326
i TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA (Suatu Tinjuan Sosiopragmatik) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Disusun oleh: Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya 101224017 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2014 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIrepository.usd.ac.id/3795/2/101224017_full.pdf · iv MOTTO “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah menulis, ia akan

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA

PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO

YOGYAKARTA

(Suatu Tinjuan Sosiopragmatik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Disusun oleh:

Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya

101224017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

iv

MOTTO

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah menulis,

ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

(Pramoedya Ananta Toer)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini

dikarenakan orang-orang tidak menyadari

betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.”

(Thomas Alva Edison)

“Kecerdasan bukan penentu kesuksesan, tetapi usaha, semangat, dan kerja keras

merupakan penentu kesuksesanmu yang sebenarnya.”

(Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Untuk Tuhanku

Yesus Kristus

Yang telah memberikan rahmat, berkat, dan karunia-Nya untuk mewujudkan doa-

doa serta harapanku untuk mencapai keberhasilan ini.

“Thank My Lord Jesus”

Untuk Kedua Orang Tuaku Tercinta

Aloysius Teddy Harmeidjaya dan Maria Magdalena Massa Mieke

Yang dengan sabar dan tulus memberikan doa-doa, motivasi, dukungan, dan

semangat agar puncak keberhasilan dapat kuraih dengan sempurna.

“Thankful for My Beloved Family”

Untuk Kakakku Tersayang

Aloysia Dian Andriana Martiani Lova

Yang senantiasa memberikan motivasi, petuah, dan doa untuk keberhasilanku

baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.

“Thank You My Lovely Sister”

Untuk Sahabat Terbaikku

Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu

Yang selalu setia menemani di saat kuliah, menari, jalan-jalan, dan mengerjakan

skripsi hingga saat ini aku mulai membuka pintu gerbang keberhasilanku. Suka

duka telah kita alami bersama. Kebersamaan dalam persahabatan inilah yang turut

memacu semangatku untuk segera meraih gelar S.Pd.

“Thank You My Best Friend”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

viii

ABSTRAK

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. Tingkat Kesantunan Berbahasa

Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan

Sosiopragmatik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1)

tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogykarta dan

(2) tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta.

Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif sesuai dengan data

penelitian dan tujuannya. Data penelitian ini adalah data tuturan langsung penjual

dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan

Februari-April 2014 dan tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena tingkat

kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode

observasi partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data yang dilakukan

oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif yang

dijabarkan ke dalam empat tahapan, yaitu tahap klasifikasi, tahap identifikasi,

tahap interpretasi, dan yang terakhir adalah tahap deskripsi.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang

merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan berbahasa

penjual/pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kedua, tingkat

kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal

tersebut dapat dilihat melalui tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh

Geoffrey Leech (1983) sebagai acuan alat ukur tingkat kesantunan berbahasa

tersebut, yaitu: (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala

ketidaklangsungan. Tidak hanya itu, tingkat kesantunan berbahasa dalam

penelitian ini juga dianalisis dengan lima aspek lainnya, yakni: (1) penggunaan

sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) pemakaian diksi: penggunaan kata

yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai, dan (5) pemakaian gaya bahasa:

kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Ternyata berdasarkan hasil analisis telah dibuktikan bahwa tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian

besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Ada banyak

anggapan orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual

lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli, berdasarkan

hasil analisisnya dapat diluruskan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pembelilah

yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.

Kata kunci: pragmatik, sosiopragmatik, kesantunan, diksi, gaya bahasa, sapaan,

alih kode, dan campur kode.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ix

ABSTRACT

Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. The Speech Politeness Level of

“Perko” Sellers at Malioboro Sidewalk, Yogyakarta (A Socio-

pragmatic Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research describes the speech politeness level of “perko” sellers at

Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is divided into two criteria, those are (1)

the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta,

and (2) the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk,

Yogyakarta.

This research is a qualitative research regarding the research data and

the research objectives. This research data is the sellers‟ and buyers‟ direct

speech data at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is taken in

February-April 2014 and the objective of this research is to describe the speech

politeness phenomenon of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta.

The gathering data methods of this research are observation participative method

and listen-write method. Data analysis technique of this research to become

reconciled with descriptive analysis study which is analyzed into four steps, those

are classification step, identification step, interpretation step, and the last is

description step.

Based on the problem formulation that has been decided before, there are

two results of this research. First, the sellers‟ speech politeness level at “perko”

Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Second, the buyers‟ speech politeness level at

“perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Those results are based on the three

speech politeness levels stated by Leech (1983) as the speech politeness scale,

they are: (1) loss and profit scale, (2) code-switching, (3) code-mixing, (4) diction

using: the appropriate using and find the right one, (5) language style using: the

honesty, politeness and interesting.

Based on the research, it proves that most of the sellers‟ speech politeness

level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is polite enough and most of the

buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is

impolite. There are a lot of people‟s opinion that the sellers‟ speech politeness

level is lower than the buyers‟ speech politeness level, but based on the analysis

result of the research can be concluded that the buyers‟ speech politeness level is

lower than the sellers‟ speech politeness level.

Keywords: pragmatic, socio-pragmatic, politeness, diction, language style,

greeting, code-switching, and code-mixing.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa, karena atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Tingkat Kesantunan Berbahasa

Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan

Sosiopragmatik) dengan baik dan lancar. Tugas akhir dalam bentuk skripsi ini

merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan meraih

gelar sarjana pendidikan sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan

Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),

Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar berkat

bantuan, doa, dukungan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu,

penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

Sastra Indonesia yang telah setia mendampingi dan mendukung penulis

secara akademis selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan

dukungan dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat dengan

giat dan semangat menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan setia,

pengertian, dan penuh kesabaran telah membimbing, memotivasi,

berdiskusi, mengarahkan, dan memberikan banyak masukan yang sangat

berharga bagi penulis mulai dari awal proses hingga akhir penulisan

skripsi ini selesai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang juga

dengan setia memberikan doa, dukungan, semangat, pengertian, penuh

dengan kesabaran, dan ketelitian telah membimbing, memotivasi,

mengarahkan, dan memberikan masukan yang berharga kepada penulis

sehingga penulisan skripsi ini dapat dikerjakan dengan baik.

6. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. selaku triangulator yang bersedia membantu

penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI)

yang telah mendidik, mengarahkan, dan menuntun penulis selama masa

studi dan berproses bersama dalam usaha mendalami berbagai ilmu

kependidikan dan kebahasaan, khususnya bahasa dan sastra Indonesia,

sebagai bekal dan harta yang sangat berharga bagi penulis untuk terjun ke

dunia pendidikan yang sesungguhnya sebagai guru dan pendidik sejati.

8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan Sekretariat Program Studi Pendidikan

Bahasa Sastra Indonesia yang dengan tekun dan sabar memberikan

pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan

administrasi dan urusan penyelesaian skripsi ini.

9. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., selaku Kepala Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan segenap staf perpustakaan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan

kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk mengerjakan tugas akhir ini

di ruang perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

10. Reinardus Aldo Agassi, S.Pd., yang senantiasa mendampingi, menemani,

memberikan pengarahan, memberikan doa, dukungan, bantuan, dan

semangat kepada penulis mulai dari awal masuk perkuliahan di

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar.

11. Vhrizca Magha Reginna, Brigitta Swaselia Kasita, Yosevin Winda

Christiana, Christian Adven Saputra, Ignatius Aji Pamungkas, Cosmas

Krisna, Hendrianus Ndori, Septian Aji Purnomo, dan Stefanus Edo yang

selalu menemani, memberikan dukungan, doa, dan semangat membara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

kepada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan

baik dan benar.

12. Teman-teman dari GRISADHA (Group Tari Sanata Dharma) Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta, khususnya Agus Susanto, Aprilia Witta, Dwi.

D. Mayasari, Dessiana Adityawati, Diana, Meilani, Tirza, Yessi, Galuh,

Shella, Dina, Ocha, Carolina Aci, Dhesy Novitasari, Marcelina Felix,

Regia Putriyani Setiabudi, Tiara Pawestri, dan semuanya yang selalu

memberikan semangat, doa, dan dukungan penuh kepada penulis untuk

dapat terus maju menuju pintu gerbang kesuksesan dan meraih gelar S.Pd.

13. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI)

Angkatan 2009, khususnya Bambang Sumarwanto, Ade Henta, Agatha

Wahyu Wigati, Clara Dika, Elizabet Ratih Handayani, Asteria Ekaristi,

Jati Kurniawan, Dedy Setyo Herutomo, Martha Ria Hanesti, Nuridang

Fitranagara, Satrio Nugroho, Yuli Astuti, Yustina Cantika Advensia,

Yudha Hening Pinandhito, dan semuanya yang senantiasa memberikan

pengarahan, bimbingan, dukungan, dan semangat kepada penulis mulai

dari awal pembuatan tugas akhir ini hingga tugas akhir ini selesai.

14. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa sastra Indonesia (PBSI)

Angkatan 2010, khususnya Andreas Dwi, Anita Sugiyatno, Anne Septi,

Brigita Familia, Caecilia Dhani Anjar Reni, Chatarina Susanti Ready,

Cicilia Ingga, Krissantus Roparman, Dwi Kristanto Saputro, Fitri Apri

Susilo, Restituta Devi Pramesti, Gusti Dinda Damarsasi, Maria Tri

Wijayanti, Maulida Reswari, Mega Yoshinta, I Putu Ariyana, Rengganis

Retno Saputri, Resti Wulandari, Maria Sorenada, Sebastianus Seno

Kurniawan, Agustina Marshella, Wilvridus Yolesa, dan semuanya yang

setia menemani penulis dalam suka dan duka; tangis dan tawa; sukses dan

gagal selama proses belajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra

Indonesia (PBSI). Kebersamaan dan persaudaraan membuat kita mampu

melewati segala batas-batas dan sekat-sekat perbedaan demi tujuan yang

mulia yakni menjadi guru bahasa Indonesia yang sejati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii

Penulis menyadari bahwa ada banyak pihak lainnya yang dengan berbagai

cara telah membantu dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses

pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Tanpa mengurangi rasa

hormat kepada berbagai pihak tersebut yang namanya tidak sempat disebutkan

satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan sumbangan ide yang membangun

kiranya dapat disampaikan kepada penulis demi penyempurnaan tulisan ini.

Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi

inspirasi bagi peminat studi kebahasaan, khusunya ilmu pragmatik,

sosiolinguistik, dan sosiopragmatik untuk penelitian lebih lanjut.

Yogyakarta, 28 Oktober 2014

Penulis

Fransisca Dike Desintya DS

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

MOTTO ......................................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ vii

ABSTRAK ..................................................................................................... viii

ABSTRACT .................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xviii

DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xx

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

1.5 Batasan Istilah ........................................................................................... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 9

1.7 Sistematika Penelitian ............................................................................... 9

BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 11

2.1 Penelitian yang Relevan ............................................................................ 11

2.2 Kajian Teori .............................................................................................. 13

2.2.1 Sosiolinguistik ................................................................................. 13

2.2.1.1 Sapaan ................................................................................. 15

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xv

2.2.1.2 Alih Kode ........................................................................... 17

2.2.1.3 Campur Kode ...................................................................... 19

2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa .......................................................... 20

2.2.2.1 Pragmatik ............................................................................ 20

2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan .............................................. 25

2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan ................................ 29

2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan ........................................... 35

2.2.2.2 Pandangan Sosial ................................................................ 38

2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun ............................................. 42

2.2.2.4 Maksim Percakapan ............................................................ 45

2.2.2.5 Konsep Muka ...................................................................... 47

2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan .......................... 48

2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ......................................... 49

2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa ..................................................... 55

2.2.4 Sosiopragmatik ............................................................................... 58

2.2.5 Konteks ........................................................................................... 62

2.3 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 63

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 65

3.1 Jenis Penelitian .......................................................................................... 65

3.2 Sumber Data dan Data .............................................................................. 66

3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................. 67

3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 68

3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 70

3.6 Triangulasi Data ........................................................................................ 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 75

4.1 Deskripsi Data ........................................................................................... 75

4.2 Hasil Analisis Data .................................................................................... 83

4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta .................................................................... 83

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvi

4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 84

4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 84

4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 106

4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 116

4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 124

4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 125

4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 135

4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta .................................................................... 145

4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 147

4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 147

4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 165

4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 172

4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 179

4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 180

4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 191

4.3 Pembahasan ............................................................................................... 201

4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta .................................................................... 202

4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 204

4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 204

4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 206

4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 207

4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 210

4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 210

4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 212

4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta .................................................................... 213

4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 215

4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 215

4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 217

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvii

4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 218

4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 222

4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 222

4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 224

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 229

5.1 Simpulan ................................................................................................... 229

5.2 Saran .......................................................................................................... 232

5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan ................................................................. 232

5.2.2 Bagi Guru ........................................................................................ 233

5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa ........................................................... 234

5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa .................................................. 234

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 235

LAMPIRAN ................................................................................................... 237

Lampiran 1 Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta ................................................................................... 237

Lampiran 2 Tabulasi dan Triangulasi Data Tuturan Pedagang “Perko”

Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................... 259

BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 306

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta ......................................................................... 79

Tabel 2 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar

Malioboro Yogyakarta yang Digunakan dalam Analisis Data ............. 82

Tabel 3 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala

Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................... 105

Tabel 4 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Pilihan

(Optionality Scale) ................................................................................ 116

Tabel 5 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala

Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................... 124

Tabel 6 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 129

Tabel 7 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian

Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................... 135

Tabel 8 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 138

Tabel 9 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian

Gaya Bahasa .......................................................................................... 145

Tabel 10 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala

Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................. 164

Tabel 11 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Pilihan

(Optionality Scale) .............................................................................. 172

Tabel 12 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala

Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................. 179

Tabel 13 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xix

Tabel 14 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian

Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................. 191

Tabel 15 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda

Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 194

Tabel 16 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian

Gaya Bahasa ........................................................................................ 201

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xx

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1 Kerangka Berpikir ........................................................................... 64

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bagian ini memuat tentang (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3)

tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) ruang lingkup

penelitian, dan (7) sistematika penulisan. Uraian secara lengkap bagian

pendahuluan dipaparkan berikut ini.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki alat komunikasi

sebagai penanda adanya komunikasi antarmanusia, yaitu bahasa. Bahasa

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam berkomunikasi.

Manusia menggunakan bahasa sebagai alat interaksi dengan sesamanya. Interaksi

antara satu orang dengan yang lainnya ini sangat penting. Interaksi ini dapat

berupa tulisan maupun lisan. Bentuk interaksi lisan dapat diartikan sebagai bentuk

percakapan.

Percakapan dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu tempat atau

suasana. Misalnya saja, adanya percakapan antara ibu dengan anak, guru dengan

murid, hakim dengan terdakwa, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan

adanya percakapan, telah menggambarkan adanya hubungan antara gagasan

individu dengan pemeliharaan hubungan dengan partisipan. Dengan adanya

hubungan tersebut, maka komunikasi yang telah dilakukan akan secara tepat

dipahami oleh keduanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

Salah satu percakapan yang menarik untuk dibahas adalah percakapan

antara penjual dan pembeli (percakapan jual beli). Dalam proses jual beli terdapat

dua partisipan yang melakukannya. Partisipan yang pertama sebagai penjual dan

partisipan yang kedua sebagai pembeli. Penggunaan bahasa dalam percakapan

jual-beli memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang sering digunakan dalam konteks

berdagang. Di dalam sebuah aktivitas jual-beli, penggunaan bahasa secara santun

juga tidak akan terlepas dengan penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur

kode yang juga menjadi tolok ukur sebuah kesantunan di dalam sebuah

percakapan. Misalnya saja kesantunan berbahasa antara penjual dan pembeli.

Dapat dilihat bagaimana kesantunan berbahasa tersebut dilakukan dalam

intersaksi yang terjalin. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya masyarakat

mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, di antaranya adalah hubungan

sosial yang terlihat dalam aktivitas jual-beli di sebuah tempat.

Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan dari diri seseorang,

karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan

percakapan yang sedang berlangsung. Dalam berbahasa perlu mempertimbangkan

perasaan orang lain. Dengan mempertimbangkan perasaan orang lain itulah

komunikasi antar penutur dengan petutur akan menjadi lancar. Oleh karena itu,

dalam berkomunikasi perlu memperhatikan kesantunan berbahasa. Penggunaan

kesantunan berbahasa memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa

mempermalukan penutur dan petutur.

Seperti yang telah disebutkan di atas, interaksi antara penjual dan pembeli

membutuhkan komunikasi dan kerja sama masing-masing pihak. Dengan ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

partisipan juga harus mengusahakan kesantunan. Yule (1996:60), mengatakan

kesantunan adalah kepintaran partisipan dalam melakukan pendekatan jarak

sosial. Menunjukkan kepedulian pada muka orang lain ketika jarak sosial di antara

mereka sama, dapat digambarkan bahwa partisipan tersebut menunjukkan rasa

hormatnya. Kesantunan ini dapat pula diartikan sebagai sebuah strategi. Bila

dihubungkan dengan penjual dan pembeli, kesantunan ini digunakan sebagai salah

satu cara untuk menarik dan menghormati pembeli. Sehingga kesepakatanpun

tercapai.

Namun di zaman yang modern ini kesantunan tidak lagi diperhatikan

secara penuh. Kadang-kadang terlihat dalam komunikasi jual-beli di sebuah

tempat perbelanjaan yang tetap menggunakan bahasa secara santun tetapi

memiliki makna yang berbeda yang dirasakan oleh mitra tutur. Hal ini akan

berpengaruh pada situasi atau konteks komunikasi antara penutur dengan mitra

tutur. Ada yang tata bahasanya sudah terlihat santun akan tetapi cara

penyampaiannya kurang santun. Namun, ada juga di saat proses jual-beli itu

berlangsung, tuturan pembeli dengan maksud yang baik tetapi tuturannya kurang

santun atau bisa disebut juga dengan tuturan yang asal-asalan dapat membuat

situasi komunikasi menjadi tidak sejalan sehingga penjual yang diajak

bertransaksi menjadi marah dan dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak santun

kepada pembeli tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena

kesantunan berbahasa memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Penggunaan

kesantunan berbahasa dalam interaksi jual-beli di Malioboro Yogyakarta sangat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

berkaitan dengan aspek-aspek sosial dan budaya di lingkungan sekitar.

Kesantunan berbahasa merupakan realisasi pemakaian wujud , strategi, dan fungsi

pragmatika bahasa. Kesantunan berbahasa tidak semata-mata menyangkut

pemilihan kosakata yang tepat untuk konteks tuturan jual-beli di sebuah kawasan

perbelanjaan, melainkan juga menyangkut pada pemahaman lawan tutur. Hal ini

juga dipengaruhi juga oleh penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode

yang pastinya tidak terlepas dari proses interaksi yang terjalin antara penutur

dengan petutur itu sendiri. Pemakaian bahasa secara santun belum banyak

mendapat perhatian. Maka, sangat wajar apabila kita sering menemukan

pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi

nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pendengarnya.

Penelitian mengenai interaksi antara dua orang atau lebih dalam

berkomunikasi sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” belum banyak dilakukan. Oleh karena itu

rumitnya permasalahan kesantunan berbahasa, dipandang tepat untuk meneliti

tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko (emperan toko)” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Berbagai masalah mengenai tingkat kesantunan berbahasa

menimbulkan sikap kehati-hatian dalam berkomunikasi. Oleh karena itu,

penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan meninjau kembali sejauh mana

tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, masalah umum penelitian ini

adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini kemudian dirinci dalam dua sub

masalah berikut ini.

1) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta?

2) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan, tujuan penelitian

secara umum ini adalah mendeskripsikan tentang tingkat kesantunan berbahasa

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Secara khusus, tujuan penelitian

ini dirinci sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta.

2) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terfokus pada informasi faktual kesantunan

berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Oleh karena itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun

praktis.

Secara teoretis, temuan penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya

pengembangan teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di lingkup

universitas, memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian bahasa,

khususnya dalam bidang ilmu pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di

Program Studi pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat

menambah wawasan para pembaca tentang kesantunan berbahasa, dan juga untuk

membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesantunan

berbahasa. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penelitian tentang kesantunan

berbahasa ini masih kurang, utamanya dalam konteks jual-beli di suatu tempat

perbelanjaan.

Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan ajar

pembelajaran di dalam lingkup universitas, mengajak pembaca mengerti akan

penanda apa saja yang membuat suatu tuturan menjadi terlihat santun saat

komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dilakukan, dengan mengetahui

bidang ilmu kesantunan ini, masyarakat menjadi paham dan mengerti akan bahasa

yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan sebagai alat komunikasi dalam

kehidupan sehari-hari, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi temuan yang

dapat bermanfaat dan dapat memperlancar komunikasi yang terjalin dengan

santun antara penutur (penjual) dengan mitra tutur (pembeli). Manfaat penelitian

ini juga dapat menjadi bahan masukan tentang tingkat kesantunan berbahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

pedagang “perko” di kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta, sehingga akan

memperlancar komunikasi dan adanya rasa hormat yang terjalin antara penjual

dan pembeli di Malioboro.

1.5 Batasan Istilah

Pembahasan dalam penelitian ini tentunya hanya mencakup beberapa hal

saja, oleh karena itu penulis mencantumkan batasan istilah yang digunakan agar

pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengeri

pembacanya.

1. Pragmatik

Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan bahasa

(dalam bentuk tuturan atau tindak tutur) digunakan dalam pertuturan sesuai

konteks penutur dan lawan tutur, serta waktu dan tempat pengutaraannya dalam

rangka melaksanakan komunikasi (Wijana, 2010:17; Chaer, 2010:23).

2. Sosiopragmatik

Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan

bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang

mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial

dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21).

3. Kesantunan

Fraser (Gunarwan, 1994:88) mendefinisikan santun sebagai sebuah

property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari

dalam pemenuhan kewajibannya.

4. Diksi

Istilah pilihan kata atau yang biasa kita sebut dengan diksi tidak hanya

digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang tepat dan selaras dipakai untuk

mengungkapkan suatu gagasan atau ide, tetapi juga meliputi persoalan gaya

bahasa dan ungkapan (Keraf, 1984:22). Jadi, ketika tuturan terucap dari mulut

kita, sebenarnya tuturan tersebut sudah tersusun dan sudah terpilih pemilihan

katanya saat kita menyatakan suatu maksud tertentu kepada orang lain.

5. Gaya Bahasa

Keraf (1984:112) mendefinisikan gaya bahasa adalah kemampuan dan

keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa

yang biasa dikenal dengan sebutan style ini memang penting untuk digunakan

dalam berkomunikasi sehingga efek-efek tertentu akan dirasakan oleh pendengar

atau mitra tutur yang kita ajak berkomunikasi.

6. Sapaan

Kata sapaan merupakan kata yang dipakai untuk menegur, menyapa,

mengajak bercakap-cakap, dan sebagainya. Sapaan lebih mengacu pada seseorang

di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung.

7. Alih Kode

Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup

juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam

yang lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

8. Campur Kode

Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan

berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu tindak tutur.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu

penelitian deskripstif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya

mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang dan pembeli di

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan yang diteliti adalah tuturan

penjual/pedagang dan pembeli yang ada di emperan toko Malioboro Yogyakarta

yang diambil pada bulan Februari-April 2014.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I

akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup

penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II berisi kajian pustaka yang

terdiri dari penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III

berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data

dan data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis data,

dan triangulasi data. Pada bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

terdiri dari deskripsi data, analisis data, dan pembahasan temuan. Bab V berisi

penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian ini memuat tentang (1) penelitian yang relevan, (2) kajian teori,

dan (3) kerangka berpikir. Uraian secara lengkap bagian kajian pustaka

dipaparkan berikut ini.

2.1 Penelitian yang Relevan

Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian-

penelitian tersebut telah menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat

kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan

penggunaan bahasa sehari-hari yang ada di sekitar kita.

Penelitian yang dilakukan oleh Diana Riski dengan judul “Strategi

Kesantunan dan Prinsip Kerja Sama Penjual dalam Transaksi Jual-Beli Sebuah

Studi Kasus Pasar Tanah Abang”. Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini

menyimpulkan bahwa tidak semua ujaran yang diujarkan baik penjual maupun

pembeli mematuhi prinsip kerja sama. Aturan ini dilanggar supaya dapat

menghasilkan percakapan yang lebih komunikatif. Pelanggaran yang dilakukan

bertujuan untuk membuat jarak antara penjual dan pembeli lebih dekat sehingga

menghantarkan pada pelaksanaan strategi kesantunan.

Penelitian yang dilakukan oleh Christina Rinawati yang berjudul “Wacana

Tawar-Menawar dalam Jual-Beli Pakaian di Pasar Beringharjo Yogyakarta:

Suatu Tinjauan Pragmatik”. Dalam penelitiannya, dapat diambil kesimpulannya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

bahwa wacana tawar-menawar merupakan sarana masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan pakaian dengan harga murah, wacana tawar-menawar merupakan salah

satu bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan

realisasi kehidupan nyata dari fungsi interaksional bahasa, dan yang terakhir

wacana tawar-menawar sangat berkaitan dengan pengajaran bahasa, wacana

tersebut dapat digunakan sebagai contoh konkret penggunaan bahasa dalam

komunikasi sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., dengan judul

“Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan

Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 1-

12). Dalam penelitiannya, Dr. H. Jamal, M.Pd., memberikan beberapa kesimpulan

tentang kesantunan berbahasa. Beliau menuliskan bahwa setiap masyarakat

memiliki seperangkat norma yang terdiri dari sejumlah kaidah-kaidah eksplisit

untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh

perilaku-perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakatnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo dengan judul “Tindak

Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Jika

dikaitkan dengan tuturan, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu

tuturan yang diujarkan akan memberikan penilaiannya terhadap tuturan dari sopan

santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan yang ditemukan dalam

penelitian ini, yaitu: (1) analogi, (2) pilihan kata atau diksi, (3) gaya bahasa, (4)

penggunaan keterangan atau modalitas, (5) penyebutan subjek yang menjadi

tujuan tuturan, dan (6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

ini bisa terjadi ketika hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di

dalam suatu tuturan terkandung lebih dari satu penanda kesantunan yang

digunakan oleh penutur itu sendiri.

2.2 Kajian Teori

2.2.1 Sosiolinguistik

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan

dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling

berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah

untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship).

Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik

lisan atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak;

pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin

hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya,

dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit

(indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme).

Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses

komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak

hubungan sosial diantara keduanya. Dengan demikian proses komunikasi selesai

antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya,

kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun.

Akan tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi

tersebut. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk

mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain

kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga

hubungan sosial. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan

berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia.

Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung

kesantunan dalam berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya

berhubungan dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai

contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan

tetap dianggap kurang santun.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu

akan tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam

berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan

pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah

menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua-muda, majikan-buruh, guru-

murid, kaya-miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa.

Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tentu akan

berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan anak kecil.

Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan.

Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

2.2.1.1 Sapaan

Kata sapaan yang memiliki ciri khas tersendiri. Kata sapaan berguna

sebagai ajakan bercakap, teguran, ucapan, serta frasa untuk saling merujuk dalam

pembicaraan dan yang berbeda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu,

seperti: Anda, Ibu, Saudara dan sebagainya. Kridalaksana (2008:214),

mendefinisikan bahwa “kata sapaan adalah morfem, kata atau frase yang

digunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda

menurut sifat hubungan antara pembicaraan”. Menurut Chaer sapaan adalah

bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak

bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang

dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang

menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara

dan mitra tutur berdasarkan rasional.

Sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau

orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam

interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi

umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan

hubungan antara pembicara dan mitra tutur. Penggunaan sapaan kata atau frasa

dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda

menurut sifat hubungan antara pembicara. Jadi, penggunaan sapaan juga harus

dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di mana pembicaraan itu berlangsung,

dan siapa yang diajak berkomunikasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan dalam proses komunikasi yang

terjadi dalam konteks jual-beli.

[1] Pembeli : Cik, ada kain celana kayak gini? (sambil menunjukkan

contoh kainnya)

Penjual : Coba tak lihate dulu. Persis gini?

Pembeli : Iya.

Penjual : Coba, Le, carikno kain ini. Apa masih ada?

Karyawan : Habis yang gini, Te!

Penjual : Saya punya kain celana yang bagus, Mbak. Harganya tidak

mahal, pokoknya harga spesial. Le, ambilkan kain celana

yang baru datang tadi!

Pembeli : Berapa harganya, Cik?

Penjual : Itu Rp 50.000,- per meter. Khusus untuk Mbak karena

udah langganan sini tak kasih harga Rp 45.000,- per

meternya.

Sapaan “Le”, oleh penjual kepada karyawan menunjukkan adanya

perbedaan status sosial. Penjual adalah pemilik toko dan karyawan adalah tenaga

pembantu. Namun sapaan “Le” ini diartikan sebagai nama panggilan akrab untuk

anak laki-laki. Jadi, penjual sudah menganggap karyawannya seperti anaknya

sendiri. Sebaliknya, karyawan menyapa penjual dengan sebutan “Te”, yang

kependekan dari „tante‟, yang artinya „bibi‟. Sapaan ini sama sekali tidak

didasarkan pada hubungan kekerabatan, sebagaimana seseorang memanggil

„tante‟ pada adik perempuan dari ayah atau ibu.

Adapun sapaan “Cik”, kependekatan dari „tacik‟ yang berarti „Mbak‟

umumnya digunakan untuk menyapa perempuan China yang seumur atau yang

sedikit lebih tua dari penyapa. Bentuk sapaan yang digunakan penutur maupun

lawan tutur, khusunya yang berkedudukan sebagai pembeli ini didasarkan pada

perbedaan asal-usul. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sapaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

tersebut santun karena juga dilihat dari konteks perbedaan asal-usul dan status

sosialnya.

2.2.1.2 Alih Kode

Alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) merupakan

dua buah masalah dalam masyarakat yang multilingual. Menurut Appel (1976:79)

dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode

(code switching) itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena

berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan contoh. Misalnya saja,

berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi

berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Untuk dapat lebih memahami

tentang materi ini, di bawah ini akan diberikan contoh dalam sebuah percakapan

antara seorang sekretaris (S) dengan majikannya (M) (Chaer, 2010:110-111).

Contoh inilah yang diangkat Soewito (1983) sebagai contoh dalam pemahaman

materi alih kode ini.

[2] S : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini?

M : O ya, sudah. Inilah!

S : Terima kasih

M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor

sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi,

dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane

pengin maju kudu wani ngono... (Sekarang jika usahanya

ingin maju harus berani bertindak demikian...)

S : Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak)

M : Panci ngaten piye? (Memang begitu bagaimana?)

S : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi.....

(Maksudnya, berapapun besarnya modal kalau...)

M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan,

usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak

hubugan dan terlalu banyak mengambil keuntungan, usahanya

tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan?)

M : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim?

S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat

khusus.

Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan tersebut diawali dengan

menggunakan bahasa Indonesia karena melihat konteks atau tempatnya berada di

dalam sebuah kantor. Hal yang dibicarakan juga mengenai kebutuhan kantor

yakni surat-menyurat. Jadi, situasi percakapannya adaah formal. Namun, ketika

pembicaraan berubah menjadi topik lain, bukan tentang surat-menyurat lagi

melainkan topik tentang pribadi orang yang diberi surat, peralihan bahasa pun

terjadi (alih kode). Situasi percakapannya pun juga ikut berubah menjadi situasi

yang informal atau tidak formal. Alih kode yang terjadi pada percakapan di atas:

dari bahasa Indonesia berganti menjadi bahasa Jawa. Selanjutnya, ketika topik

utama (surat-menyurat) yang dibicarakan kembali, alih kode ini juga terjadi

kembali. Hal ini dapat dibuktikan dengan percakapan antara sekretaris dengan

majikannya yang menggunakan bahasa Jawa beralih kembali ke bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, peristiwa alih kode dapat terjadi di mana saja dan kapan saja saat

komunikasi itu dilakukan.

Jika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka kita harus

mengembalikan pokok persoalan sosiolinguistik. Penyebab peristiwa alih kode,

yakni (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan

situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau

sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Melihat dari contoh percakapan

di atas, contoh tersebut terjadi karena disebabkan oleh faktor keempat, yaitu

perubahan dari situasi formal menjadi informal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

2.2.1.3 Campur Kode

Beralih dari peristiwa alih kode tentunya menyisakan satu peristiwa lagi

yang sangat berkaitan dengan peristiwa tutur sebelumnya (alih kode), campur

kode (code mixing). Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur

menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi

dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik

penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan

sebagainya Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal.

Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut

tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,

walaupun hanya mendukung satu fungsi.

Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan

berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa

dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur

bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam campur kode penutur

secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara.

Berikut ini contoh peristiwa campur kode dalam proses komunikasi yang terjadi

dalam konteks jual-beli.

[3] Penjual : Monggo, monggo, Pak, Bu, monggo dilihat dulu.

Pembeli : Kaos dagadunya berapa, Bu?

Penjual : Niki mirah kok, Mbak. Hanya Rp 30.000 saja.

Pembeli : Oh my God, mahal sekali. Rp 15.000 saja ya, Bu?

Penjual : Sampun mirah niki, Mbak. Gambare werna-werna.

Pembeli : Rp 20.000 ya, Bu?

Penjual : Ya sudah, Mbak. Mau warna apa?

Pembeli : Warna pink ini ning ukurane sing M wae ya, Bu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

Penjual : Ini ya Mbak kaos dagadu warna pinknya.

Pembeli : Ini Bu uangnya. Pas nggih.

Penjual : O ya Mbak, matur nuwun sanget.

Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan antara penjual dan

pembeli menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan

bahasa Inggris. Sebenarnya penjual hanya mampu berbahasa Jawa dan Indonesia,

akan tetapi karena pembelinya mampu menggunakan tiga bahasa, secara otomatis

penjual juga menggunakan ragam bahasa Inggris seperti yang dituturkan pembeli

kepada penjual. Misalnya, pada saat pembeli menginginkan kaos dagadu yang

berwarna pink (merah muda). Secara langsung penjual juga menyebut warna

merah muda menjadi „pink‟ seperti apa yang dikatakan oleh pembeli. Jadi,

peristiwa campur kode ini dapat terjadi dalam konteks berkomunikasi di mana

saja dan kapan saja seperti halnya peristiwa alih kode.

2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa

2.2.2.1 Pragmatik

Bidang kajian ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji

tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu

ini lebih mengarah pada maksud ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini

dapat diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik ini. Hal ini dikarenakan setiap

tuturan yang diujarkan tentunya mengandung maksud yang hendak disampaikan

kepada mitra tutur.

Menurut Yule (1996:3), pragmatik adalah studi tentang makna ujaran

penutur, makna kontekstual, makna yang dikomunikasikan melebihi ujaran yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

diucapkan, dan pengekspresian hubungan jarak. Ia juga mengatakan bahwa belajar

bahasa memiliki manfaat yakni bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang

makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka masing-masing, maksud dan

tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan. Sebagai contohnya adalah

terjadinya interaksi berupa percakapan antara satu orang dengan orang lainnya.

Bidang kajian ilmu pragmatik mengajari bagaimana kita memahami dan

memperdalam makna yang terdapat di setiap tuturan dalam suatu percakapan yang

dilakukan oleh dua orang atau lebih (penutur dan petutur).

Kegiatan berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang sudah pasti

dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan komunikasi ini tidak akan

mungkin berhasil dilakukan tanpa adanya orang kedua yang biasa kita sebut

dengan istilah mitra tutur. Agar kegiatan berkomunikasi ini berjalan dengan baik

dan lancar, harus terdapat sesuatu (pesan/informasi) yang dikirim oleh penutur

dan diterima oleh mitra tutur. Dalam hal ini penutur harus benar-benar dapat

memberikan suatu pesan atau informasi dengan jelas sehingga mitra tutur dapat

menerima pesan atau informasi yang diberikan oleh penutur dengan jelas dan

terarah.

Dalam suatu peristiwa tutur, interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur

memungkinkan munculnya berbagai macam tuturan yang isi proposisi yang

disampaikan juga bermacam-macam. Misalnya saja, ada tuturan yang isi

proposisinya bertanya, menolak, berbasa-basi, memberikan informasi,

memerintah, menegur, dan lain-lain. Untuk memahami dan menggunakan

berbagai macam tuturan, setiap partisipan tutur harus menguasai sejumlah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

kompetensi komunikasi. Salah satu kompetensi komunikasi yang harus dipahami

oleh partisipan tutur adalah mengerti dan dapat menggunakan tuturan dengan

bahasa yang santun. Tuturan yang disampaikan oleh partisipan tutur selalu

diusahakan saling berhubungan atau berkaitan (Purwo, 1990).

Ukuran kesantunan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh kemampuan

seorang partisipan tutur untuk menjaga agar konfik personal dapat terhindar ketika

proses komunikasi sedang berlangsung. Akan tetapi, ukuran kesantunan juga

ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kejelasan dan ketepatan tuturan, saling

menghargai, mematuhi norma-norma yang berlaku, berusaha untuk

menyelamatkan muka dan diperlukan adanya kerja sama. Kerja sama diperlukan

agar komunikasi berjalan dengan baik. Aturan kerja sama dalam komunikasi

dikemukakan oleh Grice (1975) dalam empat maksimnya, yakni maksim kualitas,

maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi.

Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh seorang partisipan tutur

karena terdorong oleh sikap hormat kepada partisipan tutur lain. Kesantunan

berbahasa sangat erat kaitannya dengan status partisipan tutur yang merasa sama-

sama saling menghormati dan saling membutuhkan sehingga diperlukan strategi

interaksi yang efektif seperti yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan dikenal

dengan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama Grice tertuang dalam empat

maksim, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim

relevasi. Namun, Leech (1993) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tidak

hanya dibatasi pada keempat maksim kerja sama . Akan tetapi, kesantunan

berbahasa nemiliki prinsip tersendiri yang bertujuan untuk memperkecil

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

penggunaan pengaruh ungkapan yang tidak santun dan untuk memperbesar

ilokusi yang sudah santun menjadi lebih santun.

Beranjak dari prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice dan prinsip

kesantunan yang dikemukakan oleh Leech menunjukkan bahwa dalam

berkomunikasi setiap partisipan tutur perlu menerapkan tidak hanya prinsip kerja

sama saja tetapi juga prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan berbahasa

merupakan seperangkat maksim yang mengatur perilaku dalam berkomunikasi,

baik perilaku linguistik maupun ekstralinguistik. Dalam hal ini, Leech (1993)

berpendapat bahwa untuk merealisasikan kesantunan berbahahasa perlu

memerhatikan aspek-aspek etika berkomunikasi, yaitu prinsip kesantunan

(politeness principle) yang di dalamnya mencakup maksim (1) kearifan, (2)

kedermawanan, (3) pujian, (4) kerendahan hati, (5) kesepakatan, dan (6) simpati.

Subbab ini menjelaskan mengenai beberapa hal, khususnya yang berkaitan

dengan bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” di

kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta. Serta hal-hal apa saja yang

mempengaruhi tingkat kesantunan berbahasa.

Teori kesantunan berbahasa adalah teori yang mengkaji bentuk-bentuk

tuturan yang santun yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi

terjadi. Teori ini penting dikemukakan karena teori ini dianggap sebagai salah satu

alat untuk memprediksi atau menjelaskan tuturan mana yang santun dan tuturan

mana yang tidak santun. Walaupun harus disadari bahwa memprediksi atau

menjelaskan santun tidaknya sebuah tuturan bukanlah hal yang mudah karena

ukuran kesantunan tidak hanya dapat diprediksi atau dijelaskan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

menerapkan teori kesantunan akan tetapi banyak variabel lain yang ikut

menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Variabel yang dimaksud antara lain

adalah bagaimana hubungan emosional antarpartisipan tutur, latar belakang

pendidikan yang dimiliki, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya.

Menurut Yule (1996:104), kesantunan sama halnya dengan kesopanan.

Kesopanan ini diartikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan atau

mengekspresikan wajah orang lain. Ketika kita melakukan kegiatan

berkomunikasi dengan orang lain, bahasa yang kita gunakan juga harus

diperhatikan matang-matang. Tidak hanya sekedar berbicara asal-asalan. Misanya

saja saat kita tengah berbicara dengan guru, orang tua, dan lain-lain, tentunya

bahasa yang kita pakai tidak sama dengan bahasa pergaulan sehari-hari dengan

teman-teman kita. Dalam hal berdagang, penggunaan bahasa juga harus melihat

konteks yang ada. Tidak semata-mata hanya berkomunikasi biasa melainkan

menggunakan bahasa yang memang mengacu pada konteks berdagang. Hal ini

pasti akan berbeda pula dengan penggunaan bahasa dalam sehari-hari dalam

kehidupan bermasyarakat.

Berbahasa secara santun dapat membuat penutur mendapatkan respon

berupa rasa simpati dari mitra tuturnya. Ada banyak hal yang harus kita

perhatikan dan kita pelajari bersama aga kita dapat menggunakan bahasa secara

santun dalam berkomunikasi. Kesantunan berbahasa akan membuat penutur dan

mitra tutur menjadi akrab dan saling mengerti satu sama lain. Sikap akrab dan

mengerti ini akan dapat memperlancar kegiatan berkomunikasi yang tengah

berlangsung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupam

bermasyarakat (Sarwoyo, 2005). Mengapa dikatakan demikian? Karena ketika

kita menggunakan bahasa secara santun dalam kegiatan berkomunikasi, maka

akan tercermin kepribadian secara utuh melalui tuturan yang diujarkan. Menurut

Pranowo (2009:4), struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang

disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau

pembaca.

Berdasarkan kenyataan itu, kesantunan berbahasa dapat diprediksi atau

dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori. Ada banyak hal yang harus

diperhatikan, dipelajari, dan ditelaah agar tuturan yang kita ujarkan menjadi

santun. Penelitian ini menguraikan bagaimanakah dan apa sajakah yang harus

diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli telah menuliskan hal-hal yang

berkaitan dengan kesantunan berbahasa, seperti prinsip-prinsip kesantunan, cara

berkomunikasi secara santun, indikator-indikator yang harus diperhatikan agar

tuturan yang kita ujarkan dapat menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah

kesantunan yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Adapun teori-teori yang dapat

dipaparkan di bawah ini.

