Upload
wuri-handoko
View
3.381
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
JEJAK PERDAGANGAN MALUKU MASA LAMPAU DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIKWuri HandokoAbstrak Wilayah Maluku, merupakan salah satu wilayah Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah pelayaran dan perdagangan internasional. Hasil penelitian arkeologi dapat memberikan gambaran, sejak masa prasejarah wilayah kepulauan Maluku telah menjadi jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Wilayah ini juga dapat dipahami sebagai wilayah yang menjadi jembatan globalisasi sejak masa prasejarah. Pada
Citation preview
JEJAK PERDAGANGAN MALUKU MASA LAMPAU DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI DAN POLITIK
Wuri Handoko
Abstrak
Wilayah Maluku, merupakan salah satu wilayah Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah
pelayaran dan perdagangan internasional. Hasil penelitian arkeologi dapat memberikan
gambaran, sejak masa prasejarah wilayah kepulauan Maluku telah menjadi jalur pelayaran dan
perdagangan internasional. Wilayah ini juga dapat dipahami sebagai wilayah yang menjadi
jembatan globalisasi sejak masa prasejarah. Pada masa sejarah Islam dan Kolonial, merupakan
puncak atau zaman keemasan perdagangan Internasional wilayah Maluku. Pada zaman ini
perdagangan internasional telah menempatkan kerajaan-kerajaan Islam sebagai penguasa utama
perdagangan di wilayah ini yang jalin menjalin dengan bangsa asing. Pada masa kolonial,
perdagangan internasional wilayah ini semakin luas, dengan terlibatnya bangsa-bangsa kolonial
sejak era Portugis hingga Belanda, dalam penguasaan komoditi perdagangan dunia, yakni
rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala.
Kata kunci : perdagangan, internasional, globalisasi, prasejarah, sejarah.
Abstract
Region Moluccas, representing one of the region of Nusantara which have been known as by sea
transport region and international trade. Result of research of archaeology can give explain, since
a period of regional prehistory of archipelago of Moluccas have come to international trade and
fairway. Regional this also can comprehend as region becoming globalization bridge since a
period of prehistory. In Islamic and Colonial history, representing golden epoch or top of
regional international trade of Moluccas. In this period, international trade have placed empires
of Islam as especial power of commerce in this region braiding braid with foreign nation. In
Colonial, this regional international trade progressively wide, involved of colonial nations since
era of Portugese till Dutch, in hand commodity commerce of world, namely mace, like nutmeg
and clove.
Keyword : commerce, international, globalization, prehistoric, history
Pendahuluan
Membahas wilayah perairan Maluku, dalam hal ini adalah meliputi wilayah perairan yang
kini terbagi menjadi dua Provinsi yakni Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pada masa lampau,
terutama pada masa berkembangnya perniagaan yang telah dimulai sejak awal-awal abad
masehi, baik Maluku dan Maluku Utara merupakan satu kesatuan wilayah tak terpisahkan, yang
dikenal sebagai wilayah perairan atau Kepulauan Maluku. Secara keseluruhan wilayah
Kepulauan Maluku, merupakan wilayah yang sangat strategis menjadi jalur lintasan perdagangan
global yang melibatkan bangsa-bangsa besar di dunia.
Wilayah Kepulauan Maluku atau terkenal dengan sebutan Spice Island oleh para ahli
dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis menyangkut eksistensinya dalam
kancah niaga dunia, sejak ribuan tahun lalu. Dari segi ekonomi, Maluku merupakan wilayah
penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi
ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada
pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; Ambary, 1998:150). Mengingat
posisi yang startegis itu, tidak mengherankan jika sejak masa prasejarah, Maluku telah menjadi
titik strategis yang selalu menjadi daerah migrasi dari kelompok-kelompok manusia dari
berbagai belahan dunia. Wilayah ini dianggap sebagai bagian dari tanah asal suku-suku bangsa
pemakai bahasa-bahasa Austronesia. Masa yang jauh sebelumnya, wilayah ini telah menjadi
lintasan strategis migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Malanesia
dan mikronesia, Oceania dan terus kearah timur, yng diikuti oleh perkembangan budaya wilayah
timur sjak ribuan tahun yang lalu (Andili, 1980; Shutler dan Shutler, 1975:8-10; ibid). Penjelasan
para ahli tersebut menyiratkan bahwa wilayah kepulauan Maluku sejak masa ribuan tahun lalu
telah menjadi jembatan dunia atau jembatan global yang menghubungkan berbagai budaya dari
berbagai belahan dunia.
Wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-rempahnya, telah menjadi perhatian
dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan persaingan lokal dalam hal penguasaan
perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku telah menjadi ajang persaingan ekonomi
dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan kekuasaan. Sudah jelas, kekuatan ekonomi
dan perdagangan telah menegaskan adanya kekuatan-kekuatan politik atau kekuasaan dalam
suatu wilayah untuk menguasai wilayah lainnya. Perdagangan dan ekonomi adalah salah satu
sumbu utama kekuatan untuk menguatkan kekuasaan. Telah banyak diketahui bahwa wilayah
Kepulauan Maluku, terutama di wilayah terdapat pusat-pusat kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan
yang sangat mapan, sosial, budaya, eokonomi dan politik yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan
dan Jailolo (Moluko Kie Raha) serta Hitu dan Banda. Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua
pilar kekuasaan yang banyak mengembangkan sayap politik, kekuasaan dan ekonominya ke
wilayah lain. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan
bandarnya yang penuh hiruk pikuk inilah yang menandai puncak atau zaman keemasan
perdagangan nusantara. Perdagangan adalah jembatan utama dalam proses penguatan kekuasaan
kerajaan-kerajaan di tanah rempah, Maluku. Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di
wilayah Banda, meskipun bukan kerajaan namun sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai
pelabuhan transito utama dan juga penghasil cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain
dengan perantara pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra
(Malaka).
