Upload
others
View
20
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
PEWARISAN RESISTENSI GULMA Asystasia gangetica DAN Eleusine
indica PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT LAMPUNG SELATAN
TERHADAP HERBISIDA GLIFOSAT
(Skripsi)
Oleh
NI WAYAN CHINTIA NOVA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Ni Wayan Chintia Nova
ABSTRAK
PEWARISAN RESISTENSI GULMA Asystasia gangetica dan Eleusine
indica PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT LAMPUNG SELATAN
TERHADAP HERBISIDA GLIFOSAT
Oleh
Ni Wayan Chintia Nova
Di perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan, herbisida glifosat telah lama dan
rutin digunakan untuk mengendalikan gulma sejak tahun 1980. Penggunaan
herbisida yang sama, baik dari segi bahan aktif maupun cara kerja yang dilakukan
secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal menjadi satu
faktor pemicu terjadinya dominansi populasi gulma resisten herbisida. Gulma
yang bertahan setelah aplikasi herbisida umumnya memiliki gen ketahanan yang
diwariskan kepada keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat
resisten pada gulma Asystasia gangetica dan Eleusine indica yang terpapar
herbisida glifosat diwariskan atau tidak kepada keturunannya. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Ilmu Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
Bandar Lampung dan rumah plastik di area Perguruan Tinggi Al-Madani, Bandar
Lampung. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Petak Terbagi (Split Plot
Design) dengan 5 ulangan. Faktor pertama sebagai petak utama adalah asal
gulma, yaitu keturunan gulma terpapar yang didapatkan dari pengujian resistensi
tahap 1 dan keturunan gulma yang tidak terpapar herbisida glifosat. Faktor kedua
Ni Wayan Chintia Nova
sebagai anak petak yaitu taraf dosis herbisida glifosat 0, 480, 960, 1.920 dan 3.840
g/ha. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai LT50 (Median Lethal Time)
gulma A. gangetica terpapar glifosat yaitu 9 – 44 HSA dan E. indica 9 – 15 HSA,
sedangkan gulma A. gangetica tidak terpapar glifosat yaitu 7 – 13 HSA dan
E. indica 4 – 7 HSA. Hal ini menunjukkan bahwa gulma yang telah terpapar
glifosat memerlukan waktu yang lebih lama untuk teracuni sebanyak 50%. Nilai
ED50 (Median Effective Dose) gulma A. gangetica terpapar glifosat yaitu 288,94
dan E. indica 426,29 g/ha, sedangkan gulma A. gangetica dan E. indica tidak
terpapar memiliki nilai ED50 yang sama yaitu 80,04 g/ha. Nilai Nisbah Resistensi
(NR) gulma A. gangetica terpapar glifosat yaitu 3,61 dan E. indica 5,33 sehingga
digolongkan sebagai resistensi rendah dan sifat resisten pada gulma A. gangetica
dan E. indica diwariskan dari tetua kepada keturunan hasil perbanyakan generatif
(reproduksi seksual).
Kata kunci: glifosat, gulma, resistensi.
PEWARISAN RESISTENSI GULMA Asystasia gangetica dan Eleusine
indica PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT LAMPUNG SELATAN
TERHADAP HERBISIDA GLIFOSAT
Oleh
NI WAYAN CHINTIA NOVA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 13 November 1996 yang merupakan
anak pertama dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Putu Astawa
dan Ibu Suryani. Penulis memulai pendidikan di SD Fransiskus 1 Bandar
Lampung pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2009. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan ke SMP Fransiskus 1 Bandar Lampung dan selesai pada
tahun 2012. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Fransiskus
Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2015.
Pada tahun 2015, penulis diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah
menjadi Asisten Dosen praktikum Mata Kuliah Ilmu dan Teknik Pengendalian
Gulma, Teknologi Benih, dan Herbisida dan Lingkungan.
Pada bulan Januari-Maret 2018, penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Tematik Universitas Lampung di Desa Braja Indah, Kecamatan
Braja Selebah, Kabupaten Lampung Timur. Pada bulan Juli-Agustus 2018,
penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Mahameru Aksara Agri, Bogor.
Dengan segenap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya kepadaku selama ini
Kupersembahkan karya kecilku ini kepada
Kedua orang tua tercinta Bapak Putu Astawa dan Mama Suryani, adikku
I Nengah Andre Wijaya, Akiu Han-han, Asuk Alex, dan Ii Sari.
Terima kasih atas segala doa, kesabaran, kasih sayang, nasihat dan
dukungan yang telah diberikan kepadaku sampai saat ini.
Orang terdekat dan sahabat-sahabat yang selalu memberikan dukungan,
semangat dan pengalaman berharga kepadaku sampai saat ini.
Serta almamater tercinta
Universitas Lampung
“Aku sekali kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali kali tidak
akan meninggalkan engkau”
(Ibrani 13:5b)
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan
kepadaku”
(Filipi 4:13)
“Orang yang berbahagia bukanlah orang hebat dalam
segala hal, tapi orang yang bisa menemukan hal sederhana
dalam hidupnya dan mengucap syukur”
(Warren Buffet)
SANWACANA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pewarisan Resistensi Gulma
Asystasia gangetica dan Eleusine indica pada Perkebunan Kelapa Sawit Lampung
Selatan terhadap Herbisida Glifosat”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., selaku Ketua Bidang Agronomi,
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan
pembimbing kedua atas ilmu pengetahuan, bimbingan, saran dan kesabaran
kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. Nanik Sriyani, M.Sc., selaku pembimbing pertama atas ilmu
pengetahuan, bimbingan, saran, motivasi dan kesabaran kepada penulis
selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.
5. Bapak Ir. Dad Resiworo Jekti Sembodo, M.S., selaku pembahas atas ilmu
pengetahuan, saran, motivasi dan segala masukan kepada penulis selama
penyelesaian skripsi.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Pembimbing Akademik atas
motivasi, nasihat dan dukungannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
7. Teman-teman seperjuangan Agroteknologi kelas A dan Agroteknologi 2015
atas persahabatan, dukungan, dan kebersamaan selama ini.
8. Teman-teman terbaikku di perkuliahan Vicli, Fiya, Gangga, Hamida, Anita,
Okvi, Pera, Ayu, Desi, dan Mutiara.
9. Tim penelitian gulma Leni dan Vickram atas perjuangan, semangat, dan
kerjasama sejak penelitian berlangsung hingga skripsi ini terselesaikan.
10. Mba Resti Puspa Kartika Sari yang telah banyak berbagi pengalaman, ilmu
pengetahuan dan membantu penulis selama penyelesaian skripsi.
11. Sahabat karibku Ayu dan Ribka atas semangat, doa, hiburan dan kebersamaan
selama ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bandar Lampung, 27 November 2019
Ni Wayan Chintia Nova
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
1.4 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 5
1.5 Hipotesis ........................................................................................ 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelapa Sawit .................................................................. 10
2.2 Gulma Asystasia gangetica ............................................................ 15
2.3 Gulma Eleusine indica ................................................................... 18
2.4 Herbisida Glifosat .......................................................................... 20
2.5 Resistensi Gulma Terhadap Herbisida ........................................... 24
2.5.1 Pengertian Resistensi ............................................................ 24
2.5.2 Mekanisme Resistensi ........................................................... 25
2.5.3 Perkembangan Resistensi ...................................................... 27
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................... 32
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 32
ii
3.3 Pelaksanaan Penelitian ................................................................... 33
3.4 Pengujian Resistensi Tahap I ......................................................... 33
3.4.1 Survei Lapang ....................................................................... 33
3.4.2 Pengambilan Bibit gulma ...................................................... 34
3.4.3 Penanaman Bibit Gulma ....................................................... 35
3.4.4 Pemeliharaan Bibit Gulma .................................................... 35
3.4.5 Kalibrasi Sprayer .................................................................. 35
3.4.6 Aplikasi Herbisida Glifosat Tahap I ..................................... 36
3.5 Pengujian Resistensi Tahap II ........................................................ 36
3.5.1 Bahan .................................................................................... 36
3.5.2 Rancangan Percobaan ........................................................... 38
3.5.3 Aplikasi Herbisida Glifosat Tahap II .................................... 40
3.5.4 Variabel Pengamatan ............................................................ 40
3.5.4.1 Persen Keracunan ...................................................... 40
3.5.4.2 Bobot Kering Gulma ................................................. 41
3.5.5 Analisis Data ......................................................................... 41
3.5.5.1 Kecepatan Meracuni Gulma...................................... 41
3.5.5.2 Persentase Kerusakan Gulma dan Median
Effective Dose (ED50) .............................................. 41
3.5.5.3 Nisbah Resistensi (NR) ............................................ 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Resistensi Tahap I .......................................................................... 43
4.2 Resistensi Tahap II ......................................................................... 43
4.2.1 Persen Keracunan dan Respon Gulma A. gangetica ............. 43
4.2.2 Bobot Kering dan Kerusakan Gulma A. gangetica ............... 45
4.2.3 Nilai LT50 Gulma A. gangetica ............................................. 47
4.2.4 Resistensi Gulma A. gangetica ............................................. 48
4.2.5 Pewarisan Sifat Resistensi Gulma A. gangetica ................... 49
4.2.6 Persen Keracunan dan Respon Gulma E. indica .................. 49
4.2.7 Bobot Kering dan Kerusakan Gulma E. indica..................... 51
4.2.8 Nilai LT50 Gulma E. indica ................................................... 53
iii
4.2.9 Resistensi Gulma E. indica ................................................. 54
4.2.10 Pewarisan Sifat Resistensi Gulma E. indica ....................... 55
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ........................................................................................ 58
5.2 Saran .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 60
LAMPIRAN .............................................................................................. 67
Tabel 6-11 ........................................................................................... 68 – 71
4
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perlakuan dosis herbisida glifosat dalam pengujian resistensi gulma .... 38
2. Nilai LT50 A. gangetica akibat aplikasi glifosat ...................................... 48
3. Nilai ED50 dan NR A. gangetica akibat aplikasi glifosat ...................... 49
4. Nilai LT50 E. indica akibat aplikasi glifosat ........................................... 54
5. Nilai ED50 dan NR E. indica akibat aplikasi glifosat .............................. 55
6. Data persen keracunan gulma Asystasia gangetica akibat
perlakuan herbisida glifosat .................................................................... 68
7. Data asli bobot kering Asystasia gangetica ............................................ 69
8. Data asli persen kerusakan Asystasia gangetica ..................................... 69
9. Data persen keracunan gulma Eleusine indica akibat perlakuan
herbisida glifosat ..................................................................................... 70
10. Data asli bobot kering Eleusine indica .................................................. 71
11. Data asli persen kerusakan Eleusine indica ........................................... 71
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Gulma A. gangetica ................................................................................ 17
2. Kondisi di lapang (a), gulma dewasa (b), gulma juvenil (c),
pembungaan (d) gulma E. indica ........................................................... 18
3. Rumus bagun glifosat ............................................................................ 20
4. Skema penghambatan enzim EPSP-synthase oleh glifosat ................... 22
5. Grafik jumlah spesies gulma yang resisten terhadap beberapa
jenis herbisida ........................................................................................ 29
6. Lokasi pengambilan gulma terpapar glifosat pada koordinat
5°17'51.2"S 105°10'39.2"E (a) Lokasi pengambilan gulma tidak terpapar
glifosat pada koordinat 5°17'54.9"S 105°10'23.4"E (b) ......................... 34
7. Kecambah gulma E. indica (a) dan kecambah gulma
A. gangetica (b) ...................................................................................... 37
8. Gulma A. gangetica (a) dan E. indica (b) .............................................. 37
9. Tata Letak Percobaan Resistensi Gulma A. gangetica terhadap
glifosat .................................................................................................... 38
10. Tata Letak Percobaan Resistensi Gulma E. indica terhadap
glifosat .................................................................................................... 39
11. Nilai persen keracunan Asystasia gangetica akibat aplikasi
glifosat .................................................................................................... 45
12. Respon A. gangetica terpapar dan tidak terpapar akibat aplikasi
glifosat pada 20 HSA ............................................................................. 46
13. Pengaruh glifosat terhadap bobot kering Asystasia gangetica............... 47
vi
14. Pengaruh glifosat terhadap persen kerusakan
Asystasia gangetica ................................................................................ 47
15. Nilai persen keracunan Eleuine indica akibat aplikasi glifosat ............. 51
16. Respon E. indica terpapar dan tidak terpapar akibat aplikasi
glifosat pada 20 HSA ............................................................................. 52
17. Pengaruh glifosat terhadap bobot kering Eleuine indica ....................... 53
18. Pengaruh glifosat terhadap persen kerusakan Eleusine indica .............. 53
62
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang memiliki peran penting sebagai penghasil devisa negara bagi
Indonesia. Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia mengalami
kemajuan yang pesat, terutama peningkatan luas lahan dan produksi kelapa sawit.