2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan

Peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech

dalam penelitian ini. Prinsip kesantunan Leech ini yang biasa dikenal sebagai

prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama Leech ini tentu mengacu pada konteks

kerjasama antara penutur dengan petutur dalam komunikasi. Prinsip kesantunan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

yang dikemukakan oleh Leech (1983) merupakan suatu prinsip kesantunan yang

hingga saat ini dianggap paling lengkap dan paling komperehensif. Di bawah ini,

rumusan tersebut akan dijelaskan secara detail dalam enam maksim menurut

Geoffrey Leech (1993:206-207) sebagai berikut.

1) Maksim Kearifan (TACT MAXIM)

Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang

lain sebesar mungkin.

2) Maksim Kedermawanan (GENEORISITY MAXIM)

Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri

sendiri sebesar mungkin.

3) Maksim Pujian (APPROBATION MAXIM)

Kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak

mungkin.

4) Maksim Kerendahan Hati (MODESTY MAXIM)

Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak

mungkin.

5) Maksim Kesepakatan (AGREEMENT MAXIM)

Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit

mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain

juga terjadi sebanyak mungkin.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

6) Maksim Simpati (SYMPATHY MAXIM)

Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain hingga sekecil

mungkin dan tingkatkanlah rasa simpati dengan sebanyak-banyaknya antara

diri sendiri dan orang lain.

Rumusan mengenai prinsip kesantunan juga tertuang dalam enam maksim

interpersonal menurut Rahardi (2005:59) sebagai berikut.

1) Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.

2) Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.

3) Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.

4) Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.

5) Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize

agreement between self and other.

6) Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy

between self and other.

Wijana (1996:56-61) memaparkan keenam maksim Leech tersebut secara

lebih ringkas dan mudah dipahami sebagai berikut.

1) Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus

meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi

orang lain.

2) Maksim Penerimaan

Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan

kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

3) Maksim Kemurahan

Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa

hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang

lain.

4) Maksim Kerendahan Hati

Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan

ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri

sendiri.

5) Maksim Kecocokan

Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur

memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan

ketidaksetujuan di antara mereka.

6) Maksim Kesimpatian

Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan

rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.

Lain halnya dengan Rahardi dan Wijana, Pranowo (2009:36) dituliskan

bahwa prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh Leech menurut

Pranowo tersebut adalah maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim

pertimbangan ini memiliki definisi yakni maksim yang menyatakan bahwa

penutur hendaknya meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur dan

memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut

di atas adalah bahwa penutur diharapkan dapat membuat mitra tuturnya merasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

lega terhadap tuturan yang diujarkan penutur ketika proses berkomunikasi

berlangsung.

2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan

Kriteria (skala) adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian sesuatu. Ada

banyak hal yang dapat digunakan sebagai ukuran kesantunan, hal ini dikhususkan

pada kesantunan dalam berbahasa. Yang dimaksud dengan skala kesantunan

adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang

paling santun. Beberapa ahli telah menyatukan pendapat-pendapatnya dari

berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang telah

dirangkum oleh beberapa para ahli, yakni Robin Lakoff, Brown dan Levinson,

dan Geoffrey Leech.

1) Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973)

Skala kesantunan yang dijelaskan oleh Robin Lakoff terdiri atas tiga skala

kesantunan saat bertutur kata.

a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta

pertuturan, yakni penutur dan mitra tutur merasa nyaman dalam kegiatan

bertutur. Oleh karena itu, tuturan yang digunakan dalam kegiatan bertutur

tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Di dalam

kegiatan bertutur, penutur dan mitra tutur harus tetap menjaga jarak

sewajarnya mungkin antara yang satu dengan yang lainnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale)

menunjukkan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman

dalam bertutur. Oleh karena itu, pilihan-pilihan dalam bertutur harus

diberikan oleh kedua belah pihak. Partisipan tutur tidak diperbolehkan

bersikap terlalu tegang dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap

tidak santun.

c) Skala kesekawanan (equality scale) menunjukkan bahwa agar dapat

bersifat santun, kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu

mempertahankan persahabatan antar penutur dengan lawan tutur. Penutur

harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahabatnya, begitu

juga sebaliknya. Rasa persahabatan ini merupakan salah satu prasyarat

untuk tercapainya kesantunan.

2) Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1978)

Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentuan kesantunan

sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan

kultural yang selengkapnya mencakup skala (a) jarak sosial, (b) status sosial

penutur dan lawan tutur, dan (c) tindak tutur.

a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social

distance between speaker and hearer). Skala ini banyak ditentukan oleh

parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang

sosiokultural.

b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker

and hearer relative power) atau yang seringkali disebut dengan peringkat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik

(kesenjangan) antar penutur dan mitra tutur.

c) Skala peringkat tindak tutur atau yang sering disebut dengan rank rating

atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the

required expenditure of goods or services didasarkan pada kedudukan

relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya.

3) Skala Kesantunan Geoffrey Leech (1983)

Geoffrey Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan

berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya.

a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, merujuk pada

besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak

tutur dalam sebuah pertuturan. Ukuran dari skala ini adalah semakin

tuturan yang diujarkan merugikan diri sendiri, maka akan dianggap

semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, apabila tuturan yang

diujarkan semakin menguntungkan diri penutur, maka akan semakin

dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Seorang penutur harus bisa

membuat mitra tutur atau lawan tuturnya merasa nyaman dan tidak

dirugikan ketika tengah melakukan percakapan.

b) Optionally scale atau skala pilihan, mengacu pada banyak atau sedikitnya

pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam

kegiatan bertutur. Semakin prtuturan itu memungkinkan penutur atau

mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan

dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, merujuk pada peringkat

langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin

tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah

tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah

tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d) Authority scale atau skala keotoritasan, merujuk pada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam kegiatan

pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan

mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin

santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara

keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan

yang digunakan dalam bertutur.

e) Social distance scale atau skala jarak sosial, merujuk pada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam

sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan

sosial di antara keduanya yakni penutur dan lawan tuturnya akan menjadi

semakin kurang santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya,

semakin jauh jarak hubungan sosial di antara keduanya, maka akan

semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat

keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat

menentukan skala kesantunan tuturan suatu bahasa ketika bertutur

(Rahardi, 2005:66-70).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

Skala-skala menurut para ahli di atas telah dijelaskan dengan sedemikian

rupa. Untuk mempersingkat pemahaman mengenai skala-skala tersebut, peneliti

akan merangkumnya dengan singkat, padat, dan jelas. Skala Robin Lakoff (1973)

memaparkan mengenai kenyamanan dalam berkomunikasi, skala Brown dan

Levinson (1978) memaparkan mengenai peringkat dalam berkomunikasi, baik

untuk subjek maupun tuturannya, dan yang terakhir adalah skala Geoffrey Leech

(1983) yang memaparkan mengenai cakupan atau rangkuman dari skala Robin

Lakoff dan Brown dan Levinson. Mengapa dikatakan bahwa skala Geoffrey

Leech merupakan rangkuman dari kedua skala lainnya? Hal ini karena dalam

skala milik Leech dipaparkan mengenai kenyamanan dan peringkat dalam

berkomunikasi seperti yang telah dijelaskan pada skala milik Robin Lakoff dan

Brown dan Levinson. Dengan kata lain, skala milik Leech merupakan skala yang

lengkap.

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari paparan di atas mengenai kriteria

kesantunan yang harus diperhatikan adalah jarak sosial antara penutur dan mitra

tutur, adanya suatu pilihan saat kita bertutur kata, status sosial, ketidaklangsungan

menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan penutur dengan mitra tutur,

dan adanya otoritas antara penutr dan mitra tutur.

Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang

dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan

kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat

kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat

kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar analisis

penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan

dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala

pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala

ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun,

peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala

tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala

ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar

analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.

Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga

skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik

Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili

untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat

kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti

dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan

Ada beberapa indikator kesantunan yang harus diperhatikan agar

menjadikan tuturan yang santun. Beberapa indikator telah dikemukakan oleh para

ahli. Salah satunya adalah Pranowo (2009:100-104) yang mengemukakan dalam

bukunya beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang memang wajib untuk

diperhatikan agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar serta maksud

yang ingin disampaikan dapat tercapai dengan baik. Ada 4 indikator yang akan

dipaparkan di bawah ini, yakni (1) indikator kesantunan Dell Hymes, (2) indikator

kesantunan Grice, (3) indikator kesantunan Leech, dan (4) indikator kesantunan

Pranowo.

1) Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)

Dell Hymes (1978) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi

hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan

istilah SPEAKING.

a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya

komunikasi.

b) (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam

komunikasi (orang 1 dan orang 2).

c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai

dalam berkomunikasi.

d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk

dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

dalam bahasa tulis maupun lisan misalnya, berupa permintaan,

sedangkan isi pesan adalah wujud permintaannya.

e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya,

bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian).

f) (I) Instrumentalities (sarana tutur) yang mengacu pada segala ilustrasi

yang ada di sekitar peristiwa tutur.

g) (N) Norms (norma-norma tutur) yaitu pranata sosial kemasyarakatan

yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.

h) (G) Genres (ragam tutur) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan,

misalnya ragam formal, ragam santai, dan sebagainya.

2) Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)

Indikator yang dikemukakan oleh Grice (2000:362) menyatakan bahwa

santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal di bawah

ini.

a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak

merasa dipermalukan.

b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik

mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya

dengan mitra tutur.

c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.

d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga

mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau

kelebihan diri sendiri.

3) Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)

Menurut Leech (1983), tuturan dapat dikatakan santun, apabila ditandai

dengan hal-hal sebagai berikut.

a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim

kebijaksanaan “tact maxim”).

b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim

kedermawanan “generosity maxim”).

c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian

“praise maxim”).

d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “modesty

maxim”).

e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim

kesetujuan “agreement maxim”).

f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh

mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).

g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada

mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).

4) Indikator Kesantunan Menurut Pranowo (2009)

Indikator lain dikemukakan oleh seorang guru besar pada Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta, yakni Pranowo (2009) bahwa agar komunikasi dapat terasa

santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

a) Angon Rasa

Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat

membuat hati mitra tutur berkenan.

b) Adu Rasa

Pertemukan perasaan Anda (penutur) dengan perasaan mitra tutur

sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sam-sama

diinginkan.

c) Empan Papan

Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur

sedang berkenan di hati.

d) Sifat Rendah Hati

Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di

hadapan mitra tutur.

e) Sikap Hormat

Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur

diposisikan pada tempat yang lebih tinggi.

f) Sikap Tepa Slira

Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan

kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.

2.2.2.2 Pandangan Sosial

Menurut pandangan norma sosial, kesantunan berbahasa selalu dikaitkan

dengan tata nilai atau norma yang sudah disepakati bersama oleh sekelompok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

masyarakat walaupun norma itu berupa konvensi. Tutur kata seseorang dianggap

santun apabila orang itu telah mematuhi norma yang ada dalam suatu kelompok

masyarakat di mana ia berada. Sebaliknya, apabila norma tersebut dilanggar, ia

dianggap tidak santun, tidak mempunyai etika yang baik, atau tidak beradab. Hal

ini sesuai dengan pendapat Fraser (1990) yang mengatakan bahwa setiap

masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah yang

eksplisit. Kaidah itu ditentuan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara

berpikir masyarakat tersebut.

Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1978) menyiasati pandangan norma

sosial dengan menghubungkan pemakaian bahasa dalam interaksi masyarakat.

Interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur tidak semata-mata bermaksud

menyampaikan pesan atau informasi saja, melainkan lebih jauh dari itu, bagimana

partisipan tutur dapat menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan

hubungan di antara mereka sehingga konflik personal antarpartisipan tutur benar-

benar dapat terhindarkan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan sosial

dan keramah-tamahan hubungan setiap partisipan tutur dituntut untuk menerapkan

prinsip-prinsip kesantunan berbahasa.

Sejalan dengan pendapat Fraser (1990) dan Brown dan Levinson (1978),

Kartomiharjo (1971) menyatakan bahwa dalam menggunakan tuturan, setiap

partisipan tutur tidak bisa mengabaikan norma-norma sosial dan budaya yang

dimilikinya, partisipan tutur harus patuh terhadap norma-norma sosial dan budaya

yang berlaku. Lebih lanjut, Kartomiharjo mencontohkan tiga norma sosial dan

budaya yang harus dipatuhi oleh penutur yag bersuku Jawa, yaitu (1) empan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

papan, (2) urip mapan, dan (3) dipapanna wong tuwo. Aspek nilai yang pertama

menjelaskan bahwa bertuturlah secara wajar dan sesuai dengan tatanan

masyarakat. Aspek nilai yang kedua bermakna bahwa tuturan sebaiknya dipakai

secara layak sesuai dengan hakta dan martabatnya. Dan aspek nilai yang ketiga

mengacu pada dalam bertutur, orang tua harus dihormati.

Bertitik tolak dari pandangan norma sosial yang memandang santun

tidaknya tuturan selalu dikaitkan dengan norma sosial dan budaya yang terdapat

dalam sebuah kelompok masyarakat, menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa

itu sifatnya sangat relatif karena sangat bergantung pada norma budaya yang

berlaku dalam sebuah kelompok masyarakat dan bagaimana masyarakat itu

memahami norma-norma budayanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan

apabila kesalahpahaman sering terjadi ketika masyarakat yang berlatar belakang

budaya yang tidak sama melakukan interaksi dengan mempertahankan norma

sosial dan budayanya masing-masing.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bahasa Indonesia merupakan

bahasa kedua yang dipakai dalam berinteraksi atau berkomunikasi sehari-hari.

Jadi, untuk dapat menggunakan tuturan bahasa Indonesia yang santun selain

dengan pendapat para ahli di atas, dapat juga menggunakan prinsip tenggang rasa

yang dikemukakan oleh Aziz (2000). Lebih lanjut, Aziz (2000) mengatakan

bahwa prinsip tenggang rasa dapat beroperasi melalui sejumlah nilai dan

subprinsip. Subprinsip tersebut adalah sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

1) Prinsip Daya Luka dan Daya Sanjung

Artinya, sebuah ekspresi bahasa memiliki potensi bahwa ia akan mampu

membuat seseorang merasa terlukai atau tersanjung dibahagiakan. Oleh karena

itu, berhati-hatilah dalam menggunakan ekspresi bahasa tersebut.

2) Prinsip Berbagi Rasa

Artinya, mitra tutur kita memiliki perasaan sebagaimana layaknya kita

sendiri sebagai penutur. Oleh karenanya, ketika bertutur dengan menggunakan

ekspresi bahasa, pertimbangkanlah perasaan mitra tutur sebagaimana layaknya

kita mempertimbangkan perasaan kita sendiri.

3) Prinsip Kesan Pertama

Artinya, penilaian mitra tutur kita terhadap tingkat kesantunan berbahasa

kita pada dasarnya ditentukan oleh kesan pertama yang dia dapatkan tentang

perilaku berbahasa kita ketika dia berkomunikasi dengan kita untuk pertama

kalinya. Oleh karena itu, tunjukkanlah bahwa kita mempunyai niat yang baik

untuk berkomunikasi dan bekerja sama.

4) Prinsip Berkelanjutan

Artinya, berkelanjutan hubungan kita sebagai penutur dengan mitra tutur

kita pada masa yang akan datang pada dasarnya ditentukan oleh cara kita

bertransaksi melalui komunikasi pada saat ini. Oleh karena itu, upayakan agar

antara penutur dengan mitra tutur terjalin rasa saling percaya satu sama lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun

Komunikasi adalah suatu kegiatan yang kompleks. Mengapa dikatakan

kompleks? Karena dalam komunikasi, kita dapat melihat situasi dan kondisi

ketika penutur dan mitra tutur melakukan interaksi tuturan. Menurut Pranowo

(2009:4), penggunaan bahasa yang baik dan benar saja masih belum cukup untuk

melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara

baik berarti dia sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan

situasi. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan

kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5).

Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan santun, maka

kita juga perlu mengetahui strategi-strategi apa saja yang dapat kita gunakan

untuk dapat berbahasa secara santun. Dalam bukunya, Pranowo (2009:39-46)

telah memaparkan tiga strategi agar kita dapat berkomunikasi secara santun, yakni

(1) apa yang dikomunikasikan, (2) bagaimana cara mengomunikasikannya, dan

(3) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Ketiga strategi tersebut akan

dipaparkan dengan rinci di bawah ini.

1) Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang

berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok

pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi. Ketika

seseorang berkomunikasi dengan orang lain tetapi tidak jelas mengenai topik

pembicaraannya, maka mitra tutur akan dapat menilai bahwa penutur dan

tuturannya dirasa tidak berkualitas sehingga arus pembicaraan menjadi tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

terarah dan tidak konsekuen. Hal ini dapat menyebabkan mitra tuturnya

menjadi kebingungan dalam mengikuti arus pembicaraan penutur.

2) Strategi kedua, yaitu bagaimana cara berkomunikasi seseorang. Strategi

kedua ini mengarah pada cara penyampaian maksud dari pembicaraan atau

proses komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dalam sebuah situasi.

Ada banyak kejadian yang sering terjadi ketika seseorang gagal dalam

berkomunikasi bukan karena pokok masalah yang dibicarakan salah atau

tidak berkualitas, melainkan karena cara menyampaikannya kurang tepat.

Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang

diberikan oleh penutur kepada mitra tutur seperlunya saja, jangan kurang dan

jangan lebih. Oleh karena itu, sesuatu yang dibicarakan haruslah tepat

porsinya dan penutur harus mengemas dengan baik cara menyampaikan

maksud tersebut kepada mitra tutur agar maksud dan tujuan yang ingin

disampaikan dapat tercapai dengan baik, lancar, dan juga santun.

3) Strategi ketiga, yaitu alasan mengapa pokok masalah harus dikomunikasikan.

Dalam strategi ini, penutur diuji kejujuran terhadap hati nuraninya. Apa yang

akan diungkapkan haruslah sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu,

pada strategi ketiga ini, kita harus benar-benar memikirkan secara matang-

matang apa yang akan kita bicarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman

antara penutur dengan mitra tutur.

Kita juga harus memerhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi

ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (kaitannya dengan suasana emosi

penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat dalam menentukan

kesantunan bahasa verbal lisan. Pernyataan ini dikemukakan oleh Pranowo

(2009:76).

Seperti yang sudah dikemukakan oleh Pranowo dalam bukunya, aspek

intonasi memang harus diperhatikan ketika proses komunikasi itu berlangsung.

Hal ini dilakukan agar mitra tutur merasa senang dan nyaman ketika

berkomunikasi. Masalah jarak komunikasi juga harus diperhatikan. Untuk jarak

yang dekat, intonasi yag kita gunakan bisa pelan, namun untuk jarak komunikasi

yang jauh kita harus menggunakan intonasi yang keras agar mitra tutur dapat

menangkap apa yang akan kita informasikan. Hindarilah menggunakan intonasi

yang keras pada jarak dekat karena hal tersebut dapat menyindir atau membuat

mitra tutur kita merasa tidak nyaman.

Selain aspek intonasi, aspek nada juga menjadi faktor penentu dalam

komunikasi. Nada sangat berkaitan erat dengan perasaan, baik itu perasaan

penutur sendiri ataupun perasaan mitra tutur. Misalnya saja ketika suasana

menandakan sedang bersedih, maka nada bicara juga harus sesuai dengan suasana

bersedih, bukan menandakan suasana yang sedang bergembira. Sebaliknya,

apabila suasana menandakan sedang bersenang-senang atau bergembira, maka

nada bicara juga harus menandakan suasana yang senang, bukan menandakan

suasana yang tengah berduka atau sedih. Dengan begitu, mitra tutur akan dapat

memahami perasaan penutur yang sebenarnya.

Pranowo (2009:78) juga menyatakan bahwa dalam bahasa lisan,

kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal. Faktor bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

nonverbal ini meliputi gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan

kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan

sebagainya. Secara tidak sengaja, gerak-gerik anggota tubuh tersebut terjadi

dengan sendirinya ketika kita sedang melakukan komunikasi.

2.2.2.4 Maksim Percakapan

Pandangan maksim percakapan dikemukakan oleh Lakof (periksa Leech,

1983). Ia mengatakan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan

merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua prinsip tersebut

perlu dipertimbangkan dalam berkomuikasi. Komunikasi yang terjadi

antarpartisipan tutur bertitik tolak dari maksim percakapan, terutama yang

menyangkut tentang apa yang akan dikatakan, kapan harus mengatakannya, dan

bagaimana harus mengatakannya. Prinsip kerja sama salam maksim percakapan

dilakukan untuk menambahkan suatu nosi kegramatikalan dan

menghubungkannya dengan nosi kesempurnaan komponen-komponen pragmatik.

Berdasarkan kedua nosi tersebut, setiap partisipan tutur dapat memilih salah satu

dari dua prinsip ketika bertutur, yaitu (1) buatlah perkataan Anda secara jelas

(make your self clear) dengan cara sepenuhnya mengikuti prinsip kerja sama, dan

(2) bersopan santunlah (be polite). Strategi yang pertama mendukung prinsip kerja

sama sedangkan strategi yang kedua mengacu pada prinsip sopan santun yang

terdiri atas tiga prinsip, yaitu (a) tidak mengganggu, (b) memberi pilihan, dan (c)

membuat enak hati. Prinsip tidak mengganggu dapat digunakan dalam kesantunan

formal, prinsip enak hati dapat digunakan dalam kesantunan informal, sedangkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

prinsip membuat enak hati dapat digunakan dalam kesantunan intim atau yang

biasa kita sebut akrab. Kemampuan partisipan tutur untuk memilih salah satu dari

tiga prinsip itu disebut kompetensi pragmatik. Contoh di bawah ini merupakan

realisasi kompetensi pragmatik.

[4] “Mohon maaf, tas saya tertinggal di dalam tetapi saya tidak mungkin

masuk lagi karena tadi saya sudah pamitan.” (Ambilkan tas saya)

[5] “Tolong, ambilkan tas saya yang tertinggal di dalam.”

[6] “Ambilkan tas saya dong!”

Contoh [4] di atas dituturkan oleh seorang penutur kepada mitra tutur yang

baru ia kenal dalam situasi formal. Dengan tuturan yang lebih panjang

kedengarannya lebih santun bila dibandingkan dengan tuturan yang pendek,

misalnya pada contoh tuturan [6] “Ambilkan tas saya dong!”. Menurut Grundy

(2000), pemilihan tuturan yang lebih panjang sudah mencerminkan hubungan

antarpartisipan yang baru dikenal.

Tuturan dalam contoh [5] dituturkan seorang penutur kepada mitra

tuturnya yang sudah saling kenal tetapi belum akrab. Karena hubungan mereka

belum begitu akrab, mitra tutur yang diperintah tidak serta merta mau mengikuti

perintah yang telah diujarkan oleh penutur. Dalam hal ini, mitra tutur yang

diperintah dapat menerima perintah itu karena penutur telah menggunakan tuturan

yang santun, yaitu ditandai dengan kata „tolong‟. Dan contoh terakhir yakni

contoh [6] di atas, dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur yang sudah sangat

kenal dan akrab sehingga perintah tersebut dianggap santun.

Seperti yang telah dikemukakan, prinsip kerja sama dan prinsip

kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua

prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berkomunikasi. Prinsip

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) sedangkan prinsip kesantunan

dikemukakan oleh Leech (1983).

2.2.2.5 Konsep Muka

Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh

Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada

“wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,”

dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public

image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam

pandangan masyarakat.

Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial dan

Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut

pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini,

wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif

(positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif

terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan pertemanan.

Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap

mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar

terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai

seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah

satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-

nilai wajah itu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan.

Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan

kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada

jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar

berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang

ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan

berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak

sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah).

Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat

sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang

jauh (teman, pacar, dan sebagainya).

2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan

Kesantunan merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

orang dalam melakukan interaksi. Interaksi yang ideal memang membutuhkan

suatu penanda agar apa yang dikomunikasikan menjadi jelas maksudnya dan

dapat berjalan sesuai dengan rencana. Komunikasi juga dapat melekatkan

hubungan antar penutur dengan mitra tutur. Dengan adanya hubungan ini, maka

keduanya akan saling mengerti apa yang tengah dikomunikasikan. Di bawah ini

akan dijelaskan mengenai dua faktor kebahasaan, yakni (1) diksi atau pilihan kata

dan (2) pemakaian gaya bahasa yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan

saat melakukan suatu tuturan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)

Penggunaan bahasa dalam dunia perdagangan memang tidak dituntut

untuk memerhatikan setiap diksi atau pemilihan kata dengan tepat. Dunia

perdagangan hanya menggunakan bahasa yang sewajarnya atau yang biasa

digunakan dala konteks dagang. Beberapa bahasa yang digunakan oleh para

pedagang pun terkesan kurang tepat. Memang bahasa yang digunakan para

pedagang digunakan untuk mempermudah proses jual-beli dan menarik para

pembeli, tetapi walaupun dalam konteks jual-beli, para pedagang dihimbau utuk

tetap memperhatikan pilihan kata atau diksinya.

Diksi atau yang lebih dikenal dengan pilihan kata tidak hanya digunakan

untuk mengungkapkan suatu ide, gagasan, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf,

1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari, memilih,

menyusun, dan menggunakan kata-kata dengan benar. Seseorang yang sedang

bertutur kata harus dapat memilih dan menyusun kata-kata yang akan

dikomunikasikan kepada mitra tutur agar mitra tutur dapat mengerti maksud dari

tuturan dari si penutur. Jangan sampai kata-kata yang kita pilih dapat

menyinggung perasaan mitra tutur.

Dalam berkomunikasi, seseorang tidak boleh berucap asal-asalan, bahkan

sampai tidak tahu artinya. Mengapa demikian? Karena apabila hal tersebut terjadi,

akan dapat menimbulkan suatu perasaan terhadap mitra tutur, entah dapat

menyinggung, dapat membuat marah mitra tutur, dapat membuat sedih perasaan

mitra tutur, hingga membuat kebingungan mitra tutur. Kesantunan akan dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

tercermin dengan tuturan yang baik dan tepat sesuai dengan diksi yang telah

dipakai.

Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan

dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau

diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau

menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik

digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau

pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang

pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal

atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam

mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan

kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada

imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara

atau penutur.

Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut

pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang

penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal

ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga

harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,

Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi

(pilihan kata) adalah sebagai berikut.

a) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,

b) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan

orang lain,

c) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung

perasaan orang lain,

d) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk

melakukan sesuatu,

e) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih

dihormati,

f) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.

Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan

pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari

penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat

kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan

digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan

kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya

menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang

memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang

emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur

memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan

maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih

dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif

sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di

atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang

penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks

jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Penggunaan Kata yang Tepat

Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu

maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika

bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,

suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik

dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam

memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan

gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat

dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan

pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan

tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu

percakapan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

b. Menemukan Bentuk yang Sesuai

Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau

konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana

situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini

dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti

atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur

juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar

tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun

menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu

tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka

dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak

untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang

santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif

dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang

sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang

berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur

dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.

Keraf (1985:87) mengatakan bahwa ketepatan pilihan kata mempersoalkan

kesanggupan kita untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi

pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan seorang

penulis atau pembicara. Untuk dapat memilih kata dengan baik, yang benar-benar

sesuai, tentu membutuhkan penguasaan kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang

penutur memiliki kebebasan dalam memilih kata-kata namun tetap mengacu pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

pemilihan kata yang tepat. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain adalah

tuturan dengan pemilihan kata yang tepat dan jelas karena penutur sudah pasti

mempersiapkannya dengan matang-matang.

Keraf (1985:88-89) menyebutkan beberapa butir persoalan yang harus

diperhatikan oleh setiap orang agar mampu mencapai ketepatan pilihan kata

dalam tuturannya.

a) Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi.

b) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim.

c) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.

d) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri.

e) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing

yang mengandung akhiran asing tersebut.

f) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis.

g) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus dapat

membedakan kata umum dan kata khusus.

h) Mempergunakan kata-kata indah yang menunjukkan persepsi khusus.

i) Memerhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah

dikenal.

j) Memerhatikan kelangsungan pilihan kata.

Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata atau diksi adalah

kelangsungan pilihan kata seperti yang tercantum pada point kesepuluh. Yang

dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata merupakan teknik memilih kata yang

sedemikian rupa, sehingga maksud seseorang dapat disampaikan secara tepat dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

ekonomis (Keraf, 1985:100). Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara

tepat, penutur juga harus dapat mempertahankan kelangsungan pilihan kata agar

tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut.

Dihimbaukan kepada penutur, jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata saat

berbicara dengan mitra tutur, karena hal ini dapat mengakibatkan mitra tutur

menjadi kebingungan atau bahkan malah sama sekali tidak mengerti maksud

tuturan penutur. Pemilihan kata-kata ini juga dikaitkan dengan situasi dan

lingkungan penutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.

2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa

Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan sebutan style. Style ini identik

dengan unsur keindahan yang merupakan suatu bentuk kekhasan akan sesuatu hal.

Menurut Keraf (1985:112), terkait dengan keahlian, style menitikberatkan pada

menulis indah, namun lambat laun berubah menjadi kemampuan dan keahlian

untuk menulis atau mempergunkan kata-kata secara indah. Dalam tuturan tentu

hal ini sangat berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur

ketika tengah melakukan percakapan. Hal penting yang harus dilakukan oleh

penutur adalah bagaimana penutur dapat bertutur kata secara santun dan indah

dengan mitra tuturnya.

Gaya bahasa menurut Keraf (1985:113) dibatasi hanya sebagai cara

mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang akan memperlihatkan

jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa digunakan untuk

memberi suatu kekhasan dari ungkapan penutur. Keraf mengatakan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

seorang penutur harus mempunyai suatu kekhasan dalam tuturannya, dan hal

tersebut pasti sudah dimiliki oleh setiap orang (penutur).

Kekhasan yang dimiliki oleh setiap orang pastilah berbeda satu sama lain,

karena setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dalam mengolah

penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulis. Bahasa percakapan memang

biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis. Karena bahasa

percakapan sudah pasti akan digunakan dalam situasi apapun, kapan pun, dan di

mana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis memiliki kaidah-kaidah atau

batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan

kita dapat menggunakan bahasa tulis.

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari

pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan

bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu

dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang

umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna

konotasi baru dengan efek-efek tertentu.

Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa

jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-

gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.

Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya

bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual

(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.

Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya

bahasa yang baik, yaitu:

a. Kejujuran

Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan

gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti

kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa

yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak

jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan

konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan

kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra

tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.

Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk

digunakan dalam konteks berkomunikasi.

b. Sopan Santun

Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya

bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat

berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara

bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,

dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra

tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras

untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini

dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak

untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang

dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka

tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam

berkomunikasi.

c. Menarik

Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus

menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,

humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan

imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur

diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira

atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila

penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan

tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur

membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah

maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat

untuk digunakan dalam berkomunikasi.

2.2.4 Sosiopragmatik

Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan

bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang

mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial

dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21). Yang dimaksud dengan konteks sosial di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

sini adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota

masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan

konteks sosietal dimaksudkan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan

dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.

Kajian sosiopragmatik ini secara konkrit merupakan kajian entitas

kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan

ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu.

Oleh karena itu, sosiopragmatik merupakan telaah mengenai penggunaan dan

pemaknaan bahasa pada kondisi setempat. Sosiopragmatik ini tidak lepas dari

penggunaan konteks. Hal ini dikarenakan aspek sosiolinguistik memang terfokus

pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Kajian ini juga mengacu pada santun

atau tidak santunnya suatu tuturan yang dilihat dari kacamata sosiopragmatik

untuk meninjau sejauh mana terlihatnya keuntungan dan kerugian yang

diakibatkan oleh kajian sosiopragmatik ini di dalam aktivitas komunikasi yang

terjalin.

Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi

komunikatif dalam penggunaan bahasa secara khusus di kalangan pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah

diidentifikasikan berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan

deskripsi analisis data juga akan dipaparkan sebagai berikut.

1) Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang

dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan

para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

menggunakan kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam

menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan penjual di

perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat kesantunan pembeli di

perko trotoar Malioboro Yogyakarta.

2) Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey

Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat

kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah (1) skala

biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4)

skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya

menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya, yaitu (1) skala biaya-

keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini

dikarenakan ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis

penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.

Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya

mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya

menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala

Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan

berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli.

Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

tersebut tergolong santun atau tidak santun.

3) Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan

pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin

mengetahui tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur

kode, (4) diksi, dan (5) gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan

pembeli dalam konteks berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta.

Kelima hal tersebut di atas juga memiliki andil yang besar dalam peneliti

menentukan tingkat kesantunan berbahasa.

4) Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada

paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya

untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun

pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting

dari lima hal tersebut yakni penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa.

Ketiga hal itu juga dapat mewakili dua skala milik Leech yang oleh

peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis penelitian ini. Oleh karena

itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima hal yang telah

dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan menjelaskan

dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan

pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam suatu tuturan

dapat terjadi hanya satu penanda saja, tetapi dapat pula terjadi lebih dari

satu penanda yang digunakan dalam suatu tuturan secara bersamaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

Saat kita berbicara santun, di situ kita akan mendapatkan perhatian atau

simpati dari lawan tutur atau mitra tutur. Dalam hal ini, semua bahasa memiliki

tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari aspek intonasi,

nada bicara, faktor pilihan kata atau diksi, dan faktor struktur kalimat yang

dituturkan.

2.2.5 Konteks

Dalam suatu kegiatan komunikasi, hal utama yang perlu diperhatikan

adalah konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Penutur dan mitra tutur

harus benar-benar mengetahui konteks pembicaraannya. Apabila penutur dan

mitra tutur sedah sama-sama mengerti konteks pembicaraannya, sudah pasti

tuturan yang diujarkan menjadi lancar dan mampu dipahami makna tuturannya.

Imam Syafi‟i (melalui Mulyana, 2005:24) menjelaskan tentang konteks tuturan

yang dibagi menjadi empat bagian. Empat konteks tuturan ini dijelaskan sebagai

berikut.

a) Konteks linguistik (linguistic context) adalah kalimat-kalimat dalam suatu

percakapan.

b) Konteks epostemis (epostemis context) adalah latar belakang pengetahuan

yang sama-sama diketahui oleh partisipan tutur.

c) Konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya percakapan atau

komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu percakapan, dan tindakan

partisipan tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

d) Konteks sosial (social context) adalah suatu relasi sosio-kultural yang

melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu percakapan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks memiliki

peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan komunikasi. Dengan adanya

konteks ini, tuturan yang diujarkan oleh penutur akan dapat langsung ditangkap

dengan baik dan jelas maksud tuturannya oleh mitra tutur.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut.

1. Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta. Hal ini mengacu pada tingkat kesantunan berbahasa

pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

2. Landasan teori yang digunakan adalah teori-teori sosiolinguistik, pragmatik,

dan sosiopragmatik pada umumnya (teori kesantunan pada khususnya).

3. Atas dasar teori tersebut, penelitian ini akan menjelaskan atau

mendeskripsikan secara jelas tingkat kesantunan berbahasa yang digunakan

oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

4. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yang

menitikberatkan pada deskripsi data penelitian dengan instrumen penelitian

peneliti sendiri yang memiliki bekal pengetahuan teori-teori pragmatik,

sosiolinguistik, dan sosiopragmatik pada umumnya dan teori kesantunan pada

khususnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Untuk memperjelas kerangka berpikir di atas, dibuatlah skema yang

menandakan urutan dari kerangka berpikir tersebut. Skema kerangka berpikir

disusun dengan rinci sebagai berikut.

BAGAN 1

Kerangka Berpikir

PENGGUNAAN BAHASA PEDAGANG

"PERKO" TROTOAR MALIOBORO

YOGYAKARTA

TEORI-TEORI

KESANTUNAN

ASPEK

SOSIOLINGUISTIK

ASPEK

PRAGMATIK

PENGGUNAAN

SAPAAN, ALIH

KODE, DAN

CAMPUR KODE

SKALA

KESANTUNAN

GEOFFREY LEECH

(1983)

SOSIOPRAGMATIK

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam metodologi penelitian ini, penulis menguraikan bagian-bagian yang

memuat tentang (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) instrumen

penelitian, (4) metode pengumpulan data, (5) teknik analisis data, dan (6)

triangulasi data. Uraian secara lengkap bagian pendahuluan dipaparkan berikut

ini.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang tingkat kesantunan berbahasa yang

digunakan oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Berdasarkan

penjelasan bab II sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah

jenis penelitian kebahasaan yang dikhususkan pada bidang kajian ilmu

sosiopragmatik. Secara umum penelitian ini mengacu pada teori-teori pragmatik,

sosiolinguistik, dan sosiopragmatik sedangkan secara khusus mengacu pada teori

kesantunan berbahasa.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Jika didefinisikan

secara terpisah-pisah, yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah

penelitian yang menitikberatkan penguraian atau penjelasan pandangan peneliti

terhadap adanya suatu masalah. Dalam hal ini, Sudaryanto (1998:60) mengatakan

bahwa deskriptif lebih menandai pada hasil penelitian yang bersangkutan dengan

sikap atau pandangan peneliti terhadap adanya (dan tidak adanya) penggunaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

bahasa daripada menandai cara penanganan bahasa tahap demi tahap dan langkah

demi langkah. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah

penelitian yang dilakukan dengan cara menjabarkan. Namun, Sugiyono (2012:8)

memiliki pandangan yang berbeda dengan pernyataan mengenai penelitian

kualitatif sebelumnya. Sugiyono mengatakan bahwa penelitian kualitatif yang

dimaksud adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah.

Sebenarnya jika kita perhatikan dengan seksama, pengertian penelitian kualitatif

dan deskriptif sama-sama menjabarkan, menjelaskan, memaparkan, dan lain-lain.

Sugiyono (2012:222) memaparkan bahwa penelitian kualitatif dipilih

sebagai human instrument (instrumen yang diteliti adalah orang atau manusia)

memiliki fungsi untuk menetapkan fokus penelitian, pemilihan informan sebagai

sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data yang dipakai

dalam penelitian ini, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan

atas temuannya. Fokus penelitian ini adalah pedagang “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Kemudian yang dijadikan sebagai informan dari penelitian ini yakni

pedagang itu sendiri.

3.2 Sumber Data dan Data

Sumber data berasal dari aktivitas tuturan (penggunaan bahasa) oleh

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan pembeli. Keseluruhan data-

data tersebut merupakan populasi dari penelitian ini. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (1989:695), populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal

yang menjadi sumber pengambilan sampel. Jadi, data-data yang diambil dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

penelitian ini merupakan sumber pengambilan sampel yang pastinya menyeluruh

dan benar-benar akurat. Sumber data penelitian ini berasal dari tuturan pedagang

(penjual) dengan pembeli yang semuanya diambil secara natural dan terarah.

Data diperoleh dari tuturan masing-masing pedagang dan pembeli. Hal ini

dilakukan karena dirasa para pedagang seringkali menggunakan bahasa yang

kurang santun dalam konteks percakapan jual-beli, begitu juga dengan pembeli.

Sedangkan sampelnya adalah sebagian pedagang “perko” yang ada di trotoar

Malioboro Yogyakarta dan sebagian pembeli yang akan menjadi objek penelitian

ini, begitu pula sebaliknya.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang memiliki bekal

pengetahuan mengenai bidang kajian ilmu sosiolinguistik, pragmatik, dan

sosiopragmatik beserta teori-teorinya. Namun tidak hanya terfokus pada teori-

teori umumnya saja, melainkan terfokus secara khusus mengenai teori kesantunan

berbahasa. Setelah fokus penelitian ini sudah tampak jelas adanya, maka

kemungkinan besar akan dikembangkan instrumen penelitian yang sederhana. Hal

ini dilakukan supaya dapat melengkapi data-data serta membandingkannya

dengan data-data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara

(Sugiyono, 2012:223-224). Peneliti sudah sangat jelas dengan konteks jual-beli

yang ada di daerah pusat perbelanjaan ternama di kota Yogyakarta, yaitu

Malioboro. Peneliti telah melihat bagaimana kehidupan para pedagang “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta di setiap harinya hanya untuk menjajakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

dagangannya pada para pembeli. Hal ini diharapkan dapat memudahkan peneliti

dalam mengupayakan hasil dari instrumen penelitian untuk mencapai tingkatan

yang maksimal. Jadi, peneliti harus benar-benar fokus pada penelitian ini guna

mendapatkan hasil yang maksimal, jelas, teliti, dan terperinci.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan dua metode, yakni metode yang pertama

adalah metode observasi partisipatif dan metode yang kedua adalah metode

simak-catat. Peneliti mengumpulkan tuturan dari hasil percakapan antara

pedagang “perko” dengan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan

diperoleh dari penggunaan dua metode tersebut di atas.

Metode pertama yaitu metode observasi partisipatif. Berawal dari definisi

observasi. Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat”,

“mengamati”, dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan

mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan

mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode

tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu

yang diamati. Observasi partisipan adalah observasi yang melibatkan peneliti atau

observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jenis teknik

observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat

eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

suku bangsa karena pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat

berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan observer, sehingga

memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang

akan diteliti. Dengan menggunakan metode ini, tuturan antara pedagang dengan

pembeli dapat diperoleh secara jelas. Di dalam tuturan antara kedua partisipan

tersebut pasti terdapat bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang mengandung

makna linguistik maupun nonlinguistik. Selain bentuk-bentuk kesantunan,

penggunaan kata sapaan juga pasti terlihat dalam percakapan tersebut. Hal ini juga

tidak dapat dipungkiri akan terjadi peristiwa alih kode dan campur kode.

Metode yang kedua adalah metode simak-catat. Tuturan diperoleh dengan

memperhatikan metode simak-catat, yakni menyimak pertuturan langsungan di

dalam aktivitas jual-beli yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kesantunan

bahasa yang mengandung makna linguistis maupun nonlinguistis. Teknik yang

digunakan terhadap metode tersebut adalah dengan mencatat dan merekam tuturan

dalam aktivitas jual-beli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Catatan dan rekaman

tuturan itulah yang kemudian diteliti oleh peneliti terhadap tingkat kesantunan

berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dalam aktivitas jual-

beli.

