18
JEJAK PERDAGANGAN MALUKU MASA LAMPAU DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIK Wuri Handoko Abstrak Wilayah Maluku, merupakan salah satu wilayah Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah pelayaran dan perdagangan internasional. Hasil penelitian arkeologi dapat memberikan gambaran, sejak masa prasejarah wilayah kepulauan Maluku telah menjadi jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Wilayah ini juga dapat dipahami sebagai wilayah yang menjadi jembatan globalisasi sejak masa prasejarah. Pada masa sejarah Islam dan Kolonial, merupakan puncak atau zaman keemasan perdagangan Internasional wilayah Maluku. Pada zaman ini perdagangan internasional telah menempatkan kerajaan-kerajaan Islam sebagai penguasa utama perdagangan di wilayah ini yang jalin menjalin dengan bangsa asing. Pada masa kolonial, perdagangan internasional wilayah ini semakin luas, dengan terlibatnya bangsa-bangsa kolonial sejak era Portugis hingga Belanda, dalam penguasaan komoditi perdagangan dunia, yakni rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala. Kata kunci : perdagangan, internasional, globalisasi, prasejarah, sejarah. Abstract Region Moluccas, representing one of the region of Nusantara which have been known as by sea transport region and international trade. Result of research of archaeology can give explain, since a period of regional prehistory of archipelago of Moluccas have come to international trade and fairway. Regional this also can comprehend as region becoming globalization bridge since a period of prehistory. In Islamic and Colonial history, representing golden epoch or top of regional international trade of Moluccas. In this period, international trade have placed empires of Islam as especial power of commerce in this region braiding braid with foreign nation. In Colonial, this regional international trade progressively wide, involved of colonial nations since era of Portugese till Dutch, in hand commodity commerce of world, namely mace, like nutmeg and clove. Keyword : commerce, international, globalization, prehistoric, history Pendahuluan Membahas wilayah perairan Maluku, dalam hal ini adalah meliputi wilayah perairan yang kini terbagi menjadi dua Provinsi yakni Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pada masa lampau, terutama pada masa berkembangnya perniagaan yang telah dimulai sejak awal-awal abad masehi, baik Maluku dan Maluku Utara merupakan satu kesatuan wilayah tak terpisahkan, yang

Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

JEJAK PERDAGANGAN MALUKU MASA LAMPAU DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIKWuri HandokoAbstrak Wilayah Maluku, merupakan salah satu wilayah Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah pelayaran dan perdagangan internasional. Hasil penelitian arkeologi dapat memberikan gambaran, sejak masa prasejarah wilayah kepulauan Maluku telah menjadi jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Wilayah ini juga dapat dipahami sebagai wilayah yang menjadi jembatan globalisasi sejak masa prasejarah. Pada

Citation preview

Page 1: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

JEJAK PERDAGANGAN MALUKU MASA LAMPAU DALAM PERSPEKTIF

EKONOMI DAN POLITIK

Wuri Handoko

Abstrak

Wilayah Maluku, merupakan salah satu wilayah Nusantara yang telah dikenal sebagai wilayah

pelayaran dan perdagangan internasional. Hasil penelitian arkeologi dapat memberikan

gambaran, sejak masa prasejarah wilayah kepulauan Maluku telah menjadi jalur pelayaran dan

perdagangan internasional. Wilayah ini juga dapat dipahami sebagai wilayah yang menjadi

jembatan globalisasi sejak masa prasejarah. Pada masa sejarah Islam dan Kolonial, merupakan

puncak atau zaman keemasan perdagangan Internasional wilayah Maluku. Pada zaman ini

perdagangan internasional telah menempatkan kerajaan-kerajaan Islam sebagai penguasa utama

perdagangan di wilayah ini yang jalin menjalin dengan bangsa asing. Pada masa kolonial,

perdagangan internasional wilayah ini semakin luas, dengan terlibatnya bangsa-bangsa kolonial

sejak era Portugis hingga Belanda, dalam penguasaan komoditi perdagangan dunia, yakni

rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala.

Kata kunci : perdagangan, internasional, globalisasi, prasejarah, sejarah.

Abstract

Region Moluccas, representing one of the region of Nusantara which have been known as by sea

transport region and international trade. Result of research of archaeology can give explain, since

a period of regional prehistory of archipelago of Moluccas have come to international trade and

fairway. Regional this also can comprehend as region becoming globalization bridge since a

period of prehistory. In Islamic and Colonial history, representing golden epoch or top of

regional international trade of Moluccas. In this period, international trade have placed empires

of Islam as especial power of commerce in this region braiding braid with foreign nation. In

Colonial, this regional international trade progressively wide, involved of colonial nations since

era of Portugese till Dutch, in hand commodity commerce of world, namely mace, like nutmeg

and clove.

Keyword : commerce, international, globalization, prehistoric, history

Pendahuluan

Membahas wilayah perairan Maluku, dalam hal ini adalah meliputi wilayah perairan yang

kini terbagi menjadi dua Provinsi yakni Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pada masa lampau,

terutama pada masa berkembangnya perniagaan yang telah dimulai sejak awal-awal abad

masehi, baik Maluku dan Maluku Utara merupakan satu kesatuan wilayah tak terpisahkan, yang

Page 2: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

dikenal sebagai wilayah perairan atau Kepulauan Maluku. Secara keseluruhan wilayah

Kepulauan Maluku, merupakan wilayah yang sangat strategis menjadi jalur lintasan perdagangan

global yang melibatkan bangsa-bangsa besar di dunia.

Wilayah Kepulauan Maluku atau terkenal dengan sebutan Spice Island oleh para ahli

dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis menyangkut eksistensinya dalam

kancah niaga dunia, sejak ribuan tahun lalu. Dari segi ekonomi, Maluku merupakan wilayah

penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi

ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada

pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100; Ambary, 1998:150). Mengingat

posisi yang startegis itu, tidak mengherankan jika sejak masa prasejarah, Maluku telah menjadi

titik strategis yang selalu menjadi daerah migrasi dari kelompok-kelompok manusia dari

berbagai belahan dunia. Wilayah ini dianggap sebagai bagian dari tanah asal suku-suku bangsa

pemakai bahasa-bahasa Austronesia. Masa yang jauh sebelumnya, wilayah ini telah menjadi

lintasan strategis migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Malanesia

dan mikronesia, Oceania dan terus kearah timur, yng diikuti oleh perkembangan budaya wilayah

timur sjak ribuan tahun yang lalu (Andili, 1980; Shutler dan Shutler, 1975:8-10; ibid). Penjelasan

para ahli tersebut menyiratkan bahwa wilayah kepulauan Maluku sejak masa ribuan tahun lalu

telah menjadi jembatan dunia atau jembatan global yang menghubungkan berbagai budaya dari

berbagai belahan dunia.

Wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-rempahnya, telah menjadi perhatian

dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan persaingan lokal dalam hal penguasaan

perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku telah menjadi ajang persaingan ekonomi

dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan kekuasaan. Sudah jelas, kekuatan ekonomi

dan perdagangan telah menegaskan adanya kekuatan-kekuatan politik atau kekuasaan dalam

suatu wilayah untuk menguasai wilayah lainnya. Perdagangan dan ekonomi adalah salah satu

sumbu utama kekuatan untuk menguatkan kekuasaan. Telah banyak diketahui bahwa wilayah

Kepulauan Maluku, terutama di wilayah terdapat pusat-pusat kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan

yang sangat mapan, sosial, budaya, eokonomi dan politik yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan

dan Jailolo (Moluko Kie Raha) serta Hitu dan Banda. Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua

pilar kekuasaan yang banyak mengembangkan sayap politik, kekuasaan dan ekonominya ke

Page 3: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

wilayah lain. Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan

bandarnya yang penuh hiruk pikuk inilah yang menandai puncak atau zaman keemasan

perdagangan nusantara. Perdagangan adalah jembatan utama dalam proses penguatan kekuasaan

kerajaan-kerajaan di tanah rempah, Maluku. Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di

wilayah Banda, meskipun bukan kerajaan namun sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai

pelabuhan transito utama dan juga penghasil cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain

dengan perantara pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra

(Malaka).

Kemudian, diketahui Maluku menyimpan potensi alam yang sangat kaya. Maluku

terkenal sebagai daerah pengahasil komoditi yang paling dicari oleh seluruh kelompok manusia

dari berbagai belahan dunia. Pada masa perkembangan budaya dan teknologi pelayaran yang

semakin maju, banyak bangsa-bangsa asing rela menempuh samudra yang luas dan dalam

dengan kegananasan lautnya demi mencapai kepulauan Maluku, sebagai surganya rempah-

rempah. Maluku, kemudian terkenal dengan sebutan Kepulauan Rempah (Spice Island).

Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh dalam

perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa kemudian berusaha memperoleh rempah-rempah

langsung dari tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya pusat

perdagangan di Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada tahun berikutnya,

kapal-kapal Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku. Pusat perdagangan semakin

meningkatkan persaingan aktifitas dagang mengingat beragamnya produk perdagangan di

wilayah kepaulaun Indonesia, termasuk Maluku. Pusat-pusat niaga di Maluku merupakan salah

satu jaringan perdagangan inter regional yang menghubungkan dengan wilayah pelabuhan

lainnya di wilayah Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Sumatra, Kalimantan dan Papua bahkan ke

bagian Tenggara Asia (Schrieke 1955; van Leur 1955; Swalding 1996; Leirissa 2000 dalam

Nayati 2005). Peran Maluku di dunia internasional tak dapat dipungkiri lagi, terbukti pada abad

10 Masehi, wilayah perairan ini terkenal sebagai salah satu lintasan Jalur Sutera. Pada abad X

jalur sutra merupakan jalur yang sangat penting untuk hubungan timbal balik baik dalam segi

perdagangan, kebudayaan, agama maupun pengetahuan. Perdagangan ini tidak hanya

menawarkan komoditi sutera, tetapi juga komoditi lain terutama rempah-rempah yang sangat

dibutuhkan di Eropa. Justru karenanya belakangan orang menyebutnya sebagai jalur rempah-

Page 4: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

rempah. Hal ini karena justru rempah-rempah kemudian menjadi komoditi utama perdagangan

dunia (Lapian, et.al. 2001: 39).

Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala

pada masanya menjadi tujuan utama pedagang-pedagang Arab dan Cina. Sejak berabad-abad

yang lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh

negara dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki Kepulauan Maluku. Hal ini kemudian

semakin ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portugis, Belanda juga Spanyol turut meramaikan

perdagangan di Maluku.

Pelayaran Masa Prasejarah: Cikal Bakal Perdagangan Internasional

Bukti-bukti fisik adanya pelayaran kuno ke wilayah Maluku sejak masa lampau, telah

dimulai sejak masa prasejarah. Ini membuktikan bagaimana Kepulauan Maluku telah menjadi

jalur pelayaran internasional dan berkembang menjadi salah satu rantai dalam jaringan

perdagangan dunia sejak ribuan tahun lalu. Hal ini berarti pula bahwa wilayah perairan Maluku

memiliki peran yang strategis dalam konteks pergaulan global. Dapat dipahami pula bahwa masa

prasejarah adalah masa awal yang menjadi cikal bakal adanya perdagangan dan pergaulan

global. Globalisasi masa lampau telah menempatkan wilayah kepulauan Maluku dalam posisi

yang sangat strategis menghubungkan berbagai belahan dunia dalam kancah networking yang

berpengaruh terhadap kompleksitas budaya, sosial, ekonomi dan bahkan ideologi. Sejak era

tradisi bercocok tanam, pusat-pusat peradaban tumbuh di berbagai belahan dunia (Olson,

2004:140). Seiring dengan itu maka tumbuhlah pusat-pusat peradaban dunia, kemudian muncul

jaringan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan terhadap berbagai komoditi

Jejak–jejak pelayaran kuno dapat ditelisik melalui berbagai bentuk visualisasi perahu

baik pada seni lukis yang diterakan pada dinding cadas yang menjulang persis di bibir pantai

maupun pada bentuk visualisasi dan media lainnya. Pada setiap situs lukisan cadas (Rock Art)

yang tersebar di wilayah Kepulauan Maluku, yakni Teluk Saleman, Teluk Sawai, Pantai

Ohoidertawun, Wamkana Buru Selatan, akan ditemui bentuk lukisan perahu. Visualisasi perahu

terlihat dari bentuk sederhana, yakni perahu tanpa layar serta perahu yang sudah menggunakan

layar. Ada pula visualisasi perahu yang menggambarkan bentuk perahu dengan membawa

Page 5: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

muatan tertentu. Dari perekaman data terbaru tentang lukisan cadas di situs Ohoidertawun Tahun

2009, tampak sekali lukisan perahu, ditempatkan pada panel dinding cadas yang luas, sangat

mudah ditemukan. Seakan-akan dalam penempatan lukisan cadas, memang ada pola pikir

tertentu manusia pendukungnya untuk mengkomunikasikan bahwa lukisan perahu, merupakan

aspek budaya yang penting, sehingga harus ditempatkan pada bidang panel cadas yang mudah

terlihat. Data arkeologi lukisan cadas Ohoidertawun, misalnya banyak menggambarkan berbagai

bentuk komunikasi yang seakan-akan mengabarkan kepada kita, bahwa masa itu komunitas

manusia pendukungnya telah menggunakan perahu untuk sampai ke wilayah perairan Maluku.

