48
JURNAL SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAATAS TINDAK PIDANA PEMILU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, dan DPRD Disusun oleh : MUHAMMAD RYAN KUSUMA PERMADI NIM : 02113061 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM i

pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

JURNAL SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAATAS TINDAK PIDANA PEMILU

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DPR, DPD, dan DPRD

Disusun oleh :

MUHAMMAD RYAN KUSUMA PERMADI

NIM : 02113061

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA

SURABAYA

2015

i

Page 2: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

HALAMAN PERSETUJUAN

SURABAYA

DISETUJUI DAN DITERIMA DENGAN BAIK OLEH:

DOSEN PEMBIMBING

M. YUSRON MZ, S.H., M.H

KETUA PROGAM STUDI

TAHEGGA PRIMANDA ALFATH, S.H., M.H

ii

Page 3: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANAATAS TINDAK PIDANA PEMILU

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8

TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM

ANGGOTA DPR, DPD, dan DPRD

Oleh:

Muhammad Ryan Kusuma Permadi

Dosen Pembimbing:

M. Yusron MZ, S.H., M.H

Program Studi Ilmu Hukum / Fakultas Hukum

Universitas Narotama

ABSTRAKUpaya penegakan hukum terhadap tindak pidana Pemilu adalah sebagai cara untuk mencapai Pemilu yang jujur dan adil dilaksanakan dengan menggunakan hukum pidana, berupa pidana penjara dan kurungan/denda. Penggunaan sanksi pidana sebagai instrument penegakan hukum merupakan penerapan hukum pidana dalam upaya menanggulangi kejahatan sebagai bagian dari politik hukum. Kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan yang baik). Permasalahan yang dihadapi yaitu bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana pemilu, bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pemilu yang terdapat didalam undang-undang nomor 8 tahun 2012, dan bagaimana bentuk pemidanaannya yang tedapat didalam undang-undang nomor 8 tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. Jadi penelitian ini dipahami sebagai penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian terhadap data sekunder. Hasil penelitian menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana pemilu yang terjadi di Indonesia adalah dalam bentuk pelanggaran pelaksanaan pemilu, serta dalam bentuk kejahatan tindak pidana pemilihan umum dan bentuk pemidanaan terhadap pelanggaran dan kejahatan pada waktu pemilu. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana pemilu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam dua kategori yaitu berupa tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak pidana pemilu yang digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan Pasal 321 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta segala sifat yang menyertainya.

vii

Page 4: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

Kata kunci : Tindak Pidana Pemilu, Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu, Mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu di Indonesia, UU Pemilu.

Page 5: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan : Latar Belakang dan Rumusan

Pemilihan umum selanjutnya disebut (pemilu) merupakan bentuk

kehidupan demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga Negara Republik

Indonesia. Istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa atau

government by the people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti

kekuasaan/berkuasa)”1. Pemiluadalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut pendapat dari R. Soesilo mengenai pemilihan menurut Undang-

Undang umum adalah sebagai berikut, “pemilihan menurut Undang-Undang

umum misalnya pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik pusat

maupun Propinsi, Kabupaten, Kota Besar, Kota Kecil, dsb. Anggota konstituante,

lurah, desa, dan sebagainya”.2

Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sesuai jadwal yang ditetapkan

oleh penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum selanjutnya disebut

(KPU). Pada tahun 2014 lalu masyarakat Indonesia kembali menentukan siapa

sajaDewan Perwakilan Rakyat selanjutnya disebut (DPR), Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut (DPRD Provinsi), Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota yang selanjutnya disebut (DPRD Kabupaten/

Kota) dan Dewan Perwakilan Daerahyang selanjutnya disebut (DPD) yang akan

mewakili mereka dalam sistem pemerintahan. Pemilu untuk anggota DPR , DPD ,

dan DPRD adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,

dan DPRD kabupaten/ kotadalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945.

1 Miriam budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hl.1052 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap

Pasal Demi Pasal, P.T Karya Nusantara, Bandung, 1983, hl.28

1

Page 6: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

2

Indonesia sejak awal telah mempunyai regulasi tentang pemilu. Ini

menunjukkan bahwa betapa pemilu menjadi sangat penting dalam kehidupan

bernegara di Indonesia. Namun, kondisi ideal tersebut tampaknya tidak senantiasa

berjalan mulus tanpa adanya anomali atau fenomena-fenomena yang mencederai

nilai-nilai idealistik dari pemilu tersebut, sejak awal hingga dengan pelaksanaan

pemilu terakhir pun selalu terjadi pelanggaran terhadap norma-norma pemilu.

Kasus yang sering terjadi pada setiap pelaksanaan pemilu adalah kasus

penggelembungan suara dan atau politik uang (money politic) atau bentuk-bentuk

pelanggaran pemilu lainnya. Penggelembungan suara atau politik uang dan

bentuk-bentuk pelanggaran pemilu lainnya adalah suatu tindak pidana.

Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah:

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar

larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana merupakan

perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam

pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu

keadaanatau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman

pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu”3

Tindak pidana pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami

banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana hingga perbedaan

tentang penambahan sanksi pidana. Hal ini disebabkan karena semakin hari tindak

pidana pemilu semakin menjadi perhatian yang seriuskarena ukuran keberhasilan

Negara demokratis dilihat dari kesuksesannya menyelenggarakan pemilu.