Peneliti menggunakan dua metode tersebut karena melihat kedua metode

di atas dirasa sudah tepat digunakan untuk mencari data tuturan baik tuturan

penjual maupun tuturan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Dengan menggunakan metode yang pertama yakni metode observasi

partisipatif, peneliti dapat meneliti dengan mudah karena peneliti ikut terjun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

langsung dapat observasi tersebut. Metode yang kedua yakni metode simak-catat

digunakan peneliti untuk meninjau kembali dari rekaman yang telah diambil oleh

peneliti saat observasi berlangsung. Dari rekaman tersebut kemudian ditranskrip

berupa catatan percakapan antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, dua

metode tersebut di atas dipilih peneliti sebagai metode pengumpulan data pada

penelitian ini.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini

merujuk pada kajian analisis deskriptif dan analisis kontekstual. Nurastuti

(2007:103) menjelaskan yang dimaksud dengan analisis deskriptif adalah analisis

yang dilakukan dengan merinci dan menjelaskan secara panjang lebar

(menyeluruh) keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Jadi, teknik

analisis data secara deskriptif ini, peneliti benar-benar mengungkap masalah

penelitian ini dengan cara mendeskripsikan, menjelaskan, dan memaparkan

masalah penelitian tersebut. Analisis kontekstual adalah analisis yang diterapkan

pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks (Rahardi, 2006:36).

Peneliti kemudian mengaitkan deskripsi atau paparan masalah tersebut ke dalam

suatu bentuk kalimat, sehingga penelitian ini benar-benar jelas. Tentu tidak

terlepas dari konteks yang notabene merupakan ancangan dari kajian

sosiopragmatik itu sendiri.

Pada teknik analisis data ini, peneliti menggunakan ancangan

sosiopragmatik yang menekankan pada maksud tuturan beserta konteksnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

Maksud tuturan dan konteks di sini dideskripsikan secara mendetail guna

mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, terdapat empat langkah teknik

analisis data dalam penelitian ini. Empat langkah teknik analisis data ini

dijabarkan sebagai berikut.

1) Tahap pertama adalah tahap klasifikasi

Pada tahap pertama ini, peneliti mengelompokkan data-data penelitian

berdasarkan kesamaan masalah penelitian yang mengacu pada teori

sosiolinguistik, pragmatik, dan khususnya teori sosiopragmatik sebagai

tinjauan dalam penelitian ini.

2) Tahap kedua adalah tahap identifikasi

Tahap identifikasi ini peneliti melakukan suatu indentifikasi terhadap data-

data yang telah terkumpul dengan mengkaji tuturan kebahasaan dengan

menggunakan teori kesantunan dan penanda kesantunan. Peneliti juga

mengidentifikasi data-data sesuai dengan konteksnya (sosiopragmatik).

3) Tahap ketiga adalah tahap interpretasi

Tahap ini merupakan tahapan pemberian makna atau pemaknaan atas temuan-

temuan dalam penelitian ini. Peneliti memberikan makna atau pemaparan

mengenai maksud tuturan sesuai dengan analisis atau identifikasi yang telah

dilakukan sesuai dengan data yang ada. Pemaknaan ini tentu tidak terlepas

dari adanya konteks yang terdapat di dalam data-data penelitian ini.

4) Tahap yang terakhir adalah tahap deskripsi

Dalam tahap ini, peneliti memaparkan dan menjelaskan hasil kajian yang

telah dilakukan berdasarkan kajian ilmu sosiopragmatik yang mengacu pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

tuturan beserta maksudanya dan konteks tuturan itu sendiri. Deskripsi ini

dapat dikatakan sebagai hasil temuan yang dilakukan peneliti dalam

mengupas habis permasalahan dalam penelitian ini.

3.6 Triangulasi Data

Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang

berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga

dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya

adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau

sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006:330).

Metode triangulasi merupakan salah satu metode yang paling umum di

pakai dalam uji validitas penelitian kualitatif. Metode triangulasi di dasarkan pada

filsafat fenomenologi. Fenomenologi merupakan aliran filsafat yang mengatakan

bahwa kebenaran bukan terletak pada peneliti, melainkan realitas objek itu

sendiri. untuk memperoleh kebenaran, secara epistimologi harus dilakukan

penggunaan multiperspektif.

Ada tiga proses triangulasi yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini,

yaitu triangulasi teori, triangulasi logis, dan triangulasi penyidik. Melalui

triangulasi teori, peneliti memanfaatkan dan membandingkan teori-teori tentang

kesantunan berbahasa, skala kesantunan, penanda-penanda kesantunan, dan lain-

lain yang berkaitan dengan kesantunan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan

tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

dan ditunjang dari segi pembelinya juga. Yang kedua, peneliti melakukan

triangulasi logis, yaitu melakukan bimbingan bersama dosen pembimbing , yaitu

Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. sebagai pembimbing I dan Dr. R. Kunjana Rahardi,

M.Hum. sebagai pembimbing II dalam hal diskusi-diskusi demi perbaikan dan

penyempurnaan sejak awal hingga akhir penelitian. Dan triangulasi yang terakhir

adalah triangulasi penyidik. Dalam triangulasi penyidik ini, adanya penyidik yang

turut memeriksa hasil pengumpulan dan tabulasi data yang telah diperoleh dan

dianalisis oleh peneliti. Peneliti mempercayakan Dr. B. Widharyanto, M.Pd.

sebagai penyidik triangulasi ini. Penyidik akan memeriksa dan memberi masukan

terhadap hasil pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peneliti.

Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan. Mengapa dapat dikatakan

demikian? Karena dilihat dari masalahnya, jenis penelitiannya, sumber datanya,

metode pengumpulan datanya, dan lain-lain, peneliti dapat mengambil nila-nilai

positif dalam proses penelitian ini. Dikatakan menarik karena penelitian ini belum

pernah dilakukan oleh siapa pun dengan mengambil konteks pusat perdagangan

dan perbelanjaan khas kota Yogyakarta yaitu Malioboro. Selain itu, selain kita

melaksanakan penelitian ini, kita dapat juga “Bermain Sambil Belajar”. Maksud

dari pernyataan tersebut adalah memang tujuan kita untuk melakukan sebuah

penelitian ini, namun kemungkinan besar kita juga dapat ikut bermain, jalan-jalan

di dalam pusat perdagangan dan perbelanjaan yang terkenal itu. Hal ini akan

membuat peneliti lebih bersemangat dalam melakukan penelitian ini. Ditambah

lagi dengan adanya bermacam-macam jenis dagangan yang diperjualbelikan di

sana sehingga peneliti tidak bosan dengan keadaan sekitar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

Peneliti akan berusaha keras dalam melakukan penelitian ini. Usaha yang

keras dan maksimal diharapkan akan membuahkan hasil yang maksimal juga.

Peneliti berharap penelitian ini akan dapat berjalan dengan lancar dan sukses.

Sehingga masalah dalam penelitian ini dapat terkuak dan menjadikan penelitian

ini sebagai penelitian baru yang diharapkan mampu menambah penelitian-

penelian lainnya dalam suatu bidang kajian ilmu sosiopragmatik serta dapat

bermanfaat bagi pembacanya. Oleh karena itu, penelitian ini benar-benar

diarahkan dengan menggunakan metodologi penelitian yang sangat rinci dan jelas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil analisis

data, dan (3) pembahasan temuan.

4.1 Deskripsi Data

Teori kesantunan berbahasa mengkaji bentuk-bentuk tuturan yang santun

yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi terjadi. Teori ini

sangat penting untuk digunakan karena dengan menggunakan teori ini, kita akan

dapat melihat dan memahami tuturan mana yang santun dan tuturan mana yang

tidak santun. Ketika kita tengah melakukan percakapan dengan orang lain, kita

juga harus mempertimbangkan perasaan orang lain yang tengah kita ajak

berkomunikasi. Dengan memperhatikan perasaan itulah, komunikasi yang terjalin

akan lancar. Hal ni termasuk dalam tingkat kesantunan berbahasa dalam

berkomunikasi dengan tidak mempermalukan pihak penutur dan pihak mitra tutur.

Tentu dalam berkomunikasi, kita harus memperhatikan konteks kita dalam

berkomunikasi. Konteks bisa berupa siapa yang kita ajak berkomunikasi, tempat

kita berkomunikasi, waktu kita berkomunikasi, dan sebagainya. Konteksnya harus

jelas adanya karena tanpa adanya konteks ini sudah jelas bahwa komunikasi pasti

tidak akan berhasil. Selain dengan mempertimbangkn perasaan, kesantunan juga

harus ditujukkan dengan ekspresi wajah atau yang biasa disebut dengan konsep

muka. Dengan melihat ekspresi muka tersebut, maka kita dapat melihat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

bagaimana tanggapan atau respon mitra tutur yang tengah kita ajak

berkomunikasi.

Dalam komunikasi, kesantunan berbahasa juga ditinjau dari segi

sosiolinguistik yang mendasar pada sapaan, alih kode, dan campur kode.

Penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode kadang disalahgunakan dalam

meneliti tingkat kesantunan berbahasa. Memang tidak ada salahnya ketika dalam

berkomunikasi aspek-aspek sosiolinguistik itu dipakai, namun hal tersebut juga

harus diperhatikan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur

menjadi santun dan tidak merugikan kedua belah pihak, baik penutur maupun

mitra tutur.

Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Maka,

sangat wajar apabila kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam

bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di

dalamnya menyakitkan hati pendengarnya. Hal ini dapat kita lihat pada tuturan

para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menggunakan tuturan

yang seadanya tanpa melihat apakah tuturan tersebut santun atau tidak. Bagi

sesama pedagang, tuturan yang dituturkan kepada para pembeli itu sudah biasa

digunakan dan pasti sudah santun. Namun pada kenyataannya dapat dilihat ketika

ada seorang pembeli yang tiba-tiba langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan

salam atau suatu ucapan terima kasih kepada pedagang. Komunikasi yang terjalin

sudah pasti tidak berjalan dengan baik dan pedagang menggunakan tuturan yang

dapat merugikan pembeli, sehingga pembeli langsung pergi begitu saja. Begitu

pula sebaliknya dengan pembeli. Ada kenyataan ketika pembeli yang mencoba

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

menawar harga dagangan seorang pedagang serendah mungkin dengan tuturan

yang tidak santun akan membuat perasaan pedagang kesal atau marah, sehingga

pedagang bersikap acuh tak acuh kepada pembeli. Fenomena-fenomena itulah

yang perlu diluruskan dengan meneliti tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menitikberatkan pada kajian

sosiopragmatik.

Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub,

yakni (1) tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan

(2) tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar

analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang

dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa

pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum

dalam skala pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan,

(3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial.

Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga

skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3)

skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai

dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala

lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya

mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga

skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat

mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut,

peneliti dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.

Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan

pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin mengetahui

tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) diksi, dan (5)

gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam konteks

berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta. Kelima hal tersebut di atas juga

memiliki andil yang besar dalam peneliti menentukan tingkat kesantunan

berbahasa. Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada

paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya untuk

mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun pembeli di “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting dari lima hal tersebut yakni

penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa. Ketiga hal itu juga dapat mewakili

dua skala milik Leech yang oleh peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis

penelitian ini. Oleh karena itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima

hal yang telah dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan

menjelaskan dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan

pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Data yang dianalisis dalam skripsi ini adalah tuturan verbal (hal-hal yang

dituturkan) yang sifatnya percakapan antarorang atau antara penjual dan pembeli.

Data diambil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dalam percakapan

pedagang dan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta selama bulan Februari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

2014 hingga April 2014. Hasilnya ada sekitar 37 data tuturan yang dianalisis

dalam penelitian ini. 37 data tuturan tersebut kemudian dianalisis untuk kedua

objek penelitiannya, yakni dari segi penjual atau pedagang dan dari segi pembeli.

TABEL 1

JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO”

TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA

NO.

SUBJEK

SA

NT

UN

(TU

TU

RA

N)

TID

AK

SA

NT

UN

(TU

TU

RA

N)

JU

ML

AH

(TU

TU

RA

N)

SKALA

KESANTUNAN

PENANDA

KESANTUNAN Ska

la

Untu

ng-R

ugi

(Tutu

ran)

Ska

la P

ilih

an

(Tutu

ran)

Ska

la

Ket

idakl

angsu

ngan

(Tutu

ran)

Pem

akai

an D

iksi

(Pil

ihan

Kat

a)

Pem

akai

an G

aya

Bah

asa

S TS S TS S TS S TS S TS

1. Pedagang 20 17 37 7 14 7 3 6 0 2 2 2 2

2. Pembeli 16 21 37 3 13 9 2 4 6 2 2 2 2

Dari tabel di atas, jumlah data tuturan pedagang dan pembeli sama-sama

berjumlah 37 data tuturan. Tuturan pedagang dan pembeli yang dianalisis tersebut

terangkum dalam satu data sekaligus. Jadi, dalam satu data tuturan akan dianalisis

ada dua, yakni tuturan pedagang dan tuturan pembeli. Tabel di atas memaparkan

bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan

pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak

santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 data tuturan yang terdiri atas 7

data tuturan dari skala untung-rugi, 7 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pedagang yang tidak

santun tercatat 17 data tuturan yang terdiri atas 14 data tuturan dari skala untung-

rugi, 3 data tuturan dari skala pilihan, dan 0 data dari skala ketidaklangsungan.

Dari data-data penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi

dan gaya bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun

dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan

yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya

bahasa.

Begitu juga dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan

pembeli yang santun tercatat 16 data tuturan yang terdiri atas 3 data tuturan dari

skala untung-rugi, 9 data tuturan dari skala pilihan, dan 4 data tuturan dari skala

ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 data

tuturan yang terdiri atas 13 data tuturan dari skala untung-rugi, 2 data tuturan dari

skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data

penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi dan gaya

bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data

tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang

santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa.

Jadi, jika data-data tersebut dirangkum menjadi satu, data yang diperoleh peneliti

tetap sebanyak 37 data tuturan. Namun apabila data-data tersebut dipilah-pilah

berdasarkan subjek penelitiannya, data tuturan penjual/pedagang sebanyak 37 data

dan data tuturan pembeli sebanyak 37 data juga (hal ini sudah termasuk data

tuturan dari segi penanda kesantunan).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

37 data tuturan tersebut dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tiga skala

Leech, yaitu (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala

ketidaklangsungan dan dua penanda kesantunan, yakni (1) pemakaian diksi dan

(2) pemakaian gaya bahasa dalam analisis data. Setiap data akan dipilah menjadi

dua analisis, yakni analisis tuturan penjual dan analisis tuturan pembeli. Setiap

skala dan teori penanda kesantunan terdiri atas beberapa data yang dianalisis

dalam dua kategori yaitu kategori tuturan yang santun dan tuturan yang tidak

santun. Dalam analisis data, peneliti tidak menggunakan semua data untuk

dianalisis. Peneliti hanya menggunakan beberapa data saja sebagai sampel dalam

analisisnya. Tentu data yang dijadikan sampel sudah menjadi data pilihan peneliti

sebagai cakupan untuk analisis teori yang telah dipilih.

Sub pertama yang mengenai tingkat kesantunan penjual “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 5 data tuturan yang santun dan 5

data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 3 data tuturan yang santun

dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 4 data tuturan yang

santun dan 0 data tuturan yang tidak santun dari skala ketidaklangsungan. Dari

data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti menggunakan 8 data yang

terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari

segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak

santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi untuk menjawab sub yang pertama

ini, peneliti menggunakan 26 data tuturan, baik santun maupun yang tidak santun.

Kemudian untuk sub kedua yang mengenai tingkat kesantunan pembeli

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 3 data tuturan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

santun dan 5 data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 2 data tuturan

yang santun dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 2 data

tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari skala

ketidaklangsungan. Dari data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti

menggunakan 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data

tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang

santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi

untuk menjawab sub yang kedua ini, peneliti menggunakan 23 data tuturan, baik

santun maupun yang tidak santun. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam

tabel berikut ini.

TABEL 2

JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO”

TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA YANG DIGUNAKAN

DALAM ANALISIS DATA

NO.

SUBJEK

SA

NT

UN

(TU

TU

RA

N)

TID

AK

SA

NT

UN

(TU

TU

RA

N)

JU

ML

AH

(TU

TU

RA

N)

SKALA

KESANTUNAN

PENANDA

KESANTUNAN

JU

ML

AH

(T

UT

UR

AN

)

Ska

la

Untu

ng-R

ugi

(Tutu

ran)

Ska

la P

ilih

an

(Tutu

ran)

Ska

la

Ket

idakl

an

gsu

ngan

(Tutu

ran)

Pem

akai

an D

iksi

(Pil

ihan

Kat

a)

Pem

akai

an G

aya

Bah

asa

S TS S TS S TS S TS S TS

1. Pedagang 20 17 37 7 14 7 3 6 0 2 2 2 2 26

2. Pembeli 16 21 37 3 13 9 2 4 6 2 2 2 2 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

4.2 Hasil Analisis Data

Agar pemahaman kita semakin jelas mengenai hasil temuan atau analisis

di atas, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing aspek

di atas.

4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “ Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta.

Data yang pertama mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di

trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai

penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah pembelinya. Data yang diperoleh

kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai

dasar pemikiran analisis penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan

mengenai pendapat Leech (1983:123) tentang lima skala yang perlu

dipertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan. Lima skala tersebut

terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri atas (1) skala biaya-keuntungan,

(2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5)

skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar

analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala

keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang

akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan

mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh

peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya

menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik

penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan

adanya penggunaan tiga hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni

penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat

memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini.

Dengan menggunakan sapaan, dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak

digunakan sudah dapat dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan

ketiga skala kesantunan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan

keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya

ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur.

Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari

penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan.

Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya

akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra

tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari

penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(1) PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,

Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat

warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju anak-anak

kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan

mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan

bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila dagangan yang dibeli

tidak cukup, boleh ditukarkan). (DT 1)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan

tampak sebagai berikut.

Data (1) memperlihatkan bahwa penjual (penutur) sedang melakukan

transaksi jual beli dengan pembeli (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli

yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli berjalan dengan baik dan lancar.

Penjual dapat mengerti apa yang diinginkan oleh mitra tuturnya saat transaksi jual

beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut

terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur

memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak

mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung.

Tuturan dari data (1) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena

penutur (penjual) memberikan keuntungan kepada pembeli dengan penekanan

tuturannya yakni, “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.” (Cukup-

cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). Penekanan tuturan tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tuturan tersebut sangat

memberikan keuntungan bagi pembeli karena apabila dagangan yang dibelinya

tidak cukup (ukurannya) boleh ditukarkan. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat

mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Santunnya tuturan data (1) juga

ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam

percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Mas” tepat digunakan sebagai sapaan

penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. Sedangkan

sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang ibu-ibu. Data (1) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa

Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris

dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti

merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun

karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan

bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada

percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan

menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode

yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di

dalam data (1).

(2) PJ : Tiga puluh ya?

PB : Nawar dua lima, Bu.

PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak remaja

yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ

memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan dagangannya sesuai

dengan penawaran PB. Jadi tuturan ini termasuk dalam tuturan yang santun

karena menguntungkan PB). (DT 4)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

Data (2) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini

dikarenakan penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah pembicaraan yang

sedang berlangsung. Tuturan dari data (2) ini termasuk dalam kategori tuturan

yang santun, karena kedua partisipan tutur tersebut dapat mengerti alur tuturan

yang sedang berlangsung dan tuturan penjual (PJ) ini sangat memberikan

keuntungan kepada pembeli (PB). Dalam skala biaya-keuntungan, semakin

penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan

menjadi sangat santun. Keuntungan yang diperoleh mitra tutur yakni mitra tutur

mendapatkan barang dagangan penutur sesuai dengan harga penawarannya.

Dengan tuturan, “Ya wis, oke-oke, Dik” menandakan bahwa penutur (PJ)

memberikan dagangannya kepada mitra tutur (PB) sesuai dengan harga

penawaran dari mitra tutur yang telah disepakati bersama sehingga hal ini dapat

dikatakan bahwa tuturan dari data (2) ini dinilai sebagai tuturan yang santun

karena penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut

merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tidak lepas dari penutur

yang memberikan keuntungan pada mitra tuturnya, kedua partisipan tutur ini juga

menggunakan sapaan dalam berkomunikasi. Penutur yang adalah seorang ibu-ibu

tepat disapa dengan sapaan “Bu” oleh mitra tuturnya. Begitu pula sebaliknya,

mitra tutur yang adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan tepat

disapa dengan menggunakan sapaan “Dik” oleh penutur yang jauh lebih tua dari

mitra tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena

penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi

yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua

partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (2) dirasa

menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko.

Terlihat jelas dari tuturan data (2) yang menggunakan campur kode bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada

tuturan penutur yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur kode

dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan yang

sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud dari

tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya.

(3) PJ : Ini maksudnya gimana?

PB : Yang warna biru.

PJ : Ini campur-campur gitu?

PB : Iya, pengennya gitu.

PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh.

PB : Hah? (kaget)

PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!

PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.

PJ : Pinter nawar e. (Pintar menawar ya)

PB : Tujuh belas.

PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.

PB : Emoh (merengek)

(Tidak mau)

PJ : Dua ribu lagi

PB : Dua ribu?

PJ : Ini baru enam belas.

PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)

PJ : Dua ribu!

PB : Seribu! (memaksa)

PJ : Ya udah ga papa (Ya sudah tidak apa-apa)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan

kunci kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis

kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang

berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PB sangat

pandai menawar sehingga PJ tidak sanggup lagi untuk menyangkal tawaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

harga dari PB dan pada akhirnya PJ menyetujui hasil tawaran dari PB. Hal

tersebut menandakan bahwa tuturan PJ menguntungkan PB). (DT 7)

Data (3) mengindikasikan bahwa penutur (penjual) sedang melakukan

transaksi jual beli dengan mitra tutura (pembeli). Saat bertransaksi, mitra tutur

(pembeli) sangat pandai menawar sehingga penutur (penjual) tidak sanggup lagi

untuk menyangkat tawaran dari mitra tutur. Hal ini dapat dibuktikan dengan

tuturan, “Pinter nawar e”. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan

berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur memiliki

pemahaman yang sama terhadap konteks tawar-menawar dagangan dan tidak

mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung.

Tuturan dari percakapan tersebut termasuk dalam kategori yang santun karena

penutur menguntungkan mitra tuturnya, yaitu PB atau pembelinya dan kedua

partisipan tutur dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Penekanan

pada kata-kata tawar-menawar yang dituturkan oleh mitra tutur seperti

mempertegas pertuturan yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian

menimbulkan keuntungan antara penutur dan mitra tutur di dalam sebuah

percakapan. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa diuntungkan,

maka semakin santunlah tuturan itu. Keuntungan yang diperoleh oleh pembeli

juga ditekankan pada tuturan penjual sebagai berikut, “Ya udah ga papa”.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.

Data (3) ingin berbicara bahwa tuturan tawar-menawar yang dilakukan oleh

penutur dan mitra tutur sudah menjelaskan bahwa keduanya sudah sama-sama

mengetahui konteks jual beli dalam sebuah perdagangan, sehingga penutur dan

mitra tutur lancar dalam bertransaksi jual beli. Santunnya tuturan antara penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Pak” yang

diucapkan oleh mitra tutur kepada penutur. Sapaan tersebut sudah sesuai

digunakan karena dapat kita ketahui bahwa penutur adalah orang dewasa yang

berjenis kelamin laki-laki, jadi sapaan “Pak” memang dirasa sudah sesuai. Dilihat

dari jenis kelaminnya juga mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan memang

pantas untuk disapa dengan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” ini dirasa tepat

digunakan karena melihat bahwa mitra tutur jauh lebih muda dari penutur. Dari

hasil percakapan di atas, terdapat penggunaan campur kode dalam tuturan yang

dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur, begitu juga sebaliknya tanggapan

mitra tutur kepada tuturan penutur. Percakapan di atas menggunakan campuran

bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan kata emoh

dan pinter nawar e. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa

Indonesia, namun ada satu percakapan yang dituturkan oleh penutur dan mitra

tutur dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini merupakan campur kode, bahasa

Indonesia-bahasa Jawa. Memang dalam konteks perdagangan, penutur (pedagang)

dan mitra tutur (pembeli) jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan kata-kata

baku dalam konteks jual beli. Oleh karena itu, para pedagang selalu menggunakan

bahasa sehari-hari. Hal ini dirasa lebih mengakrabkan hubungan antara penjual

dan pembeli dalam situasi jual beli. Penggunaan kata yang tidak baku pun juga

terlihat dalam percakapan jual beli, seperti pada percakapan di atas yang

menggunaan kata gak, ya udah ga papa, gimana, gitu, dan lho. Jadi, percakapan

di atas terbilang santun karena penutur sangat menguntungkan diri mitra tuturnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

(4) PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.

PB: Ini?

PJ : Enam lima. Berapa?

PB: Tiga puluh

PJ : Ambil berapa biji?

PB: Satu, Pak.

PJ : Udah empat puluh ya?

PB: Emoh. Tiga puluh.

(Tidak mau. Tiga puluh)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB: Emoh

(Tidak mau)

PJ: Ya udah

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada

pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa dan PB adalah wanita muda yang

berhijab. PB menawar setengah harga lebih dari yang ditawarkan oleh PJ.

PJ mencoba untuk menurunkan harga tawarannya akan tetapi PB tetap pada

harga tawarannya. Akhirnya PJ memberikan harga tawaran PB. Hal ini

dipandang sebagai tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 11)

Data (4) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena mitra

tutur merasa diuntungkan oleh si penutur. Terlihat penutur menawarkan sebuah

harga kepada mitra tutur dan mitra tutur langsung menawar setengah lebih dari

harga yang ditawarkan oleh penutur. Namun penutur tetap pada harga yang

ditawarkan, begitu juga dengan mitra tutur yang tetap pada harga tawarannya.

Agar tidak kehilangan pelanggannya, penutur sedikit demi sedikit menurunkan

harga tawarannya, akan tetapi mitra tutur tetap tidak mau. Hingga pada akhirnya

penutur memberikan dagangannya dengan harga tawaran si mitra tutur. Hal

tersebut sangat menguntungkan diri mitra tutur karena penawarannya telah

dipenuhi oleh penutur. Tuturan yang menjadi penanda kesantunan dalam data ini

dibuktikan dengan tuturan berikut, “Udah empat puluh ya?” dan “Ya udah”.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.

Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik dan lancar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur mengerti arah tujuan dari pembicaraan

tersebut. Tuturan data (4) termasuk dalam kategori santun karena penutur dan

mitra tutur sama-sama mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Selain itu,

pemilihan dan penggunaan kata-katanya juga tidak membuat diri mitra tutur

tersinggung atau dirugikan. Penutur yang mengalah dengan memberikan

dagangannya dengan hasil tawaran harga mitra tutur membuat diri mitra tutur

merasa senang dan diuntungkan. Tuturan (4) menjadi tidak santun apabila antara

penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi ataupun penutur dan mitra

tutur memilih kata-kata yang kurang tepat dalam komunikasi. Santunnya tuturan

(4) tersebut juga dilihat dari penggunaan sapaan. Dari data (4), sapaan “Pak” tepat

ditujukan kepada penutur yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan

sapaan “Mbak” tepat ditujukan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang

wanita muda. Sapaan ini sangat santun dan tepat digunakan untuk memanggil

penutur yang adalah seorang laki-laki dewasa dan mitra tutur yang adalah seorang

wanita muda. Tuturan tersebut menjadi tidak santun apabila sapaan yang

digunakan tidak tepat. Pada tuturan (4) menggunakan campur kode, yakni bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campuran bahasa Jawa Ngoko

dapat dilihat dari tuturan mitra tutur, yakni “Emoh” yang memiliki arti tidak tahu.

Walaupun campur kode ini sering terjadi dalam komunikasi, hal itu tidak akan

mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan yang dikomunikasikan. Pada tuturan

(4), penggunaan campur kode ini dirasa santun karena penutur dan mitra tutur

sudah sama-sama mengetahui bahasa yang digunakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

(5) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh

tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan

barang ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada

pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan

mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18)

Data (5) merupakan percakapan antara penjual (penutur) dengan mitra

tuturnya (pembeli) dalam suasana jual beli. Dalam data (5) ini terlihat kedua

partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan.

Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Keduanya

sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti alur

pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini termasuk

dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur dapat mengerti

arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan penutur (PJ) yang

telah dicetak tebal yakni, “Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli

dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik?” (sambil

memasukkan barang ke kantong plastik) mempertegas bahwa penutur sangat

menguntungkan mitra tutur (pembeli). Penekanan tuturan tersebut merupakan

suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (5) ini ingin menjelaskan bahwa

tuturan penutur tersebut merupakan sebuah keuntungan yang didapat oleh mitra

tutur. Dapat dilihat penutur (PJ) memberikan keuntungan kepada mitra tutur (PB)

dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal. Hal ini terlihat sangat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

menguntungkan mitra tutur. Sehingga mitra tutur dapat membeli dua pasang

sandal dengan harga yang lebih murah, seperti yang sudah dituturkan oleh

penutur. Ekspresi tanggapan mitra tutur juga terlihat puas dan senang. Oleh

karena itu, tuturan tersebut dinilai santun karena tuturan penutur memberikan

keuntungan kepada mitra tuturnya. Tuturan (5) menjadi tidak santun apabila

penutur memaksakan mitra tuturnya (PB) untuk membeli dagangannya sesuai

dengan harga tinggi yang diinginkannya tanpa memperhitungkan penawaran dari

mitra tutur sehingga hal tersebut dapat merugikan mitra tuturnya. Dan tidak

santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur tidak

ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah pembicaraan yang tengah

berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan guna menghormati

seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun tidaknya sebuah tuturan

juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan sapaan yang sudah tepat

dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah tuturan. Namun apabila

sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan tuturan akan jelas terjadi.

Data tuturan (5) ini, sapaan “Pak” tepat digunakan untuk penutur yang adalah

seorang laki-laki dewasa dan sapaan “Dik” tepat digunakan untuk sapaan mitra

tutur yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan-

sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan, penggunaan campur kode

juga terlihat dari data (5) ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa Jawa Krama identik

dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari tanggapan mitra tutur (PB)

yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama. Hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

ini lebih membuktikan dan menegaskan bahwa selain menguntungkan mitra

tuturnya, penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya.

(6) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak.

Arek enem arek piro?

(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini

enam mau berapa?)

PB1: Hah?

PJ1: Arek enem arek piro to kaose?

(Mau berapa kaosnya?)

PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro.

(Eee... Iya yang itu dua)

PJ2: Sing endi? Oren?

(Yang mana? Jingga?)

PB1: Sing ngene iki piro?

(Yang begini ini berapa?)

PJ1: Telu lima

(Tiga lima)

PB1: Ki telungatus pas ya?

(Ini tiga ratus pas ya?)

PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo

dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil

marah-marah)

(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan

dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)

PB1: Ndelok gambare aku.

(Lihat gambarnya aku)

PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.

(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)

PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.

(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)

PJ1: Wis?

(Sudah)

PJ2: Piro iki piro? Hah?

(Berapa ini berapa? Hah?)

PB1: Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?

(Lha ini bordirnya dua)

PB2: Enem, pitu niku lho!

(Enam, tuju itu lho!)

PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.

(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)

PB1: Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)

(Ini bordir, Mbak)

PJ2: Bordir bedo! (nada keras)

(Bordir beda!)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos dagadu

kepada pembeli. Data diambil dari dua penutur dan dua mitra tutur.

Keduanya saling tawar-menawar. Penutur adalah laki-laki dewasa dan

wanita dewasa, sedangkan mitra tutur adalah wanita muda dan wanita

dewasa. Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh

tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan

tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)

Data (6) merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur saat

bertransaksi jual beli. Pada tuturan (6) tersebut mitra tutur merasa sangat

dirugikan oleh tuturan yang diucapkan oleh penutur, baik penutur pertama

maupun penutur yang kedua. Mitra tutur menganggap penutur sangat menyindir

mitra tutur melalui tuturan yang terucap dan hal itu mengakibatkan diri mitra tutur

merasa sangat dirugikan. Dapat dilihat pada tuturan di atas, ada banyak sekali

tuturan penutur yang merugikan diri mitra tutur, hal ini dapat dibuktikan dengan

tuturan seperti ini “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku

wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki” (sambil marah-marah), “Lebokke

dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (nada keras).

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data

itu. Tuturan tersebut membuat mitra tutur tersinggung dan menyebabkan mitra

tutur menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap

tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur

sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi

tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur

menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

dirugikan dengan tuturan si penutur. Tuturan dari data (6) memperlihatkan bahwa

tuturan penutur sangat tidak layak digunakan dalam konteks jual beli.

Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur

menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Data (6)

diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko.

Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling

berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (6) ini juga

menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya

penggunaan kata pink dalam tuturan si mitra tutur (pembeli). Memang suasana

komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah

komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa

yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan

penutur membuat mitra tuturnya marah dan merasa dilecehkan. Penggunaan

bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang memang layak

digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua.

Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan, yakni sapaan

“Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene adalah seorang

wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama dan pembeli

kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa), dan yang

terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang notabene adalah

seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas memperlihatkan

bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari penggunaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena sangat jelas

terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur dapat merugikan diri

mitra tuturnya.

(7) PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima

belas, yang HP.

PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?

(Tas yang seperti ini berapa, Mbak?)

PJ : Empat lima

PB2: Kalau ini berapa?

PJ : Delapan puluh

PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki ! (menyindir)

(PB1 dan PB2 pergi)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada

pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama wanita tengah baya. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ sangat tidak sopan dan sangat merugikan PB

sehingga PB langsung pergi setelah mendengar tuturan PJ. Tuturan PJ juga

terlihat kasar dengan gaya menyindir). (DT 5)

Data (7) merupakan tuturan dari seorang penjual tas kepada pembeli saat

transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro. Pada tuturan (7) tersebut

penjual yang notabene sebagai penutur mengucapkan kata-kata yang sangat

menyindir dan merugikan diri mitra tutur (pembeli). Kalimat tersebut adalah “Wo

survei harga kok, Mbak’e ki!”. Kalimat yang dituturkan oleh penjual tersebut

sangat tidak layak dituturkan dalam konteks jual beli ini. Karena tuturan seperti

itulah yang dapat merugikan pembeli yang hendak membeli dagangan si penjual.

Kalimat itu juga dapat membuat diri mitra tutur merasa dilecehkan sehingga mitra

tutur yang awalnya sedang melihat dan memilih dagangan penutur berbalik arah

langsung pergi setelah tuturan tersebut terlontar dari mulut si penutur. Tuturan

tersebut dinilai tidak santun karena sangat jelas sekali bahwa tuturan tersebut

sangat menyinggung, melecehkan, dan merugikan diri mitra tutur. Penekanan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu.

Suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi karena

mitra tutur merasa sangat dirugikan melalui tuturan tersebut. Dari data (7) yang

dinilai tidak santun, sapaan “Mbak” dirasa sudah tepat digunakan oleh diri

penutur dan mitra tutur yang notabene sama-sama seorang wanita yang masih

muda. Usia yang diperkirakan atas keduanya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu,

sapaan “Mbak” layak digunakan sebagai sapaan di antara keduanya (penjual dan

pembeli). Tuturan di atas juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan

bahasa Jawa Ngoko. Hal ini terlihat dari tuturan penutur yang mengikuti tuturan

mitra tutur dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun setelah itu penutur

mengucapkan kalimat yang dirasa tidak santun tersebut dengan menggunakan

bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa Jawa memang tidak dapat dipisahkan

dari logat asli orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.

Namun alangkah baiknya apabila penggunaan bahasa Jawa disesuaikan dengan

situasi, kondisi, dan siapa yang hendak kita ajak berkomunikasi. Dilihat dari data

(7), penutur menggunakan campur kode bahasa Jawa. Kalimat yang dituturkan

oleh penutur adalah bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan

bahasa Jawa Ngoko dalam data (7) ini dinilai tidak santun karena selain

kalimatnya sangat kasar, kalimat tersebut sangat merugikan mitra tutur sehingga

mitra tutur langsung pergi meninggalkan penutur.

(8) PB : Mas, ini sepasang ya?

PJ : Iya, Dik.

PB: Ini tadi dua berapa?

PJ : Tujuh puluh

PB: Dua, empat puluh, Mas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

PJ : Gak boleh!

PB: Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB

yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan PJ yang dirasa kurang sopan.

Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟ diganti dengan kata „maaf, belum

boleh‟, sehingga dapat terlihat lebih sopan). (DT 16)

Data (8) dengan penegasan kata gak boleh dengan nada yang ketus

membuat suasana menjadi tidak nyaman. Tuturan tersebut membuat mitra tutur

merasa kecewa. Hal itu dapat dibuktikan dengan tanggapan mitra tutur yang

berkata, “Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan” sambil menggerutu dan langsung pergi

meninggalkan penutur. Tuturan penutur seperti itulah yang dapat membuat

suasana komunikasi menjadi tidak harmonis layaknya transaksi jual beli yang

sewajarnya. Tuturan si penutur membuat diri mitra tutur merasa dirugikan.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data

itu. Data (8) termasuk tuturan yang tidak santun. Agar tuturan (8) menjadi santun,

maka kata gak boleh dapat diganti dengan kata “Maaf belum boleh, Dik”. Apabila

penutur mengucapkan seperti itu, mitra tutur tidak akan merasa tersinggung atau

kecewa. Penggunaan sapaan “Mas” dan “Dik” pada data (8) mengindikasikan

bahwa penutur dan mitra tutur saling menghormati. Penutur memberikan sapaan

“Dik” kepada mitra tutur dan mitra tutur memberikan sapaan “Mas” kepada

penutur karena mitra tutur. Hal ini tentu saja dengan melihat dan menyesuaikan

dengan jenis kelamin dan perkiraan usia diri penutur maupun diri mitra tutur.

Dalam percakapan di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan campuran bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa. Memang secara keseluruhan terlihat bahwa tuturan di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

atas menggunakan bahasa Indonesia namun pada tuturan yang terakhir mitra tutur

menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya. Hal ini tetap tidak mengubah arah

komunikasi yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Walaupun antara

penutur dan mitra tutur sama-sama mengerti apa yang dikomunikasikan, namun

tuturan yang terjadi tetap dirasa tidak santun karena tuturan yang diucapkan oleh

penutur membuat diri mitra tuturnya tersinggung.

(9) PJ : Belum dapat, Mbak.

PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?

(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)

PJ : Hah?

PB : Sepuluh

PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu,

Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek)

PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki

sepuluh ewu! (memaksa)

(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini

sepuluh ribu)

PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu.

PB : Piro iki?

(Berapa ini?)

PJ : Seratus empat puluh lima

PB : Gak dikorting?

(Tidak dikurangi harganya??

PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal

PB : Satus petang puluh lah, Pak?

(Seratus empat puluhlah, Pak?)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB : (pergi)

PJ : Ya udah sini.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur

adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan

PJ merugikan PB karena dilihat dari tuturannya, tuturan PJ sifatnya

mengejek PB. Tuturan PJ juga terkesan tidak sopan). (DT 26)

Data (9) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada

pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan ini memperlihatkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

bahwa tuturan penjual (penutur) dianggap menyindir dan mengejek mitra tutur.

Mitra tutur menganggap penutur menyindir dan mengejek mitra tutur melalui

tuturan yang terucap dari penutur itu sendiri dan hal tersebut mengakibatkan mitra

tutur merasa sangat dirugikan karena melecehkan mitra tutur. Dapat dibuktikan

dengan tuturan penutur kepada mitra tutur sebagai berikut, “Walaupun ditawar

sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa

tawar-menawar!” (mengejek). Tuturan yang ditujukan kepada mitra tutur

tersebut dianggap tidak sopan dan merugikan diri mitra tutur sebagai seorang

pembeli. Ditambah pula gaya bertutur kata si penutur yang mengejek menjadikan

tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak pantas untuk dituturkan.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data

itu. Suasana tuturan yang terjalin antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB)

menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh

tuturan si penutur. Penutur seolah-olah tidak memperdulikan penawaran yang

diberikan oleh mitra tutur. Tuturan ini dinilai sebagai tuturan yang tidak santun.

Agar tuturan pada data (9) ini menjadi santun, maka tuturan penutur yang dinilai

kasar dan tidak sopan tersebut dapat diganti dengan tuturan berikut, “Maaf, Mbak

harganya sudah pas”. Apabila penutur dalam tuturan (9) mengucapkan seperti itu,

maka mitra tutur tidak akan merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya.

Dalam data tuturan (9) di atas, sapaan yang digunakan sudah tepat. Sapaan “Pak”

pada diri penutur sudah tepat dan layak digunakan karena melihat bahwa penutur

adalah seorang laki-laki dewasa. Sapaan “Mbak” juga sudah dirasa tepat dan

layak ditujukan pada diri mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita tengah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

baya dan lebih muda dari diri si penutur (PJ). Terlihat pula penggunaan campur

kode dalam data tuturan ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Pada data tuturan di atas, penggunaan campur

kode bahasa Jawa Ngoko selalu diperlihatkan pada tuturan mitra tutur (PB).

Misalnya, Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?, Piro iki?, dan lain-lain. Dilihat secara

keseluruhan, walaupun penggunaan sapaan dalam data tuturan ini sudah tepat

namun tuturan data (9) ini memang dirasa tidak santun karena ada tuturan penutur

yang merugikan mitra tuturnya dan ada pula tuturan mitra tutur yang dirasa

kurang tepat dituturkan dalam situasi komunikasi jual beli.

(10) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?

PJ : O ya belum dapat, Le.

PB : Bolehnya berapa?

PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?

PB : (melihat-lihat gantungan kunci)

PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-

campur! (kasar sambil marah-marah)

PB : (pergi)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan

kunci kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra

tutur adalah anak-anak remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Dilihat dari tuturan PJ yang

kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai sangat tidak pantas dan tidak

sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai mitra tuturnya). (DT 30)

Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan penutur kasar kepada pembeli

(mitra tutur). Dapat dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut, “Mau beli yang

mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!” (kasar sambil marah-

marah). Tuturan seperti inilah yang dapat merugikan mitra tuturnya sebagai

pembeli atau konsumen. Tuturan itulah yang menimbulkan efek negatif pada

mitra tuturnya sehingga dapat menghancurkan suasana tuturan. Penutur tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

selayaknya bertutur kata sedemikian kasar kepada pembeli (mitra tuturnya).

