Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
75Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014
Abstract
Theuseoflandandspaceofpermanentforestareafunctionedasagriculturalareascancauseanenvironmentaldamage.Asweknowthatenvironmentalproblemarisingas theimpactofhumanbeingsactionthemselves.Usingnaturalresourcesexcessivelycancauseachange of ecosystem which affects the natural resources conservation. Using naturalresourcesexcessivelywithoutpayingmoreattentiontoconservationaspectwillstimulateadisasterordamagetosociety.Forexample;floodinthesouthareaofBandungiscausedbydestruction of water absorption area along headwaters of Citarum river. The problemsstudiedinthisresearchare;legalbasisonshiftingforestareaalongheadwatersofCitarumrivertoagriculturalareas;whoshouldbemoreresponsible forshiftingforestareaalongheadwatersofCitarumrivertoagriculturalareaswhichcausesfloodinthesouthareaofBandung;andlegalproblemastheimpactofshiftingforestareaalongheadwatersofCitarumrivertoagriculturalareastoenvironmentandsociety;andthesolutiontothisproblem.
Keywords:useofland,environmentaldamage;areashifting;forestarea
PERUSAKANLINGKUNGANAKIBATALIHFUNGSIKAWASANHUTANDIHULUSUNGAICITARUMMENJADIKAWASAN
PERTANIANDIHUBUNGKANDENGANUNDANG-UNDANGNOMOR32TAHUN2009TENTANGPERLINDUNGANDAN
PENGELOLAANLINGKUNGANHIDUP
BaniSiliwangiUniversitasKatolikParahyanganE-mail:[email protected]
Abstrak
Pemanfaatan lahan dan ruang kawasan hutan tetap yang dijadikan kawasan pertaniandapatmenyebabkanterjadinyasuatukerusakanlingkungan.Sudahkitaketahuibersamabahwa masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.Manusia dalammemanfaatkan sumber daya alam yang berlebihan dapatmenimbulkansuatuperubahanterhadapekosistemyangakanmempengaruhikelestariansumberdayaalamitusendiri.Pemanfaatansumberdayaalamyangmelebihiambangbatasdayadukunglahandantanpamemperhatikanaspekkelestariannyaakanmendorongterjadinyasuatubencana yang akan merugikan masyarakat juga, seperti halnya banjir yang terjadi diBandungSelatanakhir-akhirinikarenarusaknyadaerahresapanairdisekitarhulusungaiCitarum. Permasalahan yang akan dikaji dalampenelitian ini adalah apa yangmenjadidasarhukumatasterjadinyaalihfungsikawasanhutandihulusungaiCitarumyangmenjadikawasanpertanian,siapayangbertanggungjawabatasalihfungsikawasanhutandihulusungaiCitarumyangdijadikankawasanpertanianyangmengakibatkanbanjirdiBandungSelatan,danmasalahhukumyangtimbulakibatdaripengalihanfungsikawasanhutandihulu sungai Citarum yang menjadi kawasan pertanian terhadap lingkungan danmasyarakat,dancarapenyelesaiannya.
KataKunci:Pemanfaatan,KerusakanLingkungan,Pengalihan,KawasanHutan
A. Pendahuluan
Pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup perlu diikuti tindakan
berupa pelestarian sumber daya alam
dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum seperti tercantumdalamPasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkanbahwa:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandungdidalamnyadikuasaioleh
Negara dan dipergunakan untuk
sebesar - besarnya kemakmuran
rakyat”.
JiwaPasal33ayat(3)Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945berlandaskansemangatsosial,yang
menempatkan penguasaan seperti
sumber daya alam untuk kepentingan
publik kepada negara. Pengaturan ini
berdasarkananggapanbahwapemerintah
adalah pemegang mandat untuk
melaksanakan kehidupan kenegaraan di
Indonesia.Untukitu,pemegangmandatini
seharusnyapunyalegitimasiyangsahdan
ada yang mengontrol kebijakan yang
dibuatnya dan dilakukannya, sehingga
dapat tercipta peraturan perundang-
undangan sebagai penjabaran Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai1
dengansemangatdemokrasiekonomi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup(UUPLH)sebagaimanatelahdiubah
dan diperbaharui oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Undang-Undang
Nomor19Tahun2004tentangPenetapan
PeraturanPemerintahPenggantiUndang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang merupakan
payung hukum di bidang pengelolaan
lingkungan hidup yang dijadikan dasar
bagi pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia dewasa ini. Dengan demikian
Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Undang-Undang Kehutanan merupakan
dasar ketentuan pelaksanaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup serta
sebagai dasar penyesuaian terhadap
perubahanatasperaturanyangtelahada
sebelumnya,sertamenjadikannyasebagai
suatu kesatuan yang bulat dan utuh di
dalamsuatusistem.
PemerintahIndonesiamerencanakan
10% dari daratan Indonesia akan
ditetapkan menjadi kawasan konservasi.
Namun demikian dalam kenyataan di
lapangan banyak dijumpai penebangan
pohon, kawasannya di rambah dan tidak
cepatdilakukanpenanamankembali.
“Akibatnya bukan saja habitat satwa
terganggunamunjugaekosistemalam
akanturutberubahdrastis,danpada
76 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014
1 DimensipengaturanekonomidankesejahteraansosialyangtertuangdidalamPasal33dan34UUD1945.PasalinimerupakankonsekuensidaritujuandariberdirinyanegaraIndonesia,haliniditunjukkandidalamPembukaanUUD1945padaalineake-4,yangrumusannyasebagaiberikut:“Kemudiandaripadaituuntukmembentuksuatupemerintahnegara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untukmemajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikutmelaksanakan ketertiban dunia yangberdasarkankemerdekaan,perdamaianabadidankeadilansosial”.KuntanaMagnar,InnaJunaenah,danGiriAhmadTaufk,TafsirMKAtasPasal33 UUd1945:(StudiAtasPutusanMKMengenaiJudicialReviewUUNo.7/2004,UUNo.22/2001,danUUNo.20/2002),JurnalKonstitusi,Volume7,Nomor1,Februari2010,hlm,112.
gilirannya kehidupan manusia turut2
terancambahaya”.
Sudah kita ketahui bersama bahwa
masalahlingkungantimbulsebagaiakibat
dari perbuatan manusia itu sendiri.
Manusia dalam memanfaatkan sumber
daya alam akan menimbulkan suatu
perubahanterhadapekosistemyangakan
mempengaruhi kelestarian sumber daya
alamitusendiri.Pemanfaatansumberdaya
alam yang melebihi ambang batas daya
dukung lahan dan tanpamemperhatikan
aspek kelestariannya akan mendorong
terjadinya suatu bencana yang akan
merugikanmasyarakatjuga,sepertihalnya
banjir yang terjadi di Bandung Selatan
akhir-akhir ini karena rusaknya daerah
resapanairdisekitarhulusungaiCitarum.3
DataKementerianLingkunganHidup
menyatakan tutupan hutan di daerah
aliran sungai (DAS) Citarum sejak 2000
sampai2009menurundrastis.Dari71.750
hektare menjadi 9.899 hektare, atau
berkurang 98 persen. Luas hutan pada
2009 tinggal 1,4 persen dari total luasan
DAS Citarum yang mencapai 716.372
hektare. Sebaliknya, luas permukiman
semakin bertambah pesat. Dari hanya
81.685hektarpada2000menjadi176.441
hektar pada Tahun 2009. Luas sawah
dalam kurun waktu yang sama juga
bertambah dari 244.662 hektar menjadi
262.034 hektar, dan luasan perkebunan
dari 123.154 hektar menjadi 240.470
hektare. Sementara lahan untuk
permukimandanindustridalamsembilan
tahunterakhirbertambah161persen.4Menurut Setiawan Wangsaatmaja
(Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah Jawa Barat) pengamatan
yangdilakukansecaratimeseriesterhadap
tutupan lahan di DAS Citarum Hulu5
menggunakan citra Landsat TM tahun
1983,1993dan2002,membuktikantelah
terjadipenurunan luas lahanbervegetasi
seperti hutan sebesar -54% dan
berkurangnya lahan resapan air, serta
terjadinya peningkatan lahan terbangun
seperti perkotaan sebesar +223%
sepanjangtahun1983sampai2002.
