Upload
lilyarni
View
586
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Perubahan Penglihatan Warna Pada
Penggunaan Etambutol
Penyaji:
Yuliarni, S.Ked
Pembimbing:
Dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M
Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSMH Palembang
2010
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... . i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Fisiologi Penglihatan Warna....................................................... 3
B. Etambutol.................................................................................... 8
C. Efek Penggunaan Etambutol terhadap Penglihatan Warna......... 11
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.................................................................................. 15
B. Saran............................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang paling umum saat ini, menginfeksi
jutaan orang di dunia. Pada tahun 2003, terdapat 1997 kasus baru dilaporkan di
Singapura. Insiden penderita TB di Asia Tenggara sama bahkan lebih tinggi dari
Singapura dan menjadi salah satu masalah kesehatan. TB menjadi penyebab
kematian utama sampai tahun 1946, ketika Streptomisin ditemukan. Sejak saat itu,
banyak obat yang telah digunakan untuk mengobati TB. Tingginya resistensi
antibiotik untuk pengobatan tuberkulosis meyebabkan diperlukannya penggunaan
lebih dari satu macam antibiotik. Etambutol telah digunakan untuk mengobati TB
sejak tahun 1960. Gangguan penglihatan yang potensial mulai dikenal segera
setelah obat ini diperkenalkan.1
Etambutol hidroklorida adalah salah satu dari agen lini pertama pengobatan
tuberkulosis. Organ yang paling sering terkena toksisitas etambutol adalah mata.
Efek pada mata yang paling serius adalah optik neuritis dengan demielinisasi dari
saraf optik. Manifestasi yang paling awal dari keterlibatan mata ini adalah
gangguan pada penglihatan warna terutama warna merah-hijau (protanopi dan
deuteranopi).2
Etambutol merupakan satu obat yang sering berhubungan dengan neuropati
optik toksik. Neuropati optik yang terjadi adalah tergantung pada dosis dan
lamanya pemakaian. Kehilangan penglihatan tidak langsung terjadi sampai pasien
telah memakai obat sedikitnya 2 bulan, tapi gejala umumnya nampak antara 4
bulan sampai satu tahun. onset ini bisa lebih cepat jika pasien mempunyai
penyakit ginjal karena hal ini akan mengakibatkan penurunan ekskresi obat
sehingga level serum meningkat. Toksisitas yang dapat terjadi sampai jaras visual
anterior akibt obat ini adalah berhubungan dengan dosis. Pasien yang menerima
dosis 25 mg/kg/hr atau lebih sangat rentan terhadap kehilangan penglihatan.3
3
Penggunaan etambutol pada orang dewasa harus disertai nasihat untuk segera
menghentikan pengobatan dan segera memberitahu dokter apabila timbul
deteriorasi dari penglihatan ataupun persepsi warna. Karena komplikasi yang
serius itulah, kebanyakan guideline nasional maupun internasional tidak
menganjurkan pemberian etambutol pada anak usia kurang dari 5 atau 7 tahun.3
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang
perubahan penglihatan warna pada penggunaan etambutol.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fisiologi Penglihatan Warna4
Penglihatan warna diatur oleh sel-sel fotoreseptor pada retina. Ada sel
batang (rod cells) yang mendeteksi intensitas cahaya, banyak di retina perifer.
Juga ada sel kerucut (cone cells) yang mendeteksi sinar terang dan warna,
banyak di retina sentral (makula).
Gambar 2-1. Lapisan retina
Gambar di atas memperlihatkan lapisan retina dari luar/koroid (atas) ke
dalam bola mata (bawah). Spektrum visible light yang dapat dilihat manusia
memiliki panjang gelombang 400-700 nm (cones) dan 500 nm (rods). Setiap
sel batang dan kerucut dibagi menjadi segmen luar, segmen dalam yang
mengandung inti-inti reseptor dan daerah sinaps. Segmen luar adalah
5
modifikasi silia dan merupakan tumpukan teratur sakulus atau lempeng dari
membrane. Sakulus dan membrane ini mengandung senyawa-senyawa peka
cahaya yang bereaksi terhadap cahaya dan mampu membangkitkan potensial
aksi di jaras penglihatan. Segmen luar sel batang selalu diperbaharui oleh
pembentukan lempeng-lempeng baru ditepi bagian dalam segmen dan proses
fagositosis lempeng tua serta dari ujung luar oleh sel-sel epitel berpigmen.