Apalagi ditambah dengan gaya penyampaian penutur yang marah-marah. Gaya

penyampaian seperti itulah yang mendukung suasana komunikasi menjadi tidak

harmonis. Pada tuturan (10) di atas, tampak mitra tutur (PB) tidak terima dengan

tuturan yang diucapkan oleh penutur (PJ) sehingga mitra tutur pun langsung pergi

meninggalkan dagangan si penutur. Mitra tutur merasa bahwa penutur menyindir

dan melecehkan mitra tutur. Hal itu mengakibatkan mitra tutur (PB) merasa

sangat dirugikan oleh penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu

penanda ketidaksantunan dalam data itu. Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan

di atas termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun. Ketidaksantunan

lainnya juga terlihat pada penggunaan sapaan yang dituturkan penutur kepada

mitra tutur. Penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu dinilai tepat disapa oleh

mitra tutur dengan sapaan “Bu”. Namun sebaliknya, penutur yang menggunakan

sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole” (bahasa Jawa Ngoko) yang artinya

anak laki-laki kepada mitra tutur (PB), dinilai kurang tepat. Sapaan tersebut dirasa

sedikit kasar. Ya memang sapaan “Le atau Thole” digunakan untuk anak laki-laki,

akan tetapi dalam konteks jual beli dirasa kurang santun. Karena sapaan “Le atau

Thole” biasanya digunakan untuk memanggil anak laki-laki yang sudah kita kenal

atau yang sudah sangat akrab dengan kita, misalnya seorang ibu yang memanggil

anak laki-lakinya (dengan menggunakan sapaan “Le atau Thole”) itu memang

tepat dan layak. Tetapi dalam komunikasi jual beli ini, sapaan yang ditujukan oleh

penutur kepada mitra tutur dinilai belum tepat. Alangkah baiknya apabila sapaan

“Le” diganti dengan sapaan “Dik” yang lebih halus dan enak didengar (tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

terlalu kasar). Selain penggunaan sapaan, dalam data tuturan (10) juga terlihat

adanya penggunaan campur kode yakni campur kode bahasa Indonesia dengan

bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko dapat dibuktikan dengan

adanya kata, Le, gelem, dan ambilin. Memang penggunaan campur kode ini tidak

menghilangkan maksud dari tuturan yang dilangsungkan, akan tetapi alangkah

lebih baik jika dalam berkomunikasi baik penutur (PJ) maupun mitra tutur (PB)

menggunakan kata-kata yang tepat, sopan, dan pas sehingga maksud dari tuturan

yang dihasilkan pun juga dirasa sopan dan tidak ada yang dirugikan.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

TABEL 3

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA

UNTUNG-RUGI

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA UNTUNG-RUGI

SANTUN

(diuntungkan) TIDAK SANTUN

(dirugikan)

1. Analisis 1 DT 1

2. Analisis 2 DT 4

3. Analisis 3 DT 7

4. Analsis 4 DT 11

5. Analisis 5 DT 18

6. Analisis 6 DT 3

7. Analisis 7 DT 5

8. Analisis 8 DT 16

9. Analsis 9 DT 26

10. Analisis 10 DT 30

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options)

yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin

pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang

banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila

pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si

penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari

penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(11) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.

PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.

PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)

PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas

hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke

atas harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu)

PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak

PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus

dua puluh. Cowok cewek bisa. (Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu)

PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh

PB : Ini?

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan. Tinggal pilih, Mbak’e. (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu?

PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang dompet

kepada pembeli. Penutur adalah orang dewasa berjenis perempuan,

sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. PJ dan PB sama-sama

berjenis kelamin perempuan. Hanya usia saja yang membedakan di antara

keduanya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sedang memberikan pilihan-

pilihan atas dagangannya kepada PB). (DT 6)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, akan

tampak sebagai berikut.

Data (11) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli

yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan

berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PJ) terhadap

mitra tutur (PB) dalam sebuah percakapan. Hal ini dapat dibuktikan dengan

banyaknya pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. Penutur

memberikan banyak pilihan atas dagangannya kepada mitra tutur seperti pada

tuturan berikut, “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke

atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus

dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah.

Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e”. Penekanan tuturan tersebut

merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur menginginkan

sebuah dompet yang harganya murah. Oleh karena itu, penutur memberikan

pilihan-pilihan mengenai harga dagangannya. Dengan banyaknya pilihan yang

diberikan penutur, mitra tutur akan mengetahui dan memikirkan dompet mana

yang akan ia beli sehingga pemahaman tuturan atas keduanya terjalin dengan

baik. Maka, data (11) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan

mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Mbak” yang

diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Sapaan tersebut sudah sesuai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

digunakan karena dapat kita ketahui bahwa mitra tutur lebih muda dari penutur.

Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin

perempuan dan penutur memang pantas menyapa mitra tutur dengan sapaan

“Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih tua dari mitra tutur. Begitu juga

sebaliknya, mitra tutur tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada penutur yang

memang lebih tua dari mitra tutur. Dari hasil data (11) di atas, terdapat

penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh

penutur kepada mitra tutur. Campur kode ini terlihat pada tuturan penutur yang

menggunakan kata iki, sik, dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan

pilihane. Namun, mitra tutur tetap menjawab tuturan penutur dengan

menggunakan bahasa Indonesia.

(12) PB : Ini double?

PJ : Ini double XL

PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?

PJ : Ini ada yang XL?

PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?

PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB : Tiga tahun, ya laki-laki

PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang

merah coba.

PJ : Desainnya sama?

PB : Ini tadi kan?

PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini

double XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.

PJ : Iya

PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?

PJ : L

PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?

PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PB : Double XLnya gak ada?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple

gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.

PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya?

Yang ini gambarnya apa?

PJ : Gambarnya sama

PB : Coba buka aja gambarnya apa.

PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PB : Yang L juga.

PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa

ya?

PJ : Jadinya 150

PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.

PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya

ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.

PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.

PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah

wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan-

pilihan ukuran kaosnya kepada PB). (DT 13)

Data (12) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara

penjual kaos dengan mitra tuturnya memiliki nilai kesantunan yang baik. Hal ini

ditunjukkan pada tuturan penjual (penutur) yang memberikan banyak pilihan kaos

kepada pembelinya seperti berikut, “Paling besar L. Kalo anak-anak paling

besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini,

sama yang ini”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan

dalam data itu. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan

penutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si mitra tutur (PB) sehingga mitra tutur dapat

memilih dagangan si penutur dengan leluasa. Penutur dengan lihai dan

bersemangat memberikan pilihan-pilihan kaos dagangannya kepada mitra tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

Karena kelihaiannya, mitra tutur jadi merasa nyaman saat transaksi jual beli

berlangsung. Hingga pada akhirnya, mitra tutur (PB) membeli dagangan penutur

(PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang

mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur

menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu,

jadi data tuturan (12) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada

data tuturan di atas bahwa penutur memberikan pilihan-pilihan dagangannya

kepada mitra tutur. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua

partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara

keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari

persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya

dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra

tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam

bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat

memahami arah pembicaraannya. Penjual (penutur) dan pembeli (mitra tutur)

adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya

menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah

tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur

kode juga terdapat dalam percakapan data (12) ini. Campur kode yang digunakan

dalam tuturan data (12) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur

kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan

campur kode ini sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli

dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini

untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah

terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam

data (12) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para

pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar

seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini

tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (12) ini.

(13) PJ : Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa

kurang Dek. Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?

PJ : (mengangguk) Yang mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya,

Dek.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB). (DT 19)

Data (13) merupakan tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang baju

kepada pembelinya. Dalam data tuturan ini, penutur (PJ) memberikan pilihan-

pilihan mengenai ukuran beserta harganya kepada mitra tutur (PB). Bahkan

penutur memberikan pilihan bahwa harga dari dagangannya masih bisa dikurangi.

Tuturan penutur dapat dipaparkan sebagai berikut, “Ini empat puluh Dek yang

besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.

Mitra tutur pun dapat memilih dagangan penutur dan memberi tanggapan baik

atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh penutur. Oleh karena itu, data (13) ini

dapat digolongkan sebagai tuturan yang santun. Tuturan tersebut terlihat santun

juga dilihat dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-baik saja dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

berjalan dengan lancar. Komunikasi yang lancar ini terjadi karena penutur dan

mitra tutur mengerti alur pembicaraan mereka. Dapat dibuktikan pada data tuturan

(13) di atas bahwa transaksi jual beli berjalan dengan lancar dan membuahkan

hasil (mitra tutur dapat memilih serta membeli dagangan penutur dengan baik).

Sapaan yang digunakan dalam data tersebut di atas dirasa sudah tepat. Sapaan

“Bu” tepat ditujukan pada penutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa

dan sapaan “Dik” juga dirasa tepat digunakan pada mitra tutur yang notabene

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan yang digunakan

sudah tepat dan layak digunakan dalam transaksi jual beli di atas. Penggunaan

sapaan yang kurang tepat apabila mitra tutur memberikan sapaan “Dik” kepada

penutur yang jauh lebih tua darinya. Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan

ketidaksantunan dalam komunikasi yang terjalin. Pada data (13) ini juga timbul

campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa

Jawa Ngoko terlihat pada kata iki yang dalam bahasa Indonesianya berarti ini.

Penggunaan campur kode dalam data ini tidak mengubah maksud dari tuturan

yang terjadi. Jadi, walaupun terdapat campur kode bahasa Jawa, tuturan (13) tetap

tergolong dalam tuturan yang santun.

(14) PB: Umur lima tahun

PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken

sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras)

(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan

dibolak-balik)

PB: Berapa ini?

PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki

wernane.

(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini

warnanya)

PB: Dua lima ya, Bu?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

PJ: Telung puluh ya?

(Tiga puluh ribu ya?)

PB: Dua lima aja ya?

PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken

mengko. Nyoh ngko ndak lali!

(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak

kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah

anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan

PJ juga terlihat kasar kepada PB). (DT 28)

Data (14) menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain.

Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan. Hal ini dikarenakan penutur (PJ)

mengharuskan mitra tutur (PB) untuk membeli dagangan penutur dengan pilihan

yang seadanya saja, sehingga mitra tutur tidak dapat memilih dagangan PJ dengan

leluasa dan sesuai dengan keinginannya. Analisis tersebut dapat dibuktikan

dengan tuturan penutur berikut ini, “Papat lima. Tak golekne werna liyane.

Anane iki nyoh. Iki wernane”. Penekanan kata „nyoh‟ dalam tuturan inilah yang

menimbulkan efek keharusan mitra tutur untuk membeli dagangan penutur tanpa

adanya pilihan-pilihan lain yang sesuai dengan keinginan mitra tutur (PB).

Penutur hanya memberikan pilihan seadanya saja (tidak banyak) kepada mitra

tutur. Ketidaksantunan terjadi pula pada tuturan penutur yang terlihat kasar

kepada mitra tutur seperti, “Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun

kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le” (nada keras). Tuturan tersebut

dirasa tidak santun karena tuturan penutur dengan penekanan „Iki delokken sik.

Ora diwolak-walik, Le‟ menimbulkan efek yang tidak baik terhadap diri mitra

tutur (PB). Penutur menuturkan kalimat tersebut dengan nada keras dan tinggi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

serta raut wajah yang „sinis‟ dan jutek (tidak enak untuk dipandang). Mitra tutur

yang awalnya ingin memilih-milih dagangan PJ kini hanya dapat melihat saja.

Karena tuturan penutur (PJ) yang melarang mitra tutur (PB) untuk memilih-milih

dagangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur yang mengatakan

„Ora diwolak-walik, Le‟. Pernyataan seperti inilah yang membuat mitra tutur tidak

leluasa memilih dagangan si penutur (penjual). Agar tuturan pada data (14)

menjadi santun, kata-kata yang terlihat kasar dan kurang tepat digunakan diganti

dengan kata-kata yang sopan. Misalnya, „anane iki nyoh‟ diubah menjadi „maaf,

warnanya tinggal ini saja, yang lain sudah habis‟ dan „iki delokken sik‟ diubah

menjadi „mungkin ini bisa dilihat dulu, siapa tahu cocok‟. Dengan diubah seperti

itu, akan telihat sopan dan dapat menghargai mitra tutur yang ingin membeli

dagangan si penutur. Tuturan penutur, „Ora diwolak-walik, Le‟ lebih baik

dihilangkan saja, karena tuturan tersebut dianggap tidak layak dan tidak pantas

untuk dituturkan kepada seorang konsumen (mitra tutur). Dari data (14) di atas,

penggunaan sapaan “Bu” yang ditujukan untuk diri penutur sudah tepat karena

penutur adalah seorang ibu-ibu jadi pantas dan tepat untuk disapa “Bu”. Hal ini

juga dilihat bahwa mitra tutur sangat menghormati diri penutur yang notabene

lebih tua darinya. Oleh karena itu, mitra tutur tepat memberikan sapaan tersebut

kepada penutur. Berbeda dengan penutur yang kurang tepat dalam memberi

sapaan kepada diri mitra tutur. Sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole”

diberikan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang anak-anak dengan

jenis kelamin laki-laki. Sapaan tersebut dirasa kurang santun dan kurang tepat

digunakan untuk menyapa seorang pembeli. Memang mitra tutur hanyalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

seorang anak laki-laki, akan tetapi seharusnya penutur yang usianya jauh lebih tua

dari mitra tutur dapat menyapa mitra tutur dengan sapaan yang terlihat lebih

sopan. Sapaan “Le” biasanya digunakan seorang ibu kepada anak laki-lakinya dan

itu terlihat adanya suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan dalam transaksi

jual beli ini tidak ada hubungan kedekatan yang intim antara penutur (PJ) dengan

mitra tutur (PB). Jadi, sapaan “Le” yang ditujukan penutur kepada mitra tutur

dianggap kurang tepat. Agar sapaan tersebut menjadi sopan dan terlihat pas,

sapaan “Le” dapat diganti dengan “Dik”. Sapaan “Dik” terlihat lebih sopan dan

lebih layak digunakan daripada sapaan “Le”. Lain halnya dengan penggunaan

sapaan, data tuturan (14) terdapat pula adanya campur kode bahasa Indonesia dan

bahasa Jawa Ngoko. Contoh campur kode bahasa Jawa Ngoko dalam data tuturan

ini dapat dilihat pada tuturan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko.

Penggunaan campur kode ini tidak merubah maksud dari pertuturan tersebut di

atas. Hal ini dikarenakan kedua patisipan tutur mengerti dan paham akan arah

tuturan mereka. Kedua partisipan tutur tersebut juga tidak merasa kesulitan dalam

hal memahami penggunaan bahasa yang digunakan satu sama lain. Sehingga

pertuturan antara penutur dengan mitra tutur berjalan dengan baik.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116

TABEL 4

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA

PILIHAN

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA PILIHAN

SANTUN

(banyak pilihan) TIDAK SANTUN

(tidak ada pilihan)

1. Analisis 11 DT 6

2. Analisis 12 DT 13

3. Analisis 13 DT 19

4. Analsis 14 DT 28

4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)

Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak

langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan

dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak

langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang

telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(15) PB : Piro iki, Bu?

(Berapa ini?)

PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas

mawon?

(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)

Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)

(Ini, Mbak)

PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah wanita

tengah baya. Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak

langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja

sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa

krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat

sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan,

akan tampak sebagai berikut.

Data (15) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang

(penutur) kaos kepada pembeli (mitra tutur) saat transaksi jual beli berlangsung.

Pada data tersebut, tuturan si penutur memiliki sifat yang tidak langsung. Penutur

(PJ) bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur (PB) apakah ada uang yang pas

saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada mitra tutur (PB). Hal ini

dilakukan penutur karena penutur merasa tidak mempunyai uang kembalian, jadi

penutur bertanya kepada mitra tutur apakah ada uang yang pas saja. Data tuturan

(15) ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Ditambah dengan

penggunaan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Campur

kode bahasa Jawa Krama terlihat pada tuturan penutur. Penggunaan bahasa Jawa

Krama dalam data di atas dinilai santun karena terlihat penutur sangat

menghormati mitra tutur sebagai pembeli. Penutur yang notabene adalah seorang

ibu-ibu dirasa tepat disapa “Bu” oleh mitra tutur. Begitu pula sebaliknya, mitra

tutur yang notabene adalah wanita tengah baya dirasa tepat untuk disapa “Mbak”

oleh penutur yang memang jauh lebih tua dari si mitra tutur. Dalam data tuturan

(15) tersebut di atas, kesantunan juga dinilai dari penggunaan bahasa Jawa Krama

yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Walaupun penutur lebih tua dari si

mitra tutur, namun penutur tidak keberatan untuk tetap menggunakan bahas Jawa

Krama sebagai alat komunikasi transaksi jual belinya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

(16) PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.

PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan

PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa)

PB : Suwun

(Terima kasih)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada

pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur

adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ tidak langsung

memberikan harga pas kepada PB). (DT 17)

Terlihat dari percakapan data (16) yang terjadi, penutur (PJ) tidak

langsung memberikan harga pas kepada mitra tutur (PB). Penutur sebenarnya

menginginkan tas dagangannya dibeli mitra tutur dengan harga lebih dari lima

puluh ribu rupiah. Akan tetapi penutur tidak secara langsung memberikan harga

tinggi kepada mitra tutur. Karena penutur tahu apabila dia memberikan harga

yang lebih tinggi, mitra tutur pasti tidak akan memberli tas dagangannya tersebut.

Oleh karena itu, penutur memberi penawaran harga dengan ditambah du ribu lima

ratus kepada mitra tutur. Dapat dibuktikan dengan tuturan penutur seperti ini,

“Tambah dua ribu lima ratus”. Mengetahui penawaran dari penutur (PJ), mitra

tutur (PB) pun memberi tanggapan dengan memberi tambahan dua ribu rupiah

saja. Dengan begitu secara tidak langsung keinginan penutur terpenuhi dan tetap

mendapatkan respon yang baik oleh mitra tutur. Data (16) memperlihatkan bahwa

tuturan yang terjadi termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Penggunaan

sapaan juga terlihat benar dalam data tuturan (16) ini. Sapaan “Bu” dinilai tepat

digunakan untuk menyapa penutur yang adalah seorang wanita dewasa dan sapaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

“Dik” dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah

seorang remaja perempuan. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula

penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti

kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan (16) ini didapati menggunakan alih kode

dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual

beli, penutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si mitra tutur

memberi tanggapan atas tuturan penutur dengan beralih kode yang awalanya

menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini

dapat dibuktikan sebagai berikut, penutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa”

yang kemudian ditanggapi oleh mitra tutur yang beralih menggunakan bahasa

Jawa Ngoko, “Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi

maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur dan mitra tutur.

(17) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Nawar aja bisa.

PB : Ini all size atau apa?

PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.

PB : Ada warna lain?

PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.

PB : Berapa?

PJ : Tiga puluh lima

PB : Ini aja. Berapa?

PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah

PB : Lima belas ya?

PJ : Bahannya bagus soalnya.

PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?

PJ : Udah murah, Ibu.

PB : Hehe ya ya.

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur

adalah seorang wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ

bersifat tidak langsung). (DT 25)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

Data (17) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang baju

kepada pembelinya saat transaksi jual beli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta.

Dalam data tuturan di atas, penutur secara tidak langsung mempersilakan mitra

tutur untuk menawar harga dagangannya. “Nawar aja bisa”, tuturan itulah yang

dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung.

Pada awalnya mitra tutur menanyakan harga dari dagangan si penutur (PJ) yang

kemudian ditanggapi oleh penutur dengan tuturan, “Nawar aja bisa”. Tuturan

penutur tersebut dituturkan dengan maksud supaya mitra tutur dapat menawar

terlebih dahulu. Penutur tidak langsung memberikan harga pas pada dagangannya.

Ketika mitra tutur bertanya kembali kepada penutur mengenai ukuran, penutur

kemudian menanggapi kembali tuturan dari mitra tutur dengan mengatakan, “Iya

itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja”. Tuturan penutur ini juga

menandakan bahwa penutur tidak langsung menjawab pertanyaan dari mitra tutur,

namun penutur memberitahu terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai bahan

yang digunakan pada dagangannya. Kata „karet‟ digunakan penutur untuk

memberitahu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan. Kemudian

penutur baru menjawa pertanyaan dari mitra tutur mengenai ukuran. Pertanyaan

yang diberikan mitra tutur dan jawaban yang diberikan penutur sangatlah

berkesinambungan. Oleh karena itu kedua partisipan tutur tersebut tidak merasa

kesulitan dalam komunikasi transaksi jual beli yang sedang dilakukan. Tuturan

penutur yang bersifat tidak langsung ini termasuk dalam tuturan yang santun.

Penutur memberikan kesempatan untuk mitra tutur (PB) menawar dagangan si

penutur dan tidak semata-mata penutur untuk mengambil keuntungan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

fantastis dari mitra tutur. Hal ini sekaligus menjadikan suasana komunikasi

menjadi nyaman dan pastinya mempermudah mitra tutur dalam transaksi jual beli.

Dalam data tuturan (17) ini terdapat penggunaan sapaan yang digunakan dalam

komunikasi transaksi jual beli antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB).

Penutur memberi sapaan “Ibu” kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang

wanita dewasa. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur memberi sapaan “Pak” kepada

penutur yang notabene adalah laki-laki dewasa. Penggunaan sapaan di antara

keduanya telah dirasa tepat dan benar. Kedua partisipan tutur sudah sama-sama

mengetahuin sapaan apakah yang tepat untuk digunakan. Hal ini tentu

memengaruhi rasa hormat di antara keduanya, yakni penutur (PJ) dan mitra tutur

(PB). Penggunaan campur kode juga terlihat dalam data tuturan tersebut. Campur

kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan

campur kode bahasa Inggris digunakan hanya sesekali oleh penutur. Misalnya,

„all size‟. Istilah „all size‟ biasa digunakan oleh penjual untuk memberitahukan

kepada pembeli mengenai ukuran (pakaian atau celana). Jarang sekali penutur (PJ)

yang menjelaskan secara detail mengenai ukuran kepada mitra tutur (PB) saat

transaksi jual beli. Sehingga istilah „all size‟ digunakan untuk mempersingkat

penjelasan penutur kepada mitra tutur mengenai sebuah ukuran.

(18) PB : Enem tahun

(Enam tahun)

PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose

mboten. (Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya

tidak)

PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?

(Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?)

PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso.

(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?

(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)

PJ : Sami

(Sama)

PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?

(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)

PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. (Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus

sepuluh)

PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!

(O seratus sepuluh. Seratus ya!)

PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal.

(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh)

PB : Satus ya, Bu?

(Seratus ya?)

PJ : Saestu, Pak

(Benar, Pak)

PB : Bathine lho wis akeh!

(Keuntungannya lho sudah banyak!)

PJ : Saestu sampun mirah niki

(Benar sudah murah ini)

(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur adalah

seorang laki-laki tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat

tidak langsung. PJ mengira-ira terlebih dahulu, tidak langsung memberikan

dagangannya). (DT 29)

Data (18) mengindikasikan bahwa tuturan yang terjadi adalah tuturan yang

santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, penutur tidak langsung memberikan

dagangannya kepada mitra tutur. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai

ukuran kaos sesuai dengan keinginan mitra tutur. Mitra tutur bertanya kepada

penutur mengenai ukuran kaos untuk anak umur enam tahun. Penutur mengira-ira

terlebih dahulu mengenai ukuran kaos yang diminta oleh mitra tutur, apakah

cukup, kekecilan, atau kebesaran. Oleh karena itu penutur mengira-ira terlebih

dahulu sebelum memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Hal ini dilakukan

agar penutur tidak salah dalam memberikan ukuran kaos dagangannya kepada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

mitra tutur (PB). Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung itu dapat

dibuktikan sebagai berikut, “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek

kaliten kadose mboten”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda

kesantunan dalam data itu. Kesantunan tuturan ini juga dilihat dari penggunaan

sapaan yang diperuntukkan kepada kedua partisipan tutur tersebut. Penutur tepat

disapa “Bu” karena penutur seorang ibu-ibu yang sudah tua dan mitra tutur tepat

disapa “Pak” karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua juga. Keduanya

merupakan seseorang yang sudah berusia lanjut. Oleh karena itu, bahasa yang

digunakan juga tidak terlepas dari campur kode bahasa Jawa Ngoko dan Krama.

Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada tuturan mitra tutur

sedangkan penggunaan campur kode bahasa Jawa Krama tampak pada tuturan si

penutur. Walaupun bahasa yang digunakan bercampu aduk, namun penutur dan

mitra tutur tetap paham akan tujuan dari apa yang tengah dikomunikasikan dalam

transaksi jual beli ini. Oleh karena itu, tujuan dari tuturan tidak langsung si

penutur (PJ) membuahkan hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diinginkan

oleh si mitra tutur (PB).

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124

TABEL 5

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA

KETIDAKLANGSUNGAN

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA KETIDAKLANGSUNGAN

SANTUN

(tidak langsung) TIDAK SANTUN

(langsung)

1. Analisis 15 DT 12

2. Analisis 16 DT 17

3. Analisis 17 DT 25

4. Analsis 18 DT 29

4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan

Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar

tingkat kesantunan berbahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta,

peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian

diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda

kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda-

penanda kesantunan tuturan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan

kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur

yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan

tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu

atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda

kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian

gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125

4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)

Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan

dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau

diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau

menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik

digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau

pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang

pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal

atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam

mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan

kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada

imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara

atau penutur.

Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut

pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang

penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal

ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya

tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126

harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,

Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi

(pilihan kata) adalah sebagai berikut.

g) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,

h) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan

orang lain,

i) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung

perasaan orang lain,

j) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk

melakukan sesuatu,

k) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih

dihormati,

l) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.

Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan

pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari

penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat

kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan

digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan

kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya

menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang

memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang

emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang

diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127

memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan

maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih

dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif

sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di

atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang

penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks

jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

c. Penggunaan Kata yang Tepat

Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu

maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika

bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,

suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik

dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam

memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan

gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat

dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan

pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan

tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu

percakapan.

d. Menemukan Bentuk yang Sesuai

Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau

konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128

situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini

dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti

atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur

juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar

tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun

menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu

tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka

dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak

untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang

santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif

dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang

sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang

berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur

dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda

kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal

tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita

semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan

tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129

TABEL 6

KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA

KESANTUNAN BERBAHASA

SANTUN TIDAK SANTUN

1. Menggunakan kata - kata yang

tepat.

a. Memilih kata-kata yang tepat dan

sesuai.

b. Menjadikan komunikasi menjadi

terarah.

c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.

2. Menemukan bentuk yang sesuai.

a. Penutur harus dapat memahami

situasi komunikasi dan situasi

mitra tutur agar tidak merugikan

atau menyakiti mitra tutur, begitu

pula sebaliknya. Sehingga

komunikasi yang terjadi tidak

menjadi kacau.

1. Menggunakan kata - kata yang

tidak/kurang tepat.

a. Memilih kata-kata yang

tidak/kurang tepat.

b. Menjadikan komunikasi menjadi

tidak terarah.

c. Tidak dapat dipahami oleh mitra

tutur.

2. Menemukan bentuk yang tidak

sesuai.

a. Penutur tidak dapat memahami

situasi komunikasi dan situasi

mitra tutur sehingga merugikan

atau menyakiti mitra tutur, begitu

pula sebaliknya. Sehingga

komunikasi yang terjadi menjadi

kacau.

Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan

dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke

dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata)

atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang

menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi.

Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin

selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan

beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam

komunikasi transaksi jual beli pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130

tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun

dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di

atas.

(19) PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,

Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar

lihat warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan)

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan

kepada PB apabila dagangan yang dibeli tidak cukup, boleh ditukarkan).

(DT 1)

Data (19) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang baju anak-

anak kepada pembeli saat transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro

Yogyakarta. Kata diijolke sendiri menunjukkan sebuah penekanan maksud yang

diharapkan oleh si penutur. Melihat mitra tutur kebingungan dalam memilih

ukuran, penutur memberikan sebuah tuturan guna meyakinkan mitra tutur

terhadap barang dagangan yang akan dibeli oleh mitra tutur (PB). Penutur (PJ)

meyakinkan mitra tutur (PB) apabila dagangan yang sudah dibeli oleh mitra tutur

tidak cukup, maka dapat ditukarkan. Maka, penutur memberikan tekanan maksud

tuturannya tersebut dengan kata diijolke. Kata diijolke sendiri termasuk dalam

kriteria tuturan yang santun. Karena merupakan sebuah penekanan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131

menguntungkan mitra tuturnya. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh

kata tersebut, kata diijolke termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat

dan menemukan bentuk yang sesuai dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan

kata) di atas. Oleh karena itu, secara tidak langsung kata diijolke sendiri

merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam komunikasi jual beli. Kata

tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan tutur, baik itu penutur

maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga menimbulkan suasana yang

baik karena mitra tutur merasa diuntungkan oleh penutur. Sehingga membuat

mitra tutur (PB) menjadi nyaman dalam bertransaksi jual beli dengan penutur.

(20) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh

tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan

barang ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan

kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18)

Data (20) menekankan kata sudah murah yang memiliki makna harga

yang diberikan penutur kepada mitra tutur sudah dibawah standar harga penjualan

biasanya. Kata tersebut dituturkan untuk menguntungkan mitra tuturnya sebagai

konsumen dari barang dagangannya. Kemudian penutur memberikan keuntungan

kembali dengan memberikan penawar harga apabila mitra tutur membeli dua

pasang sandal. Dari harga yang sudah di bawah standar penjualan, penutur

memberikan potongan harga kembali apabila mitra tutur membeli dagangan

penutur dengan jumlah lebih dari satu. Maka, diberikan penekanan kata sudah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132

murah agar mitra tutur mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan

mitra tutur. Maksud dari penekanan kata sudah murah sangat dipahami betul-

betul oleh mitra tutur. Mitra tutur memahami maksud dari kata tersebut

dikarenakan mitra tutur mengerti akan arah pembicaraan yang sedang

berlangsung. Pemakaian kata sudah murah ini termasuk dalam kategori

penggunaan kata yang tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan

tersebut termasuk ke dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam

komunikasi transaksi jual beli.

Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu

tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah

selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak

santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi

pemakaian diksi (pilihan kata).

(21) PB: Umur lima tahun

PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik.

Ora diwolak-walik, Le. (nada keras)

(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan

dibolak-balik)

PB: Berapa ini?

PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.

(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini

warnanya)

PB: Dua lima ya, Bu?

PJ: Telung puluh ya?

(Tiga puluh ribu ya?)

PB: Dua lima aja ya?

PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken

mengko. Nyoh ngko ndak lali!

(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak

kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak

dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada

PB). (DT 28)

Penekanan kata delokken pada data (21) ini terlihat tidak santun. Kata

delokken termasuk dalam kata suruhan. Penutur menyuruh mitra tutur untuk

melihat terlebih dahulu dagangan penutur. Akan tetapi cara pengucapan

penuturlah yang menjadikan suasana komunikasi menjadi kacau. Ditambah lagi

dengan pemakaian kata delokken dalam data tuturan di atas yang terkesan

menyuruh dan disertai dengan paksaan. Kata delokken dirasa tidak tepat

digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata delokken diganti dengan kata

dipilih, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana komunikasi jual beli

menjadi tidak kacau. Kata delokken yang dinilai tidak santun dan tidak layak

untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini termasuk dalam kategori

penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam

kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa kata delokken memang tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi.

(22) PB : Mas, ini sepasang ya?

PJ : Iya, Dik.

PB : Ini tadi dua berapa?

PJ : Tujuh puluh

PB : Dua, empat puluh, Mas.

PJ : Gak boleh!

PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung

pergi)

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB.

Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan

PJ yang dirasa kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟

diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟ sehingga dapat terlihat lebih

sopan). (DT 15)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134

Data (22) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada

seorang pembeli. Kata gak menunjukkan suatu penekanan maksud dari apa yang

diharapkan oleh penutur. Tidak ada basa-basi dari si penutur akan tetapi si penutur

secara langsung menyampaikan tuturan tersebut kepada mitra tutur (pembeli).

Kata gak dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata

gak tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki

oleh kata tersebut, maka kata gak tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi

jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi

tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas

diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh

tuturan si penutur. Kata gak ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang

tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria

pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata gak

diganti dengan kata maaf, belum boleh sehingga tuturan terlihat santun dan layak

untuk dituturkan.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda

kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan

disajikan dalam tabel berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135

TABEL 7

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI

PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

PEMAKAIAN DIKSI

SANTUN TIDAK

SANTUN

1. Analisis 19 DT 1

2. Analisis 20 DT 18

3. Analisis 21 DT 28

4. Analsis 22 DT 15

4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa

Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran

melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis

(Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya

bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan

efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan

ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat

menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu.

Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa

jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-

gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.

Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya

bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual

(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan

agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

136

Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya

bahasa yang baik, yaitu:

a. Kejujuran

Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan

gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti

kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa

yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak

jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan

konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan

kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra

tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.

Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk

digunakan dalam konteks berkomunikasi.

b. Sopan Santun

Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya

bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat

berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara

bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,

dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra

tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras

untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini

dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur

kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137

untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang

dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka

tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam

berkomunikasi.

c. Menarik

Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus

menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,

humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan

imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur

diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira

atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila

penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan

tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur

membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah

maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat

untuk digunakan dalam berkomunikasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda

kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa

hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini

adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan

berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan

memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa

dalam sebuah tuturan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138

TABEL 8

KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA

KESANTUNAN BERBAHASA

SANTUN TIDAK SANTUN

1. Kejujuran.

a. Penutur tidak hanya mencari

keuntungan saja.

b. Kata-kata yang digunakan tidak

berbelit-belit.

2. Sopan Santun.

a. Menghormati mitra tuturnya saat

berkomunikasi.

b. Bertutur kata dengan singkat dan

jelas, sehingga tidak membuat

mitra tutur bingung .

3. Menarik.

a. Penutur dapat memberikan

humor terhadap mitra tuturnya

saat komunikasi berlangsung.

b. Penutur dapat membuat suasana

komunikasi yang menyenangkan,

sehingga mitra tutur merasa

nyaman dan senang.

1. Kejujuran.

a. Penutur hanya mencari

keuntungan saja.

b. Kata-kata yang digunakan sangat

berbelit-belit.

2. Sopan Santun.

a. Tidak menghormati mitra

tuturnya saat berkomunikasi.

b. Bertutur kata dengan panjang

lebar dan tidak jelas, sehingga

membuat mitra tutur bingung .

c. Menarik.

a. Penutur tidak dapat memberikan

humor terhadap mitra tuturnya

saat komunikasi berlangsung.

b. Penutur tidak dapat membuat

suasana komunikasi yang

menyenangkan, sehingga mitra

tutur tidak merasa nyaman dan

senang.

Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan

dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke

dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas

telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan

kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur

maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin

yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk

melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual

beli pedagang “perko” Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian gaya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139

bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa

tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel

pemakaian gaya bahasa di atas.

(23) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Nawar aja bisa.

PB : Ini all size atau apa?

PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.

PB : Ada warna lain?

PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.

PB : Berapa?

PJ : Tiga puluh lima

PB : Ini aja. Berapa?

PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah

PB : Lima belas ya?

PJ : Bahannya bagus soalnya.

PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?

PJ : Udah murah, Ibu.

PB : Hehe ya ya.

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak

langsung. Penutur memberikan penawaran agar mitra tutur menawar

terlebih dahulu). (DT 25)

Data (23) ini merupakan tuturan yang diucapkan pedagang baju kepada

pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata nawar sendiri

memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh

si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur.

Tetapi penutur langsung mempersilakan mitra tutur (PB) untuk menawar harga

dagangannya. Kata nawar tergolong dalam kriteria tuturan yang santun. Hal ini

dikarenakan kata nawar merupakan sebuah permintaan penawaran sebuah harga.

Penutur mempersilakan mitra tutur untuk terlebih dulu menawar dagangannya.

Jadi, penutur memberikan kesempatan mitra tutur untuk menawar dagangannya.

Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140

penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga penutur mempersilakan mitra

tutur untuk menawar dagangan penutur sesuai dengan keinginan mitra tutur. Kata

nawar dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata

tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria

pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang

dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata nawar sendiri

merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual

beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya

oleh pedagang dan pembeli.

(24) PB : Piro iki, Bu?

(Berapa ini?)

PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas

mawon?

(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)

Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)

(Ini, Mbak)

PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)

(Konteks: Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung.

PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum

menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama

pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan,

sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12)

Data (24) merupakan tuturan yang diucapkan pedagang kaos kepada

pembeli. Kata mawon menunjukkan sebuah penekanan harga yang diberikan

penutur sudah murah. Terlihat pada tuturan penutur yang tidak menggunakan

basa-basi dalam bertutur kata dengan si mitra tutur (PB). Penutur langsung

menuturkan apa yang diharapkan kepada mitra tutur. Kata mawon yang dalam

bahasa Indonesianya berarti „saja‟ mengindikasikan bahwa harga yang diberikan

penutur terhadap dagangannya sudah murah. Penutur memberikan harga yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141

sudah murah kepada mitra tutur dengan menekankan kata mawon pada

tuturannya. Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan

si penutur. Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit.

Secara singkat dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan

kepada mitra tutur. Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur

merasa kebingungan untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata

mawon dapat dikategorikan dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat

dalam tabel kriteria pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut

dinilai santun dan pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi.

Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu

tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah

selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak

santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi

pemakaian gaya bahasa.

(25) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?

PJ : O ya belum dapat, Le.

PB : Bolehnya berapa?

PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?

PB : (melihat-lihat gantungan kunci)

PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-

campur! (kasar sambil marah-marah)

PB : (pergi)

(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB.

Dilihat dari tuturan PJ yang kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai

sangat tidak pantas dan tidak sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai

mitra tuturnya). (DT 30)

Pada data (25) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang kunci

tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pedagang (penutur) tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142

menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada pembeli (mitra

tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata

dicampur-campur dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur

menginginkan barang dagangannya tidak dipindah-pindah ke tempat barang yang

lainnya saat mitra tutur memilih barang dagangan si penutur. Tuturan penutur di

atas dengan penekanan kata dicampur-campur membuat suasana yang sangat

tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur tidak nyaman untuk bertransaksi jual

beli dengan si penutur. Suasana yang tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan

penutur yang kasar dan tidak sopan. Kata dicampur-campur yang diberi tambahan

kok pada awalnya mengindikasikan suatu larangan kepada mitra tutur untuk

memilih dagangan mitra tutur. Penutur menginginkan barang dagangannya tidak

dijadikan satu dengan barang dagangan yang lainnya. Tuturan yang dituturkan

penutur tersebut sangat tidak menghormati mitra tutur sebagai seorang pembeli.

Seperti ada pepatah yang mengatakan bahwa pembeli adalah raja, namun dalam

tuturan si penutur ini seperti menyanggah pepatah tersebut. Hal ini dikarenakan

tuturan penutur yang tidak sopan dan terlihat sangat tidak menghormati diri mitra

tutur sebagai pembeli. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan kata

dicampur-campur menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang

tidak sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra

tutur saat komunikasi transaksi jual beli.

(26) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak.

Arek enem arek piro?

(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini

enam mau berapa?)

PB1: Hah?

PJ1: Arek enem arek piro to kaose?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143

(Mau berapa kaosnya?)

PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro.

(Eee... Iya yang itu dua)

PJ2: Sing endi? Oren?

(Yang mana? Jingga?)

PB1: Sing ngene iki piro?

(Yang begini ini berapa?)

PJ1: Telu lima

(Tiga lima)

PB1: Ki telungatus pas ya?

(Ini tiga ratus pas ya?)

PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo

dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil

marah-marah)

(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan

dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)

PB1: Ndelok gambare aku.

(Lihat gambarnya aku)

PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.

(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)

PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.

(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)

PJ1: Wis?

(Sudah)

PJ2: Piro iki piro? Hah?

(Berapa ini berapa? Hah?)

PB1: Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?

(Lha ini bordirnya dua)

PB2: Enem, pitu niku lho!

(Enam, tuju itu lho!)

PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.

(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)

PB1: Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!)

PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)

(Ini bordir, Mbak)

PJ2: Bordir bedo! (nada keras)

(Bordir beda!)

(Konteks: Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh

tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan

tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

144

Data (26) merupakan tuturan dari pedagang kaos dagadu kepada pembeli.

Dalam data tuturan ini terdapat dua kata yang perlu ditekankan, yakni ojo

dibukaki dan kesel. Menganalisis kata yang pertama dahulu, kata ojo dibukaki

sendiri terucap ketika mitra tutur (PB) tengah melihat dan memilih-milih

dagangan dari si penutur. Dari percakapan di atas, kata ojo dibukaki yang

termasuk dalam kategori tuturan yang melarang dan terlihat kasar kepada mitra

tutur. Ketika penutur menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi

kacau dan penuh emosi. Tuturan penutur dengan penekanan kata larangan itu

dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra

tutur yang menanggapi dengan sedikit jengkel. Tuturan penutur tersebut dinilai

sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai konsumen dari penjualannya.

Analisis kata pertama ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya

mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi,

dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas.

Oleh karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual

beli. Selanjutnya, menganalisis kata yang kedua, yaitu kata kesel. Kata kesel

memiliki maksud bahwa penutur sudah tidak sanggup lagi untuk memasukkan

kaos-kaos yang sudah dibuka oleh mitra tutur (PB). Padahal mitra tutur yang

notabene adalah seorang pembeli memiliki hak membuka kaos-kaos dagangan

penutur untuk melihat gambar dan ukuran kaosnya. Akan tetapi penutur

mengucapkan kata kesel kepada mitra tutur saat si mitra tutur tengah asyik

memilih dagangan penutur. Hal ini sangat merugikan mitra tutur karena kata kesel

tersebutlah yang pada akhirnya memaksakan mitra tutur untuk memilih barang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145

dagangan si penutur. Penggunaan kata kesel juga dirasa tidak pas dan dirasa

kurang sopan. Maka dari itu, kata tersebut tidak layak untuk dituturkan dalam

komunikasi, khususnya dalam transaksi jual beli.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda

kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan

dalam tabel berikut ini.

TABEL 9

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI

PEMAKAIAN GAYA BAHASA

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

PEMAKAIAN GAYA BAHASA

SANTUN TIDAK

SANTUN

1. Analisis 23 DT 25

2. Analisis 24 DT 12

3. Analisis 25 DT 30

4. Analsis 26 DT 3

4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta.

Data yang kedua ini berbeda dengan data yang pertama. Data kedua ini

mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta.

Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra

tutur adalah penjualnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan skala

kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146

penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan mengenai pendapat Leech

(1983:123) tentang lima skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat

kesantunan. Lima skala tersebut terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri

atas (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala

ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun,

peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala

tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala

ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar

analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.

Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga

skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik

Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili

untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat

kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan adanya penggunaan tiga

hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni penggunaan sapaan, alih kode,

dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat memengaruhi tingkat kesantunan

berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini. Dengan menggunakan sapaan,

dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak digunakan sudah dapat

dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan ketiga skala kesantunan

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147

4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan

keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya

ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur.

Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari

penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan.

Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya

akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra

tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari

penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(27) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.

PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.

PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)

PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas

hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke

atas harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu)

PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak

PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua

puluh. Cowok cewek bisa.

PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh

PB : Ini?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e.

(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu?

PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB sedikit merayu PJ dan hal tersebut dapat menguntungkan mitra

tuturnya). (DT 6)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan

tampak sebagai berikut.

Data (27) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli

yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan

berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PB) terhadap

mitra tutur (PJ) dalam sebuah percakapan. Penutur (PB) merayu mitra tutur (PJ)

dengan ingin memberi barang dagangan mitra tutur dalam jumlah lebih dari satu

namun mitra tutur (PJ) diharapkan memberikan pengurangan harga. Tuturan

penutur (PB) yang sedikit merayu mitra tutur (PJ) ini dapat menguntungkan diri

mitra tutur (PJ) karena penutur (PB) membeli dagangan si mitra tutur lebih dari

satu. Terlihat dari percakapan data tuturan (27) di atas, kedua partisipan tutur

memiliki pemahaman yang baik atas tuturan yang tengah dilakukan. Kedua

partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang

dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan

mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Maka dari itu, data (27)

terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga

dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Bu” yang diucapkan oleh penutur (PB)

kepada mitra tutur (PJ). Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149

ketahui bahwa penutur (PB) lebih muda dari mitra tutur (PJ). Dilihat dari jenis

kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan mitra

tutur memang pantas menyapa penutur dengan sapaan “Mbak”. Hal ini

dikarenakan penutur lebih muda dari mitra tutur. Begitu juga sebaliknya, penutur

tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada mitra tutur yang memang lebih tua dari

penutur. Dari hasil data (27) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa

Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur (PJ) kepada penutur (PB).

Campur kode ini terlihat pada tuturan mitra tutur yang menggunakan kata iki, sik,

dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, penutur

tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia.

(28) PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.

PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan.

PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa)

PB : Suwun

(Terima kasih)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang).

(DT 17)

Terlihat dari percakapan data (28) yang terjadi, penutur (PB)

memberikan keuntungan pada mitra tutur (PJ) dengan menyetujui tambahan harga

yang diberikan oleh mitra tutur (PJ). Penutur menambahkan uang sesuai dengan

harga penawaran yang diberikan oleh si mitra tutur (PJ). Hal ini dapat dibuktikan

dengan tuturan penutur (PB) yang menguntungkan mitra tutur (PJ) dengan

menyetujui dan menambah uang sesuai penawaran dari mitra tutur seperti berikut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150

ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan”. Mitra tutur (PJ) memberikan

penawaran harga kepada penutur (PB) dengan menambahkan dua ribu lima ratus

pada dagangan yang telah dipilih oleh penutur, namun penutur hanya

menambahkan uang sebesar dua ribu rupiah saja. Akan tetapi dilihat dari tuturan

yang dituturkan oleh penutur (PB), hal tersebut sudah menguntungkan diri mitra

tutur. Walaupun lima ratus rupiahnya tidak diberikan kepada mitra tutur, dapat

dilihat bahwa mitra tutur (PJ) sudah merasa diuntungkan oleh si penutur (PB).

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.

Selain itu kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama

terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk

memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Oleh karena

itu, data (28) memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) dapat dikategorikan ke

dalam tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data

tuturan (28) ini. Sapaan “Dik” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur

yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan dan sapaan “Bu”

dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang

wanita dewasa. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih

kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan

lainnya, data tuturan (28) ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya.

Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, mitra tutur

menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si penutur memberi tanggapan

atas tuturan mitra tutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa

Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151

sebagai berikut, mitra tutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa” yang kemudian

ditanggapi oleh penutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko,

“Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan

tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ).

(29) PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang.

Dek. Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya,

Dik.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB menguntungkan PJ dengan harga tawaran PB). (DT 19)

Data (29) merupakan tuturan yang diucapkan antara penjual dengan

pembeli. Ditekankan bahwa pembeli yang notabene adalah sebagai penutur

menuturkan tuturan yang dirasa santun kepada mitra tutur (PJ). Hal ini

dikarenakan tuturan penutur (PB) sangat menguntungkan diri mitra tutur (PJ).

Keuntungan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur dapat dicermati

dalam tuturan penutur sebagai berikut, “Yang besar tiga lima ya, Bu?”. Tuturan

penutur (PB) tersebut dirasa memberikan keuntungan bagi si mitra tutur karena

pada tuturan mitra tutur (PJ) yang sebelumnya, si mitra tutur (PJ) menjelaskan

mengenai harga-harga barang dagangannya kepada penutur kemudian penutur

(PB) menawar dagangan si mitra tutur dengan hanya mengurangi lima ribu rupiah

saja dari harga awal yang sebesar empat puluh ribu rupiah, jadi penutur (PB)

menawar harga dagangan mitra tutur (PJ) dengan sebesar tiga puluh lima ribu

rupiah saja. Hal inilah yang dirasa penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya.

Pengurangan harga yang sedikit tersebut tetap membuat diri mitra (PJ) tutur

merasa untung dalam transaksi jual belinya dengan penutur. Oleh karena itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

152

walaupun penutur (PB) menawar harga dagangan si mitra tutur, namun tuturan

yang diucapkan penutur kepada mitra tutur (PB) tetap menguntungkan diri di

mitra tutur. Hal ini juga terlihat dari mitra tutur (PJ) yang memberikan tanggapan

baik kepada si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu

penanda kesantunan dalam data itu. Selain tuturan penutur yang terlihat dalam

percakapan di atas, penggunaan kata sapaan juga terlihat di dalamnya. Penutur

(PB) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan

tepat diberikan sapaan “Dik” oleh mitra tutur. Dan juga mitra tutur (PJ) yang

notabene adalah seorang wanita dewasa tepat diberikan sapaan “Bu” oleh penutur,

karena penutur memang jauh lebih muda dari mitra tutur. Tetap pada data tuturan

(29) namun beralih pada penggunaan campur kode yang ternyata juga terdapat

dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan dalam data tuturan ini

adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Kedua bahasa itu

digunakan oleh mitra tutur (PJ) dalam bertransaksi jual beli dengan penutur (PB).

Berbeda dengan penutur (PB) yang tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam

komunikasi transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Campur kode yang

digunakan dalam data tuturan (29) ini tidaklah memengaruhi maksud dan tujuan

penutur dan mitra tutur dalam bertransaksi jual beli di emperan toko Malioboro

Yogyakarta. Jadi, data tersebut tetaplah masuk ke dalam kategori tuturan yang

santun.

(30) PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?

PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.

PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu)

PJ : Jadiinya tadi dua...

PB : Dua ratus sepuluh

PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

153

(PB menyerahkan uang ke PJ)

PJ : Uang kembali...

PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB)

PJ : Ini, makasih ya.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB memperlihatkan rasa kecewa dan merasa

dirugikan terhadap tuturan PJ sehingga dapat dilihat dari tuturannya, PB

terlihat marah. Seharusnya walaupun PB merasa kecewa atau dirugikan

tidak berkata demikian). (DT 2)

Data (30) merupakan percakapan antara penjual dan pembeli dalam sebuah

transaksi jual beli kaos dagadu di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Pada

tuturan (30) tersebut, si pembeli yang sebagai penutur tampak tidak terima dengan

tuturan si mitra tutur yang secara langsung memberikan harga pas pada

dagangannya. Mitra tutur (PJ) tidak memberikan kesempatan penutur (PB) untuk

menawar dagangan si mitra tutur terlebih dahulu. Mitra tutur (PJ) langsung

memberikan harga pas sesuai dengan keinginannya sendiri. Penutur (PB) terlihat

kecewa namun walaupun kecewa terhadap tuturan si mitra tutur (PJ) seharusnya

penutur tidak bertutur kata demikian. Tuturan yang diucapkan penutur dinilai

tidak santun dan tidak layak untuk dituturkan. Karena tuturan penutur (PB)

terlihat terpaksa dan terlihat berat untuk membeli dagangan si mitra tutur (PJ).

Ditambah dengan gaya tutur yang menggerutu. Gaya tutur ini dirasa kurang sopan

karena dengan begitu akan memperlihatkan bahwa penutur (PB) tidak memiliki

wibawa dan sopan santun saat berkomunikasi dengan orang lain yang tengah

diajak berkomunikasi. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan

penutur (PB) berikut ini, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!” (sambil

menggerutu). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda

ketidaksantunan dalam data itu. Oleh karena itu, tuturan yang diucapkan penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

154

(PB) dirasa tidak santun untuk dituturkan dalam komunikasi transaksi jual beli.

Dalam sebuah komunikasi sudah pasti menggunakan kata sapaan untuk saling

menghormati satu sama lain, baik penutur maupun mitra tutur. Pada data (30) ini

sapaan yang digunakan sudah jelas dan tepat untuk digunakan dalam komunikasi.

Penutur (PB) tepat memberikan sapaan “Pak” kepada mitra tutur yang notabene

adalah seorang laki-laki dewasa. Begitu pula dengan mitra tutur (PJ) yang tepat

dan pas memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur (PB) yang notabene

adalah seorang wanita tengah baya. Sapaan yang diberikan mitra tutur kepada

penutur sudah tepat karena penutur (PB) lebih muda dari si mitra tutur. Selain

penggunaan sapaan, dari data (30) di atas terdapat pula campur kode bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Percakapan di atas hampir seluruhnya

menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi terdapat satu tuturan penutur (PB)

yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Ya wis iki wae, inilah contoh tuturan

penutur yang menggunakan campur kode bahasa Jawa Ngoko yang dituturkan

oleh si penutur (PB).

(31) PJ2: Piro iki piro? Hah?

(Berapa ini berapa? Hah?)

PB1: Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?

(Lha ini bordirnya dua)

PB2: Enem, pitu niku lho!

(Enam, tuju itu lho!)

PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.

(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)

PB1: Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!)

PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)

(Ini bordir, Mbak)

PJ2: Bordir bedo! (nada keras)

(Bordir beda!)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

155

PB1: Tambahi piro to?

(Tambah berapa?)

PJ1: Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae.

(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja)

PB1: 2.000 ya?

PJ1: Ya Allah...

PB1: Pun niki (sambil merengek)

(Sudah ini)

PJ1: Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70,

gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.

(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70,

hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak)

PB1: Iya. Enem wae susuk lima ribu.

(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)

PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan

selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)

(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima

ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok).

PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.

(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)

PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro!

(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)

PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel)

(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)

PJ2: Selawe loro, sing ngene no!

(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)

PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik.

Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono

lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit

memaksa)

(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta

tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua,

ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ

ukuran L)

PB1: Ngge langganan lho, Pak.

(Buat langganan, Pak)

PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh

gedhe cilik tak kek‟i.

(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang.

Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

156

Data (31) merupakan tuturan dari seorang penutur (PB) kepada mitra tutur

(PJ) saat transaksi jual beli. Pada tuturan (31) ini penutur (PB) merugikan si mitra

tutur (PJ). Penutur (PB) memaksa si mitra tutur (PJ) untuk memberikan barang

dagangannya sesuai dengan keinginan dan penawaran si penutur (PB). Tuturan

penutur yang memaksa dapat dilihat sebagai berikut ini, “Mbok sing selawe loro

to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok”

(sambil marah-marah) dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku

njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000

karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L” (marah-marah dan

sedikit memaksa). Tuturan ini memperlihatkan penutur (PB) yang tengah emosi,

sehingga tuturan yang terucap menjadi kasar dan tidak layak untuk dituturkan

kepada mitra tutur (PJ). Apalagi penutur mengucapkan tuturan itu dengan

memaksa. Tuturan tersebut membuat mitra tutur (PJ) tersinggung dan menjadi

marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur.

Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data

itu. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat

merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan

penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi

tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan

dengan tuturan si penutur. Selain itu suasana pertuturan yang tidak harmonis ini

selain mitra tutur (PJ) yang merasa dirugikan oleh penutur (PB), juga disebabkan

karena tuturan penutur (PB) yang kasar dan memaksa. Tuturan dari data (31)

memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) sangat tidak layak digunakan dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

157

konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari

mitra tutur (PJ) menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan.

Tuturan penutur (PB) seperti inilah yang tergolong tuturan tidak santun. Data

(31) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa.

Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko.

Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling

berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (31) ini juga

menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya

penggunaan kata pink dalam tuturan si penutur (pembeli). Memang suasana

komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah

komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa

yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan

penutur (PB) membuat mitra tuturnya (PJ) marah dan merasa dilecehkan.

Penggunaan bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang

memang layak digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang

lebih tua. Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan,

yakni sapaan “Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene

adalah seorang wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama

dan pembeli kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa),

dan yang terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang

notabene adalah seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas

memperlihatkan bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari

penggunaan sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

158

sangat jelas terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB)

dapat merugikan diri mitra tuturnya (PJ).

(32) PB : Empat puluh ya?

PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju)

PB : Berarti sama ya ini?

PJ : Beda, Bu

PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu?

PJ : (menunjukkan bajunya)

PB : Ini paling gede?

PJ : Iya L

PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama?

PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa

mengejek)

PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun. Selain marah karena tuturan dari PJ yang mengejek, tuturan PB

juga terlihat memaksakan PJ untuk menyamakan harga dagangannya. Hal

itu dinilai merugikan mitra tuturnya). (DT 14)

Data (32) memperlihatkan bahwa tuturan yang dituturkan oleh penutur

(PB) ternyata merusak suasana komunikasi jual beli. Penutur (PB) yang marah

akibat tuturan mitra tutur (PJ) yang mengejek, menanggapi dengan tuturan yang

dinilai tidak patut untuk dituturkan. Ini efek dari tuturan si mitra tutur (PJ)

sebelumnya yang merugikan diri si penutur (PB). Akan tetapi terlepas dari itu,

tidak seharusnya penutur (PB) menanggapi tuturan mitra tutur dengan tuturan

yang memaksa. Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat seperti berikut ini,

“Harusnya samalah!” (nada memaksa dan langsung pergi). Penutur seolah-olah

tidak memperdulikan mitra tutur. Tuturan penutur tersebut memaksakan si mitra

tutur (PJ) untuk menyamakan harga dagangan sesuai dengan penawaran si penutur

(PB) tanpa memperdulikan penawaran yang telah diberikan oleh mitra tutur.

Tuturan penutur (PB) ini masuk ke dalam kategori tuturan yang tidak santun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

159

karena merugikan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu

penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan (32) ini, penutur

(PB) dan mitra tutur (PJ) sama-sama seorang wanita dewasa. Maka, sapaan “Bu”

tepat digunakan dalam percakapan di atas. Jika dilihat dari penggunaan sapaan ini,

keduanya saling menghormati satu sama lain, namun memang dalam percakapan

tersebut antara penutur dengan mitra tutur tidak dapat mengontrol emosi masing-

masing sehingga dalam bertransaksi jual beli, baik penutur mapun mitra tutur

sama-sama menuturkan tuturan yang saling merugikan satu sama lain. Dalam data

ini, tuturan penuturlah yang tengah dianalisis kesantunannya dan tuturan penutur

itu tergolong tuturan yang tidak santun. Terlepas dari penggunaan sapaan, terdapat

pula penggunaan campur kode dalam percakapan di atas. Campur kode yang

digunakan adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan

campur kode ini tidak mengubah maksud dan tujuan dari percakapan di antara

kedua partisipan tutur itu. Jadi, tidak santunnya tuturan penutur dalam data tuturan

(32) ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh penggunaan sapaan dan campur kode

yang sudah tepat digunakan.

(33) PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete

tok satus.

(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan

tetapi dalamnya saja seratus)

PB : Mas sing ngono kuwi?

(Mas yang itu berapa?)

PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang.

(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal)

PB : Sing ayat kursi?

(Yang ayat kursi?)

PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu?

(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?)

PB : Piro?

(Berapa?)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

160

PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya

tiga ratus ribu rupiah)

(Saya sudah begini)

PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang

menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah)

(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)

PJ : Lha nek karo bapake benten

(Kalau sama bapaknya berbeda)

PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua

jari yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora

telungatus tapi rongatus?

(Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak?

Tidak tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)

PJ : Wah dereng nek ngoten

(Wah belum kalau begitu)

PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji

wae kok Pak, dadine rongatus.

(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya

tinggal satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.

PJ : Telungatus

(Tiga ratus ribu)

PB : Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!

(jengkel)

(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di

sini!)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB dianggap tidak sopan. Hal ini mungkin terjadi

akibat tuturan PJ yang merugikan PB, sehingga PB merasa jengkel dan

bertutur demikian). (DT 21)

Tuturan yang dituturkan oleh pembeli yang notabene sebagai penutur pada

data (33) memperlihatkan ketidaksopanan dalam bertutur kata. Tuturan penutur

dalam percakapan di atas mengindikasikan rasa jengkel penutur (PB) terhadap

tuturan mitra tutur (PJ) sebelumnya. Namun, tuturan penutur tersebut tidak layak

untuk dituturkan kepada mitra tutur. Mitra tutur menganggap si penutur menyindir

si mitra tutur (PJ) melalui tuturan yang terucap dari penutur (PB) dan hal itu

mengakibatkan mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan karena tuturan si penutur

dianggap melecehkan diri si mitra tutur (PJ). Tuturan tersebut dinilai tidak santun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

161

karena jelas-jelas penutur (PB) merugikan dan melecehkan mitra tuturnya.

“Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (jengkel), itulah

tuturan yang diucapkan oleh penutur kepada si mitra tutur. Walaupun penutur

(PB) merasa jengkel terhadap mitra tutur, seharusnya penutur tidak menuturkan

tuturan yang tidak sopan seperti itu. Terlihat pada tuturan di atas, suasana tuturan

antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi. Hal ini dikarenakan

mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan si penutur (PB). Penutur seolah-

olah tidak memperdulikan harga yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si

penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan

dalam data itu. Data (33) termasuk tuturan yang tidak santun. Alangkah baiknya

apabila tuturan penutur yang terlihat tidak sopan tersebut diganti dengan tuturan

dengan menggunakan bahasa Jawa Krama berikut ini, “O nggih sampun, gantos

wekdal kula mriki malih” atau dalam bahasa Indonesianya, “O ya sudah, lain kali

saya ke sini lagi”. Dengan begitu, tuturan si penutur (PB) akan terlihat santun dan

tidak menyinggung atau merugikan mitra tutur. Dalam data tuturan (33) di atas,

sapaan yang digunakan di antara kedua partisipan tutur, baik penutur maupun

mitra tutur sudah tepat dan layak digunakan untuk menghormati satu sama lain

dalam berkomunikasi. Penutur (PB) dirasa tepat memberikan sapaan “Pak”

kepada mitra tutur karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua. Begitu

juga dengan mitra tutur (PJ) yang dirasa tepat memberikan sapaan “Bu” kepada

penutur. Ini dikarenakan penutur seorang wanita dewasa, jadi layak untuk

diberikan sapaan “Bu” oleh mitra tutur (PJ). Di samping menganalisis

penggunaan sapaan, dalam data ini terdapat penggunaan campur kode bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

162

Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko. Hampir seluruhnya tuturan mitra tutur

menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini berbeda dengan penutur yang

menggunakan bahasa Jawa Ngoko dalam berkomunikasi dengan si mitra tutur.

Walaupun dalam percakapan di atas menggunakan campur kode bahasa Jawa

Krama dan bahasa Jawa Ngoko, masing-masing partisipan tutur mampu

memahami dan mengerti maksud dari pertuturan di antara keduanya. Namun tetap

tidak dapat dipungkiri bahwa data tuturan (33) memang terrgolong tuturan yang

tidak santun. Karena selain tuturan penutur (PB) yang dianggap sangat tidak

sopan, tuturan penutur sangat merugikan diri si mitra tutur (PJ).

(34) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.

PB : Empat tahun bisa gak?

PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat

TK juga, Mbak.

PB : Iya. Berapa?

PJ : Empat lima aja

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat

merugikan PJ). (DT 34)

Data (34) mengindikasikan bahwa penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) sudah

mengerti arah dan maksud pertuturan mereka. Akan tetapi tampak pada tuturan

penutur yang dianggap kurang sopan untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat

transaksi jual beli. Tuturan penutur tersebut dapat dibuktikan seperti ini, “Lihat-

lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (kemudian pergi). Tuturan ini merupakan

tanggapan dari tuturan mitra tutur (PJ) terhadap penutur (PB). Mitra tutur sudah

memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun

tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

163

dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan

melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan

oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada

mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada

kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang

diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang

diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur.

Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga

yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Hal ini memperlihatkan

bahwa tuturan tersebut digunakan untuk basa-basi agar penutur (PB) tidak jadi

membeli dagangan si mitra tutur. Namun, tuturan penutur itu terkesan tidak layak

untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Karena sangat merugikan mitra

tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan

dalam data itu. Pada data tuturan (34) ini dilihat penutur dan mitra tutur

menggunakan kata sapaan untuk berkomunikasi. Penggunaan kata sapaan ini tentu

dilihat pada siapa yang tengah kita ajak berkomunikasi. Dan sapaan yang

diberikan harus selaras dengan seseorang yang sedang berkomunikasi dengan kita.

Dalam data ini, penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya

dianggap tepat dan pas untuk disapa “Mbak” oleh mitra tutur (PJ). Dan mitra tutur

yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya juga dianggap tepat dan pas

untuk disapa “Mas” oleh si penutur. Penggunaan kata sapaan ini digunakan untuk

saling menghormati satu sama lain atau lawan bicara kita. Jadi, jangan sampai saat

berkomunikasi kita salah menggunakan sapaan terhadap lawan bicara kita.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

164

Sepadan dengan penggunaan sapaan, campur kode digunakan pula di dalam data

tuturan ini. Campur kode yang digunakan dalam data ini berupa campur kode

bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Memang jika dilihat dari percakapan di

atas, penutur dan mitra tutur sama-sama berkomunikasi dengan menggunakan

bahasa Indonesia. Namun dalam tuturan mitra tutur terdapat kata mbrangkang

yang termasuk dalam kategori bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode

bahasa Jawa Ngoko memang tidak terlihat banyak, tetapi arah dan maksud dari

penggunaan campur kode itu tetap dapat dipahami oleh kedua partisipan tutur

tersebut.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

TABEL 10

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA

UNTUNG-RUGI

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA UNTUNG-RUGI

SANTUN

(diuntungkan) TIDAK SANTUN

(dirugikan)

1. Analisis 27 DT 6

2. Analisis 28 DT 17

3. Analisis 29 DT 19

4. Analsis 30 DT 2

5. Analisis 31 DT 3

6. Analisis 32 DT 14

7. Analisis 33 DT 21

8. Analisis 34 DT 34

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

165

4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options)

yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin

pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang

banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila

pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si

penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari

penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(35) PB: Ini double?

PJ : Ini double XL

PB: Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?

PJ : Ini ada yang XL?

PB: XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?

PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB: Tiga tahun, ya laki-laki

PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang

merah coba.

PJ : Desainnya sama?

PB: Ini tadi kan?

PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah.

Ini double XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.

PJ : Iya

PB: Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?

PJ : L

PB: L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?

PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PB: Double XLnya gak ada?

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak

ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.

PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya?

Yang ini gambarnya apa?

PJ : Gambarnya sama

PB: Coba buka aja gambarnya apa.

PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

166

PB: Yang L juga.

PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa

ya?

PJ : Jadinya 150

PB: Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.

PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya

ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.

PB: Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.

PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB: Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan PJ). (DT 13)

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala pilihan, akan tampak

sebagai berikut.

Data (35) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara

penjual kaos dengan pembelinya memiliki nilai kesantunan yang baik. Penjual

yang notabene sebagai mitra tutur memberikan banyak pilihan kepada si penutur

(PB). Dengan diberikannya pilihan-pilihan atas dagangan si mitra tutur, penutur

(PB) dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur. Hal ini dinilai santun

karena pilihan-pilihan yang diberikan mitra tutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si

penutur (PB) sehingga penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan

leluasa. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tuturan si penutur yang

memberikan tanggapan baik (dapat memilih) kepada mitra tutur sebagai berikut,

“Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double

XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga

limaan”. Suasana yang baik dan nyaman dibangun antara penutur (PB) dan mitra

tutur (PJ) mitra tutur dalam komunikasi transaksi jual beli. Suasana yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

167

menyenangkan dan nyaman membuat si penutur (PB) membeli dagangan mitra

tutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini

yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur

menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu,

jadi data tuturan (35) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada

data tuturan di atas bahwa si mitra tutur (PJ) memberikan pilihan-pilihan

dagangannya kepada si penutur (PB). Dan penutur pun menanggapi dengan baik

dan penutur (PB) dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan nyaman dan

leluasa. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam

data itu. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur

tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat

sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan

gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam

bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur

terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi

keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah

pembicaraannya. Pembeli (penutur) dan penjual (mitra tutur) adalah sama-sama

seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan

“Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur

dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat

dalam percakapan data (35) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data

(35) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris

dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

168

sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya

penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang menawarkan

dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua

orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa

menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (35)

di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para

pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar

seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini

tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (35) ini.

(36) PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng

warnane, Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar

lihat warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1)

Data (36) memperlihatkan bahwa pembeli (penutur) sedang melakukan

transaksi jual beli dengan penjual (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli

yang dilakukan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) berjalan dengan baik

dan lancar. Mitra tutur (PJ) dapat mengerti apa yang diinginkan oleh penuturnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

169

(PB) saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua

partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro.

Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks

berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang

sedang berlangsung. Tuturan dari data (36) tersebut termasuk dalam kategori

tuturan yang santun karena penutur diberikan keuntungan oleh mitra tutur

(penjual) dengan dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan baik dan leluasa.

Diberi keuntungan oleh mitra tutur, si penutur (PB) pun memberikan tanggapan

baik kepada si mitra tutur. Penutur bertutur kata dengan menekankan pada

tuturannya yakni, “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik

iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa.

Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya). Penutur (PB) dapat memilih dagangan

mitra tutur (PJ) dengan enak dan nyaman. Hal ini dapat dilihat pada bukti tuturan

yang telah dicantumkan di atas. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu

penanda kesantunan dalam data itu. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat

mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, tuturan ini

termasuk ke dalam kategori tuturan yang santun. Santunnya tuturan data (36) juga

ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam

percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan

penutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Sedangkan sapaan

“Mas” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (penjual) yang notabene adalah

seorang laki-laki tengah baya. Data (36) juga menggunakan campur kode, yakni

bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

170

dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti

merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun

karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan

bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada

percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan

menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode

yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di

dalam data (36).

(37) PB: Ini berapa?

PJ : Empat puluh

PB: Gambare mana lagi?

PJ: Gambarnya ini aja!

PB: Gambar ceweknya gak ono?

PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu!

PB: Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas (merengek)

PJ : Yang L ya?

PB: Iya

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena PB tidak dapat memilih dagangan PJ). (DT 32)

Data (37) merupakan tuturan antara penutur (PB) dengan mitra tutur (PJ).

Data ini menunjukkan ketidaksantunan penutur (PB) terhadap diri mitra tutur (PJ)

dalam sebuah komunikasi jual beli. Dalam hal ini, penutur (PB) tidak dapat

memilih dagangan si mitra tutur (PJ). Karena mitra tutur tidak memberikan

pilihan sama sekali kepada penutur (PB). Inilah bukti tuturan penutur (PB) yang

dianggap kurang santun, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas”

(merengek). Penutur (PB) menginginkan adanya pilihan-pilihan atas dagangan

mitra tutur, namun mitra tutur sama sekali tidak memberikan pilihan-pilihan

mengenai dagangannya kepada si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

171

suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan yang diucapkan penutur

juga dianggap tidak sopan. Hal ini dikarenakan penutur menuturkan tuturan

tersebut dengan merengek. Gaya penuturan dengan merengek dinilai sangat tidak

sopan dan tidak pas untuk dilakukan. Karena melihat penutur (PB) yang notabene

adalah seorang wanita dewasa dan lebih dewasa dari si mitra tutur tidak

sepantasnya merengek seperti itu kepada mitra tutur (PJ). Hal itu dirasa tidak

pantas dan tidak sopan. Pada data tuturan (37) ini terlihat penutur dan mitra tutur

menggunakan sapaan dalam berkomunikasi satu sama lain. Penutur (PB) tepat

disapa “Bu” oleh mitra tutur (PJ) karena melihat bahwa si penutur adalah seorang

wanita dewasa. Dan mitra tutur (PJ) tepat disapa “Mas” oleh penutur karena

melihat bahwa si mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin laki-

laki. Dalam data tuturan ini, penggunaan sapaan di antara kedua partisipan tutur

itu sudah dirasa tepat digunakan dalam berkomunikasi. Selain itu, campur kode

juga terdapat dalam data tuturan (37) ini. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa

Ngokolah yang digunakan dalam percakapan tersebut di atas. Memang sekilas

percakapan itu terlihat menggunakan bahasa Indonesia saja, namun dalam tuturan

si penutur terdapat campur kode bahasa Jawa Ngoko seperti kata gak ono.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

172

TABEL 11

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA

PILIHAN

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA PILIHAN

SANTUN

(banyak pilihan) TIDAK SANTUN

(tidak ada pilihan)

1. Analisis 35 DT 13

2. Analisis 36 DT 1

3. Analisis 37 DT 32

4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)

Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak

langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan

dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak

langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang

telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.

(38) PB : Pinten, Mbak ngeten niki?

(Berapa, Mbak ini?)

PJ : Empat puluh lima

PB : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?

(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)

PJ : Pasnya empat puluh

PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ)

(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)

PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.

PB : Telung puluh ya, Mbak?

(Tiga puluh ya, Mbak?)

PJ : Ndak boleh

(Tidak boleh)

PB : Ya sudah, makasih.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

173

Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan,

akan tampak sebagai berikut.

Data (38) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa santun karena

penutur (PB) tidak langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur

bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai warna dan harga dagangan

mitra tutur sebelum menawarnya. “Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?” itulah

bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan

oleh penutur (PB) dianggap santun karena tidak langsung menawar dagangan

mitra tutur (PJ). Hal ini tentu memengaruhi tata cara transaksi jual beli. Apabila

penutur (PB) secara langsung menawar barang dagangan mitra tutur, pasti mitra

tutur (PJ) akan menerapkan harga pas kepada penutur. Dan apabila penutur

langsung menawar barang dagangan si mitra tutur dengan harga rendah, tentu

mitra tutur akan merasa dirugikan dan tidak menutup kemungkinan ekspresi mitra

tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Dalam data tuturan (38) ini,

penutur dengan santun bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai

warna dan harga pasnya berapa atas dagangan si mitra tutur. Sehingga mitra tutur

tidak merasa dirugikan dan tidak akan berubah ekspresi menjadi marah. Pada data

ini terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur

(PB) yang adalah seorang ibu-ibu tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada mitra

tutur (PJ) yang adalah seorang wanita muda. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur

(PJ) yang adalah seorang wanita muda tepat memberikan sapaan “Bu” kepada si

penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Beralih dari penggunaan sapaan, di

dalam percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

174

Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia, bahasa Jawa Krama,

dan bahasa Jawa Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode

dalam data tuturan (38) tersebut di atas.

(39) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga

ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang

ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18)

Data (39) merupakan percakapan antara pembeli (penutur) dengan

penjualnya (mitra tutur) dalam suasana jual beli. Dalam data (39) ini terlihat

kedua partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka

lakukan. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik.

Keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti

alur pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini

termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur (PB) dan mitra tutur

(PJ) dapat mengerti arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan

penutur (PB) yang telah dicetak tebal mempertegas bahwa penutur sangat tidak

langsung menawar harga dagangan si mitra tutur. Penutur (PB) memberikan

tekanan dengan berupa pertanyaan harga terlebih dahulu yang ditujukan kepada

mitra tutur (PJ) yang kemudian penutur (PB) baru menawar harga dagangan mitra

tutur seperti yang sudah ada dalam tuturan penutur yang dicetak tebal tersebut.

Tekanan dengan berupa pertanyaan harga di sini dimaksudkan bahwa penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

175

(PB) mempertegas kembali harga dagang yang telah diberikan oleh mitra tutur

kepada penutur dengan bertanya. Hal ini dibuktikan dengan tuturan penutur

berikut ini, “Dua belas ribu? Sepuluh aja”. Penekanan tuturan tersebut

merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Suasana komunikasi antara

penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) terjalin baik. Ekspresi tanggapan mitra tutur (PJ)

juga terlihat puas dan senang. Oleh karena itu, tuturan tersebut dinilai santun

karena penutur tidak secara langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ).

Tuturan (39) menjadi tidak santun apabila penutur (PB) secara langsung menawar

harga dagangan si mitra tutur (PJ) dengan harga yang sangat rendah. Hal ini tentu

akan membuat mitra tutur merasa dirugikan dan pasti akan sedikit marah kepada

penutur (PB). Dan tidak santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara

penutur dan mitra tutur tidak ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah

pembicaraan yang tengah berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan

guna menghormati seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun

tidaknya sebuah tuturan juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan

sapaan yang sudah tepat dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah

tuturan. Namun apabila sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan

tuturan akan jelas terjadi. Data tuturan (39) ini, sapaan “Dik” tepat digunakan

untuk penutur (PB) yang adalah seorang remaja perempuan dan sapaan “Pak”

tepat digunakan untuk sapaan mitra tutur (PJ) yang adalah seorang laki-laki

dewasa. Sapaan-sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan,

penggunaan campur kode juga terlihat dari data (39) ini. Campur kode yang

digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

176

Jawa Krama identik dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari

tanggapan penutur (PB) yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode

bahasa Jawa Krama, contohnya, sami-sami Pak. Hal ini lebih membuktikan dan

menegaskan bahwa selain tuturan si penutur (PB) tergolong tuturan yang santun,

penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya.

(40) PB : Dua, dua puluh ya, Bu?

PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.

PB : Yo wis.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena PB secara langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 23)

Data (40) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena

penutur (PB) langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Dengan

santainya penutur langsung menawar harga dagangan si mitra tutur dengan harga

yang rendah. “Dua, dua puluh ya, Bu?” itulah bukti tuturan penutur kepada mitra

tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap tidak

santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan harga yang

rendah. Penutur (PB) yang langsung menawar ini membuat ekspresi mitra tutur

berubah sedikit menjadi marah kepada si penutur. Mitra tutur tetap pada harga

dagangannya. Tawaran yang diberikan oleh penutur ditanggapi oleh mitra tutur

dengan memberikan harga pas yang ditekankan pada kata aja dalam tuturannya.

Namun pada akhirnya, penutur (PB) yang langsung menawar harga dagangan

mitra tutur itu tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa membeli dagangan mitra

tutur dengan harga yang sudah ditetapkan oleh si mitra tutur (PJ). Rasa terpaksa

penutur terlihat pada tuturan penutur (PB) yang memberikan tanggapan kepada

mitra tutur (PJ) dengan tuturan yang singkat, yaitu “Yo wis”. Penekanan tuturan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

177

tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Pada data ini

terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur (PB)

yang adalah seorang wanita tengah baya tepat memberikan sapaan “Bu” kepada

mitra tutur (PJ) yang notabene adalah seorang wanita yang sudah agak tua. Begitu

juga sebaliknya, mitra tutur (PJ) yang adalah seorang wanita yang sudah agak tua

tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur yang notabene adalah

seorang wanita tengah baya. Beralih dari penggunaan sapaan, di dalam

percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus.

Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa

Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode dalam data tuturan

(40) tersebut di atas. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko hanya terdapat

pada tuturan si penutur yang mengatakan , yo wis pada percakapan di atas, namun

selebihnya menggunakan bahasa Indonesia.

(41) PJ : Tiga puluh ya?

PB : Nawar dua lima ! (nada ketus)

PJ : Ya wis, oke-oke

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena PB langsung menawar). (DT 4)

Data (41) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan singkat. Data (41)

merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena penutur (PB)

langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur langsung menawar

harga dagangan si mitra tutur dengan harga yang lebih rendah dari harga yang

sudah diberikan mitra tutur (PB) kepada penutur (PJ). “Nawar dua lima!” (nada

ketus) itulah bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Ditambah dengan gaya

penuturan penutur (PB) yang ketus kepada mitra tuturnya (PJ) saat bertransaksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

178

jual beli. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap

tidak santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan ketus.

Namun penutur (PB) yang langsung menawar ini tidak membuat ekspresi mitra

tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Hal ini dikarenakan walaupun

sudah ditawar dengan harga yang di bawah standar harga penjualan, si mitra tutur

(PJ) tetap mendapatkan keuntungan dari hasil dagangannya tersebut. Pada

akhirnya, mitra tutur memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran harga

yang telah dituturkan secara langsung oleh si penutur. Penekanan tuturan tersebut

merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan

(41) ini, kedua partisipan tutur ini juga menggunakan sapaan dalam

berkomunikasi. Penutur (PB) yang adalah seorang anak remaja dengan berjenis

kelamin perempuan tepat disapa dengan sapaan “Dik” oleh mitra tuturnya (PJ).

Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang adalah seorang ibu-ibu tepat disapa

dengan menggunakan sapaan “Bu” oleh penutur yang jauh lebih muda dari mitra

tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena

penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi

yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur

dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua

partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (41) dirasa

menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko.

Terlihat jelas dari percakapan di atas yang menggunakan campur kode bahasa

Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada

tuturan mitra tutur (PJ) yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

179

kode dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan

yang sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud

dari tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala

ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.

TABEL 12

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA

KETIDAKLANGSUNGAN

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

SKALA KETIDAKLANGSUNGAN

SANTUN

(tidak langsung) TIDAK SANTUN

(langsung)

1. Analisis 38 DT 10

2. Analisis 39 DT 18

3. Analisis 40 DT 23

4. Analsis 41 DT 4

4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan

Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar

tingkat kesantunan berbahasa pembeli perko trotoar Malioboro Yogyakarta,

peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian

diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda

kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda-

penanda kesantunan tuturan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

180

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan

kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur

yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan

tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu

atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda

kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian

gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.

4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)

Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan

dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau

diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau

menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik

digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau

pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang

pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal

atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam

mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

181

kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada

imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara

atau penutur.

Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut

pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang

penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal

ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya

tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga

harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,

Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi

(pilihan kata) adalah sebagai berikut.

m) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,

n) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan

orang lain,

o) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung

perasaan orang lain,

p) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk

melakukan sesuatu,

q) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih

dihormati,

r) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.

Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan

pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

182

penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat

kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan

digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan

kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya

menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang

memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang

emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang

diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur

memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan

maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih

dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif

sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di

atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang

penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks

jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Penggunaan Kata yang Tepat

Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu

maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika

bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,

suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik

dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam

memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

183

gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat

dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan

pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan

tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu

percakapan.

b. Menemukan Bentuk yang Sesuai

Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau

konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana

situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini

dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti

atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur

juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar

tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun

menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu

tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka

dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak

untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang

santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif

dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang

sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang

berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur

dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

184

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda

kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal

tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita

semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan

tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.

TABEL 13

KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA

KESANTUNAN BERBAHASA

SANTUN TIDAK SANTUN

1. Menggunakan kata - kata yang

tepat.

a. Memilih kata-kata yang tepat dan

sesuai.

b. Menjadikan komunikasi menjadi

terarah.

c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.

2. Menemukan bentuk yang sesuai.

a. Penutur harus dapat memahami

situasi komunikasi dan situasi

mitra tutur agar tidak merugikan

atau menyakiti mitra tutur, begitu

pula sebaliknya. Sehingga

komunikasi yang terjadi tidak

menjadi kacau.

1. Menggunakan kata - kata yang

tidak/kurang tepat.

a. Memilih kata-kata yang

tidak/kurang tepat.

b. Menjadikan komunikasi menjadi

tidak terarah.

c. Tidak dapat dipahami oleh mitra

tutur.

2. Menemukan bentuk yang tidak

sesuai.

a. Penutur tidak dapat memahami

situasi komunikasi dan situasi

mitra tutur sehingga merugikan

atau menyakiti mitra tutur, begitu

pula sebaliknya. Sehingga

komunikasi yang terjadi menjadi

kacau.

Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan

dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke

dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata)

atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

185

menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi.

Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin

selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan

beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam

komunikasi transaksi jual beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman

tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun

dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di

atas.

(42) PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,

Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar

lihat warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1)

Data (42) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur

yakni penutur yang notabene adalah si pembeli dan mitra tutur yang notabene

adalah si penjual baju anak-anak itu sendiri saat transaksi jual beli di emperan

toko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata apik sendiri menunjukkan sebuah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

186

penekanan maksud yang diharapkan oleh si penutur. Kata apik yang ditekankan

dalam tuturan si penutur tersebut memiliki makna bahwa penutur dapat memilih-

milih dagangan si mitra tutur dengan leluasa. Penutur (PB) dirasa tepat

menggunakan kata apik tersebut guna memberikan keuntungan juga kepada si

mitra tutur. Keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur yakni penekanan kata

apik yang membuat mitra tutur (PJ) merasa bahwa dagangannya layak untuk

diperjualbelikan. Kata apik sendiri termasuk dalam kriteria tuturan yang santun.

Karena merupakan sebuah penekanan untuk menguntungkan mitra tuturnya dan si

penutur merasa dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur (PJ). Dilihat

dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, kata apik termasuk

dalam kategori penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai

dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Oleh karena itu, secara

tidak langsung kata apik sendiri merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam

komunikasi jual beli. Kata tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan

tutur, baik itu penutur maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga

menimbulkan suasana yang baik dan nyaman karena penutur (PB) dapat memilih

dagangan yang diinginkannya pada dagangan si mitra tutur (PJ) dengan leluasa

dan nyaman saat bertransaksi jual beli dengan mitra tutur.

