Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA
PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO
YOGYAKARTA
(Suatu Tinjuan Sosiopragmatik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh:
Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya
101224017
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak pernah menulis,
ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“Banyak kegagalan dalam hidup ini
dikarenakan orang-orang tidak menyadari
betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.”
(Thomas Alva Edison)
“Kecerdasan bukan penentu kesuksesan, tetapi usaha, semangat, dan kerja keras
merupakan penentu kesuksesanmu yang sebenarnya.”
(Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Untuk Tuhanku
Yesus Kristus
Yang telah memberikan rahmat, berkat, dan karunia-Nya untuk mewujudkan doa-
doa serta harapanku untuk mencapai keberhasilan ini.
“Thank My Lord Jesus”
Untuk Kedua Orang Tuaku Tercinta
Aloysius Teddy Harmeidjaya dan Maria Magdalena Massa Mieke
Yang dengan sabar dan tulus memberikan doa-doa, motivasi, dukungan, dan
semangat agar puncak keberhasilan dapat kuraih dengan sempurna.
“Thankful for My Beloved Family”
Untuk Kakakku Tersayang
Aloysia Dian Andriana Martiani Lova
Yang senantiasa memberikan motivasi, petuah, dan doa untuk keberhasilanku
baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
“Thank You My Lovely Sister”
Untuk Sahabat Terbaikku
Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu
Yang selalu setia menemani di saat kuliah, menari, jalan-jalan, dan mengerjakan
skripsi hingga saat ini aku mulai membuka pintu gerbang keberhasilanku. Suka
duka telah kita alami bersama. Kebersamaan dalam persahabatan inilah yang turut
memacu semangatku untuk segera meraih gelar S.Pd.
“Thank You My Best Friend”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. Tingkat Kesantunan Berbahasa
Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan
Sosiopragmatik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1)
tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogykarta dan
(2) tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta.
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif sesuai dengan data
penelitian dan tujuannya. Data penelitian ini adalah data tuturan langsung penjual
dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang diambil pada bulan
Februari-April 2014 dan tujuannya adalah mendeskripsikan fenomena tingkat
kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode
observasi partisipatif dan metode simak-catat. Teknik analisis data yang dilakukan
oleh peneliti dalam penelitiannya ini merujuk pada kajian analisis deskriptif yang
dijabarkan ke dalam empat tahapan, yaitu tahap klasifikasi, tahap identifikasi,
tahap interpretasi, dan yang terakhir adalah tahap deskripsi.
Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada dua hal yang
merupakan hasil dari penelitian ini. Pertama, tingkat kesantunan berbahasa
penjual/pedagang di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kedua, tingkat
kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Hal
tersebut dapat dilihat melalui tiga skala kesantunan yang dipaparkan oleh
Geoffrey Leech (1983) sebagai acuan alat ukur tingkat kesantunan berbahasa
tersebut, yaitu: (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala
ketidaklangsungan. Tidak hanya itu, tingkat kesantunan berbahasa dalam
penelitian ini juga dianalisis dengan lima aspek lainnya, yakni: (1) penggunaan
sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) pemakaian diksi: penggunaan kata
yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai, dan (5) pemakaian gaya bahasa:
kejujuran, sopan santun, dan menarik.
Ternyata berdasarkan hasil analisis telah dibuktikan bahwa tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian
besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak santun. Ada banyak
anggapan orang yang mengatakan bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual
lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan berbahasa pembeli, berdasarkan
hasil analisisnya dapat diluruskan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pembelilah
yang lebih rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.
Kata kunci: pragmatik, sosiopragmatik, kesantunan, diksi, gaya bahasa, sapaan,
alih kode, dan campur kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Sasmaya, Fransisca Dike Desintya Dipta. 2014. The Speech Politeness Level of
“Perko” Sellers at Malioboro Sidewalk, Yogyakarta (A Socio-
pragmatic Review). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research describes the speech politeness level of “perko” sellers at
Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is divided into two criteria, those are (1)
the sellers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta,
and (2) the buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk,
Yogyakarta.
This research is a qualitative research regarding the research data and
the research objectives. This research data is the sellers‟ and buyers‟ direct
speech data at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta which is taken in
February-April 2014 and the objective of this research is to describe the speech
politeness phenomenon of “perko” sellers at Malioboro sidewalk, Yogyakarta.
The gathering data methods of this research are observation participative method
and listen-write method. Data analysis technique of this research to become
reconciled with descriptive analysis study which is analyzed into four steps, those
are classification step, identification step, interpretation step, and the last is
description step.
Based on the problem formulation that has been decided before, there are
two results of this research. First, the sellers‟ speech politeness level at “perko”
Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Second, the buyers‟ speech politeness level at
“perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta. Those results are based on the three
speech politeness levels stated by Leech (1983) as the speech politeness scale,
they are: (1) loss and profit scale, (2) code-switching, (3) code-mixing, (4) diction
using: the appropriate using and find the right one, (5) language style using: the
honesty, politeness and interesting.
Based on the research, it proves that most of the sellers‟ speech politeness
level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is polite enough and most of the
buyers‟ speech politeness level at “perko” Malioboro sidewalk, Yogyakarta is
impolite. There are a lot of people‟s opinion that the sellers‟ speech politeness
level is lower than the buyers‟ speech politeness level, but based on the analysis
result of the research can be concluded that the buyers‟ speech politeness level is
lower than the sellers‟ speech politeness level.
Keywords: pragmatic, socio-pragmatic, politeness, diction, language style,
greeting, code-switching, and code-mixing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas limpahan rahmat dan kasih karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Tingkat Kesantunan Berbahasa
Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan
Sosiopragmatik) dengan baik dan lancar. Tugas akhir dalam bentuk skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan meraih
gelar sarjana pendidikan sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),
Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar berkat
bantuan, doa, dukungan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih berlimpah kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia yang telah setia mendampingi dan mendukung penulis
secara akademis selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat dengan
giat dan semangat menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan setia,
pengertian, dan penuh kesabaran telah membimbing, memotivasi,
berdiskusi, mengarahkan, dan memberikan banyak masukan yang sangat
berharga bagi penulis mulai dari awal proses hingga akhir penulisan
skripsi ini selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang juga
dengan setia memberikan doa, dukungan, semangat, pengertian, penuh
dengan kesabaran, dan ketelitian telah membimbing, memotivasi,
mengarahkan, dan memberikan masukan yang berharga kepada penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat dikerjakan dengan baik.
6. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. selaku triangulator yang bersedia membantu
penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI)
yang telah mendidik, mengarahkan, dan menuntun penulis selama masa
studi dan berproses bersama dalam usaha mendalami berbagai ilmu
kependidikan dan kebahasaan, khususnya bahasa dan sastra Indonesia,
sebagai bekal dan harta yang sangat berharga bagi penulis untuk terjun ke
dunia pendidikan yang sesungguhnya sebagai guru dan pendidik sejati.
8. Robertus Marsidiq, selaku karyawan Sekretariat Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia yang dengan tekun dan sabar memberikan
pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan
administrasi dan urusan penyelesaian skripsi ini.
9. Drs. Paulus Suparmo, S.S., M.Hum., selaku Kepala Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan segenap staf perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi penulis untuk mengerjakan tugas akhir ini
di ruang perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
10. Reinardus Aldo Agassi, S.Pd., yang senantiasa mendampingi, menemani,
memberikan pengarahan, memberikan doa, dukungan, bantuan, dan
semangat kepada penulis mulai dari awal masuk perkuliahan di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik dan lancar.
11. Vhrizca Magha Reginna, Brigitta Swaselia Kasita, Yosevin Winda
Christiana, Christian Adven Saputra, Ignatius Aji Pamungkas, Cosmas
Krisna, Hendrianus Ndori, Septian Aji Purnomo, dan Stefanus Edo yang
selalu menemani, memberikan dukungan, doa, dan semangat membara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
kepada penulis sehingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan
baik dan benar.
12. Teman-teman dari GRISADHA (Group Tari Sanata Dharma) Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, khususnya Agus Susanto, Aprilia Witta, Dwi.
D. Mayasari, Dessiana Adityawati, Diana, Meilani, Tirza, Yessi, Galuh,
Shella, Dina, Ocha, Carolina Aci, Dhesy Novitasari, Marcelina Felix,
Regia Putriyani Setiabudi, Tiara Pawestri, dan semuanya yang selalu
memberikan semangat, doa, dan dukungan penuh kepada penulis untuk
dapat terus maju menuju pintu gerbang kesuksesan dan meraih gelar S.Pd.
13. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI)
Angkatan 2009, khususnya Bambang Sumarwanto, Ade Henta, Agatha
Wahyu Wigati, Clara Dika, Elizabet Ratih Handayani, Asteria Ekaristi,
Jati Kurniawan, Dedy Setyo Herutomo, Martha Ria Hanesti, Nuridang
Fitranagara, Satrio Nugroho, Yuli Astuti, Yustina Cantika Advensia,
Yudha Hening Pinandhito, dan semuanya yang senantiasa memberikan
pengarahan, bimbingan, dukungan, dan semangat kepada penulis mulai
dari awal pembuatan tugas akhir ini hingga tugas akhir ini selesai.
14. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Bahasa sastra Indonesia (PBSI)
Angkatan 2010, khususnya Andreas Dwi, Anita Sugiyatno, Anne Septi,
Brigita Familia, Caecilia Dhani Anjar Reni, Chatarina Susanti Ready,
Cicilia Ingga, Krissantus Roparman, Dwi Kristanto Saputro, Fitri Apri
Susilo, Restituta Devi Pramesti, Gusti Dinda Damarsasi, Maria Tri
Wijayanti, Maulida Reswari, Mega Yoshinta, I Putu Ariyana, Rengganis
Retno Saputri, Resti Wulandari, Maria Sorenada, Sebastianus Seno
Kurniawan, Agustina Marshella, Wilvridus Yolesa, dan semuanya yang
setia menemani penulis dalam suka dan duka; tangis dan tawa; sukses dan
gagal selama proses belajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia (PBSI). Kebersamaan dan persaudaraan membuat kita mampu
melewati segala batas-batas dan sekat-sekat perbedaan demi tujuan yang
mulia yakni menjadi guru bahasa Indonesia yang sejati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Penulis menyadari bahwa ada banyak pihak lainnya yang dengan berbagai
cara telah membantu dan mendukung penulis dalam keseluruhan proses
pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini. Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada berbagai pihak tersebut yang namanya tidak sempat disebutkan
satu per satu di dalam tulisan ini, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, segala bentuk kritik, saran, dan sumbangan ide yang membangun
kiranya dapat disampaikan kepada penulis demi penyempurnaan tulisan ini.
Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan dapat menjadi
inspirasi bagi peminat studi kebahasaan, khusunya ilmu pragmatik,
sosiolinguistik, dan sosiopragmatik untuk penelitian lebih lanjut.
Yogyakarta, 28 Oktober 2014
Penulis
Fransisca Dike Desintya DS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
MOTTO ......................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................ vii
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xviii
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
1.5 Batasan Istilah ........................................................................................... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ......................................................................... 9
1.7 Sistematika Penelitian ............................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 11
2.1 Penelitian yang Relevan ............................................................................ 11
2.2 Kajian Teori .............................................................................................. 13
2.2.1 Sosiolinguistik ................................................................................. 13
2.2.1.1 Sapaan ................................................................................. 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2.2.1.2 Alih Kode ........................................................................... 17
2.2.1.3 Campur Kode ...................................................................... 19
2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa .......................................................... 20
2.2.2.1 Pragmatik ............................................................................ 20
2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan .............................................. 25
2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan ................................ 29
2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan ........................................... 35
2.2.2.2 Pandangan Sosial ................................................................ 38
2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun ............................................. 42
2.2.2.4 Maksim Percakapan ............................................................ 45
2.2.2.5 Konsep Muka ...................................................................... 47
2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan .......................... 48
2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ......................................... 49
2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa ..................................................... 55
2.2.4 Sosiopragmatik ............................................................................... 58
2.2.5 Konteks ........................................................................................... 62
2.3 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 63
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 65
3.1 Jenis Penelitian .......................................................................................... 65
3.2 Sumber Data dan Data .............................................................................. 66
3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................. 67
3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 68
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 70
3.6 Triangulasi Data ........................................................................................ 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 75
4.1 Deskripsi Data ........................................................................................... 75
4.2 Hasil Analisis Data .................................................................................... 83
4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta .................................................................... 83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 84
4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 84
4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 106
4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 116
4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 124
4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 125
4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 135
4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta .................................................................... 145
4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 147
4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 147
4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 165
4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 172
4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 179
4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 180
4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 191
4.3 Pembahasan ............................................................................................... 201
4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta .................................................................... 202
4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 204
4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 204
4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 206
4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 207
4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 210
4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 210
4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 212
4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta .................................................................... 213
4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Geoffrey Leech ............................. 215
4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) .... 215
4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale) ......................... 217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) .... 218
4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan ............................................ 222
4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) ........................... 222
4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa ...................................... 224
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 229
5.1 Simpulan ................................................................................................... 229
5.2 Saran .......................................................................................................... 232
5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan ................................................................. 232
5.2.2 Bagi Guru ........................................................................................ 233
5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa ........................................................... 234
5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa .................................................. 234
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 235
LAMPIRAN ................................................................................................... 237
Lampiran 1 Data Tuturan Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta ................................................................................... 237
Lampiran 2 Tabulasi dan Triangulasi Data Tuturan Pedagang “Perko”
Trotoar Malioboro Yogyakarta .................................................... 259
BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 306
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta ......................................................................... 79
Tabel 2 Jumlah Data Tuturan Pedagang dan Pembeli “Perko” Trotoar
Malioboro Yogyakarta yang Digunakan dalam Analisis Data ............. 82
Tabel 3 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala
Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................... 105
Tabel 4 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala Pilihan
(Optionality Scale) ................................................................................ 116
Tabel 5 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Skala
Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................... 124
Tabel 6 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda
Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 129
Tabel 7 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian
Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................... 135
Tabel 8 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda
Kesantunan Berbahasa .......................................................................... 138
Tabel 9 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual dari Segi Pemakaian
Gaya Bahasa .......................................................................................... 145
Tabel 10 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala
Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale) ............................................. 164
Tabel 11 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala Pilihan
(Optionality Scale) .............................................................................. 172
Tabel 12 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Skala
Ketidaklangsungan (Indirectness Scale) ............................................. 179
Tabel 13 Kriteria Pemakaian Diksi (Pilihan Kata) Sebagai Penanda
Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
Tabel 14 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian
Diksi (Pilihan Kata) ............................................................................. 191
Tabel 15 Kriteria Pemakaian Gaya Bahasa Sebagai Penanda
Kesantunan Berbahasa ........................................................................ 194
Tabel 16 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli dari Segi Pemakaian
Gaya Bahasa ........................................................................................ 201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1 Kerangka Berpikir ........................................................................... 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bagian ini memuat tentang (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3)
tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) ruang lingkup
penelitian, dan (7) sistematika penulisan. Uraian secara lengkap bagian
pendahuluan dipaparkan berikut ini.
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki alat komunikasi
sebagai penanda adanya komunikasi antarmanusia, yaitu bahasa. Bahasa
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam berkomunikasi.
Manusia menggunakan bahasa sebagai alat interaksi dengan sesamanya. Interaksi
antara satu orang dengan yang lainnya ini sangat penting. Interaksi ini dapat
berupa tulisan maupun lisan. Bentuk interaksi lisan dapat diartikan sebagai bentuk
percakapan.
Percakapan dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu tempat atau
suasana. Misalnya saja, adanya percakapan antara ibu dengan anak, guru dengan
murid, hakim dengan terdakwa, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
adanya percakapan, telah menggambarkan adanya hubungan antara gagasan
individu dengan pemeliharaan hubungan dengan partisipan. Dengan adanya
hubungan tersebut, maka komunikasi yang telah dilakukan akan secara tepat
dipahami oleh keduanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Salah satu percakapan yang menarik untuk dibahas adalah percakapan
antara penjual dan pembeli (percakapan jual beli). Dalam proses jual beli terdapat
dua partisipan yang melakukannya. Partisipan yang pertama sebagai penjual dan
partisipan yang kedua sebagai pembeli. Penggunaan bahasa dalam percakapan
jual-beli memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang sering digunakan dalam konteks
berdagang. Di dalam sebuah aktivitas jual-beli, penggunaan bahasa secara santun
juga tidak akan terlepas dengan penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur
kode yang juga menjadi tolok ukur sebuah kesantunan di dalam sebuah
percakapan. Misalnya saja kesantunan berbahasa antara penjual dan pembeli.
Dapat dilihat bagaimana kesantunan berbahasa tersebut dilakukan dalam
intersaksi yang terjalin. Hal ini berkaitan dengan nilai budaya masyarakat
mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, di antaranya adalah hubungan
sosial yang terlihat dalam aktivitas jual-beli di sebuah tempat.
Kesantunan saat berbahasa merupakan cerminan dari diri seseorang,
karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain pun menjadi tertarik dengan
percakapan yang sedang berlangsung. Dalam berbahasa perlu mempertimbangkan
perasaan orang lain. Dengan mempertimbangkan perasaan orang lain itulah
komunikasi antar penutur dengan petutur akan menjadi lancar. Oleh karena itu,
dalam berkomunikasi perlu memperhatikan kesantunan berbahasa. Penggunaan
kesantunan berbahasa memungkinkan transaksi sosial berlangsung tanpa
mempermalukan penutur dan petutur.
Seperti yang telah disebutkan di atas, interaksi antara penjual dan pembeli
membutuhkan komunikasi dan kerja sama masing-masing pihak. Dengan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
partisipan juga harus mengusahakan kesantunan. Yule (1996:60), mengatakan
kesantunan adalah kepintaran partisipan dalam melakukan pendekatan jarak
sosial. Menunjukkan kepedulian pada muka orang lain ketika jarak sosial di antara
mereka sama, dapat digambarkan bahwa partisipan tersebut menunjukkan rasa
hormatnya. Kesantunan ini dapat pula diartikan sebagai sebuah strategi. Bila
dihubungkan dengan penjual dan pembeli, kesantunan ini digunakan sebagai salah
satu cara untuk menarik dan menghormati pembeli. Sehingga kesepakatanpun
tercapai.
Namun di zaman yang modern ini kesantunan tidak lagi diperhatikan
secara penuh. Kadang-kadang terlihat dalam komunikasi jual-beli di sebuah
tempat perbelanjaan yang tetap menggunakan bahasa secara santun tetapi
memiliki makna yang berbeda yang dirasakan oleh mitra tutur. Hal ini akan
berpengaruh pada situasi atau konteks komunikasi antara penutur dengan mitra
tutur. Ada yang tata bahasanya sudah terlihat santun akan tetapi cara
penyampaiannya kurang santun. Namun, ada juga di saat proses jual-beli itu
berlangsung, tuturan pembeli dengan maksud yang baik tetapi tuturannya kurang
santun atau bisa disebut juga dengan tuturan yang asal-asalan dapat membuat
situasi komunikasi menjadi tidak sejalan sehingga penjual yang diajak
bertransaksi menjadi marah dan dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak santun
kepada pembeli tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena
kesantunan berbahasa memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Penggunaan
kesantunan berbahasa dalam interaksi jual-beli di Malioboro Yogyakarta sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berkaitan dengan aspek-aspek sosial dan budaya di lingkungan sekitar.
Kesantunan berbahasa merupakan realisasi pemakaian wujud , strategi, dan fungsi
pragmatika bahasa. Kesantunan berbahasa tidak semata-mata menyangkut
pemilihan kosakata yang tepat untuk konteks tuturan jual-beli di sebuah kawasan
perbelanjaan, melainkan juga menyangkut pada pemahaman lawan tutur. Hal ini
juga dipengaruhi juga oleh penggunaan kata sapaan, alih kode, dan campur kode
yang pastinya tidak terlepas dari proses interaksi yang terjalin antara penutur
dengan petutur itu sendiri. Pemakaian bahasa secara santun belum banyak
mendapat perhatian. Maka, sangat wajar apabila kita sering menemukan
pemakaian bahasa yang baik ragam bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi
nilai rasa yang terkandung di dalamnya menyakitkan hati pendengarnya.
Penelitian mengenai interaksi antara dua orang atau lebih dalam
berkomunikasi sudah banyak dilakukan. Namun, penelitian mengenai tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” belum banyak dilakukan. Oleh karena itu
rumitnya permasalahan kesantunan berbahasa, dipandang tepat untuk meneliti
tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko (emperan toko)” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Berbagai masalah mengenai tingkat kesantunan berbahasa
menimbulkan sikap kehati-hatian dalam berkomunikasi. Oleh karena itu,
penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan meninjau kembali sejauh mana
tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, masalah umum penelitian ini
adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini kemudian dirinci dalam dua sub
masalah berikut ini.
1) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta?
2) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan, tujuan penelitian
secara umum ini adalah mendeskripsikan tentang tingkat kesantunan berbahasa
pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Secara khusus, tujuan penelitian
ini dirinci sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta.
2) Mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terfokus pada informasi faktual kesantunan
berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Oleh karena itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun
praktis.
Secara teoretis, temuan penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya
pengembangan teori pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di lingkup
universitas, memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian bahasa,
khususnya dalam bidang ilmu pragmatik, sosiolinguistik, dan sosiopragmatik di
Program Studi pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat
menambah wawasan para pembaca tentang kesantunan berbahasa, dan juga untuk
membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kesantunan
berbahasa. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penelitian tentang kesantunan
berbahasa ini masih kurang, utamanya dalam konteks jual-beli di suatu tempat
perbelanjaan.
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan ajar
pembelajaran di dalam lingkup universitas, mengajak pembaca mengerti akan
penanda apa saja yang membuat suatu tuturan menjadi terlihat santun saat
komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dilakukan, dengan mengetahui
bidang ilmu kesantunan ini, masyarakat menjadi paham dan mengerti akan bahasa
yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan sebagai alat komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, dan penelitian ini diharapkan dapat menjadi temuan yang
dapat bermanfaat dan dapat memperlancar komunikasi yang terjalin dengan
santun antara penutur (penjual) dengan mitra tutur (pembeli). Manfaat penelitian
ini juga dapat menjadi bahan masukan tentang tingkat kesantunan berbahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
pedagang “perko” di kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta, sehingga akan
memperlancar komunikasi dan adanya rasa hormat yang terjalin antara penjual
dan pembeli di Malioboro.
1.5 Batasan Istilah
Pembahasan dalam penelitian ini tentunya hanya mencakup beberapa hal
saja, oleh karena itu penulis mencantumkan batasan istilah yang digunakan agar
pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh dan dapat dimengeri
pembacanya.
1. Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bagaimana satuan-satuan bahasa
(dalam bentuk tuturan atau tindak tutur) digunakan dalam pertuturan sesuai
konteks penutur dan lawan tutur, serta waktu dan tempat pengutaraannya dalam
rangka melaksanakan komunikasi (Wijana, 2010:17; Chaer, 2010:23).
2. Sosiopragmatik
Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan
bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang
mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial
dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21).
3. Kesantunan
Fraser (Gunarwan, 1994:88) mendefinisikan santun sebagai sebuah
property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari
dalam pemenuhan kewajibannya.
4. Diksi
Istilah pilihan kata atau yang biasa kita sebut dengan diksi tidak hanya
digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang tepat dan selaras dipakai untuk
mengungkapkan suatu gagasan atau ide, tetapi juga meliputi persoalan gaya
bahasa dan ungkapan (Keraf, 1984:22). Jadi, ketika tuturan terucap dari mulut
kita, sebenarnya tuturan tersebut sudah tersusun dan sudah terpilih pemilihan
katanya saat kita menyatakan suatu maksud tertentu kepada orang lain.
5. Gaya Bahasa
Keraf (1984:112) mendefinisikan gaya bahasa adalah kemampuan dan
keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa
yang biasa dikenal dengan sebutan style ini memang penting untuk digunakan
dalam berkomunikasi sehingga efek-efek tertentu akan dirasakan oleh pendengar
atau mitra tutur yang kita ajak berkomunikasi.
6. Sapaan
Kata sapaan merupakan kata yang dipakai untuk menegur, menyapa,
mengajak bercakap-cakap, dan sebagainya. Sapaan lebih mengacu pada seseorang
di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung.
7. Alih Kode
Nababan (1984:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup
juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam
yang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
8. Campur Kode
Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan
berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu tindak tutur.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu
penelitian deskripstif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya
mendeskripsikan tingkat kesantunan berbahasa penjual/pedagang dan pembeli di
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan yang diteliti adalah tuturan
penjual/pedagang dan pembeli yang ada di emperan toko Malioboro Yogyakarta
yang diambil pada bulan Februari-April 2014.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada bab I
akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang lingkup
penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab II berisi kajian pustaka yang
terdiri dari penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III
berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data
dan data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis data,
dan triangulasi data. Pada bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
terdiri dari deskripsi data, analisis data, dan pembahasan temuan. Bab V berisi
penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Bagian ini memuat tentang (1) penelitian yang relevan, (2) kajian teori,
dan (3) kerangka berpikir. Uraian secara lengkap bagian kajian pustaka
dipaparkan berikut ini.
2.1 Penelitian yang Relevan
Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian-
penelitian tersebut telah menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan
penggunaan bahasa sehari-hari yang ada di sekitar kita.
Penelitian yang dilakukan oleh Diana Riski dengan judul “Strategi
Kesantunan dan Prinsip Kerja Sama Penjual dalam Transaksi Jual-Beli Sebuah
Studi Kasus Pasar Tanah Abang”. Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini
menyimpulkan bahwa tidak semua ujaran yang diujarkan baik penjual maupun
pembeli mematuhi prinsip kerja sama. Aturan ini dilanggar supaya dapat
menghasilkan percakapan yang lebih komunikatif. Pelanggaran yang dilakukan
bertujuan untuk membuat jarak antara penjual dan pembeli lebih dekat sehingga
menghantarkan pada pelaksanaan strategi kesantunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Christina Rinawati yang berjudul “Wacana
Tawar-Menawar dalam Jual-Beli Pakaian di Pasar Beringharjo Yogyakarta:
Suatu Tinjauan Pragmatik”. Dalam penelitiannya, dapat diambil kesimpulannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
bahwa wacana tawar-menawar merupakan sarana masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pakaian dengan harga murah, wacana tawar-menawar merupakan salah
satu bentuk penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan
realisasi kehidupan nyata dari fungsi interaksional bahasa, dan yang terakhir
wacana tawar-menawar sangat berkaitan dengan pengajaran bahasa, wacana
tersebut dapat digunakan sebagai contoh konkret penggunaan bahasa dalam
komunikasi sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., dengan judul
“Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan
Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 1-
12). Dalam penelitiannya, Dr. H. Jamal, M.Pd., memberikan beberapa kesimpulan
tentang kesantunan berbahasa. Beliau menuliskan bahwa setiap masyarakat
memiliki seperangkat norma yang terdiri dari sejumlah kaidah-kaidah eksplisit
untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh
perilaku-perilaku tertentu, lingkungan, dan cara berpikir masyarakatnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo dengan judul “Tindak
Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”. Jika
dikaitkan dengan tuturan, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam suatu
tuturan yang diujarkan akan memberikan penilaiannya terhadap tuturan dari sopan
santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan yang ditemukan dalam
penelitian ini, yaitu: (1) analogi, (2) pilihan kata atau diksi, (3) gaya bahasa, (4)
penggunaan keterangan atau modalitas, (5) penyebutan subjek yang menjadi
tujuan tuturan, dan (6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
ini bisa terjadi ketika hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di
dalam suatu tuturan terkandung lebih dari satu penanda kesantunan yang
digunakan oleh penutur itu sendiri.
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Sosiolinguistik
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan
dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling
berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah
untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship).
Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik
lisan atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak;
pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin
hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya,
dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit
(indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme).
Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses
komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak
hubungan sosial diantara keduanya. Dengan demikian proses komunikasi selesai
antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya,
kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun.
Akan tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi
tersebut. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk
mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain
kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga
hubungan sosial. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan
berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia.
Seperti yang kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat menjunjung
kesantunan dalam berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya
berhubungan dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai
contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan
tetap dianggap kurang santun.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu
akan tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam
berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan
pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah
menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua-muda, majikan-buruh, guru-
murid, kaya-miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa.
Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tentu akan
berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan anak kecil.
Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan.
Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
2.2.1.1 Sapaan
Kata sapaan yang memiliki ciri khas tersendiri. Kata sapaan berguna
sebagai ajakan bercakap, teguran, ucapan, serta frasa untuk saling merujuk dalam
pembicaraan dan yang berbeda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu,
seperti: Anda, Ibu, Saudara dan sebagainya. Kridalaksana (2008:214),
mendefinisikan bahwa “kata sapaan adalah morfem, kata atau frase yang
digunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda
menurut sifat hubungan antara pembicaraan”. Menurut Chaer sapaan adalah
bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau orang yang diajak
bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam interaksi linguistik yang
dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi umumnya seseorang
menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan hubungan antara pembicara
dan mitra tutur berdasarkan rasional.
Sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau menyebut orang kedua atau
orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada seseorang di dalam
interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam kegiatan interaksi
umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik berdasarkan
hubungan antara pembicara dan mitra tutur. Penggunaan sapaan kata atau frasa
dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda
menurut sifat hubungan antara pembicara. Jadi, penggunaan sapaan juga harus
dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di mana pembicaraan itu berlangsung,
dan siapa yang diajak berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan dalam proses komunikasi yang
terjadi dalam konteks jual-beli.
[1] Pembeli : Cik, ada kain celana kayak gini? (sambil menunjukkan
contoh kainnya)
Penjual : Coba tak lihate dulu. Persis gini?
Pembeli : Iya.
Penjual : Coba, Le, carikno kain ini. Apa masih ada?
Karyawan : Habis yang gini, Te!
Penjual : Saya punya kain celana yang bagus, Mbak. Harganya tidak
mahal, pokoknya harga spesial. Le, ambilkan kain celana
yang baru datang tadi!
Pembeli : Berapa harganya, Cik?
Penjual : Itu Rp 50.000,- per meter. Khusus untuk Mbak karena
udah langganan sini tak kasih harga Rp 45.000,- per
meternya.
Sapaan “Le”, oleh penjual kepada karyawan menunjukkan adanya
perbedaan status sosial. Penjual adalah pemilik toko dan karyawan adalah tenaga
pembantu. Namun sapaan “Le” ini diartikan sebagai nama panggilan akrab untuk
anak laki-laki. Jadi, penjual sudah menganggap karyawannya seperti anaknya
sendiri. Sebaliknya, karyawan menyapa penjual dengan sebutan “Te”, yang
kependekan dari „tante‟, yang artinya „bibi‟. Sapaan ini sama sekali tidak
didasarkan pada hubungan kekerabatan, sebagaimana seseorang memanggil
„tante‟ pada adik perempuan dari ayah atau ibu.
Adapun sapaan “Cik”, kependekatan dari „tacik‟ yang berarti „Mbak‟
umumnya digunakan untuk menyapa perempuan China yang seumur atau yang
sedikit lebih tua dari penyapa. Bentuk sapaan yang digunakan penutur maupun
lawan tutur, khusunya yang berkedudukan sebagai pembeli ini didasarkan pada
perbedaan asal-usul. Dari contoh ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa sapaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
tersebut santun karena juga dilihat dari konteks perbedaan asal-usul dan status
sosialnya.
2.2.1.2 Alih Kode
Alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing) merupakan
dua buah masalah dalam masyarakat yang multilingual. Menurut Appel (1976:79)
dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2010:107) mendefinisikan alih kode
(code switching) itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan contoh. Misalnya saja,
berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi
berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Untuk dapat lebih memahami
tentang materi ini, di bawah ini akan diberikan contoh dalam sebuah percakapan
antara seorang sekretaris (S) dengan majikannya (M) (Chaer, 2010:110-111).
Contoh inilah yang diangkat Soewito (1983) sebagai contoh dalam pemahaman
materi alih kode ini.
[2] S : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini?
M : O ya, sudah. Inilah!
S : Terima kasih
M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor
sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi,
dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane
pengin maju kudu wani ngono... (Sekarang jika usahanya
ingin maju harus berani bertindak demikian...)
S : Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak)
M : Panci ngaten piye? (Memang begitu bagaimana?)
S : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi.....
(Maksudnya, berapapun besarnya modal kalau...)
M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan,
usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (Kalau tidak banyak
hubugan dan terlalu banyak mengambil keuntungan, usahanya
tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
S : Lha inggih ngaten! (Memang begitu, bukan?)
M : O ya, apa surat untuk Jakarta sudah jadi dikirim?
S : Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat
khusus.
Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan tersebut diawali dengan
menggunakan bahasa Indonesia karena melihat konteks atau tempatnya berada di
dalam sebuah kantor. Hal yang dibicarakan juga mengenai kebutuhan kantor
yakni surat-menyurat. Jadi, situasi percakapannya adaah formal. Namun, ketika
pembicaraan berubah menjadi topik lain, bukan tentang surat-menyurat lagi
melainkan topik tentang pribadi orang yang diberi surat, peralihan bahasa pun
terjadi (alih kode). Situasi percakapannya pun juga ikut berubah menjadi situasi
yang informal atau tidak formal. Alih kode yang terjadi pada percakapan di atas:
dari bahasa Indonesia berganti menjadi bahasa Jawa. Selanjutnya, ketika topik
utama (surat-menyurat) yang dibicarakan kembali, alih kode ini juga terjadi
kembali. Hal ini dapat dibuktikan dengan percakapan antara sekretaris dengan
majikannya yang menggunakan bahasa Jawa beralih kembali ke bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, peristiwa alih kode dapat terjadi di mana saja dan kapan saja saat
komunikasi itu dilakukan.
Jika kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode, maka kita harus
mengembalikan pokok persoalan sosiolinguistik. Penyebab peristiwa alih kode,
yakni (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan
situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan. Melihat dari contoh percakapan
di atas, contoh tersebut terjadi karena disebabkan oleh faktor keempat, yaitu
perubahan dari situasi formal menjadi informal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2.2.1.3 Campur Kode
Beralih dari peristiwa alih kode tentunya menyisakan satu peristiwa lagi
yang sangat berkaitan dengan peristiwa tutur sebelumnya (alih kode), campur
kode (code mixing). Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur
menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi
dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik
penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan
sebagainya Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal.
Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut
tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain,
walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Nababan (1984:32) mengatakan campur kode adalah suatu keadaan
berbahasa dimana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode penutur menyelipkan unsur-unsur
bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam campur kode penutur
secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain ketika sedang berbicara.
Berikut ini contoh peristiwa campur kode dalam proses komunikasi yang terjadi
dalam konteks jual-beli.
[3] Penjual : Monggo, monggo, Pak, Bu, monggo dilihat dulu.
Pembeli : Kaos dagadunya berapa, Bu?
Penjual : Niki mirah kok, Mbak. Hanya Rp 30.000 saja.
Pembeli : Oh my God, mahal sekali. Rp 15.000 saja ya, Bu?
Penjual : Sampun mirah niki, Mbak. Gambare werna-werna.
Pembeli : Rp 20.000 ya, Bu?
Penjual : Ya sudah, Mbak. Mau warna apa?
Pembeli : Warna pink ini ning ukurane sing M wae ya, Bu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Penjual : Ini ya Mbak kaos dagadu warna pinknya.
Pembeli : Ini Bu uangnya. Pas nggih.
Penjual : O ya Mbak, matur nuwun sanget.
Dilihat dari contoh percakapan di atas, percakapan antara penjual dan
pembeli menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan
bahasa Inggris. Sebenarnya penjual hanya mampu berbahasa Jawa dan Indonesia,
akan tetapi karena pembelinya mampu menggunakan tiga bahasa, secara otomatis
penjual juga menggunakan ragam bahasa Inggris seperti yang dituturkan pembeli
kepada penjual. Misalnya, pada saat pembeli menginginkan kaos dagadu yang
berwarna pink (merah muda). Secara langsung penjual juga menyebut warna
merah muda menjadi „pink‟ seperti apa yang dikatakan oleh pembeli. Jadi,
peristiwa campur kode ini dapat terjadi dalam konteks berkomunikasi di mana
saja dan kapan saja seperti halnya peristiwa alih kode.
2.2.2 Teori Kesantunan Berbahasa
2.2.2.1 Pragmatik
Bidang kajian ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji
tentang penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu
ini lebih mengarah pada maksud ujaran. Kesantunan tuturan dalam bahasa saat ini
dapat diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik ini. Hal ini dikarenakan setiap
tuturan yang diujarkan tentunya mengandung maksud yang hendak disampaikan
kepada mitra tutur.
Menurut Yule (1996:3), pragmatik adalah studi tentang makna ujaran
penutur, makna kontekstual, makna yang dikomunikasikan melebihi ujaran yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
diucapkan, dan pengekspresian hubungan jarak. Ia juga mengatakan bahwa belajar
bahasa memiliki manfaat yakni bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang
makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka masing-masing, maksud dan
tujuannya, dan jenis-jenis tindakan yang dilakukan. Sebagai contohnya adalah
terjadinya interaksi berupa percakapan antara satu orang dengan orang lainnya.
Bidang kajian ilmu pragmatik mengajari bagaimana kita memahami dan
memperdalam makna yang terdapat di setiap tuturan dalam suatu percakapan yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih (penutur dan petutur).
Kegiatan berkomunikasi merupakan suatu kegiatan yang sudah pasti
dilakukan dalam kegiatan sehari-hari. Kegiatan komunikasi ini tidak akan
mungkin berhasil dilakukan tanpa adanya orang kedua yang biasa kita sebut
dengan istilah mitra tutur. Agar kegiatan berkomunikasi ini berjalan dengan baik
dan lancar, harus terdapat sesuatu (pesan/informasi) yang dikirim oleh penutur
dan diterima oleh mitra tutur. Dalam hal ini penutur harus benar-benar dapat
memberikan suatu pesan atau informasi dengan jelas sehingga mitra tutur dapat
menerima pesan atau informasi yang diberikan oleh penutur dengan jelas dan
terarah.
Dalam suatu peristiwa tutur, interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur
memungkinkan munculnya berbagai macam tuturan yang isi proposisi yang
disampaikan juga bermacam-macam. Misalnya saja, ada tuturan yang isi
proposisinya bertanya, menolak, berbasa-basi, memberikan informasi,
memerintah, menegur, dan lain-lain. Untuk memahami dan menggunakan
berbagai macam tuturan, setiap partisipan tutur harus menguasai sejumlah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
kompetensi komunikasi. Salah satu kompetensi komunikasi yang harus dipahami
oleh partisipan tutur adalah mengerti dan dapat menggunakan tuturan dengan
bahasa yang santun. Tuturan yang disampaikan oleh partisipan tutur selalu
diusahakan saling berhubungan atau berkaitan (Purwo, 1990).
Ukuran kesantunan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
seorang partisipan tutur untuk menjaga agar konfik personal dapat terhindar ketika
proses komunikasi sedang berlangsung. Akan tetapi, ukuran kesantunan juga
ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kejelasan dan ketepatan tuturan, saling
menghargai, mematuhi norma-norma yang berlaku, berusaha untuk
menyelamatkan muka dan diperlukan adanya kerja sama. Kerja sama diperlukan
agar komunikasi berjalan dengan baik. Aturan kerja sama dalam komunikasi
dikemukakan oleh Grice (1975) dalam empat maksimnya, yakni maksim kualitas,
maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevasi.
Kesantunan berbahasa dapat dilakukan oleh seorang partisipan tutur
karena terdorong oleh sikap hormat kepada partisipan tutur lain. Kesantunan
berbahasa sangat erat kaitannya dengan status partisipan tutur yang merasa sama-
sama saling menghormati dan saling membutuhkan sehingga diperlukan strategi
interaksi yang efektif seperti yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan dikenal
dengan prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama Grice tertuang dalam empat
maksim, yakni maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim
relevasi. Namun, Leech (1993) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tidak
hanya dibatasi pada keempat maksim kerja sama . Akan tetapi, kesantunan
berbahasa nemiliki prinsip tersendiri yang bertujuan untuk memperkecil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
penggunaan pengaruh ungkapan yang tidak santun dan untuk memperbesar
ilokusi yang sudah santun menjadi lebih santun.
Beranjak dari prinsip kerja sama yang dikemukakan Grice dan prinsip
kesantunan yang dikemukakan oleh Leech menunjukkan bahwa dalam
berkomunikasi setiap partisipan tutur perlu menerapkan tidak hanya prinsip kerja
sama saja tetapi juga prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan berbahasa
merupakan seperangkat maksim yang mengatur perilaku dalam berkomunikasi,
baik perilaku linguistik maupun ekstralinguistik. Dalam hal ini, Leech (1993)
berpendapat bahwa untuk merealisasikan kesantunan berbahahasa perlu
memerhatikan aspek-aspek etika berkomunikasi, yaitu prinsip kesantunan
(politeness principle) yang di dalamnya mencakup maksim (1) kearifan, (2)
kedermawanan, (3) pujian, (4) kerendahan hati, (5) kesepakatan, dan (6) simpati.
Subbab ini menjelaskan mengenai beberapa hal, khususnya yang berkaitan
dengan bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” di
kawasan trotoar Malioboro Yogyakarta. Serta hal-hal apa saja yang
mempengaruhi tingkat kesantunan berbahasa.
Teori kesantunan berbahasa adalah teori yang mengkaji bentuk-bentuk
tuturan yang santun yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi
terjadi. Teori ini penting dikemukakan karena teori ini dianggap sebagai salah satu
alat untuk memprediksi atau menjelaskan tuturan mana yang santun dan tuturan
mana yang tidak santun. Walaupun harus disadari bahwa memprediksi atau
menjelaskan santun tidaknya sebuah tuturan bukanlah hal yang mudah karena
ukuran kesantunan tidak hanya dapat diprediksi atau dijelaskan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
menerapkan teori kesantunan akan tetapi banyak variabel lain yang ikut
menentukan santun tidaknya sebuah tuturan. Variabel yang dimaksud antara lain
adalah bagaimana hubungan emosional antarpartisipan tutur, latar belakang
pendidikan yang dimiliki, status sosial, tempat tinggal, dan sebagainya.
Menurut Yule (1996:104), kesantunan sama halnya dengan kesopanan.
Kesopanan ini diartikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan atau
mengekspresikan wajah orang lain. Ketika kita melakukan kegiatan
berkomunikasi dengan orang lain, bahasa yang kita gunakan juga harus
diperhatikan matang-matang. Tidak hanya sekedar berbicara asal-asalan. Misanya
saja saat kita tengah berbicara dengan guru, orang tua, dan lain-lain, tentunya
bahasa yang kita pakai tidak sama dengan bahasa pergaulan sehari-hari dengan
teman-teman kita. Dalam hal berdagang, penggunaan bahasa juga harus melihat
konteks yang ada. Tidak semata-mata hanya berkomunikasi biasa melainkan
menggunakan bahasa yang memang mengacu pada konteks berdagang. Hal ini
pasti akan berbeda pula dengan penggunaan bahasa dalam sehari-hari dalam
kehidupan bermasyarakat.
Berbahasa secara santun dapat membuat penutur mendapatkan respon
berupa rasa simpati dari mitra tuturnya. Ada banyak hal yang harus kita
perhatikan dan kita pelajari bersama aga kita dapat menggunakan bahasa secara
santun dalam berkomunikasi. Kesantunan berbahasa akan membuat penutur dan
mitra tutur menjadi akrab dan saling mengerti satu sama lain. Sikap akrab dan
mengerti ini akan dapat memperlancar kegiatan berkomunikasi yang tengah
berlangsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam kehidupam
bermasyarakat (Sarwoyo, 2005). Mengapa dikatakan demikian? Karena ketika
kita menggunakan bahasa secara santun dalam kegiatan berkomunikasi, maka
akan tercermin kepribadian secara utuh melalui tuturan yang diujarkan. Menurut
Pranowo (2009:4), struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang
disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau
pembaca.
Berdasarkan kenyataan itu, kesantunan berbahasa dapat diprediksi atau
dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori. Ada banyak hal yang harus
diperhatikan, dipelajari, dan ditelaah agar tuturan yang kita ujarkan menjadi
santun. Penelitian ini menguraikan bagaimanakah dan apa sajakah yang harus
diperhatikan saat bertutur kata. Beberapa ahli telah menuliskan hal-hal yang
berkaitan dengan kesantunan berbahasa, seperti prinsip-prinsip kesantunan, cara
berkomunikasi secara santun, indikator-indikator yang harus diperhatikan agar
tuturan yang kita ujarkan dapat menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah
kesantunan yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Adapun teori-teori yang dapat
dipaparkan di bawah ini.
2.2.2.1.1 Prinsip Kesantunan
Peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech
dalam penelitian ini. Prinsip kesantunan Leech ini yang biasa dikenal sebagai
prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama Leech ini tentu mengacu pada konteks
kerjasama antara penutur dengan petutur dalam komunikasi. Prinsip kesantunan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
yang dikemukakan oleh Leech (1983) merupakan suatu prinsip kesantunan yang
hingga saat ini dianggap paling lengkap dan paling komperehensif. Di bawah ini,
rumusan tersebut akan dijelaskan secara detail dalam enam maksim menurut
Geoffrey Leech (1993:206-207) sebagai berikut.
1) Maksim Kearifan (TACT MAXIM)
Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang
lain sebesar mungkin.
2) Maksim Kedermawanan (GENEORISITY MAXIM)
Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri
sendiri sebesar mungkin.
3) Maksim Pujian (APPROBATION MAXIM)
Kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak
mungkin.
4) Maksim Kerendahan Hati (MODESTY MAXIM)
Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan kecamlah diri sendiri sebanyak
mungkin.
5) Maksim Kesepakatan (AGREEMENT MAXIM)
Usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit
mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang lain
juga terjadi sebanyak mungkin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
6) Maksim Simpati (SYMPATHY MAXIM)
Kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain hingga sekecil
mungkin dan tingkatkanlah rasa simpati dengan sebanyak-banyaknya antara
diri sendiri dan orang lain.
Rumusan mengenai prinsip kesantunan juga tertuang dalam enam maksim
interpersonal menurut Rahardi (2005:59) sebagai berikut.
1) Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.
2) Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.
3) Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.
4) Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.
5) Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize
agreement between self and other.
6) Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy
between self and other.
Wijana (1996:56-61) memaparkan keenam maksim Leech tersebut secara
lebih ringkas dan mudah dipahami sebagai berikut.
1) Maksim Kebijaksanaan
Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi
orang lain.
2) Maksim Penerimaan
Maksim ini menghendaki setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
3) Maksim Kemurahan
Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa
hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang
lain.
4) Maksim Kerendahan Hati
Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri.
5) Maksim Kecocokan
Maksim ini menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur
memaksimalkan kesetujuan di antara mereka dan meminimalkan
ketidaksetujuan di antara mereka.
6) Maksim Kesimpatian
Maksim ini mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memaksimalkan
rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.
Lain halnya dengan Rahardi dan Wijana, Pranowo (2009:36) dituliskan
bahwa prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh Leech menurut
Pranowo tersebut adalah maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim
pertimbangan ini memiliki definisi yakni maksim yang menyatakan bahwa
penutur hendaknya meminimalkan rasa tidak senang kepada mitra tutur dan
memaksimalkan rasa senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut
di atas adalah bahwa penutur diharapkan dapat membuat mitra tuturnya merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
lega terhadap tuturan yang diujarkan penutur ketika proses berkomunikasi
berlangsung.
2.2.2.1.2 Kriteria (Skala) Kesantunan
Kriteria (skala) adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian sesuatu. Ada
banyak hal yang dapat digunakan sebagai ukuran kesantunan, hal ini dikhususkan
pada kesantunan dalam berbahasa. Yang dimaksud dengan skala kesantunan
adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang
paling santun. Beberapa ahli telah menyatukan pendapat-pendapatnya dari
berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan.
Berikut ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang telah
dirangkum oleh beberapa para ahli, yakni Robin Lakoff, Brown dan Levinson,
dan Geoffrey Leech.
1) Skala Kesantunan Robin Lakoff (1973)
Skala kesantunan yang dijelaskan oleh Robin Lakoff terdiri atas tiga skala
kesantunan saat bertutur kata.
a) Skala formalitas (formality scale) menyatakan bahwa agar peserta
pertuturan, yakni penutur dan mitra tutur merasa nyaman dalam kegiatan
bertutur. Oleh karena itu, tuturan yang digunakan dalam kegiatan bertutur
tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh terkesan angkuh. Di dalam
kegiatan bertutur, penutur dan mitra tutur harus tetap menjaga jarak
sewajarnya mungkin antara yang satu dengan yang lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
b) Skala ketidaktegasan disebut juga skala pilihan (optionality scale)
menunjukkan agar penutur dan lawan tutur dapat saling merasa nyaman
dalam bertutur. Oleh karena itu, pilihan-pilihan dalam bertutur harus
diberikan oleh kedua belah pihak. Partisipan tutur tidak diperbolehkan
bersikap terlalu tegang dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap
tidak santun.
c) Skala kesekawanan (equality scale) menunjukkan bahwa agar dapat
bersifat santun, kita harus selalu bersikap ramah dan harus selalu
mempertahankan persahabatan antar penutur dengan lawan tutur. Penutur
harus selalu menganggap bahwa lawan tutur adalah sahabatnya, begitu
juga sebaliknya. Rasa persahabatan ini merupakan salah satu prasyarat
untuk tercapainya kesantunan.
2) Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1978)
Brown dan Levinson (1987) menyodorkan tiga skala penentuan kesantunan
sebuah tuturan. Ketiga skala itu ditentukan secara kontekstual, sosial, dan
kultural yang selengkapnya mencakup skala (a) jarak sosial, (b) status sosial
penutur dan lawan tutur, dan (c) tindak tutur.
a) Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social
distance between speaker and hearer). Skala ini banyak ditentukan oleh
parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang
sosiokultural.
b) Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker
and hearer relative power) atau yang seringkali disebut dengan peringkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan asimetrik
(kesenjangan) antar penutur dan mitra tutur.
c) Skala peringkat tindak tutur atau yang sering disebut dengan rank rating
atau lengkapnya adalah the degree of imposition associated with the
required expenditure of goods or services didasarkan pada kedudukan
relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya.