Banyaknyajumlahdesayangterdapat
disekitar DAS Citarum Hulu dengan
karakteristik berkepadatan penduduk
tinggi dan rendahnya kepemilikan lahan,
kehidupan masyarakatnya yang sangat
tergantung pada hutan dengan budaya
bercocoktanamdansistemekonomiyang
berbasis lahan dan kurang berkembang
serta tidak adanya alternatif profesi lain
selain sebagai petani, merupakan faktor
pendorongterjadinyatekananyangbesar
terhadaplahanbervegetasidiDASCitarum
Hulu. Tekanan tersebut menyebabkan
meningkatnya jumlah lahan kosong
dimana lahan hutan diubah oleh
masyarakat menjadi lahan untuk6
pertanian.
2 BambangPamulardi,HukumKehutanandanPembangunanBidangKehutanan,RajagarafindoPersada,Jakarta,1996,hlm1-2.
3 TimdariKementerianLingkunganHidupRepublikIndonesia,StatusLingkunganHidupIndonesia2010,KementerianLingkunganHidupRepublikIndonesia,Jakarta,2010,hlm.72-73
4 FitriNurfatiranidanAdiNugroho,ManfaatHidrologisHutandiHuluDASCitarum,MakalahHasilPenelitianSosialEkonomidanKebijakanKehutanan,InstitutPertanianBogor,2010,hlm.182
5 Satelitsumberdayaalamyangdigunakanuntukbeberapakegiatansurveimaupunpenelitian,antaralaingeologi,pertambangan,geomorfologi,hidrologi,dankehutanan.
6 FitriNurfatirani,OpCit,hlm183
77Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014
Alih fungsi tersebut berakibat
rusaknya lahan hutan di hulu Citarum,
hutan kayu keras kini sudah berganti
menjadi lahan tanaman sayuran seperti
kentang, wortel, kol, dan daun bawang
yangmempunyainilaiekonomistinggidah
harganya mahal dan tidak terlalu
mengalami fluktuasi harga. Akibat dari
perambahanhutandidaerahHuluSungai
Citarum, tanah disekitar hulu perlahan-
lahanmengalamikerusakan,sumbermata
air terkena pendangkalan dan daerah
tangkapanairjadiberkurangdrastis.
Tanaman sayur yang ditanam pada
kemiringanlahanlebihdari45derajatjuga
menyebabkan tanah tergerus saat hujan,
dan menimbulkan sedimentasi atau
pendangkalansungai.Citarumpunmudah
meluap ketika hujan deras karena daya
tampungnyamengecil. Sebagai gambaran
kerusakanhutansekitarGunungWayang,
yangmerupakanhuluSungaiCitarumyang
sudah begitu parah dan cenderung
diabaikan dampaknya dengan mudah
terlihat, banjir langganan selalu
menggenangi kawasan Kecamatan
Baleendah, Kecamatan Banjaran dan
Kecamatan Majalaya (Kabupaten
Bandung), bahkan sampai ke Kabupaten
Karawangdihilir.
Mengenai kapan terjadinya
penjarahan dan perambahan ini terjadi
sangatsulituntukmemastikannya,namun
kegiatan ini marak terjadi setelah krisis
ekonomi pada Tahun 1997. Maraknya
pemberianKreditUsahaTanisekitartahun
1998membuatsemuaorangkianmudah
memilikimodaluntukmenjadipetani.Hal
itu menimbulkan dampak serius kepada
perkebunansayurdiKertasari,orangyang
datangdenganuangbanyaklalumenyewa
tanahgarapan.Alih fungsiwilayahhutan
menjadi lahan sayuran berlangsung
denganlajuyangagresifdanberlangsung7
hingga2002. Dugaanlainnyaperambahan
ini terjadiketika iklimreformasibergulir
di Indonesia, yaitu munculnya konflik
agrariaantara pemangku kepentingan
(Pemerintahdanmasyarakat).
Berdasarkan uraian pada latar
belakang masalah disertai dengan
permasalahan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1. Apa yangmenjadi dasar hukum atas
terjadinya alih fungsi kawasanhutan
dihulusungaiCitarumyangmenjadi
kawasanpertanian?
2. Siapa yang bertanggung jawab atas
alih fungsi kawasan hutan di hulu
sungai Citarum yang dijadikan
kawasan pertanian yang menga
kibatkanbanjirdiBandungSelatan?
3. Masalah hukum yang timbul akibat
daripengalihanfungsikawasanhutan
dihulusungaiCitarumyangmenjadi
kawasan pertanian terhadap
lingkungandanmasyarakat,dancara
penyelesaiannya?
Berdasarkan permasalahan di atas,
tujuanyangdiangkatadalah:
1. Untukmengetahuidanmenelitidasar
hukumdalampelaksanaanalihfungsi
78 Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014
7 WawancaradenganBapakAgusDeradjat,penduduksetempatsekaligusaktivislingkunganhidupdanmantanketuaLMDHTarumajaya,padaharisabtu,tangga5Januari2014,jam10.00s/d16.00,dilingkunganbeliau(DesaTarumajayaCibeureum)
kawasanhutandihulusungaiCitarum
yangmenjadikawasanpertanian.
2. Untuklebihmenelitidanmenganalisis
pertanggungjawaban atas alih fungsi
kawasanhutandihulusungaiCitarum
yang menjadi kawasan pertanian
dapat mengakibatkan banjir di
BandungSelatan.
3. Untuk meneliti dan menganalisis
masalah hukum yang timbul akibat
pengalihan fungsi kawasan hutan di
hulu sungai Citarum yang menjadi
kawasan pertanian terhadap
lingkungandanmasyarakat.
Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil
penelitian yuridis sosiologis dengan8
menggunakan metodedeskriptif analitis.
Penelitian ditujukan untuk meng
gambarkan fakta-fakta hukum secara
komperhensifmengenai objek penelitian,
yakni efektifitas pengendalian ruang di
kawasanhutanhulusungaiCitarum.
Penelitian ini dilakukan melalui
metode pendekatan yang menggunakan
wawancara,baikterstrukturataupuntidak
terstruktur,pengamatantidakterlibat,dan
Focus Group Discussion(FGD). Metode
penelusuran data atau bahan hukum
primerinidapatdigunakansalahsatuatau
lebih sesuai dengan permasalahan yang
ditelitidan metode pendekatan yang
dipergunakan.
B. Pembahasan
1. Dasar hukum pengalihfungsian
kawasan hutan di hulu sungai
Citarum yang menjadi kawasan
pertanian
PenguasaanhutanolehNegarabukan
merupakan pemilikan, tetapi Negara
memberi wewenang kepada Pemerintah
untuk mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan,
menetapkan kawasan hutan atau
mengubah status kawasan hutan,
mengatur dan menetapkan hubungan
hukum antara orang dengan hutan atau
kawasan hutan dan hasil hutan, serta
mengatur perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Pasal2ayat(1)UndangUndangNo.5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-PokokAgraria,menyatakanbahwa:
“Atasdasarketentuandalampasal33
ayat (3) Undang-undang Dasar dan
hal-halsebagaiyangdimaksuddalam
pasal1,bumi,airdanruangangkasa,
termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara,sebagaiorganisasikekuasaan
seluruhrakyat.”
