Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“PENGUNGKAPAN DIRI DAN PERILAKU KOMUNIKASI
PEREMPUAN BERCADAR DI KABUPATEN
PANGKAJENE DAN KEPULAUAN”
OLEH:
RISKA YUNI
E 311 14 003
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
“PENGUNGKAPAN DIRI DAN PERILAKU KOMUNIKASI
PEREMPUAN BERCADAR DI KABUPATEN
PANGKAJENE DAN KEPULAUAN”
OLEH:
RISKA YUNI
E 311 14 003
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada
Departemen Ilmu Komunikasi
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
KATA PENGATAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat nikmat
serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan” dengan sebaik-baiknya. Salawat serta salam juga penulis
kirimkan kepada Rasulullah SAW.
Kepada kedua orang tua penulis Syamsu dan Jawariah yang selalu
mengirimkan do’a dan kasih yang tulus yang pernah penulis terima. Yang selalu
membimbing dan memberikan dukungan terbaik sehingga penulis memiliki semangat
untuk menyelesaikan studi. Semoga senantiasa terbalaskan dengan kebahagiaan dunia
wal akhirat. Aamiin.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan
program Sarjana (S1) Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin.
Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tidak akan terselesaikan tanpa ada
dukungan dan partisipasi dari semua pihak, maka izinkanlah penulis mengucapakan
terimakasih kepada:
1. Rektor Universitas Hasanuddin
2. Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi Unhas, Dr. Moeh. Iqbal
Sultan, M.Si. dan Andi Subhan Amir, S.Sos., M.Si. Serta dosen-dosen dan staf
Departemen Ilmu Komunikasi atas segala petunjuk dan bimbingannya.
3. Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc selaku pembimbing I dan Drs. Kahar, M.Hum
selaku pembimbing II atas segala waktu dan kesabarannya dalam membimbing
penulis.
4. Kepada keluarga besar yang selalu memberikan do’a dan dukungan yang luarbiasa.
Kakak-kakak saya Risal, Ani, Risma, Risna terimakasih untuk doa dan transferan
diatas rata-rata. Serta adik bungsu Reza, atas segala hiburannya.
5. Saudara-saudari yang selalu ada, Nople, Abang Jack, Cimmi, Icak dan Dils kalian
adalah keluarga kedua tempat memecah rindu terbaik. Terimakasih untuk 7 tahun
yang hampir membosankan bersama kalian.
6. Perempuan-perempuan tangguh yang selalu merepotkan saya, Daeng, Enab,
Warda, Mae, Darna, Andar, Anna dan Mine. Terimakasih sudah menjadi teman
tidur, teman makan pagi siang malam, sampai teman makan teman, selama 4 tahun
terakhir. Akhrinya tetangga kamar bisa tidur nyenyak setelah kepergian kita.
Kalian pencetak momen terbanyak dalam kurun waktu 4 tahun.
7. Keluarga besar Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas (KOSMIK) atas
rangkulan hangatnya, semoga tetap seperti itu kalaupun lama, walaupun jauh~
8. Kawan-kawan Ilmu Komunikasi 2014 “FUTURE” atas segala bentuk emosi yang
hanya saya dapatkan ketika belajar bersama kalian.
9. Sahabat-sahabat BROADCAST 2014, terimakasih untuk pengalaman bertugas,
mengerjakan tugas, mengumpulkan tugas yang seolah-olah full gaass teruss…
kalian martabak lah pokoknya (spesial, istimewah).
10. Teman-teman KKN Unhas Gel 96 Kec, Mangarabombang Kabupaten Takalar
terkhusus posko Terhitz Bontoparang, Aan, Nahrul, Nadia, Pitti dan mba Nia.
Terimakasih atas segala bentuk kerugian yang kalian ciptakan. KKN ulang yuk!!!
11. Terimakasih Keluarga besar nan ramai, Pencak Silat Panca Suci Fisip Unhas atas
pengalamannya.
12. Keluarga Ikab Unhas, terkhusus Ikab Fest atas pengalamannya yang paling
berkesan dan paling tidak ingin terulang. (Kak Fitra, Kak Lia, Kak Widi, Kak
Wayyu, Wali, Darna, Enab, Fikar, Fiki, Ramli, Lisa, Uni dan Wana). Mari
berkegiatan tanpa luka yang sama.
13. Teamwork Luwu atas pengalamannya keliling Luwu selama sebulan yang luar
biasa Fitri, Tami, Dilla, Dedi, Nirwan, Irfan, Budi, Gita. Terimakasih atas
pengurangan jatah liburannya.
14. Sahabat-sahabat Bugalu Bonto’ (Ina, Amel, Sarda dan Oca) yang setia
meluangkan waktunya.
15. Ibu guru dan atau kakak guru Musniati Musdar yang selalu menjadi konsultan
terbaik sedari SMA sampai tua nanti. Terimakasih Ibu guru.
16. Sahabat-sahabat ku yang menghilang (Amel, Esse, Cahya, Ekki, Masruroh, Femi)
semoga setelah ini dipertemukan kembali.
17. Sepupu-sepupu terkasih ku yang selalu direpotkan untuk antar-jemput Makassar-
Pangkep, Pangkep-Makassar, Nur dan Rais.
18. Kru Kompas TV Makasaar atas pengalaman dan ilmu yang luar biasa selama
magang tim editor kece (Kak Yugel, Kak Adit, Kak Panca), tim MCR (Kak Al,
kak Eki, kak Hendra) tim PCR (Kak Bli dan kak Wawan), tim camper dan VJ
andalankuh (kak Dede, kak Rama), dan tim presenter terkeceh (Kak Edwin, Kak
Niluh, Kak Yuli, dan Winda terluv).
19. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan serta saran yang sifatnya
membangun. Dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan skripsi ini kepada
Universitas Hasanuddin dan seluruh pihak yang tertera diatas maupun yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Komunikasi. aamii
Makassar, 28 Mei 2018
ABSTRAK
Riska Yuni, E311 14 003. Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan
Bercadar Di Kabupaten Pangakejene dan Kepulauan. (Dibimbing Oleh Hafied
Cangara dan Kahar).
Tujuan penelitian ini adalah: 1). Untuk mengetahui bagaimana pengungkapan
diri dan perilaku perempuan bercadar dalam masyarakat di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan.; 2). Untuk mengetahui apa saja faktor penghambat pengungkapan
diri bagi perempuan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan pada bulan
Maret sampai April 2018. Adapun pemilihan objek dalam penelitian adalah
perempuan bercadar yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu seperti umur, lama
mengenakan cadar dan pengalaman. Tipe penelitian yakni deskriptif kualitatif. Data
primer diperoleh berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan dengan
tekhnik purposive sampling. Adapun data sekunder diperoleh dari sumber yang sudah
ada seperti buku, jurnal, skripsi, maupun artikel terkait. Data yang terkumpul
kemudian dianalisis secara deskripsi kualitataif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan perempuan bercadar
memutuskan untuk bercadar ialah (1) menjalankan sunnah, (2) melindungi diri dari
fitnah, dan (3) perasaan lebih aman dan nyaman. Meskipun ada alasan lain yang
sifatnya mendorong keputusan mereka bercadar seperti (4) adanya dorongan dari
ustadzah dan (5) rutin mengikuti kajian dalam sebuah organisasi Islam. Dalam
proses pengungkapan diri perempuan muslim bercadar menemukan bahwa
perempuan bercadar ada yang open self dan hidden self dalam proses pengungkapan
dirinya ditengah masyarakat. Namun dalam proses tersebut tidak lepas dari adanya
faktor yang dapat menghambat proses pengungkapan diri perempuan bercadar.
Adapun faktor yang dapat menghambat proses pengungkapan diri perempuan
bercadar adalah (1) selektivitas dalam berkomunikasi, (2) faktor lingkungan dan
adanya (3) kekhawatiran akan penolakan.
Kata Kunci: Pengungkapan Diri, Perilaku Komunikasi, Perempuan Bercadar
ABSTRACT
Riska Yuni, E 311 14 003. Self disclosure and communication behavior veiled
women in Pangkajene dan Kepulauan regency (Hafied Cangara as a first supervisor
and Kahar as a second supervisor).
The purpose in this study is (1) to find out how the self disclosure and
behavior of women veiled in Pangkajene dan Kepulauan regency (2) to find out what
are the kind of factors which inhibiting the self disclosure for women in Pangkajene
dan Kepulauan regency.
This research was conduct in Pangkajene dan Kepulauan regency in March
until April 2018. As for the selection of objects in the study of women veiled are
selected based on certain criteria such as age, length of veil and also their experience.
Research type is a descriptif qualitative. Primary data was obtained based on the
result of in depth interview with informant with purposive sampling technique. As for
secondary data obtained frim existing sources such as books, journal, theses, and also
related articles. The data collected and then anyalyzed with descriptive qualitative.
The result of this study indicate that the reason women veiled is (1) to run the
sunnah (2) protect themselves from slander, and (3) feel save and comfort. Although
there are another reasons that encourage their judgement as (4) the encouragement of
the ustazah (5) routinely following studies in an Islamic organization. In their process
of self disclosure of veiled women are open self and hidden self in the process of self
disclosure in the community. But in the process can not be separated from the factors
that can inhibiting the process of self disclosure of veiled women. As for factors that
can inhibit women’s veiled self disclosure (1) selectivity in communicating (2)
environmental factors and there is a fear of rejection.
Keywords: Self Disclosure, Communication Behavior, Veil Women.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI iii
KATA PENGANTAR iv
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 6
D. Kerangka Konseptual 7
E. Definisi Konseptual 13
F. Metode Penelitian 14
1. Waktu dan Tempat Penelitian 14
2. Tipe Penelitian 14
3. Tekhnik Pengumpulan Data 14
4. Informan 16
5. Tekhnik Analisis Data 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi 19
B. Konsep Komunikasi Interpersonal 24
C. Pengungkapan Diri (Self Disclosure) 29
D. Perilaku Komunikasi 41
E. Perempuan Bercadar 43
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Kabupaten Pangkep 47
B. Visi dan Misi Kabupaten Pangkep 49
C. Arti Lambang Kabupaten Pangkep 52
D. Batas Wilayah dan Letak Geografis 55
E. Sosial Budaya 57
F. Agama 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 60
B. Pembahasan 78
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 85
B. Saran 86
DAFTAR PUSTAKA 87
LAMPIRAN 89
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1.1 Jendela Johari 9
2. Gambar 1.2 Proses Komuniksi Interpersonal 11
3. Gambar 1.3 Kerangka Konseptual 12
4. Gambar 1.4 Model analisis interaktif Miles dan Hubberman 17
5. Gambar 3. 1 Lambang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 52
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Luas Wilayah Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 56
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Kecamatan dan Agama
yang dianut di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 58
Tabel 3.3 Jumlah Tempat Peribadatan Menurut Kecamatan
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 59
Tabel 4.1 Identitas Informan Perempuan Bercadar 61
Tabel 4. 2 Identitas Informan Perempuan tidak Bercadar 69
Tabel 4.3 Identitas Informan Tokoh Agama 72
Tabel 4.4 Pengungkapan diri / Self Disclosure Perempuan Bercadar 73
Tabel 4.5 Perbedaan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar 77
Tabel 4.6 Selektivitas Dalam Berkomunikasi 80
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang memiliki penduduk penganut agama Islam
terbesar di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia tidak lepas dari pandangan dan
perbincangan dunia atas berbagai kasus penyerangan dan pemboman oleh oknum
yang menyatakan diri sebagai pembela Islam. Tersangka yang kemudian tertangkap
dan dihukum mati adalah mereka yang beragama Islam. Dari berbagai peristiwa
terorisme turut menyeret para istri mereka yang merupakan perempuan yang
mengenakan cadar. Hal ini dapat menimbulkan stigma yang berbeda dalam
masyarakat tentang perempuan bercadar. Banyak dari masyarakat yang memberikan
lebel teroris kepada perempuan bercadar. Ini juga didukung ketika perempuan
bercadar menutup diri dan jarang melakukan komunikasi dengan masyarakat sekitar.
Berjilbab bukan persoalan asing di negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Perkembangan fashion hijab pun kini mulai beragam
dan diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia, terbukti dengan bermunculan
trend & fashion hijab. Dalam perkembangan budaya dan trend fashion, jilbab
memiliki peluang untuk diterima sebagian masyarakat, namun tidak dengan cadar.
Penggunaan cadar merupakan tingkatan lanjut dari penggunaan jilbab yang dipilih
perempuan Islam sebagai identitas seorang muslimah. Cadar seringkali
diasosiasikan dengan atribut organisasi Islam yang fanatik, fundamental dan garis
keras. Ratri (2011: 30).
Dalam penelitian yang diajukan penulis yang berjudul “pengungkapan diri
dan perilaku komunikasi perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan
kepulauan” merupakan salah satu bentuk keprihatinan penulis terhadap perempuan
bercadar yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki nilai budaya dan
kepercayaan yang sangat tinggi terhadap nenek moyang, etnik Bugis salah satunya.
Wanita bercadar menjadi pihak yang berada dalam kondisi sulit untuk berkomunikasi
dengan lingkungan sekitar karena stigma masyarakat yang negatif tentang mereka
yaitu cadar mereka dikaitkan dengan tindakan terorisme Puspasari (2013).
Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul gagasan penulis untuk melakukan
penelitian yang membahas bagaimana kemudian perempuan bercadar berkomunikasi
di dalam masyarakat dan bagaimana mereka bisa diterima tanpa predikat negatif.
Secara praktis, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana perempaun
bercadar dalam berkomunikasi dalam masyarakat etnik Bugis, apakah mereka telah
melakukan komunikasi yang baik atau salah dalam lingkungan sosial dimana mereka
tinggal. Penolakan cadar lebih didasari pada stigma negatif masyarakat yang
melekatkan muslimah bercadar dengan kelompok fanatik, aliran keras, ekstrim dan
bahkan setelah adanya kasus bom Bali atau terorisme masyarakat terpengaruh oleh
media yang mengkonstruksi muslimah bercadar identik dengan bagian dari teroris
(istri teroris). (Ratri, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Puspanegara (2016: 4),
Muslimah Bercadar memaknai cadar sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah
dan cadar dimaknai sebagai pelindung ekstra, karena bagi mereka wajah merupakan
sumber utama fitnah (godaan) sehingga wajib untuk ditutup. Perempuan bercadar
sangat merasakan adanya perbedaan dari masyarakat, karena mereka telah
memutuskan untuk mengenakan cadar maka mereka harus membatasi ruang
komunikasi dengan laki-laki atau yang bukan mahromnya. Namun, tidak semua
masyarakat memberikan stigma negatif terhadap perempuan bercadar, beberapa
masyarakat menghargai dan menerima mereka. Dalam membangun komunikasi
dengan masyarakat, beberapa perempuan bercadar memiliki cara tersendiri dalam
membangun hubungan dengan masyarakat, misalnya dengan menyapa terlebih dahulu
orang yang mereka temui, seperti dengan melontarkan salam terlebih dahulu.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspanegara (2016: 91)
mengenai perilaku komunikasi perempuan muslim bercadar, menemukan bahwa
perilaku komunikasi yang selektif menjadi cara yang diterapkan oleh perempuan
muslim bercadar dalam menghadapi lawan bicara mereka, baik dalam komunikasi
verbal maupun non-verbal, komunikasi yang selektif lebih banyak mereka terapkan
untuk lawan bicara pria saja, mereka juga sangat hati-hati kepada siapa mereka harus
membuka diri.
Dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puspanegara (2016)
yang menemukan bahwa konsep diri perempuan bercadar di kota Makassar
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendasari terbentuknya struktur konsep diri
dari perempuan muslim bercadar diantaranya faktor agama (religion), konsep diri dari
teman sebaya sejenis maupun lawan jenis (same and opposite sex peers self-concept)
dan penampilan fisik (physical Appearance). Pada penelitian tersebut lebih berfokus
pada bagaimana konsep diri terbentuk oleh perempuan muslim bercadar. Namun pada
penelitian yang akan penulis lakukan adalah bagaimana keterbukaan yang dimilki
oleh perempuan bercadar dalam masyarakat etnik Bugis.
Kabupaten Pangkajene dan kepulauan dipilih karena penulis memperhatikan
fenomena ini pertama kali ketika penulis berada di lokasi. Keputusan perempuan
muslim untuk mengenakan cadar menarik untuk diteliti karena keputusan mereka
dalam mengenakan cadar di tengah masyarakat yang masih kental dengan tradisi
nenek moyang terbilang berani untuk menjadi minoritas. Selain itu kedekatan
emosional penulis dengan lokasi penelitian ini dapat memudahkan terjalinnya
komunikasi yang lebih erat nantinya, sehingga diharapkan penelitian ini dapat
berlangsung dengan baik.
Dalam observasi awal yang dilakukan peneliti menemukan bahwa masyarakat
etnik Bugis merupakan masyarakat yang masih sangat lekat atas kepercayaan dan
tradisi orang-orang terdahulu mereka seperti tradisi ma’baca-baca atau tradisi
ma’cera. Tidak hanya masyarakat biasa, beberapa pemuka agama setempat masih
melakukan hal tersebut. Sehingga kemudian Pangkajene dan Kepulauan dianggap
sebagai lokasi yang representataif dalam penelitian ini.
Hadirnya perempuan bercadar ditengah masyarakat etnik Bugis kemudian
menarik untuk diteliti, tidak hanya terkait pandangan masyarakat etnik Bugis tentang
perempuan bercadar namun juga bagaimana pengungkapan diri perempuan bercadar
ketika berkomunikasi ditengah masyarakat yang mungkin seagama namun memiliki
tradisi yang berbeda dengan dirinya.
Cadar dalam Islam adalah jilbab yang tebal dan longgar yang menutupi
seluruh aurat termasuk wajah dan telapak tangan, Amanda (2017: 73). Sebagian
masyarakat menganggap bahwa perempuan bercadar sulit untuk melakukan aktifitas
yang dilakukan perempuan pada umumnya, mereka dibatasi oleh kain jilbab yang
hampir menutupi seluruh tubuh mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian penulis mengangkat sebuah
penelitian yang berjudul “Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi
Perempuan Bercadar di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan ”
B. Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1.Bagaimana pengungkapan diri dan perilaku komunikasi perempuan bercadar
dalam masyarakat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?
2. Faktor apa saja yang dapat menghambat pengungkapan diri perempuan di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dan
kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pengungkapan diri dan perilaku
perempuan bercadar dalam masyarakat di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan.
b. Untuk mengetahui apa saja faktor penghambat pengungkapan diri bagi
perempuan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
kalangan akademisi, khususnya mahasiswa Universitas Hasanuddin,
Departemen Ilmu Komunikasi dalam penelitian terkait self-disclosure
(pengungkapan diri).
