24
PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO Fourin Indra Sukma Dewi Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari Dan Musik (Sendratasik), Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas Negeri Surabaya [email protected] Abstrak Ruwatan adalah upacara ritual yang dilakukan bagi orang sukerta dan dipercaya erat kaitannya dengan mitos Bathara Kala. Keunikan ruwatan di Desa Wonokerso adalah adanya pertunjukan Wayang Topeng Tengger. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan upacara ruwatan dan bagaimana bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Tujuannya adalah mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai sarana utama upacara ruwatan masyarakat Tengger di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Manfaat penelitian ini adalah memberikan wawasan, informasi kepada pembaca, instansi terkait dan masyarakat serta sebagai pijakan untuk mengupas permasalahan di kehidupan mendatang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku Tengger terutama di Desa Wonokerso tabu mempertunjukkan Wayang Kulit dalam upacara ruwatan karena takut terhadap dewa dan roh leluhur. Untuk itu, mereka menggantinya dengan pertunjukan Wayang Topeng Tengger dengan cerita legenda maupun mitos yang memosisikan dewa di kedudukan yang baik. Upacara ruwatan dilakukan dengan tata cara dan tahapan tertentu sesuai ketentuan yang berlaku dari dalang pengruwatan. Bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger adalah dramatari yang terdiri dari tokoh-tokoh yang menggunakan topeng. Secara keseluruhan, pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan diatur dan dipimpin oleh dalang pengruwatan, sehingga pertunjukan ini dapat dikategorikan dalam jenis Topeng Dalang. Dengan pemaparan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertunjukan Wayang Topeng Tengger memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara ruwatan di Desa Wonokerso. Kata Kunci: Wayang Topeng Tengger, Upacara Ruwatan, Desa Wonokerso Abstract Ruwatan is a ritual ceremony performed by sukerta people and trusted closely related to the myth of Bathara Kala. The uniqueness ruwatan in Wonokerso Village there is the Wayang Topeng Tengger show. The statement of the problems of this study are : how does the Ruwatan Ceremony Performance and how does the form of Wayang Topeng Tengger show in Wonokerso Village Probolinggo District. The goal is tho know, describe, and analyze the Wayang Topeng Tengger as the main means ruwatan ceremony in Wonokerso Village Probolinggo District. The benefits of this research is to provide insight, information to the reader, the relevant agencies and community as well as a foothold for peeling problems in the next life. The research methods that used in this study is qualitative methods. The results of this study shows 1

PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : FOURIN INDRA SUKMA DEWI

Citation preview

Page 1: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

Fourin Indra Sukma Dewi Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari Dan Musik (Sendratasik), Fakultas Bahasa Dan Seni, Universitas Negeri

[email protected]

Abstrak Ruwatan adalah upacara ritual yang dilakukan bagi orang sukerta dan dipercaya erat kaitannya dengan mitos Bathara Kala. Keunikan ruwatan di Desa Wonokerso adalah adanya pertunjukan Wayang Topeng Tengger. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan upacara ruwatan dan bagaimana bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Tujuannya adalah mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai sarana utama upacara ruwatan masyarakat Tengger di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Manfaat penelitian ini adalah memberikan wawasan, informasi kepada pembaca, instansi terkait dan masyarakat serta sebagai pijakan untuk mengupas permasalahan di kehidupan mendatang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku Tengger terutama di Desa Wonokerso tabu mempertunjukkan Wayang Kulit dalam upacara ruwatan karena takut terhadap dewa dan roh leluhur. Untuk itu, mereka menggantinya dengan pertunjukan Wayang Topeng Tengger dengan cerita legenda maupun mitos yang memosisikan dewa di kedudukan yang baik. Upacara ruwatan dilakukan dengan tata cara dan tahapan tertentu sesuai ketentuan yang berlaku dari dalang pengruwatan. Bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger adalah dramatari yang terdiri dari tokoh-tokoh yang menggunakan topeng. Secara keseluruhan, pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan diatur dan dipimpin oleh dalang pengruwatan, sehingga pertunjukan ini dapat dikategorikan dalam jenis Topeng Dalang. Dengan pemaparan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertunjukan Wayang Topeng Tengger memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan upacara ruwatan di Desa Wonokerso.Kata Kunci: Wayang Topeng Tengger, Upacara Ruwatan, Desa Wonokerso

AbstractRuwatan is a ritual ceremony performed by sukerta people and trusted closely related to the myth of Bathara Kala. The uniqueness ruwatan in Wonokerso Village there is the Wayang Topeng Tengger show. The statement of the problems of this study are : how does the Ruwatan Ceremony Performance and how does the form of Wayang Topeng Tengger show in Wonokerso Village Probolinggo District. The goal is tho know, describe, and analyze the Wayang Topeng Tengger as the main means ruwatan ceremony in Wonokerso Village Probolinggo District. The benefits of this research is to provide insight, information to the reader, the relevant agencies and community as well as a foothold for peeling problems in the next life. The research methods that used in this study is qualitative methods. The results of this study shows that Tengger tribe especially in Wonokerso Village taboo to demonstrating the Wayang Kulit in Ruwatan Ceremony because they fear of the gods and anchestral spirits. For that, they replace it with a Wayang Topeng show with legend and myth stories which is positioning the god in a tood position. The Ruwatan Ceremony was did with manner and stages according to regulations of the dalang pengruwatan. The form of the Wayang Topeng Tengger show is dance theater that consisting of characters using masks. Overall, it performance in ruwatan ceremony organized and led by dalang pengruwatan, so in this shows can categorized in type of Topeng Dalang.. Thus, it can be concluded that Wayang Topeng Tengger show has very important position and role on performance of ruwatan ceremony in Wonokerso Village.Keywords: Wayang Topeng Tengger, Ruwatan Ceremony, Wonokerso Village

PENDAHULUAN

Desa Wonokerso adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo. Desa Wonokerso memiliki adat istiadat yang masih dilestarikan sebagai warisan leluhur salah satunya adalah upacara Ruwatan. Ruwatan adalah upacara ritual masyarakat Tengger untuk menghindarkan diri dari malapetaka yang

berasal dari Bathara Kala. Bathara Kala diyakini sebagai dewa pemakan manusia yang memiliki wujud dan

perangai buruk serta gemar memakan manusia. Ruwatan harus dilakukan oleh orang sukerta (Karkono K. Partokusumo, 1992: 36). Sukerta adalah orang yang lahir pada waktu yang salah misalnya onthang anthing. Onthang-anthing adalah anak yang tidak memiliki

1

Page 2: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

saudara, sehingga anak tersebut dipercaya sebagai makanan Bathara Kala. Dalam tradisi masyarakat Jawa, biasanya ruwatan menggunakan Wayang Kulit, tetapi berbeda di wilayah pegunungan Tengger. Mereka menggunakan Wayang Topeng dalam melaksanakan ruwatan. Masyarakat Desa Wonokerso lazim menyebut Wayang Topeng tersebut dengan istilah “Wayang Topeng Tengger”. Istilah ini sudah dikenal sejak dulu karena keberadaaannya di wilayah pegunungan Tengger dan di tengah-tengah kehidupan suku Tengger.

Pada pertunjukan Wayang Topeng Tengger terdapat topeng yang disebut topeng Bathara Kala. Topeng ini memiliki ciri-ciri mata melotot, wajah merah, bertaring, berkumis, dan berjenggot tebal. Fungsi utama topeng tersebut selain media ungkap ekspresi tokoh cerita adalah sebagai sarana masuknya roh yang dipercaya sebagai Bathara Kala. Ruwatan dilaksanakan pada saat Bathara Kala datang dan masuk ke tubuh pemain Wayang Topeng Tengger. Topeng tersebut dipercaya dan diyakini sebagai topeng sakral dan mistis oleh masyarakat Desa Wonokerso. Kesakralan pertunjukan tersebut juga dapat dilihat pada saat tokoh pemain Bathara Kala mengalami kesurupan pada pelaksanaan upacara.

Di Desa Wonokerso terdapat dua grup Wayang Topeng Tengger yaitu Grup dari Ki Sutomo (Citra Birawa) dan Grup Ki Lebari (Sari Rukun). Ki Sutomo dan Ki Lebari merupakan pimpinan grup Wayang Topeng Tengger. Kedua pimpinan grup Wayang Topeng Tengger tersebut merupakan dalang Wayang Topeng Tengger dan dalang pengruwatan di Desa Wonokerso.

Wayang Topeng Tengger mengangkat cerita legenda gunung Bromo dan mitos Bathara Kala. Judul kedua cerita tersebut adalah “Titahing Kusuma” dan “Bathara Guru Krama”. Kedua cerita tersebut tidak diharuskan tampil pada pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan. Cerita yang diwajibkan hadir adalah kehidupan sehari-hari orang yang diruwat (ditampilkan dalam bentuk perwakilan oleh pemain topeng) dan cerita Bathara Kala. Cerita tersebut sesuai dengan naskah lisan dari dalang Ki Lebari (Grup Sari Rukun) yang memimpin upacara ruwatan. Bahasa dalang yang digunakan adalah bahasa Jawa Krama Inggil.

Suatu hal yang menarik apabila suatu kesenian tradisi menjadi sarana utama dalam upacara ritual dan diyakini oleh masyarakatnya hingga saat ini. Pembahasan yang akan dipaparkan peneliti merupakan suatu wacana, informasi data maupun dokumentasi serta wawasan baru kepada pembaca dan instansi terkait serta menyelamatkan seni pertunjukan tradisi dari kehidupan globalisasi. Untuk itulah peneliti ingin memberikan deskripsi dan analisis sebagai pijakan kepada pembaca guna mendukung eksistensi yang berkaitan dengan pertunjukan Wayang

Topeng Tengger. Hal ini bertujuan agar pembaca berminat untuk melihat dan melestarikannya sebagai produk budaya tradisi lokal. Berdasarkan daya tarik dan pentingnya penelitian ini untuk dikaji lebih jauh, maka penelitian ini mengambil judul “Pertunjukan Wayang Topeng Tengger Dalam Upacara Ruwatan Di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo.”