Pada tahun 2013 – 2016 luas lahan perkebunan sawit Indonesia meningkat dari
10,47 juta hektar menjadi 11,20 juta hektar. Produksi CPO kelapa sawit di
Indonesia juga meningkat dari 17,77 juta ton pada tahun 2013 menjadi 31,49 juta
ton pada tahun 2016 (BPS, 2017). Namun, dalam proses budidaya kelapa sawit
terdapat salah satu kendala yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman kelapa
sawit yaitu gulma.
Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan
manusia sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya (Sembodo, 2010).
Keberadaan gulma pada lahan pertanian dapat menyebabkan kerugian karena
terjadi persaingan atau kompetisi diantara gulma dan tanaman budidaya.
Persaingan gulma di lahan pertanian dapat menyebabkan penurunan hasil panen
20-80% (Syahputra dan Dian, 2011).
2
Gulma yang tumbuh cukup dominan dan sulit dikendalikan pada tanaman
perkebunan kelapa sawit di Lampung Selatan adalah A. gangetica dan E. indica.
Gulma-gulma tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dalam proses
pengendaliannya.
Menurut Sembodo (2010), pengendalian gulma secara kimiawi menggunakan
herbisida lebih diminati karena mudah digunakan, membutuhkan tenaga kerja
yang sedikit, hemat waktu dan cepat dalam proses mengendalikan gulma. Selain
itu pemakaian herbisida dapat mengurangi kerusakan akar tanaman,
meminimalisir erosi dan aliran permukaan, serta banyak gulma berkayu lebih
mudah dimatikan dengan mengunakan herbisida.
Salah satu herbisida yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan gulma
adalah glifosat. Glifosat digunakan sejak tahun 1970 di lahan perkebunan dan
terus berkembang sampai dengan sekarang dengan berbagai macam merk dagang
(Heap, 2011). Di perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan, herbisida glifosat
telah lama dan rutin digunakan sejak tahun 1980 (PTPN VII Unit Rejosari, 2013).
Glifosat [N-(phosphonomethyl] merupakan herbisida non-selektif, memiliki
spektrum yang luas, bersifat sistemik dan digunakan sebagai herbisida
pascatumbuh. Cara kerja glifosat adalah menghambat biosintesis asam amino
aromatik (fenilalanin, triptofan dan tirosin) melalui penghambatan enzim EPSPS
terlebih dahulu (Nandula et al, 2005).
Penggunaan herbisida yang sama, baik dari segi bahan aktif maupun cara kerja
yang dilakukan secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal
3
menjadi satu faktor pemicu terjadinya dominansi populasi gulma resisten
herbisida. Individu yang menjadi resisten akan tumbuh normal dan terus
beregenerasi sehingga pada akhirnya individu-individu tersebut menjadi
signifikan dan menyebabkan kegagalan dalam upaya pengendalian (Purba, 2009).
Individu yang menjadi resisten akan tumbuh normal dan bereproduksi sehingga
menghasilkan keturunan yang resisten. Populasi yang bertahan hidup pada
aplikasi herbisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan
terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunannya (Georgious dan
Taylor, 1986).
Resistensi herbisida adalah kemampuan yang diturunkan pada suatu tumbuhan
untuk betahan hidup dan bereproduksi yang pada kondisi penggunaan dosis
herbisida secara normal mematikan jenis populasi gulma tersebut (Prather et al,
2000). Ada sepuluh spesies gulma paling penting yang telah resisten terhadap
herbisida di banyak belahan dunia, yaitu Lolium rigidum, Avena fatua,
Amaranthus retroflexus, Chenopodium album, Setaria viridis, Echinochloa cruss-
galli, Eleusine indica, Kochia scoparia, Conyza canadensis, dan Amaranthus
hybridus (Heap, 2012).
Resistensi gulma E. indica terhadap glifosat banyak terjadi di berbagai wilayah di
berbagai negara. Salah satunya adalah kasus resistensi gulma E. indica yang
terjadi di pertanaman kapas USA Mississipi pada tahun 2010. Sebelumnya, ada
dua kasus resistensi untuk biotip ini di dua wilayah lainnya yaitu di perkebunan
buah-buahan di Malaka dan di Teluk Intan, Perak, Malaysia pada tahun 1997
dimana diketahui bahwa E. indica pada wilayah ini telah mengalami resisten
4
berganda (multiple resistance) terhadap glifosat dan parakuat serta di perkebunan
kopi di Colombia, Caldas pada tahun 2006 (Heap, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian Elfandari (2017), gulma A. gangetica dan E. indica
asal perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan mengalami resisten tingkat rendah
terhadap herbisida glifosat. Dilaporkan juga oleh Anjani (2018), gulma Eleusine
indica mengalami resistensi tingkat rendah terhadap herbisida glifosat. Namun
demikian, tidak ada uji mengenai resistensi pada keturunan gulma tersebut. Oleh
sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sifat resisten gulma
A. gangetica dan E. indica diwariskan atau tidak kepada keturunannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat disusun
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kecepatan meracuni atau Median Lethal Time (LT50) herbisida
glifosat terhadap keturunan gulma A. gangetica dan E. indica terpapar dan
tidak terpapar herbisida glifosat?
2. Berapakah nilai Median Effective Dose (ED50) pada keturunan gulma
A. gangetica dan E. indica terpapar dan tidak terpapar herbisida glifosat?
3. Apakah status resistensi pada keturunan gulma A. gangetica dan E. indica
terpapar herbisida glifosat?
4. Apakah resistensi yang terjadi pada gulma A. gangetica dan E. indica
diwariskan kepada keturunannya?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui kecepatan meracuni atau Median Lethal Time (LT50) herbisida
glifosat terhadap keturunan gulma A. gangetica dan E. indica terpapar dan
tidak terpapar herbisida glifosat.
2. Mengetahui nilai Median Effective Dose (ED50) pada keturunan gulma
A. gangetica dan E. indica terpapar dan tidak terpapar herbisida glifosat.
3. Mengetahui status resistensi pada keturunan gulma A. gangetica dan E. indica
terpapar herbisida glifosat.
4. Mengetahui pewarisan sifat resisten yang terjadi pada gulma A. gangetica dan
E. indica.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai
ekonomi dan berpeluang menghasilkan devisa yang besar melalui kegiatan
ekspornya. Salah satu kendala yang dapat menyebabkan penurunan hasil dan
kualitas produksi kelapa sawit adalah gulma. Kehadiran gulma di perkebunan
kelapa sawit dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air,
hara, sinar matahari, dan ruang hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu
produksi akibat terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan
tanaman, menjadi inang bagi hama, mengganggu tata guna air, dan meningkatkan
biaya pemeliharaan (Pahan, 2008). Menurut Hakim (2007), kelapa sawit
memiliki masalah gulma yang tinggi karena jarak tanam yang lebih lebar sehingga
6
penutupan tanah oleh kanopi lambat dan membuat cahaya matahari leluasa
mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi gulma.
Pengendalian gulma di perkebunan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya pengendalian secara mekanis, kultur teknis, fisis, biologis, kimia dan
terpadu. Pengendalian gulma yang umumnya dilakukan di perkebunan kelapa
sawit adalah pengendalian gulma secara mekanis dan kimia. Hal ini didasari oleh
situasi dan kondisi dari perkebunan kelapa sawit yang memiliki luasan lahan yang
sangat luas (Syahputra et al., 2011).
Herbisida adalah bahan kimia atau kultur hayati yang dapat menghambat
pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Pengertian tersebut mengandung arti
bahwa herbisida berasal dari senyawa kimia baik organik maupun anorganik atau
berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau bagian dari suatu organisme.
Herbisida tersebut mempengaruhi satu atau lebih proses-proses (misalnya proses
pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis,
respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat
diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kelebihan
herbisida dalam mengendalikan gulma yaitu dapat mengendalikan gulma sejak
dini, efisien waktu, tenaga kerja, dan biaya, dapat mengendalikan gulma yang
sulit dikendalikan dengan cara lain, dan mencegah erosi (Sembodo, 2010).
Herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma di piringan kelapa sawit
antara lain paraquat, diuron, ametrin, dan glifosat. Glifosat merupakan bahan
aktif herbisida yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan gulma pada
7
lahan perkebunan. Lahan perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan telah
menggunakan herbisida berbahan aktif glifosat sejak tahun 1980.
Glifosat merupakan herbisida yang memiliki spektrum pengendalian luas dan
bersifat non-selektif. Herbisida glifosat bersifat sistemik dan diaplikasikan
pascatumbuh. Efektivitas pemberian herbisida ditentukan oleh dosisnya. Dosis
herbisida yang tepat akan dapat mematikan gulma sasaran, tetapi jika dosisnya
terlalu tinggi akan merusak tanaman budidaya (Sembodo, 2010).
Mekanisme kerja herbisida glifosat adalah mempengaruhi aktivitas enzim EPSP
synthase (5-enolpyruvyshikimat 3-phospat), sehingga dapat mengganggu sintesis
asam amino yang penting dalam biosintesis protein (Djojosumarto, 2008).
Terganggunya sintesis asam amino tersebut dapat menyebabkan kematian
tumbuhan.
Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida secara terus-menerus dalam
waktu yang lama dapat menimbulkan populasi gulma resisten terhadap herbisida.
Kemungkinan terjadinya gulma resisten sudah diperingatkan tidak lama setelah
ditemukannya herbisida 2,4-D (golongan fenoksi) (Ross dan Chilids, 2004).
Resistensi gulma dapat terjadi karena seleksi alam dan mutasi genetik. Gulma
yang bertahan setelah aplikasi herbisida akan memiliki gen ketahanan yang
diwariskan kepada keturunannya.
Resistensi herbisida adalah kemampuan yang dimiliki gulma untuk bertahan
hidup dan tetap bereproduksi dengan normal meskipun terpapar herbisida yang
biasanya dapat mematikan jika diaplikasikan pada spesies gulma liar. Frekuensi
8
sifat resistensi dalam populasi merupakan faktor penting dalam menentukan
tingkat seleksi resistensi antar spesies gulma (Prather et al, 2000).
Menurut Purba (2009), di perkebunan Malaysia telah dilaporkan bahwa ada tiga
jenis gulma yang resisten terhadap glifosat, yaitu Hedyotis verticillata,
Chromolaena odorata dan Eleusine Indica. Hal ini dikarenakan penggunaan
herbisida pada perkebunan merupakan hal yang utama, sehingga penyemprotan
herbisida secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
perubahan gen pada populasi yang sebelumnya toleran menjadi resisten. Lee dan
Ngim (2000) melaporkan bahwa 8 dari 10 populasi biotip rumput belulang yang
berasal dari perkebunan buah di Malaysia telah menjadi resisten terhadap glifosat.
