Upload
phamdung
View
229
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK
PANGAN YANG TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
SKRIPSI
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Prasyarat Dalam
Memperoleh Jenjang Strata Satu (S1)
Oleh:
Ikhsan Maulana
11140460000091
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK
Ikhsan Maulana, NIM 11140460000091, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim
Terhadap Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439 H/2018 M, x + 75 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
konsumen, khususnya konsumen yang beragama Islam terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal.
Metode penelitian penulis adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menggunakan
studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan
yang diatur dalam Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan
yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan hukum konsumen, yakni Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan
karena isu hukum pada level teori hukum (konsep). Dalam hal ini, konsep yang digunakan
adalah tentang konsep dasar perlindungan konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan
pelaku usaha, tanggung jawab dan sanksi yang di berikan kepada para pelaku usaha yang
melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain.
Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dapat
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur
sertifikasi halal setidaknya sedikit menguatkan dalam memberikan kepastian hukum jaminan
hukum bagi konsumen muslim terhadap produk pangan terlebih dengan kehadiran UUJPH.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Sertifikasi Halal.
Pembimbing : Drs. Hamid Farihi., M.A
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alam, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Muslim Terhadap
Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal Menurut Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”. Shalawat serta salam
semoga tetap dan akan terus tercurahkan untuk Nabi Muhammad SAW, manusia
pilihan yang pribadinya selalu menjadi tauladan bagi kita semua, kepada
keluarganya, kepada sahabatnya sampai kepada para pengikutnya.
Berakhir sudah masa yang indah ini. Peneliti sangat bersyukur atas
selesainya penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat menyelesaikan program Sarjana (S1) pada Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat
do’a, dukungan, bimbingan, semangat, dan bantuan dari berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu penulis mengucapkan
terima kasih setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M. Hasan Ali, MA selaku ketua Program Studi Muamalat,
Bapak Dr. H. Abdurrauf, Lc, MA selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Ekonomi Syariah.
3. Bapak Drs. Hamid Farihi., MA selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan
dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
vii
4. Seluruh dosen dan karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan
sehingga membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
pelayanan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Bpk.
Saipudin dan Ibu Rohayah, yang telah mencurahkan segenap kasih
sayangnya, serta tak putus-putusnya memberikan dukungan baik moril
maupun materil dan doa kepada penulis dalam menempuh pendidikan.
Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan, memberikan kehidupan
yang penuh keberkahan dan membalas segala kebaikannya, Aamiin.
7. Kepada teman-teman KKN BERIKATAN 22 yang telah
menyemangati dan memberikan banyak motivasi serta do’a terbaiknya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman Lisensi (Lingkar Studi Ekonomi Syariah) yang
telah memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Teruntuk sahabat-sahabat penulis di awal menjalani status sebagai
mahasiswa Imam Fahrizal dan Asep Baharuddin teruntuk para pengisi
serta teman-teman sepermainan lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, atas segala dukungan, masukan, saran, dan motivasi kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman – teman Jurusan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014 yang
telah mengisi hari-hari di kampus tercinta dengan begitu
menyenangkan.
11. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
banyak membantu dan memberi masukan dan inspirasi bagi penulis,
suatu kebahagiaan telah dipertemukan dan diperkenalkan dengan
kalian semua, terima kasih banyak.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah
viii
diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semoga karya
ini bermanfaat bagi para akademisi, praktisi dan bagi masyarakat pada
umumnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Jakarta, 10 September 2018
Penulis
Ikhsan Maulana
NIM. 11140460000091
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ---------------------------------------------------------------------- i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING --------------------------------------- ii
LEMBAR PENGESAHAN -------------------------------------------------------------- iii
LEMBAR PERNYATAAN -------------------------------------------------------------- iv
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------- v
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------- ix
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1
B. Identifikasi Masalah ------------------------------------------------- 6
C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7
D. Manfaat Penelitian --------------------------------------------------- 8
E. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ------------------------------ 10
F. Kerangka Teori dan Konseptual ---------------------------------- 12
G. Metodelogi Penelitian ---------------------------------------------- 14
H. Sistematika Penulisan ---------------------------------------------- 15
BAB I TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen --------------------- 18
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen --------------------- 20
C. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen ----------------------------------------------------------- 21
D. Hak dan Kewajiban Konsumen ----------------------------------- 23
E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ------------------ 24
BAB III TINJAUAN UMUM PANGAN DAN SERTIFIKASI HALAL
A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan ----------- 26
B. Sertifikasi Halal ----------------------------------------------------- 29
C. Prosedur Sertifikasi Halal ----------------------------------------- 36
D. Kriteria Sistem Jaminan Halal ------------------------------------ 39
ix
x
E. Peraturan Perundang-undangan Pangan ------------------------- 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk
Legitimasi Kehalalan Produk Pangan di Indonesia ------------ 45
B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap
Produk Yang Tidak Bersertifikat Halal -------------------------- 58
C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap
Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ---------------- 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------- 70
B. Saran ------------------------------------------------------------------ 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73
xi
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Tabel 1.1 ........................................................................................ 12
Tabel 3. 1 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012-2017 ........ .29
Tabel 3.3 Proses Sertifikasi Halal Dalam Bentuk Diagram .......... 38
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ---------------------------------------------------------------------- i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING --------------------------------------- ii
LEMBAR PENGESAHAN -------------------------------------------------------------- iii
LEMBAR PERNYATAAN -------------------------------------------------------------- iv
ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------- v
KATA PENGANTAR -------------------------------------------------------------------- vi
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------- ix
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ------------------------------------------------------- 1
B. Identifikasi Masalah ------------------------------------------------- 6
C. Tujuan Penelitian ---------------------------------------------------- 7
D. Manfaat Penelitian --------------------------------------------------- 8
E. Tinjauan Review Kajian Terdahulu ------------------------------ 10
F. Kerangka Teori dan Konseptual ---------------------------------- 12
G. Metodelogi Penelitian ---------------------------------------------- 14
H. Sistematika Penulisan ---------------------------------------------- 15
BAB I TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Hukum Perlindungan Konsumen --------------------- 18
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen --------------------- 20
C. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen ----------------------------------------------------------- 21
D. Hak dan Kewajiban Konsumen ----------------------------------- 23
E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ------------------ 24
BAB III TINJAUAN UMUM PANGAN DAN SERTIFIKASI HALAL
A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan ----------- 26
B. Sertifikasi Halal ----------------------------------------------------- 29
C. Prosedur Sertifikasi Halal ----------------------------------------- 36
D. Kriteria Sistem Jaminan Halal ------------------------------------ 39
ix
x
E. Peraturan Perundang-undangan Pangan ------------------------- 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk
Legitimasi Kehalalan Produk Pangan di Indonesia ------------ 45
B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap
Produk Yang Tidak Bersertifikat Halal -------------------------- 58
C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap
Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ---------------- 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------- 70
B. Saran ------------------------------------------------------------------ 72
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang dalam menjalankan hubungan manusia padasaat yang
bersamaan tidak dapat melepaskan diri daripengaruh dengan Tuhan-Nya
sebagaimana dijumpai secara maknawidalam norma filosofis negara,
Pancasila. Setiap warga negara RepublikIndonesia dijamin hak
konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasimanusia, hak beragama
dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan
kedudukan dalam hukum, serta hakuntukmemperoleh kehidupan yang
layak termasuk hak untuk mengkonsumsipangandan menggunakan produk
lainnya yang dapat menjamin kualitashidup dan kehidupan manusia.1
Seiring berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin berkembang termasuk cara pengolahan bahan pangan yang
semakin variatif. Di pasaran dapat ditemukan beragam produk olahan dari
berbagai bahan dasar, baik yang diproduksi pabrik makanan lokal maupun
impor dari perusahaan asing. Bahkan sekarang banyak pembuatan
makanan olahan yang bersifat kompleks dan makanan tersebut dibuat dari
berbagai kandungan yang tidak semuanya jelas kehalalannya.2 Sebagian
masyarakat awam berpandangan bahwa makanan yang sehat dan baik
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan asupan gizi.3 Padahal semua
1Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, ( Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2006), h., 11
2Rachmad Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, (Jakarta: Djambatan,
2004), h., 74
3Kurniawan Budi sutrisno, Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian
Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum perlindungan
Konsumen, (Jurnal Penelitian Universitas Mataram: Vol. 18, No. 1, 2014), h., 90
2
asupan yang sehat dan baik itu tidak akan menambah kesehatan dan
kebaikan jika tidak dilengkapi dengan faktor halal.4
Pangan halal merupakan pangan yang memenuhi syariat agama
Islam baik dari segi bahan baku, bahan tambahan yang digunakan maupun
cara produksinya sehingga pangan tersebut dapat dikonsumsi oleh orang
Islam tanpa berdosa.5Oleh karenanya pada bahan pangan yang dikonsumsi
tidak boleh terkontaminasi dengan bahan yang meragukan sedikit pun,
apalagi dengan yang haram sehingga menyebabkan produk pangan
menjadi syubhat atau diragukan kehalalannya.6
Salah satu lembaga khusus yang berada di bawah naungan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) berkaitan dengan sertifikasi halal adalah LPPOM-
MUI.7 LPPOM-MUI ini merupakan kepanjangan dari Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
LPPOM merupakan lembaga yang berperan untuk meneliti, mengkaji,
menganalisa, dan memutuskan apakah produk-produk baik pangan, obat-
obatan, kosmetika apakah aman untuk dikonsumsi baik dari sisi kesehatan
dan kehalalannya. Sebagai lembaga otonom MUI, LPPOM tidak bekerja
sendiri. Dalam hal pihak yang berwenang yang mengeluarkan sertifikat
halal adalah BPJPH berdasarkan ketentuan UUJPH walaupun saat ini
secara teknis sertifikasi masih dilaksanakan oleh LPPOM-MUI.
Sertifikasi dan labelisasi halal untuk saat ini sifatnya masih suka
rela karena kewajiban untuk berlabel halal akan diserentakan pada tahun
2019 mendatang. Hal ini berpengaruh pada banyaknya produk usaha yang
4Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan
Komoditas Agama, (Malang: Madani , 2009), h., 22
5Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h., 34
6Az Nasution, Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan
Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h., 55
7Amirsyah Tambunan, Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun
1999,Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, (Jakarta: LPPOM MUI, 2014), h., 12
3
belum bersertifikat halal. Tentu hal ini berpengaruh terhadap kepastian
hukum bagi konsumen Muslim dengan sebagai negara yang mayoritas
umatnya ( 88,10% ) beragama islam.Dengan adanya labelisasi sertifikasi
halal MUI sejatinya memberikan keuntungan bagi produsen. Jika
produknya sudah memiliki sertifikat halal dan mencantumkan label halal
dalam setiap kemasannya, maka akan dapat meningkatkan pendapatan dari
penjualnya. Karena dengan adanya sertifikat label halal MUI akan
memberikan rasa kepercayaan dan keamanan bagi para konsumen
khususnya yang beragama Islam.8
Sejak tahun 2012- Okt 2017 LPPOM-MUI Pusat sudah
mensertifikasi 6065 perusahaan. Berdasarkan sertifikat sudah 7764
sertifikat halal yang yang diterbitkan dan berdasarkan produk sudah ada
259964 produk yang mendapat sertifikat halal. yang melakukan sertifikasi
halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan oleh
MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk.9
Bersamaan dengan itu, ternyata masih banyak produsen yang
belum mempunyai sertifikat halal dalam produk ataupun perusahaannya ,
sehingga banyak yang mengambil jalan pintas untuk meraih keuntungan
semata. Dalam proses produksi saja banyak sekali para produsen yang
menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya ataupun dalam produknya
mengandung unsur-unsur non halaldalam artian haram seperti borax,
kandungan minyak babi dan lain sebagainya yang bertentangan dengan
syariat Islam. Begitupun dalam proses tahap selanjutnya seringkali pelaku
usaha menghalalkan berbagai cara agar upaya produk pangan mereka laku
di pasaran. Salah satu upaya modus yang mereka lakukan adalah dengan
mencantumkan label halal MUI pada kemasan produknya, tanpa melalui
proses sertifikasi halal dari MUI.10
8Rahmah Maulidia, Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen,
Justitia Islamica, (Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013), h., 8 9 Halalmui.org 10Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jurnal Syariah Sertifikasi ProdukHalal, Edisi 3, 2015., hlm., 28
4
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh LPPOM-MUI ,
ternyata banyak sekali produk pangan kemasan berlabel halal ilegal yang
beredar di masyarakat. Ada tiga macam label halal ilegal berdasarkan
survei yang terjadi di masyarakat diantara lain adalah yang Pertama,
produk pangan pada kemasan masih mencantumkan labelisasi halal MUI
padahal masa aktif sertifikasi halal telah habis. Kedua, produk pangan
kemasan yang baru mendapatkan sertifikat halal MUI hanya untuk satu
jenis produk, akan tetapi berdasarkan survei yang ada semua jenis produk
dicantumkan label halal. Ketiga, banyak beredarproduk pangan yang
mencantumkan label halal palsu dalam kemasannya, dengan kata lain
labelisasi yang dilakukan tanpa izin dan belum mendapatkan sertifikasi
halal dari MUI.Dengan beredarnya produk pangan yang mencantumkan
label dan sertifikasi halal ilegal tanpa memenuhi ketentuan perundang-
undangan tentu sangatlah merugikan konsumen.11
Seperti beberapa kasus yang pernah terjadi belakangan ini lain
kasus yang pernah dirilis oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (
BPOM ) pada produk makanan “ bikini” yang menyatakan adanya
pemalsuan label halal pada produk kemasan dan tidak adanya izin edar
pada produk pangan tersebut, sehingga sempat membuat geger masyarakat
dikala itu.12Selain itu pada kasus yang sama BPOM dan LPPOM MUI
mengadakan sebuah pengujian terhadap produk 35 merek dendeng dan
abon sapi, terdiri dari 15 dendeng dan 20 abon sapi. Dalam pengujian
tersebut ternyata menemukan 5 merek dendeng yang positif mengandung
DNA babi, padahal dalam kemasan pangan tersebut secara terang-terangan
mencantumkan label halal. Kasus produk MSG (Monosodium Glutamat)
11LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Umat, No.56/X/2005, hlm. 35 12https://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/08/16475821/kemasan.makanan
.bikini.berlabel.halal.palsu, diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 17:00 WIB.