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi ataupun
informasi kepada seluruh pembaca terkhusus mahasiswa Universitas
Hasanuddin Departemen Ilmu Komunikasi yang ingin mengetahui hal-
hal terkait self disclosure (pengungkapan diri).
D. Kerangka Konseptual
Self Disclosure (Pengungkapan Diri)
Self disclosure (Pengungkapan Diri) merupakan suatu bentuk komunikasi
dimana informasi tentang diri kita biasanya disimpan atau disembunyikan itu
kemudian dikomunikasikan pada orang lain. Devito (Tazbih, 2011: 34).
Budyatna & Ganiem (2011: 40) berpendapat bahwa hubungan antarpribadi
yang sehat ditandai dengan pengungkapan diri (self disclosure) yang tepat yaitu
saling memberikan data biografis, gagasan-gagasan pribadi dan perasaan-perasaan
yang tidak diketahui orang lain, dan umpan balik berupa verbal dan respons-respons
fisik kepada orang atau pesan-pesan mereka di dalam suatu hubungan.
Namun menurut Papu (Tazbih, 2011: 11), pengungkapan diri dapat
diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain.
Informasi yang diberikan mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan,
emosi, pendapat, cita-cita dan sebagainya.
Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi
perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di
dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dan pengungkapan diri seseorang
tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang
berinteraksi dengan menyenangkan dan membuat merasa aman serta dapat
membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi individu tersebut untuk lebih
membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu yang dapat
saja menutup diri karena merasa kurang percaya. Devito (Suranto, 2011).
Maka dari itu dapat kita katakana bahwasanya self disclosure merupakan
hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi antarpribadi. Selain hal
tersebut hal yang penting dari self disclosure adalah sebuah kepercayaan. Dengan
adanya kepercayaan maka sangat memungkinkan untuk terjadinya pengembangan
komunikasi antarpribadi. Namun masih saja ada masyarakat yang bersikap individual
yang dapat menyebabkan terjadinya krisis komunikasi antarpribadi, hal ini banyak
terjadi pada masyarakat kota yang memiliki tingkat kesibukan yang tinggi. Kemudian
maka dari itu, keterbukaan yang sifatnya positif sangat diperlukan untuk membangun
komunikasi antarpribadi agar dapat terjadi pengembangan diri yang baik dari masing-
masing individu yang melakukan aktifitas komunikasi.
Self disclosure merupakan sebuah proses pemberian informasi tentang diri
sendiri kepada orang lain. Kegiatan ini merupakan sebuah usaha dalam memasuki
hubungan sosial yang tentunya berkaitan dengan konsep diri. Adapun salah satu
model inovatif dalam memahami tingkat kesadaran dan penyingkapan diri dalam
komunikasi adalah “Jendela Johari (Johari Window)”. Johari sendiri berasal dari dua
gabungan nama psikolog yang telah mengembangkan konsep ini yakni Joseph Luft
dan Harry Ingham. Model ini memberikan gambaran seseorang dalam bentuk suatu
jendela yang memiliki empat kaca. Hal ini merupakan suatu perwujudan bagaimana
hubungan suatu individu dengan individu lain. Jendela tersebut kemudian dibagi
menjadi 4 sel yang menggambarkan diri (self) mulai dari yang terbuka hingga yang
disembunyikan.
Untuk memahami lebih dalam mengenai self-disclosure berikut adalah
tampilan dari jendela Johari:
Known to self Not known to self
Known to others
Not known to others
Gambar 1.1 Johari Window
Sumber: Budyatna & Ganiem (2011: 40)
Komunikasi Interpersonal
Hubungan interpersonal atau antarpribadi adalah hubungan komunikasi
meliputi prediksi timbal balik berdasarkan data psikologis Miller & Steinberg
(Budyatna & Ganiem, 2011). Sebagaimana prediksi pendekatan psikologis
merupakan pendekatan yang paling sensitif karena bersentuhan langsung dengan
informasi pribadi seseorang, beda halnya dengan prediksi pendekatan kultural dan
sosiologis.
Open Blind
Secret Unknown
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang paling banyak
digunakan manusia setiap harinya dan merupakan bentuk komunikasi yang sangat
lekat kaitannya dengan self disclosure. Komunikasi interpersonal terjadi dengan cara
pengiriman pesan yang dilakukan dua orang atau lebih. Deddy Mulyana (Suranto,
2011: 3) mengatakan bahwa komunikasi interpersonal atau komunikasi antapribadi
adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun
nonverbal.
Dalam komunikasi, bahasa disebut bahasa verbal sedangkan yang bukan
bahasa dinamakan nonverbal, yakni:
1. Verbal
Kode verbal dalam penggunaannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat
didefiniskan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur
sehingga menjadai himpunan kalimat yang mengandung arti. Cangara,
2012: 113).
2. Nonverbal
Terdapat berbagai bentuk dari komunikasi nonverbal, seperti bahasa tubuh,
kontak mata, ekspresi wajah, sikap badan, sentuhan maupun emosi yang
biasa digunakan untuk mendukung bahasa verbal.
Devito (Suranto, 2011: 4) mengartikan komunikasi antarpribadi sebagai
proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di sekelompok
kecil orang dengan beberapa effect atau umpan balik seketika. Lain halnya dengan
Steward & D’Angelo (Harapan & Ahmad, 2016) yang memandang komunikasi
antarpribadi berpusat pada kualitas komunikasi yang terjalin dari masing-masing
pribadi.
Untuk memahami bagaimana proses terjadinya komunikasi interpersonal
berikut gambarannya:
Gambar 1.2 Proses Komunikasi Interpersonal
Sumber: Suranto (2011: 11)
Untuk memahami lebih jelas terkait penelitian ini, maka akan digambarkan
dalam kerangka konseptual, sebagai berikut:
Langkah 1
Keinginan
berkomunikasi
Langkah 2
Encoding oleh
komunikator
Langkah 3
Pengiriman
pesan
Langkah 4
Penerimaan
pesan
Langkah 5
Decoding oleh
komunikan
Langkah 6
Umpan balik
Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan:
Gambar 1.3
Kerangka Konseptual
E. Definisi Konseptual
Agar tidak terjadi salah penafsiran terhadap konsep-konsep yang digunakan
maka perlu diberikan batasa-batasan pengertian dalam kerangka penelitian yaitu:
1. Self Disclosure (Pengungkapan Diri)
Merupakan perilaku atau usaha seseorang untuk menunjukan dirinya dalam
masyarakat yang ditunjukkan dengan cara bagaimana kemudian bersikap dan
berperilaku di tengah lingkungan masyarakat.
Self Disclosure
(Pengungkapan Diri)
Masyarakat
Faktor penghambat
pengungkapan diri;
-Internal
-Eksternal
Perempuan
Bercadar
2. Perilaku
Merupakan tindakan ataupun aktivitas manusia berupa respon terhadap
lingkungan sekitar.
3. Komunikasi
Merupakan suatu proses pertukaran pesan dari komunikator kepada komunikan.
4. Perempuan Bercadar
Merupakan perempuan yang menutup bagian kepala atau wajah dengan kain
yang dikenal dengan istilah cadar.
5. Cadar
Merupakan kain yang digunakan untuk menutup bagian kepala atau wajah oleh
perempuan yang mayoritas beragama Islam.
6. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Sulawesi Selatan yang
mayoritas masyarakatnya merupakan suku Bugis.
F. Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Proses penelitian ini direncanakan berlangsung selama dua bulan, yaitu dari
bulan Maret 2018 hingga April 2018. Adapun lokasi penelitian akan dilaksanakan
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pangkajene dan Kepulauan merupakan
salah satu etnik Bugis yang masih memelihara kepercayaan nenek moyang yang
terbilang cukup tinggi.
2. Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini terutama digunakan
untuk memperoleh pemahaman (insight) yang menyeluruh (whole) dan tuntas
(exhaustive) mengenai struktur-struktur yang ada. kemudian untuk mendukung
pendekatan tersebut kemudian dilakukan juga studi kasus. Studi kasus adalah
meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada dalam masyarakat yang
dilakukan secara mendalam untuk mempelajari latar belakang, keadaan, dan
interaksi yang terjadi. Studi kasus yang dilakukan pada penelitian ini adalah
berfokus pada bagaimana pengungkapan diri perempuan bercadar di kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan.
Metode penelitian kualitatif pada tahap awalnya peneliti melakukan
penjelajahan, kemudian dilakukan pengumpulan data sampai mendalam, mulai
dari observasi, wawancara hingga penyusunan laporan.Dalam penelitian ini,
peneliti berusaha memberikan deskripsi dari hasil analisis tentang pengungkapan
diri perempuan bercadar.
3. Teknik Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik purposive
sampling yaitu menentukan informan dengan memberikan beberapa kriteria
tertentu yang dibuat berdasarkan tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan
dengan memilih informan yang dianggap layak dalam pemenuhan data.
Adapun informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Perempuan bercadar sebanyak 7 informan dengan kriteria sebagai berikut:
1). Telah mengenakan cadar minimal 1 bulan dan bersedia untuk kemudian
dijadikan informan dalam penelitian ini.
2). Usia minimal 20 tahun. Usia ini dipilih untuk melihat bagaimana
pengungkapan diri perempuan bercadar yang berusia muda yang
memungkinkan usia tersebut banyak pengguna cadar pemula.
3). Bertempat tinggal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan minimal 1
tahun. Hal ini untuk melihat bagaimana proses komunikasi perempuan
bercadar dengan masyarakat setempat dalam kurun waktu tersebut.
b. Perempuan yang tidak mengenakan cadar sebanyak 5 informan. Hal ini
bertujuan untuk melihat apakah persepsi memiliki pengaruh atau tidak
terhadap keterbukaan diri perempuan bercadar di Kabupaten Pangkep.
c. Tokoh agama sebanyak 1 informan. Hal ini bertujuan untuk melihat apakah
persepsi memiliki pengaruh atau tidak terhadap keterbukaan diri perempuan
bercadar di Kabupaten Pangkep.
4. Teknik Pengumpulan Data
Setelah penentuan informan dilakukan maka tahap selanjutnya adalah
melakukan kegiatan pengumpulan data. Dalam pengumpulan data dapat dibagi
menjadi data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan
atau tempt penelitian. Tujuan dari data primer adalah memaparkan data dari
objek penelitian, dan menginterpretasikan dan menganalisisnya secara
sistematis. Untuk kebenaran informasi selama dilapangan, metode yang
digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1). Observasi
Sebagai metode ilmiah observasi dapat diartikan sebagai pengamatan,
meliputi pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan
seluruh alat indra. Jadi, observasi merupakan suatu penyelidikan yang
diartikan secara sistematik dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat
indra terutama mata terhadap kejadian yang berlangsung dan dapat dianalisa
pada wakru kejadian itu.
2). Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
dilakukan kepada informan, yaitu pewancara (Interviuwer) yang mengajukan
pertanyaan dari yang diwawancarai (Interviewe). Tujuaan di gunakannya
teknik wawancara oleh peneliti adalah untuk menilai atau mengetahui kedaan
informan. Teknik wawancara yang dilakukan pada penelitian ini dengan
mengacu pada pertanyaan yang berkaitan erat dengan permasalahan yang
terdapat dirumusan masalah, dalam kegiatan ini peneliti melakukan tanya
jawab secara langsung kepada informan yang berpatokan pada pedoman
wawancara. Teknik wawancara ini akan dilaksanakan berulang-ulang secara
intensif. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan data yang lengkap dan
mendalam.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui kajian beberapa
literature seperti buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan
penulis diteliti, artikel, jurnal penelitian, surat kabar serta internet. Tujuan dari
data sekunder adalah untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi
yang dibutuhkan serta mendukung penelitian ini hingga selesai.
5. Teknik Analisis Data
a. Data primer yang telah didapatkan oleh peneliti dilapangan berupa data hasil
observasi langsung dan wawancara mendalam kepada 7 informan perempuan
bercadar, 5 informan tidak mengenakan cadar dan 1 tokoh agama. Peneliti
mengajukan pertanyaan mengenai pokok-pokok soal penelitian seperti yang
terdapat dalam pedoman wawancara untuk menjawab rumusan masalah yang
telah ditetapkan.
Hasil pengumpulan data primer ini, sesuai teknik yang dipakai dan
sifat datanya dianalisis secara deskriptif kuantitatif namun tidak menggunakan
statistik dan SPSS melainkan menggunakan tabel-tabel. Melalui pendekatan
ini peneliti mampu mendeskripsikan bagaimana pengungkapan diri
perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.
b. Data sekunder yang telah didapatkan oleh peneliti dari berbagai sumber
literature seperti buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan
penulis teliti, artikel, jurnal penelitian, surat kabar, internet serta data dari
Badan Pusat Statistik tentang gambaran umum lokasi penelitian seperti
keadaan geografi dan demografikemudian peneliti jadikan sebagai acuan
atau referensi sebagai data penelitian sebelumnya sesuai dengan fokus
masalah yang peneliti telah tentukan, agar tidak adanya plagiat dalam proses
penyusunan.
Hasil pengumpulan data sekunder ini kemudian akan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yakni mengutip penelitian
sebelumnya kemudian dikaitkan dalam pemaparan pembahasan dalam
penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KOMUNIKASI
Komunikasi telah menjadi peranan terpenting dalam kehidupan manusia
dalam berinteraksi sehari-hari. Dalam sebuah komunikasi feedback merupakan hal
yang sangat diharapkan agar mampu mencapai tujuan yang dimaksud. Littlejohn
(2014) menyatakan komunikasi berhubungan dengan manusia, dan penelitian yang
berhubungan dengan manusia akan menyentuh kajian komunikasi. Setiap manusia
akan bersentuhan dengan komunikasi ketika melakukan aktifitas sehari-hari. Maka
dari itu, untuk memahami lebih jauh maka penulis akan memaparkan pada sub bab-
sub bab berikut.
1. Pengertian Komunikasi
Salah satu ahli komunikasi Rogers (Cangara, 2012: 22) memberikan definisi
bahwa komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada
satu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers dan Kincaid (Cangara, 2012:
22) menjadi komunikasi merupakan suatu proses di mana ada dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang
pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
Komunikasi merupakan suatu interaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antarsesama
melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain
serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. Book (Cangara: 22).
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran
bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari
benaknya. Perasaan ini bisa berupa keyakinan, kepastian keragu-raguan,
kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul
dari lubuk hati. Effendy (2011: 11).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan berupa ide, gagasan
maupun informasi yang bertujuan untuk mengubah sikap dan tingkah laku sesuai
dengan yang diharapkan.
2. Unsur-Unsur Dalam Komunikasi
Harold Laswell (Effendy, 2011: 10) menyatakan bahwa cara terbaik dalam
menjelaskan komunikasi yang baik adalah dengan menjawab pertanyaan berikut:
“who says what in which channel to whom with what effect” atau “siapa yang
mengatakan, apa yang disampaikan, melalui apa, kepada siapa, dan apa
pengaruhnya”. Maka dari itu Cangara (2012: 27-30) menjelaskan lebih jauh
tentang unsur-unsur komunikasi sebagai berikut:
a. Sumber
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari
satu oramg, tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi,
atau lembaga. Sumber sering disebut pengirim, komunikator atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut source, sender atau encoder.
b. Pesan
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang
disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara
tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu
pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda. Dalam bahasa
Inggris pesan biasa diterjemahkan dengan kata message, content atau
information.
c. Media
Media yang dimaksudkan ialah alat yang digunakan untuk memindahkan
pesan dari sumber kepada penerima. Terdapat beberapa pendapat mengenai
saluran atau media. Ada yang menilai bahwa media bisa bermacam-macam
bentuknya, misalnya dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap
sebagai media komunikasi.
d. Penerima
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh
sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk
kelompok, partai atau negara. Penerima bisa disebut sebagai khalayak, sasaran,
komunikan atau dalam bahasa Inggris disebut audience atau receiver.
e. Pengaruh
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan
dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh
ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah laku seseorang. Oleh
karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan
pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima
pesan.
f. Tanggapan Balik
Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah satu bentuk
daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan
balik bisa juga berasal dari unsurr lain seperti pesan dan media, meski pesan
belum sampai kepada penerima.
g. Lingkungan
Lingkungan atau situasi ialah faktor-faktor tertentu yang dapat
mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat
macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan
psikologis dan dimensi waktu.
Jadi kesimpulannya setiap unsur memiliki peranan yang sangat penting dalam
membangun proses komunikasi. Bahkan ketujuh unsur ini saling bergantung satu
sama lainnya. Artinya, tanpa keikutsertaan satu unsur akan memberi pengaruh
pada jalannya komunikasi.
3. Fungsi Komunikasi
Menurut Effendy, terdapat empat fungsi komunikasi, sebagai berikut:
a. Menginformasikan (to inform)
yaitu memberikan informasi kepada masyarakat, memberitahukan kepada
masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi, ide atau pikiran dan tingkah laku
orang lain, serta segala sesuatu yang disampaikan orang lain.
b. Mendidik (to educate)
yaitu fungsi komunikasi sebagai sarana pendidikan. Melalui komunikasi,
manusia dalam masyarakat dapat menyampaikan ide dan pikirannya kepada
orang lain sehingga orang lain mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan.
c. Menghibur (to entertain)
yaitu fungsi komunikasi selain menyampaikan pendidikan dan mempengaruhi,
komunikasi juga berfungsi untuk memberi hiburan atau menghibur orang lain.
d. Mempengaruhi (to influence)
yaitu setiap individu yang berkomunikasi, tentunya berusaha saling
mempengaruhi jalan pikiran komunikan dan lebih jauh lagi berusaha merubah
sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan
(Effendy, 2011).
B. KONSEP KOMUNIKASI INTERPERSONAL
1. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan
komunikasi yang dilakukan hampir setiap waktunya. Kegiatan komunikasi
interpersonal pada umumnya dilakukan dengan tatap muka sehingga terjalin
komunikasi langsung antar komunikator dengan komunikan (face to face).
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang paling banyak digunakan
manusia setiap harinya. Komunikasi interpersonal terjadi dengan cara pengiriman
pesan yang dilakukan dua orang atau lebih. Menurut Mulyana (2005: 73) bahwa
komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung baik secara verbal maupun nonverbal. Devito (Tazbih, 2011: 20 )
mendefinisikan komunikasi interpersonal (interpersonal communication) adalah
pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan
umpan balik yang langsung.
