Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Sudaryatno Sudirham
DarpublicDarpublicDarpublicDarpublic Edisi Juli 2013
Pilihan Topik Matematika
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” ii
Pilihan Topik Matematika (Aplikasi dalam Analisis Rangkaian Listrik )
oleh Sudaryatno Sudirham
iii
Hak cipta pada penulis.
SUDIRHAM, SUDARYATNO Pilihan Topik Matematika Aplikasi Dalam Analisis Rangkaian Listrik Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” iv
Pengantar
Buku ini berisi bahasan mengenai topik-topik matematika yang dipilih terkait dengan penggunaannya dalam Analisis Rangkaian Listrik. Sudah barang tentu bahwa matematika sebagai ilmu dasar tidak hanya terpakai dalam analisis rangkaian listrik. Namun uraian dalam buku ini dikaitkan dengan buku-buku lain yang penulis susun, bahkan contoh-contoh persoalan yang diberikan banyak diambil dari buku-buku tersebut; dengan penulisan buku ini penulis bermaksud memberi penjelasan mengenai dasar matematika yang digunakan di dalamnya. Dalam buku ini penulis mencoba menyajikan bahasan matematika dari sisi pandang aplikasi teknik, dengan sangat membatasi penggunaan ungkapan matematis; pendefinisian dan pembuktian formula-formula diganti dengan pernyataan-pernyataan serta gambaran grafis yang lebih mudah difahami. Dengan cara demikian penulis berharap bahwa pengertian matematis yang diperlukan bisa difahami dengan lebih mudah. Pendalaman lebih lanjut dapat diperoleh dari buku-buku tentang matematika yang digunakan sebagai referensi dalam kuliah matematika.
Kemajuan teknologi komputer telah sangat membantu proses pemecahan persoalan di bidang teknik. Namun buku ini tidak membahas cara perhitungan dengan menggunakan komputer tersebut, melainkan menyajikan bahasan mengenai pengertian-pengertian dasar tentang topik matematika yang dipilih, yang penulis anggap dapat memberikan pemahaman mengenai proses perhitungan dengan menggunakan komputer.
Akhir kata, penulis harapkan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Bandung, Juli 2013 Wassalam,
Penulis
v
Daftar Isi
Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Pengertian Fungsi dan Grafik 1 Fungsi. Domain. Kurva, Kekontinyuan, Simetri. Bentuk Implisit. Fungsi Bernilai Tunggal dan Bernilai Banyak. Fungsi dengan Banyak Peubah Bebas. Koordinat Polar. Pembatasan Bahasan dan Sajian Bahasan.
Bab 2: Fungsi Linier 15 Fungsi Tetapan. Fungsi Linier – Persamaan Garis Lurus. Pergeseran Kurva. Perpotongan Garis.
Bab 3: Gabungan Fungsi Linier 27 Fungsi anak Tangga. Fungsi Ramp. Pulsa. Perkalian Ramp dan Pulsa. Gabungan Fungsi Ramp.
Bab 4: Mononom dan Polinom 37 Mononom: Mononom Pangkat Dua, Mononom Pangkat Tiga. Polinom: Fungsi Kuadrat. Penambahan Mononom Pangkat Tiga pada Fungsi Kuadrat.
Bab 5: Bangun Geometris 55 Persamaan Kurva. Jarak Antara Dua Titik. Parabola. Lingkaran. Elips. Hiperbola. Kurva berderajat Dua. Perputaran Sumbu.
Bab 6: Fungsi Trigonometri 69 Peubah Bebas Bersatuan Derajat. Peubah Bebas Bersatuan Radian. Fungsi Trigonometri Inversi.
Bab 7: Gabungan Fungsi Sinus 85 Fungsi Sinus Dan Cosinus. Kombinasi Fungsi Sinus. Spetrum Dan Lebar Pita Fungsi Periodik.
Bab 8: Fungsi Logaritma. Natural, Eksponensial, Hiperbolik 97 Fungsi Logaritma Natural. Fungsi Exponensial. Fungsi Hiperbolik.
Bab 9: Koordinat Polar 107 Relasi koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar. Persamaan Garis Lurus. Parabola, Elips, Hiperbola. Lemniskat dan Oval Cassini. Luas Bidang.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” vi
Bab 10: Turunan Fungsi Polinom 119 Pengertian Dasar. Mononom. Polinom. Nilai Puncak. Garis Singgung.
Bab 11: Turunan Fungsi-Fungsi 135 Fungsi Perkalian Dua Fungsi. Fungsi Pangkat Dari Suatu Fungsi. Fungsi Rasional. Fungsi Implisit. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat. Kaidah Rantai. Diferensial dx dan dy.
Bab 12: Turunan Fungsi-Fungsi Transenden 147 Fungsi Trigonometri. Fungsi Trigonimetri Inversi. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi. Fungsi Logaritmik. Fungsi Eksponensial.
Bab 13: Integral 155 Macam-macam Integral. Integral Tak Tentu, Integral Tentu. Luas Sebagai Suatu Integral. Aplikasi.
Bab 14: Integral Tak Tentu Fungsi-Fungsi 177 Fungsi Tetapan. Mononom. Polinom. Fungsi Pangkat dari Fungsi. Fungsi Berpangkat Satu. Fungsi Eksponensial. Tetapan Berpangkat Fungsi. Fungsi Trigonometri. Fungsi Hiperbolik. Integral Menghasilkan Fungsi Trigonometri. Tabel Relasi Diferensial-Integral.
Bab 15: Persamaan Diferensial Orde-1 187 Pengertian. Solusi. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa.
Bab 16: Persamaan Diferensial Orde-2 201 Persamaan Diferensial Linier Orde Dua. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi.
Bab 17: Matriks 211 Konsep Dasar Matriks. Pengertian dan Operasi Matriks. Matriks Khusus. Putaran Matriks. Sistem Persamaan Linier. Eliminasi Gauss. Kebalikan Matriks, Eliminasi Gauss-Jordan.
vii
Bab 18: Bilangan dan Peubah Kompleks 241 Pengertian dan Definisi. Operasi-Operasi Aljabar. Repersentasi Grafis. Bentuk Sudut Siku dan Bentuk Polar. Fungsi Kompleks. Pole dan Zero. Aplikasi untuk Menyatakan Fungsi Sinus.
Bab 19: Transformasi Laplace 251 Pemahaman Transformasi Laplace. Transformasi Laplace. Sifat-sifat Transformasi Laplace. Transformasi Balik
Bab 20: Deret dan Transformasi Fourier 271 Deret Fourier. Koefisien Fourier. Deret Fourier Bentuk Eksponensial. Transformasi Fourier. Sifat-Sifat Transformasi Fourier. Transformasi Balik.
Daftar Pustaka 297
Biodata penulis 298
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” viii
Halaman Kosong
1
Bab 1 Pengertian Fungsi dan Grafik
Fungsi dan dan bentuk-bentuk kurvanya akan kita gunakan secara luas di buku ini untuk memahami berbagai relasi matematis. Oleh karena itu bab pertama ini kita akan mempelajari secara umum lebih dulu mengenai fungsi dan grafik.
1.1. Fungsi
Apabila suatu besaran y memiliki nilai yang tergantung dari nilai besaran lain x, maka dikatakan bahwa besaran y tersebut merupakan fungsi besaran x. Contoh: panjang batang logam merupakan fungsi temperatur.
Secara umum suatu fungsi dituliskan sebagai sebuah persamaan
)(xfy = (1.1)
Perhatikan bahwa penulisan )(xfy ==== bukanlah berarti y sama dengan f
kali x, melainkan untuk menyatakan bahwa y merupakan fungsi dari x yang tidak lain adalah sebuah aturan atau sebuah ketentuan berapakah y akan memiliki nilai jika kepada x kita berikan suatu nilai.
y dan x adalah peubah (variable) yang dibedakan sebagai peubah-tak-bebas (y) dan peubah-bebas (x). Peubah-bebas x adalah simbol dari suatu besaran yang bisa memiliki nilai sembarang dari suatu set bilangan. Sementara peubah-tak-bebas y memiliki nilai yang tergantung dari nilai yang dimiliki x.
Dilihat dari nilai yang dimiliki oleh ruas kiri dan ruas kanan, (1.1) adalah sebuah persamaan. Namun kedua ruas itu memiliki peran yang berbeda. Kita ambil contoh dalam relasi fisis
)1(0 TLLT λ+=
dengan LT adalah panjang sebatang logam pada temperatur T, L0 adalah panjang pada temperatur nol, T temperatur dan λ adalah koefisien muai panjang. Panjang batang tergantung dari temperatur; makin tinggi temperatur makin panjang batang logam. Namun sebaliknya, makin panjang batang logam tidak selalu berarti temperaturnya makin tinggi. Jika logam tersebut mengalami beban tarikan misalnya, ia akan bertambah panjang namun tidak berarti temperaturnya meningkat.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 2
Walaupun nilai x di ruas kanan (1.1) bisa berubah secara bebas, sementara ruas kiri tergantung dari ruas kanan, namun nilai x tetap harus ditenttukan sebatas mana ia boleh bervariasi.
1.2. Domain
Domain ialah rentang nilai (interval nilai) di mana peubah-bebas x bervariasi. Dalam kebanyakan aplikasi, rentang nilai ini bisa berbentuk sebagai berikut:
a). rentang nilai berupa bilangan-nyata yang terletak antara dua nilai a dan b. Kita tuliskan rentang nilai ini sebagai
a < x < b
Ini berarti bahwa x bisa memiliki nilai lebih besar dari a namun lebih kecil dari b. Rentang ini disebut rentang terbuka, yang dapat kita gambarkan sebagi berikut:
a b
a dan b tidak termasuk dalam rentang tersebut.
b). rentang nilai
a ≤ x < b
kita gambarkan sebagai
a b
Di sini a masuk dalam rentang nilai, tetapi b tidak. Ini merupakan rentang setengah terbuka.
c). rentang nilai
a ≤ x ≤ b
Dalam rentang ini baik a maupun b masuk dalam rentang nilai. Ini adalah rentang tertutup, dan kita gambarkan
a b
3
1.3. Kurva, Kekontinyuan, Simetri
Kurva. Fungsi )(xfy ==== dapat divisualisasikan secara grafis. Dalam
visualisasi ini kita memerlukan koordinat. Suatu garis horisontal memanjang dari −∞ ke arah kiri sampai +∞ ke arah kanan, ditetapkan sebagai sumbu-x atau absis. Pada garis ini ditetapkan pula titik referensi 0 serta panjang satuan skala, sedemikian rupa sehingga kita dapat menggambarkan nilai-nilai x pada garis ini (lihat Gb.1.1); peubah x memiliki nilai yang berupa bilangan-nyata.
Gb.1.1. Sistem koordinat x-y atau koordinat sudut-siku.
Catatan: Suatu bilangan-nyata dapat dinyatakan dengan desimal terbatas maupun desimal tak terbatas. Contoh: 1, 2, 3, ......adalah bilangan-nyata bulat; 1,586 adalah bilangan-nyata dengan desimal terbatas; π adalah bilangan-nyata dengan desimal tak terbatas, yang jika hanya dilihat sampai sembilan angka di belakang koma nilainya adalah 3,141592654.
Selain sumbu-x ditetapkan pula sumbu-y yang tegak lurus pada sumbu-x, memanjang ke −∞ arah ke bawah dan +∞ arah ke atas, yang melewati titik referensi 0 di sumbu-x dan disebut ordinat. Titik perpotongan sumbu-y dengan sumbu-x merupakan titik referensi yang disebut titik-asal dan kita tulis berkoordinat [0,0]. Pada sumbu-y ditetapkan juga satuan skala seperti halnya pada sumbu-x, yang memungkinkan kita untuk menggambarkan posisi bilangan-nyata di sumbu-y. Besaran fisik yang dinyatakan dengan peubah-tak-bebas dalam skala sumbu-y tidak harus sama dengan besaran fisik dan skala sumbu-x; misalnya sumbu-x
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
P[2,1]
Q[-2,2]
R[-3,-3]
S[3,-2]
y
x IV
I II
III
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 4
menunjukkan waktu dengan satuan detik/skala, sedangkan sumbu-y menunjukkan jarak dengan satuan meter/skala.
Bidang datar di mana kita menggambarkan sumbu-x dan sumbu-y, selanjutnya kita sebut bidang x-y, akan terbagi dalam 4 kuadran, yaitu kuadran I, II, III dan IV seperti terlihat pada Gb.1.1.
Setiap titik K pada bidang datar ini dapat kita nyatakan posisinya sebagai K[xk,yk], dengan xk dan yk berturut-turut menunjukkan jumlah skala di sumbu-x dan di sumbu-y dari titik K yang sedang kita tinjau. Pada Gb.1.1. misalnya, posisi empat titik yang digambarkan di kuadran I, II, III, IV, masing-masing kita tuliskan sebagai P[2,1], Q[-2,2], R[-3,-3] dan S[3,-2].
Dengan demikian setiap pasangan bilangan-nyata akan berkaitan dengan satu titik di bidang x-y. Dengan cara inilah pasangan nilai yang dimiliki oleh ruas kiri dan ruas kanan suatu fungsi y = f(x) dapat divisualisasikan pada bidang x-y. Visualisasi itu akan berbentuk kurva fungsi y di bidang x-y, dan kurva ini memiliki persamaan y = f(x), sesuai dengan pernyataan fungsi yang divisualisasikannya.
Contoh: sebuah fungsi
xy 5,0= (1.2)
Setiap nilai x akan menentukan satu nilai y. Jika kita muatkan dalam suatu tabel, nilai x dan y akan terlihat seperti pada Tabel-1.1.
Tabel-1.1.
x -1 0 1 2 3 4 dst. y -0,5 0 0,5 1 1,5 2 dst.
Fungsi xy 5,0= yang memiliki pasangan nilai x dan y seperti
tercantum dalam Tabel-1.1. di atas akan memberikan kurva seperti terlihat pada Gb.1.2. Kurva ini berbentuk garis lurus melalui titik-asal [0,0] dan memiliki kemiringan tertentu (yang akan kita pelajari lebih lanjut); persamaan garis ini adalah xy 5,0= .
Dengan contoh ini, relasi (1.2) yang merupakan relasi fungsional, setelah berbentuk kurva berubah menjadi sebuah persamaan yaitu persamaan dari kurva yang diperoleh. Ruas kiri dan kanan persamaan ini menjadi berimbang karena melalui kurva tersebut kita
5
bisa mendapatkan dengan mudah nilai y jika diketahui nilai x, dan sebaliknya kita juga dapat memperoleh nilai x jika diketahui nilai y.
Gb.1.2. Kurva dari fungsi xy 5,0====
Dengan contoh di atas kita mengerti bahwa fungsi xy 5,0= membentuk
kurva dengan persamaan xy 5,0= di bidang x-y. Dalam contoh ini titik-
titik P, Q, dan R terletak pada garis tersebut dengan koordinat P[-1,-0.5], Q[2,1], R[3,1.5]. Pengertian tentang fungsi dan persamaan kurva ini perlu kita fahami benar karena kedua istilah ini akan muncul secara paralel dalam pembahasan bentuk-bentuk geometris.
Kekontinyuan. Suatu fungsi yang kontinyu dalam suatu rentang nilai x tertentu, akan membentuk kurva yang tidak terputus dalam rentang tersebut. Syarat untuk terjadinya fungsi yang kontinyu dinyatakan sebagai berikut:
Suatu fungsi y = f(x) yang terdefinisi di sekitar x = c dikatakan kontinyu di x = c jika dipenuhi dua syarat, yaitu:
(1) fungsi tersebut memiliki nilai yang terdefinisi sebesar f(c) di x = c;
(2) nilai f(x) akan menuju f(c) jika x menuju c; pernyataan ini kita tuliskan sebagai )()(lim cfxf
cx=
→ yang kita baca limit f(x)
untuk x menuju c sama dengan f(c).
Contoh: Kita lihat misalnya fungsi y = 1/x. Pada x = 0 fungsi ini tidak terdefinisi karena 1/0 tidak dapat kita tentukan berapa nilainya;
)(lim xfcx→
tidak terdefinisi jika x menuju nol. Kedua persyaratan
∆x ∆y
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
-1
0 1 2 3 4 x
y R
P
Q
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 6
kekontinyuan tidak dipenuhi; ia merupakan fungsi tak-kontinyu di x = 0. Hal ini berbeda dengan fungsi yang terdefinisikan di x = 0 (lihat selanjutnya ulasan di Bab-3) sebagai
0untuk 0
0untuk 1 ),(
<=≥==
xy
xyxuy
yang bernilai 0 untuk x < 0 dan bernilai 1 untuk x ≥ 0. Perhatikan Gb.1.3.
Tak terdefinikan di x = 0.
Terdefinisikan di x = 0
Gb.1.3. Fungsi xy /1= dan )(xuy =
Simetri. Kurva suatu fungsi mungkin simetris terhadap garis atau titik tertentu
a) jika fungsi tidak berubah apabila x kita ganti dengan −x maka kurva fungsi tersebut simetris terhadap sumbu-y;
b) jika fungsi tidak berubah apabila x dan y dipertukarkan, kurva fungsi tersebut simetris terhadap garis-bagi kuadran I dan III.
c) jika fungsi tidak berubah apabila y diganti dengan −y, kurva fungsi tersebut simetris terhadap sumbu-x.
y
x
y = u(x) 1
0 0
y = 1/x
y = 1/x
y
x
-1
0
1
-10 -5 0 5 10
7
d) jika fungsi tidak berubah jika x dan y diganti dengan −x dan −y, kurva fungsi tersebut simetris terhadap titik-asal [0,0].
Contoh: Perhatikan contoh pada Gb.1.4. berikut ini.
Kurva y = 0,3x2 simetris terhadap sumbu-y. Jika kita ganti nilai x = 2 dengan x = - 2, nilai tidak berubah karena x berpangkat genap. Kurva y = 0,05x3 simetris terhadap titik-asal [0,0]. Di sini x berpangkat ganjil sehingga fungsi tidak akan berubah jika x diganti – x dan y diganti – y.
Kurva 922 =+ yx simetris terhadap sumbu-x, simetris terhadap
sumbu-y, simetris terhadap garis-bagi kuadran I dan III, dan juga simetris terhadap garis-bagi kuadran II dan IV.
Gb.1.4. Contoh-contoh kurva fungsi yang memiliki simetri.
1.4. Bentuk Implisit
Suatu fungsi kebanyakan dinyatakan dalam bentuk eksplisit dimana peubah-tak-bebas y secara eksplisit dinyatakan dalam x, seperti
)(xfy = . Namun sering kali kita jumpai pula bentuk implisit di mana
nilai y tidak diberikan secara eksplisit dalam x. Berikut ini adalah beberapa contoh bentuk implisisit.
-6
-3
0
3
6
-6 -3 0 3 6
y = 0,3x2
y = 0,05x3 y2 + x2 = 9
x
y
tidak berubah jika x dan y diganti dengan −x dan −y
tidak berubah bila x diganti −x
tidak berubah jika x diganti −x x dan y diganti dengan −x dan −y x dan y dipertukarkan y diganti dengan −y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 8
8
1
1
22
2
22
=++
=
==+
yxyx
xy
xy
yx
(1.3)
Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, setiap nilai peubah-bebas x akan memberikan satu atau lebih nilai peubah-tak-bebas y. Contoh pertama sampai ke-tiga pada (1.3) dengan mudah kita ubah dalam bentuk eksplisit sehingga untuk menggambarkan fungsi tersebut kedalam sistem koordinat x-y dengan menggunakan tabel tidaklah terlalu sulit. Contoh yang ke-empat agak sulit, namun persamaan tersebut dapat dijadikan bentuk persamaan kuadrat
822 =++ yxyx ⇒ 0)8( 22 =−++ xxyy
yang akar-akarnya adalah
2
)8(4,
22
21−−±−
=xxx
yy
Nilai y1 dan y2 dapat dihitung untuk setiap x yang masih memberikan nilai nyata untuk y. Perhatikan bahwa akar-akar persamaan ini dapat kita tuliskan sebagai
2
)8(4
2
22 −−±−=
xxxy (1.4)
yang merupakan bentuk pernyataan eksplisit )(xfy = . Kurva fungsi
ini terlihat pada Gb.1.5.
Gb.1.5. Kurva 2
)8(4
2
22 −−±−=
xxxy
-8
-4
0
4
8
-4 -2 0 2 4x
y
9
1.5. Fungsi Bernilai Tunggal dan Fungsi Bernilai Banyak
Fungsi Bernilai Tunggal. Fungsi yang hanya memiliki satu nilai peubah-tak-bebas untuk setiap nilai peubah-bebas, disebut fungsi bernilai tunggal. Berikut ini contoh fungsi bernilai tunggal.
1). 25,0 xy = .
Pada fungsi ini setiap nilai x hanya memberikan satu nilai y. Kurva dari fungsi ini diperlihatkan pada Gb.1.6. Kita tahu bahwa kurva fungsi ini simetris terhadap sumbu-y namun dalam gambar ini terutama diperlihatkan rentang x ≥ 0.
Gb.1.6. Kurva 25,0 xy =
2). xy += .
Pada fungsi ini, y hanya mengambil nilai positif. Oleh karena itu ia bernilai tunggal dengan kurva seperti terlihat pada Gb 1.7.
Gb.1.7. Kurva xy +=
0
0,4
0,8
1,2
1,6
0 0,5 1 1,5 2x
y
0
2
4
6
8
-1 0 1 2 3 4 x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 10
3). xy −= .
Peubah tak-bebas y hanya mengambil nilai negatif. Oleh karena itu ia bernilai tunggal dengan kurva seperti terlihat pada Gb.1.8. Sesungguhnya kurva fungsi ini adalah pasangan dari kurva
xy += . Hal ini terlihat pada Gb.1.11 di mana y mengambil nilai
baik positif maupun negatif.
Gb.1.8. Kurva xy −=
4). xy 10log= .
Sebelum melihat kurva fungsi ini ada baiknya kita mengingat kembali tentang logaritma.
log10 adalah logaritma dengan basis 10; log10a berarti berapakah 10 harus dipangkatkan agar diperoleh a. Jadi
xy 10log= berarti xy =10
01log101 ==y ;
31000log102 ==y ;
30103,02log103 ==y ; ...dst.
Kurva fungsi xy 10log= terlihat pada Gb.1.9.
Gb.1.9. Kurva xy 10log=
-0,8
-0,4
0
0,4
0,8
0 1 2 3 4x
y
-1,6
-1,2
-0,8
-0,4
00 0,5 1 1,5 2x
y
11
5). 2xxy == .
Fungsi ini berlaku untuk nilai x negatif maupun positif.
Perhatikanlah bahwa 2x tidak hanya sama dengan x, melainkan
± x. Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.1.10.
Gb.1.10. Kurva y = |x| = √x2
Fungsi Bernilai Banyak. Jika untuk satu nilai peubah-bebas terdapat lebih dari satu nilai peubah-tak-bebas, fungsi tersebut disebut bernilai banyak. Berikut ini adalah contoh fungsi bernilai banyak.
1). Fungsi xy ±= .
Perhatikan bahwa ada dua nilai y untuk setiap nilai x. Sesungguhnya
x bernilai ± x dan bukan hanya x saja. Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.1.11. Jika y hanya mengambil nilai positif atau negatif saja, fungsi akan menjadi bernilai tunggal, sebagaimana disebutkan pada contoh 2 dan 3 pada fungsi bernilai tunggal .
Gb.1.11. Kurva xy ±=
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3x
y
0
1
2
3
4
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 12
2). Fungsi x
y12 = .
Fungsi ini bernilai banyak; ada dua nilai y untuk setiap nilai x. Kurva fungsi ini diperlihatkan pada Gb.1.12.
Gb.1.12. Kurva xy /12 = ⇒ xy /1±=
1.6. Fungsi Dengan Banyak Peubah Bebas
Fungsi dengan banyak peubah bebas tidak hanya tergantung dari satu peubah bebas saja, x, tetapi juga tergantung dari peubah bebas yang lain. Misalkan suatu fungsi dengan dua peubah bebas x dan t dinyatakan sebagai
),( txfy = (1.5)
Sesungguhnya dalam peristiwa fisis banyak fungsi yang merupakan fungsi dengan peubah-bebas banyak, misalnya persamaan gelombang berjalan. Simpangan gelombang berjalan merupakan fungsi dari posisi (x) dan waktu (t).
Secara umum kita menuliskan fungsi dengan peubah-bebas banyak sebagai
),,,,( vuzyxfw = (1.6)
untuk menyatakan secara eksplisit fungsi w dengan peubah bebas x, y, z,u,dan v.
Fungsi dengan peubah bebas banyak juga mungkin bernilai banyak, misalnya
-10
-5
0
5
10
0 1 2 3x
y
13
2222 zyx ++=ρ (1.7)
Fungsi ini akan bernilai tunggal jika kita hanya meninjau nilai positif dari ρ dan kita nyatakan fungsi yang bernilai tunggal ini sebagai
222 zyx +++=ρ (1.8)
1.7. Sistem Koordinat Polar Selain sistem koordinat sudut-siku di mana posisi titik dinyatakan dalam skala sumbu-x dan sumbu-y, kita mengenal pula sistem koordinat polar. Dalam sistem koordinat polar ini posisi titik dinyatakan oleh jarak titik ke titik asal [0,0] yang diberi simbol r, dan sudut yang terbentuk antara r dengan sumbu-x yang diberi simbol θ. Kalau dalam koordinat sudut-siku posisi titik dinyatakan sebagai P(x,y) maka dalam koordinat polar dinyatakan sebagai P(r,θ).
Hubungan antara koordinat susut siku dan koordinat polar adalah
θ= sinry ;
θ= cosrx ;
22 yxr +=
)/(tan 1 xy−=θ
Hubungan ini terlihat pada Gb.1.13.
Gb.1.13. Hubungan koordinat sudut-siku dan koordinat polar.
x
P
θ
r
y
rsinθ
rcosθ
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 14
1.8. Fungsi Parametrik
Dalam koordinat sudut-siku fungsi )(xfy = mungkin juga dituliskan
sebagai
)(tyy = )(txx = (1.10)
jika y dan x masing-masing tergantung dari peubah lain t. Fungsi yang demikian disebut fungsi parametrik dengan t sebagai parameter.
15
Bab 2 Fungsi Linier
2.1. Fungsi Tetapan
Fungsi tetapan bernilai tetap untuk rentang nilai x dari −∞ sampai +∞. Kita tuliskan
ky = [2.1]
dengan k bilangan-nyata. Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.2.1. berupa garis lurus mendatar sejajar sumbu-x, dalam rentang nilai x dari −∞ sampai +∞.
-4
0
5
-5 0 5 x
y
y = 4
y = −3,5
Gb.2.1. Fungsi tetapan (konstan):
4=y dan 5,3−=y .
2.2. Fungsi Linier - Persamaan Garis Lurus
Persamaan (2.1) adalah satu contoh persamaan garis lurus yang merupakan garis mendatar sejajar sumbu-x, dengan kurva seperti terlihat pada Gb.2.1. Kurva yang juga merupakan garis lurus tetapi tidak sejajar sumbu-x adalah kurva yang memiliki kemiringan tertentu. Kemiringan garis ini adalah perbandingan antara perubahan y terhadap perubahan x, atau kita tuliskan
∆∆==
" delta"
" delta" :dibaca , kemiringan
x
y
x
ym (2.2)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 16
Dalam hal garis lurus, rasio x
y
∆∆ memberikan hasil yang sama di titik
manapun kita menghitungnya. Artinya suatu garis lurus hanya mempunyai satu nilai kemiringan, yaitu yang diberikan oleh m pada fungsi mxy = . Gb.2.2. berikut ini memperlihatkan empat contoh kurva
garis lurus yang semuanya melewati titik-asal [0,0] akan tetapi dengan kemiringan yang berbeda-beda. Garis xy = lebih miring dari
xy 5,0= , garis xy 2= lebih miring dari xy = dan jauh lebih miring
dari xy 5,0= , dan ketiganya miring ke atas. Makin besar nilai m, garis
akan semakin miring. Garis yang ke-empat memiliki m negatif −1,5 dan ia miring ke bawah (menurun).
Gb.2.2. Empat contoh kurva garis lurus mxy = .
Secara umum, persamaan garis lurus yang melalui titik-asal [0,0] adalah
mxy = (2.3)
dengan m menunjukkan kemiringan garis; makin besar nilai m garis akan semakin miring. Jika m bernilai positif, garis miring ke atas (naik). Jika m bernilai negatif, garis akan miring ke bawah (menurun).
2.3. Pergeseran Kurva dan Persamaan Garis
Bagaimanakah persamaan garis lurus jika ia tidak melalui titik-asal [0,0] melainkan memotong sumbu-y misalnya di titik [0,2]? Misalkan garis ini memiliki kemiringan 2. Setiap nilai y pada garis ini untuk suatu nilai x, sama dengan nilai y pada garis yang melalui [0,0], yaitu y = 2x, ditambah 2. Oleh karena itu kita dapat menuliskan persamaa garis ini sebagai
22 += xy . Perhatikan Gb.2.3.
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
-1 0 1 2 3 4x
y
y = 0,5x y = x
y = 2x
y = -1,5 x
17
Gb.2.3. Garis lurus melalui titik [0,2], kemiringan 2.
Secara umum, persamaan garis dengan kemiringan m dan memotong sumbu-y di [0,b] adalah
mxby =− )( (2.4)
b bisa positif ataupun negatif. Jika b positif, maka garis tergeser ke arah sumbu-y positif (ke atas) yang berarti garis memotong sumbu-y di atas titik [0,0]. Jika b negatif, garis tergeser kearah sumbu-y negatif (ke bawah); ia memotong sumbu-y di bawah titik [0,0]. Secara singkat, b pada (2.4) menunjukkan pergeseran kurva y sepanjang sumbu-y.
Kita lihat sekarang garis yang memiliki kemiringan 2 dan memotong sumbu-x di titik [a,0], misalnya di titik [1,0]. Lihat Gb.2.4. Dibandingkan dengan garis yang melalui titik [0,0] yaitu garis xy 2= ,
setiap nilai y pada garis ini terjadi pada (x−1) pada garis xy 2= ; atau
dengan kata lain nilai y pada garis ini diperoleh dengan menggantikan nilai x pada garis xy 2= dengan (x−1). Contoh: y = 2,8 pada garis ini
terjadi pada x = x1 dan hal ini terjadi pada )1( 1 −= xx pada kurva
xy 2= .
Gb.2.4. Garis lurus melalui titik [1,0].
x1 x1−1
y = 2x
-4
-2
2
4
6
8
-1 0 1 2 3 4x
y
0
y =2(x–1)
y = 2x
y = 2x + 2
-4
-2
0
2
4
6
8
10
-1 0 1 2 3 4 x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 18
Secara umum persamaan garis yang melalui titik [a,0] dengan kemiringan m kita peroleh dengan menggantikan x pada persamaan
mxy = dengan (x−a). Persamaan garis ini adalah
)( axmy −= (2.5)
Pada persamaan (2.5), jika a positif garis mxy ==== tergeser ke arah
sumbu-x positif (ke kanan); dan jika a negatif garis itu tergeser ke arah sumbu-x negatif (ke kiri). Secara singkat a pada (2.5) menunjukkan pergeseran kurva y sejajar sumbu-x.
Pada contoh di atas, dengan tergesernya kurva ke arah kanan dan memotong sumbu-x di titik [1,0] ia memotong sumbu-y di titik [0,-2]. Suatu garis yang titik perpotongannya dengan kedua sumbu diketahui, pastilah kemiringannya diketahui. Dalam contoh di atas, kemiringannya adalah
21
2
1
)2(0 ========−−−−−−−−========
x
ym
∆∆
dan persamaan garis adalah
22 −= xy (2.6)
Bandingkanlah persamaan ini dengan persamaan (2.4), dengan memberikan m = 2 dan b = −2.
Secara umum, persamaan garis yang memotong sumbu-sumbu koordinat di [a,0] dan [0,b] adalah
a
bmbmxy −=+= dengan (2.7)
Contoh:
-4
-2
2
4
6
8
-1 0 1 2 3 4x
y
0
garis memotong sumbu x di 2, dan memotong sumbu y di 4
Persamaan garis: 4242
4 +−=+−= xxy
19
Bagaimanakah persamaan garis lurus yang tidak terlihat perpotongannya dengan sumbu-sumbu koordinat? Persamaan garis demikian ini dapat dicari jika diketahui koordinat dua titik yang ada pada garis tersebut. Lihat Gb.2.5.
Pada Gb.2.5. kemiringan garis dengan mudah kita peroleh, yaitu
)(
)(
12
12
xx
yy
x
ym
−−=
∆∆= (2.8)
Gb.2.5. Garis lurus melalui dua titik.
Persamaan (2.8) ini harus berlaku untuk semua garis yang melalui dua titik yang diketahui koordinatnya. Jadi secara umum harus berlaku
12
12
xx
yym
−−= (2.9)
Dengan demikian maka persamaan garis yang memiliki kemiringan ini adalah
)( 11 xxmyy −=− (2.10)
Persamaan (2.10) inilah persamaan garis lurus dengan kemiringan m yang diberikan oleh (2.9), bergeser searah sumbu-y sebesar y1 dan bergeser searah sumbu-x sebesar x1.
Contoh: Carilah persamaan garis yang melalui dua titik P(5,7) dan Q(1,2).
[x1,y1]
[x2,y2]
-4
-2
0
2
4
6
8
-1 0 1 3x
y
2
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 20
Kemiringan garis ini adalah 25,115
27 =−−=
−
−=
Qp
QP
xx
yym
Kemiringan garis ini memberikan persamaan garis yang melalui titik asal xy 25,1= . Persamaan garis dengan kemiringan ini yang
melalui titik P(5,7) adalah
75,025,1
725,625,1)5(25,17
+=+−=→−=−
xy
xyxy
Kita bisa melihat secara umum, bahwa kurva suatu fungsi
)(xfy =
akan tergeser sejajar sumbu-x sebesar x1 skala jika x diganti dengan (x − x1), dan tergeser sejajar sumbu-y sebesar y1 skala jika y diganti dengan (y − y1)
)(xfy = menjadi )( 1xxfy −= atau )(1 xfyy =− (2.11)
Walaupun (2.11) diperoleh melalui pembahasan fungsi linier, namun ia berlaku pula untuk fungsi non linier. Fungsi non linier memberikan kurva garis lengkung yang akan kita pelajari dalam bab-bab selanjutnya.
Contoh:
Contoh:
Kita kembali pada contoh sebelumnya, yaitu persamaan garis yang melalui titik P(5,7) dan Q(1,2). Persamaan garis dengan
y + 2 = 2x (pergeseran –2 searah sumbu-y)
y = 2x
-4
-2
2
4
6
8
-1 0 1 2 3 4 x
y
0
kurva semula
atau
y = 2(x – 1) (pergeseran +1 searah sumbu-x)
21
kemiringan 1,25 dan melalui titik asal adalah xy 25,1= . Garis ini
harus kita geser menjadi )(25,1)( axby −=− agar melalui titik P
dan Q. Nilai a dan b dapat kita peroleh jika kita masukkan koordinat titik yang diketahui, P(5,7) dan Q(1,2). Dengan memasukkan koordinat titik ini kita dapatkan persamaan
)5(25,17 ab −=− dan )1(25,12 ab −=−
Dari sini kita akan mendapatkan nilai a = −0,6 dan juga b = 0,75 sehingga persamaan garis yang melalui titik P(5,7) dan Q(1,2) dapat diperoleh, yaitu xy 25,175,0 =− atau )6,0(25,1 += xy .
Garis ini memotong sumbu-y di +0,75 dan memotong sumbu-x di −0,6.
2.4. Perpotongan Garis
Dua garis lurus
111 bxay += dan 222 bxay +=
berpotongan di titik P sehingga koordinat P memenuhi 21 yy =
2p21P1 bxabxa +=+
sehingga
2P2P1P1P
21
12P
atau
bxaybxay
aa
bbx
+=+=⇒
−−=⇒
(2.12)
Contoh:
Titik potong dua garis 84dan 32 21 −=+= xyxy
112843221 =→−=+→= xxxyy
5,52
11P ==x ; 1435,5232P =+×=+= xy
atau 1485,54P =−×=y
Jadi titik potong adalah 14] P[(5,5), . Perhatikan Gb.2.6. berikut
ini.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 22
Gb.2.6. Perpotongan dua garis.
Jika kedua garis memiliki kemiringan yang sama sudah barang tentu kita tak akan memperoleh titik potong karena mereka sejajar; dikatakan juga mereka berpotongan di ∞.
Contoh: Dua garis 84dan 34 21 −=+= xyxy adalah sejajar.
2.5. Pembagian Skala Pada Sumbu Koordinat
Pada penggambaran kurva-kurva di atas, panjang per skala kedua sumbu koordinat tidak sama. Apabila panjang per skala dibuat sama kita akan memiliki kemiringan garis
θ= tanm (2.13)
dengan θ adalah sudut yang dibentuk oleh garis lurus dengan sumbu-x atau dengan garis mendatar, seperti pada Gb.2.7.
Gb.2.7. Panjang per skala sama di sumbu-x dan y.
Sesungguhnya formulasi (2.13) berlaku umum, baik untuk pembagian skala di kedua sumbu koordinat sama besar ataupun tidak. Namun jika
−5
y
x | |
−
−
5
5 θ= tanm
θ
-30
-20
-10
0
10
20
30
-10 -5 0 5 10
y
x
P ⇒ Koordinat P memenuhi persamaan y1 maupun y2.
y2
y1
23
pembagian skala tersebut sama besar, sudut θ yang terlihat dalam grafik menunjukkan kemiringan garis sebenarnya; jika pembagian tidak sama besar sudut θ yang terlihat pada grafik bukanlah sudut sebenarnya sehingga sudut θ sebenarnya harus dihitung dari formula (2.13) dan bukan dilihat dari grafik. 2.6. Domain, Kekontinyuan, Simetri
Pada fungsi linier baxmy +−= )( , peubah y akan selalu memiliki nilai,
berapapun x. Peubah x bisa bernilai dari −∞ sampai +∞. Fungsi ini juga kontinyu dalam rentang tersebut.
Kurva fungsi mxy = simetris terhadap titik asal [0,0] karena fungsi ini
tak berubah jika y diganti dengan −y dan x diganti dengan −x.
2.7. Contoh-Contoh Fungsi Linier
Contoh-contoh fungsi linier berikut ini mamberikan gambaran bahwa fungsi linier dengan kurva yang kita gambarkan berbentuk garis lurus, merupakan bentuk fungsi yang biasa kita jumpai dalam praktik rekayasa.
1). Suatu benda dengan massa m yang mendapat gaya F akan memperoleh percepatan.
maF = ; a adalah percepatan
Jika tidak ada gaya lain yang melawan F, maka dengan percepatan a benda akan memiliki kecepatan sebagai fungsi waktu sebagai
atvtv += 0)(
v kecepatan gerak benda, v0 kecepatan awal, t waktu. Jika kecepatan awal adalah nol maka kecepatan gerak benda pada waktu t adalah
attv =)(
2) Dalam tabung katoda, jika beda tegangan antara anoda dan katoda adalah V , dan jarak antara anoda dan katoda adalah l maka antara anoda dan katoda terdapat medan listrik sebesar
l
VE =
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 24
Elektron yang muncul di permukaan katoda akan mendapat percepatan dari adanya medan listrik sebesar
eEa =
a adalah percepatan yang dialami elektron, e muatan elektron, E medan listrik. Jika kecepatan awal elektron adalah nol, dan waktu tempuh dari anoda ke katoda adalah t, maka kecepatan elektron pada waktu mencapai katoda adalah
atvk =
3) Suatu pegas, jika ditarik kemudian dilepaskan akan kembali pada posisi semula jika tarikan yang dilakukan masih dalam batas elastisitas pegas. Gaya yang diperlukan untuk menarik pegas sepanjang x merupakan fungsi linier dari x.
kxF =
dengan k adalah konstanta pegas.
4) Dalam sebatang logam sepanjang l, akan mengalir arus listrik sebesar i jika antara ujung-ujung logam diberi perbedaan tegangan sebesar V. Arus yang mengalir merupakan fungsi linier dari tegangan dengan relasi
R
VGVi == , dengan
RG
1=
G adalah tetapan yang disebut konduktansi listrik dan R disebut resistansi listrik.Persamaan ini juga bisa dituliskan
iRV = yang dikenal sebagai relasi hukum Ohm dalam kelistrikan.
Jika penampang logam adalah A dan rata sepanjang logam, maka resistansi dapat dinyatakan dengan
A
lR
ρ=
ρ disebut resistivitas bahan logam.
]]]] anoda katoda
l
25
Kerapatan arus dalam logam adalah A
ij = dan dari persamaan di
atas kita peroleh
El
V
RA
V
A
ij σ=
ρ=== 1
dengan lVE /= adalah kuat medan listrik dalam logam, ρ=σ /1
adalah konduktivitas bahan logam.
Secara infinitisimal kuat medan listrik adalah gradien potensial atau
gradien dari V yang kita tuliskan dx
dVE = . Mengenai pengertian
gradien akan kita pelajari di Bab-9.
5). Peristiwa difusi. Secara thermodinamis, faktor pendorong untuk terjadinya difusi, yaitu penyebaran materi menembus materi lain, adalah adanya perbedaan konsentrasi. Situasi ini analog dengan peristiwa aliran muatan listrik di mana faktor pendorong untuk terjadinya aliran muatan adalah perbedaan tegangan.
Analog dengan peristiwa listrik, fluksi materi yang berdifusi dapat kita tuliskan sebagai
dx
dCDJx −=
D adalah koefisien difusi, dC/dx adalah variasi konsentrasi dalam keadaan mantap di mana C0 dan Cx bernilai konstan. Relasi ini disebut Hukum Fick Pertama yang secara formal menyatakan bahwa fluksi dari materi yang berdifusi sebanding dengan gradien konsentrasi; dengan kata lain fluksi materi yang berdifusi merupakan fungsi linier dari gradien konsentrasi.
Berikut ini tersaji soal-soal untuk latihan. Soal-soal ini hanya berkenaan dengan kurva garis lurus. Namun dengan contoh-contoh di atas kita menyadari bahwa fungsi linier bukan hanya sekedar pernyataan suatu
xa x
Ca
Cx
materi masuk di xa
materi keluar di x
∆x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 26
garis lurus melainkan suatu bentuk fungsi yang banyak dijumpai dalam praktik rekayasa.
Soal-Soal 1. Tentukan persamaan garis-garis yang membentuk sisi segi-lima
yang tergambar di bawah ini.
2. Carilah koordinat titik-titik potong dari garis-garis tersebut pada soal nomer-1 di atas.
3. Carilah persamaan garis yang a) melalui titik asal (0,0) dan sejajar garis y2; b) melalui titik asal (0,0) dan sejajar dengan garis y3.
4. Carilah persamaan garis yang melalui a) titik potong y1 − y2 dan titik potong y3 – y4 ; b) titik potong y3 − y4 dan titik potong y1 – y5 ; c) titik potong y1 − y2 dan titik potong y4 – y5.
5. Carilah persamaan garis yang a) melalui titik potong y1 – y5 dan sejajar dengan garis y2 ; b) melalui titik potong y4 – y5 dan sejajar dengan garis y1.
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
y1 y2
y3
y4
y5
y
x
27
Bab 3 Gabungan Fungsi Linier
Fungsi-fungsi linier banyak digunakan untuk membuat model dari perubahan-perubahan besaran fisis. Perubahan besaran fisis mungkin merupakan fungsi waktu, temperatur, tekanan atau yang lain. Artinya waktu, temperatur, tekanan dan lainnya itu menjadi peubah bebas, x, sedangkan besaran fisis yang tergantung padanya merupakan peubah tak bebas, y.
Pada umumnya perubahan besaran fisis terjadi secara tidak linier. Jika dalam batas-batas tertentu perubahan tersebut dapat dianggap linier, besaran fisis tersebut dapat dimodelkan dengan memanfaatkan fungsi-fungsi linier dan model ini kita sebut model linier dari besaran fisis tersebut. Fungsi-fungsi berikut ini biasa dijumpai dalam analisis rangkaian listrik. 3.1. Fungsi Anak Tangga
Fungsi tetapan membentang pada nilai x dari −∞ sampai +∞. Jika kita menginginkan fungsi bernilai konstan yang muncul pada x = 0 dan membentang hanya pada arah x positif, kita memerlukan fungsi lain yang disebut fungsi anak tangga satuan yang didefinisikan bernilai nol untuk x < 0, dan bernilai satu untuk x ≥ 0 dan dituliskan sebagai )(xu . Jadi
0untuk 0
0untuk 1)(
<=≥=
x
xxu (3.1)
Jika suatu fungsi tetapan ky ==== dikalikan dengan fungsi anak tangga
satuan, akan kita peroleh suatu fungsi lain yang kita sebut fungsi anak tangga (disebut juga undak), yaitu
)(xkuy = (3.2)
Fungsi anak tangga (3.2) bernilai nol untuk x < 0, dan bernilai k untuk x ≥ 0. Gb.3.1. memperlihatkan kurva dua fungsi anak tangga. Fungsi
)(5,3 xuy = dan fungsi )(5,2 xuy −= yang bernilai nol untuk x < 0
dan bernilai 3,5 dan −2,5 untuk x ≥ 0.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 28
-4
0
5
-5 0 5 x
y y = 3,5 u(x)
y = −2,5 u(x)
Gb.3.1. Fungsi anak tangga.
Fungsi anak tangga seperti (3.2) dikatakan mulai muncul pada x = 0 dan k disebut amplitudo. Kita lihat sekarang fungsi anak tangga yang baru muncul pada x = a. Ini tidak lain adalah fungsi anak tangga tergeser. Fungsi demikian ini dinyatakan dengan mengganti peubah x dengan
)( ax − . Dengan demikian maka fungsi anak tangga
)( axkuy −= (3.3)
merupakan fungsi yang mulai muncul pada x = a dan disebut fungsi anak tangga tergeser dengan pergeseran sebesar a. Jika a positif fungsi ini bergeser ke arah positif sumbu-x dan jika negatif bergeser ke arah negatif sumbu-x. Gb.3.2. memperlihatkan kurva fungsi seperti ini.
-4
0
5
-5 0 5 x
y y = 3,5 u(x−1)
1
Gb.3.2. Kurva fungsi anak tangga tergeser.
Perhatikanlah bahwa fungsi anak tangga memiliki nilai yang terdefinisi di x = 0. Oleh karena itu fungsi ini kontinyu di x = 0, berbeda dengan fungsi y = 1/x yang tidak terdefinisi di x = 0 (telah disinggung di Bab-1).
29
3.2. Fungsi Ramp
Telah kita lihat bahwa fungsi y = ax berupa garis lurus dengan kemiringan a, melalui titik [0,0], membentang dari x = -∞ sampai x = +∞. Fungsi ramp terbentuk jika persamaan garis tersebut bernilai nol untuk x < 0, yang dapat diperoleh dengan mengalikan ax dengan fungsi anak tangga satuan u(x) (yang telah didefisisikan lebih dulu bernilai nol untuk x < 0). Jadi persamaan fungsi ramp adalah
)(xaxuy = (3.4)
Jika kemiringan a = 1, fungsi tersebut menjadi fungsi ramp satuan.
Fungsi ramp tergeser adalah
)()( gxugxay −−= (3.5)
dengan g adalah pergeserannya. Perhatikanlah bahwa pada (3.5) bagian )(1 gxay −= adalah fungsi linier tergeser sedangkan
)(2 gxuy −= adalah fungsi anak tangga satuan yang tergeser. Gb.3.3.
memperlihatkan kurva fungsi ramp satuan )(1 xxuy = , fungsi ramp
)(22 xxuy = , dan fungsi ramp tergeser )2()2(5,13 −−= xuxy .
Gb.3.3. Ramp satuan y1 = xu(x), ramp y2 = 2xu(x),
ramp tergeser y3 = 1,5(x-2)u(x-2). 3.3. Pulsa
Pulsa merupakan fungsi yang muncul pada suatu nilai x1 tertentu dan menghilang pada x2>x1. Bentuk pulsa ini dapat dinyatakan dengan gabungan dua fungsi anak tangga, yang memiliki amplitudo sama tetapi
0
1
2
3
4
5
6
-1 0 1 2 3 4 x
y y1 = xu(x)
y2 = 2xu(x)
y3 = 1,5(x-2)u(x-2)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 30
berlawanan amplitudo dan berbeda pergeserannya. Persamaan umumnya adalah
)()( 21 xxauxxauy −−−= (3.6)
x1 menunjukkan pergeseran fungsi anak tangga yang pertama dan x2 adalah pergeseran fungsi anak tangga yang ke-dua, dengan x2 > x1. Penjumlahan kedua fungsi anak tangga inilah yang memberikan bentuk pulsa, yang muncul pada x = x1 dan menghilang pada x = x2. Selisih
)( 12 xx − disebut lebar pulsa
12 xxpulsalebar −= (3.7)
Gb.3.4. memperlihatkan pulsa dengan amplitudo 2, yang muncul pada x = 1 dan menghilang pada x = 2, yang persamaannya adalah
{ })2()1(2
)2(2)1(2
−−−=−−−=
xuxu
xuxuy
Gb.3.4. Fungsi pulsa 2u(x-1)-2u(x-2)
Apa yanga berada dalam tanda kurung pada persamaan terakhir ini, yaitu { })2()1( −−−=′ xuxuy , adalah pulsa beramplitudo 1 yang muncul pada
x = 1 dan berakhir pada x = 2. Secara umum pulsa beramplitudo A yang muncul pada x = x1 dan berakhir pada x = x2 adalah
{ })()( 21 xxuxxuAy −−−=′ ; lebar pulsa ini adalah (x2 – x1).
Contoh: Pulsa yang muncul pada x = 0, dengan lebar pulsa 3 dan amplitudo 4, memiliki persamaan
{ })3()(4 −−= xuxuy .
y1=2u(x-1)
y2= -2u(x-2)
y1+y2= 2u(x-1)-2u(x-2)
lebar pulsa
-2
-1
0
1
2
-1 0 1 2 3 4x
31
Fungsi pulsa memiliki nilai hanya dalam selang tertentu yaitu sebesar lebar pulsanya, )( 12 xx − , dan di luar selang ini nilanya nol. Oleh karena
itu fungsi apapun yang dikalikan dengan fungsi pulsa, akan memiliki nilai hanya dalam selang di mana fungsi pulsanya juga memiliki nilai.
Dalam praktik, fungsi pulsa terjadi berulang secara periodik. Gb.3.5. memperlihatkan deretan pulsa
Gb.3.5. Deretan Pulsa.
Peubah x biasanya adalah waktu. Selang waktu di mana pulsa muncul biasa diberi simbol ton sedangkan selang waktu di mana ia menghilang diberi simbol toff. Satu perioda T = ton + toff. Nilai rata-rata deretan pulsa adalah
makson
rr yT
ty =pulsa (3.8)
dengan ymaks adalah amplitudo pulsa.
3.4. Perkalian Ramp dan Pulsa.
Persamaan umumnya adalah
{ } )()()( 21 xxuxxuAxmxuy −−−×= (3.9)
dengan m dan A berturut-turut adalah kemiringan kurva ramp dan amplitudo pulsa. Persamaan (3.9) dapat kita tulis
{ })()( 21 xxuxxumAxy −−−=
Perhatikan bahwa 1)( =xu karena ia adalah fungsi anak tangga satuan.