5
Ajinomoto yang mengandung unsur babi tahun 2001 dan kasus adanya
temuan kandungan unsur babi dalam bumbu yang dipakai restoran Solaria
di Balik papan Plaza Kalimantan Timur pada tahun 2015, menjadi suatu
pengalaman yang buruk bagi konsumen muslim dan menjadi pelajaran
yang cukup mahal bagi para produsen yang ingin berbisnis di Indonesia.
Menurut data melalui majalah Jurnal Halal saja pada tahun 2007
melakukan survei untuk produk-produk pangan yang mencantumkan label
halal tanpa sertifikat halal. Banyak juga produk pangan yang
mencantumkan label halal tetapi belum mendapatkan sertifikat halal, yang
artinya pencantuman label halal hanya berdasarkan inisiatif produsen
semata. Padahal prosedur yang berlaku dalam pemberian izin label halal
ini adalah berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Jika
pencantuman label halal ini tidak ditertibkan, maka akan sangat riskan
bagi konsumen muslim.13 Contoh kasus berdasarkan survei yakni produk
kie kian dan berbagai jenis bakso yang memiliki label halal. Produk
tersebut diproduksi di Jawa Timur dengan nama She Pin.14 Pengetahuan
masyarakat akan makanan halal cukup tinggi namun kesadaran untuk
memverifikasi barang yang terjamin kehalalnya masih lemah. Tentu saja
hal ini harus didukung dengan sistem pengaturan yang dapat memberikan
legitimasi yang kuat.
Oleh karena itu, sertifikat halal menjadi sangat penting artinya bagi
konsumen muslim karena menyangkut prinsip keagamaan dan hak
konsumsen. Sementara terdapat fakta bahwa belum semua produk
makananbersertifikat halal. Dengan demikian, upaya untuk memberikan
perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan
suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya.
Permasalahan ini muncul karena konsumen semakin kritis dan
membutuhkankepastian tentang produk pangan yang dikonsumsikannya
13Satjipto Rahardjo, Teori Hukum Strategi Lintas Ruang dan Generasi,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010) h., 21
14Majalah Jurnal Halal edisi No. 42 Tahun2007
6
baik dari sisi legalitasdan kualitas yang baik dan halal. Apalagi dengan
terbukanya perdagangan bebas ASEAN melalui MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean), produk-produk olahan pangan dari negara lain akan
beredardengan leluasa di Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam bagaimana sejarah
pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk di
pangan Indonesia, bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen
Muslim terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal di Indonesia
dan apa tanggung jawab dan sanksi hukum pelaku usaha terhadap produk
pangan yang tidak bersertifikat halal. Oleh karena itu, penulis memilih
judul penulisan hukum ini adalah“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
KONSUMEN MUSLIM TERHADAP PRODUK PANGAN YANG
TIDAK BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN
PRODUK HALAL”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sejak tahun 2012- Okt 2017 LPPOM-MUI Pusat sudah mensertifikasi
6065 perusahaan. Berdasarkan sertifikat sudah 7764 sertifikat halal
yang yang diterbitkan dan berdasarkan produk sudah ada 259964
produk yang mendapat sertifikat halal. yang melakukan sertifikasi
halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat halal yang dikeluarkan oleh
MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk.
Ada beberapa kewajiban pelaku usaha diantara lain adalah wajib
mencantumkan label halal terhadap produk yang mereka klaim halal
dengan mengajukan permohonan sertifikat halal. Setelah mendapat
sertifikat halal, Pelaku Usaha wajib menjaga kehalalan produk yang
telah memperoleh sertifikat halal. Namun dalam pelaksanaannya ada
beberapa kasus pelaku usaha yang tidak mempunyai sertifikasi halal
7
tetapi mencantumkan label halal dengan sendirinya sehingga adanya
unsur non halal pada suatu produk sehingga menimbulkan kerugian
bagi konsumen. Dalam penelitian saya akan membahas bagaimana
perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan
yang tidak bersertifikat halal menurut Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
2. Pembatasan
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-
batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Agar penelitian ini
lebih terarah dan mendalam, maka penulis membatasi permasalahan
penelitian hanya fokus membahas bagaimana perlindungan hukum
bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
dikemukakan diatas, maka penulis berkeinginan untuk meneliti,
mempelajari, serta membahas mengenai perlindungan hukum bagi
konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat
halal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal. Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk
Legitimasi Produk Pangan di Indonesia?
b. Apa Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap
Produk Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ?
c. Apa Tanggung Jawab dan Sanksi Pelaku Usaha Terhadap Produk
Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal ?
C. Tujuan Penelitian
8
Tujuan Penelitian Skripsi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan
penulisan secara umum dan penulisan secara khusus. Adapun penjabaran
dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum Penelitian
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah memberikan gambaran
umum mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
produk pangan yang tidak bersertifikat halal
2. Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah memberikan
gambaran mengenai hal-hal berikut:
a. Untuk mengetahui dan mengkaji proses sertifikasi halal bagi suatu
produk
b. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap produk pangan yang
tidak bersertifikat halal
c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang didapat bagi
konsumen
D. Manfaat Penelitian
Setiap Penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah
yang diteliti. Untuk itu setidaknya mampu meberikan manfaat praktis pada
kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua
segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan
adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat memberikan
manfaat :
a. Manfaat Akademis
1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di
lapangan
2) Sebagai wahana untuk ,mengembangkan wacana dan
pemikiran bagi peneliti
9
3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang
dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian
selanjutnya
b. Manfaat Praktis
1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat
luas tentang sertifikasi halal sesuai hukum yang berlaku
2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan
wawasan bagi penulis
3) Untuk memberikan informasi terkait sertifikat halal
4) Untuk memberikan wawasan mengenai bagaimana
perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk
pangan yang tidak bersertifikat halal
5) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimana pengaturan
sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan produk
pangan di Indonesia
6) Untuk memberikan informasi mengenai bagaimana
perlindungan hukum terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal
7) Untuk memberikan informasi mengenai tanggung jawab dan
sanksi usaha terhadap produk pangan yang tidak bersertifikasi
halal
10
E. Tinjauan ( Review ) Kajian Terdahulu
NO Identitas Substansi Perbedaan
1. Hasyim Asy’ari,
Konsentrasi
Perbandingan Madzhab
Fiqih, Fakultas Syariah
dan Hukum. 2011.
Dalam skripsi ini
membahas perihal
kriteria atau persyaratan
dalam pemberian halal
MUI menurut pendapat
Ibn Hazm
Perbedaan dengan
penelitian penulis
adalah lebih fokus
terhadap bagaimana
perlindungan hukum
bagi konsumen Muslim
jika ternyata tidak
bersertifikat halal MUI
dalam suatu produk
pangan
2. Jurnal “ UU JPH
Harapan Symmetric
Information Pada
Produk Halal ”. FKM
UI
Dalam jurnal tersebut
menjelaskan urgensi
bagaimana UU JPH
harus di informasikan
secara luas melalui
sosialisasi dan
pendekatan
kemasyarakat dan
pelaku usaha demi
kepentingan hukum
Penulis hanya fokus
terhadap pencantuman
label dan sertifikasi
halal secara ilegal
salam produknya
menurut peraturan
perundang-undangan
yang berlaku
3 Jurnal “Hakikat
Labelisasi Halal
Terhadap Pelindungan
Konsumen di Indonesia
” Volume 1 issue 2
Fakultas Hukum
Universitas
Hasanuddin Makassar.
Dalam jurnal tersebut
membaahas
sinkronisasi hukum
abtara labelisasi halal
dan Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
Pada penelitian penulis
yang jadi
permasalahannya ada
bagaimana
perlindungan hukum
bagi konsumen Muslim
terhadap produk
pangan yang tidak
11
2015 bersertifikat halal
UUPK dan UUJPH
4 Skripsi Fitri Amalia “
Etika Bisnis Islam
Konsep dan
Implementasi Pada
Pelaku Usaha Kecil ”,
Fakultas Ekonomi dan
Bisnis. 2016
Peneliti Membahas
mengenai bagaimana
implementasi etika
bisnis islam terhadap
pelaku usaha kecil.
Perbedaan mendasar
dengan penelitian
penulis adalah penulis
hanya fokus membahas
tentang produk pangan
yang tidak bersertifikat
halal yang marak
terjadi khusunya di
lingkungan UMKM.
5 Jurnal “ Kedudukan
Sertifikasi Halal Dalam
Sistem Hukum
Nasional Sebagai
Upaya Perlindungan
Konsumen Dalam
Hukum Islam ”.
Amwaluna, Vol. 1
No.1 2017, Hal 150-
165. Fakultas Syariah
UNISBA
Jurnal ini berisi
bagaimana kedudukan
sertifikasi halal dalam
sistem hukum nasional
sebagi bentuk
perlindungan hukum
bagi konsumen dan
dikaitkan dengan
hukum Islam.
Penulis fokus terhadap
bagaimana pengaturan
sertifikasi halal,
bagaimana
perlindungan hukum
nya beserta sanksi atau
tanggung jawab
hukum.
6 Jurnal “ Sertifikasi
Halal Sebagai
Penerapan Etika Bisnis
Islami Dalam Upaya
Perlindungan Bagi
Konsumen Muslim ”
Ramlan & Nahrowi.
2014
Dalam penelitian jurnal
tersebut membahas
tentang bagaimana
sertifikasi halal itu
dibentuk sebagai
penerapan etika bisnis
islam bagi konsumen
Muslim di Indonesia
Penulis membahas
penerapan UUPK,
UUJPH, dan UU
pangan yang berkaitan
dengan sertifikasi halal
12
7. Jurnal “ Jaminan
Sertifikat Produk halal
Sebagai
Salah Satu
Perlindungan Terhadap
Konsumen Menurut
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan
Konsumen ”. Purwanti
Paju, Vol. 5 No 5 2015.
Dalam jurnal ini,
peneliti membahas
tentang jaminan produk
halal sebagai salah satu
perlindungan hukum
yang dikaitkan dengan
UUPK
Penulis fokus
membahas penerapan
UUPK sebagai sanksi
jika dalam produk
pangan terdapat
pencantuman label
halal palsu yang
dikenakan terhadap
pelaku usaha.
Tabel 1.1
F. Kerangka teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Konsumen
Pengertian Konsumen terdapat berbagi pengertian mengenai
konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara
satu pendapat dengan pendapat satu lainnya. Konsumen sebagai peng-
Indonesiaan istilah asing yaitu consumer. Secara harfiah dalam
kamus-kamus diartikan sebagai “ seseorang atau sesuatu perusahaan
yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu.
b. Perlindungan Konsumen
Peraturan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 dalam Pasal
butir 1 dikatakan bahwa : Perlindungan Konsumen adalah “ segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”.
2. Kerangka Konseptual
Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syaria’t
untuk di konsumsi. Terutama dalam hal makanan dan minuman.
13
a. Sertifikat Halal
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan
kehalalan sesuatu produk sesuai dengan syariat Islam.
b. Peta Konsep
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
PRODUK PANGAN
TIDAK BERSERTIFIKAT
HALAL
MENURUT UUPK MENURUT UUJPH MENURUT UU
PRODUK PANGAN
SANKSI PELAKU USAHA
INTERPRETASI HASIL
14
G. Metodelogi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian Normatif. Tipe penelitian adalah penelitian hukum
Normatif dengan pendekatan Yuridis Normatif. Dikatakan demikian
karena dalam penelitian ini digunakan cara-cara pendekatan terhadap
masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau meneliti bahan pustaka.15
2. Pendekatan Masalah
Penelitian normatif yakni suatu penelitian yang meneliti suatu
masalah dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-
undangan yang berlaku.16 Dalam studi hukum, pendekatan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-
undangan dan pendekatan konseptual pendekatan perundang-
undangan digunakan untuk meneliti aturan-aturan yang berikatan
dengan pengaturan perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dalam
hal ini, konsep yang digunakan adalah konsep dasar perlindungan
konsumen, hak serta kewajiban atas konsumen dan pelaku usaha yang
melanggar hak-hak konsumen dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian hukum normatif menitikberatkan studi kepustakaan atau
metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode
dokumentasi (documentary method). Maka data yang dijadikan bahan
15Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, (Jakarta :
Kencana, 2010), h., 11
16Nico Ngani,Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum, (
Jakarta: Pustaka Yustitia, 2012), h., 22
15
penelitian adalah data sekunder yang meliputi ketiga bahan sebagai
berikut :
a. Bahan hukum primer. Penulis peroleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU
Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Poduk Halal, UU Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta undang-
undang lainnya.
b. Bahan hukum sekunder diperoleh Penulis dari Buku-buku terkait
pembahasan hukum perlindungan konsumen, penyelesaian
sengketa konsumen, keterangan, kajian, dan seminar
c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan Penulis sebagai bahan
yang mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum
sekunder seperti Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris,
dan Kamus Hukum.
