13
81 PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK PEREMPUAN DI MINANG KABAU DALAM PERSPEKTIF PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN HUKUM ISLAM Linda Firdawaty Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung Email: [email protected] Abstrak: Hukum Islam telah mengatur tentang pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al- Quran dan al-Hadist. Konsep adil menurut al-Qur’an adalah memberikan porsi laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan, karena laki-laki mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar dari pada perempuan. Inilah keadilan menurut ketentuan Allah. Adil dalam Islam bukan berarti sama banyak, namun sesuai dengan kebutuhan atau porsi. Perlindungan terhadap perempuan dalam Islam maupun dalam hukum positif mencakup pemenuhan hak perempuan untuk mendapat perlakuan yang baik dan wajar, hak mendapatkan mahar, nafkah, warisan, pendidikan, hak untuk berusaha dan memperoleh hasil usahanya serta hak memilih pasangan hidup. Pewarisan harta pusaka Tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dalam perspektif perlindungan terhadap perempuan mengandung makna bahwa hak waris anak perempuan di Minangkabau telah mendapat perlidungan yang lebih baik, karena di samping berhak memperoleh harta warisan dari orang tuanya (harta pusaka rendah) juga mendapatkan hak terhadap harta pusaka tinggi. Hak atas harta pusaka tinggi ini karena perempuan di Minangkabau merupakan sosok yag sangat dimuliakan dan garis keturunana mengikuti garis ibu. Ditinjau dari hukum Islam, pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau hukumnya boleh dilakukan, karena tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam. Pemberian warisan kepada perempuan tersebut sangat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman saat ini, karena perempuan juga ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu, pewarisan harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak diatur dalam fikih mawaris. Fikih mawarist hanya mengatur tentang pembagian harta pusaka rendah yang pembagiannya sesuai dengan ketentuan dalam ilmu faraidh. Sistem pewarisan harta pusaka tinggi tidak bertentangan dengan hukum syara’ karena masalah harta menyangkut hak hamba (mu’amalah), maka sesuai dengan kaidah ushul fikih bahwa hukum asal perkara mu’amalah adalah boleh sepanjang tidak ada dalil yang melarang. Karena harta pusaka tinggi tidak diatur dalam Alqur’an dan Hadits, maka pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dibolehkan karena tidak bertentangan dengan Syara’

PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

81

PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI

KEPADA ANAK PEREMPUAN

DI MINANG KABAU DALAM PERSPEKTIF

PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN

DAN HUKUM ISLAM

Linda Firdawaty

Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Raden Intan Lampung

Jl. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung

Email: [email protected]

Abstrak: Hukum Islam telah mengatur tentang pembagian harta warisan

dengan aturan yang sangat adil sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-

Quran dan al-Hadist. Konsep adil menurut al-Qur’an adalah memberikan porsi

laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan, karena laki-laki mempunyai

kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar dari pada perempuan. Inilah

keadilan menurut ketentuan Allah. Adil dalam Islam bukan berarti sama banyak,

namun sesuai dengan kebutuhan atau porsi.

Perlindungan terhadap perempuan dalam Islam maupun dalam hukum positif

mencakup pemenuhan hak perempuan untuk mendapat perlakuan yang baik dan

wajar, hak mendapatkan mahar, nafkah, warisan, pendidikan, hak untuk berusaha

dan memperoleh hasil usahanya serta hak memilih pasangan hidup. Pewarisan

harta pusaka Tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dalam perspektif

perlindungan terhadap perempuan mengandung makna bahwa hak waris anak

perempuan di Minangkabau telah mendapat perlidungan yang lebih baik, karena

di samping berhak memperoleh harta warisan dari orang tuanya (harta pusaka

rendah) juga mendapatkan hak terhadap harta pusaka tinggi. Hak atas harta

pusaka tinggi ini karena perempuan di Minangkabau merupakan sosok yag sangat

dimuliakan dan garis keturunana mengikuti garis ibu.

Ditinjau dari hukum Islam, pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan

di Minangkabau hukumnya boleh dilakukan, karena tidak bertentangan dengan

hukum kewarisan Islam. Pemberian warisan kepada perempuan tersebut sangat

sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman saat ini, karena perempuan

juga ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Di samping itu,

pewarisan harta pusaka tinggi di Minangkabau tidak diatur dalam fikih mawaris.

Fikih mawarist hanya mengatur tentang pembagian harta pusaka rendah yang

pembagiannya sesuai dengan ketentuan dalam ilmu faraidh. Sistem pewarisan

harta pusaka tinggi tidak bertentangan dengan hukum syara’ karena masalah harta

menyangkut hak hamba (mu’amalah), maka sesuai dengan kaidah ushul fikih

bahwa hukum asal perkara mu’amalah adalah boleh sepanjang tidak ada dalil yang

melarang. Karena harta pusaka tinggi tidak diatur dalam Alqur’an dan Hadits, maka

pewarisan harta pusaka tinggi kepada anak perempuan di Minangkabau dibolehkan

karena tidak bertentangan dengan Syara’

Page 2: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

82

Kata kunci, Harta Puska Tinggi, Minangkabau, Anak Perempuan, Hukum Islam

A. Pendahuluan

Islam mengajarkan bahwa kedudukan

laki-laki dan perempuan adalah sama,

sesuai dengan kewajiban dan hak yang

ditetapkan oleh syari’at. Pendapat

seorang mufassir Indonesia, Prof. Dr.