Kemudian, diketahui Maluku menyimpan potensi alam yang sangat kaya. Maluku
terkenal sebagai daerah pengahasil komoditi yang paling dicari oleh seluruh kelompok manusia
dari berbagai belahan dunia. Pada masa perkembangan budaya dan teknologi pelayaran yang
semakin maju, banyak bangsa-bangsa asing rela menempuh samudra yang luas dan dalam
dengan kegananasan lautnya demi mencapai kepulauan Maluku, sebagai surganya rempah-
rempah. Maluku, kemudian terkenal dengan sebutan Kepulauan Rempah (Spice Island).
Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh dalam
perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa kemudian berusaha memperoleh rempah-rempah
langsung dari tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya pusat
perdagangan di Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada tahun berikutnya,
kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku. Pusat perdagangan semakin
meningkatkan persaingan aktifitas dagang mengingat beragamnya produk perdagangan di
wilayah kepaulaun Indonesia, termasuk Maluku. Pusat-pusat niaga di Maluku merupakan salah
satu jaringan perdagangan inter regional yang menghubungkan dengan wilayah pelabuhan
lainnya di wilayah Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Sumatra, Kalimantan dan Papua bahkan ke
bagian Tenggara Asia (Schrieke 1955; van Leur 1955; Swalding 1996; Leirissa 2000 dalam
Nayati 2005). Peran Maluku di dunia internasional tak dapat dipungkiri lagi, terbukti pada abad
10 Masehi, wilayah perairan ini terkenal sebagai salah satu lintasan Jalur Sutera. Pada abad X
jalur sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik baik dalam segi
perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya
menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain terutama rempah-rempah yang sangat
dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan orang menyebutnya sebagai jalur rempah-
rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah kemudian menjadi komoditi utama perdagangan
dunia (Lapian, et.al. 2001: 39).
Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala
pada masanya menjadi tujuan utama pedagang-pedagang Arab dan Cina. Sejak berabad-abad
yang lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh
negara dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki Kepulauan Maluku. Hal ini kemudian
semakin ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portugis, Belanda juga Spanyol turut meramaikan
perdagangan di Maluku.
Pelayaran Masa Prasejarah: Cikal Bakal Perdagangan Internasional
Bukti-bukti fisik adanya pelayaran kuno ke wilayah Maluku sejak masa lampau, telah
dimulai sejak masa prasejarah. Ini membuktikan bagaimana Kepulauan Maluku telah menjadi
jalur pelayaran internasional dan berkembang menjadi salah satu rantai dalam jaringan
perdagangan dunia sejak ribuan tahun lalu. Hal ini berarti pula bahwa wilayah perairan Maluku
memiliki peran yang strategis dalam konteks pergaulan global. Dapat dipahami pula bahwa masa
prasejarah adalah masa awal yang menjadi cikal bakal adanya perdagangan dan pergaulan
global. Globalisasi masa lampau telah menempatkan wilayah kepulauan Maluku dalam posisi
yang sangat strategis menghubungkan berbagai belahan dunia dalam kancah networking yang
berpengaruh terhadap kompleksitas budaya, sosial, ekonomi dan bahkan ideologi. Sejak era
tradisi bercocok tanam, pusat-pusat peradaban tumbuh di berbagai belahan dunia (Olson,
2004:140). Seiring dengan itu maka tumbuhlah pusat-pusat peradaban dunia, kemudian muncul
jaringan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan terhadap berbagai komoditi
Jejak–jejak pelayaran kuno dapat ditelisik melalui berbagai bentuk visualisasi perahu
baik pada seni lukis yang diterakan pada dinding cadas yang menjulang persis di bibir pantai
maupun pada bentuk visualisasi dan media lainnya. Pada setiap situs lukisan cadas (Rock Art)
yang tersebar di wilayah Kepulauan Maluku, yakni Teluk Saleman, Teluk Sawai, Pantai
Ohoidertawun, Wamkana Buru Selatan, akan ditemui bentuk lukisan perahu. Visualisasi perahu
terlihat dari bentuk sederhana, yakni perahu tanpa layar serta perahu yang sudah menggunakan
layar. Ada pula visualisasi perahu yang menggambarkan bentuk perahu dengan membawa
muatan tertentu. Dari perekaman data terbaru tentang lukisan cadas di situs Ohoidertawun Tahun
2009, tampak sekali lukisan perahu, ditempatkan pada panel dinding cadas yang luas, sangat
mudah ditemukan. Seakan-akan dalam penempatan lukisan cadas, memang ada pola pikir
tertentu manusia pendukungnya untuk mengkomunikasikan bahwa lukisan perahu, merupakan
aspek budaya yang penting, sehingga harus ditempatkan pada bidang panel cadas yang mudah
terlihat. Data arkeologi lukisan cadas Ohoidertawun, misalnya banyak menggambarkan berbagai
bentuk komunikasi yang seakan-akan mengabarkan kepada kita, bahwa masa itu komunitas
manusia pendukungnya telah menggunakan perahu untuk sampai ke wilayah perairan Maluku.
(Handoko, 2007). Interpretasi tentang perahu yang memuat barang tertentu, antara lain nekara,
memberikan isyarat adanya aktifitas niaga purba pada zaman itu.
Pada masa berikutnya, tepatnya pada zaman perundagian, di wilayah maluku yakni di
Kepualuan Gorom dan wilayah Kei Kecil ditemukan sejumlah nekara, yang merupakan komoditi
niaga pada masa itu. Nekara, dianggap sebagai barang mewah pada masa pertama kali manusia
mengenal pembuatan barang dari bahan logam. Selama ini Nekara dianggap sebagai produk
budaya yang berasal dari wilayah China atau Dongson. Temuan nekara di Pulau Gorom bisa
menegaskan adanya kontak-kontak awal budaya yang bersifat politis maupun ekonomis di
wilayah Gorom di masa lampau (Handoko, 2007a).
