Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA
ANAK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Gabriela Elisabeth Edawani
129114041
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN MOTTO
“And now here is my secret, a very simple secret: It is only with the heart that one
can see rightly. What is essential is invisible to the eye.” - Antoine de Saint-
Exupéry
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk:
Mama dan Papa yang selalu ada, yang takkan kulupa.
Piter, yang selalu jadi temanku bertumbuh dan bertambah dewasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERSEPSI IBU DI FLORES TERHADAP BERPIKIR KRITIS PADA ANAK
Gabriela Elisabeth Edawani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak, khususnya bagaimana ibu memahami dan menilai berpikir kritis pada anak, yang meliputi kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis isi kualitatif sebagai metode analisis data. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah Focus Group Discussion, yang melibatkan 22 orang ibu dari tiga daerah di Larantuka, Flores Timur, yang berpartisipasi dalam tiga kelompok FGD yang berbeda. Kredibilitas penelitian ini dapat dilihat dengan mengklarifikasi bias, membangun kepercayaan partisipan, melakukan thick description dan melakukan FGD pada tiga kelompok partisipan yang berbeda, memastikan tidak adanya pergeseran kode, mengarsip data-data yang diperoleh, serta melakukan beberapa try out sebelum mengambil data yang sebenarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ibu di Flores memiliki pemahaman yang cukup luas dan mencakup hampir semua kategori berpikir kritis, baik dalam hal kemampuan maupun disposisi berpikir kritis. Walaupun begitu, penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak masih mengandung kontradiksi antara penilaian positif dan negatif. Beberapa ibu juga masih ragu-ragu dalam menentukan penilaian. Bila dibandingkan, kemampuan berpikir kritis pada anak cenderung dinilai secara positif, sedangkan disposisi berpikir kritis pada anak lebih banyak dinilai secara negatif oleh para ibu di Flores.
Kata kunci: berpikir kritis, anak, persepsi, ibu, Flores, budaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
MOTHER’S PERCEPTION TOWARDS CRITICAL THINKING ON CHILDREN IN FLORES
Gabriela Elisabeth Edawani
ABSTRACT
This research aimed to reveal the perception of mothers in Flores towards critical thinking in children, especially their understanding and judgment on this particular subject, whichincludes the skills and dispositions of critical thinking in children. This is a qualitative research that used qualitative content analysis as the data analysis method. The method used to collect the data is Focus Group Discussion, involving 22 mothers from 3 regions in Larantuka, East Flores, who participated in three different Focus Group Discussion sessions. This research’s credibility was based on the researcher’s efforts to clarify biases, built participant’s trust, employed thick description and collecting the data from three different groups. The researcher also made sure that there’s no change of the coding’s meaning, archived all collected data, and employed several try outs before taking the real data. The results showed that mothers’ understanding of critical thinking in children is quite comprehensive and included almost every category of critical thinking skill and disposition that the experts had made. Nevertheless, the mother’s judgment towards critical thinking in children still contains contradiction between positive and negative judgments.Some mothers are still in doubt of deciding whether critical thinking in children is evaluated positively or negatively. If compared, critical thinking skill in children tends to be perceived positively, while critical thinking disposition tends to be viewed negatively.
Keywords: critical thinking, child, perception, mother, Flores, culture.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas berkat dan kasih karunia-Nya kepada
peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Peneliti
berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.
Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan YME yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga
akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama
penulisan skripsi ini.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma
4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya., selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi dari
tahap ke tahap.
5. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah mendampingi proses kuliah dari awal hingga akhir, memberikan
nasihat-nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi. dan ibu Diana Permata Sari, M.Sc., yang telah
memberikan banyak masukan-masukan yang berarti demi mengembangkan
dan memperbaiki skripsi yang telah saya buat ini.
7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia
psikologi.
8. Mama, Papa, dan Piter yang selalu mendukung, mendorong, dan mendoakan
dalam proses hingga skripsi ini selesai. Terima kasih, terima kasih, terima
kasih. I love you beyond words. Takkan kulupa :)
9. Agatha, Melani, dan Rezky yang selalu setia menghadapi aku dan
kerumitanku, dan juga semua teman-teman di Fakultas Psikologi Sanata
Dharma yang sudah memberi dorongan, selalu mengingatkan, mendukung
dan menyemangati selama berkuliah dan selama mengerjakan skripsi.
Terimakasih!
10. Teman-teman satu bimbingan skripsi “Anak-anak Profesor” yang sangat
suportif dan gayeng! Bangga bisa punya kelompok bimbingan yang bisa
seperti kalian! Khususnya untuk Ci Vania dan Ka Pika, juga Reka, Rikjan,
Lenny, Raras, Mba Maria dan Mas Tama, dan semua anggota geng yang
sudah sering sekali saya repotkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan
kebingungan saya. Thank you dan semangat untuk yang masih berjuang!
11. Untuk Om Oncu, Mama Oa, dan Tanta Eda yang sudah ikut sibuk dalam
penelitian ini, dan tentunya untuk semua Om Tanta, Kaka Ade, Opa Oma dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
semua keluarga di Larantuka yang selalu mendukung dengan tulus dan penuh
kasih. Saya sangat bersyukur punya kalian semua. You are my new home.
12. Untuk Opa Ulen dan Opa Bence yang sudah jadi narasumber yang spesial dan
memberi pandangan-pandangan luar biasa mengenai Lamaholot dan Flores
Timur. I’m so proud beyond words.
13. Untuk Opa Inyo Fernandez, yang sejak awal proses skripsi sudah memberi
dukungan dan dorongan yang sangat berharga untuk Elni, dan berdiskusi
serta memberi masukan mengenai budaya dan perkembangan di Flores
Timur. Juga untuk Tante Marni yang selalu hadir dengan tangan terbuka dan
membantu ketika Elni kesulitan. Thank you, thank you, I’m forever thankful!
14. Semua ibu di Larantuka yang sudah bersedia diajak berdiskusi dan berbagi,
terimakasih untuk semua cerita yang berkesan, terimakasih untuk kesediaan
dan keterbukaannya. Tanpa Tanta semua, skripsi ini tidak berjalan.
Terimakasih!
15. Untuk teman-teman berkesenian dalam musik maupun seni rupa, teman-
teman di Sadharjazz, Jazz Mben Senen, teman-teman ngeband di sana sini,
teman-teman melukis dan berburu event dari berbagai tempat. Terimakasih
untuk kesempatan dan semua pembelajarannya. Tanpa kalian semua, saya
pasti sudah menjadi zombie yang menyeret langkah tanpa nyawa. ;)
16. Untuk keluarga UKM Taekwondo Sanata Dharma baik yang masih aktif
maupun yang sudah veteran. Sekali keluarga tetap keluarga! <3
17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah
membantu dan memberikan dukungan selama ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang
disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA........................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.. ix
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 10
1. Manfaat Teoritis ............................................................................... 10
2. Manfaat Praktis ................................................................................ 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
3. Manfaat Kebijakan ........................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 12
A. Berpikir Kritis....................................................................................... 12
1. Definisi Berpikir Kritis .................................................................... 12
2. Komponen-komponen Berpikir Kritis ............................................. 13
B. Berpikir Kritis pada Anak..................................................................... 20
C. Persepsi Orangtua Terhadap Berpikir Kritis pada Anak....................... 23
D. Orangtua di Flores ................................................................................ 26
E. Kerangka Konseptual ........................................................................... 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 31
A. Jenis dan Desain Penelitian .................................................................. 31
B. Fokus Penelitian ................................................................................... 32
C. Partisipan .............................................................................................. 33
D. Peran Peneliti........................................................................................ 35
E. Metode Pengambilan Data.................................................................... 36
1. Protokol Observasi........................................................................... 37
2. Protokol FGD................................................................................... 38
3. Perekaman Data ............................................................................... 39
F. Analisis dan Interpretasi Data .............................................................. 40
G. Kredibilitas Penelitian .......................................................................... 43
H. Isu-Isu Etis yang Mungkin Muncul ...................................................... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 47
A. Pelaksanaan Penelitian dan Observasi.................................................. 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
B. Hasil Penelitian..................................................................................... 49
1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ...................... 49
2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ........................... 58
3. Temuan-temuan Tambahan............................................................... 63
C. Pembahasan .......................................................................................... 71
1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ...................... 71
2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak ........................... 76
BAB V PENUTUP................................................................................................ 82
A. Kesimpulan........................................................................................... 82
B. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 85
C. Saran ..................................................................................................... 86
1. Bagi Peneliti Selanjutnya.................................................................. 86
2. Bagi Para Ibu .................................................................................... 86
3. Bagi Pemerintah atau Instansi Terkait .............................................. 87
DAFTAR ACUAN ................................................................................................ 88
LAMPIRAN.......................................................................................................... 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Diri Partisipan ..................................................................................34
Tabel 2. Protokol FGD ...........................................................................................38
Tabel 3. Kriteria Koding.........................................................................................41
Tabel 4. Ringkasan Hasil FGD...............................................................................70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Penelitian ..................................................................................30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Protokol Observasi................................................................91
Lampiran 2. Contoh Informed Consent..................................................................92
Lampiran 3. Contoh Lembar Identitas ...................................................................93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini, berpikir kritis menjadi semakin penting untuk
dimiliki setiap orang. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga perlu dilatih dan
diajarkan untuk berpikir kritis. Salah satu alasannya adalah kehadiran informasi
yang kini membombardir kita melalui media dan teknologi yang berkembang
sangat pesat dan semakin mudah diakses bahkan oleh anak-anak, misalnya
pornografi atau media yang mengandung unsur kekerasan yang dapat diperoleh
melalui internet ataupun layar televisi. Apabila tidak berhati-hati, anak-anak dapat
mengalami kecanduan pornografi, terpengaruh konten-konten kekerasan yang
banyak ditemui di media, ataupun terjerumus ke dalam kejahatan yang berbasis
online. Bahkan menurut data yang diambil oleh Komisi Perlindungan Anak
Indonesia sejak tahun 2011 hingga 2014, dalam kurun waktu empat tahun ini saja,
jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia telah mencapai
1.022 anak (Setyawan, 2015). Mengingat urgensi dari permasalahan ini, langkah
yang perlu dilakukan adalah memberi anak-anak dasar yang kuat, sehingga
mampu memilah informasi yang baik dan yang buruk. Salah satu dasar yang
dimaksud adalah berpikir kritis.
Berpikir kritis adalah berpikir yang reflektif, masuk akal, dan berfokus
untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan (Ennis, 2011).
Berpikir kritis mencakup sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-
masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, serta
keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam
Fisher, 2001). Berpikir kritis termasuk salah satu higher order thinking atau
proses berpikir tingkat tinggi dan tidak sama dengan kemampuan-kemampuan
maupun proses kognitif yang sederhana (Nieto & Saiz, 2011). Orang yang
berpikir kritis tidak hanya menerima secara pasif informasi yang masuk, tapi juga
memproses apa yang diterima tersebut sehingga dapat menentukan apa yang akan
diyakini dan dipercaya.
Berpikir kritis terdiri dari kemampuan berpikir kritis dan disposisi berpikir
kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir
kritis. Dari hasil konsensus 46 ahli dalam penelitian dengan teknik Delphi tentang
Keterampilan dan Sub-Keterampilan dasar Berpikir Kritis, disepakati bahwa
kemampuan berpikir kritis terdiri dari 6 komponen, yaitu kemampuan
menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan inferensi,
mengeksplanasi, serta melakukan swa-regulasi. Kemampuan menginterpretasi
adalah kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan arti atau signifikansi
dari suatu hal. Kemampuan menganalisis adalah kemampuan mengamati ide-ide
dan mengidentifikasi bagian-bagian serta relasi-relasi antar bagian tersebut.
Kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan untuk memeriksa kredibilitas
dan kekuatan logis dari pernyataan, klaim, argumen, atau bentuk representasi lain.
Kemampuan melakukan inferensi mengacu pada kemampuan untuk menarik
kesimpulan, memikirkan alternatif-alternatif, serta menemukan bukti-bukti yang
dibutuhkan untuk menarik kesimpulan tersebut. Kemampuan mengeksplanasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
adalah kemampuan menyatakan argumen dan hasil penalaran beserta prosedur
yang dilakukan. Sedangkan kemampuan untuk melakukan swa-regulasi berarti
kemampuan untuk memeriksa penalaran diri dan melakukan koreksi apabila
ditemui suatu kesalahan (Facione, 1990).
Disposisi berpikir kritis menurut Facione, Facione dan Giancarlo (2000)
adalah motivasi internal yang konsisten untuk menggunakan kemampuan berpikir
kritis dalam rangka menentukan apa yang akan dipercaya atau dilakukan.
Terdapat sejumlah disposisi berpikir kritis yang telah diungkapkan para ahli
(Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy, Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999)
yang dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok besar, yaitu kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk
menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis.
Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah adalah kecenderungan untuk
bersikap objektif dan terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Sikap
ingin tahu mencakup keinginan untuk berpengetahuan luas, kecenderungan untuk
selalu bertanya serta ingin tahu bagaimana hal-hal bekerja. Kecenderungan untuk
menggunakan penalaran adalah disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa bukti,
senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan
keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan
penalaran. Sedangkan kecenderungan berpikir yang sistematis merupakan
disposisi untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan teratur.
Kedua komponen ini, baik kemampuan maupun disposisi, perlu dimiliki
seseorang agar dapat berpikir kritis. Nieto dan Saiz (2011) menyatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
selama bertahun-tahun, asesmen dan pengajaran berpikir kritis hanya difokuskan
pada peningkatan kemampuan berpikir kritis, namun belakangan ini sudah mulai
muncul pendapat dari para ahli bahwa penguasaan kemampuan berpikir kritis saja
tidak menjamin seseorang untuk berpikir kritis. Seseorang bisa saja memiliki
kemampuan untuk berpikir kritis, namun belum tentu ia akan menggunakannya
apabila tidak memiliki disposisi sebagai komponen afektif dari berpikir kritis.
Para ahli melalui penelitian dengan teknik Delphi menyatakan bahwa
kemampuan maupun disposisi berpikir kritis seharusnya diajarkan sejak masa
kanak-kanak awal (Facione, 1990). Menurut Chandra (2008), saat yang paling
tepat untuk mendorong pola pikir kritis adalah saat-saat dini di mana anak masih
berada dalam periode yang krusial dan formatif dari pertumbuhan kognitif
mereka. Ia juga mengungkapkan bahwa ide untuk mendorong berpikir kritis
bahkan pada anak-anak berusia di bawah lima tahun bukanlah sesuatu yang baru,
dan banyak penelitian telah menunjukkan bahwa berpikir kritis sudah ada pada
anak-anak dengan usia muda. Karena itulah, berpikir kritis perlu diajarkan dan
dilatih sejak usia dini, bahkan sebelum anak mulai bersekolah. Terlebih lagi,
anak-anak masih seperti kanvas kosong yang dengan cepat menerima apa yang
diajarkan secara langsung maupun tidak langsung kepada mereka. Selain itu,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anak-anak pada masa ini sudah
membutuhkan berpikir kritis dalam menghadapi informasi yang membombardir
anak di dunia teknologi ini. Apabila melalui proses pengasuhan kebiasaan atau
perilaku berpikir kritis tidak ditanamkan sejak kecil, atau justru dihambat serta
dianggap tabu dan tidak sopan, hal ini dapat terbawa oleh anak hingga dewasa dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
nantinya akan sulit untuk diubah. Di sinilah peran orang tua, khususnya ibu
sebagai caregiver dan pendidik anak di usia awal sangat besar. Ibu di Indonesia
pada umumnya lebih banyak mengasuh dan mendidik anak serta lebih banyak
menghabiskan waktu bersama anak, terutama ketika anak berusia dini, apabila
dibandingkan dengan ayah. Namun pertanyaannya adalah, apakah para ibu
memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang berpikir kritis, serta apakah ibu
menilai berpikir kritis sebagai hal yang baik atau justru menganggapnya sebagai
hal yang buruk? Pandangan yang dimiliki ibu, yang meliputi bagaimana ibu
memahami mengenai berpikir kritis serta bagaimana ibu memberi penilaian
terhadap berpikir kritis pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dan
penerapannya dalam pengasuhan, yang pada akhirnya menentukan apakah mereka
mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuan
berpikir kritis anak. Pemahaman dan penilaian ibu tersebut dapat didalami lebih
jauh melalui persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.
Sudah banyak penelitian yang dilakukan terkait dengan berpikir kritis,
namun penelitian-penelitian yang dilakukan pada umumnya masih lebih terfokus
pada dunia pendidikan, seperti penelitian Richmond (2007), yang membahas
bepikir kritis dalam dunia pendidikan di negara-negara berkembang. Ia melakukan
eksperimen tentang bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir kritis pelajar
di negara berkembang, dan meneliti bagaimana kesadaran terhadap kebutuhan
berpikir kritis beserta halangan-halangan yang ditemui. Terdapat juga penelitian
dari Lun (2010) yang membahas bagaimana berpikir kritis pada mahasiswa di
universitas dipengaruhi oleh budaya, khususnya budaya kolektif di Asia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Penelitian-penelitian yang dilakukan juga lebih banyak melihat berpikir
kritis dengan anak sebagai fokusnya, bukan pada orang tua yang sebenarnya
berperan penting untuk membentuk kemampuan berpikir kritis anak. Padahal
menurut Seitz dan Provence (1990, dalam Duncan & Magnuson, 2004), intervensi
yang berfokus langsung pada orang tua akan memberi hasil yang efisien,
mengingat orang tua berperan sebagai pendidik pertama dan terbaik bagi anak.
Walaupun begitu, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chandra (2008),
yang mengungkap perkembangan berpikir kritis pada anak berusia 4 sampai 5
tahun beserta program yang dapat diterapkan bagi ibu untuk dapat menciptakan
interaksi yang mendukung pola pikir kritis anak di Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa anak-anak dengan usia sangat muda sudah menunjukkan
komponen kognitif maupun afektif dari berpikir kritis, serta bahwa program
intervensi yang diberikan pada ibu sebagai caregiver utama bagi anak, dapat
meningkatkan perkembangan berpikir kritis pada anak. Penelitian ini
menyarankan peneliti selanjutnya untuk mengambil sampel yang lebih luas atau
dari setting atau konteks yang berbeda, mengingat penelitian ini hanya melibatkan
para partisipan yang berdomisili di Jakarta. Selain itu, ia juga menyarankan agar
peneliti selanjutnya lebih mendalami kesiapan para ibu di Indonesia untuk terlibat
dalam usaha-usaha meningkatkan pola pikir kritis anak, agar selanjutnya
informasi ini dapat digunakan untuk mendukung intervensi yang diterapkan pada
orang tua.
Akan tetapi, peneliti belum pernah menemukan penelitian yang mendalami
kesiapan ibu untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat salah satunya melalui bagaimana ibu
memahami dan menilai berpikir kritis pada anak. Penelitian yang membahas
anggapan masyarakat dalam budaya Indonesia terhadap berpikir kritis memang
sudah pernah dilakukan, misalnya penelitian Chandra (2004) tentang berpikir
kritis pada budaya Jawa, Batak Toba, dan Minangkabau. Penelitian ini melihat
nilai-nilai apa saja yang dianggap penting atau diinginkan dalam masing-masing
budaya dan pandangan atau praktik apa saja dalam budaya tersebut yang dapat
mendukung maupun menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Akan
tetapi, penelitian ini masih lebih berfokus pada masyarakat umum, bukan pada ibu
terkait pengasuhan terhadap anak. Penelitian ini memang mengungkap secara
singkat bagaimana orang tua di Indonesia merespon rasa ingin tahu dan perilaku
bertanya pada anak, namun hal ini tidak diteliti lebih lanjut dan mendalam.
Penelitian ini juga hanya menggunakan subjek dari para petinggi adat dan
kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga kurang menggambarkan
masyarakat awam atau mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Penelitian ini juga tidak mendalami hingga komponen-komponen kemampuan
maupun disposisi berpikir kritis.
Selain itu, kebanyakan penelitian yang telah diuraikan peneliti sebelumnya
dilakukan pada subjek di daerah Jawa dan Indonesia bagian Barat, dan sangat
jarang atau bahkan belum ada yang meneliti hal sejenis pada masyarakat di
Indonesia bagian Timur, misalnya daerah Flores, Nusa Tenggara Timur. Padahal
budaya, kebiasaan, serta nilai-nilai yang dianggap penting oleh ibu di Flores
tentunya memiliki perbedaan dengan daerah-daerah lain, mengingat tingginya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
keberagaman dan kebudayaan di antara daerah-daerah yang berbeda di Indonesia.