Gb.3.6. memperlihatkan perkalian fungsi ramp )(21 xxuy = dengan
fungsi pulsa { })3()1(5,12 −−−= xuxuy yang hanya memiliki nilai
antara x = 1 dan x = 3. Perhatikan bahwa hasil kalinya hanya memiliki
perioda
x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 32
nilai antara x = 1 dan x = 3, dengan kemiringan yang merupakan hasil kali antara amplitudo pulsa dengan kemiringan ramp.
{ }{ })3()1(3
)3()1(5,1)(2213
−−−=−−−×==
xuxux
xuxuxxuyyy
Gb.3.6. Perkalian fungsi ramp y1 dan pulsa y2.
Perkalian fungsi ramp )(1 xmxuy = dengan pulsa { })()(12 bxuxuy −−=
membentuk fungsi gigi gergaji { })()()1( bxuxuxmy −−×= yang
muncul pada t = 0 dengan kemiringan m dan lebar b. (Gb.3.7).
Gb.3.7. Kurva gigi gergaji
Seperti halnya pada pulsa, fungsi gigi gergaji biasanya terjadi secara periodik, dengan perioda T, seperti terlihat pada Gb.3.8.
Nilai rata-rata fungsi gigi gergaji adalah
2gergaji-gigi maks
rry
y = (3.10)
y
x 0
2
4
6
8
10
-1 0 1 2 3 4 5b
y2={u(x)-u(x-b)}
y1=mxu(x)
y3 = y1 y2 =mx{ u(x)-u(x-b)}
y1=2xu(x)
y2=1,5{u(x-1)-u(x-3)}
y3 = y1 y2
0
2
4
6
8
10
-1 0 1 2 3 4 5x
y
33
dengan ymaks adalah nilai puncak gigi gergaji.
Gb.3.8. Fungsi gigi gergaji terjadi secara periodik.
3.5. Gabungan Fungsi Ramp
Penjumlahan fungsi ramp akan berbentuk
.......)()(
)()()(
22
11
+−−+−−+=
xxuxxc
xxuxxbxaxuy (3.11)
Kita ambil contoh penjumlahan dua fungsi ramp, )(21 xxuy = dan
)2()2(22 −−−= xuxy seperti terlihat pada Gb.3.9. Gabungan dua
fungsi ramp ini akan memiliki nilai konstan mulai dari x = 2, karena mulai dari titik itu jumlah kedua fungsi adalah nol sehingga fungsi gabungan akan bernilai sama dengan nilai fungsi yang pertama pada saat mencapai x = 2.
Gb.3.9. Gabungan ramp y1 dan ramp tergeser y2.
Gb.3.10. memperlihatkan kurva gabungan dua fungsi ramp, )(21 xxuy =
dan )2()2(4 −−−= xuxy . Di sini, fungsi kedua memiliki kemiringan
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
0 1 2 3 4 5
y1=2xu(x)
y2= −2(x−2)u(x−2)
y3= 2xu(x)−2(x−2)u(x−2)
y
x
y
x
T
0
2
4
6
0 1 2 3 4 5
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 34
negatif dua kali lipat dari kemiringan positif fungsi yang pertama. Oleh karena itu fungsi gabungan y3 = y1 + y2 akan menurun mulai dari x = 2.
Gb.3.10. Gabungan ramp y1 dan ramp tergeser y2.
Apabila fungsi gabungan ini kita kalikan dengan fungsi pulsa )3()1( −−−= xuxuypulsa akan kita peroleh bentuk kurva seperti
terlihat pada Gb.3.11.
Gb.3.11. Kurva {2xu(x)−4xu(x−2)}{ u(x-1)-u(x-3)}
Gabungan fungsi ramp dapat digunakan untuk menyatakan bentuk gelombang segitiga seperti terlihat pada Gb.3.12.
Gb.3.12. Gelombang segitiga.
x
y
-10
-5
0
5
10
15
0 1 2 3 4 5 x
y
5
y1=2xu(x)
y2= −4(x-2)u(x-2)
y3= {2xu(x)−4(x-2)u(x-2)}{ u(x-1)-u(x-3)}
y1=2xu(x)
y2= −4(x−2)u(x−2)
y3= 2xu(x)−4(x−2)u(x−2)
-10
-5
0
5
10
15
0 1 2 3 4 5x
y
35
Bentuk-bentuk kurva gabungan fungsi linier banyak kita jumpai dalam bentuk gelombang sinyal di rangkaian listrik, terutama elektronika. Rangkaian elektronika yang membangkitkan gelombang gigi gergaji misalnya, kita jumpai dalam osciloscope.
3.6. Domain, Kekontinyuan, Simetri
Fungsi anak tangga satuan yang tergeser )( axuy −= hanya mempunyai
nilai untuk x ≥ a. Oleh karena itu semua bentuk fungsi yang dikalikan dengan fungsi anak tangga ini juga hanya memiliki nilai pada rentang x ≥ a. Dalam rentang ini pula fungsi anak tangga kontinyu.
Fungsi anak tangga tidak memiliki sumbu simetri. Hanya fungsi yang memiliki sumbu-x sebagai sumbu simetri yang akan tetap simetris terhadap sumbu-x apabila dikalikan dengan fungsi anak tangga satuan yang tergeser.
Soal-Soal
Bentuk-bentuk kurva gabungan fungsi linier banyak kita jumpai pada bentuk gelombang sinyal dalam rangkaian listrik.
1. Gambarkan dan tentukan persamaan bentuk kurva fungsi anak tangga berikut ini :
a) y1: ymaks = 5, muncul pada x = 0.
b) y2: ymaks = 10 , muncul pada x = 1.
c) y3: ymaks = −5 , muncul pada x = 2.
2. Dari fungsi-fungsi di soal nomer 1, gambarkanlah kurva fungsi berikut ini.
3216
315
214
c).
; b).
; a).
yyyy
yyy
yyy
++=+=+=
3. Gambarkan dan tentukan persamaan bentuk pulsa berikut ini :
a). Amplitudo 5, lebar pulsa 1, muncul pada x = 0.
b). Amplitudo 10, lebar pulsa 2, muncul pada x=1.
c). Amplitudo −5, lebar pulsa 3, muncul pada x=2.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 36
4. Gambarkan bentuk kurva fungsi periodik yang berupa deretan pulsa dengan amplitudo 10, lebar pulsa 20, perioda 50.
5. Gambarkan bentuk kurva fungsi periodik gigi gergaji dengan amplitudo 10 dan perioda 0,5.
6. Tentukan persamaan siklus pertama dari kurva periodik yang digambarkan di bawah ini.
7. Tentukan persamaan siklus pertama dari bentuk kurva periodik yang digambarkan di bawah ini.
−5
0 x
y
perioda
5
1 2 3 4 5 6
5
−3
0 x
y
perioda
1 2 3 4 5 6
37
Bab 4 Mononom dan Polinom
Mononom adalah pernyataan tunggal yang berbentuk kxn, dengan k adalah tetapan dan n adalah bilangan bulat termasuk nol.
Fungsi polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Berikut ini beberapa contoh fungsi polinom dalam bentuk eksplisit
5
10
)5(
735
4
3
222
231
==
−=
+−+=
y
xy
xy
xxxy
Contoh yang pertama, y1, adalah fungsi polinom berpangkat tiga, yaitu pangkat tertinggi dari peubah bebas x. Contoh ke-dua, y2, adalah fungsi berpangkat empat. Contoh y3 dan y4 adalah fungsi mononom berpangkat satu dan berpangkat nol yang telah kita kenal sebagai fungsi linier dan fungsi tetapan yang memiliki kurva berbentuk garis lurus. 4.1. Mononom
Mononom Pangkat Dua. Mononom pangkat dua kita pandang sebagai fungsi genap, kita tuliskan
2kxy = (4.1)
Karena x di-kuadratkan, maka mengganti x dengan −x tidak akan mengubah fungsi. Kurva akan simetris terhadap sumbu-y. Nilai y hanya akan negatif manakala k negatif.
Kita ingat bahwa pada fungsi linier kxy = nilai k merupakan
kemiringan dari garis lurus. Jika k positif maka garis akan naik ke arah positif sumbu-x, dan jika negatif garis akan menurun. Jika k makin besar kemiringan garis makin tajam.
Pada fungsi mononom pangkat dua, kurva akan berada di atas sumbu-x jika k positif dan akan berada di bawah sumbu-x jika k negatif . Jika k makin besar lengkungan kurva akan semakin tajam. Gb. 4.1. memperlihatkan kurva fungsi (4.1) untuk tiga macam nilai positif k.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 38
Makin besar nilai k akan membuat lengkungan kurva makin tajam. Perhatikanlah bahwa pada x = 1, nilai y sama dengan k.
Gb.4.1. Kurva fungsi 2kxy = dengan k positif.
Gb.4.2 memperlihatkan bentuk kurva jika k bernilai negatif. Jika kurva dengan nilai k positif menunjukkan adanya nilai y minimum, yaitu pada titik [0,0], kurva untuk k negatif menunjukkan adanya nilai y maksimum pada titik [0,0].
-100
-80
-60
-40
-20
0 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
y = −2x2
y = −10x2
y
x
Gb.4.2. Kurva fungsi 2kxy = dengan k negatif.
Peninjauan pada fungsi polinom akan kita lakukan pada k yang positif; kita akan melihat bagaimana jika kurva mononom digeser. Pergeseran kurva sebesar a skala sejajar sumbu-x diperoleh dengan menggantikan peubah x dengan (x − a), dan pergeseran sejajar sumbu-y sebesar b skala diperoleh dengan mengganti y dengan (y − b). Dengan demikian persamaan mononom pangkat dua yang tergeser menjadi
2)()( axkby −=− (4.3)
y
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
-3 -2 -1 0 1 2 3
y = x2
y = 3x2 y = 5x2
x
39
Kurva fungsi seperti ini diperlihatkan pada Gb.4.3. untuk a = 0 dan b = 0, a = 2 dan b = 0, serta a = 2 dan b = 30. Untuk nilai-nilai ini, dengan k = 10, persamaan dapat kita tuliskan menjadi
21 10xy =
22 )2(10 −= xy
30)2(10 23 +−= xy
Gb.4.3. Pergeseran kurva mononom pangkat dua dan tergeser.
Perhatikanlah bahwa y2 adalah pergeseran dari y1 ke arah positif sumbu-x sebesar 2 skala; y3 adalah pergeseran dari y2 ke arah positif sumbu-y sebesar 30 skala. Bentuk lengkungan kurva tidak berubah.
Mononom Pangkat Genap. Mononom pangkat genap yang lain adalah berpangkat 4, 6 dan seterusnya. Semua mononom pangkat genap akan membentuk kurva yang memiliki sifat seperti pada mononom pangkat dua yaitu simetris terhadap sumbu-y, berada di atas sumbu-x jika k positif dan berada di bawah sumbu-x jika k negatif. Gb.4.4. memperlihatkan perbedaan bentuk kurva mononom pangkat genap yang memiliki koefisien k sama besar.
Kita lihat pada Gb.4.4. bahwa makin tinggi pangkat mononom makin cepat nilai y bertambah namun hal ini hanya terlihat mulai dari x = 1. Pada nilai x lebih kecil dari satu, kurva makin landai jika pangkat makin tinggi. Dengan kata lain lengkungan makin kurang tajam. Hal ini dapat dimengerti karena pangkat bilangan pecahan bernilai makin kecil jika pangkat makin besar.
x 0
50
100
-5 -3 -1 1 3 5
y1 = 10x2
y2 = 10(x−2)2
y3 = 10(x−2)2 + 30
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 40
Gb.4.4. Kurva mononom pangkat genap dengan koefisien sama.
Telah kita ketahui dalam kasus mononom pangkat dua, bahwa jika koefisien k makin besar lengkungan menjadi makin tajam. Hal yang sama terjadi juga pada kurva mononom pangkat genap yang lebih tinggi. Gb.4.5. memperlihatkan kurva mononom pangkat genap dengan koefisien yang yang meningkat dengan meningkatnya pangkat.
Gb.4.5. Kurva mononom pangkat genap dengan koefisien tak sama.
Pada Gb.4.5 terlihat bahwa makin besar k, nilai y juga makin cepat meningkat. Kecepatan peningkatan y dengan koefisien yang lebih besar sudah mulai terjadi pada nilai x kurang dari satu. Gejala kelandaian pada nilai x yang kecil tetap terlihat.
Kurva-kurva pada Gb.4.5 adalah kurva mononom dengan koefisien yang makin besar pada pangkat yang makin besar. Bila koefisien makin kecilpada pangkat yang makin besar, situasi yang akan terjadi adalah seperti terlihat pada Gb.4.6 berikut ini.
0
1
2
3
4
5
6
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
y3 = 2x2
y2 = 3x4
y1 = 6x6 y
x
y2 = 2x4
y3 = 2x6
y1 = 2x2
0
1
2
3
y
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 x
41
Gb.4.6. Kurva mononom pangkat genap dengan koefisien yang makin rendah pada mononom
berpangkat tinggi.
Kelandaian kurva pangkat tinggi tetap terjadi pada nilai x yang kecil. Kurva pangkat tinggi baru akan menyusul kurva berpangkat rendah pada nilai x > 1; perpotongan dengan kurva dari fungsi yang berpangkat rendah terjadi pada nilai y yang besar.
Contoh Fungsi Mononom Pangkat Dua. Kita ambil beberapa contoh peristiwa fisis.
1). Suatu benda dengan massa m yang mendapat gaya F akan memperoleh percepatan a sehingga kecepatan benda sebagai fungsi waktu (apabila kecepatan awal adalah nol) dapat dinyatakan sebagai
attv =)(
Jarak yang ditempuh mulai dari titik awal adalah
2
2
1)( atts =
2). Dalam tabung katoda, jika kecepatan awal elektron adalah nol, dan waktu tempuh dari anoda ke katoda adalah t, maka kecepatan elektron pada waktu mencapai katoda adalah
atvk =
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
y = x6
y = 3x4
y = 6x2
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 42
(lihat contoh fungsi linier sub-bab-2.7).
Waktu tempuh dapat dihitung dari formula 2
2
1)( atts = , di mana s(t)
= l.
3). Dalam teori atom, di mana elektron dipandang sebagai gelombang, fungsi gelombang dari elektron-bebas dibawah pengaruh medan
sentral adalah rje k=ψ dengan k adalah vektor bilangan gelombang
yang searah dengan rambatan gelombang. λπ= 2
k , λ : panjang
gelombang
Energi kinetik elektron sebagai gelombang, Ek , adalah
ek m
kE
2
22h=
me massa electron, h suatu konstanta.
Ek dan k memiliki relasi mononomial pangkat dua
(Dari Bab-8, ref. [4])
Mononom Pangkat Ganjil. Pangkat ganjil paling kecil adalah 1 dan dalam hal demikian ini kita mendapatkan persamaan garis kxy = .
Pangkat ganjil berikutnya adalah 3, 5, 7 dan seterusnya. Gb.4.5. memperlihatkan kurva fungsi mononom berpangkat ganjil. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil simetris terhadap titik asal. Ia bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Makin tinggi pangkat mononom makin cepat perubahan nilai y untuk x > 1.
]]]] anoda katoda
l
k
Ek
43
Untuk x < 1 kurva makin landai yang berarti makin tajam “pembengkokan” garis lurus yang terjadi di dalam rentang 11 ≤≤− x .
Gb.4.5. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil.
Apabila peningkatan pangkat disertai juga dengan peningkatan koefisien k, perpotongan kurva dengan garis kxy = bisa terjadi pada nilai x < 1.
4.2. Polinom Pangkat Dua
Fungsi polinom pangkat dua berbentuk
cbxaxy ++= 2 (4.4)
Berikut ini kita akan melihat apa yang terjadi pada proses penambahan mononom demi mononom. Untuk penggambaran kurva masing-masing mononom dalam tinjauan fungsi (4.4) diambil semua koefisien mononom positif. Dengan mengambil nilai-nilai a = 2, b = 15, dan c = 13, kurva masing-masing mononom diperlihatkan pada Gb.4.6.
Gb.4.6. Kurva masing-masing mononom dari fungsi kuadrat.
y
y1=2x2
x
y3=13
y2=15x
-150
0
150
-10 0
-3
-2
-1
0
1
2
3
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5
y = 2x y = 2x5
y = 2x3
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 44
Jika kurva y2 = 15x ditambahkan pada y1 = 2x2 maka kurva y1 akan bertambah tinggi di sebelah kanan titik [0,0] dan menjadi rendah di sebelah kiri titik [0,0] seperti terlihat pada Gb.4.7.a.
(a)
(b)
(c)
Gb.4.7. Penjumlahan y1 = 2x2 , y2 = 15x, dan y3 = 13
y4 = 2x2+15x
x
y
-150
0
150
-10 0
sumbu simetri y5 = 2x2+15x+13
y4=2x2+15x
−15/2 x
y
-150
0
150
-10 0
sumbu simetri
−15/4
y1=2x2
y4=2x2+15x
x
y
y2=15x -150
0
150
-10 0
x = −15/2
45
Karena xy 152 = melalui titik [0,0] dan y1 = 2x2 juga melalui titik [0,0]
maka penjumlahan kedua kurva akan memberikan kurva
xxyyy 152 2214 +=+= (4.5)
yang juga melalui titik [0,0]. Selain di x = 0 kurva penjumlahan ini juga memotong sumbu-x di 2/15−=x karena dua titik ini (yaitu x = 0 dan
2/15−=x ) memenuhi persamaan 0152 23 =+= xxy . Kurva ini
memiliki sumbu simetri yang memotong sumbu-x di 4/15−=x seperti terlihat pada Gb.4.7.b. Jika kemudian tetapan 13 ditambahkan pada y4 tebentuklah
13152 25 ++= xxy (4.6)
yang merupakan pergeseran dari y4 ke arah positif sumbu-y sebesar 13 skala, seperti terlihat pada Gb.4.7.c.
Kita lihat sekarang bentuk umum fungsi pangkat dua (4.4)
cbxaxy ++= 2
yang dapat kita tuliskan sebagai
a
acb
a
bxa
ca
b
a
bxacx
a
bxay
4
4
2
42
22
222
−−
+=
+−
+=+
+= (4.7)
Kurva dari fungsi (4.7) ini dapat kita fahami sebagai berikut: kurva y
adalah kurva y = ax2 yang tergeser sejajar sumbu-x sejauh a
b
2−
kemudian tergeser lagi sejajar sumbu-y sejauh
−−
a
acb
4
42.
Perhatikan Gb.4.8.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 46
Gb.4.8. Pergeseran kurva y = ax2 sejajar sumbu-x ke kiri sejauh
–b/2a kemudian tergeser lagi sejajar sumbu-y ke bawah sejauh –(b2−4ac)/4a.
Sumbu simetri terletak pada a
bx
2−= dan kurva memotong sumbu-x di
sebelah kiri dan kanan sumbu simetri ini, yaitu di x1 dan x2 . Dari persamaan (4.7) kita dapatkan
04
4
2
22
=−−
+=a
acb
a
bxay →
a
acb
a
bxa
4
4
2
22 −=
+
→2
22
4
4
2 a
acb
a
bx
−=
+ →2
2
4
4
2 a
acb
a
bx
−±=
+
a
acb
a
bxx
2
4
2,
2
21−±−= (4.8)
yang kita kenal sebagai akar-akar persamaan kuadrat.
Keadaan kritis terjadi pada waktu kurva fungsi kuadrat bersinggungan dengan sumbu-x; dua akar nyata dari persamaan kuadrat menjadi sama besar. Hal ini terjadi jika pergeseran sejajar sumbu-y bernilai nol
-50
0
0
y = ax2 +bx +c
x1 x2
}
y
x
y = ax2
−−a
acb
4
42
a
b
2−
47
0)4(04
4 22
=−⇒=−− acba
acb (4.9)
Jika 0)4( 2 <− acb maka kurva tidak memotong sumbu-x. Keadaan ini
memberikan akar kompleks yang belum akan kita bahas.
Tinjauan di atas memberikan hal-hal berikut:
1. Jika c = 0, maka fungsi menjadi bxaxy += 2 yang memotong
sumbu-x di x = 0 dan a
bx −= dan memiliki sumbu simetri di
a
bx
2−= yang juga menjadi sumbu simetri kurva fungsi kuadrat
cbxaxy ++= 2 .
2. Nilai puncak fungsi cbxaxy ++= 2 adalah nilai puncak
bxaxy += 2 ditambah c yaitu ca
by +−=
4
2 atau
a
acb
4
42 −− .
3. Fungsi kuadrat cbxaxy ++= 2 memotong sumbu-x di
a
acb
a
bx
2
4
2
2
2,1−±−=
Fungsi Polinom Pangkat Dua Sebagai Mononom Tergeser. Mononom
pangkat dua yang tergeser tergeser adalah 2)()( axkby −=− yang dapat
kita tuliskan sebagai
CBxAxbkaakxkxy ++=++−= 222 2
dengan bkaCakxBkxA +=−== 22 , 2 , .
Jadi bentuk kurva polinom pangkat dua memiliki bentuk yang sama dengan mononom tergeser.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 48
4.3. Mononom dan Polinom Pangkat Tiga
Fungsi mononom pangkat tiga kita tuliskan 3kxy = . Jika k positif, fungsi
ini akan bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Jika k negatif maka keadaan akan menjadi sebaliknya. Kurva fungsi ini diperlihatkan pada Gb.4.9.
Gb.4.9. Kurva fungsi y = kx3.
Fungsi mononom yang tergeser sejajar dengan sumbu-x dengan pergeseran sebesar a skala diperoleh dengan mengganti peubah x dengan (x − a), dan jika tergeser sejajar sumbu-y sebesar b skala kita peroleh dengan mengganti y dengan (y − b) . Fungsi mononom pangkat tiga yang tergeser akan menjadi
baxky +−= 3)( (4.10)
dengan bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.4.10.
y
x
-500
-400
-300
-200
-100
0
100
200
300
400
500
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
32xy −=
32xy −=
32xy =
32xy =
49
Gb.4.10. Kurva fungsi pangkat tiga tergeser.
Jika mononom pangkat tiga ditambahkan pada polinom pangkat dua, terbentuklan polinom pangkat tiga, dengan persamaan umum yang berbentuk
dcxbxaxy +++= 23 (4.11)
Karena 3kxy = naik untuk x positif (pada k positif) maka penambahan
ke fungsi kuadrat akan menyebabkan kurva fungsi kuadrat naik di sebelah kanan titik-asal [0,0] dan turun di sebelah kiri [0,0].
Kita ambil a = 4 untuk menggambarkan 31 axy = dan b =19, c = −80, d
= −200 untuk menggambarkan kurva fungsi dcxbxy ++= 22 seperti
terlihat pada Gb.4.11.a.
-600
-400
-200
0
200
400
600
-5 -3 -1 1 3 5x
y = 10x3
y = 10(x−2)3
y = 10(x−2)3 + 100
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 50
Gb.4.11. Mononom pangkat tiga y1 dan fungsi kuadrat y2.
Dengan a positif maka kurva y1 bernilai positif untuk x > 0 dan bernilai negatif untuk x < 0. Kurva fungsi kuadrat y2 telah kita kenal. Jika y1
ditambahkan pada y2 maka nilai-nilai y2 di sebelah kiri titik [0,0] akan berkurang sedangkan yang di sebelah kanan titik [0,0] akan bertambah. Kurva yang kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.9.b.
Terlihat pada gambar ini bahwa penjumlahan y1 dan y2 menghasilkan kurva y3 yang memotong sumbu-x di tiga titik. Ini berarti bahwa
persamaan pangkat tiga 023 =+++ dcxbxax (dengan nilai koefisien yang kita ambil) memiliki tiga akar nyata, yang ditunjukkan oleh perpotongan fungsi y3 dengan sumbu-x tersebut.
-2000
0
2000
-10
0 10
y
x
y1= 4x3 2008019 2
2 −−= xxy
-2000
0
2000
-10 0 10x
y
y1
y2
20080194 23
213
−−+=
+=
xxx
yyy
(a)
(b)
51
Hal demikian tidak selalu terjadi. Jika koefisien a kurang positif, penurunan kurva y1 di daerah x negatif tidak terlalu tajam. Hal ini menyebabkan pengurangan nilai y2 didaerah ini juga tidak terlalu banyak. Kita akan memperoleh kurva seperti ditunjukkan pada Gb.4.12.a. Di sini fungsi pangkat tiga memotong sumbu-x di tiga tempat akan tetapi yang terlihat hanya dua. Titik potong yang ke-tiga berada jauh di x negatif. Makin kecil nilai a (tetap positif) akan makin jauh letak titik perpotongan yang ke-tiga ini.
(a) a kurang positif
(b) a terlalu positif
Gb.4.12. Pengaruh nilai a kurva fungsi pangkat tiga y = y1 + y2.
Jika koefisien a terlalu positif, penurunan y1 di daerah negatif sangat tajam. Pengurangan y2 di daerah ini terjadi sangat besar. Kurva yang kita
-2000
2000
-10 15
y1
y2
y3 = y1+y2
2000
-10 10
y2
y1
y3 = y1 + y2
-2000
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 52
peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.12.b. Di sini kurva tidak memotong sumbu-x di daerah negatif. Hanya ada satu titik potong di sumbu-x positif. Jika a = 0 akan terjadi fungsi kuadrat yang sudah kita bahas di sub-bab sebelumnya.
Kita lihat sekarang keadaan di mana a bernilai negatif. Nilai a negatif akan membuat kurva y1 bernilai positif di daerah x negatif dan bernilai negatif di daerah x positif. Hal ini menyebabkan nilai y2 akan bertambah di daerah negatif dan akan berkurang di daerah positif. Jika a tidak terlalu negatif, kurva yang kita peroleh akan berbentuk seperti terlihat pada Gb.4.13.a.
(a)
(b)
Gb.4.13. Fungsi pangkat tiga y3 = y1 + y2 dengan a negatif.
Kurva berpotongan dengan sumbu-x di tiga tiga tempat. Akan tetapi perpotongan yang ke-tiga berada jauh di daerah x positif. Makin negatif a
-2000
0
-10 0
y3 = y1 + y2
y1
y2
15
-2000
0
2000
-10 0 15
y3 = y1 + y2
y1
y2
53
makin jauh letak titik perpotongan tersebut. Jika a terlalu negatif kurva berpotongan dengan sumbu-x di satu tempat, seperti terlihat pada Gb.4.13.b.
CATATAN: Sesungguhnya perpotongan kurva fungsi pangkat tiga dengan sumbu-x tidak semata-mata ditentukan oleh nilai koefisien a pada mononom pertama ax3. Bentuk dan posisi kurva fungsi kuadratnya, juga akan menentukan letak titik potong.
4.4. Domain, Kekontinyuan, Simetri
Peubah x pada semua fungsi polinom dapat mengambil nilai dari −∞ sampai +∞. Nilai peubah y akan mengikuti nilai x. Fungsi polinom kontinyu dalam rentang x tersebut. Demikian pula halnya jika kita mempunyai fungsi yang merupakan hasilkali antara polinom dengan
polinom, 21 yyy ×= .
Kita telah melihat bahwa kurva mononom pangkat dua 2kxy ==== simetris
terhadap sumbu-y karena penggantian x dengan −x tidak mengubah fungsi ini. Hal ini juga akan berlaku untuk semua kurva mononom yang berpangkat genap. Kenyataan ini menimbulkan istilah simetri genap untuk fungsi-fungsi yang simetris terhadap sumbu-y; misalnya fungsi cosinus yang akan kita pelajari di bab lain.
Kita juga telah melihat bahwa kurva mononom pangkat tiga 3kxy ====
simetris terhadap titik asal [0,0]. Penggantian y dengan −y dan penggantian x dengan −x tidak akan mengubah fungsi ini. Hal ini berlaku pula untuk semua kurva mononom berpangkat ganjil. Istilah simetri ganjil diberikan pada fungsi yang simetris terhadap titik asal [0,0], seperti fungsi sinus yang akan kita pelajari di Bab-6.
Penjumlahan antara mononom berpangkat genap dengan mononom berpangkat ganjil tidak menghasilkan kurva yang memiliki sumbu simetri. Hal ini disebabkan karena kaidah untuk terjadinya simetri bagi mononom berpangkat genap tidak sama dengan kaidah yang diperlukan untuk terjadinya simetri pada kurva mononom berpangkat ganjil.
Keadaan khusus terjadi pada mononom berpangkat satu yang juga merupakan mononom berpangkat ganjil. Kurva dari fungsi ini juga simetris terhadap titik asal [0,0]. Namun fungsi ini adalah fungsi linier dengan kurva yang berbentuk garis lurus, berbeda dengan kurva fungsi mononom pangkat tiga. Kelinieran ini menyebabkan penjumlahan
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 54
dengan kurva mononom pangkat dua menghasilkan pergeseran kurva fungsi pangkat dua; kurva yang tergeser ini memiliki sumbu simetri yang sejajar dengan sumbu-y.
Soal-Soal
1. Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.
84 ; 123
; 75 ; 42
42
3
22
21
+−=−=
−==
xyxy
xyxy
2. Dari soal nomer-1, tentukanlah koordinat titik perpotongan antara kurva-kurva fungsi berikut ini
433221 dan ; dan ; dan yyyyyy
3. Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.
xxyxxyxxy 24 ; 123 ; 105 23
22
21 +−=−=−=
4. Dari soal nomer-3, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.
313221 dan ; dan ; dan yyyyyy
5. Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.
824
; 2123
; 7105
23
22
21
++−=
+−=
−−=
xxy
xxy
xxy
6. Dari soal nomer-5, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.
313221 dan ; dan ; dan yyyyyy
55
Bab 5 Bangun Geometris
5.1. Persamaan Kurva
Persamaan suatu kurva secara umum dapat kita tuliskan sebagai
0),( =yxF (5.1)
Persamaan ini menentukan tempat kedudukan titik-titik yang memenuhi persamaan tersebut. Jadi setiap titik pada kurva akan memenuhi persamaan dan setiap titik yang memenuhi persamaan harus pula terletak pada kurva.
Berikut ini adalah karakteristik umum suatu kurva. Beberapa di antaranya telah kita pelajari di bab pertama.
Simetri. Kurva suatu fungsi mungkin simetris terhadap garis atau titik tertentu
a) jika fungsi tidak berubah apabila x kita ganti dengan −x maka kurva fungsi tersebut simetris terhadap sumbu-y;
b) jika fungsi tidak berubah apabila x dan y dipertukarkan, kurva funsi tersebut simetris terhadap garis-bagi kuadran I dan III.
c) jika fungsi tidak berubah apabila y diganti dengan −y, kurva funsi tersebut simetris terhadap sumbu-x.
d) jika fungsi tidak berubah jika x dan y diganti dengan −x dan −y, kurva fungsi tersebut simetris terhadap titik-asal [0,0].
Nilai Peubah. Dalam melihat bentuk-bentuk geometris hanya nilai-nyata dari y dan x yang kita perhatikan. Apabila dalam suatu persamaan terdapat pangkat genap suatu peubah maka akan terlibat suatu nilai yang berasal dari akar pangkat dua (pangkat genap) dari peubah tersebut. Dalam keadaan demikian kita anggap bahwa bilangan negatif tidak memiliki akar, karena kita belum membahas bilangan kompleks. Hal ini telah dikemukakan di bab pertama dalam sub-bab pembatasan pembahasan.
Contoh: 122 =+ xy . Jika kita cari nilai y kita dapatkan
21 xy −±=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 56
Apabila nilai mutlak x lebih besar dari 1, maka nilai bilangan di bawah tanda akar akan negatif. Dalam hal demikian ini kita membatasi x hanya pada rentang 11 ≤≤− x . Karena kurva ini simetris terhadap garis y = x, maka ia memiliki nilai juga terbatas pada rentang 11 ≤≤− y .
Titik Potong Dengan Sumbu Koordinat. Koordinat titik potong dengan sumbu-x dapat diperoleh dengan memberi nilai y = 0, sedangkan koordinat titik potong dengan sumbu-y diperoleh dengan memberi nilai x = 0.
Contoh: 122 =+ xy . Titik potong dengan sumbu-x adalah P[1,0] dan
Q[−1,0]. Titik potong dengan sumbu-y adalah R[0,1] dan S[0,−1].
Contoh: xy = 1. Dengan memberi nilai x = 0 kita tidak akan mendapatkan solusi untuk y. Demikian pula memberi y = 0 tidak akan memberi solusi untuk x. Kurva persamaan ini tidak memotong sumbu-x maupun sumbu-y.
Asimptot. Suatu titik P[x,y] pada kurva yang bergerak sepanjang kurva menjauhi titik-asal mungkin akan semakin dekat dengan suatu garis tertentu, namun tidak akan menyentuhnya. Garis tersebut merupakan asimptot dari kurva.
Contoh: 10)( 222 +=− xxxy .
Persamaan ini memberikan )1(
102
−+
±=xx
xy
Apa yang berada di dalam tanda akar, tidak boleh negatif. Hal ini berarti jika x harus positif maka ia tidak boleh lebih kecil dari satu agar x(x−1) positif; jika x negatif maka x(x−1) akan tetap positif. Jadi haruslah x < 0 atau x > 1. Tidak ada bagian kurva yang berada antara x = 0 dan x = 1. Garis vertikal x = 0 dan x = 1 adalah asimptot dari kurva. Lihat Gb.5.1.
57
Gb.5.1. Garis asimptot (ditunjukkan oleh garis patah-patah).
Persamaan kurva ini juga bisa dituliskan sebagai
x
x
xx
xy
/11
/10110 2
2
22
−+=
−+=
Jika x → ±∞ maka y2 = 1, dan y = ±1. Garis mendatar y = 1 dan y = −1 juga merupakan asimptot dari kurva.
Soal-Soal:
Tentukan sumbu simetri, titik-titik potong dengan sumbu koordinat, dan garis asimptot kurva-kurva dari fungsi berikut:
xxy
1+= ; 12 += xy ; 1
12 +
=x
y ;
12 −= xy ; 1
12 −
=x
y .
5.2. Jarak Antara Dua Titik
Jika koordinat dua titik diketahui, misalnya P[xp,yp) dan Q[xq,yq], maka jarak antara keduanya adalah
22 )()(PQ qpqp yyxx −+−= (5.2)
Formula ini sangat bermanfaat jika kita hendak mencari tempat kedudukan titik yang berjarak tertentu dari suatu titik lain. Kita akan melihatnya pada ulasan bentuk-bentuk geometris berikut ini.
y
-4
0
4
-4 0 4x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 58
Soal-Soal:
1). Diketahui dua titik P(-2,1) dan Q(2,-3). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap P dan Q.
2). Diketahui dua titik P(-1,0) dan Q(2,0). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan R yang sedemikian rupa sehingga RP = 2× RQ.
5.3. Parabola
Kita telah melihat bentuk kurva
2kxy = (5.3)
yang simetris terhadap sumbu-y. Bentuk kurva ini disebut parabola. Dalam persamaan ini, ada suatu nilai k sedemikian rupa sehingga jarak antara satu titik P yang terletak pada kurva dengan titik Q yang terletak di sumbu-y sama dengan jarak antara titik P dan suatu garis tertentu, seperti diperlihatkan pada Gb.5.2. Titik Q disebut titik fokus parabola, dan garis tertentu y = −p disebut garis direktriks dan titik puncak parabola berada di tengah antara titik fokus dan direktriknya.
Gb.5.2. Titik fokus dan garis direktriks.
Hubungan antara k dan p dapat dicari sebagai berikut.
xppyyxpyxp 2222222 2 )()PR(PQ ++−=+−=+−=
py )(PR +=
[0,0]
y
x
y=kx2
P[x,y]
Q[0,p]
R[x,−p]
59
Karena PQ = PR, maka
pyxppyy +=++− 222 2
22222 22 ppyyxppyy ++=++−
pyx 42 +=+
atau
p
xy
4
2= yang berarti
pk
4
1= atau k
p4
1=
Dengan demikian persamaan parabola dapat kita tuliskan
2
4
1x
py = (5.4)
dengan direktiks y = −p dan titik fokus Q[0,p].
Contoh: Persamaan parabola 25,0 xy = dapat kita tuliskan
22
5,04
1
2
1xxy
×==
dan parabola ini memiliki direktrik 5,0−=−= py dan
titik fokus di Q[0,(0,5)].
Soal-Soal:
Tentukan titik fokus dan direktrik parabola-parabola berikut:
842 =+ xy ; 482 =− yx ;
03422 =−−+ yxx ; 02 =++ yxy
5.4. Lingkaran
Lingkaran merupakan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap satu titik tertentu. Titik tertentu itu disebut titik pusat lingkaran. Jika titik tertentu itu adalah titik-asal [0,0] maka jarak suatu titik X[x,y] ke titik-asal adalah
22XO yx +=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 60
Jika jarak ini tertentu, r misalnya, maka
ryx =+ 22
Oleh karena itu persamaan lingkaran dengan titik pusat [0,0] adalah
222 ryx =+ (5.5)
dengan r adalah jari-jari lingkaran.
Jika titik pusat lingkaran tidak berimpit dengan titik asal, kita dapat melihatnya sebagai lingkaran tergeser. Lingkaran dengan titik pusat di P[a,b] mempunyai persamaan
222 )()( rbyax =−+− (5.6)
Gb.5.3. memperlihatkan bentuk lingkaran dengan jari-jari 1 yang disebut
lingkaran-satuan, berpusat di [0,0] dengan persamaan 122 =+ yx .
Gb.5.3. Lingkaran
Pada Gb.5.3 ini pula diperlihatkan lingkaran dengan r2 = 0,4 berpusat di [(0,5),(0,5)] yang berarti lingkaran tergeser sejajar sumbu-x sebesar 0,5 skala dan sejajar sumbu-y sebesar 0,5 skala, dengan persamaan
4,0)5,0()5,0( 22 =−+− yx
-1
0,5
1
-1 [0,0] 0,5
1 x
y
y1
61
Soal-Soal:
Tentukan persamaan dan cari titik-titik potong dengan sumbu-sumbu koordinat lingkaran berikut
1) Titik pusat di P(1,2), jari-jari 4.
2) Titik pusat di Q(-2,1), jari-jari 5.
3) Titik pusat R(2,3) jari-jari 3.
4) Titik pusat S(3,2) jari-jari 2.
5.5. Elips
Elips adalah tempat kedudukan titik yang jumlah jarak terhadap dua titik tertentu adalah konstan. Kedua titik tertentu tersebut merupakan dua titik fokus dari elips.
Perhatikan Gb.5.4. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−a,0] dan Q(a,0]. Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masing-masing adalah
Gb.5.4. Elips 22)(XP ycx ++= dan
22)(XQ ycx +−=
Jika jumlah antara keduanya adalah konstan, misalkan 2a, maka
aycxycx 2)()( 2222 =+−+++
Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, akan kita peroleh
2222222 )()(44)( ycxycxaaycx +−++−−=++
yang dapat disederhanakan menjadi
22)( ycxxa
ca +−=−
X[x,y]
P[-c, 0] Q[c, 0] x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 62
Jika kedua ruas di kuadratkan kita dapatkan
22222
22 22 yccxxx
a
ccxa ++−=+−
yang dapat disederhanakan menjadi
122
2
2
2=
−+
ca
y
a
x
Kita perhatikan penyebut pada suku ke-dua ruas kiri persamaan terakhir ini, dengan melihat pada Gb.5.4. Pada segitiga XPQ, jumlah dua sisi selalu lebih besar dari sisi yang ketiga, (XP + XQ) > PQ atau 2a > 2c, sehingga penyebut suku ke-2 di ruas kiri selalu positif dan memiliki akar
nyata; misalkan bca =− 22 . Dengan demikian kita mendapatkan persamaan elips
12
2
2
2=+
b
y
a
x (5.7)
Titik-titik potong dengan sumbu-x adalah [±a,0] dan titik-titik potong dengan sumbu-y adalah [0,±b]. Jadi suatu elips dilingkupi oleh satu segi panjang 2a×2b; 2a adalah sumbu panjang elips dan 2b adalah sumbu pendeknya. (Perhatikan bahwa jika a = b yang berarti c = 0, kita mendapatkan persamaan lingkaran).
Apabila titik fokus elips tidak terletak pada sumbu-x, kita bisa melihatnya sebagai elips tergeser. Persamaan elips tergeser adalah
1)()(
2
2
2
2=
−+
−b
qy
a
px (5.8)
dengan p adalah pergeseran sejajar sumbu-x dan q adalah pergeseran sejajar sumbu-y. Gb.5.5. adalah elips dengan persamaan
15,0
)25,0(
1
)5,0(2
22=
−+
− yx
63
Gb.5.5. Elips tergeser.
Soal-Soal:
Tentukan titik-titk fokus dan gambarkan (skets) elips berikut:
1) 3649 22 =+ xx ;
2) 14494 22 =+ yx ;
3) 14 22 =+ yx ;
4) 144)3(9)2(16 22 =++− yx
5.6. Hiperbola
Hiperbola merupakan tempat kedudukan titik-titik yang selisih jaraknya antara dua titik tertentu adalah konstan. Penurunan persamaan hiperbola dapat dilakukan seperti halnya dengan penurunan persamaan elips di atas.
Perhatikan Gb.5.6. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−c,0] dan Q(c,0].
Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masing-masing adalah
22)(XP ycx ++= dan
22)(XQ ycx +−=
1
-1
0-1 0 1 2x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 64
Gb.5.6. Posisi titik X terhadap P[-c,0] dan Q[c,0].
Jika selisih antara XP dan XQ harus tetap, misalnya 2a, maka
aycxycx 2)()( 2222 =+−−++
Suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, kemudian dilakukan penyederhanaan
22)()/( ycxaxac +−=−
Jika kedua ruas dikuadratkan akan diperoleh
122
2
2
2
=−
−ac
y
a
x
Kita lihat lagi Gb.5.6. Dalam segitiga PXQ, selisih (XP−XQ) = 2a selalu lebih kecil dari PQ = 2c. Jadi a < c sehingga penyebut pada suku kedua
ruas kiri selalu positif, misalkan 222 bac =− . Dengan demikian kita dapatkan persamaan
12
2
2
2
=−b
y
a
x (5.9)
Inilah persamaan hiperbola, dengan bentuk kurva seperti pada Gb.5.7.
X(x,y)
P[-c,0] Q[c,0]
y
x
65
Gb.5.7. Kurva hiperbola
Dengan memberi nilai y = 0, kita dapatkan titik potong hiperbola dengan sumbu-x yaitu [±a,0]. Dengan memberikan nilai x = 0, kita tidak memperoleh solusi untuk y. Kurva tidak memotong sumbu-y; tidak ada bagian kurva yang terletak antara x = −a dan x = a.
Soal-Soal:
Gambarkan (skets) hiperbola berikut:
1) 1169
22=− yx
; 2) 1169
22=− xy
;
3) 1916
22=− yx
; 4) 1169
22−=− yx
5.4. Kurva Berderajat Dua
Parabola, lingkaran, elips, dan hiperbola adalah bentuk-bentuk khusus kurva berderajat dua, atau kurva pangkat dua. Bentuk umum persamaan berderajat dua adalah
022 =+++++ FEyDxCyBxyAx (5.10)
Persamaan parabola adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan
pEAFDCB 4 ;1 ;0 −======
+∞
−∞
X(x,y)
-c -a a c
y
x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 66
sehingga diperoleh persamaan (5.4) 2
4
1x
py = .
Lingkaran satuan adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan
;1 ;1 ;0 ===== CAEDB F = −1
Bahkan persamaan garis luruspun merupakan keadaan khusus dari (5.10), di mana
bFEaDCBA −==−==== ;1 ; ;0
yang memberikan persamaan garis lurus baxy += . Namun dalam
kasus terakhir ini persamaan berderajat dua (5.10) berubah status menjadi persamaan berderajat satu.
Bentuk Ax2 dan Cy2 adalah bentuk-bentuk berderajat dua yang telah sering kita temui pada persamaan kurva yang telah kita bahas. Namun bentuk Bxy, yang juga merupakan bentuk berderajat dua, belum pernah kita temui. Dalam sub-bab berikut ini hal tersebut akan kita lihat.
5.5. Perputaran Sumbu Koordinat
Dalam bangun geometris yang sudah kita lihat, mulai dari parabola sampai hiperbola, tidak satupun mengandung bentuk Bxy. Hal Ini sesungguhnya merupakan konsekuensi dari pemilihan koordinat. Dalam bangun hiperbola misalnya, kita telah memilih titik-titik fokus P[−c,0] dan Q[c,0] sehingga hiperbola simetris terhadap sumbu-x dan memotong sumbu-x di x = ±a. Sekarang akan kita coba memilih titik fokus di P[−a,−a] dan Q[a,a] seperti pada Gb.5.8.
Gb.5.8. Titik fokus di P[-a.-a] dan Q[a,a]
Selisih jarak XP dan XQ yang tetap kita misalkan 2a
P[-a,-a]
Q[a,a]
y
x
X
67
aayaxayax 2)()()()( 2222 =−+−−+++
Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan kemudian kedua ruas dikuadratkan dan dilakukan penyederhanaan, akan kita peroleh
22 )()( ayaxayx −+−=−+
Jika ruas kanan dan kiri dikuadratkan lagi kita dapatkan
22 axy = (5.11)
Mempetukarkan x dengan y tidak mengubah persamaan ini. Kurva persamaan ini simetris terhadap garis y = x, yaitu garis bagi kuadran II dan III seperti terlihat pada Gb.5.9.
Gb.5.9. Kurva 2xy = a2.
Kalau kita bandingkan kurva Gb.5.9 ini dengan kurva hiperbola sebelumnya pada Gb.5.7. terlihat bahwa kurva pada Gb.5.9. memiliki sumbu simetri yang terputar 45o berlawanan dengan arah perputaran jarum jam, dibandingkan dengan sumbu simetri Gb.5.7 yaitu sumbu-x. Apakah memang demikian? Kita akan lihat secara umum mengenai perputaran sumbu ini. Perhatikan Gb.5.10.
Gb.5.10. Perputaran sumbu.
x’
y
x α β
y’ P[x,y] P[x’,y’]
Q
Q’
O
-5
0
5
-5 0
y
x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 68
Sumbu x-y diputar sebesar α menjadi sumbu x’-y’ . Titik P dapat dinyatakan dengan dua koordinat P[x,y] dengan referensi sumbu x-y, atau P[x’,y’ ] dengan referensi sumbu x’-y’ . Dari Gb.5.10. kita dapatkan
)sin(OPPQ
)cos(OPOQ
β+α==β+α==
y
x (5.12)
Sementara itu
β==β==
sinOPPQ''
cosOPOQ''
y
x (5.13)
Dengan kesamaan (Catatan: lihat fungsi trigonometri di Bab-6)
βα+βα=β+αβα−βα=β+α
sincoscossin)sin(
sinsincoscos)cos( (5.14)
Dengan (5.13) dan (5.14), maka (5.12) menjadi
α+α=α−α=
cos'sin'
sin'cos'
yxy
yxx (5.15)
Persamaan (5.15) inilah persamaan rotasi sumbu.
Kita coba aplikasikan (5.15) pada (5.11) yang memiliki kurva pada Gb.5.10, di mana rotasi sumbu terjadi pada sudut 45o sehingga
2/1sincos =α=α . Oleh karena itu kita peroleh
2
'' yxx
−= dan 2
'' yxy
+=
Nilai x dan y ini kita masukkan ke (5.11) dan kita mendapatkan
222 )'()'(2
''
2
''2 ayx
yxyx =−=+×−
Bentuk persamaan ini sama dengan bentuk persamaan (5.9); pada (5.9) sumbu simetri adalah sumbu-x, sedangkan di sini sumbu simetri adalah sumbu-x’ yaitu sumbu-x yang diputar 45o. Dengan pembahasan mengenai perputaran sumbu ini, menjadi lengkaplah pergeseran kurva yang kita bahas. Pergeseran kurva sejajar sumbu-x dan sumbu-y yang telah kita bahas sebelumnya dapat pula kita pandang sebagai pergeseran atau translasi sumbu koordinat. Dengan demikian kita mengenal translasi dan rotasi sumbu koordinat, di mana sumbu-sumbu simetri dari suatu kurva tidak berimpit dengan sumbu koordinat, dan titik simetri tidak berimpit dengan titik asal [0,0].
69
Bab 6 Fungsi Trigonometri
Trigon adalah poligon yang paling sederhana. Ia bersisi tiga yang disebut segitiga; ia unik. Suatu segitiga ABC dengan sisi-sisi a, b, dan c adalah satu-satunya segitiga yang memiliki sisi-sisi ini; tidak ada segitiga lain yang memiliki sisi-sisi a, b, dan c, yang berbeda bentuk dan ukuran dari segitiga ABC. Bentuk dan ukuran yang pasti ini menjamin adanya relasi yang pasti antara sisi-sisi dan sudutnya. Dengan kepastian ini ia menjadi wahana transformasi dari berbagai gejala fisis yang kita kenal; bentuk segitiga yang digunakan untuk keperluan ini adalah segitiga siku-siku.
Segitiga siku-siku dengan sisi-miring c dan sisi siku-siku b dan c, dan sudut α adalah antara sisi b dan c, mempunyai relasi pasti
α=α=
cos
dan sin
cb
ca
Sinus dan cosinus adalah fungsi-fungsi trigonometri. Sudut α menjadi peubah bebas dan a menjadi peubah tak bebas yang nilainya tergantung dari α, dengan c merupakan tetapan; kita dapat menuliskan fungsi
α= sinAy
Jika α bervariasi terhadap waktu, ta ω= , maka
tAy ω= sin
Inilah fungsi sinus yang sering kita jumpai, yang digunakan untuk menyatakan berbagai besaran fisis yang berubah terhadap waktu secara sinusoidal. Sebagai contoh: getaran garpu tala, gelombang suara gong yang ditabuh, gelombang tegangan saluran transmisi enegi listrik, gelombang tegangan medan listrik pemancar radio, dan sebagainya.
ω dalam contoh di atas disebut frekuensi sudut, t adalah waktu yang biasanya dinyatakan dalam satuan detik, dan sudut α dapat dinyatakan dalam satuan derajat ataupun radian; jadi ω memiliki satuan derajat/detik atau radian/detik.
αA
B
C
c
α= coscb
α= sinca
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 70
6.1. Peubah Bebas Bersatuan Derajat
Berikut ini adalah fungsi-fungsi trigonometri dengan sudut θ sebagai peubah-bebas.
θ=θ=
θ=θ=
θθ=θ=
θθ=θ=
θ=θ=
sin
1csc
cos
1sec
sin
coscot
cos
sintan
cos
sin
6
5
4
3
2
1
y
y
y
y
y
y
(6.1)
Untuk menjelaskan fungsi trigonometri, kita gambarkan lingkaran-satuan, yaitu lingkaran berjari-jari satu. Bentuk lingkaran ini diperlihatkan pada Gb.6.1. Kita menggunakan referensi arah positif berlawanan dengan arah jarum jam; artinya sudut θ makin besar jika jari-jari r berputar berlawanan dengan arah perputaran jarum jam.
Gb.6.1. Lingkaran berjari-jari 1.