4. Metode Penulisan
Metode Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh
Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulisan
karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariahdan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017 ”
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah
penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk
memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Penulis menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
kemudian Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian
16
Terdahulu, Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual,
Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Dalam bab ini akan memaparkan mengenai pengertian
dari hukum konsumen dan dan hukum perlindungan
konsumen, pengertian konsumen dan pelaku usaha, hak
dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha secara
umum dan menurut UUPK, tahap-tahap transaksi
konsumen, lembaga-lembaga yang berperan dalam
perlindungan konsumen di Indonesia, teori tanggung
jawab pelaku usaha berdasarkan UUPK, ketentuan
pidana yang diatur dalam UUPK, dan penyelesaian
sengketa konsumen baik dalam maupun di luar
pengadilan.
BAB III: TINJAUAN UMUM PANGAN DAN DASAR HUKUM
SERTIFIKASI HALAL
Penulis menguraikan tentang beberapa bagian yang
menjelaskan tentang pengertian-pengertian lebih dalam
mengenai konsep halal haram menurut islam, tentang
sertifikasi dan labelisasi halal, fungsi halal haram,
peraturan yang mengatur tentang pencantuman produk
pangan berlabel halal menurut perundang-undangan yang
berlaku dan peran Negara dalam permasalahan sertifikasi
halal di Indonesia
BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KONSUMEN MUSLIM TERHADAP
PRODUK PANGAN YANG TIDAK
BERSERTIFIKAT HALAL MENURUT UNDANG-
17
UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG
JAMINAN PRODUK HALAL
Pada bab ini penulis membahas tentang bagaimana
pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi
kehalalan produk di Indonesia, apa bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan
yang tidak bersertifikat halal, apa akibat dan sanksi hukum
pelaku usaha terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan
dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan sebagai
jawaban seingkat atas permasalahan yang penulis teliti.
18
BAB II
TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Langkah awal penulis dalam dalam sebuah penelitian pada bab ini
menjelaskan bagaimana definisi ataupun pengertian mengenai
perlindungan konsumen itu sendiri. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Adapun tujuan hukum dalam
perlindungan konsumen adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum.1
Maka, dapat diartikan bahwa hukum perlindungan konsumen
adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat.2 Tegasnya hukum perlindungan konsumen
merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan , baik undang-
undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-
putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan
konsumen.
Hal ini terkait dengan pasal 64 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menyebutkan bahwa segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada
pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
1Erna Widjajati dan Yessy Kusumadewi. Pengantar Hukum Dagang, (Jakarta:
Roda Inti Media, 2010), h., 23 2N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk, (Jakarta : Panta Re, 2005, Cetakan ke-1), h ., 81.
19
sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan
ketentuan undang-undang.
Dalam perlindungan konsumen di Indonesia.Ada beberapa pihak
yang berperan dalam memainkan perannya. Diantara lain adalah
konsumen, pelaku usaha, pemerintah, serta lembaga-lembaga terkait.
Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, yang dimaksud dengan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun
orang lain.
Sedangkan pelaku usaha Dalam Pasal 1 angka 2Undang-Undang
Perlindungan Konsumen disebutkan adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.
Adapun lembaga perlindungan konsumen diantara lain adalah
Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah
badan yang dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen. Lembaga yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia ini bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi dari Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.
Sedangkan Badan Penyelesaian Sengketa KonsumenBadan
penyelesaian sengketa konsumen atau disingkat BPSK adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. BPSK dibentuk oleh pemerintah di daerah tingkat II
(kabupaten/kota) untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan.
20
B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
1. Asas Perlindungan Konsumen3
Asas Hukum Perlindungan Konsumen dimuat dalam Pasal 2
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang merumuskan bahwa
Perlindungan Konsumen didasari beberapa asas, antara lain adalah
a. Asas manfaat adalah asas yang mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsume dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan adalah asas yang memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
dalam arti materiil dan spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah asas
yang memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam pengguna, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan Perlindungan Konsumem ini dirumuskan dalam Pasal 3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa
tujuan dari perlindungan konsumen adalah:
3Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen “Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran. (Bandung; Nusa Media, 2008) h., 105
21
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.4
C. Pihak -Pihak Yang Terkait Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen
Dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Ada beberapa pihak
yang berperan penting dalam memainkan perannya. Diantara lain
adalah konsumen, pelaku usaha, pemerintah, serta lembaga-lembaga
terkait perlindungan konsumen.
a. Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer,
secara harfiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen )
setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata consumer
sebagai pemakai atau konsumen. Kamus Besar Bahasa Indonesia (
KBBI ) mendefinisikan konsumen adalah pemakai barang-barang
4Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008) h., 12
22
hasil produksi. Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 2 UUPK,
yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.
b. Pelaku Usaha
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
c. Pemerintah
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 29 ayat
(1) Yang dimaksud dengan Pemerintah dalam lingkup
hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah menteri
atau menteri teknis terkait. Di dalam Pasal 1 angka 13 sendiri,
yang dimaksud dengan menteri adalah menteri yang ruang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
Menteri yang dimaksud adalah menteri perdagangan dalam
hukum perlindungan konsumenpemerintah bertanggung jawab
atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Di
samping itu, selain melaksanakan tugas pembinaan, pemerintah
juga melaksanakan tugas pengawasan bersama-sama dengan
masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
d. Lembaga-Lembaga Perlindungan Konsumen
1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional
23
Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang
dibentuk dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen. Lembaga yang berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik Indonesia ini bertanggung jawab kepada Presiden.
Fungsi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional
adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah
dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia.
2) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
3) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Badan penyelesaian sengketa konsumen atau disingkat BPSK
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK dibentuk
oleh pemerintah di daerah tingkat II (kabupaten/kota) untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.5
D. Hak dan Kewajiban Konsumen
a. Hak dan Kewajiban Konsumen Perspektif UUPK
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan hak-hak
konsumen sebagai berikut :
1) Hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3) Hak atas Informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4) Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.
5Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008,) hal., 30
24
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
secara diskriminatif.
8) Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
Selain hak-hak konsumen tersebut, UUPK juga mengatur hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, yakni
tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak sesungguhnya
merupakan antonomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha
dapat dilihat dan merupakan bagian dari hak konsumen. Adapun
kewajiban pelaku usaha diantara lain adalah :
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif.
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
E. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Berdasarkan UUPK pelaku usaha dilarang melakukan perbuatan
yang sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPK, pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa, yaitu:
25
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
d. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
f. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
g. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara “halal” yang
dicantumkandalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
26
BAB III
TINJAUAN UMUM PANGAN DAN
SERTIFIKASI HALAL
A. Pengertian Halal dan Haram dalam Produk Pangan
Menurut Ibn Manzhur, halal secara etimologi berasal dari kata “ al-
hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalq). Sedangkan halal secara
terminologi adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syari’at Islam
untuk di konsumsi, terutama dalam hal makanan dan minuman. Allah
SWT melalui firman-Nya menyuruh kita untuk selalu mengonsumsi
pangan yang halal dan thayyib. Perintah tersebut terdapat dalam firman
Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 168 yang berbunyi :
ض حلل رأ ا في الأ طي با ول تتبعوا خطوات يا أيها الناس كلوا مم
الشيأطان إنه لكمأ عدو مبين (١٦٨)
Artinya : “ Wahai sekalian manusia, makanlah dari makanan yang halal
dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagimu”.
Cangkupan “ halal” dalam ayat tersebut meliputi halal dari segi
dzatnya yaitu pangan yang tidak ternasuk yanng diharamkan dan halal dari
segi cara memperolehnya. Sementara itu, yang dimaksud “ thayyib ”
dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah pangan yang dzatnya baik
dan tidak membahayakan badan serta akal manusia.1 Sementara itu,
menurut al-Qurthubi , lafazh thayyib dalam al-Qur’an yang berkaitan
dengan pangan yang dikonsumsi manusia mempunyai tiga arti diantaranya
adalah segala sesuatu yang terasa lezat oleh yang memakannya atau yang
meminumnya.
1Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
Pertama, h., 16
27
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud thayyib dalam ayat
tersebut mencakup semua pengertian yang telah dikemukakan para ulama
tersebut diatas. Sebab, secara lughawi, thayyib itu berarti “ baik, lezat,
menentramkan, paling utama dan sehat”. Oleh karena itu , menurutnya
lebih lanjut, pangan yang thayyib dalam ayat tersebut meliputi makanan
yang tidak kotor dari segi zatnya, tidak rusak (tidak kadaluarsa), dan tidak
tercampur najis, juga, pangan yang mengandung selera dan memakannya,
tetapi tidak membahayakan fisik dan akalnya. Dengan demikian, pangan
tersebut proporsional, aman, dan sehat.2
Dalam kandungan ayat ini telah jelas bahwa orang-orang Muslim
diwajibkan untuk mengkonsumsi makan makanan yang halal dan baik.
Makanan yang baik disini adalah makanan yang diperbolehkan oleh
syariat baik dari segi zat nya, cara memperolehnya, dan cara mengolahnya.
Adapun makanan yang toyyib ( baik)adalah makanan yang baik bagi
kesehatan dan tidak berbahaya bagi dirinya jika di konsumsi.
Sedangkan haram secara terminologi adalah segala sesuatu yang
dilarang oleh syariat Islam untuk di konsumsi, dan apabila di konsumsi
maka akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan situasi tertentu
sehingga diperbolehkan.
Makanan dapat dikatakan halal setidaknya harus memenuhi tiga
kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memeprolehnya, dan halal cara
pengolahannya.
a. Halal zatnya
Makanan halal menurut zatnya adalah makanan yang berasal dari
bahan dasar yang halal untuk di konsumsi, tidak membahayakan
dan baik untuk kesehatan tubuh dan telah ditetapkan kehalalannya
dalam kitab suci al-qur’an dan as-sunnah.
2M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta
: Lentera Hati, 2001 ), Cet. Pertama, Jilid III, h., 24
28
b. Halal cara memperolehnya
Yaitu makanan yang asal muasalnya diperoleh dengan cara yang
baik dan sah. Makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak sah
dan merugikan orang lain maka status hukumnya haram.
c. Halal cara pengolahannya
Makanan dapat dikatakan halal bisa dilihat dari cara
pengolahannya, selama makanan yang halal diolah dengan
ketentuan syariat dan tidak bertentangan terhadap al-qur’an dan as-
sunnah maka berstatus halal. Karena banyak sekali makanan yang
asal muasalnya berstatus halal tetapi karena pengolahannya yang
tidak benar dan bertentangan dengan syariat dapat menyebabkan
makanan tersebut menjadi haram. Contohnya anggur, buah anggur
halal dikonsumsi, akan tetapi jika buah tersebut diolah menjadi
sebuah minuman keras maka berubah status hukumnya menjadi
haram. Dan contoh lainnya adalah daging sapi. Daging sapi halal
status hukumnya jika dikonsumsi, akan tetapi jika cara
penyembelihan daging tersebut bertentangan dengan syariat maka
status hukumnya menjadi haram.
Dalam firman Allah surat Al-A’raf , ayat 157 yaitu :
توبا ي الذي يجدونه مكأ م سول النبي الأ عنأدهمأ في الذين يتبعون الر
نأجيل يأأمرهمأ بالأمعأروف وينأهاهمأ عن الأمنأكر ويحل لهم راة والأ التوأ
لل غأ رهمأ والأ م عليأهم الأخبائث ويضع عنأهمأ إصأ ي بات ويحر الط
روه ونصروه واتبعوا النور التي كانتأ عليأهمأ فالذين آ منوا به وعز
ئك هم الأمفألحون ﴿ ﴾١٥٧الذي أنأزل معه أول
Artinya: “Orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang
namanya mereka dapat tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada
disisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf
29
dan melarang mereka mengerjakan yang munkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung ”
B. Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal adalah proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal ( fatwa halal ) atas suatu produk pangan yang dibuat
secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang
mengeluarkan fatwa di Indonesia. Sertifikat halal ini merupakan syarat
untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada sebuah produk dari
instansi pemerintah yang berwenang.Sejak tahun 2012- Okt 2017
LPPOM-MUI Pusat sudah mensertifikasi 6065 perusahaan. Berdasarkan
sertifikat sudah 7764 sertifikat halal yang yang diterbitkan dan
berdasarkan produk sudah ada 259964 produk yang mendapat sertifikat
halal. yang melakukan sertifikasi halal dan baru ada 1516 jumlah sertifikat
halal yang dikeluarkan oleh MUI dari sebanyak 52982 jumlah produk. 3
Berikut adalah data tabel Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI
Pusat Periode 2012-2017.
