25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum. Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah 1

Pengertian Istihsan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ahwal Syaksiyah

Citation preview

Page 1: Pengertian Istihsan

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi

oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam

Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan

akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar

proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun

demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih

tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.

Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan

suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya

mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian

dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-

Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam

penggalian dan penyimpulan hukum.

Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang

tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah

Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-

sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula

yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab,

Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.

Makalah ini akan menguraikan tentang pengertian Istihsan, kehujjahan istihsan

dalam lintas mazhab, Imam Syafi’i dan Istihsan, jenis-jenis Istihsan.

1

Page 2: Pengertian Istihsan

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana pengertian istihsan?

2. Bagaimana kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab?

3. Bagaimanakah hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan?

4. Bagaimanakah jenis-jenis istihsan?

C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulisan

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan pengertian istihsan.

2. Menjelaskan kehujjahan istihsan dalam lintas mazhab.

3. Menjelaskan hubungan Imam Syafi’I dengan istihsan.

4. Menjelaskan jenis-jenis istihsan.

2

Page 3: Pengertian Istihsan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan

Menurut bahasa, istihsan berasal dari kata حسن yang berarti baik atau indah,

yang maksudnya adalah sesuatu yang di anggap baik atau indah.1

Adapun istihsan menurut istilah, Abu Hasan Al-Karkhi (mazhab Hanafi)

mendefinisikan bahwa:

منه اقوى لوجه اخر حكم عن بالمسالة العدول ه ان هو االستحسانIstihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada

sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih

kuat atau lebih baik.2

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby (mazhab Maliki) ialah memilih

meninggalkan dalil, mengambil rukhshah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu

berlawanan dengan dalil yang lain pada sebagian kasus tertentu. Ia membagi Istihsan

kepada empat macam, yaitu :

1. Meninnggalkan dalil karena urf.

2.  Meninggalkan dalil karena ijma’.

3. Meninggalkan dalil karena maslahat.

4.  Meninggalakan dalil karena untuk meringankan dan menghindarkan

masyaqat.3

1 Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Maktabah Dar Al-Fikr, 1986), h.

136.

2 Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), h. 106.

3 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 402.

3

Page 4: Pengertian Istihsan

Dengan demikian, istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan

qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar), atau dari dalil kulliy kepada hukum

takhshish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil

pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.4

Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status

hukumnya tidak ada, maka penyelesaiannya harus menggunakan dua sisi yang

kondratif, yaitu

1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.

2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak (khafi) menghendaki adanya

ketetapan hukum lain.5

Berdasarkan pernyataan tersebut, pada diri mujtahid ada dalil yang di anggap

lebih mendahulukan sisi ketidaktampakan (khafi), sehingga ia berpindah ke sisi yang

nyata (jali/lahiriyyah). Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid,

namun ia menghendaki adanya dalil juz’iy dari hukum kulliy tersebut dan

memberikan ketetapan hukum kepada juz’iynya. Maka hal ini dalam syara’ dikenal

dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan adalah penerapan perpindahan suatu bentuk

hukum qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.6

B. Kehujjahan Istihsan dalam Lintas Mazhab

Para ahli hukum berbeda pandangan dalam menanggapi masalah sejauh mana

validitas kehujjahan istihsan dalam beristimbathil hukm, sesuai dengan latar belakang

keilmuan masing-masing.

1. Golongan Yang Menerima penggunakan Istihsan Sebagai Hujjah 4 Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo: Maktabah Dar al-Qalam, 1978), h. 79.

5 Ma’shum zein, Ilmu Ushul…, h. 107.

6 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Juz II, Cet Ke-III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). h.

737.

4

Page 5: Pengertian Istihsan

Menurut Syarkishi, ulama yang menggunakan istihsan adalah dari kalangan

Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah, meskipun mereka berbeda dalam memberikan

istilah dan rincian macamnya.7 Ketiga kalangan ini berpendapat bahwa istihsan dapat

digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.

Al-Taftazani menyatakan bahwa istihsan adalah salah satu dari dalil-dalil yang

disepakati oleh para ulama, karena istihsan didasarkan kepada nash, atau

kepada ijma’, atau kepada darurat, atau kepada qiyas khafi. 8

a. Kehujjahan Istihsan Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat

dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu

pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan menggunakan

istihsan.9

Fiqh Maliki merupakan fiqh yang sangat memperhatikan kaidab-kaidah

umum (al-qawaid al-ammat) dan dasar-dasar yang universal (al-ushul al-kulliyat)

karena kaidah-kaidah itu bersifat qath’i (tegas, pasti). Dan karena dalil-

dalil ‘aqli (dalil-dalil yang dihasilkan oleb akal manusia) yang memberi

faedah qath’i  menjadi tidak qath’i dengan sendirinya, maka cara sampai

kepada qath’i adalah melalui induksi.