Menyangkut kronologi budaya nekara, banyak diselidik melalui motif hias nekara yang
ditemukan di Indonesia Timur seperti Pulau Roti, Pulau Leti, Kepualuan Kei dan Selayar yang
memiliki banyak persamaan dengan motif hias China dan Dongson, sehingga tidak tertutup
kemungkinan bahwa nekara-nekara tersebut di datangkan dari China atau Dongson (Hartatik,
1995:96-98). Diperkirakan nekara tersebut berasal dari masa sekitar 400 - 300 SM (Heekeren,
1958, dalam Hartatik, 1999:18). Jika melihat kesamaan motif hiasnya, maka Nekara Gorom
dapat digolongkan sama dengan temuan nekara di Indonesia Timur lainnya seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Selain itu jika dilihat dari perbandingan motif hias nekara dengan
lukisan cadas, diperkirakan kedua budaya tersebut beberapa diantaranya berlangsung pada
kronologi yang sama (baca Hartatik, 1999: 20- 23). Sebagai contoh dapat disebutkan, motif hias
perahu dapat dijumpai di semua lukisan cadas di wilayah Sulawesi Selatan, Muna, Timor-Timur,
Seram (Maluku), Flores, Lomblen dan Irian. Motif hias Perahu, terdapat pada semua sampel
nekara yang ditemukan di Nusantara (ibid: 22).
Ada anggapan bahwa seni cadas berkaitan dengan perjalanan arwah dengan perahu yang
dibawa oleh pendukung budaya Dongson yang bermigrasi 2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo,
1996 : 12). Selain itu lukisan cadas di beberapa wilayah seperti Muna, Seram, Kei, Irian, Timor
Timur dan Flores mempunyai motif hias yang memiliki tingkat persamaan dengan nekara antara
7,4 % sampai dengan 40,7 %. Diperkirakan lukisan cadas di daerah tersebut berkembang sekitar
masa penggunanaan nekara atau pada masa perunggu sampai abad masehi. Data arkeologis itu,
menegaskan bahwa sejak masa paleometalik, ribuan tahun lalu, telah ada aktivitas niaga yang
sampai ke wilayah perairan Maluku. Bukti lainnya adalah ditemukannya beberapa data manik-
manik yang pada masa lampau juga merupakan barang yang diperdagangkan antar negara.
Manik-manik merupakan produk budaya masa prasejarah, utamanya sejak masa bercocok tanam
dan masa perudagian yang selevel dengan masa megalitik. Selain itu data terbaru hasil penelitian
di Pulau Banda, temuan batu obsidian yang dianggap sebagai barang berharga pada sekitar 3000
tahun yang lalu, yang seringkali dihubungkan dengan budaya Lapita. Obsidian juga dianggap
sebagai barang pertukaran bernilai ekonomi tinggi, yang dibawa jauh dari sumbernya (Lape dan
Tanudirjo, 2009).
Berbagai produk masa lampau yang ditemukan di wilayah Maluku membuktikan bahwa
sejak masa prasejarah, wilayah maluku telah menjadi jalur pelayaran internasional sekaligus
menjadi salah satu rantai dalam jaringan perdagangan internasional. Jaringan perdagangan
internasional dapat pula dipahami sebagai proses globalisasi yang memposisikan wilayah
Maluku sebagai salah satu entitas penting dalam dinamika global tersebut. Perdagangan telah
menempatkan Maluku dalam kancah pergaulan global yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa
luar.
Perdagangan International Masa Islam dan Kolonial : Kekuatan Ekonomi dan Politik
Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh dalam
perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa berusaha memperoleh rempah-rempah langsung dari
tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya pusat perdagangan di
Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada tahun berikutnya, kapal-kapal
Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan
Bangsa Eropa pertama dipimpin Cornelis de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini
sekaligus menjadi titik awal rentang panjang sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari
Portugis hingga Belanda (Djafaar, 2006:18). Mendahului itu, para pedagang Islam Arab, Persia,
Gujarat, serta para pedagang Cina, telah sampai di perairan Maluku untuk tujuan berdagang.
Dunia perdagangan di Indonesia menampilkan berbagai produk andalan yang memikat
pedagang asing. Produk andalan yang terkenal adalah rempah-rempah dan kayu cendana pada
periode awal, kemudian disusul dengan produksi laut, seperti teripang, agar-agar, mutiara,
kerang mutiara, sisik penyu, sirip ikan hiu dan lola disamping produksi lainnya seperti lilin, kayu
manis, kayu sapan, tekstil, emas dan perkakas rumah tangga (Poelinggomang, 2001, 7-8).
Menurut Poelinggomang produksi-produksi ini ditukarkan dengan produksi dari zona
perdagangan lainnya seperti yang datang dari barat (Eropa, Arab, India, Malaka) dengan
berbagai jenis produk seperti tekstil, permadani, mata uang emas dan candu. Sementara dari
Utara (Cina, Jepang dan Filipina) adalah porselin, sutra, bahan sutra, loyang Cina, gong Cina
kecil, gading gajah, ringgit spanyol, radiks Cina, perhiasan emas, tembaga Jepang, ketel tembaga
dan berjenis mata uang serta budak (ibid). Jenis-jenis komoditi itu diperdagangkan secara silang
dalam pengertian bahwa produksi yang diimpor kadang menjadi ekspor ke pelabuhan pusat niaga
lain dalam jaringan perdagangan internal maupun keluardari jaringan internal.