O
P
Q
θ
-1
1
-1 [0,0] 1 x
y
r
P’
-θ
71
Fungsi sinus. Dengan membuat jari-jari r = OP = 1, maka
PQPQ
sin ==θr
(6.2)
PQ = 0 pada waktu θ = 0o, dan membesar jika θ membesar sampai mencapai maksimum PQ = 1 pada waktu θ = 90o. Kemudian PQ menurun lagi dan mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 180o. Sesudah itu PQ menjadi negatif (arah ke bawah) dan mencapai minimum PQ = −1 pada waktu θ = 270o, kemudian meningkat lagi mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 360o. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 720o. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Kejadian satu siklus kita sebut satu perioda. Secara singkat kita memperoleh
0360sin ;1270sin
;0180sin ;190sin ;00sinoo
ooo
=−=
===
Fungsi Cosinus. Karena telah ditetapkan r = 1, maka
OQOQ
cos ==θr
(6.3)
OQ = 1 pada waktu θ = 0, dan mengecil jika θ membesar sampai mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = π/2. Kemudian OQ meningkat lagi tetapi negatif dan mencapai OQ = −1 pada waktu θ = π. Sesudah itu OQ mengecil dan tetap negatif dan mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = 1,5π, kemudian meningkat lagi mencapai OQ = 1 pada waktu θ = 2π. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 4π. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Secara singkat
1360cos ;0270cos
;1180cos ;090cos ;10cosoo
ooo
==
−===
Pada Gb.6.1, jika sin(θ) = PQ dan cos(θ) = OQ, sedangkan dalil Pitagoras memberikan PQ2 + OQ2 = OP2 =1, maka
1)(cos)(sin 22 =θ+θ (6.4.a)
Dari Gb.6.1. dapat kita peroleh juga
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 72
θ−=−=′
=θ− sinPQQP
)sin(rr
(6.4.b)
θ==θ− cosOQ
)cos(r
(6.4.c)
Pada segitiga siku-siku OPQ maupun OP’Q sisi tegak selalu lebih kecil dari sisi miring. Oleh karena itulah sinθ maupun cosθ akan bernilai antara −1 dan +1.
Fungsi Tangent.
OQ
PQtan =θ (6.4.d)
θ−=−=′
=θ− tanOQ
PQ
OQ
QP)tan( (6.4.e)
Nilai tanθ akan menjadi 0 jika θ = 0o, dan akan menuju +∞ jika θ menuju 90o karena pada waktu itu PQ juga ∞ dan tan(−θ) akan menuju −∞ pada waktu θ menuju −90o. Jadi tanθ bernilai antara −∞ sampai +∞.
Nilai tanθ = 1 bila θ = 45o karena pada waktu itu PQ = OQ; tan(−θ) = −1 jika θ = −45o. Lihat pula kurva pada Gb.6.5.
Fungsi Cotangent.
PQ
OQcot =θ (6.4.f)
θ−=−
=′
=θ− cotPQ
OQ
QP
OQ)cot( (6.4.g)
Nilai cotθ akan menuju +∞ jika θ menuju 0o karena PQ akan menuju 0 walau OQ menuju 0; cotθ = 0 jika θ = 90o karena OQ = 0.
Sebaliknya cotθ akan menuju −∞ jika θ menuju −0 karena P’Q akan menuju −0; cotθ = 0 jika θ = −90o karena P’Q menuju −∞. Lihat pula kurva Gb.6.6.
73
Fungsi Secan dan Cosecan
OQcos
1sec
r=θ
=θ (6.4.h)
PQsin
1csc
r=θ
=θ (6.4.i)
Nilai secθ menuju ∞ jika θ menuju 90o karena OQ menuju 0 dan secθ = 1 pada waktu θ = 0o karena pada waktu itu OQ = r atau cosθ = 1. Sementara itu cscθ akan menuju ∞ jika θ menuju 0 karena sinθ menuju 0. Lihat pula Gb.6.7.
Relasi-Relasi. Relasi-relasi yang lain dapat kita turunkan dengan mengunakan Gb.6.2., yaitu
Gb.6.2. Relasi-relasi
βα−βα=β+αβα+βα=β+α
sinsincoscos)cos(
sincoscossin)sin( (6.5)
Karena β−=β− sin)sin( dan β=β− cos)cos( maka kita peroleh pula
βα+βα=β−αβα−βα=β−α
sinsincoscos)cos(
sincoscossin)sin( (6.6)
sinα
α
-1
1
-1 [0,0] 1 x
y
β
cosα
cosα cosβ
cosα sinβ
β
sinα sinβ
sinα cosβ
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 74
6.2. Kurva Fungsi Trigonometri Dalam Koordinat x-y
Bilangan-nyata dengan desimal yang tidak terbatas, π, digunakan untuk menyatakan besar sudut dengan satuan radian. Jumlah radian dalam sudut θ didefinisikan dengan persamaan
θ==θ rsr
s , (6.7)
Jika θ = 360o maka s menjadi penuh satu keliling lingkaran, atau s = 2πr . Jadi jumlah radian dalam sudut 360o adalah 2π. Dengan demikian maka ukuran sudut
rad. adalah 180 o1 π=θ
rad. 0,5adalah 90 o2 π=θ
rad. )180/(adalah 1 o3 π=θ dst.
Fungsi Sinus. Dengan menggunakan satuan radian, fungsi trigonometri akan kita gambarkan pada sistem koordinat x-y, yang kita ketahui bahwa sumbu-x adalah sumbu bilangan-nyata, termasuk π. Bentuk kurva fungsi sinus
)sin(xy = (6.8)
terlihat pada Gb.6.3. yang dibuat untuk nilai x dari −2π sampai +2π.
Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai nilai nol pada x = π atau θ = 180o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = 1,5π atau θ = 270o, kembali nol pada x = 2π atau θ = 360o; inilah satu perioda.
Gb.6.3. Kurva fungsi sinus dalam dua perioda.
x
y
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
0−π π 2π −2π
θ s r
75
Fungsi Cosinus. Kurva fungsi cosinus
)cos(xy = (6.9)
terlihat pada Gb.6.4. Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = 0 atau θ = 0o, mencapai nilai nol pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = π atau θ = 180o, kembali nol pada x = 1,5π atau θ = 270o, dan ke nilai maksimum +1 lagi setelah satu perioda, 2π.
Gb.6.4. Kurva fungsi cosinus.
Fungsi sinus maupun fungsi cosinus adalah fungsi periodik dengan perioda sama sebesar 2π, dengan nilai maksimum dan minimum yang sama yaitu +1 dan −1. Perbedaan antara keduanya terlihat, yaitu
)cos()cos( sedangkan )sin()sin( xxxx −=−−= (6.10)
Fungsi sinus simetris terhadap titik-asal [0,0], dan disebut memiliki simetri ganjil. Fungsi cosinus simetris terhadap sumbu-y dan disebut memiliki simetri genap.
Dengan memperbandingkan Gb.6.3. dan Gb.6.4 kita lihat bahwa fungsi sinus dapat dipandang sebagai fungsi cosinus yang tergeser sejajar sumbu-x sebesar π/2. Oleh karena itu fungsi sinus dapat kita nyatakan dalam cosinus
)2/cos()sin( π−== xxy (6.11)
Fungsi Tangent. Selanjutnya kita lihat fungsi
)cos(
)sin()tan(
x
xxy == (6.12)
perioda
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
0 x
y
2π π −π
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 76
Karena cos(x) = 0 pada x = +π/2 dan −π/2, maka tan(x) bernilai tak hingga pada x = +π/2 dan −π/2.
Fungsi Cotangent. Fungsi ini adalah kebalikan dari fungsi tangent.
)tan(
1
)sin(
)cos()cot(
xx
xxy === (6.13)
Karena sin(x) = 0 pada x = 0, maka cot(x) bernilai tak hingga pada x = 0. Lihat Gb.6.6.
Gb.6.6. Kurva y = cot (x)
-3
-2
-1
0
1
2
3
-1,5π -π -0,5π 0 0,5π π 1,5π
-3
-2
-1
0
1
2
3
-1,5π -π -0,5π 0 0,5π π 1,5π
y
Gb.6.5. Kurva )tan(xy ====
77
Fungsi Secan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi cosinus.
)cos(
1)sec(
xxy == (6.14.a)
Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.a. Perhatikan bahwa sec(x) bernilai 1 pada x = 0 karena pada nilai x itu cos(x) juga bernilai 1.
Fungsi Cosecan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi sinus.
)sin(
1)csc(
xxy == (6.14.b)
Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.b. csc(x) bernilai ∞ pada x = 0 kara pada nilai x ini sin(x) bernilai 0.
(a) y = sec(x)
(b) y = csc(x)
Gb.6.7. Kurva y = sec(x) dan y = csc(x)
-3
-2
-1
0
1
2
3
-1,5π -π -0,5π 0 0,5π π 1,5π
-3
-2
-1
0
1
2
3
-1,5π -π -0,5π 0 0,5π π 1,5π
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 78
Soal-Soal: Skets kurva fungsi-fungsi berikut:
xy sin2= ; xy 2sin3= ; xy 3cos2= ;
)4/2cos(3 π+= xy ; )3/tan(2 xy =
6.3. Fungsi Trigonometri Inversi
Sinus Inversi. Jika fungsi sinus kita tuliskan )sin(xy = , maka fungsi
sinus inversi dituliskan sebagai
xyxy 1sinatau arcsin −== (6.15)
Perhatikan bahwa sin−1x bukan berarti 1/sinx, melainkan inversi sinus x yang bisa kita baca sebagai: y adalah sudut yang sinusnya sama dengan x.
Karena fungsi sinus adalah periodik dari −∞ sampai +∞ maka fungsi
xy 1sin−= tidaklah bernilai tunggal. Kurva fungsi ini terlihat pada
Gb.6.8.a.
Ia akan terlihat bernilai tunggal jika kita membatasi nilai y; kita hanya
meninjau fungsi sinus inversi pada 22
π≤≤π− y . Dengan pembatasan ini
maka kita hanya terlibat dengan nilai-nilai utama dari sin−1x. Jadi nilai
utama xy 1sin−= terletak pada 2
sin2
1 π≤≤π− − x . Kurva fungsi
xy 1sin−= yang dibatasi ini terlihat pada Gb.6.8.b.
Perhatikanlah bahwa pada x = 0, y = sin−1x = 0 karena pada y = 0 sin(y) = 0 = x. Pada x = 1, y = sin−1x = π/2 karena sin(y) = sin(π/2) = 1 = x.
Contoh: π== − 5,0)1(sin 1y ;
π−=−= − 5,0)1(sin 1y
6)5,0(sin 1 π== −y ;
6)5,0(sin 1 π−=−= −y
79
a) b)
Gb.6.8. Kurva y = sin−1x
Jika kita bandingkan Gb.6.8. (fungsi sinus inversi) dengan Gb.6.3. (fungsi sinus) terlihat bahwa jika sumbu-y pada Gb.6.8. kita gambarkan horizontal sedangkan sumbu-x kita gambarkan vertikal, maka kita akan memperoleh bentuk kurva fungsi sinus pada Gb.6.3. pada rentang
22
π≤≤π− y , yaitu rentang di mana kita membatasi nilai y pada fungsi
sinus inversi, atau rentang nilai utama fungsi sinus inversi.
Cosinus Inversi. Fungsi cosinus inversi kita peroleh melalui hubungan
xxy 11 sin2
cos −− −π== (6.16)
Hubungan ini berasal dari relasi segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka α−π=β 2/ dan β=α cossin .
Oleh karena itu jika x=αsin maka x=βcos sehingga
xx 11 sin2/2/cos −− −π=α−π=β=
-0,5π
-0,25π
0
0,25π
0,5π
-1 -0,5 0 0,5 1 x
y x
y
-1 0
1 0
−π
π
2π
−2π
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 80
Karena dengan pembatasan 22
π≤≤π− y pada fungsi sinus inversi
memberikan 2
sin2
1 π≤≤π− − x maka nilai-nilai utama dari x1cos− akan
terletak pada π≤≤ − x1cos0 . Gb.6.9.b. memperlihatkan kurva fungsi cosinus inversi pada nilai utama.
Perhatikan bahwa jika sumbu-x digambar vertikal sedang sumbu-y digambar horizontal, kita dapatkan fungsi cosinus seperti pada Gb.6.4. dalam rentang π≤≤ x0 .
a) b)
Gb.6.9. Kurva xy 1cos−=
Tangent Inversi. Fungsi tangent inversi adalah
xy 1tan−= (6.17)
dengan nilai utama 2
tan2
1 π<<π− − x
Untuk fungsi ini, nilai )2/(π±=y tidak kita masukkan pada
pembatasan untuk y karena nilai tangent akan menjadi tak hingga pada
nilai y tersebut. Gb.6.10.a. memperlihatkan kurva xy 1tan−= lengkap
sedangkan Gb.6.10.b. dibatasi pada nilai π<<π− 5.05,0 y .
0
0,25π
0,5π
0,75π
1π
-1 -0,5 0 0,5 1 x
y
x
y
-1 0
10
−π
π
81
a) b)
Gb.6.10. Kurva xy 1tan−=
Jika kita mempertukarkan posisi sumbu-x dan sumbu-y pada Gb.6.10.b ini, kita akan memperoleh kurva pada Gb.6.5. yaitu kurva fungsi tangent, dalam rentang
2tan
21 π<<π− − x
Inilah batas nilai-nilai utama fungsi tangent inversi.
Cotangent inversi. Fungsi ini diperoleh melalui hubungan
xxy 11 tan2
cot −− −π== (6.18)
dengan nilai utama π<< − x1cot0
0 dan π tidak masuk dalam pembatasan y karena pada nilai tersebut y menjadi tak hingga.
Hubungan (6.18) diperoleh dari segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka α−π=β 2/ dan β=α cottan .
Oleh karena itu jika x=αtan maka x=βcot sehingga
xx 11 tan2/2/cot −− −π=α−π=β=
Kurva fungsi cotangent inversi terlihat pada Gb.6.11.
-0,5π
-0,25π
0
0,25π
0,5π
-10 -5 0 5 10x
y
-3 -2 -1 0 1 2 3
-1,5π
-π
-0,5π
0
0,5π
π
1,5πy
x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 82
Gb.6.11. Kurva xy 1cot−=
Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y Gb.6.11. ini akan memberikan bentuk kurva fungsi cotangent pada Gb.6.6.
Fungsi Secan Inversi. Selanjutnya kita memperoleh fungsi secan inversi
xxy
1cossec 11 −− == (6.19)
dengan nilai utama π≤≤ − x1sec0 .
Gb.6.12. Kurva xy 1sec−=
Fungsi Cosecan Inversi.
xx
1sincsc 11 −− = (6.20)
dengan nilai utama 2
csc2
1 π≤≤π− − x
0
0,25π
0,5π
0,75π
π
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4
0
0,5π
1π
-10 -5 0 5 10
y
x
83
Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y pada gambar kurva kedua fungsi terakhir ini juga akan memberikan bentuk kurva fungsi non-konversinya.
Gb.6.12. Kurva xy 1csc−=
Hubungan Fungsi-Fungsi Inversi. Hubungan antara fungsi inversi dengan fungsi-fungsi non-inversi dapat kita cari dengan menggunakan gambar segitiga siku-siku.
1). Dari fungsi xy 1sin−= , yaitu
sudut y yang sinus-nya adalah x dapat kita gambarkan segitiga siku-siku dengan sisi miring sama dengan 1 seperti terlihat di samping ini.
Dari gambar ini selain fungsi
xy 1sin−= dan xy =sin , kita dapat peroleh
21cos xy −= , 21
tanx
xy
−= , dst.
2). Dari fungsi cosinus inversi
xy 1cos−= dapat kita
gambarkan segitiga siku-siku seperti di samping ini.
y
-0,5π
-0,25π
0
0,25π
0,5π
-4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4x
x 1
21 x−
y
x
1 21 x−y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 84
Selain xy =cos dari gambar ini kita dapatkan
21sin xy −= , x
xy
21tan
−= , dst.
3). Dari fungsi xy 1tan−= , kita
gambarkan segitiga seperti di samping ini.
Selain xy =tan , kita peroleh
21sin
x
xy
+= ,
21
1cos
xy
+= , dst
4). Dari fungsi xy 1sec−= kita
gambarkan segitiga seperti di samping ini.
Dari gambar ini kita peroleh
21tan xy −= , x
xy
1sin
2 −= , dst.
Soal-Soal:
1) Dari fungsi xy 1cot−= tentukan ysin dan ycos
2) Dari fungsi xy 1csc−= tentukan ytan dan ycos
x
1
21 x+
y
x 12 −x
y
1
85
Bab 7 Gabungan Fungsi Sinus
7.1. Fungsi Sinus Dan Cosinus
Banyak peristiwa terjadi secara siklis sinusoidal, seperti misalnya gelombang cahaya, gelombang radio pembawa, gelombang tegangan listrik sistem tenaga, dsb. Peristiwa-peristiwa itu merupakan fungsi waktu, sehingga kita akan melihatnya dengan menggunakan waktu sebagai peubah bebas, dengan simbol t, satuan detik.
Dalam peristiwa sinusoidal, jumlah siklus yang terjadi setiap detik disebut frekuensi siklus, dengan simbol f , dengan satuan Hertz (1 Hz = 1 siklus per detik). Jadi jika fungsi sinus memiliki perioda T0 maka
00
1
Tf = (7.1)
Sebagaimana dikemukakan di bab sebelumnya, kita menggunakan jumlah radian untuk menyatakan sudut. Karena satu siklus perubahan sudut bersesuaian dengan perubahan sebesar 2π radian, maka f siklus per detik bersesuaian dengan 2πf radian per detik. Jadi di samping frekuensi siklus f kita memiliki frekuensi sudut dengan simbol ω, dengan satuan radian per detik. Relasi antara frekuensi siklus (f) dengan frekuensi sudut (ω), dan juga dengan perioda (T0), adalah
00
22
Tf
π=π=ω (7.2)
Suatu fungsi cosinus yang memiliki amplitudo (nilai puncak) A dituliskan sebagai
π=ω=0
2coscos
T
tAtAy (7.3)
Catatan: Sebelum kita lanjutkan pembahasan kita, ada sedikit catatan yang perlu dicermati. Di bab sebelum ini kita menyatakan fungsi sinus )sin(xy = atau fungsi cosinus )cos(xy = dengan x sebagai
peubah bebas dengan satuan radian. Pada (7.3) kita menyatakan fungsi cosinus ty ω= cos dengan t sebagai peubah bebas dengan
satuan detik. Faktor ω-lah yang membuat satuan detik menjadi radian; ω disebut frekuensi susut, satuan rad/detik.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 86
Gb.7.1. memperlihatkan kurva fungsi cosinus. Jika fungsi cosinus ini kita geser ke arah positif sebesar ¼ perioda kita akan mendapatkan fungsi sinus. Gb.7.2.
π=ω=
π−ω=0
2sinsin
2cos
T
tAtAtAy (7.4)
Gb.7.1. Fungsi cosinus
π=ω=0
2coscos
T
tAtAy
Gb.7.2. Fungsi sinus
π−ω=
π=ω=2
cos2
sinsin0
tAT
tAtAy
Pergeseran fungsi cosinus sebesar Ts diperlihatkan pada Gb.7.3. Persamaan kurva cosinus tergeser ini adalah
( )
π−π=−ω=
00
22coscos
T
T
T
tATtAy s
s
T0
-A
0
A
0 t
y
T0
-A
0
A
0 t
y
87
Gb.7.3. Fungsi cosinus tergeser
Kita perhatikan bahwa puncak pertama fungsi cosinus menunjukkan pergeseran. Pada Gb.7.1. pergeseran adalah nol. Pada Gb.7.3. pergeseran adalah Ts . Pada Gb.7.2. pergeseran adalah π/2 yang kemudian menjadi kurva fungsi sinus. Jadi akan sangat mudah menuliskan persamaan suatu fungsi sinusoidal sembarang, yaitu dengan menuliskannya dalam bentuk cosinus, dengan memasukkan pergeseran yang terjadi yaitu yang ditunjukkan oleh posisi puncak yang pertama.
Untuk selanjutnya, peristiwa-peristiwa yang berubah secara sinusoidal kita nyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus, yang dianggap sebagai bentuk normal
Perhatikanlah bahwa Ts adalah pergeseran waktu dalam detik, sehingga fungsi sinusoidal dengan pergeseran Ts kita tuliskan (Gb.7.3)
( )sTtAy −ω= cos
yang dapat pula kita tuliskan
( )sTtAy ω−ω= cos
Pada penulisan terakhir ini, ωTs mempunyai satuan radian, sama dengan satuan ωt. Selanjutnya
0
2
T
TT s
sπ=ω=ϕ (7.5)
disebut sudut fasa dari fungsi cosinus dan menunjukkan posisi puncak pertama dari fungsi cosinus. Fungsi cosinus dengan sudut fasa ϕ kita tuliskan
( )ϕ−ω= ty cos (7.6)
T0
-A
0
A
0 t
y
Ts
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 88
Jika ϕ = π/2 maka kita mempunyai fungsi sinus. Jadi untuk mengubah fungsi sinus ke dalam format normal (menggunakan fungsi cosinus) kita menambahkan pergeseran sebesar π/2 pada fungsi cosinus.
7.2. Kombinasi Fungsi Sinus. Dalam tinjauan selanjutnya, jika disebut fungsi sinus, yang dimaksudkan adalah fungsi sinus yang dinyatakan dalam bentuk normal, yaitu cosinus.
Fungsi sinus adalah fungsi periodik. Fungsi-fungsi periodik lain yang bukan sinus, dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fungsi-fungsi sinus. Atau dengan kata lain suatu fungsi periodik dapat diuraikan menjadi jumlah dari beberapa komponen sinus, yang memiliki amplitudo, sudut fasa, dan frekuensi yang berlainan satu sama lain. Dalam penguraian itu, fungsi akan terdiri dari komponen-komponen yang berupa komponen searah (nilai rata-rata dari fungsi), komponen sinus dengan frekuensi dasar f0 , dan harmonisa yang memiliki frekuensi harmonisa nf0 .
Sebaliknya dapat juga dikatakan bahwa jumlah dari beberapa fungsi sinus yang memiliki amplitudo, frekuensi, serta sudut fasa yang berlainan, akan membentuk fungsi periodik, walaupun bukan berbentuk sinus. Gb.7.4. memperlihatkan beberapa bentuk fungsi periodik; bentuk fungsi-fungsi periodik ini tergantung macam komponen sinus yang menyusunnya.
Frekuensi harmonisa adalah nilai frekuensi yang merupakan kelipatan bulat n dari frekuensi dasar f0. Frekuensi f0 kita sebut sebagai frekuensi dasar karena frekuensi inilah yang menentukan perioda T0 = 1/f0 . Frekuensi harmonisa dimulai dari harmonisa kedua (2fo), harmonisa ketiga (3f0), dan seterusnya, yang secara umum kita katakan harmonisa ke-n mempunyai frekuensi nf0 .
7.3. Spektrum Dan Lebar Pita.
Spektrum. Jika kita menghadapi suatu fungsi periodik, kita bisa mempertanyakan bagaimana komponen-komponen sinusoidalnya. Bagaimana penyebaran amplitudo dan sudut fasa setiap komponen, atau dengan singkat bagaimana spektrum fungsi tersebut. Kita juga mempertanyakan bagaimana sebaran frekuensi dari komponen-komponen tersebut.
89
Gb.7.4. Beberapa fungsi periodik.
Berikut ini kita akan melihat suatu contoh fungsi yang dinyatakan dengan persamaan
( ) ( ) ( )tftftfy )4(2cos5,7)2(2sin152cos3010 000 π−π+π+=
Fungsi ini merupakan jumlah dari satu komponen konstan dan tiga komponen sinus. Komponen konstan sering disebut komponen berfrekuensi nol karena y(t) = A cos(2πft) = A jika f = 0. Komponen sinus yang pertama adalah komponen sinus dasar karena komponen inilah yang mempunyai frekuensi paling rendah tetapi tidak nol. Suku ketiga dan keempat adalah harmonisa ke-2 dan ke-4; harmonisa ke-3 tidak ada.
Fungsi ini dinyatakan dengan campuran fungsi sinus dan cosinus. Untuk melihat bagaimana spektrum fungsi ini, kita harus menuliskan tiap suku dengan bentuk yang sama yaitu bentuk normal (standar). Telah dikatakan
-4
1
-5 15
)4/)2(2cos(22cos31 00 πππ ++++−−−−++++==== tftfy
))2(2cos(22cos31 00 tftfy ππ −−−−++++====
y
t
-4
0
4
-5 15
y
y = 1 + 3 cos 2f0t -4
0
4
-5 15 t
y
y = 3 cos 2f0t -4
0
4
-5 15 t
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 90
di depan bahwa bentuk normal pernyataan fungsi sinusoidal adalah menggunakan fungsi cosinus, yaitu )2cos( ϕ+π= ftAy .
Dengan menggunakan kesamaan
)2/2cos()2sin( π−π=π ftft dan )2cos()2cos( π+π=π− ftft
persamaan fungsi di atas dapat kita tulis
)42cos(5,7)2/22cos(15)2cos(3010 000 π+π+π−π+π+= tftftfy
Dalam pernyataan terakhir ini semua suku telah kita tuliskan dalam bentuk standar, dan kita dapat melihat amplitudo dan sudut fasa dari tiap komponen seperti dalam tabel berikut.
Frekuensi 0 f0 2 f0 4 f0 Amplitudo 10 30 15 7,5 Sudut fasa − 0 −π/2 π
Fungsi yang kita ambil sebagai cintoh mungkin merupakan pernyataan suatu sinyal (dalam rangkaian listrik misalnya). Tabel ini menunjukkan apa yang disebut sebagai spektrum dari sinyal yang diwakilinya. Suatu spektrum sinyal menunjukkan bagaimana komposisi baik amplitudo maupun sudut fasa dari semua komponen cosinus sebagai fungsi dari frekuensi. Sinyal yang kita bahas ini berisi empat macam frekuensi, yaitu : 0, f0 , 2f0 , dan 4f0. Amplitudo dari setiap frekuensi secara berturut-turut adalah 10, 30, 15, dan 7,5 satuan (volt misalnya, jika ia adalah sinyal tegangan). Sudut fasa dari komponen sinus yang berfrekuensi f0 , 2f0 dan 4f0 berturut turut adalah 0, −π/2, dan π radian.
Dari tabel tersebut di atas kita dapat menggambarkan dua grafik yaitu grafik amplitudo dan grafik sudut fasa, masing-masing sebagai fungsi frekuensi. Grafik yang pertama kita sebut spektrum amplitudo (Gb.7.5.a) dan grafik yang kedua kita sebut spektrum sudut fasa (Gb.7.5.b).
91
Gb.7.5.a. Spektrum Amplitudo
Gb.7.5.b. Spektrum sudut fasa.
Penguraian fungsi periodik menjadi penjumlahan harmonisa sinus, dapat dilakukan untuk semua bentuk fungsi periodik dengan syarat tertentu. Fungsi persegi misalnya, yang juga periodik, dapat diuraikan menjadi jumlah harmonisa sinus. Empat suku pertama dari persamaan hasil uraian fungsi persegi ini adalah sebagai berikut :
....)2/72cos(7
)2/52cos(5
+
)2/32cos(3
)2/2cos(
00
00
+π−π+π−π
π−π+π−π=
tfA
tfA
tfA
tfAy
Dari persamaan ini, terlihat bahwa semua harmonisa mempunyai sudut fasa sama besar yaitu –π/2; amplitudonya menurun dengan meningkatnya frekuensi dengan faktor 1/n; tidak ada komponen konstan dan tidak ada harmonisa genap. Tabel amplitudo dan sudut fasa adalah seperti berikut.
0
π/2
2π
0 1 2 3 4 5 Su
dut F
asa
Frekuensi [×f0]
−π/2
−2π
0
10
20
30
40
0 1 2 3 4 5
Frekuensi [×f0]
Am
plit
udo
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 92
Frekuensi: 0 f0 2f0 3f0 4f0 5f0 .. nf0
Amplitudo: 0 A 0 A/3 0 A/5 .. A/n
Sudut Fasa: - -π/2 - -π/2 - -π/2 .. -π/2
Gb.7.6. berikut ini memperlihatkan bagaimana fungsi persegi dibangun dari harmonisa-harmonisanya.
Gb.7.10. Uraian fungsi persegi. a). sinus dasar. b). harmonisa-3 dan sinus dasar + harmonisa-3. c). harmonisa-5 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5. d). harmonisa-7 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5 + harmonisa-7. e) hasil penjumlahan yang dilakukan sampai pada harmonisa ke-21.
Lebar Pita. Dari contoh fungsi persegi di atas, terlihat bahwa dengan menambahkan harmonisa-harmonisa pada sinus dasarnya kita akan makin mendekati bentuk persegi. Penambahan ini dapat kita lakukan terus sampai ke suatu harmonisa tinggi yang memberikan bentuk fungsi yang kita anggap cukup memuaskan artinya cukup dekat dengan bentuk yang kita inginkan.
Pada spektrum amplitudo, kita juga dapat melihat bahwa makin tinggi frekuensi harmonisa akan makin rendah amplitudonya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk fungsi persegi saja melainkan berlaku secara umum. Oleh karena itu secara umum kita dapat menetapkan suatu batas frekuensi tertinggi dari suatu fungsi periodik, dengan menganggap
a) b)
d)
c)
e)
93
amplitudo harmonisa-harmonisa yang frekuensinya di atas frekuensi tertinggi ini dapat diabaikan. Batas frekuensi tertinggi tersebut dapat kita tetapkan, misalnya frekuensi harmonisa yang amplitudonya tinggal 2% dari amplitudo sinus dasar.
Jika batas frekuensi tertinggi kita tetapkan, batas frekuensi terendah juga perlu kita tetapkan. Batas frekuensi terendah adalah frekuensi sinus dasar jika bentuk fungsi yang kita tinjau tidak mengandung komponen konstan. Jika mengandung komponen konstan maka frekuensi terendah adalah nol. Selisih dari frekuensi tertinggi dan terendah disebut lebar pita (band width).
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 94
Soal-Soal: Fungsi Sinus, Gabungan Sinus, Spektrum
1. Tentukan persamaan bentuk kurva fungsi sinus berikut ini dalam format cosinus )cos( sxxAy −= :
a). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0, frekuensi siklus 10 siklus/skala.
b). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0,02, frekuensi siklus 10 siklus/skala.
c). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa 0o, frekuensi sudut 10 rad/skala.
d). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa +30o, frekuensi sudut 10 rad/skala.
2. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini:
80002sin2,0 40002cos220002sin54 ttty π+π−π+=
Dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%, tentukan lebar pita fungsi ini.
3. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%.
8000cos2 20002sin2-)6010002cos(3 o ttty π+π−π=
4. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%.
5000cos02,01500cos2.0
500cos300cos2100cos10
tt
ttty
++++=
5. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%.
20002cos2,0 15002cos2
10002cos35002cos1010
tt
tty
π+π+π+π+=
97
Bab 8 Fungsi Logaritma Natural, Eksponensial, Hiperbolik
8.1. Fungsi Logarithma Natural.
Definisi. Logaritma natural adalah logaritma dengan menggunakan basis bilangan e. Bilangan e ini, seperti halnya bilangan π, adalah bilangan-nyata dengan desimal tak terbatas. Sampai dengan 10 angka di belakang koma, nilainya adalah
e = 2,7182818284
Bilangan e merupakan salah satu bilangan-nyata yang sangat penting dalam matematika:
1ln =e (8.1)
aeaea == lnln (8.2)
Kita lihat sekarang fungsi logaritma natural. Fungsi logaritma natural dari x dituliskan sebagai
xy ln= (8.3)
Fungsi ini didefinisikan melalui integral (mengenai integrasi akan kita pelajari pada Bab-12), yaitu
∫=x
dtt
x1
1ln (8.4)
Di sini kita akan melihat definisi tersebut secara grafis di mana integral dengan batas tertentu seperti (8.4) berarti luas bidang antara fungsi 1/t dan sumbu-x yang dibatasi oleh t = 1 dan t = x . Perhatikan Gb.8.1. Nilai fungsi y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, dalam rentang antara t = 1 dan t = x.
Gb.8.1. Definisi ln x ditunjukkan secara grafis.
x t
ln x 1/t
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 98
Kurva fungsi y = ln x dalam koordinat x-y adalah seperti pada Gb.8.2. Nilai ln x = 1 terjadi pada nilai x = e.
Gb.8.2. Kurva y = ln x.
Sifat-Sifat. Sifat-sifat logaritma natural mirip dengan logaritma biasa. Jika x dan a adalah positif dan n adalah bilangan rasional, maka:
1 untuk negatif bernilai ln
ln
1ln
lnln
;lnlnln
lnlnln
<=
==
−=
+=
xx
xe
e
xnx
axa
x
xaax
x
n (8.5)
Soal-Soal
Dengan membagi luas bidang di bawah kurva (1/t) pada Gb.8.1 dalam segmen-segmen selebar ∆t = 0,1 dan mendekati luas segmen sebagai luas trapesium, hitunglah
1). ln 1,5 2). ln 2 ; 3). ln 0,5
-2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
0 1 2 3 4 x
y
e
y = ln x
99
8.2. Fungsi Eksponensial
Antilogaritma dan Fungsi Eksponensial. Antilogaritma adalah inversi dari logaritma; kita melihatnya sebagai suatu fungsi
yx ln= (8.6)
Mengingat sifat logaritma sebagaimana disebutkan di atas, ekspresi ini ekivalen dengan
xey = (8.7)
yang disebut fungsi eksponensial.
Fungsi eksponensial yang penting dan sering kita jumpai adalah fungsi eksponensial dengan eksponen negatif; fungsi ini dianggap mulai muncul pada x = 0 walaupun faktor u(x), yaitu fungsi anak tangga satuan, tidak dituliskan.
0 ; ≥= − xaey bx (8.8)
Eksponen negatif ini menunjukkan bahwa makin besar bx maka nilai fungsi makin kecil. untuk suatu nilai b tertentu, makin besar x fungsi ini akan makin menurun. Makin besar b akan makin cepat penurunan tersebut.
Dengan mengambil nilai a = 1, kita akan melihat bentuk kurva fungsi eksponensial (8.8) untuk beberapa nilai b, dalam rentang x ≥ 0 seperti terlihat pada Gb.8.3. Pada Gb.8.3. ini terlihat bahwa makin besar nilai b, makin cepat fungsi menurun.
Gb.8.3. Perbandingan kurva y = e−x dan y = e−2x.
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 x
y
e− x
e−2x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 100
Penurunan kurva fungsi eksponensial ini sudah mencapai sekitar 36% dari nilai awalnya (yaitu nilai pada x = 0), pada saat x = 1/b. Pada saat x = 5b kurva sudah sangat menurun mendekati sumbu-x, nilai fungsi sudah di bawah 1% dari nilai awalnya. Oleh karena itu fungsi eksponensial biasa dianggap sudah bernilai nol pada x = 5/b.
Persamaan umum fungsi eksponensial dengan amplitudo A adalah
)(tuAey at−= (8.9)
Faktor u(t) adalah fungsi anak tangga satuan untuk menyatakan bahwa kita hanya meninjau keadaan pada t ≥ 0. Fungsi ini menurun makin cepat jika a makin besar. Didefinisikanlah
a
1=τ (8.10)
sehingga (8.9) dituliskan
)(/ tuAey t τ−= (8.11)
τ disebut konstanta waktu; makin kecil τ, makin cepat fungsi eksponensial menurun.
Gabungan Fungsi Eksponensial. Gabungan fungsi eksponensial yang banyak dijumpai dalam rekayasa adalah eksponensial ganda yaitu penjumlahan dua fungsi eksponensial. Kedua fungsi mempunyai amplitudo sama tetapi berlawanan tanda; konstanta waktu dari keduanya juga berbeda. Persamaan fungsi gabungan ini adalah
( ) )( 21 // tueeAy tt τ−τ− −= (8.12)
Bentuk kurva dari fungsi ini terlihat pada Gb.8.4.
Fungsi ini dapat digunakan untuk memodelkan surja. Gelombang surja (surge) merupakan jenis pulsa yang awalnya naik dengan cepat sampai suatu nilai maksimum tertentu kemudian menurun dengan agak lebih lambat. Surja tegangan yang dibangkitkan untuk keperluan laboratorium berbentuk “mulus” namun kejadian alamiah yang sering dimodelkan dengan surja tidaklah mulus, misalnya arus terpaan petir.
101
Gb.8.4. Kurva gabungan dua fungsi eksponensial.
Soal-Soal
1. Gambarkan dan tentukan persamaan kurva fungsi eksponensial yang muncul pada x = 0 dan konstanta τ , berikut ini :
a). ya = amplitudo 5, τ = 2.
b). yb = amplitudo 10, τ = 2.
c). yc = amplitudo −5, τ = 4.
2. Dari fungsi pada soal 10, gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.
cbaf
cae
bad
yyyy
yyy
yyy
++=+=+=
c).
b).
a).
3. Gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.
{ } )( 1 10 a). 5,01 xuey x−−=
{ } )( 510 b). 2,02 xuey x−−=
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5
(((( ))))21 // ττ tt eeAy −−−−−−−− −−−−====
1/1
τtAey −−−−====
2/2
τtAey −−−−====
A
y
0 t/τ
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 102
8.3. Fungsi Hiperbolik
Definisi. Kombinasi tertentu dari fungsi eksponensial membentuk fungsi hiperbolik, seperti cosinus hiperbolik (cosh) dan sinus hiperbolik (sinh)
2sinh ;
2cosh
vvvv eev
eev
−− −=+= (8.13)
Persamaan (8.13) ini merupakan definisi dari cosinus hiperbolik dan sinus hiperbolik. Definisi ini mengingatkan kita pada fungsi trigonometri biasa cosinus dan sinus. Pada fungsi trigonometri biasa, jika x = cosθ dan y = sinθ maka fungsi sinus dan cosinus ini memenuhi persamaan “lingkaran satuan” (berjari-jari 1), yaitu
θ+θ==+ 2222 cossin1yx .
Pada fungsi hiperbolik, jika x = cosh v dan y = sinh v, maka fungsi-fungsi ini memenuhi persamaan “hiperbola satuan”:
122 =− yx
Hal ini dapat kita uji dengan mensubstitusikan cosh v untuk x dan sinh v untuk y dan kita akan mendapatkan bahwa persamaan “hiperbola satuan” akan terpenuhi. Kita coba:
14
4
4
2
4
2 sinhcosh
22222222 ==+−−++=−=−
−− vvvv eeeevvyx
Bentuk kurva fungsi hiperbolik satuan terlihat pada Gb. 8.5. dengan
2sinh ;
2cosh
vvvv eevy
eevx
−− −==+==
Gb.8.5. Kurva fungsi hiperbolik satuan.
-4
-3
-2 -1
0
1
2
3 4
0 1 2 3 4
y
x
P[x,y] v = 0
v = ∞
103
Jika kita masukkan
2sinh ;
2cosh
vvvv eevy
eevx
−− −==+==
maka titik P[x,y] akan berada di bagian positif kurva tersebut. Karena ev selalu bernilai positif dan e−v = 1/ev juga selalu positif untuk semua nilai nyata dari v, maka titik P[x,y] selalu berada di bagian positif (sebelah kanan sumbu-y) kurva hiperbolik.
Mirip dengan fungsi trigonometri, fungsi hiperbolik yang lain didefinisikan sebagai
vv
vv
vv
vv
ee
ee
v
vv
ee
ee
v
vv −
−
−
−
−+
==+−
==sinh
coshcoth ;
cosh
sinhtanh (8.14)
vvvv eevv
eevv −− −
==+
== 2
sinh
1csch ;
2
cosh
1sech (8.15)
Identitas. Beberapa identitas fungsi hiperbolik kita lihat di bawah ini.
1). 1sinhcosh 22 =− vv . Identitas ini telah kita buktikan di atas. Identitas ini mirip dengan identitas fungsi trigonometri biasa.
2). vv 22 sechtanh1 =− . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan cosh2v.
3). vv 22 csch1coth =− . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan sinh2v.
4). uevv =+ sinhcosh . Ini merupakan konsekuensi definisinya.
5). uevv −=− sinhcosh . Ini juga merupakan konsekuensi definisinya.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 104
Kurva-Kurva Fungsi Hiperbolik. Gb.8.6 berikut ini memperlihatkan kurva fungsi-fungsi hiperbolik.
(a)
b)
c)
xe2
1 xy sinh=
xy cosh= y
x
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
-1
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
xy sech=
xy cosh= y
x
xe2
1
xe−−2
1
xy sinh=
x
y
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
105
d)
e) Gb.8.6. Kurva-kurva fungsi hiperbolik.
xy csch=
xy sinh=
x
y
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
xy csch=
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
xy coth=
xy coth=
xy tanh=x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 106
Soal-Soal
1). Turunkan relasi )sinh( vu + dan )cosh( vu + .
2). Diketahui 4/3sinh −=v . Hitung cosh v, coth v, dan csch v.
3). Diketahui 4/3sinh −=v . Hitung cosh v, tanhv, dan sech v.
107
Bab 9 Koordinat Polar
9.1. Relasi Koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku
Pada pernyataan posisi satu titik P[xP,yP] pada sistem koordinat sudut-siku terdapat hubungan
θ= sinP ry ; θ= cosP rx (9.1)
dengan r adalah jarak antara titik P dengan titik-asal [0,0] dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh arah r dengan sumbu-x, seperti terlihat pada Gb. 17.1.
Gb.9.1. Posisi titik P pada sistem koordinat polar.
Dalam koordinat polar, r dan θ inilah yang digunakan untuk menyatakan posisi titik P. Posisi titik P seperti pada Gb. 17.1. dituliskan sebagai P[r,θ].
17.2. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar
Di Bab-5 kita telah melihat persamaan lingkaran berjari-jari c berpusat di O[a,b] dalam koordinat sudut-siku, yaitu
222 )()( cbyax =−+−
Kita dapat menyatakan lingkaran ini dalam koordinat polar dengan mengganti x dan y menurut relasi (9.1), yaitu
222 )sin()cos( cbrar =−θ+−θ (9.2.a)
P[r,θ]
θ[0,0] x
y
r
xP
yP
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 108
yang dapat dituliskan sebagai
( )( ) 0)sincos(2
0)sincos(2
0)sin2sin()cos2cos(
222
2222
2222222
=−++θ+θ−
=−++θ+θ−
=−+θ−θ++θ−θ
cbabarr
cbabarr
cbrbrarar
(9.2.b)
dengan bentuk kurva seperti Gb.9.2.a
Jika lingkaran ini berjari-jari c = a dan berpusat di O[a,0] maka persamaan (9.2.b) menjadi
0)cos2( =θ− arr (9.2.c)
Pada faktor pertama, jika kita mengambil 0====r , kita menemui titik pusat. Faktor ke-dua adalah
0cos2 =θ− ar (9.2.d)
merupakan persamaan lingkaran dengan bentuk kurva seperti pada Gb.9.2.b.
(a) (b)
Gb.9.2. Lingkaran
Berikut ini tiga contoh bentuk kurva dalam koordinat bola.
Contoh: )cos1(2 θ−=r . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.3
yang disebut kardioid (cardioid) karena bentuk yang seperti hati.
[0,0]
a
x
y
P[r,θ]
θ
r
b
[0,0]
a
x
y P[r,θ]
θ
r
109
Gb.9.3 Kurva kardioid, )cos1(2 θ−=r
Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 0; pada θ = π/2 , r = 2; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 2.
Contoh: θ= cos162r . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.4
Gb.9.4 Kurva θ= cos162r
Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 4; pada θ = π/2 , r = 0; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 0.
Contoh: 2=θr . Untuk θ > 0 bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.5
θ
y
x
-3
-2
-1
0
1
2
3
-5 -3 -1 1 3 5
r
P[r,θ]
-3
-2
-1
0
1
2
3
-5 -3 -1 1
y
x
r
θ
P[r,θ]
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 110
Gb.9.5 Kurva 2====θr
Pada persamaan kurva ini jika θ = 0 maka 0 = 2; suatu hal yang tidak benar. Ini berarti bahwa tidak ada titik pada kurva yang bersesuaian dengan θ = 0. Akan tetapi jika θ mendekati nol maka r mendekati ∞; garis y = 2 merupakan asimptot dari kurva ini. Perhatikanlah bahwa perpotongan kurva dengan sumbu-x tidak berarti θ = 0 dan terjadi pada θ = π, 2π, 3π, 4π, dst.
17.3. Persamaan Garis Lurus Salah satu cara untuk menyatakan persamaan kurva dalam koordinat polar adalah menggunakan relasi (9.1) jika persamaan dalam koordinat sudut-siku diketahui. Hal ini telah kita lakukan misalnya pada persamaan lingkaran (9.2.a) menjadi (9.2.b) atau (9.2.c). Berikut ini kita akan menurunkan persamaan kurva dalam koordinat polar langsung dari bentuk / persyaratan kurva.
Gb.9.6 memperlihatkan kurva dua garis lurus l1 sejajar sumbu-x dan l2 sejajar sumbu-y.
Gb.9.6 Garis lurus melalui titik-asal [0,0].
Garis l1 berjarak a dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi
r
θ O
y
x
l2
b r
θ O
y
x
l1
a
P[r,θ] P[r,θ]
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
-1 0 1 2 3 x
y
θ = π θ = 2π θ = 3π θ = 4π
r
θ
P[r,θ] y = 2
111
ar =θcos (9.3)
Inilah persamaan garis l1.
Garis l2 berjarak b dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi
br =θsin (9.4)
Inilah persamaan garis l2.
Kita lihat sekarang garis l3 yang berjarak a dari titik asal dengan kemiringan positif seperti terlihat pada Gb.9.7. Karena garis memiliki kemiringan tertentu maka sudut antara garis tegak-lurus ke l3, yaitu β juga tertentu. Kita manfaatkan β untuk mencari persamaan garis l3. Jika titik P harus terletak pada l3 maka
ar =θ−β )cos( (9.5)
Inilah persamaan garis l3.
Gb.9.7. Garis lurus l3 berjarak a dari [0,0], memiliki kemiringan positif.
Jika kita bandingkan persamaan ini dengan persamaan (9.3) terlihat bahwa persamaan (9.5) ini adalah bentuk umum dari (9.3), yang akan kita peroleh jika kita melakukan perputaran sumbu. Jika perputaran kita lakukan sedemikian rupa sehingga memperoleh kemiringan garis positif, maka akan kita peroleh persamaan garis seperti (9.5). Apabila perputaran sumbu kita lakukan sehingga garis yang kita hadapi, l4, memiliki kemiringan negatif, seperti pada Gb.9.8., maka persamaan garis adalah
ar =β−θ )cos( (9.6)
α
r
β
l3
a A
O
y
x
θ
P[r,θ]
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 112
Gb.9.8. Garis lurus l4 berjarak a dari [0,0], kemiringan negatif.
17.4. Parabola, Elips, Hiperbola
Ketiga bangun geometris ini telah kita lihat pada Bab-5 dalam koordinat sudut-siku. Kita akan melihatnya sekarang dalam koordinat polar.
Eksentrisitas. Pengertian sehari-hari dari istilah eksentrik adalah menyimpang dari yang umum. Dalam matematika, eksentrisitas adalah rasio antara jarak suatu titik P terhadap titik tertentu dengan jarak antara titik P terhadap garis tertentu. Titik tertentu itu disebut titik fokus dan garis tertentu itu disebut direktriks; kedua istilah ini telah kita kenal pada waktu pembahasan mengenai parabola di Bab-5. Sesungguhnya, dengan pengertian eksentrisitas ini kita dapat membahas sekaligus parabola, elips, dan hiperbola.
Perhatikan Gb.9.8. Jika es adalah eksentrisitas, maka
PD
PF=se (9.7)
Gb.9.8. Titik fokus dan garis direktriks.
Jika kita mengambil titik fokus F sebagai titik asal, maka
r=PF
F
D
θ
r
k
x A B
y
direktriks
P[r,θ]
r
β
l4 a
O
y
x
θ
P[r,θ]
113
dan dengan (9.7) menjadi PDser = ; sedangkan
θ+=+== cosFBAFABPD rk
sehingga θ+=θ+= cos)cos( rekerker sss
Dari sini kita dapatkan
θ−=
cos1 s
s
e
ker (9.8)
Nilai es menentukan persamaan bangun geometris yang kita akan peroleh.
Parabola. Jika 1=se , yang berarti PF = PD, maka
θ−=
cos1
kr (9.9)
Inilah persamaan parabola.
Perhatikan bahwa jika θ mendekati nol, maka r mendekati tak hingga. Jika θ = π/2 maka r = k. Jika π=θ titik P akan mencapai puncak kurva dan r = k/2, yang berarti bahwa puncak parabola berada di tegah-tengah antara garis direktriks dan titik fokus. Hal ini telah kita lihat di Bab-5.
Elips. Jika es < 1, misalnya 5,0=se , PF = PD/2, maka
θ−=
cos2
kr (9.10)
Inilah persamaan elips.
Perhatikan bahwa karena 1cos1 +≤θ≤− maka penyebut pada persamaan (9.10) tidak akan pernah nol. Oleh karena itu r selalu mempunyai nilai untuk semua nilai θ. Jika θ = 0 maka r = k, titik P mencapai jarak terjauh dari F. dan jika θ = π/2 maka r = k/2 . Jika θ = π maka r = k/3, titik P mencapai jarak terdekat dengan F.
Hiperbola. Jika 1>se , misal 2=se , berarti PD2PF ×= , maka
θ−=
cos21
2kr (9.11)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 114
Inilah persamaan hiperbola.
Jika θ mendekati π/3 maka r menuju tak hingga. Jika 2/π=θ maka r = 2k. Jika π=θ , titik P ada di puncak kurva, dan r = k/3 = PF.
17.4. Lemniskat dan Oval Cassini
Di laut Aegea di hadapan selat Dardanella, terdapat sebuah pulau yang penting dalam mitologi Yunani yaitu pulau Lemnos atau Limnos. Pulau vulkanik ini berbentuk tak beraturan dengan dua teluk yang menjorok dalam ke daratan di pantai utara dan pantai selatan.
Giovanni Domenico Cassini dikenal juga dengan nama Jean Dominique Cassini (1625 – 1712) adalah astronom Italia. Cassini menemukan empat di antara sembilan atau sepuluh satelit planet Saturnus. Ia pula yang menemukan celah cincin Saturnus, antara cincin terluar dengan cincin ke-dua yang paling terang; celah itu kemudian disebut Cassini’s division.
Bangun-geometris yang disebut lemniskat dan oval Cassini merupakan situasi khusus dari kurva yang merupakan tempat kedudukan titik-titik yang hasil kali jaraknya terhadap dua titik tertentu bernilai konstan. Misalkan dua titik tertentu tersebut adalah F1[a,π] dan F2[a,0]. Lihat Gb.9.9.
