Upload
danghanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA
KELUARGA UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT
OLEH
RENATHA CLAUDIA MUNTHE
802012109
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Renatha Claudia Munthe
Nim : 802012109
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH
DAN KELUARGA SINGLE PARENT
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia
atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
atau pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Salatiga
PadaTanggal : 02 Maret 2016
Yang menyatakan,
Renatha Claudia Munthe
Mengetahui,
Pembimbing
Heru Astikasari S.Murti, S.Psi., MA.
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Renatha Claudia Munthe
Nim : 802012109
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH
DAN KELUARGA SINGLE PARENT
Yang dibimbing oleh:
Heru Astikasari S. Murti, S.Psi., MA.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 02 Maret 2016
Yang memberi pernyataan,
Renatha Claudia Munthe
LEMBAR PENGESAHAN
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA UTUH DAN
KELUARGA SINGLE PARENT
Oleh
Renatha Claudia Munthe
802012109
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal 29 Maret 2016eptemb2015
Oleh:
Pembimbing
Heru Astikasari S.Murti, S.Psi., MA.
Diketahui Oleh, Disahkan Oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. SutartoWijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA PADA KELUARGA
UTUH DAN KELUARGA SINGLE PARENT
Renatha Claudia Munthe
Heru Astikasari S. Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui signifikansi perbedaan kemandirian
belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu). Penelitian ini
dilakukan di Salatiga. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa remaja yang memiliki umur
15-18 tahun yang diasuh oleh keluarga utuh dan keluarga single parent yang berjumlah 100
diantaranya 50 siswa remaja yang diasuh oleh keluarga utuh dan 50 siswa remaja yang diasuh
oleh keluarga single parent (ibu). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala
kemandirian belajar yang mengacu pada teori Garrison (1997). Metode pengumpulan data
pada penelitian ini menggunakan skala self directed learning terdiri dari 26 aitem. Data yang
dianalisis menggunakan teknik Independent Sample Test dan diperoleh hasil bahwa nilai t =
2,447, sig = 0,016 (p<0,005), sehingga didapatkan kesimpulan kemandirian belajar siswa
remajadari keluarga utuh memiliki kemandirian didalam belajar yang lebih baik
dibandingkan siswa remaja dari keluarga single parent (ibu).
Kata kunci : Kemandirian belajar, Struktur keluarga, Remaja
ii
Abstract
The purpose of this study is to find out the significant difference of learning independence
between adolescents students who are brought up by the whole family and those who are
looked after by the single parent (mother). This study is done in Salatiga and the subjects of
this study are 100 adolescents students who are between 15 – 18 years old. 50 of them are
brought up by the whole family and the other 50 adolescents students are taken care by the
single parent (mother). The data was collected us6ing a scale independent learning which
refers to the theory of Garrison (1997), methods of data collection of this study applies the
self directed learning scale which consists of 26 items. The data are analyzed using the
Independent Sample Test technique and the result shows that the value of t = 2,447, sig =
0,016 (p<0,005). Therefore, it can be concluded from the result of this study that there is a
difference of learning independence between adolescents students who are brought up by the
whole family and those who are looked after by the single parent (mother).
Keywords: Independence Learning, Family Structure, self directed learning,
Adolescents
1
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting, dan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan seseorang baik didalam keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia. Sekolah
merupakan sebagai salah satu lembaga pendidikan secara formal, yang memiliki peranan
sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui proses belajar
mengajar. Sikap mandiri dalam belajar harus dimiliki oleh para siswa, agar dapat bersikap
dan melaksanakan tugas tidak tergantung dari orang lain dan siswa mampu bertanggung
jawab terhadap apa yang yang dikerjakan dan dilakukan. Siswa yang mandiri akan mampu
mengembangkan dirinya sendiri dalam membuat strategi belajar, agar mereka memperoleh
prestasi yang baik dan memperoleh keberhasilan. Karena pengembangan kemandirian belajar
yang dilakukan siswa akan membantu siswa dalam adaptasi terhadap ilmu dan teknologi
dikemudian hari yang semakin canggih.
Dengan memiliki kemandirian belajar yang telah dikembangkan oleh masing-masing
individu, membantu individu dapat memilih jalan hidupnya kelak, untuk berkembang lebih
baik (Mu’tadin, 2002). Namun bila kemandirian belajar tidak dapat terwujud maka individu
akan merasa kerugian dan kesulitan untuk menjadi individu yang produktif. Istilah
kemandirian juga sering dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan segala sesuatunya
sendiri (Suseno & Irdawati, 2012).
Fenomena terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yang semakin
pesat, membuat para siswa dituntut untuk menjadi lebih mandiri, khususnya dalam
mengakses informasi–informasi pendidikan yang diterima oleh siswa didalm pemebalajaran.
Pendidikan di Indonesia menurut UNESCO pada tahun 2012 mengatakan bahwa masih
tergolong rendah, misalnya dalam hal mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru disekolah,
siswa menunggu contekan dari teman dalam mengerjakan tugas ataupun ulangan, dalam
pembelajaran dikelas kerap kali siswa tidak membawa buku, bahkan buku yang dibawa tidak
2
seseuai dengan jadwal pelajaran, rendahnya kemandirian belajar siswa yang tidak memiliki
inisitaif dalam belajar sendiri.
Hal senada juga pada Tahun 2011 Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human
Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010
menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara. Sumarmo(2004) mengatakan bahwa
siswa remaja yang memiliki kemandirian belajar yang tinggi cenderung belajar lebih baik,
sebab siswa remaja dalam pengawasan sendiri bukan dari pengawasan program, mampu
memantau, mengevaluasi dan mengatur belajarnya secara efektif, dan mengatur waktu belajar
secara efisien.
Walaupun siswa tingkat sekolah menengah belum dianggap dewasa namun siswa
tesebut sudah dituntut untuk menyadari tanggung jawabnya dalam berbagai hal, termasuk
tuntutan untuk mandiri dalam belajar, karena situasi dalam dunia pendidikan sudah semakin
kompleks, dan hal ini tidak hanya untuk memperoleh prestasi yang bagus namun juga dengan
adanya kemandirian belajar dalam diri siswa, diharapkan agar dapat bersaing dan
berkompetisi dengan siswa lainnya. Pendapat (Puspita, 2013) mengatakan bahwa siswa
Sekolah Menengah Atas (SMA) diharapkan mencapai kemandirian, termasuk dalam
kemandirian belajar, dimana siswa seharusnya dapat mengatur jam belajar sendiri, memilih
kegiatan mana yang dapat menunjang prestasi akademiknya, menyusun strategi-strategi
dalam belajar dan perilaku-perilaku lainnya yang menandakan bahwa siswa bertanggung
jawab atas dirinya agar dapat berprestasi dan menjadi individu yang produktif.