Dari penjelasan Poelinggomang itu dapat ditarik berbagai kesimpulan, yakni :pertama
komoditi niaga tidak hanya dimonopoli oleh produk pesisr atau laut (ikan, mutiara, teripang dll)
namun juga produksi dari daerah dataran (perkakas rumah tangga, tekstil) atau pedalaman
(rempah-rempah, dan berbagai jenis kayu). Kedua: adanya pertukaran atau persilangan
(interseksi) antar zona perdagangan lainnya dengan daerah luar. Ketiga; proses persilangan atau
pertukaran komoditi tidak saja dalam jaringan perdagangan keluar tetapi juga secara internal
(lokal). Dengan penjelasan tersebut, kiranya dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa aktifitas
perdagangan pada masa lampau telah melibatkan berbagai pusat niaga yang masing-masing
berkompetisi dan saling menukarkan komoditi sesuai dengan kebutuhannnya. Demikian, maka di
Indoensia yang berbentuk kepulauan masing-masing wilayah di Nusantara ini saling menukarkan
produknya sesuai kebutuhan masing-masing antar pulau melalui pusat niaga masing-masing.
Pada era perdagangan rempah, wilayah Maluku meliputi, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo
(Moluko Kie Raha), Hitu, dan Kepulauan Banda merupakan tempat produksi sekaligus
pemasaran produk lokal yang paling terkenal yakni Cengkeh dan Pala. Wilayah ini
menghubungkan wilayah-wilayah lainnya sebagai tempat pemasaran seperti di Gorom, Kei-Aru
dan Tanimbar. Hitu, yang disebut sebagai suplay station, merupakan pelabuhan transit sekaligus
pemasok kebutuhan cengkeh ke wilayah lainnya. Ternate, Tidore , Bacan dan Jailolo, adalah
bandar-bandar niaga yang besar yang membawahi bandar-bandar niaga lainnya yang menyatakan
menjadi daerah kekuasaan kerajaan, terutama Ternate dan Tidore, yang pada periode berikutnya
merupakan kerajaan yang paling luas kekuasaanya
Miksic mencatat setidaknya ada 3 (tiga) pola distribusi komoditi dalam proses
perdagangan (pertukaran barang) yakni: pertama: pengambilan langsung (direct acces), yakni
antara pihak pengambil bahan dari suatu tempat asal bahan kepada pihak penerima bahan
komoditi di tempat tertentu untuk menerima barang. Kedua; pertukaran antara dua orang
(reciprocity), pertukaran yang terjadi antara pihak pnerima dengan pemberi yang dapat
berlangsung pada tempat pemberi atau penerima atau juga pada batas antar wilayahnya. Ketiga;
pola penyaluran kembali (redistribution), yakni bahan atau komoditi dari pedalaman diterima
oleh orang pusat, bisanya raja di ibukota yang kemudian menyalurkannya kembali kepada orang-
orang dipesisir. Dengan demikian antara orang pesisir dan pedalaman tidak bertemu langsung.
Pola ini menurut Micksic yang banyak terjadi di Indonesia pada masa berkembangnya kerajaan-
kerajaan. (lihat Miksic, 1981, 10-11). Pola perdagangan seperti itu sesungguhnya dapat
memberikan tentang gambaran pola penyesuaian sosio ekonomi pada masa lalu seperti yang
dituliskan oleh Miksic (1981). Menurutnya kemungkinan besar, pola yang menghubungkan
beberapa ekozone telah terbentuk, bahkan jauh sebelum masa klasik. Untuk mempertajam
gagasan ini dibutuhkan data terperinci mengenai jenis dan jumlah komoditi yang ditukar tangan
oleh para pihak penyalur komoditi, baik diwilayah pesisir, dataran, pedalamann, wilayah pusat
(raja) dan penghulu (Miksic, 1981: 12). Catatan penting lainnya adalah sebagaimana yang
diungkapkan Heriyanti Ongkodharma Untoro, bahwa perdagangan merupakan bagian dari
kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Perkembangan perdagangan dari satu masa ke masa
berikutnya mengalami perubahan, dapat dikatakan dari sistem yang sederhana menjadi sistem
yang lebih kompleks. Akibatnya penjelasan serta pengertian tentang perdagangan menjadi
semakin beragam sesuai dengan periode masyarakat pendukungnya (Untoro, 2007:13).
Apa yang dituliskan oleh Miksic (1981) nampaknya benar-benar dapat digambarkan
seperti yang terungkap dalam tulisan Nayati (2005) yang menyebutkan bahwa pada Abad 16-19
Syahbandar dan para bangsawan/penguasa memainkan peran penting dalam distribusi barang
dari pesisir ke pedalaman, contoh di Gresik, Banten, Ternate, Tidore, dan Aceh (Nayati 2005).
Diantara bangsa-bangsa di Asia Tenggara berada pada satu garis antara Benua Asia, India
dan Eropa. Oleh karena itu, maka nampak bahwa letak geografis perairan Asia Tenggara berada
pada satu titik pertemuan, yang dapat menghubungkan negeri Cina dengan negeri-negeri India,
Persia, Negara-negara Arab di Timur Tengah dan ke benua Eropa. Jalur ini sudah ada sejak
jaman purba dan dikenal sebagai Jalur Sutra. Jalur Sutra diartikannya sebagai nama puitis dari
jalur perdagangan yang berkembang antara Asia dan Eropa sejak abad-abad pertama Masehi. Di
perairan Indonesia, jalur ini menyatu dengan jalur rempah-rempah yang berawal dari Maluku,
penghasil pala dan cengkeh. Yang jelas faktor ekonomi menjadi motivasi yang kuat dibukanya
pusat-pusat perdagangan baru. Masa perdagangan dan perkembangan zaman Islam, merupakan
salah satu puncak kebudayaan, zaman keemasan dimana pada masa itu hubungan antara negara
di berbagai belahan dunia semakin terbuka. Puncak kebudayaan ini diawali adanya hubungan
niaga antara para pedagang muslim dengan wilayah pengahasil komoditi yang menjadi
primadona dunia. Adalah wilayah kepulauan Maluku, menjadi tujuan utama para pedagang Arab,
Persia, Gujarat dan tentu saja China yang terkenal sebagai bangsa yang ulet dan tekun dalam
usaha perdagangan. Maluku, adalah tempat yang menyediakan komoditi yang menggiurkan
seluruh dunia. Maluku surganya rempah-rempah, karena di wilayah inilah sumber cengkeh dan
pala, komoditi yang paling dicari oleh bangsa-bangsa didunia. Gelombang kedatangan para
pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan China, bahkan juga Jawa dan Sumatra telah menciptakan
interaksi kultural antara masyarakat dari luar dengan penduduk setempat di wilayah Maluku.
Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala pada
masanya menjadi tujuan utama pedagang-pedagang Arab dan Cina. Sejak berabad-abad yang
lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh negara
dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki kepulauan Maluku. Hal ini kemudian semakin
ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portgis, Belanda juga Spanyol turut meramaikan
perdagangan di Maluku.
Intensitas hubungan antara Nusantara dengan Cina dan Bangsa-bangsa lain di Asia juga
meningkat, hal ini dapat ditelusuri berdasarkan intensitas temuan keramik asing yang didominasi
berasal dari Cina. Taurn (1918) juga mencatat mengenai orang-orang Cina yang telah menetap di
pesisir pantai Seram dengan tujuan berdagang barang-barang yang berasal dari Eropa, India,
Cina, juga Jepang, meskipun rata-rata kualitasnya rendah (Taurn, 1918:61).
Proses interaksi antara orang-orang kumunitas muslim Arab, Persia, China, Jawa,
Sumatera mendorong terbangunnya pemukiman baru didaerah pesisir. Interaksi dagang dan
perdagangan lokal mulai berkembang dimana dimulai dari proses yang paling sederhana yaitu
barter sampai dijadikannya uang sebagai alat tukar yang sah. Terbentuknya pola pemukiman
baru pada daerah-daerah pesisir turut mendukung penyebaran dan pengaruh Islam di Maluku.
Akulturasi antara budaya asli dan budaya luar (Islam) mulai dirasakan sangat kuat ketika
terjadinya perkawinan antara pedagang-pedagang Islam dengan penduduk pribumi. Perdagangan
dan Islamisasi merupakan dua hal yang tak terpisahkan yang telah menciptakan tatanan sosial
budaya yang baru di tanah rempah ini.
Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam sebagai pusat perdagangan menjadi bukti bahwa
Islam diterima dengan baik di nusantara. Selain Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan di Maluku
Utara yang kemudian dikenal dengan sebutan Molukie Kie Raha di bagian selatan kepulauan ini,
Hitu merupakan salah satu kerajaan Islam yang kemudian berkembang menjadi pusat
perdagangan yang sangat terkenal di Maluku. Selain itu juga terdapat kerajaan-kerajaan Islam
yang lain di Maluku Tengah misalnya Kerajaan Hitu di jazirah Liehitu, Pulau Ambon, (Kerajaan
Iha) di pulau Saparua. Sehingga dalam sejarah Indonesia dan sejarah Maluku secara khusus
pengaruh penyebaran ajaran Islam turut memegang peranan penting. Hal ini dikarenakan oleh
melalui pedagang Islam maka terbentuk pola-pola pemukiman baru dan pusat-pusat perdagangan
di nusantara selain itu pengaruh Islam juga merubah kultur masyarakat setempat. Pengaruh Islam
dalam babakan sejarah Indonesia memberikan perubahan yang sangat besar dimana melalui
interaksi perdagangan dan ajaran Islam. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai
lintasan perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah
formasi dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut. Di antara
zona ekonomi ini dihubungkan melalui rantai pelabuhan yang menopang gerak atau laju
perdagangan kedua wilayah. Di wilayah Kepulauan Maluku, kota-kota niaga atau kota pelabuhan
terkenal seperti Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Hitu, Banda adalah wilayah-wilayah pelabuhan
yang saling berinteraksi jalur distribusi pertukaran produk dalam lintasan perniagaan lokal
(Handoko, 2007b). Pusat-pusat perdagangan yang muncul di Maluku menjadi kuat ketika raja-
raja di daerah sekitar memeluk agama Islam sehingga mendorong interaksi dengan daerah-
daerah diluar Maluku.
Pengaruh perdagangan oleh-pedagang-pedagang muslim tidak hanya dirasakan pada satu
daerah di Maluku tetapi pengaruh ini sampai diseluruh Maluku khususnya daerah-daerah pesisir.
Banda merupakan salah satu kota dagang yang mendapat perhatian penting oleh pedagang-
pedagang Islam karena hasil alamnya yang kaya dengan Pala. Selain itu letak geografis Banda
yang sangat strategis pada rute pelayaran antar pulau yang dilewati oleh para pedagang. Proses
perdagangan di wilayah Banda tidak hanya melibatkan masyarakat setempat melainkan juga
orang-orang dari Maluku Tenggara. Menurut sumber sekunder yang menjadi tuturan masyarakat
Maluku Tenggara diperoleh data tentang interaksi perdagangan antara orang-orang Arab dan
masyarakat Maluku Tenggara dalam bentuk barter. Hasil penelitian Peter Lape, menjelaskan
wilayah Kepulauan Banda merupakan salah satu wilayah yang pada abad 11 hingga abad 17,
menjadi wilayah yang memiliki peran yang sangat penting dan vital, sejak era masyarakat mulai
mengadopsi Islam hingga masa masuknya pengaruh Kolonial. Bukti-bukti arkeologi hasil survei
maupun ekskavasi dapat menjelaskan bagaimana Banda, sebagai salah satu kota perdagangan
memunculkan beragam dinamika baik dalam tataran budaya, ekonomi, politik bahkan ideologis
(Lape, 2000). Ricklefs, menuliskan Banda, sebagai penghasil pala adalah satu-satunya wilayah di
Kepulauan Maluku, yang paling kuat menolak orang-orang Eropa. Orang –orang Banda terus
memainkan peran aktif dan mandiri dalam perdagangan sampai abad XVII (Ricklefs, 2008:68).