Gb.9.9. Menurunkan persamaan kurva dengan persyaratan PF1×PF2 = konstan
Dari Gb.9.9. kita dapatkan
( ) ( ) ( )θ++=
θ++θ=
cos2
cossinPF22
2221
arar
rar
( ) ( ) ( )θ−+=
θ−+θ=
cos2
cossinPF22
2222
arar
rar
Misalkan hasil kali 221 PFPF b=× , maka kita peroleh relasi
F1[a,π] F2[a,0]
P[r,θ]
r
θ θ = 0 θ = π
θ = π/2
115
( ) ( )
)cos21(2
)cos2(2
cos2cos2
22244
22244
22224
θ−++=
θ−++=
θ−+×θ++=
raar
arraar
ararararb
(9.12)
Kita manfaatkan identitas trigonometri
1cos2sincos2cos 222 −θ=θ−θ=θ
untuk menuliskan (9.12) sebagai
θ−+= 2cos2 22444 raarb (9.13)
Jika b kita buat ber-relasi dengan a yaitu b = ka maka persamaan (9.13) ini dapat kita tuliskan
)1(2cos20 44224 karar −+θ−=
Untuk r > 0, persamaan ini menjadi
)1(2cos2cos 42222 kaar −−θ±θ= (9.14)
Lemniskat. Bentuk kurva yang disebut lemniskat ini diperoleh pada
kondisi khusus (9.14) yaitu k = 1, yang berarti b = a atau 221 PFPF a=× .
Pada kondisi ini persamaan (9.14) menjadi
)2cos2(0 222 θ−= arr
Faktor pertama r = 0 akan memberikan sebuah titik. Faktor yang ke-dua memberikan persamaan
θ= 2cos2 22 ar
Dengan mengambil a = 1, kurva dari persamaan ini terlihat pada Gb.9.10.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 116
Gb.9.10. Kurva persamaan (9.14), k = 1 = a.
Bentuk lemniskat masih akan diperoleh pada k > 1, misalnya k = 1,1. Pada keadaan ini, dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang akan diperoleh terlihat seperti pada Gb.9.11.
Gb.9.11. Kurva persamaan (9.14), k = 1,1 & a = 1.
Oval Cassini. Kondisi khusus yang ke-tiga adalah k < 1, misalkan k = 0,8. Dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang diperoleh adalah seperti pada Gb.9.12, yang disebut “oval Cassini”. Kurva ini terbelah menjadi dua bagian, mengingatkan kita pada Cassini’s division di planet Saturnus.
θ = 0 θ = π
θ = π/2
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-2 -1 0 1 2
θ = 0 θ = π
θ = π/2
-0,6
-0,2
0
0,2
0,6
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5
117
Gb.9.12. Kurva persamaan (9.14), k = 0,8 & a = 1.
17.5. Luas Bidang Dalam Koordinat Polar
Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva dan dua garis masing-masing mempunyai sudut kemiringan α dan β. Lihat Gb.9.12
Gb.9.12. Mencari luas bidang antara kurva dan dua garis.
Antara α dan β kita bagi dalam n segmen.
n
α−β=θ∆
Luas setiap segmen bisa didekati dengan luas sektor lingkaran. Antara θ dan (θ + ∆θ) ada suatu nilai θk sedemikian rupa sehingga luas sektor lingkaran adalah
2/)( 2 θ∆= kk rA
Luas antara θ = α dan θ = β menjadi
θ = α
θ = β
θ ∆θ
x
y
-1,5
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
-2 -1 0 1 2
θ = 0 θ = π
θ = π/2
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 118
( )∑ ∑ θ∆θ=θ∆=αβ 2/)(2/)( 22kk frA
Jika n menuju ∞, ∆θ menuju nol, kita dapat menuliskan luas bidang menjadi
[ ]
[ ]∫
∑∑β
α
→θ∆→θ∆αβ
θθ=
θ∆θ=θ∆=
df
frA k
2
2
0
2
0
)(2
1
2/)(lim2/)(lim
atau ∫β
ααβ θ= dr
A2
2 (9.15)
119
Bab 10 Turunan Fungsi Polinom
10.1. Pengertian Dasar
Kita telah melihat bahwa apabila koordinat dua titik yang terletak pada suatu garis lurus diketahui, misalnya [x1,y1] dan [x2,y2], maka kemiringan garis tersebut dinyatakan oleh persamaan
)(
)(
12
12
xx
yy
x
ym
−−=
∆∆= (10.1)
Untuk garis lurus, m bernilai konstan dimanapun titik [x1,y1] dan [x2,y2] berada. Bagaimanakah jika yang kita hadapi bukan garis lurus melainkan garis lengkung? Perhatikan Gb.10.1.
(a)
(b)
Gb.10.1. Tentang kemiringan garis.
Pada Gb.10.1.a. ∆y/∆x merupakan kemiringan garis lurus P1P2 dan bukan kemiringan garis lengkung y = f(x). Jika ∆x kita perkecil, seperti terlihat pada GB.10.1.b., ∆y/∆x menjadi ∆y′/∆x′ yang merupakan kemiringan garis lurus P1P′2. Jika ∆x terus kita perkecil maka kita dapatkan kemiringan garis lurus yang sangat dekat dengan titik P1, dan jika ∆x
P1 ∆y′
∆x′
x
y
P′2
y = f(x)
P1
∆y
∆x
x
y
P2
y = f(x)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 120
mendekati nol maka kita mendapatkan kemiringan garis singgung kurva y di titik P1. Jadi jika kita mempunyai persamaan garis )(xfy ==== dan
melihat pada suatu titik tertentu [x,y], maka pada kondisi dimana ∆x mendekati nol, persamaan (10.1) dapat kita tuliskan
)()()(
limlim00
xfx
xfxxf
x
y
xx′=
∆−∆+=
∆∆
→∆→∆ (10.2)
)(xf ′ merupakan fungsi dari x karena untuk setiap posisi titik yang kita
tinjau )(xf ′ memiliki nilai berbeda; )(xf ′ disebut fungsi turunan dari
)(xf , dan kita tahu bahwa dalam hal garis lurus, )(xf ′ bernilai konstan
dan merupakan kemiringan garis lurus tersebut. Jadi formulasi (10.1) tidak hanya berlaku untuk garis lurus. Jika ∆x mendekati nol, maka ia dapat diaplikasikan juga untuk garis lengkung, dengan pengertian bahwa kemiringan m adalah kemiringan garis lurus yang menyinggung kurva lengkung di titik [x,y]. Perhatikan Gb. 11.2.
Gb.10.2. Garis singgung pada garis lengkung.
Jika fungsi garis lengkung adalah )(xfy = maka )(xf ′ pada titik [x1,y1]
adalah kemiringan garis singgung di titik [x1,y1], dan f ′(x) di titik (x2,y2) adalah kemiringan garis singgung di [x2,y2]. Bagaimana mencari f ′(x) akan kita pelajari lebih lanjut.
Jika pada suatu titik x1 di mana x
y
x ∆∆
→∆ 0lim seperti yang dinyatakan oleh
(10.2) benar ada, fungsi f(x) memiliki turunan di titik tersebut dan dikatakan sebagai “dapat didiferensiasi di titik tersebut” dan nilai
(x1,y1)
(x2,y2)
x
y
121
x
y
x ∆∆
→∆ 0lim merupakan nilai turunan di titik tersebut (ekivalen dengan
kemiringan garis singgung di titik tersebut).
Persamaan (10.2) biasanya ditulis
)()()(
lim
lim)(
0
0
xfx
xfxxfx
yy
dx
d
dx
dy
x
x
′=∆
−∆+=
∆∆==
→∆
→∆ (10.3)
dx
dy kita baca “turunan terhadap x dari fungsi y”, atau “turunan fungsi y
terhadap x”. Penurunan ini dapat dilakukan jika y memang merupakan fungsi x. Jika tidak, tentulah penurunan itu tidak dapat dilakukan. Misalnya y merupakan fungsi t , )(tfy = ; maka penurunan y hanya bisa
dilakukan terhadap t, tidak terhadap x.
)()(
tfdt
tdf
dt
dyy ′===′
10.2. Fungsi Mononom
Kita lihat uraian-uraian berikut ini.
1). kxfy == )(0 , bernilai konstan. Di sini
00)()(
lim0
0 =∆
=∆
−∆+=′→∆ xx
xfxxfy
x
2). xxfy 2)(11 ==
⇒ 222)(2
lim)(0
1 =∆∆=
∆−∆+=′
→∆ x
x
x
xxxxf
x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 122
Gb.10.3. Fungsi mononom y = 2x dan turunannya.
Kurva )(1 xf ′ membentuk garis lurus sejajar sumbu-x; ia bernilai
konstan 2 untuk semua x.
3). 222 2)( xxfy ==
xxxx
xxxxx
x
xxxxf
x
xx
4)222(lim
2)2(2lim
2)(2lim)(
0
222
0
22
02
=∆+×=∆
−∆+∆+=
∆−∆+
=′
→∆
→∆→∆
Turunan fungsi ini membentuk kurva garis lurus dengan kemiringan 4.
4). 333 2)( xxfy ==
2222
0
33323
0
33
03
623232lim
2)33(2lim
2)(2lim)(
xxxxx
x
xxxxxxx
x
xxxxf
x
x
x
=∆+∆×+×=∆
−∆+∆+∆+=
∆−∆+=′
→∆
→∆
→∆
Turunan fungsi ini membentuk kurva parabola.
0
2
4
6
8
10
0 1 2 3 4 5x
yxxf 2)(1 ====
2)(1 ====′′′′ xf
123
5). Secara umum, turunan mononom nmxxfy == )( (10.4)
adalah )1()( −×=′ nxnmy (10.5)
Jika n pada (10.4) bernilai 1 maka kurva fungsi )(xfy = akan
berbentuk garis lurus dan turunannya akan berupa nilai konstan,
kxfy =′=′ )(
Jika n > 1, maka turunan fungsi akan merupakan fungsi x,
)(xfy ′=′ . Dengan demikian maka fungsi turunan ini dapat
diturunkan lagi dan kita mendapatkan fungsi turunan berikutnya
)(xfy ′′=′′
yang mungkin masih juga merupakan fungsi x dan masih dapat diturunkan lagi untuk memperoleh fungsi turunan berikutnya lagi
)(xfy ′′′=′′′
dan demikian seterusnya.
dx
dyxfy =′=′ )( kita sebut turunan pertama,
2
2)(
dx
ydxfy =′′=′′ turunan kedua,
3
3)(
dx
ydxfy =′′′=′′′ turunan ke-tiga, dst.
Contoh: 3
44 2)( xxfy ==
12 ;12)2(6 ;6)3(2 4)12(
42)13(
4 =′′′==′′==′ −− yxxyxxy
6) Dari (10.4) dan (10.5) kita dapat mencari titik-potong antara kurva suatu fungsi dengan kurva fungsi turunannya.
Fungsi mononom nmxxfy == )( memiliki turunan
)1()( −×=′ nxnmy . Koordinat titik potong P antara kurva mononom
f(x) dengan turunan pertamanya diperoleh dengan
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 124
)1()( −×=→′= nn xnmmxyy
⇒ nx =P dan nmxy PP =
Koordinat titik potong kurva mononom dengan kurva-kurva turunan selanjutnya dapat pula dicari.
Gb.10.4. memperlihatkan kurva mononom 4xy = dan turunan-
turunannya 34xy =′ , 212xy =′′ , xy 24=′′′ , 24=′′′′y .
Gb.10.4. Mononom dan fungsi turunan-nya.
10.3. Fungsi Polinom
Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Kita lihat contoh-contoh berikut.
1). 24)(11 +== xxfy
{ } { }4
242)(4lim)(1 =
∆+−+∆+=′
→∆ x
xxxxf
xx
Kurva fungsi ini dan turunannya terlihat pada Gb.10.5.
-100
0
100
200
-3 -2 -1 0 1 2 3 4
4xy =
34xy =′
212xy =′′ xy 24=′′′
24=′′′′y
212xy =′′34xy =′
125
Gb.10.5. f1(x) = 4x + 2 dan turunannya.
Suku yang bernilai konstan pada f1(x), berapapun besarnya, positif maupun negatif, tidak memberikan kontribusi dalam fungsi turunannya.
2). )2(4)(22 −== xxfy ⇒ 84)(2 −= xxf
⇒ 4)(2 =′ xf
Gb.10.6. f2(x) = 4(x – 2) dan turunannya.
3). 524)( 233 −+== xxxfy
{ } { }28224
5245)(2)(4lim
22
03
+=+×=∆
−+−−∆++∆+=′→∆
xxx
xxxxxxy
x
4). 5245)( 2344 −++== xxxxfy
{ } { }281522435
5245 5)(2)(4)(5lim
22
2323
04
++=+×+×=∆
−++−−∆++∆++∆+=′→∆
xxxx
x
xxxxxxxxxy
x
)2(4)(2 −−−−==== xxf
4)(2 ====′′′′ xf
-15
-10
-5
0
5
10
-1 0 1 2 3 4x
y
f1(x) = 4x + 2
f1′(x) = 4
-4
-2
0
2
4
6
8
10
-1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 x
y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 126
5) Secara Umum: Turunan suatu polinom, yang merupakan jumlah beberapa mononom, adalah jumlah turunan masing-masing mononom dengan syarat setiap mononom yang membentuk polinom itu memang memiliki turunan.
10.4. Nilai Puncak
Kita telah melihat bahwa turunan fungsi di suatu nilai x merupakan kemiringan garis singgung terhadap kurva fungsi di titik [ x,y]. Jika titik [xp,yp] adalah titik puncak suatu kurva, maka garis singgung di titik [xp,yp] tersebut akan berupa garis mendatar yang kemiringannya nol. Dengan kata lain posisi titik puncak suatu kurva adalah posisi titik di mana turunan pertama fungsi bernilai nol.
Polinom Orde Dua. Kita ambil contoh fungsi polinom orde dua (fungsi kuadrat):
13152 2 ++= xxy
Turunan pertama fungsi ini adalah
154 +=′ xy
Jika kita beri y ′ = 0 maka kita dapatkan nilai xp dari titik puncak yaitu
xp = −(15/4) = −3,75
Jika nilai xp ini kita masukkan ke fungsi asalnya, maka akan kita dapatkan nilai puncak yp.
125,15 13)75,3(152(-3,75)
13152
2
2
−=+−×+=
++= ppp xxy
Secara umum, xp dari fungsi kuadrat cbxaxy ++= 2 dapat diberoleh
dengan membuat
02 =+=′ baxy (10.6)
sehingga diperoleh
a
bxp 2
−= (10.7)
127
Nilai puncak, yp dari fungsi kuadrat cbxaxy ++= 2 dapat diperoleh
dengan memasukkan xp
a
acbc
a
bcbxaxy ppp 4
4
4
222 −−=+−=++= (10.8)
Maksimum dan Minimum. Bagaimanakah secara umum menentukan apakah suatu nilai puncak merupakan nilai minimum atau maksimum? Kita manfaatkan karakter turunan kedua di sekitar nilai puncak. Lihat Gb.10.7.
Gb.10.7. Garis singgung di sekitar titik puncak.
Turunan pertama di suatu titik pada kurva adalah garis singgung pada kurva di titik tersebut. Di sekitar titik maksimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus menurun sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi negatif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik maksimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik maksimum bernilai negatif.
Sebaliknya, di sekitar titik minimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus meningkat sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi positif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik minimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik minimum bernilai positif.
Jadi apabila turunan kedua di titik puncak bernilai negatif, titik puncak tersebut adalah titik maksimum. Apabila turunan kedua di titik puncak bernilai positif, titik puncak tersebut adalah titik minimum.
y
x
Q
P
y′ y′
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 128
Dalam kasus fungsi kuadrat cbxaxy ++= 2 , turunan pertama adalah
baxy +=′ 2 dan turunan kedua adalah ay 2=′′ . Jadi pada fungsi
kuadrat, apabila a bernilai positif maka ia memiliki nilai minimum; jika a negatif ia memiliki nilai maksimum.
Contoh: Kita lihat kembali contoh fungsi kuadrat yang dibahas di atas.
13152 2 ++= xxy
Nilai puncak fungsi ini adalah 125,15−=py dan ini merupakan
nilai minimum, karena turunan keduanya 4=′′y adalah positif.
Lihat pula Gb.10.5.c.
Contoh: Kita ubah contoh di atas menjadi:
13152 2 ++−= xxy
Turunan pertama fungsi menjadi
75,3 memberi 0 jika yang , 154 +==′+−=′ pxyxy
Nilai puncak adalah
125,411375,3152)^75,3(2 +=+×+−=py
Turunan kedua adalah 4−=′′y bernilai negatif. Ini berarti
bahwa nilai puncak tersebut adalah nilai maksimum.
Contoh: Dua buah bilangan positif berjumlah 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai maksimum, sementara jumlahnya tetap 20.
Jika salah satu bilangan kita sebut x maka bilangan yang lain adalah (20−x). Perkalian antara keduanya menjadi
220)20( xxxxy −=−=
Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.
0220 =−=′ xy memberikan x = 10
dan nilai puncaknya adalah
129
100100200 =−=puncaky
Turunan kedua adalah 2−=′′y ; ia bernilai negatif. Jadi
ypuncak yang kita peroleh adalah nilai maksimum; kedua bilangan yang dicari adalah 10 dan (20−10) = 10. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.8.
Kurva tersebut memotong sumbu-x di
20dan 0 0)20( 21 ==⇒=−= xxxxy
Dalam contoh di atas kita memperoleh hanya satu nilai maksimum; semua nilai x yang lain akan memberikan nilai y dibawah nilai maksimum ypuncak yang kita peroleh. Nilai maksimum demikian ini kita sebut nilai maksimum absolut.
Jika seandainya ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum, maka ia akan menjadi minimum absolut, seperti pada contoh berikut.
Contoh: Dua buah bilangan positif berselisih 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai minimum, sementara selisihnya tetap 20.
Jika salah satu bilangan kita sebut x (positif) maka bilangan yang lain adalah (x + 20). Perkalian antara keduanya menjadi
xxxxy 20)20( 2 +=+=
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120
-5 0 5 10 15 20 25
y
x
Gb.11.8. Kurva
)20( xxy −=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 130
Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.
0202 =+=′ xy sehingga x = −10
dan nilai puncak adalah
100200100 −=−=puncaky
Turunan kedua adalah 2+=′′y ; ia bernilai positif. Jadi
ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum; kedua bilangan yang dicari adalah −10 dan (−10+20) = +10. Kurva fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.9.
Gb.10.9. Kurva )20( += xxy
Polinom Orde Tiga. Fungsi pangkat tiga diberikan secara umum oleh
dcxbxaxy +++= 23 (10.10)
Turunan dari (10.29) adalah
cbxaxy ++=′ 23 2 (10.11)
Dengan membuat 0====′′′′y kita akan mendapatkan xp.
cbxaxy pp ++==′ 230 2
Ada dua posisi nilai puncak, yaitu
-120
-100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
-25 -20 -15 -10 -5 0 5x
y
131
a
acbb
a
acbbxx pp
3
3
6
1242,
2
2
21
−±−=
−±−=
(10.12)
Dengan memasukkan xp1 dan xp2 ke penyataan fungsi (10.11) kita peroleh nilai puncak yp1 dan yp2. Namun bila xp1 = xp2 berarti dua titik puncak berimpit atau kita sebut titik belok.
Contoh: Kita akan mencari di mana letak titik puncak dari kurva fungsi
332 23 +−= xxy dan apakah nilai puncak merupakan nilai
minimum atau maksimum.
Jika turunan pertama fungsi ini kita samakan dengan nol, akan kita peroleh nilai x di mana puncak-puncak kurva terjadi.
1dan 0 memberikan
0)1(666 2
===−=−=′
xx
xxxxy
Memasukkan nilai x yang diperoleh ke persamaan asalnya memberikan nilai y, yaitu nilai puncaknya.
2 memberikan 1
3 memberikan 0
+==
+==
puncak
puncak
yx
yx
Jadi posisi titik puncak adalah di P[0,3] dan Q[1,2]. Apakah nilai puncak ypuncak minimum atau maksimum kita lihat dari turunan kedua dari fungsi y
6 1Untuk
6 0Untuk
612
+=′′⇒=−=′′⇒=
−=′′
yx
yx
xy
Jadi nilai puncak di P[0,3] adalah suatu nilai maksimum, sedangkan nilai puncak di Q[1,2] adalah minimum. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.10.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 132
Gb.10.10. Kurva 332 23 +−= xxy dan garis singgung di R.
10.5. Garis Singgung
Persamaan garis singgung pada titik R yang terletak di kurva suatu fungsi )(xfy = secara umum adalah mxys = dengan kemiringan m adalah
turunan pertama fungsi di titik R.
Contoh: Lihat fungsi 332 23 +−= xxy yang kurvanya diberikan pada
Gb.10.10.
Turunan pertama adalah )1(666 2 −=−=′ xxxxy . Titik R dengan
absis 2R =x , memiliki ordinat 734382R =+×−×=y ; jadi
koordinat R adalah R(2,7). Kemiringan garis singgung di titik R adalah 12126 =××=m .
Persamaan garis singgung Kxys +=12 . Garis ini harus melalui
R(2,7) dengan kata lain koordinat R harus memenuhi persamaan garis singgung. Jika koordinat R kita masukkan ke persamaan garis singgung akan kita dapatkan nilai K.
Kxys +=12 ⇒ K+×= 2127 ⇒ 17247 −=−=K .
Persamaan garis singgung di titk R adalah 1712 −= xys
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
-2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5
P[0,3] Q[1,2]
x
y
ys
R
133
10.6. Contoh Hubungan Diferensial
Berikut ini adalah beberapa contoh relasi diferensial. (ref. [3] Bab-2)
Arus Listrik. Arus litrik adalah jumlah muatan listrik yang mengalir per detik, melalui suatu luas penampang tertentu. Ia merupakan laju aliran muatan. Kalau arus diberi simbol i dan muatan diberi simbol q maka
dt
dqi =
Satuan arus adalah ampere (A), satuan muatan adalah coulomb (C). Jadi 1 A = 1 C/detik.
Tegangan Listrik. Tegangan listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi per satuan muatan. Kalau tegangan diberi simbol v dan energi diberi simbol w, maka
dq
dwv =
Satuan daya adalah watt (W). Satuan energi adalah joule (J). Jadi 1 W = 1 J/detik.
Daya Listrik. Daya listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p maka
dt
dwp =
Dari definisi tegangan dan arus kita dapatkan vidt
dq
dq
dw
dt
dwp ===
Karakteristik Induktor. Karakteristik suatu piranti listrik dinyatakan dengan relasi antara arus yang melewati piranti dengan tegangan yang ada di terminal piranti tersebut. Jika L adalah induktansi induktor, vL dan iL masing-masing adalah tegangan dan arus-nya, maka relasi antara arus dan tegangan induktor adalah
dt
diLv L
L =
Karakteristik Kapasitor. Untuk kapasitaor, jika C adalah kapasitansi kapasitor, vC dan iC adalah tegangan dan arus kapasitor, maka
dt
dvCi c
C =
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 134
Soal-Soal
1. Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak
824
; 2123
;7105
23
22
21
++−=
+−=
−−=
xxy
xxy
xxy
2. Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak
2373
2342
231
2173
; 627
; 2452
xxxy
xxxy
xxxy
+−=
++−=
−+−=
135
Bab 11 Turunan Perkalian Fungsi, Pangkat Dari Fungsi, Fungsi Rasional, Fungsi Implisit
11.1. Fungsi Yang Merupakan Perkalian Dua Fungsi
Misalkan kita memiliki dua fungsi x, )(xv dan )(xw , dan kita hendak
mencari turunan terhadap x dari fungsi vwy = . Misalkan nilai x berubah
sebesar ∆x, maka fungsi w berubah sebesar ∆w, fungsi v berubah sebesar ∆v, dan fungsi y berubah sebesar ∆y. Perubahan ini terjadi sedemikian rupa sehingga setelah perubahan sebesar ∆x hubungan vwy = tetap
berlaku, yaitu
)(
))(()(
vwvwwvvw
wwvvyy
∆∆+∆+∆+=∆+∆+=∆+
(11.1)
Dari sini kita dapatkan
x
wv
x
vw
x
wv
x
vwvwvwwvwv
x
yyy
x
y
∆∆∆+
∆∆+
∆∆=
∆−∆∆+∆+∆+=
∆−∆+=
∆∆
)()(
(11.2)
Jika ∆x mendekati nol maka demikian pula ∆v dan ∆w, sehingga x
wv
∆∆∆
juga mendekati nol. Persamaan (11.2) akan memberikan
dx
dvw
dx
dwv
dx
vwd
dx
dy +== )( (11.3)
Inilah formulasi turunan fungsi yang merupakan hasilkali dari dua fungsi.
Contoh: Kita uji kebenaran formulasi ini dengan melihat suatu fungsi
mononom 56xy = yang kita tahu turunannya adalah 430xy =′ .
Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian dua fungsi
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 136
vwy = dengan 32xv = dan 23xw = . Menurut (11.3) turunan dari
y menjadi
44422323
3018126362)32(
xxxxxxxdx
xxdy =+=×+×=
×=′
Ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bagaimanakah dx
uvwd )( jika u, v, w ketiganya adalah fungsi x. Kita
aplikasikan (11.3) secara bertahap seperti berikut.
dx
duvw
dx
dvuw
dx
dwuv
dx
duv
dx
dvuw
dx
dwuv
dx
uvdw
dx
dwuv
dx
wuvd
dx
uvwd
)()()(
)(
)()(
))(()(
++=
++=
+==
(11.4)
Contoh: Kita uji formula ini dengan mengambil fungsi penguji
sebelumnya, yaitu 56xy = yang kita tahu turunannya adalah
430xy =′ . Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian tiga
fungsi uvwy = dengan xu 2= , 23xv = , dan xw = . Menurut
(11.9) turunan dari y adalah
44442
222
3012126)4)((3x
)6)(2()1)(32()(
xxxxxx
xxxxxdx
uvwd
dx
dy
=++=×+
×+×==
Ternyata sesuai dengan yang kita harapkan.
11.2. Fungsi Yang Merupakan Pangkat Dari Suatu Fungsi
Yang dimaksud di sini adalah bagaimana turunan dx
dy jika y = vn dengan
v adalah fungsi x, dan n adalah bilangan bulat. Kita ambil contoh fungsi
vvvvy ××== 2361 dengan v merupakan fungsi x. Jika kita
aplikasikan formulasi (11.4) akan kita dapatkan
137
dx
dvv
dx
dvv
dx
dvvv
dx
dvv
dx
dvv
dx
dvv
dx
dvv
dx
dvvv
dx
dvv
dx
dvvv
dx
dvv
dx
dvvv
dx
dvvv
dx
dvvv
dx
dy
5
4555
22345
32
23231
6
2
)()()(
=
++++=
++
++=
++=
Contoh ini memperlihatkan bahwa
dx
dvv
dx
dv
dv
dv
dx
dv 566
6==
yang secara umum dapat kita tulis
dx
dvnv
dx
dv nn
1−= (11.5)
Contoh: Kita ambil contoh yang merupakan gabungan antara perkalian dan pangkat dua fungsi.
2332 )1()1( −+= xxy
Kita gabungkan relasi turunan untuk perkalian dua fungsi dan pangkat suatu fungsi.
)12()1)(1(6
)1()1(6)1()1(6
2)1(3)1()3)(1(2)1(
)1()1(
)1()1(
3223
22233322
22232332
3223
2332
−++−=
+−+−+=
+−+−+=
+−+−+=
xxxxx
xxxxxx
xxxxxx
dx
xdx
dx
xdx
dx
dy
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 138
11.3. Fungsi Rasional
Fungsi rasional merupakan rasio dari dua fungsi
w
vy = (11.6)
Tinjauan atas fungsi demikian ini hanya terbatas pada keadaan 0≠w . Kita coba memandang fungsi ini sebagai perkalian dari dua fungsi:
1−= vwy (11.7)
Kalau kita aplikasikan (11.3) pada (11.7) kita peroleh
−=
+−=+−=
+==
=
−−
−−−
dx
dwv
dx
dvw
w
dx
dv
wdx
dv
w
v
dx
dvw
dx
dvvw
dx
dvw
dx
dwv
dx
vwd
w
v
dx
d
dx
dy
2
212
111
1
1
)(
atau 2w
dx
dwv
dx
dvw
w
v
dx
d
−=
(11.8)
Inilah formulasi turunan fungsi rasional. Fungsi v dan w biasanya merupakan polinom dengan v mempunyai orde lebih rendah dari w. (Pangkat tertinggi peubah x dari v lebih kecil dari pangkat tertinggi peubah x dari w).
Contoh:
1). 3
2 3
x
xy
−=
4
2
6
244
6
223
9)93(2
)3)(3()2(
x
x
x
xxx
x
xxxx
dx
dy
+−=−−=
−−=
139
2). 2
2 1
xxy +=
3
2 22
4
2102
xx
xxx
dx
dy −=×−×+=
3). 1dengan ;1
1 22
2≠
−+= x
x
xy (agar penyebut tidak nol)
2222
33
22
22
)1(
4
)1(
2222
)1(
2)1(2)1(
−−=
−−−−=
−+−−=
x
x
x
xxxx
x
xxxx
dx
dy
11.4. Fungsi Implisit Sebagian fungsi implisit dapat diubah ke dalam bentuk explisit namun sebagian yang lain tidak. Untuk fungsi yang dapat diubah dalam bentuk eksplisit, turunan fungsi dapat dicari dengan cara seperti yang sudah kita pelajari di atas. Untuk mencari turunan fungsi yang tak dapat diubah ke dalam bentuk eksplisit perlu cara khusus, yang disebut diferensiasi implisit. Dalam cara ini kita menganggap bahwa fungsi y dapat didiferensiasi terhadap x. Kita akan mengambil beberapa contoh.
Contoh:
1). 822 =++ yxyx . Fungsi implisit ini merupakan sebuah
persamaan. Jika kita melakukan operasi matematis di ruas kiri, maka operasi yang sama harus dilakukan pula di ruas kanan agar kesamaan tetap terjaga. Kita lakukan diferensiasi (cari turunan) di kedua ruas, dan kita akan peroleh
yxdx
dyyx
dx
dyy
dx
dxy
dx
dyxx
−−=+
=+++
2)2(
022
Untuk titik-titik di mana 0)2( ≠+ yx kita peroleh turunan
yx
yx
dx
dy
2
2
++−=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 140
Untuk suatu titik tertentu, misalnya [1,2], maka
141
8,041
22 −=++−=
dx
dy .
Inilah kemiringan garis singgung di titik [1,2] pada kurva fungsi y bentuk implisit yang sedang kita hadapi.
2). 434 434 =−+ yxyx . Fungsi implisit ini juga merupakan sebuah
persamaan. Kita lakukan diferensiasi pada kedua ruas, dan kita akan memperoleh
0124)3(44
0)3()4(
44
3323
43
33
=−++
=−++
dx
dyyy
dx
dyyxx
dx
yd
dx
xdy
dx
dyxx
)(4)1212( 3332 yxdx
dyyxy +−=−
Di semua titik di mana 0)( 32 ≠− yxy kita dapat memperoleh
turunan
)(3
)(32
33
yxy
yx
dx
dy
−+−=
11.5. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat Pada waktu kita mencari turunan fungsi yang merupakan pangkat dari suatu fungsi lain, y = vn , kita syaratkan bahwa n adalah bilangan bulat. Kita akan melihat sekarang bagaimana jika n merupakan sebuah rasio
q
pn = dengan p dan q adalah bilangan bulat dan q ≠ 0, serta v adalah
fungsi yang bisa diturunkan. qpvy /= (11.9)
Fungsi (11.9) dapat kita tuliskan pq vy = (11.10)
yang merupakan bentuk implisit fungsi y. Jika kita lakukan diferensiasi terhadap x di kedua ruas (11.10) kita peroleh
dx
dvpv
dx
dyqy pq 11 −− =
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 142
Jika y ≠ 0, kita dapatkan
dx
dv
qy
pv
dx
vd
dx
dyq
pqp
1
1/ )(−
−== (11.11)
Akan tetapi dari (11.9) kita lihat bahwa
( ) )/(1/1 qppqqpq vvy −−− ==
sehingga (11.11) menjadi
dx
dvv
q
p
dx
dvv
q
p
dx
dv
qv
pv
dx
vd
dx
dy
qp
qppp
qpp
pqp
1)/(
)/()1(
)/(
1/
)(
−
+−−
−
−
=
=
==
(11.12)
Formulasi (11.12) ini mirip dengan (11.5), hanya perlu persyaratan bahwa v ≠ 0 untuk p/q < 1.
11.6. Kaidah Rantai
Apabila kita mempunyai persamaan
)(dan )( tfytfx == (11.13)
maka relasi antara x dan y dapat dinyatakan dalam t. Persamaan demikian disebut persamaan parametrik, dan t disebut parameter. Jika kita eliminasi t dari kedua persamaan di atas, kita dapatkan persamaan yang berbentuk
)(xFy = (11.14)
Bagaimanakah )(xFdx
dy ′= dari (11.14) ber-relasi dengan
)(dan )( tfdt
dxtg
dt
dy ′=′= ?
Pertanyaan ini terjawab oleh kaidah rantai berikut ini.
143
Jika )(xFy = dapat diturunkan terhadap x dan
)(tfx = dapat diturunkan terhadap t, maka
( ) )()( tgtfFy == dapat diturunkan terhadap t
menjadi
dt
dx
dx
dy
dt
dy = (11.15)
Relasi ini sudah kita kenal.
11.7. Diferensial dx dan dy
Pada pembahasan fungsi linier kita tuliskan kemiringan garis, m, sebagai
)(
)(
12
12
xx
yy
x
ym
−−
=∆∆=
kita lihat kasus jika ∆x mendekati nol namun tidak sama dengan nol. Limit ini kita gunakan untuk menyatakan turunan fungsi y(x) terhadap x pada formulasi
)(lim0
xfx
y
dx
dy
x′=
∆∆=
→∆
Sekarang kita akan melihat dx dan dy yang didefinisikan sedemikian rupa sehingga rasio dy/dx , jika dx≠ 0, sama dengan turunan fungsi y terhadap x. Hal ini mudah dilakukan jika x adalah peubah bebas dan y merupakan fungsi dari x:
)(xFy = (11.16)
Kita ambil definisi sebagai berikut
1. dx, kita sebut sebagai diferensial x, merupakan bilangan nyata berapapun nilainya, dan merupakan peubah bebas yang lain selain x;
2. dy, kita sebut sebagai diferensial y, adalah fungsi dari x dan dx yang dinyatakan dengan
dxxFdy )('= (11.17)
Kita telah terbiasa menuliskan turunan fungsi y terhadap x sebagai
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 144
)(xfdx
dy ′= .
Perhatikanlah bahwa ini bukanlah rasio dari dy terhadap dx melainkan turunan fungsi y terhadap x. Akan tetapi jika kita bersikukuh memandang relasi ini sebagai suatu rasio dari dy terhadap dx maka kita juga akan memperoleh relasi (11.17), namun sesungguhnya (11.17) didefinisikan dan bukan berasal dari relasi ini.
Pengertian terhadap dy lebih jelas jika dilihat secara geometris seperti terlihat pada Gb.11.1. Di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx satuan, maka di sepanjang garis singgung di titik P nilai y akan berubah sebesar dy. Diferensial dx dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke kanan” dan negatif jika “mengarah ke kiri”. Diferensial dy dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke atas” dan negatif jika “mengarah ke bawah”.
Gb.11.1. Penjelasan geometris tentang diferensial.
θ= tandx
dy ; dxdy )(tanθ=
1. dx
dy adalah laju perubahan y terhadap perubahan x.
2. dy adalah besar perubahan nilai y sepanjang garis singgung di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx skala.
P dx
dy
θ
P dx
dy
θ
P dx
dy
θ
P dx
dy
θ
y
x
x x
x
y
y y
145
Dengan pengertian diferensial seperti di atas, kita kumpulkan formula turunan fungsi dan formula diferensial fungsi dalam Tabel-10.1. Dalam tabel ini v adalah fungsi x.
Tabel-11.1
Turunan Fungsi Diferensial
1. 0=dx
dc; c = konstan 1. 0=dc ; c = konstan
2.dx
dvc
dx
dcv = 2. cdvdcv =
3.dx
dw
dx
dv
dx
wvd +=+ )( 3. dwdvwvd +=+ )(
4.dx
dvw
dx
dwv
dx
dvw += 4. wdvvdwvwd +=)(
5.2w
dx
dwv
dx
dvw
dx
w
vd −
=
5.
2w
vdwwdv
w
vd
−=
6.dx
dvnv
dx
dv nn
1−= 6. dvnvdv nn 1−=
7. 1−= nn
cnxdx
dcx 7. dxcnxcxd nn 1)( −=
Ada dua cara untuk mencari diferensial suatu fungsi.
1. Mencari turunannya lebih dulu (kolom kiri Tabel-11.1), kemudian dikalikan dengan dx.
2. Menggunakan langsung formula diferensial (kolom kanan Tabel-10.1)
Kita ambil suatu contoh: cari dy dari fungsi
653 23 −+−= xxxy
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 146
Turunan y adalah : 563 2 +−=′ xxy
sehingga dxxxdy )563( 2 +−=
Kita dapat pula mencari langsung dengan menggunakan formula dalam tabel di atas:
dxxx
dxxdxdxxdxdxdxddy
)563(
563 )6()5()3()(2
223
+−=
+−=−++−+=
147
Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.
322
43
23
)1()2(
; )2(
;)3()1(
−++=
−=
+−=
xxy
xxy
xxy
13
2
;1
1
; 1
12
2
2
2
+=
−+=
−+=
x
xy
x
xy
x
xy
22
; 1
;
;2
33
2222
2
=−−
=+
+=
+=+
yx
yx
yx
yxyx
yxyxy
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 148
Bab 12 Turunan Fungsi Trigonometri, Trigonometri Inversi, Logaritmik, Eksponensial
12.1. Turunan Fungsi Trigonometri
Jika xy sin= maka
x
xxxxxx
xxx
dx
xd
dx
dy
∆−∆+∆=
∆−∆+==
sinsincoscossin
sin)sin(sin
Untuk nilai yang kecil, ∆x menuju nol, sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu
xdx
xdcos
sin = (12.1)
Jika xy cos= maka
x
xxxxx
x
xxx
dx
xd
dx
dy
∆−∆−∆=
∆−∆+== cossinsincoscos
cos)cos(cos
Jik ∆x menuju nol, maka sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu
xdx
xdsin
cos −= (12.2)
Turunan fungsi trigonometri yang lain tidak terlalu sulit untuk dicari.
xxx
xxx
x
x
dx
d
dx
xd 222
2sec
cos
1
cos
)sin(sincos
cos
sintan ==−−=
=
xxx
xxx
x
x
dx
d
dx
xd 222
2csc
sin
1
sin
)(coscossin
sin
coscot −=−=−−=
=
xxx
x
x
x
xdx
d
dx
xdtansec
cos
sin
cos
)sin(0
cos
1sec22
==−−=
=
xxx
x
x
x
xdx
d
dx
xdcotcsc
sin
cos
sin
)(cos0
sin
1csc22
−=−=−=
=
149
Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.
xyxyxy 222 cos3 ; )3(sin5 ; )4tan( ===
)2cos()2(sin ; )63cot( 3 xxyxy −=+=
244 )cot(csc ; tansec xxyxxy +=−=
Contoh-Contoh Dalam Praktik Rekayasa. Berikut ini kita akan melihat turunan fungsi trigonometri dalam rangkaian listrik. (ref. [3] Bab-4).
1). Tegangan pada suatu kapasitor merupakan fungsi sinus vC = 200sin400t volt. Kita akan melihat bentuk arus yang mengalir pada kapasitor yang memiliki kapasitansi C = 2×10-6 farad ini.
Hubungan antara tegangan kapasitor vC dan arus kapasitor iC adalah
dt
dvCi C
C =
Arus yang melalui kapasitor adalah
( ) ampere 400cos160,0400sin200102 6 ttdt
d
dt
dvCi C
C =××==
Daya adalah perkalian tegangan dan arus. Jadi daya yang diserap kapasitor adalah
watt800sin16
400sin400cos32400cos16,0400sin200
t
ttttivp CCC
==×==
Bentuk kurva tegangan dan arus terlihat pada gambar di bawah ini.
Pada waktu tegangan mulai naik pada t = 0, arus justru sudah mulai menurun dari nilai maksimumnya. Dengan kata lain kurva arus mencapai nilai puncak-nya lebih dulu dari kurva tegangan; dikatakan
-200
-100
0
100
200
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05
vC
pC iC
vC
iC
pC
t [detik]
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 150
bahwa arus kapasitor mendahului tegangan kapasitor. Perbedaan kemunculan ini disebut perbedaan fasa yang untuk kapasitor besarnya adalah 90o; jadi arus mendahului tegangan dengan beda fasa sebesar 90o.
Kurva daya bervariasi secara sinusoidal dengan frekuensi dua kali lipat dari frekuensi tegangan maupun arus. Variasi ini simetris terhadap sumbu waktu. Kapasitor menyerap daya selama setengah perioda dan memberikan daya selama setengah perioda berikutnya. Secara keseluruhan tidak akan ada penyerapan daya netto; daya ini disebut daya reaktif.
2). Arus pada suatu inductor L = 2,5 henry merupakan fungsi sinus terhadap waktu sebagai iL = −0,2cos400t ampere. Berapakah tegangan antara ujung-ujung induktor dan daya yang diserapnya ?
Hubungan antara tegangan induktor vL dan arus induktor iL adalah
dt
diLv L
L =
( ) tttdt
d
dt
diLv L
L 400sin200 400400sin2,05,2400cos2,05,2 =×××=−×==
Daya yang diserap inductor adalag tegangan kali arusnya.
W800sin20
400cos400sin40)400cos2.0(400sin200
t
ttttivp LLL
−=−=−×==
Kurva tegangan, arus, dan daya adalah sebagai berikut.
Kurva tegangan mencapai nilai puncak pertama-nya lebih awal dari kurva arus. Jadi tegangan mendahului arus atau lebih sering dikatakan bahwa arus ketinggalan dari tegangan (hal ini merupakan kebalikan dari kapasitor). Perbedaan fasa di sini juga 90o, artinya arus ketinggalan dari tegangan dengan sudut fasa 90o.
Daya bervariasi secara sinus dan simetris terhadap sumbu waktu, yang berarti tak terjadi transfer energi netto; ini adalah daya reaktif.
vL
iL
pL
vL
pL
iL
t[detik]
-200
-100
0
100
200
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05
151
12.2. Turunan Fungsi Trigonometri Inversi
1) xy 1sin−=
yx sin= ⇒ ydydx cos= ⇒ ydx
dy
cos
1=
21
1
xdx
dy
−=
2) xy 1cos−=
yx cos= ⇒ ydydx sin−= ⇒
ydx
dy
sin
1−= ; 21
1
xdx
dy
−
−=
3) xy 1tan−=
yx tan= ⇒ dyy
dx2cos
1= ⇒
ydx
dy 2cos= ; 21
1
xdx
dy
+=
4) xy 1cot−=
yx cot= ⇒ dyy
dx2sin
1−= ⇒
ydx
dy 2sin−= ; 21
1
xdx
dy
+−=
x 1
21 x−
y
x
1 21 x−y
x
1
21 x+y
x
121 x+y
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 152
5) xy 1sec−= ⇒ y
yxcos
1sec == ⇒ dy
y
xdx
2cos
)sin(0 −−=
1
1
1
1
sin
cos
2
22
2
−=
−×==
xx
x
x
xy
y
dx
dy
6) xy 1csc−= y
yxsin
1csc == ⇒ dy
y
xdx
2sin
)(cos0 −=
1
1
1
1
cos
sin
2
22
2
−
−=
−×−=
−=
xx
x
x
xy
y
dx
dy
Soal-Soal
1). Jika )5.0(sin 1−=α carilah αcos , αtan , αsec , dan αcsc .
2). Jika )5.0(cos 1 −=α − carilah αsin , αtan , αsec , dan αcsc .
3). Hitunglah )1(sin)1(sin 11 −− −− .
4). Hitunglah )1(tan)1(tan 11 −− −− .
5). Hitunglah )2(sec)2(sec 11 −− −− .
12.3. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi
Jika v = f(x), maka
dx
dvv
dx
dv
dv
vd
dx
vdcos
)(sin)(sin ==
dx
dvv
dx
dv
dv
vd
dx
vdsin
)(cos)(cos −==
1
x 12 −xy
1 x
12 −x
y
153
dx
dvv
dx
dv
x
xx
v
v
dx
d
dx
vd 22
22sec
cos
sincos
cos
sin)(tan =+=
=
dx
dvv
v
v
dx
d
dx
vd 2cscsin
cos)(cot −=
=
dx
dvvv
dx
dv
v
v
vdx
d
dx
vdtansec
cos
sin0
cos
1)(sec2
=+=
=
dx
dvvv
vdx
d
dx
vdcotcsc
sin
1)(csc −=
=
Jika w = f(x), maka
dx
dw
wdx
wd
2
1
1
1)(sin
−=
−
dx
dw
wdx
wd
2
1
1
1)(cos
−−=
−
dx
dw
wdx
wd2
1
1
1)(tan
+=
−
dx
dw
wdx
wd2
1
1
1)(cot
+−=
−
dx
dw
wwdx
wd
1
1)(sec
2
1
−=
−
dx
dw
wwdx
wd
1
1)(csc
2
1
−−=
−
Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.
xyx
y
xyxy
4sec ; 3
tan3
1
)2(cos ; )5,0(sin
11
11
−−
−−
==
==
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 154
12.4. Turunan Fungsi Logaritmik
Walaupun kita belum membicarakan tentang integral, kita telah mengetahui bahwa fungsi xxf ln)( = didefinisikan melalui suatu
integrasi (lihat bahasan tentang fungsi logaritmik sub-bab 8.1)
)0( 1
ln)(1
>== ∫ xdtt
xxfx
y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, di selang antara t = 1 dan t = x pada Gb.11.1.
Gb.12.1. Definisi lnx dan turunan lnx secara grafis.
Kita lihat pula
∆=
∆−∆+
∫∆+ xx
xdt
txx
xxx 11)ln()ln( (12.3)
Apa yang berada dalam tanda kurung (12.3) adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, antara t = x dan t = x + ∆x. Luas bidang ini lebih kecil dari luas persegi panjang (∆x × 1/x). Namun jika ∆x makin kecil, luas bidang tersebut akan makin mendekati (∆x × 1/x); dan jika ∆x mendekati nol luas tersebut sama dengan (∆x × 1/x). Pada keadaan batas ini (12.3) akan bernilai (1/x). Jadi
xdx
xd 1ln = (12.4)
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4x
y
x t
1/x
1/t lnx
ln(x+∆x)−lnx
x+∆x
1/(x+∆x)
155
Jika v adalah v = f(x), kita mencari turunan dari lnv dengan
memanfaatkan kaidah rantai. Kita ambil contoh: 43 2 += xv
43
6)43(
43
1lnln2
2
2 +=
++
==x
x
dx
xd
xdx
dv
dv
vd
dx
vd
Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.
)ln(ln ; )ln(cos ;22
ln ; )2ln( 2 xyxyx
xyxxy ==
+=+=
12.5. Turunan Fungsi Eksponensial
Fungsi eksponensial berbentuk xey = (12.5)
Persamaan (12.5) berarti xexy == lnln , dan jika kita lakukan
penurunan secara implisit di kedua sisinya akan kita dapatkan
11ln ==
dx
dy
ydx
yd atau xeydx
dy == (12.6)
Jadi turunan dari ex adalah ex itu sendiri. Inilah fungsi eksponensial yang tidak berubah terhadap operasi penurunan yang berarti bahwa penurunan dapat dilakukan beberapa kali tanpa mengubah bentuk fungsi. Turunan-
turunan dari xey = adalah xey =′ xey =′′ xey =′′′ dst.
Formula yang lebih umum adalah jika eksponennya merupakan suatu fungsi, )(xvv = .
dx
dve
dx
dv
dv
de
dx
de vvv
== (12.7)
Kita ambil contoh: xey1tan−
=
2
tan1tan
1
tan1
1
x
e
dx
xde
dx
dy xx
+==
−− −
Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.
2 ; 2
xxx ee
yexy−−== ; xx
xx
xxeyey
ee
eey /1sin ; ;
1
==+−
=−
−
−
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 156
Bab 13 Integral
Dalam bab sebelumnya, kita mempelajari salah satu bagian utama kalkulus, yaitu kalkulus diferensial. Berikut ini kita akan membahas bagian utama kedua, yaitu kalkulus integral.
Dalam pengertian sehari-hari, kata “integral” mengandung arti “keseluruhan”. Istilah “mengintegrasi” bisa berarti “menunjukkan keseluruhan” atau “memberikan total”; dalam matematika berarti “menemukan fungsi yang turunannya diketahui”.
Misalkan dari suatu fungsi f(x) yang diketahui kita diminta untuk mencari suatu fungsi y sedemikian rupa sehingga dalam rentang nilai x tertentu, misalnya a< x < b, dipenuhi persamaan
)(xfdx
dy = (13.1)
Persamaan seperti (13.1) ini, yang menyatakan turunan fungsi sebagai fungsi x (dalam beberapa hal ia mungkin juga merupakan fungsi x dan y) disebut persamaan diferensial. Sebagai contoh:
036
652
222
2
2
=++
++=
yxdx
dyxy
dx
yd
xxdx
dy
Pembahasan yang akan kita lakukan hanya mengenai bentuk persamaan diferensial seperti contoh yang pertama.
13.1. Integral Tak Tentu
Suatu fungsi )(xFy = dikatakan sebagai solusi dari persamaan
diferensial (13.1) jika dalam rentang a< x < b ia dapat diturunkan dan dapat memenuhi
)()(
xfdx
xdF = (13.2)
Perhatikan bahwa jika F(x) memenuhi (13.2) maka KxF +)( dengan K
adalah suatu nilai tetapan sembarang, juga akan memenuhi (13.2) sebab
157
[ ]0
)()()( +=+=+dx
xdF
dx
dK
dx
xdF
dx
KxFd (13.3)
Jadi secara umum dapat kita tuliskan
KxFdxxf +=∫ )()( (13.4)
yang kita baca: integral f(x) dx adalah F(x) ditambah K.
Persamaan (13.2) dapat pula kita tulisan dalam bentuk diferensial, yaitu
dxxfxdF )()( =
yang jika integrasi dilakukan pada ruas kiri dan kanan akan memberikan
∫∫ = dxxfxdF )()( (13.5)
Jika kita bandingkan (13.5) dan (13.4), kita dapat menyimpulkan bahwa
KxFxdF +=∫ )()( (13. 6)
Jadi integral dari diferensial suatu fungsi adalah fungsi itu sendiri ditambah suatu nilai tetapan. Integral semacam ini disebut integral tak tentu; masih ada nilai tetapan K yang harus dicari.
Kita ambil dua contoh untuk inegrasi integrasi tak tentu ini.