Peraturan-Peraturan di Indonesia
yangberkaitandenganalihfungsikawasan
hutan,antaralain:
a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
UndangNomor1Tahun2004tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang,
antara lainPasal 1 butir (1) dan (4),
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 yang
79Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014
8 RonnyHanitjoSoemitro,MetodelogiPenelitianHukumdanJurimetri,GhaliaIndonesia,Semarang,1988,hlm.11.
menyatakan:
Pasal1butir(1)dan(4):
1)Kehutanan adalah sistem
pengurusan yang bersangkut paut
denganhutan,kawasanhutan,dan
hasil hutan yang diselenggarakan
secaraterpadu.
2)Hutan negara adalah hutan yang
berada pada tanah yang tidak
dibebanihakatastanah.
Pasal 2, menyatakan bahwa
Penyelenggaraan kehutanan
berasaskan manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan,danketerpaduan.
Pasal 3, menyatakan bahwa
Penyelenggaraan kehutanan
bertujuan untuk sebesar-besar
kemakmuranrakyatyangberkeadilan
danberkelanjutandengan:
1)menjamin keberadaan hutan
dengan luasan yang cukup dan
sebaranyangproporsional;
2)mengoptimalkan aneka fungsi
hutan yang meliputi fungsi
konservasi, fungsi lindung, dan
fungsi produksi untuk mencapai
manfaatlingkungan,sosial,budaya,
dan ekonomi, yang seimbang dan
lestari;
3)meningkatkandayadukungdaerah
aliransungai;
4)meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan
sosialdanekonomisertaketahanan
terhadap akibat perubahan
eksternal;dan
5)menjamin distribusimanfaat yang
berkeadilandanberkelanjutan.
Pasal4,menyatakanbahwaSemua
hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam
yangterkandungdidalamnyadikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besar
kemakmuranrakyat.”
b. Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi
KawasanHutan.
Pelepasan kawasan hutan untuk
pengembangan budi daya pertanian
atauyanglebihdikenaldenganistilah
konversi hutan dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan. Dengan
pertimbangan bahwa pengembangan
usahapertanianperluditunjangoleh
penyederhanaan peraturan
perundang-undangan yang mengatur
tentangpelepasankawasanhutandan
pemberian hak guna usaha.
Berdasarkan alasan tersebut, maka
PemerintahmenetapkantentangTata
Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan. Peraturan
Pemerintah tersebut mengatur
tentang pengertian kawasan hutan
yang dapat dilepaskan, tata cara,
pengajuan permohonan dan proses
penerbitan keputusan persetujuan,
cara pengajuan hak guna usaha, dan
lain-lain.
Pelepasan kawasan hutan di atur
dalam Peraturan Pemerintah No. 10
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 80
tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan
HutandalamPasal2,Pasal4,danPasal
5yangmenjelaskanantaralainsebagai
berikut:
Pasal 1 ayat (16) menyatakan
bahwa Pelepasan kawasan hutan
adalah perubahan peruntukan
kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi menjadi bukan kawasan
hutan”.
Pasal 2 menyatakan bahwa
Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan dilakukan untuk
memenuhi tuntutan dinamika
pembangunannasional sertaaspirasi
masyarakat dengan tetap
berlandaskan pada optimalisasi
distribusi fungsi, manfaat kawasan
hutansecaralestaridanberkelanjutan,
serta keberadaan kawasan hutan
denganluasanyangcukupdansebaran
yangproporsional.
Pasal4menyatakan:
1)Kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 meliputi
kawasan hutan yang memiliki
fungsi pokok sebagai hutan
konservasi, hutan lindung, dan
hutanproduksi.
2)Kawasan hutan konservasi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)meliputi:
a. kawasansuakaalam,terdiriatas:
(1). cagaralam;dan
(2). suakamargasatwa.
b. kawasan pelestarian alam,
terdiriatas:
(1). tamannasional;
(2). tamanwisataalam;dan
(3). tamanhutanraya.
c. tamanburu.
3)Kawasan hutan produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1),terdiriatas:
a. hutanproduksiterbatas;
b. hutanproduksitetap;dan
c. hutan produksi yang dapat
dikonversi.
Pasal 5 menyatakan bahwa
Perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan
olehMenteridengandidasarkanpada
hasilpenelitianterpadu.
Permohonan pelepasan kawasan
hutandiaturdalamPasal20,Pasal21,
danPasal27yangmenjelaskanantara
lainsebagaiberikut:
Pasal20menyatakan:
1)Permohonan pelepasan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud
dalamPasal8ayat(1)diajukanoleh
pemohonkepadaMenteri.
2)Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan
sebagaimanadimaksuddalamPasal
9.
Pasal 21 menyatakan bahwa Men
teri setelah menerima permohonan
danmenelitikelengkapanpersyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, dapat menerbitkan surat
penolakan atau menerbitkan
persetujuan prinsip pelepasan
kawasanhutan.
Pasal 25 menyatakan bahwa
Berdasarkan keputusan Menteri
tentangpelepasankawasanhutandan
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 81
dipenuhinya persyaratan lain sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan,instansiyangberwenangdi
bidang pertanahan menerbitkan
sertifikatHakAtasTanah.
c. PeraturanMenteriKehutananNomor:
P. 37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan.
Pasal1butir(1)dan(2):
1)Hutan kemasyarakatan adalah
hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat
setempat.
2)Pemberdayaan Masyarakat
setempat adalah upaya untuk
meningkatkan kemampuan dan
kemandirianmasyarakat setempat
untuk mendapatkan manfaat
sumberdaya hutan secara optimal
dan adil melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses
dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat
setempat.
Pasal2ayat(1)dan(2):
1)Penyelenggaraan hutan
kemasyarakatanberasaskan:
a)manfaat dan lestari secara
ekologi, ekonomi, sosial dan
budaya;
b)musyawarah-mufakat;
c) keadilan.
2)Untuk melaksanakan asas
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)digunakanprinsip:
a) tidak mengubah status dan
fungsikawasanhutan;
b)pemanfaatan hasil hutan kayu
hanyadapatdilakukandarihasil
kegiatanpenanaman;
c) m e m p e r t i m b a n g k a n
keanekaragaman hayati dan
keanekaragamanbudaya;
d)m e n um b u h k em b a n g k a n
keanekaragamankomoditasdan
jasa;
e)meningkatkan kesejahteraan
masyarakatyangberkelanjutan;
f) memerankan masyarakat
sebagaipelakuutama;
g) adanyakepastianhukum;
h)transparansi dan akuntabilitas
publik;
i) partisipatif dalam pengambilan
keputusan.
Pasal 3, menyatakan bahwa
Penyelenggaraan hutan
kemasyarakatan dimaksudkan untuk
pengembangan kapasitas dan
pemberianaksesterhadapmasyarakat
setempat dalam mengelola hutan
secara lestari guna menjamin
ketersediaan lapangan kerja bagi
masyarakat setempat untuk
memecahkanpersoalanekonomidan
sosialyangterjadidimasyarakat.
Pasal 4,menyatakanbahwaHutan
kemasyarakatan bertujuan
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat melalui
pemanfaatan sumber daya hutan
secaraoptimal,adildanberkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian
fungsihutandanlingkunganhidup.
d. Surat Gubernur Jawa Barat No.
522/1224/Binprod Tahun 2003
tentang Perlindungan dan
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 82
PengamananKawasanHutan di Jawa
Baratyangmenyatakan:
1) Pada kawasan Hutan Lindung,
kawasan Hutan Konservasi dan
KawasanHutanWisatadiseluruh
Jawa Barat, dilarang
melaksanakanpenebanganpohon
serta dilarang melaksanakan
kegiatantumpangsari.
