Upload
phungdiep
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN PERATURAN TATA RUANG DALAM
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN
MENENGAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
DI KABUPATEN CIREBON
TITIN HARTINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Peraturan
Tata Ruang dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah
Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Cirebon adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar
pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Titin Hartini
NIM P0541241
RINGKASAN
TITIN HARTINI. Peran Peraturan Tata Ruang Dalam Strategi Pengembangan
Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan Di Kabupaten Cirebon.
Dibimbing oleh MUSA HUBEIS dan NURHENI SRI PALUPI.
Kabupaten Cirebon telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun
- , dimana salah satunya mengembangkan kawasan agroindustri, serta
industri kecil dan mikro, khususnya pengolahan hasil perikanan. Penetapan
kawasan industri pengolahan hasil perikanan, diharapkan memacu dan mendorong
tumbuhnya UKM di bidang kelautan dan perikanan, sehingga memberikan
kesejahteraan bagi nelayan dan masyarakat pesisir, serta mendukung
perkembangan ekonomi Kabupaten Cirebon. Tujuan penelitian: (1) Menganalisis
sebaran dan kondisi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di pesisir
sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW Kabupaten Cirebon; (2) Menganalisis
kontribusi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan terhadap
pengembangan perekonomian secara regional di wilayah kajian; ( ) Menganalisis
faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap keberadaan,
kondisi dan perkembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten
Cirebon; dan (4) Menyusun strategi prioritas untuk mendorong pengembangan
UKM pengolahan hasil perikanan agar berdampak bagi pengembangan
perekonomian Kabupaten Cirebon. Penelitian dilakukan dengan gabungan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode
analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan UKM di wilayah
kajian melalui metode analisis Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats
(SWOT) dan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)dan pendekatan
kuantitatif dengan analisis sistem informasi geografis (SIG). Hasil analisis
menunjukkan bahwa strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan dapat dilakukan melalui variasi, jenis dan distribusi
dari produk hasil perikanan. UKM PHP meningkatkan variasi produk, dan
meningkatkan pendapatan pelaku usaha mencapai Rp2.000.000,- per bulan
dengan omset mencapai Rp30.000.000,- per bulan dan memberikan kontribusi
terhada PPDRB melalui ekspor produk senilai US$ 8.447.096,43, dengan prioritas
utama pada pengembangan UKM adalah variasi produk.
Kata kunci: Peraturan tata ruang, strategi pengembangan, usaha kecil dan
menengah, pengolahan hasil perikanan
SUMMARY
TITIN HARTINI. The Roles of Spatial Planning for Developed Strategies of
Small And Medium Enterprise on Fisheries Product Processing in Kabupaten
Cirebon.Thesis supervised by MUSA HUBEIS and NURHENI SRI PALUPI.
Kabupaten Cirebon was established of local law number 17 of 2011 about
district spatial planing Kabupaten Cirebon (RTRW) for 2011-2013. A part of
RTRW is developing of agroidustry area, small and medium enterprise (SME)
especially processing industry of fisheries products. The establish of the area of
processing industry have to drive force for SME growth, made of people
prosperity, and support for economic growth in Kabupaten Cirebon. The
objectives of research are: (1) to analyze the distribution and charateristis of SME
processing fisheries product in before and after local law established. (2) to
analyze of the contribution of processing industry of fisheries products to district
economic development, (3) to analyze internal and external factors impact to
distribution, conditions and developed of the processing industry of fisheries
product in Cirebon districts, (4) to improve priority strategy of SME development
for economic trigger in Kabupaten Cirebon. The research approach are merge of
the qualitative and quantitive approach. Qualitative approach within analysis of
dependent variable of the key factors correlated for economic development. With
SWOT and AHP method. Quantitative approach within GIS analysis. Results of
the research consists are priority strategy for developing of SME in processing
industy of fisheries product could be improved by variety, chracteritics, and
distributions. SME have been increased variety of fiseheries product, increased
income of enterpreuner to Rp ,- per month and volume is
Rp30.000.000,- per moth and contribute to PDRB with product export is
US$ 8. . , . And variation of product is the first priority strategy to
developed SME in Cirebon.
Key word: law of spatial planning, development strategy, small and medium
enteprise (SME), fisheries product
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional
pada
Program Studi Industri Kecil Menengah
PERAN PERATURANTATA RUANG DALAM STRATEGI
PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
DI KABUPATEN CIREBON
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
TITIN HARTINI
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Wini Trilaksani, MS
PRAKATA
Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
terselesaikannya penelitian dan penulisan Tesis yang berjudul “Peran
PeraturanTata Ruang Dalam Strategi Pengembangan Usaha Kecil Dan
MenengahPengolahan Hasil PerikananDi Kabupaten Cirebon” Penelitian tentang
usaha kecil dan menengah (UKM) memfokuskan pada UKM pengolahan hasil
perikananan, kajian tentang tata ruang sebagai sebuah kebijakan yang mendukung
pengembangan UKM belum pernah dibahas dengan tuntas. Tata ruang selama ini
juga hanya seolah diperuntukkan untuk pengembangan usaha besar atau industri
dan pengembangan kota, namun Kabupaten Cirebon telah melakukan zonasi
terhadap UKM dan meletakkan posisi UKM menjadi pilar ekonomi.
Konteks itulah yang menarik penulis untuk mengkaji secara mendalam
keterkaitan tata ruang dan pengembangan UKM di wilayah pesisir Kabupaten
Cirebon. Pendekatan kualitatif dengan metode SWOT dan Analytical Hierarchy
Process (AHP)pada faktor internal dan faktor eksternal yang menentukan
pengembangan UKM, menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah dalam
kebijakan sangat menentukan pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di
Kabupaten Cirebon. Hasil analisis penelitian ini dapat digunakan juga untuk
analisis di UKM pesisir di wilayah lain, dan dapat menjadi masukan perbaikan
kebijakan dalam penentuan kluster industri kecil di wilayah pesisir dalam aturan
tata ruang kabupaten/kota.
Akhirnya penulis, memberikan penghargaan dan ucapan terimakasih
kepada Prof. Dr. Musa Hubeis dan Dr. Nurheni Sri Palupi selaku pembimbing
yang telah mengarahkan agar tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Cirebon dan pelaku UKM pengolahan hasil perikanan
Kabupaten Cirebon disampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan
data dan menjadi narasumber dalam penelitian serta suami tercinta Dr. Miftahul
Huda, S.Si, M.Si, atas segala dukungan dan pengertiannya. Semoga tesis ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pengambil kebijakan.
Bogor, Februari 2106
Titin Hartini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan Tata Ruang Wilayah sebagai Suatu Kebijakan Strategis
Pengembangan Wilayah dan Pewilayahan Industri
Pengembangan UKM
Pemberdayaan Masyarakat
Dampak Ekonomi
Perananan Analisis SWOT untuk Menentukan Kinerja
Peranan Analytical Hierarchy Process dalam Pengambilan Keputusan
Integrasi AHP dan Analisis SWOT dalam Strategi Pengembangan UKM
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Kerangka Pikir Penelitian
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Geografi Lokasi Penelitian
Sebaran dan kondisi pengembangan UKM PHP
Kontribusi pengembangan UKM terhadap perekonomian masyarakat
Produk olahan yang berasal dari ikan laut
Faktor-faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi
pengembangan UKM PHP
Bentuk dan strategi pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1 Kriteria Usaha Mikro Kecil Menengah
2 Matrik Analisis SWOT
3 Data/Informasi Beserta Metode yang Digunakan
4 Data Penelitian yang Dibutuhkan
5 Deskripsi Peubah dan Indikatornya
6 Pembobotan Kondisi UKM
7 Definisi Operasional dari Struktur Hirarki
8 Daftar Desa di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu
9 Karakteristik Fisik Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu
10 Karakteristik Penduduk, Sosial dan Budaya, Pendidikan,
Kesehatan, dan Ekonomidi Kabupaten Cirebon
11 Hasil analisis zona/subzone industri di wilayah pesisir Kabupaten
Cirebon
12 Jumlah jenis UMKM di Kabupaten Cirebon
13 UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW
14 Perubahan diversifikasi usaha UKM PHP
15 Rata rata pendapatan, jumlah pekerja dan omset pelaku UKM
16 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon tahun
-
17 Jumlah ekspor hasil komoditas perikanan dan kelautan tahun 2013
18 Produksi ikan olahan tahun 2008-
19 Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Jenis Ikan
Tahun 2008-
20 Luas Lahan dan Jumlah RTP Budidaya Air Payau Berdasarkan Desa
di Kecamatan Gebang dan Mundu Tahun 2013
21 Jumlah Produksi dan Jumlah RTP Budidaya Air Tawar
Berdasarkan Desa di Kecamatan Gebang dan Mundu Tahun 2013
22 Produksi Budidaya Per Jenis Usaha Tahun 2013
23 Produksi Perikanan Budidaya Berdasarkan Jenis Ikan Tahun 2013
24 Sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon
25 Fasilitas pendukung di pelabuhan perikanan di lokasi penelitian
26 Pelayanan air bersih Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2010
27 Matriks SWOT strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan
Matriks Hasil Olahan Data Expert Choice
DAFTAR GAMBAR
1. Kedudukan rencana zonasi dalam sistem penataan ruang
dan sistem perencanaan pembangunan nasional
2. Struktur hirarki keputusan menggunakan metode SWOT
3. Kerangka pikir penelitian
4. Kerangka hirarki strategi pengembangan UKM pengolahan
hasil perikanan
5. Struktur Hirarki Strategi Pengembangan UKM Pengolahan
Hasil Perikanan
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Cirebon
2. Surat Izin Penelitian
3. Panduan Wawancara Mendalam
4. Kuesioner AHP Peran Peraturan Tata Ruang dan Strategi
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil
Perikanan Di Kabupaten Cirebon
5. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Peran Peraturan
Tata Ruang dan Strategi Pengembangan Usaha
Kecil dan Menengah Pengolahan Hasil Perikanan
Di Kabupaten Cirebon
6. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Cirebon
7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Cirebon
8. Peta Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Cirebon
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Cirebon telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun
2011-2031. Perda menetapkan pola ruang kabupaten, yang merupakan distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan budidaya. Peruntukan ruang untuk budidaya menetapkan
peruntukan kawasan-kawasan atau klaster-klaster pemanfaatan.
Kebijakan penataan ruang Kabupaten Cirebon, salah satunya adalah
menetapkan pengembangan kawasan industri, agroindustri, serta industri kecil dan
mikro sesuai dengan potensi alam dan sumber daya manusia (SDM).
Pengembangan kawasan/klaster ini sangat terkait dengan upaya pengembangan
usaha kecil dan menengah (UKM) pengolahan hasil perikanan yang merupakan
salah satu bagian dalam pemanfaatan sumber daya alam/sumber daya kelautan
dan perikanan di Kabuapten Cirebon (Perda No. 17 Tahun 2011).
Pengembangan wilayah kota di Indonesia sebagaimana Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dilakukan melalui penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW di dalamnya memuat tujuan,
kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, rencana pola ruang,
kawasan strategik, rencana pemanfaatan ruang dan rencana pengendalian ruang.
Penetapan RTRW suatu kabupaten/kota akan menjamin terselenggaranya rencana-
rencana pembangunan wilayah kabupaten/kota dalam jangka panjang (30 tahun).
RTRW berisikan arahan pemanfaatan ruang wilayah darat suatu
kabupaten/kota. RTRW perlu ditindaklanjuti dengan rencana aksi yang terwujud
dalam rencana pembangunan sektor dan lintas sektor suatu kabupaten/kota.
Industri perikanan merupakan bagian dari pengembangan kawasan industri yang
tercantum di RTRW dan sebagai pencerminan melimpahnya sumber daya
kelautan dan perikanan suatu wilayah. RTRW juga menegaskan terkait dengan
pola pengaturan ruang, sehingga suatu kawasan pengembangan industri akan
didukung melalui kebijakan pengembangan sarana dan prasarana, serta kebijakan
pengembangan transportasi, maupun kawasan-kawasan strategik lain seperti
pelabuhan.
Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten dengan wilayah pesisir yang
sangat luas, yang ditunjukkan oleh panjang garis pantai 54 km. Lahan yang
digunakan untuk tambak ikan dan tambak garam mencapai 4.698 hektar, dan
tempat pangkalan pendaratan ikan (PPI) sebanyak 16 unit serta tempat pendaratan
ikan (TPI) sejumlah 4 unit (DKPK Cirebon, 2012). Kondisi alam dan prasarana
yang cukup banyak tersebut, tentunya menghasilkan produksi perikanan yang
melimpah, dan mampu memberikan kesejahteraan bagi nelayan. Namun,
kebiasaan nelayan yang menjual hasil tangkap langsung kepada tengkulak tanpa
dilakukan pengolahan mempengaruhi nilai ekonomi yang didapatkan nelayan.
RTRW telah menetapkan kawasan industri pengolahan perikanan seluas
kurang lebih 500 hektar, pada tujuh kecamatan yaitu: Losari, Gebang, Pangenan,
Mundu, Gunungjati, Suranenggala, dan Kapetakan. Penetapan RTRW tersebut
seharusnya mampu meningkatkan pertumbuhan Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) pengolahan hasil perikanan, terlebih dalam penetapan kawasan untuk
peruntukan industri yang sesuai dan akan didukung oleh sistem jaringan
transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan
telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air dan sistem jaringan prasarana
lainnya.
UKM merupakan penggerak ekonomi wilayah. UKM pengolahan hasil
perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat menggerakan perekonomian di
wilayah dan memberikan dampak lebih luas (multiplier effect) terhadap wilayah
sekitarnya. DKPK Cirebon (2012) menyebutkan bahwa pengolahan produk
perikanan dilakukan oleh perorangan dan perusahaan dalam skala usaha
bervariasi, dengan jumlah unit pengolah mencapai 1.683 unit, namun baru 40 unit
yang memenuhi standar pengolahan/miniplant. UKM pengolahan hasil perikanan
di Kabupaten Cirebon meliputi pengolahan rajungan, terasi, pindang bandeng,
ikan asin, petis, kerang, dan ikan segar. Pemasaran hasil perikanan tidak saja
mencakup pemasaran dalam negeri, tetapi produk perikanan Kabupaten Cirebon
juga diekspor ke beberapa negara.
Berdasarkan uraian di atas, maka kajian tentang peran RTRW terhadap
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon
diperlukan, terutama untuk mengetahui dampak penetapan RTRW terhadap
perkembangan UKM. Dampak penetapan RTRW perlu dibandingkan dengan
kondisi sebelum dan sesudah adanya perbaikan RTRW, serta melakukan analisis
kawasan terhadap dukungan pemerintah khususnya sarana dan
prasarana/infrastrukur utama dan dampak ekonominya terhadap masyarakat
menjadi penting, sehingga peran UKM pengolahan hasil perikanan terhadap
ekonomi kawasan dapat diketahui.
Perumusan Masalah
Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Cirebon telah menetapkan
kawasan peruntukan perikanan meliputi perikanan budidaya air tawar, perikanan
budidaya air laut, perikanan budidaya air tambak, industri pengolahan ikan dan
pelabuhan pendaratan ikan. Penetapan kawasan peruntukan untuk industri
pengolahan hasil perikanan, diharapkan dapat memacu dan mendorong
tumbuhnya UKM pengolahan hasil perikanan (UKM PHP), sehingga dapat
memberikan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya pelaku usaha, serta
mendukung perkembangan ekonomi Kabupaten Cirebon. Namun, kenyataannya
penetapan kluster industri PHP belum menunjukkan peranannya dalam
peningkatan ekonomi pelaku usaha dan ekonomi Kabupaten Cirebon.
Untuk lebih memahami tentang peranan perda RTRW terhadap UKM
pengolahan hasil perikanan dan perkembangannya secara lebih komprehensif,
perlu dilakukan kajian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
keberadaan UKM, sebaran, jenis, pelaku, dan nilai ekonomi keberadaan UKM
terhadap kesejahteraan masyarakat dan ekonomi kawasan serta pengaruh
Kabupaten Cirebon. Berdasarkan hal ini, dirumuskan permasalahan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sebaran dan kondisi UKM pengolahan hasil perikanan di
Kabupaten Cirebon sebelum dan sesudah ditetapkannya RTRW?
