Upload
vuhuong
View
246
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERBANDINGAN PERFORMANSI ALGORITMA CROSS ENTROPY
DAN ALGORITMA DIFFERENTIAL EVOLUTION DALAM
PENYELESAIAN PERMASALAHAN CREW ROSTERING
Maria Krisnawati, Budi Santosa, Ahmad Rusdiansyah
Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November ITS Surabaya
Kampus, ITS Sukolilo, Surabaya, Indonesia 60111
Email: [email protected] , [email protected] , [email protected]
ABSTRAK
Penjadwalan kru adalah tugas harian dalam pengelolaan perusahaan penerbangan. Dalam
pemenuhan permintaan aktivitas, terkadang ditemukan permasalahan aktivitas dan pairing tidak
dijadwalkan karena kekurangan kru. Penelitian ini akan dikembangkan suatu model crew
rostering dengan 2 kategori kru (kru regular dan kru freelance) yang memperhatikan aturan –
aturan pemerintah, serikat pekerja, dan aktivitas serta penugasan kru, preferensi kru, serta
kualifikasi kru. Tujuan pada model ini adalah minimasi biaya total (biaya gaji untuk kru regular,
dan freelance), fairness untuk semua anggota kru, serta preferensi kru. Cross Entropy (CE)
dengan modifikasi diaplikasikan untuk menyelesaikan permasalahan crew rostering. CE regular
memperlihatkan performansi yang baik untuk problem berukuran kecil tetapi membutuhkan waktu
yang lama ketika ukuran permasalahan menjadi lebih besar. Untuk memperpendek waktu
komputasi, pertama permasalahan dibagi menjadi problem kecil dan diselesaikan secara
bertahap. Kedua, solusi dari optimasi parsial dikombinasikan dan digunakan sebagai solusi awal
untuk problem secara keseluruhan. Pada penyelesaian permasalahan secara keseluruhan
(optimasi total) jumlah populasi pada metode CE dapat dibuat lebih kecil karena kita mempunyai
solusi awal yang cukup baik. Jumlah populasi pada tiap iterasi dikurangi secara bertahap untuk
mempercepat waktu komputasi. Metode CE dengan penurunan jumlah sampel dapat memberikan
kualitas roster yang lebih baik dan waktu penyelesaian masalah yang relatif lebih singkat.
Sebagai pembanding kita juga mengimplementasikan metode heuristik lainnya, Differential
Evolution (DE), dengan perlakukan yang sama dengan CE. Hasil menunjukkan bahwa metode CE
lebih baik disbanding DE.
Kata kunci: kru regular, kru freelance, Cross Entropy, Crew Rostering, Differential Evolution
ABSTRACT
Crew scheduling is daily task in airline management. It is frequently encountered in the
crew rostering, some tasks and pairing are unscheduled due to lack of crew. This paper proposed a
new model and method of crew rostering problem. This paper proposed a rostering model with
two crew categories (regular and freelance crew) that consider pre-assigned activities, crew
assignment, crew preferences,rules of company and crew qualification with multi objectives of
minimizing total cost, fairness for overall crew, and crew satisfaction level. Cross Entropy (CE)
with modification is applied to solve the rostering problem. Regular CE method shows good
performance for small problems but take long computation time when the size of problem is
getting bigger. To overcome this shortcoming, first, the problem is decomposed into small
problems and solved by CE separately. Second, the solutions of those partial problems are
combined and used as an initial solution for the overall problem. In solving the total optimization
problem, the number of population in CE method can be set to lower size since we have already
had good initial solution. In addition, the number of population of each iteration is decreased
gradually to fasten the computation time. CE method with decreasing number of population
produced good results while keeping the computation time short. As a comparison we also
implemented another metaheuristics, Differential Evolution(DE) method, with the same scheme
as CE .The results show that CE method is better than DE.
Keywords: regular crew, freelance crew, Cross Entropy, Crew Rostering, Differential Evolution
2
1. Pendahuluan Permasalahan penjadwalan kru pada
industri penerbangan menjadi perhatian dalam
operasional research ketika penjadwalan kru
yang efisien dapat mengurangi biaya
operasional bagi perusahaan penerbangan (Kohl
dan Karisch, 2004). Di Eropa, biaya kru
merupakan biaya terbesar kedua setelah biaya
bahan bakar (Moudani, 2001 dalam Maenhout
2010), yaitu sekitar 15 – 20 % dari total biaya
operasional perusahaan penerbangan (Souai et
al, 2009). Permasalahan penjadwalan kru
biasanya dibagi menjadi 2 tahap penjadwalan,
yaitu crew pairing problem dan crew rostering
problem. Kedua permasalahan tersebut
digolongkan menjadi permasalahan NP-hard
(Maenhout et al, 2010), untuk itu kedua
permasalahan ini biasanya diselesaikan secara
bertahap.