3) Skala Kesantunan Geoffrey Leech (1983)
Geoffrey Leech menyodorkan lima buah skala pengukur kesantunan
berbahasa yang didasarkan pada setiap maksim interpersonalnya.
a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, merujuk pada
besar kecilnya biaya dan keuntungan yang disebabkan oleh sebuah tindak
tutur dalam sebuah pertuturan. Ukuran dari skala ini adalah semakin
tuturan yang diujarkan merugikan diri sendiri, maka akan dianggap
semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, apabila tuturan yang
diujarkan semakin menguntungkan diri penutur, maka akan semakin
dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Seorang penutur harus bisa
membuat mitra tutur atau lawan tuturnya merasa nyaman dan tidak
dirugikan ketika tengah melakukan percakapan.
b) Optionally scale atau skala pilihan, mengacu pada banyak atau sedikitnya
pilihan (option) yang disampaikan penutur kepada mitra tutur dalam
kegiatan bertutur. Semakin prtuturan itu memungkinkan penutur atau
mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan
dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan, merujuk pada peringkat
langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin
tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah
tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah
tuturan akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
d) Authority scale atau skala keotoritasan, merujuk pada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam kegiatan
pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin
santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara
keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan
yang digunakan dalam bertutur.
e) Social distance scale atau skala jarak sosial, merujuk pada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan
sosial di antara keduanya yakni penutur dan lawan tuturnya akan menjadi
semakin kurang santunlah tuturan tersebut. Demikian sebaliknya,
semakin jauh jarak hubungan sosial di antara keduanya, maka akan
semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan kata lain, tingkat
keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat
menentukan skala kesantunan tuturan suatu bahasa ketika bertutur
(Rahardi, 2005:66-70).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Skala-skala menurut para ahli di atas telah dijelaskan dengan sedemikian
rupa. Untuk mempersingkat pemahaman mengenai skala-skala tersebut, peneliti
akan merangkumnya dengan singkat, padat, dan jelas. Skala Robin Lakoff (1973)
memaparkan mengenai kenyamanan dalam berkomunikasi, skala Brown dan
Levinson (1978) memaparkan mengenai peringkat dalam berkomunikasi, baik
untuk subjek maupun tuturannya, dan yang terakhir adalah skala Geoffrey Leech
(1983) yang memaparkan mengenai cakupan atau rangkuman dari skala Robin
Lakoff dan Brown dan Levinson. Mengapa dikatakan bahwa skala Geoffrey
Leech merupakan rangkuman dari kedua skala lainnya? Hal ini karena dalam
skala milik Leech dipaparkan mengenai kenyamanan dan peringkat dalam
berkomunikasi seperti yang telah dijelaskan pada skala milik Robin Lakoff dan
Brown dan Levinson. Dengan kata lain, skala milik Leech merupakan skala yang
lengkap.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari paparan di atas mengenai kriteria
kesantunan yang harus diperhatikan adalah jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur, adanya suatu pilihan saat kita bertutur kata, status sosial, ketidaklangsungan
menyampaikan maksud saat bertutur kata, kedekatan penutur dengan mitra tutur,
dan adanya otoritas antara penutr dan mitra tutur.
Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang
dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan para
pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan
kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam menganalisis tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat
kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat
kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar analisis
penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang dijabarkan
dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum dalam skala
pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala
ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun,
peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala
tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala
ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar
analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.
Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga
skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik
Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili
untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat
kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti
dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.2.2.1.3 Indikator Kesantunan
Ada beberapa indikator kesantunan yang harus diperhatikan agar
menjadikan tuturan yang santun. Beberapa indikator telah dikemukakan oleh para
ahli. Salah satunya adalah Pranowo (2009:100-104) yang mengemukakan dalam
bukunya beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang memang wajib untuk
diperhatikan agar komunikasi dapat berjalan dengan baik dan lancar serta maksud
yang ingin disampaikan dapat tercapai dengan baik. Ada 4 indikator yang akan
dipaparkan di bawah ini, yakni (1) indikator kesantunan Dell Hymes, (2) indikator
kesantunan Grice, (3) indikator kesantunan Leech, dan (4) indikator kesantunan
Pranowo.
1) Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)
Dell Hymes (1978) menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi
hendaknya memerhatikan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan
istilah SPEAKING.
a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya
komunikasi.
b) (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang ikut terlibat dalam
komunikasi (orang 1 dan orang 2).
c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai
dalam berkomunikasi.
d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk
dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
dalam bahasa tulis maupun lisan misalnya, berupa permintaan,
sedangkan isi pesan adalah wujud permintaannya.
e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya,
bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian).
f) (I) Instrumentalities (sarana tutur) yang mengacu pada segala ilustrasi
yang ada di sekitar peristiwa tutur.
g) (N) Norms (norma-norma tutur) yaitu pranata sosial kemasyarakatan
yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.
h) (G) Genres (ragam tutur) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan,
misalnya ragam formal, ragam santai, dan sebagainya.
2) Indikator Kesantunan Menurut Grice (2000)
Indikator yang dikemukakan oleh Grice (2000:362) menyatakan bahwa
santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan beberapa hal di bawah
ini.
a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar tidak
merasa dipermalukan.
b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik
mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya
dengan mitra tutur.
c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.
d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga
mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau
kelebihan diri sendiri.
3) Indikator Kesantunan Menurut Leech (1983)
Menurut Leech (1983), tuturan dapat dikatakan santun, apabila ditandai
dengan hal-hal sebagai berikut.
a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim
kebijaksanaan “tact maxim”).
b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim
kedermawanan “generosity maxim”).
c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian
“praise maxim”).
d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “modesty
maxim”).
e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim
kesetujuan “agreement maxim”).
f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh
mitra tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).
g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang kepada
mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).
4) Indikator Kesantunan Menurut Pranowo (2009)
Indikator lain dikemukakan oleh seorang guru besar pada Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, yakni Pranowo (2009) bahwa agar komunikasi dapat terasa
santun, tuturan ditandai dengan hal-hal berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
a) Angon Rasa
Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat
membuat hati mitra tutur berkenan.
b) Adu Rasa
Pertemukan perasaan Anda (penutur) dengan perasaan mitra tutur
sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki karena sam-sama
diinginkan.
c) Empan Papan
Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur
sedang berkenan di hati.
d) Sifat Rendah Hati
Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di
hadapan mitra tutur.
e) Sikap Hormat
Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur
diposisikan pada tempat yang lebih tinggi.
f) Sikap Tepa Slira
Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan
kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.
2.2.2.2 Pandangan Sosial
Menurut pandangan norma sosial, kesantunan berbahasa selalu dikaitkan
dengan tata nilai atau norma yang sudah disepakati bersama oleh sekelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
masyarakat walaupun norma itu berupa konvensi. Tutur kata seseorang dianggap
santun apabila orang itu telah mematuhi norma yang ada dalam suatu kelompok
masyarakat di mana ia berada. Sebaliknya, apabila norma tersebut dilanggar, ia
dianggap tidak santun, tidak mempunyai etika yang baik, atau tidak beradab. Hal
ini sesuai dengan pendapat Fraser (1990) yang mengatakan bahwa setiap
masyarakat mempunyai seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah yang
eksplisit. Kaidah itu ditentuan oleh perilaku tertentu, lingkungan, dan cara
berpikir masyarakat tersebut.
Lebih lanjut, Brown dan Levinson (1978) menyiasati pandangan norma
sosial dengan menghubungkan pemakaian bahasa dalam interaksi masyarakat.
Interaksi yang terjadi antarpartisipan tutur tidak semata-mata bermaksud
menyampaikan pesan atau informasi saja, melainkan lebih jauh dari itu, bagimana
partisipan tutur dapat menjaga keseimbangan sosial dan keramah-tamahan
hubungan di antara mereka sehingga konflik personal antarpartisipan tutur benar-
benar dapat terhindarkan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan sosial
dan keramah-tamahan hubungan setiap partisipan tutur dituntut untuk menerapkan
prinsip-prinsip kesantunan berbahasa.
Sejalan dengan pendapat Fraser (1990) dan Brown dan Levinson (1978),
Kartomiharjo (1971) menyatakan bahwa dalam menggunakan tuturan, setiap
partisipan tutur tidak bisa mengabaikan norma-norma sosial dan budaya yang
dimilikinya, partisipan tutur harus patuh terhadap norma-norma sosial dan budaya
yang berlaku. Lebih lanjut, Kartomiharjo mencontohkan tiga norma sosial dan
budaya yang harus dipatuhi oleh penutur yag bersuku Jawa, yaitu (1) empan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
papan, (2) urip mapan, dan (3) dipapanna wong tuwo. Aspek nilai yang pertama
menjelaskan bahwa bertuturlah secara wajar dan sesuai dengan tatanan
masyarakat. Aspek nilai yang kedua bermakna bahwa tuturan sebaiknya dipakai
secara layak sesuai dengan hakta dan martabatnya. Dan aspek nilai yang ketiga
mengacu pada dalam bertutur, orang tua harus dihormati.
Bertitik tolak dari pandangan norma sosial yang memandang santun
tidaknya tuturan selalu dikaitkan dengan norma sosial dan budaya yang terdapat
dalam sebuah kelompok masyarakat, menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa
itu sifatnya sangat relatif karena sangat bergantung pada norma budaya yang
berlaku dalam sebuah kelompok masyarakat dan bagaimana masyarakat itu
memahami norma-norma budayanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila kesalahpahaman sering terjadi ketika masyarakat yang berlatar belakang
budaya yang tidak sama melakukan interaksi dengan mempertahankan norma
sosial dan budayanya masing-masing.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, bahasa Indonesia merupakan
bahasa kedua yang dipakai dalam berinteraksi atau berkomunikasi sehari-hari.
Jadi, untuk dapat menggunakan tuturan bahasa Indonesia yang santun selain
dengan pendapat para ahli di atas, dapat juga menggunakan prinsip tenggang rasa
yang dikemukakan oleh Aziz (2000). Lebih lanjut, Aziz (2000) mengatakan
bahwa prinsip tenggang rasa dapat beroperasi melalui sejumlah nilai dan
subprinsip. Subprinsip tersebut adalah sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
1) Prinsip Daya Luka dan Daya Sanjung
Artinya, sebuah ekspresi bahasa memiliki potensi bahwa ia akan mampu
membuat seseorang merasa terlukai atau tersanjung dibahagiakan. Oleh karena
itu, berhati-hatilah dalam menggunakan ekspresi bahasa tersebut.
2) Prinsip Berbagi Rasa
Artinya, mitra tutur kita memiliki perasaan sebagaimana layaknya kita
sendiri sebagai penutur. Oleh karenanya, ketika bertutur dengan menggunakan
ekspresi bahasa, pertimbangkanlah perasaan mitra tutur sebagaimana layaknya
kita mempertimbangkan perasaan kita sendiri.
3) Prinsip Kesan Pertama
Artinya, penilaian mitra tutur kita terhadap tingkat kesantunan berbahasa
kita pada dasarnya ditentukan oleh kesan pertama yang dia dapatkan tentang
perilaku berbahasa kita ketika dia berkomunikasi dengan kita untuk pertama
kalinya. Oleh karena itu, tunjukkanlah bahwa kita mempunyai niat yang baik
untuk berkomunikasi dan bekerja sama.
4) Prinsip Berkelanjutan
Artinya, berkelanjutan hubungan kita sebagai penutur dengan mitra tutur
kita pada masa yang akan datang pada dasarnya ditentukan oleh cara kita
bertransaksi melalui komunikasi pada saat ini. Oleh karena itu, upayakan agar
antara penutur dengan mitra tutur terjalin rasa saling percaya satu sama lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.2.2.3 Berkomunikasi secara Santun
Komunikasi adalah suatu kegiatan yang kompleks. Mengapa dikatakan
kompleks? Karena dalam komunikasi, kita dapat melihat situasi dan kondisi
ketika penutur dan mitra tutur melakukan interaksi tuturan. Menurut Pranowo
(2009:4), penggunaan bahasa yang baik dan benar saja masih belum cukup untuk
melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara
baik berarti dia sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan
situasi. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan
kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5).
Agar proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan santun, maka
kita juga perlu mengetahui strategi-strategi apa saja yang dapat kita gunakan
untuk dapat berbahasa secara santun. Dalam bukunya, Pranowo (2009:39-46)
telah memaparkan tiga strategi agar kita dapat berkomunikasi secara santun, yakni
(1) apa yang dikomunikasikan, (2) bagaimana cara mengomunikasikannya, dan
(3) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan. Ketiga strategi tersebut akan
dipaparkan dengan rinci di bawah ini.
1) Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang
berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok
pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi. Ketika
seseorang berkomunikasi dengan orang lain tetapi tidak jelas mengenai topik
pembicaraannya, maka mitra tutur akan dapat menilai bahwa penutur dan
tuturannya dirasa tidak berkualitas sehingga arus pembicaraan menjadi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
terarah dan tidak konsekuen. Hal ini dapat menyebabkan mitra tuturnya
menjadi kebingungan dalam mengikuti arus pembicaraan penutur.
2) Strategi kedua, yaitu bagaimana cara berkomunikasi seseorang. Strategi
kedua ini mengarah pada cara penyampaian maksud dari pembicaraan atau
proses komunikasi antara penutur dengan mitra tutur dalam sebuah situasi.
Ada banyak kejadian yang sering terjadi ketika seseorang gagal dalam
berkomunikasi bukan karena pokok masalah yang dibicarakan salah atau
tidak berkualitas, melainkan karena cara menyampaikannya kurang tepat.
Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang
diberikan oleh penutur kepada mitra tutur seperlunya saja, jangan kurang dan
jangan lebih. Oleh karena itu, sesuatu yang dibicarakan haruslah tepat
porsinya dan penutur harus mengemas dengan baik cara menyampaikan
maksud tersebut kepada mitra tutur agar maksud dan tujuan yang ingin
disampaikan dapat tercapai dengan baik, lancar, dan juga santun.
3) Strategi ketiga, yaitu alasan mengapa pokok masalah harus dikomunikasikan.
Dalam strategi ini, penutur diuji kejujuran terhadap hati nuraninya. Apa yang
akan diungkapkan haruslah sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu,
pada strategi ketiga ini, kita harus benar-benar memikirkan secara matang-
matang apa yang akan kita bicarakan agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara penutur dengan mitra tutur.
Kita juga harus memerhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi
ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (kaitannya dengan suasana emosi
penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat dalam menentukan
kesantunan bahasa verbal lisan. Pernyataan ini dikemukakan oleh Pranowo
(2009:76).
Seperti yang sudah dikemukakan oleh Pranowo dalam bukunya, aspek
intonasi memang harus diperhatikan ketika proses komunikasi itu berlangsung.
Hal ini dilakukan agar mitra tutur merasa senang dan nyaman ketika
berkomunikasi. Masalah jarak komunikasi juga harus diperhatikan. Untuk jarak
yang dekat, intonasi yag kita gunakan bisa pelan, namun untuk jarak komunikasi
yang jauh kita harus menggunakan intonasi yang keras agar mitra tutur dapat
menangkap apa yang akan kita informasikan. Hindarilah menggunakan intonasi
yang keras pada jarak dekat karena hal tersebut dapat menyindir atau membuat
mitra tutur kita merasa tidak nyaman.
Selain aspek intonasi, aspek nada juga menjadi faktor penentu dalam
komunikasi. Nada sangat berkaitan erat dengan perasaan, baik itu perasaan
penutur sendiri ataupun perasaan mitra tutur. Misalnya saja ketika suasana
menandakan sedang bersedih, maka nada bicara juga harus sesuai dengan suasana
bersedih, bukan menandakan suasana yang sedang bergembira. Sebaliknya,
apabila suasana menandakan sedang bersenang-senang atau bergembira, maka
nada bicara juga harus menandakan suasana yang senang, bukan menandakan
suasana yang tengah berduka atau sedih. Dengan begitu, mitra tutur akan dapat
memahami perasaan penutur yang sebenarnya.
Pranowo (2009:78) juga menyatakan bahwa dalam bahasa lisan,
kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal. Faktor bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
nonverbal ini meliputi gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan
kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan
sebagainya. Secara tidak sengaja, gerak-gerik anggota tubuh tersebut terjadi
dengan sendirinya ketika kita sedang melakukan komunikasi.
2.2.2.4 Maksim Percakapan
Pandangan maksim percakapan dikemukakan oleh Lakof (periksa Leech,
1983). Ia mengatakan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua prinsip tersebut
perlu dipertimbangkan dalam berkomuikasi. Komunikasi yang terjadi
antarpartisipan tutur bertitik tolak dari maksim percakapan, terutama yang
menyangkut tentang apa yang akan dikatakan, kapan harus mengatakannya, dan
bagaimana harus mengatakannya. Prinsip kerja sama salam maksim percakapan
dilakukan untuk menambahkan suatu nosi kegramatikalan dan
menghubungkannya dengan nosi kesempurnaan komponen-komponen pragmatik.
Berdasarkan kedua nosi tersebut, setiap partisipan tutur dapat memilih salah satu
dari dua prinsip ketika bertutur, yaitu (1) buatlah perkataan Anda secara jelas
(make your self clear) dengan cara sepenuhnya mengikuti prinsip kerja sama, dan
(2) bersopan santunlah (be polite). Strategi yang pertama mendukung prinsip kerja
sama sedangkan strategi yang kedua mengacu pada prinsip sopan santun yang
terdiri atas tiga prinsip, yaitu (a) tidak mengganggu, (b) memberi pilihan, dan (c)
membuat enak hati. Prinsip tidak mengganggu dapat digunakan dalam kesantunan
formal, prinsip enak hati dapat digunakan dalam kesantunan informal, sedangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
prinsip membuat enak hati dapat digunakan dalam kesantunan intim atau yang
biasa kita sebut akrab. Kemampuan partisipan tutur untuk memilih salah satu dari
tiga prinsip itu disebut kompetensi pragmatik. Contoh di bawah ini merupakan
realisasi kompetensi pragmatik.
[4] “Mohon maaf, tas saya tertinggal di dalam tetapi saya tidak mungkin
masuk lagi karena tadi saya sudah pamitan.” (Ambilkan tas saya)
[5] “Tolong, ambilkan tas saya yang tertinggal di dalam.”
[6] “Ambilkan tas saya dong!”
Contoh [4] di atas dituturkan oleh seorang penutur kepada mitra tutur yang
baru ia kenal dalam situasi formal. Dengan tuturan yang lebih panjang
kedengarannya lebih santun bila dibandingkan dengan tuturan yang pendek,
misalnya pada contoh tuturan [6] “Ambilkan tas saya dong!”. Menurut Grundy
(2000), pemilihan tuturan yang lebih panjang sudah mencerminkan hubungan
antarpartisipan yang baru dikenal.
Tuturan dalam contoh [5] dituturkan seorang penutur kepada mitra
tuturnya yang sudah saling kenal tetapi belum akrab. Karena hubungan mereka
belum begitu akrab, mitra tutur yang diperintah tidak serta merta mau mengikuti
perintah yang telah diujarkan oleh penutur. Dalam hal ini, mitra tutur yang
diperintah dapat menerima perintah itu karena penutur telah menggunakan tuturan
yang santun, yaitu ditandai dengan kata „tolong‟. Dan contoh terakhir yakni
contoh [6] di atas, dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur yang sudah sangat
kenal dan akrab sehingga perintah tersebut dianggap santun.
Seperti yang telah dikemukakan, prinsip kerja sama dan prinsip
kesantunan merupakan kompetensi pragmatik yang saling melengkapi. Kedua
prinsip tersebut perlu dipertimbangkan dalam kegiatan berkomunikasi. Prinsip
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) sedangkan prinsip kesantunan
dikemukakan oleh Leech (1983).
2.2.2.5 Konsep Muka
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh
Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada
“wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,”
dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public
image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam
pandangan masyarakat.
Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial dan
Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut
pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini,
wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif
(positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif
terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan pertemanan.
Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap
mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar
terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai
seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah
satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-
nilai wajah itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan.
Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan
kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada
jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar
berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang
ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan
berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak
sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah).
Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat
sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang
jauh (teman, pacar, dan sebagainya).
2.2.3 Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Kesantunan merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap
orang dalam melakukan interaksi. Interaksi yang ideal memang membutuhkan
suatu penanda agar apa yang dikomunikasikan menjadi jelas maksudnya dan
dapat berjalan sesuai dengan rencana. Komunikasi juga dapat melekatkan
hubungan antar penutur dengan mitra tutur. Dengan adanya hubungan ini, maka
keduanya akan saling mengerti apa yang tengah dikomunikasikan. Di bawah ini
akan dijelaskan mengenai dua faktor kebahasaan, yakni (1) diksi atau pilihan kata
dan (2) pemakaian gaya bahasa yang dapat dijadikan sebagai penanda kesantunan
saat melakukan suatu tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
2.2.3.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Penggunaan bahasa dalam dunia perdagangan memang tidak dituntut
untuk memerhatikan setiap diksi atau pemilihan kata dengan tepat. Dunia
perdagangan hanya menggunakan bahasa yang sewajarnya atau yang biasa
digunakan dala konteks dagang. Beberapa bahasa yang digunakan oleh para
pedagang pun terkesan kurang tepat. Memang bahasa yang digunakan para
pedagang digunakan untuk mempermudah proses jual-beli dan menarik para
pembeli, tetapi walaupun dalam konteks jual-beli, para pedagang dihimbau utuk
tetap memperhatikan pilihan kata atau diksinya.
Diksi atau yang lebih dikenal dengan pilihan kata tidak hanya digunakan
untuk mengungkapkan suatu ide, gagasan, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf,
1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari, memilih,
menyusun, dan menggunakan kata-kata dengan benar. Seseorang yang sedang
bertutur kata harus dapat memilih dan menyusun kata-kata yang akan
dikomunikasikan kepada mitra tutur agar mitra tutur dapat mengerti maksud dari
tuturan dari si penutur. Jangan sampai kata-kata yang kita pilih dapat
menyinggung perasaan mitra tutur.
Dalam berkomunikasi, seseorang tidak boleh berucap asal-asalan, bahkan
sampai tidak tahu artinya. Mengapa demikian? Karena apabila hal tersebut terjadi,
akan dapat menimbulkan suatu perasaan terhadap mitra tutur, entah dapat
menyinggung, dapat membuat marah mitra tutur, dapat membuat sedih perasaan
mitra tutur, hingga membuat kebingungan mitra tutur. Kesantunan akan dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
tercermin dengan tuturan yang baik dan tepat sesuai dengan diksi yang telah
dipakai.
Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan
dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau
diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan
suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik
digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang
pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal
atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada
imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara
atau penutur.
Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut
pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang
penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal
ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga
harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,
Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi
(pilihan kata) adalah sebagai berikut.
a) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,
b) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan
orang lain,
c) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung
perasaan orang lain,
d) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk
melakukan sesuatu,
e) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih
dihormati,
f) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.
Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan
pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari
penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat
kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan
digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan
kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya
menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang
memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang
emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur
memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan
maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih
dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif
sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di
atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang
penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks
jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Penggunaan Kata yang Tepat
Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu
maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika
bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,
suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik
dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam
memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan
gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat
dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan
tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu
percakapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
b. Menemukan Bentuk yang Sesuai
Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau
konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana
situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini
dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti
atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur
juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar
tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun
menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu
tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka
dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang
santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif
dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang
sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang
berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur
dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.
Keraf (1985:87) mengatakan bahwa ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan kita untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi
pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan seorang
penulis atau pembicara. Untuk dapat memilih kata dengan baik, yang benar-benar
sesuai, tentu membutuhkan penguasaan kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang
penutur memiliki kebebasan dalam memilih kata-kata namun tetap mengacu pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
pemilihan kata yang tepat. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain adalah
tuturan dengan pemilihan kata yang tepat dan jelas karena penutur sudah pasti
mempersiapkannya dengan matang-matang.
Keraf (1985:88-89) menyebutkan beberapa butir persoalan yang harus
diperhatikan oleh setiap orang agar mampu mencapai ketepatan pilihan kata
dalam tuturannya.
a) Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi.
b) Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim.
c) Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya.
d) Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri.
e) Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing
yang mengandung akhiran asing tersebut.
f) Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara otomatis.
g) Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus dapat
membedakan kata umum dan kata khusus.
h) Mempergunakan kata-kata indah yang menunjukkan persepsi khusus.
i) Memerhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal.
j) Memerhatikan kelangsungan pilihan kata.
Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata atau diksi adalah
kelangsungan pilihan kata seperti yang tercantum pada point kesepuluh. Yang
dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata merupakan teknik memilih kata yang
sedemikian rupa, sehingga maksud seseorang dapat disampaikan secara tepat dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
ekonomis (Keraf, 1985:100). Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara
tepat, penutur juga harus dapat mempertahankan kelangsungan pilihan kata agar
tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut.
Dihimbaukan kepada penutur, jangan terlalu banyak menggunakan kata-kata saat
berbicara dengan mitra tutur, karena hal ini dapat mengakibatkan mitra tutur
menjadi kebingungan atau bahkan malah sama sekali tidak mengerti maksud
tuturan penutur. Pemilihan kata-kata ini juga dikaitkan dengan situasi dan
lingkungan penutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.
2.2.3.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam retorika dikenal dengan sebutan style. Style ini identik
dengan unsur keindahan yang merupakan suatu bentuk kekhasan akan sesuatu hal.
Menurut Keraf (1985:112), terkait dengan keahlian, style menitikberatkan pada
menulis indah, namun lambat laun berubah menjadi kemampuan dan keahlian
untuk menulis atau mempergunkan kata-kata secara indah. Dalam tuturan tentu
hal ini sangat berkaitan dengan tindak tutur antara penutur dengan mitra tutur
ketika tengah melakukan percakapan. Hal penting yang harus dilakukan oleh
penutur adalah bagaimana penutur dapat bertutur kata secara santun dan indah
dengan mitra tuturnya.
Gaya bahasa menurut Keraf (1985:113) dibatasi hanya sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang akan memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa digunakan untuk
memberi suatu kekhasan dari ungkapan penutur. Keraf mengatakan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
seorang penutur harus mempunyai suatu kekhasan dalam tuturannya, dan hal
tersebut pasti sudah dimiliki oleh setiap orang (penutur).
Kekhasan yang dimiliki oleh setiap orang pastilah berbeda satu sama lain,
karena setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dalam mengolah
penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulis. Bahasa percakapan memang
biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis. Karena bahasa
percakapan sudah pasti akan digunakan dalam situasi apapun, kapan pun, dan di
mana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis memiliki kaidah-kaidah atau
batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan
kita dapat menggunakan bahasa tulis.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 1985:113). Dari
pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya bahasa merupakan
bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek-efek tertentu
dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan ssuatu hal yang
umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat menimbulkan makna
konotasi baru dengan efek-efek tertentu.
Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa
jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-
gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya
bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual
(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya
bahasa yang baik, yaitu:
a. Kejujuran
Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan
gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti
kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa
yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak
jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan
konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan
kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra
tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.
Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk
digunakan dalam konteks berkomunikasi.
b. Sopan Santun
Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya
bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara
bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,
dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra
tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras
untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang
dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka
tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam
berkomunikasi.
c. Menarik
Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus
menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,
humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan
imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur
diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira
atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila
penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan
tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur
membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah
maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat
untuk digunakan dalam berkomunikasi.
2.2.4 Sosiopragmatik
Sosiopragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan
bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang
mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud terkait dua hal, yaitu konteks sosial
dan konteks sosietal (Rahardi, 2009:21). Yang dimaksud dengan konteks sosial di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
sini adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota
masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sedangkan
konteks sosietal dimaksudkan konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan
dari anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.
Kajian sosiopragmatik ini secara konkrit merupakan kajian entitas
kebahasaan yang menggabungkan ancangan penulisan sosiolinguistik dan
ancangan penulisan pragmatik dalam wadah dan lingkup kebudayaan tertentu.
Oleh karena itu, sosiopragmatik merupakan telaah mengenai penggunaan dan
pemaknaan bahasa pada kondisi setempat. Sosiopragmatik ini tidak lepas dari
penggunaan konteks. Hal ini dikarenakan aspek sosiolinguistik memang terfokus
pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri. Kajian ini juga mengacu pada santun
atau tidak santunnya suatu tuturan yang dilihat dari kacamata sosiopragmatik
untuk meninjau sejauh mana terlihatnya keuntungan dan kerugian yang
diakibatkan oleh kajian sosiopragmatik ini di dalam aktivitas komunikasi yang
terjalin.
Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa fungsi
komunikatif dalam penggunaan bahasa secara khusus di kalangan pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Klasifikasi data tersebut telah
diidentifikasikan berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan
deskripsi analisis data juga akan dipaparkan sebagai berikut.
1) Terdapat beberapa kriteria (skala) kesantunan dari beberapa ahli yang
dapat digunakan sebagai alat ukur kesantunan dalam sebuah percakapan
para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Penelitian ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
menggunakan kriteria (skala) kesantunan Geoffrey Leech dalam
menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta. Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
yang dibagi menjadi dua sub, yakni (1) tingkat kesantunan penjual di
perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan (2) tingkat kesantunan pembeli di
perko trotoar Malioboro Yogyakarta.
2) Dasar analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey
Leech yang dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat
kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Kelima skala yang terangkum dalam skala pragmatik adalah (1) skala
biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4)
skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya
menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya, yaitu (1) skala biaya-
keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini
dikarenakan ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar analisis
penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.
Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya
mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya
menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala
Leech tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan
berbahasa baik penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli.
Dengan adanya ketiga skala tersebut, peneliti dapat mengetahui apakah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
tersebut tergolong santun atau tidak santun.
3) Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin
mengetahui tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur
kode, (4) diksi, dan (5) gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan
pembeli dalam konteks berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta.
Kelima hal tersebut di atas juga memiliki andil yang besar dalam peneliti
menentukan tingkat kesantunan berbahasa.
4) Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada
paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya
untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun
pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting
dari lima hal tersebut yakni penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa.
Ketiga hal itu juga dapat mewakili dua skala milik Leech yang oleh
peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis penelitian ini. Oleh karena
itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima hal yang telah
dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan menjelaskan
dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam suatu tuturan
dapat terjadi hanya satu penanda saja, tetapi dapat pula terjadi lebih dari
satu penanda yang digunakan dalam suatu tuturan secara bersamaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Saat kita berbicara santun, di situ kita akan mendapatkan perhatian atau
simpati dari lawan tutur atau mitra tutur. Dalam hal ini, semua bahasa memiliki
tingkat kesantunan yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari aspek intonasi,
nada bicara, faktor pilihan kata atau diksi, dan faktor struktur kalimat yang
dituturkan.
2.2.5 Konteks
Dalam suatu kegiatan komunikasi, hal utama yang perlu diperhatikan
adalah konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Penutur dan mitra tutur
harus benar-benar mengetahui konteks pembicaraannya. Apabila penutur dan
mitra tutur sedah sama-sama mengerti konteks pembicaraannya, sudah pasti
tuturan yang diujarkan menjadi lancar dan mampu dipahami makna tuturannya.
Imam Syafi‟i (melalui Mulyana, 2005:24) menjelaskan tentang konteks tuturan
yang dibagi menjadi empat bagian. Empat konteks tuturan ini dijelaskan sebagai
berikut.
a) Konteks linguistik (linguistic context) adalah kalimat-kalimat dalam suatu
percakapan.
b) Konteks epostemis (epostemis context) adalah latar belakang pengetahuan
yang sama-sama diketahui oleh partisipan tutur.
c) Konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya percakapan atau
komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu percakapan, dan tindakan
partisipan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
d) Konteks sosial (social context) adalah suatu relasi sosio-kultural yang
melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu percakapan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konteks memiliki
peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan komunikasi. Dengan adanya
konteks ini, tuturan yang diujarkan oleh penutur akan dapat langsung ditangkap
dengan baik dan jelas maksud tuturannya oleh mitra tutur.
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut.
1. Penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta. Hal ini mengacu pada tingkat kesantunan berbahasa
pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
2. Landasan teori yang digunakan adalah teori-teori sosiolinguistik, pragmatik,
dan sosiopragmatik pada umumnya (teori kesantunan pada khususnya).
3. Atas dasar teori tersebut, penelitian ini akan menjelaskan atau
mendeskripsikan secara jelas tingkat kesantunan berbahasa yang digunakan
oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
4. Sifat penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif yang
menitikberatkan pada deskripsi data penelitian dengan instrumen penelitian
peneliti sendiri yang memiliki bekal pengetahuan teori-teori pragmatik,
sosiolinguistik, dan sosiopragmatik pada umumnya dan teori kesantunan pada
khususnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Untuk memperjelas kerangka berpikir di atas, dibuatlah skema yang
menandakan urutan dari kerangka berpikir tersebut. Skema kerangka berpikir
disusun dengan rinci sebagai berikut.
BAGAN 1
Kerangka Berpikir
PENGGUNAAN BAHASA PEDAGANG
"PERKO" TROTOAR MALIOBORO
YOGYAKARTA
TEORI-TEORI
KESANTUNAN
ASPEK
SOSIOLINGUISTIK
ASPEK
PRAGMATIK
PENGGUNAAN
SAPAAN, ALIH
KODE, DAN
CAMPUR KODE
SKALA
KESANTUNAN
GEOFFREY LEECH
(1983)
SOSIOPRAGMATIK
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam metodologi penelitian ini, penulis menguraikan bagian-bagian yang
memuat tentang (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) instrumen
penelitian, (4) metode pengumpulan data, (5) teknik analisis data, dan (6)
triangulasi data. Uraian secara lengkap bagian pendahuluan dipaparkan berikut
ini.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang tingkat kesantunan berbahasa yang
digunakan oleh pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Berdasarkan
penjelasan bab II sebelumnya, jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah
jenis penelitian kebahasaan yang dikhususkan pada bidang kajian ilmu
sosiopragmatik. Secara umum penelitian ini mengacu pada teori-teori pragmatik,
sosiolinguistik, dan sosiopragmatik sedangkan secara khusus mengacu pada teori
kesantunan berbahasa.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Jika didefinisikan
secara terpisah-pisah, yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah
penelitian yang menitikberatkan penguraian atau penjelasan pandangan peneliti
terhadap adanya suatu masalah. Dalam hal ini, Sudaryanto (1998:60) mengatakan
bahwa deskriptif lebih menandai pada hasil penelitian yang bersangkutan dengan
sikap atau pandangan peneliti terhadap adanya (dan tidak adanya) penggunaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
bahasa daripada menandai cara penanganan bahasa tahap demi tahap dan langkah
demi langkah. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah
penelitian yang dilakukan dengan cara menjabarkan. Namun, Sugiyono (2012:8)
memiliki pandangan yang berbeda dengan pernyataan mengenai penelitian
kualitatif sebelumnya. Sugiyono mengatakan bahwa penelitian kualitatif yang
dimaksud adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi yang alamiah.
Sebenarnya jika kita perhatikan dengan seksama, pengertian penelitian kualitatif
dan deskriptif sama-sama menjabarkan, menjelaskan, memaparkan, dan lain-lain.
Sugiyono (2012:222) memaparkan bahwa penelitian kualitatif dipilih
sebagai human instrument (instrumen yang diteliti adalah orang atau manusia)
memiliki fungsi untuk menetapkan fokus penelitian, pemilihan informan sebagai
sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data yang dipakai
dalam penelitian ini, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan
atas temuannya. Fokus penelitian ini adalah pedagang “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Kemudian yang dijadikan sebagai informan dari penelitian ini yakni
pedagang itu sendiri.
3.2 Sumber Data dan Data
Sumber data berasal dari aktivitas tuturan (penggunaan bahasa) oleh
pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan pembeli. Keseluruhan data-
data tersebut merupakan populasi dari penelitian ini. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989:695), populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal
yang menjadi sumber pengambilan sampel. Jadi, data-data yang diambil dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
penelitian ini merupakan sumber pengambilan sampel yang pastinya menyeluruh
dan benar-benar akurat. Sumber data penelitian ini berasal dari tuturan pedagang
(penjual) dengan pembeli yang semuanya diambil secara natural dan terarah.
Data diperoleh dari tuturan masing-masing pedagang dan pembeli. Hal ini
dilakukan karena dirasa para pedagang seringkali menggunakan bahasa yang
kurang santun dalam konteks percakapan jual-beli, begitu juga dengan pembeli.
Sedangkan sampelnya adalah sebagian pedagang “perko” yang ada di trotoar
Malioboro Yogyakarta dan sebagian pembeli yang akan menjadi objek penelitian
ini, begitu pula sebaliknya.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang memiliki bekal
pengetahuan mengenai bidang kajian ilmu sosiolinguistik, pragmatik, dan
sosiopragmatik beserta teori-teorinya. Namun tidak hanya terfokus pada teori-
teori umumnya saja, melainkan terfokus secara khusus mengenai teori kesantunan
berbahasa. Setelah fokus penelitian ini sudah tampak jelas adanya, maka
kemungkinan besar akan dikembangkan instrumen penelitian yang sederhana. Hal
ini dilakukan supaya dapat melengkapi data-data serta membandingkannya
dengan data-data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara
(Sugiyono, 2012:223-224). Peneliti sudah sangat jelas dengan konteks jual-beli
yang ada di daerah pusat perbelanjaan ternama di kota Yogyakarta, yaitu
Malioboro. Peneliti telah melihat bagaimana kehidupan para pedagang “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta di setiap harinya hanya untuk menjajakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
dagangannya pada para pembeli. Hal ini diharapkan dapat memudahkan peneliti
dalam mengupayakan hasil dari instrumen penelitian untuk mencapai tingkatan
yang maksimal. Jadi, peneliti harus benar-benar fokus pada penelitian ini guna
mendapatkan hasil yang maksimal, jelas, teliti, dan terperinci.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua metode, yakni metode yang pertama
adalah metode observasi partisipatif dan metode yang kedua adalah metode
simak-catat. Peneliti mengumpulkan tuturan dari hasil percakapan antara
pedagang “perko” dengan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan
diperoleh dari penggunaan dua metode tersebut di atas.
Metode pertama yaitu metode observasi partisipatif. Berawal dari definisi
observasi. Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat”,
“mengamati”, dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode
tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu
yang diamati. Observasi partisipan adalah observasi yang melibatkan peneliti atau
observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jenis teknik
observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat
eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
suku bangsa karena pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat
berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan observer, sehingga
memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang
akan diteliti. Dengan menggunakan metode ini, tuturan antara pedagang dengan
pembeli dapat diperoleh secara jelas. Di dalam tuturan antara kedua partisipan
tersebut pasti terdapat bentuk-bentuk kesantunan berbahasa yang mengandung
makna linguistik maupun nonlinguistik. Selain bentuk-bentuk kesantunan,
penggunaan kata sapaan juga pasti terlihat dalam percakapan tersebut. Hal ini juga
tidak dapat dipungkiri akan terjadi peristiwa alih kode dan campur kode.
Metode yang kedua adalah metode simak-catat. Tuturan diperoleh dengan
memperhatikan metode simak-catat, yakni menyimak pertuturan langsungan di
dalam aktivitas jual-beli yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk kesantunan
bahasa yang mengandung makna linguistis maupun nonlinguistis. Teknik yang
digunakan terhadap metode tersebut adalah dengan mencatat dan merekam tuturan
dalam aktivitas jual-beli di trotoar Malioboro Yogyakarta. Catatan dan rekaman
tuturan itulah yang kemudian diteliti oleh peneliti terhadap tingkat kesantunan
berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dalam aktivitas jual-
beli.
Peneliti menggunakan dua metode tersebut karena melihat kedua metode
di atas dirasa sudah tepat digunakan untuk mencari data tuturan baik tuturan
penjual maupun tuturan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Dengan menggunakan metode yang pertama yakni metode observasi
partisipatif, peneliti dapat meneliti dengan mudah karena peneliti ikut terjun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
langsung dapat observasi tersebut. Metode yang kedua yakni metode simak-catat
digunakan peneliti untuk meninjau kembali dari rekaman yang telah diambil oleh
peneliti saat observasi berlangsung. Dari rekaman tersebut kemudian ditranskrip
berupa catatan percakapan antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, dua
metode tersebut di atas dipilih peneliti sebagai metode pengumpulan data pada
penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitiannya ini
merujuk pada kajian analisis deskriptif dan analisis kontekstual. Nurastuti
(2007:103) menjelaskan yang dimaksud dengan analisis deskriptif adalah analisis
yang dilakukan dengan merinci dan menjelaskan secara panjang lebar
(menyeluruh) keterkaitan data penelitian dalam bentuk kalimat. Jadi, teknik
analisis data secara deskriptif ini, peneliti benar-benar mengungkap masalah
penelitian ini dengan cara mendeskripsikan, menjelaskan, dan memaparkan
masalah penelitian tersebut. Analisis kontekstual adalah analisis yang diterapkan
pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan konteks (Rahardi, 2006:36).
Peneliti kemudian mengaitkan deskripsi atau paparan masalah tersebut ke dalam
suatu bentuk kalimat, sehingga penelitian ini benar-benar jelas. Tentu tidak
terlepas dari konteks yang notabene merupakan ancangan dari kajian
sosiopragmatik itu sendiri.
Pada teknik analisis data ini, peneliti menggunakan ancangan
sosiopragmatik yang menekankan pada maksud tuturan beserta konteksnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Maksud tuturan dan konteks di sini dideskripsikan secara mendetail guna
mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, terdapat empat langkah teknik
analisis data dalam penelitian ini. Empat langkah teknik analisis data ini
dijabarkan sebagai berikut.
1) Tahap pertama adalah tahap klasifikasi
Pada tahap pertama ini, peneliti mengelompokkan data-data penelitian
berdasarkan kesamaan masalah penelitian yang mengacu pada teori
sosiolinguistik, pragmatik, dan khususnya teori sosiopragmatik sebagai
tinjauan dalam penelitian ini.
2) Tahap kedua adalah tahap identifikasi
Tahap identifikasi ini peneliti melakukan suatu indentifikasi terhadap data-
data yang telah terkumpul dengan mengkaji tuturan kebahasaan dengan
menggunakan teori kesantunan dan penanda kesantunan. Peneliti juga
mengidentifikasi data-data sesuai dengan konteksnya (sosiopragmatik).
3) Tahap ketiga adalah tahap interpretasi
Tahap ini merupakan tahapan pemberian makna atau pemaknaan atas temuan-
temuan dalam penelitian ini. Peneliti memberikan makna atau pemaparan
mengenai maksud tuturan sesuai dengan analisis atau identifikasi yang telah
dilakukan sesuai dengan data yang ada. Pemaknaan ini tentu tidak terlepas
dari adanya konteks yang terdapat di dalam data-data penelitian ini.
4) Tahap yang terakhir adalah tahap deskripsi
Dalam tahap ini, peneliti memaparkan dan menjelaskan hasil kajian yang
telah dilakukan berdasarkan kajian ilmu sosiopragmatik yang mengacu pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
tuturan beserta maksudanya dan konteks tuturan itu sendiri. Deskripsi ini
dapat dikatakan sebagai hasil temuan yang dilakukan peneliti dalam
mengupas habis permasalahan dalam penelitian ini.
3.6 Triangulasi Data
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa yang
berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin di ukur. Keabsahan ini juga
dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu caranya
adalah dengan proses triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006:330).
Metode triangulasi merupakan salah satu metode yang paling umum di
pakai dalam uji validitas penelitian kualitatif. Metode triangulasi di dasarkan pada
filsafat fenomenologi. Fenomenologi merupakan aliran filsafat yang mengatakan
bahwa kebenaran bukan terletak pada peneliti, melainkan realitas objek itu
sendiri. untuk memperoleh kebenaran, secara epistimologi harus dilakukan
penggunaan multiperspektif.
Ada tiga proses triangulasi yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini,
yaitu triangulasi teori, triangulasi logis, dan triangulasi penyidik. Melalui
triangulasi teori, peneliti memanfaatkan dan membandingkan teori-teori tentang
kesantunan berbahasa, skala kesantunan, penanda-penanda kesantunan, dan lain-
lain yang berkaitan dengan kesantunan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dan ditunjang dari segi pembelinya juga. Yang kedua, peneliti melakukan
triangulasi logis, yaitu melakukan bimbingan bersama dosen pembimbing , yaitu
Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. sebagai pembimbing I dan Dr. R. Kunjana Rahardi,
M.Hum. sebagai pembimbing II dalam hal diskusi-diskusi demi perbaikan dan
penyempurnaan sejak awal hingga akhir penelitian. Dan triangulasi yang terakhir
adalah triangulasi penyidik. Dalam triangulasi penyidik ini, adanya penyidik yang
turut memeriksa hasil pengumpulan dan tabulasi data yang telah diperoleh dan
dianalisis oleh peneliti. Peneliti mempercayakan Dr. B. Widharyanto, M.Pd.
sebagai penyidik triangulasi ini. Penyidik akan memeriksa dan memberi masukan
terhadap hasil pengumpulan data yang telah dilakukan oleh peneliti.
Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan. Mengapa dapat dikatakan
demikian? Karena dilihat dari masalahnya, jenis penelitiannya, sumber datanya,
metode pengumpulan datanya, dan lain-lain, peneliti dapat mengambil nila-nilai
positif dalam proses penelitian ini. Dikatakan menarik karena penelitian ini belum
pernah dilakukan oleh siapa pun dengan mengambil konteks pusat perdagangan
dan perbelanjaan khas kota Yogyakarta yaitu Malioboro. Selain itu, selain kita
melaksanakan penelitian ini, kita dapat juga “Bermain Sambil Belajar”. Maksud
dari pernyataan tersebut adalah memang tujuan kita untuk melakukan sebuah
penelitian ini, namun kemungkinan besar kita juga dapat ikut bermain, jalan-jalan
di dalam pusat perdagangan dan perbelanjaan yang terkenal itu. Hal ini akan
membuat peneliti lebih bersemangat dalam melakukan penelitian ini. Ditambah
lagi dengan adanya bermacam-macam jenis dagangan yang diperjualbelikan di
sana sehingga peneliti tidak bosan dengan keadaan sekitar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Peneliti akan berusaha keras dalam melakukan penelitian ini. Usaha yang
keras dan maksimal diharapkan akan membuahkan hasil yang maksimal juga.
Peneliti berharap penelitian ini akan dapat berjalan dengan lancar dan sukses.
Sehingga masalah dalam penelitian ini dapat terkuak dan menjadikan penelitian
ini sebagai penelitian baru yang diharapkan mampu menambah penelitian-
penelian lainnya dalam suatu bidang kajian ilmu sosiopragmatik serta dapat
bermanfaat bagi pembacanya. Oleh karena itu, penelitian ini benar-benar
diarahkan dengan menggunakan metodologi penelitian yang sangat rinci dan jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan tiga hal, yaitu (1) deskripsi data, (2) hasil analisis
data, dan (3) pembahasan temuan.
4.1 Deskripsi Data
Teori kesantunan berbahasa mengkaji bentuk-bentuk tuturan yang santun
yang dituturkan oleh partisipan tutur saat proses komunikasi terjadi. Teori ini
sangat penting untuk digunakan karena dengan menggunakan teori ini, kita akan
dapat melihat dan memahami tuturan mana yang santun dan tuturan mana yang
tidak santun. Ketika kita tengah melakukan percakapan dengan orang lain, kita
juga harus mempertimbangkan perasaan orang lain yang tengah kita ajak
berkomunikasi. Dengan memperhatikan perasaan itulah, komunikasi yang terjalin
akan lancar. Hal ni termasuk dalam tingkat kesantunan berbahasa dalam
berkomunikasi dengan tidak mempermalukan pihak penutur dan pihak mitra tutur.
Tentu dalam berkomunikasi, kita harus memperhatikan konteks kita dalam
berkomunikasi. Konteks bisa berupa siapa yang kita ajak berkomunikasi, tempat
kita berkomunikasi, waktu kita berkomunikasi, dan sebagainya. Konteksnya harus
jelas adanya karena tanpa adanya konteks ini sudah jelas bahwa komunikasi pasti
tidak akan berhasil. Selain dengan mempertimbangkn perasaan, kesantunan juga
harus ditujukkan dengan ekspresi wajah atau yang biasa disebut dengan konsep
muka. Dengan melihat ekspresi muka tersebut, maka kita dapat melihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
bagaimana tanggapan atau respon mitra tutur yang tengah kita ajak
berkomunikasi.
Dalam komunikasi, kesantunan berbahasa juga ditinjau dari segi
sosiolinguistik yang mendasar pada sapaan, alih kode, dan campur kode.
Penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode kadang disalahgunakan dalam
meneliti tingkat kesantunan berbahasa. Memang tidak ada salahnya ketika dalam
berkomunikasi aspek-aspek sosiolinguistik itu dipakai, namun hal tersebut juga
harus diperhatikan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur
menjadi santun dan tidak merugikan kedua belah pihak, baik penutur maupun
mitra tutur.
Pemakaian bahasa secara santun belum banyak mendapat perhatian. Maka,
sangat wajar apabila kita sering menemukan pemakaian bahasa yang baik ragam
bahasanya dan benar tata bahasanya, tetapi nilai rasa yang terkandung di
dalamnya menyakitkan hati pendengarnya. Hal ini dapat kita lihat pada tuturan
para pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menggunakan tuturan
yang seadanya tanpa melihat apakah tuturan tersebut santun atau tidak. Bagi
sesama pedagang, tuturan yang dituturkan kepada para pembeli itu sudah biasa
digunakan dan pasti sudah santun. Namun pada kenyataannya dapat dilihat ketika
ada seorang pembeli yang tiba-tiba langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan
salam atau suatu ucapan terima kasih kepada pedagang. Komunikasi yang terjalin
sudah pasti tidak berjalan dengan baik dan pedagang menggunakan tuturan yang
dapat merugikan pembeli, sehingga pembeli langsung pergi begitu saja. Begitu
pula sebaliknya dengan pembeli. Ada kenyataan ketika pembeli yang mencoba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
menawar harga dagangan seorang pedagang serendah mungkin dengan tuturan
yang tidak santun akan membuat perasaan pedagang kesal atau marah, sehingga
pedagang bersikap acuh tak acuh kepada pembeli. Fenomena-fenomena itulah
yang perlu diluruskan dengan meneliti tingkat kesantunan berbahasa pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang menitikberatkan pada kajian
sosiopragmatik.