(43) PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.

PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan.

PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa)

PB : Suwun

(Terima kasih)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

187

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang).

(DT 17)

Data (43) menekankan kata iya yang memiliki makna suatu bentuk

persetujuan yang telah disepakati bersama. Kata tersebut dituturkan untuk

menguntungkan mitra tuturnya sebagai konsumen dari barang dagangannya.

Penutur menekankan kata iya sebagai persetujuan atas pembelian dagangan si

mitra tutur (PJ). Maka, diberikan penekanan kata iya agar mitra tutur (PJ)

mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan penutur (PB). Maksud

dari penekanan kata iya sangat dipahami betul-betul oleh penutur (PB) dan mitra

tutur (PJ). Penutur dan mitra tutur sama-sama memahami maksud dari kata

tersebut dan tuturan penutur yang memberikan penekanan kata iya sebagai tuturan

yang dapat menguntungkan si mitra tutur (PJ) tergolong dalam tuturan yang

santun. Pemakaian kata iya ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang

tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan tersebut termasuk ke

dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam komunikasi transaksi jual

beli.

Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu

tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah

selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak

santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi

pemakaian diksi (pilihan kata).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

188

(44) PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?

Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki!

(Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa?

Hijau atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek

ini!)

PJ : Iya tiga perempat

PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya?

(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar

ya?)

PJ : Iya besar, Bu.

PB : Papat, satus ya, Mas?

(Empat, seratus ya?)

PJ : Belum boleh, Bu.

PB : Pas‟e piro?

(Pasnya berapa?)

PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya

sudah!

PB : (pergi)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB terlihat merugikan PJ dengan penekanan kata

“elek iki”). (DT 31)

Penekanan kata elek pada data (44) ini terlihat tidak santun. Kata elek

termasuk dalam kata pernyataan. Penutur (PB) menuturkan kata tersebut saat

melakukan transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Di saat memilih dagangan

si mitra tutur, penutur (PB) mengucapkan kata tersebut di depan si mitra tutur.

Kata elek yang dituturkan oleh penutur ini yang menjadikan suasana komunikasi

menjadi tidak menyenangkan. Ditambah lagi dengan pemakaian kata elek dalam

data tuturan di atas yang terkesan memberikan pernyataan bahwa ada barang

dagangan si mitra tutur yang tidak layak untuk dibeli oleh penutur (PB). Kata elek

dirasa tidak tepat digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata elek diganti

dengan kata kurang cocok, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana

komunikasi jual beli menjadi tidak kacau dan nyaman. Kata elek yang dinilai

tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

189

termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan

bentuk yang tidak sesuai dalam kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di

atas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kata elek memang tidak tepat untuk

digunakan dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi jual beli.

(45) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.

PB : Empat tahun bisa gak?

PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat

TK juga, Mbak.

PB : Iya. Berapa?

PJ : Empat lima aja

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat

merugikan PJ). (DT 34)

Data (45) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur

yakni si pembeli yang sebagai penutur dan si penjual yang sebagai mitra tuturnya.

Pada data tuturan di atas, tampak tuturan penutur yang dianggap kurang sopan

untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Mitra tutur sudah

memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun

tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan

dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan

melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan

oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada

mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada

kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang

diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang

diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

190

Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga

yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Kata mahal

dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata mahal

tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh

kata tersebut, maka kata mahal tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi

jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi

tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas

diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh

tuturan si penutur. Kata mahal ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang

tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria

pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata mahal

diganti dengan kata maaf, mungkin belum cocok sehingga tuturan terlihat santun

dan layak untuk dituturkan.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda

kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan

disajikan dalam tabel berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

191

TABEL 14

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI

PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

PEMAKAIAN DIKSI

SANTUN TIDAK

SANTUN

1. Analisis 42 DT 1

2. Analisis 43 DT 17

3. Analisis 44 DT 31

4. Analsis 45 DT 34

4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa

Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran

melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis

(Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya

bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan

efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan

ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat

menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu.

Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa

jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-

gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.

Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya

bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual

(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan

agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

192

Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya

bahasa yang baik, yaitu:

d. Kejujuran

Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan

gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti

kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa

yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak

jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan

konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan

kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra

tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.

Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk

digunakan dalam konteks berkomunikasi.

e. Sopan Santun

Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya

bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat

berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara

bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,

dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra

tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras

untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini

dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur

kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

193

untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang

dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka

tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam

berkomunikasi.

f. Menarik

Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus

menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,

humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan

imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur

diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira

atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila

penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan

tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur

membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah

maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat

untuk digunakan dalam berkomunikasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda

kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa

hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini

adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan

berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan

memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa

dalam sebuah tuturan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

194

TABEL 15

KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA

KESANTUNAN BERBAHASA

SANTUN TIDAK SANTUN

1. Kejujuran.

a. Penutur tidak hanya mencari

keuntungan saja.

b. Kata-kata yang digunakan tidak

berbelit-belit.

2. Sopan Santun.

a. Menghormati mitra tuturnya saat

berkomunikasi.

b. Bertutur kata dengan singkat dan

jelas, sehingga tidak membuat

mitra tutur bingung .

3. Menarik.

a. Penutur dapat memberikan humor

terhadap mitra tuturnya saat

komunikasi berlangsung.

b. Penutur dapat membuat suasana

komunikasi yang menyenangkan,

sehingga mitra tutur merasa

nyaman dan senang.

1. Kejujuran.

a. Penutur hanya mencari

keuntungan saja.

b. Kata-kata yang digunakan sangat

berbelit-belit.

2. Sopan Santun.

a. Tidak menghormati mitra

tuturnya saat berkomunikasi.

b. Bertutur kata dengan panjang

lebar dan tidak jelas, sehingga

membuat mitra tutur bingung .

3. Menarik.

a. Penutur tidak dapat memberikan

humor terhadap mitra tuturnya

saat komunikasi berlangsung.

b. Penutur tidak dapat membuat

suasana komunikasi yang

menyenangkan, sehingga mitra

tutur tidak merasa nyaman dan

senang.

Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan

dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke

dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas

telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan

kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur

maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin

yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk

melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual

beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

195

gaya bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan

beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan

tabel pemakaian gaya bahasa di atas.

(46) PB : Pinten, Mbak ngeten niki?

(Berapa, Mbak ini?)

PJ : Empat puluh lima

PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?

(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)

PJ : Pasnya empat puluh

PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ)

(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)

PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.

PB : Telung puluh ya, Mbak?

(Tiga puluh ya, Mbak?)

PJ : Ndak boleh

(Tidak boleh)

PB : Ya sudah, makasih.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10)

Data (46) ini merupakan tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB) dan

mitra tutur (PJ) di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata napa sendiri

memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh

si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur.

Penutur menggunakan kata napa yang dalam bahasa Indonesianya berarti apa

untuk bertanya mengenai warna dagangan si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan

penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi penutur juga

menghormati diri mitra tutur sehingga penutur menanyakan terlebih dahulu warna

apa saja yang ada pada dagangan si mitra tutur dengan menekankan kata napa

agar si penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman.

Kata napa dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

196

tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria

pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang

dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata napa sendiri

merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual

beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya

oleh pedagang dan pembeli.

(47) PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga

ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang

ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18)

Data (47) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur

yang tengah bertransaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta.

Kata aja menunjukkan sebuah keinginan penutur untuk mendapatkan harga yang

murah dari mitra tutur (PJ). Penutur langsung menuturkan apa yang diharapkan

kepada mitra tutur. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan

penutur terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah.

Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur.

Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat

dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur.

Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan

untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata aja dapat dikategorikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

197

dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat dalam tabel kriteria

pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut dinilai santun dan

pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi.

Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu

tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah

selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak

santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi

pemakaian gaya bahasa.

(48) PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe

loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)

(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima

ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok).

PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.

(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)

PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro!

(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)

PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel)

(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)

PJ2: Selawe loro, sing ngene no!

(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)

PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik.

Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho

warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit

memaksa)

(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta

tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua,

ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ

ukuran L)

PB1: Ngge langganan lho, Pak.

(Buat langganan, Pak)

PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh

gedhe cilik tak kek‟i.

(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang.

Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)

PB2: Ukuran L, njaluk ukuran L.

(Ukuran L, minta ukuran L)

PJ2: L dewasa to kuwi?

(L dewasa kan itu?)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

198

PB2: L sak aku, Pak.

(L ukuran saya, Pak)

PJ2: Ya ra entuk!

(Ya tidak dapat!)

PJ1: Nyoh. Wis tas‟e, Pak?

(Ini. Sudah tasnya, Pak?)

PB1: Wis, makasih

(Sudah, terima kasih)

(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak

santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)

Data (48) merupakan tuturan dari pembeli kaos dagadu kepada penjualnya.

Dalam data tuturan ini terdapat kata yang perlu ditekankan, yakni kono lho. Kata

kono lho sendiri terucap ketika penutur (PB) tengah bertransaksi jual beli dengan

si mitra tutur. Dari percakapan di atas, kata kono lho yang termasuk dalam

kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra tutur, serta kata

tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ). Ketika penutur

menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi kacau dan penuh emosi.

Tuturan penutur dengan penekanan kata suruhan yang disertai dengan paksaan itu

dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra

tutur yang menanggapi dengan jengkel dan marah. Tuturan penutur tersebut

dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai penjualnya. Penutur

dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu kepada mitra tutur.

Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur (PB). Hal itu dirasa

sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu pertuturan jual beli.

Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari

keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

199

membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas. Oleh

karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli.

(49) PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L?

(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?)

PJ : Ora enek. Gak ada.

(Tidak ada. Tidak ada)

PB : Terus tak tukokne warna opo yo?

(Terus saya belikan warna apa ya?)

PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain)

(Terima kasih. Terima kasih)

PB : Lha iki aku werno opo?

(Ini saya warna apa?)

PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.

(Yang biru ini saja. Biru ini lho)

PB : Endi?

(Mana?)

PJ : Iku lho.

(Ini lho)

PB : Elik iki birune.

(Jelek ini birunya)

PJ : Putih, item

(Putih, hitam)

PB : Putihe koyok ngopo?

(Putihnya seperti apa?)

PJ : Putihe sing neng ngisor.

(Putihnya yang di bawah)

PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L.

(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L)

PJ : Harus itu? L putih?

PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa)

(Cepat, Mas carikan ini dulu!)

PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e.

(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S)

PB : Tak berantakke, Mas.

(Saya buat berantak, Mas)

PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung.

(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-

tolong)

PB : Sing iki pasangane enek ora?

(Yang ini pasangannya ada tidak?)

PJ : Iki tulisane Jogja.

(Ini tulisannya Jogja)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

200

(Konteks: Penekanan kata „ndang‟ inilah yang dirasa mempengaruhi

kalimatnya menjadi kurang sopan. Jadi terlihat menyuruh dengan sedikit

memaksa. Alangkah baiknya apabila tuturan PB diubah menjadi, “Tolong,

saya dicarikan yang ini dulu, Mas” dalam bahasa Jawanya, “Tulung, aku

digolekke sing iki dhisik, Mas”. Penekanan kata „ndang‟ diganti dengan

kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan). (DT 8)

Pada data (49) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pembeli (penutur)

tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pembeli (penutur) tersebut

menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada penjual (mitra

tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata

ndang dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur menyuruh mitra

tutur (PJ) untuk mencarikan kaos yang diinginkan si penutur dengan tidak sopan.

Tuturan penutur di atas dengan penekanan kata ndang membuat suasana yang

sangat tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur yang notabene sebagai penjual

merasa tidak nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan si penutur. Suasana yang

tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan penutur yang menyuruh mitra tutur

dengan kasar dan tidak sopan. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan

kata ndang menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang tidak

sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur

saat komunikasi transaksi jual beli. Seharusnya penekanan kata „ndang‟ diganti

dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan dan layak untuk digunakan dalam

komunikasi jual beli.

Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun

maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan

berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

201

kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan

dalam tabel berikut ini.

TABEL 16

TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI

PEMAKAIAN GAYA BAHASA

NO. URUTAN

ANALISIS KODE DATA

PEMAKAIAN GAYA BAHASA

SANTUN TIDAK

SANTUN

1. Analisis 46 DT 10

2. Analisis 47 DT 18

3. Analisis 48 DT 3

4. Analsis 49 DT 8

4.3 Pembahasan

Kesantunan berbahasa merupakan sebuah cerminan dari pribadi seseorang.

Karena ketika berbahasa dengan santun, orang lain yang menjadi lawan bicara

pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang dilangsungkan. Santun

tidaknya suatu tuturan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tingkat

kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Tingkat kesantunan berbahasa ini dianalisis menggunakan tiga skala

kesantunan yang dipaparkan oleh Leech. Adanya sebuah kerjasama sama suatu

tuturan yang dilakukan oleh kedua partisipan tutur, baik penutur maupun mitra

tutur merupakan hal yang sangat penting dan sangat perlu untuk diperhatikan oleh

semua orang. Dengan adanya sebuah kerjasama dalam suatu tuturan akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

202

menimbulkan efek positif terhadap isi dan arah tuturan dan juga akan

memperlancar sutu tuturan yang sedang dikomunikasikan.

Ada banyak orang yang berpikir bahwa tingkat kesantunan berbahasa

pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta sangat

rendah dan tuturan-tuturan yang tidak santun tersebut sering bermunculan dalam

transaksi jual beli di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi karena orang lain yang

di luar sana belum mengerti akan konteks tuturan yang terjadi dan bagaimana

suasana tuturan pada saat tuturan tersebut dikomunikasikan. Dalam suatu tuturan,

yang paling penting dan harus diperhatikan betul-betul adalah bagaimana atau

sejauh mana penutur dan mitra tutur memahami serta mengerti akan makna dan

arah tujuan pembicaraan di antara kedua partisipan tutur itu. Orang lain tidak bisa

hanya melihat dan menilai begitu saja tanpa melihat ada beberapa hal yang

dianggap penting yang memengaruhi tingkat kesantunan suatu tuturan yang

terjadi di sekitarnya.

4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta

Pembahasan yang pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa

penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data dan pembahasan ini,

difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah

pembelinya. Di bawah ini akan dibahas secara detail satu per satu sesuai dengan

rumusan masalah yang ada. Rumusan masalah yang pertama adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

203

bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta?

Melihat pada sebuah pusat perbelanjaan di sebuah kota kecil yakni

Malioboro Yogyakarta tentu tidak lepas dari adanya transaksi jual beli yang ada di

dalamnya. Transaksi yang dilakukan jelas dilakukan oleh penjual dan pembeli.

Ada banyak pandangan yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam

transaksi jual beli ini suka-suka. Suka-suka ini dimaksudkan bahwa penjual dan

pembeli menggunakan bahasa sehari-hari dan tidak menggunakan pedoman

berbahasa yang layaknya dalam berbahasa Indonesia. Para penjual dan pembeli

berusaha menggunakan bahasa-bahasa tersebut agar komunikasi dapat terjalin

dengan baik. Tak lupa maksud dan tujuan yang disampaikan saat berkomunikasi

transaksi jual beli akan tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu akan

memperlihatkan santun tidaknya sebuah tuturan yang dikomunikasikan antara

penjual dan pembeli tersebut. Pokok bahasan yang pertama ini akan membahas

mengenai tingkat kesantunan penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh penutur maupun

mitra tutur agar tuturan yang dituturkan menjadi santun adalah (1) seberapa besar

keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau

sebaliknya (skala untung rugi), (2) seberapa besar penutur memberikan pilihan-

pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah percakapan atau sebaliknya (skala

pilihan), dan (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi terlebih dahulu

dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya (skala

ketidaklangsungan). Ketiga hal ini merupakan teori skala kesantunan Geoffrey

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

204

Leech sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini,

yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan sapaan, alih

kode, dan campur kode.

4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Bahasan pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta ditinjau dari skala untung rugi.

Berdasarkan analisis di atas, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Karena

tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) dalam

percakapan transaksi jual beli yang dilakukan menggunakan kata-kata atau bahkan

kalimat-kalimat yang menandakan bahwa tuturan tersebut memberikan

keuntungan kepada si mitra tutur (pembeli). Dalam hal ini santunnya tuturan tentu

akan terlihat dari tuturan si penutur (penjual) apakah tuturannya menguntungkan

mitra tuturnya (pembeli) atau bahkan sebaliknya merugikan diri si mitra tuturnya.

Dapat dibuktikan pada penggunaan kalimat “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk

diijolke, Bu” (analisis 1 DT 1), “Ya wis, oke-oke, Dik” (analisis 2 DT 4), “Kalo

beli dua, dua puluh tiga ribu aja” (analisis 5 DT 18). Kalimat-kalimat yang

dituturkan oleh penutur (penjual) dalam percakapan dengan mitra tutur (pembeli)

saat transaksi jual beli tersebut di atas menandakan bahwa si penjual memberikan

keuntungan kepada si pembeli. Dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam

percakapan di antara kedua partisipan tutur itu, dapat dikatakan bahwa tuturan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

205

tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang santun (menguntungkan mitra

tuturnya). Dalam transaksi jual beli yang dilakukan penutur dan mitra tutur tentu

tidak terlepas dengan adanya tuturan-tuturan yang dirasa tidak santun untuk

dituturkan kepada diri si mitra tutur (pembeli). Misalnya saja dengan penekanan

kalimat-kalimat sebagai berikut, “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo

dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki”, “Lebokke dewe ya.

Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (analisis 6 DT 3), “Gak

boleh!” (analisis 8 DT 16), “Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok

dicampur-campur!” (analisis 10 DT 30). Penggunaan kalimat-kalimat tersebut di

atas telah mencerminkan bahwa tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur

(pembeli) tidak santun. Kalimat-kalimat itu menandakan bahwa penjual sangat

merugikan diri si pembelinya. Oleh karena itu, dengan penekanan kalimat-kalimat

tersebut tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat digolongkan ke

dalam tuturan yang tidak santun (merugikan mitra tutur).

Bahasan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang dengan

penekanan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai penanda apakah tuturan yang

dituturkan penjual kepada pembeli itu santun atau tidak santun di atas termasuk

dalam teori skala kesantunan milik Geoffrey Leech (1983) khususnya skala

untung-rugi yang dijelaskan mengenai seberapa besar keuntungan atau kerugian

yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya agar penutur dan

mitra tutur dapat saling memberikan keuntungan atau kepuasan saat bertutur kata.

Seorang penutur sebaiknya merugikan dirinya sendiri, bukan malah meninggikan

dirinya di hadapan lawan tuturnya ketika berkomunikasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

206

4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Selanjutnya, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” ini dilihat

dari skala kedua yakni skala pilihan. Dalam percakapan-percakapan yang

dilakukan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) terdapat tuturan-

tuturan yang menandakan santun tidaknya tuturan dari segi skala pilihan. Dapat

dibuktikan dengan tuturan-tuturan penutur kepada mitra tutur seperti berikut ini,

“Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.

Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok

cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e” (analisis 11 DT 6), “Paling besar L. Kalo anak-

anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang

ini, ini, sama yang ini” (analisis 12 DT 13), dan “Ini empat puluh Dek yang

besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit” (analisis

13 DT 19). Kalimat-kalimat di atas merupakan penanda pilihan yang diberikan

oleh penjual kepada pembeli. Adanya pilihan-pilihan yang diberikan penutur

kepada mitra tutur tersebut menjadikan tuturan yang dituturkan dikategorikan ke

dalam tuturan yang santun. Ada pula penanda-penanda dalam tuturan yang

dituturkan oleh si penjual kepada pembelinya yang menandakan bahwa tuturan

tersebut tidak santun. Misalnya saja, “Anane iki nyoh. Iki wernane” (analisis 14

DT 28). Tuturan penutur tersebut menandakan bahwa penutur tidak memberikan

pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya. Penutur hanya memberikan apa yang sudah

dia ambil yang kemudian langsung diberikan kepada mitra tutur (pembeli). Oleh

karena itu, karena tidak adanya tuturan-tuturan yang menandakan adanya pilihan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

207

pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli maka tuturan (penanda)

tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.

Penanda-penanda untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang

“perko” dalam skala pilihan ini telah dijelaskan di atas. Penekanan-penekanan

dalam tuturan-tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur tersebut di

atas mengacu pada teori skala kesantunan Geoffrey Leech (1983) khususnya skala

pilihan yang menjelaskan mengenai seberapa besar penutur memberikan pilihan-

pilihan kepada mitra tuturnya ketika melakukan tindak tutur. Hal ini lebih pada

pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi,

penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk

melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi,

maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun.

4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)

Bahasan yang ketiga ini membahas mengenai tingkat kesantunan pedagang

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta menurut skala ketidaklangsungan. Dalam

hal ini bahasan mengacu pada tuturan dan penekanan kata-kata atau kalimat-

kalimatnya yang menandakan santun tidaknya tuturan yang dituturkan oleh

penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli). Dapat dilihat dari contoh kalimat

berikut ini, “Nawar aja bisa. Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya

aja” (analisis 17 DT 25), “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek

kaliten kadose mboten” (analisis 18 DT 29). Kalimat-kalimat tersebut merupakan

penanda bahwa tuturan yang dituturkan bersifat tidak langsung. Penutur (penjual)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

208

tidak langsung menuturkan apa yang dia inginkan namun melalui kalimat-kalimat

seperti yang di atas penutur ingin berbasa-basi terlebih dahulu kepada mitra tutur

(pembeli). Maka dari itu, tuturan dengan penekanan seperti di atas termasuk

dalam kategori tuturan yang santun.

Tuturan-tuturan dengan penanda atau penekanan seperti itulah yang dapat

mewakili apakah tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur santun

atau tidak santun. Hal ini mengacu pada teori skala kesantunan Leech khususnya

skala ketidaklangsungan (indirectness scale) yang memaparkan mengenai pokok

teori skala ketidaklangsungan bahwa penutur harus benar-benar memahami dan

mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu maksud tuturan kepada mitra tutur

agar proses pertuturan yang tengah dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan

santun. Seseorang yang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan

maksud dari tuturannya, apakan dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan

menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh

penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan

(1994:87) menuliskan bahwa makin tembus pandang atau transparan atau makin

jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah ujaran tersebut dituturkan

dan demikian pula sebaliknya. Pendapat dari Gunarwan itu ingin menjelaskan

bahwa dalam melakukan suatu tuturan, kita harus bisa mengontrol tuturan yang

akan kita ucapkan. Penutur tidak diperbolehkan terang-terangan atau transparan

menyampaikan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung

mkasud dari tuturan itu tersebut terucap, tentu tuturan itu menjadi semakin tidak

santun, begitu juga sebaliknya apabila semakin tidak langsung tuturan itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

209

diucapkan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Dan diharapkan penutur

tidak membuat mitra tutur tersinggung. Hal ini dikarenakan masing-masing orang

memiliki kepekaan dalam menanggapi sesuatu.

Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh

pembahasan tuturan penjual baik yang santun maupun yang tidak santun.

Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan

skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan

sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Untuk melihat tiga aspek lainnya sebagai

dasar analisis, yaitu sapaan, alih kode, dan campur kode, akan dibahas secara

bersama-sama secara menyeluruh baik dalam subjek penjual maupun pembeli.

Tuturan penjual seperti data-data di atas telah memperlihatkan kepada kita sebagai

pembaca mengerti bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta.

Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti telah dianalisis sedemikian rupa

dalam bab analisis data di atas. Tentu terlihat jelas adanya tuturan penjual yang

santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk tuturan yang

dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan fatalnya

tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak hubungan yang

terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Hal seperti itu tentu tidak

diharapkan untuk terjadi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, yang perlu

diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa dari

penanda-penanda kesantunan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

210

Setelah menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang di emperan

toko trotoar Malioboro Yogyakarta, langkah selanjutnya peneliti membahas

mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta yang ditinjau dari kriteria penanda-penanda tingkat kesantunan

berbahasa, yakni pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari

hasil analisis data, terdapat beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan

tidak santun sesuai dengan kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi

(pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa tersebut.

4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan

4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)

Pemakaian diksi atau pilihan kata di sini memiliki andil yang sangat besar

dalam suatu percakapan atau komunikasi. Pemilihan kata harus benar-benar

dilakukan dengan baik agar tuturan yang dituturkan dapat memberikan suatu

maksud yang jelas dan baik (tidak menyinggung diri penutur atau mitra tutur).

Seperti yang sudah dijelaskan dalam analisis data bahwa terdapat kriteria-kriteria

dalam pemakaian diksi guna menjadikan suatu tuturan tersebut menjadi jelas dan

baik. Misalnya saja, pemakaian kata diijolke dalam kalimat “Sedeng-sedeng. Lek

ra sedeng sesuk diijolke, Bu” (analisis 19 DT 1) dan sudah murah (analisis 20 DT

18). Pemakaian kata diijolke dan sudah murah tersebut memiliki makna bahwa

penutur (penjual) memberikan suatu keuntungan kepada mitra tutur (pembeli).

Dalam tuturannya, penutur menggunakan kata tersebut sebagai penekanan diksi

(pilihan kata) untuk mengutarakan maksud dari tuturannya itu. Penekanan kata-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

211

kata dalam tuturan si penutur menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan

tuturan yang santun. Pemilihan kata yang digunakan termasuk dalam kriteria

memilih kata-kata yang tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah,

maksud dari tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat dipahami

oleh mitra tutur, dan situasi yang dihasilkan menjadi tidak kacau. Sehingga

tuturan dengan penggunaan pilihan kata seperti contoh di atas dapat dikategorikan

sebagai tuturan yang santun. Namun, ada pula yang dalam tuturannya penutur

salah atau tidak tepat dalam memilih dan menggunakan kata-kata untuk

menyampaikan maksud dari tuturannya. Dapat dibuktikan dengan penggunaan

kata delokken dalam kalimat “Iki delokken sik” (analisis 21 DT 28) dan gak

(analisis 22 DT 15). Kata-kata yang dipilih dan digunakan dalam contoh analisis

tersebut dirasa tidak layak untuk digunakan dalam tuturan. Hal ini dikarenakan

kata-kata tersebut memiliki makna yang kurang baik jika dituturkan. Melihat

penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada

mitra tutur dapat disimpulkan bahwa tuturan dengan penanda tersebut

dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun karena pemilihan kata yang

digunakan termasuk dalam kriteria memilih kata-kata yang tidak/kurang tepat dan

sesuai, menjadikan komunikasi menjadi tidak terarah, maksud dari tuturan yang

dituturkan penutur kepada mitra tutur menyinggung diri mitra tutur, dan situasi

yang dihasilkan menjadi kacau. Pemilihan dan penggunaan kata dalam konteks ini

mengacu pada teori pemakaian diksi para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti

menjadi dua sub yakni menggunakan kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk

yang sesuai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

212

4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa

Pemakaian gaya bahasa di sini dimaksudkan untuk melihat bagaimana

tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur itu tidak berbelit-belit

(jelas), dapat menghormati mitra tuturnya, dan dapat membuat suasana

komunikasi menjadi baik, nyaman, dan menyenangkan. Dengan gaya bahasa ini,

tuturan akan dapat terlihat lebih baik dan santun. Seperti dalam contoh berikut ini,

kata nawar (analisis 23 DT 25) dan mawon (analisis 24 DT 12) membuktikan

bahwa penggunaan kata-kata tersebut dapat memengaruhi tuturan yang sedang

dituturkan oleh penjual kepada pembeli. Kata-kata tersebut memiliki makna

bahwa penjual memberikan sebuah penawaran kepada pembeli. Kedua kata

tersebut termasuk ke dalam kriteria pemakaian gaya bahasa yang tidak berbelit-

belit dan dengan penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan, penjual atau penutur

dapat menghormati mitra tuturnya (pembeli). Oleh karena itu, tuturan dengan

penekanan kata-kata tersebut dianggap santun. Akan tetapi, ada juga tuturan yang

dituturkan penutur tidak tepat dalam menggunakan kriteria pemakaian gaya

bahasa. Misalnya saja, dicampur-campur (analisis 25 DT 30) dan ojo dibukaki dan

kesel (analaisis 26 DT 3). Kata-kata tersebut jika dilihat secara sekilas sudah

terlihat makna negatifnya. Dalam kriteria pemakaian gaya bahasa, kata-kata

tersebut termasuk dalam kriteria tuturan yang tidak dapat menghormati mitra

tuturnya dan dapat membuat suasana menjadi kacau dan tidak menyenangkan.

Maka dari itu, kata-kata yang dianggap sebagai penanda dalam pemakaian gaya

bahasa tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

213

Hasil dari pembahasan-pembahasan di atas telah membuktikan bahwa

tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

sebagian besar masih tergolong santun. Hal ini dikarenakan para penjual masih

menerapkan etika-etika dalam komunikasi transaksi jual beli. Etika-etika tersebut

tercermin pada penggunaan bahasa ketika berkomunikasi dengan pembeli. Saat

transaksi inilah dapat dilihat bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa mereka,

apakan tuturan yang dituturkan itu santun atau malah sebaliknya (tidak santun).

4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta

Pembahasan mengenai rumusan masalah pertama yang membahas

mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta telah selesai. Selanjutnya, di bawah ini akan dibahas secara detail satu

per satu sesuai mengenai rumusan masalah yang kedua. Rumusan masalah yang

kedua ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta? Dalam data dan pembahasan ini, difokuskan

bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra tutur adalah penjualnya.

Transaksi jual beli telah terlihat dari sebuah pusat perbelanjaan yang

terkenal dengan nama Malioboro tepat di kota Yogyakarta. Dalam transaksi ini,

penjual dan pembeli saling berkomunikasi satu sama lain. Mereka menggunakan

bahasa yang sudah biasa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembahasan ini menitikberatkan pada tuturan pembeli yang akan dianalisis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

214

tingkat kesantunannya. Apakah tuturan yang dituturkan pembeli kepada penjual

dalam transaksi jual beli itu santun atau tidak santun.

Dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan ini kurang lebih sama

dengan dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah yang

pertama di atas. Di dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu untuk

diperhatikan baik itu oleh penutur maupun mitra tutur agar tuturan yang

dituturkan menjadi santun adalah (1) dari skala untung rugi, (2) dari skala pilihan,

dan (3) dari skala ketidaklangsungan. Ketiga skala ini merupakan teori dari skala

kesantunan Geoffrey Leech (1983) sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan

berbahasa dalam penelitian ini.

Aspek-aspek di atas yang menjadi dasar analisis tingkat kesantunan

berbahasa dalam penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan data-data yang

telah didapatkan oleh peneliti. Pembahasan ini akan diawali dengan membahas

tiga skala kesantunan Leech, yakni (1) seberapa besar keuntungan atau kerugian

yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya, (2) seberapa besar

penutur memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah

percakapan atau sebaliknya, (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi

terlebih dahulu dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau

sebaliknya, yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan

sapaan, alih kode, dan campur kode.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

215

4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech

4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)

Transaksi jual beli sudah pasti dilakukan oleh dua partisipan tutur, yakni

penjual dan pembeli. Dalam konteks ini pembelilah yang menjadi sasaran utama

untuk dianalisis tuturannya. Untung pembahasan yang pertama ini, tuturan

pembeli akan dianalisis dengan menggunakan skala Leech yang pertama yakni

skala untung rugi yang menitikberatkan pada seberapa besar keuntungan atau

kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya. Pembeli

yang notabene sebagai penutur juga tidak pernah lepas dengan penggunaan

tuturan yang kadang dianggap santun dan ada pula yang menggunakan tuturan

yang dianggap tidak santun. Banyak pembeli yang menganggap bahwa dirinya

adalah seorang raja karena dialah yang akan membeli dagangan dari si penjual.

Dalam skala ini, jika penutur (pembeli) menguntungkan diri mitra tuturnya

(penjual, maka tuturan tersebut dianggap santun, begitu pula sebaliknya. Seperti

dalam contoh berikut ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan” (analisis 28 DT

17) dan “Yang besar tiga lima ya, Bu?” (analisis 29 DT 19). Kalimat-kalimat

tersebut merupakan suatu penekanan dalam percakapan yang dilakukan oleh

penutur dengan mitra tuturnya. Dengan penanda tersebut dapat dianalisis dan

dipaparkan dengan jelas bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena penanda

kalimat itu menandakan adanya keuntungan yang didapatkan oleh si mitra tutur

(penjual). Jadi, tuturan pembeli tersebut digolongkan ke dalam tuturan yang

santun. Dalam komunikasi jual beli tidak luput akan terjadinya penggunaan

tuturan yang dianggap tidak santun. Hal ini akan mengakibatkan komunikasi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

216

sedang terjadi menjadi kurang baik. Penekanan pada kalimat-kalimat dalam

percakapan antara penutur (pembeli) dengan mitra tutur (penjual) juga harus

benar-benar diperhatikan. Misalnya saja, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga

kok!” (analisis 30 DT 2), “Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe

loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok” dan “Lha iyo sing murah niku

lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro,

nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L”

(analisis 31 DT 3), “Harusnya samalah!” (analisis 32 DT 14), “Koyok gak tau

tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (analisis 33 DT 21), dan “Lihat-lihat

dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (analisis 34 DT 34). Kalimat-kalimat seperti

itulah yang dirasa kurang tepat untuk dituturkan kepada mitra tutur (penjual)

dalam konteks jual beli. Mengapa demikian? Karena kalimat-kalimat tersebut

memiliki makna dan mkasud yang kurang baik untuk dituturkan. Secara garis

besar, penekanan kalimat-kalimat itu dalam percakapan yang ada dapat merugikan

diri si mitra tutur (penjual) sehingga suasana yang terjalin menjadi tidak harmonis.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang dicontohkan di atas termasuk dalam

kategori tuturan yang tidak santun.

Bahasan di atas tepat mengacu pada teori skala kesantunan Leech (1983)

terlebih khusus pada teori skala untung rugi yang menekankan seberapa besar

keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau

sebaliknya. Oleh karena itu, dilihat dari skala untung rugi ini, tuturan pembeli

juga dapat dilihat apakah tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur (penjual) itu

santun atau tidak santun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

217

4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Bahasan selanjutnya yakni mengenai pilihan-pilihan yang diberikan

penutur (pembeli) kepada si mitra tutur (penjual). Pembeli juga memiliki hak

untuk meminta atau memberikan pilihan-pilihan baik itu mengenai dagangan si

penjual, harga dagangan si penjual, atau yang lainnya. Semakin banyak pilihan-

pilihan dalam tuturan yang dituturkan akan semakin santunlah tuturan tersebut,

begitu juga sebaliknya semakin minimnya pilihan-pilihan yang diberikan maka

akan semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Misalnya pada penekanan kalimat

berikut ini, “Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini

double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga

limaan” (analisis 35 DT 13), dan “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora

popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (analisis 36 DT 1). Penekanan

kalimat-kalimat tersebut menandakan bahwa makna dan maksud dari tuturan yang

dituturkan oleh penutur memberikan suatu pilihan-pilihan. Terdapat pilihan-

pilihan baik mengenai harga, ukuran, warna, dan jumlah pembelian dari dagangan

si mitra tutur (penjual). Tentu menurut skala pilihan milik Geoffrey Leech (1983)

tuturan dengan menggunakan penekanan atau penanda kalimat-kalimat tersebut

menjadikan tuturan itu dikategorikan ke dalam tuturan yang santun karena

terdapat banyak pilihan-pilihan di dalam tuturan si penutur (pembeli). Namun,

dalam tuturan pembeli saat transaksi jual beli dengan penjual juga terdapat tuturan

yang dianggap tidak santun dalam konteks skala pilihan ini. Pembeli (penutur) ada

juga yang tidak memberikan pilihan-pilihan. Misalnya saja, “Mas, yang

gambarnya lucu gitu lho, Mas” (analisis 37 DT 32). Penekanan pada kalimat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

218

tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Mengapa? Karena kalimat

tersebut menandakan bahwa tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan. Sesuai

dengan teori yang dianut, bahwa semakin tidak adanya pilihan-pilihan yang

diberikan, maka dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Hal ini lebih pada

pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi,

penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk

melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi,

maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Oleh

karena itu, penanda kalimat tersebut dalam percakapan jual beli pada DT 32

dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.

4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)

Pembahasan yang ketiga ini mengacu pada tuturan pembeli yang dilihat

dari skala ketidaklangsungan Leech. Aspek yang ketiga ini bahwa penutur harus

benar-benar memahami dan mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu

maksud tuturan kepada mitra tutur agar proses pertuturan yang tengah

dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki

cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakah

dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi

terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur

tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan (1994:87) menuliskan bahwa makin

tembus pandang atau makin jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah

ujaran tersebut dituturkan dan demikian pula sebaliknya. Penutur tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

219

diperbolehkan terang-terangan menyampaikan maksud dari tuturan yang

diucapkan, karena semakin langsung maksud dari tuturan itu tersebut terucap,

tentu tuturan itu menjadi semakin tidak santun, begitu juga sebaliknya apabila

semakin tidak langsung tuturan itu diucapkan maka semakin santunlah tuturan

tersebut. Sesuai dengan teori tersebut, dapat dicontohkan pada kalimat-kalimat

seperti ini, “Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?” (analisis 38 DT 10) dan “Dua

belas ribu? Sepuluh aja” (analisis 39 DT 18). Penekanan kalimat-kalimat tersebut

dalam tuturan si pembeli yang notabene sebagai penutur merupakan tuturan yang

bersifat tidak langsung. Pembeli tidak langsung mengungkapkan maksudnya

secara terang-terangan. Penutur berbasa-basi terlebih dahulu sebelum benar-benar

menyampaikan maksud dari tuturan yang akan ia tuturkan kepada si penjual.

Dengan begitu, tuturan tersebut dirasa santun. Berbeda dengan kalimat berikut ini,

“Nawar dua lima!” (analisis 41 DT 4) yang memperlihatkan bahwa penekanan

yang digunakan dalam tuturan pembeli itu bersifat langsung. Kalimat tersebut di

atas menandakan pembeli secara langsung menawar harga dagangan si penjual.

Penutur tidak berbasa-basi terlebih dahulu melainkan langsung menyampaikan

maksud dari tuturannya itu, sehingga tuturan dengan penekanan kalimat tersebut

dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini tentu sesuai dengan teori yang

digunakan oleh peneliti yaitu teori skala ketidaklangsungan Geoffrey Leech

(1983).

Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh

pembahasan tuturan pembeli baik yang santun maupun yang tidak santun.

Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

220

skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan

sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di

“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan penjual seperti data-data di atas

telah memperlihatkan kepada kita sebagai pembaca mengerti bagaimanakah

tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Ketiga bahasan dari masing-masing subjek penelitian di atas juga tidak

lepas dari analisis percakapan transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan

pembeli dalam sebuah tempat perbelanjaan juga dilihat dari sisi penggunaan

sapaan. Secara keseluruhan, penggunaan sapaan yang telah dianalisis dalam bab

analisis data menjelaskan bahwa sapaan yang digunakan dalam berkomunikasi

transaksi jual beli antara penutur dengan mitra tutur sudah tepat. Misalnya saja

penggunaan kata sapaan Bu, Dik (adik), Pak, Mas, dan Mbak (pasti terdapat dalam

semua data yang telah dianalisis oleh peneliti) yang memang terdapat dalam

percakapan jual beli di atas. Penggunaan sapaan ini tentu dilihat dari segi usia,

gender, hubungan kekerabatan, dll. Pemaparan penggunaan sapaan ini seperti

yang dikatakan oleh Chaer bahwa sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau

menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada

seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam

kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik

berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur berdasarkan rasional.

Jadi, penggunaan sapaan juga harus dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di

mana pembicaraan itu berlangsung, dan siapa yang diajak berkomunikasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

221

Selain sapaan, penggunaan alih kode dan campur kode juga dianggap

dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa seseorang. Seperti dalam

percakapan yang telah dianalisis, terdapat kata-kata atau kalimat-kalimat yang

menjadi penanda terjadinya alih kode dan campur kode. Misalnya saja dalam DT

17 yang dalam percakapannya menggunakan alih kode, yang awalnya penutur dan

mitra tutur berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia kemudian

penutur beralih menggunakan bahasa Jawa dan diikuti dengan tanggapan si mitra

tutur (pembeli) dengan menggunakan bahasa Jawa pula. Hal tersebut merupakan

contoh penggunaan alih kode dalam percakapan jual beli. Penanda penggunaan

alih kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik khususnya teori alih

kode yang menurut Appel (1976:79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina

(2010:107) mendefinisikan alih kode (code switching) itu sebagai gejala peralihan

pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan

contoh. Misalnya saja, berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa

dalam berkomunikasi berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Ada pula

contoh penggunaan campur kode yang terdapat dalam percakapan jual beli yang

dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Misalnya saja dalam kalimat, “Paling

besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M

single. M single yang ini, ini, sama yang ini” (DT 13). Dalam kalimat tersebut

telah ditandai dengan penanda campur kode yakni penggunaan bahasa Inggris,

seperti pada kata-kata yang telah dicetak tebal dalam kalimat di atas. Penanda

penggunaan campur kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik

khususnya teori campur kode yang menurut Nababan (1984:32) mengatakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

222

campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau

lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode

penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa

tertentu. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan

unsur bahasa lain ketika sedang berbicara.

Pembahasan-pembahasan di atas tentu terlihat jelas adanya tuturan

pembeli yang santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk

tuturan yang dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan

rusaknya tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak

hubungan yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Untuk menghindari

hal-hal tersebut, yang perlu diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat

kesantunan berbahasa dari penanda-penanda kesantunan, yakni pemakaian diksi

(pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari hasil analisis data, terdapat

beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan tidak santun sesuai dengan

kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi (pilihan kata) dan

pemakaian gaya bahasa tersebut.

4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan

4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)

Pemakaian diksi (pilihan kata) merupakan suatu penanda kesantunan yang

sangat penting untuk digunakan menganalisis tingkat kesantunan berbahasa dalam

penelitian ini. Dalam berkomunikasi, tentu harus benar-benar atau cermat dalam

memilih dan menggunakan kata untuk dituturkan. Jangan asal memilih dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

223

menggunakan kata dalam berkomunikasi. Jika hal tersebut terjadi, maka

komunikasi yang terjalin akan menjadi kacau dan maksud yang hendak

disampaikan penutur kepada mitra tutur tidak tersampaikan dengan baik.