Hamka dalam bukunya yang berjudul

Kedudukan Perempuan dalam Islam,

buku ini diterbitkan ulang oleh Gema

Insani dengan judul Buya Hamka

Berbicara tentang Perempuan. Dalam

menguraikan Qs. An-Nisā’ [4]: 1

menyatakan bahwa, “Di dalam ayat

ini dipadukan antara jantan dengan

betina, dipertemukan antara laki-laki

dengan perempuan. Disadarkan mereka

bahwa meskipun terpisah, mereka pada

hakikatnya adalah satu.”1

Pria dan wanita wajib saling tolong-

menolong, amar maʻrūf nahi munkar,

wajib mendirikan shalat, wajib

mengeluarkan zakat, wajib menaati Allah

dan Rasul-Nya. Sedangkan hak mereka

adalah sama-sama mendapatkan pahala

atas amal perbuatan yang mereka

lakukan.

Hukum Islam telah mengatur tentang

pembagian harta warisan dengan

aturan yang sangat adil. Al-Quran dan

al-Hadist telah menetapkan secara rinci

bagian masing-masing ahli waris, baik

laki-laki ataupun perempuan mulai

dari bapak, ibu, kakek, nenek, suami,

istri, anak, saudara, dan seterusnya.

Hanya hukum waris yang diatur

secara rinci dalam al-Quran, sebab

waris merupakan salah satu bentuk

kepemilikan yang legal dalam Islam

serta dibenarkan adanya oleh Allah

swt.

1 Prof. Dr. Hamka, Kedudukan

Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1996:3 dan Buya Hamka

Berbicara tentang Perempuan, Gema Insani,

2014, h. 4

Masyarakat adat Minangkabau adalah

bagian dari masyarakat adat yang

mempunyai cic-ciri yang khas, yang

menerapkan sistem kekerabatan matrilineal.

Sistem hukum adat Minangkabau yang

bercorak matrilineal ini berfalsafahkan

adat “basandi syara dan syara basandi

kitabullah” terus berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakatnya.

Falsafah adat tersebut mempunyai

makna bahwa adat yang atau kebiasaan-

kebiasaan yang berlaku di tengah

masyarakat tidak boleh bertentangan

dengan syari’at. Akibatnya, segala sesuatu

perbuatan/kebiasaan masyarakat di Ranah

Minang (sebutan lain untuk daerah

Minangkabau) yang tidak sesuai

dengan Alquran tidak dapat disebut

adat.

Hukum adat Minangkabau yang dalam

perpektif masyarakatnya telah sesuai

dengan hukum Islam, sampai sekarang

masih menjadi perdebatan dari berbagai

kalangan, baik akademisi, hukum dan

social, bahkan masyarakat Minang sendiri.

Sebagian orang memandang bahwa

hukum adat Minangkabau yang berasaskan

sistem kekerabatan matrilineal, dianggap

tidak sejalan dengan hukum Islam

yang bersifat patrilinial.

Harato pusako tinggi merupakan

harta pusako kaum yang diwariskan

secara turun temurun dari beberapa

generasi berdasarkan garis keturunan

ibu. Harta pusaka tinggi diwarisi

secara kolektif oleh para ahli waris

dari beberapa generasi ke generasi

sebelumnya. Harta tersebut sampai

sekarang menjadi kabur asal usulnya.2

Pelaksanaan pembagian harta pusaka

tinggi menurut adat Minangabau

diserahkan kepada keturunan dari

2 Ibid., h. 216. Lihat Van Dijk,

Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung, 1960, h. 217 .

Page 3: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

83

pihak ibu. Di samping harta pusaka

tinggi, di Minangkabau dikenal juga

harta pusaka rendah, yaitu harta

pencarian orang tua yang pembagian

warisannya dilaksanakan menurut

ketentuan hukum faraidh.

Keberadaan harta pusaka tinggi di

Minangkabau tidak diatur dalam Al-

Qur’an dan Hadits ataupun sumber

hukum Islam yang lain serta hukum

positif di Indonesia (Kompilasi Hukum

Islam). Adanya pertentangan yang sangat

mendasar mengenai pembagain harta

pusaka tinggi di Minangkabau dengan

system pembagian waris menurut hukum

Islam yang menganut asas bilateral,

menyebabkan penulis tertarik untuk

mengkaji bagaimana pewarisan harta

pusaka tinggi kepada anak perempuan

di Minangkabau dalam perspektif

perlindungan terhadap perempuan?

Dan bagaimana tinjauan hukum Islam

tentang pewarisan harta pusaka tinggi

kepada anak Perempuan di Minangkabau?

Penelitian ini termasuk jenis penelitian

hukum normative yaitu penelitian hukum

yang mengkaji norma atau kaidah

yang berlaku dalam masyarakat adat

Minangkabau dan menjadi acuan perilaku

bagi warganya. Adapun norma yang

berlaku adalah norma hukum tertulis

dan hukum tidak tertulis.3 Selain itu

penelitian hukum ini bersifat penelitian

hukum deskriptif normatif yaitu penelitian

hukum yang bersifat pemaparan dan

bertujuan untuk memperoleh gambaran

(deskripsi) secara lengkap tentang

pewarisan harta pusaka tinggi kepada

anak perempuan di Minangkabau dalam

perspektif perlindungan terhadap perempuan

dan hukum Islam.

Sumber data dalam penelitian ini

adalah data kepustakaan, sedangkan

3 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan

Penelitian hukum, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2004, Cet. Ke-1, h.52

jenis data yang dibutuhkan adalah

data sekunder. Data sekunder adalah

data yang diperoleh dari studi

kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum

atau referensi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Studi

kepustakaan dilakukan terhadap bahan-

bahan hukum yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian yaitu tentang

hukum waris adat minangkabau menurut

adat yang berlaku, dikaitkan dengan

peraturan perundang-undangan, serta

hukum Islam. Data yang dibutuhkan

meliputi bahan hukum primer, sekunder

dan tersier.