Peneliti ingin menganalisis mengenai tingkat kesantunan berbahasa
pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta yang dibagi menjadi dua sub,
yakni (1) tingkat kesantunan penjual di perko trotoar Malioboro Yogyakarta dan
(2) tingkat kesantunan pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Dasar
analisis penelitian ini menggunakan skala kesantunan Geoffrey Leech yang
dijabarkan dalam lima skala sebagai tolok ukur tingkat kesantunan berbahasa
pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Kelima skala yang terangkum
dalam skala pragmatik adalah (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan,
(3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial.
Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga
skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3)
skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai
dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala
lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya
mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga
skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat
mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Dengan adanya ketiga skala tersebut,
peneliti dapat mengetahui apakah tuturan pedagang dan pembeli “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta tersebut tergolong santun atau tidak santun.
Kemudian setelah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta, peneliti juga ingin mengetahui
tentang (1) penggunaan sapaan, (2) alih kode, (3) campur kode, (4) diksi, dan (5)
gaya bahasa dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam konteks
berdagang di kawasan Malioboro Yogyakarta. Kelima hal tersebut di atas juga
memiliki andil yang besar dalam peneliti menentukan tingkat kesantunan
berbahasa. Berkaitan dengan penggunaan tiga skala yang telah dipaparkan pada
paragraf sebelumnya, kelima hal di atas juga mewakili hal-hal lainnya untuk
mengukur tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun pembeli di “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta. Yang paling penting dari lima hal tersebut yakni
penggunaan sapaan, diksi, dan gaya bahasa. Ketiga hal itu juga dapat mewakili
dua skala milik Leech yang oleh peneliti tidak dipergunakan untuk menganalisis
penelitian ini. Oleh karena itu, dengan menggunakan tiga skala Leech dan lima
hal yang telah dijelaskan tersebut, peneliti sudah dapat mengetahui dan
menjelaskan dengan detail bagaimana tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Data yang dianalisis dalam skripsi ini adalah tuturan verbal (hal-hal yang
dituturkan) yang sifatnya percakapan antarorang atau antara penjual dan pembeli.
Data diambil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dalam percakapan
pedagang dan pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta selama bulan Februari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
2014 hingga April 2014. Hasilnya ada sekitar 37 data tuturan yang dianalisis
dalam penelitian ini. 37 data tuturan tersebut kemudian dianalisis untuk kedua
objek penelitiannya, yakni dari segi penjual atau pedagang dan dari segi pembeli.
TABEL 1
JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO”
TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
NO.
SUBJEK
SA
NT
UN
(TU
TU
RA
N)
TID
AK
SA
NT
UN
(TU
TU
RA
N)
JU
ML
AH
(TU
TU
RA
N)
SKALA
KESANTUNAN
PENANDA
KESANTUNAN Ska
la
Untu
ng-R
ugi
(Tutu
ran)
Ska
la P
ilih
an
(Tutu
ran)
Ska
la
Ket
idakl
angsu
ngan
(Tutu
ran)
Pem
akai
an D
iksi
(Pil
ihan
Kat
a)
Pem
akai
an G
aya
Bah
asa
S TS S TS S TS S TS S TS
1. Pedagang 20 17 37 7 14 7 3 6 0 2 2 2 2
2. Pembeli 16 21 37 3 13 9 2 4 6 2 2 2 2
Dari tabel di atas, jumlah data tuturan pedagang dan pembeli sama-sama
berjumlah 37 data tuturan. Tuturan pedagang dan pembeli yang dianalisis tersebut
terangkum dalam satu data sekaligus. Jadi, dalam satu data tuturan akan dianalisis
ada dua, yakni tuturan pedagang dan tuturan pembeli. Tabel di atas memaparkan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat kesantunan
pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar tergolong tidak
santun. Tuturan pedagang yang santun tercatat 20 data tuturan yang terdiri atas 7
data tuturan dari skala untung-rugi, 7 data tuturan dari skala pilihan, dan 6 data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
tuturan dari skala ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pedagang yang tidak
santun tercatat 17 data tuturan yang terdiri atas 14 data tuturan dari skala untung-
rugi, 3 data tuturan dari skala pilihan, dan 0 data dari skala ketidaklangsungan.
Dari data-data penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi
dan gaya bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun
dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan
yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya
bahasa.
Begitu juga dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan
pembeli yang santun tercatat 16 data tuturan yang terdiri atas 3 data tuturan dari
skala untung-rugi, 9 data tuturan dari skala pilihan, dan 4 data tuturan dari skala
ketidaklangsungan. Sedangkan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 data
tuturan yang terdiri atas 13 data tuturan dari skala untung-rugi, 2 data tuturan dari
skala pilihan, dan 6 data tuturan dari skala ketidaklangsungan. Dari data-data
penjual tersebut, teori penanda kesantunan yakni pemakaian diksi dan gaya
bahasa mengambil 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data
tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang
santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa.
Jadi, jika data-data tersebut dirangkum menjadi satu, data yang diperoleh peneliti
tetap sebanyak 37 data tuturan. Namun apabila data-data tersebut dipilah-pilah
berdasarkan subjek penelitiannya, data tuturan penjual/pedagang sebanyak 37 data
dan data tuturan pembeli sebanyak 37 data juga (hal ini sudah termasuk data
tuturan dari segi penanda kesantunan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
37 data tuturan tersebut dianalisis dan diklasifikasikan ke dalam tiga skala
Leech, yaitu (1) skala untung-rugi, (2) skala pilihan, dan (3) skala
ketidaklangsungan dan dua penanda kesantunan, yakni (1) pemakaian diksi dan
(2) pemakaian gaya bahasa dalam analisis data. Setiap data akan dipilah menjadi
dua analisis, yakni analisis tuturan penjual dan analisis tuturan pembeli. Setiap
skala dan teori penanda kesantunan terdiri atas beberapa data yang dianalisis
dalam dua kategori yaitu kategori tuturan yang santun dan tuturan yang tidak
santun. Dalam analisis data, peneliti tidak menggunakan semua data untuk
dianalisis. Peneliti hanya menggunakan beberapa data saja sebagai sampel dalam
analisisnya. Tentu data yang dijadikan sampel sudah menjadi data pilihan peneliti
sebagai cakupan untuk analisis teori yang telah dipilih.
Sub pertama yang mengenai tingkat kesantunan penjual “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 5 data tuturan yang santun dan 5
data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 3 data tuturan yang santun
dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 4 data tuturan yang
santun dan 0 data tuturan yang tidak santun dari skala ketidaklangsungan. Dari
data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti menggunakan 8 data yang
terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari
segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak
santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi untuk menjawab sub yang pertama
ini, peneliti menggunakan 26 data tuturan, baik santun maupun yang tidak santun.
Kemudian untuk sub kedua yang mengenai tingkat kesantunan pembeli
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta peneliti menggunakan 3 data tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
santun dan 5 data tuturan yang tidak santun dari skala untung-rugi, 2 data tuturan
yang santun dan 1 data tuturan yang tidak santun dari skala pilihan, dan 2 data
tuturan yang santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari skala
ketidaklangsungan. Dari data-data tuturan penjual tersebut, tak lupa pula peneliti
menggunakan 8 data yang terdiri atas, 2 data tuturan yang santun dan 2 data
tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian diksi dan 2 data tuturan yang
santun dan 2 data tuturan yang tidak santun dari segi pemakaian gaya bahasa. Jadi
untuk menjawab sub yang kedua ini, peneliti menggunakan 23 data tuturan, baik
santun maupun yang tidak santun. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam
tabel berikut ini.
TABEL 2
JUMLAH DATA TUTURAN PEDAGANG DAN PEMBELI “PERKO”
TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA YANG DIGUNAKAN
DALAM ANALISIS DATA
NO.
SUBJEK
SA
NT
UN
(TU
TU
RA
N)
TID
AK
SA
NT
UN
(TU
TU
RA
N)
JU
ML
AH
(TU
TU
RA
N)
SKALA
KESANTUNAN
PENANDA
KESANTUNAN
JU
ML
AH
(T
UT
UR
AN
)
Ska
la
Untu
ng-R
ugi
(Tutu
ran)
Ska
la P
ilih
an
(Tutu
ran)
Ska
la
Ket
idakl
an
gsu
ngan
(Tutu
ran)
Pem
akai
an D
iksi
(Pil
ihan
Kat
a)
Pem
akai
an G
aya
Bah
asa
S TS S TS S TS S TS S TS
1. Pedagang 20 17 37 7 14 7 3 6 0 2 2 2 2 26
2. Pembeli 16 21 37 3 13 9 2 4 6 2 2 2 2 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
4.2 Hasil Analisis Data
Agar pemahaman kita semakin jelas mengenai hasil temuan atau analisis
di atas, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing aspek
di atas.
4.2.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “ Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta.
Data yang pertama mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di
trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai
penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah pembelinya. Data yang diperoleh
kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai
dasar pemikiran analisis penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan
mengenai pendapat Leech (1983:123) tentang lima skala yang perlu
dipertimbangkan untuk menilai derajat kesantunan. Lima skala tersebut
terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri atas (1) skala biaya-keuntungan,
(2) skala keopsionalan, (3) skala ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5)
skala jarak sosial. Namun, peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar
analisisnya. Tiga skala tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala
keopsionalan, dan (3) skala ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang
akan digunakan sebagai dasar analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan
mencakup dari skala-skala lainnya. Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh
peneliti juga hanya mencakup tiga skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya
menggunakan tiga skala milik Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
tersebut sudah dapat mewakili untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik
penjual maupun tingkat kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan
adanya penggunaan tiga hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni
penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat
memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini.
Dengan menggunakan sapaan, dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak
digunakan sudah dapat dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan
ketiga skala kesantunan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
4.2.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech
4.2.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)
Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan
keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya
ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur.
Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari
penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan.
Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya
akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra
tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari
penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(1) PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,
Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat
warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju anak-anak
kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah laki-laki tengah baya sedangkan
mitra tutur (pembeli) adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini menandakan
bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB apabila dagangan yang dibeli
tidak cukup, boleh ditukarkan). (DT 1)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan
tampak sebagai berikut.
Data (1) memperlihatkan bahwa penjual (penutur) sedang melakukan
transaksi jual beli dengan pembeli (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli
yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli berjalan dengan baik dan lancar.
Penjual dapat mengerti apa yang diinginkan oleh mitra tuturnya saat transaksi jual
beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua partisipan tersebut
terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro. Penutur dan mitra tutur
memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks berdagang dan tidak
mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung.
Tuturan dari data (1) tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena
penutur (penjual) memberikan keuntungan kepada pembeli dengan penekanan
tuturannya yakni, “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.” (Cukup-
cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan). Penekanan tuturan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tuturan tersebut sangat
memberikan keuntungan bagi pembeli karena apabila dagangan yang dibelinya
tidak cukup (ukurannya) boleh ditukarkan. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat
mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Santunnya tuturan data (1) juga
ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam
percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Mas” tepat digunakan sebagai sapaan
penutur (penjual) yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya. Sedangkan
sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang ibu-ibu. Data (1) juga menggunakan campur kode, yakni bahasa
Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris
dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti
merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun
karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan
bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada
percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan
menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode
yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di
dalam data (1).
(2) PJ : Tiga puluh ya?
PB : Nawar dua lima, Bu.
PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah anak remaja
yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PJ
memberikan keuntungan kepada PB dengan memberikan dagangannya sesuai
dengan penawaran PB. Jadi tuturan ini termasuk dalam tuturan yang santun
karena menguntungkan PB). (DT 4)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Data (2) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan baik. Hal ini
dikarenakan penutur dan mitra tutur dapat mengerti arah pembicaraan yang
sedang berlangsung. Tuturan dari data (2) ini termasuk dalam kategori tuturan
yang santun, karena kedua partisipan tutur tersebut dapat mengerti alur tuturan
yang sedang berlangsung dan tuturan penjual (PJ) ini sangat memberikan
keuntungan kepada pembeli (PB). Dalam skala biaya-keuntungan, semakin
penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan
menjadi sangat santun. Keuntungan yang diperoleh mitra tutur yakni mitra tutur
mendapatkan barang dagangan penutur sesuai dengan harga penawarannya.
Dengan tuturan, “Ya wis, oke-oke, Dik” menandakan bahwa penutur (PJ)
memberikan dagangannya kepada mitra tutur (PB) sesuai dengan harga
penawaran dari mitra tutur yang telah disepakati bersama sehingga hal ini dapat
dikatakan bahwa tuturan dari data (2) ini dinilai sebagai tuturan yang santun
karena penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut
merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Tidak lepas dari penutur
yang memberikan keuntungan pada mitra tuturnya, kedua partisipan tutur ini juga
menggunakan sapaan dalam berkomunikasi. Penutur yang adalah seorang ibu-ibu
tepat disapa dengan sapaan “Bu” oleh mitra tuturnya. Begitu pula sebaliknya,
mitra tutur yang adalah anak remaja yang berjenis kelamin perempuan tepat
disapa dengan menggunakan sapaan “Dik” oleh penutur yang jauh lebih tua dari
mitra tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena
penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi
yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua
partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (2) dirasa
menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko.
Terlihat jelas dari tuturan data (2) yang menggunakan campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada
tuturan penutur yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur kode
dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan yang
sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud dari
tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya.
(3) PJ : Ini maksudnya gimana?
PB : Yang warna biru.
PJ : Ini campur-campur gitu?
PB : Iya, pengennya gitu.
PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh.
PB : Hah? (kaget)
PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!
PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.
PJ : Pinter nawar e. (Pintar menawar ya)
PB : Tujuh belas.
PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.
PB : Emoh (merengek)
(Tidak mau)
PJ : Dua ribu lagi
PB : Dua ribu?
PJ : Ini baru enam belas.
PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)
PJ : Dua ribu!
PB : Seribu! (memaksa)
PJ : Ya udah ga papa (Ya sudah tidak apa-apa)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan
kunci kepada pembeli. Penutur (penjual) adalah orang dewasa berjenis
kelamin laki-laki sedangkan mitra tutur (pembeli) adalah anak remaja yang
berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini menandakan bahwa PB sangat
pandai menawar sehingga PJ tidak sanggup lagi untuk menyangkal tawaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
harga dari PB dan pada akhirnya PJ menyetujui hasil tawaran dari PB. Hal
tersebut menandakan bahwa tuturan PJ menguntungkan PB). (DT 7)
Data (3) mengindikasikan bahwa penutur (penjual) sedang melakukan
transaksi jual beli dengan mitra tutura (pembeli). Saat bertransaksi, mitra tutur
(pembeli) sangat pandai menawar sehingga penutur (penjual) tidak sanggup lagi
untuk menyangkat tawaran dari mitra tutur. Hal ini dapat dibuktikan dengan
tuturan, “Pinter nawar e”. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan
berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur memiliki
pemahaman yang sama terhadap konteks tawar-menawar dagangan dan tidak
mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang sedang berlangsung.
Tuturan dari percakapan tersebut termasuk dalam kategori yang santun karena
penutur menguntungkan mitra tuturnya, yaitu PB atau pembelinya dan kedua
partisipan tutur dapat mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Penekanan
pada kata-kata tawar-menawar yang dituturkan oleh mitra tutur seperti
mempertegas pertuturan yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian
menimbulkan keuntungan antara penutur dan mitra tutur di dalam sebuah
percakapan. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa diuntungkan,
maka semakin santunlah tuturan itu. Keuntungan yang diperoleh oleh pembeli
juga ditekankan pada tuturan penjual sebagai berikut, “Ya udah ga papa”.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.
Data (3) ingin berbicara bahwa tuturan tawar-menawar yang dilakukan oleh
penutur dan mitra tutur sudah menjelaskan bahwa keduanya sudah sama-sama
mengetahui konteks jual beli dalam sebuah perdagangan, sehingga penutur dan
mitra tutur lancar dalam bertransaksi jual beli. Santunnya tuturan antara penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
dengan mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Pak” yang
diucapkan oleh mitra tutur kepada penutur. Sapaan tersebut sudah sesuai
digunakan karena dapat kita ketahui bahwa penutur adalah orang dewasa yang
berjenis kelamin laki-laki, jadi sapaan “Pak” memang dirasa sudah sesuai. Dilihat
dari jenis kelaminnya juga mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan memang
pantas untuk disapa dengan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” ini dirasa tepat
digunakan karena melihat bahwa mitra tutur jauh lebih muda dari penutur. Dari
hasil percakapan di atas, terdapat penggunaan campur kode dalam tuturan yang
dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur, begitu juga sebaliknya tanggapan
mitra tutur kepada tuturan penutur. Percakapan di atas menggunakan campuran
bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penggunaan kata emoh
dan pinter nawar e. Percakapan di atas hampir seluruhnya menggunakan bahasa
Indonesia, namun ada satu percakapan yang dituturkan oleh penutur dan mitra
tutur dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini merupakan campur kode, bahasa
Indonesia-bahasa Jawa. Memang dalam konteks perdagangan, penutur (pedagang)
dan mitra tutur (pembeli) jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan kata-kata
baku dalam konteks jual beli. Oleh karena itu, para pedagang selalu menggunakan
bahasa sehari-hari. Hal ini dirasa lebih mengakrabkan hubungan antara penjual
dan pembeli dalam situasi jual beli. Penggunaan kata yang tidak baku pun juga
terlihat dalam percakapan jual beli, seperti pada percakapan di atas yang
menggunaan kata gak, ya udah ga papa, gimana, gitu, dan lho. Jadi, percakapan
di atas terbilang santun karena penutur sangat menguntungkan diri mitra tuturnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
(4) PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.
PB: Ini?
PJ : Enam lima. Berapa?
PB: Tiga puluh
PJ : Ambil berapa biji?
PB: Satu, Pak.
PJ : Udah empat puluh ya?
PB: Emoh. Tiga puluh.
(Tidak mau. Tiga puluh)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB: Emoh
(Tidak mau)
PJ: Ya udah
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang daster kepada
pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa dan PB adalah wanita muda yang
berhijab. PB menawar setengah harga lebih dari yang ditawarkan oleh PJ.
PJ mencoba untuk menurunkan harga tawarannya akan tetapi PB tetap pada
harga tawarannya. Akhirnya PJ memberikan harga tawaran PB. Hal ini
dipandang sebagai tuturan yang santun karena menguntungkan PB). (DT 11)
Data (4) dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena mitra
tutur merasa diuntungkan oleh si penutur. Terlihat penutur menawarkan sebuah
harga kepada mitra tutur dan mitra tutur langsung menawar setengah lebih dari
harga yang ditawarkan oleh penutur. Namun penutur tetap pada harga yang
ditawarkan, begitu juga dengan mitra tutur yang tetap pada harga tawarannya.
Agar tidak kehilangan pelanggannya, penutur sedikit demi sedikit menurunkan
harga tawarannya, akan tetapi mitra tutur tetap tidak mau. Hingga pada akhirnya
penutur memberikan dagangannya dengan harga tawaran si mitra tutur. Hal
tersebut sangat menguntungkan diri mitra tutur karena penawarannya telah
dipenuhi oleh penutur. Tuturan yang menjadi penanda kesantunan dalam data ini
dibuktikan dengan tuturan berikut, “Udah empat puluh ya?” dan “Ya udah”.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.
Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik dan lancar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Hal ini dikarenakan penutur dan mitra tutur mengerti arah tujuan dari pembicaraan
tersebut. Tuturan data (4) termasuk dalam kategori santun karena penutur dan
mitra tutur sama-sama mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Selain itu,
pemilihan dan penggunaan kata-katanya juga tidak membuat diri mitra tutur
tersinggung atau dirugikan. Penutur yang mengalah dengan memberikan
dagangannya dengan hasil tawaran harga mitra tutur membuat diri mitra tutur
merasa senang dan diuntungkan. Tuturan (4) menjadi tidak santun apabila antara
penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi ataupun penutur dan mitra
tutur memilih kata-kata yang kurang tepat dalam komunikasi. Santunnya tuturan
(4) tersebut juga dilihat dari penggunaan sapaan. Dari data (4), sapaan “Pak” tepat
ditujukan kepada penutur yang notabene adalah seorang laki-laki dewasa dan
sapaan “Mbak” tepat ditujukan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang
wanita muda. Sapaan ini sangat santun dan tepat digunakan untuk memanggil
penutur yang adalah seorang laki-laki dewasa dan mitra tutur yang adalah seorang
wanita muda. Tuturan tersebut menjadi tidak santun apabila sapaan yang
digunakan tidak tepat. Pada tuturan (4) menggunakan campur kode, yakni bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campuran bahasa Jawa Ngoko
dapat dilihat dari tuturan mitra tutur, yakni “Emoh” yang memiliki arti tidak tahu.
Walaupun campur kode ini sering terjadi dalam komunikasi, hal itu tidak akan
mempengaruhi tingkat kesantunan tuturan yang dikomunikasikan. Pada tuturan
(4), penggunaan campur kode ini dirasa santun karena penutur dan mitra tutur
sudah sama-sama mengetahui bahasa yang digunakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
(5) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh
tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan
barang ke kantong plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang sandal kepada
pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur
adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan kepada PB dengan
mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18)
Data (5) merupakan percakapan antara penjual (penutur) dengan mitra
tuturnya (pembeli) dalam suasana jual beli. Dalam data (5) ini terlihat kedua
partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka lakukan.
Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik. Keduanya
sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti alur
pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini termasuk
dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur dapat mengerti
arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan penutur (PJ) yang
telah dicetak tebal yakni, “Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli
dua, dua puluh tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik?” (sambil
memasukkan barang ke kantong plastik) mempertegas bahwa penutur sangat
menguntungkan mitra tutur (pembeli). Penekanan tuturan tersebut merupakan
suatu penanda kesantunan dalam data itu. Data (5) ini ingin menjelaskan bahwa
tuturan penutur tersebut merupakan sebuah keuntungan yang didapat oleh mitra
tutur. Dapat dilihat penutur (PJ) memberikan keuntungan kepada mitra tutur (PB)
dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal. Hal ini terlihat sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
menguntungkan mitra tutur. Sehingga mitra tutur dapat membeli dua pasang
sandal dengan harga yang lebih murah, seperti yang sudah dituturkan oleh
penutur. Ekspresi tanggapan mitra tutur juga terlihat puas dan senang. Oleh
karena itu, tuturan tersebut dinilai santun karena tuturan penutur memberikan
keuntungan kepada mitra tuturnya. Tuturan (5) menjadi tidak santun apabila
penutur memaksakan mitra tuturnya (PB) untuk membeli dagangannya sesuai
dengan harga tinggi yang diinginkannya tanpa memperhitungkan penawaran dari
mitra tutur sehingga hal tersebut dapat merugikan mitra tuturnya. Dan tidak
santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara penutur dan mitra tutur tidak
ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah pembicaraan yang tengah
berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan guna menghormati
seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun tidaknya sebuah tuturan
juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan sapaan yang sudah tepat
dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah tuturan. Namun apabila
sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan tuturan akan jelas terjadi.
Data tuturan (5) ini, sapaan “Pak” tepat digunakan untuk penutur yang adalah
seorang laki-laki dewasa dan sapaan “Dik” tepat digunakan untuk sapaan mitra
tutur yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan-
sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan, penggunaan campur kode
juga terlihat dari data (5) ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa Jawa Krama identik
dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari tanggapan mitra tutur (PB)
yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode bahasa Jawa Krama. Hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
ini lebih membuktikan dan menegaskan bahwa selain menguntungkan mitra
tuturnya, penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya.
(6) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak.
Arek enem arek piro?
(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini
enam mau berapa?)
PB1: Hah?
PJ1: Arek enem arek piro to kaose?
(Mau berapa kaosnya?)
PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro.
(Eee... Iya yang itu dua)
PJ2: Sing endi? Oren?
(Yang mana? Jingga?)
PB1: Sing ngene iki piro?
(Yang begini ini berapa?)
PJ1: Telu lima
(Tiga lima)
PB1: Ki telungatus pas ya?
(Ini tiga ratus pas ya?)
PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo
dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil
marah-marah)
(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan
dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)
PB1: Ndelok gambare aku.
(Lihat gambarnya aku)
PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.
(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)
PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.
(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)
PJ1: Wis?
(Sudah)
PJ2: Piro iki piro? Hah?
(Berapa ini berapa? Hah?)
PB1: Enam, pitu
(Enam, tujuh)
PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?
(Lha ini bordirnya dua)
PB2: Enem, pitu niku lho!
(Enam, tuju itu lho!)
PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.
(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)
PB1: Lha iyo lima dua ratus to!
(Lha iya lima dua ratus kan!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)
(Ini bordir, Mbak)
PJ2: Bordir bedo! (nada keras)
(Bordir beda!)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos dagadu
kepada pembeli. Data diambil dari dua penutur dan dua mitra tutur.
Keduanya saling tawar-menawar. Penutur adalah laki-laki dewasa dan
wanita dewasa, sedangkan mitra tutur adalah wanita muda dan wanita
dewasa. Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh
tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan
tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)
Data (6) merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur saat
bertransaksi jual beli. Pada tuturan (6) tersebut mitra tutur merasa sangat
dirugikan oleh tuturan yang diucapkan oleh penutur, baik penutur pertama
maupun penutur yang kedua. Mitra tutur menganggap penutur sangat menyindir
mitra tutur melalui tuturan yang terucap dan hal itu mengakibatkan diri mitra tutur
merasa sangat dirugikan. Dapat dilihat pada tuturan di atas, ada banyak sekali
tuturan penutur yang merugikan diri mitra tutur, hal ini dapat dibuktikan dengan
tuturan seperti ini “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki. Aku
wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki” (sambil marah-marah), “Lebokke
dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (nada keras).
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data
itu. Tuturan tersebut membuat mitra tutur tersinggung dan menyebabkan mitra
tutur menjadi marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap
tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur
sangat merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi
tuturan penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur
menjadi tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
dirugikan dengan tuturan si penutur. Tuturan dari data (6) memperlihatkan bahwa
tuturan penutur sangat tidak layak digunakan dalam konteks jual beli.
Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari mitra tutur
menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan. Data (6)
diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko.
Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling
berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (6) ini juga
menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya
penggunaan kata pink dalam tuturan si mitra tutur (pembeli). Memang suasana
komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah
komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan
penutur membuat mitra tuturnya marah dan merasa dilecehkan. Penggunaan
bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang memang layak
digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang lebih tua.
Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan, yakni sapaan
“Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene adalah seorang
wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama dan pembeli
kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa), dan yang
terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang notabene adalah
seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas memperlihatkan
bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari penggunaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena sangat jelas
terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur dapat merugikan diri
mitra tuturnya.
(7) PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima
belas, yang HP.
PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?
(Tas yang seperti ini berapa, Mbak?)
PJ : Empat lima
PB2: Kalau ini berapa?
PJ : Delapan puluh
PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki ! (menyindir)
(PB1 dan PB2 pergi)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada
pembeli. Penutur dan mitra tutur sama-sama wanita tengah baya. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ sangat tidak sopan dan sangat merugikan PB
sehingga PB langsung pergi setelah mendengar tuturan PJ. Tuturan PJ juga
terlihat kasar dengan gaya menyindir). (DT 5)
Data (7) merupakan tuturan dari seorang penjual tas kepada pembeli saat
transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro. Pada tuturan (7) tersebut
penjual yang notabene sebagai penutur mengucapkan kata-kata yang sangat
menyindir dan merugikan diri mitra tutur (pembeli). Kalimat tersebut adalah “Wo
survei harga kok, Mbak’e ki!”. Kalimat yang dituturkan oleh penjual tersebut
sangat tidak layak dituturkan dalam konteks jual beli ini. Karena tuturan seperti
itulah yang dapat merugikan pembeli yang hendak membeli dagangan si penjual.
Kalimat itu juga dapat membuat diri mitra tutur merasa dilecehkan sehingga mitra
tutur yang awalnya sedang melihat dan memilih dagangan penutur berbalik arah
langsung pergi setelah tuturan tersebut terlontar dari mulut si penutur. Tuturan
tersebut dinilai tidak santun karena sangat jelas sekali bahwa tuturan tersebut
sangat menyinggung, melecehkan, dan merugikan diri mitra tutur. Penekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu.
Suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi karena
mitra tutur merasa sangat dirugikan melalui tuturan tersebut. Dari data (7) yang
dinilai tidak santun, sapaan “Mbak” dirasa sudah tepat digunakan oleh diri
penutur dan mitra tutur yang notabene sama-sama seorang wanita yang masih
muda. Usia yang diperkirakan atas keduanya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu,
sapaan “Mbak” layak digunakan sebagai sapaan di antara keduanya (penjual dan
pembeli). Tuturan di atas juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa Ngoko. Hal ini terlihat dari tuturan penutur yang mengikuti tuturan
mitra tutur dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun setelah itu penutur
mengucapkan kalimat yang dirasa tidak santun tersebut dengan menggunakan
bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa Jawa memang tidak dapat dipisahkan
dari logat asli orang-orang yang tinggal di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.
Namun alangkah baiknya apabila penggunaan bahasa Jawa disesuaikan dengan
situasi, kondisi, dan siapa yang hendak kita ajak berkomunikasi. Dilihat dari data
(7), penutur menggunakan campur kode bahasa Jawa. Kalimat yang dituturkan
oleh penutur adalah bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan
bahasa Jawa Ngoko dalam data (7) ini dinilai tidak santun karena selain
kalimatnya sangat kasar, kalimat tersebut sangat merugikan mitra tutur sehingga
mitra tutur langsung pergi meninggalkan penutur.
(8) PB : Mas, ini sepasang ya?
PJ : Iya, Dik.
PB: Ini tadi dua berapa?
PJ : Tujuh puluh
PB: Dua, empat puluh, Mas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
PJ : Gak boleh!
PB: Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki tengah baya sedangkan mitra tutur
adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Terlihat dari tanggapan PB
yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan PJ yang dirasa kurang sopan.
Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟ diganti dengan kata „maaf, belum
boleh‟, sehingga dapat terlihat lebih sopan). (DT 16)
Data (8) dengan penegasan kata gak boleh dengan nada yang ketus
membuat suasana menjadi tidak nyaman. Tuturan tersebut membuat mitra tutur
merasa kecewa. Hal itu dapat dibuktikan dengan tanggapan mitra tutur yang
berkata, “Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan” sambil menggerutu dan langsung pergi
meninggalkan penutur. Tuturan penutur seperti itulah yang dapat membuat
suasana komunikasi menjadi tidak harmonis layaknya transaksi jual beli yang
sewajarnya. Tuturan si penutur membuat diri mitra tutur merasa dirugikan.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data
itu. Data (8) termasuk tuturan yang tidak santun. Agar tuturan (8) menjadi santun,
maka kata gak boleh dapat diganti dengan kata “Maaf belum boleh, Dik”. Apabila
penutur mengucapkan seperti itu, mitra tutur tidak akan merasa tersinggung atau
kecewa. Penggunaan sapaan “Mas” dan “Dik” pada data (8) mengindikasikan
bahwa penutur dan mitra tutur saling menghormati. Penutur memberikan sapaan
“Dik” kepada mitra tutur dan mitra tutur memberikan sapaan “Mas” kepada
penutur karena mitra tutur. Hal ini tentu saja dengan melihat dan menyesuaikan
dengan jenis kelamin dan perkiraan usia diri penutur maupun diri mitra tutur.
Dalam percakapan di atas, penutur dan mitra tutur menggunakan campuran bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa. Memang secara keseluruhan terlihat bahwa tuturan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
atas menggunakan bahasa Indonesia namun pada tuturan yang terakhir mitra tutur
menggunakan bahasa Jawa dalam tuturannya. Hal ini tetap tidak mengubah arah
komunikasi yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Walaupun antara
penutur dan mitra tutur sama-sama mengerti apa yang dikomunikasikan, namun
tuturan yang terjadi tetap dirasa tidak santun karena tuturan yang diucapkan oleh
penutur membuat diri mitra tuturnya tersinggung.
(9) PJ : Belum dapat, Mbak.
PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?
(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)
PJ : Hah?
PB : Sepuluh
PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu,
Mbak. Kalau sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek)
PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki
sepuluh ewu! (memaksa)
(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini
sepuluh ribu)
PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu.
PB : Piro iki?
(Berapa ini?)
PJ : Seratus empat puluh lima
PB : Gak dikorting?
(Tidak dikurangi harganya??
PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal
PB : Satus petang puluh lah, Pak?
(Seratus empat puluhlah, Pak?)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB : (pergi)
PJ : Ya udah sini.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur
adalah seorang wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan
PJ merugikan PB karena dilihat dari tuturannya, tuturan PJ sifatnya
mengejek PB. Tuturan PJ juga terkesan tidak sopan). (DT 26)
Data (9) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada
pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan ini memperlihatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
bahwa tuturan penjual (penutur) dianggap menyindir dan mengejek mitra tutur.
Mitra tutur menganggap penutur menyindir dan mengejek mitra tutur melalui
tuturan yang terucap dari penutur itu sendiri dan hal tersebut mengakibatkan mitra
tutur merasa sangat dirugikan karena melecehkan mitra tutur. Dapat dibuktikan
dengan tuturan penutur kepada mitra tutur sebagai berikut, “Walaupun ditawar
sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau sama juragannya bisa
tawar-menawar!” (mengejek). Tuturan yang ditujukan kepada mitra tutur
tersebut dianggap tidak sopan dan merugikan diri mitra tutur sebagai seorang
pembeli. Ditambah pula gaya bertutur kata si penutur yang mengejek menjadikan
tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak pantas untuk dituturkan.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data
itu. Suasana tuturan yang terjalin antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB)
menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh
tuturan si penutur. Penutur seolah-olah tidak memperdulikan penawaran yang
diberikan oleh mitra tutur. Tuturan ini dinilai sebagai tuturan yang tidak santun.
Agar tuturan pada data (9) ini menjadi santun, maka tuturan penutur yang dinilai
kasar dan tidak sopan tersebut dapat diganti dengan tuturan berikut, “Maaf, Mbak
harganya sudah pas”. Apabila penutur dalam tuturan (9) mengucapkan seperti itu,
maka mitra tutur tidak akan merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya.
Dalam data tuturan (9) di atas, sapaan yang digunakan sudah tepat. Sapaan “Pak”
pada diri penutur sudah tepat dan layak digunakan karena melihat bahwa penutur
adalah seorang laki-laki dewasa. Sapaan “Mbak” juga sudah dirasa tepat dan
layak ditujukan pada diri mitra tutur yang notabene adalah seorang wanita tengah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
baya dan lebih muda dari diri si penutur (PJ). Terlihat pula penggunaan campur
kode dalam data tuturan ini. Campur kode yang digunakan adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Pada data tuturan di atas, penggunaan campur
kode bahasa Jawa Ngoko selalu diperlihatkan pada tuturan mitra tutur (PB).
Misalnya, Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?, Piro iki?, dan lain-lain. Dilihat secara
keseluruhan, walaupun penggunaan sapaan dalam data tuturan ini sudah tepat
namun tuturan data (9) ini memang dirasa tidak santun karena ada tuturan penutur
yang merugikan mitra tuturnya dan ada pula tuturan mitra tutur yang dirasa
kurang tepat dituturkan dalam situasi komunikasi jual beli.
(10) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?
PJ : O ya belum dapat, Le.
PB : Bolehnya berapa?
PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?
PB : (melihat-lihat gantungan kunci)
PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-
campur! (kasar sambil marah-marah)
PB : (pergi)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang gantungan
kunci kepada pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra
tutur adalah anak-anak remaja yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB. Dilihat dari tuturan PJ yang
kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai sangat tidak pantas dan tidak
sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai mitra tuturnya). (DT 30)
Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan penutur kasar kepada pembeli
(mitra tutur). Dapat dibuktikan dengan tuturan sebagai berikut, “Mau beli yang
mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!” (kasar sambil marah-
marah). Tuturan seperti inilah yang dapat merugikan mitra tuturnya sebagai
pembeli atau konsumen. Tuturan itulah yang menimbulkan efek negatif pada
mitra tuturnya sehingga dapat menghancurkan suasana tuturan. Penutur tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
selayaknya bertutur kata sedemikian kasar kepada pembeli (mitra tuturnya).
Apalagi ditambah dengan gaya penyampaian penutur yang marah-marah. Gaya
penyampaian seperti itulah yang mendukung suasana komunikasi menjadi tidak
harmonis. Pada tuturan (10) di atas, tampak mitra tutur (PB) tidak terima dengan
tuturan yang diucapkan oleh penutur (PJ) sehingga mitra tutur pun langsung pergi
meninggalkan dagangan si penutur. Mitra tutur merasa bahwa penutur menyindir
dan melecehkan mitra tutur. Hal itu mengakibatkan mitra tutur (PB) merasa
sangat dirugikan oleh penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu
penanda ketidaksantunan dalam data itu. Data (10) memperlihatkan bahwa tuturan
di atas termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun. Ketidaksantunan
lainnya juga terlihat pada penggunaan sapaan yang dituturkan penutur kepada
mitra tutur. Penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu dinilai tepat disapa oleh
mitra tutur dengan sapaan “Bu”. Namun sebaliknya, penutur yang menggunakan
sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole” (bahasa Jawa Ngoko) yang artinya
anak laki-laki kepada mitra tutur (PB), dinilai kurang tepat. Sapaan tersebut dirasa
sedikit kasar. Ya memang sapaan “Le atau Thole” digunakan untuk anak laki-laki,
akan tetapi dalam konteks jual beli dirasa kurang santun. Karena sapaan “Le atau
Thole” biasanya digunakan untuk memanggil anak laki-laki yang sudah kita kenal
atau yang sudah sangat akrab dengan kita, misalnya seorang ibu yang memanggil
anak laki-lakinya (dengan menggunakan sapaan “Le atau Thole”) itu memang
tepat dan layak. Tetapi dalam komunikasi jual beli ini, sapaan yang ditujukan oleh
penutur kepada mitra tutur dinilai belum tepat. Alangkah baiknya apabila sapaan
“Le” diganti dengan sapaan “Dik” yang lebih halus dan enak didengar (tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
terlalu kasar). Selain penggunaan sapaan, dalam data tuturan (10) juga terlihat
adanya penggunaan campur kode yakni campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa Ngoko dapat dibuktikan dengan
adanya kata, Le, gelem, dan ambilin. Memang penggunaan campur kode ini tidak
menghilangkan maksud dari tuturan yang dilangsungkan, akan tetapi alangkah
lebih baik jika dalam berkomunikasi baik penutur (PJ) maupun mitra tutur (PB)
menggunakan kata-kata yang tepat, sopan, dan pas sehingga maksud dari tuturan
yang dihasilkan pun juga dirasa sopan dan tidak ada yang dirugikan.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 3
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA
UNTUNG-RUGI
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA UNTUNG-RUGI
SANTUN
(diuntungkan) TIDAK SANTUN
(dirugikan)
1. Analisis 1 DT 1
2. Analisis 2 DT 4
3. Analisis 3 DT 7
4. Analsis 4 DT 11
5. Analisis 5 DT 18
6. Analisis 6 DT 3
7. Analisis 7 DT 5
8. Analisis 8 DT 16
9. Analsis 9 DT 26
10. Analisis 10 DT 30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
4.2.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)
Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options)
yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si
penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari
penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(11) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.
PB : Ini?
PJ : Itu mahal itu.
PB : Ini gak boleh dua lima?
(Ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.
PB : Mahal ya
PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.
(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)
PB : Yang ini gak boleh dua lima?
(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas
hargane.
(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke
atas harganya)
PB : Nanti ambilnya dua (merayu)
PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak
PB : Yah...
PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus
dua puluh. Cowok cewek bisa. (Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu)
PB : Ini berapa?
PJ : Itu sembilan puluh
PB : Ini?
PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
limaan. Tinggal pilih, Mbak’e. (Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)
PB : Yang mana, Bu?
PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang dompet
kepada pembeli. Penutur adalah orang dewasa berjenis perempuan,
sedangkan mitra tutur adalah wanita tengah baya. PJ dan PB sama-sama
berjenis kelamin perempuan. Hanya usia saja yang membedakan di antara
keduanya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ sedang memberikan pilihan-
pilihan atas dagangannya kepada PB). (DT 6)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, akan
tampak sebagai berikut.
Data (11) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli
yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan
berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PJ) terhadap
mitra tutur (PB) dalam sebuah percakapan. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur. Penutur
memberikan banyak pilihan atas dagangannya kepada mitra tutur seperti pada
tuturan berikut, “Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke
atas hargane. Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus
dua puluh. Cowok cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah.
Satu, dua, tiga, tiga limaan. Tinggal pilih, Mbak’e”. Penekanan tuturan tersebut
merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Mitra tutur menginginkan
sebuah dompet yang harganya murah. Oleh karena itu, penutur memberikan
pilihan-pilihan mengenai harga dagangannya. Dengan banyaknya pilihan yang
diberikan penutur, mitra tutur akan mengetahui dan memikirkan dompet mana
yang akan ia beli sehingga pemahaman tuturan atas keduanya terjalin dengan
baik. Maka, data (11) terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan
mitra tutur juga dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Mbak” yang
diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Sapaan tersebut sudah sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
digunakan karena dapat kita ketahui bahwa mitra tutur lebih muda dari penutur.
Dilihat dari jenis kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin
perempuan dan penutur memang pantas menyapa mitra tutur dengan sapaan
“Mbak”. Hal ini dikarenakan penutur lebih tua dari mitra tutur. Begitu juga
sebaliknya, mitra tutur tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada penutur yang
memang lebih tua dari mitra tutur. Dari hasil data (11) di atas, terdapat
penggunaan campur kode bahasa Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh
penutur kepada mitra tutur. Campur kode ini terlihat pada tuturan penutur yang
menggunakan kata iki, sik, dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan
pilihane. Namun, mitra tutur tetap menjawab tuturan penutur dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
(12) PB : Ini double?
PJ : Ini double XL
PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?
PJ : Ini ada yang XL?
PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?
PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?
PB : Tiga tahun, ya laki-laki
PJ : Ini ukuran L dan M
PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang
merah coba.
PJ : Desainnya sama?
PB : Ini tadi kan?
PJ : Ini L
PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini
double XL kan?
PJ : Iya. Yang kayak gini juga
PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.
PJ : Iya
PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?
PJ : L
PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?
PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.
PB : Double XLnya gak ada?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple
gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.
PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya?
Yang ini gambarnya apa?
PJ : Gambarnya sama
PB : Coba buka aja gambarnya apa.
PJ : Ukurannya apa, Mbak?
PB : Yang L juga.
PJ : Yang ini?
PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa
ya?
PJ : Jadinya 150
PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.
PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.
PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya
ukurannya.
PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.
PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.
PJ : Berarti yang gambarnya cowok?
PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah wanita tengah baya sedangkan mitra tutur adalah
wanita tengah baya. Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan pilihan-
pilihan ukuran kaosnya kepada PB). (DT 13)
Data (12) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara
penjual kaos dengan mitra tuturnya memiliki nilai kesantunan yang baik. Hal ini
ditunjukkan pada tuturan penjual (penutur) yang memberikan banyak pilihan kaos
kepada pembelinya seperti berikut, “Paling besar L. Kalo anak-anak paling
besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang ini, ini,
sama yang ini”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan
dalam data itu. Hal ini dinilai santun karena pilihan-pilihan yang diberikan
penutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si mitra tutur (PB) sehingga mitra tutur dapat
memilih dagangan si penutur dengan leluasa. Penutur dengan lihai dan
bersemangat memberikan pilihan-pilihan kaos dagangannya kepada mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Karena kelihaiannya, mitra tutur jadi merasa nyaman saat transaksi jual beli
berlangsung. Hingga pada akhirnya, mitra tutur (PB) membeli dagangan penutur
(PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini yang
mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur
menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu,
jadi data tuturan (12) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada
data tuturan di atas bahwa penutur memberikan pilihan-pilihan dagangannya
kepada mitra tutur. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua
partisipan tutur tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara
keduanya terlihat sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari
persamaan gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya
dalam bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra
tutur terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam
bertransaksi keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat
memahami arah pembicaraannya. Penjual (penutur) dan pembeli (mitra tutur)
adalah sama-sama seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya
menggunakan sapaan “Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah
tepat karena penutur dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur
kode juga terdapat dalam percakapan data (12) ini. Campur kode yang digunakan
dalam tuturan data (12) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur
kode bahasa Inggris dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan
campur kode ini sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli
dalam halnya penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
menawarkan dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini
untuk dua orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah
terbiasa menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam
data (12) di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para
pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar
seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini
tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (12) ini.
(13) PJ : Ini empat puluh Dek yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa
kurang Dek. Bisa kurang sedikit.
PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?
PJ : (mengangguk) Yang mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya,
Dek.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur
adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ memberikan pilihan kepada PB). (DT 19)
Data (13) merupakan tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang baju
kepada pembelinya. Dalam data tuturan ini, penutur (PJ) memberikan pilihan-
pilihan mengenai ukuran beserta harganya kepada mitra tutur (PB). Bahkan
penutur memberikan pilihan bahwa harga dari dagangannya masih bisa dikurangi.
Tuturan penutur dapat dipaparkan sebagai berikut, “Ini empat puluh Dek yang
besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit”.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.
Mitra tutur pun dapat memilih dagangan penutur dan memberi tanggapan baik
atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh penutur. Oleh karena itu, data (13) ini
dapat digolongkan sebagai tuturan yang santun. Tuturan tersebut terlihat santun
juga dilihat dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-baik saja dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
berjalan dengan lancar. Komunikasi yang lancar ini terjadi karena penutur dan
mitra tutur mengerti alur pembicaraan mereka. Dapat dibuktikan pada data tuturan
(13) di atas bahwa transaksi jual beli berjalan dengan lancar dan membuahkan
hasil (mitra tutur dapat memilih serta membeli dagangan penutur dengan baik).
Sapaan yang digunakan dalam data tersebut di atas dirasa sudah tepat. Sapaan
“Bu” tepat ditujukan pada penutur yang notabene adalah seorang wanita dewasa
dan sapaan “Dik” juga dirasa tepat digunakan pada mitra tutur yang notabene
adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Sapaan yang digunakan
sudah tepat dan layak digunakan dalam transaksi jual beli di atas. Penggunaan
sapaan yang kurang tepat apabila mitra tutur memberikan sapaan “Dik” kepada
penutur yang jauh lebih tua darinya. Hal tersebut sudah pasti akan menimbulkan
ketidaksantunan dalam komunikasi yang terjalin. Pada data (13) ini juga timbul
campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa
Jawa Ngoko terlihat pada kata iki yang dalam bahasa Indonesianya berarti ini.
Penggunaan campur kode dalam data ini tidak mengubah maksud dari tuturan
yang terjadi. Jadi, walaupun terdapat campur kode bahasa Jawa, tuturan (13) tetap
tergolong dalam tuturan yang santun.
(14) PB: Umur lima tahun
PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken
sik. Ora diwolak-walik, Le. (nada keras)
(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan
dibolak-balik)
PB: Berapa ini?
PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki
wernane.
(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini
warnanya)
PB: Dua lima ya, Bu?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
PJ: Telung puluh ya?
(Tiga puluh ribu ya?)
PB: Dua lima aja ya?
PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken
mengko. Nyoh ngko ndak lali!
(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak
kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah
anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki. Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ membuat PB tidak dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan
PJ juga terlihat kasar kepada PB). (DT 28)
Data (14) menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain.
Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan. Hal ini dikarenakan penutur (PJ)
mengharuskan mitra tutur (PB) untuk membeli dagangan penutur dengan pilihan
yang seadanya saja, sehingga mitra tutur tidak dapat memilih dagangan PJ dengan
leluasa dan sesuai dengan keinginannya. Analisis tersebut dapat dibuktikan
dengan tuturan penutur berikut ini, “Papat lima. Tak golekne werna liyane.
Anane iki nyoh. Iki wernane”. Penekanan kata „nyoh‟ dalam tuturan inilah yang
menimbulkan efek keharusan mitra tutur untuk membeli dagangan penutur tanpa
adanya pilihan-pilihan lain yang sesuai dengan keinginan mitra tutur (PB).
Penutur hanya memberikan pilihan seadanya saja (tidak banyak) kepada mitra
tutur. Ketidaksantunan terjadi pula pada tuturan penutur yang terlihat kasar
kepada mitra tutur seperti, “Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun
kok. Iki delokken sik. Ora diwolak-walik, Le” (nada keras). Tuturan tersebut
dirasa tidak santun karena tuturan penutur dengan penekanan „Iki delokken sik.
Ora diwolak-walik, Le‟ menimbulkan efek yang tidak baik terhadap diri mitra
tutur (PB). Penutur menuturkan kalimat tersebut dengan nada keras dan tinggi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
serta raut wajah yang „sinis‟ dan jutek (tidak enak untuk dipandang). Mitra tutur
yang awalnya ingin memilih-milih dagangan PJ kini hanya dapat melihat saja.
Karena tuturan penutur (PJ) yang melarang mitra tutur (PB) untuk memilih-milih
dagangannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tuturan penutur yang mengatakan
„Ora diwolak-walik, Le‟. Pernyataan seperti inilah yang membuat mitra tutur tidak
leluasa memilih dagangan si penutur (penjual). Agar tuturan pada data (14)
menjadi santun, kata-kata yang terlihat kasar dan kurang tepat digunakan diganti
dengan kata-kata yang sopan. Misalnya, „anane iki nyoh‟ diubah menjadi „maaf,
warnanya tinggal ini saja, yang lain sudah habis‟ dan „iki delokken sik‟ diubah
menjadi „mungkin ini bisa dilihat dulu, siapa tahu cocok‟. Dengan diubah seperti
itu, akan telihat sopan dan dapat menghargai mitra tutur yang ingin membeli
dagangan si penutur. Tuturan penutur, „Ora diwolak-walik, Le‟ lebih baik
dihilangkan saja, karena tuturan tersebut dianggap tidak layak dan tidak pantas
untuk dituturkan kepada seorang konsumen (mitra tutur). Dari data (14) di atas,
penggunaan sapaan “Bu” yang ditujukan untuk diri penutur sudah tepat karena
penutur adalah seorang ibu-ibu jadi pantas dan tepat untuk disapa “Bu”. Hal ini
juga dilihat bahwa mitra tutur sangat menghormati diri penutur yang notabene
lebih tua darinya. Oleh karena itu, mitra tutur tepat memberikan sapaan tersebut
kepada penutur. Berbeda dengan penutur yang kurang tepat dalam memberi
sapaan kepada diri mitra tutur. Sapaan “Le” yang berasal dari kata “Thole”
diberikan kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang anak-anak dengan
jenis kelamin laki-laki. Sapaan tersebut dirasa kurang santun dan kurang tepat
digunakan untuk menyapa seorang pembeli. Memang mitra tutur hanyalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
seorang anak laki-laki, akan tetapi seharusnya penutur yang usianya jauh lebih tua
dari mitra tutur dapat menyapa mitra tutur dengan sapaan yang terlihat lebih
sopan. Sapaan “Le” biasanya digunakan seorang ibu kepada anak laki-lakinya dan
itu terlihat adanya suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan dalam transaksi
jual beli ini tidak ada hubungan kedekatan yang intim antara penutur (PJ) dengan
mitra tutur (PB). Jadi, sapaan “Le” yang ditujukan penutur kepada mitra tutur
dianggap kurang tepat. Agar sapaan tersebut menjadi sopan dan terlihat pas,
sapaan “Le” dapat diganti dengan “Dik”. Sapaan “Dik” terlihat lebih sopan dan
lebih layak digunakan daripada sapaan “Le”. Lain halnya dengan penggunaan
sapaan, data tuturan (14) terdapat pula adanya campur kode bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa Ngoko. Contoh campur kode bahasa Jawa Ngoko dalam data tuturan
ini dapat dilihat pada tuturan penutur yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko.
