Upload
nguyenngoc
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG HAK
KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah
Jakarta, 12 Juni 2009
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Asmawi, MAg (………………………)
NIP: 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, MAg (………………………)
NIP: 150 282 403
3. Pembimbing: Dr. Abdurrahman Dahlan MA (………………………)
NIP: 150 234 496
4. Penguji I : Prof. Dr. Hj. Amany B. Lubis, MA (…………...………….)
NIP: 150 270 614
5. Penguji II : Dr. H. A. Juwaini Syukri, Lc, MAg (……………………....)
NIP: 150 256 967
KATA PENGANTAR
Untaian rasa syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt. Hanya dengan
rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas akhir akademis berupa penulisan
skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah keharibaan Nabi besar
Muhammad saw. Insan yang memberi teladan dalam berucap, memberi contoh dalam
bertindak.
Selesainya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari motivasi dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Perkenankan
penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA selaku pembimbing dalam penyelesaian
skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan yang
sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Asmawi, MAg selaku ketua jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati,
MAg selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.
4. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany B. Lubis, MA selaku penguji I pada ujian Munaqasyah.
Beliau telah banyak memberi masukan dan arahan untuk penyempurnaan
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. H. A. Juwaini Syukri, Lc, MAg selaku penguji II pada ujian
Munaqasyah. Beliau dengan tulus telah memberikan masukan, pemikiran, dan
arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak-kakak, adik-adik, dan semua famili yang
ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua motivasi dan
kasih sayangnya.
7. Sahabat-sahabat dan orang terdekat penulis, Lia Hilyah, Jefriadi S. Sos.I, Ahmad
Hamdalah SEI, Ahmad Masy’ari, dan Nurmadiah. Terima kasih atas dukungan
kalian semua.
8. Sahabat-sahabat Siyasah Syar’iyyah angkatan 2005. Terima kasih atas semua
kebersamaan dan persahabatannya.
9. Kepada teman-teman Himpunan Pelajar Mahasiswa Riau (HIPEMARI) Jakarta,
dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampar (IPMK) Jakarta. Semoga ke depan kita
tetap utuh dalam bingkai persaudaraan.
10. Semua teman-teman penulis di mana pun berada, yang telah memberikan
dorongan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berdo’a kepada Allah swt, agar seluruh pengorbanan yang diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, akan mendapatkan balasan yang
setimpal di sisi-Nya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin
Jakarta, 27 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………….……….……………………………….....i
DAFTAR ISI …………………….………………….……….……………………..iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………….…………………....1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………….……....5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………….......6
D. Tinjauan Pustaka………………………………………….............7
E. Metode Penelitian……………………………………...................9
F. Sistematika Penulisan………………………………....................11
BAB II KEHIDUPAN INTELEKTUAL YUSUF AL-QARADHAWI
A. Asal Usul Yusuf al-Qaradhawi……………………………….....14
B. Pendidikan…………………………………………………….....18
C. Aktivitas………………………………………………………….21
D. Karya-Karya………………………………………………..........25
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KRITIK
RAKYAT DALAM SUATU NEGARA DEMOKRASI
A. Pengertian Hak Kritik Rakyat…...................................................27
B. Eksistensi Hak Kritik Rakyat dalam Negara Demokrasi..............27
C. Wadah Penyampaian Kritik terhadap Pemerintah........................29
D. Sejarah Perkembangan Hak-Hak Politik Rakyat…………..........36
E. Hak Kritik Rakyat dalam Negara Indonesia…………………….41
BAB IV HAK KRITIK RAKYAT DALAM ISLAM
A. Pengertian……………………………………………………….44
B. Landasan Hukum…………………………………………..........44
C. Tata Cara Penyampaian Kritik…………………………………..49
D. Sejarah Perkembangan Hak Kritik Rakyat………………...........51
BAB V HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN
NEGARA ISLAM MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI
A. Konsep dan Dasar-Dasar Hak Kritik Rakyat………………….…55
B. Wadah Penyampaian Hak Kritik Rakyat………………………..62
C. Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran Yusuf
al-Qaradhawi dengan Islam tentang Hak Kritik Rakyat...............73
D. Relevansi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Hak
Kritik Rakyat Dewasa ini..............................................................75
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………...…77
B. Saran…………………………………………………………….78
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut historis, persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama
sesudah wafatnya Rasulullah saw adalah persoalan kekuasaan politik atau disebut
juga masalah imamat.1 Permasalahan ini merupakan permasalahan yang bersifat
dinamis dan selalu mengalami improvisasi setiap saat, sehingga hal tersebut timbul
tidak hanya terfokus kepada pemilihan dan pengangkatan pemimpin di satu sisi,
tetapi pada sisi yang lain tidak kalah pentingnya adalah gejolak-gejolak yang muncul
pada saat atau selama pemimpin tersebut berkuasa.
Rakyat sebagai komunitas yang dipimpin akan selalu melihat kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, karena rakyat adalah target atau sasaran
kebijaksanaan itu sendiri. Negara Islam sebagai negara demokratis atau lebih tepatnya
negara yang berasaskan syura, dimana rakyat sangat berperan aktif dan disebut
dengan the controler. Untuk merealisasikan peran rakyat sebagai kontroler, maka
rakyat berhak untuk mengawasi dan mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah, dan juga mencegah hal-hal yang kontradiksi dengan ajaran Islam atau
yang bersifat munkar.
Sejarah pemerintahan Islam telah menunjukkan tentang adanya mu'aradhah
atau melakukan kritik terhadap pemerintah. Abu Bakar secara terbuka di hadapan
umum mengatakan; “...bila aku berlaku baik, bantulah aku. Akan tetapi bila aku
1 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1978), h. 91
berbuat salah, bawalah aku ke jalan yang benar. Kebenaran adalah suci, dan
kesalahan adalah pengkhianatan”.2 Islam mengenal prinsip musyawarah, hal ini
bertujuan untuk melibatkan dan mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam
kehidupan bernegara.3
Rakyat diwajibkan taat kepada pemerintah selama mereka tidak melakukan
kesalahan dan pelanggaran serta berbuat zalim. Sebaliknya, jika pemerintah
melakukan kesalahan dan bertindak zalim, maka rakyat tidak diwajibkan
mentaatinya. Bahkan rakyat mempunyai hak untuk mengkritik pemerintah supaya
mereka menyadari kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan serta
dikembalikan kepada jalan Allah dan Rasul-Nya.4
Abu al-a’la al-Maududi menjelaskan, bahwa setiap individu masyarakat atau
rakyat memiliki hak dan kewajiban terhadap jalannya roda pemerintahan suatu negara
Islam. Hal ini dapat diaktualisasikan dengan cara memberikan kontribusi pemikiran
kepada pemerintah demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis.5
2 Ridwan HR, Figh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan (Yogyakarta: FH UII Press,
2007), h. 41 3 Muhammad Tahir, Negara Hukum; Suatu Study tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h. 84
4 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi. Terjemahan Wahib Wahab (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogyakarta, 1999), h. 169 5 Musthafa bin Daud, Beberapa Aspek Pemikiran al-Maududi (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988), h. 96
Mengemukakan pendapat bukan hanya sekedar hak, melainkan suatu
kewajiban.6 Bahkan pandangan ini menurut Islam besar kedudukannya, apabila
seseorang melihat kemunkaran maka ia harus mencegahnya sesuai dengan
kemampuannya. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
ن �� رأى� ������� ����� ن � ���� ���ا ��� ��#$� #$� �%�ن 7)روا� ا%��(����� ��,��� وذ( أ)'& ا
Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnya
dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika
hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan
inilah keadaan iman yang paling lemah.”
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengubah kemunkaran
merupakan hak setiap Muslim yang melihatnya, bahkan merupakan kewajiban
baginya.8
Bila amanah amar ma’ruf dan nahi munkar sudah disia-siakan di tengah
umat, maka umat ini akan kehilangan keistimewaannya dan akan ditimpa laknat
seperti yang ditimpakan kepada umat-umat sebelumnya. Sebagaimana Nabi
Muhammad saw bersabda:
�� �/0 و8( أن �'%/7 ا�/� أ456�وا 2�3 ����إذا رأوا ا
9)روا� أ�> داود(�',�ب �� $3�� Artinya: “Bila masyarakat melihat perbuatan zalim, lalu mereka tidak mencegahnya,
maka Allah akan memberikan mereka hukuman secara umum.”
6 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha,
Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-
Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 95 7 Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Salam, 1999), h. 167 8 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 628 9 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Cairo: Matba’ah Al-Sa’adah), h. 413
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, penguasa tidak lebih hanyalah seorang dari
kaum Muslimin, dia tidak terlalu besar untuk dinasehati dan ditegur, dan rakyat pun
tidak terlalu kecil untuk menasehati dan menegurnya. Dalam agama Islam hak
berbicara dan berkritik,- jika berkaitan dengan kemaslahatan umat, kemaslahatan
akhlak, dan kemaslahatan tata sopan- merupakan sesuatu yang wajib.10
Mengkritik dan melontarkan pendapat yang dilakukan rakyat terhadap
pemimpin atau pejabat pemerintahan, merupakan tugas suci yang mendapat sanksi
apabila diabaikan.11
Untuk itu, seorang Muslim dituntut supaya menentang
kemunkaran dan memburunya sehingga kemunkaran tersebut tidak lagi hidup di
permukaan bumi ini.12
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, secara individu rakyat tidak mampu mencegah
kemunkaran, apalagi kemunkaran tersebut sudah tersebar luas dan pelakunya
memiliki kekuatan, atau kemunkaran tersebut dilakukan oleh penguasa atau pejabat
yang seharusnya mereka berada di barisan terdepan untuk mencegahnya. Pencegahan
tersebut hanya bisa dilakukan dalam bentuk amal jama’i (kerja kolektif) melalui suatu
badan yayasan atau partai.13
Partai merupakan media yang dapat difungsikan untuk
melontarkan kritikan, pendapat dan nasehat kepada penguasa/pemimpin/imam atau
pun kepada pejabat-pejabat yang terkait. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat
ini, sebab sistem ini dapat menjamin rakyat dari pemerintahan diktator, yang sering
10 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 11 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 12 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 120 13 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
berlaku sewenang-wenang dan kejam. Di bawah pemerintahan seperti ini, rakyat akan
kehilangan kekuatan untuk mengatakan ‘tidak” atau “mengapa”. Hal ini terbukti
dalam sejarah masa lalu.
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi di atas harus dilandasi dengan undang-undang
dan tidak boleh menyalahi aturan atau inkonstitusional, sehingga kritikan dan nasehat
yang dilakukan tidak mendatangkan dampak negatif yang menyebabkan kefatalan
bagi kelangsungan negara atau pemerintahan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa
lebih jauh pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam
pemerintahan negara Islam. Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang pakar yang
komprehensif. Beliau menguasai permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan ekonomi, politik, hukum, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis mengangkat
penelitian ini dengan judul: Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi Tentang Hak Kritik
Rakyat dalam Pemerintahan Negara Islam
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang
dibahas, maka penulis membatasi permasalahan penelitian ini pada pemikiran Yusuf
al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep dan dasar-dasar hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara
Islam menurut Yusuf al-Qaradhawi?
b. Bagaimana mekanisme penyampaian kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi?
c. Bagaimana relevansi konsep hak kritik rakyat Yusuf al-Qaradhawi dengan Barat
dan Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada dua signifikasi yang akan dicapai, yaitu
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana konsep dan dasar-dasar pemikiran Yusuf al-
Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam
b. Untuk mengetahui mekanisme dan wadah penyampaian kritik rakyat dalam
pemerintahan negara Islam menurut Yusuf al-Qaradhawi
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian
ketatanegaraan Islam, khususnya masalah hak kritik rakyat dalam pemerintahan
negara Islam.
b. Karya ilmiah ini merupakan wujud kontribusi dan sumbangan pemikiran penulis
untuk almamater tempat penulis menuntut ilmu.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian dengan bahasan hak-hak politik rakyat khususnya tentang
hak-hak kritik rakyat telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik
tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian.
Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian
tersebut.
Tulisan pertama, ditulis oleh Muhammad al-Mubarok dalam bukunya “Sistem
Pemerintahan dalam Persfektif Islam”. Buku ini menjelaskan tentang warga negara
dan hak-hak manusia. Al-Mubarak memberikan pandangan berkenaan dengan adanya
kebebasan bagi warga negara untuk berpartisipasi di bidang politik. Islam
memberikan kebebasan kepada umatnya untuk berpolitik. Ketentuan ini telah
dipraktekkan sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Fakta menggambarkan
bahwa pengangkatan kepala negara (yang notabene merupakan kegiatan di bidang
politik) sudah dilakukan sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, yakni dengan
majunya Abu Bakar sebagai khalifah menggantikan Nabi Muhammad saw.
Dalam bukunya penulis menjabarkan hak dan kebebasan berpolitik yang
tercermin pada dua hal, yaitu hak untuk turut serta dalam pemilihan umum (Pemilu)
serta adanya jaminan dalam kebebasan berpendapat dan berkritik. Setiap individu
berhak melahirkan pendapat dalam urusan kehidupan umum, yang di dalamnya
terdapat kebebasan berpendapat, mengkritik, serta kebebasan berpolitik. Islam
mengajak kepada umat Islam untuk menyampaikan aspirasi, bahkan kebebasan
menyuarakan ide-ide dan kritikan. Tidak ada hak bagi siapa pun termasuk pemerintah
untuk menghalang-halangi atau membatasi. Namun demikian, hal ini tentunya
dibatasi pada tindakan yang positif dan tidak sampai menyebabkan perselisihan antar
kelompok atau tidak menyebabkan kerugian bagi pihak lain.14
Kedua, “Freedom of Expression in Islam” karya Hassim Kamali.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa Mu’aradhah (melakukan kritik) terhadap
pemerintahan zalim merupakan prinsip dasar sistem pemerintahan Islam. Hassim
berpendapat, dalam al-Qur’an sandaran tekstual untuk hak ini adalah sama seperti
seruan amar ma’ruf nahi munkar. (S. Ali Imran ayat 104). Al-Qur’an sangat tegas
mengenai prinsip ini, sehingga mengangkatnya menjadi bagian yang terpenting. Al-
Qur’an menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama berkenaan
dengan mu’aradhah, dan setiap warga negara diberi hak untuk mengungkapkan dan
tidak menyetujui pelanggaran, baik itu oleh pemimpin pemerintah, seorang warga
negara, atau orang-orang yang memang terlibat dalam kriminalitas dan kejahatan.15
Ketiga, “Human Right in Islam” karangan Syaukat Hussain. Dalam buku ini,
penulis menjelaskan bahwa Islam menganugerahkan hak bagi seluruh umat manusia
untuk mengecam kezaliman pemerintah. Rasulullah saw telah mengingatkan umat
Islam bahwa mengkritik pemerintah yang zalim merupakan jihad. Dari ajaran
14 Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) 15 Muhammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita Publishing,
1994)
Rasulullah saw inilah menurut Syaukat berkembang situasi dimana selama era
khulafah ar-rasidin rakyat tidak pernah sangsi untuk mengkritik dan menasehati
khalifah.16
Dari beberapa tulisan yang penulis paparkan di atas, dapat dilihat bahwa hak
kritik rakyat yang merupakan bagian dari hak-hak politik, tidak dapat dipisahkan dari
hak-hak asasi manusia. Keberadaan hak-hak politik telah banyak dituangkan ke
dalam karya-karya ilmiah yang banyak melakukan kajian dan pembahasan seputar
hak atau kebebasan berkritik.
E. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan serta hasil yang komprehensif dan akurat, serta bisa
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual, maka penulis memerlukan
metode penelitian yang mampu menjadi kerangka eksplorasi berbagai bahan dan
perangkat yang diperlukan.
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif, yang
berarti data yang didapat merupakan kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan
dari fenomena yang diteliti. Adapun sifatnya adalah deskriptif, yaitu menggambarkan
pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara
Islam. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif-
doktriner.
16 Syaukat Hussain, Human Right in Islam (India: Kitab Bhavan, 1996)
2. Sumber Data
Penulis membagi sumber data dalam penelitian ini menjadi dua bagian, yaitu:
a. Sumber data primer, yaitu sumber data pokok yang akan memaparkan masalah
yang akan dikaji, data primer penulis ambil dari buku, Min Fiqh al-Daulah fi al-
Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa
al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin17
karangan Yusuf al-
Qaradhawi.
b. Sumber data skunder, yaitu antara lain, Fatawa Mu’ashirah,18
al-Halal wa al-
Haram,19
dan Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Alladzi Nansyuduhu.20
Buku-buku
tersebut juga merupakan karangan Yusuf al-Qaradhawi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi
dokumenter, yaitu mengambil data-data dari dokumen-dokumen atau literatur-
literatur yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.
17 (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997) 18 (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988) 19 (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1980) 20 (Cairo: Maktabah Wahbah, 1993)
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam skripsi ini adalah deskriptif-analisis, yaitu
mendeskripsikan data-data yang ada (primer dan sekunder), kemudian
menganalisanya secara komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas
persoalan yang berhubungan dengan pokok masalah.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Panduan
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah (UIN) Jakarta Tahun 2007.21
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab. Tiap-tiap bab terdiri
dari beberapa sub-sub bab, sesuai dengan kebutuhan kajian yang akan dilakukan.
Yakni sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini dimulai dengan
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah. Yaitu hal-hal apa saja yang
melatar belakangi permasalahan yang dibahas. Agar masalah yang dibahas tidak
melebar pemaparannya, maka masalah tersebut dibatasi, dan kemudian dirumuskan.
Pada bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, yaitu menjelaskan
21 Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syahid, 2007)
tujuan penulis melakukan penelitian, dan manfaat apa yang akan dicapai. Selanjutnya,
dalam penelitian ilmiah harus ada metode penelitian agar penelitian tersebut dapat
terarah dan sistematis. Untuk itu, pada bab ini penulis memaparkan metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II BIOGRAFI YUSUF AL-QARADHAWI. Dalam bab ini, penulis
membahas sejarah ringkas kelahiran dan latar belakang keluarga Yusuf al-Qaradhawi,
jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Selanjutnya aktivitas dan bagaimana karir al-
Qaradhawi di dunia Islam, dan karya-karya apa saja yang sudah dihasilkan.
Pembahasan ini diperlukan agar penulis bisa mengetahui latar belakang keluarga
Yusuf al-Qaradhawi, alur pemikiran, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi
pemikirannya.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KRITIK RAKYAT DALAM
NEGARA DEMOKRASI. Bab ini merupakan tinjaan umum tentang hak kritik
rakyat dalam negara demokrasi. Penulis mengawali pembahasan ini dengan
pengertian, bagaimana eksistensi kritik rakyat dalam suatu negara demokrasi,
diteruskan dengan bagaimana mekanisme penyampaikan kritik terhadap pemerintah.
Untuk mengetahui posisi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pada
bab ini penulis memaparkan sejarah perkembangan hak kritik rakyat dalam
pemerintahan.
BAB IV TINJAUAN ISLAM TENTANG HAK KRITIK RAKYAT. Bab ini,
disamping bertujuan untuk mengetahui pandangan Islam tentang hak kritik rakyat,
pembahasan dalam bab ini juga sebagai perbandingan antara pandangan negara
demokrasi dengan pandangan Islam secara umum tentang hak kritik rakyat.
Pembahasan dimulai dengan pengertian hak kritik rakyat, landasan hukum hak kritik
rakyat, bagaimana tata cara penyampaian kritikan. Bab ini diakhiri dengan sejarah
perkembangan hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam.
BAB V HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA
ISLAM MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI. Setelah menjelaskan pandangan
negara demokrasi dan pandangan Islam tentang hak kritik rakyat, maka pada bab ini
penulis baru memaparkan pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat
dalam pemerintahan negara Islam. Bab ini dimulai dari konsep dan dasar-dasar hak
kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi, wadah dan bentuk hak kritik rakyat
menurut Yusuf al-Qaradhawi, apa persamaan dan perbedaan pandangan Yusuf al-
Qaradhawi dengan Islam tentang hak kritik rakyat?
BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan sebuah kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran Yusuf al-Qaradhawi
tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Bab ini juga berisi saran-
saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan.