Pemerintah kemudian memperketat aturan hukum tentang pemilu dengan semakin

memperberat sanksi pidana untuk pelaku tindak pidana pemilu dengan dibuatnya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang selanjutnya disebut (UU Pemilu) sebagai Undang-Undang terbaru

tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. UU Pemilu juga sebagai aturan

pelaksanaan pemilu yang telah disempurnakan dari Undang-Undang sebelumnya.

3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hl.54

Page 7: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

3

Penjelasan tentang tindak pidana pemilu dinyatakan dalam UU Pemilu

bagian ke-4 (empat) yang mengatur tentang Tindak Pidana Pemilu, dalam pasal

260 UU Pemilu menyatakan, “Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana

pelanggaran dan/ atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Definisi mengenai tindak pidana pemilu menurut Djoko Prakoso adalah

“setiap orang, badan hukum atau organisasi dengan sengaja melanggar hukum,

mengacaukan menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilu yang

diselenggarakan menurut undang-undang”.4

Berdasarkan uraian dan dasar hukum serta kajian pustaka sebagaimana di

atas, maka yang dipermasalahkan adalah:

1. Apa bentuk-bentuk tindak pidana pemilu ditinjau dari UU Pemilu?

2. Apa bentuk pertanggungjawabanpidana terhadap tindak pidana pemilu

ditinjau dari UU Pemilu?

2. Alasan Pemilihan Judul

Skripsi ini berjudul: “Pertanggung jawaban atas tindak pidana pemilu

berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Melihat pentingnya terjaminnya pemilu yang free and fair tersebut, maka penulis

mengambil judul Pertanggungjawaban pidana atas tindak Pemilu Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD, dan DPRD untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dan

bentuk pemidanaannya ditinjau dari UU Pemilu tersebut.

3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisisbentuk-bentuk tindak pidana pemilu

ditinjau dari UU Pemilu.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana

pemilu ditinjau dari UU Pemilu.

4. Manfaat Penelitian

4 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hl. 148

Page 8: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

4

Hasil penelitian dalam tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

bersifat teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah agar dapat memberikan

pemahaman di bidang akademik maupun non akademik terkait dengan

perlindungan pihak-pihak yang turut serta dalam pemilu.

2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pemikiran bagi mahasiswa, pemerintah, penegak hukum

maupun sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

5. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian

Berdasarkan permasalahan hukum yang telah diuraikan di atas tersebut,

maka tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Yuridis

Normatif. Metode yuridis normatif yang dimaksud adalah suatu penelitian

yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

literatur-literatur lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan sebagai

pendukung.

b. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif,

maka penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan undang-

undang (statue approach),dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Yang dimaksud dengan statue approach yaitu,“pendekatan yang dilakukan

dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang

berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Peraturan perundang-undangan

dalam hal ini adalah UU Pemilu dan peraturan lain yang ada hubungan

denganmateri yang dibahas. pendekatan secara conceptual approach yaitu suatu

pendekatan yang diperoleh melalui literatur-literatur dan bahan bacaan lainnya

sebagai teori pendukung dari pembahasan skripsi”.5

c. Bahan Hukum

Sumber atau bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah:

5Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, hl.133-134

Page 9: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

5

- Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa

peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

- Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang sifatnya menjelaskan atau

menunjang bahan hukum primer, dalam hal ini adalah pendapat para

sarjana, buku-buku diktat, literatur-literatur, hasil karya tulis ilmiah, serta

bahan tertulis lain.

d. Langkah Penelitian

langkah pengumpulan bahan hukum dalam skripsi ini adalah melalui studi

kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait

dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang

terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk

lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

Langkah pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang

bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum

yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian

diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga memperoleh

jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjutnya

digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengaitkan pengertian antara

peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana.

Page 10: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

BAB II

BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA PEMILU DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN

UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD

2.1 Tujuan, Jenis, dan Asas Pelaksanaan Pemilu

Pemilihan umum selanjutnya disebut (pemilu) merupakan bentuk kehidupan

demokrasi yang menjadi hak bagi setiap warga Negara Republik Indonesia. Istilah

demokrasi yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa atau government by the

people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti

kekuasaan/berkuasa)”6. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

a. Tujuan Pemilu

Tujuan Pemilu adalah untuk memilih para wakil yang duduk dalam

pemerintahan atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan

Perwakilan Daerah). Pemilu juga bertujuan memilih Presiden/Wakil

Presiden, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).Dengan

penyelenggaraan Pemilu menandakan, bahwa sistem pemerintahan kita

menganut sistem demokrasi.

b.  Jenis-jenis Pemilu

Ketentuan UUD 1945 hasil amendemen III pasal 22E ayat (2), ada

dua jenis Pemilu. Dua jenis yang dimaksud meliputi :

Pemilu Legislatif, yakni untuk memilih para wakil rakyat (DPR, DPD, dan

DPRD provinsi dan kabupaten/kota).Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,

untuk memilih presiden dan wakil presiden7.

c.  Asas Pelaksanaan Pemilu

Dalam asas pelaksanaannya, Pemilu dilakukan dengan langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.

6 Miriam budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hl.1057Arbi Sanit. Sistem politik Indonesia, Rajawali pers, PT Raja Grafindo Fersada, Jakarta, 2000, hl.