Pengaruh Islam juga menyebar sampai ke pulau Ambon dan daerah-daerah sekitarnya.
Pengaruh Islam yang pertama dan yang paling kuat berada dijazirah Leihitu hal ini dibuktikan
dengan berdirinya kerajan Islam (Hitu) di Jazirah Leihitu. Pulau Ambon terbagi dalam dua
wilayah yaitu Leihitu yang berada di pulau Ambon bagian utara dan Leitimor di Pulau Ambon
bagian timur. Dalam perkembangan pelayaran maupun perdagangan Leihitu lebih memegang
peranan penting sebelum pusat pelayaran dan perdagangan serta pemerintahan dipindahkan ke
Ambon. Terbentuknya wilayah dan pusat-pusat perdagangan yang ada di Maluku mempermudah
perdagangan lokal antara pedagang-pedagang nusantara dengan pedagang lokal dan juga
pedagang asing (Arab, Cina, India).
Eksistensi kekuasaan Islam terutama di wilayah Maluku, tak bisa dilepaskan dari
kegiatan perdagangan, hal ini mengingat penyebaran pengaruh Islam salah satunya dimulai
melalui aktivitas niaga oleh para pedagang muslim, meskipun sebagian ahli berpendapat,
perdagangan tak bersangkut paut langsung dengan Islamisasi. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa
antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-
pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada
beberapa abad sebelum masa pengislaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan
terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa
proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang,
sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa
penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang
tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi
Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan bahwa munculnya jalur
perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan
serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad 13-18 M
(Tjandrasamitha, 2009:39).
Di wilayah Kepulauan Maluku contohnya, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam yang
besar dan semakin kuat eksistensi kekuasaannya, salah satu faktor utama yang berpengaruh
adalah karena kekuatan perdagangannya. Pada masa perkembangannya munculnya rivalitas
kekuasaan, terutama Ternate dan Tidore, justru menciptakan simpul-simpul wilayah kekuasaan
sebagai bagian dari jejaring niaga untuk menguatkan eksistensi kekuasaan Islam. Leirissa
menuliskan, ketika terjadi perebutan pengaruh kekuasaan antara Ternate dan Tidore, Ternate
melakukan ekspansi di wilayah Pulau Seram (Maluku Tengah dan Ambon), sementara itu
Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah paling
timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat
Irian Jaya (Leirissa, 2001:8). Dalam sejarah kekuasaan kerajaan di wilayah Maluku Utara,
Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan Islam yang paling fenomenal dalam sejarah
ekspansi kekuasaan Islam di wilayah Maluku. Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan
bahwa persaingan kedua kerajaan besar Ternate dan Tidore saling berebut pengaruh dan
kekuasaan di wilayah itu. Pada intinya, secara umum Tanah Papua, merupakan salah satu
wilayah yang berperan sebagai penyangga terhadap eksistensi kekuasaan kerajaan yang
berkembang di wilayah Utara terutama Ternate, Tidore dan Bacan yang merupakan 3 (tiga) dari
4 (empat) pilar utama kekuasaan kerajaan Islam yang disebut Molukie Kie Raha.
Dalam sejarah Nusantara, pengaruh Kolonial di Maluku, telah sangat dikenal. Hal ini
karena lamanya pihak Kolonial bercokol di bumi rempah-rempah ini (hampir empat abad).
Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks kolonisasi Eropa
di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh budaya kolonial terutama
Belanda, masih sangat kental. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati baik
budaya hidup yang masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan budaya
benda berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Kentalnya budaya
peninggalan kolonial, sehingga karakteristik budaya Maluku sangat lekat dengan budaya
kolonial. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan Bangsa Eropa pertama dipimpin Cornelis
de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini sekaligus menjadi titik awal rentang panjang
sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari Portugis hingga Belanda. Sejarah, telah banyak
menuliskan kiprah kolonial di bumi Maluku. Terutama dihubungkan dengan perluasan
perdagangan dan penguasaan komoditi lokal Maluku yang sangat populer di dunia.
Julukan paling populer Maluku adalah The Spice Island, Pulau Rempah-rempah. Sejak
dulu, Maluku dikenal sebagai dunia pusat penghasil rempah-rempah.Semerbak harum cengkeh
dan pala, telah membius banyak negara untuk menemukan sumbernya. Pesona rempah-rempah
menjadi rona zaman, menghiasi setiap zaman yang dilalui wilayah ini. Pesonanya mengundang
segala etnis dan bangsa lain menghampiri Maluku. Bahkan pada abad pertengahan, cengkeh dan
pala adalah komoditi yang paling diburu orang. Orang-orang asing dari dunia barat pada abad
itu, rela menempuh bahaya, mangarungi samudra nan luas dan memakan waktu teramat panjang
serta berbagai bahaya dan rintangan menghadang perjalanannya untuk datang ke wilayah ini,
sekedar berspekulasi untuk menemukan rempah-rempah. Adalah Portugis, adalah bangsa asing
pertama yang rela menempuh bahaya itu demi mencapai Kepulauan Maluku.