Tabel Data 3.1 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012- 2017
3E-lppommui.org,
30
Tabel 3. 2 Data Sertifikasi Halal LPPOM-MUI 2012- 2017
TAHUN JUMLAH PERUSAHAAN JUMLAH SH JUMLAH
PRODUK
2012 626 653 19830
2013 913 1092 34634
2014 960 1310 40684
2015 1052 1404 46260
2016 1335 1789 65594
Okt –
2017 1169 1516 52982
TOTAL 6055 7764 259984
Sumber data : lppommui.org
Mengenai sertifikasi halal maka kita juga harus membahas apa itu
produk halal dan bagaimana ketentuannya. Yang dimaksud produk halal
adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan ketentuan
syariat, yaitu :
1. Tidak mengandung babi atau berasal dari babi
2. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan yang halal dan
disembelih menurut tata cara yang ditentukan oleh syari’at Islam.
3. Tidak mengandung khamr dan produk turunannya yang memabukkan
4. Semua tempat yang berkaitan dengan penyimpanan, pengelolaan,
penjualan tidak boleh digunakan untuk barang yang tidak halal.
Penetapan halal tidaknya sebuah produk pangan pada era sekarang
tentu tidak mudah bahkan mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi
dikarenakan banyaknya bahan baku atau dasar pokok produk yang masuk
31
ke Indonesia berasal dari luar.4 Tetapi ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menjamin hak mendapatkan produk pangan yang halal.
Pertama, adanya jaminan undang-undang yang melindungi. Kedua, adanya
transparansi komposisi dan asal-usul serta cara memproduksi sebuah
pangan. Ketiga, yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun
daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa
kehalalannya. Mengenai proses sertifikasi halal dalam hal ini auditor halal
LPPOM-MUI melakukan audit di lapangan yang kemudian dilaporkan
kepada komisi fatwa MUI dalam bentuk laporan hasil audit yang diperoleh
dari hasil penelusuran titik kritis kehalalan sebuah produk pangan. Adapun
macam-macam titik kritis kehalalan baik produk makanan, minuman,
maupun obat-obatan adalah sebagai berikut5:
1. Titik Kritis Kehalalan Produk Makanan
a. Produk daging olahan seperti sosis, patties, bakso, nugget, dan
kornet. Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada bahan-
bahan yang digunakan. Misalnya, daging dengan titik kritis
kehalalannya terletak pada sumber hewan dan tata cara
penyembelihannya. Casing atau selongsong yang terbuat dari
protein hewani ( kolagen). Casing digunakan dalam pembuatan
sosis dengan titik kritis kehalalannya terletak pada sumber hewan
yang digunakan sebagai kolagen dan tata cara penyembelihannya.
MDM (mechanically deboning meat) yaitu daging menempel
pada tulang kemudian dihancurkan dengan mesin yang
selanjutnya dipisahkan antara hancuran tulang dengan dagingnya.
MDM biasa digunakan untuk campuran pembuatan nugget.
Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada proses
4Muhammad Ibnu Elmi As, Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis danKomoditas
Agama, ( Malang: Madani , 2009) h., 22
5LPPOM MUI, Panduan Titik Kritis Bahan Untuk Auditor LPPOM MUI, h,.2
32
pengumpulan tulang-tulang apakah berasal dari hewan yang halal
dan disembelih sesuai dengan syariat Islam atau tidak ?.
b. Bahan turunan hewan seperti protein, lemak, tulang, kulit,
rambut, darah dan jeroan. Bahan-bahan yang dihasilkan dari
turunan hewan tersebut berada dalam titik kritis kehalalan karena
terkait dengan asal-usul hewan dan proses penyembelihannya.
Oleh karena itu, bahan berikut ini diragukan kehalalannya yaitu :
1) Protein, seperti isolat protein, asam amino, enzim,
albuminod, dan nucleoprotein.
2) Lemak, seperti mono/digleserida, asam lemak, gliserol,
kolesterol, vitamin A, D, E, K, enzim dan MG stearat.
3) Tulang seperti glatin, kalsium steart, trikalsium, fosfat,
hidroksi, apatit.
4) Kulit, seperti glatin, kolagen, elastin, susu : laktosa, whey,
casien, dan caseinat.
5) Rambut : keratin, darah ; isolat plasma darah dalam
pembuatan roti sebagai pengganti putih telur. Dan jeroan :
taurin, enzim, insulin.
c. Produk olahan ikan diantaranya dendeng ikan, pindang ikan,
pengalengan ikan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan empek-empek.
Adapun titik kritis kehalalannya tidak terletak pada daging ikan,
tetapi pada bahan lain yang ditambahkan kedalamnya. Misalnya,
dendeng ikan dengan titik kritis kehalalan terletak pada bumbu
penyedap rasa yang digunakan (MSG). Pindang ikan, ikan dalam
kalengan, bakso ikan, kerupuk ikan, dan empek-empek juga
demikian.
d. Permen, titik kehalalannya terletak pada bahan baku yang terdiri
dari gula, dan air yang menggunakan filter karbon aktif. Juga
pada bahan tambahan yang menggunakan falavor, sari buah, susu,
pewarna, pengawet, anti busa, bahan pembentuk gel, bahan
pelapis.
33
e. Olahan cokelat yang terdiri atas bubuk coklat, cokelat industri,
coklat batang, coklat snack dan dragee. Adapun titik kritis
kehalalannya antara lain terletak pada minyak atau lemak ( nabati
atau hewani ) susu bubuk ( sumbernya), whey, flavor, emulsifier,
dan kacang-kacangan goreng ( minyak yang digunakan ).
f. Biskuit, snack, selai, dan jelly titik kritis kehalalannya terletak
pada keju, whey, minyak goreng, shortening, margarin, flavor,
bumbu dan gelatin. Titik kritis kehalalan shortening dan margarin
terletak pada asal-usul bahannya yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan atau hewan. Titik kehalalan bumbu terletak pada bahan
segar yang berasal dari hewan.
g. Mie instan adalah mie yang dibuat dengan proses dehidrasi cepat.
Mie yang sudah masak dan tergelatinasi akan tetap stabil dalam
kemasannya sampai tiba waktunya terhidrasi. Di negara
Indonesia, perkembangan industri instant sangat pesat karena bisa
berfungsi sebagai pengganti bahan pangan utama yaitu beras.
Adapun titik kritis kehalalannya terletak pada semua bahan dan
seaseningnya. Seasening yang digunakan dalam proses
pembuatan mie antara lain MSG, kecap, sambal, dan falavor.
Titik kritis kehalalan MSG terletak pada media dan enzim yang
digunakan. Titik kritis kehalalan kecap terletak pada kaldu tulang
atau flavor yang ditambahkan. Titik kritis kehalalan sambal
terletak pada ekstrak protein yang ditambahkan. Titik kritis
kehalalan flavor terletak pada bahan yang dipergunakan dalam
pembuatannya yang sangat rumit.
2. Titik Kritis Kehalalan Produk Minuman
Adapun titik kritis kehalalan produk minuman terletak pada
bahan dan proses produksinya. Bahan baku yang digunakannya
tidak mengandung alkohol dan bahan-bahan yang membahayakan,
haram atau najis. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh
produk minuman berikut titik kritis kehalalan diantara lain adalah :
34
a. Air minuman dalam kemasan ( AMDK )
Apabila dilihat dari bahan bakunya berupa air minum, maka
tidak perlu diragukan kehalalannya. Akan tetapi, apabila dilihat
dari proses produksinya maka aspek kehalalannya perlu
dicermati. Produk tersebut diproses melalui pemurnian ( raw
water ), ozonisasi dan seterusnya. Proses pemurnian dilakukan
dengan arang aktif yang berasal dari tumbuhan seperti arang
kelapa dan bisa juga berasal dari tulang hewan seperti tulang
babi. Oleh karena itu, proses pemurnian merupakan titik kritis
kehalalan produk minuman dalam kemasan. Disamping itu titik
kritis kehalalannya juga terletak pada penambahan perasa atau
flavour.
b. Susu
Susu merupakan produk minuman yang dihasilkan dari sekresi
hewan memamah biak. Adapun susu yang biasa dikonsumsi oleh
manusia berasal dari sapi, kambing, kerbau, dan unta. Pada
asalnya, susu itu hukumnya halal. Akan tetapi, perkembangan
teknologi telah menghasilkan susu dan produk olahannya berikut
turunannya yang perlu diwaspadai kehalalannya. Misalnya, susu
formula untuk bayi yang diperkaya dengan DHA ( omega tiga ).
Susu tersebut yang tadinya halal berubah statusnya menjadi
diragukan kehalalannya. Adapun titik kritis kehalalannya terletak
pada penambahan DHA. DHA yang dalam bentuk bubuk
kemudian dilapisi gelatin. Gelatin tersebut bisa berasal dari babi,
sapi, atau ikan. Susu fermentasi juga diragukan kehalalannya
seperti kefir karena mengandung alkohol 0.5-1% koumiss karena
mengandung alkohol 1-2,5% dan yogurt karena diberi bahan
penstabil yang bisa berasal gelatin.
c. Keju
Keju merupakan produk olahan susu yang bernilai ekonomis
tinggi yang diperoleh dengan cara memisahkannya dari whey.
35
Proses pemisahan tersebut menggunakan rennet yang berfungsi
menggumpalkan sehingga menghasilkan keju. Rennet yang
digunakan berasal dari lambung anak sapi yang akhir-akhir ini
sulit ditemukan. Kemudian dicarikan penggantinya, maka
ditemukanlah porcine pepsin yang diekstrak dari lambung babi.
Ternyata porcine pepsin ini mampu menggumpalkan susu 400
kali lebih tinggi dibandingkan rennet anak sapi. Oleh karena itu,
disinilah letak titik kritis kehalalan keju dan whey sebagai
produk turunan susu.
3. Titik Kritis Kehalalan Obat-Obatan dan Kosmetika
Obat adalah semua zat baik zat kimia sintetik maupun
bahan alami yang dalam dosis layak mampu mempengaruhi organ-
organ tubuh agar berfungsi normal. Pengaruh terhadap organ-organ
tersebut terjadi dalam tahap diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan maupun kontrasepsi. Komponen
bahan yang dipergunakan untuk pembuatan obat terdiri atas bahan
aktif obat atau zat berkhasiat dan bahan farmaseutik. Yang dimaksud
bahan aktif obat adalah zat utama yang mempunyai efek mengobati
atau mencegah suatu penyakit seperti antipretik atau obat turun
panas, anti infeksi, anti histamin, dan lain sebagainya.
Sedangkan bahan farmaseutik adalah bahan tambahan yang
bukan obat yang bersama obat dibuat menjadi produk farmasi.
Sumber bahan aktif obat berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan,
mikroba, bahan kimia sintetik dan bagian tubuh manusia. Begitu
juga dengan kosmetika. Bahan aktif obat yang berasal dari tumbuhan
dapat berasal dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan, atau
diisolasi dari sebagian atau keseluruhan bagian tumbuhan dengan
cara ekstraksi pelarut atau diproses dengan cara fermentasi.
Kehalalannya ditentukan oleh bahan tambahan atau penolong yang
digunakan dalam penyediaan bahan aktif obat tersebut.
36
C. Prosedur Sertifikasi Halal
Bagi perusahaan yang ingin memperoleh sertifikat halal LPPOM
MUI, baik industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong
Hewan (RPH), dan restoran/katering/dapur, harus melakukan pendaftaran
sertifikasi halal dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Berikut ini
adalah tahapan yang dilewati perusahaan yang akan mendaftar proses
sertifikasi halal :
1. Memahami persyaratan sertifikasi halal dan mengikuti pelatihan
SJH
Perusahaan harus memahami persyaratan sertifikasi halal yang
tercantum dalam HAS 23000.Selain itu, perusahaan juga harus
mengikuti pelatihan SJH yang diadakan LPPOM MUI, baik berupa
pelatihan reguler maupun pelatihan online (e-training).
2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)
Perusahaan harus menerapkan SJH sebelum melakukan
pendaftaran sertifikasi halal, antara lain: penetapan kebijakan halal,
penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH, pelaksanaan
pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit
dan kaji ulang manajemen.
3 Menyiapkan dokumen sertifikasi halal
Perusahaan harus menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk
sertifikasi halal, antara lain: daftar produk, daftar bahan dan dokumen
bahan, daftar penyembelih (khusus RPH), matriks produk, Manual SJH,
diagram alir proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi
kebijakan halal, bukti pelatihan internal dan bukti audit internal.
4. Melakukan pendaftaran sertifikasi halal (upload data)
Pendaftaran sertifikasi halal dilakukan secara online di sistem
Cerol melalui website www.e-lppommui.org. Perusahaan harus
membaca user manual Cerol terlebih dahulu untuk memahami prosedur
sertifikasi halal Perusahaan harus melakukan upload data sertifikasi
sampai selesai, baru dapat diproses oleh LPPOM MUI.
37
5. Melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad
sertifikasi
Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan harus
melakukan monitoring pre audit dan pembayaran akad sertifikasi.
Monitoring pre audit disarankan dilakukan setiap hari untuk
mengetahui adanya ketidaksesuaian pada hasil pre audit.
Pembayaran akad sertifikasi dilakukan dengan mengunduh akad di
Cerol, membayar biaya akad dan menandatangani akad, untuk
kemudian melakukan pembayaran di Cerol dan disetujui oleh
Bendahara LPPOM MUI.
6. Pelaksanaan audit
Audit dapat dilaksanakan apabila perusahaan sudah lolos
pre audit dan akad sudah disetujui. Audit dilaksanakan di semua
fasilitas yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi.