(Handoko, 2007). Interpretasi tentang perahu yang memuat barang tertentu, antara lain nekara,

memberikan isyarat adanya aktifitas niaga purba pada zaman itu.

Pada masa berikutnya, tepatnya pada zaman perundagian, di wilayah maluku yakni di

Kepualuan Gorom dan wilayah Kei Kecil ditemukan sejumlah nekara, yang merupakan komoditi

niaga pada masa itu. Nekara, dianggap sebagai barang mewah pada masa pertama kali manusia

mengenal pembuatan barang dari bahan logam. Selama ini Nekara dianggap sebagai produk

budaya yang berasal dari wilayah China atau Dongson. Temuan nekara di Pulau Gorom bisa

menegaskan adanya kontak-kontak awal budaya yang bersifat politis maupun ekonomis di

wilayah Gorom di masa lampau (Handoko, 2007a).

Menyangkut kronologi budaya nekara, banyak diselidik melalui motif hias nekara yang

ditemukan di Indonesia Timur seperti Pulau Roti, Pulau Leti, Kepualuan Kei dan Selayar yang

memiliki banyak persamaan dengan motif hias China dan Dongson, sehingga tidak tertutup

kemungkinan bahwa nekara-nekara tersebut di datangkan dari China atau Dongson (Hartatik,

1995:96-98). Diperkirakan nekara tersebut berasal dari masa sekitar 400 - 300 SM (Heekeren,

1958, dalam Hartatik, 1999:18). Jika melihat kesamaan motif hiasnya, maka Nekara Gorom

dapat digolongkan sama dengan temuan nekara di Indonesia Timur lainnya seperti yang telah

disebutkan sebelumnya. Selain itu jika dilihat dari perbandingan motif hias nekara dengan

lukisan cadas, diperkirakan kedua budaya tersebut beberapa diantaranya berlangsung pada

kronologi yang sama (baca Hartatik, 1999: 20- 23). Sebagai contoh dapat disebutkan, motif hias

perahu dapat dijumpai di semua lukisan cadas di wilayah Sulawesi Selatan, Muna, Timor-Timur,

Seram (Maluku), Flores, Lomblen dan Irian. Motif hias Perahu, terdapat pada semua sampel

nekara yang ditemukan di Nusantara (ibid: 22).

Page 6: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Ada anggapan bahwa seni cadas berkaitan dengan perjalanan arwah dengan perahu yang

dibawa oleh pendukung budaya Dongson yang bermigrasi 2.500 tahun yang lalu (Tanudirjo,

1996 : 12). Selain itu lukisan cadas di beberapa wilayah seperti Muna, Seram, Kei, Irian, Timor

Timur dan Flores mempunyai motif hias yang memiliki tingkat persamaan dengan nekara antara

7,4 % sampai dengan 40,7 %. Diperkirakan lukisan cadas di daerah tersebut berkembang sekitar

masa penggunanaan nekara atau pada masa perunggu sampai abad masehi. Data arkeologis itu,

menegaskan bahwa sejak masa paleometalik, ribuan tahun lalu, telah ada aktivitas niaga yang

sampai ke wilayah perairan Maluku. Bukti lainnya adalah ditemukannya beberapa data manik-

manik yang pada masa lampau juga merupakan barang yang diperdagangkan antar negara.

Manik-manik merupakan produk budaya masa prasejarah, utamanya sejak masa bercocok tanam

dan masa perudagian yang selevel dengan masa megalitik. Selain itu data terbaru hasil penelitian

di Pulau Banda, temuan batu obsidian yang dianggap sebagai barang berharga pada sekitar 3000

tahun yang lalu, yang seringkali dihubungkan dengan budaya Lapita. Obsidian juga dianggap

sebagai barang pertukaran bernilai ekonomi tinggi, yang dibawa jauh dari sumbernya (Lape dan

Tanudirjo, 2009).

Berbagai produk masa lampau yang ditemukan di wilayah Maluku membuktikan bahwa

sejak masa prasejarah, wilayah maluku telah menjadi jalur pelayaran internasional sekaligus

menjadi salah satu rantai dalam jaringan perdagangan internasional. Jaringan perdagangan

internasional dapat pula dipahami sebagai proses globalisasi yang memposisikan wilayah

Maluku sebagai salah satu entitas penting dalam dinamika global tersebut. Perdagangan telah

menempatkan Maluku dalam kancah pergaulan global yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa

luar.

Perdagangan International Masa Islam dan Kolonial : Kekuatan Ekonomi dan Politik

Didorong oleh meningkatnya kebutuhan dan keuntungan besar yang diperoleh dalam

perdagangan rempah-rempah, bangsa Eropa berusaha memperoleh rempah-rempah langsung dari

tangan pertama. Usaha tersebut kemudian berhasil dengan dikuasainya pusat perdagangan di

Selat Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511. Dan pada tahun berikutnya, kapal-kapal

Portugis telah tiba di bandar-bandar Maluku. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan

Page 7: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Bangsa Eropa pertama dipimpin Cornelis de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini

sekaligus menjadi titik awal rentang panjang sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari

Portugis hingga Belanda (Djafaar, 2006:18). Mendahului itu, para pedagang Islam Arab, Persia,

Gujarat, serta para pedagang Cina, telah sampai di perairan Maluku untuk tujuan berdagang.

Dunia perdagangan di Indonesia menampilkan berbagai produk andalan yang memikat

pedagang asing. Produk andalan yang terkenal adalah rempah-rempah dan kayu cendana pada

periode awal, kemudian disusul dengan produksi laut, seperti teripang, agar-agar, mutiara,

kerang mutiara, sisik penyu, sirip ikan hiu dan lola disamping produksi lainnya seperti lilin, kayu

manis, kayu sapan, tekstil, emas dan perkakas rumah tangga (Poelinggomang, 2001, 7-8).

Menurut Poelinggomang produksi-produksi ini ditukarkan dengan produksi dari zona

perdagangan lainnya seperti yang datang dari barat (Eropa, Arab, India, Malaka) dengan

berbagai jenis produk seperti tekstil, permadani, mata uang emas dan candu. Sementara dari

Utara (Cina, Jepang dan Filipina) adalah porselin, sutra, bahan sutra, loyang Cina, gong Cina

kecil, gading gajah, ringgit spanyol, radiks Cina, perhiasan emas, tembaga Jepang, ketel tembaga

dan berjenis mata uang serta budak (ibid). Jenis-jenis komoditi itu diperdagangkan secara silang

dalam pengertian bahwa produksi yang diimpor kadang menjadi ekspor ke pelabuhan pusat niaga

lain dalam jaringan perdagangan internal maupun keluardari jaringan internal.

Dari penjelasan Poelinggomang itu dapat ditarik berbagai kesimpulan, yakni :pertama

komoditi niaga tidak hanya dimonopoli oleh produk pesisr atau laut (ikan, mutiara, teripang dll)

namun juga produksi dari daerah dataran (perkakas rumah tangga, tekstil) atau pedalaman

(rempah-rempah, dan berbagai jenis kayu). Kedua: adanya pertukaran atau persilangan

(interseksi) antar zona perdagangan lainnya dengan daerah luar. Ketiga; proses persilangan atau

pertukaran komoditi tidak saja dalam jaringan perdagangan keluar tetapi juga secara internal

(lokal). Dengan penjelasan tersebut, kiranya dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa aktifitas

perdagangan pada masa lampau telah melibatkan berbagai pusat niaga yang masing-masing

berkompetisi dan saling menukarkan komoditi sesuai dengan kebutuhannnya. Demikian, maka di

Indoensia yang berbentuk kepulauan masing-masing wilayah di Nusantara ini saling menukarkan

produknya sesuai kebutuhan masing-masing antar pulau melalui pusat niaga masing-masing.

Pada era perdagangan rempah, wilayah Maluku meliputi, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo

(Moluko Kie Raha), Hitu, dan Kepulauan Banda merupakan tempat produksi sekaligus

Page 8: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

pemasaran produk lokal yang paling terkenal yakni Cengkeh dan Pala. Wilayah ini

menghubungkan wilayah-wilayah lainnya sebagai tempat pemasaran seperti di Gorom, Kei-Aru

dan Tanimbar. Hitu, yang disebut sebagai suplay station, merupakan pelabuhan transit sekaligus

pemasok kebutuhan cengkeh ke wilayah lainnya. Ternate, Tidore , Bacan dan Jailolo, adalah

bandar-bandar niaga yang besar yang membawahi bandar-bandar niaga lainnya yang menyatakan

menjadi daerah kekuasaan kerajaan, terutama Ternate dan Tidore, yang pada periode berikutnya

merupakan kerajaan yang paling luas kekuasaanya

Miksic mencatat setidaknya ada 3 (tiga) pola distribusi komoditi dalam proses

perdagangan (pertukaran barang) yakni: pertama: pengambilan langsung (direct acces), yakni

antara pihak pengambil bahan dari suatu tempat asal bahan kepada pihak penerima bahan

komoditi di tempat tertentu untuk menerima barang. Kedua; pertukaran antara dua orang

(reciprocity), pertukaran yang terjadi antara pihak pnerima dengan pemberi yang dapat

berlangsung pada tempat pemberi atau penerima atau juga pada batas antar wilayahnya. Ketiga;

pola penyaluran kembali (redistribution), yakni bahan atau komoditi dari pedalaman diterima

oleh orang pusat, bisanya raja di ibukota yang kemudian menyalurkannya kembali kepada orang-

orang dipesisir. Dengan demikian antara orang pesisir dan pedalaman tidak bertemu langsung.

Pola ini menurut Micksic yang banyak terjadi di Indonesia pada masa berkembangnya kerajaan-

kerajaan. (lihat Miksic, 1981, 10-11). Pola perdagangan seperti itu sesungguhnya dapat

memberikan tentang gambaran pola penyesuaian sosio ekonomi pada masa lalu seperti yang

dituliskan oleh Miksic (1981). Menurutnya kemungkinan besar, pola yang menghubungkan

beberapa ekozone telah terbentuk, bahkan jauh sebelum masa klasik. Untuk mempertajam

gagasan ini dibutuhkan data terperinci mengenai jenis dan jumlah komoditi yang ditukar tangan

oleh para pihak penyalur komoditi, baik diwilayah pesisir, dataran, pedalamann, wilayah pusat

(raja) dan penghulu (Miksic, 1981: 12). Catatan penting lainnya adalah sebagaimana yang

diungkapkan Heriyanti Ongkodharma Untoro, bahwa perdagangan merupakan bagian dari

kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Perkembangan perdagangan dari satu masa ke masa

berikutnya mengalami perubahan, dapat dikatakan dari sistem yang sederhana menjadi sistem

yang lebih kompleks. Akibatnya penjelasan serta pengertian tentang perdagangan menjadi

semakin beragam sesuai dengan periode masyarakat pendukungnya (Untoro, 2007:13).

Page 9: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Apa yang dituliskan oleh Miksic (1981) nampaknya benar-benar dapat digambarkan

seperti yang terungkap dalam tulisan Nayati (2005) yang menyebutkan bahwa pada Abad 16-19

Syahbandar dan para bangsawan/penguasa memainkan peran penting dalam distribusi barang

dari pesisir ke pedalaman, contoh di Gresik, Banten, Ternate, Tidore, dan Aceh (Nayati 2005).