Hardjana (Suranto, 2011: 3) mengatakan, komunikasi interpersonal adalah
tatap muka antardua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat menyampaikan
pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi
secara langsung pula. Lain halnya dengan yang dikemukakan oleh Littlejohn
(Suranto, 2011: 3), yang memberikan definisi yang lebih sederhana mengenai
komunikasi interpersonal bahwa komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) adalah komunikasi antara individu-individu.
Berdasarkan berbagai definisi komunikasi interpersonal maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang
dilakukan dua orang atau lebih yang memiliki kesamaan diri yang dilakukan baik
dalam masyarakat maupun kelompok organisasi baik secara langsung maupun
melalui media dengan tujuan untuk mencapai tujuan komunikasi dalam hal
menumbuhkan simpati melalui sikap positif yang ditunjukkan dari kedua pihak.
Lebih jauh, Rakhmat (2007: 129) menyebutkan tiga faktor yang dapat
menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal yakni
percaya (trust), sikap suportif dan sikap terbuka.
2. Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal
Evert M. Rogers (Tazbih, 2011: 26) menyebutkan ciri-ciri komunikasi
interpersonal adalah sebagai berikut:
a. Arus pesan dua arah.
b. Konteks komunikasi adalah tatap muka.
c. Tingkat umpan balik yang tinggi.
d. Kemampuan untuk mengatasi tingkat selektifitas yang tinggi.
e. Kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban.
f. Efek yang terjadi antara lain perubahan sikap.
3. Efektivitas Dalam Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal dianggap paling efektif dalam proses pertukaran
pesan atau informasi karena dapat dilakukan dengan cara sangat sederhana.
Angelo (Harapan & Edi, 2016: 5) memandang komunikasi interpersonal berpusat
pada kualitas pertukaran informasi antar orang-orang yang terlibat. Komunikasi
interpersonal tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat
awam, namun juga dalam sebuah organisasi. Komunikasi interpersonal merupakan
unsur yang paling penting dalam setiap organisasi. Hal ini ditegaskan oleh Abizar
(Harapan & Edi, 2016: 5)
Menurut DeVito (Tazbih, 2011: 29) ciri komunikasi interpersonal untuk
menumbuhkan hubungan interpersonal yang efektif adalah sebagai berikut:
a. Keterbukaan (Opennes)
Kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Namun
tidak berarti kita menceritakan semua latar belakang kehidupan kita. Yang
terpenting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah
umum. Dari sisi orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita
sehingga komunikasi akan mudah dilakukan.
b. Positif (Positiviness)
Komunikasi interpersonal akan efektif bila kita memiliki perilaku positif yakni
berpikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
c. Kesamaan (Equality)
Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila para pelakunya mempunyai
nilai, sikap, perilaku dan pengalaman yang sama.
d. Empati (Empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan dirinya pada
perananan atau posisi orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional
maupun intelektual mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami orang
lain. Dengan empati seseorang berusaha melihat dan merasakan seperti dilihat
dan dirasakan orang lain.
e. Dukungan (Supportiviness)
Komunikasi antarpribadi akan efektif bila dalam diri sendiri ada perilaku
suportif. Artinya seseorang dalam menghadapi sesuatu masalah tidak bersikap
bertahan (defensive). Satu dengan yang lainnya saling memberi dukungan
terhadap pesan yang disampaikan.
4. Tujuan Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi memiliki beberapa tujuan, Suranto (2011: 19-21)
mengemukakan sebagai berikut:
a. Mengungkapkan perhatian kepada oramg lain
Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan
perhatian kepada orang lain. Pada prinsipnya komunikasi interpersonal
dimaksudkan untuk menunjukkan adanya perhatian kepada orang lain, dan
menghindari kesan dari orang lain sebagai pribadi yang tertutup.
b. Menemukan diri sendiri
Artinya seseorang melakukan komunikasi interpersonal karena ingin
mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi berdasarkan informasi dari
orang lain.
c. Menemukan dunia luar
Dengan komunikasi interpersonal diperoleh kesempatan untuk mendapatkkan
berbagai informasi dari orang lain, termasuk informasi penting dan aktual.
d. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis
Sebagai makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar
adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.
e. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku
Komunikasi interpersonal ialah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung.
f. Mencari kesenangan
Hal ini penting untuk mencari keseimbangan yang penting dalam pikiran yamg
memerlukan suasana rileks, ringan dan menghibur dari kegiatan sehari-hari.
g. Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi
Dengan komunikasi interpersonal dapat dilakukan pendekatan secara langsung,
menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.
h. Memberikan bantuan (konseling)
Tanpa disadari setiap orang ternyata sering brtindak sebagai konselor maupun
konseli dalam interkaksi interpersonal sehari-hari.
C. PENGUNGKAPAN DIRI (SELF DISCLOSURE)
1. Pengertian Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Pengungkapan diri atau self disclosure merupakan tindakan dalam
mengungkapkan tindakan berupa informasi kepada orang lain yang relevan yang
dapat menjelaskan reaksi yang terjadi sekarang. Hubungan antarpribadi yang sehat
ditandai dengan keseimbangan pengungkapan diri (self disclosure) yaitu saling
memberikan data biografis, gagasan-gagasan pribadi dan perasaan-perasaan yang
tidak diketahui bagi orang lain. Budyatna & Ganiem (2011: 40).
DeVito (Rhosyidah, 2015: 32) menyebutkan bahwa makna dari self disclosue
adalah suatu bentuk komunikasi dimana anda atau seseorang menyempaikan
informasi tentang dirinya yang biasanya disimpan. Oleh karena itu, setidaknya
proses self disclosure membutuhkan dua orang. Istilah keterbukaan diri mengacu
pada informasi secara sadar. Johnson (Hanifia, 2013: 16) mengemukakan bahwa
pembukaan diri atau keterbukaan diri adalah mengungkapkan reaksi atau
tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan
informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami
tanggapan kita dimasa kini tersebut.
Wrightsman (Hanifa 2013: 17) menjelaskan bahwa keterbukaan diri adalah
proses keterbukaan diri yang diwujudkan dengan berbagi perasaan dan informasi
kepada orang lain. Menurut Morton (Rahmati, 2014: 14) mengemukakan bahwa
keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab
dengan orang lain. Keterbukaan diri bersifat deskriptif dan evaluatif. Keterbukaan
diri deskriptif adalah kegiatan melukiskan berbagai fakta mengenai diri individu
yang belum diketahui oleh orang lain yang berada di lingkungan sekitarnya.
Keterbukaan diri evaluatif adalah kegiatan mengungkapkan pendapat atau
perasaan invidividu seperti mengungkapkan perasaan mengenai orang- orang yang
disukai ataupun tidak disukai.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa keterbukaan diri adalah suatu proses mengungkapkan segala
bentuk informasi tentang diri yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.
2. Fungsi Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Devito (Tazbih, 2011: 36) menyebutkan bahwa self disclosure memiliki 6
fungsi dalam membangun komunikasi yang efektif. Adapun fungsi tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Apabila ada dua orang yang berhubungan baik melakukan self disclosure maka
keterbukaan, kejujuran dan ketulusan akan bisa berkembang. Hubungan
diantara kedua orang tersebut memberi pengetahuan diri kita membutuhkan
orang lain untuk melakukan self disclosure sehingga kita bisa memahami diri
kita secara lebih baik atau memandang diri kita dengan perspektif yang baru.
b. Memberi kemampuan mengatasi masalah
Meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah yang dihadapi,
khususnya kesalahan kita yang seringkali datang melalui self disclosure.
c. Meningkatkan efektifitas komunikasi
dengan self disclosure membuat orang lain lebih memahami diri kita begitupun
sebaliknya. Kondisi saling memahami ini merupakan salah satu cara tidak
sekedar hubungan fungsional melainkan hubungan yang personal yang
dilandasi dengan kejujuran, ketulusan dan keterbukaan.
d. Kesehatan psikologis
Dengan kesehatan self disclosure memungkinkan menusia bisa melepaskan diri
dari himpitan beban psikologis. Self disclosure tampaknya dapat melindungi
tubuh dari stress yang merusak yang umumnya mengiringi perilaku non
disclosure.
3. Manfaat Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Menurut Devito (Rahmawati, 2014: 22) keterbukaan diri memiliki berbagai
macam manfaat bagi seseorang yaitu:
a. Pengetahuan diri
Manfaat dari keterbukaan diri salah satunya adalah individu mendapatkan
pemahaman baru dan lebih mendalam mengenai dirinya sendiri. Dalam sebuah
proses konseling misalnya, pandangan baru sering kali muncul pada diri konseli
saat konseli melakukan pengungkapan diri. Konseli mungkin saja menyadari
adanya aspek perilaku yang selama ini belum diketahuinya, oleh karena itu
melalui keterbukaan diri individu dapat memahami dirinya secara lebih
mendalam.
b. Kemampuan mengatasi kesulitan
Salah satu perasan takut yang besar pada individu adalah ketakutan ketika tidak
diterima dalam suatu lingkungan karena suatu kesalahan tertentu seperti
kesalahan kepada orang lain. Keterbukaan diri akan membantu individu dalam
menyelesaikan suatu permasalahan dengan orang lain karena individu memiliki
kesiapan untuk membicarakan permasalahan tersebut secara lebih terbuka.
c. Efisiensi komunikasi
Keterbukaan diri yang dilakukan individu dapat mempengaruhi proses
komunikasi yang dilakukannya. Individu dapat lebih memahami apa yang
dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut sudah mengenal baik orang
lain tersebut, sehingga individu tersebut mendapatkan pemahaman secara utuh
terhadap orang lain dan mungkin sebaliknya. Sehingga proses komunikasi yang
dilakukan menjadi tepat dan efektif.
d. Kedalaman hubungan
Keterbukaan diri sangat diperlukan dalam membina suatu hubungan yang
bermakna seperti sikap saling percaya, menghargai, dan jujur. Adanya
keterbukaan akan membuat suatu hubungan lebih bermakna dan mendalam.
4. Dimensi Pengungkapan Dirin (Self Disclosure)
Self disclosure berbeda bagi setiap individu dalam hal kelima dimensi di
bawah ini. Menurut Devito (Tazbih, 2011:38) mengemukakan bahwa dimensi self
disclosure adalah sebagai berikut:
a. Ukuran atau jumlah pengungkapan diri (Amount)
Kuantitas dari pengungkapan diri dapat diukur dengan mengetahui frekuensi
dengan siapa individu mengungkapkan diri dan durasi dari pesan self-disclosing
atau waktu yang diperlukan untuk mengutarakan statemen self disclosure
individu tersebut terhadap orang lain.
b. Valensi (Valence)
Valensi merupakan hal yang positif atau negatif dari penyingkapan diri.
Individu dapat menyingkapkan diri mengenai hal-hal yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan mengenai dirinya, memuji hal-hal yang ada dalam dirinya
atau menjelek-jelekkan diri individu sendiri. Faktor nilai juga mempengaruhi
sifat dasar dan tingkat dari pengungkapan diri.
c. Kecermatan dan Kejujuran (Accuracy/Honesty)
Ketepatan dan kejujuran individu dalam mengungkapkan diri. Ketepatan dari
pengungkapan diri individu dibatasi oleh tingkat dimana individu mengetahui
dirinya sendiri. Pengungkapan diri dapat berbeda dalam hal kejujuran. Individu
dapat saja jujur secara total atau dilebih-lebihkan, melewatkan bagian penting
atau berbohong.
d. Maksud dan Tujuan (Intention)
Seluas apa individu mengungkapkan tentang apa yang ingin diungkapkan,
seberapa besar kesadaran individu untuk mengontrol informasi-informasi yang
akan dikatakan pada orang lain.
e. Keakraban (Intimacy)
Individu dapat mengungkapkan detail yang paling intim dari hidupnya, hal-hal
yang dirasa sebagai periperal atau impersonal atau hal yang hanya bohong.
5. Tingkatan Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Menurut John Powell (Rahmawati, 2015: 21) tingkatan-tingkatan self
disclosure dalam komunikasi yaitu:
a. Basa-basi
Merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun
terdapat keterbukaan diantara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antar
pribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi hanya untuk
kesopanan.
b. Membicarakan orang lain
Yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal
yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam
tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.
c. Menyatakan gagasan atau pendapat
Hal ini sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan
dirinya kepada individu lain, walaupun hanya sebatas pendapat mengenai hal-
hal tertentu saja.
d. Perasaan
Setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi
perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu
dapat berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemanan antar
pribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur,
terbuka dan menyatakan perasaan-perasaan yang mendalam.
e. Hubungan puncak
Pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin
hubungan antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu
lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan
pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.
6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Tidak semua individu mampu melakukan self disclosure karena setiap
individu memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Adapun faktor yang
mempengaruhi self disclosure menurut DeVito (Tazbih, 2010: 41) adalah sebagai
berikut:
a. Efek diadik
Pada bahasan diatas sudah kita tegaskan bahwa self disclosure itu bersifat
timbal balik. Oleh karena itu, keterbukaan diri kita yang ditanggapi dengan
keterbukaan lawan yang membuat interaksi antara kita dan lawan komunikasi
bisa berlangsung. Keterbukaan diri kita mendorong lawan komunikasi kita
dalam komunikasi atau interaksi diantara dua orang (dyad) untuk membuka diri
juga. Inilah yang dinamakan efek diadik itu.
b. Ukuran khalayak
Tadi juga kita telah membahas self disclosure itu merupakan salah satu
karakteristik komunikasi interpersonal. Oleh karena itu self disclosure lebih
besar kemungkinannya terjadi dalam komunikasi dengan khalayak yang kecil,
mislanya dalam komunikasi antarpribadi atau komunikasi dalam kelompok
kecil. Alasannya sederhana saja, jika khalayak komunikasi tersebut besar maka
akan sulit mengontrol atau menerima umpan balik dari lawan komunikasi kita.
Sebaliknya apabila khalayaknya kecil makankita bisa mengontrol situasi dan
dapat melihat umpan balik tersebut. Apabila lawan komunikasi kita
memeberikan respons yang baik terhadap self disclosure kita, dengan
melakukan self disclosure juga maka proses komunikasi yang menyingkapkan
diri kita itu akan terus terjadi.
c. Topik bahasan
Kita ingat kembali lapisan bawang. Pada awalnya orang akan selalu berbicara
hal-hal yang umum saja. Makin akrab maka makin mendalam topic
pembicaraan kita. Tidak mungkin kita berbicaara hal yang pribadi kepada orang
yang baru kita temui. Kita cenderung memeilih topic yang lebih umum seperti
cuaca, politik atau kondisi sosial.
d. Valensi
Hal ini terkait dengan sifat positif atau negatif self disclosure. Pada umumnya,
manusia cenderung lebih menyukai valensi postif atau self disclosure positif
dibandingkan dengan self disclosure negatif. Apalagi jika lawan komunikasi
kita bukanlah orang yang dekat dengan kita. Namun apabila lawan komunikasi
kita itu adalah orang yang memiliki kedekatan dengan kita, hal tersebut dapat
memungkinkan terjadinya self disclosure negatif.
e. Jenis kelamin
Pada umumnya wanita memilki tingkat keterbukaan yang lebih tinggi
dibanbandingka dengan pria. Beberapa penelitian pun telah membuktikan hal
tersebut, namun bukan berarti pria tidak melakukan keterbukaaan diri atau self
disclosure. Namun letak perbedaannya adalah apabila wanita mengungkapkan
dirinya pada orang yang disukai maka pria mengungkapkan dirinya pada orang
yang dipercayai.
f. Ras, Nasionalitas dan Usia
Ini bisa saja dianggap sebagai bentuk streotip atas ras, nasionalitas dan usia.
Namun, kenyataan menunjukkan memang terdapat ras-ras tertentu yang lebih
sering terlibat dalam proses self discloruse dibandingkan dengan ras-ras
lainnya. Begitu pula dengan usia, self disclosure lebih banyak dilakukan oleh
pasangan yang berusia antara 17-50 tahun dibandingakan orang yang lebih
muda atau yang lebih tua.
g. Mitra dalam hubungan
Dengan mengingat tingkat keakraban sebagai penentu kedalaman self
disclosure maka lawan komunikasi atau mitra dalam hubungan akan
menentukan self disclosure itu. Kita cenderung melakukan self disclosure
kepada mereka yang dianggap dekat dengan diri kita misalnya, suami-istri,
teman dekat, ataupun anggota keluarga. Apabila dalam proses self disclosure
terjadi respons yang baik maka kita akan melakukan self disclosure, sebaliknya
apabila respons yang diterima sedikit maka kita cenderung memilih menutup
diri.
Selain hal- hal tersebut diatas maka adapun hal-hal yang dapat menghambat
terjadinya self disclosure antaralain:
a. Bias Masyarakat (Societed Bias)
Hal yang dapat menyebabkan keengganan kita untuk melakukan self disclosure
adalah kita memiliki bias masyarakat yang telah terinternalisasi, artinya kita
telah dikondisikan untuk menolak self disclosure oleh masyarakat disekitar kita
tinggal. Seperti halnya kita dituntut untuk menyelesaikan masalah sendiri,
memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi dan seolah tidak membutuhkan
bantuan orang lain.
b. Kekhawatiran akan hukuman
Banyak orang yang enggan melakukan self disclosure karena khawatir akan
mendapatkan hukuman yang umumnya adalah penolakan. Kita khawatir orang
lain akan menertawakan kita, bahkan kekhawatiran ini bisa juga berbentuk
ketakutan akan kehilangan pekerjaan atau pertemanan.
c. Kekhawatiran akan pengetahuan tentang diri (self-knowledge)
Kita telah membangun gambaran yang indah dan rasional tentang diri kita,
yang menekankan aspek positif dan meminimalkan aspek negatif. Self
disclosure memaksa kita untuk dapat melihat melalui rasionalisasi. Kita melihat
aspek positif itu seperti apa dan kita melihat aspek negatif yang sebelumnya
tersembunyi. Self disclosure akan memberikan kita perspektif baru tentang diri
kita sendiri.