Menurut Hoshi (2001) Kemandirian belajar, siswa dapat bertanggung jawab atas
pembuatan keputusan yang berkaitan dengan dengan proses belajarnya, dan siswa memiliki
kemampuan untuk melakukan keputusan aktivitas, tersebut. Kemandirian belajar memerlukan
kemauan untuk bertindak secara mandiri, tidak tergantung, serta memiliki kemampuan untuk
melaksanakan keputusannya sendiri. Kemampuan ini tergantung pada pengembangan
3
berbagai strategi komunikasi, belajar, kerja mandiri, menciptakan konteks belajar pribadi.
Menurut Pannen, (2000) yang menjadi ciri utama dalam belajar mandiri ialah adanya
pengembangan kemampuan siswa untuk melakukan proses belajar yang tidak tergantung
pada faktor guru, teman, dan lain-lain.
Untuk mencapai kemandirian belajar bukanlah suatu hal yang dapat diperoleh dengan
mudah. Hal ini memerlukan proses panjang yang harus dimulai sejak usia dini. Menurut
Basri (dalam Astuti, 1994). Kemandirian belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
faktor yang terdapat dari dalam dirinya dan faktor yang terdapat dari luar dirinya. Dalam
mencapai keberhasilan kemandirian belajar siswa remaja salah satu faktor yang
mempengaruhi kemandirian belajar siswa remaja ialah peran orangtua.
Menurut Hurlock (dalam Menuk, 2009) faktor yang memiliki pengaruh dalam
mencapai kemandirian belajar pada siswa remaja ialah Keluarga. Karena keluarga merupakan
lingkungan pertama dan yang paling utama dalam melakukan interaksi sosialnya siswa
remaja. Selain itu melalui peran keluargalah, siswa remaja secara perlahan-lahan dapat
membentuk kemandirian dalam dirinya. Oleh sebab itu peran orangtua sangat berperan aktif
dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi lebih
mandiri, dan peran orangtua juga sangat penting terhadap anak, karena kemandirian belajar
merupakan syarat mutlak untuk belajar.
Oleh sebab itu orangtua harus memperhatikan dan mendorong anak agar dapat belajar
dengan baik dan mempunyai motivasi dan menjadi anak yang produktif. Karena peranan
orangtua memegang peran utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh,
membesarkan dan mendidik anak merupakan tugas yang tidak lepas dari berbagai halangan
dan tantangan, sedangkan peran seorang Guru disekolah merupakan pendidik kedua yang
memiliki waktu yang terbatas dalam mendidik anak, oleh sebab itu peran orangtualah sebagai
pendidik utama di rumah (Hasinuddin & Fitriah, 2011). Jika orangtua sebagai pendidik yang
4
utama ini tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sulit untuk beharap
sekolah mampu membentuk siswa untuk memiliki kemandirian dalam belajar.
Keluarga merupakan wadah pendidikan yang sangat besar pengaruhnya dalam
perkembangan kemandirian belajar anak, oleh karena itu pendidikan anak tidak dapat
dipisahkan dari keluarganya. Karena keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar
menyatakan diri sebagai mahkluk sosial dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Penelitian
yang dilakukan Benson dan Johnson (2009), menunjukkan bahwa keluarga memberikan
peranan penting dalam transisi anak-anak siswa remaja menuju dewasa. Penelitian ini juga
memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang sisi subjektif dari transisi dewasa, dengan
menyediakan wawasan tentang bagaimana konteks keluarga siswa remaja mempengaruhi
kepribadian siswa remaja dimasa depan. Karena keluarga merupakan aspek atau sarana yang
mendasari siswa remaja dalam pembangunan kemandirian untuk menuju dewasa.
Mutadin (2002) menyatakan kemandirian belajar pada anak berawal dari keluarga
serta dipengaruhi oleh pengasuhan orangtua. Pada masa peralihan ini, orangtua seharusnya
menerapkan pola asuh yang tepat agar dapat mendidik anaknya untuk menjadi pribadi yang
mandiri untuk kedepannya. Dengan berjalannya waktu si anak akan melepaskan
ketergantungan kepada orangtua maupun orang lain. Tercapainya kemandirian belajar siswa
remaja akan menjadikan siswa remaja tidak lagi bergantung pada orang-orang di sekitarnya,
seorang siswa remaja akan mampu mengatur dirinya sendiri dalam bertanggung jawab,
mengambil keputusan secara mandiri, dan dalam pendidikannya.
Peranan keluarga mengasuh membimbing, melindungi, merawat, mendidik anak,
menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan
individu dalam posisi dan situasi tertentu. Orangtua didalam keluarga memiliki peran yang
besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran
kepribadian seseorang setelah dewasa kelak. Peran orangtua merupakan gambaran tentang
5
sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan
kegiatan pengasuhan (Khairuddin.1997).
Menurut Gerungan (2009) Berdasarkan kelengkapan anggota keluarga ada dua bentuk
struktur keluarga suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau bisa dikatakaan
keluarga utuh, melalui sisi kelengkapan struktur keluarga, terdapat keluarga utuh dan
keluarga tidak utuh. Keluarga utuh ialah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu yang masih
lengkap, dan orangtua akan menjalankan fungsinya dengan baik keduanya, sedangkan
keluarga orangtua tunggal (single parent) ialah keluarga yang hanya terdapat satu orangtua
tunggal baik itu ayah maupun ibu, baik orangtuanya bercerai ataupun salah satu orangtuanya
meninggal, dimana dari keluarga tersebut sangat mempengaruhi perkembangan siswa remaja
terutama dari segi emosi dan psikologisnya.
Pengasuhan oleh orangtua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman modern ini.
Sebagian besar keluarga yang berstatus single parent adalah wanita sebagai kepala keluarga
merangkap sebagai ibu rumah tangga, dengan kata lain wanita menjalankan peran ganda.
Fenomena yang terjadi di negara-negara maju menunjukkan hal sama yang terjadi pada
negara lain termasuk Indonesia. Orangtua yang lengkap memang memiliki keuntungan
dibanding orangtua tunggal, yaitu bisa berbagi dan menyediakan kondisi yang harmonis bagi
perkembangan anak mereka (Dwiyani,2009).
Menjadi single parent dalam sebuah rumah tangga tentu tidak mudah, terlebih bagi
seorang ibu yang harus mengasuh anaknya hanya seorang diri karena bercerai dari suaminya
atau suaminya meninggal dunia. Hal tersebut, membutuhkan perjuangan yang cukup berat
untuk membesarkan anak termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dan peran sebagai
single parent juga lebih dapat menerima anggapan-anggpan dari lingkungan yang sering
memojokkan para ibu single parent, hal tersebut bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan anak. (Sudarto2003).