BAB II
KEHIDUPAN INTELEKTUAL YUSUF AL-QARADHAWI
A. Asal Usul Yusuf al-Qaradhawi
Yusuf Abdullah bin al-Qaradhawi lahir pada tanggal 9 September 1926 M di
desa Safth At-Turab.22
Desa ini terletak antara kota Thantha dan kota Al-Mahallah
Al-Kubra di Provinsi Barat Mesir. Desa tempat kelahiran beliau merupakan salah satu
tempat makam sahabat Rasulullah saw yang bernama Abdullah bin Harits ra. Yusuf
al-Qaradhawi berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam.23
Keluarga al-Qaradhawi adalah keluarga yang tidak terlalu besar, dan termasuk
keluarga yang bermigrasi dari daerah lain. Tentang hal ini al-Qaradhawi pernah
mendengar pamannya yang bernama Ahmad, mengatakan bahwa asal-usul nenek
moyang al-Qaradhawi adalah dari sebuah daerah yang bernama al-Qaradhah dan al-
Qaradhawi dinisbahkan kepada nama kampung tersebut, sehingga terkenal dengan
nama al-Qaradhawi.24
Keturunan al-Qaradhawi yang paling terkenal adalah di daerah Sanhur al-
Madinah, yang terletak di kota Dasuq. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa
asas-usul keluarga di Safth At-Turab bermula dari kakek al-Qaradhawi yang bernama
Haji Ali.25
Di antara keluarga al-Qaradhawi yang berprofesi sebagai pedagang dan
banyak memiliki besan dari keluarga terpandang, tidak sedikit pun memiliki lahan
22 Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 1448 23 Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi (Jakarta:
Hikmah, 2003), h. 336 24 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku. Terjemahan Cecep Taufiqurrahman, Nandang
Burhanuddin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 99 25 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 102
tanah. Karena itu, al-Qaradhawi yang bertani terpaksa menyewa tanah. Dari tanah
itulah keluarga al-Qaradhawi memetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan primer
keluarga dan untuk membiayai sewa tanah. Hal inilah yang menuntut seluruh anggota
keluarga al-Qaradhawi untuk bekerja keras membanting tulang sampai batas
maksimal, tidak mengenal istirahat dan tidak mengenal hura-hura.26
Sebelum menikah dengan ibu al-Qaradhawi, ayah al-Qaradhawi pernah
menikah dengan wanita lain tetapi kemudian mereka bercerai. Pada saat itu ibu al-
Qaradhawi adalah seorang janda yang masih sangat muda dari seorang saudara
sepupu ibu al-Qaradhawi sendiri. Laki-laki yang pertama kali menikahi ibu al-
Qaradhawi tinggal di Kairo, adalah seorang pemabuk yang suka meminum khamar
dan biasa pulang ke rumah setelah larut malam dalam keadaan mabuk,
pembicaraannya ngelantur dan tidak jelas. Saat itu ibu al-Qaradhawi adalah seorang
gadis desa yang masih sangat asing dengan perilaku seperti itu.27
Situasi ini diketahui oleh kakek al-Qaradhawi saat ia mengunjungi ibu al-
Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka sang kakek meminta agar anaknya diceraikan oleh
suaminya. Mulai saat itulah ibu al-Qaradhawi tinggal di rumah kakeknya, pada saat
diceraikan ibu al-Qaradhawi sedang mengandung dan beberapa waktu kemudian
melahirkan anak perempuan yang diberi nama Ruhiyah, saudara seibu al-Qaradhawi
dan usianya (sekitar delapan tahun lebih tua dari al-Qaradhawi). Ruhiyah diasuh dan
dibesarkan di rumah kakek dan paman al-Qaradhawi sampai Ruhiyah dinikahi oleh
26 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 52 27 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 52
saudara sepupunya (dari pihak ayahnya) di kota Zifra. Dari pernikahannya ini,
Ruhiyah dikaruniai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan dan Ruhiyah
meninggal dunia saat anak-anaknya masih kecil.28
Sementara ayah al-Qaradhawi dikarenakan masih sendiri, kemudian
mengajukan lamaran untuk menikahi ibu al-Qaradhawi. Setelah pernikahan
berlangsung beberapa tahun kemudian, ibu mengandung al-Qaradhawi. Ayah dan ibu
sepakat jika bayi yang dilahirkan seorang laki-laki, maka akan dinamai Yusuf yang
diambil dari nama paman al-Qaradhawi yang meninggal sebelum mempunyai anak.
Nama Yusuf yang diberikan paman al-Qaradhawi adalah juga nama buyut al-
Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka nama lengkap al-Qaradhawi adalah Yusuf bin
Abdullah bin Ali bin Yusuf.29
Ayah al-Qaradhawi menurut cerita pamannya yang bernama Ahmad, adalah
setengah petani dan setengah pedagang. Ketika ia berusia 2 tahun, ayahnya terserang
penyakit Bilharsia, yaitu sakit pada saluran air kecil. Karena jumlah dokter masih
sangat terbatas dan orang-orang yang dapat mengobati sangat terbatas maka ayah al-
Qaradhawi pun meninggal.30
Sebagai anak yatim ia hidup dan diasuh oleh pamannya,
ia mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pamannya itu seperti orang tuanya
sendiri. Seperti keluarganya, mereka juga orang yang taat beragama sehingga Yusuf
28 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 29 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 30 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103
lebih terdidik dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan syari’at
Islam.31
Ibu al-Qaradhawi berasal dari keluarga al-Hajar, sebuah keluarga pedagang
dan sangat terkenal dengan kecerdasannya. Ibu dan bibi al-Qaradhawi, adalah orang
yang sangat cerdas dalam berhitung meskipun tidak menggunakan catatan. Saudara
sepupu ibu al-Qaradhawi yang bernama Fatimah al-Hajar sangat pandai berhitung. Ia
dapat menghitung perkalian atau pun pembagian dengan angka-angka yang rumit
dalam waktu yang sangat singkat.32
Kakek al-Qaradhawi bernama Ali, memiliki seorang saudara laki-laki yang
bernama Muhammad. Ada yang mengatakan bahwa saudara kakek yang bernama
Muhammad itu pindah dari Shafth At-Turab dan menetap di kota Kafr Az-Ziyat. Ali
memiliki dua orang saudara perempuan yang kedua-duanya menikah di Shafth At-
Turab. Salah seorang di antara mereka bernama Fatimah menikah dengan seorang
laki-laki dari keluarga besar al-Buhairi, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan
merupakan keluarga yang sangat kaya raya. Di antara keturunan mereka adalah
Abdul Qadir, Abdul Wahab. Seorang lagi saudara perempuan kakek Qaradhawi
menikah dengan Syaikh Hasan al-Azuni. Mereka memiliki beberapa orang anak yang
di antaranya adalah Ahmad, Syasytawi, Abbas dan Muhammad. Mereka tinggal di
kampung al-Qaradhawi dan sekaligus merupakan tetangga al-Qaradhawi.33
31 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448 32 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 33 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 104
Kakek al-Qaradhawi (dari pihak ibu) meninggal dunia saat al-Qaradhawi
berusia tujuh tahun, al-Qaradhawi ikut menyaksikan pengurusan jenazahnya. Saat itu
al-Qaradhawi banyak mendengar dari masyarakat tentang kakeknya yang
menyanjung bahkan memujinya, dikarenakan kakek al-Qaradhawi adalah seorang
ulama yang sederhana namun keilmuannya sangat tinggi. Kakek, nenek, paman, dan
bibinya sangat menyayangi dan mencintai al-Qaradhawi. Kasih sayang mereka
semakin bertambah di saat al-Qaradhawi menginjak kelas empat Ibtidaiyah Al-Azhar.
Pada saat ibunya meninggal dunia, al-Qaradhawi saat itu masih duduk di kelas empat
Ibtidaiyah, maka sejak saat itulah kakek, nenek, paman dan bibi al-Qaradhawi seolah-
olah telah menjadi pengganti ibu kandung al-Qaradhawi yang telah meninggal
dunia.34
Dengan menelusuri asal-usul dan latar belakang keluarga Yusuf al-
Qaradhawi, penulis berpendapat bahwa masa kecil Yusuf al-Qaradhawi ternyata tidak
begitu beruntung, ayah dan ibunya meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku
sekolah dasar. Meskipun demikian, Yusuf al-Qaradhawi dilahirkan dari keluarga
yang cerdas dan taat beribadah, sehingga ia tumbuh dan berkembang menjadi sosok
yang cerdas, dan cinta kepada ilmu pengetahuan.
B. Pendidikan
Yusuf al-Qaradhawi merampungkan pendidikan sekolah dasar di desa asalnya
Thantha, kemudian ia melanjutkan sekolah menengah pertamanya di tempat yang
34 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 104
sama atau disebut Ma’had Tsanawi, yaitu sekolah agama Al-Azhar di kota Thantha.
Ketika Yusuf al-Qaradhawi menjadi siswa pada tingkat ke-5 pada sebuah sekolah
menengah agama di kota Thantha tersebut, tahun 1948 terjadi musibah pemerintah
Mesir saat itu mengeluarkan keputusan pembubaran Jama'ah Ikhwanul Muslimin,
kekayaan Ikhwan dirampas, pengikut-pengikutnya disiksa dan sebagian besar di
antaranya dijebloskan ke dalam penjara. Musibah itu berakhir dengan adanya makar
dari pemerintah untuk membunuh Mursyid Hasan al-Banna.35
Yusuf al-Qaradhawi saat itu termasuk siswa yang ditahan di sebuah penjara
militer kelas 1 di Thantha. Setelah itu, kemudian dipindahkan ke penjara Haikastib
lalu ke penjara At-Thur di Sinai dengan menumpang kapal laut “Ayidah” dari kota
Suez dengan melintasi Teluk Suez menuju At-Thur, ia satu penjara bersama Muh al-
Gazali al-Khulli pengarang kitab Tadzkiratud Du’at dan beberapa buku orisinil
lainnya, maka dari merekalah ia banyak belajar atau berguru tentang sesuatu. Para
pelajar sekolah menengah yang berada di penjara At-Thur termasuk Yusuf al-
Qaradhawi dalam masa yang tidak terlalu lama dipindahkan ke Haikastib dekat kota
Kairo sebagai langkah awal pembebasannya. Setelah menempuh perjalanan yang
berat, melewati gurun pasir Sinai, dalam perjalanan kelompok ini dikumpulkan dalam
sebuah lori (kereta angkutan) yang tidak beratap. Mereka dijejal di dalamnya seperti
binatang ternak, panas matahari yang menyengat tubuh di siang hari, dinginnya
malam hari padang pasir menusuk-nusuk. Setelah beberapa bulan di penjara
Haikastib, kemudian dikembalikan ke penjara At-Thur dan dibebaskan setelah
35 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 140
jatuhnya kabinet Ibrahim Abdul Hadi pada akhir Ramadhan lebih kurang tahun 1949
dan ia termasuk orang yang pertama kali dibebaskan.36
Setelah menyelesaikan pendidikan Tsanawiyah di Ma’had Al-Azhar Thantha,
kemudian al-Qaradhawi melanjutkan ke Universitas Al-Azhar pada Fakultas
Ushuluddin dan lulus pada tahun 1952, lalu memperoleh ijazah keguruan setahun
berikutnya tahun 1953. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke jurusan khusus
bahasa Arab di Al-Azhar selama 2 tahun. Dan ia menempati ranking pertama dari 500
mahasiswa lainnya dalam memperoleh ijazah internasional dan sertifikat
pengajaran.37
Kemudian tahun 1958, ia memperoleh ijazah diploma dari Ma’had al-
Dirasat Al-Arabiyah dalam bidang sastra dan bahasa. Selang tahun 1960 ia
mendapatkan ijazah Master di jurusan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Sunnah di Fakultas
Ushuluddin.38
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menempuh jenjang pendidikan S3 di Al-
Azhar dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan
Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang kemudian menjadi “Fiqh
Zakat”, sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan
nuansa modern. Di semua jenjang pendidikan tersebut ia memperoleh prestasi teratas
dengan cumlaude. Sebab keterlambatannya meraih gelar Doktor dikarenakan ia
36 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 130 37
Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448 38 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448
sempat meninggalkan Mesir karena kejamnya rezim yang berkuasa saat itu dan
menuju ke Qatar pada tahun 1961.39
Dengan demikian, Yusuf al-Qaradhawi telah membuktikan kecerdasannya
ketika ia masih berstatus mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya Yusuf
al-Qaradhawi menempati ranking pertama dari 500 mahasiswa dan mendapat predikat
cumlaude. Dengan prestasi akademis yang membanggakan itu, telah mengantarkan
Yusuf al-Qaradhawi menjadi seorang intelektual yang handal.
C. Aktivitas
Pada tahun 1949 yaitu pada masa pemerintahan al-Farouk, Yusuf al-
Qaradhawi terlibat dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin hingga ia masuk penjara
April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir.40
Pada bulan
Oktober kembali mendekam di penjara militer selama 2 tahun. Ia sibuk dengan
kegiatan da’wah sejak muda, ia terlibat gerakan da’wah dan masuk penjara beberapa
kali baik di masa kerajaan maupun di masa revolusi. Yusuf al-Qaradhawi
meninggalkan Mesir pada tahun 1961 akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu,
ia terpaksa menuju Qatar dan di sana mendirikan Fakultas Syariah di Universitas
Qatar. Kemudian di saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan
39 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448 40 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1449
Sunnah Nabi, ia mendapatkan kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai
tempat tinggalnya.41
Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia bekerja di bagian pengawas urusan
agama bidang wakaf pemerintahan Mesir, dan di sekretariat bidang Kebudayaan
Islam di Al-Azhar, lalu menjadi Direktur di lembaga-lembaga pendidikan agama
miliknya. Bersamaan dengan itu, ia dipercaya sebagai ketua pendidikan agama
miliknya, ia juga dipercaya sebagai Dekan pada Fakultas Syariah dan Studi Islam,
juga sebagai Direktur Pusat Studi Sunnah dan Siroh yang ia sendiri sebagai
pengawasnya sehingga sekarang jabatan itu masih diembannya.42
Ia juga seorang orator ulung, penulis yang handal, dan seorang yang
mendalam ilmunya. Tulisan-tulisannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa. Ia pakar sebagai ilmuan keislaman dan sastrawan. Ia kini menjadi anggota di
berbagai lembaga ilmiah, da’wah Arab Islam dan Internasional. Di antaranya adalah
lembaga Fiqh di Rabithah Alam Islami, Lembaga Kajian Bidang Studi Peradaban
Islam di Yordania, Pusat Studi Islam Oxford, Majelis Sekretaris-sekretaris
Universitas Islam Internasional di Islamabad. Lembaga-lembaga Da’wah Islam di
Khartoum dan lain-lain. Ia juga mengepalai Unit Pengawasan Syari’at di berbagai
Bank Islam. Pada tahun 1991 M, al-Qaradhawi mendapat penghargaan dari IDB
(Islamic Developmen Bank) atas jasa-jasanya di bidang perbankan. Sedangkan pada
tahun 1992, al-Qaradhawi bersama Sayyid Sabiq mendapatkan penghargaan dari
41 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448 42 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448
King Faisal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Pada tahun 1996, al-
Qaradhawi mendapatkan penghargaan dari Internasional Islamic University Malaysia
atas jasa-jasanya dalam ilmu pengetahuan, dan pada tahun 1997 mendapatkan
penghargaan dari Sultan Hasan al-Bolkiah Brunai Darussalam atas jasa-jasanya
dalam bidang fiqh.43
Aktivitas Yusuf al-Qaradhawi tidak terbatas pada penulisan buku saja, tetapi
al-Qaradhawi juga terlibat langsung dengan berbagai media informatika, baik cetak
maupun elektronik. Selain itu, al-Qaradhawi mempunyai andil yang cukup besar
dalam beberapa acara televisi, seperti televisi Aljazeerah yang memberikan waktu
khusus bagi al-Qaradhawi untuk satu program mingguan dengan tema “Syari’at dan
Kehidupan”.44
Di samping itu, Yusuf al-Qaradhawi juga banyak tertarik pada tokoh-tokoh
Ikhwanul Muslimin lainnya, karena fatwa-fatwa dan pemikiran mereka yang kokoh
dan mantap. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Abdullah Darras, Bakhilal-Khauli,
dan Muhammad al-Ghazali, dan selain itu ia juga kagum dan hormat kepada Imam
Mahmud Syaltut mantan Rektor Al-Azhar dan Dr. Abdul Hakim Mahmud sekaligus
dosen yang mengajarnya di Fakultas Ushuluddin dalam bidang Filsafat. Meskipun
Yusuf al-Qaradhawi kagum dan hormat kepada tokoh-tokoh di atas, namun tidak
sampai melenyapkan sifat kritis yang dimiliki Yusuf al-Qaradhawi. Beliau
mengatakan:
43 Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hudupku, h. 131 44
Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1448
,>ل >?'�� أ��B �� ر�,A ا�%4ه< وأ�,��� وأ#�� CDرت �$4 و�Fأن ت H�3 Iا C%'� وآ�ن� �K,� 2�3 �4ه< أ�H ح$�AK إ'�$� و�3 A�%س� 45ن آ��C دراس�H ا
Artinya: Di antara nikmat Allah yang diberi kepada saya ialah terbebasnya
saya sejak dini dari ikatan mazhab, taqlid, dan ta’ashshub (fanatik) terhadap pendapat
seorang alim tertentu, meskipun pelajaran fiqh saya yang resmi adalah mazhab Abu
Hanifah..46
Tokoh favorit Yusuf al-Qaradhawi adalah kelompok ulama yang telah
memperkaya pembendaharaan kebudayaan Islam, yaitu ulama yang telah
mengadakan pembaharuan. Di antaranya adalah Ibnu Taimiyah dan Hasan al-Banna,
tidak aneh jika ia terpengaruh oleh mereka dalam produk ilmiah, sehingga Yusuf al-
Qaradhawi dapat menampilkan sejumlah karangan yang berbobot yang tersebar ke
berbagai dunia Islam.47
Yusuf al-Qaradhawi lebih mengutamakan kecintaannya
kepada bahasa Arab, sebab bahasa Arab merupakan bahasa Islam dan pintu gerbang
untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Yusuf al-Qaradhawi juga seorang ulama
yang tidak menganut suatu mazhab tertentu. Dalam bukunya al-Halal Wa al-Haram,
ia mengatakan, "saya tidak rela rasio saya terikat dengan satu mazhab".48
Demikianlah aktivitas Yusuf al-Qaradhawi, seorang ulama yang mengabdikan
hidupnya untuk dakwah. Dan tidak mengherankan, Yusuf al-Qaradhawi beberapa kali
45 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 6 46 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terjemahan As’ad Yasin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 16 47 Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1449 48 Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1980), h. 3
mendapatkan penghargaan dari berbagai negara atas jasa-jasanya dalam dunia
dakwah.
D. Karya-karya
Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang ulama dan cendekiawan Islam yang
di dalam berbagai disiplin ilmu, berwawasan luas dan produktif. Tulisan-tulisannya
tidak hanya dalam buku-buku saja, tetapi juga melalui berbagai media, apakah itu
melalui majalah-majalah Islam atau melalui kaset-kaset ceramahnya atau tulisannya
di media elektronik (internet). Berbagai judul telah ia hasilkan melalui karya-
karyanya, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa oleh kaum Muslim di
seluruh dunia.49
Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi antara lain, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam,
Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-
Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997).
Buku ini berisikan pembahasan tentang fiqh negara menurut pandangan Islam. Suatu
masalah yang kurang populer di kalangan kebanyakan kaum Muslimin belakangan
ini. Buku ini berupaya mengangkat isu sentral yang berkenaan dengan masalah fiqh,
yaitu masalah negara Islam. Bagaimana kedudukan negara Islam? Bagaimana hukum
mendirikannya? Apakah negara Islam merupakan negara madani? Atau negara
teokrat yang dipimpin oleh kaum Agamawan? Bagaimana cara menolak prasangka
yang mengatakan bahwa negara Islam merupakan negara agama yang ditegakkan
49 Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai Qaradhawi, h. 338
berdasarkan hak Allah? Bagaimana pandangan Islam terhadap sistem demokrasi,
multipartai, dan non-Muslim? Dan masih banyak lagi topik-topik penting lainnya
yang dibahas dalam buku ini.
Selanjutnya Figh al-Zakah (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1973). Sebuah buku
yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Buku
ini awalnya merupakan disertasi Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul “Zakat dan
Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan”. Dalam buku ini dipaparkan
kedudukan zakat dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat, makna zakat fitrah,
dan hukum zakat serta hikmahnya. Karya Yusuf al-Qaradhawi berikutnya adalah
Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988). Buku ini berisikan fatwa-fatwa
Yusuf al-Qaradhawi tentang masalah-masalah kontemporer. Isi buku ini adalah
meliputi al-Qur’an dan tafsirnya, seputar hadits nabawi, aqa’id dan perkara ghaib,
zakat fitrah, haji dan umrah, wanita dan keluarga, hubungan sosial, dan lain
sebagainya.
Demikian sebagian karya-karya Yusuf al-Qaradhawi, dan masih banyak lagi
karya-karya beliau yang lainnya. Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi tersebut penulis
cantumkan pada lampiran skripsi ini. Mengingat wawasan beliau yang luas, meskipun
usianya sudah lanjut, penulis yakin Yusuf al-Qaradhawi masih akan cukup produktif
untuk terus berkarya memperkaya khazanah pengetahuan dan peradaban Islam
dengan buku-bukunya yang masih mayoritas berisi komentar problemantika
kehidupan kontemporer.