Kiranya kita bisa mengerti bahwa wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-
rempahnya, telah menjadi perhatian dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan
persaingan lokal dalam hal penguasaan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku
telah menjadi ajang persaingan ekonomi dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan
kekuasaan politik. Sudah jelas, kekuatan ekonomi dan perdagangan telah menegaskan adanya
kekuatan-kekuatan politik atau kekuasaan dalam suatu wilayah untuk menguasai wilayah
lainnya. Perdagangan dan ekonomi adalah salah satu sumbu utama kekuatan untuk menguatkan
kekuasaan. Telah banyak diketahui bahwa wilayah Kepulauan Maluku, terutama di wilayah
terdapat pusat-pusat kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan yang sangat mapan, sosial, budaya,
eokonomi dan politik yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha)
serta Hitu dan Banda. Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan yang banyak
mengembanagkan sayap politik, kekuasaan dan ekonominya ke wilayah lain. Tumbuh dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan bandarnya yang penuh
hiruk pikuk inilah yang menandai puncak atau zaman keemasan perdagangan nusantara.
Perdagangan adalah jembatan utama dalam proses penguatan kekuasaan kerajaan-kerajaan di
tanah rempah, Maluku. Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di wilayah Banda, meskipun
bukan kerajaan namun sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai pelabuhan transito utama
dan juga penghasil cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain dengan perantara
pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra (Malaka).
Setelah Portugis, berturut-turut Belanda, Spanyol, Inggris juga tak mau kalah untuk
mencium wangi cengkeh dan pala milik Maluku. Kebuttuhan terhadap rempah rempah-rempah
terutama cegkeh dan Pala yang dihasilkan dari wilayah Maluku dan Banda membuat bangsa
kolonial, baik Portugis dan Spanyol memberlakukan sistem monopoli dalam perdagangan
rempah-rempah. Dengan sistem ini para bobato (pelaksana peraturan) kerajaan, baik Ternate,
Tidore maupun Bacan, merupakan alat mati yang bekerja tanpa pamrih untuk menyerahkan
cengkeh tanpa dibayar. Praktek seperti ini sering terjadi (Amal, 2009:350). Sejarah mencatat
Portugis dan Belanda adalah dua bangsa Eropa yang paling intens bercokol di bumi Maluku.
Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks kolonisasi
Eropa di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh budaya kolonial
terutama Belanda, masih sangat kental. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati
baik budaya hidup yang masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan
budaya benda berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Benteng-benteng
Kolonial, tersebar pada hampir seluruh wilayah di kepulauan Maluku. Begitu pula gedung
perkantoran, jaringan jalan dan monumen-monumen. Pendek kata wajah kota di beberapa
wilayah di Kepulauan Maluku, merupak citra budaya kolonial.
Dalam soal komoditi asing seperti keramik porselin, kebutuhan ini juga meningkat,
sehingga pasokan komoditi ini semakin intensif diperdagangankan di Maluku. Dari berbagai
catatan maupun penelitian arkeologi, produk keramik telah hadir di Maluku sejak awal
perkembangan perdagangan di wilayah ini. Temuan keramik asing di situs-situs arkeologi pada
umumnya berasal pada masa dinasti Ming (16-17) dan Ching (18-19) serta Eropa (19-20).
Namun beberapa catatan penelitian juga menyebutkan adanya temuan keramik Asing yang
berasal dari abad 14 M, meskipun kuantitas yang kecil. Keramik Cina diketahui sejak abad 14 M
dengan ditemukannya piring besar di daerah Jailolo, Halmahera Utara. Maluku Utara telah ada
hubungan kontak dagang sejak abad 14, berdasarkan data keramik asing Yuan berupa piring
besar. Hal ini dikaitkan dengan data sejarah:Ternate dan Tidore mengadakan kontak dagang
tahun 1521 dengan Portuguis dan Spanyol. Abad 15-20 perdagangan semakin ramai membawa
keramik untuk ditukarkan dengan rempah-rempah yang banyak dihasilkan Penduduk Maluku.
Abu Ridho menginformasikan bahwa museum Nasional Jakarta menyimpan keramik-keramik
dari jenis yang baik seperti biru putih dari dinasti Ming abad 15-17, kendi dari masa dinasti Yuan
abad 14 AD, botol di Ternate dari Vietnam abad 15 AD, juga terdapat keramik jepang dari amsa
Edo abad 17 M yang ditemukan di Halmeahera (Awe dan Intan F.S, 1994; 65-66). Pada
penelitian itu juga dapat menjadi petunjuk bahwa komoditi keramik asing dari Dinasti Ming dan
Ching tidak hanya ditemukan di pusat-pusat niaga seperti Ternate dan Tidore, namun juga di
pulau-pulau terpencil seperti Pulau Waidoba, Doro dan Pulau Taneti, yang pada masa lampau
menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar itu. Demikian juga temuan keramik asing di
beberapa situs bekas kerajaan maupun permukiman di Maluku lainnya, seperti di Hitu (Ambon),
Kerajaan Iha (Saparua), Sahulau (Seram), Kepulauan Gorom dan beberapa situs lainnya pada
umumnya terdiri dari keramik asing masa dinasti Ming dan Ching.
Di wilayah Maluku, bagaimanapun bukti interaksi melalui perdagangan bangsa asing
dengan penduduk lokal dapat dijejaki berdasarkan data arkeologi. Keramik porselin menjadi
bukti nyata hal tersebut. Temuan-temuan keramik asing pada hampir semua situs arkeologi di
wilayah Maluku bisa menjadi bukti kuat untuk itu. Dari sekian banyak hasil penelitian, dapat
memperlihatkan bagaimana tumbuh dan berkembangnya pusat–pusat niaga di wilayah Maluku,
seperti Ternate, Tidore, Bacan Jailolo Ambon, Seram dan Banda dengan daerah luar (bansga
asing). Sejauh ini temuan keramik asing paling banyak ditemukan di daera-daerah pesisir atau
daerah-daerah pusat niaga, namun pada banyak tempat di daerah pedalaman juga ditemukan. Di
beberapa daerah di Indonesia, terutama Maluku, data arkeologi keramik asing dapat menjadi
petunjuk berharga untuk melihat aktifitas perdagangan antara pihak asing dengan pedagang
lokal, pedagang lokal antar pulau atau daerah niaga di lingkup lokal Kepulauan Maluku maupun
antara pusat niaga di daerah pesisir dengan daerah pedalaman.