Pairing adalah satu set perjalanan
(urutan penerbangan) yang dimulai dari suatu
pangkalan kru (home base A) ke beberapa kota
tujuan dan kembali ke pangkalan kru yang sama
(home base A). Pada setiap pairing dibutuhkan
satu atau lebih kru yang terdiri dari pilot, co-
pilot, awak pesawat. Crew pairing problem
bertujuan untuk menemukan satu set perjalanan
(pairing) dan kebutuhan kru pada setiap periode
penerbangan, yang mencakup semua
penerbangan yang direncanakan untuk jangka
waktu tertentu. Crew pairing dilakukan tanpa
mempertimbangkan kebutuhan individu anggota
kru atau keinginan kru.
Roster adalah jadwal penugasan tiap
individu kru pada pairing yang telah disusun
pada crew pairing. Pada crew rostering
problem, dari crew pairing yang sudah dibangun
ditugaskan kepada anggota kru individu dengan
mempertimbangkan semua aturan pemerintah,
serikat buruh dan perjanjian perusahaan serta
aktivitas pre-assigned (seperti : liburan, cuti,
training, pemeriksaan medis, dsb). Pada step ini,
semua pairing ditugaskan kepada banyak kru
sesuai dengan kebutuhan penerbangan pairing
tersebut. Proses crew rostering pada umumnya
bertujuan tidak hanya untuk meminimasi biaya
operasional untuk maskapai penerbangan saja,
tapi juga memaksimalkan kualitas sosial yang
dirasakan oleh anggota kru. Selanjutnya kedua
tujuan ini disebut sebagai kualitas roster, yang
digunakan untuk menilai roster yang telah
tersusun.
Berbagai pertimbangan dan tujuan
digunakan dalam membangun roster,
pertimbangan tersebut seperti aturan – aturan
pemerintah, serikat pekerja, dan aktivitas serta
penugasan kru. Fungsi tujuan yang biasa
digunakan seperti minimasi jam terbang, open
time dan deviasi jam terbang antar kru.
Berbagai metode penyelesaian dalam penelitian
operasional telah banyak dilakukan untuk
memperbaiki kualitas roster dan waktu
penyelesaian pada permasalahan penjadwalan
kru. Pada penelitian ini Model yang disusun
memiliki fungsi objektif minimasi biaya total
(biaya gaji untuk kru regular dan freelance yang
dihitung dengan jam terbang untuk tiap kru,
biaya perekrutan kru freelance serta biaya
karena aktivitas tidak dapat ditugaskan),
fairness, preferensi kru.
Crew rostering problem tergolong
sebagai NP-Hard Problem, untuk itu diperlukan
optimasi eksak maupun metode
heuristik/metaheuristik dalam penyelesaiannya.
Banyak metode optimasi yang digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan crew rostering,
antara lain: Genetic Algorithm (Burke et al,
2010), Hybrid Variable Neighborhood Search
(Bianco et al, 1992), GASA Hybrid Algorithm
(Yinghiu et al, 2007), Hybrid Scatter search
(Maenhout et al, 2010), Simulated Annealing
(Lucic et al, 1999), Tabu Search algorithm, dan
Differential Evolution (Sunarto et al, 2010)
Cross Entropy (CE) merupakan salah
satu metode metaheuristik yang diketahui
memiliki performansi yang cukup baik untuk
menyelesaikan NP-Hard Problem. Berbagai
penelitian yang menggunakan Cross Entropy
antara lain Rubinstein menggunakan cross
entropy untuk menyelesaikan permasalahan
combinatorial dan continuous optimization
(1999), Derek Magee menggunakan cross
entropy pada A Sequential Scheduling Approach
to Combining Multiple Object Classifiers
(2003), Kroese and Hui menerapkan cross
entropy dalam network reliability estimation
(2007), Laguna menggunakan cross entropy
pada max-cut problem (2009), Caserta
menggunakan cross entropy dalam multi-item
capacitated lot-sizing problem with setup times
(2009), Budiman menggunakan cross entropy
dalam no-wait job-shop scheduling (2010). Dari
penelitian mengenai cross entropy yang telah
dilakukan, belum pernah ada penelitian crew
rostering yang menggunakan cross entropy.
Pada penelitian ini dilakukan pengembangan
untuk metode cross entropy yang telah ada,
yaitu dengan melakukan pengurangan jumlah
sampel yang dibangkitkan pada setiap iterasi.
3
Menurut Sunarto et al, 2010 algoritma
Differential Evolution (DE) merupakan metode
optimasi global yang sangat efektif. Sehingga
kami menggunakan algoritma DE sebagai
metode pembanding. Pada penelitian ini,
algoritma cross entropy dan algoritma
differential evolution digunakan untuk
menyelesaikan model crew rostering yang telah
disusun. Pada bab 2 akan dibahas mengenai
formulasi dari model yang dibangun. Pada bab
3 dan 4 akan dibahas mengenai algoritma
penyelesaian model menggunakan cross
entropy dan differential evolution. Percobaan
dan analisa numerik diberikan pada bab 5.
Kesimpulan dan saran untuk penelitian
selanjutnya akan dibahas pada bab 6. Pada
penelitian ini kita membandingkan hasil
penyelesaian model dengan algoritma
differential evolution dan algoritma cross
entropy.