Topografi Indonesia yang memiliki kemiripan dengan Malaysia memperkuat
dugaan jika resistensi juga terjadi pada gulma-gulma yang ada di Indonesia.
Gulma A. gangetica dan E. indica asal perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan
merupakan gulma yang cukup sulit dikendalikan. Kedua jenis gulma tersebut
dilaporkan oleh Elfandari (2017) dan Anjani (2018) telah mengalami resisten
tingkat rendah terhadap herbisida glifosat.
Resistensi gulma dapat diketahui dengan membandingkan antara gulma yang
sering terpapar glifosat dengan gulma yang tidak pernah terpapar glifosat.
Pengujian dapat dilakukan dengan membandingkan respon keracunan ED50 dan
LT50 antara gulma yang terpapar dengan tidak terpapar glifosat. Status resistensi
gulma yang sering terpapar herbisida dapat diketahui dengan melihat nilai Nisbah
Resistensi (NR) yang diperoleh dengan membandingkan nilai ED50 gulma yang
terpapar herbisida dan gulma yang tidak terpapar herbisida glifosat.
9
Kasus resistensi gulma terhadap herbisida secara global sudah banyak dilaporkan,
namun di Indonesia masih sangat minim, padahal terdapat banyak perkebunan
besar yang menggunakan herbisida secara intensif untuk mengendalikan gulma.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui apakah
sifat resisten pada gulma A. gangetica dan E. indica asal perkebunan kelapa sawit
Lampung Selatan diwariskan.
1.5 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka untuk menjawab
rumusan masalah diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Kecepatan meracuni (LT50) pada keturunan gulma A. gangetica dan E. indica
terpapar herbisida glifosat lebih lambat dibandingkan dengan gulma yang
tidak terpapar herbisida glifosat.
2. Nilai ED50 pada keturunan gulma A. gangetica dan E. indica terpapar
herbisida glifosat lebih tinggi dibandingkan gulma yang tidak terpapar
herbisida glifosat.
3. Gulma A. gangetica dan E. indica terpapar herbisida glifosat resisten terhadap
herbisida glifosat.
4. Sifat resisten gulma A. gangetica dan E. indica diwariskan dari tetua kepada
keturunannya.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya Brasilia.
Di Brasilia, tanaman ini dapat ditemukan di sepanjang tepi sungai. Kelapa sawit
pertama kali diintroduksikan ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1848 di kebun raya Bogor. Pada tahun 1876 Sir Yoseph Hooker mencoba
menanam 700 bibit tanaman kelapa sawit di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Pada
saat ini, perkebunan kelapa sawit telah berkembang lebih jauh sejalan dengan
kebutuhan dunia akan minyak nabati dan produk industri oleochemical (Pahan,
2007).
Menurut Pahan (2007) kelapa sawit secara sistematik diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Ordo : Monocotyledonae
Famili : Arecaceae (dahulu disebut Palmae)
Subfamili : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
11
Tanaman kelapa sawit memiliki akar serabut. Batang terdiri dari pembuluh-
pembuluh yang terikat secara diskrit dalam jaringan parenkim dengan diameter
sekitar 40 – 60 cm. Daun kelapa sawit terdiri dari kumpulan anak daun yang
mempunyai helaian dan tulang anak daun, rachis yang merupakan tempat anak
daun melekat, tangkai daun dan seludang daun. Kelapa sawit merupakan tanaman
monoecious. Bunga muncul dari ketiak daun dan setiap ketiak daun hanya dapat
menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Buah (brondolan) terkumpul di
dalam tandan (Pahan, 2007).
Hasil panen utama dari tanaman kelapa sawit adalah buah kelapa sawit yang
disebut tandan buah segar (TBS). Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan
membentuk buah pada umur 18 – 24 bulan. Buah yang terbentuk memiliki
kandungan minyak yang masih rendah dan belum ekonomis dan biasanya dibuang
(kastrasi). Tujuan kastrasi agar pertumbuhan tanaman terfokus ke vegetatif.
Setelah tanaman berusia > 24 bulan, bunga dipelihara dan pada umur 30 bulan
dapat dilakukan panen perdana (Pardamean, 2017).
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada wilayah tropis.
Pertumbuhan maksimal dapat terjadi jika tanaman mendapatkan sinar matahari
selama 5 – 12 jam dalam sehari. Curah hujan optimal bagi kelapa sawit sekitar
2.000 mm. Kelapa sawit paling baik dibudidayakan pada kisaran suhu 24 – 28 oC.
Lahan yang optimal untuk kelapa sawit memiliki tekstur lempung atau liat dan
keasaman (pH) 4,0-6.0 (Pahan, 2007).
12
Jenis-jenis gulma yang banyak terdapat di perkebunan kelapa sawit menghasilkan
adalah Imperata cylindrica (alang-alang), Mikania micrantha (mikania),
Chromolaena odorata (putihan), Ageratum conyzoides (babadotan), Cyperus
rotundus (teki-tekian), Ottochloa nodosa (bambu-bambuan), Axonopus
compressus (rumput pahitan), dan Cynodon dactylon (rumput jalur). Gulma
Mikania micrantha dan Imperata cylindrica merupakan gulma penting di areal
perkebunan kelapa sawit karena dapat menurunkan hasil sebesar 15 – 20% (Tim
Penulis PS, 1999 dalam Amalia, 2009).
Gulma yang tumbuh cukup dominan dan sulit dikendalikan pada tanaman
perkebunan kelapa sawit di Lampung Selatan adalah A. gangetica dan E. indica.
Gulma-gulma tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dalam proses
pengendaliannya.
Pengendalian gulma memiliki arti sebagai proses membatasi tumbuh dan
berkembangnya gulma sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif
dan efisien (Sukman dan Yakup, 2000). Pengendalian gulma merupakan usaha
untuk meningkatkan daya saing tanaman pokok dengan cara melemahkan daya
saing gulma (Pahan, 2008).
Pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan pada piringan
pokok, gawangan, dan pasar pikul atau pasar rintis. Rotasi pengendalian gulma
dapat dilakukan sebanyak 3 – 4 kali per tahun. Ada tiga cara pengendalian gulma
yang dapat dilakukan yaitu secara mekanis, kimiawi, dan biologis. Pengendalian
gulma secara mekanis dapat dilakukan dengan menggunakan alat berupa sabit,
cangkul, dan garpu. Pengendalian secara mekanis tersebut dapat dilakukan
13
sebanyak 5 – 6 kali pada tahun pertama atau tergantung dengan keadaan
perkebunan. Selanjutnya pengendalian gulma secara kimia dilakukan dengan
menggunakan herbisida. Beberapa bahan aktif herbisida yang dapat digunakan
untuk mengendalikan gulma di perkebunan kelapa sawit adalah glifosat, diuron,
aminotriazol, fluroksipir, dan paraquat diklorida. Untuk pengendalian gulma
secara biologi dengan menggunakan tumbuhan atau organisme tertentu yang
dapat mengurangi populasi gulma. Pada perkebunan kelapa sawit sebaiknya
menggunakan kombinasi dari ketiga cara pengendalian gulma tersebut agar
memperoleh hasil yang efektif (Suwarto et al., 2014).
Metode pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit TBM maupun TM
umumnya tidak berbeda, yaitu secara manual, kimiawi, dan kultur teknis. Ketiga
cara pengendalian tersebut dapat dilakukan baik salah satu maupun ketiganya
secara terpadu (Setyamidjaja, 2006). Pengendalian gulma secara manual
dilakukan dengan pemeliharaan piringan dan dongkel anak kayu (DAK).
Pemeliharaan piringan dilakukan dengan membersihkan gulma menggunakan
cangkul atau parang, sedangkan DAK merupakan penyiangan selektif untuk
gulma berkayu atau berumbi yang tumbuh di gawangan. Pengendalian kimiawi
dilakukan dengan menyemprotkan herbisida di piringan tanaman dengan tidak
mengenai kacangan penutup tanah (Zaman, 2006). Menurut Prasetyo dan Zaman
(2016) pengendalian gulma secara kultur teknis di perkebunan kelapa sawit dapat
dilakukan dengan penanaman Legume Cover Crop (LCC) di daerah gawangan.
Pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit umumnya dilakukan di empat
lokasi penting, yaitu di piringan, gawangan, pasar pikul (pasar rintis), dan tempat
14
pengumpulan hasil (TPH). Pengendalian gulma dilakukan untuk mengurangi
kompetisi hara dan air karena akar halus tanaman masih berada di sekitar
piringan, meningkatkan efisiensi pemupukan, mempermudah kontrol
pemananenan dan aplikasi pemupukan, memudahkan pengutipan brondolan
(menekan kehilangan brondolan) (Tammara, 2012).
Piringan merupakan tempat dilakukan pemupukan dan jatuhnya tandan buah serta
brondolan yang dipanen. Pasar rintis merupakan jalan yang dipakai sebagai jalan
panen, lansir pupuk, pemberantasan hama dan penyakit, dan sebagai jalan kontrol.
Kebersihan piringan dan pasar rintis dari gulma akan mempermudah pekerjaan
panen, perawatan, dan pengontrolan. Gawangan adalah areal di luar piringan
pokok dan pasar rintis. Tujuan pengendalian gulma di gawangan adalah untuk
mengurangi kompetisi hara, air, dan sinar matahari, serta menekan pertumbuhan
dan penyebaran hama dan penyakit. TPH adalah lokasi terakhir penyusunan buah
yang telah dipotong dari pokok sebelum diangkut ke pabrik kelapa sawit. Kondisi
TPH yang tidak terawat (gulmanya tidak dikendalikan) dapat meningkatkan
jumlah kontaminasi sehingga dapat menurunkan mutu buah yang dihasilkan
(Artanto dan Lontoh, 2008).
Terdapat perbedaan pengendalian gulma yang berada di piringan dan gawangan.
Gulma-gulma yang tumbuh di piringan dikendalikan secara menyeluruh,
sedangkan gulma di gawangan cukup dikendalikan agar tidak mengganggu.
Menurut Artanto dan Lontoh (2008) pengendaalian gulma di pasar rintis dan TPH
dilakukan secara menyeluruh (clean weeding). Pada pasar rintis clean weeding
dilakukan selebar 1,2 meter untuk memudahkan mobilitas pekerja maupun tenaga
15
supervisi, sedangkan pada TPH clean weeding dilakukan dengan ukuran 4 meter x
7 meter.
Pada perkebunan besar seperti perkebunan kelapa sawit dilakukan pengendalian
secara kimiawi karena dinilai lebih efektif dan efisisen. Kelebihan pengendalian
gulma secara kimiawi adalah lebih cepat mengendalikan gulma dan lebih hemat
tenanga kerja dan waktu yang digunakan lebih sedikit. Namun dengan adanya
pengendalian gulma secara kimiawi yang menggunakan herbisida akan
menyebabkan suksesi gulma atau perubahan komposisi gulma (Ditjenbun, 2013).
Menurut Mawardi et al. (1996), perubahan komposisi jenis gulma dapat dilihat
dari berubahnya gulma dominan baik itu dari golongan rumput, daun lebar, dan
teki. Perubahan komposisi jenis gulma tersebut disebabkan karena adanya
perbedaan jenis dan resistensi gulma terhadap herbisida yang digunakan.
Herbisida yang sering digunakan untuk mengendalikan gulma di piringan kelapa
sawit antara lain paraquat, diuron, ametrin, dan glifosat. Glifosat merupakan
bahan aktif herbisida yang paling banyak digunakan untuk mengendalikan gulma
pada lahan perkebunan. Lahan perkebunan kelapa sawit Lampung Selatan telah
menggunakan herbisida berbahan aktif glifosat sejak tahun 1980.