Misalnya, kata apik (analisis 42 DT 1) dan kata iya (analisis 43 DT 17). Kata-kata

itulah yang sekiranya dapat mewakili pemilihan dan penggunaan diksi (pilihan

kata) dari berbagai percakapan yang dilakukan oleh penutur (pembeli) dan mitra

tutur (penjual) dalam konteks jual beli di emperan toko Malioboro Yogyakarta.

Kata-kata itu memiliki makna dan maksud yang sama, yakni menguntungkan diri

si mitra tuturnya (penjual). Dengan menekankan kata apik berarti penutur

memberikan suatu apresiasi terhadap dagangan si mitra tutur sehingga si mitra

tutur mendapatkan keuntungan dengan diapresiasikan dagangannya dan si penutur

dapat membeli dagangan si mitra tutur dengan jumlah yang lebih dari satu. Hal ini

tentu sangat menguntungkan dan menyenangkan si mitra tutur (penjual). Begitu

juga dengan kata iya yang menjadi sebuah tanda persetujuan bersama. Penutur

mengungkapkan kata iya untuk menguntungkan diri si mitra tutur terhadap

dagangannya. Persetujuan yang ditandai dengan kata iya menjadikan seuatu

keuntungan bagi si mitra tutur. Oleh karena itu, kata-kata yang menjadi penanda

kriteria pemakaian diksi (pilihan kata) di atas dimasukkan ke dalam tuturan yang

santun. Karena penekanan pada kata-kata itu selain menguntungkan diri si mitra

tutur juga termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yaitu memilih kata-kata yang

tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah, dapat dipahami oleh

mitra tutur, dan suasana yang terjalin menjadi baik dan nyaman. Akan tetapi ada

juga yang dalam komunikasinya, penutur tirasa kurang atau tidak tepat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

224

memilih dan menggunakan kata-kata. Dapat dibuktikan dengan kata-kata berikut

ini, elek (analisis 44 DT 31) dan mahal (analisis 45 DT 34). Kata elek dan mahal

jika kita lihat sepintas sudah terlihat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna

yang kurang baik atau kurang tepat dalam tuturan yang dituturkan penutur kepada

mitra tutur. Pemilihan dan penggunaan kata-kata itu dianggap kurang tepat karena

kata-kata tersebut termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yang kurang tepat

yaitu memilih kata-kata yang kurang/tidak tepat dan sesuai dan suasana yang

terjalin menjadi kacau, tidak baik dan tidak nyaman. Bahasan mengenai

pemakaian diksi (pilihan kata) di atas tentu mengacu pada teori pemakaian diksi

para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti menjadi dua sub yakni menggunakan

kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai. Dengan begitu, tuturan

yang dihasilkan baik penutur kepada mitra tutur maupun mitra tutur kepada

penutur dapat dilhat secara detail apakah kata-kata yang dipilih dan digunakan

sudah tepat dan layak atau tidak.

4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa

Setelah membahas mengenai penanda kesantunan yang pertama,

selanjutnya akan membahas mengenai penanda kesantunan yang kedua yakni

pemakaian gaya bahasa. Dalam berkomunikasi ada kalanya menggunakan gaya

bahasa dan ada kalanya juga tidak menggunakan aspek ini. Komunikasi

khususnya transaksi jual beli di sini menggunakan gaya bahasanya mengacu pada

tiga kriteria, yakni kejujuran, sopan santun, dan menarik. Dapat dicontohkan

dalam penggunaan kata berikut ini, napa (analisis 46 DT 10) dan aja (analisis 47

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

225

DT 18). Kata-kata tersebut dituturkan oleh penutur (pembeli) kepada mitra tutur

(penjual) dalam komunikasi jual beli. Penutur menggunakan kata napa yang

dalam bahasa Indonesianya berarti apa untuk bertanya mengenai warna dagangan

si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari

keuntungan saja, akan tetapi penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga

penutur menanyakan terlebih dahulu warna apa saja yang ada pada dagangan si

mitra tutur dengan menekankan kata napa agar si penutur dapat memilih

dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman. Begitu juga pada penggunaan

kata aja. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan penutur

terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah. Sehingga mitra

tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur. Penutur

menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat dan jelas,

penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur. Sehingga

tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan untuk

menangkap maksud dari tuturan si penutur. Dengan begitu, penekanan pada kata

napa dan aja termasuk dalam tiga kriteria pemakaian gaya bahasa, yakni penutur

tidak hanya mencari keuntungan saja, kata-kata yang digunakan tidak berbelit-

belit, menghormati mitra tutur, bertutur kata dengan singkat dan jelas, dan dapat

membuat suasana menjadi baik dan nyaman. Namun, ada juga tuturan pembeli

yang dirasa tidak memenuhi tiga kriteria pemakaian bahasa ini. Misalnya saja,

kono lho (analisis 48 DT 3) dan ndang (analisis 49 DT 8). Kata-kata ini sama-

sama memiliki makna menyuruh. Kata suruhan ini terlihat kurang sopan karena

kata kono lho dalam percakapan DT 3 dan kata ndang dalam percakapan DT 8

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

226

termasuk dalam kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra

tutur, serta kata tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ).

Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai

penjualnya. Penutur dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu

kepada mitra tutur. Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur

(PB). Hal itu dirasa sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu

pertuturan jual beli. Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur

hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat

berkomunikasi, dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan.

Pembahasan-pembahasan di atas telah membuka mata kita terhadap

bagaimanakah tingkat kesantunan penjual dan pembeli di emperan toko

Malioboro Yogyakarta. Kesantunan berbahasa ini tentu ditinjau dari konteksnya.

Tuturan yang dituturkan oleh penjual kepada pembeli harus disesuaikan dengan

konteks yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, dapat dilihat apakah tuturan yang

dituturkan baik oleh penjual maupun pembeli tersebut santun dan pas digunakan

atau tidak santun dan tidak layak digunakan dalam sebuah komunikasi jual beli.

Konteks merupakan salah satu komponen yang penting dalam situasi tutur.

Konteks didefinisikan sebagai aspek yang sangat berkaitan dengan lingkungan

fisik dan sosial sebuah tuturan, hal ini menurut Leech dalam Sudaryanto

(2009:119). Di samping itu, konteks merupakan sebuah konsep yang dinamis.

Maksud dari istilah dinamis disini adalah bahwa kenyataan dunia pasti akan selalu

berubah. Dalam arti luasnya memungkinkan partisipan tutur saling berinteraksi

dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

227

dimengerti (Sudaryanto, 2009:123). Konteks ini menjadi salah satu penentu

bagaimana suatu tuturan dapat dinilai santun atau tidak santun. Oleh karena itu,

gambaran orang lain yang sedang terjadi terhadap tingkat kesantunan pedagang

dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta belum tentu sama dan

benar dengan tuturan yang sedang terjadi antara penutur dan mitra tutur yang

sudah memahami dan mengerti dengan baik mengenai konteks pembicaraan yang

tengah berlangsung.

Setiap orang tentu mendambakan suatu tuturan yang menarik untuk

diungkapkan dan dituturkan kepada orang lain. Begitu pula dengan tuturan

pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta yang

muncul. Hal ini dikarenakan mereka berkeinginan agar tuturan yang terjadi antara

penutur dan mitra tutur menjadi mudah dipahami, efektif, dan santun untuk

digunakan dalam berkomunikasi. Pedagang dan pembeli di “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta memang bukanlah suatu komuniktas yang formal. Mereka

hanyalah sekelompok orang yang ingin menyambung hidup dengan berjualan di

sana. Karena tentu kita ketahui bersama bahwa wilayah Malioboro adalah pusat

perbelanjaan kota Yogyakarta. Jadi, mereka yang berjual beli di sana tidak lagi

memikirkan bahwa tuturan yang dituturkan baik penjual maupun pembeli tersebut

kurang baik dan kurang pas untuk didengar oleh orang lain, karena mereka semua

yang menjalani komunikasi jual beli di sana sudah merasa nyaman dengan bahasa

yang mereka gunakan setiap harinya.

Uraian tersebut di atas apabila dirangkum dapat dikatakan bahwa tuturan

yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur haruslah disesuaikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

228

dengan konteksnya, kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu

dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang

dituturkan. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke

dalam kategori tuturan yang santun atau tidak santun.

Secara keseluruhan, mulai dari awal pembahasan mengenai tingkat

kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta hingga

pembahasan mengenai konteks tuturan (kapan tuturan itu harus diucapkan, di

mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari

tuturan yang dituturkan) untuk menjawab rumusan masalah sudah dipaparkan

secara gamblang seperti yang sudah ada di atas. Hasil analisis dan pembahasan di

atas telah memberikan hasil bahwa tuturan pedagang yang santun tercatat 20

tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 tuturan. Begitu juga

dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16

tuturan dan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 tuturan. Hal ini telah

membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar

Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat

kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar

tergolong tidak santun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

229

BAB V

PENUTUP

Pada bab ini diuraikan dua hal, yaitu (1) simpulan dan (2) saran. Simpulan

berisi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran berisi hal-hal yang perlu

demi penelitian lanjutan.

5.1 Simpulan

Penelitian ini telah membahas dua masalah pokok, yaitu tingkat

kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan

tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Berdasarkan pada bab yang telah disajikan sebelumnya, diperoleh beberapa hal

yang dapat disimpulkan pada analisis ini. Secara rinci beberapa hal tersebut

diuraikan di bawah ini:

1. Terdapat tiga skala yang dapat digunakan untuk mengetahui dan

menganalisis bagaimanakah tingkat kesantunan suatu tuturan yang

dituturkan, khususnya dalam dua masalah pokok penelitian ini, yakni

tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Ketiga skala tersebut adalah (1) skala untung rugi, (2) skala

pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tiga skala ini merupakan skala

kesantunan milik Geoffrey Leech yang menjadi dasar analisis penelitian

ini. Jadi, apabila tuturan yang digunakan ingin terdengar santun, maka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

230

seorang penutur baik penjual maupun pembeli harus memerhatikan ketiga

skala tersebut sebelum bertutur kata atau berkomunikasi dengan mitra

tuturnya. Tidak lepas dari tiga skala tersebut, penutur dan mitra tutur juga

harus memerhatikan penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode

dalam berkomunikasi. Aspek-aspek ini tentu akan memengaruhi tuturan

yang tengah dikomunikasikan antara kedua partisipan tutur. Dan penutur

dan mitra tutur yang tengah berkomunikasi juga harus memerhatikan

konteksnya. Yang dimaksud dengan konteksnya di sini adalah kapan

tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan

tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan. Dengan

begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke dalam kategori

tuturan yang santun atau tidak santun.

2. Dalam beberapa tuturan pada data yang telah dianalisis oleh peneliti

ternyata terdapat dua hal yang perlu digunakan untuk menganalisis tingkat

kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

ini. Dua hal tersebut merupakan penanda-penanda tingkat kesantunan

berbahasa yang antara lain adalah (1) diksi: penggunaan kata yang tepat

dan menemukan bentuk yang sesuai dan (2) gaya bahasa: kejujuran, sopan

santun, dan menarik. Agar tuturan yang dihasilkan baik oleh penjual

maupun pembeli menjadi santun, tentu kedua hal ini tepat digunakan untuk

mengukur tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli melalui

kriteria-kriteria yang terdapat di dalam dua hal tersebut. Secara berurutan

kriteria-kriteria yang ada dalam dua hal tersebut di atas adalah penutur dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

231

mitra tutur mengerti akan penggunaan kata yang tepat, menemukan bentuk

yang sesuai, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Melalui kelima kriteria

tersebut, tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh penutur dan mitra tutur dapat

dikategorikan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun.

3. Ada banyak orang atau masyarakat yang menganggap bahwa tingkat

kesantunan berbahasa penjual dan pembeli sangatlah rendah. Hal ini

dikarenakan mereka menggunakan bahasa sehari-hari atau dapat dikatakan

menggunakan bahasa sesuka mereka dalam bertransaksi jual beli.

Penggunaan bahasa yang seperti inilah yang memunculkan anggapan

bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam

bertransaksi jual beli rendah. Ditambah pula dengan adanya anggapan

bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan

dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli itu sendiri. Dari anggapan

dan tanggapan banyak orang tersebut, kemudian peneliti dalam penelitian

ini menyimpulkan bahwa pandangan atau anggapan banyak orang

mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam

konteks transaksi jual beli ini salah. Hasil analisis di atas telah

membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”

trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan

tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta

sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun

tercatat 20 tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17

tuturan. Begitu juga dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

232

pembeli yang santun tercatat 16 tuturan dan tuturan pembeli yang tidak

santun tercatat 21 tuturan. Memang dalam analisis yang telah dilakukan

oleh peneliti dalam penelitian ini terdapat tuturan yang santun dan tidak

santun pada kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar

Malioboro ini, akan tetapi anggapan banyak orang yang mengatakan

bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan

tingkat kesantunan berbahasa pembeli dapat diluruskan bahwa berdasarkan

hasil analisisnya tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih

rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.

5.2 Saran

Penelitian ini tentu memiliki banyak keterbatasan dan jauh dari kata

sempurna. Oleh karena itu, peneliti memberikan empat saran, yaitu (1) saran

untuk penelitian lanjutan, (2) saran untuk guru, (3) saran untuk pelajar dan

mahasiswa, dan (4) saran untuk masyarakat pemakai bahasa. Keempat saran

tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan

a. Penelitian ini membahasa mengenai tingkat kesantunan berbahasa

pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat

kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.

Peneliti lain dapat lebih mengembangkan topik-topik tersebut secara

khusus dengan menguraikan tingkat-tingkat kesantunan berbahasa di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

233

setiap pedagang dan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta.

b. Penelitian ini hanya membahas dua hal, yakni tingkat kesantunan

berbahasa pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan

tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro

Yogyakarta. Apabila dilihat dari sisi pragmatik dan sosiopragmatik,

sebenarnya masih ada banyak aspek atau bidang yang belum dibahas,

khususnya dalam mengkaji tingkat kesantunan berbahasa. Oleh karena itu,

bagi peneliti lain atau pihak yang berminat untuk mengadakan penelitian

tentang bahasa, khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia

untuk melakukan penelitian sejenis. Bahasan dan bidang pragmatik dan

sosiopragmatik yang dibahas tentunya akan lain dari penelitian yang sudah

dibahas di dalam penelitian ini, misalnya mengenai tindak lokusi, ilokusi,

dan perlokusi, deiksis, implikatur, dan lain-lain.

5.2.2 Bagi Guru

Para guru dapat menjadikan contoh-contoh dalam penelitian ini sebagai

referensi dalam suatu pembelajaran mengenai wacana yang sesuai dengan materi

pembelajaran di sekolah, khususnya di sekolah menengah. Wacana ini dapat

dijadikan contoh untuk menjelaskan tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan

pembeli kepada para siswa sesuai dengan konteks pembelajaran yang ada. Dengan

begitu, guru sekaligus dapat menempatkan aspek-aspek kesantunan sebagai salah

satu indikator pembelajaran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

234

5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa

Para pelajar dan mahasiswa, khususnya mahasiswa bahasa dan sastra

Indonesia sebagai insan terdidik dapat mengenal dan memahami betapa

pentingnya aspek kesantunan dalam bertutur kata atau berkomunikasi.

Pemahaman mengenai tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini dapat

menjadi masukan bagi para pelajar dan mahasiswa agar dapat menerapkan aspek

kesantunan tuturan secara baik, tepat, pantas, dan bijak di dalam komunikasi

sehari-hari.

5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa

Bagi masyarakat pemakai bahasa, kesantunan tuturan suatu bahasa perlu

diperhatikan. Hal ini dikarenakan baik penutur maupun mitra tutur pasti

menginginkan untuk dihargai satu sama lainnya. Penelitian yang membahas

mengenai kesantunan berbahasa ini dapat digunakan untuk memberikan arahan

kepada msayarakat pemakai bahasa untuk bisa saling menghargai satu sama

lainnya melalui tuturan yang terjadi setiap hari di tengah masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

235

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan

Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Dalam Bambang

Kaswanti Purwo (Penyunting). PELLBA 7: Analisis Klausa, Pragmatik

Wacana, Pengkomputeran Bahasa. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha

Nasional.

_________________ . 1995. Sosiolinguistik: Sajian Tujuan, Pendekatan, dan

Problem-problemnya. Surabaya: Usaha Nasional.

Jamal. Artikel tentang “Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah

Sosiopragmatik Pengguna Bahasa di BDK Surabaya”.

Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.

Kesuma, Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.

Yogyakarta: Carasvatibooks.

Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.

_________________ . 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh

M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Pemanfaatannya. Jakarta:

Depdikbud.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nurastuti, Wiji. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media.

Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________________ . 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau

dari Aspek Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sana Dharma.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa.

Yogyakarta: Kanisisus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

236

Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

_________________. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:

Dioma.

_________________ . 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta: Erlangga

_________________ . 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.

Sarwoyo, Ventianus. 2009. “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan

Tuturan di Dalam Surat Kabar (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Skripsi.

Yogyakarta: PBSID Universitas Sanata Dharma.

Soewandi, A.M. Slamet. 2007. “Handout Penelitian Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia”. Yogyakarta:PBSID-FKIP Universitas Sanata Dharma.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:

Alfabeta.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Bandung.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.

_________________ dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana

Pragmatik, Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Yuma Pustaka.

Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

237

LAMPIRAN 1

DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR

MALIOBORO YOGYAKARTA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

238

DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR

MALIOBORO YOGYAKARTA

Keterangan :

PJ : Penjual

PB : Pembeli

1. DT 1 Pedagang Baju Anak-anak

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.28 WIB

PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat

warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).

2. DT 2 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.54 WIB

PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?

PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.

PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu)

PJ : Jadiinya tadi dua...

PB : Dua ratus sepuluh

PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

239

(PB menyerahkan uang ke PJ)

PJ : Uang kembali...

PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB)

PJ : Ini, makasih ya.

3. DT 3 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.55 WIB

PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek

enem arek piro?

(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini

enam mau berapa?)

PB1 : Hah?

PJ1 : Arek enem arek piro to kaose?

(Mau berapa kaosnya?)

PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro.

(Eee... Iya yang itu dua)

PJ2 : Sing endi? Oren?

(Yang mana? Jingga?)

PB1 : Sing ngene iki piro?

(Yang begini ini berapa?)

PJ1 : Telu lima

(Tiga lima)

PB1 : Ki telungatus pas ya?

(Ini tiga ratus pas ya?)

PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki.

Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah)

(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan

dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)

PB1 : Ndelok gambare aku.

(Lihat gambarnya aku)

PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.

(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)

PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.

(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)

PJ1 : Wis?

(Sudah)

PJ2 : Piro iki piro? Hah?

(Berapa ini berapa? Hah?)

PB1 : Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?

(Lha ini bordirnya dua)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

240

PB2 : Enem, pitu niku lho!

(Enam, tuju itu lho!)

PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh.

(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)

PB1 : Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!)

PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel)

(Ini bordir, Mbak)

PJ2 : Bordir bedo! (nada keras)

(Bordir beda!)

PB1 : Tambahi piro to?

(Tambah berapa?)

PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae.

(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja)

PB1 : 2.000 ya?

PJ1 : Ya Allah...

PB1 : Pun niki (sambil merengek)

(Sudah ini)

PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur

65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.

(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70,

hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak)

PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu

(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)

PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk. Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe

loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)

(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu,

dua. Beli di di sini sekali saja kok).

PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.

(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)

PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro!

(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)

PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel)

(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)

PJ2 : Selawe loro, sing ngene no!

(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)

PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing

murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna

pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa)

(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak

yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000

saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L)

PB1 : Ngge langganan lho, Pak.

(Buat langganan, Pak)

PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh

gedhe cilik tak kek‟i.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

241

(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling

sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)

PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L.

(Ukuran L, minta ukuran L)

PJ2 : L dewasa to kuwi?

(L dewasa kan itu?)

PB2 : L sak aku, Pak.

(L ukuran saya, Pak)

PJ2 : Ya ra entuk!

(Ya tidak dapat!)

PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak?

(Ini. Sudah tasnya, Pak?)

PB1 : Wis, makasih

(Sudah, terima kasih)

4. DT 4 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.11 WIB

PJ : Tiga puluh ya?

PB : Nawar dua lima, Bu.

PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.

5. DT 5 Pedagang Tas

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.14 WIB

PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima belas,

yang HP.

PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?

(Tas yang seperti ini berapa?)

PJ : Empat lima

PB2 : Kalau ini berapa?

PJ : Delapan puluh

PJ : Wo survei harga kok, Mbak‟e ki ! (menyindir)

(PB1 dan PB2 pergi)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

242

6. DT 6 Pedagang Dompet

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.18 WIB

PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.

PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.

PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)

PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas

harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu)

PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak

PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh.

Cowok cewek bisa.

(Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu)

PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh

PB : Ini?

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan.

Tinggal pilih, Mbak‟e.

(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh

lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu?

PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

7. DT 7 Pedagang Gantungan Kunci

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.22 WIB

PJ : Ini maksudnya gimana?

PB : Yang warna biru.

PJ : Ini campur-campur gitu?

PB : Iya, pengennya gitu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

243

PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh.

PB : Hah? (kaget)

PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!

PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.

PJ : Pinter nawar e.

(Pintar menawar ya)

PB : Tujuh belas.

PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.

PB : Emoh (merengek)

(Tidak mau)

PJ : Dua ribu lagi

PB : Dua ribu?

PJ : Ini baru enam belas.

PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)

PJ : Dua ribu!

PB : Seribu! (memaksa)

PJ : Ya udah ga papa

(Ya sudah tidak apa-apa)

8. DT 8 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.32 WIB

PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L?

(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?)

PJ : Ora enek. Gak ada.

(Tidak ada. Tidak ada)

PB : Terus tak tukokne warna opo yo?

(Terus saya belikan warna apa ya?)

PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain)

(Terima kasih. Terima kasih)

PB : Lha iki aku werno opo?

(Ini saya warna apa?)

PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.

(Yang biru ini saja. Biru ini lho)

PB : Endi?

(Mana?)

PJ : Iku lho.

(Ini lho)

PB : Elik iki birune.

(Jelek ini birunya)

PJ : Putih, item

(Putih, hitam)

PB : Putihe koyok ngopo?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

244

(Putihnya seperti apa?)

PJ : Putihe sing neng ngisor.

(Putihnya yang di bawah)

PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L.

(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L)

PJ : Harus itu? L putih?

PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa)

(Cepat, Mas carikan ini dulu!)

PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e.

(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S)

PB : Tak berantakke, Mas.

(Saya buat berantak, Mas)

PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung.

(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-tolong)

PB : Sing iki pasangane enek ora?

(Yang ini pasangannya ada tidak?)

PJ : Iki tulisane Jogja.

(Ini tulisannya Jogja)

9. DT 9 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.41 WIB

PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya?

PJ : Panjangnya gak ada.

PB : Ra ono, Mas?

(Tidak ada, Mas?)

PJ : Ya?

PB : Sing abang?

(Yang merah?)

PJ : Sing abang tugunya gak ada.

(Yang merah gambar tugunya tidak ada)

PB : Iki apa iki?

(Ini apa ini?)

PJ : Ini XLnya

PB : Tugune ra enek?

(Gambar tugunya tidak ada?)

PJ : Gak ada e, Ibu.

(Tidak ada, Ibu)

PB : Merah?

PJ : Itu L

PB : XL warnane opo wae? Modele?

(XL warnanya apa saja? Modelnya?)

PJ : Cream, kuning, biru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

245

PB : Iki ngisor?

(Ini yang bawah?)

PJ : Orange

(Jingga)

PB : Iki?

(Ini?)

PJ : Orange

(Jingga)

PB : Gak ada ini?

(Tidak ada ini?)

10. DT 10 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.44 WIB

PB : Pinten, Mbak ngeten niki?

(Berapa, Mbak ini?)

PJ : Empat puluh lima

PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?

(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)

PJ : Pasnya empat puluh

PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang pakaiannya)

(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)

PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.

PB : Telung puluh ya, Mbak?

(Tiga puluh ya, Mbak?)

PJ : Ndak boleh

(Tidak boleh)

PB : Ya sudah, makasih.

11. DT 11 Pedagang Daster

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.48 WIB

PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.

PB : Ini?

PJ : Enam lima. Berapa?

PB : Tiga puluh

PJ : Ambil berapa biji?

PB : Satu, Pak.

PJ : Udah empat puluh ya?

PB : Emoh. Tiga puluh.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

246

(Tidak mau. Tiga puluh)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB : Emoh

(Tidak mau)

PJ : Ya udah.

12. DT 12 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 16.53 WIB

PB : Piro iki, Bu?

(Berapa ini?)

PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon?

(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)

Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)

(Ini, Mbak)

PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)

13. DT 13 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.02 WIB

PB : Ini double?

PJ : Ini double XL

PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?

PJ : Ini ada yang XL?

PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?

PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB : Tiga tahun, ya laki-laki

PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah

coba.

PJ : Desainnya sama?

PB : Ini tadi kan?

PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double

XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.

PJ : Iya

PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?

PJ : L

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

247

PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?

PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PB : Double XLnya gak ada?

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada.

Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.

PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang

ini gambarnya apa?

PJ : Gambarnya sama

PB : Coba buka aja gambarnya apa.

PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PB : Yang L juga.

PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?

PJ : Jadinya 150

PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.

PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya

ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.

PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.

PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

14. DT 14 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.11 WIB

PB : Empat puluh ya?

PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju)

PB : Berarti sama ya ini?

PJ : Beda, Bu

PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu?

PJ : (menunjukkan bajunya)

PB : Ini paling gede?

PJ : Iya L

PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama?

PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa mengejek)

PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

248

15. DT 15 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.14 WIB

PB : Mas, ini sepasang ya?

PJ : Iya, Dik.

PB : Ini tadi dua berapa?

PJ : Tujuh puluh

PB : Dua, empat puluh, Mas.

PJ : Gak boleh!

PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)

16. DT 16 Pedagang Celana

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.17 WIB

PB : Dua puluh ribu aja ya, Pak?

PJ : Pas tiga puluh!

PB : Aaaahhh, Pak‟e iki lho (sambil merengek)

PJ : Sudah pas, Mbak ini (sambil membungkus). Makasih.

17. DT 17 Pedagang Tas

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.22 WIB

PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.

PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan

PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa)

PB : Suwun

(Terima kasih)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

249

18. DT 18 Pedagang Sandal

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.23 WIB

PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu

aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong

plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

19. DT 19 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.24 WIB

PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek.

Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?

PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik.

20. DT 20 Pedagang Sandal

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.28 WIB

PB : Tiga delapan (38), tiga tujuh (37). Atau yang model gini?

PJ : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi?

PB : Model ini?

PJ : Gak ada, tinggal satu e, Mbak.

PB : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak?

PJ : Ini tapi modelnya beda.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

250

21. DT 21 Pedagang Pigura

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.36 WIB

PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete tok

satus.

(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan tetapi

dalamnya saja seratus)

PB : Mas sing ngono kuwi?

(Mas yang itu berapa?)

PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang.

(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal)

PB : Sing ayat kursi?

(Yang ayat kursi?)

PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu?

(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?)

PB : Piro?

(Berapa?)

PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga

ratus ribu rupiah)

(Saya sudah begini)

PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang menandakan

harganya tiga ratus ribu rupiah)

(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)

PJ : Lha nek karo bapake benten

(Kalau sama bapaknya berbeda)

PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua jari

yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus

tapi rongatus?

(Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak

tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)

PJ : Wah dereng nek ngoten

(Wah belum kalau begitu)

PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji wae

kok Pak, dadine rongatus.

(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal

satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.

PJ : Telungatus

(Tiga ratus ribu)

PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene! (jengkel)

(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di sini!)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

251

22. DT 22 Pedagang Sandal

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.38 WIB

PB : Yang warnanya biru ada?

PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak gini.

(Hitam sama merah? Adanya ya seperti ini)

PB : Yang kayak gini, Bu?

(Yang seperti ini, Bu?)

PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning, Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32?

Ini sama ungu ya?

PB : Iya

PJ : Terima kasih.

23. DT 23 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.45 WIB

PB : Dua, dua puluh ya, Bu?

PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.

PB : Yo wis.

24. DT 24 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.17 WIB

PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Nawar aja bisa.

PB : Ini all size atau apa?

PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.

PB : Ada warna lain?

PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.

PB : Berapa?

PJ : Tiga puluh lima

PB : Ini aja. Berapa?

PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah

PB : Lima belas ya?

PJ : Bahannya bagus soalnya.

PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?

PJ : Udah murah, Ibu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

252

PB : Hehe ya ya.

25. DT 25 Pedagang Korek Api

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.24 WIB

PB : Berapa ini?

PJ : Empat puluh

PB : Berarti pasnya tiga puluh?

PJ : Tiga puluh gak ada e, Mas.

PB : Kalau pistol ini?

PJ : Delapan lima. Kalau yang ini enam lima, masih bisa kurang ini.

PB : Udah deh pasnya berapa?

PJ : Ya masnya nawar aja dulu

PB : Nawar tiga puluh, Mbak.

PJ : Tiga lima aja, Mas

PB : (pergi)

PJ : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes iki, Mas.

26. DT 26 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.30 WIB

PJ : Belum dapat, Mbak.

PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?

(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)

PJ : Hah?

PB : Sepuluh

PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau

sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek)

PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki

sepuluh ewu! (memaksa)

(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini

sepuluh ribu)

PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu.

PB : Piro iki?

(Berapa ini?)

PJ : Seratus empat puluh lima

PB : Gak dikorting?

(Tidak dikurangi harganya??

PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal

PB : Satus petang puluh lah, Pak?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

253

(Seratus empat puluhlah, Pak?)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB : (pergi)

PJ : Ya udah sini.

27. DT 27 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.37 WIB

PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih kabeh ngono?

(Yang hitam semua seperti ini ada? Putih semua begitu?)

PJ : Putihe namung kalih, Pak

(Putihnya hanya dua)

PB : Podo ukurane, Bu?

(Sama ukurannya?)

PJ : Inggih sami

28. DT 28 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.39 WIB

PB : Umur lima tahun

PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora

diwolak-walik, Le. (nada keras)

(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan

dibolak-balik)

PB : Berapa ini?

PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.

(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini

warnanya)

PB : Dua lima ya, Bu?

PJ : Telung puluh ya?

(Tiga puluh ribu ya?)

PB : Dua lima aja ya?

PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken

mengko. Nyoh ngko ndak lali!

(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan

nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

254

29. DT 29 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.41 WIB

PB : Enem tahun

(Enam tahun)

PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten.

(Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya

tidak)

PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?

(Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?)

PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso.

(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)

PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?

(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)

PJ : Sami

(Sama)

PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?

(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)

PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh.

(Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus

sepuluh)

PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!

(O seratus sepuluh. Seratus ya!)

PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal.

(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh)

PB : Satus ya, Bu?

(Seratus ya?)

PJ : Saestu, Pak

(Benar, Pak)

PB : Bathine lho wis akeh!

(Keuntungannya lho sudah banyak!)

PJ : Saestu sampun mirah niki

(Benar sudah murah ini)

30. DT 30 Pedagang Gantungan Kunci

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.46 WIB

PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?

PJ : O ya belum dapat, Le.

PB : Bolehnya berapa?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

255

PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?

PB : (melihat-lihat gantungan kunci)

PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!

(kasar sambil marah-marah)

PB : (pergi)

31. DT 31 Pedagang Daster

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.58 WIB

PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?

Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki!

(Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau

atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek ini!)

PJ : Iya tiga perempat

PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya?

(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar ya?)

PJ : Iya besar, Bu.

PB : Papat, satus ya, Mas?

(Empat, seratus ya?)

PJ : Belum boleh, Bu.

PB : Pas‟e piro?

(Pasnya berapa?)

PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya sudah!

PB : (pergi)

32. DT 32 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.04 WIB

PB : Ini berapa?

PJ : Empat puluh

PB : Gambare mana lagi?

PJ : Gambarnya ini aja!

PB : Gambar ceweknya gak ono?

PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu!

PB : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho (merengek)

PJ : Yang L ya?

PB : Iya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

256

33. DT 33 Pedagang Kaos Dagadu Jogja

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.21 WIB

PB : Ini berapa ini? Sama ya?

PJ : Ini dua lima

PB : Yowes ini aja L. Ndak mau merah katane, Pak.

(Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah katanya, Pak)

PJ : Sudah?

PB : Jangan sama.

PJ : Gambarnya pit onthel?

PB : Ini-ini?

PJ : Sama

PB : Ini XXL, Pak?

PJ : Iya, Mbak.

PB : Warna lain?

PJ : Warna lain cokelat.

34. DT 34 Pedagang Gelang

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.27 WIB

PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.

PB : Empat tahun bisa gak?

PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK

juga, Mbak.

PB : Iya. Berapa?

PJ : Empat lima aja!

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)

35. DT 35 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.28 WIB

PJ : Sekawan?

(Empat?)

PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki.

(Ya empat tahun yang sama ini)

PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak.

(Empat tahun kan? Seperti ini, Pak)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

257

PB : Warnane?

(Warnanya?)

PJ : Nggih namung niki warnane.

(Ya hanya ini warnanya)

PB : Model iki ra ono?

(Model ini tidak ada?)

PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten niki.

(Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini)

PB : Piro iki?

(Berapa ini?)

PJ : Sami mawon

(Sama saja)

PB : Seket to, Bu?

(Lima puluh kan?)

PJ : Nggih mboten napa-napa.

(Ya sudah tidak apa-apa)

PB : Lha iyo to?

(Lha iya kan?)

PJ : Nggih, Pak.

(Iya, Pak)

36. DT 36 Pedagang Gantungan Kunci

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.33 WIB

PJ : Ini warna-warni

PB : Ini berapa?

PJ : Dua puluh ribu

PB : Sepuluh

PJ : Kalau harganya pas tadinya dua lima. Gini aja deh, dua, dua lima.

PB : Sepuluh ya, Bu?

PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.

PB : Sepuluh ya?

PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis. Harga-harga mepet itu.

PB : Tiga, tiga puluh gak boleh?

PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas setengah kali tiga jadinya tiga tujuh

setengah.

PB : Tiga, tiga puluh ya?

PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang. Kalau tidak ya sudah. Sudah pas.

Sudah murah.

PB : (pergi)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

258

37. DT 37 Pedagang Baju

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.36 WIB

PB : Setelan cah cilik?

(Atas bawah anak kecil?)

PJ : Umur pinten?

(Umur berapa?)

PB : Limang tahun

(Lima tahun)

PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten, Bu?

(Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)

PB : Yo lumayan.

(Ya lumayan)

PJ : Sak menten?

(Ini?)

PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu.

(Lengan panjang, buat mengaji, Bu)

PJ : O lengen panjang? Mboten wonten nek lengen panjang. Njenengan tindak

mawon dateng toko (mengejek)

(O lengan panjang? Tidak ada kalau lengan panjang. Anda pergi ke toko

saja).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

259

LAMPIRAN 2

TABULASI DAN TRIANGULASI DATA

TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR

MALIOBORO YOGYAKARTA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

260

TABULASI DAN TRIANGULASI

DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA

Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator yang

dipercaya untuk memeriksa data peneliti adalah penyidik yang memiliki kemampuan dalam bidang sosiopragmatik, yakni Dr. B. Widharyanto, M.Pd.

Rumusan Masalah :

Masalah umum penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini

kemudian dirinci dalam dua sub masalah berikut ini.

3) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta?

4) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta?

Perintah :

Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Kemudian triangulator

memberikan justifikasi berupa pernyataan setuju atau tidak setuju pada kolom yang telah disediakan oleh peneliti.

Kriteria :

Santun :

U-R : Skala Untung Rugi : Penutur menguntungkan mitra tutur.

S-P : Skala Pilihan : Penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur dapat memilih.

S-KL : Skala Ketidaklangsungan : Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat tidak langsung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

261

Tidak Santun :

U-R : Skala Untung Rugi : Penutur merugikan mitra tutur.

S-P : Skala Pilihan : Penutur tidak memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur tidak dapat memilih.

S-KL : Skala Ketidaklangsungan : Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat langsung.

Keterangan :

U-R : Skala Untung Rugi S : Santun PJ : Penjual (warna merah)

S-P : Skala Pilihan TS : Tidak Santun PB : Pembeli (warna biru)

S-KL : Skala Ketidaklangsungan

No. Data Konteks

Skala

Kesantunan

Pemakaian Bahasa Justifikasi

Triangulator

S / TS Bahasa Jawa Bahasa

Indonesia PJ PB Ngoko Krama PJ PB

1. PB1 : Warnane sik endi?

(Warnanya yang mana?)

PB2 : Iki yo apik warnane.

(Ini ya bagus warnanya)

PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to.

Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.

(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-

apa. Yang ini ya? Sebentar lihat

warnanya)

PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?

(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah

muda atau hijau?)

PB2 : Putih e...

PJ : Putih?

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.28 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju anak-anak

kepada pembeli. Penutur (penjual)

adalah laki-laki tengah baya

sedangkan mitra tutur (pembeli)

adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ memberikan

keuntungan kepada PB apabila

tidak cukup boleh ditukarkan.

U-R S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

262

PB1 : Tapi mosok sedeng?

(Tapi apa cukup?)

PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk

diijolke, Bu.

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok

ditukarkan).

Dapat dibuktikan dengan tuturan PJ

yang mengatakan, “Sedeng-sedeng.

Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu”

(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup

besok ditukarkan).

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dengan

leluasa terhadap dagangan PJ.

Dapat dibuktikan dengan tuturan

PB yang menandakan bahwa PB

sedang memilih dagangan PJ, “Iki

yo apik warnane. Ya wis, kabeh

loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik

ndeleng warnane, Mas”.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki tengah baya dan “Bu”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang ibu-ibu.

DT 1 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa dan

bahasa Inggris (pink).

2. PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?

PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.

PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar

juga kok! (sambil menggerutu)

PJ : Jadiinya tadi dua...

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.54 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

263

PB : Dua ratus sepuluh

PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh

delapan.

(PB menyerahkan uang ke PJ)

PJ : Uang kembali...

PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke

PB)

PJ : Ini, makasih ya.

seorang pedagang kaos Dagadu

Jogja kepada pembeli. Penutur

(penjual) adalah orang dewasa

berjenis kelamin laki-laki

sedangkan mitra tutur (pembeli)

adalah seorang wanita muda.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

merugikan PB. Penekanan kata

„pas‟ menandakan bahwa PB tidak

dapat menawar kembali dagangan

PJ. Sehingga muncul tanggapan PB

yang sedikit marah.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB memperlihatkan

rasa kecewa dan merasa dirugikan

terhadap tuturan PJ sehingga dapat

dilihat dari tuturannya, PB terlihat

marah. Seharusnya walaupun PB

merasa kecewa atau dirugikan tidak

berkata demikian.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki dewasa dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang wanita tengah

baya.

DT 2 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

264

dan bahasa Jawa (ya wis iki

wae).

3. PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke

wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem

arek piro?

(...tiga, empat, lima, enam. Saya

masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini

enam mau berapa?)

PB1 : Hah?

PJ1 : Arek enem arek piro to kaose?

(Mau berapa kaosnya?)

PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro.

(Eee... Iya yang itu dua)

PJ2 : Sing endi? Oren?

(Yang mana? Jingga?)

PB1 : Sing ngene iki piro?

(Yang begini ini berapa?)

PJ1 : Telu lima

(Tiga lima)

PB1 : Ki telungatus pas ya?

(Ini tiga ratus pas ya?)

PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane

larang. Iki lho, sampeyan ojo

dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-

iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-

marah)

(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho

harganya mahal. Ini lho, Anda jangan

dibuka-buka. Saya tidak mau

memasukkan. Ini XL, XL segini)

PB1 : Ndelok gambare aku.

(Lihat gambarnya aku)

PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 13.55 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos dagadu

kepada pembeli. Data diambil dari

dua penutur dan dua mitra tutur.

Keduanya saling tawar-menawar.

Penutur adalah laki-laki dewasa dan

wanita dewasa, sedangkan mitra

tutur adalah sama-sama wanita

muda. Tuturan di atas

memperlihatkan bahwa PB

dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat

pada tuturan PJ yang kasar kepada

PB sehingga tuturan tersebut sangat

merugikan PB. Tuturan yang tidak

sopan juga terlihat dari kata-kata

„sampeyan‟ lalu ngoko.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB memaksa PJ.

Sapaan: “Pak dan Bu”

digunakan sebagai sapaan

penutur (penjual) yang notabene

adalah seorang laki-laki dewasa

dan wanita dewasa dan “Mbak

dan Bu” digunakan sebagai

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

265

Kesel aku.

(Masukkan sendiri ya. Masukkan

sendiri ya. Capek saya)

PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.

(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)

PJ1 : Wis?

(Sudah)

PJ2 : Piro iki piro? Hah?

(Berapa ini berapa? Hah?)

PB1 : Enam, pitu

(Enam, tujuh)

PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya.

Satu, dua, tiga, empat, lima ya?

(Lha ini bordirnya dua)

PB2 : Enem, pitu niku lho!

(Enam, tuju itu lho!)

PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh.

(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)

PB1 : Lha iyo lima dua ratus to!

(Lha iya lima dua ratus kan!)

PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel)

(Ini bordir, Mbak)

PJ2 : Bordir bedo! (nada keras)

(Bordir beda!)

PB1 : Tambahi piro to?

(Tambah berapa?)

PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu

wae.

(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu

saja)

PB1 : 2.000 ya?

PJ1 : Ya Allah...

PB1 : Pun niki (sambil merengek)

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah seorang

wanita muda dan wanita

dewasa.

DT 3 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa dan

bahasa Inggris (pink).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

266

(Sudah ini)

PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon

wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65.

Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.

(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon

saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya

65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya,

Mbak)

PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu

(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)

PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk.

Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe

loro. Tuku neng kene pisan kok

(sambil marah-marah)

(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu,

Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua.

Beli di di sini sekali saja kok).

PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro.

Dadine pitu.

(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya

dua. Jadinya tuju)

PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro!

(Lha iya tambah yang dua puluh lima

ribuan dua)

PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel)

(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)

PJ2 : Selawe loro, sing ngene no!

(Dua puluh lima ribuan yang seperti

ini!)

PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe

loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing

murah mawon. Selawe loro, nambahi

20.000 karekkan. Kono lho warna pink

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

267

apa ndek kono ukuran L (marah-

marah dan sedikit memaksa)

(Lha iya yang murah itu lho dua puluh

lima ribuan dua. Saya minta tidak yang

bagus. Yang murah saja. Dua puluh

lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja.