7. Melakukan monitoring pasca audit
Setelah melakukan upload data sertifikasi, perusahaan
harus melakukan monitoring pasca audit. Monitoring pasca audit
disarankan dilakukan setiap hari untuk mengetahui adanya
ketidaksesuaian pada hasil audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian
agar dilakukan perbaikan.
8. Memperoleh Sertifikat halal
Perusahaan dapat mengunduh Sertifikat halal dalam bentuk
softcopy di Cerol. Sertifikat halal yang asli dapat diambil di kantor
LPPOM MUI Jakarta dan dapat juga dikirim ke alamat perusahaan.
Sertifikat halal berlaku selama 2 (dua) tahun.
38
Tabel 3. 3 Proses Sertifikasi Halal Dalam Bentuk Diagram Alir
Sumber Data : halalmui.org
Secara umum prosedur sertifikasi halal adalah sebagai berikut :
1. Perusahaan yang mengajukan sertifikasi, baik pendaftaran baru,
pengembangan (produk/fasilitas) dan perpanjangan, dapat melakukan
pendaftaran secara online. melalui website LPPOM MUI
2. Mengisi data pendaftaran : status sertifikasi
(baru/pengembangan/perpanjangan), data Sertifikat halal, status SJH
(jika ada) dan kelompok produk.
3. Membayar biaya pendaftaran dan biaya akad sertifikasi halal
Komponen biaya akad sertifikasi halal mencakup :
Honor audit
Biaya sertifikat halal
Biaya penilaian implementasi SJH
Biaya publikasi majalah Jurnal Halal
*) Biaya tersebut diluar transportasi dan akomodasi yang
ditanggung perusahaan
39
4. Mengisi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses pendaftaran
sesuai dengan status pendaftaran (baru/pengembangan/perpanjangan)
dan proses bisnis (industri pengolahan, RPH, restoran, dan industri
jasa), diantaranya : Manual SJH, Diagram alir proses produksi, data
pabrik, data produk, data bahan dan dokumen bahan yang digunakan,
serta data matrix produk.
5. Setelah selesai mengisi dokumen yang dipersyaratkan, maka tahap
selanjutnya sesuai dengan diagram alir proses sertifikasi halal seperti
diatas yaitu pemeriksaan kecukupan dokumen Penerbitan Sertifikat
Halal.
D. KRITERIA SISTEM JAMINAN HALAL
1. Kebijakan Halal
Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan
mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku
kepentingan (stake holder) perusahaan.
2. Tim Manajemen Halal
Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen
Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas
kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas.
3. Pelatihan dan Edukasi
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan
pelatihan. Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun
sekali dan pelatihan eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun
sekali.
4. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang
disertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis.
Perusahaan harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua
bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang
dibeli secara retail.
5. Produk
40
Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki
kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram
atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI.
Merk/nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh
menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan
atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Produk pangan
eceran (retail) dengan merk sama yang beredar di Indonesia harus
didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya
didaftarkan sebagian.
6. Fasilitas Produksi
a. Industri pengolahan: (i) Fasilitas produksi harus menjamin tidak
adanya kontaminasi silang dengan bahan/produk yang
haram/najis; (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara
bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan
produk yang tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan
yang berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur
yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang.
b. Restoran/Katering/Dapur: (i) Dapur hanya dikhususkan untuk
produksi halal; (ii) Fasilitas dan peralatan penyajian hanya
dikhususkan untuk menyajikan produk halal.
c. Rumah Potong Hewan (RPH): (i) Fasilitas RPH hanya
dikhususkan untuk produksi daging hewan halal; (ii) Lokasi
RPH harus terpisah secara nyata dari RPH/peternakan babi; (iii)
Jika proses deboning dilakukan di luar RPH tersebut, maka
harus dipastikan karkas hanya berasal dari RPH halal; (iv) Alat
penyembelih harus memenuhi persyaratan.
7. Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai
pelaksanaan aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang
dapat mempengaruhi status kehalalan produk. Aktivitas kritis dapat
mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan
41
datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan
peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan
produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung,
penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan
proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH,
restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas kritis dapat
dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.
8. Kemampuan Telusur (Traceability)
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk
menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari
bahan yang memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan
diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari
bahan babi/ turunannya).
9. Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk
menangani produk yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual
ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur
dijual maka harus ditarik.
10. Audit Internal
Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit
internal pelaksanaan SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam
bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor halal internal yang
kompeten dan independen. Hasil audit internal disampaikan ke
LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan
sekali.
11. Kaji Ulang Manajemen
Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji
ulang manajemen minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan
untuk menilai efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan
berkelanjutan.
42
E. Peraturan Perundang-undangan Pangan
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Ada beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk
pangan di dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, yaitu dalam
Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34. Bunyi pasal dan
penjelasan tersebut tertuang pada pasal 30 yaitu :
(2) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan kedalam
wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan
wajib mencantumkan label pada, di dalam atau di kemasan pangan.
(3) Label, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
1) Nama produk
2) Daftar bahan yang digunakan
3) Berat bersih atau isi bersih
4) Nama dan alamat pihak yang memproduksi
5) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Penjelasan pada pasal 30 ayat 2 (e) keterangan halal untuk suatu
produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label
pangan pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang
memproduksi pangan dan atau memasukan pangan ke wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang
bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Pasal 34
a. Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa
pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan
agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas
kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau
kepercayaan tersebut.
Penjelasan dalam ketentuan ini merupakan benar tidaknya suatu
pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya
43
dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup
nilai proses pembuatannya juga.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan
Terdapat dalam pasal 3 ayat 2
Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya :
a. Nama produk
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan
pangan ke wilayah Indonesia
d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Pasal 10
1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk memperdagangkan
dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan
wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
2) Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat I,
merupakan bagian yang tidak terpisah dari label.
Pasal 11
1) Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang
memproduksi atau memasukan pangan yang dikemas kedalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan
terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang
telah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh
menteri agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran
44
lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi dibidang
tersebut.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pengaturan Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi
Kehalalan Produk Pangan di Indonesia
1. Pengaturan Dalam Prespektif Hukum Islam
Sebagai topik pembahasan penulis mengenai perlindungan hukum
hukum bagi konsumen Muslim terhadap produk pangan yang tidak
bersertifikat halal, maka perlu kita ketahui mengenai pengaturan dalam
prespektif hukum Islam itu sendiri. Islam telah mengatur sedemikian
rupa mengenai batasan-batasan atau larangan segala sesuatu di dalam
sendi kehidupan. Salah satu nya adalah larangan mengkonsumsi pangan
yang tidak halal. Di Indonesia sendiri yang merupakan negara hukum
memiliki acuan dasar atau pedoman berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia ( Selanjutnya disebut UUD 1945 ). Bila
ditinjau dari kedudukan hierarki perundang-undangan yang ada, maka
sampai saat ini UUD 1945 masih merupakan sumber hukum tertinggi
yang menjadi landasan dan acuan bagi pembentukan dan pelaksanaan
ketentuang perundang-undangan lain yang berada di bawahnya.1
Jika kita merujuk pada pada ketentuan pasal 29 UUD 1945,
sebagaimana yang telah diamandemen menjadi pasal 28 (e) yang secara
tegas tidak saja memberikan jaminan kebebasan untuk memilih dan
memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing namun
juga telah memberikan jaminan berupa keamanan untuk melaksanakan
segala bentuk aktivitas keagamaan secara penuh.
Dalam menerjemahkan ketentuan pasal 29 UUD 1945 tersebut,
penulis mengutip apa yang dikemukakan oleh Muchsin tentang pendapat
1Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi
Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, ( Jakarta: Pusat Studi
HukumTata Negara Universitas Indonesia, 2005) h., 45
46
Hazairin dalam bukunya yang berjudul “ Demokrasi Pancasila ” yang
disebutkan bahwa :2
a. Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam,
atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi
umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Hindu
bagi orang-orang Hindu di Bali atau kaidah-kaidah Budha bagi
orang-orang Budha.
b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi
yang beragama Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, syariat
Hindu Bali bagi orang Hindu Bali, sekedar menjalankan syariat
tersebut memerlukan pelantaraan kekuasaan Negara.
c. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk
menjalankannya, dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh
setiap pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewajiban
pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu yang dijalankannya
sendiri menurut agamanya masing-masing.
Dari uraian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa UUD
1945 telah memberikan jaminan berupa kebebasan memeluk agama
sesuai kepercayaan masing-masing dan diberikan keamanan serta
perlindungan terhadap segala aktivitas keagamaan sesuai kepercayaan
yang dimilikinya. Hal ini jika dikaitkan dengan pangan halal, maka setiap
Muslim berhak menerima perlindungan terhadap pangan yang masuk
atau beredar di indonesia dengan diberikan jaminan produk yang telah
bersertifikat halal. Agar diberi rasa keamanan terhadap apa yang di
konsumsi oleh setiap umat Islam di Indonesia. Karena sebagaimana yang
kita ketahui, Islam sendiri merupakan agama yang terikat dengan aturan
hukum syariah yang berdasarkan Al-Qur’an dan As- Sunnah. Oleh
karena itu, setiap pemeluknya memiliki hak untuk memperoleh
2Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia ( Surabaya: STIH Ibalm, 2004)
h., 6.
47
perlindungan hukum dalam pelaksanaan syariat agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari termasuk salah satunya adalah dalam aspek pangan
halal.
Selanjutnya Islam memberikan penjelasan mengenai persoalan-
persoalan mana saja yang halal dan mana saja yang haram. Dalam
masalah makanan, misalnya pada dasarnya Islam menghalalkan semua
jenis makanan dan minuman yang baik dan bergizi (ath-thayyibat) dan
mengharamkan semua jenis makanan dan minuman yang menjijikan (al-
khabaits) (al-A’raf [7]:157). Ketentuan tersebut kemudian diperinci lagi
oleh Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:173. Ayat tersebut menjelaskan
secara tegas mengenai empat jenis makanan yang haram dikonsumsi
yaitu bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih untuk selain
Allah. Sementara itu, hanya ada satu jenis minuman yang diharamkan
yaitu khamr seperti dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Maidah [5] : 90.
Diluar itu, haram dikonsumsi seperti binatang buas yang bertaring,
berkuku, tajam, binatang yang hidup di dua alam (darat dan laut),
potongan dari binatang yang masih hidup, dan sebagainya.3
Ketentuan tersebut harus ditaati dan dipedomani oleh setiap
Muslim dalam mengkonsumsi makanan juga obat-obatan dan kosmetika.
Ketaatan terhadapnya tidak hanya terikat dengan masalah hukum saja,
tetapi lebih dari itu. Hal tersebut berkaitan juga dengan masalah
keimanan. Sebab, keimanan kita harus dibuktikan dengan ketaatan
terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya termasuk dalam
hukum yang terkait dengan halal-haramnya makanan. Di dalam surat al-
Ahzab [33] : 36. Allah SWT telah memberi peringatan kepada kita umat
Islam agar tidak mengambil hukum yang lain apabila Allah dan Rasulnya
telah menetapkan suatu hukum. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut
divonis sebagai kafir atau fasiq atau zhalim sesuai dengan jenis dan berat
3KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014, h., 56
48
ringannya pelanggaran yang dilakukan (al-Maidah [5] : 44,45,47).
Dengan demikian, ketaatan tersebut terkait dengan masalah akidah. Oleh
karena itu, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak mengetahuinya
apalagi tidak mematuhinya,
Dengan demikian, kita diperintahkan untuk mengkonsumsi pangan
yang halal ( menurut hukum agama), dan bergizi ( menurut ilmu
kesehatan) serta diperoleh dari usaha yang halal.bersamaan dengan itu,
kita juga dilarang mengkonsumsi pangan yang diperoleh dari usaha yang
tidak halal ( pangan yang haram ). Oleh karena itu, pangan yang kita
konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup kita harus dipastikan
sebagai pangan yang halal. Bukan pangan yang haram. Sebab, apabila
pangan yang dikonsumsi itu adalah pangan yang haram, maka hal itu
akan berpengaruh buruk pada jasmani dan ruhaninya.
Quraish Shihab, seorang ahli tafsir mengutip pendapat Alexis
Carel, pemenang hadiah Nobel kedokteran, yang menyatakan bahwa:
perasaan manusia sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsinya, “Agaknya melalui kata “rijsun”, ayat ini
(al-Maidah [5] : 90) bermaksud menjelaskan salah satu hikmah
pengharaman babi atau apa yang disebutkan karena makanan tersebut
berdampak buruk pada jiwa dan perilaku manusia.4
Rasyid Ridla, seorang ahli tafsir pemikir Islam kata “rijsun” itu
digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang kotor baik secara lahiriah
(hissiyyah) maupun secara maknawiyah (ma’nawiyyah). Arti yang
pertama kita dapatkan dari surat al-An’am [6] : 145, sedangkan arti kotor
secara maknawiah adalah apabila sesuatu itu membahayakan bagi
manusia.5 Atas dasar itu, maka pangan yang diharamkan itu pasti
membahayakan manusia apabila dikonsumsi apabila dikonsumsi seperti
babi, bangkai dan darah.