BAB III
HAK KRITIK RAKYAT
DALAM NEGARA DEMOKRASI
A. Pengertian
Secara etimologi, hak kritik rakyat terbentuk dari tiga kata, yaitu hak, kritik,
dan rakyat. Kata hak berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata haqqa, yahiqqu,
haqqan,50
artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Haq adalah kewenangan atau
kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.51
Sementara kritik
berasal dari bahasa Inggris, yaitu critical yang berarti kecaman52
. Selanjutnya kata
rakyat juga berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata ra’iyyah.53
Adapun secara
terminologi, hak kritik rakyat adalah wewenang rakyat untuk menyampaikan
kecaman, anggapan dan penilaian tentang baik buruknya suatu pendapat, hasil karya
dan sebagainya.54
B. Eksistensi Hak Kritik Rakyat dalam Suatu Negara Demokrasi
Membicarakan lebih jauh tentang eksistensi hak kritik rakyat dalam suatu
negara demokrasi, penulis terlebih dahulu menjelaskan arti demokrasi. Demokrasi
50 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
2002), h. 282 51 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia; Dari UUD1945 Sampai
dengan Amandemen UUD1945 tahun 2002 (Jakarta: Kencana, 2007), h. 94 52 John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003),
h. 155 53 A. W. Munawwir, h. 511 54 Peter Salim dan Yenny Salim, h. 499 dan 778
berasal dari bahasa Yunani, yang secara etimologi “Demos" dan "Cratein”.55
Demos
adalah rakyat atau penduduk suatu daerah, sedangkan Cratein adalah kekuasaan atau
kedaulatan.56
Dari kedua kata tersebut lahirlah istilah demokrasi yang berarti sistem
pemerintahan suatu negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Dapat juga
dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam kamus
Ensiklopedi Politik dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu
dengan perantara wakil-wakilnya yang telah mereka pilih dalam suasana bebas.
Dalam dunia modern, demokrasi diartikan dengan suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for people).57
Jadi negara demokrasi adalah negara yang kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat, rakyat berperan aktif dalam negara dan ikut serta menentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan negara tersebut. Dalam suatu negara demokrasi, sangat
menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan kritikan, karena kebebasan tersebut
merupakan suatu indikasi dari negara demokrasi, dan hal tersebut sebagai suatu
bentuk partisipasi rakyat dalam pemerintahan negara bersangkutan.58
Sebagai contoh, demokrasi yang berlaku di Indonesia, Indonesia sebagai
negara demokrasi tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2:
55 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 81 56 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005),
h. 241 57 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada
Media, 2003), h. 3 58 Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 53
"Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar".59
Makna kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam mengatur
negara haruslah ada di tangan rakyat, artinya milik rakyat. Salah satu mekanisme
dalam menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemilu, di mana rakyat memilih calon
anggota legislatif dan calon presiden untuk menjalankan pemerintahan. Dalam kaitan
ini, calon legislatif dan calon presiden mengikat kontrak (sosial) dengan rakyat selaku
pemilik kedaulatan, yaitu semua janji yang diucapkan saat kampanye pemilu. Maka
kontrak sosial tersebut wajib dijadikan sebagai program pemerintah. Antara kontrak
sosial dan program pemerintah adalah satu paket, satu kesatuan yang utuh tidak boleh
dipisah satu dengan lainnya.60
Di samping hak kritik, terdapat pula hak rakyat untuk berserikat, hak untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan,
pendidikan dan lain-lainnya. Semua hak-hak dasar tersebut juga harus dijamin dan
dilindungi oleh negara. Hak-hak rakyat tersebut harus dituangkan dalam undang-
undang agar dijamin keberadaannya secara hukum.61
C. Wadah Penyampaian Kritik terhadap Pemerintah
Dalam suatu negara modern yang menganut sistem demokrasi, terdapat
beberapa wadah dalam penyampaian kritikan terhadap pemerintah, yaitu melalui:
59 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amendemen) Pasal 1 ayat 2 60 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 53 61 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amendemen) Pasal 28H
1. Partai
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-
cita yang sama.62
Tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.63
Dalam buku Miriam Budiardjo, memberikan beberapa definisi partai politik
yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diantaranya: Carl J. Friedrich berpendapat,
partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatannya yang bersifat idil maupun materil. Menurut RH. Soltou,
partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,
dan bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum
mereka.64
Partai politik memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses
demokratisasi. Partai politik adalah sebagai wadah bagi penampungan aspirasi rakyat.
Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi, yaitu keterlibatan
masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara melalui partai
62 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 161 63 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Bina Cipta, 1986), Cet. VII, h. 42 64 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 161-162
politik itulah segala aspirasi rakyat yang beraneka ragam dapat disalurkan secara
teratur.65
Partai merupakan tempat berhimpunnya orang sepaham atau yang sama
kepentingannya tentang apa yang hendak ia capai. Bahkan partai dapat menyalurkan
kepentingan orang yang bukan anggota partai bersangkutan. Jadi pendapat yang
disalurkan oleh suatu partai tidak mesti selamanya berasal dari anggota partai
tersebut. Partai merupakan sarana atau wadah untuk menyampaikan pendapat,
kritikan, dan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam mempengaruhi proses
kebijaksanaan umum. Di samping itu, partai juga dapat menentukan pemimpin
pemerintahan, partai politik atas nama partainya dapat mengajukan tuntutan,
mendukung atau oposisi terhadap pemerintah.66
Sistem kepartaian yang berlaku di negara-negara demokrasi, berbeda antara
satu negara dan negara lainnya. Pada setiap negara ada yang menerapkan sistem
partai-tunggal (one-party system), sistem dwi-partai (two-party system), dan sistem
multi-partai (multi-party system).67
Pertama, sistem partai-tunggal (one-party system). Dalam bentuk ini hanya
ada satu partai yang berkuasa mutlak dalam suatu negara. Karena di negara dan
dalam masyarakat itu hanya ada satu partai saja dan jumlah anggota partai tersebut
hanya sedikit jika dibandingkan dengan seluruh penduduk, maka terdapat diktator
65 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 55 66 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 167 67 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 167
minoritas yaitu kekuasaan di tangan golongan kecil. Sebagai contoh partai Nazi di
Jerman, partai Pascis di Itali, dan negara-negara komunis.68
Kedua, sistem ini adalah sistem dwi-partai (two-party system) sebagai wadah
penyalur aspirasi rakyat, seperti di Amerika Serikat, ada partai Republik dan Partai
Demokrat. Adakalanya, sistem kepartaian di Inggris dan Australia digolongkan
sebagai sistem dwi-partai, walaupun sebenarnya terdapat lebih dari dua partai, partai-
partai lainnya bisa ikut dalam struktur pemerintahan jika berkoalisi dengan partai
besar, yaitu salah satu dari dua partai yang berpengaruh dan banyak pendukungnya.69
Ketiga, sistem multi-partai (multi-party system). Dalam Dewan Perwakilan
Rakyat, terdapat banyak partai sebagai pencerminan dari kehendak rakyat. Sesudah
pemilihan umum partai yang terbanyak memperoleh kursi di DPR, maka partai
tersebut yang memegang pemerintahan. Contoh negara yang menganut sistem ini
adalah Indonesia.70
Dengan demikian, partai politik melalui wakil-wakilnya di parlemen
berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, idealnya harus benar-benar
mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyat. Biasanya partai oposisi yang paling
gencar melakukan kecaman dan kritikan terhadap kebijakan pemerintah. Namun
kenyataan yang ada, tidak sedikit partai politik yang tidak bisa sepenuhnya
68 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 54 69 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 54 70 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 169
menyalurkan aspirasi rakyat. Apalagi partai-partai yang secara tegas menyatakan
koalisi dengan pemerintahan yang berkuasa.71
2. Pers
Istilah "pers" berasal dari Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press,
secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publications).72
Dalam perkembangannya, pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam
pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas
meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran,
dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada
media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita. Di negara-
negara yang menganut sistem demokrasi, sampai sekarang pers masih dianggap
memiliki daya persuasi yang kuat dan berpengaruh besar kepada masyarakat. Kata-
kata Napoleon Boneparte, "Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di
Paris dari pada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", sampai
sekarang masih berlaku, pers diperlukan dan juga ditakuti.73
Pandangan cendekiawan Barat pada pers dengan pengaruhnya yang besar itu
terlalu berbobot pada kelembagaan formal. Memang pers tidak dipilih melalui
71 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 167 72 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), h. 145 73 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komuikasi, h. 147
undang-undang seperti lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sebab
pers adalah lembaga masyarakat. Karena merupakan lembaga kemasyarakatan, pers
mempunyai tanggung jawab sosial (social responsibility). Meskipun pers merupakan
lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang bertanggung jawab kepada
masyarakat, tidak berarti ia tidak mempunyai tanggung jawab nasional (nation
responsibility), tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Ini berarti, pers akan
membela masyarakat bila pemerintah melakukan tindakan yang merugikan
masyarakat. Akan tetapi, bila negara menghadapi bahaya, pers akan membelanya.74
Akan tetapi, bagaimana pun baiknya pemerintahan, tidak dapat dipastikan
tidak ada kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, secara konstitusional ada
lembaga legislatif dan yudikatif yang mengawasinya. Dan bagaimana pun telitinya
pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, belum tentu juga tidak ada
yang tidak terawasi. Dalam hubungan inilah pers sebagai wakil masyarakat dengan
"kekuasaannya" itu mengawasi tindakan ketiga lembaga tadi dengan memberikan
kritikan jika ternyata kebijakannya tidak sesuai atau menyimpang dari konstitusi.75
Indonesia sebagai negara demokrasi, menempatkan pers sebagai alat
perjuangan nasional. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang No 21 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang tersebut dinyatakan:
Pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mempunyai
karya sebagai salah satu media komunikasi massa, yang bersifat umum berupa
penerbitan yang teratur waktu terbitnya diperlengkapi atau tidak diperlengkapi
74 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 147 75 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 148
dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan alat-alat poto, klise, mesin-mesin
stencil atau alat-alat tehnik lainnya.76
Definisi pers itu menunjukkan bahwa pers di Indonesia merupakan lembaga
kemasyarakatan (social institution), bukan lembaga pemerintah. Mengenai hal ini,
dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa "Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan
koreksi yang bersifat konstruktif". Dengan demikian, pers Indonesia harus
mempunyai idealisme, pers Indonesia merupakan alat perjuangan nasional, bukan
sekedar penjual berita untuk mencari keuntungan finansial.77
Pers di negara-negara demokrasi -termasuk Indonesia- merupakan perusahaan
yang mencari keuntunan finansial. Meskipun demikian, dalam upaya mencari
finansial itu, pers tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai lembaga yang
dinamakan pers. Pers tanpa idealisme, dalam arti hanya mengejar keuntungan
finansial, merupakan perusahaan semata-mata yang tidak ada bedanya dengan
perusahaan teh botol atau perusahaan rokok. Idealisme yang melekat pada pers
sebagai lembaga kemasyarakatan ialah melakukan social control dengan menyatakan
pendapatnya secara bebas, tetapi sudah tentu dengan perasaan tanggung jawab bila
pers itu menganut social responsibility.78
Idealisme yang disandang pers tidak selalu berarti harus menentang
pemerintah, apalagi mencari-cari tindakan pemerintah yang negatif untuk kemudian
menyebarluaskan kepada masyarakat. Idealisme pada pers berarti juga mendukung
76 Undang-Undang No 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. 77 Onong Unchjana Efendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 65 78 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 147
pemerintah dan menyebarkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang positif agar
diketahui, dan memotivasikan masyarakat.79
Idealisme yang melekat pada pers dapat dijabarkan dalam pelaksanaan fungsi-
fungsinya, salah satu fungsi pers adalah fungsi mempengaruhi (to influence). Fungsi
mempengaruhi inilah yang menyebabkan pers memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Sebagaimana Napoleon pada masa jayanya pernah berkata
bahwa ia lebih takut kepada empat surat kabar dari pada seratus serdadu dengan
senapan bersangkur terhunus. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat
kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, kritik, kecaman, bebas
melakukan social conrtol, bukan surat kabar yang membawakan "his Masteris voice".
Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara imlisit terdapat pada tajuk rencana dan
artikel.80
D. Sejarah Perkembangan Hak-Hak Politik Rakyat
Perjalanan panjang umat manusia di dunia, banyak diwarnai dengan sisi
kelam peristiwa-peristiwa yang mengungkapkan keprihatinan. Manusia baik secara
individual maupun secara kolegial berjuang mati-matian melawan penindasan,
pencampakan, serta perampasan hak-hak asasi manusia dari orang atau kelompok
lain. Tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak dasar manusia telah
menimbulkan kemarahan dalam hati sanubari setiap orang yang berakibat pada
79 Onong Unchjana Efendy, Dinamika Komunikasi, h. 65 80 Onong Unchjana Efendy, Dinamika Komunikasi, h. 66
timbulnya konflik fisik dan senjata yang berkepanjangan. Secara hisroris, usaha-
usaha untuk memecahkan persoalan kemanusiaan telah dirintis sedemikian rupa.
Hampir seluruh pemikiran yang telah berkembang menguatkan pendirian akan
pentingnya citra manusia, yakni kemerdekaan dan kebebasannya.81
Perjuangan para bangsawan Inggris untuk mendapatkan kembali hak-haknya
yang telah dicampakkan oleh kecongkakan kekuasaan raja John (saudara raja Richard
berhati singa, seorang pemimpin tentara salib), merupakan salah satu upaya yang
dilakukan dengan tujuan membendung kekuasaan raja yang bertindak secara
sewenang-wenang. Perjuangan mereka pada akhirnya membuahkan hasil, ditandai
dengan lahirnya sebuah Piagam Agung (Magna Charta) sebuah dokumen historis
yang berisikan pemberian batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang
absolut dan totaliter sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin.82
Secara umum, para pakar di Eropa berpendapat bahwa kemunculan hak
politik rakyat di kawasan Eropa ditandai dengan munculnya “Perjanjian Agung”
(Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215.83
Piagam ini berisikan tentang raja
yang pada awalnya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi
ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan dapat diminta pertanggung jawabannya di muka hukum.84
Dengan
piagam ini maka dipraktekkan ketentuan yang menjelaskan jika raja melanggar
81 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 50 82 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kompilasi Hak-Hak Asasi
Manusia (Jakarta: YLBHI, 1980), h. 4 83 Edward Powell, Kingship, Law and Society; Criminal Justice in the Reign of Henry V
(Oxford: Clarendon Press, 1989), h. 33 84 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 51
hukum, maka ia harus diadili sebagaimana rakyat jelata dan mempertanggung
jawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Raja terikat oleh aturan hukum dan
bertanggung jawab kepada rakyat. Pasal 21 Magna Charta mengatakan, “Earls and
barons shall be fined their equal and only in proportion to the measure of the
offence” (para Pangeran dan baron akan dihukum (didenda) berdasarkan atas
kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya).85
Kelahiran Magna Charta kemudian diikuti oleh lahirnya undang-undang hak
(The Bill of Rights) di Inggris pada tahun 1628. Gerakan emansipatorik dan revolusi
kemanusiaan yang terjadi di Inggris itu kemudian menjadi sumber inspirasi timbulnya
gerakan revolusioner di Prancis dan Amerika.86
Pada 4 Agustus tahun 1789, di Prancis dicetuskan Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de I'homme et du
Citoyen/Declaration of the Rights of Man and of the Citizen), sebuah deklarasi yang
menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, egalite (persamaan), fraternite (persaudaraan) dan liberte
(kemerdekaan).87
Demikian pula di Amerika pada kurun waktu yang hampir
bersamaan disahkan sebuah undang-undang hak (The Bill of Rights) yang kemudian
menjadi bagian utama dari Undang-Undang Dasar Amerika pada 6 Juli 1776.88
Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi hak-hak politik rakyat terus menerus
85 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 51 86 Edward C. Smith, The Constitution of the United States (New York: Barnes, 1966), h. 17 87 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 52 88 Edward C. Smith, The Constitution of the United States, h. 20
mengalami perubahan. Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika Serikat, pada 06
Januari 1941 memfokuskan empat macam hak asasi manusia yang kemudian dikenal
dengan "The four freedoms", yaitu kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat,
(Freedom of speech), kebebasan memeluk agama (freedom of religion), kebebasan
dari kemiskinan (freedom of want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom of fear).89
Rumusan yang dicetuskan oleh Roosevelt tersebut di atas dapat dijabarkan
sebagai pembagian hak yang terdiri atas empat bagian, yakni kebebasan berbicara dan
menyampaikan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam
pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan
sejahtera bagi penduduknya. Serta hak kebebasan dari ketakutan yang meliputi usaha
pengurangan persenjataan, sehingga tidak satu pun bangsa (negara) berada dalam
posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain.90
Dari perkembangan historis di atas, penulis berpendapat bahwa terdapat
perbedaan filosofis dari beberapa negara di Barat tentang perkembangan hak-hak
dasar dan politik rakyat, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di Inggris lebih
menekankan pada pembatasan kekuasaan raja, dimana raja tidak dibenarkan berlaku
sewenang-wenang, dan rakyat pun dibenarkan untuk mengkritik kebijakan raja yang
melanggar undang-undang. Di Amerika Serikat lebih mengutamakan kebebasan
individu, dimana setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan untuk
89 M. Lukman Hakim (ed), Deklarasi Islam tentang HAM (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h.
6 90 A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 203-204
hidup dan mendapat kebahagiaan. Sedangkan di Prancis lebih memprioritaskan
egalitarianisme persamaan kedudukan di hadapan di hadapan hukum (equality before
the law).91
Dimensi baru hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh D. Roosevelt itu
kemudian menjadi inspirasi dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rumusan
Universal Declaration of Human Rights 1948. Dimana umat manusia melalui wakil-
wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sepakat dan bertekat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis
formal terhadap hak-hak asasi serta mensosialisasikannya.92
Dari perspektif kultural dan sosial, pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi
manusia dapat dipandang sebagai puncak peradaban umat manusia dan merupakan
titik temu antara dunia Timur dan dunia Barat.93
Deklarasi universal tentang hak asasi
manusia merupakan salah satu prestasi signifikan yang diraih PBB dalam rentang
sejarah berdirinya organisasi ini. Sejak pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang
HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang. Dalam deklarasi tersebut, manusia
mendapat posisi sentral dimana harkat dan martabat manusia, hak-hak dan kebebasan
91 Ramli Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 74 92 Bambang Sutiyo, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia dalam
UNISIA (Yogyakarta, UII Press, 2002), h. 85 93 YLBHI, h. 8
politiknya dijunjung tinggi dengan tanpa membedakan suatu bangsa, jenis kelamin,
warna kulit, bahasa, agama, atau unsur kedudukan lainnya.94
Upaya pembenahan hak-hak politik rakyat terus dilakukan dari waktu ke
waktu. Dalam rangka mencari rumusan yang sesuai dengan konteks zaman. Untuk
memberikan jaminan hukum dalam bidang politik, pada 16 Desember 1966 Sidang
Umum PBB merumuskan persetujuan (covenant) internasional tentang hak-hak sipil
dan politik (Internasional Covenant of Sipil and Political Rights). Dokumen ini
merupakan dokumen bagi penyelenggaraan dan penegakan hukum dan hak asasi
manusia dalam bidang politik. Covenan (dokumen persetujuan) ini terdiri atas 53
Pasal yang mengatur tentang hak-hak warga negara di bidang sipil dan politik.95
E. Hak Kritik Rakyat dalam Negara Indonesia
Dalam konteks hak rakyat untuk mengkritik, mengontrol, dan mengawasi
jalannya pemerintahan, Indonesia sebagai suatu negara demokrasi telah memberikan
jaminan hukum melalui konstitusi. Hal ini sebagai bukti bahwa negara bertanggung
jawab atas tegaknya supremasi hukum.96
Bila dikaji baik dalam Pembukaan, Batang
Tubuh, maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip
hak asasi dan hak politik warga negara, salah satu hak politik tersebut adalah
sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD
94 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 54 95 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 55 96 Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 94
1945) Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.97
Dalam undang-undang (Pasal 28E ayat 3) ini tidak ditemukan sebuah
pengaturan yang tegas tentang hak rakyat dalam mengkritik pemerintah, undang-
undang ini hanya memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk
mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi positif
adalah, bahwa para pendiri bangsa Indonesia telah berhasil memformulasikan sebuah
tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM.98
Selanjutnya, sebagai bagian dari hak politik rakyat, pada tanggal 26 Oktober
1998 diberlakukan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum.99
(LNRI RI Tahun 1998 No. 181, TLNRI Nomor 3789).
UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai
hak asasi manusia. Pasal 1 menyatakan, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat
adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan,
dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 100
Dengan demikian, negara Indonesia merupakan yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts-staat).101
Dimana
97 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amandemen ke-2) Pasal 28E ayat 3 98 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 85 99 UU ini terdiri dari 7 bab dan 20 Pasal 100 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,
Pasal 1 101 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 92
undang-undang memberikan jaminan terhadap rakyatnya untuk ikut serta dalam
penyelenggagaan negara. Rakyat diberikan hak untuk mengkritik pemerintah, apabila
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah tersebut tidak bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia.102
102 Harun al-Rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1983), h.
15
BAB IV
HAK KRITIK RAKYAT DALAM ISLAM
A. Pengertian
Dalam kamus bahasa Arab, secara etimologi, kata hak diambil dari kata
haqqa, yahiqqu, haqqan,103
artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Kata kritik
disebut dengan kalimat �,�" " dan " "A(ر�'� yang berarti pertentangan pendapat.104
Sedangkan kata rakyat diambil dari kata ra’iyyah.105
Sedangkan dalam Islam, istilah
kebebasan atau hak untuk mengajukan kritik dan memantau kegiatan pemerintah
disebut dengan hurriyah al-mu'aradhah, juga dikenal sebagai hurriyyah naqd al-
hakim.106
B. Landasan Hukum
Kehidupan masyarakat dalam negara Islam dibangun di atas suatu gagasan
kemaslahatan bagi semua anggota masyarakat. Kemaslahatan ini terwujud ketika
tidak ada pengekangan, apalagi perampasan hak-hak sosial dan hak-hak individual.107
Ketika kemaslahatan itu terganggu oleh pemerintah berikut aparaturnya, maka
muncul kewajiban kolektif (wajib kifayah) untuk melenyapkan pelanggaran tersebut
103 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
2002), h. 282 104 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 1452 dan 919 105 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 511 106 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita
Publishing, 1994), h. 49 107 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan (Yogyakarta: FH UII
PRESS, 2007), h. 38
yaitu melalui tindakan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan kata lain, upaya perbaikan
masyarakat menuntut seluruh warga negara untuk bekerja sama bahu membahu
memperbaiki dan meningkatkan martabat umat melalui seluruh sarana yang ada.108
Allah telah mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk melakukan kritik
kepada penguasa apabila mereka merampas hak-hak rakyat, menyimpang dari
hukum-hukum Islam. Dan perintah kepada mereka untuk mengubah para penguasa
tersebut bersifat tegas. Dalil-dalil tentang perintah pada kema'rufan serta menolak
kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah kepada seorang
penguasa. Karena dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun
yang lain.109
Dimana Allah telah memerintahkan amar ma'ruf nahi munkar dengan
perintah tegas. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:
�������� ���� �� ������ ������� ����� � !"��#$% ��!�&'��� ($!*�+&,$$�- ���./0��� 1�� 2!"��3☺��$% 5 .689:"�'��� �*; <=�3"�>�?3☺��$% Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Ulama sepakat bahwa amar ma'ruf nahi munkar itu merupakan kewajiban
yang diperintahkan Allah melalui redaksi ayat tersebut, khususnya pada kalimat �#� و
108 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, h. 52 109 Nabhani, Taqiyuddin, Nizham al-Hukum fi al-Islam (Bangil : Al-Izzah, 1997), h. 325
yaitu bentuk kata kerja present yang disisipi dengan "harf al-lam al-amr", yang
berarti amar ma'ruf nahi munkar ini merupakan sesuatu yang wajib dijalankan dalam
kehidupan kolektif.110
Dalam surat Ali Imran ayat 110 Allah berfirman:
�A0�B � !.C D����� �E.F2!C�� �$��> � ��HI3J&'"K ($!*.☺��$$�- <=�./�"K� 1�� 2!⌧M03☺��$% ���0 �"*K� NO$$�- � �"�� <P��%�� Q;� R>:�A(M��$% ��S"�"� %0 !.C �3/T� 5 �3/0 �� <=�� �"3☺��$% �*; "�UV�� ���W�(X:⌧?��$% Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Surat al-A'raf ayat 157 Allah berfirman:
�Y STO$% <=�*�6[��� �\�3]^!�$% _`R��0�$% aFbAcd$% e STO$% fg�+3�(/"h $i-�A��� �*;.�� ��Y �k�l�[A�$% mQn(/oEp$%� �*;!�&'�� ($!*.☺��$$�- �3/q�rs��� 1�� 2!⌧M�3☺��$% lQ ��h� tu3/"� E:�MbnTv�$% w2b!���h� tu�/�x�>�y .s89:�M.z��$% 3{|}��� �3/0� �*;� ~��� |Q:�>�~�d$%� `R�T�$% �E�+S⌧B u�/�x�>�y 5 <� STO$$"& �%�0��%�� � g�- �Hl�e�� �!���+� �%�*�6�K$%� �l�l0�$% �e STO$% �\2e+��
110 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 39
?fg.*�� � .689:"�'�� �*; <=�3"�>�?3☺��$% Artinya: (yaitu) Orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,
yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-
beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(Surat al-A'raf ayat 157)
Di dalam semua ayat tersebut, Allah telah memerintahkan amar ma'ruf nahi
munkar dan Allah menyertai perintah tersebut dengan qarinah (indikasi) yang
menunjukkan adanya suatu keharusan (Jazman) dan pujian bagi orang yang
melakukannya, dengan firman-Nya "mereka adalah orang-orang yang beruntung".
Maka indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa
perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya adalah
fardu. Sedangkan melakukan kritik terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah
memerintahkan untuk berbuat ma'ruf sehingga muhasabah tersebut hukumnya
fardu.111
Selanjutnya, dalam surat an-Nisa' ayat 148 Allah berfirman:
� �> ��h �O$% �!�/.���$% ����X�$$�- C� � R\�"���$% ���� ��� Cu�>W3
Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (Surat An-Nisa' ayat 148)
111 Syaukat Husein, Human Right in Islam (India: Bhavan, 1984), h. 42
Maksudnya, Allah sangat mencela ucapan-ucapan buruk atau kutukan-
kutukan yang keras. Namun bagi orang-orang yang menjadi korban ketidak adilan
atau tirani, Allah memberikan hak kepada mereka untuk melakukan protes terbuka
terhadap perlakuan zalim yang telah mereka terima. Hak ini tidak dibatasi terhadap
pribadi-pribadi saja, tetapi berlaku untuk umum. Oleh karena itu, apabila pribadi atau
sekelompok orang yang memegang kekuasaan dan kemudian menindas individu-
individu, sekelompok manusia atau suatu partai, maka mereka yang tertindas itu
memperoleh hak dari Allah untuk mengkritik penguasa tersebut secara terang-
terangan, dan hak ini tidak bisa dirampas atau diingkari siapa pun.112
Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an, juga banyak
menjelaskan perintah pada kema'rufan dan mencegah perbuatan munkar. Nabi
Muhammad saw juga menganggap protes terhadap penguasa zalim itu sebagai jihad
yang paling baik.113
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
�D لا$�H ص�2 اI ���3 و س� �3 أ�H ا�P ري أن : �7R آ�%A �3ل دأن �� أ03 ا
S 3$� س��� ن ج��� �Uى (�114)روا� ا
Artinya: Diriwayatkan dari al-Hudri, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda;
Sesungguhnya di antara jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan
(perkataan yang benar) di hadapan penguasa zalim. (H. R. Imam al-Tirmizi).
112 Abu al-A'la al-Maududi, Hak Asasi dalam Islam. Terjemahan Achmad Nashir Budiman
(Bandung: Pustaka, 1985), h. 52 113 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 64 114 Imam al-Tirmizi, Jami’ al-Tirmizi (Riyadh, Dar al-Salam, 1999), Cet. 1, h. 499
Rasulullah saw pun telah memperingatkan kaum muslimin untuk tidak diam
terhadap tirani atau kezaliman. Sayidina Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw bersabda:
ن ����� ��,��� وذ( رأى�� � ������� ����� ن � ���� ���ا ��� ��#$� #$�
�%�ن 115)روا� ا%��(أ)'& ا
Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnnya
dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika
hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan
inilah keadaan iman yang paling lemah.”
Kewajiban mengajak manusia ke arah kebaikan dan mencegah mereka
menempuh jalan kemunkaran adalah kewajiban semua manusia Muslim sejati.
Apabila ada pemerintahan suatu negara yang menyita hak tersebut dan menghalangi
mereka untuk melaksanakan tugas tersebut, maka pemerintahan tersebut secara
langsung telah menentang perintah Allah. Pemerintah tersebut tidaklah berkonflik
dengan rakyat, tapi dengan Allah. Ia berperang dengan Allah dengan merampas hak
rakyat yang telah diberikan Allah, bukan hanya sebagai hak tetapi juga sebagai
kewajiban.116
C. Tata Cara Penyampaian Kritik
Salah satu permasalahan kenegaraan yang sering muncul adalah pertentangan
suatu pribadi atau kelompok terhadap kekuasaan. Hal ini sangat mungkin terjadi
karena pemegang kekuasaan tidak mampu menyahuti dan memuaskan aspirasi semua
115 Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 167 116 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 40
warga negaranya atau tidak mampu menjalankan pemerintahan dengan baik dan
adil.117
Menurut Mu'tazilah, Zaidiyah, Khawarij dan mayoritas Murji'ah, umat Islam
harus mengangkat senjata untuk menyingkirkan penguasa yang durhaka. Abu Bakar
Asham al-Mu'tazili, salah seorang pemuka Mu'tazilah, berpendapat bahwa
menyingkirkan kepala negara yang durhaka dengan kekuatan senjata adalah wajib,
apabila telah ditemukan kepala negara lainnya yang lebih adil.118
An-Nabhani juga menegaskan wajibnya umat Islam melakukan koreksi dan
mengangkat senjata kepada penguasa. Sifat perintah ini tegas apabila kepala negara
telah merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajibannya, melalaikan
urusan rakyat, menyimpang dari hukum Islam atau memerintah dengan selain hukum
Islam yang diturunkan oleh Allah.119
Namun kelompok Sunni berpendapat, bahwa mengangkat senjata kepada
kepala negara yang durhaka tidak dibenarkan. Ibn Taimiyah malah mengharamkan
pemberontakan terhadap kepala negara dan pendapat bahwa enam puluh tahun berada
di bawah kepemimpinan kepala negara yang zalim lebih baik dari pada sehari hidup
tanpa pemimpin.120
117 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 56
118 Muhammad Yusuf Musa, Mizham al-Hukm fi al-Islam (Cairo: Dar Al-Katib Al-'Arabi,
t.tp.), h. 120 119 Nabhani, Taqiyuddin, Nizham al-Hukum fi al-Islam, h. 331 120 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), h. 214
Meskipun kebebasan berpikir dan berkritik dijamin dalam Islam, namun
bukan tanpa batas. Kebebasan ini harus dalam bingkai kebenaran dan kewajaran,
tidak boleh dipergunakan untuk menghasut orang agar meremehkan syari'at atau
melawan pemerintahan yang sah, menyebarkan dekadensi moral dan memerosotkan
norma kesusilaan masyarakat. Dalam bahasa al-Qur'an, menyampaikan pendapat
harus bi al-hikmah wa al-mau'idhah al-hasanah wa jadilhum billati hia ahsan,
dengan bijaksana dan nasehat yang baik serta membantah mereka dengan cara yang
paling baik.121
Menurut Imam al-Ghazali, amar ma'ruf nahi munkar atau jihad terhadap
penguasa yang zalim hanya dapat dilakukan dengan memberitahukan adanya
kemunkaran dan memberikan nasehat. Adapun mencegah dengan kekerasan, tidak
dapat dilakukan karena akan dapat menimbulkan fitnah atau bencana yang mungkin
lebih besar bagi seseorang atau masyarakat.122
Para pemimpin yang zalim pada
umumnya tidak menyukai kebebasan berbicara yang diungkapkan oleh orang-orang
bijak, meskipun dengan maksud kritik membangun atau memberikan advis dan
meluruskan penyimpangan, juga tidak menyukai kebebasan adu argumentasi.123
D. Sejarah Perkembangan Hak Kritik Rakyat
121 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 41 122 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din (Dar Fikr, 1995),
h. 295 123 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 40
Rasulullah saw selama hidupnya telah memberikan kebebasan kepada kaum
Muslimin dalam mengungkapkan pendapat mereka yang berbeda dengan beliau.
Rasulullah saw telah membentuk kepribadian para sahabat sedemikin rupa sehingga
mereka dapat mengekspresikan perbedaannya tanpa ragu-ragu. Ketika perang Uhud,
Rasulullah saw meminta para sahabat untuk melawan musuh di dalam kota Madinah,
mereka bertanya kepada beliau mengenai posisi beliau berkaitan dengan pendapat
yang beliau kemukakan itu.124
Ketika Rasulullah berkata bahwa beliau berpendapat
sebagai manusia biasa dan tidak berdasarkan atas wahyu Ilahi, maka para sahabat
tetap mempertahankan pendapat mereka sendiri sehingga Rasulullah saw setuju untuk
berperang di medan pertempuran Uhud sesuai dengan keinginan mereka. Pertanyaan
para sahabat mengenai posisi Rasulullah saw ketika beliau menyarankan tindakan
tertentu dan desakan para sahabat demi mempertahankan pendapat mereka sendiri
menunjukkan dengan jelas akan mentalitas yang telah ditanamkan Rasulullah di
antara para sahabatnya.125
Bukti sejarah ini menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat, berfikir dan
berekspresi, telah dipraktekkan dalam masyarakat ideal di bawah kepemimpinan
Rasulullah saw. Kebebasan dalam mengemukakan pendapat tanpa rasa takut ini tetap
berlanjut sampai waktu setelah zaman Rasulullah saw.
Khalifah Abu Bakar dan Umar biasa mengundang kaum Muslimin untuk
meminta kritik dari mereka jika salah dalam suatu persoalan, dan kaum Muslimin pun
124 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 67 125 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 68
mengkritik tanpa ragu-ragu.126
Sejauh mana kebebasan berpendapat dan berkritik itu
berlaku selama era Khulafa ar-rasyidin dapat digambarkan dari pidato pelantikan Abu
Bakar. Setelah beliau terpilih untuk menjabat sebagai khalifah, Abu Bakar
mengatakan: "Wahai kaumku, aku telah dipercayai untuk memerintah kalian, tetapi
aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Bantulah aku jika aku benar, dan ingatkan
aku jika aku salah.127
Sayidina Umar dalam perjalanan ke Syiria, beliau mengucapkan
di depan umum alasan-alasan untuk membenarkan tindakan pemecatan Sayidina
Khalid bin Walid. Kemudian ada seorang berdiri berkata, "Wahai Umar, demi Allah,
engkau telah berlaku tidak adil. Engkau telah memecat orang yang telah ditunjuk
Rasulullah saw. Engkau telah menyarungkan kembali pedang yang telah dicanangkan
oleh Rasulullah saw. Engkau telah melepaskan tali persaudaran. Engkau telah
menampakkan kecemburuan terhadap keponakanmu," dan Sayidina Umar hanya
berkata, "Engkau telah merasa marah karena kesetiaan kepada saudaramu."128
Dalam suatu kesempatan lain, ada seseorang berdiri dan terus menerus
berkata, "Wahai Umar, takutlah kepada Allah." Lalu salah seorang dari mereka yang
hadir menahannya agar dia tidak berbicara lebih banyak, tetapi Sayidina Umar
berkata, "Biarlah dia berkata, jika orang-orang ini tidak berbicara, maka mereka sis-
sia berada di sini, dan jika kita tidak mendengarkan mereka, maka kita pun tidak
berguna."129
126 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 72 127 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 41 128 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, h. 49 129 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, h. 51
Kaum Khawarij selama kekhalifahan Sayidina Ali sering kali melontarkan
cacian secara terang-terangan, bahkan mereka mengecam akan membunuh khalifah.
Pernah ketika khalifah Ali memberikan ceramah dalam sebuah Masjid, kaum
Khawarij mengumandangkan slogan khusus mereka terhadap beliau. Kemudian
Sayidina Ali berkata, "Kami tidak akan menolak hak-hak kalian untuk datang ke
Masjid dengan tujuan beribadah kepada Allah swt, kami tidak akan berhenti
memberikan bagian harta negara kepada kalian selama kalian bersama kami (dalam
perang melawan orang-orang kafir), dan kami tidak akan mengambil tindakan militer
melawan kalian selama kalian tidak melawan berperang terhadap kami.130
Bukti sejarah tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa suatu negara Islam
tidak dapat membatasi kebebasan berekspresi warga negaranya selama hal itu tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Sikap Sayidina Ali terhadap kaum
Khwarij itu menunjukkan dengan jelas tidak ada seorang pun dapat dirampas hak-
haknya untuk mengekspresiakan perbedaan pendapat terhadap orang-orang yang
memegang kekuasaan.131
130 Abu al-A'la al-Maududi, Hak Asasi dalam Islam, h. 32 131 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 57
BAB V
HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM
MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI
A. Konsep dan Dasar-Dasar Hak Kritik Rakyat Menurut Yusuf al-Qaradhawi
Islam datang untuk pertama kalinya telah menetapkan prinsip-prinsip
kebebasan dan kemerdekaan. Pada waktu sebelum kedatangan Islam, manusia
diperbudak alam pemikirannya, politiknya, sistem kemasyarakatannya,
keagamaannya, maupun ekonominya. Islam kemudian merubahnya, Islam datang
dengan mengikrarkan kemerdekaan. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa Islam
memiliki nilai-nilai kemanusian yaitu “kebebasan”, dengan prinsip kebebasan
tersebut dapat menyelamatkan manusia dari intimidasi, kediktatoran, penjajahan,
tekanan dan sebagainya. Kebebasan yang dimaksud di atas menurut Yusuf al-
Qaradhawi meliputi kebebasan beri'tikad, kemerdekaan berfikir, kemerdekaan atau
kebebasan berbicara dan menyampaikan kritikan terhadap penguasa yang zalim.
Semuanya merupakan kemerdekaan yang paling tinggi nilainya dan didambakan oleh
setiap manusia.132
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, dalam pandangan Islam memberikan kritikan
kepada pemimpin zalim merupakan hak setiap individu Muslim. Malah setiap
132 Yusuf al-Qaradhawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu (Cairo:
Maktabah Wahbah, 1993), h. 109
individu juga berkewajiban untuk meluruskan langkah pemimpin, menyuruhnya
untuk mengerjakan kebaikan dan mencegahnya untuk melakukan kemunkaran. Yusuf
al-Qaradhawi sangat mengagungkan kebebasan individu untuk menyampaikan
kritikan, nasehat, dan mengeluarkan buah pikiran demi kemajuan bangsa dan
negara.133
Dalam penjelasan Yusuf al-Qaradhawi tersebut penulis melihat adanya
penentangan yang keras dari Yusuf al-Qaradhawi terhadap keberadaan sistem
pemerintahan absolut yang cenderung penguasanya sering bertindak sewenang-
wenang terhadap rakyat. Hal ini terbukti dari ungkapan Yusuf al-Qaradhawi untuk
menganjurkan jihad terhadap pemerintahan yang zalim.134
Penulis berpendapat bahwa dengan dijaminnya kebebasan rakyat untuk
menyampaikan kritikan terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam suatu negara, maka
akan menambah kesadaran dan rasa memiliki rakyat terhadap negara. Hal ini dapat
menimbulkan semangat nasionalisme dan patriotisme umat. Karena umat tidak hanya
merasa dijadikan objek kekuasaan tetapi juga ikut berperan dalam kekuasaan.
Selanjutnya, sebagai dasar pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak rakyat
untuk mengkritik pemerintah yang zalim ini adalah bersumber dari perintah amar
ma’ruf nahi munkar yang telah dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an surat Luqman
ayat 17:
133 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 630 134 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha,
Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-
Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 136
_`�FM:�� Ru S� ��5��>_��$% !�&�� ($!*.☺��$$�-
�g+$%� 1�� 2!"�03☺��$% R��i$%� 5��K� O$�� .6�-$�i�
� ���� .6 �"� �� � 1we� l��cd$%
Artinya: Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi juga mendasarkan pemikirannya pada hadits
Rasulullah saw. Bahwa Rasulullah telah memperingatkan kaum Muslimin untuk tidak
diam terhadap tirani atau kezaliman. Sayidina Abu Said al-Khudri meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda:
ن ����� ��,��� وذ( �� رأى� ������� ����� ن � ���� ���ا ��� ��#$� #$�
�%� 135)روا� ا%��(ن أ)'& ا
Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnnya
dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika
hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan
inilah keadaan iman yang paling lemah.”
