24
1 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR : 98 Tahun 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI, DAN BAHAN BAKAR NABATI DI PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penyelenggaraan Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi, Dan Bahan Bakar Nabati Di Provinsi Jawa Tengah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lem- baran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) sebagaimana telah berubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4530); 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAHesdm.jatengprov.go.id/.../PERGUB...Migas_dan_BB_Nabati_di_Jateng.pdf · tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas ... Undang Dasar Negara Republik

Embed Size (px)

Citation preview

1

GUBERNUR JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH

NOMOR : 98 Tahun 2010

TENTANG

PENYELENGGARAAN KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI, DAN BAHAN BAKAR NABATI DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH,

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf d Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah, dan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penyelenggaraan Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi, Dan Bahan Bakar Nabati Di Provinsi Jawa Tengah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah;

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lem-baran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) sebagaimana telah berubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 4530);

3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

2

4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5047);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4436) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4996);

6. Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593)

7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

8. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri;

3

9. Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram;

10. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 4 Seri E Nomor 4);

11. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 6 Seri D Nomor 2);

12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6, tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 28);

13. Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 3174 K/12/MEM/2007 tentang Harga Patok-an Dan Harga Jual Eceran Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram;

14. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua;

15. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain;

16. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penyediaan Dan

Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas;

17. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Pada Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah (Berita Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 45);

4

18. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas Pokok, Fungsi Dan Tata Kerja Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah (Berita Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 74);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI, DAN BAHAN BAKAR NABATI DI PROVINSI JAWA TENGAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :

1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggungjawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

3. Daerah adalah Provinsi Jawa Tengah.

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

5. Gubernur adalah Gubernur Jawa Tengah.

6. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

7. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

8. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Provinsi Jawa Tengah.

9. Dinas adalah Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah.

10. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah.

11. Instansi terkait adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah yang terkait dengan Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi dan Bahan Bakar Nabati di Provinsi Jawa Tengah.

5

12. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak Dan Gas Bumi.

13. Bahan bakar minyak yang selanjutnya disingkat BBM adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.

14. Minyak Dan Gas Bumi yang selanjutnya disingkat Migas adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.

15. Liquefied Petroleum Gas yang selanjutnya disingkat LPG adalah gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya yang pada dasarnya terdiri atas propana, butana, atau campuran keduanya.

16. Liquefied Petroleum Gas tertentu yang selanjutnya disingkat LPG tertentu adalah bahan bakar yang mempunyai kekhususan karena kondisi tertentu seperti pengguna/penggunaannya, kemasannya, volume dan/atau harganya yang masih harus diberikan subsidi.

17. Bahan Bakar Lain adalah bahan bakar yang terbentuk cair atau gas yang berasal dari selain Minyak Bumi, Gas Bumi dan Hasil Olahan.

18. Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain yang selanjutnya disingkat BBN adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain, yang ditataniagakan sebagai Bahan Bakar Lain.

19. Desa Mandiri Energi adalah desa yang dapat memproduksikan energi berbasis Energi Baru Terbarukan, termasuk Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain, untuk memenuhi dan menyediakan minimal 60% (enam puluh persen) kebutuhan energi bagi desa itu sendiri.

20. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.

21. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.

22. Kegiatan seismik adalah merupakan bagian dari metode penyelidikan geologi bawah permukaan yang berasal dari gelombang atau getaran mekanis yang merambat melalui media bumi yang sumber getarannya dapat berasal dari alam maupun buatan.

23. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.

6

24. Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan /atau Gas Bumi tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

25. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi.

26. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penam-pungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi.

27. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.

28. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.

29. Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan.

30. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

31. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikandan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia;

32. Depot adalah tempat penimbunan dan penyaluran Bahan Bakar Minyak yang dimiliki atau dikuasai oleh Badan Usaha yang mendapat penugasan.

33. Harga Patokan adalah harga yang didasarkan pada harga indeks pasar yang berlaku pada bulan yang bersangkutan ditambah biaya distribusi termasuk handling dan margin usaha yang wajar.

34. Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melakukan kegiatan usaha niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain.

35. Lifting adalah seluruh nilai minyak mentah dan/atau Gas Bumi yang diambil untuk keperluan ekspor/kilang yang merupakan bagian Kontraktor maupun Pemerintah.