23

6

Page 11: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

7

Penyelenggara dan Peserta Pemilu

Dalam melaksanakan pemilu tentu saja ada pihak penyelenggara

danada pula pesertanya.

a. Penyelenggaraan Pemilu

Sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen pasal 22 E,

penyelenggara Pemilu adalah sebuah organisasi mandiri yang bernama

KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Susunan keorganisasian KPU tersebut adalah sebagai berikut:

1. KPU Pusat, beranggota 11 orang.

2. KPU Provinsi, beranggota 5 orang.

3. KPU Kabupaten/Kota, beranggota 5 orang.

Dalam melaksanakan tugasnya, KPU Kabupaten/Kota membentuk:

1. PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan)

2. PPS (Panitia Pemungutan Suara)

3. KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara)8

b. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPU

1. Tugas dan wewenang KPU adalah :

a. merencanakan penyelenggaraan Pemilu;menetapkan organisasi dan tata

cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;

b. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua

tahapan pelaksanaan

c. menetapkan peserta Pemilu;

d. menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD,

DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

e. menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan

pemungutan suara;

f. menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR,

DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;

g. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu melaksanakan

tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.

2. Kewajiban KPU:

8 jimly asshiddiqie, menegakkan etika penyelenggaraan pemilu, Rajawali Pers, jakarta, 2013, hl 77.

Page 12: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

8

a. memperlakukan Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan Pemilu;

b. menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan

dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-

undangan;

c. memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris

KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;

d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;

e. melaporkan penyelenggaraan, Pemilu kepada Presiden selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR

dan DPR.

f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari

APBN dan

g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.

2.3. Syarat-Syarat Peserta Pemilu Menurut UU No. 8 Tahun 2012 Tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DAN DPRD:

1. Peserta Pemilu

Peserta pemilu ada dua macam, yakni partai politik dan perseorangan.

Peserta partai politik dalam Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR

dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu peserta

perseorangan dalam Pemilu adalah untuk memilih DPD (Dewan

Perwakilan Daerah)9.

Belum ada (persyaratan lain yang mengatur di luar UU 8 tahun

2012). Kalau ada pengaturan lain di luar Undang-undang, tanggung

jawab penerapannya ada pada parpol tersebut10.

2.4. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang, serta Pemilu Lanjutan,

dan Susulan

a. Penghitungan dan Pemungutan Suara Ulang

Penghitungan suara dari suatu TPS dapat diulang jika menurut

penelitian dan pemeriksaan, terjadi penyimpangan dalam penghitungan

9 Tim Divaro, Yugha E dkk ,Profil Partai Politik Peserta Pemilu., Erlangga , 2014 ,Jakarta hl. 8610http://news.detik.com/berita/2154868/ini-dia-syarat-menjadi-caleg-menurut-undang-

undangdiakses pada tanggal 13 juni 2015

Page 13: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

9

suara. Sebagai contoh penghitungan dilakukan di tempat tertutup, tidak

ada pengawas, saksi, atau warga masyarakat.

b. Pemungutan suara di TPS dapat diulang jika di suatu tempat terjadi

kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat

dipakai, atau pemungutan tidak dapat dilakukan.

c. Pemilu Lanjutan dan Susulan

Jika dalam suatu daerah terjadi peristiwa yang mengakibatkan

sebagian tahapan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka Pemilu

susulan dilakukan. Pemilu lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan

Pemilu yang terhenti. Sementara itu Pemilu susulan dilakukan

manakala di suatu daerah (pemilihan) terjadi peristiwa yang

menyebabkan semua tahapan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

2.5. Pengawasan dan Pemantauan Pemilu

Agar benar-benar jujur dan adil, maka dalam penyelenggaraan Pemilu juga

diikuti kegiatan pengawasan dan pemantauan.Masing-masing kegiatan tersebut

dilaksanakan oleh Panitia Pengawasan Pemilu dan Badan Pemantau Pemilu.

a. Pengawasan pelaksanaan pemilu

Panitia Pengawas PemiluPanitia pengawas ini dibentuk oleh KPU.

Tugasnya menerima dan meneruskan berbagaiaduan tentang

pelanggaran pelaksanaan Pemilu. Jumlah panitia pengawas Pemilu

adalah :

Panitia pengawas pusat : 9 orang

Panitia pengawas provinsi : 7 orang

Panitia pengawas kabupaten/kota : 7 orang

Panita pengawas Pemilu kecamatan : 5 orang11

b. Pemantau Pelaksanaan Pemilu

Dalam pelaksanaan Pemilu ada kegiatan pemantauan yang dilaksanakan

oleh “Pemantau Pelaksanaan Pemilu”.Keanggotaan Pemantau ini berasal dari

masyarakat, atau bahkan dari perwakilan pemerintahan dari luar negeri.

2.6. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Yang Terdapat Di Dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

11Kumpulan Peraturan Pengawasan Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu, Jakarta, 2003, hl.100

Page 14: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

10

1. Pelanggaran tindak pidana pemilu

Melihat pemberitaan dan iklan masyarakat di Media tentang tindak

pidana Pemilu, muncul pertanyaan di dalam benak masyarakat yang

dimaksud dengan tindak pidana Pemilu. Terdapat beberapa pendapat dan

tafsiran mengenai tindak pidana Pemilu oleh para pakar pidana di

Indonesia, hal ini terjadi karena di dalam Undang-undang (baik KUHP

maupun UU Pemilu) tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan

tindak pidana Pemilu12.

Adapun bentuk-bentuk tindak pidana pemilu dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun2012 dibagi dalam dua kategori yaitu berupa

tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai

Pasal 273 sampai dengan Pasal 291. Sedangkan tindak pidana pemilu yang

digolongkan kejahatan dari mulai Pasal 292 sampai dengan Pasal 321

beserta segala sifat yang menyertainya.

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran menurut moeljatno,

yaitu :

1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja

2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan

(kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan di situ, harus

dibuktikan oleh jaksa, sesangkan jika menghadapi

pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung dengan itu

kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan

culpa.

3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana

(pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak

dipidana (pasal 60 KUHP).

4. Tenggang daluarsa, baik untuk hak menentukan maupun

hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih

pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah

satu tahun dan dua tahun.

12Ariwibowo, Op.Cit., hl.45

Page 15: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

11

5. Dalam hal perbarengan (concursus) pada pemidanaan

berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana

yang ringan lebih mudah daripada pidana berat13

Bentuk-bentuk tindak pidana pemilu berupa pelanggaran

berdasarkan Undang-UndangNomor 8 Tahun 2012 adalah:

1. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri

sendiri atau diri orang lain suatu hal yang diperlukan untuk pengisian

daftar Pemilih sebagaimana tentang diatur dalam Pasal 273.

2. Anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak memperbaiki daftar

pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan Peserta

Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 274.

3. Mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye

Pemilu, sesuai dengan Pasal 275.

4. Pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian

Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat desa yang

melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) yaitu

menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta

Pemilu yang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 278.

5. Pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan petugas kampanye yang

dengan sengaja maupun karena kelalaian mengakibatkan terganggunya

pelaksanaan Kampanye Pemilu di tingkat desa atau nama lain/kelurahan,

sebagaimana diatur dalam Pasal 279.

6. Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar

dalam laporan dana Kampanye Pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal

280.

2. Kejahatan tindak pidana pemilu

“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain

kehilangan hak pilihnya”, sebagaimana diatur dalam Pasal 292.

“Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan,

atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran

13Moeljatno, op.cit, hl 72

Page 16: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

12

Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu

menurut Undang-Undang”, sebagaimana diatur dalam Pasal 293.

“Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK,

PPS, dan PPLN yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu

Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu

Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dalam melakukan pemutakhiran

data Pemilih, penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara,

perbaikan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan,

penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan,

daftar pemilih khusus, dan rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan

Warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih”, sebagaimana diatur dalam

Pasal 294.

“Setiap anggota KPU Kabupaten/Kota yang sengaja tidak memberikan

salinan daftar pemilih tetap kepada Partai Politik Peserta Pemilu, sebagaimana

diatur dalam Pasal 295.

“Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang

tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu

Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta

Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dan/atau pelaksanaan

verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, sebagaimana diatur dalam Pasal 296.

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk

menyesatkan seseorang, dengan memaksa, dengan menjanjikan atau dengan

memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi

pencalonan anggota DPD dalam Pemilu”, sebagaimana diatur dalam Pasal

297.

“Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu

dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap

orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi

bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota atau

calon Peserta Pemilu”, sebagaimana diatur dalam Pasal 298.

Page 17: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

13

“Setiap pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye Pemilu yang

dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu”,

sebagaimana diatur dalam Pasal 299.

Tindak pidana pemilu, merupakan tindakan yang dalam Undang-

undangPemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana

pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang

lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara.Perselisihan hasil pemilihan

umum, adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan

jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil

suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan

hasil  suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.

Pelanggaran atau kejahatanpada pemilu hanya pada wilayah tindak pidana

pemilu.Pelanggaran atau kejahatan tindak pidana pemilu dalam Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2012 yang terbagi atas pelanggaran dan kejahatan.Mulai dari

Pasal 273 s/d Pasal 321.

Page 18: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

BAB III

Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pemilu

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomer 8 Tahun 2012.

3.1. Pengaturan Pemidanaan

Sebagaimana diketahui bahwa pengertian dari tindak pidana secara

sederhana dapat didefinisikan adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan

perundang-undangan diancam dengan pidana.Dengan demikian semua kelakuan

manusia yang diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang

itulah yang disebut dengan tindak pidana.14Jika itu diatur dalam KUHP maka hal

itu biasanya disebutkan dengan tindak pidana umum, dan jika diatur dalam

Undang-undang di luar KUHP biasanya disebut dengan tindak pidana

khusus.Meskipun dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat, khususnya

tentang tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP yang

sifatnyahanya mengatur tentang hukum administrasi, yang didalamnya memuat

ketentuan pidana, misalnya Undang-Undang tentang Pemilu ini15.

Pengaturan terkait tindak pidana Pemilu sebenarnya sudah terdapat di

dalam pasal 148 sampai 152 KUHP tentang kejahatan terhadap melakukan

kewajiban dan hak kenegaraan yang dimana memiliki klasifikasi perbuatan

sebagai berikut :

1. Merintangi orang menjalankan haknya dalam memilih (Pasal 148 KUHP).

a. Penyuapan

b. Perbuatan Tipu Muslihat

c. Mengaku Sebagai Orang Lain

d. Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau Melakukan

Tipu Muslihat

3.2 Ketentuan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pemilu

Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan

terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2012.Pelanggaran tindak pidana merupakan tindakan

yang dalam Undang-undang Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai 14Definisi tindak pidana ini dikemukakan oleh H.B.Vos yang merupakan salah satu dari sekian

banyak defi nisi yang dikemukakan oleh para Sarjana. Lihat Sudarto. Hukum Pidana I. (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990) hl. 42. Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hl. 66.

15Andi Hamzah. Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka Cipta. 1991. hl. 1-5.

14

Page 19: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

15

contoh tindak pidana pemilu adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain,

menghalangi orang lain memberikan hak suara dan mengubah hasil suara. Dengan

definisi pelanggaran tindak pidana yang telah dipaparkan tersebut diatas, maka

daridefinisi tersebut terbagi menjadi dua mengenai pelanggaran tindak pidana

pemilu di antaranya yaitu16:

a. Tindak pidana pemilu khusus adalah tindak pidana yang berkaitan dengan

pemilu dan dilaksanakan dan diselesaikan pada tahapan penyelenggaraan

pemilu baik yang diatur dalam undang-undang pemilu maupun undang-

undang tindak pidana pemilu. Dengan demikian maka semua jenis

pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana,

termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi, dimana pelanggaran

administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU

Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya.

b. Tindak pidana pemilu umum adalah semua tindak pidana yang berkaitan

dengan pemilu dan dilaksanakan pada tahap penyelenggaraan pemilu baik

yang diatur dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang tindak

pidana pemilu dan menyelesaikannya diluar tahapan pemilu. Maka proses

penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak

hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Penyelesaian

pelanggaran pidana pemilu dilaksanakan melalui pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum. Penegak hukum yang berperan dalam

penyelesaian tindak pidana pemilu adalah kepolisisan, kejaksaan, dan

pengadilan. Dalam pemilu, kepolisisan bertugas dan berwenang

melakukan penyidikan terhadap laporan atau temuan tindak pidana pemilu

yang diterima dari pengawas pemilu dan menyampaikan berkas perkara

kepada penuntut umum sesuai waktu yang ditentukan. Penuntut umum

bertugas dan berwenang melimpahkan berkas perkara tindak pidana

pemilu yang disampaikan oleh penyidik atau polri ke pengadilan sesuai

waktu yang ditentukan. Perkara tindak pidana pemilu diselesaikan oleh

peradilan umum, di tingkat pertama oleh pengadilan negeri, di tingkat

banding dan terakhir oleh pengadilan tinggi. Pengadilan negeri dan

16Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam Perpektif Hukum di indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2013, hl. 212.

Page 20: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

16

pengadilan tinggi memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak

pidana pemilu menggunakan kitab Undang-Undang Acara Pidana

(KUHAP), ditambah beberapa ketentuan khusus dalam undang-undang

pemilu. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim khusus, yaitu hakim karir yang

ditetapkan secara khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara pidana pemilu. Putusan pengadilan tinggi tidak dapat dilakukan

upaya hukum lain17.

3.3Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak PidanaPemilu

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

Pengertian perbuatan pidana telah menjelaskan bahwa dalam istilah

tersebut tidak termasuk hal pertanggungjawaban.Perbuatan pidana hanya

menggolongkan perbuatan yang dilarang beserta sanksi pidananya apabila

perbuatan tersebut dilakukan.Sedangkan mengenai apakah seseorang yang

melakukan perbuatan dapat dipidana atau tidak, hal tersebut bergantung dari soal

apakah dalam melakukan perbuatan ini, pembuat mempunyai kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana mempunyai asas, “tidak dipidana jika tidak ada

kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum, nisi mens sit rea). Asas

ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tetapi dalam hukum yang tak tertulis yang

juga di Indonesia berlaku”.18 Mengenai seseorang yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban Roeslan Saleh menjelaskan:

“Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.Manakala dia tidak mempunyai

kesalahan, walaupun dia melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia

tentu tidak dipidana.Nyatalah, bahwa hal dipidana atau tidaknya seseorang

bukan bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak,

melainkan pada apakah seseorang tersebut tercela atau tidak karena telah

melakukan perbuatan pidana itu.Dapat juga dikatakan, dasar dari pada adanya

perbuatan pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa

sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barangsiapa

17 Ibid 23018Moeljatno, Op.Cit, hl.153

Page 21: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

17

yang melakukannya sedangkan dasar dari pada dipidananya seseorang adalah

asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.19

Melihat penjelasan pertanggungjawaban diatas maka untuk dapat

dipidananya seseorang harus terdapat kesalahan atau seseorang tersebut tercela

karena telah melakukan perbuatan pidana, hal-hal apa saja yang dapat menentukan

adanya kesalahan adalah sebagai berikut:

“Hal pertama yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan

perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut

masalah kemampuan bertanggungjawab.Hal kedua yaitu mengenai hubungan

antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah

kesengajaan kealpaan, serta alasan pemaaf sehingga mampu

bertanggungjawab.Selanjutnya, tidaklah ada gunanya untuk

mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatannya apabila perbuatannya

itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, dapat pula dikatakan harus ada

kepastian tentang adanya perbuatan pidana kemudian semua unsur-unsur

kesalahan tadi harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang dilakukan”.20

Setelah diuraikan mengenai pertanggungjawaban pidana dapat dipahami

bahwa seseorang untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya

harus terdapat kesalahan, ada beberapa syarat untuk dapat mengatakan seseorang

memiliki kesalahan. Kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus

memenuhi unsur-unsur:

1. Adanya perbuatan melawan hukum (perbuatan pidana);

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya perbuatan pidana menurut

Moeljatno sebagai berikut:

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang

melanggar larangan tersebut.Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana

merupakan perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan

(yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),

19Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hl. 75-76

20Ibid., hl.78-79

Page 22: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

18

sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya

kejadian itu”.21

2. Mampu bertanggungjawab;

Ada beberapa faktor mengenai pengertian bertanggungjawab berdasarkan

Pasal 44 dan Pasal 45 KUHP, menurut S.R Sianturi faktor-faktor seseorang

mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) adalah:

a. “Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

(temporair);

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan

sebagainya);

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap.

Pengaruh bawah-sadar/ reflexe beweging, nelindur/ sleep wandel,

mengigau karena demam/ koorts, nyidam dan lain sebagainya.

Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan

dilaksanakan atau tidak.

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan

kemampuan jiwa (geestelijke) dan bukan kepada keadaan dan

kemampuan berfikir (verstandelijke vermogens) dari seseorang”.22

3. Mempunyai salah satu bentuk kesalahan yaitu kesengajaan atau kealpaan;

Kesengajaan dan kealpaan merupakan bentuk-bentuk kesalahan, apabila

tidak ada satu diantara keduanya berarti tidak ada kesalahan, sesuai dengan asas

yang tidak tertulis yang menyatakan tidak ada kesalahan maka tidak dapat

dipidana. Tentang arti kesengajaan, tidak ada keterangan secara eksplisit dalam

KUHP, namun dalam Memorie van Toelicting yang selanjutnya disebut (MvT)

terdapat definisi opzet sebagai berikut, “pidana umumnya hendaknya dijatuhkan

21Moeljanto, Loc.Cit., hl. 5422E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op.Cit., hl. 249-250

Page 23: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

19

hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki

dan diketahui.”23

Mengenai kesengajaan yang dikehendaki dan diketahui menurut A. Fuad

Usfa terdapat 2 (dua) paham di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yaitu:

1. “Teori kehendak (wils-theories)

Paham ini menafsirkan kesengajaan sebagai bentuk kehendak.Menurut

paham ini, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan untuk

menimbulkan suatu akibat, yang dikehendaki orang tersebut bukan dengan

perbuatannya saja, tetapi juga dari perbuatan itu. Jalan pikiran ini

memberikan seseorang, bahwa apabila orang itu tidak menghendaki

timbulnya akibat perbuatannya, dengan demikian orang tersebut tidak

akan melakukan perbuatan itu.

2. Teori menghubungkan (voorstellings theories)

Sementara dalam teori ini, “akibat” tidak dapat dikehendaki, akibatnya

hanya dapat “diharapkan/ dibayangkan”.Para pengikut voorstellings

theories berpendapat, bahwa suatu dugaan terhadap kemungkinan

timbulnya suatu akibat karena perbuatan seseorang itu, tidak dengan

begitu saja boleh dianggap sebagai opzet, melainkan harus dilihat terlebih

dahulu apakah kesadaran akan kemungkinan timbulnya suatu akibat itu

telah tidak menyebabkan si pelaku membatalkan perbuatannya”.24

Kesengajaan mengenal beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Opzet sebagai Tujuan

Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan

dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang menjadi tujuan si

pelaku.Atau dalam hal delik materiil, bila seorang melakukan perbuatan

itu dengan sengaja untuk menimbulkan akibat, sedang akibat itu memang

tujuan dari si pelaku.

2. Opzet dengan tujuan yang pasti atau yang merupakan keharusan.

Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang mempunyai tujuan untuk

menimbulkan suatu akibat tertentu.Tetapi disamping akibat yang dituju

23Moeljatno, Op.cit., hl. 17124A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2006, hl. 82

Page 24: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

20

tersebut si pelaku insyaf menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan

untuk mencapai/ menimbulkan akibat lain (yang tidak dikehendaki).

3. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan atau dolus eventualis.

Opzet ini disbut juga opzet dengan syarat (scorwaardelijk opzet). Jenis

opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan

maksud untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi orang tersebut

sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan untuk mencapai akibat

tertentu itu, perbuatan tersebut “mungkin” menimbulkan akibat lain yang

juga dilarang dan diancam pidana atau undang-undang. Terhadap akibat

lain, mana, bukan merupakan tujuan yang dikehendaki tetapi harus

disadari kemungkinan terjadinya.

Perbedaan antara opzet dengan tujuan pasti dengan opzet dengan

kesadaran akan kemungkinan tidaklah nampak secara jelas. Batas kedua

opzet tersebut sangat tipis dan tidak pasti (kabur).”25

Selain adanya kesengajaan untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban

kepada seseorang atas perbuatannya, tetapi disamping kesengajaan orang juga

dapat dipidana karena kesalahannya yang berbentuk kealpaan. Mengenai kealpaan

ini keterangan resmi dari pihak W.v.S (Smidt 1-825) adalah sebagai berikut:

“Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak

terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahayanya

terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi

menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap

mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek yang

menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang

menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan-

larangan tersebut: dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang

terlarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat

sehingga menimbulkan hal yang dilarang ialah bahwa ia kurang

mengindahkan larangan itu”.26

25Ibid., hl. 83-8426Moeljatno, Op.Cit., hl. 198

Page 25: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

21

Kealpaan itu mengandung 2 (dua) syarat menurut Van Hamel, “yang

pertama adalah tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh

hukum, lalu yang kedua ialah tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana

diharuskan oleh hukum”.27

Andi Hamzah menjelaskan bahwa delik culpa dibedakan menjadi 2 (dua),

yaitu:

“delik kelalaian dalam rumusan Undang-Undang ada 2 (dua) macam yaitu

delik kelalaian culpa yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdjriven)

dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi diancam dengan pidana ialah

perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri. Perbedaan antara keduanya sangat

mudah dipahami, yaitu kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat, dengan

terjadinya akibat maka terciptalah delik kelalaian (culpa), sedangkan bagi

yang tidak perlu menimbulkan akibat, dengan kelalaian atau kekurang hati-

hatian itu sendiri sudah diancam dengan pidana”.28

4. Tidak adanya alasan pemaaf

Penggunaan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf sebenarnya

tidak ada didalam KUHP, dalam KUHP hanya menyatakan alasan-alasan yang

menghapuskan pidana.Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan

kesalahan seseorang karena telah melakukan perbuatan melawan hukum, namun

orang tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan, walaupun

perbuatan itu merupakan perbuatan pidana. Roeslan Saleh memberikan penjelasan

mengenai alasan pemaaf sebagai berikut, “dalam hal tidak mampu

bertanggungjawab keadaan bathinnya tidak normal adalah karena organ bathinnya

memang tidak normal, sedangkan dalam hal alasan pemaaf funtie bathinnya yang

tidak normal, dan ini disebabkan karena keadaan dari luar”.29

Sehubungan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang

melakukan perbuatan pidana namun tidak dapat dipidana, A.Fuad Usfa

menjelaskan sebagai berikut:

“Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah

melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipidana dapat terletak pada

27Ibid., hl. 21728Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hl.12929Roeslan Saleh, Op.Cit., hl. 81

Page 26: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

22

orangnya sendiri yang diatur dalam pasal 44 KUHP (karena tidak mampu

bertanggungjawab yang disebabkan karena jiwanya terganggu oleh suatu

penyakit atau karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna/ cacat dalam

tubuhnya).Selain dari dalam dapat juga disebabkan karena sebab dari luar

(diri) orang yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam:

a. Pasal 48 tentang daya paksa (overmacht);

b. Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa (noodweer);

c. Pasal 50 tentang menjalankan undang-undang;

d. Pasal 51 tentang menjalankan perintah jabatan”.30

Apabila seluruh unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana tersebut terpenuhi

oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka orang tersebut dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahannya.Adapun bentuk-bentuk

pemidanaan yang dapat diberikan kepada seseorang yang telah melakukan

perbuatan pidana, hal tersebut tergantung bagaimana rumusan yang ada didalam

peraturan perundang-undangan. Bentuk-bentuk pidana menurut Pasal 10 KUHP

adalah sebagai berikut:

a. Pidana pokok:

1. Pidana mati,

2. Pidana penjara,

3. Pidana Kurungan,

4. Pidana Denda,

5. Tutupan,

b. Pidana Tambahan:

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu,

3. Pengumuman putusan hakim.

Bentuk pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilu yang berbentuk

pelanggaran, antara lain yaitu:

30A. Fuad Usfa, Op.Cit., hl. 92

Page 27: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

23

Pasal 273 UU Pemilu, subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana

menurut pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan

pasal ini adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling

banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Pasal 274 UU Pemilu, subyek hukuman yang dapat dikenakan sanksi pidana

menurut pasal ini adalah setiap anggota PPS atau PPLN. Bentuk pemidanaan

berdasarkan pasal ini adalah pidana kurungan paling lama 6(enam) bulan dan

denda paling banyak 6.000.000,00 (enam juta rupiah).

Pasal 275 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut

pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini

adalah pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp

12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Bentuk pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilu yang berbentuk

kejahatan, antara lain yaitu:

Pasal 292 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut

pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini

adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)

Pasal 293 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut

pasal ini adalah setiap orang. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini

adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)

Pasal 294 UU Pemilu subyek hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana menurut

pasal ini adalah setiap anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK,

PPS, dan PPLN. Bentuk pemidanaan berdasarkan ketentuan pasal ini adalah

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)

Sehubungan dengan hal tersebut, pertanggungjawaban pidana adalah

diteruskannya celaan objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif

kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena

perbuatannya tersebut31. Dengan demikian dasar adanya tindak pidana adalah asas

31Wirjono Prodjodikoro. Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Refika Aditama, Bandung, 2003 hl 13.

Page 28: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

24

legalitas , sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini

berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Page 29: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan dan analisa yang telah dikemukakan diatas, maka penulis

menyimpulkan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana pemilu ditemui di dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibagi dalam dua kategori yaitu berupa

tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai pelanggaran dari mulai

pasal 273 sampai dengn pasal 291 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Sedangkan tindak pidana pemilu yang digolongkan sebagai kejahatan dari

mulai pasal 292 sampai dengan pasal 321 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012.