Hadits ini dengan jelas telah menunjukkan bahwa mengubah kemunkaran
merupakan hak setiap Muslim yang melihatnya, bahkan merupakan kewajiban
baginya. Dalilnya ialah bahwa lafal �� (barangsiapa) dalam frase رأى �� (barang
siapa yang melihat) adalah lafal umum, sebagaimana dikatakan oleh para ulama
135 Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Salam, 1999), h. 167
ushul, ia bersifat umum, meliputi semua orang yang melihat kemunkaran, baik
sebagai penguasa maupun rakyat. Rasulullah saw bersabda kepada kaum Muslimin
secara umum dengan perkataan #$� رأى �� (barang siapa diantara kamu), dengan
tidak mengecualikan seorang pun dari mereka, sejak para sahabat, orang-orang
sesudahnya dari generasi umat ini hingga datangnya hari kiamat.136
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa umat akan kehilangan keutamaan
dan kelebihannya jika mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, malah
mereka akan dilaknat Allah swt.137
Dalam surat Ali Imran ayat 110:
�A0�B � !.C D����� �E.F2!C�� �$��> � ��HI3J&'"K
($!*.☺��$$�- <=�./�"K� 1�� 2!⌧M03☺��$% ���0 �"*K�
NO$$�- � �"�� <P��%�� Q;� R>:�A(M��$% ��S"�"� %0 !.C �3/T� 5
�3/0 �� <=�� �"3☺��$% �*; "�UV�� ���W�(X:⌧?��$%
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, ayat ini merupakan penegasan Allah tentang
kewajiban asasi manusia dalam Islam, bahwa manusia diharuskan melakukan amar
am’ruf nahi munkar. Suatu kewajiban yang dijadikan Allah sebagai salah satu dari
dua unsur pokok keutamaan dan kebaikan umat Islam.138
Berkenaan dengan Ayat di
atas, Fazlu Rahman menjelaskan bahwa tugas manusia di muka bumi adalah
136 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 628 137 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 629 138 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 629
menegakkan ketertiban dengan jalan mencegah perbuatan yang munkar dan
menyuruh kepada kebaikan. Bahwa tata tertib tersebut merupakan sosiopolitis yang
ditegakkan di atas dasar etika yang sah dan viable. Prilaku penguasa yang
menyimpang dari ajaran Islam, merupakan perbuatan yang munkar, maka rakyat
dituntut untuk memperbaikinya.139
Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa Islam telah menetapkan musyawarah
sebagai kaedah kehidupan, mewajibkan penguasa untuk berkonsultasi dan kepada
umat untuk menasehati, sehingga Islam menjadikan nasehat sebagai agama dan
termasuk nasehat terhadap pemimpin. Bahkan Islam memberikan legitimasi terhadap
orang yang berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim sebagai
jihad yang terbaik. Hak kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi merupakan paktor
yang esensial, karena Islam menuntut partisipasi umat atau rakyat dalam menentukan
kebijaksanaan pemerintah, jadi pemerintah atau penguasa tidak berhak untuk
mengambil keputusan sendiri, harus selalu mendapat pengesahan dari rakyat yang
diwakili oleh lembaga/dewan legislatif.140
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, beliau tidak pernah mengambil
keputusan sendiri. Dalam setiap persoalan kenegaraan, beliau selalu mengundang
sahabat-sahabatnya untuk berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Sekalipun beliau seorang pemimpin tertinggi negara Madinah, beliau tidak pernah
otoriter dalam mengambil keputusan. Beliau selalu mendengarkan pendapat siapa
139 Fazlu Rahman, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Terjemahan Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1996), Cet. II, h. 119 140 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 91
saja yang ikut dalam musyawarah tersebut.141
Jika dapat kritikan dari sahabat, dengan
senang hati beliau menerimanya. Dari metode yang diterapkan oleh Rasulullah saw di
atas, maka rakyat yang dipimpinnya mencintai beliau sepenuh hati dan mempunyai
loyalitas yang tinggi terhadap Rasulullah saw. Hal ini terbukti sewaktu beliau
memerintahkan penduduk Madinah untuk keluar mengikuti peperangan dalam perang
Tabuk, tidak satu pun yang berada di rumah sehingga kota Madinah pada waktu itu
terlihat seperti kota mati.142
Hal inilah yang diwariskan Rasulullah saw kepada para sahabatnya, Yusuf al-
Qaradhawi mengambil contoh sewaktu Umar diangkat menjadi khalifah pengganti
Abu Bakar Shiddiq, beliau berkata : “Wahai manusia, siapa yang berpendapat bahwa
saya telah melakukan penyelewengan, maka luruskanlah saya.” Seorang laki-laki
yang hadir pada waktu itu menjawab : “Demi Allah, jika kami melihat engkau
melakukan penyelewengan, niscaya kami akan meluruskannya dengan pedang kami.”
Umar menjawab: “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kaum Muslimin
orang-orang yang sanggup meluruskan Umar dengan ketajaman pedang mereka.”
Sekalipun Umar seorang pegulat dan cukup ditakuti, namun beliau tetap mau
menerima teguran, nasehat, maupun kritikan dari rakyatnya.143
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, seorang pemimpin adalah anggota masyarakat
biasa dan bukanlah seorang yang terlalu agung sehingga tidak boleh dinasehati, dan
141 Suyuthi Pulungan, Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dalam
Pandangan al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. 1, h. 255 142 Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia. Terjemahan Ruslan
Siddiq, (Jakarta: Pustaka Jaya dan Djambatan, 1998), Cet. I, h. 157 143 K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. III, h. 102
orang lain tidak terlalu hina hingga tidak boleh menasehatinya. Pendapat Yusuf al-
Qaradhawi ini senada dengan pandangan Ali Sariati yang mengatakan, bahwa
imam/pemimpin bukanlah manusia super yang kecemerlangan sosok luarnya
menyebabkan kita terdorong untuk mengangkat imam/pemimpin tersebut lebih dari
pada manusia biasa, bahkan yang lebih ekstrim menganggap seorang imam/pemimpin
sebagai sosok makhluk lain (the great foreighner). Corak pemikiran seperti ini telah
berkembang sebelum kedatangan Islam.144
Demikian seharusnya, rakyat harus menyadari bahwa seorang pemimpin
bukanlah orang yang dikultuskan sebagai orang yang suci, sehingga setiap tingkah
dan perbuatannya selalu tampak benar sekalipun hal tersebut salah. Ini merupakan
implikasi dari pengkultusan yang pada akhirnya merugikan rakyat dan bahkan dapat
menjadi ancaman terhadap kelangsungan suatu negara.
Tetapi meluruskan seseorang pemimpin bukanlah suatu hal yang mudah,
sebab kekuatan ada pada penguasa. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, rakyat harus
mampu mengemas amar ma’ruf nahi munkar untuk meluruskan penguasa tanpa
terjadi pertumpahan darah. Walau bagaimana pun Yusuf al-Qaradhawi berpendapat
bahwa oposisi terhadap pemerintah yang zalim, lebih baik jika dibandingkan dengan
peperangan, karena peperangan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk. Oposisi
144 Ali Sari'ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis. Terjemahan Afifi
Muhammad, 1995), Cet. II, h. 121
yang melancarkan kritikan-kritikan terhadap pemerintah yang zalim tersebut melalui
lisan atau pun tulisan.145
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa kritikan terhadap
penguasa tersebut juga dapat disalurkan melalui berbagai kekuatan politik yang tidak
mungkin mudah dibasmi oleh pemerintah yang berkuasa. Kekuatan-kekuatan politik
tersebutlah yang dinamakan partai.146
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:
���?3 2� A��V��-و�D اس���C3 ا���'� ص�اع � X�<Y ح�Kوآ-[ A 2 ص�� أن ت?X إ�� وت,>� 3>ج ا����ن د#$%�وف واH7$ �3 ا'%������ء وت�( هH وج>د D>ى ون إ ADرا
_ Aء �3 س��س��B,A وهH �ت,�ر ا���A ا�Fآ%A 2�3 ا<7��147حUاب� ���a �7��3 ا`��7
Artinya: “Setelah perjuangan sengit dan panjang, umat manusia di zaman kita
sekarang telah mampu mengemas amar ma’ruf nahi munkar untuk meluruskan
penyimpangan penguasa tanpa terjadi pertumpahan darah. Hal itu disalirkan melalui
berbagai kekuatan politik yang tidak mungkin dibasmi oleh pemerintah yang
berkuasa dengan gampang. Kekuatan-kekuatan politik tersebutlah yang dinamakan
partai.”148
Secara hakiki, Franz Magnis Suseno juga berpendapat sama dengan Yusuf al-
Qaradhawi, bahwa negara harus melindungi kebebasan masyarakat, tetapi kebebasan
tersebut bukan berarti sama dengan kebebasan demokrasi dan liberalisme di Barat.
Kebebasan dalam Islam tersebut pada hakikatnya adalah hak setiap individu untuk
mengurus dirinya sendiri tanpa paksaan dari pihak mana pun, termasuk kebebasan
menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.149
145 Yusuf al-Qaradhawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu, h. 118 146 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 147 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 148 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara. Terjemahan Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press,
1999), h. 191-192 149 Fran Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. I, h. 117
B. Wadah Hak Kritik Rakyat Menurut Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pada zaman modern ini untuk menyampaikan
kritikan dan saran kepada penguasa, telah tersedia media yang cukup sistematis serta
mendapat perlindungan hukum -Yusuf al-Qaradhawi menyebutnya dengan istilah
"kekuatan politik"- dimana pemerintah tidak bisa dengan mudah membubarkannya.
Hal ini juga menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya
pemberontakan akibat aspirasinya tidak sejalan dengan pemerintah.150
Penulis melihat sepertinya Yusuf al-Qaradhawi tidak membenarkan
melakukan kekerasan dalam mengkritik pemerintah yang zalim, karena ada forum
formal untuk mengungkapkan kritikan dan nasehat terhadap penguasa tersebut.
Menurut penulis, hal tersebut merupakan suatu langkah yang lebih baik demi untuk
mengelakkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan mafsadahnya jauh lebih
besar ketimbang maslahahnya.
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa mendirikan berbagai partai atau
kelompok politik sudah menjadi suatu keharusan sebagai sarana untuk mengoreksi
dan menghadapi kezaliman kekuasaan, mengembalikannya ke jalur yang benar, atau
menjatuhkannya agar tempatnya dapat diganti oleh orang lain yang lebih baik.
Berbagai partai itulah yang mampu mengoreksi pemerintah, sebagai wadah bagi umat
untuk mengatakan "tidak" atau "mengapa" terhadap kebijakan pemerintah, dan
150 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
melakukan tugas nasehat, amar ma'ruf nahi munkar. Tugas tersebut tidak dapat
dilakukan oleh individu yang terbatas kemampuannya.151
Partai yang dimaksud Yusuf al-Qaradhawi harus memenuhi dua syarat, yaitu;
� وإن آ�ن �7 إ و_ت'�د�� أ-3,��ة و8��'A- سdمن ت'��ف ��b أ-��7%� ج��7د �5ص �H وت�$#�رة�H )>ع ا`,%gسdم و` أ_ ت'-.ص>ل ا'�%�A ا Aد��'� A7ب ج��F X% �7%ا�� آ�ن اس ���
�7'D<152و� Artinya: Pertama, partai-partai itu harus mengakui Islam sebagai aqidah dan
syari'ah, tidak boleh melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikannya
sebagai kedok, walaupun berbagai partai itu mempunyai ijtihad sendiri dalam
memahaminya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah yang sudah ditetapkan. Kedua,
partai-partai itu tidak boleh bekerja demi kepentingan pihak-pihak yang memusuhi
Islam dan ummatnya, apa pun nama dan bentuknya.153
Yusuf al-Qaradhawi tidak membenarkan mendirikan partai yang
mengembangkan paham atheisme, liberalisme, dan sekularisme, atau paham yang
mencela agama-agama samawi secara umum, khususnya Islam atau menghina
berbagai keluhuran dan kesucian Islam, seperti aqidah, al-Qur’an dan hadits Nabi
saw.154
Sebagian kalangan umat Islam menolak pemberlakuan sistem partai, yang
merupakan bagian dari demokrasi. Mereka beralasan bahwa demokrasi merupakan
hasil import dari Barat dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan Islam. Bahwa
demokrasi berdasarkan suara mayoritas serta menganggap suara terbanyak
merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan
mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar
151 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 152 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 153 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190 154 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
terhadap salah satu dari masalah yang berbeda-beda dengan menggunakan
pemungutan suara terbanyak. Maka pendapat manapun yang memenangkan suara
terbanyak secara absolut, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang
pendapat itu salah dan bathil.
Padahal (menurut mereka), Islam tidak menggunakan sarana seperti itu, dan
tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang lain. Karena
adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan
tersebut, apakah ia salah atau benar. Jika benar, maka ia akan memberlakukannya,
meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada
seorang pun yang menganutnya. Jika salah, maka ia akan menolaknya meskipun
bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut. Bahkan, nash al-Qur’an
menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan. Sebagaimana
yang terdapat pada firman Allah swt surat al-An’am ayat 116:
���� �{ v*K � "�UV� ��� h�Y 1�l�d$% ⌧q��>(}� �� mQn�M.]
NO$% 5 ��� ���*�6[��� ���� ��TW�$% ���� �*; ���� ���3i!��"h
1�� m
Artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah)
Ulama yang berpandangan demikian adalah Fadhallah Nuri dari Iran, Sayyid
Kutb dari Mesir, dan Ali Benhadj dari Al-Jazair. Menurut pandangan Fadhallah Nuri,
demokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin disejajarkan dalam sistem
pemerintahan Islam. Misalnya konsep persamaan semua warga negara, lebih lanjut
Fadhallah Nuri mengatakan bahwa persamaan tentu saja tidak bisa terjadi dalam
kehidupan manusia, pastinya dalam kehidupan yang kompleks terdapat perbedaan
seperti orang beriman dan kafir, kaya dan miskin, para fuqaha dan pengikutnya, yang
kesemuanya pasti memiliki konsekuensi yang berbeda dalam sebuah negara.
Demikian halnya dengan prinsip legislasi oleh manusia yang biasa dilakukan oleh
lembaga legislatif. Fadhallah Nuri menganggap legislasi hukum bukanlah ketentuan
manusia untuk mengaturnya, melainkan hukum adalah milik Allah swt semata.155
Senada dengan komentar Fadhallah Nuri di atas, Sayyid Kutb seorang pemikir
Mesir dan tokoh Ikhwanul Muslimin juga benar-benar tegas dalam menolak
demokrasi sebagai sebuah sistem. Sayyid Kutb menganggap bahwa ide kedaulatan
adalah gagasan demokrasi yang salah dan tidak sejalan dengan hukum Islam.
Mengakui adanya kedaulatan rakyat, berarti secara bersamaan juga telah mengingkari
kedaulatan Tuhan. Dalam konsep Islam, seorang pemimpin hanyalah jabatan yang
tidak mutlak dimiliki dan dikuasai oleh manusia, tetapi ia hanya merupakan amanat
Tuhan yang ada di bumi, dan kekuasaannya bersifat teosentris (Tuhan sebagai pusat
kekuasaan).156
Tokoh selanjutnya yang juga menolak keras demokrasi ialah Ali Benhadj.
Satu hal yang paling dikritik olehnya adalah prinsip mayoritas. Sebenarnya menurut
Ali Benhadj, prinsip tersebut mudah dipatahkan dan ditolak, karena sebenarnya isu-
155 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, “Islam dan Demokrasi”, dalam Islamika, Jurnal
Dialog Pemikiran Islam, no. 4 April-Juni, 1994, h. 19-21 156 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, Islam dan Demokrasi, h. 20
isu keadilan tidak bisa dikuantifikasi. Oleh karen itu, demokrasi secara umum
hanyalah sebuah alat semata, dan bahwa demokrasi hanyalah baik apabila
menguntungkan bagi Barat.157
Menanggapi pendapat ini Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan:
�اA�Yأ,%�����Kت وا%?���Fت ا_-ن ج>ه� ا'��'��ا �3 ا A�%س �� أ-آ�د��$ن ���Pرا%#F� ه��ض 7��3 ح�آ �#�ه>�� أو ��0م �#�ه>�� وأ7 و��>س أ�K�_وا aح 7ن �#>ن
� إذ�U3 aإذا ا6�5 وح آ�F�ف و _ ���ق ا$�س إ2 ات�Rه�ت أو �$�هj ا�Fس�A اFا� ��>��7 و_ ��)>ن 3$�7إ�D?�د�A أو اج�A�3�% أو A���,l أ'�_ A158و س��س�
Artinya: Bahwa substansi demokrasi –tanpa definisi dan istilah akademis-
adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan
mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh
penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain
itu, mereka juga mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa menyimpang
dan berbuat zalim, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran dan sistem ekonomi,
sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan mereka setujui.159
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa tidak ada satu syari’at pun yang
melarang penyerapan pemikiran teori atau praktik empiris dari kalangan non-Muslim
, termasuk konsep demokrasi. Bahkan merupakan hak kita untuk mengambil manfaat
dari pemikiran, strategi, dan sistem yang memberikan manfaat kepada kita, selama
tidak bertentangan dengan nash, dan kita harus menyaring dari apa yang kita ambil
untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh Islam.160
157 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Tela’ah konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002), h. 55-56
158 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 632 159 Yusuf al-Qaradhawi, Figh Negara, h. 197 160 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 643
Yusuf al-Qaradhawi mencontohkan pada Nabi sendiri pada perang Ahzab telah
mengambil pemikiran “penggalian parit” sebagai strategi perang, padahal strategi
tersebut berasal dari bangsa Persia.161
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Yusuf al-Qaradhawi, bahwa
penerapan sistem partai membawa manfaat bagi umat Islam. Mengingat beragam dan
kompleksnya kehidupan masyarakat pada zaman modern ini, besarnya wilayah suatu
negara, banyaknya jumlah penduduk, dan pertumbuhan organisasi pemerintah atau
non-pemerintah, menjadi semakin sukar untuk mengetahui individu mana yang perlu
dimintai pendapatnya dalam bermusyawarah. Ini berarti jalur langsung dalam
menyampaikan aspirasi kepada pemimpin pemerintahan tidak seefektif pada zaman-
zaman awal Islam. Lagi pula suara mayoritas tidak selamanya diartikan sebagai
kehendak yang buruk, tetapi suara mayoritas juga mampu untuk mengambil
keputusan yang benar dengan selalu mengajak kepada kekuatan hukum.
Selanjutnya tentang sistem partai, Yusuf al-Qaradhawi berpendapat tidak ada
larangan untuk memberlakukan sistem multi partai dalam negara Islam. Beliau
mengatakan:
bا A� �� حUب س��سH داX5 ا�وmوج>د أآ �� H3� 162سA��d أ�� _ �>ج� ���� 8
Artinya: Bahwa tidak ada larangan untuk memberlakukan sistem multi partai
dalam negara Islam.163
161 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 155 162 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147 163 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa partai-partai tersebut hanya sekedar
keragaman bentuk dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif.
Seluruh anggota partai tersebut harus berdiri satu barisan dalam mempertahankan
persoalan-persoalan prinsip yang berkaitan dengan eksistensi Islam, aqidah
islamiyah, syariat Islam dan umat Islam. Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi
menjelaskan bahwa masing-masing partai politik itu harus komit dengan moral yang
luhur. Tidak dibenarkan mencela dan mengkafirkan pihak lain. Bahkan semua
anggota partai itu harus saling menasehati pada kebenaran, kesabaran, dan seraya
berpegang teguh dengan prinsip hikmah dan mau’izhah hasanah.164
Yusuf al-Qaradhawi menjunjung tinggi sistem multi partai yang lebih
menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat. Konsep multi partai yang ditawarkan
Yusuf al-Qaradhawi merupakan konsep yang bersifat aplikatif, karena lebih
membantu rakyat dalam mengungkapkan aspirasinya di depan pemerintah, sebab
masing-masing orang mempunyai ide dan gagasan yang berbeda.165
Menurut penulis, di satu sisi sistem multi partai mempunyai nilai seakan
mewujudkan dikotomi umat Islam antara satu dengan lainnya. Hal ini lebih
menguntungkan partai lain yang tidak berdasarkan Islam, karena suara umat Islam
terpecah dan minus kekuatan politiknya. Tetapi di sisi lain, sistem ini juga
mendatangkan implikasi positif karena umat Islam dapat bersatu (koalisi) antara satu
partai dengan partai yang lainnya. Tetapi yang perlu diingat, masing-masing partai
164 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 154 165 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
yang ingin berkoalisi agar dapat menyamakan visi dan misinya terlebih dahulu agar
terjamin konsistensi perjuangan.
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa keberagaman partai politik tidak
selalu membawa perpecahan, dan tidak semua perbedaan itu buruk. Dalam hal ini
Yusuf al-Qaradhawi menganalogikan pada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh
perbedaan ijtihad. Karena itu para sahabat sering berbeda pendapat dalam berbagai
masalah cabang, namun hal ini tidak memecah belah persatuan mereka. Adanya
sistem multi partai merupakan suatu gambaran pluralitas umat dalam bidang politik.
Adanya keragaman, pluralitas, dan perbedaan dalam politik tersebut merupakan suatu
gambaran menuju kesatuan syari'at pada sisi yang konstan, karena politik dalam
Islam tidak konstan sebagaimana konstanitas nash-nash dan tidak ada kata pasti
sebagaimana kepastian nash-nash itu. Ia tidak terbatas pada apa yang terdapat dalam
nash tetapi juga mencakup segala sesuatu di luar nash dan tidak bertentangan dengan
nash.166
Karena masalah politik merupakan masalah yang bersifat dinamis, dan selalu
mengalami proses improvisasi setiap saat, maka tidak tertutup kemungkinan
munculnya hal-hal baru sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir manusia, sejauh hal
tersebut tidak menyalahi nash. Mayoritas negara di dunia termasuk kebanyakan dari
negara Islam terlibat dalam diskursus sistem politik. Dalam terminologi kontemporer,
partai politik itu cenderung dipercaya sebagai tujuan dan ideologi politik yang
166 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajmukan dalam Bingkai
Persatuan. Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. I, h. 85-86
dibangun bersama-sama yang secara mandiri mengatur sistem dan tujuan politik
internalnya untuk merealisasikan program idealisme melalui beberapa pendekatan,
dengan harapan mendapatkan umpan balik untuk bisa mempengaruhi kelompok lain
yang ada di sekeliling mereka.167
Dalam pandangan Islam, faktor keragaman melekat kepada pluralisme itu
sendiri. Islam melihat pluralisme sebagai sunnatullah. Allah berfirman dalam surat
Al-Hujarat ayat 13:
$�r<�'9:�� H�$�0�$% $9+�� -��:�����>.C � �� �!⌧B"� 5`"�+���
���:��&>.*.F� $�-�*�T |Q�O$�6"S� �%��*&�l$.*�A � 5
���� -�����!UV� .�� NO$% ����"��K� 5 ���� TO$% ��{�>�
� !�6.C
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan tentang proses kejadian manusia, bahwa Allah swt
menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, Allah menjadikan
manusia berbeda bangsa dan berlainan suku. Semua itu merupakan bentuk pluralisme
yang melekat pada diri manusia itu sendiri.168
167 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim; Sebuah Analisis Syar'iyah.