2) PadakawasanHutanProduksidi
seluruhJawaBaratyangberlereng
di atas 40%, dilarang
melaksanakan kegiatan
tumpangsari.
3) PadakawasanHutanProduksidi
seluruh Jawa Barat yang
berkriteria seperti di bawah ini,
juga dilarang melaksanakan
penebangan pohon yaitu pada
lahan/kawasansebagaiberikut:
a)Lahanyangberlereng40%
b)Kawasan Perlindungan
Setempat yaitu terdiri dari
sempadan pantai, sempadan
sungai, lokasi mata air serta
sekitarwaduk,situdandanau.
c)KawasanPerlindungan lainnya
yaitukawasanresapanairserta
kawasan rawan bencana
letusan gunung berapi, gempa
bumi,danlongsor.
Pelaksanaan reboisasi
/rehabilitasi dengan sistem
tumpangsari, hanya dimungkinkan
pada kawasan Hutan Produksi yang
berlereng 40%, tetapi itupun
disamping harus secara selektif, juga
dalam pengolahan tanahnya harus
menerapkan sistem terasering sesuai
denganteknologiyangdianjurkan.
2. Pihakyangbertanggungjawabatas
alih fungsi kawasan hutan di hulu
sungai Citarum yang dijadikan
kawasanpertanian
Berdasarkan dari analisis perubahan
ruangpadakawasanhutandihulusungai
Citarum dari Tahun 1997 hingga Tahun
2013,perubahanpenggunaan lahanyang
palingbesaradalahperubahanlahandari
hutan dan tegalan yang menjadi
permukiman,kebuncampurandandaerah
industri.Secaraumumdapatdisimpulkan
bahwaperubahan lahandiakibatkanoleh
kegiatan manusia, terutama di daerah
pedesaanmenjadipermukiman(komplek
perumahan). Bahwa perubahan tersebut
lebih di dominasi oleh perubahan
perbuatan, yaitu perubahan yang
dilakukan oleh aktivitas manusia.Hal ini
ditunjukkandenganpeningkatanmasing-
masing untuk luasan jenis liputan lahan
kebun campuran, permukiman.industri
danpersawahan.
KawasanhutandihulusungaiCitarum
Gunung Wayang pada dasarnya
pengelolaannya dipercayakan kepada
PERUMPERHUTANIUNIT III JawaBarat,
BKPH Pangalengan, RPHWayangWindu.
Pada saat yang lalu hutannya terbagi
menjadi Hutan Lindung dan Hutan
Produksi,namunmulaitahun2003status
hutanya menjadi hutan lindung saja.
Gunung Wayang oleh Perum Perhutani
dibagi menjadi beberapa petak
diantaranya, Petak 73 dengan luas 265,9
HayangmerupakanZonaIntiHuluSungai
Citarum, Petak 18, 19, 20, 68, dan 69.
Berhimpit denganPetak 73 ada kawasan
perkebunan The dan Kina, yaitu
PerkebunanTehSwastaLONSUM(London
Sumatera)seluas627HadenganHGU(Hak
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 83
Guna Usaha) berakhir sampai dengan
2023.PerkebunanKinaPTBukitTunggul
yang terbagi menjadi dua afdeling:
Cikembang dan Kertamanah dengan luas
lebih kurang 1200 Ha, HGU nya telah
berakhir pada 31 Desember 1997.
Perkebunan ini pada tahun 1996
mengambil kebijakanmenyewakan lahan
terhadap petani besar, sehingga memicu
perambahankawasanhutandihulusungai9Citarum.
Alih fungsi tersebut berakibat
rusaknya lahan hutan di hulu sungai
Citarum.Hutan kayu keras kini sudah
bergantimenjadi lahan tanaman sayuran
seperti kentang, wortel, kol, dan daun
bawang yang mempunyai nilai ekonomis
tinggidahharganyamahaldantidakterlalu
mengalami fluktuasi harga. Akibat dari
perambahanhutandidaerahhulusungai
Citarum, tanah di sekitar hulu sungai
tersebutsecaraperlahan-lahanmengalami
kerusakan. Sumber mata air terkena
pendangkalan dan daerah tangkapan air
jadiberkurangdrastis.Citarumpunmudah
meluap ketika hujan deras karena daya
tampungnyamengecil. Sebagai gambaran
kerusakanhutansekitarGunungWayang,
yangmerupakanhuluSungaiCitarumyang
sudah begitu parah dan cenderung
diabaikan dampaknya dengan mudah
terlihat, banjir langganan selalu
menggenangi kawasan Kecamatan
Baleendah, Kecamatan Banjaran dan
Kecamatan Majalaya (Kabupaten
Bandung), bahkan sampai ke Kabupaten
Karawangdihilir.
Permasalahantersebutdiatastimbul
suatupertanyaansiapaataulembagamana
yang bertanggung jawab atas
pengalihfungsian tersebut? Kelembagaan10menurut Ruttan dan Hayami adalah
aturan di dalam suatu kelompok
masyarakat atau organisasi yang
memfasilitasikoordinasiantaranggotanya
untukmembantumerekadenganharapan
setiap orang atau organisasi mencapai
tujuan bersama yang diinginkan.11
Sedangkan menurut Ostrom
mendefinisikan kelembagaan sebagai
aturandanrambu-rambusebagaipanduan
yang dipakai oleh para anggota untuk
mengaturhubunganyangsalingmengikat
dantergantungsatusamalain.12
Menurut North lebih menekankan
kelembagaansebagaiaturanmaindidalam
suatukelompokyang sangatdipengaruhi
oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan
politik.
Kelembagaanadalahaturanyangyang
memfasilitasi organisasi dalam
berkoordinasi dan bekerjasama untuk
mencapaitujuanbersamayangdiinginkan.
Aturandisinimencakupaturanformaldan
nonformalyangdiperlukandandisepakati
bersama. Karena itu aturan disini harus
jelas, terukur dan konsisten. Organisasi
atau institusi yang terlibat diharapkan
mempunyai sumber daya manusia yang
kredibel dan mempunyai pengetahuan
serta pengertian yang cukup tentang
permasalahanyangada.
Kenyataannya hutan lindung dikelola
dan dimanfaatkan oleh banyak pihak
9 AgusDeradjat,BungaRampaiGunungWayang,makalah,hlm.310 KirsfiantiGinoga,SulistyaEkawatidanDedenDjaenudin,BiayaTransaksiPengelolaanDASPerspektifUntukSubDASCitatih,ArtikelOnline,diaksestanggal14Juni2013dihttp://kelembagaandas.wordpress.com
11 Ibid12 Ibid
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 84
(multistakeholders). Pihak-pihak tersebut
dapatdikategorikan:
1) LembagaPemerintah
a) PemerintahPusat:
(1). Departemen Perencanaan
danPembangunanNasional
(Bappenas);
(2). Departemen Pekerjaan
Umum;
(3). DepartemenKehutanan;
(4). Departemen Perkebunan
danPertanian;dan
(5). Departemen Lingkungan
Hidup
2) BUMN/BUMDyaituPerumPerhutani.
3) LembagaNonPemerintah,dan
4) Masyarakat.
Masing-masing pihak mempunyai
kepentingan, bahkan kadang-kadang
bertentangan. Sehingga tidak meng
herankan ada kecenderungan kawasan
hutan dikelola secara terfragmentasi.
Untuk itu penguatan kelembagaan untuk
pemantapankawasanhutanlindungperlu
dilakukan dengan menyatukan dan
menselaraskanparapihak.