Metode pengumpulan dan pengolahan

data (sekunder) dilakukan dengan

menggunakan studi pustaka, mengkaji

norma atau kaidah serta teori yang

ada pada literatur-literatur yang

relevan dengan pembahasan dengan

cara membaca, menyalin, mengutip,

dan menelaah bahan-bahan hukum

yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian. Data yang terkumpul selanjut

diolah, dengan cara memeriksa,

mengklasifikasi, merekonstruksi dan

sistematisasi data. Adapun Analisis

data dilakukan dalam bentuk analisis

kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan

data dalam bentuk kalimat yang tersusun

secara sistematis, lengkap, dan terperinci

menurut pokok bahasan yang telah

ditentukan,. Hasil analisis dan pembahasan

tersebut kemudian ditulis dalam bentuk

laporan penelitian yang mendeskripsikan

secara lengkap, jelas, dan sistematis.

B. Pembahasan

1. Hak dan Kedudukan Perempuan

dalam Hukum Kewarisan Islam

Hukum Islam telah mengatur dan

menerangkan ketentuan tentang

pembagian harta warisan dengan

aturan yang sangat adil sesuai

dengan ketentuan yang terdapat

Page 4: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

84

dalam al-Quran dan al-Hadist. Dalam

al Qur’an telah ditetapkan dengan

rinci bagian masing-masing ahli

waris baik laki-laki ataupun perempuan

mulai dari bapak, ibu, kakek, nenek,

suami, istri, anak, saudara, dan

seterusnya. Dalam hadits pun diatur

tentang ketetapan hukum waris. Hanya

hukum waris yang dijelaskan secara

terperinci dalam al-Quran, sebab

waris merupakan salah satu bentuk

kepemilikan yang legal dalam

Islam serta dibenarkan adanya oleh

Allah Swt. sebagaimana Firman

Allah :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang

(pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu, yaitu bagian seorang anak

lelaki sama dengan bagian dua orang

anak perempuan dan jika anak itu

semuanya perempuan lebih dari

dua maka bagi mereka dua pertiga

dari harta yang ditinggalkan. Jika

anak perempuan itu seorang saja,

maka ia memperoleh separuh harta.

Dan untuk dua ibu bapak, bagi

masing-masingnya seperenam dari

harta yang ditinggalkannya, jika

yang meninggal itu mempunyai

anak. Jika orang yang meniggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh

ibu bapaknya (saja), maka ibunya

mendapat sepertiga, jika yang meninggal

itu mempunyai beberapa saudara,

maka ibunya seperenam. Pembagian-

pembagian tersebut di atas sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat atau

(dan) sesudah dibayar hutangnya.

(Tentang) orang tuamu dan anak-

anakmu, kamu tidak mengetahui

siapa di antara mereka yang lebih

dekat (banyak) manfaatnya bagimu.

Ini adalah ketetapan dari Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Bijaksana.”(QS.Annisa

(4) : 11)4

Penafsiran tentang surat an-Nisa

ayat 11 sebagaimana dikemukakan

Ibnu Katsir bahwa “Allah telah

menjadikan bagian kaum laki-laki sama

dengan dua bagian orang perempuan.

Yang demikian itu disebabkan karena

kaum laki-laki membutuhkan tanggung

jawab nafkah, kebutuhan serta beban

perdagangan, usaha, dan resiko tanggung

jawab, maka sesuai sekali jika ia

diberikan dua kali lipat daripada

yang diberikan kepada wanita.”5

Dapat dipahami bahwa pembedaan

besarnya bagian anak perempuan dan

laki-laki ini berdasarkan pertimbangan

bahwa tanggung jawab laki-laki

lebih besar dari pada perempuan.

Islam mewajibkan laki-laki memberikan

sesuatu sebagai mahar kepada istrinya.

Semua kebutuhan hidup istri dan

anak-anaknya menjadi tanggung

jawab suami. Artinya suami harus

bekerja dengan giat dan menyediakan

semua biaya kehidupan keluarganya.

Sedangkan istri tidak wajib bekerja

ataupun membiayai kehidupan

keluarganya. Hingga apabila dia

mempunyai harta, dia tidak harus

mengeluarkan biaya kehidupan.

Tetapi dia bisa menyimpannya

untuk dirinya dan semua harta

yang dia peroleh sendiri baik hasil

bekerja atau mahar atau hibah

(pemberian) atau warisan atau setiap

jalan yang halal lainnya. Sementara

suami menurut pandangan syariat

dan hukum harus memenuhi semua

biaya kehidupan dirinya dan istrinya

serta semua anggota keluarganya.

4 Lihat Terjemahan surat Annisa (4)

ayat 11 5 Syaikh Shafiyyurrahman al-

Mubarakfuri, Shohih Tafsir Ibnu Katsir Jilid

2, Pustaka Ibnu Katsir , 2015, h..440

Page 5: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

85

Allah Swt. berfirman, “Kaum laki-

laki itu adalah pemimpin bagi

kaum perempuan, oleh karena

Allah telah melebihkan sebagian

mereka (laki-laki) atas sebagian yang

lain (perempuan) dan karena mereka

(laki-laki) telah menafkahkan

sebagian dari harta mereka.” (QS.