1) Cari solusi persamaan diferensial 45xdx
dy =
Kita tuliskan persamaan tersebut dalam bentuk diferensial
dxxdy 45=
Menurut relasi (11.4) dan (11.5) di Bab-9,
dxxxd 45 5)( =
Oleh karena itu
Kxxddxxy +=== ∫∫ 554 )(5
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 158
2). Carilah solusi persamaan yxdx
dy 2=
Kita tuliskan dalam bentuk diferensial dxyxdy 2= dan kita
kelompokkan peubah dalam persamaan ini sehingga ruas kiri mengandung hanya peubah tak bebas y dan ruas kanan hanya mengandung peubah bebas x. Proses ini kita lakukan dengan membagi kedua ruas dengan √y.
dxxdyy 22/1 =−
Ruas kiri memberikan diferensial ( ) dyyyd 2/12/12 −= dan ruas kanan
memberikan diferensial dxxxd 23
3
1 =
, sehingga
( )
= 32/1
3
12 xdyd
Jika kedua ruas diintegrasi, diperoleh
23
12/1
3
12 KxKy +=+ atau
KxKKxy +=−+= 312
32/1
3
1
3
12
Dua contoh telah kita lihat. Dalam proses integrasi seperti di atas terasa adanya keharusan untuk memiliki kemampuan menduga jawaban. Beberapa hal tersebut di bawah ini dapat memperingan upaya pendugaan tersebut.
1. Integral dari suatu diferensial dy adalah y ditambah konstanta sembarang K.
Kydy +=∫
2. Suatu konstanta yang berada di dalam tanda integral dapat dikeluarkan
∫∫ = dyaady
159
3. Jika bilangan n ≠ −1, maka integral dari yndy diperoleh dengan menambah pangkat n dengan 1 menjadi (n + 1) dan membaginya dengan (n + 1).
1 jika ,1
1−≠+
+=
+
∫ nKn
ydyy
nn
Penggunaan Integral Tak Tentu. Dalam integral tak tentu, terdapat suatu nilai K yang merupakan bilangan nyata sembarang. Ini berarti bahwa integral tak tentu memberikan hasil yang tidak tunggal melainkan banyak hasil yang tergantung dari berapa nilai yang dimiliki oleh K. Dalam pemanfaatan integral tak tentu, nilai K diperoleh dengan menerapkan apa yang disebut sebagai syarat awal atau kondisi awal. Kita akan mencoba memahami melalui pengamatan kurva. Jika kita
gambarkan kurva 210xy = kita akan mendapatkan kurva bernilai
tunggal seperti Gb.13.1.a. Akan tetapi jika kita melakukan integrasi
∫ dxx
3
10 3 tidak hanya satu kurva yang dapat memenuhi syarat akan
tetapi banyak kurva seperti pada Gb.13.1.b; kita akan mendapatkan satu kurva jika K dapat ditentukan.
a) b)
Gb.13.1. Integral tak tentu memberikan banyak solusi.
Sebagai contoh kita akan menentukan posisi benda yang bergerak dengan kecepatan sebagai fungsi waktu yang diketahui. Kecepatan sebuah benda bergerak dinyatakan sebagai tatv 3== , dengan v adalah kecepatan, a adalah percepatan yang dalam soal ini bernilai 3, t waktu. Kalau posisi
50
100
-5 -3 -1 1 3 5x
y = 10x2
50
100
-5 -3 -1 1 3 5
K1
K2
K3
y
yi = 10x2 +Ki
y
x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 160
awal benda adalah 30 =s pada waktu t = 0, tentukanlah posisi benda
pada t = 4.
Kita ingat pengertian-pengertian dalam mekanika bahwa kecepatan
adalah laju perubahan jarak, dt
dsv = ; sedangkan percepatan adalah laju
perubahan kecepatan, dt
dva = . Karena kecepatan sebagai fungsi t
diketahui, dan kita akan mencari posisi (jarak), maka kita gunakan relasi
dt
dsv = yang memberikan vdtds=
sehingga integrasinya memberikan
∫ +=+== KtKt
atdts 22
5,12
3
Kita terapkan sekarang kondisi awal, yaitu 30 =s pada t = 0.
K+= 03 yang memberikan 3=K
Dengan demikian maka s sebagai fungsi t menjadi 35,1 2 += ts
sehingga pada t = 4 posisi benda adalah 274 =s
Luas Sebagai Suatu Integral. Kita akan mencari luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva )(xfy = , sumbu-x, garis vertikal x = p, dan x =
q. Sebagai contoh pertama kita ambil fungsi tetapan 2=y seperti terlihat
pada Gb.13.2.
Gb.13.2. Mencari luas bidang di bawah y = 2.
p x x+∆x q
y
x
y = f(x) =2
0
2
∆Apx Apx
161
Jika luas dari p sampai x adalah Apx, dan kita bisa mencari fungsi pertambahan luas ∆Apx yaitu pertambahan luas jika x bertambah menjadi x+∆x, maka kita dapat menggunakan fungsi pertambahan tersebut mulai dari x = p sampai x = q untuk memperoleh Apq yaitu luas dari p sampai q. Pertambahan luas yang dimaksud tentulah
xApx ∆=∆ 2 atau )(2 xfx
Apx ==∆
∆ (13.7)
Jika ∆x diperkecil menuju nol maka kita dapatkan limit
2)(lim0
===∆
∆→∆
xfdx
dA
x
A pxpx
x (13.8)
Dari (13.8) kita peroleh
KxdxdAA pxpx +=== ∫∫ 22 (13.9)
Kondisi awal (kondisi batas) adalah Apx = 0 untuk x = p. Jika kondisi ini kita terapkan pada (13.9) kita akan memperoleh nilai K yaitu
Kp += 20 atau pK 2−= (13.10)
sehingga
pxApx 22 −= (13.11)
Kita mendapatkan luas Apx (yang dihitung mulai dari x = p) merupakan fungsi x. Jika perhitungan diteruskan sampai x = q kita peroleh
)(222 pqpqApq −=−= (13.12)
Inilah hasil yang kita peroleh, yang sudah kita kenal dalam planimetri yang menyatakan bahwa luas segi empat adalah panjang kali lebar yang dalam kasus kita ini panjang adalah (q − p) dan lebar adalah 2.
Bagaimanakah jika kurva yang kita hadapi bukan kurva dari fungsi tetapan? Kita lihat kasus fungsi sembarang dengan syarat bahwa ia kontinyu dalam rentang qxp ≤≤ seperti digambarkan pada Gb.13.3.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 162
Gb.13.3. Fungsi sembarang kontinyu dalam bxa ≤≤
Dalam kasus ini, ∆Apx bisa memiliki dua nilai tergantung dari apakah dalam menghitungnya kita memilih ∆Apx = f(x)∆x atau ∆Apx = f(x+∆x)∆x. Namun kita akan mempunyai nilai
xxxfxxfxxfApx ∆∆+≤∆≤∆=∆ )()()( 0 (13.13)
dengan x0 adalah suatu nilai x yang terletak antara x dan x+∆x. Jika ∆x kita buat mendekati nol kita akan mempunyai
xxxfxxfxxfApx ∆∆+=∆=∆=∆ )()()( 0 (13.14)
Dengan demikian kita akan mendapatkan limit
)(lim0
xfdx
dA
x
A pxpx
x==
∆
∆
→∆ (13.15)
Dari sini kita peroleh
KxFdxxfdAA pxpx +=== ∫∫ )()( (13.16)
Dengan memasukkan kondisi awal Apx = 0 untuk x = p dan kemudian memasukkan nilai x = q kita akan memperoleh
] qppq xFpFqFA )()()( =−= (13.17)
p x x+∆x q
y
x
y = f(x)
0
∆Apx
f(x) f(x+∆x )
Apx
163
13.2. Integral Tentu
Integral tentu merupakan integral yang batas-batas integrasinya jelas. Konsep dasar integral tentu adalah luas bidang yang dipandang sebagai suatu limit. Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f(x), sumbu-x, garis x = p, dan x = q, yaitu luas bagian yang diarsir pada Gb.13.4.a.
Sebutlah luas bidang ini Apq. Bidang ini kita bagi dalam n segmen dan kita akan menghitung luas setiap segmen dan kemudian menjumlahkannya untuk memperoleh Apq. Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.13.4.b, kita akan memperoleh luas yang lebih kecil dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqb (jumlah luas segmen bawah).
Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.13.4.c, kita akan memperoleh luas yang lebih besar dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqa (jumlah luas segmen atas).
Kedua macam perhitungan tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya error. Antara Apqb dan Apqa ada selisih seperti terlihat pada Gb.13.4.d. Jika x0k adalah suatu nilai x di antara kedua batas segmen ke-k, yaitu antara xk dan (xk+∆x), maka berlaku
)()()( 0 xxfxfxf kkk ∆+≤≤ (13.18)
Jika pertidaksamaan (13.18) dikalikan dengan ∆xk yang yang cukup kecil dan bernilai positif, maka
kkkkkk xxxfxxfxxf ∆∆+≤∆≤∆ )()()( 0 (13.19)
Jika luas segmen di ruas kiri, tengah, dan kanan dari (13.19) kita jumlahkan dari 1 sampai n (yaitu sebanyak jumlah segmen yang kita buat), kita akan memperoleh
k
n
kk
n
kkk
n
kkk xxxfxxfxxf ∆∆+≤∆≤∆ ∑∑∑
=== 110
1
)()()( (13.20)
Ruas paling kiri adalah jumlah luas segmen bawah, Apqb; ruas paling kanan adalah jumlah luas segmen atas, Apqa; ruas yang di tengah adalah jumlah luas segmen pertengahan, kita namakan An. Jelaslah bahwa
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 164
pqanpqb AAA ≤≤ (13.21)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gb.13.4. Menghitung luas bidang di bawah kurva.
Nilai An dapat dipakai sebagai pendekatan pada luas bidang yang kita cari. Error yang terjadi sangat tergantung dari jumlah segmen, n. Jika n
p x2 xk xk+1 xn
y
x
y = f(x)
0
p x2 xk xk+1 xn
y
x
y = f(x)
0
p x2 xk xk+1 xn
y
x
y = f(x)
0
p x2 xk xk+1 xn
y
x
y = f(x)
0
165
kita perbesar menuju tak hingga dan semua ∆xk menuju nol, maka luas bidang yang kita cari adalah
pqax
nx
pqbx
pq AAAAkkk 000
limlimlim→∆→∆→∆
=== (13.22)
Jadi apabila kita menghitung limitnya, kita akan memperoleh nilai limit yang sama, apakah kita menggunakan penjumlahan segmen bawah, atau atas, atau pertengahannya. Limit yang sama ini disebut integral tertentu, dituliskan
∫=q
ppq dxxfA )( (13.23)
Integral tertentu (13.23) ini terkait dengan integral tak tentu (11.12)
] )()()()( pFqFxFdxxfA qp
q
ppq −=== ∫ (13.24)
Jadi untuk memperoleh limit bersama dari penjumlahan segmen bawah, penjumlahan segmen atas, maupun penjumlahan segmen pertengahan dari fungsi f(x) dalam rentang p ≤ x ≤ q, kita cukup melakukan:
a. integrasi untuk memperoleh ∫= dxxfxF )()( ;
b. masukkan batas atas x = q untuk mendapat F(q);
c. masukkan batas bawah x = p untuk mendapat F(p);
d. kurangkan perolehan batas bawah dari batas atas, F(q) − F(p).
Walaupun dalam pembahasan di atas kita mengambil contoh fungsi yang bernilai positif dalam rentang qxp ≤≤ , namun pembahasan itu
berlaku pula untuk fungsi yang dalam rentang qxp ≤≤ sempat
bernilai negatif. Kita hanya perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan Apx dalam pembahasan sebelumnya. Pendefinisian yang baru ini akan berlaku umum, yaitu
Apx adalah luas bidang yang dibatasi oleh )(xfy = dan
sumbu-x dari p sampai x, yang merupakan jumlah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 166
Agar lebih jelas kita mengambil contoh pada Gb 13.2. Kita akan
menghitung luas antara xxy 123 −= dan sumbu-x dari x = −3 sampai x
= +3. Bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.13.5.
Di sini terlihat bahwa dari x = −3 sampai 0 kurva berada di atas sumbu-x dan antara x = 0 sampai +3 kurva ada di bawah sumbu-x. Untuk bagian yang di atas sumbu-x kita mempunyai luas
75,33)5425,20(064
)12(
0
3
240
3
3 =−−−=
−=−=
−−∫ x
xdxxxAa
Untuk kurva yang di bawah sumbu-x kita dapatkan
75,33)0(5425,2064
)12(
3
0
243
0
3 −=−−=
−=−= ∫ x
xdxxxAb
Luas yang kita cari adalah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x
5,67)755,33(75,33 =−−=−= bapq AAA
Contoh ini menunjukkan bahwa dengan pengertian yang baru mengenai Apx, formulasi
( )))()( pFqFdxxfAq
p−== ∫
tetap berlaku untuk kurva yang memiliki bagian baik di atas maupun di bawah sumbu-x.
Gb.13.5. Kurva xxy 123 −= - 20
- 10
0
10
20
- 4 - 3 -2 -1 0 1 2 3 4
x
xxy 123 −=
167
Dengan demikian maka untuk bentuk kurva seperti pada Gb.13.6. kita dapatkan
4321 AAAAApq +−+−=
yang kita peroleh dari ( )))()( pFqFdxxfAq
ppq −== ∫
Gb.13.6. Kurva memotong sumbu-x di beberapa titik.
Luas Bidang Di Antara Dua Kurva. Kita akan menghitung luas bidang di antara kurva )(11 xfy = dan )(22 xfy = pada batas antara x = p dan x
= q . Kurva yang kita hadapi sudah barang tentu harus kontinyu dalam rentang qxp ≤≤ . Kita tetapkan bahwa kurva )(11 xfy = berada di atas
)(22 xfy = meskipun mungkin mereka memiliki bagian-bagian yang
berada di bawah sumbu-x. Perhatikan Gb.13.7.
Gb.13.7. Menghitung luas bidang antara dua kurva.
Rentang qxp ≤≤ kita bagi dalam n segmen, yang salah satunya
diperlihatkan pada Gb.13.7. dengan batas kiri x dan batas kanan (x+∆x), dimana npqx /)( −=∆ .
p q
y
x 0
y1
y2
x x+∆x
p
q
y
x
A4
A1
A2
A3
y = f(x)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 168
Luas segmen dapat didekati dengan
{ } xxfxfAsegmen ∆−= )()( 21 (13.25)
yang jika kita jumlahkan seluruh segmen akan kita peroleh
{ }∑∑∆−=
=∆−=
xqx
px
n
segmen xxfxfA )()( 211
(13.25)
Dengan membuat n menuju tak hingga sehingga ∆x menuju nol kita sampai pada suatu limit
{ }∫∑ −==∞→ q
p
n
segmenpq dxxfxfAA )()(lim 211
(13.26)
Kita lihat beberapa contoh.
1). Jika 41 =y dan 22 −=y berapakah luas bidang antara y1 dan y2
dari x1 = p = −2 sampai x2 = q = +3.
{ } ] 30)12(186)2(4( 32
3
2=−−==−−= +
−+
−∫ xdxApq
Hasil ini dengan mudah dijakinkan menggunakan planimetri. Luas yang dicari adalah luas persegi panjang dengan lebar 621 =− yy
dan panjang 512 =− xx .
2). Jika 21 xy = dan 42 =y berpakah luas bidang yang dibatasi oleh
y1 dan y2.
Terlebih dulu kita cari batas-batas integrasi yaitu nilai x pada perpotongan antara y1 dan y2.
2 ,2 4 212
21 ==−==⇒=→= qxpxxyy
Perhatikan bahwa y1 adalah fungsi pangkat dua dengan titik puncak minimum yang berada pada posisi [0,0]. Oleh karena itu bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya, berada di di bawah y2 = 4.
169
3
32
3
16
3
16
3
88
3
88
34)4(
2
2-
32
2
2 =−−=
−−−−
−=
−=−= ∫−
xxdxxApq
Jika kita terbalik dalam memandang posisi y1 terhadap y2 kita akan melakukan kesalahan:
03
16
3
168
3
88
3
84
3)4(*
2
2-
32
2
2 =+−−=
+−−
−=
−=−= ∫− x
xdxxApq
3). Jika 221 +−= xy dan xy −=2 berapakah luas bidang yang
dibatasi oleh y1 dan y2.
Terlebih dulu kita perhatikan karakter fungsi-fungsi ini. Fungsi y1 adalah fungsi kuadrat dengan titik puncak maksimum yang memotong sumbu-y di y = 2. Fungsi y2 adalah garis lurus melalui titik asal [0,0] dengan kemiringan negatif −1, yang berarti ia menurun pada arah x positif. Dengan demikian maka bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya berada di atas y2.
Batas integrasi adalah nilai x pada perpotongan kedua kurva.
22
811 ; 1
2
811
02atau 2
2
2
2
1
2221
=−
+−−==−=
−++−
==
=++−−=+−⇒=
qxpx
xxxxyy
5,4 22
1
3
142
3
8
223
)2(
2
1
232
1
2
=
−+−
−−
++−=
++−=++−=
−−∫ x
xxdxxxApq
Penerapan Integral Tentu. Pembahasan di atas terfokus pada penghitungan luas bidang di bawah suatu kurva. Dalam praktik kita tidak selalu menghitung luas melainkan menghitung berbagai besaran fisis, yang berubah terhadap waktu misalnya. Perubahan besaran fisis ini dapat pula divisualisasi dengan membuat absis dengan satuan waktu dan
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 170
ordinat dengan satuan besaran fisis yang dimaksud. Dengan demikian seolah-olah kita menghitung luas bidang di bawah kurva. Berikut ini dua contoh dalam kelistrikan.
1). Sebuah piranti menyerap daya 100 W pada tegangan konstan 200V. Berapakah energi yang diserap oleh piranti ini selama 8 jam ?
Daya adalah laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p dan energi diberi simbol w, maka
dt
dwp = yang memberikan ∫= pdtw
Perhatikan bahwa peubah bebas di sini adalah waktu, t. Kalau batas bawah dari wktu kita buat 0, maka batas atasnya adalah 8, dengan satuan jam. Dengan demikian maka energi yang diserap selama 8 jam adalah
[kWh]hour Watt kilo 8,0
[Wh]r Watt.hou800100 10080
8
0
8
0
=
==== ∫∫ tdtpdtw
2). Arus yang melalui suatu piranti berubah terhadap waktu sebagai i(t) = 0,05 t ampere. Berapakah jumlah muatan yang dipindahkan melalui piranti ini antara t = 0 sampai t = 5 detik ?
Arus i adalah laju perubahan transfer muatan, q.
dt
dqi = sehingga ∫= idtq
Jumlah muatan yang dipindahkan dalam 5 detik adalah
coulomb 625,02
25,1
2
05,005,0
5
0
5
0
25
0===== ∫∫ ttdtidtq
Pendekatan Numerik. Dalam pembahasan mengenai integral tentu, kita fahami bahwa langkah-langkah dalam menghitung suatu integral adalah:
1. Membagi rentang f(x) ke dalam n segmen; agar proses perhitungan menjadi sederhana buat segmen yang sama lebar, ∆x.
2. Integral dalam rentang p ≤ x ≤ q dari f(x) dihitung sebagai
171
∑∫=→∆
∆=n
kkk
x
q
pxxfdxxf
10
)(lim)(
dengan f(xk) adalah nilai f(x) dalam interval ∆xk yang besarnya akan sama dengan nilai terendah dan tertinggi dalam segmen ∆xk jika ∆x menuju nol.
Dalam aplikasi praktis, kita tentu bisa menetapkan suatu nilai ∆x sedemikian rupa sehingga jika kita mengambil f(xk) sama dengan nilai terendah ataupun tertinggi dalam ∆xk, hasil perhitungan akan lebih rendah ataupun lebih tinggi dari nilai yang diharapkan. Namun error yang terjadi masih berada dalam batas-batas toleransi yang dapat kita terima. Dengan cara ini kita mendekati secara numerik perhitungan suatu integral, dan kita dapat menghitung dengan bantuan komputer.
Sebagai ilustrasi kita akan menghitung kembali luas bidang yang dibatasi
oleh kurva xxy 123 −= dengan sumbu-x antara x = −3 dan x = +3. Luas
ini telah dihitung dan menghasilkan 5,67=pqA . Kali ini perhitungan
∫− −=3
3
3 )12( dxxxApq akan kita lakukan dengan pendekatan numerik
dengan bantuan komputer. Karena yang akan kita hitung adalah luas antara kurva dan sumbu-x, maka bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x harus dihitung sebagai positif. Jika kita mengambil nilai ∆x = 0,15 maka rentang 33 ≤≤≤≤≤≤≤≤−−−− x akan terbagi dalam 40 segmen. Perhitungan menghasilkan
4,6739875,67)12(40
1
3 ≈=−=∑=k
kkpq xxA
Error yang terjadi adalah sekitar 0,15%.
Jika kita mengambil ∆x = 0,05 maka rentang 33 ≤≤− x akan terbagi dalam 120 segmen. Perhitungan menghasilkan
5,6748875,67)12(120
1
3 ≈=−=∑=k
kkpq xxA
Error yang terjadi adalah sekitar 0,02%.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 172
Jika kita masih mau menerima hasil perhitungan dengan error 0,2%, maka hasil pendekatan numerik sebesar 67,4 cukup memadai.
Perhitungan numerik di atas dilakukan dengan menghitung luas setiap segmen sebagai hasilkali nilai minimum ataupun nilai maksimum masing-masing segmen dengan ∆x. Satu alternatif lain untuk menghitung luas segmen adalah dengan melihatnya sebagai sebuah trapesium. Luas setiap segmen menjadi
( ) 2/)()( min xxfxfA kmaksksegmen ∆×+= (13.27)
Perhitungan pendekatan numerik ini kita lakukan dengan bantuan komputer. Kita bisa memanfaatkan program aplikasi yang ada, ataupun menggunakan spread sheet jika fungsi yang kita hadapi cukup sederhana.
Soal-Soal:
1. Carilah titik-titik perpotongan fungsi-fungsi berikut dengan sumbu-x kemudian cari luas bidang yang dibatasi oleh kurva fungsi dengan sumbu-x.
xyyxxy =−−= 322 ; 2
2. Carilah luas bidang yang dibatasi oleh kurva dan garis berikut.
3 garisdan 2 kurva antara Luas
4 garisdan kurva antara Luas2
2
−=−=
==
xxxy
xxy
3. Carilah luas bidang yang dibatasi oleh dua kurva berikut.
24 2xxy −= dan 22xy =
52 2 −= xy dan 52 2 +−= xy
13.3. Volume Sebagai Suatu Integral
Di sub-bab sebelumnya kita menghitung luas bidang sebagai suatu integral. Berikut ini kita akan melihat penggunaan integral untuk menghitung volume.
Balok. Kita ambil contoh sebuah balok seperti tergambar pada Gb.13.8. Balok ini dibatasi oleh dua bidang datar paralel di p dan q. Balok ini diiris tipis-tipis dengan tebal irisan ∆x sehingga volume balok, V, merupakan jumlah dari volume semua irisan.
173
Gb.13.8. Balok
Jika A(x) adalah luas irisan di sebelah kiri dan A(x+∆x) adalah luas irisan di sebelah kanan maka volume irisan ∆V adalah
xxxAVxxA ∆∆+≤∆≤∆ )()(
Volume balok V adalah
∑ ∆=q
p
xxAV )(
dengan )(xA adalah luas rata-rata irisan antara A(x) dan A(x+∆x).
Apabila ∆x cukup tipis dan kita mengambil A(x) sebagai pengganti )(xA
maka kita memperoleh pendekatan dari nilai V, yaitu
∑ ∆≈q
p
xxAV )(
Jika ∆x menuju nol dan A(x) kontinyu antara p dan q maka
∫∑ =∆=→∆
q
p
q
pox
dxxAxxAV )()(lim (13.28)
Rotasi Bidang Segitiga Pada Sumbu-x. Satu kerucut dapat dibayangkan sebagai segitiga yang berputar sekitar salah satu sisinya. Segitiga ini akan menyapu satu volume kerucut seperti terlihat pada Gb.13.9. Segitiga OPQ, dengan OQ berimpit dengan sumbu-x, berputar mengelilingi sumbu-x.
∆x
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 174
Gb.13.9. Rotasi Segitiga OPQ mengelilingi sumbu-x
Formula (13.28) dapat kita terapkan disini. Dalam hal ini A(x) adalah luas lingkaran dengan jari-jari r(x); sedangkan r(x) memiliki persamaan garis OP.
[ ] ∫∫∫ π=π==hhh
dxxmdxxrdxxAV0
22
0
2
0)()( (13.29)
dengan m adalah kemiringan garis OP dan h adalah jarak O-Q. Formula (13.29) akan memberikan volume kerucut
3
3
PQ/OQ)(
32
3232
kerucuth
rhhm
V π=π=π= (13.30)
dengan OQ = h dan r adalah nilai PQ pada x = h.
Bagaimanakah jika OQ tidak berimpit dengan sumbu-x? Kita akan memiliki kerucut yang terpotong di bagian puncak. Volume kerucut terporong demikian ini diperoleh dengan menyesuaikan persamaan garis OP. Jika semula persamaan garis ini berbentuk mxy = berubah menjadi
bmxy += dengan b adalah perpotongan garis OP dengan sumbu-y.
Rotasi Bidang Sembarang. Jika f(x) kontinyu pada bxa ≤≤ , rotasi bidang antara kurva fungsi ini dengan sumbu-x antara bxa ≤≤ sekeliling sumbu-x akan membangun suatu volume benda yang dapat dihitung menggunakan relasi (13.10).
Gb.13.10. Rotasi bidang mengelilingi sumbu-x
y
x
∆x
x 0 a b
f(x)
y
x
∆x
x O Q
P
175
Dalam menghitung integral (13.28) penyesuaian harus dilakukan pada A(x) dan batas-batas integrasi.
( ) ( )22 )()()( xfxrxA π=π=
sehingga ( )∫ π=b
adxxfV 2)( (13.31)
Gabungan Fungsi Linier. Jika f(x) pada (13.31) merupakan gabungan fungsi linier, kita akan mendapatkan situasi seperti pada Gb.13.11.
Gb.13.11. Fungsi f(x) merupakan gabungan fungsi linier.
Fungsi f(x) kontinyu bagian demi bagian. Pada Gb.13.11. terdapat tiga rentang x dimana fungsi linier kontinyu. Kita dapat menghitung volume total sebagai jumlah volume dari tiga bagian.
Fungsi f(x) Memotong Sumbu-x. Formula (13.29) menunjukkan bahwa dalam menghitung volume, f(x) dikuadratkan. Oleh karena itu jika ada bagian fungsi yang bernilai negatif, dalam penghitungan volume bagian ini akan menjadi positif.
13.4. Panjang Kurva Pada Bidang Datar
Jika kurva )(xfy = kita bagi dalam n segmen masing-masing selebar
∆x, maka ∆l dalam segmen tersebut adalah
22 yxPQl ∆+∆==∆
Salah satu segmen diperlihatkan pada Gb.13.12.
Ada satu titik P′ yang terletak pada kurva di segmen ini yang terletak antara P dan Q di mana turunan fungsi )(Py ′′ , yang merupakan garis
singgung di P′, sejajar dengan PQ. Menggunakan pengertian )(Py ′′ ini,
∆l dapat dinyatakan sebagai
( )[ ] ( ) xyxyxl ∆′′+=∆′′+∆=∆ 222 )P(1)P(
y
x
∆x
x 0 a b
2000
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 176
Gb.13.12. Salah satu segmen pada kurva )(xfy = .
Setiap segmen memiliki )(Py ′′ masing-masing yaitu ky′ , dan ∆l
masing-masing yaitu ∆lk . Jika n dibuat menuju ∞, panjang kurva dari x = a ke x = b adalah
( ) ( ) xyxylln
kk
x
n
kk
n
n
kk
nab ∆′+=∆′+=∆= ∑∑∑
=→∆=∞→=∞→1
2
01
2
1
1lim 1limlim
atau dxdx
dyl
b
aab ∫
+=2
1 (13.32)
Perlu kita ingat bahwa panjang suatu kurva tidak tergantung dari posisi sumbu koordinat. Oleh karena itu (13.32) dapat ditulis juga sebagai
dydy
dxl
b
aab ∫
′
′
+=
2
1 dengan a′ dan b′ adalah batas-batas peubah
bebas.
13.5. Nilai Rata-Rata Suatu Fungsi
Untuk fungsi )(xfy = yang kontinyu dalam rentang qxp ≤≤ nilai
rata-rata fungsi ini didefinisikan sebagai
∫−=
q
pxrr dxxf
pqy )(
1)( (13.33)
(Penulisan (yrr)x untuk menyatakan nilai rata-rata fungsi x)
Definisi (13.33) dapat kita tuliskan
P ∆y
∆x
x
y
Q
y = f(x)
∆l
a b
177
∫=−⋅q
pxrr dxxfpqy )()()( (13.34)
Ruas kanan (13.34) adalah luas bidang antara kurva fungsi )(xfy =
dengan sumbu-x mulai dari x = p sampai x = q. Ruas kiri (13.34) dapat ditafsirkan sebagai luas segi empat dengan panjang (q − p) dan lebar (yrr)x. Namun kita perlu hati-hati sebab dalam menghitung ruas kanan (13.34) sebagai luas bidang antara kurva fungsi )(xfy = dengan sumbu-
x bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x memberi kontribusi positif pada luas bidang yang dihitung; sedangkan dalam menghitung nilai rata-rata (13.33) kontibusi tersebut adalah negatif.
Sebagai contoh, kita ambil fungsi xxy 123 −= . Luas bidang antara
xxy 123 −= dengan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3 adalah positif,
5,67=pqA (telah pernah kita hitung). Sementara itu jika kita menghitung
nilai rata-rata fungsi ini dari x = −3 sampai x = +3 hasilnya adalah (yrr)x = 0 karena bagian kurva yang berada di atas dan di bawah sumbu-x akan saling meniadakan.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 178
Bab 14 Integral Tak Tentu Fungsi-Fungsi
Dalam bab sebelumnya kita telah mengenal macam-macam perhitungan integral. Salah satu cara mudah untuk menghitung integral adalah dengan pendekatan numerik, walaupun cara ini memberikan hasil yang mengandung error. Namun error dalam pendekatan numerik bisa ditekan sampai pada batas-batas toleransi. Dalam bab ini kita akan melihat perhitungan integral tak tentu secara analitis dari macam-macam fungsi.
14.1. Integral Fungsi Tetapan: ∫adx
Kaxadx +=∫ karena adxdax=
Contoh: Kxdxy +== ∫ 22
14.2. Integral Fungsi Mononom: ∫ dxxn
Karena dxxdx nn 1−= dengan syarat n ≠ −1, maka Kn
xdxx
nn +
+=
+
∫ 1
1
Contoh: Kxdxxdxxy +=== ∫∫322
3
222
14.3. Integral Fungsi Polinom ∫ + dxxx mn )(
Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Integral suatu polinom sama dengan jumlah integral mononom yang menyusunnya.
Karena dxxdxxxxd mnmn +=+ )( maka
1 ,1syarat dengan ,11
)(11
−≠−≠++
++
=+++
∫ mnKm
x
n
xdxxx
mnmn
Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.
∫∫
∫∫∫∫++++−
+
dxxxxdxxx
dxxdxxxdxdx
)2464( ; )42(
; )52( ;4 ;2 ; 5
231
0
2
4
179
14.4. Integral Fungsi Pangkat Dari Fungsi: ∫ dxv n
Jika v adalah polinom, maka ∫ ++
=+
Kdvn
vdvv
nn
1
1 karena
dvvn
vd n
n=
+
+
1
1 dengan syarat n ≠ −1. Formulasi ini digunakan untuk
mencari ∫ dxvn .
Contoh: Hitunglah ∫ += dxxy 2)12(
Misalkan 12 += xv → dxdv 2= →2
dvdx=
Kxxx
Kxxx
Kv
dvv
dxxy
++++=
++++=+==+= ∫∫
6
12
3
4
6
16128
62)12(
23
23322
Kita coba untuk meyakinkan hasil ini dengan hasil yang akan diperoleh jika polinom kita kuadratkan lebih dulu.
Kxxx
dxxxdxxy ′+++=++=+= ∫∫ 2
4
3
4)144()12(
2322
Hasil perhitungan sama dengan hasil sebelumnya,
6/1+=′ KK .
Contoh: Hitunglah ∫−
= dxx
xy
21
3
Misalkan x
dvdxx
dx
dvvx
221 2
−=→−=→=−
22/1
2/12/12
132/12
3
2
3
2
3
1
3 y x
vdvv
x
dv
v
xdx
x
x −−=−=−=−
=−
= ∫∫ −
Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.
∫∫ ++ dxxdxx 14 ; )1( 2 ; ∫∫∫++
+ dxx
xdx
xdxx
12 ;
)23(
1 ; 52
22
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 180
14.5. Integral Fungsi Berpangkat -1: ∫ v
dv
Karena v
dvvd =)(ln , maka Kv
v
dv +=∫ ln . Integrasi ini
memecahkan masalah persyaratan n ≠ −1 pada integrasi ∫ dxvn .
Contoh: Carilah integral ∫ += dx
x
xy
1
22
Misalkan x
dvdxx
dx
dvxv
2212 =→=→+=
∫∫ ++=+==+
= KxKvx
dv
v
xdx
x
xy )1ln(ln
2
2
1
2 22
Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini.
∫∫ ∫∫∫ ∫ +−+−−+ 14 ;
1 ;
1 ;
32 ;
4 ;
32 223
2
x
xdx
x
xdx
x
xdx
x
dx
x
dxx
x
dx
14.6. Integral Fungsi Eksponensial:∫ dvev
Karena dvede vv = maka Kedve vv +=∫
Soal-Soal:
∫∫∫∫ + x
xxxx
e
dxedxedxxedxe
21 ; ; ; 3/2 2
14.7. Integral Tetapan Berpangkat Fungsi :∫ dvav
Karena advada vv ln= maka Ka
adva
vv +=∫ ln
181
Contoh: Carilah ∫= dxy x23
Misalkan v = 2x → 2
2dv
dxdx
dv =→=
∫∫ +=== Kdvdxyxv
x
3ln
3
2
1
2
33
22
14.8. Integral Fungsi Trigonometri
Karena vdvvd cossin = maka Kvdxv +=∫ sincos
Karena vdxvd sincos −= maka Kvdxv +−=∫ cossin
Relasi diferensial dan integral fungsi trigonometri yang lain termuat dalam Tabel-13.1.
Contoh: Carilah integral tak tentu ∫= xdxy 2sin
Misalkan 2
22dv
dxdx
dvxv =→=→=
2
2cos
2
cos
2
sin2sin
xvdv
vxdxy −=−=== ∫∫
Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.
∫∫∫ + xdxdxxxdx 3cos4 ; )22cos( ; 4sin .
∫∫ xdxxdxxx cossin ; cossin2 2 .
∫∫ axdxxdx 22 cos ; sin
∫∫ −dx
x
xxdxx
2cos2
2sin ; sincos2 .
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 182
14.9. Integral Fungsi Hiperbolik
Karena vvd cosh)(sinh = maka Kvvdv +=∫ sinhcosh
Karena vdvvd sinh)(cosh = maka Kvvdv +=∫ coshsinh
Relasi diferensial dan integral fungsi hiperbolik yang lain termuat dalam Tabel-13.1.
Contoh: Carilah ∫ += dxxy )12cosh(
Misalkan 2
212dv
dxdx
dvxv =→=→+=
Kx
Kvdvvdxxy
++=
+==+= ∫∫)12sinh(
2
1
sinh2
1)cosh(
2
1)12cosh(
Soal-Soal: Carilah integral berikut
∫∫∫∫∫ xdxdxx
xxdxxdxdx
x
x 24
2 tanh ; cosh
sinh ; 2cosh ; tanh ;
sinh
14.10. Integral Menghasilkan Fungsi Trigonometri Inversi
Integral fungsi-fungsi yang berbentuk ∫− 21 v
dv , ∫ + 21 v
dv,
∫−12vv
dv dan setrusnya mulai nomer 20 sampai 31,
menghasilkan fungsi-fungsi trigonometri inversi.
Contoh: Carilah ∫−
=241 x
dxy
183
Jika kita membuat pemisalan 241 xv −= maka xdx
dv8−= atau
x
dvdx
8−= . Kalau pemisalan ini kita masukkan dalam persoalan
integral yang diberikan, kita akan mendapatkan bentuk x
dvv
82/1
−∫ −
yang tidak dapat diproses lebih lanjut; persoalan integral tidak dapat ter-transformasi menjadi integral dalam peubah v.
Namun bentuk ∫− 241 x
dx ini dapat kita transformasi menjadi bentuk
yang termuat dalam Tabel-13.1, yaitu nomer 20. Kita misalkan v = 2x
yang akan memberikan 2=dx
dv atau
2
dvdx= . Persoalan integral kita
menjadi
∫∫∫−
=−
=−
=222 12
1
1241 v
dv
v
dv
x
dxy
yang menghasilkan KxKvy +=+= −− )2(sin2
1sin
2
1 11
Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini.
∫∫∫∫∫ −++−+
1 ;
4 ;
4 ;
1 ;
4122222 x
dx
xx
dx
x
dx
x
dx
x
dx
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 184
14.9. Relasi Diferensial dan Integral Berikut ini daftar formula untuk deferensial beserta pasangan integralnya. Beberapa di antaranya perlu untuk diingat, misalnya formula 1 sampai 9 dan 16, 17 yang sering kita temui.
Tabel-14.1.
1. dxdx
dvdv = 1. Kvdv +=∫
2. kdvkvd =)( 2. ∫∫ = dvkkdv
3. dwdvwvd +=+ )( 3. ∫∫∫ +=+ dwdvdwdv )(
4. dvnvdv nn 1−= 4. C
n
vdvv
nn +
+=
+
∫ 1
1; n≠1
5. v
dvvd =)(ln 5. Kv
v
dv +=∫ ln
6. dvede vv = 6. Kedve vv +=∫
7. advada vv ln= 7. K
a
adva
vv +=∫ ln
8. vdvvd cos)(sin = 8. Kvvdv +=∫ sincos
9. vdvvd sin)(cos −= 9. Kvvdv +−=∫ cossin
10. vdvvd 2sec)(tan = 10.∫ += Kvvdv tansec2
185
11. vdvvd 2csc)(cot −= 11. Kvvdv +−=∫ cotcsc2
12. vdvvvd tansec)(sec = 12. Kvvdv +=∫ sectansec
13. vdvvvd cotcsc)(csc −= 13. Kvvdv +−=∫ csccotcsc
14. vvd cosh)(sinh = 14. Kvvdv +=∫ sinhcosh
15. vdvvd sinh)(cosh = 15. Kvvdv +=∫ coshsinh
16. vdvvd 2hsec)(tanh = 16. Kvvdv +=∫ tanhhsec 2
17. vdvvd 2hcsc)(coth −= 17. Kvvdv +−=∫ cothhcsc 2
18. vdvvvd tanhhsec)sech( −= 18. Kvvdvv +−=∫ sechtanhhsec
19. vdvvvd cothhcsc)csch( −= 19. Kvvdvv +−=∫ coshcothcsch
20.2
1
1)(sin
v
dvvd
−=− 20.∫ +=
−
− Kvv
dv 1
2sin
1
21.2
1
1)(cos
v
dvvd
−
−=− 21.∫ ′+−=−
− Kvv
dv 1
2cos
1
22. 2
1
1tan
v
dvvd
+=− 22. ∫ +=
+− Kv
v
dv 12
tan1
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 186
23. 2
1
1cot
v
dvvd
+−=− 23. ∫ +−=
+− Kv
v
dv 12
cot1
24. 1
sec2
1
−=−
vv
dvvd 24. ∫ +=
−
− Kvvv
dv 1
2sec
1, v >0
25. 1
csc2
1
−
−=−
vv
dvvd 25. ∫ +−=
−− Kv
vv
dv 1
2csc
1, v >0
26.2
1
1)(sinh
v
dvvd
+=− 26.∫ +=
+− Kv
v
dv 1
2sinh
1
27.1
)(cosh2
1
−=−
v
dvvd 27.∫ +=
−
− Kvv
dv 1
2cosh
1
28.2
1
1)(tanh
v
dvvd
−=− 28.∫ +=
−− Kv
v
dv 12
tanh1
; jika |v|<1
29.2
1
1)(coth
v
dvvd
−=− 29.∫ +=
−− ;coth
1
12
Kvv
dv jika |v|>1
30. 2
1
1)h(sec
vv
dvvd
−
−=− 30. ∫ +−=−
− ;hsec1
1
2Kv
vv
dv
31. 2
1
1)h(csc
vv
dvvd
+
−=− 31. ∫ +−=+
− ;hcsc1
1
2Kv
vv
dv
Catatan Tentang Isi Tabel-14.1.
Dengan menggunakan relasi-relasi dalam Tabel-13.1 kita dapat melakukan proses integrasi fungsi-fungsi mencakup:
Fungsi mononom dan polinom: ∫vdv
Fungsi polinom berpangkat: ∫∫ v
dvdvvn ;
Fungsi exponensial: ∫∫ dvadve vv ;
187
Fungsi trigonometri: ∫ vdvcos ; ∫ vdvsin ; ∫ vdv2sec ; ∫ vdv2csc ;
∫ vdvtansec ; ∫ vdvcotcsc .
tetapi tidak: ∫ vdvtan ; ∫ vdvcot ; ∫ vdvsec ; ∫ vdvcsc .
Fungsi hiperbolik: ∫ vdvcosh ; ∫ vdvsinh ; ∫ vdv2hsec ;
∫ vdv2hcsc ; ∫ vdvv tanhhsec ; ∫ vdvvcothcsch .
tetapi tidak: ∫ vdvtanh ; ∫ vdvcoth ; ∫ vdvhsec ; ∫ vdvhcsc .
Integrasi fungsi aljabar yang menghasilkan fungsi trigonometri inversi dan fungsi hiperbolik inversi, seperti
∫− 21 v
dv ; ∫ + 21 v
dv; ∫
−12vv
dv; ∫
+ 21 v
dv ;
∫− 12v
dv ; ∫ − 21 v
dv ; ∫− 21 vv
dv; ∫
+ 21 vv
dv.
tetapi tidak mengintegrasi fungsi inversi seperti
∫ − vdv1sin ; ∫ − xdx1tan ; ∫ − vdv1sinh ; ∫ − vdv1tanh
Tabel-14.1 tidak memuat relasi integrasi fungsi-fungsi aljabar yang
berbentuk ∫∫∫ −±+
dsb ; ; ; 222222
dvavdvvava
dv
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 188
Bab 15 Persamaan Diferensial Orde-1
15.1. Pengertian
Persamaan diferensial adalah suatu persamaan di mana terdapat satu atau lebih turunan fungsi. Persamaan duferensial diklasifikasikan sebagai:
1. Menurut jenis atau tipe: ada persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Jenis yang kedua tidak kita pelajari di buku ini, karena kita hanya meninjau fungsi dengan satu peubah bebas.
2. Menurut orde: orde persamaan diferensial adalah orde tertinggi
turunan fungsi yang ada dalam persamaan. 3
3
dx
yd adalah orde
tiga; 2
2
dx
yd adalah orde dua;
dx
dy adalah orde satu.
3. Menurut derajat: derajat suatu persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari turunan fungsi orde tertinggi.
Sebagai contoh: xex
y
dx
yd
dx
yd =+
+
+
12
5
2
22
3
3 adalah persamaan
diferensial biasa, orde tiga, derajat dua.
Dalam buku ini kita hanya akan membahas persamaan diferensial biasa, orde satu dan orde dua, derajat satu.
15.2. Solusi
Suatu fungsi y = f(x) dikatakan merupakan solusi suatu persamaan diferensial jika persamaan tersebut tetap terpenuhi dengan digantikannya y dan turunannya dalam persamaan tersebut oleh f(x) dan turunannya.
Kita ambil satu contoh: xkey −= adalah solusi dari persamaan
0=+ ydt
dy karena turunan xkey −= adalah xkedt
dy −−= , dan jika ini kita
masukkan dalam persamaan akan kita peroleh 0=+− −− xx keke .; persamaan terpenuhi.
189
Pada contoh di atas kita lihat bahwa persamaan diferensial orde satu mempunyai solusi yang melibatkan satu tetapan sembarang yaitu k. Pada umumnya suatu persamaan orde n akan memiliki solusi yang mengandung n tetapan sembarang. Pada persamaan diferensial orde dua yang akan kita bahas di bab berikutnya, kita akan menemukan solusi dengan dua tetapan sembarang. Nilai dari tetapan ini ditentukan oleh kondisi awal.
15.3. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan
Solusi suatu persamaan diferensial bisa diperoleh apabila peubah-peubah dapat dipisahkan; pada pemisahan peubah ini kita mengumpulkan semua y dengan dy dan semua x dengan dx. Jika hal ini bisa dilakukan maka persamaan tersebut dapat kita tuliskan dalam bentuk
0)()( =+ dxxgdyyf (15.1)
Apabila kita lakukan integrasi kita akan mendapatkan solusi umum dengan satu tetapan sembarang K, yaitu
∫∫ =+ Kdxxgdyyf ))()( (15.2)
Kita ambil dua contoh.
1). yxedx
dy −= . Persamaan ini dapat kita tuliskan y
x
e
e
dx
dy=
sehingga kita dapatkan persamaan dengan peubah terpisah
0=− dxedye xy dan Kdxedye xy =− ∫∫
sehingga Kee xy =− atau Kee xy +=
2). xydx
dy 1= . Pemisahan peubah akan memberikan bentuk
0=−x
dxydy dan K
x
dxydy =− ∫∫
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 190
sehingga Kxy =− ln2
2 atau Kxy ′+= 2ln
15.4. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu
Suatu persamaan disebut homogen jika ia dapat dituliskan dalam bentuk
=x
yF
dx
dy (15.3)
Persamaan demikian ini dapat dipecahkan dengan membuat peubah bebas baru
x
yv =
Dengan peubah baru ini maka
vxy = dan dx
dvxv
dx
dy +=
Persamaan (14.2) menjadi
)(vFdx
dvxv =+ (15.4)
yang kemudian dapat dicari solusinya melalui pemisahan peubah.
0)(
=−
+vFv
dv
x
dx (15.5)
Solusi persamaan aslinya diperoleh dengan menggantikan v dengan y/x setelah persamaan terakhir ini dipecahkan.
Kita ambil contoh: 02)( 22 =++ xydydxyx
Persamaan ini dapat kita tulis 02)1(2
22 =++ xydydx
x
yx atau
dyx
ydx
x
y2)1(
2
2−=+ sehingga )/(
)/(2
)/(1 2xyF
xy
xy
dx
dy =+−=
191
yang merupakan bentuk persamaan homogen.
Peubah baru v = y/x memberikan
vxy = dan dx
dvxv
dx
dy +=
dan membuat persamaan menjadi
v
v
dx
dvxv
2
1 2+−=+ atau v
v
v
vv
dx
dvx
2
31
2
1 22 +−=+−−=
Dari sini kita dapatkan
x
dx
vv
dv −=+ 2/)31( 2
atau 031
22
=+
+v
vdv
x
dx
Kita harus mencari solusi persamaan ini untuk mendapatkan v sebagai fungsi x. Kita perlu pengalaman untuk ini.
Kita tahu bahwa xdx
xd 1)(ln = . Kita coba hitung
)6(31
1
)31(
)31(
)31ln()31ln(2
2
2
22x
xdx
xd
xd
xd
dx
xd
+=+
++=+
Kembali ke persamaan kita. Dari percobaan perhitungan di atas kita dapatkan solusi dari
031
22
=+
+v
vdv
x
dx
adalah KKvx ′==++ ln3
1)31ln(
3
1ln 2 atau
KKvx ′==++ ln)31ln(ln3 2 sehingga Kvx ′=+ )31( 23
Dalam x dan y solusi ini adalah
( ) Kxyx ′=+ 23 )/(31 atau ( ) Kyxx ′=+ 22 3
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 192
15.5. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu
Dalam persamaan diferensial linier, semua suku berderajat satu atau nol. Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing berpangkat satu dan harus kita jumlahkan untuk menentukan derajat dari y(dy/dx).
Persamaan diferensial orde satu yang juga linier dapat kita tuliskan dalam bentuk
QPydx
dy =+ (15.6)
dengan P dan Q merupakan fungsi x atau tetapan. Persamaan diferensial bentuk inilah selanjutnya akan kita bahas dan kita akan membatasi pada situasi dimana P adalah suatu tetapan. Hal ini kita lakukan karena kita akan langsung melihat pemanfaatan praktis dengan contoh yang terjadi pada analisis rangkaian listrik.
Dalam analisis rangkaian listrik, peubah fisis seperti tegangan dan arus merupakan fungsi waktu. Oleh karena itu persamaan diferensial yang akan kita tinjau kita tuliskan secara umum sebagai
)(tfbydt
dya =+ (15.7)
Persamaan diferensial linier orde satu seperti ini biasa kita temui pada peristiwa transien (atau peristiwa peralihan) dalam rangkaian listrik. Cara yang akan kita gunakan untuk mencari solusi adalah cara pendugaan. Peubah y adalah keluaran rangkaian (atau biasa disebut tanggapan rangkaian) yang dapat berupa tegangan ataupun arus sedangkan nilai a dan b ditentukan oleh nilai-nilai elemen yang membentuk rangkaian. Fungsi f(t) adalah masukan pada rangkaian yang dapat berupa tegangan ataupun arus dan disebut fungsi pemaksa atau fungsi penggerak.
Persamaan diferensial seperti (15.7) mempunyai solusi total yang merupakan jumlah dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi khusus adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan (15.7) sedangkan solusi homogen adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan homogen
0=+ bydt
dya (15.8)
193
Hal ini dapat difahami karena jika f1(t) memenuhi (15.7) dan fungsi f2(t) memenuhi (15.8), maka y = (f1+f2) akan memenuhi (15.7) sebab
( )
0
)(
11
22
11
2121
++=+++=
+++=+
bfdt
dfabf
dt
dfabf
dt
dfa
ffbdt
ffdaby
dt
dya
Jadi y = (f1+f2) adalah solusi dari (15.7), dan kita sebut solusi total yang terdiri dari solusi khusus f1 dari (15.7) dan solusi homogen f2 dari (15.8).
Peristiwa Transien. Sebagaimana telah disebutkan, persamaan diferensial seperti (14.7) dijumpai dalam peristiwa transien, yaitu selang peralihan dari suatu keadaan mantap ke keadaan mantap yang lain.. Peralihan kita anggap mulai terjadi pada t = 0 dan peristiwa transien yang kita tinjau terjadi dalam kurun waktu setelah mulai terjadi perubahan yaitu dalam kurun waktu t > 0. Sesaat setelah mulai perubahan kita beri tanda t = 0+ dan sesaat sebelum terjadi perubahan kita beri tanda t = 0−.
