12
1 PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK INDONESIA DISERTAI PENURUNAN LPP (Diterjemahkan dari Salim, E dkk 2015, Population Dynamics and Sustainable Development in Indonesia, UNFPA Indonesia, Jakarta) Indonesia akan menghadapi tiga tren mega demografi jelang tahun 2030. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang besar akan terus meningkat meskipun dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang rendah, sejalan dengan pesatnya arus urbanisasi. Kedua, keuntungan demografi telah terjadi sejak akhir tahun 1980- an dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 sehingga menghasilkan bonus demografi, sebelum persentase penduduk usia kerja kemudian menurun. Terakhir, Indonesia akan mengalami pergeseran situasi dari mobilitas penduduk permanen menjadi mobilitas penduduk non-permanen. Ketiga tren demografi ini akan besar pengaruhnya terhadap kemampuan Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030. JUMLAH PENDUDUK ANTARA TAHUN 2015 DAN 2030 1. Tren Nasional: Peningkatan Jumlah Penduduk Disertai LPP yang Menurun Saat ini, jumlah penduduk Indonesia telah meningkat dari 119 juta pada tahun 1971 menjadi 237,6 juta di tahun 2010. Pada tahun 2015, penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 255,5 juta jiwa. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menduduki posisi keempat negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, dan posisi pertama di Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia akan semakin besar dan mencapai 296,4 juta jiwa pada tahun 2030. Dengan kata lain, akan ada tambahan 40,9 juta penduduk Indonesia antara tahun 2015 dan 2030. Tambahan jumlah penduduk ini lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia dan Brunei yang totalnya hanya sebanyak 31 juta jiwa di tahun 2015. Berdasar tren di masa lalu dan kemampuan pemerintah untuk menurunkan angka kelahiran dan kematian bayi, pemerintah meyakini asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia akan mencapai replacement level dengan NRR sama dengan 1 dan TFR 2,1 anak per Wanita Usia Subur (WUS) pada tahun 2025 (BPS, Bappenas dan UNFPA 2013).

Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

1

PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK INDONESIA DISERTAI PENURUNAN LPP

(Diterjemahkan dari Salim, E dkk 2015, Population Dynamics and Sustainable Development in Indonesia, UNFPA Indonesia, Jakarta)

Indonesia akan menghadapi tiga tren mega demografi jelang tahun 2030.

Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang besar akan terus meningkat meskipun

dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang rendah, sejalan dengan pesatnya

arus urbanisasi. Kedua, keuntungan demografi telah terjadi sejak akhir tahun 1980-

an dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 sehingga menghasilkan bonus

demografi, sebelum persentase penduduk usia kerja kemudian menurun. Terakhir,

Indonesia akan mengalami pergeseran situasi dari mobilitas penduduk permanen

menjadi mobilitas penduduk non-permanen. Ketiga tren demografi ini akan besar

pengaruhnya terhadap kemampuan Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030.

JUMLAH PENDUDUK ANTARA TAHUN 2015 DAN 2030

1. Tren Nasional: Peningkatan Jumlah Penduduk Disertai LPP yang Menurun

Saat ini, jumlah penduduk Indonesia telah meningkat dari 119 juta pada tahun

1971 menjadi 237,6 juta di tahun 2010. Pada tahun 2015, penduduk Indonesia

diproyeksikan mencapai 255,5 juta jiwa. Kondisi ini menyebabkan Indonesia

menduduki posisi keempat negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, dan

posisi pertama di Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia akan semakin besar

dan mencapai 296,4 juta jiwa pada tahun 2030. Dengan kata lain, akan ada

tambahan 40,9 juta penduduk Indonesia antara tahun 2015 dan 2030. Tambahan

jumlah penduduk ini lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia dan Brunei

yang totalnya hanya sebanyak 31 juta jiwa di tahun 2015.

Berdasar tren di masa lalu dan kemampuan pemerintah untuk menurunkan

angka kelahiran dan kematian bayi, pemerintah meyakini asumsi yang menyatakan

bahwa Indonesia akan mencapai replacement level dengan NRR sama dengan 1

dan TFR 2,1 anak per Wanita Usia Subur (WUS) pada tahun 2025 (BPS, Bappenas

dan UNFPA 2013).

