13
13 Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25 PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM: PERSPEKTIF HAM* ASSESSMENT OF COMPENSATION IN LAND ACQUISITION FOR PUBLIC INTEREST: HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE Agus Suntoro Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI Email: [email protected] Abstract: Development is part of the manifestation of human rights, including infrastructure development which need land on the implementation. Land acquisition for public interest giving consequences on the increasing of agrarian conflicts, usually triggered by unfair compensation received by land owners. This research aim to describe (1) how regulatory aspects of Law nr. 2/2012 concerning land acquisition for public interest related to formulation of its viability and fairness, and (2) how appraisal conducted the assessment (Public Assesor Agent), given the authority to conduct assessment of attributive replace losses from the perspective of human rights. This study use qualitative methods. Primary data collection was conducted by directed interviews and secondary data was gathered through study literature. The results show that Law Ne. 2/2012 is unclear in decribing the criteria of viable and fair compensation based on human right norm, as well as there is no standard instrument to assess the compensation. These incompabilities were related to the term of viable and equitable for compensation as part of livelihood restoration of affected people both material and non-material. Keywords: Land acquisition, infrastructure development, compensation, human rights, Indonesia. Intisari: Pembangunan merupakan perwujudan hak asasi manusia, termasuk pembangunan infrastruktur yang membutuhkan tanah. Implikasinya pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdampak pada peningkatan konflik agraria, terutama dipengaruhi faktor ganti kerugian yang dinilai belum layak dan adil. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan (1) bagaimana aspek regulasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terkait rumusan kriteria layak dan adil, dan (2) bagaimana penilaian dilakukan oleh appraisal Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diberikan kewenangan atributif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terarah dan data sekunder bersumber dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini menunjukan regulasi ganti kerugian layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 belum jelas kriterianya dan sesuai dengan norma hak asasi manusia. Demikian halnya dalam aspek penilaian ganti kerugian belum ada standar dan instrumen baku. Ketidaksesuaian ini berkaitan dengan esensi layak dan adil yang memiliki unsur penggantian untuk upaya pemulihan korban terdampak, baik bersifat material dan imaterial agar mampu bangkit dan terpenuhi hak asasinya. Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, ganti kerugian, HAM, Indonesia. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan Received: April 30, 2019; Reviewed: May 4, 2019; Accepted: May 14, 2019. To cite this article: Suntoro, A 2019, ‘Penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum: perspektif HAM’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 13-25. DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.316 Copyright: ©2019 Agus Suntoro. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International license. * Penelitian ini dilakukan dengan dana Subkom Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM Tahun 2018 Nomor 5679.001.051.A.B.C..D

PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

13Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH UNTUKKEPENTINGAN UMUM: PERSPEKTIF HAM*

ASSESSMENT OF COMPENSATION IN LAND ACQUISITION FOR PUBLICINTEREST: HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE

Agus SuntoroKomisi Nasional Hak Asasi Manusia RI

Email: [email protected]

Abstract: Development is part of the manifestation of human rights, including infrastructure developmentwhich need land on the implementation. Land acquisition for public interest giving consequences on theincreasing of agrarian conflicts, usually triggered by unfair compensation received by land owners. This researchaim to describe (1) how regulatory aspects of Law nr. 2/2012 concerning land acquisition for public interestrelated to formulation of its viability and fairness, and (2) how appraisal conducted the assessment (PublicAssesor Agent), given the authority to conduct assessment of attributive replace losses from the perspective ofhuman rights. This study use qualitative methods. Primary data collection was conducted by directed interviewsand secondary data was gathered through study literature. The results show that Law Ne. 2/2012 is unclear indecribing the criteria of viable and fair compensation based on human right norm, as well as there is no standardinstrument to assess the compensation. These incompabilities were related to the term of viable and equitablefor compensation as part of livelihood restoration of affected people both material and non-material.Keywords: Land acquisition, infrastructure development, compensation, human rights, Indonesia.

Intisari: Pembangunan merupakan perwujudan hak asasi manusia, termasuk pembangunan infrastruktur yangmembutuhkan tanah. Implikasinya pengadaan tanah bagi kepentingan umum berdampak pada peningkatankonflik agraria, terutama dipengaruhi faktor ganti kerugian yang dinilai belum layak dan adil. Penelitian inidilakukan untuk menggambarkan (1) bagaimana aspek regulasi dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 yang mengaturpengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terkait rumusan kriteria layak dan adil, dan (2)bagaimana penilaian dilakukan oleh appraisal Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) yang diberikan kewenanganatributif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancaraterarah dan data sekunder bersumber dari berbagai literatur. Hasil penelitian ini menunjukan regulasi gantikerugian layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 belum jelas kriterianya dan sesuai dengan norma hakasasi manusia. Demikian halnya dalam aspek penilaian ganti kerugian belum ada standar dan instrumen baku.Ketidaksesuaian ini berkaitan dengan esensi layak dan adil yang memiliki unsur penggantian untuk upayapemulihan korban terdampak, baik bersifat material dan imaterial agar mampu bangkit dan terpenuhi hakasasinya.Kata kunci: Pengadaan tanah, pembangunan infrastruktur, ganti kerugian, HAM, Indonesia.

BHUMI: Jurnal Agraria dan PertanahanReceived: April 30, 2019; Reviewed: May 4, 2019; Accepted: May 14, 2019.

To cite this article: Suntoro, A 2019, ‘Penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah untukkepentingan umum: perspektif HAM’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 13-25.

DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v5i1.316

Copyright: ©2019 Agus Suntoro. All articles published in Jurnal Bhumi are licensed under a CreativeCommons Attribution-ShareAlike 4.0 International license.

* Penelitian ini dilakukan dengan dana Subkom Pengkajian dan Penelitian, Komnas HAM Tahun 2018 Nomor5679.001.051.A.B.C..D

Page 2: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

14 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

A. Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur menjadi salah satuunggulan dan program prioritas dalam peme-rintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kebijakanyang tertuang dalam Nawa Cita dan diimple-mentasikan melalui Rencana Pembangunan JangkaMenengah Nasional (RPJMN) ke tiga (2015-2019)menjadi dasar giatnya pembangunan pada peme-rintahan ini. Pembangunan infrastruktur diharap-kan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomidan mengembangkan konektivitas sebagai perwu-judan jalan ideologi menuju kemandirian bangsa(LBH Bandung 2017, 8).

Infrastruktur dalam pandangan ahli (Srinivasu2013) merupakan usaha penyedian barang dan jasauntuk kepentingan umum. Instalasi bangunantidak memberikan manfaat secara langsung tetapimenyediakan input untuk pertumbuhan ekonomidan sosial. Bentuk pembangunan infrastrukturmeliputi penyediaan fasilitas dasar dan bentuklainnya seperti jembatan, jalan, kereta api, danpembangunan lainnya yang bertujuan untukmenunjang keperluan industri, sosial, dan eko-nomi.

Tidak banyak def inisi tentang infrastrukturakan tetapi berdasarkan Pasal 1 butir 4 PeraturanPemerintah Nomor 38 Tahun 2015 tentangKerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalamPenyediaan Infrastruktur, infrastruktur dimaknaisebagai fasilitas teknis, f isik, sistem, perangkatkeras dan lunak yang diperlukan untuk melakukanpelayanan kepada masyarakat dan mendukungjaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dansosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.

Sebagai dasar hukum dan percepatan pem-bangunan infrastruktur Presiden telah menetapkanPeraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 yangmerupakan perubahan atas Peraturan PresidenNomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksa-naan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalamkebijakan baru ini ditetapkan 245 proyek, mulaidari jalan nasional/strategis nasional non-tol,bangunan jalan tol, proyek infrastruktur sarana danprasarana kereta api, proyek revitalisasi danpembangunan bandara, pembangunan infrastruk-tur pelabuhan, ketenagalistrikan, dan lain sebagai-

nya. Kebutuhan anggaran yang diperlukan diper-kirakan Rp. 4.700 triliun.

Selain berbagai upaya dan kebijakan yang telahditerbitkan, salah satu faktor yang mendorong pem-bangunan infrastruktur begitu masif dan efektifadalah dukungan dan mekanisme yang diaturdalam UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanahbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum(Komunikasi dengan Darwin Ginting, 10 Agustus2018, di Bandung).

Namun demikian, pembangunan infrastrukturselain memberikan manfaat bagi kemajuan eko-nomi dan memudahkan aktivitas masyarakat,dalam praktiknya menimbulkan implikasi danekses di lapangan, terutama mengenai konflik yangditimbulkan akibat pengambilan tanah masyarakatuntuk pembangunan demi kepentingan umum.

Situasi ini, tercermin dari data pengaduan yangditangani Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan,Komnas HAM RI. Dalam kurun waktu satu tahun(2017) terdapat 269 pengaduan konflik agraria dankhusus bidang infrastrktur mencapai 32 kasus.

Tabel 1. Data Pengaduan Konflik Agraria

Sumber: Komnas HAM 2017.

Sejumlah pembangunan infrastruktur yangdiadukan ke Komnas HAM pada tahun 2017 sangatberagam, mulai dari persoalan pembangunan pem-bangkit listrik yang bersumber dari air, batu baradan panas bumi; hingga pembangunan pelabuhandan bandar udara terutama terjadi di wilayah In-donesia timur. Sedangkan kasus pembangunan jalantol dan kereta api lebih banyak terjadi di Jawa.Laporan dugaan pelanggaran HAM juga ditemukandalam pembukaan kantor pemerintah maupunproyek reklamasi pantai.

Dalam laporan tahunan 2017 Konsorsium Pem-baruruan Agraria, (Kartika 2017, 6-10) mencatat

No Bidang Konflik Jumlah

1 Tanah 1042 Perkebunan 393 Infrastruktur 324 Pertambangan 285 Kehutanan 246 Lingkungan 197 Penegakan Hukum 23

Total 269

Page 3: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

15Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

konflik yang terjadi akibat pembangunan infra-struktur sebanyak 94 kasus. Beberapa kasus yangmenonjol di antaranya pembangunan BandaraInternasional Jawa Barat (BIJB) dan Bandara Inter-nasional Yogyakarta Baru (NYIA). Dalam dua kasusini, KPA mengidentif ikasi penyebab konflik, yaitupertama, rendahnya partisipasi publik dalamperencanaan; kedua, penetapan nilai ganti kerugianyang tidak layak; ketiga, praktik korupsi danpemerasan; keempat, adanya keterlibatan oknumkeamanan (polisi dan TNI), serta kelompok sipil;dan kelima, keseluruhan ganti rugi dalam bentukuang dan mengabaikan model lain seperti sahamdan bentuk lain yang disepakati.

Berdasarkan data pengaduan konflik agrariabidang infrastruktur di Komnas HAM RI dan dataKPA, apabila dilakukan pencermatan penyebabpaling menonjol terkait ganti kerugian yang dinilaibelum layak dan adil (Suntoro 2018, 38). Hal inididasarkan fakta bahwa jumlah kasus paling banyakdikeluhkan sebanyak 23 kasus dari 32 kasus atau67,65 persennya menyangkut ganti kerugian. Sisa-nya mengenai sengketa hak ulayat (5,88%), seng-keta kepemilikan dan pengambilan tanah sebelumproses hukum selesai (17,65%), akses terhadaplokasi konflik (1,29%), hilangnya mata pencaharian(2,94%), dan kriminalisasi (1,29%).

Penelitian terhadap ganti kerugian dalam pem-bangunan untuk kepentingan umum telah bebe-rapa kali dilakukan, akan tetapi tidak menyentuhpersoalan dasar tentang hak asasi manusia. Dalampenelitian terkait pengadaan tanah untuk pem-bangunan Jalan Tol Bawen–Ungaran (Sudjatmiko& Suriadi 2010) menyimpulkan bahwa faktorterjadinya persoalan harga ganti rugi karena terjadideprivasi relatif berupa kesenjangan antaraharapan dan kenyataan dengan membandingkandengan ganti rugi masyarakat lainnya. Sedangkanpenelitian untuk mengukur tingkat kesejahteraanwarga terdampak pembangunan oleh KementerianPekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (Rianto2011), hanya melihat aspek pengeluaran, penda-patan, akses ke wilayah perekonomian dan pela-yanan publik semata. Hasil penelitian tentangModel Penentuan Ganti Kerugian Non Fisik (Zanu-ardi 2015), menghasilkan kriteria dan penilaian dari

expert opinion (dalam workshop) berupa daftarfaktor non f isik yang dinilai dengan pendekatanpraktis.

Demikian halnya dalam penelitian terkait studidampak pembangunan Waduk Jatigede (Setiono2014) pembahasan mengenai ganti kerugianterbatas pada konsep agar tahapan dilakukandengan tertib guna menghindari konflik, tidakmasuk secara substansial apa yang menjadi akarpersoalan. Sedangkan penelitian Human RightWatch (Watch 2006, 9) terkait penggusuran paksadi DKI Jakarta dalam faktor kompensasi lebihmengarah pada relasi hukum antara pemerintahdengan warga terdampak. Penelitian lainnya dalampengadaan tanah untuk kepentingan umum sesuaiUU 2 Tahun 2012 (Sukma 2014) menekankan padaalternatif penawaran mengenai saham sebagaipengganti uang semata.

Padahal jika menilik substansi hak asasi ma-nusia, yang secara langsung terkait ganti kerugianlayak dan adil maka diletakan dalam konteksperlindungan hak atas kepemilikan yang tidakboleh diambil sewenang-wenang sebagaimanadijamin melalui Pasal 34 ayat (4) UUD 1945. Selainitu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi dasar pem-bentukan hukum agraria nasional yang memilikiorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Sedang-kan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak AsasiManusia melalui Pasal 36, telah mengatur perlin-dungan terhadap hak kepemilikan.

Berdasarkan pada paparan yang diuraikan sebe-lumnya, tulisan ini mengkaji permasalahan menge-nai bagaimana regulasi dalam penetapan ganti rugiyang layak dan adil dalam UU Nomor 2 Tahun2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunanuntuk kepentingan umum dan bagaimana dasarpenilaian dan objek yang dinilai oleh Kantor JasaPenilai Publik (KJPP) untuk penetapan gantikerugian.

B. Ganti Kerugian dalam Prespektif HAM

Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagaimana ditegaskan dalam lampiranPerpres No. 2 Tahun 2015 telah mengatur mengenaitarget pembangunan infrastruktur yaitu denganpenambahan 15 bandara baru, jalan dan jalan tol

Page 4: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

16 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

diperluas sebanyak 2.650 Km dan 1.000 Km, 24pelabuhan, 49 waduk baru, 33 PLTA, jalur KA baru3.258 Km, jaringan irigasi 1 juta Ha. Konsekuensidengan banyak dan besarnya target pembangunaninfrastruktur, maka kebutuhan tanah menjadikrusial. Akibat ketersediaan tanah milik pemerin-tah terbatas, salah satu jalan keluarnya melaksa-nakan pengadaan tanah milik masyarakat. Impli-kasi pengadaan tanah yang kurang berjalan lancardan dirasakan merugikan masyarakat inilah yangkemudian menjadi konflik agraria.