Solusi Homogen. Persamaan (15.8) menyatakan bahwa y ditambah dengan suatu koefisien konstan kali dy/dt, sama dengan nol untuk semua nilai t. Hal ini hanya mungkin terjadi jika y dan dy/dt berbentuk sama. Fungsi yang turunannya mempunyai bentuk sama dengan fungsi itu sendiri adalah fungsi eksponensial. Jadi kita dapat menduga bahwa solusi dari (15.8) mempunyai bentuk eksponensial y = K1e
st . Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (15.8), kita peroleh
( ) 0atau 0 111 =+=+ ybasKebKseaK stst (15.9)
Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K1 juga tidak boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk seluruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (15.9) terpenuhi adalah
0 =+ bas (15.10)
Persamaan (15.10) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde pertama. Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi solusi homogen yang kita cari adalah
tabsta eKeKy )/(
11−== (15.11)
Nilai K1 masih harus kita tentukan melalui penerapan suatu persyaratan tertentu yang kita sebut kondisi awal yaitu kondisi pada t = 0+ sesaat
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 194
setelah mulainya perubahan keadaan. Ada kemungkinan bahwa y telah mempunyai nilai tertentu pada t = 0+ sehingga nilai K1 haruslah sedemikian rupa sehingga nilai y pada t = 0+ tersebut dapat dipenuhi. Akan tetapi kondisi awal ini tidak dapat kita terapkan pada solusi homogen karena solusi ini baru merupakan sebagian dari solusi. Kondisi awal harus kita terapkan pada solusi total dan bukan hanya untuk solusi homogen saja. Oleh karena itu kita harus mencari solusi khusus lebih dulu agar solusi total dapat kita peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal.
Solusi khusus. Solusi khusus dari (15.7) tergantung dari bentuk fungsi pemaksa f(t). Seperti halnya dengan solusi homogen, kita dapat melakukan pendugaan pada solusi khusus. Bentuk solusi khusus haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan (15.7) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan berisi bentuk fungsi yang sama. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka yp dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut terpenuhi. Untuk berbagai bentuk f(t), solusi khusus dugaan yp adalah sebagai berikut.
. cosinusmaupun sinus fungsi umumbentuk
adalah sincos
sincos
maka , cos)(atau , sin)( Jika
aleksponensi
maka al,eksponensi)( Jika
konstan maka konstan,)( Jika
0 maka , 0)( Jika
tKtKy
tKtKy
tAtftAtf
Key
Aetf
KyAtf
ytf
sc
scp
tp
t
p
p
ω+ω=
ω+ω=ω=ω=
==
==
====
==
α
α
: Perhatikan
Solusi total. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka solusi total adalah
tspap eKyyyy
1+=+= (15.12)
Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan memberikan nilai K1.
Kondisi Awal. Kondisi awal adalah kondisi pada awal terjadinya perubahan yaitu pada t = 0+. Dalam menurunkan persamaan diferensial pada peristiwa transien kita harus memilih peubah yang disebut peubah
195
status. Peubah status harus merupakan fungsi kontinyu. Nilai peubah ini, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi perubahan harus bernilai sama. Jika kondisi awal ini kita sebut y(0+) maka
)0()0( −+ = yy (15.13)
Jika kondisi awal ini kita masukkan pada dugaan solusi lengkap (14.12) akan kita peroleh nilai K1.
)0()0( )0()0( 11++++ −=→+= pp yyKKyy (15.14)
yp(0+) adalah nilai solusi khusus pada t = 0+. Nilai y(0+) dan yp(0
+) adalah tertentu (yaitu nilai pada t = 0+). Jika kita sebut
0)0()0( Ayy p =− ++ (15.15)
maka solusi total menjadi
tsp eAyy
0 += (15.16)
15.6. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa
Tanpa Fungsi Pemaksa, f(t) = 0. Jika f(t) =0 maka solusi yang akan kita peroleh hanyalah solusi homogen saja. Walaupun demikian, dalam mencari soluai kita akan menganggap bahwa fungsi pemaksa tetap ada, akan tetapi bernilai nol. Hal ini kita lakukan karena kondisi awal harus diterapkan pada solusi total, sedangkan solusi total harus terdiri dari solusi homogen dan solusi khusus (walaupun mungkin bernilai nol). Kondisi awal tidak dapat diterapkan hanya pada solusi homogen saja atau solusi khusus saja.
Contoh: Dari suatu analisis rangkaian diperoleh persamaan
01000 =+ vdt
dv
untuk t > 0. Kondisi awal adalah v(0+) = 12 V.
tstp
p
ta
eAeAvv
v
eAv
ss
100000
10000
0 : totalsolusiDugaan
pemaksa) fungsi ada tidak (karena 0 : khusus solusiDugaan
:homogen solusiDugaan
100001000 :tik karakteris Persamaan
−
−
+=+=
==
−=→=+
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 196
V 12 : menjadi totalSolusi
12012 : memberikan
totalsolusidugaan pada awal kondisi Penerapan
V. 12)0()0( : awal Kondisi
1000
00
tev
AA
vv
−
−+
=
=→+=
==
Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 10 V, analisis transien menghasilkan persamaan
03 =+ vdt
dv
V 10 : menjadi totalSolusi
010 : memberikan awal kondisi Penerapan
V 10)0( : awal Kondisi
: totalsolusiDugaan
0 :khusus solusiDugaan
:homogen solusiDugaan
303 :tik karakteris Persamaan
3
0
30
30
t
tp
p
ta
ev
A
v
eAvv
v
eAv
ss
−
+
−
−
=
+==
+=
==
−=→=+
Fungsi Pemaksa Berbentuk Anak Tangga. Kita telah mempelajari bahwa fungsi anak tangga adalah fungsi yang bernilai 0 untuk t < 0 dan bernilai konstan untuk t > 0. Jadi jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi pemaksa anak tangga dapat kita tuliskan sebagai f(t) = A (tetapan).
Contoh: Suatu analisis rangkaian memberikan persamaan
1210 3 =+− vdt
dv
dengan kondisi awal v(0+) = 0 V.
ta eAv
ss 1000
0
33
:homogen solusiDugaan
100010/1 0110 :tik karakteris Persamaan −
−−
=
−=−=→=+
197
Karena f(t) = 12 konstan, kita dapat menduga bahwa solusi khusus akan bernilai konstan juga karena turunannya akan nol sehingga kedua ruas persamaan tersebut dapat berisi suatu nilai konstan.
V 1212 : menjadi totalSolusi
12120 :memberikan awal kondisi Penerapan
.0)0()0( : awal Kondisi
V 12 : totalsolusiDugaan
12 12 0 :persamaan ke inidugaan Masukkan
: khusus solusiDugaan
1000
00
10000
t
t
pp
p
ev
AA
vv
eAv
vKv
Kv
−
+
−
−=
−=→+==−=
+=
=⇒=+
=
Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 11 V, analisis transien menghasilkan persamaan
2005 =+ vdt
dv
V. 2940 : totalTanggapan
294011
: memberikan awal kondisi Penerapan V. 11)0( :awal Kondisi
40 : lengkap solusiDugaan
40 20050 : khusus solusiDugaan
:homogen solusiDugaan
505 :tik karakteris Persamaan
5
00
50
50
50
t
ttp
pp
ta
ev
A A
v
eAeAvv
vKKv
eAv
ss
−
+
−−
−
−=
−=→+==
+=+=
=→=+→==
−=→=+
Fungsi Pemaksa Berbentuk Sinus. Berikut ini kita akan mencari solusi jika fungsi pemaksa berbentuk sinus. Karena solusi homogen tidak tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, maka pencarian solusi homogen dari persamaan ini sama seperti apa yang kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya. Jadi dalam hal ini perhatian kita lebih kita tujukan pada pencarian solusi khusus.
Dengan pengertian bahwa kita hanya memandang kejadian pada t > 0, bentuk umum dari fungsi sinus yang muncul pada t = 0 kita tuliskan
)cos( θ+ω= tAy
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 198
Melalui relasi
{ }θω−θω=θ+ω= sinsincoscos)cos( ttAtAy
bentuk umum fungsi sinus dapat kita tuliskan sebagai
θ−=θ=ω+ω=
sindan cosdengan
sincos
AAAA
tAtAy
sc
sc
Dengan bentuk umum seperti di atas kita terhindar dari perhitungan sudut fasa θ, karena sudut fasa ini tercakup dalam koefisien Ac dan As. Koefisien Ac dan As tidak selalu ada. Jika sudut fasa θ = 0 maka As = 0 dan jika θ = 90o maka Ac = 0. Jika kita memerlukan nilai sudut fasa θ dari fungsi sinus yang dinyatakan dengan pernyataan umum, kita dapat
menggunakan relasi c
s
A
A=θtan .
Turunan fungsi sinus akan berbentuk sinus juga. Oleh karena itu, penjumlahan y = sinωt dan turunannya akan berbentuk fungsi sinus juga.
tAtAdt
yd
tAtAdt
dy
tAtAy
sc
sc
sc
ωω−ωω−=
ωω+ωω−=
ω+ω=
sincos
; cossin
; sincos
222
2
Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 0 V suatu analisis transien
menghasilkan persamaan tvdt
dv10cos1005 =+
ta eAv
ss 5
0 :homogen solusiDugaan
505 :tik karakteris Persamaan −=
−=→=+
Fungsi pemaksa berbentuk sinus. Solusi khusus kita duga akan berbentuk sinus juga.
199
V 410sin810cos4 : Jadi
4 40 : awal kondisi Penerapan
.0)0( awal Kondisi
10sin810cos4 : totalsolusiDugaan
10sin810cos4 : khusus Solusi
8dan 4 100520 2
100510dan 0510
10cos10010sin510cos510cos1010sin10
: memberikanpersamaan ke ini khusus solusi Substitusi
10sin10cos
: khusus solusiDugaan
5
00
50
t
t
p
sccccs
cssc
scsc
scp
ettv
AA
v
eAttv
ttv
AAAAAA
AAAA
ttAtAtAtA
tAtAv
−
+
−
−+=
−=→+==
++=
+===⇒=+→=→
=+=+−→=+++−
+=
Contoh: Apabila kondisi awal adalah v(0+) = 10 V, bagaimanakah solusi pada contoh sebelum ini?
Solusi total telah diperoleh; hanya kondisi awal yang berubah.
V 610sin810cos4 : Jadi
6 41010)0( awal Kondisi
10sin810cos4 : totalSolusi
5
00
50
t
t
ettv
AAv
eAttv
−
+
−
++=
=→+=→=
++=
Ringkasan. Solusi total terdiri dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi homogen merupakan bagian transien dengan konstanta waktu yang ditentukan oleh tetapan-tetapan dalam persamaan, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh nilai-nilai elemen rangkaian. Solusi khusus merupakan solusi yang tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh masukan dari luar; solusi khusus merupakan bagian mantap atau kondisi final.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 200
Soal-Soal:
1. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
5)0( , 015 b).
; 10)0( , 010 .a)
==+
==+
+
+
vvdt
dv
vvdt
dv
2. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
005,0)0( , 010 b).
; 2)0( , 08 .a)
4 −==+
==+
+
+
iidt
di
iidt
di
Solusi khusus : � ditentukan oleh fungsi pemaksa. � merupakan komponen mantap;
tetap ada untuk t →∞.
Solusi homogen : � tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa. � merupakan komponen transien; hilang pada t
→∞; sudah dapat dianggap hilang pada t = 5τ. � konstanta waktu τ = a/b pada (14.10)
τ−+= / 0 )( t
p eAtyy
201
3. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
5)0( , )(1010 b).
; 0)0( , )(1010 .a)
==+
==+
+
+
vtuvdt
dv
vtuvdt
dv
4. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
02,0)0( , )(10010 b).
; 0)0( , )(10010 .a)
4
4
−==+
==+
+
+
ituidt
di
ituidt
di
5. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
5)0( , )()5cos(1010 b).
; 0)0( , )()5cos(105 .a)
==+
==+
+
+
vtutvdt
dv
vtutvdt
dv
203
Bab 16 Persamaan Diferensial Orde-2
16.1. Persamaan Diferensial Linier Orde Dua
Secara umum persamaan diferensial linier orde dua berbentuk
)(2
2tfcy
dt
dyb
dt
yda =++ (16.1)
Pada persamaan diferensial orde satu kita telah melihat bahwa solusi total terdiri dari dua komponen yaitu solusi homogen dan solusi khusus. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan diferensial orde dua yang dengan mudah dapat ditunjukkan secara matematis seperti halnya pada persamaan orde pertama. Perbedaan dari kedua macam persamaan ini terletak pada kondisi awalnya. Pada persamaan orde dua terdapat dua kondisi awal dan kedua kondisi awal ini harus diterapkan pada dugaan solusi total. Dua kondisi awal tersebut adalah
)0(')0(dan )0()0( −+−+ == ydt
dyyy (16.2)
Solusi homogen. Solusi homogen diperoleh dari persamaan rangkaian dengan memberikan nilai nol pada ruas kanan dari persamaan (4.25), sehingga persamaan menjadi
02
2=++ cy
dt
dyb
dt
yda (16.3)
Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial ya = Kest dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi dugaan ini dimasukkan ke (16.3) akan diperoleh :
( ) 0atau 0 22 =++=++ cbsasKecKebKseeaKs stststst (16.4)
Fungsi est tidak boleh nol untuk semua nilai t . Kondisi K = 0 juga tidak diperkenankan karena hal itu akan berarti ya = 0 untuk seluruh t. Satu-satunya jalan agar persamaan ini dipenuhi adalah
02 =++ cbsas (16.4)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 204
Persamaan ini adalah persamaan karakteristik persamaan diferensial orde dua. Secara umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan kwadrat itu mempunyai dua akar yaitu:
a
acbbss
2
4,
2
21−±−= (16.5)
Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat. Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap bentuk solusi akan kita lihat lebih lanjut. Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan karakteristik mempunyai dua akar.
Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua solusi homogen, yaitu:
tsa
tsa eKyeKy 21
2211 dan == (16.6)
Jika ya1 merupakan solusi dan ya2 juga merupakan solusi, maka jumlah keduanya juga merupakan solusi. Jadi solusi homogen yang kita cari akan berbentuk
tstsa eKeKy 21
21 += (16.7)
Konstanta K1 dan K2 kita cari melalui penerapan kondisi awal pada solusi total.
Solusi Khusus. Sulusi khusus kita cari dari persamaan (16.1). Solusi khusus ini ditentukan oleh bentuk fungsi pemaksa, f(t). Cara menduga bentuk solusi khusus sama dengan apa yang kita pelajari pada persamaan orde satu. Kita umpamakan solusi khusus ykhusus = yp.
Solusi Total. Dengan solusi khusus yp maka solusi total menjadi
tstspap eKeKyyyy 21
21 ++=+= (16.8)
205
16.2. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi
Sebagaimana disebutkan, akar-akar persamaan karakteristik yang berbentuk umum as2 + bs + c = 0 dapat mempunyai tiga kemungkinan nilai akar, yaitu:
a). Dua akar riil berbeda, s1 ≠ s2, jika {b2− 4ac } > 0;
b). Dua akar sama, s1 = s2 = s , jika {b2−4ac } = 0
c). Dua akar kompleks konjugat s1 , s2 = α ± jβ , jika {b2−4ac } < 0.
Tiga kemungkinan nilai akar tersebut akan memberikan tiga kemungkinan bentuk solusi yang akan kita lihat berikut ini, dengan contoh solusi pada persamaan diferensial tanpa fungsi pemaksa.
Dua Akar Nyata Berbeda. Kalau kondisi awal y(0+) dan dy/dt (0+) kita terapkan pada solusi total (16.8), kita akan memperoleh dua persamaan yaitu
2211
21
)0()0('
dan )0()0(
KsKsyy
KKyy
p
p
++′=
++=++
++
(16.9)
yang akan menentukan nilai K1 dan K2. Jika kita sebut
)0()0(
dan )0()0(
0
0
++
++
′−′=
−=
p
p
yyB
yyA (16.10)
maka kita peroleh
02211021 dan BKsKsAKK =+=+
dan dari sini kita memperoleh
21
0012
12
0021 dan
ss
BAsK
ss
BAsK
−−=
−−=
sehingga solusi total menjadi
tstsp e
ss
BAse
ss
BAsyy 21
21
001
12
002
−−+
−−+= (16.11)
Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada persamaan orde pertama, pada persamaan orde dua ini kita juga mengartikan solusi
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 206
persamaan sebagai solusi total. Hal ini didasari oleh pengertian tentang kondisi awal, yang hanya dapat diterapkan pada solusi total. Persamaan yang hanya mempunyai solusi homogen kita fahami sebagai persamaan dengan solusi khusus yang bernilai nol.
Contoh: Dari analisis transien suatu rangkaian listrik diperoleh persamaan
0104105,8 632
2=×+×+ v
dt
dv
dt
vd
dengan kondisi awal v(0+)=15 V dan dv/dt(0+) = 0
berbeda). riilakar dua ( 8000 ,500
4)25,4(104250, :akar -akar
0104105,8 :ik karkterist Persamaan
21
2321
632
−=−=−±−=→
=×+×+
ss
ss
ss
homogen). solusi dari terdiri(hanya
V 16 : totalSolusi
115 168000500
)8000(1515
)15(0 0)0( b).
15 15 V 15)0()0( a).
: awal Kondisi
nol)homogen (solusi
0 : totalsolusiDugaan
8000 500
1221
21
21112211
1221
80002
5001
tt
tt
eev
KKss
sK
sKsKsKsKdt
dv
KKKKvv
eKeKv
−−
+
−+
−−
−=
−=−=⇒=+−
−−=
−−
=⇒
−+=+=→=
−=⇒+=→==
++=
Dua Akar Nyata Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat kita tuliskan sebagai
0dengan ; dan 21 →δδ+== ssss (16.12)
Dengan demikian maka solusi total dapat kita tulis sebagai
tsstp
tstsp
eKeKy
eKeKyy
)(21
21
21
δ+++=
++= (16.13)
207
Kalau kondisi awal pertama y(0+) kita terapkan, kita akan memperoleh
021
21
)0()0(
)0()0(
AyyKK
KKyy
p
p
=−=+→
++=++
++
Jika kondisi awal kedua dy/dt (0+) kita terapkan, kita peroleh
0221
21
)0()0()(
)()0()0(
ByyKsKK
sKsKyy
p
p
=′−′=δ++→
δ+++′=′++
++
Dari kedua persamaan ini kita dapatkan
δ−−=→
δ−=→=δ+
sABAK
sABKBKsA
0001
002020
(16.14)
Solusi total menjadi
stt
p
sttp
tsstp
ee
sABAy
eesABsAB
Ay
esAB
esAB
Ayy
1
)(
000
00000
)(00000
δ+
δ−−++=
δ−
+
δ−
−+=
δ−
+
δ−
−+=
δ
δ
δ+
(16.15.a)
Karena 1
lim1
lim 0
0t
ee tt
=
δ−
=
δ+
δ−
δ
→δ
δ
→δ
maka solusi total dapat kita tulis
[ ] stp etsABAyy )( 000 −++= (16.15.b)
Solusi total seperti dinyatakan oleh (16.15.b) merupakan bentuk khusus yang diperoleh jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar sama besar. A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal. Dengan demikian kita dapat menuliskan (16.15.b) sebagai
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 208
[ ] stbap etKKyy ++= (16.15.c)
dengan nilai Ka yang ditentukan oleh kondisi awal, dan nilai Kb ditentukan oleh kondisi awal dan s. Dalam rangkaian listrik, nilai s tergantung dari elemen-elemen yang membentuk rangkaian dan tidak ada kaitannya dengan kondisi awal. Dengan kata lain, jika kita mengetahui bahwa persamaan karakteristik rangkaian mempunyai akar-akar yang sama besar (akar kembar) maka bentuk tanggapan rangkaian akan seperti yang ditunjukkan oleh (16.15.c).
Contoh: Pada kondisi awal v(0+)=15 V dan dv/dt(0+)=0, analisis transien rangkaian listrik memberikan persamaan
0104104 632
2=×+×+ v
dt
dv
dt
vd
( ) ( ) .0 karena , 0
:berbentuk akan totalsolusi
itu karenaoleh besar; samaakar dua terdapatsini Di
2000 1041042000, :akar -akar
01044000 :tik karakteris Persamaan
6621
62
=++=++=
=−=×−×±−=
=×++
pst
bast
bap vetKKetKKvv
sss
ss
( )
( ) V 3000015 : Jadi
30000 0)0(
memberikan
0)0( kedua awal kondisi Aplikasi
.15)0(
memberikan ini totalsolusi pada pertama awal kondisi Aplikasi
2000t
abab
stba
stb
a
etv
sKKsKKdt
dv
estKKeKdt
dvdt
dv
Kv
−
+
+
+
+=
=−=→+==→
++=
=
==
209
Akar-Akar Kompleks Konjugat. Kita belum membahas bilangan kompleks di buku ini. Kita baru memandang fungsi-fungsi yang memiliki nilai bilangan nyata. Namun agar pembahasan menjadi lengkap, berikut ini diberikan solusinya.
Dua akar kompleks konjugat dapat dituliskan sebagai
β−α=β+α= jsjs 21 dan
Solusi total dari situasi ini adalah
( ) ttjtjp
tjtjp
eeKeKy
eKeKyy
αβ−β+
β−αβ+α
++=
++=
2
1
)(2
)(1
(16.16)
Aplikasikan kondisi awal yang pertama, y(0+),
( )
021
21
)0()0(
)0()0(
AyyKK
KKyy
p
p
=−=+→
++=++
++
Aplikasi kondisi awal yang kedua, )0()0( ++ ′= ydt
dv,
( )( ) ttjtj
ttjtjp
eeKeK
eeKjeKjdt
dy
dt
dy
αβ−β
αβ−β
α++
β−β+=
21
21
Kita akan memperoleh
( ) ( )
( ) ( ) 02121
2121
)0()0(
)0()0()0(
ByyKKKKj
KKKjKjyydt
dy
p
p
=′−′=+α+−β→
α++β−β+′=′=
++
+++
( ) ( )βα−
=−→=+α+−β
=+
j
ABKKBKKKKj
AKK
002102121
021
2
/)(
2
/)( 0002
0001
βα−−=
βα−+=
jABAK
jABAK
Solusi total menjadi
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 210
tp
ttjtjtjtj
p
ttjtjp
etAB
tAy
ej
eeABeeAy
eejABA
ejABA
yy
α
αβ−β+β−β+
αβ−β+
β
βα−+β+=
−β
α−+++=
βα−−+βα−++=
sin)(
cos
2
)(
2
2
/)(
2
/)(
000
00
0
000 000
(16.17)
A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal sedangkan α dan β memiliki nilai tertentu (dalam rangkaian listrik ditentukan oleh nilai elemen rangkaian). Dengan demikian solusi total dapat kita tuliskan sebagai
( ) tbap etKtKyy αβ+β+= sincos (16.18)
dengan Ka dan Kb yang masih harus ditentukan melalui penerapan kondisi awal. Ini adalah bentuk solusi total khusus untuk persamaan diferensial yang memiliki persamaan karakteristik dengan dua akar kompleks konjugat.
Persamaan (16.18) menunjukkan bahwa bila persamaan karakteristik memberikan dua akar kompleks konjugat, maka solusi persamaan diferensial orde dua akan terdiri dari solusi khusus yp ditambah fungsi sinus yang teredam.
211
Soal-Soal:
1. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
5)0( , 0)0( ; 054 c).
10)0( , 0)0( ; 044 b).
15)0( ,0)0( ; 0107 .a)
2
2
2
2
2
2
===++
===++
===++
++
++
++
dt
dvvv
dt
dv
dt
vd
dt
dvvv
dt
dv
dt
vd
dt
dvvv
dt
dv
dt
vd
2. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
10)0(
,5)0( ;)(100258 c).
10)0(
,5)0( ;)(1002510 b).
25)0(
,5)0( ; )(1002410 .a)
2
2
2
2
2
2
===++
===++
===++
+
+
+
dt
dvvtuv
dt
dv
dt
vd
dt
dvvtuv
dt
dv
dt
vd
dt
dvvtuv
dt
dv
dt
vd
3. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
0)0( ,0)0( , )( ] 1000[cos10086 .a)2
2===++ ++
dt
dvvtutv
dt
dv
dt
vd
0)0( ,0)0( , )( ] 1000[cos10096 b).2
2===++ ++
dt
dvvtutv
dt
dv
dt
vd
0)0( ,0)0( , )( ] 1000[cos100102 c).2
2===++ ++
dt
dvvtutv
dt
dv
dt
vd
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 212
213
Bab 17 Matriks
17.1. Konsep Dasar Matriks
Matrik adalah susunan teratur bilangan-bilangan dalam baris dan kolom yang membentuk suatu susunan persegi panjang yang kita perlakukan sebagai suatu kesatuan. Dalam penulisannya matriks dibatasi oleh suatu kurung siku (ataupun dengan kurung biasa) seperti contoh berikut
123
421
302
;
4
2 ; [ ]423 ;
203
142 (17.1)
Dalam contoh matriks (17.1) ini, banyaknya baris matriks yang pertama sama dengan banyaknya kolom, dalam hal ini 3, dan disebut matriks bujur sangkar. Yang kedua terdiri dari dua baris dan satu kolom, disebut matriks kolom atau vektor kolom. Yang ketiga terdiri dari satu baris tiga kolom, disebut matriks baris atau vektor baris. Yang keempat adalah matrik persegi panjang dengan dua baris dan tiga kolom.
Secara umum suatu matrik terdiri dari m baris dan n kolom, sehingga suatu matrik akan terdiri dari m×n elemen-elemen. Elemen-elemen matriks ini dapat berupa bilangan riil maupun kompleks, akan tetapi dalam contoh-contoh selanjutnya kita hanya akan melihat matriks dengan elemen yang berupa bilangan nyata, dan disebut matriks nyata. Secara umum setiap elemen matriks diberi notasi sesuai dengan posisinya dalam matriks. Jika b (b = 1…m) adalah nomer baris dan k (k = 1…n) adalah nomer kolom, maka b dan k digunakan sebagai subscript-ganda elemen matriks. Notasi yang kita gunakan untuk memberi nama matriks adalah huruf besar cetak tebal, sedangkan huruf kecil cetak tebal digunakan sebagai notasi untuk vektor baris ataupun kolom, seperti contoh berikut.
A =
123
421
302
; B =
203
142 ; a =
4
2 ; b = [ ]423 (17.2)
Secara umum, matriks A dapat kita tuliskan
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 214
[ ]bk
mnmm
n
n
a
aaa
aaa
aaa
=
=
L
LLLL
L
L
21
22221
11211
A (17.3)
Posisi elemen-elemen a11 …amn disebut diagonal utama matriks. Banyaknya baris dan kolom merupakan ukuran matrik . Dalam contoh (17.1), berturut-turut kita mempunyai matriks dengan ukuran 3×3, 2×1, 1×3, dan 2×3. Matriks dengan m = n disebut matriks bujur sangkar, dan kita katakan matriks ini berordo n. Matriks A pada contoh (17.2) adalah matriks bujur sangkar berordo 3.
Anak matriks atau sub-matriks adalah matriks yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian baris dan/atau sebagian kolom dari suatu matriks. Sebagai contoh, matriks
B =
203
142
mempunyai dua anak matriks 1× 3 , yaitu [ ]142 , [ ]203 ;
tiga anak matriks 2× 1, yaitu
3
2 ,
0
4 ,
2
1;
enam anak matriks 1× 1 yaitu [2] , [4] , [1] , [3] , [0] , [2];
enam anak matriks 1×2 yaitu [ ]42 , [ ]12 , [ ]14 , [ ]03
, [ ]23 , [ ]20 ;
tiga anak matriks 2×2 yaitu
03
42 ,
23
12 ,
20
14.
Dengan menggunakan pengertian anak matriks ini, kita dapat memandang matriks sebagai tersusun dari anak-anak matriks yang berupa vektor-vektor. Sebagai contoh, matriks
A=
123
421
302
dapat kita pandang sebagai matriks
=
3
2
1
a
a
a
A
215
dengan anak-anak matriks berupa vektor baris [ ]3021 =a ,
[ ]4212 =a , [ ]1233 =a . Dengan cara pandang ini matriks A mirip
bentuknya dengan vektor kolom.
Matriks A juga dapat kita pandang sebagai matriks [ ]321 aaaA =
dengan anak-anak matriks
=3
1
2
1a ,
=2
2
0
2a ,
=1
4
3
3a yang berupa
vektor-vektor kolom. Dengan cara ini matriks A terlihat seperti vektor baris.
17.2. Pengertian-Pengertian dan Operasi-Operasi Matriks
Kesamaan Matriks Dua matriks A dan B sama jika dan hanya jika berukuran sama dan elemen-elemen pada posisi yang sama juga sama. Kita menuliskan kesamaan ini A = B.
Jika A =
03
42 maka haruslah B =
03
42.
Penjumlahan Penjumlahan dua matriks hanya didefinisikan untuk matriks yang berukuran sama (banyaknya baris dan banyaknya kolom dari kedua matriks tersebut sama). Jumlah dari dua matriks A dan B yang masing-masing berukuran m×n adalah sebuah matriks C berukuran m×n yang elemen-elemennya merupakan jumlah dari elemen-elemen matriks A dan B yang posisinya sama.
Jika A=
03
42 dan B=
22
31, maka C= A + B =
25
73
Penjumlahan matriks mempunyai sifat-sifat sebagai berikut
a. ABBA +=+
b. ( ) ( )CBACBA ++=++ (17.4)
Matriks Nol .
Matriks nol, 0, yang berukuran m×n adalah matriks yang berukuran m×n dengan semua elemennya bernilai nol.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 216
Matriks Negatif
Negatif dari matriks berukuran m×n adalah matriks berukuran m×n yang diperoleh dengan mengalikan seluruh elemennya dengan faktor (−1).
Operasi penjumlahan yang melibatkan matriks nol dan matriks negatif adalah
c). A0A =+ d). 0AAAA =−=−+ )( (17.5)
Perkalian Matriks dengan Bilangan Skalar
Hasil kali suatu bilangan skalar a dengan matriks berukuran m×n adalah matriks berukuran m×n yang seluruh elemennya bernilai a kali. Kita menuliskan perkalian matriks A dengan bilangan skalar a sebagai aA = Aa.
=
=
646
462
244
2
323
231
122
323
231
122
2
Perkalian matriks dengan bilangan skalar ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
a. ( ) BABA aaa +=+ b. ( ) AAA baba +=+
(17.6) c. [ ] ( )AA abba =
Perkalian Matriks dengan Matriks Perkalian antara dua matriks A dan B yaitu C=AB (dalam urutan perkalian seperti ini) hanya terdefinisikan jika banyaknya kolom matriks A sama dengan banyaknya baris matriks B. Jadi jika matriks A berukuran m×n dan B berukuran p×q maka perkalian AB hanya dapat dilakukan jika n = p. Hasil kali matriks AB akan berupa matriks yang berukuran m×q yang nilai elemennya pada baris ke b kolom ke k merupakan hasil kali internal (hasil kali dot) vektor baris ke b dari matriks A dan vektor kolom ke k dari matriks B (matriks A dipandang sebagai terdiri dari anak-anak matriks yang berupa vektor baris dan matriks B terdiri dari anak matriks yang berupa vektor kolom). Jadi
217
jika [ ]baA = dan [ ]kbB = maka [ ] [ ]kbbkc baABC •===
Mengalikan matriks A ke matriks B dari sebelah kiri seperti di atas kita sebut menggandaawalkan matriks A ke matriks B. Akan kita lihat bahwa menggandaawalkan A ke B tidak selalu sama dengan menggandaawalkan B ke A; AB ≠ BA.
• Perkalian internal vektor. Kita ambil contoh vektor baris [ ]32=a
dan vektor kolom
=
3
4b . Banyaknya kolom a adalah 2, sama
dengan banyaknya baris b, maka perkalian internal bac •= dapat kita lakukan, yaitu
[ ] [ ] [ ]1733423
4 32 =×+×=
=•= bac .
Jika urutan kita balik, banyaknya kolom b adalah 1 sama dengan banyaknya baris a, maka. kita dapat melakukan perkalian
[ ]
=
××××
=
=•=
96
128
3323
342432
3
4abd
Jadi, pembalikan urutan perkalian (seandainya perkalian ini dapat dilakukan) akan memberikan hasil yang berbeda. Perkalian matriks tidak komutatif.
• Perkalian matriks dengan vektor. Misalkan
=
43
12A dan
=
3
2b . Banyaknya kolom A sama dengan banyaknya baris b, maka
perkalian Ab dapat dilakukan. Matriks A kita pandang sebagai
=
2
1
a
aA , yaitu matrik dengan anak matriks berupa vektor baris
[ ]121 =a dan [ ]432 =a . Perkalian AbC = adalah
=
×+××+×
=
••
=
==
18
7
3423
3122
2
1
2
1
ba
bab
a
aAbC
Jika urutan perkalian dibalik bAD = , perkalian tak dapat dilakukan karena b terdiri dari satu kolom sedangkan A terdiri dari dua baris.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 218
• Perkalian dua matriks bujur sangkar. Misalkan
=
43
12A dan
=
35
24B . Banyaknya kolom A sama dengan banyaknya baris B;
oleh karena itu kita dapat melakukan perkalian ABC = . Matriks A
kita pandang sebagai
=
2
1
a
aA , yaitu matrik dengan anak matriks
berupa vektor baris [ ]121 =a dan [ ]432 =a . Matriks B kita
pandang sebagai [ ]21 bbB = , yaitu matriks dengan dua anak
matriks berupa vektor kolom
=
5
41b dan
=
3
22b . Perkalian
ABC = adalah
[ ]
=
×+××+××+××+×
=
••••
=
==
1832
713
34235443
31225142
2212
211121
2
1
baba
bababb
a
aABC
• Perkalian dua matriks persegi panjang. Misalkan
=
231
342A
dan
=32
34
21
B . Banyaknya kolom A adalah 3, sama dengan
banyaknya baris B. Kita dapat melakukan perkalian
=
×+×+××+×+××+×+××+×+×
=
==
1717
2525
323321224311
333422234412
32
34
21
231
342ABC
Pernyataan matriks dengan anak matriks pada perhitungan di atas adalah sebagai
=
2
1
a
aA , [ ]21 bbB = , sehingga
[ ]
••••
=
==
2212
211121
2
1 baba
bababb
a
aABC .
219
Dalam operasi perkalian matrike, matriks yang pertama kita susun dari anak matriks yang berupa vektro baris sedangkan matriks yang kedua kita susun dari anak matriks yang berupa vektor kolom. Jadi perkalian matriks adalah perkalian dari baris ke kolom.
Perkalian matriks mempunyai sifat sebagai berikut.
a. Asosiatif dan distributif terhadap penjumlahan
( ) ( ) ( )BAABBA aaa ==
( ) ( )CABBCA =
( ) BCACCBA +=+ (17.7)
( ) CBCABAC +=+
b. Tidak komutatif. Jika perkalian AB maupun BA terdefinisikan, maka pada umumnya AB ≠ BA
c. Hukum pembatalan tidak selalu berlaku.
Jika AB = 0 tidak selalu berakibat A = 0 atau B = 0.
Matriks-Matriks Khusus Melihat pada nilai-nilai elemen dari matriks, terdapat beberapa bentuk matriks khusus.
• Matriks Segitiga. Matriks segitiga ada dua macam yaitu matriks segitiga bawah dan matriks segitiga atas. Matriks segitiga bawah adalah matriks yang elemen-elemen di atas diagonal utamanya bernilai nol. Matriks segitiga atas adalah matriks yang elemen-elemen di bawah diagonal utamanya bernilai nol. Perhatikan contoh berikut.
Matriks segitiga bawah :
−=343
011
002
1T
Matriks segitiga atas :
−=
300
310
122
2T
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 220
• Matriks Diagonal. Matriks diagonal adalah matriks yang elemen-elemen di atas maupun di bawah diagonal utamanya bernilai nol. Contoh :
=000
010
002
D
• Matriks Satuan. Matriks satuan, disebut juga matriks identitas, adalah matriks diagonal yang elemen diagonalnya bernilai 1. Matriks ini dilambangkan dengan I .
=100
010
001
I
Suatu matrik jika dikalikan dengan matriks satuan akan kembali pada matriks asalnya.
AIAAI == (17.8)
Putaran Matriks Putaran matriks atau transposisi dari matriks A berukuran m×n adalah suatu matriks AT yang berukuran n×m dengan kolom-kolom matriks A sebagai baris-barisnya yang berarti pula bahwa baris-baris matriks A menjadi kolom-kolom matriks AT.
Jika [ ]bk
mnmm
n
n
a
aaa
aaa
aaa
=
=
L
LLLL
L
L
21
22221
11211
A maka
[ ]pq
mnnn
m
m
a
aaa
aaa
aaa
=
=
L
LLLL
L
L
21
22212
12111
TA (17.9)
Perhatikan contoh-contoh berikut ini.
221
• Putaran vektor baris dan vektor kolom. Putaran vektor baris akan menjadi vektor kolom. Sebaliknya putaran vektor kolom akan menjadi vektor baris.
[ ]
=⇒=3
4
2
342 Taa ; [ ]345
3
4
5T =⇒
= bb
• Putaran jumlah dua vektor baris. Putaran jumlah dua vektor baris sama dengan jumlah putaran masing-masing vektor.
Jika [ ] [ ]231dan 342 == ba maka [ ]573=+ ba
( ) TTT
2
3
1
3
4
2
5
7
3
baba +=
+
=
=+ .
Secara umum : ( ) TTT baba +=+ (17.10)
• Putaran hasil kali vektor baris dan vektor kolom. Putaran hasil kali vektor baris dengan vektor kolom atau vektor kolom dengan vektor baris, sama dengan hasil kali putaran masing-masing dengan urutan dibalik.
Jika [ ]
==2
3
1
dan 342 ba maka [ ]233412 ×+×+×=ab
⇒ [ ] [ ] TTT
3
4
2
231233412 abab =
=×+×+×=
Jika [ ]231dan
3
4
2
=
= ba maka
×××××××××
=233313
243414
223212
ab
⇒ ( ) [ ] TTT 342
2
3
1
232422
333432
131412
abab =
=
×××××××××
=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 222
Secara umum : ( ) TTT abab = (17.11)
• Putaran matriks persegi panjang.
Jika
=
231
342A maka
=23
34
12TA
Jika matriks A dinyatakan sebagai susunan dsri vektor baris
=
ma
a
A L
1
maka putarannya adalah [ ]TT1
TmaaA L= . Di sini
terlihat jelas bagaimana baris-baris di A menjadi kolom-kolom di AT. Sebaliknya, jika matriks A dinyatakan dengan vektor kolom
[ ]maaaA L21= maka putarannya akan berbentuk matriks
dengan anak-anak matriks berupa vektor baris.
• Putaran jumlah matriks. Putaran jumlah dua matriks sama dengan jumlah putaran masing-masing matriks. Hal ini telah kita lihat pada putaran jumlah vektor baris.
( ) TTT BABA +=+ (17.12)
Jika [ ]maaA L1= dan [ ]mbbB L1=
maka [ ]mm babaBA ++=+ L11 .
Dengan demikian
( )( )
( )TT
T
T1
T
T1
TT
T1
T1
T
T11
T BA
b
b
a
a
ba
ba
ba
ba
BA +=
+
=
+
+=
+
+=+
mmmmmm
LLLL
• Putaran hasil kali matriks. Putaran hasilkali dua matriks sama dengan hasil kali putaran masing-masing dengan urutan yang dibalik. Hal ini telah kita lihat pada putaran hasil kali vektor baris dan vektor kolom.
( ) TTT ABAB = (17.13)
223
Jika
=
ma
a
A L
1
dan [ ]nbbB L1= maka
••
••=
nmnm
n
baba
baba
AB
L
LLL
L 111
. Dengan demikian maka
[ ] TT1
1111T ABaa
b
b
baba
baba
AB =
=
••
••= m
nnmnm
n
LL
L
LLL
L
• Matriks simetris. Berkaitan dengan putaran matriks, kita mengenal kesimetrisan pada matriks nyata. Matriks simetris adalah matriks yang putarannya sama dengan matriksnya sendiri. Jadi matriks A
dikatakan simetris apabila AA =T .
Jika BB −=T dikatakan bahwa matriks B adalah simetris miring. Karena dalam putaran matriks elemen-elemen diagonal utama tidak berubah nilai, maka matriks simetris miring dapat terjadi jika elemen-elemen diagonal utamanya bernilai nol.
17.3. Sistem Persamaan Linier
Suatu sistem persamaan linier (atau himpunan persaman linier simultan) adalah satu set persamaan dari sejumlah unsur yang tak diketahui. Bentuk umum sistem persamaan linier ini adalah
mnmnm
nn
nn
bxaxa
bxaxa
bxaxa
=++
=++=++
L
L
L
11
22121
11111
. . . . . . . . . . . (17.14)
Sistem (17.14) ini mengandung m persamaan dengan n unsur yang tak diketahui yaitu x1 ….xn. Bilangan a11 …..amn disebut koefisien dari sistem itu, yang biasanya merupakan bilangan-bilangan yang diketahui. Bilangan-bilangan b1 ….bm juga merupakan bilangan-bilangan yang diketahui, bisa bernilai tidak nol maupun bernilai nol; jika seluruh b bernilai nol maka sistem persamaan tersebut disebut sistem persamaan homogen.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 224
Dari sistem persamaan linier diharapkan adanya solusi yaitu satu set nilai dari x1, …xn yang memenuhi sistem persamaan tersebut. Jika sistem ini homogen, ia mengandung solusi trivial (solusi tak penting) yaitu x1 = 0, …., xn = 0. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tentang solusi dari sistem persamaan ini adalah sebagai berikut.
a). Benar adakah solusi dari sistem ini ? b). Bagaimanakah cara kita untuk memperoleh solusi? c). Kalau sistem ini mempunyai lebih dari satu solusi, bagaimanakah
himpunan solusi tersebut? d). Dalam keadaan bagaimanakah sistem ini tepat mempunyai satu solusi?
Memperhatikan sistem persamaan (17.14) kita dapat melakukan operasi-operasi yang kita sebut operasi baris sebagai berikut.
a). Ruas kiri dan ruas kanan dari setiap persamaan dapat dikalikan dengan faktor bukan nol yang sama tanpa mempengaruhi himpunan sistem persamaan tersebut.
b). Ruas kiri dari setiap persamaan dapat dijumlahkan ke ruas kiri persamaan yang lain asal ruas kanannya juga dijumlahkan. Operasi ini tidak mengganggu keseluruhan sistem persamaan tersebut.
c). Mempertukarkan tempat (urutan) persamaan tidaklah mengganggu himpunan sistem persamaan.
Sistem persamaan (17.14) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks dengan memanfaatkan pengertian perkalian matriks. Bentuk itu adalah
=
mnmnmm
n
n
b
b
b
x
x
x
aaa
aaa
aaa
LL
L
LLLL
L
L
2
1
2
1
21
22221
11211
(17.15)
atau secara singkat bAx = (17.16)
dengan
=
=
=
mnmnmm
n
n
b
b
b
x
x
x
aaa
aaa
aaa
LL
L
LLLL
L
L
2
1
2
1
21
22221
11211
; ; bxA (17.17)
225
Dari (17.17) kita dapat membangun suatu matriks baru yang kita sebut matriks gandengan, yaitu dengan menggandengkan matriks A dengan b menjadi
=
mmnmm
n
n
baaa
baaa
baaa
|
|
|
|
~
21
222221
111211
L
LLLLL
L
L
A (17.18)
Matriks gandengan ini menyatakan sistem persamaan linier (17.14) secara lengkap. Operasi-operasi baris pada sistem persamaan (17.14) kita terjemahkan ke dalam matriks gandengan (17.18) menjadi sebagai berikut.
a). Setiap elemen dari baris yang sama (17.18) dapat dikalikan dengan faktor bukan nol yang sama.
b). Satu baris dari (17.18) boleh dijumlahkan ke baris yang lain. c). Tempat baris (urutan baris) dapat dipertukarkan.
Setiap operasi baris akan menghasilkan matriks gandengan baru. Matriks gandengan baru ini kita sebut sebagai setara baris dengan matriks gandengan yang lama. Operasi baris dapat kita lakukan lagi pada matriks gandengan baru dan menghasilkan matriks gandengan yang lebih baru lagi dan yang terakhir inipun setara baris dengan matriks gandengan yang lama. Dengan singkat kita katakan bahwa operasi baris menghasilkan matriks gandengan yang setara baris dengan matriks gandengan asalnya. Hal ini berarti bahwa matriks gandengan baru menyatakan sistem persamaan linier yang sama dengan matriks gandengan asalnya.
Eliminasi Gauss Eliminasi Gauss merupakan langkah-langkah sistematis untuk memecahkan sistem persamaan linier. Karena matriks gandengan merupakan pernyataan lengkap dari suatu sistem persamaan linier, maka eliminasi Gauss cukup dilakukan pada matriks gandengan ini. Bagaimana langkah-langkah ini dilaksanakan, akan kita lihat melalui contoh berikut ini.
Misalkan kita mempunyai sistem persamaan linier seperti berikut.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 226
0234
8253
024
8
=+−+−=−+−
=−+−=−
DCBA
DCBA
CBA
BA
xxxx
xxxx
xxx
xx
(17.19)
Sistem persamaan ini dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks sebagai
=
−−−−
−−−
0
8
0
8
2341
2531
0241
0011
D
C
B
A
x
x
x
x
dengan matriks gandeng
−−−−
−−−
0|2341
8|2531
0|0241
8|0011
Langkah 1 : Langkah pertama pada eliminasi Gauss pada matriks gandengan adalah mempertahankan baris ke-1 (disebut mengambil baris ke-1 sebagai pivot) dan menghilangkan suku pertama baris-baris berikutnya. Langkah ini dilaksanakan dengan menambahkan baris ke-1 ke baris ke-2, mengurangkan baris ke-1 dari baris ke-3 dan menambahkan baris ke-1 ke baris ke-4. Hasil operasi ini adalah
1 baris
1 baris
baris1
pivot
8|2330
0|2520
8|0230
8|0011
+−+
−−−
−−
Langkah 2 : Langkah kedua adalah mengambil baris ke-2 dari matriks gandeng yang baru saja kita peroleh dan menghilangkan suku kedua baris-baris berikutnya. Ini kita lakukan dengan mengalikan baris ke-2 dengan 2/3 kemudian menambahkannya ke baris ke-3, dan mengurangkan baris ke-2 dari baris ke-4. Hasil opersi ini adalah
227
2 baris
2 baris 2/3
pivot
0|2100
3/16|23/4500
8|0230
8|0011
−+
−−−
−−
⇒ 3
0|2100
16|61100
8|0230
8|0011
×
−−
−−
Langkah 3 : Langkah ketiga adalah mengambil baris ke-3 sebagai pivot dan menghilangkan suku ke-3 dari baris ke-4. Ini dapat kita lakukan dengan mengalikan baris ke-4 dengan 11 kemudian menambahkan kepadanya baris ke-3. Hasilnya adalah:
3 baris 11
pivot
16|16000
16|61100
8|0230
8|0011
+×
−−
−
(17.20)
Matriks gandeng terakhir ini menyatakan persamaan linier:
1616
16611
823
8
==−
=−=−
D
DC
CB
BA
x
xx
xx
xx
yang dengan substitusi mundur akan memberikan:
12 ; 4 ; 2 ; 1 ==== ABCD xxxx .
Sistem-sistem tertentu, kurang tertentu, dan tertentu berlebihan Sistem persamaan linier yang diambil sebagai contoh untuk melakukan eliminasi Gauss di atas kita sebut sistem tertentu; yaitu sistem yang memberikan tepat satu solusi. Sistem tertentu terjadi jika banyaknya unsur yang tak diketahui sama dengan banyaknya persamaan dan persamaan-persamaan ini tidak saling bergantungan. Jika banyaknya persamaan lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui, maka sistem itu menjadi kurang tertentu. Sistem yang kurang tertentu
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 228
memberikan tidak hanya satu solusi akan tetapi banyak solusi. Jika banyaknya persamaan lebih besar dari banyaknya unsur yang tak diketahui, sistem menjadi tertentu berlebihan. Sistem yang kurang tertentu selalu mempunyai solusi (dan banyak) sedangkan sistem tertentu dan tertentu berlebihan bisa memberikan solusi bisa juga tidak memberikan solusi. Berikut ini akan kita lihat contoh sistem yang memberikan banyak solusi dan yang tidak memberikan solusi
• Sistem persamaan yang memberikan banyak solusi. Kita lihat persamaan berikut.
823
024
8
−=+−=−+−
=−
CB
CBA
BA
xx
xxx
xx
(17.21)
Matriks gandeng dari sistem ini adalah
−−−−
−
8|230
0|241
8|011
Eliminasi Gauss dari matriks gandeng ini kita lakukan seperti pada contoh di atas, yang akan menghasilkan
−−−
−
8|230
8|230
8|011
⇒
−−
0|000
8|230
8|011
(17.22)
Matriks gandengan ini menyatakan sistem persamaan :
00
823
8
==−
=−
CB
BA
xx
xx
(17.23)
Dari persamaan ke-2 kita mendapatkan 3/)28( cb xx += yang
kemudian memberikan 3/)28(8 ca xx ++= . Karena xc tetap
sembarang maka kita mendapatkan banyak solusi. Kita hanya akan memperoleh nilai xa dan xb jika kita menentukan nilai xc lebih dulu.
• Sistem yang tidak memberikan solusi. Kita ambil contoh sistem persamaan berikut.
229
1023
024
8
−=+−=−+−
=−
CB
CBA
BA
xx
xxx
xx
(17.24)
Matriks gandeng dan eliminasi Gauss memberikan
−−−−
−
10|230
0|241
8|011
⇒
−−−
−
10|230
8|230
8|011
⇒
−−
−
2|000
8|230
8|011
(17.25)
Sistem persamaan dari matriks gandeng terakhir ini adalah
20
823
8
−==−
=−
CB
BA
xx
xx
(17.26)
Kita lihat di sini bahwa penerapan eliminasi Gauss pada akhirnya menghasilkan suatu kontradiksi yang dapat kita lihat pada baris terakhir (17.26).. Hal Ini menunjukkan bahwa sistem persamaan yang sedang kita tinjau tidak memberikan solusi.
Bentuk matriks pada langkah terakhir eliminasi Gauss, seperti matriks pada (17.20), (17.22) dan (17.25) disebut bentuk eselon. Dari (17.25) misalnya, bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya adalah
−−
000
230
011
dan
−−
−
2|000
8|230
8|011
Secara umum bentuk eselon matriks gandengan adalah
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 230
′′
′
+
m
r
rrnrr
n
n
b
b
bkk
bcc
baaa
|0
|
|0
|
|
|0
|
1
2222
111211
M
L
M
LLL
LLL
(17.27)
dan sistem yang telah tereduksi pada langkah akhir eliminasi Gauss akan berbentuk
m
r
rnrnrrr
nn
nn
b
b
bxkxk
bxaxc
bxaxaxa
′=
′=′=++
′=++=+++
+
0
0
1
22222
11212111
M
L
M
LLLL
LLLL
(17.28)
dengan 0 , 0 ,0 2211 ≠≠≠ rrkaa , dan r ≤ n. Perhatikan (17.28) ini.
a). Jika nr = dan mr bb ′′+ ,,1 K sama dengan nol atau tidak ada, maka
sistem persamaan ini akan memberikan tepat satu solusi.
b). Jika nr < dan mr bb ′′+ ,,1 K sama dengan nol atau tidak ada, maka
sistem persamaan ini akan memberikan banyak solusi.
c). Jika nr = ataupun nr < dan mr bb ′′+ ,,1 K tidak sama dengan nol
atau mempunyai nilai, maka sistem persamaan ini tidak memberikan solusi.