4M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, ( Jakarta : Lentera Hati, Jilid III, h., 316 5Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Juz VII, h., 87-88
49
Berkaitan dengan dua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa pernyataan mengenai tafsir ayat tersebut mengisyaratkan segala
bentuk pengaturan perihal adanya makanan yang diharamkan dalam
agama Islam pada dasarnya merupakan sebuah bentuk perlindungan
terhadap jasmani dan ruhani nya seseorang. Karena, tanpa disadari
perasaan manusia itu tergantung oleh kualitas dan kuantitas makanan
yang dikonsumsinya. Jika kita mengonsumsi makanan yang halal dan
thayyib, maka kualitas perasaan manusia akan lebih baik. Begitupun
sebaliknya jika seseorang mengonsumsi makanan yang haram maka akan
berpengaruh terhadap perasaannya.
Bahkan berdasarkan berbagai referensi yang penulis dapat, jika
bicara mengenai masalah medis, mengonsumsi daging babi itu juga akan
menimbulkan berbagai macam penyakit. Berbagai penelitian yang
dilakukan oleh para ahli menunjukan ada beberapa penyakit akibat
mengonsumsi daging babi diantara lain seperti mandul, asma, rematik,
lemahnya daya ingat dan menimbulkan kerontokan rambut. Lebih dari
itu, hasil-hasil studi mutakhir menunjukan bahwa daging babi itu sukar
sekali dicerna karena serabut urat-uratnya penuh dengan sel-sel lemak
yang jumlahnya melebihi sel-sel lemak yang terdapat pada daging
kerbau, kambing dan unta. Jaringan serabut lemak tersebut merintangi
pekerjaan enzim di lambung sehingga enzim tidak mudah mencerna
bahan-bahan tersebut. Akibatnya, sangat melelahkan lambung,
mempersulit pencernaan dan pada akhirnya membuat perut terasa berat
dan menyebabkan muntah dan mencret.
Disamping itu, dalam babi juga terdapat berbagai macam parasit
dan kuman penyakit. Adapun parasit yang terdapat didalam babi antara
lain: fasciolepsis buski, round worms, hook worms, paragonium ( cacing
paru-paru ), clonorchis sinensis, giganthorinchus, meta strongylus apri,
swine erysipelas, taenia solium (cacing pita), trichinila spiralis (cacing
spiral) dan achitosoma japanicom. Berbagai kuman penyakit-pun dapat
ditularkan oleh babi seperti penyakit TBC, cacar, scabies, fusiformas N,
50
salmonella cholera suis, balntidium choli, brucellosis dan taxoplasma
gondi.6
Berdasarkan uraian tersebut penulis dapat menyimpulkam
bahwasannya pangan yang diharamkan dalam aturan ajaran agama Islam
itu tidak serta merta haram secara hukum saja, tetapi berbahaya juga bagi
manusia jika mengkonsumsinya baik secara jasmani maupun ruhani.
Sebaliknya pangan yang halal itu akan memberi manfaat bagi manusia
yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, dalam memenuhi kebutuhan
hidup ini kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan
pangan yang halal dan menjauhi pangan yang haram. Agar dapat
melaksanakan perintah Rasul tersebut dengan baik, tentu kita harus
mengetahui dan membedakan mana yang dan mana yang halal.
Sementara itu dalam “Panduan Sertifikat Halal” yang dikeluarkan
oleh Departemen Agama, dijelaskan bahwa produk yang halal
adalahproduk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat
Islam, antara lain (Departemen Agama RI, 2008, 2):
a. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
b. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-
bahan yang berasal dari organ mansia, darah, dan kotoran;
c. Semua bahan yang bersal dari hewan yang disembelih menurut tata
cara syariat Islam;
d. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan,
tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk
babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan
untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terdahulu harus
dibersihkan dengan tata cara syariat Islam; dan
e. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
6Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
Pertama, h., 16
51
Maka, secara umum makanan dan minuman yang haram terdiri dari
binatang, tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:
a. Binatang: bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih dengan
nama selain Allah. Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya
menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh
tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk
berhala kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa
disembelih. Binatang yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri
manusia. Binatang dan burung buas yang bertaring dan memiliki
cakar, binatang-binatang yang oleh ajaran Islam diperintahkan
membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing galak, dan burung
elang dan sejenisnya, binatang-binatang yang dilarang
membunuhnya seperti semut, lebah, burung hudhud, belatuk, hewan
yang hidup di dua jenis alam seperti kodok, penyu dan buaya.
b. Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, dan buah-buahan boleh dimakan
kecuali yang mendatangkan bahaya atau memabukan baik secara
langsung maupun melalui proses. Maka semua jenis tumbuh-
tumbuhan yang mengandung racun atau yang memabukan haram
dimakan.
c. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang
memabukan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda
najis, baik sedikit maupun banyak.
Berdasarkan pemaparan tersebut, secara umum penulis dapat
menyimpulkan bahwa Islam memiliki aturan dan rambu-rambu
mengenai apa yang halal dan baik (thayyib) untuk di konsumsi oleh
manusia. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengetahui apa saja yang
dibolehkan dan diharamkan menurut syariat Islam dalam
mengkonsumsi pangan baik berupa makanan, minuman, obat-obatan,
kosmetik dan sejenis lainnya demi kebaikan jasmani dan ruhani.
52
2. Pengaturan Sertifikasi Halal dalam Perspektif Hukum Nasional
Mengenai pengaturan sertifikasi halal dalam perspektif hukum
Nasional, penulis melihat penataan peraturan sertifikasi halal di
Indonesia terhadap makanan baru dimulai pada tahun 1967 yaitu
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di dalamnya diatur
tentang berbagai hal peternakan hewan termasuk pengaturan
penyembelihan dan penanganan hewan yang akan di konsumsi
manusia. Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut berikut
penjelasannya sama sekali tidak disinggung masalah kehalalan pangan.
Setelah sembilan tahun kemudian baru lahirlah Peraturan Menteri
Kesehatan RI NO. 280/Menkes/Per/XII/76 tentang “Ketentuan
Peredaran dan Penandaan Makanan yang Berasal dari Babi”.
Permenkes tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya
kerancuan antara produk yang mengandung babi dengan produk lainnya
yang tidak mengandung babi. Nampaknya, Permenkes tersebut
mengikuti pendapat yang berkembang di masyarakat yang tidak
menginginkan label halal, tetapi menginginkan “label haram” sebagai
langkah preventif agar tidak mengonsumsi pangan yang haram. Untuk
keperluan tersebut maka diberikanlah peringatan dengan cara
“menandai label” pangan yang haram. 7
Dengan demikian, penulis melihat bahwa Permenkes tersebut
memberikan kepastian hukum bagi konsumen Muslim dari
mengonsumsi produk yang diharamkan seperti babi. Inilah peraturan
yang pertama kali dibuat yang mengatur pangan halal. Di dalam sebuah
produk pangan yang berasal dari babi harus mencantumkan tulisan “
7KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14, No. 2, Mei, 2014, h., 15
53
MENGANDUNG BABI ” pada labelnya dengan huruf yang berwarna
merah. Disamping itu, harus pula disertakan gambar babi dalam kotak
persegi yang berwarna merah.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
permenkes tersebut sangat memberikan ketegasan serta keseriusan
terhadap segala bentuk produk yang masuk di Indonesia jika berasal
dari bahan babi maka wajib mencantumkan label atau tulisan yang
berisi mengandung daging babi dengan tegas. Hal ini bertujuan agar
konsumen yang buta huruf pun dapat mengetahuinya sehingga dapat
terselamatkan dari produk haram tersebut. Apabila produsen melanggar
ketentuan tersebut, maka produknya dilarang beredar di Indonesia dan
pihak yang berwenang akan manarik produk tersebut dari pasar dan
nomor registrasinya dapat dicabut juga.
Dua tahun setelah itu, pada tahun 1978 lahirlah Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 76/Menkes/Per/III/78 tentang “label dan periklanan
makanan”. Didalamnya antara lain disebutkan bahwa bila dalam
komposisi makanan terdapat bahan penyusun yang berasal dari babi,
harus mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang Ketentuan
Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan
Berasal dari Babi.
Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa peraturan ini
semakin memperkokoh perlindungan hukum bagi konsumen Muslim
dari mengkonsumsi pangan yang haram. Selanjutnya pada tahun 1985
ditandatanganilah Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Agama Republik Indonesia No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985/ dan No.
68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label
Makanan. Di dalamnya juga dijelaskan pengertian makanan halal dan
makanan yang mencakup semua jenis makanan yang tidak mengandung
unsur atau bahan yang terlarang atau diolah dan diproses menurut
syariat Islam
54
Selanjutnya di dalam pasal 2 ditegaskan bahwa produsen yang
mencantumkan label halal pada makanan di produknya bertanggung
jawab atas kehalalan makanan tersebut bagi konsumen Muslim. Agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut ada bagian
pengawas lapangan oleh pihak yang berwenang. Pihak yang dimaksud
saat itu adalah Tim Penilai Pendaftaran Makanan pada Departemen
Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan
(Dirjen POM) dengan unsur dari Departemen Agama.
Pada tahun 1989 terbitlah Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang pemotongan babi dan penanganan
daging babi dan hasil ikutannya. SK tersebut dimaksudkan untuk
mencegah penggunaan daging babi dan hasil ikutannya dalam produk
makanan atau campuran makanan. Selanjutnya pada tahun 1991
terbitlah Instruksi Presiden RI No. 2/1991 tentang Peningkatan
Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Predaran Makanan Olahan.
Didalamnya terdapat lima instruksi Presiden kepada menteri-menteri
terkait. Di dalam butir pertama disebutkan bahwa pembinaan dan
pengawasan produksi dan pengedaran makanan olahan dilakukan oleh
Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, dan
Menteri Perdagangan dibawah koordinasi Menko Kesra. Kemudian
dalam butir ketiga ditegaskan bahwa sebagai implementasi dari butir
pertama tersebut instansi-instansi terkait membuat peraturan-peraturan
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.8
Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan bahwa SK yang
dikeluarkan oleh Menteri Pertanian berfungsi untuk mencegah
penggunaan daging babi dalam produk makanan atau campuran
makanan. Selanjutnya mengenai terbitnya Instruksi Presiden RI No.
2/1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan
Predaran Makanan Olahan bertujuan untuk penugasan berupa
8Lihat, butir ketiga Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 1991 tentang Pemotongan Babi
dan penanganan Daging Babi dan Hasil Ikutannya.
55
pembinaan dan pengawasan produksi serta membuat peraturan-
peraturan terkait peredaran makanan olahan sesuai dengan
kewenangannya masing-masing pada setiap instansi-instansi terkait.
Pada tahun 1992 keluarlah Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 745/Kpts/TN. 240/12/1992 tentang Persyaratan dan Pengawasan
Pemasukan Daging dari Luar Negeri. Dari SK tersebut penulis melihat
didalamnya berisi penegasan mengenai pemasukan daging dari luar
negeri harus berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan
menurut syariat Islam dan dibuktikan dalam “sertifikat halal” dari
negara asal. Selanjutnya diatur agar daging tersebut tidak boleh
dicampur dalam satu wadah dengan daging yang tidak mempunyai
Sertifikat Halal. Dengan demikian, SK Menteri Pertanian ini khusus
mengatur impor daging dari daging luar negeri yang kehalalannya
sangat ditentukan dari proses penyembelihan dan pengirimannya.
Empat tahun kemudian, terbitlah berturut-turut dua keputusan
Menteri Kesehatan sebagai pelaksana lebih lanjut dari Undang-Undang
Kesehatan yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
82/Menkes/SK/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label
Makanan dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
924/Menkes/SK/VIII/1996 dengan Peraturan Pelaksanaanya. Di dalam
rinciannya diuraikan mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan
Sertifikat Halal sebagai berikut :
a. Kriteria makanan dan minuman
b. Tata cara pemotongan hewan
c. Tata cara penyimpanan bahan
d. Persoalan teknis yang dengan pengolahan dan proses produksi
pangan sampai menjadi bahan jadi (pangan olahan).
Setelah terbit keputusan Menteri Kesehatan RI No.
82/Menkes/SK/1996. Ditahun yang sama juga pada tanggal 4
November 1996 lahirlah Undang-Undang Pangan yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996. Di dalamnya disebutkan antara lain
56
bahwa keterangan tentang halal merupakan bagian integral dari label,
tetapi di dalam penjelasannya tersebut terkesan dianulir kembali.
Dengan demikian, labelisasi halal yang tadinya wajib menjadi tidak
wajib atau bersifat suka rela.9
Dari uraian tersebut penulis memberikan kesimpulan bahwa
setelah terbitnya keputusan Menteri Kesehatan RI No.
82/Menkes/SK/1996 lebih memperinci mengenai pengaturan sertifikat
halal berupa pencantuman tulisan halal pada label makanan. Di dalam
peraturan tersebut juga mengatur hal-hal mengenai kriteria makanan
dan minuman, tata cara pemotongan hewan, tata cara penyimpanan
bahan, dan persoalan teknis yang berkaitan dengan pengolahan dan
proses produksi pangan. Mengenai Undang-Undang Pangan yang lahir
tepat di tahun yang sama mengubah aturan yang tadinya mewajibkan
mencantumkan label halal menjadi tidak wajib atau suka rela. Hal ini
diperkuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang Pangan di dalam penjelasan pada pasal 11 ayat 1 dinyatakan “
pencantuman label halal pada dasarnya bersifat suka rela”.
Tetapi meskipun seperti itu di dalam Undang-Undang tersebut
disertakan sanksi bagi pihak yang melanggar berupa dengan sanksi
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 360.000.000,- (tiga ratus enam puluh juta rupiah). Sanksi tersebut
dikenakan kepada siapa saja yang memberikan pernyataan atau
keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label pada sebuah produk.