2.2 Gulma Asystasia gangetica
Gulma A. gangetica merupakan salah satu gulma invasif di Indonesia yang diduga
berasal dari Malaysia melalui Sumatera Utara. Pada saat ini gulma A. gangetica
sudah tersebar di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Kalimantan. Gulma
A. gangetica dapat tumbuh pada daerah tropis dan sub tropis. Keberadaannya
16
harus diwaspadai karena berdampak pada menurunnya keanekaragaman hayati
melalui pergantian vegetasi yang dapat menurunkan ruang tumbuh tumbuhan.
Gulma ini mudah ditemukan di sekitar tepi jalan, sungai dan perkebunan.
Perkebunan yang ditumbuhi gulma ini diantaranya perkebunan kelapa sawit, karet
dan kopi (CRC, 2003).
Klasifikasi A. gangetica:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Scrophulariales
Famili : Acanthaceae
Genus : Asystasia
Spesies : Asystasia gangetica
Gulma A. gangetica memiliki batang tegak atau merayap, berbentuk segi empat,
beruas dan rapuh. Daun berbentuk oval dengan pangkal daun bulat, tepi rata dan
ujung runcing. Daun tumbuh berhadapan dan berpasangan. Bunga majemuk
dengan mahkota berwarna putih dan berwarna ungu pada bagian bibir bawah
mahkota. Biji gulma berada di dalam kapsul buah dan berwarna coklat kehitaman
pada saat biji matang. Gulma A. gangetica dapat berkembangbiak dengan
menggunakan biji dan batang (Priwiratama, 2011). Berikut adalah gambar
Asystasia gangetica (Gambar 1.)
17
Gambar 1. Gulma A. gangetica (Samedani et al., 2013)
Asystasia gangetica termasuk gulma pengganggu (invasive) di agroekosistem
Malaysia (Bakar, 2004). Asystasia gangetica banyak dijumpai di perkebunan
kelapa sawit dan karet (Fauzi, 2006). Gulma ini mendominasi di perkebunan
kelapa sawit di Sumatera (Adriadi et al, 2012). Menurut Tjitrosoedirdjo et al.,
(2009) Asystasia gangetica merupakan gulma yang cenderung resisten terhadap
herbisida glifosat dan paraquat di perkebunan-perkebunan besar di Sumatera
(Supriadi et al, 2012).
Hasil penelitian Zugari et al. (2015), menunjukkan bahwa herbisida aminopiralid
yang diaplikasi secara tunggal efektif mengendalikan pertumbuhan gulma
Asystasia gangetica pada semua taraf dosis yang diuji (16,80 g/ha, 33,60 g/ha, dan
67,20 g/ha). Herbisida glifosat yang diaplikasi secara tunggal efektif
mengendalikan gulma Asystasia gangetica, Paspalum conjugatum dan Cyperus
kyllingia pada semua taraf dosis yang diuji (240 g/ha, 480 g/ha, dan 960 g/ha).
Campuran herbisida aminopiralid dengan glifosat dapat mengendalikan gulma
Asystasia gangetica, Paspalum conjugatum dan Cyperus kyllingia pada semua
taraf dosis yang diuji.
18
2.3 Gulma Eleusine indica
Gulma E. indica dengan nama lokal belulang memiliki sistem perakaran serabut.
Batang tegak hingga 50 cm, serta bagian pangkalnya membentuk roset. Daun
berbentuk pita, bagian lidah daunnya memiliki rambut yang halus. Bunga
berbentuk bulir yang terdiri dari 2 hingga 12 cabang yang tersusun secara menjari.
Gulma E.indica dapat berkembangbiak dengan menggunakan biji dan tumbuh di
berbagai tempat dengan ketinggian tempat mencapai 2.000 m dpl (Sastroutomo
dalam Ulluputy, 2014). Berikut ini gulma E.indica dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kondisi di lapang (a), gulma dewasa (b), gulma juvenil (c),
pembungaan (d) gulma E. indica (Sriyani et al., 2014).
Klasifikasi E. indica:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Graminales
Famili : Graminae
19
Genus : Eleusine
Spesies : Eleusine indica
Salah satu gulma yang membutuhkan penanganan serius ialah gulma belulang,
gulma ini banyak ditemukan di kebun sayuran dan perkebunan kelapa sawit,
karet, ubi kayu dan kebun buah-buahan. E. indica memiliki sistem perakaran
serabut, bagian bawah daun berwarna putih atau perak dan daunnya melipat dan
merata di atas permukaan tanah. Untuk satu tanaman biasanya dapat
menghasilkan sekitar 50.000 biji (Breden dan James, 2015).
Gulma E. indica dapat ditemukan di tempat yang teduh atau tidak terlalu kering,
di sepanjang perbatasan dan saluran irigasi, di kebun, pada lahan subur.
Penyebaran gulma E. indica adalah subtropika kemudian ditemukan dari
Amerika Tengah, Selatan dan Timur, Afrika Barat, Cina bagian Selatan, Asia
Tenggara, Hawaii dan di seluruh Indonesia (Sriyani et al., 2014).
Keberadaan E. indica sudah banyak yang melaporkan resisten-glifosat dari tahun
1997 sampai 2017 dari negara Malaysia, Colombia, Bolivia, Cina, Costa Rica,
Mississippi, Tennessee, Argentina, Indonesia, Jepang, dan Brazil. Gulma
E. indica sudah resisten glifosat pertama kali pada tahun 1997 di Malaysia (Heap,
2018). Keberadaan E. indica resisten-glifosat pada perkebunan kelapa sawit juga
sudah dilaporkan, pertama kali terjadi di pembibitan kelapa sawit pada tahun 2009
di Malaysia kemudian pada tahun 2012 di Indonesia. Pada tahun 2019 sudah
terdapat 498 kasus gulma tahan herbisida secara global, dengan 255 spesies terdiri
dari 148 dikotil dan 107 monokotil (Heap, 2019).
20
2.4 Herbisida Glifosat
Glifosat pertama kali ditemukan oleh ahli kimia perusahaan Monsanto John E.
Franz pada tahun 1970. Herbisida glifosat mulai dipasarkan oleh perusahaan
Monsanto pada tahun 1970-an dengan nama dagang Roundup. Hak paten
perusahaan Monsanto terhadap glifosat berakhir pada tahun 2000 (Harini dan
Parameswari, 2015).
Menurut Wardoyo (2001), glifosat merupakan salah satu jenis bahan aktif
herbisida dengan nama kimia N-fosfonometil glisina dengan rumus molekul
C3H8NO5P adalah salah satu bahan aktif dari herbisida golongan organofosfor,
yang diproduksi oleh Monsanto Co.USA tahun 1971. Bentuk fisiknya berupa
bubuk berwarna putih, mempunyai bobot jenis (BJ) 0,5 g/cm3 dan kemampuan
larut dalam air 1,2%. Struktur kimia glifosat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun glifosat (Williams et al., 2000)
Menurut Kremer dan Means (2009) glifosat merupakan herbisida yang mudah
larut dalam air, tidak selektif, serta aplikasi herbisida ini melalui daun dapat
menyebabkan kematian pada berbagai tumbuhan herbaceous. Cerdeira dan Duke
(2006) menyebutkan bahwa glifosat merupakan herbisida yang sangat efektif
karena senyawanya tetap utuh dan degradasinya sangat kecil di dalam tumbuhan.
21
Gejala keracunan glifosat akan terlihat pada 2 – 4 hari setelah aplikasi pada gulma
semusim dan 7 – 20 hari untuk gulma musiman (Sembodo, 2010). Herbisida ini
biasanya digunakan untuk mengendalikan gulma pada perkebunan seperti kelapa
sawit, padi, kakao, karet, jagung dan hortikultura.
Glifosat termasuk herbisida pascatumbuh yang berspektum luas dan bersifat
nonselektif. Herbisida glifosat efektif mengendalikan rumput tahunan, gulma
daun lebar, dan gulma yang memiliki perakaran dalam. Cara kerja herbisida
glifosat yaitu sistemik sehingga dapat mematikan seluruh bagian gulma hingga
kebagian perakaran. Hal ini terjadi karena glifosat ditranslokasikan dari tempat
terjadinya kontak pertama dengan herbisida menuju titik tumbuh umumnya,
karena pada bagian tersebut berlangsung metabolisme aktif pada tumbuhan
(Sembodo, 2010).
Glifosat merupakan herbisida potensial karena memiliki kemampuan untuk
bertranslokasi di dalam jaringan tumbuhan ke meristem apikal, meristem akar dan
di bawah organ reproduktif tumbuhan. Glifosat membunuh tumbuhan dengan
menghambat EPSP-synthase yang merupakan langkah penting dalam proses
biosintesis asam amino dan produk sampingan tumbuhan. Gen EPSP-synthase
banyak ditemukan di jaringan meristem, bunga, batang, daun dewasa dan
kotiledon. Penghambatan EPSP-synthase oleh glifosat menghasilkan akumulasi
shikimate-3-phosphate dan shikimate pada jaringan tumbuhan (Shaner, 2009).
22
Gambar 4. Skema penghambatan enzim EPSP-synthase oleh glifosat (Duke dan
Powles, 2008).
Berdasarkan Gambar 4, diketahui bahwa glifosat mengikat dan memblok aktifitas
enzim EPSP-synthase yang berperan penting dalam mengubah karbohidrat
sederhana yang berasal dari glikolisis dan jalur fosfat pentosa menjadi asam
amino aromatik dan banyak bentuk lainnya yang berperan penting untuk
metabolisme tumbuhan. Enzim ini umumnya terletak di kloroplas, tempat
berlangsungnya katalisis reaksi shikimate-3-fosfat (S3P) dan phosphoenol piruvat
untuk membentuk 5-enolpyruvyl-shikimate-3-fosfat (ESP). Persamaan struktural
phosphoenol piruvat mengaktifkan glifosat untuk mengikat substrat enzim EPSP-
synthase, menghambat aktivitas dan pemblokiran ke dalam kloroplas.
Penghambatan jalur asam sikimat menyebabkan kekurangan asam amino aromatik
hingga akhirnya menimbulkan kematian pada tumbuhan (Duke dan Powles,
2008).
23
Glifosat termasuk herbisida yang tidak mencemari lingkungan karena bersifat
tidak aktif di dalam tanah serta dapat didegradasi oleh mikroba tanah. Glifosat
didegradasi oleh bakteri tanah dengan dua cara yaitu melalui jalur sarkosin dan
asam aminometilfosfonat (AMPA) (Fan et al., 2012). Menurut Widowati et al.
(2017) pemutusan ikatan C-P dari glifosat oleh bakteri menghasilkan fosfonat dan
sarkosin. Fosfonat digunakan bakteri sebagai sumber fosfor sedangkan sarkosin
digunakan sebagai sumber karbon untuk menghasilkan glisin. Selain itu,
pemutusan ikatan C-N pada struktur glifosat dimanfaatkan bakteri sebagai sumber
karbon dengan menghasilkan asam aminometilfosfonat (AMPA).
Penggunaan herbisida secara terus-menerus selama 30 tahun dapat memberikan
dampak bagi lingkungan, terjadinya keracunan pada organisme nontarget, polusi
sumber-sumber air dan kerusakan tanah serta keracunan akibat residu herbisida
pada produk pertanian (Genowati dan Suwahyono, 2008 dalam Pujisiswanto,
2012).