Jadi suatu sistem persamaan akan memberikan solusi jika
mr bb ′′+ ,,1 K sama dengan nol atau tidak ada. Pada suatu sistem persamaan
yang memberikan solusi, ketunggalan solusi terjadi jika nr = ; jika nr < akan memberikan banyak solusi. Nilai r yang dimiliki oleh matriks
gandengan pada (17.27) ditentukan oleh banyaknya vektor baris yang bebas linier dalam matriks gandeng. Pengertian tentang kebebasan linier vektor-vektor kita bahas berikut ini.
231
Bebas linier dan tak-bebas linier vektor-vektor
Misalkan maaa , , 21 L adalah vektor-vektor baris dari suatu matriks A
=[abk]. Kita tinjau suatu persamaan vektor
02211 =+++ mmccc aaa L (17.29)
Jika persamaan vektor ini terpenuhi hanya jika semua koefisien ( c1 … cm) bernilai nol, maka vektor-vektor baris tersebut adalah bebas linier. Jika persamaan vektor tersebut dapat dipenuhi dengan koefisien yang tidak semuanya bernilai nol (artinya setidak-tidaknya ada satu koefisien yang tidak bernilai nol) maka vektor-vektor itu tidak bebas linier.
Jika satu himpunan vektor terdiri dari vektor-vektor yang bebas linier, maka tak satupun dari vektor-vektor itu dapat dinyatakan dalam kombinasi linier dari vektor yang lain. Hal ini dapat dimengerti karena dalam persamaan (17.29) semua koefisien bernilai nol. Jika vektor-vektor tidak bebas linier maka nilai koefisien pada persamaan (17.29) (atau setidak-tidaknya sebagian tidak bernilai nol) maka satu vektor dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari vektor yang lain; misalnya vektor a1 dapat dinyatakan sebagai
01
21
21 =−−−= m
m
c
c
c
caaa L (17.30)
karena koefisien-koefisien ini tidak seluruhnya bernilai nol
Kita ambil contoh dua vektor baris
[ ]21321 =a dan [ ]26242 =a
Vektor a1 dan a2 adalah bebas linier karena
[ ] [ ] 026242132 212211 =+=+ cccc aa
hanya akan terjadi jika 021 == cc
Ambil vektor ketiga [ ]42643 =a . Vektor a3 dan a1 tidak bebas
linier karena kita dapat menyatakan a3 sebagai [ ] [ ]4264213222 13 === aa . Vektor a1, a2 dan a3 juga tidak
bebas linier karena kita dapat menyatakan a3 sebagai
[ ] [ ] [ ]42642624 02132 202 213 =+=+= aaa
Akan tetapi jika kita hanya melihat a3 dan a2 saja, mereka adalah bebas linier.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 232
Kita lihat vektor lain yaitu [ ]55764 =a . Vektor a4 , a1 dan a2 tidak
bebas linier karena kita dapat menyatakan a4 sebagai
[ ] [ ] [ ]55762624 5.02132 25.02 214 =+=+= aaa
Rank matriks. Dengan pengertian tentang vektor yang bebas linier, didefinisikan rank matriks. Banyaknya vektor baris yang bebas linier dalam suatu matriks A = [abk] disebut rank matriks A disingkat rank A. Rank matriks B = 0 adalah nol.
Bagaimanakah menentukan rank suatu matriks? Kita mengetahui bahwa operasi baris menghasilkan matriks yang setara baris dengan matriks asalnya. Hal ini berarti pula bahwa rank matriks baru sama dengan rank matriks asalnya. Dengan perkataan lain operasi baris tidak mengubah rank matriks. Jadi rank suatu matriks dapat diperoleh melalui operasi baris, yaitu sama dengan rank matriks yang dihasilkan pada langkah terakhir eliminasi Gauss.
Bentuk eselon matriks yang diperoleh pada langkah terakhir eliminasi Gauss, mengandung vektor-vektor baris yang bebas linier karena vektor yang tak bebas linier telah tereliminasi. Kita ambil contoh matriks pada (17.20), (17.22) dan (17.25).
• Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.20), yaitu dari sistem persamaan yang memberikan solusi tunggal, adalah
−−
−
16000
61100
0230
0011
dan
−−
−
16|16000
16|61100
8|0230
8|0011
Dalam kasus ini rank matriks koefisien sama dengan rank matriks gandengan, yaitu 4. Selain dari pada itu rank matriks sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui yaitu 4
• Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.22), yaitu dari sistem persamaan yang memberikan banyak solusi, adalah
233
−−
000
230
011
dan
−−
0|000
8|230
8|011
Dalam kasus ini rank matriks koefisien sama dengan rank matriks gandengan, yaitu 2. Akan tetapi rank matriks ini lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui.
• Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.25), yaitu dari sistem persamaan yang tidak memberikan solusi, adalah
−−
000
230
011
dan
−−
−
2|000
8|230
8|011
Dalam kasus ini rank matriks koefisien tidak sama dengan rank matriks gandengan. Rank matriks koefisien adalah 2 sedangkan rank matriks gandengannya adalah 3. Ketidak samaan rank dari kedua matriks ini menunjukkan tidak adanya solusi.
Apa yang kita amati dalam contoh-contoh di atas ternyata berlaku umum. Kita melihat bahwa
(a) agar suatu sistem persamaan memberikan solusi maka rank matriks koefisien harus sama dengan rank matriks gandengannya;
(b) agar sistem persamaan memberikan solusi tunggal maka rank matriks koefisien harus sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui;
(c) jika rank matriks koefisien lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui maka akan diperoleh banyak solusi.
Sistem Persamaan Homogen Sistem persamaan disebut homogen apabila nilai b di ruas kanan dari sistem seperti (17.14) bernilai nol. Jika tidak demikian maka sistem itu disebut tak homogen. Sistem persamaan homogen berbentuk
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 234
0
. . . . . . . . . . .
0
0
2211
2222121
1212111
=+++
=+++=+++
nmnmm
nn
nn
xaxaxa
xaxaxa
xaxaxa
L
L
L
(17.31)
Bentuk matriks gandengan sistem ini adalah
=
0|
|
0|
0|
~
21
22221
11211
mnmm
n
n
aaa
aaa
aaa
L
LLLLL
L
L
A (17.32)
Eliminasi Gauss pada sistem demikian ini akan menghasilkan
′
′′′′′
=′
0|000
|
0|0
0|
~ 222
11211
mn
n
n
a
aa
aaa
LLLLL
L
L
A (17.33)
Jika rank matriks gandengan terakhir ini sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui, r = n, sistem persamaan akhirnya akan berbentuk
0
0
0
2222
1212111
=′
=′++′=′++′+′
nmn
nn
nn
xa
xaxa
xaxaxa
M
L
L
(17.34)
Dari (17.34) terlihat bahwa 0=nx dan substitusi mundur akhirnya
memberikan semua x bernilai nol. Ini merupakan solusi trivial dan solusi trivial ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa r = n. Solusi tak trivial hanya akan diperoleh jika nr < . Kita akan melihat beberapa contoh.
• Sistem persamaan homogen yang hanya memberikan solusi trivial
0234
0253
024
0
=+−+−=−+−
=−+−=−
DCBA
DCBA
CBA
BA
xxxx
xxxx
xxx
xx
(17.35)
Matriks gandengan sistem ini dan hasil eliminasi Gauss-nya adalah
235
−−−−
−−−
0|2341
0|2531
0|0241
0|0011
eliminasi Gauss
−−
−
0|16000
0|61100
0|0230
0|0011
Rank matrik koefisien adalah 4; banyaknya unsur yang tak diketahui juga 4. Sistem persamaan liniernya menjadi
016
0611
023
0
==−
=−=−
D
DC
CB
BA
x
xx
xx
xx
⇒ yang akhirnya memberikan
0==== ABCD xxxx (17.36)
Inilah solusi trivial yang dihasilkan jika terjadi keadaan nr = .
• Sistem persamaan yang memberikan solusi tak trivial
06134
0253
024
0
=+−+−=−+−
=−+−=−
DCBA
DCBA
CBA
BA
xxxx
xxxx
xxx
xx
(17.37)
Matriks gandengan dan hasil eliminasinya adalah
−−−−
−−−
0|61341
0|2531
0|0241
0|0011
eliminasi Gauss
−−
−
0|0000
0|61100
0|0230
0|0011
dan sistem persamaan menjadi
00
0611
023
0
==−
=−=−
DC
CB
BA
xx
xx
xx
(17.38)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 236
Jika kita mengambil nilai 1=Dx maka akan diperoleh
33
12 ;
33
12 ;
11
6 === ABC xxx . Solusi ini membentuk vektor solusi
=
1
11/6
33/12
3312
1
/
x yang jika digandaawalkan dengan matriks koefisiennya
akan menghasilkan vektor nol b = 0.
=
−−
−
=
0
0
0
0
1
6/11
12/33
12/33
0000
61100
0230
0011
1Ax (17.39)
Jika kita menetapkan nilai xD yang lain, misalnya 33=Dx akan
diperoleh vektor solusi yang lain, yaitu 12 33
33
18
12
12
xx =
= , yang jika
digandaawalkan dengan matriks koefisiennya juga menghasilkan vektor nol.. Vektor solusi x2 ini merupakan perkalian solusi sebelumnya dengan bilangan skalar (dalam hal ini 33), yang sesungguhnya bisa bernilai sembarang. Secara umum vektor solusi berbentuk
1xx cc = (17.40)
dengan c adalah skalar sembarang.
Vektor solusi yang lain lagi dapat kita peroleh dengan menjumlahkan vektor-vektor solusi, misalnya x1 dan x2.
111213 3433
33
18
12
12
1
11/6
33/12
33/12
xxxxxx =+=
+
=+= (17.41)
Jelas bahwa x3 juga merupakan solusi karena jika digandaawalkan akan memberikan hasil vektor nol. Jadi secara umum vektor solusi
237
dapat juga diperoleh dengan menjumlahkan vektor solusi yang kita nyatakan sebagai
∑= cj xx (17.42)
Contoh di atas memperlihatkan bahwa solusi dari sistem persamaan homogen membentuk vektor-vektor yang seluruhnya dapat diperoleh melalui perkalian salah satu vektor solusi dengan skalar (17.40) dan penjumlahan vektor-vektor solusi (17.42). Kita katakan bahwa solusi dari sistem persamaan homogen membentuk suatu ruang vektor. Dalam sistem persamaan homogen yang sedang kita tinjau ini, ruang vektor yang terbentuk adalah ber-dimensi satu. Perhatikan bahwa setiap vektor solusi merupakan hasilkali skalar dengan vektor x1 walaupun diperoleh dari penjumlahan vektor sebagaimana terlihat pada (17.41).
Jika kita perhatikan lebih lanjut ruang vektor yang terbentuk oleh vektor solusi akan berdimensi (n − r), yaitu selisih antara banyaknya unsur yang tak diketahui dengan rank matriks koefisien. Dalam kasus yang sedang kita tinjau ini, banyaknya unsur yang tak diketahui adalah 3 sedangkan rank matriks koefisien adalah 2. Kita akan melihat kasus yang lain.
• Sistem persamaan dengan vektor solusi berdimensi 2. Kita lihat sistem berikut.
04107
0254
0254
0
=+−+−=−+−
=+−+−=−
DCBA
DCBA
DCBA
BA
xxxx
xxxx
xxxx
xx
(17.43)
Matriks gandengan dan hasil eliminasi Gauss adalah
−−−−
−−−
0|41071
0|2541
0|2541
0|0011
eliminasi Gauss
−−
0|0000
0|0000
0|2530
0|0011
Rank matriks ini adalah 2 sedangkan banyaknya unsur tak diketahui 4. Sistem persamaan menjadi
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 238
00
00
0253
0
==
=+−=−
DCB
BA
xxx
xx
(17.44)
Jika kita memberi nilai 0dan 1 == DC xx , kita akan mendapatkan
5/3 ; 3/5 == AB xx .
Vektor
=
0
1
3/5
3/5
1x adalah salah satu vektor solusi; jika kita gandaawalkan
matriks koe fisien dengan vektor ini maka akan diperoleh vektor 0b =
=
+−+−
=
−−
=
0
0
0
0
0
0
0550
3/53/5
0
1
3/5
3/5
0000
0000
2530
0011
1Ax
Jika Ax1 = 0, maka perkalian dengan skalar k akan memberikan 0xA =11k , 0xA =12k , dan 0)( 111211211 ==+=+ xAxAxAxA ckkkk .
Dengan kata lain, jika x1 adalah vektor solusi, maka )( , , 12111211 xxxx kkkk + adalah juga vektor-vektor solusi dan
sebagaimana kita tahu vektor-vektor ini kita peroleh dengan memberi nilai 0dan 1 == DC xx .
Jika 1dan 0 == DC xx akan kita peroleh 3/2−=Bx dan 3/2−=Ax
yang membentuk vektor solusi
−−
=
1
0
3/2
3/2
2x . Dengan skalar l
sembarang kita akan memperoleh vektor-vektor solusi yang lain seperti )( , , 22212221 xxxx llll + .
Secara keseluruhan maka vektor-vektor solusi kita adalah
21 xxx lk += (17.45)
239
Inilah vektor-vektor solusi yang membentuk ruang vektor berdimensi 2.
Dari dua contoh terakhir ini terbukti teorema yang mengatakan bahwa solusi sistem persamaan linier homogen dengan n unsur tak diketahui dan rank matriks koefisien r akan membentuk ruang vektor berdimensi (n − r).
Kebalikan matriks dan metoda eliminasi Gauss-Jordan Pengertin tentang kebalikan matriks (inversi matriks) erat kaitannya dengan pemecahan sistem persamaan linier. Namun demikian pengertian ini khusus ditujukan untuk matriks bujur sangkar n × n.
Kebalikan matriks A (inversi matriks A) didefinisikan sebagai matriks yang jika digandaawalkan ke matriks A akan menghasilkan matriks identitas. Kebalikan matriks A dituliskan sebagai A−1 sehingga definisi ini memberikan relasi
11 −− == AAIAA (17.45)
Jika A berukuran n × n maka A−1 juga berukuran n × n dan demikian pula matriks identitasnya. Tidak semua matriks bujur sangkar memiliki kebalikan; jika A memiliki kebalikan maka A disebut matriks tak singular dan jika tak memiliki kebalikan disebut matriks singular .
Jika A adalah matriks tak singular maka hanya ada satu kebalikan A; dengan kata lain kebalikan matriks adalah unik atau bersifat tunggal. Hal ini mudah dimengerti sebab jika A mempunyai dua kebalikan, misalnya P dan Q, maka AP = I =PA dan juga AQ = I =QA , dan hal ini hanya mungkin terjadi jika P = Q.
QQIAPQQAPPAQIPP ====== )()( (17.46)
Berbekal pengertian kebalikan matriks, kita akan meninjau persamaan matriks dari suatu sistem persamaan linier tak homogen, yaitu
bAx = (17.47)
Jika kita menggandaawalkan kebalikan matriks A ke ruas kiri dan kanan (17.47), akan kita peroleh
bAxIxbAAxA 111 −−− ==→= (17.48)
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 240
Persamaan (17.48) menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh vektor solusi x dari sistem persamaan linier jika kebalikan matriks koefisien A ada, atau jika matriks A tak singular. Jadi persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengetahui apakah matriks A singular atau tak singular dan bagaimana mencari kebalikan matriks A jika ia tak singular.
Dari pembahasan sebelumnya kita mengetahui bahwa jika matriks koefisien A pada (17.47) adalah matriks bujur sangkar n × n, maka solusi tunggal akan kita peroleh jika rank A sama dengan n. Hal ini berarti bahwa vektor x pada (17.48) dapat kita peroleh jika rank A−1 sama dengan n. Dengan perkataan lain
matriks A yang berukuran n × n tak singular jika rank A sama dengan n dan akan singular jika rank A lebih kecil dari n.
Mencari kebalikan matriks A dapat kita lakukan dengan cara eliminasi Gauss-Jordan. Metoda ini didasari oleh persamaan (17.47). Jika X adalah kebalikan matriks A maka
IAX =
Untuk mencari X kita bentuk matriks gandengan [ ]IAA =~ dan kita
lakukan eliminasi Gauss pada A~
sehingga matriks gandengan ini berubah menjadi [ ]HU dengan U berbentuk matriks segitiga atas.
Eliminasi Gauss-Jordan selanjutnya beroperasi pada [ ]HU dengan
mengeliminasi unsur-unsur segitiga atas pada U sehingga U berbentuk matriks identitas I . Langkah akhir ini akan menghasilkan [ ]XI .
Perhatikan contoh berikut.
Kita akan mencari kebalikan dari matriks
−−=
142
223
221
A
Kita bentuk matriks gandengan [ ]IA
[ ]
−−=
100|142
010|223
001|221
IA
241
Kita lakukan eliminasi Gauss pada matriks gandengan ini
1 baris 2
1 baris3
pivot
102|580
013|480
001|221
×+×−
−−− ⇒
2 baris
pivot
111|100
013|480
001|221
+
−−−−
Kemudian kita lakukan eliminasi Gauss-Jordan
)8/1(
111|100
08/18/3|2/110
001|221
−×
−− ⇒
baris35.0
3 baris2
111|100
2/18/58/7|010
223|021
×−×−
−−−−−
2 baris2
111|100
2/18/58/7|010
18/68/10|001 ×−
−−−
−−
Hasil terakhir ini memberikan kebalikan matriks A, yaitu :
−−−
−−=−
111
2/18/58/7
18/68/101A
Hasil ini dapat kita teliti balik dengan menggandaawalkannya dengan matriks A
=
++−+−−−+−−−−++−
−−−++−=
−−
−−−
−−=−
100
010
001
122422231
2/18/108/1428/108/1418/158/7
18/128/2048/128/2028/188/10
142
223
221
111
2/18/58/7
18/68/101AA
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 242
Dengan demikian untuk suatu sistem persamaan linier tak homogen yang persamaan matriksnya
=
−−
0
0
8
142
223
221
3
2
1
x
x
x
vektor solusinya adalah
−=
−−−
−−=
−−=
−
8
7
10
0
0
8
111
2/18/58/7
18/68/10
0
0
8
142
223
221
1
3
2
1
x
x
x
Kebalikan matriks diagonal. Kebalikan matriks diagonal dapat dengan mudah kita peroleh.
=
−
nnnn a
a
a
a
/100
00
00/1
00
00
00 111
11
LL (17.49)
Kebalikan dari kebalikan matriks. Kebalikan dari kebalikan matriks adalah matriks itu sendiri.
( ) AA =−− 11 (17.50)
Kebalikan dari perkalian matriks. Kebalikan dari perkalian dua matriks adalah perkalian dari kebalikan masing-masing matriks dengan urutan dibalik.
( ) 111 −−− = ABAB (17.51)
Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut
( )( ) 1−= ABABI
( )( ) ( ) ( ) ( )( )
( ) ( ) ( ) 111111
11
111111
−−−−−−
−−
−−−−−−
===
=
===
ABABIABBBAB
ABBA
ABIBABBAAABABAIA
243
Bab 18 Bilangan dan Peubah Kompleks
Jika kita menggambarkan kurva fungsi
xy =
dengan x adalah peubah bebas yang merupakan bilangan-bilangan nyata seperti yang kita temui dalam bab-bab sebelumnya, maka penggambaran kurva hanya dapat kita lakukan untuk nilai x > 0.
0
0.5
1
1.5
2
0 1 2 3 4
Maka dibuat pengertian bilangan khayal dengan operator 1−=j sehingga jika dari bilangan nyata 1 kita peroleh
bilangan khayal j1, dari bilangan nyata 2 kita dapatkan bilangan khayal j2 dan seterusnya.
Dalam penggambaran grafis, bilangan nyata digambarkan di sumbu mendatar yang selanjutnya disebut sumbu-nyata (real-axis) diberi tanda Re, sedangkan bilangan khayal atau bilangan imajiner digambarkan pada sumbu yang tegak lurus pada sumbu-nyata yang diberi tanda Im. Bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu ini kita sebut bidang kompleks.
18.1. Definisi Bilangan Kompleks
Suatu bilangan kompleks s didefinisikan sebagai
ω+σ= js (18.1)
dengan σ dan ω keduanya adalah bilangan nyata (σ ∈ ℜ dan ω ∈ ℜ).
Representasi bilangan kompleks seperti di atas disebut representasi sudut siku ; σ adalah bagian riil dari s dan ditulis Re(s) = σ, ω adalah bagian imajiner dari s dituliskan Im(s) = ω.
18.2. Representasi Grafis
Suatu bilangan kompleks dapat kita pandang sebagai pasangan berurut dari dua bilangan riil.
ω+σ= js ⇔ (σ,ω) (18.2)
Dengan demikian kita dapat menggambarkan bilangan kompleks di bidang kompleks seperti pada Gb.18.1.a. Bidang dengan sumbu koordinat Re (sumbu riil) dan Im (sumbu imajiner) ini disebut bidang kompleks atau bidang s. Suatu kumpulan bilangan kompleks akan terletak di bidang kompleks ini.
Pasangan berurut (σ,ω) dapat pula diasosiasikan dengan sebuah vektor seperti terlihat pada Gb.18.1.b.; dengan kata lain vektor tersebut merepresentasikan bilangan kompleks. Dengan representasi vektor ini kita dapat menyatakan bilangan kompleks sebagai
)sin(cos θ+θ=ω+σ= jAjs (18.3)
dengan A adalah panjang vektor dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh arah vektor dengan sumbu nyata. Bentuk pernyataan bilangan kompleks seperti (18.3) ini disebut bentuk sudut siku. Selain bentuk susut siku kita mengenal juga pernyataan dalam bentuk polar.
Gb.18.1.. Representasi grafis bilangan kompleks.
Bentuk polar diturunkan dari bentuk sudut siku melalui relasi geometri sederhana. Jika panjang vektor pada Gb.18.1.b. adalah A, dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh vektor tersebut dengan sumbu Re maka
b). Representasi bilangan kompleks secara vektor
a) Pasangan berurut bilangan (σ,ω) pada bidang kompleks
σ Re
Im
• s(σ,ω) jω
Re
Im
σ
jω ρ
θ A
245
σω=θω+σ=
θ=ωθ=σ
−122 tandan
sindan cos
A
AA
(18.4)
Melalui persamaan atau identitas Euler, yaitu
θ+θ=θ sincos je j (18.5)
representasi polar dari bilangan kompleks menjadi
θ= jAes (18.7)
Nilai absolut (magnitude) s adalah A, ditulis 22 || ω+σ== As . Sudut
θ disebut sudut fasa, ditulis )/(tan 1 σω=θ=∠ −s . Pernyataan dalam
bentuk sudut siku dapat diubah ke dalam bentuk polar; sebaliknya pernyataan dalam bentuk polar dapat pula diubah ke dalam bentuk sudut siku.
18.3. Operasi-Operasi Aljabar
Penjumlahan dan Pengurangan. Penjumlahan bilangan kompleks adalah sebagai berikut:
)()(
)()(
2121
221121
ω+ω+σ+σ=ω+σ+ω+σ=+
j
jjss
)()(
)()(
2121
221121
ω−ω+σ−σ=ω+σ−ω+σ=−
j
jjss
Perkalian. Perkalian dua bilangan kompleks adalah sebagai berikut.
)()(
))(())((
21212121
221121
ωσ+σω+ωω−σσ=ω+σω+σ=j
jjss
Pembagian. Pembagian satu bilangan kompleks oleh bilangan kompleks yang lain adalah sebagai berikut.
22
22
21212121
22
22
22
11
2
1 )()(
ω+σ
ωσ−σω+ωω+σσ=
ω−σω−σ
×ω+σω+σ
=j
j
j
j
j
s
s
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 246
CONTOH : Jika 43dan 32 21 jsjs +=+= maka
176)98()126()43)(32())((
11)43()32(
75)43()32(
21
21
21
jjjjss
jjjss
jjjss
+−=++−=++=−−=+−+=−
+=+++=+
25
1
25
18
43
)98()126(
43
43
43
3222
2
1 jj
j
j
j
j
s
s+=
++−++=
−−×
++=
CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = 10 e j0,5.
Nilai bilangan kompleks ini adalah |s| = 10 dan sudut fasanya ∠s = 0,5 rad.
Bentuk sudut sikunya adalah: 8,48,8)48,088,0( 10)5,0sin5,0(cos 10 jjjs +=+=+=
CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = 3+ j4.
Nilai absolut s adalah 543 || 22 =+=ρ=s
Sudut fasanya adalah rad 93,03
4tan 1 ==θ=∠ −s .
Representasi polar adalah: s = 5e j0,93
CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = −1.
Representasi polar adalah : s = −1 = e jπ = e −jπ
Pemahaman :
−−
1
0tan 1 tidak bernilai tunggal. Kita harus
berhati-hati menentukan sudut fasanya. Di sini kita harus memilih π rad.
CONTOH: Representasi polar dari bilangan kompleks mempermudah operasi perkalian dan pembagian.
)(212121
2121))(( θ+θθθ ρρ=ρρ= jjj eeess
247
)(
2
1
2
1
2
1 21
2
1 θ−θθ
θ
ρρ
=ρ
ρ= j
j
j
ee
e
s
s
Konjugat Kompleks. Konjugat dari suatu bilangan kompleks diperoleh dengan mengganti j dengan −j .
Perhatikan Gb.18.2. Jika ω+σ= js maka konjugatnya adalah
ω−σ= js .
Relasi-relasi antara suatu bilangan kompleks dengan konjugatnya adalah sebagai berikut.
* atau ||*))(( 2 ss|s|sss == ;
[ ][ ] ( )( )
∗
∗∗
∗∗∗
∗∗∗
=
=
+=+
2
1
2
1
2121
2121
s
s
s
s
ssss
ssss
18.4. Fungsi Kompleks
Fungsi kompleks X(s) merupakan suatu fungsi yang memetakan suatu set peubah bebas kompleks ke dalam satu set peubah tak bebas kompleks. Peubah bebas kompleks adalah peubah bebas yang berupa bilangan kompleks; dan peubah tak bebas kompleks adalah peubah tak bebas yang juga berupa bilangan kompleks.
s = σ + jω
s*= σ − jω
Re
Im
Gb.17.2. Konjugat bilangan kompleks.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 248
Zero. Kita lihat fungsi kompleks
42)( −= ssX
Untuk beberapa nilai s kita dapat nilai X(s) pada tabel dan gambar berikut:
s X(s)
1s 11 j+ 1X 22 j+−
2s 22 j+ 2X 40 j+
3s 02 j+ 3X 00 j+
Setiap nilai s memberikan X(s). Ada satu nilai s yang khusus yaitu yang memberikan nilai 00)( jsX += ; s ini kita sebut zero yang artinya
membuat fungsi kompleks menjadi bernilai nol.
Suatu fungsi kompleks X(s) dikatakan mempunyai zero di s = z1 jika
0)(lim1
=→
sXzs
Pole. Kita lihat sekarang fungsi
42
1)(
−=
ssX
Kita dapat membuat tabel dan gambar seperti pada pembahasan mengenai zero, akan tetapi tidak kita lakukan. Kita lebih tertarik pada peubah s yang khusus, yaitu yang membuat fungsi kompleks menjadi bernilai tak hingga; s ini kita sebut pole. pada fungsi kompleks yang diambil contoh ini zero ada di
02 042 jss +=⇒=−
0
1
2
3
4
-2 -1 0 1 2
1s2s
3s
1X
2X
3X
249
Suatu fungsi kompleks X(s) dikatakan mempunyai pole di s = p1 jika
∞=→
)(lim1
sXps
CONTOH: Tinjau suatu fungsi kompleks baas
bssX ≠
−−= , )(
Fungsi ini mempunyai pole di s = a dan zero di s = b
18.5. Fungsi Rasional Kompleks
Fungsi rasional kompleks adalah fungsi kompleks yang merupakan rasio dua polinomial kompleks dengan koefisien-koefisien nyata.
)(
)()(
01
1
01
1
sA
sB
asasa
bsbsbsX
nn
nn
mm
mm =
++++++= −
−
−−
L
L
Kita definisikan bahwa orde dari fungsi ini adalah n. Polinomial B(s) disebut numerator (kita mengguanakan istilah pembilang), sedangkan A(s) disebut denominator (kita menggunakan istilah penyebut). Dalam penulisan fungsi rasional biasanya diambil an = 1 (dengan mengeluarkan an dari suku-suku penyebut).
Fungsi rasional X(s) dikatakan proper (kita menggunakan istilah patut) jika m ≤ n ; dikatakan not proper (kurang patut) jika m > n. Fungsi rasional dengan m > n sering juga disebut fungsi non-kausal.
Jika X(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien nyata, kita dapat menyatakan B(s) dan A(s) dalam faktor-faktor yang linier.
)())((
)())(()(
21
21
n
m
pspsps
zszszsKsX
−−−−−−
=L
L (18.11)
Jika koefisien X(s) nyata maka akar-akar kompleks dari B(s) dan A(s) akan berupa pasangan konjugat. Bentuk pernyataan fungsi rasional seperti (18.11) ini memperlihatkan dengan jelas pole dan zero-nya. Pada umumnya kita menghadapi fungsi yang proper, sehingga jumlah zero lebih kecil dari jumlah pole. Dalam keadaan demikian sering kita menganggap bahwa fungsi demikian mempunyai (n − m) zero di tak hingga.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 250
CONTOH : Misalkan kita mempunyai fungsi rasional
)4)(2(
)2)(1()(
++++=
ss
sssX
Fungsi ini dapat ditulis sebagai )4(
)1()(1 +
+=s
ssX .
X1(s) merupakan bentuk tereduksi dari X(s). Numerator dan denominator dari fungsi X(s) mempunyai faktor yang sama yaitu (s + 2) dan faktor yang sama ini dapat dieliminir.
Numerator dan denominator dari fungsi tereduksi X1(s) mempunyai pula faktor sama, yaitu 1. Jadi faktor yang sama antara polinom B1(s) dan A1(s) pada X1(s) adalah 1; rasio dua polinom yang demikian ini disebut coprime. Dalam menangani fungsi rasional kita bekerja pada bentuk yang sudah tereduksi; kita bekerja pada numerator dan denominator yang coprime.
18.6. Diagram Pole-Zero Fungsi rasional dapat direpresentasikan secara grafis, yaitu dengan hanya menggambarkan pole dan zero yang dimilikinya. Pole diberi tanda “×” sedangkan zero diberi tanda “o”. Hasilnya kita sebut diagram pole-zero.
CONTOH: Tinjau fungsi )12)(12)(1(
)1(5)(
jsjss
ssX
−++++−= .
Zero ada di s = 1 ; Pole ada di s = −1, (−2−j1), (−2+j1).
×
×
×
× −1 1
Re
Im
−1
1
−2
251
18.7. Aplikasi Bilangan Kompleks untuk Menyatakan Fungsi Sinus
Kita telah melihat di sub-bab 18.2. bahwa melalui persamaan atau identitas Euler, representasi polar dari bilangan kompleks adalah
θ+θ== θ sincos jAAAes j (18.12)
Dari relasi (18.2) ini kita dapat menyatakan bahwa θcosA adalah bagian
nyata dari bilangan kompleks θjAe yang kita tuliskan
θ=θ jAeA Recos (18.13)
Jika relasi (18.13) ini kita tetapkan sebagai relasi untuk menyatakan fungsi sinus (yang dalam hal ini dinyatakan sebagai cosinus) maka penulisan Re di ruas kanan (18.13) tidak perlu dituliskan lagi sehingga
θ=θ jAeAcos (18.14)
Relasi (18.14) inilah pernyataan besaran sinusoidal menggunakan bilangan kompleks: A di ruas kiri adalah amplitudo besaran sinusoidal, dan A di ruas kanan adalah panjang vektor pernyataan bilangan komplek secara vektor. Karena dalam pernyataan bilangan kompleks secara vektor θ adalah sudut antara arah vektor dengan sumbu nyata, maka kita dapat menyatakan bilangan kompleks dengan menyatakan panjang vektor dan sudutnya
θ∠=θ AAe j (18.15)
sehingga (18.14) menjadi
θ∠=θ AAcos (18.16)
Dalam besaran-besaran berbentuk sinusoidal dengan amlitudo A, misalnya tegangan sinusoidal, θ merupakan fungsi waktu yang dapat kita tulis
ψ+ω=θ t ; ω adalah frekuensi sudut dalam radian/detik, dan ψ adalah
sudut fasa yaitu pergeseran sudut yang sudah terjadi pada 0=t . Dari (18.16) kita dapat menyatakan
0
)()cos( =ψ∠=ψ+ω∠=ψ+ωt
AtAtA (18.17)
Inilah pernyataan besaran sinusoidal dalam fasor. Dalam menyatakan besaran sinusoidal ke dalam bentuk fasor, kita mengambil bentuk seperti ruas paling kanan (18.17) tanpa menyebut lagi t = 0, karena hanya amplitudo dan sudut fasa sajalah yang membedakan satu besaran sinusoidal
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 252
dengan besaran sinusoidal yang lain, dan perbedaan itu kita amati pada t = 0.
Hubungan antara cosinus dan sinus suatu sudut adalah )2/cos(sin π−ω=ω tt . Oleh karena itu bentuk fasor dari
)2/(adalah )sin( π−ψ∠ψ+ω AtA (18.18)
Dalam analisis rangkaian listrik, penulisan dalam bentuk fasor dilakukan seperti contoh berikut:
β∠=β+ω=α∠=α+ω=
ItIi
VtVv
I
V
menjadi )cos(
menjadi )cos(
Operasi perkalian fasor menjadi lebih mudah dilakukan
)(
,
)(
;
111111
111111111
2121)(
2121
22221111
21
21
β−α∠=×⇒
β−∠=⇒β∠=α∠=
α+α∠==×⇒
=α∠==α∠=
∗
∗
α+α
αα
IV
IIV
VVeVV
eVVeVVj
jj
IV
IIV
VV
VV
Penjumlahan dan pengurangan akan lebih mudah jika fasor-fasor dinyatakan dalam bentuk sudut siku
( ) ( )2211221121
222222
111111
sinsincoscos
)sin(cos
)sin(cos
α+α+α+α=+⇒
α+α=α∠=α+α=α∠=
VVj V V
j VV
j VV
VV
V
V
Selanjutnya lihat ”Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1” pada bab Fasor dan Impedansi.
253
Bab 19 Transformasi Laplace Transformasi Laplace, didefinisikan sebagai suatu integral
∫∞ −=0
)()( dtetfs stF (19.1)
dengan s merupakan peubah kompleks, s = σ + jω. Batas bawah integrasi ini adalah nol yang berarti bahwa dalam kita hanya meninjau besaran dengan nilai lebih besar dari nol. Untuk itu kita menggunakan fungsi anak tangga satuan u(t) untuk menyatakan f(t).
19.1. Transformasi Laplace
Melalui transformasi Laplace kita menyatakan suatu fungsi yang semula dinyatakan sebagai fungsi waktu, t, menjadi suatu fungsi s di mana s adalah peubah kompleks.
Transformasi Laplace dari suatu fungsi f(t) yang didefinisikan sebagai
∫∞ −=0
)()( dtetfs stF kita tuliskan dengan notasi :
∫∞ −==0
)()()]([ dtetfstf stFL (19.2)
Fungsi Tetapan. Kita lihat lebih dulu fungsi tetapan )()( tAutf =
sehingga ∞ω+σ−∞ −∞ −
ω+σ−=== ∫∫
0
)(
00 )(][
j
AedtAedtetAuAu(t)
tjststL
Batas atas, dengan σ > 0, memberikan nilai 0, sedangkan batas bawah memberikan nilai A/s.
Jadi s
AtAu = )]([L (19.3)
Fungsi Eksponensial. Transformasi Laplace fungsi eksponensial
beramplitudo A, yaitu )()( tuAetf at−= adalah ∞+−∞ +−∞ −−−
+−=== ∫∫
0
)(
0
)(
0)( )]([
as
AeAedttueeAtuAe
tastasstatatL
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 254
Dengan a > 0, batas atas memberikan nilai 0 sedangkan batas bawah memberikan A/(s+a).
Jadi as
AtuAe at
+=− ])([L (19.4)
Fungsi Sinus. Transformasi Laplace fungsi sinus
f(t) = (A cos ωt) u(t) adalah :
[ ] dtetAdttuetAtutA stst∫∫
∞ −∞ − ω=ω=ω00
)cos()( )cos( )()cos(L
Dengan memanfaatkan hubungan Euler
2/)(cos tjtj ee ω−ω +=ω
ruas kanan persamaan di atas menjadi
22
)(
0
)(
00
22
2
ω+=
+=+ −ω−∞−ω∞−∞ ω−ω
∫∫∫
s
As
dteA
dteA
dteee
A tsjtsjsttjtj
Jadi [ ]22
)( )cos(ω+
=ωs
sAtutAL (19.5)
Dengan cara yang sama, diperoleh
[ ]22
)( )sin(ω+
ω=ωs
AtutAL (19.6)
19.2. Tabel Transformasi Laplace
Mencari transformasi Laplace dari beberapa di atas merupakan contoh bagaimana suatu transformasi dari fungsi t ke dalam fungsi s dilakukan. Kita lihat bahwa nilai tetapan A, selalu muncul sebagai faktor pengali dalam pernyataan fungsi di kawasan s. Transformasi dari beberapa fungsi yang lain termuat dalam Tabel-19.1. dengan mengambil nilai tetapan A = 1.
255
Tabel-19.1. Pasangan Transformasi Laplace
Pernyataan Fungsi di Kawasan t : f(t)
Pernyataan Fungsi di Kawasan s : L[f(t)]=F(s)
impuls : δ(t) 1
anak tangga : u(t)
s
1
eksponensial : [e−at]u(t) as+
1
cosinus : [cos ωt] u(t) 22 ω+s
s
sinus : [sin ωt] u(t) 22 ω+
ωs
cosinus teredam : [e−atcos ωt] u(t) ( ) 22 ω++
+as
as
sinus teredam : [e−atsin ωt] u(t) ( ) 22 ω++
ωas
cosinus tergeser : [cos (ωt + θ)] u(t) 22
sincos
ω+θω−θ
s
s
sinus tergeser : [sin (ωt + θ)] u(t) 22
cossin
ω+θω+θ
s
s
ramp : [ t ] u(t) 2
1
s
ramp teredam : [ t e−at ] u(t) ( )2
1
as+
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang berikut:
)( 3)( c).
)()10sin(5)( b).
)()10cos(5)( a).
23
2
1
tuetf
tuttf
tuttf
t−=
==
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 256
Solusi : Dengan menggunakan Tabel-3.1 kita peroleh :
2
3)( )( 3)( c).
100s
50
)10(
105 )()()10sin(5)( b).
100
5
)10(
5)()()10cos(5)( a).
32
3
22222
22211
+=→=
+=
+×=→=
+=
+=→=
−s
sFtuetf
ssFtuttf
s
s
s
ssFtuttf
t
19.3. Sifat-Sifat Transformasi Laplace
Sifat Unik. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika f(t) mempunyai transformasi Laplace F(s) maka transformasi balik dari F(s) adalah f(t).
Bukti dari pernyataan ini tidak kita bahas di sini. Sifat ini memudahkan kita untuk mencari F(s) dari suatu fungsi f(t) dan sebaliknya mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) dengan menggunakan tabel transformasi Lapalace. Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) disebut mencari transformasi balik dari F(s), dengan notasi L−1[F(s)] = f(t) . Hal terakhir ini akan kita bahas lebih lanjut setelah membahas sifat-sifat transformasi Laplace.
Sifat Linier. Karena transformasi Laplace adalah sebuah integral, maka ia bersifat linier.
Transformasi Laplace dari jumlah beberapa fungsi t adalah jumlah dari transformasi masing-masing fungsi.
Jika )()()( 2211 tfAtfAtf += maka transformasi Laplace-nya adalah
[ ])()(
)()( )()()(
2211
022
011
02211
sFAsFA
dttfAdttfAdtetfAtfAsF st
+=
+=+= ∫∫∫∞∞∞ −
(19.7)
dengan F1(s) dan F2(s) adalah transformasi Laplace dari f1(t) dan f2(t).
257
CONTOH: a). Carilah transformasi Laplace dari :
)( )31()( 21 tuetv t−+=
b). Jika transformasi Laplace fungsi eksponensial Ae−atu(t) adalah 1/(s+a), carilah transformasi dari v2(t)=Acosωt u(t).
Solusi :
2
31)()( )31()( a). 1
21 +
+=→+= −ss
stuetv t V
( )
22222
2
2
2
11
2)(
)()(2
)(2
)()cos( b).
ω+=
ω+=
ω++
ω−=
+=
+=ω=
ω−ω
ω−ω
s
As
s
sA
jsjs
AsV
tuetueA
tuee
AtutA(t)v
tjtj
tjtj
Integrasi. Transformasi Laplace dari integrasi suatu fungsi dapat kita lihat sebagai berikut.
Misalkan )()(0
1 dxxftft
∫= . Maka
dttfs
edxxf
s
edtedxxfsF
sttststt
∫∫∫ ∫∞ −∞−∞
−−
−
−=
=0
1
00
1
00
1 )()( )()(
Suku pertama ruas kanan persamaan di atas akan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 pada t→∞ , dan juga akan bernilai nol untuk t = 0 karena integral yang di dalam tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol). Tinggallah suku kedua ruas kanan; jadi
s
sFdtetf
sdttf
s
esF st
st )( )(
1 )()( 1
0
1
0
1 ==−
−= ∫∫∞
−∞ −
(19.8)
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi ramp r(t)=tu(t).
Solusi :
Kita mengetahui bahwa fungsi ramp adalah integral dari fungsi anak tangga.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 258
20 0
0
1 )()(
)()()(
sdtedxxusR
dxxuttutr
stt
t
=
=→
==
−∞
∫ ∫
∫
Hasil ini sudah tercantum dalam Tabel.3.1.
Diferensiasi. Transformasi Laplace dari suatu diferensiasi dapat kita lihat sebagai berikut.
Misalkan dt
tdftf
)()( 1= maka
[ ] ∫∫∞ −∞−∞ − −−==0
1010
1 ))(()()(
)( dtestfetfdtedt
tdfsF ststst
Suku pertama ruas kanan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 untuk t→ ∞ , dan bernilai −f(0) untuk t = 0. Dengan demikian dapat kita tuliskan
)0()()0()()(
110
1 fssFfdtetfsdt
tdf st −=−=
∫
∞ −L (19.9)
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi cos(ωt) dengan memandang fungsi ini sebagai turunan dari sin(ωt).
Solusi :
2222)0sin(
1)(
)sin(1)cos()(
ω+=
−ω+
ωω
=→
ωω
=ω=
s
s
sssF
dt
tdttf
Penurunan di atas dapat kita kembangkan lebih lanjut sehingga kita mendapatkan transformasi dari fungsi-fungsi yang merupakan fungsi turunan yang lebih tinggi.
259
)0( )0( )0()()( )(
)( jika
)0( )0()()( )(
)( jika
1112
13
31
3
1112
21
2
ffsfssssdt
tfdtf
fsfsssdt
tfdtf
′′−′−−=→=
′−−=→=
FF
FF (19.10)
Translasi di Kawasan t. Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan translasi di kawasan t ini dapat dinyatakan sebagai berikut
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s), maka transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) untuk a > 0 adalah e−asF(s).
Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut. Menurut definisi, transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) adalah
∫∞ −−−0
)()( dteatuatf st
Karena u(t−a) bernilai nol untuk t < a dan bernilai satu untuk t > a , bentuk integral ini dapat kita ubah batas bawahnya serta tidak lagi menuliskan faktor u(t−a), menjadi
∫∫∞ −∞ − −=−−a
stst dteatfdteatuatf )()()(0
Kita ganti peubah integrasinya dari t menjadi τ dengan suatu hubungan τ = (t−a). Dengan penggantian ini maka dt menjadi dτ dan τ = 0 ketika t = a dan τ = ∞ ketika t = ∞. Persamaan di atas menjadi
)()(
)()()(
0
0
)(
0
sFedefe
defdteatuatf
assas
asst
−∞ τ−−
∞ +τ−∞ −
=ττ=
ττ=−−
∫
∫∫ (19.11)
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang sinyal seperti yang tergambar di samping ini.
Solusi :
Model bentuk gelombang ini dapat kita tuliskan sebagai
)()()( atAutAutf −−= .
f(t) A
0 a →t
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 260
Transformasi Laplace-nya adalah :
s
eA
s
Ae
s
AsF
asas )1(
)(−
− −=−=
Translasi di Kawasan s. Sifat mengenai translasi di kawasan s dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka transformasi Laplace dari e−αtf(t) adalah F(s + α).
Bukti dari pernyataan ini dapat langsung diperoleh dari definisi transformasi Laplace, yaitu
)()()(0
)(
0α+== ∫∫
∞ α+−∞ −α− sFdtetfdtetfe tsstt (19.12)
Sifat ini dapat digunakan untuk menentukan transformasi fungsi teredam jika diketahui bentuk transformasi fungsi tak teredamnya.
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi-fungsi ramp teredam dan sinus teredam berikut ini :
)( cos b). ; )( a). 21 tutevettuv tt ω== α−α−
Solusi :
2222
22
211
2
)()( )( cos)( jika maka
, )()( cos)untuk Karena b).
)(
1)( )()( jika maka
, 1
)( )()(untuk Karena a).
ω+α+α+=⇒ω=
ω+=→ω=
α+=⇒=
=→=
α−
α−
s
ssVtutetv
s
ssVtuttv
ssVettutv
ssFttutv
t
t
(
Pen-skalaan (scaling). Sifat ini dapat dinyatakan sebagai :
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka untuk a
> 0 transformasi dari f(at) adalah
a
sF
a
1.
261
Bukti dari sifat ini dapat langsung diperoleh dari definisinya. Dengan mengganti peubah t menjadi τ = at maka transformasi Laplace dari f(at) adalah:
∫∫∞ τ−∞ −
=ττ=0
0
1)(
1)(
a
sF
adef
adteatf a
sst (19.13)
Jadi, jika skala waktu diperbesar (a > 1) maka skala frekuensi s mengecil dan sebaliknya apabila skala waktu diperkecil (a < 1) maka skala frekuensi menjadi besar.
Nilai Awal dan Nilai Akhir. Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan nilai awal dan nilai akhir dapat dinyatakan sebagai berikut.
0
0
)( lim)(lim :akhir Nilai
)( lim)(lim : awal Nilai
→∞→
∞→+→=
=
st
st
ssFtf
ssFtf
Jadi nilai f(t) pada t = 0+ di kawasan waktu (nilai awal) sama dengan nilai sF(s) pada tak hingga di kawasan s. Sedangkan nilai f(t) pada t = ∞ (nilai akhir) sama dengan nilai sF(s) pada titik asal di kawasan s. Sifat ini dapat diturunkan dari sifat diferensiasi.
CONTOH: Transformasi Laplace dari suatu sinyal adalah
)20)(5(
3100)(
+++=
sss
ssV
Carilah nilai awal dan nilai akhir dari v(t).
Solusi :
Nilai awal adalah :
0 )20)(5(
3100lim)( lim)( lim
0=
+++×==
∞→∞→+→ sss
ssssVtv
sst
Nilai akhir adalah :
3)20)(5(
3100lim)( lim)( lim
0 0 =
+++×==
→→∞→ sss
ssssVtv
sst
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 262
Tabel 19.2. memuat sifat-sifat transformasi Laplace yang dibahas di atas kecuali sifat yang terakhir yaitu konvolusi. Konvolusi akan dibahas di bagian akhir dari pembahasan mengenai transformasi balik.
Tabel 19.2. Sifat-sifat Transformasi Laplace
Pernyataan f(t) Pernyataan F(s) =L[f(t)]
linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) A1F1(s) + A2 F2(s)
integrasi : ∫t
dxxf0
)( s
sF )(
diferensiasi : dt
tdf )( )0()( −− fssF
2
2 )(
dt
tfd
)0()0()(2 −− ′−− fsfsFs
3
3 )(
dt
tfd
)0()0(
)0()( 23
−−
−
′′−−
−
fsf
fssFs
linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) A1F1(s) + A2 F2(s)
translasi di t: [ ] )()( atuatf −− )(sFe as−
translasi di s : )(tfe at− )( asF +
penskalaan : )(atf
a
sF
a
1
nilai awal : 0
)(lim+→t
tf )( lim
∞→sssF
nilai akhir :
)(lim∞→t
tf 0)( lim
→sssF
konvolusi : dxxtfxft
)()(0
21 −∫ )()( 21 sFsF
263
19.4. Transformasi Balik
Berikut ini kita akan membahas mengenai transformasi balik, yaitu mencari f(t) dari suatu F(s) yang diketahui. Jika F(s) yang ingin dicari transformasi baliknya ada dalam tabel transformasi Laplace yang kita punyai, pekerjaan kita cukup mudah. Akan tetapi pada umumnya F(s) berupa rasio polinomial yang bentuknya tidak sederhana dan tidak selalu ada pasangannya seperti dalam tabel. Untuk mengatasi hal itu, F(s) kita uraikan menjadi suatu penjumlahan dari bentuk-bentuk yang ada dalam tabel, sehingga kita akan memperoleh f(t) sebagai jumlah dari bentuk-bentuk fungsi sederhana. Dengan perkataan lain kita membuat F(s) menjadi transformasi dari suatu gelombang komposit dan kelinieran dari transformasi Laplace akan memberikan transformasi balik dari F(s) yang berupa jumlah dari bentuk-bentuk gelombang sederhana.
Pole dan Zero. Tentang pole dan zero telah kita pelajari di bab sebelumnya. Pada umumnya, transformasi Laplace berbentuk rasio polinom
011
1
011
1)(asasasa
bsbsbsbsF
nn
nn
mm
mm
++++++++= −
−
−−
L
L (19.14)
yang masing-masing polinom dapat dinyatakan dalam bentuk faktor menjadi
)())((
)())(()(
21
21
n
m
pspsps
zszszsKsF
−−−−−−=
L
L (19.15)
dengan K = bm/an dan disebut faktor skala.
Akar-akar dari pembilang dari pernyataan F(s) di atas memberikan zero sedangkan akar-akar dari penyebut memberikan pole. Pole dan zero disebut frekuensi kritis karena pada nilai-nilai itu F(s) menjadi nol atau tak-hingga.
CONTOH: Gambarkan diagram pole-zero dari
ssF
bas
asAsF
ssF
1)( c).
)(
)()( b).
1
1)( a).
22
=
+++=
+=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 264
Solusi :
a). Fungsi ini mempunyai pole di s = −1 tanpa zero
tertentu.
b). Fungsi ini mempunyai zero di s = −a. Pole dapat dicari dari
jbasbas ±−=→=++ di pole 0)( 22
c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu sedangkan pole terletak di titik asal, s = 0 + j0.
Bentuk Umum F(s). Bentuk umum F(s) adalah seperti (19.15) yaitu
)())((
)())(()(
21
21
n
m
pspsps
zszszsKsF
−−−−−−=
L
L
Jika fungsi ini memiliki pole yang semuanya berbeda, jadi pi ≠ pj untuk i ≠ j , maka dikatakan bahwa F(s) mempunyai pole sederhana. Jika ada pole yang berupa bilangan kompleks kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai pole kompleks. Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai pole ganda.