Di samping denda dan sanksi kurungan juga terdapat sanksi
administratif yang diantara lain meliputi : a). Peringatan secara
tertulis;, b). Larangan pengedaran sementara waktu dan penarikan
produk pangan dari peredaran; c). Pemusnahan produk pangan jika
membahayakan kesehatan dan jiwa manusia d). Penghentia produk
9Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
Pertama, h., 25
57
sementara waktu; e). Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.0000,-
dan f). Pencabutan izin usaha.
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 juga mengatur mengenai persoalan halal yang senada
dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Persoalan tersebut berkaitan
erat dengan hak dan kewajiban konsumen dan produsen. Konsumen
berhak mendapatkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dalam
mengonsumsi pangan. Ia juga berhak untuk mendapatkan informasi
yang benar, jelas, dan jujur tentang pangan yang dikonsumsinya.
Pengaturan tentang sertifikasi halaldalam memberikan
perlindungankonsumen Muslim juga terdapat pada Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Undangundangini mengatur hak dan kewajibanpelaku usaha yang
tertuang dalam pasal 23sampai dengan pasal 27. Dalam pasal 26 pelaku
usaha yang memproduksi produkdari bahan yang berasal dari bahan
yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalampasal 18 dan pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.
Berdasarkan uraian diatas Regulasi tentang sertifikasi halal yang
terdapat dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang JPH, telah memberikan
kejelasan perlindungan bagi konsumen khususnya konsumen muslim.
Peredaran produkproduk pangan yang tidak bersertifikat halal dan tidak
berlabel halal tidak lagi bisa beredar di Indonesia baik yang di produksi
di dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri.
Mengenai lembaga yang bertanggung jawab sebagai pelaksana
pemeriksaan pangan halal, dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Agama
Nomor 519 disebutkan: “Menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai
lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang
dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia”. Dalam pasal tersebut
tertera jelas bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapatkan
kepercayaan dari pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab
58
dalam pemeriksaan pangan halal. Penunjukan MUI sebagai lembaga
pelaksana pemeriksa pangan, pada dasarnya mengukuhkan Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia, disingkat menjadi LPPOM MUI, sebagai lembaga yang
resmi menangani permasalahan pemeriksaan pangan halal.
B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk
Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal
Seiring dengan majunya perkembangan teknologi pangan di
Indonesia serta pemberlakuan UUJPH akan dilaksanakan di tahun 2019.
Maka salah satu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen Muslim
terhadap produk pangan yang tidak bersertifikat halal pada saat ini
adalah dengan melihat daftar bahan yang digunakan (engredients),
nomor izin edar bagi panganolahan, tanggal kode produksi, namadan
alamat pihak yangmemproduksi atau mengimpor. Hal ini dilakukan
untuk mengantisipasi terhadap produk pangan yang tidak jelas
kehalalannya. Para konsumen khususnya yang beragama Islam harus
lebih hati-hati, karena banyak bahan baku dan bahan tambahan yang
digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Untuk menjamin
agar produk pangan (makanan dan minuman) aman dari pengaruh
teknologi maka konsumen dihimbau untuk meneliti dan menilai produk
yang akan dikonsumsi nya secara detail dan seksama melalaui
ketentuan tersebut.
Pada dasarnya keberadaan jaminan produk pangan halal
berangkat dari informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik secara
kuantitatif maupun kualitas dari produk pangan yang mereka konsumsi.
Pencantuman label halal sebagai konsekuensi sebuah produk yang
bersertifikat halal akan mengembalikan hak-hak konsumen untuk
menyeleksidan mengkonsumsi jenis makanan yang mereka hendak
konsumsi. Oleh karena itu pencantuman label harus terbuka dan jelas
terlihat, sehingga menunjukkan adanya itikad baik dari pelaku usaha
59
untuk mengembalikan hak-hak konsumen.Karena selain untuk
menjamin aspek kesehatan, juga bahkan yang sangat penting adalah
sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan dan kepuasan
masyarakat.
Di dalam undang-undang Nomor 18 Tahun 2012tentang Pangan
terdapat beberapa pasalyang terkait dengan kehalalan produkpangan
yaitu pasal 97 ayat (1), (2) dan (3).Adapun bunyi pasal tersebut adalah
sebagaiberikut :Pasal 97
(1) Setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri
untukdiperdagangkan wajib mencantumkanlabel di dalam dan/atau
pada KemasanPangan
(2) Setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan pada
saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau
dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat
paling sedikit keterangan mengenai :
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih dan isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
e. Halal bagi yang dipersyaratkan;
f. Tanggal dan kode produksi;
g. Tanggal,bulan dan tahun kadaluarsa;
h. Nomor izin edar bagi Pangan Olahan
Dengan uraian diatas menurut penulis dalam pasal 97 sudah
jelas bahwa seorang pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan
label halal guna melindungi hak-hak seorang Muslim. Akan tetapi label
halal yang berasal dari sertifikasi halal belum di wajibkan, tetapi
dipersyaratkan. Pelaku usaha pun harus bertanggungjawab penuh
60
terhadap pencantuman label halal tersebut yang merupakan satu
kesatuan dengan kemasannya. Pengaturan tentang kehalalan produk
juga diatur di dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan yaitu di pasal 10 dan pasal 11. Dalam penjelasan pasal 10,
bahwa pencantuman keterangan halal atau tulisan pada label pangan
merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau
memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan huruf Latin,
harus digunakan bersamaan dengan dalam bahasa Indonesia dan huruf
latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti
yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Kebenaran suatu pernyataan pada label pangan tidak hanya
dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan
bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses
produksinya juga.10
Pada penjelasan pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa
pencantuman tulisanhalal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun
setiap orang yang memproduksi dan atau masukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan nya sebagai
produk yang halal,sesuai ketentuan ia wajib mencantumkan tulisan
halal pada label produknya. Jadi menurut penulis dalam ketentuan pasal
11 ini pencantuman tulisan halal masih bersifat sukarela akan tetapi
akan menjadi wajib mencantumkan label halal jika pelaku usaha
menyatakan bahwa produknya adalah produk halal.
Didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga
berpengaruh dan memberi perlindungan terhadap konsumen Muslim
dalam mengonsumsi pangan halal. Hal tersebut dimuat pada pasal 2
termuat asas dari perlindungan konsumen yang berbunyi “Perlindungan
10Kurniawan, Budi Sutrisno dan Dwi Martini, Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap
Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan
Konsumen, Jurnal Penelitian UNRAM, vol.18, No. 1, Februari, 2014, h., 16
61
konsumen berasaskanmanfaat, keadilan, keseimbangan, keamanandan
keselamatan konsumen serta kepastianhukum”.
Menurut penulis disini terlihat konsumen mendapatkan
perlindungan hukum. Di Pasal 4 mengatur hak-hak konsumen dan pasal
5 mengatur khusus tentang kewajiban konsumen.Berdasarkan dua pasal
di atas (pasal 4 dan Pasal 5), sudah jelas bahwa konsumen berhak
mendapatkan yang benar, jelas, jujur dan mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa dan berkewajiban membaca dan mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis pelaku usaha
wajib memberikan informasi yang benar terhadap produk nya agar bisa
menjamin kepuasan konsumen dan tidak merugikan konsumen jika ada
beberapa bahan-bahan yang berbahaya atau di haramkan. Dengan
ketentuan ini konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas produk
pangan yang beredar di Indonesia.
Pengaturan mengenai sertifikasi halal dalam memberikan
perlindungan konsumen muslim juga terdapat pada Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Di dalam
undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha yang
tertuang dalam pasal 23 sampai dengan pasal 27. Dalam pasal 26
pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari
bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 dan
pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.
Perlindungan hukum terhadap konsumen tidak hanya menyangkut
kehalalan produk saja, di dalam Undang-Undang ini juga memberikan
pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi produk dari
bahan berasal dari bahan yang diharamkan dengan kewajiban
mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan
produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat,
62
dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari produk.
Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan bahwa UUJPH
tersebut lebih mempertegas terkait kepastain hukum dan jaminan
terhadap produk pangan halal di Indonesia. Mengingat pada peraturan
tersebut mengecualikan atau melarang pelaku usaha yang mengajukan
permohonan sertifikat halal jika bahan yang terdapat dalam produk nya
berasal dari bahan-bahan yang diharamkan. Tidak hanya itu bagi pelaku
usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan maka
harus memberikan keterangan yang jelas bahwa produk tersebut tidak
halal. Oleh karena itu, Untuk menjamin ketersediaan produk halal,
ditetapkan bahan baku produk yangdinyatakan halal, baik bahan yang
berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba,maupun bahan
yang dihasilkan melalui proses kimiawi, biologi, atau proses rekayasa
genetik. Disamping itu ditentukan JPH yang merupakan rangkaian
kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup:penyediaan
bahan, pengolahan, penyimpanan,pengemasan, pendistribusian,
penjualan, dan penyajian produk.
Dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2014 TentangJaminan Produk Halal juga diatur tentangasas-asas
penyelenggaraan jaminan produkhalal (JPH), yaitu;
1. Asas perlindungan adalah bahwa dalammenyelenggarakan JPH
bertujuanmelindungi masyarakat muslim.
2. Asas keadilan, bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
3. Asas kepastian hukum, adalah bahwapenyelenggaraan JPH
bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu
produk yangdibuktikan dengan sertifikasi halal.
4. Asas akuntabilitas dan transparansiadalah bahwa kegiatan
penyelenggaraan JPH harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
63
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Asas efektivitas dan efisiensi adalah bahwa penyelenggaraan JPH
digunakan dengan tepat dalam orientasi tepat guna dan berdaya
guna sertameminimalisasi penggunaan sumber daya yang
dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau
terjangkau.11
Seperti yang kita ketahui bahwa pengaturan produk halal di
Indonesia saat ini mengandung tiga norma sekaligus, yaitu: (1) sukarela
(voluntary); (2) wajib (mandatory) bagi produk hewan; dan (3) wajib jika
dipersyaratkan (mandatory if recommended). Padahal perlindungan
terhadap hak-hak konsumen harus dipahami bukanlah sebagai sikap anti
terhadap produsen,namun merupakan apresiasi terhadap hak-hak
konsumen secara universal. Disamping juga konsumen memiliki hak
personal defenses.12
Ketentuan tentang norma pengaturan sertifikasi dan labelisasi
produk halal dalam UU JPH juga diatur dalam Pasal 4, yaitu produk yang
diperdagangkan wajib bersertifikat halal. Sebagaimana Pasal 4
menyebutkan, “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”Berdasarkan rumusan Pasal 4
UU JPH tersebut, dapat dipahami bahwa pengaturan sertifikasi dan
labelisasi produk halal mengandung norma mandatory, karena setiap
produk yang diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa dengan
adanya UUJPH telah memberikan kepastian hukum sehingga memberikan
bentuk perlindungan bagi konsumen Muslim terhadap peredaran pangan
yang tidak bersertifikathalal dan tidak berlabel halal. Peredaran pangan
11Tambunan, Amirsyah, Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999, Jurnal
Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2013. h., 12
12Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, ( Jakarta : Gaung Persada Press Group, 2013, Cet.
Pertama, h., 34
64
yang tidak bersertifikathalal dan tidak berlabel halalpuntidak lagi
bisaberedar di Indonesia baik yang di produksidi dalam negeri maupun
yang berasal dariluar negeri.
C. Tanggung Jawab dan Sanksi Hukum Pelaku Usaha Terhadap Produk
Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal
Sebagaimana yang kita ketahui seiring dengan banyaknya pelaku
usaha yang tidak memiliki sertifikat halal dalam memasarkan produk
pangan nya sudah jelas akan merugikan kita sebagai umat Islam. Karena
dengan tidak memiliki sertifikat halal tentunya belum memberikan
jaminan penuh bahwa produk tersebut halal. Apalgi di era teknologi serba
canggih seperti sekarang ini segala sesuatu nya bisa dilakukan dengan
mudah. Di dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Perlindungan Konsumen disitu diuraikan mengenai hak dan kewajiban
seorang pelaku usaha. Diantara kewajibannya adalah “ Memberikan
informasi yang benar,jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,perbaikan
dan pemeliharaan dan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian ”
Menurut penulis dalam uraian pasal tersebut telah memberikan
jaminan kepastian hukum bahwa pelaku usaha di wajibkan untuk
memberikan informasi secara jujur terhadap produk nya yg di pasarkan
dimasyarakat dan apabila barang atau produk yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian dalam arti melakukan pembohongan maka akan
dikenakan kompensasi atau ganti rugi.
Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal juga
mengatur mengenai hak dan kewajiban seorang pelaku usaha dalam
menyelenggarakan Jaminan Produk Halal yang pelaksanaannya dilakukan
olehBadan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Jaminan
mengenai produk halal dilakukan sesuai asas
65
perlindungan,keadilan,kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi,serta profesionalitas.
