAR PUSTAKA Craven, DE, Palladino, R, McQuillen, DP. Healthcare-associated pneumonia in adults:

management principles to improve outcomes. Infect Dis Clin North Am 2004; 18:939. Scheld, WM. Developments in the pathogenesis, diagnosis and treatment of nosocomial

pneumonia. Surg Gynecol Obstet 1991; 172 Suppl:42. Guideline for prevention of nosocomial pneumonia. Centers for Disease Control and

Prevention [see comments]. Respir Care 1994; 39:1191. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and

healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171:388. Fagon, JY, Chastre, J, Hance, AJ, et al. Nosocomial pneumonia in ventilated patients: a cohort

study evaluating attributable mortality and hospital stay. Am J Med 1993; 94:281. Craven, DE, Kunches, LM, Kilinsky, V, et al. Risk factors for pneumonia and fatality in

patients receiving continuous mechanical ventilation. Am Rev Respir Dis 1986; 133:792.

Craven, DE, Steger, KA. Epidemiology of nosocomial pneumonia. New perspectives on an old disease. Chest 1995; 108:1S.

Garrouste-Orgeas, M, Chevret, S, Arlet, G, et al. Oropharyngeal or gastric colonization and nosocomial pneumonia in adult intensive care unit patients. A prospective study based on genomic DNA analysis. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:1647.

Chastre, J, Fagon, JY. Ventilator-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2002; 165:867.

Kollef, MH, Von Harz, B, Prentice, D, et al. Patient transport from intensive care increases the risk of developing nosocomial pneumonia. Chest 1997; 112:765.

Torres, A, Gatell, JM, Aznar, E, et al. Re-intubation increases the risk of nosocomial pneumonia in patients needing mechanical ventilation. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:137.

Kollef, MH, Vlasnik, J, Sharpless, L, et al. Scheduled change of antibiotic classes: A strategy to decrease the incidence of ventilator-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:1040.

Crabtree, TD, Pelletier, SJ, Gleason, TG, et al. Gender-dependent differences in outcome after the treatment of infection in hospitalized patients. JAMA 1999; 282:2143.

Cook, DJ, Laine, LA, Guyatt, GH, Raffin, TA. Nosocomial pneumonia and the role of gastric pH - a meta-analysis. Chest 1991; 100:7.

Prod'hom, G, Leuenberger, P, Koerfer, J, et al. Nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients receiving antacid, ranitidine, or sucralfate. Ann Intern Med 1994; 120:653.

Page 10: Pneumonia Nosokomial

Sanchez Garcia, M, Cambronero Galache, JA, Lopez Diaz, J, et al. Effectiveness and cost of selective decontamination of the digestive tract in critically ill intubated patients. A randomized, double-blind, placebo-controlled, multicenter trial. Am J Respir Crit Care Med 1998; 158:908.

van Nieuwenhoven, CA, Buskens, E, van Tiel, FH, Bonten, MJ. Relationship between methodological trial quality and the effects of selective digestive decontamination on pneumonia and mortality in critically ill patients. JAMA 2001; 286:335.

Vandenbroucke-Grauls, CM, Vandenbroucke, JP. Effect of selective decontamination of the digestive tract on respiratory tract infections and mortality in the intensive care unit. Lancet 1991; 338:859.

de Jonge, E, Schultz, MJ, Spanjaard, L, et al. Effects of selective decontamination of digestive tract on mortality and acquisition of resistant bacteria in intensive care: a randomised controlled trial. Lancet 2003; 362:1011.

Torres, A, Serra-Batlles, J, Ros, E, et al. Pulmonary aspiration of gastric contents in patients receiving mechanical ventilation: The effect of body position. Ann Intern Med 1992; 116:540.

Orozco-Levi, M, Torres, A, Ferrer, M, et al. Semirecumbent position protects from pulmonary aspiration but not completely from gastroesophageal reflux in mechanically ventilated patients. Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:1387.

Drakulovic, MB, Torres, A, Bauer, TT, et al. Supine body position as a risk factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: A randomised trial. Lancet 1999; 354:1851.

Smulders, K, van Der, Hoeven H, Weers-Pothoff, I, Vandenbroucke-Grauls, C. A randomized clinical trial of intermittent subglottic secretion drainage in patients receiving mechanical ventilation. Chest 2002; 121:858.

Kollef, MH, Skubas, NJ, Sundt, TM. A randomized clinical trial of continuous aspiration of subglottic secretions in cardiac surgery patients. Chest 1999; 116:1339.

Dezfulian, C, Shojania, K, Collard, HR, et al. Subglottic secretion drainage for preventing ventilator-associated pneumonia: a meta-analysis. Am J Med 2005; 118:11.

Shorr, AF, O'Malley, PG. Continuous subglottic suctioning for the prevention of ventilator-associated pneumonia: potential economic implications. Chest 2001; 119:228.

Grossman, RF, Fein, A. Evidence-based assessment of diagnostic tests for ventilator-associated pneumonia. Executive summary of the clinical practice guideline panel. Chest 2000; 117(Suppl 2):177.

Andrews, CP, Coalson, JJ, Smith, JD, Johanson, WG. Diagnosis of nosocomial bacterial pneumonia in acute, diffuse lung injury. Chest 1981; 80:254.

Wunderink, RG, Woldenberg, LS, Zeiss, J, et al. The radiologic diagnosis of autopsy-proven ventilator-associated pneumonia. Chest 1992; 101:458.

Griffin, JJ, Meduri, GU. New approaches in the diagnosis of nosocomial pneumonia. Med Clin North Am 1994; 78:1091.

Kirtland, SH, Corley, DE, Winterbauer, RH, et al. The diagnosis of ventilator pneumonia: A comparison of histologic, microbiologic, and clinical criteria. Chest 1997; 112:445.

Fagon, JY, Chastre, J, Wolff, M, et al. Invasive and noninvasive strategies for management of suspected ventilator-associated pneumonia. A randomized trial. Ann Intern Med 2000; 132:621.

Page 11: Pneumonia Nosokomial

Ruiz, M, Torres, A, Ewig, S et al. Noninvasive versus invasive microbial investigation in ventilator-associated pneumonia: evaluation of outcome. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:119.

Meduri, GU, Johanson, WG Jr. International Consensus Conference: clinical investigation of ventilator-associated pneumonia. Introduction [editorial]. Chest 1992; 102:551S.

Luna, CM, Vujacich, P, Niederman, MS, et al. Impact of BAL data on the therapy and outcome of ventilator-associated pneumonia. Chest 1997; 111:676.

Kollef, MH, Ward, S. The influence of mini-BAL cultures on patient outcomes. Implications for the antibiotic management of ventilator-associated pneumonia. Chest 1998; 113:412.

Corley, DE, Kirtland, SH, Winterbauer, RH, et al. Reproducibility of the histologic diagnosis of pneumonia among a panel of four pathologists. Chest 1997; 112:458.

Croce, MA, Fabian, TC, Schurr, MJ, et al. Using bronchoalveolar lavage to distinguish nosocomial pneumonia from systemic inflammatory response syndrome: a prospective analysis. J Trauma 1995; 39:1134.

Pugin, J, Auckenthaler, R, Mili, N, et al. Diagnosis of ventilator-associated pneumonia by bacteriologic analysis of bronchoscopic and nonbronchoscopic "blind"; bronchoalveolar lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991; 143:1121.

Singh, N, Rogers, P, Atwood, CW, et al. Short-course empiric antibiotic therapy for patients with pulmonary infiltrates in the intensive care unit: a proposed solution for indiscriminate antibiotic prescription. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162:505.

Luna, CM, Blanzaco, D, Niederman, MS, et al. Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care Med 2003; 31:676.

Fagon, J, Patrick, H, Haas, DW, et al. Treatment of gram-positive nosocomial pneumonia. Prospective randomized comparison of quinupristin/dalfopristin versus vancomycin. Nosocomial Pneumonia Group. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161:753.

Wunderink, RG, Rello, J, Cammarata, SK, et al. Linezolid vs vancomycin: analysis of two double-blind studies of patients with methicillin-resistant Staphylococcus aureus nosocomial pneumonia. Chest 2003; 124:1789.

Rubinstein, E, Cammarata, S, Oliphant, T, et al. Linezolid (PNU-100766) versus vancomycin in the treatment of hospitalized patients with nosocomial pneumonia: a randomized, double-blind, multicenter study. Clin Infect Dis 2001; 32:402.

Wunderink, RG, Cammarata, SK, Oliphant, TH, et al. Linezolid versus vancomycin in the treatment of patients with nosocomial pneumonia: continuation of a randomized, double-blind, multicenter study. Clin Ther 2003; 25:980.

Powers, JH, Ross, DB, Lin, D, Soreth, J. Linezolid and vancomycin for methicillin-resistant Staphylococcus aureus nosocomial pneumonia: the subtleties of subgroup analyses. Chest 2004; 126:314.

Moise, PA, Forrest, A, Bhavnani, SM, et al. Area under the inhibitory curve and a pneumonia scoring system for predicting outcomes of vancomycin therapy for respiratory infections by Staphylococcus aureus. Am J Health Syst Pharm 2000; 57 Suppl 2:S4. Chow, JW, Fine, MJ, Shlaes, DM, et al. Enterobacter bacteremia: Clinical features and emergence of antibiotic resistance during therapy. Ann Intern Med 1991; 115:585.

Page 12: Pneumonia Nosokomial

Kwa, AL, Loh, C, Low, JG, et al. Nebulized colistin in the treatment of pneumonia due to multidrug-resistant Acinetobacter baumannii and Pseudomonas aeruginosa. Clin Infect Dis 2005; 41:754.

Chastre, J, Wolff, M, Fagon, JY, et al. Comparison of 8 vs 15 days of antibiotic therapy for ventilator-associated pneumonia in adults: a randomized trial. JAMA 2003; 290:2588.

Doern GV, Jones RN, Pfaller MA, et al, and the SENTRY Study Group (North America). Bacterial pathogens isolated from patients with skin and soft tissue infections: frequency of occurrence and antimicrobial susceptibility patterns from the SENTRY Antimicrobial Surveillance Program (United States and Canada, 1997). Diagn Microbiol Infect Dis. 1999;34:65-72.

Graffunder EM, Venezia RA. Risk factors associated with nosocomial methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection including previous use of antimicrobials. J Antimicrob Chemother. 2002;49:999-1005

Jewesson P. Cost-effectiveness and value of an IV switch. Pharmacoeconomics. 1994;5(suppl 2):20-26.

Ahkee S, Smith S, Newman D, et al. Early switch from intravenous to oral antibiotics in hospitalized patients with infections: a 6-month prospective study. Pharmacotherapy. 1997;17:569-575.

Barlow GD, Nathwani D. Sequential antibiotic therapy. Curr Opin Infect Dis. 2000;13:599-607.

Wetzstein GA. Intravenous to oral (IV:PO) anti-infective conversion therapy. Cancer Control. 2000;7:170-176