Apabila pemantapan kawasan hutan
dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok
Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal 18
yangmenyatakanluaskawasanhutanyang
harus dipertahankan minimal 30% dari
luas daerah aliran sungai dan atau pulau
dengan sebaran yang proporsional. Dan
Perda Propinsi Jawa Barat No. 2 Tahun
2003tentangRTRWPJawaBarat,Pasal31
menetapkan kawasan lindung sebesar
45%dariluasseluruhwilayahJawaBarat
meliputikawasanyangberfungsi lindung
di dalam kawasan hutan dan di luar
kawasanhutan.MakauntukdaerahHulu
Citarum, aturan luas ini tidak terpenuhi,
karena luas kawasan hutan hanya 15.7
persenpadaTahun2005.Untukituperlu
mewujudkan kesamaan persepsi antar
pembuat kebijakan untuk pengelolaan
kawasan hutan lindung yang adil,
transparan, bertanggung jawab dan
konsekwenantarapusatdandaerah.
DalamUndang-UndangNo.32Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
terdapat pengaturan pembagian14
kewenangan yang bersifat concurrent
secara proporsional antara Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
maka disusunlah suatu kriteria yang
meliputi eksternalitas, akuntabilitas,15
efisiensidankeserasianhubungan dengan
memperhatikan keserasian hubungan
pengelolaan urusan pemerintahan antar
13 Ibid14 Concurrentadalahurusanpemerintahanyangpenanganannyadalambagianataubidangtertentudapatdilaksanakan
bersamaantaraPemerintahdanPemerintahDaerah.15 Kriteriaeksternalitasdidasarkanataspemikiranbahwatingkatpemerintahanyangberwenangatassuatuurusan
pemerintahanditentukanolehjangkauandampakyangdiakibatkandalampenyelenggaraanurusanpemerintahantersebut.
Kriteriaakuntabilitasyaitutingkatpemerintahanyangpalingdekatdengandampakyangtimbuladalahyangpalingberwenanguntukmenyelenggarakanurusanpemerintahantersebut.
Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkinmencapai skala ekonomis yang dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dandemokratisasisebagaiesensidasardarikebijakandesentralisasi.
Kriteria keserasian hubungan adalah pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oIeh tingkatpemerintahanyangberbeda,bersifatsalingberhubungan(interkoneksi),salingtergantung(interdependensi),dansalingmendukungsebagaisatukesatuansistemdenganmemperhatikancakupankemanfaatan.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 85
tingkatpemerintahan.
Para pihak yang bertanggung jawab
atas pemanfaatan ruang pada kawasan
hutandiHuluSungaiCitarumyangmenjadi
kawasan pertanian jika tutupmata terus
dan saling menyalahkan pada akhirnya
tidak akan memenuhi kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan
keserasianhubunganyangbaikdanbenar
sehinggafungsihukumdalampengawasan
serta penanggulangan masalah
pemanfaatanruangdikawasanhutanhulu
sungai Citarum tidaka akan berfungsi
sebagaimana mestinya, maka rusaknya
kawasan hutan di hulu Sungai Citarum
yang meliputi Kecamatan Kertasari,
Kecamatan Ibun, dan Kecamatan Pacet,
lambat laun akan menimbulkan bencana
bagi masyarakat di Kabupaten Bandung
termasuk yang berada di sekitar DAS
Citarum yang juga melintasi wilayah
Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan
KabupatenKarawang.
3. Masalahhukumyangtimbulakibat
dari pengalihan fungsi kawasan
hutandihulusungaiCitarumyang
menjadi kawasan pertanian
terhadap lingkungan dan
masyarakat, dan cara
penyelesaian
Saat ini kondisi hutan Negara di
ProvinsiJawaBaratterjadikerusakanyang
sangatmemprihatinkan,terutamasebagai
akibatperambahandanpenjarahan,yang
apabilasegeratidakditangani,selainakan
menimbulkanbencanabanjir, longsor,dll,
juga dapat membahayakan terhadap
kelestarianalamdanlingkungan.
Masalah lingkungan timbul sebagai
akibatdariulahmanusia itu sendiri,dari
harikehariancamanterhadapkerusakan
lingkungan semakin meningkat .
Banyaknya pembukaan lahan baru
mengakibatkan banyaknya hutan yang
dirusak karena umumnya pembukaan
lahan tersebut tidak mengikuti kaidah
ekologi. Rusaknya hutan akan merusak
ekosistemyangadadihutantersebutdan
disekitarhutandanmerusaksemuasistem
kehidupandisetiapkomponenyangadadi
bumi ini. Melestarikan hutan berarti
menyelamatkan semua komponen
kehidupan, hutan yang terjaga akan
memberikantataairyangbaikpadadaerah
hilirnya sehingga akan menyelamatkan
semua kegiatan umumnya dan kegiatan
ekonomikhususnya,selainituhutanyang
terjagaakanmemberikanmanfaatsangat
besarbagilingkungan,hutansebagaiparu-
paru dunia akanmengurangi pemanasan
bumi,mengurangikekeringansaatmusim
panasdanmengurangirisikolongsordan
banjirsaatmusimhujan.Sumbermasalah
kerusakan lingkungan terjadi sebagai
akibat dilampauinya daya dukung
lingkungan, yaitu tekanan penduduk
terhadap lahan yang berlebihan.
Kerusakan klingkungan hanyalah akibat
atau gejala saja, karena itu
penanggulangankerusakanlingkunganitu
sendiri hanyalah merupakan
penanggulangan yang sistematis, yaitu
penanggulangannyaharusdilakukanlebih
mendasar yang berarti menanggulangi
penyebab dari kerusakan lingkungan.
Karena itu sebab kerusakan lingkungan
yangberupa tekananpenduduk terhadap
sumber daya alam yang berlebih harus
ditangani.
Pengelolaan penggunaan lahan yang
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 86
telahberpendudukdanyangmasihjarang
penduduknya atau yang belum
berpenduduk sering mengundang
munculnya masalah, khususnya di
Indonesia antara lain; kontradiksi antara
kebutuhandanbatasan-batasanyangberat
demi lingkungan hidup, meningkatnya
keperluan hidup, terjadinya kerusakan
tanah karena kurang pemeliharaan.
Seperti halnya terjadinya
pengalihfungsiaandihulusungaiCitarum
yangmenjadipertaniaan(padaumumnya
dengan cara bertanam dengan16
caratumpangsari ).Dariberbagaimasalah
tersebuttimbulmasalahlainyaitumasalah
hukum.
Permasalahantumpangsariiniadalah
salahsatupenyebabterjadinyakerusakan
lingkungandisekitarkawasanhutanhulu
Citarum. Banyak pohon yang ditanam
untuk penghijauan dan reboisasi
dimatikan lagi oleh penduduk karena
dianggap mengganggu tanaman usaha
taninya sehingga tidak jarang mereka
menetapditempattersebut,adajugayang
melakukan perpindahan ladang dan
pembukaan lahanbaru.Perpindahandan
pembukaan lahan ini rata-rata dilakukan
dengancarapembakaranlahan.Jikasering
terjadi pembakaran hutan pada lahan-
lahanperkebunanyangbesarmemberikan
dampak yang buruk pada lingkungan
hutandisekitarnya.Pasal69ayat(1)huruf
a UU No.32 Tahun 2009 tentang
PerlindungandanPengelolaanLingkungan
Hidup menyatakan bahwa setiap orang
dilarang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Kemudian
Pasal69ayat(1)hurufhUUNo.32Tahun
2009 menyatakan bahwa setiap orang
dilarang melakukan pembukaan lahan
dengan caramembakar. Sedangkan Pasal
108 UU No.32 Tahun 2009 menyatakan
bahwa setiap orang yang melakukan
pembakaranlahansebagaimanadimaksud
dalamPasal69ayat (1)hurufhdipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga)tahundanpalinglama10(sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluhmiliarrupiah).