Fungsi Dengan Pole Sederhana. Apabila fungsi rasional F(s) hanya mempunyai pole sederhana, maka ia dapat diuraikan menjadi berbentuk
)()()()(
2
2
1
1
n
n
ps
k
ps
k
ps
ksF
−++
−+
−= L (19.16)
Jadi F(s) merupakan kombinasi linier dari beberapa fungsi sederhana; konstanta k yang berkaitan dengan setiap fungsi pembangun F(s) itu kita sebut residu. Kita ingat bahwa transformasi balik dari masing-masing fungsi sederhana itu berbentuk ke−αt. Dengan demikian maka transformasi balik dari F(s) menjadi
σ
jω
× −1
σ
jω
σ
jω
+jb
−a −jb
265
tpn
tptp nekekektf +++= L2121)( (19.17)
Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menentukan residu. Untuk mencari k1, kita kalikan kedua ruas (19.16) dengan (s − p1) sehingga faktor (s− p1) hilang dari ruas kiri sedangkan ruas kanan menjadi k1 ditambah suku-suku lain yang semuanya mengandung faktor (s− p1). Kemudian kita substitusikan s = p1 sehingga semua suku di ruas kanan bernilai nol kecuali k1 dan dengan demikian diperoleh nilai k1. Untuk mencari k2, kita kalikan kedua ruas (19.16) dengan (s − p2) kemudian kita substitusikan s = p2; demikian seterusnya sampai semua nilai k diperoleh, dan transformasi balik dapat dicari.
CONTOH: Carilah f(t) dari fungsi transformasi berikut.
)4)(1(
)2(6)( c).
;)3)(1(
)2(4)( b). ;
)3)(1(
4)( a).
+++=
+++=
++=
sss
ssF
ss
ssF
sssF
Solusi :
a). 31)3)(1(
4)( 21
++
+=
++=
s
k
s
k
sssF
231
41 substitusi
)1(3)3(
4 )1()(
11
21
=→=+−
→−=→
++
+=+
→+×→
kks
ss
kk
sssF
tt eetfss
sF
kksssF
3
22
22)( 3
2
1
2)(
213
43 substitusidan )3()(
−− −=⇒+
−++
=⇒
−=→=+−
→−=+×→
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 266
b). 31)3)(1(
)2(4)( 21
++
+=
+++=
s
k
s
k
ss
ssF
tt eetfss
sF
kksssF
kksssF
3
22
11
22)( 3
2
1
2)(
213
)23(43 substitusidan )3()(
231
)21(41 substitusidan )1()(
−− +=⇒+
++
=⇒
=→=+−+−→−=+×→
=→=+−+−→−=+×→
c). 41)4)(1(
)2(6)( 321
++
++=
+++=
s
k
s
k
s
k
sss
ssF
Dengan cara seperti di a) dan b) kita peroleh
tt
s
ss
eetfsss
sF
ss
sk
ss
sk
ss
sk
4
43
12
01
23)( 4
1
1
23)(
1)1(
)2(6
; 2)4(
)2(6 ; 3
)4)(1(
)2(6
−−
−=
−==
−−=→+−+
+−+=⇒
−=++=
−=++==
+++=→
Fungsi Dengan Pole Kompleks. Fungsi F(s) merupakan rasio polinomial dengan koefisien nyata. Jika F(s) mempunyai pole kompleks yang berbentuk p = −α + jβ, maka ia juga harus mempunyai pole lain yang berbentuk p* = −α − jβ; sebab jika tidak maka koefisien polinomial tersebut tidak akan nyata. Jadi pole kompleks dari F(s) haruslah berpasangan konjugat. Oleh karena itu uraian F(s) harus mengandung dua suku yang berbentuk
LL +β+α+
+β−α+
+=js
k
js
ksF
*)( (19.18)
Residu k dan k* pada pole konjugat juga merupakan residu konjugat sebab F(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini dapat kita cari dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian fungsi dengan pole sederhana. Kita cukup mencari salah satu residu dari pole kompleks karena residu yang lain merupakan konjugatnya.
267
Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks akan berupa cosinus teredam. Tansformasi balik dari dua suku pada (19.18) adalah
)cos(2 2
2
*)(
)()(
))(())((
)()(
)()(
θ+β=+=
+=
+=
+=
α−θ+β−θ+β
α−
θ+β+α−θ+β−α−
β+α−θ−β−α−θ
β+α−β−α−
ttjtj
t
tjtj
tjjtjj
tjtjk
ekee
ek
ekek
eekeek
ekketf
Jadi f(t) dari (19.18) akan berbentuk :
LL +θ+β+= α− )cos(2)( tektf
CONTOH: Carilah transformasi balik dari
)84(
8)(
2 ++=
ssssF
Solusi : Fungsi ini mempunyai pole sederhana di s = 0, dan pole kompleks yang dapat ditentukan dari faktor penyebut yang berbentuk kwadrat, yaitu
222
32164js ±−=−±−=
Uraian dari F(s), penentuan residu, serta transformasi baliknya adalah sebagai berikut.
18
8
)84(
8
2222)84(
8)(
021
2212
==×++
=→
+++
−++=
++=
=
∗
s
ssss
k
js
k
js
k
s
k
ssssF
)4/3(2
)4/3(
22
2222
2
2
2
2
88
8
)22(
8
)22()84(
8
π−∗
π
+−=
+−=
=→
=−−
=++
=
−+×++
=→
j
j
js
js
ek
ejjss
jssss
k
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 268
[ ])4/32cos(2)(
2
2)(
2
2
2
2)(
2
)24/3()24/3(2
)22()4/3()22()4/3(
π++=
++=
++=⇒
−
+π−+π−
+−π−−−π
tetu
eeetu
eeeetuf(t)
t
tjtjt
tjjtjj
Fungsi Dengan Pole Ganda. Pada kondisi tertentu, fungsi F(s) dapat mempunyai pole ganda. Penguraian F(s) yang demikian ini dilakukan dengan “memecah” faktor yang mengandung pole ganda dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk fungsi dengan pole sederhana yang dapat diuraikan seperti biasanya. Untuk jelasnya kita ambil suatu fungsi yang mengandung pole ganda (dua pole sama) seperti berikut ini.
221
1
))((
)()(
psps
zsKsF
−−−= (19.19)
Dengan mengeluarkan salah satu faktor yang mengandung pole ganda kita dapatkan
−−−
−=
))((
)(1)(
21
1
2 psps
zsK
pssF (19.20)
Bagian yang didalam tanda kurung dari (19.20) mengandung pole sederhana sehingga kita dapat menguraikannya seperti biasa.
2
2
1
1
21
11 ))((
)()(
ps
k
ps
k
psps
zsKsF
−+
−=
−−−= (19.21)
Residu pada (19.21) dapat ditentukan, misalnya k1 = A dan k2 = B , dan faktor yang kita keluarkan kita masukkan kembali sehingga (19.20) menjadi
2212212 )())((
1)(
ps
B
psps
A
ps
B
ps
A
pssF
−+
−−=
−+
−−=
dan suku pertama ruas kanan diuraikan lebih lanjut menjadi
222
12
1
11
)()(
ps
B
ps
k
ps
ksF
−+
−+
−= (19.22)
269
Transformasi balik dari (19.22) adalah
tptptp Bteekektf 2211211)( ++=
CONTOH: Tentukan transformasi balik dari fungsi:
2)2)(1()(
++=
ss
ssF
Solusi :
2)1(
1)2(
21)2(
1
)2)(1()2(
1
)2)(1()(
22
11
21
2
=+
=→−=+
=→
++
++=
+++=
++=
−=−= ss s
sk
s
sk
s
k
s
k
s
ss
s
sss
ssF
21211
2
)2(
2
21
)2(
2
)2)(1(
1
2
2
1
1
)2(
1)(
++
++
+=
++
++−=
++
+−
+=⇒
ss
k
s
k
sssssssF
ttt
ss
teeetfsss
sF
sk
sk
222
212
111
2)( )2(
2
2
1
1
1)(
11
1 1
2
1
−−−
−=−=
++−=⇒+
++
++
−=⇒
=+
−=→−=+−=→
Konvolusi. Transformasi Laplace menyatakan secara timbal balik bahwa
)()((s) maka )()()( jika 2121 sFsFFtftftf +=+=)()((t) maka )()()( jika 2121 tftffsFsFsF +=+=
Kelinieran dari transformasi Laplace ini tidak mencakup perkalian. Jadi
)()()( maka )()()( jika 2121 tftftfsFsFsF ≠=
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 270
Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) yang merupakan hasil kali dua fungsi s yang berlainan, melibatkan sifat transformasi Laplace yang kita sebut konvolusi. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
[ ] ∫∫ ττ−τ=ττ−τ=
=
=− ttdtffdtfftfsF
sFsFsF
012
021
1
21
)()( )()()()(
maka )()()( jika
L (19.23)
Kita katakan bahwa transformasi balik dari perkalian dua F(s) diperoleh dengan melakukan konvolusi dari kedua bentuk gelombang yang bersangkutan. Kedua bentuk integral pada (19.23) disebut integral konvolusi.
Pandanglah dua fungsi waktu f1(t) dan f2(t). Transformasi Laplace masing-masing adalah
∫∞ τ− ττ=0
11 )()( defsF s dan ∫∞ −=0
22 )()( dtetfsF st .
Jika kedua ruas dari persamaan pertama kita kalikan dengan F2(s) akan kita peroleh
∫∞ τ− ττ=0
2121 )( )()()( dsFefsFsF s
Sifat translasi di kawasan waktu menyatakan bahwa e−sτ F2(s) adalah transformasi Laplace dari [ f2(t−τ) ] u(t−τ) sehingga persamaan tersebut dapat ditulis
∫ ∫∞ ∞ − τ
τ−τ−τ=0 0
2121 )()()()()( ddtetutffsFsF st
Karena untuk τ > t nilai u(t−τ) = 0, maka integrasi yang berada di dalam kurung pada persamaan di atas cukup dilakukan dari 0 sampai t saja, sehingga
∫ ∫
∫ ∫∞ −
∞ −
τ
τ−τ=
τ
τ−τ=
0 021
0 02121
)()(
)()()()(
ddtetff
ddtetffsFsF
t st
t st
Dengan mempertukarkan urutan integrasi, kita peroleh
271
ττ−τ=
ττ−τ= ∫∫ ∫∞ − tstt
dtffdtedtffsFsF0
210 0
2121 )()( )()()()( L
CONTOH: Carilah f(t) dari F(s) berikut.
)(
1)( c).
))((
1)( b).
)(
1)( a).
2
2
asssF
bsassF
assF
+=
++=
+=
Solusi : a). Fungsi ini kita pandang sebagai perkalian dari dua fungsi.
attatt axatax
t xtaaxt
at
tedxedxe
dxeedxxtfxftf
etftf
assFsFsFsFsF
−−+−−
−−−
−
===
=−=⇒
==→
+===
∫∫
∫∫
00
0
)(
021
21
2121
)()()(
)()(
)(
1)()(dengan )()()(
b). Fungsi ini juga merupakan perkalian dari dua fungsi.
btat etfetf
bssF
assF
sFsFsF
−− ==→
+=
+=
=
)(dan )(
)(1
)(dan )(
1)(
dengan )()()(
21
21
21
( )ba
ee
ba
ee
ba
eedxee
dxeedxxtfxftf
btattbabt
txbabtt xbabt
t xtbaxt
+−−=
+−−=
+−==
=−=⇒
−−+−−
+−−+−−
−−−
∫
∫∫
1
)()()(
)(
0
)(
0
)(
0
)(
021
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 272
c). Fungsi ketiga ini juga dapat dipandang sebagai perkalian dua fungsi.
22
020
0
00
)(
021
21
22121
1
10
0
)()()(
)(dan )(
1)(dan
1)(dengan )()()(
a
eat
a
e
a
tee
a
e
a
teedx
a
e
a
xee
dxxeedxxedxxtfxftf
etfttf
assF
ssFsFsFsF
atatatat
taxatatt axtax
at
t axatt xtat
at
−−
−−
−−−
−
+−=
−−−=
−−=
−=
==−=⇒
==→
+===
∫
∫∫∫
273
Bab 20 Deret dan Transformasi Fourier
Pada kasus tertentu dijumpai keadaan dimana pemecahan persoalan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan transformasi Laplace akan tetapi dapat dilakukan melalui transformasi Fourier. Topik-topik yang akan kita bahas berikut ini meliputi: deret Fourier, transformasi Fourier, sifat-sifat transformasi Fourier.
20.1. Deret Fourier
Koefisien Fourier. Suatu fungsi periodik dapat diuraikan menjadi komponen-komponen sinus. Penguraian ini tidak lain adalah pernyataan fungsi periodik kedalam deret Fourier. Jika f(t) adalah fungsi periodik yang memenuhi persyaratan Dirichlet, maka f(t) dapat dinyatakan sebagai deret Fourier :
[ ]∑∞
=ω+ω+=
1000 )sin()cos()(
nnn tnbtnaatf (20.1)
yang dapat kita tuliskan sebagai
( )∑∞
=
θ−ω++=
10
220 )cos()(
nnnn tnbaatf (20.2)
Koefisien Fourier a0, an, dan bn ditentukan dengan hubungan berikut.
∫
∫
∫
−
−
−
>ω=
>ω=
=
2/
2/0
0
2/
2/0
0
2/
2/00
0
0
0
0
0
0
0 ; )sin()(2
0 ; )cos()(2
)(1
T
Tn
T
Tn
T
T
ndttntfT
b
ndttntfT
a
dttfT
a
(20.3)
Hubungan (20.3) dapat diperoleh dari (20.1). Misalkan kita mencari an: kita kalikan (20.1) dengan cos(kωot) kemudian kita integrasikan antara −To/2 sampai To/2 dan kita akan memperoleh
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 274
∑∫
∫
∫∫
∞
=−
−
−−
ωω+
ωω+
ω=ω
12/
2/o0
2/
2/o0
2/
2/o0
2/
2/o
o
o
o
o
o
o
o
o
)cos()sin(
)cos()cos(
)cos()cos()(
nT
Tn
T
Tn
T
T
T
T
dttktnb
dttktna
dttkadttktf
Dengan menggunakan kesamaan tigonometri
)sin(2
1)sin(
2
1sincos
)cos(2
1)cos(
2
1coscos
β+α+β−α=βα
β+α+β−α=βα
maka persamaan di atas menjadi
( )
( )∑
∫
∫
∫∫
∞
=−
−
−−
ω++ω−+
ω++ω−+
ω=ω
12/
2/o0
2/
2/o0
2/
2/o0
2/
2/o
o
o
o
o
o
o
o
o
))sin(())sin((2
))cos(())cos((2
)cos()cos()(
nT
T
n
T
T
n
T
T
T
T
dtdttkntknb
dttkntkna
dttkadttktf
Karena integral untuk satu perioda dari fungsi sinus adalah nol, maka semua integral di ruas kanan persamaan ini bernilai nol kecuali satu yaitu
( ) kna
dttkna nT
T
n ==ω−∫− jika terjadiyang 2
))cos((2
2/
2/0
o
o
oleh karena itu ∫− ω=2/
2/0
o
o
o
)cos()(2 T
Tn dttntf
Ta
Pada fungsi-fungsi yang sering kita temui, banyak diantara koefisien-koefisien Fourier-nya bernilai nol. Keadaan ini ditentukan oleh kesimetrisan fungsi f(t) . Kita akan melihatnya dalam urain berikut ini.
20.2. Kesimetrisan Fungsi Simetri Genap. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri genap jika f(t) = f(−t). Salah satu contoh fungsi yang memiliki simetri genap adalah fungsi cosinus, cos(ωt) = cos(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari (1) kita dapatkan
275
[ ]
[ ]∑
∑∞
=
∞
=
ω−ω+=−
ω+ω+=
1000
1000
)sin()cos()(
dan )sin()cos()(
nnn
nnn
tnbtnaatf
tnbtnaatf
Kalau kedua fungsi ini harus sama, maka haruslah bn = 0, dan f(t) menjadi
[ ]∑∞
=ω+=
10o )cos()(
nn tnaatf (20.4)
CONTOH: Tentukan deret Fourier dari bentuk gelombang deretan pulsa berikut ini.
Solusi : Bentuk gelombang ini memiliki simetri genap, amplitudo A, perioda To , lebar pulsa T.
ππ
=
ππ
=
ωω
=ω=
====
−−
−−
∫
∫
oo
2/2/o
oo
2/
2/o
o
o
2/
2o
2/
2/oo
sin2
sin2
sin2
)cos(2
; 0 ; 1
T
Tn
n
A
T
Tn
n
A
tnnT
AdttnA
Ta
bT
AT
T
AtAdt
Ta
TT
T
Tn
n
T
T/
T
T
Untuk n = 2, 4, 6, …. (genap), an = 0; an hanya mempunyai nilai untuk n = 1, 3, 5, …. (ganjil).
( ) )cos(12
)cos(sin2
)(
o,1
2/)1(
o
o,1 oo
tnn
A
T
AT
tnT
Tn
n
A
T
ATtf
ganjiln
n
ganjiln
ω−π
+=
ω
ππ
+=
∑
∑∞
=
−
∞
=
Pemahaman :
−T/2 0 T/2
v(t)
A
T
To
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 276
Pada fungsi yang memiliki simetri genap, bn = 0. Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = 0 yang berarti θn = 0o.
Simetri Ganjil. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri ganjil jika f(t) = −f(−t). Contoh fungsi yang memiliki simetri ganjil adalah fungsi sinus, sin(ωt) = −sin(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari (1) kita dapatkan
[ ]∑∞
=ω+ω−+−=−−
1000 )sin()cos()(
nnn tnbtnaatf
Kalau fungsi ini harus sama dengan
[ ]∑∞
=ω+ω+=
1000 )sin()cos()(
nnn tnbtnaatf
maka haruslah
[ ] )sin()( 0dan 01
00 ∑∞
=ω=⇒==
nnn tnbtfaa (20.5)
CONTOH: Carilah deret Fourier dari bentuk gelombang persegi di samping ini.
Solusi:
Bentuk gelombang ini memiliki simetri ganjil, amplitudo A, perioda To = T.
; 0 ; 0o == naa
( ))cos(2)(cos1
)cos()cos(2
)sin()sin( 2
2
2/o2/
0oo
2/o
2/
0o
π−π+π
=
ω+ω−
ω=
ω−+ω= ∫∫
nnn
A
tntnTn
A
dttnAdttnAT
b
TT
T
T
T
Tn
Untuk n ganjil cos(nπ) = −1 sedangkan untuk n genap cos(nπ) = 1. Dengan demikian maka
v(t)
t
T A
−A
277
( )
( ) genap untuk 0211
ganjil untuk 4
211
nn
Ab
nn
A
n
Ab
n
n
=−+π
=
π=++
π=
∑∞
=ω
π=⇒
ganjiln
tnn
Atv
,1o )sin(
4)(
Pemahaman: Pada bentuk gelombang dengan semetri ganjil, an = 0. Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = ∞ atau θn = 90o.
Simetri Setengah Gelombang. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri setengah gelombang jika f(t) = −f(t−To/2). Fungsi dengan sifat ini tidak berubah bentuk dan nilainya jika diinversi kemudian digeser setengah perioda. Fungsi sinus(ωt) misalnya, jika kita kita inversikan kemudian kita geser sebesar π akan kembali menjadi sinus(ωt). Demikain pula halnya dengan fungsi-fungsi cosinus, gelombang persegi, dan gelombang segitiga.
[ ]
[ ]∑
∑∞
=
∞
=
ω−−ω−−+−=
π−ω−π−ω−+−=−−
1000
1000o
)sin()1()cos()1(
))(sin())(cos()2/(
nn
nn
n
nnn
tnbtnaa
tnbtnaaTtf
Kalau fungsi ini harus sama dengan
[ ]∑∞
=ω+ω+=
1000 )sin()cos()(
nnn tnbtnaatf
maka haruslah ao = 0 dan n harus ganjil. Hal ini berarti bahwa fungsi ini hanya mempunyai harmonisa ganjil saja.
Berikut ini diberikan formula untuk menentukan koefisien Fourier pada beberapa bentuk gelombang periodik. Bentuk-bentuk gelombang yang tercantum disini adalah bentuk gelombang yang persamaan matematisnya mudah diperoleh, sehingga pencarian koefisien Fourier menggunakan hubungan (20.3) dapat dilakukan.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 278
Penyearahan Setengah Gelombang:
Sinyal ini tidak simetris terhadap sumbu waktu; oleh karena itu 00 ≠a . Perhitungan a0, an, bn lebih mudah dilakukan dengan menggunakan relasi (3.12).
Penyearahan Gelombang Penuh Sinyal Sinus:
Sinyal ini memiliki simetri genap sehingga ia tidak mengandung komponen sinus; bn = 0 untuk semua n. Ia tidak simetris terhadap sumbu
waktu oleh karena itu 00 ≠a , dengan nilai dua kali lipat dari penyearahan setengah gelombang. Demikian pula halnya an untuk n genap bernilai dua kali lipat dari penyearahan setengah gelombang.
Sinyal Persegi:
Sinyal persegi yang tergam-bar ini memiliki simetri ganjil. Ia tidak mengandung komponen cosinus; an = 0 untuk semua n. Ia simetris terhadap sumbu waktu, jadi a0 = 0.
genap 0 ganjil; 4
; semua 0
00
nbnn
Ab
na
a
nn
n
=π
=
==v
T0
At
nb
nann
Aa
Aa
n
nn
semuauntuk 0
ganjil 0 genap; 1
/4
/2
2
0
=
=−
π=
π=
T0
A
t
v
1 0 ; 2/
ganjil 0 genap; 1
/2
/
1
2
0
≠==
=−
π=
π=
nbAb
nann
Aa
Aa
n
nn
T0
t
v
279
Deretan Pulsa:
Sinyal yang tergambar ini memiliki simetri genap; bn = 0 untuk semua n.
Ia tidak simetris terhadap sumbu waktu, oleh karena itu 00 ≠a .
Sinyal Segitiga:
Sinyal segitiga yang tergambar ini mempunyai simetri genap; bn = 0 untuk semua n. Ia simetris terhadap sumbu waktu; a0 = 0.
Sinyal Gigi Gergaji:
Sinyal ini tidak simetris terhadap sumbu waktu; a0 = A / 2. Ia memiliki simetri ganjil; an = 0 untuk semua n.
20.3. Deret Fourier Bentuk Eksponensial
Deret Fourier dalam bentuk seperti (20.1) sering disebut sebagai bentuk sinus-cosinus. Bentuk ini dapat kita ubah kedalam cosinus seperti (20.2). Sekarang bentuk (20.2) akan kita ubah ke dalam bentuk eksponensial dengan menggunakan hubungan
nn
Ab
na
Aa
n
n
semuauntuk
semuauntuk 0
2/0
π−=
==
T0
A
t
v
nb
nann
Aa
a
n
n
semuauntuk 0
genap 0 ganjil; )(
8
0
n2
0
=
=π
=
=v
t
T0
A
semuauntuk 0
sin2
/
0
00
nb
T
Tn
n
Aa
TATa
n
n
=
ππ
=
=v
t
T0
A
T
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 280
2cos
α−α +=αjj ee
.
Dengan menggunakan relasi ini maka (20.2) akan menjadi
( )
∑∑
∑
∑
∞
=
θ−ω−∞
=
θ−ω
∞
=
θ−ω−θ−ω
∞
=
++
++=
+++=
θ−ω++=
1
)(22
1
)(22
0
1
)()(22
0
10
220
00
00
22
2
)cos()(
n
tnjnn
n
tnjnn
n
tnjtnj
nn
nnnn
nn
nn
eba
eba
a
eebaa
tnbaatf
(20.6)
Suku ketiga (20.6) adalah penjumlahan dari n = 1 sampai n =∞. Jika penjumlahan ini kita ubah mulai dari n = −1 sampai n = −∞, dengan penyesuaian an menjadi a−n , bn menjadi b−n , dan θn menjadi θ−n, maka menurut (20.3) perubahan ini berakibat
tan
)sin()(2
)sin()(2
)cos()(2
)cos()(2
2/
2/0
0
2/
2/0
0
2/
2/0
0
2/
2/0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
nnn
n
n
nn
T
T
T
Tn
nT
T
T
Tn
a
b
a
b
bdttntfT
dttntfT
b
adttntfT
dttntfT
a
θ−=θ⇒−
==θ
−=ω−=ω−=
=ω=ω−=
−−
−−
−−−
−−−
∫∫
∫∫
(20.7) Dengan (20.7) ini maka (20.6) menjadi
∑∑∞−
−=
θ−ω∞
=
θ−ω
++
+=
1
)(22
0
)(22
00
22)(
n
tnjnn
n
tnjnn nn eba
eba
tf
(20.8)
Suku pertama dari (20.8) merupakan penjumlahan yang kita mulai dari n = 0 untuk memasukkan a0 sebagai salah satu suku penjumlahan ini. Dengan cara ini maka (20.8) dapat ditulis menjadi
281
∑∑∞+
−∞=
ω∞+
−∞=
ωθ− =
+=
n
tnj
n
tnjjnn eceeba
tf n )(n
)(22
00 2
)( (20.9)
Inilah bentuk eksponensial deret Fourier, dengan cn adalah koefisien Fourier yang mungkin berupa besaran kompleks.
22
22nnjnn
njba
eba
c−=
+= θ− (20.10)
0 jika tan ;0 jika tan
dengan dan 2
1n
1n
22
>
=θ<
−=θ
θ=∠+
=
−−n
n
nn
n
n
nnnn
n
aa
ba
a
b
cba
c (20.11)
Jika an dan bn pada (20.3) kita masukkan ke (20.10) akan kita dapatkan
∫−ω−=−=
2/
2/0
0
0
)(1
2
T
T
tjnnnn dtetf
T
jbac n (20.12)
dan dengan (20.12) ini maka (20.9) menjadi
∑ ∫∑+∞
−∞=
ω−
ω−+∞
−∞=
ω
==
n
tnjT
T
tjn
n
tnj edtetfT
ectf )(2/
2/0
)(n
00
0
o0 )(1
)( (20.13)
Persamaan (20.11) menunjukkan bahwa 2|cn| adalah amplitudo dari harmonisa ke-n dan sudut fasa harmonisa ke-n ini adalah ∠cn. Persamaan (20.10) ataupun (20.12) dapat kita pandang sebagai pengubahan sinyal periodik f(t) menjadi suatu spektrum yang terdiri dari spektrum amplitudo dan spektrum sudut fasa seperti telah kita kenal di Bab-1. Persamaan (20.9) ataupun (20.13) memberikan f(t) apabila komposisi harmonisanya cn diketahui. Persamaan (20.12) menjadi cikal bakal transformasi Fourier, sedangkan persamaan (20.13) adalah transformasi baliknya.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 282
CONTOH: Carilah koefisien Fourier cn dari fungsi pada contoh-10.1.
Solusi :
( )2/sin2
1
ooo
2/2/
oo
2/
2/oo
2/
2/o
oo
oo
TnTn
A
j
ee
Tn
A
jn
e
T
AdteA
Tc
TjnTjn
T
T
tjnT
T
tjnn
ωω
=
−ω
=
ω−==
ω−ω−
ω−
−ω−
∫
20.4. Transformasi Fourier
Spektrum Kontinyu. Deret Fourier, yang koefisiennya diberikan oleh (20.12) hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sinyal-sinyal aperiodik seperti sinyal eksponensial dan sinyal anak tangga tidak dapat direpresentasikan dengan deret Fourier. Untuk menangani sinyal-sinyal demikian ini kita memerlukan transformasi Fourier dan konsep spektrum kontinyu. Sinyal aperiodik dipandang sebagai sinyal periodik dengan perioda tak-hingga.
Jika diingat bahwa ω0 = 2π/T0 , maka (20.13) menjadi
∑ ∫
∑ ∫∞
−∞=
ω−
ω−
∞
−∞=
ω−
ω−
ω
π=
=
n
tjnT
T
tjn
n
tjnT
T
tjn
edtetf
edtetfT
tf
00
0
0
00
0
0
)(2
1
)(1
)(
02/
2/
2/
2/0 (20.14)
Kita lihat sekarang apa yang terjadi jika perioda T0 diperbesar. Karena ω0 = 2π/T0 maka jika T0 makin besar, ω0 akan makin kecil. Beda frekuensi antara dua harmonisa yang berturutan, yaitu
0000
2)1(
Tnn
π=ω=ω−ω+=ω∆
juga akan makin kecil yang berarti untuk suatu selang frekuensi tertentu jumlah harmonisa semakin banyak. Oleh karena itu jika perioda sinyal T0 diperbesar menuju ∞ maka spektrum sinyal menjadi spektrum kontinyu, ∆ω menjadi dω (pertambahan frekuensi infinitisimal), dan nω0 menjadi
283
peubah kontinyu ω. Penjumlahan pada (20.14) menjadi integral. Jadi dengan membuat T0 → ∞ maka (20.14) menjadi
∫∫ ∫∞
∞−ω∞
∞−ω∞
∞−ω− ωω
π=ω
π= deFdedtetftf tjtjtj )(
2
1 )(
2
1)( (20.15)
dengan F(ω) merupakan sebuah fungsi frekuensi yang baru, sedemikian rupa sehingga
∫∞
∞−ω−=ω dtetfF tj )()( (20.16)
dan F(ω) inilah transformasi Fourier dari f(t), yang ditulis dengan notasi
[ ] )()( ω= FtfF
Proses transformasi balik dapat kita lakukan melalui persamaan (20.15).
)()( 1 ω= −Ftf
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari bentuk gelombang pulsa di samping ini.
Solusi :
Bentuk gelombang ini adalah aperiodik yang hanya mempunyai nilai antara −T/2 dan +T/2, sedangkan untuk t yang lain nilainya nol. Oleh karena itu integrasi yang diminta oleh (20.16) cukup dilakukan antara −T/2 dan +T/2 saja.
2/
)2/sin(
22/ )(
2/2/2/
2/
2/
2/
T
TAT
j
eeAe
j
AdteAF
TjTjT
T
tjT
T
tj
ωω=
−ω
=ω
−==ωω−ω
−
ω−−
ω−∫
Kita bandingkan transformasi Fourier (20.16)
∫∞
∞−ω−=ω dtetfF tj )()(
dengan koefisien Fourier
∫−ω−=
−=
2/
2/0
0
0
)(1
2
T
T
tjnnnn dtetf
T
jbac n
(20.17)
−T/2 0 T/2
v(t)
A
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 284
Koefisien Fourier cn merupakan spektrum sinyal periodik dengan perioda
T0 yang terdiri dari spektrum amplitudo |cn| dan spektrum sudut fasa ∠cn,
dan keduanya merupakan spektrum garis (tidak kontinyu, memiliki nilai
pada frekuensi-frekuensi tertentu yang diskrit). Sementara itu
transformasi Fourier F(ω) diperoleh dengan mengembangkan perioda
sinyal menjadi tak-hingga guna mencakup sinyal aperiodik yang kita
anggap sebagai sinyal periodik yang periodenya tak-hingga. Faktor 1/T0
pada cn dikeluarkan untuk memperoleh F(ω) yang merupakan spektrum
kontinyu, baik spektrum amplitudo |F(jω)| maupun spektrum sudut fasa
∠ F(ω).
CONTOH: Gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal pada contoh
sebelumnya.
Solusi :
Spektrum amplitudo
sinyal aperiodik ini
merupakan spektrum
kontinyu |F(jω)|.
2/
)2/sin()(
T
TAT
ωω=ωF
Pemahaman:
Sinyal ini mempunyai simetri genap. Sudut fasa harmonisa adalah
nol sehingga spektrum sudut fasa tidak digambarkan. Perhatikan
pula bahwa |F(ω)| mempunyai spektrum di dua sisi, ω positif
maupun negatif; nilai nol terjadi jika sin(ωT/2)=0 yaitu pada ω =
±2kπ/T (k = 1,2,3,…); nilai maksimum terjadi pada ω = 0, yaitu pada
waktu nilai sin(ωT/2)/(ωT/2) = 1.
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = [A e−αt ] u(t) dan
gambarkan spektrum amplitudo dan fasanya.
Solusi :
-50
|F(ω)|
T
π−2
T
π−4
T
π−6
T
π2
T
π4
T
π60 ω
285
0untuk
)()(
0
)(
0
)(
>αω+α
=ω+α
−=
==ω
∞ω+α−
∞ ω+α−∞
∞−ω−α− ∫∫
j
A
j
eA
dtAedtetuAeF
tj
tjtjt
αω−=ω∠=ωθ⇒
ω+α=ω⇒
−1
22
tan)()(
||)(
jF
AF
Pemahaman:
Untuk α < 0, tidak ada transformasi Fourier-nya karena integrasi
menjadi tidak konvergen.
20.3. Transformasi Balik
Pada transformasi Fourier transformasi balik sering dilakukan dengan
mengaplikasikan relasi formalnya yaitu persamaan (20.15). Hal ini dapat
dimengerti karena aplikasi formula tersebut relatif mudah dilakukan
CONTOH: Carilah f(t) dari
)(2)( ωπδ=ωF
Solusi:
+90o
−90o
θ(ω) 90 |F(ω)|
ω
A/α 25
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 286
1 )1)((
)(22
1 )(2
2
1)(
0
0
=ωωδ=
ωωπδπ
=ωωπδπ
=
∫
∫∫+
−
+
−
α
α
ω∞
∞−ω
d
dedetf tjtj
Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya
mempunyai nilai di ω=0 sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga hanya
mempunyai nilai di ω=0 sebesar e j0t =1. Karena fungsi hanya
mempunyai nilai di ω=0 maka integral dari −∞ sampai +∞ cukup
dilakukan dari 0− sampai 0+, yaitu sedikit di bawah dan di atas ω=0.
Contoh ini menunjukkan bahwa transformasi Fourier dari sinyal
searah beramplitudo 1 adalah 2πδ(ω).
CONTOH: Carilah f(t) dari
)(2)( α−ωπδ=ωjF
Solusi :
tjtj
tjtj
ede
dedetf
αα
αα
α
αω∞
∞−ω
=ωα−ωδ=
ωα−ωπδπ
=ωα−ωπδπ
=
∫
∫∫+
−
+
−
)(
)(22
1 )(2
2
1)(
Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω−α) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya
mempunyai nilai di ω=α sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga hanya
mempunyai nilai di ω=α sebesar ejαt. Karena fungsi hanya
mempunyai nilai di ω=α maka integral dari −∞ sampai +∞ cukup
dilakukan dari α− sampai α+, yaitu sedikit di bawah dan di atas ω=α.
287
CONTOH: Carilah f(t) dari
[ ])()()( α−ω−α+ωαπ=ω uuA
F
Solusi :
[ ]
[ ]
t
tA
j
ee
t
A
jt
eeA
jt
eAde
A
deuuA
tf
tjtjtjtj
tjtj
tj
αα
=−α
=−α
=
α=ω
απ
π=
ωα−ω−α+ωαπ
π=
α−αα−α
α
α−
ω∞
∞−ω
∞
∞−ω
∫
∫
)sin(
22
2 1
2
1
)()(2
1)(
Pemahaman:
Dalam soal ini F(ω) mempunyai nilai pada selang −α<ω<+α oleh
karena itu e jωt juga mempunyai nilai pada selang frekuensi ini juga;
dengan demikian integrasi cukup dilakukan antara −α dan +α.
Hasil transformasi balik f(t) dinyatakan dalam bentuk sin(x)/x yang
bernilai 1 jika x→0 dan bernilai 0 jika x→∞. Jadi f(t) mencapai nilai
maksimum pada t = 0 dan menuju nol jika t menuju ∞ baik ke arah
positif maupun negatif. Kurva F(ω) dan f(t) digambarkan di bawah
ini.
F(ω)
ω +β −β 0
f(t)
A
t
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 288
20.5. Dari Transformasi Laplace ke Transformasi Fourier
Untuk beberapa sinyal, terdapat hubungan sederhana antara transformasi Fourier dan transformasi Laplace. Sebagaimana kita ketahui, transformasi Laplace didefinisikan melalui (19.1) sebagai
∫∞ −=0
)()( dtetfsF st (20.18)
dengan s = σ + jω adalah peubah frekuensi kompleks. Batas bawah integrasi adalah nol, artinya fungsi f(t) haruslah kausal. Jika f(t) memenuhi persyaratan Dirichlet maka integrasi tersebut di atas akan tetap konvergen jika σ = 0, dan formulasi transformasi Laplace ini menjadi
∫∞ ω−=0
)()( dtetfsF tj (20.19)
Sementara itu untuk sinyal kausal integrasi transformasi Fourier cukup dilakukan dari nol, sehingga transformasi Fourier untuk sinyal kausal menjadi
∫∞ ω−=ω0
)()( dtetfF tj (20.20)
Bentuk (20.20) sama benar dengan (20.19), sehingga kita dapat simpulkan bahwa
0)()(
berlaku integrasi-didapat dan kausal )( sinyaluntuk
=σ=ω sFF
tf (20.21)
Persyaratan “dapat di-integrasi” pada hubungan (20.21) dapat dipenuhi jika f(t) mempunyai durasi yang terbatas atau cepat menurun menuju nol sehingga integrasi |f(t)| dari t=0 ke t=∞ konvergen. Ini berarti bahwa pole-pole dari F(s) harus berada di sebelah kiri sumbu imajiner. Jika persyaratan-persyaratan tersebut di atas dipenuhi, pencarian transformasi balik dari F(ω) dapat pula dilakukan dengan metoda transformasi balik Laplace.
CONTOH: Dengan menggunakan metoda transformasi Laplace carilah transformasi Fourier dari fungsi-fungsi berikut (anggap α, β > 0).
289
[ ] )( sin)( c)
)()( b).
)( )( a).
3
2
1
tuteAtf
ttf
tueAtf
t
t
β=
δ==
α−
α−
Solusi:
α+ω=ω→
α−=→α+
=→
→= α−
jF
ps
AsF
tuAetf t
1)(
imag)sumbu kiri (di pole)(
integrasi-didapat dan kausal fungsi)()( a).
1
1
1)(1)(
integrasi-didapat dan kausal fungsi)()( b). 2
=ω→=→→δ=
FsF
ttf
[ ]
αω+ω−β+α=
β+α+ω=ω→
β±α−=→β+α+
=→
→β= α−
2)()(
im)sumbu kiri (di pole )(
)(
integrasi-didapat kausal, fungsi)( sin)( c).
22222
22
3
j
a
j
AF
jps
AsF
tuteAtf t
CONTOH: Carilah f(t) dari )4)(3(
10)(
+ω+ω=ω
jjF
Solusi :
Jika kita ganti jω dengan s kita dapatkan
)4)(3(
10)(
++=
sssF
Pole dari fungsi ini adalah p1 = −3 dan p2 = −4, keduanya di sebelah kiri sumbu imajiner.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 290
4
10
3
10)(
103
10 ; 10
4
10
43)4)(3(
10)(
42
31
21
+−
+=⇒
−=+
==+
=→
++
+=
++=
−=−=
sssF
sk
sk
s
k
s
k
sssF
ss
Transformasi balik dari F(ω) adalah :
[ ] )( 10 10)( 43 tueetf tt −− −=
20.6. Sifat-Sifat Transformasi Fourier
Kelinieran. Seperti halnya transformasi Laplace, sifat utama transformasi Fourier adalah kelinieran.
[ ] [ ][ ] )()( )(2)(1: maka
)()(dan )()( : Jika
21
21
ω+ω=+
ω=ω=
BFAFtBftAf
FtfFtf
F
FF 21 (20.22)
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari v(t) = cosβt.
Solusi:
Fungsi ini adalah non-kausal; oleh karena itu metoda transformasi Laplace tidak dapat di terapkan. Fungsi cosinus ini kita tuliskan dalam bentuk eksponensial.
[ ] [ ] [ ]tjtjtjtj
eeee β−β
β−β+=
+=β FFFF tcos
2
1
2
1
2
Dari contoh 10.8. kita ketahui bahwa )(2 β−ωπδ=
ωtjeF
Jadi [ ] )()( β+ωπδ+β−ωπδ=βtcosF
291
Diferensiasi. Sifat ini dinyatakan sebagai berikut
)()( ωω=
Fj
dt
tdfF (20.23)
Persamaan (20.15) menyatakan
( )
)()(
)(2
1
)(2
1 )(
2
1)(
)(2
1)(
ωω=
→
ωωωπ
=
ωωπ
=
ωωπ
=→
ωωπ
=
∫
∫∫
∫
∞
∞−ω
∞
∞−ω∞
∞−ω
∞
∞−ω
Fjdt
tdf
deFj
deFdt
ddeF
dt
d
dt
tdf
deFtf
tj
tjtj
tj
F
Integrasi. Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
)()0()(
)( ωδπ+ωω=
∫ ∞−
Fj
Fdxxf
tF (20.24)
Suku kedua ruas kanan (20.24) merupakan komponen searah jika sekiranya ada. Faktor F(0) terkait dengan f(t); jika ω diganti dengan nol akan kita dapatkan
∫∞
∞−= dttfF )()0(
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = Au(t).
Solusi:
Metoda transformasi Laplace tidak dapat diterapkan untuk fungsi
anak tangga. Dari contoh (10.b) kita dapatkan bahwa [ ] 1)( =δ tF . Karena fungsi anak tangga adalah integral dari fungsi impuls, kita dapat menerapkan hbungan (20.24) tersebut di atas.
[ ] )(1
)()( ωπδ+ω
=δ= ∫ ∞− jdxxtu
tFF
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 292
Pembalikan. Pembalikan suatu fungsi f(t) adalah mengganti t dengan −t. Jika kita membalikkan suatu fungsi, maka urutan kejadian dalam fungsi yang baru berlawanan dengan urutan kejadian pada fungsi semula. Transformsi Fourier dari fungsi yang dibalikkan sama dengan kebalikan dari transformasi Fourier fungsi semula. Secara formal hal ini dapat dituliskan sebagai
[ ] [ ] )()( maka )()( Jika ω−=−ω= FF tftf FF (20.25)
Menurut (20.16)
[ ]
[ ] [ ]
)( )(
)()()(
Misalkan ; )()(
ω−=ττ=
ττ−=τ=−→
τ=−−=−
∫
∫
∫
∞
∞−ωτ−
∞−
∞ωτ
∞
∞−ω−
Fdef
defftf
tdtetftf
j
j
tj
FF
F
Sifat pembalikan ini dapat kita manfaatkan untuk mencari transformasi Fourier dari fungsi signum dan fungsi eksponensial dua sisi.
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari fungsi signum dan eksponensial dua sisi breikut ini.
Solusi :
Contoh 10.13. memberikan [ ] )(1
)( ωπδ+ω
=j
tuF maka
[ ] [ ]ω
=−−=j
tutut2
)()()sgn( FF
t 0
v(t)
1
−1−u(−t)
u(t)
signum : sgn(t) = u(t) − u(−t)
0 t 0 eksponensial dua sisi :
e−α| t | = e−αt u(t) + e−α(−t) u(−t)
e−αt u(t)
v(t)1
e−α(−t) u(−t)
293
Contoh 10.10.a memberikan [ ]ω+α
=α−j
tue t 1)(F maka
[ ] [ ]22
)(||
2
)(
11
)()(
ω+α
α=ω−+α
+ω+α
=
−+= −α−α−α−
jj
tuetuee ttt FF
Komponen Nyata dan Imajiner dari F(ωωωω). Pada umumnya transformasi Fourier dari f(t), F(ω), berupa fungsi kompleks yang dapat kita tuliskan sebagai
ωθ
∞
∞−
∞
∞−
∞
∞−ω−
ω=ω+ω=
ω−ω==ω ∫∫∫j
tj
eFjBA
dttstfjdttctfdtetfF
)()()(
in )( os )( )()(
dengan
∫∫∞
∞−
∞
∞−ω−=ωω=ω dtttfBdtttfA sin)()( ; cos)()( (20.26)
ωω=ωθω+ω=ω −
)(
)(tan)( ; )()()( 122
A
BBAF (20.27)
Jika f(t) fungsi nyata, maka dari (20.26) dan (20.27) dapat kita simpulkan bahwa
1. Komponen riil dari F(ω) merupakan fungsi genap, karena A(−ω) = A(ω).
2. Komponen imajiner F(ω) merupakan fungsi ganjil, karena B(−ω) =− B(ω).
3. |F(ω)| merupakan fungsi genap, karena |F(−ω)| = |F(ω)|.
4. Sudut fasa θ(ω) merupakan fungsi ganjil, karena θ(−ω) =− θ(ω).
5. Kesimpulan (1) dan (2) mengakibatkan : kebalikan F(ω) adalah konjugat-nya, F(−ω) = A(ω) − jB(ω) = F*(ω) .
6. Kesimpulan (5) mengakibatkan : F(ω) × F(−ω) = F(ω) × F*(ω) = |F(ω)|2.
7. Jika f(t) fungsi genap, maka B(ω) = 0, yang berarti F(ω) riil.
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 294
8. Jika f(t) fungsi ganjil, maka A(ω) = 0, yang berarti F(ω) imajiner.
Kesimetrisan. Sifat ini dinyatakan secara umum sebagai berikut.
[ ] [ ] )( 2)( maka )()( Jika ω−π=ω= ftFFtf FF (20.28)
Sifat ini dapat diturunkan dari formulasi transformasi balik.
∫
∫∫∞
∞−ω−
∞
∞−ω−∞
∞−ω
ω=ω−πω
ωω=−π→ωω=π
detFft
deFtfdeFtf
tj
tjtj
)()( 2 : makakan dipertukar dan Jika
)()( 2 )()( 2
Pergeseran Waktu. Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
[ ] [ ] )()( maka )()( Jika ω=−ω= ω− FeTtfFtf TjFF (20.29)
Sifat ini mudah diturunkan dari definisinya.
Pergeseran Frekuensi. Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
[ ] [ ] )()(1 maka )()(1 Jika tfeFtfF tjβ=β−ω−=ω− FF (20.30)
Sifat ini juga mudah diturunkan dari definisinya.
Penskalaan. Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
[ ] [ ]
ω=ω=a
Fa
atfFtf||
1)( maka )()( Jika FF (20.31)
Tabel: Tabel-20.1 berikut ini memuat pasangan transformasi Fourier sedangkan sifat-sifat transformasi Fourier termuat dalam Tabel-20.2.
295
Tabel-20.1. Pasangan transformasi Fourier.
Sinyal f(t) F(ω)
Impuls δ(t) 1
Sinyal searah (konstan) 1 2π δ(ω)
Fungsi anak tangga u(t) )(1 ωπδ+ωj
Signum sgn(t) ωj2
Exponensial (kausal) ( ) )( tue tα− ω+α j
1
Eksponensial (dua sisi) || te α− 22
2
ω+αα
Eksponensial kompleks tje β )( 2 β−ωδπ
Kosinus cosβt [ ])()( β+ωδ+β−ωδπ
Sinus sinβt [ ])()( β+ωδ−β−ωδπ− j
Tabel-20.2. Sifat-sifat transformasi Fourier.
Sifat Kawasan Waktu Kawasan Frekuensi
Sinyal f(t) F(ω)
Kelinieran A f1(t) + B f2(t) AF1(ω) + BF2(ω)
Diferensiasi dt
tdf )( jωF(ω)
Integrasi ∫ ∞−
tdxxf )( )( )0(
)( ωδπ+ωω
Fj
F
Kebalikan f (−t) F(−ω)
Simetri F (t) 2π f (−ω)
Pergeseran waktu f (t − T) )(ωω− Fe Tj
Pergeseran frekuensi e j β t f (t) F(ω − β)
Penskalaan |a| f (at)
ωa
F
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 296
Soal-Soal
Deret Fourier Bentuk Sinus-Cosinus.
1. a). Tentukan deret Fourier dari fungsi yang digambarkan berikut ini.
b). Carilah koefisien kompleks deret
a).
b).
c).
d).
e).
v 1ms
t
10V
−5V
v
t
20ms
150V
v
t
20ms 150V
t
v 10V
1ms
t
v
5V
−5V
1ms
297
Transformasi Fourier
2. Carilah transformasi Fourier dari bentuk-bentuk gelombang berikut:
a). [ ])()()( TtutuT
Attv −−=
b).
−−
+
π=
44
2cos)(
Ttu
Ttu
T
tAtv
c).
−−
+
π+=
22
2cos1
2)(
Ttu
Ttu
T
tAtv
d). )(22)( tutv +=
e). )(6)sgn(2)( tuttv +−=
f). [ ] )2( )sgn(2)(2)( 2 +δ+= − tttuetv t
g). )2(2)2(2)( )2(2)2(2 ++−= +−−− tuetuetv tt
3. Tentukan transformasi balik dari fungsi-fungsi berikut:
a). || )( ωα−απ=ω eF
b). [ ])()()( β−ω−β+ωβ
π=ω uuA
F
c). )50( )20(
1000)(
+ω+ω=ω
jjF
d). )50( )20(
)(+ω+ω
ω=ωjj
jF
e). )50( )20(
)(2
+ω+ωω−=ω
jjF
f). )50( )20(
1000)(
+ω+ωω=ω
jjjF
Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika” 298
g). )50( )50(
500)(
+ω+ω−ω=ωjj
jF
h). )50( )50(
5)(
+ω+ωω=ωjj
jF
i). )50( )50(
5000)(
+ω+ω−ω=ω
jjjF
j). 2500200
)(5000)(
2 +ω+ω−ωδ=ω
jF
k). ω−+ωδπ=ω 2)( 4)( eF
l). ω
−ωδπ=ωω−
j
e j2)4( 4)(F
m). )2(
)1(4)( 4)(
ω+ω+ω+ωδπ=ω
jj
jF
n). ω−+ωδπ=ω 2)( 4)( eF
o). )2( 4)2( 4)( 4)( +ωδπ+−ωδπ+ωδπ=ωF
Biodata Penulis
299
Daftar Pustaka
1. George B Thomas, “Calculus And Analytic Geometry”, addison Wesley, 1956.
2. Erwin Kreyszig, “Advanced Engineering Mathematics”, John Wiley & Son, Inc, 1988.
3. D.W. Jordan, P. Smith, “Mathematical Techniques”, Oxford U Press, 3rd edition, 2002
4. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, 2002.
5. Sudaryatno Sudirham, “Mengenal Sifat Material 1”, Darpublic, Bandung, 2010.
6. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1”, Darpublic, Bandung, 2012.
7. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Listrik Jilid-2”, Darpublic, Bandung, 2012.
8. Sudaryatno Sudirham: ”Analisis Rangkaian Listrik Jilid-3”, Darpublic, Bandung, 2012.
Biodata Penulis
300
Biodata Penulis
Nama: Sudaryatno Sudirham Lahir: 26 Juli 1943, di Blora. Istri: Ning Utari Anak: Arga Aridarma, Aria Ajidarma.
Pendidikan & Pekerjaan: 1971 : Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung. 1982 : DEA, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1985 : Doktor, l’ENSEIHT, INPT, Perancis. 1972−2008 : Dosen Teknik Elektro, ITB.
Training & Pengalaman lain: 1974 : TERC, UNSW, Australia; 1975 − 1978 : Berca Indonesia PT, Jakarta; 1979 : Electricité de France, Perancis; 1981 : Cour d”Ete, Grenoble, Perancis; 1991 : Tokyo Intitute of Technology, Tokyo, Jepang; 2005 : Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand; 2005 − 2009 : Tenaga Ahli, Dewan Komisaris PT PLN (Persero); 2006 − 2011 : Komisaris PT EU – ITB.