Budaya Lamaholot di Flores juga mendukung daya kritis melalui praktik
musyawarah yang demokratis, di mana terdapat anggapan bahwa pembicaraan
bersama mengawali segala kegiatan bersama (Hayon, 2008). Namun menurut
seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor, kekritisan yang sebenarnya dimiliki
orang-orang Flores seringkali tidak diekspresikan karena lingkungan
bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara, yang terbawa
hingga dewasa dalam kehidupan bermasyarakat (komunikasi pribadi, 25
November, 2016). Selain itu, tingkat ekonomi, pembangunan serta kualitas
pendidikan di Nusa Tenggara Timur masih tergolong rendah. Dengan berusaha
meningkatkan pola pikir kritis pada anak-anak sebagai generasi penerus,
masyarakat diharapkan dapat berkembang hingga mencapai tingkat yang lebih
baik, baik dalam hal pendidikan maupun kehidupan ekonomi dan sosial. Selain itu
pula, berdasarkan pengalaman dan pengamatan peneliti, masyarakat Flores
banyak yang bermigrasi ke kota-kota lain di luar pulau. Apabila tidak diimbangi
dengan pola pikir kritis, dikhawatirkan mereka akan kesulitan dalam mengambil
keputusan-keputusan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka di tanah
perantauan. Selain itu, hidup berdampingan dengan etnis lain juga dapat
menyebabkan konflik apabila tidak disertai pola pikir yang terbuka dan mau
melihat sudut pandang yang berbeda.
Melihat defisiensi-defisiensi tersebut, peneliti beranggapan bahwa perlu
dilakukan sebuah penelitian yang berfokus pada bagaimana ibu mempersepsikan
berpikir kritis pada anak, khususnya membahas bagaimana pemahaman dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
penilaian ibu terhadap hal tersebut. Penelitian ini akan melibatkan para ibu di
Flores yang sedang mengasuh anak berusia 3 hingga 5 tahun, yang terdiri dari
latar belakang yang berbeda-beda, misalnya dalam hal usia atau tingkat
pendidikan. Penelitian ini juga tidak hanya melihat berpikir kritis secara umum,
namun juga melingkupi komponen-komponen kemampuan maupun disposisi
berpikir kritis, yang diharapkan dapat memberi gambaran yang mendalam
mengenai persepsi ibu terhadap berpikir kritis pada anak.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?
Pertanyaan turunan:
a. Bagaimana pemahaman ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?
b. Bagaimana penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi persepsi orang tua, khususnya
para ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak. Melalui Focus Group
Discussion yang dilakukan terhadap para ibu yang sedang mengasuh anak
prasekolah (3-5 tahun), diharapkan penelitian ini dapat mengungkap bagaimana
ibu dengan latar belakang budaya Flores mempersepsikan perilaku berpikir kritis
pada anak, sehingga dapat memberi gambaran mengenai kesiapan para ibu di
Flores untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk berpikir
kritis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan di
bidang psikologi dan menambah wawasan kepustakaan yang cukup mendalam
mengenai persepsi orang tua di Indonesia terhadap berpikir kritis pada anak.
Selain itu, penemuan yang terkait dengan budaya dapat memberi wawasan baru
dalam bidang psikologi lintas-budaya, khususnya pada etnis Flores yang masih
memerlukan pembangunan dan pengembangan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
meningkatkan kualitas pengasuhan orang tua di Flores. Dengan mengetahui
tingkat pemahaman para ibu di Flores mengenai berpikir kritis pada anak serta
melihat apakah masih banyak pandangan negatif para ibu terhadap anak yang
berpikir kritis, dapat dirancang program intervensi atau sosialisasi yang dapat
meningkatkan pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada anak dan mengurangi
penilaian negatif yang dimiliki ibu, agar nantinya para ibu dapat menciptakan
lingkungan yang lebih kondusif pada anak untuk berpikir kritis.
3. Manfaat Kebijakan
Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu pengambilan kebijakan oleh
pemerintah, terutama pemerintah daerah Flores dalam bidang pendidikan dan
perkembangan anak. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar penyuluhan yang
dilaksanakan di sekolah-sekolah terhadap orang tua murid maupun langsung ke
berbagai lapisan masyarakat agar lebih memahami dan menyadari pentingnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
berpikir kritis pada anak, dengan tetap mempertimbangkan aspek budaya yang
terdapat dalam masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai berpikir kritis, dan
secara khusus berpikir kritis pada anak. Hal ini mencakup definisi dan komponen
berpikir kritis serta usia dimulainya berpikir kritis pada anak. Kemudian penulis
akan menjelaskan mengenai persepsi orang tua serta pandangan orang tua di
Indonesia pada umumnya terhadap berpikir kritis, khususnya berpikir kritis pada
anak. Penulis juga akan menggambarkan secara singkat karakteristik orang tua di
Flores beserta budaya Lamaholot yang terkait dengan berpikir kritis maupun
pengasuhan pada anak, sebelum akhirnya menjabarkan kerangka konseptual dari
penelitian ini.
A. Berpikir Kritis
1. Definisi Berpikir Kritis
Critical thinking atau berpikir kritis adalah berpikir yang masuk akal dan
reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau
dilakukan (Ennis, 2011). Berpikir kritis juga dijelaskan sebagai: (a) sikap mau
berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada
dalam jangkauan pengalaman seseorang; (b) pengetahuan tentang metode-metode
pemeriksaan dan penalaran yang logis; serta (c) keterampilan untuk menerapkan
metode-metode tersebut (Glaser, 1941, dalam Fisher, 2001).
Fisher (2001) menjelaskan bahwa berpikir kritis berbeda dengan berpikir
tidak reflektif, jenis berpikir di mana kita langsung mengarah ke kesimpulan, atau
menerima beberapa bukti, tuntutan atau keputusan begitu saja, tanpa sungguh-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
sungguh memikirkannya. Hal ini dapat disebut sebagai cara berpikir yang pasif,
berlawanan dengan cara berpikir kritis yang aktif mencari bukti-bukti,
mempertanyakan, dan sebagainya. Dijelaskan pula bahwa berpikir kritis
merupakan aktivitas yang membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu,
misalnya kemampuan menginterpretasi dan mengevaluasi, memikirkan asumsi-
asumsi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan, serta menarik
implikasi-implikasi dalam memikirkan dan memperdebatkan isu-isu. Fisher juga
mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis meyakini bahwa terdapat
situasi-situasi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks tertentu,
yang perlu dihadapi dengan pemikiran yang kritis dan reflektif, sehingga ia akan
cenderung menerapkan berpikir kritis pada situasi-situasi tersebut. Hal-hal ini
mengarah pada dua komponen dari berpikir kritis, yaitu kemampuan dan
disposisi.
2. Komponen-komponen Berpikir Kritis
Berpikir kritis terdiri atas dua komponen, yaitu: (a) skill atau kemampuan
berpikir kritis, serta (b) disposisi, kebiasaan, dan karakter kepribadian untuk
berpikir kritis (Nieto & Saiz, 2011). Kennedy et al. (1991) mengungkapkan bahwa
kemampuan berpikir kritis merupakan komponen kognitif dari berpikir kritis,
sementara disposisi berpikir kritis merupakan komponen afektif, di mana
keduanya akan membentuk perilaku berpikir kritis yang diwujudkan pada diri
seseorang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, selama bertahun-tahun
pendekatan dalam berpikir kritis hanya ditekankan pada komponen kemampuan
saja. Padahal, baik kemampuan maupun disposisi sangat dibutuhkan. Tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
kemampuan berpikir kritis, seseorang belum tentu berkeinginan untuk berpikir
kritis, sedangkan hanya memiliki disposisi pun tidak cukup, karena walaupun
berkeinginan, individu tersebut tidak akan tahu cara berpikir kritis (Nieto & Saiz,
2011).
a. Kemampuan berpikir kritis
Dalam review yang dilakukan oleh Lai (2011) diungkapkan bahwa
terdapat banyak pendapat ahli mengenai kemampuan berpikir kritis. Para ahli
cenderung sependapat tentang kategori-kategori kemampuan apa saja yang
dimiliki orang yang berpikir kritis, yang meliputi kemampuan menganalisis,
melakukan inferensi, menilai, membuat keputusan atau menyelesaikan masalah,
kemampuan mengajukan dan menjawab pertanyaan untuk mengklarifikasi,
mendefinisikan istilah-istilah, mengidentifikasi asumsi-asumsi, menginterpretasi
dan menjelaskan, mengungkapkan penalaran secara verbal, memprediksi, dan
melihat kedua sisi dari suatu masalah (Ennis, 1985; Facione, 1990; Halpern, 1998;
Paul, 1992; Willingham, 2007; Case, 2005; Lipman, 1988; Tindal & Nolet, 1995;
Paul, 1992, dalam Lai, 2011). Penelitian dengan teknik Delphi pada tahun 1988
sampai 1989 yang melibatkan 46 ahli di bidang berpikir kritis telah
mengkategorikan kemampuan-kemampuan tersebut menjadi 6 kelompok
kemampuan, yaitu kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi,
melakukan inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi (Facione,
1990). Keenam kategori inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, karena
pengelompokan kategori yang komprehensif dan banyak digunakan oleh
kebanyakan jurnal yang membahas tentang berpikir kritis. Bahkan kategori ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
digunakan untuk membuat alat tes dalam hal kemampuan berpikir kritis (Facione,
2013). Kemampuan-kemampuan ini pada hakikatnya merupakan proses-proses
kognitif yang dijelaskan dalam taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2000).
Namun dalam taksonomi Bloom, kategori-kategori ini diterapkan dalam berbagai
konteks yang bersifat umum, sedangkan dalam teori berpikir kritis hanya
dikhususkan pada argumen, klaim, pemikiran dan bentuk representasi lainnya.
Keenam kategori ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Menginterpretasi. Secara umum kemampuan ini diartikan sebagai
kemampuan untuk menafsirkan dan memaknai informasi yang diterima.
Menginterpretasi berarti mengubah dari suatu bentuk representasi ke dalam
bentuk representasi lain (Anderson & Krathwohl, 2000). Kemampuan ini juga
mencakup kemampuan seseorang untuk memahami dan mengungkapkan arti atau
signifikansi dari suatu hal, dengan mendeskripsikan dan mendefinisikan suatu hal,
menyebutkan, mengartikan, memahami makna tersirat maupun tersurat dari suatu
pernyataan, mengelompokkan suatu hal dalam suatu kategori tertentu, serta
memparafrasekan suatu informasi dengan kata-kata sendiri atau dengan bentuk
ungkapan lain (Facione, 1990). Kemampuan menginterpretasi ini berbeda dari
sekadar mengerti dan memahami suatu hal, di mana terdapat penekanan pada
aktivitas memaknai atau menafsirkan suatu hal berdasarkan pemahaman atau
skema tertentu yang dimiliki seseorang.
2) Menganalisis. Kemampuan ini melibatkan aktivitas mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan, argumen-argumen, ide-ide, serta elemen-elemen
yang tersirat maupun tersurat dalam suatu pernyataan atau argumen dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
menguraikan serta menganalisis elemen-elemen tersebut (Facione, 1990). Hal ini
sejalan dengan pengertian menganalisis secara umum, yaitu menguraikan suatu
hal menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-relasinya
(Anderson & Krathwohl, 2000). Misalnya, mampu mengidentifikasi pernyataan-
pernyataan yang mendukung atau menentang suatu opini penulis dalam suatu
paragraf, mencermati usulan-usulan terkait suatu masalah dan menelaah
persamaan-persamaan maupun perbedaan-perbedaannya, atau menentukan mana
yang menjadi kesimpulan utama, klaim-klaim pendukung, atau elemen-elemen
lain dalam suatu argumen (Facione, 1990).
3) Mengevaluasi. Mengevaluasi berarti membuat penilaian berdasarkan
kriteria dan standar tertentu (Anderson & Krathwohl, 2000). Standar dan kriteria
yang dimaksud di sini adalah kualitas dan kredibilitas atau seberapa suatu
pernyataan atau argumen dapat dipercaya, serta kekuatan logis yang dimilikinya
(Facione, 1990). Dalam berpikir kritis, objek yang dinilai dan dievaluasi dapat
berupa klaim, argumen, pernyataan-pernyataan, atau bentuk representasi dari
persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan, atau opini seseorang.
4) Melakukan inferensi. Kemampuan melakukan inferensi adalah
kemampuan untuk menarik kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi, dan
hipotesis dari informasi yang ada (Facione, 1990). Dalam melakukan inferensi,
seseorang harus dapat menemukan pola-pola dari serangkaian data atau informasi
yang tersedia (Anderson & Krathwohl, 2000). Inferensi mencakup kemampuan
untuk menarik kesimpulan yang beralasan, menentukan pola sebab-akibat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
memprediksi, mengungkapkan dugaan, berasumsi, memperkirakan alternatif-
alternatif terhadap suatu masalah, dan sebagainya.
5) Mengeksplanasi. Kemampuan mengeksplanasi atau menjelaskan
adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan dan menjelaskan hasil
penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan (Facione, 1990). Contohnya
adalah ketika seseorang menyampaikan argumen atau pendapatnya, menjelaskan
suatu hal baik secara lisan maupun tertulis, menjelaskan langkah demi langkah
penalarannya, menjelaskan dengan bukti dan data-data yang mendukung, dan
sebagainya.
6) Melakukan swa-regulasi. Kemampuan melakukan swa-regulasi adalah
kemampuan untuk memantau proses penalaran yang dilakukan diri sendiri. Hasil
konsensus para ahli yang diperoleh melalui teknik Delphi mengartikan swa-
regulasi sebagai kemampuan memantau aktivitas kognitif diri sendiri beserta hasil
penalaran dan elemen-elemen yang digunakan dalam aktivitas tersebut, yang
mencakup pemeriksaan diri dan koreksi diri (Facione, 1990). Contohnya adalah
ketika seseorang mampu merefleksikan pemikirannya sendiri, memeriksa kembali
bukti-bukti dan langkah-langkah yang digunakannya, menyadari bias yang
mungkin dimiliki, dan mengoreksi penalaran diri sendiri apabila ditemukan
kesalahan dari hasil pemeriksaan diri tersebut.
b. Disposisi berpikir kritis
Disposisi berpikir kritis adalah motivasi internal yang konsisten untuk
menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam rangka menentukan apa yang
akan dipercaya atau dilakukan (Facione, Facione & Giancarlo, 2000). Menurut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
para ahli di bidang berpikir kritis, disposisi berpikir kritis atau komponen afektif
dibutuhkan untuk membuat kemampuan berpikir kritis semakin mengakar dan
bertumbuh dalam individu (Facione, 1990). Terdapat beberapa disposisi berpikir
kritis yang telah diungkapkan para ahli (Facione, 1990; Lai, 2011; Kennedy,
Fisher, & Ennis, 1991; Bailin et al., 1999) yang dapat dikelompokkan dalam 4
kelompok besar yaitu kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap
ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan
berpikir yang sistematis. Masing-masing kategori tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1) Fair-mindedness atau kecenderungan berpikir yang tidak berat
sebelah. Disposisi ini menunjukkan kecenderungan untuk bersikap objektif dan
terbuka terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Kategori ini mencakup
berpikiran terbuka, berpikiran luas dan divergen, toleran, menghargai, dan mau
mempertimbangkan pandangan serta sudut pandang yang berbeda. Individu yang
memiliki disposisi ini juga cenderung fleksibel, peka terhadap bias, mau
mengubah pandangan dan pendirian bila bukti atau hasil penalaran berlawanan
dengan apa yang diyakini sebelumnya (bahkan jika tidak mendukung kepentingan
pribadinya), serta jujur secara intelektual. Dengan kata lain, ia dapat dikatakan
bersikap objektif dan tidak berat sebelah dalam melakukan penyelidikan atau
dalam menanggapi suatu informasi.
2) Inquiring Attitude atau sikap ingin tahu. Disposisi ini mencakup
keinginan untuk berpengetahuan luas, sikap selalu bertanya, dan ingin tahu
bagaimana hal-hal bekerja. Individu yang memiliki sikap ingin tahu ini selalu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
penasaran terhadap hal-hal baru, mencari alasan atau penyebab dari suatu hal,
ingin mempelajari sesuatu bahkan jika penerapannya dan manfaatnya tidak
terlihat langsung. Individu tersebut juga tidak cepat puas dengan informasi atau
pengetahuan yang terbatas.
3) Inclination to use reason atau kecenderungan untuk menggunakan
penalaran. Kategori ini mencakup disposisi untuk tidak mudah percaya tanpa
bukti, senang menalar, cenderung menggunakan logika ketimbang pengambilan
keputusan tanpa dasar, serta tanggap terhadap situasi yang membutuhkan
penalaran. Individu dengan disposisi ini juga memiliki keyakinan terhadap
penalarannya, menghargai penalaran dan hasil penalaran yang baik, menggunakan
dan menyebutkan sumber-sumber yang kredibel. Ia akan mencari informasi
seakurat mungkin, serta tetap bersandar pada alasan dan penalaran ketika
melakukan penilaian dalam konteks yang tidak pasti.
4) Systematicity atau kecenderungan berpikir yang sistematis. Disposisi
ini merupakan kecenderungan untuk memiliki alur berpikir yang terorganisir dan
teratur. Hal ini terlihat dari kecenderungan untuk fokus dan tetap menaruh
perhatian pada isu dan topik yang sedang diselidiki atau masalah yang sedang
dipecahkan, tekun, persisten dan tidak mudah menyerah, dan memiliki cara-cara
tertentu yang tersistematis dan teratur dalam hal penyelidikan ataupun pemecahan
masalah. Individu tersebut juga akan tetap memperhatikan situasi keseluruhan
atau gambaran besar dari suatu hal atau masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
B. Berpikir Kritis Pada Anak
Biasanya, berpikir kritis dilihat sebagai sebuah kualitas yang baru akan
dimiliki setelah anak cukup besar, atau bahkan seringkali hanya ditekankan pada
sekolah atau perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dengan usia muda pun, apabila
mendapat stimulasi yang tepat, dapat memiliki baik kemampuan maupun disposisi
berpikir kritis. Sebuah studi literatur dari Lai (2011) yang membahas konsep
berpikir kritis dari pandangan berbagai ahli menemukan bahwa berlawanan
dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa anak-anak pada tahap praoperasional
belum mampu bernalar secara abstrak dan melihat perspektif orang lain, terdapat
banyak penemuan akhir-akhir ini bahwa anak-anak berusia dini sudah terlibat
dalam banyak proses kognitif yang sama dengan yang dilakukan orang dewasa.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia sangat
muda sudah mampu berpikir kritis atau mempelajari cara berpikir yang lebih
kompleks (Gelman & Markman, 1986; Silva, 2008; Willingham, 2007; dalam Lai,
2011).
Peneliti-peneliti awal cenderung menyimpulkan bahwa anak tidak mampu
berpikir kritis, namun menurut Kennedy et al (1991) anak seringkali dianggap
tidak mampu berpikir kritis dikarenakan kurangnya latar belakang pengetahuan
yang dimiliki anak, bukan karena anak tidak mampu berpikir kritis. Murphy et. al
(2014) juga mengungkapkan bahwa anak-anak berusia muda telah mampu
berpikir dan melakukan penalaran secara kritis, dan bahwa berpikir secara kritis
dan analitis didasarkan pada kemampuan-kemampuan yang telah berkembang
sejak masa kanak-kanak awal. Juga disebutkan bahwa anak-anak bahkan dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
yang berusia di bawah lima tahun telah banyak mengajukan pertanyaan dan
menunjukkan rasa ingin tahu, berusaha mencari penyebab sesuatu secara deduktif,
mengapresiasi perspektif orang lain, berpikir mengenai apa yang mereka pikirkan
(metakognisi), mengembangkan teori pikiran, dan menunjukkan banyak perilaku
lain yang dapat dikategorikan sebagai elemen dari berpikir kritis (Chandra, 2008).
Di samping itu, anak-anak juga memiliki disposisi untuk berpikir kritis yang
cukup menonjol dibandingkan dengan usia-usia lain.
Menurut Padji (1992), anak-anak dengan nafsu belajarnya merupakan
penyelidik lingkungan yang aktif. Mereka mengasah sifat keingintahuannya,
mencari pemecahan masalah dan gemar menghubung-hubungkan, mempelajari
secara langsung pelajaran yang berarti bagi diri mereka. Anak juga memiliki rasa
ingin tahu, yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak, di
mana masa bertanya ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada
usia sekitar 6 tahun (Syamsu, 2000).