Diantara bangsa-bangsa di Asia Tenggara berada pada satu garis antara Benua Asia, India

dan Eropa. Oleh karena itu, maka nampak bahwa letak geografis perairan Asia Tenggara berada

pada satu titik pertemuan, yang dapat menghubungkan negeri Cina dengan negeri-negeri India,

Persia, Negara-negara Arab di Timur Tengah dan ke benua Eropa. Jalur ini sudah ada sejak

jaman purba dan dikenal sebagai Jalur Sutra. Jalur Sutra diartikannya sebagai nama puitis dari

jalur perdagangan yang berkembang antara Asia dan Eropa sejak abad-abad pertama Masehi. Di

perairan Indonesia, jalur ini menyatu dengan jalur rempah-rempah yang berawal dari Maluku,

penghasil pala dan cengkeh. Yang jelas faktor ekonomi menjadi motivasi yang kuat dibukanya

pusat-pusat perdagangan baru. Masa perdagangan dan perkembangan zaman Islam, merupakan

salah satu puncak kebudayaan, zaman keemasan dimana pada masa itu hubungan antara negara

di berbagai belahan dunia semakin terbuka. Puncak kebudayaan ini diawali adanya hubungan

niaga antara para pedagang muslim dengan wilayah pengahasil komoditi yang menjadi

primadona dunia. Adalah wilayah kepulauan Maluku, menjadi tujuan utama para pedagang Arab,

Persia, Gujarat dan tentu saja China yang terkenal sebagai bangsa yang ulet dan tekun dalam

usaha perdagangan. Maluku, adalah tempat yang menyediakan komoditi yang menggiurkan

seluruh dunia. Maluku surganya rempah-rempah, karena di wilayah inilah sumber cengkeh dan

pala, komoditi yang paling dicari oleh bangsa-bangsa didunia. Gelombang kedatangan para

pedagang Arab, Persia, Gujarat, dan China, bahkan juga Jawa dan Sumatra telah menciptakan

interaksi kultural antara masyarakat dari luar dengan penduduk setempat di wilayah Maluku.

Kepulauan Maluku sebagai pusat produksi rempah-rempah terutama cengkeh dan pala pada

masanya menjadi tujuan utama pedagang-pedagang Arab dan Cina. Sejak berabad-abad yang

lalu daerah ini telah terkenal sebagai surga rempah-rempah. Akibatnya hampir seluruh negara

dari berbagai belahan dunia berjejal menduduki kepulauan Maluku. Hal ini kemudian semakin

ramai, ketika pedagang Eropa seperti Portgis, Belanda juga Spanyol turut meramaikan

perdagangan di Maluku.

Page 10: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Intensitas hubungan antara Nusantara dengan Cina dan Bangsa-bangsa lain di Asia juga

meningkat, hal ini dapat ditelusuri berdasarkan intensitas temuan keramik asing yang didominasi

berasal dari Cina. Taurn (1918) juga mencatat mengenai orang-orang Cina yang telah menetap di

pesisir pantai Seram dengan tujuan berdagang barang-barang yang berasal dari Eropa, India,

Cina, juga Jepang, meskipun rata-rata kualitasnya rendah (Taurn, 1918:61).

Proses interaksi antara orang-orang kumunitas muslim Arab, Persia, China, Jawa,

Sumatera mendorong terbangunnya pemukiman baru didaerah pesisir. Interaksi dagang dan

perdagangan lokal mulai berkembang dimana dimulai dari proses yang paling sederhana yaitu

barter sampai dijadikannya uang sebagai alat tukar yang sah. Terbentuknya pola pemukiman

baru pada daerah-daerah pesisir turut mendukung penyebaran dan pengaruh Islam di Maluku.

Akulturasi antara budaya asli dan budaya luar (Islam) mulai dirasakan sangat kuat ketika

terjadinya perkawinan antara pedagang-pedagang Islam dengan penduduk pribumi. Perdagangan

dan Islamisasi merupakan dua hal yang tak terpisahkan yang telah menciptakan tatanan sosial

budaya yang baru di tanah rempah ini.

Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam sebagai pusat perdagangan menjadi bukti bahwa

Islam diterima dengan baik di nusantara. Selain Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan di Maluku

Utara yang kemudian dikenal dengan sebutan Molukie Kie Raha di bagian selatan kepulauan ini,

Hitu merupakan salah satu kerajaan Islam yang kemudian berkembang menjadi pusat

perdagangan yang sangat terkenal di Maluku. Selain itu juga terdapat kerajaan-kerajaan Islam

yang lain di Maluku Tengah misalnya Kerajaan Hitu di jazirah Liehitu, Pulau Ambon, (Kerajaan

Iha) di pulau Saparua. Sehingga dalam sejarah Indonesia dan sejarah Maluku secara khusus

pengaruh penyebaran ajaran Islam turut memegang peranan penting. Hal ini dikarenakan oleh

melalui pedagang Islam maka terbentuk pola-pola pemukiman baru dan pusat-pusat perdagangan

di nusantara selain itu pengaruh Islam juga merubah kultur masyarakat setempat. Pengaruh Islam

dalam babakan sejarah Indonesia memberikan perubahan yang sangat besar dimana melalui

interaksi perdagangan dan ajaran Islam. Dapat dikatakan wilayah-wilayah yang dilalui sebagai

lintasan perdagangan dari wilayah kerajaan terutama Ternate dan Tidore, merupakan sebuah

formasi dibangun untuk memperkokoh kekuatan ekonomi kedua kerajaan tersebut. Di antara

zona ekonomi ini dihubungkan melalui rantai pelabuhan yang menopang gerak atau laju

perdagangan kedua wilayah. Di wilayah Kepulauan Maluku, kota-kota niaga atau kota pelabuhan

Page 11: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

terkenal seperti Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Hitu, Banda adalah wilayah-wilayah pelabuhan

yang saling berinteraksi jalur distribusi pertukaran produk dalam lintasan perniagaan lokal

(Handoko, 2007b). Pusat-pusat perdagangan yang muncul di Maluku menjadi kuat ketika raja-

raja di daerah sekitar memeluk agama Islam sehingga mendorong interaksi dengan daerah-

daerah diluar Maluku.

Pengaruh perdagangan oleh-pedagang-pedagang muslim tidak hanya dirasakan pada satu

daerah di Maluku tetapi pengaruh ini sampai diseluruh Maluku khususnya daerah-daerah pesisir.

Banda merupakan salah satu kota dagang yang mendapat perhatian penting oleh pedagang-

pedagang Islam karena hasil alamnya yang kaya dengan Pala. Selain itu letak geografis Banda

yang sangat strategis pada rute pelayaran antar pulau yang dilewati oleh para pedagang. Proses

perdagangan di wilayah Banda tidak hanya melibatkan masyarakat setempat melainkan juga

orang-orang dari Maluku Tenggara. Menurut sumber sekunder yang menjadi tuturan masyarakat

Maluku Tenggara diperoleh data tentang interaksi perdagangan antara orang-orang Arab dan

masyarakat Maluku Tenggara dalam bentuk barter. Hasil penelitian Peter Lape, menjelaskan

wilayah Kepulauan Banda merupakan salah satu wilayah yang pada abad 11 hingga abad 17,

menjadi wilayah yang memiliki peran yang sangat penting dan vital, sejak era masyarakat mulai

mengadopsi Islam hingga masa masuknya pengaruh Kolonial. Bukti-bukti arkeologi hasil survei

maupun ekskavasi dapat menjelaskan bagaimana Banda, sebagai salah satu kota perdagangan

memunculkan beragam dinamika baik dalam tataran budaya, ekonomi, politik bahkan ideologis

(Lape, 2000). Ricklefs, menuliskan Banda, sebagai penghasil pala adalah satu-satunya wilayah di

Kepulauan Maluku, yang paling kuat menolak orang-orang Eropa. Orang –orang Banda terus

memainkan peran aktif dan mandiri dalam perdagangan sampai abad XVII (Ricklefs, 2008:68).

Pengaruh Islam juga menyebar sampai ke pulau Ambon dan daerah-daerah sekitarnya.

Pengaruh Islam yang pertama dan yang paling kuat berada dijazirah Leihitu hal ini dibuktikan

dengan berdirinya kerajan Islam (Hitu) di Jazirah Leihitu. Pulau Ambon terbagi dalam dua

wilayah yaitu Leihitu yang berada di pulau Ambon bagian utara dan Leitimor di Pulau Ambon

bagian timur. Dalam perkembangan pelayaran maupun perdagangan Leihitu lebih memegang

peranan penting sebelum pusat pelayaran dan perdagangan serta pemerintahan dipindahkan ke

Ambon. Terbentuknya wilayah dan pusat-pusat perdagangan yang ada di Maluku mempermudah

Page 12: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

perdagangan lokal antara pedagang-pedagang nusantara dengan pedagang lokal dan juga

pedagang asing (Arab, Cina, India).

Eksistensi kekuasaan Islam terutama di wilayah Maluku, tak bisa dilepaskan dari

kegiatan perdagangan, hal ini mengingat penyebaran pengaruh Islam salah satunya dimulai

melalui aktivitas niaga oleh para pedagang muslim, meskipun sebagian ahli berpendapat,

perdagangan tak bersangkut paut langsung dengan Islamisasi. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa

antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-

pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada

beberapa abad sebelum masa pengislaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan

terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa

proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang,

sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa

penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang

tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi

Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan bahwa munculnya jalur

perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan

serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad 13-18 M

(Tjandrasamitha, 2009:39).

Di wilayah Kepulauan Maluku contohnya, tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam yang

besar dan semakin kuat eksistensi kekuasaannya, salah satu faktor utama yang berpengaruh

adalah karena kekuatan perdagangannya. Pada masa perkembangannya munculnya rivalitas

kekuasaan, terutama Ternate dan Tidore, justru menciptakan simpul-simpul wilayah kekuasaan

sebagai bagian dari jejaring niaga untuk menguatkan eksistensi kekuasaan Islam. Leirissa

menuliskan, ketika terjadi perebutan pengaruh kekuasaan antara Ternate dan Tidore, Ternate

melakukan ekspansi di wilayah Pulau Seram (Maluku Tengah dan Ambon), sementara itu

Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah paling

timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat

Irian Jaya (Leirissa, 2001:8). Dalam sejarah kekuasaan kerajaan di wilayah Maluku Utara,

Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan Islam yang paling fenomenal dalam sejarah

ekspansi kekuasaan Islam di wilayah Maluku. Dalam beberapa literatur sejarah menyebutkan

bahwa persaingan kedua kerajaan besar Ternate dan Tidore saling berebut pengaruh dan

Page 13: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

kekuasaan di wilayah itu. Pada intinya, secara umum Tanah Papua, merupakan salah satu

wilayah yang berperan sebagai penyangga terhadap eksistensi kekuasaan kerajaan yang

berkembang di wilayah Utara terutama Ternate, Tidore dan Bacan yang merupakan 3 (tiga) dari

4 (empat) pilar utama kekuasaan kerajaan Islam yang disebut Molukie Kie Raha.

Dalam sejarah Nusantara, pengaruh Kolonial di Maluku, telah sangat dikenal. Hal ini

karena lamanya pihak Kolonial bercokol di bumi rempah-rempah ini (hampir empat abad).

Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks kolonisasi Eropa

di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh budaya kolonial terutama

Belanda, masih sangat kental. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati baik

budaya hidup yang masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan budaya

benda berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Kentalnya budaya

peninggalan kolonial, sehingga karakteristik budaya Maluku sangat lekat dengan budaya

kolonial. Sejarah mencatat, Tahun 1596, penjelajahan Bangsa Eropa pertama dipimpin Cornelis

de Houtman masuk ke Nusantara. Ekspedisi ini sekaligus menjadi titik awal rentang panjang

sejarah kolonisasi Eropa di Nusantara. Mulai dari Portugis hingga Belanda. Sejarah, telah banyak

menuliskan kiprah kolonial di bumi Maluku. Terutama dihubungkan dengan perluasan

perdagangan dan penguasaan komoditi lokal Maluku yang sangat populer di dunia.

Julukan paling populer Maluku adalah The Spice Island, Pulau Rempah-rempah. Sejak

dulu, Maluku dikenal sebagai dunia pusat penghasil rempah-rempah.Semerbak harum cengkeh

dan pala, telah membius banyak negara untuk menemukan sumbernya. Pesona rempah-rempah

menjadi rona zaman, menghiasi setiap zaman yang dilalui wilayah ini. Pesonanya mengundang

segala etnis dan bangsa lain menghampiri Maluku. Bahkan pada abad pertengahan, cengkeh dan

pala adalah komoditi yang paling diburu orang. Orang-orang asing dari dunia barat pada abad

itu, rela menempuh bahaya, mangarungi samudra nan luas dan memakan waktu teramat panjang

serta berbagai bahaya dan rintangan menghadang perjalanannya untuk datang ke wilayah ini,

sekedar berspekulasi untuk menemukan rempah-rempah. Adalah Portugis, adalah bangsa asing

pertama yang rela menempuh bahaya itu demi mencapai Kepulauan Maluku.

Kiranya kita bisa mengerti bahwa wilayah Maluku oleh karena kekayaan rempah-

rempahnya, telah menjadi perhatian dunia. Persaingan dunia yang kemudian juga melibatkan

persaingan lokal dalam hal penguasaan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri, wilayah Maluku

Page 14: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

telah menjadi ajang persaingan ekonomi dan perdagangan, sekaligus juga berhubungan dengan

kekuasaan politik. Sudah jelas, kekuatan ekonomi dan perdagangan telah menegaskan adanya

kekuatan-kekuatan politik atau kekuasaan dalam suatu wilayah untuk menguasai wilayah

lainnya. Perdagangan dan ekonomi adalah salah satu sumbu utama kekuatan untuk menguatkan

kekuasaan. Telah banyak diketahui bahwa wilayah Kepulauan Maluku, terutama di wilayah

terdapat pusat-pusat kekuasaan yakni kerajaan-kerajaan yang sangat mapan, sosial, budaya,

eokonomi dan politik yakni Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Moluko Kie Raha)

serta Hitu dan Banda. Terutama Ternate dan Tidore, adalah dua pilar kekuasaan yang banyak

mengembanagkan sayap politik, kekuasaan dan ekonominya ke wilayah lain. Tumbuh dan

berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam dengan kota-kota niaga dan bandarnya yang penuh

hiruk pikuk inilah yang menandai puncak atau zaman keemasan perdagangan nusantara.

Perdagangan adalah jembatan utama dalam proses penguatan kekuasaan kerajaan-kerajaan di

tanah rempah, Maluku. Kekuataan perdagangan lainnya misalnya di wilayah Banda, meskipun

bukan kerajaan namun sebagai pusat eksportir pala dan Hitu sebagai pelabuhan transito utama

dan juga penghasil cengkeh, kemudian meluas hingga ke wilayah lain dengan perantara

pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Sulawesi, Jawa dan Sumatra (Malaka).

Setelah Portugis, berturut-turut Belanda, Spanyol, Inggris juga tak mau kalah untuk

mencium wangi cengkeh dan pala milik Maluku. Kebuttuhan terhadap rempah rempah-rempah

terutama cegkeh dan Pala yang dihasilkan dari wilayah Maluku dan Banda membuat bangsa

kolonial, baik Portugis dan Spanyol memberlakukan sistem monopoli dalam perdagangan

rempah-rempah. Dengan sistem ini para bobato (pelaksana peraturan) kerajaan, baik Ternate,

Tidore maupun Bacan, merupakan alat mati yang bekerja tanpa pamrih untuk menyerahkan

cengkeh tanpa dibayar. Praktek seperti ini sering terjadi (Amal, 2009:350). Sejarah mencatat

Portugis dan Belanda adalah dua bangsa Eropa yang paling intens bercokol di bumi Maluku.

Maluku dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam konteks kolonisasi

Eropa di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat saat inipun, pengaruh budaya kolonial

terutama Belanda, masih sangat kental. Dalam bidang budaya, pengaruh itu juga dapat diamati

baik budaya hidup yang masih dijalankan sehari-hari, religi maupun berdasarkan tinggalan

budaya benda berbentuk bangunan monumental berciri arsitektur kolonial. Benteng-benteng

Kolonial, tersebar pada hampir seluruh wilayah di kepulauan Maluku. Begitu pula gedung

Page 15: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

perkantoran, jaringan jalan dan monumen-monumen. Pendek kata wajah kota di beberapa

wilayah di Kepulauan Maluku, merupak citra budaya kolonial.

Dalam soal komoditi asing seperti keramik porselin, kebutuhan ini juga meningkat,

sehingga pasokan komoditi ini semakin intensif diperdagangankan di Maluku. Dari berbagai

catatan maupun penelitian arkeologi, produk keramik telah hadir di Maluku sejak awal

perkembangan perdagangan di wilayah ini. Temuan keramik asing di situs-situs arkeologi pada

umumnya berasal pada masa dinasti Ming (16-17) dan Ching (18-19) serta Eropa (19-20).

Namun beberapa catatan penelitian juga menyebutkan adanya temuan keramik Asing yang

berasal dari abad 14 M, meskipun kuantitas yang kecil. Keramik Cina diketahui sejak abad 14 M

dengan ditemukannya piring besar di daerah Jailolo, Halmahera Utara. Maluku Utara telah ada

hubungan kontak dagang sejak abad 14, berdasarkan data keramik asing Yuan berupa piring

besar. Hal ini dikaitkan dengan data sejarah:Ternate dan Tidore mengadakan kontak dagang

tahun 1521 dengan Portuguis dan Spanyol. Abad 15-20 perdagangan semakin ramai membawa

keramik untuk ditukarkan dengan rempah-rempah yang banyak dihasilkan Penduduk Maluku.

Abu Ridho menginformasikan bahwa museum Nasional Jakarta menyimpan keramik-keramik

dari jenis yang baik seperti biru putih dari dinasti Ming abad 15-17, kendi dari masa dinasti Yuan

abad 14 AD, botol di Ternate dari Vietnam abad 15 AD, juga terdapat keramik jepang dari amsa

Edo abad 17 M yang ditemukan di Halmeahera (Awe dan Intan F.S, 1994; 65-66). Pada

penelitian itu juga dapat menjadi petunjuk bahwa komoditi keramik asing dari Dinasti Ming dan

Ching tidak hanya ditemukan di pusat-pusat niaga seperti Ternate dan Tidore, namun juga di

pulau-pulau terpencil seperti Pulau Waidoba, Doro dan Pulau Taneti, yang pada masa lampau

menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar itu. Demikian juga temuan keramik asing di

beberapa situs bekas kerajaan maupun permukiman di Maluku lainnya, seperti di Hitu (Ambon),

Kerajaan Iha (Saparua), Sahulau (Seram), Kepulauan Gorom dan beberapa situs lainnya pada

umumnya terdiri dari keramik asing masa dinasti Ming dan Ching.

Di wilayah Maluku, bagaimanapun bukti interaksi melalui perdagangan bangsa asing

dengan penduduk lokal dapat dijejaki berdasarkan data arkeologi. Keramik porselin menjadi

bukti nyata hal tersebut. Temuan-temuan keramik asing pada hampir semua situs arkeologi di

wilayah Maluku bisa menjadi bukti kuat untuk itu. Dari sekian banyak hasil penelitian, dapat

memperlihatkan bagaimana tumbuh dan berkembangnya pusat–pusat niaga di wilayah Maluku,

Page 16: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

seperti Ternate, Tidore, Bacan Jailolo Ambon, Seram dan Banda dengan daerah luar (bansga

asing). Sejauh ini temuan keramik asing paling banyak ditemukan di daera-daerah pesisir atau

daerah-daerah pusat niaga, namun pada banyak tempat di daerah pedalaman juga ditemukan. Di

beberapa daerah di Indonesia, terutama Maluku, data arkeologi keramik asing dapat menjadi

petunjuk berharga untuk melihat aktifitas perdagangan antara pihak asing dengan pedagang

lokal, pedagang lokal antar pulau atau daerah niaga di lingkup lokal Kepulauan Maluku maupun

antara pusat niaga di daerah pesisir dengan daerah pedalaman.