Sejalan dengan pendapat di atas, Hargie (Rahmawati, 2014: 19-20) menjelaskan
bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi keterbukaan diri, diantaranya
adalah:
a. Perbedaan jenis kelamin
Banyak penelitian mengindikasikan secara umum bahwa wanita lebih terbuka
daripada pria namun perbedaan jenis kelamin dalam keterbukaan diri sangat
kecil dan diatur oleh individu yang sedang mengungkapan diri.
b. Keterbukaan yang timbal balik (reciprocal)
Secara umum berdasarkan literatur mengenai keterbukaan diri proses
keterbukaan diri merupakan proses hubungan timbal balik. Sidney Jourard
seorang peneliti perintis mengenai keterbukaan diri mencatat bahwa dalam
hubungan sosial, keterbukaan diri merupakan fenomena timbal balik. Individu
mengungkapkan mengenai pikiran, perasaan, tindakan dan lain-lain
dikarenakan lawan bicaranya melakukan pengungkapan diri yang sama.
c. Keterbukaan diri dan rasa suka
Keterbukaan diri dan rasa suka berkaitan dengan tiga hal yaitu membuka diri
kepada orang lain akan menyebabkan orang lain suka membuka diri, menyukai
seseorang akan membuat orang lain membuka diri, dan individu menyukai
seseorang karena hasil dari pengungkapan dirnya. Perasaan menyukai yang
dimiliki individu akan membuat individuindividu tersebut mau untuk saling
melakukan pembukaan diri.
d. Permintaan untuk terbuka
Individu memiliki beberapa alasan untuk mengetahui informasi mengenai orang
lain terlebih orang yang baru di kenalnya. Untuk mengetahui informasi
mengenai orang lain, individu tersebut mencoba untuk membuka diri terlebih
dahulu agar orang lain juga dapat melakukan hal yang sama. Faktor yang
mempengaruhi keterbukaan diri menurut Hargie seperti permintaan untuk
terbuka memiliki kaitan dengan keterampilan komunikasi interpersonal
seseorang, karena ketika dua individu bertemu dalam keadaan belum saling
mengenal akan terasa sulit untuk memulai pembicaraan sehingga keterbukaan
diri tidak akan terjadi. Sebaliknya jika individu mau melakukan keterbukaan
diri maka proses komunikasi kedua individu tersebut akan berjalan efektif.
Berdasarkan pemaparan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi
keterbukaan diri adalah besar kelompok, perasaan menyukai, efek diadik,
kompetensi, kepribadian, topik, jenis kelamin, permintaan untuk terbuka.
Keseluruhan faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi keterbukaan diri individu
dan juga memberikan kontribusi dalam proses keterampilan komunikasi
interpersonalnya.
D. PERILAKU KOMUNIKASI
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting, setiap aktivitas manusia
bersentuhan dengan komunikasi. Tidak jarang kepribadian yang terbentuk pada diri
manusia dibentuk oleh komunikasi. Komunikasi merupakan proses di mana suatua
ide dialihkan sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka. Rogers (Cangara, 2012: 22). Dengan kata lain bahwa
komunikasi memiliki tujuan untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan tujuan
yang diharapkan oleh komunikator hal ini berkesinambungan dengan perilaku
komunikasi. Perilaku komunikasi sendiri merupakan tindakan yang berarti hasil dari
proses komunikasi sesuai yang diharapkan oleh komuniator. Dalam proses
penyampaian pesan ada upaya-upaya yang dilakukan agar apa yang diharapkan
komunikator sampai pada tahap tertinggi yaitu merubah perilaku baik dalam bentuk
verbal maupun non vervbal.
Goulb dan Kolb menyatakan bahwa perilaku merupakan padanan dari kata
behavior pada bahasa Inggris. Pengertian perilaku yang sangat umum menunjukkan
tindakan atau respon dari sesuatu atau system apapun dalam hubungan dengan
lingkungan atau situasi komunikasi yang ada. (Puspanegara, 2016: 36).
Dalam proses penyampaian pesan akan selalu ada perilaku verbal seperti
bahasa lisan yang disampaiakan secara langsung. Selain verbal juga ada penyampaian
secara non verbal seperti bahasa tubuh, kontak mata bahkan tarikan nafas. Dalam
penggunaannya keduanya bisa saja saling melengkapi bahkan keduanya bisa saja
bertentangan. Seseorang bisa saja menyetujui suatu hal dalam pengungkapan bahasa
lisannya namun sebenarnya tidak menyetujui perihal tersebut yang ditunjukkan
dengan bahasa non verbal. Tak jarang kemudian perilaku non verbal akan muncul
bersamaan dengan perilaku verbal sebagai bentuk penekanan atas bahasa lisan yang
disampaikan.
1. Perilaku Verbal
Perilaku verbal adalah perilaku yang dalam penggunaannya menggunakan
kata-kata lisan atau langsung. Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi
yang disampaiakan secara lisan atau tertulis. Dengan bahasa verbal ini pesan, ide,
gagasan ataau informasi dapat disampaiakan secara langsung tanpa ada perantara.
Cangara (2012: 113) menjelaskan bahwa bahasa dapat didefinisikan
seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi
himpunan kalimat yang mengandung arti.
Adapun fungsi dari bahasa yang erat hubungannya dalam menciptakan
komunikasi yang efektif, sebagai berikut:
a. untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita
b. untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia
c. untuk menciptakan ikatan-ikata dalam kehidupan manusia.
2. Perilaku Non Verbal
Knapp (Cangara, 2012: 118) menyebutkan bahwa penggunaaan kode non
verbal memiliki fungsi:
a. meyakinkan apa yang diucapkannya (repetition)
b. menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata
(substitution)
c. menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya (identity)
d. menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang diraskan belum sempurna.
E. PEREMPUAN BERCADAR
1. Pengertian Cadar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa cadar
adalah kain penutup kepala atau muka. Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab.
Pengguna cadar menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata
mereka saja, bahkan telapak tangan pun harus ditutupi. Jika berjilbab
mensyaratkan pula penggunaan baju panjang, maka bercadar diikuti kebiasaan
penggunaan gamis (bukan celana), rok-rok panjang dan lebar, dan biasanya
seluruh aksesoris bewarna hitam atau bewarna gelap. Ratri (2011: 32). Kemudian
terdapat enam faktor lain yang juga ikut mempengaruhi pengambilan keputusan.
a. Fisik
Didasarkan pada rasa yang dialami pada tubuh, seperti rasa tidak nyaman,
atau kenikmatan. Ada kecenderungan menghindari tingkah laku yang
menimbulkan rasa tidak senang, sebaliknya memilih tingkah laku yang
memberikan kesenangan.
b. Emosional
Didasarkan pada perasaan atau sikap. Orang akan bereaksi pada suatu
situasi secara subjektif.
c. Rasional
Didasarkan pada pengetahuan orang-orang mendapatkan informasi,
memahami situasi dan berbagai konsekuensinya.
d. Praktikal
Didasarkan pada keterampilan individual dan kemampuan melaksanakan.
Seseorang akan menilai potensi diri dan kepercayaan dirinya melalui
kemampuanya dalam bertindak.
e. Interpersonal
Didasarkan pada pengaruh jaringan sosial yang ada. Hubungan antar satu
orang keorang lainnya dapat mempengaruhi tindakan individual. (6).
Struktural: Didasarkan pada lingkup sosial, ekonomi dan politik.
Lingkungan mungkin memberikan hasil yang mendukung atau mengkritik
suatu tingkah laku tertentu.
2. Pengertian Perempuan Bercadar
Perempuan bercadar adalah wanita muslimah yang mengenakan baju panjang
sejenis jubah dan menutup semua badan hingga kepalanya serta memakai penutup
muka atau cadar sehingga yang nampak hanya kedua matanya Puspanegara (2016:
49). Bagi perempuan muslim, jilbab adalah kewajiban. Menutup aurat agar
terlindung dari pandangan laki-laki adalah sebaik-baik perempuan menurut Islam.
(Ratri, 2011: 32).
Mengenai jilbab Al-quran telah memerintahkan kepada wanita-wanita
merdeka untuk mengulurkan jilbabnya agar dengan begitu mereka berbeda dengan
budak (lapisan masyarakat) pada saat itu. Sementara itu, penyebutan niqob (cadar)
tidak pernah datang dari lisan Rasulullah SAW melainkan hanya satu kali saja
dalam konteks pelarangan memakainya bagi wanita yang sedang ihram. Ambia
(2016: 39).
Stigma paling umum yang melekat pada wanita bercadar adalah bahwa hal
tersebut merupakan sesuatu yang identik dengan kebudayaan Arab. Prakteknya
kelompok wanita Muslim bercadar tetap teguh dengan pendirian mereka untuk
mengunakan cadar sebagai salah satu upaya mereka dalam mengikuti ajaran
agama guna menutup aurat. Novri (2015: 2)
3. Karakteristik Cadar
Terdapat beberapa karakteristik yang membedekan cadar dengan pakaian
pada umumnya adalah sebagai berikut:
a. Cadar (kain yang diikatkandi atas hidung hungga leher) tidak menutup wajah
secara keseluruhan. Maka dengan demikian tidak menyembunyikan jati diri
wanita dan memberikan kesempatan untuk berkenalan khususnya kepada
masyarakat.
b. Cadar menolerir perkenalan, maka kemudian mendorong peran serta wanita
dalam kehidupan sosial, seperti silaturahmi dengan laki-laki yang bukan
mahramnya, agar menjauhkan pandangannya dan menjauhkan fitnah.
c. Cadar menampakkan kedua mata dan kedua kelopaknya, maka memungkinkan
lawan bicara wanita memahami perasaannya seperti senang atau susah, ridha
atau terganggu, menirima atau menolak.
d. Cadar menampakkan kedua mata, makan membantu wanita lemah untuk
menjaga dari rasa malu jika ia memandang orang yangmembuka
keberaniannya. Ini berbeda dengan penutup yang menutup semua wajahnya.
(Ambia, 2016: 40).
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
Bab ini akan membahas secara umum mengenai wilayah kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan. Gambaran umum lokasi penelitian sangat penting untuk
dicantumkan pada bab ini untuk memudahkan pembaca mengetahui secara sederhana
dan lebih memahami keadaan lokasi penelitian yang dimaksud.
A. Sejarah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Pangkajene adalah sebuah kecamatan yang menjadi ibu kota dari Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebagai sebuah pusat kota,
Pangkajene memainkan peran vital kehidupan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
baik sebagai pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian.
Kata “Pangkajene” (bahasa Makassar), berasal dari dua kata yang disatukan,
yaitu “Pangka” yang berarti cabang dan “Je’ne” yang berarti air, dinamai demikian
karena pada daerah yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Barasa itu,
terdapat sungai yang bercabang, yang sekarang dinamai Sungai Pangkajene. Sampai
saat ini belum didapatkan keterangan yang tegas, sejak kapan nama “Pangkajene”
menggantikan nama yang popular sebelumnya, ‘Marana’. Menurut beberapa sumber,
awalnya yang dikenal adalah Kampung Marana, dan sungai yang membelah kota
Pangkajene sekarang ini dulunya bernama Sungai Marana.
Kampung Marana terletak di sebelah utara sungai tua, sekitar Lembaga
Pemasyarakatan lama (sekarang dijadikan tempat Pos Polisi dan Sekretariat Pemuda
Pancasila) melebar ke Terminal Kompak, jadi lipat dua kali lebarnya dibanding
sungai yang ada sekarang, tepatnya berada di jantung kota Pangkajene sekarang,
sedangkan kampung-kampung tua yang ada di sekitar pinggiran sungai sekarang dari
timur sampai ke barat antara lain Kampung Sabila, Ujung LoE, Tumampua, Jagong,
Purung-Purung, balanakang, Toli-Toli dan Lomboka, sedangkan bagian utara sungai,
yaitu dari Pabundukang, Bone-bone, Kajonga, Palampang, Binanga Polong, Bucinri
sampai ke Padede dan Kampung Solo.
Jika kita menelusuri asal muasal pemberian nama-nama kampung yang telah
disebutkan di atas hal itu berkaitan erat dengan perebutan hegemoni kekuasaan antara
Gowa dan Bone di bekas wilayah Kerajaan Siang dan Barasa (disebut Bundu
Pammanakang). Kampung yang disebut Pabundukang itu awalnya adalah sebuah
padang yang cukup luas, dimana menjadi tempat pertempuran antara laskar Bone dan
Gowa, sedangkan Kampung Sabila diambilkan dari nama bangsawan Bone yang
bertempur dan tewas di tempat itu, yaitu Arung Sabila. Begitu pula Kampung Bone-
bone, yang pernah dihuni oleh mayoritas orang Bone.
Antara Kampung Solo dan Kampung Lomboka, sungai tersebut terbagi dua
muaranya karena di depannya terdapat hutan bakau akibat aktifitas erosi, disekitarnya
terdapat Kampung Polewali dan Lomboka. Pada percabangan sungai tersebut,
dahulunya banyak digunakan sebagai tempat aktifitas perdagangan. Dimana saja ada
muara sungai yang bercabang, biasa disebut “Appangkai Je’neka” maka daerah itu
akan menjadi ramai. Sekarang tempat dimana terdapat (berdekatan) dengan
percabangan sungai tersebut sudah sejak lama ramai karena dijadikan tempat
pelelangan ikan. Penduduk setempatnya menyebutnya Lelonga.
Dahulu terdapat tiga sungai besar yang mengelilingi Kampung Marana yang
menjadikannya tempat strategis transportasi karena berada di persimpangan sungai
tua dari Paccelang, sungai tua dari Baru-baru dan sungai tua dari Siang (SengkaE).
Ketiga sungai tersebut menjadikan Kampung Marana ramai karena berada di
persimpangan cabang sungai (Bahasa Makassar : Pangkana Je’neka) dan di situ pula
terjadi pertemuan dalam ikatan janji, baik dalam bentuk persahabatan, memperkuat
jalinan kekerabatan maupun untuk kepentingan perdagangan. Pedagang yang akan
memasarkan hasil bumi dan dagangannya biasanya mengadakan perjanjian dengan
ucapan, “Anjorengpaki sicini ripangkana je’neka” (nanti kita bertemu di cabang air),
yang dimaksudkan sesungguhnya tempat yang dituju adalah muara Sungai Marana
(sekarang Sungai Pangkajene).
B. Visi dan Misi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
1. Visi
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan memiliki visi sebagai berikut:
“Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan mewujudkan desa modern yang
produktif dan berkarakter menuju daerah yang lebih maju dan mandiri”
2. Misi
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan memiliki misi sebagai berikut:
a. Pembangunan
Rumusan Misi disini lebih fokus pada, yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan yang tercermin dalam Visi. Karena itu dapat di pandang
sebagai pondasi bagi pengambilan kebijakan strategis, juga menjadi ciri
membedakan dengan daerah lain, sebagai berikut
Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pembangunan dan
memanfaatkan keunikan sebagai kepulauan untuk kesejahteraan
masyarakat.Meningkatkan kecerdasan, profesionalisme dan karakter SDM.
b. Arah kebijakan dan kebijakan umum
Akselerasi pembangunan dapat dilakukan bila dapat di tetapkan strategi,
arah dan kebijakan pembangunannya yang benar dan jelas, sehingga dapat
menjadi acuan. Pembangunan yang akan dilakukan, secara subtansial fokus
pada pembangunan manusia, terdesentralisasi, berciri religius (bernafaskan
keagamaan) dan kebudayaan, serta peduli lingkungan baik fisik maupun
lingkungan sosial. Karena itu penekanannya pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat, menempatkan manusia sebagai objek dan selalu beroriantasi pada
pada kesejahteraan.
1). Mengembangkan ineterkoneksitas dan jejaring antar wilayah di tingkat
nasional, regional dan. internasional.
2). Menciptakan Lingkungan yang kondusif
3). Mencipakan tata kepemerintahan yang back (good governance)
4). Program Unggulan Membangun Desa/ Kelurahan
5). Bantuan Irigasi, kolam air, bibit, alsintam, alat tangkap untuk petani dan
nelayan
6). ketersediaan air bersih bagi masyarakat desa dan kelurahan
7). Bantuan penerangan jalan umum di desa kelurahan
8). Bantuan Sepra Kesehatan
9). Bantuan SPP Mahasiswa Perguruan Tinggi
10).Bantuan Bedah Rumah di desa/ kelurahan
11). Bantuan Sepra Olahraga
12). Bantuan Keterampilan dan Pelatihan Kerja
13). Bantuan Pasar desa, bundes dan permodalan
14). Bantuan sarana ibadah dan keagamaan
15). Tambahan penghasilan PNS/ Insentif Desa
16). Percepatan Sapra: Penerangan, Telekomunikasi, Transportasi, Air bersih,
Kelautan Perikan di Pulau.
c. Arah kebijakan dan kebijakan umum
Akselerasi pembangunan dapat dilakukan bila dapat di tetapkan strategi,
arah dan kebijakan pembangunannya yang benar dan jelas, sehingga dapat
menjadi acuan. Pembangunan yang akan dilakukan, secara subtansial fokus
pada pembangunan manusia, terdesentralisasi, berciri religius (bernafaskan
keagamaan) dan kebudayaan, serta peduli lingkungan baik fisik maupun
lingkungan sosial. Karena itu penekanannya pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat, menempatkan manusia sebagai objek dan selalu beroriantasi pada
pada kesejahteraan.
C. Arti Lambang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Gambar 3.1.
Lambang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
1. Bentuk
Perisai yang melambangkan kepercayaan atas diri sendiri, ketahanan,
keamanan, dan kesentosaan. Pada Bagian atas perisai, di atas warna putih,
bertuliskan nama kabupaten, Pangkejene dan Kepulauan.
2. Isi
a. Pada bagian yang teratas adalah bintang bersegi lima sebagai perlambang
pancasila, falsafah negara dan bangsa Indonesia.Sementara segi atau sudut yang
menonjol ke atas adalah Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pembimbing
poros dan pembimbing dari sila-sila yang lain. Garis-garis yang ada dalam
tubuh perisai bersumber dan berpusat kepada bintang, perlambang bahwa
seluruh kepercayaan dan kegiatan bersumber dari falsafah Pancasila yang
Berketuhanan Yang Maha Esa.
b. Pada bagian tengah itu ialah perahu layar, merupakan perlambang daripada
Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang mempunyai wilayah
kepulauan di bagian lautan.Perahu layar dengan tipe dan modelnya yag khas itu
adalah lambang perhubungan dan tranportasi rakyat di Kepulauan Pangkajene
dan Kepulauan.
c. Pada bagian atas kiri perahu tersebut,melingkar dalam bentuk oval, padi dan
kapas, dimana kedua ujungnya bergantung pada bintang,merupakan lambang
kemakmuran rakyat yang merupakan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia.
Pada bagian bawah tangkai pasi dan kapas, bertemu keduanya yang berarti
sandang dan pangan tak dapat dipisahkan, sedangkan pada bagian atasnya,
kedua ujungnya bergantung kepada bintang Pancasila yang Berketuhanan Yang
Maha Esa. Padi dan kapas melingkar berbentuk bulat lonjong (oval)
melambangkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke,yang di dalamnya pula terdapat rakyat Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan.
d. Pada bagian bawah, yang merupakan landasan padi dan kapas ialah sebuah pita
merah yang di atasnya terdapat tulisan lontara (Bahasa Makassar)
"KUALLEANGI TALLANGA NA TOWALIA", yang bermakna " Lebih Baik
Tenggelam Dari Pada Surut Kembali " merupakan semboyan yang sesuai
dengan watak rakyat Pangkajene dan Kepulauan, makna keselamatan , Pantang
Mundur ", Tulisan lontara itu sendiri perlambang suku : Bugis Makassar, suku
yang mendiami sebagian besar wilayah pangkajene dan Kepulauan.