Penggunaan campur kode ini tidak merubah maksud dari pertuturan tersebut di
atas. Hal ini dikarenakan kedua patisipan tutur mengerti dan paham akan arah
tuturan mereka. Kedua partisipan tutur tersebut juga tidak merasa kesulitan dalam
hal memahami penggunaan bahasa yang digunakan satu sama lain. Sehingga
pertuturan antara penutur dengan mitra tutur berjalan dengan baik.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
TABEL 4
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA
PILIHAN
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA PILIHAN
SANTUN
(banyak pilihan) TIDAK SANTUN
(tidak ada pilihan)
1. Analisis 11 DT 6
2. Analisis 12 DT 13
3. Analisis 13 DT 19
4. Analsis 14 DT 28
4.2.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)
Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan
dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang
telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(15) PB : Piro iki, Bu?
(Berapa ini?)
PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas
mawon?
(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)
Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)
(Ini, Mbak)
PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah ibu-ibu sedangkan mitra tutur adalah wanita
tengah baya. Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak
langsung. PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja
sebelum menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa
krama pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat
sopan, sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan,
akan tampak sebagai berikut.
Data (15) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang
(penutur) kaos kepada pembeli (mitra tutur) saat transaksi jual beli berlangsung.
Pada data tersebut, tuturan si penutur memiliki sifat yang tidak langsung. Penutur
(PJ) bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur (PB) apakah ada uang yang pas
saja sebelum menyerahkan barang dagangan kepada mitra tutur (PB). Hal ini
dilakukan penutur karena penutur merasa tidak mempunyai uang kembalian, jadi
penutur bertanya kepada mitra tutur apakah ada uang yang pas saja. Data tuturan
(15) ini termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Ditambah dengan
penggunaan campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Campur
kode bahasa Jawa Krama terlihat pada tuturan penutur. Penggunaan bahasa Jawa
Krama dalam data di atas dinilai santun karena terlihat penutur sangat
menghormati mitra tutur sebagai pembeli. Penutur yang notabene adalah seorang
ibu-ibu dirasa tepat disapa “Bu” oleh mitra tutur. Begitu pula sebaliknya, mitra
tutur yang notabene adalah wanita tengah baya dirasa tepat untuk disapa “Mbak”
oleh penutur yang memang jauh lebih tua dari si mitra tutur. Dalam data tuturan
(15) tersebut di atas, kesantunan juga dinilai dari penggunaan bahasa Jawa Krama
yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Walaupun penutur lebih tua dari si
mitra tutur, namun penutur tidak keberatan untuk tetap menggunakan bahas Jawa
Krama sebagai alat komunikasi transaksi jual belinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
(16) PB : Dikurangi ya, Bu?
PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.
PB : Lima puluh?
PJ : Tambah dua ribu lima ratus
PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan
PJ : Iyo wes gak apa-apa.
(Iya sudah, tidak apa-apa)
PB : Suwun
(Terima kasih)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang tas kepada
pembeli. Penutur adalah seorang wanita dewasa sedangkan mitra tutur
adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung. PJ tidak langsung
memberikan harga pas kepada PB). (DT 17)
Terlihat dari percakapan data (16) yang terjadi, penutur (PJ) tidak
langsung memberikan harga pas kepada mitra tutur (PB). Penutur sebenarnya
menginginkan tas dagangannya dibeli mitra tutur dengan harga lebih dari lima
puluh ribu rupiah. Akan tetapi penutur tidak secara langsung memberikan harga
tinggi kepada mitra tutur. Karena penutur tahu apabila dia memberikan harga
yang lebih tinggi, mitra tutur pasti tidak akan memberli tas dagangannya tersebut.
Oleh karena itu, penutur memberi penawaran harga dengan ditambah du ribu lima
ratus kepada mitra tutur. Dapat dibuktikan dengan tuturan penutur seperti ini,
“Tambah dua ribu lima ratus”. Mengetahui penawaran dari penutur (PJ), mitra
tutur (PB) pun memberi tanggapan dengan memberi tambahan dua ribu rupiah
saja. Dengan begitu secara tidak langsung keinginan penutur terpenuhi dan tetap
mendapatkan respon yang baik oleh mitra tutur. Data (16) memperlihatkan bahwa
tuturan yang terjadi termasuk dalam kategori tuturan yang santun. Penggunaan
sapaan juga terlihat benar dalam data tuturan (16) ini. Sapaan “Bu” dinilai tepat
digunakan untuk menyapa penutur yang adalah seorang wanita dewasa dan sapaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
“Dik” dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah
seorang remaja perempuan. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula
penggunaan alih kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti
kebanyakan tuturan lainnya, data tuturan (16) ini didapati menggunakan alih kode
dala pertuturannya. Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual
beli, penutur menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si mitra tutur
memberi tanggapan atas tuturan penutur dengan beralih kode yang awalanya
menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini
dapat dibuktikan sebagai berikut, penutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa”
yang kemudian ditanggapi oleh mitra tutur yang beralih menggunakan bahasa
Jawa Ngoko, “Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi
maksud dan tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur dan mitra tutur.
(17) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Nawar aja bisa.
PB : Ini all size atau apa?
PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.
PB : Ada warna lain?
PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.
PB : Berapa?
PJ : Tiga puluh lima
PB : Ini aja. Berapa?
PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah
PB : Lima belas ya?
PJ : Bahannya bagus soalnya.
PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?
PJ : Udah murah, Ibu.
PB : Hehe ya ya.
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang laki-laki dewasa sedangkan mitra tutur
adalah seorang wanita dewasa. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ
bersifat tidak langsung). (DT 25)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Data (17) merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang pedagang baju
kepada pembelinya saat transaksi jual beli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta.
Dalam data tuturan di atas, penutur secara tidak langsung mempersilakan mitra
tutur untuk menawar harga dagangannya. “Nawar aja bisa”, tuturan itulah yang
dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur saat transaksi jual beli berlangsung.
Pada awalnya mitra tutur menanyakan harga dari dagangan si penutur (PJ) yang
kemudian ditanggapi oleh penutur dengan tuturan, “Nawar aja bisa”. Tuturan
penutur tersebut dituturkan dengan maksud supaya mitra tutur dapat menawar
terlebih dahulu. Penutur tidak langsung memberikan harga pas pada dagangannya.
Ketika mitra tutur bertanya kembali kepada penutur mengenai ukuran, penutur
kemudian menanggapi kembali tuturan dari mitra tutur dengan mengatakan, “Iya
itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja”. Tuturan penutur ini juga
menandakan bahwa penutur tidak langsung menjawab pertanyaan dari mitra tutur,
namun penutur memberitahu terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai bahan
yang digunakan pada dagangannya. Kata „karet‟ digunakan penutur untuk
memberitahu kepada mitra tutur mengenai bahan yang digunakan. Kemudian
penutur baru menjawa pertanyaan dari mitra tutur mengenai ukuran. Pertanyaan
yang diberikan mitra tutur dan jawaban yang diberikan penutur sangatlah
berkesinambungan. Oleh karena itu kedua partisipan tutur tersebut tidak merasa
kesulitan dalam komunikasi transaksi jual beli yang sedang dilakukan. Tuturan
penutur yang bersifat tidak langsung ini termasuk dalam tuturan yang santun.
Penutur memberikan kesempatan untuk mitra tutur (PB) menawar dagangan si
penutur dan tidak semata-mata penutur untuk mengambil keuntungan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
fantastis dari mitra tutur. Hal ini sekaligus menjadikan suasana komunikasi
menjadi nyaman dan pastinya mempermudah mitra tutur dalam transaksi jual beli.
Dalam data tuturan (17) ini terdapat penggunaan sapaan yang digunakan dalam
komunikasi transaksi jual beli antara penutur (PJ) dengan mitra tutur (PB).
Penutur memberi sapaan “Ibu” kepada mitra tutur yang notabene adalah seorang
wanita dewasa. Begitu pula sebaliknya, mitra tutur memberi sapaan “Pak” kepada
penutur yang notabene adalah laki-laki dewasa. Penggunaan sapaan di antara
keduanya telah dirasa tepat dan benar. Kedua partisipan tutur sudah sama-sama
mengetahuin sapaan apakah yang tepat untuk digunakan. Hal ini tentu
memengaruhi rasa hormat di antara keduanya, yakni penutur (PJ) dan mitra tutur
(PB). Penggunaan campur kode juga terlihat dalam data tuturan tersebut. Campur
kode yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan
campur kode bahasa Inggris digunakan hanya sesekali oleh penutur. Misalnya,
„all size‟. Istilah „all size‟ biasa digunakan oleh penjual untuk memberitahukan
kepada pembeli mengenai ukuran (pakaian atau celana). Jarang sekali penutur (PJ)
yang menjelaskan secara detail mengenai ukuran kepada mitra tutur (PB) saat
transaksi jual beli. Sehingga istilah „all size‟ digunakan untuk mempersingkat
penjelasan penutur kepada mitra tutur mengenai sebuah ukuran.
(18) PB : Enem tahun
(Enam tahun)
PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose
mboten. (Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya
tidak)
PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?
(Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?)
PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso.
(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?
(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)
PJ : Sami
(Sama)
PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?
(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)
PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh. (Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus
sepuluh)
PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!
(O seratus sepuluh. Seratus ya!)
PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal.
(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh)
PB : Satus ya, Bu?
(Seratus ya?)
PJ : Saestu, Pak
(Benar, Pak)
PB : Bathine lho wis akeh!
(Keuntungannya lho sudah banyak!)
PJ : Saestu sampun mirah niki
(Benar sudah murah ini)
(Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur adalah
seorang laki-laki tua. Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat
tidak langsung. PJ mengira-ira terlebih dahulu, tidak langsung memberikan
dagangannya). (DT 29)
Data (18) mengindikasikan bahwa tuturan yang terjadi adalah tuturan yang
santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, penutur tidak langsung memberikan
dagangannya kepada mitra tutur. Penutur mengira-ira terlebih dahulu mengenai
ukuran kaos sesuai dengan keinginan mitra tutur. Mitra tutur bertanya kepada
penutur mengenai ukuran kaos untuk anak umur enam tahun. Penutur mengira-ira
terlebih dahulu mengenai ukuran kaos yang diminta oleh mitra tutur, apakah
cukup, kekecilan, atau kebesaran. Oleh karena itu penutur mengira-ira terlebih
dahulu sebelum memberikan dagangannya kepada mitra tutur. Hal ini dilakukan
agar penutur tidak salah dalam memberikan ukuran kaos dagangannya kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
mitra tutur (PB). Tuturan penutur yang bersifat tidak langsung itu dapat
dibuktikan sebagai berikut, “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek
kaliten kadose mboten”. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda
kesantunan dalam data itu. Kesantunan tuturan ini juga dilihat dari penggunaan
sapaan yang diperuntukkan kepada kedua partisipan tutur tersebut. Penutur tepat
disapa “Bu” karena penutur seorang ibu-ibu yang sudah tua dan mitra tutur tepat
disapa “Pak” karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua juga. Keduanya
merupakan seseorang yang sudah berusia lanjut. Oleh karena itu, bahasa yang
digunakan juga tidak terlepas dari campur kode bahasa Jawa Ngoko dan Krama.
Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko terlihat pada tuturan mitra tutur
sedangkan penggunaan campur kode bahasa Jawa Krama tampak pada tuturan si
penutur. Walaupun bahasa yang digunakan bercampu aduk, namun penutur dan
mitra tutur tetap paham akan tujuan dari apa yang tengah dikomunikasikan dalam
transaksi jual beli ini. Oleh karena itu, tujuan dari tuturan tidak langsung si
penutur (PJ) membuahkan hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh si mitra tutur (PB).
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
TABEL 5
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SKALA
KETIDAKLANGSUNGAN
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA KETIDAKLANGSUNGAN
SANTUN
(tidak langsung) TIDAK SANTUN
(langsung)
1. Analisis 15 DT 12
2. Analisis 16 DT 17
3. Analisis 17 DT 25
4. Analsis 18 DT 29
4.2.1.2 Penanda-penanda Kesantunan
Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar
tingkat kesantunan berbahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta,
peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian
diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda
kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda-
penanda kesantunan tuturan pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan
kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur
yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan
tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu
atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda
kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian
gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
4.2.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan
dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau
diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan
suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik
digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang
pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal
atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada
imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara
atau penutur.
Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut
pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang
penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal
ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya
tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,
Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi
(pilihan kata) adalah sebagai berikut.
g) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,
h) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan
orang lain,
i) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung
perasaan orang lain,
j) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk
melakukan sesuatu,
k) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih
dihormati,
l) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.
Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan
pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari
penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat
kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan
digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan
kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya
menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang
memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang
emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang
diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan
maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih
dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif
sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di
atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang
penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks
jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
c. Penggunaan Kata yang Tepat
Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu
maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika
bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,
suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik
dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam
memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan
gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat
dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan
tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu
percakapan.
d. Menemukan Bentuk yang Sesuai
Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau
konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini
dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti
atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur
juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar
tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun
menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu
tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka
dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang
santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif
dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang
sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang
berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur
dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda
kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal
tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita
semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan
tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
TABEL 6
KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA
KESANTUNAN BERBAHASA
SANTUN TIDAK SANTUN
1. Menggunakan kata - kata yang
tepat.
a. Memilih kata-kata yang tepat dan
sesuai.
b. Menjadikan komunikasi menjadi
terarah.
c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.
2. Menemukan bentuk yang sesuai.
a. Penutur harus dapat memahami
situasi komunikasi dan situasi
mitra tutur agar tidak merugikan
atau menyakiti mitra tutur, begitu
pula sebaliknya. Sehingga
komunikasi yang terjadi tidak
menjadi kacau.
1. Menggunakan kata - kata yang
tidak/kurang tepat.
a. Memilih kata-kata yang
tidak/kurang tepat.
b. Menjadikan komunikasi menjadi
tidak terarah.
c. Tidak dapat dipahami oleh mitra
tutur.
2. Menemukan bentuk yang tidak
sesuai.
a. Penutur tidak dapat memahami
situasi komunikasi dan situasi
mitra tutur sehingga merugikan
atau menyakiti mitra tutur, begitu
pula sebaliknya. Sehingga
komunikasi yang terjadi menjadi
kacau.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan
dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata)
atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang
menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi.
Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin
selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan
beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam
komunikasi transaksi jual beli pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun
dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di
atas.
(19) PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,
Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar
lihat warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan)
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan
kepada PB apabila dagangan yang dibeli tidak cukup, boleh ditukarkan).
(DT 1)
Data (19) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang baju anak-
anak kepada pembeli saat transaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro
Yogyakarta. Kata diijolke sendiri menunjukkan sebuah penekanan maksud yang
diharapkan oleh si penutur. Melihat mitra tutur kebingungan dalam memilih
ukuran, penutur memberikan sebuah tuturan guna meyakinkan mitra tutur
terhadap barang dagangan yang akan dibeli oleh mitra tutur (PB). Penutur (PJ)
meyakinkan mitra tutur (PB) apabila dagangan yang sudah dibeli oleh mitra tutur
tidak cukup, maka dapat ditukarkan. Maka, penutur memberikan tekanan maksud
tuturannya tersebut dengan kata diijolke. Kata diijolke sendiri termasuk dalam
kriteria tuturan yang santun. Karena merupakan sebuah penekanan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
menguntungkan mitra tuturnya. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh
kata tersebut, kata diijolke termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tepat
dan menemukan bentuk yang sesuai dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan
kata) di atas. Oleh karena itu, secara tidak langsung kata diijolke sendiri
merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam komunikasi jual beli. Kata
tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan tutur, baik itu penutur
maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga menimbulkan suasana yang
baik karena mitra tutur merasa diuntungkan oleh penutur. Sehingga membuat
mitra tutur (PB) menjadi nyaman dalam bertransaksi jual beli dengan penutur.
(20) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh
tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan
barang ke kantong plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa PJ memberikan keuntungan
kepada PB dengan mengurangi harganya apabila membeli 2 sandal). (DT 18)
Data (20) menekankan kata sudah murah yang memiliki makna harga
yang diberikan penutur kepada mitra tutur sudah dibawah standar harga penjualan
biasanya. Kata tersebut dituturkan untuk menguntungkan mitra tuturnya sebagai
konsumen dari barang dagangannya. Kemudian penutur memberikan keuntungan
kembali dengan memberikan penawar harga apabila mitra tutur membeli dua
pasang sandal. Dari harga yang sudah di bawah standar penjualan, penutur
memberikan potongan harga kembali apabila mitra tutur membeli dagangan
penutur dengan jumlah lebih dari satu. Maka, diberikan penekanan kata sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
murah agar mitra tutur mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan
mitra tutur. Maksud dari penekanan kata sudah murah sangat dipahami betul-
betul oleh mitra tutur. Mitra tutur memahami maksud dari kata tersebut
dikarenakan mitra tutur mengerti akan arah pembicaraan yang sedang
berlangsung. Pemakaian kata sudah murah ini termasuk dalam kategori
penggunaan kata yang tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan
tersebut termasuk ke dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam
komunikasi transaksi jual beli.
Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu
tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah
selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak
santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi
pemakaian diksi (pilihan kata).
(21) PB: Umur lima tahun
PJ: Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik.
Ora diwolak-walik, Le. (nada keras)
(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan
dibolak-balik)
PB: Berapa ini?
PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.
(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini
warnanya)
PB: Dua lima ya, Bu?
PJ: Telung puluh ya?
(Tiga puluh ribu ya?)
PB: Dua lima aja ya?
PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken
mengko. Nyoh ngko ndak lali!
(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak
kekecilan nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ membuat PB tidak
dapat memilih barang dagangan PJ. Tuturan PJ juga terlihat kasar kepada
PB). (DT 28)
Penekanan kata delokken pada data (21) ini terlihat tidak santun. Kata
delokken termasuk dalam kata suruhan. Penutur menyuruh mitra tutur untuk
melihat terlebih dahulu dagangan penutur. Akan tetapi cara pengucapan
penuturlah yang menjadikan suasana komunikasi menjadi kacau. Ditambah lagi
dengan pemakaian kata delokken dalam data tuturan di atas yang terkesan
menyuruh dan disertai dengan paksaan. Kata delokken dirasa tidak tepat
digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata delokken diganti dengan kata
dipilih, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana komunikasi jual beli
menjadi tidak kacau. Kata delokken yang dinilai tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini termasuk dalam kategori
penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam
kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa kata delokken memang tidak tepat untuk digunakan dalam berkomunikasi.
(22) PB : Mas, ini sepasang ya?
PJ : Iya, Dik.
PB : Ini tadi dua berapa?
PJ : Tujuh puluh
PB : Dua, empat puluh, Mas.
PJ : Gak boleh!
PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung
pergi)
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB.
Terlihat dari tanggapan PB yang menggerutu. Hal ini dikarenakan tuturan
PJ yang dirasa kurang sopan. Alangkah baiknya apabila kata „gak boleh‟
diganti dengan kata „maaf, belum boleh‟ sehingga dapat terlihat lebih
sopan). (DT 15)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Data (22) merupakan tuturan yang diucapkan oleh pedagang kaos kepada
seorang pembeli. Kata gak menunjukkan suatu penekanan maksud dari apa yang
diharapkan oleh penutur. Tidak ada basa-basi dari si penutur akan tetapi si penutur
secara langsung menyampaikan tuturan tersebut kepada mitra tutur (pembeli).
Kata gak dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata
gak tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki
oleh kata tersebut, maka kata gak tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi
jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi
tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas
diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh
tuturan si penutur. Kata gak ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang
tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria
pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata gak
diganti dengan kata maaf, belum boleh sehingga tuturan terlihat santun dan layak
untuk dituturkan.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan
disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
TABEL 7
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI
PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
PEMAKAIAN DIKSI
SANTUN TIDAK
SANTUN
1. Analisis 19 DT 1
2. Analisis 20 DT 18
3. Analisis 21 DT 28
4. Analsis 22 DT 15
4.2.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya
bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan
efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan
ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat
menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu.
Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa
jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-
gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya
bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual
(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan
agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya
bahasa yang baik, yaitu:
a. Kejujuran
Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan
gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti
kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa
yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak
jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan
konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan
kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra
tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.
Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk
digunakan dalam konteks berkomunikasi.
b. Sopan Santun
Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya
bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara
bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,
dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra
tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras
untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang
dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka
tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam
berkomunikasi.
c. Menarik
Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus
menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,
humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan
imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur
diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira
atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila
penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan
tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur
membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah
maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat
untuk digunakan dalam berkomunikasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda
kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa
hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini
adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan
berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan
memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa
dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
TABEL 8
KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA
KESANTUNAN BERBAHASA
SANTUN TIDAK SANTUN
1. Kejujuran.
a. Penutur tidak hanya mencari
keuntungan saja.
b. Kata-kata yang digunakan tidak
berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi.
b. Bertutur kata dengan singkat dan
jelas, sehingga tidak membuat
mitra tutur bingung .
3. Menarik.
a. Penutur dapat memberikan
humor terhadap mitra tuturnya
saat komunikasi berlangsung.
b. Penutur dapat membuat suasana
komunikasi yang menyenangkan,
sehingga mitra tutur merasa
nyaman dan senang.
1. Kejujuran.
a. Penutur hanya mencari
keuntungan saja.
b. Kata-kata yang digunakan sangat
berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Tidak menghormati mitra
tuturnya saat berkomunikasi.
b. Bertutur kata dengan panjang
lebar dan tidak jelas, sehingga
membuat mitra tutur bingung .
c. Menarik.
a. Penutur tidak dapat memberikan
humor terhadap mitra tuturnya
saat komunikasi berlangsung.
b. Penutur tidak dapat membuat
suasana komunikasi yang
menyenangkan, sehingga mitra
tutur tidak merasa nyaman dan
senang.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan
dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas
telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan
kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur
maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin
yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk
melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual
beli pedagang “perko” Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian gaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa
tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel
pemakaian gaya bahasa di atas.
(23) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Nawar aja bisa.
PB : Ini all size atau apa?
PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.
PB : Ada warna lain?
PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.
PB : Berapa?
PJ : Tiga puluh lima
PB : Ini aja. Berapa?
PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah
PB : Lima belas ya?
PJ : Bahannya bagus soalnya.
PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?
PJ : Udah murah, Ibu.
PB : Hehe ya ya.
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ bersifat tidak
langsung. Penutur memberikan penawaran agar mitra tutur menawar
terlebih dahulu). (DT 25)
Data (23) ini merupakan tuturan yang diucapkan pedagang baju kepada
pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata nawar sendiri
memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh
si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur.
Tetapi penutur langsung mempersilakan mitra tutur (PB) untuk menawar harga
dagangannya. Kata nawar tergolong dalam kriteria tuturan yang santun. Hal ini
dikarenakan kata nawar merupakan sebuah permintaan penawaran sebuah harga.
Penutur mempersilakan mitra tutur untuk terlebih dulu menawar dagangannya.
Jadi, penutur memberikan kesempatan mitra tutur untuk menawar dagangannya.
Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga penutur mempersilakan mitra
tutur untuk menawar dagangan penutur sesuai dengan keinginan mitra tutur. Kata
nawar dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata
tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria
pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang
dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata nawar sendiri
merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual
beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya
oleh pedagang dan pembeli.
(24) PB : Piro iki, Bu?
(Berapa ini?)
PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas
mawon?
(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)
Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)
(Ini, Mbak)
PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)
(Konteks: Data ini menunjukkan bahwa tuturan PJ bersifat tidak langsung.
PJ bertanya dahulu kepada PB apakah ada uang yang pas saja sebelum
menyerahkan barang dagangan kepada PB. Penggunaan bahasa krama
pada tuturan PJ ini menjadikan tuturan yang diucapkan terlihat sopan,
sehingga tuturan PJ dinilai sebagai tuturan yang santun). (DT 12)
Data (24) merupakan tuturan yang diucapkan pedagang kaos kepada
pembeli. Kata mawon menunjukkan sebuah penekanan harga yang diberikan
penutur sudah murah. Terlihat pada tuturan penutur yang tidak menggunakan
basa-basi dalam bertutur kata dengan si mitra tutur (PB). Penutur langsung
menuturkan apa yang diharapkan kepada mitra tutur. Kata mawon yang dalam
bahasa Indonesianya berarti „saja‟ mengindikasikan bahwa harga yang diberikan
penutur terhadap dagangannya sudah murah. Penutur memberikan harga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
sudah murah kepada mitra tutur dengan menekankan kata mawon pada
tuturannya. Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan
si penutur. Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit.
Secara singkat dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan
kepada mitra tutur. Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur
merasa kebingungan untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata
mawon dapat dikategorikan dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat
dalam tabel kriteria pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut
dinilai santun dan pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi.
Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu
tuturan bahasa pedagang perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah
selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak
santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi
pemakaian gaya bahasa.
(25) PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?
PJ : O ya belum dapat, Le.
PB : Bolehnya berapa?
PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?
PB : (melihat-lihat gantungan kunci)
PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-
campur! (kasar sambil marah-marah)
PB : (pergi)
(Konteks: Tuturan ini menandakan bahwa tuturan PJ merugikan PB.
Dilihat dari tuturan PJ yang kasar kepada PB. Isi tuturan PJ juga dinilai
sangat tidak pantas dan tidak sopan. Hal ini sangat merugikan PB sebagai
mitra tuturnya). (DT 30)
Pada data (25) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pedagang kunci
tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pedagang (penutur) tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada pembeli (mitra
tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata
dicampur-campur dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur
menginginkan barang dagangannya tidak dipindah-pindah ke tempat barang yang
lainnya saat mitra tutur memilih barang dagangan si penutur. Tuturan penutur di
atas dengan penekanan kata dicampur-campur membuat suasana yang sangat
tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur tidak nyaman untuk bertransaksi jual
beli dengan si penutur. Suasana yang tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan
penutur yang kasar dan tidak sopan. Kata dicampur-campur yang diberi tambahan
kok pada awalnya mengindikasikan suatu larangan kepada mitra tutur untuk
memilih dagangan mitra tutur. Penutur menginginkan barang dagangannya tidak
dijadikan satu dengan barang dagangan yang lainnya. Tuturan yang dituturkan
penutur tersebut sangat tidak menghormati mitra tutur sebagai seorang pembeli.
Seperti ada pepatah yang mengatakan bahwa pembeli adalah raja, namun dalam
tuturan si penutur ini seperti menyanggah pepatah tersebut. Hal ini dikarenakan
tuturan penutur yang tidak sopan dan terlihat sangat tidak menghormati diri mitra
tutur sebagai pembeli. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan kata
dicampur-campur menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang
tidak sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra
tutur saat komunikasi transaksi jual beli.
(26) PJ1: ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak.
Arek enem arek piro?
(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini
enam mau berapa?)
PB1: Hah?
PJ1: Arek enem arek piro to kaose?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
(Mau berapa kaosnya?)
PB1: Eee... Hooh sing kuwi loro.
(Eee... Iya yang itu dua)
PJ2: Sing endi? Oren?
(Yang mana? Jingga?)
PB1: Sing ngene iki piro?
(Yang begini ini berapa?)
PJ1: Telu lima
(Tiga lima)
PB1: Ki telungatus pas ya?
(Ini tiga ratus pas ya?)
PJ1: Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo
dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil
marah-marah)
(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan
dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)
PB1: Ndelok gambare aku.
(Lihat gambarnya aku)
PJ1: Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.
(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)
PB1: Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.
(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)
PJ1: Wis?
(Sudah)
PJ2: Piro iki piro? Hah?
(Berapa ini berapa? Hah?)
PB1: Enam, pitu
(Enam, tujuh)
PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?
(Lha ini bordirnya dua)
PB2: Enem, pitu niku lho!
(Enam, tuju itu lho!)
PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.
(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)
PB1: Lha iyo lima dua ratus to!
(Lha iya lima dua ratus kan!)
PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)
(Ini bordir, Mbak)
PJ2: Bordir bedo! (nada keras)
(Bordir beda!)
(Konteks: Tuturan di atas memperlihatkan bahwa PB sangat dirugikan oleh
tuturan PJ. Terlihat pada tuturan PJ yang kasar kepada PB sehingga tuturan
tersebut sangat merugikan PB dan menyinggung perasaan PB). (DT 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Data (26) merupakan tuturan dari pedagang kaos dagadu kepada pembeli.
Dalam data tuturan ini terdapat dua kata yang perlu ditekankan, yakni ojo
dibukaki dan kesel. Menganalisis kata yang pertama dahulu, kata ojo dibukaki
sendiri terucap ketika mitra tutur (PB) tengah melihat dan memilih-milih
dagangan dari si penutur. Dari percakapan di atas, kata ojo dibukaki yang
termasuk dalam kategori tuturan yang melarang dan terlihat kasar kepada mitra
tutur. Ketika penutur menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi
kacau dan penuh emosi. Tuturan penutur dengan penekanan kata larangan itu
dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra
tutur yang menanggapi dengan sedikit jengkel. Tuturan penutur tersebut dinilai
sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai konsumen dari penjualannya.
Analisis kata pertama ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya
mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi,
dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas.
Oleh karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual
beli. Selanjutnya, menganalisis kata yang kedua, yaitu kata kesel. Kata kesel
memiliki maksud bahwa penutur sudah tidak sanggup lagi untuk memasukkan
kaos-kaos yang sudah dibuka oleh mitra tutur (PB). Padahal mitra tutur yang
notabene adalah seorang pembeli memiliki hak membuka kaos-kaos dagangan
penutur untuk melihat gambar dan ukuran kaosnya. Akan tetapi penutur
mengucapkan kata kesel kepada mitra tutur saat si mitra tutur tengah asyik
memilih dagangan penutur. Hal ini sangat merugikan mitra tutur karena kata kesel
tersebutlah yang pada akhirnya memaksakan mitra tutur untuk memilih barang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
dagangan si penutur. Penggunaan kata kesel juga dirasa tidak pas dan dirasa
kurang sopan. Maka dari itu, kata tersebut tidak layak untuk dituturkan dalam
komunikasi, khususnya dalam transaksi jual beli.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan
dalam tabel berikut ini.
TABEL 9
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PENJUAL DARI SEGI
PEMAKAIAN GAYA BAHASA
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
PEMAKAIAN GAYA BAHASA
SANTUN TIDAK
SANTUN
1. Analisis 23 DT 25
2. Analisis 24 DT 12
3. Analisis 25 DT 30
4. Analsis 26 DT 3
4.2.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta.
Data yang kedua ini berbeda dengan data yang pertama. Data kedua ini
mengenai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta.
Dalam data ini, difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra
tutur adalah penjualnya. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan skala
kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
penelitian ini. Gunarwan (1994:91-93) menuliskan mengenai pendapat Leech
(1983:123) tentang lima skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat
kesantunan. Lima skala tersebut terangkum dalam skala pragmatik yang terdiri
atas (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, (3) skala
ketaklangsungan, (4) skala keotoritasan, dan (5) skala jarak sosial. Namun,
peneliti hanya menggunakan tiga skala sebagai dasar analisisnya. Tiga skala
tersebut, yaitu (1) skala biaya-keuntungan, (2) skala keopsionalan, dan (3) skala
ketaklangsungan. Hal ini karena ketiga skala yang akan digunakan sebagai dasar
analisis penelitian ini sudah dapat dikatakan mencakup dari skala-skala lainnya.
Selain itu data-data yang telah diperoleh oleh peneliti juga hanya mencakup tiga
skala tersebut. Dengan kata lain, peneliti hanya menggunakan tiga skala milik
Leech karena menurut peneliti tiga skala Leech tersebut sudah dapat mewakili
untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa baik penjual maupun tingkat
kesantunan berbahasa pembeli. Ditambah pula dengan adanya penggunaan tiga
hal yang mendukung analisis penelitian ini, yakni penggunaan sapaan, alih kode,
dan campur kode. Ketiga hal ini juga dapat memengaruhi tingkat kesantunan
berbahasa dalam subjek dan objek penelitian ini. Dengan menggunakan sapaan,
dua skala Leech dalam kajian pragmatik yang tidak digunakan sudah dapat
dianalisis dengan jelas. Hasil data yang dianalisis dengan ketiga skala kesantunan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
4.2.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech
4.2.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)
Skala biaya-keuntungan ini digunakan untuk menghitung biaya dan
keuntungan selama melakukan suatu tindakan (seperti yang ditujukan oleh daya
ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan mitra tutur.
Indikator yang ditunjukkan dalam skala ini adalah seberapa besar tuturan dari
penutur dapat menguntungkan diri mitra tuturnya saat melakukan tuturan.
Semakin penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya
akan menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra
tuturnya, maka tingkat kesantunannya akan menjadi tidak santun. Data dari
penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(27) PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.
PB : Ini?
PJ : Itu mahal itu.
PB : Ini gak boleh dua lima?
(Ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.
PB : Mahal ya
PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.
(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)
PB : Yang ini gak boleh dua lima?
(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas
hargane.
(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke
atas harganya)
PB : Nanti ambilnya dua (merayu)
PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak
PB : Yah...
PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua
puluh. Cowok cewek bisa.
PB : Ini berapa?
PJ : Itu sembilan puluh
PB : Ini?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e.
(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
puluh lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)
PB : Yang mana, Bu?
PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB sedikit merayu PJ dan hal tersebut dapat menguntungkan mitra
tuturnya). (DT 6)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala untung-rugi, akan
tampak sebagai berikut.
Data (27) merupakan tuturan antara pedagang dompet dengan pembeli
yang sama-sama berjenis kelamin perempun, hanya keduanya dibedakan
berdasarkan usia. Data tersebut menunjukkan kesantunan penutur (PB) terhadap
mitra tutur (PJ) dalam sebuah percakapan. Penutur (PB) merayu mitra tutur (PJ)
dengan ingin memberi barang dagangan mitra tutur dalam jumlah lebih dari satu
namun mitra tutur (PJ) diharapkan memberikan pengurangan harga. Tuturan
penutur (PB) yang sedikit merayu mitra tutur (PJ) ini dapat menguntungkan diri
mitra tutur (PJ) karena penutur (PB) membeli dagangan si mitra tutur lebih dari
satu. Terlihat dari percakapan data tuturan (27) di atas, kedua partisipan tutur
memiliki pemahaman yang baik atas tuturan yang tengah dilakukan. Kedua
partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap tuturan yang
dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan
mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Maka dari itu, data (27)
terbilang santun. Santunnya tuturan antara penutur dengan mitra tutur juga
dipengaruhi oleh penggunaan kata sapaan “Bu” yang diucapkan oleh penutur (PB)
kepada mitra tutur (PJ). Sapaan tersebut sudah sesuai digunakan karena dapat kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
ketahui bahwa penutur (PB) lebih muda dari mitra tutur (PJ). Dilihat dari jenis
kelaminnya juga keduanya sama-sama berjenis kelamin perempuan dan mitra
tutur memang pantas menyapa penutur dengan sapaan “Mbak”. Hal ini
dikarenakan penutur lebih muda dari mitra tutur. Begitu juga sebaliknya, penutur
tepat menggunakan sapaan “Bu” kepada mitra tutur yang memang lebih tua dari
penutur. Dari hasil data (27) di atas, terdapat penggunaan campur kode bahasa
Jawa dalam tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur (PJ) kepada penutur (PB).
Campur kode ini terlihat pada tuturan mitra tutur yang menggunakan kata iki, sik,
dan “e” di setiap tuturannya, misalnya hargane dan pilihane. Namun, penutur
tetap menjawab tuturan penutur dengan menggunakan bahasa Indonesia.
(28) PB : Dikurangi ya, Bu?
PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.
PB : Lima puluh?
PJ : Tambah dua ribu lima ratus
PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan.
PJ : Iyo wes gak apa-apa.
(Iya sudah, tidak apa-apa)
PB : Suwun
(Terima kasih)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang).
(DT 17)
Terlihat dari percakapan data (28) yang terjadi, penutur (PB)
memberikan keuntungan pada mitra tutur (PJ) dengan menyetujui tambahan harga
yang diberikan oleh mitra tutur (PJ). Penutur menambahkan uang sesuai dengan
harga penawaran yang diberikan oleh si mitra tutur (PJ). Hal ini dapat dibuktikan
dengan tuturan penutur (PB) yang menguntungkan mitra tutur (PJ) dengan
menyetujui dan menambah uang sesuai penawaran dari mitra tutur seperti berikut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan”. Mitra tutur (PJ) memberikan
penawaran harga kepada penutur (PB) dengan menambahkan dua ribu lima ratus
pada dagangan yang telah dipilih oleh penutur, namun penutur hanya
menambahkan uang sebesar dua ribu rupiah saja. Akan tetapi dilihat dari tuturan
yang dituturkan oleh penutur (PB), hal tersebut sudah menguntungkan diri mitra
tutur. Walaupun lima ratus rupiahnya tidak diberikan kepada mitra tutur, dapat
dilihat bahwa mitra tutur (PJ) sudah merasa diuntungkan oleh si penutur (PB).
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu.
Selain itu kedua partisipan tersebut juga memiliki pemahaman yang sama
terhadap tuturan yang dituturkan dan keduanya tidak mengalami kesulitan untuk
memahami dan mengerti arah pembicaraan yang sedang berlangsung. Oleh karena
itu, data (28) memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) dapat dikategorikan ke
dalam tuturan yang santun. Penggunaan sapaan juga terlihat benar dalam data
tuturan (28) ini. Sapaan “Dik” dinilai tepat digunakan untuk menyapa penutur
yang adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan dan sapaan “Bu”
dirasa tepat digunakan untuk menyapa mitra tutur yang notabene adalah seorang
wanita dewasa. Beralih dari sapaan, tuturan di atas terdapat pula penggunaan alih
kode bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko. Tidak seperti kebanyakan tuturan
lainnya, data tuturan (28) ini didapati menggunakan alih kode dala pertuturannya.
Alih kode ini terjadi ketika dalam komunikasi transaksi jual beli, mitra tutur
menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang kemudian si penutur memberi tanggapan
atas tuturan mitra tutur dengan beralih kode yang awalanya menggunakan bahasa
Indonesia kemudian beralih ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dibuktikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
sebagai berikut, mitra tutur mengatakan “Iyo wes gak apa-apa” yang kemudian
ditanggapi oleh penutur yang beralih menggunakan bahasa Jawa Ngoko,
“Suwun”. Penggunaan alih kode ini dirasa tidak akan memengaruhi maksud dan
tujuan dari komunikasi yang terjalin antara penutur (PB) dan mitra tutur (PJ).
(29) PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang.
Dek. Bisa kurang sedikit.
PB : Yang besar tiga lima ya, Bu? PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya,
Dik.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB menguntungkan PJ dengan harga tawaran PB). (DT 19)
Data (29) merupakan tuturan yang diucapkan antara penjual dengan
pembeli. Ditekankan bahwa pembeli yang notabene adalah sebagai penutur
menuturkan tuturan yang dirasa santun kepada mitra tutur (PJ). Hal ini
dikarenakan tuturan penutur (PB) sangat menguntungkan diri mitra tutur (PJ).
Keuntungan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur dapat dicermati
dalam tuturan penutur sebagai berikut, “Yang besar tiga lima ya, Bu?”. Tuturan
penutur (PB) tersebut dirasa memberikan keuntungan bagi si mitra tutur karena
pada tuturan mitra tutur (PJ) yang sebelumnya, si mitra tutur (PJ) menjelaskan
mengenai harga-harga barang dagangannya kepada penutur kemudian penutur
(PB) menawar dagangan si mitra tutur dengan hanya mengurangi lima ribu rupiah
saja dari harga awal yang sebesar empat puluh ribu rupiah, jadi penutur (PB)
menawar harga dagangan mitra tutur (PJ) dengan sebesar tiga puluh lima ribu
rupiah saja. Hal inilah yang dirasa penutur sangat menguntungkan mitra tuturnya.
Pengurangan harga yang sedikit tersebut tetap membuat diri mitra (PJ) tutur
merasa untung dalam transaksi jual belinya dengan penutur. Oleh karena itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
walaupun penutur (PB) menawar harga dagangan si mitra tutur, namun tuturan
yang diucapkan penutur kepada mitra tutur (PB) tetap menguntungkan diri di
mitra tutur. Hal ini juga terlihat dari mitra tutur (PJ) yang memberikan tanggapan
baik kepada si penutur (PB). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu
penanda kesantunan dalam data itu. Selain tuturan penutur yang terlihat dalam
percakapan di atas, penggunaan kata sapaan juga terlihat di dalamnya. Penutur
(PB) yang notabene adalah seorang remaja yang berjenis kelamin perempuan
tepat diberikan sapaan “Dik” oleh mitra tutur. Dan juga mitra tutur (PJ) yang
notabene adalah seorang wanita dewasa tepat diberikan sapaan “Bu” oleh penutur,
karena penutur memang jauh lebih muda dari mitra tutur. Tetap pada data tuturan
(29) namun beralih pada penggunaan campur kode yang ternyata juga terdapat
dalam data tuturan tersebut. Campur kode yang digunakan dalam data tuturan ini
adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Kedua bahasa itu
digunakan oleh mitra tutur (PJ) dalam bertransaksi jual beli dengan penutur (PB).
Berbeda dengan penutur (PB) yang tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam
komunikasi transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Campur kode yang
digunakan dalam data tuturan (29) ini tidaklah memengaruhi maksud dan tujuan
penutur dan mitra tutur dalam bertransaksi jual beli di emperan toko Malioboro
Yogyakarta. Jadi, data tersebut tetaplah masuk ke dalam kategori tuturan yang
santun.
(30) PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?
PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.
PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu)
PJ : Jadiinya tadi dua...
PB : Dua ratus sepuluh
PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
(PB menyerahkan uang ke PJ)
PJ : Uang kembali...
PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB)
PJ : Ini, makasih ya.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB memperlihatkan rasa kecewa dan merasa
dirugikan terhadap tuturan PJ sehingga dapat dilihat dari tuturannya, PB
terlihat marah. Seharusnya walaupun PB merasa kecewa atau dirugikan
tidak berkata demikian). (DT 2)
Data (30) merupakan percakapan antara penjual dan pembeli dalam sebuah
transaksi jual beli kaos dagadu di emperan toko Malioboro Yogyakarta. Pada
tuturan (30) tersebut, si pembeli yang sebagai penutur tampak tidak terima dengan
tuturan si mitra tutur yang secara langsung memberikan harga pas pada
dagangannya. Mitra tutur (PJ) tidak memberikan kesempatan penutur (PB) untuk
menawar dagangan si mitra tutur terlebih dahulu. Mitra tutur (PJ) langsung
memberikan harga pas sesuai dengan keinginannya sendiri. Penutur (PB) terlihat
kecewa namun walaupun kecewa terhadap tuturan si mitra tutur (PJ) seharusnya
penutur tidak bertutur kata demikian. Tuturan yang diucapkan penutur dinilai
tidak santun dan tidak layak untuk dituturkan. Karena tuturan penutur (PB)
terlihat terpaksa dan terlihat berat untuk membeli dagangan si mitra tutur (PJ).
Ditambah dengan gaya tutur yang menggerutu. Gaya tutur ini dirasa kurang sopan
karena dengan begitu akan memperlihatkan bahwa penutur (PB) tidak memiliki
wibawa dan sopan santun saat berkomunikasi dengan orang lain yang tengah
diajak berkomunikasi. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan tuturan
penutur (PB) berikut ini, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok!” (sambil
menggerutu). Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda
ketidaksantunan dalam data itu. Oleh karena itu, tuturan yang diucapkan penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
(PB) dirasa tidak santun untuk dituturkan dalam komunikasi transaksi jual beli.
Dalam sebuah komunikasi sudah pasti menggunakan kata sapaan untuk saling
menghormati satu sama lain, baik penutur maupun mitra tutur. Pada data (30) ini
sapaan yang digunakan sudah jelas dan tepat untuk digunakan dalam komunikasi.
Penutur (PB) tepat memberikan sapaan “Pak” kepada mitra tutur yang notabene
adalah seorang laki-laki dewasa. Begitu pula dengan mitra tutur (PJ) yang tepat
dan pas memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur (PB) yang notabene
adalah seorang wanita tengah baya. Sapaan yang diberikan mitra tutur kepada
penutur sudah tepat karena penutur (PB) lebih muda dari si mitra tutur. Selain
penggunaan sapaan, dari data (30) di atas terdapat pula campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Percakapan di atas hampir seluruhnya
menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi terdapat satu tuturan penutur (PB)
yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Ya wis iki wae, inilah contoh tuturan
penutur yang menggunakan campur kode bahasa Jawa Ngoko yang dituturkan
oleh si penutur (PB).
(31) PJ2: Piro iki piro? Hah?
(Berapa ini berapa? Hah?)
PB1: Enam, pitu
(Enam, tujuh)
PJ1: Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?
(Lha ini bordirnya dua)
PB2: Enem, pitu niku lho!
(Enam, tuju itu lho!)
PJ1: Seratus. Iki mau seratus empat puluh.
(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)
PB1: Lha iyo lima dua ratus to!
(Lha iya lima dua ratus kan!)
PJ1: Iki bordir, Mbak (jengkel)
(Ini bordir, Mbak)
PJ2: Bordir bedo! (nada keras)
(Bordir beda!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
PB1: Tambahi piro to?
(Tambah berapa?)
PJ1: Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae.
(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja)
PB1: 2.000 ya?
PJ1: Ya Allah...
PB1: Pun niki (sambil merengek)
(Sudah ini)
PJ1: Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70,
gur 65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.
(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70,
hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak)
PB1: Iya. Enem wae susuk lima ribu.
(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)
PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan
selawe loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)
(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima
ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok).
PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.
(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)
PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro!
(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)
PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel)
(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)
PJ2: Selawe loro, sing ngene no!
(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)
PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik.
Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono
lho warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit
memaksa)
(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta
tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua,
ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ
ukuran L)
PB1: Ngge langganan lho, Pak.
(Buat langganan, Pak)
PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh
gedhe cilik tak kek‟i.
(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang.
Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Data (31) merupakan tuturan dari seorang penutur (PB) kepada mitra tutur
(PJ) saat transaksi jual beli. Pada tuturan (31) ini penutur (PB) merugikan si mitra
tutur (PJ). Penutur (PB) memaksa si mitra tutur (PJ) untuk memberikan barang
dagangannya sesuai dengan keinginan dan penawaran si penutur (PB). Tuturan
penutur yang memaksa dapat dilihat sebagai berikut ini, “Mbok sing selawe loro
to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok”
(sambil marah-marah) dan “Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku
njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000
karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L” (marah-marah dan
sedikit memaksa). Tuturan ini memperlihatkan penutur (PB) yang tengah emosi,
sehingga tuturan yang terucap menjadi kasar dan tidak layak untuk dituturkan
kepada mitra tutur (PJ). Apalagi penutur mengucapkan tuturan itu dengan
memaksa. Tuturan tersebut membuat mitra tutur (PJ) tersinggung dan menjadi
marah. Hal itu terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur.
Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data
itu. Tuturan tersebut dinilai tidak santun karena terlihat jelas penutur sangat
merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tuturnya menanggapi tuturan
penutur dengan marah. Suasana tuturan antara penutur dengan mitra tutur menjadi
tidak menarik dan harmonis lagi karena mitra tutur merasa sangat dirugikan
dengan tuturan si penutur. Selain itu suasana pertuturan yang tidak harmonis ini
selain mitra tutur (PJ) yang merasa dirugikan oleh penutur (PB), juga disebabkan
karena tuturan penutur (PB) yang kasar dan memaksa. Tuturan dari data (31)
memperlihatkan bahwa tuturan penutur (PB) sangat tidak layak digunakan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
konteks jual beli. Ketidaksantunan tuturan penutur mengakibatkan tanggapan dari
mitra tutur (PJ) menjadi berubah sehingga mitra tutur merasa sangat dirugikan.
Tuturan penutur (PB) seperti inilah yang tergolong tuturan tidak santun. Data
(31) diperlihatkan bahwa dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa yang digunakan penutur dan mitra tutur adalah bahasa Jawa Ngoko.
Dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko tersebut penutur dan mitra tutur saling
berkomunikasi transaksi jual beli. Selain itu, dalam data tuturan (31) ini juga
menggunakan campur kode bahasa Inggris. Dapat dibuktikan dengan adanya
penggunaan kata pink dalam tuturan si penutur (pembeli). Memang suasana
komunikasi tersebut terlihat nyambung atau sama-sama mengerti arah
komunikasinya, akan tetapi penggunaan kata-katanya tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya dituturkan. Oleh karena itu, ada banyak tuturan yang dituturkan
penutur (PB) membuat mitra tuturnya (PJ) marah dan merasa dilecehkan.