Rolando et al. (2017) menyebutkan bahwa glifosat memiliki DT50 (time for 50%
disappearance) pada kisaran 1-130 hari tergantung dari jenis tanah dan DT50
hingga <190 hari pada air setelah dimetabolisme menjadi AMPA (asam
aminometilfosfonat). DT50 pada umumnya digunakan untuk mengukur waktu
degradasi dan persistensi herbisida di lingkungan. Menurut Williams et al. (2000)
glifosat memiliki lethal dose (LD50) baik secara oral atau dermal >5000 mg kg-1
berat badan tikus. DT50 tersebut tergolong tinggi sehingga herbisida glifosat
termasuk aman bagi manusia dan hewan jika dipakai sesuai dengan petunjuk
penggunaan.
24
2.5 Resistensi Gulma Terhadap Herbisida
2.5.1 Pengertian Resistensi
Resistensi terhadap herbisida merupakan suatu keadaan tumbuhan tetap bertahan
hidup dan berkembang pada dosis herbisida yang umumnya mematikan spesies
tersebut. Pada beberapa negara, muncul biotipe gulma yang resisten terhadap
herbisida. Biotipe tersebut merupakan populasi spesies tumbuhan yang memiliki
“karakteristik yang luar biasa” dari spesies pada umumnya. Karakteristik tersebut
dapat berupa ketahanan/resistensi spesies terhadap suatu herbisida. Munculnya
resistensi herbisida pada suatu populasi merupakan suatu contoh terjadinya
evolusi gulma yang sangat cepat (Hager dan Refsell, 2008).
Populasi resisten merupakan suatu kemampuan heritabilitas satu biotipe atau
populasi gulma untuk bertahan hidup akibat aplikasi herbisida (Reade dan Milner,
2004). Meningkatnya resistensi herbisida merupakan proses evolusi sebagai hasil
penggunaan terus-menerus dari suatu herbisida. Populasi gulma perlahan-lahan
berubah mulai dari komposisi gen pada suatu alel yang menjadi resisten sehingga
menyebabkan resistensi dari suatu jenis gulma meningkat dan dapat beradaptasi
dengan jenis herbisida yang diberikan (Jasieniuk et al., 1996 dalam Yulivi et al.,
2014).
Penggunaan herbisida dengan bahan aktif ataupun mekanisme kerja yang sama
secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal menjadi salah
satu faktor pemicu terjadinya dominansi populasi gulma resisten herbisida.
Individu yang menjadi resisten akan tumbuh normal dan bereproduksi sehingga
25
menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang bertahan hidup pada
aplikasi herbisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan
terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunannya (Georgious dan
Taylor, 1986).
2.5.2 Mekanisme Resistensi
Resistensi gulma dapat terjadi ketika herbisida diaplikasi pada spesies toleran
selama 3 – 5 tahun. Herbisida yang tersisa di dalam tanah umumnya dapat
meningkatkan biotipe resisten. Secara alami terjadi mutasi yang dapat diwariskan
pada keturunan spesies gulma. Dalam jangka panjang, biotipe yang resisten
berubah menjadi biotipe dominan dalam suatu populasi gulma. Satu atau lebih
alel resisten mulai muncul pada lahan populasi gulma (Monaco et al., 2002).
Resistensi gulma terhadap herbisida dapat terjadi akibat adanya mutasi pada site
of action gulma sehingga herbisida tidak dapat meracuni gulma. Selain mutasi
pada site of action, terdapat mekanisme lain seperti metabolisme herbisida,
mengurangi translokasi dan serapan herbisida, dan degradasi herbisida atau
metabolitnya (Manalil, 2015). Gulma yang dikendalikan dengan bahan kimia
(herbisida), akan terjadi tekanan seleksi yang sangat ketat. Tekanan seleksi ini
dapat membunuh 99,99% dari populasi gulma yang dikendalikan. Namun, jika
ada beberapa individu yang bertahan terhadap aplikasi herbisida, akan terjadi
perubahan fenotipe dan proporsi genotipe untuk menjadi gulma yang benar-benar
resisten terhadap herbisida dalam beberapa generasi (Garcia et al., 2015).
26
Terdapat dua jenis resistensi herbisida yaitu Resistensi Silang (Cross Resistance)
dan Resistensi Ganda (Multiple Resistance). Resistensi silang terjadi ketika
biotipe gulma telah memperoleh resistensi terhadap lebih dari satu herbisida
dengan bahan aktif yang sama tetapi mekanisme kerja berbeda. Resistensi ganda
terjadi ketika biotipe gulma resisten terhadap herbisida yang berbahan aktif
berbeda dan mempunyai mekanisme kerja yang berbeda (Prostko dan Culpepper,
2005).
Spesies tumbuhan yang resisten merupakan spesies yang memiliki karakteristik
tertentu yang berbeda dibandingkan spesies tumbuhan yang rentan terhadap
herbisida. Keempat mekanisme yang dikenal resistensi terhadap herbisida adalah:
1. Berubahnya target-site. Herbisida memiliki target aksi tertentu yang pada
umumnya bertindak untuk mengganggu proses atau fungsi tertentu dalam
tumbuhan. Jika target aksi ini berubah, herbisida tidak lagi terikat ke lokasi
aksi dan tidak dapat mengerahkan efek fitotoksiknya. Mekanisme ini
merupakan mekanisme yang paling umum dari resistensi herbisida.
2. Peningkatan metabolisme. Metabolisme pada tumbuhan merupakan salah satu
mekanisme tanaman yang digunakan untuk mendetoksifikasi senyawa asing
seperti herbisida. Gulma yang resisten dapat memiliki kemampuan untuk
cepat menonaktifkan herbisida yang berpotensi toksik sebelum dapat
mencapai target-site di dalam tanaman.
3. Kompartementasi atau penyerapan. Beberapa tumbuhan mampu membatasi
pergerakan senyawa asing yang menyebabkan efek berbahaya bagi tumbuhan
seperti herbisida dalam sel atau jaringan tanaman. Dalam hal ini, herbisida
27
dapat dinonaktifkan atau dihapus dari daerah aktif secara metabolik dari sel ke
daerah-daerah yang tidak aktif, sehingga herbisida menjadi tidak berpengaruh.
4. Over- ekspresi protein target. Jika protein target pada tumbuhan diproduksi
dalam jumlah besar, maka efek herbisida dapat menjadi tidak signifikan atau
tidak berpengaruh bagi tumbuhan (Buhler, 2002).
Menurut Heap (2014) terdapat lima mekanisme utama resistensi herbisida yaitu:
1. Perubahan target site yang disebabkan oleh hasil modifikasi susunan enzim
yang menghalangi herbisida dari efektifitas substitusi. Jika herbisida tidak
dapat mengikat enzim maka tanaman akan bertahan hidup karena masih bisa
memproduksi asam-asam amino yang berguna dalam sintesis DNA.
2. Peningkatan metabolisme pada gulma sehingga gulma mampu mendegradasi
herbisida sebelum merusak susunan enzim.
3. Penurunan daya penyerapan dan/ atau translokasi herbisida karena gerakan
herbisida dibatasi sehingga herbisida tidak mencapai lokasi kerjanya dalam
konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan kematian. Penyerapan herbisida
ke dalam dinding sel yang menyebabkan herbisida tetap terjaga sebelum
mensubstitusi ke dalam molekul enzim.
4. Amplifikasi gen/over-ekspresi yang menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi enzim sasaran herbisida sehingga gulma menjadi resisten.
2.5.3 Perkembangan Resistensi
Kasus resistensi terhadap herbisida pertama kali dilaporkan pada tahun 1957 di
Hawai yaitu kasus resistensi wortel spesies liar terhadap herbisida 2,4-D
(golongan phenoxy). Selanjutnya, pada tahun 1970 di Washington (Amerika
28
Serikat) terjadi kasus resisten Senecio vulgaris terhadap herbisida triazine. Pada
tahun 1980, Conyza canadensis, Erigeron philadelphicus L., E. sumatrensis dan
Youngia japonica DC. diidentifikasi resisten terhadap parakuat pada kebun buah-
buahan di Jepang. Pada tahun 1966 di Australia ditemukan biotipe gulma yang
resisten terhadap glifosat yaitu Rigid ryegrass (Lolium rigidum) dan kemudian
dilaporkan pada tahun 1997 (Heap, 2005).
Pada tahun 1990 an dilaporkan 27 species gulma mempunyai 84 biotipe yang
resisten terhadap paraquat di 12 negara. Resistensi gulma Eleusine indica dan
Lolium rigidum terhadap glifosat dilaporkan pada tahun 1999. Pada tahun 1998,
216 biotipe gulma diidentifikasi resisten terhadap 15 jenis herbisida di 45 negara.
Contoh resistensi diantaranya terjadi pada Eleusine indica resisten terhadap
glifosat di Malaysia dan resistensi Lolium rigidum resisten terhadap herbisida
golongan ACCase, kemudian berkembang resistensi silang dan ganda terhadap
beberapa herbisida AlS, triazine, phenylurea, dinitroanilin dan herbisida selektif
lainnya (Sriyani, 2014).
Saat ini terdapat lebih dari 304 biotipe gulma resisten herbisida di seluruh dunia.
Ini termasuk 182 spesies yang berbeda dari tanaman (109 dikotil dan monokotil
73). Diperkirakan bahwa lebih dari 270.000 bidang di seluruh dunia memiliki
masalah gulma resisten (Prostko dan Culpepper, 2005).
Dilaporkan oleh Heap (2019) bahwa kasus resistensi gulma di dunia meningkat
dari tahun ke tahun. Laporan mengenai jumlah spesies gulma yang resisten
terhadap beberapa jenis herbisida berdasarkan side of action nya dapat dilihat
pada Gambar 5. Pada tahun 1995, herbisida glifosat dengan mekanisme kerja
29
penghambat enzim EPSP dilaporkan pertama kali terdapat spesies gulma yang
resisten terhadap herbisida tersebut dan meningkat menjadi ± 40 spesies gulma
resisten tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa 25 tahun setelah
diperkenalkannya herbisida glifosat pada tahun 1970 telah terdapat ±40 spesies
gulma yang resisten terhadap herbisida glifosat (penghambat enzim EPSP).
Gambar 5. Grafik jumlah spesies gulma yang resisten terhadap beberapa
jenis herbisida (Heap, 2019).
Keterangan: 1 = Penghambat ACCase, 2 = Penghambat ALS, 3 = Penghambat
Mikrotubulus, 4 = Auksin sintetis, 5,6,7 = Penghambat PSII,
9 = Penghambat enzim EPSP, 22 = Pengalih Elektron PSI,
27 = Penghambat HPPD
Beberapa karakteristik herbisida yang dapat memicu perkembangan resistensi
antara lain:
1. Herbisida yang hanya bekerja pada satu lokasi target tertentu
2. Herbisida yang digunakan beberapa kali selama musim tanam atau yang
memiliki kemampuan meresidu tanah dalam jangka waktu yang panjang
30
3. Penggunaan herbisida secara kontinyu di lokasi yang sama pada tanaman yang
sama maupun pada tanaman yang berbeda (Baumann, 2004).
Menurut Purba (2009), di perkebunan Malaysia telah dilaporkan bahwa ada tiga
jenis gulma yang resisten terhadap glifosat yaitu Hedyotis verticillata,
Chromolaena odorata dan Eleusine indica. Hal ini dikarenakan penggunaan
herbisida secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama menyebabkan
perubahan gen pada populasi yang sebelumnya toleran menjadi resisten.