3 . Warna
a. Warna putih berarti suci,ikhlas dan jujur
b. Warna merah berarti berani, melambangkan bagian daratan pangkajene dan
Kepulauanyang masyarakatnya mempunyai watak yang berani, keras, kemauan
keras dan pantang mundur. Hal ini sesuai dengan alam pangkajene dan
Kepulauan yang merupakan tantangan keras, seperti gunung-gunung nya yang
terdiri dari gunung batu (Merupakan kekayaan sebagai bahan semen), air
sukat,adat dan rasa malu yang mendalam dan lain sebagainya.
c. Warna dasar perisai bagian bawah ialah biru laut, perlambang bahwa hanya
pangkajene dan kepulauan terdiri dari pulau-pulau yang bertebaran di laut yang
luas. Oleh karena itu, terdapat garis-garis putih yang bergelombang sebagai
lambang air.
d. Warna biru laut berarti tabah, lapang dada, penuh keberanian mengarungi
samudera luas, ramah tamah dan makmur.
e. Warna kuning pada bintang dan batang padi,berarti agung,terhormat,jaya,mulia
dan berwibawa.
f. Warna hijau pada kapas, berarti subur, makmur, nikmat dan damai.
g. Warna hitam pasa perahu dan lain-lain berarti cita-cita yang sangat mendalam.
D. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan merupakan wilayah kepulauan yang
secara geografis terletak antara 110° BT dan 4° 40' Lintang Selatan sampai 8°LS.
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan
dengan batas-batas wilayah seperti berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Barru
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Maros
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makssar.
Luas Wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan 1.112,29 Km2, terdiri
dari 13 Kecamatan, 103 desa/kelurahan defenitif yang terdiri dari 38 Kelurahan dan
65 Desa. Dari desa tersebut terdapat 76 lingkungan, 164 dusun, 437 rukun warga dan
1285 rukun tetangga. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan berjarak 51 Km dari
Kota Makassar ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan. Secara Topografi Pangkajene dan
Kepulauan berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan yang terdiri dari dataran
rendah dan pegunungan. Dataran rendah seluas 73.721 ha dan pegunungan yang
berada pada ketinggian 100 - 1000 meter diatas permukaan laut. Pada bagian Timur
merupakan batu cadas dan sebagian batubara dan juga ditemukan kandungan batu
marmer.
Wilayah terluas adalah Balocci 143.48 km², Liukang Tangaya 120 km², dan
Tondong Tallasa 111.2 km². Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan memiliki ciri
khas sebagai Kabupaten kepulauan dengan 117 Pulau, yang berpenghuni hanya 80
Pulau. Sumberdaya hayati laut dan keanekaragaman biota lautnya, khususnya
terumbu karang menyebabkan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan ditunjuk
sebagai lokasi proyek COREMAP II di Sulawesi Selatan. Selain Kabupaten Selayar
yang dikenal dengan wilayah Takaboneratenya. Adapun luas wilayah per kecamatan
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah sebagai berikut.
Tabel 3.1
Luas Wilayah Per-Kecamatan dan Jumlah Kelurahan
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Kecamatan
Jumlah
Kel/Desa
Luas (km2)
Luas Daratan
Luas
Perairan
Luas Total
Persentase
Liukang
Tangaya
9 47.71 72.29 120.00 10.79
Liukang
Kalmas
7 35.89 55.61 91.50 8.23
Liukang
Tupabbiring
9 2.03 52.41 54.44 4.89
Liukang
Tupabbiring
Utara
7 2.80 82.76 85.56 7.69
Pangkajene 9 47.39 0.00 47.39 4.26
Minasatene 8 76.48 0.00 76.48 6.88
Balocci 5 143.48 0.00 143.48 12.90
Tondong
Tallasa
6 111.20 0.00 111.20 10.00
Bungoro 8 90.12 0.00 90.12 8.10
Labakkang 13 97.48 0.98 98.46 8.85
Ma’rang
10 75.12 0.10 75.22 6.76
Sigeri 6 78.28 0.00 78.28 7.04
Mandalle 6 40.16 0.00 40.16 3.61
Jumlah 103 848.14 264.15 11112.29 100.00
Sumber: Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dalam Angka (2017: 8)
E. Sosial Budaya
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dikenal sebagai daerah yang memiliki
banyak potensi sumber daya bidang Perikanan, Pertanian dan Pertambangan.Hal
inilah yang mendorong pesatnya perkembangan aktivitas masyarakat baik dari aspek
sosial budaya dan ekonomi. Masuknya Proyek COREMAP II bertujuan menjaga,
merehabilitasi terumbu karang yang saat ini mengalami banyak kerusakan karena
perilaku masyarakat nelayan yang menggunakan bom atau bius (sianida) saat melaut.
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan juga dikenal memiliki masyarakat yang
terampil dalam membudidayakan udang, bahkan di era 80-90an Pangkajene dan
Kepulauan sebagai Kabupaten penyuplai Udang dan Bandeng di Sulawesi Selatan.
Masyarakatnya dikenal sejahtera yang ditandai dengan setiap tahunnya jumlah
masyarakat yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji meningkat.
Hasil produksi Pangkajene dan Kepulauan selain dikenal sebagai penghasil
udang dan Bandeng, juga memiliki hasil pertanian yang beragam mulai dari tanaman
musiman maupun tahunan. Aktivitas pertambangan juga terus berkembang, mulai
dari industri kimia, batubara dan marmer. Produksinya selain untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri juga di eksport keberbagai Propinsi dan Negara tetangga.
karena itu di kabupaten Pangkajene dan Kepulauan ditemukan industri kecil,
menengah dan industri besar. Salah satu produk yang cukup dikenal adalah Semen
Tonasa yang sudah terkenal bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Asia.
Dalam dinamika pembangunan diberbagai bidang baik jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang, peran dan fungsi penduduk sangat strategis oleh
karenanya pembangunan bidang kependudukan selalu mendapat tempat utama. Hal
ini disebabkan oleh akhir dari setiap tujuan pembangunan adalah meningkatkan mutu
penduduk secara utuh dan menyeluruh yang biasanya diawali dengan perbaikan
kualitas sumberdaya manusia (SDM).
F. Agama
Dari aspek Agama, Masyarakat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
mayoritas Islam dengan komposisi mencapai 95%. Selebihnya agama Kristen
Protestan, Katolik dan Budha.
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Kecamatan dan Agama yang dianut
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
No Agama Jumlah Penganut
1 Islam 320.440
2 Protestan 1.907
3 Katolik 151
4 Hindu -
5 Budha 23
6 Kong Hu Chu -
Jumlah 322.521
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan Tahun 2015
Pembangunan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduknya,
karena penduduk merupakan aset yang sangat penting bagi suatu daerah. Jumlah
penduduk menjadi ukuran dalam menilai perkembangan pembangunan. Namun disisi
lain penduduk dapat pula menjadi beban bagi daerah. Oleh karena itu jumlah
penduduk perlu diarahkan dan disesuaikan dengan daya dukung lingkungan serta
kebutuhan pembangunan agar dapat memberikan manfaat maksimal. Selain itu,
adapun jumlah tempat peribadatan di Kabupaten Pangkajene dan kepulauan adalah
sebagai berikut.
Tabel 3.3
Jumlah Jumlah Tempat Peribadatan Menurut Kecamatan
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
No Rumah Peribadatan Jumlah
1 Masjid 439
2 Mushollah 62
3 Gereja Protestan 4
4 Gereja Katolik -
5 Pura -
6 Vihara -
Jumlah 505
Sumber: Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dalam Angka (2017: 98)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar Di
Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan.
Adapun hasil penelitian ini diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara
yang telah dilakukan oleh penulis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap
informan terkait yakni tujuh orang perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan dengan kriteria informan yaitu perempuan bercadar yang telah
mengenakan cadar minimal satu bulan, hal ini untuk melihat bagaimana pengguna
cadar khususnya pengguna cadar pemula dalam berkomunikasi ditengah masyarakat.
Usia minimal 20 tahun, pemilihan usia ini bertujuan untuk melihat bagaimana
pengguna cadar usia muda melalukan komunikasi dengan masyarakat. Dan bertempat
tinggal di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan minimal satu tahun, hal ini untuk
melihat bagaimana perempuan bercadar selama tinggal dan berkomunikasi dengan
masyarakat dalam kurun waktu tersebut. Dalam melakukan penelitian penulis
melakukan pendekatan dengan informan seperti mengajak berkenalan dan
menanyakan bagaimana kemudian memutuskan untuk bercadar dan bagaimana
berperilaku ditengah msayarakat etnik Bugis dan hal-hal umum tentang dirinya.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan sekali pada tiap-tiap informan karena
dirasa cukup untuk memenuhi pertayaan penelitian yang ingin penulis ketahui.
Adapun informan lain dalam penelitian ini yakni lima orang perempuan yang tidak
mengenakan cadar dan satu orang tokoh agama.
1. Identitas Informan
Selama proses penelitian berlangsung maka penulis telah melakukan
wawancara kepada tujuh orang yang telah memenuhi kriteria informan dengan
latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda seperti guru, PNS, pegawai toko, ibu
rumah tangga dan mahasiswi. Dengan latar belakang profesi informan yang
berbeda-beda diharapkan dapat diperoleh informasi berbeda pula yang
melatarbelakangi informan dalam keputusannya mengenakan cadar. Adapun data
mengenai informan dapat dilihat pada tabel 4.1.
Berikut ini adalah daftar nama-nama informan yang kemudian penulis
samarkan dengan tujuan untuk menjaga identitas para informan.
Tabel 4.1
Identitas Informan Perempuan Bercadar
No
Inisial
Informan
Pekerjaan
Usia
Organisasi Islam
Lama
Mengenakan
Cadar
1. SNA Guru 28 Tahun Wahdah 10 Bulan
2. RF PNS 35 Tahun Wahdah 13 Tahun
3. UF Karyawan Toko 25 Tahun Wahdah 1 Tahun
4. ML Ibu Rumah
Tangga
20 Tahun Hizbuh Tahrir 1 Tahun
5. SW Guru 23 Tahun Wahdah 2 Bulan
6. RM Guru Tahfidz 27 Tahun Wahdah 7 Tahun
7. NN Mahasiswi 23 Tahun Wahdah 1 Tahun
Sumber: Data Primer (2018)
Untuk lebih jelasnya tabel 4.1, terkait identitas informan perempuan bercadar
dapat dijelaskan pada penjelasan sebagai berikut:
1.1 Informan SNA
SNA merupakan seorang guru disalah satu sekolah menengah kejuruan di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. SNA yang kini menginjak usia 28
tahun mengenakan cadar sejak Juni 2017 silam. Keputusannya dalam
mengenakan cadar diakui karena selain merasa aman dan nyama juga untuk
menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Perempuan yang telah bercadar 10
bulan ini mengaku keputusannya dalam mengenakan cadar juga karena
mengikuti sebagian ulama yang berpendapat bahwa hukum cadar ialah wajib,
yang kemudian didukung penuh oleh suaminya. Selain itu, kedua orang tua
SNA juga menyetujui keputusan SNA untuk mengenakan cadar, dengan
alasan untuk kebaikan. Menurutnya pula perempuan itu diibaratkan seperti
mutiara yang tidak mudah didaptkan dan terjaga. Adapun alasan SNA dalam
keputusannya mengenakan cadar disampaikan langsung sebagai berikut.
Kan sebagian ulama berpendapat bahwa cadar itu wajib. Saya lihat ada juga
ulama yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah, memang kalau dilihat
didalam Al-quran hukumnya cuma muka dan telapak tangan. Tapi Imam
Syafi’i mengatakan bahwa hukum cadar itu wajib, yah kita lihat saja
filosofinya seperti ini, ketika misalnya kita lihat kaki, kaki saja dibungkus
yang pada umumnya kalau dikatakan kaki tidak menarik apalagi kalau muka
yang merupakan pandangan pertama ketika orang melihat. Saya juga berawal
dari kebiasaan ji sebenarnya, saya rasa nyaman dan lebih aman ki kurasa,
beda kalau kayak terlihat ki muka ta. Kalau kututup ki kayak ku rasa aman ka,
MasyaAllah itu menjalankan sunnahnya Nabi merasa aman ki dirasa. Ketika
menarik perhatian ki akan menjadi fitnah sedangkan kita perempuan.
Perempuan itu bak mutiara yang tidak gampang orang dapatkan. Kan kalau
menjalankan ki sunnah dapat ki pahala, kalau ditinggalkan kan merugi ki. Yah
hakikatnya hukum sunnah kalau misalnya ditinggalkan kita merugi, bukan
tidak apa-apa tapi merugi. Kalau dijalankan dapat ki pahala jadi selama kita
menjalankan sunnah mengalir insyaAllah pahala. Meskipun ada yang
berpendapat kecuali muka dan telapak tangan jangan berlebihan, ada yang
berpendapat kalau ini kebiasaan Arab, tidak. Islam itu yah seperti itu.
(Wawancara, 2 April 2018)
1.2 Informan RF
RF merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang kini bekerja di
salah satu Dinas di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Ia mengatakan
keputusannya untuk mengenakan cadar telah mantap ketika Ia masih
menduduki bangku kuliah semester akhir, tepatnya 2005 silam yang berarti Ia
telah bercadar sekitar 13 tahun. Keputusan RF untuk mengenakan cadar
diakui selain karena adanya dorongan dari diri sendiri juga untuk menambah
bentuk ibadah dengan menjalankan salah satu sunnah. Dorongan dari ustazah
dan teman-teman pengajian membuat RF semakin mantap untuk mengenakan
cadar, walaupun awalnya RF mengaku tidak mendapatkan persetujuan dari
ibunya yang merupakan seorang muallaf, RF yang hanya mendapatkan
persetujuan dari ayah kemudian terus meyakinkan ibunya sehingga kemudian
diizinkan. Adapun alasan RF kemudian memutuskan untuk bercadar
diungkapkan sebagai berikut.
Saya sudah lama mi dari tahun 2005 waktu masih kuliah, akhir-akhir kuliah.
Alasannya karena mengikuti sunnah, selain itu dorongan dari diri pribadi,
menambah bentuk ibadah juga. Kalau sekedar untuk memotivasi dari teman,
dari ustazah memberikan motivasi tapi kan kembali ke kitanya. Kalau orang
tua, bapak itu tidak ada masalah, mama yang sangat tidak mendukung, cuman
Alhamdulillah mama itu tidak ji seperti orang lain yang harus dibuka karena
tidak setuju, tidak. Jadi mama itu memang tidak suka tapi juga tidak
menyuruh untuk membuka. Yah Alhamdulillah kalau bapak menyetujui. Kan
kalau mama ku memang dia muallaf ki. Tapi itu pas awal-awal, sekarang
Alhamdulillah mendukung sekali mi. (Wawancara, 10 April 2018)
1.3 Informan UF
Informan ketiga yakni UF yang kini bekerja di salah satu toko busana
muslim mengaku telah mengenakan jilbab besar sejak Ia belum bekerja di
toko busana muslim ditempat sekarang Ia bekerja. UF yang kini aktif dalam
sebuah organisasi Islam mengatakan keingintahuannya untuk mempelajari
Islam bukan karena ajakan dari pihak manapun seperti halnya teman-
temannya yang lain. UF mengenakan cadar sejak April 2017 silam yang
berarti Ia telah bercadar selama 1 tahun, UF merasa ada perasaan malu ketika
dilihat orang. Selain itu UF juga mengaku dalam keputusannya mengenakan
cadar mendapatkan pertentangan keras dari orang tua dan kakaknya. Namun
UF tetap berusaha hingga orangtuanya mengizinkan. Pertentangan yang sama
juga datang dari pihak keluarga besar UF, mereka menolak keras keputusan
UF dalam mengenakan cadar, namun UF berpendapat bahwa ketika ridho
orang tua sudah Ia dapatkan, maka hal-hal lain yang menentang keputusannya
dalam mengenakan cadar kemudian tidak Ia fikirkan lagi. Berikut alasan UF
dalam keputusannya mengenakan cadar
Awalnya juga saya adalah orang yang kalau lihat orang yang bercadar eh ini
orang bercadar ribet sekali maksudnya nda panas itu. Tapi masyaAllah
ketika saya hijrah belajar, belajar semakin belajar ilmu agama, disitu saya
dapatkan bahwa sekedar kita mengulurkan jilbab yang panjang saja itu tidak
cukup karena muka itu masih berseliweran dan masih ada rasa malu ketika
orang melihat kita. Jadi disitu saya berfikir wah saya rasa ini masih ada yang
kurang dari dalam diriku. Saya memutuskan dengan begitu lama juga
meminta persetujuan orangtua, tentu kita juga harus meminta ijin dari orang
tua karena bagaimana pun ditengah apalagi kita orang Labakkang ini terkenal
sekali dengan adatnya, itu yang susah untuk dipatahkan. Pandangannya orang
itu sama kita luar biasa. Jadi disitu harus siap juga dengan semuanya pasti
orang tua melihat dari segi sekitarnya juga. Awalnya saya minta izin dulu
sama orang tua, Ma’ mauka bercadar. Pertama itu sangat dibenci, mama
menolak, kakak perempuan juga menolak. Tidak usah mi, itu saja jilbab
sudah luar biasa sekali mi panjangnya, sudah hitam-hitam panjang lagi, mau
lagi tambah bercadar saya tidak suka. Mama marah-marah awalnya, saya
simpan lagi, saya tahan dulu. Lama-lama semakin besar keinginan, minta ijin
lagi, masih ditolak. Kurang lebih berapa kali saya minta baru diijinkan sama
orang tua, itupun orang tua bilang pake mi tapi itu pi kalau keluar, kalau bisa
jangan dipasang dirumah, dipinggir jalan baru dipasang yang jelas keluar
dari rumah. Terus saya bilang Tidak bisa Ma’ pasti otomatis kelihatan ji lagi
muka ta dipinggir jalan, saya harus pasang ini dari rumah. Mama tersenyum
ji disitu, disitu saya bilang senyum mi mama ku berarti sudah ada keridhoan
dari orang tua. (Wawancara, 11 April 2018)
1.4 Informan ML
ML yang kini memiliki seorang putri berusia 6 bulan mengaku telah
mengenakan cadar setahun silam sejak usianya masih 19 tahun. ML yang kini
menginjak usia 20 tahun mengaku tidak memiliki pertentangan dari kedua
orang tua dan juga keluarga besarnya tentang keputusannya dalam
mengenakan cadar, hal ini dikarenakan orang tua ML yang memang telah
paham ilmu agama. ML berpendapat bahwa keputusannya dalam mengenakan
cadar mampu membuat Ia lebih menjaga jarak dari laki-laki kemudian
keputusannya untuk mengenakan cadar sangat didukung penuh oleh
suaminya. Adapaun alasan mengapa ML kemudian memutuskan untuk
mengenakan cadar diungkapkan sebagai berikut.
Karena memang mau sih, selain itu lebih nyaman, karena lebih jaga jarak
sama laki-laki, laki-laki lebih jaga jarak lebih sopan dibanding sebelum-
sebelumnya. Dulu memang mau pake cadar tapi tidak dibolehkan sama orang
tua, nda usah mi dulu, sudah pi nikah baru pake cadar. Setelah menikah
suami bilang pake cadar mi jadi dari situ mi. Ada juga dari keluarga yang
sekarang sudah bercadar, Alhamdulillah. Kalau dari keluarga, setuju semua ji.
Mungkin kalau orang diluar misalnya lagi jalan ki biasa juga risih orang,
karena memang dia begitu mi mungkin belum mengerti karena masih, jarang
baru tiga orang kayaknya disini. (Wawancara, 12 April 2018)
1.5 Informan SW
Terhitung baru dua bulan SW mengenakan cadar, diusia 23 tahun Ia
membulatkan tekad untuk mengenakan cadar setelah pertentangan hebat dari
orang tua terutama ayahnya. SW yang juga seorang guru di sekolah dasar
mengaku berada di tengah keluarga yang masih sangat kental dengan tradisi
etnik Bugis merupakan sebuah tantangan dalam mengenakan cadar. Awalnya
saat Ia masih mengenakan jilbab besar Ia bahkan harus mengganti jilbab
pendek ketika pulang ke rumahnya sebab seringkali mendapat teguran dari
keluarganya. Berikut alasan SW dalam keputusannya mengenakan cadar.
Sebenarnya awalnya itu karena malu ji. Sebenarnya paling mendasar awalnya
itu tidak mau ketahuan sama senior, tapi maksudnya sambil belajar juga
disini, selalu ikut tarbiyah dapat mi juga ilmunya, nyaman mi kurasa pake
scraf jadi akhirnya lebih baik pake cadar mi kayaknya sekalian belajar juga.
Kalau yang kurang setuju lebih kepada Bapak selain itu di kampung pake
jilbab besar itu jarang. Dari kecil pendidikan agama itu tidak terlalu di ajarkan
memang sama keluarga. Terus kalau keputusan kenapa saya pake cadar
karena saya sendiri. Kalau dibilang ikut-ikutan nda ji juga ikut-ikutan, karena
memang kayak mauji menutup. Awalnya itu karena malu karena itu tadi, ada
senior tapi lama-lama sudah paham juga sudah nyaman jadi terus mi sampai
sekarang. Bahkan sebelum pake jilbab besar, sebelum pake cadar masih jilbab
yang lebar biasanya kan sehari-hari itu nda pake jilbab, tapi pas kuliah mulai
pake jilbab bahkan langsung pake jilbab yang agak panjang. Jadi bapak
bilang nda ikut ji aliran-aliran lain? maksudnya pas juga lagi marak-
maraknya diberita tentang teroris, bukan ji aliran seperti itu mu ikuti? Jadi
saya kasi pengertian bapak ini bukan insyaAllah. Kita tarbiyah di dalamnya
belajar mengaji ji nda pernah diajar kayak anu senjata, jadi kuyakinkan
insyaAllah tidak ji malah menurutku ini mi yang benar. Kan saya juga jarang
pulang kampung kebanyakan tinggal di kos atau tinggal di sekret, jadi kalau
pulang paling ditanya lagi, disewoti lagi, tapi begitu kalau agak tidak enak mi
didengar paling didiami ji. Ya Alhamdulillah ini nda terlalu mi. (Wawancara,
12 April 2018)
1.6 Informan RM
RM merupakan informan yang kini berusia 27 tahun dan telah
memutuskan bercadar sejak 2011 silam yang berarti Ia telah bercadar selama
7 tahun. RM yang kini bekerja sebagai tenaga pendidik disalah satu sekolah
tahfidz di Pangkep mengaku keputusannya untuk bercadar dikarenakan untuk
mengikuti sunnah. Selain itu, keberadaan RM ditengah perempuan bercadar
selama masih kuliah juga merupakan salah satu pendorong dalam
keputusannya untuk mengenakan cadar. Pertentangan dari pihak keluarga
tentu juga dirasakan RM, namun tidak berlangsung lama karena berada
ditengah keluarga yang telah paham ilmu agama. Keputusan RM untuk
mengenakan cadar kemudian diutarakan sebagai berikut.
Saya pake cadar dari 2011, berarti sudah sekitar 7 tahun. Dalam al-quran
disebutkan bahwa perempuan-perempuan yang beriman yang menutup
auratnya mulai dari atas kepala hingga kaki. Meskipun masih ada
pertentangan diantara ulama terkait hukumnya apakah dia wajib atau sunnah
yang jelas pertentangan diantara ulama itu tidak ada lagi perbedaan semua
sepakat bahwa dengan cadar bagi wanita muslim itu dia bisa menjadi satu
kemuliaan. kalau dari keluarga Alhamdulillah mereka menerima walaupun
sebenarnya tidak ada orangtua yang mau melihat anaknya bercadar, karena
memang minimnya pemahaman orangtua. Tapi sejauh ini tidak ada ancaman,
tidak ada juga tekanan, cibiran-cibiran dari keluarga dan orang lain memang
ada, tapi sekedar dikeluarkan saja tidak sampai mengambil sikap. Kemarin
kan saya tinggal sama akhwat juga, rata-rata perempuan bercadar di
Makassar, pada saat itu saya coba cadarnya itu kakak masyaAllah cantiknya
kalau bercadar ki, kemudian besoknya saya pake dan betul-betul
pengaturannya Allah karena bersamaan ka ada seorang akhwat jadi membuat
saya semakin kuat. (wawancara, 21 Mei 2018).
1.7 Informan NN
NN yang kini masih menjalankan pendidikannya di Universitas Terbuka
di Kabupaten Pangkep menerangkan bahwa keputusannya dalam mengenakan
cadar terhitung Maret 2017. Awal keputusannya untuk mengenakan cadar NN
tidak mendpatkan persetujuan dari keluarga. NN yang kini berusia 23 tahun
mengutarakan bahwa keputusannya dalam mengenakan cadar selain untuk
menjalankan sunnah juga untuk melindungi dirinya dari gangguan yang bukan
mahrom. Berikut keterangan NN dalam keputusannya untuk mengenakan
cadar.
Pake cadar itu kemarin waktu Maret 2017. Kemarin itu kenapa saya yakin
sekali mau pake cadar karena saya sebenarnya sudah lama memang pake
jilbab besar tapi dengan jilbab besar ku itu saya yakin kalau sudah aman, tidak
ada lagi orang yang ganggu, tapi kemarin pas jalan terus ada laki-laki, biasa
laki-laki kayak suit-suit begitu, saya sudah pake jilbab besar tapi masih
diganggu laki-laki bagaimana kalau jilbab pendek, jadi bismillah ma pake
cadar. Ditambah juga orang kan kalau melihat ki langsung di wajah dulu baru
setiap hari naik pete-pete supaya amannya pake cadar ditambah juga itu
sunnah jadi sekalian juga dapat pahala, untuk menjaga diri juga. Sebenarnya
itu kalau aman ji tidak ji tapi kalau misalnya tidak aman mi bagi kita ditambah
perempuan ki baru keluar sendiri mending pake ki. Awalnya itu tidak ada
yang setuju cuma tidak langsung ka pake cadar, awalnya itu pake jilbab besar
dulu, kemudian sampai dilutut, lama pake masker ka terus ganti lagi pake
yang segitiga yang syal itu, yang sesuai dengan warna jilbab itu lagi satu
tahun saya pake untuk beradaptasi. Membiasakan diri dulu supaya mereka
tidak kaget, baru saya pakai cadar. Cuma begitu mereka tidak setuju. Kalau
disini kan ceritanya sudah terbiasa liat, cuman kalau pulang kampung ka
begitu mi kalau orang baru ka na liat kayak sinis ki. Kalau misalnya ujiannya
lolos dari keluarga pasti ada dari masyarakat, dari tetangga. Seperti ini, lolos
ka dari keluarga dari tetangga lagi. (wawancara, 21 Mei 2018)
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa alasan informan
untuk mengenakan cadar adalah untuk (1) menjalankan sunnah, (2)
melindungi diri dari fitnah, dan (3) perasaan lebih aman dan nyaman.
Meskipun ada alasan lain yang sifatnya mendorong keputusan mereka
bercadar seperti (4) adanya dorongan dari ustazah atau sesama pengguna
cadar dan (5) rutin mengikuti kajian dalam sebuah organisasi Islam.
Tabel 4.2
Identitas Informan Perempuan yang Tidak Bercadar
No
Inisial
Informan
Pekerjaan
Usia
1. ST Petani 40 Tahun
2. RY Pegawai 22 Tahun
3. RS Pegawai 23 Tahun
4 MDN Guru 30 Tahun
5. NAM Mahasiswi 21 Tahun
Sumber: Data Primer (2018)
1.1 Informan ST
ST merupakan salah satu informan yang berprofesi sebagia petani di
Kabupaten Pangkep. ST yang berusia 40 tahun mengaku memiliki keluarga
yang mengenakan cadar. Walau demikian ST tetap memiliki persepsi yang
berbeda tentang perempuan bercadar seperti telalu berlebihan dan terkesan
repot dengan pakaiannya. Berikut keterangan ST terhadap perempuan
bercadar.
“Kalau menurut saya perempuan bercadar itu repot, lebih sering tinggal ji
dirumah. Kalau saya setuju-setuju saja sama kehadirannya (perempuann
bercadar). Tapi itu lagi kalau saya panas kuliat.” (Wawancara, 13 April 2018)
1.2 Informan RY
RY merupakan staff disalah satu puskesmas di Kabupaten Pangkep.
RY yang berusia 22 tahun mengatakan memiliki pengalaman dengan
perempuan bercadar. Saat masih duduk di bangku Sekolah Menengan Pertama
(SMP) RY pernah diajar oleh salah satu guru yang menggunakan cadar.
Namun kehadiran guru RY yang mengenakan cadar awalnya membuat RY
memberikan stigma negatif tentang perempuan bercadar karena menurutnya
gurunya suka marah sehingga Ia memberikan simpulan bahwa semua
perempuan bercadar itu galak dan suka marah. Namun hal tersebut berubah
ketika RY telah bekerja di puskesmas dan banyak menemui pasien yang tak
jarang adalah perempuan bercadar. Adapun pandangan RY terhadap
perempuan bercadar sebgai berikut.
Awal-awalnya saya liat kan pas SMP guru ku sering dipanggil ninja hatori,
teman juga biasa bilang kalau lewat eh ada ibu ninja hatori disana, kayak
begitu. Kalau sekarang sering mi liat jadi biasa mi, seperti halnya perempuan
berjilbab panjang sering ki liat sekarang. Waktu SMP, kalau sekarang
palingan kalau ada pasien datang di puskesmas tapi tidak pernah bicara lama.
(Wawancara, 14 April 2018)
1.3 Informan RS
RS merupakan salah satu informan perempuan yang tidak bercadar.
RS yang berusia 23 tahun mengaku pernah dengan cukup intens
berkomunikasi secara langsung dengan perempuan bercadar sewaktu
menjalankan pendidikan disalah satu universitas swasta, RS memiliki seorang
dosen yang bercadar serta rutin memberikan kajian dengan mahasiswanya
sehingga RS tidak asing ketika bertemu ataupun berkomunikasi langsung
dengan perempuan bercadar. Adapun pandangan RS terkait perempuan
bercadar adalah sebagia berikut.
Menurut saya perempuan bercadar itu sah-sah saja kalau saya, itu kan masalah
keyakinannya orang, tidak bisa kita paksakan mereka untuk tidak bercadar
atau memaksakan orang untuk bercadar karena itu keyakinannya dia mau
seperti itu tidak bisa dipaksakan untuk tidak memakai dan tidak dipaksakan
untuk memakainya. (Wawancara, 15 April 2018)
1.4 Informan MDN
MDN merupakan seorang guru di salah satu sekolah dasar di Kabupaten
Pangkep. MDN yang berusia 30 tahun kemudian dipilih sebagai informan dalam
penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pandangan MDN terhadap perempaun
bercadar yang juga memiliki profesi yang sama dengan dirinya. Berikut pandangan
MDN terhadap perempuan bercadar.
Pandangan saya yah biasa-biasa. Kalau ketemu tidak menyapa tidak juga
disapa (Wawancara, 23 Mei 2018)
1.5 Informan NAM
NAM merupakan mahasiswi berusia 21 tahun. NAM dipilih sebagai
informan adalah untuk melihat bagaimana NAM sebagai mahasiswa melihat
hadirnya perempuan bercadar ditengah masyarakat yang masih kental dengan
tradisi etnik Bugis. Adapun pandangan NAM terhadap perempuan bercadar
kemudian diutarakan sebagai berikut.
Kalau perempuan sudah bercadar itu sudah berada pada tahap yang tinggi
sekali, yang memang sudah dipelajari semua tentang agama sudah mengerti
bahwa ini yang dilarang agama bahwa ini yang boleh, taraf yang paling tinggi
kalau bercadar. Ada satu yang sering kuperhatikan kalau perempuan bercadar
tapi nda semuanya, tapi kalau perempuan bercadar terkesan tertutup menurutku.
(Wawancara, 23 Mei 2018)
Tabel 4.3
Identitas Informan Tokoh Agama
No
Inisial
Informan
Pekerjaan
Usia
1. MZ Pensiunan 70 Tahun
Sumber: Data Primer (2018)
Informan MZ
MZ merupakan salah satu tokoh agama di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan. Bekerja di kementrian agama dan pernah menjabat sebagai
kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan Labbakang di Kabupaten
Pangkep selama 32 tahun membuat MZ cukup banyak mengetahui kehadiran
perempuan bercadar walaupun Ia sendiri jarang melakukan komunikasi
dengan perempuan bercadar. Menurutnya kehadiran perempuan bercadar tidak
begitu membawa pengaruh terhadap masyarakat serta menurutnya pula
menggunakan cadar bukanlah kebiasaan masyarakat Indonesia melainkan
kebiasaan Arab.
Cuma saya liat itu kebudayaan asing karena dia punya wajah ditutup, karena
memang kebudayaannya memang dari Saudi Arabia. Begitulah dia
(perempuan bercadar) punya karakter karena kita tidak bisa cegah orang
karena kita tidak punya hak. Ada juga disini dibelakang masjid begitu. Kalau
di Labakkang tidak terpengaruh begitu, tidak ada pengaruhnya. (Wawancara,
22 Mei 2018)
2. Pengungkapan Diri Perempuan Bercadar
Tabel 4.4
Self Disclosure / Pengungkapan diri Perempuan Bercadar
Informan
Self disclosure / Pengungkapan diri
Terbuka
(Open Self)
Tertutup
(Hidden Self)
SNA Ya
-
RF - Ya
UF Ya -
ML - Ya
SW -
Ya
RM - Ya
NN Ya -
Sumber: Data Primer (2018)
Berdasarkan tabel 4.4 kemudian dapat dijelaskan bahwa dalam proses
pengungkapan diri atau self disclosure perempuan bercadar dalam
masyarakat tidak semua perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan mampu melakukan self disclosure dalam masyarakat. Empat
dari tujuh informan mengungkapkan menutup diri dari masyarakat setelah
bercadar. RF salah satunya, salah satu yang membuat RF kemudian tidak
membuka diri terhadap lingkungannya adalah perlakuan diskriminatif yang
pernah Ia alami yang kemudian dituturkan sebagai berikut.
Biasa kita dibilangi ninja, kalau masyarakat awam biasa kalau kita lewat
depan rumahnya. Kalau di Pangkep itu masih ada yang begitu karena
memang masih banyak orang yang tidak paham, jarang melihat yang
begini. Pernah ji juga tahun lalu kayaknya itu saya pergi dipertemuan,
memang itu hari saya tidak bawah surat tugas, saya dilarang masuk,
padahal ada yang sebelum ku tidak bawa surat tugas tapi boleh masuk. Itu
ji yang pertama saya kayak dicurigai kayak apa. (Wawancara, 10 April
2018)
Hal yang sama dikemukakan oleh SW yang kemudian tertutup karena tidak
jarang mendapatkan perlakuan diskriminatif terutama dari pria yang
membuat dirinya merasa asing.
Kalau naik motor atau jalan itu di keramaian biasa ada cowok-cowok
bilang ninja, kuabaikan ji. Kalau dikampung nda ji, paling kayak dipasar
atau dimana yang ada titik-titik dan kebanayakn sih cowok yang kayak
begitu. (Wawancara, 12 April 2018)
Selain perasaan asing, alasan lain perempuan bercadar enggan membuka
diri dengan lingkungannya karena tak jarang mendapatkan perlakuan yang
tidak baik bahkan dari orang terdekat sendiri, seperti yang dikemunkakan
oleh RM.
Pernah itu hari kayaknya musim kemarau tiba-tiba saya ke sawah turun
hujan, tetangga semua itu bilang edede gara-gara kau mi itu. Atau ada
juga teman-teman SMP, SMA yang kalau ketemu dijalan langsung ji na
buka cadar tanpa merasa bersalah, becanda ji tapi langsung na buka. Biasa
juga langsung masuk ji di jilabab ta. (Wawancara, Mei 2018)
Namun tidak semua perempuan bercadar menolak melakukan
pengungkapan diri dengan masyarakat setelah memutuskan bercadar salah
satunya UF. Menurutnya setelah memutuskan untuk hijrah dan bercadar
bukan berarti Ia lantas menutup diri.