Terjemahan Wahib Wahab, (Yogyakarta: PT. Tiara Wicana Yogya, 1998), Cet. I, h. 37
168 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Kencana, 2002), h. 125
Dalam perspektif Islam, menjaga pluralisme partai politik yang satu dari yang
lainnya, menjaga furu' dan ushul, hal ini merupakan kaedah dan landasan
kemerdekaan manusia yang diciptakan oleh Allah swt, yaitu kemerdekaan dalam
menentukaan beban pilihan sebagai salah satu sebab beban taklif.169
Sebagai bukti sejarah, keragaman partai telah muncul dalam praktek
ketatanegaraan Islam. Pada masa Daulah Abbasiyyah telah mulai muncul partai
politik, baik yang mendukung pemerintah maupun yang menjadi oposisi pemerintah.
Partai-partai yang muncul pada zaman Abbasiyyah tersebut adalah:
Pertama; Syi'ah. Partai Syi'ah merupakan partai oposisi yang berusaha
menjatuhkan pemerintahan dengan terang-terangan. Awal munculnya aliran ini
adalah pada masa khalifah Ustman, lalu tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin
Abi Thalib ra. Pokok-pokok aliran ini menurut Ibnu Khaldun sebagai berikut:
"Masalah kepentingan imamah bukanlah kepentingan rakyat yang pemilihan dan
penentuannya diserahkan kepada mereka. Imamah bagi mereka adalah rukun Islam
yang tidak boleh dilupakan oleh Nabi saw, dan diserahkan kepada umat. Beliau wajib
menentukan seorang imam yang terpelihara dari dosa besar dan kecil.170
Kedua; Khawarij. Gerakan Khawarij tidak terlalu berpengaruh pada masa
Daulah Abbasiyyah, tetapi tetap berbahaya, karena mereka melakukan oposisi dengan
jalan anarkis atau kekerasan. Ketiga; Mu'tazilah. Partai Mu'tazilah pada sebagian
besar Daulah Abbasiyyah menjadi pendukung pemerintah, hanya sekali partai
169 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim, h. 38 170 Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Sejarah Mazhab Islam; Aliran Politik dan Aqidah.
Terjemahan Ahmad Abdul Majid, (Jatim: Al-Izzah, 1998), Cet. I, h. 32
Mu'tazilah menjadi partai oposisi. Partai Mu'tazilh telah memainkan peranan yang
cukup penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Keempat; Ahlu’ Sunnah Wa
al-Jama'ah. Partai Ahlu’ Sunnah Wa al-Jama'ah lahir sebagai partai tandingan
terhadap partai Mu'tazilah, juga rival partai Syi'ah, dan Khawarij. Mereka menjadi
pembangkang pemerintah, pada waktu Mu'tazilah menjadi pendukung, dan
sebaliknya menjadi pendukung pada waktu Mu'tazilah menjadi pembangkang.171
Tetapi partai politik pada waktu itu belum nampak sebagai wadah formal
untuk menyampaikan kritikan dalam negara bersangkutan. Namun pada abad modern
ini eksistensi partai dalam suatu negara benar-benar diakui dan negara pun membuat
aturan-aturan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suatu partai.172
C. Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan
Islam tentang Hak Kritik Rakyat
Persamaan
1. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, bahwa dalam negara Islam, rakyat
mempunyai hak untuk menyatakan pendapat, memberikan kritikan kepada
pemerintah, apabila pemerintah melakukan kecurangan dan kezaliman.173
Pendapat
Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan prinsip Islam. Dalam al-Qur'an Allah
menjelaskan bahwa dibenarkan bagi umat untuk mencegah kemunkaran,
penyimpangan yang dilakukan penguasa merupakan suatu kemunkaran, maka
171 A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. V, h. 226 172 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 31 173 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147
mengkritik penguasa yang zalim juga dibenarkan bahkan diwajibkan (Surat Ali Imran
ayat 104). Selanjutnya banyak hadits Rasulullah yang memberikan "lampu hijau"
untuk menasehati dan bahkan mengkritik pemimpin zalim, hal ini dibuktikan dengan
hadits Rasulullah yang menjadikan tugas menasehati ini sebagai jihad.174
Bahkan
para sahabat pun telah membenarkan rakyat untuk mengkritik pemerintah jika mereka
menyimpang dari kebenaran.175
2. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa dalam mengubah kemunkaran
yang dilakukan pemerintah harus mempunyai kekuatan, tetapi apabila rakyat tidak
mempunyai kekuatan untuk mencegahnya, maka rakyat hendaknya bersabar. Hal ini
juga sejalan dengan prinsip Islam. Hadits Rasulullah saw sebagai sumber hukum
Islam yang kedua setelah al-Qur'an, telah menjelaskan bahwa dalam mencegah
kemunkaran, seseorang dituntut mencegahnya berdasarkan kapasitas dan kemampuan
yang dimilikinya.
Perbedaan
Adanya perbedaan mengenai format penyampaian kritikan antara pendapat
Yusuf al-Qaradhawi dengan praktek ketatanegaraan Islam yang terjadi pada masa
Rasulullah saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah, umat yang
ingin menyampaikan kritikan, dapat secara langsung datang kepada Rasulullah saw
dan beliau menerima dengan senang hati. Tetapi Yusuf al-Qaradhawi berpendapat
174 Syaukat Husein, Human Right in Islam (India: Bhavan, 1984), h. 43 175 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita
Publishing, 1994), h. 50
bahwa dalam menyampaikan kritikan terhadap pemerintah, hendaknya tidak
dilakukan secara individu tetapi melalui wadah formal seperti partai-partai politik
(beliau menyebutnya dengan "kekuatan politik").176
Penulis dalam hal ini melihat
bahwa hal ini merupakan tuntutan zaman, karena pada zaman Rasulullah saw kondisi
masyarakat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat pada saat ini. Begitu juga
dengan permasalahan saat ini jauh lebih kompleks dari masa Rasulullah saw.
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini, negara
sudah berkembang dengan pesat, wilayah yang begitu luas dan rakyat yang begitu
banyak. Dengan demikian agar kritikan itu lebih efektif, rakyat sebaiknya membentuk
suatu wadah yaitu partai politik.
D. Relevansi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Hak Kritik Rakyat
Dewasa ini
Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan,
sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang ini. Negara yang mengakui demokrasi
sebagai suatu sistem politiknya, mengakui bahwa rakyat mempunyai kedaulatan yang
penuh atas negara. Kedaulatan itu diwakilkan kepada para wakilnya di parlemen.
Rakyat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam politik, rakyat diberikan kebebasan
untuk mengawal kelangsungan negara. Rakyat diberikan hak untuk mengkritik
kebijakan pemerintah. Protes terhadap pemerintah adalah bentuk partisipasi rakyat
176 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
yang dibutuhkan negara demokrasi, agar sistem politik bekerja lebih baik.177
Hal yang
menyangkut kebebasan menyampaikan kritikan tersebut sudah menjadi hak asasi
yang bersifat universal, bahkan telah diputuskan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-
Bangsa melalui Universal Declaration of Human Rights 1948, Dimana umat manusia
melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) sepakat dan bertekat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan
secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi dan politik manusia serta
mensosialisasikannya.178
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi tentang partai politik sebagai wadah penyaluran
hak kritik rakyat, juga relevan dengan kondisi saat ini. Bahwa pendapat yang
dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi tersebut (sistem partai), telah diterapkan oleh
negara-negara demokrasi di dunia. Partai politik diyakini memiliki peran yang sangat
strategis terhadap proses demokratisasi. Partai politik adalah sebagai wadah bagi
penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai
demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap
penyelenggaraan negara melalui partai politik, segala aspirasi rakyat yang beraneka
ragam dapat disalurkan secara teratur. Sistem partai ini lebih terjamin kedisiplinannya
serta memiliki kekuatan. Rakyat tidak lagi dikekang mulutnya untuk bicara,
177 Asykuri ibn Chamim, Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, 2003), h. 90 178 Bambang Sutiyo, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia dalam
UNISIA (Yogyakarta, UII Press, 2002), h. 85
mengkritik pemerintah. Hak tersebut dijamin dalam undang-undang pada negara yang
bersangkutan.179
179 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Prenada Media, 2003), h. 55
BAB V
HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM
MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI
C. Konsep dan Dasar-Dasar Hak Kritik Rakyat Menurut Yusuf al-Qaradhawi
Islam datang untuk pertama kalinya telah menetapkan prinsip-prinsip
kebebasan dan kemerdekaan. Pada waktu sebelum kedatangan Islam, manusia
diperbudak alam pemikirannya, politiknya, sistem kemasyarakatannya,
keagamaannya, maupun ekonominya. Islam kemudian merubahnya, Islam datang
dengan mengikrarkan kemerdekaan. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa Islam
memiliki nilai-nilai kemanusian yaitu “kebebasan”, dengan prinsip kebebasan
tersebut dapat menyelamatkan manusia dari intimidasi, kediktatoran, penjajahan,
tekanan dan sebagainya. Kebebasan yang dimaksud di atas menurut Yusuf al-
Qaradhawi meliputi kebebasan beri'tikad, kemerdekaan berfikir, kemerdekaan atau
kebebasan berbicara dan menyampaikan kritikan terhadap penguasa yang zalim.
Semuanya merupakan kemerdekaan yang paling tinggi nilainya dan didambakan oleh
setiap manusia.180
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, dalam pandangan Islam memberikan kritikan
kepada pemimpin zalim merupakan hak setiap individu Muslim. Malah setiap
individu juga berkewajiban untuk meluruskan langkah pemimpin, menyuruhnya
untuk mengerjakan kebaikan dan mencegahnya untuk melakukan kemunkaran. Yusuf
180 Yusuf al-Qaradhawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu (Cairo:
Maktabah Wahbah, 1993), h. 109
al-Qaradhawi sangat mengagungkan kebebasan individu untuk menyampaikan
kritikan, nasehat, dan mengeluarkan buah pikiran demi kemajuan bangsa dan
negara.181
Dalam penjelasan Yusuf al-Qaradhawi tersebut penulis melihat adanya
penentangan yang keras dari Yusuf al-Qaradhawi terhadap keberadaan sistem
pemerintahan absolut yang cenderung penguasanya sering bertindak sewenang-
wenang terhadap rakyat. Hal ini terbukti dari ungkapan Yusuf al-Qaradhawi untuk
menganjurkan jihad terhadap pemerintahan yang zalim.182
Penulis berpendapat bahwa dengan dijaminnya kebebasan rakyat untuk
menyampaikan kritikan terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam suatu negara, maka
akan menambah kesadaran dan rasa memiliki rakyat terhadap negara. Hal ini dapat
menimbulkan semangat nasionalisme dan patriotisme umat. Karena umat tidak hanya
merasa dijadikan objek kekuasaan tetapi juga ikut berperan dalam kekuasaan.
Selanjutnya, sebagai dasar pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak rakyat
untuk mengkritik pemerintah yang zalim ini adalah bersumber dari perintah amar
ma’ruf nahi munkar yang telah dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an surat Luqman
ayat 17:
_`�FM:�� Ru S� ��5��>_��$% !�&�� ($!*.☺��$$�-
�g+$%� 1�� 2!"�03☺��$% R��i$%� 5��K� O$�� .6�-$�i�
181 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 630 182 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha,
Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-
Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 136
� ���� .6 �"� �� � 1we� l��cd$%
Artinya: Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi juga mendasarkan pemikirannya pada hadits
Rasulullah saw. Bahwa Rasulullah telah memperingatkan kaum Muslimin untuk tidak
diam terhadap tirani atau kezaliman. Sayidina Abu Said al-Khudri meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw bersabda:
ن ����� ��,��� وذ( �� رأى� ������� ����� ن � ���� ���ا ��� ��#$� #$�
�%�ن 183)روا� ا%��(أ)'& ا
Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnnya
dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika
hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan
inilah keadaan iman yang paling lemah.”
Hadits ini dengan jelas telah menunjukkan bahwa mengubah kemunkaran
merupakan hak setiap Muslim yang melihatnya, bahkan merupakan kewajiban
baginya. Dalilnya ialah bahwa lafal �� (barangsiapa) dalam frase رأى �� (barang
siapa yang melihat) adalah lafal umum, sebagaimana dikatakan oleh para ulama
ushul, ia bersifat umum, meliputi semua orang yang melihat kemunkaran, baik
sebagai penguasa maupun rakyat. Rasulullah saw bersabda kepada kaum Muslimin
secara umum dengan perkataan #$� رأى �� (barang siapa diantara kamu), dengan
183 Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Salam, 1999), h. 167
tidak mengecualikan seorang pun dari mereka, sejak para sahabat, orang-orang
sesudahnya dari generasi umat ini hingga datangnya hari kiamat.184
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa umat akan kehilangan keutamaan
dan kelebihannya jika mereka meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, malah
mereka akan dilaknat Allah swt.185
Dalam surat Ali Imran ayat 110:
�A0�B � !.C D����� �E.F2!C�� �$��> � ��HI3J&'"K
($!*.☺��$$�- <=�./�"K� 1�� 2!⌧M03☺��$% ���0 �"*K�
NO$$�- � �"�� <P��%�� Q;� R>:�A(M��$% ��S"�"� %0 !.C �3/T� 5
�3/0 �� <=�� �"3☺��$% �*; "�UV�� ���W�(X:⌧?��$%
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, ayat ini merupakan penegasan Allah tentang
kewajiban asasi manusia dalam Islam, bahwa manusia diharuskan melakukan amar
am’ruf nahi munkar. Suatu kewajiban yang dijadikan Allah sebagai salah satu dari
dua unsur pokok keutamaan dan kebaikan umat Islam.186
Berkenaan dengan Ayat di
atas, Fazlu Rahman menjelaskan bahwa tugas manusia di muka bumi adalah
menegakkan ketertiban dengan jalan mencegah perbuatan yang munkar dan
menyuruh kepada kebaikan. Bahwa tata tertib tersebut merupakan sosiopolitis yang
ditegakkan di atas dasar etika yang sah dan viable. Prilaku penguasa yang
184 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 628 185 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 629 186 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 629
menyimpang dari ajaran Islam, merupakan perbuatan yang munkar, maka rakyat
dituntut untuk memperbaikinya.187
Yusuf al-Qaradhawi menegaskan bahwa Islam telah menetapkan musyawarah
sebagai kaedah kehidupan, mewajibkan penguasa untuk berkonsultasi dan kepada
umat untuk menasehati, sehingga Islam menjadikan nasehat sebagai agama dan
termasuk nasehat terhadap pemimpin. Bahkan Islam memberikan legitimasi terhadap
orang yang berani mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim sebagai
jihad yang terbaik. Hak kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi merupakan paktor
yang esensial, karena Islam menuntut partisipasi umat atau rakyat dalam menentukan
kebijaksanaan pemerintah, jadi pemerintah atau penguasa tidak berhak untuk
mengambil keputusan sendiri, harus selalu mendapat pengesahan dari rakyat yang
diwakili oleh lembaga/dewan legislatif.188
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, beliau tidak pernah mengambil
keputusan sendiri. Dalam setiap persoalan kenegaraan, beliau selalu mengundang
sahabat-sahabatnya untuk berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Sekalipun beliau seorang pemimpin tertinggi negara Madinah, beliau tidak pernah
otoriter dalam mengambil keputusan. Beliau selalu mendengarkan pendapat siapa
saja yang ikut dalam musyawarah tersebut.189
Jika dapat kritikan dari sahabat, dengan
senang hati beliau menerimanya. Dari metode yang diterapkan oleh Rasulullah saw di
187 Fazlu Rahman, Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Terjemahan Ena Hadi, (Bandung:
Mizan, 1996), Cet. II, h. 119 188 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 91 189 Suyuthi Pulungan, Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dalam
Pandangan al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. 1, h. 255
atas, maka rakyat yang dipimpinnya mencintai beliau sepenuh hati dan mempunyai
loyalitas yang tinggi terhadap Rasulullah saw. Hal ini terbukti sewaktu beliau
memerintahkan penduduk Madinah untuk keluar mengikuti peperangan dalam perang
Tabuk, tidak satu pun yang berada di rumah sehingga kota Madinah pada waktu itu
terlihat seperti kota mati.190
Hal inilah yang diwariskan Rasulullah saw kepada para sahabatnya, Yusuf al-
Qaradhawi mengambil contoh sewaktu Umar diangkat menjadi khalifah pengganti
Abu Bakar Shiddiq, beliau berkata : “Wahai manusia, siapa yang berpendapat bahwa
saya telah melakukan penyelewengan, maka luruskanlah saya.” Seorang laki-laki
yang hadir pada waktu itu menjawab : “Demi Allah, jika kami melihat engkau
melakukan penyelewengan, niscaya kami akan meluruskannya dengan pedang kami.”
Umar menjawab: “segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kaum Muslimin
orang-orang yang sanggup meluruskan Umar dengan ketajaman pedang mereka.”
Sekalipun Umar seorang pegulat dan cukup ditakuti, namun beliau tetap mau
menerima teguran, nasehat, maupun kritikan dari rakyatnya.191
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, seorang pemimpin adalah anggota masyarakat
biasa dan bukanlah seorang yang terlalu agung sehingga tidak boleh dinasehati, dan
orang lain tidak terlalu hina hingga tidak boleh menasehatinya. Pendapat Yusuf al-
Qaradhawi ini senada dengan pandangan Ali Sariati yang mengatakan, bahwa
190 Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia. Terjemahan Ruslan
Siddiq, (Jakarta: Pustaka Jaya dan Djambatan, 1998), Cet. I, h. 157 191 K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet. III, h. 102
imam/pemimpin bukanlah manusia super yang kecemerlangan sosok luarnya
menyebabkan kita terdorong untuk mengangkat imam/pemimpin tersebut lebih dari
pada manusia biasa, bahkan yang lebih ekstrim menganggap seorang imam/pemimpin
sebagai sosok makhluk lain (the great foreighner). Corak pemikiran seperti ini telah
berkembang sebelum kedatangan Islam.192
Demikian seharusnya, rakyat harus menyadari bahwa seorang pemimpin
bukanlah orang yang dikultuskan sebagai orang yang suci, sehingga setiap tingkah
dan perbuatannya selalu tampak benar sekalipun hal tersebut salah. Ini merupakan
implikasi dari pengkultusan yang pada akhirnya merugikan rakyat dan bahkan dapat
menjadi ancaman terhadap kelangsungan suatu negara.
Tetapi meluruskan seseorang pemimpin bukanlah suatu hal yang mudah,
sebab kekuatan ada pada penguasa. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, rakyat harus
mampu mengemas amar ma’ruf nahi munkar untuk meluruskan penguasa tanpa
terjadi pertumpahan darah. Walau bagaimana pun Yusuf al-Qaradhawi berpendapat
bahwa oposisi terhadap pemerintah yang zalim, lebih baik jika dibandingkan dengan
peperangan, karena peperangan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk. Oposisi
yang melancarkan kritikan-kritikan terhadap pemerintah yang zalim tersebut melalui
lisan atau pun tulisan.193
Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa kritikan terhadap
penguasa tersebut juga dapat disalurkan melalui berbagai kekuatan politik yang tidak
192 Ali Sari'ati, Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis. Terjemahan Afifi
Muhammad, 1995), Cet. II, h. 121 193 Yusuf al-Qaradhawi, Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu, h. 118
mungkin mudah dibasmi oleh pemerintah yang berkuasa. Kekuatan-kekuatan politik
tersebutlah yang dinamakan partai.194
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:
���?3 2� A��V��-و�D اس���C3 ا���'� ص�اع � X�<Y ح�Kوآ-[ A 2 ص�� أن ت?X إ�� وت,>� 3>ج ا����ن د#$%�وف واH7$ �3 ا'%������ء وت�( هH وج>د D>ى ون إ ADرا
_ Aء �3ت, س��س��B,A وهa��� �� H �7��3 ا`�ر ا���A ا�Fآ%A 2�3 ا<7��195حUاب��7
Artinya: “Setelah perjuangan sengit dan panjang, umat manusia di zaman kita
sekarang telah mampu mengemas amar ma’ruf nahi munkar untuk meluruskan
penyimpangan penguasa tanpa terjadi pertumpahan darah. Hal itu disalirkan melalui
berbagai kekuatan politik yang tidak mungkin dibasmi oleh pemerintah yang
berkuasa dengan gampang. Kekuatan-kekuatan politik tersebutlah yang dinamakan
partai.”196
Secara hakiki, Franz Magnis Suseno juga berpendapat sama dengan Yusuf al-
Qaradhawi, bahwa negara harus melindungi kebebasan masyarakat, tetapi kebebasan
tersebut bukan berarti sama dengan kebebasan demokrasi dan liberalisme di Barat.
Kebebasan dalam Islam tersebut pada hakikatnya adalah hak setiap individu untuk
mengurus dirinya sendiri tanpa paksaan dari pihak mana pun, termasuk kebebasan
menyampaikan kritikan terhadap pemerintah.197
D. Wadah Hak Kritik Rakyat Menurut Yusuf al-Qaradhawi
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pada zaman modern ini untuk menyampaikan
kritikan dan saran kepada penguasa, telah tersedia media yang cukup sistematis serta
mendapat perlindungan hukum -Yusuf al-Qaradhawi menyebutnya dengan istilah
194 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 195 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 196 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara. Terjemahan Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press,
1999), h. 191-192 197 Fran Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. I, h. 117
"kekuatan politik"- dimana pemerintah tidak bisa dengan mudah membubarkannya.