Keberadaan E. indica resisten terhadap herbisida glifosat telah dilaporkan di
perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelitian Lubis et
al. (2012) menunjukkan bahwa populasi E. indica dari Kebun Adolina Serdang
Bedagai telah resisten terhadap glifosat sebesar 7 kali dibandingkan populasi
sensitif. Penelitian Dalimunthe et al. (2015) menyatakan bahwa populasi
E. indica yang berasal dari Kebun Adolina Serdang Bedagai terbukti telah
berkembang menjadi resisten ganda terhadap glifosat dan parakuat. Tingkat
resistensi terhadap glifosat sebesar 7,5 kali dibandingkan populasi sensitif. Selain
itu Rahmadhani et al. (2016) juga melaporkan bahwa populasi E. indica dari
Kebun Sei Daun Labuhan Batu Selatan telah resisten glifosat sebesar 6,3 kali,
E. indica dari Kebun Adolina Serdang Bedagai telah resisten-glifosat sebesar 16,7
kali, E. indica dari Kebun Galang Serdang Bedagai telah resisten-glifosat sebesar
5,2 kali, E. indica dari Kebun Rambutan Serdang Bedagai telah resisten-glifosat
sebesar 5,8 kali, dan E. indica dari Kebun Sawit Seberang Langkat telah resisten-
glifosat sebesar 5,1 kali. Penelitian Syahputra et al. (2016) melaporkan populasi
E. indica dari Blok Afdeling 1 sampai 9 di Kebun Adolina Serdang Bedagai sudah
31
resisten-glifosat sebanyak 57 populasi (98,28%) dan 1 populasi berkembang
resisten glifosat (1,72%).
Menurut Tampubolon dan Purba (2018), beberapa kebun kelapa sawit di
Kabupaten Langkat dilaporkan bahwa dari 19 populasi Eleusine indica terdapat 8
populasi yang tergolong resisten terhadap glifosat (42,11%), 8 populasi yang
tergolong moderate atau berkembang resisten (42,11%), dan 3 populasi yang
tergolong sensitif (15,79%).
Menurut hasil penelitian Manik (2019), menunjukkan bahwa glifosat dengan dosis
3000 mL/ha dan 3500 mL/ha paling efektif menyebabkan kematian gulma E.
indica. Hal ini menunjukkan bahwa gulma E. indica dari Kebun Benih Unit
Adolina Afd.III, Gedung Johor, Deli Serdang, Medan telah mengalami resistensi
tingkat tinggi terhadap herbisida berbahan aktif glifosat.
62
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – September 2019 di Laboraorium
Ilmu Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung dan
rumah plastik di area Perguruan Tinggi Al-Madani Jln Kavling Raya Kecamatan
Rajabasa Kota Bandar Lampung.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah knapsack sprayer, nosel merah,
gelas ukur, nampan plastik, pot plastik berdiameter 10 cm dan 18 cm, keranjang
plastik, meteran, hand sprayer, ember, sekop kecil, alat tulis, timbangan, oven,
amplop kertas, label dan kamera.
Bahan yang digunakan pada Tahap I adalah bibit gulma A. gangetica dan E.
indica yang terpapar dan tidak terpapar herbisida glifosat (sebagai gulma
pembanding), herbisida Grandup 480 SL dengan bahan aktif glifosat 480 gr/lt,
insektisida, pupuk kandang, tanah dan air, sedangkan bahan yang digunakan
untuk Tahap II adalah biji gulma yang bertahan hidup setelah diaplikasi glifosat
pada tahap 1, biji keturunan gulma tidak terpapar, cocopeat, pupuk organik, tanah,
pupuk kandang, herbisida glifosat, insektisida, dan air.
33
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian terdiri atas dua tahap percobaan. Pengujian resistensi tahap I bertujuan
untuk mengkonfirmasi resistensi gulma A. gangetica dan E. indica terhadap
herbisida glifosat dan memperoleh bahan untuk pengujian tahap II, sedangkan
pengujian tahap II bertujuan untuk mengetahui apakah sifat resisten pada gulma
A. gangetica dan E. indica diwariskan kepada keturunannya.
3.4 Pengujian Resistensi Tahap I
3.4.1 Survei Lapang
Survei lapang bertujuan untuk mementukan lokasi pengambilan gulma. Survei
lokasi gulma terpapar herbisida glifosat dalam jangka waktu lama (lebih dari 30
tahun tahun atau sejak tahun 1980) yaitu di perkebunan kelapa sawit Jl. Negaratu,
Desa Rejosari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandar
Lampung (Gambar 6). Survei gulma yang tidak terpapar dilakukan di sekitar
rumah warga Jl. Purwosari, Desa Rejosari, Kacamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan, Kota Bandar Lampung yang belum pernah diaplikasi herbisida
glifosat (Gambar 7). Jarak lokasi pengambilan gulma terpapar dan tidak terpapar
herbisida glifosat ±1 km.
34
Gambar 6. Lokasi pengambilan gulma terpapar glifosat pada koordinat
5°17'42.3"S 105°10'24.4"E (a) Lokasi pengambilan gulma tidak
terpapar glifosat pada koordinat 5°17'54.9"S 105°10'23.4"E (b)
(Sumber: google maps)
3.4.2 Pengambilan Bibit Gulma
Pengambilan bibit gulma dilakukan pada lokasi yang telah disurvei sebelumnya.
Bibit gulma yang digunakan dalam penelitian adalah yang memiliki 2 – 4 daun
dan dikelompokkan berdasarkan gulma yang berukuran seragam. Pengambilan
bibit gulma dilakukan menggunakan sekop kecil dan dilakukan dengan cara
mengangkat bibit gulma beserta tanah di sekitar akarnya kemudian dipindahkan
ke dalam nampan plastik.
3.4.3 Penanaman Bibit Gulma
Bibit gulma yang telah diambil kemudian dipindah tanam pada pot plastik
berukuran 10 cm yang telah berisi media tanam. Media tanam yang digunakan
adalah campuran pupuk kandang dan tanah dengan perbandingan 1 : 2. Dalam 1
35
pot plastik ditanam 1 bibit gulma. Pada tahap I gulma A. gangetica dan E.indica
yang ditanam masing-masing sebanyak 50 pot plastik.
3.4.4 Pemeliharaan Bibit Gulma
Gulma yang telah ditanam kemudian dipelihara hingga fase generatif.
Pemeliharaan gulma seperti penyiraman dilakukan pada pagi hari atau sore hari
dan dilakukan pengendalian dengan menyemprotkan insektisida. Selain itu,
dilakukan pencabutan gulma lain yang tumbuh pada media tanam gulma yang
diteliti. Pemeliharaan tersebut dilakukan setiap hari hingga gulma siap diaplikasi
herbisida glifosat. Gulma yang telah siap aplikasi herbisida glifosat ditandai
dengan munculnya bunga atau tunas baru pada gulma.
3.4.5 Kalibrasi Sprayer
Sebelum herbisida diaplikasi, dilakukan kalibrasi pada alat semprot punggung
(knapsack sprayer). Nosel yang digunakan adalah nosel warna merah dengan
lebar bidang semprot 2 m. Kalibrasi dilakukan agar setiap satuan percobaan
mendapat jumlah herbisida yang sama sesuai perlakuan. Kalibrasi dilakukan
dengan metode luas untuk menentukan volume semprot. Hasil kalibrasi yang
diperoleh 480 ml/10m2.
3.4.6 Aplikasi Herbisida Glifosat Tahap 1
Pengujian resistensi tahap I dilakukan untuk mengkonfirmasi resistensi gulma
terhadap herbisida glifosat. Pengujian dilakukan dengan mengaplikasikan
herbisida glifosat dengan dosis anjuran yaitu 960 g/ha pada gulma A. gangetica
36
dan E. indica yang terpapar herbisida glifosat. Setelah 14 HSA, dilakukan
pemisahan antara gulma yang bertahan hidup dengan gulma yang mati. Gulma
yang bertahan hidup (diduga resisten), dipindah tanam pada pot berdiameter 18
cm agar gulma dapat tumbuh optimum kemudian dipelihara hingga gulma
menghasilkan biji yang akan digunakan sebagai bahan pada pengujian resistensi
tahap II.
3.5 Pengujian Resistensi Tahap II
3.5.1 Bahan
Bahan yang digunakan adalah biji gulma yang bertahan hidup setelah diaplikasi
glifosat pada tahap I. Dari 39 gulma A. gangetica yang bertahan hidup dipanen
200 – 500 biji, sedangkan untuk gulma E. indica dari 50 gulma yang bertahan
hidup dipanen 500 – 1000 biji. Selanjutnya biji gulma disemai pada nampan yang
telah berisi media tanam cocopeat dan pupuk organik dengan perbandingan 2:1
sampai umur 50 HST untuk A. gangetica dan 64 HST untuk E. indica. Jumlah
gulma A. gangetica yang tumbuh adalah 100 – 200 gulma, sedangkan untuk
gulma E. indica adalah 300 – 500 gulma. Gulma yang telah memiliki 2 – 4 daun
(Gambar 7) selanjutnya dilakukan pindah tanam pada pot plastik berdiameter 10
cm dengan media tanam yang sama seperti tahap I. Gulma yang dipindah tanam
sebanyak 5 perlakuan dengan 5 ulangan dan diseragamkan berdasarkan jumlah
daun dan disusun berdasarkan tata letak percobaan. Selanjutnya dilakukan
pemeliharaan yang sama seperti pada tahap I hingga gulma siap diaplikasi
(Gambar 8).
37
Gambar 7. Kecambah gulma E. indica (a) dan kecambah gulma A. gangetica (b)
Gambar 8. Gulma A. gangetica (a) dan E. indica (b)
3.5.2 Rancangan Percobaan
Rancangan yang akan digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot
Design) dengan 5 ulangan. Rancangan perlakuan diterapkan secara terpisah pada
gulma A. gangetica dan E. indica. Setiap satuan percobaan terdiri dari satu gulma
pada satu pot plastik. Faktor pertama sebagai petak utama adalah asal gulma (A)
yang terdiri dari 2 taraf, yaitu A1 : keturunan gulma terpapar yang didapatkan dari
pengujian resistensi tahap I dan A2 : keturunan gulma yang tidak terpapar
herbisida glifosat. Faktor kedua sebagai anak petak yaitu dosis herbisida glifosat
(D) yang terdiri atas 5 tingkatan (Tabel 1).
a
b
a b
38
Tabel 1. Taraf dosis herbisida glifosat dalam pengujian resistensi gulma
Taraf dosis bahan aktif Bahan aktif (g/ha)
0 (D0) 0
½ x dosis anjuran (D1) 480
1 x dosis anjuran (D2) 960
2 x dosis anjuran (D3) 1.920
4 x dosis anjuran (D4) 3.840
Berikut ini tata letak percobaan untuk masing-masing gulma terlihat pada Gambar
9 dan 10.
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Ulangan IV
Ulangan V
Gambar 9. Tata Letak Percobaan Resistensi Gulma A. gangetica terhadap glifosat.
Keterangan: gulma terpapar herbisida glifosat (A1); gulma tidak
terpapar herbisida glifosat (A2); dosis 0 g/ha (D0); 480 g/ha (D1); 960
g/ha (D2); 1.920 g/ha (D3); 3.840 g/ha (D4).
A1D4 A1D0 A1D1 A1D3 A1D2
A2D0 A2D4 A2D2 A2D1 A2D3
A1D1 A1D0 A1D4 A1D3 A1D2
A2D4 A2D0 A2D2 A2D1 A2D3
A1D0 A1D4 A1D3 A1D2 A1D1
A2D4 A2D2 A2D0 A2D1 A2D3
A1D4 A1D1 A1D2 A1D0 A1D3
A2D3 A2D1 A2D0 A2D2 A2D4
A1D2 A1D1 A1D0 A1D4 A1D3
A2D1 A2D4 A2D3 A2D2 A2D0
39
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Ulangan IV
Ulangan V
Gambar 10. Tata Letak Percobaan Resistensi Gulma E. indica terhadap glifosat.