Penutup
Wilayah Kepulauan Maluku, sejak masa prasejarah ribuan tahun lalu, telah menjadi
wilayah strategis dengan sumberdaya alamnya telah menciptakan tatanan global, dimana
hubungan kultural diantara berbagai bangsa bertemu. Melalui perantara pelayaran dan
perdagangan international, wilayah perairan Maluku telah menancapkan dasar-dasar relasi
kultural, menciptakan tatanan baru peradaban manusia yang berdimensi sosial, ekonomi, budaya,
politik bahkan religi. Patutlah dicatat, Maluku sebagai wilayah Nusantara yang menghubungkan
dunia Indonesia dengan dunia luar. Maluku adalah jembatan globalisasi sejak ribuan tahun lalu.
Akar-akar budaya global, sesungguhnya telah tertanam di bumi Maluku, sejak masa prasejarah.
Masa tumbuh dan berkembangnya Islam adalah masa keemasan perdagangan di wilayah
Maluku. Pada masa ini kerajaan-kerajaan Islam yang berperadaban Islam yang mapan tercatat
menguasai ekonomi dan perdagangan. Masa berikutnya, gerak niaga lebih luas lagi dengan
terlibatnya bangsa-bangsa Eropa, dari Portugis hingga Belanda dalam perebutan monopoli
rempah-rempah. Pada masa kolonial, memberikan gambaran adanya dinamika budaya yang
sangat kompleks yang memperlihatkan berbagai bentuk dinamika budaya, ekonomi, politik,
bahkan ideologis.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Adnan M. 2009, Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta. Komunitas Bambu.
Ambary, H. M. 1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam
Indonesia, Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu.
Awe, R.D. dan Intan, F.S. 1994. Laporan Penelitian Arkeologi Bidang Arkeometri Situs
Halmahera, Kabupaten Maluku Utara, Propinsi Maluku. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.(Tidak terbit)
Djafaar, I.A. 2006. Jejak Portugis di Maluku Utara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Handoko, Wuri 2006 Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya. Retrospeksi
Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi Vol. 2 Nomor 3 Tahun 2006. Balai Arkeologi
Ambon.
Handoko, Wuri 2007 Asal-Usul Masyarakat Maluku, Budaya dan Persebarannya: Kajian
Arkeologi dan Mitologi. Kapata Arkeologi. Jurnal Penelitian Arkeologi Wilayah Maluku-
Maluku Utara. Edisi November 2007. Balai Arkeologi Ambon
……………… 2007a, Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya,
Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku. Berita Penelitian Arkeologi
(BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.
…………………, 2007b, Aktifitas Perdagangan Lokal Maluku: Tinjauan Awal Berdasarkan
Data Keramik Asing dan Komoditi. Kapata Arkeologi. Vol. 3 Nomor 5. Balai Arkeologi
Ambon
Hartatik, 1995 Unsur Pola Hias Cina Pada Nekara Indonesia Timur Koleksi Museum Nasional
Jakarta. Tesis Sarjana, Yogyakarta. Fak. Sastra, UGM
……………….., 1999 Perbandingan Motif Hias Nekara dan Lukisan Cadas di Indonesia Timur
(Sebuah Data Bantu untuk Kronologi Lukisan Cadas). Naditira Widya. Bullettin
Arkeologi. ISSN 1410-0932. Balai Arkeologi Banjarmasin.
Lape, V. Peter 2000 Contact And Conflict In The Banda Islands, Eastern Indonesia 11th -17th
Centuries. A Dissertation Submitted In Partial Fulfillment Of The Requirements For The
Degree Of Doctor Of Philosophyin The Department Of Anthropology At Brown University
providence, Rhode Island.May 2000
Lape, V. Peter dan Tanudirjo, Daud 2009 Draft Laporan Sementara Arkeologi Neolitik di
Kepualuan Banda. Universitas Washington dan Universitas Gajah Mada.
Lapian, A.B. 2001. Ternate Sekitar Pertengahan Abad Ke-16. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al.
Ternate: Bandar Jalur Sutera, hal. 39-54. Ternate: LInTas (Lembaga Informasi dan
Transformasi Sosial).
Leirissa, R.Z. 2001. Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur
Sutera. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas
(Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).
Miksic, John N, 1981 Perkembangan Teknologi, Pola Ekonomi dan penafsiran Data Arkeologi
di Inonesia. Majalah Arkeologi. Tahun IV No 1-2. Lembaga Arkeologi. Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Nayati, Widya 2005 Social Dynamics and Local Trading Pattern in the Bantaeng Region,
South Sulawesi (Indonesia) circa 17th century. A Thesis Submitted For The Degree Of
Doctor Of Philosophy The Southeast Asian Studies Programme. National University Of
Singapore.
Olson, Steve, 2004 Mapping Human History: Gen, Ras dan Asal-Usul Manusia.PT. Serambi
Ilmu Semesta. Anggota IKAPI. Jakarta
Poelinggomang, Edward, L 2001 Perdagangan Maritim Indonesia Jaringan dan Komoditinya.
Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) XII. Makassar
Ricklefs, M.C 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.
Tjandrasasmita, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG).
Tanudirjo, Daud Aris, 1985 Lukisan Dinding Gua Sebagai Salah Satu Unsur Upacara Kematian.
Berkala Arkeologi, Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta
Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007 Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-
1684. Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta. Fakultas Imu Pengetahuan Budaya (FIB)
Univeritas Indonesia.