Karena itulah, dorongan dan dukungan untuk berpikir kritis sudah harus
diberikan sejak anak-anak berusia dini. Para ahli menyatakan bahwa sejak usia
dini, anak-anak harus diajarkan untuk bernalar, mencari fakta-fakta yang relevan,
mempertimbangkan pilihan-pilihan, serta memahami pandangan orang lain
(Facione, 1990). Hal ini dikarenakan berpikir kritis, yang merupakan satu dari
beberapa bentuk berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking, sangat jarang
diperoleh hanya dengan perkembangan individu secara alamiah, melainkan harus
dipelajari melalui sejumlah instruksi atau pengajaran (Arons, 1979; Kuhn, 1993;
dalam Nieto & Saiz, 2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Pada usia dini anak, terutama sebelum anak-anak mulai bersekolah, orang
tua (khususnya ibu sebagai caregiver utama) sangat berperan penting untuk
mendidik dan mengasuh anaknya. Hal ini juga didukung dengan budaya di
Indonesia yang lebih menekankan peran ibu sebagai pengasuh utama bagi anak.
Menurut Chandra (2008), ibu memegang peranan yang signifikan bagi anak
dikarenakan ibu merupakan figur utama yang mengasuh anak terutama pada anak
berusia dini, termasuk dalam hal mengembangkan dan mendorong berpikir kritis
pada anak. Anak-anak belajar berpikir secara kritis ketika mereka memiliki
kesempatan dan alasan untuk berpikir secara kritis; ketika mereka mengamati
orang lain yang berpikir secara kritis; dan ketika mereka diminta untuk
memberikan informasi, tantangan, perdebatan yang lebih didasari oleh rasa
hormat dibandingkan kekuatan dan kekuasaan (Smith, 1986, dalam Davis-Seaver,
2000). Berinteraksi dengan individu-individu yang kompeten juga sangat
memengaruhi kualitas berpikir anak-anak. Konsep Vygotsky tentang zone of
proximal development (ZPD) menyarankan bahwa melalui bimbingan dan
bantuan dari orang-orang di lingkungan sekitar, anak-anak dapat mengembangkan
cara belajar mereka (Santrock, 2012). Bimbingan dan bantuan dari figur-figur di
sekitar anak yang sangat penting bagi anak adalah dari orangtua, terutama ibu. Ibu
memegang peranan penting dalam tahap awal anak-anak belajar, di mana
pengasuhan ibu terkait pengembangan berpikir kritis pada anak tentunya akan
sangat dipengaruhi oleh bagaimana ibu memandang, bereaksi, dan berperilaku
terhadap berpikir kritis pada anak, yang dapat dilihat melalui persepsi ibu
terhadap berpikir kritis pada anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
C. Persepsi Ibu Terhadap Berpikir Kritis Pada Anak
Menurut Padji (1992), orang tua memegang peranan penting dalam tahap
awal anak-anak belajar dengan memberi contoh apa yang diinginkan dan
bagaimana hal itu bisa dilakukan, melakukan koreksi dan menunjukkan kesalahan,
serta memberikan semangat dan dukungan yang penting untuk mengatasi
kemunduran dan belajar dari kegagalan. Ia juga mengungkapkan bahwa
anggapan-anggapan yang dimiliki orang tua, apabila keliru atau kurang tepat,
dapat menghambat peran penting mereka dalam meningkatkan keterampilan otak
anak-anak mereka.
Hal ini dapat dikaji lebih jauh dengan mendalami persepsi ibu terhadap
berpikir kritis pada anak. Persepsi merupakan aktivitas mengindera,
mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada objek-objek fisik maupun
objek sosial, di mana sensasi-sensasi dari lingkungan akan diolah bersama-sama
dengan hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya baik hal itu berupa harapan-
harapan, nilai-nilai, persepsi, ingatan dan lain-lain (Young, 1956). Pengertian lain
juga dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2013) bahwa persepsi merupakan
kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian dianalisa
(diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut
memperoleh makna.
Berdasarkan pengertian tersebut, dalam penelitian ini persepsi dibatasi
pada pemahaman (atau interpretasi, pemaknaan) dan penilaian (atau tanggapan
dan evaluasi) ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Pemahaman mengacu pada
sejauh apa para ibu di Flores memahami cakupan berpikir kritis pada anak, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pada hakikatnya terdiri dari kemampuan dan disposisi. Sedangkan penilaian
mengacu pada bagaimana ibu menilai dan menanggapi berpikir kritis pada anak,
yang menekankan pada apakah ibu menganggap hal tersebut sebagai suatu hal
yang positif atau negatif.
Persepsi ini perlu diteliti karena menurut Sherif (1969, dalam Sadli, 1977),
pengalaman dan tingkah laku merupakan sebuah kesatuan. Apa yang dilakukan
seseorang baik sebagai ucapan, ekspresi, atau perilaku tidak terlepas dari caranya
mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai
suatu hal. Berdasarkan hal ini, persepsi orang tua terhadap berpikir kritis pada
anak dapat memengaruhi perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya, yang pada
akhirnya dapat sangat memengaruhi perkembangan berpikir kritis pada anak.
Sherif juga mengungkapkan bahwa persepsi sebagai salah satu proses psikologis
dalam diri individu dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu maupun
faktor-faktor situasi atau stimulus di luar individu. Faktor dalam diri individu
mencakup motif-motif sikap, ambisi, keadaan fisik atau mental seseorang, sikap
yang berhubungan dengan norma-norma sosial, bahasa, pengaruh dari
pengalaman yang lalu, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor situasi atau
stimulus mencakup objek, orang, kelompok, hasil kebudayaan, dan lain-lain.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap persepsi ibu di Indonesia
adalah faktor budaya. Mulyana (2005) mengungkapkan bahwa persepsi itu terikat
oleh budaya (culture-bound). Ia berpendapat bahwa bagaimana kita memaknai
pesan, objek, atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut, di
mana faktor-faktor seperti agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
ekonomi, pekerjaan, dan cita rasa dapat sangat memengaruhi persepsi seseorang
terhadap realitas.
Sayangnya, budaya Indonesia yang kurang suportif dalam mendukung
perkembangan berpikir kritis telah diungkapkan oleh para ahli dari Eropa yang
mempelajari budaya Jawa (Magnis-Suseno, 1993; Mulder, 1984; 1996, dalam
Chandra, 2008). Dijelaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia, kepatuhan
terhadap standar-standar moral dan religius dinilai sebagai kualitas yang paling
diinginkan, sementara menjadi individu yang independen dan memiliki
kemampuan untuk mengembangkan pemikirannya dipandang tidak penting
samasekali. Keluarga, sekolah, dan masyarakat hanya memberikan kesempatan
yang terbatas bagi individu untuk mengungkapkan opini atau ide-ide mereka.
Anak-anak tidak diizinkan berbicara sebelum ditanya atau diizinkan terlebih
dahulu, terutama dalam memberi komentar yang bersifat kritis. ‘Anak yang baik’
adalah mereka yang patuh, penurut, bergantung, dan submisif. Mereka yang
independen dan menunjukkan opini pribadi yang berbeda dari pendapat figur-
figur otoritas akan dianggap tidak menunjukkan rasa hormat (Setiadi, 1986;
Chandra, 2004; dalam Chandra, 2008). Walaupun begitu, ditemukan bahwa dalam
budaya yang berbeda, pandangan terhadap berpikir kritis pada masyarakatnya
juga cukup berbeda, dan ditemukan nilai-nilai budaya yang mendukung maupun
menghambat berpikir kritis pada masyarakatnya. Nilai-nilai yang mendukung
berpikir kritis misalnya prinsip Dalihan Na tolu dari Batak Toba yang
menekankan prinsip demokratis pada masyarakatnya. Terdapat juga atmosfer
yang egalitarian dan setara dalam budaya Minangkabau, di mana setiap pendapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
diberi kesempatan untuk didengarkan dan dipertimbangkan. Selain itu,
penggunaan seni budaya dan artefak seringkali menjadi sarana untuk
mengungkapkan pendapat yang berbeda dalam budaya Jawa. Akan tetapi, dalam
budaya Jawa berpikir kritis dihambat oleh kepatuhan terhadap figur otoritas yang
sangat ditekankan, di mana figur otoritas dianggap selalu benar dan tidak perlu
mempertanyakan atau memperdebatkan keputusan yang diambilnya. Hal ini tidak
terlihat dalam budaya Minangkabau, yang menganggap semua orang memiliki
kedudukan yang setara dan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas.
Sedangkan dalam budaya Batak Toba, walaupun orang yang lebih tua dihormati
dan masih terdapat diskriminasi gender, terdapat prinsip-prinsip untuk teguh
dalam pendirian dan berani untuk menyampaikan pendapat yang berbeda, bahkan
untuk memberi kritik dan masukan kepada para pemimpin (Chandra, 2004). Akan
tetapi, penelitian ini maupun penelitian-penelitian lain yang dilakukan di
Indonesia belum ada yang dilakukan pada Indonesia bagian Timur, misalnya pada
masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur. Karena itulah penelitian ini difokuskan
pada para ibu di Flores, khusunya di Larantuka.
D. Orang Tua di Flores
Flores adalah salah satu dari empat pulau besar yang berada di provinsi
Nusa Tenggara Timur. Identitas budaya yang dominan terutama di daerah
Larantuka, tempat peneliti mengambil data penelitian, adalah budaya Lamaholot,
yang mencakup masyarakat dalam wilayah Flores Timur daratan, Pulau Adonara,
Pulau Solor, dan Pulau Lembata (Bebe, 2014). Masyarakat Lamaholot memiliki
warisan visi dan misi yang masih dipertahankan hingga saat ini, di mana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan “kemurnian hidup”, yang memiliki
dasar-dasar yaitu kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepastian (Sanga, 2008).
Masyarakat Lamaholot sangat mengutamakan seseorang untuk berkata yang
benar, bertindak dan bersikap yang benar, menjunjung tinggi kejujuran dan mau
mengakui kesalahan, bersikap adil terkait hak dan kewajiban, serta mengambil
keputusan dengan tegas dan tidak menimbulkan kebingungan. Secara umum,
peneliti beranggapan bahwa keempat dasar ini masih sejalan dengan sifat-sifat dan
kemampuan yang dimiliki orang yang berpikir kritis.
Daya kritis juga didorong melalui praktik musyawarah yang selalu
diterapkan sebagai salah satu nilai dan norma moral utama masyarakat Lamaholot,
yaitu pembicaraan bersama mengawali segala kegiatan bersama. Misalnya,
sebelum sebuah rumah adat (Koke Bale) dibangun dan kebun bersama (Eta)
dikerjakan, akan ada pembicaraan bersama yang melibatkan semua warga lewat
pemimpin sukunya. Dalam pembicaraan ini semua pihak didengarkan dan tak
seorang pun disingkirkan, dan tidak ada “kebijaksanaan” yang semata-mata turun
dari atas (Hayon, 2007).
Orang tua di Flores tidak terlepas dari nilai-nilai budaya tersebut. Dalam
penelitian ini, subjek difokuskan pada ibu, karena berdasarkan pengamatan
peneliti, budaya di Flores yang sifatnya patriarki masih menerapkan peran
tradisional para ibu sebagai caregiver utama, dan ayah sebagai tulang punggung
keluarga. Ibu seringkali menghabiskan waktunya di rumah dan menjadi ibu rumah
tangga, walau terkadang hal ini tidak berlaku di beberapa keluarga, yang ibunya
ikut bekerja, atau membayar kenalan atau keluarga untuk mengerjakan pekerjaan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
pekerjaan rumah. Hal ini menunjukkan bahwa para ibu di Flores pada umumnya
lebih sering menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka.
Dalam budaya Lamaholot, anak diharapkan untuk tumbuh menjadi
individu yang berkualitas. Hal ini misalnya terlihat dari ritual adat pada upacara
untuk bayi ohon ana/ohon kewae, di mana bayi diangkat tinggi-tinggi dan
diucapkan afirmasi ola dike tugu sare (“semoga sang anak menjadi seorang
pekerja yang baik/berhasil”) dan hiko ema liat bapa (“semoga anak tumbuh besar
melebihi orang tuanya”). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk
mempersiapkan, mengkondisikan dan mendorong tumbuhnya generasi yang lebih
baik sudah melekat erat dalam budaya Lamaholot (Hurit, 2016).
Walaupun begitu, masyarakat dalam kebudayaan Lamaholot cenderung
lebih memperhatikan dan mengunggulkan laki-laki, orang tua, atau yang dituakan,
serta orang kaya atau berpendidikan, dan lebih mudah mengabaikan para
perempuan, anak-anak, dan orang miskin atau tak berpendidikan (Kleden, 2007).
Bahkan dari wawancara dengan seorang ahli budaya Flores Timur, Dus Letor,
daya kritis anak di Flores Timur seringkali mengalami hambatan kultur
dikarenakan anak harus patuh, mengikuti, dan tidak boleh mempersoalkan apa
yang dikatakan oleh orang tua sebagai kebenaran mutlak (komunikasi pribadi, 25
November, 2016). Bahkan menurutnya, tidak jarang orang tua maupun guru
membentak dan memarahi anak apabila bertanya atau menunjukkan kesalahan
orang tua. Hal ini terbawa hingga dewasa ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Padahal menurutnya lagi, orang Flores adalah orang-orang yang sebenarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
memiliki daya kritis, namun kekritisan itu tidak diekspresikan karena lingkungan
bertumbuhnya anak yang menumbuhkan rasa takut untuk bicara.
E. Kerangka Konseptual
Dari penjabaran di atas, kerangka konseptual penelitian ini berangkat dari
pentingnya berpikir kritis, yang pada hakikatnya terdiri dari komponen
kemampuan dan disposisi. Kemampuan berpikir kritis itu sendiri dibagi lagi
menjadi kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, melakukan
inferensi, mengeksplanasi, dan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi
berpikir kritis terdiri dari kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, sikap
ingin tahu, kecenderungan untuk menggunakan penalaran, serta kecenderungan
berpikir yang sistematis. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa berpikir kritis
ini ternyata sudah dimiliki oleh anak-anak usia dini, yang justru berada pada
masa-masa di mana mereka membutuhkan dorongan dan stimulasi dari
lingkungan sekitar untuk mengembangkan hal tersebut, terutama dari ibu sebagai
caregiver utama bagi anak. Sayangnya persepsi atau anggapan orang tua pada
umumnya terhadap berpikir kritis pada anak di Indonesia seringkali negatif,
karena anak dianggap harus patuh dan tidak mempersoalkan apa yang dikatakan
orang tua, seperti yang juga terjadi dalam etnis Flores di Nusa Tenggara Timur.
Dalam budaya Flores, terdapat visi misi dan beberapa ritual adat yang sebenarnya
mendukung berpikir kritis pada anak, namun pada kenyataannya, orangtua masih
bersikap superior terhadap anak, bahkan memarahi atau membentak anak yang
sedang berpikir kritis. Padahal, bagaimana ibu mempersepsikan berpikir kritis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
pada anak dapat memengaruhi perilaku orang tua yang pada akhirnya dapat
mendukung atau menghambat berpikir kritis pada anak mereka. Apakah para ibu
di Flores cukup memahami konsep berpikir kritis itu sendiri beserta komponen-
komponennya, dan apakah mereka menilai berpikir kritis pada anak sebagai suatu
hal yang dianggap positif atau negatif, menjadi inti dari penelitian ini. Skema
penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Skema Penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu
jenis penelitian yang berusaha menangkap makna mengenai isu atau masalah yang
diteliti sesuai dengan apa yang diyakini atau dihayati oleh para partisipan, di mana
peneliti menginterpretasikannya secara subjektif dalam rangka membentuk
gambaran yang holistik dari topik yang diteliti (Creswell, 2009, dalam
Supratiknya, 2015).
Penelitian kualitatif mengumpulkan data dalam lingkungan alamiahnya
yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dengan analisis data yang
bersifat induktif maupun deduktif (Creswell, 2014). Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan desain penelitian analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran
secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik
berupa coding atau pengodean dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola
(Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).
Penelitian ini dilakukan untuk menggali dan mengetahui pemahaman dan
penilaian ibu di Flores terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mencapai tujuan
ini, peneliti menggunakan focus group discussion (FGD) sebagai metode
pengumpulan data, yang diharapkan dapat lebih mendorong para partisipan untuk
saling berbagi dan menjawab pertanyaan partisipan secara natural dan leluasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus untuk melihat persepsi ibu di Flores terhadap
berpikir kritis pada anak. Berpikir kritis, yang diartikan sebagai berpikir yang
reflektif, masuk akal, dan berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya
atau dilakukan, terdiri atas kemampuan dan disposisi. Kemampuan merujuk pada
aspek kognitif dari berpikir kritis, yang terdiri dari kemampuan menginterpretasi,
kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi, kemampuan
mengeksplanasi, serta kemampuan melakukan swa-regulasi. Sedangkan disposisi
berpikir kritis merujuk pada aspek afektif yang menunjukkan sifat atau
kecenderungan yang berulang atau konsisten, yang terdiri dari kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah, sikap ingin tahu, kecenderungan untuk
menggunakan penalaran, serta kecenderungan berpikir yang sistematis.
Persepsi ibu dibatasi pada pemahaman dan penilaian ibu terhadap
kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Pemahaman yang ingin dilihat dalam
penelitian ini adalah dalam pandangan ibu, komponen-komponen atau kategori-
kategori apa saja yang termasuk dalam kemampuan serta disposisi berpikir kritis
pada anak berusia 3-5 tahun, dengan kata lain, bagaimana ibu menginterpretasikan
berpikir kritis pada anak. Sedangkan penilaian ibu dimaksudkan pada apakah
kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak dinilai dan dievaluasi secara
positif ataukah secara negatif oleh para ibu, yang mencakup pikiran, pendapat,
serta perasaan ibu yang muncul ketika anak mereka berpikir kritis. Temuan-
temuan di luar fokus penelitian tersebut yang masih relevan dengan topik ini akan
disampaikan pada subbab tersendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
C. Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah para ibu dari anak-anak berusia 3-5
tahun yang berdomisili di Larantuka, Flores Timur. Dalam rangka merekrut
partisipan, peneliti bekerjasama dengan beberapa TK di tiga kecamatan di
Larantuka, Flores Timur, yaitu TK Maria Veloty Sarotari, TK Nelly Waibalun,
dan TK Muller Lamawalang untuk menghubungi sejumlah ibu dari anak-anak
yang bersekolah di TK tersebut. Peneliti memilih partisipan yang lancar berbahasa
Indonesia atau bahasa Nagi (bahasa Melayu Larantuka yang masih memiliki
banyak kemiripan dengan bahasa Indonesia) untuk memudahkan pemahaman dan
komunikasi. Peneliti tidak menentukan kriteria tingkat pendidikan atau batasan
usia partisipan dikarenakan peneliti memang tidak berusaha membandingkan
jawaban yang muncul dalam tingkat pendidikan atau usia yang berbeda-beda,
melainkan berusaha melibatkan berbagai kalangan untuk dapat memperoleh
gambaran yang luas mengenai persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada
anak.
Dalam masing-masing kelompok FGD, para partisipan kebanyakan sudah
saling mengenal satu sama lain, sehingga mempermudah peneliti sebagai
moderator untuk mendorong terjadinya diskusi yang mengalir dan natural di
antara para partisipan. Hal ini juga membantu menciptakan suasana interaksi yang
lebih ‘naturalistik’ (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015).