2. Penerapan pertanggungjawaban terhadap Undang – Undang Nomor 8

Tahun 2012 harus terwujud dengan ketentuan Undang – Undang yang

unsur – unsur didalamnya telah ada pembuktiannya untuk memenuhi

unsur tindak pidana pemilu. Pilihan terhadap sistem pemilu harus

memperhatikan implikasi dan berusaha mengantisipasi akibat – akibat dari

kompleksitas faktor secara komprehensif. Tidak ada sistem pemilu yang

sempurna dan berjalan lancar tanpa kendala, kunci utama dalam sistem

pemilu adalah mengoptimalkan pencapaian tujuan pemilu dan

mempersempit akibat negatif pemilu. Hemat penulis, implementasi dari

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD masih belum mencapai hasil yang

maksimal. Proses penanganan tindak pidana merupakan yang terdiri dari 3

(tiga) lembaga hukum yakni panwaslu , kepolisian dan kejaksaan . Ketiga

lembaga tersebut menangani temuan dan laporan yang telah panwaslu

terima sebelumnya dari masyarakat. Misalnya, ada beberapa kasus yang

diteruskan oleh pengawas Pemilu, tapi ditolak Kepolisian karena dinilai

tidak cukup bukti. Potensi pelanggaran pidana Pemilu cukup tinggi dalam

setiap tahapan Pemilu 2014. Dengan demikian, diperlukan satu langkah

25

Page 30: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

26

preventif dan terpadu antara Bawaslu, Polri dan Kejaksaan untuk

mengatasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi pada proses

penanganan tindak pidana memberikan solusi agar suatu pelanggaran dan

kejahatan tindak pidana pemilu mendapatkan penanganan yang lebih

menjamin suatu kepastian hukum.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan sesuai hasil penelitian yang penulis

peroleh sebagai berikut :

1. Perlunya pengkajian lebih spesifik lagi tentang prosedur pengananan

tindak pidana pemilu sesuai dengan dasar penyelenggarannya yang

termuat dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012. Penulis

mengharapkan penerapan hukum untuk kasus tindak pidana pemilu harus

lebih mengutamakan pemberian efek jera agar pelaku tidak akan

mengulangi perbuatannya lagi karena dapat kita lihat pada prakteknya,

pidana penjara masih sangat sulit diterapkan yang ada hanyalah hukuman

percobaan yang menurut penulis itu masih belum bisa dikatakan

memberikan efek jera bagi pelaku.

2. Akan lebih baik lagi apabila Standar Operasional Prosedur pola

penanganan tindak pidana Pemilu ini dapat menyelesaikan tindak pidana

Pemilu secara objektif, cepat, sederhana, dan memenuhi rasa keadilan.

Penulis berharap akan lebih baik lagi dengan adanya perbaikan dari

Standar Operasional Prosedur tentang Tindak lanjut dari hasil rapat

bersama yang digelar oleh Sentra Penegakan Hukum terpadu.

Page 31: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Ardianto, Elvinaro dkk, Komunikasi Massa, Suatu pengantar, Simbiosa

Rakatama Media, Bandung, 2007

Ariwibowo, Negara, Pemilihan Umum dan Demokrasi, Lembaga Studi

dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2005

Asshiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggaraan Pemilu, Rajawali

Pers, Jakarta, 2013

Azed,Abdul Bari,Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan

Pemikiran, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000

Cahyono,Heru et al,Menabur Uang, Menuai suara. ACILS.Jakarta. 2000

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo,

Jakarta, 2013

Hamzah, Andi,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

-----------------Perkembangan Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Rineka

Cipta. 1991

Hidayat, Komarudin,Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, PT.Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Huda, Ni’MatuHukum Tata Negara. PT.Raja Grafido Persada, Jakarta,

2010

Janedjri, M.Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Konpress, Jakarta, 2012

Kartawidjaja, Pipit rochijat, alokasi kursi, kadar keterwakilan penduduk

dan pemilih, Jakarta,ELSAM, 2003

Kumpulan Peraturan Pengawasan Pemilu 2004, Panitia Pengawas Pemilu,

Jakarta, 2003

Lutfi, Mustafa,Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia,UII Press,

Yogyakarta, 2010

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, 2013

27

Page 32: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

28

Mashudi, Pengertian-pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum

Pemilihan Umum di Indonesia Menurut UUD 1945, Mandar Maju,

Bandung, 1993

Miriam, Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2008

Muhtadi, Buhanuddin,Perang Bintang 2014, Noura Book, Jakarta, 2013

Mulyadi, Dedi,Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam

Perpektif Hukum di indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2013

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993

Panwas Pemilu, Buku Saku Pedoman Operasional Pengawas Pemilu

2004, Jakarta, 2004

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Pemilu, CV. Rajawali, Jakarta, 1987

Sanit, ArbiSistem politik Indonesia, Rajawali pers, PT Raja Grafindo

Fersada, Jakarta, 2000

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua

Pengertian Dasar-Dasar Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Santoso, Topo, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Supriyanti, Didik dan Lia Wulandari, Basa-Basi Dana Kampanye:

Pengabaian Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu,

Yayasan Perludem, Jakarta

Tim Divaro, Yugha E dkk ,Profil Partai Politik Peserta Pemilu.,

Erlangga ,Jakarta, 2014

Usfa, A.Fuad, Pengantar Hukum Pidana Edisi Revisi, UMM Press,

Malang, 2006

Wahidin, Samsul,Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2008

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

INTERNET

Page 33: pertanggungjawaban pidanaatas tindak pidana pemilu berdasarkan

29

http://news.detik.com/berita/2154868/ini-dia-syarat-menjadi-caleg-menurut-

undang-undang

www.Rumahpemilu.com diakses pada tanggal 13 juni 2015

www.Mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 14 juni 2015