2. Formulation
2.1 Model Dasar
Model dasar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model roster scheduling
yang dikembangkan oleh Maenhout et al (2010)
dan model crew rostering yang dikembangkan
oleh Lucic et al (1999). Maenhout et al
mengembangkan model crew rostering yang
melibatkan 3 kategori kru yaitu kru regular, kru
ekstra dan kru freelance dengan
mempertimbangkan preferensi kru, kualifikasi,
peraturan – peraturan dan pre-activity.
Penambahan kru ekstra dan kru freelance
memerlukan tambahan biaya yaitu biaya hiring
personel (berbeda untuk kru feelance dan kru
ekstra). Model diselesaikan dengan metode
scatter search yang dihibridasi dengan metode
heuristic pada tiap tahapannya.
Lucic et al (1999) mengembangkan
model crew rostering multi objektif yang
diselesaikan dengan metode simulated
annealing. Algoritma penyelesaian untuk
permasalahan menggunakan 2 tahap. Tahap
pertama menggunakan algoritma heuristik pilot-
by-pilot, dan tahap kedua menggunakan
simulated annealing untuk meningkatkan solusi
pada tahap pertama. Model dasar dibangun
berdasarkan aturan – aturan yang telah
ditetapkan maskapai penerbangan. Baik aturan
horizontal maupun aturan vertical.
2.2 Indeks Model
r indeks untuk kru regular
f indeks untuk kru freelance
i indeks untuk kru pesawat ( i = 1, 2, … ,
m ), dengan m adalah jumlah kru yang
tersedia, dengan m ={me, m
f, m
r}
j indeks pairing ( j = 1, 2, … , k ), dengan
k adalah jumlah pairing
l adalah hari keberangkatan pairing ( l =
1, 2, …. , T )
o kualifikasi kru untuk pairing j ( o = 1,
…. , k )
2.3 Parameter Model
Yang menjadi parameter dalam
pemodelan ini adalah :
rata – rata hari terbang kru regular dan kru
freelance
rata – rata ketidakpuasan kru regular
rata – rata ketidakpuasan kru freelance
ct adalah gaji tetap kru regular
cf adalah gaji jam terbang kru
cc adalah biaya pembatalan pairing
dj adalah panjang pairing ke-j. Panjang rotasi
diekspresikan dengan jam terbang.
vj adalah jumlah take off pada rotasi ke-j
wj adalah flight time untuk pairing j yang
dinyatakan dalam jam
tj adalah flight time untuk pairing j yang
dinyatakan dalam hari
mr adalah jumlah kru regular
mf adalah jumlah kru freelance
hf hiring cost untuk kru freelance
1, jika kru regular ke-i bersedia
bekerja pada rotasi ke s
0, sebaliknya
1, jika kru freelance ke-i bersedia
bekerja pada rotasi ke s
0, sebaliknya
1, jika kru regular ke-i dapat
bekerja pada hari ke-l
0, sebaliknya
1, jika kru freelance ke-i dapat
bekerja pada hari ke-l
0, sebaliknya
1, jika rotasi ke-j berangkat pada
qjl hari ke-l
0, sebaliknya
1, jika rotasi r overlap dengan
ρrs rotasi s ketika ditugaskan
0, sebaliknya
0, kru freelance ke-i dapat bekerja
pada rotasi s
1, sebaliknya
4
0, kru reguler ke-i dapat bekerja
pada rotasi s
1, sebaliknya
1, jika anggota kru reguler ke i
mempunyai kualifikasi o
0, sebaliknya
1, jika anggota kru freelance ke i
mempunyai kualifikasi o
0, sebaliknya
dmax,f adalah panjang flight time maksimum
untuk kru freelance dalam satu bulan
dmax,r adalah panjang flight time maksimum
untuk kru reguler dalam satu bulan
adalah jumlah take off maksimum
dalam satu bulan untuk kru regular
adalah jumlah take off maksimum
dalam satu bulan untuk kru freelance
Dmin,j adalah jumlah anggota minimum yang
diperlukan untuk rotasi ke-j
Mmin adalah prosentase minimal preferensi
kru
T adalah jumlah hari saat penugasan
dilakukan (bulan).
ftmax adalah jumlah hari maksimum
penerbangan yang harus diberikan hari
libur
adalah jumlah t maksimum untuk
pairing ke j.
adalah jumlah jam terbang maksimum
untuk kru reguler.
adalah jumlah jam terbang maksimum
untuk kru freelance.
2.4 Variabel Keputusan Model
Yang menjadi variabel keputusan dalam
permodelan ini adalah :
1, jika crew r ke-i ditugaskan
untuk rotasi ke-j
0, sebaliknya
1, jika crew f ke-i ditugaskan
untuk rotasi ke-j
0, sebaliknya
2.5 Fungsi Tujuan
a. Total Biaya Roster
Persamaan (1) bertujuan untuk
meminimalkan total biaya yang berkaitan
dengan kru. Formulasi fungsi tujuan total biaya
roster pada persamaan (1) adalah modifikasi
dari persamaan fungsi tujuan Maenhout, et al
(2010) untuk total biaya roster dimodifikasi
menjadi 2 kategori kru pada persamaan (1).
Biaya – Biaya yang terkait dalam penelitian ini
antara lain :
- Biaya gaji (salary cost)
Gaji untuk kru regular adalah gaji tetap
ditambah dengan gaji per jam terbang dan
gaji tambahan karena stay di suatu tempat.
Setiap kru regular setiap bulannya
menerima gaji tetap meskipun tidak sedang
bertugas. Sedangkan untuk kru freelance
hanya mendapatkan gaji per jam terbang
ditambah dengan gaji tambahan karena stay
di suatu tempat.
- Biaya perekrutan kru freelance (hiring cost)
Penambahan kru freelance akan
mengakibatkan biaya hiring kru.
- Biaya pembatalan penerbangan
(Cancelation Cost)
Biaya pembatalan penerbangan dikenakan
ketika ada pairing yang tidak dapat
dijadwalkan karena tidak tersedianya kru.
- Biaya tinggal (Stay Cost)
Stay cost diberikan baik kepada kru regular
dan kru freelance. Stay cost merupakan
tambahan upah bagi kru saat tinggal di
suatu tempat diluar jam terbang. Stay cost
diperoleh dari selisih antara waktu saat
bertugas (menjalankan pairing) dengan jam
terbang pairing.
Model matematis untuk minimasi total biaya
roster pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Minimasi Total biaya roster
= gaji tetap kru regular + gaji jam terbang
kru freelance + gaji jam terbang kru
regular + biaya overtime + biaya
perekrutan kru freelance + biaya tinggal +
biaya pembatalan penerbangan
(1)
5
dimana :
jika sebaliknya
b. Deviasi Jam Terbang
Persamaan (2) bertujuan untuk
meminimalkan deviasi jam terbang antar kru
(regular dan freelance).
Rata – rata jam terbang anggota kru regular dan
freelance adalah :
Deviasi jam terbang antar anggota kru dapat
diformulasikan sbb :
untuk p = 1 (2)
c. Preferensi kru
Preferensi kru pada penelitian ini
bertujuan untuk memaksimalkan kepuasan kru
atas roster yang tersusun. Sebelum penyusunan
roster, kru dapat mengajukan hari – hari terbang
yang menjadi preference mereka. Jika pairing
yang ditugaskan kepada kru sama dengan hari
preference mereka, maka nilai preferensi akan
bernilai 1 yang berarti mereka 100% puas
dengan jadwal pairing yang ditugaskan. Model
matematis untuk preferensi kru adalah sebagai
berikut :
(3)
dengan
dan
2.6 Kendala
a. Kendala jam terbang (flight time)
Kendala jam terbang membatasi jumlah jam
terbang maksimum kru dalam sebulan.
Persamaan (4) kendala jam terbang kru
regular dan persamaan (5) kendala jam
terbang kru freelance, model matematis
untuk kendala jam terbang adalah sebagai
berikut :
(4)
untuk i = 1, … , mr
(5)
untuk i = 1, … ,mf
b. Kendala duty period
Kendala duty period membatasi jumlah hari
terbang maksimum kru dalam sebulan.
Model matematis untuk kendala duty period
adalah sebagai berikut:
, (6)
untuk i = 1, … , mr
, (7)
untuk i = 1, … ,mf
c. Kendala total take off
Kendala total take off membatasi jumlah
hari terbang maksimum kru dalam sebulan.
Jumlah take off maksimum yang boleh
dilakukan seorang kru tidak boleh melebihi
jumlah take off total dalam sebulan (vmax)
untuk tiap kru. Model matematis untuk
kendala total take off adalah sebagai
berikut:
(8)
untuk i = 1,…, mr
(9)
untuk i = 1,…, mf
d. Kendala kebutuhan kru
Kendala jumlah kebutuhan kru setiap
pairing memastikan jumlah kru yang
dibutuhkan dalam suatu rute penerbangan
(pairing) terpenuhi baik dari kru regular
maupun dari kru freelance. Model
matematis untuk kendala kebutuhan kru
adalah sebagai berikut :
, (10)
untuk j = 1, … , k
e. Kendala hari libur (day off )
Persamaan (11) memastikan bahwa setiap
anggota kru harus mempunyai hari libur
setelah melakukan penerbangan ftmax hari
berturut – turut. Model matematis untuk
kendala hari libur adalah sebagai berikut :
6
untuk p = 1, …, T - ftmax dan j = 1, … , k
(11)
untuk i = 1,…,mr
(12)
untuk i = 1,…,mf
f. Kendala rotasi free day
Memastikan bahwa setiap anggota kru tidak
mempunyai hari libur saat bertugas. Model
matematis untuk rotasi freeday adalah
sebagai berikut :
(13)
untuk i = 1, … , mr
(14)
untuk i = 1, … , mf
g. Kendala tidak boleh overlap
Kendala tidak boleh overlap memastikan
bahwa rotasi pairing yang ditugaskan
sebelumnya telah selesai sebelum rotasi
pairing berlangsung. Model matematis
untuk rotasi tidak boleh overlap adalah
sebagai berikut :
, (15)
untuk i = 1, … , mr , j = 1, … , k
, (16)
untuk i = 1, … , mf, j = 1, … , k
h. Kendala Preferensi Kru
Setiap kru dapat mengajukan hari
penerbangan yang diinginkan. Kendala
preferensi kru mengacu pada tujuan dari
model Maenhout et al (2010) dengan model
matematis yang dirancang sendiri untuk
penelitian ini. Preferensi kru rata – rata
tidak dapat melebihi suatu konstanta yang
ditetapkan untuk prosentase minimal
kepuasan kru Mmin dimana nilai Mmin berada
diantara 0 dan 1. Nilai 1 berarti semua
pairing yang diterbangkan memenuhi kru
preference, dan nilai 0 berarti pairing yang
diterbangkan tidak memperhatikan kru
preference. Persamaan (17) merupakan
kendala preferensi kru regular, dan
persamaan (18) merupakan kendala
preferensi kru freelance. Model matematis
untuk Preferensi kru adalah sebagai berikut:
(17)
untuk i = 1, … , mr
j = 1, …, k
(18)
untuk i = 1, … , mf
j = 1, …, k
i. Kendala kualifikasi kru
Kendala kualifikasi kru memastikan bahwa
kru yang ditugaskan pada mempunyai
kualifikasi yang sesuai dengan pairing yang
ditugaskan. Model matematis untuk rotasi
tidak boleh overlap adalah sebagai berikut :
(19)
untuk i = 1, … , mr
(20)
untuk i = 1, … , mf
Problem crew rostering merupakan
problem dengan banyak kendala yang harus
dipuaskan atau constrained problem. Problem
tersebut tidak dapat dipecahkan secara langsung
dengan metode Cross Entropy yang diusulkan
dalam penelitian ini, sehingga problem
terkendala tersebut harus ditransformasi
menjadi problem tanpa kendala. Formulasi
unconstrain problem akan menjadi fitness
function dalam penyusunan roster. Unconstrain
problem untuk problem terkendala pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
7
(21)
Dimana :
β1, β2, dan β3 adalah koefisien yang
menunjukkan bobot kepentingan ketiga fungsi
tujuan. Biaya roster dianggap lebih penting dari
preferensi kru dan deviasi jam terbang.
Preferensi kru menempati urutan kedua dan
deviasi jam terbang antar anggota kru
menempati tingkat kepentingan terakhir dalam
tujuan roster. Sehingga β1>> β3 >> β2
menjamin pertidaksamaan berikut :
(22)
Persamaan 22 menjamin prioritas tingkat
kepentingan dalam penyelesaian algoritma
Cross Entropy (CE) untuk tiap iterasi. Nilai
e1,…,e8 merupakan bobot yang diberikan untuk
kendala yang ada. Nilai e1,…,e8 → ∞
meyakinkan algoritma memuaskan kendala
awal sebelum mempertimbangkan fungsi
objektif.
8
3. Teknik Solusi 3.1 Algoritma Cross Entropy
Algoritma yang diusulkan dalam
menyelesaikan permasalahan crew rostering
problem pada penelitian ini adalah algoritma
cross entropy dan Differential Evolution.
Algoritma Cross Entropy (CE) pada prinsipnya
adalah menggunakan data sampel elite untuk
menentukan parameter baru yang akan
digunakan untuk membangkitkan populasi baru
yang lebih mendekati solusi. Pada penelitian ini
juga ditambahkan adanya decreasing sampel
untuk setiap iterasi. Tahapan yang digunakan
adalah sebagai berikut :
(i) Set initial parameter :
- Set percentile of elite sample, ρ ;
- number of population n_pop;
- generation number, g;
- maximum generation, gmax
(ii) Pembangkitan sampel
Matrik solusi dibangkitkan
dengan nilai random r0 antara 0 dan 1,
berukuran np x nj sejumlah npop.
a. Untuk iterasi awal (k = 0)
Untuk iterasi awal akan
dibangkitkan 2 matriks, yaitu matrik
solusi untuk kru regular Xijr,0, dan matrik
solusi untuk kru freelance Xijf,0. Xijr,0 dan
Xijf,0 adalah solusi awal dari populasi
npop, setiap elemen dari Xijr,0 dan Xijf,0
mempunyai probabilitas sukses masing –
masing sebesar novlp/nj untuk kru
reguler. Langkah ini merupakan
transformasi dari langkah 1 sampai
dengan ke – 4 pada algoritma umum,
novlp/nj menggambarkan maksimum
solusi hingga jadwal tidak overlap. Dan
w/nj dimana w adalah jumlah pairing
yang boleh diterbangkan oleh kru
freelance. Untuk permasalahan crew
rostering, solusi yang dihasilkan hanya
mempunyai dua kemungkinan yaitu 0 dan
1. Nilai 1 jika pairing j ditugaskan kepada
kru i, nilai 0 jika sebaliknya. Perubahan
bilangan pecahan menjadi zero-one dapat
dilakukan dengan :
sebaliknyajika
prjikaxu
ij,0
00,1 0
0
dengan u = {kru freelance dan kru
regular}
b. Untuk iterasi selanjutnya (k ≠ 0)
adalah sampel pada iterasi
ke – k, setiap elemen solusi , ,
mempunyai probabilitas sukses p0k ,
maka
sebaliknyajika
prjikax
ku
kij,0
00,1,
dengan u = {kru freelance dan regular}
(iii) Pembaharuan Parameter p0
Parameter p0 diperbaharui
berdasarkan data sampel elite untuk
mendapatkan sampel yang lebih baik dari
iterasi sebelumnya.
(23)
dengan p0t adalah parameter p0 pada
periode ke t dan adalah rata – rata dari
sampel elite pada periode ( t-1 ) untuk kru
regular dan kru freelance.
(iv) Pengecekan terhadap Syarat
Pemberhentian
Syarat pemberhentian pada
penelitian ini adalah maxit. Jika syarat
pemberhentian ini terpenuhi, maka
hentikan iterasi dan lanjutkan ke langkah
berikutnya.
(v) Decreasing sample
Pada tahap ini dilakukan
penurunan jumlah sampel untuk iterasi
berikutnya. Jumlah populasi sampel untuk
iterasi berikutnya sebanyak :
(24)
Selanjutnya, ulangi kembali iterasi mulai
langkah (ii).
3.2 Differential Evolution (DE)
Mutasi DE pada penelitian ini umumnya
menggunakan cara mutasi random swap. r0
adalah bilangan random antara 0 dan 1 yang
berdimensi npxnj untuk setiap populasi np.
Solusi V terdiri dari pasangan . vnp,ro,g
adalah elemen solusi V kolom r0 generasi g,
jika Wnp,g-1 adalah populasi terbaik generasi g-
1 dan wnp,r0,g-1 adalah elemen kolom r0 dari
Wnp,g-1.
9
a. Crossover
Crossover adalah menyilangkan atau
menukarkan solusi induk Xnp,g dengan solusi
mutan Vnp,g untuk membentuk solusi baru
Unp,g. Caranya adalah dengan menentukan
probabilitas threshold (0 < cr < 1) mutan
menjadi solusi baru. Kemudian dilakukan
randomisasi sebanyak n_pop. Jika bilangan
random terjadi antara 0 < randnp(0,1) < cr,
maka mutan menjadi solusi baru, yang lain
solusi induk akan menjadi solusi baru.
b. Selection
Proses ini dilakukan dengan cara
membandingkan solusi induk dengan solusi
baru hasil crossover. Populasi induk yang
memberikan performansi lebih baik dari pada
populasi solusi hasil crossover akan
dipertahankan, sebaliknya populasi hasil
crossover akan menggantikan populasi induk
pada iterasi selanjutnya. Performansi yang
digunakan pada proses seleksi adalah fungsi
fitness (21). Solusi generasi berikutnya yaitu
diperoleh dengan formulasi berikut :
(25)
adalah nilai fungsi fitness dari ,
sedangkan adalah nilai fungsi fitness
dari .
c. Stoping Criterion
Proses akan dihentikan jika iterasi sudah
mencapai iterasi maksimum (gmax).
4. Percobaan dan Analisa Numerik
Data yang digunakan untuk pengujian
model dalam penelitian ini adalah data kru
penjadwalan pada PT. MNA (Merpati
Nusantara Airlines) selama lima bulan (Juli –
November 2010), meliputi:
Jumlah pilot PT Merpati Nusantara yang
ber-homebase di Surabaya, yang terdiri dari
38 pilot dengan kualifikasi / rating tertentu
Aktivitas tugas dan aktivitas pairing
Jumlah Pairing Juli 2010 adalah 14 pairing
untuk pesawat Boeing - 73, 9 pasangan
untuk Cassa-212 tipe pesawat, 10 pesawat
jenis pasangan untuk DHC - 6 dan 5 untuk
pesawat pasangan MA - 60.
Aturan horizontal dan vertical penugasan
kru
Daftar biaya yang berkaitan dengan
penjadwalan kru reguler
Untuk keperluan pengujian model,
biaya untuk terbang jam kru, jumlah dan
kualifikasi pilot dan aktivitas pra-tugas yang
diperoleh di PT. MNA akan menjadi data untuk
kru regular. Sedangkan data untuk kualifikasi
kru reguler, dan kegiatan pra-tugas kru
freelance, serta preferensi kru (kru reguler dan
kru freelance) akan dibangkitkan secara random
untuk setiap bulan penjadwalan. Setiap bulan, 5
orang tersedia untuk kru freelance pesawat
Boeing – 73, 5 orang kru freelance tersedia
untuk Foker - 100 (F - 100) dan 5 orang yang
tersedia untuk MA - 60, Cassa - 212 dan DHC -
6.
A. Partial Optimization
Parameter yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah dengan CE pada
algoritma optimasi parsial meliputi:
Koefisien smooting α = 0,9, dan
Jumlah sampel elit ρ = 0,9
Parameter yang digunakan dalam
menyelesaikan model dengan algoritma DE
adalah:
Parameter cross over (cr) = 0.7
Parameter Mutasi (cm) = 0,1
Pada optimasi parsial, permasalahan dalam
sebulan dibagi menjadi 10 bagian menurut jenis
dan tanggal pemberangkatan pairing.
B. Total Optimization
Optimasi dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan solusi optimal dari
permasalahan yang diselesaikan. Optimasi total
dilakukan secara keseluruhan untuk satu bulan
penjadwalan, dengan solusi awal adalah solusi
gabungan dari partial optimization.
Cross Entropy Algorithm (CE)
Pada iterasi awal CE, pembangkitan
solusi awal adalah 60% dari populasi total
sampel terdiri dari solusi awal (solusi
gabungan), sedangkan 40% dari populasi
sampel yang dihasilkan secara acak. Jumlah
sampel yang digunakan adalah 2500 sampel.
Hal ini karena ukuran masalah terpecahkan
sangat besar dan penurunan sampel
membutuhkan sampel besar. Koefisien
smooting berbeda dari optimasi parsial, nilai α
di optimasi total 0,8. Hal ini memberikan
kesempatan bagi solusi lain yang mungkin lebih
baik untuk menjadi solusi optimal.
10
Differential Evolution (DE)
Algoritma DE untuk menyelesaikan
model juga membutuhkan transformasi model
terkendala ke unconstrain model. Parameter
yang digunakan dalam menyelesaikan model
dengan algoritma DE adalah:
Cross lebih dari parameter (cr) = 0.7
Parameter Mutasi (cm) = 0,1
Gambar 1 Deviasi Jam Terbang Periode Juli
– Nopember 2010
Gambar 2 Rata – Rata deviasi Jam terbang
periode Juli – Nopember 2010
Dari gambar 2, penyimpangan jam
terbang terbaik ditunjukkan oleh algoritma CE.
Stay time menunjukkan distribusi dari beban
kerja kru. Dalam model ini, juga mencatat
kepuasan dari kru yang bekerja, dengan batasan
preferensi kru minimum sebesar 60%. Jadwal
yang menghasilkan kepuasan kru terbesar yang
dihasilkan oleh algoritma CE.
Berdasarkan waktu total penyelesaian
model, penyelesaian model dengan algoritma
CE jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan
algoritma DE.
Gambar 3 Rata - rata fitness value periode July
hingga November 2010
Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa
algoritma yang menghasilkan nilai fitness
terkecil adalah algoritma CE. Dari total biaya
keseluruhan yang dikeluarkan oleh model
menunjukkan solusi CE menghasilkan total
biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan
MOSI dan Algoritma DE (Gambar 4).
Gambar 4 Rata - rata biaya total periode July
hingga November 2010
5. Kesimpulan dan Saran Metode CE dan DE telah
dikembangkan untuk menyelesaikan masalah
penjadwalan penerbangan kru. Metode CE
telah menunjukkan hasil yang lebih baik
dalam hal fitness fuction. Hal ini sangat
mampu untuk mendapatkan solusi yang
mendekati optimal dengan waktu komputasi
yang relatif cepat. Dalam makalah ini kami
menemukan bahwa teknik ini dapat
menghemat waktu komputasi dan juga
meningkatkan efektivitas algoritma dengan
penurunan sampel.
Untuk penelitian mendatang, model
dapat diatasi dalam algoritma yang kompleks,
misalnya dengan metode CE hibrida dengan
metode heuristik lain untuk mendapatkan
solusi yang lebih baik dan waktu komputasi yang lebih baik.
0.000
10.000
20.000
Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10 Nov-10
Deviasi Jam Terbang
MOSI CE Method DE Method
12.000
12.500
13.000
13.500
Rata - rata deviasi Jam Terbang
MOSI CE Method DE Method
0.00E+00
1.00E+29
2.00E+29Rata-rata Fitness Value
MOSI CE Method DE Method
1,090,000,000
1,100,000,000
1,110,000,000
Rata - rata biaya total
MOSI CE Method DE Method
11
6. Daftar Pustaka
AhmadBeygi, S., Amy Cohn, Marshall Weir, (2009),
“An integer programming approach to
generating airline crew pairings” in Computers
& Operations Research 36 : 1284 – 1298.
Beasly, J.E. and Cao, B., (1996). “ A tree search
algorithm for the crew scheduling problem “ in
European Journal of Operational Research 94,
517-526.
Bailey, T. G.,Jiefeng Xu, Milind Sohoni, dan Mike
McCleery, (2006), “A dynamics neighborhood
based tabu search algorithm for real-world flight
instructor scheduling problem” in European
Journal of Operational Research 169 : 978–993.
Beaumonth, N., (1997), “Scheduling staff using
mixed integer programming” in European
Journal of Operational Research 98 : 473-484.
Butchers, E. Rod, Paul R. Day, Andrew P. Goldie,
Stephen Miller, Jeff A. Meyer, David M. Ryan,
Amanda C. Scott, Chris A. Wallance., (2001)
“Optimized Crew Scheduling at Air New
Zealand” in Interfaces 31 : 30 – 56.
Burke, E. K., Jingpeng Li, Rong Qu. (2010), “A
hybrid model of integer programming and
variable neighbourhood search for highly-
constrained nurse rostering problems” in
European Journal of Operational Research 203:
484–493.
Chow, K. P., C. K. Hui, (1993), “Knowledge-Based
System for Rostering” in Expert Systems With
Applications Vol 6 pp 361-375 Pergamon Press
Ltd.
Desaulnier, G., J. Desrosiers, Y. Dumas, S. Marc, B.
Rioux, M.M. Solomon, F. Soumis. (1997),
“Crew Pairing at France” in European Journal of
Operational Research 97 : 245 – 259.
Ernst, A.T., H. Jiang, M. Krishnamoorthy, D. Sier,
(2004), “Staff scheduling and rostering: A
review of applications, methods and models” in
European Journal of Operational Research 153
: 3–27.
Fox, R.L. (1971). “Optimization Methods for
Engineering Design“. Addison-Wesley, Reading,
Mass.
Gonzalez, Miguel A., Jen Gwo Chen, Richard
Oswald. (1999), “An integrated logistics support
system for training crew medical officer in
advance cardiac life support management” in
Computer Methods and Program in
Biomedicine 59: 115 – 129.
Guo, Y., Taieb M., Leena S., Markus P. Thiel,
(2006),“A partially Integrated Airline
Crewscheduling Approach with time dependent
crew capacities and multiple homebase” in
European Journal of Operation Research 171 :
1169 – 1181.
Kohl, N. and S.E. Karisch. (2000). “Integrating
Operations Research andconstraint
Programming Techniques in Crew Scheduling.”
In Proceedings of the 40th Annual AGIFORS
Symposium, Istanbul, Turkey, August 20–25
Labiba, Z., (2006), “Aplikasi Metode Column
Generation dalam Penyelesaian Penugasan Kru
Maskapai Penerbangan”, Tesis Magister Teknik.
Jurusan Teknik Industri ITS. Surabaya.
Lucic, P., Dusan Teodorovic, (1999), “Simulated
annealing for the multi-objective aircrew
rostering problem” in Transportation Research
Part A 33 : 19 – 45.
Maenhout, B., Mario Vanhoucke. (2010), “A hybrid
scatter search heuristic for personalized crew
rostering in the airline industry” in European
Journal of Operational Research 206 : 155–167.
Medard, Claude P., Nidhi Sawhney, (2007), “Airline
crew scheduling from Planning to Operations”
in European Journal of Operational Research
183 : 1013 - 1027.
Morgado, Ernesto M, Joao P. Martins, (1992),
“Scheduling and Managing crew in the
portugese Railways” in Expert System With
Application Vol 5 : 301 – 321. Pergamon Press
Ltd.
Mulvey, J M., “A classrome/time assignment
model”, (1981) in European Journal of
Operation Research 9 : 64 – 70.
Rubinstein, Reuven Y., dan Kroese, Dirk P. (2004),
“The Cross-Entropy Method: A Unified
Approach to Combinatorial Optimization,
Monte-Carlo Simulation, and Machine
Learning” in New York : Springer
Science+Business Media, Inc.
Ryan, D. M., (1992), “The Solution of Massive
Generalized Set Partitioning Problem in Air
Crew Rostering” in Journal of the Operational
Research Society Vol 43 No. 5.
Sunarto, A., Budi Santosa, Arief Rahman, (2010),
“Pengembangan Model Airline Rostering
System Menggunakan Metode Differential
Evolution”, Tesis Magister Teknik. Jurusan
Teknik Industri ITS, Surabaya.
Souai, N., Jacques Teghem, (2009), “Genetic
algorithm based approach for the integrated
airline crew-pairing and rostering problem”in
European Journal of Operational Research 199:
674–683.
Teodorovic, D., Panta Lucic, (1996), “A fuzzy set
theory approach to the aircrew rostering
problem” in Fuzzy Sets and Systems 95 : 261-
271.
Weide, O., Ryan David, Matthias Ergott, (2010),
“An iterative to robust and integrated aircraft
routing and crew scheduling” in Computers and
Operations Research 37 : 833 – 844.
Xu, Jifeng., Milind Sohoni, Mike McCleery, T.
Glenn Bailey, (2006) in European Journal of
Operational Research 169 : 978 – 993.
Yan, S., T-T Tung, Y.P. Tung., (2002), “Optimal
Construction of Airline Individual Crew
12
Pairing” in Computer and Operational Research
29 : 341-363.
Yinghui, Z., Rao Yunbo, Zhou Mingtian, (2007),
“GASA Hybird Algorithm Applied in Airline
Crew Rostering System” in TSINGHUA
SCIENCE AND TECHNOLOGY Volume 12,
Number S1.
Zeghal, F.M., M. Minoux. (2006) “Modeling and
Solving a Crew Assignment Problem in air
Transportation” in European Journal of
Operational Research 175 : 187-209.