Total partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang ibu yang
terbagi dalam 3 kelompok FGD, di mana masing-masing kelompok terdiri dari 6-
10 orang ibu. Beberapa data tentang para partisipan dapat dilihat pada Tabel 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Tabel 1Data Diri PartisipanInisial Usia Pekerjaan Agama Asal daerah Pendidikan terakhir
FGD 1 – TK Nelly WaibalunP1 36 Wiraswasta Katolik Lewolere S1 – SurabayaP2 36 Ibu Rumah
TanggaKatolik Waibalun D2 – Bali
P3 30 Ibu Rumah Tangga
Katolik Kawaliwu SD – Kawaliwu
P4 36 Ibu Rumah Tangga
Katolik Nangapanda SD – Nangapanda
P5 40 Ibu Rumah Tangga
Katolik Waibalun SMA – Larantuka
P6 35 Konsultan Katolik Lewolere S1 – SurabayaFGD 2 – TK Maria Veloty Sarotari
P7 37 Ibu Rumah Tangga
Katolik Adonara Timur
D1 Public Relation –Bandung
P8 24 Guru SD Katolik Flores Timur
SMA
P9 26 Ibu Rumah Tangga
Katolik Solor SMA – Larantuka
P10 33 Ibu Rumah Tangga
Katolik Adonara Timur
SMA – Larantuka
P11 43 Ibu Rumah Tangga
Katolik Sarotari SMA
P12 34 Perawat Katolik Waibalun D3FGD 3 – TK Muller Lamawalang
P13 27 Ibu Rumah Tangga
Katolik Waibalun SMA – Maumere
P14 27 Guru SD Katolik Waibalun S1 – Kupang P15 38 Ibu Rumah
TanggaKatolik Waibalun SMU – Waibalun
P16 23 Ibu Rumah Tangga
Katolik Lamawalang SMK – SMK Lamaholot
P17 24 Ibu Rumah Tangga
Katolik Lembata SMK – Larantuka
P18 28 Ibu Rumah Tangga
Katolik Waibalun SMA – Larantuka
P19 44 Ibu Rumah Tangga
Katolik Lamawalang SMP – SMP Ratu Damai
P20 30 Ibu Rumah Tangga
Katolik Waibalun SMA – Larantuka
P21 36 PNS Katolik Lamawalang DIII – AKBID KartiniP22 26 Ibu Rumah
TanggaKatolik Flores
TimurSMK – Larantuka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
D. Peran Peneliti
Seperti halnya penelitian kualitatif lainnya, dalam penelitian ini peneliti
berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti turun langsung ke lokasi penelitian
untuk mengumpulkan data melalui FGD. Peran peneliti selama FGD berlangsung
adalah sebagai moderator yang mengajukan pertantujyaan-pertanyaan dan
menjaga ketertiban dalam diskusi, namun peneliti tidak memainkan peran sentral
dan lebih mengutamakan inter-relasi atau hubungan antar partisipan (Supratiknya,
2015).
Kaitan peneliti dengan lokasi penelitian adalah peneliti berasal dari keluarga
dengan etnis Flores, walaupun peneliti hanya sesekali berlibur dan tinggal
sementara di sana. Walaupun tinggal di luar Flores, peneliti masih sering
mengikuti perkumpulan keluarga atau berinteraksi dengan masyarakat Flores yang
juga merantau. Keluarga besar peneliti tinggal di Flores, walaupun partisipan
tidak diambil dari keluarga peneliti untuk menghindari bias.
Dalam rangka merekrut partisipan, peneliti mengajukan surat permohonan
kerjasama kepada kepala sekolah dari ketiga TK yang dipilih untuk membantu
menghubungi sejumlah orang tua dari anak yang berusia 3-5 tahun. Setiap orang
tua yang direkomendasikan kepala sekolah dikirimi surat undangan dan dihubungi
kembali secara personal oleh peneliti melalui telepon untuk mengkonfirmasi
kesediaannya. Peneliti juga menjelaskan gambaran FGD yang akan dilaksanakan
dan memberikan lembar informed consent yang kemudian ditandatangani oleh
para partisipan. Dalam hal ini, peneliti berperan menjaga kerahasiaan data serta
kepercayaan yang telah diberikan partisipan terhadap peneliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
E. Metode Pengambilan Data
Focus group discussion (FGD) merupakan metode kualitatif mendalam
menggunakan sebuah kelompok kecil yang bersifat homogen yang mendiskusikan
topik atau topik-topik yang menjadi agenda suatu penelitian (Lakshman, Charles,
Viswas, Sinha, & Aurora, 2000; Subramony, Lindsay, Middlebrook, & Fosse,
2002; dalam Supratiknya, 2015). FGD bertujuan untuk mendorong pengungkapan
diri di kalangan para partisipan (Freeman, 2006, dalam Supratiknya, 2015). Dalam
hal ini, partisipan didorong untuk saling mendalami jawaban masing-masing,
saling meminta penjelasan, dan saling mengklarifikasi maksud-maksud yang
mungkin terungkap hanya secara samar-samar, serta memudahkan partisipan yang
merasa kesulitan mengungkapkan diri untuk tetap berpartisipasi (Supratiknya,
2015).
Peneliti memilih metode ini karena kelebihan yang dimiliki FGD adalah
dapat mendorong para partisipan untuk mengungkapkan pandangan mereka dan
berdiskusi secara spontan seakan-akan sedang bercerita dan berbagi satu sama
lain. Peneliti juga beranggapan bahwa FGD cocok digunakan dalam penelitian ini
karena peneliti juga menyoroti budaya dan norma yang ada, yang ingin melihat
persepsi ibu di Flores secara normatif, sehingga dinamika antar partisipan dalam
menyampaikan pendapat atau bahkan kecenderungan untuk mengikuti pendapat
partisipan lain juga dapat menjadi data yang dapat dipertimbangkan dan
menunjukkan pandangan para ibu dalam masyarakat Flores. Sedangkan
kelemahan FGD adalah ada kemungkinan beberapa partisipan yang mendominasi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
atau bila ada partisipan yang enggan berbicara di depan banyak orang. Peneliti
sebagai moderator mengantisipasi kelemahan ini dengan mendorong setiap
partisipan yang masih sedikit mengungkapkan pendapat untuk ikut bercerita, serta
pada awal FGD peneliti menghimbau para partisipan untuk saling menghargai dan
mau mendengarkan jawaban dari partisipan yang lain.
FGD dilakukan pada 3 kelompok yang berbeda untuk mendapatkan jawaban
yang kaya dan jenuh (saturated). Hal ini juga dilakukan untuk dapat melihat
apakah jawaban yang diperoleh cukup konsisten pada ketiga kelompok, yang
dapat meningkatkan kredibilitas hasil yang diperoleh. Dalam FGD ini, peneliti
berusaha mendorong munculnya diskusi antar partisipan untuk mengungkap
persepsi partisipan terhadap anak yang berpikir kritis. Untuk mempermudah
mengumpulkan partisipan, FGD dilaksanakan di ruangan sekolah tempat anak
partisipan bersekolah.
Sebelum FGD dilakukan, sesuai yang disarankan oleh Creswell (2009,
dalam Supratiknya, 2015) peneliti menyiapkan beberapa prosedur perekaman data
yang dipersiapkan untuk mendukung FGD, yaitu protokol observasi, protokol
wawancara, serta prosedur perekaman data:
1. Protokol Observasi. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi reaksi-
reaksi para partisipan yang mendukung sumber data primer, yakni FGD.
Instrumen ini berisi catatan peneliti sebagai moderator terhadap reaksi-reaksi
partisipan (gestur, mimik, atau antusiasme), kondisi lingkungan (setting waktu
dan tempat) dan dinamika FGD secara keseluruhan. Hasil observasi ini
nantinya akan diintegrasikan dalam data verbatim sehingga dapat menjadi data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
tambahan yang melengkapi jawaban verbal partisipan. Protokol observasi
dicatat oleh peneliti sebagai moderator dan didiskusikan bersama seorang
asisten moderator yang juga mengikuti jalannya FGD dan membantu dalam hal
teknis pelaksanaan FGD.
2. Protokol FGD. Peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang didasarkan pada
rumusan masalah dan teori-teori yang digunakan peneliti, untuk membantu
peneliti melakukan diskusi yang terarah dan dapat memunculkan informasi
yang dibutuhkan oleh peneliti. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2Protokol FGD
Pertanyaan wawancara
Pertanyaan
pembuka
1. Selamat pagi/siang/malam Tanta, mari kita saling berkenalan
dulu. Silahkan saling bergantian menyebutkan nama, supaya
mudah untuk berkomunikasi.
Pertanyaan
pendahuluan
1. Bagaimana sih rasanya mengasuh anak usia 3-5 tahun? Ada
pengalaman atau cerita yang paling berkesan?
2. Apa saja sih harapan Tanta terhadap anak Tanta?
Pertanyaan
transisi
1. Pernahkah Tanta mendengar istilah berpikir kritis
sebelumnya?
2. Coba ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang berpikir
kritis?
Pertanyaan
kunci
PEMAHAMAN
1. Apabila Tanta membayangkan anak yang berpikir kritis,
dalam bayangan Tanta, itu yang seperti apa? Bisa berikan
contohnya?
2. Ketika mendengar kata ‘anak yang berpikir kritis’ apa yang
pertama kali muncul dalam benak Tanta?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
3. Coba Tanta ceritakan, apa saja yang Tanta tahu tentang
berpikir kritis pada anak.
4. Menurut Tanta, kemampuan anak apa saja/anak bisa
melakukan apa, yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis
pada anak?
5. Menurut Tanta, sifat anak apa saja/anak suka melakukan apa,
yang bisa dibilang sebagai berpikir kritis pada anak?
PENILAIAN
1. Bagaimana pendapat atau anggapan Tanta apabila melihat
anak yang berpikir kritis? (atau, bila melihat anak Tanta
berpikir kritis?) Bisa ceritakan pengalaman Tanta?
2. Apakah yang membuat Tanta berpendapat / beranggapan ….
(sesuai jawaban sebelumnya) terhadap anak yang berpikir
kritis? (Atau, mengapa Tanta berpikir bahwa … ?)
3. Dari sifat-sifat dan perbuatan anak yang berpikir kritis yang
tadi sudah tanta sebutkan, yang mana saja yang tanta
senang? Atau, adakah yang tanta tidak suka?
Pertanyaan
penutup
1. Apakah masih ada yang ingin disampaikan tentang anak
yang berpikir kritis?
3. Perekaman Data. Data utama dalam penelitian ini berupa verbatim hasil FGD
yang dipadukan dengan catatan hasil observasi untuk memperkaya hasil
temuan. Data observasi ini juga akan bermanfaat untuk melihat gestur, mimik,
atau antusiasme para partisipan yang dapat menyumbangkan informasi yang
bermanfaat mengenai reaksi partisipan terhadap pandangan atau pertanyaan
tertentu. Jenis data yang dikumpulkan adalah wawancara kualitatif yang
direkam dengan menggunakan perekam suara, serta catatan observasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
catatan lapangan mengenai tingkah laku para partisipan selama diskusi
berjalan. Peneliti hanya menggunakan data audio dikarenakan para partisipan
sempat menunjukkan keenganan dan rasa sungkan untuk direkam
menggunakan perekam video, sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi
keleluasaan partisipan dalam mengungkapkan pandangannya.
F. Analisis dan Interpretasi Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi kualitatif (AIK),
yang dilakukan dengan cara menafsirkan data secara subjektif melalui proses
klasifikasi yang sistematis dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh &
Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015). Dengan analisis isi kualitatif ini,
peneliti akan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam sejumlah kecil
kategori yang mengungkapkan makna yang serupa, di mana tujuan klasifikasi ini
adalah untuk memperoleh deskripsi yang padat dan kaya tentang fenomena yang
sedang diteliti (Supratiknya, 2015).
Analisis penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, yaitu analisis isi
terarah. Dalam analisis isi deduktif, teori atau hasil penelitian sebelumnya dipakai
untuk membantu merumuskan pertanyaan penelitian, atau membantu menemukan
skema awal pengodean (Hsieh & Shannon, 2005, dalam Supratiknya, 2015).
Transkrip FGD akan dibaca dan dikoding, di mana peneliti akan
mengklasifikasikan data tersebut, mana informasi yang termasuk ke dalam
pemahaman ibu tentang berpikir kritis, yang mencakup kemampuan dan disposisi,
serta mana yang termasuk penilaian, yang mencakup penilaian positif maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
negatif. Jika ada data yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kode-kode tersebut,
maka peneliti membaca ulang dan jika perlu menambahkan kode baru. Beberapa
kriteria yang digunakan untuk koding dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3Kriteria Koding
Pemahaman Terhadap Berpikir Kritis pada Anak
Kemampuan Disposisi
a. Menginterpretasi: mampu
menafsirkan dan memaknai informasi
yang diterima. Kategori ini meliputi
kemampuan memparafrasekan
dengan kata-kata sendiri atau dengan
bentuk ungkapan lain, menyebutkan,
mengartikan, memahami makna
tersirat maupun tersurat dari suatu
pernyataan, mendeskripsikan dan
mendefinisikan suatu hal,
mengelompokkan/mengkategorisasi.
b. Menganalisis: mampu
menguraikan suatu pernyataan atau
argumen menjadi bagian-bagian dan
menelaah bagian itu sendiri dan
relasi-relasinya. Kategori ini meliputi
kemampuan untuk menelaah,
mengidentifikasi bagian-bagian,
membandingkan usulan-usulan yang
saling terkait, menemukan kaitan
antara satu konsep dengan yang lain,
menentukan fokus utama atau sudut
pandang suatu pernyataan.
a. Kecenderungan berpikir yang
tidak berat sebelah: bersikap
objektif dan terbuka terhadap
pandangan yang berbeda. Kategori
ini meliputi kecenderungan untuk
berpikiran terbuka, berpikiran luas
dan divergen, toleran, menghargai,
mau mempertimbangkan pandangan
serta sudut pandang yang berbeda,
fleksibel, peka terhadap bias, mau
mengubah pandangan dan pendirian
bila bukti atau hasil penalaran
berlawanan dengan apa yang
diyakini sebelumnya (bahkan jika
tidak mendukung kepentingan
pribadinya), fleksibel, objektif dan
tidak berat sebelah, jujur secara
intelektual.
b. Ingin tahu: sikap ingin tahu dan
ingin berpengetahuan luas. Kategori
ini meliputi kecenderungan untuk
selalu bertanya, ingin tahu
bagaimana hal-hal bekerja,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
c. Mengevaluasi: mampu
membandingkan suatu argumen atau
klaim dengan standar dan kriteria
tertentu terkait dengan kualitas dan
kekuatan logisnya. Kategori ini
meliputi kemampuan untuk
mengukur, menilai apakah suatu
pernyataan dapat diterima,
memastikan, menuntut adanya bukti,
mengajukan pertanyaan-pertanyaan,
menyatakan kesetujuan atau
ketidaksetujuan, menunjukkan
keragu-raguan, dll.
d. Melakukan inferensi: mampu
menemukan pola-pola serta
membentuk kesimpulan, alternatif-
alternatif, prediksi, dan hipotesis dari
informasi yang ada. Kategori ini
meliputi kemampuan untuk menarik
kesimpulan, menentukan pola sebab-
akibat, memprediksi, mengungkapkan
dugaan, berasumsi, memperkirakan
alternatif-alternatif, dll.
e. Mengeksplanasi: mampu
menyampaikan dan menjelaskan hasil
penalaran beserta proses penalaran
yang dilakukan. Kategori ini meliputi
kemampuan untuk berargumen,
menjelaskan secara lisan maupun
tertulis, menjelaskan langkah demi
langkah penalarannya, menjelaskan
penasaran terhadap hal-hal baru,
mencari alasan atau penyebab dari
suatu hal, ingin mempelajari sesuatu
bahkan jika penerapannya dan
manfaatnya tidak terlihat langsung,
tidak mau berhenti dan tidak cepat
puas dengan informasi atau
pengetahuan yang terbatas,
keinginan untuk berpengetahuan
luas.
c. Kecenderungan untuk
menggunakan penalaran:
cenderung bersandar pada bukti dan
penalaran. Kategori ini meliputi
kecenderungan untuk tidak mudah
percaya tanpa bukti, senang menalar,
menggunakan logika ketimbang
pengambilan keputusan tanpa dasar,
tanggap terhadap situasi yang
membutuhkan penalaran, yakin
terhadap penalarannya, menghargai
penalaran dan hasil penalaran yang
baik, menggunakan dan
menyebutkan sumber-sumber yang
kredibel, mencari informasi seakurat
mungkin, tetap bersandar pada
alasan dan penalaran ketika
melakukan penilaian dalam konteks
yang tidak pasti.
d. Pemikiran yang sistematis:
memiliki alur berpikir yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
dengan bukti dan data-data yang
mendukung, dll.
f. Melakukan swa-regulasi: mampu
memantau proses penalaran yang
dilakukan. Kategori ini meliputi
kemampuan untuk merefleksikan,
memeriksa kembali, mengkonfirmasi,
mengklarifikasi, menyadari bias, dan
mengoreksi penalaran diri sendiri.
terorganisir dan teratur. Kategori ini
meliputi kecenderungan untuk fokus
dan berusaha untuk tetap menaruh
perhatian pada topik penyelidikan
atau pemecahan masalah yang
sedang dilakukan, tekun, persisten
dan tidak mudah menyerah, dan
memiliki cara-cara tertentu yang
tersistematis dan teratur dalam hal
penyelidikan ataupun pemecahan
masalah, tetap memperhatikan
situasi keseluruhan atau gambaran
besar dari suatu hal atau masalah.
Penilaian terhadap Berpikir Kritis pada Anak
Penilaian positif Penilaian negatif
Partisipan memandang anak yang
berpikir kritis (baik disposisi maupun
kemampuan) secara positif, di mana
partisipan memiliki pandangan bahwa
berpikir kritis adalah hal yang baik,
serta menunjukkan emosi dan
tanggapan yang positif ketika anaknya
berpikir kritis.
Partisipan memandang anak yang
berpikir kritis (baik disposisi
maupun kemampuan) secara negatif,
di mana partisipan memiliki
pandangan bahwa berpikir kritis
adalah hal yang tidak baik atau
menunjukkan emosi dan tanggapan
negatif ketika anaknya berpikir
kritis.
G. Kredibilitas Penelitian
Untuk memastikan bahwa penelitian ini mengandung informasi yang dapat
dipercaya atau kredibel, peneliti melakukan beberapa cara. Pertama, peneliti
mengklarifikasi bias yang mungkin dimiliki oleh peneliti dalam melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
penelitian ini (Creswell, 2014). Seperti yang sudah dijelaskan dalam subbab peran
peneliti, peneliti berkemungkinan mengalami bias karena peneliti juga beretnis
Flores dan mengambil data di daerah tempat keluarga besar peneliti tinggal.
Walaupun begitu, peneliti sudah meminimalisir bias tersebut dengan tidak
mengambil keluarga atau kenalan dekat peneliti sebagai partisipan. Selain itu,
walaupun beretnis Flores, peneliti sejak kecil sudah merantau di luar kota dan
hanya sesekali berlibur ke Flores, sehingga dapat melihat data secara lebih
objektif.
Kedua, peneliti berusaha membangun kepercayaan dengan partisipan
dengan memperkenalkan diri dan identitas peneliti yang juga beretnis Flores, serta
menggunakan bahasa Nagi selama berkomunikasi dengan para partisipan. Hal ini
dapat meningkatkan tingkat kepercayaan partisipan dikarenakan menurut peneliti,
rasa kekeluargaan di Flores masih sangat kental, sehingga peneliti dapat
meningkatkan kedekatan emosional dengan para partisipan dengan cara-cara
tersebut. Dengan begitu, para partisipan dapat menyampaikan pendapatnya
dengan lebih jujur dan terbuka.
Ketiga, peneliti membuat deskripsi yang tebal dan kaya atau melakukan
thick description, yaitu pemaparan yang rinci dan mendalam mengenai setting
atau lingkungan penelitian serta temuan-temuan yang diperoleh (Creswell, 2009,
dalam Supratiknya, 2015). Hal ini diterapkan peneliti dengan menjelaskan
mengenai latar belakang partisipan, mulai dari usia, tingkat pendidikan, asal
daerah, tempat tinggal saat ini, serta agama para partisipan. Peneliti juga
menjelaskan secara rinci situasi dan dinamika yang terjadi selama proses FGD
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dilakukan, yang melingkupi waktu dan tempat pelaksanaan FGD, antusiasme
partisipan, keleluasaan dan spontanitas partisipan dalam bercerita, distraksi yang
muncul, dan sebagainya. Dalam data hasil FGD pun peneliti menggabungkan data
transkrip diskusi dengan hasil observasi selama wawancara, yang melibatkan
deskripsi gerakan, gestur, antusiasme, dan sebagainya. Selain itu, peneliti juga
membahas temuan yang diperoleh menggunakan beberapa sudut pandang,
misalnya melihat dari segi budaya, perkembangan anak, dan sebagainya.
Keempat, dengan melakukan FGD pada tiga kelompok yang berbeda,
selain untuk memperoleh kepadatan dan kekayaan data, peneliti juga menemukan
konsistensi yang cukup tinggi di antara ketiga kelompok tersebut, yang dapat
meningkatkan kredibilitas penelitian ini. Dari ketiga kelompok tersebut,
ditemukan jawaban-jawaban yang tidak jauh berbeda, walaupun masih ditemukan
beberapa perbedaan yang tidak signifikan.