6
Alvita (2008) menyatakan bahwa ibu single parent mempunyai peran ganda dalam
keluarga. Peran ganda tersebut harus memenuhi kebutuhan psikologis anak (pemberian kasih
sayang, perhatian dan rasa aman) serta harus memenuhi kebutuhan fisik anak (kebutuhan
sandang pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan
materi), artinya ibu single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan
domestic dan public demi tercapainya tujuan keluarga yaitu membentuk anak yang
berkualitas.
Menurut Atlas (1998) Menjadi seorang ibu single parent dalam sebuah rumah tangga
tentu tidak mudah, terkhusus bagi seorang ibu yang harus membesarkan anaknya hanya
seorang diri, mencari nafkah seorang diri, karena harus bercerai dengan suaminya atau
suaminya yang telah meninggal. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Atlas
menyatakan bahwa makin tidak lengkapnya orangtua membuat anak semakin mengalami
kesenjangan dalam menghadapi perkembangan.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puji Astuti (2002) tentang perbedaan
kemandirian siswa yang berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari
keluarga single parent, dapat diketahui bahwa ada perbedaan, hal itu terjadi karena salah satu
fungsi keluarga tidak ada, baik ayah ataupun ibu di mana keduanya sangat menentukan dalam
proses pembentukan anak.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Winestya (2010) tentang perbedaan
kemandirian siswa yang berasal dari keluarga orangtua utuh dan siswa yang berasal dari
keluarga orangtua single parent, hasil dari penelitian sebelumnya mengatakan bahwa tidak
ada perbedaan kemandirian anak yang berasal dari keluarga utuh maupun keluarga single
parent.
7
RUMUSAN MASALAH :
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui Perbedaan kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga
single parent (ibu)?
TINJAUAN PUSTAKA
Kemandirian Belajar
Definisi
Garrison (1997) mendefinisikan kemandirian belajar (self directed learning) dapat
diartikan sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara mandiri, maupun
dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri, untuk menguasai suatu materi
dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang
dijumpainya di dunia nyata.
Kemandirian belajar adalah belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang
lain, siswa dituntut untuk memiliki keaktifan dan inisiatif sendiri dalam belajar, bersikap,
berbangsa maupun bernegara (Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, 1990). Menurut Gibbons (2002)
belajar mandiri merupakan peningkatan dalam pengetahuan siswa, kemampuan siswa atau
perkembangan siswa, dimana siswa dapat memilih dan menentukan sendiri tujuan dalam
pembelajaran, serta berusaha menggunakan metode – metode yang mendukung kegiatannya.
Menurut Merriam & Caffarella (1999) kemandirian belajar merupakan proses
pemebelajaran dimana pelajar membuat inisiatif sendiri dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi dari pengalaman pembelajaran, yang di dapat dari berbagai sumber atau literatur.
Menurut Surya (2003), belajar mandiri ialah proses menggerakkan kekuatan atau dorongan
dari dalam diri individu yang belajar untuk menggerakkan potensi dirinya mempelajari objek
belajar tanpa ada tekanan atau pengaruh asing dari luar dirinya. Pendapat yang dikemukakan
oleh Kozma (1978), yang menyatakan belajar mandiri sebagai suatu bentuk belajar yang
8
memberikan kesempatan kepada siswa, untuk menentukan tujuan belajar, sumber-sumber
belajar dan kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Menurut Johnson (2009),
pembelajaran mandiri memberi kebebasan kepada siswa untuk menemukan bagaimana
kehidupan akademik sesuai dengan kehidupan mereka sehari – hari. Pelajar mengambil
keputusan sendiri dan menerima tanggung jawab untuk itu. Pelajar juga mengatur,
menyesuaikan tindakannya mereka untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pannen (2000)
menegaskan bahwa ciri utama dalam belajar mandiri bukanlah ketiadaan guru atau teman
sesama siswa, atau tidak adanya pertemuan tatap muka di kelas. Menurutnya, yang menjadi
ciri utama dalam belajar mandiri adalah adanya pengembangan kemampuan siswa untuk
melakukan proses belajar yang tidak tergantung pada faktor guru, teman, kelas dan lain-lain.
Menurut Garisson (1997), terdapat tiga aspek dalam kemandirian belajar, yaitu :
a. Self-management (manajemen diri)
Manajemen diri merupakan masalah pengendalian tugas, termasuk diberlakukannya
tujuan pembelajaran, pengelolaan dan dukungan sumber belajar.
b. Self-monitoring (pemantauan diri)
Pemantauan diri merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kognitif dan proses
metokognitif termasuk memantau strategi pembelajaran siswa, serta kesadaran dan
kemampuan siswa untuk berpikir. Ini adalah suatu proses dimana siswa mengambil
tanggung jawab untuk membangun makna pribadi melalui pengintegrasian ide-ide
dan konsep-konsep yang baru dengan pengetahuan sebelumnya.
c. Motivation (motivasi)
Motivasi merupakan suatu dorongan dalam diri untuk membantu dalam memulai
suatu hal dan mempertahankan usaha terhadap pembelajaran dan pencapaian tujuan
kognitif.
9
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan self directed learning sebagai definisi dan
alat ukur dalam penelitian, sebab self directed learning merupakan sinonim dari kemandirian
belajar menurut (Kesten, 1987).
Dari pejelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek di atas saling
terkait satu sama lainnya, karena aspek tersebut salaing memiliki pengaruh yang sama kuat
dan saling melengkapi dalam membentuk kemandirian belajar dalam diri seseorang
Faktor-Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Kemandirian Belajar Siswa
Menurut Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi
kemandirian belajar yaitu:
1. Jenis Kelamin
Anak laki-laki lebih berperan aktif dalam membentuk kemandirian dan dituntut untuk lebih
mandiri, sedangkan anak perempuan mempunyai ketergantungan yang lebih stabil karena
memang dimungkinkan untuk bergantung lebih lama.
2. Usia
Pada setiap tahap perkembangan mempengaruhi kemandirian seseorang. Beberapa sifat yang
ada pada remaja awal menunjukkan masih ada pengaruh dari masa kanakkanaknya, misalnya
emosional, belum mandiri, belum memiliki pendirian sendiri. Sedangkan pada remaja akhir
sudah diharapkan lebih menunjukkan kedewasaan seperti menerima keadaan fisiknya,
bertanggungjawab.
3. Struktur keluarga
Keluarga sekarang sangat bervariasi, tidak hanya keluarga tradisional seperti dulu lagi.
Perubahan dalam perkawinan ini membawa dampak pada perkembangan kemandirian anak.
4. Budaya
Setiap daerah, setiap negara mempunyai adat istiadat dan cara tertentu dalam mendidik anak.
Pada budaya barat, anak sangat dituntut lebih cepat mandiri. Anak pada budaya barat banyak
10
yang kerja part time dan banyak yang sudah mulai tinggal sendiri tidak bersama orangtua
lagi.
5. Lingkungan
Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak akan pernah dapat dipisahkan dengan
manusia lain dan juga lingkungan tempat tinggal individu tersebut. Lingkungan yan baik,
dapat mendukung anak untuk mandiri.
6. Keinginan individu untuk bebas Setiap individu berbeda, ada individu yang memang ingin
melakukan sesuatu dengan bebas dan tanpa harus dikekang oleh orang lain. Perbedaan setiap
individu ini juga mempengaruhi keinginan setiap orang untuk mandiri.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kemandirian sangat menentukan sekali
tercapainya kemandirian seseorang, begitu pula dengan kemandirian belajar siswa
dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa itu sendiri, maupun yang berasal dari luar yaitu
lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan sosial dan lingkungan masyarakat.
Struktur Keluarga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak
(keluarga inti). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 Bab I ayat 1 keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan
anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan menurut WHO (1969)
keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah
adaptasi atau perkawinan.
Gunarsa (1986) mengatakan keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan bermasyarakat karena keluarga merupakan inti dari masyarakat yang memiliki
fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja tetapi juga merupakan
sumber pendidikan yang pertama bagi anak. Lingkungan keluarga memberikan pengaruh
besar terhadap perkembangan anak. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
11
memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan
sekolah hanya memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik-buruknya
struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya
pertumbuhan perkembangan anak (Gunarsa & Gunarsa, 1995; Kartono, 1998). Sebagai
tempat belajar, keluarga adalah tempat pertama anak-anak belajar. Dalam segala aspek
kehidupan, anak bergantung kepada orangtua, baik dalam soal berbicara, berjalan, dan
tingkah laku. Dari orangtua, anak belajar mengasihi Tuhan, mengasihi orangtua, dan
mengasihi sesamanya (Nadeak, 1995). Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan
sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia
diperoleh pertama-tama dari orangtua dan anggota keluarga sendiri (Gunarsa, 1993). Menurut
Santrock (2003), keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk
mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari
orangtua. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat
mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil
keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya.
Keluarga Utuh
Keluarga Utuh atau keluarga lengkap ialah keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di
dalam keluarga teridiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu, atau
kedua-duanya tidak ada, maka struktur keluarga itu tidak utuh lagi (Ahmadi, 1999). Ayah dan
ibu bisa disebut sebagai orangtua keduanya adalah pengasuh dan pendidik utama dan pertama
bagi anak dalam lingkungan keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis.
Meskipun demikian keluarga juga memiliki fungsi reproduktif, religius, edukatif, sosial dan
protektif (Harini & Al-Halwani,2003). Soelaeman (1994) mengatakan bahwa “keluarga
dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh
12
anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu
diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakadaan ayah atau ibu
dirumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar
pengaruh, arahan, bimbingan dan sistem nilai yang direalisasikan orangtua senantiasa tetap
dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak” (Shochib,1998). Peranan Keluarga Utuh
Soelaeman (dikutip dalam Shochib,1998) menyatakan bahwa keutuhan orangtua (ayah dan
ibu) dalam satu keluarga sangat dibutuhkan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem
nilai yang direalisasikan orangtua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola
perilaku anak-anaknya Orangtua mempunyai fungsi dan peranan sangat besar dalam
perkembangan seorang anak. Terutama apabila seorang anak yang menginjak masa remaja.
Tidak dapat disangkal lagi melalui keluargalah anak memperoleh bimbingan, pendidikan, dan
pengarahan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kapasitasnya (Gunarsa,
1993).
Keluarga Single Parent
Keluarga single parent ialah keluarga dimana didalamnya terdapat satu orangtua yang
tinggal sendiri atau biasat disebut Orangtua tunggal. (single parent) dapat terjadi karena: a)
Perceraian. b) Salah satu meninggalkan keluarga atau rumah. c) Salah satu meninggal dunia
(Surya, 2003: 230). Keluarga tunggal ibu saja harus melaksanakan dua fungsi sekaligus,
yaitu fungsi sebagai ayah dan fungsi sebagai ibu. Selain itu dia juga harus menjalani fungsi-
fungsi keluarga yang lain seperti ekonomi, pendidikan. DeGenova (2008) mengatakan
single parent family adalah keluarga yang terdiri atas satu orangtua menikah dan memiliki
anak. Menurut Sager dkk (dalam Setiawati, 2007) single parent adalah orangtua yang
memelihara dan membesarkan anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.
Single parent merupakan keluarga yang orantuanya hanya terdiri dari ibu yang bertanggung
jawab mengurus anak setelah perceraian, meninggal. (Yusuf, 2004).
13
Sedangkan keluarga utuh keluarga utuh adalah keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu
yang masih lengkap keduanya dan anaknya. Menurut Dwiyani (2009) ibu single parent
adalah ibu yang mengasuh anak-anaknya sendirian, tanpa didampingi oleh suami atau
pasangan hidup yang disebabkan oleh perceraian, kematian pasangan hidup. (dalam
Anderson dkk. 1998) mengatakan bahwa menjadi ibu single parent merupakan pilihan hidup
yang dijalani oleh individu yang berkomitmen untuk tidak menikah atau menjalin hubungan
intim dengan orang lain. Menurut Setiati (2011), juga menambahkan masalah yang sering
dihadapi oleh ibu single parent biasanya adalah masalah mengasuh anak, karena anak akan
merasa sangat kehilangan salah satu orangtua. Jika dibandingkan dengan single parent father,
single parent mother cenderung mempertahankan diri untuk mengasuh anak sekaligus
mencari nafkah seorang diri. Hak untuk mengurus anak pada umumnya cenderung diberikan
kepada kaum ibu. Hal ini dikarenakan sebagian besar kaum pria lebih cepat memilih menikah
lagi, sebab ayah tunggal (single parent father) cenderung menyerahkan pengasuhan anak
kepada mantan istri, mertua, atau kakek-nenek (Magdalena, 2010)
Perbedaan Kemandirian Belajar Antara Siswa Remaja Pada Keluarga Utuh Dan
Keluarga Single Parent
Perbedaan kemandirian belajar antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga
single parent sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar siswa remaja, karena
anak dan keluarga ialah satu kesatuan yang saling berkaitan dan keluargalah yang
mempunyai kedudukan sentral. Sebab perkembangan kemandirian belajar anak dimulai
dalam lingkungan keluarga, oleh sebab itu pengaruh keluarga sangat besar pada proses
perkembangan anak khususnya pembentukan kemandirian (Baiq 2008). Dilihat dari struktur
kelengkapan keluarga, ada keluarga yang utuh dan ada keluarga yang tidak utuh. Soelaeman
(1994) Keluarga utuh merupakan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, keberadaan
ayah dan ibu dikatakan sebagai keluarga lengkap, karena jika salah satu dari keduanya tidak
14
ada maka fungsi keluarga tidaklah lengkap. Ulwan (2000) berpendapat bahwa Ketiadaan
salah satu orangtua akan mengurangi salah satu fungsi dari orangtua baik ayah maupun ibu,
sehingga keberadaan keluarga lengkap menjadi sangat penting dalam perkembangan anak
selanjutnya. Keberadaan akan ayah dan ibu dalam satu keluarga yang akan membimbing,
mengarahkan serta membentuk kemandirian belajar anak sehingga anak mampu melakukan
penyesuaian diri yang baik, dan mampu mengungkapkan pendapat dan keinginannya sendiri
dan tidak bergantung kepada orangtuanya. Saat ini keluarga dengan orangtua tunggal
memiliki serangkaian masalah khusus. Hal ini disebabkan karena hanya ada satu orangtua
yang membesarkan anak. Bila diukur dengan angka, mungkin lebih sedikit sifat positif yang
ada dalam diri suatu keluarga dengan satu orangtua dibandingkan keluarga dengan orangtua
lengkap. Orangtua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak dan perkembangannya, karena
orangtua tunggal ini tidak mempunyai pasangan untuk saling menopang (Ratri, 2006).
Keluarga single parent ialah keluarga dimana didalamnya terdapat satu orangtua yang
tinggal sendiri yaitu ayah saja atau ibu saja. Orangtua tunggal (single parent) dapat terjadi
karena: Perceraian, Salah satu meninggalkan keluarga atau rumah, Salah satu meninggal
dunia (Surya & Shapiro (2003) menjelaskan tugas yang harus dikerjakan seorang diri oleh
orangtua tunggal, baik laki-laki maupun perempuan. Diantaranya tugas tersebut adalah:
penuh dengan benturan waktu, tanggung jawab ganda untuk tetap mempertahankan
kelangsungan hidup dan mengelola rumah tangga, tidak ada istirahat atau waktu istirahat
berkurang, ditambah dengan kebutuhan emosional, membimbing anak khusus terhadap anak-
anak yang tidak lagi memiliki keluarga utuh, serta menanggung beban finansial dan
mengaturnya seorang diri. Sebab itu DeGenova (2008) mengatakan bahwa keluarga single
parent biasanya lebih merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam kekompetenan sebagai
orangtua. Kekompeten orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana si orangtua
mengasuh anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat
15
berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh terhadap perkembangan
psikologis anak, salah satunya dalam hal kemandirian anak. Penelitian yang dilakukan Kelly
(2008) menunjukkan bahwa anak dari single parent cenderung lebih rentan terkena masalah
dalam kehidupannya sehari-hari serta terganggu dalam hal pendidikan dibanding anak yang
memiliki orangtua utuh. Menurut Bharat, dkk (1989) mengatakan bahwa anak keluarga single
parent lebih merasa loneliness, tidak percaya diri.
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Hansen, dkk (1980) dimana
terdapat perbedaan konsep diri, prestasi di sekolah, kemandirian belajar di sekolah,
vocational maturity, occupational aspiration dan persepsi terhadap orangtua mereka pada
anak dengan orangtua single parent. penelitian yang dikemukakan oleh Anwar (2007) bahwa
seorang ibu single parent akan lebih matang dalam mengasuh dan mendidik anak
dibandingkan seorang suami. Hasil penelitian ini juga didukung adanya teori yang
dikemukakan Litterauter (2006) yang menyatakan apabila seorang anak diasuh oleh seorang
single parent akan lebih baik apabila ia berada dalam asuhan ibunya karena seorang ibu
dinilai lebih mampu menggantikan kewajiban orangtua seutuhnya daripda seorang suami.
Problema yang dimiliki anak yang diasuh ibu dengan status single parent tentunya akan
memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan anak yang diasuh oleh keluarga utuh.
Keadaan keluarga yang tidak lengkap dapat membuat ikatan keluarga dan suasana keluarga
tidak dapat memberi rasa aman. Anak tidak mencari perlindungan dan tempat bernaung di
keluarga melainkan mencari tempat curahan hati pada teman dekatnya. Sedangkan keluarga
sebenarnya justru harus memberikan rasa aman itu (Gunarsa, 2003). Begitu juga halnya
dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua single parent akibat terlalu sibuk
sehingga tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas perkembangan atau kurangnya
bimbingan untuk menguasai tugas perkembangan tersebut (Musdalifah, 2007). Kekurang
kompetennya sebagai single parent (ibu) dapat mengakibatkan anak kurang mandiri dimana
16
anak menjadi bingung dalam mengambil keputusan dan susah mempertanggung
jawabkannnya.
Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis bahwa ada perbedaan
signifikan kemandirian belajar siswa remaja pada keluarga utuh dengan siswa remaja pada
keluarga single parent (ibu).
METODE PENELITIAN
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel Bebas : Struktur Keluarga
Variabel Terikat : Kemandirian Belajar
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa remaja madya, yang masih berstatus siswa
Sekolah Menengah Atas pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu). Teknik
pengambilan sampel dengan Snowball sampling yaitu teknik penentuan sampel yang mula-
mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Dalam penentuan sampel pertama-tama dipilih
satu atau dua orang, kemudian terus berkembang untuk mencapai jumlah yang diinginkan
peneliti sehingga jumlah sampel semakin banyak (Sugiyono,2013). Kriteria subjek adalah
siswa remaja pada keluarga orangtua utuh dan siswa remaja pada keluarga single parent.
Populasi dalam penelitian yang dilakukan ini ialah siswa remaja yang berusia 15-18 tahun.
Menurut Monk, dkk (2008) masa remaja pertengahan atau madya berkisar usia 15 tahun
sampai 18 tahun. Adapun karakteristik sampelnya adalah sebagai berikut :
a. Subjek merupakan siswa Sekolah Menengah Atas yang berusia 15-18.
b. Subjek yang diasuh oleh Keluarga Utuh dan Subjek yang diasuh oleh Keluarga Single
Parent (Ibu).
17
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan penulis dengan pertama-tama memohon surat persetujuan dari
dosen pembimbing, untuk mengambil data yang ditujukan kepada Siswa Remaja di Salatiga.
Penyebaran angket dilakukan pada 25 November 2015. Peneliti menyebarkan 100 angket.
Dalam penelitian ini untuk memperoleh data informasi, alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala Self-Directed Learning. Skala Self-Directed Learning ini
menggunakan aspek-aspek yang disimpulkan oleh Garrison (1997), yaitu meliputi aspek self-
management, aspek self-monitoring dan aspek motivation berdasarkan aspek-aspek yang di
ungkapkan oleh Garrison. Jumlah item pada skala ini adalah 26 item dengan alpha Cronbach
0,816 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan try out terpakai, dimana subjek yang
digunakan dalam try out digunakan sekaligus untuk penelitian. Penelitian ini akan di uji lebih
lanjut dengan analisis item untuk menguji daya diskriminasi dan realibilitas item. Angket
kemandirian belajar ini dibuat dengan menggunakan skala likert, yang terdiri dari empat
kategori jawaban yaitu, Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak
Setuju (STS). Angket kemandirian belajar ini terdiri atas item favorable dan item
unfavorable. Pemberian skor untuk item favorable bergerak dari 4 sampai 1 untuk Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pemberian skor
untuk item unforable bergerak dari 1 sampai 4 untuk Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan Alfa Cronbach menunjukkan hasil hasil
perhitungan reliabilitas sebesar 0,806. Berdasarkan hasil uji yang diperoleh maka alat ukur
dalam penelitian ini dapat dikatakan alat ukur yang reliabel. Dilakukan dua kali pengujian
menggunakan program komputer SPSS Statistics 16,0. menunjukkan bahwa ada 6 item yang
gugur karena mempunyai nilai corrected item total < 0,30 yaitu 6 item. Pengujian tersebut
mendapatkan hasil bahwa item yang tersisa adalah 20 item yang dianggap valid dengan
18
standar yang digunakan adalah sebesar 0,30 (Azwar, 2012). Reliabilitas yang dihitung
dengan Alfa Cronbach sebesar 0,806 yang berarti bahwa alat ukur yang digunakan reliabel.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini akan dilakukan uji asumsi. Apabila hasil uji asumsi
menunjukkan data yang berdistribusi normal serta homogen, maka selanjutnya dilakukan uji-
t. Uji-t dilakukan dengan menggunakan SPSS Statistics 16,0 for windows dengan program uji
Independent Sample T Test.
HASIL PENELITIAN
Statistik Deskriptif
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel kemandirian belajar
digunakan 4 kategori yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah. Untuk mengetahui
interval maka digunakan rumus sebagai berikut (Sugiyono, 2012) :
19
Tabel 4.1 Kategorisasi Kemandirian Belajar Siswa Remaja Pada Keluarga Utuh
NO Interval Kategorisasi Mean F %
1. 20 ≤ x < 32 Sangat Rendah 0 0%
2. 32 ≤ x < 44 Rendah 1 2%
3. 44 ≤ x < 56 Sedang 15 30%
4. 56 ≤ x < 68 Tinggi 58,62 33 66%
5. 68 ≤ x ≤ 80 Sangat Tinggi 1 2%
Jumlah 50 100%
x = skor kemandirian belajar remaja
Hasil analisis deskriptif tabel 4.1 menunjukkan bahwa kemandirian belajar siswa remaja pada
keluarga utuh cenderung berada pada kategori tinggi dengan nilai rata-rata 58,62.
Tabel 4.2 Kategorisasi Kemandirian Belajar Siswa Remaja Pada Keluarga Single
Parent (Ibu)
NO Interval Kategorisasi Mean F %
1. 20 ≤ x < 32 Sangat Rendah 0 0%
2. 32 ≤ x < 44 Rendah 4 8%
3. 44 ≤ x < 56 Sedang 55,08 26 52%
4. 56 ≤ x < 68 Tinggi 15 30%
5. 68 ≤ x ≤ 80 Sangat Tinggi 5 10%
Jumlah 50 100%
x = skor kemandirian belajar
Hasil analisis deskriptif tabel 4.2 menunjukkan bahwa kemandirian belajar siswa remaja pada
keluarga single parent (ibu) cenderung berada pada kategori sedang dengan nilai rata-rata
55,08.
20
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Uji
normalitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data
penelitian pada setiap variabel dengan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Test. Data
dapat dikatakan normal apabila nilai p>0,05. Hasil normalitas dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 1. Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Utuh single_parent
N 50 50
Normal Parametersa Mean 58.62 55.08
Std. Deviation 6.061 8.241
Most Extreme Differences Absolute .093 .116
Positive .083 .116
Negative -.093 -.080
Kolmogorov-Smirnov Z .656 .817
Asymp. Sig. (2-tailed) .783 .517
a. Test distribution is Normal.
Berdasarkan hasil uji normalitas diperoleh nilai Kolmogorov Smirnov untuk sampel
utuh sebesar 0,656 hal ini berarti untuk signifikansi utuh >0,05 sehingga sampel utuh
berdistribusi normal. Sedangkan nilai Kolmogorov Smirnov untuk sampel single parent
sebesar 0,817 hal ini berarti untuk signifikansi single parent >0,05 sehingga sampel single
parent berdistribusi normal. Melihat hasil nilai Kolmogorov Smirnov untuk keluarga utuh
dan keluarga single parent bersignifikansi >0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis
sampel sebaran datanya berdistribusi normal.
21
Uji Homogenitas
Selanjutnya adalah uji homogenitas yang bertujuan untuk melihat apakah sampel dari
penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila nilai
probabilitas p>0,05. Hasil dari uji homogenitas dapat dilhat pada tabel berikut :
Tabel 2. Hasil Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Test of Homogeneity of Variances
Kemandirianbelajar
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.382 1 98 .126
Dari Tabel di atas dapat dilihat hasil uji homogenitas dengan metode Levene's Test.
Nilai Levene’s ditunjukkan dengan p value (sig) sebesar 0,126 di mana > 0,05 yang berarti
terdapat kesamaan varians antar kelompok atau yang berarti homogen.
Hasil Uji Perbedaan
Melalui pendekatan Independent Sample t-test yang digunakan untuk mengetahui ada
atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang tidak berhubungan, hasil
perhitungan Uji-t sebesar 2.447 dapat diketahui nilai signifikansinya adalah sebesar 0,016
(p<0,05). Maka H0 ditolak, dan H1 diterima, yang artinya ada perbedaan kemandirian belajar
remaja yang diasuh oleh keluarga utuh dan remaja yang diasuh keluarga single parent (ibu).
Tabel
Uji Independen T Test
22
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan kemandirian belajar
antara siswa remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent (ibu) diperoleh nilai t
hitung adalah sebesar 2,447 menunjukkan bahwa signifikansi yang diperoleh sebesar 0,016
(p<0,05). Maka H1 diterima yang berarti bahwa ada perbedaan kemandirian belajar siswa
remaja pada keluarga utuh dan keluarga single parent berbeda secara signifikan.
Hal ini senada dengan yang dikatakan Allen dkk (dalam Kulbok, 2004) mengatakan
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar adalah struktur keluarga.
Gunarsa (2004) juga mengatakan bahwa ayah, ibu dan anak merupakan satu kesatuan yang
tidak dipisahkan, dimana masing-masing dari anggota tersebut harus terbina hubungan yang
baik, yakni antara ayah-ibu, ayah-anak, ibu-anak. Hubungan yang baik ini artinya, keluarga
selalu berusaha menghadirkan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
pihak di dalamnya, karena kepribadian anak bisa dipengaruhi secara sangat mendalam oleh
adanya gambaran kesatuan ayah dan ibu, oleh karena itu orangtua harus memenuhi reaksi-
reaksi dari anak-anaknya. Sehingga anak memiliki keyakinan akan adanya pegangan dan
gambaran kesatuan ayah dan ibu. Sehingga mereka merasakan perlindungan, bimbingan
dalam keluarga yang akan memberikan rasa aman, dimana rasa aman ini juga merupakan
kebutuhan dasar dari anak, yang akan mempengaruhi perkembangan kemandirian belajar
anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Meier, dkk (2008) mengemukakan bahwa
anak dari keluarga utuh yang mempunyai ayah dan ibu yang lengkap, lebih baik dibanding
dengan anak dari single parent. Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2004) mengatakan siswa
remaja yang memiliki kemandirian belajar mampu mengembangkan persepsi yang positif
terhadap orang lain dan mencoba berintegrasi dengan keluarga sendiri secara mandiri,
memiliki tujuan hidup yang realistik, mengembangkan kemampuan untuk mengemukakan
23
dan mempertahankan pendapatnya sendiri, mampu membangun hubungan dengan beberapa
orang dewasa lainnya dalam masyarakat, ikut berpartisipasi dengan orang dewasa lainnya
dalam masyarakat, menerima konsekuensi dari kesalahannya tanpa mengeluh, melakukan
sejumlah aktivitas yang disenangi tanpa terlalu meminta persetujuan dari orangtua dan guru.
Meminta nasehat ataupun saran dari orangtua disaat mengalami masalah sulit saja, mampu
menghadapi kegagalan, dengan berupaya mengatasi masalah dengan lebih baik. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2002) tentang perbedaan kemandirian siswa yang
berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari keluarga single parent, dapat
diketahui bahwa ada perbedaan, hal itu terjadi karena salah satu fungsi keluarga tidak ada,
baik ayah ataupun ibu di mana keduanya sangat menentukan dalam proses pembentukan
kemandirian belajar anak.
Alvita (2008) menyatakan bahwa single parent mempunyai peran ganda dalam
keluarga. Peran ganda tersebut harus memenuhi kebutuhan psikologis anak, (pemberian kasih
sayang, perhatian dan rasa aman), serta harus memenuhi kebutuhan fisik anak (kebutuhan
sandang pangan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan
materi), artinya ibu single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan
domestic dan public, demi tercapainya tujuan keluarga yaitu membentuk anak yang
berkualitas. Dampak yang yang terjadi pada keluarga single parent bukan hanya dirasakan
oleh ibu sebagai orangtua tunggal, tetapi juga anak yang kehilangan salah satu orangtua.
Qaimi (2003) mengatakan ada beberapa dampak atau pengaruh yang menimpa keluarga dan
anak-anak ketika kehilangan salah satu orangtua baik ayah maupun ibu, pengaruhnya secara
mental dan kejiwaan bisa berupa menurunnya kecerdasan, harapan dan semangat. Sedangkan
pada perasaan akan memunculkan rasa gelisah, ketakutan, depresi bahkan kehilangan rasa
belas kasih. Hal tersebut senada dengan Ki Hajar Dewantara juga yang mengatakan bahwa
keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak timbulnya adab
24
kemanusiaan sampai sekarang, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-
tiap manusia. Oleh sebab itu Kemandirian belajar juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yaitu keluarga, dimana keluarga membawa pengaruh primer terhadap kemandirian belajar
seorang anak. Dikatakan bahwa perkembangan kemandirian belajar dipengaruhi oleh kondisi
yang terjadi pada setiap perkembangan (Hurlock,1999).
KESIMPULAN :
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil penelitian sebagai berikut :
1. Ada perbedaan yang signifkan kemandirin belajar antara siswa remaja pada keluarga
utuh dan siswa remaja pada keluarga single parent. Kemandirian belajar siswa remaja
pada keluarga utuh lebih tinggi dari siswa remaja pada keluarga single parent (ibu).
2. Sebanyak (58,62%) siswa remaja dari keluarga utuh memiliki kemandirian belajar
pada kategori tinggi sementara sebanyak (55,08%) siswa remaja dari keluarga single
parent mempunyai kemandirian belajar pada kategori sedang.
SARAN :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diketahui, maka penulis mengajukan saran beberapa
pihak yaitu :
1. Bagi remaja pada keluarga utuh
Diharapakan siswa remaja tetap dapat memiliki kemandirian belajar sendiri tanpa
terlalu tergantung pada kedua orangtuanya. Siswa remaja harus dapat mengandalkan
diri sendiri mereka, dan dapat lebih berani mengambil tindakan dan
bertanggungjawab sehingga anak tidak menyerahkan segalanya kepada orangtua
mereka. Karena kemandirian belajar sangat penting bagi masa depannya kelak.
25
2. Bagi siswa remaja pada keluarga single parent
Dengan orangtua yang tidak lengkap diharapkan siswa remaja lebih dapat mandiri
dalam belajar, dan dapat mengerti keadaan orangtua mereka. Disini siswa remaja
diharapkan dapat lebih mengerti kondisi dan keadaan orangtua mereka, sehingga
siswa remaja dapat lebih berani dan memiliki inisiatif dalam bertindak. Hidup dengan
orangtua yang tidak lengkap, terlebih hanya ibu yang ada, anak diharapkan tidak
menjadi putus asa atau menjadi minder bergaul dengan temannya maupun
lingkungannya. Siswa remaja harus dapat tetap memiliki kemandirian belajar agar
siswa remaja pada keluarga single parent dapat maju dan memikirkan masa depannya.
1. Bagi Orangtua
Bagi orangtua dari keluarga utuh, hendaknya dapat bersama mendidik dan
Membimbing anak mereka. Sehingga anak tetap dapat terkontrol. Anak sebaiknya
jangan dikekang tapi juga jangan dibebaskan. Orangtua harus membuat anak mereka
bertanggung jawab atas apa yang mereka putuskan. Orangtua harus memberikan
kebebasan pada anak untuk mengutarakan pendapat mereka, apa yang mereka
inginkan. Disini orangtua berperan membimbing anak anak agar tetap terarah. Seperti
saat anak memutuskan untuk mengambil ekstrakurikuler di sekolah, orangtua dapat
memberikan kebebasan pada anak untuk ikut serta, dengan catatan nilai sekolah tidak
turun dan tetap jaga kesehatan. Sehingga sianak dapat mengembangkan bakatnya dan
sianak juga dididik untuk bertanggung jawab.
2. Saran bagi peneliti selanjutnya
a. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih memperhatikan faktor lain yang
mempengaruhi kemandirian belajar anak remaja seperti usia remaja,
b. Peneliti selanjutnya dapat memperhitungkan faktor-faktor lain seperti urutan
kelahiran, jumlah saudara yang juga tinggal di rumah.