An-Nisa : 32)

Imam Ridha As berkata, warisan

perempuan hanya separuh dari warisan

laki-laki disebabkan saat perempuan

menikah, dia mengambil harta dari

laki-laki berupa mahar sebagai suatu

kewajiban laki-laki. Oleh karena

itulah warisan laki-laki lebih banyak

dari perempuan. Di samping itu,

perempuan sebagai istri mendapat

nafkah dari laki-laki. Sedangkan

perempuan (istri) tidak mempunyai

kewajiban memberi nafkah kepada

keluarga, bahkan suami yang

memenuhi kebutuhan isteri. Oleh

karena cukup adil jika bagian

warisan laki-laki lebih banyak.

Namun, jika dicermati ketentuan

Alqur’an dan Hadits serta praktek

pembagian waris, hasil penelitian

Prof. Dr. Salahudin Sultan, guru besar

Syari’ah Fakultas Darul Ulmu, Universitas

Khairo, membuktikan bahwa tidak

selamanya perempuan mendapat

hak waris lebih sedikit dari laki-

laki. Menurutnya hanya dalam empat

keadaan perempuan mewarisi setengah

dari bagian laki-laki, sementara terdapat

30 kasus perempuan mendapat sama

dengan laki-laki bahkan lebih banyak

dari laki-laki 6

6 Salhudin Sultan, Mirasul Mar’ahwa

Qadiyyatul –Musawat, Kairo, Nahdah Misr,

2004. h.

2. Hak dan Kedudukan Perempuan

dalam Hukum Kewarisan Adat

Minangkabau

Perempuan dalam adat Minang

memiliki kedudukan yang sangat

penting. Perempuan Minang sangat

diagung-agungkan oleh masyarakatnya.

Keberadaan perempuan sangat

diharapkan. Tingginya kedudukan

perempuan ini dilambangkan sebagai

“limpapeh rumah nan gadang,

sumarak anjuang nan tinggi, dsb.7

Wanita dewasa dipanggil sebagai

Bundo Kanduang. Panggilan Bundo

Kanduang bukan sekadar istilah,

tapi merupakan penggilan penghormatan.

Bundo kanduang melambangkan

seorang ratu dari kerajaan Minangkabau

yang mendampingi ninik mamak

dalam acara seremony. Bundo kandung

juga merupakan salah satu unit

lembaga dalam kerapatan adat. 8Wanita dengan sebutan Bundo

Kanduang bukan hanya dinilai

dari penampilan fisik saja, tapi juga

kepribadiannya. Perempuan yang

diberi julukan ini harus mempunyai

kepibadian yang baik, sopan santun

dan memahami tatanan adat yang

berlaku. Selanjutnya wanita wajib

berpakaian secara pantas.9 Oleh karena

itu, kaum ibu merupakan warga

masyarakat yang sangat besar fungsi

dan peranannya dalam hidup ini,

mereka juga dilambangkan sebagai

sosok yang amat mulia dan filosofis.

Wanita di Minangkabau mempunyai

hak suara dan pendapatnya mendapat

perhatian dan selalu diutamakan.

Wanita merupakan pewaris harta

7 8 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,

Tambo Alam Minangkabau, Tatanan Warisan

Nenek Moyang Orang Minang, Bukittinggi,

Kristal Multi Media, 2015, h. 351-352 9

Page 6: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

86

keluarga dan pembawa nama keluarga.

Garis keturunan mengikuti garis

keturunan ibu, bukan dari pihak

bapak. Selain itu rumah-rumah gadang

dengan ukiran yang indah di

Minangkabau adalah milik wanita

Minang. Penerapan sistem kekerabatan,

pengelolaan harta pusaka, rumah gadang

dan pelaksanaan perkawinan juga

dilaksanakan oleh kaum wanita.

Penyelenggaraan sistem kekerabatan

dilengkapi dengan dukungan ekonomi

yang bersumber dari pengelolaan

harta pusaka dan sebuah tempat kediaman

yang disebut “rumah gadang”.

Pusako tinggi adalah milik kaum

secara turun temurun. Menurut sistem

matrilineal seperti sawah, ladang,

rumah gadang dan lainnya. Harta

pusako dimanfaatkan oleh perempuan

dalam kaumnya. Hasil sawah dan

ladang menjadi bekal hidup

perempuan dengan anak-anaknya.

Rumah gadang menjadi tempat

tinggalnya. Laki-laki/mamak berhak

untuk mengatur harta pusaka, tetapi

tidak berhak untuk memilikinya.

Oleh karena itu, laki-laki punya

hak terhadap pusako kaum, tetapi

dia bukan pemilik pusako kaumnya.

Pewarisan harta pusaka tinggi

mempunyai hubungan yang erat

dengan sistem kekerabatan matrilineal

yang menjadi tata cara pelaksanaan

kewarisan tersebut adalah: “adaik

nan sabana adaik” (adat yang sebenarnya

adat). Yang harus dijalankan, artinya

pewarisan harta mengikuti garis

keturunan pihak ibu atau perempuan,

serta kewenangan untuk mengatur

harta pusaka tinggi dipegang oleh

perempuan yang tertua dalam

garis keturunan ibu yang disebut

Amban Paruik (suatu keluarga besar

atau famili) serta yang bertugas

untuk melindungi, memelihara, dan

mengembangkan harta pusaka tinggi

ini di bawah wewenang Mamak

Penghulu atau mamak kepala suku

Minangkabau.10

Pewarisan harato pusako tinggi

ini merupakan sistem kewarisan

kolektif yaitu sistem kewarisan

peninggalan harta pusaka tinggi

yang teruskan dan dialihkan

kepemilikannya dari pewaris kepada

ahli waris sebagai kesatuan yang

tidak terbagi-bagi penguasaan dan

kepemilikannya. Maksudnya adalah

setiap ahli waris berhak untuk

mengusahakan, menggunakan, dan

mendapatkan hasil dari harta

peninggalan itu11 serta adanya aturan

bahwa tidak semua harta peninggalan

dapat dibagi-bagi. Tanah atau barang

pusaka lainnya tetap merupakan

harta famili bersama- sama dalam

adat suku Minangkabau

Sebagai penerima hak waris harta

pusaka tinggi, perempuan di

Minangakabau wajib menjaga harta

pusaka tersebut agar tetap utuh

untuk menjaga keutuhan kaum

kerabat, sebagaimana diajarkan

falsafah alam dan hukum adat.