Sebenarnya itu yang salah dari sebagian akhwat yang sudah berhijab besar
mungkin karena ketika kita berpakaian seperti ini, mengenal agama Islam
justru kita harusnya semakin terbuka dengan mereka, bagaimana kita bisa
berkomunikasi dengan mereka dengan baik, tetap menjaga silaturahim
dengan tetangga meskipun dia mungkin belum paham seutuhnya dengan
agama. Ketika kita sudah berhijrah, karena sibuk juga di organisasi jadi
kadang kita tidak berkomunikasi sama masyarakat tetapi seharusnya ketika
kita sudah berhijrah mengenal agama harusnya kita lebih terbuka dengan
mereka karena itu adalah ladang pahala untuk kita, kita harus mengajak
mereka menjadi lebih baik. (Wawancara, 11 April 2018)
Hal yang sama diungkapkan oleh SNA, bahwa ketika memutuskan
bercadar harusnya akhwat lebih membuka diri dengan masyarakat dengan
hal-hal kecil saja seperti mengucapkan salam ketika bertemu.
Padahal mungkin orang itu sebenarnya mau disapa. Tapi kita biasa
terkadang kita yang duluan mengasingkan itu orang, kita merasa asing
duluan padahal biasa tenang-tenang ji kalau orang baru kalau misalnya
baru masuk dilingkungannya, tapi misalnya kalau orang akhwat yah justru
ditau mi sebenarnya kalau bukan saya yang menyapa duluan yah dia. Kan
kalau orang awam biasa na liati-liati ki dulu kayak merasa aneh ki na liat.
Jadi kita biasa merasa juga ih kayak asing ka. Tapi sebenarnya biasa itu
justru begitu mi yang mau disapa supaya tidak bagaimana dia rasa.
(Wawancara, 2 April 2018)
Demikian pula diungkapkan oleh NN, ketika memutuskan bercadar tak
jarang NN mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari
lingkungan sekitarnya namun menurutnya hal tersebut bukan alasan untuk
NN untuk kemudian menutup diri dari masyarakat sekitarnya. NN selalu
menyapa orang-orang terlebih dahulu dengan begitu masyarakat mampu
terbiasa dengan kehadiran dirinya.
Kalau misalnya ada orang yang kumpul-kumpul teriak ka menyapa, karena
kalau bukan kita yang menyapa susah, kalau cuma senyum tidak akan
terlihat selain itu supaya mereka tidak aneh ki dengan keberadaan ta.
(wawancara, 21 Mei 2018)
3. Perilakau Komunikasi Perempuan Bercadar dalam masyarakat
Memutuskan untuk bercadar bukan berarti membatasi komunikasi secara
langsung. Penggunaan komunikasi verbal/langsung merupakan komunikasi paling
efektif meski dalam kondisi bercadar sekalipun. Komunikasi verbal tetap menjadi
cara yang paling efektif untuk menyampaikan apa yang dianggap benar dan perlu
untuk diketahui oleh banyak orang, berdakwah salah satunya.
Untuk mendukung komunikasi verbal penting kemudian untuk
melakukan komunikasi non verbal terutama bagi perempuan bercadar ketika
berkomunikasi khususnya dengan lawan komunikasi pria. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan menemukan bahwa komunikasi non verbal masih dilakukan untuk
mempertegas maksud tujuan yang ingin disampaikan pengguna cadar. Adapun
perilaku komunikasi perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan adalah sebagai berikut.
Menggunakan cadar bukan berarti hambatan dalam melakukan komunikasi.
Bagi perempuan bercadar banyak cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan
maksud dan tujuan salah satunya dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non
verbal juga sangat membantu dalam mempertegas ucapan yang mungkin kurang
diterima dengan baik oleh lawan komunikasi. Berikut bagaimana perilaku
komunikasi verbal dan non verbal dari para informan terhadap masyarakat imum
dan pengguna cadar.
3.1 Perbedaan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar
Tabel 4. 5
Perbedaan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar
Perilaku Komunikasi
Perempuan
Bercadar
Verbal
Non Verbal
Masyarakat Umum
Mengucapkan salam
Percakapan
seperlunya
Mengecilkan nada
suara.
Tidak menatap
wajah ketika
berkomunikasi
dengan pria.
Sesama Pengguna
Cadar
Mengucapkan salam
Percakapan Intens
Berjabat tangan
Saling merangkul
Sumber: Data Primer (2018)
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa dalam berkomunikasi
perempuan bercadar akan melakukan komunikasi yang berbeda antara
masyarakat yang tidak mengenakan cadar dengan yang mengenakan cadar,
hal ini disebabakan adanya faktor kesamaan dan kedekatan dengan sesama
pengguna cadar sehingga mereka akan nyaman berkomunikasi bahkan akan
berlangsung lama. Awal pertemuan dengan sesama pengguna cadar diawali
dengan mengucapkan salam berlanjut ketingkat berjabat tangan. Ketika
mereka sudah menjalin komunikasi yang lebih jauh biasanya mereka
berkomunikasi sambil memegang tangan atau merangkul sesama pengguna
cadar, hal ini disebabkan adanya kesamaan dari segi pakaian dan pemahaman
juga adanya kenyamanan ketika berkomunikasi dengan sesama pengguna
cadar. Lain halnya ketika mereka bertemu dengan perempuan yang tidak
mengenakan cadar mereka lebih memilih bentuk sapaan salam sebagai bentuk
komunikasi. Mereka juga memilih menjaga jarak terutama bagi lawan
komunikasi pria serta berusaha untuk tidak berlama-lama dan menjawab
seadanya saja. Meski beberapa informan sebelum mengenakan cadar memiliki
teman pria lebih banyak namun ketika mereka bercadar mereka membatasi
diri dengan pria salah satunya dengan tidak berlam-lama ketika
berkomunikasi dan menjawab seadanya.
4. Hambatan Dalam Proses Pengungkapan Diri Perempuan Bercadar
Dalam proses pengungkapan diri perempuan bercadar di Kabupaten
Pangkajene dan Kapulauan menemukan bahwa tidak semua perempuan bercadar
mampu melakukan pengungkapan diri atau self disclosure ketika berkomunikasi
sebab setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Setelah melakukan
wawancara mendalam dengan informan maka kemudian ditemukan beberapa
faktor yang dapat dapat menjadi penghambat dalam berkomunikasi bagi
perempuan bercadar di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan diantaranya
selektifitas dalam berkomunikasi, faktor lingkungan, dan kekhawatiran akan
penolakan.
4.1 Selektifitas dalam Berkomunikasi
Beberapa penelitian mengindikasikan secara umum bahwa wanita
cenderung lebih terbuka ketika berkomunikasi daripada pria. Salah satu faktor
yang dapat menjadi penghambat perempuan bercadar dalam melakukan
pengungkapan diri adalah adanya selektifitas yang terbilang cukup tinggi
dalam berkomunikasi khususnya ketika berkomunikasi dengan pria. Para
informan mengaku memberikan respon atas pertanyaan-pertanyaan atau
informasi yang dianggap penting saja, setelah merespon pertanyaan kemudian
mereka tidak memberikan tanggapan kembali yang akan membuat
komunikasi berlangsung lebih lama. Berikut adalah selektifitas dalam
berkomunikasi perempuan bercadar sebelum dan setelah bercadar terhadap
lawan komunikasi pria dan wanita.
Tabel 4.6
Selektifitas dalam Berkomunikasi
Informan
Selektifitas dalam Berkomunikasi
Sebelum Bercadar Setelah Bercadar
Pria Wanita Pria Wanita
SNA Ya Tidak Ya Tidak
RF Ya Tidak Ya Tidak
UF Tidak Tidak Ya Tidak
ML Ya Tidak Ya Tidak
SW Tidak Tidak Ya Tidak
RM Ya Tidak Ya Tidak
NN Tidak Tidak Ya Tidak
Sumber: Data Primer (2018)
Berdasarkan tabel 4.6 menemukan bahwa beberapa informan (SNA,
RF, ML dan RM) mengatakan sangat selektif terhadap lawan komunikasi pria
jauh sebelum mengenakan cadar, namun beberapa informan (UF, SW dan
NN) mengatakan membatasi atau cukup selektif terhadap lawan komunikasi
pria setelah memutuskan bercadar. Informan RF mengatakan cukup selektif
ketika berkomunikasi dengan pria sejak masih kuliah. RF berkomunikasi
dengan pria hanya sebatas menanyakan tugas kuliah atau informasi penting
lainnya.
“Jadi tetap kalau untuk komunikasinya yah komunikasinya seperti biasa,
cuman yang dibatasi itu yang posisinya hanya sebagai teman, jadi kita batasi
dari segi mungkin bergaulnya tetap bergaul, tapi hanya dari sebatas tugas
kuliah atau yang penting-penting saja seperti itu.” (Wawancara, 10 April
2018)
Hal senada juga dikemukakan oleh ML, yang sangat selektif ketika
berkomunikasi dengan lawan komunikasi pria. ML hanya berkomunikasi
ketika lawan komunikasinya terlebih dahulu bertanya, setelah menjawab
pertanyaan Ia memilih tidak bertanya lagi.
Lebih jaga jarak cuman komunikasinya kalau dia memulai duluan ji, dijawab
sudah dijawab selesai mi. (Wawancara, 12 April 2018)
Lain halnya dengan UF dan SW, mereka cukup selektif berkomunikasi
dengan lawan komunikasi pria hanya ketika telah memutuskan untuk
bercadar. UF mengaku sebelum hijrah Ia bahkan memiliki lebih banyak teman
pria daripada wanita.
Saya adalah orang tipenya itu lebih banyak berteman dengan laki-laki, jujur
saja saya itu lebih banyak teman ku laki-laki, nongkrongnya itu sama teman
laki-laki, saya adalah orang yang seperti itu dulunya, setelah bercadar kembali
lagi kita ada tanggung jawab dengan cadar ta ketika kita memakai cadar kita,
bahwa yang namanya orang bercadar pasti harus tau aturan iyakan?
(Wawancara, 11 April 2018)
Setelah memutuskan untuk bercadar UF mengatakan harus membatasi
pergaulannya, sebelumnya Ia sangat sering chattingan dengan teman-
temannya yang bukan mahrom namun setelah bercadar kembali lagi Ia
mengedepankan syariat Islam serta berkomunikasi dengan teman prianya
hanya sebatas obrolan grup untuk tetap menjaga silaturahmi.
Tau aturan agama, tau syariat agama mana yang boleh mana yang tidak. Jadi
ada memang batasan. Dulu teman-temanku, bahkan mungkin adalah sahabat,
itu jarang sekali saya chat sama mereka itu pun chat palingan di grup, secara
personal itu jarang mi, jarang sekali. Tetap kita menjaga silaturahim sama
mereka. (Wawancara, 11 April 2018)
Tidak hanya UF, sebelum bercadar SW juga merupakan orang yang lebih
senang berteman dengan pria, menurutnya berteman dengan pria dianggap
lebih nyaman karena tidak cerewet. Namun setelah bercadar SW harus tau
batasan yang mengikatnya.
Iya berbeda sekali. Kalau dulu bisa dibilang saya juga orang yang lebih
banyak teman cowok ku karena memang lebih tidak terlalu cerewet ki kalau
cowok, tapi kemudian setelah pake jilbab besar mereka sendiri ji sebenarnya
yang menghindar, mereka paham jadi nda terlalu bagaimana ji sampai
akhirnya pake cadar maksdunya kayak seperlunya ji. (Wawancara, 12 April
2018)
Selain UF dan SW sebelum bercadar NN juga memiliki banyak teman pria
karena memiliki kebiasaan mendaki dan organisasi yang membuatnya harus
berkomunikasi dan berteman lebih banyak dengan pria, namun setelah
bercadar NN kembali memberikan batasan terhadap dirinya sendiri.
Kalau laki-laki pasti sudah terbatas karena, kalau ketemu ki laki-laki pasti
tidak boleh ki terlalu banyak komunikasi kecuali kalau ada yang penting itu
pun nda berlama-lama harus to the point. (Wawancara, 21 Mei 2018)
4.2 Faktor lingkungan
Salah satu yang dapat menghambat proses self disclosure adalah faktor
lingkungan. Berada ditengah masyarakat etnik Bugis membuat bias
masyarakat yang dirasakan perempuan bercadar semakin besar, hal ini
disebabkan latar belakang keluarga yang masih kental dengan tradisi etnik
Bugis seperti ma’baca-baca yang berbeda dengan keyakinana perempuan
bercadar umumya sehingga sebagian dari perempuan bercadar sulit atau
enggan melakukan pengungkapan diri dengan masyarakat. SNA salah
satunya, SNA yang berprofesi sebagai guru disalah satu sekolah menengah
kejuruan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan mengaku
berkomunikasi dengan masyarakat saat momen-momen tertentu saja
sehingga akan sulit untuk melakukan tingkatan komunikasi yang lebih jauh
salah satunya sulit melakukan keterbukaan diri terhadap masyarakat karena
lebih dulu mengasingkan diri.
Kan kalau orang awam biasa na liati-liati ki dulu kayak merasa aneh ki na
liat. Jadi kita biasa merasa juga ih kayak asing ka. (Wawancara, 2 April
2018)
Perasaan asing berada ditengah-tengah masyarakat dan menjadi pusat
perhatikan masyarakat membuat SNA sadar bahwa harusnya Ia memulai
komunikasi kepada masyarakat, namun kondisi ini justru membuat Ia
semakin menutup diri dengan memutuskan jarang keluar rumah.
Kalau saya kurangi itu keluarnya. kayak keluar rumah jarang sekali keluar
rumah, jarang sekali semenjak ini. Apalagi semenjak suami bilang kalau
bisa di pake mi terus, jadi itu mi saya makin jarang keluar rumah. Keluar
rumah ji kalau naik motor. Tapi kalau kayak jalan-jalan sore jarang,
palingan kalau jalan-jalan sore pakai motor. (Wawancara, 2 April 2018)
Hal senada juga dikemukakan oleh RF, kondisi lingkungan membuat ia
merasa asing berada ditengah lingkungan kerjanya sehingga Ia sulit
melakukan pengungkapan diri atau self disclosure.
Kalau misalnya ada pertemuan kantor misalnya, bertemu dari dinas-dinas
lain biasanya itu merasa asing ki, tapi biasa saya ku taktisi dengan saya
usahakan saya duluan datang jadi saya kalau kuliat mi semua orang-orang
insyaAllah tidak mi. Karena pasti mi saya jadi fokus dengan pakaian ku,
jadi biar perasaan asingnya tidak terlalu lama. Biasanya begitu ji lagi kalau
ketemu ji lagi sama orang banyak yang tidak pernah saya temui disitu biasa
saya merasa masih ada perasaan asing. (Wawancara, 10 April 2018)
Keadaan seperti ini kemudian ditaktisi RF dengan lebih dahulu datang,
tidak hanya itu RF juga pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda
sehingga kemudian sulit melakukan ketebukaan ini.
Di kantor ada satu orang yang seperti menjaga jarak sama saya tapi entah
apakah memang orangnya seperti itu atau karena cadar ku. Tapi kalau saya
bertanya masalah pekerjaan anu ji, cuman kayaknya dia menahan diri
untuk tidak akrab sama saya. (Wawancara, 10 April 2018)
Berada ditengah masyarakat etnik Bugis kemudian membuat UF turut
merasakan sulitnya melakukan pengungkapan diri dengan masyarakat hal
ini disebabkan pandangan masyarakat yang kemudian susah untuk
dipatahkan.
Saya memutuskan dengan begitu lama juga meminta persetujuan orangtua
tentu kita juga harus meminta ijin dari orang tua karena bagaimana pun
ditengah apalagi kita orang Labakkang ini terkenal sekali itu dengan
adatnya seperti apa, itu yang susah untuk dipatahkan pandangannya orang
itu sama kita (pengguna cadar) luar biasa. (Wawancara, 11 April 2018)
Selain dari hal tersebut, persepsi masyarakat yang tidak lain adalah tokoh
agama yang merasa bahwa kehadiran perempuan bercadar di tengah
masyarakat karena adanya dorongan dari oknum tertentu, persepsi seperti
ini juga membuat perempuan bercadar makin sulit menyesuaikan diri
dengan masayarkat.
Pokoknya masalah cadar itu kita tidak tahu apakah ada yang menopang
dibelakang, ada oknum dibelakangnya kita tidak tahu. (Wawancara, 22 Mei
2018)
Pernyataan MZ tersebut terhadap perempuan bercadar tentu dapat
berpengaruh tidak hanya kepada perempuan bercadar namun juga terhadap
penerimaan masyarakat terhadap perempuan bercadar apalagi posisi MZ
yang merupakan tokoh agama.
4.3 Kekhawatiran akan penolakan
Banyak orang yang enggan melakukan pengungkapan diri atau self
disclosure karena khawatir akan mendapatkan hukuman yang umumnya
adalah berupa bentuk penolakan. Beberapa perempuan yang telah
memutuskan untuk bercadar kemudian enggan melakukan self disclosure
karena tak jarang mendapatkan penolakan. Penolakan yang terjadi tidak
hanya dari masyarakat namun juga dari keluarga. Salah satu informan
dalam hal ini tokoh agama setempat memberikan pernyataan yang
kemudian dapat menjadi alasan muncul kekhawatiran akan penolakan yang
kemudian dirasakan oleh perempuan bercadar.
Pertama itu sangat dibenci. Mama menolak kakak perempuan juga
menolak. Tidak usah mi, itu saja jilbab sudah luar biasa sekali mi
panjangnya, sudah hitam-hitam panjang lagi, mau lagi tambah bercadar
saya tidak suka. Mama marah-marah awalnya, saya kasi simpan lagi saya
tahan dulu. Lama-lama semakin besar keinginan juga minta ijin mi lagi,
masih ditolak, masih ditolak. (Wawancara, 11 April 2018)
Selain UF, informan lain seperti NN juga sering mendapatkan penolakan
dari masyarakat seperti mendapatkan pengabaian ketika Ia menyapa orang
yang Ia temui.
Kalau disini kan ceritanya terbiasa mi liat ka tidak mi, itu ji kalau pulang
kampung ka begitu mi kalau orang baru ka na liat kayak sinis ki. Awalnya
itu saya pake syal tapi tidak pasang dari rumah ka, dari depan jalan karena
begitu kalau misalnya ujiannya lolos dari keluarga pasti ada dari
masyarakat, dari tetangga. Kayak ini, lolos ka dari keluarga dari tetangga
lagi. (Wawancara, 21 Mei 2018)
Penolakan yang diterima oleh perempuan bercadar tidak hanya datang dari
keluarga namun juga dari masyarakat yang tidak lain adalah tokoh agama.
Kebiasaan perempuan bercadar yang menutup diri kemudian membuat
muncul persepsi yang berbeda. Salah satu persepsi masyarakat yang paling
besar adalah bahwa perempuan bercadar cenderung menutup diri dari
masyarakat.
Seakan-akan ada batasannya-batasannya. Pokoknya cadar itu persepsinya
kurang bagus karena ditutupi. (Wawancara, 22 Mei 2018)
Hal senada juga dikemukakan oleh informan NAM bahwa perempuan
bercadar cenderung menutup diri dari masyarakat.