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan upacara ruwatan dan bagaimana bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai sarana utama upacara ruwatan masyarakat Tengger di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Tujuan khusus yaitu mendeskripsikan serta menganalisis pelaksanaan upacara ruwatan dan bentuk pertunjukan Wayang Topeng Tengger di Desa Wonokerso Kabupaten Probolinggo. Penelitian ini memiliki manfaat di antaranya adalah memberikan informasi pengetahuan, pengalaman, wawasan, menambah pustaka dan dapat dijadikan pijakan dan referensi bagi peneliti, pembaca, instansi terkait, masyarakat dan peneliti selanjutnya. Peneliti berharap penelitian ini akan digunakan dengan baik dan bermanfaat. Penelitian ini menggunakan landasan teori yang terkait dengan penelitian ini. Berikut pemaparan teori yang digunakan dalam penelitian ini :

A. Bentuk Pertunjukan

Bentuk seni yaitu hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi pandangan dan tanggapannya ke dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera (Humardani, 1982/1983: 11, dalam Setyo Yanuartuti, 2009: 58). Seni pertunjukan memiliki unsur-unsur yang membangun termasuk seni pertunjukan Wayang Topeng. Unsur-unsur pertunjukan terdiri dari seni bahasa dan sastra, seni gerak (acting), tata rias, busana, vokal, artistik atau pemanggungan dan tata cahaya (tata sinar).

B. Wayang Topeng

Topeng merupakan salah satu wujud ekspresi simbolis yang dibuat oleh manusia untuk maksud tertentu (Edi Sedyawati, 1993: 1). Maksud tertentu disini selain bentuk visualnya juga arti dari pemakaian topeng sebagai penutup wajah. Berdasarkan ukurannya, wujud lain topeng digolongkan atas topeng besar, topeng kecil dan barong. Sri Mulyono mengatakan istilah wayang dalam bahasa jawa yang berarti bayangan (Sri Mulyono, 1978: 9). Arti dari bayangan merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara

Page 3: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

murka, kebajikan, serakah dan lain-lain (Suharyoso R.K, dalam Heddy Shri Ahimsa Putra (Ed.), 1999: 49). Menurut Holt C. Wayang topeng adalah sebuah pertunjukan pantomim-tari oleh aktor-aktor bertopeng yang alur ceritanya diceritakan oleh seorang dalang yang lakonnya dari cerita-cerita Panji (Sumintarsih, 2012: 25). Wayang topeng dimainkan oleh seorang dalang dalam membawakan suatu cerita. Dalang adalah orang yang memainkan pertunjukan wayang (Sri Mulyono, 1989: 52). Fungsi dalang disini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.

C. Tradisi Ritual

Kata tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang dianggap merupakan kebiasaan atau adat istiadat yang turun temurun (Suichan Yasyin, 1997: 482). Istilah ritual berkaitan dengan ritus yang memiliki arti upacara dalam agama (ibadat) atau sistem penyembahan dalam suatu kepercayaan (Eko Wahyuni Rahayu, dalam Eko Wahyuni Rahayu (Ed.), 2009: 92). Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu pengalaman yang suci.

D. Teater TradisionalHenri Supriyanto dalam bukunya yang berjudul

Dramatari Wayang Topeng Malang (1997) menyebut wayang topeng dengan sebutan teater topeng yakni teater tradisional yang masing-masing aktornya memakai tutup wajah. Wayang topeng disebut teater karena memiliki 3 elemen pokok teater yang saling berkaitan dan tak terpisahkan (1997: 1). Elemen pokok dalam teater yaitu (1) apa yang dipertunjukkan (lakon, skrip, atau rencana), (2) pertunjukannya (termasuk proses kresi dan penyajiannya), dan (3) penonton (A. Kasim Achmad, 2006: 3). Dalam wayang topeng ketiga elemen tersebut muncul dalam pertunjukannya, walaupun tidak serumit teater di gedung-gedung pertunjukan yang memiliki nilai estetis yang tinggi.

Teater tradisional adalah suatu bentuk teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik yang merupakan hasil krativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Teater tradisional merupakan pertunjukan dilakukan atas dasar tata cara dan pola yang diikuti secara mentradisi dari nenek moyang sesuai dengan budaya lingkungan yang dianutnya (A. Kasim Achmad, 2006: 4-5). Teater tradisional terutama teater rakyat lahir dari masyarakat yang guyub (akrab dan memiliki kebersamaan) yang fungsinya antara lain untuk mempererat hubungan antar warga yaitu saling dukung mendukung, menciptakan solidaritas warga dalam

kegiatan karena merupakan warisan budaya nenek moyangnya.

E. RuwatanPertunjukan Wayang Topeng di Desa Wonokerso

sebagai teater tradisional rakyat berfungsi sebagai sarana upacara ruwatan. Arti ruwat dipertegas oleh Sri Mulyono yang mengatakan bahwa kata “Ngruwat” berasal dari kata ruwat yang berarti “luwar” atau lepas, dilepaskan dan dibebaskan dengan arti luas bahwa ruwat berarti melepaskan, membebaskan atau menolak dan menghindarkan malapetaka yang diramaikan akan menimpa diri (Sri Mulyono, 1989: 33). Ruwatan atau ngruwat adalah melepaskan atau membebaskan sesuatu yang buruk dalam diri seseorang untuk menghindarkan malapetaka yang diramalkan akan menimpa dirinya dengan cara tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Masyarakat Desa WonokersoWonokerso adalah nama sebuah desa yang berada

di sebelah selatan wilayah Kabupaten Probolinggo. Sebelah utara Desa Wonokerso berbatasan dengan Desa Kedasih Kecamatan Sukapura, sebelah timur dengan Desa Sumberanom Kecamatan Sumber, sebelah selatan dengan Desa Ledokombo Kecamatan Sumber, dan sebelah barat dengan hutan perhutani Kecamatan Sukapura. Desa Wonokerso dapat dijangkau dari Kecamatan Wonoasih (Kota Probolinggo) dan dari Kecamatan Sukapura (Kabupaten Probolinggo). Menurut pemaparan Sapanyana (41 tahun), akses jalan dari Kecamatan Sukapura lebih memadai dibandingkan akses jalan dari Kecamatan Wonoasih. Namun angkutan umum lebih sering memilih dan menggunakan jalur dari Kecamatan Wonoasih (26/3). Hal ini karena jarak yang ditempuh lebih dekat dan akses jalan dianggap tidak terlalu curam. Desa Wonokerso berjarak sekitar kurang lebih 70 km dari pusat Kota Probolinggo dan dapat ditempuh selama tiga jam menggunakan angkutan umum. Waktu yang cukup lama tersebut dikarenakan dua faktor yaitu terbatasnya angkutan umum yang ‘beroperasi’ menuju Desa Wonokerso dan fasilitas atau akses jalan yang kurang memadai. Desa ini juga dapat ditempuh dengan sepeda motor dan hal ini merupakan cara yang cukup efisien dibandingkan dengan angkutan umum.

Desa Wonokerso dipimpin oleh pejabat sementara yakni seorang Sekertaris Desa (carik) yang bernama Sapanyana. Kepemimpinan carik Sapanyana dikarenakan Kepala Desa Wonokerso telah meninggal dunia pada tahun 2014, sehingga kepemimpinan diserahkan kepada Sekertaris Desa yang memiliki kedudukan kedua dari Kepala Desa. Desa Wonokerso terdiri dari 7 dusun, 33 Rukun Tetangga (RT), 621 Kartu Keluarga (KK) dan

3

Page 4: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

2237 orang. Setiap dusun dipimpin oleh Kasun yakni Kepala Dusun. Dusun-dusun terbagi menurut wilayah di Desa Wononokerso di antaranya Dusun Windon, Dusun Ledoksari, Dusun Krajan, Dusun Tugusari, Dusun Wonokitri, Dusun Wonosejo dan Dusun Wonosari.

Desa Wonokerso memiliki tipe permukaan tanah bergunung-gunung dengan tebing-tebing, terletak pada ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Desa Wonokerso yang terletak di pegunungan Tengger memiliki suhu udara berubah-ubah sesuai dengan ketinggian tanahnya, antara sekitar 3º-18º Celsius (Simanhadi Widyaprakosa, 1994: 26). Suhu udara demikian mengakibatkan keadaan tanah daerah Tengger tergolong tanah subur dan gembur sehingga mayoritas mata pencaharian adalah berladang atau berkebun. Ladang masyarakat Desa Wonokerso berada di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak berbatu. Alat pertanian yang dipakai terdiri dari cangkul, linggis dan semacamnya. Tanaman pertanian yang menjadi keunggulan produk dari hasil mata pencaharian mereka adalah kentang, bawang prei (bawang daun), dan kubis yang dapat dipanen empat bulan sekali dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Tumbuhan utama daerah ini di samping tanaman pertanian adalah pohon-pohon yang tinggi dan pohon cemara. Selain berladang, masyarakat Desa Wonokerso juga bermata pencaharian sebagai peternak. Jenis hewan ternak masyarakat desa ini adalah sapi dan kambing. Namun, jenis hewan peliharaan lain yang biasanya dijadikan sebagai penjaga rumah adalah anjing dan kucing.

Kehidupan suku Tengger di Desa Wonokerso sama dengan kehidupan masyarakat Tengger yang lain. Persamaan ini dapat ditemui dari aspek bahasa, agama, pakaian dan kebiasaan sehari-hari. Masyarakat desa Wonokerso menggunakan bahasa Jawa Tengger untuk berkomunikasi, berinterakasi dengan sesama orang Tengger. Bahasa Jawa Tengger dibagi menjadi dua berdasarkan tingkatan yakni bahasa Jawa Tengger alus (krama) yang menyerupai bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa kasar (ngoko). Bahasa Jawa krama digunakan untuk berinteraksi dengan orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati dan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa sehari-hari terhadap sesamanya atau orang yang lebih muda. Agama yang mereka anut mayoritas adalah Hindu Dharma yang terpadu dengan agama Budha dan adat kepercayaan nenek moyang, tetapi saat ini sudah ada yang beragama Islam. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan Hindu.

B. Asal Usul Wayang Topeng di Desa WonokersoWayang Topeng Tengger merupakan sebuah

pertunjukan dramatari dengan pemain yang memakai topeng dan dipimpin oleh seorang dalang. Seorang

dalang mengatur, merencanakan serta memimpin pertunjukan wayang. Dalam pengertian demikian, maka Wayang Topeng Tengger di Desa Wonokerso termasuk dalam jenis “Topeng Dalang”. Pigeaud dalam buku Topeng Dhalang yang ditulis oleh Soenarto Timoer menyebutkan bahwa istilah “topeng dhalang” digunakan untuk menyebut jenis pertunjukan rakyat di Jawa Barat yang menyajikan sebuah permainan topeng dalam bentuk teater lakon yang dipimpin oleh seorang dalang (1979/1980: 1).

Pertunjukan Wayang Topeng Tengger diyakini adanya mitologi tentang dewa-dewa Hindu yang tidak hanya sebagai media pemujaan, tetapi dianggap ikut serta dalam kehidupan nyata. Mereka mentabukan untuk menggelar kisah-kisah para dewa dengan sarana yang menggunakan kulit sapi atau kerbau. Maka dari itu, masyarakat Tengger lebih banyak menggelar pertunjukan yang menceritakan leluhur mereka agar tidak menyinggung perasaan dewa. Dengan alasan itulah, mereka menggantikan pertunjukan Wayang Kulit dengan Wayang Topeng yang meletakkan kedudukan serta fungsi dewa-dewa Brahma, Wisnu dan Guru pada posisi yang baik, sehingga pertunjukan topeng dengan lakon Bathara Kala tidak menimbulkan petaka bagi mereka yang melaksanakannya.

Ki Lebari adalah salah satu dalang pengruwatan dari grup Sari Rukun. Ki Lebari adalah murid Ki Sucipto yang sebelumnya telah menjadi dalang pengruwatan. Ki Lebari yang memiliki keturunan dalang pengruwatan juga belajar menjadi dalang sejak kecil hingga menjadi wakil dalang Ki Sucipto pada saat menjadi dalang Wayang Topeng pengruwatan. Masyarakat lazim menyebut Ki Lebari sebagai dalang pengruwata. Dalang pengruwatan adalah dalang yang terpilih dan dipilih karena harus memiliki keturunan darah dari dalang pengruwatan sebelumnya, sehingga tidak sembarang orang bisa menjadi dalang pengruwatan.

Kehancuran Kerajaan Majapahit menyebabkan seluruh penghuni istana serta masyarakatnya melarikan diri ke daerah Bali dan daerah pegunungan Tengger. Hal ini diperkuat oleh anggapan masyarakat Tengger bahwa mereka adalah keturunan dan pewaris adat istiadat tradisional Majapahit (Ki Lebari, Sapanyana, Hadi Mulyono 19/2, 26/3, 1/4). Namun pendapat lain berasal dari seorang sesepuh desa yang sekaligus sebagai mantan penabuh gamelan grup “Sari Rukun” yaitu Ponalim (68 tahun). Menurut cerita yang telah ia dengar, dahulu topeng-topeng yang hingga sekarang dikelola oleh Ki Lebari didapatkan dari Jabung, Kabupaten Malang. Topeng-topeng tersebut yang tidak diketahui masanya dibawa oleh seorang seniman dari Malang ke tanah Tengger yaitu ke Desa Wonokerso. Seniman asal Jabung

Page 5: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

Malang ter tersebut mengajarkan sebuah kesenian yang disebut Wayang Topeng kepada masarakat Desa Wonokerso (1/4). Pendapat lainnya juga dipaparkan oleh Ki Lebari berdasarkan informasi lisan dari Ki Sucipto bahwa topeng-topeng yang dikelolanya berasal dari Tumpang Kabupaten Malang, tetapi khusus topeng Bathara Kala memang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu di Desa Wonokerso. Penabuh gamelan yang telah melatih orang-orang Desa Wonokerso pada saat itu adalah Mbah Ngatok yang bertempat tinggal di Desa Wonokerso (1/4). Kesimpang siuran asal mula Wayang Topeng yang berada di Desa Wonokerso semakin besar, mengingat kehancuran kerajaan Majapahit yang menyebabkan masyarakatnya tersebar ke berbagai wilayah termasuk ke daerah pegunungan Tengger. Kedua pendapat tersebut memunculkan suatu argumen peneliti, bahwa Wayang Topeng di Desa Wonokerso kemungkinan berasal dari seni pertunjukan istana Kerajaan Majapahit yang dibawa oleh masyarakat. Namun dalam perkembangan serta persebarannya didukung oleh masyarakat Kabupaten Malang yang terdapat beberapa pengrajin topeng dan diyakini baik dari daerah Jabung maupun Tumpang, karena jarak antara Desa Wonokerso yang masyarakatnya adalah berlatarbelakang suku Tengger Kabupaten Probolinggo dekat dengan masyarakat Tengger Kabupaten Malang khususnya daerah Tumpang Kabupaten Malang.

Grup Wayang Topeng “Sari Rukun” berdiri sejak tahun 1946. Grup Wayang Topeng ini pertama kali dibentuk oleh Ki Sucipto dalang pengruwatan di Desa Wonokerso. Wayang Topeng Tengger di Desa Wonokerso merupakan salah satu bentuk teater tradisional rakyat menurut teori James R. Brandon yang ditulis oleh Kasim Achmad dalam bukunya yang berjudul Mengenal Teater Tradisional dan berfungsi sebagai sarana upacara ritual (2005: 4-5). Hal ini dikarenakan Wayang Topeng Tengger berkaitan dengan kehidupan di pedesaan yang lahir, tumbuh dan berkembang serta didukung masyarakat lingkungannya. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan keberadaan Wayang Topeng Tengger yang terdapat di Desa Wonokerso dan didukung oleh masyarakat etnik Tengger. Kategori ini juga dapat dilihat dari sifat yang sederhana baik bentuk ataupun cara penyajiannya, spontan, tidak menggunakan naskah tertulis, tidak dibuat-buat dan komunikatif dengan masyarakat yang menonton.

Topeng Bathara Kala masuk dalam golongan topeng kecil karena topeng seukuran dengan wajah manusia. Secara khusus, topeng Bathara Kala dan 41 topeng-topeng yang dimiliki oleh Grup “Sari Rukun” dirawat melalui ritual-ritual tertentu. Khusus topeng Bathara Kala dibungkus dengan kain mori dan

ditempatkan di sebuah kotak berukuran lebih besar daripada topeng. Topeng ini tidak pernah diperbarui atau dicat ulang dan mengsakralkan topeng tersebut dengan cara memberi makan (selamatan). Selamatan dilakukan setiap senin legi dan jumat legi dengan cara memberi 3 bunga mawar merah, kuning dan putih, kemenyan dan mantra. Anehnya, bunga-bunga yang ikut dibungkus dalam satu kotak dengan topeng Bathara Kala hilang pada saat kotak dibuka kembali. Apabila selamatan tidak dilakukan, maka topeng Bathara Kala akan mengamuk dengan cara berbunyi keras dan bergerak-gerak setiap malam setelah hari. Topeng lainnya berjumlah 41 juga diberikan perawatan khusus, namun 41 topeng tersebut diletakkan di sebuah peti yang akan diselamati pula pada senin legi dan jumat legi.

Perlengkapan sakral pertunjukan Wayang Topeng juga ditunjukkan pada keris atau gaman sebagai pusaka yang digunakan oleh penari Bathara Kala. Istilah gaman lebih sering dipakai masyarakat Desa Wonokerso untuk menyebut pusaka berupa “keris sakti”. Gaman tersebut diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Gaman juga disakralkan dengan cara membacakan mantra (doa) dan 3 macam bunga. Gaman yang dianggap sebagai benda mistis tersebut dapat berdiri tegak tanpa disentuh oleh pemiliknya. Ciri khas gaman ini adalah terdapat topeng yang menyerupai topeng Bathara Kala di kepala keris. Gaman dan topeng Bathara Kala tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

5

Gambar 1Topeng Bathara Kala yang dikenakan

oleh tokoh Bathara Kala (Dok. Fourin Indra Sukma Dewi, 2015

Page 6: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

C. Ruwatan di Desa WonokersoRagil Pamungkas dalam bukunya yang berjudul

Tradisi Ruwatan mengatakan bahwa ruwat adalah upacara yang dilakukan untuk menghilangkan dampak yang bisa berbentuk kesialan, menjauhkan segala kemungkinan yang buruk yang bisa terjadi kepada seseorang termasuk orang-orang yang harus diruwat atau sukerta (2008: 8). Ruwatan bagi masyarakat Desa Wonokerso merupakan upacara untuk menghindarkan diri dari ancaman Bathara Kala. Bathara Kala adalah putra dari Bathara Guru yang lahir dari Kama-salah. Kama-salah terjadi karena tingkah laku Bathara Guru yang tidak memperhatikan waktu dan tempat pada saat bersenggama. Tidak mau dan tidak mampu bersabar mengekang gejolak birahi dan menuruti nafsu yang tidak terkendali. Waktu dan tempat yang salah akhirnya menyebabkan malapetaka dengan lahirnya Kama-salah atau Bathara Kala. Bathara Kala dipercaya sebagai dewa yang memiliki perangai jelek dan gemar memakan manusia (Ki Lebari, 19/2). Manusia sebagai mangsa atau makanan Bathara Kala adalah orang sukerta. Makanan Bathara Kala yang dimaksud adalah kehidupan yang tidak bahagia, sengsara, dan malapetaka. Anak dan orang sukerta yang dianggap cacat secara lahir yang akan dipilih oleh Bathara Guru dan Dewi Durga untuk Bathara Kala. Untuk itu Bathara Kala dipercaya erat hubungannya dengan Bathara Guru dan Durga.

Asal mula ruwatan di Desa Wonokerso berawal kepercayaan mitos terhadap Bathara Kala. Bathara adalah dewa (Ragil Pamungkas, 2008: 8). Mitos merupakan cerita kuno yang dituturkan dengan bahasa indah, dan isinya dianggap bertuah, berguna bagi kehidupan lahir dan batin serta dipercayai dan dijunjung tinggi oleh pendukungnya dari generasi satu ke generasi berikutnya (Sri Mulyono, 1989: 28). Dalam pengertian ini, mitos Bathara Kala merupakan cerita kuno yang diceritakan secara lisan kepada masyarakat pendukungnya agar diyakini dan dipercayai kebenarannya. Mitos yang berhubungan dengan Bathara

Kala ditunjukkan dalam upacara ruwatan, sehingga ruwatan dikenal dengan Ruwatan Murwakala karena tokoh yang berperan dalam pertunjukan Wayang Topeng Tengger adalah Bathara Kala. Murwakala adalah kesatuan dari dua kata yakni Murwa dan Kala. Murwa bersala dari kata Purba yang berarti Menguasai dan Kala berarti waktu,ketika, saat, kesempatan, masa, jaman (Karkono K. Partokusuma, 1992: 46).

Cerita Bathara Kala berasal dari tulisan dalam Pakem Suku Tengger ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Tulisan tersebut dipercaya sebagai benda suci warisan leluhur mereka. Berikut isi cerita dari Ki Lebari yang menjadi dalang pengruwatan di Desa Wonokerso:

Bathara Guru adalah seorang dewa yang memperistri seorang dewi yang bernama Dewi Durga. Pada suatu hari, mereka ingin mengelilingi pulau Jawa dan berjalan di tepi pantai laut selatan. Keindahan pantai dan panorama laut membuat Bathara Guru bangkit asmaranya untuk bermadu kasih dengan permaisurinya. Tetapi sang permaisuri menolak permintaan Bathara Guru. Bathara Guru yang tidak dapat menahan nafsu birahinya, mengakibatkan kama (air mani) Bathara Guru jatuh di tepi pantai. Bathara Guru dan Dewi Durga menutupi kama yang telah jatuh tersebut dengan daun bendo. Kejadian tersebut terlihat oleh seekor naga penunggu laut selatan. Kama Bathara Guru disembur oleh naga dan berubah menjadi seorang bayi. Bayi Bathara Guru yang dianggap sebagai anak Dewi Durga tersebut adalah Bathara Kala yang memiliki wujud dan perangai yang buruk. Kejahatan dan keburukan Bathara Kala adalah hasil dari perilaku buruk ayahnya yakni Bathara Guru yang tidak dapat menahan nafsu birahinya di tempat dan di waktu yang salah.

Bathara Kala lahir pada saat yang tidak tepat. Seekor naga menjadikannya seorang bayi yang dinamakan Kama Nyawa. Kama Nyawa selalu mencari ibunya tetapi tidak pernah menemukan keberadaan Dewi Durga. Naga yang merawat Kama Nyawa, mengganti nama Kama Nyawa menjadi Kama Kala agar mendapatkan keberuntungan dalam mencari ibunya. Kama Kala pun tidak menemukan keberadaan Dewi Durga dan akhirnya naga pun mengganti Kama Kala menjadi Ajar Kala. Nama Ajar Kala adalah nama keberuntungan karena pada saat itu Ajar Kala dipertemukan dengan ibunya. Pertemuan tersebut mengakibatkan nama Ajar Kala diganti dengan Bathara Kala sesuai dengan permintaan Dewi Durga. Dewi Durga dan Bathara Guru tidak dapat menerima Bathara Kala hidup di kerajaan karena Bathara Kala memiliki sisi keburukan dari fisik dan sifat. Bathara Guru memberikan sejumlah makanan agar Bathara Kala bertahan hidup. Makanan Bathara Kala terdiri dari anak atau orang-orang sukerta yang tidak diruwat yaitu anak tunggal (satu) yang disebut dengan ontang-anting; anak

Gambar 2Keris Bathara Kala

(Dok. Fourin Indra Sukma Dewi, 2015)

Page 7: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

dua (satu laki-laki dan satu perempuan) yang disebut genthana genthini; anak tiga (satu laki-laki, dua perempuan dan laki-laki berada di tengah) yang disebut apit sendhang pancuran; anak empat (tiga laki-laki dan satu perempuan, baik laki-laki sebagai anak sulung maupun sebagai anak bungsu) yang disebut telaga pancuran; anak lima (satu laki-laki ditengah dan empat perempuan) yang disebut apit ngampar nunggal maesan; anak lima, tujuh dan sembilan laki-laki yang disebut dengan pandawa limo, pandawa pitu, pandawa songo; suami istri yang bercerai lalu menikah lagi dan memiliki anak. Anak kedua dari hasil pernikahan yang kedua disebut dengan bathara manungsa.

Selain orang sukerta, yang harus diruwat adalah orang-orang yang melanggar peristiwa yang dianggap “tidak boleh” atau lazim disebut “ora ilok” oleh masyarakat Desa Wonokerso di antaranya (1) orang yang menjatuhkan dandang, (2) mematahkan batu gilasan (Jawa: pipisan), (3) menaruh beras dalam lesung (alat menumbuk padi), (4) mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang, (5) membuat pagar sebelum rumahnya, (6) menanak nasi tetapi air dalam dandang habis sebelum nasi tersebut matang, (7) menanak nasi tetapi dandang nasi bergoyang di atas tungku kayu (Jw: tumang), dan (8) melangkahi tungku kayu. Hal ini karena ajaran fetisisme masih melekat dalam diri individu masyarakat desa yakni percaya bahwa di dalam benda-benda tersebut ada penunggu yang menghuni. Penghuni yang dimaksud tentu makhluk tidak kasat mata dan hidup di sekitar lingkungan mereka.

Masyarakat Desa Wonokerso percaya bahwa Bathara Guru mengutus Bathara Kala untuk hidup di Randu Pitu dan Randu Songo tepatnya di Puncak Bukit Sanga Likur (Puncak B29). Tempat-tempat yang dianggap keramat tersebut dekat dengan wilayah Desa Wonokerso. Hal inilah yang mengakibatkan upacara ruwatan masih dipercaya hingga saat ini. Mengingat istilah ruwatan adalah sesuatu yang sakral dan religius, maka masyarakat Desa Wonokerso harus melaksanakan upacara ini sesuai dengan aturan dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam ruwatan Murwakala, di antaranya :

1. Tata Cara Upacara Ruwatan di Desa Wonokerso

Ruwatan memiliki ciri-ciri khusus yang harus dipenuhi dan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh dalang. Ketentuan tersebut harus diikuti dan dilakukan secara tepat serta teliti agar tidak berakibat pada kelancaran berlangsungnya upacara ritual. Berikut beberapa ciri khusus yang terdapat dalam upacara ruwatan di Desa Wonokerso :

a. Waktu Pelaksanaan Ruwatan Di Desa Wonokerso

Upacara ruwatan dilaksanakan pada hari-hari baik menurut perhitungan Jawa Tengger. Perhitungan hari baik dalam melaksanakan upacara ruwatan yang dipilih oleh pemangku hajat dan wajib disetujui oleh seorang dalang pengruwatan dengan tujuan untuk memastikan apakah hari dan tanggal yang dipilih sudah tepat. Waktu menyimpan potensi yang mengancam keselamatan manusia. Masyarakat Tengger menggunakan perhitungan kalender yang dinamakan Tahun Saka atau Saka Warsa. Pemilihan hari untuk pelaksanaan upacara ruwatan dihitung berdasarkan hari Naas dalam 3 bulan dalam perhitungan Jawa.

Hari yang sudah ditentukan, tahap selanjutnya adalah waktunya dalam melaksanakan ruwatan. Upacara ruwatan sering dilakukan pada malam hari setelah seluruh serangkaian acara dilaksanakan. Biasanya upacara ruwatan dilaksanakan setelah pukul 12 malam. Waktu tersebut terhitung dari tanggal yang telah ditentukan dan berakhir sekitar pukul 06.00 pagi. Namun upacara ini juga dapat dilakukan di luar pukul 12 malam, dengan syarat masih dalam waktu dan tanggal yang telah ditentukan.

b. Tempat Pelaksanaan Ruwatan di Desa Wonokerso

Adapun tempat-tempat pelaksanaan upacara ruwatan di Desa Wonokerso, antara lain:1. Sanggar Pamujan dan Sanggar Kembang (Sanggar Agung) merupakan tempat pemujaan atau tempat ibadah masyarakat Tengger di Desa Wonokerso yang beragama Hindu. Tempat ini dipercaya sebagai tempat dewa-dewa serta roh nenek moyang bersemayam. Sanggar Pamujan dan Sanggar Kembang (Sanggar Agung) adalah tempat pemangku hajat melaksanakan penghormatan kepada leluhur dan menempatkan sesaji yang ditujukan untuk roh nenek moyang yang bersemayan. Hal ini dilakukan sebelum hingga sesudah pertunjukan Wayang Topeng Tengger dan upacara ruwatan.2. Balai desa merupakan salah satu tempat berlangsungnya upacara ruwatan di Desa Wonokerso. Selain memiliki luas yang cukup lebar, hal ini juga bertujuan agar seluruh masyarakat Desa Wonokerso ikut serta dalam memeriahkan dan mengikuti serangkaian acara. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sapanyana, balai Desa Wonokerso terluas yang ada di Kabupaten Probolinggo. Gedung balai desa yang berukuran 33 meter x 17 meter, sedangkan luas halaman dan luas dapur berukuran 33 meter x 12 meter. Balai desa yang disulap menjadi tempat hajatan yang terdiri dari ruang tamu undangan, ruang menyimpan kue, ruang mencuci piring, ruang netepen yaitu khusus ruangan dukun dan pemangku hajat, ruang memasak nasi dan tempat sinoman atau bedhek (pawon), ruang meracik bumbu,

7

Page 8: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

ruang memotong daging, tempat menyembelih sapi, kamar mandi, dan panggung Wayang Topeng Tengger. 3. Upacara ruwatan dapat pula diadakan di halaman rumah pemangku hajat. Biasanya orang-orang yang mengadakan upacara ruwatan di halaman rumah dikarenakan dua hal yaitu halaman yang digunakan cukup luas dan keterbatasan ekonomi pemangku hajat yang tidak bisa melaksanakan upacara ruwatan secara besar-besaran. Upacara ruwatan langsung dilaksanakan tanpa penampilan cerita pengantar (hiburan) seperti legenda gunung Bromo maupun mitos Bathara Guru.

c. Pelaku Pelaksanaan Upacara RuwatanDalam pelaksanaan upacara ruwatan, orang-orang

yang terlibat dalam upacara ruwatan dapat diklasifikasikan menurut fungsi dan perannya yaitu :1. Pemangku hajat adalah keluarga atau orang yang melaksanakan hajatan yaitu upacara ruwatan. 2. Dukun adat dan dukun pengruwatan. Dukun adat (Sumartam) dan wakilnya (Muliono Hadi) memimpin upacara entas-entas sedangkan dukun pengruwatan (Ki Lebari) atau dalang pengruwatan merupakan orang yang memimpin seluruh prosesi upacara ruwatan dari awal hingga akhir. 3. Seniman pertunjukan adalah sekumpulan orang yang membawakan sebuah cerita dalam pertunjukan Wayang Topeng Tengger. Pelaku atau seniman pertunjukan Wayang Topeng Tengger terdiri dari pemain (penari), penabuh gamelan (wiyogo), sinden dan dalang Wayang Topeng Tengger. Pemain Bathara Kala adalah Ngatama (72 tahun) yang berasal dari Desa Ledok Ombo. Pemain Wayang Topeng Tengger “Sari Rukun” saat ini terdiri dari lima belas orang.4. Biyodho Dandan adalah orang yang menyajikan sesaji. Dalam upacara ruwatan, biyodho dandan terbagi menjadi dua yaitu biyodho dandan ruwatan dan biyodho dandan entas-entas. Biyodho dandan ruwatan di Desa Wonokerso saat ini adalah Lastip (nama panggilannya adalah Mbok Bambang) yang bertugas untuk menyiapkan sesaji ruwatan. Biyodho dandan entas-entas adalah Sutik (sering disebut Mbok Sutik) yang bertugas untuk menyiapkan sesaji untuk upacara entas-entas.5. Perangkat desa adalah seluruh komponen anggota yang mengatur keamanan dan administrasi desa. Sebelum pelaksanaan upacara ruwatan, pemangku hajat harus melapor ke Kepala Desa Wonokerso bahwa akan mengadakan suatu acara. Laporan lisan biasanya berkisar pada acara apa yang akan diadakan, kapan dan dimana kegiatan dilaksanakan. Dalam pelaksanaan acara, Kepala

Desa dan seluruh perangkatnya mengatur keamanan seperti penataan parkir dan sinoman. 6. Masyarakat dibagi menjadi tiga yaitu sinoman, bedhek dan penonton. Sinoman adalah laki-laki yang membantu segala perlengkapan acara, sedangkan sebutan untuk perempuan adalah bedhek. 7. Pelaku pendukung lainnya adalah tata suara (sound sistem), dokumentasi dan tata pencahayaan.

d. Sesaji Ruwatan di Desa WonokersoSesaji ruwatan adalah syarat wajib yang harus

disiapkan dan disajikan sebelum upacara dilaksanakan. Sesaji ruwatan berfungsi sebagai suguhan makhluk-makhluk tak kasat mata, yang sengaja dihadirkan dengan tujuan memberikan restu dan keselamatan untuk pemangku hajat. Sesaji ruwatan banyak jenis dan jumlahnya dan dianggap sebagai upah makhluk yang tak kasat mata tersebut karena telah datang dan mengikuti serangkaian pelaksanaan upacara ruwatan (26/3). Sesaji upacara ruwatan harus disiapkan sebelum upacara dimulai yaitu sekitar pukul 16.00 (4 sore) sampai pukul 20.00 (8 malam). Adapun sesaji untuk ruwatan yang harus disiapkan dengan teliti dan cermat sebelum upacara ruwatan berlangsung, di antaranya:1. Sesaji untuk Bathara Kala. Sesaji ini merupakan sesaji yang digunakan sebagai upah dan “ganti” dari anak atau orang-orang yang diruwat pada saat itu. Sesaji tersebut khusus untuk pemain tokoh Bathara Kala yang mengalami kesurupan. Sesaji tersebut diletakkan di sebuah meja berukuran besar sesuai dengan banyaknya jumlah dan jenis sesaji. Adapun sesaji untuk Bathara Kala adalah Pras among pitu (pisang, tumpeng besar, kue, ayam panggang jawa, sirih, jambe, sesarium (uang), dan ketan), pitraan pitu (pisang, beras, kue gula, rokok, uang, sirih, dan jambe), jenang warna lima yaitu warna merah, putih, hitam, kuning dan hijau), Tumpeng warna lima (tumpeng ungkur-ungkur, tumpeng hitam, tumpeng kendhit , tumpeng merah dan tumpeng kuning), buah-buahan warna tujuh, bunga warna tujuh, air tujuh sumber, air tape (badheg), polo pendem warna tujuh (ganyang, tales, kentang, bothe, singkong, ketela rambat, bawang putih), ikan laut, telur ayam tujuh butir, rowan tujuh (nasi yang diletakkan di piring lalu diatasnya diberi daun dan lauk), sego golong, piji, dawet, rujak manis, nasi tujuh piring, pisang ayu dua lirang, rempah-rempah (pencok bakal), bubur putih, bubur merah, kue (jajan pasar) warna tujuh, liwet satu tampah, beras kuning, tumpeng monco, bubur pancawarna, tumpeng pras banyu, ayam hidup sesuai jumlah orang yang diruwat, dan tangga yang terbuat dari janur (tangga janur).2. Sesaji pohon pengayoman berupa bahan makanan pokok manusia yang diletakkan di salah satu tiang di depan panggung pertunjukan. Sesaji ini melambangkan

Page 9: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

sebagai tempat persembunyian anak atau orang-orang sukerta yang tidak diruwat. Sesaji pohon pengayoman terdiri dari janur, jagung, padi, wringen (pohon pisang yang masih ada buahnya), daun pohon beringin, bunga jambe (kembang mayang), tebu, bungkil, waluh besar, pisang mas, krambil bongkot (kelapa degan dengan kulitnya satu buah), ketupat tujuh buah, lepet tujuh buah.

3. Peralatan untuk sesaji Bathara Kala. Peralatan ini adalah salah satu perlengkapan sesaji dari upacara ruwatan. Apabila orang yang diruwat adalah laki-laki maka peralatan yang digunakan adalah alat-alat yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat berjenis kelamin laki-laki. Peralatan yang dimaksud dapat berupa cangkul, sabit (clurit), Perkul (kapak) dan lain-lain. Sedangkan untuk perempuan juga cenderung barang-barang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari misalnya bedak, sisir, kaca, dan lipstik. Selain barang-barang tersebut juga ada peralatan untuk Bathara Kala adalah kemaron (cepel), liwet (tampah), banci (panci atau alat dapur semacam panci), pisau, lawon (kain putih), satu lampu kambang (lampu teplek), tikar (klasa), bantal, baju bekas orang yang diruwat untuk perwakilan, payung.

4. Sesaji dalang adalah sesaji yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi agar tidak terjadi hal-hal buruk dalam memimpin upacara ruwatan. Sesaji dalang di antaranya adalah pitraan yang berisi pisang dan krembil (kelapa), sepiring kue, sepiring ikan, segelas kopi, sepiring nasi, rokok, uang, kemenyan (dupa).5. Sesaji untuk satu rombongan Wayang Topeng Tengger. Sesaji ini bertujuan untuk keselamatan satu rombongan grup Wayang Topeng Tengger agar selama pertunjukan berlangsung tidak terjadi halangan atau sesuatu yang tidak diinginkan. Sesaji satu rombongan ini di letakkan di dalam koriagung atau tempat keluar masuknya pemain. Sesaji satu rombongan ini dinamakan Pitraan yang berisi pisang, krembil (kelapa), rokok, uang, bedak, sisir, kaca, lipstik dan minyak wangi.6. Sesaji untuk gamelan Wayang Topeng Tengger bertujuan untuk keselamatan seluruh penabuh gamelan (wiyogo) agar tidak terjadi kesalahan atau sesuatu yang buruk pada saat pelaksanaan upacara ruwatan. Sesaji ini diletakkan di tempat gamelan yaitu di belakang panggung pemain Wayang Topeng Tengger. Biasanya sesaji untuk gamelan diletakkan di dekat gong. Sesaji ini terdiri dari pras among pitu satu tampah (pisang, tumpeng besar, kue (jajan), ayam panggang jawa, daun sirih, jambe, sesarium (uang), dan ketan), pitraan, nasi lima piring, kue (jajan pasar) satu piring, wedhang (segelas kopi), gelas, nasi gulung, kembang boreh satu gelas, gantungan gong, silap (gampang sapi), bantal, tikar.

7. Sesaji sound sistem terletak di seluruh tempat sound sistem. Hal ini juga bertujuan untuk keselamatan. Sesaji sound sistem adalah beras, pisang dua lirang, rokok, uang, kelapa, sirih, gula dan jajanan pasar.

e. Mantra Upacara Ruwatan di Desa Wonokerso

Mantra dalam upacara ruwatan hanya dikuasai oleh dalang pengruwatan. Mantra atau doa tidak boleh sembarang diucapkan oleh sembarang orang karena dapat menimbulkan hal-hal buruk seperti gila atau gangguan jiwa. Mantra terdapat di Pakem Sunteng yang ditulis dalam bahasa Latin dan bahasa Jawa Kuno. Mantra yang diucapkan dalang pengruwatan belum diketahui bunyinya karena hanya dalang pengruwatan saja yang mengetahui.

f. Pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam Upacara Ruwatan di Desa Wonokerso

Keberadaan Wayang Topeng Tengger dalam upacara ruwatan adalah wajib. Kewajiban tersebut bukan pada cerita keseluruhan, melainkan hanya pada cerita Bathara Kala. Kesenian ini merupakan suatu hal yang utama dalam perannya sebagai sarana, wadah atau tempat untuk roh yang diundang dan masuk ke raga pemain Wayang Topeng Bathara Kala. Dengan demikian Wayang Topeng Tengger khususnya pemain tokoh Bathara Kala memiliki peranan penting dalam upacara ruwatan Keberadaannya bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat bahwa kekuatan yang tak kasat mata ada di sekitar mereka serta turut menjaga mereka yang hidup di dunia.

2. Tahapan Pelaksanaan Ruwatan

a. Menyembelih SapiPelaksanaan upacara ruwatan di Desa Wonokerso di

awali dengan penyembelihan sapi. Sapi yang diperlukan jumlahnya tergantung pada acara dan jumlah undangan serta sinoman atau bedhek. Hajatan besar-besaran biasanya memerlukan 2-3 ekor sapi. Sapi disembelih sehari sebelum upacara ruwatan dilaksanakan. Sapi disembelih dan dipimpin oleh ketua adat (dukun adat) Desa Wonokerso yaitu Sumartam. Dengan perlengkapan sesaji pitraan (pisang, tumpeng, beras, kue, gula, rokok, suruh, jambe) dan kemenyan, ketua adat membacakan mantra sebelum prosesi penyembelihan sapi. Pembacaan mantra dilakukan di samping sapi yang diikat dan disaksikan oleh sinoman.

b. Upacara Entas-EntasMenurut Muliono Hadi (46 tahun) upacara entas-

entas adalah upacara selamatan sebagai tanda penghormatan (balas budi) kepada leluhur (1/4). Upacara

9

Page 10: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

entas-entas bersifat wajib dilakukan oleh seluruh pemangku hajat untuk melaksanakan hajat apapun termasuk upacara ruwatan. Apabila upacara ini tidak dilakukan maka akan terjadi malapetaka dan hal-hal buruk. Pada dasarnya upacara entas-entas adalah upacara selamatan 1000 hari (nyewu) orang yang sudah meninggal dunia. Tujuan upacara entas-entas dalam upacara ruwatan adalah memanggil roh leluhur keluarga yang diruwat untuk ikut hadir menyaksikan keseluruhan hajatan dan upacara ruwatan yang akan berlangsung.

Upacara entas-entas dibagi menjadi tiga tahap yaitu mepek, medhuduk dan banten. Mepek dilakukan di pagi hari sebagai upacara untuk mengawali serangkaian acara yang akan dilaksanakan. Mepek adalah tahap dimana dalam upacara ini terdapat istilah ngunggaen kulak yaitu menaikkan kulak. Ngunggaen kulak adalah selamatan suku Tengger. Upacara ini harus dilakukan oleh seluruh keluarga pemangku hajat dengan cara mengisi kulak. Kulak terbuat dari bambu yang dikupas kulitnya dan memiliki panjang 15 cm. Kulak diletakkan di atas cepel atau semacam kemaron berukuran kecil. Cepel terbuat dari tanah liat yang memiliki diameter kurang lebih 25-30 cm. Jumlah kulak sesuai dengan jumlah leluhur yang diundang. Cepel diisi dengan beras ketan dan kulak diisi beras jawa oleh seluruh keluarga pemangku hajat. Beras adalah simbol dari kesuburan. Awalnya semua cepel diisi beras ketan sebanyak 3 kali perorang, lalu lagi ke cepel pertama untuk mengisi kulak yang berada di dalamnya sebanyak 3 kali. Selain kulak, perlengkapan dalam melaksanakan upacara entas-entas pada tahap mepek adalah sesaji atau sajen. Seluruh kulak yang sudah terisi diletakkan di anjab yaitu bangunan yang terbuat dari bambu dan diatasnya ada atap datar dan beralaskan tikar. Sebelum dinaikkan ke atas anjab, terlebih dahulu diberi uang senilai seribu rupiah yang dibungkus dengan kertas dan ditali dengan benang berwarna putih. Uang tersebut diletakkan tepat di atas beras dalam kulak. Hal ini dimaksudkan sebagai selamatan nyewu yang mengundang roh leluhur keluarga. Kulak yang terisi tidak boleh roboh sampai hajatan selesai karena dapat menimbulkan malapetaka. Tahap selanjutnya adalah merangkai susunan petra yang dilakukan oleh wakil dukun (legen). Petra adalah simbol atau perwakilan leluhur yang sudah meninggal. Petra hanya boleh dibuat dan dirancang oleh dukun (tokoh adat) dan legen (wakil adat), karena pembuatannya harus membaca mantra terlebih dahulu. Petra adalah sejenis boneka yang berisi ilalang dan terbuat dari daun telotok, bunga senikir, janur, dan daun pampung. Pada tahap mepek, petra dirangkai dan diletakkan di bawah anjab. Jumlah petra harus sesuai dengan jumlah kulak yang diletakkan di atas anjab.

Gambar 7Petra di atas beras ketan dan beras jawa (Dok. Fourin Indra Sukma Dewi, 2015)

Tahap kedua entas-entas adalah medhudhuk. Tahap ini merupakan selamatan tumpengan. Tahap ini dipimpin oleh ketua adat (dukun Tengger dan wakilnya (legen). Tahap ini bertujuan agar pemangku hajat dapat mencapai segala tujuan dan cita-cita serta harapan yang belum terpenuhi. Pada tahap ini seluruh pemangku hajat diharapkan diberi keselamatan dan kesejahteraan.Tahap Medhudhuk diakhiri dengan membawa sebagian tumpeng ke rumah dukun adat dan ke Sanggar Kembang.

Tahap ketiga adalah banten yaitu memulangkan roh leluhur ke tempat asalnya. Seluruh petra diletakkan di atas cepel dan dibacakan mantra. Petra yang telah dibacakan mantra dibungkus baju atau pakaian layaknya manusia. Seluruh keluarga menggendong petra yang telah berpakaian dan di bawa ke Sanggar Pamujan untuk dibakar. Setiap orang keluarga dapat menggendong lebih dari satu sesuai dengan keinginan. Pembakaran dilakukan di Sanggar Pamujan. Tahap ini adalah tahap yang menandakan bahwa upacara entas-entas telah selesai dilaksanakan.

c. Menyajikan Sesaji atau Sarana Sesaji Sesaji atau sajen dalam Pakem Sunteng memiliki

jumlah yang banyak macam dan jenisnya. Sebelum upacara ruwatan dimulai, pemangku hajat wajib membeli seluruh perlengkapan sesaji yang dibutuhkan dalang pengruwatan. Selanjutnya, pemangku hajat menyerahkan seluruh perlengkapan dan bahan-bahan mentah sesaji kepada orang yang telah dipercaya oleh dalang pengruwatan. Seorang Biyodho Dandan harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh dalang pengruwatan sesuai dengan Pakem Susunan Tengger (Pakem Sunteng). Seluruh sesaji harus dikerjakan sendiri oleh biyodho dandan ruwatan, tidak boleh diganggu atau tidak boleh ada yang membantu

d. Penghormatan LeluhurPada tahap ini pemangku hajat dan perwakilan

keluarga meminta ijin kepada roh leluhur di Sanggar Pamujan sebelum atau sesudah tahap mepek dalam upacara entas-entas. Pelaksanaan ini bertujuan untuk memberitahu dan meminta doa leluhur terhadap kegiatan

Page 11: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

yang akan dilaksanakan dengan cara berdoa dengan kidungan.

e. Pertunjukan Wayang Topeng TenggerPertunjukan Wayang Topeng Tengger dipimpin

oleh dalang pengruwatan. Pemain Wayang Topeng Tengger menari dan bergerak sesuai dengan cerita dalang pengruwatan. Pertunjukan Wayang Topeng Tengger diawali dengan pembacaan mantra dan memperlihatkan blencong yang dipegang oleh dalang pengruwatan. Blencong lazim digunakan untuk menyebut “gunungan” dalam pertunjukan wayang. Blencong dan mantra merupakan tanda bahwa pertunjukan Wayang Topeng Tengger akan dimulai. Pertunjukan Wayang Topeng Tengger dilaksanakan sebelum pukul 12. Pelaksanaan upacara ruwatan harus dengan hari dan tanggal baik yang telah ditentukan sebelumnya. Pertunjukan Wayang Topeng berlangsung sekitar 5-7 jam. Pertunjukan ini diakhiri dengan lahirnya Bathara Kala.

f. Upacara Ruwatan Upacara ruwatan ditandai dengan masuknya sesaji

ruwatan ke dalam area pementasan. Pada tahap ini, tokoh atau pemain Bathara Kala yaitu Ngatama (72 tahun) mengalami kesurupan. Ngatama yang telah dimasuki roh gaib yang dipercaya sebagai Bathara Kala melakukan gerakan-gerakan spontan. Aturan yang berlaku dan wajib dilakukan yaitu penonton yang melihat prosesi upacara tidak boleh pulang dulu atau tidur di area tempat upacara berlangsung, karena hal-hal buruk akan terjadi kepada orang yang melanggar. Orang yang diruwat masuk ke atas panggung tepat di samping dalang. Seluruhnya diberi satu kain putih panjang (lawon) dan diletakkan di atas kepala.

Perwakilan masuk dalam area penonton. Hal ini dimaksudnya agar Bathara Kala mengetahui bahwa pada saat itu makanan telah datang dan harus dimangsanya. Bathara Kala mulai mencari mengejar perwakilan satu persatu dan perwakilan yang dikejar berusaha melarikan diri. Uniknya, setiap perwakilan yang berhasil ditangkap dan dimakan rohnya, badan perwakilan tersebut kaku seperti orang meninggal. Tahap selanjutnya adalah astodumilah atau Rebutan Gaman, dimana dalang pengruwatan mencegah untuk membunuh orang-orang yang diruwat dengan merebut gaman yang berada ditangan Bathara Kala. Bathara Kala terkalahkan dan gaman berhasil pindah ke tangan dalang pengruwatan. Sebagai ganti, dalang memberikan sejumlah sesaji yang disiapkan dan Bathara Kala menyetujuinya. Sesaji Bathara Kala harus lengkap, apabila tidak maka Bathara Kala mengamuk dan marah kepada orang yang telah menyajikan sesaji dan meminta untuk melengkapinya pada saat itu juga. Dalang pengruwatan mencampur air

tujuh sumber dengan bunga tujuh warna di sebuah kemaron sebagai alat untuk membasuh muka orang yang diruwat bahwa mereka akan dibersihkan dari kesialan atau keburukan. Air yang tersebut dinamakan air boreh (air kembang). Bathara Kala mulai membasuh wajah orang sukerta satu persatu serta perwakilan yang telah mati. Lawon atau kain putih diturunkan sebagai penanda bahwa orang sukerta telah bersih dari ancaman Bathara Kala. Tahap terakhir adalah nyelawat dimana seluruh penonton yang melihat upacara ruwatan, melayat kepada perwakilan yang dianggap telah mati karena mangsa Bathara Kala. Nyelawat yang dilakukan dengan cara memberikan uang seikhlasnya di tempat yang telah disediakan. Imbalannya adalah mendapatkan air boreh. Air boreh diusapkan pada wajah penonton saat nyelawat. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan serta ketentraman di dunia.

D. Bentuk Pertunjukan Wayang Topeng Tengger dalam Ruwatan

1. Cerita dalam Wayang Topeng TenggerCerita dan tema yang dibawakan pada pertunjukan

Wayang Topeng Tengger berkisar pada cerita legenda dan mitos. Judul-judul yang pernah dibawakan oleh grup Sari Rukun pimpinan Ki Lebari adalah Bathara Guru Krama dan Titahing Kusuma. Titahing Kusuma menceritakan tentang legenda gunung Bromo dan Gunung Batok. Cerita ini dipercaya berawal dari kisah leluhur pertama suku Tengger yaitu Dewi Mutrim atau Rara Anteng. Dewi Mutrim merupakan nama lain dari Rara Anteng. Rara Anteng adalah seorang putri dari Raja Brawijaya dengan permaisuri Kerajaan Majapahit yang cantik jelita. Keadaan kerajaan yang tentram dan damai berubah menjadi buruk, sehingga para pini sepuh kerajaan menyuruh Rara Anteng mencari tempat aman. Ia dan punggawanya pergi ke pegunungan Tengger. Dewi Mutrim atau Rara Anteng terkenal luas karena kecantikan dan keluhuran budinya, sehingga banyak yang ingin mempersuntingnya menjadi istri salah satunya adalah Kyai Bima. Ki Bima menemui Dewi Mutrim dan mengutarakan niatnya. Pinangan Ki Bima tidak disukai oleh Dewi Mutrim karena Ki Bima berwatak jahat, antagonis dan pemarah. Dewi Mutrim menemui Ki Bima dan mengutarakan niatnya, apabila Dewi Mutrim ingin diperistri oleh Ki Bima, maka Ki Bima harus membuatkan lautan di atas gunung dalam waktu semalam. Ki Bima menyetujui dan meminta bantuan roh halus untuk menyelesaikan permintaan Dewi Mutrim. Kesaktian Kyai Bima membuat rasa cemas Dewi Mutrim. Dewi Mutrim dan punggawanya segera melancarkan aksinya sebelum pagi menjelang dan sebelum Ki Bima menyelesaikan permintaannnya. Tetapi niat Ki Bima

11

Page 12: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

kandas saat melihat cahaya kemerah-merahan di ufuk timur serta suara ayam berkokok. Dewi Mutrim menumbuk jagung, ayam-ayam bersahutan seolah-olah fajar sudah menyingsing. Hal ini menandakan bahwa malam telah tenggelam dan pagi telah muncul. Ki Bima heran dan marah karena usahanya sia-sia untuk mempersunting Dewi Mutrim sebagai istri. Hasil usaha Kyai Bima hingga sekarang dikenal dengan Gunung Batok, sedangkan lautan yang hampir jadi tersebut berubah menjadi lautan pasir atau segara wedhi. Gunung Batok bersebelahan dengan gunung Bromo yang dahulu dipercaya sebagai sumur raksasa untuk mengairi lautan permintaan Dewi Mutrim.

Cerita dilanjutkan tentang cerita Rara Anteng dan Jaka Seger. Cerita ini dipercaya sebagai cikal bakal dari nama Tengger. Menurut legenda, kedua suami istri ini tidak memiliki anak, lalu mereka bertapa dan memohon agar diberikan anak. Permohonan mereka dikabulkan dengan syarat anak terakhir mereka harus dikorbankan ke gunung Bromo. Mereka dikaruniai 25 orang anak dan anak terakhir bernama Kusuma. Meskipun kedua orang tua ini tidak rela, tetapi Kusuma tetap dikorbankan sebagai bentuk pemenuhan janji. .

Bathara Guru Krama menceritakan tentang perjalanan Raden Manikmaya yang diangkat menjadi Bathara Guru oleh ayahnya yaitu Dewa Sang Hyang Sis. Pengutusan tersebut karena Raden Manikmaya telah berjasa merebut gaman (keris) warisan keluarga dari tangan dewa-dewa yang diutus untuk menyamar menjadi pencuri oleh Dewa Sang Hyang Sis. Tujuan Dewa Sang Hyang Sis memerintah anak-anaknya yaitu Sang Hyang Penggung, Sang Hyang Pongot, Lesmono Dewo dan Manikmaya untuk menurunkan gelarnya sebagai penguasa jagat raya kepada anak-anaknya yang memiliki jiwa pemberani, baik, setia dan jujur. Cerita inilah yang akhirnya melahirkan Bathara Kala sebagai dewa pemakan manusia.

Dalam cerita ini, dalang pengruwatan menambahkan cerita kehidupan sehari-hari orang yang diruwat. Cerita ini dikarang oleh dalang pengruwatan sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang yang diruwat. Cerita pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai hiburan sama dengan pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai ruwatan. Perbedaaan keduanya terletak pada cerita Bathara Kala yang hanya ada pada pertunjukan Wayang Topeng Tengger sebagai upacara ruwatan. Wayang Topeng Tengger sebagai hiburan hanya menampilkan cerita asal mula suku Tengger hingga gunung Bromo saja.

2. Adegan dalam Wayang Topeng TenggerAdegan dalam suatu peristiwa dan dalam satu

keseluruhan lakon akan membentuk sebuah struktur.

Menurut Soediro Sutoto dalam bukunya yang berjudul Analisis Drama, pengertian struktur merupakan komponen paling utama dan prinsip kesatuan dalam drama (2012: 38). Struktur penyajian Wayang Topeng Tengger diuraikan dalam adegan-adegan. Berikut adalah adegan cerita Titahing Kusuma:a. Adegan Kerajaan Bimab. Adegan Rumah Dewi Mutrimc. Adegan Dagelan atau lawakand. Adegan Alase. Adegan Gunung Batok f. Adegan Rara Anteng dan Jaka Segerg. Adegan Pernikahanh. Adegan Samudrai. Adegan Bathara Kala

Berikut adalah adegan cerita Bathara Guru Kramaa. Adegan Jejeranb. Adegan Kerajaanc. Adegan Alasd. Adegan Dagelan atau lawakane. Adegan Peperanganf. Adegan Pengutusang. Adegan Samudrah. Adegan Bathara Kala

3. Tokoh dan Visualisasi Karakter Wayang Topeng TenggerSetiap adegan-adegan dalam pertunjukan memiliki

tokoh-tokoh sesuai dengan jenis dan kedudukan dalam cerita. Karakter adalah keseluruhan watak yang dimiliki tokoh dalam cerita. Menurut Indah Nuraini dalam bukunya yang berjudul Tata Rias dan Busana Wayang Orang Gaya Surakarta memaparkan bahwa tipe karakter Wayang Orang Gaya Surakarta ada lima (2013: 39). Kelima tipe karakter tersebut dipaparkan oleh peneliti berdasarkan tokoh dan karakter dalam setiap adegan Wayang Topeng Tengger, sebagai berikut :a. Tipe Karakter Puteri1) Puteri oyi atau lembut

Puteri ini merupakan tipe karakter yang mempunyai sifat lemah lembut dan rendah hati. Dalam cerita Titahing Kusuma, yang termasuk dalam tipe ini adalah Dewi Mutrim atau Rara Anteng. Selain Dewi Mutrim, Nyi Dadap Putih juga termasuk dalam tipe karakter ini. Dalam cerita Bathara Guru Krama, yang memiliki karakter ini adalah Dewi Durga atau Bethari Durga.2) Puteri endhel atau lincah

Tipe karakter ini mempunyai sifat kenes atau lincah serta agresif. Karakter ini dalam kedua cerita Wayang Topeng Tengger tidak ada karena tokoh putri hanya beberapa. b. Tipe Karakter Putera Halus

Page 13: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

Tipe karakter putera halus dibagi menjadi dua yaitu putera halus luruh dan putera halus lanyap. Putera halus luruh mempunyai sifat yang lembut, halus, rendah hati dan bijaksana. Tokoh dalam cerita Dewi Mutrim yang termasuk dalam tipe ini adalah Jaka Seger dan Raden Kusuma. Sedangkan dalam cerita Bathara Guru Krama adalah Sang Hyang Sis. Putera halus lanyap merupakan karakter yang mempunyai sifat halus tetapi mbranyak atau dinamis, aktif dan agresif. Karakter ini dimiliki oleh Manikmaya dalam ceita Bathara Guru Krama.c. Tipe Karakter Putera Gagah1) Kalang Kinatang

Memiliki sifat rendah hati, aktif dan agresif. Dalam cerita Bathara Guru Krama yang memiliki karakter demikian adalah Udopati dan Patih.2) Kambeng

Memiliki sifat rendah hati, Tumenggung merupakan salah satu tokoh dalam cerita Bathara Guru Krama yang masuk dalam kategori tipe karakter ini. 3) Bapang Kasatriyan

Khusus untuk raja raksasa yakni Ki Bima, Sang Hyang Punggung, Sang Hyang Pongat, Lesmono Dewo dan Bathara Kala.4) Bapang Jeglong

Khusus untuk prajurit raksasa. Tipe karakter ini tidak ada dalan kedua cerita Wayang Topeng Tengger. d. Tipe Karakter Putera Madyataya atau

KatoanganTipe karakter ini adalah perpaduan antara tipe

karakter putera gagah dengan putera halus. Dalam cerita Wayang Topeng Tengger, tidak ada yang memiliki karakter tokoh demikian.e. Tipe Karakter Gecul

Tipe karakter ini berwajah lucu. Karakter ini dimiliki oleh pengawal Dewi Mutrim yang berperilaku lucu dalam setiap adegan.

4. Gerak Dalam Wayang Topeng TenggerGerak dalam pengertian tari adalah dasar ekspresi

pengalaman emosional yang diekspresikan melalui gerakan tubuh atau gerakan seluruh tubuh (Sumandiyo Hadi, 2007: 25). Gerak yang dapat di temui dalam Wayang Topeng Tengger berasal dari tubuh masing-masing pemain. Gerakan tersebut adalah ekspresi yang dituangkan ke dalam tubuh berdasarkan adegan cerita dan musik iringan Wayang Topeng Tengger.

Bila diperhatikan secara seksama berdasarkan kualitas gerak tari, gerak yang mendominasi adalah gerak tindak, jalan dan labas. Gerak labas dilakukan secara berulang-ulang, kedua kaki diangkat secara bergantian dengan badan yang agak mendat mendut, kedua tangan penari memainkan sampur dan berpindah tempat satu ke tempat yang lain. Namun, ketiga gerak yang dilakukan tersebut cenderung dipresentasikan sesuai dengan gaya

individu masing-masing pemain walaupun pada mulanya masuk dalam gaya Malangan yang telah dijelaskan tersebut di atas. Gaya individu (bebas), yaitu gaya tari (gerak) yang terdapat pada gerak masing-masing tokoh atau pemain terkait dengan peran tersebut dalam suatu cerita. Untuk itulah gaya gerak di atas panggung cenderung pada gaya individu masing-masing pemain. Berdasarkan penataan geraknya, gerak tari Wayang Topeng Tengger dapat dibagi atas 3 (tiga) jenis yaitu (a) Gerakan terpola yakni tindak, labas, kebyok kipat sampur. (b) gerak spontan yakni pada adegan Peperangan, Dagelan, dan Bathara Kala bergerak di luar kendali manusia, seperti gerak berlari, meloncat, dan melangkah, dan (c) gerak maknawi untuk mempertegas komunikasi antar tokoh, misalnya menunjuk, merias diri, sedih, dan sebagainya.

5. Musik Iringan Wayang Topeng TenggerMusik dalam pertunjukan Wayang Topeng Tengger

grup “Sari Rukun” berfungsi sebagai pengiring pertunjukan. Musik iringan menggunakan seperangkat gamelan yaitu seperangkat musik iringan berlaras slendro yang ditabuh atau dipukul. Gamelan Jawa yang digunakan lazim disebut dengan gamelan laras pelog slendro oleh Desa Wonokerso (1/4).

Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan wiyogo menggunakan gamelan. Struktur iringan yang digunakan dalam Wayang Topeng adalah umpak dan lagu (tembang). Umpak adalah bagian yang mengawali gending berlagu sedangkan lagu yang dimaksud adalah gending yang berasal dari syair (cakepan) lagu yang dinyanyikan oleh sinden atau gending yang berasal dari syair lagu yang tidak dinyanyikan. Buka dalam pertunjukan Wayang Topeng diawali dengan grimingan gambang. Akhir grimingan gambang dilanjutkan struktur iringan (musik) gamelan Wayang Topeng yaitu umpak, gending lagu atau tidak berlagu, umpak, gending atau tidak berlagu lagu sampai seterusnya. Gending-gending yang digunakan dalam Wayang Topeng Tengger adalah gending Lambang Siak, Ayak Samirah, Lambang Siak Pipilan, Ayak Wolu, Serangan, Gulo Ganjur, tembang Damarwulan, dan tembang Padang Bulan.

6. Vokal Dalam Wayang Topeng TenggerVokal berarti berbicara atau bersuara. Dialog dalang

menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil. Adapun pembukaan dialog pertunjukan Wayang Topeng oleh dalang adalah sebagai berikut :

“We... la dalah, jagad Dewo Bethoro Hyang Jagad Pramudito Buwono Langgeng, yen panjenengan ingsun neliti gan negoro, sun waspada akeh koyo tentrem ayem

13

Page 14: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

gemah ripah loh jinawi kabeh poro kawula ingsung ora kurang sandang lan papan, ing semono ning sang Prabu Patih Malikokusumo ing mengku kanthi bakal ngumpulake sekabeing poro pando para tamtamaning praja, kanthi disuwun pinungkulu ana ing satengahing alun-alun, sinuwun bakal ngeneake buko negoro. Loh.. opo kang den gagas marang ingsun, yowes ora dadi boyo pangopo bot bobote panjenengan ingsun dadi bentenge negoro pangayomaning sekabeing para kawula wis para pandawa podo tak jak siaga tunjung ing alun-alun yoiku kadang ingsung banyawulan...”Artinya :

Dewa Bathara Hyang Jagad Pramudito Buwono, apabila kamu meneliti negara, kamu perhatikan seperti semua pengikutku tentram damai tidak kurang sandang dan papan. Ketika Sang Prabu Patih Malikokusuma yang menjabat akan mengumpulkan semua prajurit negara, dengan diminta untuk berkumpul ditengah alun-alun akan mengadakan pembukaan negara. Apa yang menjadi pikiranmu, kamu jadi pelindung negara sebagi pengayom semua pengikut. Para pandawa saya ajak bersiap-siap ke alun-alun...”

Vokal juga digunakan dalam menyanyikan sebuah syair lagu. Syair tersebut dinamakan dengan cakepan yaitu susunan kata-kata terpilih yang kemudian disusun menjadi kalimat indah kemudian dipakai dalam tembang lagu. Syair sinden juga menggunakan bahasa Jawa yang dilagukan menurut gending-gending lagu. Dalam cakepan seorang dalang, terkadang ada beberapa kata yang terlontar di sela-sela cakepan, hal itu biasanya dinamakan dengan senggakan. Senggakan sering terjadi tanpa dilagukan. Senggakan dalang bertujuan untuk menumbuhkan suasana pertunjukan menjadi lebih meriah dan menarik.

7. Tata Rias dan Busana Dalam Wayang Topeng TenggerTata rias dalam tokoh Wayang Topeng telah

terwakili topeng-topeng yang dikenakan. Topeng-topeng berkarakter tersebut dibentuk dan dirias sesuai dengan karakter wajah manusia, hanya saja warna, guratan dan riasan sesuai dengan watak. Tata busana juga dibutuhkan untuk menunjang karakter dan estetika pertunjukan. Busana yang dikenakan Wayang Topeng Tengger memiliki kemiripan dengan Wayang Topeng Malang. Dapat dicontohkan pada cerita Bathara Guru Krama, Patih memakai busana atasan lengan panjang hitam, celana seperempat, jamang, rompi, kalung kace, probo, sabuk, stagen, sewek, sampur dua warna, kaos kaki dan gongseng.

8. Tata Pentas Dalam Wayang Topeng TenggerPertunjukan Wayang Topeng Tengger, pementasan

menggunakan panggung (stage?). Panggung adalah arena

pentas yang lebih tinggi daripada tempat penonton. Dekorasi panggung Wayang Topeng Tengger menggunakan tiruan dari ornamen bangunan candi yang digambar (dua dimensi) dan membentuk bingkai panggung. Para tokoh atau pemain masuk panggung melalui pintu masuk (koriagung) yang berbentuk seperti pintu pura dan di atasnya terdapat gambar yang menyerupai topeng Bathara Kala. Koriagung terletak disebelah kiri panggung tepat disebelah kiri dalang Wayang Topeng, sedangkan dipojok sebelah kanan terdapat hiasan yang berbentuk payung.

9. Properti Dalam Wayang Topeng TenggerProperti adalah alat pendukung sebuah pertunjukan

yang dibutuhkan dalam berperan. Dalam cerita Dewi Mutrim atau Titahing Kusuma, tidak menggunakan properti, namun pada cerita Bathara Guru Krama, menggunakan properti keris (pusaka). Perlengkapan yang dibutuhkan pada kedua cerita hanya kursi yang digunakan untuk tempat duduk Bathara Guru dan Dewi Durga pada saat memberikan restu kepada Bathara Kala.

10. Tata Pencahayaan Wayang Topeng TenggerCahaya, sinar atau lampu memiliki fungsi dan

peranan dalam sebuah pertunjukan. Cahaya, sinar atau lampu dalam pertunjukan Wayang Topeng berfungsi hanya untuk menerangi dan menyinari area pementasan yaitu panggung. Pencahayaan dalam pertunjukan Wayang Topeng menggunakan lampu general atau lampu pada umumnya.

11. Tata Suara Wayang Topeng TenggerTata Suara atau sound sistem dalam setiap

pertunjukan sangat penting karena sebagai pengeras suara yang berasal dari suara microphone. Sound sistem juga berfungsi untuk mendukung suasana atau sebagai penggerak suasana. Sound sistem dalam pertunjukan Wayang Topeng Tengger memiliki fungsi yang sama, agar penonton mendengar apa yang telah terjadi di atas panggung.

PENUTUP

SimpulanBerdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisa

yang ada, dapat disimpulkan bahwa Wayang Topeng Tengger yang merupakan jenis pertunjukan Topeng Dalang sangat berperan dan menjadi sarana utama dalam upacara ruwatan di Desa Wonokerso. Peran Wayang Topeng Tengger dapat dilihat dari tokoh Bathara Kala yang mengalami kesurupan saat pertunjukan Wayang Topeng dan upacara ruwatan berlangsung. Hal ini menjadi suatu ciri khusus pertunjukan Wayang Topeng dalam upacara ruwatan. Upacara ruwatan dilaksanakan pada hari baik, di tempat tertentu, pelaku yang terpilih

Page 15: PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG TENGGER DALAM UPACARA RUWATAN  DI DESA WONOKERSO KABUPATEN PROBOLINGGO

dan memiliki tahap-tahap serta ketentuan yang berlaku bertujuan untuk keselamatan orang yang melaksanakan upacara yang bersifat sakral tersebut. Pertunjukan Wayang topeng Tengger yang menceritakan cerita rakyat gunung Bromo dan mitos Bathara Kala pada dasarnya memberikan upaya penyaluran kepercayaan kepada masyarakat agar dapat melestarikan kesenian tradisi dan mempertahankan adat istiadat yang sudah berlaku sejak dulu.

Saran

Saran peneliti dalam penelitian ini adalah kesenian tradisi lokal perlu dilestarikan sebagai warisan budaya lokal dan patut untuk ditumbuh kembangkan serta pembinaan dan fasilitas perlu dicanangkan guna membudayakan kesenian serta adat istiadat kepada generasi muda yang belum mengenalnya. Penulisan ini mungkin belum sempurna, untuk itu peneliti mengharap kritik dan saran dari pembaca, lembaga, instansi terkait dan para seniman demi kesempurnaan laporan ini. Terimakasih untuk pihak-pihak yang telah membantu khususnya masyarakat Desa Wonokerso dan Pak Peni Puspito M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi peneliti. Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan pijakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Kasim. 2006. Mengenal Teater Tradisional Di Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Endaswara, Suwardi. 2005. Budaya Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

Harymawan. 1993. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Murgiyanto, Sal M dan A.M Munardi. 1979/1980. Topeng Malang. Jakarta: Proyek Sasana Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Nuraini, Indah. 2011. Tata Rias dan Busana Wayang Orang Gaya Surakarta. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Pamungkas, Ragil. 2008. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Narasi.

Partokusumo, Karkono K. 1992. Ruwatan Murwakala. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Satoto, Soediro. 2012. Analisis Drama dan Teater. Yogyakarta: Ombak Dua.

Sedyawati, Edi. 1993. “Topeng Dalam Budaya”. Dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sutarto, Ayu. 2008. “Orang Tengger dan Tradisi Bekti Marang Guru Papat”. Dalam Ayu Sutarto dan Setya Yuwana Sudikan (Ed.). Pemetaan Kebudayaan Di Provinsi Jawa Timur. Jember: Pemerintah Provinsi Jawa Timur Dewan Kesenian Jawa Timur KOMPYAWISDA JATIM.

Timoer, Soenarto. 1979/1980. Topeng Dhalang. Jakarta: Proyek Sasana Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Widyaprakosa, Simanhadi. 1994. Masyarakat Tengger Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).

Yanuartuti, Setyo. 2009. “Tari Ghambu Pamungkas Sebagai Bentuk Tari Pertunjukan Di Sumenep Madura”. Dalam Eko Wahyuni Rahayu (Ed.). Koreografi Etnik Jawa Timur. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur.

Yasyin, Suichan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Surabaya: Amanah Surabaya.

15