Penggunaan bahasa Jawa identik dengan sapaan Mbak, Bu, dan Pak yang
memang layak digunakan, baik kepada yang lebih muda maupun kepada yang
lebih tua. Penggunaan sapaan dalam data ini memang sudah tepat digunakan,
yakni sapaan “Mbak” yang ditujukan untuk pembeli pertama yang notabene
adalah seorang wanita muda, sapaan “Bu” yang ditujukan untuk penjual pertama
dan pembeli kedua yang notabene sama-sama seorang ibu-ibu (wanita dewasa),
dan yang terakhir sapaan “Pak” yang ditujukan untuk penjual kedua yang
notabene adalah seorang bapak-bapak (laki-laki dewasa). Data tersebut di atas
memperlihatkan bahwa sapaan yang digunakan sudah tepat. Namun terlepas dari
penggunaan sapaan saja, tuturan tersebut memang dinilai tidak santun karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
sangat jelas terlihat bahwa tuturan-tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB)
dapat merugikan diri mitra tuturnya (PJ).
(32) PB : Empat puluh ya?
PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju)
PB : Berarti sama ya ini?
PJ : Beda, Bu
PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu?
PJ : (menunjukkan bajunya)
PB : Ini paling gede?
PJ : Iya L
PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama?
PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa
mengejek)
PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun. Selain marah karena tuturan dari PJ yang mengejek, tuturan PB
juga terlihat memaksakan PJ untuk menyamakan harga dagangannya. Hal
itu dinilai merugikan mitra tuturnya). (DT 14)
Data (32) memperlihatkan bahwa tuturan yang dituturkan oleh penutur
(PB) ternyata merusak suasana komunikasi jual beli. Penutur (PB) yang marah
akibat tuturan mitra tutur (PJ) yang mengejek, menanggapi dengan tuturan yang
dinilai tidak patut untuk dituturkan. Ini efek dari tuturan si mitra tutur (PJ)
sebelumnya yang merugikan diri si penutur (PB). Akan tetapi terlepas dari itu,
tidak seharusnya penutur (PB) menanggapi tuturan mitra tutur dengan tuturan
yang memaksa. Tuturan penutur yang memaksa dapat dilihat seperti berikut ini,
“Harusnya samalah!” (nada memaksa dan langsung pergi). Penutur seolah-olah
tidak memperdulikan mitra tutur. Tuturan penutur tersebut memaksakan si mitra
tutur (PJ) untuk menyamakan harga dagangan sesuai dengan penawaran si penutur
(PB) tanpa memperdulikan penawaran yang telah diberikan oleh mitra tutur.
Tuturan penutur (PB) ini masuk ke dalam kategori tuturan yang tidak santun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
karena merugikan mitra tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu
penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan (32) ini, penutur
(PB) dan mitra tutur (PJ) sama-sama seorang wanita dewasa. Maka, sapaan “Bu”
tepat digunakan dalam percakapan di atas. Jika dilihat dari penggunaan sapaan ini,
keduanya saling menghormati satu sama lain, namun memang dalam percakapan
tersebut antara penutur dengan mitra tutur tidak dapat mengontrol emosi masing-
masing sehingga dalam bertransaksi jual beli, baik penutur mapun mitra tutur
sama-sama menuturkan tuturan yang saling merugikan satu sama lain. Dalam data
ini, tuturan penuturlah yang tengah dianalisis kesantunannya dan tuturan penutur
itu tergolong tuturan yang tidak santun. Terlepas dari penggunaan sapaan, terdapat
pula penggunaan campur kode dalam percakapan di atas. Campur kode yang
digunakan adalah campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penggunaan
campur kode ini tidak mengubah maksud dan tujuan dari percakapan di antara
kedua partisipan tutur itu. Jadi, tidak santunnya tuturan penutur dalam data tuturan
(32) ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh penggunaan sapaan dan campur kode
yang sudah tepat digunakan.
(33) PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete
tok satus.
(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan
tetapi dalamnya saja seratus)
PB : Mas sing ngono kuwi?
(Mas yang itu berapa?)
PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang.
(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal)
PB : Sing ayat kursi?
(Yang ayat kursi?)
PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu?
(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?)
PB : Piro?
(Berapa?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya
tiga ratus ribu rupiah)
(Saya sudah begini)
PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang
menandakan harganya tiga ratus ribu rupiah)
(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)
PJ : Lha nek karo bapake benten
(Kalau sama bapaknya berbeda)
PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua
jari yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora
telungatus tapi rongatus?
(Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak?
Tidak tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)
PJ : Wah dereng nek ngoten
(Wah belum kalau begitu)
PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji
wae kok Pak, dadine rongatus.
(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya
tinggal satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.
PJ : Telungatus
(Tiga ratus ribu)
PB : Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!
(jengkel)
(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di
sini!)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB dianggap tidak sopan. Hal ini mungkin terjadi
akibat tuturan PJ yang merugikan PB, sehingga PB merasa jengkel dan
bertutur demikian). (DT 21)
Tuturan yang dituturkan oleh pembeli yang notabene sebagai penutur pada
data (33) memperlihatkan ketidaksopanan dalam bertutur kata. Tuturan penutur
dalam percakapan di atas mengindikasikan rasa jengkel penutur (PB) terhadap
tuturan mitra tutur (PJ) sebelumnya. Namun, tuturan penutur tersebut tidak layak
untuk dituturkan kepada mitra tutur. Mitra tutur menganggap si penutur menyindir
si mitra tutur (PJ) melalui tuturan yang terucap dari penutur (PB) dan hal itu
mengakibatkan mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan karena tuturan si penutur
dianggap melecehkan diri si mitra tutur (PJ). Tuturan tersebut dinilai tidak santun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
karena jelas-jelas penutur (PB) merugikan dan melecehkan mitra tuturnya.
“Koyok gak tau tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (jengkel), itulah
tuturan yang diucapkan oleh penutur kepada si mitra tutur. Walaupun penutur
(PB) merasa jengkel terhadap mitra tutur, seharusnya penutur tidak menuturkan
tuturan yang tidak sopan seperti itu. Terlihat pada tuturan di atas, suasana tuturan
antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi. Hal ini dikarenakan
mitra tutur merasa sangat dirugikan oleh tuturan si penutur (PB). Penutur seolah-
olah tidak memperdulikan harga yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si
penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan
dalam data itu. Data (33) termasuk tuturan yang tidak santun. Alangkah baiknya
apabila tuturan penutur yang terlihat tidak sopan tersebut diganti dengan tuturan
dengan menggunakan bahasa Jawa Krama berikut ini, “O nggih sampun, gantos
wekdal kula mriki malih” atau dalam bahasa Indonesianya, “O ya sudah, lain kali
saya ke sini lagi”. Dengan begitu, tuturan si penutur (PB) akan terlihat santun dan
tidak menyinggung atau merugikan mitra tutur. Dalam data tuturan (33) di atas,
sapaan yang digunakan di antara kedua partisipan tutur, baik penutur maupun
mitra tutur sudah tepat dan layak digunakan untuk menghormati satu sama lain
dalam berkomunikasi. Penutur (PB) dirasa tepat memberikan sapaan “Pak”
kepada mitra tutur karena mitra tutur seorang laki-laki yang sudah tua. Begitu
juga dengan mitra tutur (PJ) yang dirasa tepat memberikan sapaan “Bu” kepada
penutur. Ini dikarenakan penutur seorang wanita dewasa, jadi layak untuk
diberikan sapaan “Bu” oleh mitra tutur (PJ). Di samping menganalisis
penggunaan sapaan, dalam data ini terdapat penggunaan campur kode bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
Jawa Krama dan bahasa Jawa Ngoko. Hampir seluruhnya tuturan mitra tutur
menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini berbeda dengan penutur yang
menggunakan bahasa Jawa Ngoko dalam berkomunikasi dengan si mitra tutur.
Walaupun dalam percakapan di atas menggunakan campur kode bahasa Jawa
Krama dan bahasa Jawa Ngoko, masing-masing partisipan tutur mampu
memahami dan mengerti maksud dari pertuturan di antara keduanya. Namun tetap
tidak dapat dipungkiri bahwa data tuturan (33) memang terrgolong tuturan yang
tidak santun. Karena selain tuturan penutur (PB) yang dianggap sangat tidak
sopan, tuturan penutur sangat merugikan diri si mitra tutur (PJ).
(34) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.
PB : Empat tahun bisa gak?
PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat
TK juga, Mbak.
PB : Iya. Berapa?
PJ : Empat lima aja
PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat
merugikan PJ). (DT 34)
Data (34) mengindikasikan bahwa penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) sudah
mengerti arah dan maksud pertuturan mereka. Akan tetapi tampak pada tuturan
penutur yang dianggap kurang sopan untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat
transaksi jual beli. Tuturan penutur tersebut dapat dibuktikan seperti ini, “Lihat-
lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (kemudian pergi). Tuturan ini merupakan
tanggapan dari tuturan mitra tutur (PJ) terhadap penutur (PB). Mitra tutur sudah
memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun
tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan
melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan
oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada
mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada
kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang
diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang
diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur.
Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga
yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Hal ini memperlihatkan
bahwa tuturan tersebut digunakan untuk basa-basi agar penutur (PB) tidak jadi
membeli dagangan si mitra tutur. Namun, tuturan penutur itu terkesan tidak layak
untuk digunakan dalam komunikasi jual beli. Karena sangat merugikan mitra
tuturnya. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan
dalam data itu. Pada data tuturan (34) ini dilihat penutur dan mitra tutur
menggunakan kata sapaan untuk berkomunikasi. Penggunaan kata sapaan ini tentu
dilihat pada siapa yang tengah kita ajak berkomunikasi. Dan sapaan yang
diberikan harus selaras dengan seseorang yang sedang berkomunikasi dengan kita.
Dalam data ini, penutur (PB) yang notabene adalah seorang wanita tengah baya
dianggap tepat dan pas untuk disapa “Mbak” oleh mitra tutur (PJ). Dan mitra tutur
yang notabene adalah seorang laki-laki tengah baya juga dianggap tepat dan pas
untuk disapa “Mas” oleh si penutur. Penggunaan kata sapaan ini digunakan untuk
saling menghormati satu sama lain atau lawan bicara kita. Jadi, jangan sampai saat
berkomunikasi kita salah menggunakan sapaan terhadap lawan bicara kita.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
Sepadan dengan penggunaan sapaan, campur kode digunakan pula di dalam data
tuturan ini. Campur kode yang digunakan dalam data ini berupa campur kode
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Memang jika dilihat dari percakapan di
atas, penutur dan mitra tutur sama-sama berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Namun dalam tuturan mitra tutur terdapat kata mbrangkang
yang termasuk dalam kategori bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan campur kode
bahasa Jawa Ngoko memang tidak terlihat banyak, tetapi arah dan maksud dari
penggunaan campur kode itu tetap dapat dipahami oleh kedua partisipan tutur
tersebut.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
untung-rugi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 10
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA
UNTUNG-RUGI
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA UNTUNG-RUGI
SANTUN
(diuntungkan) TIDAK SANTUN
(dirugikan)
1. Analisis 27 DT 6
2. Analisis 28 DT 17
3. Analisis 29 DT 19
4. Analsis 30 DT 2
5. Analisis 31 DT 3
6. Analisis 32 DT 14
7. Analisis 33 DT 21
8. Analisis 34 DT 34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
4.2.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)
Skala pilihan ini menunjuk kepada banyak sedikitnya pilihan (options)
yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin
pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila
pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si
penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun. Data dari
penelitian yang telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(35) PB: Ini double?
PJ : Ini double XL
PB: Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?
PJ : Ini ada yang XL?
PB: XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?
PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?
PB: Tiga tahun, ya laki-laki
PJ : Ini ukuran L dan M
PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang
merah coba.
PJ : Desainnya sama?
PB: Ini tadi kan?
PJ : Ini L
PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah.
Ini double XL kan?
PJ : Iya. Yang kayak gini juga
PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.
PJ : Iya
PB: Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?
PJ : L
PB: L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?
PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.
PB: Double XLnya gak ada?
PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak
ada. Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.
PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya?
Yang ini gambarnya apa?
PJ : Gambarnya sama
PB: Coba buka aja gambarnya apa.
PJ : Ukurannya apa, Mbak?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
PB: Yang L juga.
PJ : Yang ini?
PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa
ya?
PJ : Jadinya 150
PB: Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.
PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.
PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya
ukurannya.
PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.
PB: Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.
PJ : Berarti yang gambarnya cowok?
PB: Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan PJ). (DT 13)
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala pilihan, akan tampak
sebagai berikut.
Data (35) ingin mengatakan kepada pembaca bahwa percakapan antara
penjual kaos dengan pembelinya memiliki nilai kesantunan yang baik. Penjual
yang notabene sebagai mitra tutur memberikan banyak pilihan kepada si penutur
(PB). Dengan diberikannya pilihan-pilihan atas dagangan si mitra tutur, penutur
(PB) dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur. Hal ini dinilai santun
karena pilihan-pilihan yang diberikan mitra tutur (PJ) sangat ditanggapi oleh si
penutur (PB) sehingga penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan
leluasa. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan tuturan si penutur yang
memberikan tanggapan baik (dapat memilih) kepada mitra tutur sebagai berikut,
“Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double
XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga
limaan”. Suasana yang baik dan nyaman dibangun antara penutur (PB) dan mitra
tutur (PJ) mitra tutur dalam komunikasi transaksi jual beli. Suasana yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
menyenangkan dan nyaman membuat si penutur (PB) membeli dagangan mitra
tutur (PJ) dengan jumlah yang banyak. Seperti pada skala pilihan milik Leech ini
yang mengatakan, semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur
menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap santunlah tuturan itu,
jadi data tuturan (35) ini dinilai sebagai tuturan yang santun karena terlihat pada
data tuturan di atas bahwa si mitra tutur (PJ) memberikan pilihan-pilihan
dagangannya kepada si penutur (PB). Dan penutur pun menanggapi dengan baik
dan penutur (PB) dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan nyaman dan
leluasa. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu penanda kesantunan dalam
data itu. Transaksi jual beli yang sedang dilakukan oleh kedua partisipan tutur
tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara keduanya terlihat
sangat baik. Komunikasi yang baik tersebut juga tidak lepas dari persamaan
gender di antar keduanya. Hal tersebut juga ikut membantu keduanya dalam
bertansaksi. Maksudnya, persamaan gender ini membuat penutur dan mitra tutur
terlihat sangat akrab dalam bertransaksi jual beli, sehingga dalam bertransaksi
keduanya terlihat sangat nyaman berkomunikasi dan dapat memahami arah
pembicaraannya. Pembeli (penutur) dan penjual (mitra tutur) adalah sama-sama
seorang wanita. Dalam transaksi jual beli, keduanya menggunakan sapaan
“Mbak”. Sapaan “Mbak” yang digunakan memang sudah tepat karena penutur
dan mitra tutur memang masih muda. Selain sapaan, campur kode juga terdapat
dalam percakapan data (35) ini. Campur kode yang digunakan dalam tuturan data
(35) ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Campur kode bahasa Inggris
dapat dilihat seperti, couple, double dan single. Penggunaan campur kode ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
sudah pasti akan muncul pada komunikasi transaksi jual beli dalam halnya
penjualan pakaian. Karena jarang sekali ada penjual (penutur) yang menawarkan
dagangannya dengan menggunakan istilah, ini untuk satu orang, ini untuk dua
orang, ukurannya M kecil atau M besar. Para pedagang pakaian sudah terbiasa
menggunakan campur kode bahasa Inggris seperti yang sudah ada dalam data (35)
di atas, seperti couple, single, dan double. Karena menurut mereka (para
pedagang) kata-kata tersebut lebih mudah diucapkan daripada harus panjang lebar
seperti istilah yang sudah dijelaskan di atas. Namun, penggunaan campur kode ini
tidak mengubah kesantunan yang terdapat dalam data (35) ini.
(36) PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng
warnane, Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar
lihat warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1)
Data (36) memperlihatkan bahwa pembeli (penutur) sedang melakukan
transaksi jual beli dengan penjual (mitra tutur). Dapat dilihat transaksi jual beli
yang dilakukan oleh penutur (PB) kepada mitra tutur (PJ) berjalan dengan baik
dan lancar. Mitra tutur (PJ) dapat mengerti apa yang diinginkan oleh penuturnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
(PB) saat transaksi jual beli dagangannya. Komunikasi yang baik membuat kedua
partisipan tersebut terlihat akrab dalam bertransaksi jual beli di Malioboro.
Penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman yang sama terhadap konteks
berdagang dan tidak mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan yang
sedang berlangsung. Tuturan dari data (36) tersebut termasuk dalam kategori
tuturan yang santun karena penutur diberikan keuntungan oleh mitra tutur
(penjual) dengan dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan baik dan leluasa.
Diberi keuntungan oleh mitra tutur, si penutur (PB) pun memberikan tanggapan
baik kepada si mitra tutur. Penutur bertutur kata dengan menekankan pada
tuturannya yakni, “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik
iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa.
Yang ini ya? Sebentar lihat warnanya). Penutur (PB) dapat memilih dagangan
mitra tutur (PJ) dengan enak dan nyaman. Hal ini dapat dilihat pada bukti tuturan
yang telah dicantumkan di atas. Penekanan tuturan tersebut merupakan suatu
penanda kesantunan dalam data itu. Penutur dan mitra tutur terlihat sangat
mengerti alur tuturan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, tuturan ini
termasuk ke dalam kategori tuturan yang santun. Santunnya tuturan data (36) juga
ditandai dengan sapaan yang digunakan. Sapaan yang digunakan dalam
percakapan tersebut sudah tepat. Sapaan “Bu” tepat digunakan sebagai sapaan
penutur (pembeli) yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Sedangkan sapaan
“Mas” tepat digunakan sebagai sapaan mitra tutur (penjual) yang notabene adalah
seorang laki-laki tengah baya. Data (36) juga menggunakan campur kode, yakni
bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Inggris. Penggunaan campur kode bahasa Inggris
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
dibuktikan dengan adanya kata pink yang dalam bahasa Indonesianya berarti
merah muda. Penggunaan campur kode ini tidak dapat dicegah oleh siapapun
karena orang-orang Indonesia memang sudah terbiasa dengan penggunaan
bahasa-bahasa Inggris yang mudah diucapkan dan diingat. Seperti pada
percakapan tersebut penggunaan bahasa asing lebih digunakan dengan
menyebutkan kata pink daripada menyebutkan merah muda. Namun campur kode
yang terjadi dalam tuturan di atas tidak mengubah kesantunan yang terjadi di
dalam data (36).
(37) PB: Ini berapa?
PJ : Empat puluh
PB: Gambare mana lagi?
PJ: Gambarnya ini aja!
PB: Gambar ceweknya gak ono?
PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu!
PB: Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas (merengek)
PJ : Yang L ya?
PB: Iya
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena PB tidak dapat memilih dagangan PJ). (DT 32)
Data (37) merupakan tuturan antara penutur (PB) dengan mitra tutur (PJ).
Data ini menunjukkan ketidaksantunan penutur (PB) terhadap diri mitra tutur (PJ)
dalam sebuah komunikasi jual beli. Dalam hal ini, penutur (PB) tidak dapat
memilih dagangan si mitra tutur (PJ). Karena mitra tutur tidak memberikan
pilihan sama sekali kepada penutur (PB). Inilah bukti tuturan penutur (PB) yang
dianggap kurang santun, “Mas, yang gambarnya lucu gitu lho, Mas”
(merengek). Penutur (PB) menginginkan adanya pilihan-pilihan atas dagangan
mitra tutur, namun mitra tutur sama sekali tidak memberikan pilihan-pilihan
mengenai dagangannya kepada si penutur. Penekanan tuturan tersebut merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Tuturan yang diucapkan penutur
juga dianggap tidak sopan. Hal ini dikarenakan penutur menuturkan tuturan
tersebut dengan merengek. Gaya penuturan dengan merengek dinilai sangat tidak
sopan dan tidak pas untuk dilakukan. Karena melihat penutur (PB) yang notabene
adalah seorang wanita dewasa dan lebih dewasa dari si mitra tutur tidak
sepantasnya merengek seperti itu kepada mitra tutur (PJ). Hal itu dirasa tidak
pantas dan tidak sopan. Pada data tuturan (37) ini terlihat penutur dan mitra tutur
menggunakan sapaan dalam berkomunikasi satu sama lain. Penutur (PB) tepat
disapa “Bu” oleh mitra tutur (PJ) karena melihat bahwa si penutur adalah seorang
wanita dewasa. Dan mitra tutur (PJ) tepat disapa “Mas” oleh penutur karena
melihat bahwa si mitra tutur adalah seorang remaja yang berjenis kelamin laki-
laki. Dalam data tuturan ini, penggunaan sapaan di antara kedua partisipan tutur
itu sudah dirasa tepat digunakan dalam berkomunikasi. Selain itu, campur kode
juga terdapat dalam data tuturan (37) ini. Bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
Ngokolah yang digunakan dalam percakapan tersebut di atas. Memang sekilas
percakapan itu terlihat menggunakan bahasa Indonesia saja, namun dalam tuturan
si penutur terdapat campur kode bahasa Jawa Ngoko seperti kata gak ono.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
pilihan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
TABEL 11
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA
PILIHAN
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA PILIHAN
SANTUN
(banyak pilihan) TIDAK SANTUN
(tidak ada pilihan)
1. Analisis 35 DT 13
2. Analisis 36 DT 1
3. Analisis 37 DT 32
4.2.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)
Skala ketidaklangsungan menunjuk pada peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan
dianggap tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Data dari penelitian yang
telah diambil dapat disajikan sebagai berikut.
(38) PB : Pinten, Mbak ngeten niki?
(Berapa, Mbak ini?)
PJ : Empat puluh lima
PB : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?
(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)
PJ : Pasnya empat puluh
PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ)
(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)
PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.
PB : Telung puluh ya, Mbak?
(Tiga puluh ya, Mbak?)
PJ : Ndak boleh
(Tidak boleh)
PB : Ya sudah, makasih.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketidaklangsungan,
akan tampak sebagai berikut.
Data (38) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa santun karena
penutur (PB) tidak langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur
bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai warna dan harga dagangan
mitra tutur sebelum menawarnya. “Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?” itulah
bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan
oleh penutur (PB) dianggap santun karena tidak langsung menawar dagangan
mitra tutur (PJ). Hal ini tentu memengaruhi tata cara transaksi jual beli. Apabila
penutur (PB) secara langsung menawar barang dagangan mitra tutur, pasti mitra
tutur (PJ) akan menerapkan harga pas kepada penutur. Dan apabila penutur
langsung menawar barang dagangan si mitra tutur dengan harga rendah, tentu
mitra tutur akan merasa dirugikan dan tidak menutup kemungkinan ekspresi mitra
tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Dalam data tuturan (38) ini,
penutur dengan santun bertanya terlebih dahulu kepada mitra tutur mengenai
warna dan harga pasnya berapa atas dagangan si mitra tutur. Sehingga mitra tutur
tidak merasa dirugikan dan tidak akan berubah ekspresi menjadi marah. Pada data
ini terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur
(PB) yang adalah seorang ibu-ibu tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada mitra
tutur (PJ) yang adalah seorang wanita muda. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur
(PJ) yang adalah seorang wanita muda tepat memberikan sapaan “Bu” kepada si
penutur yang notabene adalah seorang ibu-ibu. Beralih dari penggunaan sapaan, di
dalam percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia, bahasa Jawa Krama,
dan bahasa Jawa Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode
dalam data tuturan (38) tersebut di atas.
(39) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga
ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang
ke kantong plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18)
Data (39) merupakan percakapan antara pembeli (penutur) dengan
penjualnya (mitra tutur) dalam suasana jual beli. Dalam data (39) ini terlihat
kedua partisipan tutur sangat mengerti alur pembicaraan yang tengah mereka
lakukan. Dari tuturan tersebut dapat dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik.
Keduanya sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti
alur pembicaraan transaksi jual beli yang tengah berlangsung. Tuturan ini
termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur (PB) dan mitra tutur
(PJ) dapat mengerti arah dan maksud pembicaraannya. Penekanan pada tuturan
penutur (PB) yang telah dicetak tebal mempertegas bahwa penutur sangat tidak
langsung menawar harga dagangan si mitra tutur. Penutur (PB) memberikan
tekanan dengan berupa pertanyaan harga terlebih dahulu yang ditujukan kepada
mitra tutur (PJ) yang kemudian penutur (PB) baru menawar harga dagangan mitra
tutur seperti yang sudah ada dalam tuturan penutur yang dicetak tebal tersebut.
Tekanan dengan berupa pertanyaan harga di sini dimaksudkan bahwa penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
(PB) mempertegas kembali harga dagang yang telah diberikan oleh mitra tutur
kepada penutur dengan bertanya. Hal ini dibuktikan dengan tuturan penutur
berikut ini, “Dua belas ribu? Sepuluh aja”. Penekanan tuturan tersebut
merupakan suatu penanda kesantunan dalam data itu. Suasana komunikasi antara
penutur (PB) dan mitra tutur (PJ) terjalin baik. Ekspresi tanggapan mitra tutur (PJ)
juga terlihat puas dan senang. Oleh karena itu, tuturan tersebut dinilai santun
karena penutur tidak secara langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ).
Tuturan (39) menjadi tidak santun apabila penutur (PB) secara langsung menawar
harga dagangan si mitra tutur (PJ) dengan harga yang sangat rendah. Hal ini tentu
akan membuat mitra tutur merasa dirugikan dan pasti akan sedikit marah kepada
penutur (PB). Dan tidak santunnya tuturan juga dapat terjadi apabila antara
penutur dan mitra tutur tidak ada pemahaman yang jelas dan tepat terhadap arah
pembicaraan yang tengah berlangsung. Dalam berkomunikasi diperlukan sapaan
guna menghormati seseorang yang sedang kita ajak berkomunikasi. Santun
tidaknya sebuah tuturan juga dinilai dari segi penggunaan sapaan. Penggunaan
sapaan yang sudah tepat dan sesuai akan menghasilkan kesantunan pada sebuah
tuturan. Namun apabila sapaan yang digunakan belum tepat, ketidaksantunan
tuturan akan jelas terjadi. Data tuturan (39) ini, sapaan “Dik” tepat digunakan
untuk penutur (PB) yang adalah seorang remaja perempuan dan sapaan “Pak”
tepat digunakan untuk sapaan mitra tutur (PJ) yang adalah seorang laki-laki
dewasa. Sapaan-sapaan tersebut sudah layak digunakan. Selain sapaan,
penggunaan campur kode juga terlihat dari data (39) ini. Campur kode yang
digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Krama. Penggunaan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Jawa Krama identik dengan kesopanan. Begitu juga kesopanan terlihat dari
tanggapan penutur (PB) yang bertutur kata dengan menggunakan campur kode
bahasa Jawa Krama, contohnya, sami-sami Pak. Hal ini lebih membuktikan dan
menegaskan bahwa selain tuturan si penutur (PB) tergolong tuturan yang santun,
penutur mendapatkan tanggapan yang sopan dari mitra tuturnya.
(40) PB : Dua, dua puluh ya, Bu?
PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.
PB : Yo wis.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena PB secara langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 23)
Data (40) merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena
penutur (PB) langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Dengan
santainya penutur langsung menawar harga dagangan si mitra tutur dengan harga
yang rendah. “Dua, dua puluh ya, Bu?” itulah bukti tuturan penutur kepada mitra
tutur. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap tidak
santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan harga yang
rendah. Penutur (PB) yang langsung menawar ini membuat ekspresi mitra tutur
berubah sedikit menjadi marah kepada si penutur. Mitra tutur tetap pada harga
dagangannya. Tawaran yang diberikan oleh penutur ditanggapi oleh mitra tutur
dengan memberikan harga pas yang ditekankan pada kata aja dalam tuturannya.
Namun pada akhirnya, penutur (PB) yang langsung menawar harga dagangan
mitra tutur itu tidak dapat berbuat apa-apa dan terpaksa membeli dagangan mitra
tutur dengan harga yang sudah ditetapkan oleh si mitra tutur (PJ). Rasa terpaksa
penutur terlihat pada tuturan penutur (PB) yang memberikan tanggapan kepada
mitra tutur (PJ) dengan tuturan yang singkat, yaitu “Yo wis”. Penekanan tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
tersebut merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Pada data ini
terdapat penggunaan kata sapaan pada masing-masing peserta tutur. Penutur (PB)
yang adalah seorang wanita tengah baya tepat memberikan sapaan “Bu” kepada
mitra tutur (PJ) yang notabene adalah seorang wanita yang sudah agak tua. Begitu
juga sebaliknya, mitra tutur (PJ) yang adalah seorang wanita yang sudah agak tua
tepat memberikan sapaan “Mbak” kepada si penutur yang notabene adalah
seorang wanita tengah baya. Beralih dari penggunaan sapaan, di dalam
percakapan di atas terdapat penggunaan campur kode tiga bahasa sekaligus.
Campur kode yang dimaksudkan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
Ngoko. Dapat dilihat secara jelas penggunaan campur kode dalam data tuturan
(40) tersebut di atas. Penggunaan campur kode bahasa Jawa Ngoko hanya terdapat
pada tuturan si penutur yang mengatakan , yo wis pada percakapan di atas, namun
selebihnya menggunakan bahasa Indonesia.
(41) PJ : Tiga puluh ya?
PB : Nawar dua lima ! (nada ketus)
PJ : Ya wis, oke-oke
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena PB langsung menawar). (DT 4)
Data (41) menandakan bahwa tuturan berjalan dengan singkat. Data (41)
merupakan tuturan penutur (PB) yang dirasa tidak santun karena penutur (PB)
langsung menawar harga dagangan si mitra tutur (PJ). Penutur langsung menawar
harga dagangan si mitra tutur dengan harga yang lebih rendah dari harga yang
sudah diberikan mitra tutur (PB) kepada penutur (PJ). “Nawar dua lima!” (nada
ketus) itulah bukti tuturan penutur kepada mitra tutur. Ditambah dengan gaya
penuturan penutur (PB) yang ketus kepada mitra tuturnya (PJ) saat bertransaksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
jual beli. Secara otomatis, tuturan yang dituturkan oleh penutur (PB) dianggap
tidak santun karena langsung menawar dagangan mitra tutur (PJ) dengan ketus.
Namun penutur (PB) yang langsung menawar ini tidak membuat ekspresi mitra
tutur berubah menjadi marah kepada si penutur. Hal ini dikarenakan walaupun
sudah ditawar dengan harga yang di bawah standar harga penjualan, si mitra tutur
(PJ) tetap mendapatkan keuntungan dari hasil dagangannya tersebut. Pada
akhirnya, mitra tutur memberikan dagangannya sesuai dengan penawaran harga
yang telah dituturkan secara langsung oleh si penutur. Penekanan tuturan tersebut
merupakan suatu penanda ketidaksantunan dalam data itu. Dalam data tuturan
(41) ini, kedua partisipan tutur ini juga menggunakan sapaan dalam
berkomunikasi. Penutur (PB) yang adalah seorang anak remaja dengan berjenis
kelamin perempuan tepat disapa dengan sapaan “Dik” oleh mitra tuturnya (PJ).
Begitu pula sebaliknya, mitra tutur yang adalah seorang ibu-ibu tepat disapa
dengan menggunakan sapaan “Bu” oleh penutur yang jauh lebih muda dari mitra
tutur. Penggunaan sapaan ini juga harus diperhatikan dengan benar karena
penggunaan kata sapaan yang salah dapat mempengaruhi konteks komunikasi
yang tengah berlangsung. Dengan sapaan ini, baik penutur maupun mitra tutur
dapat saling menghormati satu sama lain dan dapat lebih mengakrabkan kedua
partisipan tutur tersebut dalam berkomunikasi. Selain sapaan, data (41) dirasa
menggunakan campur kode, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko.
Terlihat jelas dari percakapan di atas yang menggunakan campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa Ngoko. Campur kode bahasa Jawa terlihat pada
tuturan mitra tutur (PJ) yang mengatakan, “Ya wis, oke-oke”. Penggunaan campur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
kode dengan bahasa Jawa Ngoko ini dinilai tidak merusak maksud dari tuturan
yang sedang berlangsung. Jadi, dengan menggunakan bahasa Jawa pun, maksud
dari tuturan yang dikomunikasikan oleh penutur dan mitra tutur tetap jelas adanya.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi skala
ketidaklangsungan. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan dalam tabel berikut ini.
TABEL 12
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SKALA
KETIDAKLANGSUNGAN
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
SKALA KETIDAKLANGSUNGAN
SANTUN
(tidak langsung) TIDAK SANTUN
(langsung)
1. Analisis 38 DT 10
2. Analisis 39 DT 18
3. Analisis 40 DT 23
4. Analsis 41 DT 4
4.2.2.2 Penanda-penanda Kesantunan
Setelah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan seberapa besar
tingkat kesantunan berbahasa pembeli perko trotoar Malioboro Yogyakarta,
peneliti kemudian ingin melihat tingkat kesantunan berbahasa dari segi pemakaian
diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa sebagai penanda-penanda
kesantunan. Setelah itu akan dipaparkan pula hasil temuan berupa penanda-
penanda kesantunan tuturan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda kesantunan adalah satuan
kebahasaan (kata, frasa, klausa, ataupun kalimat) yang dituturkan seorang penutur
yang memungkinkan pendengar atau mitra tutur berpersepsi (memberikan
tanggapan atau penilaian) mengenai tinggi rendahnya (tingkat) kesantunan suatu
atau keseluruhan tuturan yang dituturkan oleh penutur. Penanda-penanda
kesantunan tersebut adalah (1) pemakaian pilihan kata (diksi) dan (2) pemakaian
gaya bahasa. Penanda-penanda kesantunan itu akan dipaparkan sebagai berikut.
4.2.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Buku Diksi dan Gaya Bahasa milik Keraf (1985:24), telah memberikan
dua definisi mengenai diksi atau pilihan kata. Yang pertama, pilihan kata atau
diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan
suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik
digunakan dalam suatu situasi. Yang kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Keraf juga menjelaskan bahwa persoalan mengenai pemilihan atau
pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu yang
pertama, ketepatan dalam memilih kata untuk mengungkapkan suatu gagasan, hal
atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tersebut. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada
imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara
atau penutur.
Apabila mempersoalkan tepatnya pemilihan kata, pasti akan menyangkut
pula mengenai makna kata dan kosakata seseorang dalam bertutur kata. Seorang
penutur harus memiliki penguasaan yang banyak terhadap kosakata-kosakata. Hal
ini dimaksudkan agar penutur dapat menggunakan kata-kata yang dianggapnya
tepat atau sesuai dengan pikirannya. Ketepatan dalam pemilihan kata tersebut juga
harus berhubungan dengan bentuk kata dan referensinya. Dalam konteks ini,
Pranowo (2009:104) menyatakan bahwa indikator kesantunan dari segi diksi
(pilihan kata) adalah sebagai berikut.
m) gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain,
n) gunakan frasa-frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan
orang lain,
o) gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung
perasaan orang lain,
p) gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain untuk
melakukan sesuatu,
q) gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih
dihormati,
r) gunakan kata “Bapak”, ”Ibu” untuk menyebut kedua dewasa.
Di dalam paragraf sebelumnya, telah disinggung mengenai persoalan
pemilihan kata atau diksi yang terkait dengan masalah makna yang timbul dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Hal tersebut memberikan adanya empat
kemungkinan yang muncul ketika seorang penutur memilih kata-kata yang akan
digunakan untuk mewakili pikirannya, yaitu: penutur memilih dan menggunakan
kata-kata yang bermakna denotasi dengan maksud memperhalus tuturannya
menjadi santun, penutur memilih dan menggunakan kata-kata denotatif yang
memang maknanya terkesan kasar atau negatif (misalnya, saat penutur sedang
emosi atau marah sehingga saat bertutur kata dengan mitra tutur, tuturan yang
diujarkan oleh penutur yang sedang emosi terdengar kurang santun), penutur
memilih dan menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotasi dengan
maksud untuk memperhalus tuturannya, dan yang terakhir adalah penutur memilih
dan menggunakan kata-kata konotatif yang memiliki makna kasar atau negatif
sehingga tuturan penutur terkesan kasar atau kurang santun. Dari beberapa hal di
atas, penulis kemudian merangkum beberapa hal di atas menjadi dua bagian yang
penting untuk menilai tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta yang digunakan sebagai bahasa percakapan dalam konteks
jual beli. Dua bagian penting tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Penggunaan Kata yang Tepat
Menggunakan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan suatu
maksud merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan ketika
bertutur kata. Dengan memilih kata-kata yang sesuai untuk dituturkan,
suasana komunikasi antara penutur dengan mitra tutur akan menjadi baik
dan terarah maksud dan tujuan dari tuturan tersebut. Semakin tepat dalam
memilih kata maka akan semakin baik pula tuturan yang dituturkan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
gagasan yang dimaksudkan oleh penutur juga akan semakin dapat
dipahami oleh mitra tutur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan
pemilihan kata-kata yang tepat atau sesuai, tuturan yang dihasilkan
tersebut akan santun dan layak untuk dipergunakan dalam suatu
percakapan.
b. Menemukan Bentuk yang Sesuai
Dalam hal ini tuturan yang terjadi harus sesuai dengan situasi atau
konteks dan nilai rasanya. Seorang penutur harus bisa melihat bagaimana
situasi komunikasi dan bagaimana situasi mitra tuturnya. Hal ini
dimaksudkan agar tuturan yang dituturkan oleh penutur tidak menyakiti
atau merugikan diri mitra tuturnya. Begitu juga sebaliknya, mitra tutur
juga harus melihat dan memahami bagaimana situasi dan diri penutur agar
tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tidak merugikan ataupun
menyakiti diri penutur. Apabila penutur dan mitra tutur menuturkan suatu
tuturan yang tidak sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka
dapat disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak santun dan tidak layak
untuk digunakan dalam percakapan atau komunikasi. Sebuah tuturan yang
santun akan menghasilkan pula situasi yang sangat baik atau kondusif
dalam situasi percakapan. Misalnya, ketika kondisi mitra tutur yang
sedang emosi tetapi penutur malah menuturkan kata-kata yang kurang
berkenan, hal ini akan menimbulkan suasana yang kacau sehingga penutur
dapat membuat diri mitra tutur tersinggung dan marah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda
kesantunan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa hal
tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel agar mempermudahkan kita
semua untuk menilai dan memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan
tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) dalam sebuah tuturan.
TABEL 13
KRITERIA PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA) SEBAGAI PENANDA
KESANTUNAN BERBAHASA
SANTUN TIDAK SANTUN
1. Menggunakan kata - kata yang
tepat.
a. Memilih kata-kata yang tepat dan
sesuai.
b. Menjadikan komunikasi menjadi
terarah.
c. Dapat dipahami oleh mitra tutur.
2. Menemukan bentuk yang sesuai.
a. Penutur harus dapat memahami
situasi komunikasi dan situasi
mitra tutur agar tidak merugikan
atau menyakiti mitra tutur, begitu
pula sebaliknya. Sehingga
komunikasi yang terjadi tidak
menjadi kacau.
1. Menggunakan kata - kata yang
tidak/kurang tepat.
a. Memilih kata-kata yang
tidak/kurang tepat.
b. Menjadikan komunikasi menjadi
tidak terarah.
c. Tidak dapat dipahami oleh mitra
tutur.
2. Menemukan bentuk yang tidak
sesuai.
a. Penutur tidak dapat memahami
situasi komunikasi dan situasi
mitra tutur sehingga merugikan
atau menyakiti mitra tutur, begitu
pula sebaliknya. Sehingga
komunikasi yang terjadi menjadi
kacau.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan
dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian diksi (pilihan kata)
atas telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi.
Selanjutnya, baik penutur maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin
selanjutnya sampai poin yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan
beberapa data untuk melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam
komunikasi transaksi jual beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
dengan tinjauan pemakaian diksi (pilihan kata) bahasa sesuai dengan rangkuman
tabel di atas. Berikut ini akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong santun
dan tidak santun sesuai dengan tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di
atas.
(42) PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane,
Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar
lihat warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dengan leluasa terhadap dagangan PJ). (DT 1)
Data (42) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur
yakni penutur yang notabene adalah si pembeli dan mitra tutur yang notabene
adalah si penjual baju anak-anak itu sendiri saat transaksi jual beli di emperan
toko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata apik sendiri menunjukkan sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
penekanan maksud yang diharapkan oleh si penutur. Kata apik yang ditekankan
dalam tuturan si penutur tersebut memiliki makna bahwa penutur dapat memilih-
milih dagangan si mitra tutur dengan leluasa. Penutur (PB) dirasa tepat
menggunakan kata apik tersebut guna memberikan keuntungan juga kepada si
mitra tutur. Keuntungan yang diperoleh oleh mitra tutur yakni penekanan kata
apik yang membuat mitra tutur (PJ) merasa bahwa dagangannya layak untuk
diperjualbelikan. Kata apik sendiri termasuk dalam kriteria tuturan yang santun.
Karena merupakan sebuah penekanan untuk menguntungkan mitra tuturnya dan si
penutur merasa dapat memilih dengan leluasa dagangan si mitra tutur (PJ). Dilihat
dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh kata tersebut, kata apik termasuk
dalam kategori penggunaan kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai
dari tinjauan tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di atas. Oleh karena itu, secara
tidak langsung kata apik sendiri merupakan tuturan yang tepat digunakan dalam
komunikasi jual beli. Kata tersebut sudah pasti dapat dimengerti oleh partisipan
tutur, baik itu penutur maupun mitra tutur. Penggunaan kata tersebut juga
menimbulkan suasana yang baik dan nyaman karena penutur (PB) dapat memilih
dagangan yang diinginkannya pada dagangan si mitra tutur (PJ) dengan leluasa
dan nyaman saat bertransaksi jual beli dengan mitra tutur.
(43) PB : Dikurangi ya, Bu?
PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.
PB : Lima puluh?
PJ : Tambah dua ribu lima ratus
PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan.
PJ : Iyo wes gak apa-apa.
(Iya sudah, tidak apa-apa)
PB : Suwun
(Terima kasih)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB menguntungkan PJ dengan menyetujui dan menambah uang).
(DT 17)
Data (43) menekankan kata iya yang memiliki makna suatu bentuk
persetujuan yang telah disepakati bersama. Kata tersebut dituturkan untuk
menguntungkan mitra tuturnya sebagai konsumen dari barang dagangannya.
Penutur menekankan kata iya sebagai persetujuan atas pembelian dagangan si
mitra tutur (PJ). Maka, diberikan penekanan kata iya agar mitra tutur (PJ)
mendapatkan keuntungan dari penawaran yang diberikan penutur (PB). Maksud
dari penekanan kata iya sangat dipahami betul-betul oleh penutur (PB) dan mitra
tutur (PJ). Penutur dan mitra tutur sama-sama memahami maksud dari kata
tersebut dan tuturan penutur yang memberikan penekanan kata iya sebagai tuturan
yang dapat menguntungkan si mitra tutur (PJ) tergolong dalam tuturan yang
santun. Pemakaian kata iya ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang
tepat dalam tinjauan tabel di atas. Oleh karena itu, tuturan tersebut termasuk ke
dalam tuturan yang santun dan layak digunakan dalam komunikasi transaksi jual
beli.
Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu
tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah
selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak
santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi
pemakaian diksi (pilihan kata).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
(44) PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?
Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki!
(Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa?
Hijau atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek
ini!)
PJ : Iya tiga perempat
PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya?
(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar
ya?)
PJ : Iya besar, Bu.
PB : Papat, satus ya, Mas?
(Empat, seratus ya?)
PJ : Belum boleh, Bu.
PB : Pas‟e piro?
(Pasnya berapa?)
PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya
sudah!
PB : (pergi)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB terlihat merugikan PJ dengan penekanan kata
“elek iki”). (DT 31)
Penekanan kata elek pada data (44) ini terlihat tidak santun. Kata elek
termasuk dalam kata pernyataan. Penutur (PB) menuturkan kata tersebut saat
melakukan transaksi jual beli dengan mitra tutur (PJ). Di saat memilih dagangan
si mitra tutur, penutur (PB) mengucapkan kata tersebut di depan si mitra tutur.
Kata elek yang dituturkan oleh penutur ini yang menjadikan suasana komunikasi
menjadi tidak menyenangkan. Ditambah lagi dengan pemakaian kata elek dalam
data tuturan di atas yang terkesan memberikan pernyataan bahwa ada barang
dagangan si mitra tutur yang tidak layak untuk dibeli oleh penutur (PB). Kata elek
dirasa tidak tepat digunakan dalam komunikasi ini. Lebih baik kata elek diganti
dengan kata kurang cocok, sehingga terasa lebih santun. Dengan begitu suasana
komunikasi jual beli menjadi tidak kacau dan nyaman. Kata elek yang dinilai
tidak santun dan tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
termasuk dalam kategori penggunaan kata yang tidak tepat dan menemukan
bentuk yang tidak sesuai dalam kriteria tabel pemakaian diksi (pilihan kata) di
atas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kata elek memang tidak tepat untuk
digunakan dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi jual beli.
(45) PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.
PB : Empat tahun bisa gak?
PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat
TK juga, Mbak.
PB : Iya. Berapa?
PJ : Empat lima aja
PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB terlihat sedikit menyindir PJ dan hal itu dapat
merugikan PJ). (DT 34)
Data (45) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur
yakni si pembeli yang sebagai penutur dan si penjual yang sebagai mitra tuturnya.
Pada data tuturan di atas, tampak tuturan penutur yang dianggap kurang sopan
untuk dituturkan kepada mitra tutur (PJ) saat transaksi jual beli. Mitra tutur sudah
memberitahukan harga dari barang dagangannya kepada si penutur (PB). Namun
tanggapan dari penutur dianggap tidak sopan. Seperti yang sudah dibuktikan
dalam tuturan penutur di atas, tuturan penutur (PB) dianggap menyindir dan
melecehkan diri si mitra tutur. Akibatnya mitra tutur (PJ) merasa sangat dirugikan
oleh si penutur (PB). Dengan leluasa, penutur menuturkan tuturan tersebut kepada
mitra tutur tanpa memilirkan perasaan atau suasana si mitra tutur. Penekanan pada
kata mahal memperlihatkan bahwa penutur tidak terima pada harga yang
diberikan oleh si mitra tutur. Karena penutur tidak terima dengan harga yang
diberikan mitra tutur, tuturan yang tidak santun ini keluar dari mulut si penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
Kalimat yang dituturkan oleh penutur tersebut dirasa penutur menghindari harga
yang sudah diberikan oleh mitra tutur kepada si penutur. Kata mahal
dikategorikan dalam tuturan yang tidak santun. Hal ini dikarenakan kata mahal
tersebut dirasa kurang sopan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki oleh
kata tersebut, maka kata mahal tidak pas untuk digunakan dalam berkomunikasi
jual beli. Terlihat pada percakapan di atas, bahwa suasana yang dibangun menjadi
tidak baik atau terlihat kacau. Kacaunya suasana pada percakapan di atas
diperlihatkan pula oleh tanggapan si mitra tutur yang merasa dirugikan oleh
tuturan si penutur. Kata mahal ini termasuk dalam kategori penggunaan kata yang
tidak tepat dan menemukan bentuk yang tidak sesuai dalam tabel kriteria
pemakaian diksi (pemilihan kata) di atas. Alangkah baiknya apabila kata mahal
diganti dengan kata maaf, mungkin belum cocok sehingga tuturan terlihat santun
dan layak untuk dituturkan.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
kesantunan, yakni pemakaian diksi (pilihan kata). Untuk lebih jelasnya, akan
disajikan dalam tabel berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
TABEL 14
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI
PEMAKAIAN DIKSI (PILIHAN KATA)
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
PEMAKAIAN DIKSI
SANTUN TIDAK
SANTUN
1. Analisis 42 DT 1
2. Analisis 43 DT 17
3. Analisis 44 DT 31
4. Analsis 45 DT 34
4.2.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Beralih dari diksi, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
(Keraf, 1985:113). Dari pengertian tersebut di atas, dapat dijabarkan bahwa gaya
bahasa merupakan bahasa-bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan
efek-efek tertentu dengan cara membandingkan suatu hal yang khusus dengan
ssuatu hal yang umum. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa dapat
menimbulkan makna konotasi baru dengan efek-efek tertentu.
Berdasarkan hasil analisis data-data yang sudah ada, ditemukan beberapa
jenis gaya bahasa yang telah dipergunakan penutur saat berkomunikasi. Gaya-
gaya bahasa tersebut digunakan penutur dengan maksud dan tujuan tertentu.
Dalam berkomunikasi jual beli, ada penjual (penutur) yang menggunakan gaya
bahasa untuk menarik perhatian para pembeli (mitra tutur), tetapi ada pula penjual
(penutur) yang dengan sengaja menggunakan gaya bahasa tersebut dengan tujuan
agar pembeli (mitra tutur) marah, malu (kehilangan muka), dan lain-lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
Beberapa hal tersebut di atas telah dirangkum penulis dalam tiga kriteria gaya
bahasa yang baik, yaitu:
d. Kejujuran
Yang dimaksud kejujuran dalam kaitannya dengan penggunaan
gaya bahasa adalah kejujuran atas diri penutur untuk tetap mengikuti
kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang baik dan benar dalam berbahasa
yang berlaku di masyarakat pada umumnya. Penutur diharapkan bertindak
jujur terhadap apa yang akan dituturkan, hal ini tentu disesuaikan dengan
konteksnya, tidak mencari keuntungannya saja. Penutur dapat melakukan
kejujuran ini dengan tidak berbelit-belit saat bertutur kata terhadap mitra
tuturnya dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terarah maksudnya.