Dengan demikian maka kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fiqh

merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dan sejumlah

dalil nash yang saling dukung mendukung kepada suatu pengertian yang memberi

faedah qath’i. Oleh karena itu kaidah istihsan itu merupakan kaidah umum yang

ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dali lafazh itu, diterapkan

7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet ke 4, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 315.

8 al-Taftazani, Syarh al-Talwih ala Taudhih, Juz. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, t.t.), h.

82.

9 Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 112.

5

Page 6: Pengertian Istihsan

kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan ditetapkan hukumnya dengan

memasukkannya ke dalani kategori obyek yang umuni itu, jika peristiwa itu

merupakan masalah khusus.10

b. Kehujjahan Istihsan Hanafiah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan

istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang

menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa

kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan menyangkut dengan istihsan.11

Jadi, dari ketiga kalangan yang telah disebutkan, yang lebih banyak menggunakan

istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa

menggunakan istihsan lebih baik daripada qiyas.12

Menurut golongan Hanafiah, istihsan itu bias menjadi dalil

syarak. Istihsan dapat menetapkan hukum yang berbeda dengan hukum yang

ditetapkan oleh qiyas atau umum nash. Tegasnya menurut mereka, istihsan dapat

dijadikan dalil (hujjah).13

c. Kehujjahan istihsan Hanabilah

Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui

adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan

tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa

istihsan diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk

di dalamnya golongan Hanabilah.14

d. Dalil-dalil yang menjadi dasar hukum istihsan10 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994). h.

31-33.

11 Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.

12 Amir Syarifuddin, Ushul…, h. 315.

13 Husain Hamid Hassan, Nadhariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiy (Beirut: Dar al-Nahdhat

al-‘Arabiyah, t.t.), h. 594.

6

Page 7: Pengertian Istihsan

Adapun dalil-dalil yang menjadikan pegangan ke tiga golongan pendapat ini

adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Firman Allah:

“Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu

sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak

menyadarinya.” (Q.S. Az-Zumar: 55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti

yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada

hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan

bahwa Istihsan adalah hujjah.

“Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah-nya dan

kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu

kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang

paling baik di antaranya. mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah

petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S Az-Zumar:

17-18)

Menurut mereka, ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang

memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan

kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

2. Berdasarkan hadits Nabi saw:

14 Juhaya , Ilmu Ushul..., h. 112.

7

Page 8: Pengertian Istihsan

فهو )ا ئ سي رأوا وما حسن ه الل عند فهو )ا حسن المسلمون رأى فما

ئ سي ه الل عند“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi

Allah adalah baik”.(H.R. Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin

dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan

kehujjahan Istihsan.

3. Berdasarkan ijma’:

Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa

masalah yang dilandasi oleh Istihsan, seperti:

- Bolehnya masuk ke dalam hammam. tanpa ada penetapan harga tertentu,

penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.

- Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di

muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.15

2. Golongan Yang Menolak Penggunaan Istihsan Sebagai Hujjah

Adapun istihsan dalam arti beralih dari qiyas jail kepada qiyas kafi atau beralih

pada kepada adat kebiasaan, merupakan masalah yang controversial, yang dengan

sendirinya menjadi kurang kekuatannya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’I

termasuk ulama paling keras menolak isithsan dalam bentuk ini.

Kalangan ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip,

demikian pula ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah. Karena mereka

tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka pun menolak istihsan karena

kedudukan istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah dari

qiyas.

15 Saifuddin al-Hasan ‘Alim al-Amidi, al-Ahkam Fi Ushulil Ahkam, Juz: II, (Kairo: Muassisah

al-Halabiy, 1937), h. 892.

8

Page 9: Pengertian Istihsan

Di antara argument para ulama yang menolak istihsan (selain argumen

penolakan Syafi’i) adalah sebagai berikut.

a. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang

ditetapkan Allah atau yang ditetapkan Rasul atau hukum yang diqiyaskan

dngan hukum Allah dan hukum Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan

berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan

manusia bukan hukum syar’i. hukum semacam ini didasarkan atas kehendak

dan selera nafsu. Umat Islam tidak disuruh mengikuti hukum dari nafsu

tersebut.

b. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari

hukum itu ditetapkan dengan nash Kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan

Nabi. Ada pula isyarat dari nash untuk mengikuti hukum yang ditetapkan ulil

amri itu adalah ijma’, yaitu ketetapan tentang hal yang disepakati. Sedangkan

dalam hal yang diperdebatkan, disuruh untuk menghubungkannya kepada

nash yang ada yaitu melalui qiyas. Tidak boleh beralih dari hukum yang

dituntut oleh nash atau qiyas kepada pendapat berdasarkan istihsan, karena

yang demikian berarti mendahulukan hukum yang ditetapkan akal ketimbang

hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’.16

C. Imam Al-Syafi’i dan Istihsan

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam al-

Syafi’i merupakan salah seorang ulama yang menetang dengan keras istihsan sebagai

metode dalam beristinbath hukum. Penolakannya itu tercermin dari perkataanya yang

masyhur yaitu:

ع شر فقد استحسن من“Siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti ia

membuat hukum syaria’ah yang baru.”

16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, h. 315.

9

Page 10: Pengertian Istihsan

Imam Syafi’i juga menyatakan dengan tegas bahwa,  tidak seorang pun

berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak

seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan).

Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru

yang tidak mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya.17

  Dari perkataan al-Syafi’i di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan istihsan adalah pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan (al-

khabar) dari salah satu empat dalil syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas.

Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil

dari al-khabar itu secara lafal dan juga tidak diambil dari logikanya secara qiyas,

serta tidak ada ijma’ pada hukum tersebut, maka fatwa itu dinamakan istihsan, karena

tidak bersandarkan kepada al-khabar baik secara (langsung kepada) nash maupun

secara istinbath. Fatwa itu hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan

dengan kecenderungan perasaannya, tanpa berdalil kepada suatu aI-khabar dan tanpa

mempertanggungkan kepada al-khabar itu.

Menurut Imam Syafi’i, haram bagi seseorang yang berpendapat

dengan istihsan, apabila istihsan itu bertentangan dengan al-khabar. Sedang, al-

khabar yang terdiri atas Kitab dan sunnah adalah sesuatu yang berharga yang diteliti

maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya yang benar. Mujtahid itu

bisa memahami al-khabar dengan qiyas dan seorang pun tidak boleh mengemukakan

pendapat kecuali dari segi ijtihad. Dan ijtihad adalah upaya mencari kebenaran. Maka

dengan demikian tidak boleh seseorang mengatakan, aku menganggap baik, tanpa

melakukan qiyas.18

Seandainya, qiyas boleh diingkari, maka boleh juga bagi orang yang bukan

ahli ilmu berpendapat dengan sesuatu yang tidak ada nash dengan istihsan yang

mereka gunakan. Padahal sebenarnya pendapat yang tidak berdasarkan kepada al-17 Imam al-Syafi’i, al-Risalah, (Mesir: Matba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1940), h. 25.

18 Ibid., h. 503-505.

10

Page 11: Pengertian Istihsan

khabar dan qiyas tidak sah karena tidak bersumber kepada al-Quran, sunnah,

dan qiyas. Banyak nash, baik a1-Quran maupun hadits yang melarang berpendapat

yang tidak disandarkan kepada al-khabar. Karena sesungguhnya apabila Nabi SAW

menyuruh melakukan ijtihad, maka ijtihad selalu berdasarkan suatu tuntutan. Dan

menuntut sesuatu harus berdasarkan dalil-dalil, sedangkan dalil-dalil itu adalah qiyas.

Sedangkan dalam istihsan tidak terdapat qiyas.

Selanjutnya Imam Syafi’i memberikan contoh dengan mengatakan, bahwa

seseorang yang tidak mengerti masalah harga seorang budak, maka tidak boleh

dimintakan menetapkan harga seorang budak laki-laki atau harga seorang budak

perempuan. Demikian juga kepada orang yang tidak mengerti masalah upah pekerja

tidak boleh dimintakan menetapkan upah pekerja. Sebab, apabila ia menetapkan

harga budak tidak sesuai dengan dalalat (petunjuk) harganya atau menetapkan upah

pekerja tidak sesuai dengan dalalat upahnya, berarti ia bentindak sembarangan.

Oleh karena itu, menurutnya lebih lanjut, menyimpulkan hal-hal yang kecil

seperti itu saja tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, apalagi masalah halal dan

haram yang merupakan ketentuan Allah maka tidak boleh ditetapkan secara

sembarangan dan secara istihsan. Yang demikian, tidak lain daripada mencari

enaknya saja (talazzuz).

