Upload
nguyenphuc
View
242
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG
SOSIAL DAN AGAMA TAHUN 1945-1982
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh:
Putri Inggita
NIM: 1113022000009
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
LEMBARAN PERNYATAAN
Denganl■ l saya lnenyatakan bahwa:
1.
2.
うD
Skripsi ini mempakan has■ karya asli dari saya sendiri yang dttukan und
memenuhi sdah satu persyaratan ddaln mcmperolch gelar sttana ddan
jettang strata satu(Sl)di Fakuhtt Adab dan H― aniora lJIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Slmiber yang saya gunakall dalЯ m penulisall ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN SyanfHidayamlah Jakarta.
Jika dikemuditt hari terbukti bahwa karya ini b■ an has■ karya asli saya atau
merupakan hasijiplakan dari karya orallg lam,maka saya bersedia menerim
sanksi yang berlaku di UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
PERAN IKHヽVANUL ⅣIUSLIⅣllN SURIAH DALAM BIDANG SOSIALDAN AGAMIA TAHUN 1945-1982
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Adab danHumaniora
Unftrk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
S a{ana Humaniora (S.Hum. )
Oleh
PutH Inggita
NIMl ll13022000009
' Pembimbing,
NIP 19740530 200501 2 006
PROGRAM STUDISEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUⅣIANIORA
UNIVERSITAS ISLAⅣI NEGERI
SYARIF ⅡIDAYATULLAH
JAICARTA
2018Ⅳ1/1439H
LEPIBAR PENGESAHAN
Skripsi bettudlll PERAN IKHWANUL MUSLIⅣIIN SURIAIll DALAⅣ I
BIDANG SOSIAL DAN AGAMA TAHIJN 1945-1982 telah dittikall dalalll
sidang skripsi Fakultas Adab dan I‐ IumaniOra UIN SyarifHidayatllllall Jakarta pada
7 Maret 2018.SkripJ initelah diterima sebagtt salall satu syarat melllperoleh gdar
Sttana HllmaniOra(S.Hllm.)pada program stlldi SttaralldanPeradaban lslam.
」akada 7 Nfaret 2018
Sidang Skripsi
Ketua Merangkap anggota, S ekertari s Merangkap anggota,
H.Nurhasan,M.A.NIPi 19690724 199703 1 001
Pengtti I,
Anggota.
D∴ Awalia Rahma,PIoA.NIPi 19710621 200112 2 001
Dr.Saiflll Umam,ル I.A.
NIP:19671208199303 1002Pembimbing,
Dr.Zaklya Darojat,M.A.NIPi 19740530 200501 2 006
Pengu-ii [,
Sa'diyah, M.Pd
i
ABSTRAK
Peran Ikhwanul Muslimin Suriah dalam Bidang Sosial dan Agama Tahun
1945-1982
Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi beraliran Sunni yang membangun
sistem secara komprehensif dan menyeluruh dari segala sisi seperti spiritual,
pendidikan, moral, sosial, dan politik. Ikhwanul Muslimin Suriah (IMS) didirikan
pada tahun 1945 oleh Mustafa al-Siba‟i. Keberadaanya menjadi sinyal bahwa
nilai-nilai Islam terus digalakkan di tengah-tengah gempuran globalisasi dan
sekulerisasi. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah menjelma menjadi pihak
oposisi bagi pemerintahan Hafez al-Assad tahun 1970. IMS terus menghadang
penguasa Syi‟ah-Alawiyah agar masyarakat Sunni tidak tertindas.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran yang
diberikan organisasi Ikhwanul Muslimin kepada masyarakat Suriah terutama
dalam bidang sosial dan agama serta penyebab ketidakberdayaan masyarakat
mayoritas Sunni terhadap pemerintahan minoritas Alawiyah. Metode yang
digunakan ialah metode penelitian sejarah. Metode yang dilalui yakni, heuristik,
verifikasi, interpretasi, pendekatan sosial dan politik, serta penulisan sejarah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa IMS memainkan peranan dalam kehidupan
sosial dan beragama di masyarakat. Contohnya, pendistribusian petani yang tidak
memiliki lahan, koperasi perserikatan pekerja, mempertahankan konstitusi yang
sesuai dengan agama Islam, dan memberikan modal usaha bagi pekerja di bidang
agama. IMS mendapatkan rintangan yaitu perseteruan internal yang berakibat
kegiatan dan gerakan yang digalakkan tidak maksimal. Akan tetapi organisasi
tersebut mencurahkan peran yang konsisten sejak awal berdiri untuk membantu
masyarakat dalam bidang sosial dan agama. Revolusi yang digemborkan IMS
untuk merevilatisasi pemerintahan Suriah harus kandas karena peristiwa al-
Ahdath yang terjadi pada Februari 1982. Meskipun begitu IMS telah menjadi
organisasi yang programnya ada di setiap sisi kehidupan masyarakat Suriah.
Kata Kunci: Ikhwanul Muslimin Suriah, oposisi, Peran Sosial, dan Peran Agama.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur ke hadirat Ilahi Rabbi di atas segala
nikmat-Nya, taufik, dan hidayat yang tercurah kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Atas ridho-Nya, skripsi yang berjudul “PERAN
IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG SOSIAL DAN AGAMA
TAHUN 1945-1982” dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Rasulullah SAW,
yang senantiasa menjadi contoh teladan kepada umatnya.
Dengan penuh kelemahan yang dimiliki oleh penulis dalam proses
penelitian ini, tidaklah mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan, dukungan,
motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis banyak
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Bapak H. Nurhasan, M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan
menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis.
4. Ibu Sholikatus Sa‟diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah
Peradaban Islam, yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan.
5. Ibu Dr. Zakiya Darojat, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi. Terima
kasih telah meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, saran, dan
arahan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
6. Bapak Dr. H. Abdul Chair, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
Terima kasih telah membantu penulis dalam menentukan tema dan judul
proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan pada tahap
berikutnya.
iii
7. Papah Hasan Kurniawan dan Mamah Yeti Kusniati selaku kedua orang
tua. Terima kasih untuk do‟a yang tidak pernah putus, motivasi, kesabaran,
dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah dicurahkan kepada penulis.
Kepada Aa Tias Harfiansyah yang telah mendukung dan memberikan
bantuan kepada penulis. Teteh Hasti Dibyanti, terima kasih telah
mendukung dan mencurahkan tenaga serta waktunya untuk membantu
penulis selama penelitian ini. Skripsi ini dipersembahkan untuk keluarga
penulis.
8. Sahabat penulis, Dwi Hartanti. Terima kasih karena tidak mengenal waktu
dan tempat terus memberikan bantuan dan motivasi yang tak terkira bagi
penulis.
9. Sahabat perjuangan penulis yakni Karlinda, Fahmi, Lia, Elis, Alfida,
Sania, Yuni, Izmi, Sunnah, Burhan, dan Ilham. Terima kasih telah
menemani penulis pada masa-masa kuliah maupun di luar perkuliahan.
Terima kasih telah menemani perjuangan ini hingga akhir. Tanpa
dukungan, do‟a, dan semangat yang kalian berikan, sangat sulit bagi
penulis untuk sampai pada titik ini.
Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu, mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulis sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan bagi
penulis dan pembaca.
Jakarta, 7 Maret 2018
Putri Inggita
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ........................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iv
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................................... vi
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Permasalahan Penelitian ...................................................................................... 7
1. Identifikasi Masalah ............................................................................... 7
2. Batasan Masalah ..................................................................................... 8
3. Rumusan Masalah .................................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 9
E. Kerangka Teori ..................................................................................................... 12
F. Metode Penelitian....................................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 16
BAB II: SURIAH DALAM LINTASAN SEJARAH ........................................... 17
A. Demografi Suriah ............................................................................................... 17
B. Suriah Masa Islam .............................................................................................. 19
C. Suriah Masa Protektorat Prancis ...................................................................... 21
D. Suriah Pasca-Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Hafez al-Assad ............ 24
BAB III: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORGANISASI
REVIVALISME ISLAM ............................................................................................ 31
A. Sejarah dan Berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir .............................. 31
B. Perkembangan Organisasi Revivalisme di Timur Tengah ............................ 35
1. Yordania ............................................................................................... 36
2. Aljazair ................................................................................................. 37
v
3. Uni Emirat Arab ................................................................................... 39
4. Sudan .................................................................................................... 40
C. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Asia .................................. 42
1. Pakistan ................................................................................................. 42
2. Indonesia ............................................................................................... 43
3. Malaysia ................................................................................................ 45
BAB IV: PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG
SOSIAL DAN AGAMA .............................................................................................. 48
A. Sejarah dan Perkembangan Ikhwanul Muslimin di Suriah ........................... 48
B. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Sosial ............................................ 53
C. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Agama .......................................... 59
D. Respon Masyarakat Suriah terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin ............ 62
E. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah Pasca-Peristiwa al-Ahdath ............. 63
BAB V: PENUTUP ...................................................................................................... 68
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 68
B. Saran ..................................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 71
LAMPIRAN................................................................................................................... 76
vi
DAFTAR ISTILAH
Cuneiform: Atau tulisan Baji adalah tulisan-gambar kuno dengan
simbol-simbol berbentuk kapak yang mulai digunakan
sekitar tahun 3200 sebelum Masehi dan terus dipakai lebih
dari 3000 tahun.
Alawiyah: Sebuah organisasi sektarian yang didirikan pada abad ke-
10, di dalamnya terdapat perpaduan berbagai keyakinan dan
praktik Islam dan non-Islam. Alawiyah mengadopsi
gagasan trinitas ketuhanan dan reinkarnasi. Disebut sebagai
Syi‟ah Alawiyah karena mengambil kepercayaan akan
sistem emansi Tuhan dan mengkultuskan Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi berbeda dari Syi‟ah lainnya, kelompok
Alawiyah percaya bahwa Ali merupakan renkarnasi Tuhan
sendiri dalam sebuas konsep trinitas Tuhan yaitu: Ali adalah
makna atau esensi, Muhammad yang diciptakan Ali sendiri
adalah Ism‟ (nama), dan Salman al-Farisi adalah al-Bab
(gerbang).
FIS: Singkatan dari Front Islamique de Salut. Sebuah organisasi
Islam di Aljazair dan didirikan pada tanggal 10 Maret 1989.
FLN: Singkatan dari Front de Liberation Nationale. Sebuah partai
politik nasionalis di Aljazair yang didirikan tahun 1954.
FSI: Singkatan dari Front Sosialis Islam atau al-Jabha al-
Islamiyyah al-Istikhariyyah. Sebuah divisi khusus yang
dibentuk Ikhwanul Muslimin Suriah untuk menjalankan
program sosial pada tahun 1949.
ICF: Singkatan dari Islamic Charter Front. Sebuah partai politik
yang didirikan tahun 1964 oleh Ikhwanul Muslimin Sudan
sebagai pengganti partai politik the Islamic Front for the
Constitution.
vii
IFC: Singkatan dari The Islamic Front for the Constitution.
Sebuah partai politik yang didirikan tahun 1958 oleh
organisasi Ikhwanul Muslimin Sudan.
IME: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Uni Emirat Arab yang
didirikan pada tahun 1974.
IMM: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Mesir yang didirikan
pada tahun 1928.
IMS: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Suriah yang didirikan
pada tahun 1945.
IMY: Singkatan dari Ikhwanul Muslimin Yordania yang didirikan
pada 19 November 1945.
JI: Singkatan dari Jama‟at al-Islami. Sebuah organiasasi Islam
yang didirikan oleh Abu al-A‟la al-Maududi pada 21
Agustus 1941.
Kristen Maronit: Merujuk pada pengikut Gereja Maronit di Lebanon yang
jumlahnya sekitar 22% dari seluruh penduduk Lebanon.
Nama Maronit berasal dari Santo Maronite yang hidup di
akhir abad ke-4.
NIF: Singkatan dari The National Islamic Front. Sebuah partai
politik yang didirikan tahun 1986 oleh Ikhwanul Muslimin
Sudan.
PAS: Singkatan dai Persatuan Islam Se-Malaysia. Sebuah partai
yang didirkan pada tahun 1951 di Malaysia.
Revivalisme Islam: Kebangkitan kembali Islam dalam fenomena sosial, budaya,
dan politik modern sebagai respons terhadap faktor internal
di dunia Islam yaitu kemunduran dan stagnasi sedangkan
faktor eksternal dari kolonialisme Barat. Para pemikir
Muslim mulai mengusulkan ide tersebut pada akhir abad
ke-19 seperti Muhammad Abduh, Ahmad Khan, dan
Jamaluddin al-Afghani.
viii
Salafiyah: Berasal berasal dari kata salafun yang berarti terdahulu.
Kaum salaf adalah para sahabat nabi, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in,
orang-orang yang hidup pada tiga generasi pertama dan
empat imam mazhab. Kaum Salafiyah mengacu pada
metode berpikir yang mengikuti jejak kaum muslimin
periode awal Islam, dan dinisbahkan kepada orang Islam
yang mengikuti cara berpikir seperti ini.
Tarekat: Artinya jalan, petunjuk, dan cara. Tarekat adalah organisasi
yang dipimpin oleh Syaikh pembimbing, untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui dzikir-dzikir
dan cara-cara lain yang telah ditentukan oleh tarekat
tersebut
UAR: Singkatan dari United Arab Republic. Persatuan negara-
negara Arab yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania dari tahun
1958 sampai 1961.
Neo-Ba‟ath: Istilah baru untuk mencatat orientasi baru dari Partai Ba‟ath
seperti lebih menekankan kepentingan Suriah daripada Pan-
Arabisme, upaya mobilisasi penduduk pedesaan, perubahan
gerakan yang taktis, dan penerapan cita-cita sosialis. Akan
tetapi ada yang mencatat sebagai akibat kalangan Alawiyah
dan Druze yang berkembang dan menguasai Partai Ba‟ath.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi Ikhwanul Muslimin pertama kali didirikan oleh Hasan al-Banna
di Mesir pada tahun 1928.1 Beliau bersama dengan enam rekannya, yaitu Hafiz
„Abd al-Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fu‟ad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah,
Ismail „Izz, dan Zaki al-Maghribi2 ingin mengajak masyarakat Mesir kembali
pada semangat nasionalisme dan Islamisme pada pemerintahan. Negara Mesir
yang berada di bawah kekuasaan Prancis dengan kedatangan Napoleon Bonaparte
tahun 1798 dan menjadi protektorat Inggris dari tahun 1882 sampai 1922,
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap masyarakat Mesir dengan
ketergantungan ekonomi kepada Inggris dan paham sekuler.3 Mesir merdeka dari
Inggris secara resmi tahun 1922 namun pengaruh Inggris terus berlanjut karena
kepentingan politik dan ekonomi (Terusan Suez). Pemerintahan Mesir yang
cenderung sekuler dan pengaruh imperialis Inggris ini melatarbelakangi pendirian
organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir.
Pemerintahan Mesir pasca kemerdekaan lebih didominasi oleh golongan
sekuler dan liberal. Hasan al-Banna pendiri Ikhwanul Muslimin ingin
mengembalikan negara Mesir sebagai negara Islam.4 Berbeda dengan gerakan
Salafiyah5 dan Tarekat
6 yang berorientasi pada dakwah keagamaan saja, maka
1 Barbara H. E. Zollner, The Muslim Brotherhood Hasan al-Hudaybi and Ideology, (New
2 Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al-
Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1978), h. 81. 3 Annete Ranko, The Muslim Brotherhood and its Quest for Hegemony in Egypt State-
Discourse and Islamist Counter-Discourse, (Hamburg: Springer VS, 2015), h. 43. 4 Hasan Isma‟il al-Hudhaibi, Ikhwanul Muslimin Mengajak bukan Menghakimi,
(Bandung: Pustaka, 1984), h. 194. 5 Salafiyah berasal dari kata salafun yang berarti terdahulu. Kaum salaf adalah para
sahabat nabi, tabi‟in, tabi‟ tabi‟in, orang-orang yang hidup pada tiga generasi pertama dan empat
imam mazhab. Kaum Salafiyah mengacu pada metode berpikir yang mengikuti jejak kaum
muslimin periode awal Islam, dan dinisbahkan kepada orang Islam yang mengikuti cara berpikir
seperti ini. Soekma H. Karya, Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1996), h. 119-120. 6 Thariqat atau tarekat artinya jalan, petunjuk, dan cara. Tarekat adalah organisasi yang
dipimpin oleh Syaikh pembimbing, untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui dzikir-
2
organisasi Ikhwanul Muslimin berorientasi bahwa seluruh sisi dan bidang
kehidupan harus kembali kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Organisasi Ikhwanul
Muslimin Mesir membangun sistem yang komprehensif dengan memperhatikan
sisi spiritual, pendidikan, moral, sosial, dan politik.7 Pertumbuhan anggota
Ikhwanul Muslimin sangat pesat. Pada tahun 1936 beranggotakan 800 orang
sedangkan pada tahun 1948 lebih dari 2 juta orang.8 Ikhwanul Muslimin Mesir di
bawah kepemimpinan Hasan al-Banna mempunyai tujuan operasional yaitu anti-
Barat, anti-kolonial, menghilangkan pengaruh Inggris, tradisi, dan nilai-nilai yang
melenceng dari umat muslim.
Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disingkat dengan IM) merupakan gerakan
yang mengakar di Mesir. Akan tetapi pada pertengahan abad ke-20, IM mulai
menyebar ke berbagai negara-negara di Timur Tengah lainnya seperti Suriah,
Yordania, Palestina, Irak, Uni Emirat Arab, Lebanon, Bahrain, Aljazair, Tunisia,
Sudan, dan Somalia. Pengaruhnya juga berkembang di wilayah Asia, Australia,
dan Eropa. Saat ini organisasi tersebut mempunyai cabang di 80 negara.9
Penyebaran organisasi ini melalui para pelajar dari negara-negara tersebut yang
belajar di Mesir dan pulang ke negaranya untuk mendirikan organisasi yang sama
di negara mereka. Salah satunya adalah Suriah, di mana IM didirikan oleh para
pelajar. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah (selanjutnya disingkat dengan
IMS) terbesar kedua setelah Mesir.
Pemikiran dan kesadaran akan kebangkitan Islam mulai muncul kembali
pada tahun 1930-an di kalangan masyarakat Suriah. Masyarakat mulai aktif
membina lingkungan mereka agar politik dan nilai-nilai Islam menjadi pengaruh
yang kuat dalam kehidupan sehari-hari.10
Masyarakat tersebut secara wilayah
dzikir dan cara-cara lain yang telah ditentukan oleh tarekat tersebut. Totok Jumantoro dan Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 239. 7 Yusuf al-Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun; Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah
dan Jihad, penerjemah: Mustolah Maufur dan Abdurrahman Husain, (Pustaka al-Kautsar, 1999),
h. 80. 8 The History of Muslim Brotherhood, ( London: 9 Bedford Row International, 2015), h.
9. 9 Special Report The Muslim Brotherhood, The Clarion Project,
http://www.clarionproject.org/sites/default/files/Muslim-Brotherhood-Special-Report.pdf 10
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, (London: Hurst &
Co., 2013), h. 3.
3
mendirikan yayasan atau asosiasi masing-masing. Penggabungan asosiasi dari
berbagai kota dan peran tokoh pelajar seperti Mustafa al-Siba‟i, inilah yang
menjadi cikal bakal terbentuknya organisasi IMS. Sejak awal berdiri organisasi
tersebut memainkan peranannya di bidang sosial, agama, dan politik untuk
masyarakat.
Organisasi IMS secara resmi didirikan pada tanggal 3 Februari tahun 1945
oleh Mustafa al-Siba‟i, sedangkan negara Suriah sendiri baru menetapkan hari
kemerdekaan mereka pada tanggal 17 April 1946 dari penjajahan Prancis yang
menjajahnya sejak 1922.11
Setelah merdeka, Suriah menjadi negara republik dan
memiliki berbagai macam partai seperti Partai Kurdi, Partai Komunis Arab,
Hizbul Wathan, Partai Ba‟ath, Partai Komunis Suriah-Lebanon, Partai Komunis
Suriah, Gerakan Pembebasan Arab, Partai Sosialis, Partai Reformasi Suriah,
Organisasi Demokratis Suriah, dan Ikhwanul Muslimin. Partai yang banyak dan
beragam juga sebagai refleksi masyarakat Suriah yang terdiri dari Muslim Sunni
sekitar 79%, Druze 3%, Syi‟ah Nushairiyah 8%, sisanya sekitar 10% adalah
minoritas Syiah Jafariyah, Syi‟ah Ismailiyah, Syi‟ah Alawiyah, Syi‟ah Yazidiyah
serta Kristen Ortodoks maupun Protestan, dan Yahudi.12
Banyaknya partai
mengakibatkan pemerintahan yang tidak kokoh sehingga seringkali terjadi kudeta
dan masa jabatan hanya sekitar 2 sampai 5 tahun.13
Pada pemilu pertama kali tahun 1947, IMS menjelma menjadi partai politik
keagamaan satu-satunya yang mengikut pemilu tersebut.14
Kegiatan politik IMS
mengalami pasang surut bergantung pada kebijakan presiden yang duduk di
pemerintahan. Pada tahun 1949, IMS menyatakan bahwa mereka akan
melanjutkan melayani masyarakat Arab dan Islam untuk meningkatkan iman,
budaya, kesehatan, dan keadilan sosial. Lebih lanjut IMS membentuk Front
11
Hafidz Abdurrahman, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, (Bogor: Al-
Azhar Freshzone, 2013), h. 198. 12
Abu Fatiah Al-Adnani, Journey to Damascus, (Surakarta: Granada Mediatama, 2014),
h. 30. 13
Urutan Pemimpin atau Presiden Suriah bisa dilihat dalam lampiran. 14
Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood and the „Struggle For Syria‟, 1947-1958
Between Accomodation and Ideology,” Middle Eastern Studies, Vol. 40, no. 3, (May 2004), h.
137.
4
Sosialis Islam15
dan program yang menekankan masalah korupsi,
memperjuangkan kesetaraan sosial, hak-hak pekerja, pembatasan kepemilikan
tanah dan pajak, menanamkan kepercayaan kepada Tuhan beserta sedekah, dan
zakat. Pada periode 1950-1960 IMS menjadi organisasi pro-pemerintah. IMS
menjadi organisasi terbesar di masyarakat Suriah yang beraliran Sunni. Pengikut
organisasi IMS tidak hanya golongan mahasiswa tetapi pedagang, ulama, pegawai
kantoran, ibu rumah tangga, dan lain-lainya.
Program-program sosial IMS ditujukan kepada semua kalangan baik
anggota maupun masyarakat umum seperti koperasi khusus pedagang, koperasi
petani, koperasi serikat pekerja, pendidikan gratis bagi buta huruf, perawatan
medis gratis, pendistribusian petani di lahan-lahan pemerintahan, dan swasta. IMS
juga menjadi benteng yang tangguh untuk melawan masuknya ide-ide sekuler,
liberal, dan plularisme di tengah-tengah masyarakat. Menjalankan program
keagamaanya IMS memiliki visi yang jelas yaitu menjaga undang-undang tetap
berdasarkan Islam dan pemimpin negara Suriah seorang Muslim-Sunni. Media
yang berpengaruh dan menjadi senjata ampuh IMS ialah surat kabar yang
diterbitkan sendiri dari tahun 1945 yaitu al-Manar.16
Organisasi IMS mulai terpecah tahun 1964 menjadi dua bagian yaitu sayap
Damaskus yang lebih moderat dan sayap Aleppo yang lebih radikal. Anggota
Damaskus menolak pergantian pemimpin IMS yaitu I‟sam al-Attar yang dilarang
masuk kembali ke Suriah dan mereka memilih untuk menjalankan program yang
sudah ada. Sedangakan anggota Aleppo ingin pemimpin baru dan program yang
lebih militan untuk melawan pemerintah Ba‟ath. Sebenarnya tidak ada perbedaan
yang mencolok dari kedua sayap tersebut, hanya pergesekan tentang program dan
aktivitas organisasi yang cenderung tidak maksimal karena adanya kekosongan
pemimpin IMS pada tahun 1964 hingga 1972. Walaupun secara politik, IMS tidak
matang karena adanya krisis pemimpin. Menurut Alison Pargeter dalam bukunya
yang berjudul The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, perpecahan
15
Front Sosialis Islam atau al-Jabha al-Islamiyah al-Istirakiyyah merupakan divisi
khusus yang dibentuk IMS untuk menunjukkan visi dan misinya serta menjalankan program-
program yang berkaitan dengan sosialisme. 16
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 29.
5
yang ditimbulkan oleh kedua sayap IMS tersebut tidak pernah ditemukan secara
jelas dan persaingan yang ditimbulkan tidak membuat organisasi IMS berhenti.17
Akan tetapi perbedaan pendekatan antara radikal dan moderat dalam anggota
internal IMS memperlambat program yang akan mereka jalani dibandingkan
dengan organisasi Ikhwanul Muslimin di berbagai negara seperti Tunisia, Libya
dan Mesir. Organisasi IMM lebih bekerja cepat dengan membangun popularitas
mereka dan kepercayaan masyarakat.18
Selama tiga dekade negara Suriah mengalami pasang surut kudeta terhadap
pemerintahan, sampai pada tahun 1971 dimulainya rezim Hafez al-Assad dan
perubahan catur perpolitikan dengan kaum minoritas (Partai Ba‟ath-Syi‟ah
Alawiyah) sebagai penguasa maka Organisasi IMS menjelma sebagai organisasi
oposisi yang melawan pemerintahan.19
Keadaan politik Suriah kembali berkutat
dengan pertentangan antara ideologi Syi‟ah Alawiyah20
(pemerintahan) dan
ideologi Sunnah wal Jama‟ah (mayoritas penduduk Suriah).21
Pada tahun 1970 di bawah pemimpin Abdul Fatah Abu Ghuddah IMS
menyatakan akan fokus pada program dakwah dan sosial.22
Keputusan tersebut
diambil karena bersebrangan dengan pemerintahan Hafiz al-Assad yang semakin
keras dan revolusi partai Neo-Ba‟ath.23
Menurut Mohammad Abu Rumman
17
Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, (Beirut: Saqi
Books, 2010), h. 61. 18
Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, h. 28. 19
Mohammad Saied Rassas, “Syria‟s Muslim Brotherhood: Past and Present,” diakses
pada tanggal 13 Juni 2015 pukul 20.39 WIB, dari http://www.al-
monitor.com/pulse/politics/2014/01/syria-muslim-brotherhood-past-present.html, 20
Alawiyah didirkan pada abad ke-10 merupakan sebuah sektarian yang di dalamnya
perpaduan berbagai keyakinan dan praktik Islam dan non-Islam. Alawiyah mengadopsi gagasan
trinitas ketuhanan dan reinkarnasi. Disebut sebagai Syi‟ah Alawiyah karena mengambil
kepercayaan akan sistem emansi tuhan dan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi
berbeda dari Syi‟ah lainnya, orang Alawiyah percaya bahwa Ali merupakan inkarnasi Tuhan
sendiri dalam sebuas konsep trinitas Tuhan yaitu: Ali ialah makna atau esensi, Muhammad yang
diciptakan Ali sendiri adalah Ism‟ (nama), dan Salman al-Farisi adalah al-Bab (gerbang). Mahmud
A. Faksh, “The Alawi Community of Syria: A New Dominant Poltical Force,” Middle Eastern
Studies, Vol. 20, No. 2, (April 1984), h. 134-135. 21
Hanna Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, no. 9, (November
1982), h. 12. 22
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 97. 23
Neo-Ba‟ath merupakan istilah baru untuk mencatat orientasi baru dari partai Ba‟ath
seperti lebih menekankan kepentingan Suriah daripada Pan-Arabisme, upaya mobilisasi penduduk
pedesaan, perubahan gerakan yang taktis, dan penerapan cita-cita sosialis. Akan tetapi ada yang
mencatat sebagai akibat kalangan Alawiyah dan Druze yang berkembang dan menguasai partai
6
bahwa dari semua gerakan-gerakan Islam di Suriah, IMS merupakan yang tertua
dan mempunyai peran signifikan dalam sejarah politik di sana.24
Organisasi ini
menjadi gerakan oposisi utama dalam pemerintahan Hafez al-Assad. IMS menjadi
role model penting di tengah masyarakat yang dibatasi oleh pemerintah yang
cenderung sekuler.
Pada bulan Juni 1979 aktivitas IMS meningkat dengan mulai menyerang
akademi militer di kota Aleppo dan menyebabkan 23 perwira meninggal dunia.
Sampai awal tahun 1980, IMS berhasil mengambil kontrol kota-kota besar. Untuk
mencegah revolusi yang digalangkan oleh IMS, pemerintahan Hafez
memberlakukan Undang-undang no. 49 pada bulan Juli 1980. UU yang berisi
bahwa menjadi anggota IMS merupakan suatu pengkhianatan dan pelanggaran
hukum dengan hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Akan tetapi jika anggota
IMS menyerahkan diri maka hukuman bisa diringankan sampai 5 tahun penjara.
IMS wilayah Aleppo pada masa ini kehilangan 600 anggotanya.25
Menurut
laporan pemerintah sekitar 1.052 anggota IMS menyerahkan diri.26
Setelah
pemberlakuan UU pelarangan, cabang IMS di Damaskus membubarkan diri
dalam gerakan oposisi tetapi berfokus kepada dakwah, sosial, dan pendidikan.
Sedangkan cabang Aleppo tetap meneruskan perjuangannya menentang
pemerintahan.27
Pemerintahan melarang dakwah secara massif dan semua organisasi agama
harus mendaftar ke Pemerintahan Hafez al-Assad, kemudian pertemuan kelompok
agama maupun antar agama dilarang kecuali peribadatan. Pemerintahan yang
didukung oleh militer tersebut membuat IMS menjadi gerakan bawah tanah dan
menghindari urusan politik. Peranan IMS terhadap masyarakat sebagai wadah
aspirasi dan otoritas keagamaan yang lebih diakui dari pada hukum dan hakim
Ba‟ath. Steven Isaac, “The Ba‟ath of Syria and Iraq,” Longwood University, artikel diakses pada
tanggal 8 Februari 2018 pukul 10. 52 WIB, dari
http://www.longwood.edu/staff/isaacsw/Ba'th%20Excerpt.pdf 24
Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, (Jordan:
Friedrich-Ebert-Stiftung, 2013), h. 8. 25
Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of
Secularism in Ba‟athist Syria, ( UK: Routledge, 2011), h. 75. s 26
Liad Porat, The Syrian Muslim Brotherhood and the Asad Regime, Crown Center For
Middle East Studies, No. 47, (Desember 2010), h. 3. 27
Mohammad Abbu Rumman, Islamist, Religion and the Revolution in Syria, h. 19.
7
negara. Akan tetapi IMS mendapatkan hadangan dan pukulan mundur dari
pemerintahan Hafez al-Assad dengan pengeboman kota Hama yang menjadi
markas perlawanan pada bulan Februari 1982. Peristiwa tersebut dikenal sebagai
„al-Ahdath‟ yang menjadi memori luka kolektif bagi seluruh masyarakat Suriah
dan membawa IMS menjadi organisasi bawah tanah yang memerlukan beberapa
tahun untuk bangkit kembali. Beberapa pemimpin dan anggota IMS yang selamat
dari pengeboman banyak yang memilih untuk berlindung dan mencari suaka ke
luar negeri.
Penelitian tentang IMS yang menekankan pada peranannya di bidang sosial
dan agama secara komprehensif sangat kurang karena mayoritas penulisan
cenderung membahas kiprah IMS dalam dunia politik atau sejarahnya saja.
Penelitian ini ingin memaparkan bahwa organisasi tersebut berkeinginan untuk
membangun masyarakat Suriah yang mayoritasnya Muslim Sunni untuk bangkit
secara mental dan spiritual serta menitikberatkan kontribusi IMS.
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, setidaknya
terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, di antaranya adalah:
a. Masuknya dan berkembangnya ideologi IMM dan pembaharuan Islam di
beberapa negara termasuk Suriah.
b. Kemunculan IMS dan peranannya dalam bidang sosial dan agama
c. Kebijakan pemerintahan Hafez al-Assad tahun 1970.
d. Perubahan setting politik Suriah yang menjadikan IMS dan masyarakat
Sunni sebagai oposisi pemerintahan.
e. Peristiwa al-Ahdath pada tahun 1982, yang menghancurkan organisasi IMS
dan kekalahan telak bagi masyarakat pendukung oposisi.
8
2. Batasan Masalah
Dari sejumlah identifikasi masalah di atas agar penelitian ini tidak terlalu
luas, maka penulis akan memberi batasan pada permasalahan yaitu setting politik-
sosial Suriah yang terus tidak stabil sehingga organisasi IMS menjadi oposisi
yang dicekal dan dilarang oleh pemerintahan Hafez al-Assad. Tetapi peranan IMS
sejak didirikan pada tahun 1945 sampai 1982 pada bidang sosial dan agama
sangat dibutuhkan dan kehadirannya sebagai wadah pemersatu masyarakat Sunni.
Penelitian akan berfokus program-program IMS yang dihadirkan pada bidang
sosial dan agama.
3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini lebih memfokuskan
tentang peranan IMS pada bidang sosial dan agama terhadap masyarakat pada
masa pemerintahan Hafez al-Assad, yang merupakan golongan minoritas yaitu
Syi‟ah-Alawiyah. Maka perumusan masalah dari penelitian ini yaitu:
1) Bagaimana latar belakang terbentuknya Ikhwanul Muslimin sampai menjadi
organisasi sosial keagamaan di Suriah?
2) Apa peran IMS di bidang sosial dan keagamaan?
3) Bagaimana nasib pengikut IMS setelah peristiwa al-Ahdath?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih tentang peranan
Ikhwanul Muslimin Suriah dalam bidang agama dan sosial di masyarakat sejak
berdiri tahun 1945 hingga 1982, mengetahui kondisi sosial-politik Suriah masa
Hafez al-Assad terhadap organisasi Sunni ini dan mengetahui transformasi
organisasi Ikhwanul Muslimin.
Manfaat dari penelitian ini adalah menambah wawasan kesejarahan yang
berkaitan tentang peranan organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah masa
pemerintahan minoritas Syi‟ah yaitu Hafez al-Assad dan memberikan sumbangan
hasil penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Adab dan Humaniora,
9
serta jurusan Sejarah Peradaban Islam. Menambah wawasan bagi pengetahuan
Sejarah tentang Timur Tengah khususnya Suriah.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum memulai penelitian, penulis melakukan tinjauan pustaka terlebih
dahulu. Berikut beberapa karya dalam bentuk buku, artikel, majalah, dan video
yang berkaitan dengan judul yang diteliti. Literatur pertama merupakan Dokumen
dari Defense Intelligence Agency dengan berjudul Syria: Muslim Brotherhood
Pressure Intensifies28
, yang dikeluarkan pada bulan Mei 1982 ini berisi tentang
sejarah IMS, pemimpin-pemimpinnya, taktik-taktik untuk menjatuhkan Rezim
Assad sampai peta rute IMS ke Hama. Pada dokumen ini menjelaskan bahwa
Organisasi IMS yang menjadi pihak oposisi untuk menggulingkan Hafez pada
periode 1970-1982 tidak berhasil karena masyarakat terpecah antara pendukung
Alawiyah, pemberontak Hama, dan pengikut Ikhwanul Muslimin.
Selanjutnya pidato Hafez al-Assad pada 7 Maret 198229
setelah peristiwa
pengeboman kota Hama pada 25 Februari 1982. Ia menyalahkan terjadinya
peristiwa tersebut karena aktivitas IMS yang berkedok dalam topeng Islam untuk
membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua atas nama Islam, menodai
masjid-masjid, dan mengubah tempat-tempat suci tersebut menjadi gudang
senjata. Ia mengatakan bahwa IMS menjadi sekutu Amerika Serikat dan
menerima bantuan dana dari luar negeri hanya untuk mengkhianati bangsa Suriah
sendiri.
Artikel selanjutnya yang berjudul The Muslim Brotherhood and the
„Struggle for Syria‟ 1947-1958 Between Accomodation and Ideology karya Joshua
Teitelbaum.30
Di dalam artikel tersebut mencoba menjelaskan sejarah Ikhwan di
28
Defense Intelligence Agency, Syria Muslim Brotherhood Pressure Intensifies, May,
1982. Dokumen diakses pada 22 Februari 2017 pukul 01.45 WIB, dari
https://syria360.files.wordpress.com/2013/11/dia-syria-muslimbrotherhoodpressureintensifies-
2.pdf 29
Pidato Hafez al-Assad tentang "Muslim Brotherhood", 1982,” video diakses pada
tanggal 22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB, dari
https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs 30
Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social
Origins, and Ideology,” Middle East Journal, Vol. 65, No. 2, pp. 213-233, (2011).
10
Suriah yang berkembang berbeda dengan rekannya di Mesir, karena tidak lagi
menjadi organisasi politik-hukum. IMS tetap ada dan beraktivitas mengikuti jejak
pendirinya yaitu Mustafa al-Siba‟i. Penelitian ini menggambarkan pada tahun
1960-an, menjadi awal aktivitas IMS melakukan perlawanan terhadap sikap
pemerintahan yang anti-Islam. IMS pada mulanya terikat dalam politik parlemen,
mengirimkan partisipan dalam pemilu sampai memegang kursi di parlemen dan
jabatan menteri. Masyarakat Suriah yang juga terdapat kaum Kristen mulai
khawatir bahwa organisasi ini akan fanatik kekerasan yang akan mempengaruhi
isu-isu politik Suriah seperti di negara Arab, Yordania, Mesir, dan Irak yang
berhubungan negara-negara Barat. Joshua mencoba menjelaskan dengan runtut
bagaimana strategi dan aktivitas IMS. Bisa dikatakan bahwa pada rentang tahun
inilah organisasi tersebut berada di puncak kancah politik Suriah karena setelah
itu rezim Ba‟ath pada 1970-an mulai melarang segala aktivitas IMS. Tema
perjuangan IMS 1947 sampai 1958 dengan perubahan-perubahan ideologi
maupun bentuk dari organisasi itu sendiri.
Artikel selanjutnya berjudul Syria‟s Muslim Brethren karya Hana Batatu,
yang di dalamnya mengulas tentang signifikansi IMS secara sosial, bagaimana
kaitanya dengan struktur sosial Suriah, dan apakah mereka hanya sebuah
fenomena ekspresi yang kebetulan atau organisasi yang mempunyai kekuatan
struktural dasar?.31
IMS diinterpretasi secara ekploratif dengan beberapa
gambaran program dan kegiatan yang jelas dan tajam. Hana Batatu memberikan
gambaran IMS secara saksama pada program-program sosialnya yang menjadi
nilai penting bukan dengan sejarah gerakan IMS yang menyeluruh dan halus.
Literatur selanjutnya buku yang berjudul Ashes of Hama The Muslim
Brotherhood in Syria karya Raphaël Lefèvre.32
Di dalam buku yang terdiri dari 4
bab ini merinci secara komprehensif setiap peristiwa dan kejadian yang terjadi
pada IMS. Buku ini menyediakan evolusi ideologi IMS, konflik politik internal,
dan propaganda IMS terhadap Rezim Ba‟ath. Program dan kontribusi IMS juga
31
Hanna Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, No. 9, (November
1982). 32
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, (London: Hurst &
Co., 2013).
11
banyak dibahas akan tetapi tidak fokus dijabarkan dalam satu bab melainkan
menyebar sesuai dengan kronologis sejarah. Karya Raphaël Lefèvre ini sangat
membantu karena ia juga menyajikan struktur sosial dan politik Suriah untuk
membantu merangkai faktor-faktor dari setiap peristiwa dan program IMS.
Artikel The Muslim Brotherhood Prepares for Comeback in Syria karya
Raphaël Lefèvre,33
yang di dalamnya menjelaskan IMS sebagai kelompok oposisi
Suriah yang strategi politiknya bertumpu pada membangun aliansi dengan
kekuatan ideologi agama dan jaringan aktivis untuk penggalangan dana yang kuat
dari dalam negeri maupun luar. IMS didominasi oleh kalangan tua. Akan tetapi
terdapat kalangan muda yang mempunyai potensi lebih dinamis, inovatif, dan siap
melakukan rekonstruksi organisasi IMS bila diperlukan. Penguasa negara yang
dipegang oleh kaum Syi‟ah-Alawiyah sangat waspada akan kebangkitan IMS.
Tantangan bagi organisasi ini menurut Raphaël adalah rekonstruksi struktur
organisasi, basis sosial, dan kebutuhan untuk merangkul serta mendapatkan
kepercayaan kembali dari masyarakat Suriah. Organisasi ini harus benar-benar
siap dan mau untuk merangkul sentrisme ideologi dan karakteristik politik. Pada
akhirnya, ia mengajukan pertanyaan, “ketika rezim Assad turun dan melaksanakan
pemilu, apakah Ikhwanul Muslimin siap untuk memerintah Suriah?.”
Buku The Islamic Struggle in Syria karya Umar F. Abdullah.34
Literatur
tersebut menguraikan Mustafa as-Siba'i, sebagai orang pertama yang meletakkan
dasar-dasar sosial dan politik dari IMS. Penggantinya, I'sam al-Attar, dipandang
“sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam politik Suriah” sehingga
diasingkan pada tahun 1963 oleh Ba‟ath. Krisis kepemimpinan yang
dikembangkan pada tahun 1969 dan 1970 atas penolakan Al-Attar untuk
mendukung ide konfrontasi kekerasan dengan rezim Partai Ba‟ath. Buku ini
mengulas perkembangan IMS dari didirikan sampai tahun 1983, dimana peristiwa
penekanan terhadap organisasi IMS masih berlangsung.
33
Raphaël, Lefèvre, The Muslim Brotherhood Prepares for A Comeback in Syria,
Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace, Mei, 2003. 34
Umar F. Abdullah, The Islamic Struggle in Syria, (Berkeley: Mizan Press, 1983).
12
Buku The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982
Revolution karya Aron Lund,35
di dalamnya menjelaskan tentang pemberontakan
antara rezim Ba‟ath yang merupakan kelompok minoritas tetapi mempunyai
kekuatan politik dengan organisasi oposisi IMS. Revolusi terjadi di kota-kota
Suriah dan pemberontakan terus bergolak di kota Hama sehingga pasukan Hafez
al-Assad memadamkan protes dengan pemboman kota Hama. Sekitar 1.300 warga
sipil menjadi korban pembunuhan dan ribuan orang dipenjara. Peristiwa yang
terjadi antara 1979 sampai 1982 ini menjadi memori kolektif bagi masyarakat
Suriah terutama warga kota Hama karena sampai sekarang rezim al-Assad
melarang peristiwa itu menjadi topik pembicaraan dan diskusi publik bagi rakyat
sipil. Peristiwa tersebut dikenal sebagai „al-Ahdath‟. Buku tersebut juga
menggambarkan peran IMS dalam gerakan sosial di masyarakat Suriah, respon
masyarakat terhadap rezim dan peristiwa al-Ahdath, dan secara umum
pemerintahan Hafez al-Assad.
Buku terakhir berjudul The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition,
karya Alison Pargeter.36
Buku yang terdiri dari enam bab ini menganalisis evolusi
organisasi Ikhwanul Muslimin dan menilai misi dan strategi yang digunakannya
untuk mencapai tujuan mereka selama ini. Selain membahas IMM sejak berdiri,
buku tersebut juga mengulas secara menyeluruh dan tuntas tentang IMS dan
cabang-cabang lainnya di berbagai negara. Pembahasan IMS tentang pergeseran
orientasi menjadi kekerasan pada tahun 1980-an, kemudian kembali menjadi
diplomasi. Menurut Alison, IMS merupakan salah satu cabang yang paling
progresif dan kontroversial.
E. Kerangka Teori
Pada penelitian ini akan menerapkan teori sebagai landasan dari
pembahasan Peranan Ikhwanul Muslimin Suriah dalam bidang agama dan sosial
sejak berdiri tahun 1945 hingga 1982. Teori gerakan sosial dianggap relevan
35
Aron Lund, The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982
Revolution, (Stockholm: Swedish International Liberal Centre, 2011). 36
Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, (Beirut: Saqi
Books, 2010).
13
dengan realitas dan data yang ditemukan peneliti karena Organisasi Ikhwanul
Muslimin dapat dikategorikan gerakan sosial dengan paham aliran revivalis Islam,
solidaritas yang kuat, program-program yang menyeluruh di berbagai bidang, dan
bersama melawan Rezim Ba‟ath. Menurut teori Charles Tilly bahwa Gerakan
sosial menggabungkan tiga macam klaim, yaitu: program, identitas, dan
kedudukan. Klaim program melibatkan dukungan atau penolakan terhadap
tindakan aktual atau yang diajukan oleh objek gerakan. Klaim identitas terdiri dari
pernyataan bahwa gerakan penuntut mempunyai kekuatan terpadu yang harus
diperhitungkan. Klaim kedudukan seperti persamaan kekuatan dengan lawan
politiknya.37
Dalam penelitian ini Ikhwanul Muslimin Suriah dapat dianalisis dan
diuraikan sebagai gerakan sosial yang memiliki dan menggabungkan 3 macam
klaim tersebut.
IMS bukanlah organisasi sosial-keagamaan semata tetapi juga berkiprah
dalam politik Suriah, sehingga bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial-politik.
Menurut Tilly dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial, bahwa gerakan sosial
politik adalah upaya mengubah stratifikasi politik, ekonomi, dan kelas. Gerakan
ini senantiasa menentang penguasa negara atas nama rakyat yang mempunyai
kekuasaan formal sangat kecil.38
Sebuah gerakan sosial yang tercipta antara
sekelompok masyarakat yang mempunyai ideologi yang sama dan tujuan yang
sama, serta mempunyai lawan dari kelompok yang lebih kecil tetapi memegang
kekuasaan besar. Teori ini bisa diterapkan karena pada dasarnya organisasi
Ikhwanul Muslimin Suriah adalah sebuah gerakan sosial yang tercipta antara
kelompok masyarakat yang mempunyai ideologi dan tujuan yang sama serta
mempunyai lawan dari kelompok yang lebih kecil tetapi memegang kekuasaan
lebih besar.
Menurut Quintan Wiktorowicz dalam bukunya Islamic Activism: A Social
Movement Theory Approach, teori pergerakan sosial sebagai kerangka dan agenda
yang menyatu dapat menyediakan cara penyelidikan yang efektif untuk
37
Charles Tilly, Social Movements, 1768-2004, (London: Paradigm Publishers, 2007), h.
12. 38
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.
333.
14
memperluas batas-batas penelitian tentang aktivisme Islam. Aktivisme Islam itu
sendiri merujuk pada gerakan sosial Islam dan dapat diartikan sebagai mobilisasi
perseteruan untuk mendukung kepentingan dan tujuan kaum Muslim.39
Kebangkitan aktivisme Islam karena adanya ketegangan politik di bawah
pemerintahan otoriter sehingga massa tidak memiliki akses politik formal untuk
mengurangi dampak buruk dari proyek modernisasi dan kemerosotan kualitas
hidup. Karena gerakan politik dilarang di bawah rezim otoriter seperti yang terjadi
antara Rezim Ba‟ath yang melarang organisasi IMS, sehingga aktivisme Islam
menjadi kendaraan dan wadah alami untuk ketidakpuasan publik. Organisasi IMS
mulai memperbaiki kebijakan yang salah dengan menggunakan agama.40
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan tahap-tahap sebagai
berikut: heuristik, kritik sumber, interpretasi, pendekatan sosiologis dan politik,
kemudian penulisan sejarah.
a. Heuristik atau pengumpulan sumber mayoritas melalui website seperti
Jstor, Proquest, dan booksc.org yang banyak memuat data e-books, artikel,
jurnal, dan berita yang dapat membantu sebagai sumber penulisan dalam
penelitian ini. Beberapa buku tentang Suriah didapatkan dari perpustakaan
utama dan perpustakaan pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Kritik Sumber. Pada penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu sumber
primer dan sumber sekunder tertulis. Sumber primer diunduh via internet
yang sudah dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris. Sebagian besar artikel
yang menjadi sumber adalah dari jurnal yang terpercaya maka sedikit
perbedaan fakta yang terjadi antara berbagai sumber. Kritik Intern dilakukan
terhadap semua sumber dengan dibandingkan satu sama lain. Kesalahan
penulisan tahun dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada saat itu,
39
Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005);
kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, Disertasi, (Jakarta: UIN Syarif
HIdayatullah, 2014), h. 104. 40
Quintan Wiktorowicz, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach, (Indiana:
Indiana University Press, 2004), h. 4-10.
15
penulis temukan dari salah satu artikel. Beberapa sumber juga memuat data
angka yang berbeda sehingga penulis harus menganalisis data tersebut.
c. Interpretasi atau melakukan tafsiran terhadap sumber-sumber yang sudah
dibaca sebelumnya dengan objektif tanpa ada kecenderungan memihak atau
mengarahkan sisi subjek sejarah yang sedang diteliti.
d. Pendekatan sosiologi dan politik. Konstruksi sejarah dengan pendekatan
sosiologis dapat dikatakan sebagai sejarah sosial, karena pembahasannya
mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik
berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan, dan status sosial. Secara
metodologi penggunaan sosiologi dalam kajian sejarah bertujuan memahami
arti subjektif dari perilaku sosial, menemukan motif-motif dari suatu
tindakan atau faktor-faktor dari suatu peristiwa, dan upaya pemahaman
kausalitas antara pergerakan sosial dan perubahan sosial. Model pendekatan
Sosiologi yang akan dipakai untuk penelitian ini ialah model sistematis yang
dipergunakan untuk menelusuri sejarah masyarakat dalam konteks
perubahan sosial. Pada penulisan sejarah dibutuhkan penjelasan dan
penelaahan sejarah yang berdasarkan pada analisis political-scientific.
Pendekatan politik akan membantu menjelaskan bagaimana sistem itu
berfungsi, serta perkembangan hukum dan kebijakan-kebijakan sosial yang
meliputi: partai-partai politik, kelompok-kelompok kepentingan,
komunikasi, pendapat umum, birokrasi, dan administrasi.41
Pada penelitian
ini pendekatan politik akan sangat membantu bagaimana politik Suriah yang
didominasi oleh partai Ba‟ath membuat kebijakan dan peraturan yang tidak
menguntungkan bagi Ikhwanul Muslimin.
e. Penulisan Sejarah merupakan proses penyusunan hasil penelitian ke dalam
bentuk tulisan dengan gaya bahasa komunikatif dan menarik. Setelah
langkah-langkah di atas selesai, maka penulis mulai menyusun penelitian ini
dengan judul “Peran Ikhwanul Muslimin Suriah dalam Bidang Sosial dan
Agama Tahun 1945-1982.”
41
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
11-18.
16
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian awal, bagian tengah dan
bagian akhir. Secara sistematis bagian-bagian tersebut akan dibagi menjadi 5 bab
yang di dalamnya akan terdiri dari beberapa subbab untuk membantu merangkai
dan menganalisis permasalahan penelitian ini. Berikut pembagian bab dan
subbab dalam skripsi ini:
Bab I, Pendahuluan. Bagian ini memuat Latar belakang, Identifikasi
Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan manfaat penelitian,
Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, dan Sistematika Penelitian.
Bab II, Suriah dalam Lintasan Sejarah. Bab ini mencakup Demografi
Suriah, Suriah masa Islam, Suriah masa Protektorat Perancis, dan Suriah pasca-
kemerdekaan hingga masa Hafez al-Assad.
Bab III, Sejarah dan Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam. Bab ini
akan membahas Sejarah berdiri dan berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir,
serta munculnya organisasi berideologi revivalisme Islam di beberapa negara
seperti Yordania, Aljazair, Uni Emirat Arab, Sudan, Pakistan, Indonesia, dan
Malaysia.
Bab IV, Kancah Ikhwanul Muslimin Suriah. Bab ini membahas Sejarah dan
Perkembangan Ikhwanul Muslimin Suriah, menjabarkan Peran IMS dalam bidang
keagamaan dan sosial, respons masyarakat Suriah terhadap IMS, dan Organisasi
Ikhwanul Muslimin Suriah pasca-peristiwa al-Ahdath.
Bab V, Penutup. Bab ini akan berisi kesimpulan dari analisis yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran dan rekomendasi untuk
penelitian lanjutan.
17
BAB II
SURIAH DALAM LINTASAN SEJARAH
A. Demografi Suriah
Republik Arab Suriah merupakan negara yang terletak di pesisir Laut
Tengah di Asia Barat, berbatasan dengan Turki di sebelah Utara, Irak di sebelah
Timur, Laut Tengah di sebelah Barat dan Yordania di sebelah Selatan. Negara
Suriah luasnya sekitar 185.180 kilometer persegi.42
Ia telah menjadi jembatan
strategis untuk peradaban antara Eropa, Asia, dan Afrika.
Negara ini mempunyai iklim Mediterania yaitu musim dingin yang tetap
kering dan musim panas pada bulan Juli menyentuh 30 derajat celcius. Wilayah
tengah dan utara adalah padang rumput dengan curah hujan 150 sampai 500 mm
per tahun.43
Suriah merupakan negara yang dialiri oleh tiga sungai besar yaitu
sungai Eufrat, Orontes, dan Tigris. Tetapi negara Suriah merupakan negara yang
mengalami kekurangan air secara serius.44
Karena Suriah terlibat hidropolitik
sungai. Sungai Tigris mempunyai makna yang relatif besar karena menjadi garis
batas timur Suriah, sungai Orontes mengalir dari Suriah ke Turki dan Tigris berada
di bawah penguasaan negara Turki.
Sektor pertanian lebih dominan karena sepertiga daratan dipakai menjadi
lahan pertanian. Produksi terigu dan gandum mencapai dua pertiga dari seluruh
produksi. Hasil pertanian lainnya seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tembakau,
kapas, dan zaitun. Sektor industri yang dimiliki seperti minyak, tekstil, makanan,
tembakau, dan penambangan fosfat. Sumber kekayaan alami Suriah yaitu minyak
bumi, fosfat, bijih besi, marmer, aspal, dan tenaga air.
Pada tahun 1946 hanya ada
42
Raymond Hinnenbusch, The Middle East: Edition 13, (Washington DC: Sage
Publications, 2014), h. 765. 43
A. Rapp, “Syria: Can Desert Encroachment Be Stopped?,” Ecological Bulletins, No. 24,
(1976), h. 121.
44 Ewan W. Anderson dan Liam D. Anderson, An Atlas of Middle Eastern Affairs, (New
York: Routledge, 2010), h. 152.
18
2,8 juta orang yang menempati Suriah. Pada tahun 1985 diperkirakan
mencapai 10,3 juta orang.45
Pada tahun 1975, setengah dari populasi Suriah
berumur di bawah 15 tahun yang artinya signifikansi politik berada di aktivisme
kaum muda.46
Negara Suriah menjadi negara dengan pertumbuhan yang sangat
cepat berdasarkan pada data tersebut. Masyarakat Suriah melakukan urbanisasi
besar-besaran. Pada tahun 1960, 37% dari seluruh masyarakat Suriah tinggal di
kota-kota.
Komposisi penduduk Suriah adalah Arab yang menjadi mayoritas dengan
90,3%, sedangkan Kurdi, Armenia, dan yang lainya hanya 9,7%. Agama yang
dianut oleh penduduk Suriah ialah Muslim Sunni 74%, Alawi, Druze dan sekterian
Muslim lainnya 16%, Kristen 10%, komunitas kecil Yahudi berada di Aleppo,
Damaskus, dan al-Qamishili.
Masyarakat Suriah yang beragam membuat bahasa yang digunakan oleh
masyarakatnya juga beragam seperti Bahasa Arab, Kurdi, Armenia, Aramik,
Circassian, Perancis, dan Inggris. Bentuk pemerintahan Suriah sejak merdeka dari
Prancis adalah Republik. Akan tetapi pada kenyataannya dari tahun 1960-an,
pemerintahan Suriah di dominasi oleh satu partai yaitu Ba‟ath.
Pendapatan negara Suriah 64.7 miliar per dollar dan 5,100 dolar per kapita
pada tahun 2011. Pendapatan terbesar negara Suriah pada sektor minyak dan
pertanian. Lahan yang dipakai untuk pertanian sekitar 29-27% sedangkan untuk
irigasi sebesar 13,330 km persegi. Pertumbuhan masyarakat Suriah berada di
urutan 108 dari seluruh negara-negara.
Negara Suriah terdiri dari beberapa kota yaitu, Damaskus, Bushra, Palmyra,
Aleppo, Hamah, Himsh, Latakia, Raqqa, Deir ez-Zawr, Tartus, dan Suweida. Kota
Damaskus merupakan kota yang paling banyak memiliki 125 monumen dari
berbagai masa sepanjang sejarah kota tersebut. Kota Damaskus ditetapkan sebagai
Situs Peradaban Dunia oleh UNESCO pada tahun 1979.47
Peradaban wilayah
45
Trevor Mostyn dan Albert Hourani, The Cambridge Encyclopedia of The Middle East
and North Africa, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 422. 46
Umar F. Abdullah, The Islamic Struggle in Syria, h. 47
Agus Santosa, World Heritage Nature and Culture Under The Protection of UNESCO,
vol II : North Africa and Middle East, Batara Publishing, Surakarta, 2009, h. 208.
19
Suriah di mulai sejak tahun 5000 sebelum masehi dan orang-orang Arab Semit
yang telah mendiami Suriah. Berdasarkan penemuan bahwa Kerajaan Semit telah
membangun kota Ebla dan Mari secara bertahap.48
Kota-kota tersebut dan
aktivitasnya tercatat pada lembaran-lembaran tulisan Baji.49
Selama abad kedua
sebelum masehi, negara Suriah dikuasai secara bergantian oleh beberapa bangsa
yaitu bangsa Kan‟an, Funisia, Aram, Mesir, Sumeria, Assyria, Babilonia, dan Het.
Pada tahun 333 SM Suriah tunduk kepada Alexander Agung dari Makedonia.
Setelah itu pada tahun 64 SM, Romawi menyerbu Suriah dan terus berkuasa
sampai 635 Masehi.50
Pada abad 7 Masehi Suriah berada dalam kekuasaan Islam,
secara bertahap penduduk mulai masuk agama Islam dan mengadopsi bahasa Arab
sebagai bahasa utama.
B. Suriah Masa Islam
Setelah berbagai bangsa menulis sejarah di Suriah pada abad ke-7, wilayah
ini menjadi saksi peradaban Islam. Islam pertama kali menyentuh Suriah saat
perang Mu‟tah pada bulan Jumadil Ula 8 Hijriyah. Perang Mu‟tah yaitu perang
antara kaum muslimin dengan Byzantium terjadi karena Harits ibn „Umayr seorang
delegasi dari Rasulullah menuju Basrah dibunuh dengan cara kepalanya
dipenggal.51
Kejadian tersebut melanggar aturan politik internasional sehingga
Nabi Muhammad SAW menyiapkan 3.000 prajurit untuk berperang melawan
Romawi. Kaum muslimin yang dipimpin oleh Khalid bin Walid berhasil
memenangkan peperangan tersebut. Setelah perang Mu‟tah wilayah Suriah Selatan
berada di bawah Islam.
Suriah secara utuh menjadi wilayah kekuasaan Islam pada masa Abu Bakar
dan Umar bin Khattab. Pada tahun 633 M pasukan muslim menyerang Suriah
48
Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, (Jakarta:
Tazkia Publishing, 2012), h. 17. 49
Tulisan Baji atau Cuneiform adalah tulisan-gambar kuno dengan simbol-simbol
berbentuk kapak yang mulai digunakan sekitar tahun 3200 sebelum masehi dan terus dipakai lebih
dari 3000 tahun. Stephen D.Houston, The Shape of Script: How and Why Writing System Change,
(School for Advanced Research Press , 2012), h. 3. 50
Abu Fatiah Al-Adnani, Journey to Damascus, (Surakarta: Granada Mediatama, 2014),
h. 30 51
Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak
Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Kini, (Jakarta: Zaman, 2014), penj. Zainal Arifin, h. 78.
20
dengan pertempuran kecil sampai berhasil di tahun 655 M. Kaisar Heraklius dari
Romawi yang mengetahui lepasnya Suriah mengirimkan 40.000 tentara dan
berhasil memukul mundur pasukan Muslim sampai di sungai Yarmuk. Di lembah
Sungai Yarmuk peperangan antara kaum Muslimin dengan panglima Khalid bin
Walid dan pasukan Romawi ini terjadi dengan kemenangan jatuh kepada Islam.
Setelah perang Yarmuk seluruh wilayah Suriah telah masuk ke dalam wilayah
Islam.
Suriah memasuki babak baru dalam sejarahnya pada tahun 661 Masehi
sebagai pusat pemerintahan Islam. Mu‟awiyah bin Abi Sufyan yang telah
mendirikan Dinasti Umayyah menempatkan Damaskus menjadi pusat
pemerintahannya. Selama rentang waktu dari 661 sampai 750 Masehi, Damaskus
menjadi ibukota Dinasti Umayyah.52
Salah satu peninggalan Dinasti Umayyah
adalah Masjid Umayyah.
Pada tahun 750 Masehi Dinasti Umayyah berakhir di tangan Dinasti
Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Abus al-Abbas as-Saffah
memilih untuk memindahkan ibu kota dari kota Damaskus di Suriah ke Baghdad
di Irak. Pada tahun 1258 Dinasti Abbasiyah runtuh karena serangan Bangsa
Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Damaskus menjadi pusat pemerintahan lagi pada masa Sultan Salah ad-Din
Yusuf bin Ayyub atau Dinasti Ayyubiyah tahun 1187. Salahuddin al-Ayyubi
dengan tentaranya memukul mundur pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187
dan membebaskan wilayah Palestina, Mesir, Suriah, dan Yaman.53
Pada abad ke
11-12 Suriah berada di bawah Dinasti Saljuk. Pada abad ke 13 sampai ke-15
berada di bawah Dinasti Mamluk. Pada tahun 1516, Sultan Salim I menaklukkan
Suriah. Setelah itu, selama 400 tahun Suriah menjadi bagian dari Khilafah Turki
Utsmani sampai Perang Dunia I.
Di bawah pemerintahan Dinasti Turki Utsmani (1516-1918), Suriah
bukanlah suatu kesatuan akan tetapi perwujudan dari politik yang terpisah-pisah.54
52
Philip K. Hitti, Syria A Short History, (New York: The Macmillan Company, 1959), h.5. 53
Philip K. Hitti, Syria A Short History, h. 184. 54
Moshe Mo‟az dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and Regional
Risk, (New York: Routledge, 2014), h. 10.
21
Dua sekte minoritas yang mendapatkan semi-independen dari pemerintahan pusat
yaitu Alawiyah di Latakia dan Druze di Gunung Hauran. Akan tetapi pemerintahan
Turki Utsmani pertama kali menguasai Alawiyah pada akhir tahun 1850-an.
Sedangkan Druze pada akhir abad ke-19. Penguasaan terhadap komunitas
minoritas tersebut untuk memperluas identifikasi wilayah negara Turki Utsmani.
Gerakan reformasi (tanzimat) yang dilakukan Turki Utsmani untuk membangun
kerangka politik baru yang di dalmnya tanpa perbedaan agama, membangun
kembali otoritas sultan di provinsi-provinsi, untuk memperbaiki standar hidup, dan
memberikan status yang sama kepada non-Muslim.55
Pada tahun 1914 Perang Dunia I pecah dan Turki Utsmani memihak kepada
Blok Sentral yaitu Jerman, Austria, Hungaria, dan Bulgaria. Pada tahun 1916,
negara Prancis, Inggris, dan Rusia yang tergabung dalam blok sekutu membuat
perjanjian Sykes-Picot.56
Perjanjian itu dibuat untuk membagi wilayah Turki
setelah jatuh di Perang Dunia yang terbagi menjadi wilayah Suriah dan Lebanon
untuk Prancis, wilayah Irak dan Yordania untuk Inggris, dan wilayah
Konstantinopel untuk Rusia.57
Perjanjian inilah yang menyebabkan negara Suriah
berada di bawah protektorat Prancis untuk beberapa dekade selanjutnya.
C. Suriah Masa Protektorat Prancis
Pada abad ke-19 gerakan nasionalis Arab di mulai dan masuk ke Suriah.
Gerakan ini membentuk masyarakat Arab dan objek langsungnya ialah
penggulingan pemerintah Ottoman. Salah satu organisasi yang berpengaruh dari
gerakan dan ide Nasionalis Arab adalah Jami‟ah al-Arabiyah al-Fatat yang
didirikan tahun 1911 di Paris.58
Amir Faisal Husein merupakan anggota dari
organisasi tersebut yang kelak akan menjadi pemimpin nasionalis.
55
Moshe Mo‟az dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and Regional
Risk, h. 12. 56
Philip K. Hitti, Syria A Short History, h. 239-240. 57
Douglas A.Philiphs, Modern World Nations: Syria, h. 37-39. 58
Carl Leiden, “Political Instability in Syria,” The Southwestern Social Science Quarterly,
vol. 45, no. 4, pp. 353-360, (Maret 1965), h. 354.
22
Sejak tanggal 5 Oktober 1918, wilayah Suriah, Lebanon, dan Palestina
menjadi wilayah kerajaan dengan Amir Faisal Husein sebagai raja.59
Pada tahun
1920 dalam Perang Maysalun, pasukan Prancis berhasil menguasai Suriah dan
mengusir Raja Faisal. Kekalahan pada perang Maysalun, masyarakat Suriah
menetapkan hari itu menjadi hari berkabung nasional. Pasca kekalahan Suriah,
pada Konferensi San Remo bulan April 1920 menempatkan Suriah di bawah
mandat Prancis menurut perjanjian Sykes-Picot.60
Mandat diumumkan pertama kali pada tahun 1923 yang di sambut oleh
protes masyarakat Suriah.61
Sistem mandat itu sendiri menyatakan bahwa Prancis
tidak bisa menetap di Suriah tanpa batas waktu. Prancis memulai sebuah projek
modernisasi tata perkotaan di bawah Michael Ecohard untuk menyelamatkan dan
merestorasi monumen kuno yang tersisa dan membentuk sebuah jalur penghubung
antara kawasan kota bersejarah dengan bagian kota modern.62
Negara Prancis
berusaha melestarikan tatanan sosial yang ada, membangun jalan-jalan dan
jaringan komunikasi, dan membangun infrastruktur administratif yang modern.
Prancis juga memacu proses perubahan bagi masyarakat Badui untuk menetap
menjadi petani dan kepala suku menjadi tuan tanah.
Pada tahun 1925, Prancis memisahkan negara Lebanon dari Suriah dan
menjadi negara sendiri.63
Untuk menopang administrasi yang efektif dan
menghambat terjadi gerakan kemerdekaan, Prancis membagi Suriah menjadi
beberapa wilayah etnis dan agama. Beberapa kota yang mendapatkan administrasi
mandiri yaitu, Kota Damaskus dan Aleppo yang mayoritas penduduknya Muslim-
Sunni, dan Kota Latakia yang mayoritasnya adalah masyarakat petani yang
beraliran Alawiyah. Prancis membuka sekolah militer bagi kaum Alawiyah,
sehingga pada masa yang akan datang tentara Suriah dipenuhi dari kaum tersebut.64
59
Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, h. 96. 60
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999),
h. 152. 61
Carl Leiden, “ Political Instability in Syria,” h. 354. 62
Muhammad Syafii Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, h. 209. 63
Michael Adma, Handbooks to the Modern World: The Middle East, (New York: Facts on
File Publications, 1988), h. 137. 64
Jomana Qaddour, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” The Washington
Quarterly, Vol. 36, No. 4, (2013), h. 68.
23
Sedangkan wilayah Druze di bagian selatan Suriah, bagian utara Suriah, dan Eufrat
juga mendapatkan hak otonomi regional. Kebijakan fragmentasi Prancis untuk
Suriah mewariskan isu-isu separatisme. Setiap wilayah mempunyai gubernur
sendiri dan kelompok penasihat Prancis. Sistem politik terpisah dirancang untuk
menghalagi dan menghambat perkembangan identitas nasional Suriah.
Pada masa protektorat Prancis, kota Damaskus yang merupakan ibu kota
Suriah di bagi menjadi empat bagian atau distrik yaitu: pertama, Damaskus tua
yang seluruh wilayahnya dikelilingi oleh dinding-dinding kuno dan merupakan
wilayah tempat tinggal muslim; kedua,wilayah pinggiran utara, barat dan selatan
dari kota tua yang terletar persis di luar tembok kuno dan tempat tinggal bagi umat
Kristiani; ketiga, terkenal dengan sebutan al-Madyan, wilayah yang memanjang
dan sempit setelah penaklukan Turki Utsmani ke Suriah pada abad ke-16. Wilayah
al-Madyan dihuni oleh masyarakat heterogen seperti petani Hawran, Druze, dan
komunitas kecil Kristen; keempat, wilayah dibelakang kota tua sampai lereng
Qaysalun, tempat ini paling terbelakang dan baru diselesaikan pada tahun 1930.
Tempat ini menjadi tempat paling terbuka karena tidak dibatasi oleh dinding-
dinding, merupakan tempat tinggal masyarakat kaya dari berbagai agama dan
perumahan mewah untuk pemerintahan Prancis.65
Dalam satu kota kita bisa melihat masyarakat yang begitu beragam tetapi
diberi sekat antara pemeluk satu agama dengan agama lainnya sehingga yang
terjadi hanya persatuan sesama agama tidak persatuan nasionalis. Jurang budaya
dan sosial semakin lebar di antara kelas atas dengan bawah, dan kalangan
berpendidikan modern atau keturunan Eropa dengan masyarakat lokal yang
tradisional.
Perlawanan Masyarakat Suriah terhadap Prancis yang paling penting terjadi
pada tahun 1925 sampai 1927. Pemberontakan dimulai oleh kaum Druze yang
tidak menerima peraturan kepemilikan tanah yang diterapkan kolonial Prancis.
Pemberontakan yang berhasil itu terdengar sampai kota-kota di Suriah, sehingga
kota Damaskus dan Homs ikut begabung untuk menciptakan gerakan nasional
65
Philiph Khoury, The Modern Middle East: A Reader, (New York: I.B. Taruris, 2009), h.
436.
24
Suriah. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh tentara angkatan udara
Prancis yang memakan korban hingga 6.000 orang dan merusak sebagian kota
Damaskus.66
Dari awal masa protektorat sampai 1946, hubungan antara Prancis
dengan Suriah terus memburuk. Contohnya, perjanjian antara Suriah dan Prancis
tahun 1936 dan Deklarasi Pembebasan Suriah tahun 1943 keduanya tidak berhasil.
Karena tidak ada perjanjian dan kompromi yang bertahan lama di antara kedua
pihak.
Dalam masyarakat Suriah muncul gerakan blok nasional yang
mengupayakan kemerdekaan Suriah dari Perancis. Blok Nasional atau al-Kutla al-
Wataniya didirikan oleh beberapa pemimpin yaitu Saadallah al-Jabari, Ibrahim
Hananu, Jamil Mardam Bey, Hashim al-Atasi, dan Shukri al-Quwatli.67
Prancis
menjanjikan kemerdekaan selama Perang Dunia kedua tetapi tertunda sampai
perang usai. Setelah mendapatkan tekanan dari berbagai negara seperti Amerika,
Rusia, dan Inggris, akhirnya tentara Prancis meninggalkan Suriah dan Lebanon.68
Pada tahun 1946 Suriah mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Prancis dan
Shukri al-Quwatli sebagai presiden pertama. Setelah merdeka dari Prancis, Bangsa
Suriah berusaha mencari pola dan pemimpin yang ideal bagi seluruh negeri.
Demokrasi yang diselenggarakan untuk memilih pemimpin seringkali dinodai
dengan beberapa kali kudeta.
D. Suriah Pasca-Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Hafez al-Assad
Setelah berbad-abad dikuasai bangsa lain, pada tahun 1946 tibalah masanya
negara Suriah dipimpin oleh bangsanya sendiri. Pasca kemerderkaan, Suriah
memiliki banyak partai. Setelah merdeka sampai beberapa dekade selanjutnya,
Suriah menjadi negara yang lemah dan tidak stabil. Bahkan negara Suriah
mendapatkan reputasi sebagai negara yang paling tidak stabil di Timur Tengah.
Pemerintahan yang berkuasa hanya sementara kemudian terjadi kudeta oleh pihak
66
Wiliam Cleveland and Marti Burton, A History of The Modern Middle East,
(Philadelphia: Westview Press, 2009), h. 222. 67
Raymond Hinnenbusch, The Middle East, h. 767. 68
William J. Spencer, Global Studies: The Middle East, (New York: McGraw-Hill, 2009),
h. 172.
25
militer. Selama kurun waktu 1943 sampai 1963, Suriah memiliki 4 konstitusi dan
20 kabinet yang menjabat.69
Ketika Suriah merdeka, struktur sosial-politiknya ialah sistem
neofeodalisme. Suriah mulai memodernisasi tetapi jalaur utama tradisional tetap
utuh yaitu kota pra-industri lebih dominan dari pedesaan dan masyarakat tetap
dalam segmentasi menjadi komunitas kecil yang kebanyakan tidak memiliki
integrasi satu sama lain dan hanya terintegrasi dengan pemerintahan pusat.
Masyarakat memiliki struktur karaketeristik fragmentasi seperti persaingan antara
keluarga, klan, suku, desa, dan sekte yang relatif mandiri. Pada masa ini elite
pedagang dan tuan tanah Muslim Sunni yang dominan mengendalikan negara dan
pemerintahan pusat.70
Karena struktur sosial-politik Suriah seperti di atas, banyak
partai yang orientasi mereka merangkul kaum minoritas dan pedesaan seperti
Partai Kurdi, Partai Sosialis, dan Partai Ba‟ath. Partai yang paling berhasil
memenangkan kaum minoritas dan menduduki kursi pemerintahan ialah Partai
Ba‟ath.
Partai Ba‟ath (dapat dieja Ba‟th atau Baath) yang artinya kebangkitan. Partai
Ba‟ath didirikan secara resmi oleh Michel Aflaq (1910-1989) seorang Kristiani dan
Salah ad-Din al-Bitar (1912-1980) seorang Sunni pada tahun 1947. Partai Ba‟ath
menjadi kendaraan dari kalangan menengah yang radikal untuk bersaing dengan
penguasa oligarki yang lama. Partai ini merupakan penggabungan aliran politik
nasionalis Arab dan sosialis Arab.71
Slogan partai ini ialah Wahdah, Hurriyah, dan
Ishtirakiyah (persatuan, kebebasan, dan sosialisme) yang menjadi trimurti dari
Pan-Arabisme dunia Arab.72
Pada awalnya partai ini didirikan untuk seluruh warga
negara dan menggambarkan pengikut dari seluruh kalangan sosial. Partai Ba‟ath
yang mengusung nilai-nilai moderat diminati oleh kalangan minoritas maupun
mayoritas.
69
Douglas A. Philiphs, Modern World Nations: Syria, h. 42. 70
Raymond A. Hinnebusch, “Rural Politics in Ba‟athist Syria: A case Study in the Role of
the Countryside in the Political Development of Arab Societies,” The Review of Politics, Vol. 44,
No. 1 (Januari 1982), h. 112-113. 71
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 146. 72
Raymond Hinnenbusch, The Middle East, h. 769.
26
Ideologi Pan-Arabisme yang diusung partai Ba‟ath mengantarkan negara
Suriah bersatu dengan Mesir (United Arab Republic atau UAR). Namun
persekutuan tersebut tidak berlangsung lama hanya dari 1958 sampai 1961, yang
diakhiri dengan revolusi militer. Setelah berpisah dari Mesir, para tokoh politik
Ba‟ath membangkitkan rasa nasionalisme pada kalangan menengah yang radikal.
Kelaparan merajalela di masyarakat petani sehingga menimbulkan kudeta partai
Ba‟ath pada sistem kekuasaan lama pada tahun 1963. Setelah kudeta hanya ada
satu-satunya partai yaitu Partai Ba‟ath yang mengontrol semua aktivitas politik.
Sejak tahun 1963 terjadi pergantian anggota partai, dan Suriah diperintah
oleh Amin al-Hafez yang memulai sebuah rezim militer. Partai Ba‟ath secara
internal mengalami perpecahan ideologi dari awal yaitu memprioritaskan kesatuan
bangsa-bangsa Arab. Sedangkan bagi kaum muda yang baru masuk lebih tertarik
dengan revolusi dalam negeri Suriah sendiri. Pergulatan internal partai terhadap
ideologi melebar menjadi persaingan antar sekterian Sunni dan kaum minoritas
yang mewakili partai dan militer. Kaum minoritas berhasil mengambil alih partai
dari mayoritas Sunni.
Sebuah fraksi minoritas radikal di bawah pimpinan Salah Jadid melakukan
kudeta internal dalam partai pada Februari tahun 1966. Kudeta tersebut disebut
Neo-Ba‟ath, yang sebagain besar didominasi kaum muda dan kaum pinggiran
pedesaan.73
Terdorong dari ideologi militer dan upaya mendapatkan legitimasi,
kaum radikal ini membantu Palestina untuk memerangi Israel. Pada tahun 1967,
kekalahan menimpa Suriah yang mengakibatkan terlepasnya Bukit Golan dari
teritorial Suriah.
Kekalahan tersebut menimbulkan celah perpecahan di Partai Ba‟ath. Pada
tahun 1970, Hafez al-Assad74
melakukan kudeta terhadap partai dan pemerintahan
73
Alasdair Drysdale, “The Syrian Political Elite 1966-1976: A Spatial and Social
Analysis,” Middle Eastern Studies, Vol. 17, no. 1, pp. 3-30, (1981), h. 4. 74
Hafez al-Assad lahir tanggal 6 Oktober 1930, di Qurhada dari keluarga Alawiyah yang
taat. Hafez mengenyam pendidikan formal ketika Prancis membuka sekolah dasar di desa-desa
terpencil. Pada tahun 1955 M, ia lulus dari sekolah penerbangan di Aleppo dan bergabung dengan
partai Ba‟ath. Karir yang ia bangun berawal dari pegawai rendahan di pemerintahan tahun 1960
hingga menjadi peran utama dalam kudeta tahun 1963. Setelah kudeta Asad menjadi Komandan
pangkat letnan jendral. Pada tahun 1966, Hafez al-Asad meraih posisi Menteri Pertahanan Suriah
dan sekali lagi bersama Salah Jadid memimpin kudeta tahun 1970. Ia meraih kekuasaan tertinggi
27
Suriah. Kudeta yang dipimpin oleh Hafez al-Assad ini mengantarkan persatuan
dan kestabilan dalam Partai Ba‟ath dan pemerintahan dalam negeri. Hafez
menjadi Presiden Suriah terpilih (hanya satu-satunya kandidat) pada tahun 1971.
Terpilihnya Hafez al-Assad menjadi pukulan berat bagi masyarakat Muslim-Sunni
dan bertentangan dengan konstitusi Suriah tahun 1930, yang mengharuskan
kepala negara adalah seorang muslim-sunni.
Semenjak berkuasa pada tahun 1970, Hafez al-Assad berusaha mengurangi
dominasi aparat partai dan membuka saluran baru melalui militer dan polisi. Yang
lebih penting adalah dominasi kalangan Alawiyah yang hanya mewakili 10% dari
seluruh penduduk tetapi mereka menguasai militer dan partai tersebut. Kalangan
Alawiyah merupakan kekuatan penting dalam partai Ba‟ath dan dalam kelompok
militer yang berkuasa pada tahun 1960-an, mereka menggunakan pengaruhnya
untuk lebih menguntungkan kelompok minoritas dan menyingkirkan perwira
militer non-Alawiyah. Rezim Suriah memiliki kualitas sebagai rezim personal,
fraksional dan sektarian.75
Kontrol rezim terhadap masyarakat melalui tindakan
represif dan kooptasi di berbagai sektor sosial. Lembaga masyarakat sipil seperti,
serikat pekerja yang tadinya untuk koordinasi antar pekerja diubah menjadi
kerangka korporat yang dikendalikan oleh negara.76
Antara tahun 1966 dan 1970, lebih dari 65% keseluruhan komando militer
dan Jenderal terdiri dari orang-orang Alawiyah.77
Sementara tentara Sunni dalam
jumlah masih unggul, tetapi mengisi jabatan dan pangkat yang rendah. Partai
Ba‟ath juga merekrut para pemuda yang berasal dari kalangan menengah,
kalangan bawah, wilayah pedalaman, minoritas Alawiyah, Ismailiyah dan
di Suriah saat usianya 40 tahun dan menjalankan rezimnya selama 30 tahun. Hafez meninggal
pada tanggal 10 Juni 2000 di usia 69 tahun. Reeva S. Simon, dkk, Encyclopedia of the Modern
Middle East, (New York: Macmillan, 1996), h. 239. 75
Rezim Personal ialah pemerintahan yang dikuasai dan dipegang oleh satu orang. Rezim
faksional adalah pemerintahan yang berkuasa terdiri dan didukung oleh golongan atau kelompok
tertentu dari sebuah partai yang mempunyai kepentingan mereka sendiri. Rezim sektarian adalah
pemerintahan yang berkuasa dari golongan atau penganut aliran suatu sekte. Hafez al-Assad
merupakan penguasa personal yang berasal dari satu faksi yaitu Ba‟ath dan merupakan pengikut
dari sekte Alawiyah. B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007). 76
Armando Salvatore dan Dale F. Eickelman, Public Islam and The Common God,
(Leiden: Koninklijke Brill, 2004), h. 183. 77
Jomana Qaddour, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” h. 69.
28
minoritas Kristen. Para kader partai ini menggantikan pos-pos perwira militer,
dinas pemerintahan, serikat pertanian dan beberapa organisasi pemuda.78
Pada masa Hafez al-Assad, Suriah menjadi negara dengan sistem
presidensial mutlak yang dikukuhkan oleh konstitusi permanen tahun 1973.79
Presiden menjadi komandan tertinggi angkatan bersenjata Suriah, memiliki
kebebasan politik, legislatif dan eksekutif. Dalam konstitusi tersebut agama Islam
tidak disebut dan Hafez menolak untuk mengumumkan secara resmi agama Islam
menjadi agama negara Suriah. Presiden Hafez mengembangkan sebuah
pemerintahan yang mengendalikan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
rakyatnya. Pemerintahan Suriah di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad
bertindak represif terhadap gerakan-gerakan Islam yang dianggap berpotensi
menjadi ancaman bagi kekuasaannya.
Kebijakan Hafez tahun 1976 yaitu mengirim pasukannya ke Lebanon untuk
membantu perang antara Kristen Maronit80
melawan muslim dan orang-orang
Palestina menimbulkan kerusuhan di seluruh Suriah.81
Kebijakan tersebut
melenceng dari ideologi Arab-Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat.
Pengikut IMS menyerukan jihad melawan Hafez. Perjuangan melawan Hafez
mendapat dukungan dari penduduk kota dan kelompok liberal karena mereka
menyimpan keluhan terhadap korupsi yang meluas di pemerintahan, kondisi
ekonomi yang memburuk, dan penindasan terhadap kebebasan warga sipil.
Aktivitas gerilya IMS terhadap pemerintahan Hafez al-Assad semakin
meningkat pada awal 1980-an dengan menyerang markas militer dan partai Ba‟ath
dan membunuh pejabat Alawiyah. Demonstrasi besar-besaran terjadi di kota
Aleppo, Hama, dan Homs pada bulan Maret 1980, warga dan anggota IMS
78
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999),
h. 161. 79
William J. Spencer, Global Studies: The Middle East, h. 173. 80
Kristen Maronit merujuk pada pengikut Gereja Maronit di Lebanon yang jumlahnya
sekitar 22% dari seluruh penduduk Lebanon. Nama Maronit berasal dari Santo Maronite yang
hidup di akhir abad ke-4. Kemudian para murid dan penikutnya berimigrasi dari Antiokhia ke
Lebanon pada 7 Masehi. Pengikutnya berjumlah sekitar 3 juta orang yang berdiaspora ke berbagai
negara seperti Eropa, Amerika Utara, dan Autralia. Father Steven Hawkes-Teeples S.J., The
Eastern Chrisians and Their Churces, (USA: Knights of Columbus Supreme Council, 2008), h. 9. 81
Moshe Ma‟oz, “Asad‟s Leadership of Syria”, Oriente Moderno, Nouva serie, Annao 12,
pp. 97-105, (1993), h. 103.
29
menuntut demokrasi yang adil. Namun demonstrasi tersebut kehilangan
momentum setelah satu minggu anggota-anggota IMS diburu, ditangkap, dan
dipenjarakan. Untuk mengambil hati masyarakat Suriah setelah demonstrasi,
pemerintahan Hafez meningkatkan anggaran untuk pendidikan, gaji pegawai
negeri meningkat dan sebuah program besar untuk memperpanjang listrik, obat-
obatan, dan layanan lainnya ke pedesaan.
Pada Januari 1981, IMS menyebarkan program mereka yaitu “Deklarasi dan
Program Revolusi Islam di Suriah”.82
Program tersebut mendapat sambutan yang
bagus dan dukungan di masyarakat luas. Program IMS sangat menyeluruh dan
detail karena membawa ideologi hukum Islam untuk mengatur konstitusional,
hukum, ekonomi, militer, dan pendidikan di Suriah.
Masyarakat Suriah menginginkan perubahan dari pemerintahan Hafez yang
menghapus klausul-klausul Islam dari konstitusi, korupsi yang meluas, pelarangan
partai nasionalis, kekerasan terhadap kebebasan warga negara dalam berpolitik
dan berorganisasi, kebijakan ekonomi yang menyejahterakan penduduk desa
tetapi merugikan penduduk kota, dan keberpihakan pemerintah kepada Alawiyah,
Druze,dan Kristen.
Pada awal Februari 1982, Anggota IMS dan masyarakat umum sekali lagi
melakukan pemberontakan dan menyerang pusat rezim di kota Hama, mereka
berhasil menduduki kota selama sepuluh hari. Hafez al-Assad yang merasa
terancam pemerintahannya, memerintahkan untuk menjatuhkan bom ke kota
Hama yang dikuasai oleh pemberontak. Akibat bom tersebut ribuan orang
termasuk wanita dan anak-anak yang tidak bersalah meninggal terbunuh karena
sang penguasa ingin mempertahankan kekuasaannya. Setelah peristiwa tersebut
tidak ada rekonsiliasi antara Hafez dan IMS. Pemerintahan Hafez al-Assad
dilegitimasikan oleh masyarakat mayoritas Muslim-Sunni termasuk kalangan
intelektual sekuler sebagai pemerintahan yang gagal dan pemimpin militer
Alawiyah yang tidak sah. Respon kejam dari rezim Hafez al-Assad terhadap
pemberontakan yang ingin menggulingkannya dari kekuaasaan membuat IMS
82
Thomas Meyer, “The Islamic Opposition in Syria, 1961-1982,” Orient 24, (1983), h.
599.
30
hancur dan terpecah. Membutuhkan waktu dan program yang baru untuk
organisasi IMS bangkit setelah bom Hama tersebut.
Demikian pembahasan tentang Suriah dalam lintasan Sejarah. Pada bab
berikutnya akan diuraikan tentang Sejarah serta perkembangan Ikhwanul
Muslimin di Mesir serta perkembangan organisasi revivalisme Islam di beberapa
negara Timur Tengah seperti Yordania, Aljazair, Uni Emirat Arab, dan Sudan.
Beberapa negara Asia yang mayoritas beragama Islam seperti, Pakistan,
Indonesia, dan Malaysia.
31
BAB III
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORGANISASI
REVIVALISME ISLAM
A. Sejarah dan Berkembangnya Ikhwanul Muslimin Mesir
Organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir (selanjutnya ditulis IMM) tumbuh
pada masa pengaruh imperialisme negara Inggris yang telah merasuki dan
merusak negara Mesir dalam skala besar. Contohnya, cara hidup orang Inggris
yang bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an, pemerintahan kolonial Inggris
menghancurkan otoritas negara, dan kapitalis Inggris menumbangkan ekonomi
negara Mesir. Segelintir masyarakat mulai resah dengan pengaruh Inggris yang
menjauhkan ajaran agama Islam dari umatnya. Dari kondisi seperti inilah muncul
seorang Hasan al-Banna yang ingin mengajak bangsanya untuk bangkit dan
menerapkan agama Islam dalam kehidupan mereka secara kaffah.
Syaikh Hasan Ahmad „Abd ar-Rahman al-Banna83
mendirikan Organisasi
IMM secara resmi pada bulan Dzul Qa‟dah 1347 H atau bulan April 1928 M di
Ismailiyah.84
IMM menjadi gerakan paling luas dan paling kuat bagi umat Muslim
pada abad ke-20. Hasan al-Banna dengan IMM menyebarkan pemurnian prinsip-
prinsip Islam dan seruan kembali kepada Shari‟ah. IMM menyebarkan sebuah
ideologi dasar yang ditunjukkan untuk membebaskan masyarakat, menghasilkan
ekonomi yang produktif, dan masyarakat Islam yang stabil secara politis.
Menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber-sumber ideologi, IMM sering
menyerukan ideologi mereka di tempat-tempat umum. Di masjid-masjid IMM
83
Hasan al-Banna lahir pada tanggal 14 Oktober 1906 atau 25 Sya‟ban 1324 H di
Mahmudiyyah, Buhairah. Pada usia remaja, beliau berhasil menghafal al-Qur‟an dan belajar di
beberapa majelis. Pada tahun 1920 beliau lulus dari Darul Mu‟alimin di Damanhur kemudian
belajar kembali di Universitas Darul Ulum di Kairo. Setelah lulus pada tahun 1927, Hasan al-
Banna menjadi guru di kota Isma‟iliyah. Pada usia 22 tahun, beliau mendirikan Ikhwanul
Muslimin dan mengembangkan organisasi tersebut sampai akhir hayatnya. Hasan al-Banna
dibunuh saat berusia 43 tahun, pada tanggal 12 Februari 1949 M di kota Kairo. Karya Hasan al-
Banna yang monumental seperti Muzdakkirat al-Dakwah wa Da‟iyyah (Catatan Harian Dakwah
dan Da‟i) dan Majmu‟ah Rasail (Kimpulan Surat-Surat). Henry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam
yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 262-265. 84
Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al-
Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, h. 81.
32
sering mengisi ceramah, khutbah, pusat-pusat kajian Islam sebagai rangka
mobilisasi.85
Selain itu warung kopi dan pasar juga menjadi tempat paling efektif
untuk menyebarkan ideologi mereka.
Dakwah IMM dikonsentrasikan pada aspek-aspek Islam yang terabaikan
secara sengaja atau tidak seperti negara, umat, jihad, ekonomi, kebudayaan,
pendidikan, pemikiran, hukum, dan lain-lainya. IMM menyerukan pembentukan
pemerintahan Islam, penataan perekonomian yang selaras dengan syari‟ah,
prinsip sosialis, reformasi moral, dan pendidikan.86
Kebangkitan Islam kembali
bukan hanya misi defensif untuk menyelamatkan masyarakat Muslim dari Barat,
melainkan sebuah tawaran untuk membawa umat manusia yang tersesat kembali
kepada jalan yang benar. Seruan IMM ialah “Budaya dan Peradaban Islam yang
lebih pantas diadopsi daripada filsafat materialistik Eropa. Beberapa kegiatan
yang dilakukan IMM di antaranya adalah: 1) membangun lingkungan yang dekat
dengan masjid; 2) menciptakan institusi pendidikan yang menawarkan kursus
agama dan literasi; 3) rumah sakit kecil dan apotik untuk umum; 4) perusahaan
industri kecil dan komersial, yang dirancang untuk menyediakan lapangan kerja
serta pendapatan bagi organisasi; dan 5) klub-klub sosial yang sesuai dengan
kebutuhan anggota dan masyarakat umum. IMM mempunyai program penerbitan
berskala besar seperti buku, majalah, pamflet, dan lain-lainnya.87
Berdasarkan sejarah pergerakannya IMM di bagi menjadi tiga periode88
yaitu: pertama, awal mula tumbuh dan berkembang (1928-1939). IMM muncul
dari kekacauan politik dan berkembang menjadi gerakan anti-Inggris yang
berpusat pada Islam. Pada masa muda, pemikiran al-Banna selaras dengan
pemikiran ulama yang berideologi anti-Barat dan mengembangkan jaringan
mereka. Setelah mendapatkan reputasi bahwa beliau seorang aktivis dan
mengembangkan pengikut yang sama pemikirannya maka didirikanlah IMM.
85
Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005);
kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, h. 110. 86
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 120. 87
Abd al-Monein Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform
Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” Middle East Journal, Vol. 36,
No. 3, pp. 336-361, (1982), h. 338-340. 88
Rupe Simms, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim Brotherhood
(1928-1953),” Social Compas, Vol. 49, pp. 563-582, (2001), h. 570-573.
33
Hasan al-Banna menyebarkan ideologi dengan mengunjungi tempat-tempat
publik, masjid sampai menjadi pembicara publik, dan jurnalis untuk
mengembangkan IMM. Pada periode ini, pengikut IMM telah terbagi menjadi
kelompok yang mengorganisir masjid, sekolah, klinik, dan kerja sama antar
anggotanya. Pada bulan Oktober 1932, al-Banna pindah dari Isma‟iliyah ke Kairo
untuk mengembangkan dakwahnya.89
Muktamar pertama kali dilakukan pada
tahun 1933.
Kedua, ekspansi (penyebaran) dan penganiayaan (1939-1945). Organisasi
ini memasuki fase kedua yaitu mengalami perkembangan pesat, peningkatan
organisasi, dan aktivitas politik. Pada tahun 1939, IMM telah mendirikan sekitar
500 cabang di seluruh Mesir. Perkembangan yang paling penting ialah IMM
berhasil masuk ke Universitas Faud dan al-Azhar di Kairo, kalangan menengah
dan atas juga begabung dengan organisasi tersebut. Perdana Menteri (selanjutnya
ditulis PM) Husein Sirri Pasha (1894-1960) yang menjabat tahun 1940 mulai
menyerang organisasi IMM dengan menyita surat kabar IMM dan mesin
cetaknya, serta menangkap para pemimpinnya termasuk al-Banna sendiri. Tetapi
setelah Mustafa an-Nahhas Pasha naik menjadi PM tahun 1942, IMM dilepaskan
kembali.
Ketiga, penyiksaan dan kebangkitan (1945-1952). Pada tahun 1945, Hasan
al-Banna memberikan ultimatum kepada PM Mahmoud an-Nuqrashi Pasha yaitu:
“Apakah PM akan mengusir Inggris atau Hasan al-Banna akan memimpin
negara Mesir dalam jihad?”90
Konflik antara IMM dengan pemerintahan semakin
meningkat pasca kekalahan Mesir dari Israel saat berusaha membebaskan
Palestina. Pengalaman pasukan IMM dalam berperang membuat posisi PM an-
Nuqrashi terancam revolusi. Pada tanggal 8 Desember 1948, PM an-Nuqrashi
membubarkan seluruh cabang IMM, menyita dokumen, uang, mesin-mesin cetak,
dan menahan semua anggota. Pada tahun 1949, Hasan al-Banna dibunuh oleh
orang tidak dikenal. Pengikut yang lolos dari penjara ataupun pembunuhan
89
Zakariya Hasan Bayumi, al-Ikhwanul al-Muslimun wa al-Jama‟at al-Islamiyah fi al-
Hayat as-Siyasiyah al-Misriyah 1928-1947, h. 85. 90
Rupe Simms, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim Brotherhood
(1928-1953),” h. 571.
34
mengalihkan gerakan IMM menjadi gerakan bawah tanah. Pencabutan larangan
organisasi IMM dilakukan berangsur-angsur setelah terpilihnya PM Mustafa an-
Nahhas Pasha tahun 1950. Anggota IMM bersatu dengan Gamal Abdul Nasser
untuk menumbangkan Raja Farouq pada tanggal 23 Juli 1952. Negara Mesir
secara resmi menjadi negara republik tahun 1953 setelah kudeta tersebut.
Setelah revolusi 1952, hubungan antara IMM dan Pemerintahan Mesir
berkembang melalui beberapa tahap yaitu: 1) periode antara bulan Juli 1952 dan
Maret 1954 merupakan tahap konsiliasi di antara keduanya. Pemerintahan mulai
membuka investigasi resmi untuk mencari pembunuh Hasan al-Banna dan
kegiatan keagamaan IMM bisa dilanjutkan kembali. 2) periode 1954-1970 adalah
periode ketegangan dalam hubungan IMM dan pemerintah. Pada tahun 1954,
enam anggota IMM disidang dan dijatuhi hukuman seumur hidup dan ribuan
anggota dipenjara tanpa proses pengadilan. Pada tahun 1964, Nasser memberikan
amnesti umum untuk membebaskan semua anggota IMM. Akan tetapi pada tahun
1965, sekali lagi IMM dituduh merencanakan penggulingan Nasser sehingga
banyak anggota ditangkap. Pada bulan Agustus 1965, tiga pemimpin utama IMM
digantung. 3) periode 1970-1981 ialah masa IMM mendapatkan izin untuk
berperan kembali dalam kehidupan politik Mesir.91
Selain Hasan al-Banna terdapat beberapa tokoh IMM yang terkenal yaitu:
tokoh yang pertama, Sayyid Quthb (1906-1968) yang terkenal dengan karyanya
yaitu al-Adalah al-Ijtima‟ayah fi al-Islam 1948 (Keadilan Sosial dalam Islam),
Tafsir Fi Zilal al-Qur‟an (Dibawah bayang-bayang al-Qur‟an) Ma‟arakat al-
Islam wa al- Ra‟sumaliyah 1951 (Pertarungan antara Islam dan Kapitalisme), dan
al-Salam al-A‟lami wa al-Islam 1951 (Perdamaian Dunia dan Islam).92
Pemerintahan Gamal Abdul Nasher pada tahun 1954 memutuskan untuk
membubarkan IMM. Para pemimpin IMM ditangkap, dipenjara, dan dihukum
mati. Sayyid Quthb termasuk salah satu pimpinan IMM yang dijatuhi hukuman
selama 15 tahun penjara. Pada tahun 1964 melalui bantuan Presiden Irak, Abd al-
91
Abd al-Monein Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform
Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” h. 342. 92
John L. Espasito, Islam and Politics, (New York: Syracuse University Press, 1987), h.
133.
35
Salam Arif, beliau dibebaskan dari penjara. Akan tetapi setelah beberapa bulan
kemudian, Sayyid Quthb kembali ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung pada
akhir Agustus 1966 dengan tuduhan melakukan makar terhadap pemerintahan
Nasser.
Tokoh yang kedua, Dr. Hasan Isma‟il Hudaibi ( 1891- 1973) menggantikan
posisi Hasan al-Banna setelah pembunuhan sebagai mursyid‟am (pemimpin
utama). Beliau berprofesi sebagai hakim selama 20 tahun dan dikenal sebagai
sosok yang anti kekerasan dan toleran. Akan tetapi sikapnya berubah karena
desakan politik yang membawa IMM bersebrangan dengan pemerintahan Nasser.
Hudaibi tercatat menjadi salah satu tokoh yang merumuskan konsep gerakan
politik IMM. Beliau menulis buku karyanya berjudul Du‟at la Qudhat (Mengajak
bukan menghakimi) pada bulan Februari 1969 dan diedarkan diantara anggota
IMM di penjara. Dalam bukunya tersebut, beliau menuliskan pokok-pokok
pemikirannya dan konsep kepemimpinan dan negara Islam yang dicita-citakan
oleh IMM. Buku tersebut didistribusikan secara luas sampai tahun 1977 dan
diizinkankan kembali edarannya setelah kematian Gamal Abdul Nasser.93
IMM mempunyai sikap yang jelas yaitu persatuan nasional, persatuan Arab,
dan persatuan Islam.94
IMM menggangap bahwa di antara ketiganya tidak
bertentangan tetapi justru saling melengkapi. Setiap anggota diwajibkan bekerja
pertama untuk negerinya, kedua bangsanya, dan yang ketiga bagi agamanya yaitu
Islam. Karena ideologi tri kesatuan inilah IMM bisa berkembang dan diterima
oleh umat muslim di berbagai negara.
B. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Timur Tengah
Hasan al-Banna gencar mensosialisasikan ideologi revivalism Islam yang
diusung IMM di Universitas al-Azhar. Beliau memandang bahwa al-Azhar
menjadi titik penting dan pertemuan kaum pelajar, ulama, dan lembaga-lembaga
pendidikan. Ketika al-Azhar menjadi markas bagi anggota IMM, maka
93
Carrie Rosefsky Wickham, The Muslim Brotherhood: Evolution of an Islamist
Movement, (New Jersey: Princeton University Press, 2013), h. 29. 94
Yusuf al-Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwanul al-Muslimin Kilas Balik Dakwah, Tarbiyah
dan Jihad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999). h. 129.
36
perkembangan dan penyebaran ideologi semakin luas ke berbagai negara. Karena
pelajar yang menuntut ilmu membawa pulang bibit ideologi revivalisme Islam ke
negaranya masing-masing. Pembentukan organisasi di berbagai negara tidak
semuanya mencetak persis seperti organisasi IMM. Banyak yang secara langsung
memakai nama Ikhwanul Muslimin dan menjadi cabang resmi. Akan tetapi juga
terdapat oganisasi yang mengusung konsep revivalisme Islam yang sama dengan
IMM. Beberapa cabang IMM dan organisasi revivaslisme Islam di negara-negara
seperti:
1. Yordania
Organisasi Ikhwanul Muslimin di Yordania (selanjutnya ditulis IMY)
didirikan pada 13 Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan 19 November 1945
M oleh H. Abd al-Latif Abu Qurah.95
IMY mendeklarasikan dan menyebarkan
organisasinya melalui koran Al-Jazirah no. 1074 tahun 1945. Pada tahun 1953 M,
IMY menjadi lembaga Islam yang bersifat umum, menyeluruh dan bukanlah
partai politik maupun yayasan sosial. Perubahan terjadi setelah penyusunan
AD/ART IMY yang baru.
IMY mempunyai tujuan dan corak sendiri sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Yordania, yaitu: pertama, mengkosentrasikan upaya untuk
memperbaiki akhlak individu dan dakwah. Kedua, memberikan perhatian khusus
kepada pendidikan. Ketiga, tidak ada halangan bagi anggota IMY untuk ikut serta
dalam sistem-sistem pemerintahan yang sedang berkuasa. Keempat, IMY
memperbolehkan untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan ketika masalah
yang dihadapi mengharuskan hal tersebut, tetapi tidak dengan revolusi. Kelima,
IMY mengumpulkan anggota untuk menyatukan pemikiran dan mengikat mereka
dengan penisbatan. Keenam, dalam metode perjuangan, sarana dan dakwahnya
IMY memakai metode motivasi dan peringatan.
Rentang tahun 1950 sampai 1960, organisasi IMY dianggap sebagai oposisi
yang sah terhadap rezim Hasyim. Pada saat itu Yordania menjadi tempat
pencarian suaka bagi aktivis dan pemimpin IMM yang melarikan diri. Selain
95
Abu Za‟rur, Seputar Gerakan Islam, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 146.
37
IMM, para pemimpin dan anggota IMS juga menjadikan negara Yordania tempat
berlindung. Salah satu pemimpin IMS yang tinggal di Yordania ialah Sa‟id
Hawwa dari tahun 1978, beliau tidak pernah kembali lagi ke Suriah sampai
meninggal tahun 1989.96
Gerakan IMY berfokus pada institusi keagamaan, amal,
pendidikan, dakwah, dan sosial. Pada tahun 1989 untuk pertama kalinya IMY
berpartisipasi dalam pemilihan umum yang langsung memenangkan 30 kursi dari
80 kursi perwakilan di parlemen. Merespon hasil pemilihan yang mengejutkan,
Raja Hussein (1952-1999) mulai mengubah sistem pemilihan dan melembagakan
partai-partai politik di kerajaan. Hasilnya ialah penurunan kekuatan Islam dan
IMY hanya memenangkan 18 kursi pada pemilihan berikutnya.
Pada 28 Oktober 1992, organisasi tersebut membentuk sayap politik melalui
gerakan politik Islam independen yaitu Front Aksi Islam (Islamic Action Front/
IAF) yang menjadi perwakilan di parlemen. Pada pemilihan parlemen tahun 1994,
IMY atau IAF mendapatkan suara terbanyak. Namun, pembentukan dan
kemenangan IAF menyebabkan ketegangan dan keretakan baru antara konservatif
dengan modernis dan moderat dengan radikal. Di internal partai tersebut juga
mengalami pergesekan antara anggota kelompok Islamis independen dan anggota
IMY sendiri. Pada tahun 2000-an IMY menjadi radikal dan mulai berkonfrontasi
secara langsung dan terang-terangan dengan pemerintahan Yordania yang
dipimpin oleh raja Abdullah II (1999-sekarang).97
2. Aljazair
Pada tahun 1931, Abdul Hamed Ben Badis (l889-1940) mendirikan Asosiasi
Persatuan Ulama di kota Constantine, Aljazair.98
Sampai tahun 1938, Asosiasi
tersebut bukanlah partai politik akan tetapi memperjuangkan kebangkitan Islam
dan nilai-nilai nasionalisme seperti menentang peresmian bahasa Prancis di
Aljazair, membangun sekolah dan pusat sosial untuk mengurangi bahaya
96
Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria,” Middle Eastern Studies, Vol. 29, No. 4, (Oktober 1993), h. 619. 97
“The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in Western
Europe,” The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information Center, (January 2012), h. 21-26. 98
Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, (London: I.B. Tauris, 2004), h. 163.
38
pengaruh Barat.99
Di bawah kepemimpinan Badis, orientasi untuk mendirikan
negara Islam bukanlah tujuan utama tetapi melepaskan bangsa Aljazair dari
Prancis. Motto yang diusung ialah “Islam adalah agama saya, Bahasa Arab adalah
bahasa saya, dan Aljazair adalah negara saya.”100
Ideologi yang di bawa oleh Ben
Badis sangat mirip dengan IM di Mesir akan tetapi pengaruh yang diberikan
sempit hanya kalangan tertentu. Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan
yang tak kunjung berhasil, menyatukan seluruh masyarakat Muslim Aljazair di
bawah partai Nasionalis yaitu FLN (Front Liberation National). Pemberontakan
massif terjadi pada November 1954, meskipun memproklamirkan perjuangan
mereka atas nama Tuhan akan tetapi tidak menjadikan FLN sebagai gerakan
religius. Di bawah partai nasionalis FLN (Front Liberation National) seluruh
masyarakat Muslim Aljazair bersatu.
Sejak merdeka dari Perancis tahun 1962, Aljazair hanya memilki satu partai
yaitu FLN. Rezim FLN mulai mengesampingkan Islam, sehingga pada tahun 1963
sebuah koran membuat stigma bahwa “les ulémas du mal” ulama adalah orang
jahat.101
Untuk menanggapi peristiwa tersebut ulama mendidikan sebuah asosiasi
al-Qiyam al-Islamiyah dengan tujuan melawan ide westernisasi dan menegakkan
nilai Islam. Pada akhir tahun 1980-an, FLN menyapu semua asosiasi saingannya
dan aktivitas Islam dibatasi. Perlawanan umat Muslim ditunjukkan dengan
berdirinya FIS (Front Islamique Salut) pada tanggal 10 Maret 1989. FIS yang
digawangi oleh Ali Benhadj (1956-) dan Ali Abbas Madani (1931-) bertujuan
untuk mengislamkan rezim tanpa mengubah struktur dasar masyarakat. FIS
menyuarakan pembentukan negara Islam, mendepankan pendidikan Islam, hukum
berbasis Syari‟ah, Arabisasi pada sektor pemerintahan dan pendidikan
(penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa utama pada instansi tersebut), dan
meyakini proses demokrasi yang tidak melawan hukum Syari‟ah. Pada Juni 1990,
pemilihan multipartai di Aljazair menunjukkan kekuatan Islam dengan
99
Reihard Schulze, A Modern History of the Islamic World, (New York: New York
University Press, 2002), h. 86. 100
Aida Bamieh, “Literature and Ideology: Early Arabic Short Fiction in Algeria,”
Ufahamu: A Journal of African Studied, No.4,(Oktober 1973), h. 1. 101
Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam. h. 162.
39
kemenangan perolehan suara untuk FIS 62% sedangkan FLN hanya meraih 18%.
Pada tahun 1992, FIS memenangkan pemilihan secara mutlak di parlemen. Militer
mengambil alih negara Aljazair dengan memberhentikan Presiden Chadli
Benjedid (1929-2012) pada 11 Januari 1992, memutuskan untuk membatalkan
pemilihan yang seharusnya pada tanggal 13 Januari, dan membubarkan FIS pada
tanggal 4 Maret 1992.
3. Uni Emirat Arab
Cabang Ikhwanul Muslimin di Uni Emirat Arab (selanjutnya ditulis IME)
baru didirikan tahun 1974. Pengaruh IMM lambat masuk karena negara UEA baru
memulai program pembangunan setelah ditemukan sumber minyak pada tahun
1960-an. UEA sendiri baru merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1971 dan
belum memiliki universitas sendiri. Pelajar yang mengenyam pendidikan di Mesir
inilah yang membawa ideologi IMM dan mendirikan cabangnya di UEA.
Para tokoh IME yang mendapatkan pendidikan tinggi dengan mudah
menjadi menteri seperti Saeed Abdullah Salman dan Muhammad Abu Rahman al-
Baker. Saeed Abdulah Salman menjabat sebagai Menteri Perumahan dan
Perencanaan Kota dari 1971-1977 dan Menteri Pendidikan dan Pemuda tahun
1979-1983. Sedangkan Muhammad Abu Rahman al-Baker menjabat sebagai
Menteri Kehakiman dan Waqaf Dari tahun 1971 sampai 1983. Namun, keduanya
tidak diangkat kembali dalam formasi pemerintahan berikutnya yang terjadi pada
bulan Juli 1983.102
Hubungan antara pemerintahan UEA dan IME merenggang
setelah jabatan anggota-anggota IME yang menjadi menteri digantikan pada tahun
1983. Tahun-tahun berikutnya dominasi IME dalam dunia pendidikan mulai
disingkirkan. Menteri Pendidikan mulai memberlakukan program bahasa Inggris
di setiap tingkat pendidikan.
Pada tahun 1978, IME menerbitkan jurnalnya sendiri dengan nama The
Islah Journal. Jurnal tersebut memproyeksikan citra murni dari gerakan IME
dengan melestarikan nilai-nilai Islam, memperingatkan agar tidak terjadi invasi
102
Mansour al-Noqaidan, Muslim Brotherhood in UEA Expansion and Decline, (Dubai:
Al-Mesbar Center for Studies and Research, 2009), h. 3.
40
budaya asing, dan menyuarakan reformasi pemerintah di bidang pendidikan serta
program media televisi lokal. IME yang mengkritik pemerintahan melalui
jurnalnya, mendapatkan sangsi yaitu larangan penerbitan Jurnal Islah dari Oktober
1988 sampai April 1989.103
Salah satu topik favorit Jurnal tersebut ialah
pembasmian koruptor dan cara menganggarkan pendapatan minyak UEA yang
melimpah. Seiring berjalannya waktu, organisasi IME terus menunjukkan sikap
kritis terhadap pemerintahan. Konfrontasi muncul kembali saat IME menentang
pembebasan negara Kuwait oleh koalisi internasional pada tahun 1991.104
Pemerintahan tidak tinggal diam dan mulai mengurangi pengaruh IME
menggunakan cara seperti, merangkul gerakan Salafi lainnya yang lebih fleksibel
dan memisahkan afiliasi antara IME dengan IMM. Konfrontasi diam dan secara
tidak langsung antara IME dan pemerintah UEA terus terjadi sampai sekarang.
Pemerintahan UEA mulai menuntut pembubaran organisasi IME setelah
pembubaran organisasi Ikhwan cabang Qatar pada tahun 1999.105
4. Sudan
Para Mahasiswa Sudan yang belajar di Mesir, mulai mendirikan Ikhwanul
Muslimin Sudan pada tahun 1944. Pada saat yang sama kelompok pelajar dari
Universita Khartoum mendirikan Islamic Liberation Movement (ILM) atau
Gerakan Pembebasan Islam. Pada awal 1950-an terjadi persaingan dan
ketegangan di antara kedua kelompuk tersebut. Sampai tahun 1954 diadakan
kongres besar untuk menyatukan kelompok tersebut. Keputusan kongres
menetapkan bahwa nama Ikhwanul Muslimin yang akan dikukuhkan agar skala
organisasi mereka menjadi lebih luas. Secara resmi IM Sudan didirikan pada 21
Agustus 1954 dan dipimpin oleh al-Rashid al-Tahir (1954-1964).106
Organisasi
103
Mazhar al-Zo‟by, “Discourse and Oppositionality in the Arab Spring: the case of the
Muslim Brotherhood in the UEA,” International Sociology, vol. 30, pp. 401-417, (2015), h. 403-
405. 104
Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” berita diakses pada 18
Desember 2017 23.37 WIB dari http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html 105
Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” berita diakses pada 18
Desember 2017 pukul 23.37 WIB dari http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html 106
The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in Western
Europe, h. 37.
41
IM Sudan hanya berasal dari kalangan mahasiswa dan intelektual sampai
pertengahan 1960an.107
IM Sudan tidak terkait secara langsung kepada IMM
tetapi mempertahankan sikap independen mereka.
IM Sudan mempunyai misi yaitu Sudan merdeka. Organisasi ini tidak
mendirikan partai politik baru tetapi ikut bermain dalam kancah politik. Tujuan
utama IM Sudan adalah memperkenalkan ajaran Islam ke dalam sistem politik
yang dominan sekuler. Pemimpin IM Sudan yang paling terkenal adalah Hasan al-
Turabi (1932-2016). Ia berpendapat bahwa organisasi tersebut harus mempunyai
kekuatan politik dengan haknya sendiri.108
Selama masa kepemimpinannya Hasan
Turabi beberapa kali mendirikan Partai tersendiri sebagai wadah IM Sudan agar
dapat melenggang di panggung perpolitikan Sudan. Beberapa partai yang
didirikan silih berganti yaitu IFC ( the Islamic Front for the Constitution) 1958,
ICF ( Islamic Charter Front ) 1964, dan NIF ( the National Islamic Front ) 1986.
Pada tahun 1986, NIF memperoleh 20% suara dari kelas menengah perkotaan. IM
Sudan juga memperkenalkan perbankan Syari‟ah kepada Presiden.
Pada bulan November 1965, ketika seorang komunis Suriah berbicara di
depan masyarakat umum Sudan dan mencemooh agama, IM Sudan mengadakan
demonstrasi yang menyuarakan agar paham sekularisme dilarang. Salah satu
keberhasilah ICF ialah pada bulan Mei 1969, partai-partai sektarian di Sudan
menyetujui prinsip-prinsip konstitusi Islam. Namun kesuksesan tersebut diblokir
oleh kudeta militer, kemudian pemerintahan dikuasai oleh partai kiri. Sebagian
besar partai politik dilarang termasuk ICF dan pemimpinya Turabi dipenjara
beberapa tahun. Namun tahun 1977, beliau dibebaskan dan mulai bekerja sama
dengan pemerintahan sehingga bisa tetap melanjutkan aktivitas Islam tanpa
dicurigai.109
Pada tahun 1989, Turabi menjadi pemimpin rezim Islam yang
mengambil alih kekuasaan dalam kudeta militer. Turabi berpendapat bahwa Islam
dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh imprealisme Barat,
107
Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, h. 177. 108
Mohamed Zahid dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and Sudan,”
Review of African Political Economy, Religion, Ideology and Conflict in Africa, Vol. 33, No. 110,
pp. 693-708 (September 2006), h. 696. 109
Mohamed Zahid dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and Sudan,” h.
696-698.
42
nasionalisme Arab ataupun ideologi-ideologi lainnya dan rezim Islam harus
berkuasa dengan cara demokratis daripada melalui revolusi.110
Secara
internasional, Rezim Turabi mendukung kelompok Islam yang ingin berjuang
seperti di Zaire, Uganda, dan Ethiopia.
C. Perkembangan Organisasi Revivalisme Islam di Asia
Pada abad ke-20, beberapa negara-negara Asia yang mayoritas
penduduknya Muslim mulai mengembangkan ide revivalisme Islam. IMM
menjadi organisasi paling terkenal dan menyebarkan secara luas ideologi
kebangkitan Islam sehingga muncul gerakan-gerakan serupa di beberapa negara
Asia antara lain ialah:
1. Pakistan
Organisasi al-Jama‟at al-Islamiyah (selanjutnya ditulis JI) di Pakistan
merupakan organisasi di bawah pengaruh Ikhwanul Muslimin. Organisasi tersebut
didirikan oleh Abu al-A‟la al-Maududi (1903-1979) pada tanggal 21 Agustus
tahun 1941. Latar belakang berdirinya dalam suasana perjuangan kemerdekaan
dari penjajahan Inggris dan mendirikan sebuah partai yang berasaskan Islam
murni. JI berperan aktif dalam politik Pakistan dan mempunyai tujuan yaitu
membangun sistem Islam melalui konstitusional.111
Pada akhir tahun 1947,
Maududi berpendapat bahwa dia tidak akan berperang untuk Pakistan karena hal
tersebut bukanlah sikap seorang Muslim. Akan tetapi pada bulan Oktober beliau
ditangkap dan dipenjara sampai bulan Mei 1950 dengan tuduhan sebagai dalang
dibalik kerusuhan yang terjadi di Kashmir.112
Misi JI ialah menciptakan sebuah
negara Islam di Pakistan. Selain program politik, JI juga menjalankan programnya
di bidang publikasi dan pekerjaan sosial. Program yang paling positif sejak
Februari 1952 ialah perawatan medis gratis. Pusat pelayannya kurang lebih 130
110
Noman Sattar, “al-Ikhwan al-Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims and
Ideology, Role and Impact,” Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, pp. 7-30, (1995), h. 26. 111
Abdul Rashid Moten, Revolution to Revolution Jama‟at-e-Islami in the Politics of
Pakistan, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), h. 11 112
Freeland Abbott, “The Jama‟at –i-Islami of Pakistan,” Middle East Journal, Vol.11,
No.1 (1957), h. 41.
43
titik yang menyebar di seluruh Pakistan dan bantuan tersebut diberikan kepada
1.837.430 orang pada tahun 1955-56.113
Pendapatan yang masuk ke JI untuk
membiayai program-programnya hanya berasal dari iuran anggota, wakaf
anggota, dan infaq.
Organisasi JI erat hubungannya dengan IMM karena metode dan ideologi
yang diterapkan sama. Beberapa di antaranya yang sama yaitu: ideologi bahwa
menegakkan “kedaulatan Tuhan di muka bumi adalah sebuah keharusan seorang
Muslim” yang sama dan bersifat global, strategi penekanan terhadap kebangkitan
kesadaran Islam di kalangan massa, dan pendirinya menegaskan bahwa JI dalam
visi Universalisme Islam. Maududi berpendapat bahwa “Islamisasi dari atas‟”
melalui sebuah negara di mana kedaulatan akan dilaksanakan atas nama Alaah
dan Syari‟ah akan dilaksanakan dan menyatakan bahwa politik adalah bagian
integral dari keyakinan Islam yang tidak terpisahkan.114
Pemahaman dan penyebaran ideologi al-Maududi menggunakan buku yang
ditulis oleh beliau sendiri yaitu Toward Understanding of Islam (1930) dan
Purdah (1939). Ia juga menulis sebuah buku dengan judul Jihad fi Sabilillah
(Jihad di Jalan Allah) yang menerangkan beberapa gagasan jihad dan
menceritakan sepak terjang IMM melalui jihad, pengaruh IMM terhadap JI, dan
mengutarakan kesamaan pemikiran dengan Hasan al-Banna.115
Buku-buku
tersebut menjadi buku referensi untuk para anggota gerakan IMM dan gerakan
kebangkitan Islam lainnya.
2. Indonesia
Organisasi di Indonesia yang mengusung ideologi revivalisme Islam cukup
banyak seperti Muhamadiyyah dan Persis. Akan tetapi organisasi yang memiliki
hubungan cukup erat dengan IMS ialah Partai Keadilan Sejahtera (selanjutnya
ditulis PKS). PKS berawal dari gerakan dakwah kampus yang kemudian
bertransformasi menjadi Partai Keadilan (selanjutnya ditulis PK). PK didirikan
113
Freeland Abbott, “The Jama‟at –i-Islami of Pakistan,” h. 46. 114
Gilles Kepel, Jihad: The Trial of Political Islam, h. 34. 115
Muhammad Hatta, Al-Ikhwanul al-Muslimun: Kajian dari konsep dan Strategi
Dakwah, h. 178.
44
pada tanggal 20 Juli 1998 kemudian baru dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus
1998 di Lapangan Masjid al-Azhar Kebayoran Baru dengan jumlah massa yang
hadir mencapai 50.000 orang. Pada 3 Juli 2003 secara resmi Partai Keadilan
menjadi Partai Keadilan Sejahtera. PKS terinspirasi dari gerakan IMM, gerakan
tarbiyah yang merupakan tulang punggung dan pendukung utama partai ini untuk
mengaplikasikan ajaran-ajaran Islam dengan kehidupan sehari-hari.116
Strategi
PKS dengan dakwah struktural yakni berupaya melakukan perubahan dan
pembaharuan tata aturan perundang-undangan yang lebih Isalmi.
Tokoh PKS yang diangkat sebagai mursyid pada tahun 1991-1997 ialah
Helmi Aminuddin (1947-). Sebelumnya Helmi Aminuddin disponsori oleh
Soeripto (1936-) untuk mempelajari ajaran dan manhaj IM di Timur Tengah. Pada
tahun 1985, Helmi Aminuddin mengadopsi ajaran, metode, dan berhubungan
langsung secara organisasi dengan organisasi IMS yang dipimpin oleh Sa‟id
Hawwa.117
Sementara Yusuf al-Qardawi pernah berkata bahwa gerakan Islam
yang paling mirip dengan IMM di Indonesia ialah PK.118
Sampai sekarang Helmy
Aminuddin tetap menjadi ketua Dewan Syuro PKS. Usaha PKS untuk
menyebarkan luaskan gagasan mereka dengan mendirikan beberapa lembaga
antara lain: lembaga bimbingan belajar Nurul Fikri, lembaga pendidikan Islam al-
Hikmah, lembaga dakwah Khoiru Ummah, lembaga pengkajian Sidik, majalah
Sabili dan beberapa penerbit buku seperti: Gema Insani Press, al-Ishlahy Press,
Pustaka al-Kautsar, Robbani Press, I‟tishom, Era Intermedia, dan asy-Syamil.119
Sistem pengkaderan PKS yang dilakukan di dalam lingkungan kampus
secara umum terbagi menjadi 3 tahapan yaitu ta‟rif, takwin dan tanfidz. Ta‟rif
ialah fase pengenalan Islam kepada objek dakwah melalui pendekatan personal
ataupun massal dan kemudian merekrut sejumlah anggota baru. Kelompok ini
mengadakan acara training dan dikenalkan dasar-dasar aqidah Islamiyah. Takwin
116
Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera; Wajah Baru Islam Politik Indonesia,
(Bandung: Harakatuna, 2005), h. 59. 117
Zuly Qodir, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia,
(Jogjakarta: Jusuf Kalla School of Government, 2013), h. 129. 118
Yon Machmudi, Indonesia and Egyptian Brothers: The Rise of Jamaah Tarbiyah and
the Prosperous Party (PKS), ANU Press, 2008, h. 135. 119
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen, (Jogjakarta: LKis, 2008), h. 43.
45
ialah tahap pengkaderan ketika objek yang direkrut saat ta‟rif menunjukkan
potensi menjadi aktivitas dakwah kampus. Pembinaan pada tahap ini dilakukan
dalam Halaqoh, yaitu kelompok kecil pembinaan 5 sampai 10 orang yang
dibimbing oleh seorang pembina (murabbi). Pada proses ini pembinaan berjalan
secara itensif dalam pertemua (liqa‟) yang dilaksanakan sekali dalam sepekan.
Tanfidz ialah tahap realisasi kerja-kerja dakwah. Para aktivis yang sudah lulus
pada tahap takwin yang dinilai sudah siap, diarahkan menjadi pendakwah kampus
yang sering disebut sebagai ADK (Aktivis Dakwah Kampus). Mereka difungsikan
menjadi murabbi-murabbi di kampus untuk membimbing halaqoh.
Materi-materi yang dibahas saat berkumpul atau halaqoh banyak
menggunakan buku karangan Sa‟id Hawwa yang merupakan seorang ideolog
IMS, di antaranya ialah buku Allah, al-Islam jilid 1 dan 2, ar-Rasul, Mensucikan
Islam, al-Madkhal, dan Jundullah.120
Buku-buku tersebut diterjemahkan dan
diterbitkan oleh salah satu penerbit PKS sendiri yaitu al-Islahy Press.121
3. Malaysia
HMM (Hizbu Muslimin Malaya) berdiri pada bulan Maret 1948. Pada 24
November 1951 secara resmi HMM diganti menjadi PAS (Persatuan Islam Se-
Malaysia).122
Ideologi PAS yaitu menerapkan semua aspek ajaran Islam seperti
politik, ekonomi, nilai sosial, dan lain-lain. PAS ingin membangun nasionalisme
Melayu dan negara Islam yang mencakup tujuan, doktrin, kedaulatan, struktur,
kewarganegaraan dan sistem ekonominya. Perjuangan PAS untuk memerdekakan
Malaya dari pemerintahan Inggris dengan mengajukan 5 tuntutan yaitu: pertama,
bangsa Melayu ialah pemilik sah Malaya. Kedua orang Melayu harus diberi hak
120
Zuly Qodir, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik Indonesia, h.
131. 121
Selain buku-buku Sa‟id Hawwa, beberapa buku karangan organisasi revivalisem Islam
juga menjadi rujukan gerakan PKS ini seperti: buku Hasan al-Banna, Risalah Pergerakan Aqidah
dan Risalah Ta‟lim; Abu al-A‟la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam; Yusuf al-Qaradhawi,
Karakteristik Islam, Khutbah Jum‟at tentang Demokrasi, Hakikat Tauhid, al-Halal wal Al-Haram,
Tsaqafatud Da‟iyyah, wasa‟ilut Tarbiyyah „inda Ikhwanil Muslimin, dan as-Sunah sebagai
Sumber Iptek dan Perdaban; Ibn al-Qayyim, Riyadlush Shalihin, ar-Ruh; Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din; dan Imam an-Nawawi, Riyadhush Shalihin. M. Imdadun Rahmat,
Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 244-271. 122
Ibrahim Abu Bakar, “PAS and Its Islamist Fundamentalism in Malaysia,” Journal of
Human Sciences, No. 43, (July 2009), h. 5.
46
istimewa. Ketiga, loyalitas kepada Malaya adalah kewarganegaraan Melayu.
Keempat, karena Islam adalah agama orang Melayu di Malaya, maka Islam harus
menjadi agama resmi negara ini. Dan yang terakhir Melayu harus menjadi bahasa
nasional. Komitmen utama PAS ialah kewarganegaraan Melayu, negara Islam,
ekonomi sosialis, dan anti-kolonialisme. PAS telah mengadopsi ajaran Ikhwanul
Muslimin.123
PAS memiliki 7 pemimpin sejak didirikan sampai tahun 2000-an yaitu:
Ahmad Fuad Hasan (1951-1953), Dr Abbas Alias (1953-1956), Dr. Burhanuddin
al-Helmy (1956-1969), Mohd Asri Muda (1969-1982), Yusof Rawa (1982-1988),
dan Fadzil Mohd Noor (1988-2002), dan Abdul Hadi Awang (2002-2008). Setiap
pemimpin PAS mempunyai perbedaan karakter dan pandangan selama
kepemimpinan. Dari tahun 1951 sampai 1956, PAS cenderung tradisionalis dan
orientasi utama hanya pada nasionalisme Melayu, anti kolonialisme, dan masalah
ekonomi-sosial. Pada masa 1965-1982, PAS menempatkan orientasinya pada
pembentukan tatanan negara setelah merdeka dari Inggris dan cenderung menjadi
lebih „Malaysia‟ karena bergabung dengan pemerintahan. Pada masa Mohd Asri
Muda 1969-1982), PAS mulai mengembangkan isu transnasionalis dengan isu
kelompok separatis muslim di Thailand dan bantuan kepada pasukan Muslim
Internasional untuk membantu Palestina pada tahun 1975. Pada masa
kepemimpinan Yusuf Rawa, Fadhil Noor, dan Abdul Hadi Awang, mereka
membawa PAS kepada jalan Islam yang sejati. Pengaruh Islamisme yang lebih
internasionalis yang di bawa karena latar pendidikaan mereka selama belajar di
luar negeri. Yusuf Rawa berada di bawah pengaruh IMM ketika belajar di Kairo
dan Abdul Hadi Awang yang belajar dari tahun 1974 sampai 1976 di Mesir,
berhubungan langsung dengan IMM.124
Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya suatu gerakan sosial atau
khususnya gerakan sosial Islam yaitu: faktor internal dari dalam umat Islam
123
Ran Meir, Malaysia Welcomes Hamas, Brotherhood: Report, Clarion Project News,
artikel diakses pada tanggal 30 November 2017 pukul 15.08 WIB, dari
https://clarionproject.org/malaysia-welcomes-hamas-brotherhood/. 124
Dominik M. Müller, “An Internatinalist National Islamic Struggle? Narratives of
„Brothers Abroad‟ in The Discursive Practices of The Islamic Party of Malaysia (PAS),” South
East Asia Research, Vol. 18, No.4, (2010), h. 760.
47
sendiri dan faktor eksternal. Beberapa gerakan sosial Islam yang muncul pada
akhirnya memiliki tipologi sendiri yang menjadi ciri khas dan karakteristik.125
Pada dasarnya terdapat perbedaan terhadap gerakan yang terilhami oleh IMM
yaitu, pertama; gerakan yang mengusung dan memakai nama IM secara resmi
seperti IM Yordania, IM Sudan, dan IM UEA. Kedua; gerakan yang terinspirasi
dan memiliki persamaan ideologi, tujuan, konsep dengan IMM dan para tokoh
pendirinya pernah bertemu secara langsung dan menjalin hubungan dengan Hasan
al-Banna dan tokoh IM di berbagai negara seperti JI Pakistan, PAS Malaysia, dan
PKS. Dan yang ketiga; gerakan yang sama-sama mengusung konsep “tajdid
(pembaharuan) Islam” atau “revivalisme dalam diri Islam sendiri,”126
seperti FIS
Aljazair.
Demikian uraian sejarah dan perkembangan Ikhwanul Muslimin Mesir dan
pengaruhnya terhadap beberapa negara. Pada bab berikutnya yang merupakan inti
dari penelitian ini akan menguraikan tentang sejarah dan perkembangan Ikhwanul
Muslimin Suriah, peranannya di bidang sosial dan agama kepada masyarakat,
respons masyarakat Suriah terhadap organisasi tersebut serta organisasi IMS
pasca-peristiwa al-Ahdath tahun 1982.
125
Zakiyah Darojat, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-2005);
kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, h. 103. 126
Tajdid atau Revivalisme Islam adalah kebangkitan kembali Islam dalam fenomena
sosial, budaya, dan politik modern sebagai respons terhadap faktor internal di dunia Islam yaitu
kemunduran dan stagnasi sedangkan faktor eksternal dari kolonialisme Barat. Para pemikir
Muslim mulai mengusulkan ide tersebut pada akhir abad ke-19 seperti Muhammad Abduh (Mesir
1849-1905), Sayyid Ahmad Khan (India 1817-1898), dan Jamaluddin al-Afghani (Afghanistan
1838-1897). Ibrahim Abu Rabi, “Facing Modernity: Ideological Origins of Islamic Revivalism,”
Harvard International Review, Vol. 19, No. 2, (1997), h. 12-13.
48
BAB IV
PERAN IKHWANUL MUSLIMIN SURIAH DALAM BIDANG
SOSIAL DAN AGAMA
A. Sejarah dan Perkembangan Ikhwanul Muslimin di Suriah
Arus revivalis Islam yang menguasai Arab mulai menumbuhkan gerakan-
gerakan baru yang mengusung ideologi tersebut salah satunya ialah Ikhwanul
Muslimin. Jika di Mesir, IM berkembang karena ulama dianggap tidak responsif
terhadap kebutuhan umat Islam dalam masyarakat modern. Maka di Suriah, ulama
memainkan peran utama dalam organisasi IM tersebut. IMS berakar dari beberapa
Jam‟iyyat (asosiasi atau masyarakat) yang berkembang pada akhir abad 19.
Pada tahun 1920 sampai 1930, Jam‟iyyat berkembang di kalangan
menengah ke bawah dengan tujuan menghidupkan kembali Islam dan menentang
pengaruh budaya Barat, seperti bioskop dan cara berpakaian perempuan.
Keberadaan Jam‟iyyat menunjukkan bahwa gerakan IMS tumbuh dari akar asli.
Beberapa Jam‟iyyat yang ada di Suriah yaitu Jam‟iyyat al-Shubban al-Muslimin
(Asosiasi pemuda Muslim) di Aleppo, kelompok mahasiswa Universitas Suriah,
Shabab Muhammad (Pemuda Muhammad), Rabita al-Diniyya (Liga Agama) di
Homs, Jam‟iyyat al-Ghara, Jam‟iyyat al-Hidayah al-Islamiyyah di Damaskus dan
Jam‟iyyat al-Makarim wa Akhlaq al-Islamiyya (Asosiasi untuk moral mulia umat
Islam) mengadakan konferensi bersama untuk mempererat hubungan dan
menyatukan kegiatan mereka.127
Konferensi antara jam‟iyyat pertama kali diadakan di kota Aleppo pada
tahun 1935 dan diresmikan menjadi markas dengan sebutan Dar al-Arqam pada
tahun 1937.128
Konferensi kedua diselenggarakan di kota Homs pada tahun 1937
dan yang ketiga di kota Damaskus tahun 1938. Kemudian aktivitas menurun pada
pertengahan 1940-an karena PD II. Pada tahun 1943, konferensi keempat
diselenggarakan kembali di kota Homs dan memutuskan untuk mendirikan dua
127
Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social
Origins, and Ideology,” h. 215-216. 128
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 24.
49
organisasi pemuda militer yaitu Saraya dan Futuwwa. Pada konferensi kelima di
Aleppo tahun 1944 memutuskan untuk memindahkan kantor pusat dari Aleppo ke
Damaskus dan membentuk Komite Pusat Tertinggi.
Pada tahun 1945, sebagian besar Jam‟iyyat bersatu secara resmi sebagai
Ikhwanul Muslimin dan menunjuk Mustafa al-Siba‟i129
menjadi al-Muraqib al-
„Amm (pengawas umum). Tingkat kepemimpinan Siba‟i lebih rendah daripada
Hasan al-Banna yaitu Murshid al-„Amm (pembimbing atau pemimpin umum).
Akan tetapi Siba‟i sendiri mencatat bahwa tidak ada hubungan organisasi atau
administratif antara Mesir dan Suriah. Hubungan antara kedua kelompok hanya
saling mendukung secara politis dan persamaan ideologi. IMS berhutang banyak
kepada ide-ide berorganisasi IMM dan terinspirasi oleh keberhasilan IMM sebagai
gerakan Islam yang besar.
Setelah merdeka dari penjajahan Prancis tahun 1946, IMS mulai bersaing
dengan partai ideologis seperti Partai Ba‟ath dan Partai Komunis. Pengikut
Ikhwanul Muslimin mendapatkan pengikut paling banyak di kota Hama dan dari
kaum tradisional Sunni antara kelas menengah ke bawah. Sedangkan partai Ba‟ath
secara eksklusif didominasi oleh kaum urban dari daerah Hawran dan Jabal-Druz.
Partai Komunis meraih pengikut dari masyarakat Kristen, Sunni, dan Armenia.
Suara masyarakat Sunni terpecah karena tidak satu mendukung IMS dan banyak
yang mendukung partai lain seperti Ba‟ath dan Komunis.
Anggota dalam organisasi IMS di bagi menjadi 4 bagian yaitu, simpatisan,
pendukung, anggota aktif, dan anggota terhormat. Simpatisan merupakan anggota
yang hanya diminta membayar iuran dan kehadirannya di rapat tidak wajib.
Pendukung merupakan anggota yang mengajukan permintaan tertulis untuk
bergabung dengan IMS dan berada di bawah anggota aktif. Seorang anggota aktif
harus memiliki anggota pendukung setidaknya selama satu tahun dan bersama-
sama menghadiri rapat secara teratur, membayar iuran dan telah mengambil
129
Mustafa bin Husni al-Siba‟i lahir di kota Homs pada tahun 1915. Beliau berasal dari
keluarga ulama di Suriah dan melanjutkan kuliahnya di al-Azhar tahun 1933. Pada tahun 1941, ia
bergabung dengan IMM dalam berbagai demonstrasi menentang penjajahan Inggris. Pada tahun
1945, menjadi pemimpin tertinggi bagi IMS dan menjabat sampai tahun 1961. Beliau meninggal
pada usia 49 tahun di tahun 1964.
50
sumpah sebagai Ikhwanul Muslimin. Seorang anggota yang memegang status
„kehormatan‟ merupakan seorang tokoh Muslim terkemuka yang ditawarkan oleh
organisasi IMS. Sedangkan di IMM tidak ada anggota yang lebih terhormat
daripada anggota jihadis. IMS menggunakan metode seperti ini karena
berkonsentrasi pada proses parlementer dan menghindari kegiatan teroris di
bawah Mustafa al-Siba‟i. Sebagai hasilnya pada pemilihan Juli 1947, IMS
berhasil menempatkan 3 perwakilannya duduk di parlemen. Atas keberhasilannya
tersebut, al-Siba‟i mengirim sebuah telegram kepada Hasan al-Banna yang
menyatakan pemilihan Suriah adalah “wakil resmi dari ide Islam yang pertama
kali dipilih ke parlemen di negara-negara Islam atau Arab”.130
Mustafa al-Siba‟i menekankan bahwa IMS berideologi sosialisme dan non-
sektarian karena menjunjung Arabisme dan universal. Filosofi nasionalisnya ialah
bahwa kami adalah Islam, bukan Islam yang dilembagakan atau aspek tata cara
keagamaannya yang hanya menyangkut umat Islam, tapi Islam dalam arti yang
luas dengan filososfi hidupnya yang menyeluruh, pengajaran etika umum, dan
undang-undang Islam (madani). Ini adalah filosofi kita sebagai Arab.131
IMS juga
menekankan bahwa pesan gerakan mereka bersifat religius tapi tidak sektarian
karena agama adalah persaudaraan sedangkan sektarianisme adalah permusuhan.
Ideologi dan pesan-pesan inilah yang disiarkan agar IMS mendapatkan pengikut
dari masyarakat beragama minoritas di Suriah.
IMS pertama kali mendapatkan penekan dari pemerintah pada saat kudeta
militer yang dilancarkan oleh Husni az-Zaim (1897-1949) pada bulan Maret tahun
1949. Pada bulan Mei, semua partai di Suriah dibubarkan termasuk IMS. Akan
tetapi pada bulan Agustus tahun 1949 pemerintahan di ambil alih oleh Hashim
Khalid al-Attasi (1875-1960). Pemerintahan Suriah kembali menjadi demokrasi
parlementer.132
Kudeta terjadi kembali pada bulan November 1951 oleh Kolonel
Adib Shishakli (1909-1964) yang mengambil alih institusi pemerintahan dan
130
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 29. 131
Mustafa al-Sibai‟i, Ikhwanul Muslimin, dalam artikel Joshua Teitelbaum, The Muslim
Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social Origins, Ideology, h. 221. 132
Untuk mengetahui lebih lanjut urutan presiden Suriah bisa dilihat dalam lampiran
pertama.
51
memainkan kediktatoran militer yang berlangsung sampai Februari tahun 1954.
Pada masa 2 tahun jabatannya Adib Shiskali memutuskan untuk membubarkan
semua partai termasuk IMS sehingga partai Ba‟ath menjadi partai tunggal yang
diakui pemeritahan.133
Setahun setelah kudeta Adib Shiskali, Mustafa al-Siba‟i dipenjara dan
gerakan IMS menyusut dari politik beralih ke pendidikan dan pekerjaan sosial.
Pada tahun 1954, IMS absen tidak mengikuti pemilihan parlemen. Aktivitas
politik IMS mengalami penurunan yang signifikan karena adanya penggabungan
antara Suriah dan Mesir (UAR) dari tahun 1958 sampai 1961.134
Pada tahun 1961
juga, Mustafa al-Siba‟i meregenerasi kepemimpinan IMS kepada „Isam al-
Attar.135
Setelah berpisah dari Mesir, IMS melanjutkan aktivitasnya dan berperan
aktif mengawal pemerintahan. IMS memenangkan sepuluh kursi pada pemilihan
parlemen tahun 1961, salah satu kursi tersebut diambil oleh al-Attar sendiri.136
Saat terjadi kudeta partai Ba‟ath tahun 1963, IMS menentang sifat sekuler
pemerintah dan reformasi sosialis yang merugikan pihaknya. Rentang tahun 1963
sampai 1982 merupakan tahun pertarungan antara partai Ba‟ath dan IMS di
panggung politik Suriah. Seringkali digambarkan sebagai perjuangan antara
modernitas dan fanatisme agama.
Pada tahun 1964, setelah „Isam al-Attar melakukan perjalanan ke Arab
Saudi untuk berhaji dan menghadiri konferensi Ikhwan, kemudian beliau dicegah
masuk ke Suriah oleh pihak berwenang. Alasan tidak diperbolehkan masuk
133
Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria,” h. 613. 134
Pada awalnya IMM dan IMS menyambut Nasser sebagai pahlawan dari sikap Arabisme
dan anti-kolonialisme. Sampai akhirnya Nasser mulai menunjukkan sikap sekulernya dan
membubarkan IMM pada tahun 1954. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1958, Nasser kembali
mengumumkan sebuah dekrit yang membubarkan semua partai politik yang berada di wilayah
Suriah termasuk IMS. Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 66.
Pemisahan di antara kedua negara tersebut karena Suriah mengalami perebutan kekuasaan dengan
kudeta militer yang dipimpin oleh Kolonel Hafiz al-Assad tahun 1961. 135
„Isam al-Attar lahir di kota Aleppo pada tahun 1927 dan berasal dari sebuah keluarga
yang mendukung Khalifah Turki Sultan Abdul Hamid II. Pada tahun 1951, al-Attar secara terbuka
menyerang kediktatoran Presiden Adib al-Shiskali kemudian melarikan diri ke Mesir. Beliau
menjalin menjalin kedekatan dengan Sayyid Qutb dan merupakan orang kepercayaan Mustafa al-
Siba‟i. Key Figures in the Syrian Muslim Brotherhood, Carneige Middle East Center, artikel
diakses pada tanggal 9 November 2017 pukul 20.41 WIB, dari http://carnegie-
mec.org/diwan/51470?lang=en 136
Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 65.
52
kembali ke Suriah karena salah satu kelompok IMS di Hama yang dipimpin oleh
Marwan Hadid (1934-1976) terlibat perselisihan dengan aparat keamanan.137
Attar
sendiri mengklaim bahwa ia tidak mengetahui tentang tindakan Hadid dan hanya
mengetahui peristiwa tersebut melalui media berita. Sampai tahun 1967, „Isam al-
Attar belum bisa kembali ke Suriah dan selama itu ia tinggal di beberapa negara
seperti Lebanon, Kuwait, Yordania, Jenewa, Belgia, dan Jerman.138
Dampak langsung dari pembuangan Attar ialah menciptakan kekosongan
dan menyebabkan krisis kepemimpinan organisasi IMS dan menyulitkan
kelompok berkembang lebih militan. Pada saat inilah muncul pergesekan antara
faksi Aleppo yang frustasi menghadapi ketegangan dengan rezim Ba‟ath,
sedangkan faksi Damaskus menyikapinya dengan lebih moderat dan pasif. Faksi
Aleppo yang unggul dalam jumlah anggotanya meminta untuk mengadakan
pemilihan pengawas umum yang akan menggantikan „Isam al-Attar. Abu Fatah
Abu Ghuddah (1917-1997) terpilih menjadi ketua IMS pada tahun 1972. Ia
menginginkan kegiatan IMS yang lebih fokus dalam dakwah dan pendidikan. Di
bawah kepemimpinannya IMS tidak berpartisipasi pada pemilihan daerah dan
legislatif yang terjadi pada tahun 1972 dan 1973, keputusan ini menjadi konflik
internal IMS kubu Aleppo dan Damaskus.
Adnan Saad Eddine (1929-2010) mengambil alih jabatan pengawas umum
IMS pada tahun 1975 dan pemilihan tersebut menandai dominasi fraksi Aleppo
secara formal. Menurut Alison Pargeter, setelah pergantian pemimpin tersebut
mengubah karakter IMS yang telah dibangun oleh Siba‟i dari tahap dakwah ke
fase jihad memperjuangkan negara Islam.139
Aktivis aksi militan IMS adalah
pelajar dan kaum intelektual yang berusia 20-30an. Mereka dari kalangan
137
Setelah perselisihan Marwan Hadid dan pengikutnya berlindung di Masjid Sultan.
Rezim Ba‟ath yang baru menanggapi dengan menyerang masjid menggunakan tank dan artileri.
Akibatnya 115 orang meninggal dalam penyerangan tersebut, tetapi Hadid dan pengikutnya yang
selamat di penjara dan dijatuhi hukuman mati. Pada tahun 1970-an, Hadid sempat dibebaskan oleh
Muhammad al-Hamid yang memohon kasusnya kepada Hafez al-Assad. Setelah dibebaskan ia
mendirikan kelompok jihad radikal al-Tali‟a al-Muqatila (Fighting Vanguard) di Hamah. Marwan
Hadid ditangkap dan dipenjara kembali pada tahun 1976 setelah melakukan pembunuhan
berdarah terhadap politikus Ba‟ath. Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical
Muslim Thinker in Modern Syria,” h. 616. 138
Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 67. 139
Alison Pargeter, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, h. 70.
53
mahasiswa, guru sekolah, insinyur, dokter, dan sejenisnya. Dari tahun 1967
hingga 1981, jumlah aktivis yang ditangkap mencapai 1.384. Di antaranya paling
sedikit 28% adalah siswa, 8% adalah guru sekolah, 13% adalah anggota profesi,
termasuk 79 insinyur, 57 dokter, 25 pengacara, dan 10 apoteker.140
Pada tanggal
27 Juni 1980, lebih dari 1.000 tahanan yang merupakan anggota Saraya dieksekusi
mati oleh regu tembak dan granat di penjara Tadmur, Palmyra. Eksekusi tersebut
terjadi karena adanya upaya percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Hafez
al-Assad pada sehari sebelumnya.141
Pada bulan Agustus 1980, IMS
mengeluarkan sebuah seruan kepada semua Muslim Suriah untuk bersatu dengan
IMS di bawah naungan kepemimpinan yang lebih luas dan tidak partisian. Pada
bulan Oktober 1980, IMS mendirikan Front Islam di bawah kepemimpinan Abu
al-Nasr al-Bayanuni. Pada akhirnya IMS dari tahun 1980-1982, tidak memiliki
satu kepala kepemimpinan yang tertinggi.
B. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Sosial
Sejak awal IMS lahir dari masyarakat yang peduli akan lingkungan sosial,
politik dan agamanya. Mustafa al-Siba‟i sebagai pendiri merumuskan ideologi
IMS adalah Sosialisme Islam, yang di dalamnya mengakui lima hak yaitu: hak
untuk hidup, kebebasan, pengetahuan, martabat, dan hak kepemilikan. Untuk
mendukung terwujudnya sosialisme harus ada nasionalisasi, pengambilalihan
modal, keterbatasan kepemilikan, dan pajak progresif. Tujuan sebenarnya
sosialisme Islam ialah mencegah individu mengeksploitasi modal dengan
mengorbankan massa yang menderita, berusaha membangun kesetaraan sosial,
dan menghilangkan kemiskinan. Pada masa kepemimpinan Siba‟i tidak sama
sekali menyarankan untuk mengangkat senjata dalam melawan pemerintahan
Suriah, akan tetapi ia mencari perubahan melalui reformasi sosial.
140
Syria: Sunni Opposition to the Minority Alawite Regime, Directorate of Intelligence,
data rilis pada tanggal 11 April 2011. 141
Artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2018 pukul 12.36 WIB, dari
http://ikhwansyria.com/2016/09/%D9%85%D8%AC%D8%B2%D8%B1%D8%A9-
%D8%B3%D8%AC%D9%86-%D8%AA%D8%AF%D9%85%D8%B1/
54
Organisasi Futuwwa yang didirikan oleh jam‟iyyat pada tahun 1943 terus
dipertahankan oleh Siba‟i. Organisasi tersebut menjadi salah satu pilar terpenting
bagi IMS, karena pelatihan ini menciptakan generasi yang kuat untuk
menyebarkan pesan Ikhwan dengan semangat, pengorbanan, ketaatan, dan
ketertiban. Tujuan utamanya ialah mempersiapkan pemuda Muslim untuk
menjalani jihad Islam berdasarkan pelatihan spiritual dan pengembangan tubuh.
Persayaratan untuk memasuki organisasi ini antara lain pemuda di atas umur 16
tahun, memiliki tubuh yang sehat, tidak menjadi bagian dari organisasi politik,
sosial, dan olahraga lainnya. Kecakapan yang dibutuhkan untuk memenuhi syarat
antara lain: berkemah, pelacakan jejak, mengendarai sepeda dan motor, menghafal
sebagian al-Qur‟an, Hadits, biografi nabi, waktu shalat, dan bagaimana
menentukannya.
Siba‟i mengadakan kamp musim panas untuk pelatihan Futuwwa yang
diikuti kurang lebih 300 orang di kota Yabrud 1945, di kota Latakia 1946, dan di
kota Misyaf 1947. Pada tahun 1950 organisasi tersebut sudah ada di semua
cabang IMS, wilayah yang paling aktif ialah Homs, Aleppo, Damaskus, Hama,
Idlib, dan Dayr al-Zur.142
IMS juga mengoperasikan beberapa klub olahraga yang
anggotanya juga dari futuwwa. Klub terkuat yang berhasil diciptakan ialah klub
basket Nadi Fityan Badr di Damaskus dan klub Qadisiyya di Homs.
Peran IMS di tengah-tengah masyarakat mulai terasa dengan hadirnya surat
kabar al-Manar yang didirikan tahun 1947, editornya dikepalai oleh Siba‟i dan
Bashir al-„Awf. Walaupun surat kabar al-Manar dilarang pada pertengahan 1949
oleh Husni az-Za‟im, pada bulan November muncul kembali sebagai al-Manar al-
Jadid. Surat kabar ini menjadi juru bicara utama bagi IMS. Pada tahun 1952, surat
kabar ini dilarang kembali oleh Adib al-Shishakli. Akan tetapi mulai diterbitkan
kembali setelah Adib al-Shiskali lengser dari pemerintahan tahun 1954.
IMS menunjukkan perhatiannya pada „sosialisme‟ dengan mendirikan Front
Sosialis Islam (al-Jabha al-Islamiyyah al-Istikhariyyah) pada tahun 1949. FSI
mengorganisir berbagai kelompok pekerja untuk berbagai kegiatan seperti
142
Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social
Origins, and Ideology,” h. 229.
55
membangun sekolah dan memberikan konsultasi untuk para pekerja yang
memperjuangkan haknya. FSI juga membantu menyalurkan pekerjaan bagi kaum
miskin, memberikan perawatan medis bagi yang membutuhkan, dan menawarkan
pendidikan gratis bagi masyarakat buta huruf. IMS memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap serikat-serikat pekerja. Di kota Damaskus 70% serikat pekerja
setia kepada IMS, sedangkan di kota Homs dan kota Hama angggota IMS bahkan
yang menjadi pemimpin beberapa serikat. IMS juga membentuk koperasi di mana
semua pekerja berpartisipasi dan berbagi keuntungan. Dari koperasi ini juga
menawarkan pinjaman bagi pemuda yang ingin melanjutkan pendidikanya. Salah
satu contohnya ialah Marwan Hadid yang menuntaskan pendidikannya dalam
bidang teknik pertanian di Mesir berkat uang pinjaman tersebut.143
IMS di bawah Siba‟i mengembangkan agenda khusus yang menyerukan isu-
isu anti-feodalisme, ketergantungan pada kekuatan asing, dan dominasi kelas elit.
Dengan demikian Ikhwan memimpin perjuangan yang dimainkan antara kelas
menengah dan menengah ke bawah melawan kelas atas semi-feodal. Menurut
seorang analisis dalam buku Raphaël Lefèvre, pada awal 1950-an kegiatan sosial
dan ekonomi IMS telah menaungi dan mencakup banyak kehidupan di Suriah
sampai menjadikan organisasi tersebut “negara dalam sebuah negara” 144
Pada masa kepemimpinan I‟sam al-Attar (1961-1972), masyarakat, ulama
konservatif dan ulama moderat telah mencapai satu kepahaman bahwa visi
mereka “negara Islam” yang demokratis, membuka keran ijtihad, dan menjadikan
syari‟ah sebagai sumber undang-undang. Ketika berakhirnya UAR (1961), I‟sam
al-Attar mendapatkan ajakan dari Abdul Karim Nahlawi untuk mengkudeta
pemerintahan pada tahun 1962. Setelah kudeta berhasil, Presiden Nazim al-Qudsi
yang menawarkan posisi jabatan sebagai Perdana Menteri kepada al-Attar tetapi ia
menolak kembali. Menurut I‟sam al-Attar keterlibatan militer dalam politik tidak
dapat membawa kebaikan bagi demokrasi.145
Pada tahun 1963 terjadi kudeta
kembali dan Pemerintahan Suriah sejak saat itu dikuasai oleh Partai Ba‟ath.
143
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 99. 144
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 35. 145
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 89.
56
Pada tahun 1963 menjadi titik balik bagi organisasi IMS dan Partai Ba‟ath
itu sendiri. Pemerintah Ba‟ath menjadi lebih sosialis-liberal dan sektarianisme.
Sedangkan I‟sam al-Attar tidak diperbolehkan masuk kembali ke negara Suriah.
Akibat pengasingan tersebut IMS dilanda krisis kepemimpinan sehingga banyak
anggota yang mulai bergerak sesuasi dengan tokoh lokal IMS. Pemimpin regional
dari Aleppo, Homs, dan Damaskus dari tahun 1964 sampai 1967 mengajak
masyarakat untuk menyerukan pencabutan pembatasan luar negeri dan
penanaman modal swasta kepada pemerintah. Meskipun I‟sam di luar negeri,
beliau menyerukan ratusan anggota IMS untuk berkumpul di Masjid Umayyah,
Damaskus pada Januari 1965, untuk melawan rezim dengan cara damai dan
menolak seruan untuk konfrontasi langsung dengan pasukan kemanan Ba‟ath.146
Kebijakan Hafez al-Assad menerapkan ekonomi yang liberal,
mengakibatkan kerugian yang signifikan terhadap perekonomian skala kecil bagi
pengrajin dan pedagang kecil di kota merupakan korban pertama dalam program
tersebut. Koperasi yang dijalankan IMS juga menawarkan pinjaman untuk
pedagang kecil yang membutuhkan modal atau membuka toko. IMS secara
konsisten sepanjang tahun 1970an, mendampingi masyarakat pemilik lahan yang
telah dirugikan atas kebijakan Ba‟ath terhadap reformasi kepemilikan tanah dan
usaha peminjaman uang pribadi. Kaum Sunni yang sebelumnya menjadi pemilik
lahan harus kehilangan sebagain besar lahannya akibat kebijakan tersebut. IMS
memainkan perannya membantu pemilik lahan untuk mempertahankan
kepemilikannya. Akan tetapi dengan membantu mempertahankan tanah para elit
Sunni, organisasi IMS mulai berubah dari dasar ideologi sosialismenya. Pada
masa ini IMS hanya berupaya bagaimana menggalakkan dukungan dari semua
kelas masyarakat Sunni dan bersatu melawan pemerintahan.
Penduduk kota Hama dan Aleppo menjadi korban utama kebijakan ekonomi
rezim Ba‟ath karena sebagian besar produksi kapas dari wilayah tersebut ke
wilayah timur laut Suriah. Areal yang digunakan untuk produksi kapas menurun
pada tahun 1971 dari 220.000 hektar menjadi 185.100 hektar saja, sehingga pada
tahun 1976 harga tekstil meningkat. Kota Hama dan Aleppo yang bergantung
146
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 89.
57
pada kapas untuk manufaktur skala kecil sangat dirugikan dan meningkatkan anga
pengangguran di kota tersebut. Pada masa kepemimpinan IMS, Abdul al-Fattah
Abu Ghuddah inilah serikat pekerja menjadi aktif sekali dan memperjuangkan hak
mereka. Hubungan antara koperasi pekerja juga menjadi sangat bermanfaat karena
bergotong royong saling membantu ketika mereka membutuhkan modal.
Menurut Raymond Hinnebusch dalam buku Ashes of Hama The Muslim
Brotherhood in Syria, IMS pada akhir tahun 1970-an menjadi lawan yang paling
kejam dari kebijakan sosialis Ba‟ath dan menjadi perpanjangan tangan bagi kaum
pedagang kecil yang hampir gulung tikar. IMS terus menyuarakan kepada
pemerintah untuk mempertahankan nilai-nilai seperti hak kepemilikan properti
pribadi, kebebasan berdagang, dan dorongan investasi swasta dalam
perekonomian nasional.147
Pada tahun 1976, Suriah mencapai inflasi sebesar 30%, sehingga banyak
pekerja perkotaan tidak dapat mengikuti kenaikan biaya hidup sehari-hari yang
meningkat sampai 10 kali lipat. Pola transformasi sosial-ekonomi ini membuat
penduduk yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk tinggal di kota-kota besar
tidak mengubah generasi mereka dan bahkan tercerabut dari lingkungannya.148
Inflasi yang melanda ekonomi Suriah dilambangkan oleh banyak orang sebagai
kegagalan kebijakan ekonomi sosialis yang menjadi doktrin penting partai Ba‟ath
sejak akhir 1940-an. Revolusi ideologi partai Ba‟ath menjungkirbalikkan tatanan
sosial, ekonomi, dan politik tradisional yang ada.
Pada tahun 1980, program yang dijalankan IMS ialah mengatur pembagian
petani tanpa tanah hanya di wilayah yang telah sah menjadi milik negara. Pada
masa inilah kalangan elit tradisional ini mulai bergabung dan memberikan dana
kepada IMS. Demonstrasi untuk revolusi Suriah semakin tumpah dan riuh di kota-
kota besar. Seperti yang dikemukakan oleh Quintan bahwa gerakan aktivisme
Islam meluap karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, sehingga
masyarakat ingin memperbaiki kehidupan mereka kembali menggunakan agama.
IMS merupakan gerakan aktivisme Islam yang bergerak karena kepentingan
147
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 52-53. 148
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 53.
58
anggota dan kalangan Sunni agar kualitas hidup mereka kembali baik dan terbebas
dari pemerintahan minoritas.
Setiap pemimpin IMS mencanangkan program baru yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat Sunni dan tetap meneruskan program-program yang
sebelumnya sudah dijalankan. Berikut beberapa program unggulan dari setiap
pemimpin IMS, yaitu:
Pemimpin IMS Program Unggulan
Mustafa al-Siba‟i (1945-1961)
Program Futuwwa dan Saraya,
Pembentukan cabang FSI, Program
pembentukan klub-klub olahraga secara
regional, Kompetisi olahraga antar klub,
pendidikan gratis bagi masyarakat buta
huruf, perawatan medis gratis, dan Surat
kabar al-Manar.
I‟sam al-Attar (1961-1972)
Kesepakatan antara masyarakat, ulama
konserfatif, dan moderat bahwa visi IMS
ialah negara Islam yang demokratis,
menempatkan 10 wakilnya di kursi
parlemen, koperasi untuk pedagang, dan
beasiswa untuk anggota.
Abdul Fattah Abu Ghuddah (1972-
1975)
Koperasi modal antar pekerja,
memperjuangkan hak-hak pekerja,
koperasi modal khusus untuk kalangan
yang bekerja untuk agama, mobilisasi
serikat pekerja dan tuan tanah untuk
memperjuangkan usaha bebas dan
kepemilikan pribadi.
Adnan Saad Eddine (1975-1980)
Program pendistribusian petani pada
wilayah yang telah sah menjadi milik
negara, Program membantu pemilik tanah
59
untuk memperjuangkan, kepemilikannya,
dan mobilisasi masyarakat untuk revolusi
Suriah.
C. Peran Ikhwanul Muslimin dalam Bidang Agama
Mustafa al-Siba‟i sebagai pendiri IMS percaya bahwa tugas utama gerakan
tersebut adalah dakwah daripada politik. Gerakan IMS hanya berupaya tidak ada
aksi pelarangan aktivitas bagi umat Muslim yang ingin menjalankan ibadahnya.
IMS menuntut penutupan pub di dekat masjid, sejumlah insiden di mana wanita
dilecehkan karena mengenakan rok pendek, pemilik restoran yang menyajikan
alkohol, dan musik keras saat adzan berlangsung.149
Salah satu usaha IMS yang dilaporkan berhasil oleh Legasi Amerika dalam
artikel Joshua, ialah kampanye mencegah prostitusi pada bulan Juli tahun 1947.
Melalui surat kabar al-Manar, IMS menyebarkan dan mengingatkan kembali nilai-
nilai rumah tangga dalam Islam, ganjaran untuk perzinahan, dan semangat
menghidupkan lingkungan Islami.150
Bahkan surat kabar tersebut pernah
menyerang Roxy Teater di Damaskus yang menayangkan iklan wanita dan pada
tahun 1951 membahas isu-isu iklan untuk film yang menunjukkan aurat wanita.
Isi keseluruhan surat kabar tersebut ialah penekanan terhadap nilai Islam yang
puritan. Ketika surat kabar yang lain banyak memuat iklan-iklan produk asing,
surat kabar al-Manar al-Jadid tidak memiliki masalah biaya produksi tanpa
memasang iklan satupun.
IMS menjaga nilai-nilai Islam dalam negeri Suriah dari invasi budaya asing.
Upaya yang dilakukan IMS antara lain, kecaman IMS pada penyair Suriah yang
telah menerbitkan bait-bait romantis yang membuat referensi eksplisit dari tubuh
seorang wanita akhir tahun 1940-an, IMS melayangkan protes tertulis untuk
pembatalan terhadap publikasi Britannia & Eve yang memuat sebuah artikel
149
Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Secularism
in Ba‟athist Syria, h. 15. 150
Joshua Teitelbaum, “The Muslim Brotherhood in Syria, 1945-1958: Founding, Social
Origins, and Ideology,” h. 230.
60
bergambar di dalamnya menunjukkan Nabi Adam, Hawa, dan istri Nabi
Muhammad dengan pakaian yang tidak semestinya yang ditulis oleh Matania
Muhammad, dan IMS juga menulis kepada Presiden dan Perdana Menteri terkait
hal tersebut.151
IMS sering digambarkan sebagai organisasi fanatik agama yang sebenarnya
siap untuk menunjukkan sikap pragmatisme terhadap otoritas politik selama
kepentingan dan nilai-nilai Islam yang mereka bawa maju. Sikap pragmatisme
ditampilkan setelah IMS sepakat bergabung dengan pemerintahan bulan
Desember 1949. Perdebatan terjadi ketika penyusunan konstitusi baru terdapat isu
yang kontroversial yaitu hubungan antara agama dan negara. IMS di bawah
Mustafa al-Siba‟i bersikeras bahwa konstitusi harus mengabadikan agama Islam
sebagai “agama negara.” Masalah ini cukup sensitif karena masyarakat Suriah
yang beragama minoritas cukup banyak jumlahnya dan beragam. Pada akhirnya,
al-Siba‟i cukup meyakinkan parlemen dengan menetapkan bahwa agama kepala
negara ialah agama Islam dan undang-undang bersumber kepada klausul fiqh
Islam.
Pada tahun 1963 dan seterusnya, perjuangan IMS lebih militan karena
revolusi neo-Ba‟ath mengakibatkan pemerintahan yang lebih radikal dan semakin
sekuler. Hal ini terbukti dengan Kongres Nasional Keenam yang diselenggarakan
di tahun itu, Ba‟ath menyerukan transformasi sosial radikal masyarakat Suriah
melalui penghapusan agama sebagai subjek yang diajarkan di sekolah-sekolah
negeri dan juga sekularisasi Hukum Kepemilikan Pribadi yang berbasis syariah.152
Pengenalan langkah-langkah ini membuat marah tokoh agama tertentu yang
menghadiri kongres tersebut. Pada tahun 1964, untuk pertama kalinya di kota
Hama terjadi demonstrasi menyerukan kebijakan pemerintah yang dinilai anti-
agama. Demonstrasi massal dan pemogokan umum tersebut berlangsung selama
29 hari, gerakan tersebut dipimpin oleh anggota IMS yaitu Marwan Hadid.
Kesenjangan pendapatan terjadi antara orang-orang yang bekerja untuk
agama dengan perwira militer. Pendapatan perwira senior militer bisa mencapai
151
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 32. 152
Line Khatib, Islamic and Islamist Revivalism in Syria: The Rise and Fall of Secularism
in Ba‟athist Syria, h. 53.
61
8.000 pound Suriah setiap bulan, mereka bisa membeli barang bersubsidi di
koperasi, membangun rumah dengan pinjaman dari negara yang sangat mudah,
dan penggunaan mobil dinas tanpa pemeriksaan. Sedangkan kalangan yang
bekerja untuk agama seperti: imam shalat pendapatannya sekitar 385-610;
pengajar sekitar 285-455; khatib sekitar 250-420; mu‟azzin (pengumandang
adzan) sekitar 285-320; Qari‟ (pembaca al-Qur‟an) sekitar 150-270; muwaqqit
(pengingat waktu) sekitar 180-250; dan seorang pengurus masjid sekitar 305-385
pound Suriah.153
Dari data di atas maka bisa disimpulkan gaji seorang khatib
bahkan lebih rendah dari pengurus masjid. Gaji para mufti dan qadi juga tidak
jauh tinggi, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan bagi umat beragama.
Mereka tidak bisa hanya mengandalkan gaji dari pelayanan agama maka
kebanyakan menjadi pedagang kecil, pengrajin, dan berjualan buku. IMS
membentuk koperasi modal terpisah untuk membantu kalangan agama tersebut
agar bisa memulai usaha mereka. Masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk
agama semakin tertekan setelah pemerintah pada tahun 1965 mengeluarkan
kebijakan bahwa mereka berhak untuk menunjuk dan memberhentikan seorang
khatib di masjid.
IMS mulai menyuarakan penolakkan terhadap pemerintahan tahun 1966
yang mulai terlibat secara itensif dalam penunjukkan ulama, membawa institusi
Waqaf di bawah naungan pemerintah, serta mengendalikan dan melarang
pengajaran agama di luar masjid.154
Jumlah dan kepadatan ulama juga tidak
merata pada tahun 1970-an, dari 3.000 ulama terdapat 2.000 ulama yang
terkosentrasi di daerah perkotaan sementara hanya ada 1.000 ulama untuk 5.000
desa di berbagai wilayah.155
Hal ini juga terjadi karena fragmentasi masyarakat
Suriah, di mana wilayah perkotaan menjadi pemukiman mayoritas Sunni dan
wilayah pedesaan menjadi basis minoritas.
Pada tahun 1970, hubungan beragama antara masyarakat dan negara mulai
membaik karena Hafez al-Assad merumuskan kembali kebijakan presiden
sebelum dirinya. Hubungan harmonis tersebut tidak berlangsung lama ketika
153
Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 19. 154
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 46. 155
Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 14.
62
Januari 1973, Hafez al-Assad menerbitkan sebuah rancangan konstitusi yang
memicu demonstrasi dan kerusuhan karena “ketidaktentuan agama” dari dokumen
tersebut. Draft tersebut secara implisit menyebutkan Syari‟at Islam sebagai
sumber undang-undang utama, tetapi tidak memasukkan pasal status khusus yang
ditetapkan oleh Konstitusi tahun 1950 yang menyatakan bahwa Agama seorang
kepala negara harus Islam.156
Protes yang berasal dari kota Hama langsung
menyebar ke kota-kota sampai ke ibukota, Damaskus. Tokoh IMS Sa‟id Hawwa
menyatukan seluruh jaringan ulama untuk meningkatkan koordinasi aksi
mempertahankan nilai kredensial Islam yang berada di ujung tanduk. Tanggapan
yang diberikan Hafez al-Assad hanya menyiarkan sebuah artikel bahwa “agama
Presiden adalah Islam.” Namun, ia tetap menolak tuntutan bahwa Islam
dinyatakan sebagai “agama negara.” Penentangan IMS dan masyarakat Muslim-
Sunni tidak hanya terhadap sikap sekularisme Ba‟ath tetapi kebenaran agama
Alawiyah yang dianut oleh Hafez al-Assad semakin jelas.
Pada akhirnya program utama IMS ialah merevaluasi pemerintahan Suriah
dengan cara Suriah menjadi negara Islam, pengadilan independen yang
berlandaskan hukum syari‟ah, dan meniadakan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum Islam. Kebebasan berekspresi, persaingan partai terjamin, hukum Islam
akan mengatur setiap cabang kehidupan sosial-agama di Suriah, dan
pemberantasan judi, alkohol, pelacuran, serta klub malam.157
D. Respon Masyarakat Suriah terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin
Setelah merdeka dari Prancis, Masyarakat Suriah disuguhkan berbagai
macam partai antara lain Partai Ba‟ath yang didirikan oleh Michel Aflaq dan
Salah ad-Din al-Bitar, Partai Komunis oleh Balid Bakhsad, Partai Sosialis Arab
oleh Akram al-Hawrani, Partai Nasionalis Suriah oleh Antun Sa‟ada, dan IMS
oleh Mustafa al-Siba‟i.158
Kalangan pemuda di kota banyak yang tertarik dengan
156
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 48. 157
Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, (New York: Routledge, 2001), h.
91. 158
Itzchak Weismann,“Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern
Syria,” h. 607.
63
sosok Akram al-Hawrani, seorang aktivis populis yang memainkan peran penting
pada masa awal politik Suriah. IMS harus berkompetisi dengan Ba‟ath dan
Komunis untuk mendapatkan dukungan kaum urban Sunni tradisional.
Pada tahun 1950-an, IMS sedikit meraih anggota dari kalangan menengah
dan atas.159
IMS mendapatkan anggota terdiri dari pedagang kecil, pengrajin,
ulama, dan guru. Menurut Hana Batatu bahwa kalangan agamawan mempunyai
kebutuhan ekonomi yang sama dengan pedagang kecil sehingga mereka pada
kelas yang sama.160
Akan tetapi masyarakat Sunni elite sebagai pemilik tanah,
mulai bergabung dan membantu IMS pada tahun 1970-an setelah kebijakan
reformasi kepemilikan tanah.
Bagi masyarakat pedesaan dan etnis minoritas, bergabung dengan partai
Ba‟ath menjadi pilihan yang baik karena pluralitas yang diusung dan fokus Ba‟ath
menyamakan sarana, ekonomi, dan pendidikan bagi wilayah pinggiran. Pengikut
Partai Ba‟ath banyak dari kalangan guru dan tentara. Pada awal berdirinya partai
ini, masyarakat Suriah menyambut dengan hangat karena Ba‟ath bisa menjadi
jembatan antara kelas dan perpecahan sektarian yang telah mempolarisasi
masyarakat. Pada tahun 1953, Partai Ba‟ath bersatu dengan Partai Sosialis Arab
yang menjadikannya partai terbesar di Suriah.161
Akan tetapi Partai Ba‟ath yang menjadi penguasa pemerintahan Suriah,
setidaknya berevolusi dua kali yang menandakan perubahan besar-besaran pada
internal penguasa dan ideologinya yaitu pada tahun 1963 dan tahun 1970. Kudeta
tahun 1963 dan 1970 di Suriah merupakan produk konspirasi dari militer bukan
dari pergerakan rakyat. „Revolusi dari atas‟ ingin menggantikan kekuasaan yang
lama dan membuat konstitusi baru secara masif. Pada tahun 1970, Partai Ba‟ath
mulai membersihkan anggotanya yang berasal dari Sunni dan merekrut anggota
berasal dari Alawiyah dan Druze. Masyarakat Sunni yang pada awalnya terpecah
memihak ke berbagai partai, mulai bersatu bersama IMS karena melihat
persaingan yang nyata antara mayoritas sebagai rakyat dengan minoritas sebagai
pemerintah.
159
Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 33. 160
Hana Batatu, “Syria‟s Muslim Brethren,” h. 19. 161
Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 28.
64
Kebijakan rezim Ba‟ath tahun 1960-an seperti maraknya koperasi pertanian,
koperasi konsumen, proyek pembenahan lahan, dan redistribusi tanah skala besar
mendapatkan reaksi negatif masyarakat perkotaan. Kebijakan pemerintahan
tersebut merubah struktur, pola tradisional, dan mengancam kepentingan
kelompok tertentu, maka IMS semakin kuat muncul sebagai kekuatan Islam
konservatif dan mewakili masyarakat yang terganggu tersebut.
Penduduk kota Hamah juga terusik dengan masuknya pendatang baru dari
pedesaan yang membanjiri pusat kota. Selain itu masyarakat Aleppo mulai
semarak meneriaki slogan-slogan “Aleppo for Aleppans” (Aleppo untuk orang-
orang Aleppo). Kemudian slogan tersebut juga menyebar di beberapa kota,
sehingga dimanfaatkan dengan baik oleh IMS untuk mendapatkan dukungan dari
masyarakat kota. Akan tetapi IMS tidak memiliki banyak anggota di daerah
pedesaan, kecuali di beberapa desa yang dekat dengan kota. Sedangkan partai
Ba‟ath memiliki banyak kader di desa-desa.
Pada masa 1970-an, masyarakat Sunni tersadar dan mulai berbondong-
bondong masuk ke dalam IMS. Sekitar 500-700 jumlah anggota baru IMS pada
tahun 1975 dan pada tahun 1978 skala nasional anggota IMS mencapai 30.000.162
Masyarakat kembali merasakan permusuhan antara sekte Alawiyah dengan Sunni
dan mereka mulai bersekutu dengan afiliasinya masing-masing. Masyarakat Sunni
kalangan atas yang merasakan kerugian dari kebijakan rezim Ba‟ath, mulai
mendukung IMS melakukan revolusi. Puncak kesatuan masyarakat Sunni dengan
IMS pada masa 1979 sampai 1982, semua kalangan melakukan demonstrasi
besar-besaran untuk menggulingkan Hafez al-Assad.163
Pertarungan ini membawa banyak dimensi antara IMS dengan Ba‟ath, Sunni
dengan Alawiyah, mayoritas dengan minoritas, dan opisisi melawan rezim
pemerintahan. Pada bulan Februari 1982, Hafez al-Assad memutuskan untuk
membom kota Hama yang menjadi pusat pemberontakan terhadap kekuasaanya.
Dilaporkan sekitar 40.000 masyarakat sipil menjadi korban atas pengeboman
162
Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 90. 163
Raymond Hinnebusch, Syria Revolution from Above, h. 81.
65
tersebut.164
Sampai sekarang peristiwa tersebut menjadi memori luka kolektif bagi
masyarakat Suriah. Bagi masyarakat Suriah, bulan Februari merupakan bulan
yang kelam karena pemerintahan yang keras membuat puluhan ribu orang yang
tinggal di kota Hama harus hidup di antara bom dan kehancuran.165
E. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah Pasca-Peristiwa al-Ahdath
Semakin populernya politik Islam yang digalakkan masyarakat Sunni, maka
harus mempertimbangkan penguasa Suriah yang semakin ingin mengkooptasi
para ulama dan perubahan konstitusi yang semakin liberal. Setelah peristiwa al-
Ahdath Februari tahun 1982, semua program terpaksa berhenti dan organisasi
IMS menjadi gerakan bawah tanah.
Pada 7 Maret 1982, Hafez al-Assad berpidato untuk menerangkan bahwa
menjatuhkan bom di kota Hama tidak bisa terelakkan karena pemberontakan dari
masyarakat Sunni dan IMS. Dalam pidatonya tersebut, IMS merupakan
pengkhianat bagi negara Suriah karena didanai oleh Amerika Serikat dan
dipersenjatai oleh Iraq. Ia menambahkan bahwa anggota IMS tidak segan-segan
membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan bahkan keluarga di dalam satu
rumahnya sendiri.166
Hasil penemuan dari berbagai sumber, anggota IMS
melakukan kekerasan dan pembunuhan kepada kadet militer Alawiyah, pejabat
Alawiyah, dan percobaan pembunuhan kepada Hafez al-Assad. Tidak ada warga
negara sipil yang secara khusus menjadi target kekerasan dari IMS. Akan tetapi
berbanding terbalik ketika Hafez al-Assad menjatuhkan bom di kota Hama.
Karena sebuah bom yang meledak tidak bisa memilih korbannya, semua warga
negara sipil atau target tertentu yang berada di jangkauan ledakan bom tersebut
akan terluka. Hafez al-Assad menghukum para pemimpin IMS dengan
pengasingan. Menurut Ahmed al-Uthman seorang anggota IMS, ketika kabar kota
Hama di bom sampai di kota Aleppo, kota tersebut relatif sepi karena
164
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 77. 165
Artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 14.20 WIB, dari
http://ikhwansyria.com/2014/02/بيان-في-ذكرى-مجزرة-شباط-2891-في-سوريت-شعب-ي/ 166
Pidato Hafez al-Assad tentang "Muslim Brotherhood", 1982,” video diakses pada
tanggal 22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB, dari
https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs
66
masyarakatnya relatif memilih diam dan takut jika mereka memberontak akan
mendapatkan nasib yang sama.167
Kepemimpinan IMS kehilangan kredibilitas dengan anggota mereka sendiri.
Para pemimpin pelopor kelompok radikal seperti Adnan Uqlah mengungsi ke
Yordania, tetapi ia terbujuk untuk kembali ke Suriah akhirnya ditangkap dan
dieksekusi. Petinggi IMS lainnya seperti Sa‟id Hawwa tinggal di Yordania, Adnan
Saad Eddine tinggal di Eropa, Hasan al-Huwaidi serta Abdul Fattah Abu Ghuddah
bahkan disambut oleh pemerintahan Arab Saudi dan mereka tidak pernah kembali
lagi ke Suriah.168
Sementara anggota biasa IMS yang hidup di Suriah
menyembunyikan identitasnya agar tidak tertangkap kemudian dipenjara oleh
pemerintah.
Pada tahun 1983, Sa‟id Hawwa mengundurkan dirinya dari komite eksekutif
IMS. Di balik pengunduran dirinya menurut Ali Sadr al-Din al-Baynuni
menjelaskan bahwa seorang anggota faksi Aleppo yang ideologinya radikal
mungkin telah merasakan tanggung jawab khusus dari akhir tragisnya
pemberontakan Hama. Kelompok jihadis yang diasingkan di Amman dan Iraq
mulai menata kembali organisasi mereka dan membangun gerakan jihadis global
yang semakin berkembang dan beberapa tahun kemudian lahir al-Qaeda.
Organisasi IMS sendiri pada 11 Maret 1982, bergabung dengan koalisi baru
yaitu Front Nasional untuk Pembebasan Suriah. Pada tahun 1984 dari koalisi ini
menerbitkan sebuah pamflet yang isinya ajakan untuk “membunuh Asad.”169
Pada
bulan Februari 1990 didirkan koalisi baru yang bernama Front Nasional untuk
Menyelamatkan Suriah secara resmi. Menurut Ali Sadr al-Din al-Baynuni
meskipun namanya berganti, berbagai aliansi bergabung dari yang Islamis sampai
nasionalis tetapi tujuannya satu yaitu menurunkan Rezim Asad dari kursi
pemerintahan. Pada abad ke-21, IMS terus menjalin alinasi dengan pihak oposisi
sampai tahun 2006 terdapat 15 grup oposisi yang bersatu dengan memakai nama
NSF (the National Salvation Front).
167
Interview dengan Ahmed al-Uthman di Paris, 2 Juni 2011 dalam buku Raphaël Lefèvre,
Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 59. 168
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 137-140 169
Liad Porat, The Syrian Muslim Brotherhood and the Asad Regime, h. 4.
67
Demikian pembahasan bab yang menjabarkan sejarah dan perkembangan
IMS, peran dan kontribusinya dalam bidang sosial dan agama, respon masyarakat
Suriah terhadap gerakan tersebut, dan organisasi Ikhwanul Muslimin pasca-
peristiwa al-Ahdath 1982. Selanjutnya saya akan menyimpulkan hasil dari
penelitian ini dan saran bagi penelitian selanjutnya.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Awal abad ke-20, menjadi periode dimana negara-negara Timur Tengah
mencari jati diri dan bentuk pemerintahan yang sesuai dengan mereka.
Pemahaman dan ideologi banyak diadopsi seperti sosialisme, sekularisme, liberal,
komunisme, nasionalisme, modernisasi, dan tidak sedikit yang mengembangkan
kembali ideologi revivalisme Islam. Berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin
merupakan buah dari pemahaman revivalisme yang dikembangkan oleh
masyarakat. Organisasi Ikhwanul Muslimin Suriah (IMS) yang berakar dari
kumpulan beberapa jam‟iyyat, mulai menggiatkan nilai-nilai Islam pada
masyarakatnya dan berjuang melawan penjajahan Prancis. Setelah kemerdekaan
Suriah tahun 1946, IMS yang mengusung ideologi sosialisme-Islam mulai
melancarkan program-program pada bidang sosial dan agama yang menunjukkan
konsistensi di sepanjang waktu dan tempat. Namun ideologi sosialisme-Islam
yang dicanangkan oleh Mustafa al-Siba‟i tidak berlanjut karena pemimpin-
pemimpin IMS setelahnya bersikap pragmatis dan mengutamakan cara
menjatuhkan rezim Ba‟ath.
Peran IMS semakin terasa ketika perubahan politik yang terjadi di Suriah,
perlahan-lahan masyarakat elite Sunni-moderat yang sebelumnya berpihak kepada
partai Ba‟ath mulai dimarginalkan dan kaum minoritas Alawiyah mulai mengisi
posisi penting di dalam partai dan pemerintahan. Program yang digencarkan
bukan hanya untuk anggota IMS saja melainkan masyarakat luas dari kalangan
atas dan bawah. IMS merangkul masyarakat Sunni pemilik tanah agar mereka
tidak kehilangan semua lahannya akibat kebijakan reformasi kepemilikan tanah
dan membantu memberdayakan masyarakat yang berprofesi di bidang keagamaan
dan pedagang kecil dengan koperasi untuk menyambung modal mereka.
Peran yang dicurahkan IMS pada bidang sosial dan agama semakin itensif
pada tahun 1970 sampai 1982. Pada periode ini partai Ba‟ath yang memonopoli
69
pemerintahan Suriah mengalami revolusi sehingga lahir partai “neo-Ba‟ath” yang
berisi kaum minoritas Alawiyah. Perubahan yang terjadi dalam internal partai
Ba‟ath justru meningkatkan pengikut, simpati, dan dukungan masyarakat Sunni
yang seakan tersadar bahwa mereka membutuhkan organisasi seperti IMS yang
mengusung nilai-nilai Islam. Rezim Ba‟ath berubah menjadi liberal dan mulai
menekan organisasi IMS dengan undang-undang pelarangan pada bulan Juli tahun
1970.
Meskipun pada akhirnya organisasi tersebut tidak berhasil melakukan
revolusi di Suriah, IMS berhasil mencatatkan kontribusinya yang komprehensif
kepada masyarakat sehingga muncul pernyataan bahwa organisasi IMS seperti
“negara dalam sebuah negara.” Peran yang sukses dimainkan IMS dalam bidang
sosial, di antaranya:
1. IMS membangun masyarakat yang sehat secara jiwa dan jasmani dengan
menyelenggarakan kompetisi olahraga antar klub dan program Futuwwa.
Program tersebut merupakan serangkaian pelatihan kecakapan fisik
selayaknya tentara, pengembangan spiritual, dan pengetahuan agama yang
mendalam bagi kaum muda Muslimin Suriah.
2. IMS dengan program-programnya seperti: koperasi khusus bagi pedagang,
perserikatan pekerja, beasiswa, pendidikan serta pengobatan gratis menjadi
penyambung hidup bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah.
3. IMS bukanlah organisasi yang berpihak kepada satu kalangan sosial saja,
akan tetapi merangkul semua kalangan yang mendapat kerugian dari
pemerintahan Hafez al-Assad.
Sementara dalam bidang agama, peran IMS di antaranya:
1. IMS membendung paham-paham sekularisme, plularisme, dan liberalisme
yang menerjang masyarakat Suriah.
2. IMS menjaga nilai-nilai Islam tetap semarak dan kegiatan keagamaan
berjalan dengan lancar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Suriah.
70
3. IMS terus menggalakkan “Negara Islam” atau setidaknya
mempertahankan Islam terus menjadi dasar negara dan pemimpin Suriah
adalah seorang Muslim.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian ini maka penulis memiliki saran yakni:
1. Studi tentang Ikhwanul Muslimin Suriah belum banyak dilakukan oleh
peneliti Indonesia, sehingga tema ini bisa dikembangkan dan diteliti
kembali oleh peneliti-peneliti lain.
2. Kepada organisasi-organisasi massa keagamaan Islam di Indonesia bisa
lebih belajar dari pengalaman IMS tentang keterlibatanya dalam bidang
sosial dan keagamaan. Sehingga organisasi-organisasi Islam di Indonesia
lebih memainkan peran penting dalam masyarakat luas bukan hanya
anggota organisasi, dan ikut membangun reformasi sosial dan penggiat
nilai-nilai keagamaan.
3. Indonesia dan Suriah memiliki persamaan yaitu agama yang beragam.
Tetapi Indonesia menghargai perbedaan yang ada sehingga konfrontasi
antar kelompok bisa diminimalisir. Berbeda dengan Suriah yang
mendapatkan warisan fragmentasi sosial dari penjajahnya dahulu.
Peristiwa yang terjadi di negara Suriah bisa menjadi pelajaran berharga
untuk kita semua agar terus menciptakan kondisi bermasyarakat yang
toleransi, rukun dan damai.
71
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abbu Rumman, Mohammad, Islamist, Religion and the Revolution in Syria,
Jordan, Friedrich-Ebert-Stiftung, 2013.
Abdurrahman, Hafidz, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, Bogor,
Al-Azhar Freshzone, 2013.
Adma, Michael, Handbooks to the Modern World: The Middle East, New York,
Facts on File Publications, 1988.
al-Noqaidan, Mansour, Muslim Brotherhood in UEA Expansion and Decline,
Dubai: al-Mesbar Center for Studies and Research, 2009.
al-Qaradhawi, Yusuf, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun; Kilas Balik Dakwah,
Tarbiyah dan Jihad, penerjemah: Mustolah Maufur dan Abdurrahman
Husain, Pustaka al-Kautsar, 1999.
Anderson, Ewan W. and Liam D. Anderson, An Atlas of Middle Eastern Affairs,
New York, Routledge, 2010.
Antonio, Muhammad Syafii, Ensiklopedia Peradaban Islam Damaskus, Jakarta,
Tazkia Publishing, 2012.
Cleveland, Wiliam and Marti Burton, A History of The Modern Middle East,
Philadelphia, Westview Press, 2009.
Darojat, Zakiyah, Jihad Dalam Sejarah Islam Indonesia Kontemporer (1945-
2005); kajian atas Wacana dan Praksis Jihad Gerakan Sosial, Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Defense Intelligence Agency, Syria Muslim Brotherhood Pressure Intensifies,
May, 1982.
Fatiah, Abu Al-Adnani, Journey to Damascus, Surakarta, Granada, Mediatama,
2014.
Hawkes, Steven ,Teeples S.J., The Eastern Chrisians and Their Churces, USA,
Knights of Columbus Supreme Council, 2008.
Houston, Stephen D., The Shape of Script: How and Why Writing System Change,
School for Advanced Research Press , 2012.
Hinnebusch, Raymond, Syria Revolution from Above, New York, Routledge,
2001.
________ The Middle East, Edition 13, Washington DC, Sage Publications, 2014.
Hitti, Philip K., Syria A Short History, New York, The Macmillan Company,
1959.
Ibrahim, Qasim A. dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam Jejak
Peradaban Islam dari Masa Nabi hingga Kini, Jakarta, Zaman, 2014,
Isma‟il, Hasan al-Hudhaibi, Ikhwanul Muslimin Mengajak bukan Menghakimi,
Pustaka, Bandung, 1984.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta,
Amzah, 2005.
Karya, Soekma H., Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Logos
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1966.
72
Kawakibi, Salam, Political Islam in Syria, Center For European Policy Studies,
2007.
Khoury, Philiph, The Modern Middle East: A Reader, New York, I.B. Taruris,
2009.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
1999.
Lefèvre, Raphaël, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, London,
Hurst & Co., 2013.
Lund, Aron, The Ghost Of Hama, The Bitter Legacy of Syria‟s Failed 1979-1982
Revolution, Stockholm, Swedish International Liberal Centre, 2011.
Machmudi, Yon, Islamising Indonesian: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The
Prosperous Justice Party (PKS), ANU Press, 2008.
Machmudi, Yon, Partai Keadilan Sejahtera; Wajah Baru Islam Politik Indonesia,
Bandung, Harakatuna, 2005. Marbun, B. N., Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007.
Mo‟az, Moshe dan Avner Yaniv, Syria Under Assad: Domestic Constraints and
Regional Risk, New York: Routledge, 2014. Mostyn, Trevor and Albert Hourani, The Cambridge Encyclopedia of The Middle
East and North Africa, Cambridge University Press, Cambridge, 1988.
Pargeter, Alison, The Muslim Brotherhood: The Burden of Tradition, Saqi Books,
Beirut, 2010.
Philips, Douglas A., Modern World Nation: Syiria, Chelsea House, New York,
2010.
Qodir, Zuly, HTI dan PKS Menuai Kritik: Perilaku Gerakan Islam Politik
Indonesia, Jusuf Kalla School of Government, Yogyakarta, 2013.
Rahmat, M. Imdadun, Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen, Jogjakarta, LKis, 2008.
Ranko, Annete, The Muslim Brotherhood and its Quest for Hegemony in Egypt
State-Discourse and Islamist Counter- Discourse, Springer VS, Hamburg,
2015.
Salvatore, Armando dan Dale F. Eickelman, Public Islam and The Common God,
Koninklijke Brill, Leiden, 2004.
Santosa, Agus, World Heritage Nature and Culture Under The Protection of
UNESCO, Vol II: North Africa and Middle East, Batara Publishing,
Surakarta, 2009.
Schulze, Reihard, A Modern History of the Islamic World, New York: New York
University Press, 2002.
Simon, Reeva S., dkk, Encyclopedia of the Modern Middle East, New York,
Macmillan, 1996.
Spencer, William J., Global Studies: The Middle East, New York: McGraw-Hill,,
2009.
Sucipto, Hery, KH. Ahmad Dahlan: Sang Pencerah, Pendidik, dan Pendiri
Muhamadiyah, Jakarta: Best Media Utama, 2010.
Syafii, Muhammad Antonio, Ensiklopedia Peradaban Islam: Damaskus, Jakarta:
Tazkia Publishing, 2012.
73
Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media Group, Jakarta,
2008.
Tilly, Charles, From Mobilization to Revolution, McGraw-Hill: California, 1978.
Wickham, Carrie Rosefsky, The Muslim Brotherhood: Evolution of an Islamist
Movement, New Jersey: Princeton University Press, 2013. Wiktorowicz, Quintan, Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach,
Indiana: Indiana University Press, 2004. Zollner, Barbara H. E., The Muslim Brotherhood Hasan Al-Hudaybi and
Ideology, New York: Routledge, 2009.
Jurnal
Abbott, Freeland “The Jama‟at–i-Islami of Pakistan,” Middle East Journal,
Vol.11, No.1, 1957. Abu, Ibrahim Bakar, “PAS and Its Islamist Fundamentalism in Malaysia,”
Journal of Human Sciences, No. 43, July, 2009.
al-Monein, Abd Said Aly dan Manfred W. Wenner, “Modern Islamic Reform
Movements: The Muslim Brotherhood in Contemporary Egypt,” Middle
East Journal, Vol. 36, No. 3, pp. 336-361, 1982.
Batatu, Hanna, “Syria‟s Muslim Brethren,” MERIP Reports, Vol. 12, No. 9,
November 1982. http://www.merip.org/mer/mer110/syrias-muslim-
brethren.
Drysdale, Alasdair, “The Asad Regime and Its Troubel,” MERIP Reports, Vol. 12,
No. 9, November 1982. http://www.merip.org/mer/mer110/asad-regime-
its-troubles
Drysdale, Alasdair, “The Syrian Political Elite 1966-1976: A Spatial and Social
Analysis,” Middle Eastern Studies, Vol. 17, No. 1, pp. 3-30, 1981.
Faksh, Mahmud A., “The Alawi Community of Syria: A New Dominant Poltical
Force,” Middle Eastern Studies, Vol. 20, No. 2, April, 1984.
Hinnebusch, Raymond, “Rural Politics in Ba‟athist Syria: A case Study in the
Role of the Countryside in the Political Development of Arab Societies,”
The Review of Politics, Vol. 44, No. 1, Januari, 1982.
Isaac, Steven, “The Ba‟ath of Syria and Iraq,” Longwood University, artikel
diakses pada tanggal 8 Februari 2018 pukul 10. 52 WIB, dari
http://www.longwood.edu/staff/isaacsw/Ba'th%20Excerpt.pdf
Lefèvre, Raphaël, The Muslim Brotherhood Prepares for A Comeback in Syria,
Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace, Mei,
2003.
Leiden, Carl, “Political Instability in Syria,” The Southwestern Social Science
Quarterly, Vol. 45, No. 4, pp. 353-360, Maret, 1965.
Müller, Dominik M., “An Internatinalist National Islamic Struggle? Narratives of
„Brothers Abroad‟ in The Discursive Practices of The Islamic Party of
Malaysia (PAS),” South East Asia Research, Vol. 18, No.4, pp. 757-791,
2010.
Dam, Nikolas Van, “The Islamic Struggle in Syria,” Middle East Studies Bulletin,
Vol. 18, No. 1, July, 1984.
74
Padmo, Soegijanto, “Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Masa Ke Masa:
Sebuah Pengantar,” Humaniora, Vol. 19, No. 2, Juni, 2007.
Porat, Liad, “The Syrian Muslim Brotherhood and The Asad Regime,” Crown
Center For Middle East Studies, No. 47, Desember, 2010.
Qaddour, Jomana, “Unlocking the Alawite Conundrum in Syria,” The Washington
Quarterly, Vol. 36, No. 4, pp. 67-78, 2013.
Rabi, Ibrahim Abu, “Facing Modernity: Ideological Origins of Islamic
Revivalism,” Harvard International Review, Vol. 19, No. 2, 1997.
Rapp, A., “Syria: Can Desert Encroachment Be Stopped?,” Ecological Bulletins,
No. 24, 1976.
Sattar, Noman, “al-Ikhwan al-Muslimin (Society of Muslim Brotherhood) Aims
and Ideology, Role and Impact,” Pakistan Horizon, Vol. 48, No. 2, pp. 7-
30, 1995.
Simms, Rupe, “Islam Is Our Politics: A Gramscian Analysis of the Muslim
Brotherhood,” Social Compas, Vol. 49, pp. 563-582, 2001.
Talhamy, Yvette, “The Syrian Muslim Brothers and the Syrian-Iranian
Relationship,” The Middle East Journal, Vol. 63, No.4, 2009.
Teitelbaum, Joshua, “The Muslim Brotherhood and the „Struggle For Syria‟ 1947-
1958 Between Accomodation and Ideology,” Middle Eastern Studies Vol.
40, No. 3, May 2004.
“The History of Muslim Brotherhood,” 9 Bedford Row International, London,
2015.
“The Muslim Brotherhood in the Arab World and Islamic Communities in
Western Europe,” The Meir Amit Intelligence and Terrorism Information
Center, January, 2012.
Weismann, Itzchak, “Sa‟id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in
Modern Syria,” Middle Eastern Studies, Vol. 29, No. 4, pp. 601-623.
1993.
Zahid, Mohamed dan Michael Medley, “Muslim Brotherhood in Egypt and
Sudan,” Review of African Political Economy, Vol. 33, No. 110, Religion,
Ideology and Conflict in Africa, September, pp. 693-708, 2006.
Surat Kabar
Al-Arabiya News, “The UAE Brotherhood: Loyal to whom?,” artikel diakses
pada tanggal 18 Desember 2017 pukul 23.37 WIB, dari
http://english.alarabiya.net/views/2012/03/19/201649.html
Key Figures in the Syrian Muslim Brotherhood, Carneige Middle East Center,
artikel diakses pada tanggal 9 November 2017 pukul 20.41 WIB,
http://carnegie-mec.org/diwan/51470?lang=en
Meir, Ran, Malaysia Welcomes Hamas, Brotherhood: Report, Clarion Project
News, artikel diakses pada tanggal 30 November 2017 pukul 15.08 WIB,
dari https://clarionproject.org/malaysia-welcomes-hamas-brotherhood/
Report from Amnesty International to the Government of the Syrian Arab
Republic, Amnesty International Publications, 1983.
75
https://www.amnesty.org/download/Documents/200000/mde240041983en
Saied Rassas, Mohammad, Syria‟s Muslim Brotherhood: Past and Present,
diakses pada tanggal 13 Juni 2015 pukul 20.39, http://www.al-
monitor.com/pulse/politics/2014/01/syria-muslim-brotherhood-past-
present.html
Sejarah Persatuan Islam, http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam/
Special Report The Muslim Brotherhood, The Clarion Project,
http://www.clarionproject.org/sites/default/files/Muslim-Brotherhood-
Special-Report.pdf
Sumber Elektronik
Artikel diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 14.20 WIB dari
http://ikhwansyria.com/2014/02/-بيان-في-ذكرى-مجزرة-شباط-2891-في-سوريت
/شعب-ي
Gambar Abd al-Fattah Abu Ghuddah diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul
14.09 WIB, dari http://www.sunnah.org/history/Scholars/aboghoudah.htm
Gambar Adnan Saad Eddine diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.56
WIB, dari http://www.aljazeera.net/home/print/0353e88a-286d-4266-
82c6-6094179ea26d/981a9714-aba1-40d3-824a-def1fbc12641 Gambar I‟sam al-Attar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.11 WIB,
dari https://www.youtube.com/watch?v=RZCp99DJ67Q Gambar Kota Hama sebelum dan setelah di bom tahun 1982 diakses pada tanggal
21 Maret pukul 1024 WIB, dari
http://foreignpolicy.com/2012/09/21/history-repeats-itself-as-tragedy/
Gambar Mustafa al-Siba‟I diakses pada tangga 25 Januari 2018 pukul 11.59 WIB,
dari
http://ikhwansyria.com/2016/09/%D8%A7%D9%84%D8%B5%D8%B1%
D8%A7%D8%B9-%D9%85%D8%B9-%D8%AD%D8%B2%D8%A8-
%D8%A7%D9%84%D8%A8%D8%B9%D8%AB-
%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%A7%D9%83%D9%85/
Gambar Peta Fragmentasi Agama di Suriah diakses pada tanggal 9 Februari 2018
pukul 10.25 WIB, dari https://www.fragilestates.org/2012/02/20/syrias-
ethnic-and-religious-divides/
Gambar Peta Suriah diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 12.53 WIB, dari
http://printable-maps.blogspot.co.id/2011/12/map-of-syria.html
Pidato Hafez tentang "Muslim Brotherhood", 1982. Video diakses pada tanggal
22 Februari 2017 pukul 02.13 WIB,
https://www.youtube.com/watch?v=dTDeGAp8HAs
76
LAMPIRAN
Gambar 1: Peta Negara Suriah170
170
Gambar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 12.53 WIB, dari http://printable-
maps.blogspot.co.id/2011/12/map-of-syria.html
77
Gambar 2: Peta fragmentasi masyarakat di Suriah171
171
Gambar diakses pada tanggal 9 Februari 2018 pukul 10.25 WIB, dari
https://www.fragilestates.org/2012/02/20/syrias-ethnic-and-religious-divides/
78
Daftar Pemimpin dan Presiden negara Suriah:172
NO PEMIMPIN MASA JABATAN
1 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 21 Desember 1936 - 7 Juli 1939
2 Bahij al-Khatib (1895-1981) 10 Juli 1939 - 16 September 1941
3 Khalid al-Azm (1903-1965) 4 April - 16 September 1941
4 Tajuddin al-Hasani (1885-1943) 16 September 1941 - 17 Januari 1943
5 Jamil al-Ulshi (1883-1951) 17 Januari - 25 Maret 1943
6 Ata Bay al-Ayyubi (1877-1951) 25 Maret - 17 Agustus 1943
7 Shukri al-Quwatli (1981-1967) 17 Agustus 1943 - 30 Maret 1949
8 Husni al-Za‟im (1897-1949) 30 Maret - 14 Agustus 1949
9 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 15 Agustus 1949 - 2 Desember 1951
10 Fauzi Selu (1905-1972) 3 Desember 1951 - 11 Juli 1953
11 Adib al-Shishaki (1909-1964) 11 Juli 1953 - 25 Februari 1954
12 Hasyim al-Atassi (1875-1960) 28 Februari - 6 September 1955
13 Shukri al-Quwatli (1981-1967) 6 September 1955- 22 Februari 1958
14 Bagian Uni Republik Arab 22 Februari 1958 - 29 September 1961
15 Ma‟amun al-Kuzbari (1914-1998) 29 September - 20 November 1961
16 Izzat an-Nuss (1913-2000) 20 November - 14 Desember 1961
17 Nazim al-Qudsi (1906-1998) 14 Desember 1961 - 8 Maret 1963
18 Lu‟ay al-Atassi (1926-2003) 9 Maret - 27 Juli 1963
19 Amin al-Hafez (1921-2009) 27 Juli 1963 - 23 Februari 1966
20 Nuraedin al-Atassi (1929-1992) 25 Februari 1966 - 18 November 1970
172
Hafidz Abdurrahman, Kembalinya Suriah Bumi Khalifah Yang Hilang, h. 198.
79
21 Ahmad al-Khatib (1933-1982) 18 November 1970 - 22 Februari 1971
22 Hafez al-Assad (1930-2000) 22 Februari 1971 - 10 Juni 2000
Daftar Pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah173
:
No. PEMIMPIN MASA JABATAN
1 Mustafa al-Siba‟I (1915-1964) 1945-1961
2 I‟sam al-Attar (1927-) 1961-1972
3 Abd al-Fattah Abu Ghuddah (1917-
1997) 1972-1975
4 Adnan Saad Eddine (1929-2010) 1975-1980
173
Raphaël Lefèvre, Ashes of Hama The Muslim Brotherhood in Syria, h. 209.
80
81
Gambar 6: Adnan Saad Eddine177
Gambar 7: Kota Hama sebelum dan sesudah dijatuhkan bom 1982178
177
Gambar diakses pada tanggal 30 Januari 2018 pukul 13.56 WIB, dari
http://www.aljazeera.net/home/print/0353e88a-286d-4266-82c6-6094179ea26d/981a9714-aba1-
40d3-824a-def1fbc12641 178
Gambar diakses pada tanggal 21 Maret pukul 1024 WIB, dari
http://foreignpolicy.com/2012/09/21/history-repeats-itself-as-tragedy/