Sehingga tuturan yang dihasilkan akan terlihat santun dan layak untuk
digunakan dalam konteks berkomunikasi.
e. Sopan Santun
Yang dimaksud sopan santun dalam konteks penggunaan gaya
bahasa adalah bagaimana penutur dapat menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi. Penutur dapat menghormati mitra tuturnya dengan cara
bertutur kata atau berkomunikasi dengan singkat dan jelas maksudnya,
dengan kata lain penutur menggunakan kata-kata yang jelas sehingga mitra
tutur merasa diuntungkan, karena mitra tutur tidak perlu berpikir keras
untuk mengetahui maksud dari tuturan penutur tersebut. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur
kebingungan, maka tuturan tersebut semakin tidak santun dan tidak layak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
untuk digunakan dalam berkomunikasi, tetapi apabila tuturan yang
dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur jelas dan mengerti, maka
tuturan tersebut dinilai santun dan layak untuk digunakan dalam
berkomunikasi.
f. Menarik
Selain kedua kriteria di atas, penggunaan gaya bahasa juga harus
menarik. Menarik di sini dimaksudkan penutur dapat membuat variasi,
humor yang menarik dan sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan
imajinatif terhadap mitra tuturnya saat berkomunikasi. Hal ini penutur
diharapkan kaya akan kosakata agar dapat menciptakan suasana gembira
atau menyenangkan saat berkomunikasi dengan mitra tutur. Jadi, apabila
penutur membuat suasana komunikasi menyenangkan maka tuturan
tersebut dirasa santun dan tepat untuk digunakan, tetapi jika penutur
membuat suasana yang tidak menyenangkan dan terkesan tidak terarah
maka dapat disimpulkan bahwa tuturan terebut tidak santun dan tidak tepat
untuk digunakan dalam berkomunikasi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur penanda-penanda
kesantunan suatu tuturan juga telah dijelaskan di atas. Secara singkat, beberapa
hal tersebut di atas akan dirangkum menjadi satu tabel kembali. Namun tabel ini
adalah tabel kriteria pemakaian gaya bahasa sebagai penanda kesantunan
berbahasa. Hal ini rinci agar mempermudahkan kita semua untuk menilai dan
memahami santun tidaknya suatu tuturan dengan tinjauan pemakaian gaya bahasa
dalam sebuah tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
TABEL 15
KRITERIA PEMAKAIAN GAYA BAHASA SEBAGAI PENANDA
KESANTUNAN BERBAHASA
SANTUN TIDAK SANTUN
1. Kejujuran.
a. Penutur tidak hanya mencari
keuntungan saja.
b. Kata-kata yang digunakan tidak
berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Menghormati mitra tuturnya saat
berkomunikasi.
b. Bertutur kata dengan singkat dan
jelas, sehingga tidak membuat
mitra tutur bingung .
3. Menarik.
a. Penutur dapat memberikan humor
terhadap mitra tuturnya saat
komunikasi berlangsung.
b. Penutur dapat membuat suasana
komunikasi yang menyenangkan,
sehingga mitra tutur merasa
nyaman dan senang.
1. Kejujuran.
a. Penutur hanya mencari
keuntungan saja.
b. Kata-kata yang digunakan sangat
berbelit-belit.
2. Sopan Santun.
a. Tidak menghormati mitra
tuturnya saat berkomunikasi.
b. Bertutur kata dengan panjang
lebar dan tidak jelas, sehingga
membuat mitra tutur bingung .
3. Menarik.
a. Penutur tidak dapat memberikan
humor terhadap mitra tuturnya
saat komunikasi berlangsung.
b. Penutur tidak dapat membuat
suasana komunikasi yang
menyenangkan, sehingga mitra
tutur tidak merasa nyaman dan
senang.
Tabel di atas telah merangkum hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan
dalam sebuah tuturan, sehingga tuturan yang dituturkan dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang santun atau tidak santun. Tabel pemakaian gaya bahasa di atas
telah menjelaskan bahwa tuturan yang santun adalah tuturan mengaplikasikan
kejujuran dalam berbahasa dan dalam berkomunikasi. Selanjutnya, baik penutur
maupun mitra tutur tetap harus memerhatikan poin-poin selanjutnya sampai poin
yang terakhir. Agar lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk
melihat santun atau tidak santunnya suatu tuturan dalam komunikasi transaksi jual
beli pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dengan tinjauan pemakaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
gaya bahasa sesuai dengan rangkuman tabel di atas. Berikut ini akan disajikan
beberapa tuturan yang tergolong santun dan tidak santun sesuai dengan tinjauan
tabel pemakaian gaya bahasa di atas.
(46) PB : Pinten, Mbak ngeten niki?
(Berapa, Mbak ini?)
PJ : Empat puluh lima
PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?
(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)
PJ : Pasnya empat puluh
PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang dagangan PJ)
(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)
PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.
PB : Telung puluh ya, Mbak?
(Tiga puluh ya, Mbak?)
PJ : Ndak boleh
(Tidak boleh)
PB : Ya sudah, makasih.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 10)
Data (46) ini merupakan tuturan yang diucapkan oleh penutur (PB) dan
mitra tutur (PJ) di perko trotoar Malioboro Yogyakarta. Kata napa sendiri
memperlihatkan sebuah penekanan maksud dari apa yang tengah diharapkan oleh
si penutur itu sendiri. Tidak ada basa-basi dari si penutur kepada mitra tutur.
Penutur menggunakan kata napa yang dalam bahasa Indonesianya berarti apa
untuk bertanya mengenai warna dagangan si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan
penutur tidak seolah-olah mencari keuntungan saja, akan tetapi penutur juga
menghormati diri mitra tutur sehingga penutur menanyakan terlebih dahulu warna
apa saja yang ada pada dagangan si mitra tutur dengan menekankan kata napa
agar si penutur dapat memilih dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman.
Kata napa dirasa sudah tepat untuk dituturkan dalam komunikasi jual beli. Kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
tersebut termasuk dalam kategori kejujuran dan sopan santun dalam kriteria
pemakaian gaya bahasa pada tabel di atas. Dilihat dari kriteria kesantunan yang
dimiliki oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata napa sendiri
merupakan tuturan yang santun dan layak digunakan dalam konteks transaksi jual
beli. Karena kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua orang, khususnya
oleh pedagang dan pembeli.
(47) PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga
ribu aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang
ke kantong plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar harga dagangan PJ). (DT 18)
Data (47) merupakan tuturan yang diucapkan oleh dua partisipan tutur
yang tengah bertransaksi jual beli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta.
Kata aja menunjukkan sebuah keinginan penutur untuk mendapatkan harga yang
murah dari mitra tutur (PJ). Penutur langsung menuturkan apa yang diharapkan
kepada mitra tutur. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan
penutur terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah.
Sehingga mitra tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur.
Penutur menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat
dan jelas, penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur.
Sehingga tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan
untuk menangkap maksud dari tuturan si penutur. Kata aja dapat dikategorikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
dalam sub kejujuran dan sopan santun yang terdapat dalam tabel kriteria
pemakaian gaya bahasa di atas. Maka dari itu, kata tersebut dinilai santun dan
pantas untuk dituturkan dalam berkomunikasi.
Agar dapat membedakan dengan jelas tentang bagaimana kesantunan suatu
tuturan bahasa pembeli di perko trotoar Malioboro Yogyakarta, dalam langkah
selanjutnya peneliti akan menyajikan pula beberapa tuturan yang dinilai tidak
santun dan tidak layak digunakan dalam berkomunikasi ditinjau dari segi
pemakaian gaya bahasa.
(48) PB2: Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe loro. Pisan selawe
loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)
(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima
ribu, dua. Beli di di sini sekali saja kok).
PJ1: Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.
(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)
PB2: Lha iyo tambah sing selawe loro!
(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)
PJ1: Selawe loro ya urung enek to (jengkel)
(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)
PJ2: Selawe loro, sing ngene no!
(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)
PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik.
Sing murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho
warna pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit
memaksa)
(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta
tidak yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua,
ditambah 20.000 saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ
ukuran L)
PB1: Ngge langganan lho, Pak.
(Buat langganan, Pak)
PJ1: Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh
gedhe cilik tak kek‟i.
(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang.
Paling sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)
PB2: Ukuran L, njaluk ukuran L.
(Ukuran L, minta ukuran L)
PJ2: L dewasa to kuwi?
(L dewasa kan itu?)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
PB2: L sak aku, Pak.
(L ukuran saya, Pak)
PJ2: Ya ra entuk!
(Ya tidak dapat!)
PJ1: Nyoh. Wis tas‟e, Pak?
(Ini. Sudah tasnya, Pak?)
PB1: Wis, makasih
(Sudah, terima kasih)
(Konteks: Tuturan PB menandakan bahwa tuturan tersebut dirasa tidak
santun karena tuturan PB memaksa PJ). (DT 3)
Data (48) merupakan tuturan dari pembeli kaos dagadu kepada penjualnya.
Dalam data tuturan ini terdapat kata yang perlu ditekankan, yakni kono lho. Kata
kono lho sendiri terucap ketika penutur (PB) tengah bertransaksi jual beli dengan
si mitra tutur. Dari percakapan di atas, kata kono lho yang termasuk dalam
kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra tutur, serta kata
tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ). Ketika penutur
menuturkan kata tersebut, suasana komunikasi menjadi kacau dan penuh emosi.
Tuturan penutur dengan penekanan kata suruhan yang disertai dengan paksaan itu
dinilai sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini terlihat pula dari tanggapan mitra
tutur yang menanggapi dengan jengkel dan marah. Tuturan penutur tersebut
dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai penjualnya. Penutur
dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu kepada mitra tutur.
Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur (PB). Hal itu dirasa
sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu pertuturan jual beli.
Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur hanya mencari
keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat berkomunikasi, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dalam kriteria tabel di atas. Oleh
karena itu, kata tersebut tidak layak untuk digunakan dalam komunikasi jual beli.
(49) PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L?
(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?)
PJ : Ora enek. Gak ada.
(Tidak ada. Tidak ada)
PB : Terus tak tukokne warna opo yo?
(Terus saya belikan warna apa ya?)
PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain)
(Terima kasih. Terima kasih)
PB : Lha iki aku werno opo?
(Ini saya warna apa?)
PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.
(Yang biru ini saja. Biru ini lho)
PB : Endi?
(Mana?)
PJ : Iku lho.
(Ini lho)
PB : Elik iki birune.
(Jelek ini birunya)
PJ : Putih, item
(Putih, hitam)
PB : Putihe koyok ngopo?
(Putihnya seperti apa?)
PJ : Putihe sing neng ngisor.
(Putihnya yang di bawah)
PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L.
(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L)
PJ : Harus itu? L putih?
PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa)
(Cepat, Mas carikan ini dulu!)
PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e.
(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S)
PB : Tak berantakke, Mas.
(Saya buat berantak, Mas)
PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung.
(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-
tolong)
PB : Sing iki pasangane enek ora?
(Yang ini pasangannya ada tidak?)
PJ : Iki tulisane Jogja.
(Ini tulisannya Jogja)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
(Konteks: Penekanan kata „ndang‟ inilah yang dirasa mempengaruhi
kalimatnya menjadi kurang sopan. Jadi terlihat menyuruh dengan sedikit
memaksa. Alangkah baiknya apabila tuturan PB diubah menjadi, “Tolong,
saya dicarikan yang ini dulu, Mas” dalam bahasa Jawanya, “Tulung, aku
digolekke sing iki dhisik, Mas”. Penekanan kata „ndang‟ diganti dengan
kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan). (DT 8)
Pada data (49) ini, tuturan yang dituturkan oleh seorang pembeli (penutur)
tersebut tergolong tuturan yang tidak santun karena pembeli (penutur) tersebut
menuturkan tuturan yang tidak pantas untuk dituturkan kepada penjual (mitra
tutur). Terlihat pada tuturan penutur yang kasar dan tidak sopan. Penekanan kata
ndang dalam tuturan penutur di atas menegaskan bahwa penutur menyuruh mitra
tutur (PJ) untuk mencarikan kaos yang diinginkan si penutur dengan tidak sopan.
Tuturan penutur di atas dengan penekanan kata ndang membuat suasana yang
sangat tidak menyenangkan, sehingga mitra tutur yang notabene sebagai penjual
merasa tidak nyaman untuk bertransaksi jual beli dengan si penutur. Suasana yang
tidak menyenangkan itu akibat dari tuturan penutur yang menyuruh mitra tutur
dengan kasar dan tidak sopan. Oleh karena itu, tuturan penutur dengan penekanan
kata ndang menggiring tuturan tersebut masuk dalam kategori tuturan yang tidak
sopan dan tidak menarik, serta tidak layak untuk dituturkan kepada mitra tutur
saat komunikasi transaksi jual beli. Seharusnya penekanan kata „ndang‟ diganti
dengan kata „tolong‟ sehingga terlihat sopan dan layak untuk digunakan dalam
komunikasi jual beli.
Secara keseluruhan, data-data tuturan tersebut di atas baik yang santun
maupun yang tidak santun telah menjelaskan mengenai tingkat kesantunan
berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dari segi penanda
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
kesantunan, yakni pemakaian gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan
dalam tabel berikut ini.
TABEL 16
TINGKAT KESANTUNAN BERBAHASA PEMBELI DARI SEGI
PEMAKAIAN GAYA BAHASA
NO. URUTAN
ANALISIS KODE DATA
PEMAKAIAN GAYA BAHASA
SANTUN TIDAK
SANTUN
1. Analisis 46 DT 10
2. Analisis 47 DT 18
3. Analisis 48 DT 3
4. Analsis 49 DT 8
4.3 Pembahasan
Kesantunan berbahasa merupakan sebuah cerminan dari pribadi seseorang.
Karena ketika berbahasa dengan santun, orang lain yang menjadi lawan bicara
pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang dilangsungkan. Santun
tidaknya suatu tuturan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tingkat
kesantunan berbahasa pedagang dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Tingkat kesantunan berbahasa ini dianalisis menggunakan tiga skala
kesantunan yang dipaparkan oleh Leech. Adanya sebuah kerjasama sama suatu
tuturan yang dilakukan oleh kedua partisipan tutur, baik penutur maupun mitra
tutur merupakan hal yang sangat penting dan sangat perlu untuk diperhatikan oleh
semua orang. Dengan adanya sebuah kerjasama dalam suatu tuturan akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
menimbulkan efek positif terhadap isi dan arah tuturan dan juga akan
memperlancar sutu tuturan yang sedang dikomunikasikan.
Ada banyak orang yang berpikir bahwa tingkat kesantunan berbahasa
pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta sangat
rendah dan tuturan-tuturan yang tidak santun tersebut sering bermunculan dalam
transaksi jual beli di dalamnya. Hal tersebut dapat terjadi karena orang lain yang
di luar sana belum mengerti akan konteks tuturan yang terjadi dan bagaimana
suasana tuturan pada saat tuturan tersebut dikomunikasikan. Dalam suatu tuturan,
yang paling penting dan harus diperhatikan betul-betul adalah bagaimana atau
sejauh mana penutur dan mitra tutur memahami serta mengerti akan makna dan
arah tujuan pembicaraan di antara kedua partisipan tutur itu. Orang lain tidak bisa
hanya melihat dan menilai begitu saja tanpa melihat ada beberapa hal yang
dianggap penting yang memengaruhi tingkat kesantunan suatu tuturan yang
terjadi di sekitarnya.
4.3.1 Tingkat Kesantunan Berbahasa Penjual di “Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta
Pembahasan yang pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa
penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta. Dalam data dan pembahasan ini,
difokuskan bahwa yang sebagai penutur adalah penjual dan mitra tutur adalah
pembelinya. Di bawah ini akan dibahas secara detail satu per satu sesuai dengan
rumusan masalah yang ada. Rumusan masalah yang pertama adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta?
Melihat pada sebuah pusat perbelanjaan di sebuah kota kecil yakni
Malioboro Yogyakarta tentu tidak lepas dari adanya transaksi jual beli yang ada di
dalamnya. Transaksi yang dilakukan jelas dilakukan oleh penjual dan pembeli.
Ada banyak pandangan yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam
transaksi jual beli ini suka-suka. Suka-suka ini dimaksudkan bahwa penjual dan
pembeli menggunakan bahasa sehari-hari dan tidak menggunakan pedoman
berbahasa yang layaknya dalam berbahasa Indonesia. Para penjual dan pembeli
berusaha menggunakan bahasa-bahasa tersebut agar komunikasi dapat terjalin
dengan baik. Tak lupa maksud dan tujuan yang disampaikan saat berkomunikasi
transaksi jual beli akan tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu akan
memperlihatkan santun tidaknya sebuah tuturan yang dikomunikasikan antara
penjual dan pembeli tersebut. Pokok bahasan yang pertama ini akan membahas
mengenai tingkat kesantunan penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh penutur maupun
mitra tutur agar tuturan yang dituturkan menjadi santun adalah (1) seberapa besar
keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau
sebaliknya (skala untung rugi), (2) seberapa besar penutur memberikan pilihan-
pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah percakapan atau sebaliknya (skala
pilihan), dan (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi terlebih dahulu
dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau sebaliknya (skala
ketidaklangsungan). Ketiga hal ini merupakan teori skala kesantunan Geoffrey
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
Leech sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini,
yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan sapaan, alih
kode, dan campur kode.
4.3.1.1 Tiga Skala Kesantunan Leech
4.3.1.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)
Bahasan pertama ini mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta ditinjau dari skala untung rugi.
Berdasarkan analisis di atas, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun. Karena
tuturan yang dituturkan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) dalam
percakapan transaksi jual beli yang dilakukan menggunakan kata-kata atau bahkan
kalimat-kalimat yang menandakan bahwa tuturan tersebut memberikan
keuntungan kepada si mitra tutur (pembeli). Dalam hal ini santunnya tuturan tentu
akan terlihat dari tuturan si penutur (penjual) apakah tuturannya menguntungkan
mitra tuturnya (pembeli) atau bahkan sebaliknya merugikan diri si mitra tuturnya.
Dapat dibuktikan pada penggunaan kalimat “Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk
diijolke, Bu” (analisis 1 DT 1), “Ya wis, oke-oke, Dik” (analisis 2 DT 4), “Kalo
beli dua, dua puluh tiga ribu aja” (analisis 5 DT 18). Kalimat-kalimat yang
dituturkan oleh penutur (penjual) dalam percakapan dengan mitra tutur (pembeli)
saat transaksi jual beli tersebut di atas menandakan bahwa si penjual memberikan
keuntungan kepada si pembeli. Dengan penekanan kalimat-kalimat tersebut dalam
percakapan di antara kedua partisipan tutur itu, dapat dikatakan bahwa tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang santun (menguntungkan mitra
tuturnya). Dalam transaksi jual beli yang dilakukan penutur dan mitra tutur tentu
tidak terlepas dengan adanya tuturan-tuturan yang dirasa tidak santun untuk
dituturkan kepada diri si mitra tutur (pembeli). Misalnya saja dengan penekanan
kalimat-kalimat sebagai berikut, “Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo
dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki”, “Lebokke dewe ya.
Lebokke dewe ya. Kesel aku”, dan “Bordir bedo!” (analisis 6 DT 3), “Gak
boleh!” (analisis 8 DT 16), “Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok
dicampur-campur!” (analisis 10 DT 30). Penggunaan kalimat-kalimat tersebut di
atas telah mencerminkan bahwa tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur
(pembeli) tidak santun. Kalimat-kalimat itu menandakan bahwa penjual sangat
merugikan diri si pembelinya. Oleh karena itu, dengan penekanan kalimat-kalimat
tersebut tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat digolongkan ke
dalam tuturan yang tidak santun (merugikan mitra tutur).
Bahasan mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang dengan
penekanan kalimat-kalimat yang digunakan sebagai penanda apakah tuturan yang
dituturkan penjual kepada pembeli itu santun atau tidak santun di atas termasuk
dalam teori skala kesantunan milik Geoffrey Leech (1983) khususnya skala
untung-rugi yang dijelaskan mengenai seberapa besar keuntungan atau kerugian
yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur atau sebaliknya agar penutur dan
mitra tutur dapat saling memberikan keuntungan atau kepuasan saat bertutur kata.
Seorang penutur sebaiknya merugikan dirinya sendiri, bukan malah meninggikan
dirinya di hadapan lawan tuturnya ketika berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
4.3.1.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)
Selanjutnya, tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” ini dilihat
dari skala kedua yakni skala pilihan. Dalam percakapan-percakapan yang
dilakukan oleh penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli) terdapat tuturan-
tuturan yang menandakan santun tidaknya tuturan dari segi skala pilihan. Dapat
dibuktikan dengan tuturan-tuturan penutur kepada mitra tutur seperti berikut ini,
“Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.
Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh. Cowok
cewek bisa. Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
limaan. Tinggal pilih, Mbak‟e” (analisis 11 DT 6), “Paling besar L. Kalo anak-
anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M single. M single yang
ini, ini, sama yang ini” (analisis 12 DT 13), dan “Ini empat puluh Dek yang
besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek. Bisa kurang sedikit” (analisis
13 DT 19). Kalimat-kalimat di atas merupakan penanda pilihan yang diberikan
oleh penjual kepada pembeli. Adanya pilihan-pilihan yang diberikan penutur
kepada mitra tutur tersebut menjadikan tuturan yang dituturkan dikategorikan ke
dalam tuturan yang santun. Ada pula penanda-penanda dalam tuturan yang
dituturkan oleh si penjual kepada pembelinya yang menandakan bahwa tuturan
tersebut tidak santun. Misalnya saja, “Anane iki nyoh. Iki wernane” (analisis 14
DT 28). Tuturan penutur tersebut menandakan bahwa penutur tidak memberikan
pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya. Penutur hanya memberikan apa yang sudah
dia ambil yang kemudian langsung diberikan kepada mitra tutur (pembeli). Oleh
karena itu, karena tidak adanya tuturan-tuturan yang menandakan adanya pilihan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
pilihan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli maka tuturan (penanda)
tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.
Penanda-penanda untuk mengukur tingkat kesantunan berbahasa pedagang
“perko” dalam skala pilihan ini telah dijelaskan di atas. Penekanan-penekanan
dalam tuturan-tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur tersebut di
atas mengacu pada teori skala kesantunan Geoffrey Leech (1983) khususnya skala
pilihan yang menjelaskan mengenai seberapa besar penutur memberikan pilihan-
pilihan kepada mitra tuturnya ketika melakukan tindak tutur. Hal ini lebih pada
pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi,
penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk
melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi,
maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun.
4.3.1.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)
Bahasan yang ketiga ini membahas mengenai tingkat kesantunan pedagang
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta menurut skala ketidaklangsungan. Dalam
hal ini bahasan mengacu pada tuturan dan penekanan kata-kata atau kalimat-
kalimatnya yang menandakan santun tidaknya tuturan yang dituturkan oleh
penutur (penjual) kepada mitra tutur (pembeli). Dapat dilihat dari contoh kalimat
berikut ini, “Nawar aja bisa. Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya
aja” (analisis 17 DT 25), “Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek
kaliten kadose mboten” (analisis 18 DT 29). Kalimat-kalimat tersebut merupakan
penanda bahwa tuturan yang dituturkan bersifat tidak langsung. Penutur (penjual)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
tidak langsung menuturkan apa yang dia inginkan namun melalui kalimat-kalimat
seperti yang di atas penutur ingin berbasa-basi terlebih dahulu kepada mitra tutur
(pembeli). Maka dari itu, tuturan dengan penekanan seperti di atas termasuk
dalam kategori tuturan yang santun.
Tuturan-tuturan dengan penanda atau penekanan seperti itulah yang dapat
mewakili apakah tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur santun
atau tidak santun. Hal ini mengacu pada teori skala kesantunan Leech khususnya
skala ketidaklangsungan (indirectness scale) yang memaparkan mengenai pokok
teori skala ketidaklangsungan bahwa penutur harus benar-benar memahami dan
mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu maksud tuturan kepada mitra tutur
agar proses pertuturan yang tengah dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan
santun. Seseorang yang memiliki cara masing-masing untuk dapat menyampaikan
maksud dari tuturannya, apakan dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan
menggunakan basa-basi terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh
penutur maupun mitra tutur tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan
(1994:87) menuliskan bahwa makin tembus pandang atau transparan atau makin
jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah ujaran tersebut dituturkan
dan demikian pula sebaliknya. Pendapat dari Gunarwan itu ingin menjelaskan
bahwa dalam melakukan suatu tuturan, kita harus bisa mengontrol tuturan yang
akan kita ucapkan. Penutur tidak diperbolehkan terang-terangan atau transparan
menyampaikan maksud dari tuturan yang diucapkan, karena semakin langsung
mkasud dari tuturan itu tersebut terucap, tentu tuturan itu menjadi semakin tidak
santun, begitu juga sebaliknya apabila semakin tidak langsung tuturan itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
diucapkan maka semakin santunlah tuturan tersebut. Dan diharapkan penutur
tidak membuat mitra tutur tersinggung. Hal ini dikarenakan masing-masing orang
memiliki kepekaan dalam menanggapi sesuatu.
Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh
pembahasan tuturan penjual baik yang santun maupun yang tidak santun.
Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan
skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan
sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Untuk melihat tiga aspek lainnya sebagai
dasar analisis, yaitu sapaan, alih kode, dan campur kode, akan dibahas secara
bersama-sama secara menyeluruh baik dalam subjek penjual maupun pembeli.
Tuturan penjual seperti data-data di atas telah memperlihatkan kepada kita sebagai
pembaca mengerti bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta.
Data-data yang dikumpulkan oleh peneliti telah dianalisis sedemikian rupa
dalam bab analisis data di atas. Tentu terlihat jelas adanya tuturan penjual yang
santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk tuturan yang
dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan fatalnya
tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak hubungan yang
terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Hal seperti itu tentu tidak
diharapkan untuk terjadi. Untuk menghindari hal-hal tersebut, yang perlu
diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat kesantunan berbahasa dari
penanda-penanda kesantunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
Setelah menganalisis tingkat kesantunan berbahasa pedagang di emperan
toko trotoar Malioboro Yogyakarta, langkah selanjutnya peneliti membahas
mengenai tingkat kesantunan berbahasa pedagang di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta yang ditinjau dari kriteria penanda-penanda tingkat kesantunan
berbahasa, yakni pemakaian diksi (pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari
hasil analisis data, terdapat beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan
tidak santun sesuai dengan kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi
(pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa tersebut.
4.3.1.2 Penanda-penanda Kesantunan
4.3.1.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Pemakaian diksi atau pilihan kata di sini memiliki andil yang sangat besar
dalam suatu percakapan atau komunikasi. Pemilihan kata harus benar-benar
dilakukan dengan baik agar tuturan yang dituturkan dapat memberikan suatu
maksud yang jelas dan baik (tidak menyinggung diri penutur atau mitra tutur).
Seperti yang sudah dijelaskan dalam analisis data bahwa terdapat kriteria-kriteria
dalam pemakaian diksi guna menjadikan suatu tuturan tersebut menjadi jelas dan
baik. Misalnya saja, pemakaian kata diijolke dalam kalimat “Sedeng-sedeng. Lek
ra sedeng sesuk diijolke, Bu” (analisis 19 DT 1) dan sudah murah (analisis 20 DT
18). Pemakaian kata diijolke dan sudah murah tersebut memiliki makna bahwa
penutur (penjual) memberikan suatu keuntungan kepada mitra tutur (pembeli).
Dalam tuturannya, penutur menggunakan kata tersebut sebagai penekanan diksi
(pilihan kata) untuk mengutarakan maksud dari tuturannya itu. Penekanan kata-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
kata dalam tuturan si penutur menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan
tuturan yang santun. Pemilihan kata yang digunakan termasuk dalam kriteria
memilih kata-kata yang tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah,
maksud dari tuturan yang dituturkan penutur kepada mitra tutur dapat dipahami
oleh mitra tutur, dan situasi yang dihasilkan menjadi tidak kacau. Sehingga
tuturan dengan penggunaan pilihan kata seperti contoh di atas dapat dikategorikan
sebagai tuturan yang santun. Namun, ada pula yang dalam tuturannya penutur
salah atau tidak tepat dalam memilih dan menggunakan kata-kata untuk
menyampaikan maksud dari tuturannya. Dapat dibuktikan dengan penggunaan
kata delokken dalam kalimat “Iki delokken sik” (analisis 21 DT 28) dan gak
(analisis 22 DT 15). Kata-kata yang dipilih dan digunakan dalam contoh analisis
tersebut dirasa tidak layak untuk digunakan dalam tuturan. Hal ini dikarenakan
kata-kata tersebut memiliki makna yang kurang baik jika dituturkan. Melihat
penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada
mitra tutur dapat disimpulkan bahwa tuturan dengan penanda tersebut
dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun karena pemilihan kata yang
digunakan termasuk dalam kriteria memilih kata-kata yang tidak/kurang tepat dan
sesuai, menjadikan komunikasi menjadi tidak terarah, maksud dari tuturan yang
dituturkan penutur kepada mitra tutur menyinggung diri mitra tutur, dan situasi
yang dihasilkan menjadi kacau. Pemilihan dan penggunaan kata dalam konteks ini
mengacu pada teori pemakaian diksi para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti
menjadi dua sub yakni menggunakan kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk
yang sesuai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
4.3.1.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Pemakaian gaya bahasa di sini dimaksudkan untuk melihat bagaimana
tuturan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur itu tidak berbelit-belit
(jelas), dapat menghormati mitra tuturnya, dan dapat membuat suasana
komunikasi menjadi baik, nyaman, dan menyenangkan. Dengan gaya bahasa ini,
tuturan akan dapat terlihat lebih baik dan santun. Seperti dalam contoh berikut ini,
kata nawar (analisis 23 DT 25) dan mawon (analisis 24 DT 12) membuktikan
bahwa penggunaan kata-kata tersebut dapat memengaruhi tuturan yang sedang
dituturkan oleh penjual kepada pembeli. Kata-kata tersebut memiliki makna
bahwa penjual memberikan sebuah penawaran kepada pembeli. Kedua kata
tersebut termasuk ke dalam kriteria pemakaian gaya bahasa yang tidak berbelit-
belit dan dengan penekanan kata-kata tersebut dalam tuturan, penjual atau penutur
dapat menghormati mitra tuturnya (pembeli). Oleh karena itu, tuturan dengan
penekanan kata-kata tersebut dianggap santun. Akan tetapi, ada juga tuturan yang
dituturkan penutur tidak tepat dalam menggunakan kriteria pemakaian gaya
bahasa. Misalnya saja, dicampur-campur (analisis 25 DT 30) dan ojo dibukaki dan
kesel (analaisis 26 DT 3). Kata-kata tersebut jika dilihat secara sekilas sudah
terlihat makna negatifnya. Dalam kriteria pemakaian gaya bahasa, kata-kata
tersebut termasuk dalam kriteria tuturan yang tidak dapat menghormati mitra
tuturnya dan dapat membuat suasana menjadi kacau dan tidak menyenangkan.
Maka dari itu, kata-kata yang dianggap sebagai penanda dalam pemakaian gaya
bahasa tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
Hasil dari pembahasan-pembahasan di atas telah membuktikan bahwa
tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
sebagian besar masih tergolong santun. Hal ini dikarenakan para penjual masih
menerapkan etika-etika dalam komunikasi transaksi jual beli. Etika-etika tersebut
tercermin pada penggunaan bahasa ketika berkomunikasi dengan pembeli. Saat
transaksi inilah dapat dilihat bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa mereka,
apakan tuturan yang dituturkan itu santun atau malah sebaliknya (tidak santun).
4.3.2 Tingkat Kesantunan Berbahasa Pembeli di “Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta
Pembahasan mengenai rumusan masalah pertama yang membahas
mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta telah selesai. Selanjutnya, di bawah ini akan dibahas secara detail satu
per satu sesuai mengenai rumusan masalah yang kedua. Rumusan masalah yang
kedua ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta? Dalam data dan pembahasan ini, difokuskan
bahwa yang sebagai penutur adalah pembeli dan mitra tutur adalah penjualnya.
Transaksi jual beli telah terlihat dari sebuah pusat perbelanjaan yang
terkenal dengan nama Malioboro tepat di kota Yogyakarta. Dalam transaksi ini,
penjual dan pembeli saling berkomunikasi satu sama lain. Mereka menggunakan
bahasa yang sudah biasa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan ini menitikberatkan pada tuturan pembeli yang akan dianalisis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
tingkat kesantunannya. Apakah tuturan yang dituturkan pembeli kepada penjual
dalam transaksi jual beli itu santun atau tidak santun.
Dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan ini kurang lebih sama
dengan dasar analisis yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah yang
pertama di atas. Di dalam pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan baik itu oleh penutur maupun mitra tutur agar tuturan yang
dituturkan menjadi santun adalah (1) dari skala untung rugi, (2) dari skala pilihan,
dan (3) dari skala ketidaklangsungan. Ketiga skala ini merupakan teori dari skala
kesantunan Geoffrey Leech (1983) sebagai alat ukur suatu tingkat kesantunan
berbahasa dalam penelitian ini.
Aspek-aspek di atas yang menjadi dasar analisis tingkat kesantunan
berbahasa dalam penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan data-data yang
telah didapatkan oleh peneliti. Pembahasan ini akan diawali dengan membahas
tiga skala kesantunan Leech, yakni (1) seberapa besar keuntungan atau kerugian
yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya, (2) seberapa besar
penutur memberikan pilihan-pilihan kepada mitra tuturnya dalam sebuah
percakapan atau sebaliknya, (3) sebisa mungkin penutur harus bisa berbasa-basi
terlebih dahulu dalam menyampaikan sesuatu kepada mitra tuturnya atau
sebaliknya, yang kemudian dilanjutkan dengan membahas aspek penggunaan
sapaan, alih kode, dan campur kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
4.3.2.1 Tiga Skala Kesantunan Leech
4.3.2.1.1 Skala Biaya-Keuntungan (Cost-Benefit Scale)
Transaksi jual beli sudah pasti dilakukan oleh dua partisipan tutur, yakni
penjual dan pembeli. Dalam konteks ini pembelilah yang menjadi sasaran utama
untuk dianalisis tuturannya. Untung pembahasan yang pertama ini, tuturan
pembeli akan dianalisis dengan menggunakan skala Leech yang pertama yakni
skala untung rugi yang menitikberatkan pada seberapa besar keuntungan atau
kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau sebaliknya. Pembeli
yang notabene sebagai penutur juga tidak pernah lepas dengan penggunaan
tuturan yang kadang dianggap santun dan ada pula yang menggunakan tuturan
yang dianggap tidak santun. Banyak pembeli yang menganggap bahwa dirinya
adalah seorang raja karena dialah yang akan membeli dagangan dari si penjual.
Dalam skala ini, jika penutur (pembeli) menguntungkan diri mitra tuturnya
(penjual, maka tuturan tersebut dianggap santun, begitu pula sebaliknya. Seperti
dalam contoh berikut ini, “Iya dua ribu, gak ada lima ratusan” (analisis 28 DT
17) dan “Yang besar tiga lima ya, Bu?” (analisis 29 DT 19). Kalimat-kalimat
tersebut merupakan suatu penekanan dalam percakapan yang dilakukan oleh
penutur dengan mitra tuturnya. Dengan penanda tersebut dapat dianalisis dan
dipaparkan dengan jelas bahwa tuturan tersebut dirasa santun karena penanda
kalimat itu menandakan adanya keuntungan yang didapatkan oleh si mitra tutur
(penjual). Jadi, tuturan pembeli tersebut digolongkan ke dalam tuturan yang
santun. Dalam komunikasi jual beli tidak luput akan terjadinya penggunaan
tuturan yang dianggap tidak santun. Hal ini akan mengakibatkan komunikasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
sedang terjadi menjadi kurang baik. Penekanan pada kalimat-kalimat dalam
percakapan antara penutur (pembeli) dengan mitra tutur (penjual) juga harus
benar-benar diperhatikan. Misalnya saja, “Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga
kok!” (analisis 30 DT 2), “Mbok sing selawe loro to, Bu, Bu. Iya, Bu? Selawe
loro. Pisan selawe loro. Tuku neng kene pisan kok” dan “Lha iyo sing murah niku
lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing murah mawon. Selawe loro,
nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna pink apa ndek kono ukuran L”
(analisis 31 DT 3), “Harusnya samalah!” (analisis 32 DT 14), “Koyok gak tau
tuku, Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene!” (analisis 33 DT 21), dan “Lihat-lihat
dulu deh, Mas. Mahal soalnya!” (analisis 34 DT 34). Kalimat-kalimat seperti
itulah yang dirasa kurang tepat untuk dituturkan kepada mitra tutur (penjual)
dalam konteks jual beli. Mengapa demikian? Karena kalimat-kalimat tersebut
memiliki makna dan mkasud yang kurang baik untuk dituturkan. Secara garis
besar, penekanan kalimat-kalimat itu dalam percakapan yang ada dapat merugikan
diri si mitra tutur (penjual) sehingga suasana yang terjalin menjadi tidak harmonis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tuturan yang dicontohkan di atas termasuk dalam
kategori tuturan yang tidak santun.
Bahasan di atas tepat mengacu pada teori skala kesantunan Leech (1983)
terlebih khusus pada teori skala untung rugi yang menekankan seberapa besar
keuntungan atau kerugian yang diberikan oleh penutur dan mitra tutur atau
sebaliknya. Oleh karena itu, dilihat dari skala untung rugi ini, tuturan pembeli
juga dapat dilihat apakah tuturan yang dituturkan kepada mitra tutur (penjual) itu
santun atau tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
4.3.2.1.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)
Bahasan selanjutnya yakni mengenai pilihan-pilihan yang diberikan
penutur (pembeli) kepada si mitra tutur (penjual). Pembeli juga memiliki hak
untuk meminta atau memberikan pilihan-pilihan baik itu mengenai dagangan si
penjual, harga dagangan si penjual, atau yang lainnya. Semakin banyak pilihan-
pilihan dalam tuturan yang dituturkan akan semakin santunlah tuturan tersebut,
begitu juga sebaliknya semakin minimnya pilihan-pilihan yang diberikan maka
akan semakin tidak santunlah tuturan tersebut. Misalnya pada penekanan kalimat
berikut ini, “Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini
double XL kan?” dan “Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga
limaan” (analisis 35 DT 13), dan “Iki yo apik warnane. Ya wis, kabeh loro ya ora
popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas” (analisis 36 DT 1). Penekanan
kalimat-kalimat tersebut menandakan bahwa makna dan maksud dari tuturan yang
dituturkan oleh penutur memberikan suatu pilihan-pilihan. Terdapat pilihan-
pilihan baik mengenai harga, ukuran, warna, dan jumlah pembelian dari dagangan
si mitra tutur (penjual). Tentu menurut skala pilihan milik Geoffrey Leech (1983)
tuturan dengan menggunakan penekanan atau penanda kalimat-kalimat tersebut
menjadikan tuturan itu dikategorikan ke dalam tuturan yang santun karena
terdapat banyak pilihan-pilihan di dalam tuturan si penutur (pembeli). Namun,
dalam tuturan pembeli saat transaksi jual beli dengan penjual juga terdapat tuturan
yang dianggap tidak santun dalam konteks skala pilihan ini. Pembeli (penutur) ada
juga yang tidak memberikan pilihan-pilihan. Misalnya saja, “Mas, yang
gambarnya lucu gitu lho, Mas” (analisis 37 DT 32). Penekanan pada kalimat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Mengapa? Karena kalimat
tersebut menandakan bahwa tidak adanya pilihan-pilihan yang diberikan. Sesuai
dengan teori yang dianut, bahwa semakin tidak adanya pilihan-pilihan yang
diberikan, maka dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Hal ini lebih pada
pemberian sebuah penawaran kepada mitra tuturnya saat berkomunikasi. Jadi,
penutur tidak boleh mengharuskan atau memaksakan mitra tuturnya untuk
melakukan suatu tindakan tanpa adanya suatu pilihan. Apabila hal tersebut terjadi,
maka tuturan tersebut akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Oleh
karena itu, penanda kalimat tersebut dalam percakapan jual beli pada DT 32
dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.
4.3.2.1.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)
Pembahasan yang ketiga ini mengacu pada tuturan pembeli yang dilihat
dari skala ketidaklangsungan Leech. Aspek yang ketiga ini bahwa penutur harus
benar-benar memahami dan mengerti bagaimana cara menyampaikan suatu
maksud tuturan kepada mitra tutur agar proses pertuturan yang tengah
dilangsungkan dapat berjalan dengan baik dan santun. Seseorang yang memiliki
cara masing-masing untuk dapat menyampaikan maksud dari tuturannya, apakah
dilakukan secara langsung atau dapat juga dengan menggunakan basa-basi
terlebih dahulu agar tuturan yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur
tidak menyinggung satu sama lain. Gunarwan (1994:87) menuliskan bahwa makin
tembus pandang atau makin jelas maksud sebuah ujaran, maka makin langsunglah
ujaran tersebut dituturkan dan demikian pula sebaliknya. Penutur tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
diperbolehkan terang-terangan menyampaikan maksud dari tuturan yang
diucapkan, karena semakin langsung maksud dari tuturan itu tersebut terucap,
tentu tuturan itu menjadi semakin tidak santun, begitu juga sebaliknya apabila
semakin tidak langsung tuturan itu diucapkan maka semakin santunlah tuturan
tersebut. Sesuai dengan teori tersebut, dapat dicontohkan pada kalimat-kalimat
seperti ini, “Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?” (analisis 38 DT 10) dan “Dua
belas ribu? Sepuluh aja” (analisis 39 DT 18). Penekanan kalimat-kalimat tersebut
dalam tuturan si pembeli yang notabene sebagai penutur merupakan tuturan yang
bersifat tidak langsung. Pembeli tidak langsung mengungkapkan maksudnya
secara terang-terangan. Penutur berbasa-basi terlebih dahulu sebelum benar-benar
menyampaikan maksud dari tuturan yang akan ia tuturkan kepada si penjual.
Dengan begitu, tuturan tersebut dirasa santun. Berbeda dengan kalimat berikut ini,
“Nawar dua lima!” (analisis 41 DT 4) yang memperlihatkan bahwa penekanan
yang digunakan dalam tuturan pembeli itu bersifat langsung. Kalimat tersebut di
atas menandakan pembeli secara langsung menawar harga dagangan si penjual.
Penutur tidak berbasa-basi terlebih dahulu melainkan langsung menyampaikan
maksud dari tuturannya itu, sehingga tuturan dengan penekanan kalimat tersebut
dianggap sebagai tuturan yang tidak santun. Hal ini tentu sesuai dengan teori yang
digunakan oleh peneliti yaitu teori skala ketidaklangsungan Geoffrey Leech
(1983).
Data-data beserta analisisnya di atas tersebut merupakan contoh-contoh
pembahasan tuturan pembeli baik yang santun maupun yang tidak santun.
Pembahasan tersebut diperlihatkan bahwa skala untung rugi, skala pilihan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
skala ketidaklangsungan yang ada dalam teori skala kesantunan Leech digunakan
sebagai dasar analisis untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa penjual di
“perko” trotoar Malioboro Yogyakarta. Tuturan penjual seperti data-data di atas
telah memperlihatkan kepada kita sebagai pembaca mengerti bagaimanakah
tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Ketiga bahasan dari masing-masing subjek penelitian di atas juga tidak
lepas dari analisis percakapan transaksi jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli dalam sebuah tempat perbelanjaan juga dilihat dari sisi penggunaan
sapaan. Secara keseluruhan, penggunaan sapaan yang telah dianalisis dalam bab
analisis data menjelaskan bahwa sapaan yang digunakan dalam berkomunikasi
transaksi jual beli antara penutur dengan mitra tutur sudah tepat. Misalnya saja
penggunaan kata sapaan Bu, Dik (adik), Pak, Mas, dan Mbak (pasti terdapat dalam
semua data yang telah dianalisis oleh peneliti) yang memang terdapat dalam
percakapan jual beli di atas. Penggunaan sapaan ini tentu dilihat dari segi usia,
gender, hubungan kekerabatan, dll. Pemaparan penggunaan sapaan ini seperti
yang dikatakan oleh Chaer bahwa sapaan adalah bentuk menyapa, menegur atau
menyebut orang kedua atau orang yang diajak bicara. Sapaan lebih mengacu pada
seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Dalam
kegiatan interaksi umumnya seseorang menggunakan pilihan bentuk linguistik
berdasarkan hubungan antara pembicara dan mitra tutur berdasarkan rasional.
Jadi, penggunaan sapaan juga harus dilihat dari konteks siapa yang berbicara, di
mana pembicaraan itu berlangsung, dan siapa yang diajak berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
Selain sapaan, penggunaan alih kode dan campur kode juga dianggap
dapat memengaruhi tingkat kesantunan berbahasa seseorang. Seperti dalam
percakapan yang telah dianalisis, terdapat kata-kata atau kalimat-kalimat yang
menjadi penanda terjadinya alih kode dan campur kode. Misalnya saja dalam DT
17 yang dalam percakapannya menggunakan alih kode, yang awalnya penutur dan
mitra tutur berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia kemudian
penutur beralih menggunakan bahasa Jawa dan diikuti dengan tanggapan si mitra
tutur (pembeli) dengan menggunakan bahasa Jawa pula. Hal tersebut merupakan
contoh penggunaan alih kode dalam percakapan jual beli. Penanda penggunaan
alih kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik khususnya teori alih
kode yang menurut Appel (1976:79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina
(2010:107) mendefinisikan alih kode (code switching) itu sebagai gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hal ini dapat kita perkuat dengan
contoh. Misalnya saja, berawal dari seseorang yang menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi berubah menjadi menggunakan bahasa Indonesia. Ada pula
contoh penggunaan campur kode yang terdapat dalam percakapan jual beli yang
dilakukan oleh penutur dan mitra tutur. Misalnya saja dalam kalimat, “Paling
besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada. Adanya M
single. M single yang ini, ini, sama yang ini” (DT 13). Dalam kalimat tersebut
telah ditandai dengan penanda campur kode yakni penggunaan bahasa Inggris,
seperti pada kata-kata yang telah dicetak tebal dalam kalimat di atas. Penanda
penggunaan campur kode tersebut di atas termasuk dalam teori sosiolinguistik
khususnya teori campur kode yang menurut Nababan (1984:32) mengatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
campur kode adalah suatu keadaan berbahasa dimana orang mencampur dua (atau
lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak tutur. Dalam campur kode
penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa
tertentu. Dalam campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan
unsur bahasa lain ketika sedang berbicara.
Pembahasan-pembahasan di atas tentu terlihat jelas adanya tuturan
pembeli yang santun dan tuturan yang tidak santun. Munculnya beberapa bentuk
tuturan yang dianggap kurang santun akan menghasilkan besarnya kemungkinan
rusaknya tindak komunikasi dan dapat mengganggu atau bahkan merusak
hubungan yang terjalin antara penutur dengan mitra tuturnya. Untuk menghindari
hal-hal tersebut, yang perlu diketahui selanjutnya adalah mengetahui tingkat
kesantunan berbahasa dari penanda-penanda kesantunan, yakni pemakaian diksi
(pilihan kata) dan pemakaian gaya bahasa. Dari hasil analisis data, terdapat
beberapa tuturan pedagang yang dianggap santun dan tidak santun sesuai dengan
kriteria penanda-penanda kesantunan pemakaian diksi (pilihan kata) dan
pemakaian gaya bahasa tersebut.
4.3.2.2 Penanda-penanda Kesantunan
4.3.2.2.1 Pemakaian Diksi (Pilihan Kata)
Pemakaian diksi (pilihan kata) merupakan suatu penanda kesantunan yang
sangat penting untuk digunakan menganalisis tingkat kesantunan berbahasa dalam
penelitian ini. Dalam berkomunikasi, tentu harus benar-benar atau cermat dalam
memilih dan menggunakan kata untuk dituturkan. Jangan asal memilih dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
menggunakan kata dalam berkomunikasi. Jika hal tersebut terjadi, maka
komunikasi yang terjalin akan menjadi kacau dan maksud yang hendak
disampaikan penutur kepada mitra tutur tidak tersampaikan dengan baik.
Misalnya, kata apik (analisis 42 DT 1) dan kata iya (analisis 43 DT 17). Kata-kata
itulah yang sekiranya dapat mewakili pemilihan dan penggunaan diksi (pilihan
kata) dari berbagai percakapan yang dilakukan oleh penutur (pembeli) dan mitra
tutur (penjual) dalam konteks jual beli di emperan toko Malioboro Yogyakarta.
Kata-kata itu memiliki makna dan maksud yang sama, yakni menguntungkan diri
si mitra tuturnya (penjual). Dengan menekankan kata apik berarti penutur
memberikan suatu apresiasi terhadap dagangan si mitra tutur sehingga si mitra
tutur mendapatkan keuntungan dengan diapresiasikan dagangannya dan si penutur
dapat membeli dagangan si mitra tutur dengan jumlah yang lebih dari satu. Hal ini
tentu sangat menguntungkan dan menyenangkan si mitra tutur (penjual). Begitu
juga dengan kata iya yang menjadi sebuah tanda persetujuan bersama. Penutur
mengungkapkan kata iya untuk menguntungkan diri si mitra tutur terhadap
dagangannya. Persetujuan yang ditandai dengan kata iya menjadikan seuatu
keuntungan bagi si mitra tutur. Oleh karena itu, kata-kata yang menjadi penanda
kriteria pemakaian diksi (pilihan kata) di atas dimasukkan ke dalam tuturan yang
santun. Karena penekanan pada kata-kata itu selain menguntungkan diri si mitra
tutur juga termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yaitu memilih kata-kata yang
tepat dan sesuai, menjadikan komunikasi menjadi terarah, dapat dipahami oleh
mitra tutur, dan suasana yang terjalin menjadi baik dan nyaman. Akan tetapi ada
juga yang dalam komunikasinya, penutur tirasa kurang atau tidak tepat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
memilih dan menggunakan kata-kata. Dapat dibuktikan dengan kata-kata berikut
ini, elek (analisis 44 DT 31) dan mahal (analisis 45 DT 34). Kata elek dan mahal
jika kita lihat sepintas sudah terlihat bahwa kata-kata tersebut memiliki makna
yang kurang baik atau kurang tepat dalam tuturan yang dituturkan penutur kepada
mitra tutur. Pemilihan dan penggunaan kata-kata itu dianggap kurang tepat karena
kata-kata tersebut termasuk dalam kriteria pemakaian diksi yang kurang tepat
yaitu memilih kata-kata yang kurang/tidak tepat dan sesuai dan suasana yang
terjalin menjadi kacau, tidak baik dan tidak nyaman. Bahasan mengenai
pemakaian diksi (pilihan kata) di atas tentu mengacu pada teori pemakaian diksi
para ahli yang telah dirangkum oleh peneliti menjadi dua sub yakni menggunakan
kata-kata yang tepat dan menemukan bentuk yang sesuai. Dengan begitu, tuturan
yang dihasilkan baik penutur kepada mitra tutur maupun mitra tutur kepada
penutur dapat dilhat secara detail apakah kata-kata yang dipilih dan digunakan
sudah tepat dan layak atau tidak.
