Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit Sistemik

Embed Size (px)

Citation preview

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Sebagai Penyakit Sistemik

Feni Fitriani, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono dan Budhi Antariksa Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.1,2 Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.3,4 American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal terhadap partikel atau gas beracun terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.5,6Keterbatasan aktiviti merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi kualiti hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktiviti penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK.4,5,7,8 Efek sistemik ini penting dipahami dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi baru yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.3RESPONS INFLAMASI PARU PADA PPOK Sejumlah penelitian menemukan bahwa proses inflamasi pada PPOK tidak hanya berlangsung di paru tetapi juga secara sistemik, yang ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor- (TNF- ), interleukin 6 (IL-6) serta IL-8. Respons sistemik ini menggambarkan progresiviti penyakit paru dan selanjutnya berkembang menjadi penurunan massa otot rangka (muscle wasting), penyakit jantung koroner dan aterosklerosis.9 Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK dapat dilihat pada gambar 1.6

Gambar 1. Mekanisme molekuler dan seluler pada PPOK

Dikutip dari (6)

Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan napas dalam membentuk faktor kemotaktik, penglepasan faktor kemotaktik menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi penyakit kronik dan progresif.6 Makrofag alveolar penderita PPOK meningkatkan penglepasan IL-8 dan TNF-. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK. Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan struktur paru. Kim & Kadel. dikutip dari 6 menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat menyebabkan penglepasan elastase dan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.6 Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 (MIP1-) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik.6 MEKANISME INFLAMASI SISTEMIK Penyakit Paru Obstruktif Kronik tidak hanya menyebabkan respons inflamasi paru yang abnormal tapi juga menimbulkan inflamasi sistemik termasuk stress oksidatif sistemik, aktivasi sel-sel inflamasi di sirkulasi sistemik dan peningkatan sitokin proinflamasi.3 Efek sistemik PPOK dapat dilihat pada tabel 1. Respons inflamasi sistemik ditandai dengan mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi ini merangsang sistem hematopoetik terutama sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein seperti CRP dan fibrinogen. Acute phase protein akan meningkatkan pembekuan darah yang merupakan prediktor angka kesakitan dan kematian pada penyakit kardiovaskular sehingga menjadi pemicu terjadi trombosis koroner, aritmia dan gagal jantung.9,10Tabel 1. Efek sistemik PPOKInflamasi sistemik

Stress oksidatifAktivasi sel inflamasiPeningkatan kadar plasma sitokin dan akut fase protein Nutrisi abnormal dan penurunan berat badan

Peningkatan resting energy expenditureKomposis tubuh abnormalMetabolisme asam amino abnormal Disfungsi otot rangka

Hilangnya massa ototStruktur/ fungsi abnormalKeterbatasan latihan Efek sistemik potensial lainnya

Efek kardiovaskularEfek sistem sarafEfek osteoskeletal

Dikutip dari (3) Banyak penelitian menemukan bahwa respons inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8 dan TNF- dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau sel inflamasi yang diaktifkan. Perubahan respons inflamasi yang sama juga ditemukan pada sirkulasi sistemik. Konsep ini merupakan kunci untuk memahami efek sistemik PPOK.3 Stres oksidatif mencakup semua perubahan fungsi atau struktur yang disebabkan oleh ROS. Penilaian kadar ROS secara in vivo adalah sulit karena waktu paruhnya sangat pendek sementara yang bisa dilihat adalah konsekuensi biologiknya atau melalui fingerprint.3 Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan diduga sebagai patogenesis PPOK yang tidak hanya ditemukan pada jalan napas dan jaringan paru tetapi juga pada darah tepi. Banyak penelitian menyatakan bahwa peningkatan oksidan dapat terjadi karena peningkatan jumlah neutrofil dalam jaringan paru perokok dan penderita PPOK. Efek ini dapat dideteksi dalam plasma berupa peningkatan petanda stres oksidan diikuti dengan penurunan kapasiti antioksidan.11 Rahman dkk.dikutip dari 12 menemukan ketidak seimbangan status reduksi oksidasi pada perokok dan penderita PPOK eksaserbasi akut. Peningkatan stres oksidatif yang menetap dalam plasma penderita PPOK dibuktikan dengan penemuan kadar lipid peroxidation yang tinggi.12 Peningkatan kadar beberapa mediator sitokin ditemukan pada penderita PPOK stabil. Nougera dkk.dikutip dari 19 melakukan penelitian terhadap penderita PPOK stabil menemukan peningkatan ekspresi Mac-1 (CD11b/CD18) dalam sirkulasi dan kadar yang rendah dari soluble intercellular adhesion mollecule (SICAM)-1 dibanding kontrol.7,13 Penilaian ekspresi guanine nucleotide binding proteins (G protein) dengan mengabaikan kondisi klinis penderita PPOK menemukan hilangnya imunoreactivity G- yang bermakna dalam sirkulasi neutrofil.3 Sauleda dkk. dikutip dari 11 melaporkan peningkatan aktiviti enzim sitokrom oksidase penderita PPOK dibanding dengan orang sehat. Sitokrom oksidase adalah suatu enzim terminal dalam rantai pernapasan di mitokondria. Keadaan ini berhubungan secara bermakna dengan beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Aktiviti sitokrom oksidase meningkat pada otot rangka penderita PPOK dibandingkan dengan orang normal.13 Perubahan sejumlah mediator inflamasi seperti TNF-, IL-8 ditemukan berupa peningkatan kadar acute phase protein walaupun pada penderita PPOK stabil. TNF- mengatur proses inflamasi pada tingkat multiseluler dengan cara merangsang peningkatan ekspresi molekul adesi leukosit dan sel endotel selain itu juga dengan meningkatkan pengaturan sitokin proinflamasi lainnya (IL-8 dan IL-6) serta menginduksi angiogenesis.13 Proses eksaserbasi PPOK sebagian berhubungan dengan peningkatan inflamasi pada bronkus dan sistemik. Secara umum proses inflamasi akan ditentukan oleh keseimbangan antara mediator pro dan antiinflamasi.14 Penelitian untuk menilai kadar sistemik mediator anti inflamasi sudah dilakukan terhadap soluble IL-1 receptor type II (sIL-IRII) decoy receptor IL-1 dan soluble TNF receptor 55 dan 75 (sTNF-R55 dan sTNF-R75) yang menghambat aktiviti biologi TNF-. Pada penderita PPOK stabil ditemukan peningkatan bermakna sTNF-R55 dibandingkan dengan kontrol sTNF-R57 cenderung meningkat. Tidak ada perbedaan yang terlihat pada kadar sIL-IRII antara penderita PPOK dengan kontrol. 11,13Peranan Nitric Oxide Nitric oxide (NO) merupakan radikal bebas yang dibentuk dari asam amino L-arginin oleh Nitric Oxide Synthase (NOS) dan ditemukan pada otot dalam 3 bentuk isoform NOS. Bentuk pertama endothelial constitutive NOS (eNOS) berfungsi mempertahankan tekanan pembuluh darah tetap rendah dan mencegah perlengketan leukosit serta platelet ke dinding pembuluh darah. Bentuk kedua neuronal constitutive NOS (nNOS) berperan sebagai neuromodulator atau neuromediator. Bentuk ketiga inducible isoforms NOS (iNOS) melalui rangsangan inflamasi dapat menghasilkan NO 1000 kali lebih banyak. Kelebihan jumlah NO akan diubah menjadi bentuk peroksinitrit (ONOO-) yang mempunyai efek sitotoksik. Pada penderita PPOK ditemukan kadar iNOS yang meningkat pada otot.15 Peningkatan kadar iNOS menyebabkan proses penghancuran protein, meningkatkan proses apoptosis dan menyebabkan kegagalan kontraksi otot sehingga berpotensi sebagai penyebab keterbatasan toleransi latihan pada penderita PPOK.3Penurunan massa sel tubuh pada PPOK Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik yang penting pada PPOK dan terlihat berupa kehilangan lebih dari 40% actively metabolizing tissue. Perubahan massa sel tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan penurunan massa lemak bebas. Massa lemak bebas dapat dibagi 2 yaitu kompartemen intraseluler atau massa sel tubuh dan kompartemen ekstraseluler. Kompartemen intraseluler menggambarkan bagian pertukaran energi sedangkan kompartemen ekstraseluler menggambarkan substansi di luar sel. Kerusakan jaringan umumnya terjadi pada penderita PPOK dengan prevalensi 20% pada penderita PPOK stabil dan 35% pada penderita yang menjalani rehabilitasi medik.7 Massa lemak bebas yang hilang mempengaruhi proses pernapasan, fungsi otot perifer, kapasiti latihan dan status kesehatan. Penurunan berat badan mempunyai efek negatif terhadap prognosis penderita PPOK.3,7 Schols dkk.dikutip dari 16 melakukan penelitian retrospektif terhadap 400 penderita PPOK. Penelitian ini menemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) kurang dari 25 kg/m2, umur dan PaO2 rendah merupakan prediktor yang bermakna terhadap peningkatan angka kematian sementara Landbo dkk.dikutip dari 17 menyatakan prognosis yang buruk pada penderita PPOK bila IMT kurang dari 20 kg/m2. 16,17Beberapa penelitian menunjukkan hubungan langsung antara kadar TNF- dan laju metabolik istirahat serta hubungannya dengan peningkatan kadar acute phase protein. Tumor necrosis factor- berhubungan dengan percepatan metabolisme dan perubahan protein serta peningkatan berkurangnya berat badan pada penderita PPOK.4 Inflamasi sistemik menyebabkan metabolisme yang berlebihan dan menginduksi respons katabolik. Beberapa mekanisme yang dapat menimbulkan peningkatan laju metabolisme antara lain pemakaian obat 2 agonis pada penderita PPOK, proses inflamasi serta hipoksia jaringan.3Penderita PPOK cenderung mengalami kaheksia daripada malnutrisi. Asupan nutrisi penderita PPOK biasanya normal bahkan lebih besar daripada normal sedangkan asupan nutrisi pada malnutrisi memang kurang. Laju metabolisme penderita PPOK biasanya meningkat tidak seperti pada penderita malnutrisi namun respons penderita PPOK terhadap asupan nutrisi seringkali buruk.3 Mekanisme lain yang menerangkan kaheksia adalah hubungan antara sitokin dengan leptin. Leptin adalah protein yang disintesis oleh jaringan lemak dan berperan dalam keseimbangan energi. Kadar leptin berkurang pada penderita PPOK dengan berat badan rendah.4 Gangguan ketidakseimbangan energi berhubungan dengan peningkatan kadar leptin sebagai respons inflamasi sitemik selama eksaserbasi. Leptin juga berperan dalam imuniti sel T, angiogenesis, reproduksi dan kontrol ventilasi.11 Ketidakseimbangan proses pemecahan dan penggantian protein juga berperan dalam proses penurunan massa sel tubuh. Penderita PPOK stabil yang tidak mengalami kerusakan jaringan tetap menunjukkan keseimbangan antara proses pemecahan dan pembentukan protein.7 Perubahan hormon juga berhubungan dengan perubahan protein. Insulin, Growth hormon (GH), insulin-like growth factors (IGFs) merupakan hormon anabolik yang membantu sintesis protein sementara glukokortikoid merangsang proses proteolisis pada jaringan otot. Insulin menekan proses pemecahan protein. Growth hormon meningkatkan massa lemak bebas, merangsang produksi hepar dan sekresi IGF-1.3 Resistensi GH terjadi pada keadaan katabolisme saat inflamasi. Keadaan puasa dan katabolik berhubungan dengan penurunan GH yang terikat pada reseptor, ekspresi gen IGF-1 dan IGF-1 yang terikat protein. Perubahan IGF-1 selama katabolisme diterangkan sebagai mekanisme adaptasi untuk membantu pengurangan proses anabolik pada saat stres atau saat IGF-1 meningkat di jaringan. Pemberian IL-1 dan TNF- pada hewan percobaan berhubungan dengan kadar IGF-1 plasma yang rendah dan penurunan sintesis protein. Sintesis protein yang dirangsang oleh IGF-1 dihambat pada saat mioblas terpajan TNF-.11 Hormon anabolik seperti testosteron bekerja pada otot dengan dua cara. Pertama dengan merangsang efek anabolik protein melalui reseptor androgen, kedua dengan menghambat katabolik protein melalui netralisasi efek glukokortikoid. Penurunan kadar testosteron total dan bebas pada penderita PPOK telah banyak dilaporkan. Pemberian glukokortikoid sistemik dosis rendah sebagai antiinflamasi masih sering digunakan. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan hormon anabolik dan katabolik pada PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih tepat. 13 Pengecilan Otot Proses pemecahan protein sel pada otot merupakan keadaan yang sering didapatkan sebagai respons terhadap asidosis, infeksi atau asupan kalori yang tidak adekuat. Selama keadaan ini, otot dan kulit akan kehilangan protein dalam jumlah lebih besar dibandingkan organ-organ viseral sedangkan otak tidak terpengaruh. Pengurangan massa otot pada penderita PPOK terutama terdapat pada ekstremiti bawah.7 Jalur adenosine triphosphate (ATP) tergantung pada ubiquitin-proteasom berperan dalam peningkatan proteolisis pada berbagai tipe atropi otot. Pengaruh TNF- pada sel otot rangka berupa pengurangan kandungan protein total dan hilangnya adult myosin heavy chain. Guttridge dkk.dikutip dari 7 melaporkan TNF- merangsang aktivasi nuclear factor (NF- ) untuk menghambat diferensiasi otot rangka dengan menekan myoD-mRNA pada saat pasca transkripsi. Tumor necrosis factor- dan interferon (IF) mempengaruhi regulasi otot rangka melalui penghambatan terbentuknya serat-serat otot baru, degenerasi serat-serat otot yang baru dibentuk dan menyebabkan ketidakmampuan memperbaiki kerusakan otot rangka.13 Sitokin inflamasi diduga berperan pada pengecilan otot melalui penghambatan difrensiasi miogen melalui jalur NF- dan secara langsung menghambat NF- seperti yang terlihat pada pengurangan otot berhubungan dengan kaheksia. Proses kematian sel yang terprogram atau apoptosis juga berperan pada pengecilan otot.18Perubahan metabolisme otot Penurunan serabut otot tipe 1 dan peningkatan relatif serabut tipe 2 didapatkan pada otot rangka perifer penderita PPOK stabil, hal ini menunjukkan perubahan proses oksidatif ke glikolisis. Metabolisme glikolisis menghasilkan ATP yang lebih kecil daripada metabolisme oksidatif sehingga sangat berpengaruh pada metabolisme energi otot rangka penderita PPOK.7 Kadar laktat meningkat lebih cepat selama latihan pada penderita PPOK, keadaan ini berhubungan dengan berkurangnya enzim oksidasi pada otot tungkai bawah. Kadar glutamat didapatkan rendah pada penderita PPOK. Glutamat berperan dalam menyediakan posfat energi tinggi melalui proses metabolik dan menjadi prekursor antioksidan glutation dan sintesis glutamin dalam otot. Kadar glutamat dan glutation yang rendah juga didapatkan pada penderita emfisema. Proses asidosis laktat yang terjadi lebih awal selama latihan pada penderita PPOK berhubungan dengan penurunan kadar glutamat otot.11Disfungsi otot rangka Disfungsi otot rangka pada penderita PPOK meliputi perubahan anatomi dan fungsi. Perubahan anatomi terjadi pada komposisi serat otot dan atropi sementara perubahan fungsi berupa perubahan kekuatan, ketahanan dan aktiviti enzim. Semua ini akan mempengaruhi kapasiti latihan serta kualiti hidup penderita. Peranan diafragma lebih dominan daripada otot rangka dalam proses pernapasan pada penderita PPOK. Hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik yang menetap merupakan faktor penyebab disfungsi otot rangka.3,19 Stress oksidatif pada penderita PPOK dibuktikan dengan peningkatan kadar sitokin sirkulasi dan acute phase reactant termasuk IL-6, IL-8, TNF-, TNF-R55, TNF-R75, CRP dan lipopolisakarida terikat protein. Semua sel inflamasi ini terlihat lebih aktif pada penderita PPOK. Neutrofil darah tepi memperlihatkan perluasan kemotaksis, proses proteolisis ekstraselular, menghasilkan lebih banyak ROS serta meningkatkan ekspresi MAC. Aktiviti sitokrom oksidase lebih meningkat pada PPOK dan peningkatan ini berhubungan dengan petanda nonspesifik terhadap aktivasi limfosit pada penyakit inflamasi kronik. 20Efek kardiovaskular Penyakit pembuluh darah jantung sering ditemukan pada PPOK karena keduanya mempunyai faktor risiko yang sama seperti merokok, usia lanjut dan inaktiviti. Pajanan asap rokok atau particulate matter menghasilkan inflamasi sistemik seperti terlihat pada gambar 2. Respons inflamasi ini berupa respons fase akut dengan peningkatan pembekuan darah, penglepasan mediator inflamasi ke dalam sirkulasi selanjutnya mengaktifkan endotelin dan merangsang sumsum tulang melepaskan leukosit dan trombosit. Keadaan ini meningkatkan resiko penyakit vaskular, menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerosis sehingga menjadi ruptur dan menyebabkan trombosis.3,9

Gambar 2. Mekanisme inflamasi paru yang menginduksi penyakit vaskular

Dikutip dari (9)

Efek terhadap sistem saraf Perubahan metabolisme bioenergi penderita PPOK diperlihatkan dengan nuclear magnetic resonance spectroscopy, hal ini mungkin disebabkan oleh proses adaptasi terhadap kondisi hipoksia kronik. Tingginya prevalens depresi mungkin berhubungan dengan respons terhadap kondisi kelemahan yang menetap akibat penyakit kronik. Perubahan sistem saraf otonom yang abnormal dilaporkan terutama pada penderita dengan berat badan rendah dan berhubungan dengan pengaturan irama sirkadian leptin. Pemberian leptin mempunyai efek penting terhadap fungsi saraf endokrin, pengaturan appetite dan berat badan. Kadar leptin yang rendah berhubungan dengan patogenesis disfungsi otot rangka dan penurunan berat badan pada penderita PPOK. 3,9Efek terhadap tulang rangka Prevalens osteoporosis meningkat pada penderita PPOK, hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti malnutrisi yang menetap, merokok, terapi steroid dan inflamasi sistemik. Keadaan emfisema dan osteoporosis ditandai dengan hilangnya jaringan paru atau jaringan tulang. Gambaran tulang yang mengalami osteoporosis hampir sama dengan jaringan paru yang mengalami emfisema. 3TERAPI TERBARU PPOKInflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru yang melibatkan neutrofil, makrofag dan CD8+. Proses ini menyebabkan fibrosis dan penyempitan pada jalan napas kecil serta destruksi parenkim akibat bermacam-macam protease seperti neutrofil elastase dan matriks metaloproteinase (MMP). Berdasarkan mekanisme inflamasi seluler dan molekuler yang terjadi pada PPOK, timbul pemikiran untuk mengembangkan terapi yang dapat mengontrol inflamasi dan proses destruksi yang terjadi seperti terlihat pada gambar 3. 21

Gambar 3. Target terapi PPOK berdasarkan mekanisme inflamasi

Dikutip dari (21)

1. Berhenti merokokMerokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti merokok merupakan terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam darah.22 Jorenby dkk.dikutip dari 23 menemukan Bupropion yang merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita.232. Bronkodilator baruTiopropium bromid merupakan antikolinergik kerja lama. Inhalasi Tiopropium bromid sebanyak 1 kali sehari memberikan efek bronkodilator yang lebih efektif daripada pemberian ipratropium bromid sebanyak 4 kali sehari. Penelitian jangka panjang memperlihatkan perbaikan gejala dan kualiti hidup yang bermakna serta berkurangnya eksaserbasi pada penderita PPOK yang mendapat Tiopropium bromid. Obat ini menjadi pilihan bronkodilator dan mempunyai efek yang lebih baik bila dikombinasi dengan 2 agonis kerja lama.21

3. Antagonis Mediator Sejumlah mediator inflamasi berperan dalam proses inflamasi PPOK dan proses ini tetap berlangsung walaupun penderita sudah berhenti merokok. Inflamasi neutrofil merupakan karakteristik PPOK dan pemberian terapi ditujukan pada mediator yang berperan dalam pengaturan dan aktivasi netrofil ini seperti yang terlihat pada tabel 2.13Tabel 2. Antagonis mediator untuk PPOK-

Antagonis leukotrin B4 (LTB4): LY29311, SC-53228, CP-105696, SB 201146, BIIL284-

Penghambat 5lipoksigenase: zileuton, Bay x1005-

Penghambat kemokin

Antagonis IL-8: antagomis CXCR2, SB225002

Antagonis monocyte chemotactic protein (MCP), antagonis CCR2-

Penghambat TNF: antibodi monoklonal, soluble receptors, TNF- converting enzymes inhibitors-

Antioksidan: stable glutathione analogues-

Penghambat iNOS: l-N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL)

Dikutip dari (21)a. Penghambat leukotrin B4 (LTB4)Leukotrin B4 merupakan chemoattractant neutrofil dan meningkatkan produksi sputum penderita PPOK. Dua subtipe LTB4 yaitu reseptor BLT1 diekspresikan oleh granulosit dan monosit serta reseptor BLT2 diekspresikan oleh limfosit T. Antagonis BLT1 yaitu LY29311 sedang dikembangkan untuk terapi inflamasi neutrofil. Antagonis reseptor LTB4 yang selektif seperti SC-53228, CP-105696, SB201146 dan BIIL284 juga sedang dikembangkan.22b. Penghambat kemokinKadar IL-8 meningkat pada sputum penderita PPOK dan berhubungan dengan beratnya penyakit. Antagonis IL-8 berupa antibodi monoklonal dapat menghambat respons kemotaktik neutrofil pada hewan percobaan. Antagonis CXCR2, antagonis MCP atau antagonis CCR2 masih dalam tahap uji klinis.21c. Penghambat TNF-Antibodi monoklonal (infliximal) dan soluble receptors TNF- (etanercept) efektif digunakan pada penyakit kronik. Pemakaian jangka lama tidak menyenangkan untuk penderita karena harus disuntikkan secara berulang.21,22 d. AntioksidanN-acetyl cystein (NAC) meningkatkan produksi GSH (glutation). Pemberian NAC peroral menunjukkan pengurangan eksaserbasi PPOK. Antioksidan yang lebih efektif seperti senyawa glutation yang stabil, analog dengan SOD serta obat berbasis selenium sedang dikembangkan.213.5. Penghambat iNOSStres oksidatif menyebabkan peningkatan penglepasan NO dari iNOS yang akan menghasilkan radikal bebas peroksinitrit. Penghambat selektif iNOS seperti N6-(1-imminoethyl)lysine (L-NIL) dapat mengurangi penglepasan NO jangka panjang.224.Terapi anti inflamasi baru Terapi inhalasi kortikosteroid yang digunakan pada penderita PPOK diduga dapat mencegah progresiviti penyakit tetapi pada kenyataannya kortikosteroid tidak mengurangi progresiviti penyakit dan tidak menghambat inflamasi neutrofil yang diinduksi oleh ozon pada manusia bahkan sebaliknya dapat memperpanjang masa hidup neutrofil. Alasan lain yang menyebabkan resistensi kortikosteroid adalah efek hambatan asap rokok pada histon deasetilase yaitu suatu enzim yang dibutuhkan kortikosteroid untuk menekan gen inflamasi. Beberapa jenis anti-inflamasi baru yang dikembangkan sebagai terapi PPOK dapat dilihat pada tabel 3.21Tabel 3. Obat anti-inflamasi baru untuk PPOK-

Penghambat posfodiesterase-4: SB207499, CP80633, CDP 840-

Penghambat NF-: penghambat proteasom, penghambat dari NF- inhibitor, 1- gene transfer-

Penghambat molekul adesi: anti CD11/CD18, anti ICAM-1, penghambat E-selektin-

Interleukin 10 dan analog-

Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase : SB 203580, SB 220025, RWJ 67657-

Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase--

Imunomodulator: penghambat CD8+

Dikutip dari (21)a. Penghambat posfodiesterase-4 (PDE-4) Penghambat fosfodiesterase-4 merupakan PDE yang diekspresikan pada neutrofil, CD8+ dan makrofag. Diduga penghambatan PDE akan dapat mengontrol inflamasi pada PPOK secara efektif. Penghambat fosfodiesterase-4 seperti cilomilast dan roflumilas sedang dikembangkan dan bermakna dalam menghambat pelepasan TNF- oleh monosit.21,24b. Penghambat NF-NF- mengatur ekspresi IL-8, TNF- dan MMP. Efek hambatan jangka lama terhadap NF- dapat menekan sistem imun dan mengganggu kekebalan tubuh. Tikus percobaan yang kekurangan NF- akan mati akibat sepsis.21c. Penghambat molekul adesiPengerahan neutrofil, monosit, T sel sitotoksik pada paru dan jalan napas bergantung kepada ekspresi molekul adesi. Pemberian TBC 129 dapat menghambat molekul adesi E-selektin pada endotel, adesi granulosit dan neutrofil. Perlu dipikirkan bahwa hambatan terhadap neutrofil akan meningkatkan kejadian infeksi.21d. Interleukin 10Sitokin IL-10 mempunyai aksi antiinflamasi yang luas, mekanisme kerjanya menghambat sekresi TNF- dan IL-8, menurunkan ekspresi MMP dan meningkatkan ekspresi tissue inhibitor matrix metalloproteinase (TIMP). Pemberian secara injeksi selama beberapa minggu dapat ditoleransi dengan baik sehingga dapat menjadi terapi yang potensial untuk PPOK.21e. Penghambat p38 mitogen activated protein (MAP) kinase Mitogen activated protein kinase berperan dalam inflamasi kronik. Penghambat nonpeptida seperti SB 203580, SB 239063, RWJ 67657 merupakan penghambat p38MAP kinase. SB 239063 terbukti mengurangi infiltrasi neutrofil setelah inhalasi endotoksin dan menurunkan konsentrasi IL-6, MMP-9 pada bilasan bronkoalveolar (BAL) tikus percobaan. Pemberian secara inhalasi dianggap aman.21,22f. Penghambat posfoinositid (PI)-3 kinase (PI-3K)Posfoinositid (PI)-3 kinase merupakan kelompok enzim yang meningkatkan pembentukan lipid second messenger yang mengatur beberapa peristiwa seluler termasuk pengerahan dan aktivasi neutrofil. Hambatan terhadap PI-3K akan menyebabkan gangguan pada migrasi dan aktivasi neutrofil sama baiknya dengan hambatan limfosit T dan fungsi makrofag.215.Penghambat ProteaseHambatan terhadap enzim proteolitik atau peningkatan antiprotease endogen diduga akan menguntungkan dan dapat mencegah progresiviti obstruksi jalan napas penderita PPOK. Antiprotease endogen yang diberikan antara lain 1-antitripsin, penghambat leukoprotease, elafin dan penghambat MMP. Pemberian ONO-5046 dan FR 901277 berpotensi menghambat elastase neutrofil yang menginduksi cedera paru pada hewan percobaan. Obat ini dapat diberikan secara inhalasi dan sistemik.22,256. Agen remodeling Mekanisme obstruksi pada PPOK adalah karena hilangnya elastisiti dan rekoil parenkim paru akibat proteolisis jaringan paru. Kerusakan ini tidak dapat diperbaiki tetapi hanya dapat dicegah oleh terapi tertentu. Asam retinoat meningkatkan jumlah alveoli pada tikus percobaan dan mengembalikan perubahan histologis, fisiologis yang diinduksi oleh terapi elastase. Asam retinoat mengaktifkan reseptornya yang berperan sebagai faktor transkripsi untuk mengatur gen yang berfungsi dalam pertumbuhan dan difrensiasi sel. Perlu penelitian lebih lanjut apakah temuan ini dapat diaplikasikan pada manusia.217. Hantaran ObatPemberian bronkodilator dengan cara inhalasi dosis terukur (IDT) atau inhalasi bubuk kering kurang berfungsi pada penderita emfisema dan bronkitis kronik karena proses inflamasi dan destruksi terjadi di parenkim dan jalan napas kecil. Perlu dipikirkan pemberian inhalasi dengan ukuran partikel yang jauh lebih kecil sehingga mencapai bagian perifer paru.22Obat baru untuk PPOK sangat diperlukan mengingat proses inflamasi terus berlanjut walaupun penderita sudah berhenti merokok. Faktor lingkungan seperti asap dapur, polutan, perokok pasif serta inhalasi zat toksin lainnya perlu diperhatikan karena juga dapat menyebabkan PPOK. Peranan faktor genetik perlu dipertimbangkan karena hanya sekitar 10-20% perokok yang dapat berkembang menjadi PPOK. Penelitian lebih lanjut diperlukan berdasarkan mekanisme molekuler dan seluler yang menjadi patogenesis PPOK sehingga dapat dikembangkan terapi yang lebih baik terhadap penyakit ini.22,26KESIMPULAN1.Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit yang menimbulkan kelainan secara sistemik seperti penurunan berat badan, penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan depresi.2.Proses inflamasi pada PPOK tidak hanya terjadi di paru tapi secara sistemik dan tetap berlangsung walaupun proses berhenti merokok sudah dilakukan.3.Perlu pemahaman mekanisme molekuler dan seluler yang mendasari proses PPOK untuk mendapatkan strategi terapi yang lebih baik.4.Terapi baru pada PPOK yang berdasarkan kepada mekanisme molekuler dan seluler cukup menjanjikan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.DAFTAR PUSTAKA1.Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E dkk.. PPOK pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004.p.vii.

2.NHLBI/ WHO workshop report. Global inisiatif for chronic obstructive pulmonary disease. Geneva: WHO; 2001.p.6-95.

3.Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X. Systemic effect of chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 2003;21:347-60.

4.Andreassen H, Vestbo J. Chronic obstructive pulmonary disease as systemic disease: an epidemiological perspective. Eur Respir J 2003;22suppl: 2-4.

5.Rennard SI. Chronic obstructive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology of disease modification. Proc Am Thorac Soc 2006;3:276-80.

6.Dahesia M. Pathogenesis of COPD. Clin Applied Immunol Rev 2005;5:339-51.

7.Wouters EFM, Creutzberg EC, Schols AMWJ. Systemic effects of COPD. Chest 2002;121suppl:127-30.

8.Gan WQ, Man SFP, Senthilselvan A, Sin DD. Association between COPD and systemic inflammation: a systematic review and a metaanalysis. Thorax 2004;59:574-80.

9.

Eeden SF, Yeung A, Quinlam K, Hogg JC. Systemic response to ambient particulate matter. Proc Am Thorac Soc 2005;2:61-7.

10.

Donalson GC, Seemungal TAR, Patel IS, Bhowmik A, Wilkinson TMA, Hurst JR. Airway and systemic inflammation and decline in lung function in patients with COPD. Chest 2005;128:1995-2004.

11.

Wouters EFM. Chronic obstructive pulmonary disease 5: Systemic effect of COPD. Thorax 2002;57:1067-70.

12.

Rahman I, Morrison D, Donalson K, MacNee W. Systemic oxidative stress in asthma, COPD and smokers. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154: 1055-60.

13.

Wouters EFM. Local and systemic inflammation in COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:26-33.

14.

Repine JE, Bast A, Lankhorst and the oxidative stress studying group. Oxidative stress in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:341-57.

15.

Oca MM, Torres SH, Sanctis D, Mata A, Hernandez N, Talamo C. Skeletal muscle inflammation and nitric oxide in patients with COPD. Eur Respir J 2005;26:390-7.

16.

Schols AMWJ, Slangen J, Volovics L, Wouters EFM. Weight loss is reversible factor in the prognosis of chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:1791-7.

17.

Landbo C, Prescott E, Lange P, Vestbo J, Amdal TP. Prognostic value of nutritional status in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160:1856-61.

18.

Macnee W. Oxidant/antioxidats and COPD. Chest 2000;117suppl:303-17.

19.

Noguera A, Busquets X, Sauleda J. Expression of adhesion molecules and G protein in circulating neutrophils in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1664-8.

20.

Oudijk EJD, Nijhuis EHJ, Zwank MD, Graaf EA, Mager HJ, Coffer P et al. Systemic inflammation in COPD visualised by gene profiling in peripheral blood neutrophils. Thorax 2005;60:538-44.

21.

Barnes PJ. Chronic obstructive pulmonary disease 12: New treatment for COPD. Thorax 2003;58:803-8.

22.

Buhl R, Farmer SG. Future direction in the pharmacologic therapy of COPD. Proc Am Thorac Soc 2005;2:89-93.

23.

Jorenby DE, Leischow SJ, Nides MA. A controlled trial of sustained release bupropion, a nicotine patch or both for smoking cessation. N Engl J Med 1999;340: 685-91.

24.

Sturton G, Fitzgerald M. Phospodiesterase inhibitors for the treatment of COPD. Chest 2002;121suppl:192-196.

25.

Stockley RA. Neutrophils and protease/ antiprotease imbalance. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:549-52.

26.

Debigare R, Cote CH, Maltais F. Peripheral muscle wasting in chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1712-17.

MI

PNEUMOTHORAKS

PNEUMOTHORAKS

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/rongga pleura. Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.

Kerusakan pada pleura parietal dan/atau pleura viseral dapat menyebabkan udara luar masuk ke dalam rongga pleura, Sehingga paru akan kolaps. Paling sering terjadi spontan tanpa ada riwayat trauma; dapat pula sebagai akibat trauma toraks dan karena berbagai prosedur diagnostik maupun terapeutik.

Dahulu pneumotoraks dipakai sebagai modalitas terapi pada TB paru sebelum ditemukannya obat anti tuberkulosis dan tindakan bedah dan dikenal sebagai pneumotoraks artifisial . Kemajuan teknik maupun peralatan kedokteran ternyata juga mempunyai peranan dalam meningkatkan kasus-kasus pneumotoraks antara lain prosedur diagnostik seperti biopsi pleura, TTB, TBLB; dan juga beberapa tindakan terapeutik seperti misalnya fungsi pleura, ventilasi mekanik, IPPB, CVP dapat pula menjadi sebab teradinya pneumotoraks (pneumotoraks iatrogenik). Ada tiga jalan masuknya udara ke dalam rongga pleura, yaitu

1) Perforasi pleura viseralis dan masuknya udara dan dalam paru. 2) Penetrasi dinding dada (dalam kasus yang lebih jarang perforasi esofagus atau abdomen) dan pleura parietal, sehingga udara dan luar tubuh masuk dalam rongga pleura. 3) Pembentukan gas dalam rongga pleura oleh mikroorganisme pembentuk gas misalnya pada empiema.

Kejadian pneumotoraks pada umumnya sulit ditentukan karena banyak kasus-kasus yang tidak di diagnosis sebagai pneumotoraks karena berbagai sebab. Johnston & Dovnarsky memperkirakan kejadian pneumotoraks berkisar antara 2,4-17,8 per 100.000 per tahun. Beberapa karakteristik pada pneumotoraks antara lain: laki-laki lebih sering daripada wanita (4: 1); paling sering pada usia 20-30tahun.Pneumotoraks spontan yang timbul pada umur lebih dan 40 tahun sering disebabkan oleh adanya bronkitis kronik dan empisema. Lebih sering padaorang-orang dengan bentuk tubuh kurus dan tinggi (astenikus) terutama pada mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Pneumonotoraks kanan lebih sering terjadi dan pada kiri. B. Tujuan PenulisanAdapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :1) Tujuan Umum

Mahasiswa dan mahasiswi mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraks di Ruang Public Wings lantai VI RSCM.2) Tujuan Khusus

Tujuan khusus makalah ini adalah mahasiswa / i dapat melakukan dan menentukan :

a. Pengkajian pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraksb. Diagnosa Keperawatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraksc. Rencana tindakan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraksd. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraks

e. Evaluasi keperawatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraks

f. Mengidentifikasikan faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraks

g. Pemecahan masalah dalam asuhan keperawatan yang ditemukan adanya hambatan pada klien Tn. K yang menderita pneumotoraks

C. Metode PenulisanAdapun teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah sebagai berikut:1) Wawancara

Dengan cara menanyakan klien mengenai perjalanan penyakit Tn. K hingga kondisinya saat ini.2) Observasi

Dengan cara mengamati keadaan dan perkembangan klien setiap hari.3) Study Dokumentasi

Dengan cara membaca dan mempelajari status klien berupa catatan medis dan catatan keperawatan4) Study Kepustakaan

Dengan cara membaca dan mengambil materi buku dari buku sumber sehingga mempunyai gambaran antara teori dengan kasus nyata.5) Pemeriksaan Fisik

Dengan cara melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki ( Head to

toe ) terutama pada bagian pernapasan klien.