36. Sumur Tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum Tahun 1970 dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor.

7

37. Koperasi Unit Desa yang selanjutnya disingkat KUD adalah Koperasi Unit Desa tingkat Kecamatan yang wilayah usahanya mencakup lokasi Sumur Tua.

38. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota yang didirikan dan seluruh sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota serta wilayah usahanya atau administratifnya mencakup lokasi Sumur Tua.

39. Memproduksi Minyak Bumi pada sumur tua adalah usaha mengambil, mengangkat dan atau menaikkan Minyak Bumi dari Sumur Tua sampai ke titik penyerahan yang disepakati oleh Kontraktor dan KUD atau BUMD.

40. Perjanjian Memproduksi Minyak Bumi pada sumur tua adalah perjanjian yang dibuat antara kontraktor dan KUD atau BUMD untuk Memproduksi Minyak Bumi pada sumur tua.

41. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Umum yang selanjutnya disingkat SPBU adalah sarana penyaluran premium, pertamax, pertamax plus dan minyak solar untuk kendaraan umum.

42. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Industri yang selanjutnya disingkat SPBI adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk industri.

43. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan yang selanjutnya disingkat SPBN adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk nelayan.

44. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk TNI Angkatan Darat yang selanjutnya disingkat SPB-AD adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk kendaraan TNI Angkatan Darat.

45. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk TNI Angkatan Laut yang selanjutnya disingkat SPB-AL adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk kendaraan TNI Angkatan Laut.

46. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk TNI Angkatan Udara yang selanjutnya disingkat SPB-AU adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk kendaraan TNI Angkatan Udara.

47. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Polri yang selanjutnya disingkat SPB-P adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk kendaraan Polri.

48. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Bunker yang selanjutnya disingkat SPBB adalah sarana penyaluran premium dan minyak solar untuk Bunker.

49. Stasiun Pengisian Bulk Elpiji yang selanjutnya disingkat SPBE adalah sarana penyaluran elpiji.

8

50. Rekomendasi adalah pertimbangan, diberikan untuk penunjukan usaha penyaluran Migas oleh badan usaha dalam rangka pengaturan pola distribusi LPG tertentu, bahan peledak, persetujuan sumur tua dan seismik.

51. Pembinaan adalah segala usaha yang mencakup pemberian pengarahan petunjuk dan bimbingan, pelatihan dan penyuluhan dalam pelaksanaan kegiatan Migas dan kegiatan bahan bakar nabati (Biofuel).

52. Pengawasan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan dalam kegiatan Migas dan kegiatan bahan bakar nabati (Biofuel).

BAB II MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Maksud Penyelenggaraan Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi, Dan Bahan Bakar Nabati ini adalah sebagai pedoman operasional untuk melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian di bidang Migas dan pengelolaan kegiatan di bidang BBN yang mandiri, transparan, tepat sasaran, efektif, efisien serta dapat mendorong perkembangan potensi Migas dan BBN di Jawa Tengah.

(2) Tujuan Penyelenggaraan Kegiatan Minyak Dan Gas Bumi, Dan Bahan Bakar Nabati ini adalah :

a. Menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Migas secara berdaya guna dan berhasil guna melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;

b. menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Migas yang menyangkut kepentingan badan usaha dan konsumen sesuai peruntukannya;

c. menjamin ketersediaan BBN untuk memenuhi kebutuhan daerah secara berkesinambungan dengan memanfaatkan dan mengutamakan BBN dari produksi dalam negeri.

BAB III RUANG LINGKUP

Pasal 3

(1) Kegiatan usaha Migas terdiri atas :

a. Kegiatan usaha hulu meliputi :

1. Perhitungan produksi dan realisasi lifting Migas bersama Pemerintah;

9

2. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan Migas pada lintas Kabupaten/Kota;

3. Pemberian persetujuan atas rekomendasi Bupati/Walikota mengenai Pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua;

4. Pemberian rekomendasi Kegiatan seismik dalam rangka eksplorasi migas di lintas Kabupaten/Kota.

b. Kegiatan usaha hilir meliputi :

1. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di Daerah;

2. pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas, harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas Kabupaten/Kota;

3. penetapan Harga Eceran Tertinggi LPG tertentu;

4. pengawasan jumlah armada pengangkut BBM dan LPG tertentu di Daerah yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM dan LPG tertentu;

5. pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundang-undangan.

c. Kegiatan usaha jasa penunjang Migas meliputi :

1. Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha Migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan;

2. pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang migas untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk peralatan purna jual yang berdomisili di Daerah.

(2) Kegiatan usaha niaga BBN, meliputi :

a. pemberian Izin Usaha Niaga BBN dengan kapasitas penyediaan di atas 5.000 (lima ribu) ton per tahun sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton per tahun;

b. pembinaan dan pengawasan Usaha Niaga BBN dengan kapasitas penyediaan di atas 5.000 (lima ribu) ton per tahun sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton per tahun.

10

BAB IV PERHITUNGAN PRODUKSI DAN REALISASI LIFTING MIGAS

Pasal 4

Perhitungan produksi dan realisasi lifting Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1, dilaksanakan oleh Pemerintah bersama Gubernur dengan cara :

a. Melakukan pengecekan jumlah produksi Migas di masing-masing Badan Usaha di Daerah;

b. melakukan evaluasi jumlah produksi Migas yang terjual untuk selanjutnya dilakukan perhitungan lifting.

BAB V

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN BADAN USAHA

Pasal 5

(1) Dinas melakukan inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 1, meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan Niaga Migas yang beroperasi di Daerah.

(2) Kegiatan usaha pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Kilang BBM, Kilang Gas Bumi dan Kilang LPG.

(3) Kegiatan usaha pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Usaha Pengangkutan dan Usaha Niaga Migas.

(4) Kegiatan usaha penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Depot BBM, SPBI, SPBE, SPPBE, SPBU, SPB-AD, SPB-AL, SPB-AU,SPB-P SPBB, SPDN dan SPBN.

(5) Kegiatan usaha Niaga Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Depot BBM, SPBI, SPBE, SPPBE, SPBU, SPB-AD, SPB-AL, SPB-AU,SPB-P SPBB, SPDN dan SPBN.

Pasal 6

(1) Dinas melakukan pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas, harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 2, meliputi:

a. BBM di SPBI, SPBE, SPPBE, SPBU, SPB-AD, SPB-AL, SPB-AU,SPB-P SPBB, SPDN, SPBN, administrasi dan teknis;

b. jumlah alokasi BBM di Kabupaten/Kota.

(2) Pemantauan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi lokasi, usaha perizinan, jumlah yang terkirim dan terjual, jenis BBM, dan peralatan penunjang.

11

(3) Pemantauan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Kualitas BBM, ukuran, Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta Lindung Lingkungan.

(4) Dalam menentukan alokasi BBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berkoordinasi dengan Instansi terkait dan dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, transportasi, dan kebutuhan riil masyarakat.

(5) Dari hasil pemantauan dan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dalam tahun berjalan di Kabupaten/Kota diyakini akan terjadi kekurangan BBM, Bupati/Walikota mengusulkan penambahan kebutuhan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas.

Pasal 7 (1) Berdasarkan usulan dari Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat (5), Gubernur dapat mengatur alokasi BBM di Daerah sesuai kebutuhan.

(2) Apabila secara akumulatif terjadi kekurangan BBM, Gubernur dapat mengusulkan penambahan alokasi BBM kepada Pemerintah.

BAB VI

PENETAPAN HARGA ECERAN TERTINGGI LPG TERTENTU

Pasal 8

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan Harga Eceran Tertinggi LPG tertentu di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 3 dengan mempertimbangkan :

a. Pedoman harga yang ditetapkan oleh Pemerintah;

b. Kondisi daerah;

c. Daya beli masyarakat;

d. Marjin yang wajar; dan

e. Sarana dan fasilitas penyediaan dan pendistribusian.

(2) Penentuan dalam melakukan penjualan LPG tertentu sampai di konsumen diatur dengan Harga Eceran Tertinggi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Gubernur menentukan besarnya Harga Eceran Tertinggi sampai pada Pangkalan LPG tertentu;

b. Bupati/Walikota menentukan besarnya Harga Eceran Tertinggi sampai pada konsumen/masyarakat dengan mempertimbangkan harga pada daerah terpencil.

12

BAB VII PEMBERIAN REKOMENDASI

Bagian Pertama Umum

Pasal 9

(1) Dalam rangka mengoptimalkan produksi Minyak Bumi dalam suatu wilayah kerja yang didalamnya terdapat Sumur Tua dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar lokasi Sumur Tua, perlu dilakukan pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua.

(2) Pengusahaan minyak bumi pada Sumur Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh KUD atau BUMD setelah mendapat izin dari Menteri.

(3) Izin pengusahaan minyak bumi pada Sumur Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota yang disetujui Gubernur.

Pasal 10

Penggunaan wilayah kuasa pertambangan atau wilayah kerja kontraktor untuk kegiatan lain di luar kegiatan minyak dan gas bumi dilakukan oleh Badan Usaha setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.

Pasal 11 Dalam menentukan lokasi bangunan gudang bahan peledak harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah, aspek keamanan sesuai standard yang ditetapkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.

Pasal 12 Kegiatan seismik dalam rangka eksplorasi migas di lintas Kabupaten/Kota dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur.

Bagian Kedua Pemberian Rekomendasi

Pasal 13

(1) Gubernur memberikan rekomendasi untuk kegiatan sebagai berikut :

a. penggunaan wilayah kerja kontrak kerjasama untuk kegiatan lain diluar kegiatan Migas pada lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2;

13

b. Kegiatan seismik dalam rangka eksplorasi migas di lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 4.

c. pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha Migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1.

(2) Gubernur memberikan persetujuan atas rekomendasi Bupati/Walikota mengenai pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 3.

(3) Pemberian rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Dinas atas nama Gubernur.

Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Rekomendasi

Pasal 14

(1) Permohonan pengajuan rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan Migas pada lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2 diajukan oleh Badan Usaha atau perseorangan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Badan Usaha mengajukan permohonan rekomendasi secara tertulis kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dilengkapi persyaratan yang meliputi :

1. akta pendirian badan usaha;

2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), SIUP;

3. kartu tanda pengenal;

4. rencana kerja badan usaha;

5. peta lokasi;

6. izin lokasi;

7. data teknis.

b. perseorangan mengajukan permohonan rekomendasi secara tertulis kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dilengkapi persyaratan yang meliputi :

1. kartu tanda pengenal;

2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

3. keterangan domisili;

4. rencana kerja;

5. izin lokasi;

6. data teknis.

14

(2) Rekomendasi diberikan atau ditolak kepada badan usaha atau perseorangan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap dokumen persyaratan.

Pasal 15

(1) Permohonan pengajuan rekomendasi kegiatan Seismik dalam rangka Eksplorasi Migas lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 4 oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dilengkapi persyaratan yang meliputi :

a. fotokopi akta pendirian badan usaha;

b. Izin Wilayah Kerja Migas;

c. rencana kerja badan usaha;

d. peta situasi wilayah kerja;

e. peta lokasi yang direncanakan kegiatan seismik;

f. data teknis.

g. rekomendasi dari Instansi terkait dari Wilayah Kerja yang dilewati kegiatan seismik;

(2) Rekomendasi diberikan atau ditolak kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap dokumen persyaratan.

Pasal 16

(1) Permohonan pengajuan rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha Migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c angka 1 oleh setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dilengkapi persyaratan yang meliputi :

a. fotokopi akta pendirian badan usaha/bentuk usaha tetap;

b. gambar konstruksi gudang/kontainer penyimpanan bahan peledak;

c. gambar tata letak gudang/kontainer penyimpanan bahan peledak;

d. peta situasi wilayah kerja;

e. jenis, berat serta ukuran peti/ box bahan peladak yang akan disimpan;

f. rekomendasi surat pernyataan tidak keberatan dari Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

15

(2) Rekomendasi diberikan atau ditolak kepada badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap dokumen persyaratan.

Pasal 17

(1) Gubernur memberikan persetujuan atas rekomendasi dari Bupati/Walikota dari pengajuan permohonan Pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 3.

(2) Pengajuan permohonan persetujuan atas rekomendasi dari Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh KUD atau BUMD kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut :

a. Dokumen administratif, antara lain :

1. fotokopi akta pendirian KUD atau BUMD dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang;

2. surat Tanda Daftar Perusahaan;

3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

4. Surat Keterangan Domisili;

5. surat pernyataan tertulis diatas meterai mengenai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Dokumen teknis, antara lain :

1. peta lokasi Sumur Tua yang dimohonkan;

2. jumlah sumur yang dimohonkan;

3. rencana memproduksikan Minyak Bumi termasuk usulan imbalan jasa;

4. rencana program keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup termasuk usulan penanggungjawab pelaksanaan;

5. teknologi yang digunakan memproduksikan Minyak Bumi;

6. kemampuan keuangan.

c. Rekomendasi dari Bupati/Walikota

(3) Persetujuan atas rekomendasi dari Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atau ditolak paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap dokumen persyaratan.

16

BAB VIII

PEMBERIAN IJIN BBN

Bagian Pertama

Umum Pasal 18

(1) Pengaturan penyediaan, pemanfaatan dan tata niaga BBN dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan Bahan Bakar Lain dalam rangka ketahanan energi Daerah.

(2) BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa : a. Biodiesel (B100); b. Bioetanol (E100); dan c. Minyak Nabati Murni (O100).

(3) Biodiesel (B100) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah produk Fatty Acid Methyl Ester (FAME) atau mono Alkyl Ester yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainya yang diproses secara esterifikasi.

(4) Bioetanol (E100) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah produk etanol yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara bioteknologi.

(5) Minyak Nabati Murni (O100) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah produk yang dihasilkan dari bahan baku nabati yang diproses secara mekanik dan fermentasi.

Pasal 19

(1) Perseorangan atau kelompok usaha dalam kerangka Desa Mandiri Energi dapat memproduksi dan meniagakan BBN untuk memenuhi dan menyediakan BBN untuk desa itu sendiri.

(2) Perseorangan atau kelompok usaha dalam kerangka Desa Mandiri Energi dalam memproduksi dan meniagakan BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Pemberian Izin

Pasal 20

Kepala Dinas atas nama Gubernur memberikan Izin Usaha Niaga BBN dengan kapasitas penyediaan di atas 5.000 (lima ribu) ton per tahun sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a.

17

Pasal 21

(1) Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga BBN wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana Kegiatan Usaha Niaga BBN.

(2) Fasilitas dan sarana Kegiatan Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas penyediaan, pendistribusian dan pemasaran.

Pasal 22

Dalam melaksanakan pembangunan fasilitas dan sarana Kegiatan Usaha Niaga Bahan Bakar Lain, Badan Usaha wajib :

a. Menggunakan barang dan peralatan yang memenuhi standard sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Menggunakan kaidah keteknikan yang baik;

c. Mengutamakan pemanfaatan barang, peralatan, jasa, teknologi serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri;

d. Mengutamakan penggunaan tenaga kerja warga Negara Indonesia dengan memperhatikan pemanfaatan tenaga kerja setempat sesuai dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan;

e. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan hidup;

f. Membantu pengembangan masyarakat setempat;

Pasal 23

Dalam melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga BBN, Badan Usaha wajib :

a. Menjamin dan bertanggung jawab sampai ke tingkat penyalur/Konsumen Akhir atas standard dan mutu BBN yang diniagakan sesuai standard dan mutu (spesifikasi) yang ditetapkan;

b. Menjamin harga jual BBN pada tingkat yang wajar;

c. Menjamin penyediaan fasilitas dan sarana Kegiatan Usaha Niaga BBN yang memadai;

d. Menjamin dan bertanggung jawab atas penggunaan peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang digunakan yang memenuhi standard sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Mempunyai dan menggunakan nama merek dagang tertentu BBN untuk retail;

f. Mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri;

g. Menyampaikan laporan kepada Kepala Dinas mengenai pelaksanaan Kegiatan Usaha Niaga BBN termasuk harga jual BBN setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

18

Pasal 24

(1) Dalam hal Perseorangan atau kelompok usaha dapat melakukan kegiatan Usaha Niaga BBN di luar wilayah Desa Mandiri Energi setelah mempunyai Izin Usaha Niaga Bahan Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain dan wajib membentuk badan usaha.

(2) Kepala Dinas atas nama Gubernur dalam melaksanakan pemberian Izin Usaha Niaga BBN wajib mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga Tata Cara Pemberian Izin

Pasal 25

Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga BBN wajib memiliki Izin Usaha Niaga BBN dari Kepala Dinas atas nama Gubernur.

Pasal 26

(1) Untuk mendapatkan Izin Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Badan Usaha menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Gubernur melalui Kepala Dinas dengan persyaratan data administratif dan data teknis.

(2) Data administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. akta pendirian Badan Usaha dengan lingkup usaha bidang energi dan perubahannya yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang;

b. biodata Badan Usaha;

c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

d. surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

e. surat keterangan domisili Badan Usaha;

f. surat pernyataan tertulis bermeterai cukup mengenai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

g. surat pernyataan tertulis bermeterai cukup mengenai kesediaan dilakukan inspeksi lapangan oleh Dinas.

(3) Data teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. sumber perolehan bahan baku/BBN yang diusahakan;

b. data standar dan mutu (spesifikasi) BBN yang akan diniagakan;

c. nama dan merek dagang BBN untuk retail;

d. informasi kelayakan usaha;

e. surat pernyataan tertulis bermeterai cukup mengenai kemampuan penyediaan BBN; dan

19

f. surat pernyataan secara tertulis bermeterai cukup kesanggupan untuk memenuhi aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 27

(1) Dinas melakukan penelitian dan evaluasi terhadap persyaratan data administrasi dan data teknis atas permohonan izin usaha Niaga BBN.

(2) Dalam rangka klarifikasi terhadap data administrasi dan data teknis atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas dapat meminta Badan Usaha untuk mengadakan presentasi.

(3) Dalam hal data administrasi dan data teknis sebagaimana dimaksud ayat (2) telah lengkap dan benar, untuk pemeriksaan kesesuaian data dan informasi mengenai rencana Badan Usaha, dapat dilakukan peninjauan lokasi.

Pasal 28

(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) telah memenuhi persyaratan, Kepala Dinas atas nama Gubernur memberikan Izin Usaha Niaga BBN kepada Badan Usaha dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) tidak memenuhi persyaratan, Kepala Dinas atas nama Gubernur menolak permohonan Izin Usaha Niaga BBN kepada Badan Usaha dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(3) Izin Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.

(4) Izin Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang habis masa berlakunya dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum Izin Usaha Niaga BBN berakhir.

(5) Perpanjangan Izin Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan berdasarkan kinerja perusahaan dan evaluasi tahunan.

20

Pasal 29

(1) Dalam melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga BBN, Badan Usaha wajib menyampaikan laporan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas mengenai pelaksanaan kegiatan Usaha Niaga BBN setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

(2) Tata cara pelaporan dan format laporan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Dinas.

BAB IX PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama Pembinaan

Pasal 30

(1) Dalam pelaksanaan kegiatan BBM dan LPG tertentu agar dapat sesuai dengan pemanfaatannya perlu dilakukan pembinaan dan sosialisasi kepada Badan Usaha yang ditunjuk dan masyarakat.

(2) Dalam pelaksanaan kegiatan BBN agar dapat sesuai dengan pemanfaatannya perlu dilakukan pembinaan dan sosialisasi kepada Badan Usaha.

(3) Dinas melakukan pembinaan dan sosialisasi secara bersama-sama dengan Instansi terkait dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan lingkup kegiatan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Dinas.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 31

(1) Dinas melakukan pengawasan jumlah armada pengangkut BBM dan LPG tertentu di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 4.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi administrasi, teknis dan kapasitas.

(3) Pengawasan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. lokasi;

b. usaha perizinan;

c. jumlah armada; dan

d. kontrak kerjasama.

21

(4) Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. alat pemadam;

b. alat ukur volume;

c. alat penangkal petir; dan

d. Alat pengukur mutu BBM.

(5) Pengawasan Kapasitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. sumber pasokan;

b. jumlah alokasi/kuota yang diterima dan terkirim; dan

c. jenis BBM.

Pasal 32

(1) Dinas melakukan pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 5, meliputi :

a. lokasi usaha;

b. usaha perizinan;

c. jumlah produksi;

d. jumlah yang terjual;

e. jenis pelumas; dan

f. peralatan penunjang. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berkoordinasi dengan Instansi terkait dan Pemerintah Kabupaten/ Kota.

Pasal 33

Dinas bersama Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan koordinasi pengawasan, pengendalian pendistribusian dan tata niaga melalui :

a. BBM;

b. LPG Tertentu.

Pasal 34

(1) Dinas melakukan pengawasan terhadap :

a. BBM di SPBI, SPBE, SPPBE, SPBU, SPB-AD, SPB-AL, SPB-AU,SPB-P SPBB, SPDN, SPBN sampai Konsumen;

b. Kegiatan usaha niaga BBN;

c. Harga Eceran Tertinggi dan tataniaga LPG tertentu dari SPBE sampai Pangkalan;

d. Standar dan mutu BBN yang diniagakan oleh Badan Usaha;

e. Pelaksanaan kewajiban pemanfaatan BBN; dan

22

f. Kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang Migas untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di Daerah.

(2) Dinas dalam melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f atas pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta lindung lingkungan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan lingkup kegiatan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Dinas.

BAB X SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 35

(1) Kepala Dinas atas nama Gubernur memberikan teguran tertulis terhadap Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN yang melakukan pelanggaran terhadap salah satu persyaratan dalam lzin Usaha Niaga BBN.

(2) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diberikan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN tetap melakukan pelanggaran atau pengulangan pelanggaran, Kepala Dinas atas nama Gubernur dapat menangguhkan Kegiatan Usaha Niaga BBN untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.

(3) Dalam hal Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN tidak menaati persyaratan yang ditetapkan oleh Gubernur selama masa penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Dinas atas nama Gubernur dapat membekukan Kegiatan Usaha Niaga BBN.

(4) Dalam hal setelah diberikannya teguran tertulis, penangguhan, dan pembekuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), kepada Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN diberikan kesempatan untuk meniadakan pelanggaran yang dilakukan atau memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkannya pembekuan.

(5) Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN tidak melaksanakan upaya peniadaan pelanggaran dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan, Kepala Dinas atas nama Gubernur mencabut lzin Usaha Niaga BBN yang bersangkutan.

23

Pasal 36

(1) Kepala Dinas atas nama Gubernur memberikan teguran tertulis kepada Badan Usaha dalam kegiatan usaha niaga BBN yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 dan Pasal 23.

(2) Dalam hal setelah diberikannya teguran tertulis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Badan Usaha diberikan kesempatan untuk meniadakan pelanggaran yang dilakukan atau memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diberikannya teguran tertulis.

(3) Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Usaha tidak melaksanakan upaya peniadaan pelanggaran dan memenuhi kewajiban yang ditetapkan, Kepala Dinas atas nama Gubernur membekukan kegiatan usaha yang bersangkutan.

(4) Dalam hal setelah berakhirnya jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Usaha Pemegang lzin Usaha Niaga BBN tidak melaksanakan upaya peniadaan pelanggaran dan tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan, Kepala Dinas atas nama Gubernur mencabut lzin Usaha Niaga BBN yang bersangkutan.

Pasal 37

Dalam hal diketahui bahwa Badan Usaha menyampaikan data administratif dan data teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) tidak benar, Kepala Dinas atas nama Gubernur mencabut lzin Usaha Niaga BBN yang bersangkutan.

Pasal 38

Segala kerugian yang timbul akibat diberikannya teguran tertulis, penangguhan, dan pembekuan serta pencabutan lzin Usaha Niaga BBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, 36 dan 37 menjadi beban Badan Usaha yang bersangkutan.

BAB XI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Izin Usaha Niaga BBN yang telah ada sebelum diberlakukannya Peraturan Gubernur ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin.

24

BAB XII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Gubernur ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Dinas.

Pasal 41

Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Tengah.

Ditetapkan di Semarang pada tanggal 4 Oktober 2010

GUBERNUR JAWA TENGAH,

H. BIBIT WALUYO

Diundangkan di Semarang pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

HADI PRABOWO

BERITA DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 NOMOR