4.3.2.2.2 Pemakaian Gaya Bahasa
Setelah membahas mengenai penanda kesantunan yang pertama,
selanjutnya akan membahas mengenai penanda kesantunan yang kedua yakni
pemakaian gaya bahasa. Dalam berkomunikasi ada kalanya menggunakan gaya
bahasa dan ada kalanya juga tidak menggunakan aspek ini. Komunikasi
khususnya transaksi jual beli di sini menggunakan gaya bahasanya mengacu pada
tiga kriteria, yakni kejujuran, sopan santun, dan menarik. Dapat dicontohkan
dalam penggunaan kata berikut ini, napa (analisis 46 DT 10) dan aja (analisis 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
DT 18). Kata-kata tersebut dituturkan oleh penutur (pembeli) kepada mitra tutur
(penjual) dalam komunikasi jual beli. Penutur menggunakan kata napa yang
dalam bahasa Indonesianya berarti apa untuk bertanya mengenai warna dagangan
si mitra tutur (PJ). Hal ini dilakukan penutur tidak seolah-olah mencari
keuntungan saja, akan tetapi penutur juga menghormati diri mitra tutur sehingga
penutur menanyakan terlebih dahulu warna apa saja yang ada pada dagangan si
mitra tutur dengan menekankan kata napa agar si penutur dapat memilih
dagangan si mitra tutur dengan enak dan nyaman. Begitu juga pada penggunaan
kata aja. Kata aja mengindikasikan bahwa harga yang diinginkan penutur
terhadap dagangan si mitra tutur mendapatkan harga yang murah. Sehingga mitra
tutur dengan mudah menangkap maksud dari tuturan si penutur. Penutur
menuturkan tuturan tersebut dengan tidak berbelit-belit. Secara singkat dan jelas,
penutur menuturkan apa yang seharusnya dituturkan kepada mitra tutur. Sehingga
tuturan penutur tidak membuat diri mitra tutur merasa kebingungan untuk
menangkap maksud dari tuturan si penutur. Dengan begitu, penekanan pada kata
napa dan aja termasuk dalam tiga kriteria pemakaian gaya bahasa, yakni penutur
tidak hanya mencari keuntungan saja, kata-kata yang digunakan tidak berbelit-
belit, menghormati mitra tutur, bertutur kata dengan singkat dan jelas, dan dapat
membuat suasana menjadi baik dan nyaman. Namun, ada juga tuturan pembeli
yang dirasa tidak memenuhi tiga kriteria pemakaian bahasa ini. Misalnya saja,
kono lho (analisis 48 DT 3) dan ndang (analisis 49 DT 8). Kata-kata ini sama-
sama memiliki makna menyuruh. Kata suruhan ini terlihat kurang sopan karena
kata kono lho dalam percakapan DT 3 dan kata ndang dalam percakapan DT 8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
termasuk dalam kategori tuturan yang menyuruh dan terlihat kasar kepada mitra
tutur, serta kata tersebut seperti terdapat suatu paksaan terhadap mitra tutur (PJ).
Tuturan penutur tersebut dinilai sangat tidak menghormati diri mitra tutur sebagai
penjualnya. Penutur dengan mudah menuturkan kata yang kasar dan memaksa itu
kepada mitra tutur. Mitra tutur (PJ) dipaksa untuk memenuhi keingan si penutur
(PB). Hal itu dirasa sangat tidak sopan dan tidak pas untuk dilakukan dalam suatu
pertuturan jual beli. Analisis kata ini dapat dimasukkan ke dalam kategori penutur
hanya mencari keuntungan saja, tidak menghormati diri mitra tutur saat
berkomunikasi, dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan.
Pembahasan-pembahasan di atas telah membuka mata kita terhadap
bagaimanakah tingkat kesantunan penjual dan pembeli di emperan toko
Malioboro Yogyakarta. Kesantunan berbahasa ini tentu ditinjau dari konteksnya.
Tuturan yang dituturkan oleh penjual kepada pembeli harus disesuaikan dengan
konteks yang ada di sekitarnya. Dengan begitu, dapat dilihat apakah tuturan yang
dituturkan baik oleh penjual maupun pembeli tersebut santun dan pas digunakan
atau tidak santun dan tidak layak digunakan dalam sebuah komunikasi jual beli.
Konteks merupakan salah satu komponen yang penting dalam situasi tutur.
Konteks didefinisikan sebagai aspek yang sangat berkaitan dengan lingkungan
fisik dan sosial sebuah tuturan, hal ini menurut Leech dalam Sudaryanto
(2009:119). Di samping itu, konteks merupakan sebuah konsep yang dinamis.
Maksud dari istilah dinamis disini adalah bahwa kenyataan dunia pasti akan selalu
berubah. Dalam arti luasnya memungkinkan partisipan tutur saling berinteraksi
dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
dimengerti (Sudaryanto, 2009:123). Konteks ini menjadi salah satu penentu
bagaimana suatu tuturan dapat dinilai santun atau tidak santun. Oleh karena itu,
gambaran orang lain yang sedang terjadi terhadap tingkat kesantunan pedagang
dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta belum tentu sama dan
benar dengan tuturan yang sedang terjadi antara penutur dan mitra tutur yang
sudah memahami dan mengerti dengan baik mengenai konteks pembicaraan yang
tengah berlangsung.
Setiap orang tentu mendambakan suatu tuturan yang menarik untuk
diungkapkan dan dituturkan kepada orang lain. Begitu pula dengan tuturan
pedagang dan pembeli di emperan toko trotoar Malioboro Yogyakarta yang
muncul. Hal ini dikarenakan mereka berkeinginan agar tuturan yang terjadi antara
penutur dan mitra tutur menjadi mudah dipahami, efektif, dan santun untuk
digunakan dalam berkomunikasi. Pedagang dan pembeli di “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta memang bukanlah suatu komuniktas yang formal. Mereka
hanyalah sekelompok orang yang ingin menyambung hidup dengan berjualan di
sana. Karena tentu kita ketahui bersama bahwa wilayah Malioboro adalah pusat
perbelanjaan kota Yogyakarta. Jadi, mereka yang berjual beli di sana tidak lagi
memikirkan bahwa tuturan yang dituturkan baik penjual maupun pembeli tersebut
kurang baik dan kurang pas untuk didengar oleh orang lain, karena mereka semua
yang menjalani komunikasi jual beli di sana sudah merasa nyaman dengan bahasa
yang mereka gunakan setiap harinya.
Uraian tersebut di atas apabila dirangkum dapat dikatakan bahwa tuturan
yang dituturkan baik oleh penutur maupun mitra tutur haruslah disesuaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
dengan konteksnya, kapan tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu
dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang
dituturkan. Dengan begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke
dalam kategori tuturan yang santun atau tidak santun.
Secara keseluruhan, mulai dari awal pembahasan mengenai tingkat
kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta hingga
pembahasan mengenai konteks tuturan (kapan tuturan itu harus diucapkan, di
mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan tutur kita, dan bagaimana maksud dari
tuturan yang dituturkan) untuk menjawab rumusan masalah sudah dipaparkan
secara gamblang seperti yang sudah ada di atas. Hasil analisis dan pembahasan di
atas telah memberikan hasil bahwa tuturan pedagang yang santun tercatat 20
tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17 tuturan. Begitu juga
dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan pembeli yang santun tercatat 16
tuturan dan tuturan pembeli yang tidak santun tercatat 21 tuturan. Hal ini telah
membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar
Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan tingkat
kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar
tergolong tidak santun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini diuraikan dua hal, yaitu (1) simpulan dan (2) saran. Simpulan
berisi rangkuman atas keseluruhan penelitian ini. Saran berisi hal-hal yang perlu
demi penelitian lanjutan.
5.1 Simpulan
Penelitian ini telah membahas dua masalah pokok, yaitu tingkat
kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan
tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Berdasarkan pada bab yang telah disajikan sebelumnya, diperoleh beberapa hal
yang dapat disimpulkan pada analisis ini. Secara rinci beberapa hal tersebut
diuraikan di bawah ini:
1. Terdapat tiga skala yang dapat digunakan untuk mengetahui dan
menganalisis bagaimanakah tingkat kesantunan suatu tuturan yang
dituturkan, khususnya dalam dua masalah pokok penelitian ini, yakni
tingkat kesantunan berbahasa penjual di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta dan tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Ketiga skala tersebut adalah (1) skala untung rugi, (2) skala
pilihan, dan (3) skala ketidaklangsungan. Tiga skala ini merupakan skala
kesantunan milik Geoffrey Leech yang menjadi dasar analisis penelitian
ini. Jadi, apabila tuturan yang digunakan ingin terdengar santun, maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
seorang penutur baik penjual maupun pembeli harus memerhatikan ketiga
skala tersebut sebelum bertutur kata atau berkomunikasi dengan mitra
tuturnya. Tidak lepas dari tiga skala tersebut, penutur dan mitra tutur juga
harus memerhatikan penggunaan sapaan, alih kode, dan campur kode
dalam berkomunikasi. Aspek-aspek ini tentu akan memengaruhi tuturan
yang tengah dikomunikasikan antara kedua partisipan tutur. Dan penutur
dan mitra tutur yang tengah berkomunikasi juga harus memerhatikan
konteksnya. Yang dimaksud dengan konteksnya di sini adalah kapan
tuturan itu harus diucapkan, di mana tuturan itu dituturkan, siapa lawan
tutur kita, dan bagaimana maksud dari tuturan yang dituturkan. Dengan
begitu, tuturan yang dihasilkan akan dapat digolongkan ke dalam kategori
tuturan yang santun atau tidak santun.
2. Dalam beberapa tuturan pada data yang telah dianalisis oleh peneliti
ternyata terdapat dua hal yang perlu digunakan untuk menganalisis tingkat
kesantunan penjual dan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
ini. Dua hal tersebut merupakan penanda-penanda tingkat kesantunan
berbahasa yang antara lain adalah (1) diksi: penggunaan kata yang tepat
dan menemukan bentuk yang sesuai dan (2) gaya bahasa: kejujuran, sopan
santun, dan menarik. Agar tuturan yang dihasilkan baik oleh penjual
maupun pembeli menjadi santun, tentu kedua hal ini tepat digunakan untuk
mengukur tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli melalui
kriteria-kriteria yang terdapat di dalam dua hal tersebut. Secara berurutan
kriteria-kriteria yang ada dalam dua hal tersebut di atas adalah penutur dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
mitra tutur mengerti akan penggunaan kata yang tepat, menemukan bentuk
yang sesuai, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Melalui kelima kriteria
tersebut, tuturan-tuturan yang dihasilkan oleh penutur dan mitra tutur dapat
dikategorikan ke dalam tuturan yang santun atau tidak santun.
3. Ada banyak orang atau masyarakat yang menganggap bahwa tingkat
kesantunan berbahasa penjual dan pembeli sangatlah rendah. Hal ini
dikarenakan mereka menggunakan bahasa sehari-hari atau dapat dikatakan
menggunakan bahasa sesuka mereka dalam bertransaksi jual beli.
Penggunaan bahasa yang seperti inilah yang memunculkan anggapan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam
bertransaksi jual beli rendah. Ditambah pula dengan adanya anggapan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat kesantunan berbahasa pembeli itu sendiri. Dari anggapan
dan tanggapan banyak orang tersebut, kemudian peneliti dalam penelitian
ini menyimpulkan bahwa pandangan atau anggapan banyak orang
mengenai tingkat kesantunan berbahasa penjual dan pembeli dalam
konteks transaksi jual beli ini salah. Hasil analisis di atas telah
membuktikan bahwa tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko”
trotoar Malioboro Yogyakarta sebagian besar masih tergolong santun dan
tingkat kesantunan pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta
sebagian besar tergolong tidak santun. Tuturan pedagang yang santun
tercatat 20 tuturan dan tuturan pedagang yang tidak santun tercatat 17
tuturan. Begitu juga dengan kesantunan berbahasa pembeli. Tuturan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
pembeli yang santun tercatat 16 tuturan dan tuturan pembeli yang tidak
santun tercatat 21 tuturan. Memang dalam analisis yang telah dilakukan
oleh peneliti dalam penelitian ini terdapat tuturan yang santun dan tidak
santun pada kesantunan berbahasa penjual dan pembeli di “perko” trotoar
Malioboro ini, akan tetapi anggapan banyak orang yang mengatakan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa penjual lebih rendah dibandingkan
tingkat kesantunan berbahasa pembeli dapat diluruskan bahwa berdasarkan
hasil analisisnya tingkat kesantunan berbahasa pembelilah yang lebih
rendah dari tingkat kesantunan berbahasa penjual.
5.2 Saran
Penelitian ini tentu memiliki banyak keterbatasan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, peneliti memberikan empat saran, yaitu (1) saran
untuk penelitian lanjutan, (2) saran untuk guru, (3) saran untuk pelajar dan
mahasiswa, dan (4) saran untuk masyarakat pemakai bahasa. Keempat saran
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
5.2.1 Bagi Penelitian Lanjutan
a. Penelitian ini membahasa mengenai tingkat kesantunan berbahasa
pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan tingkat
kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta.
Peneliti lain dapat lebih mengembangkan topik-topik tersebut secara
khusus dengan menguraikan tingkat-tingkat kesantunan berbahasa di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
setiap pedagang dan pembeli yang ada di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta.
b. Penelitian ini hanya membahas dua hal, yakni tingkat kesantunan
berbahasa pedagang/penjual di “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta dan
tingkat kesantunan berbahasa pembeli di “perko” trotoar Malioboro
Yogyakarta. Apabila dilihat dari sisi pragmatik dan sosiopragmatik,
sebenarnya masih ada banyak aspek atau bidang yang belum dibahas,
khususnya dalam mengkaji tingkat kesantunan berbahasa. Oleh karena itu,
bagi peneliti lain atau pihak yang berminat untuk mengadakan penelitian
tentang bahasa, khususnya mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia
untuk melakukan penelitian sejenis. Bahasan dan bidang pragmatik dan
sosiopragmatik yang dibahas tentunya akan lain dari penelitian yang sudah
dibahas di dalam penelitian ini, misalnya mengenai tindak lokusi, ilokusi,
dan perlokusi, deiksis, implikatur, dan lain-lain.
5.2.2 Bagi Guru
Para guru dapat menjadikan contoh-contoh dalam penelitian ini sebagai
referensi dalam suatu pembelajaran mengenai wacana yang sesuai dengan materi
pembelajaran di sekolah, khususnya di sekolah menengah. Wacana ini dapat
dijadikan contoh untuk menjelaskan tingkat kesantunan berbahasa pedagang dan
pembeli kepada para siswa sesuai dengan konteks pembelajaran yang ada. Dengan
begitu, guru sekaligus dapat menempatkan aspek-aspek kesantunan sebagai salah
satu indikator pembelajaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
5.2.3 Bagi Pelajar dan Mahasiswa
Para pelajar dan mahasiswa, khususnya mahasiswa bahasa dan sastra
Indonesia sebagai insan terdidik dapat mengenal dan memahami betapa
pentingnya aspek kesantunan dalam bertutur kata atau berkomunikasi.
Pemahaman mengenai tingkat kesantunan berbahasa dalam penelitian ini dapat
menjadi masukan bagi para pelajar dan mahasiswa agar dapat menerapkan aspek
kesantunan tuturan secara baik, tepat, pantas, dan bijak di dalam komunikasi
sehari-hari.
5.2.4 Bagi Masyarakat Pemakai Bahasa
Bagi masyarakat pemakai bahasa, kesantunan tuturan suatu bahasa perlu
diperhatikan. Hal ini dikarenakan baik penutur maupun mitra tutur pasti
menginginkan untuk dihargai satu sama lainnya. Penelitian yang membahas
mengenai kesantunan berbahasa ini dapat digunakan untuk memberikan arahan
kepada msayarakat pemakai bahasa untuk bisa saling menghargai satu sama
lainnya melalui tuturan yang terjadi setiap hari di tengah masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan
Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Dalam Bambang
Kaswanti Purwo (Penyunting). PELLBA 7: Analisis Klausa, Pragmatik
Wacana, Pengkomputeran Bahasa. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Ibrahim, Abd. Syukur. 1993. Kapita Selekta Sosiolinguistik. Surabaya: Usaha
Nasional.
_________________ . 1995. Sosiolinguistik: Sajian Tujuan, Pendekatan, dan
Problem-problemnya. Surabaya: Usaha Nasional.
Jamal. Artikel tentang “Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah
Sosiopragmatik Pengguna Bahasa di BDK Surabaya”.
Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
Kesuma, Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.
Yogyakarta: Carasvatibooks.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
_________________ . 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh
M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Pemanfaatannya. Jakarta:
Depdikbud.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nurastuti, Wiji. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Ardana Media.
Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_________________ . 2009. Kesantunan Berbahasa Tokoh Masyarakat Ditinjau
dari Aspek Pragmatik. Yogyakarta: Universitas Sana Dharma.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa.
Yogyakarta: Kanisisus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
_________________. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma.
_________________ . 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga
_________________ . 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.
Sarwoyo, Ventianus. 2009. “Tindak Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan
Tuturan di Dalam Surat Kabar (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Skripsi.
Yogyakarta: PBSID Universitas Sanata Dharma.
Soewandi, A.M. Slamet. 2007. “Handout Penelitian Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia”. Yogyakarta:PBSID-FKIP Universitas Sanata Dharma.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Bandung.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
_________________ dan Muhammad Rohmadi. 2011. Analisis Wacana
Pragmatik, Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Yuma Pustaka.
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
237
LAMPIRAN 1
DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR
MALIOBORO YOGYAKARTA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
238
DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR
MALIOBORO YOGYAKARTA
Keterangan :
PJ : Penjual
PB : Pembeli
1. DT 1 Pedagang Baju Anak-anak
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.28 WIB
PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-apa. Yang ini ya? Sebentar lihat
warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok ditukarkan).
2. DT 2 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.54 WIB
PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?
PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.
PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar juga kok! (sambil menggerutu)
PJ : Jadiinya tadi dua...
PB : Dua ratus sepuluh
PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh delapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
239
(PB menyerahkan uang ke PJ)
PJ : Uang kembali...
PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke PB)
PJ : Ini, makasih ya.
3. DT 3 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.55 WIB
PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek
enem arek piro?
(...tiga, empat, lima, enam. Saya masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini
enam mau berapa?)
PB1 : Hah?
PJ1 : Arek enem arek piro to kaose?
(Mau berapa kaosnya?)
PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro.
(Eee... Iya yang itu dua)
PJ2 : Sing endi? Oren?
(Yang mana? Jingga?)
PB1 : Sing ngene iki piro?
(Yang begini ini berapa?)
PJ1 : Telu lima
(Tiga lima)
PB1 : Ki telungatus pas ya?
(Ini tiga ratus pas ya?)
PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane larang. Iki lho, sampeyan ojo dibukaki.
Aku wegah nglebokke. Iki-iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-marah)
(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho harganya mahal. Ini lho, Anda jangan
dibuka-buka. Saya tidak mau memasukkan. Ini XL, XL segini)
PB1 : Ndelok gambare aku.
(Lihat gambarnya aku)
PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya. Kesel aku.
(Masukkan sendiri ya. Masukkan sendiri ya. Capek saya)
PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.
(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)
PJ1 : Wis?
(Sudah)
PJ2 : Piro iki piro? Hah?
(Berapa ini berapa? Hah?)
PB1 : Enam, pitu
(Enam, tujuh)
PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya. Satu, dua, tiga, empat, lima ya?
(Lha ini bordirnya dua)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
240
PB2 : Enem, pitu niku lho!
(Enam, tuju itu lho!)
PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh.
(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)
PB1 : Lha iyo lima dua ratus to!
(Lha iya lima dua ratus kan!)
PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel)
(Ini bordir, Mbak)
PJ2 : Bordir bedo! (nada keras)
(Bordir beda!)
PB1 : Tambahi piro to?
(Tambah berapa?)
PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu wae.
(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu saja)
PB1 : 2.000 ya?
PJ1 : Ya Allah...
PB1 : Pun niki (sambil merengek)
(Sudah ini)
PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon wae ya ra masalah. Kudune 70, gur
65. Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.
(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon saja tidak masalah. Harusnya 70,
hanya 65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya, Mbak)
PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu
(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)
PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk. Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe
loro. Tuku neng kene pisan kok (sambil marah-marah)
(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu, Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu,
dua. Beli di di sini sekali saja kok).
PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro. Dadine pitu.
(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya dua. Jadinya tuju)
PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro!
(Lha iya tambah yang dua puluh lima ribuan dua)
PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel)
(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)
PJ2 : Selawe loro, sing ngene no!
(Dua puluh lima ribuan yang seperti ini!)
PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing
murah mawon. Selawe loro, nambahi 20.000 karekkan. Kono lho warna
pink apa ndek kono ukuran L (marah-marah dan sedikit memaksa)
(Lha iya yang murah itu lho dua puluh lima ribuan dua. Saya minta tidak
yang bagus. Yang murah saja. Dua puluh lima ribuan dua, ditambah 20.000
saja. Sana itu warna merah muda atau yang di situ ukuran L)
PB1 : Ngge langganan lho, Pak.
(Buat langganan, Pak)
PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono saiki. Paling titik limolas mbuh
gedhe cilik tak kek‟i.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
241
(Buat langganan kalau dua puluh lima ribu dua tidak ada sekarang. Paling
sedikit lima belas, baik besar kecil saya berikan)
PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L.
(Ukuran L, minta ukuran L)
PJ2 : L dewasa to kuwi?
(L dewasa kan itu?)
PB2 : L sak aku, Pak.
(L ukuran saya, Pak)
PJ2 : Ya ra entuk!
(Ya tidak dapat!)
PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak?
(Ini. Sudah tasnya, Pak?)
PB1 : Wis, makasih
(Sudah, terima kasih)
4. DT 4 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.11 WIB
PJ : Tiga puluh ya?
PB : Nawar dua lima, Bu.
PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.
5. DT 5 Pedagang Tas
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.14 WIB
PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon soalnya. Kalau yang itu lima belas,
yang HP.
PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?
(Tas yang seperti ini berapa?)
PJ : Empat lima
PB2 : Kalau ini berapa?
PJ : Delapan puluh
PJ : Wo survei harga kok, Mbak‟e ki ! (menyindir)
(PB1 dan PB2 pergi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
242
6. DT 6 Pedagang Dompet
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.18 WIB
PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu, dua, tiga ini.
PB : Ini?
PJ : Itu mahal itu.
PB : Ini gak boleh dua lima?
(Ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-tujuh puluh harganya.
PB : Mahal ya
PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi tiga limaan.
(Memang mahal. Yang murah yang itu tadi tiga puluh lima ribuan)
PB : Yang ini gak boleh dua lima?
(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluhan ke atas hargane.
(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas
harganya)
PB : Nanti ambilnya dua (merayu)
PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak
PB : Yah...
PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu tiga lima. Yang ini seratus dua puluh.
Cowok cewek bisa.
(Memang mahal. Banyak pilihannya itu yang tiga puluh lima ribu)
PB : Ini berapa?
PJ : Itu sembilan puluh
PB : Ini?
PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik paling murah. Satu, dua, tiga, tiga limaan.
Tinggal pilih, Mbak‟e.
(Itu sembilan puluh sama. Ini yang paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh
lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)
PB : Yang mana, Bu?
PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
7. DT 7 Pedagang Gantungan Kunci
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.22 WIB
PJ : Ini maksudnya gimana?
PB : Yang warna biru.
PJ : Ini campur-campur gitu?
PB : Iya, pengennya gitu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
243
PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang. Ini dua puluh.
PB : Hah? (kaget)
PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!
PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.
PJ : Pinter nawar e.
(Pintar menawar ya)
PB : Tujuh belas.
PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.
PB : Emoh (merengek)
(Tidak mau)
PJ : Dua ribu lagi
PB : Dua ribu?
PJ : Ini baru enam belas.
PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas. Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)
PJ : Dua ribu!
PB : Seribu! (memaksa)
PJ : Ya udah ga papa
(Ya sudah tidak apa-apa)
8. DT 8 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.32 WIB
PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek sing L?
(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada yang L?)
PJ : Ora enek. Gak ada.
(Tidak ada. Tidak ada)
PB : Terus tak tukokne warna opo yo?
(Terus saya belikan warna apa ya?)
PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual kepada pembeli lain)
(Terima kasih. Terima kasih)
PB : Lha iki aku werno opo?
(Ini saya warna apa?)
PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.
(Yang biru ini saja. Biru ini lho)
PB : Endi?
(Mana?)
PJ : Iku lho.
(Ini lho)
PB : Elik iki birune.
(Jelek ini birunya)
PJ : Putih, item
(Putih, hitam)
PB : Putihe koyok ngopo?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
244
(Putihnya seperti apa?)
PJ : Putihe sing neng ngisor.
(Putihnya yang di bawah)
PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke sing L.
(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan yang L)
PJ : Harus itu? L putih?
PB : Ndang, Mas golekke iki sik! (memaksa)
(Cepat, Mas carikan ini dulu!)
PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M lho. Sing ngisor kuwi S e.
(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L. Itu M lho. Yang bawah itu S)
PB : Tak berantakke, Mas.
(Saya buat berantak, Mas)
PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene kene. Sing iku tulung-tulung.
(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini biar di sini. Yang itu tolong-tolong)
PB : Sing iki pasangane enek ora?
(Yang ini pasangannya ada tidak?)
PJ : Iki tulisane Jogja.
(Ini tulisannya Jogja)
9. DT 9 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.41 WIB
PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya?
PJ : Panjangnya gak ada.
PB : Ra ono, Mas?
(Tidak ada, Mas?)
PJ : Ya?
PB : Sing abang?
(Yang merah?)
PJ : Sing abang tugunya gak ada.
(Yang merah gambar tugunya tidak ada)
PB : Iki apa iki?
(Ini apa ini?)
PJ : Ini XLnya
PB : Tugune ra enek?
(Gambar tugunya tidak ada?)
PJ : Gak ada e, Ibu.
(Tidak ada, Ibu)
PB : Merah?
PJ : Itu L
PB : XL warnane opo wae? Modele?
(XL warnanya apa saja? Modelnya?)
PJ : Cream, kuning, biru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
245
PB : Iki ngisor?
(Ini yang bawah?)
PJ : Orange
(Jingga)
PB : Iki?
(Ini?)
PJ : Orange
(Jingga)
PB : Gak ada ini?
(Tidak ada ini?)
10. DT 10 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.44 WIB
PB : Pinten, Mbak ngeten niki?
(Berapa, Mbak ini?)
PJ : Empat puluh lima
PB : Warnane napa? Pas‟e piro, Mbak?
(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)
PJ : Pasnya empat puluh
PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to? (sambil memegang pakaiannya)
(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini kaos ya?)
PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.
PB : Telung puluh ya, Mbak?
(Tiga puluh ya, Mbak?)
PJ : Ndak boleh
(Tidak boleh)
PB : Ya sudah, makasih.
11. DT 11 Pedagang Daster
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.48 WIB
PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.
PB : Ini?
PJ : Enam lima. Berapa?
PB : Tiga puluh
PJ : Ambil berapa biji?
PB : Satu, Pak.
PJ : Udah empat puluh ya?
PB : Emoh. Tiga puluh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
246
(Tidak mau. Tiga puluh)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB : Emoh
(Tidak mau)
PJ : Ya udah.
12. DT 12 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 16.53 WIB
PB : Piro iki, Bu?
(Berapa ini?)
PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki uangnya mboten wonten sing pas mawon?
(Lima belas ribu saja. Mbak, ini uangnya tidak ada yang pas saja?)
Niki, Mbak (sambil menyerahkan barang)
(Ini, Mbak)
PB : Yo (menjawab singkat dan langsung pergi)
13. DT 13 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.02 WIB
PB : Ini double?
PJ : Ini double XL
PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?
PJ : Ini ada yang XL?
PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat mamas?
PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?
PB : Tiga tahun, ya laki-laki
PJ : Ini ukuran L dan M
PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah tadi. Ini double XLnya yang merah
coba.
PJ : Desainnya sama?
PB : Ini tadi kan?
PJ : Ini L
PB : Double XLnya berarti yang kuning ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini double
XL kan?
PJ : Iya. Yang kayak gini juga
PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini satu. Berarti ini tiga limaan.
PJ : Iya
PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?
PJ : L
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
247
PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak yang L?
PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.
PB : Double XLnya gak ada?
PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak paling besar double XL. M couple gak ada.
Adanya M single. M single yang ini, ini, sama yang ini.
PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang
ini gambarnya apa?
PJ : Gambarnya sama
PB : Coba buka aja gambarnya apa.
PJ : Ukurannya apa, Mbak?
PB : Yang L juga.
PJ : Yang ini?
PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh, dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?
PJ : Jadinya 150
PB : Aku kepengen kembaran sama anak-anakku nih yang merah.
PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.
PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending cowok ya, yang maksudnya
ukurannya.
PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.
PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu ngepres.
PJ : Berarti yang gambarnya cowok?
PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
14. DT 14 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.11 WIB
PB : Empat puluh ya?
PJ : (langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju)
PB : Berarti sama ya ini?
PJ : Beda, Bu
PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang paling besar ini, Bu?
PJ : (menunjukkan bajunya)
PB : Ini paling gede?
PJ : Iya L
PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang lain-lain? Berapa ini? Sama?
PJ : Kalau itu beda e harganya, lima puluh yang itu, (sambil tertawa mengejek)
PB : Harusnya samalah! (nada memaksa dan langsung pergi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
248
15. DT 15 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.14 WIB
PB : Mas, ini sepasang ya?
PJ : Iya, Dik.
PB : Ini tadi dua berapa?
PJ : Tujuh puluh
PB : Dua, empat puluh, Mas.
PJ : Gak boleh!
PB : Ya ampun, Mas‟e ki lho jan-jan (sambil menggerutu dan langsung pergi)
16. DT 16 Pedagang Celana
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.17 WIB
PB : Dua puluh ribu aja ya, Pak?
PJ : Pas tiga puluh!
PB : Aaaahhh, Pak‟e iki lho (sambil merengek)
PJ : Sudah pas, Mbak ini (sambil membungkus). Makasih.
17. DT 17 Pedagang Tas
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.22 WIB
PB : Dikurangi ya, Bu?
PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.
PB : Lima puluh?
PJ : Tambah dua ribu lima ratus
PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan
PJ : Iyo wes gak apa-apa.
(Iya sudah, tidak apa-apa)
PB : Suwun
(Terima kasih)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
249
18. DT 18 Pedagang Sandal
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.23 WIB
PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua belas aja. Kalo beli dua, dua puluh tiga ribu
aja. Yang mana? Jadi satu kan, Dik? (sambil memasukkan barang ke kantong
plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
19. DT 19 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.24 WIB
PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek.
Bisa kurang sedikit.
PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?
PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini kembaliannya. Makasih ya, Dik.
20. DT 20 Pedagang Sandal
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.28 WIB
PB : Tiga delapan (38), tiga tujuh (37). Atau yang model gini?
PJ : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi?
PB : Model ini?
PJ : Gak ada, tinggal satu e, Mbak.
PB : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak?
PJ : Ini tapi modelnya beda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
250
21. DT 21 Pedagang Pigura
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.36 WIB
PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha repot, tak lepaske namung lebete tok
satus.
(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau dibawa repot, saya lepaskan tetapi
dalamnya saja seratus)
PB : Mas sing ngono kuwi?
(Mas yang itu berapa?)
PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik malah larang.
(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil mahal)
PB : Sing ayat kursi?
(Yang ayat kursi?)
PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi? Napa sing nika bentuk semar, Bu?
(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa yang itu bentuk semar?)
PB : Piro?
(Berapa?)
PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari yang menandakan harganya tiga
ratus ribu rupiah)
(Saya sudah begini)
PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene (menunjukkan tiga jari yang menandakan
harganya tiga ratus ribu rupiah)
(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)
PJ : Lha nek karo bapake benten
(Kalau sama bapaknya berbeda)
PB : Lho, malah karo bapake luwih murah dadi ngene (menunjukkan dua jari
yang menandakan harganya dua ratus ribu rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus
tapi rongatus?
(Kalau sama bapaknya lebih murah jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak
tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)
PJ : Wah dereng nek ngoten
(Wah belum kalau begitu)
PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki piye Pak dadine? Mung gari siji wae
kok Pak, dadine rongatus.
(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal
satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.
PJ : Telungatus
(Tiga ratus ribu)
PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi yo wis tuku neng kene! (jengkel)
(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya kemarin juga sudah beli di sini!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
251
22. DT 22 Pedagang Sandal
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.38 WIB
PB : Yang warnanya biru ada?
PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak gini.
(Hitam sama merah? Adanya ya seperti ini)
PB : Yang kayak gini, Bu?
(Yang seperti ini, Bu?)
PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning, Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32?
Ini sama ungu ya?
PB : Iya
PJ : Terima kasih.
23. DT 23 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.45 WIB
PB : Dua, dua puluh ya, Bu?
PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.
PB : Yo wis.
24. DT 24 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.17 WIB
PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Nawar aja bisa.
PB : Ini all size atau apa?
PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma beda warnanya aja.
PB : Ada warna lain?
PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau gemuk jumbo tapi harganya lain.
PB : Berapa?
PJ : Tiga puluh lima
PB : Ini aja. Berapa?
PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah
PB : Lima belas ya?
PJ : Bahannya bagus soalnya.
PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua setengah (22.500) ya?
PJ : Udah murah, Ibu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
252
PB : Hehe ya ya.
25. DT 25 Pedagang Korek Api
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.24 WIB
PB : Berapa ini?
PJ : Empat puluh
PB : Berarti pasnya tiga puluh?
PJ : Tiga puluh gak ada e, Mas.
PB : Kalau pistol ini?
PJ : Delapan lima. Kalau yang ini enam lima, masih bisa kurang ini.
PB : Udah deh pasnya berapa?
PJ : Ya masnya nawar aja dulu
PB : Nawar tiga puluh, Mbak.
PJ : Tiga lima aja, Mas
PB : (pergi)
PJ : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes iki, Mas.
26. DT 26 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.30 WIB
PJ : Belum dapat, Mbak.
PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?
(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)
PJ : Hah?
PB : Sepuluh
PJ : Walaupun ditawar sampai berapapun harganya tetap segitu, Mbak. Kalau
sama juragannya bisa tawar-menawar! (mengejek)
PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki
sepuluh ewu! (memaksa)
(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini
sepuluh ribu)
PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya segitu.
PB : Piro iki?
(Berapa ini?)
PJ : Seratus empat puluh lima
PB : Gak dikorting?
(Tidak dikurangi harganya??
PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal
PB : Satus petang puluh lah, Pak?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
253
(Seratus empat puluhlah, Pak?)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB : (pergi)
PJ : Ya udah sini.
27. DT 27 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.37 WIB
PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih kabeh ngono?
(Yang hitam semua seperti ini ada? Putih semua begitu?)
PJ : Putihe namung kalih, Pak
(Putihnya hanya dua)
PB : Podo ukurane, Bu?
(Sama ukurannya?)
PJ : Inggih sami
28. DT 28 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.39 WIB
PB : Umur lima tahun
PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur limang taun kok. Iki delokken sik. Ora
diwolak-walik, Le. (nada keras)
(Ya benar yang itu tadi. Umur lima tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan
dibolak-balik)
PB : Berapa ini?
PJ : Papat lima. Tak golekne werna liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.
(Empat puluh lima ribu. Saya carikan warna lainnya. Adanya ini. Ini
warnanya)
PB : Dua lima ya, Bu?
PJ : Telung puluh ya?
(Tiga puluh ribu ya?)
PB : Dua lima aja ya?
PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem taun ya iso. Ben ora keciliken
mengko. Nyoh ngko ndak lali!
(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan
nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
254
29. DT 29 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.41 WIB
PB : Enem tahun
(Enam tahun)
PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih cekapan. Nek kaliten kadose mboten.
(Enam tahun kalau anaknya besar ya cukup. Kalau kekecilan sepertinya
tidak)
PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?
(Yang lainnya yang kecil sidikit ada tidak?)
PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku tigang ndoso.
(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)
PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?
(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)
PJ : Sami
(Sama)
PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?
(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)
PJ : Niku sewidak kalih niku seket. Dadine satus sepuluh.
(Itu enam puluh ribu sama yang itu lima puluh ribu. Jadinya seratus
sepuluh)
PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!
(O seratus sepuluh. Seratus ya!)
PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek kathok tok inggih angsal.
(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau celana saja ya boleh)
PB : Satus ya, Bu?
(Seratus ya?)
PJ : Saestu, Pak
(Benar, Pak)
PB : Bathine lho wis akeh!
(Keuntungannya lho sudah banyak!)
PJ : Saestu sampun mirah niki
(Benar sudah murah ini)
30. DT 30 Pedagang Gantungan Kunci
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.46 WIB
PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?
PJ : O ya belum dapat, Le.
PB : Bolehnya berapa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
255
PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?
PB : (melihat-lihat gantungan kunci)
PJ : Mau beli yang mana tak ambilin! Mau beli gak? Kok dicampur-campur!
(kasar sambil marah-marah)
PB : (pergi)
31. DT 31 Pedagang Daster
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.58 WIB
PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah, satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?
Carikan! Iki sayang ya tiga perempat. Elek iki!
(Yang lengannya panjang seperti ini. Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau
atau merah muda? Carikan! Ini sayang ya tiga perempat. Jelek ini!)
PJ : Iya tiga perempat
PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus ya? Ini besar ya?
(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau empat, seratus ya? Ini besar ya?)
PJ : Iya besar, Bu.
PB : Papat, satus ya, Mas?
(Empat, seratus ya?)
PJ : Belum boleh, Bu.
PB : Pas‟e piro?
(Pasnya berapa?)
PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau mau ya tak bungkus, kalau gak ya sudah!
PB : (pergi)
32. DT 32 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.04 WIB
PB : Ini berapa?
PJ : Empat puluh
PB : Gambare mana lagi?
PJ : Gambarnya ini aja!
PB : Gambar ceweknya gak ono?
PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya beda, Bu!
PB : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho (merengek)
PJ : Yang L ya?
PB : Iya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
256
33. DT 33 Pedagang Kaos Dagadu Jogja
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.21 WIB
PB : Ini berapa ini? Sama ya?
PJ : Ini dua lima
PB : Yowes ini aja L. Ndak mau merah katane, Pak.
(Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah katanya, Pak)
PJ : Sudah?
PB : Jangan sama.
PJ : Gambarnya pit onthel?
PB : Ini-ini?
PJ : Sama
PB : Ini XXL, Pak?
PJ : Iya, Mbak.
PB : Warna lain?
PJ : Warna lain cokelat.
34. DT 34 Pedagang Gelang
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.27 WIB
PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau pakai ini bagus.
PB : Empat tahun bisa gak?
PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK
juga, Mbak.
PB : Iya. Berapa?
PJ : Empat lima aja!
PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal soalnya! (kemudian pergi)
35. DT 35 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.28 WIB
PJ : Sekawan?
(Empat?)
PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki.
(Ya empat tahun yang sama ini)
PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak.
(Empat tahun kan? Seperti ini, Pak)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
257
PB : Warnane?
(Warnanya?)
PJ : Nggih namung niki warnane.
(Ya hanya ini warnanya)
PB : Model iki ra ono?
(Model ini tidak ada?)
PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten niki.
(Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini)
PB : Piro iki?
(Berapa ini?)
PJ : Sami mawon
(Sama saja)
PB : Seket to, Bu?
(Lima puluh kan?)
PJ : Nggih mboten napa-napa.
(Ya sudah tidak apa-apa)
PB : Lha iyo to?
(Lha iya kan?)
PJ : Nggih, Pak.
(Iya, Pak)
36. DT 36 Pedagang Gantungan Kunci
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.33 WIB
PJ : Ini warna-warni
PB : Ini berapa?
PJ : Dua puluh ribu
PB : Sepuluh
PJ : Kalau harganya pas tadinya dua lima. Gini aja deh, dua, dua lima.
PB : Sepuluh ya, Bu?
PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.
PB : Sepuluh ya?
PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis. Harga-harga mepet itu.
PB : Tiga, tiga puluh gak boleh?
PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas setengah kali tiga jadinya tiga tujuh
setengah.
PB : Tiga, tiga puluh ya?
PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang. Kalau tidak ya sudah. Sudah pas.
Sudah murah.
PB : (pergi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
258
37. DT 37 Pedagang Baju
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.36 WIB
PB : Setelan cah cilik?
(Atas bawah anak kecil?)
PJ : Umur pinten?
(Umur berapa?)
PB : Limang tahun
(Lima tahun)
PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten, Bu?
(Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)
PB : Yo lumayan.
(Ya lumayan)
PJ : Sak menten?
(Ini?)
PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu.
(Lengan panjang, buat mengaji, Bu)
PJ : O lengen panjang? Mboten wonten nek lengen panjang. Njenengan tindak
mawon dateng toko (mengejek)
(O lengan panjang? Tidak ada kalau lengan panjang. Anda pergi ke toko
saja).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
259
LAMPIRAN 2
TABULASI DAN TRIANGULASI DATA
TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR
MALIOBORO YOGYAKARTA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
260
TABULASI DAN TRIANGULASI
DATA TUTURAN PEDAGANG “PERKO” TROTOAR MALIOBORO YOGYAKARTA
Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator yang
dipercaya untuk memeriksa data peneliti adalah penyidik yang memiliki kemampuan dalam bidang sosiopragmatik, yakni Dr. B. Widharyanto, M.Pd.
Rumusan Masalah :
Masalah umum penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pedagang “perko” trotoar Malioboro Yogyakarta? Masalah umum ini
kemudian dirinci dalam dua sub masalah berikut ini.
3) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa penjual di trotoar Malioboro Yogyakarta?
4) Bagaimanakah tingkat kesantunan berbahasa pembeli di trotoar Malioboro Yogyakarta?
Perintah :
Triangulator diminta untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Kemudian triangulator
memberikan justifikasi berupa pernyataan setuju atau tidak setuju pada kolom yang telah disediakan oleh peneliti.
Kriteria :
Santun :
U-R : Skala Untung Rugi : Penutur menguntungkan mitra tutur.
S-P : Skala Pilihan : Penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur dapat memilih.
S-KL : Skala Ketidaklangsungan : Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat tidak langsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
261
Tidak Santun :
U-R : Skala Untung Rugi : Penutur merugikan mitra tutur.
S-P : Skala Pilihan : Penutur tidak memberikan pilihan kepada mitra tutur sehingga mitra tutur tidak dapat memilih.
S-KL : Skala Ketidaklangsungan : Tuturan yang dituturkan oleh penutur bersifat langsung.
Keterangan :
U-R : Skala Untung Rugi S : Santun PJ : Penjual (warna merah)
S-P : Skala Pilihan TS : Tidak Santun PB : Pembeli (warna biru)
S-KL : Skala Ketidaklangsungan
No. Data Konteks
Skala
Kesantunan
Pemakaian Bahasa Justifikasi
Triangulator
S / TS Bahasa Jawa Bahasa
Indonesia PJ PB Ngoko Krama PJ PB
1. PB1 : Warnane sik endi?
(Warnanya yang mana?)
PB2 : Iki yo apik warnane.
(Ini ya bagus warnanya)
PB1 : Ya wis, kabeh loro ya ora popo to.
Sik iki ya? Sik ndeleng warnane, Mas.
(Ya sudah, semuanya dua ya tidak apa-
apa. Yang ini ya? Sebentar lihat
warnanya)
PJ : Ora popo. Senenge warna pink apa ijo?
(Tidak apa-apa. Sukanya warna merah
muda atau hijau?)
PB2 : Putih e...
PJ : Putih?
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.28 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju anak-anak
kepada pembeli. Penutur (penjual)
adalah laki-laki tengah baya
sedangkan mitra tutur (pembeli)
adalah seorang ibu-ibu. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ memberikan
keuntungan kepada PB apabila
tidak cukup boleh ditukarkan.
U-R S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
262
PB1 : Tapi mosok sedeng?
(Tapi apa cukup?)
PJ : Sedeng-sedeng. Lek ra sedeng sesuk
diijolke, Bu.
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup besok
ditukarkan).
Dapat dibuktikan dengan tuturan PJ
yang mengatakan, “Sedeng-sedeng.
Lek ra sedeng sesuk diijolke, Bu”
(Cukup-cukup. Kalau tidak cukup
besok ditukarkan).
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dengan
leluasa terhadap dagangan PJ.
Dapat dibuktikan dengan tuturan
PB yang menandakan bahwa PB
sedang memilih dagangan PJ, “Iki
yo apik warnane. Ya wis, kabeh
loro ya ora popo to. Sik iki ya? Sik
ndeleng warnane, Mas”.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki tengah baya dan “Bu”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang ibu-ibu.
DT 1 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa dan
bahasa Inggris (pink).
2. PB : Berapaan? Nawar ya, Pak?
PJ : Pas, Mbak. Ini sudah pas.
PB : Ya wis iki wae. Gak boleh ditawar
juga kok! (sambil menggerutu)
PJ : Jadiinya tadi dua...
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.54 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
263
PB : Dua ratus sepuluh
PJ : Dua ratus sepuluh sama tiga puluh
delapan.
(PB menyerahkan uang ke PJ)
PJ : Uang kembali...
PB : (PJ menyerahkan uang kembalian ke
PB)
PJ : Ini, makasih ya.
seorang pedagang kaos Dagadu
Jogja kepada pembeli. Penutur
(penjual) adalah orang dewasa
berjenis kelamin laki-laki
sedangkan mitra tutur (pembeli)
adalah seorang wanita muda.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
merugikan PB. Penekanan kata
„pas‟ menandakan bahwa PB tidak
dapat menawar kembali dagangan
PJ. Sehingga muncul tanggapan PB
yang sedikit marah.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB memperlihatkan
rasa kecewa dan merasa dirugikan
terhadap tuturan PJ sehingga dapat
dilihat dari tuturannya, PB terlihat
marah. Seharusnya walaupun PB
merasa kecewa atau dirugikan tidak
berkata demikian.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki dewasa dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang wanita tengah
baya.
DT 2 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
264
dan bahasa Jawa (ya wis iki
wae).
3. PJ1 : ....telu, papat, lima, enem. Tak lebokke
wae nyoh. Kaose enem, Pak. Arek enem
arek piro?
(...tiga, empat, lima, enam. Saya
masukkan saja. Kaosnya enam, Pak. Ini
enam mau berapa?)
PB1 : Hah?
PJ1 : Arek enem arek piro to kaose?
(Mau berapa kaosnya?)
PB1 : Eee... Hooh sing kuwi loro.
(Eee... Iya yang itu dua)
PJ2 : Sing endi? Oren?
(Yang mana? Jingga?)
PB1 : Sing ngene iki piro?
(Yang begini ini berapa?)
PJ1 : Telu lima
(Tiga lima)
PB1 : Ki telungatus pas ya?
(Ini tiga ratus pas ya?)
PJ1 : Tombok yo ora popo. Iki lho regane
larang. Iki lho, sampeyan ojo
dibukaki. Aku wegah nglebokke. Iki-
iki XL, XL sakmeneki (sambil marah-
marah)
(Nambah ya tidak apa-apa. Ini lho
harganya mahal. Ini lho, Anda jangan
dibuka-buka. Saya tidak mau
memasukkan. Ini XL, XL segini)
PB1 : Ndelok gambare aku.
(Lihat gambarnya aku)
PJ1 : Lebokke dewe ya. Lebokke dewe ya.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 13.55 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos dagadu
kepada pembeli. Data diambil dari
dua penutur dan dua mitra tutur.
Keduanya saling tawar-menawar.
Penutur adalah laki-laki dewasa dan
wanita dewasa, sedangkan mitra
tutur adalah sama-sama wanita
muda. Tuturan di atas
memperlihatkan bahwa PB
dirugikan oleh tuturan PJ. Terlihat
pada tuturan PJ yang kasar kepada
PB sehingga tuturan tersebut sangat
merugikan PB. Tuturan yang tidak
sopan juga terlihat dari kata-kata
„sampeyan‟ lalu ngoko.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB memaksa PJ.
Sapaan: “Pak dan Bu”
digunakan sebagai sapaan
penutur (penjual) yang notabene
adalah seorang laki-laki dewasa
dan wanita dewasa dan “Mbak
dan Bu” digunakan sebagai
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
265
Kesel aku.
(Masukkan sendiri ya. Masukkan
sendiri ya. Capek saya)
PB1 : Iki ijol iki ya, Bu. Pun, Pak.
(Ini tukar yang ini ya, Bu. Sudah, Pak)
PJ1 : Wis?
(Sudah)
PJ2 : Piro iki piro? Hah?
(Berapa ini berapa? Hah?)
PB1 : Enam, pitu
(Enam, tujuh)
PJ1 : Lha iki bordire dua. Bordire dua kok ya.
Satu, dua, tiga, empat, lima ya?
(Lha ini bordirnya dua)
PB2 : Enem, pitu niku lho!
(Enam, tuju itu lho!)
PJ1 : Seratus. Iki mau seratus empat puluh.
(Seratus. Ini tadi seratus empat puluh)
PB1 : Lha iyo lima dua ratus to!
(Lha iya lima dua ratus kan!)
PJ1 : Iki bordir, Mbak (jengkel)
(Ini bordir, Mbak)
PJ2 : Bordir bedo! (nada keras)
(Bordir beda!)
PB1 : Tambahi piro to?
(Tambah berapa?)
PJ1 : Ya wis ngene wae, tambahi lima ewu
wae.
(Ya sudah begini saja, tambah lima ribu
saja)
PB1 : 2.000 ya?
PJ1 : Ya Allah...
PB1 : Pun niki (sambil merengek)
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah seorang
wanita muda dan wanita
dewasa.
DT 3 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa dan
bahasa Inggris (pink).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
266
(Sudah ini)
PJ1 : Ora entuk, bordir kok iki. Nek sablon
wae ya ra masalah. Kudune 70, gur 65.
Tujuh ya kabehe. Tujuh ya, Mbak.
(Tidak dapat, bordir ini. Kalau sablon
saja tidak masalah. Harusnya 70, hanya
65. Tujuh ya semuanya. Tujuh ya,
Mbak)
PB1 : Iya. Enem wae susuk lima ribu
(Iya. Enam saja kembalian lima ribu)
PB2: Mbok sing selawe loro to, Buk, Buk.
Iya, Buk? Selawe loro. Pisan selawe
loro. Tuku neng kene pisan kok
(sambil marah-marah)
(Yang dua puluh lima ribu, dua ya, Bu,
Bu. Iya, Bu? Dua puluh lima ribu, dua.
Beli di di sini sekali saja kok).
PJ1 : Lima ya. Sing iki lima ya. Bordire loro.
Dadine pitu.
(Lima ya. Yang ini lima ya. Bordirnya
dua. Jadinya tuju)
PB2 : Lha iyo tambah sing selawe loro!