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskular
pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rodopsin yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang
terbentuk sewaktu molekul protein opsin bergabung dengan 11-sis-retinal.
Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami
isomerisasi menjadi bentuk all-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid
membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda pada
segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh rodopsin
terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru-
hijau pada spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum
fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak penyerapan panjang gelombang
di 430, 540, dan 575 nm masing-masing untuk sel kerucut peka biru, hijau,
dan merah. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-sis-retinal yang terikat ke
bagian protein opsin. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut
mengandung fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang tertentu
di dalam spektrum sinar tampak.
1. Mekanisme Penglihatan Tiga Warna
Semua teori mengenai penglihatan warna berdasarkan pada observasi
yang telah dikenal secara baik, yakni bahwa mata manusia sebenarnya dapat
mendeteksi hampir semua gradasi warna bila cahaya monokromatik dari
warna merah, hijau, dan biru dipersatukan dalam bermacam-macam
kombinasi.
6
a. Sensitivitas Spektrum dari Ketiga Tipe Sel Kerucut
Berdasarkan uji penglihatan warna, pada manusia dapat dibuktikan adanya
aneka sensitivitas dari ketiga tipe sel kerucut yang sangat diperlukan seperti
halnya kurva absorbsi cahaya dari ketiga tipe pigmen, yang dapat dijumpai
pada sel kerucut yang sesuai (gambar 2-2). kurva ini dapat menjelaskan
hampir semua fenomena penglihatan warna.
b. Interpretasi Warna dalam Sistem Saraf
Dengan melihat Gambar 2-2, kita dapat melihat bahwa cahaya
monokromatik jingga yang panjang gelombangnya sebesar 580 nanometer itu
akan merangsang sel kerucut merah dengan rangsangan yang besarnya kira-
kira 99 (99 persen rangsangan puncak pada panjang gelombang yang
optimum), sedangkan sel kerucut hijau akan terangsang oleh nilai rangsangan
kira-kira 42 tetapi sel kerucut tidak dapat. Jadi, perbandingan rangsangan dari
ketiga tipe sel kerucut pada contoh di atas adalah 99:42:0. Sistem saraf akan
menginterpretasikan susunan rasio ini sebagai suatu sensasi jingga.
Sebaliknya, cahaya biru monokromatik dengan panjang gelombang sebesar
450 nanometer merangsang sel kerucut merah dengan rangsangan sebesar 0,
kerucut hijau sebesar 0, dan kerucut biru dengan rangsangan sebesar 97. Maka
susunan perbandingannya 0:0:97 dan akan diinterpretasikan oleh sistem saraf
sebagai warna biru. Demikian juga, rasio sebesar 83:83:0 akan
diinterpretasikan sebagai warna kuning dan 37:67:36 sebagai warna hijau.
c. Persepsi Terhadap Cahaya Putih
Rangsangan yang kurangt lebih sama besar pada sel kerucut merah, hijau,
dan biru akan memberikan sensasi penglihatan warna putih. Pada dasarnya
tidak ada panjang cahaya yang berkaitan dengan warna putih, dengan
demikian berarti bahwa warna putih sebenarnya merupakan suatu kombinasi
dari semua panjang gelombang cahaya. Selanjutnya, sensasi putih ini akan
7
dapat ditimbulkan bila retina dirangsang oleh kombinasi tiga warna terpilih
yang akan merangsang sel kerucut tersebut secara hampir sama.
Gambar 2-2. Peragaan besarnya rangsangan yang timbul pada berbagai sel
kerucut yang peka terhadap warna oleh cahaya monokromatik dari empat
warna berikut: biru, hijau, kuning, dan jingga.
d. Buta warna
Buta Marna Merah-Hijau
Bila mata tidak mempunyai sekelompok sel kerucut yang dapat menerima
warna, maka orang itu tak akan dapat membedakan beberapa warna dari
warna lainnya. Sebagai contoh, seperti yang dilihat pada Gambar 2-1, bahwa
warna hijau, kuning, jingga, dan merah adalah warna dengan panjang
gelombang antara 525 sampai 675 nanometer, yang secara normal dibedakan
oleh sel kerucut merah dan hijau. Jika salah satu dari kedua sel kerucut ini
hilang, seseorang tidak dapat lagi menggunakan mekanisme ini untuk
membedakan keempat warna tersebut. Orang ini khususnya tidak dapat
membedakan warna merah dari hijau, dan karena itu dikatakan buta warna
merah-hijau.