Kelima, selama proses koding peneliti berusaha memastikan tidak ada
pergeseran pada definisi kode-kode, dengan selalu membandingkan data dengan
kode-kode yang dirumuskan (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015). Peneliti
juga memeriksa transkrip-transkrip rekaman dan melakukan arsip agar data FGD
yang diperoleh sewaktu-waktu dapat dilihat untuk melakukan pengecekan ulang.
Keenam, peneliti memastikan bahwa rangkaian pertanyaan dan protokol
FGD yang digunakan efektif dan dapat memunculkan data yang padat. Hal ini
dilakukan dengan melakukan beberapa kali try out pada beberapa ibu di Flores di
luar partisipan yang digunakan dalam penelitian ini. Dari try out ini, peneliti
menemukan bahwa kata berpikir kritis memang kurang familiar dalam kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
sehari-hari para ibu di Flores, yang membuat para ibu kesulitan menjawab
pertanyaan. Melihat hal tersebut, peneliti menyiapkan definisi berpikir kritis
dengan bahasa yang sederhana untuk disampaikan dalam FGD yang sebenarnya.
Selain itu, peneliti juga merevisi bahasa dan penggunaan kata yang digunakan
peneliti selama menjadi moderator dalam FGD agar sesuai, dapat diterima, dan
dapat dipahami dengan baik oleh para ibu di Flores, dengan menggunakan bahasa
yang sederhana dalam bahasa atau logat daerah yang familiar baik oleh partisipan
maupun peneliti sebagai moderator.
H. Isu-Isu Etis yang Mungkin Muncul
Isu sensitif terkait etika yang mungkin muncul dari penelitian ini adalah
kemungkinan jawaban, informasi, atau cerita subjek yang dapat tersebar atau
disalahgunakan setelah proses diskusi, baik oleh peneliti maupun partisipan lain.
Karena itu, peneliti menghimbau para partisipan untuk menjaga kerahasiaan dari
apa yang diceritakan oleh partisipan lain selama FGD. Peneliti juga
menginformasikan kepada partisipan bahwa indentitas subjek akan dijaga oleh
peneliti untuk tidak disalahgunakan dan dijaga kerahasiaannya. Peneliti juga
menyampaikan bahwa jawaban serta informasi apapun yang diberikan oleh
partisipan hanya akan digunakan untuk keperluan penelitian saja. Hal ini juga
disampaikan secara jelas dalam informed consent yang ditandatangani partisipan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Observasi
Penelitian ini dilaksanakan di Larantuka, Flores, Nusa Tenggara Timur
selama bulan November dan Desember 2016. Pengambilan data dalam bentuk
focus group discussion (FGD) dilakukan pada tiga kelompok partisipan yang
berbeda, yang dilaksanakan pada tanggal 28 November 2016 di ruang kelas TK
Nelly Waibalun, tanggal 2 Desember 2016 di ruang kelas TK Maria Veloty
Sarotari, dan tanggal 6 Desember 2016 di ruang kelas TK Lamawalang.
Keseluruhan partisipan yang dilibatkan berjumlah 22 orang. Partisipan di
kelompok FGD pertama diberi inisial P1 hingga P6, partisipan di kelompok FGD
kedua diberi inisial P7 hingga P12, sedangkan partisipan di kelompok FGD ketiga
diberi inisial P13 hingga P22. Hal ini dilakukan sebagai cara peneliti menjaga
kerahasiaan identitas partisipan dan untuk mempermudah dalam memaparkan
hasil temuan.
Secara umum, proses FGD di kelompok pertama berjalan dengan baik.
Para partisipan sangat aktif dan bersemangat dalam bercerita. Walaupun begitu,
ada satu orang partisipan yang enggan bercerita mulai pertengahan hingga akhir
kegiatan, padahal peneliti bahkan anggota partisipan lain telah mendorong ibu
tersebut untuk mau bercerita. Peneliti menduga hal ini terjadi karena seorang
partisipan lain tertawa setelah mendengar gaya berbicara ibu tersebut yang sedikit
terbata-bata. Selain itu, jalannya diskusi sempat terganggu oleh anak-anak di luar
kelas yang bermain atau terjatuh yang membuat para ibu beberapa kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menghentikan diskusi dan melihat ke luar melalui jendela. Moderator juga sedikit
kesulitan mengatur jalannya FGD karena para ibu sudah saling mengenal
sehingga suasana menjadi sangat leluasa, di mana para ibu bercerita dengan
sangat bersemangat, seringkali dalam waktu yang bersamaan dan saling
bersahutan. Walaupun begitu, hal tersebut justru berhasil memunculkan data yang
padat dan menghasilkan diskusi yang interaktif.
FGD kedua berjalan dengan lebih kondusif, dikarenakan diskusi diadakan
di luar jam belajar anak-anak sehingga tidak ada distraksi dari anak-anak yang
sedang bermain. Para ibu yang baru berkenalan beberapa jam sebelum diskusi
dimulai juga secara tidak langsung membuat diskusi berjalan lebih tertib dan
teratur, namun menurut peneliti tidak ada partisipan yang terlihat malu atau
enggan bercerita. Para partisipan justru terlihat antusias mendengarkan dan saling
menghargai jawaban partisipan lain. Bahkan tidak jarang para partisipan tertawa
lepas ketika mendengar cerita-cerita yang lucu dan ikut menimpali dengan
tanggapan-tanggapan singkat. Seorang partisipan masih ada yang membawa
anaknya ke dalam ruangan diskusi sehingga beberapa kali terganggu oleh
rengekan anaknya, namun selain itu proses diskusi berjalan dengan lancar.
Pada FGD ketiga, jumlah partisipan sedikit melebihi jumlah yang
direncanakan, dikarenakan adanya sedikit miskomunikasi dengan pihak sekolah.
FGD yang direncanakan hanya melibatkan 6 hingga 7 orang mencapai 10 orang
pada hari pelaksanaan, yang menyebabkan peneliti sedikit kesulitan melibatkan
setiap orang untuk tetap aktif selama diskusi, dan ada beberapa partisipan yang
hanya mengungkapkan sedikit pendapatnya. Selain itu, pelaksanaan diskusi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
masih bersamaan dengan jam anak-anak bermain membuat banyaknya distraksi
dari luar ruangan. Walaupun begitu, diskusi tetap berjalan dengan tertib, di mana
setiap orang menyampaikan pendapatnya dengan sopan dan teratur, serta menurut
peneliti tetap memunculkan data yang padat pula.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian disajikan berdasarkan dua pertanyaan utama, yaitu
bagaimana pemahaman ibu terhadap berpikir kritis pada anak, serta bagaimana
penilaian ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Temuan-temuan yang menjawab
kedua pertanyaan ini kemudian dikumpulkan menurut kategori-kategori yang
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Temuan-temuan tambahan yang tidak
dapat dimasukkan dalam kategori-kategori tersebut juga akan dijelaskan pada
bagian ini.
1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pemahaman ibu terhadap anak
yang berpikir kritis mencakup dua komponen berpikir kritis, yaitu kemampuan
dan disposisi berpikir kritis.
a. Pemahaman terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak
Dari hasil penelitian, kemampuan berpikir kritis pada anak menurut
pemahaman ibu mulai dari yang paling sering muncul hingga yang paling jarang
muncul adalah kemampuan menginterpretasi, kemampuan untuk melakukan
inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir kemampuan mengeksplanasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Kemampuan yang paling banyak muncul adalah kemampuan
menginterpretasi, yaitu kemampuan menafsirkan dan memaknai informasi yang
diterima. Kemampuan ini dapat terlihat dari jawaban partisipan, di mana anak
dianggap berpikir kritis ketika ia mampu menafsirkan sesuatu berdasarkan
pemahamannya. Hal ini dapat terlihat misalnya pada kutipan berikut:
P12. Bapanya bilang ‘ade, itu terbalik’. Jadi ambil sendal dia balik(memeragakan dengan membalik telapak tangannya). ‘Ini mama, ini kan balik’. ‘Bukaan, maksudnya ganti, kiri ke kanan, kanan ke…’ (he eh…)Kalau begitu itu, mereka kritis…
Bentuk lain dari kategori ini adalah anak dianggap mampu berpikir kritis
ketika sudah dapat menangkap makna tersirat dari suatu ekspresi. Hal ini terlihat
dari cerita salah seorang partisipan:
P2. Jadi kalau bapanya suara besar sedikit, paling dia bilang, ‘Heii bapa, engko pung suara besar apa saja, ada masalah apa maka?’ (para partisipan bergumam pelan) ‘Ada masalah ka ema?’ atau ka dia bilang, ‘Ema itu dia marah engko ka?’ apa… ‘Engko ada masalah apa ka bapa?’ (hmmm) Sudah seperti itu kalau saya punya… (Ha ah, berarti dia bisa lihat bapanya omong nada tinggi, berarti ada sesuatu, dia bisa lihat?)P2. Ha ah, iya…
Kemampuan untuk memahami dan mendefinisikan istilah juga
diungkapkan para partisipan sebagai kemampuan berpikir kritis pada anak, yang
dapat dikategorikan ke dalam kemampuan menginterpretasi.
P6. Dia selalu bilang, ‘tunggu ee, saya buat eksperimen dulu.’ Jadi suatu kali saya tanya, ‘Eksperimen itu apa?’ Dia bilang, ‘Eksperimen itu ka, kita coba-coba dulu, jadi apa tidak.’ (partisipan tertawa)
Selain itu, salah seorang partisipan juga menceritakan pengalaman ketika
anaknya dapat mengkategorisasi suatu hal sebagai salah satu bentuk kemampuan
berpikir kritis. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan mengenai anaknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
yang menganggap bahwa ayah dan ibunya termasuk dalam ‘soba’ atau orang yang
berpacaran.
P9. Saya punya tu macam nonton di TV tu. Mereka pacaran data, dia bilang saya dengan bapanya, bapanya dengan apa… pacar? (partisipan tertawa) Itu…P11. Soba… Soba.P9. Ha ah begitu… Jadi dorang lihat…[soba=istilah dalam bahasa Nagi yang berarti pacar]
Pandangan partisipan tentang kemampuan menginterpretasi juga terlihat
dari jawaban partisipan bahwa anak-anak sangat cepat tangkap, yang cukup sering
muncul dalam FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari ungkapan partisipan
sebagai berikut:
P9. Kalau di pacaran itu kan anak-anak itu kan macam… dorang cepat sekali tangkap. Itu. (hm hm) Yang di TV pun mereka cepat sekali.P15. Cepat tangkap to anak-anak seumuran begini.
Pandangan partisipan bahwa anak-anak cepat tangkap tersebut juga masih
berkaitan dengan anggapan partisipan bahwa anak dapat memahami apa yang
diajarkan dan menerapkannya. Dalam kutipan ini, partisipan menceritakan
mengenai anaknya yang mengerti dengan yang diajarkan di sekolah (pelajaran
menulis) dan menerapkannya tersebut dengan ikut menulis.
P22. Ternyata di sekolah, ooh dia sudah pintar. Tulis, ikut. Kita tulis, dia ikut. Pokoknya dia sudah bisa… apa… mengerti dengan pendidikan di sekolah.
Para partisipan juga cukup sering mengungkapkan bahwa anak yang
berpikir kritis dalam pandangan mereka mampu memahami sesuatu secara
mandiri, yang terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:
P6. Ha ah… Ce… Kalau buka, mulai dari buka laptop sampai cari permainan semua, sampai tau caranya main itu sendiri belajar, tidak pernah diajarin. Cara mainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Setelah kemampuan menginterpretasi, kemampuan kedua yang sering
muncul adalah kemampuan untuk melakukan inferensi, yaitu kemampuan
menemukan pola-pola serta membentuk kesimpulan, alternatif-alternatif, prediksi,
dan hipotesis dari informasi yang ada.
Salah satu bentuk inferensi yang muncul adalah cerita ibu mengenai
kemampuan anak untuk menarik kesimpulan. Hal ini terlihat dari jawaban
partisipan sebagai berikut:
“P6. Kalau tidak berdoa maka sakit. (haaa…) dia lihat sakit. Berarti kita tidak doa!”
“P18. Saya kan bilang, ‘anak kecil tidak boleh… kar… berdiri buka baju begitu nanti kita punya perut besar.’ ….. ‘Ooo.. jadi bapa punya perut besar itu karena angin ini dari kipas angin’ (moderator dan partisipan tertawa). Karena masuk angin ini…”
Selain itu, bentuk lain yang muncul terlihat dalam cerita partisipan
mengenai anak yang mampu melihat alternatif-alternatif dan solusi. Hal ini
terlihat dari kutipan berikut:
“P6. Haa… eksperimen yang dibuat tu biasanya mencampur warna. Haaa… ‘Warna, oh warna ini tidak ada, oh gampang. Ini, ini tambah ini jadi ini.’ Bisa. Jadi warna itu, eksperimen. ……. Saya pikir eks… dengan buat coba-coba tu melatih kekritisan anak to, kalau ini tidak bisa, berarti harus begini.”
Contoh lain yang juga menunjukkan kemampuan untuk melakukan
inferensi adalah membentuk asumsi dan hipotesis, yang terlihat dari jawaban ibu
sebagai berikut:
P8. Dia kalau buat sesuatu dia sudah pikir, kalau kita naik ini kursi, goyang begini, dia jatuh atau tidak. (hmm) (partisipan tertawa kecil).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Para partisipan juga menganggap bahwa anak yang berpikir kritis adalah
anak yang dapat berpikir jauh dan membuat prediksi, di mana anak dianggap
memikirkan hal yang bahkan tidak dipikirkan oleh orangtua. Hal ini terlihat dari
jawaban berikut:
P11. Jadi dia bilang, ‘heii kalau begitu kita mazmur kita pung teman-teman te lihat nanti’, jo bapa bilang ‘Hai, engko kecil begini ini engko mau berpikir mazmur?’ (para partisipan tertawa) ‘Haa iya ka’. …… Jo itu, macam dia berpikir, torang tida berpikir sampai ke situ to, (hmm) tapi dia anak kecil-kecil dia bisa berpikir seperti itu…
Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk
menyimpulkan konsekuensi atau sebab-akibat dari suatu hal sebagai kemampuan
yang dimiliki anak yang berpikir kritis. Hal ini juga termasuk ke dalam
kemampuan untuk melakukan inferensi, yang terlihat dari jawaban P15 sebagai
berikut:
P15. Tapi mereka bisa berpikiran nah itu kritis itu bilang, ini saya pingin ini, saya suka ini akibatnya saya bisa beli ini. Saya buat ini, nanti dapatnya begini. Misalnya mereka main bola, main apa yang nakal-nakal nanti sebentar kecelakaan, misalnya kaki yang berdarah… oo tadi kalau saya tida main, saya tida mungkin dapat kecelakaan seperti ini… jadi apa yang… pas yang mereka…. itu… sudah tau akibatnya to, mereka lakukan, yang mereka lakukan itu sudah tahu akibatnya begini. Kalau kita melawan orang tua pasti akibatnya ada. Begitu.
Kemampuan ketiga yang sering muncul adalah kemampuan
mengevaluasi, yaitu kemampuan untuk membandingkan suatu argumen atau
klaim dengan standar dan kriteria tertentu terkait dengan kualitas dan kekuatan
logisnya. Hampir semua jawaban partisipan yang dikategorikan dalam
kemampuan mengevaluasi merupakan kemampuan anak untuk memberi penilaian
berdasarkan logika dan bukti yang ada. Bukti yang ditampilkan di sini adalah
pernyataan dari partisipan P6:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
P6. Atau hal-hal kecil kan, kadang suka apa tu, untuk meloloskan supaya kami bisa pi kerja ni. ‘Mama mau pi kantor’ ‘Pi kantor tapi pakai celana pendek?’ atau kadang-kadang kita sudah pulang, ‘Tadi dari mana?’ ‘Dari kantor.’ ‘Kantor kenapa so pakai baju rumah?’ Itu kan sebenarnya hal-hal yang kritis…
Walaupun begitu, terdapat jawaban-jawaban ibu mengenai kemampuan
mengevaluasi yang sedikit berbeda dari teori yang sudah dipaparkan sebelumnya,
yaitu kemampuan mengevaluasi pada anak yang dikenakan pada objek yang lebih
umum, misalnya ketika anak menilai apakah suatu tarian bagus atau tidak.
Beberapa partisipan juga menyebutkan kemampuan anak untuk menilai mana
yang baik dan buruk sebagai kemampuan anak untuk berpikir kritis, yang masih
dapat dikaitkan dengan kemampuan untuk mengevaluasi. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan mengevaluasi yang dipandang para ibu sebagai kemampuan
berpikir kritis tidak terbatas pada argumen dan klaim seperti pada teori berpikir
kritis, tapi juga pada objek lain secara umum.
Setelah kemampuan mengevaluasi, kemampuan yang juga muncul adalah
kemampuan mengeksplanasi, yaitu kemampuan mengungkapkan dan
menjelaskan hasil penalaran beserta proses penalaran yang dilakukan. Walaupun
begitu, kemampuan ini hanya muncul satu kali dalam cerita salah seorang
partisipan mengenai anaknya yang memberi penjelasan mengenai alur
berpikirnya:
P6. Susun apa, bongkar pasang yang… sekarang kan ada to, kayak di poni tapi ada konektornya tu ka. (haa…) ‘Aaaa lihat, kalau ini digabung ini, ema lihat, perhatikan.’ Dia suruh saya ni. (hm hm) ‘Ini, tida bisa bergerak begini. Terus kalau begini, tangannya bere… hayo kenapa?’ Kenapa? Heii, dia yang jawab sendiri, ‘Karena saya kancingnya begini, jadi tangannya… (tertawa)’ So mulai… Ini anak ini…
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Dari penjabaran tersebut dapat dilihat bahwa dari keenam kategori yang
telah dirumuskan dalam teori, terdapat empat kategori kemampuan berpikir kritis
yang muncul, yaitu secara berturut-turut kemampuan menginterpretasi,
kemampuan melakukan inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan terakhir
kemampuan mengeksplanasi. Keempat kategori ini merupakan kemampuan-
kemampuan yang dipandang sebagai kemampuan yang banyak diamati sebagai
bentuk berpikir kritis pada anak menurut ibu di Flores.
b. Pemahaman terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disposisi mengarah pada
kecenderungan yang dimiliki, atau dapat dikatakan sebagai sifat yang menetap
yang cenderung berulang pada individu. Pemahaman ibu tentang berpikir kritis
pada anak yang mengacu pada komponen disposisi sangat sering muncul dalam
penelitian ini, bahkan jumlah jawaban partisipan yang mengacu pada disposisi
berpikir kritis mencapai dua kali lipat jumlah jawaban yang mengacu pada
kemampuan berpikir kritis. Dari hasil FGD yang dilakukan, kategori disposisi
berpikir kritis secara berturut-turut mulai dari yang paling banyak muncul adalah
sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis,
kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Sedangkan kategori
yang tidak muncul adalah kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah.
Keingintahuan atau sikap ingin tahu adalah sikap ingin mengetahui
banyak hal dan ingin memiliki pengetahuan yang luas. Sikap ingin tahu ini adalah
kategori yang sangat mendominasi jawaban subjek dalam keseluruhan proses
FGD yang dilakukan. Hal ini terlihat dari jawaban para partisipan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
beranggapan bahwa anak yang berpikir kritis adalah anak yang memiliki rasa
ingin tahu yang besar. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:
P9. Ingin tahunya tinggi sekali. P12. Iya tinggi sekali ingin mencari tahu. P8. Kritis…
P20. Memang pada dasarnya anak-anak umur begini kan ingin tahu, to? (he eh) (ingin cari tahu…) ..... buat, dia bertanya, ini untuk apa, ini untuk apa… bagaimana ini…
Setelah sikap ingin tahu, kategori kedua yang sering muncul adalah
kecenderungan berpikir yang sistematis, yaitu memiliki alur berpikir yang
terorganisir dan teratur dalam penyelidikan atau pemecahan masalah. Hal ini
terlihat dari jawaban ibu yang menceritakan anaknya yang tetap persisten dengan
berbagai cara dalam penyelidikan atau pemecahan masalah.
P6. Oo menangis main game, atau apa, lihat-lihat gambar, lihat-lihat gambar yang disuka begitu di internet, terus kita bilang, ‘Eii pulsa internet so tidak ada lagi’. ‘Pergi isi ka…’ Begitu to, sampe kepada harus bisa dapat itu. ‘Eii uang tidak ada lagi’ atau ‘Malam ni sudah tutup’… ‘Di ATM itu kan bisa’ Jadi semuaa, semua… (Semua caranya…) Sampai kepada, kalau memang tida ada, ‘Kalau begitu kita ambil di nene punya kios saja’ (tertawa). Sampe… sampe harus bisa menemukan… (tertawa) jawabannya, untuk memenuhi keinginannya.