Penutup

Wilayah Kepulauan Maluku, sejak masa prasejarah ribuan tahun lalu, telah menjadi

wilayah strategis dengan sumberdaya alamnya telah menciptakan tatanan global, dimana

hubungan kultural diantara berbagai bangsa bertemu. Melalui perantara pelayaran dan

perdagangan international, wilayah perairan Maluku telah menancapkan dasar-dasar relasi

kultural, menciptakan tatanan baru peradaban manusia yang berdimensi sosial, ekonomi, budaya,

politik bahkan religi. Patutlah dicatat, Maluku sebagai wilayah Nusantara yang menghubungkan

dunia Indonesia dengan dunia luar. Maluku adalah jembatan globalisasi sejak ribuan tahun lalu.

Akar-akar budaya global, sesungguhnya telah tertanam di bumi Maluku, sejak masa prasejarah.

Masa tumbuh dan berkembangnya Islam adalah masa keemasan perdagangan di wilayah

Maluku. Pada masa ini kerajaan-kerajaan Islam yang berperadaban Islam yang mapan tercatat

menguasai ekonomi dan perdagangan. Masa berikutnya, gerak niaga lebih luas lagi dengan

terlibatnya bangsa-bangsa Eropa, dari Portugis hingga Belanda dalam perebutan monopoli

rempah-rempah. Pada masa kolonial, memberikan gambaran adanya dinamika budaya yang

sangat kompleks yang memperlihatkan berbagai bentuk dinamika budaya, ekonomi, politik,

bahkan ideologis.

Page 17: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Adnan M. 2009, Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta. Komunitas Bambu.

Ambary, H. M. 1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam

Indonesia, Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu.

Awe, R.D. dan Intan, F.S. 1994. Laporan Penelitian Arkeologi Bidang Arkeometri Situs

Halmahera, Kabupaten Maluku Utara, Propinsi Maluku. Jakarta: Pusat Penelitian

Arkeologi Nasional.(Tidak terbit)

Djafaar, I.A. 2006. Jejak Portugis di Maluku Utara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Handoko, Wuri 2006 Periode Awal Kerajaan Hitu Hingga Masa Surutnya. Retrospeksi

Arkeologi Sejarah. Kapata Arkeologi Vol. 2 Nomor 3 Tahun 2006. Balai Arkeologi

Ambon.

Handoko, Wuri 2007 Asal-Usul Masyarakat Maluku, Budaya dan Persebarannya: Kajian

Arkeologi dan Mitologi. Kapata Arkeologi. Jurnal Penelitian Arkeologi Wilayah Maluku-

Maluku Utara. Edisi November 2007. Balai Arkeologi Ambon

……………… 2007a, Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya,

Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku. Berita Penelitian Arkeologi

(BPA) Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.

…………………, 2007b, Aktifitas Perdagangan Lokal Maluku: Tinjauan Awal Berdasarkan

Data Keramik Asing dan Komoditi. Kapata Arkeologi. Vol. 3 Nomor 5. Balai Arkeologi

Ambon

Hartatik, 1995 Unsur Pola Hias Cina Pada Nekara Indonesia Timur Koleksi Museum Nasional

Jakarta. Tesis Sarjana, Yogyakarta. Fak. Sastra, UGM

……………….., 1999 Perbandingan Motif Hias Nekara dan Lukisan Cadas di Indonesia Timur

(Sebuah Data Bantu untuk Kronologi Lukisan Cadas). Naditira Widya. Bullettin

Arkeologi. ISSN 1410-0932. Balai Arkeologi Banjarmasin.

Lape, V. Peter 2000 Contact And Conflict In The Banda Islands, Eastern Indonesia 11th -17th

Centuries. A Dissertation Submitted In Partial Fulfillment Of The Requirements For The

Degree Of Doctor Of Philosophyin The Department Of Anthropology At Brown University

providence, Rhode Island.May 2000

Lape, V. Peter dan Tanudirjo, Daud 2009 Draft Laporan Sementara Arkeologi Neolitik di

Kepualuan Banda. Universitas Washington dan Universitas Gajah Mada.

Page 18: Perdagangan Kuno dalam perspektif Ekonomi dan Politik

Lapian, A.B. 2001. Ternate Sekitar Pertengahan Abad Ke-16. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al.

Ternate: Bandar Jalur Sutera, hal. 39-54. Ternate: LInTas (Lembaga Informasi dan

Transformasi Sosial).

Leirissa, R.Z. 2001. Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur

Sutera. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas

(Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Miksic, John N, 1981 Perkembangan Teknologi, Pola Ekonomi dan penafsiran Data Arkeologi

di Inonesia. Majalah Arkeologi. Tahun IV No 1-2. Lembaga Arkeologi. Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

Nayati, Widya 2005 Social Dynamics and Local Trading Pattern in the Bantaeng Region,

South Sulawesi (Indonesia) circa 17th century. A Thesis Submitted For The Degree Of

Doctor Of Philosophy The Southeast Asian Studies Programme. National University Of

Singapore.

Olson, Steve, 2004 Mapping Human History: Gen, Ras dan Asal-Usul Manusia.PT. Serambi

Ilmu Semesta. Anggota IKAPI. Jakarta

Poelinggomang, Edward, L 2001 Perdagangan Maritim Indonesia Jaringan dan Komoditinya.

Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA) XII. Makassar

Ricklefs, M.C 2008 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta.

Tjandrasasmita, Uka 2009 Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia

(KPG).

Tanudirjo, Daud Aris, 1985 Lukisan Dinding Gua Sebagai Salah Satu Unsur Upacara Kematian.

Berkala Arkeologi, Yogyakarta. Balai Arkeologi Yogyakarta

Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2007 Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-

1684. Kajian Arkeologi Ekonomi. Jakarta. Fakultas Imu Pengetahuan Budaya (FIB)

Univeritas Indonesia.