Menurut penulis adanya UUJPH ini akan lebih memberi jaminan
kepada konsumen Muslim terhadap produk-produk yang masuk ke
Indonesia baik produk dari luar maupun dalam sehingga lebih
memperketat pelaku usaha dan memberikan perlindungan kepada
konsumen Muslim secara tegas. Karena dengan hadirnya UUJPH ini
mewajibkan pelaku usaha untuk bersertifikat halal.13
Adapun sanksi bagi pelaku atas produk pangan yang tidak
bersertifikat halal menurut ketentuan perundangan-undangan diantara lain
adalah :
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Di dalam UUPK sendiri sanksi dibagi menjadi dua. Yg pertama sanksi
administratif dan yang kedua sanksi pidana. Perbuatan yang
diancamkan sanksi administratif antara lain adalah pelanggaran
kewajiban pemberian ganti rugi kepada konsumen, pelanggaran
tanggung jawab atas iklan yang menimbulkan kerugian konsumen, dan
pelanggaran penyediaan garansi baik untuk barang maupun untuk jasa.
Sanksi administratif ini dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, dan dapat mencapai jumlah Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta
rupiah).
Selain sanksi administrasi, terhadap pelanggaran pelaku usaha
juga dapat dikenakan ancaman pidana.Terdapat perbedaan ancaman
pidana untuk perbuatan- perbuatan pelaku usaha yang merugikan
konsumen. Hal ini dapat terlihat dalam :
a. Ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
13Asri Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk Pangan
Yang Tidak Bersertifikat Halal, Jurnal IUS, No. 2 Vol. IV, 2016. h., 18
66
dapat dikenakan terhadap pelanggaran- pelanggaran Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, dan dan ayat (2), dan Pasal 18.
b. Ancaman pidana penjara paing lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dapat
dikenakan terhadap 64 pelanggaran- pelanggaran Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 Ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1)
huruf d dan huruf f.
c. Ancaman pidana yang berlaku (dalam KUHP) untuk pelanggaran-
pelaggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian. Undang-undang Pangan Bab X Ketentuan Pidana,
Pasal 58 huruf h, i dan j disebutkan: “Barangsiapa: (huruf h)
memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia
pangan yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 atau Pasal 31; (huruf
i) memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar dan
atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui,
dalam, dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2); (huruf j) memberikan
pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan atau label
bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut
persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).”Pasal
berikutnya, Pasal 59 huruf e disebutkan “Barangsiapa tidak
memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) meskipun telah
diperingatkan secara tertulis oleh Pemerintah, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling
67
banyak Rp. 480.000.000,00 (empat ratus delapan puluh juta
rupiah).”
d. Sedangakan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label, berupa pidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000, 00 (dua miliar rupiah).
2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 TentangPangan
Melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 TentangPangan.
Di dalam Pasal 97 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang
memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib
mencantumkanlabel di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan,
selanjutnya di ayat ayat (2)disebutkan setiap orang yang mengimpor
pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam
dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pada ayat (3) diatur tentang
pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak
jangan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit
keterangan mengenai: nama produk,daftar bahan yang digunakan,
berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau mengimpor halal bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode
produksi, tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa, nomor izin edar bagi
pangan olahan dan asal usul bahan pangan tertentu.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut tersebut
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat khususnya yang beragama
Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak
hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau
bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan tetapi harus
68
pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.Ketentuan pidana
dalam UU pangan terkait label diatur dalam Pasal 143 dan Pasal 144.
Pasal 143 mengatur bahwa “setiap orang yang dengansengaja
menghapus, mencabut, menutup,mengganti label, melabel kembali
dan/ataumenukar tanggal, dan Tahun kadaluarsapangan yang
diedarkan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 99 dipidanadengan
pidana penjara paling lama 2(dua) Tahun atau denda paling banyak
Rp. 4.000.000.000,00 (Empat MilyarRupiah)”.
Selanjutnya pada Pasal 144 mengatur bahwa “Setiap orang
dengan sengaja memberikan keterangan atau persyaratan yang tidak
benar atau menyesatkan pada label sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 100 ayat (2) di Pidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) Tahun atau denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (Enam
Milyar Rupiah)”.
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban bagi pelaku
usaha yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana yang
tercantum pada Pasal 25 UUJPH maka dikenai sanksi administratif
berupa peringatan tertulis, denda administratif atau pencabutan
sertifikat halal. Dan juga bagi pelaku usaha yang tidak melakukan
kewajiban dalammemproduksi produk dari bahan yang berasal dari
barang yang diharamkan sesuai Pasal 26 dikenakan sanksi
administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis atau denda
administratif. Selain ketentuan berupa denda yang bersifat
administratif di UU JPH ini jugamengatur ketentuan pidana bagi
pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 56 yaitu “ Pelaku usaha
yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh
sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun atau
pidana denda paling banyak paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua
69
Milyar rupiah)”. Untukmenjamin kerahasiaan formula yang diajukan
oleh pelaku usaha yang melakukan mengajukan sertifikasi halal di
atur dalam Pasal 43 UU JPH, “ Setiap orang yang terlibat dalam
penyelenggaraan proses JPH wajib menjagakerahasiaan formula
yang tercantumdalam informasi yang diserahkan olehpelaku usaha”.
Apabila melanggar maka pelaku dipidana penjara paling lama 2
(dua)Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua
Milyar rupiah).
Dari uraian diatas menurut penulis dengan kehadiran UUJPH
memberikan peraturan yang tegas terhadap pelaku usaha jika pelaku
usaha melanggar ketentuan-kentuan terkait jaminan produk halal.
Dalam ketentuan UUJPH juga menyebutkan jika pelaku usaha tidak
menjaga kehalalan produk nya maka akan dikenakan sanksi baik sanki
pidana ataupun denda administratif. Ketentuan tersebut akan berlaku
pada tahun 2019 nanti sehingga para konsumen Muslim mempunyai
perlindungan jika seorang pelaku usaha melanggar dari ketentuan-
ketentuan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun
2014 tentang Jaminan Produk Halal.
70
BAB V
PENUTUP
Analisis mengenai perlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap
produk pangan yang tidak bersertifikat halal merupakan rasa keingintahuan
penulis dalam mengetahui bagaimana pengaturan dalam bentuk perlindungan
hukum bagi konsumen yang beragama Islam jika pelaku usaha tidak memiliki
sertifikat halal dan tanggung jawab dan sanksi hukum jika tidak memiliki
sertifikat halal. Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta
pembahasannya baik yang berdasarkan teori maupun data-data yang penulis
dapatkan selama mengadakan penelitian, sebagai sebuah karya ilmiah, maka
penulis menarik kesimpulan dan saransebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Sejarah pengaturan sertifikasi halal sebagai bentuk legitimasi kehalalan
produk pangan di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1967 yaitu
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dengan dilanjutkan
sembilan tahun kemudian munculnya Peraturan Menteri Kesehatan RI
N0. 280/Menkes/Per/XII/76 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan
Makanan yang Berasal dari Babi hingga lahirnya Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pengaturan sertifikasi halal
dalam bentuk Undang-Undangdari mulai diterbitkannya UU Pangan, UU
Perlindungan Konsumen, dan UU Jaminan Produk Halal ini merupakan
bentuk payung hukum yang diberikan kepada masyarakat dalam
mengonsumsi pangan halal di Indonesia.
2. Salah satu bentukperlindungan hukum bagi konsumen Muslim terhadap
produk pangan yang tidak bersertifikat halal pada saat ini adalah dengan
melihat daftar bahan yang digunakan (engredients), nomor izin edar bagi
panganolahan, tanggal kode produksi, namadan alamat pihak
71
yangmemproduksi atau mengimpor. Hal ini perlu diperhatikan konsumen
sebagai bentuk antisipasi ketidakjelasan kehalalan dalam sebuah produk.
3. Seorang pelaku usaha atau produsen yang telah mendapatkan sertifikat
halal dari BPJPH, maka pelaku usaha tersebut memiliki tanggung jawab
untuk menjaga kehalalan produknya. Jika suatu saat terbukti merubah
formula atau inkonsisten di dalam penerapan bahan-bahan (engredients)
sehingga merubah status kehalalan dalam produk tersebut, maka pelaku
usaha akan dikenakan sanksi. Sebagaimana yang tercantum di dalam
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang tidak menjaga
kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) Tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,
00 (dua Milyar rupiah).
4. Hadirnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014
sejatinya bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat
yang mengonsumsi dan menggunakan produk pangan di Indonesia.
5. Penerapan sertifikasi halal yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia
saat ini melalui UU Jaminan Produk Halal masih bersifat voluntary
(sukarela), sebab terdapat ketentuan dalam UU Jaminan Produk Halal
yaitu Pasal 67 yang menyebutkan bahwa kewajiban sertifikasi halal akan
sepenuhnya berlaku menjadi mandatory (wajib) setelah 5 tahun sejak UU
Jaminan Produk Halal diundangkan yaitu pada tahun 2019.
6. Saat mulai pemberlakuan UU Jaminan Produk halal tahun 2019 nanti
maka peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah seperti UU pangan dan lainnya. Sebagaimana berlaku asas Lex
superior derogat legi inferior.
7. Meski UU Jaminan Produk halal sudah disahkan 4 tahun yang lalu,
namun belum terbitnya PP sebagai pelaksana Undang-Undang sehingga
72
berimbas kepada tidak berfungsi nya secara efektif Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) di Indonesia.
B. SARAN
1. Meningkatkan pengawasan secara aktif dari pemerintah dengan bekerja
sama dengan seluruh instansi terkait guna memberikan perlindungan
konsumen. Kerjasama juga harus melibatkan Pemerintah Daerah dan
seluruh elemen masyarakat mengingat luasnya daerah peredaran produk-
produk di wilayah Indonesia.
2. Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan edukasi terkait sertifikasi
halal secara masif. Hal ini diperlukan mengingat wajib sertifikasi
(mandatory) menurut ketentuan UUJPH.
3. Penulis memberikan saran bahwa harus adanya Lembaga Pemeriksa Halal
dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, karena syarat
terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah
disertifikasi oleh MUI
4. Penulis memberikan saran untuk segara mengeluarkan Peraturan
Pemerintah terkait Jaminan Produk Halal (JPH) karena peraturan
pemerintah (PP) kareana itu sejatinya menjadi bentuk komitmen
pemerintah tentang jaminan produk halal bagi masyarakat. Dengan adanya
peraturan pemerintah juga kelak semua produk makanan, minuman dan
obat-obatan wajib mendapatkan sertifikasi halal dari pemerintah. Dengan
demikian, masyarakat terjaga dan terhindar dari produk-produk non
halal.Ketiga, jika peraturan ini tak segera dibuat dan disahkan, maka akan
menghambat tumbuhnya industri halal di tanah air. Di sisi lain, seolah
membiarkan produk-produk asing membanjiri pasar dalam negeri yang
tentu saja masih produk-produk tersebut juga belum jelas kehalalannya.
Oleh karena itu harus disegerakan PP terkait Jaminan Produk Halal guna
menjalankan secara efektif UUJPH itu sendiri.
73
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2006.
Sadar, Muhammad. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta:
Akademia, 2012.
Widjaya, Gunawan, dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008.
Soekanto, Soerjono danSri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Cet. 10. Jakarta: Grafindo Persada, 2007.
Widjajati, Erna dan Yessy Kusumadewi. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta:
Roda Inti Media, 2010.
Ngani, Nico. Metodologi Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum. Jakarta:
Pustaka Yustitia, 2012.
Rahardjo, Satjipto. Teori Hukum Strategi Lintas Ruang dan Generasi.
Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Halim Barkatullah, Abdul. Hukum Perlindungan Konsumen, Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran. Bandung: Nusa Media, 2008
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: Studi atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-Obatan dan Kosmetika, Jakarta: Gaung
Persada, 2013
Nasution, Az. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
74
Sutaman Yodo, Ahmadi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007.
Siwi Kristiyanti, Celina Tri.Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Nawawi, Ismail. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Refka Cita media, 2012.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda.Politik Hukum Indonesia.Jakarta: YLBHI, 1988.
Pelu, Muhammad Ibnu Elmi As.Label Halal: Antara Spiritualitas Bisnis dan
Komoditas Agama, Malang: Madani , 2009.
N. H. T., Siahaan.Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung
Jawab Produk, Jakarta: Panta Re, 2005..
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi
Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati, Cet. 1, Jilid III, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar. Juz VII.
Usman, Rachmad. Hukum Ekonomi dalam Dinamika. Jakarta: Djambatan, 2004
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: 2004.
Jurnal
Kurniawan, Budi sutrisno Et All.Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap
Pemberian Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Perspektif
75
Hukum per-lindungan Konsumen. Jurnal Penelitian Universitas Mataram,
Vol. 18, No. 1, (Februari 2014).
LP POM MUI, Jurnal Halal Menentramkan Umat. No.56/X/2005.
Tambunan, Amirsyah.Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999,
Jurnal Halal, No. 101, Th. XVI, Jakarta: LPPOM MUI, 2014.
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam. Jurnal Syariah Sertifikasi ProdukHalal.
Edisi 3, Fakultas Hukum : Universitas Indonesia, 2015.
KN. Sofyan Hasan, Kepastian Hukum sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk
Pangan. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 14, No. 2, Mei, 2014.
Asri Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Muslim Terhadap Produk
Pangan Yang Tidak Bersertifikat Halal. Jurnal IUS, No. 2 Vol. IV, 2016.
Maulidia, Rahmah. Urgensi Regulasi dan Edukasi Produk halal bagi Konsumen,
Justitia Islamica. Vol. 10, No. 2 , Juli-Desember, 2013.
LPPOM MUI, Panduan Titik Kritis Bahan Untuk Auditor, 2011.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal
Internet
https://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/08/16475821/kemasan.makanan.bi
kini.berlabel.halal.palsu. Jakarta: Agustus-2016.