Dengan demikian, maka selain Rasulullah tidak ada seorang pun yang berhak

mengemukakan pendapat kecuali berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di

atas. Orang tidak boleh berpendapat dengan “apa yang dianggapnya baik”, karena

pendapat dengan apa yang dianggapnya baik” adalah sesuatu yang dibuat-buatnya

bukan berdasarkan tradisi atau contoh yang telah ada.19

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwasa Imam Syafi’i

menghubungkan istihsan dengan semua fatwa yang tidak disandarkan kepada al-

khabar, baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan

19 Ibid., h. 21.

11

Page 12: Pengertian Istihsan

kepada nash dengan cara qiyas. Atau dengan kata lain bahwa istihsan merupakan

metode istinbath hukum yang tidak berdasarkan kepada al-Quran atau sunnah

atau ijma’ atau atau qiyas. Dengan demikian, maka tidak mengherankan kalau Imam

Syafi’i menolak istihsan sebagai dalil syarak dan beliau mengkritik keras istihsan

tersebut.

Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan

beberapa argumen, diantaranya adalah:

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung

jawaban)?”(Q.S. Al-Qiyamah: 35)

Dalam menanggapi ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Allah tidak

membiarkan begitu saja kepada manusia dengan sia-sia, tetapi Allah memerintahkan

sesuatu kepadanya dan melarang sesuatu bahkan menjelaskan kedudukan perintah

dan larangan tersebut melalui ayat-ayat al-Qur’an lain yang telah diturunkan kepada

nabi-Nya secara qath’iy.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil

amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,

Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59)

Dalam menanggapi maksud yang terdapat di dalam ayat ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat ini berisi:

12

Page 13: Pengertian Istihsan

- Anjuran untuk selalu mengembalikan segala penyelesaiannya kepada al-Qur’an dan hadits, sedang istihsan bukan al-Qur’an dan bukan pula hadits.

- Tidak ada anjuran untuk mengembalikan persoalan kepada istihsan, sehingga istihsan tidak dapat dianggap sebagai hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum syara’.20

D. Jenis-jenis Istihsan

Dengan adanya definisi dan pandangan para ahli tentang istihsan, maka dapat

dipahami bahwa istihsan dapat dilihat dari dua sisi, yang masing-masing sisi dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk:

1. Dilihat Dari Sisi Hubungan Antara Qiyas Dan Istihsan

Dari sisi ini, istihsan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Qiyas Jali. Qiyas ini terbagi lagi menjadi 6, yaitu:

- Qiyas bi al-Ta’tsir, yaitu qiyas dengan efek penetapan hukum yang lemah

jika dibandingkan dengan istihsan sebagai pembandingannya.

- Qiyas yang secara lahiriyyah lemah dan batal, tetapi jika dilakukan

penelitian secara cermat, ditemukan adanya keabsahan atau ditemukan ada

efek penetapan hukum, lantaran adanya hal-hal yang tersembunyi yang

menjadikannya sebagai landasan dari penetapan hukum tersebut.

b. Istihsan, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:

- Istihsan bi al-Ta’tsir, yaitu istihsan dengan efek penetapan hukum yang

lebih kuat, sekalipun tersembunyi.

- Istihsan yang secara lahiriyah terlihat efek penetapan hukumnya, sekalipun

jika dicermati ditemukan sisi ketidak-absahan yang tersembunyi.21

20 Wahbah, Ushul…, h. 749.

21 Al-Badawiy, Abu Husain Ali bin Muhammad bin Husain, Ushul al-Bazdawiy, Juz: IV,

(Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiy, t.t.), h. 2-4.

13

Page 14: Pengertian Istihsan

Sedangkan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus

persoalannya hanya terdapat pada efek penetapan hukumnya (ta’tsir), bukan pada

aspek lahir dan tersembunyinya, artinya jika efek penetapan hukum qiyasnya itu

sangat kuat, maka yang harus diperioritaskan adalah istihsan.

Adapun contoh kasusnya adalah kasus air sisa minuman burung buas dan

kasus sujud Tilawah di tengah-tengah bacaan al-Qur’an dalam shalat.

2. Dilihat Dari Sisi Pengambilan Dalilnya

Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya, hal ini diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu:

a. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafiy, yaitu penentuan hukum melalui penelitian,

karena dala kasus ini ditemukan dua dalil (baik al-Qur’an maupun hadits)

yang masing-masing dalil mempunyai konsekuwensi hukum tersendiri, lalu

penentuan hukumnya harus dilakukan pentarjihan pada dalil yang dianggap

lebih sesuai dengan persoalan tersebut, lantaran memiliki dampak penetapan

hukum (ta’tsir) yang lebih kuat. Jika demikian, maka istihsan mengambil

jalan memperioritaskan qiyas khafi berdasarkan nash.22

Adapun contoh kasusnya dalam sisi ini adalah wakaf tanah pertanian dan

kasus perbedaan besar kecilnya harga barang yang belum diserah terimakan.