Page 2: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

2

Gambar 1. Penduduk Indonesia dengan Skenario Berbeda: 2010-2030

Apapun skenarionya, penduduk Indonesia akan terus meningkat karena

meningkatnya jumlah WUS (usia 15-49 tahun). Diperkirakan ada lebih kurang 75,1

juta WUS, atau ada peningkatan sekitar 10 juta WUS dari tahun 2010. Oleh karena

itu, meskipun setiap WUS hanya memiliki dua atau tiga orang anak hingga tahun

2030, banyaknya jumlah WUS sebagai akibat dari tingginya kelahiran di masa lalu,

menyebabkan banyaknya jumlah anak yang dilahirkan. Kondisi ini disebut

momentum demografi. Besarnya jumlah anak menyebabkan tingginya permintaan

terhadap kebutuhan dasar seperti energi, makanan, dan air bersih.

Kabar baiknya adalah bahwa meskipun jumlah penduduk terus bertambah, Laju

Pertumbuhan Penduduk (LPP) diharapkan mengalami penurunan dari 1,37 persen

per tahun pada 2010-2015 menjadi hanya 0,8 persen per tahun pada rentang tahun

2025-2030 (Tabel 1). Penurunan LPP ini akan memepermudah pembangunan

berkelanjutan melalui beberapa mekanisme.

Page 3: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

3

Tabel 1. Jumlah Penduduk dan LPP Indonesia 2010-2030

2. Distribusi Provinsi

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami perubahan dari rezime Orde Baru

menjadi era reformasi. Kemudian pada tahun 1999, Indonesia menerapkan kebijakan

otonomi daerah yang mengakibatkan terbentuknya provinsi, kabupaten, dan

kecamatan baru.

Provinsi Timor Timur memisahkan diri pada tahun 1999 dan menjadi negara

merdeka dengan nama Republik Timor Leste. Sementara itu, provinsi lain

mengalami pemekaran wilayah seperti Provinsi Maluku yang terbagi menjadi dua

provinsi, Maluku dan Maluku Utara, setelah terjadinya konflik antaragama Islam dan

Kristen pada bulan Agustus 1999. Di tahun 2000, terbentuk Provinsi Bangka

Belitung, Banten, dan Gorontalo. Bangka Belitung awalnya merupakan bagian dari

Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Banten merupakan bagian dari Provinsi Jawa

Barat. Provinsi Gorontalo dulunya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara.

Antara tahun 2000 dan 2010, tiga provinsi lain juga dibentuk dengan nama

Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Kepulauan Riau. Kepulauan Riau merupakan hasil

pemekaran Provinsi Riau yang terjadi pada tahun 2002. Irian Jaya Barat dibentuk

sebagai pemekaran wilayah Papua pada tahun 2003, dan kemudian diganti

namanya menjadi Papua Barat pada tahun 2007. Sulawesi Barat yang merupakan

pemekaran wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 2004. Hingga Sensus Penduduk

Page 4: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

4

(SP) terakhir yang dilaksanakan tahun 2010, Indonesia memiliki 33 provinsi. Lalu

pada tahun 2012, terbentuklah provinsi termuda yaitu Kalimantan Utara sebagai

pemekaran wilayah Kalimantan Timur. Kalimantan Utara terdiri dari satu kota dan 4

kabupaten, yakni: Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau,

Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Oleh karena itu, Proyeksi

kependudukan tahun 2000-2030 baru dapat dibuat untuk 33 provinsi yang sudah ada

pada saat SP2010 seperti tampak pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah dan Proyeksi Penduduk Provinsi Tahun 2000-2030

Page 5: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

5

Proyeksi pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbesar pada

tahun 2015 ada di Jawa Barat, sejumlah 46,7 juta jiwa. Dan Provinsi Papua Barat

dengan jumlah penduduk kurang dari satu juta jiwa menjadi provinsi yang paling

sedikit penduduknya. Dengan kata lain, distribusi penduduk tidak merata antar-

provinsi. Kesenjangan jumlah penduduk ini akan tetap terjadi hingga tahun 2030.

Keberagaman dalam hal jumlah penduduk dan praktek budaya antarprovinsi

menyebabkan keberagaman dalam hal produksi dan konsumsi. Hal ini menyebabkan

beragamnya tantangan dan peluang yang dihadapi setiap provinsi dalam

pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Misalnya tingginya mobilitas antarprovinsi

menyebabkan perubahan komposisi etnis yang harus diantisipasi dan peluang

terjadinya konflik etnis harus diminimalisir. Keanekaragaman etnis harus

diperlakukan sebagai aset pembangunan berkelanjutan.

Pada pergantian abad kedua puluh satu, lima kelompok etnis terbesar di

Indonesia, sebanyak 201,2 juta jiwa, terdiri dari suku: Jawa, Sunda, Melayu, Batak,

dan Madura (Ananta, Arifin & Bakhtiar 2008). Pada tahun 2010, urutan suku

terbanyak masih sama dengan tahun 2000 (Ananta dkk, 2013).

Proyeksi pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa Pulau Jawa akan bertambah

padat penduduknya sementara luas wilayahnya tetap. Meskipun nantinya terjadi

reklamasi di Pulau Jawa, tidak ada jaminan bahwa area pemukiman akan bertambah

karena hal ini tergantung pada alokasi tanah.

Sumatera adalah pulau kedua berpenduduk terbanyak. Jumlah penduduk Pulau

Jawa dan Sumatera merupakan tiga per empat bagian dari jumlah seluruh penduduk

Indonesia.

Kalimantan merupakan pulau terbesar di Indonesia hanya dihuni oleh 5,49

persen penduduk pada tahun 2010. Pulau Sulawesi, meskipun lebih kecil dari

Kalimantan, dihuni oleh 7,22 persen penduduk di tahun yang sama.

3. Tren Kelahiran dan Kematian

a. Kelahiran, Penggunaan Kontrasepsi, dan Unmet Need Kontrasepsi

Kebijakan kependudukan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan

perubahan politik. Rezim Orde Lama menerapkan kebijakan pro-natalis,

mendorong masyarakat untuk memiliki banyak anak, sebagaimana dinyatakan

secara meyakinkan oleh Presiden Soekarno bahwa Indonesia dapat mendukung

Page 6: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

6

250 juta penduduk. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia melebihi 250

juta dan terus mengalami kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang lebih baik. Orde

Baru menerapkan kebijakan kependudukan yang berkebalikan dari kebijakan

Orde Lama, yaitu anti-natalis. Kebijakan anti-natalis ini dilakukan setelah melihat

bahwa jumlah penduduk yang terlalu besar sehingga diluar kendali akan

menghambat pembangunan. Akibat dari penerapan kebijakan anti-natalis ini

adalah perlambatan pencapaian jumlah penduduk 250 juta jiwa, sehingga kualitas

anak yang dilahirkan dan kesejahteraan orangtua meningkat. Lebih jauh lagi,

tanpa adanya Program Keluarga Berencana (KB) yang didukung oleh Orde Baru,

Indonesia tidak akan tumbuh menjadi negara yang kuat seperti saat ini.

Program KB berhasil menurunkan angka kelahiran total dari lima sampai

enam anak per wanita pada akhir tahun 1970-an menjadi 2,3 anak pada tahun

1996-1999. Keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kelahiran tidak

lepas dari beberapa faktor dan kebijakan. Pertama, kampanye Program KB yang

sangat gencar untuk mendidik masyarakat mengenai cara merencanakan jumlah

anak dan mengatur jarak kelahiran. Kampanye ini mengubah persepsi pasangan

suami istri sehingga mendorong mereka untuk memiliki jumlah anak yang lebih

sedikit (Adioetomo, Burhan & Yunus, 2009). Selain memberikan penyuluhan,

Program KB juga menyediakan metode kontrasepsi yang murah, aman, dan

efektif. Kunci sukses Program KB adalah adanya komitmen politik yang kuat dan

birokrasi terpusat didukung dengan dana yang mencukupi. Tokoh agama dan

tokoh masyarakat juga memberikan dukungan terhadap Program KB. Kebijakan

pembangunan sosial ekonomi lainnya yang bertujuan untuk mengurangi

kemiskinan, meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan, meningkatkan

ketersediaan pangan dan kesempatan kerja, turut berkontribusi terhadap

keberhasilan penurunan angka kelahiran di Indonesia.

Pada era reformasi, pasca 1998, dukungan pemerintah pada Program KB

melemah dan berdampak pada meningkatnya angka kelahiran menjadi 2,4 pada

SP2010. Menariknya, hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

2002/3, 2007, dan 2012 memberikan gambaran yang berbeda dimana angka

kelahiran stabil di angka 2,6. Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak

pasangan suami istri yang menginternalisasi nilai keluarga kecil dengan slogan

“Dua Anak Cukup, Laki Perempuan Sama Saja”. Secara keseluruhan, tingkat

kelahiran di Indonesia mengalami penurunan secara lambat dalam beberapa

Page 7: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

7

dekade ke depan, dan proyeksi terakhir memperlihatkan bahwa Indonesia akan

mencapai replacement level antara tahun 2025 dan 2030 (Bappenas, BPS &

UNFPA 2013).

Tabel 3. TFR Provinsi di Indonesia 2010-2030

Page 8: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

8

Pada tingkat provinsi, angka kelahiran di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur,

dan Bali telah berada di bawah replacement level selama dua dekade terakhir.

Baru-baru ini, Jawa Tengah telah mencapai replacement level.

Pada tahun 2025-2030 akan ada delapan provinsi yang memiliki Net

Reproduction Rate (NRR) dibawah satu, yaitu: Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur,

Bali, Jawa Tengah, Banten, Jambi, dan Sulawesi Utara. Dimasa mendatang,

semua provinsi ini akan menyerupai karakteristik penduduk negara maju.

Yang harus ditekankan disini adalah bahwa konsep replacement level tingkat

kelahiran bersifat netral, tidak baik ataupun buruk, dan tidak ada keharusan untuk

dicapai atau tidak. Replacement level kelahiran hanyalah jumlah penduduk

absolut yang diperlukan agar jumlah penduduk suatu negara stabil (tidak

bertambah atau berkurang) dengan asumsi bahwa tingkat kelahiran dan kematian

di negara tersebut tetap untuk jangka lama (empat puluh atau lima puluh tahun).

Dengan kata lain, mencapai replacement level kelahiran tidak serta merta baik,

dan tidak harus dijadikan target tunggal di bidang kependudukan dan kebijakan

pembangunan.

Dalam dekade terakhir, Total Fertility Rate (TFR, angka kelahiran) Indonesia

stagnan sehingga meningkatkan LPP dari 1,34 (2000-2005) menjadi 1,49 (2005-

2010). Komponen yang berperan penting terhadap TFR adalah tingkat

penggunaan kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate, CPR) dan kebutuhan

akan alat kontrasepsi yang tidak terpenuhi (unmet need). Selama dekade terakhir,

pemakaian kontrasepsi stagnan sebesar 57 persen dari Pasangan Usia Subur

(PUS), sementara unmet need tetap tinggi sebesar 11 persen. Tingginya

persentase unmet need kontrasepsi menunjukkan tingginya permintaan terhadap

alat/obat kontrasepsi, namun akses terhadap pelayanan kontrasepsi rendah, atau

kualitas pelayanan kontrasepsi perlu ditingkatkan. Perlu dilakukan upaya

sungguh-sungguh untuk mengurangi unmet need dengan memperluas akses

pelayanan KB, meningkatkan kualitas pelayanan, dan mempromosikan manfaat

keluarga kecil. Upaya-upaya ini akan membantu menurunkan angka kelahiran

yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kemiskinan.

b. Kematian dan Usia Harapan Hidup saat Lahir

Kematian pada usia dini berkaitan erat dengan kondisi lingkungan seperti

polusi udara, air yang tidak bersih, dan kurang gizi. Pada tahun 2010-215, Angka

Page 9: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

9

Kematian Bayi (AKB) di Indonesia relatif rendah dengan 28 kematian per 1000

kelahiran hidup. Dalam 15 tahun kedepan, AKB diproyeksikan terus menurun

secara lamban dari 25 kematian per 1000 kelahiran hidup pada rentang tahun

2015-2020 menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup dalam kurun tahun 2025-2030.

Diperlukan adanya kebijakan yang dapat mempercepat penurunan AKB di

Indonesia.

Kemajuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi selama empat dekade

terakhir telah menyebabkan transisi epidemiologi dari soft rock menjadi hard rock.

Soft rock diindikasikan dengan AKB diatas 100 per 1000 kelahiran hidup,

sedangkan hard rock ditandai dengan AKB dibawah 30. Fase antara AKB 30 dan

100 disebut intermediate rock. AKB di Indonesia turun dai 145 per 1000 kelahiran

hidup pada tahun 1967 menjadi 109 per 1000 kelahiran hidup di tahun 1976 dan

terus menurun menjadi 71 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1986 sehingga

mencapai intermediate rock. Hasil SP 2010 menunjukkan Indonesia berada dalam

hard rock dengan AKB sebesar 26 per 1000 kelahiran hidup (BPS 2011). Tren

yang menurun ini sejalan dengan hasil Survei Demografi dan Kesehatan

Indonesia (SDKI). SDKI 1991 melaporkan adanya 68 dari setiap 1000 bayi yang

meninggal sebelum berusia satu tahun dan jumlahnya menurun menjadi 57 per

1000 kelahiran hidup di tahun 1994, dan akhirnya menjadi 46 per 1000 kelahiran

hidup pada tahun 1997. Sejak tahun 2002/3, AKB menurun sangat lamban (atau

hampir stabil) dengan 35 kematian per 1000 kelahiran hidup pada SDKI 2002/3,

34 kematian per 1000 kelahiran hidup tahun 2007, dan akhirnya 32 kematian per

1000 kelahiran hidup di tahun 2012.

Lebih lanjut, dalam SDKI 2012, AKB dibagi kedalam dua komponen.

Pertama, 60 persen dari kematian bayi pada tahun 2012 terjadi pada usia 0 bulan

sehingga disebut kematian neonatal, sebanyak 19 kematian per 1000 kelahiran

hidup. Kedua, 40 persen kematian bayi di tahun itu terjadi pada usia 1 hingga 11

bulan dan disebut kematian post-neonatal, sebanyak 13 kematian per 1000

kelahiran hidup, sementara kematian anak usia 1 hingga kurang dari 5 tahun

berjumlah 9 kematian per 1000 kelahiran hidup. Dengan kata lain, total angka

kematian balita adalah 41 kematian per 1000 kelahiran hidup. Penurunan AKB

(kematian post-neonatal) dan Angka Kematian Balita (AKBA) yang luar biasa

selama beberapa dekade terakhir menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam

mengurangi penyakit menular diantara anak-anak. Kematian neonatal terutama

Page 10: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

10

disebabkan oleh faktor endogen yang terjadi selama perkembangan janin dalam

rahim.

Tabel 4. AKB Provinsi di Indonesia 2010-2030

Page 11: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

11

Variasi AKB di setiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 4. Perbedaan AKB di

berbagai provinsi di Indonesia tidak lepas dari perbedaan kondisi sosial ekonomi,

seperti perbedaan daerah perkotaan dan pedesaan, tingkat pendidikan, dan

penghasilan rumah tangga. AKB dan AKBA lebih tinggi di daerah pedesaan

dibanding daerah perkotaan. Oleh karena itu, peningkatan urbanisasi di masa

mendatang diharapkan dapat menurunkan tingkat kematian.

Tingkat pendidikan juga memiliki dampak positif dalam penurunan kematian.

AKB yang tertinggi terjadi pada bayi yang ibunya tidak berpendidikan (66 kematian

bayi per 1000 kelahiran pada tahun 2012); sedangkan pada ibu dengan

pendidikan tinggi hanya terjadi 22 kematian bayi per 1000 kelahiran di tahun yang

sama.

Penghasilan juga mempengaruhi kematian. Rumah tangga dengan

penghasilan terendah mengalami AKB tertinggi.

Penurunan angka kematian berdampak pada peningkatan usia harapan

hidup saat lahir. Apapun jenis kelaminnya, usia harapan hidup saat lahir berbeda

antar provinsi. Yogyakarta memiliki usia harapan hidup saat lahir yang tertinggi,

sementara Papua yang terendah pada tahun 2025-2030.

Dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, kematian lebih

merupakan dampak ketimbang penyebab dari lingkungan yang tidak sehat.

Peningkatan angka kematian, khususnya pada ibu dan bayi, merupakan akibat

dari faktor lingkungan seperti polusi dan perubahan iklim, sanitasi yang buruk, dan

kurangnya air bersih untuk minum.

4. Urbanisasi

Indonesia mengalami perubahan besar-besaran dari masyarakat pedesaan

menjadi perkotaan dalam beberapa dekade terakhir. Tabel 5 memperlihatkan tingkat

urbanisasi di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 2010-2030. Pada tahun

2010, lebih dari setengah penduduk enam provinsi di Indonesia (Banten, Jawa Barat,

Yogyakarta, Kepulauan Riau, Bali, dan Kalimantan Timur) tinggal di daerah

perkotaan. Jawa Timur, Bangka Belitung, dan Sumatera Utara akan mengalami

kondisi yang sama pada tahun 2015. Jawa Tengah dan Sulawesi Utara akan

memiliki tingkat urbanisasi diatas 50 persen pada tahun 2020.

Page 12: Peningkatan Jumlah dan Penurunan LPP.pdf

12

Artinya, pada tahun 2020, seluruh provinsi yang ada di Pulau Jawa akan

memiliki tingkat urbanisasi lebih dari 50 persen. Dengan demikian, perbedaan antara

daerah perkotaan dan pedesaan akan semakin menipis dikarenakan meningkatnya

hubungan diantara kedua daerah tersebut. Perkembangan infrastruktur membentuk

sabuk perkotaan yang menghubungkan kota-kota di Jawa dan membentuk Mega

Urbanisasi (Firman 2008). Di tahun 2030, penduduk di 17 dari 33 provinsi akan

tinggal di daerah perkotaan.

Kota-kota intermediate di pulau lain memiliki LPP yang relatif tinggi dibanding

kota-kota di Pulau Jawa. Kota-kota intermediate di pulau lain ini memegang peranan

yang lebih penting dalam pembangunan sosial ekonomi daripada kota-kota di Pulau

Jawa. Kebijakan otonomi daerah dan pengelolaan keuangan secara terdesentralisasi

diharapkan mampu mendorong perkembangan daerah perkotaan di kota-kota diluar

Pulau Jawa.

Jones (2013) mengamati bahwa perbedaan antara daerah perkotaan dan

pedesaan semakin berkurang akibat pembangunan dramatis dalam bidang

transportasi dan komunikasi di daerah pedesaan. Daerah pedesaan tidak lagi

terpencil secara geografis karena semakin banyak masyarakat pedesaan yang

memiliki kendaraan yang memudahkan bepergian ke tempat lain. Akses dan

ketersediaan informasi lebih baik karena adanya telepon seluler dan satelit.

Proses urbanisasi menimbulkan masalah lingkungan. Daerah perkotaan

merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dan sangat tergantung

pada minyak bumi. Urbanisasi dapat mengakibatkan perubahan iklim. Ketahanan

pangan dapat terancam apabila lahan pertanian dan perkebunan alih fungsi menjadi

lahan pemukiman dan industri. Singkatnya, urbanisasi dapat menjadi tantangan

utama di Indonesia, meskipun ia juga menawarkan kesempatan yang baik. (ypi)