Ada satu yang sering kuperhatikan kalau perempuan bercadar tapi tidak
semuanya, kalau perempuan bercadar terkesan tertutup menurutku.
(Wawancara, 23 Mei 2018)
B. Pembahasan
1. Pengungkapan Diri Perempuan dan Perilaku Komunikasi Bercadar di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya terkait
bagaimana Pengungkapan Diri Dan Perilaku Komunikasi Perempuan
Bercadar Di Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan menemukan bahwa alasan
perempuan bercadar memutuskan untuk mengenakan cadar adalah menjalankan
sunnah, melindungi diri dari fitnah, perasaan lebih aman dan nyaman serta faktor
yang sifatnya mendorong keputusan perempuan bercadar untuk mengenakan cadar
yakni adanya dorongan dari ustazah serta rutin mengikutu kajian dalam sebuah
organisasi Islam. Hal ini tentu tidak lepas dari proses belajar perempuan bercadar
dengan cara mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain disekitarnya
dalam hal ini perempuan bercadar. Dalam teori imitasi menjelaskan bahwa
perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan
antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Perempuan bercadar dalam
keputusannya mengenakan cadar juga karena adanya keinginan untuk sama
dengan orang-orang disekitarnya, dengan cara mengambil atau meniru kebiasaan
orang lain dan menerapkan pada dirinya.
Selain itu kebiasaan atau tradisi masyarakat Pangkajene dan Kepulauan yang
masih sangat kental dengan ritual dan adat terdahulu merupakan salah satu
tantangan bagi perempuan muslim bercadar dalam proses menggunkan cadar
hingga proses pengungkapan diri. Perempuan bercadar sulit untuk melakukan
pengungkpan diri ditengah masyarakat disebabkan adanya perbedaan dalam
melakukan keyakinan masing-masing. Perempuan bercadar dalam hal ini informan
memilih melepas diri dan menghindar dari berbagai acara yang masih tersentuh
dari kegiatan ritual adat etnik Bugis seperti dengan tidak menghadiri acara-acara
pernikahan pada malam mapacci, ma’baca-baca ketika menyambut hari raya,
bahkan maccera’ ke makam-makam keluarga, mereka akan membuat berbagai
alasan ketika diajak oleh keluarga atau masyarakat sekitar mereka. Adapaun faktor
lain yang menyebabkan perempuan muslim bercadar tidak terbuka kepada
masyarakat adalah masih ada sebagian masyarakat yang memperolok penampilan
perempuan bercadar. Perasaan asing berada ditengah masyarakat juga merupakan
salah satu faktor penghambat dalam ketebukaan diri perempuan bercadar dalam
masyarkat. Tidak jarang perempuan bercadar mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari masyarakat seperti ejekan atau sindiran yang terkadang dari
dari keluarga sendiri. Perempuan bercadar lebih terbuka ketika bertemu dengan
sesama pengguna cadar dan ustazah terutama ketika bertemu dalam forum kajian
Islam.
Dalam penelitian ini pula menemukan tidak semua perempuan bercadar
mampu melakukan pengungkapan diri. Tiga dari tujuh informan dalam penelitian
ini mampu terbuka ketika berada ditengah masyarakat namun tetap memiliki
hambatan dalam prosesnya. Adapun faktor yang dapat menghambat proses
pengungkapan diri perempuan bercadar adalah selektivitas dalam berkomunikasi,
faktor lingkungan dan adanya kekhawatiran akan penolakan.
Dari penjelasan sebelumnya pula, ditemukan bahwa perempuan bercadar
menganggap cadar bukan sebuah hambatan dalam berkomunikasi. Hal ini terlihat
dari informan yang masih menggunkana cadar meski memiliki profesi yang
memungkinkan harus bertemu dengan banyak orang. Hal ini juga diperkuat
dengan adanya informan yang telah menggunkan cadar selama 13 tahun lamanya.
Bagi mereka cadar bukanlah penghambat bagi mereka untuk berkomunikasi
namun cadar dianggap sebagai pelindung dari berbagai fitnah yang bisa saja
timbul ketika mereka tidak menggunkan cadar.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya juga menemukan bahwa adanya
perubahan perilaku komunikasi sebelum dan setelah mengenakan cadar terutama
bagi informan yang memiliki latar belakang keluarga yang masih melakukan
tradisi masyarakat etnik Bugis. Sebelum mengenakan cadar mereka masih
menghadiri dan mengikuti beberapa acara namun setelah mengenakan cadar
mereka melepas diri dari kegiatan-kegiatan tersebut dengan membuat berbagai
alasan ketika mendapat ajakan dari keluarga dan masyarakat. Berbeda halnya
dengan informan yang memiliki latar belakang keluarga yang memiliki
pemahaman agama dan sebelumnya memang tidak melakukan tradisi etnik Bugis,
tidak ada perubahan perilaku komunikasi yang signifikan.
Masyarakat etnik Bugis yang masih lekat dengan tradisi terdahulu membuat
perempuan bercadar memilih melepas diri dan membatasi diri sebab adanya
perbedaan dalam melakukan tradisinya. Kemudian perilaku komunikasi yang
dipilih perempuan bercadar lebih dominan kepada perilaku komunikasi verbal dan
non verbal. Komunikasi verbal masih menjadi pilihan utama dalam berkomunikasi
kepada lawan komunikasi baik pria maupun wanita. Kemudian komunikasi non
verbal lebih banyak dilakukan kepada lawan komunikasi pria saja hal ini
dilakukan agar mereka tidak melakukan komunikasi yang lama dengan lawan
komunikasi pria yang tidak memiliki kepentingan dengan dirinya.
Setelah memutuskan untuk bercadar mereka kemudian membatasi dengan
siapa harus berkomunikasi. Menurut mereka ketika memilih untuk bercadar berarti
mereka harus menjalani aturan semestinya. Bercadar kemudian bukan menjadi
penghambat bagi perempuan yang bercadar, mereka tetap melakukan aktifitas
seperti sebelum mengenakan cadar meski ada perbedaan dari cara berkomunikasi
seperti lebih mengecilkan suara atau menundukkan pandangan ketika
berkomunikasi dengan pria. Beberapa informan yang memiliki pekerjaan yang
memungkinkan mereka harus bertemu dengan banyak orang juga membuktikan
bahwa dengan cadar mereka masih beraktifitas seperti biasa. SNA dan SW yang
merupakan seorang guru tetap mengenakan cadar ditengah profesinya dan
menghasruskan untuk bertemu dan bertatap muka dengan sesama rekan kerja,
murid-murid bahkan orang tua murid sekaligus. UF yang merupakan seorang
pegawai toko pun masih tetap beraktifitas di tengah pekerjaannya yang
mengharuskan Ia untuk bertemu dengan para pelanggan toko yang tidak jarang
adalah pria. Selain itu juga, RF yang berprofesi sebagai staff disalah satu dinas di
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan tetap menganakan cadar bahkan sampai 13
tahun lamanya, hal ini tentu membuktikan bahwa cadar tidak membatasi mereka
dalam berkomunikasi dan beraktifitas. Karena menurut mereka cadar adalah
sunnah yang dengan menjalankan sunnah Rasulullah mereka merasa akan selalu
dilindungi.
Pengungkapan diri dipengaruhi oleh bagaimana hubungan komunikasi
interpersonal sebelumnya. Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka
semakin mudah seseorang dalam proses pengungkapan dirinya. Seperti halnya
ketujuh informan yang telah diwawancarai, mereka dengan mudah melakukan
pengungkapan diri kepada sesama pengguna cadar seperti berbagi pengalaman
selama mengenakan cadar ketika bertemu di forum-forum kajian yang rutin
mereka lakukan hal ini terjadi selain karena adanya kesamaan pengalaman juga
karena kedekatan komunikasi interpersonal yang sudah berlangsung lama sehingga
dalam proses pengungkapan diri, mereka menjadi pribadi yang terbuka karena
ketika mereka melakukian proses self disclosure mereka mendapatkan solusi atas
apa yang mereka rasakan. Jadi ketika mereka bertemu dengan sesama pengguna
cadar mereka mereka akan menjadi open self. Namun sebaliknya, ketika mereka
berada dalam masyarakat khususnya masyarakat etnik Bugis yang sifatnya
majemuk dan tidak memiliki kedekatan interpersonal dengan mereka, empat dari
tujuh informan akan berada pada hidden self atau mereka akan menutup diri.
2. Faktor Penghambat Pengungkapan Diri Perempuan Bercadar
Dalam proses pengungkapan diri, tidak hanya bagi informan yang tertutup
mendapatkan hambatan, bagi informan yang terbuka kepada masyarakat tidak
lepas dari berbagai hambatan dalam proses pengungkapan dirinya. Dari hasil
penelitian menemukan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menjadi
penghambat dalam proses pengungkapan diri perempuan bercadara di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan adalah sebagai berikut:
a. Selektivitas dalam berkomunikasi.
Selektivitas perempuan bercadar dalam menentukan dengan siapa kemudian Ia
berkomunikasi membuat mereka sulit melakukan proses self disclosure. Tidak
hanya kepada lawan komunikasi pria, beberapa informan juga menerapkan
selektivitas dalam berkomunikasi bagi lawan komunikasi wanita. Hal ini
membuat mereka sulit dalam melakukan proses self disclosure.
b. Faktor lingkungan
Hampir semua informan mengatakan faktor utama mengapa kemudian sulitnya
proses self disclosure karena adanya faktor lingkungan yang tidak menerima
keputusan mereka untuk bercadar. Informan yang tinggal di daerah kota seperti
Pangkajene dan Bungoro mengaku tidak memiliki penolakan yang begitu keras
dari masyarakat. Namun empat informan yang berasal dari daerah yang jauh
dari kota seperti Labakkang, Minasate’ne, Balocci dan Tondong Tallasa
mengaku faktor lingkungan yang jauh dari perkotaan akan mendapatkan
penolakan yang lebih besar dari masyarakat.
c. Kekhawatiran akan penolakan
Kekhawatiran akan hukuman yang dimaksud adalah berupa penolakan.
Penolakan yang diterima informan tidak hanya dari masyarakat namun juga
dari keluarga sendiri. empat dari tujuh informan dalam penelitian ini
mengatakan mendapatkan penolakan dari pihak keluarga atas keputusannya
mengenakan cadar. Hal ini tentu dapat menghambat proses self disclosure dari
perempuan bercadar karena khawatir tidak mendapatkan respon yang baik
berupa penolakan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan analisis yang telah dilakukan
mengenai “Pengungkapan Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar
di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan” dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Proses pengungkapan diri (self disclosure) perempuan bercadar di Kabupaten
Pangkajene dan kepualauan pada umumnya terbuka (open self) ketika mereka
bertemu dengan sesama pengguna cadar lainnya hal ini disebabkan adanya
kesamaan pengalaman hidup. Namun pada umumnya cenderung tertutup
(hidden self) ketika mereka berada ditengah masyarkat karena adanya
perasaan asing dan berbeda dengan masyarakat. Namun kondisi ini tidak
berlangsung lama, karena hanya terjadi ketika mereka berada pada lingkungan
baru.
2. Dalam proses pengungkapan diri perempuan bercadar di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan perempuan bercadar baik yang tertutup maupun
yang terbuka tidak lepas dari hambatan dalam proses pengungkapan dirinya.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mereka dalam proses
pengungkapan dirinya diantaranya (1) selektivitas dalam berkomunikasi, (2)
faktor lingkungan dan (3) kekhawatiran akan penolakan.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya terkait “Pengungkapan
Diri dan Perilaku Komunikasi Perempuan Bercadar di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan” maka penulis dapat menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Kepada perempuan bercadar, kiranya untuk selalu membangun komunikasi
dengan masyarakat dari hal sekecil seperti sering melontarkan salam atau
bercerita sehingga masyarakat dapat mengubah persepsi yang buruk terhadap
perempuan bercadar. Selain itu, kepada masyarakat umum jangan
mengasingkan perempuan bercadar yang ada disekitarnya dan tetap
berprasangka positif terhadap perempuan bercadar bahwa mereka
memutuskan bercadar untuk meningkatkan bentuk ibadah kepada Tuhan.
2. Untuk meminimalisasi hambatan dalam proses pengungkapan diri kiranya
perempuan bercadar untuk mengurangi batasan-batasan kepada masyarakat
terutama ketika berada di lingkungan yang masih sangat kental dengan tradisi
khususnya etnik Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, R. 2017. Hubungan Antara Prasangka Masyarakat Terhadap Muslimah
Bercadar Dengan Jarak Sosial. Jurnal RAP, 5(1), 72-81.
Ambia, R. N. 2016. Strategi Komunikasi Komunitas Wanita Indonesia Bercadar
(WIB) Dalam Mensosialisasikan Jilbab Bercadar
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan dalam Angka.
Budyatna, M & Ganiem. 2011. Teori komunikasi antapribadi. Jakarta: kencana.
Cangara, Hafied. 2012. Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendy, Onong Uchajana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Hanifa, S. N. 2012. Meningkatkan Keterbukaan Diri Dalam Komunukasi Antar
Teman Sebaya Melalui Bimbingan Kelompok Teknik Johari Window.
Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application,
1(2).
Harapan, E., & Ahmad, S. 2016. Komunikasi Antarpribadi: Perilaku Insani Dalam
Organisasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Komala, Lukiati. 2009. Ilmu Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Kriyantono, Burhan. 2014. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. 2014. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mutiah, M. 2013. Dinamika Komunikasi Wanita Arab Bercadar. Jurnal Penelitian
Komunikasi, 16(1).
Novri, M. S., & Yohana, N. 2015. Konstruksi Makna Cadar Oleh Wanita Bercadar
Jamaah Pengajian Masjid Umar Bin Khattab Kelurahan Delima Kecamatan
Tampan Pekanbaru.
Puspanegara V Adriani. 2016. Perilaku Komunikasi Perempuan Muslim Bercadar Di
Kota Makassar (Studi Fenomenologi).
Puspitasari, Y., Rahardjo, T., & Naryoso, A. 2013. Memahami Pengalaman
Komunikasi Wanita Bercadar dalam Pengembangan Hubungan dengan
Lingkungan Sosial. Interaksi Online, 1(3).
Rahmawati, L. 2015. Hubungan Antara Keterbukaan Diri Dengan Keterampilan
Komunikasi Interpersonal Pada Siswa Kelas Viii Smp N 1 Mlati (Doctoral
dissertation, Fakultas Ilmu Pendidikan).
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ratri, Lintang. 2011. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim”. Jurnal
Forum. Vol.39, No.2.
Rhosyidah, Kholifatur. 2015. Pengaruh Keterbukaan Diri (self Disclosure) Terhadap
Keterampilan Komunikasi Menantu Perempuan Pada Ibu Mertua Di Daerah
Karanganyar Probolinggo.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixxed Methods). Bandung: Alfabeta
Sujarweni, V.Wiratna. 2014. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tazbih, Sitti R N. 2016. Self Disclosure Mahasiswa Yang Berperan Sebagai Ayam
Kampus (Studi Kasus Terhadap 3 Orang Mahasiswa Di Universitas
Hasanuddin).
Zakiyah, J. 2013. Fenomena Wanita Bercadar (Studi Fenomenologi Konstruksi
Realitas Sosial Dan Interaksi Sosial Wanita Bercadar) (Doctoral Dissertation,
Universitas Pembangunan Nasional" Veteran" Jawa Timur).
Lampiran
PEDOMAN WAWANCARA
A. Identitas Pribadi
1. Nama :
2. Usia :
3. Alamat :
4. Pendidikan / pekerjaan :
5. Organisasi Islam :
6. Lama mengenakan cadar :
B. (Rumusan Masalah I)
Bagaimana pengungkapan diri dan perilaku komunikasi perempuan bercadar dalam
berkomunikasi dengan masyarakat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan?
1. Kapan Anda memutuskan untuk mengenakan cadar?
2. Siapa yang berperan penting dalam keputusan Anda mengenakan cadar?
3. Bagaimana Anda berperilaku kepada masyarakat yang tidak mengenakan cadar
dan yang mengenakan cadar? Apakah ada perbedaan?
4. Bagaimana tanggapan kerabat Anda seperti keluarga dan teman terhadap
keputusan untuk mengenakan cadar?
5. Bagaimana Anda berkomunikasi dengan perempuan dan laki-laki?
6. Bagaimana Anda memposisikan diri di tengah masyarakat yang seagama dan
tidak seagama?
7. Bagaimana Anda berkomunikasi dengan masyarakat etnik Bugis yang masih
lekat dengan tradisi terdahulu yang mungkin saja berbeda dengan keyakinan
Anda ?
C. (Rumusan Masalah II)
Faktor apa saja yang dapat menghambat pengungkapan diri perempuan di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan ?
1. Apa hal yang membuat Anda tidak terbuka ketika berkomunikasi dengan
masyarakat?
2. Apakah Anda merasa asing ketika berada ditengah masyarakat?
3. Apakah Anda merasa nyaman ketika berkomunikasi dengan masyarakat yang
tidak mengenakan cadar?
4. Apakah Anda pernah mendapatkan perlakuan yang tidak baik selama
menggunakan cadar?
5. Apakah persepsi masyarakat mempengaruhi Anda dalam berkomunikasi?
6. Apakah Anda pernah menghadiri acara yang masih kental dengan tradisi
masyarakat etnik Bugis? Jika pernah bagaimana Anda memposisikan diri dan
melakukan komunikasi dengan tamu yang hadir?
7. Apakah Anda merasa risih ketika berkomunikasi dengan orang lain, terutama
bagi mereka yang tidak mengenakan cadar?
D. Perempuan yang tidak mengenakan bercadar / tokoh agama.
1. Bagaimana pandangan Anda mengenai perempuan bercadar?
2. Pernahkah Anda berkomunikai secara langsung dengan perempuan bercadar?
Jika pernah bentuk komunikasi seperti apa yang berlangsung?
3. Ketika bertemu dengan perempuan bercadar siapa yang terlebih dahulu
menyapa?
4. Terkait maraknya pemberitaan di media terkait perempuan bercadar, apakah
mempengaruhi pandangan Anda terkait perempuan bercadar?
5. Pernahkah Anda melihat atau mendengar cerita yang buruk tentang perempuan
bercadar di tengah masyarakat tempat Anda tinggal?
6. Dalam masyarakat etnik Bugis yang masih kental dengan tradisi, apakah
memungkinkan terjadi penerimaan yang baik dari masyarakat terhadap
perempuan bercadar ?
7. Menurut pandangan Anda apakah perempuan bercadar terkesan berlebihan
dalam berpakaian?