1. Praktik Pengadaan Tanah bagiPembangunan InfrastrukturKonflik agraria yang terjadi akibat pengadaan

tanah untuk pembangunan infrastruktur terutamamengenai ganti kerugian merupakan hal yang pal-ing banyak dikeluhkan, terutama faktor nilai gantikerugian dan penilaian yang dilakukan tanpamemperhatikan kelayakan untuk menjaminkelangsungan hidup korban terdampak ataumasyarakat yang tanahnya dipergunakan untukpembangunan infrastruktur. Korban kesulitanmembeli tanah dengan luas dan tingkat kesuburansama dengan lokasi yang terkena pengadaan tanahsehingga kehidupan ekonominya tidak lekas pulih.Selain itu, faktor penilaian dan penetapan gantikerugian yang dianggap kurang transparan sertaberlarut-larutnya pembayaran ganti kerugiankepada korban meskipun tanahnya telah diman-faatkan untuk pembangunan infrasruktur.

Tabel 2. Keberatan Terhadap PembangunanInfrastruktur

Sumber: Komnas HAM 2017.

Penelitian ini menemukan bahwa terdapatbeberapa akar persoalan yang menyangkut peng-gantian kerugian yang layak dan adil dalam penga-daan tanah bagi pembangunan untuk kepentinganumum, terutama infrastruktur.

Pertama, penggunaan cara-cara represif kepadamasyarakat. Dalam proses pengadaan tanah masihditemukan cara represif yang dilakukan menyang-kut tindakan pelibatan aparat bersenjata seperti diSulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakarta.Tindakan tersebut bervariatif, ada yang terlibatdalam tahap pembayaran ganti kerugian biasanyadihadirkan agar proses musyawarah dan ganti rugicepat terlaksana (Komunikasi dengan WH, 8Agustus 2018, di Bandung) dan proses hukum ter-hadap warga yang menentang proyek pem-bangunan bendungan dengan model tuduhantindak pidana kepemilikan senjata tajam (Komu-nikasi dengan EK, 5 Juni 2018, di Makassar), sertaterlibat tindak kekerasan dalam pengamanandalam pengosongan tanah untuk pembangunanbandara di Yogyakarta (Komunikasi dengan TP, 26Juni 2018, di Yogyakarta).

Kedua, Penilaian ganti kerugian belum didu-kung survei sosial ekonomi oleh pemerintah dan/atau instansi yang memerlukan tanah. Padahalkewajiban tersebut diatur menjadi bagian dari studikelayakan sebagaimana Pasal 15 UU Nomor 2Tahun 2012. Tujuannya adalah mengidentif ikasimasyarakat, membangun pola pendekatan, meng-identif ikasikan penawaran bagi penggantian hak(uang, saham, dan relokasi), serta membangunstrategi agar masyarakat terdampak beradaptasidengan sumber pencaharian baru agar ekonominyatetap bertahan (Ginting 2016, 47).

Berdasarkan data pendampingan LBH Bandungterhadap warga terdampak pembangunan infra-struktur, selama ini tidak pernah dilakukan surveiekonomi sosial. Pemerintah menilai pengadaantanah hanya menggunakan skema yang palingmudah yaitu pemberian ganti kerugian denganuang. Terdapat berbagai mekanisme yang laindiatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentangPengadaan Tanah Bagi Pembangunan untukKepentingan Umum. Masyarakat telah hidup danmenggantungkan sumber ekonomi selama ber-tahun-tahun dari lahan yang menjadi objek pem-bangunan infrastruktur, seperti bercocok tanamdan sumber ekonomi lainnya menjadi hilang, belumpersoalan tempat tinggal yang tergusur serta kewa-jiban adaptasi dengan pekerjaan baru yang seba-

No Alasan Jumlah1 Ganti Kerugian Layak dan Adil 23

2 Hilangnya Mata Pencaharian 13 Penyelesaian Kepemilikan 64 Kriminalisasi 15 Kerusakan lingkungan 1

Page 5: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

17Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

gian besar menjadi pekerja informal. Padahal,terdapat berbagai mekanisme ganti kerugian lain-nya yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.

Ketiga, Perencanaan tidak disesuaikan dengankemampuan anggaran. Dalam proses pengadaantanah, baik secara kecil (di bawah 5 Ha) ataupunbesar juga terjadi perencanaan yang tidak sesuaidengan kemampuan anggaran. Dampaknya timbulkerugian bagi korban, terutama yang sudah tidakdapat memanfaatkan tanahnya karena telah diper-gunakan untuk infrastruktur perkantoran, akan teta-pi belum menerima pembayaran ganti kerugian.Faktor penyebabnya adalah ketika penetapan lokasidilakukan, anggaran belum tersedia. Kondisi inimenjadi temuan dalam pembangunan Kantor PusatPemerintah Kabupaten Sumedang. Bahkan, sejak2006 sampai 2018 atau lebih dari 12 tahun, dari 32Ha. tanah yang telah dikuasai pemerintah baru 13 Ha.yang dibayarkan ganti ruginya kepada masyarakat.

Keempat, penilaian ganti kerugian yang belummempertimbangkan aspek materiel dan imma-teriel. Hasil penelitian di Provinsi Sulawesi Selatanmenunjukan tidak adanya penjelasan yang mema-dai mengenai implementasi penilaian yang secarakomprehensif mempertimbangan aspek materieldan immateriel dalam pengadaan tanah untukproyek pembangunan infrastruktur, di antaranyabendungan di Kabupaten Wajo, jalan tol, danperluasan Bandara Sultan Hasanudin. Kehilangansumber pencaharian, ekonomi dan lainnya bagikorban terdampak belum sepenuhnya diberikanganti kerugian karena bergantung pada kerja/penilaian oleh appraisal (Komunikasi denganIskandar Rahim, 7 Juni 2018, di Makassar). Seka-lipun masyarakat mendapat ganti kerugian, dalampandangan Konsorsium Pembaruan Agraria Sula-wesi Selatan, nilai yang diberikan sangat tidak layaksebagaimana terjadi dalam pembangunan Ben-dungan Pamukkulu, Kabupaten Takalar hanyadiberikan penggantian Rp. 10.000/M (Komunikasidengan Rizki Ansoriana, 15 Juni 2018, di Makassar).Kondisi yang sama juga terjadi di Jawa Barat, pal-ing besar aduan adalah mengenai ganti kerugianbukan berkaitan dengan penolakan pembangunan.

Sebagai contoh berkaitan dengan korban BandaraInternasional Jawa Barat (BIJB) Majalengka, gantirugi uang yang diperoleh masyarakat korban tidakdapat untuk membeli tanah pengganti untuk usahapertanian dan rumah yang baru. Upaya pengaduanke Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dengan fasilitasiLBH Bandung juga belum memberikan titik terangdalam penyelesaian terutama rumah dan tanahpengganti (Komunikasi dengan Gugum, 8 Agustus2018, di Bandung).

Hal yang berbeda justru hasil penelitian di Yog-yakarta dalam pengadaan tanah untuk pem-bangunan NYIA, ternyata dalam kebijakannya turutmemperhitungkan kerugian materiel dan imma-teriel. Selain mempertimbangkan faktor f isikbangunan, tanah dan tanam tumbuh, juga menye-diakan perumahan pengganti, uang penggantianpendapatan tunggu selama 6-9 bulan, pembebasanpajak pembayaran ganti kerugian, juga memper-hitungkan faktor immateriel, di antaranya faktorkesejarahan terkait dengan Pangeran Diponegoro.Dampaknya anggaran yang semula dialokasikansebesar Rp. 1.5 triliun oleh PT. Angkasa Pura Imembengkak menjadi Rp. 4.5 triliun. Meskipunsudah memperhitungkan aspek materiel danimmateriel, sejak awal proyek ini bermasalah teru-tama riwayat gugatan warga terhadap penetapanIzin Lokasi oleh Gubernur DI Yogyakarta di Penga-dilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN meme-nangkan warga karena penetapan lokasi bandaratidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).Pemerintah Kab. Kulon Progo kemudian melaku-kan penyesuaian RTRW, yang dijadikan bahanuntuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI.Dengan dokumen tersebut, akhirnya putusan PTUNdianulir dengan menyatakan Izin Lokasi olehGubernur DI Yogyakarta atas tanah bandara NYIAdinyatakan sah. Tahap konsultasi publik sampaiizin lokasi dilakukan selama 2 (dua) tahun karenaadanya gugatan dan penolakan warga (Komunikasidengan R Sujiastono, 5 Juni 2018, di Yogyakarta).

Kelima, Pengambilan tanah masyarakat mela-lui mekanisme penitipan ganti kerugian di penga-dilan. Penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi)mendapatkan proporsi hasil temuan dalam penga-daan tanah untuk kepentingan umum. Sejumlah

Page 6: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

18 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

ahli hukum memberikan kritik terhadap UUNomor 2 Tahun 2012 yang mengatur konsinyasidalam praktek pengadaan tanah. Dalam hukum,konsinyasi hanya dikenal dalam ranah HukumPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1404-1412KUH Perdata, yaitu penitipan uang di PengadilanNegeri dalam hal kreditur menolak menerimapenawaran pembayaran tunai dari debitur. Wan-prestasi pihak kreditur ini disebut “mora kreditoris”.Penawaran sah bilamana telah memenuhi syaratbahwa utang telah dibuat. Ini berarti bahwa pena-waran hanya dikenal bila sudah ada hubunganhutang-piutang. Dengan demikian jelaslah pulabahwa lembaga konsinyasi bersifat limitatif (Rulsi2018). Dengan pengaturan konsinyasi dalamregulasi ini telah mengabaikan pihak yang berhakdan juga melewati prosedur dalam Pencabutan HakAtas Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 18UUPA jo UU No. 20 Tahun 1961 (Komunikasidengan Julius Sembiring, 24 Juli 2018 di Yogyakartadan Arie S Hutagalung, 24 Mei 2018, di Jakarta).

Meskipun mendapatkan penolakan, eksistensikonsinyasi dikuatkan melalui Pasal 42 UU No. 2Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum. Konsinyasiini dalam regulasinya dilakukan jika: pertama,pihak yang berhak menolak bentuk dan/ataubesarnya ganti kerugian dan masih dalam proseshukum; kedua, pihak yang berhak tidak diketahuikeberadaannya, dan ketiga, obyek pengadaan tanahsedang menjadi perkara, masih dipersengketakankepemilikannya, diletakkan sita atau menjadijaminan di bank; dan keempat, pihak yang berhakmenolak besarnya ganti kerugian, tetapi tidakmengajukan gugatan dan dianggap menerimabentuk dan besarnya ganti kerugian.

Praktiknya, ketika persoalan ganti kerugianmasih bermasalah dalam proses pengadaan tanahuntuk pembangunan infrastruktur, pemerintahatau pemrakarsa proyek tetap melanjutkan prosespengadaan dengan melakukan penitipan uangpengganti di pengadilan. Situasi ini terjadi diseluruh provinsi yang dijadikan lokasi penelitian.Khusus dalam pembangunan NYIA, berdasarkandata Pengadilan Negeri Wates sejak 2016 telahdilakukan penitipan uang pengganti (konsinyasi)

oleh PT. Angkasa Pura I sebanyak 6 perkara. Pada2017 jumlah tersebut melonjak menjadi 259 per-kara, sedangkan tahun 2018 sejumlah 26 perkara.Sampai saat ini masyarakat yang telah mengambiluang penggantian kerugian sebanyak 125 orang dansisanya 121 masih menggantung (Komunikasidengan J Umar, 26 Juli 2018, di Kulonprogo). Untukwilayah kerja pembangunan infrastruktur di JawaBarat, persoalan ganti kerugian yang berujung padapenitipan uang ke pengadilan (konsinyasi) dalamdata Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Baratditemukan dalam beberapa proyek, di antaranyaPLTU Indramayu, Tol Cipali, dan Tol Cinere–Jagorawi (Komunikasi dengan Herizal Syafri danMedi, 9 Agustus 2018, di Bandung).

2. Mengatur Problem Regulasi Layakdan AdilSalah satu persoalan timbulnya kasus dalam

pembangunan infrastruktur berkaitan dengan gantikerugian adalah pengaturan layak dan adil dalamUU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanahbagi Pembangunan untuk Kepentingan Umumbeserta aturan pelaksananya. Regulasi ini belummenetapkan secara eksplisit kriteria ganti rugi yanglayak dan adil. Padahal, Pasal 1 angka 2 UU No. 2Tahun 2012 mengamanatkan bahwa dalam penga-daan tanah dengan cara memberi ganti kerugianyang layak dan adil kepada pihak yang berhak.Sedangkan Pasal 2 memberikan pedoman agardalam pelaksanaannya mempertimbangkan asaskemanusiaan, keadilan, kesepakatan, kesejahte-raan, dan keberlanjutan.

Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012, pengertianganti kerugian yang layak dan adil bersifat tersirat,terutama dalam: pertama, penjelasan Pasal 2 hurufb bahwa asas keadilan adalah memberikanjaminan penggantian yang layak kepada pihak yangberhak dalam proses pengadaan tanah sehinggamendapatkan kesempatan untuk dapat melang-sungkan kehidupan yang lebih baik; kedua, penje-lasan Pasal 2 huruf d, asas kepastian adalah mem-berikan kepastian hukum tersedianya tanah dalamproses pengadaan tanah untuk pembangunan danjaminan mendapatkan ganti kerugian yang layak;

Page 7: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

19Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

ketiga, penjelasan Pasal 2 huruf h, asas kesejah-teraan adalah pengadaan tanah untuk pem-bangunan dapat memberikan nilai tambah bagikelangsungan kehidupan pihak yang berhak; dankeempat, penjelasan Pasal 3 bahwa pengadaan tanahuntuk kepentingan umum tetap menjamin kepen-tingan hukum pihak yang berhak.

Dari penjelasan tersebut, maka layak dan adildalam UU No 2 Tahun 2012 hanya dapat dimaknaidalam dua aspek, yaitu: (a) mendapatkankesempatan untuk melangsungkan kehidupan yanglebih baik, dan (b) memberikan nilai tambah.Sangat tidak memadai dalam penentuan layak danadil karena tidak ada petunjuk teknis/lanjutan,apalagi dikaitkan dengan kompleksitas persoalandalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Kriteria paling mendasar mengenai kelayakanadalah menekankan ketentuan terkait besar gantikerugian yang dituangkan dalam angka yang sede-mikian rupa, sehingga kondisi ekonomi dan sosialdari yang terkena pembangunan tidak menjaditurun (Komunikasi dengan Arie S. Hutagalung, 25Mei 2018, di Jakarta). Pandangan demikian jugasejalan dengan pemikiran pakar hukum agraria diIndonesia AP Parlindungan dalam (Zarkasih 2015),menyatakan bahwa:

“Orang yang dicabut haknya itu tidak beradadalam keadaan lebih miskin ataupun akanmenjadi miskin kelak karena uang ganti pem-bayaran rugi itu telah habis dikonsumsi, mini-mal dia harus dapat dalam situasi ekonomi yangsekurang-kurangnya sama seperti sebelumdicabut haknya, syukur kalau bertambah lebihbaik, atau minimal harus dapatlah dia penggantiyang wajar. Misalnya dengan pemberian gantirugi tersebut yang bersangkutan dapat membelitanah di tempat lain yang memungkinkan diamembangun rumah kembali dan melanjutkankehidupannya di tempat yang baru”.

Pakar hukum agraria Boedi Harsono (Harsono1990) juga memiliki pandangan yang identik:

“Baik dalam perolehan tanah atas dasar katasepakat ataupun cara pencabutan hak, kepadapihak yang telah menyerahkan tanah nya wajibdiberikan imbalan yang layak, sehingga keada-an sosial dan keadaan ekonominya tidak men-jadi mundur”.

Sementara Philipus H Hadjon dalam (Prawesti2017) menekankan bahwa komponen kompesasidiberikan setelah pemilik tanah melepaskan hak-nya dengan nilai pasar terbuka ditambah kerugianlainnya yang disebabkan keterpaksaan akibat pele-pasan hak tersebut. Dengan demikian, nominalyang diperoleh tidak sekedar didasarkan pada tanahyang diambil, tetapi juga sejumlah kerugian lainakibat akusisi yang dilakukan dengan dalih pem-bangunan. Hal yang paling elemen adalah kompen-sasi dilakukan menempatkan posisi korban terdam-pak minimal posisi yang sama setelah akuisisi seper-ti keadaaan sebelumnya.

Pandangan ahli tersebut juga sesuai denganmekanisme dan prasyarat pembangunan yangdiatur dalam Deklarasi Hak Atas Pembangunan(diterima Majelis Umum PBB melalui ResolusiNomor 41/128, 4 Desember 1986). Deklarasi inimemberikan guidelines terkait hak atas pem-bangunan yang tidak dapat dicabut (an inalienableright), konsekuensinya setiap individu atau masya-rakat berhak untuk terlibat atau berpartisipasi,berperan, dan menikmati pembangunan yangsangat luas demi kemajuan bidang ekonomi, sosial,budaya, dan politik (Firdaus, dkk. 2013, 17).

Dalam konteks pembangunan yang ideal,masyarakat dijadikan spektrum bagi kemajuandalam pembangunan berkelanjutan, mampumengurangi dampak kemiskinan, mengembang-kan kondisi dan etos kerja, dan dampak postif lain-nya adalah terciptanya integrasi dan keadilan sosial.Oleh karena itu, tidak dibenarkan atas nama pem-bangunan termasuk dalam bidang infrastrukturnegara melalui pemerintah berhak untuk mengam-bil tanah secara sewenang-wenang atau membe-rikan ganti kerugian yang tidak layak. Negara harusditempatkan sebagai pemangku kewajiban hakasasi atas pembangunan sehingga memiliki tang-gung jawab untuk menjamin partisipasi, kontribusi,dan akuntabilitas.

Dalam konsepsi hukum, penilaian ganti keru-gian yang adil dan layak (Komunikasi denganMukmin Zakie, 24 Juli 2018, di Yogyakarta) harusmampu memperhitungkan kerugian yang nyatadiderita (scaheden), biaya yang telah dikeluarkan(konsten), kehilangan keuntungan (interressen),

Page 8: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

20 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

dan pendapatan yang akan didapat oleh korban dimasa mendatang (winstanderving).

Berdasarkan pandangan teoritis tersebut,selayaknya dalam proses pengadaan tanah bagikepentingan umum salah satu dimensi palingmendasar dalam penetapan layak dan adil adalahbagaimana merumuskan kebijakan yang memilikiunsur penggantian untuk pemulihan korbanterdampak baik, bersifat materiel dan immaterielagar mampu pulih dan terpenuhi hak asasinya.Dupond dalam Zanuardi (2015) menyatakanbahawa teknis perumusan dan penilaian layak danadil terhadap kerugian memang bukan hal yangmudah, terutama memperhitungkan kerugiannonfisik atau immateriel (non pecuniary losses).Faktor subjektivitas dan variasi harga pasar menjadipengaruh yang signif ikan dalam penilaian.

Secara internasional PBB (United Nation, 2007)telah menerbitkan Basic Principles and Guidelineson Development-Based Evictions and Displacement,Annex 1 of the Report of the Special Rapporteur onAdequate Housing as a Component of the Right to anAdequate Standard of Living A/HRC/4/18, terutamaangka 60, 61, dan 63 terkait pemberian kom-pensasi. Angka 60 dalam Prinsip ini, menekankankompensasi harus diberikan untuk setiap kerusakanyang dapat dinilai secara ekonomis, sebandingdengan beratnya pelanggaran dan keadaan khusus.Bahkan, ketika tanah diambil dan digusur harusdiberikan kompensasi tanah yang sepadan secarakualitas, ukuran dan atau bahkan lebih baik.

Sedangkan dalam angka 61 haruslah menjadiperhatian pemerintah, sebab ganti kerugian tidakdidasarkan pada aspek legalitas kepemilikan tanahsemata–apalagi dengan dalih pembangunan, makakewajiban untuk memberikan ganti kerugiansecara layak dan adil menjadi mutlak. Jikapun ter-paksa dilakukan pengambilan tanah atau penggu-suran, ketentuan dalam angka 63 mengatur bahwaganti kerugian dalam penilaiannya harus meling-kupi kerugian dan biaya, tanah dan rumah,perumahan alternatif atau pemukiman kembali,kehilangan pendapatan, pendidikan, kesehatan, danbiaya transportasi. Jika secara khusus rumah dantanah yang merupakan sumber kehidupan diambil,maka penilaian dampak harus memperhitungkan

nilai kerugian bisnis, peralatan, ternak, tanah,pohon, tanaman, serta penurunan/kehilanganpendapatan.

Khusus terhadap pengambilan tanah untukkepentingan infrastruktur melalui angka 64menegaskan:

“The circumstances of forced evictions linkedto development and infrastructure projects (in-cluding those mentioned in paragraph 8 above)seldom allow for restitution and return. Never-theless, when circumstances allow, States shouldprioritize these rights of all persons, groups andcommunities subjected to forced evictions. Per-sons, groups and communities shall not, how-ever, be forced against their will to return to theirhomes, lands or places of origin.”

Sedangkan angka 67 mengatur jika penempatankembali mengalami kesulitan, maka harus adakompensasi yang adil, bahwa:

“When return to one’s place of residence andrecovery of property and possessions is not pos-sible, competent authorities must provide vic-tims of forced evictions, or assist them in ob-taining, appropriate compensation or otherforms of just reparation”.

The Asian Development Bank (Jalal 1998, 26) jugamenerbitkan Handbook on Resettlement: A Guide toGood Practice, instrumen ini mendorong agarpemerintah atau pemrakarsa proyek pembangunanuntuk memberikan ganti rugi bagi korbanterdampak sehingga tidak ada kesewenang-wenangan.

Tabel 3. Komponen Penilaian Untuk GantiKerugian

Sumber: The Asian Development Bank 1998.

No Komponen

1 Ganti rugi tanah berdasarkan nilai penggantian yang layak2 Kompensasi untuk bangunan, tempat usaha atau komersial,

dan aset tidak bergerak lainnya3 Ganti rugi tanah berdasarkan nilai kompensasi untuk tanaman,

termasuk tanaman pohon4 Kompensasi untuk dampak pada pekerjaan dan pendapatan,

termasuk pemulihan pendapatan5 Penyediaan tanah dan sumber daya penghasil pendapatan

lainnya6 Plot rumah di lokasi pemukiman kembali dan bantuan

pembangunan rumah7 Layanan sosial, fasilitas, dan pengembangan infrastruktur di

lokasi pemukiman kembali8 Biaya relokasi dan transfer, dan tunjangan subsisten untuk

memungkinkan pendirian9 Rencana restorasi pendapatan bagi kelompok (komunitas).

Page 9: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

21Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Meskipun ketentuan dalam UU Nomor 2 Tahun2012 belum mengadopsi kriteria ganti kerugianyang layak dan adil sebagaimana diuraikan dalaminstrumen hak asasi manusia tersebut, tindakanpengambilan tanah masyarakat tetap terjadidengan dalih pembangunan untuk kepentinganumum terutama infrastruktur. Konflik strukturalyang terjadi dalam pembangunan demi kepen-tingan umum akan tetap berlangsung denganperbedaan paradigma yaitu pemerintah didorongmempercepat pengadaan tanah untuk pem-bangunan di sisi lain masyarakat menilai bahwaperlindungan terhadap hak-hak individunyaterutama dengan penggantian ganti rugi yangrendah dan konsinyasi (Ismail 2012). Upaya pengu-saan kepemilikan oleh pemerintah tidaklah tepat,sebab dalam pandangan ahli hukum Kartini Mulja-di dan Gunawan Widjaja (2005, 131) hak atas kepe-milikan secara tegas harus diberikan perlindungan:

“dengan dikuasainya suatu benda berdasarkanhak milik, maka seorang pemegang hak milikdiberikan kewenangan untuk menguasainyasecara tenteram dan untuk mempertahan-kannya terhadap siapapun yang bermaksuduntuk mengganggu ketentramannya dalammenguasai, manfatkan serta mempergunakanbenda tersebut”.

Konsep pemikiran ini menjadi argumentasibahwa hak milik merupakan hak yang paling kuatdan penuh yang harus mendapatkan perlindunganhukum. Konteks inilah yang disebut sebagaiperwujudan tanggung jawab negara atau peme-rintah ketika sesuatu telah ditetapkan sebagai hakasasi manusia maka melekat kewajiban negaraterutama oleh pemerintah untuk melindungi,menghormati, menegakkan, dan memajukanHAM sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (2)jo. Pasal 71 dan Pasal 72 UU Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia.

Terdapat pedoman yang mengatur relasi perlin-dungan hak milik dengan kepentingan negara untukmemanfaatkan tanah masyarakat. Konsep iniadalah pengembangan Hak Menguasai Negara(HMN) dari perluasan makna Pasal 33 ayat (3) UUD1945 dan Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Meskipun

orientasi seluruh sumber daya untuk kesejahteraanrakyat, negara terbatas pada tugas pengaturanperuntukan dan menentukan hubungan hukumtidak ada relasi subordinasi. Oleh karena itu selarasdengan mekanisme HAM maka hal-hal yangmenjadi hak masyarakat, negaralah yang memilikitanggung jawab untuk memenuhinya (Sumardjono2009, 73). Mekanisme ini kemudian disebut asaskedwitunggalan, negara memiliki kewenanganmelakukan pembangunan demi kepentinganumum untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligusbertindak memberikan perlindungan hukumkepada pemegang hak (Nurlinda 2018, 3). Olehkarena itu, sesuai ketetuan Pasal 28 H ayat (4) UUD1945 dan Pasal 36 ayat (3) UU Hak Asasi Manusia,negara tidak boleh mengabil secara sewenang-wenang hak milik masyarakat tanpa memberikanganti rugi yang layak dan adil.

Berdasar norma tersebut dan dihubungandengan prinsip HAM, bahwa setiap hak salingberkaitan dan bergantung (inter related and inter-dependence), pemenuhan dari satu hak seringkalibergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baiksecara keseluruhan maupun sebagian. Jika prosespengadaan tanah untuk pembangunan dilakukansecara sewenang-wenang dan tidak mampu mem-berikan keadilan/peggantian yang layak, dampak-nya tidak hanya berupa pelanggaran hak terhadapkepemilikan semata, akan tetapi juga berimbaspada berbagai pemenuhan hak-hak lainnya sepertikesejahteraan, hilangnya legitimasi atas kepemi-likannya, kelangsungan hidup keluarganya, dankehilangan pemukiman, pendidikan, sosial, danberbagai dampak lainnya.

Berdasarkan prinsip tanggung jawab negara,maka negara diwajibkan untuk melakukan pemu-lihan atas pelanggaran HAM yang terjadi, kepadapelaku, termasuk jika dilakukan oleh organ/instansi/entitas pemerintah-negara tetap wajibmelakukan proses hukum terhadap mereka yangbertanggung jawab atas terjadinya pelanggaranHAM. Sedangkan kepada korban, negara wajibmemberikan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, danjaminan tidak berulangnya peristiwa yang serupa(Sujatmiko 2016). Dengan demikian, maka perluadanya skema bagi upaya pemulihan efektif bagi

Page 10: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

22 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

korban pelanggaran Hak Asasi Manusia. Konsep iniharus selaras antara upaya yudisial dan non yudisialdengan membuka kesempatan yang seluas-luasnyabaik dengan pengaduan, mekanisme administrasi,legislasi, dan berbagai tata cara pemulihan efektiflainnya (Mulyana 2012). Kerangka ini harus menjadimomentum upaya penghormatan HAM dan gagasanbaru bagi pengintegrasian pembangunan–termasukbisnis karena infrastruktur sangat berkaitan denganprofit terutama bandara, jalan tol, pelabuhan, listrik,dan lain sebagainya.

3. Lembaga Penilaian Terhadap KerugianMekanisme hukum baru dalam pengadaan

tanah sesuai UU Nomor 2 Tahun 2012 tentangPengadaan Tanah bagi Pembangunan untukKepentingan Umum adalah pemberian kewe-nangan kepada appraisal dalam hal ini diwakili olehKantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk melakukanpenilaian terhadap objek yang akan dikenakanganti kerugian. Hasil penilaian ini bersifat f inalartinya pemerintah dan/atau badan yang memer-lukan tanah milik masyarakat membayarkansesuai hasil penilaian dan menutup ruang musya-warah mengenai besar dan jumlahnya, terbataspada musyawarah mengenai bentuk ganti kerugian(Pasal 31 ayat 1 dan Pasal 34).

Kehadiran appraisal sebagai lembaga yang mela-kukan penilaian dianggap lebih profesional danobjektif dalam penentuan ganti kerugian sesuaipertimbangan UU 2 Tahun 2012. Kebijakan atributifini menjadi bagian dari mekanisme baru pengadaantanah untuk pembangunan demi kepentinganumum yang dalam praktik-praktik sebelumnyaselalu dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah(pemerintah sendiri) ataupun terbatas oleh penilaiyang dilibatkan oleh Panitia Pengadaan Tanahsebagaimana mekanisme dalam Perpres Nomor 6Tahun 2005 dan 36 Tahun 2005 tentang tentangPengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunanuntuk Kepentingan Umum.

Dari hasil penelitian terhadap pemerintah dan/atau instansi yang membutuhkan tanah untuk pem-bangunan infrastruktur baik di Sulawesi Selatan,Jawa Barat, dan Yogyakarta keseluruhan pihakmenegaskan bahwa timbulnya persoalan ganti

kerugian apakah layak dan adil atau memenuhiharapan masyarakat, sepenuhnya menjadi tangungjawab appraisal (KJPP). Pemerintah atapunpemrakarsa proyek hanya berkewajiban memba-yar sesuai penilaian karena regulasi mengaturbahwa hasilnya bersifat f inal. Penelitian yangdilakukan oleh (Wirabrata & Surya 2011) terhadappembebasan tanah untuk pembangunan WadukJatibarang, Jawa Barat juga masih terkendalakarena penolakan warga terhadap hasil penilaianappraisal karena dianggap tidak objektif selainkarena penunjukan pemerintah juga dalam peni-laian tidak memperhatikan faktor-faktor kese-luruhan di objek lokasi pembebasan.

Pentingnya keberadaan appraisal dalam pem-bangunan demi kepentingan umum tercermin daridata Pusat Pembinaan Profesi Keuangan SekretarisJenderal Kementerian Keuangan RI, sampai 25 Juli2018 terdapat 663 orang appraisal di seluruh Indo-nesia. Jumlah ini meningkat 5% dibandingkantahun 2017. Sedangkan secara rata-rata, kenaikanjumlah appraisal dalam waktu 5 tahun terakhirsebesar 9,8%. Sejak 2010 penugasan dalam peni-laian objek yang terkena pembangunan infrastruk-tur mengalami kenaikan yang signif ikan.

Besarnya tanggung jawab appraisal dalam meru-muskan penilaian ganti kerugian mendapat per-hatian dari ahli hukum pertanahan STPN Yog-yakarta (Komunikasi dengan Julius Sembiring, 25Juli 2018, di Yogyakarta), pelaksanaan penilaianharus perlu dibarengi dengan ketentuan yangmengatur: pertama, nilai ganti kerugian seharusnyaditetapkan dari nilai yang ada pada saat pengu-muman Surat Keputusan Penetapan Lokasi; kedua,nilai ganti kerugian merupakan nilai tunggal untukper bidang tanah; dan ketiga, penetapan nilai gantikerugian harus objektif karena merupakan dasardalam melakukan musyawarah bentuk ganti keru-gian. Salah satu faktor yang paling sering menjadipersoalan dalam penilaian adalah data hasil peni-laian yang dilakukan bukan data terkini (up to date)dan mengabaikan fakta terhadap keberadaan nilai-nilai yang bersifat immateriel (Komunikasi denganDarwin Ginting, 10 Agustus 2018, di Bandung; Aloy-sius Joni Minulyo, 7 Agutus 2018, di Bandung;Mukmin Zakie, 24 Juli 2018, di Yogyakarta).

Page 11: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

23Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Berbagai persoalan dalam penilaian juga telahdiidentifikasikan oleh Pusat Pembinaan Profesi Ke-uangan, Sekjen Kementerian Keuangan RI selakupembina appraisal (KJJP), yang terjadi karena:a) Appraisal belum memahami tahapan persi-

apan, perencanaan, pelaksanaan, dan penye-rahan hasil akibat terbatasnya sosialisasi danjangka waktu pengadaan tanah;

b) Belum adanya dokumen perencanaan atau-pun Daftar Nominatif dari Panitia PengadaanTanah sehingga appraisal kesulitan dalammenentukan nilai ganti kerugian dan berdam-pak pada besaran yang diterima masyarakat;

c) Adanya persoalan administrasi dengan pe-nundaan terhadap penandatanganan doku-men Penetapan Lokasi sehingga waktu yangdibutuhkan appraisal semakin lama;

d) Manipulasi data tanggal penetapan lokasi se-hingga, appraisal melakukan penilaian justrusetelah infrastruktur terbangun. Akibatnyahasil penilaian tidak akurat dan berdampakpada temuan hukum;

e) Rendahnya pemahaman terhadap StandarPenilaian Indonesia (SPI) yang dijadikan dasarutama dalam penentuan ganti kerugiankepada masyarakat.

Identif ikasi lain yang mempengaruhi hasil peni-laian dan berdampak pada penolakan masyarakat,karena keterbatasan data yang disajikan dalam

Daftar Nominatif oleh Satgas B Kantor Pertanahan(BPN). Data yang disampaikan belum mencantum-kan keseluruhan informasi objek baik materiel danimmateriel sebagai dasar perhitungan/penilaian.Praktik yang ada, secara umum hanya menyajikandata bersifat f isik semata.

Persoalan lain yang muncul dalam konteks peni-laian adalah belum disahkannya RUU Penilai yangdiajukan Pemerintah melalui KementerianKeuangan RI ke DPR, meskipun dimasukan keDPR. Padahal, UU ini diharapkan menjadi payungbagi organisasi penilai yang tersebar di berbagaiprofesi baik pemerintah dan swasta, mekanismedan standar penilaian, pengawasan kinerja, kodeetik profesi, dan peningkatan kualitas penilai.Dorongan percepatan pengesahan RUU ini diha-rapkan penilaian yang dilakukan appraisal terhadapobjek milik masyarakat semakin profesional, jelaskriterianya, objektif, dan menghormati HAM,termasuk dalam pengadaan tanah bagi kepentinganumum.

Mensiasati kendala regulasi karena belumadanya UU Penilai, secara mandiri appraisal melaluiorganisasi profesi merumuskan Standar PenilaianIndonesia (SPI) Nomor 204 Tahun 2018 yangmerupakan pembaruan SPI 306 tahun 2015. DalamSPI No. 204 Tahun 2018, penilaian ganti kerugianmenggunakan perhitungan Nilai Penggantian Wajar(NPW) yang sebetulnya dapat mengakomodasi

Gambar 1. Graf ik penugasan penilaian bidang tanahSumber: Paparan Pusat Pembina Profesi Keuangan, Sekjen Kemekeu RI 2018.

Page 12: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

24 Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan Vol. 5 No. 1 Mei 2019

perhitungan materiel dan immateriel di antaranyakerugian emosional (solatium) dan kerugianlainnya. Meskipun faktualnya hasil penelitian diSulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Yogyakartamengungkapkan bahwa penilaian yang dilakukansangat subjektif oleh appraisal dan lebih mene-kankan penghitungan kerugian f isik.

Mempertimbangkan begitu vitalnya appraisaldalam mekanisme pengadaan tanah dalam UUNomor 2 Tahun 2012, selain mendorong profesio-nalisme dalam pelaksanaan penilaian, pengesahanRUU Penilai menjadi hal yang prioritas untuk dila-kukan dengan pendekatan baru, dengan meng-akomodasi upaya penghormatan dan perlindunganHak Asasi Manusia. Sebab inti dari pengaturan iniadalah memastikan bahwa pembagunan yang dila-kukan oleh pemerintah berjalan efektif dan tidakberdampak pada kelangsungan hidup korban yangterdampak karena persoalan penilaian yang meng-abaikan hak-hak masyarakat.

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapatdisimpulkan bahwa regulasi dalam penetapan gantikerugian yang layak dan adil dalam UU Nomor 2Tahun 2012 masih belum jelas dan belum sesuaiprinsip UUD 1945 khususnya Pasal 28 H ayat 4dan Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999tentang Hak Asasi Manusia. Khususnya berkaitantindakan sewenang-wenang dalam penetapan gantikerugian yang berakibat pada pengambilan tanahmasyarakat dan norma Hak Asasi Manusia yangmenekankan pada esensi layak dan adil yang memi-liki unsur penggantian untuk pemulihan korbanterdampak baik bersifat materiel dan immateriel.Selain itu, belum adanya standar dan instrumenbaku dalam penentuan kriteria penilaian terhadapganti kerugian yang layak oleh appraisal dalamperaturan perundang-undangan terutama UUNomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagiPembangunan untuk Kepentingan Umum. Belumdisahkannya UU Penilai menjadikan penilaian dila-kukan dengan subjektif dan hasilnya bervariatifkarena tidak semua mempertimbangkan kerugianmateriel dan immateriel. Dampaknya terjadi pe-langgaran Hak Asasi Manusia, karena kehilangan

hak atas kepemilikan yang berdampak padapelanggaran hak lainnya (inter related and interde-pendence).

Berdasarkan simpulan tersebut diharapkanPemerintah dan DPR untuk: pertama, melakukanevaluasi dan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2012,terutama aspek penilaian ganti kerugian denganmerumuskan norma baru yang selaras denganHAM. Tujuannya untuk memperjelas pemaknaanganti kerugian yang layak dan adil, juga metodedan komponen penilaian terhadap objek gantikerugian, serta persoalan penyelesaian penitipanuang pengganti; kedua, melakukan percepatanpembahasan dan pengesahan RUU Penilai yangakan menjadi pedoman dalam penilaian terhadapganti kerugian berdasarkan prinsip dan instrumenHak Asasi Manusia.

Dengan perubahan regulasi ini diharapkan pem-bangunan termasuk infrastruktur yang sekarangmenjadi prioritas pemerintah akan tercapai, ber-dampak bagi kesejahteraan, menghindari konfliksosial, dan memberikan perlindungan kepemilikanmasyarakat. Secara makro akan berdampak padaterciptanya kondisi yang kondusif bagi kemajuanbidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta sipil danpolitik sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia yangdiamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Ucapan Terima Kasih

Sebagai akhir dari tulisan ini saya sampaikanterima kepada Choirul Anam selaku KomisoinerKomnas HAM RI, seluruh pakar yang terlibat (alm.)Dr. Julius Sembiring (Sekolah Tinggi PertanahanYogyakarta), Dr. Darmin Ginting (STIH Bandung),Mukmin Zakie, Ph.D (Universitas Islam Indone-sia), Prof. Arie S Hutagalung (Universitas Indone-sia), Prof. Ida Nurlinda (Universitas Padjajaran),Triana Frizzanty, Ph.D (LIPI), serta Tito Febismantoselaku asisten lapangan.

Daftar Pustaka

Firdaus, MS, Nuraini, A, Dewi, KN, Aswidah, R,Amisani, S, Dahana, E, Widianti, JN 2013,Pembangunan berbasis Hak Asasi Manusia,cetakan 2, Komnas HAM RI, DKI Jakarta.

Page 13: PENILAIAN GANTI KERUGIAN DALAM PENGADAAN TANAH … · 2019. 10. 27. · 2012 dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan bagaimana dasar penilaian dan objek

25Agus Suntoro, Penilaian Ganti Kerugian dalam Pengadaan Tanah ... 13-25

Ginting, D 2016, Kajian hukum percepatan penga-daan tanah untuk pembangunan infrastruktur,Sinergi Mandiri, Bandung.

Harsono, B 1990, ‘Aspek yuridis penyediaan tanah’,Jurnal Hukum dan Pembangunan, (April), hlm.155–170.

Ismail, N 2012, ‘Arah politik hukum pertanahan danperlindungan kepemilikan tanah masyarakat’,Jurnal Recht Vinding, Vol.1 No.1, hlm. 375-395.

Jalal, KF 1998, ‘Handbook on resettlement: a guideto good practice’, Journal of Social Development,Manila, Philippines: The Asian Develomp-ment Bank.

Kartika, D 2017, Catatan akhir tahun 2017 reformaagraria di bawah bayangan investasi, Konsor-sium Pembaruan Agraria, Jakarta.

LBH Bandung 2017, Hak Asasi Manusia, bab yanghilang dalam cerita pembangunan, LBH Ban-dung, Bandung.

Muljadi, K & Widjaja, G 2005, Kedudukan berkuasadan hak milik dalam sudut pandang KUH Per-data, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Mulyana, A 2012, ‘Mengintegrasikan HAM ke dalamkebijakan dan praktik perusahaan’, JurnalHAM, 8 (4), hlm. 265–284.

Nurlinda, I 2018, ‘Pengadaan tanah untuk pem-bangunan infrastruktur’, Makalah, Universi-tas Padjajaran, Bandung.

Okada, H & Zanuardi, A 2015, ‘Model penentuankomponen kerugian non fisik dalam penga-daan tanah pembangunan jalan’, Jurnal SosekPekerjaan Umum, 7(1), hlm. 1–79.

Prawesti P 2017, ‘Analisis yuridis pemberian gantikerugian dalam pengadaan tanah bagi pem-bangunan untuk kepentingan umum)’, Prosi-ding Seminar Nasional Prombelatika Perta-nahan dan Strategi Penyelesaiannya, SekolahTinggi Pertanahan Nasional dan FH Universi-tas Tri Sakti, Jakarta.

Rianto, N 2011, ‘Infrastruktur pekerjaan umum danpermukiman’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum,3 No. 3 (26), hlm. 183–192.

Rusli, T 2018, ‘Analisis konsinyasi ganti rugi padapengadaan tanah’, Jurnal Progresif UnivesitasBandar Lampung, No. 9(1), hlm. 15-28.

Setianto, S 2014, ‘Konflik sosial dalam kasus pem-

bangunan infrastruktur SDA kasus WadukJatigede’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, 6 (3),hlm. 140–221.

Srinivasu, B 2013, ‘Infrastructure development andeconomic growth: prospects and prespective’,Journal of Business Management and SocialSciences Research, 2(1), hlm. 81–91.

Sudjatmiko, B & Suriadi, A 2010, ‘Faktor-faktorpenghambat proses pengadaan tanah jalan tol:studi kasus pada penggantian tanah kawasanhutan ruas Ungaran-Bawen, Kab. Semarang,Jawa Tengah’, Jurnal Sosek Pekerjaan Umum,2(3), hlm. 177–185.

Sujatmiko, A 2016, ‘Hak atas pemulihan korbanpelanggaran berat HAM di Indonesia dan kaitan-nya dengan prinsip tanggung jawab negaradalam hukum internasional’, Jurnal Ilmu HukumUniversitas Padjajaran, 3(2), hlm. 330-350.

Sukma, AF 2014, ‘Kepemilikan saham sebagai suatualternatif bentuk ganti kerugian dalam penga-daan tanah untuk pembangunan jalan’, JurnalSosek Pekerjaan Umum, 6, hlm. 29–40.

Sumardjono, MSW 2009, Lahan dalam prespektifhak ekonomi, sosial dan budaya lahan dalamprespektif hak ekonomi, sosial dan budaya,Kompas, Jakarta.

Suntoro, A 2018, Kajian terhadap UU Nomor 2 tahun2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pem-bangunan untuk Kepentingan Umum, KomnasHAM RI, Jakarta.

United Nation 2007, Basic principles and guidelineson development based eviction and displacement,United Nation Human Rights Office of TheHigh Commissioner, 175–177, hlm. 658–662.doi: 10.1016/S0168-583X(00)00653-4.

Watch, HR 2006, Masyarakat yang tergusur: pengu-siran paksa di Jakarta, Human Rights Watch.

Wirabrata, A & Surya, TA 2011 ‘Masalah kebijakandalam pengadaan tanah untuk pembangunaninfrastruktur’, Jurnal Ekonomi dan KebijakanPublik, 2(2), hlm. 729–752.

Zarkasih, H 2015, ‘Pelaksanaan prinsip keadilandalam pemberian ganti rugi pengadaan tanah(studi kasus pelebaran jalan raya di Kota PrayaKabupaten Lombok Tengah)’, Jurnal KajianHukum dan Keadilan IUS, hlm. 382–398.