Keterangan: gulma terpapar herbisida glifosat (A1); gulma tidak
terpapar herbisida glifosat (A2); dosis 0 g/ha (D0); 480 g/ha (D1); 960
g/ha (D2); 1.920 g/ha (D3); 3.840 g/ha (D4).
3.5.3 Aplikasi Herbisida Glifosat Tahap II
Sebelum herbisida diaplikasi, dilakukan kalibrasi kembali seperti pada tahap I.
Hasil kalibrasi yang diperoleh 483 ml/10m2. Gulma yang telah siap diaplikasi
herbisida glifosat adalah gulma yang telah mencapai pertumbuhan generatif atau
berumur 95 HST. Gulma yang akan diaplikasi, disusun kemudian disemprot
merata sesuai dosis perlakuan. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. Gulma
yang telah diaplikasi herbisida diletakkan pada lahan terbuka yang terkena sinar
matahari agar penyerapan herbisida oleh gulma dapat optimal. Selanjutnya gulma
disusun pada rak di rumah plastik sesuai perlakuan percobaan.
A1D3 A1D1 A1D2 A1D4 A1D0
A2D4 A2D1 A2D0 A2D3 A2D2
A1D3 A1D4 A1D1 A1D2 A1D0
A2D1 A2D4 A2D2 A2D0 A2D3
A1D2 A1D1 A1D3 A1D4 A1D0
A2D4 A2D3 A2D1 A2D0 A2D2
A1D1 A1D3 A1D4 A1D0 A1D2
A2D0 A2D2 A2D4 A2D1 A2D3
A1D2 A1D1 A1D3 A1D0 A1D4
A2D1 A2D0 A2D2 A2D3 A2D4
40
3.5.4 Variabel Pengamatan
3.5.4.1 Persen Keracunan
Pengamatan persen keracunan dilakukan dengan mengamati secara visual gejala
yang ditimbulkan herbisida pada gulma yaitu perubahan warna daun, bentuk daun,
pertumbuhan tanaman tidak normal, mengering dan matinya gulma. Pengamatan
persen keracunan gulma terhadap herbisida glifosat dimulai hari ke-2 HSA hingga
20 HSA dengan selang waktu 2 hari. Pengamatan diberhentikan apabila gulma
menunjukkan gejala pemulihan dari keracunan herbisida atau saat tumbuh tunas
baru. Penentuan persen keracunan dilakukan dengan membandingkan gulma
yang diberi perlakuan herbisida dengan gulma tanpa perlakuan (kontrol).
Pengamatan persen keracunan dilakukan sebanyak dua ulangan (dua orang
pengamat).
3.5.4.2 Bobot Kering Gulma
Pemanenan dilakukan pada akhir pengamatan yaitu 20 HSA. Gulma dipanen
dengan cara memotong pangkal batang gulma. Gulma yang dipanen hanya bagian
yang masih hidup, sedangkan bagian yang sudah mati dibuang. Masing-masing
gulma yang telah dipanen dimasukkan ke dalam amplop kertas yang telah diberi
label sesuai perlakuan. Gulma dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama
48 jam. Selanjutnya gulma ditimbang dan dicatat bobotnya sesuai perlakuan.
41
3.5.5 Analisis Data
3.5.5.1 Kecepatan Meracuni Gulma
Kecepatan herbisida dalam meracuni gulma diperoleh dari data persen keracunan.
Data tersebut kemudian diolah dengan analisis probit untuk menghasilkan nilai
LT50. LT50 adalah waktu yang dibutuhkan herbisida untuk meracuni gulma 50%.
Nilai LT50 diperoleh melalui persamaan regresi linear yaitu Y = aX + b, dimana Y
adalah nilai probit dari persen keracunan gulma dan X adalah log hari pengamatan
persen keracunan. Jika nilai X telah diketahui maka nilai LT50 dapat diketahui
dengan antilog nilai X tersebut (Guntoro dan Fitri, 2013).
3.5.5.2 Persentase Kerusakan Gulma dan Median Effective Dose (ED50)
ED50 adalah suatu nilai yang menunjukkan keefektifan dosis herbisida dalam
meracuni gulma 50%. Data bobot kering gulma yang diperoleh kemudian
dikonversi menjadi persen kerusakan. Persen kerusakan adalah nilai yang
menunjukkan seberapa besar herbisida dapat mematikan gulma. Nilai persen
kerusakan dapat diperoleh dengan membandingkan nilai bobot kering perlakuan
herbisida dengan kontrol menggunakan persamaan berikut:
Keterangan:
P = Nilai bobot kering gulma dengan perlakuan herbisida
K = Nilai bobot kering gulma kontrol
Persen kerusakan ditransformasi ke dalam nilai probit dengan tabel probit. Taraf
dosis yang diuji diubah kedalam bentuk log. Dari nilai probit persen kerusakan
(Y) dan log dosis (X), ditentukan persamaan regresi sederhana Y = aX + b. Dari
Persen Kerusakan (%) = (1-(P/K)) x 100%
42
persamaan tersebut, ditentukan nilai X untuk Y = 5 karena yang dicari adalah
ED50 (nilai probit dari 50% adalah 5). Nilai X kemudian dianti log sehingga
diperoleh ED50 gulma (Guntoro dan Fitri, 2013).
3.5.5.3 Nisbah Resistensi (NR)
Nisbah Resistensi (NR) merupakan nilai dari perbandingan ED50 gulma terpapar
dengan gulma tidak terpapar. Berdasarkan nisbah resistensi diketahui status
resistensi gulma terpapar herbisida secara terus - menerus. Gulma tergolong
resistensi tinggi apabila nilai NR >12, resistensi sedang apabila nilai NR 6-12,
resistensi rendah apabila nilai NR 2-6, dan tergolong sensitif apabila nilai NR < 2
(Ahmad-Hamdani et al., 2012).
62
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Nilai LT50 (Median Lethal Time) gulma A. gangetica terpapar glifosat yaitu
9 – 44 HSA dan E. indica 9 – 15 HSA, sedangkan gulma A. gangetica tidak
terpapar glifosat yaitu 7 – 13 HSA dan E. indica 4 – 7 HSA.
2. Nilai ED50 (Median Effective Dose) gulma A. gangetica terpapar glifosat yaitu
288,94 dan E. indica 426,29 g/ha, sedangkan gulma A. gangetica dan
E. indica tidak terpapar memiliki nilai ED50 yang sama yaitu 80,04 g/ha.
3. Asystasia gangetica dan Eleusine indica terpapar glifosat digolongkan sebagai
gulma yang mengalami resistensi rendah terhadap glifosat dengan nilai Nisbah
Resistensi (NR) berturut-turut 3,61 dan E. indica 5,33.
4. Sifat resisten pada gulma A. gangetica dan E. indica diwariskan dari tetua
kepada keturunan hasil perbanyakan generatif (reproduksi seksual).
5.2 Saran
Adapun saran penulis untuk penelitian selanjutnya yaitu
1. Perlu dilakukan penelitian yang sama dengan menggunakan dosis yang lebih
tinggi pada gulma A. gangetica dan E. indica.
60
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang segregasi resistensi gulma
A. gangetica dan E. indica yang telah mengalami resistensi pada perkebunan
kelapa sawit Lampung Selatan terhadap herbisida glifosat.
61
DAFTAR PUSTAKA
Adriadi, A., Chairul, dan Solfiyeni. 2012. Analisis Vegetasi Gulma pada
Perkebunan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kilangan, Muaro
Bulian, Batang Hari. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 1(2): 108–115.
Ahmad-Hamdani, M. J. Owen, Qin Yu, and S.B. Powles. 2012. ACCase
Inhibiting Herbicide-Resistant Avena spp. Populations from the Westrn
Australian Grain Belt. Weed Technology. 26:130 – 136.
Alcantara, R., Fernandez, P., Smeda, R. J., Alves, P. L., & De Prado, R. 2016.
Response of Eleusine indica and Paspalum distichum to glyphosate
following repeated use in citrus groves. Crop Protection. 79:1–7.
Anjani, N. D. 2018. Resistensi Gulma Rumput Axonopus compressus, Eleusine
indica, dan Ottochloa nodosa Asal Perkebunan Kelapa Sawit Lampung
Selatan terhadap Glifosat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Amalia, P. 2009. Efikasi herbisida kalium glifosat (Touchdown 450 SL) terhadap
gulma pada budidaya karet (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg.) dan kelapa
sawit (Elaeis guineensis Jacq.) menghasilkan. Skripsi. Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung. 134 hlm.
Aristya, G.R., R. Arifiyanti, dan A. Rif’ah. 2014. Pewarisan Sifat Ketahanan
Hidup dan Karakter Fenotipik Melon (Cucumis melo L. “TALITA” &
“TANIA”) Hasil Persilangan Backcross dan Testcross Induk Tacapa Pada
Kondisi Karst Secara In-Vivo. Jurnal Ilmiah Biologi. 2(1):34–42.
Artanto, A. dan A.P. Lontoh. 2008. Pengendalian gulma dalam hubungannya
dengan pemupukan tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di
Kebun Gunung Kemasan Estate PT Bersama Sejahtera Sakti, Minamas
Plantation, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Makalah Seminar Program
Studi Agronomi dan Hortikultura. 5 hlm.
Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2017.
https://www.bps.go.id. [16 Februari 2019].
62
Bakar, B.H. 2004. Invasive Weed Species in Malaysian Agro-Ecosystems:
Species, Impacts and Management. Malaysian Journal of Science 23:1–42.
Baumann, P.A. 2004. Weed Resistance to Herbicides. http://publications.tamu.
edu. [1 Desember 2018].
Boger, P., K. Wakabayashi, and K. Hirai. 2002. Herbicide Classes in
Development: Mode of Action, Targets, Genetic Engineering, Chemistry.
Springer-Verlag Berlin Heindberg. New York. 373 hlm.
Breden, G and James T.B. 2015. Goosegrass (Eleusine indica). Turfgrass Science.
University of Tenessee. www.tenesseturfgrassweeds.org. [16 Februari
2019].
Buhler,W. 2002. Incidence and History of Herbicide Resistance (WSSA).
Pesticide Environmental Stewardship. Promoting Proper Pesticide Use and
Handling. Center for Integrated Pest Management.
Cerdeira, A.L. dan S.O. Duke. 2006. The current status and environmental
impacts of glyphosate-resistant crops: a review. J. Environ. Qual. 35:1633–
1658.
Chun, Z., Li, F., Ting-ting, H., Cai-hong, Y., Guoqi, C., & Xing-shan, T. 2015.
Investigating the Mechanisms of Glyphosate Resistance in Goosegrass
(Eleusine indica) Population from South China. Journal of Integrative
Agriculture. 14(5):909–918.
[CRC] Cooperative Research Centre for Australian Weed Management. 2003.
Weed management guide: Asystasia gangetica ssp. micrantha.
https://www.environment.gov.au/biodiversity/invasive/weeds/publications
/guidelines/alert/pubs/a-gangetica.pdf. [6 Januari 2019].
Dalimunthe, S. P., E. Purba & Meiriani. 2015. Respons Dosis Biotip Rumput
Belulang (Eleusine indica L. Gaertn) Resisten-Glifosat terhadap Glifosat,
Parakuat dan Indaziflam. Jurnal Online Agroekoteknologi. 3(2):625–633.
Ditjenbun. 2013. Suksesi Gulma pada Tanaman Perkebunan.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpsurabaya/berita-234-suksesi-
gulmapada-tanaman-perkebunan-.html. [20 September 2019].
Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian Edisi Revisi.
Kanisius. Yogyakarta.
Duke, S.O. dan S.B. Powles. 2008. Glyphosate: A Once in A Century
Herbicide.Pest Management Science. 64:319–325.