26
c. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian pada remaja awal atau
remaja akhir, dan dapat memperbesar jumlah subjek penelitian, dimana jumlah
subjek penelitian akan mempengaruhi hasil penelitian yang di teliti.
27
DAFTAR PUSTAKA
Alvita, N.O.(2008). Wanita sebagai single parent dalam membentuk anak yang berkualitas.
Diunduh darihttp://okvina.word press.com/ html.
Ahmadi, (1990). Psikologi social. Jakarta: Rineka Cipta.
Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, 1998. Structural Equation Modeling in Practice: A
Review and Recommended Two Step Approach, Psychological Bulletin, Vol. 163.
Anwar, Asyadi. (2007) Pola Asuh Keluarga Single Parent, Anima. Jurnal Psikologi
Indonesia, vol.9..
Asiyah, Nur. (2013) Pola asuh demokratis, kepercayaan diri dan kemandirian mahasiswa
baru. Persona Jurnal Psikologi Indonesia.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuliantin, B.(2008) Psikologi Kemandirian Remaja, makalah, (Universitas Islam Indonesia).
Basri, (2000). Remaja berkualitas (Problematika remaja dan solusinya). Yogyakarta: Pustaka
Belajar .
Benson, J.E, Johnson, M. K. (2009) Adolescent Family context and adult identity formation.
Institues Helath Of National.
Brookfield, S.D. (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning : A Comprehensive
Analysis of Principles and Effective Practice. San Fransisco London: Jossey Bass
Publishers.
Dewi, C.R. (2011). Kemandirian Dalam Mengerjakan Tugas Sekolah Ditinjau Dari Pola
Asuh Demokratis Orangtua. Skripsi S-1 (tidak diterbitkan). Universitas Katolik
Soegijapranata. Semarang.
DeGenova, M.K. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families (Seventh Edition).
New York: McGraw-Hill.
Dwiyani,V. (2009) . Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri. Jakarta : PT. Elex
Media Kumpotindo.
Fatimah, E. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia.
Garrison, D.R. (1997). Self – Directed learning: Toward a Comprehensive model. Adult
Education Quarterly.
Gibbons, M. (2002). The Self Directed Learning Handbook Challenging Adolescent Student
to Exel. San Fransisco: Jhon Wiley & Sons.
Gunarsa D, Singgih. (2000). Psikologi Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hakim, L. (2012). Lukmanpringtulis.blogspot.com/2012/02/pengaruh-kemandirian belajar-
siswa_25.html.diunduh pada tanggal 09 september 2015.
28
Hasinuddin, & Fitriah. (2011). Modul Anticipatory Guidance Terhadap Perubahan Pola
Asuh Orang Tua Otoriter Dalam Stimulasi Perkembangan Anak. Jurnal NERS.
Volume 6, Nomor 1.
Hoshi, M. 2001 Internet Based English Language Learning by Japanese EFL Learnes.
Diunduh dari http://www/ucagary.ca/-mhoshi/Thesis.htm
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan . Edisi 5. Indonesia. Diterjemahkan oleh Istiayanti, Soejarwo. Jakarta:
Erlangga.
Hurlock, E.B. (2000). Perkembangan Anak jilid 1 (Alih Bahasa Tjandrasa, M.M.,
Zarkasih,M). Jakarta : Erlangga.
Johnson, D.W. (2009). Reaching out: Interpersonal effectivenessand self- actualization (10th
ed.). Boston: Allyn & Bacon.
Kesten. (1987) “Skills of self Directed Learning”. [Online]. Tersedia. Diunduh dari
http://www.asa.3org/ASA/education/learn/study skills.htm. 20 april 2015.
Kozma, RB, Belle, LW, William, GW. (1978). Instructional Techniques in Higher
Education. Neew Jersey: Educational Technology Publications.
Kulbok, Pamela. Et al. (2004). Autonomy and Adolescence: A Concept Analysis. Public
Health Nursing Vol.21.
Littaurer, (2006). Personality Plus. Jakarta: PT. Rosdakarya.
Lowry, C.M. (2000). Supporting and Facilitating Self-Directed Learning. ERIC Digest No
93, 1989-00-00.
Merriam, S., & Caffarella, R.S. (1999). Learning in Adulthood. San Fransisco: Jossey Bass.
[on-line]. Available FTP: Diunduh dari
http://www.newhorizons.org/articleMerriamcaffarella1.html.
Meier,dkk. (2008). Are Both Parents Always Better Than One? California Center for
Population Research. Los Angeles: University of California.
Masrun, Hartono, dkk. (1986). Studi mengenai kemandirian pada penduduk di tiga suku
(Jawa, Batak, Bugis). Laporan penelitian tidak diterbitkan. Yogyakarta: Kantor
Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Monks, Knoers & Haditono, S.R. (1992). Psikologi Perkembangan. Yogayakarta: Penerbit
Gadjah Mada University Press.
Nadeak, (1995) ”Memahami anak remaja”, Yogyakarta: Kanisius.
Nazia, Siti. (2013).. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Kemandirian Siswa dengan Hasil
Belajar Siswa Kelas VI SD Iqra’ Muara Bulian. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas
Jambi.
29
Pannen, P., dkk. (2000). Konstruktivisme dalam pembelajaran. Jakarta: PAUPPAI,
Universitas Terbuka.
Qaimi, Ali. (2003). Single Parent. Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak. Bogor: Cahaya.
Ratri. (2006). Orangtua tunggal. Diunduh dari http://[email protected]/ html.
Setiadi. (2011). Konsep&Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Setiawati, Indah.dkk. (2007). Sibling Rivalry Pada Anak Sulung Yang Diasuh Oleh Single
Father. Auditorium Kampus Gunadarma Vol 2.
Wirawan, S. (2003) Peran Single Parent dalam lingkungan keluarga, Bandung:
PT.Rosdakarya.
Sugiyono. (2002). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suseno, DD. & Irdawati. (2012). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Dengan
Kemandirian Anak Usia Prasekolah di TK Aisyiyah Mendungan Sukoharjo. Diunduh
dari http.//www.e-journal.akbid-purworejo.ac.id/.
Wahyuni (2001). Cara Praktis Mengasuh Dan Membimbing Anak. Yogyakarta : PT. Pioner
Jaya diunduh dari
http://digilib.uin-suka.ac.id/5575/1/BAB%20I,%20IV,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
Wahyuningsih. (2008). Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja. Diunduh dari
http://uny.ac.id/ html
Yusuf, H.S.(2004). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
http://Anak Yang Tumbuh Dan Dibesarkan OrangTua Lengkap Lebih Cerdas? -
Bidanku.comhttp://bidanku.com/anak-yang-tumbuh-dan-dibesarkan-orang-tua-
lengkap-lebih-cerdas#ixzz3h9Xid1SB
http://m.kompasiana.com/www.savanaofedelweiss.com/kualitas-pendidikan-indonesia-
refleksi-2-mei_5529c509f17e610d25d623ba.