Kegiatan tumpangsari dengan cara
melakukan pembakaran lahan di sekitar
kawasan hulu Citarum ini jika dilakukan
terus menerus tidak menutup
kemungkinanakanmenjadisuatubencana
yangbersifatlangsungsepertibanjir,erosi,
dlldanyangbersifattidaklangsungseperti
pemanasanglobal.Jikabencanainiterjadi
makabukanhanyamasyarakatKecamatan
Kertasari,KecamatanIbun,danKecamatan
Pacet,yangterkenadampakbencanatetapi
juga masyarakat di Kabupaten Bandung
termasuk yang berada di sekitar DAS
Citarum yang juga melintasi wilayah
Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan
Kabupaten Karawang. Bencana ini
dampaknya sangatlah merugikan bagi
masyarakatdanhalinitidaksesuaidengan
Pasal 65 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa setiap orang
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 87
16 Tumpangsariadalahsuatubentukpertanamancampuran(polyculture)dikawasanhutanyangberupapelibatanduajenisataulebihtanamanpadasatuareallahantanamdalamwaktuyangbersamaanatauagakbersamaan.Tumpangsari yang umum dilakukan adalah penanaman dalam waktu yang hampir bersamaan untuk dua jenis tanamanbudidayayangsama,sepertijagungdankedelai,ataujagungdankacangtanah.
berhak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia.
Masyarakatjikamerasadirugikanoleh
kegiatantumpangsariinidapatmelakukan
suatu usul dan pengaduan karena setiap
orang berhakmengajukan usul dan/atau
keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang diperkirakan
dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkunganhidupdansetiaporangberhak
jugamelakukanpengaduanakibatdugaan
pencemaran dan/atau perusakan
lingkunganhidupsebagaimanadimaksud
Pasal65ayat(3)dan(5)UUNo.32Tahun
2009.
Pengaduan yang dilakukan oleh
masyarakatitujikaterbuktimakalembaga
yangberwenangdapatmelakukansanksi
berupa administratif dan pidana. Sanksi
administratif di aturdalamPasal76ayat
(1)(2),Pasal77,Pasal78,danPasal79UU
No.32 Tahun 2009. Sanksi pidananya di
aturantaralaindalamPasal98ayat(1)dan
Pasal99ayat(1).
Pasal76menyatakan:
a. Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika
dalam pengawasan ditemukan
pelanggaranterhadapizinlingkungan.
b. Sanksiadministratifterdiriatas:
1) tegurantertulis;
2) paksaanpemerintah;
3) pembekuanizinlingkungan;atau
4) pencabutanizinlingkungan.
Pasal 77menyatakan bahwaMenteri
dapat menerapkan sanksi administratif
terhadap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika Pemerintah
menganggap Pemerintah Daerah secara
sengaja t idak menerapkan sanksi
administratif terhadap pelanggaran yang
serius di bidang perlindungan dan
pengelolaanlingkunganhidup.
Pasal 78 menyatakan bahwa sanksi
administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan
danpidana.
Pasal 79 menyatakan bahwa
pengenaan sanksi administratif berupa
pembekuan atau pencabutan izin
lingkungansebagaimanadimaksuddalam
Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d
dilakukan apabila penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakanpaksaanPemerintah.
Pasal 98 ayat (1)menyatakanbahwa
setiap orang yang dengan sengaja
melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, bakumutu air, bakumutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkunganhidupdipidanadenganpidana
penjarapaling singkat3 (tiga) tahundan
palinglama10(sepuluh)tahundandenda
paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 99 ayat (1)menyatakanbahwa
setiap orang yang karena kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, bakumutu air, bakumutu
air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkunganhidup,dipidanadenganpidana
penjarapalingsingkat1(satu)tahundan
palinglama3(tiga)tahundandendapaling
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 88
perundang-undangan ini juga tidak
diterapkan oleh Perhutani karena
Perhutani tetap melarang tumpangsari
dengan berdasar pada Surat Gubernur
JawaBaratNo.522/1224/BinprodTahun
2003 tentang Perlindungan dan
PengamananKawasanHutandiJawaBarat
KebijakanPerhutaniyangdidasarkan
pada surat Gubernur Jawa Barat No.
522/1224/Binprod Tahun 2003 ini
sesungguhnyatidakmempunyaikekuatan
hukumapabiladihubungkandenganPasal
7 ayat (1) Undang-Undang No 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dasar kebijakan
Perhutani ini hanya berupa surat yang
bukan suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
KebijakanPerhutaniinitidaktepatkarena
surat Gubernur tersebut tidak termasuk
kedalam jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangandanbukantermasuk
peraturan perundang-undangan yang
mengikatsecaraumum.Jikamelihatpada
Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) Undang-
Undang No.10 Tahun 2004 merujuk
kepada Asas Lex superior derogat legi
inferioryaitudimanaperaturanyanglebih
tinggi akan mengesampingkan peraturan
yang lebih rendah apabila mengatur
subtansi yang sama dan bertentangan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 12
Tahun2011yangmenyatakan:
Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara
RepublikIndonesiaTahun1945;
b. Ketetapan Majelis Permu
syawaratanRakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00(tigamiliarrupiah).
Permasalahan hukum di Indonesia
terjadi karena beberapa hal, baik dari
sistemperadilannya,perangkathukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum. Seperti halnya
permasalahan hukum di dalam obyek
penelitianyangterjaditerdapatperaturan
perundang-undangan setingkat Undang-
Undang(Undang-UndangNomor19Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor1Tahun2004 tentangPerubahan
atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999tentangKehutananmenjadiUndang-
Undang) dan Peraturan Pemerintah (PP
No.10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan) yang seharusnya
peraturan ini melindungi dan menjaga
kelestarian hutan tetapi justru
memperbolehkan adanya peluang untuk
melakukantumpangsarididalamkawasan
hutan.HalinitidaksesuaidenganUndang-
Undang No.32 Tahun 2009 tentang
PerlindungandanPengelolaanLingkungan
Hidup.DalamPasal 1 angka (2)Undang-
Undang No.32 Tahun 2009 menyatakan
bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkunganhidupadalahupayasistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikanfungsilingkunganhidupdan
mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yangmeliputiperencanaan,pemanfaatan,
pengendalian,pemeliharaan,pengawasan,
danpenegakanhukum.
Kenyataanya (das Sein) peraturan
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 89
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
d. PeraturanPemerintah;
e. PeraturanPresiden;
f. PeraturanDaerahProvinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten
/Kota.
BegitupulaPasal 7 ayat (4)Undang-
Undang No 10 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa Kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan adalah
sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksudpadaayat(1).
SuratGubernurJawaBaratbermanfaat
dalamrangkamengatasikerusakanhutan
akibat cara bertanam tumpangsari.
Berkaitan dengan hal ini surat Gubernur
tersebut selaras dengan kewenangan
Pemerintahan Daerah yang diamanatkan
dalamketentuanPasal10ayat(1)Undang-
Undang No. 32 tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan bahwa
Pemerintahan Daerah menyelenggarakan
urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan
Pemerintahan yang oleh Undang-Undang
iniditentukanmenjadiurusanPemerintah.
Pasal10ayat(2)yangmenyatakanbahwa
Dalam menyelenggarakan urusan
Pemerintahan yangmenjadi kewenangan
daerah sebagaimanadimaksudpada ayat
(1), Pemerintah Daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan
Pemerintahan berdasarkan asas otonomi
dantugaspembantuan,danPasal10ayat
(3) menyatakan bahwa urusan
Pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat(1)meliputi:
a. politikluarnegeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneterdanfiskalnasional;dan
f. agama.