Jawaban berikut ini juga masih terkait dengan persistensi tersebut, di mana
anak yang berpikir kritis juga dianggap fokus dan tekun dalam melakukan
penyelidikan. Hal ini terlihat misalnya dari jawaban salah seorang partisipan:
P6. Dia angkat gorden semua, dia angkat jo susun, api unggun ni… (para partisipan dan moderator tertawa) ‘Saya mau buat api unggun ini, saya eksperimen, saya punya eksperimen ini jangan ganggu.’ (para partisipan tertawa dan menimpali dengan berbicara bersamaan) ….. Kadang eksperimennya dibawa sampai ke tempat tidur. (partisipan tertawa)
Disposisi ketiga yang cukup sering muncul adalah kecenderungan untuk
menggunakan penalaran, di mana anak cenderung bersandar pada bukti dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
penalaran. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan di mana anaknya bersikap tidak
mau menerima begitu saja dan mempertimbangkan sebab akibat.
P13. Anak, menurut saya anak yang kritis itu anak yang tidak mau menerima begitu saja. Harus ada sebab, akibat, kenapa kalau kita buat harus ada sebabnya, harus ada akibatnya. P12. Hmm hmm. Tidak menerima begitu saja..P13. Haaa tidak menerima begitu saja. Kenapa kita buat sesuatu harus ada sebab, dan harus ada akibatnya.
Disposisi ini juga terlihat dari jawaban beberapa partisipan bahwa anak
dianggap berpikir kritis jika tidak mudah percaya tanpa bukti:
P21. Anak yang berpikir kritis itu menurut saya kalau anak itu tidak berpikir mau menerima apa saja. Mereka akan membutuhkan bukti. Contoh saja setiap anak umur-umur begini, kalau kita orang tuamenjanjikan sesuatu ke mereka, biasanya mereka mau bukti dulu.
Selain itu, jawaban lain yang muncul adalah anak yang senang melakukan
uji coba untuk membuktikan, yang terlihat dari kutipan berikut:
P11. Dia senang eksperimen begitu. Kita coba dulu ee, betul ka ne [arti bahasa Indonesia: betul atau tidak]. Begitu dorang.P8. Macam ade tadi, goyang ka tidak, berarti jatuh… [partisipan mengacu pada cerita anak yang menyuruh adiknya naik di kursi untuk melihat apakah bisa jatuh atau tidak bila kursinya digoyang] (partisipan tertawa)P11. Uji coba. Mereka sering mencoba. Mencoba.
Dari paparan tersebut, dapat dilihat bahwa hampir semua kategori
disposisi berpikir kritis muncul pada jawaban partisipan, kecuali kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah. Disposisi yang paling banyak muncul adalah
sikap ingin tahu, diikuti dengan kecenderungan berpikir yang sistematis,
kemudian kecenderungan untuk menggunakan penalaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada Anak
Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil FGD yang menunjukkan
bagaimana ibu menilai kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak, yang
dibagi menjadi dua kategori, yaitu penilaian positif dan penilaian negatif.
Penilaian positif menunjukkan bahwa partisipan memandang anak yang berpikir
kritis secara positif, di mana partisipan memiliki pandangan bahwa berpikir kritis
adalah hal yang baik, serta menunjukkan emosi dan tanggapan yang positif ketika
anaknya berpikir kritis. Sedangkan penilaian negatif berarti partisipan memandang
anak yang berpikir kritis secara negatif, di mana partisipan memiliki pandangan
bahwa berpikir kritis adalah hal yang tidak baik atau menunjukkan emosi dan
tanggapan negatif ketika anaknya berpikir kritis.
a. Penilaian Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis pada Anak
Dalam penilaian ibu terhadap kemampuan berpikir kritis pada anak,
muncul penilaian positif dan penilaian negatif. Walaupun begitu, kemampuan
berpikir kritis pada anak lebih sering dinilai partisipan secara positif ketimbang
secara negatif. Salah satu bentuk penilaian positif yang muncul adalah
menganggap pola pikir anak yang berpikir kritis sudah maju dibandingkan orang
tua dulu. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
P2. Ini, iya… Haa sekarang tu, pemahamannya sudah… P1. Sekarang ni, anak-anak juga gizi tinggi to… (ha ah…) jadi pemahamannya cepat sekali. P4. [karena sekarang anak] minum susu… P1. Pola berpikirnya semakin maju. P6. Begitu ka, eksperimen eksperimen segala macam.
Beberapa partisipan juga menganggap anak yang berpikir kritis sebagai
anak yang dewasa dan matang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
P4. Tanda-tanda pintarnya, dewasanya juga… Matang.P4. Eiii dia bisa… omongnya… seperti orang tua, begitu.
Jawaban salah seorang partisipan juga menunjukkan bahwa mereka
menganggap anak pintar dan cerdas bila berpikir kritis. Hal itu juga membuat
partisipan merasa senang.
P6. Senang ka, karena… artinya tanda-tanda pintarnya sudah di depan mata (sambil tertawa kecil) …. Anak-anak ni, tanda-tanda cerdasnya sudah di sekitar kita (partisipan tertawa)
Pemikiran anak yang semakin berkembang juga membuat partisipan
merasa senang dan bangga ketika anaknya mampu berpikir kritis. Ungkapan
senang dan bangga ini cukup sering diungkapkan dan konsisten dalam ketiga
kelompok FGD yang dilakukan. Bahkan, salah seorang partisipan juga
mengungkapkan bahwa ia merasa sedih bila anaknya belum bisa berpikir kritis.
P7. Senang dan bangga. P8. Bangga. P11. Iya, bangga, bangga.
P15. Jadi dia celaka, kita yang sedih, ah anak saya ini belum bisa berpikir kritis, mana yang dia lakukan, ini bisa dilakukan dengan baik, ataukah… belum bisa dilakukan.
Salah seorang partisipan juga menganggap berpikir kritis pada anak
sebagai bakat. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
P6. Balon terbang, jadi macam-macam. Jadi selalu saja. (tertawa) Saya juga kadang (tertawa). Saya pikir eks… dengan buat coba-coba tu melatih kekritisan anak to, kalau ini tidak bisa, berarti harus begini. P1. Ha ah… harus begini. P6. Jadi bakat.
Di sisi lain, partisipan juga mengungkapkan penilaian negatif terhadap
anak yang mampu berpikir kritis. Misalnya, beberapa partisipan menganggap
bahwa pemikiran anak terkadang tidak masuk akal, yang terlihat dari jawaban
berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
P9. Kadang dorang berpikir… kita bisa masuk otak, kadang tidak.P4. Tidak, tidak pas dengan kita punya logika to?
Selain itu, para partisipan juga memiliki ketakutan di mana mereka
menganggap berpikir kritis pada anak membuat anak bosan ke sekolah.
P6. Terus ada ketakutan juga terkait dengan, di sekolah itu ka, kadang saya pikir anak ini tida mau ke sekolah ini apakah karena dia merasa bahwa dia sudah bisa lalu dia tidak ke sekolah… begitu… P2. Iya… tidak ke sekolah… P6. Itu ka nona takutnya itu. Buat mereka malas, bosan to. Hmm karena kadang, kadang saya dengar, heii malas ke sana ni kami tidak pernah tulis. Kami hanya menyanyi-menyanyi saja…
b. Penilaian terhadap Disposisi Berpikir Kritis pada Anak
Seperti penilaian terhadap kemampuan, disposisi berpikir kritis pada anak
juga dinilai partisipan secara positif sekaligus negatif. Namun berkebalikan
dengan penilaian terhadap kemampuan, disposisi berpikir kritis pada anak lebih
sering dinilai secara negatif ketimbang positif. Salah satu bentuk penilaian positif
yang muncul adalah anggapan partisipan bahwa anak yang bertanya itu baik,
agar tidak mendapat jawaban yang salah dari luar. Hal ini dimaksudkan pada
anak yang bertanya pada orang tua, bukannya pada orang lain misalnya dalam
lingkungan yang dapat memberi pengaruh buruk. Hal ini terlihat dari pernyataan
berikut:
P2. Ya… Anak bertanya. P4. Anak lihat di film-film itu to, film sinetron… Ha ah, jo itu… Ha ah, jo tanta reaksinya atau respon tanta menurut tanta, itu baik ka tida? P1. Kalau saya itu tu… anak-anak juga perlu tau ee? Haa… supaya karena ini kan perkembangan zaman to, (ha ah…) jadi kalau kita sembunyi-sembunyi, jangan sampai mereka pengaruh dari luar lebih apa lagi… Kalau dari rumah kita ajarkan ini begini, tida boleh seperti ini, Oa nonton film, tapi film ini tida boleh…
Berpikir kritis juga dipandang sebagai tingkah anak yang lucu. Hal ini
terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
P8. Dia toleh keluar jo masih gelap, ‘matahari belum naik tu le mamaaa’ aaa… (beberapa partisipan tertawa). Begitu anaknya tu. Lucu.
P8. Kalau itu… lucu, dia tu… dia berpikir mungkin kritis juga.
Penilaian positif juga dapat dilihat dari ungkapan partisipan yang merasa
senang ketika anaknya berpikir kritis, khususnya ketika anak bertanya. Bahkan
seorang partisipan juga mengatakan bahwa ia justru akan kuatir jika anak tidak
pernah bertanya.
P19. Pasti orang tua kalau anak bertanya pasti senang. Dan pasti berusaha memberikan jawaban sesuai dengan pemahaman anak.
P6. Kita senang ka daripada anak yang tidak pernah… Tidak pernah bertanya… (iya, tanya…) kan kita pasti kuatir. Malah lebih kuatir lagi. Malah lebih kuatir lagi tanta? P2. Iya… P4. Suka pendiam… Kenapa tanta Filo? P4. Suka diam, suka duduk diam… Suka diam, terus suka menyendiri, itu yang torang kuatir.
Sedangkan bentuk penilaian negatif yang muncul adalah pernyataan
partisipan yang menganggap anak yang berpikir kritis membuat orang tua lelah
dan pusing. Hal ini sangat sering muncul dalam ketiga kelompok FGD yang
dilakukan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
P1. Pusing… P4. Artinya pusing… P1. Tanya terlalu banyak…
P19. Cape… karena anak ini tanya terus-terus. P20. Sampai kita tidak bisa menjawab. P14. Kita jawab setengah-setengah juga mereka tetap tanya… P19. Tetap tanya… Ini bagaimana? P22. Atau kemarin pulang dari toko… (beberapa partisipan tertawa) Baru pulang kerja… P21. Capek…
Sejalan dengan jawaban tersebut, banyak partisipan juga mengungkapkan
pandangan bahwa berpikir kritis pada anak membuat orang tua emosi, stress, dan
jengkel, khususnya ketika anaknya terlalu banyak bertanya, yang terlihat dari
jawaban berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
P7. Jengkel… Menjengkelkan. P10. Iya. P9. Iyaa, tanya terus-terus… (partisipan tertawa) P7. Tanya terus-terus kita pun jengkeel… P12. Tanya-tanya yang kita jawab dia tanya ulaaaang… Haaa, jadi… (tertawa) P10. Tanya ulang lagi… P11. Apalagi kita lagi sementara kerja. P12. Benar… P11. Apalagi sementara kerja, lagi sibuk. P12. Haaa… P11. Dia tanyanya yang sama yang sama. P12. Saaama sama itu. P11. Kadang menjengkelkan. (partisipan tertawa) Karena kita capek. Baru… (tertawa) P10. Pulang jo…
Karena kejengkelan tersebut, para partisipan juga menyatakan bahwa
mereka merasa harus bersabar bahkan berpura-pura ketika menghadapi anak
yang berpikir kritis.
P12. Umur-umur begitu tu kita harus sabar. P10. Harus sabar betul-betul tu. P9. Mesti sabar.
P12. Heeiii kita mesti jadi artis, ee kadang senyum… (para partisipan tertawa) Iya… Jadi artis… Bisa acting begitu ya tanta… P12. Bisa acting… P11. Heii tapi… tida bisa le. (para partisipan tertawa)
Penilaian negatif dari partisipan juga terlihat dari pernyataan partisipan
yang menganggap berbahaya anak yang berpikir kritis. Jawaban ini muncul
ketika partisipan menceritakan anaknya yang melakukan eksperimen yang
berbahaya, atau ketika anak menunjukkan rasa ingin tahu terhadap adegan bunuh
diri dalam sinetron yang ditontonnya.
P6. Kadang juga bisa berbahaya to, sekali, pasang apa di tengah rumah ni ka. Dia angkat gorden semua, dia angkat jo susun, api unggun ni… (para partisipan dan moderator tertawa)
P4. Haa saya takut ngeri, tiba-tiba kita merasa begitu dia… Pikir ke arah situ… P4. Pikir ke arah situ baru dia buat itu yang bikin saya… (para partisipan tertawa) Tida bisa omong le… ‘ade mau te’ ‘Tidak! Saya cuman ee… tanya saja ema. Bunuh diri tu begitu ka?’ Jo dia lihat orang pegang dengan tali ikat di leher lagi saya juga takut… (moderator dan para partisipan tertawa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Beberapa partisipan juga menganggap anak yang berpikir kritis sebagai
tantangan bagi orang tua, yang juga menunjukkan anggapan orang tua bahwa
anak yang berpikir kritis menjadi sulit untuk dihadapi, yang terlihat dari jawaban
berikut:
P6. Tida, memang kritis ini jadi… tantangan kita orang tua untuk mengasuh anak ni. Karena ini sharing saja, tapi saya masih ingat kalau jaman dulu kan, orang tua sering apa, mengajar kita, misalnya hal-hal yang tabu, tidak boleh dibuat kan. Dengan larangan-larangan yang dibuat misalnya dengan mengarang cerita bahwa, oh itu tidak boleh karena ini. Tapi anak sekarang tidak bisa lagi. Tidak bisa… P2. Karena perkembangan… P6. Karena, karena kenapa begitu? Oh tidak begini, ha ah, pasti akan begitu. Jadi kita akan sulit, sangat sulit.P6. Makanya soal sikap kritisnya anak-anak itu kan buat kita apa… P4. Tantangan tersendiri… P2. Tantangan untuk orang tua…
Sama seperti penilaian terhadap kemampuan, hasil ini juga menunjukkan
adanya penilaian ibu terhadap disposisi yang berlawanan, walaupun lebih
didominasi oleh penilaian negatif ketimbang positif.
3. Temuan-temuan Tambahan
a. Temuan Tambahan dalam hal Pemahaman
Di luar kategori-kategori yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini
juga memunculkan beberapa jawaban yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam
kategori-kategori tersebut. Untuk itu, peneliti memasukkannya ke dalam kategori
baru. Dari hasil yang diperoleh, terdapat beberapa kategori baru baik dalam
pemahaman ibu yang mengacu pada kemampuan maupun disposisi berpikir kritis
pada anak.
Dalam kemampuan berpikir kritis, selain jawaban yang sudah dipaparkan
sebelumnya, kemampuan melakukan inovasi dan kemampuan melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
komparasi juga dipahami oleh para ibu sebagai kemampuan berpikir kritis pada
anak. Kemampuan melakukan inovasi yang dianggap ibu sebagai salah satu
kemampuan berpikir kritis terlihat dari cerita seorang partisipan tentang anaknya
yang mampu memberi ide baru, misalnya ketika anaknya memberi ide untuk
mencampur pewarna kue dengan cara yang baru.
P1. Jadi dia bilang ‘Ema, coba ema campur talas dengan pandan itu, warna beda-beda dengan cokelat itu ema, gagah sekali itu, saya suka!’ Akhirnya saya buat ternyata hasilnya bagus! ….. Beri ide, dia beri ide. ‘Coba ema buat ini coba, campur dengan ini’. Saya, ‘haiii’ dia bilang ‘coba dulu,’ betul, warna gagah. Rasanya juga beda.
Sedangkan kemampuan melakukan komparasi terlihat dari jawaban
partisipan mengenai anaknya yang mampu membandingkan dan menemukan
perbedaan antara dua hal.
P1. Haaa habis, dia pulang dari sekolah ke rumah tu dia cerita, ‘heii saya punya teman tadi tu begini begini begini…’ (tertawa) Tadi ibu mia bilang gambar pola to, di sini kan pulang saya bilang saya lihat dia punya gambar. Saya punya bilang, ‘ema tadi tu saya tida gambar pola begini!’ (para partisipan tertawa). P4. Kan emanya menjahiiit! (tertawa) (para partisipan tertawa dan menimpali dengan berbicara berbarengan) (Oooh menjahiiit… Jadi dia bilang polanya beda dengan…) P5. Dengan temannya punya mungkin… (tertawa) P4. Pola menjahit…
Dalam pemahaman ibu yang mengacu pada disposisi, sikap memaksakan
kehendak, vokal berpendapat, dan suka meniru juga dikelompokkan sebagai
beberapa kategori tersendiri. Kategori yang paling menonjol adalah anggapan
partisipan bahwa anak yang berpikir kritis adalah mereka yang memaksakan
kehendak, yaitu bersikap teguh pada pendirian dan bersikeras untuk memperoleh
yang diinginkannya. Jawaban partisipan yang menunjukkan bahwa anak memiliki
keinginan dan kemauan yang harus dipenuhi dapat dilihat dalam kutipan berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
P9. Kalau saya punya Monik itu dia sifatnya memaksa. (P11 tertawa) Dia itu, memaksa. Kalau dia punya kemauan itu, harus itu.P11. Harus itu…P9. Kita tidak bisa rubah itu, tidak bisa.
Beberapa partisipan juga menganggap bahwa anak yang memprotes bila
tidak sesuai keinginan/pandangannya merupakan anak yang berpikir kritis. Salah
satu contohnya adalah sebagai berikut:
P7. Me adenya te, ‘jangan begitu ka, ambil sendok, baru ambil piring, taroh… baru ambil sendok lagi… begitu. Rapi ka ni…’ (partisipan tertawa) Begitu… Jadi dia suka protes apa yang kakanya buat dia. (ha ah…)
Selain itu, kategori ini juga ditunjukkan dalam jawaban partisipan bahwa
anak seringkali tidak mau mengubah pendapatnya. Hal ini terlihat misalnya dari
kutipan berikut:
P4. Pusing karena kita jelaskan, jelaskan, dia tetap, ‘tidak emaa! Harus begini!’ P2. Harus pikirannya dorang…
(Lalu dia punya pemikiran sendiri dan yakin juga dengan pemikirannya walaupun kita sudah bilang, begini! Tapi dia tetap.) P4. Tetap, benar… (Harus seperti ini…) P4. Harus seperti maunya.
Walaupun begitu, ada seorang partisipan dari kelompok FGD ketiga yang
mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak termasuk dalam berpikir kritis pada
anak. Hal ini terlihat ketika peneliti menanyakan kembali kepada partisipan
tersebut:
Kalau yang tanta sebut tadi apa yang diinginkan harus dipenuhi menurut tanta itu termasuk dalam berpikir kritis atau tidak? Menurut tanta saja. P15. Itu… itu bukan berpikir kritis (sambil tertawa). Karena itu mungkin ada paksaan begitu, dipaksakan menurut kehendak begitu, (oke tanta)tidak boleh harus dipenuhi (partisipan tertawa).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kategori ini juga berlawanan
dengan salah satu disposisi berpikir kritis yang sudah ada, yaitu kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah.
Selain sifat memaksakan kehendak tersebut, disposisi lain yang beberapa
kali muncul dalam pemahaman partisipan adalah kecenderungan untuk vokal
berpendapat, yaitu disposisi untuk menyampaikan pandangan dengan berani dan
terkesan menentang. Hal ini terlihat dari jawaban partisipan yang menunjukkan
sikap anak yang berani dalam menyampaikan pendapat:
P1. Jadi pulang tu, ‘Bapa uang ka…’ Saya bilang, bapa bilang, ‘Uang tida ada!’ Bapanya ka ‘Eii uang tida ada.’ ‘Heiii kamu ni, kerja-kerja mulai pagi sampai malam ini ni, buat apa? Cari uang to? Kasih saya makan. Jadi kasih saya uang memang.’ ‘Kau tidak usah makan besok. Minta uang.’ ‘Haa besok saya tida usah makan ka, yang penting uang sini.’ (beberapa partisipan tertawa) ‘Kerja-kerja itu untuk kami ka ema, untuk siapa?’
Kategori baru yang terakhir adalah pandangan partisipan bahwa anak
memiliki kecenderungan untuk meniru, yaitu kecenderungan untuk mencontoh
dan mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Hal ini terlihat dari jawaban
partisipan yang menunjukkan bahwa anaknya cenderung mencontoh apa yang
dilakukan orang lain.