8
Orang yang tidak mempunyai sel kerucut merah disebut protanopi, dimana
seluruh spektrum penglihatannya akan memendek pada akhir panjang
gelombang yang panjang karena kurangnya sel kerucut merah ini. Penderita
buta warna yang tidak mempunyai sel kerucut hiaju disebut deuteranopi,
orang ini memiliki spektrum panjang gelombang yang benar-benar normal
sebab sekarang tersedia sel kerucut merah untuk mendeteksi panjang
gelombang warna merah yang panjang.
Kelemahan Warna Biru
Jarang terjadi sel kerucut biru saja yang hilang, walaupun kadang-kadang
mereka tidak memperlihatkan gejala, keadaan ini diturunkan secara genetik,
menimbulkan fenomena yang disebut kelemahan warna biru.
Kartu Uji Warna
Metode yang dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan
buta warna didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik seperti yang
terlihat dalam gambar 2-3. Kartu ini disusun dengan menyatukan titik-titik
yang mempunyai bermacam-macam warna. Pada kartu yang atas, orang
normal akan menyebutkan angka “74”, sedangkan buta warna merah hijau
akan menyebutkan angka 21. Pada kartu yang bawah, orang normal akan
menyebutkan angka “42” sedangkan penderita protanopi warna merah akan
menyebutkan angka “2”, dan penderita deuteranopi warna hijau akan
menyebutkan angka “4”
Gambar 2-3. Dua kartu Ishihara. (Dari Ishihara: Test for Color-Blindness.
Tokyo, Kanehara and Co.)
9
B. Etambutol2
Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik, larut dalam air, senyawa
yang stabil dalam keadaan panas, dijual sebagai garam hidroklorid, struktur
isomer d ditunjukkan di bawah ini.
Secara in vitro, banyak strain M Tuberculosis dan mikobakteria lain
dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1-5 μg/ml. Mekanisme kerja obat
ini tidak diketahui.
Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus. Setelah menelan obat ini 25
mg/kg, kadar obat puncak dalam darah berkisar 2-5 μg/ml yang dicapai dalam
waktu 2-4 jam. Lebih kurang 20% dari obat ini diekskresikan dalam tinja dan
50% di urin dalam bentuk utuh. Ekskresi obat ini diperlambat pada penyakit
gagal ginjal. Pada meningitis, etambutol dalam cairan serebrospinalis lebih
dari 10-40% dari kadarnya di serum.
Resistensi terhadap etambutol timbul segera dengan cepat di antara
mikobakterium bila obat ini digunakan secara tunggal. Karena itu, etambutol
selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat antituberkulosis lain.
Etambutol hidroklorid, 15 mg/kg, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal
harian yang dikombinasikan dengan INH atau rifampisin. Dosis obat ini
sebanyak 25 mg/kg mungkin dapat digunakan.
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang
sering terjadi yaitu ganguan penglihatan: penurunan ketajaman penglihatan,
neuritis optik, dan mungkn rusaknya retina terjadi pada beberapa penderita
yang diberikan etambutol 25 mg/kg selama beberapa bulan. Kebanyakan
perubahan-perubahan tersebut membaik bila etambutol dihentikan. Namun
10
demikian, uji ketajaman mata secara periodik sebaiknya dilakukan selama
pengobatan. Dengan dosis 15 mg/kg atau kurang, gangguan visual sangat
jarang terjadi.
Nama dan struktur
kimia
Ethambutol hydrochlorida
Sifat fisikokimia Etambutol hidroklorida merupakan serbuk kristal
berwarna putih, sangat larut dalam air dan larut dalam
alkohol. pKa 6,1 dan 9,2
Nama dagang Arsitam- Bacbutol- Cetabutol- Corsabutol- ETH Ciba
400- Parabutol- Santibi/Santibi- Tibigon- Tibitol-
Ethambutol (Generik)
Indikasi Tuberkulosis. Penggunaan bukan sebagai obat tunggal,
tetapi dikombinasi dengan paling sedikit satu macam obat
antituberkulosa, misalnya rifampisin, INH.
Cara kerja obat - Etambutol merupakan tuberkulostatik dengan
mekanisme kerja menghambat sintesa RNA.
- Absorpsi setelah pemberian per oral cepat.
- Ekskresi sebagian besar melalui ginjal, hanya lebih
kurang 10% diubah menjadi metabolit yang inaktif.
- Obat ini tidak dapat menembus jaringan otak, tetapi
pada penderita meningitis tuberkulosa dapat ditemukan
kadar terapeutik dalam cairan serebrospinal.