Melihat kewenangan Pemerintah
tersebutmenimbulkanpertanyaanapakah
urusan tanah (termasuk hutan, DAS, dll)
menjadi kewenangan pihak Pemerintah
yangmana,pusatataudaerah?Olehkarena
secara tersurat (letter lijk) kewenangan
Pemerintah “hanya” meliputi 6 urusan
minus urusan tanah maka dapat
ditafsirkan bahwa urusan tanah
merupakan kewenangan Pemerintah
Daerah. Dari hal tersebut timbul suatu
permasalahan hukum peraturan mana
yang seharusnya dipatuhi atau dijalani
untuk menjalankan tugasnya? Peraturan
perundang-undangan (Undang-Undang
Nomor19Tahun2004tentangPenetapan
PeraturanPemerintahPenggantiUndang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
PerubahanatasUndang-UndangNomor41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan) atau Surat
Gubernur Jawa Barat No.
522/1224/Binprod Tahun 2003 tentang
Perlindungan dan Pengamanan Kawasan
HutandiJawaBarat?
Melihatmasalahhukumdiatas,maka
peneliti mempunyai suatu solusi atau
penyelesaiannyayaitudalampenyelesaian
masalahinipenelitilebihsetujuterhadap
kebijakan pihak Perum Perhutani yang
merujuk kepada surat Gubernur Jawa
BaratNo.522/1224/BinprodTahun2003
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 90
tentang Perlindungan dan Pengamanan
Kawasan Hutan di Jawa Barat yang
melarang adanya tindakan tumpangsari
karena menurut peneliti secara normatif
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentangPenetapanPeraturanPemerintah
PenggantiUndang-UndangNomor1Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang dan
PeraturanPemerintahNo.10Tahun2010
tentangTataCaraPerubahanPeruntukan
dan Fungsi Kawasan Hutan adapeluang
untuk memperbolehkan adanya
tumpangsari. Dalam masalah ini
seyogyanya pihak Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat dan DPRD Provinsi
Jawa Barat mengadopsi surat Gubernur
JawaBaratNo.522/1224/BinprodTahun
2003 tentang Perlindungan dan
PengamananKawasanHutandiJawaBarat
tersebutmenjadiPeraturanDaerahsesuai
dengan Pasal 44 Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa
setiappenyusunanperaturanperundang-
undangan pada tingkat nasional dan
daerah wajib memperhatikan
perlindunganfungsilingkunganhidupdan
prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkunganhidupsesuaidenganketentuan
yang di atur dalam Undang-Undang ini.
Apabila Peraturan Daerah ini sudah
dikeluarkan maka Pemerintah Provinsi
JawaBaratmempunyaikewenanganyang
lebih kuat untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, Peraturan Daerah, dan
peraturan kepala daerah kabupaten/kota
berdasarkanPasal63ayat(2)huruf hUU
No.32Tahun2009.Sehinggasubstansinya
mempunyai kekuatan hukum yang
mengikatdan tidakbertentangandengan
Undang-UndangNo.10Tahun2004.
Analisis di atas adalah sesuatu yang
bersifat das Sollen karena apabila
ditelusurilebihlanjutterhadapketentuan
Pasal 69 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009
yangmenyatakanketentuansebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h
memperhatikandengansungguh-sungguh
kearifan lokal di daerah masing-masing,
dan penjelasan pasal ini menyatakan
kearifan lokal yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektare per kepala keluarga
untuk ditanami tanaman jenis varietas
lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke
wilayahsekelilingnya,makasecaradasSein
ketentuansanksiadministrasidansanksi
pidana dalam UU No.32 Tahun 2009 ini
tidakmungkinditerapkansecaraoptimal.
Penegakan hukum (perdata dan
pidana) terhadap masyarakat yang
melakukan kegiatan tumpangsari tidak
akan efektif karena penjelasan Pasal 69
ayat (2) UU No.32 Tahun 2009 menjadi
alasanpemaafbagiwargayangmenggarap
lahan(yangpadaumumnyadibawahatau
kurang dari 2 hektare) untuk menanami
tanamanjenisvarietaslokal.
Ketidakberdayaan hukum ini terjadi
karena jangankan terhadap masyarakat
yang melakukan kegiatan tumpangsari,
terhadap masyarakat yang melakukan
pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal 2 hektare per kepala keluarga
pun UU No.32 Tahun 2009 memaafkan
mereka. Pada akhirnya Perhutani hanya
bisa melarang kegiatan tumpangsari
berdasarkan surat Gubernur Jawa Barat
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 91
No.522/1224/BinprodTahun2003tetapi
tidak bisa melakukan proses penegakan
hukum (sanksi administrasi dan pidana)
terhadap warga yang melakukan
tumpangsari dengan cara melakukan
pembakaran lahan tersebut. Begitu pula
peraturan daerah yang akanmengadopsi
surat Gubernur Jawa Barat untuk
melakukan pelarangan terhadap pelaku
penanamantumpangsaridanpembakaran
lahan tidak akan mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan memaksa karena
akan bertentangan dengan UU No.32
Tahun2009.
Pemerintah dalam masalah ini
sebaiknyamelakukan pengawasan dalam
kegiatan tumpangsari dan kegiatan ini
diberikan izin UKL-UPL sebagaimana
disebutkandalamPasal36UUNo.32Tahun
2009.
Pasal36menyatakanbahwa:
a. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
wajib memiliki amdal atau UKL-UPL
wajibmemilikiizinlingkungan.
b. Izin lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 atau
rekomendasiUKL-UPL.
c. Izin lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang
dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL.
d. Izin lingkungan diterbitkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/
wa l i ko ta s e sua i dengan
kewenangannya.
Pengawasan yang dilakukan
Pemerintah dalam kegiatan tumpangsari
ini apabila dilakukan secara tidak serius
dan akhirnya kegiatan tumpangsari ini
menimbulkan suatu bencana yang
merugikan masyarakat maka dapat
diberikansanksisebagaimanadisebutkan
dalam Pasal 112 UU No.32 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa setiap pejabat
berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukanpengawasanterhadapketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan
sebagaimanadimaksuddalamPasal71dan
Pasal 72, yangmengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkunganyangmengakibatkanhilangnya
nyawa manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00
(limaratusjutarupiah).
Masyarakat juga dalam masalah ini
berhak mengajukan gugatan jika mereka
merasadirugikansebagaimanadisebutkan
dalamPasal91UUNo.32Tahun2009.
Pasal91menyatakan:
a. Masyarakat berhak mengajukan
gugatan perwakilan kelompok untuk
kepentingandirinyasendiridan/atau
untuk kepentingan masyarakat
apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkunganhidup.
b. Gugatan dapat diajukan apabila
terdapat kesamaan fakta atau
peristiwa, dasar hokum, serta jenis
tuntutandiantarawakilkelompokdan
anggotakelompoknya.
c. Ketentuan mengenai hak gugat
masyarakat dilaksanakan sesuai
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 92
kecenderungan kawasan hutan
dikelola secara terfragmentasi.
Untukitupenguatankelembagaan
untuk pemantapan kawasan
hutan lindung perlu dilakukan
dengan menyatukan dan
menselaraskanparapihak.
c. Permasalahan kerusakan hutan
dengan cara melakukan
tumpangsari di sekitar kawasan
hulu Citarum ini jika dilakukan
terus menerus tidak menutup
kemungkinanakanmenjadisuatu
bencana yang bersifat langsung
seperti banjir, erosi, dll dan yang
bersifat tidak langsung seperti
pemanasan global. Jika bencana
ini terjadi maka bukan hanya
masyarakatKecamatanKertasari,
Kecamatan Ibun, dan Kecamatan
Pacet, yang terkena dampak
bencanatetapijugamasyarakatdi
Kabupaten Bandung termasuk
yang berada di sekitar DAS
Citarum yang juga melintasi
wilayah Kabupaten Bandung
Barat, Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Purwakarta, dan
KabupatenKarawang.Bencanaini
dampaknya sangatlahmerugikan
bagimasyarakatdanhalinitidak
sesuaidenganPasal65ayat(1)UU
No.32 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa setiap orang
berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai
bagian dari hak asasi manusia.