(Lha iya tambah yang dua puluh lima
ribuan dua)
PJ1 : Selawe loro ya urung enek to (jengkel)
(Dua puluh lima ribu dua ya belum ada)
PJ2 : Selawe loro, sing ngene no!
(Dua puluh lima ribuan yang seperti
ini!)
PB2: Lha iyo sing murah niku lho selawe
loro. Aku njaluk gak sing apik. Sing
murah mawon. Selawe loro, nambahi
20.000 karekkan. Kono lho warna pink
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
267
apa ndek kono ukuran L (marah-
marah dan sedikit memaksa)
(Lha iya yang murah itu lho dua puluh
lima ribuan dua. Saya minta tidak yang
bagus. Yang murah saja. Dua puluh
lima ribuan dua, ditambah 20.000 saja.
Sana itu warna merah muda atau yang
di situ ukuran L)
PB1 : Ngge langganan lho, Pak.
(Buat langganan, Pak)
PJ1 : Ngge langganan nek selawe loro ra ono
saiki. Paling titik limolas mbuh gedhe
cilik tak kek‟i.
(Buat langganan kalau dua puluh lima
ribu dua tidak ada sekarang. Paling
sedikit lima belas, baik besar kecil
saya berikan)
PB2 : Ukuran L, njaluk ukuran L.
(Ukuran L, minta ukuran L)
PJ2 : L dewasa to kuwi?
(L dewasa kan itu?)
PB2 : L sak aku, Pak.
(L ukuran saya, Pak)
PJ2 : Ya ra entuk!
(Ya tidak dapat!)
PJ1 : Nyoh. Wis tas‟e, Pak?
(Ini. Sudah tasnya, Pak?)
PB1 : Wis, makasih
(Sudah, terima kasih)
4. PJ : Tiga puluh ya?
PB : Nawar dua lima, Bu.
PJ : Ya wis, oke-oke, Dik.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.11 WIB
U-R S-KL S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
268
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah ibu-ibu
sedangkan mitra tutur adalah anak
remaja yang berjenis kelamin
perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ memberikan
keuntungan kepada PB dengan
memberikan dagangannya sesuai
dengan penawaran PB. Jadi tuturan
ini termasuk dalam tuturan yang
santun karena menguntungkan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB secara langsung
menawar tanpa adanya komunikasi
yang dibangun sebelumnya.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang ibu-ibu
dan “Dik” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah seorang
anak remaja yang berjenis
kelamin perempuan.
DT 4 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (ya wis, oke-
oke).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
269
5. PJ : Nilon soalnya, Mbak. Benangnya nilon
soalnya. Kalau yang itu lima belas, yang
HP.
PB1: Tas yang kayak gini berapa, Mbak?
(Tas yang seperti ini berapa?)
PJ : Empat lima
PB2 : Kalau ini berapa?
PJ : Delapan puluh
PJ : Wo survei harga kok, Mbak’e ki !
(menyindir)
(PB1 dan PB2 pergi)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.14 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang tas kepada
pembeli. Penutur dan mitra tutur
sama-sama wanita tengah baya.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ sangat tidak sopan dan
sangat merugikan PB sehingga PB
langsung pergi setelah mendengar
tuturan PJ. Tuturan PJ juga terlihat
kasar dengan gaya menyindir.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dan
menanyakan harga dari dagangan
PJ.
Sapaan: “Mbak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
dan mitra tutur (pembeli) yang
notabene adalah sama-sama
seorang wanita tengah baya.
DT 5 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (Wo survei
harga kok, Mbak‟e ki !).
U-R S-P TS
Setuju
S
Setuju
6. PJ : Ini boleh tiga puluh lima. Yang satu,
dua, tiga ini.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
S-P U-R S
S
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
270
PB : Ini?
PJ : Itu mahal itu.
PB : Ini gak boleh dua lima?
(Ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Itu enam puluhan, Mbak. Enam puluh-
tujuh puluh harganya.
PB : Mahal ya
PJ : Memang mahal. Sik murah yang itu tadi
tiga limaan.
(Memang mahal. Yang murah yang itu
tadi tiga puluh lima ribuan)
PB : Yang ini gak boleh dua lima?
(Yang ini tidak boleh dua puluh lima?)
PJ : Yang itu aja, Mbak tiga puluh lima
boleh. Itu lima puluhan ke atas
hargane.
(Yang itu saja, Mbak tiga puluh lima
boleh. Itu lima puluh ribuan ke atas
harganya)
PB : Nanti ambilnya dua (merayu)
PJ : Iya. Diambil semuanya aja, Mbak
PB : Yah...
PJ : Memang mahal. Banyak pilihane itu
tiga lima. Yang ini seratus dua puluh.
Cowok cewek bisa.
(Memang mahal. Banyak pilihannya itu
yang tiga puluh lima ribu)
PB : Ini berapa?
PJ : Itu sembilan puluh
PB : Ini?
PJ : Itu sembilan puluh sama. Iki sik
paling murah. Satu, dua, tiga, tiga
limaan. Tinggal pilih, Mbak’e.
Pukul : 15.18 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang dompet kepada
pembeli. Penutur adalah orang
dewasa berjenis perempuan,
sedangkan mitra tutur adalah
wanita tengah baya. PJ dan PB
sama-sama berjenis kelamin
perempuan. Hanya usia saja yang
membedakan di antara keduanya.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
sedang memberikan pilihan-pilihan
atas dagangannya kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB sedikit merayu PJ dan
hal tersebut dapat menguntungkan
mitra tuturnya.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang wanita
dewasa dan “Mbak” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
seorang wanita tengah baya.
DT 6 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (Iki sik paling
murah. Satu, dua, tiga, tiga
limaan).
Setuju Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
271
(Itu sembilan puluh sama. Ini yang
paling murah. Satu, dua, tiga, tiga puluh
lima ribuan. Tinggal pilih, Mbaknya)
PB : Yang mana, Bu?
PJ : Itu. Satu, dua, tiga.
7. PJ : Ini maksudnya gimana?
PB : Yang warna biru.
PJ : Ini campur-campur gitu?
PB : Iya, pengennya gitu.
PJ : Dah ini. Ini lima ribu gak boleh kurang.
Ini dua puluh.
PB : Hah? (kaget)
PJ : Lha berapa? Ini gak boleh kurang lho!
PB : Lima ribu, tujuh setengah, tujuh belas.
PJ : Pinter nawar e.
(Pintar menawar ya)
PB : Tujuh belas.
PJ : Ini, Mbak lima belas, ini lima ribu.
PB : Emoh (merengek)
(Tidak mau)
PJ : Dua ribu lagi
PB : Dua ribu?
PJ : Ini baru enam belas.
PB : Kan tujuh belas. Ini kan enam belas.
Kurang seribu, Pak. (nada tinggi)
PJ : Dua ribu!
PB : Seribu! (memaksa)
PJ : Ya udah ga papa
(Ya sudah tidak apa-apa)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.22 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang gantungan kunci
kepada pembeli. Penutur (penjual)
adalah orang dewasa berjenis
kelamin laki-laki sedangkan mitra
tutur (pembeli) adalah anak remaja
yang berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa PB
sangat pandai menawar sehingga PJ
tidak sanggup lagi untuk
menyangkal tawaran harga dari PB
dan pada akhirnya PJ menyetujui
hasil tawaran dari PB. Hal tersebut
menandakan bahwa tuturan PJ
menguntungkan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB menawar dagangan PJ
dengan memaksa sehingga hal
tersebut merugikan PJ walaupun PJ
tetap memberikan dagangannya
U-R U-R S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
272
kepada PB.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah orang
dewasa yang berjenis kelamin
laki-laki dan “Mbak” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
anak remaja yang berjenis
kelamin perempuan.
DT 7 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (Pinter nawar
e).
8. PB : Mosok wernane kayak gini. Gak enek
sing L?
(Masak warnanya seperti ini. Tidak ada
yang L?)
PJ : Ora enek. Gak ada.
(Tidak ada. Tidak ada)
PB : Terus tak tukokne warna opo yo?
(Terus saya belikan warna apa ya?)
PJ : Terima kasih. Matur suwun (penjual
kepada pembeli lain)
(Terima kasih. Terima kasih)
PB : Lha iki aku werno opo?
(Ini saya warna apa?)
PJ : Sing biru iki wae. Biru iki lho.
(Yang biru ini saja. Biru ini lho)
PB : Endi?
(Mana?)
PJ : Iku lho.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.32 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos Dagadu
Jogja kepada pembeli. Penutur
(penjual) adalah laki-laki tengah
baya sedangkan mitra tutur
(pembeli) adalah anak remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
memberikan pilihan-pilihan warna
kaos kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
S-P U-R S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
273
(Ini lho)
PB : Elik iki birune.
(Jelek ini birunya)
PJ : Putih, item
(Putih, hitam)
PB : Putihe koyok ngopo?
(Putihnya seperti apa?)
PJ : Putihe sing neng ngisor.
(Putihnya yang di bawah)
PB : Tapi bedo motif. Ya sing iki golekke
sing L.
(Tapi beda motif. Ya yang ini carikan
yang L)
PJ : Harus itu? L putih?
PB : Ndang, Mas golekke iki sik!
(memaksa)
(Cepat, Mas carikan ini dulu!)
PJ : Putihe gak ada. Putihe uduk L. Kuwi M
lho. Sing ngisor kuwi S e.
(Putihnya tidak ada. Putihnya bukan L.
Itu M lho. Yang bawah itu S)
PB : Tak berantakke, Mas.
(Saya buat berantak, Mas)
PJ : Ora popo, Mbak, santai wae. Iki bene
kene. Sing iku tulung-tulung.
(Tidak apa-apa, Mbak, santai saja. Ini
biar di sini. Yang itu tolong-tolong)
PB : Sing iki pasangane enek ora?
(Yang ini pasangannya ada tidak?)
PJ : Iki tulisane Jogja.
(Ini tulisannya Jogja)
karena tuturan PB terlihat tidak
sopan dan sedikit memaksa.
Penekanan kata „ndang‟ inilah yang
dirasa mempengaruhi kalimatnya
menjadi kurang sopan. Jadi terlihat
menyuruh dengan sedikit memaksa.
Alangkah baiknya apabila tuturan
PB diubah menjadi, “Tolong, saya
dicarikan yang ini dulu, Mas”
dalam bahasa Jawanya, “Tulung,
aku digolekke sing iki dhisik, Mas”.
Penekanan kata „ndang‟ diganti
dengan kata „tolong‟ sehingga
terlihat sopan.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah laki-laki
tengah baya dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah remaja yang berjenis
kelamin perempuan.
DT 8 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia (Terima kasih.
Matur suwun, Ora enek. Gak
ada).
9. PB : Mas yang ini panjangnya gak ada ya? Tuturan terjadi pada: S-P S-P TS TS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
274
PJ : Panjangnya gak ada.
PB : Ra ono, Mas?
(Tidak ada, Mas?)
PJ : Ya?
PB : Sing abang?
(Yang merah?)
PJ : Sing abang tugunya gak ada.
(Yang merah gambar tugunya tidak
ada)
PB : Iki apa iki?
(Ini apa ini?)
PJ : Ini XLnya
PB : Tugune ra enek?
(Gambar tugunya tidak ada?)
PJ : Gak ada e, Ibu.
(Tidak ada, Ibu)
PB : Merah?
PJ : Itu L
PB : XL warnane opo wae? Modele?
(XL warnanya apa saja? Modelnya?)
PJ : Cream, kuning, biru.
PB : Iki ngisor?
(Ini yang bawah?)
PJ : Orange
(Jingga)
PB : Iki?
(Ini?)
PJ : Orange
(Jingga)
PB : Gak ada ini?
(Tidak ada ini?)
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.41 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos Dagadu
Jogja kepada pembeli. Penutur
(penjual) adalah laki-laki tengah
baya sedangkan mitra tutur
(pembeli) adalah seorang ibu-ibu.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
tidak dapat memberikan pilihan-
pilihan-pilihan kaos kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB tidak dapat memilih
dagangan PJ.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah laki-laki
tengah baya dan “Ibu”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang ibu-ibu.
DT 9 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa, bahasa
Indonesia, dan bahasa Inggris
(cream, orange).
Setuju
Setuju
10. PB : Pinten, Mbak ngeten niki? Tuturan terjadi pada: U-R S-KL TS S
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
275
(Berapa, Mbak ini?)
PJ : Empat puluh lima
PB : Warnane napa? Pas’e piro, Mbak?
(Warnanya apa? Pasnya berapa, Mbak?)
PJ : Pasnya empat puluh
PB : Ora selawe to, Mbak? Iki kaos to?
(sambil memegang pakaiannya)
(Tidak dua puluh lima ribu, Mbak? Ini
kaos ya?)
PJ : Iya. Bahannya sama semua, Bu.
PB : Telung puluh ya, Mbak?
(Tiga puluh ya, Mbak?)
PJ : Ndak boleh
(Tidak boleh)
PB : Ya sudah, makasih.
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.44 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos Dagadu
Jogja kepada pembeli. Penutur
(penjual) adalah seorang wanita
yang masih muda sedangkan mitra
tutur (pembeli) adalah seorang ibu-
ibu. Tuturan ini menandakan bahwa
PJ memberikan harga pas kepada
PB sehingga PB menawar pun tetap
tidak diberikan. Hal tersebut dirasa
merugikan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak secara langsung
menawar harga dagangan PJ. PB
bertanya mengenai warna dahulu,
baru menawar harga pasnya.
Sapaan: “Mbak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah wanita
yang masih muda dan “Bu”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang ibu-ibu.
DT 10 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
Setuju
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
276
11. PJ : Ini aja. Kalau kecil ini, Mbak.
PB : Ini?
PJ : Enam lima. Berapa?
PB : Tiga puluh
PJ : Ambil berapa biji?
PB : Satu, Pak.
PJ : Udah empat puluh ya?
PB : Emoh. Tiga puluh.
(Tidak mau. Tiga puluh)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB : Emoh
(Tidak mau)
PJ : Ya udah.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Minggu, 16 Maret 2014
Pukul : 15.48 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang daster kepada
pembeli. PJ adalah laki-laki dewasa
dan PB adalah wanita muda yang
berhijab. PB menawar setengah
harga lebih dari yang ditawarkan
oleh PJ. PJ mencoba untuk
menurunkan harga tawarannya
akan tetapi PB tetap pada harga
tawarannya. Akhirnya PJ
memberikan harga tawaran PB. Hal
ini dipandang sebagai tuturan yang
santun karena menguntungkan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena dengan penekanan kata
„emoh‟, PB terlihat sedikit
memaksa untuk mendapatkan harga
penawarannya sehingga PJ tidak
dapat menolak tawaran harga PB.
Hal tersebut dinilai bahwa PB
merugikan PJ.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah laki-laki
dewasa dan “Mbak” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
U-R U-R S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
277
(pembeli) yang notabene adalah
seorang wanita muda.
DT 11 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (emoh).
12. PB : Piro iki, Bu?
(Berapa ini?)
PJ : Lima belas mawon. Mbak, niki
uangnya mboten wonten sing pas
mawon?
(Lima belas ribu saja. Mbak, ini
uangnya tidak ada yang pas saja?)
Niki, Mbak (sambil menyerahkan
barang)
(Ini, Mbak)
PB : Yo (menjawab singkat dan langsung
pergi)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 16.53 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah ibu-ibu
sedangkan mitra tutur adalah
wanita tengah baya. Data 12 ini
menunjukkan bahwa tuturan PJ
bersifat tidak langsung. PJ bertanya
dahulu kepada PB apakah ada uang
yang pas saja sebelum
menyerahkan barang dagangan
kepada PB. Penggunaan bahasa
krama pada tuturan PJ ini
menjadikan tuturan yang diucapkan
terlihat sopan, sehingga tuturan PJ
dinilai sebagai tuturan yang santun.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB menjawab secara
langsung dan singkat. Penekanan
kata „yo‟ sepertinya dirasa kurang
sopan. Sebenarnya kata „yo‟ baik
digunakan apabila diikuti dengan
S-KL S-KL S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
278
ucapan „terima kasih‟ itu akan
terlihat lebih sopan.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah wanita dewasa
dan “Mbak” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah seorang
wanita tengah baya.
DT 12 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia (uangnya).
13. PB : Ini double?
PJ : Ini double XL
PB : Adiknya ini satu. Apa lihat dulu ya?
PJ : Ini ada yang XL?
PB : XL, M, L. Ini masih kebesaran ya buat
mamas?
PJ : Berapa tahun? Laki-laki ya?
PB : Tiga tahun, ya laki-laki
PJ : Ini ukuran L dan M
PB : Ini kembaran aja deh sama yang merah
tadi. Ini double XLnya yang merah coba.
PJ : Desainnya sama?
PB : Ini tadi kan?
PJ : Ini L
PB : Double XLnya berarti yang kuning
ini kan? Iya, tapi yang merah. Ini
double XL kan?
PJ : Iya. Yang kayak gini juga
PB : Ini double XL kan? Iya, ini satu, ini
satu. Berarti ini tiga limaan.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.02 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah wanita
tengah baya sedangkan mitra tutur
adalah wanita dewasa. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ memberikan
pilihan-pilihan ukuran kaosnya
kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan
PJ.
Sapaan: “Mbak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
S-P S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
279
PJ : Iya
PB : Ini satu. Ini tadi yang paling besar apa?
PJ : L
PB : L ya. Ini bagus ya? Ijo ini ada, Mbak
yang L?
PJ : Itu sama, Mbak ukurannya.
PB : Double XLnya gak ada?
PJ : Paling besar L. Kalo anak-anak
paling besar double XL. M couple gak
ada. Adanya M single. M single yang
ini, ini, sama yang ini.
PB : Ini yang L coba, Mbak. Yang paling
gede itu satu. Jadi apa lagi ya? Yang ini
gambarnya apa?
PJ : Gambarnya sama
PB : Coba buka aja gambarnya apa.
PJ : Ukurannya apa, Mbak?
PB : Yang L juga.
PJ : Yang ini?
PB : Iya. Empat ya? Dua, delapan puluh,
dua, tujuh puluh ya. Berarti berapa ya?
PJ : Jadinya 150
PB : Aku kepengen kembaran sama anak-
anakku nih yang merah.
PJ : Tapi ini yang paling besar ukurannya L.
PB : Bahannya bagus ya. Kayaknya mending
cowok ya, yang maksudnya ukurannya.
PJ : Kalo cowok nanti gambarnya lain.
PB : Kurang gede, Mbak ini. Terlalu
ngepres.
PJ : Berarti yang gambarnya cowok?
PB : Itu ukurannya apa? Ya udah itu aja.
dan mitra tutur (pembeli) yang
notabene sama-sama adalah
wanita tengah baya.
DT 13 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia,
bahasa Jawa, dan bahasa Inggris
(couple, single, double).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
280
14. PB : Empat puluh ya?
PJ : (langsung menganggukkan kepala
sebagai tanda setuju)
PB : Berarti sama ya ini?
PJ : Beda, Bu
PB : Untuk bapak-bapak ndak ada yang
paling besar ini, Bu?
PJ : (menunjukkan bajunya)
PB : Ini paling gede?
PJ : Iya L
PB : Ini paling besar sudah? Ndak ada yang
lain-lain? Berapa ini? Sama?
PJ : Kalau itu beda e harganya, lima
puluh yang itu, (sambil tertawa
mengejek)
PB : Harusnya samalah! (nada memaksa
dan langsung pergi)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.11 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur dan mitra tutur
sama-sama adalah wanita dewasa.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
merugikan diri mitra tuturnya, hal
itu terlihat pada tuturannya yang
mengejek PB sehingga PB terkesan
marah dan langsung pergi.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun.
Selain marah karena tuturan dari PJ
yang mengejek, tuturan PB juga
terlihat memaksakan PJ untuk
menyamakan harga dagangannya.
Hal itu dinilai merugikan mitra
tuturnya.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) dan
pembeli yang notabene sama-
sama seorang wanita dewasa.
DT 14 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
15. PB : Mas, ini sepasang ya?
PJ : Iya, Dik.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
U-R U-R TS
TS
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
281
PB : Ini tadi dua berapa?
PJ : Tujuh puluh
PB : Dua, empat puluh, Mas.
PJ : Gak boleh!
PB : Ya ampun, Mas’e ki lho jan-jan
(sambil menggerutu dan langsung
pergi)
Pukul : 17.14 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki tengah baya sedangkan
mitra tutur adalah seorang remaja
yang berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ merugikan PB. Terlihat
dari tanggapan PB yang
menggerutu. Hal ini dikarenakan
tuturan PJ yang dirasa kurang
sopan. Alangkah baiknya apabila
kata „gak boleh‟ diganti dengan
kata „maaf, belum boleh‟ sehingga
dapat terlihat lebih sopan.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB terlihat seperti
memberikan penilaian terhadap diri
PJ yang kurang baik. Hal ini dapat
dilihat pada tekanan kata „jan jan‟
yang seolah-olah PJ terlihat tidak
baik. Tuturan yang diucapkan PB
ini terlihat karena PB juga merasa
dirugikan oleh tuturan PJ yang
sebelumnya.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
Setuju Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
282
laki-laki tengah baya dan “Dik”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
DT 15 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (Mas‟e ki lho).
16. PB : Dua puluh ribu aja ya, Pak?
PJ : Pas tiga puluh!
PB : Aaaahhh, Pak’e iki lho (sambil
merengek)
PJ : Sudah pas, Mbak ini (sambil
membungkus). Makasih.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.17 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang celana kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
pria dewasa (bapak-bapak)
sedangkan mitra tutur adalah
seorang remaja yang berjenis
kelamin perempuan. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ sudah
memberikan harga pas pada
dagangannya sehingga PB tidak
dapat menawar kembali dagangan
PJ. Hal ini dinilai merugikan PB
(terlihat dari tanggapan PB).
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB dirasa tidak
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
283
pantas digunakan dalam konteks
jual beli. Ditambah dengan nada
merengek yang dirasa kurang
sopan.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
pria dewasa dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
DT 16 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (Pak‟e iki lho).
17. PB : Dikurangi ya, Bu?
PJ : Ya coba aja di tempat lain, Dik.
PB : Lima puluh?
PJ : Tambah dua ribu lima ratus
PB : Iya dua ribu, gak ada lima ratusan
PJ : Iyo wes gak apa-apa.
(Iya sudah, tidak apa-apa)
PB : Suwun
(Terima kasih)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.22 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang tas kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ bersifat tidak langsung.
PJ tidak langsung memberikan
harga pas kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
S-KL U-R S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
284
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB menguntungkan PJ
dengan menyetujui dan menambah
uang.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang wanita
dewasa dan “Dik” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
seorang remaja yang berjenis
kelamin perempuan.
DT 17 menggunakan alih kode,
yakni dari bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa.
18. PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Pas aja dua belas ribu
PB : Dua belas ribu? Sepuluh aja.
PJ : Belum boleh. Sudah murah, dua
belas aja. Kalo beli dua, dua puluh
tiga ribu aja. Yang mana? Jadi satu
kan, Dik? (sambil memasukkan
barang ke kantong plastik)
PJ : Makasih ya.
PB : Sami-sami, Pak.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.23 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang sandal kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
memberikan keuntungan kepada
PB dengan mengurangi harganya
apabila membeli 2 sandal.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
U-R S-KL S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
285
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak secara langsung
menawar harga dagangan PJ.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki dewasa dan “Dik”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
DT 18 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (sami-sami,
Pak).
19. PJ : Ini empat puluh Dik yang besar, kalo
yang kecil tiga lima. Bisa kurang Dek.
Bisa kurang sedikit.
PB : Yang besar tiga lima ya, Bu?
PJ : (mengangguk) Sing mana? Biru iki? Ini
kembaliannya. Makasih ya, Dik.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.24 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang remaja yang
berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
memberikan pilihan kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
S-P U-R S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
286
karena PB menguntungkan PJ
dengan harga tawaran PB.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang wanita
dewasa dan “Dik” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
seorang remaja yang berjenis
kelamin perempuan.
DT 19 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa Ngoko (sing
mana dan biru iki).
20. PB : Tiga delapan (38), tiga tujuh (37).
Atau yang model gini?
PJ : Tiga delapan (38). Ya, ada lagi?
PB : Model ini?
PJ : Gak ada, tinggal satu e, Mbak.
PB : Ini tiga tujuh (37) ada, Pak?
PJ : Ini tapi modelnya beda.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.28 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang sandal kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki dewasa sedangkan mitra
tutur adalah wanita tengah baya.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ bersifat tidak langsung.
PJ menanggapi tuturan dari si PJ.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan
PJ.
S-KL S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
287
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki dewasa dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah wanita tengah baya.
DT 20 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
21. PJ : Satus seket sakniki wae. Nek dibetha
repot, tak lepaske namung lebete tok
satus.
(Seratus lima puluh sekarang saja. Kalau
dibawa repot, saya lepaskan tetapi
dalamnya saja seratus)
PB : Mas sing ngono kuwi?
(Mas yang itu berapa?)
PJ : Niki rongatus malah larang. Sing cilik
malah larang.
(Ini dua ratus ribu, mahal. Yang kecil
mahal)
PB : Sing ayat kursi?
(Yang ayat kursi?)
PJ : Lha sing ayat kursi napa sing pundi?
Napa sing nika bentuk semar, Bu?
(Yang ayat kursi apa yang mana? Apa
yang itu bentuk semar?)
PB : Piro?
(Berapa?)
PJ : Kula pun ngeten (menunjukkan tiga jari
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.36 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang pigura kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki tua sedangkan mitra tutur
adalah wanita dewasa. Tuturan ini
menandakan bahwa PJ merugikan
PB. Hal itu terlihat dari tanggapan
tuturan si PB.
PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku
wingi yo wis tuku neng kene
(jengkel)
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB dianggap tidak
sopan. Hal ini mungkin terjadi
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
288
yang menandakan harganya tiga ratus
ribu rupiah)
(Saya sudah begini)
PB : Lha karo ibuke ora nganti ngene
(menunjukkan tiga jari yang menandakan
harganya tiga ratus ribu rupiah)
(Kalau sama ibunya tidak sampai begini)
PJ : Lha nek karo bapake benten
(Kalau sama bapaknya berbeda)
PB : Lho, malah karo bapake luwih murah
dadi ngene (menunjukkan dua jari yang
menandakan harganya dua ratus ribu
rupiah) Piye, Pak? Ora telungatus tapi
rongatus?
(Kalau sama bapaknya lebih murah
jadinya begini. Bagaimana, Pak? Tidak
tiga ratus ribu tetapi dua ratus ribu?)
PJ : Wah dereng nek ngoten
(Wah belum kalau begitu)
PB : Lha ndi Pak barange? Ndelok Pak. Iki
piye Pak dadine? Mung gari siji wae kok
Pak, dadine rongatus.
(Mana Pak barangnya? Lihat Pak. Ini
bagaimana Pak jadinya? Hanya tinggal
satu saja Pak, jadinya dua ratus ribu.
PJ : Telungatus
(Tiga ratus ribu)
PB : Koyok gak tau tuku Pak. Aku wingi
yo wis tuku neng kene! (jengkel)
(Seperti tidak pernah beli saja Pak. Saya
kemarin juga sudah beli di sini!)
akibat tuturan PJ yang merugikan
PB, sehingga PB merasa jengkel
dan bertutur demikian.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki yang sudah tua dan
“Bu” digunakan sebagai sapaan
mitra tutur (pembeli) yang
notabene adalah wanita dewasa.
Dalam penggunaan sapaan,
mitra tutur tidak konsisten
dalam menggunakannya. Hal ini
terlihat pada tuturan yang
awalnya menyapa penjual
(penutur) dengan sapaan Mas,
yang kemudian pada tuturan
selanjutnya menggunakan
sapaan Pak. Penggunaan sapaan
Mas dirasa tidak cocok dengan
usia penjual yang sudah tua.
DT 21 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa Krama
dan bahasa Jawa Ngoko.
22. PB : Yang warnanya biru ada? Tuturan terjadi pada: U-R S-P S S
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
289
PJ : Item sama merah? Adanya ya kayak
gini.
(Hitam sama merah? Adanya ya seperti
ini)
PB : Yang kayak gini, Bu?
(Yang seperti ini, Bu?)
PJ : O sing kuning? Iya. Yang kuning,
Mbak? Nomor berapa, Mbak? 31? 32?
Ini sama ungu ya?
PB : Iya
PJ : Terima kasih.
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.38 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang sandal kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita yang sudah tua sedangkan
mitra tutur adalah seorang remaja
yang berjenis kelamin perempuan.
Tuturan ini menandakan bahwa PJ
memberikan keuntungan kepada
PB dengan memberikan permintaan
PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan
PJ.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang wanita
yang sudah tua dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang remaja putri.
DT 22 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
Setuju
Setuju
23. PB : Dua, dua puluh ya, Bu?
PJ : Dua, empat puluh aja, Mbak.
PB : Yo wis.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Rabu, 19 Maret 2014
Pukul : 17.45 WIB
S-KL S-KL S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
290
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita yang sudah agak tua
sedangkan mitra tutur adalah
seorang wanita tengah baya.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ bersifat tidak langsung.
PJ menanggapi pertanyaan dari PB
yang menawar harga dagangannya.
Kata „Mbak‟ dalam budaya Jawa
juga dirasa sopan untuk
menghormati seseorang yang
tengah kita ajak berkomunikasi.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB secara langsung
menjawab „yo wis‟ terhadap tuturan
PJ. Tuturan „yo wis‟ dinilai kurang
sopan. Alangkah baiknya apabila
kata „yo wis‟ diganti dengan „ya
sudah, terima kasih‟, jadi terlihat
lebih sopan.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang wanita
yang sudah agak tua dan
“Mbak” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah seorang
wanita tengah baya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
291
DT 23 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (yo wis).
24. PB : Ini berapa, Pak?
PJ : Nawar aja bisa.
PB : Ini all size atau apa?
PJ : Iya itu karet kok, jadi all size cuma
beda warnanya aja.
PB : Ada warna lain?
PJ : Sama yang ini cuma di hanger. Kalau
gemuk jumbo tapi harganya lain.
PB : Berapa?
PJ : Tiga puluh lima
PB : Ini aja. Berapa?
PJ : Dua lima. Ini udah yang paling murah
PB : Lima belas ya?
PJ : Bahannya bagus soalnya.
PB : Saya kan beli sepuluh, dua-dua
setengah (22.500) ya?
PJ : Udah murah, Ibu.
PB : Hehe ya ya.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.17 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang wanita
dewasa. Tuturan ini menandakan
bahwa tuturan PJ bersifat tidak
langsung.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB memberikan pilihan
harga penawaran kepada PJ.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki dewasa dan “Ibu”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang wanita dewasa.
DT 24 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris (all size).
S-KL S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
292
25. PB : Berapa ini?
PJ : Empat puluh
PB : Berarti pasnya tiga puluh?
PJ : Tiga puluh gak ada e, Mas.
PB : Kalau pistol ini?
PJ : Delapan lima. Kalau yang ini enam
lima, masih bisa kurang ini.
PB : Udah deh pasnya berapa?
PJ : Ya masnya nawar aja dulu
PB : Nawar tiga puluh, Mbak.
PJ : Tiga lima aja, Mas
PB : (pergi)
PJ : Tambah lima ribu aja ya, Mas. Yowes
iki, Mas.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.24 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang korek api kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita tengah baya sedangkan
mitra tutur adalah seorang laki-laki
tengah baya. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ
memberikan penawaran harga yang
lebih murah kepada PB sehingga
PB dapat memilih.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar
dagangan PJ. PB bertanya terlebih
dahulu mengenai berapa harga
pasnya, kemudian baru menawar.
Sapaan: “Mbak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
wanita tengah baya dan “Mas”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang laki-laki tengah
baya.
DT 25 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (yowes iki).
S-P S-KL S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
293
26. PJ : Belum dapat, Mbak.
PB : Iki tipis. Gak oleh sepuluh ta?
(Ini tipis. Tidak boleh sepuluh ribu ya?)
PJ : Hah?
PB : Sepuluh
PJ : Walaupun ditawar sampai
berapapun harganya tetap segitu,
Mbak. Kalau sama juragannya bisa
tawar-menawar! (mengejek)
PB : Piroan? Sepuluh ewu. Wis kuwi
sepuluh ewu, sitok kuwi. Wis sing iki
sepuluh ewu! (memaksa)
(Berapaan? Sepuluh ribu. Sudah itu
sepuluh ribu, satu itu. Sudah yang ini
sepuluh ribu)
PJ : Kalau saya gak berani, mentoknya
segitu.
PB : Piro iki?
(Berapa ini?)
PJ : Seratus empat puluh lima
PB : Gak dikorting?
(Tidak dikurangi harganya??
PJ : Dari pabriknya memang sudah mahal
PB : Satus petang puluh lah, Pak?
(Seratus empat puluhlah, Pak?)
PJ : Tambah lima ribu ya?
PB : (pergi)
PJ : Ya udah sini.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.30 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang wanita tengah
baya. Tuturan ini menandakan
bahwa tuturan PJ merugikan PB
karena dilihat dari tuturannya,
tuturan PJ sifatnya mengejek PB.
Tuturan PJ juga terkesan tidak
sopan.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB menawar dagangan PJ
dengan memaksa sehingga
merugikan PJ. Hal itu sangat
terlihat dari tuturan PB.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
laki-laki dewasa dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang wanita tengah
baya.
DT 26 menggunakan campur
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
294
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
27. PB : Sing ireng kabeh ngene ono? Putih
kabeh ngono?
(Yang hitam semua seperti ini ada?
Putih semua begitu?)
PJ : Putihe namung kalih, Pak
(Putihnya hanya dua)
PB : Podo ukurane, Bu?
(Sama ukurannya?)
PJ : Inggih sami
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.37 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
ibu-ibu sedangkan mitra tutur
adalah seorang laki-laki yang sudah
tua. Tuturan ini menandakan bahwa
PJ memberikan pilihan warna
kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB bersifat
langsung. PB langsung
menanyakan warna kaos dari
dagangan PJ. Tuturan PB juga
dinilai tidak santun karena tuturan
PB yang menggunakan bahasa
Jawa Ngoko, padahal tuturan PJ
sudah menggunakan bahasa Jawa
Krama.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang ibu-ibu
dan “Pak” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
S-P S-KL S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
295
yang notabene adalah seorang
laki-laki yang sudah tua.
DT 27 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa Ngoko
dan bahasa Jawa Krama.
28. PB : Umur lima tahun
PJ : Wo yo bener sing gedhe mau. Umur
limang taun kok. Iki delokken sik. Ora
diwolak-walik, Le. (nada keras)
(Ya benar yang itu tadi. Umur lima
tahun kan. Ini dilihat dulu. Jangan
dibolak-balik)
PB : Berapa ini?
PJ : Papat lima. Tak golekne werna
liyane. Anane iki nyoh. Iki wernane.
(Empat puluh lima ribu. Saya carikan
warna lainnya. Adanya ini. Ini
warnanya)
PB : Dua lima ya, Bu?
PJ : Telung puluh ya?
(Tiga puluh ribu ya?)
PB : Dua lima aja ya?
PJ : Iyo. Nggo limang taun iso, ngge nem
taun ya iso. Ben ora keciliken mengko.
Nyoh ngko ndak lali!
(Iya. Buat lima tahun bisa, buat enam
tahun ya bisa. Biar tidak kekecilan
nanti. Ini nanti biar tidak lupa!)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.39 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
wanita dewasa sedangkan mitra
tutur adalah anak-anak yang
berjenis kelamin laki-laki. Tuturan
ini menandakan bahwa tuturan PJ
membuat PB tidak dapat memilih
barang dagangan PJ. Tuturan PJ
juga terlihat kasar kepada PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB tidak langsung menawar.
PB bertanya terlebih dahulu berapa
harganya, kemudian baru
menawarnya.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang ibu-ibu
dan “Le” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
S-P S-KL TS
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
296
yang notabene adalah anak-anak
yang berjenis kelamin laki-laki.
DT 28 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
29. PB : Enem tahun
(Enam tahun)
PJ : Enem tahun nek larene ageng nggih
cekapan. Nek kaliten kadose mboten.
(Enam tahun kalau anaknya besar ya
cukup. Kalau kekecilan sepertinya
tidak)
PB : Sing liyane sing rodok cilik ana ra?
(Yang lainnya yang kecil sidikit ada
tidak?)
PJ : Niki sik sak menten niki. Nek niku
tigang ndoso.
(Ya seperti ini. Kalau itu tiga puluh)
PB : Ana loro? Padha ora gambare, Bu?
(Ada dua? Sama tidak gambarnya?)
PJ : Sami
(Sama)
PB : Iki loro karo kuwi mau loro piro?
(Ini dua sama itu tadi dua berapa?)
PJ : Niku sewidak kalih niku seket.
Dadine satus sepuluh.
(Itu enam puluh ribu sama yang itu
lima puluh ribu. Jadinya seratus
sepuluh)
PB : O satus sepuluh. Satus ngono lho!
(O seratus sepuluh. Seratus ya!)
PJ : Saestu, Pak. Niki setelan e, Pak. Nek
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.41 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
ibu-ibu tua sedangkan mitra tutur
adalah seorang laki-laki tua.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ bersifat tidak langsung.
PJ mengira-ira terlebih dahulu,
tidak langsung memberikan
dagangannya.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan
PJ.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang ibu-ibu
yang sudah tua dan “Pak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah seorang laki-laki yang
S-KL S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
297
kathok tok inggih angsal.
(Benar, Pak. Ini sepasang, Pak. Kalau
celana saja ya boleh)
PB : Satus ya, Bu?
(Seratus ya?)
PJ : Saestu, Pak
(Benar, Pak)
PB : Bathine lho wis akeh!
(Keuntungannya lho sudah banyak!)
PJ : Saestu sampun mirah niki
(Benar sudah murah ini)
sudah tua.
DT 29 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa Krama
dan bahasa Jawa Ngoko.
30. PB : Sepuluh ribu, empat, Bu?
PJ : O ya belum dapat, Le.
PB : Bolehnya berapa?
PJ : Sepuluh ribu dapat dua. Gelem?
PB : (melihat-lihat gantungan kunci)
PJ : Mau beli yang mana tak ambilin!
Mau beli gak? Kok dicampur-campur!
(kasar sambil marah-marah)
PB : (pergi)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.46 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang gantungan kunci
kepada pembeli. Penutur adalah
seorang ibu-ibu sedangkan mitra
tutur adalah anak-anak remaja yang
berjenis kelamin laki-laki. Tuturan
ini menandakan bahwa tuturan PJ
merugikan PB. Dilihat dari tuturan
PJ yang kasar kepada PB. Isi
tuturan PJ juga dinilai sangat tidak
pantas dan tidak sopan. Hal ini
sangat merugikan PB sebagai mitra
tuturnya.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB langsung menawar harga
U-R S-KL TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
298
dagangan milik PJ dengan harga
rendah.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah seorang ibu-ibu
dan “Le” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah anak-anak
yang berjenis kelamin laki-laki.
DT 30 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (gelem).
31. PB : Sing lengene panjang ngene iki. Nah,
satu. Sitoke apa? Ijo apa pink?
Carikan! Iki sayang ya tiga perempat.
Elek iki!
(Yang lengannya panjang seperti ini.
Nah, satu. Satunya lagi apa? Hijau atau
merah muda? Carikan! Ini sayang ya
tiga perempat. Jelek ini!)
PJ : Iya tiga perempat
PB : Iki selawe sing iki? Nek empat, satus
ya? Ini besar ya?
(Ini dua puluh lima ya yang ini? Kalau
empat, seratus ya? Ini besar ya?)
PJ : Iya besar, Bu.
PB : Papat, satus ya, Mas?
(Empat, seratus ya?)
PJ : Belum boleh, Bu.
PB : Pas‟e piro?
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 15.58 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang daster kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
remaja yang berjenis kelamin laki-
laki sedangkan mitra tutur adalah
seorang ibu-ibu yang sudah tua.
Tuturan ini menandakan bahwa
tuturan PJ merugikan PB karena
dilihat dari tuturannya, tuturan PJ
terlihat kurang sopan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
299
(Pasnya berapa?)
PJ : Empat, seratus lima puluh. Kalau
mau ya tak bungkus, kalau gak ya
sudah!
PB : (pergi)
karena tuturan PB terlihat
merugikan PJ dengan penekanan
kata “elek iki”.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
remaja yang berjenis kelamin
laki-laki dan “Bu” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
seorang ibu-ibu yang sudah tua.
DT 31 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia,
bahasa Jawa, dan bahasa Inggris
(pink).
32. PB : Ini berapa?
PJ : Empat puluh
PB : Gambare mana lagi?
PJ : Gambarnya ini aja!
PB : Gambar ceweknya gak ono?
PJ : Kalau gambarnya cewek, ukurannya
beda, Bu!
PB : Mas, yang gambarnya lucu gitu lho
(merengek)
PJ : Yang L ya?
PB : Iya
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.04 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
remaja yang berjenis kelamin laki-
laki sedangkan mitra tutur adalah
seorang wanita dewasa. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ
membuat PB tidak dapat memilih
barang dagangan PJ.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena selain PB tidak dapat
S-P S-P TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
300
memilih dagangan PJ, tuturan dan
gaya penyampaian PB juga tidak
pantas (dengan merengek) apalagi
PB lebih tua daripada PJ.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah seorang
remaja yang berjenis kelamin
laki-laki dan “Bu” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
seorang wanita dewasa.
DT 32 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (gak ono).
33. PB : Ini berapa ini? Sama ya?
PJ : Ini dua lima
PB : Yowes ini aja L. Ndak mau merah
katane, Pak.
(Ya sudah ini saja L. Tidak mau merah
katanya, Pak)
PJ : Sudah?
PB : Jangan sama.
PJ : Gambarnya pit onthel?
PB : Ini-ini?
PJ : Sama
PB : Ini XXL, Pak?
PJ : Iya, Mbak.
PB : Warna lain?
PJ : Warna lain cokelat.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.21 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang kaos kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang wanita tengah
baya. Tuturan ini menandakan
bahwa tuturan PJ memberikan
pilihan kepada PB sehingga PB
dapat memilih kaos dagangan PJ
sesuai dengan permintaannya.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
S-P S-P S
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
301
karena PB dapat memilih dagangan
PJ.
Sapaan: “Pak” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah laki-laki
dewasa dan “Mbak” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
wanita tengah baya.
DT 33 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (yowes).
34. PJ : Kalau masih mbrangkang kan kalau
pakai ini bagus.
PB : Empat tahun bisa gak?
PJ : Empat tahun bisa. Kalau ini khusus
anak-anak yang bagus. Itu bisa buat TK
juga, Mbak.
PB : Iya. Berapa?
PJ : Empat lima aja!
PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas. Mahal
soalnya! (kemudian pergi)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.27 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang gelang kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
laki-laki tengah baya sedangkan
mitra tutur adalah seorang wanita
tengah baya. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ
merugikan PB. Hal itu terlihat pada
tanggapan PB terhadap tuturan PJ
yang mengindikasikan bahwa PJ
memberikan harga yang mahal
sehingga PB memberikan
tanggapan tersebut.
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
302
PB : Lihat-lihat dulu deh, Mas.
Mahal soalnya! (kemudian pergi)
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB terlihat sedikit
menyindir PJ dan hal itu dapat
merugikan PJ.
Sapaan: “Mas” digunakan
sebagai sapaan penutur (penjual)
yang notabene adalah laki-laki
tengah baya dan “Mbak”
digunakan sebagai sapaan mitra
tutur (pembeli) yang notabene
adalah wanita tengah baya.
DT 34 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa (mbrangkang).
35. PJ : Sekawan?
(Empat?)
PB : Yo patang tahun sing padha kaya iki.
(Ya empat tahun yang sama ini)
PJ : Patang tahun to? Ngeten niki, Pak.
(Empat tahun kan? Seperti ini, Pak)
PB : Warnane?
(Warnanya?)
PJ : Nggih namung niki warnane.
(Ya hanya ini warnanya)
PB : Model iki ra ono?
(Model ini tidak ada?)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.28 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur adalah seorang
ibu-ibu yang sudah tua sedangkan
mitra tutur adalah laki-laki yang
sudah tua. Tuturan ini menandakan
bahwa PJ menguntungkan mitra
tuturnya yakni PB. PJ memberikan
U-R S-KL S
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
303
PJ : Mboten wonten, Pak. Namung ngeten
niki.
(Tidak ada, Pak. Hanya seperti ini)
PB : Piro iki?
(Berapa ini?)
PJ : Sami mawon
(Sama saja)
PB : Seket to, Bu?
(Lima puluh kan?)
PJ : Nggih mboten napa-napa.
(Ya sudah tidak apa-apa)
PB : Lha iyo to?
(Lha iya kan?)
PJ : Nggih, Pak.
(Iya, Pak)
dagangannya sesuai dengan harga
penawaran PB. Ditambah PJ yang
menggunakan bahasa Jawa Krama
dalam berkomunikasi dengan PB
yang sama-sama sudah dewasa.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena PB langsung menawar harga
dagangan PJ. Tuturan PJ juga
menggunakan bahasa Jawa Ngoko
sehingga dirasa kurang sopan.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah ibu-ibu yang
sudah tua dan “Pak” digunakan
sebagai sapaan mitra tutur
(pembeli) yang notabene adalah
laki-laki yang sudah tua.
DT 35 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa Krama
dan bahasa Jawa Ngoko.
36. PJ : Ini warna-warni
PB : Ini berapa?
PJ : Dua puluh ribu
PB : Sepuluh
PJ : Kalau harganya pas tadinya dua lima.
Gini aja deh, dua, dua lima.
PB : Sepuluh ya, Bu?
PJ : Isinya sepuluh‟e, Mas. Bener kalau
sepuluh ribu belum dapat. Ini kodok ini.
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.33 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang gantungan kunci
kepada pembeli. Penutur adalah
wanita dewasa sedangkan mitra
tutur adalah seorang laki-laki
U-R U-R TS
Setuju
TS
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
304
PB : Sepuluh ya?
PJ : Bener, Mas. Dua belas setengah wis.
Harga-harga mepet itu.
PB : Tiga, tiga puluh gak boleh?
PJ : Tiga, tiga lima deh. Ini kan dua belas
setengah kali tiga jadinya tiga tujuh
setengah.
PB : Tiga, tiga puluh ya?
PJ : Tiga lima, Mas kalau mau sekarang.
Kalau tidak ya sudah. Sudah pas.
Sudah murah.
PB : (pergi)
tengah baya. Tuturan ini
menandakan bahwa tuturan PJ
merugikan PB sehingga PB
langsung pergi meninggalkan PJ.
Tuturan PJ juga terlihat sedikit
kasar dan memaksa.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa tidak santun
karena tuturan PB dapat merugikan
PJ dengan penawaran harga yang
dirasa PJ kurang tepat.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) yang
notabene adalah wanita dewasa
dan “Mas” digunakan sebagai
sapaan mitra tutur (pembeli)
yang notabene adalah laki-laki
tengah baya.
DT 36 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa.
37. PB : Setelan cah cilik?
(Atas bawah anak kecil?)
PJ : Umur pinten?
(Umur berapa?)
PB : Limang tahun
(Lima tahun)
PJ : Limang tahun? Ageng napa mboten,
Bu?
(Lima tahun? Besar apa tidak, Bu?)
Tuturan terjadi pada:
Hari : Sabtu, 22 Maret 2014
Pukul : 16.36 WIB
Tuturan PJ:
Tuturan di atas diucapkan oleh
seorang pedagang baju kepada
pembeli. Penutur dan mitra tutur
sama-sama seorang ibu-ibu.
Tuturan ini menandakan bahwa
U-R S-P TS
Setuju
S
Setuju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
305
Yogyakarta, 11 September 2014
Triangulator Peneliti
Dr. B. Widharyanto, M.Pd. Fransisca Dike Desintya DS
PB : Yo lumayan.
(Ya lumayan)
PJ : Sak menten?
(Ini?)
PB : Lengen panjang, gae ngaji kok, Bu.
(Lengan panjang, buat mengaji, Bu)
PJ : O lengen panjang? Mboten wonten
nek lengen panjang. Njenengan tindak
mawon dateng toko (mengejek)
(O lengan panjang? Tidak ada kalau
lengan panjang. Anda pergi ke toko
saja)
tuturan PJ bersifat mengejek. Hal
itu dapat dilihat pada tuturan PJ
yang merugikan PB.
Tuturan PB:
Tuturan PB menandakan bahwa
tuturan tersebut dirasa santun
karena PB dapat memilih dagangan
PJ. Namun tanggapan tidak santun
terlihat pada tuturan PJ.
Sapaan: “Bu” digunakan sebagai
sapaan penutur (penjual) dan
pembeli yang notabene sama-
sama seorang ibu-ibu.
DT 37 menggunakan campur
kode, yakni bahasa Jawa Krama
dan bahasa Jawa Ngoko.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
306
BIOGRAFI PENULIS
Fransisca Dike Desintya Dipta Sasmaya lahir di
Blitar, Jawa Timur, 03 Desember 1991. Pendidikan
dasar ditempuh di SD Negeri Kepanjen Lor II Blitar
pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007, ia
melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP
Negeri 2 Blitar. Selanjutnya, pada tahun 2007-2010 ia
menempuh pendidikan menengah atas di SMA Katolik
Diponegoro Blitar.
Pada tahun 2010, ia tercatat sebagai mahasiswa
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa
di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, banyak sekali prestasi yang diraihnya,
baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Pada bidang akademik,
mulai tahun 2010-2013 ia berperan aktif dalam organisasi-organisasi baik dalam
lingkup prodi maupun universitas. Tahun 2013 ia dipercayakan oleh prodi untuk
menjadi perwakilan mahasiswa berprestasi pilihan Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia (PBSI). Pada tahun 2011 dan 2012, ia juga dipercaya
menjadi koordinator fasilitator pada kegiatan PPKM Prodi PBSI, dan masih
banyak lagi prestasi-prestasi lainnya.
Selain di bidang akademik, ia juga tercatat sebagai mahasiswa yang
berprestasi dalam bidang non-akademik. Prestasi yang ia raih dalam bidang ini
adalah prestasi-prestasi menari yang didalaminya saat ia bergabung dalam Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Group Tari Sanata Dharma (GRISADHA) di tahun
2010-2014. Hingga pada akhirnya masa pendidikan di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul
Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang “Perko” Trotoar Malioboro
Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik). Ia dapat dengan mudah dihubungi
pada email: [email protected].
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI