Upload
hanni-tsaaqifah
View
36
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pltn vs pl tenaga fosil
Citation preview
PLTN VS PL TENAGA FOSIL
PLTN Menjadi Alternatif Pengganti PL Tenaga Fosil
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kebutuhan energi listrik dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Peningkatan ini sejalan dengna meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi, laju
pertumbuhan penduduk, dan pesatnya perkembangan di sektor industri. Untuk
mendukung pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah Indonesia telah
menyusun kebijakan energi nasional dengan melakukan pendekatan yang
integral ke semua sektor pembangunan dengan memperhatikan masalah
konservasi dan daya dukung kapasitas lingkungan.
Rasio elektrifikasi di Indonesia ditargetkan mencapai 60 persen pada
tahun 2008 dengan pertumbuhan permintaan listrik sebesar 6-7 persen setiap
tahunnya. Pertumbuhan tersebut dipenuhi oleh Pemerintah melalui penambahan
pembangkit-pembangkit baru bertenaga bahan bakar fosil (batu bara, minyak
bumi, dan gas) maupun dari sumber-sumber energi terbarukan, ini berarti sekitar
1500-2000 MW listrik harus ditambahkan ke dalam jaringan per tahunnya.
Sayangnya, Pemerintah memutuskan untuk membangun PLTU Batubara
10.000 MW untuk mempercepat pasokan listrik. Penambahan pembangkit listrik
tenaga batubara dapat dipastikan akan menambah parahnya permasalahan
pemanasan global. Sebagai catatan, 40 persen dari sumber emisi gas rumah kaca
penyebab pemanasan global datangnya dari sektor ketenagalistrikan.
Situasi yang tidak menentu tersebut mendorong masing-masing daerah
mengkaji potensi energinya masing-masing dalam menyediakan energi listrik
bagi masyarakatnya, apalagi untuk daerah di luar jaringan Jawa-Madura-Bali
(Jamali). Indonesia sendiri memiliki 40 persen potensi geothermal dunia, dan 25
persen dari angka tersebut terdapat di Jawa Barat. Indonesia juga memiliki
potensi tenaga matahari sebagai negara tropis, serta tenaga ombak sebagai
negara pemilik garis pantai terpanjang ke-3 di dunia, potensi-potensi tersebut
harus terus dikaji dan dikembangkan.
Sejalan dengan kebijakan dibidang energi perlu dilakukan langkah
penting dalam rangka penyusunan alternatif strategi dibidang energi yang
merupakan pola penetu perkembangan energi nasional dimasa mendatang.
Implementasi kebijkan energi meliputi beberapa aspek salah satunya adlah
penggunaan teknologi tepat guna, dimana teknologi tersebut haruslah:
a. Teknologi yang menghasilakn pengganti minyak, sebagaimana minyakk
adalah energi yang tidak terbarukan
b. Teknologi yang mendukung penyediaan energi yang berkelanjutan
c. Teknologi energi yang bersih dan efisien untuk mendukung pelestarian
lingkungan.
Konsep penggunaan energi mixed harus mempertimbangkan banyak hal,
salah satunya adalah dampak terhadap lingkungan jika alternatif penggunaan
energi tersebut diterapkan.
Disamping itu, dalam merencanakan penyediaan listrik untuk memenuhi
permintaan yang terus menanjak dengan cepat, introduksi PLTN telah
dipertimbangkan. Namun demikian suatu penelitian mengenai persepsi
masyarakat terhadap PLTN yang dilakukan oleh Prof. A.M. Djuliati Suroyo dari
Universitas Diponegoro Semarang menunjukkan bahwa Instalasi/industri Nuklir
seperti PLTN sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra serta ragu-
ragu, sehingga belum bisa diterima oleh masyarakat sepenuhnya. Hal ini
disebabkan karena masyarakat masih khawatir akan bahaya potensi radiasi dan
limbah yang dihasilkan oleh industri nuklir yang cukup berbahaya, disamping
faktor non teknis seperti investasi yang tinggi.
Kekuatiran masyarakat terhadap bahaya nuklir sangat beralasan
mengingat beberapa bukti nyata dari korban pemboman Hirosima dan
Nagasaki, kecelakaan Three Mile Island, dan Chernobyl masih tersimpan dalam
ingatan mereka. Dilema antara kebutuhan akan energi secara nasional untuk
mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)
dengan kekuatiran masyarakat akan bahaya nuklir membuat keputusan untuk
memasuki era energi nuklir di Indonesia selalu mendapat tantangan. Pendidikan
publik dan keterbukaan informasi kepada masyarakat sangat dibutuhkan
sehingga tujuan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat dapat tercapai.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai perbandingan PLTN versus PL
Tenaga Fosil dilihat dari kelebihan serta kekurangan kedua pembangkit tenaga
tersebut.
II. Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan antara PLTN dengan PL Tenaga Fosil jika dilihat
dari dampak yang muncul ke lingkungan pada penggunaan PLTN dan PL
Tenaga Fosil pembangkit listrik ?
Apakah PLTN merupakan alternatif yang tepat sebagai pengganti PL
Tenaga Fosil guna memenuhi kebutuhan listrik?
III. Tujuan
Mengetahui perbandingan dari PLTN dan PL Tenaga Fosil sehingga bisa
dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan pambangkit tenaga listrik guna
memenuhi kebutuhan listrik yang semakin meningkat di Indonesia.
IV. Manfaat
Memberikan gambaran mengenai perbandingan dari PLTN versus PL
Tenaga Fosil kepada masyarakat luas terkait kelebihan serta kekurangan dari
masing-masing pembangkit listrik tersebut.
ISI
Pinsip Kerja PLTU batubara Dan PLTN
Prinsip kerja PLTN dan PLTU hampir sama yakni terdiri dari : (I) Sistem
pembangkit steam/ Steam Generator, (II) Turbin, (III) Generator Listrik yang
akan menghasilkan tenaga listrik untuk kemudian masuk dalam jaringan
distribusi. Steam yang dihasilkan oleh sistem pembangkit steam/Steam
Generator akan digunakan untuk memutar sistem Turbin yang dikopel dengan
Generator Listrik yang akan merubah energi kinetik menjadi energi listrik.
Listrik yang dihasilkan kemudian masuk dalam jaringan ditribusi untuk
didistribusikan ke konsumen.
Perbedaan antara PLTU dan PLTN hanya terdapat pada sistem pembangkit uap
seperti ditunjukkan dalam Gambar 1. Pada PLTU sistem pembangkit uap yang
digunakan adalah sistem konvensional yakni uap dihasilkan dari boiler yang
pemanasanya dilakukan dengan menggunakan bahan bakar fosil. Pada PLTN
ada beberapa tipe diantaranya tipe BWR (Boiling Water Reactor) yakni uap
dihasilkan dari pembangkit uap sekaligus sebagai reaktor nuklir sedangkan
untuk tipe PWR uap dihasilkan dari pembangkit uap yang terdiri dari boiler
yang dilengkapi dengan reaktor nuklir sebagai pemanas. Perbedaan antara PLTN
tipe BWR dan PWR ditunjukka seperti pada Gambar 2 dan 3 dibawah ini.
Gambar 1 :Perbandingan sistem pembangkit uap (steam generator). Pada pembangkit
listrik konvensional dan PLTN
Gambar 2 : PLTN tipe BWR
Gambar 3 : PLTN tipe PWR
Dampak Lingkungan Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fosil
1. Dampak terhadap Sumber Daya Alam (SDA).
Dengan meningkatnya kebutuhan energi listrik maka akan dibutuhkan
pembangunan pembangkit yang lebih banyak sehingga akan berakibat pada
eploitasi SDA yang semakin meningkat. Hal ini akan berdampak pada
menurunnya cadangan SDA yang ada. Sumber daya energi khususnya yang
tidak terbarukan seperti minyak, gas, batu-bara (energi fosil) semakin lama akan
terus berkurang sesuai dengan pemakaian yang terus meningkat. Hal ini akan
menimbulkan krisis energi dikemudian hari khususnya untuk generasi yang akan
datang. Data cadangan energi terbukti di Indonesia menunjukkan bahwa energi
minyak tinggal 10 th, Gas 30 th, dan Batu-bara 146 tahun, dengan asumsi
cadangan terbukti tetap dan tidak ada peningkatan produksi. Ini berarti bahwa
setelah kurun waktu tersebut maka mau tidak mau Indonesia harus mengimpor
sumber energi dari luar
Kebijakan diversifikasi energi primer yang selama ini telah dilakukan
khususnya terhadap ketergantungan akan minyak bumi telah menurunkan
konsumsi pemakaian minyak dari 88% pada tahun 1970 menjadi 57,2% pada
tahun 2000. Namun demikian diversifikasi ini masih mengandalkan sumber
energi fosil yang lain yakni penggunaan gas dan batubara yang mulai
diintensifkan hingga meningkat dari 6% menjadi 27,2% untuk gas dan 1%
menjadi 10,1 % untuk batubara pada kurun waktu tersebut. 4) Hal ini tentunya
juga akan mengurangi keterbatasan cadangan energi gas dan batubara yang ada.
Penggunaan bahan bakar nuklir relatif sangat kecil dibandingkan
penggunaan bahan bakar batubara maupun bahan bakar fosil yang lain untuk
pembangkit listrik dengan daya yang sama. Selain itu dari sisi operasional
kelebihan pembangkit tenaga nuklir adalah dapat dioperasikan terus menerus
selama satu tahun tanpa mengganti dengan bahan bakar yang baru. Dengan
demikian akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam yang ada.
2. Dampak Terhadap Lingkungan
Gas CO2, limbah gas CO2 yang dihasilkan dari suatu pembangkit listrik
fosil adalah Gas CO2 yang merupakan salah satu golongan gas rumah kaca. Efek
gas rumah kaca ini akan menyebabkan radiasi sinar infra merah dari bumi akan
kembali ke permukaan bumi karena tertahan oleh gas rumah kaca. Hal ini lah
yang menyebabkan terjadinya pemanasan global pada bumi. Pemanasan global
pada bumi ini akan menimbulkan dampak turunan yang lebih panjang yakni
mencairnya gunung-gunung es di kutub, meningkatnya suhu permukaan bumi,
meningkatnya suhu air laut, menungkatnya tinggi permukaan laut, kerusakan
pantai karena meningkatnya abrasi laut, dan hilangnya pulau-pulau kecil karena
abrasi air laut.
Data tahun 2002 menunjukkan suhu permukaan bumi di dunia naik
sekitar (0,6 ± 0,2) °C selama 100 tahun terakhir (IPCC, 2002). Tinggi air
permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm atau sekitar 1-2
mm/tahun selama abad 20 (IPCC,2002). Untuk Indonesia sendiri dampak yang
paling jelas dirasakan adalah adanya kenaikan suhu bumi yang mencapai 0,54
°C dari tahun 1950-2000, sedangkan untuk Jakarta pada Februari 2007 suhu
udara mengalami kenaikan yang biasanya normal 30-33 oC menjadi 37oC
(Kompas, 2 Juni 2007).
Gas SO2 dan NOx
Gas Sulfur Oksida (SO2) dan Nitrogen Oksida (NOx) adalah termasuk
limbah gas yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Fosil. Dua jenis
limbah ini merupakan sumber deposisi asam. Pencemar yang bersifat asam ini
akan turun dari atmosfer kepermukaan bumi dengan cara basah dan kering yang
disebut dengan deposisi basah dan deposisi kering. Deposisi basah terjadi jika
zat yang bersifat asam larut melalui air hujan, salju, dan kabut sebelum turun
kepermukaan bumi. Deposisi kering terjadi jika zat yang bersifat asam berupa
butiran-butiran halus yang diterbangkan oleh angin kemudian turun ke bumi.
Prospek PLTN Sebagai Sumber Energi Nasional
Mengingat situasi penyediaan (supply) energi konvensional dimasa
mendatang semakin tidak seimbang dengan kebutuhan (demand), maka opsi
nuklir dalam perencanaan sistem energi nasional jangka panjang merupakan
salah satu solusi yang diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam masalah
penyediaan energi khususnya listrik di Indonesia.
Beberapa hal yang masih menjadi ganjalan dalam program PLTN di
Indionesia adalah masih adanya isu dimasyarakat yang menyebabkan
kekhawatiran dan keraguan dalam menuju era nuklir di Indonesia. Beberapa isu
penting yang sering muncul dikalangan masyarakat tersebut adalah
permasalahan yang berkaitan dengan:
1. Keselamatan PLTN
2. Penanganan limbah nuklir
3. Dampak radiasi terhadap lingkungan.
Konsep sistem keselamatan yang dianut dalam PLTN untuk menjaga
agar zat radioaktif yang terkandung didalam reactor tidak menyebar
kelingkungannya adalah konsep Pertahanan Berlapis (defence indepth). Konsep
pertahanan berlapis ini adalah: Pencegahan timbulnya kondisi abnormal.
Sebagai pertahanan lapis pertama, yaitu “pencegahan kondisi abnormal
yang harus diimplementasikan sejak perancangan system dan komponen”.
Sistem dan komponen reaktor harus memenuhi prosedur administrasi dan
jaminan kualitas.
Untuk mencegah terjadinya kesalahan operasi dan prosedur yang
membawa pengaruh sangat besar pada keselamatan reaktor harus digunakan
material yang berkualitas tinggi dan andal, sehingga dapat diwujudkan sistem
fail-safe dan system interlock. Yang disebut fail-safe adalah jika sistem
mengalami kerusakan sebagian, system pengaman akan bekerja otomatis.
Contoh pada system batang kendali yang jika terjadi abnormalitas maka akan
bergerak secara otomatis dengan gaya gravitasi.
Sedangkan yang disebut dengan sistem interlock adalah sistem yang
dapat secara otomatis mengunci untuk mencegah suatu tindakan seorang
operator yang dapat menyebabkan kondisi abnormal/kecelakaan.
Pencegahan berkembangnya kondisi abnormal menjadi kecelakaan.
Sebagai pertahanan keselamatan lapis kedua, yaitu ” pencegahan
berkembangnya kondisi abnormal menjadi kecelakaan”. Ini berari kondisi
abnormal harus dicegah perkembangannya, misalnya menemukan abnormalitas
secara cepat, dan jika telah terjadi kondisi abnormal, agar tidak berkembang
lebih jauh harus dilakukan perlakuan khusus, misalnya reaktor harus dimatikan.
Sebagai contoh kasus misalnya oleh karena suatu sebab tekanan didalam reaktor
meningkat dengan tiba-tiba harus segera dilakukan pemeriksaan segera dan
secara otomatis batang kendali disisipkan kedalam teras reaktor, sehingga
reaktor dipaksa untuk berhenti.
Pencegahan pelepasan zat radioaktif ke lingkungan.
Sebagai pertahanan lapis ketiga, yaitu “pencegahan pelepasan zat
radioaktif ke lingkungan”. Ini berarti jika terjadi kecelakaan yang sama sekali
tidak terduga lingkungan tidak boleh terkontaminasi oleh zat radioaktif bahkan
jangan sampai terjadi anomali radioaktifitas pada lingkungan. Hal ini dapat
terjadi dengan adanya sistem pendingin darurat, pengungkung/bejana reactor
yang mencegah dan menghambat pelepasan zat hasil fisi ke lingkungan.
Dalam pencegahan terhadap penyebaran zat radioaktif ke lingkungan
pada PLTN terdapat sistem penghalang ganda (multiple barrier). Masing-masing
penghalang tersebut adalah :
1. Pelet/ pil bahan bakar. Perlakuan khusus dilakukan terhadap pelet
bahan bakar sedemikian rupa sehingga dapat menahan zat radioaktif hasil-hasil
fisi agar tetap berada dalam pelet.
2. Kelongsong bahan bakar. Pipa kelongsong bahan bakar dirancang agar
dapat menahan zat radioaktif yang keluar dari pellet bahan bakar, terutama zat
radioaktif dalam bentuk gas.
3. Penampung air pendingin. Zat radioaktif yang terlepas dari
kelongsong, terutama pada kondisi operasi abnormal, akan terlarut dalam air
pendingin. Tetapi zat ini akan tetap terhalang untuk keluar dari pendingin karena
adanya sistem penampungan air pendingin berupa pipa, bejana, dan lain
sebagainya.
4. Gedung pengungkung reactor. Apabila dalam suatu kondisi, zat
radioaktif dapat keluar dari penghalang ketiga, maka zat tersebut masih tetap
terjaga dan berada dalam struktur gedung pengungkung yang biasanya
mempunyai tekanan udara yang dijaga agar selalu lebih rendah dari pada
tekanan udara dilingkungan sekitarnya.
5. Daerah/zona eksklusif. Disekitar PLTN terdapat daerah/zona yang
kosong dan tidak dihuni penduduk. Radius zona ekslusif ini telah diperhitungkan
secara seksama seaman mungkin. Dengan demikian apabila terdapat zat
radioaktif yang terlepas dari pengungkung gedung reactor, maka zat tersebut
tetap berada pada zona ekslusif yang tidak bependuduk. Dengan demikian tidak
terjadi dampak langsung terhadap masyarakat disekitar PLTN jika terjadi
pelepasan zat radioaktif dari pertahanan lapis ke empat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum keselamatan
reaktor menduduki standard yang paling tinggi. Limbah radioaktif/limbah nuklir
pada dasarnya akan mengalami peluruhan dengan memancarkan radiasi yang
secara berangsur-angsur akan turun dengan sendirinya. Teknologi pengolahan
limbah radioaktif telah diterapkan dengan prinsip pengurangan volume,
imobilisasi dengan sementasi dan penyimpanan lestari di tempat yang aman
dengan sistem pengungkung radiasi. Limbah radio aktif dari PLTN yang berupa
bahan bakar bekas hanya muncul dalam waktu yang lama +/- 1 tahun sehingga
penanganannya lebih efisien.
Hasil Riset di Amerika dengan judul “ Radiological Impact of Airborne
Effluents of Coal and Nuclear Plants” oleh JP. McBride, RE. More, dan lain-
lain menyimpulkan bahwa
1. Dampak radiasi masyarakat yang tinggal dekat PLTU batubara
menerima dosis paparan radiasi yang lebih tinggi dari pada yang tinggal
dekat PLTN
2. Kandungan Thorium dalam batubara 2,5 kali lebih besar dari Thorium
dalam Uranium.
3. Populasi Doses Equivalen Efektif pada PLTU 100 kali dari pada
PLTN.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahaya radiasi PLTN dalam
kondisi operasi normal sangatlah tidak berarti dan tidak perlu dikhawatirkan
karena lebih aman dari pada PLTU yang sudah banyak beroperasi di Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Kebutuhan energi listrik di Indonesia terus meningkat sesuai dengan
perkembangan industri dan hasil kajian menunjukkan bahwa pada tahun 2025
akan menjadi 4 kali lipat dibanding pada tahun 2000.
Energi fosil merupakan energi yang tak terbaharukan, dan dalam
penggunaannya sebagai sumber energi listrik akan memiliki dampak terhadap
sumber daya dan lingkungan.
Menipisnya cadangan sumber daya, dampak pemanasan global, hujan
asam, dan dampak-dampak turunan yang lain seperti gelombang pasang,
perubahan iklim, kerusakan lingkungan, sampai melonjaknya harga minyak dan
lain-lain akan menjadi permasalahan serius dimasa mendatang.
PLTN menjadi salah satu solusi dan mempunyai prospek sebagai sumber
energi listrik dimasa mendatang untuk mencegah dan mengurangi dampak
penggunaan energi fosil.
Daftar Pustaka
Finahari, Ida Nuryatin. 2007. Potensi, Dampak dan Pengendalian Emisi gas
CO2 dari pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fosil. Presentasi Ilmiah
Peneliti Madya: Batan , Jakarta.
Harjanto, Nur Tri. 2008. Dampak Lingkungan Pusat Listrik Tenaga Fosil Dan
Prospek PLTNn Sebagai Sumber Energi Listrik Nasional. Pusat
Teknologi Bahan Bakar Nuklir, BATAN.
Soedyartomo Soentono, Dr, M.Sc. 2003. “Opsi Nuklir Dan Keselamatan PLTN”
Seminar Nasional Ke IX Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta
Fasilitas Nuklir: Jakarta.
WWF Indonesia. 2008. Lepas dari Ketergantungan Bahan Bakar Fosil (diakses Kamis, 15 Juni 2012).