P12. Kadang mereka buat kasi contoh, mereka pulang tu, mereka jadi guru mereka buat seperti itu ka… (tertawa) P11. Ibu di sini, ajar bagaimana…P12. Bagaimana… P11. Mereka meniru.P12. Mereka umur begitu suka meniru.P11. Meniru. Ha ah. Mereka meniru.
Temuan-temuan tersebut menunjukkan pemahaman ibu di Flores yang
tidak sepenuhnya sama dengan teori yang sudah ada. Hal ini akan dibahas lebih
lanjut pada bagian pembahasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
b. Temuan Tambahan dalam hal Penilaian
Sama seperti bagian sebelumnya, terdapat beberapa temuan tambahan
dalam penilaian ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Salah satunya adalah
keragu-raguan partisipan dalam menilai berpikir kritis pada anak, di mana
partisipan masih belum dapat menentukan apakah baik kemampuan maupun
disposisi berpikir kritis pada anak dinilai secara positif atau negatif.
Keragu-raguan partisipan dalam hal penilaian salah satunya terlihat dari
partisipan P6 yang merasa bingung dan bertanya-tanya apakah anak sudah
melebihi usia perkembangannya. Hal ini terkait dengan cerita dari partisipan
tersebut bahwa anaknya sangat terobsesi dengan sains dan benda-benda luar
angkasa, mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai sains yang membuatnya
tidak mampu menjawab, serta seringkali melakukan eksperimen dengan melihat
acara televisi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
P6. Kalau dia… Jangan sampe kami punya sudah lebih dari lewat, bae tida ni? (para partisipan tertawa keras) Karena kami tidak tahu to, kami belum tau batasannya harusnya anak umur begini, sampai begini, itu kan kita tidak tahu. Tapi ya itu… Tapi mudah-mudahan kecemasan kami ini tidak, tidak benar, begitu. ….. Kadang-kadang berpikir, apakah ini, ini wajar kah, untuk seorang anak yang umur begini…
Jawaban ini menunjukkan bahwa salah satu alasan dari keragu-raguan
partisipan adalah kurangnya pengetahuan atau informasi yang dimiliki partisipan
mengenai tahapan perkembangan anak yang baik dan benar. Kebingungan dan
keragu-raguan ini ternyata juga ditunjukkan oleh beberapa partisipan yang
berbeda, yang beberapa kali melontarkan pertanyaan “Apa ini bae ka tida?”
(apakah ini baik atau tidak), misalnya dalam menanggapi cerita anak yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
mahir menggunakan komputer atau menanyakan hal-hal yang tidak terduga, atau
anak yang enggan ke sekolah karena dianggap membosankan. Hal ini
menunjukkan keragu-raguan partisipan dalam menilai berpikir kritis pada anak,
baik dalam hal kemampuan maupun disposisi.
Selain keragu-raguan tersebut, di luar rancangan awal penelitian ini, para
partisipan juga mengungkapkan jawaban yang menunjukkan perilaku mereka
ketika merespon anak yang berpikir kritis, yang dapat memunculkan hal yang
menarik untuk dibahas. Penilaian positif maupun negatif yang muncul dari FGD
yang dilakukan diperkuat dengan jawaban yang muncul mengenai perilaku yang
ibu lakukan terhadap anak yang berpikir kritis. Terkait dengan penilaian positif
yang telah dipaparkan, beberapa partisipan mengungkapkan bahwa mereka
berusaha menjelaskan sebisanya ketika anak bertanya, berusaha memberi teladan
dan berhati-hati untuk tidak memberi contoh yang buruk, bahkan mendukung
penilaian positifnya dengan membelikan sarana untuk mendukung berpikir kritis
pada anak, misalnya cat air untuk bahan eksperimen yang dilakukan anaknya.
Di sisi lain, penilaian negatif juga didukung dengan respon lanjutan dari
orang tua sebagai perilaku yang muncul dalam menghadapi anak yang berpikir
kritis. Salah satunya adalah anggapan bahwa anak yang berpikir kritis dapat
menjadi berbahaya, ditanggapi dengan usaha ibu untuk melakukan antisipasi dan
selalu berhati-hati, misalnya ketika menjawab pertanyaan anak. Sedangkan ketika
ibu merasa lelah atau pusing ketika anak terlalu banyak bertanya, beberapa
partisipan akan menghindar atau menolak menjawab pertanyaan anak, mengusir
dan menyuruh anak pergi ketika anak banyak bertanya, bahkan muncul juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
beberapa perilaku yang menurut peneliti sangat berpengaruh terhadap berpikir
kritis pada anak, misalnya reaksi partisipan yang marah dan membentak anak
ketika anak banyak bertanya. Bahkan, hampir semua partisipan menyatakan
bahwa mereka melakukan kekerasan fisik pada anak ketika berpikir kritis,
khususnya ketika anak bertanya terus-menerus. Dari jawaban partisipan,
diungkapkan bahwa hal tersebut dianggap sebagai hal biasa dan lumrah oleh para
partisipan. Hal menarik yang diamati peneliti adalah bahwa semua partisipan
terlihat sangat bersemangat ketika menjawab pertanyaan ini, saling bersahutan
secara bersamaan, bahkan tertawa.
Haaa… Tadi tanta sempat sebut tanta pukul sudah, pernah ka tida tanta? P. (berbarengan) pukul kaaaa! (moderator tertawa) P6. Tida ada yang tida pukul kami… P1. Pukul! ‘Hmh! Diam, diam, apa lagi?’ (partisipan lain tertawa) Sementara menonton film dia taaanya tanya film, itu begena? ‘Hmmhh diam!’ (memeragakan mencubit) (moderator dan para partisipan tertawa)P4. Sampe sampe sampe yang, dia puas dulu tida tanya. Kalau saya sudah malas tu pukul! Ei! (partisipan tertawa) Haa..
Temuan-temuan ini semakin menguatkan penilaian yang bertentangan dari
para partisipan, di mana muncul penilaian positif sekaligus negatif yang juga
didukung oleh perilaku partisipan ketika menanggapi anaknya yang berpikir kritis.
Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian pembahasan. Ringkasan dari hasil
FGD yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat dalam Tabel 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Tabel 4Ringkasan hasil FGD
Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada AnakKemampuan Disposisi
Kategori yang muncul
- Menginterpretasi- Melakukan inferensi- Mengevaluasi- Mengeksplanasi
- Sikap ingin tahu- Kecenderungan berpikir yang
sistematis- Kecenderungan untuk
menggunakan penalaranYang tidak muncul
- Melakukan swa-regulasi- Menganalisis
- Kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah
Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis Pada AnakKemampuan Disposisi
Positif Menganggap anak mampu berpikir kritis:- pola pikirnya maju- berbakat- pintar dan cerdas- dewasa dan matang- membanggakan dan
membuat ibu senang- jauh lebih berkembang
dibandingkan orang tua dulu
Menganggap anak yang berpikir kritis:- lucu- melakukan hal yang benar,
agar tidak mendapat informasi yang menyesatkan
- membuat ibu senang, dan justru ibu akan kuatir bila anak tidak pernah bertanya
Negatif Menganggap anak yang berpikir kritis:- pemikirannya tidak masuk
akal- akan bosan untuk pergi ke
sekolah- melebihi batas
perkembangan yang sesuai dengan umurnya
Menganggap anak yang berpikir kritis:- membuat ibu lelah dan pusing- membuat ibu stres, emosi, dan
jengkel- menguji kesabaran ibu- menganggap berbahaya- menjadi tantangan bagi orang
tua
Temuan TambahanDalam hal Pemahaman
Kemampuan DisposisiKategori baru
- Melakukan inovasi- Melakukan komparasi
- Sikap memaksakan kehendak- Vokal dalam berpendapat- Kecenderungan untuk meniru
Dalam hal PenilaianRagu-ragu; tidak dapat menentukan apakah kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak baik atau tidak
Perilaku Perilaku yang menguatkan Perilaku yang menguatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
yang muncul
penilaian positif:- Berusaha menjelaskan
sebisanya ketika anak bertanya
- Membelikan sarana untuk mendukung berpikir kritis pada anak
penilaian negatif:- Melakukan antisipasi dengan
memastikan lingkungan anak tidak memberi informasi yang berbahaya
- Menghindar atau menolak menjawab pertanyaan anak
- Mengusir dan menyuruh anak pergi ketika anak banyak bertanya
- Marah dan membentak anak yang banyak bertanya
- Melakukan kekerasan fisik ketika anak banyak bertanya (memukul, menarik, mencubit)
C. Pembahasan
1. Pemahaman Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak
Mengenai pemahaman ibu terhadap berpikir kritis pada anak, terlihat
bahwa jawaban ibu cukup luas dan mencakup hampir semua kategori dari
kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Ketika peneliti pertama kali
menyebutkan istilah berpikir kritis dalam FGD, para partisipan terlihat sedikit
kesulitan dalam menanggapinya. Peneliti mengamati bahwa istilah ini jarang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari partisipan, yang terbiasa menggunakan
bahasa daerah (baik bahasa Lamaholot maupun bahasa Nagi yang lebih mirip
bahasa Indonesia). Namun setelah peneliti memberikan definisi para ahli tentang
berpikir kritis yang disederhanakan peneliti dalam bahasa sehari-hari, para
partisipan menunjukkan bahwa mereka memahami apa yang dimaksud oleh
peneliti. Walaupun tidak familiar dengan kata ‘berpikir kritis’, jawaban partisipan
yang luas, bervariasi, dan secara garis besar cukup sesuai dengan teori berpikir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
kritis yang sudah banyak dikembangkan sebelumnya menunjukkan bahwa para
ibu di Flores sebenarnya memahami dengan baik konsep berpikir kritis,
khususnya pada anak. Hal ini secara tidak langsung dapat menunjukkan kesadaran
yang baik dari para ibu di Flores mengenai berpikir kritis pada anak.
Bila dibandingkan antara jumlah jawaban yang menunjukkan kemampuan
dan disposisi berpikir kritis, jawaban partisipan yang menunjukkan pemahaman
mengenai disposisi berjumlah jauh lebih banyak ketimbang kemampuan berpikir
kritis, bahkan mencapai dua kali lipatnya. Hal ini menunjukkan kecenderungan
ibu untuk lebih mengidentikkan berpikir kritis pada anak pada disposisi, yaitu
kecenderungan atau sifat yang menetap pada anak. Temuan dalam hal persepsi ibu
ini berbeda dengan apa yang sudah lama ditekankan dalam dunia pendidikan dan
dalam praktik asesmen, yang justru hanya berfokus pada kemampuan dan tidak
melihat disposisi berpikir kritis (Nieto & Saiz, 2011).
Dalam hal disposisi, sikap ingin tahu merupakan kategori yang paling
sering muncul dalam penelitian ini, yang jumlahnya jauh melebihi jawaban-
jawaban lain. Selain karena sikap ingin tahu mungkin merupakan disposisi yang
diidentikkan oleh para ibu sebagai ciri orang yang berpikir kritis, hal ini mungkin
juga disebabkan oleh seringnya partisipan mengalami pengalaman dengan anak
mereka yang menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Hal ini mengingat salah
satu faktor yang memengaruhi persepsi adalah familiaritas, yaitu pengenalan
berdasarkan paparan yang berkali-kali dari suatu stimulus (Oskamp, 1972, dalam
Sadli, 1977). Menurutnya pula, intensitas dan arti emosionil dari suatu stimulus
juga dapat memengaruhi persepsi seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
karakteristik anak-anak pada usia 3-5 tahun, yang termasuk pada tahap
praoperasional menurut Piaget (Santrock, 2012). Menurutnya, anak-anak pada
usia tersebut sangat identik dengan mengajukan serentetan pertanyaan yang
menunjukkan perkembangan mental, minat anak akan penalaran, serta rasa ingin
tahu intelektual anak. Piaget juga mengungkapkan bahwa pertanyaan-pertanyaan
awal anak tampak kira-kira pada usia 3 tahun, dan pada usia 5 tahun pertanyaan-
pertanyaan tersebut mulai membuat lelah orang-orang dewasa di sekitarnya.
Seringnya anak bertanya dan menunjukkan sikap ingin tahunya serta perasaan
atau emosi yang muncul ketika anak bertanya (jengkel, lelah) dapat menyebabkan
ibu mempersepsikan sikap ingin tahu sebagai salah satu bentuk berpikir kritis
dengan jumlah yang dominan. Selain sikap ingin tahu, kecenderungan berpikir
yang sistematis serta kecenderungan untuk menggunakan penalaran juga muncul
beberapa kali, namun tidak dominan. Kategori yang cukup banyak muncul ini
menunjukkan pemahaman ibu yang baik terhadap kemampuan maupun disposisi
berpikir kritis pada anak.
Kategori yang tidak muncul dalam kemampuan berpikir kritis adalah
kemampuan menganalisis dan kemampuan untuk melakukan swa-regulasi.
Sedangkan disposisi berpikir kritis yang tidak muncul adalah kecenderungan
berpikir yang tidak berat sebelah. Menurut dugaan peneliti, kemampuan
menganalisis samasekali tidak diungkapkan oleh partisipan karena pada
umumnya, anak-anak berusia 3-5 tahun hampir tidak menemui situasi yang
mengandung konten berupa paragraf atau argumen yang cukup kompleks untuk
dapat diidentifikasi bagian-bagiannya, seperti pengertian kemampuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
menganalisis yaitu kemampuan untuk menguraikan suatu pernyataan atau
argumen menjadi bagian-bagian dan menelaah bagian itu sendiri dan relasi-
relasinya (Facione, 1990). Hal ini dikarenakan misalnya dalam dunia pendidikan,
anak pada masa prasekolah memang belum mendapat materi yang berupa
paragraf, argumen yang kompleks, dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari
pun, pada umumnya anak dihadapkan pada argumen yang sederhana dan singkat,
terutama melalui komunikasi verbal.
Sementara itu, kemampuan untuk melakukan swa-regulasi tidak muncul
mungkin dikarenakan para ibu tidak menganggap hal tersebut sebagai bagian dari
berpikir kritis, atau terdapat kemungkinan bahwa anak-anak pada usia tersebut
memang belum menunjukkan kemampuan tersebut, sehingga para partisipan tidak
familiar dan tidak memiliki cerita mengenai anaknya yang sedang melakukan
swa-regulasi, yaitu kemampuan untuk memantau proses dan hasil penalaran yang
dilakukannya. Hal ini masih terkait dengan kecenderungan berpikir yang tidak
berat sebelah, yang juga tidak muncul dalam penelitian ini. Selain terdapat
kemungkinan bahwa partisipan memang tidak menganggap hal tersebut sebagai
bagian dari berpikir kritis, hal ini juga dapat disebabkan karena anak-anak pada
usia 3-5 tahun memang belum menunjukkan pemikiran yang objektif dan mau
melihat dari sudut pandang orang lain. Hal ini dapat terlihat juga dari jawaban
partisipan yang justru menekankan bahwa anak-anak pada usia tersebut sangat
memaksakan kehendak dan tidak mau mengubah pendirian atau pandangannya,
yang diangkat peneliti menjadi sebuah kategori baru. Kecenderungan ini
merupakan kebalikan dari kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah, yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
merupakan kecenderungan untuk bersikap objektif dan terbuka terhadap
pandangan yang berbeda. Dari teori perkembangan pun, Piaget menyatakan
bahwa anak-anak pada usia 2 hingga 7 tahun memiliki egosentrisme yang
menonjol, di mana anak belum bisa melihat dari sudut pandang atau perspektif
orang lain (Santrock, 2012).
Kemampuan dan disposisi yang memang belum atau hampir tidak pernah
muncul pada anak dalam kehidupan sehari-harinya dapat menjadi penyebab tidak
munculnya kategori tersebut dalam pemahaman ibu tentang berpikir kritis pada
anak. Hal ini sesuai dengan ciri objek stimuli itu sendiri yang memengaruhi
persepsi, yaitu familiaritas dan intensitasnya (Oskamp, 1972, dalam Sadli, 1977).
Dalam hal ini, apabila kemampuan atau disposisi tersebut tidak familiar atau tidak
muncul secara intens dalam kehidupan sehari-hari mereka bersama anak, hal
tersebut berkemungkinan memengaruhi persepsi yang dimiliki ibu.
Walaupun pemahaman partisipan terhadap berpikir kritis cukup luas dan
mencakup hampir seluruh kategori kemampuan dan disposisi berpikir kritis,
masih terdapat pemahaman yang berbeda dari teori yang sudah ada. Misalnya,
pemahaman yang mencakup kemampuan melakukan inovasi. Kemampuan ini
sangat identik dengan berpikir kreatif, yang tidak dapat disamakan dengan
berpikir kritis. Menurut Beyer (1989, dalam Baker & Rudd, 2001), berpikir kreatif
bersifat divergen dan mencoba menciptakan sesuatu yang baru, sementara berpikir
kritis bersifat konvergen dan berusaha menilai validitas dari sesuatu yang sudah
ada. Kemampuan melakukan komparasi juga tidak termasuk dalam kemampuan
berpikir kritis yang diungkapkan para ahli. Pemahaman ibu terhadap kemampuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
mengevaluasi juga sedikit berbeda dengan yang apa yang diungkapkan dalam
teori berpikir kritis. Persepsi yang berbeda ini juga terlihat dalam pemahaman ibu
terhadap disposisi berpikir kritis, yaitu dengan adanya temuan bahwa ibu
menganggap anak yang memaksakan kehendak, vokal berpendapat, dan senang
meniru sebagai anak yang berpikir kritis. Anggapan bahwa anak yang
memaksakan kehendak dan vokal berpendapat sebenarnya masih sejalan dengan
pengamatan peneliti sebelumnya bahwa pada umumnya, orang yang berpikir kritis
seringkali diidentikan sebagai orang yang suka mengkritik dan seringkali
dipandang negatif.
Temuan-temuan mengenai persepsi ibu yang tidak sesuai dengan teori
yang sudah ada tidak menunjukkan bahwa jawaban partisipan adalah salah.
Persepsi bersifat evaluatif dan berbentuk dugaan dari apa yang ditangkap
seseorang, sehingga apa yang diungkapkan seseorang sebagai persepsinya
memang belum tentu sesuai dengan fakta yang secara objektif benar (Mulyana,
2005). Walaupun tidak sepenuhnya sama dengan teori yang ada, hal tersebut tetap
merupakan persepsi dari para ibu di Flores mengenai konsep berpikir kritis.
2. Penilaian Ibu terhadap Berpikir Kritis pada Anak
Dalam hal penilaian, terdapat beberapa temuan yang menarik untuk
dibahas. Secara keseluruhan tanpa memisahkan penilaian terhadap kemampuan
dan disposisi, jawaban partisipan yang menunjukkan penilaian positif hampir
sama jumlahnya dengan yang menunjukkan penilaian negatif. Hal ini
menunjukkan adanya ambivalensi penilaian ibu di Flores terhadap berpikir kritis
pada anak secara umum. Namun apabila dibandingkan, penilaian positif yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
diberikan partisipan lebih sering ditujukan pada kemampuan berpikir kritis
(terutama kemampuan menginterpretasi, kemampuan melakukan inferensi, dan
kemampuan mengevaluasi), sedangkan disposisi berpikir kritis (terutama sikap
anak untuk ingin tahu dan memaksakan kehendak) lebih sering dinilai secara
negatif.
Terdapat juga jawaban di mana partisipan masih belum yakin apakah
berpikir kritis pada anak dinilai secara positif atau negatif. Dari jawaban
partisipan, dapat dilihat bahwa salah satu penyebab ibu memiliki keragu-raguan
dalam menilai berpikir kritis pada anak adalah kurangnya pengetahuan partisipan
mengenai batasan perkembangan yang wajar pada anak. Hal ini menunjukkan
bahwa walaupun para ibu di Flores sudah cukup memahami apa yang menjadi
cakupan berpikir kritis, mereka belum memiliki pengetahuan dan informasi yang
memadai dalam beberapa hal. Misalnya, mengenai tahapan perkembangan anak
yang juga berkaitan dengan proses kognisi dan kemampuan berpikirnya.