- Banyak digunakan pada pengobatan ulang atau kasus
resistensi primer, dalam hal ini dikombinasi dengan
11
antituberkulosa lain.
Kontraindikasi - Anak-anakdi bawah usia 13 tahun.
- Neuritis optikus.
- Penderita yang hipersensitif terhadap obat ini.
Efek Samping Toksisitas okuler yang tergantung pada dosis dan
lamanya pengobatan. Pada umumnya perubahan visual
reversibel selama beberapa minggu atau beberapa
bulan, tetapi bisa juga setelah 1 tahun atau lebih,
bahkan irreversibel. Neuritis Retrobulbar bilateral bisa
terjadi dengan gejala : terjadinya penurunan ketajaman
visual; kehilangan kemampuan membedakan warna,
terutama merah-hijau; penyempitan lapangan
pandangan; skotomata sentral dan perifer.
Reaksi anafilaktoid; pruritus; dermatitis; anoreksia;
nyeri abdomen; demam; nyeri sendi; gangguan
gastrointestinal (mual, muntah); malaise; sakit kepala;
pusing; gelisah; disorientasi; halusinasi. Walaupun
jarang ditemukan, bisa timbul rasa kaku dan
kesemutan pada ekstremitas yang disebabkan karena
neuritis.
Dosis Dosis lazim : 15-25 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis
tunggal.
Pengobatan awal. Penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan anti-tuberkulosa sebelumnya, dosis etambutol
adalah : 15 mg/kg berat badan/hari dalam dosis tunggal
setiap 24 jam.
Pada penderita yang pernah mendapat pengobatan anti-
tuberkulosa sebelumnya, dosis etambutol adalah : 25
mg/kg berat badan/hari dalam dosis tunggal setiap 24
jam.
12
C. Efek Penggunaan Etambutol terhadap Penglihatan Warna
1. Patogenesis
Mekanisme secara pasti bagaimana etambutol dapat memberi efek kepada
saraf optik masihlah belum jelas. Beberapa hipotesa mengatakan bahwa sifat
chelating dari etambutol yang berkontribusi pada sifat neurotoksisitasnya, tapi
hal ini belumlah dapat dibuktikan.3
Ethambutol, obat antituberkulosis yang bermanfaat, dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan dalam jumlah yang kecil namun sangat penting bagi
pasien. Bagaimanapun juga, mekanisme mengenai toksisitas masih sedang
diteliti. Sebelumnya dilaporkan bahwa ethambutol dapat menyebabkan
pembentukan vakuola yang berat pada sel retina yang dikultur, dan pemberian
zinc bersamaan dengan Ethambutol dapat memperburuk pembentukan vakuola
sedangkan pemberian kelasi zinc yang permeabel terhadap sel N,N,N',N'-
tetrakis (2-pyridylmethyl) ethylenediamine (TPEN), mengurangi pembentukan
vakuola. Untuk mencari tahu asal dari vakuola dan mendapatkan pemahaman
mengenai toksisitas obat, peneliti menggunakan sel retina primer yang
dikultur dari tikus Sprague-Dawley yang baru lahir dan sel yang diberi
ethambutol diwarnai dengan FluoZin-3, zat pewarna fluoresen zinc yang
spesifik, dilihat dibawah mikroskop confocal. Hampir seluruh vakuola yang
diinduksi dengan ethambutol mengandung level zinc labil yang tinggi.
Pewarnaan ganda dengan LysoTracker atau MitoTracker menunjukkan bahwa
hampir seluruh vakuola yang mengandung zinc adalah lysosome dan bukan
mitokondria. Kelasi zinc intraseluler dengan TPEN secara jelas menghambat
pembentukan vakuola dan akumulasi zinc dalam vakuola.
Immunocytochemistry dengan antibodi lysosomal-associated membrane
protein-2 (LAMP-2) dan cathepsin D, suatu asam hidrolase, memperlihatkan
aktivasi lysosomal setelah terpapar ethambutol. Immunoblotting setelah 12
jam paparan ethambutol menunjukkan bahwa cathepsin D dilepaskan ke
dalam cytosol. Tambahan, cathepsin inhibitors melemahkan toksisitas sel
13
retina yang diinduksi ethambutol. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari
lysosomal membrane permeabilization (LMP). TPEN jugs menghambat
aktivasi lysosomal dan LMP. Oleh karena itu, akumulasi zinc di lysosomes,
dan akhirnya LMP, mungkin menjadi kunci mekanisme kematian sel retina
yang diinduksi ethambutol.5
2. Manifestasi Klinis
Onset dari timbulnya gejala pada mata biasanya terlambat dan mungkin
terjadi dalam beberapa bulan setelah terapi dimulai. Meskipun jarang, kasus
toksisitas beberapa hari setelah terapi inisiasi pernah dilaporkan, satu pasien
diresepkan dengan standar dosis 15 mg/kg per hari, dan pasien lain diresepkan
25 mg/kg per hari. Tidak ada penelitian yang melaporkan onset timbul setelah
penghentian pengguanaan etambutol.1,3
Gejala klinis pada mata bervariasi pada setiap individu. Pasien mungkin
mengeluh pandangan kabur yang progresif pada kedua mata atau menurunnya
persepai warna. Penglihatan sentral merupakan tempat yang paling sering
terkena. Beberapa individu asimtomatik dengan abnormalitas terdeteksi hanya
saat tes penglihatan.8,10
Temuan pada pemeriksaan fisik juga bervariasi. Jika abnormalitas
terdeteksi biasanya simetris pada kedua mata. Umumnya, pasien memiliki
visus 20/200 atau mungkin lebih baik. Pupil biasanya bereaksi lambat
terhadap cahaya tanpa adanya defek pupil aferen relatif. Tajam penglihatan
bervariasi besar, dari yang tidak ada atau minimal reduksi sampai no light
perseption (NLP). Skotoma sentral merupakan defek pada lapangan
penglihatan yang paling umum, tapi defek bitemporal atau konstriksi lapangan
pandang perifer pernah dilaporkan.10 Diskromatopsia (abnormalitas persepsi
warna) biasanya menjadi tanda toksisitas yang paling awal, secara klasik
didokumentasikan menjadi penurunan persepsi warna merah-hijau yang dinilai
melalui kartu Ishihara. Berlawanan dengan ini, Polak dkk melaporkan bahwa
defek biru-kuning adalah defek awal dan yang paling umum pada pasien tanpa
gejala gangguan penglihatan. Namun, defek biru kuning hanya dapat dideteksi
menggunakan panel desaturasi Lanthony yang umumnya jarang tersedia
14
bukan menggunakan kartu Ishihara. Pemeriksaan funduskopi biasanya tidak
ditemukan kelainan.
Optical coherence tomography (OCT), yang sekarang cukup sering
digunakan pada pasien glukoma untuk mengukur ketebalan sarung serat saraf,
dapat juga digunakan untuk mengetahuiperubahan pada pasien dengan
neuropati optik, seperti pada neuropati akibat etambutol. Dengan OCT, dapat
diketahui kuantitas serat saraf retina yang hilang dari nervus optikus pada
pasiendengan neuropati tersebut sebagai tanda awal toksisitas dari obat
tersebut, yang tidak mungkindapat diketahui dengan funduskopi. Oleh karena
itu, sebagai tambahan pemeriksaan, tes objektif ini bisa digunakan untuk
memonitor pasien pengguna etambutol.3
Gangguan penglihatan jarang terjadi sampai pasien berobat selama 2
bulan. Umumnya gejala timbul antara 4 bulan sampai satu tahun setelah
pengobatan. Efek samping dapat lebih cepat jika pasien menderita penyakit
ginjal karena berkurangnya ekskresi obat sehingga level serum obat
meningkat. Oleh karena itu, dosis yang tepat pada pasien dengan kerusakan
ginjal sangatlah penting.
Toksisitas obat ini tergantung pada dosis; pasien yang menerima dosis 25
mg/kg/hari ataulebih paling rentan terhadap kehilangan penglihatan. Namun,
kasus gangguan penglihatan,dengan dosis yang jauh lebih rendah, telah
dilaporkan.
Perbaikan tajam penglihatan pada pengguna etambutol umumnya terjadi
pada periode beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah obat dihentikan.
Beberapa pasien dapat menerima etambutol hidroklorida kembali setelah
penyembuhan tanpa rekurensi dari penurunan tajam penglihatan. Follow up
tajam penglihatan berkala tetap diperlukan pada setiap pengguna etambutol.10
Salah satu penelitian di Singapura melaporkan terdapat tiga kasus
penggunaan etambutol yang menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan
persepsi warna. Penggunaan etambutol juga dihubungkan dengan neuropati
optik toksik dan kehilangan penglihatan yang permanen. Insidennya mencapai
15
1%. Selain itu, toksisitas etambutol juga dilaporkan menimbulkan skotoma
sentrosekal. Walaupun demikian, defek lapangan pandang bitemporal juga
sering dilaporkan.1
3. Penatalaksanaan
Etambutol harus segera dihentikan ketika toksisitas okuler yang diinduksi
etambutol mulai diketahui dan pasien langsung dirujuk ke oftalmologis untuk
evaluasi lebih lanjut. Penghentian terapi meruapak manajemen yang paling
efektif yang dapat mencegah kehilangan penglihatan yang progresif dan
sekaligus untuk proses penyembuhan. Ketika terjadi toksisitas okuler yang
berat, baik isoniazid maupun etambutol harus dihentikan segera dan
dipertimbangkan pemberian agen antituberkulosis lain.11
BAB III
16
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Etambutol merupakan obat antituberkulosis lini pertama
Efek samping dari etambutol ini bergantung pada dosis dan lamanya
pemberian obat. Dosis yang dipakai yaitu 15-25 mg/kgBB selama dua
bulan.
Toksisitas etambutol umumnya muncul setelah paling sedikit pemakaian
selama 2 bulan.
Penurunan tajam penglihatan, hilangnya kemampuan persepsi warna
merah-hijau, ataupun skotoma sentral merupakan gejala toksisitas yang
sering muncul.
2. Saran
Lakukan pemeriksaan visus sebelum memulai pengobatan dengan
etambutol.
Beri nasihat kepada pasien untuk segera melapor apabila terjadi perubahan
ketajaman visual.
Segera hentikan penggunaan etambutol dan laporkan kepada dokter yang
merawat apabila terjadi gangguan visual.
Pada penderita dengan gangguan visual seperti katarak; peradangan mata
yang berulang; neuritis optikus; retinopati diabetik; evaluasi perubahan
visual lebih sulit dilakukan. Oleh karena itu harus dapat dibedakan dengan
pasti antara perubahan visual karena penyakit-penyakit atau keadaan-
keadaan tersebut dengan perubahan visual yang disebabkan karena
etambutol. Pada penderita ini harus dipertimbangkan antara keuntungan
pemakaian etambutol dengan kemungkinan terjadinya efek samping.
Pada pengobatan jangka panjang pemeriksaan fungsi organ harus
dilakukan secara periodik termasuk ginjal; hati; hematopoetik.
17
Hati-hati pemberian etambutol pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal. Pada penderita ini dosis harus diturunkan dan disesuaikan dengan
kadar etambutol dalam darah.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Su-Ann Lim. Ethambutol-associated Optic Neuropathy. Ann Acad Med
Singapore 2006;35:274-8
2. Katzung, Bertram G. Obat-obat Antimikrobial. in: Farmakologi Dasar dan
Klinik. 6th ed. 1997. Jakarta: EGC
3. Zafar, Aftab. Toxic/Nutritional Optic Neuropathy. 2008. Available from:
URL: http://www.emedicine.com/
4. Hall, Guyton. Reseptor dan Fungsi Neural Retina. in: Fisiologi
Kedokteran. 9th ed. 1997. Jakarta: EGC
5. Chung H, dkk. Ethambutol-induced toxicity is mediated by zinc and
lysosomal membrane permeabilization in cultured retinal cells. 2009 Mar
1;235(2):163-70
6. WHO. 2006. Ethambutol efficacy and toxicity: literature review and
recommendations for daily and intermittent dosage in children.
7. P. H. Joubert,1 J. G. Strobele2, C. W. Ogle & C. A. Van Der Merwe.
Subclinical impairment of colour vision in patients receiving ethambutol.
Br. J. clin. Pharmac. (1986), 21, 213-216
8. Sivakumaran P, Harrison AC, Marschner J, Martin P. Ocular toxicity from
ethambutol: a review of 4 cases and recommended precautions. NZ Med J
1998;111:428-30.
9. Chatterjee VK, Buchanan DR, Friedmann AI, Green M. Ocular toxicity
following ethambutol in standard dosage. Br J Dis Chest 1986;80:288-91.
10. Schild HS, Fox BC. Rapid-onset reversible ocular toxicity from
ethambutol therapy. Am J Med 1991;90:404-6.
11. Melamud A, Kosmorsky GS, Lee MS. Ocular ethambutol toxicity. Mayo
Clin Proc 2003;78:1409-11. Trusiewicz D. Farnsworth 100-hue test in
diagnosis of ethambutol induced damage to optic nerve. Ophthalmologica
1975;171:425-31
19