Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Hak Asuh Anak Akibat Istri Murtad Menurut
Penerepan Teori Maqasid Syari’ah” (Studi Putusan Nomor
2170/Pdt.G/2016/PA.Tng Dan Putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU) telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Desember 2019.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 09 Desember 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Dr. Mesraini, M.Ag.
NIP. 197602132003122001
Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, MA.
NIP. 197205312007101002
Pembimbing : Hotnidah Nasution, MA.
NIP. 197106301997032002
Penguji I : Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum.
NIP. 195704081986031002
Penguji II : Mara Sutan Rambe, M.H.
NIDN.2124058501
ii
HAK ASUH ANAK AKIBAT ISTRI MURTAD MENURUT PENERAPAN TEORI
MAQASID AL-SYARI’AH (Studi Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng Dan
Putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
VANIA UTAMI FIJRIYAH
NIM: 11150440000075
Dibawah Bimbingan:
Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A.
NIP. 197101311997032010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Vania Utami Fijriyah
NIM : 11150440000075
Fakultas : Syariah dan Hukum
Program Studi : Hukum Keluarga
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya
atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlalu di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Desember 2019
VANIA UTAMI FIJRIYAH
11150440000075
iv
ABSTRAK
Vania Utami Fijriyah NIM 11150440000075 HAK ASUH ANAK AKIBAT
ISTRI MURTAD MENURUT PENERAPAN TEORI MAQASID SYARI’AH (Studi
Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU).
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2019 M. Ix + 94 halaman + 2 halaman
lampiran
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam
putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU yang
memuat tentang cerai talak kumulasi hak asuh anak dimana salah satu diantara para pihak
ada yang keluar dari agama Islam (murtad) dan bagaimana hak asuh anak/ Hadhanah
yang diterapkan atas kedua putusan tersebut,.
Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
studi yuridis normatif yakni, metode yang ditujukan dan dilakukan terhadap praktik
pelaksanaan hukum, terhadap putusan Peradilan Agama, Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini,
serta praktiknya yang dilengkapi dokumen-dokumen hukum yang ada di Indonesia,
analisis data yang sudah diolah dirumuskan dan dijadikan dasar pijakan dalam
menyeleseikan masalah agar bisa memberi jawaban atas persoalan sebab adanya hak
asuh anak akibat istri murtad, bagaimana hakim memutuskan perkara ini.
Hasil penelitian menunjukan pada putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PATng
Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan pertimbangan hak asuh anak
diberikan kepada Termohon yang mana sebagai mantan Isteri dari Pemohon yang
beragama Kristen sesuai dengan surat kesepakatan perdamaian bahwa hak asuh anak
diberikan kepada Pihak kedua dengan ketentuan yang sudah diberikan. Putusan Nomor
0743/Pdt.G/2014/PA.JU Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan
pertimbangan hak asuh anak diberikan kepada Pemohon selaku ayah kandungnya
dikarenakan Termohon keluar dari agama Islam. Bahwa dalam hak pengasuhan anak,
selain melihat agama orang tua yang akan mendapatkan hak asuh anak, tentu harus dilihat
juga dari perilaku orangtua. Dengan mempertimbangkan latar belakang dan gaya hidup
orangtua, pengadilan dapat memutuskan orangtua mana yang harus menjaga anaknya.
Kesamaan agama tidak menjadi satu-satunya faktor untuk menentukan hal yang terbaik
bagi si anak, pengadilan juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada
intinya bertujuan untuk kepentingan terbaik si anak.
Kata Kunci : Putusan, Pengadilan Agama, murtad, hak asuh anak
Pembimbing : Hotnidah Nasution, S.Ag., M.Ag
Daftar pustaka : 1972 s.d 2019
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
vi
S Es س
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
apostrop ‘ ء
Y Ya ي
vii
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
viii
Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة الإسلا مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هب
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’a>n Alquran
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
ix
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas
segala nikmat, ma’unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua
khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan Judul “Hak Asuh Anak Akibat Istri Murtad Dalam Perspektif Maqasid al-
Syari’ah (Studi Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng Dan Nomor
0743/Pdt.G/2014/PA.JU). Shalawat serta salam tak lupa penulis curahkan kepada
baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa ummatnya menuju
jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa
memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya
apabila skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari
bahwa skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan.
Perlu diketahui bahwa selama penulis masih di bangku perkuliahan sampai
pada tahap akhir ini yakni penulisan skripsi, penulis mendapatkan banyak
pendidikan, arahan, bantuan, masukan, serta dukungan yang luar biasa dari para
pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.M.H., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para
wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Mesraini, S.H,M.Ag., dan Chairul Hadi, S.H, M.A., selaku Ketua
Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, atas jasa-jasa beliau berdualah
x
yang membuat penulis bersemangat untuk menjadi mahasiswa yang
unggul dan bermanfaat, selalu mendukung penulis di tengah-tengah
kesibukannya serta memotivasi penulis untuk secepatnya memyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Kamarusdiana, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak
kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan
penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di
Fakultas Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian
skripsi penulis.
5. Ibu Hotnidah Nasution S.Ag., M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis, yang selalu membimbing penulis dengan penuh kesabaran di
tengah kesibukan yang beliau hadapi, memberikan arahan serta masukan
yang sangat positif untuk perumusan dan penyusunan skripsi ini, sehingga
merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis karena telah
dibimbing oleh orang hebat seperti beliau.
6. Yang teristemewa saya ucapkan untuk keluarga saya Ayahanda Bpk.
Andi Inding, Ibu sayang Sri Herlina, yang senantiasa selalu memberikan
dukungan yang tiada hentinya untuk penulis dan selalu mendoakan
penulis dengan setulus hati kakak saya Putri Anastasya, beserta suaminya
yang senantiasa mendukung secara materil, dan Khoerul Ilham yang
senantiasa selalu memberi dukungan yang tak kenal lelah kepada penulis,
Terimakasih banyak yang sebesar-besarnya.
7. Kepada para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah mendidik
penulis dan memberikan keilmuannya sehingga skripsi ini dapat tuntas.
8. Kepada keluarga famsfir Regista, Kristina, Nabila, Irene, Acun dan
Firliana teman terbaik penulis di masa SMA.
9. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis, Mega yang selalu menjadi
tempat kedua penulis diciputat, isti, wiwi, kiki, ilah, yang menjadi tempat
curhat penulis, desi, omeh, mba utap dan teman-teman seperjuangan
penulis yang tidak bisa penulis ungkapan satu persatu.
xi
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa
mereka, kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di
akhirat kelak, aamiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak manfaat
bagi para pembaca walaupun masih banyak kekurangan dan belum sempurna,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-Showab.
Jakarta, 28 Desember 2019
Vania Utami F
Penulis
xii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... ii
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 4
C. Rumusan dan Pembatasan Masalah .................................................. 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 4
E. Metode Penelitian .............................................................................. 5
F. Kajian (Review Studi) Terdahulu ....................................................... 6
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 7
BAB II : HADHANAH DAN TEORI MAQASHID SYARI’AH
A. Hadhanah ........................................................................................ 9
1. Pengertian Hadhanah .............................................................. 10
2. Ketentuan dan Persyaratan Menjalankan Kuasa Orang Tua ... 10
a. Menurut Hukum Islam ...................................................... 10
b. Menurut Hukum Positif ................................................... 20
3. Hak-hak Nonmuslim Menjalankan Hadhanah Anak ............... 24
a. Menurut Hukum Islam ...................................................... 24
b. Menurut Hukum Positif .................................................... 30
xiii
B. Teori Maqashid Syari’ah ................................................................... 32
1. Pengertian Maqashid Syari’ah ................................................. 32
2. Dasar Hukum Maqashid Syari’ah ............................................ 34
3. Kedudukan Maqashid Syari’ah ................................................ 37
4. Penetapan Teori Maqashid Syari’ah ........................................ 39
BAB III : DESKRIPSI PUTUSAN PADA NOMOR 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng
DAN NOMOR 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
A. Deskripsi Perkara Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng ........................ 43
1. Posisi Kasus ............................................................................... 43
2. Duduk Perkara ............................................................................. 43
3. Amar Putusan .............................................................................. 48
B. Deskripsi Perkara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU .......................... 49
1. Posisi Kasus ................................................................................ 49
2. Duduk Perkara ............................................................................ 50
3. Amar Putusan ............................................................................. 54
BAB IV : PEMBAHASAN DAN ANALISIS PUTUSAN Nomor
2170/Pdt.g/2017/PA.Tng dan 0743/Pdt.G/2014/PAJU
A. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Tangerang Dan
Pengadilan Agama Jakarta Utara Tinjuan Hukum Islam dan Hukum
Positif ................................................................................................ 56
1. Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng .................................................. 56
2. Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU ................................................... 60
B. Analisis Tinjauan Teori Maqashid Syari’ah...................................... 62
1. Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng .................................................. 62
2. Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU .................................................... 65
BAB V PENUTUP
xiv
A. Kesimpulan ........................................................................................ 69
B. Saran ................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam1, dan merupakan Peradilan khusus yang hanya menangani
perkara-perkara tertentu. Namun, dalam penerapan Hukum Perdata di
Pengadilan Agama disana sini sering muncul kontradiksi, di satu sisi ada
idealitas penegakkan hukum dalam tatanan dan semangat kesatuan
berbangsa dan bernegara yang harus dikedepankan tetapi di sisi lain juga
menuntut penegakan norma-norma dan idealitas yang ditekankan oleh
hukum Islam yang juga tidak dapat diabaikan, apalagi hukum acara
perdata yang berlaku saat ini sebagian besar masih didasarkan pada aturan
waris penjajah Belanda.2.
Perkara-perkara di bidang perkawinan, semisal sengketa perceraian
dan hak asuh anak, merupakan sengketa keluarga yang memerlukan
penanganan khusus sesuai dengan amanat Undang-Undang Perkawinan3.
Peristiwa perceraian tidak jarang mengakibatkan terlantarnya pengasuhan
anak. Tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak, masing-
masing bekas suami istri merasa paling berhak dan paling layak untuk
menjalankan hak asu anak.4.
Apabila terjadi perceraian maka sering kali anaklah yang menjadi
korbannya, untuk itu baik dalam hukum Islam maupun peraturan
perundang-undangan yang merupakan hukum positif yang berlaku di
1 Pasal 1 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana yang diubah dengan dengan Undang-Undan Nomor 3 Tahun 2006. ( Selanjutnya
disebut UUPA ) 2 Sesuai dengan ketentuan Aturan Peralihan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang di amandemen, bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini 3 Penjelasan Umum UUPA angka 5,6, dan 7 4 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, ( Jakarta: Kencana, 2004,
Cet. Kedua ), h., 166.
2
Indonesia, telah memberikan aturan tentang pemeliharaan anak baik ketika
masih dalam ikatan perkawinan maupun dalam perceraian.
Sebagai upaya memberikan kemashlahatan pada anak maka
ketentuan hukum positif telah memberikan perlindungan hukum terhadap
masalah pemeliharaan anak, sebagaimana yang telah terakomodasi di
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
dalam Kompilasi Hukum Islam maupun yang bersumber dari nash-nash
al-Qur’an dan al-Hadish serta aturan-aturan dalam fiqh yang telah
mengatur masalah pemilaharaan anak/hadhanah.
Munculnya persoalan hadhanah tersebut adakalanya disebabkan
oleh perceraian atau karena meninggal dunia dimana anak belum dewasa
atau tidak mampu mengurus diri mereka, oleh karena itu diperlukan
adanya orang-orang yang bertanggung jaab untuk mendidik dan merawat
anak tersebut.5
Sehubungan dengan masalah hadhanah yang terjadi akibat dari
perceraian, timbul permasalahan ketika hadhanah tersebut terjadi karena
majelis hakim telah menyetujui permohonan gugatan dari kedua orang tua
antara suami atau istri yang telah berpindah agama (murtad) yang
bersamaan diajukan permohonan hadhanah atas anak yang belum
mumayyiz dari hasil perkawinan antara suami istri yang pada akhirnya
permohonan hadhanah tersebut jatuh ke salah satu suami atau istri yang
murtad. Permasalahan kemudian adalah ketika seorang ibu murtad
Didalam KHI ada dua pasal yang mengatur tentang pengasuhan anak
(hadanah). Pasal 105 KHI mengatur mengenai kepada siapa anak itu
diasuh ketika anak itu mumayyiz atau belum mumayyiz. Sedangkan pasal
156 KHI mengatur tentang hak asuh anak ketika ibunya tidak ada
(meninggal). Dalam kedua pasal tersebut, kiranya belum menjawab
permasalahan di atas. Bahkan dalam pasal 116 (h) KHI menyebutkan
5 Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Naka Perspektif Islam,
(Jakarta: Kencana, 2008) h,114-115
3
bahwa salah satu tentang alasan perceraian adalah peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan. Dalam pemahaman
terbalik bisa dikatakan jika kemurtadan tidak menimbulkan
ketidakrukunan, maka ibu yang murtad tadi boleh tidak bercerai dan
berhak mengasuh anaknya dalam suatu perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal yang secara tegas mengatur
masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya
terdapat di dalam pasal 105, dan 106. Pasal 105 selengkapnya berbunyi
sebagai berikut :
Dalam hal terjadinya perceraian:
Pemeliharaan Anak dalam Pasal 105 KHI
• Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun adalah hak ibunya.
• Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.
• Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.
Permasalahan mengenai Islam sebagai syarat bagi pelaku hadanah imam
an- Nawawi berpendapat bahwa hak asuh tidak diberikan kepada orang tua
yang kafir. Artinya, seorang ibu yang kafir (baik murtad maupun beda
agama) tidak berhak melakukan hadanah terhadap orang Islam, demikian juga
terhadap anak-anaknya. Sedangkan ulama mazhab lainnya sepakat bahwa ibu
yang kafir boleh melakukan hadanah. Dengan demikian murtad maupun beda
agama tidak dapat menggurkan hak bagi pelaku hadanah, dan kasih sayang
seorang ibu kepada anak tidak akan berpengaruh karena perbedaan agama.
Putusan Pengadilan Agama sebagai langkah akhir menyelesaikan sengketa
hadhanah bagi istri yang murtad kadang kala tidak memberikan putusan yang
seragam seperti di Pengadilan Agama Tangerang yang memberikan hak
4
hadhanah ke ibu yang murtad, berbeda dengan Pengadilan Agama Cikarang
yang tidak memberikan hak hadhanah kepada istri yang murtad.
Melihat fenomena diatas penulis tertarik mengkaji perbedaan dua putusan
di atas dalam penelitian yang berjudul “ Hak Asuh Anak Akibat Istri Murtad
dan Penerapan Teori Maqashid Syari’ah ( Studi Perbandingan Putusan
Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU )
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut, maka dapat
disebutkan identifikasi masalah di baah ini yang akan di jelaskan lebih lanjut
yaitu :
a. Bagaimana penetapan hak asuh anak menurut kompilasi hukum Islam ?
b. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam penetapan hak asuh anak?
c. Bagaimana Penerapan teori maqashid syariah dalam penetapan hak asuh
anak?
d. Bagaimana analisi hukum putusan Nomor 2170/PdtG/2016/PA.Tng dan
Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
C. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapan hak asuh anak pada
putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor
0743/Pdt.G/2014/PA.JU Perspektif Hukum Islam dan Teori Maqasid
Syari’ah ?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapan hak asuh anak pada
putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor
0743/Pdt.G/2014/PA.JU dalam penerapan perspektif Hukum Positif ?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh anak
dikedua pengadilan agama dengan memakai teori hukum Islam dan teori
Maqashid Syari’ah.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh anak
dengan memakai perspektif Hukum Positif.
5
E. Manfaat Penelitian
1. Memberi informasi ilmiah kepada masyarakat, untuk memahami dan
mencegah terjadinya pernikahan di usia yang belum mencukupi umur
atau masih anak-anak
2. Memberi informasi ilmiah kepada masyrakat bagaimana, cara hakim
memutuskan perkara cerai talak kumulasi hak asuh anak dengan teori
maqashid syariah, hukum Islam dan hukum positif.
F. Tinjauan (Reiew) Kajian Terdahulu
Banyaknya karya ilmiah yang mengulas tentang Hukum Keluarga
dalam Khazanah hukum Islam di Indonesia. Begitu pula secara khusus
karya ilmiah yang membahas tentang hak asuh anak dari istri yang murtad
ini, dapat dikatakan sudah mulai beredar dan muncul, karya ilmiah
terdahulu tersebut, yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1) Muhammad Karman, (10100108042) /2015 M /1436 H), dalam
penelitiannya berjudul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Asuh
Anak Dari Istri yang Murtad (Studi Analisis Putusan nomor
47/Pdt.G/2003/PA.Sal) kesimpulan : dalam perkara ini Majelis Hakim
mengabulkan permohonan Penggugat yang tak lain adalah suami dari
Tergugat untuk menjatuhkan hak asuh anak kepada Pemohon.
2) Ida Nur Rohmatin, (1123201035) /2015 M / 1436 H), dalam
penelitiannya skripsinya berjudul: Hak Hadhanah Istri Yang Murtad
Ditinjau Dari Hukum Fikih Dan Hukum Positif (Studi Analisis
Putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor:
1516/Pdt.G/2013/PA.Pwt). Kesimpulan : meneliti lebih dalam kenapa
Majelis Hakim menjatuhkan hak asuh anaknya kepada istri yang
murtad dari pandangan hukum Islam dan hukum positif.
Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu penelitian ini lebih di
fokuskan kepada Hak Asuh Anak Akibat Istri Murtad dan Penerapan Teori
6
Maqashid Syariah dan Analisis perkara dari Pengadilan Agama Tangerang
dan Pengadilan Agama Jakarta Utara.
G. Metode Penelitian
Dalam membahas maslah penelitian ini, maka diperlukan suatu
metode ntuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang
akan dibahas secara jelas. Terdapat beberapa metode yang penulis
gunakan anatara lain:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memakai penelitian normatif yaitu dilakukan dengan
memperlajari studi kepustakaan berupa buku-buku, perUndang-undangan
yang terkait dengan permasalahan yang ada lalu studi dokumenter yang
merupakan putusan itu sendiri.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan Permasalahan ini adalah pendekatan kualitatif yuridis
normatif yaitu metode ini ditujukan dan di lakukan pada praktik
pelaksanaan hukum. terhadap undang-undang yang tertulis serta
praktiknya serta dokumen-dokumen hukum yang ada di indonesia.
3. Sumber data
a. Data Primer
Sumber dari data primer itu sendiri yaitu bahan hukum berupa
berkas-berkas surat permohonan penetapan hak asuh anak, hasil
penetapan di Pengadilan Agama Tangerang dan Pengadilan Agama
Jakarta Utara.
b. Data Sekunder
Sumber dari data sekunder yaitu datang yang didukung oleh buku-
buku ilmiah, artikel, Al-Qur’an dan hadits.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Pengumpulan data terkait dengan penelitian ini adalah berupa studi
dokumenter yaitu mencari dan mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan judul penelitian penulis dari Pengadilan Agama Tangerang dan
7
Pengadilan Agama Jakarta Utara dan studi kepustakaan yang data-
datanya didapat dari buku-buku ilmiah, jurnal dsb.
5. Teknis Analisis Data.
Data yang sudah diolah dan diuraikan dihubungkan sedemikian
rupa sehingga menjadi sistematis dalam menjawab permasalahan yang
ada. Dan data-data yang telah di analisis dan dirumuskan dijadikan
dasar pijakan dalam menyelesaikan masalah agar bisa memberi jawaban
atas persoalan yang telah diteliti yaitu sebab adanya hak asuh anak akibat
istri murtad, bagaimana hakim memutuskan perkara ini di Pengadilan
Agama Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Utara.
6. Teknik Penulisan.
Metode penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka
penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bab kesatu : pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang meliputi
latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan, manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian,
Riview Studi terdahulu, sistematika penulisan dari pembahasan ini sebagai
pengantar untuk membaca agar mengetahui hal apa yang akan dibahas
dalam skripsi ini.
2. Bab kedua : Kajian Pustaka dibahas dalam bab ini disajikan data-data
hasil penelitian yang dikumpulkan secara akurat, beruipa gambaran
umum tentang pernikahan usia dini dalam hukum islam.
3. Bab ketiga : Kajian Pustaka pembahasan di bab ini tentang pemaparan
kajian Teori Maqashid Syariah dan metode ijtihad.
8
4. Bab keempat: merupakan bab ini yaitu bahasan utama dalam skripsi ini,
yaitu menganalisis perkara cerai talak kumulasi hak asuh anak dan
bagaimana penanganan hakim dalam menetapkan putusan di Pengadilan
Agama Tangerang dan Pengadilan Agama Jakarta Utara dalam menangani
perkara tersebut.
5. Bab kelima : merupakan bab akhir dari penelitian ini, terdiri dari penutup
yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi
penyempurnaan penelitian ini
9
BAB II
HADHANAH DAN TEORI MAQASHID SYARIAH
A. Hadhanah
1. Pengertian Hadhanah
Hadhanah حضانة secara etimologi (bahasa) ialah jamak dari kata
(hidhn)حضن terambil dari kata (hudhun)حضن atau (ahdhan) احضان
yang berarti anggota badan yang terletak atau di bawah ketiak.1 Atau
juga bisa disebutnya dengan “meletakan sesuatu dekat tulang rusuk
atau pangkuan”. Maksudnya adalah pendidikan dan pemeliharaannya
anak sejak dari lahir sampai sanggup mandiri atau berdiri sendiri. 2
Secara termonologi, menurut Sayyid Sabiq, hadhanah adalah :
“Melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau
perempuan ataupun yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau yang
kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan yang
buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum
tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikannya dan memelihara dari
sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta
mengasuhnya, baik fisik ataupun mental atau akalnya agar mampu
menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.3
Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian
hadhanah sebagai pemeliharaan anak atau dengan arti lain hadhanah
adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri.4
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan hadhanah adalah hak yang berkaitan dengan seorang anak yang
1 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir-Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-
Munawir), h.,296 2 Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h.,175 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid II, (Saudi Arabia: Dar al-Fatkh, 1999) hal.,436 4 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf g Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
10
masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, ataupun yang sudah
besar tetapi belum mummayiz karena masih sangat membutuhkan
pemeliharaan, penjagaann, pendidikan serta kasih sayang agar menjadi
manusia yang dapat bertanggung jawab di masa depan.
2. Ketentuan dan Persyaratan Menjalankan Kuasa Orang Tua
a. Menurut Hukum Islam
1). Orang Yang Berhak Atas Hadhanah dan Urutannya.
Para fuqaha berselisih pendapat, menurut kalangan
Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian lainnya hadhanah
merupakan haknya hadhin (pemegang hadhanah) karena ia
berhak menggugurkan haknya meski tanpa pengganti. Jika
hadhanah itu menjadi hak hadhin, tentu hadhanah tidak akan
gugur dengan penggugurannya. Ulama lain berpendapat
bahwa hadhanah adalah hak si anak, bila ia
menggugurkannya, maka gugurlah hak hadhanah itu.
Adapun menurut pendapat ulama yang ahli di bidangnya,
hadhanah berkaitan dengan tiga hak bersamaan, yaitu hak
orang yang mengasuh, hak orang yang diasuh, hak ayah atau
orang yang bertindak selaku wakilnya, ketiganya harus
diwujudkan, bila saling bertentangan maka didahukukan hak
si mahdhun.10
Menurut al-Sayyid Al-Sabiq sebagaimana yang dikutip
oleh Aris Bintania, setiap ibu pengasuh dan anak yang diasuh
punya hak hadhanah, tetapi hak si anak lebih besar dari hak
ibu pengasuh sekalipun hak ibu pengasuh dilepaskan, hak
hadhanah anak tidak dapat gugur. Ibu diharuskan
melakukannya tetapi jika rela melakukan sementara ibunya
tidak mau, maka hak ibu gugur. Akan tetapi, jika anak
10 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, h. 60-61.
11
menyusui, meskipun ada yang menafkahinya, tidak dapat
menggugurkan kewajiban ibu mengasuhnya, tetap
ditangannya dan tidak dapat dilepas selama ia menyusui.11
Adapun hak atas hadhanah kalangan perempuan lebih
berhak menjalankannya ketimbang kalangan laki-laki, karena
mereka lebih dalam hal belas kasih, ketelatenan merawat,
kesabaran, dan lebih intens menjaganya. Urutan-urutan yang
berhak melaksanakan hadhanah menurut ulama fikih sebagai
berikut:12
a.) Kalangan Perempuan
(1) Hanafiyah: ibu kandung, ibu dari ibu (nenek),
saudari- saudari si anak, bibi dari ibu, putri-putri dari
saudari si anak, putri-putri dari saudara si anak, bibi
dari bapak dan selanjutnya ashabah sesuai sistem
kewarisan.
(2) Malikiyah: ibu kandung, nenek dari ibu, bibi dari
ibu, nenek dari bapak, saudari si anak, bibi dari
bapak, putri dari saudara si anak, kemudian penerima
wasiat yang lebih utama dari ashabah.
(3) Syafi’iyah: ibu kandung, nenek dari ibu, nenek
dari bapak, saudari-saudari si anak, bibi, putri-putri
saudara si anak, putri-putri saudari si anak, bibi dari
bapak, semua mahram waris sesuai tertib waris.
(4) Hanabilah: ibu kandung, nenek dari ibu terus ke
atas, nenek dari bapak terus ke atas, kemudian
saudari kandung, saudari
seibu, saudari sebapak, kemudian bibi dari ibu
11 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Ed. 1,
Cet. 1, (Jakarta: RajawaliGrafindo, 2012), h. 211. 12 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 63-64
12
sekandung, bibi dari ibu seibu, bibi dari ibu sebapak,
kemudian bibi dari bapak, kemudian bibi ibu (saudari
nenek), kemudian bibi bapak (saudari nenek) sampai
ke atas, kemudian putri saudara si anak, kemudian
putri pamannya bapak selanjutnya tersisa ashabah
mulai dari yang terdekat.
Jika si anak tidak punya kerabat di antara
muhrim- muhrimnya di atas, atau punya tetapi tidak
pandai mengasuh, maka pindahlah tugas tersebut ke
para ashabah laki-laki. Bila tidak punya kerabat
sama sekali, maka pengadilan memutuskan siapa
orang yang patut melakukan dan melaksanakan
pengasuhan dan pendidikannya.
b). Kalangan Laki-Laki
Apabila tidak ada satu pun dari kalangan
perempuan di atas, maka hak hadhanah pindah ke
kalangan laki-laki sesuai ashabah kewarisan, yaitu:
bapak, kakek, terus ke atas, sudara dan putra-
putranya terus kebawah, paman-paman dan putra-
putranya. Tetapi tidak dapat diterima yang bukan
mahram, seperti putra paman atas anak perempuan
untuk menjaganya dari fitnah namun ia boleh
memelihara bayi.13
Apabila dari kalangan ashabah laki-laki juga
tidak ada, menurut Hanafiyah, hadhanah pindah ke
zu al-arham, pindah ke saudara ibu, putranya,
paman ibu, paman dari bapak sekandung kemudian
seibu, karena mereka berhak menjadi wali nikah
13 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.216-
217
13
sehingga juga berhak menjalankan hadhanah.
Begitu juga menurut Hanabilah, hadhanah pindah
ke zu al-arham laki-laki atau perempuan, yang
paling utama bapaknya ibu, kemudian ibunya bapak
ibu, saudara ibu, paman. Selanjutnya hakim
menyerahkan si anak ke orang kepercayaan pilihan
si anak.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, yang lebih benar,
bila kalangan perempuan dan ashabah tidak ada,
dan ada kerabat laki-laki dari zu al-arham seperti
paman dan bapaknya ibu, tidak berhak hadhanah
karena kekerabatannya lemah, tidak berhak
hadhanah orang yang bukan ahli waris si anak dari
zul al-arham yaitu putra dari anak perempuan, putra
saudari, putra saudara ibu dan bapaknya ibu, paman
dari bapak dan dari ibu, karena hak hadhanah hanya
untuk orang yang kekerabatannya kuat yang tidak
ada pada zu al-arham laki-laki.14
Menurut Hanafiyah, bila kerabat yang berhak
hadhanah dalam satu tingkat lebih dari satu, seperti
dua orang paman dari bapak, didahulukan yang
lebih wara’ dan lebih tua, tidak fasik dan tidak
lemah akal. Menurut Malikiyah, didahulukan yang
punya kelebihan dalam hal belas kasih dan
perlindungan bila masih sama. Menurut Syafi’iyah
harus diundi karena tidak mungkin yang
menjalankan hadhanah semuanya karena tidak bisa
diistimewakan satu atas yang lain.15
2). Syarat-syarat Menjalankan Hadhanah
14 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 217 15 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 217-
218
14
Pengasuhan anak berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya yaitu orang tua yang
mengasuh dan anak yang diasuh. Keduanya harus memenuhi
syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas
pengasuhan anak.16
a). Syarat Anak (al-mahdhun)
Apabila suami istri bercerai, dan mereka mempunyai
anak yang sudah baligh lagi berakal, maka ia bisa mandiri dan
tidak membutuhkan hadhanah dan kafalah, ia tidak dapat
dipaksa, tetapi hendaknya ia tidak memisah dan berhenti
berbuat baik kepada kedua orang tua. Tetapi, jika ia
perempuan perawan, makruh baginya tinggal sendiri karena
khawatir ada orang yang akan merusak dan menipu dirinya,
tetapi bila ia janda tidak dilarang karena ia sudah teruji dengan
laki-laki sehingga tidak khawatir akan ditipu. Menurut
Muhyiddin al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh Aris
Bintania, anak perempuan yang sudah baligh lagi berakal
berarti telah terangkat dari pingitan di rumah sehingga ia
berhak tinggal sendiri tidak ada penghalang, sama juga jika ia
menikah kemudian bercerai. Bila si anak belum mumayiz, tujuh
tahun, atau gila dan lemah akal, maka wajib hadhanah atasnya
supaya tidak terlantar dan hancur.17
b). Syarat Pemegang Hadhanah
1. Baligh, anak kecil atau yang belum baligh tidak berhak
mendapatkan hak pengasuhan karena dia sendiri belum
mampu mengurus dirinya sendiri. 18
2. Berakal: tiada hadhanah bagi orang gila dan lemah akal
16 Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.328 17 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 218-
219. 18 Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Terj. Khairul Amru Harahap
dan Faisal Saleh, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 672.
15
karena ia justru perlu orang lain yang mengurusi
dirinya.19
3. Mampu merawat: dapat mendidik, memelihara akhlak
dan kesehatan badan si anak. Orang yang uzur, sakit
atau sibuk tidak berhak hadhanah. Adapun karyawati
perusahaan atau pekerja yang pekerjaannya
menghambat perawatan anak tidak berhak hadhanah,
tetapi bila ia masih dapat menjaga dan mengurusi anak
maka tidak gugur haknya.20 Orang yang memiliki tabiat
suka marah kepada anak-anak meskipun kerabat anak
kecil itu sendiri dilarang menjadi orang yang
melaksanakan hadhanah.21
4. Mempunyai Sifat Amanah: tiada hadhanah bagi orang
yang tidak bisa dipercaya merawat dan membina akhlak
anak, seperti orang fasik, pemabuk, pezina, sering
melakukan perbuatan haram. Tetapi menurut Ibnu
Abidin ibu kandung yang fasik tetap berhak mengurus
anak selama umur anak belum dapat memikirkan dan
memahami sifat tercela ibunya, tetapi jika ia sudah
berakal hak itu dicabut. Adapun bagi laki-laki yang
fasik dan pemarah maka ia tidak berhak mengurus anak.
Dalam hal ini Malikiyah mensyaratkan tempat tinggal
yang aman, tiada hadhanah orang yang rumah atau
lingkungan sekitarnya penuh kefasikan karena
dikhawatirkan merusak anak atau hartanya dicuri dan
19 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 219-
220. 20 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 67 21 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 5,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 426.
16
dirampas.22
5. Islam: Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan Islam,
tiada hak dan kewenangan wanita kafir atas anak
muslim karena akan mempengaruhi agama si anak.
Menurut Zakariya al- Anshary, hadhanah ibu yang kafir
diterima karena hak hadhanah itu memang miliknya.
Menurut Abu Sa’id al- Istakhri dalam kitab Raudhatut
Thalibin sebagaimana yang dikutip oleh Aris Bintania,
boleh diserahkan ke orang kafir berdasarkan riwayat
Abdul Hamid ibn Salamah:23
Artinya: “Riwayat dari Abdul Hamid ibn Salamah dari
bapaknya, bahwa ia berkata: Bapakku masuk Islam
tetapi ibuku enggan, aku masih anak kecil, keduanya
memperebutkanku pada Nabi, Nabi berkata: Hai anak
pergilah kepada siapa kau kehendaki dari keduanya, jika
kau mau kepada bapakmu dan jika kau mau kepada
ibumu, maka aku menuju ibuku, melihatku begitu ku
dengar ia berkata, Ya Allah... tunjukilah dia, aku lantas
berbalik ke bapakku dan aku duduk di pangkuannya”.
Menurut al-Istakhri, ibu kafir zimmi lebih
berhak atas anak daripada bapaknya yang muslim
sampai anak berusia 7 tahun, setelah itu bapak berhak,
begitu juga anak kafir zimmi dalam hadhanah sama
seperti anak muslim, ibu lebih berhak atasnya. Tetapi
jika si anak menyifatkan dirinya dengan Muslim, maka
ia rebut dari orang kafir zimmi benar ataupun tidak
Islamnya.24
22 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 67.
23 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.
221-222.
24 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.
222-223.
17
Menurut Muhyiddin al-Nawawi sebagaimana
yang dikutip oleh Aris Bintania, hadhanah tidak boleh
diserahkan ke orang kafir karena tidak akan wujud
kesejahteraan anak, ia akan merusak agamanya dan itu
mudarat yang paling besar. Menurutnya hadis tersebut,
yang telah dijadikan dasar oleh Abu Hanifah, Ibnu
Qasim al-Maliki dan Abu Tsaur telah dimansukh,
karena jumhur telah berjimak bahwa anak muslim tidak
boleh diserahkan ke orang kafir. Hadis ini dari segi
sanad memang dapat jadi hujjah, tetapi tempat patokan
hujjah ada dua yaitu ibu yang kafir dan hak (anak)
memilih.25
Ibnu Qayyim berhujjah dengan firman Allah :
يكم نار""يا أيها الذين ا منوا قو أنفسكم وأهل . Sehingga
melindungi anak lebih didahulukan daripada haknya
memilih ataupun mencabut undi, karena untuk
kebaikannya. Diceritakan dari gurunya Ibnu
Taimiyah: bahwa dua orang tua memperebutkan
anak di depan hakim, hakim menyuruh anak
memilih sehingga si anak memilih bapaknya, sang
ibu bertanya apa sebab anak lebih memilih
bapaknya, maka hakim bertanya kepada si anak
yang menjawab; ibuku mengirimku setiap hari ke
juru tulis dan ahli fikih yang keduanya suka
memukulku,sementara bapakku membiarkanku
bermain bersama teman-temanku. Lantas hakim
memutus hadhanah untuk ibunya. Menurut Ibnu
Taimiyah, semangat syarak berkehendak menjaga
25 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.223.
18
kemaslahatan anak sehingga putusan hukum pun
adalah untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Menurut al-Imrany tujuan kebahagiaan anak tidak
akan terwujud pada orang kafir, tidak dapat
dipercaya dia tidak akan mempengaruhi dan
merusak agamanya, ia berpandangan hadis ini tidak
begitu dikenal di kalangan penukil hadis, jika pun
benar, maka mestilah Nabi sudah tahu si anak bakal
memilih bapaknya makanya Nabi menyuruhnya
memilih, jadi hadis ini khusus untuk si anak tidak
dalam kasus yang lain.26
Menurut al-Sayyid al-Sabiq, wanita
nonmuslim tidak berhak hadhanah, tetapi golongan
Hanafi, Ibnu Qasim, bahkan Maliki serta Abu Tsaur,
berpendapat hadhanah tetap dapat dilakukan oleh
pengasuh yang kafir, sekalipun si anak muslim,
karena hadhanah itu tidak lebih dari menyusui dan
melayani, kedua hal ini boleh dilakukan oleh wanita
kafir. Meskipun begitu golongan Hanafi
mensyaratkan kafirnya bukan karena murtad, sebab
orang kafir karena murtad dapat dipenjara sampai ia
taubat dan kembali dalam Islam atau mati dalam
penjara, sehingga ia tidak boleh diberi kesempatan
mengasuh anak kecil, kecuali bila ia sudah taubat
dan kembali ke Islam.27
Hanafiyah dan Malikiyah tidak
mensyaratkan Islam, pemegang hadhanah boleh
26 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 224. 27 Al-Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutub al Arabiy, tt), h. 343-
344.
19
ahlul kitab atau agama lain baik ibunya atau yang
lain. Karena berdasarkan riwayat Abu Dawud dan
periwayat lain bahwa Nabi saw. menyerahkan pada
pilihan anak untuk memilih antara bapaknya yang
muslim atau ibunya yang kafir, si anak cenderung
memilih ibunya sehingga Nabi berdoa: Ya Allah
tunjukilah dia, maka si anak menuju bapaknya.
Selain itu menurut pendapat ini, kasih sayang dalam
hadhanah tidak akan berbeda dengan perbedaan
agama.28
Tetapi Hanafiyah dan Malikiyah berbeda
pendapat mengenai masa berakhirnya hadhanah
wanita nonmuslim, menurut Hanafiyah sampai
si anak berakal dalam agama di umur balighnya,
yaitu 7 tahun atau bila tampak indikasi
membahayakan agamanya seperti si wanita
nonmuslim mulai mengajarkan agamnya atau
mengajak anak ke rumah ibadahnya atau
kembali minum khamr, memakan daging babi.
29
Sementara menurut Malikiyah, hak
hadhanah wanita nonmuslim terus berlangsung
hingga berakhirnya masa hadhanah menurut
syarak, tetapi ia dilarang memberi anaknya
minuman khamr dan makan babi, jika ia
khawatir ia akan melakukan itu, maka ditunjuk
28 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 225. 29 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 68
20
seorang muslim yang diberi hak mengawasi si
anak dari kerusakan.30
Diperselisihkan juga pemegang
hadhanah laki-laki nonmuslim, menurut
Hanafiyah pemegang hadhanah laki- laki harus
Islam dan seagama, berbeda dengan wanita lain,
karena hadhanah termasuk persoalan
penguasaan atas diri, tiada kewenangan jika
berbeda agama, hak hadhanah didasarkan
sistem kewarisan dan laki-laki nonmuslim tidak
ada hubungan waris. Menurut Malikiyah
pemegang hadhanah laki-laki tidak harus
muslim, sama seperti wanita, karena hak
hadhanah tidak akan diberikan kepada mereka
selama masih ada kalangan perempuan yang
lebih baik melaksanakan hadhanah apalagi
hadhanah adalah hak kalangan perempuan.31
6. Merdeka: tiada hadhanah bagi orang yang tidak
merdeka.32
b. Menurut Hukum Positif
Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, pertumbuhan jasmani, rohani,
kecerdasan, dan pendidikan agamanya. Seseorang suami, sesuai
30 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 68 31 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 68 32 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 226.
21
penghasilannya, menanggung biaya rumah tangga, perawatan,
pengobatan, dan pendidikan anak.33
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, dan kewajiban itu terus berlaku meskipun perkawinan
kedua orang tua putus.34 Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak bercacat
fisik maupun mental dan belum pernah melangsungkan
perkawinan.35Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya, apabila ayahnya telah
meninggal dunia, maka dibebankan kepada orang yang
berkewajiban menafkahi ayahnya atau walinya.36
Jika terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum
mumayiz (belum berumur 12 tahun) adalah hak ibunya, sudah
mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Sedangkan biaya
pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya.37 Semua biaya
hadhanah dan nafkah anak tetap merupakan kewajiban ayah
sesuai kemampuannya terhadap anak-anaknya yang belum berusia
21 tahun.38
Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah
dari ibunya, bila ibunya meninggal, maka kedudukannya secara
berurut digantikan oleh, wanita-wanita dalam garis lurus ke atas
dari ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
33 Lihat Pasal 80 Ayat (4b-c) Kompilasi Hukum Islam 34 Lihat Pasal 45 Undang-undang Perkawinan
35 Lihat Pasal 98 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam 36 Lihat Pasal 104 Kompilasi Hukum Islam 37 Lihat Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam 38 Lihat Pasal 149 huruf d dan Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam; Pasal 41 Undang-
undang Perkawinan.
22
saudara perempuan anak tersebut, wanita kerabat sedarah garis
samping dari ayah. Anak yang sudah mummayiz berhak memilih
untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Bila
pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya hadhanah telah dicukupi,
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang juga punya hak hadhanah. Semua biaya
hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Dan bilamana terjadi
perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, maka
Pengadilan Agama memberikan keputusan berdasarkan aturan-
aturan di atas, bahkan pengadilan dapat pula menetapkan nominal
biaya pemeliharaan dan pendidikan anak dengan mengingat
kemampuan ayah meskipun anak- anak itu tidak turut tinggal
bersamanya.39
Permohonan soal penguasaan anak dan nafkah anak dapat
diajukan bersama-sama dengan sengketa perceraian atau diajukan
secara tersendiri setelah terjadinya perceraian.40 Selama proses
seorang istri dapat meminta pengadilan menentukan hal-hal yang
perlu untuk dapat meminta pengadilan menentukan hal-hal yang
perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Karena
proses perceraian tidak bisa dijadikan alasan bagi suami istri untuk
melalaikan tugas mereka terhadap anak-anak, harus dijaga jangan
sampai harta kekayaan bersama, harta suami atau istri menjadi
terlantar atau tidak terurus dengan baik, karena tidak hanya akan
merugikan keduanya, tetapi juga pihak ketiga.41
39 Lihat Pasal 156 huruf a, b, c, d, e, f Kompilasi Hukum Islam. 40 Lihat Pasal 66 Ayat (5) Undang-undang Peradilan Agama. 41 Lihat Pasal 78 huruf b Undang-undang Peradilan Agama; Pasal 24 Ayat (2) PP No. 9/1975
23
Kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah untuk
mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
Menumbuhkembangkan sesuai kemampuan, bakat, dan minatnya
dan mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Apabila orang tua
tidak ada atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban itu dapat
dialaihkan ke keluarga.42
Namun bila orang tua justru melalaikan kewajibannya,
dapat dilakukan tindakan pengawasan bahkan kuasa orang tua
dapat dicabut melalui penetapan pengadilan.43 Permohonan
penetapan pengadilan ini dapat dimintakan oleh salah satu orang
tua, saudara kandung atau keluarga sampai derajat ketiga.
Pencabutan kuasa orang tua dapat juga diajukan oleh pejabat atau
lembaga yang berwenang, selanjutnya pengadilan dapat menunjuk
orang, yang harus seagama, atau lembaga pemerintah/masyarakat
sebagai walinya.44 Penetapan itu juga harus memuat pernyataan
bahwa perwalian tidak memutus hubungan darah antara anak
dengan orang tua kandungnya atau menghilangkan kewajiban
orang tua untuk membiayai anak dan adanya penyebutan batas
waktu pencabutan.45
Di antara asas penyelenggaraan perlindungan anak adalah
asas kepentingan terbaik bagi anak, artinya dalam semua tindakan
menyangkut dirinya, maka kepentingan terbaik baginya harus
menjad pertimbangan utama. Serta penghargaan terhadap pendapat
anak, yaitu penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi
dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan
42 Lihat Pasal 26 Undang-undang Perlindungan Anak 43 Lihat Pasal 30 Undang-undang Perlindungan Anak 44. Lihat Pasal 31 Undang-undang Perlindungan Anak 45 Lihat Pasal 32 Undang-undang Perlindungan Anak
24
terutama jika menyagkut hal- hal yang memepengaruhi
kehidupannya.46
Mengenai penyelenggaraan perlindungan terhadap agama
anak, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali
dan lembaga sosial harus menjamin setiap anak untuk beribadah
menurut agamanya dan sebelum anak dapat menentukan
pilihannya, disesuaikan dengan agama orang tuanya. Perlindungan
meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran
agama.47Anak dapat menentukan agama pilihannya setelah ia
berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata
cara sesuai ketentuan agama pilihannya dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.48
3. Hak-hak Nonmuslim Menjalankan Hadhanah Anak
a. Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam, bedasarkan penelusuran pendapat
para ulama fikih, ternyata secara umum mereka terbagi kepada dua
pendapat, yaitu :
1). Nonmuslim Tidak Berhak Menjalankan Hadhanah
Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan yang
menjalankan hadhanah harus beragama Islam, tiada hak dan
kewenangan wanita kafir atas anak muslim karena akan
mempengaruhi agama si anak. Menurut Muhyiddin al-Nawawi
sebagaimana yang dikutip oleh Aris Bintania, hadhanah tidak
boleh diserahkan ke orang kafir karena tidak akan wujud
kesejahteraan anak, ia akan merusak agamanya dan itu mudarat
yang paling besar. Menurut hadis Nabi yang menyerahkan anak
46 Lihat Pasal 2 dan Penjelasannya, Undang-undang Perlindungan Anak 47 Lihat Pasal 42-43 Undang-undang Perlindungan Anak 48 Lihat Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak
25
pada pilihan anak antara orang tua yang muslim dan kafir yang
telah dijadikan dasar oleh Abu Hanifah, Ibnu Qasim al-Maliky,
dan Abu Tsaur telah dimansukh, karena jumhur telah berjimak
bahwa anak muslim tidak boleh diserahkan ke orang kafir.
Hadis ini dari segi sanad memang dapat jadi hujjah, tetapi
tempat patokan hujjah ada dua yaitu ibu yang kafir dan hak
(anak) memilih.49 Yang berhujjah nasakh menggunakan dalil-
dalil yang umum, misalnya firman Allah Swt., dalam surat An-
Nisa (4) ayat 141:
للكافرين على المؤمنين سبيل ولن يعل الله
Artinya : “... dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada
orang-orang kafir menguasai orang-orang mukmim...”
Ibnu Qayyim berhujjsh dengan firman Allah :
Sehingga "يا أيها الذين امنوا قوا انفسكم وأهليكم نار"
melindungi anak lebih didahulukan daripada haknya memilih
ataupun mencabut pundi karena untuk kebaikkan. Diceritakan
dari gurunya Ibnu Taimiyah: bahwa dua orang tua
memperebutkan anak di depan hakim, hakim menyuruh anak
memilih sehingga si anak memilih bapaknya, sang ibu bertanya
apa sebab anak lebih memilih bapaknya, maka hakim bertanya
kepada si anak yang menjawab; ibuku mengirimku setiap hari
ke juru tulis dan ahli fikih yang keduanya suka memukulku,
sementara bapakku membiarkanku bermain bersama teman-
temanku. Lantas hakim memutus hadhanah untuk ibunya.
Menurut Ibnu Taimiyah semangat syarak berkehendak menjaga
kemaslahatan anak sehingga putusan hukum pun adalah untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat. Menurut al-Imrany tujuan
49 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 250-
251
26
kebahagiaan anak tidak akan wujud pada orang kafir, tidak
dapat dipercaya dia tidak akan mempengaruhi dan merusak
agamanya, ia berpandangan hadis ini tidak begitu dikenal
dikalangan penulis hadis, jikapun benar maka mestilah Nabi
sudah tau si anak akan memilih bapaknya maka nabu
menyuruhnya memilih, jadi hadis ini khusus untuk si anak
tidak dalam kasus yang lain. Begitu juga menurut al-Sayyid al-
Sabiq, wanita nonmuslim tidak berhak hadhanah.50
2). Nonmuslim Berhak Menjalankan Hadhanah
Hanafiyah dan Malikiyah tidak mensyaratkan Islam, pemegang
hadhanah boleh ahl al-kitab atau agama lain baik ibunya atau yang
lain. Karena berdasarkan riwayat Abu Dawud dan periwayat lain
bahwa Nabi saw. menyerahkan pada pilihan anak untuk memilih
antara bapaknya yang muslim dan ibunya yang kafir, si anak
cenderung memilih ibunya sehingga Nabi saw. berdoa: Ya Allah
tunjukilah dia, maka si anak menuju bapaknya. Selain itu menurut
pendapat ini, kasih sayang dalam hadhanah tidak akan berbeda dengan
perbedaan agama.51
Menurut Zakariya al-Anshary, hadhanah ibu yang kafir dapat
diterima karena hak hadhanah itu memang miliknya. Menurut Abu
Sa’id al-Istakhri, boleh diserahkan ke orang kafir berdasarkan riwayat
Abdul Hamid ibn Salamah bahwa bapaknya masuk Islam tetapi ibunya
enggan, sementara dia masih kecil, kedua orang tuanya
memperebutkan dirinya pada Nabi, Nabi berkata: Hai anak pergilah
kepada siapa kau kehendaki dari keduanya, jika kau mau kepada
bapakmu dan jika kau mau kepada ibumu, maka aku menuju ibuku,
50 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 251-
252 51 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 252.
27
melihatku begitu ku dengar ia berkata, ya Allah... tunjukilah dia, aku
lantas berbalik ke bapakku dan duduk di pangkuannya.52
Menurut al-Istakhri, ibu kafir zimmi lebih berhak atas anak
daripada bapaknya yang muslim sampai anak berusia 7 tahun, setelah
itu bapak berhak, begitu juga anak kafir zimmi dalam hadhanah sama
seperti anak muslim, ibu lebih berhak atasnya. Tetapi jika si anak
menyifatkan dirinya sebagai muslim, maka ia direbut dari orang kafir
zimmi benar ataupun tidak Islamnya.53
Menurut al-Sayyid al-Sabiq, Hanafiyah, Ibnu Qasim, bahkan
Maliki serta Abu Tsaur, berpendapat hadhanah tetap dapat dilakukan
oleh pengasuhnya yang kafir, sekalipun si anak muslim, karena
hadhanah itu tidak lebih dari menyusui dan melayani, kedua hal ini
boleh dilakukan oleh wanita kafir. Meskipun begitu golongan Hanafi
mensyaratkan kafirnya bukan karena murtad, sebab orang kafir karena
murtad dapat dipenjara sampai ia taubat dan kembali dalam Islam atau
mati dalam penjara, sehingga ia tidak boleh diberi kesempatan
mengasuh anak kecil, kecuali bila ia sudah taubat dan kembali ke
Islam.54
Tetapi Hanafiyah dan Malikiyah berbeda pendapat mengenai
masa berakhirnya hadhanah wanita nonmuslim, menurut Hanafiyah
sampai si anak berakal dalam agama di umur balighnya yaitu 7 tahun
atau bila nampak indikasi membahayakan agamanya seperti si wanita
nonmuslim mulai mengajarkan agamanya atau mengajak anak ke
rumah ibadahnya atau kembali minum khamr, memakan daging babi.55
Sementara menurut Malikiyah hak hadhanah wanita
nonmuslim terus berlangsung hingga berakhirnya masa hadhanah
52 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 252. 53 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 252. 54 Al-Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, h.343-344 55 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 68
28
menurut syarak, tetapi ia dilarang memberi anaknya minum khamr dan
makan babi, jika kita khawatir ia akan melakukan itu maka ditunjuk
seorang muslim yang diberi hak mengawasi si anak dari kerusakan.56
Dipersilahkan juga pemegang hadhanah laki-laki nonmuslim,
menurut hanafiyah pemegang hadhanah laki-laki harus Islam dan
seagama. hak hadhanah didasarkan sistem kewarisan dan laki-laki
nonmuslim tidak ada hubungan waris. Walaupun misalnya si anak
Kristen atau Yahudi memiliki dua saudara yang satu muslim yang satu
kafir maka hak hadhanah bagi yang nonmuslim. Sementara
menurut Malikiyah pemegang hadhanah laki-laki tidak harus muslim,
sama seperti wanita karena hak hadhanah tidak akan diberikan kepada
mereka selagi masih ada kalangan perempuan yang lebih baik
melaksanakan hadhanah apalagi hadhanah adalah hak kalangan
perempuan.57
Dua pendapat kalangan ulama yang saling bertentangan ini,
menurut Aris Bintania disebabkan berbedanya interpretasi terhadap
hadis Nabi yang memberi pilihan kepada anak untuk memilih antara
bapaknya yang muslim dan ibunya yang kafir. Bagi yang
membolehkan hadhanah wanita kafir atas anak muslim, hadis ini
merupakan bukti tak terbantahkan bahwa Nabi sendiri memberi
kesempatan kepada anak untuk memilih ibunya yang kafir, dan ketika
anak sudah dapat menentukan hadhanah merupakan hak anak. Di
samping itu, hadis Nabi ini konteksnya mengenai orang nonmuslim
yang masuk Islam terkait istri dan anaknya, faktanya yang pindah
agama adalah bapak sementara istrinya enggan, artinya ikatan
perkawinan antara keduanya didasarkan pada keyakinan sebelumnya
56 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 68.
57 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, h. 68.
29
dan anak tersebut merupakan hasil dari ikatan perkawinan itu,
sehingga sewajarnya bila Nabi memberi kemungkinan pada si anak
untuk memilih ibunya yang sejak dahulu memang wanita kafir karena
bapaknya dahulu juga kafir bahkan si anak sebenarnya adalah anak
orang kafir. Bahwa si anak dan ibunya tidak ada keharusan untuk
tunduk dan terikat dengan hukum Islam karena mereka kafir zimmi.
Persoalannya, kalangan kaum ulama yang berpendapat ibu
kafir tidak berhak hadhanah atas anak muslim, sudah terlanjur
memandang si anak adalah muslim hanya karena bapaknya masuk
Islam, padahal si anak asalnya adalah anak orang kafir yang bapaknya
masuk Islam, tentulah si anak sebelum menyatakan keislamannya atau
sebelum ia sampai usia beragama harus dianggap nonmuslim.
Akan tetapi berbeda persoalannya jika salah satu dari suami
istri muslim masuk ke agama lain yang dalam Islam diistilahkan
murtad. Karena perkawinan mereka dilaksanakan secara Islam dan
dahulu sewaktu melangsungkan pernikahan keduanya Islam, maka si
anak merupakan buah dari ikatan perkawinan Islam sehingga anak
harus dianggap sebagai anak orang Islam sampai ia dapat
menentukan pilihan agamanya dan hak hadhanah tunduk kepada
hukum Islam, bahkan dalam Islam murtad adalah perbuatan tercela dan
orang Islam yang murtad juga ada sanksi hukumnya sehingga wajar
jika mayoritas ulama, bahkan Imam Hanafi sendiri berpendapat wanita
atau orang murtad tidak berhak menjalankan hadhanah.58
Di samping itu, dalam sistem peradilan untuk menentukan
kompetensi atau kewenangan absolut peradilan apabila terjadi sengketa
kewenangan mengadili, adalah dengan memandang kepada aturan
hukum apa suatu perbuatan hukum dilakukan.
Dalam hukum Islam, hal ini dinamakan dengan dalil hukum
istishab (teori kelangsungan hukum), bahwa status hukum suatu hal di
58 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.
254-255.
30
masa lalu terus berlangsung pada masa kini dan masa depan sejauh
belum ada dalil yang menentukan lain, yang dirumuskan dalam kaidah
hukum Islam, yang artinya “Asasnya adalah tetapnya sesuatu yang
telah ada itu sebagaimana adanya.”59
Meskipun Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili
perkara selain di antara orang-orang Islam, dan meskipun si ibu pindah
agama tetapi karena pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama
dan bukan di Catatan Sipil, maka tentulah Pengadilan Agama yang
berwenang sehingga penentuan hadhanah anak juga harus tunduk
kepada hukum positif yang berasal dari hukum material Isla, dan jika
belum ada aturan yang mengaturnya secara detail maka Hakim
berwenang melakukan penggalian hukum dari khasanah fikih Islam.60
b. Menurut Hukum Positif
Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, segala tindakan
yang menyangkut diri anak harus selalu ditujukan untuk kepentingan
terbaik bagi anak, dan aspek kepentingan terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan penyelanggaraan
perlindungan anak.61
Begitu juga dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap
agama anak, yang meliputi pembinaan, pembimbingan dan
pengamalan ajaran agama, setiap anak harus dijamin untuk dapat
beribadah menurut agamanya. Namun selama anak belum dapat
menentukan pilihan agamanya, maka agamanya disesuaikan dengan
agama orang tuanya. Selanjutnya anak dapat menentukan agama
pilihannya setelah ia berakal dan bertanggung jawab serta memenuhi
syarat dan tata cara sesuai ketentuan agama pilihannya dan undang-
undang.62
59 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.255.
60 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.
255-256.
61 Lihat Pasal 2 dan Penjelasannya Undang-undang Perlindungan Anak.
62 Lihat Pasal 42-43 Undang-undang Perlindungan Anak
31
Menurut ketentuan hukum positif yang berlaku di Pengadilan
Agama, pengasuhan anak diistilahkan dengan hadhanah yaitu berupa
kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa
atau dapat berdiri sendiri,63yaitu sebelum berusia 21 tahun sepanjang
tidak cacat atau belum kawin.64 Kewajiban mengasuh dan
memelihara anak mulai dari pertumbuhan jasmani, rohani,
kecerdasan dan pendidikan agama harus dipikul oleh kedua suami
istri yang terus berlaku meskipun perkawinan keduanya telah putus.
Jika terjadi perceraian, pengasuhan anak yang belum tamyiz,
yaitu belum berusia 12 tahun, adalah hak ibunya dan setelah tamyiz
diserahkan pada anak untuk memilih ayah atau ibunya yang akan
mengasuhnya, sedangkan biaya pengasuhan tetap harus ditanggung
ayahnya.65Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), anak yang belum
tamyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, bahkan bila ibunya
tiada secara berurut digantikan oleh wanita-wanita dalam garis lurus ke
atas dari ibu, kemudian ayahnya dan setelah itu wanita-wanita dalam
garis lurus ke atas dari ayah, saudari si anak, wanita kerabat sedarah
garis menyamping dari ibu dan dari ayah.66 Apabila pemegang
hadhanah ternyara tidak dapat menjamim keselamatan jasmani dan
rohani anak, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
atas permintaan kerabat yang juga punya hak hadhanah,67 dan
bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak
maka Pengadilan Agama memberikan keputusan berdasarkan aturan-
aturan di atas.68
Menurut Undang-undang Pelindungan Anak, apabila orang tua
tidak atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
63 Lihat Pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam. 64 Lihat Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
65 Lihat Pasal 105 huruf a, b, c Kompilasi Hukum Islam.
66 Lihat Pasal 156 huruf a Kompilasi Hukum Islam
67 Lihat Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
68 Lihat Pasal 156 huruf e Kompilasi Hukum Islam.
32
tanggung jawabnya, kewajiban itu dapat dialihkan ke keluarga.69
Namun jika orang tua justru melalaikan kewajibannya, dapat dilakukan
tindakan pengawasan bahkan sampai pada pencabutan kuasa orang tua
oleh pengadilan,70selanjutnya pengadilan dapat menunjuk orang yang
harus seagama dengan anak, atau lembaga pemerintah/masyarakat
sebagai walinya.71
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, jika terjadi
perceraian, pemeliharaan anak yang belum tamyiz, yaitu belum berusia
12 tahun mesti dalam pemeliharaan ibunya, kecuali ibunya tiada
maka dialihkan ke pemegang hadhanah yang lain. Jadi yang berhak
hadhanah pertama mutlak pada ibunya, tanpa memandang agama si
ibu. Di dalam ketentuan tersebut tidak terdapat perbedaan hak ibu
dalam hadhanah dari segi agama.
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa jika ternyata
pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, maka Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah atas permintaan kerabat yang juga punya hak hadhanah.
Apa yang dimaksud dengan tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, apakah ibu yang murtad dapat
dikualifikasikan sebagai ancaman terhadap keselamatan rohani anak,
sayangnya tidak ada penjelasan dalam ketentuan ini, sehingga jaminan
terhadap keselamatan jasmani dan rohani anak bersifat multitafsir dan
sangat relatif, tergantung penafsiran dan pemahaman hakim.
A. Teori Maqashid Syari’ah
1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara etimologi, Maqasid al-Syari’ah merupakan istilah
gabungan dari dua kata yaitu maqasid dan syari’ah. Maqasid
69 Lihat Pasal 26 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak.
70 Lihat Pasal 30 Ayat (1) Undang-undang Perlindungan Anak
71 Lihat Pasal 31 Ayat (3) dan (4) Undang-undang Perlindungan Anak.
33
merupakan bentuk jamak maqsud yang berasal dari kata kerja qasada
yang artinya menghendaki, menuju suatu arah, atau menuju jalan
lurus.72 Sedangkan Syari‘ah secara bahasa artinya jalan menuju
sumber air atau sumber pokok kehidupan. Secara terminologi, Syari‘ah
berarti hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk hambanya, baik
dari Alquran maupun Sunah Nabi Muhammad SAW.73
Istilah Maqasid al-Syari‘ah berkembang dari yang paling
sederhana sampai pada istilah yang menyeluruh dan holistik, dengan
berbagai macam variasi, definisi, dan makna dari para ulama usul fikih
mengindikasikan bahwa ada hubungan yang erat antara Maqasid al-
Syari‘ah dengan hikmah, ilat, niat, tujuan, dan kemaslahatan.74
Maqasid al-Syari‘ah menurut istilah dalam usul fikih adalah
maksud dan tujuan Allah beserta Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam.75 Di kalangan ulama usul fikih disebut juga
dengan Asrar al-Syari‘ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat dibalik
hukum yang ditetapkan oleh syariat, berwujudkan kemaslahatan bagi
ummat manusia.76
Beberapa ulama klasik mendefinisikan Maqasid al-Syari‘ah
seperti misalnya al-Ghazali, mendefisikan bahwa Maqasid al-Syari‘ah
adalah menjaga tujuan syariat yang terdiri dari lima unsur yaitu
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.77 Sementara menurut
Sayf al-Din Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi,
Maqasid al-Syari‘ah adalah tujuan syariat yang mendatangkan
72 Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h.
170. 73 Abdul Manan, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Depok: Kencana, 2017),
Cet. 1, h. 70. 74 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid al-
syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT LKis Printing Cemerlang, 2010), Cet. 1, h.
179. 75 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 7, h. 213. 76 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
1997), cet. 1, h. 1108. 77 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Musthafa min ‘Ilm al-Ushul, (Lubnan: Dar al-
Huda, 1994), h. 481.
34
kemaslahatan atau menolak kemafsadatan.78
Tahir bin Asyur dalam kitabnya Maqasid al-Syari’ah al-
Islamiyyah memberikan definisi Maqasid al-Syari‘ah sebagai makna-
makna atau hikmah-hikmah yang telah dijaga oleh Allah dalam segala
hal ketentuan hukum syariat baik yang kecil maupun yang besar dan
tidak ada pengkhususan dalam jenis tertentu dari hukum syariat.79
Meskipun beragam definisi yang dikemukakan oleh ulama usul
fikih mengenai Maqasid al-Syari‘ah berbeda-beda, akan tetapi maksud
dan tujuannya berangkat dari titik tolak yang hampir sama, beberapa
definisi Maqasid al-Syari‘ah saat ini lebih populer. dikemukakan oleh
ulama-ulama kontemporer.80 Salah satunya yaitu menurut Izzuddin bin
‘Abd a-Salam mengatakan bahwa Maqasid al-Syari‘ah adalah makna
dan kebijaksanaan yang dipelihara oleh syariat pada semua penetapan
hukum atau sebagian besarnya sekalipun tidak dikhususkan untuk
memeliharanya pada setiap jenis hukum dari hukum-hukum syariat.81
Selanjutnya menurut Imam al-Syatibi, Maqas}id al-Syari’ah
adalah tujuan Allah dalam menetapkan hukum untuk kemashlahâtan
hambanya di dunia dan akhirat. Syathibi menjelaskan lebih lanjut
bahwa beban-beban hukum sesungguhnya untuk menjaga maqasid
(tujuan) hukum dalam diri makhluk. Maqasid ini hanya ada tiga yaitu
dharuriyat, hajiyat, tahsiniyyat.82 Sementara Maqasid al-Syari’ah
menurut Wahbah al-Zuhaili adalah nilai-nilai dan sasaran syariat yang
dipandang sebagai tujuan dan rahasia dalam penetapan hukum.83
Dapat disimpulkan oleh penulis bahwa secara singkat Maqasid
78 Sayf al-Din Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam, (Beirut: Mu’assasah al-Nur, 1388 H), h. 271. 79 Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Yordania: Dar an-
Nafais, 2001), h. 187. 80 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 551. 81 Izzuddin bin ‘Abd al-Salam, al-Fawaid Fi Ikhtishari al-Maqashid Aw al-Qawaid al-
Shughra, (Dar El Fikr al-Mu’ashir. Beirut, Libanon & Dar al-Fikr. Damaskus, Syiria, 1416 H/1996
M), Cet. 1, h. 10. 82 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Vol. 3, (Kementerian
Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia, 1997), h. 4. 83 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Fikri: Damaskus, 1986), h. 225.
35
al-Syari’ah adalah sasaran dan tujuan syariat dari Allah SWT dan
Rasulnya kepada hambanya, dalam mewujudkan kemaslahatan yang
dibingkai dalam ketetapan hukum.
2. Dasar Hukum Maqasid al-Syari’ah
Dasar hukum Maqasid al-Syari’ah banyak tercantum di dalam
nas-nas Alquran dan Sunah Nabi SAW. Allah SWT mengutus para
rasul secara keseluruhan untuk menyampaikan syariat sebagai
pedoman manusia untuk diamalkannya.84 sebagaimana Allah SWT
berfirman:
عزيزا حكيمارسل مبش رين ومنذرين لئله يكون للنهاس على ة ب عد الرسل وكان الله الله حجه
(165: )النساء
Artinya: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan
bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa:
165)
Kandungan ayat ini menunjukkan, bahwa Allah SWT dalam
menentukan hukum-hukumNya senantiasa menghendaki
kemaslahatan bagi manusia, dan agar manusia terhindar dari hal-hal
yang merugi.85
Kemudian dipertegas lagi tindak lanjut pelaksanaan syari’at
secara umum, yaitu dalam firman Allah SWT:
نس إله لي عبدون )الذاريات: (56وما خلقت النه وال
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
84 Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h.
171.
85 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), cet. 1, h. 1109.
36
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
لوكم أيكم أحسن عمل وهو العزيز الغفور )الملك: الهذي خلق (2الموت والياة لي ب
Artinya: “(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2)
Kandungan ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia dibebani
kewajiban menjalankan syari’at Allah SWT. Allah akan menguji perbuatan
mereka, ketaatan mereka, keikhlasan mereka dalam menjalankan syariat, dan
Allah SWT akan membalas segala perbuatan mereka kelak.86
Adapun alasan-alasan yang terdapat di balik ketetapan hukum-hukum yang
ada dalam Alquran dan hadis tak terhitung banyaknya, misalnya firman Allah
SWT yang berkenaan dengan shalat:
(45)العنكبوت: وأقم الصهلة إنه الصهلة ت ن هى عن الفحشاء والمنكر
Artinya: “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS: Al-Ankabut: 45)
Maksud dari ayat tersebut menjelaskan bahwa salat dapat mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar, karena seorang hamba yang mendirikannya
yang menyempurnakan syarat dan rukunnya disertai sikap khusyu’ (hadirnya
hati) sambil memikirkan apa yang ia baca, maka hatinya akan bersih, imannya
bertambah, kecintaannya kepada kebaikan menjadi kuat, keinginannya kepada
keburukan menjadi hilang, sehingga jika terus menerus dilakukan, maka akan
membuat pelakunya mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah
86 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir Aqidah, syari’ah, dan Manhaj Jilid 15,
Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Depok: Gema Insani, 2014), Cet. 1, h. 36-37.
37
hikmah dibalik syariat yang ditetapkan oleh Allah.87
Masih banyak lagi contoh lainnya yang penulis temukan yang secara
holistik membuktikan, bahwa syariat Islam diciptakan oleh Allah SWT untuk
kemaslahatan manusia baik bekal di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu
mempelajari Maqasid al-Syari’ah sangat penting, untuk mengetahui dan
memahami maksud dari nas-nas dalam Alquran maupun hadis. Sehingga
menjadi pedoman dan bekal bagi para peneliti untuk mengistinbatkan hukum
dan menerapkannya pada kasus-kasus yang tidak ditemukan nasnya.
3. Kedudukan Maqasid al-Syari’ah
Sepanjang perkembangan usul fikih, Maqasid al-Syari’ah mengalami
perkembangan besar melalui tiga tokoh yaitu: Imam al-Haramayn al-
Juaini Abu al-Ma'aly 'Abdullah al-Juwayni (w. 478 H), Abu Ishaq al-
Shatibi (w. 790 H), dan Muhammad al-Tahir ibn 'Ashur (w. 1379 H/ 1973
M). Penyebutan tiga tokoh ini tidak mesti serta merta menghilangkan
peran ulama fikih lain seperti Abu Bakr al-Qaffal al-Shashi, al-'Amiri, al-
Ghazali, dan lain sebagainya yang memiliki andil besar mempertegas
konsepsi Maqasid al-Syari’ah ini.88
Imam al-Haramayn yang pertama kali menggagas dasar kajian dan
proses awal terjadinya maslahah sebagai Maqasid al-Syari’ah dengan
tingkatan daruriyyah, hajiyyah, tah}siniyyah, ketiga tingkatan tersebut
menjadi asas atau prinsip Maqasid al-Syari’ah. Lalu dikembangkan
konsep tersebut oleh muridnya Al-Ghazali dengan menganalisis dan
mendalami prinsip tingkatan tersebut dengan membagi kepada lima hal
yang dikenal dengan daruriyyatu al-khamsah, lalu dilanjutkan dan
diperbarui oleh Imam Abu Ishaq al-Shatibi dengan meletakkan dasar-
dasar teoritik yang cukup matang tentang maqasid ini. Nama ketiga tokoh
tersebut menjadi tonggak penting dalam perumusan teori Maqasid al-
87 http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-ankabut-ayat-45-55.html, Diakses
pada tanggal 07 Januari 2019. 88 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 324.
38
Syari‘ah.89
Pada saat itulah kajian mengenai Maqasid al-Syari’ah menjadi tema
tulisan para ulama fikih, salah satu yang menjadi topik utama ialah
Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam al-Shatibi, yaitu kemampuannya
menyelesaikan Maqasid al-Syari’ah sebagai suatu teori yang komplit dan
menyeluruh yang dilengkapi dengan kerangka teori dan metodolologis
yang mapan. Ia telah melampaui apa yang dilakukan oleh ulama
sebelumnya yang hanya menggambarkan kondisi ideal Maqasid al-
Syari’ah. Imam al-Shatibi berhasil menjelaskan hal-hal baru, misalnya
hubungan antara tujuan mukallaf dengan tujuan syariat, hubungan
Maqasid al-Syari’ah dengan ijtihad, metodologi penetapan Maqasid al-
Syari’ah dan lain sebagainya yang merupakan dasar esensi dan nilai bagi
konsepsi Maqasid al-Syari’ah itu sendiri.90
Menurut Imam al-Syathibi, Maqasid al-Syari‘ah berorientasi pada
terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan yang terdiri atas 3 bagian:91
primer (daruriyyah), sekunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah), terdiri
dari lima pokok yang harus dilindungi dan dipelihara. Kelima hal pokok
itu ialah: 92 agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kemaslahatan agama dan dunia ditegakkan melalui pemeliharaan
kelima hal pokok tersebut, begitu juga kebahagiaan manusia dapat
terwujud apabila kelima hal pokok itu terlindungi. Apabila kelima hal
pokok itu salah satunya rusak, maka hubungannya kepada Allah serta
tugasnya sebagai hamba akan sulit terlaksana dengan baik.
Demi mewujudkan harapan kebaikan di akhirat, maka kelima hal
pokok tersebut juga harus dipenuhi. Karena apabila akal tidak berfungsi,
maka pembelajaran tugas-tugas agama tidak akan terlaksana. Seandainya
89 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325. 90 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325. 91 Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk
Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 57. 92 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Vol. 3, (Kementerian
Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia, 1997), h. 7-8.
39
agama tidak ada, derajat pahala tidak ada artinya. Jika jiwa tidak ada,
tidak ada manusia yang memeluk agama. Kalau keturunan tidak ada,
maka kehidupan pun akan punah. dan seadainya harta tidak ada,
kehidupan akan terasa hampa.93
Untuk mengetahui kedudukan Maqasid al-Syari’ah, maka tolak
ukurnya ialah kemaslahatan. Karena pada intinya tujuan Maqasid al-
Syari’ah ialah mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.
Oleh karena itu, maslahat harus bersandar pada dalil-dalil Alquran
maupun hadis. Jika maslahat berdiri sendiri, maka Maqasid al-Syari‘ah
tidak bisa diakui kedudukan dan keberadaannya.94
Penggalian maslahat oleh para mujtahid, dapat dilakukan melalui
berbagai metode ijtihad di saat menghadapi kasus-kasus yang penerapan
hukumnya tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Alquran maupun Sunah.
Terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan para mujtahid untuk
menggali sumber kemaslahatan, yaitu:95 metode ta’lili (metode analisis
substantif) yang terdiri dari qiyas dan istihsan. Yang kedua ialah metode
istislahi (metode analisis kemaslahatan) yang terdiri dari mas}lahah
mursalah dan sadd al-dzari’ah.
4. Penetapan Teori Maqasid al-Syari’ah
Istinbat hukum dapat dikembangkan melalui konsep Maqasid al-
Syari‘ah untuk menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam
kontemporer yang tidak terjawab dalam kandungan Alquran dan hadis
maupun dalil-dalil hukum Islam seperti ijma’, qiyas, istihsan, mas}lahah
mursalah, ‘urf, istis}hab, syar’u man qablana, dan sadd az-zari’ah.96
Menurut Thahir bin Asyur metode penetapan Maqasid al-Syari’ah ada
93 Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam untuk
Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 58. 94 Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174. 95 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017, h. 554. 96 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 223.