Selain itu, penilaian positif maupun negatif yang muncul dari penelitian ini
didukung pula dengan jawaban mengenai perilaku ibu terhadap anak yang
berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya,
bahwa perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
mempersepsikan suatu hal (Sherif, 1969; dalam Sadli, 1977). Perilaku yang
muncul juga mengandung pertentangan, yaitu terdapat perilaku yang mendukung
anak untuk berpikir kritis sekaligus perilaku yang sebenarnya dapat menghambat
perkembangan berpikir kritis pada anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Jawaban-jawaban yang bertentangan ini menjadi temuan menarik dalam
penilaian ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Ditambah lagi, terdapat temuan
bahwa ibu kesal dan jengkel sehingga memukul dan membentak anak yang
banyak bertanya, padahal di sisi lain para partisipan merasa senang dan bangga
bila anaknya berpikir kritis. Hal ini terkait dengan salah satu sifat persepsi yaitu
kontekstual, di mana konteks atau situasi saat suatu objek dipersepsikan dapat
sangat memengaruhi persepsi seseorang (Mulyana, 2005). Misalnya saja kondisi
fisik, kegiatan yang sedang dilakukan, dan rasa lelah ibu ketika anaknya bertanya
dapat sangat memengaruhi persepsi yang dimiliki ibu. Banyak partisipan yang
mengeluh bahwa mereka seringkali merasa lelah karena baru pulang kerja, namun
anak banyak bertanya secara berulang-ulang sehingga membuat mereka jengkel.
Para ibu juga mempersepsikan negatif anak yang banyak bertanya ketika ibu
sedang sibuk melakukan sesuatu, misalnya pekerjaan rumah tangga, atau ketika
sedang menonton televisi. Hal ini juga didukung dengan pendapat Sherif (1969,
dalam Sadli, 1977), yaitu persepsi sebagai salah satu proses psikologis dalam diri
individu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam diri individu yang mencakup
motif-motif sikap, ambisi, serta keadaan seseorang seperti lelah, mengantuk, dan
lain-lain. Hal ini juga terlihat dari jawaban partisipan sebagai berikut:
P2. Tergantung situasi, nona. Kadang-kadang mereka bertanya, kami senang menjawab. (iya…) Tapi ketika kami sedang ada pekerjaan, atau apa itu… itu buat jengkel… Ha… Jadinya, hasil akhirnya marah-marah ke mereka jadinya… (tertawa)
Dari jawaban di atas, dapat dilihat bahwa partisipan tidak dapat
mengendalikan emosi dikarenakan lelah dan jengkel. Walaupun begitu, perilaku
ibu ini sebenarnya sudah termasuk ke dalam bentuk kekerasan pada anak, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
kekerasan fisik dan verbal. Padahal jika anak dibentak atau dipukul ketika banyak
bertanya, anak dapat menganggap apa yang dilakukannya salah dan dapat
membuatnya enggan atau takut untuk bertanya dan menunjukkan rasa ingin
tahunya. Hal ini dapat menghambat tumbuhnya berpikir kritis pada anak. Dampak
lain adalah anak kemudian akan mencari tahu dari lingkungannya karena
mendapat perlakuan tersebut dari orang tua, padahal lingkungan bisa saja
memberi informasi yang tidak disaring atau berbahaya untuk anak. Akan tetapi,
para partisipan mengungkapkan bahwa mendidik anak dengan kekerasan fisik
maupun verbal sudah dianggap wajar dan lumrah dalam lingkungan partisipan,
bahkan di luar konteks anak yang berpikir kritis. Kekerasan terhadap anak dalam
praktik pengasuhan, khususnya di Indonesia pada umumnya memang masih
sering dilakukan oleh orang tua yang masih tinggal di daerah pedesaan, atau
mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Namun dalam
penelitian ini, kekerasan fisik dan verbal terhadap anak bahkan masih dilakukan
oleh para partisipan yang sudah mencapai tingkat pendidikan S1 di luar kota dan
memiliki pekerjaan yang mumpuni. Temuan ini menunjukkan masih adanya
praktik pengasuhan anak yang kurang tepat, walaupun partisipan juga
mengungkapkan bahwa mereka melakukan hal tersebut karena menyayangi anak
dan demi kebaikan anak sendiri.
Terlepas dari perilaku negatif tersebut, dari hasil penelitian ini dapat
dilihat bahwa sesuai budaya Lamaholot yang mengutamakan kebenaran,
kejujuran, keadilan dan kepastian, mendorong atmosfer yang demokratis dalam
praktik musyawarah, serta mengharapkan anak untuk menjadi generasi yang lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
baik dan berkualitas, para ibu di Flores memang menginginkan anaknya untuk
dapat berpikir kritis. Temuan ini berlawanan dengan anggapan bahwa dalam
masyarakat Indonesia, anak diharapkan untuk menjadi submisif dan bergantung,
sementara menjadi individu yang independen dan memiliki kemampuan untuk
mengembangkan pemikirannya dipandang tidak penting samasekali (Setiadi,
1986; Chandra, 2004; dalam Chandra, 2008). Dalam penelitian ini justru
ditemukan ungkapan para ibu yang senang dan bangga karena anak dianggap
memiliki “otak yang tajam” dan “pemikiran yang maju dan cerdas” walaupun
diungkapkan melalui pernyataan anak yang kritis dan terkesan menentang.
Temuan ini cukup menarik karena hal ini juga bertentangan dengan anggapan
bahwa para orang tua di Flores cenderung bersikap superior dan otoriter terhadap
anaknya, yang biasanya akan marah, membentak, atau menghukum anak bila anak
menentang atau ‘berani’ terhadap orang tuanya (Dus Letor, komunikasi pribadi,
25 November, 2016). Perilaku marah, membentak, atau memukul memang
muncul dari hasil penelitian ini, namun menurut peneliti hal tersebut lebih
disebabkan oleh rasa lelah dan jengkel ketimbang sikap otoriter orang tua yang
menyebabkan anak tidak boleh menentang atau mempertanyakan orang tua yang
‘selalu benar’.
Walaupun begitu, terdapat kemungkinan bahwa hal ini hanya terjadi pada
ibu dan tidak pada ayah. Ini terlihat dari jawaban P6 yang secara tidak langsung
mengungkapkan bahwa tidak seperti ibu, ayah masih memiliki superioritas
terhadap anak:
P6. Tapi kadang anak-anak ini kan, tida tahu yang lain, tapi saya punya ni kayaknya sudah biasa to, pukul tu tida terlalu pengaruh juga. Tapi kalau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
bapanya satu kali bersuara, maka langsung. P5. Saya punya juga sama, kalau dengan bapanya hanya, ‘Adek!’ Haa. Langsung dia diam… Langsung diam… P2. Langsung ada resp… ada reaksi… P5. Tapi kalau dengan kita, mamanya, oo tidak. P2. Mau sampe mulut berbusa juga… (partisipan lain tertawa) P6. Mungkin karena kita… set… P5. Setiap hari ni… P6. Setiap hari jadi sudah tidak ada pengaruhnya lagi. (tertawa)
Hal ini sesuai dengan budaya patriarki yang diterapkan dalam kebanyakan
etnis di Indonesia, termasuk etnis Flores. Hal ini menyebabkan anak cenderung
lebih takut terhadap ayah yang dianggap sebagai figur otoritas, berbeda dengan
ibu yang seringkali dianggap sebagai sosok yang lembut dan penyayang. Peneliti
menduga jawaban dan temuan yang berbeda akan diperoleh jika peneliti juga
mendalami persepsi ayah terhadap berpikir kritis pada anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
mengenai persepsi ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak, yaitu:
1. Secara umum, pemahaman ibu di Flores terhadap berpikir kritis pada anak
menunjukkan cakupan jawaban yang luas dan meliputi hampir seluruh
kategori kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Walaupun pada pemahaman
ibu masih terdapat sedikit perbedaan dengan teori yang ada, dapat dikatakan
bahwa secara keseluruhan para ibu di Flores memahami dengan baik konsep
berpikir kritis yang mencakup kemampuan dan disposisi.
2. Kategori-kategori yang dipahami ibu di Flores sebagai kemampuan berpikir
kritis pada anak mulai dari yang paling sering muncul hingga yang paling
jarang muncul adalah kemampuan menginterpretasi, kemampuan melakukan
inferensi, kemampuan mengevaluasi, dan kemampuan mengeksplanasi. Di
luar kategori-kategori tersebut, kemampuan melakukan inovasi dan
kemampuan melakukan komparasi juga dipahami ibu di Flores sebagai
kemampuan berpikir kritis pada anak. Kategori kemampuan berpikir kritis
yang tidak muncul dalam pemahaman ibu adalah kemampuan untuk
melakukan swa-regulasi dan menganalisis.
3. Kategori-kategori yang dipahami ibu di Flores sebagai disposisi berpikir kritis
pada anak mulai dari yang paling sering muncul hingga yang paling jarang
muncul adalah sikap ingin tahu, kecenderungan berpikir yang sistematis, serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
kecenderungan untuk menggunakan penalaran. Di luar kategori-kategori
tersebut, terdapat beberapa temuan baru yang dipahami ibu di Flores sebagai
disposisi berpikir kritis pada anak, yaitu sikap memaksakan kehendak,
kecenderungan untuk vokal dalam berpendapat, serta kecenderungan untuk
meniru. Disposisi yang tidak muncul dalam pemahaman ibu adalah
kecenderungan berpikir yang tidak berat sebelah.
4. Sikap ingin tahu sebagai disposisi berpikir kritis, merupakan jawaban yang
paling dominan diungkapkan sebagai pemahaman ibu terhadap berpikir kritis
pada anak. Hal ini terkait dengan usia perkembangan anak 3-5 tahun yang
memang sedang dalam puncak masa ‘haus tanya’.
5. Secara umum, para ibu lebih familiar dengan disposisi berpikir kritis
ketimbang kemampuan, terlihat dari jawaban mengenai disposisi yang jauh
lebih banyak dibandingkan jawaban mengenai kemampuan dalam hal
pemahaman ibu terhadap berpikir kritis pada anak. Hal ini berkebalikan
dengan kecenderungan yang terjadi di dunia pendidikan, di mana kemampuan
berpikir kritis lebih ditekankan ketimbang disposisi berpikir kritis.
6. Dalam hal penilaian terhadap berpikir kritis pada anak, secara umum,
penilaian positif hampir sama banyaknya dengan penilaian negatif. Namun
ketika dicermati lebih jauh, penilaian positif yang diberikan partisipan lebih
sering ditujukan pada kemampuan berpikir kritis (terutama kemampuan
menginterpretasi, kemampuan melakukan inferensi, dan kemampuan
mengevaluasi), sedangkan disposisi berpikir kritis (terutama kecenderungan
anak untuk ingin tahu dan memaksakan kehendak) lebih sering dinilai secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
negatif. Penilaian positif dan negatif ini juga diperkuat oleh jawaban partisipan
yang menunjukkan perilaku yang mendukung penilaian tersebut, baik perilaku
yang mendukung penilaian positif (dengan berusaha menjawab pertanyaan
anak dan membelikan sarana untuk anak) maupun perilaku yang mendukung
penilaian negatif terhadap berpikir kritis pada anak (dengan melakukan
antisipasi, menghindari atau mengusir anak yang bertanya, menolak menjawab
pertanyaan anak, serta melakukan kekerasan fisik dan verbal pada anak yang
terlalu banyak bertanya). Di sisi lain, terdapat pula jawaban partisipan yang
menunjukkan keragu-raguan, di mana partisipan tidak dapat menentukan
apakah disposisi maupun kemampuan berpikir kritis pada anak dinilai secara
positif atau negatif karena tidak mengetahui bagaimana tahapan
perkembangan anak yang normal.
7. Temuan bahwa ibu memarahi, membentak, atau melakukan kekerasan fisik
pada anak menurut peneliti muncul lebih karena rasa lelah, jengkel, dan
kebiasaan para ibu di Flores untuk melakukan kekerasan fisik maupun verbal
pada anak, ketimbang karena tuntutan akan kepatuhan dan superioritas dari
orang tua terhadap anak. Walaupun begitu mungkin dapat ditemukan jawaban
yang berbeda apabila penelitian juga melibatkan subjek ayah, yang cenderung
lebih ditakuti oleh anak ketimbang ibu.
8. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun para ibu di Flores sudah
memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep berpikir kritis dan memiliki
penilaian yang positif terhadap anak yang berpikir kritis, temuan yang
bertentangan bahwa ibu juga memiliki penilaian yang negatif dan ragu-ragu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
serta adanya perilaku atau respons ibu yang menghambat berpikir kritis pada
anak, menunjukkan bahwa para ibu di Flores masih perlu dibekali dengan
informasi yang memadai mengenai tumbuh kembang anak dan praktik
pengasuhan yang tepat.
B. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
1. Dalam hal subjek penelitian, peneliti masih kurang melibatkan para ibu yang
berpendidikan rendah, di mana dalam FGD yang dilakukan, partisipan yang
merupakan lulusan SD dan SMP masih berjumlah sangat sedikit dibandingkan
partisipan yang merupakan lulusan SMA, SMK, D3, atau S1. Penelitian ini
juga tidak meliputi daerah-daerah lain di Flores, Nusa Tenggara Timur, yang
masih terdiri dari banyak subetnis lain, serta kurang melibatkan partisipan
yang berasal dari daerah pedalaman karena alasan teknis dan penggunaan
bahasa daerah yang tidak dikuasai peneliti. Peneliti juga tidak melibatkan
ayah, padahal jawaban yang diperoleh mungkin berbeda.
2. Peneliti kurang bisa mengatur setting FGD sehingga kurang efektif, misalnya
kurang mengatur lokasi agar tidak bersebelahan dengan tempat bermain anak-
anak, atau mengatur waktu pelaksanaan agar tidak bertabrakan dengan jam
anak-anak masih bersekolah, yang cukup mengganggu. Jumlah partisipan
dalam FGD ketiga pun masih di luar rencana.
3. Peneliti kurang banyak melakukan rapport dalam FGD ketiga, sehingga
beberapa partisipan masih malu-malu dalam mengungkapkan pendapatnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
C. Saran
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Peneliti selanjutnya dapat memperkaya cakupan partisipan, misalnya meneliti
partisipan yang berpendidikan rendah atau dari subetnis lain serta dari daerah
pedalaman, juga dapat melibatkan ayah.
2. Peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang berpikir kritis pada anak secara
lebih mendalam, terkait temuan peneliti bahwa persepsi ibu yang sama sekali
tidak mencakupkan kemampuan swa-regulasi dan disposisi pemikiran yang
tidak berat sebelah.
b. Bagi Para Ibu
1. Para ibu disarankan untuk menciptakan situasi tumbuh kembang anak yang
kondusif bagi kemampuan dan disposisi berpikir kritis pada anak, dengan
menerapkan perilaku yang mendukung seperti menjawab pertanyaan anak,
menyediakan sarana prasarana bagi anak (misalnya membelikan permainan
untuk mendukung berpikir kritis, menyediakan bahan anak untuk
bereksperimen, membelikan buku cerita atau buku aktivitas interaktif yang
dapat memancing kekritisan anak), dan sebagainya.
2. Disarankan untuk tidak melakukan kekerasan fisik maupun verbal pada anak
yang sedang berpikir kritis, karena dapat menghambat perkembangan berpikir
kritis pada anak.
3. Lebih mencari informasi mengenai tumbuh kembang anak dan mengenai cara-
cara pengasuhan yang tepat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
c. Bagi Pemerintah atau Instansi Terkait
1. Menggalakkan pentingnya berpikir kritis baik dalam bidang pendidikan
maupun dalam pengasuhan orang tua.
2. Mengadakan intervensi bagi para ibu di Flores misalnya dalam bentuk
sosialisasi mengenai berpikir kritis, maupun mengenai tumbuh kembang anak
dan praktik pengasuhan yang tepat dan baik untuk anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
DAFTAR ACUAN
Anderson, L.W., & Krathwohl, D.R., (Peny.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of bloom’s taxonomy of educational objectives (Ed. rev.). United States: Longman, Inc.
Bailin, S., Case, R., Coombs, J.R., & Daniels, L.B. (1999). Conceptualizing critical thinking. Journal of Curriculum Studies, 31 (3), 285-302.
Baker, M., & Rudd, R. (2001). Relationships between critical and creative thinking. Journal of Southern Agricultural Education Research, 51(1), 173-188.
Bebe, M.B. (2014). Panorama budaya Lamaholot: Kekerabatan, ritus perjamuan, adat kematian, rekonsiliasi, dan bahasa arkais. Larantuka: YPPS Press.
Chandra, J.S. (2004). Notions of critical thinking in Javanese, Batak Toba and Minangkabau culture. Dalam B. N. Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner, & Y.P. Poortinga (Peny.). Ongoing themes in psychology and culture: Selected papers from the Sixteenth International Congress of the International Association for Cross-cultural Psychology (hh. 275-294). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Chandra, J.S. (2008). A Vygotskian perspective on promoting critical thinking in young children through mother-child interactions. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan. Murdoch University, Australia.
Creswell, J.W. (2014). Penelitian kualitatif & desain riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davis-Seaver, J. (2000). Critical thinking in young children. New York: Edwin Mellen Press.
Duncan, G.J., & Magnuson, K. (2004). Individual and parent-based intervention strategies for promoting human capital and positive behavior. Dalam P.L., Chase-Lansdale, K, Kiernan., & R.J., Friedman (Peny.), Human Development Across Lives and Generations: The Potential for Change, hh. 93-138. Cambridge: Cambridge University Press.
Facione, P.A., Facione, N.C., & Giancarlo, C.A. (2000). The disposition toward critical thinking: Its character, measurement, and relationship to critical thinking skill. Informal Logic, 20, 61-84.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Facione, P.A. (1990). Critical thinking: A statement of expert consensus for purposes of educational assessment and instruction. Executive Summary: The Delphi Report. California Academic Press.
Facione, P.A. (2013). Critical thinking: What it is and why it counts. Measured Reasons and The California Academic Press. Millbrae: Insight Assessment.
Fisher, A. (2001). Critical thinking: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
Hayon, Y.S. (2007). Etika dan moralitas Lamaholot bagi pejabat publik: Belajar dari tradisi pembangunan koko bale dan pembukaan eta (etan). Dalam Herin S.S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah (hh. 107-166).Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.
Hurit, S.P. (2016, November). Menjadi manusia Lamaholot. Warta Flobamora, 23, 16-19.
Kennedy, M., Fisher, M.B., & Ennis, R.H. (1991). Critical thinking: Literature review and needed research. Dalam L. Idol & B.F. Jones (Peny.), Educational values and cognitive instruction: Implications for reform (hh. 11-40). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum & Associates.
Kleden, P.B. (2007). Relevansi etika lokal dalam era globalisasi: Sebuah pengantar. Dalam Herin S. S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah(hh. 7-22). Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.
Lai, E.R. (2011). Critical thinking: A literature review. Pearson Research Report.
Lun, V.M.-C. (2010). Examining the influence of culture on critical thinking in higher education. Disertasi doktor yang tidak diterbitkan. Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand.
Mulyana, D. (2005). Ilmu komunikasi: Suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Murphy, P.K., Rowe, M.L., Ramani, G., & Silverman, R. (2014). Promoting critical-analytic thinking in children and adolescents at home and in school. Educational Psychology Review, 26, 561-578. New York: Springer Science and Business Media.
Nieto, Ana M., & Saiz, Carlos. (2011). Skills and dispositions of critical thinking: Are they sufficient? Anales De Psicología, 27(1), 202-209.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Padji. (1992). Meningkatkan keterampilan otak anak (psikologi perkembangan anak): Menyongsong masa depan yang lebih cemerlang. Bandung: CV Pionir Jaya.
Richmond, J.E.D. (2007). Bringing critical thinking to the education of developing country professionals. International Education Journal, 8(1), 1-29.
Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Organizational behavior (ed. ke-15). USA: Pearson.
Sadli, S. (1977). Persepsi sosial mengenai perilaku menyimpang. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Sanga, F. (2007). Nilai-nilai dasar budaya Lamaholot: Sebuah konsep pembangunan daerah yang berpijak pada kearifan lokal. Dalam Herin S.S. (Peny.), Sketsa budaya Lamaholot etika dan moralitas publik: Konsepsi kearifan lokal dalam pembangunan daerah (hh. 36-72). Larantuka: Penerbit Yayasan Cinta Kasih.
Santrock, J.W. (2012). Life-span development: Jilid 1 (ed. ke-13). University of Texas, Dallas: Mc Graw-Hill.
Setyawan, Davit. (2015, Februari 11). KPAI: Ribuan anak indonesia jadi korban pornografi internet. Diakses tanggal 19 Agustus 2016 dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-ribuan-anak-indonesia-jadi-korban-pornografi-internet-2/g
Supratiknya, A. (2015). Metodologi penelitian kuantitatif & kualitatif dalam psikologi. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Syamsu, Yusuf L.N. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Young, K. 1956. Social psychology. New York: McGraw-Hill.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI