82
1 PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON (Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI II RAHMAWATI F14060404 2010 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON … · Department PT Frisian Flag Indonesia” dan kemudian mengakhiri masa studinya pada program sarjana dengan melakukan penelitian yang

Embed Size (px)

Citation preview

1  

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON (Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI

II RAHMAWATI

F14060404

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2  

PENINGKATAN KINERJA PENGEMASAN PISANG AMBON (Musa Paradisiaca L.) SELAMA TRANSPORTASI DENGAN PENATAAN POSISI PISANG DAN JENIS BAHAN PENGISI

II RAHMAWATI

F14060404

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2010

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

3  

Judul Skripsi : Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L.) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi

Nama : Ii Rahmawati

NIM : F14060404

Bogor, Agustus 2010 Menyetujui,

Dosen Pembimbing Akademik

Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, M.SAE. NIP. 19460501 197301 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Teknik Pertanian

Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 199103 1 004

Tanggal Lulus :  

4  

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis bernama lengkap Ii Rahmawati dilahirkan di

Majalengka pada tanggal 30 Maret 1988. Penulis merupakan

anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Rabin

dan Ibu Maryati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah di

SD Bongas Wetan 2 pada tahun 2000, SMPN 3 Sumberjaya

pada tahun 2003, SMAN 1 Jatiwangi pada tahun 2006, dan pada

tahun tersebut penulis diterima untuk menjadi mahasiswa

Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

IPB (USMI), Departemen Teknik Pertanian dengan memilih bagian Teknik

Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam kepengurusan

Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (Himateta), Organisasi Mahasiswa Daerah

Majalengka, dan Persatuan Tenis Meja IPB. Penulis juga pernah terlibat sebagai

Asisten Praktikum Terpadu Mekanika dan Bahan Teknik pada tahun ajaran

2008/2009 dan 2009/2010.

Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktek lapangan di PT Frisian Flag

Indonesia dengan judul laporan “Aspek Pegemasan Susu Bubuk di Powder Packing

Department PT Frisian Flag Indonesia” dan kemudian mengakhiri masa studinya

pada program sarjana dengan melakukan penelitian yang berjudul “Peningkatan

Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L.) Selama Transportasi

dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi”

5  

Ii Rahmawati. F14060404. Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L.) Selama Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi. Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE. 2010.

RINGKASAN

Secara umum produk hortikultura sangat mudah menurun kualitas maupun kuantitas sejak panen hingga sampai ke tangan konsumen. Namun, penurunan kualitas maupun kuantitas produk dapat diminimalisir dengan penanganan pascapanen yang baik, salah satunya adalah proses pengemasan dan transportasi agar dapat melindungi dan mempertahankan mutu produk. Pisang merupakan salah satu buah-buahan tropis yang memiliki nilai komersil tinggi. Namun, terkadang di pasaran pisang mendapat perlakuan yang kurang sesuai sehingga nilainya pun menjadi rendah. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan pengisi kemasan dan cara penataan dalam usaha meningkatkan kinerja pengemasan buah pisang kuning sehingga dapat mengurangi tingkat kerusakan mekanis yang terjadi selama transportasi. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB selama 1 bulan (April-Mei 2010). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya pisang ambon kuning, kemasan karton bergelombang tipe Regular Slotted Container (RSC) dengan tipe flute B/C, bahan pengisi kemasan berupa potongan kertas dan daun serta pelepah pisang. Peralatan yang digunakan meja simulator, timbangan Mettler, Rheometer, Refrigerator, dan Refraktometer. Pisang ambon dikemas ke dalam kemasan kardus dengan bobot masing-masing 15 kg disertai bahan pengisi berbeda yaitu kardus dengan tanpa bahan pengisi, potongan kertas, serta pelepah dan daun pisang. Setelah pisang dikemas, dilakukan simulasi transportasi sebanyak 3 kali ulangan dengan amplitudo rata-rata 3.23 cm dan frekuensi 3.27 Hz yang setara dengan perjalanan luar kota 223.32 km. Trek tersebut maksimum setara dengan perjalanan darat dari salah satu daerah penghasil pisang Purwakarta ke Pelabuhan Merak. Setelah dilakukan simulasi transportasi, dilakukan pengamatan tingkat kerusakan mekanis. Didapatkan tingkat kerusakan tertinggi dialami pisang dalam kardus tanpa bahan pengisi dengan posisi terlentang sebesar 6.22%, sedangkan kerusakan terendah dialami oleh pisang dalam kardus dengan bahan pengisi potongan kertas dan posisi telungkup.

Pisang yang telah diamati kerusakan mekanisnya disimpan pada 3 suhu berbeda yaitu 10ºC, 15ºC dan 27ºC. Selama masa penyimpanan dilakukan kegiatan pengamatan susut bobot, tingkat kekerasan, total padatan terlarut, dan perubahan warna pisang. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui kelayakan penerimaan konsumen ketika pada kulit pisang telah terdapat bintik-bintik kecoklatan dan hal ini terjadi pada waktu yang tidak bersamaan pada masing-masing suhu.

6  

Warna pisang berubah dari hijau menjadi kuning hingga oranye selama masa penyimpanan. Perubahan warna tersebut pada penelitian ini dijadikan indikator masa simpan yang berbeda-beda pada setiap suhu, yaitu: suhu 10ºC = 4 minggu, 15ºC = 2-3 minggu, dan 27ºC = 6 hari.

Dari hasil pengamatan yang diuji statistik menggunakan SAS 9.1 diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan bahan pengisi, penataan, suhu serta waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap sifat fisik dan kimia pisang seperti susut bobot, tingkat kekerasan, kandungan total padatan terlarut, dan perubahan warna. Penurunan bobot yang dialami oleh pisang berturut-turut dilihat dari nilai tertinggi setelah penyimpanan 6 hari adalah pisang yang disimpan pada suhu 10ºC dengan bahan pengisi pelepah dan daun pisang sebesar 24.56 gram, 15ºC dengan bahan pengisi kertas sebesar 35 gram, dan suhu 27ºC dengan bahan pengisi kertas sebesar 62.22 gram. Diakhir masa penyimpanan, kekerasan tertinggi dialami oleh pisang yang disimpan dalam kardus tidak berbahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 10ºC sebesar 14.64 N. Sedangkan kekerasan terendah dialami oleh pisang yang disimpan pada suhu 27ºC tanpa bahan pengisi dan posisi terlentang sebesar 6.44 N. Perubahan warna dan peningkatan total padatan terlarut yang relatif lebih lambat terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC tanpa bahan pengisi sebesar 2.7 skala, sedangkan sebaliknya terjadi pada pisang yang disimpan di suhu 27ºC tanpa bahan pengisi sebesar 5.25 skala.

Kata kunci: Pengemasan, pisang ambon, transportasi, penataan posisi pisang, bahan pengisi

7  

Ii Rahmawati. F14060404. Increase Performance of Ambon Banana’s (Musa Paradisiaca L.) Packaging During Transportation with Arrangement of Banana Position and Packaging Filler Material. Under guidance: Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE. 2010.

ABSTRACT

This study specifically aims to determine the effect of the use of filler materials packaging and how an effort to improve the performance of a ambon banana’s packaging so it can reduce mechanical damage during transportation.

Materials used in this study include yellow banana, corrugated cardboard Regular Slotted Container (RSC) with the flute type B / C, packaging filler materials such as paper cuts and leaf and stem of a banana. Equipment used are simulator tables, scales Mettler, Rheometer, Refrigerator, and Refractometer.

Bananas are packed into cardboard packaging with a weight of 15 kg each with different filler, paper cuts. After the bananas are packed, carried out simulations of transport as many as three replicates with an average amplitude 3,23 cm and frequency 3,27 Hz which is equivalent to 223,32 km out of town trips. Maximum equivalent to the track overland journey from one of Purwakarta to Merak.

After the simulation of transportation, highest level of mechanical damage were banana in a box without filler materials with the supine position at 6,22%, while the lowest damage were banana in a cardboard box with filler and paper cuts.

Bananas stored mechanical damage was observed at three different temperatures, there are 10ºC, 15ºC and 27ºC. Banana color changed from green to yellow to orange during storage. The color change indicator in this study the different savings at each temperature, there are 10ºC = 4 weeks, 15ºC = 2-3 weeks and 27ºC = 6 days. Result of observations were tested using SAS 9.1 that the use of filler material, arrangement, temperature and storage time significantly affected the physical and chemical properties of banana such as weight loss, hardness, total solids content, and color changes.

Decrease in weight experienced by banana row views from the highest score after six days of storage are stored at a temperature of banana 10ºC with filler and banana leaf midrib of 24,56 grams, 15ºC with filler paper for 35 grams, and temperature with filler 27ºC amounted to 62,22 grams of paper.

At the end of the storage period, the highest of violence experienced by the banana is not stored in boxes made from filler with supine position at a temperature 10ºC=14,64 N. While the lowest violence experienced by the banana which was stored at 27ºC without fillers and supine position at 6,44 N. Changes in color and increased total solids which are relatively more slowly happening in bananas stored at a temperature 10ºC without filler at 7,2 scale, while the opposite happens in a banana that is stored at temperatures 27ºC without filler at 5,25 scale.

Keywords: Packaging, bananas, transportation, arrangement of banana position, fillers

8  

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Peningkatan Kinerja Pengemasan Pisang Ambon (Musa Paradisiaca L) Selama

Transportasi dengan Penataan Posisi Pisang dan Jenis Bahan Pengisi” ini dengan

lancar.

Pada kesempatan ini penulis ingin megucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Atjeng M. Syarief, MSAE, selaku dosen pembimbing akademik

yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku

dosen penguji skripsi.

3. Bapak Sulyaden selaku teknisi Laboratorium TPPHP.

4. Keluarga Bapak Daya yang telah membantu penyediaan pisang ambon.

5. Ilham, Helena, Anicha, Aprileni, Arif, Eni, Mery, Samuel, Hari, Frans, Didah,

Ines, Hilda, Ardi, dan Fahri yang telah membantu dalam kegiatan penelitian di

laboratorium.

6. Kedua orang tua dan adik yang telah memberikan dukungan moril.

7. Pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu

dalam kegiatan penelitian maupun penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.

Akan tetapi, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada

umumnya.

Bogor, Agustus 2010

10  

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ........................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. 13

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... 15

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 16

A. Latar Belakang ............................................................................................ 16 B. Tujuan ......................................................................................................... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 19

A. Pisang ......................................................................................................... 19 B. Pengemasan ............................................................................................... 22 C. Kerusakan Mekanis .................................................................................... 24 D. Bahan Pengisi ............................................................................................. 25 E.    Penyimpanan Dingin ................................................................................... 26 F.   Transportasi ................................................................................................. 27

III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 29

A. Waktu dan Tempat ..................................................................................... 29 B. Bahan dan Alat ........................................................................................... 29 C. Prosedur Penelitian .................................................................................... 29 D. Pengamatan ............................................................................................... 32 E. Rancangan Percobaan ................................................................................ 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 40

A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning ........................................................... 40 B. Tingkat Kerusakan Mekanis ....................................................................... 42 C. Susut Bobot ................................................................................................ 44 D. Kekerasan ................................................................................................... 47 E. Perubahan Warna ...................................................................................... 49 F. Total Padatan Terlarut (TPT) ...................................................................... 52 G. Uji Organoleptik ......................................................................................... 54 H. Masa Simpan Pisang ................................................................................... 56 I. Kesetaraan Simulasi Transportasi .............................................................. 57

V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 59

A. Kesimpulan ................................................................................................. 59 B. Saran ........................................................................................................... 59

11  

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 61

LAMPIRAN ............................................................................................................. 64

12  

DAFTAR TABEL halaman

Tabel 1 Produksi pisang nasional tahun 2002-2005 ....................................... 1

Tabel 2 Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang ...................................... 6

Tabel 3 Rekomendasi temperatur, kelembapan, daya simpan terhadap

jenis buah pisang ................................................................................ 11

Tabel 4 Tingkat warna pada Color Plate Loesecke ........................................ 20

Tabel 5 Konversi frekuensi dan amplitudo meja simulator selama

simulasi transportasi terhadap jarak tempuh (panjang jalan) ............ 40

 

13  

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 1  Contoh kemasan kardus untuk pengemasan pisang cavendish ......... 28

Gambar 2  Pisang yang diujikan ............................................................................ 29

Gambar 3  Kardus yang digunakan ....................................................................... 30

Gambar 4  Diagram alir penelitian ........................................................................ 32

Gambar 5  Pengukuran kekerasan pisang dengan Rheometer CR‐300DX ............ 34

Gambar 6  Posisi penusukan jarum Rheometer untuk mengukur kekerasan ....... 34

Gambar 7  Pengukuran kadar total padatan terlarut dengan Refraktometer N‐Atago ............................................................................................... 35

Gambar 8  Kardus tipe RSC yang digunakan ......................................................... 40

Gambar 9  Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang dengan bahan

pengisi kertas (kiri) serta pelepah dan daun pisang (kanan) ............... 41

Gambar 10  Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang tanpa bahan pengisi .............................................................................................. 41

Gambar 11  Penataan pisang telungkup (kiri) dan terlentang (kanan) .................. 41

Gambar 12  Jenis-jenis kerusakan pada pisang setelah penyimpanan selama 6

hari pada suhu ruang ........................................................................ 42

Gambar 13  Grafik persentase kerusakan pisang setelah simulasi transportasi .. 43

Gambar 14  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu 10ºC ......................... 45

Gambar 15  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu 15ºC ......................... 45

Gambar 16  Grafik kehilangan kadar air pisang pada suhu ruang (27ºC) ............. 46

Gambar 17  Pisang yang terkena chilling injury (kiri) dan kulit kehitaman karena kerusakan mekanis (kanan) ................................................. 51

Gambar 18  Daging buah pisang dengan warna kulit buah oranye berbintik cokelat .............................................................................................. 51

Gambar 19  Jamur yang tumbuh pada bonggol (kiri) dan kulit (kanan) pisang .... 53

Gambar 20  Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu ruang ................................................................................................ 55

Gambar 21  Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu 15ºC .................................................................................................. 56

14  

Gambar 22  Pisang dalam kemasan kardus dengan tanpa bahan pengisi (kiri), bahan pengisi potongan kertas (tengah) dan bahan pengisi pelepah serta daun pisang (kanan) ................................................... 57

15  

DAFTAR LAMPIRAN  

halaman

Lampiran 1  Konversi angkutan truk berdasarkan data lembaga uji 

kontruksi BPPT 1986 (Soedibyo 1992 dalam Hasiholan 2008) ......... 65

Lampiran 2  Warna kulit pisang yang dicocokkan pada color plate (Loesecke) ... 49

Lampiran 3  Hasil Olah Data SAS ........................................................................... 70

Lampiran 4  Data kekerasan ................................................................................ 705

Lampiran 5  Data total padatan terlarut ............................................................... 70

Lampiran 6  Data perubahan warna ..................................................................... 70

Lampiran 7  Data kerusakan selama penyimpanan .............................................. 61

16  

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari tahun ke tahun, produksi pisang di dunia terus meningkat hingga

tahun 2005 produksi pisang mencapai 72.5 juta ton. Hal ini dikarenakan banyak

penduduk dunia yang mengkonsumsi pisang. Menurut FAO 2005, Indonesia

menyumbang sebesar 6.2 % permintaan pisang di dunia. Berikut ini adalah data

produksi pisang di Indonesia.

Tabel 1 Produksi pisang nasional tahun 2002-2005

Tahun Produksi pisang (ton)

2002

2003

2004

2005

4 384 384

4 177 155

4 874 439

5 177 607

Sumber: http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/index.html 

Secara umum produksi pisang di Indonesia meningkat setiap tahunnya

meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2003. Namun, peningkatan

produksi tersebut baru pada aspek kuantitas belum diimbangi dengan

peningkatan kualitas pasca panen pisang. Pada sektor pasca panen buah secara

umum, terdapat susut yang berkisar antara 5-25% (Santoso dan Purwoko,

2005).

Indonesia, Brazil, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador,

Thailand, Kribia, Hawaii, serta Negara-negara di Afrika seperti Pantai

Gading, Pulau Kanari, dan Uganda merupakan Negara-negara yang dikenal

sebagai penghasil pisang di dunia. Sentra pisang di Indonesia tersebar di

daerah-daerah seperti Jawa Barat (Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta,

Serang); Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan,

Kutosari, Pringsurat dan Pemalang); Jawa Timur (Banyuwangi dan Malang);

17  

Sumatera Utara (Padang sidempuan, Natal, Samosir, dan Tarutung); Sumatera

Barat; Sumatera Selatan; Lampung; Kalimantan; Sulawesi; Bali serta Nusa

Tenggara.

Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga

memproduksi pisang untuk ekspor. Salah satu jenis pisang yang digemari

adalah jenis pisang ambon putih atau yang lebih dikenal dengan nama pisang

Cavendish. Pisang ini umumnya dijumpai di supermarket untuk disajikan

sebagai buah meja.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, permintaan terhadap

buah pun terus meningkat khususnya pisang, maka diperlukan peningkatan

kualitas dan kuantitas produk selain dari teknik budidaya yang terus

dikembangkan dengan teknologi kultur jaringan dan sebagainya. Saluran

distribusi produk pertanian khususnya buah-buahan dan sayuran memiliki

rantai yang panjang sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas suatu

komoditas (Peleg, 1985).

Selama ini, pisang diperdagangkan dalam keadaan segar dan

ditransportasikan masih melekat pada tandannya. Namun terkadang pisang

ditumpuk tidak teratur dalam truk pengangkut berkapasitas 11 ton. Itulah

sebabnya buah pisang dibagian terbawah menahan beban buah diatasnya

sehingga buah memar dan susut dapat mencapai 15% (Sunarjono, 1999), dan

20-30% (anonim). Akibatnya kualitas pisang yang mampu dihasilkan oleh

petani tergolong rendah (kualitas III) dan hal ini berakibat pada nilai jual

pisang dipasar yang rendah dan bila sudah matang.

Penanganan pascapanen secara konvensional dilakukan dengan cara

tandan pisang ditutupi dengan daun pisang kering untuk mengurangi

penguapan dan diangkut ke tempat pemasaran dengan menggunakan

kendaraan terbuka/tertutup. Untuk pengiriman ke luar negeri, sisir pisang

dilepaskan dari tandannya kemudian dipilah-pilah berdasarkan ukurannya.

Pengepakan dilakukan dengan menggunakan wadah karton. Sisir buah pisang

18  

dimasukkan ke dalam kardus dengan posisi telungkup dalam dua lapisan.

Sebaiknya luka potongan diujung sisir buah pisang disucihamakan untuk

menghindari pembusukan.

Oleh karena itu, diperlukan perbaikan cara pengemasan pisang yang

sudah ada seperti wadah yang dapat menahan guncangan dan bahaya lain

yang mungkin terjadi selama transportasi seminimal mungkin. Dalam hal ini

akan diuji pengemasan pisang menggunakan kardus, bahan pengisi dan

penataan yang berbeda.

B. Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menentukan teknik pengemasan

yang baik untuk pengangkutan buah pisang. Adapun tujuan khusus dari penelitian

ini antara lain:

1. Mengetahui jumlah kerusakan mekanis yang dialami pisang dalam setiap

kemasan dengan perlakuan berbeda setelah simulasi transportasi.

2. Mengetahui perubahan kualitas pisang (susut bobot, warna, kekerasan, total

padatan terlarut) selama masa simpan.

3. Membandingkan kualitas pisang (susut bobot, warna, kekerasan, total padatan

terlarut) dari 6 kemasan dengan perlakuan berbeda setelah simulasi

transportasi.

19  

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pisang

Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di

Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Di Jawa Barat, pisang disebut

dengan Cau, di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang.

Lokasi penanaman pisang yang baik menurut syarat agronomis dan

agroklimat tanamannya, yaitu dataran rendah tropis basah, ketinggian 100-700 m

dpl, suhu udara 22-32˚C, tidak terdapat angin kencang, subur, dan ada sumber

pengairan pada saat musim kemarau.

Klasifikasi botani tanaman pisang adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Keluarga : Musaceae

Genus : Musa

Menurut teori genetika, pisang budidaya pada masa sekarang dianggap

merupakan keturunan dari Musa acuminata yang diploid dan tumbuh liar. Genom

yang disumbangkan diberi simbol A. Persilangan alami dengan Musa balbisiana

memasukkan genom baru, disebut B, dan menyebabkan bervariasinya jenis-jenis

pisang. Pengaruh genom B terutama terlihat pada kandungan tepung pada buah

yang lebih tinggi. Secara umum, genom A menyumbang karakter ke arah buah

meja (banana), sementara genom B ke arah buah pisang olah/masak (plantain).

Hibrida M. acuminata dengan M. balbisiana ini dikenal sebagai M. ×paradisiaca.

Khusus untuk Kelompok AAB, nama Musa sapientum pernah digunakan.

Mengikuti anjuran Simmonds dan Shepherd yang karyanya diterbitkan

pada tahun 1955, klasifikasi pisang budidaya sekarang menggunakan nama-nama

kombinasi genom ini sebagai nama kelompok budidaya (cultivar group). Sebagai

20  

contoh, untuk pisang 'Cavendish', disebut sebagai Musa (AAA group Dessert

subgroup) 'Cavendish'. Di bawah kelompok masih dimungkinkan pembagian

dalam anak-kelompok (subgroup).

Adapun karakteristik dari beberapa varietas pisang ambon adalah sebagai

berikut:

a. Pisang ambon kuning

Tinggi batang 2.5 – 3.5 m dengan warna hijau muda. Daunnya hijau tua. Panjang

tandan 60 – 80 cm dan beratnya 15 – 30 kg per tandan. Setiap tandan terdiri dari 8

- 12 sisiran dan setiap sisiran ada 15 – 22 buah. Daging buah berwarna kuning

muda, berasa manis, dan bertekstur lunak. Kulit buah agak tebal dengan warna

saat matang adalah kuning. Umur panen 3 – 3.5 bulan sejak keluar jantung.

b. Pisang ambon lumut

Tinggi batang 2.5 – 3 m dengan warna hijau kemerahan berbintik hitam. Daunnya

hijau tua. Panjang tandan 48 – 60 cm dan beratnya 15 – 30 kg per tandan. Setiap

tandan terdiri dari 8 – 12 sisiran dan setiap sisiran terdapat 13 – 22 buah. Daging

buah berasa manis, harus agak kenyal, dan berwarna kuning muda. Kulit buah

agak tebal berwarna hijau kekuningan sampai oranye. Umur panen 3 – 3.5 bulan

sejak keluar jantung.

c. Pisang Cavendish (ambon putih/ambon jepang)

Tinggi batang 2.5 – 3 m dengan warna hijau kehitaman. Daunnya hijau tua.

Panjang tandan 60 – 100 cm dengan berat 15 – 30 kg per tandan. Setiap tandan

terdiri dari 8 – 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 – 22 buah. Daging buah putih

kekuningan, manis dan agak asam, serta lunak. Kulit buah agak tebal berwarna

hijau kekuninan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 – 3.5 bulan sejak

keluar jantung.

Pisang merupakan buah yang mengandung banyak gizi yang diperlukan

tubuh, berikut adalah data kandungan gizi pisang.

21  

Tabel 2 Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang

Kandungan gizi Ambon Raja Raja sere Uli Mas

Kalori (kal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Zat besi (mg)

Vitamin A (S. I)

Vitamin B1 (mg)

Vitamin C (mg)

Air (%)

99

1.2

0.2

25.8

8.0

28.0

0.5

146

0.08

3

72

120

1.2

0.2

31.8

10

22

0.8

950

0.06

10

65.8

118

1.2

0.2

31.1

10

22

0.8

112

0

4

67

146

2

0.2

38.2

10

28

0.9

75

0.05

3

59.1

127

1.4

0.2

33.6

7

25

0.8

79

0.09

2

64.2

Sumber : Direktorat Gizi Depkes R. I (1992)

Penentuan waktu panen buah pisang yang tepat akan menghasilkan kualitas

yang baik dimana penentuannya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat

kematangan dan kemasakan buah pisang. Selain itu, kualitas buah pisang yang baik

ditentukan juga berdasarkan tingkat ketuaan buah dan penanmpakannya. Tingkat

ketuaan buah diukur dari umurnya, sedangkan hasil penampakan tergantung pada

penanganan pascapanennya.

Penentuan waktu panen di Indonesia umumnya bukan berdasarkan tingkat

ketuaan atau umur petiknya melainkan oleh kebutuhan ekonomi. Akibatnya banyak

buah pisang yang dipanen belum sesuai tingkat ketuaannya sehingga pisang yang

dihasilkan berkualitas rendah.

Keadaan buah pisang untuk dipanen dapat ditentukan dengan beberapa cara

antara lain secara visual, fisik, dengan analisis kimia, dengan perhitugan, dan cara

fisiologi. Cara visual dapat dilakukan dengan melihat warna kulit, ukuran, masih

22  

adanya sisa tangkai putik, adanya daun-daun tua dibagian luar yang kering,

mengeringnya tubuh tanaman, bentuk buah tampak bulat berisi penuh, dan sudut

penampang yang rata. Cara fisik dapat dilakukan dengan melihat dari mudahnya

buah terlepas dari tangkai karena terlalu masak atau adanya absisi, ketegaran, dan

berat jenis.

Standar kematangan dari pisang berbeda-beda menurut jenis pisang. Buah

pisang biasanya tidak dibiarkan matang dipohon. Hal ini disebabkan karena buah

pisang dibiarkan matang dipohon akan memiliki citarasa yang rendah dan

mempunyai tendensi rontok dari pohon sebelum atau sewaktu panen. Karena itu,

pisang dipanen pada waktu masih hijau tapi sudah cukup tua (Winarno, 1990).

Pada umur 1 tahun rata-rata pisang sudah berbuah. Saat panen ditentukan

oleh umur buah dan bentuk buah. Ciri khas panen adalah mengeringnya daun

bendera. Buah yang cukup umur untuk dipanen berumur 80-100 hari dengan siku-

siku buah yang masih jelas sampai hampir bulat. Penentuan umur panen harus

didasarkan pada jumlah waktu yang diperlukan untuk pengangkutan buah ke daerah

penjualan sehingga buah tidak terlalu matang saat sampai di tangan konsumen.

Sedikitnya buah pisang masih tahan disimpan 10 hari setelah diterima konsumen.

Buah pisang dipanen bersama-sama dengan tandannya. Panjang tandan yang

diambil adalah 30 cm dari pangkal sisir paling atas. Gunakan pisau yang tajam dan

bersih waktu memotong tandan. Tandan pisang disimpan dalam posisi terbalik

supaya getah dari bekas potongan menetes ke bawah tanpa mengotori buah. Belum

ada standar produksi pisang di Indonesia, di sentra pisang dunia produksi 28

ton/ha/tahun hanya ekonomis untuk perkebunan skala rumah tangga. Untuk

perkebunan kecil (10-30 ha) dan perkebunan besar (> 30 ha), produksi yang

ekonomis harus mencapai sedikitnya 46 ton/ha/tahun.

B. Pengemasan Pengemasan (Packing) dalam hal ini pengemasan buah adalah upaya

meletakkan buah-buah ke dalam suatu wadah yang cocok dan lingkungan yang

mampu mendukung aktivitas buah tersebut setelah dipanen sehingga dapat

meminimalisir kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi maupun biologis selama

23  

transportasi dan penyimpanan sebelum sampai ke tangan konsumen. Berkenaan

dengan tujuan dari pengemasan, kemasan yang digunakan untuk pengangkutan buah-

buahan haruslah dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta efisien.

Menurut Satuhu 2004 dalam Hasiholan 2008, bahan dan bentuk kemasan

secara umum dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Kemasan langsung

Yakni kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas,

Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan

daun.

2. Kemasan tidak langsung

Merupakan kemasan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah

kedua dimasukkan untuk melindungi bahan dari kekuatan fisik dan mekanis

terutama untuk memudahkan pengaturan dalam gudang penyimpanan, dan

distribusi serta memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas

jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang

bambu.

Salah satu jenis kemasan yang biasa dipergunakan dalam proses

pengangkutan adalah kardus karton. Kemasan kardus karton dibuat dari karton

bergelombang yang terdiri dari kertas linier yang merupakan kertas pelapis luar dan

kertas medium, yaitu kertas yang digunakan sebagai lapisan bergelombang.

Keduanya kemudian direkatkan didalam mesin corrugators, yaitu mesin

penggelombang kertas. Kemasan ini mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:

1. Mempunyai bobot yang lebih ringan untuk material yang mempunyai kekuatan

yang sama dan biaya yang lebih murah.

2. Mempunyai permukaan yang halus

3. Mempunyai sifat meredam getaran yang baik.

4. Mudah untuk disetak dan diberi label.

5. Mudah untuk dirakit dan dibongkar dalam penyimpanan.

6. Mudah didaur ulang dan dapat digunakan kembali.

24  

Kekurangan dari kemasan ini adalah kekuatannya akan berkurang pada kondisi

udara yang lembab (Peleg 1985 dalam Muthmainnah 2008).

Tinggi susunan komoditas dalam kemasan tergantung pada kecepatan

respirasi komoditas. Bila susunannya terlalu padat dan tebal maka bagian tengah akan

menjadi lebih panas akibat respirasi yang tidak dapat keluar. Soedibjo (1985)

menyatakan bahwa yang terpenting dalam penyusunan bahan di dalam kemasan

adalah penyusunan lapisan dasar yang baik, dengan demikian lapisan berikutnya akan

mudah dikerjakan.

C. Kerusakan Mekanis Bahan hasil pertanian seperti sayuran dan buah-buahan merupakan bahan

yang mudah mengalami kerusakan. Salah satu masalah utama lepas panen adalah

kerusakan mekanis yang diakibatkan oleh pengangkutan yang dapat terjadi karena

adanya benturan antara buah dengan buah, benturan antara buah dengan wadah

atau kemasan, gesekan dan himpitan. Penyebab kerusakan mekanis selama

pengangkutan antara lain:

a. Isi kemasan terlalu penuh (over packing)

Isi kemasan yang terlalu penuh menyebabkan meningkatnya kerusakan tekan

atau kompresi karena adanya tambahan tekanan tutup kemasan.

b. Isi kemasan kurang

Isi kemasan yang kurang menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas.

Hal ini disebabkan karena adanya ruang diatas bahan sehingga selama

pengangkutan bahan bagian atas akan terlempar-lempar dan saling

berbenturan.

c. Kelebihan tumpukan

Tumpukan bahan yang terlalu tinggi didalam kemasan menyebabkan tekanan

yang besar pada buah lapisan bawah, sehingga meningkatkan kerusakan

kompresi.

Sedangkan penyebab kerusakan mekanis yang biasa terjadi pada bahan

dalam kemasan selama pengangkutan, yaitu kerusakan karena tekanan dan

kompresi, kerusakan akibat benturan dan kerusakan akibat vibrasi.

25  

Tinggi susunan komoditas dalam kemasan tergantung pada kecepatan

respirasi komoditas. Bila susunannya terlalu padat dan tebal maka bagian tengah

akan menjadi lebih panas akibat respirasi yang tidak dapat keluar. Soedibjo

(1985) menyatakan bahwa yang terpenting dalam penyusunan bahan di dalam

kemasan adalah penyusunan lapisan dasar yang baik, dengan demikian lapisan

berikutnya akan mudah dikerjakan.

Menurut Paine dan Paine (1983), beberapa sifat kemasan yang diinginkan

untuk distribusi adalah:

a. Sesuai dengan sifat produk yang akan dikemas.

b. Mempunyai kekuatan yang cukup untuk bertahan dan resiko kerusakan

selama pengangkutan dan penyimpanan.

c. Memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi produk tertentu yang memang

membutuhkan).

d. Menyediakan informasi yang memungkinkan untuk identifikasi produk yang

dikemas, tempat produsen, dan tujuan pengiriman.

e. Dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku petunjuk secara

khusus.

D. Bahan Pengisi

Menurut Syarief et al (1988) bahan pengisi merupakan material yang

dijejalkan diantara kelebihan ruang gerak guna menahan gerak barang atau abrasi

terhadap isi ruang. Bahan pengisi digunakan untuk melindungi barang selama

distribusi dan penyimpanan. Kertas yang dicabik-cabik kecil merupakan bahan

pengisi yang jelek kualitasnya karena kurang sifat anti getarannya dan tidak tahan

air, tetapi bahan pengisi jenis ini memiliki beberpa keuntungan antara lain mudah

didapatkan dan murah.

Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan

menghadapi beberapa bahaya berupa mekanis, lingkungan atau biologis. Buah

didalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah

dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan. Untuk mengurangi efek tersebut

pada produk, kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada

26  

pada setiap bagian dan memberikan bantalan (Burdon 1994 dalam Hasiholan

2008).

E. Penyimpanan Dingin Penyimpanan buah adalah kegiatan untuk memperpanjang ketersediannya

sampai kepada konsumen. Untuk memperoleh buah yang berada dalam keadaan

segar, maka penyimpanan buah yang kondusif sangatlah diperlukan. Salah satu

faktor penting dalam penyimpanan buah adalah suhu penyimpanan.

Menurut Santoso dan Purwoko (1995), penyimpanan dingin dilakukan

dengan tujuan untuk:

a. Mempertahankan aktivitas biologi yang rendah dari produk pada suhu rendah.

Suhu tersebut dipertahankan pada tingkat tertentu yang tidak akan

menyebabkan pembekuan atau chilling injury dan melalui pengendalian

komposisi atmosfer.

b. Memperlambat pertumbuhan mikroorganisme dengan mempertahankan

terperatur rendah dan meminimalisasi kelembapan permukaan sekitar produk.

c. Mengurangi pengeringan produk melalui memperkecil perbedaan selisih

termperatur antara produk dan udara, serta mempertahankan kelembapan yang

tinggi dalam ruang penyimpanan.

Penyimpanan yang umumnya dilakukan adalah penyimpanan suhu rendah,

dimana suhu diset diatas titik beku sehingga tidak membeku dan daya simpannya

lebih lama. Suhu rendah ini biasanya diikuti dengan kelembaban nisbi yang

optimum agar produk tidak mengalami kekeringan. Berikut ini adalah

rekomendasi kondisi penyimpanan yang optimum untuk penyimpanan beberapa

jenis buah.

Tabel 3 Rekomendasi temperatur, kelembapan, daya simpan terhadap jenis buah pisang

Jenis buah Temperatur ( F) Kelembapan (%) Daya simpan

(minggu)

Alpukat, pisang 56 85-90 2

27  

Latundam matang

Cavendish hijau

Cavendish matang

Jeruk

Jambu

Pepaya

Rambutan

55-58

55-58

55

48-50

47-50

50

50

85-90

85-90

85-90

90

85-90

85-90

85-90

1

3-4

1

2

2-5

3

1-2.5

Sumber: Santoso dan Purwoko (1995)

Proses pematangan pisang yang dilakukan pada kisaran suhu 13.9-32.2 C

berpengaruh terhadap kualitas, tingkat pembentukan kulit luar, kesegaran,

kekerasan daging buah, dan kehilangan berat. Menurut Sjaifullah dan Haryadi

(1996) pemeraman pada kondisi dingin rata-rata dapat memperbaiki kualitas rasa

buah.

Menurut Sjaifullah et. a.l, (1996) dari aspek penyimpanan didaerah tropis

diperoleh kondisi optimum, baik untuk buah pisang tua hijau maupun matang

pada suhu 14-15 C dengan RH 85-90%. Chilling injury akan terjadi bila suhu

penyimpanan buah dibawah 14 C, tapi ada referensi lain menyebutkan chilling

injury akan terjadi bila penyimpanan dilakukan dibawah suhu 12 C. Level

kelembapan dalam kamar pemeraman sangat dibutuhkan terutama pada tahap

awal proses kematangan buah terutama untuk menekan efek buruk dari proses

evaporasi. Kelembapan yang rendah dibawah 85% akan menyebabkan kualitas

kulit buah rendah pula. Disamping pengaruh terhadap susut bobot, tekstur, dan

kepekaan terhadap gejala chilling injury (Syaifullah e.t al. 1996).

F. Transportasi Transportasi merupakan kegiatan penting dalam penanganan,

penyimpanan, dan distribusi produk. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah

kondisi jalan yang dilalui kendaraan transportasi. Pada umumnya kondisi jalan

sebenarnya tidaklah rata. Hal ini menyebabkan produk mengalami guncangan

yang besarnya tergantung pada kondisi jalan. Tingkat ketidakrataan ini disebut

28  

amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan

yang disebut frekuensi.

Kondisi transportasi yang buruk dan penanganan yang tidak tepat dapat

menyebabkan penurunan kualitas produk dari segi kuantitas dan kualitas. Salah

satu cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan

meningkatkan performa/modifikasi pengemasan.

Gambar 1 Contoh kemasan kardus untuk pengemasan pisang cavendish

Yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan jalan luar kota adalah

besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu. Jalan dalam kota

mempunyai amplitudo yang rendah dibanding dengan jalan diluar kota, maupun

dengan jalan buruk aspal dan jalan buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang

tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, yang lebih

berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan (Darmawati, 1994)

29  

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Mei 2010. Tempat

pelaksaan penelitian adalah di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan

Hasil Pertanian, Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan yang digunakan adalah pisang ambon kuning dengan kriteria matang

berumur 90-100 hari dan kelas mutu A dimana kerusakan hanya berupa

goresan yang telah mongering dan jumlahnya tidak lebih dari 5%, diambil

langsung dari petani sekitar Desa Cinangneng, Bogor untuk menghindari

banyaknya susut sebelum pengujian. Bahan lain yang digunakan untuk bahan

pengisi kemasan seperti kertas koran, plastik, pelepah dan daun pisang. Peti

kemas yang akan digunakan adalah kardus (kotak karton) berkapasitas 15 kg.

Gambar 2 Pisang yang akan diujikan

2. Alat

Peralatan yang akan digunakan adalah meja simulator, timbangan, Rheometer

untuk mengukur tingkat kekerasan, Refraktometer untuk mengukur padatan

total terlarut, gunting, pisau dan selotip.

C. Prosedur Penelitian

30  

1. Pisang ambon kuning yang telah diperoleh dari petani dibersihkan, dipisahkan

dari tandannya menggunakan pisau menjadi bentuk sisiran-sisiran, kemudian

disortasi sehingga pisang yang cacat tidak digunakan untuk penelitian. Pisang

dengan bobot 15 kg kemudian dimasukkan ke dalam kardus sehingga dalam

satu kardus berisi 6-9 sisir pisang ambon tergantung dari berat masing-masing

sisiran pisang dengan 2-3 tumpukan. Terdapat 15 buah kardus yang akan diisi

oleh pisang. Sebelumnya kardus dilubangi secukupnya pada bagian depan dan

belakang (masing-masing 5 buah) serta samping kiri dan kanan (masing-

masing 2 buah) berupa lubang kecil berdiameter 5 cm seperti pada gambar

untuk keperluan respirasi produk dan untuk mencegah akumulasi etilen

didalam kemasan kardus. Sehingga, lubang tersebut berjumlah 14 buah dalam

masing-masing kardus. Masing-masing kemasan pisang diberi bahan pengisi

yang berbeda (pelepah dan daun pisang, potongan kertas, dan tidak berbahan

pengisi) dan ditumpuk berbeda (tertelungkup dan terlentang)

2. Kemasan kardus yang pertama tidak menggunakan bahan pengisi, kardus

yang kedua menggunakan bahan pengisi potongan kertas, sedangkan kardus

yang ketiga menggunakan bahan pengisi pelepah dan daun pisang kering.

Bahan pengisi yang dimasukkan seberat 500 gram.

Gambar 3 Kardus yang digunakan

3. Kemasan kardus tersebut kemudian diletakkan diatas meja simulator dengan

dua tumpukan dan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

31  

4. Simulasi transportasi dilakukan selama 2 jam pada semua (15 buah) kardus,

dengan frekuensi (3.27 Hz) dan amplitudo (3.23 cm). Hal ini didasarkan pada

kesetaraan alat angkut simulasi truk menggunakan reducer <27 cm. Reducer

merupakan instrumen pada alat angkut simulasi yang berbentuk seperti roda

dan fungsinya untuk meningkatkan kecepatan.

5. Setelah dilakukan simulasi transportasi, kemudian dilakukan pengamatan dan

penghitungan banyaknya pisang yang mengalami kerusakan mekanis.

6. Pisang dari tiap-tiap kemasan (18 kardus) kemudian secara acak diambil 2-3

sisir pisang dan disimpan masing-masing pada suhu 10˚C, 15˚C dan pada

suhu ruang. Sehingga diperkirakan total pisang yang akan disimpan pada

masing-masing tingkat perlakuan suhu penyimpanan (10˚C, 15˚C dan suhu

ruang) adalah 6 kardus berkapasitas 12 kg. Pisang ini akan dijadikan sampel

untuk menghitung tingkat kekerasan, warna, total padatan terlarut, dan susut

bobot pada penyimpanan setelah hari ke-1 sampai hari ke-10. Perlakuan suhu

diatas didasarkan atas suhu penyimpanan yang cocok untuk pisang.

Sedangkan waktu penyimpanan didasarkan pada waktu matang buah pisang

setelah dipanen adalah 7 – 10 hari.

7. Pengamatan susut bobot, warna, dan kekerasan akan dilakukan setiap 24 jam

sekali pada awal penyimpanan, selanjutnya dilakukan setiap 2 hari sekali.

Setelah pisang disimpan selama seminggu, pengamatan dilakukan setiap 3

hari dan satu minggu.

8. Uji organoleptik dilakukan sebelum pisang dikeluarkan dari tempat

penyimpanan dan terdapat pisang yang busuk.

32  

  Gambar 4 Diagram alir penelitian

D. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot,

perubahan tingkat kekerasan, warna dan uji organoleptik.

1. Tingkat Kerusakan Mekanis

Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis pisang dilakukan setelah

kegiatan simulasi pengangkutan. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat

kerusakan seperti luka gores, memar, dan pecah dari masing-masing kardus.

33  

Kegiatan pengujian dilakukan secara visual. Lembar pengujian yang

digunakan seperti pada tabel berikut.

Tabel 1 Contoh lembar pengujian kerusakan mekanis

UJI TINGKAT KERUSAKAN MEKANIS

Jenis Perlakuan Jumlah Rusak

Jumlah tidak rusak

Total Sampel Dalam Satu Kemasan

Bahan Pengisi Kertas, Telungkup

Bahan Pengisi Kertas, Terlentang

Bahan Pengisi Pelepah Pisang, Telungkup

Bahan Pengisi Pelepah Pisang, Terlentang

Tanpa Bahan Pengisi, Telungkup

Tanpa Bahan Pengisi, Terlentang

Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah sebagai berikut:

2. Susut Bobot

Pengukuran susut bobot dilakukan berdasarkan persentase penurunan

bobot bahan setelah simulasi transportasi dan penyimpanan. Pengukuran

dilakukan dengan menggunakan timbangan Mettler PM-4800. Persamaan

yang digunakan adalah sebagai berikut:

 

34  

Dimana:

Wo = bobot awal produk (g)

Wt = bobot akhir produk (g)

3. Uji Kekerasan

Pengukuran uji kekerasan ini dilakukan sebelum simulasi transportasi

sebelum sebagai pendahuluan, setelah simulasi transportasi dan saat masa

penyimpanan. Alat yang digunakan untuk mengukur kekerasan produk adalah

Rheometer tipe CR-300DX. Alat ini diset dengan mode 20, beban maksimal

10 kg, kedalamam penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60 mm/m,

dan diameter probe (jarum) 5 mm. Pengukuran dilakukan di tiga tempat yaitu

bagian ujung, tengah dan pangkal seperti yang ditunjukkan oleh gambar 8.

Gambar 5 Pengukuran kekerasan pisang dengan Rheometer CR-300DX

Gambar 6 Posisi penusukan jarum Rheometer untuk mengukur kekerasan

4. Total Padatan Terlarut

Besarnya total padatan terlarut pada pisang ambon diketahui dengan

menggunakan Refraktometer model N-1 Atago. Pengukuran total padatan

ujung pangkaltengah

35  

terlarut didapat dari pasta buah pisang tersebut yang kemudian diletakkan

pada prisma Refraktometer yang telah dikalibrasi dan dilakukan pembacaan.

Sebelum dan setelah pembacaan, prisma Refraktometer dibersihkan dengan

aquadesh. Besarnya nilai total padatan terlarut dinyatakan dalam skala ºBrix.

Gambar 7 Pengukuran kadar total padatan terlarut dengan Refraktometer N-Atago

5. Perubahan warna

Parameter yang akan dibedakan adalah warna kulit buah dan

bercak/noda yang terdapat pada kulit buah. Warna kulit pisang yang diuji

akan dicocokkan pada Color Plate yang dikemukakan Loesecke 1949 dalam

Lan 1989.

Tabel 4 Tingkat warna pada Color Plate Loesecke

Hari ke Pematangan cepat warna kulit buah Color plate

0

1

2

3

4

5

6-7

8-10

11

Hijau tua

Hijau muda

Hijau kekuningan

Kuning kehijauan

Kuning oranye

Kuning oranye

Kuning bernoktah cokelat

Bercak cokelat melebar

Cokelat kehitaman

1

2

3

4

5

6

7

8

-

6. Uji organoleptik

36  

Uji ini sering disebut sensory evaluation ini adalah pengukuran

kualitas bahan makanan melalui kemampuan organ indera manusia secara

langsung, Uji dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen

terhadap buah pisang yang disimpan dalam berbagai suhu. Panelis yang

digunakan berjumlah 10 orang. Pengujian dilakukan dengan menggunakan

parameter kekerasan, warna kulit dan daging, rasa, dan aroma produk.

Penelitian dilakukan berdasarkan 5 skala, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak

suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka).

7. Kesetaraan Simulasi Transportasi

Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan

meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini:

a. Data vibrator

LSV =

JLSVT = y x 60 x 60 x f x LSV

b. Data truk

=

JLSTT = z x 60 x 60 x ft x LST

Maka simulasi pengangkutan dengan truk selama x jam :

=

Dimana:

37  

T = periode meja getar

f = frekuensi meja getar

W = kecepatan sudut

LSV = luas satu siklus getaran vibrator

y = waktu getar

JLSVT = jumlah luas seluruh getaran vibrator selama y jam

= amplitudo rata-rata getaran bak truk

N = jumlah kejadian amplitudo

Tt = periode bak truk

ft = frekuensi bak truk

LST = luas satu siklus getaran bak truk

z = waktu tempuh truk

JLSTT = jumlah seluruh getaran truk selama z jam

E. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dilakukan dengan software SAS 9.1 yaitu

dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan tiga

faktor yang dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (DMRT 5%).

Uji statistik diawali dengan analisis ragam untuk melihat interaksi,

kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan sebagai penentu beda nyata dari

hasil perhitungan. Acuan dalam analisis ragam untuk dapat dilanjutkan ke uji

Duncan jika:

- P-value 5% maka tidak berbeda nyata/tidak signifikan

- P-value 5% maka berbeda nyata/signifikan

Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Faktor A = Bahan Pengisi

Bahan pengisi yang dipakai adalah potongan kertas, pelepah dan daun

pisang serta tanpa bahan pengisi.

2. Faktor B = Penataan

Posisi penumpukan dibedakan menjadi dua yaitu telungkup dan terlentang

38  

3. Faktor C = Suhu

Suhu yang dipakai untuk penyimpanan adalah 10ºC, 15ºC, dan 27ºC.

Model umum dari rancangan percobaan ini adalah:

Yijk = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + Kk

Dimana:

Yijk : Pengamatan pada perlakuan faktor bahan pengisi ke-i, faktor

penataan ke-j, dan faktor suhu ke-k.

µ : Nilai rata-rata harapan

αi : Perlakuan pemakaian bahan pengisi ke-i

βj : Perlakuan penataan ke-j

γk : Perlakuan suhu ke-k

(αβ)ij : Interaksi bahan pengisi ke-i dan penataan ke-j

(αγ)ik : Interaksi bahan pengisi ke-i dan suhu ke-k

(βγ)jk : Interaksi posisi penumpukan ke-j dan suhu ke-k

(αβγ)ijk: Pengaruh galat percobaan dari perlakuan pemakaian bahan pengisi

ke-i, penataan ke-j, suhu ke-k

Kk : Hari ke-k

Hipotesis yang dipakai adalah faktor bahan pengisi, penataan, suhu

dan masa simpan masing-masing berpengaruh terhadap susut bobot,

kekerasan, warna, dan total padatan terlarut; termasuk interaksi antara bahan

pengisi dan penataan; interaksi antara bahan pengisi dan suhu; interaksi antara

penataan dan suhu; interaksi antara bahan pengisi, penataan dan suhu

berpengaruh terhadap perubahan warna, kekerasan, susut bobot, dan total

padatan terlarut.

39  

40  

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning

Pada simulasi transportasi pisang ambon, kemasan yang digunakan adalah

kardus/karton dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute dengan

tipe flute B/C, dengan tebal 6-7 mm. RSC adalah peti karton yang bergelombang

untuk menahan kekuatan tekan. Dimensi ukuran kardus yang digunakan adalah

(pxlxt) 540mm x 350mm x 450mm untuk kapasitas 15 kg. Pemilihan ukuran

didasarkan pada kapasitas produk yang akan dikemas yaitu seberat 15kg.

Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

Jenis kemasan yang dipilih untuk pengemasan pisang ini didasarkan pada

kemasan yang umumnya digunakan untuk transportasi dan distribusi buah-

buahan. Kardus yang memiliki flute ganda terlihat lebih kuat dan kokoh serta

mampu menahan pengaruh tumpukan yang lebih banyak daripada single flute.

Sehingga dapat lebih meredam setiap goncangan yang terjadi selama transportasi.

Kemasan kardus tersebut dikombinasikan dengan dua jenis perlakuan

bahan pengisi kemasan dan satu jenis perlakuan tanpa bahan pengisi.

41  

Gambar 9 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang dengan bahan pengisi kertas (kiri) serta pelepah dan daun pisang (kanan)

Gambar 10 Pisang pasca penyimpanan 6 hari disuhu ruang tanpa bahan pengisi

Dari setiap kemasan kardus, diambil masing-masing 1/3 bagian untuk

kemudian disimpan pada tiga suhu yaitu suhu 10 C, 15 C, dan suhu ruang.

Percobaan dilakukan masing-masing tiga kali ulangan. Jumlah pisang ambon

yang diisikan ke dalam masing-masing kardus sebanyak 15kg.

Gambar 11 Penataan pisang telungkup (kiri) dan terlentang (kanan)

42  

B. Tingkat Kerusakan Mekanis

Setelah simulasi transportasi, dilakukan pengamatan terhadap kerusakan

mekanis yang terjadi sebagai dampak dari adanya goncangan yang terjadi pada

kemasan selama kegiatan simulasi transportasi dilakukan. Pengamatan tingkat

kerusakan mekanis dilakukan secara visual pada penampakan luar pisang.

Parameter kerusakan pisang yang diamati adalah luka gores, luka memar, dan

luka pecah. Seringkali kerusakan tersebut terlihat ketika pisang disimpan.

Berikut ini adalah jenis-jenis kerusakan yang dialami produk:

Luka gores

Luka pecah

Luka memar

Luka pada daging buah

Gambar 12 Jenis-jenis kerusakan pada pisang setelah penyimpanan selama 6 hari pada suhu ruang

Kerusakan pisang pada masa penyimpanan lebih banyak terjadi pada

pisang di suhu 27ºC (dapat dilihat di Lampiran 7) karena respirasi berlangsung

lebih cepat dan kerusakan dapat diakibatkan juga karena kegiatan pengamatan,

seperti mengangkat pisang hingga terlepas dari bonggolnya dan rusak.

43  

Kualitas buah pisang dapat dilihat dari 4 aspek. Salah satu aspek tersebut

adalah aspek yang dapat dilihat dari luar oleh mata yaitu aspek visual meliputi

kesegaran, kerusakan atau cacat buah. Kerusakan mekanis yang dialami masing-

masing kemasan digambarkan oleh grafik sebagai berikut:

Gambar 13 Grafik persentase kerusakan pisang setelah simulasi transportasi

Dari Grafik diatas terlihat bahwa kerusakan terbanyak dialami oleh

kemasan yang tidak berbahan pengisi dengan posisi menelungkup ke atas (AX)

sebanyak 6.22%, sedangkan kemasan tidak berbahan pengisi menelungkup ke

bawah (AY) memiliki kerusakan sebesar 4.61%.

Jenis kerusakan yang dialami kemasan dengan perlakuan AX yaitu memar

dan goresan pada bagian kulit punggung pisang akibat benturan dengan kemasan

kardus. Sedangkan kerusakan yang dialami AY adalah memar dan goresan pada

kulit pisang-pisang terpinggir pada bagian sisiran. Kerusakan terkecil dialami

oleh kemasan berbahan pengisi kertas dengan posisi menelungkup ke bawah (BY)

sebesar 0.4%.

Dari hasil olah data statistik dengan SAS, jenis bahan pengisi berpengaruh

terhadap banyaknya kerusakan mekanis yang terjadi, sedangkan pengaruh

penataan tidak berpengaruh.

44  

Pisang jenis ambon kuning akan mudah terlepas dari bonggolnya ketika

pisang tersebut memiliki tingkat kematangan yang maksimum. Berbeda halnya

dengan pisang jenis ambon lumut yang relatif lebih kuat. Jenis kerusakan yang

banyak terjadi adalah jenis luka gores pada tubuh pisang.

C. Susut Bobot

Masing-masing jenis pisang mempunyai kulit yang beragam pula

ketebalannya, sehingga beragam pula bagian yang dapat dimakan (bdd), yaitu

berkisar 65-85%. Pada bagian buah mentah berat kulit adalah 80% dari berat buah

segar, sedang pada buah pisang matang menurun menjadi 40% dan pada kedaan

lewat matang menjadi sekitar 33% (Soedarmo dan Sediaoetama 1985 dalam Lan

1989).

Ketika buah telah dipetik, kandungan air buah akan berkurang karena

proses transpirasi. Transpirasi adalah penguapan air dalam sel, baik stomata, lenti

sel maupun retakan pada kutikula. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi

yang terjadi pada permukaan relatif besar, maka penguapan dan kehilangan air

dapat terjadi lebih cepat dan sebaliknya. Hal ini disebabkan karena kerusakan

yang dialami buah mengakibatkan buah kehilangan pelindung alami yang dapat

meminimalisir proses transpirasi sehingga transpirasi akan berlangsung lebih

cepat.

Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka akan semakin

tinggi pula laju penurunan bobot. Proses respirasi dan transpirasi gas yang

dihasilkan seperti karbon akan menguap bersama air transpirasi menyebabkan

susut bobot.

a. Suhu 10 C

Susut bobot diamati dengan menghitung bobot produk sebelum dan

setelah pengamatan. Grafik penurunan susut produk pada suhu 10 C dapat

dilihat pada grafik dibawah ini.

45  

Gambar 14 Grafik susut bobot pisang pada suhu 10ºC

b. Suhu 15ºC

Gambar 15 Grafik susut bobot pisang pada suhu 15ºC

c. Suhu Ruang (27ºC)

46  

Gambar 16 Grafik susut bobot pisang pada suhu ruang (27ºC)

Dilihat dari ketiga Grafik diatas, dapat dibandingkan susut bobot

pisang pada suhu berbeda. Setelah penyimpanan selama 6 hari, susut bobot

tertinggi pada suhu 10ºC sekitar 25 gram, suhu 15ºC sekitar 35 gram, dan

pada suhu ruang (27ºC) sekitar 65 gram. Susut bobot terus bertambah hingga

pengamatan pada hari ke 11, nilainya mencapai 2 kali lipat bahkan lebih pada

suhu penyimpanan 15ºC. Pengamatan pada suhu ruang (27ºC) berhenti setelah

6 hari dikarenakan kondisi pisang yang sudah tidak layak simpan (busuk).

Kadar air dalam pisang mempengaruhi tingkat penerimaan produk

oleh konsumen. Hal ini berdasarkan uji coba ketika kandungan air yang hilang

lebih banyak karena umur simpan yang lama, rasa pisang akan menjadi relatif

tidak enak.

Dari hasil uji statistik, didapatkan koefisien deteminasi (R2) 43%.

Artinya hanya 43% keragaman nilai susut bobot yang dijelaskan oleh faktor

suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan. Sedangkan sisanya 57% keragaman

dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah disebutkan. Koefisien

keragaman (CV) yang didapat sebesar 11.97, berarti data cenderung homogen

sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

47  

Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh

nyata/signifikan terhadap susut bobot pisang yang telah diuji, hal ini

ditunjukkan dengan nilai < 0.0001 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun

berpengaruh nyata/signifikan terhadap susut bobot produk.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa susut bobot terendah

dialami oleh kardus CY10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus berbahan

pengisi pelepah pisang dengan posisi menelungkup pada suhu 10ºC. Hal ini

dikarenakan suhu refrigerator dengan suhu 10ºC memiliki kelembaban yang

tinggi (80-90%).

D. Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu dari parameter kesegaran buah yang

nilainya tergantung pada ketebalan kulit buah, kandungan total zat padat, dan

kandungan pati pada bahan. Perubahan kekerasan buah pisang diukur dengan

menggunakan alat yang dinamakan Rheometer. Nilai kekerasan yang tinggi

pada Rheometer menandakan bahwa buah tersebut masih memiliki kekerasan

yang tinggi. Nilai yang tinggi tersebut mengekspresikan bahwa buah yang

diuji mampu menahan gaya maksimum yang ditunjukkan sebesar pada nilai

yang tertera pada Rheometer.

Kekerasan akan menurun ketika buah semakin masak. Dimana,

berbagai hasil tanaman mengandung senyawa pektin yaitu senyawa kimia

golongan karbohidrat. Zat ini terdapat didalam dinding sel dan lamella tengah

yang berfungsi sebagai zat perekat. Pada proses pemasakan terdapat enzim

pektinmetilasterase dan poligalakturonase yang mampu memecah senyawa

pektin menjadi senyawa lain. Penurunan tingkat kekerasan salah satunya

disebabkan oleh aktivitas enzim poligalakturonase. Penyebab lainnya adalah

pecahnya protopektin yang berdampak pada lemahnya dinding sel dan

turunnya kohesi yang mengikat sel satu sama lain (Pantastico et al., 1989).

Kerusakan mekanis akan dapat menurunkan nilai kekerasan buah

karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah akan

48  

menjadi rusak sehingga sel-sel penyusun jaringan pada permukaan buah akan

terpisah dari ikatannya.

Dari hasil pengamatan, nilai kekerasan pisang ambon berangsur-

angsur menurun seiring dengan perubahan warna, dan masa simpan yang

bertambah. Namun, laju penurunan tingkat kekerasan berbeda-beda untuk

setiap produk yang disimpan pada suhu berbeda.

Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC lebih lambat dari segi

penurunan kekerasan. Hal ini dikarenakan pemeraman dengan suhu rendah

yang mendekati suhu pembekuan akan menghambat proses respirasi dan

aktivitas etilen untuk mematangkan buah.

Dari hasil uji statistik mengenai kekerasan, didapatkan koefisien

deteminasi (R2) 82.81%. Artinya 82.81% keragaman tingkat kekerasan bisa

dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan. Sedangkan sisanya

17.19% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor yang telah

disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 29.33, artinya

data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh

nyata/signifikan terhadap tingkat kekerasan buah pisang yang diuji, hal ini

ditunjukkan dengan nilai 0.0024 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan pun

berpengaruh nyata/signifikan terhadap kekerasan produk yang ditunjukkan

dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan terendah

dialami oleh kardus AX27 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus tidak

berbahan pengisi dengan posisi telentang pada suhu 27ºC (suhu ruang). Hal

ini dikarenakan pisang yang disimpan pada suhu ruang akan mengalami

proses pematangan yang lebih cepat karena proses respirasi yang lebih tinggi

sehingga tingkat kekerasan pun akan menurun dengan cepat.

Ketiadaan bahan pengisi dalam kemasan pun berpengaruh terhadap

kekerasan terutama setelah simulasi transportasi. Cara penataan pun beresiko

pada kondisi fisik pisang seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1, pisang

49  

dalam kardus AX memiliki kerusakan tertinggi karena pisang dalam kardus

tersebut lebih banyak yang bersentuhan dengan permukaan kemasan.

Sebaliknya, penurunan tingkat kekerasan terendah dialami oleh pisang yang

disimpan pada kardus AX10 (Pisang yang disimpan dalam refrigerator 10ºC

tanpa bahan pengisi dan dengan posisi terlentang).

E. Perubahan Warna Perubahan warna merupakan petunjuk kasar untuk mengetahui

tahapan kematangan pisang. Simmonds menambahkan bahwa selama

pematangan, klorofil lambat laun akan terdegradasi dan muncul warna kuning

dari pigmen karoten dan xantofil. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi

degradasi klorofil antara lain pH, enzim klorofilase, dan oksigen (Wills et. al.,

dalam Aini 1994). Selain itu, warna merupakan salah satu parameter buah

yang mampu menarik perhatian konsumen.

Selama proses pematangan akan terjadi perubahan warna kulit buah

pisang mulai dari hijau ketika masih mentah hingga menjadi kuning pada saat

matang penuh dan akhirnya busuk. Warna kulit buah menunjukkan indeks

kematangan atau sering disebut sebagai tanda-tanda kematangan suatu buah.

Perubahan warna, penampakan buah dan kelunakan buah merupakan

tanda-tanda buah matang. Pada pisang raja bulu tanda matang adalah pada

saat warna kulit buah berwarna kuning oranye. Sedangkan daging buah

berubah dari warna putih menjadi kekuningan. Getah pada kulit dan daging

buah berkurang dengan pertambahan waktu pematangan. Ujung dan pangkal

buah mengerut dibandingkan ketika buah masih dalam keadaan mentah.

Pengamatan perubahan warna dilakukan secara visual dengan mencocokannya

pada color plate yang dikemukakan oleh Loesecke (1949).

Dari hasil pengamatan, perubahan warna pisang yang disimpan pada

berbagai suhu menunjukkan nilai yang tidak sama sesuai dengan tingkat

kematangannya. Pisang yang disimpan pada suhu ruang menunjukkan

50  

perubahan warna yang lebih cepat dibandingkan dengan pisang yang disimpan

pada suhu yang lain.

Pisang dalam suhu ruang yang mula-mula berwarna hijau berubah

warna menjadi kuning oranye dalam waktu simpan 4-5 hari dan menjadi

kuning kecoklatan pada hari ke 7-8. Sedangkan pisang yang disimpan dalam

suhu 15ºC berubah warna menjadi kuning setelah disimpan selama 6-8 hari.

Suhu simpan 15ºC ini adalah suhu optimum untuk suhu simpan pisang.

Tanda kematangan pisang cara lambat mulai terjadi pada hari ke 7,

matang optimal pada hari ke 9 dan berwarna kecoklatan atau timbul

pembusukan pada hari ke 11 (Toemali 1982 dalam Lan 2008). Pada pisang

pematangan cara cepat yaitu pemeraman dengan daun gamal terlihat buah

mulai menunjukkan tanda matang pada hari ke-2 setelah diperam dan matang

optimal pada hari ke-4. Setelah hari ke- 4 mulai timbul tanda kerusakan.

Laju perubahan warna yang terjadi pada pisang yang disimpan pada

suhu ruang memang paling cepat. Namun, ketika diamati daging buah pada

pisang yang berkulit kecoklatan memiliki kenampakan yang masih baik dan

beraroma kuat.

Pisang akan mengalami chilling injury pada suhu dibawah 13ºC. Hal

ini terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC, warna pisang menjadi

hijau kekuningan namun nilai total padatan terlarut relatif rendah. Akan tetapi,

pisang tersebut tetap berwarna kuning setelah 3-4 minggu.

Selain itu, warna kulit pisang dipengaruhi oleh kondisi pisang sebelum

penyimpanan. Setelah dilakukan simulasi transportasi, terdapat pisang yang

rusak akibat gesekan dengan pisang yang lain atau dengan dinding kemasan

sehingga warna kulit menjadi hitam seperti dibawah ini.

51  

Gambar 17 Pisang yang terkena chilling injury (kiri) dan kulit kehitaman karena kerusakan mekanis (kanan)

Kulit pisang yang berubah warna dari kuning hingga berbintik cokelat,

tidak selalu diartikan sebagai pisang yang busuk, seperti yang ditunjukkan

oleh gambar dibawah ini, pisang yang berwarna oranye kecoklatan masih

memiliki daging buah yang bagus.

Gambar 18 Daging buah pisang dengan warna kulit buah oranye berbintik cokelat

Dari hasil uji statistik mengenai perubahan warna kulit, didapatkan

koefisien deteminasi (R2) 82.33%. Artinya 82.33% keragaman perubahan

warna bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan cara tumpukan.

Sedangkan sisanya 17.67% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor

yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 22.18,

artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan cara penataan ternyata berpengaruh

nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit buah pisang yang diuji, hal

52  

ini ditunjukkan dengan nilai 0.0008 (<0.05). Selain itu, masa penyimpanan

pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap perubahan warna kulit produk

yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perubahan warna yang

kecil terjadi pada kardus AX10 yaitu pisang yang disimpan dalam kardus

tanpa bahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 10ºC. Hal ini terjadi

karena kejadian chilling injury seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Sebaliknya, perubahan warna kulit yang besar dialami oleh pisang yang

disimpan pada suhu ruang.

F. Total Padatan Terlarut (TPT) Menurut Winarno (1981) menyatakan bahwa rasa manis pada pisang

terjadi karena perubahan kandungan pati menjadi fruktosa dan glukosa sampai

pati tersebut habis sedangkan jumlah sukrosa meningkat. Lebih lanjut beliau

mengatakan kenaikan TPT terjadi karena terhidrolisisnya karbohidrat menjadi

senyawa glukosa dan fruktosa. Sedangkan penurunan TPT terjadi krena kadar

gula sederhana yang mengalami perubahan menjadi alkohol, aldehid, dan

asam.

Menurut Sjaifullah (1996), kandungan total padatan terlarut pada suatu

bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut.

Pengamatan total kandungan gula berguna sebagai indikator adanya

perubahan atau kerusakan dalam bahan. Proses respirasi yang berlangsung

pada produk pertanian selama penyimpanan, akan menggunakan substrat pada

jaringan bahan tersebut. Ada tiga jenis substrat yang digunakan dalam proses

respirasi hasil panen produk pertanian, yaitu asam lemak, gula (karbohidrat)

dan asam amino (Pantastico, 1989). Sehingga semakin lama penyimpanan,

maka semakin banyak substrat gula yang digunakan untuk respirasi akan

menurunkan kandungan gula dalam buah.

Komponen utama buah pisang yang telah matang adalah air yang

mencapai 75% dengan karbohidrat sebagai penyusun keduanya sekitar 20-

25%. Kandungan gula buah pisang terdiri dari gula pereduksi yaitu glukosa

53  

dan fruktosa, serta gula non pereduksi yanitu sukrosa dan kandungannya

cukup tinggi sekitar 17% (Wills et al. 1981 dalam Aini 1994). Kandungan

pati pada buah pisang menurun selama pematangan dari sekitar 20-25% pada

pisang mentah menjadi 1-6% pada pisang matang sedangkan total padatan

terlarut meningkat dari mentah sekitar 5-7% menjadi sekitar 27%.

Akan tetapi, nilai total padatan terlarut akan menurun kembali ketika

pisang busuk. Hal ini dikarenakan perombakan gula dalam pisang menjadi

alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatil seperti aroma

tidak sedap (busuk) pada pisang. Selain itu, akan timbul pula jamur pada

bonggol dan kulit pisang. Untuk mencegah hal tersebut, biasanya dilakukan

penyemprotan fungisida sebelum pisang dikemas.

Gambar 19 Jamur yang tumbuh pada bonggol (kiri) dan kulit (kanan) pisang

Pengujian kadar total padatan terlarut pada pisang mentah seringkali

sulit dilakukan karena belum berbentuk pasta dan seringkali lengket karena

kandungan getah yang masih tinggi. Sedangkan ketika buah pisang

menguning, daging buah ketika dihancurkan berbentuk menjadi pasta

sehingga pengukuran dengan refraktometer menjadi lebih mudah.

Dari Tabel 2 dapat kita lihat bahwa kandungan karbohidrat pisang

ambon sekitar 25.8%. Dari hasil pengukuran total padatan terlarut pisang yang

diujikan, diperoleh nilai yang hampir mendekati angka tersebut yaitu sebesar

27% ketika masak. Memang jika dibandingkan dengan pisang yang lain

seperti pisang raja atau pisang mas, rasa pisang ambon tidak terlalu manis.

54  

Dari hasil uji statistik mengenai total padatan terlarut, didapatkan

koefisien deteminasi (R2) 77.60%. Artinya 77.60% keragaman nilai total

padatan terlarut bisa dijelaskan oleh faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan.

Sedangkan sisanya 22.40% keragaman dijelaskan oleh faktor lain selain faktor

yang telah disebutkan. Koefisien keragaman (CV) yang didapat sebesar 14.91,

artinya data cenderung homogen sehingga tidak perlu dilakukan transformasi.

Faktor suhu, bahan pengisi, dan penataan ternyata berpengaruh

nyata/signifikan terhadap nilai total padatan terlarut buah pisang yang diuji,

hal ini ditunjukkan dengan nilai <0.0001 (<0.05). Selain itu, masa

penyimpanan pun berpengaruh nyata/signifikan terhadap nilai total padatan

terlarut produk yang ditunjukkan dengan nilai <0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut

terkecil dialami oleh kardus AX10. Hal ini diduga karena pengaruh chilling

injury yang terjadi sehingga terjadi penyimpangan yang dapat dilihat dari ciri

fisik seperti warna dan penyimpangan kematangan.

G. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan

konsumen terhadap produk yang diujikan. Hal-hal yang diujikan antara lain

warna kulit buah, kekerasan, rasa, aroma dan warna daging buah. Tingkat

kesukaan diekspresikan dengan 5 skala, yaitu: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak

suka), 3 (biasa), 4 (suka), 5 (sangat suka).

Pengujian dilakukan 2 kali setelah buah pisang dikeluarkan dari ruang

penyimpanan. Dikarenakan tingkat kematangan produk pada berbagai suhu

tidaklah sama, maka uji ini dilakukan pada dua tahap. Tahap pertama

dilakukan setelah penyimpanan 4 hari khusus untuk produk yang disimpan

dalam suhu ruang. Produk yang disimpan pada suhu 15ºC dan suhu 10ºC tidak

diujikan karena belum menunjukkan tanda-tanda masak sehingga belum layak

untuk diujikan/dimakan.

55  

Pisang yang disimpan pada suhu 10ºC menunjukkan tanda-tanda

kematangan seperti warna kulit buah yang kuning oranye pada minggu ke 3-4,

namun tidak diujikan untuk organoleptik dikarenakan rasa buah pisang yang

tidak enak dan kering. Hal ini diasumsikan karena produk kehilangan banyak

kadar air dan pisang tersebut sebelumnya telah mengalami chilling injury.

Berikut ini adalah hasil pengujian organoleptik yang ditunjukkan lewat

grafik dibawah ini.

Gambar 20 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu ruang

Dari Grafik 20 terlihat bahwa tingkat kesukaan tertinggi untuk warna

kulit adalah pisang dengan perlakuan AY, BX dan BY sebesar 4.2 kuantitatif

atau diantara suka dan sangat suka. Skor tertinggi untuk kekerasan adalah BX

sebesar 4.5, untuk rasa adalah BX sebesar 4, untuk aroma adalah CX sebesar

4.1 dan untuk warna daging buah adalah CX sebesar 4.2.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pisang yang disimpan

pada suhu 15ºC memiliki tingkat penerimaan yang terbaik dari segi kekerasan,

sedangkan pisang yang disimpan pada suhu ruang memiliki tingkat

penerimaan yang terbaik dari segi aroma.

56  

Pisang yang disimpan pada refrigerator memiliki aroma yang kurang

kuat dibandingkan dengan pisang yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini

dikarenakan udara yang berada dalam refrigerator bersirkulasi sehingga

perlahan-lahan aroma pisang yang merupakan senyawa volatil tersebut

menghilang.

Berikut ini adalah Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan

pada suhu 15ºC setelah waktu penyimpanan 8 hari. Pisang yang disimpan

pada suhu 10ºC tidak diujikan karena belum cukup masak untuk diujikan.

Gambar 21 Grafik hasil uji organoleptik pisang yang disimpan pada suhu 15ºC

Dari Grafik 21 terlihat bahwa tingkat kesukaan (skor) tertinggi untuk

warna kulit adalah pisang dengan perlakuan CY sedangkan skor terendah adalah

pisang dengan perlakuan BY dan CX. Skor tertinggi untuk tingkat kekerasan

adalah pisang pada perlakuan BY, untuk rasa pada perlakuan AX, untuk aroma

pada perlakuan CX, dan untuk warna daging skor responden tertinggi pada pisang

dengan perlakuan AX.

H. Masa Simpan Pisang

Dari hasil pengamatan, pisang yang disimpan pada suhu ruang mengalami

busuk yang dominan setelah penyimpanan 6 hari, pisang yang disimpan pada

57  

suhu 15ºC mampu bertahan hingga waktu penyimpanan 2-3 minggu, sedangkan

pisang yang disimpan pada suhu 10ºC mampu disimpan hingga 4 minggu.

Selain itu, bahan pengisi turut mempengaruhi umur kematangan pisang

terutama yang disimpan dengan bahan pengisi pelepah pisang karena biasa

digunakan untuk memeram. Berikut ini adalah perbedaan tingkat kematangan

pisang yang disimpan pada kardus berbahan pengisi berbeda pada waktu simpan

8 hari.

Gambar 22 Pisang dalam kemasan kardus dengan tanpa bahan pengisi (kiri), bahan pengisi potongan kertas (tengah) dan bahan pengisi pelepah serta daun

pisang (kanan)

Dari gambar diatas terlihat bahwa pisang yang disimpan dengan bahan

pengisi pelepah pisang setelah 8 hari mengalami bintik kecoklatan berbeda

dengan pisang yang disimpan pada kardus yang lainnya.

I. Kesetaraan Simulasi Transportasi Guncangan selama simulasi transportasi menggunakan meja simulator

diekspresikan dalam bentuk amplitudo getaran. Hasil konversi frekuensi dan

amplitudo selama simulasi transportasi berdasarkan konversi angkutan truk

selama satu jam dijalan luar kota dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5 Konversi frekuensi dan amplitudo meja simulator selama simulasi transportasi terhadap jarak tempuh (panjang jalan)

Jam Frekuensi (Hz)

Amplitudo (cm)

Jalan Luar Kota (km)

Jalan Aspal Buruk (km)

Jalan Buruk Berbatu (km)

1

2

3

3.26

3.44

3.62

3.2

3.5

3.8

212.30

484.40

787.42

54.02

123.25

200.34

51.73

118.04

191.87

58  

Dari hasil perhitungan pada lampiran 1 diperoleh bahwa simulasi yang

dilakukan dapat disetarakan dengan perjalanan sekitar 223 km. Trek ini

maksimum setara dengan perjalanan dari daerah penghasil pisang Purwakarta ke

Pelabuhan Merak.

59  

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Jenis bahan pengisi kemasan dan penataan berpengaruh signifikan terhadap

tingkat kerusakan mekanis pisang ambon selama transportasi. Tingkat

kerusakan mekanis tertinggi dialami oleh pisang yang dikemas tanpa bahan

pengisi dengan posisi terlentang sebesar 6.22%, sedangkan kerusakan

terendah dialami oleh kemasan berbahan pengisi kertas dengan posisi

tertelungkup (BY) sebesar 0.4%.

2. Bahan pengisi dan suhu penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap susut

bobot. Susut bobot terendah dialami oleh pisang berturut-turut dilihat dari

nilai tertinggi setelah penyimpanan 6 hari adalah pisang yang disimpan pada

suhu 10ºC dengan bahan pengisi pelepah dan daun pisang sebesar 24.56 gram,

15ºC dengan bahan pengisi kertas sebesar 35 gram, dan suhu ruang (27ºC)

dengan bahan pengisi kertas sebesar 62.22 gram.

3. Penurunan tingkat kekerasan tertinggi dialami oleh pisang yang disimpan

dalam kardus tidak berbahan pengisi dengan posisi terlentang pada suhu 27ºC

(14.64 N). Sedangkan, penurunan tingkat kekerasan terendah dialami oleh

pisang yang disimpan dalam refrigerator 10ºC (6.44 N) tanpa bahan pengisi

dan dengan posisi terlentang.

4. Perubahan warna dan peningkatan total padatan terlarut yang lambat terjadi

pada pisang yang disimpan pada suhu 10ºC tanpa bahan pengisi sebesar 2.7

skala, sedangkan sebaliknya terjadi pada pisang yang disimpan pada suhu

ruang tanpa bahan pengisi sebesar 5.25 skala.

5. Masa simpan pisang yang disimpan pada suhu 10ºC, 15ºC, dan 27ºC berturut-

turut adalah 6 hari, 2-3 minggu, dan 4 minggu. Hal yang menjadi acuan dalam

penentuan masa simpan ini adalah warna kulit pisang.

B. Saran

60  

1. Diharapkan terdapat penelitian lanjutan yang secara khusus dapat

menerangkan mengapa cara tumpukan berpengaruh signifikan terhadap

tingkat kerusakan, susut bobot, TPT, perubahan warna dan tingkat kekerasan

dari segi fisik maupun morfologi pisang.

2. Perlu penelitian pembanding dengan judul yang sama namun dibedakan dari

segi tingkat kematangan pisang yang berbeda.

3. Pisang ambon sebaiknya dikemas dengan karton 15 kg, diletakkan dengan

posisi tertelungkup, dan disimpan pada suhu 10ºC untuk mempertahankan

masa simpan.

61  

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. 1994. Pengaruh Suhu dan Penambahan Gas Etilen pada kelembapan Tinggi

Terhadap Kecepatan Proses Pemeraman dan Kualitas Buah Pisang (Musa

Paradisiaca) ov. Ambon Putih. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan, IPB.

A. Yani, Syamsul. Pisang Cavendish. Service Laboratory Biotrop online.

Darmawati, E. 1994. Simulasi Komputer Untuk Perancangan Kemasan Karton

Bergelombang Dalam Pengangkutan Buah-Buahan. Tesis MS. Program Studi

Keteknika Pertanian IPB, Bogor.

Hasiholan, Mulatua. 2008. Peningkatan Performa Penggunaan Jambu Biji (Psidium

Guajava L) Selama Transportasi dengan Penggunaan Bahan Pengisi. Skripsi.

Departeman Teknik Pertanian IPB.

http://www.bps.go.id/sector/agri/horti/index.html

Luri, Sepdian. Kultur Jaringan Pisang Cavendish. Politeknik Negeri Jember.

Mathlouthi, M. 1994. Food Packaging and Preservation. Blackie Academic and

Professional. London.

Mitra, Sisir (ed.). 1997. Postharvest Physiology and Storage of Tropical and

Subtropical Fruits. CAB International. India.

Muthmainnah, Nurul. 2008. Kualitas Fisik Sawo (Achras zapota L.) Dalam Kemasan

Pada Simulasi Transportasi. Skripsi. Fateta IPB

Paine, I. A. dan H. Y. Paine. 1983. A Handbook of Food Packaging. Leonard Hill.

London, UK.

Pantastico, ER. B. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan

Buah-Buahan dan Sayuran Tropika dan Subtropika. Gajah Mada University

Press. Yogyakarta.

62  

Peleg, K. 1985. Produce Handling, Packaging and Distribution. AVI Publishing Co.,

Inc., Wesport, Connecticut, USA.

Phan Ju Lan. 1989. Perubahan Fisiko Kimia Buah Pisang Raja Bulu Selama

Pematangan. Skripsi. Fateta IPB.

Prihatman, Kemal. 2000. Tentang Budidaya Pertanian Pisang. Kantor Deputi

Menegristek Bidang Penhayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi, Jakarta.

Robertson, Gordon L. 1993. Food Packaging Principles and Practice. Marcel

Dekker, Inc. New York.

Santoso, B. B. dan Purwoko B. S. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen

Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern Universities Project.

Sjaifullah, Dondy ASB, dan Y. Haryadi. 1996. Efek konsentrasi Etilen dan Suhu

terhadap Kualitas dan Kecepatan Pematangan Buah Pisang Ambon Putih pada

Kelembapan Tinggi. J. Hort 9:411-418.

Satuhu, Suyanti. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Soedibyo Tirtosoekotjo, M. 1992. Alat Simulasi Pengangkutan Buah-buahan Segar

dengan Mobil dan Kereta Api. Jurnal Hortikultura 2(1): 66-73

Sunarjono, Hendro. 1999. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta:

Penebar Swadaya.

Suryanti, dan Supriyandi, Ahmad. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek

Pasar. Jakarta: Penebar Swadaya.

Syarief, R. , S. Santausa dan St. Isnaya. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. PAU

Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

63  

Velez, Julian. 2007. Konsultasi Tentang Produksi dan Penanganan Pasca Panen

Pisang. AMARTA Michigan State University.

Winarno, F. G. dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta.

64  

LAMPIRAN

65  

Lampiran 1 Konversi angkutan truk berdasarkan data lembaga uji kontruksi BPPT 1986 (Soedibyo 1992 dalam Hasiholan 2008)

Bila alat simulasi dengan goncangan vertical digunakan selama 1 jam, maka

jarak yang ditempuh adalah:

y =

dimana:

x = jumlah luas seluruh getaran vibrator (cm2/jam)

z = jumlah seluruh getaran bak truk (cm2/jam)

y = jarak yang ditempuh oleh truk (km)

Data truk:

Lembaga uji kontruksi BPPT tahun 1986 telah mengukur goncangan

trukmyang diisi 80% penuh dengan kecepatan 60 km/jam dalam kota dan 30 km/jam

untuk jalan buruk (aspal) dan jalan buruk (berbatu). Hasil pengukurannya dapat

dilihat pada tabel berikut:

Jumlah kejadian (amplitudo/kali)

Amplitudo getaran vertikal (cm) Jalan dalam

kota Jalan luar

kota Jalan buruk

(aspal) Jalan buruk (berbatu)

1

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

3.5

3.2

2.9

2.5

2.2

1.8

1.6

1.5

1.1

0.9

0.0

3.9

3.6

3.3

3.0

2.8

2.5

2.1

2.0

1.7

1.3

0.1

4.8

4.2

3.9

3.5

3.1

2.8

2.8

2.0

1.2

0.8

0.2

5.2

4.1

3.8

3.6

3.2

2.6

2.6

2.0

1.1

0.7

0.1

Keterangan: Jalan dalam dan luar kota diukur selama 30 menit 30 km, sedangkan jalan buruk (aspal)

dan jalan buruk (berbatu) diukur selama 60 menit 30 km.

66  

Dari data hasil pengukuran pada simulasi didapatkan data seperti berikut:

Frekuensi meja getar ulangan 1 = 3.16 Hz

Frekuensi meja getar ulangan 2 = 3.22 Hz

Frekuensi meja getar ulangan 3 = 3.43 Hz

Amplitudo meja getar ulangan 1 = 3.5 cm

Amplitudo meja getar ulangan 2 = 3 cm

Amplitudo meja getar ulangan 3 = 3.2 cm

Kesetaraan simulasi pengangkutan yang dilakukan dengan menggunakan

meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini:

T = 1/f = 1/3.27 = 0.306 detik/getaran

W = 2π/T = 2(3.14)/0.306 = 20.535 getaran/detik

Luas satu siklus getaran vibrator =

= 9.44 x 10-4 cm2/getaran

Jumlah seluruh getaran vibrator selama dua jam =

2 jam x 60 menit/jam x 60 detik/menit x 3.27 getaran/detik = 23544 getaran

Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama satu jam =

67  

23544 getaran x 9.44 x 10-4 cm2/getaran= 22.22 cm2/jam

Berdasarkan konversi angkutan truk selama satu jam di jalan luar kota

=

Trek sejauh 223.32 km kira-kira setara dengan perjalanan darat dari daerah penghasil

pisang Purwakarta ke Pelabuhan Merak. Untuk kemudian didistribusikan kembali

lewat perjalanan laut ke daerah Sumatra.

68  

Lampiran 2 Warna kulit pisang yang dicocokkan pada color plate (Loesecke)

Color Plate 1

Color Plate 2

Color plate 3

Color Plate 4

Color plate 6

Color plate 7

Color plate 8

Color plate -

69  

Color Plate 5

70  

Lampiran 3 Hasil olah data SAS

a. Kerusakan mekanis

Dependent variable : JR

Keragaman DF Jarak kuartil Kuadrat tengah F value Pr>F

Galat

Galat

umum

T

BP

T#BP

12

17

1

2

2

32.66666667

74.00000000

3.55555555

25.33333333

12.44444444

2.72222222

3.55555555

12.66666667

6.22222222

1.31

4.65

2.29

0.2754

0.0319*

0.1442

Dependent variable : BB

Keragaman DF Jarak kuartil Kuartil tengah F value Pr>F

Galat

Galat umum

T

BP

T#BP

12

17

1

2

2

764.66666667

833.61111111

9.38888889

5.77777778

53.77777778

63.72222222

9.38888889

2.88888889

26.88888889

0.15

0.05

0.42

0.7078

0.9558

0.6651

71  

Lampiran 3 (lanjutan)

b. Susut bobot

Hasil analisis faktor RAK

Dependent Variable: bobot

Source DF Sum of Squares Mean Square F value Pr > F

Model

Error

Corrected

Total

23

318

341

1505582.170

1989636.777

3495218.948

65460.094

6256.719

10.46 < 0.0001

R-Square Coeff Var Root MSE bobot Mean

0.430755 11.97321 79.09943 660.6367

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

faktor1 2 104975.9173 52487.9586 8.39 0.0003

faktor2 1 19816.9416 19816.9416 3.17 0.0761

faktor1*faktor2 2 18453.6014 9226.8007 1.47 0.2304

Suhu 2 44785.6062 22392.8031 3.58 0.0290

faktor1*suhu 4 401850.6852 100462.6713 16.06 <.0001

faktor2*suhu 2 518313.9762 259156.9881 41.42 <.0001

faktor1*faktor2*suhu 4 234802.6829 58700.6707 9.38 <.0001

Waktu 6 102715.8405 17119.3067 2.74 0.0132

72  

Lampiran 3 (lanjutan)

c. Tingkat kekerasan

Hasil analisis faktor RAK

Dependent Variable: kekerasan

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 25 197.9657399 7.9186296 67.84 <.0001

Error 352 41.0902007 0.1167335

Corrected Total 377 239.0559406

R-Square Coeff Var Root MSE bobot Mean

0.828115 29.33772 0.341663 1.164586

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

faktor1 2 0.2685176 0.1342588 1.15 0.3178

faktor2 1 0.1936109 0.1936109 1.66 0.1986

faktor1*faktor2 2 0.4543187 0.2271594 1.95 0.1444

suhu 2 43.4592017 21.7296008 186.15 <.0001

faktor1*suhu 4 2.8872609 0.7218152 6.18 <.0001

faktor2*suhu 2 0.4226059 0.2113029 1.81 0.1652

faktor1*faktor2*suhu 4 1.9681375 0.4920344 4.22 0.0024

waktu 8 184.5627698 23.0703462 197.63 <.0001

73  

Lampiran 3 (lanjutan)

d. Perubahan warna

Hasil analisis faktor RAK

Dependent Variable: warna

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 25 1325.538317 53.021533 63.57 <.0001

Error 341 284.423536 0.834087

Corrected Total 366 1609.961853

R-Square Coeff Var Root MSE Bobot Mean

0.823335 22.18233 0.913283 4.117166

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

faktor1 2 7.728483 3.864242 4.63 0.0103

faktor2 1 1.927423 1.927423 2.31 0.1294

faktor1*faktor2 2 11.842370 5.921185 7.10 0.0010

suhu 2 397.174650 198.587325 238.09 <.0001

faktor1*suhu 4 17.031182 4.257796 5.10 0.0005

faktor2*suhu 2 0.429273 0.214636 0.26 0.7733

faktor1*faktor2*suhu 4 16.304617 4.076154 4.89 0.0008

waktu 8 1168.520319 146.065040 175.12 <.0001

74  

Lampiran 3 (lanjutan)

e. Total padatan terlarut

Hasil analisis faktor RAK

Dependent Variable: TPT

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 25 9824.60590 392.98424 48.80 <.0001

Error 352 2834.54503 8.05268

Corrected Total 377 12659.15093

R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean

0.776087 14.91650 2.837725 19.02407

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

faktor1 2 5.484670 2.742335 0.34 0.7116

faktor2 1 0.387043 0.387043 0.05 0.8266

faktor1*faktor2 2 10.834223 5.417111 0.67 0.5110

suhu 2 2120.087188 1060.043594 131.64 <.0001

faktor1*suhu 4 382.561307 95.640327 11.88 <.0001

faktor2*suhu 2 67.897353 33.948677 4.22 0.0155

faktor1*faktor2*suhu 4 304.895289 76.223822 9.47 <.0001

waktu 8 8713.877612 1089.234701 135.26 <.0001

75  

Lampiran 4 Data kekerasan

a. Kekerasan pisang bagian tengah

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21 28

AX 10 2.86 2.69 2.34 1.42 1.05 1 0.83 0.63 0.6115 2.6 2.06 1.53 1.06 0.74 0.5 0.43 0.24 - RT 1.32 0.65 0.42 0.28 - - - - -

AY 10 2.66 2.32 1.83 1.32 0.98 0.88 0.69 0.65 0.5715 2.55 2.13 1.37 0.95 0.67 0.54 0.4 0.26 - RT 1.69 0.88 0.58 0.3 - - - - -

BX 10 2.67 2.53 1.94 1.39 1.01 0.92 0.84 0.67 0.5615 2.07 1.81 1.39 0.71 0.6 0.51 0.47 0.33 - RT 2.42 1.04 0.7 0.39 - - - - -

BY 10 2.7 2.17 1.68 0.86 0.83 0.75 0.64 0.52 0.4615 2.54 2.47 1.11 0.98 0.6 0.49 0.53 0.29 - RT 2.52 1.08 0.64 0.44 - - - - -

CX 10 1.93 1.71 1.33 0.95 0.89 0.79 0.75 0.72 0.4515 2.21 1.89 1.28 0.72 0.5 0.6 0.48 0.33 - RT 2.54 0.99 0.65 0.34 - - - - -

CY 10 2.97 1.96 1.79 1.53 1.16 0.98 0.82 0.62 0.5915 2.73 2.49 1.78 1.08 0.76 0.65 0.57 0.44 - RT 2.07 0.89 0.51 0.28 - - - - -

b. Kekerasan pisang bagian pangkal

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21 28

AX

10 2.85 2.54 2.3 1.37 1.04 0.98 0.93 0.71 0.5915 2.58 2.00 1.41 0.91 0.76 0.53 0.38 0.23 - RT 1.22 0.63 0.41 0.27 - - - - -

AY

10 2.68 2.33 1.87 1.36 0.96 0.87 0.69 0.5 0.4215 2.62 2.10 1.20 0.96 0.57 0.53 0.32 0.23 - RT 1.68 0.83 0.56 0.36 - - - - -

BX

10 2.56 2.38 2.00 1.37 1.06 0.92 0.79 0.65 0.5515 2.10 1.89 1.38 0.86 0.62 0.57 0.48 0.30 - RT 1.81 1.07 0.67 0.34 - - - - -

BY

10 2.75 2.23 1.5 0.97 0.87 0.76 0.67 0.59 0.5615 2.63 2.02 1.36 0.85 0.63 0.45 0.44 0.37 - RT 2.43 1.12 0.71 0.37 - - - - -

CX

10 1.81 1.69 1.33 0.98 0.87 0.76 0.75 0.63 0.5715 2.09 1.77 1.31 0.76 0.50 0.61 0.54 0.35 - RT 2.54 0.94 0.66 0.35 - - - - -

76  

CY

10 2.80 2.01 1.71 1.37 1.07 0.97 0.81 0.70 0.5915 2.69 2.40 1.76 1.08 0.81 0.64 0.51 0.44 - RT 2.08 0.78 0.55 0.27 - - - - -

77  

Lampiran 4 (Lanjutan)

c. Kekerasan pisang bagian ujung

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21 28

AX

10 2.9 2.56 2.32 1.47 1.04 1 0.85 0.73 0.6415 2.55 2.06 1.62 0.95 0.69 0.53 0.4 0.21 - RT 1.27 0.68 0.46 0.27 - - - - -

AY

10 2.54 2.37 1.89 1.32 1.05 0.93 0.85 0.73 0.6315 2.55 2.05 1.31 0.93 0.74 0.53 0.4 0.21 - RT 1.73 0.84 0.5 0.28 - - - - -

BX

10 2.62 2.52 2 1.39 1.07 0.91 0.69 0.62 0.6 15 2.22 1.95 1.35 0.78 0.56 0.52 0.48 0.37 - RT 2.44 1.08 0.71 0.37 - - - - -

BY

10 2.73 2.22 1.7 1.08 0.8 0.73 0.67 0.59 0.5 15 2.57 2.07 1.34 0.92 0.66 0.52 0.43 0.29 - RT 2.37 1.11 0.6 0.36 - - - - -

CX

10 1.83 1.63 1.33 1.03 0.95 0.75 0.67 0.62 0.5215 2 1.8 1.2 0.73 0.55 0.59 0.48 0.36 - RT 2.5 0.86 0.61 0.28 - - - - -

CY

10 2.85 1.88 1.78 1.53 1.2 0.99 0.84 0.65 0.6215 2.62 2.51 2.09 1.15 0.72 0.66 0.53 0.46 - RT 2.01 0.78 0.51 0.33 - - - - -

Ket: - Pengamatan telah selesai dilakukan

78  

Lampiran 5 Data total padatan terlarut

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21 28

AX1 10 5.4 7.6 11.7 12.2 16.3 18 19.2 23.1 26.9 15 8.2 12.3 17.5 17.8 22.7 26.8 24 19.1 - RT 17.5 25.8 26 25.2 - - - - -

AX2 10 5.6 7.9 9.7 10.2 14.7 19 19.7 21.9 23.1 15 7.6 12.3 18.2 20.9 21.5 22.7 23 22.9 - RT 25.7 26.3 24.8 24.5 - - - - -

AX3 10 5.8 7.3 12.3 14.5 16.1 20.1 19.8 23.5 23.7 15 6.4 8.7 16.1 16.8 23.8 26.7 26.2 17.2 - RT 17.8 20.9 25.6 22.8 - - - - -

AY1 10 6.4 7.5 14.2 15.8 17.8 20.5 22.2 23.9 25 15 7.1 13.4 17.2 18.2 20.5 25.4 25.3 19.6 - RT 8.9 19.8 26.6 26.1 - - - - -

AY2 10 8.7 12.6 14.4 15 15.1 22 23.5 23.1 25 15 11.7 18.4 20.2 20.5 20.5 20.6 23.4 24.8 - RT 13.5 24.2 24.9 23.2 - - - - -

AY3 10 11.5 13.2 16 17.8 21 21.8 23.1 24.8 26.1 15 8.6 13.8 18.5 18.5 19.3 25.2 24.1 24.5 - RT 15.1 22 25.7 22.5 - - - - -

BX1 10 12 12.6 14.1 14.7 17.8 25 23.7 25 26.4 15 13.4 18.9 25 26.7 23.4 22.7 22.2 23.4 - RT 13.6 18.3 24.4 27.1 - - - - -

BX2 10 6.1 7.8 13.6 17.7 18.7 22.5 24.7 24.7 25.6 15 7.2 9.3 16.5 19.1 22.6 22.4 23.9 23.7 - RT 14.3 18.4 25.9 27 - - - - -

BX3 10 12.6 12.9 14.3 15.8 16.3 18.4 20.3 22.5 21.8 15 8.3 12.2 17.4 20 22.3 26.3 26.3 19.3 - RT 12.6 17.3 24.2 25.3 - - - - -

BY1 10 13.7 14.4 17.4 18.7 20.2 20.2 23.2 23.4 24.6 15 9.2 11.7 17 21.6 22.3 22.4 26.3 21.2 - RT 7.2 14.4 26.7 25 - - - - -

BY2 10 14.6 15.7 16.1 16.5 17.8 22.4 23.6 24.2 24.3 15 10.6 13.3 15.8 17.4 20.8 19.7 25.2 22.7 - RT 9.7 17.2 24.6 25.3 - - - - -

BY3 10 13.2 13.5 14.6 17.4 21.2 21.7 23.7 24.1 24.4 15 6.5 7.6 14.9 18.2 21.4 24.9 27 26.2 - RT 7.1 18.9 25.6 24.9 - - - - -

CX1 10 14.9 16.3 16.5 17.9 18.2 20.3 24.6 24.2 24.5 15 10.8 18.3 25.8 26.4 25.5 24 22.6 26.1 - RT 5.2 19.4 22.9 24.2 - - - - -

CX2 10 15.5 16.3 17.4 18.9 21.8 25.7 26.4 19.6 22.5

79  

15 12.9 15.3 16.5 17.9 20.8 21.3 23.4 24.5 - RT 4.2 20.4 23.3 25.1 - - - - -

CX3 10 16.6 18.5 21.4 22.3 22.6 24.2 24.9 25.5 27.2 15 12.9 15.3 16.5 17.9 20.8 21.3 23.4 24.5 - RT 4.2 20.4 23.3 25.1 - - - - -

CY1

10 10.4 11.8 12.6 12.3 17.8 21.3 22.2 25.3 25.3 15 6.2 7.7 13.6 15.5 21.1 21.4 24.5 27.6 - RT 25.5 26.4 24.9 24.9 - - - - -

CY2 10 16.3 18.3 20.3 20.6 21.2 22.7 25.8 23.8 25.4 15 7.3 8.3 13.2 16.1 17.2 20.7 23 22.3 - RT 25.4 17.7 23.1 22.8 - - - - -

CY3 10 7.8 8.6 13.8 24.2 25.4 22.4 21.3 23.7 24.6 15 10.9 12.3 14.5 14.9 20.7 21.2 22.4 25.4 - RT 11.1 16.5 23 23.5 - - - - -

Ket: - Pengamatan telah selesai dilakukan

Lampiran 5 (Lanjutan)

80  

Lampiran 6 Data perubahan warna

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21

AX1 10 1 1 3 3 3 3 3 6 15 1 2 3 6 7 8 - - RT 4 6 7 - - - - -

AX2 10 1 2 2 2 2 2 4 6 15 2 3 4 5 6 7 7 - RT 5 6 8 - - - - -

AX3 10 1 2 3 3 3 3 4 6 15 1 4 4 6 6 8 - - RT 2 5 7 - - - - -

AY1 10 2 3 3 4 4 4 5 8 15 1 4 5 6 6 6 8 - RT 2 5 7 - - - - -

AY2 10 1 2 3 4 4 5 7 8 15 2 3 5 6 7 7 8 - RT 4 6 8 - - - - -

AY3 10 1 2 3 5 5 6 8 - 15 1 4 5 6 7 8 - - RT 4 6 7 - - - - -

BX1 10 2 3 3 4 4 4 5 7 15 3 4 4 5 6 6 8 - RT 2 6 8 - - - - -

BX2 10 1 3 4 4 4 5 6 8 15 1 3 5 5 6 6 8 - RT 2 5 7 - - - - -

BX3 10 1 1 3 4 4 6 8 - 15 1 3 3 4 5 6 8 - RT 2 5 6 - - - - -

BY1 10 1 2 3 4 4 4 7 8 15 2 4 5 6 7 8 - - RT 3 6 7 - - - - -

BY2 10 1 2 3 5 5 5 6 8 15 1 4 5 7 7 8 - - RT 2 5 6 - - - - -

BY3 10 1 2 3 3 4 4 5 6 15 1 3 4 5 6 8 - - RT 2 5 7 - - - - -

CX1 10 1 3 4 4 4 4 4 6 15 2 5 6 7 7 8 - - RT 2 5 7 - - - - -

81  

CX2 10 2 3 4 5 5 5 5 7 15 1 3 5 5 6 6 8 - RT 1 4 6 - - - - -

CX3 10 2 3 3 4 4 4 4 6 15 1 2 4 5 6 7 8 - RT 2 5 7 - - - - -

CY1

10 1 1 2 3 3 4 7 - 15 1 1 3 4 5 6 7 - RT 2 6 7 - - - - -

CY2 10 1 2 2 2 3 4 8 - 15 1 2 4 6 6 7 7 - RT 1 5 7 - - - - -

CY3 10 1 3 3 3 3 3 5 7 15 2 2 4 6 7 7 8 - RT 3 5 6 - - - - -

 

Lampiran 6 (Lanjutan)

82  

Lampiran 7 Data kerusakan selama penyimpanan

Hari ke- Perlakuan Suhu 1 2 4 6 8 11 14 21

AX1 10 3 3 3 3 3 3 5 3 15 - - - - - 0 3 - RT - - 6 8 12 - - -

AX2 10 - - - - - 0 - - 15 2 2 4 4 4 5 7 2 RT 1 1 10 12 16 - - 1

AX3 10 - - - - - 2 2 - 15 3 4 4 5 5 5 8 3 RT 6 8 8 10 18 - - 6

AY1 10 - - - - - 3 3 - 15 2 2 2 2 2 2 2 2 RT 2 2 2 7 15 - - 2

AY2 10 2 2 4 4 4 4 6 2 15 1 2 3 5 9 14 14 1 RT - - - 7 12 - - -

AY3 10 - - 1 1 2 3 3 - 15 - - - 2 2 2 5 - RT 4 7 11 11 12 - - 4

BX1 10 - - - - - 2 2 - 15 2 2 9 11 11 13 13 2 RT 1 1 1 7 9 - - 1

BX2 10 - - - 2 2 2 2 - 15 4 4 4 6 6 6 8 4 RT - - 5 10 12 - - -

BX3 10 - - 2 2 2 4 4 - 15 1 1 2 2 2 4 4 1 RT 1 2 6 8 12 - - 1

BY1 10 - - - - - 0 0 - 15 - - - - - 4 8 - RT - - - 8 8 - - -

BY2 10 1 1 1 1 1 1 1 1 15 - - 1 1 3 3 6 - RT - 3 6 9 11 - - -

BY3 10 - - - - - 3 3 - 15 - - 1 3 4 4 8 - RT - - - 5 12 - - -

CX1 10 - - - 1 1 1 1 - 15 1 5 8 8 8 12 - 1 RT 1 1 1 6 14 - - 1

CX2 10 - 2 2 2 2 2 2 -

83  

15 2 4 4 6 6 6 10 2 RT - 4 4 8 9 - - -

CX3 10 - - 6 6 6 6 8 - 15 - - - 2 2 2 4 - RT - - - 5 12 - - -

CY1

10 - - - - - 0 2 - 15 - - - 2 2 2 6 - RT 2 2 8 13 16 - - 2

CY2 10 - - - - - 3 3 - 15 - - - - 7 7 7 - RT 2 10 10 13 16 - - 2

CY3 10 - 4 4 4 7 8 8 - 15 - - - - - 2 6 - RT 6 9 10 13 16 - - 6

Ket: - belum terdapat kerusakan produk atau semua produk telah rusak

Lampiran 7 (Lanjutan)