40
tiga macam cara yaitu:97
a. Meneliti kebijakan-kebijakan perbuatan hukum (Tasarrufat al-
Syari’ah), yang terdiri dari dua bentuk:
1. Meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui ilatnya melalui
metode masalik al-illah, berguna untuk mempermudah
pemahaman kita dalam mengetahui hikmah dibalik perintah
atau larangan syariat. Sebagai contoh: pengharaman
muzabanah dan jual beli kurma basah. Maqasid yang dapat
diambil atas pelarangannya adalah: demi menghindari penipuan
(gharar) dalam transaksi. Contoh lainnya, dilarangnya
meminang wanita makhtubah (sedang dalam pinangan orang
lain). Maka maqasid yang dapat diambil dari pelarangan ini
adalah: demi menjaga kelangsungan ukhuwah di antara sesama
muslim.
2. Meneliti secara induktif dalil-dalil hukum yang mempunyai ilat
yang sama, sehingga memberi keyakinan bahwa ilat tersebutlah
yang dikehendaki oleh Maqasid al-Syari’ah. Sebagai contoh:
dilarang jual-beli makanan sebelum sampai ke tangan pembeli,
barter makanan dengan salah satunya dihutang atau dilarangnya
menimbun makanan. Maka dari ketiga persoalan tersebut dapat
ditarik satu ilat tasyri’ yang sama, yaitu demi mengkonsumsi
makanan secara sehat, hindari pembelian di pasaran walaupun
makanan dapat dengan mudah didapatkan. Sehingga ilat inilah
yang menjadi maqasid pelarangan ketiga kasus tersebut.
b. Memahami dalil-dalil quran yang dalalah-nya jelas dan tanpa
keraguan, walaupun kemungkinan adanya maksud lain selain yang
tampak dari dalil-dalil quran tersebut.
c. Memahami Sunnah mutawatiroh, Yang terdiri dari tawatir ma’nawi
dan tawatir ‘amali. Sementara menurut Imam al-Syatibi, ada 4 metode
97 Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, (Yordania: Dar an-
Nafais, 2001), hlm. 190-192.
41
penetapan Maqasid al-Syari‘ah yaitu sebagai berikut:98
a. Mujarrad al ‘amr wa an nahy al ibtida’i at tasrihi, maksudnya
ialah sebuah metode dengan berupaya menganalisis ungkapan,
maksud atau rahasia eksplisit perintah dan larangan dalam suatu
nash yang eksistensi berdiri secara mandiri (ibtidai). Dengan
demikian, penetapan dengan metode ini bisa dikategorikan sebagai
penetapan berdasarkan literal nas, yang dibingkai dalam
pemahaman mendasar bahwa dalam perintah syari’at pasti terdapat
unsur maslahat dan dalam setiap larangan pasti ada unsur
mafsadat.
b. Menelaah konteks ilat dari setiap perintah dan larangan,
maksudnya ialah metode yang melakukan pelacakan ilat di balik
perintah dan larangan. Pada tataran ini, dijelaskan bahwa ilat itu
adakalanya tertulis secara jelas dalam nas ada juga yang tidak
tertulis. Jika ilatnya tertulis maka harus diikuti yang tertulis,
apabila ilat tidak tertulis maka harus dilakukan tawaqquf terlebih
dahulu agar tidak gegabah dalam menyimpulkan maksud dalam
nas.
c. Memperhatikan Maqasid turunan (at-tabi’ah), maksudnya adalah
mendalami syariat dengan cara mempertimbangkan tujuan yang
bersifat pokok (maqs}ud al ashli), lalu yang bersifat turunan
(Maqasid at tabi’ah). Dalam syariat nikah misalnya, yang menjadi
maqsud al ashli adalah kelestarian manusia lewat perkembang-
biakan (at-tanasul). Sementara setelahnya, terdapat beberapa
Maqasid turunan (tabi’ah) seperti mendapatkan ketenangan (al-
sakinah), tolong-menolong dalam kemaslahatan duniawi dan
ukhrawi, membentengi diri dari berbagai fitnah, dan lain-lain,
semua itu merupakan perhimpunan dari maqasid at tabi’ah dalam
98 Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-
172.
42
syariat nikah.
d. Sikap diam terhadap syariat, maksudnya adalah tidak adanya
keterangan nas mengenai sebab hukum atau disyariatkannya suatu
perkara, baik yang memiliki dimensi ubudiyah maupun muamalah.
Maka menurut al-Syatibi, sesuatu yang didiamkan syariat tidak
secara otomatis bertentangan dengan syariat. Maka yang harus
dilakukan seseorang dalam menjernihkan permasalahan ini adalah
menelaah dimensi maslahat dan mudarat di dalamnya. Bila
terindikasi adanya maslahat, maka hal itu bisa diterima. Sebaliknya
bila terindikasi dimensi mudarat di dalamnya, secara otomatis hal
itu tertolak.
Masih banyak sekali metode penetapan hukum melalui Maqasid al-
Syari‘ah yang dikemukakan oleh ulama-ulama fikih, pada intinya seorang
mujtahid ketika berijtihad hendaknya mempertimbangkan akibat suatu hukum,
memprediksi hukum, menemukan hukum, lalu memutuskan hukum
berdasarkan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan.99
Maka akan tercapai tujuan inti syariat sebagaimana yang diutarakan
oleh Syeikh Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya Ushul Fikih mengenai
tiga tujuan kehadiran syariat yaitu: Membina setiap diri individu agar menjadi
pribadi yang baik dan menjadi sumber kebaikan bagi orang lain, menegakkan
keadilan dan persamaan dalam masyarakat baik sesama muslim maupun non
muslim, dan merealisasikan kemaslahatan ummat.100
99 Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan Hukum
Vol. 6 No. 1 Juni 2014, h. 311. 100 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 224.
43
BAB III
DESKRIPSI PADA PUTUSAN NOMOR 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan
PUTUSAN NOMOR 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
A. Deskripsi Perkara Pada Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng
1. Posisi Kasus
Pokok persoalan putusan ini adalah mengenai perkara cerai talak
kumulasi hak asuh anak. Cerai itu diajukan oleh Pemohon/Tergugat
(suami) berumur 39 tahun, beragama Islam, pendidikan S1, pekerjaan
karyawan swasta, dan bertempat tinggal di Kota Tangerang. Kemudian
Termohon/Penggugat (istri) berumur 37 tahun, beragama Kristen,
pendidikan SMA, pekerjaan karyawan swasta, dan bertempat tinggal di
Kota Tangerang. Sebelum periksaan perkara dilakukan Pemohon dan
Termohon telah melakukan mediasi oleh mediator yang ditunjuk oleh
Majelis Hakim bernama Drs.Uki mediator pada Pengadilan Agama
Tangerang.
2. Duduk Perkara
Perkara ini didaftarkan pada tanggal 01 Novrmber 2016 dengan
register nomor: 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng.1 Kronologinya adalah antara
Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan yang sudah
dicatat oleh Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tangerang pada tanggal 28 Juni 2004.
Setelah menikah pemohon dan termohon hidup bersama sebagai
suami isteri dengan bertempat tinggal di Kabupaten Tangerang, selama
pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah hidup rukun sebagaimana
layaknya suami isteri dan telah dikarunai 3 orang anak . Anak pertama
berumur 11 tahun, anak kedua berumur 9 tahun, anak ketiga berumur 3
tahun.
1 Salinan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor:2170/Pdt.G/2016/PA.Tng
44
Dari segi ekonomi sejak pernikahan sampai dengan sekarang
Pemohon tidak mempunyai pekerjaan yang tetap sehingga untuk
membantu perekonomian dalam rumah tangganya Termohon bekerja di
Bank BCA.
Keadaan rumah tangga pemohon dan termohon semula berjalan
rukun dan harmonis, tetapi sejak juni 2016 muncul keretakan antara
hubungan rumah tangga mereka yang mengakibatkan Pemohon dan
Termohon pisah rumah, penyebab rumah tangga Termohon dan Pemohon
tidak rukun lagi Termohon pindah agan semula yaitu Kristen Protestan,
Termohon sudah tidak patuh lagi kepada Pemohon, sering bertengkar
karena perbedaan agama.
Dimata Pemohon, sebelum Termohon pindah agama, Termohon
tidak mau mengerjakan syariat Islam seperti melaksanakan sholat 5 waktu
dan apabila terjadi perselisihan Termohon suka bermain fisik seperti
memukul, mencakar dan lain sebagainya.
Akibat kejadian tersebut rumah tangga Pemohon dengan
Termohon sudah tidak dapat dibina dengan baik sehingga tujuan
perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah dan
warahma sangat sulit untuk dipertahankan kembali, dan karena masing-
masing dari kedua bela pihak tidak lebih jauh melanggar norma hukum
dan norma agama maka mereka berfikir perceraian merupakan jalan
terakhir bagi pemohon untuk menyelesaikan masalah diantara mereka
berdua.
a. Yang dimohonkan
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Memberi Ijin kepada Pemohon untuk menjatuhka talak satu raj’i
terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama
Tangerang.
3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon
45
Subsidair : Apabila Pengadilan Agama Tangerang berpendapat
lain, mohon putusan lain yang seadil-adilnya (ex equo bono).102
b. Proses Persidangan
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan, para Pemohon
hadir di muka persidangan dengan didampingi oleh Kuasa
Hukumnya dan Termohon secara in person, Kemudian dibacakan
surat permohonan para pemohon yang isinya tetap pada Pemohon
sebelumnya. Atas surat permohonan tersebut, termohon
memberikan jawaban yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Pemohon menikahi Termohon pada tanggal 28 Juni 2004
dan telah dikaruniai tiga orang anak dari pernikahannya tersebut,
setelah menikah Pemohon dan Termohon berumah tangga,
mengambil tempat kediaman bersama terakhir di Kabupaten
Tangerang. Selama pernikahan antara Pemohon dengan Termohon
hidup rukun dan dikarunai tiga orang anak. Sejak tahun 2004
kehidupan rumah tangga antara kedua belah pihak mulai tidak
harmonis dengan adanya perselisihan antara Termohon dan
Pemohon yang terjadi secara terus menerus yang disebabkan
karena Termohon pindah ke agama semula yaitu Kristen Protestan,
Termohon sudah tidak patuh kepada Pemohon dan Termohon dan
Pemohon sering bertengkar karena faktor perbedaan agama.
Puncak keretakan hubungan rumah tangga antara
Termohon dan Pemohon terjadi pada Juni 2016 yang
mengakibatkan Pemohon dan Termohon pisah rumah, Dengan
kejadian tersebut rumah tangga kedua belah pihak tidak dapat lagi
dipertahankan. Pada hari sidang yang telah ditetapkan Majelis
Hakim berusaha mendamaikan akan tetapi tidak berhasil,
kemudian Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara dan
membacakan gugatan dari pihak Pemohon dan terdapat jawaban
Rekonpensi dari pihak Termohon yang berisi ( Dalam
102Salinan Putusan PA Tangerang Nomor : 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng, h.2
46
Rekonpensi) : Termohon memohon agar ketiga orang anak
ditetapkan pada Penggugat Rekonpensi sebagai ibu kandungnya
dikarenakan tiga orang anaknya masih dibawah umur dan masih
memerlukan perhatian dari ibunya, atas jawaban Termohon,
Pemohon menyampaikan replik secara lisan yang berisi ( Dalam
Konpensi ) :
1. Termohon tidak patuh kepada Pemohon dikarenakan Termohon tidak
mengajarkan syariat Islam.
2. Sampai saat ini Pemohon masih memberikan nafkah untuk kebutuhan
rumah tangga setiap bulannya dan dipotong dengan angsuran kredit
akan tetapi sisa gaji dari Pemohon tersebut, Termohon tidak mau
menerimanya.
Dalam Rekonpensi : Bahwa Pemohon/Tergugat Rekonpensi
mohon agar ketiga anak tersebut berada dalam pengasuhan
Pemohon/Tergugat Rekonpensi sebagai ayah kandungnya dikarenakan
Termohon telah kembali keagama semula yaitu Kristen.
Waktu dalam persidangan sebelum pembuktian antara pemohon
dan termohon telah tercapai kesepakatan perdamaian yang dibuat
dalam Surat Kesepakatan Perdamaian pada tanggal 18 Januari 2017
yang pada pokoknya adalah :
1. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat ketiga anak tersebut
dibawah pengasuhan (hadhanah) pihak kedua dengan syarat yang
sudah disepakati.
2. Pihak Pertama dan Pihak Kedua wajib mencurahkan kasih
sayang, memberi pendidikan yang layak pada ketigak anaknya.
3. Pihak kedua tidak boleh melarang atau menghalangi pihak
pertama untuk bertemu atau mencurahkan kasih sayang selaku
ayah kandung dari ketiga anak tersebut.
4. Antara pihak pertama dan pihak kedua tidak dibenarkan
memaksakan agama/keyakinan/mengitimidasi anak agar
mengikuti keyakinan tersebut
47
5. Pihak Pertama wajib memberikan nafkah untuk ketiga anaknya
sebesar Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap
bulan dengan kenaikkan 10% kepada pihak kedua setiap tahun
diluar biaya pendidikan.
6. Antara kedua belah pihak sepakat atas isi kesepakatan ini untuk
dimuat ke dalam putusan Nomor:2170/Pdt.G/2016/PA.Tng103.
Untuk menguatkan dalil-dalil Permohonanannya, para Pemohon telah
mengajukan alat-alat bukti tertulis dan saksi sebagai berikut :
a. Bukti Surat
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dan
Termohon, fotokopi kutipan Akta Nikah tanggal 28 Juni 2004 yang
dikeluarkan oleh KUA kecamatan Tangerang kota Tangerang
beramaterai sah Surat Keterangan Suami Istri atas nama Pemohon dan
Termohon, Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran atas nama ketiga Anak
dari Pemohon dan Termohon yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan Catatan Sipil Kota Tangerang
b. Bukti Saksi-Saksi
1). Saksi 1, yang merupakan ibu kandung dari Pemohon, menyatakan
dalam kesaksiannya bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami
isteri yang menikah pada bulan juni 2004, setelah menikah mereka
tinggal bersama di Kabupaten Tangerang dan dikaruniai tiga orang
anak. Sejak awal rumah tangga mereka memang sudah bermasalah
dikarenakan tidak mendapat restu dari ibu kandung Pemohon
dikarenakan beda agama sejak bulan Januari 2005 rumah tangga
mereka mulai tidak harmonis dan terjadi perselisihan, serta saksi
pernah melihat pertengkaran yang terjadi diantara kedua belah pihak.
Penyebab dari perselisihan tersebut diakibatkan faktor ekonomi dan
beda agama karena Termohon kembali ke agama semula yaitu Kriste
103Salinan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng, h. 3-
5.
48
Protestan. Bahwa sejak Juni 2016 Pemohon dan Termohon sudah
pisah tempat tinggal hingga kini dan yang meninggalkan rumah
adalah Pemohon.
2). Saksi 2, yang merupakan ayah kandung dari Pemohon,
menyatakan dalam kesaksiannya rumah tangga mereka memang sudah
tidak harmonis lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran.
Penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut
dikarenakan perbedaan agama dan faktor ekonomi yang kurang dari
Pemohon serta kekerasan yang pernah dilakukan oleh Pemohon.
Antara Pemohon dan Termohon sudah pisah rumah sejak bulan Juni
2016 yang sudah berlangsung selama 7 bulan hingga saat ini. Dari
saksi sudah berusaha untuk merukunkan dengan cara menasehati akan
tetapi usahanya tidak berhasil, akhirnya saksi sudah tidak sanggup lagi
merukunkan Pemohon dan Termohon104.
c. Kesimpulan
Bahwa para pihak menyampaikan kesimpulannya secara lisan
dihadapan sidang Pemohon pada permohonannya ingin tetap bercerai
dengan Termohon dan selanjutnya Termohon yang pada pokoknya
tetap pada jawabannya.105
3. Amar Putusan
Dalam Konpensi :
a. Mengabulkan permohonan Pemohon
b. Memfasakhkan perkawinan Pemohon (Pemohon/Tergugat
Rekonpensi) dengan Termohon (Termohon/Penggugat Rekonpensi)
c. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama untuk mengirimkan
salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada
Pegawai Pencatatan Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tangerang untuk dicatatkan perceraian dalam daftar yang disediakan
untuk itu ;
104Salinan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng, h.8 105 Salinan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng, h.9
49
Dalam Rekonpensi :
a. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonpensi ;
b. Menetapkan anak-anak Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi dibawah hadhanah Penggugat Rekonpensi;
c. Menghukum Penggugat Rekonpensi untuk memberikan nafkah
untuk anak-anaknya dengan jumlah yang sudah ditetapkan.
Pemberian nafkah tersebut dilakukan sampai ketiga anaknya
berumur 21 tahun atau sudah mandiri;
d. Menghukum Penggugat Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi
untuk melaksanakan dan mentaati isi kesepakatan perdamaian
yang dibuat tanggal 18 Januari 2017
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
a. Membebankan Kepada Termohon dan Pemohon/Tergugat
Rekonpensi untuk membayar biaya perkara yang hingga kini
dihitung sejumlah Rp.356.000,-(tiga ratus lima puluh enam
ribu rupiah).106
B. Deskripsi Perkara pada Putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
1. Posisi Kasus
Perkara ini didaftarkan pada tanggal 23 Mei 2014 dengan register
nomor: 0743/Pdt.G/2014/PA.JU Secara subtansi, perkara ini sama dengan
yang perkara sebelumnya, yakni cerai talak kumulasi hak asuh anak.
Cerai itu diajukan Pemohon (suami) berumur 42 tahun, Agama Islam,
pekerjaan Pegawai Negeri Sipil dengan bertempat tinggal di Jakarta Utara
lalu Termohon (istri) yang berumur 34 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Pegawai Negeri Sipil, yang bertempat tinggal di Jakarta Utara yang
akhirnya memberi kuasa khusus kepada Busan & Partner Advokat &
106 Salinan Putusan PA Tangerang Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng, h.21-22
50
Konsultan Hukum yang beralamat di Jalan Rawa Tembaga Kios Pemda
No.22 Kota Bekasi. Pemohon dengan surat permohonannya telah
mendaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Utara, dengan
register nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU pada tanggal 23 Mei 2014.107
2. Duduk Perkara
Perkara ini didaftarkan pada tanggal 23 Mei 2014 dengan nomor
register : 0743/Pdt.G/2014/PA JU Kronologinya adalah pada tanggal 3
Mei 2004 pemohon dengan termohon melangsungkan pernikahan yang
dicatat oleh pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama kecamatan
Cengkareng , Kota Jakarta Barat sebagai mana yang telah dicatatka dalam
duplikat Kutipan Akta Nikah yg sudah tertera. Setelah akad nikah
pemohon dan termohon hidup bersama sebagai suami istri. Selama
pernikahan antara pemohon dan termohon telah hidup rukun sebagaimana
layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang anak yang berumur 5.5
tahun dan anak kedua berumur 1 tahun.108
Keadaan rumah tangga pemohon dan termohon semula berjalan
rukun dan harmonis sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik,
akan tetapi sejak Maret tahun 2009 antara keduanya sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus dan sulit untuk
didamaikan. Perselisihan antara Pemohon dan Termohon pada intinya
disebabkan karena Termohon bersifat egois dan selalu melawan saat
dinasehati, Termohon kerap mengajak anak-anak ke Gereja tanpa se ijin
dan sepengetahuan Pemohon dan diantara keduanya sering terjadi
perbedaan pemahaman dalam membangun rumah tangga.
Karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka
rumah tangga Pemohon dan Termohon menjadi benar-benar tidak rukun
lagi dan puncaknya pada Januari 2014 mengakibatkan Pemohon dan
Termohon masih satu rumah namun pisah ranjang dan oleh karena itu
antara Pemohon dan Termohon sudah tidak melakukan hubungan suami
107 Salinan Putusan PA Jakarta Utara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h. 2 108 Salinan Putusan PA Jakarta Utara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h. 2-6
51
istri lagi. Selama ini Pemohon yang dengan kemampuan Tarbiyahnya
mampu mendidik, mengasuh serta merawat kedua anaknya yang sangat
membutuhkan bimbingan Agama dari Pemohon selaku ayah kandungnya.
Pemohon sangat khawatir apabila hadhanah ditetapkan kepada Termohon
(istri) dikarenakan bahwasanya Termohon telah pindah Agama dan
kembali pada keyakinan semula yaitu Kristen.
Atas permasalahan tersebut Pemohon sudah tidak sanggup lagi
untuk mempertahankan perkawinan ini, oleh karena itu Pemohon sudah
mempunyai tekad yang kuat untuk bercerai dengan Termohon.
1. Yang Dimohonkan
1. Meminta mengabulkan Permohonan Pemohon
2. Memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan ikrar talak
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta
Utara.
3. Membebankan biaya perkara menurut yang berlaku
Subsidair
Apabila Pengadilan Agama Jakarta Utara berpendapat lain, mohon
putusan seadil-adilnya (ex aequo bono).109
2. Proses Persidangan
Pada hari Persidangan yang telah ditetapkan Termohon dan
Pemohon hadir dalam persidangan. Selanjutnya dibacakan surat
permohonan Pemohon tertanggal 23 Mei 2014 yang pada isinya tetap
dipertahankan oleh Pemohon yaitu permohonan Cerai Talak. Terhadap
surat permohonan Pemohon, Termohon telah menyampaikan jawaban
yang pada pokoknya:
Pemohon menikahi Termohon pada Termohon pada tanggal 3 Mei
2004 dan telah dikaruniai dua orang anak dari pernikahannya tersebut,
setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup rukun dan harmonis.
Sejak Maret 2009 kehidupan rumah tangga kedua belah pihak tidak
109 Salinan Putusan PA Jakarta Utara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h.3
52
harmonis dengan adanya perselisihan antara Pemohon dan Termohon
yang disebabkan Termohon mengakui secara lisan bahwa ia (Termohon)
telah kembali ke Agama semula yaitu Kristen dan Termohon mengakui
bahwa dirinya pernah berselingkuh dengan pria lain. Termohon bersedia
bercerai dengan Pemohon namun meminta agar kedua anaknya tetap
dalam asuhan Termohon .
Pada hari sidang yang telah ditetapkan Majelis Hakim berusaha
mendamaikan akan tetapi tidak berhasil, kemudian Majelis Hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara dan membacakan gugatan dari pihak
Pemohon dan terdapat jawaban Konpensi dari Termohon yang berisi (
Dalam Konpensi ) : Termohon menolak segala tuduhan yang diajukan
oleh Pemohon yang mana berisi :
a. Menyatakan bahwa Termohon egois dan selalu melawan
karena dinasehati.
b. Mengajak anak-anak ke Gereja tanpa se ijin Pemohon, itu tidak
benar faktanya Termohon ke Gereja apabila ada kebutuhan dan
harus bertemu dengan ibu Termohon dan Pemohon sangat
mengetahui hal tersebut.
c. Termohon pindah Agama adalah dalil yang mengada-ada,
karena sampai saat ini Agama yang di anut Termohon adalah
Islam. Termohon meminta Pemohon membuktikan dengan
surat/akte bahwa Termohon kembali menganut Agama Kristen
ke Gereja.
d. Punak keretakan antara Termohon dan Pemohon adalah pada
awal Januari 2014 karena sikap dari Pemohon yang melarang
Termohon untuk mengunjungi serta bermalam di rumah
orangtua Termohon.
e. Termohon menolak secara tegas dalil yang disampaikan
Pemohon yang menyatakan Pemohon memiliki kemampuan
tarbiyah/agama yang mampu mendidik, membimbing dan
53
mengasuh anak karena pada faktanya Pemohon tidak dapat
menunjukkan perannya tersebut selaku imam dalam keluarga
yang tidak pernah mengajak Termohon untuk melakukan
ibadah Sholat, bahkan Pemohon sendiri jarang melakukan
ibadah Sholat tersebut dan mempunyai emosi yang tidak stabil,
selalu berkata kasar dalam memarahi anak-anak apabila anak
melakukan kesalahan seperti contohnya pada anak pertama
yang diancam oleh Pemohon menggergaji tangan anaknya
yang pertama tersebut ketika anak yang pertamanya merusak
barang milik Pemohon.
Dalam Rekonpensi bahwa selanjutnya Termohon akan disebut
juga sebagai Penggugat Rekonpensi/Termohon Konpensi dan Pemohon
disebut juga Tergugat Rekonpensi/Pemohon konpensi mengajukan
Gugatan Rekonpensi. Adapun dasar alasan Gugatan Rekonpensi ini adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa apa yang disampaikan Penggugat Rekonpensi
dengan Tergugat Rekonpensi mohon diulang dan dianggap
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam bagian ari
Rekonpensi tersebut.
b. Benar bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan
suami isteri dan telah melangsungkan pernikahannya pada
tanggal 3 Mei 2004 yang dicatatkan di KUA Kecamatan
Cengkareng Jakarta Barat, dan setelah menikah Pemohon
dan Termohon bertempat tinggal di Jakarta Utara
c. Bahwa hasil dari pernikahan tersebut kedua belah pihak
dikaruniai dua orang anak yaitun anak pertama perempuan
lahir pada tanggal 10 Juli 2008 dan yang kedua laki-laki
yang lahir pada tanggal 12 April 2013
d. Sebelum melakukan pernikahan Pemohon membujuk
Termohon melalukan pernikahan secara Islam karena
54
sebelumnya Pemohon menganut agama Kristen dengan
janji setelah melangsungkan pernikahan secara Islam
Pemohon bersedia melangsungkan pernikahan secara
Kristen dan adat Batak supaya Pemohon dapat diterima
dikeluarga Termohon. Bedasarkan hal tersebut Pemohon
bersedia menikahi Termohon.
e. Sejak awal berumah tangga yang didahalui dengan
kebohongan Termohon yaitu menikah diam-diam secara
Islam Pemmohon menerima dengan sabar dan ikhlas atas
tindakan yang dilakukan oleh Pemohon.
f. Sejak pernikahan tersebut Pemohon mempunyai kebiasaan
keluar malam untuk bertemu dengan rekan kerjanya bukan
karena pekerjaan tetapi hanya untuk bersenang-senang
sampai subuh.
g. Sejak pernikahan tersebut juga Pemohon sering berbohong
dengan mengatakan tidak bisa pulang kerumah dan harus
menginap di lokasi kerjanya di Pulau Seribu, tetapi setelah
Termohon memeriksa dan menanyakkan kepada rekan
kerjanya Pemohon, Pemohon tidak menginap dan sudah
pulang dari pulau.
h. Saat anak pertama lahir, Pemohon mempunyai sikap yang
janggal dengan sering mengurung diri sesudah pulang kerja
di dalam kamar selama 2 hari 2 malam tanpa Termohon
boleh mengetahui apa yang dilakukan oleh Pemohon.
i. Hingga sampai saat ini Termohon jarang sekali melihat
Pemohon melakukan ibadah Sholat, bahkan jarang
melakukan Sholat Jumat.
j. Pemohon mempunyai emosi yang sangat tidak stabil dan
tidak bis mengendalikan emosinya, sering tidak sabar
kepada anaknya tersebut seperti mengucap kata-kata kasar.
55
k. Pada tanggal 11 Mei 2013 disaksikan oleh kedua pembantu
dan anak pertamanya Pemohon melakukan kekerasan
sehingga Termohon terluka dan dilaporkan ke Kantor
Kepolisian setempat. Pada saat ingin dilakukan visum,
Pemohon datang dan meminta maaf berjanji tidak akan
melakukan kesalahan tersebut.
l. Akibat kejadian tersebut sikap Pemohon sesekali tidak
berubah, bahkan sering menghina Termohon dan keluarga
Termohon miskin dan tidak memiliki rumah.
m. Puncak keretakan rumah tangga antara kedua belah pihak
terjadi pada awal bulan Januari 2014 karena sikap Pemohon
melarang Termohon untuk bermalam di rumah orangtua
Termohon. Melihat kedua anak mereka masih tinggal
bersama-sama memang diasuh, dirawat serta memerlukan
bimbingan dari Pemohon serta mengingat sikap Pemohon
yang tidak bisa mengendalikan emosinya maka Termohon
memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Utara Ketua
Majelis Hakim untuk memutus perkara ini dengan
menetapkan kedua anak Pemohon dan Termohon untuk
berada di bawah pengasuhan Termohon.
Dalam Konpensi menyerahkan keputusan
permohonan Pemohon menurut hukum dan rasa keadilan
Majelis Hakim yang mengadili dan menghukum Pemohon
untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara
tersebut.
Dalam Rekonpensi yang berisi :
a. Mengabulkan gugatan rekonpensi Termohon seluruhnya
b. Menetepkan kedua anak Termohon dan Pemohon dibawah
pemeliharaan Termohon selaku ibu kandungnya.
56
c. Menghukum Tergugat Rekopensi Pemohon Konpensi untuk
memberikan biaya pemeliharaan (hadhanah)/nafkah anak serta
biaya pendidikan untuk kedua anaknya sebesar yang sudah
ditentukan setiap tanggal 25 kepada Penggugat
Rekonpensi/Termohon Konpensi.
d. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya pemeliharaan
(hadhanah)/nafkah terutang kedua anaknya tersebut secara tunai
saat ikrar talak diucapkan oleh Pemohon.
e. Menghukum Pemohon memberi nafkah iddah kepada Termohon
pada saat ikrar talak diucapkan dihadapan Majelis Hakim.
Atas jawaban dan gugatan balik tersebut Pemohon tetap pada dalil
semula, sedangkan tentang gugatan balik Pemohon menerangkan yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Dalam Pokok Perkara Dalam Konpensi :
a. Pemohon tetap pada dalilnya memohon agar semua dalil yang sebelumnya
telah dikemukan dalam surat Permohonan Talak Pemohon
b. Menolak seluruh dalul Termohon yang dikemukakan pada jawabannya
kecuali hal yang tegas diakui kebenerannya.
c. Menolak alasan dan dalil jawaban Termohon point 3 huruf (a)-(d) karena
alasan yang kurang jelas dengan pertimbangan hakim yang sudah
dijelaskan.
d. Tidak benar alasan serta dalil-dalil Termohon yang mengatakan bahwa
Pemohon sangat egois tidak mengerti keluhan seorang isteri.
e. Bahwa benar Pemohon mampu mendidik, mengurus anak-anak secara
agama agar anak-anak terhindar dari perbuatan amoral yang dilakukan
oleh Termohon.
Dalam Rekonpensi nya Pemohon tidak pernah menjajikan pernikahan selain
Agama Islam dikarenakan Pemohon sebagai seorang muslim tidak ingin
menciderai ikatan suci perkawinan yang merupakan akad yang sangat kuat, tidak
57
benar bahwa ikatan suci perkawinan didasarkan atas kebohongan belaka mungkin
itu perspektif Termohon yang menganggap ikatan suci perkawinan hanyalah
permainan belaka, Pemohon tidak membenarkan bahwa Pemohon sering keluar
malam bersama rekan kerja Pemohon itu hanya retorika dari Termohon untuk
menutupi Aib Termohon. Pada faktanya Pemohon sering kali pulang kerumah dan
hanya sesekali saja Pemohon pergi keluar rumah itupun apabila ada pekerjaan
dikantor yang tidak bisa diselesaikan dirumah, tidak membenarkan bahwa
Pemohon selalu mengurung diri di kamar dan tidak menjalankan kewajibannnya
ibadah Sholat Jum’at, Apakah kalau Pemohon Ibadah harus selalu melaporkan
kepada Termohon? Puncak keretakkan rumah tangga antara Pemohon dan
Termohon dikarenakan sikap Termohon yang sangat amoral, sikapnya tersebut
sudah diakui Termohon karena telah mengakui perselingkuhannya dengan
beberapa pria idaman lain. Tindakan perselingkuhan itupun berujung pada
persetubuhan pada pria lain.
Yang dimohonkan :
Dalam Pokok Perkara Dalam Konpensi :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk mengabulkan ikrar talak.
2. Mencabut hak hadhanah Termohon kepada Pemohon atas kedua anaknya.
Dalam Rekonpensi :
1. Menyatakan Termohon Konpensi Nusyuz dengan segala akibat
hukumannya.
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
1. Menetapkan biaya perkara menurut hukum
Apabila Pengadilan Agama Jakarta Utara berpendapat lain, mohon putusan seadil-
adilnya (ex aequo bono)110
110 Salinan Putusan PA Jakarta Utara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h.20
58
Bukti Surat.
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dan
Termohon, fotokopi kutipan Akta Nikah tanggal 3 Mei 2004yang
dikeluarkan oleh KUA kecamatan, Foto kopi kartu keluarga, SK
Gubernur DKI Jakarta tentang pemberian izin melakukan proses
persidangan, Kartu Keluarga atas nama Elentje Tumiar Situmorang
untuk menunjukkan silsilah keluarga besar Termohon yang
beragama Kristen Protestan, Akta kelahiran anak, hasil DNA atas
nama Anak pertama Pemohon dan Termohon yang dikeluarkan
oleh Yayasan Genneka Lembaga Fijkman Lab DNA Forensik,
Surat Keterangan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian
Perkawinan, Surat Tanda Bukti Lapor, Surat panggilan atas nama
Termohon Siregar menunjukkan bahwa Termohon melakukan
perzinahan, Surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Termohon
Siregar.
Bukti Saksi
1. Saksi 1 berumur 51 tahun beragama Islam, saksi bukan
merupakan keluarga ataupun teman kerja dari Pemohon
memberi kesaksiannya antara lain : Benar bahwa sejak
mereka mengajukan masalah rumah tangganya ke BP4
waktu saksi lupa, Pemohon cerita karena Termohon telah
kembali ke agama semula yaitu Kristen maka dari itu
Pemohon ingin menceraikan Termohon, kemudia
Termohon dipanggil dalam penasehatan tersebut Termohon
tetap pada pendiriannya tetap memeluk Agama Kristen
ditanya dalam masalah anak, Termohon sendiri datang dan
menyampaikan agar anak-anak ikut Termohon karena
mengakui bahwa secara biologis anak-anak tersebut bukan
59
anak Termohon namun hasil perselingkuhan dengan pria
lain dan Termohon tidak mengaku nama pria tersebut.
2. Saksi 2 berumur 46 tahun, beragama Islam, yang
merupakan kakak ipar dari Pemohon memberi
kesaksiannya antara lain : membenarkan bahwa Ternohon
dan Pemohon adalah suami istri dan telah dikaruniai dua
orang anak, namun sejak 2009 Pemohon dan Termohon
mulai bertengkar karena Termohon pindah lagi ke Agama
semula yaitu Kristen dan yang paling memberatkan
Pemohon adalah anak yang pertama Pemohon dibawa ke
Gereja, saksi menyaksikan sendiri keadaan tersebut kadang
Pemohon dan Termohon bertengkar dirumah saksi,
sekarang Pemohon dan Termohon tinggal satu rumah lagi
karena sebelumnya mereka sempat pisah rumah beberapa
bulan, Termohon pulang kerumah orangtuanya dengan
anak-anak dan sejak bulan Oktober 2014 Termohon
kembali lagi tinggal di Sunter dengan anak-anak yang saksi
dengar Pemohon dan Termohon membuat perjanjian tapi
saksi tidak tahu isi ari perjanjian tersebut, Pengakuan dari
Termohon secara biologis anak-anak tersebut hasil
perselingkuhan dengan laki-laki yang berbeda, anak yang
pertama katanya dengan seorang pria yang bernama Roni
dan sedangkan anak yang kedua Termohon tidak mau
mengakui karena pria tersebut sudah meninggal, memang
benar anak-anak tersebut bukan anak biologis dari
Pemohon namun Pemohon sangat sayang dan sangat
bertanggung jawab terhadap anak tersebut, Keluarga sudah
berkali-kali merukunkan Pemohon dan Termohon namun
Termohon tetep pada pendiriannya memeluk Agama
Kristen sehingga mereka tidak dapat rukun kembali, pada
saat Pemohon dan Termohon menikah saksi tidak tahu
60
karena sebelum menikah mereka berbeda agama sudah
diberitahu akan menjadi masalah tapi setelah 6 bulan
mereka datang lagi dan mengatakan sudah sepakat, benar
bahwa mereka sudah punya 2 orang anak, rumah tangga
mereka sedang ada masalah sempat pisah bulan 7 tahun
2014 dan kumpul satu rumah lagi awal November 2014.
3. Kesimpulan
Termohon menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya
keberatan bercerai sebab Pemohon beralih agama setelah punya
selingkuhan yang beragama Katolik, tentang kesanggupan
Pemohon Jika terjadi perceraian Termohon akan menyetujuinya.111
3. Amar Putusan
Dalam Konpensi
1. Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian :
2. Memberi ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan ikrar talak satu Raj’i
kepada Termohon didepan sidang Pengadilan Agama Jakarta Utara setelah
keputusan berkekuatan tetap:
3. Menetapkan anak pertama berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan
Pemohon.
4. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Jakarta Utara untuk
mengirimkan salinan putusan kepada Pegawai Pencatat Nikah KUA
Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat dan PPN KUA Kec Tanjung Priuk
Jakarta Utara, untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu
5. Menolak permohonan Pemohon untuk selainnya :
Dalam Rekonpensi
111 Salinan Putusan PA Jakarta Utara Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h.12-25
61
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian
2. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat yaitu uang
Mut’ah sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
3. Menetapkan anak kedua dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat
Rekonpensi/Termohon.
4. Memerintahkan Tergugat Rekonpensi untuk mmeberikan nafkah untuk
anak sesuai yang ditentukan diluar biaya pendidikan dan kesehatan;
5. Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi dan selebihnya.
Dalam Konpensi dan Rekonpensi
Membebankan Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
791.000,- (tujuh ratus sembilan puluh satu rupiah).
62
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS PUTUSAN Nomor
2170/Pdt.G/2016/PA.Tng dan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PAJU
A. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Tangerang Dan
Pengadilan Agama Cikarang Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng
Sebagaimana diuraikan pada Bab III bahwa putusan Nomor:
329/Pdt.G/2016/PA.Tng adalah tentang cerai talak kumulasi hak asuh
anak yang didalamnya terdapat gugatan rekopensi Termohon yang
meminta penetapan hak asuh anak diberikan kepada Termohon selaku ibu
kandungnya dikarenakan ketiga anaknya tersebut masih dibawah umur dan
masih memerlukan perhatian seorang Ibu.
Dalam salinan Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng terdapat surat
kesepakatan perdamaian yang dimana terdapat point ibu mendapatkan hak
hadhanah. Berikut penulis akan menulis kembali isi dari Surat Kesepakat
perdamaian yang pada pokoknya adalah :
1. Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat ketiga anak tersebut
dibawah pengasuhan (hadhanah) pihak kedua dengan syarat yang
sudah disepakati.
2. Pihak Pertama dan Pihak Kedua wajib mencurahkan kasih sayang,
memberi pendidikan yang layak pada ketigak anaknya.
3. Pihak kedua tidak boleh melarang atau menghalangi pihak pertama
untuk bertemu atau mencurahkan kasih sayang selaku ayah kandung
dari ketiga anak tersebut.
4. Antara pihak pertama dan pihak kedua tidak dibenarkan
memaksakan agama/keyakinan/mengitimidasi anak agar mengikuti
keyakinan tersebut.
63
5. Pihak Pertama wajib memberikan nafkah untuk ketiga anaknya
sebesar Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) setiap
bulan dengan kenaikkan 10% kepada pihak kedua setiap tahun diluar
biaya pendidikan.
6. Antara kedua belah pihak sepakat atas isi kesepakatan ini untuk
dimuat ke dalam putusan Nomor:2170/Pdt.G/2016/PA.Tng1.
Dari keterangan diatas Majelis Hakim telah menemukan fakta-fakta
dipersidangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang menikah pada tanggal
28 Juni 2004 dan telah dikaruniai 3 orang anak, setelah waktu berlalu rumah
tangga Pemohon dan Termohon tidak harmonis lagi sering terjadi pertengkaran
dan perselisihan terus menerus dalam waktu 7 bulan terakhir, akibat perselisihan
dan pertengkaran tersebut terutama karena Termohon pindah agama semua yaitu
Kristen Protestan dan faktor ekonomi yang mengakibatkan keduanya sudah tidak
menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana suami istri dalam kehidupan rumah
tangga.
Jika dilihat dari amar putusan, Majelis Hakim pada pertimbangannya dalam
konpensi menetapkan anak-anak dari Penggugat Rekonpensi dan Tergugat
Rekonpensi berada dibawah hadhanah Penggugat Rekonpensi(istri yang murtad)
karena anak-anak tersebut masih dibawah umur dan dikarenakan Termohon dan
Pemohon sudah sepakat untuk memberikan hak hadhanah kepada Termohon
sesuai surat kesepakatan perdamaian.
Jika dilihat dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf a tentang
Perkawinan bahwa: “Perceraian tidak menghapus kewajiban ayah dan ibu untuk
memelihara dan mendidik anak-anaknya, jika ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan yang akan memberi keputusan.”
1Salinan Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2170/Pdt.G/2017/PA.Tng, h. 3-5.,
64
Pada pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan hak asuh anak
kepada istri yang murtad dengan tidak mempertimbangkan apapun hanya melihat
dari usia kedua anak yang masih dibawah umur dan karena Termohon dan
Pemohon sudah menyepakati surat perdamaian untuk menetapkan hak asuh anak
kepada Termohon.
Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasa khusus dengan nama
perjanjian dalam perkawinan, yang ada dalam bahasan fiqh dan diteruskan dalam
sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama adalah “persyaratan dalam
perkawinan” kaitan antara syarat perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan
adalah karena perjanjian itu berisi syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang
melakukan perjanjian dalam arti pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang
ditentukan. Menepati perjanjian itu menurut Al-qur’an adalah sesuatu yang
diperintahkan, sesuai dengan firman Allah dikahir ayat QS. Al-Isra (17):34
وأوفوا بلعهد إنه العهد كان مسئول
Artinya: “... dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya.”2
Tafsir ayat ini ialah penuhilah janji terhadap siapapun kamu berjanji, baik kepada
Allah maupun kepada kandungan janji, baik tempat, waktu dan substansi yang
dijanjikan karena sesungguhnya janji yang kamu janjikan akan diminta
pertanggung jawabannya oleh Allah SWT kelak dikemudian hari atau diminta
kepada yang berjanu untuk memenuhi janjinya.3
Dalam pertimbangan Majelis Hakim yang salah satunya juga menetapkan
hak asuh anak kepada istri yang murtad, jika dilihat dari fiqh, menurut golongan
Hanafi, Ibnu Qasim bahkan Maliki serta Abu Tsaur berpendapat hadhanah tetap
dapat dilakukan oleh pengasuh yang kafir, sekalipun si anak muslim, karena
hadhanah itu tidak lebih dari menyusui dan melayani, kedua hal ini boleh
2 Departemen Agama RI, Syamil Al-Qur’an Terjemahan Perkata, (Bandung: CV Haekal
Media Center, 2007), h.285. 3 M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.83.
65
dilakukan oleh wanita kafir. Meskipun begitu golongan Hanafi mensyaratkan
kafirnya bukan karena murtad, sebab orang kafir karena murtad dapat dipenjara
sampai ia taubat dan kembali dalam Islam atau mati dalam penjara, sehingga ia
tidak boleh diberi kesempatan mengasuh anak kecil, kecuali bila ia sudah taubat
dan kembali ke Islam.4
Hanafiyah dan Malikiyah tidak mensyaratkan Islam, pemegang
hadhanah boleh ahlul kitab atau agama lain baik ibunya atau yang lain.
Karena berdasarkan riwayat Abu Dawud dan periwayat lain bahwa Nabi saw.
menyerahkan pada pilihan anak untuk memilih antara bapaknya yang muslim
atau ibunya yang kafir, si anak cenderung memilih ibunya sehingga Nabi
berdoa: Ya Allah tunjukilah dia, maka si anak menuju bapaknya.5
Dalam hukum Islam, hal ini dinamakan dengan dalil hukum istishab
(teori kelangsungan hukum), bahwa status hukum suatu hal di masa lalu terus
berlangsung pada masa kini dan masa depan sejauh belum ada dalil yang
menentukan lain, yang dirumuskan dalam kaidah hukum Islam, yang artinya
“Asasnya adalah tetapnya sesuatu yang telah ada itu sebagaimana adanya.”6
Meskipun Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkara selain
di antara orang-orang Islam, dan meskipun si ibu pindah agama tetapi karena
pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama dan bukan di Catatan Sipil,
maka tentulah Pengadilan Agama yang berwenang sehingga penentuan
hadhanah anak juga harus tunduk kepada hukum positif yang berasal dari
hukum material Islam, dan jika belum ada aturan yang mengaturnya secara
detail maka Hakim berwenang melakukan penggalian hukum dari khasanah
4 Al-Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutub al Arabiy, tt), h. 343-
344.
5Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 225.
6 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.255.
66
fikih IslamSelain itu menurut pendapat ini, kasih sayang dalam hadhanah tidak
akan berbeda dengan perbedaan agama.7
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, jika terjadi perceraian,
pemeliharaan anak yang belum tamyiz, yaitu belum berusia 12 tahun mesti
dalam pemeliharaan ibunya, kecuali ibunya tiada maka dialihkan ke
pemegang hadhanah yang lain. Jadi yang berhak hadhanah pertama mutlak
pada ibunya, tanpa memandang agama si ibu. Di dalam ketentuan tersebut tidak
terdapat perbedaan hak ibu dalam hadhanah dari segi agama.
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa jika ternyata pemegang
hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah atas permintaan kerabat
yang juga punya hak hadhanah. Apa yang dimaksud dengan tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, apakah ibu yang murtad
dapat dikualifikasikan sebagai ancaman terhadap keselamatan rohani anak,
sayangnya tidak ada penjelasan dalam ketentuan ini, sehingga jaminan terhadap
keselamatan jasmani dan rohani anak bersifat multitafsir dan sangat relatif,
tergantung penafsiran dan pemahaman hakim.
2. Nomor 0743/Pdt.G/2014/PAJU
Sebagaimana diuraikan pada Bab III bahwa putusan Nomor:
0743/Pdt.G/2014/PAJU adalah tentang cerai talak kumulasi hak asuh anak
yang dilakukan oleh Pemohon sebagai suami yang beragama Islam dan
Termohon sebagai istri yang keluar dari agama Islam, didalamnya Pemohon
meminta Majelis Hakim menetapkan hak asuh hadhanah diberikan kepada
Pemohon sebagai ayah kandung dikarenakan Pemohon berpindah keyakinan.
Dalam salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor
0743/Pdt.G/2014/PAJU tentang Cerai talak, penulis uraikan kembali bukti
yang diajukan oleh para pemohon beserta pertimbangan Majelis Hakim,
diantaranya sebagai berikut:
7 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 225.
67
Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang menikah pada tanggal
3 Mei 2004 dan telah dikaruniai 2 orang anak, sejak bulan Maret 2009 hubungan
rumah tangga mereka sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus
yang sulit didamaikan Penyebab perselisihan antara Termohon dan Pemohon
dikarenakan Termohon mengakui telah berpindah agama, Termohon bersifat
sangat egois dan selalu melawan saat dinasehati, Pemohon pernah memergoki
Termohon mengajak anak-anak ke Gereja, antara Pemohon dan Termohon kerap
terjadi perbedaan paham di dalam membangun rumah tangga. 8
Majelis Hakim pada pertimbangan hukumnyaa menetapkan anak
pertama yang berumur 5,5 tahun Pemohon dan Termohon jatuh kepada
Pemohon selaku ayah kandungnya dan anak kedua yang berumur 1,5 tahun
menetapkan kepada Termohon selaku ibu kandungnya,dikarenakan anak ke-II
masih berumur 1,5 tahun masih membutuhkan ASI dan belum bisa diajarkan
akidah dasar seperti basamallah dan lain sebagainya, belum seperti anak I
yang berumur 5,5 tahun yang sudah mengerti apabila diajarkan akidah dasar
agama Islam. Menurut hadist yang telah dijadikan dasar oleh Abu Hanifah,
Ibnu Qasim al-Maliki dan Abu Tsaur telah dimansukh, karena jumhur telah
berjimak bahwa anak muslim tidak boleh diserahkan ke orang kafir. Hadis ini
dari segi sanad memang dapat jadi hujjah, tetapi tempat patokan hujjah ada
dua yaitu ibu yang kafir dan hak (anak) memilih.9
Menurut Hukum Positif, Di antara asas penyelenggaraan perlindungan
anak adalah asas kepentingan terbaik bagi anak, artinya dalam semua tindakan
menyangkut dirinya, maka kepentingan terbaik baginya harus menjad
pertimbangan utama. Serta penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu
penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyagkut hal- hal
yang memepengaruhi kehidupannya.10
8 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara Nomor: 0743/Pdt.G/2014/PA.JU, h.2 9 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h.223 10 Lihat Pasal 2 dan Penjelasannya, Undang-undang Perlindungan Anak
68
Mengenai penyelenggaraan perlindungan terhadap agama anak,
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial
harus menjamin setiap anak untuk beribadah menurut agamanya dan sebelum
anak dapat menentukan pilihannya, disesuaikan dengan agama orang tuanya.
Perlindungan meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran
agama.11Anak dapat menentukan agama pilihannya setelah ia berakal dan
bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai ketentuan
agama pilihannya dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.12
Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 13 Ayat (1) tersebut memberikan
ketentuan dengan menggariskan bahwa selama anak yang dalam
pengasuhan orang tua ataupun wali berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan; diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran;
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah
lainnya. Yang perlu diberikan tekanan lebih dalam perlakuan perlindungan anak
di sini adalah mengenai penelantaran. Ketika anak berada dalam asuhan atau
pemeliharaan orang tua wali, maka anak yang belum mumayiz mempunyai hak
jaminan pemeliharaan yang maksimal. Mulai dari pendampingan agama dan
belajar anak, pemenuhan kebutuhan sehari-hari, hingga tempat pengaduan
anak ataupun penyampaian aspirasi anak. Maka orang tua atau wali diharuskan
sosok yang selalu ada di samping anak. Artinya orang tua atau wali bukanlah
orang yang bertempat tinggal terpisah dengan anak. Jika hal itu terjadi maka
perlindungan serta pemeliharaan anak dapat berindikasi pada tindakan
penelantaran.
Kompilasi Hukum Islam sebagai aturan yang dianggap sebagai fikih
Indonesia seharusnya tidak mengurangi dan melenyapkan sifat-sifat dan nilai-nilai
normatif. Sebagai contoh, seharusnya di dalam Kompilasi Hukum Islam terutama
bab XIV tentang pemeliharaan anak (hadhanah) dipaparkan semua tentang hal-hal yang
11 Lihat Pasal 42-43 Undang-undang Perlindungan Anak 12 Lihat Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak
69
menyangkut tentang hadhanah, seperti orang yang berhak mengasuh, biaya, masa
pengasuhan dan syarat-syarat pengasuh anak.
Bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara, kurang sempurna karena belum menyebutkan secara
detail syarat muslim bagi pengasuh dan bagaimana hadhanah bagi istri yang
murtad. Akan tetapi dalam KHI pada bagian ketiga tentang akibat perceraian
pada Pasal 156 huruf (c) disebutkan “Apablila pemegang hadhanah ternyata
tidak menjamin keselamatan jasmanai dan rohani anak, meskipun biaya
hadhanah dan nafkah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula”.
Pasal di atas menjelaskan tentang salah satu syarat dari pemegang
hadhanah di antaranya adalah “Sanggup dan mampu menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak”. Dalam hal ini dapat diartikan sanggup dan mampu
menjamin keselamatan jasmani berupa makan, minum, tempat tinggal,
kesehatan dan juga dapat menjamin keselamatan rohani yang berupa
pendidikan, kasih sayang, juga dalam hal agama. Jadi apakah ibu yang
bepindah keyakinan atau murtad dapat dikualifikasikan sebagai ancaman
terhadap keselamatan rohani anak, sayangnya tidak ada penjelasan dalam
ketentuan ini, sehingga jaminan terhadap keselamatan jasmani dan rohani anak
bersifat multitafsir dan sangat relatif, tergantung penafsiran dan pemahaman
hakim. Kepastian hukum bersifat general sehingga menghendaki kesamaan
pada semua kasus.
Keadilan selalu bersifat kasuistis karena menghendaki keseimbangan
(kesetaraan) antara dua pihak atau lebih. Keadilan dalam suatu kasus belum
tentu sama dengan keadilan pada kasus yang lain karena sesungguhnya tidak
ada kasus yang sama persis melainkan hanya serupa tapi tak sama. Kepastian
hukum berada dalam ranah hukum wadl’i.13
13 Hukum Wadl’i adalah hukum yang berkaitan dengan sebab, syarat, rukun, sah,
batal, mani’, dan akibat mengenai status hubungan hukum satu sama lain. Amir
70
Hukum wadl’i mengatur hubungan status hukum antar orang. Dalam ranah
ini tidak ada tempat untuk melakukan terobosan hukum. Keadilan berada dalam
ranah hukum taklifi.14 Hukum taklifi mengatur hubungan hak dan kewajiban
antar orang dalam ranah perdata. Dalam ranah inilah hakim dapat melakukan
terobosan hukum. Hakim sebagai profesionalis hukum dapat mendesain
hukum baru agar putusannya memenuhi rasa keadilan. Hakim itu seperti dokter
yang membuat resep untuk pasiennya, resep untuk setiap pasien selalu berbeda
karena disesuaikan dengan kondisi pasien.15
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, wajib mengikuti ketentuan aturan
hukum, penegakan hukum yang tidak menurut ketentuan hukum dapat
berakibat batal demi hukum atau null and ovoid. Keharusan penegakan hukum
mengikuti ketentuan hukum, dimaksudkan untuk mencegah para penegak
hukum berlaku sewenang-wenang atau melampaui batas wewenang, sehingga
akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan menciderai rasa keadilan.
Undang- undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam
Pasal 4 Ayat 1 menyatakan bahwa “Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang”.16
Konsep tidak membeda-bedakan orang, karena alasan ketidaksetaraan,
alasan ras, suku, agama, maupun latar belakang budaya bukan hanya
berlaku di pengadilan, melainkan sesuai maka tidak membeda-bedakan
orang, juga berlaku dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh para penegak hukum
Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran,
2005), h. 362.
14 Hukum Taklifi adalah hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara
hamba dengan Tuhannya, dan antara orang atau lembaga yang berkaitan dengan perbuata
mukallaf. Perbuatan mukallaf ini dapat diklasifikasikan menjadi 5 (lima) kategori, yaitu wajib,
sunah, mubah, makruh dan haram dengan bagian masing-masing. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqih Jilid 1, h. 310.
15 Mukri Arto, Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim, Cet. 1, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), h. 198-199 16 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Ed. 1, Cet. 1, h. 72.
71
yang lain. Setiap aparat penegak hukum wajib memberikan pelayanan hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang. Penyimpangan terhadap asas tidak membeda-bedakan
orang, hanya dapat dilaksanakan dengan alasan yang sangat sempit, sesuai prinsip due
processof law, yaitu apabila senyatanya penyimpangan tersebut demi keadilan dan
kemanfaatan bagi mereka yang dibedakan.
B. Analisis Tinjauan Teori Maqashid Syari’ah
1. Putusan Nomor: 2170/Pdt,G/2016/PA. Tng
Secara substansi dalam Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
2170/Pdt.G/2017/PATng Majelis Hakim Mengabulkan amar Pemohon dengan
menetapkan hak asuh anak kepada istri yang non muslim dengan tidak
mempertimbangkan apapun pada pertimbangan hukum pada perkara ini, hal
tersebut terjadi karena pada sebelumnya sudah ada kesepakatan perdamaian yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak.
Anak yang lahir dari rahim ibunya, ia lahir dalam keadaan fitrah dan
kedua orangtua berkewajiban mengasuh, memelihara dan mendidik sebaik-
baiknya, sejahtera lahir batin serta berguna bagi semua orang. Para Ulama
menetapkan bahwa mengasuh anak hukumnya adalah wajib, sebab mengabaikan
berarti menghadapkan anak-anak kepada bahaya kebinasaan.17 Namun para
Ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang lebih berhak dalam mengasuh
anak. Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki bahwa hak pengasuhan anak menjadi
hak ibunya sampai ia menggugurkan hak tersebut. Tetapi menurut Jumhur Ulama,
hak pengasuhan anak merupakan hak antara anak dan kedua orang tua.18
Tujuan Allah dalam menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan
hamba di dunia dan di akhirat. Menurut Al-Syatibi beban-beban hukum
sesungguhnya untuk menjaga maqashid (tujuan) hukum dalam diri makhluk ada
17 M.A Tihami dan Soharo Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, ( Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h.217 18 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Prenada Media Group, 2016),
h.128.
72
tiga yaitu dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dharuriyat harus ada untuk menjaga
kemashlahatan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi
kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dharuriyat tersebut hilang.
Maqashid al-dharuriyat ini ada lima yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal.19 Menurut Al-Syatibi urutan
kelima dharuriyat ini bersifat ijtihad dan bukan naqly, artinya ia disusun
bedasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan istiqra’.
Dalam merangkai kelima al-Dharuriyat atau juga yang menyebutkan al-kulliyyat
al-khamsah, Al-Syatibi terkadang lebih mendahulukan aql (akal) dan terkadang
nasl (keturunan) lalu mal (harta) dan terakhir aql (akal). Namun dalam susunan
manapun al-Syatibi selalu mengawalinya dengan din (agama) dan nafs (jiwa)
terlebih dahulu.
Bedasarkan fakta-fakta dalam Putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng
Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk cerai dan memberikan
hak asuh anak (hadhanah) terhadap Termohon sebagai ibu kandung karena
melihat dari surat perjanjian yang didalamnya sepakat bahwa hak asuh anak
diberikan kepada Termohon dengan ketentuan yang sudah disepakati antara
Pemohon dan Termohon, penulis merujuk dalam literatur fiqh klasik yang tidak
menemukan bahasa khusus dengan nama perjanjian dalam perkawian yang ada
dalam bahasa fiqh dan diteruskan sebagai kitab fiqh dengan maksud yang sama
adalah “persyaratan dalam perkawinan” kaitan antara syarat perkawinan dengan
perjanjian dalam perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak yang berjanji
memenuhi syarat yang ditentukan, menepati perjanjian itu menurut Al-qur’an
adalah sesuatu yang diperintahan, sesuai dengan firman Allah diakhir ayat Q.S
Al-Isra (17):34
أوفوا بلعهد إنه العهد كان مسئول و
19 Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal Syariah
dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
73
Artinya : “.... dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya.”
Bedasarkan amar yang sudah ditetapkan oleh Majelish Hakim yaitu
menetapkan hak asuh anak diberikan kepada ibunya dikarenakan anak masih
dibawah umur dan sesuai dengan kesepakatan perjanjian perdamaian yang telah
dibuat, dengan tidak mempertimbangkan apapun didalam pertimbangannya.
Terkait syarat beragama Islam bagi orang yang berhak mendapatkan hak asuh
terdapat perbedaan pendapat. Imam Husain al-Hanafiy mengatakan bahwa
seorang ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengasuh karena tidak
ada perbedaan dari segi agama, maka hadhanah lebih berhak didapatkan oleh
seorang istri sebagaimana dijelaskan di dalam kitab Raudhatu at-Thalibin :
Artinya:“Hanyalah ibu yang lebih baik berhak untuk mengasuh anaknya
dibandingkan dengan ayahnya selama anak tersebut belum tamyiz sedikitpun.”
Pendapat penulis pada putusan Nomor 1270/Pdt.G/2016/PA.Tng Majelis
Hakim yang menangani perkara ini seharusnya lebih mengedepankan kelayakan
seorang pengasuh untuk anakanya tersebut yaitu suami selaku Pemohon yang
telah memenuhi syarat-syarat sebagai pengasuh dan layak sebagai pemegang hak
asuh anak. Majelis Hakim dalam mengabulkan amar Pemohon dengan tidak
menetapkan pertimbangan apapun mengabulkan hak asuh anak kepada ibu yang
murtad, sebaiknya Majelis Hakim mempertimbangkan dengan mengacu pada
Ulama Syafi’iyah yang mensyaratkan bagi seorang pengasuh harus beragama
Islam dan Ulama Hanafiyah yang berpendapat baha seorang pemegang hadhanah
tidak murtad (keluar dari agama Islam), jika ia murtad, maka sejak itu gugurlah
haknya sebagai pemegang hadhanah. Menurut Al-Syatibi beban-beban hukum
sesungguhnya untuk menjaga maqashid (tujuan) hukum dalam diri makhluk ada
tiga yaitu dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dharuriyat harus ada untuk menjaga
kemashlahatan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi
kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dharuriyat tersebut hilang.
Maqashid al-dharuriyat ini ada lima yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa,
74
menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal.20 Menurut Al-Syatibi urutan
kelima dharuriyat ini bersifat ijtihad dan bukan naqly, artinya ia disusun
bedasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan istiqra’.
Dalam merangkai kelima al-Dharuriyat atau juga yang menyebutkan al-kulliyyat
al-khamsah, Al-Syatibi terkadang lebih mendahulukan aql (akal) dan terkadang
nasl (keturunan) lalu mal (harta) dan terakhir aql (akal). Namun dalam susunan
manapun al-Syatibi selalu mengawalinya dengan din (agama) dan nafs (jiwa)
terlebih dahulu.
2. Putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
Dalam kasus kedua putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PAJU Pada
substansinya Majelis Hakim mengabulkan amar Pemohon dan menetapkan hak
asuh anak I kepada Pemohon selaku ayah kandungnya yang beragama Islam dan
anak ke II berumur 1,5 tahun jatuh kepada Termohon selaku ibu kandungnya.
Dihubungkan pengakuan Termohon dengan bukti-bukti bahwa ia
berpindah keyakinan/kembali ke keyakinan semula yaitu Kristen. Maka Majelis
Hakim berpendapat memberikan hak hadhanah kepada Termohon. Pada saat
terjadinya perceraian anak berumur 5,5 tahun dan 1,5 tahun yang mana anak
tersebut belum mummayiz. Menurut Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah
mensyaratkan yang menjalankan hadhanah harus beragama Islam. Menurut
Muhyiddin al-Nawawi sebagaimana yang dikutip oleh Aris Bintania, hadhanah
tidak boleh diserahkan ke orang kafir karena tidak akan wujud kesejahteraan
anak, ia akan merusak agamanya dan itu mudarat yang paling besar.
Menurut hadis Nabi yang menyerahkan anak pada pilihan anak antara
orang tua yang muslim dan kafir yang telah dijadikan dasar oleh Abu Hanifah,
Ibnu Qasim al-Maliky, dan Abu Tsaur telah dimansukh, karena jumhur telah
berjimak bahwa anak muslim tidak boleh diserahkan ke orang kafir. Hadis ini dari
segi sanad memang dapat jadi hujjah, tetapi tempat patokan hujjah ada dua yaitu
20 Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal Syariah
dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
75
ibu yang kafir dan hak (anak) memilih.21 Yang berhujjah nasakh menggunakan
dalil-dalil yang umum, misalnya firman Allah Swt., dalam surat An-Nisa (4) ayat
141:
للكافرين على المؤمنين سبيل ولن يعل الله
Artinya : “... dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir
menguasai orang-orang mukmim...”
Ibnu Qayyim berhujjah dengan firman Allah :
"انفسكم وأهليكم نار "يا أيها الذين امنوا قوا Sehingga melindungi anak lebih
didahulukan daripada haknya memilih ataupun mencabut pundi karena untuk
kebaikkan. Diceritakan dari gurunya Ibnu Taimiyah: bahwa dua orang tua
memperebutkan anak di depan hakim, hakim menyuruh anak memilih sehingga si
anak memilih bapaknya, sang ibu bertanya apa sebab anak lebih memilih
bapaknya, maka hakim bertanya kepada si anak yang menjawab; ibuku
mengirimku setiap hari ke juru tulis dan ahli fikih yang keduanya suka
memukulku, sementara bapakku membiarkanku bermain bersama teman-
temanku. Lantas hakim memutus hadhanah untuk ibunya. Menurut Ibnu
Taimiyah semangat syarak berkehendak menjaga kemaslahatan anak sehingga
putusan hukum pun adalah untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Menurut al-
Imrany tujuan kebahagiaan anak tidak akan wujud pada orang kafir, tidak dapat
dipercaya dia tidak akan mempengaruhi dan merusak agamanya, ia berpandangan
hadis ini tidak begitu dikenal dikalangan penulis hadis, jikapun benar maka
mestilah Nabi sudah tau si anak akan memilih bapaknya maka nabu menyuruhnya
memilih, jadi hadis ini khusus untuk si anak tidak dalam kasus yang lain. Begitu
juga menurut al-Sayyid al-Sabiq, wanita nonmuslim tidak berhak hadhanah.22
21 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 250-
251 22 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, h. 251-
252
76
Menurut Penulis, Majelis hakim betul menetapkan hak asuh anak
diberikan kepada ibu dengan pertimbangan hukum ayah memiliki mudarat yang
lebih besar daripada maslahatnya sesuai pendapat Al-Syatibi beban-beban hukum
sesungguhnya untuk menjaga maqashid (tujuan) hukum dalam diri makhluk ada
tiga yaitu dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dharuriyat harus ada untuk menjaga
kemashlahatan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi
kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dharuriyat tersebut hilang.
Maqashid al-dharuriyat ini ada lima yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal.23 Menurut Al-Syatibi urutan
kelima dharuriyat ini bersifat ijtihad dan bukan naqly, artinya ia disusun
bedasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan istiqra’.
Dalam merangkai kelima al-Dharuriyat atau juga yang menyebutkan al-kulliyyat
al-khamsah, Al-Syatibi terkadang lebih mendahulukan aql (akal) dan terkadang
nasl (keturunan) lalu mal (harta) dan terakhir aql (akal). Namun dalam susunan
manapun al-Syatibi selalu mengawalinya dengan din (agama) dan nafs (jiwa)
terlebih dahulu. Dikhawatirkan apabila diberikan kepada orang yang murtad
penjagaan dalam agama anaknya ikut kepada orang yang murtad tersebut.
23 Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal Syariah
dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan hasil peneliti dari permasalahan yang penulis teliti, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pemohon dalam perkara cerai talak pada putusan Nomor :
2170/Pdt.G/2016/PA.Tng mengabulkan permohonan Pemohon oleh
Majelis Hakim dengan pertimbangan hak asuh anak diberikan kepada
Termohon sesuai dengan surat kesepakatan perdamaian bahwa hak asuh
anak diberikan kepada Pihak kedua dengan ketentuan yang sudah
diberikan, Lalu dalam Putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU
mengabulkan permohonan Pemohon menetapkan hak asuh anak/hadhanah
yang pertama jatuh kepada Pemohon selaku ayah kandungnya. Menurut
Hukum Positif, Di antara asas penyelenggaraan perlindungan anak adalah
asas kepentingan terbaik bagi anak, artinya dalam semua tindakan
menyangkut dirinya, maka kepentingan terbaik baginya harus menjadi
pertimbangan utama. Serta penghargaan terhadap pendapat anak, yaitu
penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyagkut hal-
hal yang memepengaruhi kehidupannya
2. Dalam putusan Nomor 2170/Pdt.G/2016/PA.Tng mengabulkan
permohonan Pemohon oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan hak asuh
anak diberikan kepada Termohon sesuai dengan surat kesepakatan
perdamaian bahwa hak asuh anak diberikan kepada Pihak kedua dengan
ketentuan yang sudah diberikan, Dalam literatur fiqh klasik tidak
ditemukan bahasa khusus dengan nama perjanjian dalam perkawinan,
yang ada dalam bahasan fiqh dan diteruskan dalam sebagian kitab fiqh
dengan maksud yang sama adalah “persyaratan dalam perkawinan” kaitan
78
antara syarat perkawinan dengan perjanjian dalam perkawinan adalah
karena itu berisi syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan
perjanjian dalam arti pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang
ditentukan. Menepati perjanjian itu menurut Al-qur’an adalah sesuatu
yang diperintahkan, sesuai dengan firman Allah dikahir ayat QS. Al-Isra
(17):34
اوفوا بلعهد إنه العهد كان مسئول وأ
Artinya: “... dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya.” Lalu pada putusan Nomor 0743/Pdt.G/2014/PA.JU mengabulkan
permohonan Pemohon Majelis Hakim pada pertimbangan hukumnya menetapkan
anak I Pemohon dan Termohon jatuh kepada Pemohon selaku ayah kandungnya,
dan anak ke II yang berumur 1,5 tahun jatuh kepada Termohon selaku ibu
kandungnya dikarenakan anak ke II dari Pemohon dan Termohon masih sangat
kecil belum mummayiz, Menurut Muhyiddin al-Nawawi sebagaimana yang
dikutip oleh Aris Bintania, hadhanah tidak boleh diserahkan ke orang kafir
karena tidak akan wujud kesejahteraan anak, ia akan merusak agamanya dan itu
mudarat yang paling besar. Menurut Al-Syatibi beban-beban hukum
sesungguhnya untuk menjaga maqashid (tujuan) hukum dalam diri makhluk ada
tiga yaitu dhururiyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dharuriyat harus ada untuk menjaga
kemashlahatan dunia dan akhirat. Jika hal ini tidak ada maka akan terjadi
kerusakan yang ditimbulkan adalah sejauh mana dharuriyat tersebut hilang.
Maqashid al-dharuriyat ini ada lima yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga keturunan, menjaga harta dan menjaga akal.135 Menurut Al-Syatibi
urutan kelima dharuriyat ini bersifat ijtihad dan bukan naqly, artinya ia disusun
bedasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan istiqra’.
Dalam merangkai kelima al-Dharuriyat atau juga yang menyebutkan al-kulliyyat
135 Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal
Syariah dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
79
al-khamsah, Al-Syatibi terkadang lebih mendahulukan aql (akal) dan terkadang
nasl (keturunan) lalu mal (harta) dan terakhir aql (akal). Namun dalam susunan
manapun al-Syatibi selalu mengawalinya dengan din (agama) dan nafs (jiwa)
terlebih dahulu.
B. Saran
Bedasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan berupa
saran-saran sebagai berikut :
1. Hendaknya perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, hakim
sebelum memutus siapa yang berhak atas hak pengasuh anak dapat
meminta dan mempertimbangkan pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak
terlepas dari kewajiban hakim untuk memutus suatu perkara dengan
seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan
2. Untuk para laki-laki yang menarik perempua non muslim untuk diajak
masuk Agama Islam dan menikah, maka kewajiban pertama yaitu
menjadikan istrinya muslimah yang baik, mengajarkan untuk beribadah
dan mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah hingga
menjadi muslim yang kaffah. Sedangkan untuk perumpan yang hendak
masuk Islam, janganlah masuk Islam dengan maksud ingin menikah
dengan laki-laki muslim tetapi masuk Islamlah karena Islam itu sendiri.
80
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h.,175
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997),cet. 1, h. 1108.
Abdul Manan, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Depok: Kencana,
2017), Cet. 1, h. 70.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan
Agama, Cet. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 426.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Musthafa min ‘Ilm al-Ushul, (Lubnan: Dar
al-Huda, 1994), h. 481.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia, 1997),
h. 4.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia,
1997), h. 7-8.
Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Terj. Khairul Amru
Harahap
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 324.
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325.
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat: Pergeseran Makna Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 48 No. 2 Desember 2014, h. 325.
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas Fiqh Al-Aqalliyyat dan Evolusi Maqasid
al-syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: PT LKis Printing
Cemerlang, 2010), Cet. 1, h. 179.
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 170.
81
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 171.
Ahmad Qorib, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet. 2, h. 174.
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir-Kamus Arab-Indonesia,
(Yogyakarta:Ponpes al-Munawir), h.,296
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017,
h. 551.
Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah Dan Hubungannya Dengan Metode
Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3 Agustus 2017,
h. 554.
Al-Sayyid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutub al Arabiy, tt),
h. 343-344.
Amir Syariffudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2007), h.328
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Naka Perspektif Islam,
( Jakarta:Kencana, 2008) h,114-115
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-
Qadha, Ed. 1, Cet. (Jakarta: RajawaliGrafindo, 2012), h. 211-252
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997),
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1, Cet. 3, h. 223-224
82
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
(Jakarta: Kencana, 2010), h.182-213
Sayf al-Din Abu al-Hasan ‘Ali bin Abi Ali bin Muhammad al-Amidi, al-Ihkam fi
Ushul al-Ahkam, (Beirut: Mu’assasah al-Nur, 1388 H), h. 271.
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah Jilid II, (Saudi Arabia: Dar al-Fatkh, 1999)
hal.,436cet. 1, h. 1109.dan Faisal Saleh, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), h. 672.
M.A Tihami dan Soharo Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h.217
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Jilid 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.83.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Prenada Media Group,
2016), h.128.
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Dar al-Fikri: Damaskus, 1986), h.
225.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk, h. 37-68
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam
untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 57.
Yusuf Qardhawi, Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam
untuk Manusia, Terj. Ade Nurdin & Riswan, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2018), Ed. 2, Cet. 1, h. 58.
Peraturan Undang-Undang
Departemen Agama RI, Syamil Al-Qur’an Terjemahan Perkata, (Bandung: CV
Haekal Media Center, 2007), h.285.
Ketentuan Umum Pasal 1 huruf g Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam
Lihat Pasal 45 Undang-undang Perkawinan
83
Lihat Pasal 66 Ayat (5) Undang-undang Peradilan Agama.
Lihat Pasal 78 huruf b Undang-undang Peradilan Agama; Pasal 24 Ayat (2) PP
No. 9/1975
Lihat Pasal 80 Ayat (4b-c) Kompilasi Hukum Islam
Lihat Pasal 98 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
Lihat Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
Lihat Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak
Lihat Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana yang diubah dengan dengan Undang-Undan Nomor 3 Tahun
2006. ( Selanjutnya disebut UUPA )
Penjelasan Umum UUPA angka 5,6, dan 7
Jurnal
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal
Syariah dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-syatibi, de Jure Jurnal
Syariah dan Hukum, 6:1 (Juni 2014), h.35.
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun
2013, h. 170-172.
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, (Yordania: Dar
an-Nafais, 2001), hlm. 190-192.
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Yordania: Dar
an-Nafais, 2001), h. 187.
Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Al-Syatibi, Jurnal Syariah dan
Hukum Vol. 6 No. 1 Juni 2014, h. 311.
Internet
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-ankabut-ayat-45-55.html, Diakses pada
tanggal 07 Januari 2019.
84