Harta pusaka mempunyai fungsi

sosial yang berada dalam penguasaan

kaum wanita.

Bila diperhatikan keseluruhannya

menyangkut kepentingan masyarakat

suku Minangkabau, wajar bila harta

yang dipergunakan diambil dari

harta pusaka tinggi yang menjadi

milik masyarakat tersebut. Dalam

tahap pertama dengan segala usaha

dicoba mengusahakan sendiri atas

10 Amir Syarifuddun. Pelaksanaan

Hukum Kewarisan Islam Dalam

Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta:

Gunung Agung, 1984, h. 226.

11 Hilman Hadikusuma, Hukum

Waris Adat, Pt Alumni, Bandung, 1989, h. 26

Page 7: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

87

kebutuhan masyarakat yang dibutuhkan,

bila tidak memungkinkan, sedangkan

kebutuhan sudah sangat mendesak

maka berlakulah pepatah “Tidak

Kayu Jenjang dikeping, Tidak

Emas Bungkal Diasah”, artinya

adat membenarkan harta Pusaka

Tinggi itu dikurangi secara gadai

atau dijual dengan tata cara yang

dibenarkan oleh adat suku

Minangkabau.12

Proses peralihan harta pusaka

tinggi dilakukan melalui pewarisan

yang terus menerus yakni dengan

cara saat pewaris telah meninggal

dunia maka mamak Kapalo Waris

meneruskan kedudukan atau jabatan

adat, kewajiban dan hak-hak, serta

harta kekayaan yang ditinggal oleh

pewaris jatuh kepada ahli warisnya

yaitu kamanakan.13 Semua harta

yang bergerak dan yang tidak

bergerak seperti Tanah, Rumah

Gadang merupakan harta pusaka

tinggi dalam suku Minangkabau.

Dalam hukum kewarisan harta ini

tidak diberlakukan hukum Faraid

sebagaimana mestinya. Harta pusaka

tinggi seperti tanah dan rumah

diberikan hanya kepada anak perempuan

tanpa menghiraukan bagian anak

laki-laki.

Dalam pengaturan pewarisan pusako,

semua harta yang akan diwariskan

harus ditentukan dulu kedudukannya.

Kedudukan harta pusako ini terbagi

dalam pusako tinggi dan pusako

randah.14Adapun terhadap harta

12 Dt. Maruhun Batuah dan D.H.

Bagindo Tanameh, Hukum Adat dan

Adat Minangkabau, Pusaka Asli Universitas

Andalas Padang, 1978, h. 236. 13Ibid., h. 45-46. 14A. A Navis, Alam Takambang Jadi

Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau,

Jakarta, Grafiti Press, 1984, h. 163

pusaka rendah, maka pembagiannya

dilakukan menurut hukum faraid,

bahwa anak laki dan perempaun

sama-sama mendapatkan bagian

dari warisan kedua orang tuanya,

hanya bagian anak laik-laki mendapat

dua kali bagian dari anak perempaun.

3. Pewarisan Harta Pusaka Tinggi

kepada Anak Perempuan di

Minangkabau dalam Perspektif

Perlindungan terhadap Perempuan

Perlindungan Islam terhadap hak-

hak perempuan mencakup pemenuhan

hak untuk mendapat perlakuan yang

baik dan wajar, hak mendapatkan

mahar, nafkah, warisan, pendidikan,

hak untuk berusaha dan memperoleh

serta hak memilih pasangan hidup.

Sedangkan perlindungan terhadap

perempuan dalam hukum positif

mencakup hak perdata dan pidana.

Hak perdata meliputi perlindungan

dalam hukum keluarga berupa hak

memilih pasangan hidup, hak mahar,

nafkah, perlakuan baik dalam anggota

keluarga, hak mendapatkan harta

warisan, hak untuk bekerja dan

mendapatkan hasil usahanya, hak

atas kepemilikan suatu benda.

Dalam aspek hukum pidana, hak

perempuan mencakup untuk memperoleh

perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia sebagai upaya memberikan

perlindungan agar tidak terjadi

kekerasan terhadap perempuan, yang

dapat berupa pelanggaran terhadap

a. Hak atas kehidupan

b. Hak atas persamaan

c. Hak atas kemerdekaan dan

keamanan pribadi

d. Hak atas perlindungan yang sama

di muka umum

e. Hak untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan fisik maupun mental

yang sebaik-baiknya

Page 8: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

88

f. Hak atas pekerjaan yang layak

dan kondisi kerja yang baik

g. Hak untuk pendidikan lanjut

h. Hak untuk tidak mengalami

penganiayaan atau bentuk

kekejaman lain, perlakuan atau

penyiksaan secara tidak manusiawi

yang sewenang-wenang.

Dari semua hak tersebut dapat

dirangkum bahwa perempuan berhak

untuk menikmati dan memperoleh

perlindungan hak asasi manusia

dalam bidang politik, ekonomi,

sosial, budaya, sipil, dan bidang-

bidang lainya.

Pewarisan harta pusaka Tinggi

kepada anak perempuan di

Minangkabau dalam perspektif

perlindungan terhadap perempuan

berarti bahwa pewarisan kepada

anak perempuan di Minangkabau

memberikan porsi perlindungan

yang sangat tinggi kepada kaum

perempuan, karena perempuan di

Mingakabau, di samping berhak

memperoleh harta warisan dari

orang tuanya (harta pusaka rendah)

juga mendapatkan hak mngelola

harta pusaka tinggi. Pemberian hak

atas pusaka tinggi kepada kaum

perempuan di Minangkabau karena

permpuan merupakan sosok yang

sangat di muliakan. Tingginya kedudukan

perempuan ini dilambangkan sebagai

“limpapeh rumah nan gadang,

sumarak anjuang nan tinggi.

Adapun fungsi harta pusaka

tinggi dalam kaum adalah agar

keluarga besar kaum tidak melarat

dan mempunyai bekal ketika ahli

waris meninggal, “Ganggam bauntuak”,

hiduik bapangadok”.15 Harta pusaka

tinggi juga berfungsi membentengi

tanah-tanah Minang dari penguasaan

15

orang-orang dari luar Minang. Namun

tujuan baik untuk kemaslahatan ini

tidak boleh mengabaikan syara’

(syari’at Islam) yang menjadi

landasan adat Minangkabau.

Adapun tujuan pewarisan harta

pusaka tinggi kepada kaum perempuan

di Minangkabau adalah :

a. Terpeliharanya kehidupan suku

Minangkabau, khususnya perempuan

dari terbuang dari kampungnya

sendiri. Ketika keluarganya tidak

mampu secara ekonomi atau

bercerai dari suaminya, maka tanah

pusaka dapat menjadi penopang

kehidupannya dan menjauhkan

dari perbuatan meminta-minta.

b. Terpeliharanya tanah kaum muslimin,

agar tidak beralih kepada selain

muslim. Tiada penguasaan mutlak

atas sesorang utuk menguasai

berjuta-juta hektar tanah.

Sehingga tidak ada monompoli

atas tanah di Minangkabau kecuali

tanah hanya milik masyarakat

adat. Hal ini mengacu kepada

ijtihad Umar bin Khatab dalam

mengembalikan tanah rampasan

di Irak dan Iran kepada penduduk

dan mewajibkan membayar kharaj

dan jizyah atas jaminan keamanan.

c. Terpeliharanya system kekerabatan

dan silaturrahmi antara kaum di

Minangkabau. Di mana setiap

peralihan dan alih fungsi tanah

memerlukan musyawarah bersama

datuk (kepala kaum), niniak mamak

dan juga bundo kanduang (pihak

ibu)

4. Tinjauan hukum Islam tentang

pewarisan harta pusaka tinggi

kepada anak Perempuan di

Minangkabau

Melihat konteks kehidupan saat

itu, porsi yang berbeda antara laki-

laki dan perempuan lebih masuk

Page 9: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

89

akal dan kontekstual, karena laki-

laki memiliki kewajiban menanggung

istri dan keluarganya. Kondisi yang

berbeda saat ini di mana antara

kewajiban laki-laki sebagai suami

dan perempuan sebagai istri akan

berpengaruh pada perbedaan beban

dan jatah yang diberikan kepada

mereka. Atas dasar ini, kita berandai-

andai apabila terjadi di masyarakat

suatu Negara bahwa yang menjadi

pemimpin dalam keluarga adalah

wanita, sedang laki-laki hanya sebagai

pelengkap semata, maka dengan

menggunakan teori Abu Yusuf

pembagian waris dalam masyarakat

seperti itu adalah bahwa wanita

mendapat bagian dua kali lipat dari

bagian laki-laki.

Abu yusuf

berpendapat, jika suatu nash berasal

dari adat istiadat atau tradisi dan

adat itu kemudian berubah (datang

adat baru), maka gugur hukum

nash itu.

Konsep modernisasi yang ditawarkan

oleh Qasim Amin, bila diterapkan

pada ketentuan-ketentuan kadar

pembagian harta warisan dalam

al-Qur‟an, maka ketentuan anak pria

berhak mendapat dua kali pembagian

anak wanita hanya relevan dengan

masyarakat yang kulturnya sama

dengan kultur masyarakat masa

ayat ini diturunkan. Kondisi yang

terjadi dalam masyarakat waktu

al-Qur’an diturunkan adalah tanggung

jawab memberi nafkah dipikul oleh

pihak laki-laki. Oleh karena itu,

wajar apabila bagian anak laki-laki

lebih besar daripada bagian anak

perempuan dari harta peninggalan

orang tua.

Ketentuan seperti itu sudah tidak

lagi cocok untuk diterapkan terhadap

masyarakat di mana soal tanggung

jawab memberi nafkah bukan hanya

dipikul oleh pihak laki-laki. Kondisi

sekarang sudah berbeda, di mana

laki-laki dan perempuan memiliki

peran dan tugas yang sama dalam

keluarga, hak dan kewajibannya,

tentunya menyamakan bagian laki-

laki dan perempuan karena kewajiban

dan beban mereka sudah sama tidak

bisa dipandang sebagai pelanggaran

ayat-ayat Allah, tapi sebagai pengakuan

dan pemenuhan. Karena Allah

menginginkan pengakuan terhadap

hak perempuan dan mengakhiri

dominasi laki-laki yang sebelumnya

tanpa batas.

Akal sehat hendaklah mempertimbangkan

bagaimana merumuskan ketentuan

baru yang sesuai dengan kultur

masyarakatnya. Dalam merumuskan

ketentuan baru itu yang harus

dipedomani adalah ruh syari’at

atau pesan-pesan moral seperti

nilai-nilai keadilan, meskipun akan

berakibat terabaikannya ketentuan-

ketentuan nash dalam bunyi teks

ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan

dalam bunyi teks itu memerlukan

pembahasan lebih lanjut tentang

kemungkinannya dikaitkannya dengan

tugas laki-laki dalam hal memberi

nafkah. Artinya, relevansi ketentuan

teks ayat itu perlu dikaji lebih jauh

ketika dihadapkan kepada masyarakat di mana soal tanggung jawab nafkah-

menafkahi bukan lagi atau tidak

hanya dipikul oleh pihak laki-laki,

demi keadilan yang merupakan

salah satu tujuan dari syari’at Islam

diturunkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat

dipahami bahwa pemberian hak

terhadap harta pusaka tinggi di

Minangakabau kepada perempuan

telah memenuhi tuntutan perkemabangan

zaman saat ini, di mana tanggung

jawab terhadap kebutuhan kelaurga

Page 10: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

90

tidak hanya ditanggung oleh laki-

aki semata, namun perempuan juga

telah mengambil bagian dalam

memenuhi kewajiban tersebut. Jadi

pemberian hak harta pusaka tinggi

kepada anak perempuan di

Minangkabau sangat sesuai dengan

struktur budaya masyarakat saat ini.

Di samping itu, bahwa sistem

pewarisan harta pusaka tinggi di

Minangkabau merupakan tatanan

yang tidak diatur dalam hukum

Islam. Hukum Islam hanya mengatur

tentang pembagian harta pusaka

rendah (harta pencarian suami isteri)

yang wajib dibagikan kepada semua

ahli waris. Oleh karena itu, system

pewarisan harta pusaka tinggi di

Minangkabau tidak bertentangan

dengan ketentuan syara’, karena

masalah harta menyangkut hak hamba

(mu’amalah), jika kita mengacu

kepada kaidah ushul fikih bahwa

hukum asal perkara mu’amalah

adalah boleh sepanjang tidak ada

dalil yang melarang. Karena harta

pusaka tinggi tidak diatur dalam

Alqur’an dan Hadits, maka pewarisan

harta pusaka tinggi kepada anak

perempuan di Minangkabau dibolehkan

karena tidak bertentangan dengan

Syari’at Islam.

C. Kesimpulan

1. Perlindungan terhadap perempuan

dalam Islam mencakup pemenuhan

hak untuk mendapat perlakuan

yang baik dan wajar, hak

mendapatkan mahar, nafkah,

warisan, pendidikan, hak untuk

berusaha dan memperoleh serta

hak memilih pasangan hidup.

Pewarisan harta pusaka Tinggi

kepada anak perempuan di

Minangkabau dalam perspektif

perlindungan terhadap perempuan

bahwa, pemberian waris kepada

anak perempuan di Minangkabau

memberikan porsi perlidungan

yang lebih tinggi kepada kaum

perempuan, karena di samping

berhak memperoleh harta warisan

dari orang tuanya (harta pusaka

rendah) juga mendapatkan hak

terhadap harta pusaka tinggi.

Hak atas harta pusaka tinggi ini

karena perempuan di Minangkabau

merupakan sosok yag sangat di

muliakan.

2. Pewarisan harta pusaka tinggi

kepada anak Perempuan di

Minangkabau ditinjau dari hukum

Islam telah memenuhi tuntutan

perkembangan zaman saat ini, di

mana perempuan juga ikut berperan

dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Berbeda dengan masa al Qur’an

diturunkan, kewajiban memenuhi

tanggung jawab terhadap rumah

tangga hanya dibebankan kepada

suami. Di samping itu, pewarisan

harta pusaka tinggi di Minangkabau

merupakan tatanan yang tidak

diatur dalam hukum Islam. Hukum

Islam hanya mengatur tentang

pembagian harta pusaka rendah

(harta pencarian suami isteri) yang

wajib dibagikan kepada semua ahli

waris. Oleh karena itu, system

pewarisan harta pusaka tinggi di

Minangkabau ini tidak bertentangan

dengan ketentuan syara’, karena

masalah harta menyangkut hak

hamba (mu’amalah), jika mengacu

kepada kaidah ushul fikih bahwa

hukum asal perkara mu’amalah

adalah boleh sepanjang tidak ada

dalil yang melarang. Karena harta

pusaka tinggi tidak diatur dalam

Alqur’an dan Hadits, maka pewarisan

harta pusaka tinggi kepada anak

perempuan di Minangkabau dibolehkan

karena tidak bertentangan dengan

Syara’

Page 11: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

91

D. Daftar Pustaka

A. A Navis, Alam Takambang Jadi

Guru: Adat dan Kebudayaan

Minangkabau, Jakarta, Grafiti

Press, 1984

Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu

Fiqih ( Al- Qawa’idul Fiqhiyyah),

Kalam Mulia, 2013

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan

Penelitian hukum, : Citra Aditya

Bakti, Bandung , 2004, Cet.

Ke-1

Abd Latif Wahid, Materi Kuliah Fikih

Mawaris A, Banjarmasin,

Departemen Agama IAIN

Antasari Fakultas Syariah, 2003

Ahmad Ali, Mengauk Teori Hukum

(legal Teori) dan Teori Peradilan

(Judicial Prudence) , Kencana,

2009

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris

Islam, Yogyakarta: UII Press,

2004

Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir

Al Maraghi, Beirut, Darul

Fiqr, 1973

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di

Indonesia, cet. IV, Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada,

2000

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan

Islam, Jakarta: Prenada Media,

2004

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum

Kewarisan Islam dalam Lingkungan

Adat Minangkabau, Gunung

Agung, Jakarta, 1984

Al-Zuhaili, Al-Tafsir wa al-Munir …, jilid

4, h. 283, Syalabi>, Ahkam

al- Mawa>

---------, Hukum Kewarisan Islam,

Kencana, 2004

Dt. Maruhun Batuah dan D.H. Bagindo

Tanameh, Hukum Adat dan

Adat Minangkabau, Pusaka

Asli Universitas Andalas

Padang, 1978.

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia

dalam Perspektif Islam, Adat

dan BW, Refika Aditama,

Bandung, 2013

Eman Suparman, Intisari Hukum

Waris Indonesia, Bandung:

PT Bandar Maju, 1995

A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum

Perdata, terj. M. Isa Arief,

Jakarta, Intermasa, 1979

Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-

Malibary, Fath al- Mu’in Bi

Sarh Qurrah al-Uyun,

Hamka, Kedudukan Perempuan dalam

Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1996:3 dan Buya Hamka

Berbicara tentang Perempuan,

Gema Insani, 2014

Hazairin, hendak ke mana hukum

Islam , Tintamas, Jakarta, 1976

--------, Hukum Kewarisan bilateral

menurut Qur’an dan Hadits,

cet VI, Jakarta, Tintamas,

1982

--------, Tujuh Srangkai tentang

Hukum, Bina Aksara, 1985

Page 12: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

92

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral

menurut AlQur'an. Jakarta,

Tintamas, 1988

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris

Adat, Alumni Bandung, 1989

---------, Lihat Van Dijk, Pengantar

Hukum Adat Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung, 1960

H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris

Islam, Bandung, Aditama, 2006

Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan (Relasi

Jender Menurut Tafsir Al-

Sya’rawi), Jakarta: PT Teraju

Mizan, 2004

Khairuddin Nasution, Isu-isu Kontemporer

Hukum Islam, Yogyakarta,

Suka Pres, 2007

Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan

dan Warisan di Dunia Muslim

Modern Yogyakarta: ACAdeMIA,

2012

K.NG. Soebekli Poesponoto, Azas

dan Susunan Hukum Adat,

Jakarta, Pradnya Paramita,

1960

Lailah Ibrahim Abū al-Majd, al-

Mar’ah baina al-Yahūdiyyah

wa al-Islām, al-Dār al-

Tsaqāfiyyah, Kairo, 2007

M, Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani,

Bulug al-Marram Fi Adillati

al-Ahkam, Daar al- Kutub al-

Ijtimaiyah, Bairut, Libanon,

tth,

Masyhur Efendi dan Taufani S. Evandri,

HAM dalam Dinamika /Dimensi

Hukum, Politik, Ekonomi

dan Sosial, Ghalia Indonesia,

2010

Mohammad Musa, Titi Nurfitri,

Metodologi Penelitian,

Jakarta : Fajara Agung, 1997

Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat,

Konsep dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum dan Masyarakat,

Refika Aditama, 2009

Munir Fuadi, Teori-Teori Besar

(Grand Theory) Dalam

Hukum, Kencana, 2013

Rida,, Tafsir al-Manar, jilid 4, Al-Jalidi,

Ahkam al-Mirats

R. Santoso Pudjosubroto, Masalah

Hukum Sehari-hari,

Yogyakarta: Hien Hoo Sing,

1964

Salahudin Sultan, Mirasul Mar’ahwa

Qadiyyatul –Musawat,

Kairo, Nahdah Misr, 2004

Sayuti Thalib, Hukum Waris Islam di

Indonesia, Jakarta, Bina

Aksara, 1982

Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah

Penyusunan Kompilasi

Hukum Islam Indonesia,

Surabaya: Arkola, 1997

Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum

Adat, Penerbitan Universitas,

1966

Suriyaman Mustari Pide, Hukum

Adat, Dahulu, Kini dan akan

datang. Kencana, 2014

Page 13: PEWARISAN HARTA PUSAKA TINGGI KEPADA ANAK …

93

Syaikh Shafiyyurrahman al-

Mubarakfuri, Shohih Tafsir

Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka

Ibnu Katsir , 2015

Syekh al-Imam Muhammad bin Ali

bin Muhammad Asy

Syaukani, Nail al–Autar Min

Ahadisi Sayyidi al-Ahyar

Sarh Muntaqa al-Akhbar,

juz 4, Beirut Libanon:

Daar al-Qutub al- Ilmiah,

1973

Wirjono Prodjodikoro, Hukum

Warisan di Indonesia,

Bandung: Vorkink. van

Hoeve,'s Granvenhage

Yusirwan, Hukum Keluarga,

Kareakteristik dan Prospek

Doktrin Islam dan Adat

dalam Masyarakat

Matrilineal Minangkabau,

Jakarta, Raja Grafindo

Persada, 2013

Zusiana Elly Triantini, Hak-Hak

Perempuan dalam

Perkawinan (Studi

Komparatif Pemikiran An-

Nawawi Al-Bantani dan

Masdar Farid Mas’udi,

2012.

Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, Al-

Maktabah al-Syamilah

upgrade 3.59, Kairo, Dar al-

Ma'rifah, t.t.

http://budokanduangwordpress.com/t

entang harato-pusako-tinggi,

Azmi Dt.Bagindo,21 Juli

2009, diakses 8 Oktober

2017