Hal ini juga menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti terjadinya
pemberontakan akibat aspirasinya tidak sejalan dengan pemerintah.198
Penulis melihat sepertinya Yusuf al-Qaradhawi tidak membenarkan
melakukan kekerasan dalam mengkritik pemerintah yang zalim, karena ada forum
formal untuk mengungkapkan kritikan dan nasehat terhadap penguasa tersebut.
Menurut penulis, hal tersebut merupakan suatu langkah yang lebih baik demi untuk
mengelakkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan mafsadahnya jauh lebih
besar ketimbang maslahahnya.
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa mendirikan berbagai partai atau
kelompok politik sudah menjadi suatu keharusan sebagai sarana untuk mengoreksi
dan menghadapi kezaliman kekuasaan, mengembalikannya ke jalur yang benar, atau
menjatuhkannya agar tempatnya dapat diganti oleh orang lain yang lebih baik.
Berbagai partai itulah yang mampu mengoreksi pemerintah, sebagai wadah bagi umat
untuk mengatakan "tidak" atau "mengapa" terhadap kebijakan pemerintah, dan
melakukan tugas nasehat, amar ma'ruf nahi munkar. Tugas tersebut tidak dapat
dilakukan oleh individu yang terbatas kemampuannya.199
Partai yang dimaksud Yusuf al-Qaradhawi harus memenuhi dua syarat, yaitu;
� وإن آ�ن �7 إ و_ت'�د�� أ-3,��ة و8��'A- سdمن ت'��ف ��b أ-��H� �%7 ج��7د �5صوت�$#�رة�H )>ع ا`,%gسdم و`-.ص>ل ا'�%�A ا Aد��'� A7ب ج��F X%'ا�� آ�ن اس%�7 أ_ ت ���
�7'D<200و�
198 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 199 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 200 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
Artinya: Pertama, partai-partai itu harus mengakui Islam sebagai aqidah dan
syari'ah, tidak boleh melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikannya
sebagai kedok, walaupun berbagai partai itu mempunyai ijtihad sendiri dalam
memahaminya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah yang sudah ditetapkan. Kedua,
partai-partai itu tidak boleh bekerja demi kepentingan pihak-pihak yang memusuhi
Islam dan ummatnya, apa pun nama dan bentuknya.201
Yusuf al-Qaradhawi tidak membenarkan mendirikan partai yang
mengembangkan paham atheisme, liberalisme, dan sekularisme, atau paham yang
mencela agama-agama samawi secara umum, khususnya Islam atau menghina
berbagai keluhuran dan kesucian Islam, seperti aqidah, al-Qur’an dan hadits Nabi
saw.202
Sebagian kalangan umat Islam menolak pemberlakuan sistem partai, yang
merupakan bagian dari demokrasi. Mereka beralasan bahwa demokrasi merupakan
hasil import dari Barat dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan Islam. Bahwa
demokrasi berdasarkan suara mayoritas serta menganggap suara terbanyak
merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan
mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar
terhadap salah satu dari masalah yang berbeda-beda dengan menggunakan
pemungutan suara terbanyak. Maka pendapat manapun yang memenangkan suara
terbanyak secara absolut, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang
pendapat itu salah dan bathil.
Padahal (menurut mereka), Islam tidak menggunakan sarana seperti itu, dan
tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang lain. Karena
201 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190 202 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan
tersebut, apakah ia salah atau benar. Jika benar, maka ia akan memberlakukannya,
meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada
seorang pun yang menganutnya. Jika salah, maka ia akan menolaknya meskipun
bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut. Bahkan, nash al-Qur’an
menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan. Sebagaimana
yang terdapat pada firman Allah swt surat al-An’am ayat 116:
���� �{ v*K � "�UV� ��� h�Y 1�l�d$% ⌧q��>(}� �� mQn�M.]
NO$% 5 ��� ���*�6[��� ���� ��TW�$% ���� �*; ���� ���3i!��"h
1�� m
Artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta
(terhadap Allah)
Ulama yang berpandangan demikian adalah Fadhallah Nuri dari Iran, Sayyid
Kutb dari Mesir, dan Ali Benhadj dari Al-Jazair. Menurut pandangan Fadhallah Nuri,
demokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin disejajarkan dalam sistem
pemerintahan Islam. Misalnya konsep persamaan semua warga negara, lebih lanjut
Fadhallah Nuri mengatakan bahwa persamaan tentu saja tidak bisa terjadi dalam
kehidupan manusia, pastinya dalam kehidupan yang kompleks terdapat perbedaan
seperti orang beriman dan kafir, kaya dan miskin, para fuqaha dan pengikutnya, yang
kesemuanya pasti memiliki konsekuensi yang berbeda dalam sebuah negara.
Demikian halnya dengan prinsip legislasi oleh manusia yang biasa dilakukan oleh
lembaga legislatif. Fadhallah Nuri menganggap legislasi hukum bukanlah ketentuan
manusia untuk mengaturnya, melainkan hukum adalah milik Allah swt semata.203
Senada dengan komentar Fadhallah Nuri di atas, Sayyid Kutb seorang pemikir
Mesir dan tokoh Ikhwanul Muslimin juga benar-benar tegas dalam menolak
demokrasi sebagai sebuah sistem. Sayyid Kutb menganggap bahwa ide kedaulatan
adalah gagasan demokrasi yang salah dan tidak sejalan dengan hukum Islam.
Mengakui adanya kedaulatan rakyat, berarti secara bersamaan juga telah mengingkari
kedaulatan Tuhan. Dalam konsep Islam, seorang pemimpin hanyalah jabatan yang
tidak mutlak dimiliki dan dikuasai oleh manusia, tetapi ia hanya merupakan amanat
Tuhan yang ada di bumi, dan kekuasaannya bersifat teosentris (Tuhan sebagai pusat
kekuasaan).204
Tokoh selanjutnya yang juga menolak keras demokrasi ialah Ali Benhadj.
Satu hal yang paling dikritik olehnya adalah prinsip mayoritas. Sebenarnya menurut
Ali Benhadj, prinsip tersebut mudah dipatahkan dan ditolak, karena sebenarnya isu-
isu keadilan tidak bisa dikuantifikasi. Oleh karen itu, demokrasi secara umum
hanyalah sebuah alat semata, dan bahwa demokrasi hanyalah baik apabila
menguntungkan bagi Barat.205
203 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, “Islam dan Demokrasi”, dalam Islamika, Jurnal
Dialog Pemikiran Islam, no. 4 April-Juni, 1994, h. 19-21 204 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, Islam dan Demokrasi, h. 20 205 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Tela’ah konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002), h. 55-56
Menanggapi pendapat ini Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan:
�اA�Yأ,%�����Kت وا%?���Fت ا-ن ج>ه� ا'��'��ا �3 ا _A�%س �� أ-آ�د��$ن ���Pرا%#Fه>�� وأ���ض 7��3 ح�آ �#�ه>�� أو ��0م �#K�_وا ه�ن �#>ن 7 حa 7 و��>س أ�
� إذ�U3 aإذا ا6�5 وح آ�F�ف و _ ���ق ا$�س إ2 ات�Rه�ت أو �$�هj ا�Fس�A اFا� ��>��7 و_ ��)>ن 3$�7إ�D?�د�A أو اج�A�3�% أو A���,l أ'�_ A206و س��س�
Artinya: Bahwa substansi demokrasi –tanpa definisi dan istilah akademis-
adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan
mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh
penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain
itu, mereka juga mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa menyimpang
dan berbuat zalim, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran dan sistem ekonomi,
sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan mereka setujui.207
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa tidak ada satu syari’at pun yang
melarang penyerapan pemikiran teori atau praktik empiris dari kalangan non-Muslim
, termasuk konsep demokrasi. Bahkan merupakan hak kita untuk mengambil manfaat
dari pemikiran, strategi, dan sistem yang memberikan manfaat kepada kita, selama
tidak bertentangan dengan nash, dan kita harus menyaring dari apa yang kita ambil
untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh Islam.208
Yusuf al-Qaradhawi mencontohkan pada Nabi sendiri pada perang Ahzab telah
mengambil pemikiran “penggalian parit” sebagai strategi perang, padahal strategi
tersebut berasal dari bangsa Persia.209
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Yusuf al-Qaradhawi, bahwa
penerapan sistem partai membawa manfaat bagi umat Islam. Mengingat beragam dan
kompleksnya kehidupan masyarakat pada zaman modern ini, besarnya wilayah suatu
206 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 632 207 Yusuf al-Qaradhawi, Figh Negara, h. 197 208 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 643 209 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 155
negara, banyaknya jumlah penduduk, dan pertumbuhan organisasi pemerintah atau
non-pemerintah, menjadi semakin sukar untuk mengetahui individu mana yang perlu
dimintai pendapatnya dalam bermusyawarah. Ini berarti jalur langsung dalam
menyampaikan aspirasi kepada pemimpin pemerintahan tidak seefektif pada zaman-
zaman awal Islam. Lagi pula suara mayoritas tidak selamanya diartikan sebagai
kehendak yang buruk, tetapi suara mayoritas juga mampu untuk mengambil
keputusan yang benar dengan selalu mengajak kepada kekuatan hukum.
Selanjutnya tentang sistem partai, Yusuf al-Qaradhawi berpendapat tidak ada
larangan untuk memberlakukan sistem multi partai dalam negara Islam. Beliau
mengatakan:
bا A� �� حUب س��سH داX5 ا�وmوج>د أآ �� H3� 210سA��d أ�� _ �>ج� ���� 8
Artinya: Bahwa tidak ada larangan untuk memberlakukan sistem multi partai
dalam negara Islam.211
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa partai-partai tersebut hanya sekedar
keragaman bentuk dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif.
Seluruh anggota partai tersebut harus berdiri satu barisan dalam mempertahankan
persoalan-persoalan prinsip yang berkaitan dengan eksistensi Islam, aqidah
islamiyah, syariat Islam dan umat Islam. Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi
menjelaskan bahwa masing-masing partai politik itu harus komit dengan moral yang
luhur. Tidak dibenarkan mencela dan mengkafirkan pihak lain. Bahkan semua
210 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147 211 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190
anggota partai itu harus saling menasehati pada kebenaran, kesabaran, dan seraya
berpegang teguh dengan prinsip hikmah dan mau’izhah hasanah.212
Yusuf al-Qaradhawi menjunjung tinggi sistem multi partai yang lebih
menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat. Konsep multi partai yang ditawarkan
Yusuf al-Qaradhawi merupakan konsep yang bersifat aplikatif, karena lebih
membantu rakyat dalam mengungkapkan aspirasinya di depan pemerintah, sebab
masing-masing orang mempunyai ide dan gagasan yang berbeda.213
Menurut penulis, di satu sisi sistem multi partai mempunyai nilai seakan
mewujudkan dikotomi umat Islam antara satu dengan lainnya. Hal ini lebih
menguntungkan partai lain yang tidak berdasarkan Islam, karena suara umat Islam
terpecah dan minus kekuatan politiknya. Tetapi di sisi lain, sistem ini juga
mendatangkan implikasi positif karena umat Islam dapat bersatu (koalisi) antara satu
partai dengan partai yang lainnya. Tetapi yang perlu diingat, masing-masing partai
yang ingin berkoalisi agar dapat menyamakan visi dan misinya terlebih dahulu agar
terjamin konsistensi perjuangan.
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa keberagaman partai politik tidak
selalu membawa perpecahan, dan tidak semua perbedaan itu buruk. Dalam hal ini
Yusuf al-Qaradhawi menganalogikan pada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh
perbedaan ijtihad. Karena itu para sahabat sering berbeda pendapat dalam berbagai
masalah cabang, namun hal ini tidak memecah belah persatuan mereka. Adanya
212 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 154 213 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
sistem multi partai merupakan suatu gambaran pluralitas umat dalam bidang politik.
Adanya keragaman, pluralitas, dan perbedaan dalam politik tersebut merupakan suatu
gambaran menuju kesatuan syari'at pada sisi yang konstan, karena politik dalam
Islam tidak konstan sebagaimana konstanitas nash-nash dan tidak ada kata pasti
sebagaimana kepastian nash-nash itu. Ia tidak terbatas pada apa yang terdapat dalam
nash tetapi juga mencakup segala sesuatu di luar nash dan tidak bertentangan dengan
nash.214
Karena masalah politik merupakan masalah yang bersifat dinamis, dan selalu
mengalami proses improvisasi setiap saat, maka tidak tertutup kemungkinan
munculnya hal-hal baru sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir manusia, sejauh hal
tersebut tidak menyalahi nash. Mayoritas negara di dunia termasuk kebanyakan dari
negara Islam terlibat dalam diskursus sistem politik. Dalam terminologi kontemporer,
partai politik itu cenderung dipercaya sebagai tujuan dan ideologi politik yang
dibangun bersama-sama yang secara mandiri mengatur sistem dan tujuan politik
internalnya untuk merealisasikan program idealisme melalui beberapa pendekatan,
dengan harapan mendapatkan umpan balik untuk bisa mempengaruhi kelompok lain
yang ada di sekeliling mereka.215
214 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajmukan dalam Bingkai
Persatuan. Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. I, h. 85-86 215 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim; Sebuah Analisis Syar'iyah.
Terjemahan Wahib Wahab, (Yogyakarta: PT. Tiara Wicana Yogya, 1998), Cet. I, h. 37
Dalam pandangan Islam, faktor keragaman melekat kepada pluralisme itu
sendiri. Islam melihat pluralisme sebagai sunnatullah. Allah berfirman dalam surat
Al-Hujarat ayat 13:
$�r<�'9:�� H�$�0�$% $9+�� -��:�����>.C � �� �!⌧B"� 5`"�+���
���:��&>.*.F� $�-�*�T |Q�O$�6"S� �%��*&�l$.*�A � 5
���� -�����!UV� .�� NO$% ����"��K� 5 ���� TO$% ��{�>�
� !�6.C
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan tentang proses kejadian manusia, bahwa Allah swt
menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, Allah menjadikan
manusia berbeda bangsa dan berlainan suku. Semua itu merupakan bentuk pluralisme
yang melekat pada diri manusia itu sendiri.216
Dalam perspektif Islam, menjaga pluralisme partai politik yang satu dari yang
lainnya, menjaga furu' dan ushul, hal ini merupakan kaedah dan landasan
kemerdekaan manusia yang diciptakan oleh Allah swt, yaitu kemerdekaan dalam
menentukaan beban pilihan sebagai salah satu sebab beban taklif.217
Sebagai bukti sejarah, keragaman partai telah muncul dalam praktek
ketatanegaraan Islam. Pada masa Daulah Abbasiyyah telah mulai muncul partai
216 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Kencana, 2002), h. 125 217 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim, h. 38
politik, baik yang mendukung pemerintah maupun yang menjadi oposisi pemerintah.
Partai-partai yang muncul pada zaman Abbasiyyah tersebut adalah:
Pertama; Syi'ah. Partai Syi'ah merupakan partai oposisi yang berusaha
menjatuhkan pemerintahan dengan terang-terangan. Awal munculnya aliran ini
adalah pada masa khalifah Ustman, lalu tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin
Abi Thalib ra. Pokok-pokok aliran ini menurut Ibnu Khaldun sebagai berikut:
"Masalah kepentingan imamah bukanlah kepentingan rakyat yang pemilihan dan
penentuannya diserahkan kepada mereka. Imamah bagi mereka adalah rukun Islam
yang tidak boleh dilupakan oleh Nabi saw, dan diserahkan kepada umat. Beliau wajib
menentukan seorang imam yang terpelihara dari dosa besar dan kecil.218
Kedua; Khawarij. Gerakan Khawarij tidak terlalu berpengaruh pada masa
Daulah Abbasiyyah, tetapi tetap berbahaya, karena mereka melakukan oposisi dengan
jalan anarkis atau kekerasan. Ketiga; Mu'tazilah. Partai Mu'tazilah pada sebagian
besar Daulah Abbasiyyah menjadi pendukung pemerintah, hanya sekali partai
Mu'tazilah menjadi partai oposisi. Partai Mu'tazilh telah memainkan peranan yang
cukup penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Keempat; Ahlu’ Sunnah Wa
al-Jama'ah. Partai Ahlu’ Sunnah Wa al-Jama'ah lahir sebagai partai tandingan
terhadap partai Mu'tazilah, juga rival partai Syi'ah, dan Khawarij. Mereka menjadi
218 Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Sejarah Mazhab Islam; Aliran Politik dan Aqidah.
Terjemahan Ahmad Abdul Majid, (Jatim: Al-Izzah, 1998), Cet. I, h. 32
pembangkang pemerintah, pada waktu Mu'tazilah menjadi pendukung, dan
sebaliknya menjadi pendukung pada waktu Mu'tazilah menjadi pembangkang.219
Tetapi partai politik pada waktu itu belum nampak sebagai wadah formal
untuk menyampaikan kritikan dalam negara bersangkutan. Namun pada abad modern
ini eksistensi partai dalam suatu negara benar-benar diakui dan negara pun membuat
aturan-aturan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suatu partai.220
C. Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan
Islam tentang Hak Kritik Rakyat
Persamaan
3. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, bahwa dalam negara Islam, rakyat
mempunyai hak untuk menyatakan pendapat, memberikan kritikan kepada
pemerintah, apabila pemerintah melakukan kecurangan dan kezaliman.221
Pendapat
Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan prinsip Islam. Dalam al-Qur'an Allah
menjelaskan bahwa dibenarkan bagi umat untuk mencegah kemunkaran,
penyimpangan yang dilakukan penguasa merupakan suatu kemunkaran, maka
mengkritik penguasa yang zalim juga dibenarkan bahkan diwajibkan (Surat Ali Imran
ayat 104). Selanjutnya banyak hadits Rasulullah yang memberikan "lampu hijau"
untuk menasehati dan bahkan mengkritik pemimpin zalim, hal ini dibuktikan dengan
219 A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. V, h. 226 220 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 31 221 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147
hadits Rasulullah yang menjadikan tugas menasehati ini sebagai jihad.222
Bahkan
para sahabat pun telah membenarkan rakyat untuk mengkritik pemerintah jika mereka
menyimpang dari kebenaran.223
4. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa dalam mengubah kemunkaran
yang dilakukan pemerintah harus mempunyai kekuatan, tetapi apabila rakyat tidak
mempunyai kekuatan untuk mencegahnya, maka rakyat hendaknya bersabar. Hal ini
juga sejalan dengan prinsip Islam. Hadits Rasulullah saw sebagai sumber hukum
Islam yang kedua setelah al-Qur'an, telah menjelaskan bahwa dalam mencegah
kemunkaran, seseorang dituntut mencegahnya berdasarkan kapasitas dan kemampuan
yang dimilikinya.
Perbedaan
Adanya perbedaan mengenai format penyampaian kritikan antara pendapat
Yusuf al-Qaradhawi dengan praktek ketatanegaraan Islam yang terjadi pada masa
Rasulullah saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah, umat yang
ingin menyampaikan kritikan, dapat secara langsung datang kepada Rasulullah saw
dan beliau menerima dengan senang hati. Tetapi Yusuf al-Qaradhawi berpendapat
bahwa dalam menyampaikan kritikan terhadap pemerintah, hendaknya tidak
dilakukan secara individu tetapi melalui wadah formal seperti partai-partai politik
222 Syaukat Husein, Human Right in Islam (India: Bhavan, 1984), h. 43 223 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita
Publishing, 1994), h. 50
(beliau menyebutnya dengan "kekuatan politik").224
Penulis dalam hal ini melihat
bahwa hal ini merupakan tuntutan zaman, karena pada zaman Rasulullah saw kondisi
masyarakat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat pada saat ini. Begitu juga
dengan permasalahan saat ini jauh lebih kompleks dari masa Rasulullah saw.
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini, negara
sudah berkembang dengan pesat, wilayah yang begitu luas dan rakyat yang begitu
banyak. Dengan demikian agar kritikan itu lebih efektif, rakyat sebaiknya membentuk
suatu wadah yaitu partai politik.
D. Relevansi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Hak Kritik Rakyat
Dewasa ini
Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan,
sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang ini. Negara yang mengakui demokrasi
sebagai suatu sistem politiknya, mengakui bahwa rakyat mempunyai kedaulatan yang
penuh atas negara. Kedaulatan itu diwakilkan kepada para wakilnya di parlemen.
Rakyat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam politik, rakyat diberikan kebebasan
untuk mengawal kelangsungan negara. Rakyat diberikan hak untuk mengkritik
kebijakan pemerintah. Protes terhadap pemerintah adalah bentuk partisipasi rakyat
224 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
yang dibutuhkan negara demokrasi, agar sistem politik bekerja lebih baik.225
Hal yang
menyangkut kebebasan menyampaikan kritikan tersebut sudah menjadi hak asasi
yang bersifat universal, bahkan telah diputuskan oleh lembaga Perserikatan Bangsa-
Bangsa melalui Universal Declaration of Human Rights 1948, Dimana umat manusia
melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) sepakat dan bertekat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan
secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi dan politik manusia serta
mensosialisasikannya.226
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi tentang partai politik sebagai wadah penyaluran
hak kritik rakyat, juga relevan dengan kondisi saat ini. Bahwa pendapat yang
dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi tersebut (sistem partai), telah diterapkan oleh
negara-negara demokrasi di dunia. Partai politik diyakini memiliki peran yang sangat
strategis terhadap proses demokratisasi. Partai politik adalah sebagai wadah bagi
penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai
demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap
penyelenggaraan negara melalui partai politik, segala aspirasi rakyat yang beraneka
ragam dapat disalurkan secara teratur. Sistem partai ini lebih terjamin kedisiplinannya
serta memiliki kekuatan. Rakyat tidak lagi dikekang mulutnya untuk bicara,
225 Asykuri ibn Chamim, Pendidikan Kewarganegaraan (Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, 2003), h. 90 226 Bambang Sutiyo, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia dalam
UNISIA (Yogyakarta, UII Press, 2002), h. 85
mengkritik pemerintah. Hak tersebut dijamin dalam undang-undang pada negara yang
bersangkutan.227
227 A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Prenada Media, 2003), h. 55
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian sebelumnya yang berdasarkan sumber-sumber resmi berupa buku-
buku karangan Yusuf al-Qaradhawi maupun buku-buku lainnya yang berhubungan
dengan pembahasan, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa point penting,
yaitu:
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa Islam memiliki nilai-nilai
kemanusian yaitu “kebebasan” yang dapat menyelamatkan manusia dari intimidasi,
kediktatoran, penjajahan, tekanan dan sebagainya. Kebebasan ini meliputi kebebasan
beri'tikad, kemerdekaan berfikir, kebebasan berbicara dan menyampaikan kritikan
terhadap penguasa yang zalim. Dasar pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak
kritik rakyat ini adalah bersumber dari perintah amar ma’ruf nahi munkar yang telah
dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 17. Kritikan tersebut
disalurkan melalui kekuatan politik yang dinamakan partai.
Pendapat Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat, sesuai dengan prinsip
Islam. Bahwa Allah membenarkan umat untuk mencegah kemunkaran,
penyimpangan dan kezaliman. Penyimpangan yang dilakukan penguasa merupakan
suatu kemunkaran, maka mengkritik penguasa yang zalim juga dibenarkan bahkan
diwajibkan (Surat Ali Imran ayat 104).
Namun ada perbedaan mengenai format penyampaian kritikan antara
pendapat Yusuf al-Qaradhawi dengan praktek ketatanegaraan Islam yang terjadi pada
masa Rasulullah saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah, umat
yang ingin menyampaikan kritikan, dapat secara langsung datang kepada Rasulullah
saw. Tetapi Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa dalam menyampaikan kritikan
terhadap pemerintah, hendaknya melalui partai politik.
B. SARAN
Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Yusuf al-Qaradhawi
tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam, kiranya penulis perlu
mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di
atas, yaitu; perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang hak kritik rakyat
secara khusus, sehingga mampu memberikan informasi yang lebih utuh. Dengan
penelitian yang lebih komprehensif, diharapkan dapat melahirkan pemahaman bahwa
Islam menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia, dan hak rakyat untuk
mengkritik pemerintahan yang zalim.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi. Penerjemah Wahib Wahab.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999.
Ali, K. Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2008.
Almond, Gabriel A, Caleman, James S. The Politik of the Develooping Areas. New
Jarsey: Princeton, 1970.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2000.
Chamim, Asykuri. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Majelis Pendidikan
Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, 2003.
Esposito, John L dan James, Piscatory P. “Islam dan Demokrasi”, dalam Islamika,
Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 4 April-Juni, 1994.
Fakultas Syariah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syahid, 2007.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Hakim, M. Lukman. (ed), Deklarasi Islam tentang HAM. Surabaya: Risalah Gusti,
1993.
Hasyim, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Heri, Sucipto. Ensiklopedi Tokoh Islam, Dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi.
Jakarta: Hikmah, 2003.
HR, Ridwan. Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Yogyakarta: FH UII
PRESS, 2007.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005.
Hussain, Syaukat. Human Right in Islam. India: Kitab Bhavan, 1996.
Hutabarat, Ramli. Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di
Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajmukan dalam
Bingkai Persatuan. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie. Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta, 1986.
Kamali, Mohammad Hashim. Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita
Publishing, 1994.
Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; Tela’ah konseptual dan Historis (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002.
Khurasisy, Shalih. Sulaiman. Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan.
Penerjemah M. Abdul Ghafur. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, 2003.
Muhammad, Iqbal. Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
Al-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia; Dari UUD1945
Sampai dengan Amandemen UUD 1945 tahun 2002. Jakarta: Kencana, 2007.
Musthafa, Daud. Beberapa Aspek Pemikiran al-Maududi. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988.
Al-Maududi, Abu al-A'la. Hak Asasi dalam Islam. Penerjemah Achmad Nashir
Budiman. Bandung: Pustaka, 1985.
M. Echols, John. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Mas’ud, Mukhtar. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1982.
Mubarraq, Muhammad. Sistem Pemerintahan dalam Perspektif Islam. Penerjemah
Firman Haryanto. Solo: Pustaka Mantiq, 1995.
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya 'Ulum al-Din. Dar Fikr,
1995.
Munawwir, A. W. Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002.
Al-Nadwi, Abu al-Hasan Ali. Islam Membangun Peradaban Dunia. Penerjemah
Ruslan Siddiq. Jakarta: Pustaka Jaya dan Djambatan, 1998
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1978.
Powell, Edward. Kingship, Law and Society; Criminal Justice in the Reign of Henry
V. Oxford: Clarendon Press, 1989.
Pulungan, Suyuthi. Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah ditinjau dalam
Pandangan al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha,
Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-
Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin. Cairo: Dar al-Syuruq, 1997.
. Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu. Cairo:
Maktabah Wahbah, 1993.
. Fatawa Mu’ashirah. Beirut: Darul Ma’rifah, 1988.
. Al-Halal wa al-Haram, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1980.
. Fiqh Negara. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Rabbani
Press, 1999.
. Perjalanan Hidupku. Penerjemah Cecep Taufiqurahman,
Nandang Burhanuddin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Rahman, Fazlu. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Penerjemah Ena Hadi.
Bandung: Mizan, 1996.
Rais, M. Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Rasyid, Harun. Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1983.
Sari'ati, Ali. Ummah dan Imamah; Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah Afifi
Muhammad, 1995.
Smith, Edward C. The Constitution of the United States. New York: Barnes, 1966.
Sunggono, Bambang. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar
Maju, 1994.
Suseno, Fran Magnis. Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Sutiyo, Bambang. Konsepsi Hak Asasi manusia dan Implementasinya di Indonesia
dalam UNISIA. Yogyakarta: UII Press, 2002.
Tahir, Muhammad. Negara Hukum ; Suatu Study tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Thanthawi, Muhammad, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim; Sebuah Analisis
Syar'iyah. Penerjemah Wahib Wahab. Yogyakarta: PT. Tiara Wicana
Yogyakarta, 1998.
Taqiyuddin, Nabhani. Sistem Pemerintahan Islam. Penerjemah Muhammad Maghfur
Wachid, Bangil: Al-Izzah, 1997.
Tirmizi, Imam. Jami' at-Tirmizi. Riyadh: Dar al-Salam, 1999.
Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Prenada Media Group, 2008.
Uchjana Effendy, Onong. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002.
Uchjana Effendy, Onong. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004.
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang No 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indinesia (YLBHI), Kompilasi Hak-Hak Asasi
Manusia. Jakarta: YLBHI, 1980
Yusuf Musa, Muhammad. Mizham al-Hukm Fi al-Islam. Kairo: Dar Al-Katib Al-
'Arabi, t.tp
Zahrah, Muhammad Abu. Sejarah Mazhab Islam; Aliran Politik dan Aqidah.
Penerjemah Ahmad Abdul Majid. Jatim: Al-Izzah, 1998
Lapmiran:
Karya-Karya Yusuf al-Qaradhawi:
1. Al-Halal wa al-Haram (Halal dan Haram dalam Islam), Al-Maktab al-Islami,
Beirut, 1980
2. Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-Fatwa Kontemporer), Dar Al-Wafa, Qahirah, 1993
3. Al-Ijtihad fi al-Shari’at al-Islamiah (Ijtihad dalam Syari’at Islam), Dar al-Qalam,
Kuwait, 1996
4. Madkhal li Dirasat al-Shari’at al-Islamiah (Pengenalan Pengajian Syariat Islam),
Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997
5. Min Fiqh al-Dawlah al-Islamiah (Fiqh Kenegaraan), Dar al-Shuruq, Qahirah,
1997
6. Nahw Fiqh Taysir (Ke Arah Fiqh yang Mudah), Maktabah Wahbah, Qahirah,
1999
7. Al-Fatwa Bayn al-Indibat wa al-Tasayyub (Fatwa-Fatwa antara Kejituan dan
Pencerobohan), Dar al-Sahwah, Qahirah, 1992
8. Al-Fiqh al-Islami Bayn al-Asalah wa al-Tajdid (Fiqh Islam antara Ketulenan dan
Pembaharuan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1999
9. Awamil al-Sa’ah wa al-Murunah fi al-Syari’ah al-Islamiah (Faktor-Faktor
Kelenturan dalam Syari’at Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1999
10. Al-Ijtihad al-Mu’asir Byn al-Indibat wa al-Infirat (Ijtihad Kontemporer antara
Kejituan dan Kecuaian), Dar al-Tawji’ wa al-Nashr, Qahirah,1994
11. Fiqh al-Siyam (Hukum Tentang Puasa), Dar al-Wafa, Qahirah,1991
12. Fiqh al-Taharah (Hukum Tentang Kebersihan), Maktabah Wahbah, Qahirah,
2002
13. Fiqh al-Ghina’ wa al-Musiqa (Hukum tentang Nyayian dan Musik), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 2001
14. Fi Fiqh al-Aqaliyyat al-Muslimah (Fiqh Minoritas Muslim), Dar al-Shuruq,
Qahirah, 2001
15. Fiqh al-Zakah 2 Juzuk (Fiqh tentang Zakat), Muassasah al-Risalah, Beirut, 1973
16. Mushkilat al-Faqr wa Kayfa alajaha al-Islam (Masalah Kefakiran dan
Bagaimana Islam Mengatasinya), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1980
16. Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram (Bunga Bank itu adalah Riba yang
Haram), Dar al-Wafa’ Qahirah, 1990
17. Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islami (Peranan Nilai dan Akhlaq
dalam Ekonomi Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1998
18. Daur al-Zakat fi alaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Fungsi Zakat dalam Mengatasi
Masalah Ekonomi), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2001
19. Al-Aql wa Al-Ilm fi al-Qur’an (Akal dan Ilmu dalam al-Qur’an), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1996
20. Al-Sabru fi al-Qur’an (Sabar dalam al-Quran), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1989
21. Tafsir Surah al-Ra’d (Tafsir Surah Ra’d), Dar al-Bashir, Qahirah,1996
22. Kayfa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Bagaimana Berinteraksi
dengan Sunnah), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2000
23. Madkhal li Dirasat al-Sunnah (Pengantar Mempelajari Sunnah), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1992
24. Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an ( Bagaimana berinteraksi dengan al-Quran),
Dar al-Shuruq, Qahirah, 1999
25. Al-Sunnah Masdarun li al-Ma’rifah wa al-Hadarah (Sunnah sebagai Sumber
Pengetahuan dan Peradaban), Dar al-Shuruq, Qahirah,1997
26. Wujud Allah (Adanya Allah), Maktabah Wahbah, Qahirah,1990
27. Haqiqat al-Tawhid (Hakikat Tauhid), Maktabah Wahbah, Qahirah,1990
28. Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-kasyf wa al-ru’ya wa min al-Kananah wa al-
Tarna’im wa al-Ruqa (Posisi Islam mengenai Ilham, Kasyaf, Mimpi, Ramalan,
Pencegah Kemalangan dan Jampi), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1994
29. Al-Iman bi al-Qadr (Keimanan Kepada Qadar), Maktabah Wahbah, Qahirah,
2000
30. Al-Thaqafah al-Da’iyyah (Wawasan Seorang Juru Dakwah), Maktabah Wahbah,
Qahirah, 1991
31. Al-Tarbiyah al-Islamiah wa Madrasah Hassan al-Banna (Pendidikan Islam dan
Ajaran Hassan al-Banna), Maktabah Wahbah, Qahirah,1992
32. Al-Rasul wa al-Ilmi (Rasul dan Ilmu), Muasassah al-Risalah, Beirut, 1991
33. Al-Waqt fi Hayat al-Muslim (Waktu dalam Kehidupan Seorang Muslim), Dar al-
Sahwah Qahirah, 1991
34. Al-Hulul al-Mustwaradah wa Kayfa Janat ‘ala Ummaatina (Penyelesaian Import;
Bagaimana ia Menghantam Umat Kita), Maktabah Wahbah, Qahirah,1993
35. Al-Hall al-Islami Faridah wa Darurah (Mengatasi Masalah dengan Cara Islam
adalah suatu Kewajiban dan Keharusan), Maktabah Wahbah, Qahirah,1987
36. Bayinat al-Hall al-Islami wa Syubuhat al-Ilmaniyyin wa al-Mustaqhribin
(Penjelasan Mengatasi Masalah dengan Cara Islam dan Sangkaan Penganut
Sekuler dan Orang Barat), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1988
37. A’da’ al-Hall al-Islami (Musuh-Musuh dalam Penyelesaian Cara Islam),
Maktabah Wahbah, Qahirah 2000
38. Al-Shaykh al-Ghazali Kama Araftuhu Khilala Nisf al-Qarn (Syeikh al-Ghazali
Seperti yang Saya Kenal Selama Setengah Abad), Dar al-Wafa, Qahirah,1995
39. Abu Hasan al-Nadwi Kama Araftuh (Abu Hassan al-Nadwi Seperti yang Saya
Kenal), Dar al-Fikr, Beirut, 2001
40. Al-Hayat al-Rabbaniah wa al-‘Ilm (Kehidupan Rabbani dan Ilmu), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1995
41. Al-Niyat wa al-Ikhlas (Niat dan Keikhlasan), Maktabah Wahbah, Qahirah,1995
42. Al-Tawakkal (Bertawakal Kepada Allah), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995
43. Al-Tawbah ila Allah ( Taubat Kepada Allah), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000
44. Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Juhud wa al-Tatarruf (Kebangkitan Islam antara
Penolakan dan Ekstrim), Dar al-Wafa, Qahirah, 1992
45. Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Ikhtilaf al-Mashru’ wa al-Tafaruq al-Madzmum
(Kebangkitan Islam antara Perbedaan Pendapat yang Dibolehkan dan Perpecahan
yang Tercela), Dar al-Wafa, Qahirah, 1991
46. Al-Sahwah al-Islamiah wa Humum al-Watan al-Arabi (Kebangkitan Islam dan
Keresahan Negara-Negara Arab), Dar al-Sahwah, Qahirah, 1993
47. Min Ajli Sahwah Rashidah Tujaddid al-Din wa Tanhad bi Dunya (Untuk
Mencapai Kebangkitan, yang Membaharui Agama dan Memperbaiki Dunia), Dar
al-Wafa, Qahirah,1995
48. Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah fi al-Marhalah al-Qadimah (Keutamaan
Gerakan Islam pada Masa Depan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001
59. Fi Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih Prioritas), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000 50. Al-Islam wa al-Ilmaniyyah wajhan li Wajhin (Islam dan Sekularisme
Berhadapan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997
51. Ayna al-Khalal (Di Manakah Kesalahannya?), Dar al-Sahwah, Qahirah, 1985
52. Al-Ummah al-Islamiyyah Haqiqatun la Wahm (Umat Islam adalah Suatu Hakikat
dan Bukan Khayalan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995
53. Al-Shaqafah al-Islamiyyah Bayn al-Aslah wa al-Mu’ashirah (Pengetahuan Islam
antara Ketulenan dan Pembaharuan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1994
54. Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islam (Non-Muslim dalam Masyarakat
Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1992
55. Al-Muslimun wa al-Aulamah (Kaum Muslim dan Globalisasi), Dar al-Tawji’ wa
al-Nashr, Qahirah, 2000
56. Al-Islam wa Hadarah al-Ghad (Islam Tamadun Masa Depan), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1995
57. Al-Sahwah al-Islamiah min al-Murahaqah ila al-Rusyd (Kebangkitan Islam dari
Transisi kepada Panduan), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2000
58. Syumul al-Islam (Kesempurnaan Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah,1991
59. Al-Marji’yyat al-Ulya fi al-Islam al-Qur’an wa al-Sunnah (Sumber Rujukan
Tertinggi dalam Islam ialah al-Qur’an dan al-Sunnah), Muasassah al-Risalah,
Beirut, 1993
60. Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Daw’ Nusus al-Shari’at wa Maqasiduha (Siyasah
Syar’iyyah menurut Syariat dan Maksudnya), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000
61. Kayfa Nata’amal Ma’a al-Turath (Bagaimana Berinteraksi dengan Buku-Buku
Klasik), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001
62. Al-Iman wa al-Hayat (Iman dan Kehidupan), Maktabah Wahbah, Qahiah, 1990
63. Al-Ibadat fi al-Islam (Ibadat dalam Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1985
64. Al-Khasas’is al-Ammah li al-Islam (Keistimewaan Agama Islam), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1989
65. Madkhal li Ma’rifah al-Islam (Pengantar Mengenali agama Islam), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1996
66. Al-Nass wa al-Haq (Manusia dan Kebenaran), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1993
67. Jail al-Nasr al-Mansyud (Generasi Harapan yang Dinantikan), Maktabah
Wahbah, Qahirah 1998
68. Durus al-Nakbah al-Thaniah (Pengajaran Mengenai Musibah Kedua), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1993
69. Liqaat wa Muhwarat Hawla Qadaya al-Islam wa al-‘Asr (Perbincangan tentang
Permasalahan Islam dan Kontemporer), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001
70. Qadaya Mua’sharah ala Basat al-Bahth (Kajian Mengenai Permasalahan
Semasa)
71. Ri’ayah al-Bai’ah fi Syari’at al-Islam (Memelihara Alam Sekitar Menurut Syariat
Islam), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2001
72. Nafahat wa Lafahat (Syair), Dar al-Wafa, Qahirah, 2000
73. Al-Muslimun Qadimun (Orang Muslim Maju), Dar al-Wafa, Qahirah, 1998
74. Yusuf al-Sadiq (Nabi Allah Yusuf), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997
75. Alim wa Taghiyyat (Golongan Ulama dan Golongan Pelampau), Maktabah
Wahbah, 1998
76. Al-Din fi ‘Asr al-‘Ilm (Agama dalam Dunia Ilmu Pengetahuan), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1995
77. Al-Islam wa al-Fann (Islam dan Kesenian), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996
78. Al-Niqab al-Mar’ah (Pemakaian Tudung Bagi Wanita), Maktabah Wahbah
Qahirah, 1996
79. Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiah (Kedudukan Wanita dalam Kehidupan
Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996
80. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah (Fatwa-Fatwa tentang Wanita Muslimah),
Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996
81. Jarimah al-Riddah (Jinayah Murtad), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996
82. Al-Aqaliiyyat al-Diniyyat wa Hulli al-Islami (Minoriti Agama dan Penyelesaian
Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996
83. Al-Mubasyirat Bintisar al-Islamiah (Berita Kemenangan Islam), Maktabah
Wahbah, Qahirah, 1996
84. Mustaqbal Usuliyyah al-Islamiah (Masa Depan Golongan Fanatik Islam),
Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997
85. Al-Quds Qadiyah Likulli al-Muslim (Quddus Tanggung Jawab Setiap Muslim),
Maktabah Wahbah, 1998
86. Hajat al-Basyariah ila al-Risalah al-Hadariah li Ummatina (Keperluan Manusia
Kepada Risalah Ketamadunan kita), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000
87. Fatawa Min Ajli Palastin (Fatwa-Fatwa tentang Palestina), Maktabah Wahbah,
Qahirah, 2003
88. Zahirah al-Ghulu fi Takfir (Fanatik dalam Mengkafir), Maktabah Wahbah,
Qahirah, 1990
89. Al-Sunnah wa al-Bid’ah (Sunnah dan Bid’ah), Maktabah Wahbah, Qahirah,1999
90. Zawaj al-Maysar, Haqiqat wa Hukm (Perkawinan Maysar Hakikat dan Hukum),
Maktabah Wahbah, 1999
91. Dawabit al-Shar’iyyah Libina’ al-Masajid (Prinsip Syariat dalam Membina
Masjid), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1999
92. Mawqif al-Islam al-Aqdi min Kufr al-Yahudi wa al-Nasara (Pendirian Islam
terhadp Perjanjian dengan Yahudi dan Nasrani), Maktabah Wahbah, Qahirah,
1999
93. Al-Juwaini Imam al-Haramain (Juwaini Imam Haramain), Maktabah Wahbah,
Qahirah, 2000
94. Al-Istishaq wa al-Tubna fi Shari’at al-Islamiah (Penamaan dalam Syari’at Islam),
Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001
95. Umar ibn Abdul Aziz (Umar bin Abdul Aziz), Maktabah Wahbah, 2001
96. Likay Tanjaha Muasassah al-Zakat (Semoga Institusi Zakat Berjaya), Muasassah
al-Risalah, Beirut, 1994