Masyarakat dalam masalah ini
berhak mengajukan gugatan jika
mereka merasa dirugikan
sebagaimana disebutkan dalam
dengan peraturan perundang-
undangan.
C. Penutup
1. Simpulan
a. Dasar pengaturan alih fungsi
kawasanhutandiHuluCitarumdi
atur dalam beberapa peraturan
antara lain Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang
PenetapanPeraturanPemerintah
PenggantiUndang-UndangNomor
1Tahun2004tentangPerubahan
atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan
FungsiKawasanHutan,Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor:
P.37/Menhut-II/2007 tentang
HutanKemasyarakatan,dansurat
Gubernur Jawa Barat No.
522/1224/Binprod Tahun 2003
tentang Perlindungan dan
Pengamanan Kawasan Hutan di
JawaBarat.
b. Pihak-pihak yang bertanggung
jawab atas pengalihfungsiaan
kawasan resapan air di Hulu
Sungai Citarum dikelola dan
dimanfaatkan oleh banyak pihak
(multistakeholders). Pihak-pihak
tersebut yaitu Lembaga
Pemerintah, BUMN/BUMD,
Lembaga non Pemerintah, dan
masyarakat.Masing-masingpihak
mempunyai kepentingan, bahkan
seringkalibertentangan.Sehingga
tidak mengherankan ada
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 93
Pasal 91 UU No.32 Tahun 2009.
Oleh Karena itu Pemerintah
sebagai pengelola wajib
mengawasikegiatantumpangsari
inidanmemberikanizinUKL-UPL
sesuaidenganPasal36UUNo.32
Tahun2009.
2. Saran
a. Mengingat kompleksnya
permasalahan hutan lindung,
perlu ditinjau kembali dan
disempurnakan kebijakan
(peraturan)yangdibuatharuslah
komprehensif, terintegrasi dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Diperlukan peraturan per
undangan yang mengatur aspek
kelembagaan hutan lindung,
termasukkelembagaanpusatdan
daerah, Penekanan kewenangan
pengelolaan hutan lindung tetap
pada pemda, dengan peng
embangan koordinasi antar
departemen, pusat-daerah, dan
antarasatudaerahdengandaerah
lainnya.
b. Para pihak yang bertanggung
jawab atas pengalihfungsiaan
kawasan resapan air di Hulu
Sungai Citarum yang menjadi
kawasan pertanian seyogyanya
tidaktutupmataterusdansaling
menyalahkan, dan jika tidak
sesegera untuk menuntaskan
masalah ini, maka rusaknya
kawasan hutan atau gunung di
huluSungaiCitarumyangmeliputi
Kec.Kertasari,Kec.Ibun,danKec.
Pacet, lambat laun akan
menimbulkan bencana bagi
masyarakat di Kabupaten
Bandungtermasukyangberadadi
sekitar DAS Citarum yang juga
melintasi wilayah Kabupaten
Bandung Barat, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Purwakarta,
danKabupatenKarawang.
c. Guna penyelesaian masalah ini,
masyarakatjikamerasadirugikan
oleh kegiatan tumpangsari ini
dapat melakukan suatu usul dan
pengaduan karena setiap orang
berhakmengajukanusuldan/atau
keberatan terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan yang
diperkirakandapatmenimbulkan
dampak terhadap lingkungan
hidup dan setiap orang berhak
jugamelakukanpengaduanakibat
dugaan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud Pasal 65
ayat (3)dan(5)UUNo.32Tahun
2009. Pengaduan yang dilakukan
olehmasyarakat itu jika terbukti
maka lembaga yang berwenang
dapat melakukan sanksi berupa
administratif dan pidana. Sanksi
administratif di atur dalamPasal
76ayat(1)(2),Pasal77,Pasal78,
dan Pasal 79 UU No.32 Tahun
2009. Sanksi pidananya di atur
antaralaindalamPasal98ayat(1)
danPasal99ayat(1).Pemerintah
jugasebaiknyadalammasalahini
melakukan pengawasan dengan
serius dalam kegiatan
tumpangsaridanolehPemerintah
kegiatan ini diberikan izin UKL-
UPL sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 36 UU No.32 Tahun
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 94
2009.Tetapiapabilapengawasan
yangdilakukanPemerintahdalam
mengawasikegiatantumpangsari
ini dilakukan secara tidak serius
dan akhirnya kegiatan
tumpangsari ini menimbulkan
suatu bencana yang merugikan
masyarakatmakadapatdiberikan
sanksi sebagaimana disebutkan
dalamPasal112UUNo.32Tahun
2009.
DAFTARPUSTAKA
Buku
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan
danPembangunanBidangKehutanan,
RajagarafindoPersada,Jakarta,1996.
Ronny Hanitjo Soemitro, Metodelogi
Penelitian Hukum dan Jurimetri,
GhaliaIndonesia,Semarang,1988.
TimdariKementerianLingkunganHidup
Republik Indonesia, Status
Lingkungan Hidup Indonesia 2010,
Kementerian Lingkungan Hidup
RepublikIndonesia,Jakarta,2010.
PeraturanPerundang-undangan
Undang-UndangDasar1945(amandemen
ketiga),PenaburIlmu.
Undang-UndangDasar1945(amandemen
keempat),PenaburIlmu.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan
PengelolaanLingkunganHidup.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-
UndangNomor1Tahun2004tentang
Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang
KehutananmenjadiUndang-Undang.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan
Hutan.
PeraturanPemerintahNo.72Tahun2010
tentangPerusahaanUmum(PERUM)
KehutananNegara.
PeraturanMenteri KehutananNomor : P.
37/Menhut-II/2007 tentang Hutan
Kemasyarakatan.
SuratGubernurJawaBaratNo.522/1224/
Binprod Tahun 2003 tentang
Perlindungan dan Pengamanan
KawasanHutandiJawaBarat
JurnaldanMakalah
Agus Deradjat, Bunga Rampai Gunung
Wayang,makalah,hlm.3
FitriNurfatiranidanAdiNugroho,Manfaat
Hidrologis Hutan di Hulu DAS
Citarum, Makalah Hasil Penelitian
Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Kehutanan,InstitutPertanianBogor,
2010.
KuntanaMagnar, Inna Junaenah, danGiri
AhmadTaufk,TafsirMKAtasPasal33
UUD 1945: (Studi Atas PutusanMK
Mengenai Judicial Review UU No.
7/2004,UUNo.22/2001,danUUNo.
20/2002), JurnalKonstitusi,Volume
7,Nomor1,Februari2010.
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 95
SumberLain
Kirsfianti Ginoga, Sulistya Ekawati dan
Deden Djaenudin, Biaya Transaksi
PengelolaanDASPerspektifUntukSub
DAS Citatih, Artikel Online, diakses
tanggal 14 Juni 2013 di http://
kelembagaandas.wordpress.com
WawancaradenganBapakAgusDeradjat,
penduduksetempatsekaligusaktivis
lingkunganhidupdanmantanketua
LMDHTarumajaya, pada hari sabtu,
tangga5Januari2014,jam10.00s/d
16.00, di lingkungan beliau (Desa
TarumajayaCibeureum)
Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 30 No. 1 Februari 2014 96