Elfandari, H. 2017. Uji Resistensi Gulma Asystasia gangetica, Axonopus
compressus, Cyperus kyllingia dan Eleusine indica Asal Perkebunan
63
Kelapa Sawit Lampung Selatan terhadap Herbisida Glifosat. (Tesis).
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Fan, J., G. Yang, H. Zhao, G. Shi, Y. Geng, T. Hou, dan K. Tao. 2012. Isolation,
identification and characterization of a glyphosate-degrading bacterium,
Bacillus cereus CB4, from soil. Journal of Genetic and Applie
Microbiology. 58:263–271.
Fauzi, Y. 2006. Kelapa Sawit. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Figueiredo, M. R., L.J. Leibhart, Z.J Reicher, P.J Tranel, S.J. Nissen, P. Westra,
and M. Jugalam. 2018. Metabolism of 2,4-Diclorophenoxyacetic acid
contributes to resistance in a common waterhemp (Amaranthus
tuberculatus) population. Pest Manag Sci. 74 (10):2356–2362.
Garcia, J. R., T. Mortera, E. Uscanga, and T. Carlos. 2015. Effect of Herbicide
Resistance on Seed Physiology of Phalaris Minor (Littleseed canarygrass).
Botanical Sciences. 93(3): 661–667.
Georgious, G. P and C. E. Taylor, 1986. Factors Influencing the Evolution of
Resistance. Committee on Strategies for the Management of Pesticide
Resistant Pest Populations. National Academy Press, Washington, D.C.
157–169 .
Guntoro, D. Fitri, and T. Yuga. 2013. Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif
Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah. Buletin Agrohorti 1(1):140–148.
Hager, A.G. dan Refsell, D. J. 2008. Herbicides persistence and how to test for
residues in soils. Illinois Agricultural Pest Management Handbook.
University of Illinois Extension. Urbana.
Hakim, M. 2007. Agronomis dan Manajemen Kelapa Sawit : Buku Pegangan
Agronomis dan Pengusaha Kelapa Sawit. Lembaga Pupuk Indonesia.
Jakarta. 305 hlm.
Harini, V. dan S. Parameswari. 2015. Comparative study of glyphosate removal
by adsorption technique. International Journal of Science and Engineering
Research. 3:1–3.
Hartatik, S. 2007. Pewarisan Sifat Ketahanan Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Terhadap Penyakit Bulai. Jurnal Agroteksos. 17(2):99–104.
Heap, I. 2005. International Survey of Herbicide-Resistant Weed.
http://www.weedscience.org. [3 Desember 2018].
Heap, I. 2011. International Survey of Herbicide-Resistant Weed.
http://www.weedscience.org. [3 Desember 2018].
64
Heap, I. 2012. International Survey of Herbicide-Resistant Weed.
http://www.weedscience.org. [3 Desember 2018].
Heap, I. 2014. Herbicide Resistant Weeds. Integrated Pest Management.
281–301.
Heap, I. 2018. International Survey of Herbicide-Resistant Weed.
http://www.weedscience.org. [3 Desember 2018].
Heap, I. 2019. International Survey of Herbicide-Resistant Weed.
http://www.weedscience.org. [16 Februari 2019].
Kremer, R.J. dan N.E. Means. 2009. Glyphosate and glyphosate-resistant crop
interactions with rhizosphere microorganisms. Europ. J. Agronomy.
31:153–161.
Lee, L. J., dan J.Ngim. 2000. A First Report Of Glyphosate-Resistant Goosegrass
(Eleusine indica (L) Gaertn) in Malaysia. Pest Management Science.56:
336–339.
Lubis, L. A., E. Purba & R. Sipayung. 2012. Respons Dosis Biotip Eleusine
indica Resisten-Glifosat terhadap Glifosat, Parakuat, dan Glufosinat. Jurnal
Online Agroekoteknologi. 1(1): 109–123.
Manalil, S. 2015. An Analysis of Polygenic Herbicide Resistance Evolution and
its Management Based on A Population Genetics Approach. Basic and
Applied Ecology. 16:104–111.
Manik, S. E. 2019. Uji resistensi gulma Eleusine Indica terhadap penggunaan
herbisida berbahan aktif glyphosate. Agriland. 7(1):33–38.
Mawardi, D., H. Susanto., Sunyoto, dan A.T. Lubis. 1996. Pengaruh sistem olah
tanah dan dosis pupuk urea terhadap pertumbuhan gulma dan produksi padi
sawah (Oryza sativa L.). Prosiding II. Konferensi XIII dan Seminar Ilmiah
HIGI. Bandar Lampung: 712–715.
Molin, W., A. Wright & V. Nandula. 2013. Glyphosate-Resistant Goosegrass
from Mississippi. Agronomy. 3(2): 474–487.
Monaco J T, Weller C S, and Ashton M. 2002. Weed Science Principles and
Practices. Fourth Edition. (New York: Jhon Wiley & Sons. Inc). 685pp.
Nandula,T.J., C.W. Stephen dan M.A. Floyd. 2005. Weed Science (Principles and
Resistent Weed: Current Status and Future Outlook. Outlooks on Pest
Management (Pesticide Outlook). 183–187.
Pahan, I. 2007. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 412 hlm.
65
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 412 hlm.
Pardamean, Maruli. 2017. Kupas Tuntas Agribisnis Kelapa Sawit. Swadaya.
Jakarta Timur. 356 hlm.
Prasetyo, H. dan S. Zaman. 2016. Pengendalian gulma perkebunan kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di Perkebunan Padang Halaban, Sumatera Utara.
Bul. Agrohorti. 4 (1): 87–93.
Prather, T.S., J.M. Ditomaso dan J.S. Holt. 2000. Herbicide Resistence: Definition
and Management Strategies. Division of Agriculture and Natural Resources
(University Of California). http://anrcatalog.ucdavis.edu. [20 Maret 2019].
Priwiratama H. 2011. Informasi pengganggu tanaman Asystasia gangetica (L.)
subsp. Micrantha (Nees). Pusat Penelitian Kelapa Sawit. G(1):1–2 .
Prostko, E. P and A. Stanley Culpepper. 2005. Herbicide Resistant Weeds And
Their Management. Departement of Crop and Soil Science. The University
of Geotgia Tifton.
Pujisiswanto, H. 2012. Kajian daya racun cuka (asam asetat) terhadap
pertumbuhan gulma pada persiapan lahan. Jurnal Agrin. 16(1):47–48.
Purba, E. 2009. Keanekaragaman Herbisida dalam Pengendalian Gulma
Mengatasi Populasi Gulma Resisten dan Toleran Herbisida. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara, Medan.
Rahmadhani, A., Purba, E., & Hanafiah, D. S. 2016. Respons Lima Populasi
Eleusine indica L. Gaertn Resisten-Herbisida terhadap Glifosat dan
Parakuat. Jurnal Online Agroekoteknologi. 4(4): 2245–2254.
Reade, J. P. H dan L. J. milner. 2004. A Role for Glutathione S-Transferases in
Resistence to Herbicides in Gracess. http://www.weedscience.com. [16
Februari 2019].
Rolando, C.A., B.R. Baillie, D.G. Thompson, dan K.M. Little. 2017. The risks
associated with glyphosate-based herbicide use in planted forests. Forest
Journal. 8 (208): 1–25.
Ross, M. A. and D.J. Chilids. 2004. Herbiscides Modes of Actions Summary.
Purdue University. America. 185 pages.
Samedani B, AS. Juraimi, MY. Rafii, AR. Anuar, SA. Sheikh Awadz, and MP.
Anwar. 2013. Allelopathic effects of litter Axonopus compressus against
two weedy species and its persistence in soil. Sci World J. 2013:1-8.
66
Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
168 hlm.
Setyamidjaja, D. 2006. Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta. 86 hlm.
Shaner, D.L. 2009. Role of Translocation as a Mechanism of Resistance to
Glyphosate. Weed Science. 57:118–123.
Sukman, Y. dan Yakup. 2000. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT Radja
Grafindo Persada. Jakarta. 152 hlm.
Supriadi, A.S. Tjokrowardojo, E. Djauhariya, S. Rahayuningsih. 2012.
Pengembangan formulasi herbisida berbasis asam asetat untuk
mengendalikan gulma pada tanaman Kelapa Sawit. Tim Implementasi
PKPP 2012. Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Sriyani, N. 2014. Resistensi Gulma dan Tanaman Resistensi Herbisida (TRH).
Materi Ajar Program Pascasarjana Jurusan BDP. Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
Sriyani, N., A.T. Lubis, D. R. J. Sembodo, H. Suprapto, H. Susanto, H.
Pujisiswanto, T. Adachi and Y. Oki. 2014. Upland Weed Flora of Southern
Sumatera. Global Madani Press. Bandar Lampung. 100-103 hal.
Suwarto, Y., Octavianty, dan S. Hermawati. 2014. Top 15 Tanaman Perkebunan.
Penebar Swadaya. Jakarta. 316 hlm.
Syahputra, A. B., E. Purba, & Y. Hasanah. 2016. Sebaran Gulma Eleusine indica
L. Gaertn Resisten Ganda Herbisida pada Satu Kebun Kelapa Sawit di
Sumatera Utara. Jurnal Online Agroekoteknologi. 4(4): 2407-2419.
Syahputra, E., Sarbino, dan S. Dian. 2011. Weed assesment di perkebunan kelapa
sawit lahan gambut. Jurnal Perkebunan dan Lahan Tropika. (1): 37-42.
Tammara, E.Y. 2012. Manajemen pemanenan tandan buah segar kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) di Teluk Siak Estate, PT Aneka Intipersada
Minamas Plantation Riau. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.
Tampubolon, K., & E. Purba. 2018. Konfirmasi Resistensi Eleusine indica
terhadap Glifosat pada Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Langkat.
Jurnal Pertanian Tropik. 5(2): 276–283.
Uluputty, R.M. 2014. Gulma Utama pada Tanaman Terung di Desa Wanakarta
Kecamatan Waeapo Kabupaten Buru. Jurnal Agrologia. 3(1):37–43.
Wardoyo, S. S. 2001. “Pengaruh Residu Herbisida Glifosfat terhadap Ciri Tanah
Pertumbuhan Tanaman”. J. II. Pert. Indon. 10 (1):1–9.
67
Widowati, T., R.C.B. Ginting, U. Widyastuti, A. Nugraha, dan Ardiwinata. 2017.
Isolasi dan identifikasi bakteri resisten herbisida glifosat dan paraquat dari
rizosfer tanaman padi. Biopropal Industri. 8 (2): 63–70.
Williams, G.M., R. Kroes, I.C. Munro. 2000. Safety evaluation and risk
assessment of the herbicide Roundup and its active ingredient, glyphosate
for human. Regulatory Toxicology and Pharmacology. 31 (2): 117–165.
Yu, Q., A. Cairns dan S. Powles. 2007. Glyphosate, Paraquat and ACCase
Multiple Herbicide Resistence Evolved in a Lollium rigidum biotype.
Plants, 225:499–513.
Yulivi, T.A., E. Purba, dan N. Rahmawati. 2014. Dose Response Satu Biotip
Eleusine Indica Resistence-Glifosat terhadap Glifosat, Parakuat,
Ammonium Glufosinat. Jurnal Online Agroekoteknologi. 2(4): 1339–1346.
Zaman, F.F.S.B. 2006. Manajemen pengendalian gulma pada tanaman belum
menghasilkan di perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) PT.
Sentosa Mulia Bahagia, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 51 hlm.
Zugari, A., H. Susanto dan D.R.J. Sembodo. 2015. Efikasi Herbisida
Aminopiralid, Glifosat, dan Kombinasinya terhadap Gulma Asystasia
Gangetica, Cyperus Kyllingia, dan Paspalum Conjugatum. Skripsi.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.