b. Istihsan bi al-Nash, yaitu penetapan hukum berdasarkan pada prinsip dasar

universal yang sudah ditangkap oleh dalil yang cakupannya kulliy, lantaran

secara spesifik (juz’iyyah) terdapat nash, baik al-Qur’an maupun hadits yang

menyalahi kaidah umum tersebut. Jika demikian, maka istihsan mengambil

jalan memperioritaskan ketetapan hukum spesifik daripada hukum kulliy

berdasarkan dalil.23

22 Khallaf, Ilmu Ushul…, h. 81.

23 Wahbah, Ushul…, h.743.

14

Page 15: Pengertian Istihsan

Adapun contohnya istihsan dengan al-Qur’an adalah kasus wasiat kepada ahli

waris dan kasus nazar mensedekahkan harta. Adapun contoh istihsan hadits yaitu

kasus kelupaan orang berpuasa makan dan minum, dan kasus transakasi pemesanan

barang.

c. Istihsan bi al-Ijma’, yaitu aqwal atau fatwa sahabat tentang suatu hukum

dalam kasus-kasus kontemporer yang secara lahiriyyah bertentangan dengan

hasil penetapan qiyas atau kaidah kulliy, atau memang mereka bersikap tidak

mengingkarinya jika hal tersebut dilakukan oleh publik.

Contohnya adalah kasus kontrak kerja pertukaran barang dengan imbalan jasa.

d. Istihsan bi al-Dharuriy, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan

dipastikan berdampak munculnya kesulitan, dan untuk menghilangkannya,

diberlakukanlah pengecualian berdasarkan dharurat.

Contohnya adalah kasus pencucian sumur atau kamar mandi yang terkena

najis dengan menguras sebagian atau keseluruhan air.

e. Istihsan bi al-Mashlahah, yaitu penerapan dalil nash atau kaidah umum akan

berakibat munculnya kerugian (mafsadah) atau tidak tercapainya

kemashlahatan yang sudah menjadi tujuannya. Untuk menghilangkannya,

dipakailah istihsan dengan melakukan hukum yang dimungkinkan dapat

mewujudkan kemashlahatan.

Adapun contohnya adalah kasus pemberian zakat pada bani Hasyim, garis

keturunan Rasulullah.

f. Istihsan bi al-‘Urf, yaitu penerapan qiyas atau kaidah kulliy berdasarkan

tradisi yang sudah berlaku secara umum, seperti kasus penyediaan toilet,

tanpa ada kepastian berapa lama dan berapa banyak air yang dipergunakan

dengan imbalan pembayaran tarif yang telah ditentukan, dan ketentuan ini

sudah berlangsung lama dari masa ke masa dan tidak ada seorangpun dari ahli

hukum islam yang mengingkarinya.24

24 Muhammad Mushthafa Syalbiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut: Maktabah Dar al-Nadhlah al-

Arabiyyah, 1986), h. 274-278.

15

Page 16: Pengertian Istihsan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1.  Istihsan adalah mengeluarkan hukum sesuatu dengan menggunakan dalil baru

yang dihasilkan melalui penelaahan mendalam terhadap dalil yang digunakan

sebelumnya karena adanya unsur-unsur dhorurah yang menyangkut

kepentingan umum serta dengan mempertimbangkan hal-hal baik yang ada di

dalamnya.

2. Kalangan yang menerima istihsan sebagai hujjah terdiri dari Malikiyah,

Hanafiyah, dan Hanabilah. Adapun kalangan yang menolak istihsan sebagai

hujjah adalah terutama Imam Syafi’i, mazhab Zhahiriyah, ulama Syi’ah dan

sebagian ulama kalam Mu’tazilah.

3. Imam Syafi’i adalah seorang penentang keras istihsan. Beliau menyimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah pendapat yang tidak

bersandarkan kepada keterangan (al-khabar) dari salah satu empat dalil

syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i

tidak menggunakan istihsan sebagai hujjah, melainkan menentang keras

penggunaan istihsan sebagai hujjah.

4. Istihsan jika dilihat dari sisinya terbagi 2, yaitu:

1. Dilihat dari sisi hubungan antara qiyas dan istihsan.

16

Page 17: Pengertian Istihsan

2. Dilihat dari sisi pengambilan dalilnya yang terdiri dari istihsan bi al-qiyas

al-khafiy, istihsan bi al-nash, istihsan bi al-ijma’, istihsan bi al-dharuriy,

istihsan bi al-mashlahah, dan istihsan bi al-‘urf.

17