2. Bagaimanakah dampak keberadaan UKM pengolahan hasil perikanan
berkontribusi terhadap pengembangan perekonomian kawasan
danperekonomian Kabupaten Cirebon ?
3. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap keberadaan, kondisi dan
perkembangan UKM pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di
Kabupaten Cirebon ?
4. Strategi apakah yang diperlukan untuk mendorong pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan agar berdampak bagi pengembangan
perekonomian Kabupaten Cirebon ?
Tujuan
Tujuan penelitian adalah:
1. Menganalisis sebaran dan kondisi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan di pesisir Kota Cirebon sebelum dan sesudah ditetapkannya
RTRW Kabupaten Cirebon.
2. Menganalisis kontribusi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
terhadap pengembangan perekonomian secara regional di wilayah kajian.
3. Menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap
keberadaan, kondisi dan perkembangan pengembangan UKM pengolahan
hasil perikanan di Kabupaten Cirebon.
4. Menyusun strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM
pengolahan hasil perikananagar berdampak bagi pengembangan
perekonomian Kabupaten Cirebon.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Secara akademik sebagai bagian dari upaya mengkaji, menganalisis dan
memberikan informasi data tentang sebuah kebijakan peraturan perundang-
undangan tentang tata ruang terhadap upaya pemberdayaan UKM
pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon.
2. Secara praktis menjadi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Cirebon
untuk memperbaiki peranserta masyarakat dalam menentukan langkah-
langkah atau program pembangunan untuk melindungi pelaku UKM
pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan Tata Ruang Wilayah sebagai Suatu Kebijakan Strategis
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah wujud formal kebijakan,
rencana dan program (KRP) acuan yang mengatur penataan ruang sebuah
wilayah tertentu. Dalam pelaksanaannya, perbedaan cara penanganan dan
karakteristik khusus sebuah satuan wilayah membedakan jenis RTRW tersebut.
Sebuah RTRW yang mengatur satuan wilayah yang luas memuat arahan dan
acuan yang lebih strategis dan umum daripada RTRW yang mengatur satuan
wilayah yang lebih kecil. Akibatnya, semakin luas wilayah yang diatur, semakin
panjang dimensi kerangka waktu (time-frame) yang bisa dicakup aturan tersebut.
Oleh sebab itu, hirarki RTRW yang disusun berdasarkan luasan wilayah
sebenarnya juga mencerminkan hirarki operasionalitas arahan yang dimuat.
Sebuah RTRW skala nasional sebenarnya memuat kebijakan-kebijakan,
sementara RTRW skala kawasan lebih banyak memuat kumpulan program.
Perbedaan-perbedaan ini mempengaruhi pola pemahaman mengenai bagaimana
aspek-aspek lingkungan hidup diterapkan dalam muatan RTRW yang berbeda
jenjangnya (Sukaryono, 2009).
Pasal 3 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan
2. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
3. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Lahirnya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dengan turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam
menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan
melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta
sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan yang saling terkait,
yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa RTRW yang secara hirarki
terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRW kabupaten/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut
harus dapat terangkum dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan dalam
implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia.
Pada Undang-undang No. Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
disebutkan bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaanya diatur dengan
undang-undang tersendiri (Pasal 6 ayat 5 UU No. 26 Tahun 2007). Hal ini
ditindaklanjuti ke dalam Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Disebutkan di dalam Undang-undang
No.27 Tahun 2007 ini pada Pasal 5, bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar
pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahun dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat ( ) disebutkan bahwa Pemerintah daerah wajib
menyusun rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP-3-K)
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Berdasarkan penjelasan di atas segala jenis dokumen perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur dalam Undang-
undang No. 27 Tahun 2007 harus mengedepankan keterpaduan dan
keselarasannya terhadap dokumen perencanaan pembangunan, guna menjamin
keberfungsian dan keteralokasian anggaran dalam pelaksanaannya.
Tata guna lahan adalah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan
umum (public policy) dan program tata ruang untuk memperoleh manfaat total
sebaik-baiknya secara berkelanjutan dari kemampuan total lahan yang disediakan.
Jadi, tata ruang adalah sarana untuk menerapkan tata guna lahan sebagai konsep.
Dalam kerangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang didalamnya
memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka
ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri dari tiga proses
utama(Notohadiprawiryo, ), yaitu:
1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) Disamping sebagai “guidance of future actions”
RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar
interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan
serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk
hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan
(development sustainability)
2. Proses pemanfaatan ruang yang merupakan wujud operasionalisasi rencana
tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri
3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap
sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Dengan demikian, selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-
tujuan pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan produk yang
memiliki landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan
pengembangan wilayah.
Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Cirebon dituangkan dalam
Perda Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Cirebon tahun 2011-2031. Kebijakan ini sinergi dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Cirebon 2014-
2019, pembangunan bidang kelautan dan perikanan diprioritaskan pada konservasi
sumber daya kelautan melaluipemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan
pengendalian sumber daya kelauatan. Sasaran yang akan dicapai adalah
bertambahnya luas mangrove di wilayah pesisir menjadi 400 hektar,bertambahnya
terumbu karang buatan yang ditenggalamkan menjadi 200 unit, dan persiapan
pengembangan tahap awal pelabuah pengumpan Gebang dan peningkatan
kesejahteraan nelayan.
RTRW dalam arah jangka panjang Kabupaten Cirebon, merupakan bagian
dalam penataan lingkungan. RTRW bertujuan mewujudkan Kabupaten sebagai
sentra pertanian, industri dan pariwisata sebagai pendukung Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) Cirebon yang berkelanjutan.Untuk mewujudkan tujuan penataan
ruang wilayah kebijakan penataan ruang di Kabupaten Cirebon yang terkait
dengan bidang kelautan adalah pengembangan kawasan agropolitan dan
minapolitan terpadu.
Strategi pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan terapadu
ditegaskan pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah No. 17 Tahun
2011 meliputi (a).Meningkatkan akses jalan dari sentra industri ke pusat
pemasaran, (b) Mengembangkan kawasan agropolitan, (c).Mengembangkan
kawasan minapolitan , dan (d). Mempertahankan luas pertanian tanaman pangan
dan perikanan sebagai basis perekonomian kabupaten. Pegembangan UKM PHP
merupakan bagian dari pengembangan kawasan minapolitan, dan sangat terkait
dengan pengembangan kawasan industri kecil, yang antara lain optimalisasi dan
penataan kawasan sentra industi, serta peningkatan infrastruktur penunjang
kegiatan industri.
Rencana pola ruang di Kabupaten Cirebon salah satunya memanfaatkan
lahan untuk pengembangan perikanan. Kawasan peruntukan perikanan
direncanakan ± 4.758 Ha meliputi peruntukan perikanan budidaya air tawar seluas
58 Ha, termasuk di wilayah Kecamatan Mundu, perikanan budidaya air laut seluas
3.500 Ha termasuk wilayah Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu,
perikanan budidaya air tambak seluas 700 Ha, termasuk wilayah Kecamatan
Gebang dan Kecamatan Mundu, industri pengolahan ikan seluas 500 Ha,
termasuk wilayah Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu, dan pelabuhan
pendaratan ikan sebanyak 21 unit tersebar di wilayah Kecamatan Gebang 4 unit
dan di Kecamatan Mundu juga 4 unit.
Pengembangan Wilayah dan Pewilayahan Industri
Terdapat beberapa pendekatan dan teori dalam pembangunan terutama
untuk mengatasi ketertingalan suatu wilayah. Dawkins (2003) mengemukakan
dalam pembangunan wilayah terdapat beberapa teori, yaitu growth theory, rural
development theory, agro first theory, basic needs theory dan sebagainya. Salah
satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced
growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah
merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan
pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya
dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam (SDA) secara optimal melalui
pengembangan ekonomi, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang
terjadi pada suatu wilayah.
Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak
dapat berkembang bila hanya terjadikeseimbangan, sehingga harus terjadi ketidak
seimbangan.Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di
suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan
yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang
diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor.
Kajian pengembangan wilayah merupakan kajian tentang bagaimana
mengkaji keterkaitan wilayah dalam skala lebih luas. Wilayah yang
dikembangkan harus mampu mendukung wilayah lain. Terkait dengan penelitian
ini, akan dianalisis kedudukan UKM pengolahan hasil perikanan terhadap
pertumbuhan wilayah. Dalam konteks ini dibatasi dalam peningkatan
kesejahteraan pelaku dan dukungan infrastruktur.
Hubeis (2007) menyatakan bahwa pengembangan industri dilakukan
melalui pewilayahan industri (industry estate). Pewilayahan industri atau sering
disebut sebagai klaster industri merupakan aglomerasi dari industri-industri yang
saling berkompetisi dan berkolaborasi dalam suatu wilayah yang terhubung dalam
jaringan antar pejual dan pembeli secara vertikal dan horisontal, serta tergantung
pada institusi perekonomian yang ada. Klaster industri yang berkembang di suatu
tempat dan memiliki jaringan yang luas akan memberikan kontribusi dalam
perkembangan ekonomi wilayah.
Pengembangan ideal suatu industri yang terpusat dalam suatu klaster
wilayah dipengaruhi oleh beberapa hal yang saling terkait, diantaranya pasokan
bahan baku, penjualan (ekspor), perusahaan distributor, manufaktur, penelitian
dan pengembangan (litbang), jaringan pemasaran, transportasi, infrastruktur
pendukung dan finansial. Kunci sukses untuk mengembangkan industri yang
berbasis wilayah adalah kepemimpinan strategik, infrastruktur, jaringan
pemasaran, kompetisi pasar, pengembangan kapasitas sumberdaya dan optimasi
sumberdaya yangada(Hubeis, 2007).
Menurut Tarigan (200 ), penetapan klaster industri atau industrial estate di
suatu wilayah perlu memperhatikan peraturan yang telah ada (RTRW),
perhitungan kerugian dan keuntungan, keamanan dan penerimaan masyarakat.
Perlu diperhatikan kondisi daya dukung lahan termasuk jenis tanah, topografi,
kerawanan bencana banjir, tanah longsor, tsunami, tingkat harga lahan,
transportasi dan infrastruktur, tenaga kerja dan yang lain. Umumnya klaster
industri atau industrial estate lebih dipilih di daerah pinggiran kota.
Beberapa keuntungan pewilayahan industri, yaitu (a) skala ekonomi
(economic scale), yaitu industri usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dapat
berproduksi berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi lebih besar dan biaya per
unitnya lebih efisien, (b) Economic of agglomeration, yaitu keuntungan karena
industri di lokasi tersebut sudah memiliki berbagai fasilitas pendukung yang dapat
digunakan (Glaeser, 2007) misalnya jasa perbankan yang melayani UMKM,
asuransi, perusahaan listrik, air bersih dan lainnya. Selain itu, ketersediaan tenaga
kerja sangat membantu UMKM dalam berdaya saing di tingkat regional.
Selain itu, pewilayahan industri atau industrial estate diharapkan dapat
menjadi pusat pertumbuhan (growth pole) dari suatu wilayah. Pusat pertumbuhan
tersebut dapat diartikan secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat
pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang
industri, karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan, sehingga
mampu menstimulasi ekonomi kedalam dan keluar. Secara geografis, pusat
pertumbuhan adalah daerah yang memiliki banyak fasilitas dan kemudahan,
sehingga dapat menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan
berbagai usaha tertarik untuk berlokasi di wilayah tersebut. Pusat pertumbuhan
yang dipicu oleh adanya pewilayahan industri harus memiliki ciri, yaitu adanya
hubungan internal antar berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomis,
adanya multiplier effect, adanya konsentrasi geografi dan bersifat mendorong
perekonomian ke belakang, sehingga diharapkan pusat industri yang berlokasi di
suatu wilayah dapat beraglomerasi dan menjadi pusat pertumbuhan perekonomian
regional.
Pengembangan UKM
Pengembangan UKM akan sangat terkait dengan pengembangan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang didasarkan pada peraturan terutama
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang didefinisikan:
1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro.
2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar.
3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil
atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan .
Sesuai Undang-undang No. 20 Tahun 2008, kriteria UMKM sepertidimuat
pada Tabel
Tabel 1. Kriteria usaha mikro kecil menengah
Sumber: UU No. 20 Tahun 2008
Kriteria UMKM dapat dijadikan juga sebagai kriteria Industri Kecil dan
Menengah (IKM), karena industri pengolahan hasil perikanan banyak dilakukan
dalam skala kecil atau rumah tangga. Secara teknis, pengembangan IKM hampir
mirip dengan pengembangan UMKM yang dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 20
Tahun 2008 tentang UMKM. Pasal 3 peraturan pemerintah ini, menyebutkan
bahwa dalam pengembangan UMKM dilakukan melalui fasilitasi pengembangan
usaha dan pelaksanaan pengembangan usaha.
No Jenis Usaha Kriteria
Aset (Rp) Omset (Rp)
Usaha mikro Maksimal 50 juta Maksimal 300 juta
Usaha kecil > 50-500 juta > 300juta -2,5 milyar
Usaha menengah > 500 juta -10 milyar > 2,5 milyar-50 milyar
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi
yangmerangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yaitu yang bersifat people centred, participatory, empowering and
sustainable (Chambers dalam Ginanjar 1997). Konsep ini lebih luas dari hanya
pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Konsep pemberdayaan
berkembang untuk mencapai alternative development, yang menghendaki
inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and
intergenerational equaty (Ginanjar )
Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu pertama
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu,
dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Kedua memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata danmenyangkut
penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalamberbagai
peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Upaya
pokok adalah peningkatan tarafpendidikan dan derajat kesehatan, serta akses ke
dalam sumber-sumber kemajuanekonomi seperti modal, teknologi, informasi,
lapangan kerja dan pasar. Masukanberupa pemberdayaan ini menyangkut
pembangunan prasarana dan sarana dasar fisikseperti irigasi, jalan, listrik maupun
sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh
masyarakat pada lapisan paling bawah, sertaketersediaan lembaga-lembaga
pendanaan, pelatihan dan pemasaran di perdesaan yangterkonsentrasi
pendudukdengan tingkatkeberdayaannya amat kurang.
Dampak Ekonomi
Analisis dampak ekonomi merupakan kajian keterkaitan dan dampak
keberadaan kegiatan dan pelaku ekonomi terhadap kegiatan dan pelaku ekonomi
lain di suatu wilayah. Kriteria dan parameter yang digunakan dalam mengukur
dampak suatu aktivitas industri akan meliputi skala ekonomi, tingkat penyerapan
tenaga kerja, pemanfaaan sumberdaya sebagai bahan baku, maupun dukungan
saranadan prasarana.
Secara umum UKM dalam perekonomian nasional memiliki peran
(Departemen Koperasi, 2008) adalah:
1. Sebagai pemeran utama dalam kegiatan ekonomi
2. Penyedia lapangan kerja terbesar
3. Pemain penting dalam pengembangan perekonomian lokal dan pemberdayaan
masyarakat
4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi
5. Kontribusinya terhadap neraca pembayaran
Oleh karena itu, pemberdayaannya dilakukan secara terstruktur dan
berkelanjutan dengan arah peningkatan produktivitas dan daya saing serta
menumbuhkan wirausahawan baru yang tangguh. Salah satu keunggulan UKM
adalah terkadang sangat baik mencari peluang untuk berinovasi untuk menerapkan
teknologi baru dibandingkan perusahaan-perusahaan besar yang telah mapan.
Dalam era persaingan global saat ini, banyak perusahaan besar yang bergantung
pada pemasok-pemasok kecil menengah. Sesungguhnya ini peluang untuk
pengembangan ekonomi di era global sekaligus menggerakkan sektor ekonomi riil
(Zuhal, 2010).
Peranan Analisis SWOT untuk Menentukan Kinerja
Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats) biasa
digunakan untuk mengevaluasi kesempatan dan tantangan di lingkungan bisnis
maupun pada lingkungan internal perusahaan (Kuncorodalam Rahmana et al,
2012).Untukmemudahkan dalam implementasi analisis SWOT diperlukan
konstruksi matriks SWOT, dengan mengkombinasikan faktor kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman.
Analisis SWOT (SWOT analysis) yakni mencakup upaya-upaya untuk
mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang menentukan kinerja
perusahaan. Informasi eksternal mengeni peluang dan ancaman dapat diperoleh
dari banyak sumber, yaitu pelanggan, dokumen pemerintah, pemasok, kalangan
perbankandan rekan diperusahaan lain. Banyak perusahaan menggunakan jasa
lembaga pemindaian untuk memperoleh klipingsurat kabar, riset di internet dan
analisis tren-trendomestik dan global yang relevan (Richard, ).
Selanjutnya Rangkuti (2004) menjelaskan bahwa analisis SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan
keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi
dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian, perencanaan strategi harus
menganalisa faktor-faktor strategi perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman) dalam kondisi saat ini. Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal
kekuatan (strenghts) dan kelemahan (weakness).
Unsur-unsur SWOT kekuatan (strenghts), kelemahan (weakness), peluang
(opportunities), ancaman (threats) terdiri dari faktor eksternal dan internal (Tabel
). Untuk menganalisis secara lebih dalam tentang SWOT, maka perlu dilihat
faktor eksternal dan internal sebagai bagian penting dalam analisis SWOT (Fahmi,
), yaitu:
1. Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya opportunities and
threats (O dan T). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi-kondisi
yang terjadi di luar perusahaan yang mempengaruhi dalam pembuatan
keputusan perusahaan. Faktor ini mencakup lingkungan industri dan
lingkungan bisnis makro, ekonomi, politik, hukum, teknologi,
kependudukan dan sosial budaya.
2. Faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya strenghts danweaknesses
(S dan W). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi yang terjadi
dalam perusahaan, dimana turut mempengaruhi terbentuknya pembuatan
keputusan (decision making) perusahaan. Faktor internal ini meliputi semua
macam manajemen fungsional yaitu pemasaran, keuangan, operasi, sumber
daya manusia, penelitian dan pengembangan, sistem informasi manajemen
dan budaya perusahaan (corporate culture)
Tabel 2. Matrik analisis SWOT
Faktor internal
Faktor eksternal
STRENGHTS (S)
(Daftar semua kekuatan
yang dimiliki)
WEAKNESS (W)
(Daftar semua
kelemahan yang
dimiliki)
OPPORTUNITIES (O)
(Daftar semua peluang
yang dapat
diidentifikasi)
Strategi SO
(Growth)
Strategi WO
(Stability)
THREATS (T)
(Daftar semua
tantangan yang dapat
diidentifikasi)
Strategi ST
(Diversification)
Strategi TW
(Defend)
Sumber: Kuncoro dalam Rahmana et al, 2012
Dari matriks analisis SWOT seperti yang tersaji pada Tabel 2, dapat
diidentifikasi empat strategi, yaitu pertama, strategi SO yang merupakan strategi
untuk menggunakan semua kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang
yang ada. Kedua,strategi WO yang merupakan strategi mengatasi semua
kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada. Ketiga, strategi ST yang
merupakan strategi menggunakan semua kekuatan untuk menghindari dari semua
ancaman. Keempat, strategi WT yang merupakan strategi menekan semua
kelemahan dan mencegah semua ancaman.
Peranan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam Pengambilan Keputusan
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode yang
dikemukakan oleh Saaty (1980) dan paling umum digunakan dalam analisis
keputusan multi-kriteria.Proses keputusan dipandang sebagai suatu proses hirarki
dengan beberapa tingkatan. Hirarkiteratas adalah tujuan dan tingkat hirarki
berikutnya terdiri dari kriteria yang dipilih. Tingkat terendah terdiri dari
kemungkinan alternatif strategi.
AHP didasarkan pada perbandingan antar elemen pada tingkat hirarki
tertentu kaitannya dengan elemen pada tingkat yang lebih tinggi. Jika kita melihat
kasus umum dari hirarki tiga tingkat (tujuan-kriteria-alternatif), kriteria tersebut
dibandingkan dengan objek untukmenentukan kepentingan bersama mereka dan
alternatif untuk setiap pertanyaan kriteria.
Integrasi AHP dan Analisis SWOT dalam Strategi Pengembangan UKM
SWOT (akronim dari kekuatan/strengths, kelemahan/weakness, peluang/
opportunities dan ancaman/threats) adalah alat yang telah diterapkan secara luas
dalam analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mencapai pendekatan yang
sistematis dan dukungan untuk situasi keputusan strategis. Faktor internal dan
eksternal yang dimiliki suatu organisasi atau kelompok disebut juga sebagai faktor
strategis. Faktor SWOT dikelompokkan menjadi empat kategori yang disebut
kelompok SWOT, yaitukekuatan/strengths (S), kelemahan/weakness (W),
peluang/opportunities (O) dan ancaman/threats (T). Dengan menerapkan SWOT
dalam proses perencanaan strategis, biasanya tujuannya adalah untuk
mengembangkan dan mengadopsi strategi sehingga cocok antara faktor internal
dan eksternal yang ada. SWOT juga dapat digunakan ketika alternatif strategi
tiba-tiba muncul dan konteks keputusan yang relevan dengannya harus dianalisis.
Ketika digunakan dengan benar, SWOT dapat memberikan dasar yang baik
bagi perumusan strategi. Bila menggunakan SWOT, analisis memiliki
kemungkinan komprehensif dalam menilai situasi pengambilan keputusan
strategis . Selanjutnya SWOT tidak berarti secara analitis menentukan pentingnya
faktor atau menilai alternatif keputusan sehubungan dengan faktor. Pemanfaatan
lebih lanjut dari SWOT terutama didasarkan pada analisis kualitatif yang
dilakukan dalam proses perencanaan dan pada kemampuan dan keahlian dari
orang-orang yang berpartisipasi dalam prosesnya. Seringkali hasil analisis SWOT
terlalu sering hanya terpaku pada daftar atau pemeriksaan kualitatif lengkap dari
faktor internal dan eksternal. Inilah sebabnya mengapa kadang-kadang disebut
sebagai So WOT.
Ide dalam memanfaatkan AHP (Saaty, 1980) dalam kerangka SWOT adalah
untuk secara sistematis mengevaluasi faktor-faktor SWOT dan membuatnya
sepadan dalam hal intensitasnya (Kangas, et al ). Kualitas AHP dapat
dianggap sebagai karakteristik yang berharga dalam analisis SWOT. Nilai tambah
dari analisis SWOT dapat dicapai dengan melakukan perbandingan berpasangan
antara faktor-faktor SWOT dan kemudian menganalisanya dengan cara teknik
eigenvalue seperti yang diterapkan dalam AHP. SWOT memberikan kerangka
dasar dimana untuk melakukan analisis situasi terhadap keputusan dan membantu
AHP dalam melaksanakan SWOT agar lebih analitis. Metode hybrid disebut
A'WOT.
Setelah melakukan perbandingan, informasi kuantitatif yang berguna dapat
diperoleh tentang situasi pengambilan keputusan (Kangas, et al ). Selain itu,
menggunakan A'WOT memungkinkan alternatif pilihan untuk dievaluasi
sehubungan dengan setiap faktor SWOT dan setiap kelompok SWOT (Pesonen
). Ketika pentingnya kelompok SWOT yang berbeda juga telah ditentukan,
alternatif pilihan dapat diprioritaskan sehubungan dengan situasi pilihan strategis
secara keseluruhan.
Langkah-langkah metode integrasi analisis AHP dalam analisis SWOT
meliputi:
1. Melakukan analisis SWOT, yaitufaktor yang relevan dari lingkungan
eksternal dan internal diidentifikasi dan dimasukkan dalam analisis SWOT.
2. Perbandingan berpasangan antara faktor-faktor SWOT yang dilakukan
secara terpisah dalam setiap kelompok SWOT. Ketika membuat
perbandingan, isu yang dipertaruhkan adalah mana dari dua faktor
dibandingkan lebih penting dan bagaimana jauh lebih penting. Dengan
perbandingan sebagai masukan, saling prioritas antar faktor dihitung.
3. Nilai kepentingan antar kelompok SWOT ditentukan. Ada beberapa
kemungkinannya,misalnya faktor dengan prioritas tertinggi dapat dipilih
dari masing-masing kelompok dan keempat faktor ini kemudian
dibandingkan berpasangan dan prioritas mereka relatif dihitung berdasarkan
perbandingan. Setelah itu, faktor-faktor lain adalah skala relatif terhadap
nilai-nilai prioritas masing-masing kelompok. Kemungkinan lain adalah
untuk langsung membandingkan pentingnya seluruh kelompok. Selain dua
cara sederhana tersebut, prosedur yang lebih rumit juga dapat diterapkan,
jika diinginkan.
4. Alternatif strategi dievaluasi sehubungan dengan setiap faktor SWOT
seperti pada AHP.
5. Menghitung skala prioritas dari alternatif strategis yang telah ditentukan
sebelumnya sesuai dengan struktur hirarki keputusan seperti disajikan pada
Gambar 2.
Aplikasi integrasi AHP dalam analisis SWOT (A'WOT) awalnyahanya
melakukan langkah pertama, kedua dan ketiga sebagaimana tahapan diatas
(Kangaset al , Pesonen ). Tahapan proses perencanaan strategis
biasanya didekati dengan menggunakan SWOT, tujuan yang paling mendesak
tidak selalu membandingkan keputusan strategis alternatif. Sebaliknya SWOT
sering diterapkan hanya dalam analisis faktor internal dan eksternal dari
lingkungan operasional dimana keputusan harus dilaksanakan, yaitu pada tahap
awal dari proses perencanaan strategis. Sehingga integrasi AHP dalam kerangka
analisis SWOT (A'WOT) memperkuat dasar keputusan sekaligus juga
mengkuantifikasi faktor SWOT.
Namun tujuan akhir dari setiap proses perencanaan strategis secara
keseluruhan adalah untuk mengembangkan dan mengadopsi strategi sehingga
cocok antara faktor internal dan eksternal. Karena itu langkah-langkah (iv) dan (v)
termasuk dalam proses integrasi AHP dalam kerangka analisis SWOT (A'WOT).
Untuk A'WOT, faktor SWOT harus ditentukan dengan menanyakan yang
merupakan faktor internal dan eksternal dari lingkungan operasional yang harus
diperhitungkan dalam memilih alternatif strategi. Maka dimungkinkan untuk
membandingkan alternatif strategi sehubungan dengan kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancamannya seperti yang tercantum dalam SWOT. Untuk mengambil
contoh perbandingan berpasangan, mana dari dua alternatif strategi dibandingkan
(ketika diimplementasikan) memungkinkan untuk lebih mengeksploitasi
kesempatan tertentu dan berapa banyak yang lebih baik.
Gambar 2. Struktur hirarki keputusan menggunakan metode SWOT
(Sumber: Kangas, et al , Pesonen, )
Penggunaan analisis A'WOT dapat menjadi dasar informasi dari proses
perencanaan strategis dibandingkan dengan yang diperoleh dengan menggunakan
satu-satunya analisis SWOT biasa. Membuat perbandingan berpasangan memaksa
pengambil keputusan untuk memikirkan bobot dari faktor dan untuk menganalisis
situasi lebih tepat dan lebih mendalam.
Operational
environment
Stren
ghts (S)
Weak
ness (W)
Oppr
otnities (O)
Thre
ats (T)
S1 Sn S2
SWOT
group
SWOT
factors
Strategy
alternatives S3
3. METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon yang meliputi Kecamatan
Gebang dan KecamatanMundu. Penelitian dilakukan di dua kecamatan ini karena
dua kecamatan ini merupakan rencana sentra pengolahan hasil perikanan yang ada
di Kabupaten Cirebon. Kecamatan Gebang merupakan wilayah kecamatan yang
langsung berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah sedangkan Kecamatan Mundu
merupakan wilayah yang langsung berbatasan dengan Kota Cirebon. Penelitian
dilakukan pada tanggal 17 Februari sampai dengan 17 April 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah peta rencana tata ruang, citra
satelit, data sekunder berupa data demografi, RTRW, peta, dan citra. Data primer
yang merupakan hasil survei berupa pendapatan pelaku usaha, jenis, skala,
sebaran UMKM, dan respon masyarakat terhadap RTRW. Alat yang digunakan
adalah kuisioner, alat untuk analisis AHP berupa software expert choice dengan
klasifikasi data berdasarkan skala Saaty.
Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian didasari pada pemikiran pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon yang merupakan implementasi
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat kecil diharapkan mempunyai akses dan
mampu mengembangan diri dalam memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
kesejahteraannyamaka penelitian ini fokus terhadap langkah-langkah yang telah
dilaksanakan ataupun yang perlu dilaksanakan untuk mendukung pengembangan
UKM pengolahan hasil perikanan seperti yang dimuat pada Gambar 3.
Terkait dengan penelitian, analisis pemanfaatan ruang yang ada dan rencana
pemanfaatan ruang sesuai RTRW akan dapat digunakan untuk analisis tingkat
daya dukung lingkungan dalam pengembangan wilayah pesisir. Sebagai ilustrasi,
kajian terhadap UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebonakan
meliputi dua cara pengembangan UKM sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2013, sehingga diharapkan dapat digunakan
untuk analisis kebijakan pemerintah maupun langkah-langkah yang dilakukan
masyarakat terhadap UKM yang ada. Fokus penelitian pada UKM pengolahan
hasil perikanan yang keberadaannya sebagaimana terdapat pada peta tata ruang
wilayah Kabupaten Cirebon.
Gambar . Kerangka pikir penelitian
Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif dilakukan dengan metode analisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pengembangan UKM di wilayah kajian, sedangkan
pendekatan kuantitatif dilakukan dengan analisis spasial, yang dibantu dengan
analisis sistem informasi geografis (SIG).Selanjutnya analisisStrengths,
Weaknesses, Opportunities, dan Treats (SWOT) untuk mengetahui faktor
kekuatan, kelemahan, keuntungan pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan. Hasil SWOT dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP), untuk menentukan faktor dominan dan dampak utama sehingga dapat
ditentukan rekomendasi yang tepat terkait peran tata ruang dan strategi
pengembangan usaha kecil dan menengahpengolahanhasil perikanan di Kota
Cirebon. Peubah-peubah yang diteliti sebagaimana pada Tabel .
Populasi penelitian adalah masyarakat pesisir yang mempunyai usaha
pengolahan hasil perikanan skala UKM di Kecamatan Gebang dan Kecamatan
Mundu Kabupaten Cirebon. Contoh ditentukan secara purposif sesuai kawasan
peruntukan yang ada dan dengan kriteria nilai omset usaha kecil dan menengah.
Pembagian omzet dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam hal ini, penentuan contoh
dilakukan sesuai sebaran UKM di desa atau kelurahan yang berada di Kecamatan
Gebang dan Kecamatan Mundu.Data untuk analisis sebagaimana dalam Tabel 4.
Analisis SWOT
Rekomendasi
Peraturan RTRW
Jenis, Sebaran danKondisi
UKM PengolahanHasil Perikanan
Faktor
Internal
Faktor
Eksternal
AHP
Tabel 3. Data/informasi beserta metode yang digunakan
No Data/informasi yang
Dibutuhkan Metode yang Digunakan
Jenis, sebaran dan kondisi UKM
pengolahan hasil perikanan
Melakukan pemetaan dan identifikasi di lapangan
kondisi UKM
Kondisi sosial dan ekonomi
pelaku UKM
Pengumpulan data primer melalui survei dan
wawancara mendalam
Kesesuaian arah pengembangan
UKM dengan kondisi yang ada
Membandingkan SIG dengan peta UKM yang
memuat jenis, sebaran dan kondisi dengan rencana
pengembangan UKM dalam RTRW
Faktor internal Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan
UKM yang berasal dari pelaku UKM terdiri dari
pekerja, modal, bahan baku, sarana dan prasarana
produksi
Faktor eksternal Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
UKM dari stakeholder terkait, dukungan kebijakan,
infrstruktur, pemasaran, dan konsumen.
Tabel 4. Data penelitian yang dibutuhkan
No Data
Penelitian Jenis Data
Data sekunder 1. Demografi wilayah penelitian
2. Kebijakan dan aturan perundangan terkait RTRW
dalam pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan di Kabupaten Cirebon
3. Peta dan citra
4. Perda RTRW
Data primer 1. Pendapatan masyarakat pesisir sebagai pelaku
UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten
Cirebon
2. Jenis, skala, sebaran dan harga pengolahan hasil
perikanan Kabupaten Cirebon
3. Respon masyarakat terhadap Perda RTRW terkait
pengembangan UKM, pengadaan bahan baku
untuk industri pengolahan hasil perikanan.
Data penelitian yang dikumpulkan melalui:
1. Survei lapangan, dilakukan untuk pemetaan lokasi sebaran UKM di
Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
2. Wawancara terhadap pelaku UKM pengolahan hasil perikanan dan
stakeholder di Kabupaten Cirebon (lampiran 1).
Sampel penelitian dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan (purposive
sampling) untuk pelaku usaha 9 orang, sedangkan untuk expert ditetapkan sesuai
klasifikasi yang ditetapkan yaitu pengambil kebijakan (camat, pegawai Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, pegawai Bappeda Kabupaten
Cirebon), pelaku usaha, dan tenaga kerja.
Pengolahan dan Analisis Data
Peubah dan Indikator
Berdasarkan Tabel , peubah yang diteliti dikategorikan untuk dianalisis
secara deskriptif dan secara kuantitatif dengan memuat peubah yang diteliti
beserta indikatornya seperti dimuat pada Tabel
Tabel 5. Deskripsi peubah dan indikatornya
No Peubah yang Diteliti Indikator
Perda Tata Ruang Spasial:
- Pola pemanfaatan ruang
- Ketersebaran lokasi kawasan industri
- Luasan kawasan industri
- Infrastruktur pendukung
- Kesesuaian ruang
Non spasial:
- Arah dan kebijakan pemda terkait UKM
sebelum dan sesudah perda tata ruang
- Kondisi perekonomian
- Tingkat kesejahteraan pelaku UKM
Mutu produk industri
pengolahan hasil
perikanan
- Tingkat kesegaran produk
- Kebersihan
- Pengemasan (bahan kemasan)
- Penggunaan bahan pengawet
Harga produk industri
hasil perikanan
- Harga dasar produk
- Jarak rumah produksi ke konsumen (biaya
transportasi pemasaran)
- Penggunaan teknologi
Ketersediaan bahan
bakuikan
- Musim kemarau
- Musim hujan (paceklik)
Pengembangan UKM - SDM
- Teknologi
- Pasar
- Modal usaha
Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dilakukan secara deskriptif
dan analitik. Untuk deskriptif akan ditelaah kondisi UKM penjelasannya seperti
pada Tabel 6.
Tabel 6. Pembobotan kondisi UKM
No Kondisi UKM Kriteria Pembobotan (Skor)
Luas kawasan
UKM
1. Kecil
2. Sedang
3. Besar
Jenis UKM 1. Padat karya
2. Padat modal
Omset UKM 1. Kecil
2. Sedang
3. Besar
Tenaga kerja 1. Kecil
2. Sedang
3. Besar
Lama usaha 1. < 5 tahun
2. > 5 tahun
Infrastruktur
pendukung
1. Buruk
2. Sedang
3. Baik
Pemasaran dan
pencatatan
keuangan
1. Pemasaran tradisional
2. Pemasaran modern
Akses perbankan 1. Tidak menggunakan
2. Menggunakan sistem
perbankan
Analisis Multi-Kriteria dengan AHP
Salah satu aplikasi analisis pengambilan keputusan multi kriteria di dalam
penelitian menggunakan metode AHP. Urutan analisis multi-kriteria dalam
penelitian ini dibagi atas tahapan berikut:
Tahap 1: Menyusun struktur/level hirarki yang akan mencerminkan tingkat
analisisnya. Adaenam level hirarki yang dianalisis, yaitu analisis tingkat 1
(pertama), adalah tujuan utama yang diinginkan di dalam penelitian ini adalah
Peran Peraturan Tata Ruang dan Strategi Pengembangan UKM
PengolahanHasilPerikanan di Kota Cirebon.
Analisis tingkat ke-2 (kedua), mengkaji nilai penting dari 2 faktor yang
menentukan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, yaitu
faktor internal dan eksternal. Analisis pada tingkat ke-3 (ketiga), adalah kriteria
yang diturunkan dari kedua faktor yang akan diintegrasikan. Analisis pada tingkat
ke-4 (empat) adalah melihat nilai penting dari integrasi tiga karakteristik
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang meliputi sebaran lokasi
spasial UKM, kondisi UKM dan jenis UKM. Tingkat ke-5 (kelima) kriteria yang
diturunkan dari tiga karakter pengembangan UKM. Tingkat ke-6 (keenam) adalah
stakeholders yang berperan dalam mendukung strategi pengembangan UKM.
Selengkapnya dimuat pada Gambar 4 dan Tabel 7.
Tahap 2: Melakukan perbandingan berpasangan dari unsur pengembangan
UKM. Terdapat dua langkah utama pada tahap ini, yaitu:
1. Pada setiap level hirarki setiap unsur keputusan dilakukan perbandingan
berpasangan. Setiap unsur dibandingkan nilai relatif pentingnya dengan yang
lain atas kontribusinya pada masing-masing level hirarkinya. Skala nilai
pentingnya sesuai skala Saaty, yaitu kedua unsur sama penting (1), sama
penting sampai agak penting (2), agak penting (3), agak penting sampai cukup
penting (4), cukup penting (5), cukup penting sampai sangat penting (6),
sangat penting (7), sangat penting sampai mutlak penting (8), mutlak penting
( )
2. Selanjutnya menambahkan nilai dalam kolom dari matriks perbandingan
berpasangan, lalu membagi setiap unsur dalam matriks perbandingan
berpasangan dengan jumlah kolom tersebut dan terakhir menghitung rataan
unsur disetiap baris dari matriks standar dengan membagi jumlah nilai standar
untuk setiap baris dengan jumlah peubah;
3. Menentukan rasio konsistensi (Consistency Ratio atau CR) dari matriks
perbandingan berpasangan. CR adalah ukuran berapa banyak perbedaan yang
dapat diterima dan harus kurang dari atau sama dengan 0,1. Jika rasio
konsistensi lebih besar dari 10%,matriks perbandingan berpasangan harus
dihitung ulang.
4. Perhitungan indeks konsistensi (Consistency Ratio CI) didasarkan pada
pengamatan bahwa λ adalah selalu lebih besar dari atau setara dengan
sejumlah kriteria atau paramete r(n) di bawah pertimbangan untuk matriks
timbal balik dan λ=n jika matriks perbandingan berpasangan terdiri matriks.
Akibatnya, λ-n dianggap sebagai ukuran derajat dari inkonsistensi.
Standarisasinya sebagai berikut:
1n
nλCI
Dimana CI mengacu pada indeks konsistensi memberikan ukuran dari
konsistensi. Selain itu, rasio konsistensi (CR) dapat dihitung dari matriks
perbandingan berpasangan berikut:
RI
CICR
Dimana RI adalah indeks random (Random Index), yang memberikan
indeks konsistensi dari sifat acak dari matriks perbandingan berpasangan.
Tahap 3: Membuat peringkat prioritas secara keseluruhan: pada tahap ini,
bobot komposit dibuat. Bobot komposit diperoleh dengan mengalihkan bobot
relatif matriks pada setiap tingkat hirarki. Bobot komposit menunjukkan peringkat
alternatif sehubungan dengan tujuan secara keseluruhan dan juga merupakan
alternatif skor dari keputusan yang diambil.
Tabel 7. Definisi operasional dari struktur hirarki
Level
Hirarki Peubah
Definisi
Operasional
Level –
(Tujuan
Utama)
Merumuskan strategi
pengembangan UKM
pengolahan hasil
perikanan
Cara yang dilakukan oleh stakeholder untuk
mewujudkan KM pengolahan hasil perikanan
dapat semakin meningkat mutu dan kuantitasnya
dalam mendukung perekonomian masyarakat
pesisir maupun perekonomian wilayah
Level –
Faktor internal Faktor atau peubah yang terdapat di dalam UKM
sendiri yang menentukan pengembangan UKM
Faktor eksternal Faktor-faktor di luar UKM yang memengaruhi
keberadaan dan pengembangan UKM
Level –
Modal Kemampuan finansial yang dimiliki oleh UKM
untuk pengembangan usahanya
Tenaga kerja Jumlah personel/tenaga kerja yang dimiliki untuk
menjalankan UKM
Bahan baku Ketersediaan jumlah dan mutu ikan yang
digunakan dalam industri pengolahan
Sarana dan prasarana
produksi
Peralatan yang digunakan untuk menjalankan
usaha
Kebijakan Peraturan hukum pemerintah yang mendukung
pengembangan UKM
Infrastruktur Ketersediaan infrastruktur dasar yang
mendukung pengembangan UKM
Pemasaran Cara agar produk UKM dapat dijual
Konsumen Orang/masyarakat yang mengkonsumsi atau
membeli produk UKM
Level –
Sebaran spasial UKM Distribusi letak UKM-UKM pengolahan hasil
perikanan di wilayah studi
Kondisi UKM Tingkat skala produksi UKM
Jenis UKM Variasi tipe-tipe pengolahan hasil perikanan
pada UKM-UKM yang ada
Level – Pola pemanfaatan ruang Pengaturan kebijakan dalam rencana tata ruang
tentang arahan pemanfaatan ruang wilayah dalam
mendukung UKM pengolahan hasil perikanan
Level - Produk bahan mentah UKM yang usahanya hanya menjual ikan tanpa
pengolahan lebih lanjut seperti rajungan beku,
teri, dll.
Produk olahan UKM yang usahanya menjual produk olahan
hasil perikanan seperti terasi, ikan kaleng, dll
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang diwakili oleh Dinas yang
mempunyai tugas dalam pengembangan UKM.
Pelaku UKM Masyarakat perorangan atau badan usaha yang
menjalankan UKM
Lembaga keuangan Lembaga keuangan yang secara formal (bank
dan koperasi) maupun informal (tengkulak,
bakul, dan pedagang) yang berperan dalam
mendukung permodalan untuk usaha UKM
Keterangan:
Level 1= tujuan
Level 2= faktor
Level 3= peubah
Level 4= indikator
Level 5= alternatif
Level 6= aktor/stakeholder
Gambar . Kerangka hirarki strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
Perikanan
Level 6
Level 1
Level 4
Level 2
Level 3
Pola Pemanfatan
Ruang
Daya Dukung
Wilayah
Skala
Produksi
Bahan
Mentah
Olahan Mutu
Produk
Pelaku UKM Pemerintah Daerah Lembaga Keuangan
Sebaran/Lokasi
Spasial UKM
Jenis UKM
Kondisi UKM
Kebijakan
Konsumen
Pemasaran
Infrastruktur Modal Sarana dan
Prasrana
Bahan
Baku Tenaga
Kerja
Faktor Internal Faktor eksternal
Strategi Pengembangan
UKM Pengolaan Hasil Perikanan
Level 5
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi geografi lokasi penelitian
Luas wilayah Kabupaten Cirebon adalah 990,36 km2 yang terdiri dari 40
kecamatan. Berdasarklan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada
pada posisi 108 ’-
’ Bujur Timur dan
’-
’ Lintang Selatan yang
dibatasi oleh:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu;
b. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka;
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan;
d. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kota Cirebon dan Kabupaten
Brebes Provinsi Jawa Tengah.
Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu merupakan bagian dari 40
kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon, dan merupakan kecamatan pesisir.
Desa pantai dan desa bukan pantai di dua kecamatan tersebut disajikan dalam
Tabel 8.
Tabel 8. Daftar Desa di Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu
No Kecamatan No Desa Pantai No Desa Bukan
Pantai
Gebang Kalipasung Dompyong Kulon
Gebang
Kulon Dompyong Wetan
Gebang Ilir Kalimekar
Gebang
Mekar Kalimaro
Pelayangan Gagasari
Melakasari Gebang
Gebang Udik
Mundu Waruduwur Setupatok
Citemu Penpen
Bandengan Mundu Mesigit
Mundu Luwung
Pesisir Suci
Banjarwangunan
Pamengkang
Sinarrancang
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Karakteristik fisik
Karakteristik fisik kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu disajikan pada
Tabel 9 mencirikan topografi, jenis tanah, kelerangan, kondisi angin, bathimetri,
dan kondisi geologi serta geomorfologi.
Tabel 9. Karakteristik fisik Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu
No Karakteritik Fisik Ciri-ciri Topografi Dataran rendah, ketingian 0-10 meter mdpal dan berada
di jalur Pantai Utara Jawa. Bagian Selatan kecamatan
Gebang dan Mundu berketinggian 11-130 mdpl. Jenis Tanah Terdapat 15 jenis tanah, dengan jenis alluvial kelabu
persen luas kabupaten Cirebon atau 30.284,61 Ha.
Kecamatan Gebang dan Mundu didominasijenis tanah
alluvial kelabu. Kelerengan Wilayah pesisir Kecamatan Gebang dan Mundu
merupakan dataran, dengan kemiringan 0-3 persen dan
mempunyai ketinggian 0-25 mdpal. Kondisi angin Kecepatan angin paling tinggi 11 m/detik, kondisi angin
tenang berkisar 1-3 m/detik (data ECMWF, 2004-2014).
Pada musim barat kecepatan angin 11 m/detik datang
dari Barat Laut sedangkan musim timur kecepatan angin
5-7 m/detik arah dari tenggara. Bathimetri Kedalaman laut sampai jarak 4 mil mencapai 12 meter,
dengan kondisi morfologis dasar laut relatif datar
hingga bergelombang. Perairan di Kecamatan Gebang
dan Mundu, kedalaman perairan pada jarak 4 mil bagian
terdalam mencapai 10,5 meter berdasarkan surut
terendah. Pada lokasi tanjung dan daerah dekat pantai,
kontur kedalamanan laut semakin rapat dan semakin ke
arah lepas pantai pola kontur kedalaman laut semakin
renggang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Kelautan, 2004). Geologi dan
geomorfologi Bentuklahan di pesisir ini terdiri dari lahan fluvial dan
marin, dengan morfologi dengan sebaran di wilayah
pantai bagian Utara dengan ketinggian tidak lebih dari
15 mdpl dan dengan kemiringan lereng 0 - 3 persen.
Pada satuan kawasan ini sering terdapat lapisan-lapisan
horizontal dan batupasir tufa. Pola aliran sungai relatif
lebih teratur arahnya yaituhampirsejajar ke arah Utara,
walaupun pada kebanyakan sungai telah proses
meandering
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Penduduk, sosial dan budaya
Karakteristik penduduk, sosial dan budaya di Kabupaten Cirebon
sebagaimana Tabel 10 yang mencirikan penduduk, sosial dan budaya, pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi penduduk.
Tabel 10. Karakteristik penduduk, sosial dan budaya, pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi di Kabupaten Cirebon
No Karakteritik Ciri-ciri Penduduk Jumlah penduduk tahun 2013 sejumlah 2.293.397 jiwa dengan
kepadatan rata-rata 2.316 jiwa/km , dengan jumlah penduduk
perempuan 1.139.263 jiwa atau seks rasio 101,31.Penduduk
pada Kecamatan Pesisir pada Kabupaten Cirebon pada tahun
2013 sebanyak 517.652 jiwa yang terdiri dari 259.615 laki-laki
dan 258.037 perempuan yang tergabung dalam 141.090
keluarga.
Pendidikan Jumlah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tahun 2013 di
Kabupaten Cirebon 585 buah sekolah dengan jumlah murid
sebanyak 13.246 orang dan jumlah guru sebanyak 2.728 orang.
Jumlah Taman Kanak-kanak (TK) di Kabupaten Cirebon
sebanyak 201 dengan murid sebanyak 10.122 orang dan guru
5 orang. Jumlah SD 916 sekolah dan terdapat 217.592 murid
serta 8.709 orang guru. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) negeri dan swasta di Kabupaten Cirebon
sebanyak 156 sekolah dengan 76.915 siswa dan 4.317 orang
guru. Jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kabupaten
Cirebon terdapat 41 sekolah dan 17.973 orang siswa dan 1.235
orang guru, sedangkan jumlah Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) sebanyak 91 sekolah dan 42.229 orang siswa dan 2.862
orang guru. Kesehatan Sarana Kesehatan di Kabupaten Cirebon terdapat delapan
Rumah Sakit Umum (termasuk RS Paru-paru). Hampir semua
kategori tenaga kesehatan terdapat di Kabupaten Cirebon, dari
medis, paramedis, kefarmasian, kesehatan masyarakat, tenaga
sanitasi, gizi, keterapian fisik maupun teknik medik. Dari 3.841
orang tenaga kesehatan, yang bekerja di unit kerja puskesmas
(2.159 orang) dan rumah sakit (1.591 orang), sisanya bekerja di
unit kerja dinas kesehatan dan sarana kesehatan lainnya
No Karakteritik Ciri-ciri Sosial dan budaya Dalam konteks budaya, sebagai daerah pesisir, Cirebon
sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam
merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara
Jawa. Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai
suku, agama dan bahkan antar bangsa. Menurut sejarah,
pendatang yang menjadi penduduk Cirebon masa itu
mencakup sembilan rumpun etnis, yaitu Sunda, Jawa,
Sumatera, Semenanjung, India, Persi, Syam (Siria),
Arab dan Cina (Nurul et al ) Dalam konteks sosial masyarakat penghuni wilayah
yang sebelumnya dikenal sebagai Dukuh Kebon Pesisir
itu, secara budaya kelompok-kelompok etnis tersebut di
atas berbaur dan satu sama lainnya saling melengkapi.
Secara kasat mata hal ini dapat dilihat dari adanya
pengaruh-pengaruh Hindu, Budha, Cina, Islam dan
Barat, disamping tetap adanya budaya leluhur, menyatu
yang kemudian membentuk struktur peradaban yang
khas.
a. Dalam kepercayaan Masyarakat Cirebon, sekalipun atas
kehebatannya Sunan Gunungjati yang telah menjadikan
Islam sebagai basis religi, tetapi terlihat dalam berbagai
peristiwa keadatan yang merupakan pengejewantahan
budaya campuran budaya asli dan Hindu menjadi adat
kebiasaan orang Cirebon hingga kini, termasuk
masyarakat wilayah pesisir seperti upacara adat
Ngunjung, Nadran, Bancakan, Mapag Sri, Bubarikan,
Mider Tanah/Sedekah Bumi dan lain-lain. Suatu tradisi
yang sampai saat ini dipertahankan dan dijalani oleh
pewarisnya di berbagai wilayah Cirebon, secara sadar
atau tidak mampu memunculkan pemandangan
eksotisme (Muhaimin, 2002). Ekonomi Kegiatan perekonomian penduduk di wilayah pesisir
Kabupaten Cirebon sebagian besar bergerak di sektor
primer (pertanian dan perikanan). Sedangkan di sektor
sekunder dan tertier seperti jasa perdagangan dan lain-
lain hanya sebagian kecil saja. Hal ini dapat dilihat dari
presentase lapangan usaha: 30,54 % bergerak di sektor
pertanian. Kemudian disusul oleh sektor perdagangan
(20,73 %), sektor industri (14,82 %) dan sektor jasa
hanya 13,54 %. Kesejahteraan
masyarakat Berdasarkan data BPS 2014, Kecamatan Gebang
mempunyai jumlah keluarga pra sejahtera 9.782 KK,
keluarga sejahtera I 4.993 KK, keluarga sejahtera II
3.112 KK, keluarga sejahtera III 1.554 KK, dan
keluarga sejahtera III + 79 KK. Sedangkan di
Kecamatan Mundu, keluarga pra sejahtera 6,271 KK,
keluarga sejahtera I 7.050 KK, keluarga sejahtera II
5.314 KK, keluarga sejahtera III 2.786 KK dan keluarga
sejahtera III + 147 KK.
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Berdasarkan Tabel 10, menunjukkan bahwa karakteristik sosial budaya
Kecamatan Gebang dan Kecamatan Mundu sebagai lokasi penelitian secara garis
besar mempunyai potensi yang besar dalam jumlah sumberdaya manusia
produktif, namun infrastuktur pendidikan dan kesehatan masih kurang, sehingga
kesejahteraan masyarakat di 2 kecamatan masih banyak keluarga yang tergolong
pra sejahtera hingga sejahtera III.
Sebaran dan kondisi pengembangan UKM PHP
RTRW menetapkan zona dan sub zona (kluster) pengembangan industri
pengolahan hasil perikanan dan sub zona sebagaimana Tabel 11 dan Gambar peta
terlampir, menunjukkan bahwa Kecamatan Mundu merupakan kawasan yang
diarahkan paling utama dengan 6 desa pesisir dibandingkan dengan kecamatan
Gebang yang hanya 3 desa, walaupun Kecamaan Gebang juga dikembangkan
untuk docking dan industri berbasis non kelautan. Hal ini menjadikan UKM PHP
berkembang lebih banyak di Kecamatan Mundu.
Dalam rangka mengembangkan pemberdayaan perekonomian masyarakat di
Kabupaten Cirebon, khususnya usaha koperasi dan usaha kecil, maka pemerintah
Kabupaten Cirebon mengeluarkan Perda Kabupaten Cirebon No. 17 Tahun 2007
tentang Kredit Modal Bantuan Lunak bagi usaha koperasi dan usaha kecil
tersebut. Peraturan daerah ini mengisyaratkan penyaluran bantuan lunak melalui
perusahaan daerah badan perkreditan rakyat (PD BPR) yang dibentuk pemerintah
kabupaten.
Penetapan RTRW pada tahun 2011 membutuhkan sosialisasi untuk
penerapannya. Secara umum ketegasan penerapan aturan hukum yang bersifat
mengatur sektor diberlakukan setelah terdapatnya aturan turunan, walaupun secara
formal yuridis dalam Perda tetap tertulis diberlakukan sejak tanggal pengesahan.
Penetapan RTRW Kabupaten Cirebon, secara umum telah mempengaruhi
peningkatan keberadaan UKM di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data Dinas
UMKM (2014) peningkatan UKM dalam segala sektor dapat terlihat pada Tabel
Tabel 12, menunjukkan bahwa setelah penetapan RTRW tahun 2011,
perkembangan data koperasi maupun UMKM meningkat, namun terjadi
penurunan pada usaha mikro kecil atau PKL. Penurunan usaha mikro dengan
meningkatnya jumlah UMKM dapat diartikan bahwa terjadi peningkatan kualitas
usaha di Kabupaten Cirebon. Penetapan RTRW membawa konsekuensi hukum
terhadap kluster-kluster suatu kawasan pengembangan. Penertiban kawasan yang
tidak sesuai peruntukkannya dan mengalihkan pada kawasan yang sesuai di
RTRW menjadikan usaha mikro kecil/PKL menyusut tetapi UKM meningkat
jumlahnya.
Tabel 11. Hasil analisis zona/subzona industri di wilayah pesisir Kabupaten
Cirebon
Zona Subzona Kecamatan Desa
Industri Industri
Pengolahan Hasil
Perikanan
Kapetakan
Bungko Lor
Bungko
Grogol
Gunungjati Mertasinga
Klayan
Mundu Mundu Pesisir
Bandengan
Penpen
Banjarwangun
Citemu
Waruduwur
Gebang
Kalipasung
Gebangmekar
Malakasari
Losari Ambulu
Tawangsari
Industri Berbasis
Non Kelautan
Mundu
Watuduwur
Kulon Kanci
Astanajapura Astanamukti
Pangenan
Pangarengan
Bendungan
Gebang Pelayangan
Losari
Panggangsari
Barisan
Losari Lor
Bengkel/docking Gebang
Pergudangan Gebang
Sumber: RTRW Kabupaten Cirebon, 2011
Tabel 12 Jumlah jenis UMKM di Kabupaten Cirebon
No Jenis usaha Tahun
Koperasi
UMKM
Mikro
kecil/PKL
Sumber: Cirebon dalam Angka, 2014, BPS Cirebon
Khusus UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW pada
tahun 2011, menunjukkan perkembangan yang meningkat, juga dipengaruhi oleh
potensi hasil perikanan yang dapat berbentuk ketersediaan sumber daya ikan,
lahan industri maupun akses transportasi. Pengolahan hasil perikanan merupakan
tahapan lanjutan dalam proses industri perikanan pada umumnya. Pengolahan
produk perikanan di Kabupaten Cirebon dilakukan oleh perorangan
danperusahaan dengan skala usaha yang bervariasi. Perbandingan UKM PHP
sebelum dan setelah penetapan RTRW sebagaimana Tabel 13.
Tabel 13 UKM pengolahan hasil perikanan setelah penetapan RTRW
No Wilayah Jumlah UKM PHP/Tahun
Total Cirebon
Kecamatan
Mundu
Kecamatan
Gebang
Sumber:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Peningkatan jumlah UKM pengolahan hasil perikanan dari tahun 2012 ke
2013 di kecamatan Mundu mencapai 154%, dan kecamatan Gebang 9,4%,
menunjukkan bahwa pemerintah fokus mengembangkan kawasan yang telah
ditetapkan sebagai kluster pengolahan hasil perikanan. Hal ini juga didukung oleh
kebijakan pemeritah dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Perikanan
Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan (PUMP P2HP) dari KKP dimana
setiap kelompok pengolahan mendapat bantuan mencapai Rp. 50 jutaan.
Peningkatan jumlah kelompok pengolah juga didukung oleh diversivikasi usaha
pengolahan. Beberapa hasil olahan telah berkembang sesuai tuntutan pasar seperti
yang disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Perubahan diversifikasi usaha UKM PHP
No Wilayah Jenis Usaha/Tahun
Kecamatan Mundu Rajungan, terasi, ikan
asin, pindang bandeng
dan kerang
Ikan asin, bandeng presto,
pindang, produk olahan,
kerupuk ikan, petis
Kecamatan Gebang Rajungan, ikan asin,
pindang
Bakso, nugget, ikan asin,
kerupuk rajungan, rajungan,
bandeng tanpa duri, ikan
bilis, ikan laut
Sumber:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Kontribusi pengembangan UKM terhadap perekonomian masyarakat
Pendapatan pelaku UKM PHP di lokasi penelitian berdasarkan hasil
wawancara mendalam terahadap pelaku menunjukkan sebagaimana Tabel 15.
Tabel 15. Rata rata pendapatan, jumlah pekerja dan omset pelaku UKM
No Lokasi Pendapatan
(Rp.)
Jenis usaha Lama
usaha
(tahun)
Luas
lahan
(ha)
Jumlah
pekerja
(orang)
Modal
awal
(juta)
Omset per
bulan
(juta)
Mundu Pindang
Mundu Pindang
bandeng
Mundu Pindang
bandeng
Gebang
udik
Kerupuk
rajungan dan
terasi
- -
Gebang
udik
Jualan ikan
segar
Gebang Pengolahan
rajungan
480
m
-
Melaka
Sari
Gebang
Pengolahan
bandeng
-
Sumber: Survei, 2015
Tabel 15 berdasarkan wawancara mendalam menunjukkan bahwa UKM
PHP dapat dijelaskan sebagai berikut: (1). usaha pindang bandeng dilakukan oleh
pelaku UKM lebih 10 tahun namun pendapatan pelaku sangat kecil (<2 juta
rupiah dengan omset per bulannya < 30 juta rupiah. (2). Jenis usaha olahan atau
jualan ikan segar memberikan pendapatan pada pelaku UKM lebih tinggi. Bahkan
pengolahan rajungan menjadi kerupuk dan terasi mampu menghasilkan omset
per bulan 50 juta rupiah, dengan pekerja mencapai 80 orang. Profil UKM di 2
lokasi penelitian tersebut menunjukkan bahwa perubahan jenis usaha dengan
memasukkan olahan-olahan baru seperti olahan untuk kerupuk, maupun nugget
dan bakso akan meningkatkan nilai produk hasil perikanan.
Peningkatan UKM PHP, juga berdampak terhadap perekonomian regional
Kabupaten Cirebon yang ditunjukkan dari peningkatan PDRB sub sektor
perikanan pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16, sub sektor perikanan yang
menjadi bagian dari sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB
Kabupaten Cirebon dalam nominal yang terus meningkat, walaupun secara
persentase sub sektor perikanan masih dibawah 5%. Perhitungan PDRB atas harga
berlaku, sumbangan sektor UKM pengolahan hasil perikanan untuk ekspor
sebesar 3451280.12 Kg atau setara US$ 8447096.43.
Tabel 16. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cirebon tahun
-
Sektor / Sub Sektor PDRB (Juta Rupiah)
Perikanan . . . .
Total Kabupaten Cirebon . . . .
Persentase . . . . .
Sumber: BPS Kabupaten Cirebon, 2012, 2013, dan 2014
Peningkatan PDRB Kabupaten Cirebon, menunjukkan bahwa sub sektor
perikanan yang didalamnya termasuk pengolahan hasil perikanan. Peningkatan
UKM PHP pada zona industri PHP sesuai RTRW juga seiring dengan keberadaan
perusahaan pengolahan hasil perikanan industri sedang/besar produk yang
dihasilkan berupa udang beku dan cumi beku. Perikanan yang masih menjadi sub
sektor bagian dari sektor pertanian juga mempengaruhi penganggaran dan
prioritas program bagi Kabupaten Cirebon. Apabila perikanan dijadikan sektor
tersendiri dan terpisah dengan pertanian, upaya mengembalikan Cirebon sebagai
penghasil udang (kota udang) dapat dilakukan, dan tentu saja meningkatkan
PDRB dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Cirebon.
Tabel 17. Jumlah ekspor hasil komoditas perikanan dan kelautan tahun 2013
Nama Eksportir Jenis Komoditi Volume
(Kg)
Nilai ekspor
(US$) Tujuan Ekspor
PT Adijaya Guna
Satwatama - Udang beku USA dan Jepang,
(Ds. Mundu Pesisir
Kec Mundu) - Udang breeded USA dan Jepang,
- Nila Jepang dan Belanda
- Nila fillet Belanda
Jumlah 1
PT Oreins Prima
Lestari - Kodok beku Belgia
(Ds. Mundu Pesisir
Kec Mundu) - Kurisi beku Belgia
- Kerang Beku Belgia
Jumlah 2
PT Sumber Laut
Bengindo
(Ds.Kalisapu Kec
Gunungjati)
- Kerang beku Australia
- Kodok beku Swiss dan Belgia
- Ikan remang China
- Layur beku China
- Cumi Beku China
Jumlah 3
Total Ekspor Hasil
Perikanan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Produk hasil olahan tersebut dipasarkan secara lokal dan regional (luar
kabupaten untuk produk industri rumahan serta ekspor ke luar negeri untuk
produk industri sedang/besar). Tabel 17 menunjukkan bahwa peran Kecamatan
Mundu yang dijadikan sub zona pengolahan hasil perikanan dalam RTRW
ditunjukkan juga oleh keberadaan perusahaan eksportir olahan hasil perikanan di
lokasi ini. Sedangkan mengenai besaran produksi dan nilai produksi serta
pengembangan produksi perikanan di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon pada
Tabel 18.
Tabel 18 Produksi ikan olahan tahun 2008-
Jenis Ikan Produksi (Ton)
Kering/Asin
Pindang
Terasi
Peda - -
Asapan/Panggang -
Lainnya - -
Udang breded -
Pengalengan
Rajungan
-
Kabupaten Cirebon
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 201
Peningkatan produksi olahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon,
didukung oleh keberadaan bahan baku yang berasal dari penangkapan laut.
Meningkatnya produksi perikanan tangkap pada Tabel 19, akan mendukung
industri pengolahan hasil perikanan.
Produk olahan yang berasal dari ikan laut
Produk olahan yang bahan bakunya berasal dari ikan laut mengalami
peningkatan jumlah UKM dan jumlah tonase produknya dipengaruhi oleh
produksi hasil tangkapan perikanan tangkap pada Tabel 19. Sebenarnya terdapat
46 jenis ikan yang di daratkan di Kabupaten Cirebon. Produksi perikanan di
Kabupaten Cirebon mengalami penurunan mulai tahun 2008-2011 sedangkan
pada tahun 2012 mengalami peningkatan. Tahun 2008 produksi perikanan
tangkap mencapai 31.704,5 ton sedangkan pada tahun 2012 hasilnya mencapai
32.969,52 ton, pada rentang waktu lima tahun perikanan tangkap di Kabupaten
Cirebon meningkat 1.265,02 ton.
UKM PHP di Kabupaten Cirebon sangat tergantung ketersediaan bahan
baku. Kemelimpahan ikan teripada tahun 2010 yang mencapai .155 ton, dan
tahun 2011 adalah rajungan dengan hasil tangkapan 8.137,4 ton, mempengaruhi
jenis usaha UKM PHP. Industri terasi dan kerupuk rajungan maupun rajungan
segar adalah produk olahan yang dipengaruhi melimpahnya hasil tangkapan.
Produk-produk olahan yang berkembang seperti nugget dan bakso pada tahun
2013-2014, juga dipengaruhi oleh melimpahnya bahan baku yang perlu diolah
sehinga meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Tabel 19. Produksi perikanan tangkap berdasarkan jenis ikan tahun 2008 –
JenisIkan Produksi (Ton)
Udang(putih)
Udanglain
Teri
Teri nasi - - -
Tenggiri
Petek - -
Manyung
Rajungan
Kerangdara
Udangwindu -
Udangdogol
Layur -
Udangbarong ... ...
Kepiting ... ...
Rebon ... ... - -
Jumlah total
tangkapan untuk 40
jenis ikan
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2013
Terkait dengan UKM pindang bandeng dan pengolahan bandeng seperti
bandeng tanpa duri maupun terasi ditentukan oleh jumlah dari budidaya
perikanan air payau. Produksi dari budidaya air tawar seperti lele dalam
perkembangannya banyak diolah dalam bentuk fillet maupun dijadikan nugget.
Luas lahan budidaya mempengaruhi olahan yang dihasilkan. Kabupaten Cirebon
mempunyai luas budidaya 998.583 m ,dengan pembudidaya .245 Rumah Tangga
Perikanan (RTP), dengan luas lahan budidaya air tawar 99,33 persen sedangkan
luas lahan budidaya air payau 0,67 persen. Pembudidaya air payau mencapai
4.355 RTP dan pembudidaya air tawar hanya 890 RTP. Budidaya air payau paling
luas terdapat di Kecamatan Losari dengan luas lahan 2.628 m dengan jumlah
pembudidaya sebanyak 2.244 RTP.Sedangkan budidaya air tawar paling luas
terdapat pada Kecamatan Kapetakan dengan luas lahan 884.250 m dan
pembudidaya 474 RTP. Luas lahan budidaya air payau di Kecamatan Mundu dan
Gebang sebagaimana Tabel .
Tabel 20. Luas lahan dan jumlah RTP budidaya air payau berdasarkan desa di
Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2013
No Kecamatan
Desa
Perikanan
Budidaya
Luas Lahan
Pemeliharaan
(m )
Jumlah
RTP
(Orang)
Mundu Waruduwur
Citemu
Bandengan
Mundupesisir
Jumlah
Gebang Gebangmekar
Melakasari
Playangan
Gebangilir
Gebangkulon
Kalipasung
Jumlah
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Produksi ikan dari budidaya tahun 2013 mencapai 28.281,48 ton meningkat
155,69 persen dari tahun 2012 yang mencapai 18.165,43 ton. Peningkatan
produksi sangat nyata ini terjadi karena didukung program dan kegiatan tahun
2012 sedangkan panen hasil budidaya dilakukan pada tahun 2013, seperti
kegiatan industrialisasi perikanan budidaya melalui demfarm budidaya udang
vanname dan program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) perikanan
budidaya, serta meningkatnya luas lahan budidaya yang termanfaatkan dan
disertai peningkatan jumlah pembudidaya.
Tahun 2013 produksi budidaya laut mengalami penurunan 62,37 persen,
dimana produksi hanya 1.016,46 ton dibanding tahun lalu yang mencapai
2.701,18 ton. Penurunan terjadi karena semakin berkurangnya para pembudidaya
kerang hijau, akibat gelombang pasang (rob) mengakibatkan kerusakan bagan
kerang hijau dan pencemaran lingkungan yang tinggi di wilayah pantai pesisir
yang berasal dari limbah rumah tangga maupun limbah pabrik/industri.
Budidaya payau mengalami peningkatan produksi yang telah mencapai
190,05 persen dari tahun 2012 yang hanya mencapai 11.571 ton dibanding pada
tahun sekarang yang dapat mencapai 21.991,41 ton. Peningkatan produksi ini
didukung dari program demfarm budidaya udang vanname dan bandeng intensif
yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu
karena terdapat beberapa pembudidaya yang mulai beralih dari kegiatan budidaya
tradisional menuju penerapan teknologi intensif.
Bahan baku produk olahan dari ikan tawar
Produk olahan dengan bahan baku air tawar yang dihasilkan diantaranya
fillet dan nugget yang merupakan diversifikasi produk olahan disebabkan
keberadaan bahan baku hasil budidaya air tawar yang cukup banyak sebagaimana
Tabel 21
Tabel 21. Jumlah produksi dan jumlah RTP budidaya air tawar berdasarkan desadi
Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2013
No Kecamatan Desa Perikanan
Budidaya
Jumlah
Produksi
(Ton)
Jumlah
RTP
(Orang)
Mundu Setupatok
Penpen
Mundumesigit
Luwung
Banjarwangun
Pamengkang
Suci
Citemu
Jumlah
Gebang Melakasari
Playangan
Gebangkulon
Kalipasung
Kalimaro
Bompyongkulon
Jumlah
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Peningkatan produksi juga ditunjukkan pada budidaya air tawar yang bisa
mencapai 5,273,63 atau terjadi peninngkatan produksi 135,49 persen dari tahun
2012 yang mencapai 3.892,31 ton. Meskipun terjadi peningkatan produksi tetapi
masih banyak permasalahan dalam budidaya perikanan yang dihadapi di
antaranya mahalnya sarana produksi dan harga pakan yang tidak diimbangi
dengan peningkatan harga jual produk hasil budidaya ikan.
Tabel 22. Produksi budidaya per jenis usaha tahun 2013
No Usaha Budidaya Produksi
(Ton)
Laut
Tambak
Kolam
Jumlah
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Tabel 23 Produksi perikanan budidaya berdasarkan jenis ikan tahun 2013
No Jenis Produksi Target (Ton) Realisasi (Ton) Prosentase
Pencapaian (Persen)
Udang Windu
Udang Vanname
Rumput Laut
Bandeng
Nila
Patin
Mas
Gurame
Lele
Lainnya
Total
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Faktor-faktor internal dan ekternal yang mempengaruhi pengembangan
UKM PHP
Keberadaan sarana prasarana perikanan
Keberadaan sarana dan prasarana perikanan merupakan faktor penunjang
utama ketersediaan bahan baku untuk pengolahan hasil perikanan. Ketersediaan
bahan baku untuk olahan ikan seperti bandeng, juga didukung keberadaan tambak
udang dan tambak garam. Garam digunakan untuk pengasinan ikan. Tambak
udang/bandeng mencapai 7.500 ha, sedangkan tambak garam mencapai 3.800 ha.
Keberadaan sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon pada Tabel 24.
Berdasarkan data menunjukkan bahwa PPI di Kecamatan Mundu berjumlah
5 unit yaitu Mundu Pesisir, Bandengan, Citemu, Waruduwur dan Pangarengan,
sedangkan yang terdapat di Kecamatan Gebang berjumlah 6 unit yaitu Ender,
Kalipasung, Maskumambang, Gebang Mekar, Balong dan Playangan. Status PPI
yang ada di 2 kecamatan tersebut adalah PPI inti yang berarti ikan yang
didaratkan mencapai >2.500 ton/tahun, sedangkan PPI plasma kapasitas
pendaratan ikan <2.500 ton/tahun.Fasilitas pendukung yang terdapat di pelabuhan
perikanan/tempat pendaratan ikan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 25.
Tabel 24 Sarana dan prasarana perikanan di Kabupaten Cirebon
No Sarana prasarana Jumlah Keterangan
PPP 1 unit
PPI 17 unit
TPI 4 unit
SPDN 2 unit
Perahu kapal 7 unit
Perahu motor tempel 4.056 unit
Perahu tanpa motor 37 unit
Kapal Keruk 1 unit
Pasar Ikan 3 unit Karang Reja,
Gebang, Mundu
Alat tangkap ikan 8.025 unit
Bangsal pengolahan ikan unit
Tambak udang/bandeng 7.500 Ha
Tambak garam 3.800 Ha
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014
Tabel 25 Fasilitas pendukung di pelabuhan perikanan di lokasi penelitian
No Kecamatan PPI Dermaga (m) Breakwater
(m)
Status Kondisi
jalan
masuk PPI
Mundu Mundu
Pesisir
Tidak ada Tidak aktif Baik
Bandengan Tidak aktif Baik
Citemu Tidak aktif Rusak
Waruduwur Tidak ada
data
Tidak ada Tidak ada Sedang
Pangarengan Tidak ada data Tidak ada Tidak ada Sedang
Gebang Kalipasung Tidak ada Tidak ada Rusak Sedang
Gebang
Mekar
250+210
(dermaga
merak)
-
Aktif Baik
Pelayangan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Rusak
Sumber: Renstra Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon, 2011
Tabel 25, menunjukkan bahwa pelabuhan perikanan terbesar di Kabupaten
Cirebon berada di Gebang Mekar. Keberadaan pelabuhan Gebang Mekar
denganfasilitas yang baik menjadikan tempat pendaratan ikan skala kecil di
sekitarnya seperti di Kecamatan Mundu dan lokasi lain di Kecamatan Gebang
kurang produktif. Nelayan lebih cenderung mendaratkan ikannya di Gebang
Mekar atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Kejawan yang masuk Kota
Cirebon dan hanya berjarak 5 km dari Kecamatan Mundu. PPN Kejawan
merupakan pelabuhan perikanan yang skalanya dapat didarati oleh kapal-kapal
perikanan besar diatas 30 GT, sehingga fasiltas pendukung pelabuhan lebih baik
daripada PPP Gebang Mekar.
a. Jalan
Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang dilewati jalan utama nasional
yaitu jalan pantai utara Jawa (Pantura) yang menghubungkan dengan kota-kota di
Porvinsi Jawa Tengah menjadikan posisi Cirebon sangat strategis dalam
perekonomian nasional. Pada tahun 2015, telah dioperasikan jalan tol baru
Cikopo-Palimanan yang menyambung langsung ke Jakarta dan Bandung.
Akibatnya, secara ekonomi Cirebon akan menjadi lokasi transit dan dalam proses
distribusi barang termasuk hasil industri pengolahan perikanan akan semakin
cepat dan lancar.
Kawasan pesisir di lokasi penelitian, khusunya di kawasan tambak kondisi
jalan kualitas jalan desa dan jalan setapak yang dipergunakan oleh para petambak
untuk mengangkut hasil panen tambak (ikan bandeng, udang dan garam). Jalan-
jalan ini masih terbuat dari tanah biasa tanpa perkerasan/aspal. Di musim hujan,
jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor karena licin
berlumpur.
b. Air bersih
Pelayanan air bersih perpipaan yang belum memadai dimana cakupan
pelayanan air bersih terhadap penduduk di wilayah pesisir baru 18,03 persen.
Sisanya, penduduk memanfaatkan sumur gali, pelayanan perdagangan air bersih
atau memanfaatkan sungai secara langsung. Penyediaan air bersih perpipaan
dilayani oleh PDAM, WSLIC dan DCKTR dengan distribusi pelayanan masing-
masing adalah 8,18 persen PDAM, 9,09 persen WSLIC dan 0,76 persen DCKTR.
Kondisi ini menggambarkan bahwa permasalahan sanitasi lingkungan di wilayah
pesisir belum cukup memadai, sehingga perlu langkah-langkah penangan secara
lebih komprehensif.
Tabel 26. Pelayanan air bersih Kecamatan Gebang dan Mundu tahun 2010
No Kecamatan
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Pelayanan Air Bersih Cakupan
(%) PDAM
(Jiwa)
WSLIC
(Jiwa)
DCK &
TR (Jiwa)
Total
(Jiwa)
Gebang
Mundu
Prosentase Cirebon (persen)
Sumber: Renstra Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon, 2011
Bentuk dan strategi pengembangan UKM PHP
Strategi pengembangan UKM PHP di Kecamatan Mundu dan Kecamatan
Gebang dianalisis dengan SWOT dan AHP. Analisis SWOT dilakukan untuk
memperoleh pilihan-pilihan berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan yang ada di lapangan. AHP digunakan untuk memilih strategi terbaik
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi dan dianalisis secara bertingkat.
SWOT
Hasil wawancara mendalam dengan para pengusaha olahan hasil
perikanan, tokoh masyarakat, asosiasi pengolah hasil perikanan, pemerintah
kecamatan dan dinas-dinas di lokasi penelitian mengetahui strategi pengembangan
UKM pengolahan hasil perikanan di Kabupaten Cirebon, dapat diidentifikasi dua
faktor yang berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal berikut: (1) modal; (2) tenaga
kerja; (3) bahan baku; (4) sarana dan prasarana; (5) kebijakan; (6) infrastruktur;
(7) pemasaran; dan (8) konsumen.
Kedua faktor berdasarkan hasil diskusi dengan narasumber untuk analisis
SWOT, mempunyai kriteria yag mempengaruhi bentuk strategi pengembangan
UKM. Kriteria faktor internal dan eksternal sebagai kekuatan (Strengths) dan
kelemahan (Weaknessess), serta peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats)
sebagaimana pada Tabel 27. Bentuk strategi SWOT yang dilakukan dari kriteria-
kriteria strategi pengembangan UKM meliputi kriteria pengembangan berdasarkan
sebaran l spasial UKM seperti: (1) Pola pemanfaatan ruang; dan (2) Daya dukung
wilayah. Bentuk strategi SWOT berdasarkan kondisi UKM seperti: (1) Mutu
produk; dan (2) Skala produksi. Bentuk strategi SWOT dengan melihat jenis
UKM seperti: (1) Bahan mentah; dan (2) Olahan.
Berdasarkan dua strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
tersebut, maka sebagaimana Tabel 33., faktor kekuatan (strength/S) adalah: (1)
Ketersediaan bahan mentah yang memadai; dan (2) Ketersediaan tenaga kerja.
Faktor kelemahan (weaknes/W) adalah: (1) Kurangnya modal bagi pengusaha; (2)
Kurangnya sarana dan prasarana; dan (3) Lemahnya strategi pemasaran. Faktor
kesempatan (opportunities/O) adalah: (1) Banyaknya konsumen dan (2) Adanya
bantuan dari pemerintah daerah. Faktor ancaman (threat/T) adalah: (1) Banyak
produk lain selain hasil perikanan yang ada di sekitar lokasi studi; (2) Belum
adanya dukungan kebijakan dalam hal pemasaran; dan (3) kurangnnya
infrastruktur infrastruktur.
Hasil analisis SWOT memunculkan 4 strategi yaitu: (1) Strategi S-O; (2)
Strategi W-O; (3) Strategi S-T; (4) Strategi W-T. Strategi S-O meliputi: (1)
Peningkatan mutu produksi dengan memanfaatkan bahan mentah yang bermutu
tinggi; dan (2) Melakukan pelatihan tenaga kerja dari bantuan dinas kelautan dan
perikanan daerah untuk meningkatkan skala produksi. Strategi W-O meliputi: (1)
Pemerintah daerah membantu pengusaha dengan memberikan bantuan kredit
lunak sebagai modal awal dan modal pendukung usaha UKM pengolah hasil
perikanan; dan (2) Pemberian bantuan peralatan teknologi tepat guna dalam
proses produksi olahan hasil perikanan. Strategi S-T meliputi: (1) Kebijakan yang
mempermudah pemasaran bagi pengusaha lokal untuk memasarkan hasil
produknya ke pusat perbelanjaan atau swalayan-swalayan setempat sehingga
bahan mentah yang memadai bisa diolah; dan (2) Pembangunan infrastruktur
untuk meningkatkan daya dukung wilayah dalam menyerap tenaga kerja. Strategi
W-T meliputi: (1) Pembuatan kebijakan penggunaan lahan dan penataan UKM
termasuk menyiapkan infrastruktur pendukung di lokasi-lokasi UKM.
Tabel 27 Matriks SWOT strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
Faktor
Internal
KEKUATAN (S) KELEMAHAN
(W)
S1
Ketersediaan bahan mentah yang
memadai
W1
Kurangnya modal bagi
pengusaha
S2
Ketersediaan tenaga kerja
W2
Kurangnya sarana dan
prasarana termasuk lahan
Faktor
Eksternal
W3
Lemahnya strategi
pemasaran
PELUANG (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O
O1
Banyaknya
konsumen
1.Meningkatkan mutu produksi
dengan memanfaatkan bahan
mentah bermutu tinggi untuk
memenuhi permintaan konsumen
yang banyak (S1, O1)
1. Pemerintah daerah
membantu pengusaha
dengan memberikan
bantuan kredit lunak
sebagai modal awal
dan modal pendukung
usaha UKM pengolah
hasil perikanan (W2,
O2)
O2
Adanya bantuan
dari pemerintah
daerah
2.Melakukan pelatihan-pelatihan
kepada tenaga kerja melalui
bantuan dari dinas kelautan dan
perikanan daerah untuk
meningkatkan skala produksi
(S2, O2)
2. Memberikan bantuan
peralatan teknologi
tepat guna dalam
proses produksi olahan
hasil perikanan (W2,
O2)
ANCAMAN (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T
T1
Banyak produk
lain selain hasil
perikanan yang
ada di sekitar
lokasi studi
1. Membuat kebijakan yang
mempermudah pemasaran bagi
pengusaha lokal untuk
memasarkan hasil produknya
ke pusat perbelanjaan atau
swalayan-swalayan setempat,
sehingga bahan mentah yang
memadai bisa diolah (S1, T2)
Membuat kebijakan
penggunaan lahan dan
penataan UKM termasuk
menyiapkan infrastruktur
pendukung di lokasi-
lokasi UKM (W3, W2,
T3)
T2
Belum adanya
dukungan
kebijakan dalam
hal pemasaran
2. Pembangunan infrastruktur
untuk meningkatkan daya
dukung wilayah dalam
menyerap tenaga kerja (S1,
T2)
T3
Kurangnnya
infrastruktur
AHP
Bentuk-bentuk strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
yang dilakukan pengusaha kecil dan menengah dengan memperlihatkan sebaran
lokasi spasial UKM, kondisi UKM dan jenis UKM dirumuskan dengan
menggunakan analisis SWOT, sebagai dasar penetapan struktur hirarki
pengembangan model kebijakan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan. Penetapan struktur hirarki oleh expert terpilih sesuai kriterianya, yaitu:
asosiasi pengusaha, pejabat dinas kelautan dan perikanan daerah, pejabat dinas
koperasi dan UKM daerah, Camat di dua lokasi penelitian yang memiliki
keterkaitan terhadap tata kelola UKM, unsur pengusaha dan tokoh masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan pada metodologi penelitan, maka analisisnya
dilakukan menurut level hirarki yang telah ditentukan sebelumnya dengan
pendekatan AHP menurut penilaian pendapat responden pakar (expert judgment).
Untuk analisis AHP, terlebih dahulu dilakukan analisis pendapat perorangan
dengan melakukan analisis pendapat gabungan. Hasil analisis pendapat gabungan
memiliki nilai Inconsistency Ratio (IC) = 0,01. Nilai ini merupakan nilai
gabungan dari sembilan responden yang terdiri atas para pakar multi disiplin yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini. Masing-masing responden pakar
memiliki derajat konsistensi IC < 0,01. Artinya, penyimpangan sangat kecil,
karena para responden termasuk konsisten dalam memberikan nilai pembobotan.
Berdasarkan pengolahan data dengan software expert choice, didapatkan
hasil sebagaimana Tabel 28, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pengaruh Kriteria Hirarki Faktor dalam Strategi Pengembangan UKM
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden
pakar yang memberikan pembobotan untuk menentukan aspek yang paling
berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
yang terdiri atas pengaruh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan hasil
penggabungan pendapat experts diketahui, faktor internal memiliki bobot prioritas
0,454 (45,4 persen), sedangkan faktor eksternal memiliki bobot 0,546 (54,6
persen) dalam mempengaruhi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh peubah kebijakan, infrastruktur, pemasaran
dan konsumen lebih memengaruhi dalam proses pengembangan UKM pengolahan
hasil perikanan walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu nyata dibandingkan
dengan faktor internal. Faktor internal yang terdiri dari peubah modal, tenaga
kerja, bahan baku, sarana dan prasarana juga memiliki pengaruh yang besarannya
hampir berimbang dengan faktor eksternal. Menurut para ahli, kebijakan
pemerintah berupa dukungan infrastruktur, dukungan pemasaran dan dukungan
kebijakan penambahan pemahaman konsumen akan pemakaian produk UKM
hasil perikanan lokal sangat diperlukan.
Tabel 28. Matriks Hasil Olahan Data Expert Choice
Level Hierarki Kriteria Evaluasi Cam
at M
un
du
Dw
i S
uli
sty
ori
ni
Jo
ko
Gu
run
ing G
emi
Jo
ko
Uto
mo
Mas
du
ki
McD
anto
n
Su
pan
di
Wah
yu
Irj
a P
urn
ama
Yu
liah
Har
wat
i
Ga
bu
ng
an
Pen
da
pa
t A
HP
So
ftw
are
(E
xp
ert
Ch
oic
e 1
1)
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Aspek Berpengaruh Faktor Internal (2)
Faktor Eksternal ( )
Faktor Internal
Modal (1)
Tenaga Kerja (4)
Bahan Baku (2)
Sarana dan Prasaranan (3)
Faktor Eksternal
Kebijakan (4)
Infrastruktur (3)
Pemasaran (2)
Konsumen (1)
Level Hierarki Kriteria Evaluasi Cam
at M
un
du
Dw
i S
uli
sty
ori
ni
Jo
ko
Gu
run
ing G
emi
Jo
ko
Uto
mo
Mas
du
ki
McD
anto
n
Su
pan
di
Wah
yu
Irj
a P
urn
ama
Yu
liah
Har
wat
i
Ga
bu
ng
an
Pen
da
pa
t A
HP
So
ftw
are
(E
xp
ert
Ch
oic
e 1
1)
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Indikator Strategi
Sebaran/Lokasi Spasial
UKM (3)
Kondisi UKM (2)
Jenis UKM (1)
Sebaran/Lokasi
Spasial UKM
Pola Pemanfaatan Ruang (2)
Daya Dukung Wilayah (1)
Kondisi UKM Mutu Produk (1)
Skala Produksi (2)
Level Hierarki Kriteria Evaluasi Cam
at M
un
du
Dw
i S
uli
sty
ori
ni
Jo
ko
Gu
run
ing G
emi
Jo
ko
Uto
mo
Mas
du
ki
McD
anto
n
Su
pan
di
Wah
yu
Irj
a P
urn
ama
Yu
liah
Har
wat
i
Ga
bu
ng
an
Pen
da
pa
t A
HP
So
ftw
are
(E
xp
ert
Ch
oic
e 1
1)
Resp 1
Resp 2
Resp 3
Resp 4
Resp 5
Resp 6
Resp 7
Resp 8
Resp 9
Jenis UKM Bahan Mentah (2)
Olahan (1)
Stakeholder yang
berperan dalam
menjalankan strategi
Pengembangan UKM
Pemerintah Daerah (1)
Pelaku UKM (2)
Lembaga Keuangan (3)
b. Pegaruh Kriteria Hirarki Faktor dalam Strategi Pengembangan UKM
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar
yang memberikan pembobotan untuk menentukan aspek yang paling berpengaruh
dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan yang terdiri atas
pengaruh faktor internal dan eksternal. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat
experts diketahui, faktor internal memiliki bobot prioritas 0,454 (45,4 persen),
sedangkan faktor eksternal memiliki bobot 0,546 (54,6 persen) dalam mempengaruhi
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa
pengaruh peubah kebijakan, infrastruktur, pemasaran dan konsumen lebih
memengaruhi dalam proses pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
walaupun besaran pengaruhnya tidak terlalu nyata dibandingkan dengan faktor
internal. Faktor internal yang terdiri dari peubah modal, tenaga kerja, bahan baku,
sarana dan prasarana juga memiliki pengaruh yang besarannya hampir berimbang
dengan faktor eksternal. Menurut para ahli, kebijakan pemerintah berupa dukungan
infrastruktur, dukungan pemasaran dan dukungan kebijakan penambahan pemahaman
konsumen akan pemakaian produk UKM hasil perikanan lokal sangat diperlukan.
c. Pengaruh Hirarki Faktor Eksternal dalam Strategi Pengembangan UKM
Pengolahan Hasil Perikanan
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar
yang memberikan pembobotan untuk menentukan kriteria dari faktor eksternal yang
paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan
yang meliputi kebijakan, infrastruktur, pemasaran, dan konsumen.Berdasarkan hasil
penggabungan pendapat experts, diketahui bahwa kriteria yang memiliki bobot
tertinggi dalam menyusun faktor eksternal yang berpengaruh dalam strategi
pengembangan UKM pengolah hasil perikanan adalah peubah konsumen dengan
bobot 0,4331 (43,31 persen). Tidak dapat dipungkiri, jika konsumen di tengah dalam
suatu kegiatan usaha memiliki pengaruh nyata. Konsumen merupakan merupakan
peubah kunci bagi UKM, karena apabila hasil produk UKM tidak laku di pasaran,
maka otomatis UKM yang bergerak dalam pengolahan hasil perikan ini tidak akan
berkembang dan bahkan bisa tutup.
Kriteria yang menyusun faktor eksternal urutan selanjutnya adalah peubah
pemasaran dengan bobot 0,3087 (30,87 persen). Pemasaran juga merupakan salah
satu peubah yang menentukan laku atau tidaknya suatu produk. Lemahnya
manajemen pemasaran akan mengurangi pasokan produk di pasar, sehingga akan
memengaruhi volume produksi. Rendahnya volume produksi akan memengaruhi
omset UKM pengolahan hasil perikanan ini. Pemasaran juga dipengaruhi oleh mutu
produk dan model kemasan suatu produk. Sesuai pengamatan di lapangan, UKM di
lokasi penelitian memang terkendala dengan proses pemasaran. Bagi pelaku UKM di
Kecamatan Mundu dan Gebang kesulitan memasarkan produknya.Dalam hal ini
banyak diantaranya tidak memperbanyak volume produksi. Pelaku UKM hanya
memproduksi untuk kebutuhan masyarakat sekitar lokasi UKM, karena belum
mampu menjangkau konsumen dari daerah lain. Salah satu kelemahan pemasaran
yang ada karena lemah dalam hal kemasan, disamping itu kesulitan masuk pada
pusat-pusat perbelanjaan akibat lemahnya dukungan modal untuk mendukung proses
produksi. Hasil penjualan di pusat-pusat perbelanjaan menunggu waktu berbulan-
bulan untuk sampai kembali kepada pelaku UKM.
Selanjutnya peubah infrastruktur menempati urutan ketiga dengan bobot 0,1573
(15,73 persen). Hal ini menunjukkan bahwa faktor infrastruktur tidak terlalu
mempengaruhi berkembang atau tidaknya UKM pengolahan hasi perikanan. Memang
sesuai pengamatan di lapangan, infrastruktur yang ada di Kecamatan Mundu dan
Kecamatan Gebang belum memadai untuk mendukung kemajuan UKM pengolah
hasil perikanan di wilayah tersebut.Lokasi UKM yang masih berada di tengah-tengah
permukiman tidak menyulitkan pelaku UKM untuk memasarkan produknya. Untuk
memasarkan atau mengirim produk dari UKM, digunakan motor dan ada pula
sebagiannya menggunakan mobil, namun tidak sedikit dari pelaku UKM juga
menjual keliling perkampungan.
Kriteria kebijakan merupakan peubah yang paling sedikit pengaruhnya dalam
faktor eksternal. Peubah kebijakan ini hanya memiliki bobot prioritas sebesar 0,0829
(8,29 persen). Peubah kebijakan bagi para ahli merupakan faktor pendukung bagi
perkembangan UKM pengolah hasil perikanan.Sesuai pengamatan di lokasi studi,
kebijakan baik pemerintah daerah maupun kebijakan pemerintah pusat belum terlalu
menyentuh pelaku UKM di wilayah studi. Selama ini bagi beberapa pelaku UKM
sudah ada yang mendapat bantuan dari pemerintah daerah, yaitu dinas kelautan dan
perikanan setempat, namun kebijakan bantuan itu belum terlalu berpengaruh pada
kemajuan usahanya.
d. Pengaruh Kriteria Hirarki Faktor Internal dalam Strategi Pengembangan UKM
Pengolah Hasil Perikanan
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar
yang memberikan pembobotan untuk menentukan kriteria dari faktor internal mana
yang paling berpengaruh dalam strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan yang meliputi modal, tenaga kerja, bahan baku, dan sarana dan prasarana.
Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts diketahui, kriteria yang memiliki
bobot tertinggi dalam menyusun faktor internal yang berpengaruh dalam strategi
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan adalah peubah modal dengan bobot
0,3274 (32,74 persen). Peubah modal dalam faktor internal sangat diperlukan karena
modal merupakan nyawa dari sebuah usaha.Menurut pengamatan di beberapa UKM,
kebanyakan UKM-UKM mikro yang ada di wilayah studi kesulitan untuk
mendapatkan modal dalam usahanya.Selama ini, pelaku UKM hanya memutar modal
yang ada dalam usahanya tanpa ada kemajuan nyata.
Kriteria yang menyusun faktor internal urutan selanjutnya adalah bahan baku
dengan bobot 0,2679 (26,79 persen). Kriteria bahan baku cenderung memiliki bobot
yang tinggi dalam memengaruhi strategi pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan, karena bahan baku merupakan peubah utama dalam suatu usaha. Bahan
baku bisa dikategorikan sebagai modal untuk menjalankan suatu usaha. Namun, di
wilayah studi masalah bahan baku tidak terlalu bermasalah karena lokasi UKM
pengolahan hasil perikanan tersebut juga banyak terletak di pesisir, sehingga pasokan
bahan baku bisa dibilang melimpah.
Kriteria sarana dan prasarana memiliki bobot 0,2651 (26,51 persen) yang
merupakan peubah ketiga yang memengaruhi strategi pengembangan UKM. Sarana
dan prasarana merupakan penunjang proses produksi dan proses pemasaran produk
UKM. Semua UKM yang ada di wilayah studi memiliki sarana dan prasarana
sederhana.Peralatan produksi merupakan teknologi sederhana tepat guna yang bisa
didapatkan di pasaran, maka faktor ini bisa dibilang tidak terlalu berpengaruh
terhadap faktor internal untuk pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan.
Kriteria terakhir yang menjadi faktor internal adalah tenaga kerja yang memiliki
bobot prioritas 0,1396 (13,96 persen). Peubah ini memang tidak terlalu berpengaruh
karena faktor tenaga kerja merupakan peubah yang melimpah di lokasi studi. UKM
merupakan usaha sederhana yang membutuhkan tenaga kerja yang tidak
membutuhkan keterampilan tingkat tinggi sehingga faktor tenaga kerja yang
diperlukan dalam UKM, khususnya pengolahan hasil perikanan cukup dengan
pelatihan sederhana sudah dapat bekerja. SDM di lokasi studi juga cukup banyak,
sehingga faktor ini tidak terlalu mempengaruhi faktor internal dalam upaya
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan.
e. Pengaruh Kriteria Hirarki Indikator Strategi Pengembangan UKM Pengolahan
Hasil Perikanan
Pada kriteria hirarki ini, penilaian terhadap sembilan responden pakar yang
memberikan pembobotan untuk menentukan indikator strategi dalam pengembangan
UKM pengolahan hasil perikanan terdiri dari sebaran atau lokasi spasial UKM,
kondisi UKM dan jenis UKM. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts
sebagaimana Gambar , terlihatindikator jenis UKM memiliki bobot tertinggi 0,3982
(39,82 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan jenis UKM dalam mengolah
hasil perikanan cukup menentukan walaupun dibandingkan dengan indikator lainnya
tidak akan jauh berbeda. Pemilihan jenis UKM menentukan pengembangan UKM
karena harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen yang banyak menggunakan
jenis olahan hasil perikanan tersebut.Di wilayah studi banyak ditemukan jenis olahan
hasil perikanan dari ikan dan rajungan.Ikan banyak yang dijadikan pindang,
sementara rajungan hanya diolah dan dikemas untuk dikirim ke Gresik untuk
selanjutnya dikemas dan diekspor ke Cina.
Indikator strategi selanjutnya adalah kondisi UKM yang memiliki bobot
prioritas 0,3349 (33,49 persen). Kondisi UKM juga menentukan dalam menilai
bentuk strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan.Kondisi UKM ini
dapat dilihat dari mutu produk yang dihasilkan dan besar kecilnya UKM yang
dijalankan.Jenis UKM yang banyak tedapat di lokasi penelitian rataan relatif masih
kecil, dan banyak ditemukan UKM mikro.Terakhir indikator strategi pengembangan
UKM yang memiliki bobot prioritas terkecil adalah sebaran lokasi spasial UKM
dengan bobot prioritas 0,2669 (26,69 persen). Indikator ini masih dapat dikatakan
mencerminkan metode pemilihan strategi pengembangan UKM karena memiliki
bobot prioritas yang tidak jauh berbeda dengan indikator lainnya.
f. Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM berbasis Sebaran atau
Lokasi Spasial UKM
Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator sebaran dan
lokasi spasial UKM yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi pola
pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayah. Pola pemanfaatan ruang tercermin
dalam strategi membuat kebijakan penggunaan lahan dan penataan UKM termasuk
menyiapkan infrastruktur pendukung di lokasi-lokasi UKM, sedangkan daya dukung
wilayah tercermin melalui strategi pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan
daya dukung wilayah dalam menyerap tenaga kerja. Berdasarkan hasil penggabungan
pendapat experts, alternatif strategi pengembangan UKM berupa pengaturan daya
dukung wilayahmemiliki bobot tertinggi 0,6953 (69,53 persen). Dengan adanya daya
dukung wilayah yang baik, pengembangan UKM di wilayah penelitian akan mudah,
akan tetapi harus ditunjang dengan pemanfaatan ruang yang baik. Saat ini pemerintah
Kabupaten Cirebon sedang melakukan revisi peraturan daerah tentang tata ruangnya.
Dengan adanya zonasi dan pola pengaturan ruang yang baik maka daya dukung
wilayah untuk mendukung pengembangan UKM akan semakin tinggi.
Untuk meningkatkan daya dukung wilayah, beberapa strategi yang dilakukan
oleh pemerintah daerah Kabupaten Cirebon adalah melakukan penanggulangan
abrasi, intrusi, sedimentasi dan pendangkalan. Strategi itu dilakukan melalui studi
abrasi, intrusi, sidemantasi dan pendangkalan pantai, pembentukan tim terpadu
penanggulangan abrasi, intrusi, pendangkalan dan sedimentasi, pembuatan bangunan
pemecah dan penahan gelombang, monitoring dan evaluasi program. Strategi lainnya
meningkatkan koordinasi antar sektor dan wilayah untuk menanggulangi abrasi,
intrusi air laut, sedimentasi, dan pendangkalan, melalui program koordinasi antar
sektor dan wilayah (kota dan kabupaten, provinsi dan pusat) dan kerjasama antar
pemerintah daerah. Selanjutnya pemerintah daerah melakukan strategi dengan
melibatkan stakeholder dalam setiap perencanaan penanggulangan kerusakan pantai
melalui program pembentukan forum komunikasi antar stakeholders untuk
perencanaan penanggulangan kerusakan pantai.
Urutan selanjutnya adalah pola pemanfaatan ruang memiliki bobot prioritas
0,3047 (30,47 persen). Pola pemanfaatan ruang memang memiliki prioritas lebih
rendah dari daya dukung wilayah. Pola pemanfaatan ruang merupakan derivatif dari
daya dukung wilayah, sehingga menurut para ahli prioritas strategi pengembangan
UKM pengolahan hasil perikanan sudah sepatutnya lebih rendah dari daya dukung
wilayahnya. Salah satu program pemerintah daerah adalah melakukan kajian
pemanfaatan ruang pantai (kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan budidaya
kawasan industri, dan lain sebagainya).
g. Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM Berbasis Kondisi
UKM
Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator kondisi UKM
yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi mutu produk dan skala produksi.
Mutu produk tercermin dalam strategi meningkatkan mutu produksi dengan
memanfaatkan bahan mentah mutu tinggi untuk memenuhi permintaan konsumen
yang banyak, sedangkan skala produksi tercermin melalui strategi melakukan
pelatihan-pelatihan kepada tenaga kerja melalui bantuan dari dinas kelautan dan
perikanan daerah untuk meningkatkan skala produksi.
Alternatif strategi pengembangan UKM melalui kondisi UKM, bentuk strategi
dengan melihat mutu produkmemiliki bobot tertinggi 0,8046 (80,46 persen).Hal ini
menunjukkan bahwa mutu suatu produk sangat menentukan dalam hal
pengembangan dan keberlanjutan suatu usaha, khususnya UKM yang bergerak dalam
pengolahan hasil perikanan. Mutu produk yang jelek tidak akan banyak diterima oleh
pasar, dan sebaliknya mutu produk yang baik akan banyak dicari dan dibutuhkan oleh
pasar, sehingga bisa meningkatkan skala produksi.
Urutan selanjutnya adalah skala produksi memiliki bobot prioritas 0,1954
(19,54 persen). Skala produksi produksi suatu produk ditentukan oleh banyak
tidaknya produk yang dihasilkan.Skala produksi ini tentunya memang sangat
ditentukan oleh permintaan pasar.Untuk konteks di wilayah studi, skala produksi
UKM yang ada relatif kecil, sehingga pengembangan UKM yang ada di lokasi
tersebut mengalami kesulitan. Hal itu disebabkan oleh mutu produksi yang belum
banyak diterima oleh pasar, terkecuali produk rajungan yang dilakukan oleh beberapa
UKM sudah memasuki pasar ekspor, namun harus melalui proses pengolahan
lanjutan di daerah lain, semisal di Jawa Timur.
h. Kriteria Hirarki Alternatif Strategi Pengembangan UKM Berbasis Jenis UKM
Alternatif strategi pengembangan UKM dengan melihat indikator jenis UKM
yang dirumuskan menurut analisis SWOT meliputi bahan mentah dan olahan. Bahan
mentah tercermin dalam strategi membuat kebijakan yang mempermudah pemasaran
bagi pengusaha lokal untuk memasarkan hasil produknya ke pusat perbelanjaan atau
swalayan-swalayan setempat, sehingga bahan mentah yang memadai bisa diolah,
sedangkan olahan tercermin melalui strategi memberikan bantuan peralatan teknologi
tepat guna dalam proses produksi olahan hasil perikanan.Alternatif strategi
pengembangan UKM melalui jenis UKM, bentuk strategi dengan membuat
olahanmemiliki bobot tertinggi 0,7813 (78,13 persen).Hal ini menunjukkan strategi
pengembangan olahan melalui penerapan teknologi bisa membantu meningkatkan
pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan, semakin baik modifikasi teknologi
untuk merekayasa jenis produk olahan hasil perikanan, maka UKM tersebut akan
semakin berkesinambungan.
Urutan selanjutnya adalah bahan mentah memiliki bobot prioritas 0,2187
(21,87 persen). Mengintervensi bahan mentah memang agak sedikit kesulitan, mutu
produk memang ditunjang oleh mutu bahan mentah yang ada, akan tetapi mutu bahan
mentah tersebut tidak serta merta membuat mutu produk baik, jika tidak tidak
ditunjang dengan proses pengolahan yang baik dari bahan mentah tersebut. Oleh
karena itu strategi pengembangan UKM dengan merekayasa bahan olahan akan lebih
rendah bobotnya bila dibandingkan dengan merekayasa olahan yang ada.
i. Peran Kriteria Hirarki Pemangku Kepentingan (Stakeholders) dalam
Menjalankan Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil Perikanan.
Pada kriteria hirarki ini dilakukan penilaian terhadap sembilan responden pakar
yang memberikan pembobotan untuk menentukan pemangku kepentingan
(stakeholders) yang berperan dalam menjalankan strategi pengembangan UKM
seperti yang telah ditentukan pada level hirarki sebelumnya. Para pemangku
kepentingan (stakeholders) tersebut adalah pemerintah daerah, pelaku UKM dan
lembaga keuangan. Berdasarkan hasil penggabungan pendapat experts, menunjukkan
pemangku kepentingan (stakeholders) yang berperan dalam menjalankan strategi
adaptasi yang telah ditentukan pada level hirarki sebelumnya didominasi oleh
pemerintah daerah dengan bobot prioritas 0,523 (52,3 persen). Hal ini
mengindikasikan bahwa tanggungjawab pemerintah daerah untuk meningkatkan dan
mengembangkan UKM pengolahan hasil perikanan sangat penting. Untuk itu,
pemerintah daerah punya sumber daya dalam meningkatkan dan mengembangkan
UKM tersebut, maka sumber daya tersebut sudah sepatutnya dicurahkan dan
dimanfaatkan untuk memacu berkembanganya UKM pengolahan hasil perikanan ini.
Pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan berupa Perda atau keputusan
Bupati untuk mendongkrak pertumbuhan UKM pengolah hasil perikanan ini.
Urutan pemangku kepentingan (stakeholders) selanjutnya yang berperan adalah
pelaku UKM dengan bobot prioritas 0,260 (26,0 persen). Pelaku UKM juga
senantiasa harus mengembangkan kemampuan manajemen dalam UKM yang
dikelolanya, baik itu berupa mengatur manajemen keuangan yang ada dalam UKM
itu ataupun mengatur proses pemasaran produk yang dihasilkan.
Urutan selanjutnya adalah stakeholder lembaga keuangan memiliki bobot
prioritas 0,218 (21,8 persen). Lembaga keuangan memiliki nilai bobot prioritas
peringkat ketiga dalam urutan stakeholders yang paling berpengaruh dalam
menentukan strategi pengembangan UKM pengolahan hasil perikanan. Melalui
peranannya dalam pemberian modal usaha mikro yang bersifat lunak kepada para
pelaku UKM pengolahan hasil perikanan, maka lembaga keuangan berpengaruh
dalam menentukan strategi pengembangan UKM untuk menghadapi perubahan
musim. Jika pada saat musim paceklik, pelaku UKM mendapatkan bantuan modal
usaha yang bersifat lunak disertai dengan pemberian pelatihan dan informasi
mengenai peningkatan usaha.
Gambar . Struktur Hirarki Strategi Pengembangan UKM Pengolahan Hasil
Perikanan
Faktor Internal ( ) Faktor eksternal ( )
Pelaku UKM
( ) Pemerintah Daerah
( )
Lembaga Keuangan
( )
Sebaran/Lokasi Spasial
UKM ( )
Jenis UKM ( )
Kondisi UKM ( )
Pola Pemanfatan
Ruang ( )
Daya Dukung
Wilayah ( )
Skala
Produksi
( )
Bahan
Mentah
( )
Olahan
( )
Mutu Produk
( )
Kebijakan
( )
Konsumen
( )
Pemasaran
( )
Infrastruktur
( )
Modal
( )
Sarana dan
Prasrana
( )
Bahan
Baku
( )
Tenaga
Kerja
( )
Strategi Pengembangan UKM
Pengolaan Hasil Perikanan
Level 1
Level 2
Level 3
Level 4
Level 5
Level 6
. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
UKM PHP di Kecamatan Mundu terdapat di 6 Desa, dan di Kecamatan Gebang
terdapat 3 Desa. Jenis olahan ikan diproduksi UKM meliputi ikan asin, terasi,
bandeng presto, kerupuk ikan, bandeng tanpa duri, kerupuk rajungan, serta produk
olahan baru bakso dan nugget.
UKM PHP di Kecamatan Mundu dan Kecamatan Gebang, telah memberikan
kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pelaku UKM dengan pendapatan 2 juta
rupiahdan omset per bulannya 30 juta rupiah dengan pekerja mencapai 80 orang.
Secara regional PDRB memberikan kontribusi, walaupun secara persentase sub
sektor perikanan masih dibawah 5%. Perhitungan PDRB atas harga berlaku,
sumbangan sektor UKM pengolahan hasil perikanan untuk ekspor sebesar
kilogram.
Faktor-faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan adalah modal 32. % sebagai bobot prioritas tertinggi,
disusul bahan baku dengan bobot prioritas 26. %, sarana dan prasarana dengan
bobot prioritas 26. % dan terakhir tenaga kerja dengan bobot prioritas 13. %.
Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah konsumen ( . %), pemasaran
( . %) infrastruktur ( . %), dan kebijakan ( . %).
Strategi prioritas untuk mendorong pengembangan UKM pengolahan hasil
perikanan agar berdampak bagi pengembangan perekonomianKabupaten Cirebon
adalah jenis UKM ( . %), kondisi UKM ( . %), dan sebaran atau lokasi spasial
UKM ( . %).
Saran
Saran yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah:
Perlu dilakukan pemodelan terkait tiga indikator pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan,yaitu jenis UKM, kondisi UKM dan pola sebaran lokasi
spasial UKM, sehingga dapat dipilih skenario-skenario strategi pengembangan UKM
pengolahan hasil perikanan lebih lanjut lagi.
Secara praktis pemerintah Kabupaten Cirebon harus menyusun kebijakan
praktis yang langsung menyentuh UKM, khususnya pengolahan hasil perikanan agar
UKM-UKM yang ada saat ini dapat berkembang lebih pesat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon, 2014, Cirebon dalam Angak
Dawkin, JC, 2003, Regional Development Theory:Conceptual Foundations, Classic
Works, and Recent Developments, Journal of Planning Literature ( )
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2012, Laporan Tahunan 2012
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, 2014, Laporan Tahunan 2014
Ellison G, Glaeser,EL, and Kerr, WK, 2010, What Causes Industry
Agglomeration?Evidence from Coagglomeration Patterns, American Economic
Review 100: (1195– )
Fornell, C “A Second Generation of Multivariate Analysis: Classification of
Methods and Implications for Marketting Research. In M.J. Houston (ed),
Review of Marketting.Chicago, American Marketting Association, pp. 407 –
Glaeser , 2007, Agglomeration Economic: Introduction, The University Of Chicago
Press,
Ginanjar K, 1997, Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan :Teori, Kebijaksanaan,
dan Penerapan, Bappenas.
Harefa, M, 2008, Kebijakan Usaha Kecil dan Menengah dan Peranannya dalam
Perkonomian, Kajian 14 (2): 29-
Hubeis,M, 2 Dasar-dasar Manajemen Industri, Jakarta: Inti Prima
Kamil, I, dan Hapsari, 2007, Pengembagan Model Industri Kelautan Berbasisi
Klaster di Kota Padang, Jurnal Optimasi Sistem Industri, 2: 287-
Kangas,J, Pesonen,M, Kurttila,M, and Kajanus ,M, 2001, A'WOT: Integrating The
AHP With SWOT Analysis, IASH:Switzerland
Kurniawati, T dan Lestari, EP, , The SME Development Based On Leading
Commodities, diunduh Oktober 2014. Martinho, D, 20 , Polarization versus Agglomeration, Unidade del I&D do Instituto
Politecnico de Viseu
Muhaimin, 2002, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, Logos,
Ciputat
Notohadiprawiro, T, 1990, Kriteria Penataan Ruang dan Implementasinya untuk
Keberlanjutan Penggunaan Lahan Bermaslahat, Disampaikan dalam Seminar
Nasional Penataan Ruang untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Efisien
dan Berkesinambungan, HITI-UNHAS, Ujung Pandang 9-10 Oktober 1990
Nurul, D R, et al, 2013, Kerajaan Cirebon, Pusat Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI PP Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Perda Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Cirebon Tahun 2011-
Perda Kabupaten Cirebon Nomor 17 tahun 20 tentang Kredit Modal Bantuan
Lunak
Pesonen, 2007, Sustainability WOTs–New Method for Summarizing Product
Sustainability Information for Business Decision Making, Zurich: School
Business and Economics
Rahmana, A, Iriani, Y, dan Oktarina, R, 2012, Strategi Pengembangan Usaha Kecil
MenengahSektor Industri Pengolahan, Jurnal Teknik Industri, 13 ( ): 14–
Rangkuti F, 2004, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT.
Gramedia
Rusdarti, 2010, Potensi Ekonomi Daerah Dalam Pengembangan UKM Unggulan Di
Kabupaten Semarang, JEJAK, 3( )
Richard, LD, 2010, Era Baru Manajemen,Edward Tanujaya, Edisi 9, Jakarta:
Salemba Empat
Saaty, TL, ,The Analytic Hierarchy Process, New York: Mc-Graw Hill
Sijabat, S, 2011, Dampak Penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
Tentang UMKM Terhadap Pengembangan Kewirausahaan Bagi UMKM,
INFOKOP19
Sukaryono, I, 2009, Integrasi Pertimbangan Lingkungan dalam Penataan Ruang,
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup
Tarigan, 2005, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Jakarta: Bumi Aksara
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Wibowo, Y, Maarif, MS, Fauzi, AM, dan Adrianto, L, 2011, Diagnosisi Kelayakan
Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut yang Berkelanjutan,
AGROINTEK 5 (1)
Zuhal, 2010, Knowledge and Information Platform Kekuatan Daya Saing, Jakarta:
Gramedia