D. Sistematika PenulisanSistematika penulisan dari karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :Bab I Pendahuluan : terdiri dari latar belakang, tujuan umum, khusus, metode penulisan dan sistematika penulisan.Bab II Tinjauan teoritis terdiri dari pengertian, patofisiologi, etiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, komplikasi dan penatalaksanaan medis, konsep dasar asuhan keperawatan, pengkajian, diagnosa keperawatan, prinsip-prinsip intervensi keperawatan serta evaluasi.Bab III Tinjauan kasus menguraikan tentang gambaran kasus, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, evaluasi.Bab IV Pembahasan menguraikan tentang perbandingan analisa antara teori dan praktek termasuk factor pendukung dan penghambat serta solusi pemecahan masalah.Bab V Kesimpulan dan SaranDaftar pustakaLampiran

BAB IITINJAUAN TEORIA. Konsep DasarI. Anatomi dan Fisiologi Paru

Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada meningkat, udara masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunanan tekanan di dalam, dan mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis tersebut mengempis dan mendorong udara keluar melalui bronkus dan trakea. Fase inspirasi dari pernapasan normalnya membutuhkan energi; fase ekspirasi normalnya pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan, ekspirasi menempati dua pertiganya.

Pleura. Bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membrane halus, licin, yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks dan permukaan superior diafragma. Pleura parietalis melapisi toraks, dan pleura viseralis melapisi paru-paru. Antar kedua pleura ini terdapat ruang, yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.

Mediastinum. Mediatinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Mediastinum terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktuk toraks kecuali paru-paru terletak antara kedua lapisan pleura.

Lobus. Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus bawah dan atas, sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah, dan bawah. Setiap lobus lebih jauh dibagi lagi menjadi dua segmen yang dipisahkan oleh fisura, yang merupakan perluasaan pleura.

Bronkus dan Bronkiolus. Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri). Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih posisi drainage postural yang paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental. Bronkus ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik, dan saraf.

Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi bronkiolus seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos sekelilinginya dan pada tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan napas. Bronkus dan bronkiolus juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan menyapu yang konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring.

Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan udara konduksi mengandung sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik. Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi dalam alveoli.

Alveoli. Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster anatara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70 meter persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat tiga jenis sel-sel alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara metabolic, mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing (mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang penting.

Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani rute yang sama dengan arah yang berlawanan.

Faktor fisik yang mengatur aliran udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai mekanisme ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap aliran udara, dan kompliens paru. Varians tekanan udara, udara mengalir dari region yang tekanannya tinggi ke region dengan tekanan lebih rendah. Selama inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar rongga toraks dan dengan demikian menurunkan tekanan dalam toraks sampai tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik melalui trakea dan bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan paru mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks. Tekanan alveolar kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari paru-paru ke dalam atmosfir.

Resistensi jalan udara, ditentukan terutama oleh diameter atau ukuran saluran udara tempat udara mengalir. Karenanya setiap proses yang mengubah diameter atau kelebaran bronkial akan mempengaruhi resistensi jalan udara dan mengubah kecepatan aliran udara sampai gradient tekanan tertentu selama respirasi. Factor-faktor umum yang dapat mengubah diameter bronkial termasuk kontraksi otot polos bronkial, seperti pada asma ; penebalan mukosa bronkus, seperti pada bronchitis kronis ; atau obstruksi jalan udara akibat lender, tumor, atau benda asing. Kehilangan elastisitas paru seperti yang tampak pada emfisema, juga dapat mengubah diameter bronkial karena jaringan ikat paru mengelilingi jalan udara dan membantunya tetap terbuka selama inspirasi dan ekspirasi. Dengan meningkatnya resistensi, dibutuhkan upaya pernapasan yang lebih besar dari normal untuk mencapai tingkat ventilasi normal.

Kompliens, gradien tekanan antara rongga toraks dan atmosfir menyebabkan udara untuk mengalir masuk dan keluar paru-paru. Jika perubahan tekanan diterapkan dalam paru normal, maka terjadi perubahan yang porposional dalam volume paru. Ukuran elastisita, ekspandibilitas, dan distensibilitas paru-paru dan strukur torakas disebut kompliens. Factor yang menentukan kompliens paru adalah tahanan permukaan alveoli (normalnya rendah dengan adanya surfaktan) dan jaringan ikat, (mis., kolagen dan elastin) paru-paru.

Kompliens ditentukan dengan memeriksa hubungan volume-tekanan dalam paru-paru dan toraks. Dalam kompliens normal, paru-paru dan toraks dapat meregang dan membesar dengan mudah ketika diberi tekanan. Kompliens yang tinggi atau meningkat terjadi ketika diberi tekanan. Kompliens yang tinggi atau meningkat terjadi ketika paru-paru kehilangan daya elastisitasnya dan toraks terlalu tertekan (mis., emfisema). Saat paru-paru dan toraks dalam keadaan kaku, terjadi kompliens yang rendah atau turun. Kondisi yang berkaitan dengan hal ini termasuk pneumotorak, hemotorak, efusi pleura, edema pulmonal, atelektasis, fibrosis pulmonal. Paru-paru dengan penurunan kompliens membutuhkan penggunaan energi lebih banyak dari normal untuk mencapai tingkat ventilasi normal.

II. Pneumotoraks1. Pengertian

Pneumotoraks adalah pengumpulan udara didalam ruang potensial antara pleura visceral dan parietal (Arif Mansjoer dkk, 2000).

Pneumotoraks adalah keluarnya udara dari paru yang cidera, ke dalam ruang pleura sering diakibatkan karena robeknya pleura ( Suzanne C. Smeltzer, 2001).

2. Etiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan sesuai dengan penyebabnya : Pneumotoraks Spontan (primer dan sekunder)Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa disertai penyakit paru yang mendasarinya, sedangkan pneumotoraks spontan sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru yang mendahuluinya. Tension Pneumotoraks

Disebabkan trauma tajam, infeksi paru, resusitasi kardiopulmoner.

3. Patofisiologi

a. Patofisologi narasi :

Pneumotoraks dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat mengakibatkan kebocoran / tusukan / laserasi pleura viseral. Sehingga paru-paru kolaps sebagian / komplit berhubungan dengan udara / cairan masuk ke dalam ruang pleura. Volume di ruang pleura menjadi meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan intra toraks. Jika peningkatan tekanan intra toraks terjadi, maka distress pernapasan dan gangguan pertukaran gas dan menimbulkan tekanan pada mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan jantung dan sirkulasi sistemik.b. Patofisiologi skema :

4. Manifestasi Klinis

Hampir seluruh pasien mengeluhkan nyeri dada ringan sampai berat pada salah satu sisi dada dan dispnea. Gejala biasanya bermula pada saat istirahat dan berakhir dalam 24 jam.

Pneumotoraks dengan kegagalan pernapasan yang mengancam jiwa dapat pula terjadi bila asma dan PPOK yang mendasari muncul, hal ini benar-benar terlepas dari ukuran pneumotoraks. Jika ukuran pneumotoraks kecil (

Adanya tension pneumotoraks perlu dicurigai bila terjadi takikardi berat, hipotensi, dan pergeseran mediastinum / trakea, serta terdengar resonansi yang tinggi.

5. Pemeriksaan Fisik

Ada / tidaknya dispnea (jika luas) Ada / tidaknya nyeri pleuritik hebat

Ada / tidaknya trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotoraks Ada / tidaknya takikardi

Ada / tidaknya sianosis

Pergeseran dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena Perkusi hipersonar diatas paru-paru yang kolaps Suara napas yang berkurang pada sisi yang terkena Fremitus vokal dan raba berkurang.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Analisa gas darah arteri memberikan hasil hipoksemia dan alkalosis respirasi akut pada sebagian besar pasien, namun hal ini bukanlah masalah yang penting. Pada pemeriksaan EKG, pneumotoraks primer sebelah kiri dapat menyebabkan aksis QRS dan gelombang T berubah sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan interprestasi sebagai infark miokard akut.

Diagnosa didukung oleh garis pleura visceral yang tampak pada pemeriksaan radiologi konvensional dengan pasien diposisikan terlentang akan memberikan gambaran siklus kostofrenik radiolusen yang abnormal.

7. Komplikasi

Tension pneumotoraks dapat disebabkan oleh pernapasan mekanis dan hal ini mungkin mengancam jiwa. Pneumo - mediastinum dan emfisema subkutan dapat terjadi sebagai komplikasi dari pneumotoraks spontan. Jika pneumo - mediastinum terdeteksi maka harus dianggap terdapat ruptur esophagus / bronkus.8. Penatalaksanaan Medis

1) Farmakologi

Terapi oksigen dapat meningkatkan reabsorpsi udara dari ruang pleura.

Drainase sederhana untuk aspirasi udara pleura menggunakan kateter berdiameter kecil (seperti 16 gauge angio-chateter / kateter drainase yang lebih besar)

Penempatan pipa kecil yang dipasang satu jalur pada katup helmic untuk memberikan perlindungan terhadap serangan tension pneumotoraks

Obat simptomatis untuk keluhan batuk dan nyeri dada

Pemeriksaan radiologi

Peranan pemeriksaan radiologi antara lain: 1) Kunci diagnosis. 2) Penilaian luasnya pneumotoraks. 3) Evaluasi penyakit-penyakit yang menjadi dasar. Pada pneumotoraks yang sedang sampai berat foto konvensional (dalam keadaan inspirasi) dapat menunjukkan adanya daerah yang hiperlusen dengan pleural line di sisi medialnya; tetapi pada pneumotonaks yang minimal, foto konvensional kadang-kadang tidak dapat menunjukkan adanya udara dalam rongga pleura; untuk itu diperlukan foto ekspirasi maksimal, kadang-kadang foto lateral dekubitus. Hinshaw merekomendasikan membuat foto pada 2 fase inspirasi dan ekspirasi, karena akan memberikan informasi yang lebih lengkap tentang:- Derajat/luasnya pneumotoraks. - Ada/tidaknya pergeseran mediastinum. - Menunjukkan adanya kista dan perlekatan pleura lebih jelas dari pada foto konvensional.2) Diit

Tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari.9. Tanda dan Gejala

a. Sesak napas berat

b. Takipnea, dangkal, menggunakan otot napas tambahanc. Nyeri dada unilateral, terutama diperberat saat napas dalam dan batuk d. Pengembangan dada tidak simetrise. Sianosis10. Penyebab

a. Trauma dada karena luka tusuk benda tajam (mis., pisau, peluru) yang menyebabkan luka dada terbuka.

b. Trauma dada karena benturan benda tumpul yang menekan rongga dada c. Komplikasi prosedur biopsi-aspirasi paru, fungsi pleura parud. Komplikasi pemasangan infus pada vena sentrale. Penyebab spontan, penyakit asma, kondisi-kondisi yang menyebabkan inflamasi pleura, peningkatan tekanan kapiler subpleura (mis., CHF) , penyakit pulmonar obstruktif kronik (PPOK), dan ARDSB. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pneumotoraks1. Pengkajian

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat

b. Sirkulasi

Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).

c. Psikososial

Tanda : ketakutan, gelisah.

d. Makanan / cairan

Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.

Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah

f. Pernapasan

Tanda : pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun, fremitus menurun, perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).

g. Keamanan

Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.2. Pemeriksaan Diagnostik

a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural; dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.b. GDA : variable tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.c. Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosad. Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1) Pola pernapasan tak efektif b.d penurunan ekspansi paru, gangguan musculoskeletal, nyeri, ansietas, proses inflamasi.

Ditandai : Dispnea, takipneaPerubahan kedalaman pernapasanPenggunaan otot aksesori, pelebaran nasalGangguan pengembangan dadaSianosis, GDA tak normalTujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 X 24 jam bersihan jalan napas klien efektif.KH : Menunjukkan pola pernapasan normal / efektif dengan GDA dalam batas normal.Bebas sianosis dan hipoksia

Intervensi :

a. Mengidentifikasikan etiologi / factor pencetus ex : kolaps spontan, trauma, keganasan.b. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan / pernapasan sesak, dispnea, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital.

c. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik, catat perubahan tekanan udara.d. Auskultasi bunyi napas

e. Catat pengembangan dada dan posisi trakeaf. Kaji fremitus

g. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam.h. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur, anjurkan pasien untuk duduk sebanyak mungkin. Rasional :

a. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang dada yang tepat.

b. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia / perdarahan.

c. Kesulitan bernapasn dengan ventilator atau peningkatan jalan napas diduga memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi (mis. ruptur spontan dari bleb, terjadinya pneumotoraks)

d. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru, atau seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas, dan sebagian area kolaps paru menurunya bunyinya. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang baik pertukaran gasnya dan memberikan data evaluasi perbaikan pneumotoraks.e. Pengembangan dada sama dengan ekspansi paru. Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada tegangan pneumotoraks.

f. Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi cairan / konsolidasi.

g. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif / mengurangi trauma.

h. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang sakit.2) Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan produksi sekresi kentalDitandai : Pernyataan kesulitan bernapasPerubahan kedalaman/kecepatan pernapasan, penggunaan otot aksesoriBunyi napas tak normal, mis., mengi, ronki, krekelsBatuk (menetap), dengan/tanpa produksi sputum.Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1X24 jam klien menunjukan bersihan jalan napas. KH : Mempertahankan jalan napas pasien dengan bunyi napas bersih/ jelasMenunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, mis., batuk efektif dan mengeluarkan sekret.Intervensi :1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, mis., mengi, krekles, ronki.2. Kaji / pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi / ekspirasi3. Catat adanya dispnea, gelisah, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.6. Dorong / bantu latihan napas abdomen atau bibir.7. Berikan obat sesuai indikasiBronkodilator, mis., -agonis : epinefrin (Adrenalin, Vaponefrin); albuterol (Proventil, Ventolin); terbutalin (Brethine, Brethaire); isotetarin (Brokosol, Bronkometer); Xantin, mis., aminofilin, oxitrifilin (Choledyl); teofilin (Bronkodyl, Theo-Dur)8. Berikan fisioterapi dadaRasional :1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius, mis., penyebaran, krekles basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema); atau tak adanya bunyi napas (asma berat).2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres / adanya proses infeksi memanjang dibanding inspirasi3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, mis., infeksi, reaksi alergi.4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distres berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernapas.5. Pencetus tipe reaksi alergi pernapasan yang dapat mentriger episode akut6. Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara7. Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa. Obat-obat mungkin per oral, injeksi, atau inhalasi.8. Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekret kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasara paru.3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d produksi sputumDitandai : Penurunan berat badanKehilangan massa otot, tonus otot burukKelemahanTujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3X24 jam klien menunjukan peningkatan nutrisi yang adekuatKH : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepatMenunjukkan perilaku/ perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepatIntervensi :1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.2. Auskultasi bunyi usus3. Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi seringRasional :1. Pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat.2. Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas, dan hipoksemia.3. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total. 4) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan b.d kurang terpajan pada informasi.Ditandai : kurang terpajang pada informasiMengekspresikan masalah, meminta informasi,Berulangnya masalah Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1X24 jam klien dan keluarga dapat mengerti tentang kondisi kesehatan klien.KH : Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu)Mengidentifikasikan tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medikMengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah Intervensi :

a. Kaji patologi masalah individu

b. Identifikasikasi kemungkinan kambuh / komplikasi jangka panjang.c. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik ex. Nutrisi baik, istirahat, latihan.

d. Kaji ulang tanda / gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut.

Rasional :

a. Informasi menurunkan takut karena ketidaktauan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.b. Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh. Selain itu pasien sehat yang menderita pneumotoraks spontan, insiden kambuh 10 %- 50 %.

c. Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.

d. Berulangnya pneumotoraks memerlukan intervensi medik untuk mencegah / menurunkan potensial komplikasi.BAB IIITINJAUAN KASUSPada bab ini akan diuraikan tentang biodata klien, riwayat penyakit, dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah dilakukan kepada klien di ruang Public Wings Lantai 6 RSCM dari tanggal 9-13 Desember 208. A. Gambaran Kasus Klien Tn. K umur 33 Tahun, jenis kelamin laki laki, agama Islam, suku Jakarta, pendidikan SMA, bahasa yang digunakan Indonesia, klien bekerja sebagai Hansip (Penjaga Keamanan). Klien masuk RSCM pada tanggal 29-06-08 karena keadaan klien semakin parah dan disarankan untuk rawat inap. Sebelumnya klien pernah berobat ke Puskesmas terdekat. Tapi karena di Puskesmas tersebut tidak memadai alat-alat dan obatnya maka klien dirujuk ke RSCM . Klien mendapat terapi amoxicyllin 3 x (gr IV selama 7 hari dari tanggal 3-9 Desember 2008 (terakhir hari ini) sebagai antibiotik, inhalasi dengan ventolin : bisolvon : NaCl = 1:1:1 untuk mengurangi sesak dan sekret mudah keluar. Rencana streptomicyin 1 x 550 mg IM (menunggu evaluasi THT) sebagai antibiotik dan diet TKTP 2300 KKal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari untuk mengurangi terjadi edema. Pengkajian Fisik Data Klinik DS : Klien mengatakan sebelum dirawat di RS, Klien kami mengalami kecelakaan dan pernah di operasi bagian dada sebelah kiri. Klien tidak pernah mengeluh sakit, tetapi tiba-tiba klien menderita batuk dan sesak selama 3 minggu. DO : S : 36,10C, N : 84 x / mnt, RR : 22 x / mnt, TD : 110 / 70 mmHg, Kesadaran : CM terdapat luka bekas operasi di bagian dada sebelah kiri, badan klien kurus, batuk produktif, pernafasan kausmul, perkusi dada : Kanan redup dari sela iga 1-3 : kiri, redup dari sela iga 1-6. Nutrisi dan Metabolisme DS : Klien mengatakan - Makan satu porsi habis

- BB sebelumnya 45 Kg

- Makanan yang membuat alergi adalah ikan DO : BBI : 54 66 Kg, Muntah (-), gigi caries (+), Konstipasi (-),Diare (-), Bising usus 21 x / mnt, hepar tidak teraba, lidah bersih, turgor kulit buruk.Respirasi / Sirkulasi DS : Batuk sejak 3 minggu, lemas. DO : Terdapat ronhi, batuk produktif, batuk berdarah (-), sputum kental berwarna putih, penggunaan otot batu napas (-), pernapasan kaurmaul, kedalaman dangkal, fremitus kiri Eliminasi DS : Klien mengatakan

- Lancar, Keluhan (-)

- BAK Lancar, keluhan (-)

DO : Abdomen ; Kembang (-), bising usus 21 x / menit. BAB : pasien BAB 3 x / hari, konsistensi faeces : setengah padat, bau khas (-) karakter (-), frekuensi 4-5 x/hari, Rectum : tidak ada kelainan.

Aktivitas / latihanDS : Klien mengatakan saat pertama masuk RSCM (tanggal 27-11-08) anaknya masih bisa berjalan sendiri.

DO : Kesinambungan berjalan kurang baik, bentuk kaki kiri & kanan simetris, tetapi terdapat bengkak pada telapak kaki, kejang (-).

Sensori Persepsi DS : Klien mengatakan bahwa pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap pasiehn masih baik. Dan juga masih bisa merasakan sentuhan jika diraba.

DO : Dapat merespon rangsang cahaya dengan baik, orientasi baik, pupil isokor, konjungtiva anemis, pendengaran normal, penglihatan normal.

Konsep Diri DS : Walaupun Klien seperti sekarang ini, klien tidak pernah mengeluh atau tidak pernah mengatakan sakit. Jika ditanya hanya menjawab seperlunya saja.

DO : Postur tubuh baik, perilaku banyak diam.

Tidur / Istirahat DS : Klien mengatakan semenjak sakit justru tidur dan berbaring terus. DO : klien sering tidur (karena penyakitnya atau karena mengantuk kurang terkaji) Dampak hospitalisasi - Pada klien (Tn. K) : tidak banyak bicara, yang dipikirkan harapan untuk cepat sembuh. - Pada keluarga klien : Penghasilan keluarga menjadi terganggu karena sakit klien.

Tingkat perkembangan saat ini : dapat menjawab pertanyaan yang diberikan klien, klien tidak banyak bicara. Sosialisasi : Klien mengatakan, ia termasuk anggota remaja masjid disekitar rumahnya. Pemeriksaan Penunjang. Pemeriksaan laboratorium tanggal 9-12-08 Anemia mikrositik hipokrom Leukosit : 11.600 (N : 5.000 10.000) Na : 132 mmol / l (N : 135 1147) Kalium : 2,9 mmo; / l (N : 3,10 5,10) Cl : 91 mmol / l (N : 95 108) Penatalaksanaan Klien mendapatkan terapi - IVFD Nacl 0,9% 500 cc / S jam (20 ttr/mnt) - Amoxicyllin 3 x / gr IV HT (Terakhir hari in) - Ardan 3 x 2 gr (IV) Inhalasi Ventolin : Bisolvon : NaCl 1 : 1 : 1- Diet TKTP 2300 kkal + ekstra putih telur 3x2 butir / hari - Rencana Streptomicym 1 x 550 mg(IM) menunggu hari / evaluasi THT. B. Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan. Dari data di atas penulis menemukan dan mengangkat 2 diagnosa, yang merupakan diagnosa aktual. Penulis melakukan implementasi dari tanggal 09-12-08 s/d tanggal 11-12-08, karena tanggal 11-12-08 klien pulang ke rumah dan dirujuk untuk rawat jalan. Diagnosa keperawatan tersebut adalah : 1. Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan produksi sekresi kentalDS : Klien mengatakan lemas, batuk sejak 3 minggu, merokok 1 bungkus / hari dan sudah merokok sejak kelas 5 SD. DO : kulit pucat, batuk produktif, sputum kental berwarna putih dan fremitus kiri Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 24 jam pola nafas klien efektif. KH : Klien akan Menunjukan pola nafas yang efektif (tidak ada ronhi, secret kental) pola napas spontan, konjungtiva ananemis, fremitus, bunyi napas fermitus, bila batuk, napas dalam pertahankan posisi senyaman mungkin bagi klien (fowler atau semi fowler), Implementasi yang telah dilakukan pada tanggal 09-12-08 s/d 11-06-08 yaitu : mengatur posisi, observasi : fremitus, bunyi napas. Memberikan obat streptomicym (IM), mengganti balutan pada jaringan parut bagian dada sebelah kiri atas. Evaluasi : S : Keluhan dan Sesak (-). O : Pola nafas spontan, sputum berwarna putih 10 cc, A : Masalah teratasi, P : Intervensi dihentikan karena klien dirujuk untuk rawat jalan.2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d produksi sputumBAB IVPEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. K dengan Penumotoraks di Ruang Public Wings Lantai VI RSCM pada pembahasan ini akan diuraikan definisi, rasinal, faktor-faktor pendukung serta solusi dari diagnosa yang ditemukan pembahasan ini meliputi : Diagnosa Pertama : Bersihan jalan napas tak efektif b.d peningkatan produksi sekresi kental . Definisi : Suatu keadaan di mana seorang individu mengalami suatu ancaman yang nyata atau potensial pada status pernapasan sehubungan dengan ketidakmampuan untuk batuk secara efektif.Rasional : Tujuan dari pernafasan adalah untuk memberikan terapi inhalasi. Pernafasan normal dapat dicapai melalui ventilasi paru, apabila di dalam paru terdapat benda asing (mis.,sputum) sehingga diagnosa ini juga didukung adanya batuk-batuk pada klien, terdengar ronhi saat dilakukan auskultasi pernafasan RR : 22 x/mnt. Implementasi : Mengatur posisi semi fowler, mengukur tanda-tanda vital, memberikan obat amoxicillin 3 x / gr (IV), observasi fremitus, bunyi napas, memberikan inhalasi mengganti perban pada jaringan parut di bagian dada atas sebelah kiri. Batasan mayor : batuk tak efektif atau tidak ada batuk, ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi jalan napas.Batasan minor : bunyi napas abnormal, frekuensi, irama, kedalaman pernapasan abnormal.Faktor Pendukung : Untuk menerima obat dan memperbanyak duduk. Faktor Penghambat : Klien lebih banyak diam Solusi : Melakukan komunikasi terapeutikBAB VPENUTUP A. Kesimpulan Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan pada Tn. K yang mengalami / menderita penumotraks di Ruang Publik Wings lantai 7 RSCM, didapatkan kesimpulan sebagai berikut : Data yang ditemukan Tn. K yang menderita Pneumotraks tidak jauh beda dengan teori yang telah dibahas, yaitu dengan tanda yang utama adanya batuk lebih dari 3 minggu dan adanya ronkhi. Dari hasil pengkajian ditemukan 1 diagnosa keperawatan aktual yaitu : Pola nafas tidak efektif b.d secret yang kental dan peningkatan pembentukan lendir sekunder akibat merokok. Intervensi dan implementasi keperawatan pada An. R telah disusun sesuai dengan yang dibutuhkan klien saat ini, sehingga saat melakukan implementasi tidak ditemukan kesulitan. Evaluasi dari satu diagnosa aktual pada Tn. K sudah dapat teratasi pada tanggal 11 Desember 2008 B. Saran Berdasarkan perumusan dan hambatan yang dijumpai selama melakukan asuhan keperawatan penulis mengemukakan beberapa saran untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan yang mungkin dapat berguna bagi usaha peningkatan mutu pelayanan keperawatan di masa mendatang, saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut :

1. Perawat dan keluarga dapat bekerja sama dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

2. Dengan tenaga perawat yang terbatas, perawat diharapkan dapat bekerja secara profesional dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang sesuai serta komunikasi yang sesuai dengan usia anak.

3. Mahasiswa untuk lebih memahami konsep-konsep asuhan keperawatan pada pasien Pneumotrak

DAFTAR PUSTAKAMansjoer, Arif,dkk. 2000.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aescutapius.Smeltzer, Suzanne c. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Vol.1. Jakarta : EGCDoenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGCWartonah, Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba MedikaDiposkan oleh Tyo di 8:29 PM

PNEUMONIA NOSOKOMIAL

BRONKIEKTASIS

K

Penyakit Paru Obstruksi KronisLinus Santo Tomas - Kochar's Clinical Medicine for Students, 5th EditionTranslated by Husnul Mubarak,S.Ked

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease ) merupakan suatu kelompok gangguan pulmoner yang ditandai dengan adanya obstruksi permanent (irreversible) terhadap aliran ekspirasi udara. Peradangan kronis. Sebagai respon dari asap rokok yang dihisap, gas beracun, dan debu, merusak saluran napas dan parenkim paru. PPOK dahulunya diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang abnormal.

Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan asma berbeda dengan PPOK. Hiperresponsif bronchial (didefinisikan sebagai perubahan periodic pada forced expiratory volume dalam waktu 1 detik [FEV1]), dapat ditemukan pula pada PPOK walaupun biasanya dengan magnitude yang lebih rendah dibanding pada asma. Perbedaan utama adalah asma merupakan obstruksi saluran napas reversible, dimana PPOK merupakan obstruksi saluran napas yang permanent. Selain itu terdapat perbedaan manifestasi lainnya antara asma dengan PPOK yang ditunjukkan pada tabel 1. Namun demikian, penelitian telah mengindikasikan pengendalian asma kronis yang buruk pada akhirnya menyebabkan perubahan struktur dan obstruksi saluran napas yang persisten, sehingga dalam kasus seperti ini asma telah berevolusi menjadi PPOK tanpa adanya riwayat merokok.

Etiology

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran antiprotease.

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago. Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Tabel 2).

Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2 (hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.

Tabel 1 Perbandingan gejala antara PPOK dan asma

PPOKAsmaRiwayat Klinis

Onset biasanya pada usia tua.

Riwayat paparan rokok.

Tidak ada riwayat atopik pada keluarga.

Variasi diurnal tidak begitu jelas.

Onset biasanya pada umur yang lebih muda

Paparan allergen.

Riwayat atopi atau asma pada keluarga.

Berkaitan dengan pola nocturnal dan memberat pada pagi hari.

Tes Diagnostik Spirometri

KapasitasRadiology

Obstruksi tidak reversible sepenuhnyaBerkurang (dengan emphysema)Hiperinflasi cenderung lebih persisten. Penyakit bullous dapat ditemukan

Obstruction dapat reversible sepenuhnyaBiasanya normalHiperinflasi hanya pada eksaserbasi, namun normal di luar serangan

Pathology

Metaplasia kelenjar mucusKerusakan jaringan alveolar (emphysema)

Hyperplasia kelenjar mucusStruktur alveolar utuh

Inflamasi

Makrofag dan neutrofil mendominasi

Limfosit CD8+

Sel Mast dan eosinophils mendominasiLimfosit CD4+

PenatalaksanaanKortikosteroid InhalasiLeukotriene modifierAnticholinergic inhalasi

Untuk kasus sedang hingga berat

Tidak direkomendasikan

Digunakan untuk maintenance dan selama eksaserbasi

Untuk kasus ringan hingga berat persistenDigunakan sebagai medikasi pengontrolHanya digunakan pada eksaserbasi. Tidak diindikasikan untuk maintenance

Tabel 2 Patogenesis PPOK

Mekanisme PatogenikPerubahan Patologis Konsekuensi Fisiologis PeradanganProteinase vs. antiproteinaseStress oxidative

Saluran napas pusat

Saluran napas perifer

Vaskuler Pulmoner

Hipersekresi Mukus

Disfungsi silier

Pertukaran gas abnormal

Hipertensi Pulmoner

Efek Sistemik

Faktor Resiko PPOK

Merokok sekarang ini merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya PPOK di negara maju. Sebanyak 85% hingga 90% pasien dengan PPOK memiliki riwayat merokok. Namun dilain pihak, hanya 15% dari perokok yang akan mengidap PPOK, mengindikasikan sepertinya terdapat faktor konstitusional atau genetic yang menentukan resiko berkembangnya obstruksi saluran napas pada seseorang. Defisiensi 1-anti-trypsin merupakan satu-satunya faktor resiko terkait genetic yang diketahui sampai saat ini, namun kecendrungan PPOK untuk berkembang pada keluarga tertentu mengindikasikan terdapat faktor herediter lainnya yang belum teridentifikasi. Polusi udara seperti paparan okupansional terhadap debu dan gas telah terkait dengan perkembangan PPOK. Faktor resiko lainnya yang berimplikasi klinis termasuk adanya hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.

Manifestasi klinis

Gejala cardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.

Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik.

Diagnosis

Riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik yang mendetail penting untuk menegakkan diagnosis PPOK. Akan tetapi pemeriksaan fungsi paru sangat penting untuk diagnosis Pemeriksaan Fungsi Paru

Diagnosis PPOK didukung dengan penemuan obstruksi saluran udara persisten dengan menggunakan spirometri setelah pemberian bronkodilator (didefinisikan dengan FEV1/FVC kurang dari nilai prediksi ). Pengukuran volume paru dapat memperlihatkan adanya peningkatan pada volume residual dan kapasitas total paru walaupun diagnosis obstruksi saluran napas hanya dapat diketahui dengan keberadaan abnormalitas FEV1/FVC. Kapasitas keseluruhan karbon dioksida biasanya menurun dengan adanya emfisema namun normal pada pasien dengan bronchitis kronik.

Fungsi pulmoner biasanya menurun secara progresif dan walaupun diprediksi kurang akurat pada pasien tertentu, nilai rata-rata tahunan penurunan FEV1 yaitu 50 hingga 100 mL. Penurunan FEV1 dipercepat pada pasien yang tetap merokok. Aktivitas menurun secara bermakna ketika FEV1 hanya berkisar 1 L. FEV1 pasca bronkodilator, performa setelah berjalan selama 6 menit, derajat sesak napas, dan index massa tubuh telah diidentifikasi sebagai predictor harapan hidup.

Thorax Radiograph dan Pemeriksaan lainnya

Foto Thorax (CXR/chest X-Ray) memperlihatkan hiperinflasi paru, diafragma datar, bayangan jantung menyempit, gambaran bullous pada proyeksi frontal, dan peningkatan ruang udara interkostal pada proyeksi lateral. Akan tetapi, foto thorax dapat normal pada stadium awal penyakit ini dan bukan tes yang sensitive untuk diagnosis PPOK. Perubahan emfisematosa lebih mudah terlihat pada CT-Scan thorax namun pemeriksaan ini tidak cost-effective atau modalitas yang direkomendasikan untuk skrining PPOK. Walaupun pencitraan dapat memperlihatkan keberadaan PPOK, hanya spirometri yang merupakan standar kriteria untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran napas.

Analisa gas darah juga direkomendasikan ketika FEV1 bernilai 40% di bawah nilai prediksi, dengan adanya tanda cor pulmonale dan selama eksaserbasi akut berat untuk menilai oksigenasi dan kemungkinan adanya hiperkapnia.

Pemeriksaan 1-antitrypsin juga direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan umur yang lebih muda dibanding rata-rata (

Penatalaksanaan

Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1 (Gambar 1). Intervensi satu-satunya sejauh ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu, pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan penyakitnya. Vaksinasi influenza sebaiknya diberikan tiap tahun, biasanya pada musim semi awal. Vaksin pneumokokus direkomendasikan ; imunitas semakin menurun setelah 5 tahun dan revaksinasi mungkin dibutuhkan pada pasien dengan resiko tinggi infeksi pneumokokkus serius.

Gambar 1. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK dan pilihan terapi. (Diadaptasi dari Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006. Available from: http://www.goldcopd.org, with permission).Bronkodilator

Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama (Tabel 3). Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya merupakan medikasi yang diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan penyakit ringan. Dengan meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Semua pasien simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi bronkodilator percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan respon bronkodilator yang bermakna atau tidak.

Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya pada asma.

2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler. 2-agonis dapat diberikan dengan kombinasi antikolinergik untuk mengoptimalkan efek bronkodilator.

Bronkodilator dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek samping sistemik. Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang besar, dan membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan medikasi. Maka MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode yang lebih dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.

Methylxanthines

Theophylline telah menunjukkan meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat. Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Theophylline diduga memberikan manfaat dengan inhibisi phosphodiesterase dan meningkatkan kadar cAMP. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan kontraktilitas diaphragma dengan meningkatkan aliran darah diaphragma. Efek beneficial pada fungsi diaphragma ini dapat meminimalkan atau mencegah kelelahan diaphragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Monitoring kadar obat secara periodic dan penggunaan preparat lepas-lambat direkomendasikan

Table 3 Bronchodilators

Kerja SingkatKerja Panjang2-agonisAlbuterolFenoterolMetaproterenolPirbuterolTerbutalineFormoterolSalmeterol

AntikolinergikIpratropiumOxytropiumMethylxanthinesAminophyllineTheophylline

Tiotropium

Table 4 Indikasi penggunaan terapi oksigen jangka panjang berkelanjutan

Tekanan resting arterial parsial oksigen sebesar

a. Bukti cor pulmonale pada EKG

b. Erithrosithemia dengan hematocrit >56%

c. Edema akibat congestive heart failure

Kortikosteroid

Kortikosteroid inhalasi sebaiknya dipertimbangkan pada PPOK kasus berat hingga sangat berat (FEV1 pada pasien asma.

Rehabilitasi Pulmoner

Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup. Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.

Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)

Oksigena merupakan medikasi inhalasi dan LTOT dapat memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien tertentu dengan PPOK (Tabel 4). Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas namun lebih dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Sesak napas tidak selalu berkaitan dengan hypoxemia; banyak pasien sesak namun tidak hypoxemic dan banyak pula pasien yang hypoxemia namun tidak mengalami sesak napas. Terdapat kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK berdasarkan kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per hari untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen. Terdapat unit oxygen yang sangat portabel dan alat yang membantu pengaliran oxygen ini.Penanganan Invasif

Bullectomy, Bedah reduksi volume paru, dan tranplantasi paru merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PPOK yang sangat berat. Rujukan kepada spesialis bedah thorax diindikasikan untuk menilai lebih lanjut kecocokan prosedur ini untuk pasien.

Penanganan Eksaserbasi

Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi lebih sering terjadi. Kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi respiratorik yang biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang biasanya sering ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum yang membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic pseudomonas aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya. Kortikosteroid oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah dijelaskan di atas. Ventilasi positif mekanik noninfasif sebaiknya dipertimbangkan karena dapat mencegah dilakukannya ventilasi mekanik invasive (yang membutuhkan intubasi) pada beberapa pasien.

Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD)

Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (

COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga pe

nyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah: bronchitis kronis, emfisema paru dan asthma bronchiale.Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic Obstructive Lung Diseases (COLD)".

1. DefinisiAsthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai ciri bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asthma merupakan penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biochemical, endokrin, infeksi, otonomik dan psikologi.

2. Tipe Asthma Asthma terbagi menjadi beberapa macam, antara lain: a. Asthma Alergik /Ekstrinsik

Merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab allergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll). Allergen terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman). Pasien dengan asthma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai saat kanak-kanak.

b. Idiopathic atau Nonallergic Asthma/Intrinsik

Tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan agent sulfite (penyedap makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari asthma idiopatik atau nonalergik menja