Sana itu warna merah muda atau yang

di situ ukuran L)

PB1 : Ngge langganan lho, Pak.

(Buat langganan, Pak)

PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono

saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe

cilik tak kek‟i.

(Buat langganan kalau dua puluh lima

ribu dua tidak ada sekarang. Paling

sedikit lima belas, baik besar kecil

saya berikan)

PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L.

(Ukuran L, minta ukuran L)

PJ2 : L dewasa to kuwi?

(L dewasa kan itu?)

PB2 : L sak aku, Pak.

(L ukuran saya, Pak)

PJ2 : Ya ra entuk!

(Ya tidak dapat!)

PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak?

(Ini. Sudah tasnya, Pak?)

PB1 : Wis, makasih

(Sudah, terima kasih)

4. PJ : Tiga puluh ya?

PB : Nawar dua lima, Bu.

PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.11 WIB

U-R S-KL S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

268

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah ibu-ibu

sedangkan mitra tutur adalah anak

remaja yang berjenis kelamin

perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ memberikan

keuntungan kepada PB dengan

memberikan dagangannya sesuai

dengan penawaran PB. Jadi tuturan

ini termasuk dalam tuturan yang

santun karena menguntungkan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB secara langsung

menawar tanpa adanya komunikasi

yang dibangun sebelumnya.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang ibu-ibu

dan “Dik” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah seorang

anak remaja yang berjenis

kelamin perempuan.

DT 4 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (ya wis, oke-

oke).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

269

5. PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon

soalnya. Kalau yang itu lima belas, yang

HP.

PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?

(Tas yang seperti ini berapa?)

PJ : Empat lima

PB2 : Kalau ini berapa?

PJ : Delapan puluh

PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki !

(menyindir)

(PB1 dan PB2 pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.14 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang tas kepada

pembeli. Penutur dan mitra tutur

sama-sama wanita tengah baya.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ sangat tidak sopan dan

sangat merugikan PB sehingga PB

langsung pergi setelah mendengar

tuturan PJ. Tuturan PJ juga terlihat

kasar dengan gaya menyindir.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dan

menanyakan harga dari dagangan

PJ.

Sapaan: “Mbak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

dan mitra tutur (pembeli) yang

notabene adalah sama-sama

seorang wanita tengah baya.

DT 5 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (Wo survei

harga kok, Mbak‟e ki !).

U-R S-P TS

Setuju

S

Setuju

6. PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu,

dua, tiga ini.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

S-P U-R S

S

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

270

PB : Ini?

PJ : Itu mahal itu.

PB : Ini gak boleh dua lima?

(Ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-

tujuh puluh harganya.

PB : Mahal ya

PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi

tiga limaan.

(Memang mahal. Yang murah yang itu

tadi tiga puluh lima ribuan)

PB : Yang ini gak boleh dua lima?

(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)

PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima

boleh. Itu lima puluhan ke atas

hargane.

(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima

boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas

harganya)

PB : Nanti ambilnya dua (merayu)

PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak

PB : Yah...

PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu

tiga lima. Yang ini seratus dua puluh.

Cowok cewek bisa.

(Memang mahal. Banyak pilihannya itu

yang tiga puluh lima ribu)

PB : Ini berapa?

PJ : Itu sembilan puluh

PB : Ini?

PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik

paling murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan. Tinggal pilih, Mbak’e.

Pukul : 15.18 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang dompet kepada

pembeli. Penutur adalah orang

dewasa berjenis perempuan,

sedangkan mitra tutur adalah

wanita tengah baya. PJ dan PB

sama-sama berjenis kelamin

perempuan. Hanya usia saja yang

membedakan di antara keduanya.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

sedang memberikan pilihan-pilihan

atas dagangannya kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB sedikit merayu PJ dan

hal tersebut dapat menguntungkan

mitra tuturnya.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang wanita

dewasa dan “Mbak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

seorang wanita tengah baya.

DT 6 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (Iki sik paling

murah. Satu, dua, tiga, tiga

limaan).

Setuju Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

271

(Itu sembilan puluh sama. Ini yang

paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh

lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)

PB : Yang mana, Bu?

PJ : Itu. Satu, dua, tiga.

7. PJ : Ini maksudnya gimana?

PB : Yang warna biru.

PJ : Ini campur-campur gitu?

PB : Iya, pengennya gitu.

PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang.

Ini dua puluh.

PB : Hah? (kaget)

PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!

PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.

PJ : Pinter nawar e.

(Pintar menawar ya)

PB : Tujuh belas.

PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.

PB : Emoh (merengek)

(Tidak mau)

PJ : Dua ribu lagi

PB : Dua ribu?

PJ : Ini baru enam belas.

PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas.

Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)

PJ : Dua ribu!

PB : Seribu! (memaksa)

PJ : Ya udah ga papa

(Ya sudah tidak apa-apa)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.22 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang gantungan kunci

kepada pembeli. Penutur (penjual)

adalah orang dewasa berjenis

kelamin laki-laki sedangkan mitra

tutur (pembeli) adalah anak remaja

yang berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa PB

sangat pandai menawar sehingga PJ

tidak sanggup lagi untuk

menyangkal tawaran harga dari PB

dan pada akhirnya PJ menyetujui

hasil tawaran dari PB. Hal tersebut

menandakan bahwa tuturan PJ

menguntungkan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB menawar dagangan PJ

dengan memaksa sehingga hal

tersebut merugikan PJ walaupun PJ

tetap memberikan dagangannya

U-R U-R S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

272

kepada PB.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah orang

dewasa yang berjenis kelamin

laki-laki dan “Mbak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

anak remaja yang berjenis

kelamin perempuan.

DT 7 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (Pinter nawar

e).

8. PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek

sing L?

(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada

yang L?)

PJ : Ora enek. Gak ada.

(Tidak ada. Tidak ada)

PB : Terus tak tukokne warna opo yo?

(Terus saya belikan warna apa ya?)

PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual

kepada pembeli lain)

(Terima kasih. Terima kasih)

PB : Lha iki aku werno opo?

(Ini saya warna apa?)

PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.

(Yang biru ini saja. Biru ini lho)

PB : Endi?

(Mana?)

PJ : Iku lho.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.32 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos Dagadu

Jogja kepada pembeli. Penutur

(penjual) adalah laki-laki tengah

baya sedangkan mitra tutur

(pembeli) adalah anak remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

memberikan pilihan-pilihan warna

kaos kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

S-P U-R S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

273

(Ini lho)

PB : Elik iki birune.

(Jelek ini birunya)

PJ : Putih, item

(Putih, hitam)

PB : Putihe koyok ngopo?

(Putihnya seperti apa?)

PJ : Putihe sing neng ngisor.

(Putihnya yang di bawah)

PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke

sing L.

(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan

yang L)

PJ : Harus itu? L putih?

PB : Ndang, Mas golekke iki sik!

(memaksa)

(Cepat, Mas carikan ini dulu!)

PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M

lho. Sing ngisor kuwi S e.

(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L.

Itu M lho. Yang bawah itu S)

PB : Tak berantakke, Mas.

(Saya buat berantak, Mas)

PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene

kene. Sing iku tulung-tulung.

(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini

biar di sini. Yang itu tolong-tolong)

PB : Sing iki pasangane enek ora?

(Yang ini pasangannya ada tidak?)

PJ : Iki tulisane Jogja.

(Ini tulisannya Jogja)

karena tuturan PB terlihat tidak

sopan dan sedikit memaksa.

Penekanan kata „ndang‟ inilah yang

dirasa mempengaruhi kalimatnya

menjadi kurang sopan. Jadi terlihat

menyuruh dengan sedikit memaksa.

Alangkah baiknya apabila tuturan

PB diubah menjadi, “Tolong, saya

dicarikan yang ini dulu, Mas”

dalam bahasa Jawanya, “Tulung,

aku digolekke sing iki dhisik, Mas”.

Penekanan kata „ndang‟ diganti

dengan kata „tolong‟ sehingga

terlihat sopan.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah laki-laki

tengah baya dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah remaja yang berjenis

kelamin perempuan.

DT 8 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa dan

bahasa Indonesia (Terima kasih.

Matur suwun, Ora enek. Gak

ada).

9. PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya? Tuturan terjadi pada: S-P S-P TS TS

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

274

PJ : Panjangnya gak ada.

PB : Ra ono, Mas?

(Tidak ada, Mas?)

PJ : Ya?

PB : Sing abang?

(Yang merah?)

PJ : Sing abang tugunya gak ada.

(Yang merah gambar tugunya tidak

ada)

PB : Iki apa iki?

(Ini apa ini?)

PJ : Ini XLnya

PB : Tugune ra enek?

(Gambar tugunya tidak ada?)

PJ : Gak ada e, Ibu.

(Tidak ada, Ibu)

PB : Merah?

PJ : Itu L

PB : XL warnane opo wae? Modele?

(XL warnanya apa saja? Modelnya?)

PJ : Cream, kuning, biru.

PB : Iki ngisor?

(Ini yang bawah?)

PJ : Orange

(Jingga)

PB : Iki?

(Ini?)

PJ : Orange

(Jingga)

PB : Gak ada ini?

(Tidak ada ini?)

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.41 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos Dagadu

Jogja kepada pembeli. Penutur

(penjual) adalah laki-laki tengah

baya sedangkan mitra tutur

(pembeli) adalah seorang ibu-ibu.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

tidak dapat memberikan pilihan-

pilihan-pilihan kaos kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB tidak dapat memilih

dagangan PJ.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah laki-laki

tengah baya dan “Ibu”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang ibu-ibu.

DT 9 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa, bahasa

Indonesia, dan bahasa Inggris

(cream, orange).

Setuju

Setuju

10. PB : Pinten, Mbak ngeten niki? Tuturan terjadi pada: U-R S-KL TS S

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

275

(Berapa, Mbak ini?)

PJ : Empat puluh lima

PB : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?

(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)

PJ : Pasnya empat puluh

PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to?

(sambil memegang pakaiannya)

(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini

kaos ya?)

PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.

PB : Telung puluh ya, Mbak?

(Tiga puluh ya, Mbak?)

PJ : Ndak boleh

(Tidak boleh)

PB : Ya sudah, makasih.

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.44 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos Dagadu

Jogja kepada pembeli. Penutur

(penjual) adalah seorang wanita

yang masih muda sedangkan mitra

tutur (pembeli) adalah seorang ibu-

ibu. Tuturan ini menandakan bahwa

PJ memberikan harga pas kepada

PB sehingga PB menawar pun tetap

tidak diberikan. Hal tersebut dirasa

merugikan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak secara langsung

menawar harga dagangan PJ. PB

bertanya mengenai warna dahulu,

baru menawar harga pasnya.

Sapaan: “Mbak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah wanita

yang masih muda dan “Bu”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang ibu-ibu.

DT 10 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

Setuju

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

276

11. PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.

PB : Ini?

PJ : Enam lima. Berapa?

PB : Tiga puluh

PJ : Ambil berapa biji?

PB : Satu, Pak.

PJ : Udah empat puluh ya?

PB : Emoh. Tiga puluh.

(Tidak mau. Tiga puluh)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB : Emoh

(Tidak mau)

PJ : Ya udah.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Minggu, 16 Maret 2014

Pukul : 15.48 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang daster kepada

pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa

dan PB adalah wanita muda yang

berhijab. PB menawar setengah

harga lebih dari yang ditawarkan

oleh PJ. PJ mencoba untuk

menurunkan harga tawarannya

akan tetapi PB tetap pada harga

tawarannya. Akhirnya PJ

memberikan harga tawaran PB. Hal

ini dipandang sebagai tuturan yang

santun karena menguntungkan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena dengan penekanan kata

„emoh‟, PB terlihat sedikit

memaksa untuk mendapatkan harga

penawarannya sehingga PJ tidak

dapat menolak tawaran harga PB.

Hal tersebut dinilai bahwa PB

merugikan PJ.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah laki-laki

dewasa dan “Mbak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

U-R U-R S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

277

(pembeli) yang notabene adalah

seorang wanita muda.

DT 11 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (emoh).

12. PB : Piro iki, Bu?

(Berapa ini?)

PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki

uangnya mboten wonten sing pas

mawon?

(Lima belas ribu saja. Mbak, ini

uangnya tidak ada yang pas saja?)

Niki, Mbak (sambil menyerahkan

barang)

(Ini, Mbak)

PB : Yo (menjawab singkat dan langsung

pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 16.53 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah ibu-ibu

sedangkan mitra tutur adalah

wanita tengah baya. Data 12 ini

menunjukkan bahwa tuturan PJ

bersifat tidak langsung. PJ bertanya

dahulu kepada PB apakah ada uang

yang pas saja sebelum

menyerahkan barang dagangan

kepada PB. Penggunaan bahasa

krama pada tuturan PJ ini

menjadikan tuturan yang diucapkan

terlihat sopan, sehingga tuturan PJ

dinilai sebagai tuturan yang santun.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB menjawab secara

langsung dan singkat. Penekanan

kata „yo‟ sepertinya dirasa kurang

sopan. Sebenarnya kata „yo‟ baik

digunakan apabila diikuti dengan

S-KL S-KL S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

278

ucapan „terima kasih‟ itu akan

terlihat lebih sopan.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah wanita dewasa

dan “Mbak” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah seorang

wanita tengah baya.

DT 12 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa dan

bahasa Indonesia (uangnya).

13. PB : Ini double?

PJ : Ini double XL

PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?

PJ : Ini ada yang XL?

PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat

mamas?

PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?

PB : Tiga tahun, ya laki-laki

PJ : Ini ukuran L dan M

PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah

tadi. Ini double XLnya yang merah coba.

PJ : Desainnya sama?

PB : Ini tadi kan?

PJ : Ini L

PB : Double XLnya berarti yang kuning

ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini

double XL kan?

PJ : Iya. Yang kayak gini juga

PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini

satu. Berarti ini tiga limaan.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.02 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah wanita

tengah baya sedangkan mitra tutur

adalah wanita dewasa. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ memberikan

pilihan-pilihan ukuran kaosnya

kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan

PJ.

Sapaan: “Mbak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

S-P S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

279

PJ : Iya

PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?

PJ : L

PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak

yang L?

PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.

PB : Double XLnya gak ada?

PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak

paling besar double XL. M couple gak

ada. Adanya M single. M single yang

ini, ini, sama yang ini.

PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling

gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini

gambarnya apa?

PJ : Gambarnya sama

PB : Coba buka aja gambarnya apa.

PJ : Ukurannya apa, Mbak?

PB : Yang L juga.

PJ : Yang ini?

PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh,

dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?

PJ : Jadinya 150

PB : Aku kepengen kembaran sama anak-

anakku nih yang merah.

PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.

PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending

cowok ya, yang maksudnya ukurannya.

PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.

PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu

ngepres.

PJ : Berarti yang gambarnya cowok?

PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.

dan mitra tutur (pembeli) yang

notabene sama-sama adalah

wanita tengah baya.

DT 13 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia,

bahasa Jawa, dan bahasa Inggris

(couple, single, double).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

280

14. PB : Empat puluh ya?

PJ : (langsung menganggukkan kepala

sebagai tanda setuju)

PB : Berarti sama ya ini?

PJ : Beda, Bu

PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang

paling besar ini, Bu?

PJ : (menunjukkan bajunya)

PB : Ini paling gede?

PJ : Iya L

PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang

lain-lain? Berapa ini? Sama?

PJ : Kalau itu beda e harganya, lima

puluh yang itu, (sambil tertawa

mengejek)

PB : Harusnya samalah! (nada memaksa

dan langsung pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.11 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur dan mitra tutur

sama-sama adalah wanita dewasa.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

merugikan diri mitra tuturnya, hal

itu terlihat pada tuturannya yang

mengejek PB sehingga PB terkesan

marah dan langsung pergi.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun.

Selain marah karena tuturan dari PJ

yang mengejek, tuturan PB juga

terlihat memaksakan PJ untuk

menyamakan harga dagangannya.

Hal itu dinilai merugikan mitra

tuturnya.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) dan

pembeli yang notabene sama-

sama seorang wanita dewasa.

DT 14 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

15. PB : Mas, ini sepasang ya?

PJ : Iya, Dik.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

U-R U-R TS

TS

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

281

PB : Ini tadi dua berapa?

PJ : Tujuh puluh

PB : Dua, empat puluh, Mas.

PJ : Gak boleh!

PB : Ya ampun, Mas’e ki lho jan-jan

(sambil menggerutu dan langsung

pergi)

Pukul : 17.14 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki tengah baya sedangkan

mitra tutur adalah seorang remaja

yang berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ merugikan PB. Terlihat

dari tanggapan PB yang

menggerutu. Hal ini dikarenakan

tuturan PJ yang dirasa kurang

sopan. Alangkah baiknya apabila

kata „gak boleh‟ diganti dengan

kata „maaf, belum boleh‟ sehingga

dapat terlihat lebih sopan.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB terlihat seperti

memberikan penilaian terhadap diri

PJ yang kurang baik. Hal ini dapat

dilihat pada tekanan kata „jan jan‟

yang seolah-olah PJ terlihat tidak

baik. Tuturan yang diucapkan PB

ini terlihat karena PB juga merasa

dirugikan oleh tuturan PJ yang

sebelumnya.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

Setuju Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

282

laki-laki tengah baya dan “Dik”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

DT 15 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (Mas‟e ki lho).

16. PB : Dua puluh ribu aja ya, Pak?

PJ : Pas tiga puluh!

PB : Aaaahhh, Pak’e iki lho (sambil

merengek)

PJ : Sudah pas, Mbak ini (sambil

membungkus). Makasih.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.17 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang celana kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

pria dewasa (bapak-bapak)

sedangkan mitra tutur adalah

seorang remaja yang berjenis

kelamin perempuan. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ sudah

memberikan harga pas pada

dagangannya sehingga PB tidak

dapat menawar kembali dagangan

PJ. Hal ini dinilai merugikan PB

(terlihat dari tanggapan PB).

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB dirasa tidak

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

283

pantas digunakan dalam konteks

jual beli. Ditambah dengan nada

merengek yang dirasa kurang

sopan.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

pria dewasa dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

DT 16 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (Pak‟e iki lho).

17. PB : Dikurangi ya, Bu?

PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.

PB : Lima puluh?

PJ : Tambah dua ribu lima ratus

PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan

PJ : Iyo wes gak apa-apa.

(Iya sudah, tidak apa-apa)

PB : Suwun

(Terima kasih)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.22 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang tas kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ bersifat tidak langsung.

PJ tidak langsung memberikan

harga pas kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

S-KL U-R S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

284

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB menguntungkan PJ

dengan menyetujui dan menambah

uang.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang wanita

dewasa dan “Dik” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

seorang remaja yang berjenis

kelamin perempuan.

DT 17 menggunakan alih kode,

yakni dari bahasa Indonesia ke

bahasa Jawa.

18. PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Pas aja dua belas ribu

PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.

PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua

belas aja. Kalo beli dua, dua puluh

tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu

kan, Dik? (sambil memasukkan

barang ke kantong plastik)

PJ : Makasih ya.

PB : Sami-sami, Pak.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.23 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang sandal kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

memberikan keuntungan kepada

PB dengan mengurangi harganya

apabila membeli 2 sandal.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

U-R S-KL S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

285

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak secara langsung

menawar harga dagangan PJ.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki dewasa dan “Dik”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

DT 18 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (sami-sami,

Pak).

19. PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo

yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek.

Bisa kurang sedikit.

PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?

PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini

kembaliannya. Makasih ya, Dik.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.24 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang remaja yang

berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

memberikan pilihan kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

S-P U-R S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

286

karena PB menguntungkan PJ

dengan harga tawaran PB.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang wanita

dewasa dan “Dik” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

seorang remaja yang berjenis

kelamin perempuan.

DT 19 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa Ngoko (sing

mana dan biru iki).

20. PB : Tiga delapan (38), tiga tujuh (37).

Atau yang model gini?

PJ : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi?

PB : Model ini?

PJ : Gak ada, tinggal satu e, Mbak.

PB : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak?

PJ : Ini tapi modelnya beda.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.28 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang sandal kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki dewasa sedangkan mitra

tutur adalah wanita tengah baya.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ bersifat tidak langsung.

PJ menanggapi tuturan dari si PJ.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan

PJ.

S-KL S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

287

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki dewasa dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah wanita tengah baya.

DT 20 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

21. PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha

repot, tak lepaske namung lebete tok

satus.

(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau

dibawa repot, saya lepaskan tetapi

dalamnya saja seratus)

PB : Mas sing ngono kuwi?

(Mas yang itu berapa?)

PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik

malah larang.

(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil

mahal)

PB : Sing ayat kursi?

(Yang ayat kursi?)

PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi?

Napa sing nika bentuk semar, Bu?

(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa

yang itu bentuk semar?)

PB : Piro?

(Berapa?)

PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.36 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang pigura kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki tua sedangkan mitra tutur

adalah wanita dewasa. Tuturan ini

menandakan bahwa PJ merugikan

PB. Hal itu terlihat dari tanggapan

tuturan si PB.

PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku

wingi yo wis tuku neng kene

(jengkel)

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB dianggap tidak

sopan. Hal ini mungkin terjadi

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

288

yang menandakan harganya tiga ratus

ribu rupiah)

(Saya sudah begini)

PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene

(menunjukkan tiga jari yang menandakan

harganya tiga ratus ribu rupiah)

(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)

PJ : Lha nek karo bapake benten

(Kalau sama bapaknya berbeda)

PB : Lho, malah karo bapake luwih murah

dadi ngene (menunjukkan dua jari yang

menandakan harganya dua ratus ribu

rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus tapi

rongatus?

(Kalau sama bapaknya lebih murah

jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak

tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)

PJ : Wah dereng nek ngoten

(Wah belum kalau begitu)

PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki

piye Pak dadine? Mung gari siji wae kok

Pak, dadine rongatus.

(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini

bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal

satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.

PJ : Telungatus

(Tiga ratus ribu)

PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi

yo wis tuku neng kene! (jengkel)

(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya

kemarin juga sudah beli di sini!)

akibat tuturan PJ yang merugikan

PB, sehingga PB merasa jengkel

dan bertutur demikian.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki yang sudah tua dan

“Bu” digunakan sebagai sapaan

mitra tutur (pembeli) yang

notabene adalah wanita dewasa.

Dalam penggunaan sapaan,

mitra tutur tidak konsisten

dalam menggunakannya. Hal ini

terlihat pada tuturan yang

awalnya menyapa penjual

(penutur) dengan sapaan Mas,

yang kemudian pada tuturan

selanjutnya menggunakan

sapaan Pak. Penggunaan sapaan

Mas dirasa tidak cocok dengan

usia penjual yang sudah tua.

DT 21 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa Krama

dan bahasa Jawa Ngoko.

22. PB : Yang warnanya biru ada? Tuturan terjadi pada: U-R S-P S S

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

289

PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak

gini.

(Hitam sama merah? Adanya ya seperti

ini)

PB : Yang kayak gini, Bu?

(Yang seperti ini, Bu?)

PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning,

Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32?

Ini sama ungu ya?

PB : Iya

PJ : Terima kasih.

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.38 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang sandal kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita yang sudah tua sedangkan

mitra tutur adalah seorang remaja

yang berjenis kelamin perempuan.

Tuturan ini menandakan bahwa PJ

memberikan keuntungan kepada

PB dengan memberikan permintaan

PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan

PJ.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang wanita

yang sudah tua dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang remaja putri.

DT 22 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

Setuju

Setuju

23. PB : Dua, dua puluh ya, Bu?

PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.

PB : Yo wis.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Rabu, 19 Maret 2014

Pukul : 17.45 WIB

S-KL S-KL S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

290

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita yang sudah agak tua

sedangkan mitra tutur adalah

seorang wanita tengah baya.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ bersifat tidak langsung.

PJ menanggapi pertanyaan dari PB

yang menawar harga dagangannya.

Kata „Mbak‟ dalam budaya Jawa

juga dirasa sopan untuk

menghormati seseorang yang

tengah kita ajak berkomunikasi.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB secara langsung

menjawab „yo wis‟ terhadap tuturan

PJ. Tuturan „yo wis‟ dinilai kurang

sopan. Alangkah baiknya apabila

kata „yo wis‟ diganti dengan „ya

sudah, terima kasih‟, jadi terlihat

lebih sopan.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang wanita

yang sudah agak tua dan

“Mbak” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah seorang

wanita tengah baya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

291

DT 23 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (yo wis).

24. PB : Ini berapa, Pak?

PJ : Nawar aja bisa.

PB : Ini all size atau apa?

PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma

beda warnanya aja.

PB : Ada warna lain?

PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau

gemuk jumbo tapi harganya lain.

PB : Berapa?

PJ : Tiga puluh lima

PB : Ini aja. Berapa?

PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah

PB : Lima belas ya?

PJ : Bahannya bagus soalnya.

PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua

setengah (22.500) ya?

PJ : Udah murah, Ibu.

PB : Hehe ya ya.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.17 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang wanita

dewasa. Tuturan ini menandakan

bahwa tuturan PJ bersifat tidak

langsung.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB memberikan pilihan

harga penawaran kepada PJ.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki dewasa dan “Ibu”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang wanita dewasa.

DT 24 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Inggris (all size).

S-KL S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

292

25. PB : Berapa ini?

PJ : Empat puluh

PB : Berarti pasnya tiga puluh?

PJ : Tiga puluh gak ada e, Mas.

PB : Kalau pistol ini?

PJ : Delapan lima. Kalau yang ini enam

lima, masih bisa kurang ini.

PB : Udah deh pasnya berapa?

PJ : Ya masnya nawar aja dulu

PB : Nawar tiga puluh, Mbak.

PJ : Tiga lima aja, Mas

PB : (pergi)

PJ : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes

iki, Mas.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.24 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang korek api kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita tengah baya sedangkan

mitra tutur adalah seorang laki-laki

tengah baya. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ

memberikan penawaran harga yang

lebih murah kepada PB sehingga

PB dapat memilih.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar

dagangan PJ. PB bertanya terlebih

dahulu mengenai berapa harga

pasnya, kemudian baru menawar.

Sapaan: “Mbak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

wanita tengah baya dan “Mas”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang laki-laki tengah

baya.

DT 25 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (yowes iki).

S-P S-KL S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

293

26. PJ : Belum dapat, Mbak.

PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?

(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)

PJ : Hah?

PB : Sepuluh

PJ : Walaupun ditawar sampai

berapapun harganya tetap segitu,

Mbak. Kalau sama juragannya bisa

tawar-menawar! (mengejek)

PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi

sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki

sepuluh ewu! (memaksa)

(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu

sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini

sepuluh ribu)

PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya

segitu.

PB : Piro iki?

(Berapa ini?)

PJ : Seratus empat puluh lima

PB : Gak dikorting?

(Tidak dikurangi harganya??

PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal

PB : Satus petang puluh lah, Pak?

(Seratus empat puluhlah, Pak?)

PJ : Tambah lima ribu ya?

PB : (pergi)

PJ : Ya udah sini.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.30 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang wanita tengah

baya. Tuturan ini menandakan

bahwa tuturan PJ merugikan PB

karena dilihat dari tuturannya,

tuturan PJ sifatnya mengejek PB.

Tuturan PJ juga terkesan tidak

sopan.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB menawar dagangan PJ

dengan memaksa sehingga

merugikan PJ. Hal itu sangat

terlihat dari tuturan PB.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

laki-laki dewasa dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang wanita tengah

baya.

DT 26 menggunakan campur

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

294

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

27. PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih

kabeh ngono?

(Yang hitam semua seperti ini ada?

Putih semua begitu?)

PJ : Putihe namung kalih, Pak

(Putihnya hanya dua)

PB : Podo ukurane, Bu?

(Sama ukurannya?)

PJ : Inggih sami

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.37 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

ibu-ibu sedangkan mitra tutur

adalah seorang laki-laki yang sudah

tua. Tuturan ini menandakan bahwa

PJ memberikan pilihan warna

kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB bersifat

langsung. PB langsung

menanyakan warna kaos dari

dagangan PJ. Tuturan PB juga

dinilai tidak santun karena tuturan

PB yang menggunakan bahasa

Jawa Ngoko, padahal tuturan PJ

sudah menggunakan bahasa Jawa

Krama.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang ibu-ibu

dan “Pak” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

S-P S-KL S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

295

yang notabene adalah seorang

laki-laki yang sudah tua.

DT 27 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa Ngoko

dan bahasa Jawa Krama.

28. PB : Umur lima tahun

PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur

limang taun kok. Iki delokken sik. Ora

diwolak-walik, Le. (nada keras)

(Ya benar yang itu tadi. Umur lima

tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan

dibolak-balik)

PB : Berapa ini?

PJ : Papat lima. Tak golekne werna

liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.

(Empat puluh lima ribu. Saya carikan

warna lainnya. Adanya ini. Ini

warnanya)

PB : Dua lima ya, Bu?

PJ : Telung puluh ya?

(Tiga puluh ribu ya?)

PB : Dua lima aja ya?

PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem

taun ya iso. Ben ora keciliken mengko.

Nyoh ngko ndak lali!

(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam

tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan

nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.39 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

wanita dewasa sedangkan mitra

tutur adalah anak-anak yang

berjenis kelamin laki-laki. Tuturan

ini menandakan bahwa tuturan PJ

membuat PB tidak dapat memilih

barang dagangan PJ. Tuturan PJ

juga terlihat kasar kepada PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB tidak langsung menawar.

PB bertanya terlebih dahulu berapa

harganya, kemudian baru

menawarnya.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang ibu-ibu

dan “Le” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

S-P S-KL TS

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

296

yang notabene adalah anak-anak

yang berjenis kelamin laki-laki.

DT 28 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

29. PB : Enem tahun

(Enam tahun)

PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih

cekapan. Nek kaliten kadose mboten.

(Enam tahun kalau anaknya besar ya

cukup. Kalau kekecilan sepertinya

tidak)

PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?

(Yang lainnya yang kecil sidikit ada

tidak?)

PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku

tigang ndoso.

(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)

PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?

(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)

PJ : Sami

(Sama)

PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?

(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)

PJ : Niku sewidak kalih niku seket.

Dadine satus sepuluh.

(Itu enam puluh ribu sama yang itu

lima puluh ribu. Jadinya seratus

sepuluh)

PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!

(O seratus sepuluh. Seratus ya!)

PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.41 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur

adalah seorang laki-laki tua.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ bersifat tidak langsung.

PJ mengira-ira terlebih dahulu,

tidak langsung memberikan

dagangannya.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan

PJ.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang ibu-ibu

yang sudah tua dan “Pak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah seorang laki-laki yang

S-KL S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

297

kathok tok inggih angsal.

(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau

celana saja ya boleh)

PB : Satus ya, Bu?

(Seratus ya?)

PJ : Saestu, Pak

(Benar, Pak)

PB : Bathine lho wis akeh!

(Keuntungannya lho sudah banyak!)

PJ : Saestu sampun mirah niki

(Benar sudah murah ini)

sudah tua.

DT 29 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa Krama

dan bahasa Jawa Ngoko.

30. PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?

PJ : O ya belum dapat, Le.

PB : Bolehnya berapa?

PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?

PB : (melihat-lihat gantungan kunci)

PJ : Mau beli yang mana tak ambilin!

Mau beli gak? Kok dicampur-campur!

(kasar sambil marah-marah)

PB : (pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.46 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang gantungan kunci

kepada pembeli. Penutur adalah

seorang ibu-ibu sedangkan mitra

tutur adalah anak-anak remaja yang

berjenis kelamin laki-laki. Tuturan

ini menandakan bahwa tuturan PJ

merugikan PB. Dilihat dari tuturan

PJ yang kasar kepada PB. Isi

tuturan PJ juga dinilai sangat tidak

pantas dan tidak sopan. Hal ini

sangat merugikan PB sebagai mitra

tuturnya.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB langsung menawar harga

U-R S-KL TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

298

dagangan milik PJ dengan harga

rendah.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah seorang ibu-ibu

dan “Le” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah anak-anak

yang berjenis kelamin laki-laki.

DT 30 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (gelem).

31. PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah,

satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?

Carikan! Iki sayang ya tiga perempat.

Elek iki!

(Yang lengannya panjang seperti ini.

Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau atau

merah muda? Carikan! Ini sayang ya

tiga perempat. Jelek ini!)

PJ : Iya tiga perempat

PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus

ya? Ini besar ya?

(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau

empat, seratus ya? Ini besar ya?)

PJ : Iya besar, Bu.

PB : Papat, satus ya, Mas?

(Empat, seratus ya?)

PJ : Belum boleh, Bu.

PB : Pas‟e piro?

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 15.58 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang daster kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

remaja yang berjenis kelamin laki-

laki sedangkan mitra tutur adalah

seorang ibu-ibu yang sudah tua.

Tuturan ini menandakan bahwa

tuturan PJ merugikan PB karena

dilihat dari tuturannya, tuturan PJ

terlihat kurang sopan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

299

(Pasnya berapa?)

PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau

mau ya tak bungkus, kalau gak ya

sudah!

PB : (pergi)

karena tuturan PB terlihat

merugikan PJ dengan penekanan

kata “elek iki”.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

remaja yang berjenis kelamin

laki-laki dan “Bu” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

seorang ibu-ibu yang sudah tua.

DT 31 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia,

bahasa Jawa, dan bahasa Inggris

(pink).

32. PB : Ini berapa?

PJ : Empat puluh

PB : Gambare mana lagi?

PJ : Gambarnya ini aja!

PB : Gambar ceweknya gak ono?

PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya

beda, Bu!

PB : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho

(merengek)

PJ : Yang L ya?

PB : Iya

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.04 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

remaja yang berjenis kelamin laki-

laki sedangkan mitra tutur adalah

seorang wanita dewasa. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ

membuat PB tidak dapat memilih

barang dagangan PJ.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena selain PB tidak dapat

S-P S-P TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

300

memilih dagangan PJ, tuturan dan

gaya penyampaian PB juga tidak

pantas (dengan merengek) apalagi

PB lebih tua daripada PJ.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah seorang

remaja yang berjenis kelamin

laki-laki dan “Bu” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

seorang wanita dewasa.

DT 32 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (gak ono).

33. PB : Ini berapa ini? Sama ya?

PJ : Ini dua lima

PB : Yowes ini aja L. Ndak mau merah

katane, Pak.

(Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah

katanya, Pak)

PJ : Sudah?

PB : Jangan sama.

PJ : Gambarnya pit onthel?

PB : Ini-ini?

PJ : Sama

PB : Ini XXL, Pak?

PJ : Iya, Mbak.

PB : Warna lain?

PJ : Warna lain cokelat.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.21 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang kaos kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang wanita tengah

baya. Tuturan ini menandakan

bahwa tuturan PJ memberikan

pilihan kepada PB sehingga PB

dapat memilih kaos dagangan PJ

sesuai dengan permintaannya.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

S-P S-P S

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

301

karena PB dapat memilih dagangan

PJ.

Sapaan: “Pak” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah laki-laki

dewasa dan “Mbak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

wanita tengah baya.

DT 33 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (yowes).

34. PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau

pakai ini bagus.

PB : Empat tahun bisa gak?

PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus

anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK

juga, Mbak.

PB : Iya. Berapa?

PJ : Empat lima aja!

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal

soalnya! (kemudian pergi)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.27 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang gelang kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

laki-laki tengah baya sedangkan

mitra tutur adalah seorang wanita

tengah baya. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ

merugikan PB. Hal itu terlihat pada

tanggapan PB terhadap tuturan PJ

yang mengindikasikan bahwa PJ

memberikan harga yang mahal

sehingga PB memberikan

tanggapan tersebut.

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

302

PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas.

Mahal soalnya! (kemudian pergi)

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB terlihat sedikit

menyindir PJ dan hal itu dapat

merugikan PJ.

Sapaan: “Mas” digunakan

sebagai sapaan penutur (penjual)

yang notabene adalah laki-laki

tengah baya dan “Mbak”

digunakan sebagai sapaan mitra

tutur (pembeli) yang notabene

adalah wanita tengah baya.

DT 34 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa (mbrangkang).

35. PJ : Sekawan?

(Empat?)

PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki.

(Ya empat tahun yang sama ini)

PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak.

(Empat tahun kan? Seperti ini, Pak)

PB : Warnane?

(Warnanya?)

PJ : Nggih namung niki warnane.

(Ya hanya ini warnanya)

PB : Model iki ra ono?

(Model ini tidak ada?)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.28 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur adalah seorang

ibu-ibu yang sudah tua sedangkan

mitra tutur adalah laki-laki yang

sudah tua. Tuturan ini menandakan

bahwa PJ menguntungkan mitra

tuturnya yakni PB. PJ memberikan

U-R S-KL S

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

303

PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten

niki.

(Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini)

PB : Piro iki?

(Berapa ini?)

PJ : Sami mawon

(Sama saja)

PB : Seket to, Bu?

(Lima puluh kan?)

PJ : Nggih mboten napa-napa.

(Ya sudah tidak apa-apa)

PB : Lha iyo to?

(Lha iya kan?)

PJ : Nggih, Pak.

(Iya, Pak)

dagangannya sesuai dengan harga

penawaran PB. Ditambah PJ yang

menggunakan bahasa Jawa Krama

dalam berkomunikasi dengan PB

yang sama-sama sudah dewasa.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena PB langsung menawar harga

dagangan PJ. Tuturan PJ juga

menggunakan bahasa Jawa Ngoko

sehingga dirasa kurang sopan.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah ibu-ibu yang

sudah tua dan “Pak” digunakan

sebagai sapaan mitra tutur

(pembeli) yang notabene adalah

laki-laki yang sudah tua.

DT 35 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa Krama

dan bahasa Jawa Ngoko.

36. PJ : Ini warna-warni

PB : Ini berapa?

PJ : Dua puluh ribu

PB : Sepuluh

PJ : Kalau harganya pas tadinya dua lima.

Gini aja deh, dua, dua lima.

PB : Sepuluh ya, Bu?

PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau

sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.33 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang gantungan kunci

kepada pembeli. Penutur adalah

wanita dewasa sedangkan mitra

tutur adalah seorang laki-laki

U-R U-R TS

Setuju

TS

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

304

PB : Sepuluh ya?

PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis.

Harga-harga mepet itu.

PB : Tiga, tiga puluh gak boleh?

PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas

setengah kali tiga jadinya tiga tujuh

setengah.

PB : Tiga, tiga puluh ya?

PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang.

Kalau tidak ya sudah. Sudah pas.

Sudah murah.

PB : (pergi)

tengah baya. Tuturan ini

menandakan bahwa tuturan PJ

merugikan PB sehingga PB

langsung pergi meninggalkan PJ.

Tuturan PJ juga terlihat sedikit

kasar dan memaksa.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa tidak santun

karena tuturan PB dapat merugikan

PJ dengan penawaran harga yang

dirasa PJ kurang tepat.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) yang

notabene adalah wanita dewasa

dan “Mas” digunakan sebagai

sapaan mitra tutur (pembeli)

yang notabene adalah laki-laki

tengah baya.

DT 36 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Indonesia

dan bahasa Jawa.

37. PB : Setelan cah cilik?

(Atas bawah anak kecil?)

PJ : Umur pinten?

(Umur berapa?)

PB : Limang tahun

(Lima tahun)

PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten,

Bu?

(Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)

Tuturan terjadi pada:

Hari : Sabtu, 22 Maret 2014

Pukul : 16.36 WIB

Tuturan PJ:

Tuturan di atas diucapkan oleh

seorang pedagang baju kepada

pembeli. Penutur dan mitra tutur

sama-sama seorang ibu-ibu.

Tuturan ini menandakan bahwa

U-R S-P TS

Setuju

S

Setuju

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

305

Yogyakarta, 11 September 2014

Triangulator Peneliti

Dr. B. Widharyanto, M.Pd. Fransisca Dike Desintya DS

PB : Yo lumayan.

(Ya lumayan)

PJ : Sak menten?

(Ini?)

PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu.

(Lengan panjang, buat mengaji, Bu)

PJ : O lengen panjang? Mboten wonten

nek lengen panjang. Njenengan tindak

mawon dateng toko (mengejek)

(O lengan panjang? Tidak ada kalau

lengan panjang. Anda pergi ke toko

saja)

tuturan PJ bersifat mengejek. Hal

itu dapat dilihat pada tuturan PJ

yang merugikan PB.

Tuturan PB:

Tuturan PB menandakan bahwa

tuturan tersebut dirasa santun

karena PB dapat memilih dagangan

PJ. Namun tanggapan tidak santun

terlihat pada tuturan PJ.

Sapaan: “Bu” digunakan sebagai

sapaan penutur (penjual) dan

pembeli yang notabene sama-

sama seorang ibu-ibu.

DT 37 menggunakan campur

kode, yakni bahasa Jawa Krama

dan bahasa Jawa Ngoko.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

306

BIOGRAFI PENULIS

Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya lahir di

Blitar, Jawa Timur, 03 Desember 1991. Pendidikan

dasar ditempuh di SD Negeri Kepanjen Lor II Blitar

pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007, ia

melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP

Negeri 2 Blitar. Selanjutnya, pada tahun 2007-2010 ia

menempuh pendidikan menengah atas di SMA Katolik

Diponegoro Blitar.

Pada tahun 2010, ia tercatat sebagai mahasiswa

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa

di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, banyak sekali prestasi yang diraihnya,

baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Pada bidang akademik,

mulai tahun 2010-2013 ia berperan aktif dalam organisasi-organisasi baik dalam

lingkup prodi maupun universitas. Tahun 2013 ia dipercayakan oleh prodi untuk

menjadi perwakilan mahasiswa berprestasi pilihan Program Studi Pendidikan

Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Pada tahun 2011 dan 2012, ia juga dipercaya

menjadi koordinator fasilitator pada kegiatan PPKM Prodi PBSI, dan masih

banyak lagi prestasi-prestasi lainnya.

Selain di bidang akademik, ia juga tercatat sebagai mahasiswa yang

berprestasi dalam bidang non-akademik. Prestasi yang ia raih dalam bidang ini

adalah prestasi-prestasi menari yang didalaminya saat ia bergabung dalam Unit

Kegiatan Mahasiswa (UKM) Group Tari Sanata Dharma (GRISADHA) di tahun

2010-2014. Hingga pada akhirnya masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul

Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro

Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Ia dapat dengan mudah dihubungi

pada email: [email protected].

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI